Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peranan Pengawas Minum Obat

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka

pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang Pengawas Minum Obat (PMO).

1. Pengertian Pengawas Minum Obat (PMO)

PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk

mengawasi dan memantau penderita TB dalam meminum obatnya secara

teratur dan tuntas. Pengawasan dilakukan untuk menjamin kepatuhan

penderita dalam meminum obat sesuai dengan dosis dan jadwal yang

ditetapkan (Depkes RI, 2009).

Pengawas minum obat (PMO) adalah seseorang yang diperlukan

untuk menjamin keteraturan pengobatan pasien tuberkulosis (TB). PMO

adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat dan sanitarian.

Bila tidak ada petugas kesehatan yang menjadi PMO, maka PMO boleh

berasal dari kader kesehatan, guru, tokoh masyarakat dan anggota keluarga

(Kemenkes, 2011).

2. Persyaratan PMO

a. Seseorang yang dikenal, dipercaya

dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita selain itu

harus disegani dan dihormati oleh penderita.


b. Seseorang yang tinggal dekat

dengan penderita.

c. Bersedia membatu penderita

dengan sukarela.

d. Bersedia dilatih dan atau mendapat

penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

e. Sebaiknya PMO adalah petugas

kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru

imunisasi dan lain-lain.

3. Tugas PMO

Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan.

a. Memberi dorongan kepada penderita agar menelan obat secara teratur.

b. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu

yang telah ditentukan.

c. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang

mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru segera memeriksakan diri

ke unit pelayanan kesehatan.

4. Tugas dan Peran Pengawas Minum Obat (PMO)

a. Pengawasan minum obat pada pasien tuberkulosis (TB)

Seorang pengawas minum obat (PMO) mengawasi secara

langsung pasien TB minum obat secara teratur dan tepat waktu seseuai

dengan resep dan dosis yang diberikan oleh dokter. Seorang pengawas

minum obat (PMO) memantau jumlah obat pasien, mengisi kartu


kontrol pengobatan setiap saat pasien selesai minum dan memantau

segala kemungkinan yang terjadi akibat efek samping obat yang

diminum serta mendampingi pasien selama masa pengobatan.

b. Melakukan komunikasi interpersonal pada pasien tuberkulosis (TB)

Seorang pengawas minum obat (PMO) harus melakukan

komunikasi interpersonal kepada pasien TB untuk menjamin

kepatuhan pasien TB dalam berobat. Komunikasi interpersonal dapat

dilakukan melalui pemberian penjelasan mengenai cara minum obat

yang baik dan benar, efek samping obat, informasi tentang penyakit

TB, menanyakan kendala dan mendengarkan keluhan pasien selama

menjalani pengobatan, memberikan empati dan pujian pada pasien

untuk meningkatkan semangat dalam berobat serta tidak menunjukkan

ekspresi yang tidak menyenangkan pasien saat berkomunikasi.

c. Memberikan motivasi pada pasien tuberkulosis (TB)

Seorang pengawas minum obat memberikan motivasi kepada

pasien agar mau berobat teratur, memberi dukungan kepada pasien,

mendampingi pasien saat pemeriksaan ulang dahak, melibatkan pasien

dalam pengambilan keputusan agar pasien tidak merasa terkucilkan

serta memberikan petunjuk dan arahan saat pasien merasakan keluhan.

Hal ini dapat menjadi motivasi bagi pasien penderita TB agar lebih

bersemangat dalam berobat dan melakukan pengobatan sampai tuntas

dan tetap berdoa kepada Allah swt. Untuk kesembuhannya, karena

sesungguhnya segala macam penyakit yang Allah swt. Turunkan


pastinya Allah swt. menurunkan pula obatnya dan penderita akan

sembuh atas izin Allah swt.

d. Memberikan penyuluhan kesehatan kepada pasien dan keluarga pasien

tuberkulosis (TB)

Seorang pengawas minum obat memberikan penyuluhan

kesehatan kepada pasien dan keluarga pasien TB khususnya

penyuluhan tentang penyakit TB, cara mencegah penularan penyakit

TB ke orang lain, hal-hal yang dapat memperburuk keadaan pasien dan

mengenali gejala-gejala TB pada keluarga pasien dan menyarankan

agar segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.

Penyuluhan kesehatan dapat dilakukan secara langsung maupun

menggunakan media cetak seperti brosur, pamflet, poster dan buku-

buku kesehatan.

5. Informasi penting yang perlu disampaikan

a. TB Paru bukan penyakit keturunan atau kutukan.

b. TB Paru dapat disembuhkan dengan berobat teratur.

c. Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan.

d. Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu diawasi.

e. Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek

samping tersebut.

f. Cara penularan tuberkulosis (TB), gejala-gejala yang mencurigakan

dan cara pencegahannya.


g. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.

h. pertolongan ke sarana pelayanan kesehatan.

