Anda di halaman 1dari 27

ACUTE LUNG OEDEMA (ALO)

ACUTE LUNG OEDEMA (ALO)

PENGERTIAN
Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi cairan di paru yang terjadi secara mendadak.
(Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyaki Dalam, 2006).
Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di rongga
alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal napas.
Acute Lung Oedema (ALO) adalah terkumpulnya cairan ekstravaskuler yang patologis di
dalam paru. (Soeparman;767).

ETIOLOGI
Penyebab terjadinya ALO dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Edema Paru Kardiogenik

Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.

a. Penyakit pada arteri koronaria


Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit lemak
(plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri dan menghambat
aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung
yang mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi seperti biasa.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli diyakini
penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung
(miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan seperti kokain dan obat
kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada
keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah
akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru
(flooding).
c. Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur aliran
darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu menutup dengan
sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui katub menuju paru-
paru.
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel kiri
dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.

2. Edema Paru Non Kardiogenik

Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu sendiri. Pada
non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

1. Infeksi pada paru


2. Lung injury, seperti emboli paru, smoke inhalation dan infark paru.
3. Paparan toxic
4. Reaksi alergi
5. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
6. Neurogenik

PATOFISIOLOGIS
ALO kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak tinggi
di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler dengan
tekanan melebihi 25 mmHg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan keseimbangan
sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk
di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami
ALO adalah semua keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmHg.
Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding kapiler
paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga menyebabkan masuknya
cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret
encer berbuih dan berwarna pink froty. Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada
alveolus dalam menjalankan fungsinya.

TANDA DAN GEJALA


ALO dapat dibagi menurut stadiumnya (3 stadium),
a. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi CO. Keluhan pada stadium ini
biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas.

b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil, terutama di daerah basal
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan
sesak napas ataupun napas menjadi berat dan tersengal.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara berarti,
terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak napas yang berat disertai
batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan
nyata.

PENEGAKKAN DIAGNOSA

 Pemeriksaan Fisik

1. Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
2. Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang
disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut
sebagai asma kardiale.
3. Takikardia dengan S3 gallop.
4. Murmur bila ada kelainan katup.

  Elektrokardiografi.

Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung
penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.

  Laboratorium

1. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
2. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
3. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB,
Troponin T), angiografi koroner

 Rontgen Dada

X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan
putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari
pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru
dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili
pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan
informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya

 Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)


Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari
pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-
terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam darah yang
disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP nanogram
(sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi
menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada
dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.

 Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)


Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang
disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui ruang – ruang sisi
kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries
(cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai
kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut
pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah
konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18
mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter
Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU).

PENATALAKSANAAN PENGOBATAN
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan
≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu
mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan
ventilator.
4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Menurunkan preload dan mengeluarkan volume cairan intra paru. Nitrogliserin (NTG) dan
Furosemide merupakan obat pilihan utama.
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau
Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan
sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard
9. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
10. Penggunaan Aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai bronkokonstriksi atau pada
penderita yang belum jelas oedema parunya oleh karena faktor kardiogenik atau non-kardiogenik,
karena selain bersifat bronkodilator juga mempunyai efek inotropok positif, venodilatasi ringan
dan diuretik ringan.
11. Penggunaan Inotropik. Pada penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan, dapat
diberikan digitalis seperti Deslano-side (Cedilanide-D). Obat lain yang dapat dipakai adalah
golongan Simpatomi-metik (Dopamine, Dobutamine) dan golongan inhibitor Phos-phodiesterase
(Amrinone, Milrinone, Enoxumone, Piroximone)
BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar belakang

Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang
selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik. Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini
penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik
disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang
akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi,
dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri kronik.

Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42% wanita.
Berdasar perkiraan tahun 1989, di Amerika terdapat 3 juta penderita edema paru dan setiap
tahunnya bertambah 400.000 orang. Walaupun angka-angka yang pasti belum ada untuk seluruh
Indonesia, dapat diperkirakan jumlah penderita akan bertambah setiap tahunnya.

