Awal Januari tahun 2014 Indonesia akan mulai menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Penerapan JKN menyebabkan perubahan fundamental pada berbagai aspek yang
terkait dengan industri kesehatan di tanah air. Pelayanan kesehatan akan menjadi hak
penduduk, bukan lagi komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu
membayar. Tapi penduduk pun wajib membayar iuran, menggunakan fasilitas kesehatan
secara berjenjang, dan mengadopsi perilaku hidup sehat. Iuran penduduk miskin dan tidak
mampu akan dibayari Pemerintah. Dengan demikian seluruh penduduk dimanapun ia
berdomisili diharapkan akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama baiknya.
Profesi dokter sebagai tulang punggung sistem pelayanan kesehatan nasional juga akan
memasuki era baru, era pembayaran mengikuti kaidah asuransi kesehatan sosial. Dokter
tidak bisa lagi menentukan tarifnya secara sepihak, tarifnya akan ditentukan oleh BPJS
setelah bernegosiasi dengan asosiasinya. Metode pembayaran ke fasilitas kesehatan telah
pula ditetapkan, yaitu secara INA-CBG dan kapitasi. Kedua metode ini memiliki filosofi yang
sama, yaitu mentransfer risiko ke fasilitas kesehatan yang berarti dokter ikut menanggung
risiko biaya bila ia memberikan pelayanan tidak sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan. Hal ini akan mendorong terjadinya perubahan perilaku dan cara dokter
menjalankan praktik kedokteran.
Metode membayar dokter seyogianya tidak hanya dipandang sebagai transaksi sederhana
memberi imbalan atas kerja dokter mengobati pasien. Metode membayar dapat digunakan
untuk mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik, mendorong persebaran dan
pemerataan dokter, memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, dan
mengurangi disparitas pendapatan antar dokter. Dengan kata lain, metode membayar
dokter dapat digunakan sebagai kekuatan untuk menata ulang sistem pelayanan yang saat
ini berberorientasi spesialis menjadi berorientasi pelayanan primer.
Dasar pemikiran ini yang mendorong IDI untuk mencari metode membayar yang lebih tepat
guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan utama penerapan JKN. Peluang untuk
membayar DLP dengan metode lain dimungkinkan oleh peraturan yang ada.
Dalam b penulis
mencoba menyajikan informasi ringkas tentang berbagai aspek yang terkait dengan
membayar dokter. Tulisan diawali dengan sejarah pembayaran dokter yang sejak zaman
Hipocrates sampai saat ini selalu menjadi dilemma, dan dalam palam pro-kontra ini disajikan
pandangan dokter dan para penentu kebijakan publik. Menarik untuk menyimak berbagai
isu dan kecenderungan sehingga dapat dipahami apa yang terjadi saat ini. Ada masalah
mendasar dalam isu ini yang harus dicarikan jalan keluarnya bila kita ingin membangun
sistem yang lebih baik.
Bab kedua menjelaskan Dokter Layanan Primer (DLP) yang akan menjadi tulang punggung
program JKN. Pemahaman tentang peranan dan kedudukan, lingkup pelayanan, potensi
produktivitas, dan bentuk entitas praktik DLP sangat diperlukan. Dalam setting pelayanan
JKN, sebenarnya DLP mengemban fungsi baru yang tidak dikenal dalam sistem pelayanan
yang berorientasi spesialis, yaitu sebagai . Banyak kebijakan yang masih simpang-
siur tentang DLP, karena kita terperangkap dengan fungsi UKP dan UKM yang melekat di
puskesmas. Diharapkan penjelasan ringkas di bab ini dapat membuka wacana untuk
memahami DLP. ktik Dokter
Layanan Primer Dalam
Bab tiga menjelaskan metode membayar dokter yang lazim digunakan di berbagai negara
agar pembaca memahami prinsip dasar serta kelebihan dan kekurangan setiap metode.
ti metode pembayaran sehingga
kesalahan menerapkan metode membayar dokter dapat memberi dampak negatif bagi
pasien dan masyarakat.
Bab terakhir berisi gagasan untuk menggabungkan tiga metode membayar dokter dalam
upaya menyingkirkan segi negatif dan menonjolkan segi positif dari setiap metode tersebut.
Metode campuran ini disebut sebagai metode Sandwich, sesuai dengan komponennya yang
terdiri dari 3 lapis. Metode Sandwich ini dapat diterapkan dalam skala mikro di sebuah
fasilitas kesehatan dan dapat pula dijadikan kebijakan nasional untuk membayar profesi
dokter di seluruh tanah air.
Informasi yang disajikan dalam buku ini, diharapkan dapat membuka wacana para
pemangku kepentingan untuk mengembangkan berbagai alternatif membayar dokter yang
dapat diterima semua pihak, baik dokter, pasien maupun pembayar.
Kepada para pengguna buku ini, kami harapkan saran perbaikan untuk menyempurnakan
buku ini. Semoga bermanfaat.
Penyusun
Dr. Gatot Soetono, MPH
Dr. Dien Kurtanty, MKM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................. iv
I. PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 6
1. Latar Belakang............................................................................................................................. 6
2. Sejarah Pembayaran Dokter ....................................................................................................... 7
3. Persepsi Tentang Pendapatan dan Kerja Dokter ........................................................................ 9
4. Isu Strategis dan Kecenderungan.............................................................................................. 12
5. Istilah dan Batasan .................................................................................................................... 15
II. DOKTER LAYANAN PRIMER ........................................................................................................... 17
1. Jaminan Kesehatan Nasional .................................................................................................... 17
2. Peranan Dan Kedudukan DLP Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan ......................................... 19
3. Lingkup Pelayanan DLP ............................................................................................................. 19
4. Potensi Produktivitas DLP ......................................................................................................... 21
5. Entitas Praktik DLP .................................................................................................................... 24
6. Hubungan Praktik DLP dengan UKM......................................................................................... 26
III. METODE MEMBAYAR DOKTER ................................................................................................. 27
1. Salary ......................................................................................................................................... 28
2. Fee For Service .......................................................................................................................... 30
3. Kapitasi ...................................................................................................................................... 32
4. Case-Based Reimbursement ..................................................................................................... 37
5. Pay For Performance................................................................................................................. 39
6. Metode Campuran .................................................................................................................... 40
IV. MEMBAYAR DLP di ERA JKN ...................................................................................................... 41
1. Dasar Pemikiran ........................................................................................................................ 41
2. Metode Sandwich ..................................................................................................................... 42
3. Komponen Basik ....................................................................................................................... 43
4. Kompensasi Untuk Menghargai Tanggung-Jawab Dan Beban Kerja ........................................ 46
5. Insentif Untuk Mendukung Pencapaian Target Pembangunan Kesehatan .............................. 50
6. Penerapan Metode Sandwich ................................................................................................... 52
7. Implikasi Pada Kebijakan Nasional ............................................................................................ 55
KEPUSTAKAAN ...................................................................................................................................... 57
LAMPIRAN-1: Contoh Pelayanan Praktik Dokter Layanan Primer ....................................................... 59
LAMPIRAN-2: Contoh Menghitung Kapitasi Dokter Layanan Primer ................................................... 64
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam dua dekade terakhir ilmu dan teknologi kedokteran mengalami kemajuan yang
sangat pesat, kemajuan ini memberi konstribusi yang besar pada deteksi dini, penegakan
diagnosis, pengobatan dan penyembuhan pasien, juga peningkatan efisiensi dan mutu
pelayanan. Namun, seiring dengan kemajuan itu pelayanan kesehatan telah tumbuh
menjadi industri yang kompleks, membutuhkan investasi besar dan sumber daya manusia
profesional dari berbagai spesialisasi. Di negara yang regulasinya lemah, sistem pelayanan
kesehatan akan terdorong menjadi berorientasi spesialis dan menghasilkan komoditi mahal,
konsumtif, terfragmentasi, dan tidak sepenuhnya berdasarkan
Kemajuan yang besar ini belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya di Indonesia, mengingat
keterbatasan infrastruktur, dana, sdm, dan manajemen yang mendukung ilmu dan teknologi
tersebut. Fasilitas kesehatan di Indonesia belum memadai dari segi kualitas dan kuantitas,
serta penyebarannya pun tidak merata. Rasio fasilitas kesehatan dengan jumlah penduduk
masih jauh dari ideal yang menyebabkan terhambatnya akses masyarakat ke pelayanan
kesehatan. Akses menjadi semakin terhambat dengan mahalnya biaya kesehatan saat ini.
Keluhan masyarakat terhadap akses, mutu, dan biaya kesehatan menjadi berita sehari-hari.
Bagi sebagian besar masyarakat, jatuh sakit berarti jatuh miskin.
Dalam sistem pelayanan kesehatan, dokter mempunyai peranan yang sangat strategis
bukan saja karena keterampilan dan kompetensinya, tapi juga karena peranannya dalam
menyerap dan mengeluarkan biaya kesehatan. Proporsi biaya untuk membayar dokter
terhadap total biaya kesehatan relatif besar, misalnya di Canada biaya dokter tercatat 15%
dari total biaya kesehatan di negara tersebut (Deber, 1998). Hal yang lebih bermakna adalah
kinerja dan perilaku dokter terbukti memberi pengaruh besar terhadap total biaya
kesehatan. Setiap tindakan dokter dapat diibaratkan dirigen yang menaikkan atau
menurunkan nada (baca biaya). Berbagai penelitian membuktikan bahwa perilaku dokter
dalam menjalankan praktik kedokteran sangat dipengaruhi oleh metode membayar dokter.
Salah satu metode membayar dokter, yaitu (FFS), selama ini dianggap sebagai
biang keladi peningkatan biaya kesehatan. Di banyak negara FFS mulai ditinggalkan dan
digantikan dengan metode baru seperti (PFP). Di Indonesia, FFS sangat
dominan dan mewarnai para dokter dan pemangku kepentingan lain.
Dalam situasi dan kondisi seperti tersebut di atas mulai awal tahun 2014 penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia akan memasuki era baru, era
ketika pembiayaan kesehatan diwarnai oleh mekanisme asuransi kesehatan sosial dan
pelayanan kesehatan diselenggarakan secara terpadu. Oleh sebab itu salah satu yang harus
disiapkan adalah mencari metode membayar dokter yang sesuai dengan tujuan JKN, yaitu
dapat menjamin akses dan mutu pelayanan, serta penyebaran, kinerja dan kesejahteraan
para dokternya. Dengan latar belakang inilah buku ini ditulis.
Pembayaran kompensasi terhadap dokter mulai diatur sejak berabad-abad yang lalu. Salah
satu bukti pengaturan ini dituliskan pada kode Hammurabi, yaitu seperangkat hukum yang
ditetapkan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia (± 2000 SM). Pada buku tersebut terdapat
beberapa pembahasan tentang dokter termasuk bagaimana dokter harus dibayar untuk
pelayanan yang mereka berikan. Misalnya, pada kode 215-217 disebutkan bahwa seorang
dokter yang telah menyembuhkan pasien yang luka parah atau melakukan bedah tumor
maka dia akan menerima 10 uang perak, namun jika pasien tersebut orang miskin maka dia
hanya menerima 5 uang perak, dan jika pasiennya adalah buruh maka dia akan menerima 2
uang perak dari majikannya.