6. Petugas PPMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya perawat,

bidan desa, pekarya kesehatan, juru imunisasi, sanitarian, dan lain-lain.

Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal

dari kader kesehatan, guru, anggota PKK, dan tokoh masyarakat lainnya

atau anggota keluarga (Depkes RI, 2009).

B. Konsep Tuberkulosis Paru

1. Definisi

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang paling sering

mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosa dan dapat menyebar hampir ke setiap bagian tubuh, termasuk

meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer, 2015)

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain. Kuman ini

berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

pewarnaan, oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam atau BTA

(Depkes RI, 2010).

2. Etiologi
Penyebab penyakit tuberculosis adalah Mycobakterium

tuberkulosis dan Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai

ukuran 0,5-4 mikron x 0,3 – 0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus

atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi

mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam

mikolat).Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan

terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, Kuman tuberkulosis

juga tahan dalam keadaan kering, bersiafat dorman dan aerob. Bakteri

tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100% selama 5-10 menit atau pada

pemanasan 60oC selama 30 menit dan dengan alkohol 70-95% selama 15-

30 detik (Widoyono, 2008).

Kuman hidup didalam jaringan sebagai parasit intraseluler yakni

dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain kuman tersebut adalah aerob. Sifat

ini menunjukan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal

paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lain, sehingga bagian apikal ini

merupakan tempat predileksi penyakit Tuberkulosis (Depkes RI, 2010).

Apabila seseorang telah terinfeksi kuman TB paru, namun belum menjadi

sakit maka tidak dapat menyebarkan infeksi ke orang lain. Masa

inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai

terjadinya sakit, diperkirakan selama 4 sampai 6 minggu (Depkes, 2008).

Kuman ditularkan oleh penderita TB paru BTA positif melalui batuk,

bersin atau saat berbicara lewat percikan droplet yang keluar. Risiko
penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of TB

Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB paru

selama satu tahun (Suarni, 2009)

3. Cara Penularan

Cara penularan TB paru melalui percikan dahak (droplet). Sumber

penularan adalah penderita TB paru BTA positif, pada saat penderita TB

paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB paru dapat

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk

dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan

terjadi di dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang

lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar

matahari langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan

selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat

terinfeksi, jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.

Setelah kuman TB paru masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kuman

TB paru tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya

melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau

penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya (Kemenkes, 2011).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil

pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila

hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap

tidak menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB


paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2011).

4. Patofisiologi

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh sekelompok bakteri yang

disebut Mycobacterium. Mikobakteria yang menyebabkan TB pada

manusia adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan

Mycobacterium africanum. TB dapat menyerang bagian tubuh manapun.

Jika menyerang sisi tubuh, termasuk paru-paru, maka disebut TB milier.

Sedangkan TB yang menyerang selain paru disebut TB extra-pulmonal.

TB pulmonal ditemukan hampir 60% dari kasus penyakit dan

penularannya karena transmisi infeksi (Gough, 2011).

Tempat masuknya kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah

saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit.

Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi

droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari

orang yang terinfeksi TB. Infeksi TB dikendalikan oleh respon imunitas

yang diperantarai oleh sel. Sel efektornya adalah limfosit (biasanya sel T)

dan makrofag (Price, 2008).

Individu yang rentan dan menghirup basil tuberkulosis serta

terinfeksi. Bakteri dapat berpindah melalui jalan napas ke alveoli, tempat

berkumpulnya bakteri tersebut dan berkembangbiak. Basil tersebut juga

dapat berpindah melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh
lainnya seperti ginjal, tulang, kortek serebri dan area paru-paru lainnya

seperti lobus atas. Sistem imun tubuh hospis berespon dengan melakukan

reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) memakan banyak

bakteri, limfosit spesifik tuberkulosis melisis basil dan jaringan normal.

Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli,

menyebabkan bronkopenomonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10

minggu setelah pemajanan (Smelzert, 2013).

Patogenesis tuberkulosis pada individu imunokompeten yang

belum pernah terpajan berfokus pada pembentukan imunitas selular yang

menimbulkan resistensi terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya

hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tuberkular (Robbins, 2009).

5. Tanda Dan Gejala

Gejala utama pasien TBC adalah batuk berdahak selama 2 sampai 3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu

makan menurun (anoreksia), berat badan menurun, malaise, berkeringat

malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan

(Depkes, 2009). Menurut Werdhani (2010), gejala penyakit TBC dapat

dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan

organ yang terlibat :

a. Gejala sistemik/umum:

1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan

darah)
2) Demam yang tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya

dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang

serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

3) Penurunan nafsu makan dan berat badan

4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah

b. Gejala khusus:

1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi

sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)

akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan

menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai

sesak.

