Anda di halaman 1dari 38

1.

6 RENCANA PEMECAHAN MASALAH

Problem 1. Ketoasidosis Diabetikum (Diabetes Mellitus tipe II, 5 tahun, non


obese)
o Assessment : Komplikasi makroangiopati (Penyakit Jantung Koroner,
Peripheral Artery Disease, Cerebrovascular disease)
Komplikasi mikroangiopati (Neuropati diabetikum,
Retinopati diabetikum, Nefropati diabetikum)
Komorbid (Dislipidemia)
o Ip Dx : EMG, EKG, Monofilament test, Funduskopi, profil lipid
o Ip Rx : O2 nasal canul 3 lpm
Infus NaCL 0,9 % 1000 ml (pada 1 jam pertama),evaluasi 1
jam kemudian
Injeksi Insulin 10 unit intravena
Lanjut insulin SP, titrasi dosis insulin sesuai GDS/4 jam
GDS UNIT
<100 0 unit
100-150 ½ unit
151-200 1 unit
201-250 2 unit
251-300 3 unit
301- 350 4 unit
>350 5 unit
Natrium Bicarbonat 50 meQ dalam 200cc NaCl0,9 %

o Ip Mx : Keadaan umum, tanda-tanda vital, GDS/ 4jam, elektrolit,


Ur/Cr, balans cairan/ 24 jam
o Ip Ex :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
Ketoasidosis diabetikum dan menjelaskan bahwa

1
penurunan kesadaran yang dialami pasien merupakan
manifestasi dari penyakit tersebut.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
yang diderita pasien yaitu Diabetes Mellitus tipe II dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa gula
darah pasien akan sering diperiksa secara berkala
 Menjelaskan kepada pasien untuk mengurangi konsumsi
makanan manis, kurangi nasi dan makanan berlemak,
perbanyak sayuran dan buah.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa
penyakit diabetes mellitus adalah penyakit yang tidak bisa
sembuh sehingga harus rutin dalam pengobatannya, dalam
hal ini yaitu dalam pengelolaan diet makanan, kegiatan
aktivitas olahraga dan juga rutin dalam konsumsi obat
diabetes mellitus.

Problem 2. CAP Curb-65 Score 2


o Assesmen: Etiologi
 Non Spesifik
 Spesifik
o IP Dx: cek sputum BTA 3x, gram, jamur, kultur sputum
o IP Rx:
 O2 nasal canul 3 lpm
 Inf Nacl 0,9% 20 tpm
 Inj. Ceftriaxon 2 gr/ 24 jam
o IP Mx : keluhan sesak nafas, RR, Sp02,
o IP Ex : edukasi pasien dan keluarga pasien bila pasien batuk mulut ditutup,
tampung dahak untuk mengetahui kuman penyebab penyakit

2
o Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien bahwa pasien terkena
infeksi di paru-paru
o Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai terapi yang
diberikan

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

Diabetes Mellitus
Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya.1

Patogenesis Diabetes Mellitus


Pada kondisi fisiologis, konsentrasi glukosa plasma dipertahankan dalam
rentang yang sempit melalui interaksi yang dinamis antara sensitivitas jaringan
terhadap insulin (di otot perifer dan hepar) sehingga meskipun terjadi fluktuasi
ketersediaan dan kebutuhan glukosa yang hebat, kadar glukosa dalam darah tetap
dalam batas normal. Pada diabetes tipe 2 mekanisme ini rusak, dengan dua defek
patologis utama pada diabetes tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin melalui disfungsi
sel β pankreas dan gangguan kerja insulin melalui resistensi insulin.2
Homeostasis glukosa darah bermula dari pankreas. Pankreas merupakan organ
eksokrin (mensekresi enzim) dan endokrin (mensekresi hormon). Hormon-hormon
yang disekresi pankreas antara lain: glukagon oleh sel α, insulin oleh sel β, polipeptida
(PP) oleh sel γ, somatostatin oleh sel δ dan ghrelin oleh sel ε. Glukagon meningkatkan
kadar glukosa darah, sedangkan insulin menurunkan kadar glukosa darah. Somatostatin
menghambat baik glukagon maupun insulin, sedangkan PP mengatur aktivitas sekresi
eksokrin dan endokrin pankreas. Melalui berbagai hormon, terutama glukagon dan
insulin, pankreas mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran yang sangat
sempit, yakni 4-6 mM. Keadaan ini dicapai oleh kerja glukagon dan insulin yang
berlawanan dan seimbang, yang disebut sebagai homeostasis glukosa. Selama tidur
atau di antara waktu makan, ketika kadar glukosa darah rendah, glukagon dilepaskan
dari sel-sel α untuk memicu glikogenolisis hati. Selain itu, glukagon mendorong
glukoneogenesis hati dan ginjal untuk meningkatkan kadar glukosa darah endogen
selama puasa berkepanjangan. Sebaliknya, sekresi insulin dari sel-sel β dirangsang oleh