Pengaturan kompensasi dokter juga terjadi pada berbagai negara di dunia. Pada abad
pertengahan di Eropa, dokter bekerja dan dibayar oleh pihak istana untuk melayani istana,
serta dibayar oleh pihak gereja untuk melayani masyarakat miskin. Di Amerika, ada banyak
sumber yang mencatat bagaimana dokter dibayar dan apakah kompensasi itu diatur atau
tidak. Salah satu contohnya adalah pengaturan kompensasi dokter di Boston yang dibuat
oleh sejak tahun 1780. Hal ini dibuat untuk mengurangi perilaku
persaingan yang tidak sehat diantara para dokter. Regulasi itu mengatur upah minimal yang
dapat diterima dokter, dan upah ini dapat lebih besar. Selain itu pasien hanya akan
membayar untuk pelayanan yang disertakan obat-obatan dan prosedur tindakan. Aturan ini
berlaku untuk setiap kunjungan yang disebut sebagai . Dalam
perkembangannya biaya pengobatan menjadi tidak terkendali, biaya ke dokter cenderung
naik meskipun situasi ekonomi sedang sulit. Misalnya, pada tahun 1795 dan 1806 saat
pertumbuhan ekonomi sangat lambat, biaya ke dokter justru meningkat 50-60%. Tetapi
besarnya kompensasi dokter di Amerika saat itu tidak merata, bergantung pada kondisi
ekonomi setempat. Jika di Boston biaya ke dokter mahal, di South Carolina justru
sebaliknya, misalnya biaya amputasi tangan di Boston pada tahun 1806 sebesar $40.00
sedangkan di South Carolina tahun 1844 hanya $5.00.
Pengaturan kompensasi dokter juga dilakukan di Australia dimulai pada pertengahan abad
kesembilan belas oleh Besarnya kompensasi diatur
berdasarkan tiga kelas yang berbeda. Kelas pertama ditujukan bagi orang kaya yang
membayar dua hingga lima kali lebih besar dibandingkan kelas 3 untuk orang miskin pada
jenis layanan yang sama.
Sejak zaman Hipocrates sampai saat ini pelayanan kesehatan telah tumbuh dari pelayanan
oleh individual dokter ( ) menjadi pelayanan oleh entitas yang melibatkan banyak
orang, banyak disiplin, salah satunya dokter, dan kompleks. Metode membayar dokter pun
turut berkembang dari metode tradisional seperti , dan kapitasi
menjadi metode yang lebih modern seperti , dan .
Perkembangan metode pembiayaan dokter ini mengindikasikan bahwa perkembangan ilmu
dan pelayanan kedokteran perlu diiringi dengan metode membayar dokter yang tepat agar
peran strategis profesi dokter dapat diberdayakan untuk sebesar-besarnya kepentingan
seluruh masyarakat.
Sejarah pembayaran dokter di Indonesia seumur dengan sejarah dokter Indonesia yang
diawali oleh Dokter Jawa, yang awalnya dididik sebagai mantri cacar oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Selanjutnya pendidikan Dokter Jawa ditingkatkan dan dokter lulusan STOVIA digaji
150 gulden per bulan, suatu jumlah yang sangat besar pada zaman itu. Karena kebutuhan
masyarakat, dokter diberi wewenang untuk praktik partikelir di luar jam kerja dengan cara
pembayaran (FFS). Dengan dua sumber pendapatan ini profesi dokter
memiliki tingkat sosial-ekonomi yang jauh di atas rata-rata penduduk, sehingga tidak
mengherankan bila banyak orang tua memimpikan anaknya menjadi dokter.
Metode yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun ini berlanjut sampai saat ini, tapi
ada perbedaan yang mendasar. Saat ini sumber pendapatan dari kerja utama sebagai PNS
tidak cukup untuk hidup layak, sehingga seorang dokter terpaksa harus melakukan kerja
tambahan untuk mencukupi hidupnya. Tingginya pelayanan kesehatan dan adanya
keterbatasan dokter menyebabkan tidak semua fasilitas kesehatan mempekerjakan dokter
sebagai pegawai tetap. Kondisi ini menumbuhkan cara pembayaran baru, yaitu dokter
bekerja paruh waktu di luar jam kerja utamanya dan diberi gaji setiap bulan yang besarnya
ditentukan dari persentase tarif pelayanan medik.
3. Persepsi Tentang Pendapatan dan Kerja Dokter
menunjukkan bahwa seorang dokter dalam menjalankan profesinya dituntut tidak saja
menguasai pengetahuan dan keterampilan tinggi, tapi juga dapat memadukan nalar, rasa
dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi pasiennya. Sehingga cara ia menangani
masalah kesehatan yang sama pada dua individu bisa berbeda, meskipun sebenarnya ia
melayani kedua pasien tersebut dengan kompetensi/kewenangan yang sama, bahkan
dengan peralatan medis dan obat-obatan yang sama. Hal ini karena ia memahami bahwa ia
sedang mengobati seorang manusia yang sedang menderita penyakit, bukan mengobati
di atas. Pekerjaan dokter sangat terukur, langkah demi langkah mengikuti prosedur yang
disusun berdasarkan bukti ilmiah. Dengan demikian seorang dokter tidak bisa mengaku
dirinya sebagai seorang artis, dan kemudian menghargai layanannya sebagai suatu karya
seni layaknya produk seorang artis yang seakan nilainya sangat subjektif dan tidak bisa
diukur. Sebaliknya, kerja dan imbalan jasa untuk kerja dokter dapat dinilai secara objektif.
Dokter dalam menjalankan profesinya dipayungi Undang-Undang Praktik Kedokteran. Ia
diwajibkan mengikuti standar profesinya dan standar prosedur operasional yang berlaku.
Standar prosedur operasional ini serba terukur dan karenanya setiap tindakan/prosedur
medik dapat diperkirakan waktunya. Waktu untuk menjalankan profesinya mengikuti kaidah
yang umum berlaku, 40 jam per minggu, dan mempertimbangkan keterbatasan seorang
manusia. Tidak mungkin seorang dokter dapat bekerja nonstop 24 jam terus menerus tanpa
istirahat, karena ini berdampak pada keselamatan pasien. Kerja profesi medik merupakan
kerja profesional yang membutuhkan kerja fisik dan mental, harus membuat keputusan
( ) dalam waktu cepat yang kadang kala menyangkut mati/hidup/kecacatan yang
sering menimbulkan beban stres. (W. Shiao, 1988). Ia pun harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan tinggi sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Dengan gambaran ini
produktivitas dokter per satuan waktu (hari, bulan, tahun) dapat dihitung. Bila produktivitas
dapat dihitung berarti potensi kompensasi (pendapatan) seorang dokter pun dapat pula
dihitung.
Secara umum besarnya potensi pendapatan dokter setahun merupakan perkalian antara
produktivitas dokter dengan jasa medik. Jasa medik adalah imbalan yang diberikan kepada
dokter untuk suatu jenis layanan medik (dalam metode pembayaran FFS). Besarnya jasa
medik seyogianya mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat membayar
( ). Pada hakekatnya kompensasi (pendapatan) dan jasa medik
merupakan wujud dari tingkat penghargaan masyarakat pada profesi dokter dan bagaimana
dokter sendiri menghargai profesinya. Idealnya jasa medik ini dapat memenuhi harapan
kedua belah pihak. Pihak pasien/pembayar merasa puas dengan tarif layanan dan mutu
layanan yang diterimanya, dan pihak pemberi layanan (dokter) merasa puas dengan
penghargaan yang pantas untuk kerja profesionalnya (lihat gambar).
Dasar pemikiran ini yang dijadikan landasan untuk menjelaskan pasal 50 dan 53 Undang-
undang Praktik Kedokteran tentang hak/kewajiban dokter dan pasien melalui gambar
berikut ini.
Dengan melihat hubungan antara kerja dokter, waktu, produktivitas, kompensasi dan jasa
medik, dapat dipahami bila produktivitas dokter merupakan bagian yang tak terpisahkan
(integral) dari kompensasi, dan kompensasi dokter dirumuskan menjadi formula generik
(Griffith, 2001) sebagai berikut.
Menarik untuk mengetahui perspektif dokter tentang bagaimana seharusnya dokter dibayar
dan apa alasannya. Berikut ini berbagai pandangan para dokter tentang kompensasi yang
dihimpun dari berbagai sumber:
1. Dokter seyogianya dibayar sepadan dengan pola pendidikannya yang lebih lama dari
profesi lain, dan sepadan dengan kewajiban belajar sepanjang hayat untuk memelihara
dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuannya. Kewajiban ini tidak ada pada
profesi lain.
2. Dokter seyogianya dibayar lebih tinggi karena jam kerja dokter umumnya lebih tinggi
dari jam kerja profesi lain.
3. Dokter yang menghasilkan pelayanan bermutu tinggi seyogianya dibayar lebih banyak
dibandingkan dokter yang menghasilkan layanan yang berkualitas rendah.
4. Dokter yang menghasilkan kuantitas layanan banyak seyogianya dibayar lebih banyak
dibandingkan dokter yang menghasilkan pelayanan yang lebih sedikit.
5. Pelayanan berupa prosedur atau tindakan medis seyogianya bukan satu-satunya faktor
penentu bahwa dokter dibayar lebih dari dokter lainnya.
6. Cara pembayaran profesi dokter seyogianya tidak mengurangi otonomi profesi dokter
dan tidak membatasi kebebasan profesi dokter dalam memilih dan memberi layanan
medik yang dibutuhkan pasiennya.
7. Kompensasi yang diberikan pada profesi dokter seyogianya bukan bersadarkan status
kepegawaian, kepangkatan atau institusi tempat dokter bekerja.
1. Pembayaran dokter hendaknya tidak menjadi hambatan bagi individu pasien untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
2. Jasa profesi dokter seyogianya mempertimbangkan kemampuan masyarakat (
) dan kemauan masyarakat ( ) membayar pelayanan kesehatan, dan
nilainya seyogianya wajar, masuk akal, dan berkeadilan.
3. Keseimbangan pendapatan antar-dokter dan antar-spesialisasi seyogianya dapat
mendorong terwujudnya piramida pelayanan kesehatan (
).
4. Keseimbangan pendapatan dokter antar-wilayah seyogianya dijaga agar pemerataan
distribusi dokter di Indonesia dapat terwujud.
5. Kompensasi dokter integral dengan produktivitas dokter dan seyogianya dihitung
berdasarkan kerja dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dengan
mempertimbangkan karakteristik profesi dokter, waktu dan intensitas kerja dokter, dan
kontribusi dokter dalam pembangunan kesehatan.
6. Metode pembayaran dokter seyogianya dapat mendorong peningkatan efisiensi dan
efektivitas pelayanan kedokteran bagi sebesar-besarnya kepentingan individu pasien,
dokter dan pembayar.
7. Metode untuk menentukan kompensasi dokter seyogianya mempertimbangkan
produktivitas dan mutu layanan, mudah diterapkan, transparan dan akuntabel.
8. Kompensasi dokter dipengaruhi hukum ekonomi ( ), sehingga harus
dikawal dengan regulasi untuk menjamin ketersediaan dan distribusi dokter di seluruh
wilayah Indonesia.
9. Dokter seyogianya menerima kompensasi yang seimbang dengan trias peran dokter
( ) yang sangat strategis
dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan kesehatan nasional.
4. Isu Strategis dan Kecenderungan
Proporsi Pembiayaan Didominasi UKP
Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, rata-rata 2,2% dari produk domestik
bruto (PDB), masih jauh di bawah angka yang dianjurkan WHO maupun yang ditetapkan UU
Kesehatan, yaitu paling sedikit 5% dari PDB setahun. Sebagian besar digunakan untuk
belanja upaya kesehatan perorangan (UKP) yang didominasi upaya kuratif dan belanja obat,
dan hanya sebagian kecil untuk upaya kesehatan masyarakat (UKM). Pembiayaan UKM
yang rendah pada gilirannya menjadi bumerang dan membebani UKP, karena masalah
kesehatan yang harusnya bisa dicegah kemudian menjadi penyakit yang harus diselesaikan
di UKP.