2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat

disertai dengan keluhan sakit dada.

3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi

tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan

bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan

nanah.

4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak)

dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya

adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-

kejang

6. Komplikasi
Dampak penyakit Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan

benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi di bagi atas komplikasi

dini dan komplikasi lanjut.

a. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, epiema, laryngitis, usus,

poncet’s arthropathy

b. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas atau SOPT (Sindrom

Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkrim berat atau

fibrosis Paru, kor pulmanol, amiloidosis, karsinoma paru sindrom

gagal napas dewasa ARDS (Acute Respiratory Distres Syndrom),

sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB. (Sudoyo, 2009).

7. Penatalaksanaan

Pemberian terapi pada penderita tuberkulosis didasarkan pada

karakteristik basil, yaitu basil yang berkembang cepat di tempat yang kaya

oksigen, basil yang hidup dalam lingkungan yang kurang oksigen

berkembang lambat dan dorman hingga beberapa tahun, basil yang

mengalami mutasi sehingga resisten terhadap obat. INH/ isoniazed bekerja

sebagai bakterisidal terhadap basil yang tumbuh aktif, diberikan selama

18-24 bulan dengan dosis 10-20 m/kgbb/hari melalui oral. Selanjutnya

kombinasi antara INH dan pirazinamid (PZA) diberikan selama 6 bulan.

Selama dua bulan pertama obat diberikan setiap hari, selanjutnya obat

diberikan dua kali dalam satu minggu.

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan


mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes, 2007).

Terdapat 5 jenis antibiotik yang dapat digunakan bagi penderita TB.

Infeksi tuberkulosis pulmoner aktif seringkali mengandung 1 miliar atau

lebih bakteri, sehingga jika hanya diberikan satu macam obat, maka akan

menyisakan ribuan bakteri yang resisten terhadap obat tersebut. Oleh

karena itu, paling tidak diberikan 2 macam obat yang memiliki mekanisme

kerja yang berlainan.

Menurut Departeman Kesehatan RI (2010), dalam rangka program

pemberantasan tuberkulosis paru, menggunakan pedoman terapi jangka

pendek dengan pengobatan TB paru, yaitu: HRE/5 HaRa = isoniazid +

rifampisin + etambutol setiap hari selama 1 bulan. Kemudian dilanjutkan

dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan. Pengobatan

ini dilakukan dengan pengawasan yang ketat, disebut dengan DOTs

(Directly Observed Treatment Short course) atau di sebut juga pengawas

menelan obat (PMO). Tujuan dari program TB paru ini adalah untuk

memutus rantai penularan sehingga penyakit tuberkulosis paru tidak lagi

menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia

Obat tambahan antara lain streptomycin yang diberikan

intramuscular dan ethambutol. Untuk mengurangi peradangan seperti

meningitis, bisa diberikan terapi kortikosteroid bersamaan obat

antituberkulosis. Apabila dengan obat tidak berhasil, maka perlu dilakukan

pembedahan untuk mengangkat jaringan paru yang rusak, tindakan

ortopedi untuk memperbaiki kelainan tulang, bronkoskopi untuk


mengangkat polip granulose tuberculosis atau untuk rekresi bagian paru

yang rusak (Suriadi, dkk 2010).

Menurut Kemenkes (2011), pengobatan yang diberikan sekarang ialah:

a. Rimfampisin, dengan dosis 10-15 mg/kg BB/hari, diberikan 1 kali

sehari per oral, diminum dalam keadaan lambung kosong, diberikan

selama 6-9 bulan.

b. INH bekerja bakterisidal terhadap basil yang berkembang aktif

ekstraseluler dan basil di dalam makrofag. Dosis INH 10-20 mg/kg

BB/hari per oral, lama pemberian sampai 18-24 bulan.

c. Streptomisin, bekerja bakterisidal hanya terhadap basil yang tumbuh

aktif ekstraseluler, cara memberikannya intramuscular (IM) dengan

dosis 30-50 mg/kg BB/hari maksimum 750 mg/hari; diberikan setiap

hari selama 1-3 bulan, dilanjutkan 2-3 kali seminggu selama 1-3 bulan

lagi,.

d. Pirazinamid, bekerja bakterisidal terhadap basil intraseluler; dosis 30-

35 mg/kg BB/hari per oral, 2 kali sehari selama 4-6 bulan.

e. Etambutol (belum jelas apakah bakterisidal atau bakteriostatik). Dosis

20 mg/kgBB/hari dalam keadaan lambung kosong, 1 kali sehari selama

1 tahun.