4
peningkatan kadar glukosa eksogen, seperti yang terjadi setelah makan. Setelah
menempel ke reseptor pada otot dan jaringan adiposa, insulin memungkinkan uptake
glukosa ke dalam jaringan ini dan karenanya menurunkan kadar glukosa darah dengan
mengeluarkan glukosa eksogen dari aliran darah. Selain itu, insulin juga merangsang
terjadinya glikogenesis, lipogenesis dan penggabungan asam amino menjadi protein;
dengan demikian, insulin adalah hormon anabolik, berbeda dengan aktivitas katabolik
glukagon.3
Patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2 diawali dengan resistensi insulin
pada otot dan liver, serta kegagalan sel beta pankreas. Selain otot, hepar, dan sel beta
pankreas, organ lain seperti jaringan lemak, gastrointestinal, sel alpha pankreas, ginjal,
dan otak juga ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa
pada DM tipe 2. Menurut PERKENI 2015, terdapat delapan organ (ominous octet)
penting yang berperan dalam pathogenesis DM, yaitu:
Tabel 1. Patogenesis Diabetes Mellitus1
No. Organ Patogenesis Obat yang
bekerja
1. Sel beta Kegagalan sel beta pankreas menyebabkan Sulfonilurea
pankreas fungsi sekresi insulin yang menurun. Meglitinid
GLP-1 agonis
DPP-4 inhibitor
2. Liver Resistensi insulin memicu glukoneogenesis oleh Metformin
liver sehingga produksi glukosa pada keadaan (menekan proses
basal oleh liver (HGP/Hepatic Glucose glukoneogenesis)
Production) meningkat.
3. Otot Terjadi gangguan kinerja insulin yang multiple Metformin
pada intramioseluler akibat gangguan fosforilasi Tiazolidindion
tirosin sehingga timbul gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

5
4. Sel Resistensi sel lemak terhadap efek antilipolisis Tiazolidindion
lemak insulin menyebabkan peningkatan proses
lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA/Free
Fatty Acid) dalam plasma. Hal ini memicu
proses glukoneogenesis dan mencetuskan
resistensi insulin di liver & otot, serta
mengganggu sekresi insulin. Gangguan ini
disebut lipotoxicity.
5. Usus  Glukosa yang ditelan memicu respon insulin  DPP-4
lebih besar dari glukosa intravena. Efek ini inhibitor
disebut efek inkretin dan diperankan oleh
hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide
1) & GIP (glucose-dependent insulino-
trophic polypeptide/gastric inhibitory
polypeptide). Pada pasien DM tipe 2 terjadi
defisiensi GLP & resistensi terhadap GIP.
Selain itu inkretin segera dipecah oleh enzim
DPP-4 sehingga hanya bekerja selama
beberapa menit.
 Enzim alfa-glukokinase memecah  Akarbosa
polisakarida menjadi monosakarida yang (menghambat
kemudian diserap usus dan meningkatkan alfa-
glukosa darah setelah makan. glukokinase)
6. Sel alfa Sintesis glukagon oleh sel alfa pankreas GLP-1 agonis
pankreas meningkat, sehingga HGP (Hepatic Glucose DPP-4 inhibitor
Production) dalam keadaan basal meningkat. Amylin
7. Ginjal Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa per SGLT-2 inhibitor
hari, di mana 90% glukosa terfiltrasi diserap (contoh:
kembali oleh SGLT-2 (Sodium Glucose co- dapaglifozin)

6
transporter) pada tubulus proksimal, dan 10%
sisanya diabsorbsi oleh SGLT-1 pada tubulus
asenden & desenden sehingga normalnya tidak
ada glukosa di urin. Pada pasien DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2.
8. Otak Insulin merupakan penekan nafsu makan yang GLP-1 agonis
kuat. Pada individu obes (DM maupun non- Amylin
DM), terjadi resistensi insulin di otak sehingga Bromokriptin
asupan makanan akan meningkat.

