Anda di halaman 1dari 65

METODE MEMBAYAR

DOKTER LAYANAN PRIMER


DALAM ERA JKN

PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA


JAKARTA, 2013
KATA PENGANTAR

Awal Januari tahun 2014 Indonesia akan mulai menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Penerapan JKN menyebabkan perubahan fundamental pada berbagai aspek yang
terkait dengan industri kesehatan di tanah air. Pelayanan kesehatan akan menjadi hak
penduduk, bukan lagi komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu
membayar. Tapi penduduk pun wajib membayar iuran, menggunakan fasilitas kesehatan
secara berjenjang, dan mengadopsi perilaku hidup sehat. Iuran penduduk miskin dan tidak
mampu akan dibayari Pemerintah. Dengan demikian seluruh penduduk dimanapun ia
berdomisili diharapkan akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama baiknya.

Profesi dokter sebagai tulang punggung sistem pelayanan kesehatan nasional juga akan
memasuki era baru, era pembayaran mengikuti kaidah asuransi kesehatan sosial. Dokter
tidak bisa lagi menentukan tarifnya secara sepihak, tarifnya akan ditentukan oleh BPJS
setelah bernegosiasi dengan asosiasinya. Metode pembayaran ke fasilitas kesehatan telah
pula ditetapkan, yaitu secara INA-CBG dan kapitasi. Kedua metode ini memiliki filosofi yang
sama, yaitu mentransfer risiko ke fasilitas kesehatan yang berarti dokter ikut menanggung
risiko biaya bila ia memberikan pelayanan tidak sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan. Hal ini akan mendorong terjadinya perubahan perilaku dan cara dokter
menjalankan praktik kedokteran.

Metode membayar dokter seyogianya tidak hanya dipandang sebagai transaksi sederhana
memberi imbalan atas kerja dokter mengobati pasien. Metode membayar dapat digunakan
untuk mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik, mendorong persebaran dan
pemerataan dokter, memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, dan
mengurangi disparitas pendapatan antar dokter. Dengan kata lain, metode membayar
dokter dapat digunakan sebagai kekuatan untuk menata ulang sistem pelayanan yang saat
ini berberorientasi spesialis menjadi berorientasi pelayanan primer.

Dasar pemikiran ini yang mendorong IDI untuk mencari metode membayar yang lebih tepat
guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan utama penerapan JKN. Peluang untuk
membayar DLP dengan metode lain dimungkinkan oleh peraturan yang ada.

Dalam b penulis
mencoba menyajikan informasi ringkas tentang berbagai aspek yang terkait dengan
membayar dokter. Tulisan diawali dengan sejarah pembayaran dokter yang sejak zaman
Hipocrates sampai saat ini selalu menjadi dilemma, dan dalam palam pro-kontra ini disajikan
pandangan dokter dan para penentu kebijakan publik. Menarik untuk menyimak berbagai
isu dan kecenderungan sehingga dapat dipahami apa yang terjadi saat ini. Ada masalah
mendasar dalam isu ini yang harus dicarikan jalan keluarnya bila kita ingin membangun
sistem yang lebih baik.
Bab kedua menjelaskan Dokter Layanan Primer (DLP) yang akan menjadi tulang punggung
program JKN. Pemahaman tentang peranan dan kedudukan, lingkup pelayanan, potensi
produktivitas, dan bentuk entitas praktik DLP sangat diperlukan. Dalam setting pelayanan
JKN, sebenarnya DLP mengemban fungsi baru yang tidak dikenal dalam sistem pelayanan
yang berorientasi spesialis, yaitu sebagai . Banyak kebijakan yang masih simpang-
siur tentang DLP, karena kita terperangkap dengan fungsi UKP dan UKM yang melekat di
puskesmas. Diharapkan penjelasan ringkas di bab ini dapat membuka wacana untuk
memahami DLP. ktik Dokter
Layanan Primer Dalam

Bab tiga menjelaskan metode membayar dokter yang lazim digunakan di berbagai negara
agar pembaca memahami prinsip dasar serta kelebihan dan kekurangan setiap metode.
ti metode pembayaran sehingga
kesalahan menerapkan metode membayar dokter dapat memberi dampak negatif bagi
pasien dan masyarakat.

Bab terakhir berisi gagasan untuk menggabungkan tiga metode membayar dokter dalam
upaya menyingkirkan segi negatif dan menonjolkan segi positif dari setiap metode tersebut.
Metode campuran ini disebut sebagai metode Sandwich, sesuai dengan komponennya yang
terdiri dari 3 lapis. Metode Sandwich ini dapat diterapkan dalam skala mikro di sebuah
fasilitas kesehatan dan dapat pula dijadikan kebijakan nasional untuk membayar profesi
dokter di seluruh tanah air.

Informasi yang disajikan dalam buku ini, diharapkan dapat membuka wacana para
pemangku kepentingan untuk mengembangkan berbagai alternatif membayar dokter yang
dapat diterima semua pihak, baik dokter, pasien maupun pembayar.

Kepada para pengguna buku ini, kami harapkan saran perbaikan untuk menyempurnakan
buku ini. Semoga bermanfaat.

Jakarta, 1 Oktober 2013

Penyusun
Dr. Gatot Soetono, MPH
Dr. Dien Kurtanty, MKM
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................. iv
I. PENDAHULUAN ............................................................................................................................... 6
1. Latar Belakang............................................................................................................................. 6
2. Sejarah Pembayaran Dokter ....................................................................................................... 7
3. Persepsi Tentang Pendapatan dan Kerja Dokter ........................................................................ 9
4. Isu Strategis dan Kecenderungan.............................................................................................. 12
5. Istilah dan Batasan .................................................................................................................... 15
II. DOKTER LAYANAN PRIMER ........................................................................................................... 17
1. Jaminan Kesehatan Nasional .................................................................................................... 17
2. Peranan Dan Kedudukan DLP Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan ......................................... 19
3. Lingkup Pelayanan DLP ............................................................................................................. 19
4. Potensi Produktivitas DLP ......................................................................................................... 21
5. Entitas Praktik DLP .................................................................................................................... 24
6. Hubungan Praktik DLP dengan UKM......................................................................................... 26
III. METODE MEMBAYAR DOKTER ................................................................................................. 27
1. Salary ......................................................................................................................................... 28
2. Fee For Service .......................................................................................................................... 30
3. Kapitasi ...................................................................................................................................... 32
4. Case-Based Reimbursement ..................................................................................................... 37
5. Pay For Performance................................................................................................................. 39
6. Metode Campuran .................................................................................................................... 40
IV. MEMBAYAR DLP di ERA JKN ...................................................................................................... 41
1. Dasar Pemikiran ........................................................................................................................ 41
2. Metode Sandwich ..................................................................................................................... 42
3. Komponen Basik ....................................................................................................................... 43
4. Kompensasi Untuk Menghargai Tanggung-Jawab Dan Beban Kerja ........................................ 46
5. Insentif Untuk Mendukung Pencapaian Target Pembangunan Kesehatan .............................. 50
6. Penerapan Metode Sandwich ................................................................................................... 52
7. Implikasi Pada Kebijakan Nasional ............................................................................................ 55
KEPUSTAKAAN ...................................................................................................................................... 57
LAMPIRAN-1: Contoh Pelayanan Praktik Dokter Layanan Primer ....................................................... 59
LAMPIRAN-2: Contoh Menghitung Kapitasi Dokter Layanan Primer ................................................... 64
I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam dua dekade terakhir ilmu dan teknologi kedokteran mengalami kemajuan yang
sangat pesat, kemajuan ini memberi konstribusi yang besar pada deteksi dini, penegakan
diagnosis, pengobatan dan penyembuhan pasien, juga peningkatan efisiensi dan mutu
pelayanan. Namun, seiring dengan kemajuan itu pelayanan kesehatan telah tumbuh
menjadi industri yang kompleks, membutuhkan investasi besar dan sumber daya manusia
profesional dari berbagai spesialisasi. Di negara yang regulasinya lemah, sistem pelayanan
kesehatan akan terdorong menjadi berorientasi spesialis dan menghasilkan komoditi mahal,
konsumtif, terfragmentasi, dan tidak sepenuhnya berdasarkan
Kemajuan yang besar ini belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya di Indonesia, mengingat
keterbatasan infrastruktur, dana, sdm, dan manajemen yang mendukung ilmu dan teknologi
tersebut. Fasilitas kesehatan di Indonesia belum memadai dari segi kualitas dan kuantitas,
serta penyebarannya pun tidak merata. Rasio fasilitas kesehatan dengan jumlah penduduk
masih jauh dari ideal yang menyebabkan terhambatnya akses masyarakat ke pelayanan
kesehatan. Akses menjadi semakin terhambat dengan mahalnya biaya kesehatan saat ini.
Keluhan masyarakat terhadap akses, mutu, dan biaya kesehatan menjadi berita sehari-hari.
Bagi sebagian besar masyarakat, jatuh sakit berarti jatuh miskin.
Dalam sistem pelayanan kesehatan, dokter mempunyai peranan yang sangat strategis
bukan saja karena keterampilan dan kompetensinya, tapi juga karena peranannya dalam
menyerap dan mengeluarkan biaya kesehatan. Proporsi biaya untuk membayar dokter
terhadap total biaya kesehatan relatif besar, misalnya di Canada biaya dokter tercatat 15%
dari total biaya kesehatan di negara tersebut (Deber, 1998). Hal yang lebih bermakna adalah
kinerja dan perilaku dokter terbukti memberi pengaruh besar terhadap total biaya
kesehatan. Setiap tindakan dokter dapat diibaratkan dirigen yang menaikkan atau
menurunkan nada (baca biaya). Berbagai penelitian membuktikan bahwa perilaku dokter
dalam menjalankan praktik kedokteran sangat dipengaruhi oleh metode membayar dokter.
Salah satu metode membayar dokter, yaitu (FFS), selama ini dianggap sebagai
biang keladi peningkatan biaya kesehatan. Di banyak negara FFS mulai ditinggalkan dan
digantikan dengan metode baru seperti (PFP). Di Indonesia, FFS sangat
dominan dan mewarnai para dokter dan pemangku kepentingan lain.
Dalam situasi dan kondisi seperti tersebut di atas mulai awal tahun 2014 penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia akan memasuki era baru, era
ketika pembiayaan kesehatan diwarnai oleh mekanisme asuransi kesehatan sosial dan
pelayanan kesehatan diselenggarakan secara terpadu. Oleh sebab itu salah satu yang harus
disiapkan adalah mencari metode membayar dokter yang sesuai dengan tujuan JKN, yaitu
dapat menjamin akses dan mutu pelayanan, serta penyebaran, kinerja dan kesejahteraan
para dokternya. Dengan latar belakang inilah buku ini ditulis.

2. Sejarah Pembayaran Dokter


Konsep tentang kompensasi dokter sudah menjadi perdebatan beberapa filsuf seperti
Hipokrates, Aristoteles, Plato, Aristopan, Sopoles dan Galen. Hal ini berasal dari perbedaan
dalam mengartikan pekerjaan dokter sebagai seni ataukah teknik (keterampilan). Menurut
Aristoteles, jika praktik kedokteran merupakan keterampilan seperti tukang, maka dia
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kompensasi, sebagai sumber nafkah atas
pelayanan yang telah diberikan. Namun jika praktik kedokteran adalah seni, maka
pembayaran kompensasi dokter dianggap merendahkan profesinya. Bagi Hipokrates dan
Galen, praktik kedokteran adalah seni dan kerja sosial, maka sebaiknya tidak menuntut
pembayaran. Namun tidak semua dokter berasal dari keluarga kaya dan mulia seperti
Hipokrates dan Galen, sehingga pada akhirnya banyak dokter yang menuntut pembayaran
atas pelayanan yang diberikannya.

Pembayaran kompensasi terhadap dokter mulai diatur sejak berabad-abad yang lalu. Salah
satu bukti pengaturan ini dituliskan pada kode Hammurabi, yaitu seperangkat hukum yang
ditetapkan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia (± 2000 SM). Pada buku tersebut terdapat
beberapa pembahasan tentang dokter termasuk bagaimana dokter harus dibayar untuk
pelayanan yang mereka berikan. Misalnya, pada kode 215-217 disebutkan bahwa seorang
dokter yang telah menyembuhkan pasien yang luka parah atau melakukan bedah tumor
maka dia akan menerima 10 uang perak, namun jika pasien tersebut orang miskin maka dia
hanya menerima 5 uang perak, dan jika pasiennya adalah buruh maka dia akan menerima 2
uang perak dari majikannya.

Pengaturan kompensasi dokter juga terjadi pada berbagai negara di dunia. Pada abad
pertengahan di Eropa, dokter bekerja dan dibayar oleh pihak istana untuk melayani istana,
serta dibayar oleh pihak gereja untuk melayani masyarakat miskin. Di Amerika, ada banyak
sumber yang mencatat bagaimana dokter dibayar dan apakah kompensasi itu diatur atau
tidak. Salah satu contohnya adalah pengaturan kompensasi dokter di Boston yang dibuat
oleh sejak tahun 1780. Hal ini dibuat untuk mengurangi perilaku
persaingan yang tidak sehat diantara para dokter. Regulasi itu mengatur upah minimal yang
dapat diterima dokter, dan upah ini dapat lebih besar. Selain itu pasien hanya akan
membayar untuk pelayanan yang disertakan obat-obatan dan prosedur tindakan. Aturan ini
berlaku untuk setiap kunjungan yang disebut sebagai . Dalam
perkembangannya biaya pengobatan menjadi tidak terkendali, biaya ke dokter cenderung
naik meskipun situasi ekonomi sedang sulit. Misalnya, pada tahun 1795 dan 1806 saat
pertumbuhan ekonomi sangat lambat, biaya ke dokter justru meningkat 50-60%. Tetapi
besarnya kompensasi dokter di Amerika saat itu tidak merata, bergantung pada kondisi
ekonomi setempat. Jika di Boston biaya ke dokter mahal, di South Carolina justru
sebaliknya, misalnya biaya amputasi tangan di Boston pada tahun 1806 sebesar $40.00
sedangkan di South Carolina tahun 1844 hanya $5.00.