1. B. Rumusan masalah

1. Apakah definisi Edema paru?


2. Apa sajakah etiologi Edema paru?
3. Bagaimanakah perjalanan penyakit (patofisiologi) Edema paru?
4. Apa sajakah manifestasi klinis Edema paru?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang Edema paru?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan medis Edema paru?
7. Apa saja komplikasi pada edema paru?
8. Bagaimana proses pengkajian pada Edema paru?
9. Apa sajakah diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada Edema paru?
10. Bagaimanakah perencanaan keperawatan pada Edema paru?

1. C. Tujuan umum

Untuk memenuhi tugas Respirasi III dari dosen pembimbing mengenai Asuhan Keperawatan
pada pasien dengan Diagnosa Medis “Edema Paru”.

1. D. Tujuan Khusus

1. Mengetahui definisi Edema paru


2. Mengetahui etiologi Edema paru
3. Menjelaskan patofisiologi Edema paru
4. Mengidentifikasi tanda dan gejala Edema paru
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang Edema paru
6. Mengetahui penatalaksanaan Edema paru
7. Mengetahui komplikasi pada Edema paru
8. Mengindetifikasi proses pengkajian pada Edema paru
9. Mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada Edema paru
10. Mengetahui perencanaan keperawatan pada Edema paru

1. E. Sistematika penyusunan

Penyusunan makalah ini terdiri atas empat (IV) bab yang disusun secara sistematis
meliputi :

BAB I : Pendahuluan yang terdiri atas latar belakang,rumusan masalah, tujuan umum,
tujuan khusus, sistematika penyusunan dan ruang lingkup penyusunan

BAB II : Pembahasan yang terdiri atas konsep dasar penyakit Edema paru meliputi
pengertian,etiologi, mekanisme terjadinya, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik,
penatalaksanaan medis dan komplikasi

BAB III : Asuhan Keperawatan yang terdiri atas Pengkajian, Diagnosa, Perencanaan
Keperawatan

BAB IV : Penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran

1. F. Ruang lingkup penyusunan

Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menggunakan metode deskriftif yaitu dengan
menggambarkan konsep dasar dari penyakit Edema Paru dan asuhan keperawatannya dengan
literatur yang diperoleh dari buku-buku perpustakaan, internet, dan diskusi dari kelompok.

BAB II

PEMBAHASAN

1. A. Definisi
Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di ekstravaskuler dalam
paru. ( Arief Muttaqin, 2008 )

Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik rongga interstitial maupun dalam
alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tindak lanjut, dimana cairan
mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar menimbulkan dispneu sangat
berat. (Smeltzer,C.Suzanne.2008.hal 798). Kongesti paru terjadi bila dasar vaskuler paru
penerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan, yang tidak mampu diakomodasi dan
diambil oleh jantung kiri. Sedikit ketidakseimbangan antara aliran masuk dari sisi kanan dan
aliran keluar pada sisi kiri jantung tersebu mengaibatakan konsekuensi yang berat.

Edema paru adalah akibat dari perubahan fisiologis tekanan dalam paru seperti ketika aliran
darah berlangsung sangat cepat dan tidak normal sehingga terlalu membebani sistem sirkulasi
tubuh yang kemudian menyebabkan terakumulasinya cairan dalam paru. ( KMB Joko Setyono
hal: 55 )

Edema paru adalah terkumpulnya cairan extravaskuler yang patologis di dalam paru. ( Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II hal : 767 )

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru. cairan ini
terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak, sehingga sulit untuk bernapas.