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 2

Klasifikasi Diabetes Mellitus


Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) 2016, yaitu
sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Diabetes Mellitus1,4

7
Tipe I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut:
1) Autoimun.
2) Idiopatik.

Tipe II Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai


defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin
Tipe lain 1) Defek genetik fungsi sel beta
2) Defek genetik kerja insulin
3) Penyakit eksokrin pankreas
4) Endokrinopati
5) Karena obat/zat kimia
6) Infeksi: rubella kongenital, sitomegalovirus
7) Sebab imunologi yang jarang: antibodi insulin
8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM: Sindrom Down,
sindrom Klinefelter, sindrom Turner dan lain-lain
Gestasional

Diagnosis Diabetes Mellitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah dengan
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.1 Menurut
ADA 2014, diagnosis DM dapat dilakukan dengan kriteria glukosa plasma, baik gula
darah puasa (GDP), tes toleransi glukosa oral (TTGO), atau kriteria HbA1C.4
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti berikut:1

 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

8
Menurut PERKENI 2015, diagnosis DM dapat ditegakkan melalui empat cara:

1. Keluhan klasik & pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL.


2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sebagai
tidak adanya pemasukan kalori selama paling sedikit 8 jam.
3. Pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
dengan 75 gram glukosa anhydrous dilarutkan dengan air.
4. HbA1C ≥ 6,5% dengan menggunakan metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP).4

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, dapat
digolongkan ke dalam kelompok pre-diabetes yaitu TGT dan GDPT.
 TGT (toleransi glukosa terganggu): bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa <100 mg/dL dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam antara 140 –
199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
 GDPT (gula darah puasa terganggu): bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
 Bersama-sama didapatkan adanya GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes juga dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c (5,7-6,4%).
Tabel 3. Kadar Glukosa Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes4
HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam setelah
(mg/dL) TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 <140

9
Gambar 2. Langkah Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa

Dari hasil anamnesis,pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien ini sudah
dapat didiagnosis DM tipe 2 karena telah memiliki riwayat menderita DM sejak 5 tahun
lalu, tidak rutin kontrol dan tidak rutin minum obat. Hiperglikemia terjadi karena
peningkatan gluconeogenesis, glikogenolisis, dan hambatan glucose uptake pada
jaringan perifer. Pasien juga telah dilakukan pemeriksaan penunjang saat pertama
masuk IGD pada tanggal 11 Maret 2013, didapatkan Gula darah sewaktu yaitu 768
mg/dL, dan tanggal 13 Maret 2019, didapatkan kadar glukosa puasa yaitu 232 mg/dl,
kadar glukosa 2 jam PP yaitu 334 mg/dl, dan kadar HbA1c yaitu 13,5 % sehingga telah
memenuhi kriteria diagnosis diabetes mellitus.

10
Etiologi dan Faktor Risiko Diabetes Mellitus
Etiologi dari diabetes melitus merupakan hasil dari interaksi kompleks antara
faktor genetik dan lingkungan, dimana diabetes melitus akan muncul ketika gaya hidup
diabetogenik (seperti asupan kalori berlebih, penggunaan kalori yang inadekuat,
obesitas) dilakukan oleh seseorang dengan genotip yang rentan terhadap diabetes
mellitus.5
Faktor risiko diabetes melitus meliputi:
a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi:
1) Riwayat keluarga DM
Jika kedua orang tua DM maka risiko DM seseorang mencapai 40%.5
2) Ras/Etnik
Orang Asia memiliki risiko diabetes lebih tinggi pada tingkat kelebihan berat
badan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang Eropa.6
3) Usia > 45 tahun
4) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir > 4000 g atau riwayat pernah
menderita DM gestasional.5
b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi:
1) IMT ≥ 25 kg/m2
Berat badan berlebihan terutama obesitas sentral menjadi salah satu risiko
diabetes melitus. Faktor ini dapat dinilai salah satunya dengan BMI (Body Mass
Index)/IMT (Indeks massa tubuh) yaitu BMI lebih dari 25 menunjukkan obesitas.
2) Kurangnya aktivitas fisik
Menurut ADA 2016, aktivitas fisik sedang seperti jalan sehat dapat
meningkatkan sensitivitas insulin dan menurunkan lemak abdominal pada anak-
anak dan dewasa muda.
3) Hipertensi (>140/90 mmHg)
4) Dislipidemia (HDL <35 mg/dl dan/atau trigliserida >250 mg/dl)
5) Diet tak sehat
Diet yang tidak seimbang, terutama berlebihnya asupan kalori dan asupan lemak
jenuh yang lebih tinggi daripada lemak tidak jenuh. Menurut ADA 2016, tidak

11
hanya konsumsi kolesterol dan lemak total saja yang berpengaruh, tetapi juga
jenis lemak yang dikonsumsi.4

Pada pasien ini didapatkan beberapa faktor resiko terjadinya Diabetes Mellitus tipe 2
diantaranya meliputi, Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu kedua orang tua
pasien menderita Diabetes Mellitus, dan Faktor risiko yang bisa dimodifikasi yaitu
pasien memiliki IMT 26 kg/m2, jarang berolahraga, dan hipertensi grade 1.

