Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH BIOLOGI MOLEKULER

PERAN ZAT GIZI FE TERHADAP EPIGENETIK


PADA IMUNITAS

Disusun oleh :

Hanifatun Nisa
P17112195009

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN GIZI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DIETESIEN
MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tubuh manusia mengandung sekitar 3 – 5 gram besi (45 – 55 mg/kg
berat badan pada wanita dan pria dewasa). Mayoritas besi dalam tubuh (60
– 70%) dalam bentuk hemoglobin yang bersirkulasi pada sel darah merah
(Andrew, 2005). Organ lain yang kaya akan besi adalah hati dan otot. Sekitar
20-30% besi dalam tubuh tersimpan dalam hepatosit dan makrofag
reikuloendotelials, dan sejumlah besar dalam feritin dan degradasinya
menghasilkan hemosiderin.
Epigenetik adalah keadaan somatik/ gambaran fenotip sebagai akibat
dari perubahan struktur kromatin tanpa perubahan sekuens DNA, seperti
methylasi DNA, modifikasi histon, dan remodeling dari kromatin. Studi
tentang epigenetik tidak hanya menyangkut perkembangan embrio,
penuaan, dan cancer tetapi telah meliputi pembahasan yang lebih luas
menyangkut inflamasi, kegemukan, resistensi insulin, DM tipe 2, penyakit
kardiovaskuler, penyakit neurodegeneratif, dan penyakit imun. Modifikasi
epigenetik dapat dilakukan dengan merubah lingkungan eksternal maupun
internal dan memungkinkan merubah ekspresi gen sehingga mekanisme
epigenetik menjadi penting dalam mempelajari beberapa penyakit yang
sampai saat ini penyebabnya tidak diketahui dengan jelas (Choi, 2010).
Besi merupakan kebutuhan tubuh yang esensial untuk proses
metabolisme, antara lain berperan mengangkut oksigen ke jaringan untuk
produksi energi ditingkat sel dan penting dalam transport elektron di
mitokondria dalam proses respirasi sel, untuk sintesis deoxyribo nucleic acid
(DNA) dan lainnya (Conrad, 2002). Defisiensi besi dapat menimbulkan
morbiditas dan mortalitas terutama pada anak dan wanita hamil, disamping
itu defisiensi besi juga menimbulkan gangguan respon tubuh terhadap
infeksi karena terjadi penurunan fungsi netrofil dan gangguan proliferasi sel
T.

B. TUJUAN
Untuk mengetahui peran zat gizi Fe dalam epigenetik imunitas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Zat Besi (Fe)


Zat besi (Fe) merupakan salah satu mikro mineral penting bagi tubuh
serta merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh
manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia
dewasa. Zat besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh, yaitu
diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, terkait pengangkutan,
penyimpanan dan pemanfaatan oksigen, sebagai alat angkut elektron di
dalam sel, dan sebagai bagian terpadu dalam berbagai reaksi enzim dalam
jaringan tubuh (Almatsier, 2009; Andriani & Wijatmadi, 2012; Fatmah, 2010).
Fungsi lain dari Fe antara lain dalam produksi antibodi dan detoksifikasi zat
racun dalam hati (Muchtadi, 2009).