1. B. Etiologi

Menurut Arif Muttaqin.2008. Edema paru disebapkan karena 2 hal yaitu :

1. Peningkatan tekanan hidrostatik


2. Peningkatan permeabilitas kapiler paru

Secara garis besar Edema Paru dibagi menajdi 2 garis besar yaitu :

1. Kardiogenik
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral)
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel
kiri
3. Peningkatan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri
pulmonalis
4. Post cardioversion
5. Eclampsia
6. Non Koardiogenik
1. Pneumonia
2. Pneumonitis radiasi akut
3. Bahan vasoaktif endogen
4. Aspirasi asam lambung
5. Peningkatan tekanan onkotik interstitial
6. Bahan toksik ihalan
7. Bahan asing dalam sirkulasi seperti bisa ular, endoktoksin, dan bakteri
8. Emboli paru
9. Post cardiopulmonary bypass
10. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura

1. C. Patofisiologi

Pemahaman mengenai mekanisme ini memerlukan tinjauan mengenai pembentukkan dan


reabsorbsi cairan paru serta struktur ultra paru. Ruang alveolar dipisahkan dari interstisium paru
terutama oleh sel epitel alveoli Tipe I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu barier relatif
nonpermiabel terhadap aliran cairan dari interstitium ke rongga – rongga udara (spaces). Faktor
penentu yang paling penting dalam pembentukkan cairan ekstravaskuler adalah perbedaan
tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan ruang interstitial, serta permeabilitas
sel endotelium terhadap air, zat terlarut (solut) dan molekul besar seperti protein plasma.
(Aryanto,1994)

Ciri perubahan dini pada edema paru adalah terjadinya peningkatan aliran limfatik. Perubahan
ini terjadi karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang mengelilingi arteriola
paru dan saluran pernafasan yang kecil pembekaan saluran limfatik ini akan berdampak pada
struktur sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya prubahan hubungan tekanan pada struktur
tersebut. Salah satu akibatnya adalah adanya obstruksi pada saluran kecil yang telah dibuktikan
sebagai perubahan fisiologis dini pada klien dengan gagal jantung kiri mengingat lesi ini tidak
merata disaluran paru, maka timbul perubahan dalam distribusi, ventilasi, dan perfusi yang
kemidian menyebabkan terjadinya hipoksemia ringan terkenanya arteriola kecil juga
menyebabkan gambaran radiologis dini pada gagal jantung kiri, yaitu suatu redistribusi aliran
darah dari basis ke apek paru pada klien dengan posisi tegak.

Jika terbentuknya cairan intersisial melebihi kapasitas sistem limfatik, maka terjadi edema
dinding alveolar. Pada fase ini komplan paru berkurang hal ini menyebabkan terjadinya takipneu
yang mungkin tanda klinis awal pada klien dengan edema paru. Ketidakseimbangan antara
ventilasi dan aliran darah menyebabkan hipoksenia memburuk. Meskipun demikian, ekskresi
karbondioksida tidak terganggu dan klien akan menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan
alkalosis respiratorik.

Selain hal yang telah disebutkan diatas gangguan difusi juga berperan, dan pada fase ini mungkin
terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melalui alveoli yang tidak mengalami ventilasi. Pada
fase alveolar penuh dengan cairan, semua gambaran menjadi lebih berat dan komplain akan
menurun dengan nyata ( Nowak, 2004). Alveoli terisi cairan dan pada saat yang sama aliran
darah kedaerah tersebut tetap berlangsung, maka pintas kanan ke kiri aliran darah akan menjadi
lebih berat dan menyebabkan hipoksia yang rentan terhadap peningkatan konsentrasi oksigen
yang diinspirasi. Kecuali pada keadaan yang amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratorik
akan tetap berlangsung.

Secara radiologis akan tampak gambaran infiltrat alveolar yang tersebar diseluruh paru, terutama
daerah parahilar dan basal. Ketika klien dalam keadaan sadar dia akan tampak mengalami sesak
nafas hebat dan ditandai dengan takipnea, takikardi, serta sianosis bila pernafasannya tidak
dibantu. Keadaan ini disebut sebagai adult respiratory sindrom (ARDS).