Rendahnya alokasi dana UKM ini, salah satunya karena UKM hasilnya baru tampak dalam
jangka panjang, sangat berbeda dengan UKP yang hasilnya bisa segera dirasakan. Bila kedua
upaya ini dikelola oleh satu institusi, biasanya alokasi dana UKM selalu kalah bersaing
dengan UKP. Dalam era JKN perencanaan kebutuhan dana UKP menjadi lebih mudah dan
pasti, karena berdasarkan jumlah populasi dan besaran iuran, dan selanjutnya dana ini akan
dikelola oleh BPJS. Di sini tampak ada kecenderungan peran Pemerintah sebagai pelaksana
UKP menurun dan seyogianya penurunan kapasitas ini dikompensasi untuk meningkatkan
kapasitas UKM. Dengan demikian pembangunan kesehatan nasional ditopang oleh UKP dan
UKM yang sama kuatnya.
Pelayanan Kesehatan Jadi Komoditas
Pelayanan kesehatan telah menjadi komoditas, dalam arti hanya mereka yang memiliki uang
yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Komoditas pun bukan komoditas biasa, tapi
komoditas yang mahal dan harganya meningkat dari tahun ke tahun, sehingga membebani
masyarakat, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang tidak mempunyai asuransi
kesehatan. Biaya berobat telah menjadi penghalang ( ) akses ke layanan
kesehatan. WHO melaporkan 152 juta orang setahun yang bangkrut dan ekonomi
keluarganya morat-marit karena mahalnya biaya kesehatan ( ) dan 100
juta orang setahun yang jatuh miskin karena sakit (WHO, 2002). Munculnya gurauan
SADIKIN (sakit sedikit jadi miskin) di masyarakat sebenarnya merepresentasikan kondisi
yang dilaporkan WHO.
Penerapan JKN menunjukkan keberadaan Negara yang ingin mengembalikan pelayanan
kesehatan menjadi hak penduduk, dan untuk itu dibutuhkan banyak rambu-rambu regulasi
yang harus dibuat untuk mendukung penerapan JKN.
Moral Hazards
Dalam kondisi pelayanan kesehatan yang telah menjadi komoditas dan kentalnya
konsumerisme, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam mencari
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya, mengingat keterbatasan informasi
yang dimilikinya ( ). Seiring dengan itu masyarakat membayar secara
( ) dan pada saat mereka membutuhkan pelayanan.
, , dan secara bersamaan berpotensi memicu moral hazards.
Indikasi moral hazards ini sebenarnya kasat mata kalau dilihat dari tingginya angka secio
caesaria dan meningkatnya penggunaan obat-obat mahal.
Dengan pembayaran secara praupaya dan kapitasi dalam JKN, kecenderungan moral
hazards akan tetap ada, baik dari peserta JKN maupun dari pemberi layanan kesehatan.
Oleh sebab itu penerapan JKN harus diiringi dengan kebijakan untuk menekan serendah
mungkin terjadinya moral hazards ini.
Paradoks Pendapatan Dokter
Survei IDI tahun 2007 menunjukkan keadaan yang bertentangan dengan kelaziman
(paradoks), yaitu kerja utama (40 jam per minggu) hanya menghasilkan 15-20% dari total
pendapatan dokter. Lazimnya kerja utama menjadi sumber pendapatan utama untuk
seseorang ingin lebih dari cukup. Paradoks ini yang menyebabkan dokter terpaksa harus
bekerja tambahan (praktik) diluar jam kerja utamanya, yang awalnya hanya untuk menutupi
kebutuhan hidup kemudian diterima seolah-olah sebagai kelaziman. Implikasi dari kondisi
ini adalah profesi dokter harus bekerja lebih lama dari profesi lainnya (58-65 jam per
minggu), dokter lebih loyal pada kerja yang memberikan pendapatan terbesar (bias
loyalitas), dokter lebih memilih berpraktik di lokasi yang dapat menjamin pendapatannya
(maldistribusi), dan institusi tempat dokter bekerja paruh waktu tidak bertanggung jawab
untuk membina dokter sehingga pembinaan dokter terabaikan.
Dalam era JKN, fasilitas kesehatan (faskes) dilibatkan untuk menanggung risiko biaya
kesehatan dan karena tidak mau merugi otomatis faskes akan mentransfer pula risiko ini ke
dokter. Kondisi ini menumbuhkan kecenderungan dokter akan bekerja di satu institusi saja
(monoloyalitas) yang berarti pula di masa depan pendapatan dokter berasal dari 1 sumber
pendapatan saja.
Produktivitas Dokter Terabaikan
Saat ini, produktivitas dan pola pelayanan dokter Indonesia terabaikan karena sebagian
besar dokter bekerja di beberapa institusi. Misalnya: berapa rerata pasien yang dilayani
setahun? Berapa rerata waktu tatap mukanya? Data sederhana ini saja sulit diperoleh atau
tidak ada data nasional. Padahal data produktivitas dokter sangat diperlukan untuk
merencanakan kebutuhan dokter dan menyusun sistem remunerasi dokter. Kondisi ini
menunjukkan kalau kebutuhan dokter belum direncanakan dengan baik, dan belum ada
sistem kompensasi/pendapat dokter yang memperhitungkan produktivitas dokter, misalnya
per 1 FTE ( ).
Keberhasilan JKN diukur salah satunya dari akses penduduk ke faskes primer, artinya seluruh
penduduk terbagi habis ke faskes primer. Jadi isu strategis dalam penerapan JKN adalah
bagaimana mendorong pemerataan dan penyebaran dokter ke seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan untuk menjawab isu ini tentunya membutuhkan dukungan data, dan salah
satunya adalah data tentang produktivitas dan pola pelayanan dokter.
Fragmentasi Pelayanan Kesehatan
Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah mendorong tumbuhnya percabangan
ilmu kedokteran dan berlanjut menjadi fragmentasi pelayanan kesehatan. Pelayanan
tradisional diwarnai dengan model hubungan , yang terjadi karena pengetahuan
dan keterampilan yang dibutuhkan pasien melekat pada diri seorang dokter. Kemajuan ilmu
dan teknologi kedokteran telah mengubah model hubungan ini menjadi hubungan
dalam arti beberapa spesialis yang memiliki kompetensi berbeda bersama-sama
menangani masalah kesehatan seorang pasien.
Dalam pembayaran fragmentasi pelayanan ini menguntungkan dokter namun
membebani pasien, misalnya seorang pasien yang dirawat 4 spesialis biaya dokternya
menjadi 4 kali lipat. Dalam era JKN karena faskes dilibatkan dalam menanggung risiko
finansial, maka ada kecenderungan faskes akan menata ulang tata cara pelayanan pasiennya
dan cara membayar dokternya. Kondisi ini akan mendorong faskes untuk membuat suatu
sistem remunerasi untuk seluruh personilnya, termasuk sistem remunerasi dokter.
Status, Pendapatan, Dan Karir Dokter Tidak Jelas
Pada tahun 60an, masuk ke fakultas kedokteran gratis (malah sebagian mendapat uang
saku/beasiswa). Setelah lulus semuanya ditampung menjadi dokter PNS/ABRI dan
mendapat gaji plus fasilitas lain yang cukup untuk hidup layak. Karena
menjalankan praktik pribadi untuk mendapat tambahan penghasilan secara resmi, maka
tingkat ekonomi profesi dokter lebih tinggi dari PNS lainya.
Kini keadaan telah berubah! Untuk menjadi dokter dibutuhkan modal 200-300 juta. Begitu
lulus para dokter baru menanggung beban finansial akibat proses pendidikannya dan ia
dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang tidak informatif, tidak jelas karir dan
pendapatannya sebagai seorang dokter. Sekitar 10% dokter dari sekitar 5000 lulusan dokter
yang direkrut sebagai PNS, gajinya tidak mencukupi untuk hidup layak sehingga praktik
pribadi menjadi keharusan dan sumber pendapatan utama. Dalam ketidakpastian karir dan
pendapatan ini, para dokter memilih menjadi spesialis sebagai pilihan untuk mengamankan
pendapatan dan masa depannya.
Penerapan JKN membutuhkan sistem pelayanan kesehatan berorientasi pelayanan primer.
Dalam sistem ini dapat dipastikan mayoritas dokter Indonesia adalah dokter layanan primer
(DLP). Data dari tahun 60an sampai saat ini menunjukkan kecenderungan proporsi dokter
PNS terus menurun dan saat ini mayoritas dokter adalah non-PNS. Kecenderungan
menurunnya dokter yang menjadi PNS dapat dimengerti, karena sebenarnya dokter
termasuk kategori . Kecenderungan ini harus menjadi pertimbangan
utama dalam mengembangkan model entitas praktik dokter di wilayah pekotaan, pedesaan
dan daerah terpencil dalam era JKN.
Kesenjangan Pendapatan Antar-dokter
Kondisi carut-marutnya sistem pelayanan kesehatan dan pembayaran yang didominasi oleh
telah mendorong terjadinya persaingan yang tidak sehat antar-dokter. Bila pada tahun
60-70an kesenjangan antar-dokter tidak begitu besar, kini kesenjangan pendapatan antar-
dokter dan antar-spesialisasi menjadi sangat besar, apalagi kesenjangan antara dokter
spesialis (DSP) dengan dokter praktik umum. Survei IDI pada tahun 2007 menunjukkan
pendapatan dokter spesialis 8-244 kali pendapatan dokter praktik umum. Di negara OECD
kisarannya hanya 1.0 1.8 kali dan di USA kisarannya 1,5-3,8 kali.
Isu kesenjangan dokter ini merupakan isu krusial yang dapat menghambat keberhasilan
penerapan JKN. Mengingat dalam era JKN dokter layanan primer (DLP) ditempatkan sebagai
fondasi sistem pelayanan kesehatan dan harus tersedia merata di seluruh tanah air, maka
harus ada kebijakan yang menjadikan DLP sebagai profesi yang atraktif dari segi karir,
pendapatan, dan perannya di masyarakat. Salah satu kebijakan untuk menjamin eksistensi
DLP adalah jaminan pendapatan yang relatif tidak jauh berbeda dengan dokter spesialis.
Kompensasi:
Adalah penghargaan berbentuk finansial (uang) dan non-finansial (bukan uang) yang
langsung dan tidak langsung diberikan kepada seseorang sebagai imbalan untuk suatu
pekerjaan, dengan mempertimbangkan nilai pekerjaaan tersebut serta kontribusi dan
kinerja seorang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Kompensasi langsung biasanya berbentuk pendapatan per periodik (pendapatan dasar plus
insentif yang terkait dengan produktivitas), sedangkan kompensasi tidak langsung
berbentuk manfaat/imbalan tambahan yang punya nilai ekonomi ( ), misalnya:
tunjangan kesehatan, jamsostek, THR, bonus tahunan, mobil perusahaan, program
kepemilikan rumah, tunjangan telepon seluler, dan lain-lain.
Gaji
Adalah kompensasi bersifat pasti dan dibayarkan pada waktu yang tetap (mingguan, dua
mingguan atau bulanan). Banyak gaji yang mencakup juga manfaat/imbalan tambahan
seperti tunjangan transport, perumahan, kemahalan, dan kesehatan, dan tunjangan
lainnyanya.