Komplikasi Diabetes Mellitus


Komplikasi Akut
1. Hiperglikemia
Salah satu gangguan dari metabolisme glukosa adalah hiperglikemia, yang
didefinisikan sebagai gula darah >180 mg/dL yang terjadi lebih dari 2 jam. Tidak
seperti hipoglikemia, hiperglikemia akut dapat terjadi tanpa tanda atau gejala klinis,
meskipun begitu diabetic ketoasidosis (DKA) atau hyperosmolar hyperglycemic state
(HHS) adalah hiperglikemi emergensi.1
a. Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala
asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320
mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.1
Defisiensi insulin akan menyebabkan lipolisis sehingga kadar asam lemak
dalam darah meningkat, asam lemak bebas kemudian diambil oleh hati yang
selanjutnya dioksidasi menjadi badan-badan keton (aseto asetat dan asam
hidroksibutirat). Penimbunan badan keton atau hiperketonemia akan menyebabkan
asidosis metabolik.

b. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (HHS)

12
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-
380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.1
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <70 mg/dL.
Penurunan kesadaran pada pasien diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
disebabkan oleh hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh
penggunaan sulfonilurea dan insulin. Tanda dan gejala hipoglikemia pada orang
dewasa adalah sebagai berikut.1
Tabel 4. Tanda dan gejala hipoglikemia pada orang dewasa1
Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, gelisah, Pucat, takikardia, widened
paresthesia, palpitasi, tremulousness pulse-pressure
Neurogliko Lemah, lesu, dizziness, pusing, Cortical-blindness,
-penik confusion, perubahan sikap, gangguan hipotermia, kejang, koma
kognitif, pandangan kabur, diplopia

Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh
bagian tubuh (angiopati diabetik). Angiopati diabetik untuk memudahkan dibagi
menjadi dua yaitu makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati
(mikrovaskuler), yang tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak
terjadi sekaligus bersamaan. Komplikasi kronik DM yang sering terjadi adalah sebagai
berikut.1
1. Makroangiopati

 Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner.


 Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal nyeri saat aktivitas dan

13
berkurang saat istirahat (claudicatio intermitent), meskipun sering tanpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.
 Pembuluh darah otak: Stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati:

 Retinopati diabetik: Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko dan memperlambat retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah
timbulnya retinopati.
 Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
dan amputasi.
- Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari.

 Nefropati diabetik: Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam
berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi
yang terjadi di ginjal pada diabetes melitus. Kendali glukosa dan tekanan darah
yang baik akan mengurangi risiko atau memperlambat progresivitas nefropati.12

Stadium Nefropati Diabetikum


Stadium 1 ( Perubahan Fungsional Dini )
 Hipertrofi ginjal
 Peningkatan daerah permukaan kapiler glomerular
 Peningkatan GFR

Stadium 2 ( Perubahan Struktur Dini )


 Penebalan membran basalis kapiler glomerulus
 GFR normal atau sedikit meningkat

14
Stadium 3 ( Nefropati Insipien)
 Mikroalbuminuria ( 30 – 300 mg /24 jam)
 Tekanan darah meningkat

Stadium 4 ( Nefropati Klinis atau Menetap)


 Proteinuria( >300 mg/24 jam)
 GFR menurun

Stadium 5 ( insufisiensi atau Gagal Ginjal Progresif)


 GFR menurun dengan cepat (-1 ml/ bulan)
 Ginjal kehilangan fungsinya setiap bulan hingga 3%

Pada pasien ini, Riwayat penurunan kesadaran pada pasien disebabkan oleh
kondisi asidosis, dimana asidosis dapat mempengaruhi eksitabilitas sel yang dapat
berlanjur pada penurunan kesadaran. Riwayat Mual dan muntah yang ditemukan pada
pasien merupakan manifestasi klinis yang patognomonik dan sering ditemukan
disebabkan teraktivasinya kemoreseptor trigger zone oleh keton yang tinggi dalam
darah pada penderita Ketoasidosis Diabetikum. Lemas pada pasien disebabkan oleh
abnormalitas dari metabolisme glukosa. Pasien tampak sesak dengan gambaran
pernapasan cepat dan dalam (kusmaul). Hal ini menunjukkan bahwa pasien mengalami
asidosis metabolik, dimana kusmaul merupakan kompensasi terhadap asidosis
metabolik.12
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi,dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi
kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.
Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD adalah infeksi saluran kemih
dan pneumonia. Faktor pencetus lainnya, antara lain diskontinuasi atau pengobatan
insulin yang inadekuat, pankreatitis, infark miokard, stroke, dan obat. Pada pasien ini,
didapatkan gejala demam, pada hasil laboratorium darah didapatkan leukositosis
sebesar 23.130/mm3, pada x foto thorax didapatkan gambaran bronkhopneumonia
(sumber infeksi) sebagai pencetus KAD dan adanya riwayat diskontinuitas penggunaan