1. A. Manifestasi klinis

Serangan mendadak yang khas pada edema paru terjadi setelah pasien berbaring selama beberapa
jam. Posisi baring akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan memudahkan penyerapan
kembali edema dari tungkai. Darah yang beredar menjadi lebih encer dan volumenya bertambah.
Tekanan vena meningkat dan atrium kanan terisi lebih cepat. Akibatnya terjadi peningkatan
curah ventrikel kanan yang ternyata melebihi curah ventrikel kiri. Pembuluh darah paru
membesar oleh darah dan mulai mengalami kebocoran. Sementara pasien mulai merasa gelisah
dan cemas.

Terjadi awitan kesulitan bernapas mendadak dan perasaan tercekik. Tangan pasien
menjadi dingin dan basah, kuku sianosis, dan warna kulit menjadi abu-abu sampai pucat.
Selain itu denyut nadi juga melemah, dan cepat, vena leher menegang. Pasien mulai batuk,
dengan mengeluarkan sputum yang banyak. Dengan berkembangnya edema paru, kecemasan
berubah menjadi panik. Napas berbunyi dan basah, pasien yang mulai tercekik oleh darah,
mengeluarakan cairan berbusa ke bronchi dan trakhea.

Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah
penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat
mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala
umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada
normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea),
kepeningan, atau kelemahan.

Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan
pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin
mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih
pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama
bernapas).

Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:

Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran
gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas
menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya
saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.

Stadium 2.

Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,
demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B).
Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran
napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.

Stadium 3.

Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan
hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan
volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita
biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and
Braunwald, 1988).

Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.
Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak
parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara
radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa
penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi
sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

1. B. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis ditegakkan dengan mengevaluasi manifestai klinis sehubungan dengan kongesti paru.
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan antara lain berupa :

1. EKG : untuk melihat apakah terdapat sinus takikardi dengan hipertropi atrium kiri
atau fibrilasi atrium, tergantung penyebap gagal jantung, gambaran infark, hipertrofi
ventrikel kiri atau aritmia
2. Laboratorium

– Analisa Gas Darah : pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah kemudian hiperkapnea
– Enzim jantung : meningkat jika penyebap gagal jantung adalah infark miokard

– Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalis, Enzim jantung (CK-MB, Troponin T),
angiografi koroner

– Foto thorak

Gambaran radiologisnya berupa :

1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskuler di hilus)


2. Corakan paru meningkat ( > 1/3 lateral)
3. Kranialisasi vaskuler
4. Hilus suram (batas tidak jelas)

– Echokardiography : gambaran penyebap gagal jantung : kelainan katup, hipertopi


ventrikel (hipertensi), segemental wall motion abnormally (PJK) umumnya ditemukan dilatasi
ventrikel kiri/atrium kiri

– Pulmonary Artery Catheter : Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung


yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher
dan dimajukan melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-
kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan
dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari
18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara
wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of
pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada
intensive care unit (ICU).

1. C. Penatalaksanaan Medis

Tujuan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Edema Paru akut adalah mengurangi volume
sirkulasi total untuk memperbaiki pertukaran gas pernapasan. Tujuan ini dapat dicapai dengan
kombinasi terapi oksigen dan terapi medis.

Oksigenasi. Oksigen diberikan dengan konsetrasi yang adekuat untuk mengurangi hipoksia dan
dispnea. Bila tanda-tanda hipoksia menetap, oksigen harus diberikan dengan tekanan positif
intermiten atau kontinu. Bila terjadi gagal napas, meskipun penatalaksanaan telah optimal, perlu
diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanis. Penggunaan tekanan positif akhir ekspirasi
sangat efektif mengurangi aliran balik vena, menurunkan tekanan kapiler paru, dan
memeperbaiki oksigenasi. Oksigenasi dipantau melalui pulse oksimetri dan pengukuran AGD.

Farmakologi. Dilakukan pemberian Morfin secara intravena dalam dosis kecil untuk mengurangi
kecemasan dan dispnea serta menurunkan tekanan perifer sehingga darah dapat didistribusikan
dari paru ke bagaian tubuh lain. Hal tersebut akan menurunkan tekanan dalam kapiler paru dan
mengurangi perembesan cairan ke jaringan paru. Morfin juga bermanfaan dalam menurunkan
kecepatan napas.