B. Metabolisme Zat Gizi Fe


Berbagai sel tubuh, seperti enterosit duodenum, sinsitiotrofoblas
plasenta, hepatosit, makrofag di hati dan limpa, dapat mengekspor besi
intraseluler ke plasma. Feroportin adalah satu-satunya molekul
transmembran untuk mengekspor besi pada mamalia (Ganz, 2006).
Feroportin berperan untuk mengekspor besi intraseluler ke plasma dan
diekspresikan dalam konsentrasi tinggi di sel-sel tubuh yang mampu
mengekspor besi. Feroportin bekerja dengan bantuan enzim ferroxidase
(hephaestin di enterosit dan seruloplasmin di makrofag) untuk mengoksidasi
Fe2+ menjadi Fe3+ yang kemudian ditranspor ke transferrin plasma.
Hepsidin bekerja mengatur homeostasis besi dengan terikat pada feroportin,
dan diikuti internalisasi dan degradasi ferroportin di lisosom. Dengan
menghilangnya feroportin dari membran sel, ekspor besi intraseluler ke
plasma akan menurun (Ganz, 2006).
Dengan demikian, pada kondisi cadangan besi normal atau meningkat,
hati akan memproduksi hepsidin, yang akan beredar di sirkulasi menuju
duodenum. Kemudian hepsidin akan terikat pada feroportin, diikuti
internalisasi feroportin, sehingga transport besi dari enterosit duodenum ke
plasma akan terhambat. Sebaliknya, ketika cadangan besi menurun,
produksi hepsidin di hati akan menurun, molekul feroportin diekspresikan
pada membran basolateral enterosit untuk meningkatkan transpor besi dari
sitoplasma enterosit ke transferin plasma (Ganz, 2006).
Beberapa senyawa penting yang mengandung besi antara lain heme
untuk pembentukan hemoglobin dan transport oksigen, sitokrom diperlukan
untuk produksi energi di tingkat sel dan penting dalam transport elektron di
mitokondria dalam proses respirasi sel. Ada tiga fase utama dari proses
respirasi sel yaitu glikolisis, siklus Kreb dan electron transport chain (rantai
respirasi).
Pada proses oksidasi fosforilasi diperlukan enzim penting seperti
sitokrom dan NADPH dehydrogenase yang mengandung besi agar
metabolisme berfungsi baik. Enzim lain yang penting yang mengandung besi
adalah katalase, DNA ribonuklease dan mieloperoksidase. Disamping itu
beberapa fungsi metabolisme yang membutuhkan besi adalah fungsi dan
perkembangan otak, aktivitas otot dan sintesis neurotransmiter, fungsi
imunitas tubuh, fungsi detoksifikasi hepar dan fungsi sintesis DNA.

C. Bahan Makanan Sumber Fe


Bahan pangan yang merupakan sumber Fe yang baik adalah sumber
pangan hewani, seperti daging, ayam, dan ikan. Telur, serealia tumbuk,
kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah juga merupakan
sumber pangan Fe yang baik (Almatsier, 2009). Pada umumnya zat besi di
dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi.
Zat besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan
biologik yang sedang. Sedangkan, zat besi yang terdapat pada sebagian
besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat tinggi seperti
bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah (Almatsier, 2009).
Sumber zat besi heme ditemukan pada produk hewani seperti daging,
ikan dan unggas, sedangkan sumber zat besi non heme ditemukan pada
kacang-kacangan, buah, sayuran, biji-bijian, tahu dan produk susu, keju dan
telur (Gropper et al., 2009).
D. Fe dan Imunitas
Kekurangan Fe akan berdampak pada reaksi imunitas berupa aktivitas
neutrofil yang menurun, sehingga kemampuan untuk membunuh bakteri
intraseluler secara nyata menjadi terganggu. Sel NK sensitif terhadap
ketidakseimbangan Fe dan memerlukan jumlah Fe yang cukup untuk
berdiferensiasi dan berproliferasi. Hal tersebut karena kekurangan Fe dalam
tubuh akan mengakibatkan kemampuan sel NK membunuh bakteri menjadi
rendah (Ernawati et al., 2013).

Gambar 1. Gambar skematik hubungan antara besi dengan sel


imunitas makrofag (Weiss, 2002)
Penelitian pada 81 anak-anak yang mengalami defisiensi besi,
menemukan produksi IL-2 akibat rangsangan PHA (phytohaemagglutinin)
lebih rendah pada defisiensi besi dibandingkan tanpa defisiensi besi, tetapi
kadar IL-2 tidak berbeda apabila tidak dirangsang dengan PHA. Penurunan
produksi IL-2 menyebabkan gangguan sistem imun melalui gangguan pada
CMI (Galan et al., 1992).