15
insulin selama perawatan di puskesmas disebabkan ketidak tersediaan insulin pada
pasien.
Pasien dengan diabetes Mellitus seringkali terjadi gangguan elektrolit.
Gangguan ini banyak terjadi pada diabetes terdekompensasi seperti KAD dan HHS.
DM yang tidak terkontrol dapat menyebabkan hypovolemik dan hyponatremi yang
disebabkan oleh mekanisme osmotik diuresis. Keton menyebabkan kehilangan
elektrolit urin dan memperburuk pembuangan natrium ginjal.

Tatalaksana Diabetes Mellitus


Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi
medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.
1. Edukasi
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkatawal dan materi edukasi
tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Primer yang meliputi:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya.
 Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
 Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.

16
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
 Pentingnya perawatan kaki.
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan
Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari
sakit).
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir
tentang DM.
 Pemeliharaan/perawatan kaki.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu
diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah
kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan
sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri.
3. Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum
latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi
karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan

17
jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas seharihari bukan termasuk dalam latihan
jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain
untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas
sedang (50- 70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi
angka 220 dengan usia pasien. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh:
osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati) dianjurkan juga
melakukan resistance training (latihan beban) 2-3 kali/perminggu sesuai dengan
petunjuk dokter.
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.
a. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi
golongan berikut:

Tabel 4. Profil Obat Anti Hiperglikemia Oral

18
b. Obat Antihiperglikemia Suntik
Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

19
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
o Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
o Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
o Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
o Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
o Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
o Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat dengan
menengah (Premixed insulin)

Jenis dan lama kerja masing-masing insulin dapat dilihat pada tabel 6
Efek samping terapi insulin
o Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia
o Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bagian komplikasi akut DM
o Efek samping yang lain berupa reaksi alergi terhadap insulin

c. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons
kadar glukosa darah. Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara
terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat
diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien
yang disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral. (lihat
bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DMT2). Kombinasi obat

20
antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin basal
(insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah
harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang
dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi tersebut pada
umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit.
Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan (pada umumnya 2
unit) apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan
dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun
sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin
basal dan prandial, sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan
dengan hati-hati.

Gambar 3. Algoritma Pengelolaan DM Tipe 21

21
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia
setelah makan. Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa
darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun
insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah
insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang) Penyesuaian dosis insulin basal untuk
pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila
sasaran terapi belum tercapai. Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah
tercapai, sedangkan HbA1c belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian
glukosa darah prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan
5-10 menit sebelum makan atau insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan
30 menit sebelum makan.
Tatalaksana KAD dan HHS

Kebehasilan pengobatan KAD dan HHS membutuhkan koreksi dehidrasi,


hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang
merupakan faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan
monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah
pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan baik.
Terapi cairan: Pasien Orang dewasa. Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk
memperbaiki volume intravascular dan extravascular dan mempertahankan perfusi
ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa bergantung pada
insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin (dengan demikian memperbaiki
sensitivitas terhadap insulin). Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9%
diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam pertama (
1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan
tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara
umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika sodium serum meningkat

22
atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah.
Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l kalium (
2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.
Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik
(perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan
fisik. Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama.
Perbaikan osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1 . Pada
pasien dengan gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan
penilaian jantung, ginjal, dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian
cairan untuk menghindari overload yang iatrogenik

Pasien berusia < 20 tahun


Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan
extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan
volume vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena
pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat isotonik
(NaCl 0.9%) sebanyak 10–20 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat,
pemberian ini perlu diulang, tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak melebihi
50 ml/kg pada 4 jam pertama therapy. Terapi Cairan selanjutnya untuk menggantikan
defisit cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.45–0.9% ( tergantung
pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari kebutuhan
pemeliharaan selama 24-h ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi, dengan
penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1. Sekali lagi jika fungsi
ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, maka perlu diberikan 20–40 mEq/l
kalium ( 2/3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3 KPO4). Jika glukosa serum mencapai
250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi dextrose 5% dan NaCl 0.45–0.75%, dengan
kalium seperti diuraikan di atas. Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental
agar dapat dengan cepat mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang
iatrogenik, yang dapat mengakibatkan edema cerebral