f. PAS (para-amino salisilat) sebagai bakteriostatik, dosisnya 200-300

mg/kg BB/hari, secara oral 2-3 kali sehari. Obat ini jarang dipakai

karena dosisnya tinggi kurang menyenangkan pasien. Jika diberikan


lamanya 1 tahun. Sekarang pemberian obat yang terbaik adalah

kombinasi INH dan rifampisin atau etambutol dan INH dengan atau

tanpa streptomisin tergantung derajat penyakit.

g. Kortikosteroid, diberikan bersama-sama dengan obat antituberkulosis

yang masih sensitive; diberikan dalam bentuk kortison dengan dosis

10-15 mg/kg BB/hari. Bila dalam bentuk prednisone dosis 1-3 mg/kg

BB/hari. Kortikosteroid diberikan sebagai antiflogistik dan ajuvan

pada tuberkurkulosis milier, meningitis serosa tuberkulosa, pleuritis

tuberkulosa, penyebaran bronkogen, atelektasis, tuberkulosis berat atau

keadaan umum yang buruk. Selain pemberian obat-obatan pada paien

tuberculosis, penting diperhatikan keadaan gizi dan lingkungan pasien,

sumber infeksi harus dicari dan juga harus diobati.

Selama pengobatan, terdapat 2 fase pengobatan; pertama yaitu

pengobatan dengan menggunakan isoniazid, rifampicin, pyrazinamid dan

etambutol selama 2 bulan. Kedua ialah pengobatan hanya menggunakan

isoniazid dan rifampicin selama 4 bulan (British National Formulary

dalam McLafferty, 2013). Hal ini dilakukan secara kontinu diharapkan

baik bakteri yang aktif maupun yang dorman dapat musnah (McLafferty,

2013). Tahapan Pengobatan Tuberkulosis (Depkes RI, 2013)

a. Tahap Awal (Intensif)

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara


tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi

BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

b. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu 4 bulan. Tahap

lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga

mencegah terjadinya kekambuhan

8. Pemantauan dan hasil pengobatan TB

Pemantauan dan hasil pengobatan pada pasien TB menurut Depkes

RI, (2010) adalah :

a. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan

dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan

pengobatan.. Untuk menentukan diagnosa dan memantau kemajuan

pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali

(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2

spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau

keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan

positif.

b. Hasil Pengobatan Penderita TB


1) Sembuh: Penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara

lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif

pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya

2) Pengobatan Lengkap: Adalah penderita yang telah menyelesaikan

pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan

sembuh atau gagal.

3) Meninggal: Adalah penderita yang meninggal dalam masa

pengobatan karena sebab apapun.

4) Pindah: Adalah penderita yang pindah berobat ke unit dengan

register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

5) Default (Putus Berobat): Adalah penderita yang tidak berobat 2

bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya

selesai.

6) Gagal: Penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobat

9. Faktor Risiko

Menurut Suryo (2010), Kemenkes (2011), Sudoyo (2009), Depkes

RI (2010) dan Notoatmodjo (2010), menjelaskan bahwa faktor risiko yang

menyebabkan penyakit TBC adalah sebagai berikut:

a. Jumlah Kasus TB BTA +

Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA

positif, pada saat penderita TB paru batuk atau bersin. Droplet yang

mengandung kuman TB paru dapat bertahan di udara pada suhu kamar


selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak. Umumnya penularan terjadi di dalam ruangan dimana

percikan dahak berada dalam waktu yang lama (Kemenkes, 2011).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi

derajat positif hasil pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut

semakin menularkan. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka

penderita tersebut dianggap tidak menular. Faktor yang memungkinkan

seseorang terpajan kuman TB paru ditentukan oleh konsentrasi

percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut

(Kemenkes, 2011).

b. Faktor umur

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada kejadian TB

paru. Risiko untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti

halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun

karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap TB

paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun

kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang umur tua. Infeksi

TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden

tertinggi TB paru biasanya mengenai umur dewasa muda. Di Indonesia

diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok umur produktif

yaitu 15-50 tahun (Kemenkes, 2011). Penelitian yang dilakukan di

NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol. Pada penelitian


tersebut ditemukan bahwa kelompok kasus paling banyak terdapat

pada kelompok umur 11-55 tahun (71,1%).

c. Faktor Jenis Kelamin

Laki-laki lebih umum terkena, kecuali pada perempuan dewasa

muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang

menurunkan resistensi. Risiko TB paru terutama menyerang laki-laki.

Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan

jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu 42,3% pada laki-laki

dan 28,9% pada perempuan. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-

laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar

mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya

TB paru (Ruswanto, 2010). Distribusi kejadian TB paru di Indonesia

sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (prevalensi = 0,4%)

(Riskesdas, 2013). Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013)

dengan desain kasus control melaporkan bahwa proporsi untuk jenis

kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun

pada kontrol.

d. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap

pengetahuan seseorang, di antaranya mengenai rumah yang memenuhi

syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TBC sehingga dengan

pengetahuan yang cukup, maka seseorang akan mencoba untuk


mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat

pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis pekerjaannya

(Ruswanto, 2010). Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013)

menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru paling banyak

diderita pada orang yang tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%.

Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus

control melaporkan bahwa proporsi pendidikan terakhir responden

yang paling banyak adalah tidak tamat SD sebesar 31,1%.

e. Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus

dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang

berdebu, paparan partikel debu di daerah terpapar akan memengaruhi

terjadinya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan kronis udara

yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya

gejala penyakit saluran pernapasan dan umumnya TBC (Ruswanto,

2010).

Jenis pekerjaan seseorang juga memengaruhi pendapatan

keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-

hari di antara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan. Selain itu,

akan memengaruhi kepemilikan rumah (konstruksi rumah). Kepala

keluarga yang mempunyai pendapatan di bawah UMR akan

mengonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan

kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status


gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit

infeksi, di antaranya penyakit TBC. Dalam hal jenis konstruksi rumah

dengan mempunyai pendapatan yang kurang, maka konstruksi rumah

yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan

mempermudah terjadinya penularan penyakit TBC.

f. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan

meningkatkan risiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit

jantung koroner, bronkitis kronis, dan kanker kandung kemih.

Kebiasaan rokok meningkatkan risiko untuk terkena TBC sebanyak 2,2

kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun

adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun

di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760

batang/orang/tahun di Pakistan. Prevalensi merokok pada hampir

semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki

dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya

kebiasaan merokok sehingga mempermudah untuk terjadinya infeksi

penyakit TBC.

Merokok merupakan salah satu faktor risiko TB paru. Merokok

adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik

menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada

sebatang rokok yang dibakar adalah 9000C untuk ujung rokok yang

dibakar dan 300C untuk ujung rokok yang terselip diantara bibir
perokok. Asap panas yang berhembus terus menerus masuk ke dalam

rongga mulut merupakan rangsangan panas yang menyebabkan

perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludah. Akibatnya

rongga mulut menjadi kering sehingga dapat mengakibatkan perokok

berisiko lebih besar terinfeksi bakteri (Kemenkes, 2012).

g. Kepadatan Hunian Kamar Tidur

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai

rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal.

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa

dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat

relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.

Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur

diperlukan minimum 3 m² per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak

dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua

tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit

TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Lubis

dalam Ruswanto, 2010).

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan

menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni

yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas

lantai dengan jumlah penghuni ≥ 9 m² per orang dan kepadatan

penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi

antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m² per orang


(Ruswanto, 2010). Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan,

jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum

90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang,

kecuali untuk suami-istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin

volume udara yang cukup, disyaratkan juga langit-langit minimum

tingginya 2,75 m.

h. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan

luas jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakkan jendela

kurang baik atau kurang leluasa, dapat dipasang genting kaca. Cahaya

ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di

dalam rumah, misalnya basil TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat

harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.

Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin

atau kurang lebih 60 lux, kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya

yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya

berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap

jenisnya minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat

dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Untuk udara segar juga diperlukan

untuk menjaga temperatur dan kelembapan udara dalam ruangan.

Umumnya temperatur kamar 22o-30oC, dari kelembapan udara

optimum kurang lebih 60%.

i. Kondisi Rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan

penyakit TBC. Atap, dinding, dan lantai dapat menjadi tempat

perkembangbiakan kuman. Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan

akan menyebabkan penumpukan debu sehingga akan dijadikan sebagai

media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycobacterium

tuberculosis.

j. Kelembapan Udara

Kelembapan udara dalam ruangan untuk memperoleh

kenyamanan, di mana kelembapan yang optimum berkisar 60%

dengan temperatur kamar 22o-30o C. Kuman TBC akan cepat mati bila

terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama

beberapa jam di tempat yang gelap dan lembap. Kelembaban yang

tidak memenuhi syarat akan mendukung kehidupan kuman TB.