1. Peran Zat Besi Pada Aktifitas Sel T


Kejadian awal jalur aktivasi sel T yang dipengaruhi besi dimulai
dari hidrolisis membran sel PIP2 (phosphatidylinositol 4,5-
bisphosphate) oleh fosfolipase C segera setelah interaksi sel T dengan
APC melalui reseptor spesifik. Reaksi enzimatis ini menghasilkan 2
produk akhir yaitu DAG (diacylglycerol) dan IP3 (inositol 1,3,5-
triphophate) keduanya disebut ‘second messenger’ yang berperanan
dalam proses proliferasi sel T dan respon imun. Mekanisme yang pasti
penurunan hidrolisis PIP2 oleh defisiensi besi belum dapat dijelaskan,
karena phospholipase C lebih merupakan zinc-dependent enzim.
Diduga efek besi pada hidrolisis PIP2 secara tidak langsung , dimana
defisiensi besi mengubah komposisi pospolipid membran sel dan atau
menurunkan konsentrasi protein phospholipase C. Reduksi hidrolisis
PIP2 secara pasti mempengaruhi kejadian yang dimodulasi oleh DAG
dan IP3 (Kuvibidila et al., 2003).
PKC (protein kinase C) suatu enzim yang juga terdapat pada
limfosit, yang berperan secara esensial pada pertumbuhan dan
diferensiasi sel. Aktivasi PKC diregulasi oleh DAG, salah satu produk
akhir dari hidrolisis PIP2 dan kalsium (bebas) sitosol. Perubahan
hidrolisis PIP2 akibat defisiensi besi akan mempengaruhi translokasi
PKC dari sitosol ke membran sel mengikuti aktivasi sel T. Menurunnya
aktivitas PKC dan atau translokasinya merupakan salah satu
mekanisme akibat defisiensi besi pada proses fungsi dan aktivasi sel T.
Penurunan aktivasi PKC juga mengurangi laju phosphorilasi berbagai
macam growth factor, termasuk reseptor IL-2 (Alcantara et al., 1994).
Karena besi diperlukan untuk biosintesis deoxyribonucleotides
oleh ribonukleotide reduktase, maka in vivo defisiensi besi, in vitro kelasi
besi dan removal transferin dari medium kultur akan menghasilkan
penurunan sintesis DNA. Kuvibidila et al. (2003), pada studi binatang
menduga bahwa prosentase lebih tinggi anti-CD3 ± anti-CD28 antibody-
treated spleen cell dari tikus defisiensi besi dibandingkan dengan tikus
normal tetap pada fase G0/G1. Sebaliknya, prosentase lebih rendah
ditemukan pada sel yang mengalami progresi masuk ke fase S (DNA
synthesis) dan M (Mitosis) dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga
menunjukkan bahwa besi diperlukan untuk biosintesis dan aktivasi dari
certain cyclin-dependent kinase (cyclin A dan E) suatu faktor yang
diperlukan untuk perkembangan sel melalui siklus sel. Kadar kinase
seluler meningkat selama fase lanjut dari G1 dan sebelum mulai fase S.
Ini menunjukkan bahwa besi mengatur sintesis DNA pada sel T
teraktivasi, tidak hanya pada level fase S tetapi juga pada fase awal dari
siklus sel (Kuvibidila et al., 2002).
Oleh karenanya diduga besi diperlukan pada beberapa tingkatan
proses jalur aktivasi sel T sebelum sintesis DNA yaitu mulai hidrolisis
PIP2, aktivasi PKC, transduksi sinyal melalui jalur costimulatory
(reseptor CD28) dan aktivasi dari cyclin-dependent kinases. Semua ini
diperlukan untuk proliferasi dan fungsi sel limfosit T. Akan tetapi
implikasi perubahan ini pada respon terhadap infeksi masih perlu
dipelajari lebih jauh (Kuvibidila et al., 2003).

E. Mekanisme gangguan imun pada defisiensi besi


Mekanisme bagaimana defisiensi besi menggangu respon imun seluler
dan non-spesifik adalah belum seluruhnya diketahui, akan tetapi diduga
bersifat multifaktorial. Termasuk antara lain : berkurangnya aktivitas enzim
yang mengandung besi seperti enzim ribonukleotide reduktase,
mieloperoksidase, berkurangnya produksi sitokin, berkurangnya jumlah sel T
yang kompeten, dan kemungkinan adanya gangguan transduksi sinyal.
Adanya gangguan aktivasi PKC dan hidrolisis membran fosfolipid akan
menyebabkan gangguan respon imun pada mereka yang dengan defisiensi
besi (Kuvibidila et al., 2002).
Sel T menurun pada defisiensi besi yang murni dan kelainan ini dapat
dikoreksi dengan pemberian besi (Krantman et al., 1982).