23
Terapi Insulin
Pada keadaan KAD ringan , insulin reguler diberikan dengan infus intravena secara
kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+ <
3.3 mEq/l, maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg
bb, diikuti pemberian insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis
0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7 unit/jam pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus
tidak dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infus
intravena secara kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 dapat diberikan pada
pasienpasien tersebut. Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat menurunkan
konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75 mg· dl-1· h-1, sebanding dengan
pemberian insulin dosis tinggi . Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl
dari awal pada jam pertama, periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat
digandakan tiap jam sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75
mg/jam dicapai.
Ketika glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk HHS,
mungkin dosis insulin perlu diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 ( 3–6
units/jam), dan dextrose ( 5–10%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu,
dosis insulin atau konsentrasi dextrose perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata
kadar glukosa sampai asidosis pada KAD atau status mental dan hyperosmolaritas pada
HHS membaik.
Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.
Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai
untuk pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam
acetoacetic. Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada
KAD, tidaklah terukur dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, ß-OHB
dikonversi ke asam asetoacetik, yang membuat para klinisi percaya bahwa ketosis
memperburuk keadaan. Oleh karena itu, penilaian benda keton dari urin atau serum
dengan metoda nitroprusside tidak digunakan sebagai suatu indikator terapi.
Selama terapi untuk KAD atau HHS, darah harus diperiksa tiap 2–4 jam untuk
memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan pH vena (

24
untuk DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH
vena (pada umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti,
untuk memonitor resolusi asidosis.
Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan maupun intramuskular
tiap jam adalah sama efektif seperti pemberian intravena dalam menurunkan glukosa
darah dan benda keton . Pertama-tama diberikan dosis dasar sebanyak 0.4–0.6 units/kg
bb, separuh sebagai suntikan bolus intravena, dan setengah secara subkutan atau
intramuskular . Sesudah itu, 0.1 unit· kg-1· h-1 insulin reguler diberi secara subkutan
atau intramuscular.
Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat serum >
18 mEq/l, dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih NPO (Nothing
Per Oral), insulin intravena yang kontinyu dan penggantian cairan dilanjutkan dan
ditambah dengan suplemen insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4 jam.
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai menggunakan
kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah atau lama untuk
mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 1–
2 jam setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin
plasma cukup. Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan penundaan
insulin subcutan akan memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan insulin
intravena dan inisiasi subkutan secara bersamaan.
Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan insulin dengan dosis
seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau HHS dan jika dibutuhkan
dilakukan penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin awal mungkin
berkisar antara 0.5–1.0 unit· kg - 1· day-1, dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam
bentuk campuran insulin kerja pendek dan panjang sampai mencapai suatu dosis
optimal yang diinginkan.Akan tetapi perlu diingat bahwa dosis insulin ini sangat
individual. Pada akhirnya, ada penderita-penderita DM tipe 2 yang bisa diberi obat
antihiperglikemia oral dan pengaturan diit.

Kalium

25
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar
dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–30
mEq kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk
mempertahankan konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD
jarang menunjukkan keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian,
kalium penggantian harus dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin
harus ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau
cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan.
Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai sedang
sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi
asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum

Bikarbonat
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi .Pada pH >
7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang tanpa
penambahan bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya
keuntungan atau perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian
bikarbonat pada penderita KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1. Tidak ada laporan
randomized study mengenai penggunaan bikarbonat pada KAD dengan pH < 6.9.
Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi sangat
bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium bikarbonat.
Tidak perlu tambahan bikarbonat jika pH > 7.0
Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum; oleh karena
itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di atas dan
harus dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2
jam sampai pH mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika perlu.