Apabila kelembaban tinggi dalam suatu rumah, maka kuman TB dapat

bertahan hidup dan berkembang dengan baik sehingga menjadi mata

rantai penularan TB paru (Naben, 2013).

k. Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam

timbulnya kejadian TB, tentu saja hal ini masih tergantung variabel

lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman (Ruswanto, 2010). Salah

satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik, baik pada

perempuan, laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Status gizi yang

buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian TB


paru, kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi dapat

meningkatkan risiko terkena TB paru. Keadaan status gizi dan

penyakit infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi

sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang berlebih,

penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh yang

rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan

gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga

kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi

seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya

seseorang yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya

status gizinya mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007).

l. Keadaan Sosial Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,

keadaan sanitasi lingkungan, gizi, dan akses terhadap pelayanan

kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya

kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga

akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk, akan

menyebabkan kekebalan tubuh menurun sehingga memudahkan

terkena infeksi TBC.

m. Perilaku

Perilaku dapat terdiri atas pengetahuan, sikap, dan tindakan.

Pengetahuan penderita TBC yang kurang tentang cara penularan,

bahaya, dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan


perilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber

penular bagi orang di sekelilingnya

C. Kepatuhan

1. Definisi

Kepatuhan merupakan perilaku melaksanakan perintah atau

anjuran minum obat yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan.

Rekomendasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang telah disepakati

sebelumnya meliputi hal mengatur diet, meminum obat dan mengubah

pola hidup (Bosworth, 2010).

Kepatuhan (Compliance), juga dikenal sebagai ketaatan

(adherence) adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari

dokter yang mengobatinya. Contoh dari kepatuhan adalah mematuhi

perjanjian, mematuhi dan menyelesaikan program pengobatan,

menggunakan medikasi secara tepat, dan mengikuti anjuran perubahan

perilaku atau diet. Perilaku kepatuhan tergantung pada situasi klinis

tertentu, sifat penyakit dan program pengobatan (Kaplan & Sadock, 2010).

Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap

intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang

ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan

dengan dokter (Stanley, 2011). Definisi kepatuhan adalah tingkat perilaku

penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan

oleh dokternya atau yang lain (Sarafino, 2013).


2. Variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut

Muliawan (2009) adalah :

a. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status

sosio ekonomi dan pendidikan.

b. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala

akibat terapi.

c. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek

samping yang tidak menyenangkan.

d. Varibel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga

kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit,

keyakinan agama atau budaya dan biaya finansial.

3. Jenis ketidakpatuhan (Non Compliance)

Beberapa jenis ketidakpatuhan menurut Muliawan (2009) adalah :

a. Ketidakpatuhan yang disengaja (Intentional non Compliance).

Kepatuhan yang disengaja dapat disebabkan oleh :

1) Keterbatasan biaya pengobatan.

2) Sikap apatis pasien

3) Ketidakpercayaan pasien akan efektifitas obat

b. Ketidakpatuhan yang tidak disengaja (Unitional non Compliance)

Ketidakpatuhan yang tidak disengaja dapat disebabkan karena :

1) Pasien lupa minum obat

2) Ketidaktahuan akan petunjuk pengobatan


3) Kesalahan dalam hal pembacaan etiket

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan (Non Compliance)

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat

digolongkan menjadi empat bagian menurut Niven (2013) antara lain :

a. Pemahaman tentang intruksi

Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika dirinya salah paham

tentang instruksi yang diberikan padanya. Kadang kadang hal ini

disebabkan oleh kegagalan profesional kesalahan dalam memberikan

informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah yang tidak mudah

dipahami dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat oleh

seseorang (Smeltzer & Bare, 2013).

b. Kualitas Tnteraksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien

merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.

c. Isolasi sosial dan dukungan keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat

menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

Dukungan dari keluarga pasien yaitu dengan meningkatkan pola

makan sehari-hari serta selalu mengingatkan jadwal minum obat secara

teratur dan didukung dengan pelayanan yang baik dari petugas


kesehatan yang ditunjukkan dengan komunikasi yang baik kepada

pasien oleh petugas kesehatan dapat memperbaiki kepatuhan pasien

dalam pengobatannya (Hannan, 2013).

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari

anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting

dalam. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas,

mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka

seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai

kepatuhan. Dukungan social nampaknya efektif di negara seperti

Indonesia yang memiliki status sosial lebih kuat, dibandingkan dengan

negara-negara barat (Smeltzer & Bare, 2013).

d. Pengetahuan

Menurut Boyoh (2015), ketidakpatuhan minum obat

dikarenakan kurangnya pengetahuan. Kurangnya pengetahuan meliputi

regimen pengobatan, manfaat obat atau terapi menyebabkan pasien

tidak patuh sepenuhnya dalam melaksanakan anjuran pengobatan,

sehingga apabila pengetahuan baik maka perilaku pengobatan akan

baik dan begitu pula sebaliknya.

e. Keyakinan, sikap dan kepribadian

Menurut Destyni (2012), telah membuat suatu usulan bahwa

model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya

ketidakpatuhan.

f. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan berpengaruh dalam kepatuhan minum obat

dimana lingkungan rumah, lingkungan masyarakat, lingkungan kerja

yang kondusif dan memahami kondisi penderita sangat membantu

tingkat kepatuhan penderita (Hannan, 2013).

g. Pemberian informasi

Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga

mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.

h. Dukungan profesional kesehatan

Dukungan professional kesehatan sangat diperlukan untuk

meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal

dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi.

Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik

diberikan oleh professional kesehatan baik dokter/perawat dapat

menanamkan ketaatan bagi pasien.

Lima faktor yang perlu diperhatikan untuk menghindari

ketidakpatuhan pasien adalah :

1) Penyakit pasien

2) Individu pasien

3) Sikap dokter

4) Obat yang diberikan

5) Lingkungan pengobatan

5. Akibat ketidakpatuhan
Menurut Spiritia (2012), Ketidakpatuhan dapat memberikan akibat

pada program terapi yang sedang dijalankan, diantaranya :

a. Bertambah parahnya penyakit atau penyakit cepat kambuh lagi

b. Terjadinya resistensi

c. Keracunan

6. Mengukur tingkat kepatuhan

Tingkat ketidakpatuhan seseorang dalam menjalankan terapi dapat

diukur dengan beberapa metode (Muliawan, 2011) :

a. Metoda pengukuran langsung (pengukuran konsentrasi obat atau

metabolitnya dalam darah atau urin).

b. Metoda pengukuran tidak langsung meliputi wawancara

dengan pasien, penilaian hasil pemeriksaan klinis.

7. Pengukuran tingkat kepatuhan

Kepatuhan minum obat adalah perilaku atau perbuatan yang

dilakukan penderita dalam menaati jadwal pengobatan yang telah

ditetapkan secara teratur dan lengkap tanpa terputus (Morizky, et al,2011).

Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8) merupakan

pengembangan dari kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 4

(MMAS-4). Kuesioner MMAS-8 terdiri dari 8 item pertanyaan. Kuesioner

8 telah divalidasi pada 1367 responden dengan α sebesar 0,83. Kuesioner

tersebut relatif sederhana dan praktis digunakan pada kondisi klinik untuk

melihat masalah kepatuhan pasien di awal dan untuk memantau kepatuhan

selama pelaksanaan terapi (Morisky et al, 2011).


Di Indonesia kuesioner MMAS-8 telah diuji validitas dan

realibilitas oleh Chaliks (2012) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada 20

pasien tipe 2 dan didapatkan Cronbach’s alpha sebesar 0,795 untuk

instrumen MMAS-8. Kuesioner MMAS-8 mengukur kepatuhan dengan

rentang nilai 0 sampai 8. Jika nilai < 6 maka responden tidak patuh

sedangkan jika nilai 6-8 maka responden patuh (Chaliks, 2012).

a. Keuntungan MMAS

1) Mudah dan bersifat ekonomis untuk digunakan

2) Relatif sederhana dan praktis untuk digunakan pada pasien rawat

jalan

3) Data yang diperoleh langsung dari pasien dalam waktu yang

singkat

4) Dapat mengemukakan faktor-faktor potensi dan yang

menyebabkan rendahnya kepatuhan meliputi kondisi sosial, situasi

dan faktor perilaku

5) Instrumen untuk identifikasi awal pasien dengan permasalahan

kepatuhan dan dapat digunakan untuk memonitor kepatuhan

terhadap pengobatan (Morisky et al, 2011).

b. Kerugian MMAS

1) Bias (penyimpangan) terkait daya ingat dari pasein.

2) Penelitian ini sesuai jika diterapkan terhadap populasi dengan

status sosial ekonomi yang berbeda (Morisky et al, 2011).


D. Kerangka Teori

Tugas dan Peran Pengawas Minum Obat


(PMO)
Pengawas minum obat pada pasien
tuberkolosis
Melakukan komunikasi interpersonal pada
pasien tuberkulosis (TB)
Memberikan motivasi pada pasien tuberkulosis
(TB)
Memberikan penyuluhan kesehatan kepada
pasien dan keluarga pasien tuberkulosis (TB)

Kepatuhan berobat pada


penderita TB paru

Variabel yang mempengaruhi tingkat


kepatuhan:
Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin,
suku bangsa, status sosio ekonomi dan
pendidikan.
Variabel penyakit seperti keparahan penyakit
dan hilangnya gejala akibat terapi.
Variabel program terapeutik seperti
kompleksitas program dan efek samping yang
tidak menyenangkan.
Varibel psikososial seperti intelegensia, sikap
terhadap tenaga kesehatan, penerimaan, atau
penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan
agama atau budaya dan biaya finansial.
diteliti :
tidak diteliti :