Gambar 2. Patomekanisme infeksi pada Anemia Defisiensi Besi


(Suega, 2009).
BAB III
KESIMPULAN

1. Zat besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh, yaitu


diperlukan untuk pembentukan hemoglobin, terkait pengangkutan,
penyimpanan dan pemanfaatan oksigen, sebagai alat angkut elektron di
dalam sel, dan sebagai bagian terpadu dalam berbagai reaksi enzim dalam
jaringan tubuh. Fungsi lain dari Fe antara lain dalam produksi antibodi dan
detoksifikasi zat racun dalam hati.
2. Besi diperlukan untuk biosintesis deoxyribonucleotide oleh ribonukleotide
reduktase, maka defisiensi besi akan menghasilkan penurunan sintesis
DNA. Pada saat sel T teraktivasi, sel akan mengekspresikan reseptor
transferin pada fase G0/G1 sebelum inisiasi sintesis DNA, akan tetapi
setelah induksi sekresi IL-2. Peningkatan reseptor ini diperlukan untuk
pengambilan besi untuk mendukung aktivitas ribonucleotide reductase pada
saat sintesis DNA.
3. Zat besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik
yang tinggi. Zat besi di dalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai
ketersediaan biologik yang sedang. Sedangkan, zat besi yang terdapat pada
sebagian besar sayur-sayuran terutama yang mengandung asam oksalat
tinggi seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik yang rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Adriani dan Wirjatmadi. 2012. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
Alcantara, O., et al. 1994. Regulation of protein kinase C (PKC) expression by
iron: Effect of different iron compounds on PKC-gene expression and the
role of the 5´ flanking region of the PKC-gene in the response to ferric
transferrin. Blood; 84: 3510-17.
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Andrews, C.N, 2005, Understanding Heme Transport, The New England Journal
of Medicine, Boston.
Choi SW, Friso, S. 2010. Epigenetiks: A new Bridge between Nutrition and
health, Advance in Nutrition Vol.1:8- 12.
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga.
Galan P, Thibault H, Preziosi P, Hercberg S, 1992. Interleukin 2 production in
iron-deficiency children. Biol Trace Elem Res.
Ganz T, Nemeth E, 2006. Regulation of iron acquisition in mammals. Biochemica
et Biophysica Acta
Krantman, H.J., Young, S.R., Ank, B.J., O’Donnell, C.M., Rachelefsky, G.S.,,
Stiehm, E.R. 1982. Immune function in pure iron deficiency. Abstract. Am J
Dis Child; 136(9):840-4.
Kuvibidila, S., Baliga, B.S. 2002. Role of Iron in Immunity and Infection. CAB
International : Nutrition and Immune Function : 209-28.
Kuvibidila, S., Porretta, C. 2003. Iron deficiency and in vitro iron chelation reduce
the expression of cluster of differentiation molecule (CD) 28 but not CD3
receptors on murine thymocytes and spleen cells. British Journal of Nutrit
ion 90: 179-89.
Lorenzen JM, et al. 2012. Epigenetik modifications in cardiovascular disease,
Basic Research in Cardiology; 107 (2) ; 245.
Muchtadi, Deddy. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung : Alfabeta.
Suega, Ketut. (2009). Disertasi: Pengaruh Peningkatan Cadangan Besi Terhadap
Interleukin-2 (Il-2) Dan Interferon Gamma(Ifn Γ) Plasma Dan Supernatan
Kultur Limfosit Pada Penderita Anemia Defisiensi Besi : Kaitannya Dengan
Infeksi. Program Studi Ilmu Kedokteran. Universitas Udayana.
Weiss, G. 2002. Iron and immunity: a double-edged sword. Eur J Clin Invest; 32.

Anda mungkin juga menyukai