Di Kanada, kompensasi dokter pun mengalami peningkatan yang signifikan. Metode


pembayaran kompensasi dilakukan dengan sistem gaji. Pada tahun 1653 seorang dokter
bedah militer akan menerima total kompensasi sebesar 500 setahun untuk gajinya
sebagai tentara, melayani 42 keluarga dan sebagai pengajar. Besarnya kompensasi ini
adalah 17 kali lebih besar dibandingkan dengan upah minimal seorang pekerja saat itu.
Kemudian pada pertengahan abad kedelapan belas, kompensasi dokter meningkat menjadi
2400 atau 60 kali lebih besar dibandingkan upah minimal pekerja.

Pengaturan kompensasi dokter juga dilakukan di Australia dimulai pada pertengahan abad
kesembilan belas oleh Besarnya kompensasi diatur
berdasarkan tiga kelas yang berbeda. Kelas pertama ditujukan bagi orang kaya yang
membayar dua hingga lima kali lebih besar dibandingkan kelas 3 untuk orang miskin pada
jenis layanan yang sama.

Sejak zaman Hipocrates sampai saat ini pelayanan kesehatan telah tumbuh dari pelayanan
oleh individual dokter ( ) menjadi pelayanan oleh entitas yang melibatkan banyak
orang, banyak disiplin, salah satunya dokter, dan kompleks. Metode membayar dokter pun
turut berkembang dari metode tradisional seperti , dan kapitasi
menjadi metode yang lebih modern seperti , dan .
Perkembangan metode pembiayaan dokter ini mengindikasikan bahwa perkembangan ilmu
dan pelayanan kedokteran perlu diiringi dengan metode membayar dokter yang tepat agar
peran strategis profesi dokter dapat diberdayakan untuk sebesar-besarnya kepentingan
seluruh masyarakat.
Sejarah pembayaran dokter di Indonesia seumur dengan sejarah dokter Indonesia yang
diawali oleh Dokter Jawa, yang awalnya dididik sebagai mantri cacar oleh Pemerintah Hindia
Belanda. Selanjutnya pendidikan Dokter Jawa ditingkatkan dan dokter lulusan STOVIA digaji
150 gulden per bulan, suatu jumlah yang sangat besar pada zaman itu. Karena kebutuhan
masyarakat, dokter diberi wewenang untuk praktik partikelir di luar jam kerja dengan cara
pembayaran (FFS). Dengan dua sumber pendapatan ini profesi dokter
memiliki tingkat sosial-ekonomi yang jauh di atas rata-rata penduduk, sehingga tidak
mengherankan bila banyak orang tua memimpikan anaknya menjadi dokter.
Metode yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun ini berlanjut sampai saat ini, tapi
ada perbedaan yang mendasar. Saat ini sumber pendapatan dari kerja utama sebagai PNS
tidak cukup untuk hidup layak, sehingga seorang dokter terpaksa harus melakukan kerja
tambahan untuk mencukupi hidupnya. Tingginya pelayanan kesehatan dan adanya
keterbatasan dokter menyebabkan tidak semua fasilitas kesehatan mempekerjakan dokter
sebagai pegawai tetap. Kondisi ini menumbuhkan cara pembayaran baru, yaitu dokter
bekerja paruh waktu di luar jam kerja utamanya dan diberi gaji setiap bulan yang besarnya
ditentukan dari persentase tarif pelayanan medik.
3. Persepsi Tentang Pendapatan dan Kerja Dokter

menunjukkan bahwa seorang dokter dalam menjalankan profesinya dituntut tidak saja
menguasai pengetahuan dan keterampilan tinggi, tapi juga dapat memadukan nalar, rasa
dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi pasiennya. Sehingga cara ia menangani
masalah kesehatan yang sama pada dua individu bisa berbeda, meskipun sebenarnya ia
melayani kedua pasien tersebut dengan kompetensi/kewenangan yang sama, bahkan
dengan peralatan medis dan obat-obatan yang sama. Hal ini karena ia memahami bahwa ia
sedang mengobati seorang manusia yang sedang menderita penyakit, bukan mengobati

di atas. Pekerjaan dokter sangat terukur, langkah demi langkah mengikuti prosedur yang
disusun berdasarkan bukti ilmiah. Dengan demikian seorang dokter tidak bisa mengaku
dirinya sebagai seorang artis, dan kemudian menghargai layanannya sebagai suatu karya
seni layaknya produk seorang artis yang seakan nilainya sangat subjektif dan tidak bisa
diukur. Sebaliknya, kerja dan imbalan jasa untuk kerja dokter dapat dinilai secara objektif.
Dokter dalam menjalankan profesinya dipayungi Undang-Undang Praktik Kedokteran. Ia
diwajibkan mengikuti standar profesinya dan standar prosedur operasional yang berlaku.
Standar prosedur operasional ini serba terukur dan karenanya setiap tindakan/prosedur
medik dapat diperkirakan waktunya. Waktu untuk menjalankan profesinya mengikuti kaidah
yang umum berlaku, 40 jam per minggu, dan mempertimbangkan keterbatasan seorang
manusia. Tidak mungkin seorang dokter dapat bekerja nonstop 24 jam terus menerus tanpa
istirahat, karena ini berdampak pada keselamatan pasien. Kerja profesi medik merupakan
kerja profesional yang membutuhkan kerja fisik dan mental, harus membuat keputusan
( ) dalam waktu cepat yang kadang kala menyangkut mati/hidup/kecacatan yang
sering menimbulkan beban stres. (W. Shiao, 1988). Ia pun harus memiliki pengetahuan dan
keterampilan tinggi sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Dengan gambaran ini
produktivitas dokter per satuan waktu (hari, bulan, tahun) dapat dihitung. Bila produktivitas
dapat dihitung berarti potensi kompensasi (pendapatan) seorang dokter pun dapat pula
dihitung.
Secara umum besarnya potensi pendapatan dokter setahun merupakan perkalian antara
produktivitas dokter dengan jasa medik. Jasa medik adalah imbalan yang diberikan kepada
dokter untuk suatu jenis layanan medik (dalam metode pembayaran FFS). Besarnya jasa
medik seyogianya mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat membayar
( ). Pada hakekatnya kompensasi (pendapatan) dan jasa medik
merupakan wujud dari tingkat penghargaan masyarakat pada profesi dokter dan bagaimana
dokter sendiri menghargai profesinya. Idealnya jasa medik ini dapat memenuhi harapan
kedua belah pihak. Pihak pasien/pembayar merasa puas dengan tarif layanan dan mutu
layanan yang diterimanya, dan pihak pemberi layanan (dokter) merasa puas dengan
penghargaan yang pantas untuk kerja profesionalnya (lihat gambar).
Dasar pemikiran ini yang dijadikan landasan untuk menjelaskan pasal 50 dan 53 Undang-
undang Praktik Kedokteran tentang hak/kewajiban dokter dan pasien melalui gambar
berikut ini.

Gambar 1-1. Produktivitas dokter integral dengan kompensasi dokter

Dengan melihat hubungan antara kerja dokter, waktu, produktivitas, kompensasi dan jasa
medik, dapat dipahami bila produktivitas dokter merupakan bagian yang tak terpisahkan
(integral) dari kompensasi, dan kompensasi dokter dirumuskan menjadi formula generik
(Griffith, 2001) sebagai berikut.

Menarik untuk mengetahui perspektif dokter tentang bagaimana seharusnya dokter dibayar
dan apa alasannya. Berikut ini berbagai pandangan para dokter tentang kompensasi yang
dihimpun dari berbagai sumber:
1. Dokter seyogianya dibayar sepadan dengan pola pendidikannya yang lebih lama dari
profesi lain, dan sepadan dengan kewajiban belajar sepanjang hayat untuk memelihara
dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuannya. Kewajiban ini tidak ada pada
profesi lain.
2. Dokter seyogianya dibayar lebih tinggi karena jam kerja dokter umumnya lebih tinggi
dari jam kerja profesi lain.
3. Dokter yang menghasilkan pelayanan bermutu tinggi seyogianya dibayar lebih banyak
dibandingkan dokter yang menghasilkan layanan yang berkualitas rendah.
4. Dokter yang menghasilkan kuantitas layanan banyak seyogianya dibayar lebih banyak
dibandingkan dokter yang menghasilkan pelayanan yang lebih sedikit.
5. Pelayanan berupa prosedur atau tindakan medis seyogianya bukan satu-satunya faktor
penentu bahwa dokter dibayar lebih dari dokter lainnya.
6. Cara pembayaran profesi dokter seyogianya tidak mengurangi otonomi profesi dokter
dan tidak membatasi kebebasan profesi dokter dalam memilih dan memberi layanan
medik yang dibutuhkan pasiennya.
7. Kompensasi yang diberikan pada profesi dokter seyogianya bukan bersadarkan status
kepegawaian, kepangkatan atau institusi tempat dokter bekerja.

1. Pembayaran dokter hendaknya tidak menjadi hambatan bagi individu pasien untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
2. Jasa profesi dokter seyogianya mempertimbangkan kemampuan masyarakat (
) dan kemauan masyarakat ( ) membayar pelayanan kesehatan, dan
nilainya seyogianya wajar, masuk akal, dan berkeadilan.
3. Keseimbangan pendapatan antar-dokter dan antar-spesialisasi seyogianya dapat
mendorong terwujudnya piramida pelayanan kesehatan (
).
4. Keseimbangan pendapatan dokter antar-wilayah seyogianya dijaga agar pemerataan
distribusi dokter di Indonesia dapat terwujud.
5. Kompensasi dokter integral dengan produktivitas dokter dan seyogianya dihitung
berdasarkan kerja dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dengan
mempertimbangkan karakteristik profesi dokter, waktu dan intensitas kerja dokter, dan
kontribusi dokter dalam pembangunan kesehatan.
6. Metode pembayaran dokter seyogianya dapat mendorong peningkatan efisiensi dan
efektivitas pelayanan kedokteran bagi sebesar-besarnya kepentingan individu pasien,
dokter dan pembayar.
7. Metode untuk menentukan kompensasi dokter seyogianya mempertimbangkan
produktivitas dan mutu layanan, mudah diterapkan, transparan dan akuntabel.
8. Kompensasi dokter dipengaruhi hukum ekonomi ( ), sehingga harus
dikawal dengan regulasi untuk menjamin ketersediaan dan distribusi dokter di seluruh
wilayah Indonesia.
9. Dokter seyogianya menerima kompensasi yang seimbang dengan trias peran dokter
( ) yang sangat strategis
dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan kesehatan nasional.
4. Isu Strategis dan Kecenderungan
Proporsi Pembiayaan Didominasi UKP
Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, rata-rata 2,2% dari produk domestik
bruto (PDB), masih jauh di bawah angka yang dianjurkan WHO maupun yang ditetapkan UU
Kesehatan, yaitu paling sedikit 5% dari PDB setahun. Sebagian besar digunakan untuk
belanja upaya kesehatan perorangan (UKP) yang didominasi upaya kuratif dan belanja obat,
dan hanya sebagian kecil untuk upaya kesehatan masyarakat (UKM). Pembiayaan UKM
yang rendah pada gilirannya menjadi bumerang dan membebani UKP, karena masalah
kesehatan yang harusnya bisa dicegah kemudian menjadi penyakit yang harus diselesaikan
di UKP.
Rendahnya alokasi dana UKM ini, salah satunya karena UKM hasilnya baru tampak dalam
jangka panjang, sangat berbeda dengan UKP yang hasilnya bisa segera dirasakan. Bila kedua
upaya ini dikelola oleh satu institusi, biasanya alokasi dana UKM selalu kalah bersaing
dengan UKP. Dalam era JKN perencanaan kebutuhan dana UKP menjadi lebih mudah dan
pasti, karena berdasarkan jumlah populasi dan besaran iuran, dan selanjutnya dana ini akan
dikelola oleh BPJS. Di sini tampak ada kecenderungan peran Pemerintah sebagai pelaksana
UKP menurun dan seyogianya penurunan kapasitas ini dikompensasi untuk meningkatkan
kapasitas UKM. Dengan demikian pembangunan kesehatan nasional ditopang oleh UKP dan
UKM yang sama kuatnya.
Pelayanan Kesehatan Jadi Komoditas
Pelayanan kesehatan telah menjadi komoditas, dalam arti hanya mereka yang memiliki uang
yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Komoditas pun bukan komoditas biasa, tapi
komoditas yang mahal dan harganya meningkat dari tahun ke tahun, sehingga membebani
masyarakat, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang tidak mempunyai asuransi
kesehatan. Biaya berobat telah menjadi penghalang ( ) akses ke layanan
kesehatan. WHO melaporkan 152 juta orang setahun yang bangkrut dan ekonomi
keluarganya morat-marit karena mahalnya biaya kesehatan ( ) dan 100
juta orang setahun yang jatuh miskin karena sakit (WHO, 2002). Munculnya gurauan
SADIKIN (sakit sedikit jadi miskin) di masyarakat sebenarnya merepresentasikan kondisi
yang dilaporkan WHO.
Penerapan JKN menunjukkan keberadaan Negara yang ingin mengembalikan pelayanan
kesehatan menjadi hak penduduk, dan untuk itu dibutuhkan banyak rambu-rambu regulasi
yang harus dibuat untuk mendukung penerapan JKN.
Moral Hazards
Dalam kondisi pelayanan kesehatan yang telah menjadi komoditas dan kentalnya
konsumerisme, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam mencari
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya, mengingat keterbatasan informasi
yang dimilikinya ( ). Seiring dengan itu masyarakat membayar secara
( ) dan pada saat mereka membutuhkan pelayanan.
, , dan secara bersamaan berpotensi memicu moral hazards.
Indikasi moral hazards ini sebenarnya kasat mata kalau dilihat dari tingginya angka secio
caesaria dan meningkatnya penggunaan obat-obat mahal.
Dengan pembayaran secara praupaya dan kapitasi dalam JKN, kecenderungan moral
hazards akan tetap ada, baik dari peserta JKN maupun dari pemberi layanan kesehatan.
Oleh sebab itu penerapan JKN harus diiringi dengan kebijakan untuk menekan serendah
mungkin terjadinya moral hazards ini.
Paradoks Pendapatan Dokter
Survei IDI tahun 2007 menunjukkan keadaan yang bertentangan dengan kelaziman
(paradoks), yaitu kerja utama (40 jam per minggu) hanya menghasilkan 15-20% dari total
pendapatan dokter. Lazimnya kerja utama menjadi sumber pendapatan utama untuk