Honorarium
Adalah sejumlah uang ( ) yang diberikan kepada seorang profesional untuk suatu
pelayanan, seperti pembicara seminar, pengajar tamu dan lain-lainnya yang biasanya
pelaksanaannya hanya sesekali saja.
Jasa medik ( ):
Adalah imbalan yang diterima dokter untuk setiap layanan medis yang diberikan kepada
pasiennya (pada cara pembayaran ).
Insentif
Adalah sejumlah rupiah ( ) di luar gaji yang diberikan atas pencapaian seseorang dengan
memakai indikator tertentu.
Sistem pembiayaan kesehatan memiliki 3 fungsi utama, yaitu: mengumpulkan dana dari
peserta ( ), menghimpun dana dan meminimalkan risiko ( ), dan membeli
dan menyediakan layanan kesehatan untuk melayani peserta ( ). Ketiga fungsi ini
dilaksanakan berlandaskan pada kaidah dan prinsip asuransi kesehatan sosial.
Dalam fasilitas kesehatan yang tertata seperti ini masyarakat wajib mendaftarkan diri ke
satu strata pertama yang berada di wilayahnya dan selanjutnya memanfaatkan
tersebut bila ia membutuhkan pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan
kedokteran dengan ciri-ciri seperti di atas disebut sistem pelayanan kedokteran berorientasi
pada pelayanan primer. Gambar berikut ini adalah visualisasinya.
Gambar 2-2. Kerangka konsep sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer
2. Peranan Dan Kedudukan DLP Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
Dokter Layanan Primer (DLP) adalah dokter yang memiliki kompetensi luas tentang
beragam disiplin ilmu kedokteran, tetapi tidak sedalam spesialis bidang tersebut, yang
diperoleh melalui pendidikan setara spesialis dan ranah kerjanya di strata primer.
DLP berperan sebagai ujung tombak atau pintu masuk masyarakat ke sistem pelayanan
kesehatan dan berfungsi menyelesaikan sebagian besar masalah kesehatan individu dan
keluarga. Ia berperan sebagai mitra, pembina, pemberi layanan, dan koordinator segala
kebutuhan pelayanan kesehatan dari komunitas yang dibinanya. Peran ini mengharuskan
DLP berdomisili dan berpraktik di tengah masyarakat atau sedekat mungkin dengan
masyarakat yang dilayaninya. Dengan kata lain, peranan dan kedudukan DLP adalah dokter
yang ditempatkan di tengah masyarakat untuk melaksanakan trias peranan dokter, yaitu
, , dan .
Saat ini yang disebut DLP adalah semua dokter non-spesialis yang berpraktik di strata
pertama. Para dokter ini, yang jumlahnya + 80.000an bekerja di puskesmas, klinik, dan
klinik 24, dan praktik sendiri. Kompetensi para dokter ini sangat heterogen dan belum
sepenuhnya dapat menjalankan peranan sebagai program JKN.
Dengan acuan jam kerja tersebut, pada kajian yang dilakukan di satu klinik yang hasilnya
dibandingkan data dari beberapa negara diperoleh gambaran bahwa idealnya alokasi waktu
kerja DLP terbesar adalah untuk kegiatan tatap muka dengan pasiennya ( /F2F).
Sisa waktunya digunakan untuk kegiatan pendukung, seperti CPD, dan administrasi.
Pada tabel berikut ini disajikan kegiatan rutin DLP dalam memanfaatkan 2.268 jam waktu
kerjanya dengan proporsi waktu yang ideal, yaitu 80% untuk tatap muka melayani pasien
(peserta baru, kasus baru, kasus lama, edukasi, tindakan medik, dan kunjungan rumah), dan
20% untuk kegiatan lain. Dengan proporsi waktu tersebut DLP dapat melayani 7.180
kunjungan atau sekitar 28 kunjungan per hari dengan variasi waktu tatap muka yang
berbeda. Produktivitas ini dipengaruhi oleh keterampilan, cara kerja, standar sarana dan
perangkat kerja, serta dukungan dari tim kerja DLP. Pada Tabel 2-1 di bawah ini, tampak
bahwa potensi produktivitas seorang DLP dalam setahun adalah sekitar 7.180 kunjungan
(dibulatkan menjadi 7.200 kunjungan). Angka ini disebut 1 atau 1 FTE.
Tiga angka ini menjadi acuan bagi kedua belah pihak untuk melihat tingkat pemanfaatan,
baik untuk kepentingan monitoring dan evaluasi, menentukan bonus atau penalti, atau
mengoreksi angka pemanfaatan dan kapitasi pada periode berikutnya. Patut diingat peran
DLP sebagai dan pola kerja DLP yang proaktif ini sangat berbeda dengan peran
dan pola praktik dokter umum saat ini, sehingga dapat dipastikan kunjungan dan beban
kerja DLP lebih tinggi dari angka yang digunakan PT Askes. Untuk kepentingan perencanaan
dan evaluasi beban kerja DLP, seyogianya digunakan angka kontak per orang-tahun
sebanyak 3-4 kali dan bukan angka PT Askes sebanyak 1,8 kali. Angka ini berdasarkan
pengamatan di klinik dokter keluarga yang bekerja secara proaktif.
Angka okupansi DLP tersebut menunjukkan bahwa bila rerata kontak 3 kali/peserta/tahun
maka beban kerja yang ditimbulkan komunitas binaan DLP telah melampaui kapasitas DLP.
Kelebihan 4% ini masih bisa diterima mengingat proporsi tatap muka DLP adalah 80% (lihat
Tabel 2-1). Jadi DLP masih bisa menyerap kelebihan kunjungan ini dengan mengurangi
kegiatan CPD, atau mengefisienkan kerja administrasinya, dan secara bersamaan DLP juga
perlu mengendalikan pemanfaatan yang berlebihan dari beberapa pasiennya.
Contoh ini menunjukkan bahwa seorang DLP yang mempunyai 2.500 peserta, seluruh jam
kerjanya sudah habis terpakai untuk melayani komunitas binaannya. Tidak tersedia waktu
untuk melayani pasien nonpeserta. Hal ini berarti DLP hanya mempunyai 1 sumber
pendapatan, yaitu kapitasi dari peserta yang terdaftar di komunitas binaannya. Jadi ada
hubungan langsung antara FTE, jam kerja DLP, dan jumlah komunitas binaan DLP seperti
tabel berikut ini.
Tabel 2-3. Hubungan antara produktivitas DLP dan jumlah komunitas binaannya
Berbagai dimensi ini menyebabkan pelayanan kesehatan tidak mengikuti hukum pasar dan
oleh sebab itu dibutuhkan campur tangan negara untuk mengaturnya. Dalam tatanan
kapitalis seperti situasi sekarang, suatu praktik dokter memerlukan izin usaha, modal, biaya
operasional dan personil, mempunyai pelanggan, bisa untung atau merugi, bisa berkembang
atau ditutup bila tidak diminati pelanggan. Dengan demikian tampak bahwa walaupun
mengandung muatan sosial dan kemanusiaan, praktik dokter bukan sesuatu yang dapat
diselenggarakan tanpa biaya.
DLP menjadi business owner dari praktiknya
Bentuk praktik DLP pada hakekatnya ditentukan oleh karakteristik yang melekat pada DLP
itu sendiri, yaitu:
1. DLP atau dokter termasuk kategori atau profesi yang dapat
mempekerjakan dirinya sendiri karena jasa pelayanan yang dibutuhkan masyarakat pada
dasarnya adalah pengejawantahan pengetahuan, ketrampilan, etika dan waktu yang
dimiliki oleh DLP.
2. Waktu tatap muka DLP sangat menentukan pendapatan entitas praktik DLP. Oleh sebab
lazimnya DLP akan merekrut profesi lain menjadi tim kerjanya agar ia dapat memperluas
lingkup pelayanan dan waktu tatap muka dengan pasiennya.
3. Peranan DLP sebagai ujung tombak pelayanan mengharuskan dirinya berdomisili dan
berpraktik di tengah masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat yang dilayaninya.
Karakteristik DLP di atas yang menjadi landasan regulasi di banyak negera yang menetapkan
praktik DLP, apakah berbentuk atau klinik, harus dimiliki oleh DLP yang
menjalankan praktik. Dengan kata lain, DLP adalah dari entitas praktiknya.
Di Indonesia pun, harus diupayakan kebijakan yang mengatur bentuk praktik DLP sesuai
karakteristik di atas.
DLP dapat memilih 3 bentuk praktik yang sesuai dengan kondisi tempat ia akan berpraktik,
yaitu praktik sendiri, praktik bersama, atau praktik bersama dengan jejaring. Mengingat
praktik dokter adalah sumber nafkah, tentunya ada ekspektasi pendapatan yang akan
diterimanya. Oleh sebab itu bentuk praktik manapun yang dipilih, ada 4 komponen biaya
yang selalu harus diperhitungkan, yaitu:
1. Biaya operasional praktik (ruangan, personil, material habis pakai, prasarana gedung
(telpon, listrik, air), rumah tangga kantor, marketing, dan lain-lain)
2. Biaya untuk memelihara dan meningkatkan kompetensi profesi dokter dan tim kerjanya
(asuransi malpraktek, lisensi, sertifikasi, registrasi, seminar/pelatihan, jurnal, iuran
profesi, dan lain-lain)
3. Biaya jaminan sosial (tabungan hari tua/pensiun, asuransi jiwa, asuransi kesehatan,
tabungan pendidikan)
4. Biaya hidup untuk dirinya dan keluarga.
Berbagai komponen biaya ini sangat penting karena menjadi dasar untuk menghitung
kapitasi dan tarif layanan. Pengetahuan tentang komponen biaya ini serta pengetahuan
tentang peranan dan kedudukan DLP, lingkup pelayanan DLP dan potensi produktivitas DLP,
sangat diperlukan untuk memahami mengapa entitas praktik DLP seharusnya tidak
melibatkan investor.
Dalam mekanisme ini Puskesmas dan DLP bersinergi meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat sesuai dengan peranannya masing-masing.
III. METODE MEMBAYAR DOKTER
JC Robinson,
Ungkapan
in menunjukkan bahwa tidak ada satu metode yang dapat memuaskan semua pihak. Ketiga
metode yang saat ini digunakan di banyak negara memiliki prinsip dasar yang berbeda.
PRINSIP DASAR
Tabel 3-1. Dampak berbagai metode membayar dokter terhadap dokter maupun pasien
Case
Ciri Salary FFS Kapitasi
payment
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk memberikan pelayanan yang sebanyak- S T S S
banyaknya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk memberikan pelayanan berkualitas yang S T S S
setinggi-tingginya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk mengendalikan atau menurunkan biaya R R T T
kesehatan.
Akses pasien untuk mendapat pelayanan tidak
T S S S
terhambat
Hak pasien memilih dokter dan memilih layanan
R T S S
relatif bebas
Administrasi metode ini mudah dan tidak mahal T S T S
Metode pembayaran ini memerlukan dukungan
R T R T
sistem informasi dan sistem akuntansi yang canggih
Catatan: T = Tinggi, S = Sedang, R = Rendah
Untuk memberi gambaran tentang kelebihan dan kekurangan setiap metode membayar
dokter, berikut ini disajikan penjelasan lebih lanjut tentang setiap metode membayar
dokter tersebut.
1. Salary
Metode merupakan metode yang paling sederhana. Dalam metode ini, dokter
menerima pembayaran yang nilainya tetap untuk jam kerja tertentu secara periodik
(umumnya bulanan) setelah ia melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang telah
ditentukan. Nilai atau besar pendapatan telah ditentukan di muka berdasarkan berbagai
faktor, seperti golongan kepangkatan, masa kerja, dan kualifikasi lainnya.