26
27
KOMPLIKASI
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/HHS dan komplikasi
akibat pengobatan:
Penyulit KAD dan HHS yang paling sering adalah hipoglikemia dalam kaitan
dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia dalam kaitan dengan
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder
akibat penghentian insulin intravena setelah perbaikan tanpa pemenuhan yang cukup
dengan insulin subkutan. Biasanya, pasien yang sembuh dari KAD menjadi
hyperkhloremi disebabkan oleh penggunaan larutan saline berlebihan untuk
penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion gap yang sementara
dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion yang hilang dalam bentuk
sodium dan garam-kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia ini adalah
sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal akut atau
oliguria yang ekstrim.
Edema cerebral adalah suatu kejadian yang jarang tetapi merupakan komplikasi
KAD yang fatal, dan terjadi 0.7–1.0% pada anak-anak dengan DKA. Umumnya terjadi
pada anak-anak dengan DM yang baru didiagnosis, tetapi juga dilaporkan pada anak-
anak yang telah diketahui DM dan pada orang-orang umur duapuluhan (1,2,6). Kasus
yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada HHS. Secara klinis, edema
cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan sakit kepala.
Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang, inkontinensia,
perubahan pupil, bradycardia, dan gagal nafas. Gejala ini makin menghebat jika terjadi
herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat walaupun papilledema tidak
ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan dan perubahan tingkah laku ,
angka kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 7–14% pasien yang sembuh tanpa
kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari edema cerebral tidak diketahui
diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada sistem saraf pusat dimana
terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi KAD atau HHS. Kurangnya
informasi yang berhubungan dengan angka morbiditas edema cerebral pada pasien
orang dewasa; oleh karena itu, rekomendasi penilaian untuk pasien orang dewasa lebih

28
secara klinis, daripada bukti ilmiah. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi
resiko edema cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian
defisit air dan natrium berangsurangsur dengan perlahan pada pasien yang
hyperosmolar (maksimal pengurangan osmolaritas 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1) dan
penambahan dextrose dalam larutan hidrasi saat glukosa darah mencapai 250 mg/dl.
Pada HHS, kadar glukosa darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai
keadaan hiperosmoler dan status mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil.
Hypoxemia dan edema paru-paru yang nonkardiogenik dapat terjadi saat terapi KAD.
Hypoxemia disebabkan oleh suatu pengurangan dalam tekanan osmotik koloid
yang mengakibatkan penambahan cairan dalam paru-paru dan penurunan compliance
paru-paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai suatu gradien oksigen
alveoloarteriolar yng lebar pada saat pengukuran analisa gas darah awal atau
ditemukannya ronkhi saat pemeriksaan fisik berisiko lebih tinggi untuk terjadinya
edema paru.
Peningkatan kadar amilase dan lipase yang non spesifik dapat terjadi pada KAD
maupun HHS. Pada penelitian Yadav dan kawan-kawan, peningkatan amilase dan
lipase terjadi pada 16 – 25% kasus KAD. Kadar amilase dan lipase dapat meingkat
sampai lebih dari 3 kali nilai normal tanpa bukti klinik dan CT-scan pankreatitis.
Walaupun demikian, pankreatitis akut dapat juga terjadi pada 10 – 15% kasus KAD.
Dilatasi gaster akut akibat gastroparesis yang diinduksi oleh keadaan
hipertonisitas merupaka komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat fatal. Pada keadaan
ini risiko untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal lebih besar. Mungkin diperlukan
dekompresi dengan naso-gastric tube dan pemberian agen-agen penurun asam lambung
sebagai tindakan profilaksis
Pasien ini mendapatkan terapi KAD berupa rehidrasi dengan NaCL 0,9 %
loading 1000cc dalam 1 jam pertama, Regulasi cepat dengan pemberian insulin injeksi
10 unit intravena, selanjutnya SP dengan insulin SP, titrasi dosis insulin sesuai GDS/4
jam, Natrium Bicarbonat 50 meQ dalam 200cc NaCl0,9 %. Terapi cairan pada awalnya
ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan extravascular ,dan
mempertahankan perfusi ginjal Regulasi cepat dengan pemberian insulin akan

29
menurunkan hormon glukagon sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan
otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Tujuan pemberian insulin ini
bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal namun untuk mengatasi keadaan
ketonemia dan asidosis metabolik yang dapat merusak jaringan. Namun pemberian
insulin harus tetap dalam pengawasan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia dan
menghindari terjadinya edema cerebral yang disebabkan oleh perbedaan osmolaritas
sel dan plasma pada otak dan perifer. Pengawasan tersebut dilakukan dengan
memeriksa gula darah setiap 4 jam dengan GDS Stick.
Pada awal KAD biasanya kadar ion K serum meningkat seperti pada kasus ini
dimana didapatkan peningkatan pada ion K serum (5,36 mmol/L). Kondisi
hiperkalemia dapat diatasi dengan pemberian bikarbonat dan terapi insulin.
Pneumonia
Definisi

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim


paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat.1 Pnemunonia dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia
kominiti dan pneumonia nosokomial. Pneumonia komunitas adalah pneumonia
yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit, sedangkan pneumonia
nosokomial adalah pneumonia yang terjadi lebih dari 48 jam atau lebih setelah
dirawat di rumah sakit.2

Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, klasifikasi paling


sering ialah menggunakan klasifikasi berdasarkan tempat didapatkannya
pneumonia (pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial), tetapi
pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan area paru yang terinfeksi
(lobar pneumonia, multilobar pneumonia, bronchial pneumonia, dan intertisial
pneumonia) atau agen kausatif. Pneumonia juga sering diklasifikasikan

30
berdasarkan kondisi yang mendasari pasien, seperti pneumonia rekurens
(pneumonia yang terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik),
pneumonia aspirasi (alkoholik, usia tua), dan pneumonia pada gangguan imun
(pneumonia pada pasien tranplantasi organ, onkologi, dan AIDS).3,4

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti bakteri,


virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita oleh masyarakat
luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan pneumonia rumah sakit
banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan beberapa kota di Indonesia
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita komunitas adalah bakteri gram
negatif.2
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial:

A. Yang didapat di masyarakat: Streeptococcus pneumonia, Mycoplasma


pneumonia, Hemophilus influenza, Legionella pneumophila, chlamydia
pneumonia, anaerob oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.4

B. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negative (E. coli, Klebsiella
pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, anaerob
oral.10

Patogenesis

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan


(imunitas) pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan
yang berinteraksi satu sama lain.3 Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan

31
terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya
mekanisme pertahanan paru. Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
sakit.11

Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan: 1) Inokulasi


langsung; 2) Penyebaran melalui darah; 3) Inhalasi bahan aerosol, dan 4)
Kolonosiasi di permukaan mukosa.2 Dari keempat cara tersebut, cara yang
terbanyak adalah dengan kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada virus,
mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteria
dengan ikuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat mencapai brokonsul terminal
atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada
saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran
napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan
permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil
sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan
penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi
orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang sangat tinggi 108-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.2,3

32
Gambar 1. Patogenesis pneumonia oleh bakteri pneumococcus 11

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan
diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel-sel PNM mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sistoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi
perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak empat zona (Gambar 1)
pada daerah pasitik parasitik terset yaitu : 1) Zona luar (edama): alveoli yang
tersisi dengan bakteri dan cairan edema; 2) Zona permulaan konsolidasi (red
hepatization): terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah; 3) Zona
konsolidasi yang luas (grey hepatization): daerah tempat terjadi fagositosis yang

33
aktif dengan jumlah PMN yang banyak; 4) Zona resolusi E: daerah tempat
terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar
makrofag.2

Manifestasi Klinis

Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk


(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala
umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan lutut
tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau
penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau
penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan
konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial,
pleural friction rub.3

Diagnosis

Diagnosis pneumonia kominiti didasarkan kepada riwayat penyakit yang


lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis
pasti pneumonia komunitas ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat
baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:

a. Batuk-batuk bertambah

b. Perubahan karakteristik dahak/purulen

c. Suhu tubuh > 38C (aksila) /riwayat demam

34
d. Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara
napas bronkial dan ronki
e. Leukosit > 10.000 atau < 45005,6

Penilaian derajat keparahan CAP dapat dilakukan dengan menggunakan sistem


skor CURB-65 dan PSI (Pneumonia Severity Index) seperti berikut :

Derajat keparahan pneumonia menjadi penentu pemilihan terapi dan


memprediksi risiko mortalitas pada pasien. Skoring salah satunya dapat dilakukan
menggunakan CURB-65. Model skor ini direkomendasikan oleh British Thoracic
Society (BTS) berdasar pada lima gambaran klinik utama yang sangat praktis,
mudah diingat dan dinilai. Skor Prediksi CURB-65:7
Table 1. Skor prediksi CURB-657

35
Gambar 2. Aplikasi skor CURB-65 dalam penatalaksanaan CAP7

Terapi

Terapi antibiotik empirik pada pasien CAP

36
Pada pasien ini, didapatkan gejala demam, pada hasil laboratorium darah
didapatkan leukositosis sebesar 23.130/mm3, pada x foto thorax didapatkan gambaran
bronkhopneumonia. Penilaian CAP CURB-65=2 yaitu terdapat penurunan kesadaran
dan Laju pernapasan/ respiratory rate: 36x/menit. Pasien tergolong Pneumonia
kelompok 2 dengan derajat keparahan sedang dan dirawat di ICU untuk mendapatkan
tatalaksana lebih lanjut. Pasien ini diberikan injeksi ceftriaxon sebanyak 2 gram IV/ 24
jam. Pemantauan gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan secara
rutin untuk mengevaluasi keberhasilan terapi.

37
38

Anda mungkin juga menyukai