DIABETES MELLITUS
ROSANA NURWULANDARI
G1B 207012
A. Pendahuluan
Semakin majunya suatu negara yang membawa kemakmuran bagi
penduduknya, gaya hidup dan pola makan akan turut berubah pula. Sementara
itu, kemajuan dalam bidang pengetahuan termasuk kedokteran semakin
memperpanjang usia manusia sehingga meningkatkan jumlah kaum lanjut
usia. Kedua faktor diatas ternyata memperbesar frekuensi penyakit-penyakit
degeneratif, yang salah satu diantaranya adalah penyakit gula atau diabetes.
Hal ini dibuktikan dengan pasien Diabetes Mellitus yang semakin banyak
dirawat di rumah sakit.
Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang dicirikan dengan
ketidakmampuan untuk mengoksidasi karbohidrat, akibat gangguan pada
mekanisme insulin yang normal, menimbulkan hiperglikemia, glikosuria,
poliuria, rasa haus, rasa lapar, badan kurus dan kelemahan (Dorland, 2004).
Diabetes melitus jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan
timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung,
pembuluh darah kaki, syaraf, dan lain-lain. Penderita diabetes melitus dapat
mengalami beberapa komplikasi bersama-sama atau terdapat satu masalah
yang mendominasi, yang meliputi kelainan vaskuler, retinopati, nefropati
diabetik, neuropati diabetik dan ulkus kaki diabetik. Menurut beberapa ahli
kira-kira 4% dari penduduk dunia menderita diabetes dan 50% dari penderita
ini memerlukan perawatan bedah. Kelainan tungkai bawah karena diabetes
disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan saraf, dan adanya
infeksi. Pada gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba
terasa dingin, jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian
tersebut sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit
tampak pucat atau kebiru-biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi
gangren/jaringan busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini
akan membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh
(sepsis). Bila terjadi gangguan saraf, disebut neuropati diabetik dapat timbul
gangguan rasa (sensorik) baal, kurang berasa sampai mati rasa. Selain itu
gangguan motorik, timbul kelemahan otot, otot mengecil, kram otot, mudah
lelah. Kaki yang tidak berasa akan berbahaya karena bila menginjak benda
tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya
terjadi infeksi. Kalau sudah gangren, kaki harus dipotong di atas bagian yang
membusuk tersebut. Penanggulangan gangren diabetik atau sering disebut
kaki diabetes merupakan bagian penting dalam suatu klinik diabetes. Sampai
sekarang kelainan vaskuler yang didapat sebagai komplikasi dari penyakit
diabetes masih tetap merupakan suatu tantangan. Gangren diabetik dapat
menimbulkan komplikasi yang mengharuskan pasien untuk menjalani
amputasi, oleh karena itu pasien diabetes melitus dengan infeksi kaki harus
segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang lebih intensif
(Mulyana, 2007).
B. Definisi
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,, saraf dan pembuluh darah,
disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop
elektron (Manjoer, 1999).
Diabetes Mellitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai oleh
ketiadaan absolut insulin atau insensitivitas ael terhadap insullin. Berdasarkan
definisi, glukosa drah puasa harus lebih besar daripada 140 mg/100 ml pada
dua kali pemeriksaan terpisah agar diagnosis diabetes mellitus dapat
ditegakkan (Corwin, 2001).
Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme
dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi
sekresi insulin atau suatu berkurangnya efektivitas biologis dari insulin atau
keduanya (Greenspan & Baxter, 1998).
Perubahan-perubahan makrovaskuler, perubahan mikrovaskuler, dan
neuropati semuanya menyebabkan perubahan-perubahan pada ekstremitas
bawah (Long, 1996).
Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik
yang melibatkan gangguan pada syaraf periferal dan autonomik (Suriadi,
2004).
Pasien diabetes sangat sering menderita gangguan daripada
nondiabetes. Perubahan yang penting yakni adanya anestesia yang timbul
karena hilangnya fungsi saraf-saraf sensoris. Keadaan ini berperan dalam
terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi yang menyebabkan
gangren. Infeksi dimulai pada celah-celah kulit yang mengalami hipertrofi,
pada sela-sela kuku yang tertanam di jari kaki, bagian kulit kaki yang
menebal, dan kalus, demikian juga pada daerah-daerah yang terkena trauma.