Pada dasarnya metode gaji atau adalah membayar waktu kerja ( ) dan tidak
bergantung pada produktivitas dan kualitas kerja yang dihasilkan dokter, dalam arti banyak
atau sedikitnya pasien yang dilayani dokter tidak mempengaruhi pendapatannya. Sifat alami
yang melekat pada adalah dokter tidak memperoleh insentif finansial bila ia
melayani pasien lebih banyak, melakukan tindakan medik lebih banyak atau menghabiskan
waktu lebih lama untuk kepentingan pasiennya.
Bagi pasien:
Pasien cenderung menerima layanan dan intervensi yang diperlukan, serta tidak terjadi
pengobatan berlebihan dan intervensi yang tidak perlu.
Dokter tidak punya alasan untuk menolak melayani pasien yang datang pada jam
kerjanya.
Kesimpulan
Keuntungan terbesar metode gaji terletak pada kemudahan dan kesederhanaan
administrasinya, sehingga biaya personil dapat direncanakan di muka, Sedangkan kerugian
terbesar adalah tidak ada insentif bagi dokter untuk bekerja lebih baik dan lebih efisien
(lihat Tabel 3-2).
Biaya administrasi metode relatif tinggi, baik bagi pembayar maupun bagi
dokter. Adanya sistem manajemen informasi, akuntansi, dan alur pendanaan yang disiapkan
untuk menerapkan metode akan memungkinkan penyediaan informasi untuk
menilai dan mengevaluasi protokol pelayanan ( ), tipe pasien, case-mix,
kinerja, dan pola epidemiologi.
Kesimpulan
Penerapan metode semestinya dapat menghemat biaya, namun ternyata tidak
selalu demikian. Di negara tempat sistem ini digunakan hasilnya beragam, beberapa negara
berhasil menjaga kualitas dan melakukan penghematan, tetapi beberapa lainnya ada yang
tidak berhasil.
Langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi segi negatif metode ini pada dokter dan
menguatkan segi positifnya (lihat. Tabel 3-5):
Jumlah klasifikasi kasus , dalam arti sesuai dengan kemampuan
sistem manajemen informasi, akutansi dan kapasitas pelaksananya.
Setiap klasifikasi kasus harus relatif homogen agar kecenderungan dokter memilih pasien
yang kategorinya berbiaya rendah dapat dicegah.
Penerapan metode harus disertai penerapan sistem monitoring dan auditing
untuk memastikan kualitas pelayanan dapat dipertahankan, dan untuk meminimalkan
dokter menambahkan prosedur dengan alas an medis ( ).
Program P4P biasanya merupakan dari metode pembayaran yang telah ada seperti
kapitasi dan FFS. Pemberian insentif dapat berbeda-beda sesuai dengan kontrak antara
dan pembayar, selain itu dapat dikenakan sanksi jika tidak sesuai dengan
target yang telah disepakati bersama. Contohnya, pembayar tidak akan membayar
pengobatan penyakit infeksi saluran kemih akibat penggunaan kateter yang didapat dalam
masa perawatan di RS. Bentuk insentif ini dapat berupa penambahan budget untuk
pengelolaan penyakit atau peningkatan infrastruktur yang dimiliki dalam
melakukan pelayanan kesehatan.
6. Metode Campuran
Pengalaman di banyak negara telah membuktikan bahwa penerapan setiap jenis metode
membayar dokter seperti tersebut di atas tidak selalu memuaskan, karena setiap metode
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dengan pengalaman itu, mulai banyak negara yang
menerapkan metode pembayaran dokter menggunakan beberapa metode sekaligus. Tujuan
menggunakan metode campuran ini adalah untuk memanfaatkan keunggulan setiap
metode dan menghilangkan sisi negatifnya (lihat Tabel 3-1).
Misalnya, dokter yang dibayar dengan metode kapitasi cenderung mengurangi pelayanan
yang diberikan pada pasiennya. Perilaku ini dapat merugikan pasien bila yang dikurangi
adalah layanan promotif, seperti skrening kanker serviks. Untuk memotivasi dokter
melaksanakan skrening kanker serviks, maka dokter yang telah dibayar dengan kapitasi
dapat mengajukan klaim untuk pemeriksaan pap smear. Dalam hal ini kapitasi dicampur
dengan FFS.
Bentuk kombinasi sangat ditentukan oleh kondisi dan tujuan yang ingin dicapai. Contohnya,
pada tahun 1992 dan 1999 Italia melakukan reformasi metode pembayaran untuk GP dan
spesialis anak dengan mencampur metode pembayaran kapitasi dan FFS untuk tindakan
tertentu (mis. bedah minor, kedokteran preventif dan perawatan postoperatif) agar
mengurangi angka rujukan ke RS. Negara lain yang mengkombinasikan kapitasi dan FFS
antara lain Austria, Denmark, dan Polandia. Sedangkan Inggris mengkombinasikan kapitasi,
, dan FFS.
IV. MEMBAYAR DLP di ERA JKN
1. Dasar Pemikiran
Metode membayar dokter merupakan isu yang sangat menentukan, mengingat peranan dan
fungsi profesi dokter yang sangat strategis dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Dokter
bukan saja bertindak sebagai pemberi layanan, tapi juga sebagai penyerap biaya yang cukup
bermakna, dan yang tidak kalah penting adalah perilaku dan kinerja dokter berpengaruh
besar pada total biaya pelayanan kesehatan di suatu negara. Oleh sebab itu sejak zaman
Hipocrates sampai saat ini dicari cara membayar dokter yang dapat memuaskan berbagai
pihak. Berbagai metode telah dicoba dan digunakan, seperti , FFS, dan kapitasi, tetapi
tetap saja belum memenuhi harapan karena setiap metode ini memiliki kelebihan dan
kekurangannya sendiri.
Dalam kondisi ini Pemerintah telah menetapkan satu metode, yaitu kapitasi, sebagai cara
membayar fasilitas kesehatan primer. Tepatkah kebijakan ini mengingat banyak negara
telah meninggalkan kebijakan hanya menggunakan satu metode pembayaran? Negara-
negara OECD misalnya mulai menerapkan metode campuran untuk memanfaatkan segi
positif dari setiap metode pembayaran dokter, dan terbukti hasilnya lebih baik.
Metode membayar dokter tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan berbagai isu
strategis dan kecenderungan yang disajikan di bab pertama. Berbagai isu tersebut
menunjukkan bahwa menerapan suatu metode membayar dokter harus disertai pula
dengan menyelesaikan berbagai masalah mendasar tersebut. Dengan demikian, seyogianya
kita melihat metode membayar dokter dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai bagian
dari upaya membangun sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer untuk
menopang penerapan JKN. Sistem ini harus mampu menjangkau seluruh penduduk di
wilayah NKRI. Dari konteks ini, diyakini bahwa penentu keberhasilan JKN adalah 5 faktor
berikut ini.
Gagasan dan prinsip dasar yang melandasi metode Sandwich disarikan dalam table berikut
ini.
Penerapan model Sandwich tidak membutuhkan administrasi yang sulit dan tidak
memerlukan persiapan yang rumit. Yang dibutuhkan adalah kebijakan nasional yang
menetapkan profesi dokter sebagai sumber daya manusia strategis yang eksistensinya harus
dijamin negara. Ketetapan ini pada hakekatnya melengkapi UU Praktik Kedokteran dan UU
Pendidikan Kedokteran.
Untuk dapat memahami gagasan dan prinsip dasar metode Sandwich, selanjutnya disajikan
penjelasan yag perlu diketahui tentang 3 komponen yang terintegrasi menjadi metode
Sandwich.
3. Komponen Basik
Dokter yang menjalankan praktik kedokteran dimanapun pada dasarnya mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang sama, yaitu melayani dan menyembuhkan pasiennya. Untuk dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut dokter harus mengikuti pendidikan yang
sama, harus mengikuti pelatihan profesi yang sama, harus mengikuti kode etik profesi yang
sama. Ironisnya, saat bekerja di lapangan ia diperlakukan berbeda. Dokter yang menjadi PNS
dibayar mengikuti Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, mendapat gaji + 2-3 juta/bulan yang
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak sehingga terpaksa praktik di luar jam
kerja, dan ada jenjang karir. Dokter yang menjadi pegawai BUMN dibayar sesuai dengan
aturan BUMN-nya, mendapat gaji + 9-15 juta/bulan dan bisa menerima 14-16 kali gaji
setahun, plus rumah, kendaraan, dan berbagai tunjangan. Dokter yang berjiwa entrepreuner
bekerja di klinik 24 jam, bekerja siang malam hanya mendapat bayaran 4 juta/bulan saja,
tetapi tidak ada karir, tidak ada tunjangan apapun termasuk tidak ada jaminan sosial.
Padahal tugas para dokter ini sehari-hari sama melayani dan mengobati pasien.
Komponen basik dimaksudkan untuk membuang kesenjangan ironis ini. Landasan
konseptualnya, profesi dokter seyogianya dihargai sama. Yang dihargai profesinya bukan
atributnya. Negara membutuhkan profesi dokter untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan seluruh penduduk Indonesia. Sebagai contoh, upaya negara untuk
menerapkan JKN akan gagal bila negara tidak bisa menjamin tersedianya DLP di seluruh
wilayah NKRI. Komponen dasar ini menempatkan eksistensi profesi dokter sebagai tenaga
strategis. Konsekuensinya, komponen dasar ini harus diatur negara.
Praktik dokter adalah pertemuan antara ilmu kedokteran dan masyarakat, dan pada
pertemuan inilah terlihat pandangan dan penghargaan masyarakat pada profesi dokter.
Harga profesi dokter merupakan kristalisasi dari persepsi dan pandangan masyarakat
terhadap:
tugas dokter yang menyangkut hidup/mati/kecacatan/kesembuhan
muatan sosial, kemanusiaan, dan pengabdian
pendidikan dokter yang sepanjang hayat
ekspektasi terhadap mutu pelayanan terbaik
peranan strategis untuk menyehatkan bangsa
historis status sosial-intelektual di masyarakat
Seberapa besar masyarakat menghargai profesi dokter? Status sosial-ekonomi profesi
dokter umumnya di atas rata-rata masyarakat. Sebagai contoh di negara OECD pendapatan
dokter 3-4 kali pendapatan rata-rata semua profesi lain, di Amerika 4-7 kali. Data di
Indonesia tidak ada, yang tampak adalah kesenjangan pendapatan antardokter spesialis dan
DLP yang sangat lebar, 8-244 kali (survei IDI 2007).
Nilai komponen dasar seyogianya mempertimbangkan pandangan masyarakat tersebut, dan
besarnya ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan biaya hidup layak seorang
profesi dokter yang bersifat basik, yaitu: kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Idealnya
komponen dasar besarnya 30-40% dari total kompensasi dokter. Komponen dasar pada
prinsipnya sama untuk setiap dokter dan dibayarkan ke dokter dengan metode .
Untuk kepentingan nasional dan sebagai strategi untuk menjamin penyebaran dan
pemerataan dokter di seluruh wilayah Indonesia dapat dilakukan penyesuaian ( )
menurut domisili dokter menggunakan Indeks Geografi Praktik Dokter (IGPD). Misalnya
dengan memberi poin lebih pada dokter yang bekerja di tempat terpencil seperti
IGPD di bawah ini.
Penyesuaian juga dapat dilakukan pada masa kerja dokter, dengan asumsi masa kerja dokter
berpengaruh pada kematangan, wawasan pengetahuan, dan keterampilan dokter. Pada
di bawah ini diasumsikan ada kebijakan nasional yang membagi status dokter
menjadi 4 kategori berdasarkan masa kerja kerja.