Morfin tidak boleh diberikan bila edema paru disebapkan oleh cedera vaskuer otak, penyakit
paru kronis, atau syok kardiogenik. Pasien harus diawasi bila terjadi depresi pernapasan berat.

Diuretik. Furosemide diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik yang cepat.
Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah di pembuluh darah perifer
yang pada gilirannya mengurangi jumlah darah yang kembali ke jantung, bahkan sebelum terjadi
efek diuretik.

Digitalis. Diberikan untuk meningkatkan kontrakitilitas jantung dan curah ventrikel kiri.
Perbaikan kotrakitilitas jantung akan meningkatakan curah jantung, memeperbaiki diuresis dan
menurunkan tekanan diastole. Jadi tekanan kapiler paru dan trasnudasi atau perembesan cairan
ke alveoli akan berkuarang.

Aminofilin. Bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme yang berarti, maka perlu
diberikan aminofilin untuk merelaksasi bronkospasme. Aminofilin diberikan melalui intravena
secara terus menerus dengan dosis sesuai berat badan.

1. D. Komplikasi

Pada pasien dengan Edema paru kemungkina untuk terjadi Gagal napas sangat tinggi jika tidak
dilakukan penatalaksanaan dengan tepat. Hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi cairan pada
alveoli yang menyebapkan ketidakmampuan paru untuk melakukan pertukaran gas O2 dan CO2
secara adekuat, sehingga mengakibatkan pasokan Oksigen ke jaringan paru menjadi sedikit.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN EDEMA PARU


1. A. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama : Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas,
cyanosis atau batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang
sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma..
3. Riwayat penyakit
1. Dahulu : Predileksi penyakit sistemik atau berdampak
sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan
organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
2. Pemeriksaan fisik
1. Sistem pulmonal

Subyektif : sesak nafas, dada tertekan. Obyektif : Pernafasan cuping hidung,


hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar
stridor, ronchii pada lapang paru.

1. Sistem kardiovaskuler

Subyektif : sakit dada, Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah


vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan.

1. Sistem Neurosensori

Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang, Obyektif : GCS menurun, refleks


menurun/normal, letargi

1. Sistem perkemihan

Obyektif : produksi urine menurun/normal,

1. Sistem perncernaan

Subyektif : mual, kadang muntah, Obyektif` : konsistensi feses normal/diare

1. Sistem muskuluskletal

Subyektif : lemah, cepat lelah, Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru
dan penggunaan otot aksesoris pernafasan

1. Sistem integumen

Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat ,
suhu kulit meningkat, kemerahan

1. Pemeriksaan penunjang
1. Hb : menurun/normal
2. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah,
kadar karbon darah meningkat/normal
3. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

1. B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru, pengambilan Oksigen tidak adekuat.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler
alveolar sekunder terhadap akumulasi cairan alveoli
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen
sistemik
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan sekuncup jantung
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan lemah
sekunder terhadap penurunan curah jantung, disfungsi ginjal
6. Nyeri berhubungan dengan penurunan suplai oksigen koroner
7. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan perfusi ginjal tidak adekuat
8. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual muntah
9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
10. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan disfungsi saraf motorik
11. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kesadaran

1. C. Perencanaan keperawatan

1. 1. Diganosa : Gangguan pola Napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan


ekspansi paru, pengambilan O2 tidak adekuat.

Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selam —x24 jam diharapkan pola napas kembali
efektif dengan kriteria hasil hasil pola napas pasien reguler, tidak tampak adanya retraksi dinding
dada, pasien tampak relaks.

Tindakan :

1. Monitor jumlah pernapasan, penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi paru, tanda vital,
warna kulit dan AGD

Rasional : mengetahui status awal pernapasan pasien

1. Posisikan semifowler jika tidak ada kontraindikasi


Rasional : meningkatkan ekspansi paru

1. Ajarkan pasien teknik relaksasi napas dalam

Rasional : membantu meningkatkan pemenuhan oksigen

1. Berikan oksigen sesuai program

Rasional : mempertahankan oksigen arteri

1. Berikan pendidikan kesehatan mengenai perubahan gaya hidup, teknik bernapas, teknik
relaksasi.

Rasional : membantu beradaptasi dengan kondisi saat ini.