C. Etiologi
Dari hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh para ahli kedokteran,
ditemukan teori baru yang menyatakan bahwa penyakit diabetes mellitus tidak
hanya disebabkan oleh faktor keturunan (genetik), tetapi juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor lain yang multi-kompleks, antara lain kebiasaan hidup dan
lingkungan. Orang yang tubuhnya membawa gen diabetes, belum tentu akan
menderita penyakit gula, karena masih ada beberapa faktor lain yang dapt
menyebabkan timbulnya penyait ini pada seseorang, yaitu antara lain makan
yang berlebihan/kegemukan, kurang gerak atau jarang berolahraga, dan
kehamilan (Lanywati, 2001).
a. Makan yang berlebihan menyebabkan gula dan lemak dalam tubuh
menumpuk secara berlebihan. Kondisi tersebut menyebabkan kelenjar
pankreas terpaksa harus bekerja keras memproduksi hormon insulin untuk
mengolah gula yang masuk. Jika suatu saat pankreas tidak mampu
memenuhi kebutuhan hormon insulin yang terus bertambah, maka
kelebihan gula tidak dapat terolah lagi dan akan masuk ke dalam darah
serta urine (air kencing). Data statistik di Amerika menunjukkan bahwa 70
% dari total penderita diabetes mellitus, merupakan orang yang memiliki
berat tubuh berlebihan (obesitas).
b. Pada saat tubuh melakukan aktivitas/gerakan, maka sejumlah gula akan
dibakar untuk dijadikan tenaga gerak. Sehingga jumlah gula dalam tubuh
akan berkurang, dan dengan demikian kebutuhan akan hormon insulin
juga berkurang. Pada orang yang kurang gerak dan jarang berolahraga, zat
makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar, tetapi hanya akan
ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Proses pengubahan zat
makanan menjadi lemak dan gula, memerlukan hormon insulin. Namun,
jika hormon insulin kurang mencukupi, maka akan timbul gejala penyakit
diabetes mellitus.
c. Pada saat hamil, untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan janinnya,
seorang ibu secara naluri akan menambah jumlah konsumsi makanannya,
sehingga umumnya berat badan ibu hamil akan naik sekitar 7 kg – 10 kg.
Pada saat penambahan jumlah konsumsimakanan tersebut terjadi, jika
ternyata produksi insulin kurang mencukupi, maka akan timbul gejala
penyakit diabetes mellitus.
D. Patofisiologi
DM Tipe I DM Tipe II
Defisiensi insulin
Penurunan BB polipagi
coma
F. Klasifikasi
Beberapa Klasifikasi dari diabetes mellitus:
a. Diabetes Mellitus Tipe I (Corwin, 1997)
Diabetes mellitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan
absolut insulin. Penyakit ini disebut diabetes mellitus dependen insulin
(DMDI). Pengidap penyakit ini harus mendapat insulin pengganti.
Diabetes tipe I biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk berusia
kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-laki sedikit lebih banyak
daripada wanita. Karena insedens diabetes tipe I memuncak pada usia
remaja dini, maka dahulu bentuk ini disebut sebagai diabetes juvenilis.
Namun, diabetes tipe I dapat timbul pada segala usia.
b. Diabetes Mellitus Tipe II (Corwin, 1997)
Diabetes mellitus tipe II adalah penyakit hiperglikemia akibat insesitivitas
sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada
dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta
pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai noninsulin
dependent diabetes mellitus (NIDDM). Diabetes mellitus tipe II biasanya
timbul pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun, dan dahulu disebut
sebagai awitan dewasa. Pasien wanita lebih banyak daripada pria.
c. Diabetes Gestasional (Corwin, 1997)
Diabetes Gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes. Sekitar 50 % wanita pengidap kelainan ini akan
kembali ke status nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Namun, resiko
mengalami diabetes tipe II pada waktu mendatang lebih besar daripada
normal.