Gambar 2.1 : Kerangka Teori


Sumber : Muttaqin (2008): Suryani (2015): Manurung (2016): (International Union
Againts
E. Kerangka Tuberculosis and Lung Disease, 2007). Sudoyo (2010)
Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Peran PMO Kepatuhan berobat


pada penderita TB paru

Gambar 2.2 : Kerangka Konsep

F. Hipotesis

H1 : Ada hubungan antara peran Pengawas Minum Obat (PMO) dengan

kepatuhan berobat pada penderita TB Paru di Balai Kesehatan Masyarakat

(Balkesmas) wilayah Magelang.

Anda mungkin juga menyukai

  • Laporan Besar
    Laporan Besar
    Dokumen65 halaman
    Laporan Besar
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Bahaya Merokok Dan Vape-1
    Bahaya Merokok Dan Vape-1
    Dokumen13 halaman
    Bahaya Merokok Dan Vape-1
    Jhony Missy
    Belum ada peringkat
  • ASKEP GERONTIK Ny LASMININI. FIX
    ASKEP GERONTIK Ny LASMININI. FIX
    Dokumen33 halaman
    ASKEP GERONTIK Ny LASMININI. FIX
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Hasil Pemaparan Vidio
    Hasil Pemaparan Vidio
    Dokumen5 halaman
    Hasil Pemaparan Vidio
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Tumbang
    Kuesioner Tumbang
    Dokumen20 halaman
    Kuesioner Tumbang
    giyas
    Belum ada peringkat
  • Kelompok Agus
    Kelompok Agus
    Dokumen3 halaman
    Kelompok Agus
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Kasus
    Kasus
    Dokumen1 halaman
    Kasus
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • FORMAT PENGKAJIAN BPH
    FORMAT PENGKAJIAN BPH
    Dokumen21 halaman
    FORMAT PENGKAJIAN BPH
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen33 halaman
    Bab 2
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • SKRNNNG
    SKRNNNG
    Dokumen7 halaman
    SKRNNNG
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Format LK Keluarga
    Format LK Keluarga
    Dokumen14 halaman
    Format LK Keluarga
    Dinia Esthu Pangastuti
    Belum ada peringkat
  • LP Laparatomi
    LP Laparatomi
    Dokumen38 halaman
    LP Laparatomi
    Nichi Chosasih
    Belum ada peringkat
  • UNDANGAN
    UNDANGAN
    Dokumen2 halaman
    UNDANGAN
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Sop Intervensikeluarga Diare
    Sop Intervensikeluarga Diare
    Dokumen4 halaman
    Sop Intervensikeluarga Diare
    EMILIANA TAWURU MAY
    Belum ada peringkat
  • Sop Intervensikeluarga Diare
    Sop Intervensikeluarga Diare
    Dokumen4 halaman
    Sop Intervensikeluarga Diare
    EMILIANA TAWURU MAY
    Belum ada peringkat
  • Sop Intervensikeluarga Diare
    Sop Intervensikeluarga Diare
    Dokumen4 halaman
    Sop Intervensikeluarga Diare
    EMILIANA TAWURU MAY
    Belum ada peringkat
  • RBD
    RBD
    Dokumen3 halaman
    RBD
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • SKRNNNG
    SKRNNNG
    Dokumen6 halaman
    SKRNNNG
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • RPK
    RPK
    Dokumen6 halaman
    RPK
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Unw 2018 Cover.1
    Unw 2018 Cover.1
    Dokumen11 halaman
    Unw 2018 Cover.1
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Skksks
    Skksks
    Dokumen117 halaman
    Skksks
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Undangan
    Undangan
    Dokumen2 halaman
    Undangan
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • SKRNNNG
    SKRNNNG
    Dokumen6 halaman
    SKRNNNG
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Senam Kaki
    Senam Kaki
    Dokumen2 halaman
    Senam Kaki
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • SKRNNNG
    SKRNNNG
    Dokumen6 halaman
    SKRNNNG
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Unw 2018 Missy Kuesioner.1-2
    Unw 2018 Missy Kuesioner.1-2
    Dokumen7 halaman
    Unw 2018 Missy Kuesioner.1-2
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Undangan
    Undangan
    Dokumen2 halaman
    Undangan
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Senam Kaki
    Senam Kaki
    Dokumen2 halaman
    Senam Kaki
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen33 halaman
    Bab 2
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat
  • Undangan
    Undangan
    Dokumen2 halaman
    Undangan
    Pedro Mendes
    Belum ada peringkat