Anda di halaman 1dari 2

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Baik nabati maupun hewani.

Keanekaragaman hayati yang melimpah merupakan kekayaan alam yang dapat memberikan peran
vital dan strategis, sebagai modal dasar pembangunan nasional (Suhartini, 2009). Walaupun
Indonesia merupakan negara yang kaya akan pangan, masih saja sebagian masyarakat Indonesia
kurang mengonsumsi makanan yang beragam untuk kebutuhan gizinya.

Sejalan dengan peningkatan pembangunan nasional di Indonesia, diiringi juga dengan peningkatan
jumlah penduduk. Hal tersebut menjadi salah satu penghambat ketahanan pangan.

Sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan
pemanfaatan pangan. Ketiga subsistem tersebut harus terpenuhi demi tercapainya ketahanan
pangan bagi masyarakat.

ADVERTISING

Namun, menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) masih banyak data menunjukkan pola
konsumsi masyarakat Indonesia rendah terutama pada protein hewani dan sayur-sayuran
(Kementerian Pertanian RI, 2018) serta hanya 5% yang mengonsumsi buah dan sayur yang cukup,
yakni 5 porsi per hari (Riskesdas, 2018).

Protein hewani, sayur, dan buah merupakan kelompok bahan pangan yang mengandung zat gizi
makro dan mikro. Protein termasuk ke dalam zat gizi makro yang diperlukan dalam jumlah besar
oleh tubuh. Sedangkan sayur dan buah mengandung vitamin dan mineral termasuk ke dalam zat gizi
mikro yang hanya diperlukan dalam jumlah kecil (Brown, J.E. et al, 2011). Jika pola konsumsi
masyarakat Indonesia tidak memenuhi kebutuhan gizinya, maka akan terjadi masalah-masalah
terkait gangguan gizi.

Triple burden malnutrition, masalah gizi yang mencakup undernutrisi (stunting dan wasting),
defisiensi zat gizi mikro dan obesitas (WHO, 2016). Masalah tersebut merupakan penyumbang
terbesar secara global dan sangat mempengaruhi tingkat kesehatan setiap Negara (The Committee
on World Food Security, 2017).

Faktanya, 30,8% balita di Indonesia mengalami stunting (Riskesdas, 2018), dan perlu mendapat
perhatian lebih karena akan menimbulkan dampak jangka panjang dalam kehidupannya, yaitu
berkurangnya tingkat produktifitas seseorang saat usia muda, dan juga meningkatkan risiko terkena
penyakit tidak menular saat tua (The World Bank, 2015).
Upaya Pencegahan Triple Burden Malnutrition, Seberapa Sadarkah
Orangtua?
Sedangkan defisiensi zat mikro yang sering terjadi adalah anemia zat besi yang akan berdampak
pada keterlambatan perkembangan dan gangguan perilaku (CDC, 1998). Kedua masalah tersebut
dapat dicegah dengan cara meningkatkan konsumsi protein seperti daging ayam, telur ikan, hati
sapi, susu, dan lain-lain, serta sumber vitamin dan mineral seperti buah dan sayur (PGS, 2014).

Maraknya kedai cepat saji dengan harga yang murah akan berpeluang bagi masyarakat umum untuk
mengonsumsi lebih banyak makanan cepat saji yang tinggi kalori. Hal tersebut dapat meningkatkan
faktor risiko untuk terjadinya obesitas (NHLBI, 2018). Jika obesitas terjadi, dampak yang ditimbulkan
akan berlangsung seumur hidup, seperti metabolik sindrom, diabetes mellitus tipe II, penyakit ginjal,
penyakit jantung, penyakit liver, dislipidemia, dan lain-lain (NHLBI, 2018). Dengan mengonsumsi
buah dan sayur-sayuran 3 sampai 4 porsi sehari dapat menurunkan faktor risiko tersebut (PGS,2014).

Banyak masyarakat Indonesia belum menyadari masalah ini. Pada tahun 2014, kementerian
Kesehatan Indonesia membuat Pedoman Gizi Seimbang yang mengandung empat pilar gizi seimbang
yang salah satunya yaitu mengonsumsi makanan beragam. Karena, tidak ada satupun jenis makanan
yang mengandung semua jenis zat gizi yang dibutuhkan tubuh untuk menjamin pertumbuhan. Untuk
itu perlu mengoptimalkan asupan dengan mengonsumsi makanan beragam yang mengandung
sumber karbohidrat seperti nasi, sumber protein hewani seperti daging unggas, sumber protein
nabati seperti tahu dan tempe, sumber vitamin, mineral dan serat seperti sayur dan buah
(PGS,2014).

Meningkatkan konsumsi protein hewani, sayur dan buah sesuai dengan kebutuhan sehari-hari akan
menurunkan risiko triple burden malnutrition bagi anak. Padahal, akibat yang ditimbulkan dari
masalah itu akan mempengaruhi tumbuh-kembang anak, khususnya pada saat 1000 hari pertama
kehidupan (1000 HPK) (PGS, 2014). Dengan mengoptimalkan asupan anak, mereka akan
mengembangkan potensi maksimal yang dimilikinya (Silva, GCR, et al, 2017).

Anda mungkin juga menyukai