seseorang ingin lebih dari cukup. Paradoks ini yang menyebabkan dokter terpaksa harus
bekerja tambahan (praktik) diluar jam kerja utamanya, yang awalnya hanya untuk menutupi
kebutuhan hidup kemudian diterima seolah-olah sebagai kelaziman. Implikasi dari kondisi
ini adalah profesi dokter harus bekerja lebih lama dari profesi lainnya (58-65 jam per
minggu), dokter lebih loyal pada kerja yang memberikan pendapatan terbesar (bias
loyalitas), dokter lebih memilih berpraktik di lokasi yang dapat menjamin pendapatannya
(maldistribusi), dan institusi tempat dokter bekerja paruh waktu tidak bertanggung jawab
untuk membina dokter sehingga pembinaan dokter terabaikan.
Dalam era JKN, fasilitas kesehatan (faskes) dilibatkan untuk menanggung risiko biaya
kesehatan dan karena tidak mau merugi otomatis faskes akan mentransfer pula risiko ini ke
dokter. Kondisi ini menumbuhkan kecenderungan dokter akan bekerja di satu institusi saja
(monoloyalitas) yang berarti pula di masa depan pendapatan dokter berasal dari 1 sumber
pendapatan saja.
Produktivitas Dokter Terabaikan
Saat ini, produktivitas dan pola pelayanan dokter Indonesia terabaikan karena sebagian
besar dokter bekerja di beberapa institusi. Misalnya: berapa rerata pasien yang dilayani
setahun? Berapa rerata waktu tatap mukanya? Data sederhana ini saja sulit diperoleh atau
tidak ada data nasional. Padahal data produktivitas dokter sangat diperlukan untuk
merencanakan kebutuhan dokter dan menyusun sistem remunerasi dokter. Kondisi ini
menunjukkan kalau kebutuhan dokter belum direncanakan dengan baik, dan belum ada
sistem kompensasi/pendapat dokter yang memperhitungkan produktivitas dokter, misalnya
per 1 FTE ( ).
Keberhasilan JKN diukur salah satunya dari akses penduduk ke faskes primer, artinya seluruh
penduduk terbagi habis ke faskes primer. Jadi isu strategis dalam penerapan JKN adalah
bagaimana mendorong pemerataan dan penyebaran dokter ke seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan untuk menjawab isu ini tentunya membutuhkan dukungan data, dan salah
satunya adalah data tentang produktivitas dan pola pelayanan dokter.
Fragmentasi Pelayanan Kesehatan
Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah mendorong tumbuhnya percabangan
ilmu kedokteran dan berlanjut menjadi fragmentasi pelayanan kesehatan. Pelayanan
tradisional diwarnai dengan model hubungan , yang terjadi karena pengetahuan
dan keterampilan yang dibutuhkan pasien melekat pada diri seorang dokter. Kemajuan ilmu
dan teknologi kedokteran telah mengubah model hubungan ini menjadi hubungan
dalam arti beberapa spesialis yang memiliki kompetensi berbeda bersama-sama
menangani masalah kesehatan seorang pasien.
Dalam pembayaran fragmentasi pelayanan ini menguntungkan dokter namun
membebani pasien, misalnya seorang pasien yang dirawat 4 spesialis biaya dokternya
menjadi 4 kali lipat. Dalam era JKN karena faskes dilibatkan dalam menanggung risiko
finansial, maka ada kecenderungan faskes akan menata ulang tata cara pelayanan pasiennya
dan cara membayar dokternya. Kondisi ini akan mendorong faskes untuk membuat suatu
sistem remunerasi untuk seluruh personilnya, termasuk sistem remunerasi dokter.
Status, Pendapatan, Dan Karir Dokter Tidak Jelas
Pada tahun 60an, masuk ke fakultas kedokteran gratis (malah sebagian mendapat uang
saku/beasiswa). Setelah lulus semuanya ditampung menjadi dokter PNS/ABRI dan
mendapat gaji plus fasilitas lain yang cukup untuk hidup layak. Karena
menjalankan praktik pribadi untuk mendapat tambahan penghasilan secara resmi, maka
tingkat ekonomi profesi dokter lebih tinggi dari PNS lainya.
Kini keadaan telah berubah! Untuk menjadi dokter dibutuhkan modal 200-300 juta. Begitu
lulus para dokter baru menanggung beban finansial akibat proses pendidikannya dan ia
dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang tidak informatif, tidak jelas karir dan
pendapatannya sebagai seorang dokter. Sekitar 10% dokter dari sekitar 5000 lulusan dokter
yang direkrut sebagai PNS, gajinya tidak mencukupi untuk hidup layak sehingga praktik
pribadi menjadi keharusan dan sumber pendapatan utama. Dalam ketidakpastian karir dan
pendapatan ini, para dokter memilih menjadi spesialis sebagai pilihan untuk mengamankan
pendapatan dan masa depannya.
Penerapan JKN membutuhkan sistem pelayanan kesehatan berorientasi pelayanan primer.
Dalam sistem ini dapat dipastikan mayoritas dokter Indonesia adalah dokter layanan primer
(DLP). Data dari tahun 60an sampai saat ini menunjukkan kecenderungan proporsi dokter
PNS terus menurun dan saat ini mayoritas dokter adalah non-PNS. Kecenderungan
menurunnya dokter yang menjadi PNS dapat dimengerti, karena sebenarnya dokter
termasuk kategori . Kecenderungan ini harus menjadi pertimbangan
utama dalam mengembangkan model entitas praktik dokter di wilayah pekotaan, pedesaan
dan daerah terpencil dalam era JKN.
Kesenjangan Pendapatan Antar-dokter
Kondisi carut-marutnya sistem pelayanan kesehatan dan pembayaran yang didominasi oleh
telah mendorong terjadinya persaingan yang tidak sehat antar-dokter. Bila pada tahun
60-70an kesenjangan antar-dokter tidak begitu besar, kini kesenjangan pendapatan antar-
dokter dan antar-spesialisasi menjadi sangat besar, apalagi kesenjangan antara dokter
spesialis (DSP) dengan dokter praktik umum. Survei IDI pada tahun 2007 menunjukkan
pendapatan dokter spesialis 8-244 kali pendapatan dokter praktik umum. Di negara OECD
kisarannya hanya 1.0 1.8 kali dan di USA kisarannya 1,5-3,8 kali.
Isu kesenjangan dokter ini merupakan isu krusial yang dapat menghambat keberhasilan
penerapan JKN. Mengingat dalam era JKN dokter layanan primer (DLP) ditempatkan sebagai
fondasi sistem pelayanan kesehatan dan harus tersedia merata di seluruh tanah air, maka
harus ada kebijakan yang menjadikan DLP sebagai profesi yang atraktif dari segi karir,
pendapatan, dan perannya di masyarakat. Salah satu kebijakan untuk menjamin eksistensi
DLP adalah jaminan pendapatan yang relatif tidak jauh berbeda dengan dokter spesialis.

5. Istilah dan Batasan

Kompensasi:
Adalah penghargaan berbentuk finansial (uang) dan non-finansial (bukan uang) yang
langsung dan tidak langsung diberikan kepada seseorang sebagai imbalan untuk suatu
pekerjaan, dengan mempertimbangkan nilai pekerjaaan tersebut serta kontribusi dan
kinerja seorang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Kompensasi langsung biasanya berbentuk pendapatan per periodik (pendapatan dasar plus
insentif yang terkait dengan produktivitas), sedangkan kompensasi tidak langsung
berbentuk manfaat/imbalan tambahan yang punya nilai ekonomi ( ), misalnya:
tunjangan kesehatan, jamsostek, THR, bonus tahunan, mobil perusahaan, program
kepemilikan rumah, tunjangan telepon seluler, dan lain-lain.

Manfaat tambahan (fringe benefits)


Adalah fasilitas tambahan yang diberikan kepada dokter, yang mempunyai nilai finansial,
tetapi tidak dibayarkan secara langsung kepada dokter, seperti asuransi kesehatan, asuransi
jiwa, asuransi malpraktik, biaya CPD, perumahan, kendaraan, dan lain lain.
biasanya diberikan untuk menjadi daya tarik dan untuk menahan dokter agar betah dan
tidak pindah ke institusi lain.

Gaji
Adalah kompensasi bersifat pasti dan dibayarkan pada waktu yang tetap (mingguan, dua
mingguan atau bulanan). Banyak gaji yang mencakup juga manfaat/imbalan tambahan
seperti tunjangan transport, perumahan, kemahalan, dan kesehatan, dan tunjangan
lainnyanya.

Honorarium
Adalah sejumlah uang ( ) yang diberikan kepada seorang profesional untuk suatu
pelayanan, seperti pembicara seminar, pengajar tamu dan lain-lainnya yang biasanya
pelaksanaannya hanya sesekali saja.
Jasa medik ( ):
Adalah imbalan yang diterima dokter untuk setiap layanan medis yang diberikan kepada
pasiennya (pada cara pembayaran ).

Insentif
Adalah sejumlah rupiah ( ) di luar gaji yang diberikan atas pencapaian seseorang dengan
memakai indikator tertentu.

Sistem remunerasi/sistem kompensasi/sistem penggajian


Adalah tata cara suatu organisasi untuk membayar seseorang yang terikat ikatan kerja
dengan organisasi tersebut. Tata cara ini umumnya menggabungkan beberapa metode
pembayaran dengan tujuan meningkatkan kinerja dan produktivitas.
Dalam organisasi pemerintahan Indonesia, sistem remunerasi adalah tata cara memberikan
imbalan tambahan di luar gaji PNS yang sudah diatur di PGPNS.
II. DOKTER LAYANAN PRIMER

1. Jaminan Kesehatan Nasional


Jaminan Kesehatan adalah perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan,
yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan
oleh pemerintah berdasarkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) harus ditopang oleh dua sistem, yaitu sistem pembiayaan
kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan. Kedua sistem ini harus dapat diintegrasikan
untuk menjamin hak masyarakat memperoleh akses ke pelayanan kesehatan bermutu.

Sistem pembiayaan kesehatan memiliki 3 fungsi utama, yaitu: mengumpulkan dana dari
peserta ( ), menghimpun dana dan meminimalkan risiko ( ), dan membeli
dan menyediakan layanan kesehatan untuk melayani peserta ( ). Ketiga fungsi ini
dilaksanakan berlandaskan pada kaidah dan prinsip asuransi kesehatan sosial.

Gambar 2-1. Sistem pembiayaan kesehatan


Ketiga fungsi ini akan dilaksanakan oleh sebuah badan hukum publik, yaitu badan
penyelenggara jaminan sosial bidang kesehatan (BPJS) yang merupakan transformasi PT
Askes menurut amanat UU BPJS. BPJS berfungsi mengumpulkan dana dari pembayar ( )
dengan mekanisme tertentu, mengelola dana tersebut, serta menyeleksi dan mengontrak
pemberi layanan kesehatan ( ) untuk melayani peserta JKN. Dengan mekanisme ini
tidak ada hambatan akses finansial untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Lihat gambar).
Adanya JKN tidak berarti peserta sama sekali terbebas dari hambatan finansial, karena
peserta tetap harus menanggung biaya tidak langsung. Untuk meminimalkan pengeluarkan
biaya tidak langsung ini, BPJS harus mengupayakan ketersediaan provider sedekat mungkin
atau di tengah masyarakat.

Sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer adalah sistem pelayanan


kedokteran yang bertumpu pada konsep (PHC). Sistem ini ditata
menjadi 3 strata sesuai dengan pola pencarian pelayanan kesehatan di masyarakat. Strata
pertama berfungsi sebagai mitra masyarakat dalam menerapkan perilaku hidup sehat,
memelihara kesehatan dan mengatasi sebagian besar masalah kesehatan sehari-hari.
Karena fungsinya ini entitas strata pertama harus berada di tengah atau sedekat mungkin
dengan masyarakat yang dilayani. Strata kedua berfungsi mendukung ( ) strata
pertama, untuk mengatasi masalah kesehatan yang tidak dapat diselesaikan di strata
pertama. Strata ketiga merupakan pusat rujukan untuk mengatasi kasus-kasus langka yang
membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan peralatan medik yang sangat spesifik. Fungsi
ini menjadikan strata ketiga sebagai pusat rujukan dan juga pusat penelitian dan
pengembangan ilmu kedokteran ( ).

Dalam fasilitas kesehatan yang tertata seperti ini masyarakat wajib mendaftarkan diri ke
satu strata pertama yang berada di wilayahnya dan selanjutnya memanfaatkan
tersebut bila ia membutuhkan pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan
kedokteran dengan ciri-ciri seperti di atas disebut sistem pelayanan kedokteran berorientasi
pada pelayanan primer. Gambar berikut ini adalah visualisasinya.

Gambar 2-2. Kerangka konsep sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer
2. Peranan Dan Kedudukan DLP Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
Dokter Layanan Primer (DLP) adalah dokter yang memiliki kompetensi luas tentang
beragam disiplin ilmu kedokteran, tetapi tidak sedalam spesialis bidang tersebut, yang
diperoleh melalui pendidikan setara spesialis dan ranah kerjanya di strata primer.

DLP berperan sebagai ujung tombak atau pintu masuk masyarakat ke sistem pelayanan
kesehatan dan berfungsi menyelesaikan sebagian besar masalah kesehatan individu dan
keluarga. Ia berperan sebagai mitra, pembina, pemberi layanan, dan koordinator segala
kebutuhan pelayanan kesehatan dari komunitas yang dibinanya. Peran ini mengharuskan
DLP berdomisili dan berpraktik di tengah masyarakat atau sedekat mungkin dengan
masyarakat yang dilayaninya. Dengan kata lain, peranan dan kedudukan DLP adalah dokter
yang ditempatkan di tengah masyarakat untuk melaksanakan trias peranan dokter, yaitu
, , dan .

Saat ini yang disebut DLP adalah semua dokter non-spesialis yang berpraktik di strata
pertama. Para dokter ini, yang jumlahnya + 80.000an bekerja di puskesmas, klinik, dan
klinik 24, dan praktik sendiri. Kompetensi para dokter ini sangat heterogen dan belum
sepenuhnya dapat menjalankan peranan sebagai program JKN.

3. Lingkup Pelayanan DLP


Pelayanan DLP merupakan pelayanan kontak pertama dalam arti pelayanan yang pertama
kali dikunjungi masyarakat bila ia membutuhkan layanan kesehatan, baik untuk keperluan
pemeliharaan dan pencegahan penyakit di kala sehat maupun keperluan pengobatan di kala
sakit. Idealnya DLP dapat menyediakan 20 jenis pelayanan di bawah ini dengan mutu dan
standar yang sama baiknya untuk melayani peserta JKN (Lihat lampiran 1).
1). Penilaian Status Kesehatan Pribadi ( )
Penilaian faktor risiko, pemeriksaan fisik dan setiap peserta JKN untuk
memperoleh profil kesehatan pribadi guna merancang program proaktif yang spesifik
bagi setiap peserta JKN.
2). Program Proaktif Pengendalian Penyakit/Kondisi Khusus
Program promotif-preventif yang dilaksanakan secara proaktif untuk mengendalikan
penyakit atau kondisi khusus, seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia,
kegemukan, merokok, dan lain-lainnya.
3). Pendidikan Kesehatan
Program pendidikan kesehatan untuk modifikasi gaya hidup, mengendalikan faktor
risiko, seperti konseling individu, pembinaan keluarga, edukasi kelompok, mini seminar,
brosur/e-brosur.
4). Pencegahan
Kegiatan preventif untuk melindungi peserta dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, skrening dan detekni dini sebelum penyakit bergejala.
5). Pemeliharaan Kesehatan Bayi Dan Anak Balita
Pemeriksaan rutin pada bayi dan anak balita, seperti memantau pertumbuhan, status
imunisasi dan gizi, perkembangan motorik, dan memberikan nasehat tentang
perawatan, nutrisi, dan psikologi agar tercapai pertumbuhan yang optimal.

6). Pemeliharaan Kesehatan Anak Usia Sekolah


Bekerja sama dengan puskesmas dan sekolah yang berada di wilayah praktiknya untuk
melaksanakan pemeriksaan rutin dan deteksi dini masalah kesehatan anak usia sekolah.

7) Pemeliharaan Kesehatan Wanita Dan Kesehatan Reproduksi


Melaksanakan pemeriksaan rutin, deteksi dini, dan pengelolaan masalah kesehatan
yang khusus ada pada wanita, seperti deteksi dini kanker mulut rahim, kanker
payudara, dan sindroma menopause, serta menyediakan pelayanan KB.

8). Pemeliharaan Kesehatan Lansia


Melaksanakan pemeriksaan rutin bagi mereka yang termasuk kelompok lansia untuk
deteksi dini dan mengelola masalah kesehatan yang sering ditemui di usia lanjut, seperti
pembesaran prostat, penyakit degeneratif, dan lain-lainnya.

9). Pemeriksan Antenatal/ Postnatal dan Persalinan


Melakukan pemeriksaan rutin pada peserta yang hamil agar diperoleh kehamilan yang
baik dan persalinan yang aman.

10). Konsultasi, Diagnosis, dan Pengobatan


Memberikan layanan konsultasi dan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, menegakkan diagnosis, pengobatan, dan tindakan medis yang sesuai
dengan kompetensi dan kewenangan DLP.

11). Peresepan Obat


Meresepkan obat-obatan secara rasional sesuai dengan kebutuhan medis peserta dan
mengutamakan penggunaan obat esensial dan obat generik yang terdapat di dalam
Formularium Obat Pelayanan Primer.

12). Tindakan Medis


Melakukan tindak medis yang menjadi kompetensi dan kewenangannya, antara lain
tindakan bedah kecil (ekstirpasi, insisi, sirkumsisi), injeksi, resusitasi.

13). Penunjang Diagnostik


Melakukan pemeriksaan penunjang diagnostik seperti laboratorium untuk layanan
strata pertama, elektrokardiografi, ultrasonografi, dan fasilitas penunjang lainnya.
14). Rehabilitasi Medik
Menyediakan perawatan rehabilitasi medik bagi penderita pasca- , pascabedah,
dan kondisi lainnya. Perawatan rehabilitasi medik ini sebatas kompetensi DLP dan
timnya dan dapat dilakukan di tempat praktik atau di rumah peserta.

15). Kunjungan Rumah


Melakukan kunjungan rumah untuk memberikan layanan bila kondisi mitra, karena
alasan medis, tidak memungkinkannya datang ke praktik DLP.

16). Perawatan di Rumah


Peserta dapat minta dirawat di rumah karena pertimbangan ekonomi, kenyamanan,
termasuk untuk akhir kehidupan, dan DLP akan menyetujui permintaan tersebut bila
secara medis memungkinkan.

17). Kunjungan Ke Rumah Sakit


DLP akan mengunjungi peserta yang dirawat di rumah sakit untuk menjelaskan riwayat
penyakit mitra kepada dokter yang merawat dan memantau perawatan mitra.

18). Layanan Mendesak/Gawat Darurat


DLP siap untuk memberikan layanan mendesak atau gawat darurat yang sewaktu-waktu
terjadi di tempat praktik, seperti mengatasi syok atau asma akut.

19) Koordinasi dan fasilitasi rujukan


DLP menyiapkan data, surat dan kondisi peserta, dan menghubungi dokter di fasilitas
kesehatan rujukan untuk mengkoordinasikan kebutuhan pasiennya.
20) Ambulans
Sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, praktik DLP dapat dilengkapi dengan
layanan ambulans untuk kemudahan dan kenyamanan transportasi peserta yang
memiliki kondisi khusus.

4. Potensi Produktivitas DLP


1 Full Time Equivalent DLP
Produktivitas DLP terkait langsung dengan waktu efektif yang tersedia untuk melayani
pasien. Sebagaimana profesi lainnya, DLP bekerja 40 jam per minggu, atau 8 jam per hari
sepanjang hari kerja setahun. Sebagaimana di banyak negara, karena sifat pekerjaannya,
profesi dokter mempunyai jam kerja yang lebih panjang dari profesi lainnya. Dengan
memperhitungkan jumlah hari libur nasional, Sabtu/Minggu, cuti tahunan, maka waktu kerja
DLP adalah sekitar 2.268 jam/tahun (Lihat tabel).

Dengan acuan jam kerja tersebut, pada kajian yang dilakukan di satu klinik yang hasilnya
dibandingkan data dari beberapa negara diperoleh gambaran bahwa idealnya alokasi waktu
kerja DLP terbesar adalah untuk kegiatan tatap muka dengan pasiennya ( /F2F).
Sisa waktunya digunakan untuk kegiatan pendukung, seperti CPD, dan administrasi.
Pada tabel berikut ini disajikan kegiatan rutin DLP dalam memanfaatkan 2.268 jam waktu
kerjanya dengan proporsi waktu yang ideal, yaitu 80% untuk tatap muka melayani pasien
(peserta baru, kasus baru, kasus lama, edukasi, tindakan medik, dan kunjungan rumah), dan
20% untuk kegiatan lain. Dengan proporsi waktu tersebut DLP dapat melayani 7.180
kunjungan atau sekitar 28 kunjungan per hari dengan variasi waktu tatap muka yang
berbeda. Produktivitas ini dipengaruhi oleh keterampilan, cara kerja, standar sarana dan
perangkat kerja, serta dukungan dari tim kerja DLP. Pada Tabel 2-1 di bawah ini, tampak
bahwa potensi produktivitas seorang DLP dalam setahun adalah sekitar 7.180 kunjungan
(dibulatkan menjadi 7.200 kunjungan). Angka ini disebut 1 atau 1 FTE.

Tabel 2-1 Potensi produktivitas seorang dokter layanan primer

Waktu tersedia Rerata tatap muka Produktivitas


Proporsi
Kegiatan Rutin DLP per tahun per kunjungan per tahun
waktu
(jam) (menit) (kunjungan)
1. Melayani pasien (F2F)
a. Peserta baru 6% 136 30 272
b. Kasus baru 30% 680 14 2,916
c. Kasus lama 18% 408 8 3,062
d. Edukasi 12% 272 30 544
e. Tindakan medik 6% 136 40 204
f. Kunjungan rumah 8% 181 60 181
Subtotal 80% 1,814 7,180
2. CPD 10% 227
3. Administrasi 5% 113
4. Lain-lain 5% 113
Subtotal 20% 454
Total 100% 2,268

Untuk menggambarkan pemanfaatan ( ) layanan kesehatan, biasanya digunakan


angka kunjungan per orang per tahun ( ), yaitu jumlah kunjungan
rata-rata peserta ke entitas pelayanan primer per tahunnya. Seorang DLP yang mengayomi
2000 peserta dan dalam setahun melayani 7400 kunjungan, maka angka kunjungan DLP
tersebut adalah 7400/2000 atau 3,7 kunjungan/orang-tahun adalah. Angka ini dipengaruhi
oleh berbagai faktor, seperti ciri demografi, pola penyakit, daya beli masyarakat,
ketersediaan dan kemudahan akses ke sarana kesehatan, dan lain-lainnya. Di bawah ini
adalah perbandingan beberapa pengelola

Tabel 2-2. Berbagai tingkat pemanfaatan ( )

NHS HMO (USA) Average USA Pertamina PT Askes


Angka kunjungan 4,4 7-9 5 5-16 1,8
per orang per tahun)
Dalam perjanjian kerja sama BPJS dan DLP dengan pembayaran kapitasi, seyogianya
tercantum tingkat pemanfaatan yang disepakati yang setidaknya mencakup 3 angka berikut
ini.

Angka kunjungan per orang per tahun ( ) yang


menggambarkan keseringan (frekuensi) masyarakat memanfaatkan (mengunjungi)
entitas pelayanan primer, dan berimplikasi pada beban kerja yang harus dilayani DLP.
yaitu jumlah rata-rata pemanfaatan setiap jenis layanan (resep,
pemeriksaan laboratorium, usg, ekg dan lain-lainnya) yang diberikan kepada peserta yang
berkunjung ke DLP dalam satu tahun.
yaitu angka yang menggambarkan seberapa banyak peserta dari total
komunitas binaan DLP yang berkunjung ke DLP dalam satu tahun.

Tiga angka ini menjadi acuan bagi kedua belah pihak untuk melihat tingkat pemanfaatan,
baik untuk kepentingan monitoring dan evaluasi, menentukan bonus atau penalti, atau
mengoreksi angka pemanfaatan dan kapitasi pada periode berikutnya. Patut diingat peran
DLP sebagai dan pola kerja DLP yang proaktif ini sangat berbeda dengan peran
dan pola praktik dokter umum saat ini, sehingga dapat dipastikan kunjungan dan beban
kerja DLP lebih tinggi dari angka yang digunakan PT Askes. Untuk kepentingan perencanaan
dan evaluasi beban kerja DLP, seyogianya digunakan angka kontak per orang-tahun
sebanyak 3-4 kali dan bukan angka PT Askes sebanyak 1,8 kali. Angka ini berdasarkan
pengamatan di klinik dokter keluarga yang bekerja secara proaktif.