Dalam era JKN, dokter ditetapkan sebagai tenaga strategis dan kompensasi dasar diatur oleh
negara. Disimulasikan negara menetapkan gaji dasar dokter sebesar Rp.5 juta/bulan, yang
disesuaikan dengan geografi domisili dan masa kerja masing-masing dokter.
Simulasi berikut menunjukkan kompensasi dasar yang diterima 4 dokter yang mempunyai
masa kerja dan domisili berbeda. Dr.DD dengan masa kerja 8 tahun berpraktik di wilayah
pekotaan (kategori 1), Dr.EE menjalani internsip di pedesaan (kategori 4); Dr.FF dengan masa
praktik 4 tahun berpraktik di daerah terpencil (kategori 8); dan Dr.GG yang sudah praktik lebih
dari 25 tahun di wilayah pekotaan (kategori 2).
Dr.DD Dr.EE Dr.FF Dr.GG
Rupiah Poin Rupiah Poin Rupiah Poin Rupiah Poin
Basik salari 5 juta 5 juta 5 juta 5 juta
Poin basik 1.00 1.00 1.00 1.00
Formula penyesuaian
Poin geografi 0 0.3 0.70 0.10
Poin masa kerja 0.4 0 0.20 0.60
SubTotal 1.4 1.30 1.90 1.70
7 juta 6,5 juta 9,5 juta 8, juta
per bulan
Simulasi ini menunjukkan meskipun gaji dasar ditetapkan sama untuk semua dokter, tetapi
karena adanya penyesuaian terhadap faktor geografi dan faktor masa kerja, maka keempat
DLP tersebut memperoleh yang berbeda.
menekan sumber daya yang digunakan untuk melayani pasien agar dapat
memaksimalkan pendapatannya.
Bagi pasien:
Pasien dengan penyakit yang membutuhkan pelayanan yang kompleks dan berbiaya
besar, dapat terbatasi aksesnya dan terabaikan.
Pasien dapat menerima pelayanan yang kurang optimal, karena dokter terdorong untuk
menekan biaya.
Biaya administrasi metode relatif tinggi, baik bagi pembayar maupun bagi
dokter. Adanya sistem manajemen informasi, akuntansi, dan alur pendanaan yang disiapkan
untuk menerapkan metode akan memungkinkan penyediaan informasi untuk
menilai dan mengevaluasi protokol pelayanan ( ), tipe pasien, case-mix,
kinerja, dan pola epidemiologi.
Kesimpulan
Penerapan metode semestinya dapat menghemat biaya, namun ternyata tidak
selalu demikian. Di negara tempat sistem ini digunakan hasilnya beragam, beberapa negara
berhasil menjaga kualitas dan melakukan penghematan, tetapi beberapa lainnya ada yang
tidak berhasil.
Langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi segi negatif metode ini pada dokter dan
menguatkan segi positifnya (lihat. Tabel 3-5):
Jumlah klasifikasi kasus , dalam arti sesuai dengan kemampuan
sistem manajemen informasi, akutansi dan kapasitas pelaksananya.
Setiap klasifikasi kasus harus relatif homogen agar kecenderungan dokter memilih pasien
yang kategorinya berbiaya rendah dapat dicegah.
Penerapan metode harus disertai penerapan sistem monitoring dan auditing
untuk memastikan kualitas pelayanan dapat dipertahankan, dan untuk meminimalkan
dokter menambahkan prosedur dengan alas an medis ( ).
Program P4P biasanya merupakan dari metode pembayaran yang telah ada seperti
kapitasi dan FFS. Pemberian insentif dapat berbeda-beda sesuai dengan kontrak antara
dan pembayar, selain itu dapat dikenakan sanksi jika tidak sesuai dengan
target yang telah disepakati bersama. Contohnya, pembayar tidak akan membayar
pengobatan penyakit infeksi saluran kemih akibat penggunaan kateter yang didapat dalam
masa perawatan di RS. Bentuk insentif ini dapat berupa penambahan budget untuk
pengelolaan penyakit atau peningkatan infrastruktur yang dimiliki dalam
melakukan pelayanan kesehatan.
6. Metode Campuran
Pengalaman di banyak negara telah membuktikan bahwa penerapan setiap jenis metode
membayar dokter seperti tersebut di atas tidak selalu memuaskan, karena setiap metode
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dengan pengalaman itu, mulai banyak negara yang
menerapkan metode pembayaran dokter menggunakan beberapa metode sekaligus. Tujuan
menggunakan metode campuran ini adalah untuk memanfaatkan keunggulan setiap
metode dan menghilangkan sisi negatifnya (lihat Tabel 3-1).
Misalnya, dokter yang dibayar dengan metode kapitasi cenderung mengurangi pelayanan
yang diberikan pada pasiennya. Perilaku ini dapat merugikan pasien bila yang dikurangi
adalah layanan promotif, seperti skrening kanker serviks. Untuk memotivasi dokter
melaksanakan skrening kanker serviks, maka dokter yang telah dibayar dengan kapitasi
dapat mengajukan klaim untuk pemeriksaan pap smear. Dalam hal ini kapitasi dicampur
dengan FFS.
Bentuk kombinasi sangat ditentukan oleh kondisi dan tujuan yang ingin dicapai. Contohnya,
pada tahun 1992 dan 1999 Italia melakukan reformasi metode pembayaran untuk GP dan
spesialis anak dengan mencampur metode pembayaran kapitasi dan FFS untuk tindakan
tertentu (mis. bedah minor, kedokteran preventif dan perawatan postoperatif) agar
mengurangi angka rujukan ke RS. Negara lain yang mengkombinasikan kapitasi dan FFS
antara lain Austria, Denmark, dan Polandia. Sedangkan Inggris mengkombinasikan kapitasi,
, dan FFS.
IV. MEMBAYAR DLP di ERA JKN
1. Dasar Pemikiran
Metode membayar dokter merupakan isu yang sangat menentukan, mengingat peranan dan
fungsi profesi dokter yang sangat strategis dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Dokter
bukan saja bertindak sebagai pemberi layanan, tapi juga sebagai penyerap biaya yang cukup
bermakna, dan yang tidak kalah penting adalah perilaku dan kinerja dokter berpengaruh
besar pada total biaya pelayanan kesehatan di suatu negara. Oleh sebab itu sejak zaman
Hipocrates sampai saat ini dicari cara membayar dokter yang dapat memuaskan berbagai
pihak. Berbagai metode telah dicoba dan digunakan, seperti , FFS, dan kapitasi, tetapi
tetap saja belum memenuhi harapan karena setiap metode ini memiliki kelebihan dan
kekurangannya sendiri.
Dalam kondisi ini Pemerintah telah menetapkan satu metode, yaitu kapitasi, sebagai cara
membayar fasilitas kesehatan primer. Tepatkah kebijakan ini mengingat banyak negara
telah meninggalkan kebijakan hanya menggunakan satu metode pembayaran? Negara-
negara OECD misalnya mulai menerapkan metode campuran untuk memanfaatkan segi
positif dari setiap metode pembayaran dokter, dan terbukti hasilnya lebih baik.
Metode membayar dokter tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan berbagai isu
strategis dan kecenderungan yang disajikan di bab pertama. Berbagai isu tersebut
menunjukkan bahwa menerapan suatu metode membayar dokter harus disertai pula
dengan menyelesaikan berbagai masalah mendasar tersebut. Dengan demikian, seyogianya
kita melihat metode membayar dokter dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai bagian
dari upaya membangun sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer untuk
menopang penerapan JKN. Sistem ini harus mampu menjangkau seluruh penduduk di
wilayah NKRI. Dari konteks ini, diyakini bahwa penentu keberhasilan JKN adalah 5 faktor
berikut ini.
Gagasan dan prinsip dasar yang melandasi metode Sandwich disarikan dalam table berikut
ini.
Penerapan model Sandwich tidak membutuhkan administrasi yang sulit dan tidak
memerlukan persiapan yang rumit. Yang dibutuhkan adalah kebijakan nasional yang
menetapkan profesi dokter sebagai sumber daya manusia strategis yang eksistensinya harus
dijamin negara. Ketetapan ini pada hakekatnya melengkapi UU Praktik Kedokteran dan UU
Pendidikan Kedokteran.
Untuk dapat memahami gagasan dan prinsip dasar metode Sandwich, selanjutnya disajikan
penjelasan yag perlu diketahui tentang 3 komponen yang terintegrasi menjadi metode
Sandwich.
3. Komponen Basik
Dokter yang menjalankan praktik kedokteran dimanapun pada dasarnya mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang sama, yaitu melayani dan menyembuhkan pasiennya. Untuk dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut dokter harus mengikuti pendidikan yang
sama, harus mengikuti pelatihan profesi yang sama, harus mengikuti kode etik profesi yang
sama. Ironisnya, saat bekerja di lapangan ia diperlakukan berbeda. Dokter yang menjadi PNS
dibayar mengikuti Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, mendapat gaji + 2-3 juta/bulan yang
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak sehingga terpaksa praktik di luar jam
kerja, dan ada jenjang karir. Dokter yang menjadi pegawai BUMN dibayar sesuai dengan
aturan BUMN-nya, mendapat gaji + 9-15 juta/bulan dan bisa menerima 14-16 kali gaji
setahun, plus rumah, kendaraan, dan berbagai tunjangan. Dokter yang berjiwa entrepreuner
bekerja di klinik 24 jam, bekerja siang malam hanya mendapat bayaran 4 juta/bulan saja,
tetapi tidak ada karir, tidak ada tunjangan apapun termasuk tidak ada jaminan sosial.
Padahal tugas para dokter ini sehari-hari sama melayani dan mengobati pasien.
Komponen basik dimaksudkan untuk membuang kesenjangan ironis ini. Landasan
konseptualnya, profesi dokter seyogianya dihargai sama. Yang dihargai profesinya bukan
atributnya. Negara membutuhkan profesi dokter untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan seluruh penduduk Indonesia. Sebagai contoh, upaya negara untuk
menerapkan JKN akan gagal bila negara tidak bisa menjamin tersedianya DLP di seluruh
wilayah NKRI. Komponen dasar ini menempatkan eksistensi profesi dokter sebagai tenaga
strategis. Konsekuensinya, komponen dasar ini harus diatur negara.
Praktik dokter adalah pertemuan antara ilmu kedokteran dan masyarakat, dan pada
pertemuan inilah terlihat pandangan dan penghargaan masyarakat pada profesi dokter.
Harga profesi dokter merupakan kristalisasi dari persepsi dan pandangan masyarakat
terhadap:
tugas dokter yang menyangkut hidup/mati/kecacatan/kesembuhan
muatan sosial, kemanusiaan, dan pengabdian
pendidikan dokter yang sepanjang hayat
ekspektasi terhadap mutu pelayanan terbaik
peranan strategis untuk menyehatkan bangsa
historis status sosial-intelektual di masyarakat
Seberapa besar masyarakat menghargai profesi dokter? Status sosial-ekonomi profesi
dokter umumnya di atas rata-rata masyarakat. Sebagai contoh di negara OECD pendapatan
dokter 3-4 kali pendapatan rata-rata semua profesi lain, di Amerika 4-7 kali. Data di
Indonesia tidak ada, yang tampak adalah kesenjangan pendapatan antardokter spesialis dan
DLP yang sangat lebar, 8-244 kali (survei IDI 2007).