1. 2. Diagnosa : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan


membran kapiler alveolar sekunder terhadap akumulasi cairan alveoli.

Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama —x24 jam diharapkan pertukaran gas
kembali adekuat dengan kriteria hasil bunyi napas normal, dan warna kulit normal, eupnea,
saturasi oksigen > 95%, pO2 > 80 mmHg, pCO2 < 45 mmHg.

Tindakan :

1. Auskultasi lapang paru terhadap bunyi napas, waspadai krekels

Rasional : suara krekels menandakan kongesti cairan alveolar

1. Bantu pasien dalam posisi semifowler tinggi

Rasional : meningkatkan pertukaran gas

1. Ajarkan teknik napas dalam

Rasional : meningkatkan oksigenasi

1. Berikan O2 sesuai program

Rasional : meningkatkan kadar oksigen jaringan

1. Kolaborasi dalam pemeriksaan AGD, pantau hasil hipoksemia dan hiperkapnea

Rasional : mengetahui keadaan pasien


1. Berikan diuretik sesuai program

Rasional : menurunkan kerja jantung

1. Bila diindikasikan, siapkan peralatan kedaruratan dalam keadaan berfungsi

Rasional : mempersiapkan keadaan darurat pasien

1. 3. Diagnosa : Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan


suplai oksigen sistemik

Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama —x24 jam diharapkan perfusi jaringan
pasien adekuat, dengan kriteria hasil nadi normal, kesadaran compos mentis, tidak sianosis dan
pucat, akral hangat, TTV dalam batas normal.

Tindakan

1. Monitor tanda vital, bunyi jantung, edema, dan tingkat kesadaran

Rasional : data dasar untuk mengetahui perkembangan pasien dan mengetahui status awal
kesehatan pasien.

1. Pantau terhadap indikator penurunan perfusi serebral

Rasional : menghindari kerusakan otak

1. Hindari terjadinya valsava manuver seperti mengedan, menahan napas, dan batuk.

Rasional : mempertahankan pasokan oksigen

1. Monitor denyut jantung dan irama

Rasional : mengetahui kelainan jantung

1. Berikan oksigen sesuai kebutuhan

Rasional : meningkatkan perfusi

1. Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan AGD, elektrolit, dan darah lengkap

Rasional : mengetahui keadaan umum pasien

1. Berikan pendidikan kesehatan seperti proses terapi, perubahan gaya hidup, teknik
relaksasi, napas dalam, diet, dan efek obat
Rasional : meningkatkan pengetahuan dan mencegah terjadinya kambuh dan komplikasi

1. 4. Diagnosa : penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan


sekuncup jantung

Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama —x24 jam diharapkan tidak terjadi
penurunan curah jantung, dengan kriteria hasil tidak terjadi peningkatan tekanan vena jugularis,
EKG normal, Tekanan darah normal, akral hangat, tidak sianosis, TTV dalam batas normal

Tindakan :

1. Monitor Tanda-tanda vital

Rasional : indikator keadaan umum pasien

1. Auskultasi bunyi jantung, kaji frekuensi dan irama jantung

Rasional : perubahan suara, frekuensi dan irama jantung mengindikasikan penurunan curah
jantung

1. Palpasi nadi perifer

Rasional : Penurunan curah jantung mempengaruhi kuat dan lemahnya nadi perifer

1. Kaji adanya distensi vena jugularis

Rasional : akumulasi cairan menghambat aliran balik vena sehingga terjadi distensi vena
jugularis