d. Gangguan Toleransi Gula (Lanywati, 2001)
Jika kadar gula darah puasa ≤ 120 mg% (normal) dan kadar gula darah 2
jam sesudah makan antara 140 mg% - 200 mg%, maka diklasifikasikan
sebagai gangguan toleransi gula. Penderita gangguan toleransi gula harus
dibedakan dengan gangguan diabetes mellitus, karena kemungkinan
terjadinya perubahan gangguan toleransi gula ke bentuk klinis diabetes
adalah kecil. Banyak penderita gangguan toleransi gula yang dapat
sembuh dan kembali normal. Sementara pada sebagian orang, meskipun
tetap menderita gangguan toleransi gula, tetapi tidak mengalami gangguan
akibat komplikasi lain (misal kerusakan mata dan ginjal) selama masa
hidupnya. Sebelum tahun 1985, gangguan toleransi gula dianggap satu
golongan dengan diabetes mellitus. Namun pada saat ini, adanya kemajuan
pengetahuan di bidang kedokteran, dan kemauan para penderita untuk
rajin merawat kesehatan melalui penjagaan ketat berat badan serta rajin
berolahraga, para penderita dapat mencegah terjadinya perubahan dari
gangguan toleransi gula menjadi penyakit diabetes mellitus.
e. Diabetes karena Malnutrisi
Kriteria diagnosa diabetes mellitus karena malnutrisi atau MRDM
(Malnutrition Related Diabetes Mellitus) ditegakkan jika ada 3 gejala dari
6 kemungkinan berikut :
a. Diabetes mellitus pada usia antara 15 – 40 tahun
b. Tampak gejala malnutrisi seperti misalnya badan kurus (berat badan <
80% berat badan ideal)
c. Diperlukan insulin untuk regulasi diabetes mellitus dan menaikkan
berat badan
d. Nyeri perut berulang
e. Tanda-tanda malabsorpsi makanan
f. Diduga ada klasifikasi pankreas
G. Pemeriksaan Penunjang
a. Adanya kadar glukosa darah yang tinggi secara abnormal. Kadar gula
darah pada waktu puasa > 140 mg/dl. Kadar gula sewaktu >200 mg/dl.
b. Tes toleransi glukosa. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam pp
>200 mg/dl.
c. Glukosa darah: darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah
vena, serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan
deproteinisasi 5% lebih tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi
d. Glukosa urin: 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah > 160-
180% maka sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam
urin: + nilai ambang ini akan naik pada orang tua. Metode yang populer:
carik celup memakai GOD.
e. Benda keton dalam urine: bahan urine segar karena asam asetoasetat cepat
didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-
hidroksibutirat tidak terdeteksi
f. Pemeriksan lain: fungsi ginjal ( Ureum, creatinin), Lemak darah:
(Kholesterol, HDL, LDL, Trigleserid), Ffungsi hati, antibodi anti sel insula
langerhans ( islet cellantibody)
H. Pathway
1. Faktor genetik
2. Faktor lingkungan
3. Faktor imunologi
4. Usia
5. Riwayat Keluarga
6. Obesitas
7. Kelompok etnik
- DM tipe I
- DM tipe II
Kadar glukosa
meningkat, intoleransi
glukosa progresif
PK : Hiperglikemia
I. Komplikasi
Menurut Mansjoer (1999), komplikasi dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Akut
a. Koma hipoglikemia
b. Ketoasidosis
c. Koma hiperosmolar nonketotik
2. Kronik
a. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar; pembuluh darah
jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
b. Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil; retinopati, nefropati
diabetik.
c. Neuropati diabetik
d. Rentan infeksi, seperti tuberkolosis paru, gingivitis, dan infeksi saluran
kemih.
e. Kaki diabetik
e. Cangkok pankreas
Pendekatan terbaru untuk cangkok pancreas adalah segmental dari donor
hidup saudara kembar identik (Tjokroprawiro, 1992).
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS
A. PENGKAJIAN
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan
(Rumahorbo, 1999)
Dorland, W. A., 2002, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29, EGC, Jakarta
Greenspan, F.S., & Baxter, J.D., 1998, Endokrinologi: Dasar & Klinik, Edisi 4,
EGC, Jakarta
Mansjoer, A., Triyanti, K., savitri, R., Wardhani, W.I., & Setiowulan, W., 1999,
Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Edisi 3, Media Aesculapius, Jakarta
Pudner, R., 1998, The Management of Diabetic Foot Ulcers, Online (terdapat
pada):
http://www.jcn.co.uk/journal.asp?MonthNum=07&YearNum=1998&Type
=search&ArticleID=67, (6 Oktober 2007)
Smeltzer, S.C., & Bare, S., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah :
Brunner & Suddarth, Edisi 8 Vol 2, EGC, Jakarta