Nilai komponen dasar seyogianya mempertimbangkan pandangan masyarakat tersebut, dan
besarnya ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan biaya hidup layak seorang
profesi dokter yang bersifat basik, yaitu: kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Idealnya
komponen dasar besarnya 30-40% dari total kompensasi dokter. Komponen dasar pada
prinsipnya sama untuk setiap dokter dan dibayarkan ke dokter dengan metode .
Untuk kepentingan nasional dan sebagai strategi untuk menjamin penyebaran dan
pemerataan dokter di seluruh wilayah Indonesia dapat dilakukan penyesuaian ( )
menurut domisili dokter menggunakan Indeks Geografi Praktik Dokter (IGPD). Misalnya
dengan memberi poin lebih pada dokter yang bekerja di tempat terpencil seperti
IGPD di bawah ini.
Penyesuaian juga dapat dilakukan pada masa kerja dokter, dengan asumsi masa kerja dokter
berpengaruh pada kematangan, wawasan pengetahuan, dan keterampilan dokter. Pada
di bawah ini diasumsikan ada kebijakan nasional yang membagi status dokter
menjadi 4 kategori berdasarkan masa kerja kerja.
Dalam era JKN, dokter ditetapkan sebagai tenaga strategis dan kompensasi dasar diatur oleh
negara. Disimulasikan negara menetapkan gaji dasar dokter sebesar Rp.5 juta/bulan, yang
disesuaikan dengan geografi domisili dan masa kerja masing-masing dokter.
Simulasi berikut menunjukkan kompensasi dasar yang diterima 4 dokter yang mempunyai
masa kerja dan domisili berbeda. Dr.DD dengan masa kerja 8 tahun berpraktik di wilayah
pekotaan (kategori 1), Dr.EE menjalani internsip di pedesaan (kategori 4); Dr.FF dengan masa
praktik 4 tahun berpraktik di daerah terpencil (kategori 8); dan Dr.GG yang sudah praktik lebih
dari 25 tahun di wilayah pekotaan (kategori 2).
Dr.DD Dr.EE Dr.FF Dr.GG
Rupiah Poin Rupiah Poin Rupiah Poin Rupiah Poin
Basik salari 5 juta 5 juta 5 juta 5 juta
Poin basik 1.00 1.00 1.00 1.00
Formula penyesuaian
Poin geografi 0 0.3 0.70 0.10
Poin masa kerja 0.4 0 0.20 0.60
SubTotal 1.4 1.30 1.90 1.70
7 juta 6,5 juta 9,5 juta 8, juta
per bulan
Simulasi ini menunjukkan meskipun gaji dasar ditetapkan sama untuk semua dokter, tetapi
karena adanya penyesuaian terhadap faktor geografi dan faktor masa kerja, maka keempat
DLP tersebut memperoleh yang berbeda.
Administrasi untuk menerapkan komponen basik ini relatif mudah. Inilah keunggulan dari
metode yang digabungkan ke metode Sandwich. Untuk menerapkan komponen dasar
dibutuhkan langkah berikut ini.
1. Tersedianya data dokter yang menjalankan praktik kedokteran di seluruh tanah air yang
selalui diperbarui ( ). Data akurat tersebut saat ini sudah ada di Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) dan di Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
2. Adanya regulasi yang menetapkan dokter sebagai tenaga strategis dan berhak mendapat
kompensasi dasar yang besarnya sama untuk setiap dokter. Penyusunan regulasi ini
menjadi ranah Kemenkes dan Kemenpan.
3. Adanya regulasi tentang Indeks Geografi Praktik Dokter (IGPD) yang menjadi acuan
nasional untuk mengatur penyebaran dan pemerataan dokter, dan menyesuaikan
kompensasi dokter. Penyusunan IGPD membutuhkan keterlibatan Kemenkes,
Kemendagri, Kemenpan, BPS, dan IDI.
Penyesuaian terhadap jumlah peserta perlu dilakukan untuk menjaga agar DLP tidak
menerima peserta secara berlebihan. 1 FTE DLP setara untuk melayani 2.500 peserta. Bila
DLP mempunyai peserta lebih dari 2.500 dikhawatirkan akan terjadi penurunan mutu
layanan. Penyesuaian ini juga diperlukan untuk menjaga agar peserta tersebar merata dan
terjadi perimbangan jumlah komunitas binaan di antara DLP. Penyesuaian dilakukan dengan
cara memberi disinsentif untuk peserta ke 2001 dan seterusnya. Misalnya, peserta ke-1
sampai 2000 diberi poin 1, sedang peserta ke 2001 dan seterusnya diberi poin 0,5.
Penyesuaian terhadap status gender diperlukan mengingat ada peristiwa atau pelayanan
khusus yang disebabkan perbedaan gender, misalnya pemasangan iud/implant, skrening
kanker serviks uteri, dan pelayanan antenatal/postnatal. Bila dalam komunitas binaan DLP
terdapat banyak peserta wanita, tentu banyak waktu tatap muka DLP yang diperlukan untuk
melayani peserta wanita. Dari beberapa referensi, faktor gender diberi bobot 0,1. Artinya
utilisasi populasi wanita 1,1 kali lebih banyak dari populasi umum.
Penyesuaian juga dilakukan terhadap umur peserta, karena umur peserta ini signifikan
mempengaruhi tingkat pemanfaatan, terutama yang berusia di bawah 6 tahun dan di atas
65 tahun. Bayi dan balita perlu kunjungan rutin dan rentan terkena penyakit. Lansia banyak
mengidap penyakit degeneratif dan penyakit kronis yang membutuhkan banyak waktu tatap
muka DLP. Kedua kelompok umur ini diberi bobot yang sama, yaitu 0,5. Artinya
pemanfaatan oleh populasi bayi/balita dan lansia 1,5 kali lebih banyak dari populasi umum.
Salah satu faktor penentu keberhasilan JKN adalah ketersediaan DLP yang handal sebagai
dan tersebar merata di seluruh wilayah NKRI. Fakta menunjukkan kompetensi
DLP saat ini sangat beragam dan belum cukup handal sebagai JKN. Dalam
kondisi ini tidaklah adil bila DLP yang memiliki kompetensi rendah menerima kapitasi yang
sama dengan DLP yang memiliki kompetensi tinggi. Sesuai dengan prinsip dasar komponen
kedua ini, yaitu menghargai pengetahuan dan keterampilan DLP, maka kompensasinya pun
tidak disamaratakan, jadi perlu ada penyesuaian terhadap kompetensi DLP.
Penyesuaian dapat menggunakan porto-folio DLP. Porto-folio mencerminkan kehandalan
DLP, yaitu pengejawantahan pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman DLP dalam
mengelola suatu masalah kesehatan sampai tuntas. Porto-folio ini diperoleh dari
pengalaman praktik sehari-hari yang diperkaya dan dikukuhkan melalui program CPD
terstruktur. Penggunaan istilah kehandalan DLP dimaksudkan untuk membedakan porto-
folio ini dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012 yang fokus pada diagnosis, dan
dengan kompetensi DLP yang setara spesialis produk dari UU Pendidikan Kedokteran tapi
belum ada dokternya.
Secara teoritis, diasumsikan bobot kehandalan DLP produk kurikulum UU Pendidikan
Kedokteran adalah 100 poin (maksimal). Poin maksimal ini menunjukkan DLP mampu
menyelesaikan sebagian besar masalah kesehatan individu, suatu kodisi ideal yang
diharapkan program JKN. Dengan mempertimbangkan kondisi saat ini diasumsikan bobot
dokter internsip adalah 50 poin, dan bobot dokter umum adalah 60 poin.
Selisih bobot dokter umum dan DLP sebesar 40 poin ini menggambarkan perbedaan
kehandalan dalam menyelesaikan masalah kesehatan peserta JKN. Makin besar poin berarti
makin banyak masalah kesehatan yang dapat diselesaikan di praktiknya dan makin sedikit
yang dirujuk ke spesialis. Dengan demikian poin ini dapat dijadikan faktor untuk
menyesuaikan ( ) kapitasi berdasarkan porto-folio (lihat simulasi berikut).
Dokter umum yang ingin mempunyai kemampuan setara DLP dapat mengikuti program CPD
terstruktur dalam di bawah ini. DLP dapat menentukan sendiri program CPD
mana yang menjadi prioritasnya.
Administrasi untuk menerapkan komponen ini relatif mudah, dengan catatan manajemen
kepesertaan BPJS dan manajemen rekam medik DLP yang cukup baik. Dibutuhkan langkah
berikut ini untuk menerapkan komponen kedua metode Sandwich.
1. Adanya ketetapan tentang formula pembayaran kapitasi dan metode menghitung biaya
kapitasi yang disepakati bersama. Di sini metode kapitasi diterapkan sebagai strategi
membayar dokter yang terintegrasi dengan metode lain dalam model Sandwich. Jadi
komponen biaya pembentuk kapitasi tidak sama dengan metode kapitasi untuk
membayar fasilitas kesehatan. Ketetapan ini menjadi tanggung jawab Kemenkes, BPJS,
dan IDI.
2. Adanya program CPD terstruktur yang dikaitkan dengan porto-folio DLP dan harus
mengacu pada kompetensi DLP produk UU Pendidikan Kedokteran. Pengembangan
program ini menjadi tanggung jawab IDI, KKI, Kemenkes, dan BPJS.
Contoh penerapan kompensasi untuk tanggung jawab dan beban kerja
2000 peserta pertama masing-masing diberi 1 poin, peserta berikutnya diberi 0,5 poin
Setiap peserta wanita mendapat tambahan 0,1 poin
Setiap peserta di bawah 6 tahun dan di atas 65 tahun mendapat tambahan 0,5 poin
Seluruh peserta mendapat tambahan poin setara poin porto-folio dokter
Simulasi berikut menunjukkan kompensasi untuk tanggung jawab dan beban kerja yang
diterima 2 dokter. Dr.DD dengan masa kerja 8 tahun berpraktik di wilayah pekotaan (kategori
1), memiliki porto-folio 0,75, dipilih oleh 2.000 peserta yang terdiri dari 700 pria dan 1.300
wanita; dari segi usia ada 400 peserta berusia di bawah 6 tahun, 300 peserta berusia di atas 65
tahun dan sisanya berusia antara 6-65 tahun. Dr.FF dengan masa praktik 4 tahun berpraktik di
daerah terpencil (kategori 8), memiliki porto-folio 0,45, mempunyai komunitas binaan 2.500
peserta dan 1500 di antaranya peserta wanita, 700 peserta berusia di bawah 6 tahun, 1400
peserta berusia 6-65 tahun, dan 400 peserta berusia di atas 65 tahun.
Perhitungan kompensasi untuk tanggung jawab dan beban kerja yang dihitung berdasarkan
formula dan data di atas menghasilkan per bulan untuk Dr. DD = Rp.11.940.000
dan untuk Dr. FF = Rp.12.195.000.
Dr.DD Dr.FF
Komunitas binaan (peserta) 2,000 2,500
Kapitasi/peserta/bulan (Rp) 3,000 3,000
Formula penyesuaian
Poin dasar kapitasi 2000 x 1 2,000 2000 x 1 + 500 x 0,5 2,250
Poin umur 400 x 0,5 + 300 x 0,5 350 700 x 0,5 + 400 x 0,5 550
Poin gender 1300 x 0,1 130 1500 x 0,1 150
Poin porto-folio DLP 2000 x 0,75 1,500 2500 x 0,45 1,125
Total 3,980 4,075
Take home pay/bulan (Rp) 11,940,000 12,225,000
(Catatan: NILAI YANG DISAJIKAN DALAM SIMULASI INI HANYA UNTUK MODELING)
5. Insentif Untuk Mendukung Pencapaian Target Pembangunan Kesehatan
Keberadaan DLP di tengah masyarakat adalah untuk menerapkan trias peranan dokter
( ). Namun, selama ini DLP
hanya difungsikan sebagai , yang hanya peduli dengan praktiknya. Praktik
DLP belum dilibatkan dan terlepas dari tujuan pembangunan kesehatan nasional, seperti
penurunkan AKI dan AKB, mensukseskan program KB, penurunkan insidens dan prevalens
TB, dan lain-lain. Program nasional ini seolah-olah hanya milik Puskesmas, Dinkes, dan
Kemenkes.