Occupancy rate DLP


O atau angka okupansi DLP adalah persentase jumlah kunjungan yang dilayani
DLP dalam 1 tahun terhadap potensi produktivitasnya dalam kerja penuh waktu selama 1
tahun (1 FTE). Sebagai contoh, seorang DLP mempunyai 2500 peserta JKN. Dengan asumsi
angka kunjungan populasi tersebut adalah 3 kali/peserta-tahun, maka perkiraan kunjungan
setahun adalah 2500 x 3 = 7.500 kunjungan. Sementara itu, pada Tabel 2-1, tampak bahwa 1
FTE untuk seorang DLP adalah 7.200 kunjungan, maka angka kesibukan DLP adalah
7.500/7.200 = 104%.

Angka okupansi DLP tersebut menunjukkan bahwa bila rerata kontak 3 kali/peserta/tahun
maka beban kerja yang ditimbulkan komunitas binaan DLP telah melampaui kapasitas DLP.
Kelebihan 4% ini masih bisa diterima mengingat proporsi tatap muka DLP adalah 80% (lihat
Tabel 2-1). Jadi DLP masih bisa menyerap kelebihan kunjungan ini dengan mengurangi
kegiatan CPD, atau mengefisienkan kerja administrasinya, dan secara bersamaan DLP juga
perlu mengendalikan pemanfaatan yang berlebihan dari beberapa pasiennya.

Contoh ini menunjukkan bahwa seorang DLP yang mempunyai 2.500 peserta, seluruh jam
kerjanya sudah habis terpakai untuk melayani komunitas binaannya. Tidak tersedia waktu
untuk melayani pasien nonpeserta. Hal ini berarti DLP hanya mempunyai 1 sumber
pendapatan, yaitu kapitasi dari peserta yang terdaftar di komunitas binaannya. Jadi ada
hubungan langsung antara FTE, jam kerja DLP, dan jumlah komunitas binaan DLP seperti
tabel berikut ini.

Tabel 2-3. Hubungan antara produktivitas DLP dan jumlah komunitas binaannya

FTE Jam Kerja DLP Per Minggu Jumlah Komunitas Binaan

5. Entitas Praktik DLP


Praktik dokter pada hakekatnya memiliki banyak dimensi, yaitu:
tempat bertemunya ilmu kedokteran dengan masyarakat yang selalu diwarnai
ketidakpastian ( ), dominasi pemberi layanan ( ), dan
eksternalitis
tempat dokter berkarya dan mengabdikan ilmu dan keterampilannya untuk memberikan
pelayanan terbaik bagi pasiennya
suatu entitas bisnis tempat pengetahuan, keterampilan, dan waktu dokter dimanfaatkan
dalam bentuk jasa pelayanan kesehatan.
sarana pelayanan yang mengandung muatan sosial dan kemanusian, serta sering diberi
muatan politik yang menggiring persepsi seolah-olah pelayanan kesehatan adalah suatu
kegiatan pengabdian dan dapat diselenggarakan secara gratis.
merupakan sumber nafkah bagi dokter dan timnya, dan dimensi ini sering dibenturkan
dengan dimensi lain sehingga seolah-olah pemberi pelayanan tidak perlu dibayar.

Berbagai dimensi ini menyebabkan pelayanan kesehatan tidak mengikuti hukum pasar dan
oleh sebab itu dibutuhkan campur tangan negara untuk mengaturnya. Dalam tatanan
kapitalis seperti situasi sekarang, suatu praktik dokter memerlukan izin usaha, modal, biaya
operasional dan personil, mempunyai pelanggan, bisa untung atau merugi, bisa berkembang
atau ditutup bila tidak diminati pelanggan. Dengan demikian tampak bahwa walaupun
mengandung muatan sosial dan kemanusiaan, praktik dokter bukan sesuatu yang dapat
diselenggarakan tanpa biaya.
DLP menjadi business owner dari praktiknya
Bentuk praktik DLP pada hakekatnya ditentukan oleh karakteristik yang melekat pada DLP
itu sendiri, yaitu:
1. DLP atau dokter termasuk kategori atau profesi yang dapat
mempekerjakan dirinya sendiri karena jasa pelayanan yang dibutuhkan masyarakat pada
dasarnya adalah pengejawantahan pengetahuan, ketrampilan, etika dan waktu yang
dimiliki oleh DLP.
2. Waktu tatap muka DLP sangat menentukan pendapatan entitas praktik DLP. Oleh sebab
lazimnya DLP akan merekrut profesi lain menjadi tim kerjanya agar ia dapat memperluas
lingkup pelayanan dan waktu tatap muka dengan pasiennya.
3. Peranan DLP sebagai ujung tombak pelayanan mengharuskan dirinya berdomisili dan
berpraktik di tengah masyarakat dan menjadi bagian dari masyarakat yang dilayaninya.

Karakteristik DLP di atas yang menjadi landasan regulasi di banyak negera yang menetapkan
praktik DLP, apakah berbentuk atau klinik, harus dimiliki oleh DLP yang
menjalankan praktik. Dengan kata lain, DLP adalah dari entitas praktiknya.
Di Indonesia pun, harus diupayakan kebijakan yang mengatur bentuk praktik DLP sesuai
karakteristik di atas.

DLP dapat memilih 3 bentuk praktik yang sesuai dengan kondisi tempat ia akan berpraktik,
yaitu praktik sendiri, praktik bersama, atau praktik bersama dengan jejaring. Mengingat
praktik dokter adalah sumber nafkah, tentunya ada ekspektasi pendapatan yang akan
diterimanya. Oleh sebab itu bentuk praktik manapun yang dipilih, ada 4 komponen biaya
yang selalu harus diperhitungkan, yaitu:
1. Biaya operasional praktik (ruangan, personil, material habis pakai, prasarana gedung
(telpon, listrik, air), rumah tangga kantor, marketing, dan lain-lain)
2. Biaya untuk memelihara dan meningkatkan kompetensi profesi dokter dan tim kerjanya
(asuransi malpraktek, lisensi, sertifikasi, registrasi, seminar/pelatihan, jurnal, iuran
profesi, dan lain-lain)
3. Biaya jaminan sosial (tabungan hari tua/pensiun, asuransi jiwa, asuransi kesehatan,
tabungan pendidikan)
4. Biaya hidup untuk dirinya dan keluarga.

Berbagai komponen biaya ini sangat penting karena menjadi dasar untuk menghitung
kapitasi dan tarif layanan. Pengetahuan tentang komponen biaya ini serta pengetahuan
tentang peranan dan kedudukan DLP, lingkup pelayanan DLP dan potensi produktivitas DLP,
sangat diperlukan untuk memahami mengapa entitas praktik DLP seharusnya tidak
melibatkan investor.

DLP menjadi pegawai pemerintah


Pilihan menjadi business owner dari praktiknya berarti DLP harus menyediakan segala
kebutuhan termasuk modal kerja untuk memulai praktiknya, mempunyai kemampuan
manajemen untuk mengelola praktiknya, dan mau menyediakan waktu untuk pekerjaan
administrasi dan manajemen. Bagi DLP yang tidak menyukai pekerjaan administrasi dan
manajemen, maka mereka lebih memilih menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di
fasilitas kesehatan primer milik pemerintah.

6. Hubungan Praktik DLP dengan UKM


DLP bertanggung jawab memelihara kesehatan komunitas binaannya. Bila ada peserta yang
menderita penyakit menular, DLP akan mengobati pasien hingga sembuh dan ia akan
melakukan tindakan pencegahan dan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya agar
penyakit menular tidak menyebar ke lingkungan keluarga dan masyarakat. DLP pun wajib
melaporkan kejadian penyakit menular tersebut ke penanggung jawab UKM setempat
(puskesmas). Puskesmas akan mengolah informasi ini dan selanjutnya melaksanakan upaya
promotif dan preventif yang diperlukan untuk melindungi masyarakat di wilayahnya dari
kemungkinan tertular penyakit tersebut. Untuk memperjelas peran DLP dan puskesmas
disajikan ilustrasi kasus penyakit menular dan penyakit tidak menular berikut ini sebagai
contoh:
Selagi menjalankan praktik, DLP menemukan seorang pasien yang menderita demam
berdarah. Karena kondisi pasien membutuhkan perawatan yang intensif, ia memutuskan
untuk mengirim pasien ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang baik. Selanjutnya
ia memberi laporan ke puskesmas yang wilayah kerjanya mencakup domisili pasiennya.
Segera setelah menerima laporan dari DLP tersebut petugas puskesmas meninjau rumah
pasien dan lingkungannya. Dari pengamatan di lapangan kemudian petugas puskesmas
memutuskan untuk melakukan terbatas di lingkungan sekitar rumah pasien.

Dalam mekanisme ini Puskesmas dan DLP bersinergi meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat sesuai dengan peranannya masing-masing.
III. METODE MEMBAYAR DOKTER

JC Robinson,
Ungkapan
in menunjukkan bahwa tidak ada satu metode yang dapat memuaskan semua pihak. Ketiga
metode yang saat ini digunakan di banyak negara memiliki prinsip dasar yang berbeda.

METODE SALARY FEE FO SERVICE CAPITATION CASE PAYMENT

PRINSIP DASAR

memiliki kesamaan konsep dengan kapitasi dalam hal transfer risiko ke


pemberi pelayanan, tetapi pembayarannya per kasus atau per episode pelayanan.
Setiap metode membayar dokter ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, dan
dokter sebagai pelaku ekonomi bereaksi sejalan dengan ciri setiap metode membayar yang
diberlakukan. Dengan demikian, pilihan metode sangat ditentukan oleh kondisi setempat
dan apa yang ingin dicapai. Ciri setiap metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 3-1.

Tabel 3-1. Dampak berbagai metode membayar dokter terhadap dokter maupun pasien
Case
Ciri Salary FFS Kapitasi
payment
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk memberikan pelayanan yang sebanyak- S T S S
banyaknya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk memberikan pelayanan berkualitas yang S T S S
setinggi-tingginya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk mengendalikan atau menurunkan biaya R R T T
kesehatan.
Akses pasien untuk mendapat pelayanan tidak
T S S S
terhambat
Hak pasien memilih dokter dan memilih layanan
R T S S
relatif bebas
Administrasi metode ini mudah dan tidak mahal T S T S
Metode pembayaran ini memerlukan dukungan
R T R T
sistem informasi dan sistem akuntansi yang canggih
Catatan: T = Tinggi, S = Sedang, R = Rendah

Untuk memberi gambaran tentang kelebihan dan kekurangan setiap metode membayar
dokter, berikut ini disajikan penjelasan lebih lanjut tentang setiap metode membayar
dokter tersebut.
1. Salary
Metode merupakan metode yang paling sederhana. Dalam metode ini, dokter
menerima pembayaran yang nilainya tetap untuk jam kerja tertentu secara periodik
(umumnya bulanan) setelah ia melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang telah
ditentukan. Nilai atau besar pendapatan telah ditentukan di muka berdasarkan berbagai
faktor, seperti golongan kepangkatan, masa kerja, dan kualifikasi lainnya.

Pada dasarnya metode gaji atau adalah membayar waktu kerja ( ) dan tidak
bergantung pada produktivitas dan kualitas kerja yang dihasilkan dokter, dalam arti banyak
atau sedikitnya pasien yang dilayani dokter tidak mempengaruhi pendapatannya. Sifat alami
yang melekat pada adalah dokter tidak memperoleh insentif finansial bila ia
melayani pasien lebih banyak, melakukan tindakan medik lebih banyak atau menghabiskan
waktu lebih lama untuk kepentingan pasiennya.

Segi positif metode salary


Bagi dokter:
Memberi kepastian pendapatan bagi dokter, baik jumlah, waktu pembayaran maupun
jam kerjanya.
Memberi autonomi profesi yang luas karena dokter tidak dibatasi dalam menegakkan
diagnosis dan melaksanakan pengobatan.
Dokter tidak terdorong untuk memberikan pengobatan yang berlebihan, karena hal
tersebut tidak mengubah pendapatan mereka.

Bagi pasien:
Pasien cenderung menerima layanan dan intervensi yang diperlukan, serta tidak terjadi
pengobatan berlebihan dan intervensi yang tidak perlu.
Dokter tidak punya alasan untuk menolak melayani pasien yang datang pada jam
kerjanya.

Segi negatif metode salary


Bagi dokter:
Dokter tidak memiliki motivasi untuk bekerja secara maksimal atau mengerahkan seluruh
kemampuannya, karena jerih payahnya tidak mempengaruhi pendapatannya.
Dokter tidak memiliki kesadaran biaya karena apakah ia boros atau hemat dalam bekerja,
hal tersebut tidak mempengaruhi pendapatannya.
Dokter tidak memiliki motivasi untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan atau
kepuasan pasien, karena hal ini tidak mempengaruhi pendapatan mereka.
Dokter tidak memiliki motivasi untuk membangun atau membina hubungan dekat
dengan pasien mereka, karena hal ini tidak mempengaruhi pendapatan mereka.
Bagi pasien:
Pasien mungkin tidak menerima perhatian yang memadai dari dokter, yang dapat
mempengaruhi kepuasan pasien.
Akses ke pelayanan kesehatan mungkin agak terbatas dan terjadi antrian, kalau dokter
ada tugas lain dan tidak mau menambah waktu kerjanya.
Metode gaji membentuk mentalitas birokrat, tidak memotivasi produktivitas, dan
mendorong sikap santai saat bekerja.
Sifatnya yang terbuka menjadikan metode salary rentan terhadap kritikan publik bila
nilainya terlampau tinggi atau terlampau rendah.