1. Kaji akral dan adanya sianosis atau pucat

Rasional : penurunan curah jantung menyebapkan aliran darah ke perifer menurun

1. Berikan oksigen sesuai indikasi

Rasional : menvegah hipoksia

1. Berikan cairan Intra Vena sesuai indikasi

Rasional : mencegah terjadinya kekuarangan cairan


BAB IV

PENUTUP

1. A. Kesimpulan

Edema paru merupakan suatu keadaan diman terdapat akumulasi cairan pada ekstravaskuler paru
yang disebapkan suatu keadaan patologis. Penyebapnya sendiri secara garis besar dibagi menjadi
dua, yaitu penyebap yang berasal dari jantung atau sistem kardiovaskuler (kardiogenik) dan
penyebap diluar sistem kardiovaskuler (non kardiogenik) yang dapat berasal dari bagaian paru
itu sendiri maupun dari bagain tubuh lain.

Gejala awitan dari seseorang yang mengalami Edema paru adalah kesulitan bernapas dan
perasaan tercekik. Selain itu, karena terjadi kesulitan bernapas akibat akumulasi cairan tersebut
mengakibatkan pertukaran oksigen di paru-paru mengalami penurunan dan berefek pada suplai
oksigen di seluruh tubuh. Hal ini dapat mengakibatkan sianosis, pucat, dan tubuh menjadi dingin
dan basah.

Untuk penatalaksanaan Edema paru sendiri harus dilakukan segera untuk menghindari terjadinya
gagal napas sampai henti napas. Hal ini dilakukan denga memberikan oksigen secar kontinue
maupun diberikan intubasi endotrakea. Selain itu dapat pula diberikan obat berupa morfin dalam
dosis kecil, obat diuretik dan digitalis.

1. B. Saran

Edema merupakan suatu kasus yang jarang terjadi, namun akan sangat fatal akibatnya jika tidak
diberikan tindakan segera dan tepat, karena komplikasi yang terjadi berupa gagal napas hingga
henti napas. Sehingga sebagai perawat, maupun calon perawat diharapkan mengetahui tindakan
yang sesuai dan tepat dalam melakukan perawatan agar tidak terjadi komplikasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(Brunner & Suddarth : editor). Jakarta : EGC
Tarwanto & Wartonah. 2011. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 4.
Jakarta : Salemba Medika

Swearingen. 2000. Keperawatan Medikal Bedah edisi 2. EGC : Jakarta

dr.Nugroho, Taufan. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, dan Penyakit
Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta
: EGC

Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika

http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/askep-edema-paru.html (diunduh pada tanggal 28 Mei 2013


pukul 10.44 wita)

http://manafners.wordpress.com/2011/05/15/asuhan-keperawatan-edema-paru/ (diunduh pada


tanggal 28 Mei 2013 pukul 10. 55 wita)

http://www.scribd.com/doc/117274362/Pathway-Edema-Paru ( diunduh pada tanggal 28 Mei


2013 pukul 11. 05 wita.
Edema Paru Akut
Edema Paru Akut (Kardiak) adalah pembengkakan dan/atau akumulasi cairan dalam paru. Hal
ini dapat menyebabkan terganggunya pertukaran gas dan dapat menyebabkan gagal napas.
Edema Paru dapat terjadi akibat kegagalan jantung memindahkan cairan dari sirkulasi paru
(Edema Paru Kardiogenik) atau akibat trauma langsung pada parenkim paru (Edema Paru Non-
Kardiogenik). Pengobatan tergantung dari penyebab, tapi lebih menitikberatkan pada
memaksimalkan fungsi respirasi dan menyingkirkan penyebab.

Definisi

Edema Paru Akut (Kardiak) adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan
hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis. Edema Paru
Akut (Kardiak) menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di interstisial paru
dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri melebihi keluaran
ventrikel kiri.

Patofisiologi :

Klarifikasi dan etiologi

Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme yaitu :

I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :

1. Peningkatan tekanan kapiler paru :


1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis
mitral).
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria
pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2. Penurunan tekanan onkotik plasma.

Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday,


penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.

3. Peningkatan tekanan negatif intersisial :


1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan
dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.

II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)

1. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).


2. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO2, dsb).
3. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
4. Aspirasi asam lambung.
5. Pneumonitis radiasi akut.
6. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7. G Disseminated Intravascular Coagulation.
8. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
9. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
10. Pankreatitis Perdarahan Akut.

III. Insufisiensi Limfatik :

1. Post Lung Transplant.


2. Lymphangitic Carcinomatosis.
3. C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).

IV. Tak diketahui/tak jelas

1. High Altitude Pulmonary Edema.


2. Neurogenic Pulmonary Edema.
3. Narcotic overdose.
4. Pulmonary embolism.
5. Eclampsia.
6. Post Cardioversion.
7. Post Anesthesia.
8. Post Cardiopulmonary Bypass.

Dari klasifikasi di atas edema paru dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Untuk pengobatan
yang tepat tentunya harus diketahui penyakit dasarnya.

Gejala

Gejala-gejalanya dapat terjadi atas :

1. Gejala yang ditimbulkan oleh kegagalan jantung untuk memenuhi oksigenasi pada jaringan
tubuh terutama cerebral, koroner dan ginjal.

a. Cardiac asma
Sesak terjadi secara tiba-tiba biasanya bersifat nocturnal dan orthopnoe, berkeringat dingin,
wheezing dapat terdengar pada seluruh paru, batuk-batuk dengan expectorasi disebabkan oleh
karena congestive paru. Kadang-kadang terdapat hemoptysis sehingga menyebabkan terjadinya
bloody sputum.

b. Tanda-tanda serebral timbul oleh karena penurunan cardiac output sehingga timbul stuper,
coma atau mental depresi.

c. Gejala-gejala cardiovaskuler dapat timbul suatu shock syndrome oleh karena penurunan
cardiac output dengan berbagai gejala cardiogenic shock ditandai dengan tachycardia, auriculas
flutter atau uriculas fibrilasi.

2. Berkumpulnya berbagai zat oleh karena kegagalan fungsi transportasi pembawa zat sisa.

a. Berkurangnya substrat yang dipengaruhi jaringan terutama glukosa sehingga jaringan dalam
hal ini mempergunakan cadangan energi ataupun sumber energi yang lainnya misalnya lemak
dan protein. Kekurangan substrat ini hanya terjadi bila kegagalan aliran darah.

b. Pengangkutan zat sisa yang tidak dapat dilakukan tubuh yang disebabkan oleh dua hal yaitu :

 Peranan mikro sirkulasi dan transportasi sisa-sisa bahan makanan tidak sempurna.

 Fungsi exkresi dari ginjal tidak sempurna.

Kedua hal ini disebabkan oleh karena gangguan dalam hubungan hemodinamik dimana
transportasi zat dipengaruhi oleh hukum Vick dan hipotesa Starling. Gejala-gejala retensi dari zat
sisa yang terjadi ialah tingginya kadar ureum darah yang dapat diklarifikasikan sebagai prerenal
failure.

Manifestasi klinis

Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan perubahan radiografi (foto toraks).
Gambaran dapat dibagi 3 stadium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.

Stadium 1. Adanya distensi dari pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium
ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas
menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya
saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B).
Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor intersisial, akan lebih memperkecil saluran napas
kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan
fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit
perubahan saja.

Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan.
Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt.Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat
dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia. Pada keadaan ini morphin hams
digunakan dengan hati-hati.

Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.
Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteria koronaria, terjadi edema paru
walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah dengan pemberian indomethacin
sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide
phosphodiesterase akan mengurangi edema paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang
penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal;
hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun
tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi
peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang
rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

Penatalaksanaan

1. Posisi ½ duduk

2. Oksigen (40%-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien
makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisadipertahankan > 60 mmHg dengan O2
konssentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator.

3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.

4. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit.
Jika tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5
ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitrogliserin IV
dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang
tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat
ke organ-organ vital.

5. Morfin sulfat 3-5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).

6. Diuretik Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam
atau dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.

7. Bila perlu (tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau
doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan
sesuai respon klinis atau keduanya.

8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.

9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.

10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.

11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel/corda tendinae.

Anda mungkin juga menyukai