Era JKN menjadi peluang untuk mengembalikan trias peranan dokter dan mengajak DLP
turut aktif berpartisipasi mendukung pencapaian target pembangunan kesehatan nasional.
Caranya dengan melibatkan DLP untuk melaksanakan program nasional di komunitas binaan
DLP. Dalam komunitas kecil ini DLP harus dapat mencapai target maksimum. Misalnya
imunisasi lengkap 100%, K1 dan K4 100%, gizi buruk 0%, kesembuhan TB 100%, dan lain lain.
Komponen ketiga metode Sandwich ini dibentuk dengan maksud memberi insentif kepada
DLP yang berperan aktif dalam mendukung pencapaian program nasional. Metode yang
tepat untuk membayar insentif DLP adalah , karena FFS memotivasi
dokter untuk melaksanakan lebih banyak pelayanan. DLP yang memberikan pelayanan yang
termasuk dalam program nasional seperti disimulasikan di berikut ini dapat
menagih insentifnya setiap periode.
Dalam era JKN, telah ditetapkan untuk membayar dokter dengan metode Sandwich.
Pembayaran komponen 3 metode Sandwich menggunakan metode FFS. Para DLP yang
melaksanakan pelayanan yang termasuk program nasional akan mendapat insentif yang
besarnya sesuai dengan poin yang ditetapkan, dan penagihan dilakukan secara berkala.
Simulasi berikut menunjukkan insentif untuk mendukung pencapaian target pembangunan
kesehatan nasional yang diberikan kepada Dr. DD dan Dr. FF berdasarkan partisipasinya dalam
satu periode. Bila ditetapkan faktor konversi 1 poin adalah Rp.500,-, maka dalam simulasi ini
Dr. DD yang mengumpulkan 3.730 poin mendapat insentif Rp.1.865.000 per bulan, dan Dr. FF
mendapat insentif Rp.2.150.000 per bulan dari 4.300 poin.
Dr. DD Dr. FF
Pelayanan Kesehatan Poin
Frek Poin Frek Poin
Program KB
Pasang IUD 100 2 200 0
Pasang implant 60 3 180 0
Vasektomi 200 1 200 0
Program imunisasi
Imunisasi dasar lengkap 50 5 250 10 500
Imunisasi Influenza pada lansia 50 3 150 0
Program menurunkan AKI, AKB, AKBA
ANC K1 150 3 450 4 600
ANC K4 200 3 600 3 600
Pengendalian penyakit
Deteksi kasus baru TB 400 3 1,200 4 1,600
Pengobatan TB tuntas 500 1 500 2 1,000
Nilai konversi 1 poin ~ Rp.500 500 3,730 4,300
Insentif DLP 1,865,000 2,150,000
(Catatan: NILAI YANG DISAJIKAN DALAM SIMULASI INI HANYA UNTUK MODELING)
6. Penerapan Metode Sandwich
Simulasi setiap komponen metode Sandwich yang disajikan di atas, bila kemudian hasilnya
digabungkan akan memberikan gambaran sebagai berikut.
Hasil simulasi ini menunjukkan prinsip dasar yang melandasi metode Sandwich ternyata
dapat digunakan untuk membayar dokter yang memiliki perbedaan masa kerja dokter,
tingkat kompetensi, kondisi geografi, dan beban kerja akibat melayani populasi berbeda.
Berbagai perbedaan tersebut dapat diakomodasi dengan menerapkan formula sederhana
menggunakan data yang mudah diperoleh. Padahal, perbedaan ini biasanya sangat sulit
dipertemukan, yang antara lain disebabkan tidak adanya formula yang standar dan
transparan, yang menjadi acuan bagi pembayar maupun para dokter.
Dalam era JKN, regulasi telah menetapkan BPJS akan membayar fasilitas kesehatan primer
dengan kapitasi. Selanjutnya pembayaran ke personil faskes, termasuk dokternya,
diserahkan pengaturannya kepada faskesnya. Mengingat metode kapitasi bertujuan
mentransfer risiko finansial ke faskes, maka mau tidak mau faskes pun harus menyebarkan
risiko ini keseluruh personilnya. Kondisi ini akan mendorong setiap faskes untuk
menerapkan sistem remunerasi yang sesuai dengan kondisi organisasinya, dan sistem
remunerasi ini dapat menerapkan metode Sandwich. (lihat gambar).
Dari arus dana yang digambarkan di atas, dan mengingat metode Sandwich tidak
membutuhkan data yang kompleks, formulanya cukup sederhana dan administrasinya
mudah, maka metode Sandwich dapat diterapkan pada skala fasilitas kesehatan (mikro)
maupun skala nasional (makro). Penerapan metode ini sangat ditentukan oleh
dari para pemangku kepentingan.
Skala fasilitas kesehatan (mikro)
Metode Sandwich dapat digunakan untuk menyusun sistem remunerasi dokter di suatu
faskes yang memiliki dua dokter atau lebih, dengan tujuan untuk menciptakan transparansi
dalam membagi pendapatan faskes. Dalam kondisi ini besarnya komponen satu, dua dan
tiga ditentukan sendiri oleh organisasinya.
Metode Sandwich juga dapat diterapkan di puskesmas yang dikontrak BPJS. Dalam hal ini
gaji dokter PNS yang mengacu pada PGPNS dianggap sebagai komponen satu. Proporsi jasa
pelayanan dari kapitasi BPJS yang menjadi hak dokter digunakan untuk membayar
komponen dua. Sedangkan pembayaran komponen tiga dapat disisihkan dari kapitasi BPJS
yang diterima puskesmas, atau bersumber dari pengelola program tingkat nasional, atau
dana khusus di BPJS yang dialokasikan untuk membiayai program nasional di luar kapitasi.
Jadi setiap puskesmas, terutama yang sudah menjadi BLUD, dapat dengan mudah
menerapkan prinsip-prinsip metode Sandwich yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Penerapan metode Sandwich secara nasional akan menjadikan karir dan pendapatan dokter
menjadi lebih transparan dan lebih pasti. Dua hal ini yang saat ini tidak ada. Hal ini akan
sangat membantu para dokter untuk merencanakan karirnya, misalnya apakah akan
membuka praktik di suatu daerah terpencil atau sebaiknya menjadi pegawai gajian saja
(PNS). Para dokter pun diharapkan termotivasi untuk meningkatkan kompetensi dan aktif
berpartisipasi melaksanakan program nasional, karena hal ini berdampak langsung pada
peningkatan pendapatannya.
Pihak faskes yang mempekerjakan dokter dan BPJS pun akan memperoleh manfaat, karena
penerapan metode Sandwich ini menyebabkan biaya yang dibutuhkan untuk membayar
dokter menjadi lebih pasti dan tidak terlalu fluktuatif, dan hal ini akan memudahkan proses
perencanaan. Pencapaian target program nasional diharapkan juga meningkat, mengingat
besarnya populasi yang dicakup oleh DLP dan era JKN nanti.
Metode Sandwich yang dirancang untuk membayar dokter layanan primer ini, dapat pula
diterapkan untuk membayar dokter spesialis. Penyesuaian yang harus dilakukan adalah
pada komponen 2, yaitu komponen untuk membayar kompensasi untuk tanggung jawab,
beban kerja dan kinerja dokter. Dengan mempertimbangkan cara kerja dan pola pelayanan
dokter spesialis, metode yang tepat untuk membayar komponen 2 ini adalah metode FFS
namun pembayarannya bukan berdasarkan tarif jasa medik, tapi berbasis
yang diadopsi dari konsep (RBRVS).
Jadi metode Sandwich untuk membayar dokter spesialis terdiri dari 3 komponen:
komponen 1 (sebagai kompensasi kebutuhan dasar profesi dokter), berbasis ,
komponen 2 (sebagai kompensasi tanggung jawab, beban kerja dan kinerja dokter),
berbasis , dan
komponen 3 (sebagai insentif kontribusi dokter mensukseskan program nasional),
berbasis
ooGSoo
KEPUSTAKAAN
Gosden T et al.
. Wiley, 2006.
Robinson, James C. .
Berkeley : University of California, 2001.
kesehatan umum seperti pengelolaan berat badan, dan perawatan kulit wajah.
Untuk menjaga kesehatan reproduksi, dokter keluarga dan timnya menyediakan pelayanan
KB, termasuk konsultasi dan pemeriksaan rutin pra-nikah, tes kehamilan, pelayanan
kontrasepsi, konseling Keluarga Berencana, dan pemeriksaan kemandulan sampai batas
tertentu. Pelayanan kesehatan reproduksi juga dilaksanakan untuk kesehatan reproduksi
laki-laki.
DLP dan timnya juga melakukan pendampingan keluarga dalam menunjang pemeliharaan
kualitas hidup lansia. Pendampingan berupa pelayanan pembinaan keluarga.
9. PEMERIKSAN ANTE- & POSTNATAL
DLP dan timnya akan melakukan pemeriksaan rutin pada mitra yang hamil agar diperoleh
kehamilan yang baik dan persalinan yang aman. Jika tiba saatnya, dokter keluarga dan
timnya akan menangani persalinan atau merujuk ke rumah bersalin atau rumah sakit yang
tepat.
Untuk memulihkan kondisi ibu serta memelihara kesehatan bayi, pemeriksaan rutin
pascasalin (postpartum) akan dilakukan. Pelayanan edukasi perawatan bayi, perawatan luka
pascasalin, perawatan payudara dan cara menyusui yang sehat, dan lain lain akan diberikan
secara individual maupun kelompok.
Dokter keluarga akan merujuk mitra bila dibutuhkan layanan yang di luar kompetensi dan
bukan kewenangannya, atau bila di PDM-nya tidak tersedia fasilitas yang dibutuhkan
mitranya. Dalam hal ini dokter keluarga akan membuat surat rujukan ke dokter lain yang
telah menjalin kemitraan dengan PDM-nya dan memantau hasilnya.
13. KONSELING
Dokter keluarga akan melaksanakan pelayanan konseling, yaitu membantu mitranya dalam
proses pengambilan keputusan menyangkut masalah kesehatan yang dihadapi mitra.
Konseling dapat diberikan kepada perseorangan, keluarga, atau kelompok yang mempunyai
masalah tertentu.
Konseling biasanya diberikan pada mitra yang perlu memodifikasi gaya hidup atau yang
menderita penyakit kronis atau penyakit berat, atau yang harus dirawat di rumah sakit
(misalnya harus menjalani tindak bedah yang berisiko, aborsi, HIV/AIDS, dll). Konseling
keluarga diselenggarakan dalam rangka menyelesaikan masalah pasien yang memerlukan
peran serta keluarga (misalnya masalah narkoba, perawatan lansia). Konseling kelompok
diselenggarakan untuk kelompok yang berpenyakit sama (misalnya penyakit jantung,
diabetes, ).
Konseling memerlukan waktu khusus, karena itu mitra harus membuat perjanjian lebih
dahulu untuk konseling perseorangan maupun konseling keluarga. Konseling kelompok akan
terjadwal di PDM.