Administrasi metode salary


Penerapan sistem remunerasi metoda gaji sangat mudah dan administrasinya sederhana.
Biaya personil dapat diketahui dengan pasti dan dapat direncanakan di muka. Tidak ada
tagihan pasien yang perlu diproses, tidak ada daftar pasien harus dipersiapkan, dan tidak
ada kasus berbasis kelompok yang perlu disiapkan.

Kesimpulan
Keuntungan terbesar metode gaji terletak pada kemudahan dan kesederhanaan
administrasinya, sehingga biaya personil dapat direncanakan di muka, Sedangkan kerugian
terbesar adalah tidak ada insentif bagi dokter untuk bekerja lebih baik dan lebih efisien
(lihat Tabel 3-2).

Tabel 3-2. Karakteristik Metode Salary (Gaji)


Karakteristik Tinggi Sedang Rendah
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial untuk
memberikan pelayanan yang sebanyak-banyaknya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial untuk
memberikan pelayanan berkualitas yang setinggi-tingginya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial untuk
mengendalikan atau menurunkan biaya kesehatan.
Akses pasien untuk mendapat pelayanan tidak terhambat
Hak pasien memilih dokter dan memilih layanan relatif
bebas
Administrasi metode ini mudah dan tidak mahal
Metode pembayaran ini memerlukan dukungan sistem
informasi dan sistem akutansi yang canggih
menekan sumber daya yang digunakan untuk melayani pasien agar dapat
memaksimalkan pendapatannya.
Bagi pasien:
Pasien dengan penyakit yang membutuhkan pelayanan yang kompleks dan berbiaya
besar, dapat terbatasi aksesnya dan terabaikan.
Pasien dapat menerima pelayanan yang kurang optimal, karena dokter terdorong untuk
menekan biaya.

Adminitrasi Metode case-based reimbursement


Metode membutuhkan sistem manajemen informasi dan
akuntansi yang relatif mahal. Tantangan terbesar adalah dalam menyiapkan klasifikasi
kasusnya sendiri. Klasifikasi kasus berbasis diagnosis ini bisa dibuat sederhana bisa pula
sangat rinci, yang masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya. Sistem klasifikasi
yang sederhana akan mudah dilakukan dan membutuhkan sistem informasi dan akuntansi
yang tidak begitu mahal. Adanya klasifikasi yang lebih rinci akan lebih menguntungkan
karena dapat menentukan kasus secara lebih spesifik dan lebih adil dalam alokasi sumber
daya untuk setiap kasus.

Biaya administrasi metode relatif tinggi, baik bagi pembayar maupun bagi
dokter. Adanya sistem manajemen informasi, akuntansi, dan alur pendanaan yang disiapkan
untuk menerapkan metode akan memungkinkan penyediaan informasi untuk
menilai dan mengevaluasi protokol pelayanan ( ), tipe pasien, case-mix,
kinerja, dan pola epidemiologi.

Kesimpulan
Penerapan metode semestinya dapat menghemat biaya, namun ternyata tidak
selalu demikian. Di negara tempat sistem ini digunakan hasilnya beragam, beberapa negara
berhasil menjaga kualitas dan melakukan penghematan, tetapi beberapa lainnya ada yang
tidak berhasil.

Tabel 3-5. Karakteristik Metode Case Based Reimbursement

Karakteristik Tinggi Sedang Rendah

Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansialuntuk


X
memberikan pelayanan yang sebanyak-banyaknya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk memberikan pelayanan berkualitas yang setinggi- X
tingginya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk mengendalikan atau menurunkan biaya X
kesehatan.
Akses pasien untuk mendapat pelayanan tidak
X
terhambat
Hak pasien memilih dokter dan memilih layanan relatif
X
bebas
Administrasi metode pembayaran ini mudah dan tidak
X
mahal
Metode pembayaran ini memerlukan dukungan sistem
x
informasi dan sistem akuntansi yang canggih

Langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi segi negatif metode ini pada dokter dan
menguatkan segi positifnya (lihat. Tabel 3-5):
Jumlah klasifikasi kasus , dalam arti sesuai dengan kemampuan
sistem manajemen informasi, akutansi dan kapasitas pelaksananya.
Setiap klasifikasi kasus harus relatif homogen agar kecenderungan dokter memilih pasien
yang kategorinya berbiaya rendah dapat dicegah.
Penerapan metode harus disertai penerapan sistem monitoring dan auditing
untuk memastikan kualitas pelayanan dapat dipertahankan, dan untuk meminimalkan
dokter menambahkan prosedur dengan alas an medis ( ).

5. Pay For Performance


(P4P) adalah metode pembayaran yang memberikan insentif
untuk dicapainya target kinerja dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang telah
ditetapkan oleh pembayar. Misalnya, pengurangan HbA1C pada pasien-pasien diabetes,
penurunan tingkat pada penyakit setiap tahun di sebuah RS, dan lain
lain. Indikator pengukuran kinerja meliputi kualitas dan keamanan medik, efisiensi,
kepuasan pasien serta penggunaan sistem teknologi informasi kesehatan.

Program P4P biasanya merupakan dari metode pembayaran yang telah ada seperti
kapitasi dan FFS. Pemberian insentif dapat berbeda-beda sesuai dengan kontrak antara
dan pembayar, selain itu dapat dikenakan sanksi jika tidak sesuai dengan
target yang telah disepakati bersama. Contohnya, pembayar tidak akan membayar
pengobatan penyakit infeksi saluran kemih akibat penggunaan kateter yang didapat dalam
masa perawatan di RS. Bentuk insentif ini dapat berupa penambahan budget untuk
pengelolaan penyakit atau peningkatan infrastruktur yang dimiliki dalam
melakukan pelayanan kesehatan.
6. Metode Campuran
Pengalaman di banyak negara telah membuktikan bahwa penerapan setiap jenis metode
membayar dokter seperti tersebut di atas tidak selalu memuaskan, karena setiap metode
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dengan pengalaman itu, mulai banyak negara yang
menerapkan metode pembayaran dokter menggunakan beberapa metode sekaligus. Tujuan
menggunakan metode campuran ini adalah untuk memanfaatkan keunggulan setiap
metode dan menghilangkan sisi negatifnya (lihat Tabel 3-1).

Misalnya, dokter yang dibayar dengan metode kapitasi cenderung mengurangi pelayanan
yang diberikan pada pasiennya. Perilaku ini dapat merugikan pasien bila yang dikurangi
adalah layanan promotif, seperti skrening kanker serviks. Untuk memotivasi dokter
melaksanakan skrening kanker serviks, maka dokter yang telah dibayar dengan kapitasi
dapat mengajukan klaim untuk pemeriksaan pap smear. Dalam hal ini kapitasi dicampur
dengan FFS.

Bentuk kombinasi sangat ditentukan oleh kondisi dan tujuan yang ingin dicapai. Contohnya,
pada tahun 1992 dan 1999 Italia melakukan reformasi metode pembayaran untuk GP dan
spesialis anak dengan mencampur metode pembayaran kapitasi dan FFS untuk tindakan
tertentu (mis. bedah minor, kedokteran preventif dan perawatan postoperatif) agar
mengurangi angka rujukan ke RS. Negara lain yang mengkombinasikan kapitasi dan FFS
antara lain Austria, Denmark, dan Polandia. Sedangkan Inggris mengkombinasikan kapitasi,
, dan FFS.
IV. MEMBAYAR DLP di ERA JKN

1. Dasar Pemikiran
Metode membayar dokter merupakan isu yang sangat menentukan, mengingat peranan dan
fungsi profesi dokter yang sangat strategis dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Dokter
bukan saja bertindak sebagai pemberi layanan, tapi juga sebagai penyerap biaya yang cukup
bermakna, dan yang tidak kalah penting adalah perilaku dan kinerja dokter berpengaruh
besar pada total biaya pelayanan kesehatan di suatu negara. Oleh sebab itu sejak zaman
Hipocrates sampai saat ini dicari cara membayar dokter yang dapat memuaskan berbagai
pihak. Berbagai metode telah dicoba dan digunakan, seperti , FFS, dan kapitasi, tetapi
tetap saja belum memenuhi harapan karena setiap metode ini memiliki kelebihan dan
kekurangannya sendiri.
Dalam kondisi ini Pemerintah telah menetapkan satu metode, yaitu kapitasi, sebagai cara
membayar fasilitas kesehatan primer. Tepatkah kebijakan ini mengingat banyak negara
telah meninggalkan kebijakan hanya menggunakan satu metode pembayaran? Negara-
negara OECD misalnya mulai menerapkan metode campuran untuk memanfaatkan segi
positif dari setiap metode pembayaran dokter, dan terbukti hasilnya lebih baik.
Metode membayar dokter tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan berbagai isu
strategis dan kecenderungan yang disajikan di bab pertama. Berbagai isu tersebut
menunjukkan bahwa menerapan suatu metode membayar dokter harus disertai pula
dengan menyelesaikan berbagai masalah mendasar tersebut. Dengan demikian, seyogianya
kita melihat metode membayar dokter dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai bagian
dari upaya membangun sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer untuk
menopang penerapan JKN. Sistem ini harus mampu menjangkau seluruh penduduk di
wilayah NKRI. Dari konteks ini, diyakini bahwa penentu keberhasilan JKN adalah 5 faktor
berikut ini.

1. Ketersediaan fasilitas kesehatan primer


yang merata di seluruh wilayah NKRI.
2. Ketersediaan Dokter Layanan Primer yang
handal sebagai dan tersebar
merata di seluruh wilayah NKRI.
3. Rayonisasi/regionalisasi fasilitas kesehatan
4. Iuran JKN yang memenuhi azas kepatutan
dan azas ekonomi
5. Masyarakat menerapkan paradigma sehat
(UKM)

Gambar 4-1. Faktor penentu keberhasilan JKN


mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik, mendorong penyebaran dan
pemerataan dokter, dan memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, sekaligus
mengurangi kesenjangan pendapatan antardokter.

Gagasan dan prinsip dasar yang melandasi metode Sandwich disarikan dalam table berikut
ini.

Tabel 4-1. Metode Sandwich

Penerapan model Sandwich tidak membutuhkan administrasi yang sulit dan tidak
memerlukan persiapan yang rumit. Yang dibutuhkan adalah kebijakan nasional yang
menetapkan profesi dokter sebagai sumber daya manusia strategis yang eksistensinya harus
dijamin negara. Ketetapan ini pada hakekatnya melengkapi UU Praktik Kedokteran dan UU
Pendidikan Kedokteran.

Untuk dapat memahami gagasan dan prinsip dasar metode Sandwich, selanjutnya disajikan
penjelasan yag perlu diketahui tentang 3 komponen yang terintegrasi menjadi metode
Sandwich.

3. Komponen Basik
Dokter yang menjalankan praktik kedokteran dimanapun pada dasarnya mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang sama, yaitu melayani dan menyembuhkan pasiennya. Untuk dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut dokter harus mengikuti pendidikan yang
sama, harus mengikuti pelatihan profesi yang sama, harus mengikuti kode etik profesi yang
sama. Ironisnya, saat bekerja di lapangan ia diperlakukan berbeda. Dokter yang menjadi PNS
dibayar mengikuti Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, mendapat gaji + 2-3 juta/bulan yang
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak sehingga terpaksa praktik di luar jam
kerja, dan ada jenjang karir. Dokter yang menjadi pegawai BUMN dibayar sesuai dengan
aturan BUMN-nya, mendapat gaji + 9-15 juta/bulan dan bisa menerima 14-16 kali gaji
setahun, plus rumah, kendaraan, dan berbagai tunjangan. Dokter yang berjiwa entrepreuner
bekerja di klinik 24 jam, bekerja siang malam hanya mendapat bayaran 4 juta/bulan saja,
tetapi tidak ada karir, tidak ada tunjangan apapun termasuk tidak ada jaminan sosial.
Padahal tugas para dokter ini sehari-hari sama melayani dan mengobati pasien.
Komponen basik dimaksudkan untuk membuang kesenjangan ironis ini. Landasan
konseptualnya, profesi dokter seyogianya dihargai sama. Yang dihargai profesinya bukan
atributnya. Negara membutuhkan profesi dokter untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan seluruh penduduk Indonesia. Sebagai contoh, upaya negara untuk
menerapkan JKN akan gagal bila negara tidak bisa menjamin tersedianya DLP di seluruh
wilayah NKRI. Komponen dasar ini menempatkan eksistensi profesi dokter sebagai tenaga
strategis. Konsekuensinya, komponen dasar ini harus diatur negara.
Praktik dokter adalah pertemuan antara ilmu kedokteran dan masyarakat, dan pada
pertemuan inilah terlihat pandangan dan penghargaan masyarakat pada profesi dokter.
Harga profesi dokter merupakan kristalisasi dari persepsi dan pandangan masyarakat
terhadap:
tugas dokter yang menyangkut hidup/mati/kecacatan/kesembuhan
muatan sosial, kemanusiaan, dan pengabdian
pendidikan dokter yang sepanjang hayat
ekspektasi terhadap mutu pelayanan terbaik
peranan strategis untuk menyehatkan bangsa
historis status sosial-intelektual di masyarakat
Seberapa besar masyarakat menghargai profesi dokter? Status sosial-ekonomi profesi
dokter umumnya di atas rata-rata masyarakat. Sebagai contoh di negara OECD pendapatan
dokter 3-4 kali pendapatan rata-rata semua profesi lain, di Amerika 4-7 kali. Data di
Indonesia tidak ada, yang tampak adalah kesenjangan pendapatan antardokter spesialis dan
DLP yang sangat lebar, 8-244 kali (survei IDI 2007).
Nilai komponen dasar seyogianya mempertimbangkan pandangan masyarakat tersebut, dan
besarnya ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan biaya hidup layak seorang
profesi dokter yang bersifat basik, yaitu: kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Idealnya
komponen dasar besarnya 30-40% dari total kompensasi dokter. Komponen dasar pada
prinsipnya sama untuk setiap dokter dan dibayarkan ke dokter dengan metode .

Untuk kepentingan nasional dan sebagai strategi untuk menjamin penyebaran dan
pemerataan dokter di seluruh wilayah Indonesia dapat dilakukan penyesuaian ( )
menurut domisili dokter menggunakan Indeks Geografi Praktik Dokter (IGPD). Misalnya
dengan memberi poin lebih pada dokter yang bekerja di tempat terpencil seperti
IGPD di bawah ini.
Penyesuaian juga dapat dilakukan pada masa kerja dokter, dengan asumsi masa kerja dokter
berpengaruh pada kematangan, wawasan pengetahuan, dan keterampilan dokter. Pada
di bawah ini diasumsikan ada kebijakan nasional yang membagi status dokter
menjadi 4 kategori berdasarkan masa kerja kerja.

Contoh penerapan komponen dasar

Dalam era JKN, dokter ditetapkan sebagai tenaga strategis dan kompensasi dasar diatur oleh
negara. Disimulasikan negara menetapkan gaji dasar dokter sebesar Rp.5 juta/bulan, yang
disesuaikan dengan geografi domisili dan masa kerja masing-masing dokter.
Simulasi berikut menunjukkan kompensasi dasar yang diterima 4 dokter yang mempunyai
masa kerja dan domisili berbeda. Dr.DD dengan masa kerja 8 tahun berpraktik di wilayah
pekotaan (kategori 1), Dr.EE menjalani internsip di pedesaan (kategori 4); Dr.FF dengan masa
praktik 4 tahun berpraktik di daerah terpencil (kategori 8); dan Dr.GG yang sudah praktik lebih
dari 25 tahun di wilayah pekotaan (kategori 2).
Dr.DD Dr.EE Dr.FF Dr.GG
Rupiah Poin Rupiah Poin Rupiah Poin Rupiah Poin
Basik salari 5 juta 5 juta 5 juta 5 juta
Poin basik 1.00 1.00 1.00 1.00
Formula penyesuaian
Poin geografi 0 0.3 0.70 0.10
Poin masa kerja 0.4 0 0.20 0.60
SubTotal 1.4 1.30 1.90 1.70
7 juta 6,5 juta 9,5 juta 8, juta
per bulan
Simulasi ini menunjukkan meskipun gaji dasar ditetapkan sama untuk semua dokter, tetapi
karena adanya penyesuaian terhadap faktor geografi dan faktor masa kerja, maka keempat
DLP tersebut memperoleh yang berbeda.
menekan sumber daya yang digunakan untuk melayani pasien agar dapat
memaksimalkan pendapatannya.
Bagi pasien:
Pasien dengan penyakit yang membutuhkan pelayanan yang kompleks dan berbiaya
besar, dapat terbatasi aksesnya dan terabaikan.
Pasien dapat menerima pelayanan yang kurang optimal, karena dokter terdorong untuk
menekan biaya.

Adminitrasi Metode case-based reimbursement


Metode membutuhkan sistem manajemen informasi dan
akuntansi yang relatif mahal. Tantangan terbesar adalah dalam menyiapkan klasifikasi
kasusnya sendiri. Klasifikasi kasus berbasis diagnosis ini bisa dibuat sederhana bisa pula
sangat rinci, yang masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihannya. Sistem klasifikasi
yang sederhana akan mudah dilakukan dan membutuhkan sistem informasi dan akuntansi
yang tidak begitu mahal. Adanya klasifikasi yang lebih rinci akan lebih menguntungkan
karena dapat menentukan kasus secara lebih spesifik dan lebih adil dalam alokasi sumber
daya untuk setiap kasus.

Biaya administrasi metode relatif tinggi, baik bagi pembayar maupun bagi
dokter. Adanya sistem manajemen informasi, akuntansi, dan alur pendanaan yang disiapkan
untuk menerapkan metode akan memungkinkan penyediaan informasi untuk
menilai dan mengevaluasi protokol pelayanan ( ), tipe pasien, case-mix,
kinerja, dan pola epidemiologi.

Kesimpulan
Penerapan metode semestinya dapat menghemat biaya, namun ternyata tidak
selalu demikian. Di negara tempat sistem ini digunakan hasilnya beragam, beberapa negara
berhasil menjaga kualitas dan melakukan penghematan, tetapi beberapa lainnya ada yang
tidak berhasil.

Tabel 3-5. Karakteristik Metode Case Based Reimbursement

Karakteristik Tinggi Sedang Rendah

Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansialuntuk


X
memberikan pelayanan yang sebanyak-banyaknya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk memberikan pelayanan berkualitas yang setinggi- X
tingginya
Dokter termotivasi dan mendapat insentif finansial
untuk mengendalikan atau menurunkan biaya X
kesehatan.
Akses pasien untuk mendapat pelayanan tidak
X
terhambat
Hak pasien memilih dokter dan memilih layanan relatif
X
bebas
Administrasi metode pembayaran ini mudah dan tidak
X
mahal
Metode pembayaran ini memerlukan dukungan sistem
x
informasi dan sistem akuntansi yang canggih

Langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi segi negatif metode ini pada dokter dan
menguatkan segi positifnya (lihat. Tabel 3-5):
Jumlah klasifikasi kasus , dalam arti sesuai dengan kemampuan
sistem manajemen informasi, akutansi dan kapasitas pelaksananya.
Setiap klasifikasi kasus harus relatif homogen agar kecenderungan dokter memilih pasien
yang kategorinya berbiaya rendah dapat dicegah.
Penerapan metode harus disertai penerapan sistem monitoring dan auditing
untuk memastikan kualitas pelayanan dapat dipertahankan, dan untuk meminimalkan
dokter menambahkan prosedur dengan alas an medis ( ).

5. Pay For Performance


(P4P) adalah metode pembayaran yang memberikan insentif
untuk dicapainya target kinerja dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang telah
ditetapkan oleh pembayar. Misalnya, pengurangan HbA1C pada pasien-pasien diabetes,
penurunan tingkat pada penyakit setiap tahun di sebuah RS, dan lain
lain. Indikator pengukuran kinerja meliputi kualitas dan keamanan medik, efisiensi,
kepuasan pasien serta penggunaan sistem teknologi informasi kesehatan.

Program P4P biasanya merupakan dari metode pembayaran yang telah ada seperti
kapitasi dan FFS. Pemberian insentif dapat berbeda-beda sesuai dengan kontrak antara
dan pembayar, selain itu dapat dikenakan sanksi jika tidak sesuai dengan
target yang telah disepakati bersama. Contohnya, pembayar tidak akan membayar
pengobatan penyakit infeksi saluran kemih akibat penggunaan kateter yang didapat dalam
masa perawatan di RS. Bentuk insentif ini dapat berupa penambahan budget untuk
pengelolaan penyakit atau peningkatan infrastruktur yang dimiliki dalam
melakukan pelayanan kesehatan.
6. Metode Campuran
Pengalaman di banyak negara telah membuktikan bahwa penerapan setiap jenis metode
membayar dokter seperti tersebut di atas tidak selalu memuaskan, karena setiap metode
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dengan pengalaman itu, mulai banyak negara yang
menerapkan metode pembayaran dokter menggunakan beberapa metode sekaligus. Tujuan
menggunakan metode campuran ini adalah untuk memanfaatkan keunggulan setiap
metode dan menghilangkan sisi negatifnya (lihat Tabel 3-1).

Misalnya, dokter yang dibayar dengan metode kapitasi cenderung mengurangi pelayanan
yang diberikan pada pasiennya. Perilaku ini dapat merugikan pasien bila yang dikurangi
adalah layanan promotif, seperti skrening kanker serviks. Untuk memotivasi dokter
melaksanakan skrening kanker serviks, maka dokter yang telah dibayar dengan kapitasi
dapat mengajukan klaim untuk pemeriksaan pap smear. Dalam hal ini kapitasi dicampur
dengan FFS.

Bentuk kombinasi sangat ditentukan oleh kondisi dan tujuan yang ingin dicapai. Contohnya,
pada tahun 1992 dan 1999 Italia melakukan reformasi metode pembayaran untuk GP dan
spesialis anak dengan mencampur metode pembayaran kapitasi dan FFS untuk tindakan
tertentu (mis. bedah minor, kedokteran preventif dan perawatan postoperatif) agar
mengurangi angka rujukan ke RS. Negara lain yang mengkombinasikan kapitasi dan FFS
antara lain Austria, Denmark, dan Polandia. Sedangkan Inggris mengkombinasikan kapitasi,
, dan FFS.
IV. MEMBAYAR DLP di ERA JKN

1. Dasar Pemikiran
Metode membayar dokter merupakan isu yang sangat menentukan, mengingat peranan dan
fungsi profesi dokter yang sangat strategis dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Dokter
bukan saja bertindak sebagai pemberi layanan, tapi juga sebagai penyerap biaya yang cukup
bermakna, dan yang tidak kalah penting adalah perilaku dan kinerja dokter berpengaruh
besar pada total biaya pelayanan kesehatan di suatu negara. Oleh sebab itu sejak zaman
Hipocrates sampai saat ini dicari cara membayar dokter yang dapat memuaskan berbagai
pihak. Berbagai metode telah dicoba dan digunakan, seperti , FFS, dan kapitasi, tetapi
tetap saja belum memenuhi harapan karena setiap metode ini memiliki kelebihan dan
kekurangannya sendiri.
Dalam kondisi ini Pemerintah telah menetapkan satu metode, yaitu kapitasi, sebagai cara
membayar fasilitas kesehatan primer. Tepatkah kebijakan ini mengingat banyak negara
telah meninggalkan kebijakan hanya menggunakan satu metode pembayaran? Negara-
negara OECD misalnya mulai menerapkan metode campuran untuk memanfaatkan segi
positif dari setiap metode pembayaran dokter, dan terbukti hasilnya lebih baik.
Metode membayar dokter tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan berbagai isu
strategis dan kecenderungan yang disajikan di bab pertama. Berbagai isu tersebut
menunjukkan bahwa menerapan suatu metode membayar dokter harus disertai pula
dengan menyelesaikan berbagai masalah mendasar tersebut. Dengan demikian, seyogianya
kita melihat metode membayar dokter dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai bagian
dari upaya membangun sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer untuk
menopang penerapan JKN. Sistem ini harus mampu menjangkau seluruh penduduk di
wilayah NKRI. Dari konteks ini, diyakini bahwa penentu keberhasilan JKN adalah 5 faktor
berikut ini.

1. Ketersediaan fasilitas kesehatan primer


yang merata di seluruh wilayah NKRI.
2. Ketersediaan Dokter Layanan Primer yang
handal sebagai dan tersebar
merata di seluruh wilayah NKRI.
3. Rayonisasi/regionalisasi fasilitas kesehatan
4. Iuran JKN yang memenuhi azas kepatutan
dan azas ekonomi
5. Masyarakat menerapkan paradigma sehat
(UKM)

Gambar 4-1. Faktor penentu keberhasilan JKN


5. Insentif Untuk Mendukung Pencapaian Target Pembangunan Kesehatan
Keberadaan DLP di tengah masyarakat adalah untuk menerapkan trias peranan dokter
( ). Namun, selama ini DLP
hanya difungsikan sebagai , yang hanya peduli dengan praktiknya. Praktik
DLP belum dilibatkan dan terlepas dari tujuan pembangunan kesehatan nasional, seperti
penurunkan AKI dan AKB, mensukseskan program KB, penurunkan insidens dan prevalens
TB, dan lain-lain. Program nasional ini seolah-olah hanya milik Puskesmas, Dinkes, dan
Kemenkes.
Era JKN menjadi peluang untuk mengembalikan trias peranan dokter dan mengajak DLP
turut aktif berpartisipasi mendukung pencapaian target pembangunan kesehatan nasional.
Caranya dengan melibatkan DLP untuk melaksanakan program nasional di komunitas binaan
DLP. Dalam komunitas kecil ini DLP harus dapat mencapai target maksimum. Misalnya
imunisasi lengkap 100%, K1 dan K4 100%, gizi buruk 0%, kesembuhan TB 100%, dan lain lain.
Komponen ketiga metode Sandwich ini dibentuk dengan maksud memberi insentif kepada
DLP yang berperan aktif dalam mendukung pencapaian program nasional. Metode yang
tepat untuk membayar insentif DLP adalah , karena FFS memotivasi
dokter untuk melaksanakan lebih banyak pelayanan. DLP yang memberikan pelayanan yang
termasuk dalam program nasional seperti disimulasikan di berikut ini dapat
menagih insentifnya setiap periode.

Pelayanan Kesehatan Poin


Program KB
Pasang IUD 100
Pasang implant 60
Vasektomi 200
Program imunisasi
Imunisasi dasar lengkap 50
Imunisasi Influenza pada lansia 50
Program menurunkan AKI, AKB, AKBA
ANC K1 150
ANC K4 200
Pengendalian penyakit
Deteksi kasus baru TB 400
Pengobatan TB tuntas 500
Adanya komponen ketiga ini diharapkan dapat memotivasi DLP untuk secara proaktif
melaksanakan program kesehatan nasional. Setiap DLP akan menerima insentif berbeda,
yang besarnya bergantung pada peranannya dalam mendukung pencapaian target
pembangunan kesehatan nasional. Besar insentif ini idealnya sekitar 5-10% dari total
kompensasi dokter.
Dalam era JKN, seluruh penduduk akan terbagi habis ke semua DLP, atau bila dibalik,
komunitas kecil DLP (1000-2500 peserta) bila digabungkan menjadi satu adalah sama
dengan populasi nasional. Jadi keterlibatan DLP dalam melaksanakan progran nasional akan
memberi hasil yang sangat bermakna pada upaya meningkatkan derajat kesehatan nasional.
mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik, mendorong penyebaran dan
pemerataan dokter, dan memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, sekaligus
mengurangi kesenjangan pendapatan antardokter.

Gagasan dan prinsip dasar yang melandasi metode Sandwich disarikan dalam table berikut
ini.

Tabel 4-1. Metode Sandwich

Penerapan model Sandwich tidak membutuhkan administrasi yang sulit dan tidak
memerlukan persiapan yang rumit. Yang dibutuhkan adalah kebijakan nasional yang
menetapkan profesi dokter sebagai sumber daya manusia strategis yang eksistensinya harus
dijamin negara. Ketetapan ini pada hakekatnya melengkapi UU Praktik Kedokteran dan UU
Pendidikan Kedokteran.

Untuk dapat memahami gagasan dan prinsip dasar metode Sandwich, selanjutnya disajikan
penjelasan yag perlu diketahui tentang 3 komponen yang terintegrasi menjadi metode
Sandwich.

3. Komponen Basik
Dokter yang menjalankan praktik kedokteran dimanapun pada dasarnya mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang sama, yaitu melayani dan menyembuhkan pasiennya. Untuk dapat
melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut dokter harus mengikuti pendidikan yang
sama, harus mengikuti pelatihan profesi yang sama, harus mengikuti kode etik profesi yang
sama. Ironisnya, saat bekerja di lapangan ia diperlakukan berbeda. Dokter yang menjadi PNS
dibayar mengikuti Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil, mendapat gaji + 2-3 juta/bulan yang
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak sehingga terpaksa praktik di luar jam
kerja, dan ada jenjang karir. Dokter yang menjadi pegawai BUMN dibayar sesuai dengan
aturan BUMN-nya, mendapat gaji + 9-15 juta/bulan dan bisa menerima 14-16 kali gaji
setahun, plus rumah, kendaraan, dan berbagai tunjangan. Dokter yang berjiwa entrepreuner
bekerja di klinik 24 jam, bekerja siang malam hanya mendapat bayaran 4 juta/bulan saja,
tetapi tidak ada karir, tidak ada tunjangan apapun termasuk tidak ada jaminan sosial.
Padahal tugas para dokter ini sehari-hari sama melayani dan mengobati pasien.
Komponen basik dimaksudkan untuk membuang kesenjangan ironis ini. Landasan
konseptualnya, profesi dokter seyogianya dihargai sama. Yang dihargai profesinya bukan
atributnya. Negara membutuhkan profesi dokter untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan seluruh penduduk Indonesia. Sebagai contoh, upaya negara untuk
menerapkan JKN akan gagal bila negara tidak bisa menjamin tersedianya DLP di seluruh
wilayah NKRI. Komponen dasar ini menempatkan eksistensi profesi dokter sebagai tenaga
strategis. Konsekuensinya, komponen dasar ini harus diatur negara.
Praktik dokter adalah pertemuan antara ilmu kedokteran dan masyarakat, dan pada
pertemuan inilah terlihat pandangan dan penghargaan masyarakat pada profesi dokter.
Harga profesi dokter merupakan kristalisasi dari persepsi dan pandangan masyarakat
terhadap:
tugas dokter yang menyangkut hidup/mati/kecacatan/kesembuhan
muatan sosial, kemanusiaan, dan pengabdian
pendidikan dokter yang sepanjang hayat
ekspektasi terhadap mutu pelayanan terbaik
peranan strategis untuk menyehatkan bangsa
historis status sosial-intelektual di masyarakat
Seberapa besar masyarakat menghargai profesi dokter? Status sosial-ekonomi profesi
dokter umumnya di atas rata-rata masyarakat. Sebagai contoh di negara OECD pendapatan
dokter 3-4 kali pendapatan rata-rata semua profesi lain, di Amerika 4-7 kali. Data di
Indonesia tidak ada, yang tampak adalah kesenjangan pendapatan antardokter spesialis dan
DLP yang sangat lebar, 8-244 kali (survei IDI 2007).
Nilai komponen dasar seyogianya mempertimbangkan pandangan masyarakat tersebut, dan
besarnya ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan biaya hidup layak seorang
profesi dokter yang bersifat basik, yaitu: kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Idealnya
komponen dasar besarnya 30-40% dari total kompensasi dokter. Komponen dasar pada
prinsipnya sama untuk setiap dokter dan dibayarkan ke dokter dengan metode .

Untuk kepentingan nasional dan sebagai strategi untuk menjamin penyebaran dan
pemerataan dokter di seluruh wilayah Indonesia dapat dilakukan penyesuaian ( )
menurut domisili dokter menggunakan Indeks Geografi Praktik Dokter (IGPD). Misalnya
dengan memberi poin lebih pada dokter yang bekerja di tempat terpencil seperti
IGPD di bawah ini.
Penyesuaian juga dapat dilakukan pada masa kerja dokter, dengan asumsi masa kerja dokter
berpengaruh pada kematangan, wawasan pengetahuan, dan keterampilan dokter. Pada
di bawah ini diasumsikan ada kebijakan nasional yang membagi status dokter
menjadi 4 kategori berdasarkan masa kerja kerja.

Contoh penerapan komponen dasar

Dalam era JKN, dokter ditetapkan sebagai tenaga strategis dan kompensasi dasar diatur oleh
negara. Disimulasikan negara menetapkan gaji dasar dokter sebesar Rp.5 juta/bulan, yang
disesuaikan dengan geografi domisili dan masa kerja masing-masing dokter.
Simulasi berikut menunjukkan kompensasi dasar yang diterima 4 dokter yang mempunyai
masa kerja dan domisili berbeda. Dr.DD dengan masa kerja 8 tahun berpraktik di wilayah
pekotaan (kategori 1), Dr.EE menjalani internsip di pedesaan (kategori 4); Dr.FF dengan masa
praktik 4 tahun berpraktik di daerah terpencil (kategori 8); dan Dr.GG yang sudah praktik lebih
dari 25 tahun di wilayah pekotaan (kategori 2).
Dr.DD Dr.EE Dr.FF Dr.GG
Rupiah Poin Rupiah Poin Rupiah Poin Rupiah Poin
Basik salari 5 juta 5 juta 5 juta 5 juta
Poin basik 1.00 1.00 1.00 1.00
Formula penyesuaian
Poin geografi 0 0.3 0.70 0.10
Poin masa kerja 0.4 0 0.20 0.60
SubTotal 1.4 1.30 1.90 1.70
7 juta 6,5 juta 9,5 juta 8, juta
per bulan
Simulasi ini menunjukkan meskipun gaji dasar ditetapkan sama untuk semua dokter, tetapi
karena adanya penyesuaian terhadap faktor geografi dan faktor masa kerja, maka keempat
DLP tersebut memperoleh yang berbeda.
Administrasi untuk menerapkan komponen basik ini relatif mudah. Inilah keunggulan dari
metode yang digabungkan ke metode Sandwich. Untuk menerapkan komponen dasar
dibutuhkan langkah berikut ini.
1. Tersedianya data dokter yang menjalankan praktik kedokteran di seluruh tanah air yang
selalui diperbarui ( ). Data akurat tersebut saat ini sudah ada di Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) dan di Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
2. Adanya regulasi yang menetapkan dokter sebagai tenaga strategis dan berhak mendapat
kompensasi dasar yang besarnya sama untuk setiap dokter. Penyusunan regulasi ini
menjadi ranah Kemenkes dan Kemenpan.
3. Adanya regulasi tentang Indeks Geografi Praktik Dokter (IGPD) yang menjadi acuan
nasional untuk mengatur penyebaran dan pemerataan dokter, dan menyesuaikan
kompensasi dokter. Penyusunan IGPD membutuhkan keterlibatan Kemenkes,
Kemendagri, Kemenpan, BPS, dan IDI.

4. Kompensasi Untuk Menghargai Tanggung-Jawab Dan Beban Kerja


Praktik dokter adalah tempat dokter berkarya dan mengabdikan ilmu dan keterampilannya
untuk melayani pasien dan masyarakat. Dalam era JKN, karya DLP diwujudkan dalam bentuk
tanggung jawab memelihara dan menyehatkan penduduk yang masuk dalam daftar
pesertanya.
Komponen kedua dari metode Sandwich ini dibentuk untuk menghargai pengetahuan,
keterampilan, dan waktu DLP yang dicurahkan untuk memelihara dan menyehatkan
komunitas binaannya. Beban kerja DLP ditentukan dari jumlah peserta JKN yang masuk
dalam daftar pesertanya (komunitas binaan). Pemanfaatan DLP oleh komunitas binaan ini
dipengaruhi oleh karakteristik demografi, pola morbiditas dan angka utilisasi dari komunitas
binaannya. Kemampuan menyelesaikan masalah kesehatan dari komunitas binaan ini
ditentukan oleh tingkat kompetensi DLP. Makin kompeten DLP makin banyak masalah yang
dapat diselesaikan di praktiknya dan makin sedikit yang dirujuk. Jadi pada prinsipnya
komponen kedua ini memastikan bahwa setiap DLP akan diberi kompensasi sesuai dengan
tingkat kompetensi, tanggung jawab, dan beban kerja masing-masing, tidak disamaratakan.
Idealnya kompensasi komponen ini merupakan 50-60% dari total kompensasi DLP.
Metode kapitasi menjadi pilihan yang tepat untuk membayar komponen kedua dari metode
Sandwich, karena 1) DLP memberikan pelayanan secara personal, sinambung dalam periode
yang panjang ( ). Karena prinsip ini DLP memiliki daftar
pasien yang menjadi tanggung jawabnya, jadi sejalan dengan metode kapitasi; 2) metode ini
memotivasi DLP untuk melayani sesuai dengan kebutuhan pasien dan bekerja efisien.
Untuk menekan dan mengakomodasi risiko yang disebabkan oleh
karakteristik komunitas binaan, seyogianya dilakukan penyesuaian ( ) terhadap
faktor yang telah terbukti berpengaruh besar pada pemanfaatan, seperti gender, umur, dan
lain-lain.

Penyesuaian terhadap jumlah peserta perlu dilakukan untuk menjaga agar DLP tidak
menerima peserta secara berlebihan. 1 FTE DLP setara untuk melayani 2.500 peserta. Bila
DLP mempunyai peserta lebih dari 2.500 dikhawatirkan akan terjadi penurunan mutu
layanan. Penyesuaian ini juga diperlukan untuk menjaga agar peserta tersebar merata dan
terjadi perimbangan jumlah komunitas binaan di antara DLP. Penyesuaian dilakukan dengan
cara memberi disinsentif untuk peserta ke 2001 dan seterusnya. Misalnya, peserta ke-1
sampai 2000 diberi poin 1, sedang peserta ke 2001 dan seterusnya diberi poin 0,5.

Penyesuaian terhadap status gender diperlukan mengingat ada peristiwa atau pelayanan
khusus yang disebabkan perbedaan gender, misalnya pemasangan iud/implant, skrening
kanker serviks uteri, dan pelayanan antenatal/postnatal. Bila dalam komunitas binaan DLP
terdapat banyak peserta wanita, tentu banyak waktu tatap muka DLP yang diperlukan untuk
melayani peserta wanita. Dari beberapa referensi, faktor gender diberi bobot 0,1. Artinya
utilisasi populasi wanita 1,1 kali lebih banyak dari populasi umum.

Penyesuaian juga dilakukan terhadap umur peserta, karena umur peserta ini signifikan
mempengaruhi tingkat pemanfaatan, terutama yang berusia di bawah 6 tahun dan di atas
65 tahun. Bayi dan balita perlu kunjungan rutin dan rentan terkena penyakit. Lansia banyak
mengidap penyakit degeneratif dan penyakit kronis yang membutuhkan banyak waktu tatap
muka DLP. Kedua kelompok umur ini diberi bobot yang sama, yaitu 0,5. Artinya
pemanfaatan oleh populasi bayi/balita dan lansia 1,5 kali lebih banyak dari populasi umum.

Salah satu faktor penentu keberhasilan JKN adalah ketersediaan DLP yang handal sebagai
dan tersebar merata di seluruh wilayah NKRI. Fakta menunjukkan kompetensi
DLP saat ini sangat beragam dan belum cukup handal sebagai JKN. Dalam
kondisi ini tidaklah adil bila DLP yang memiliki kompetensi rendah menerima kapitasi yang
sama dengan DLP yang memiliki kompetensi tinggi. Sesuai dengan prinsip dasar komponen
kedua ini, yaitu menghargai pengetahuan dan keterampilan DLP, maka kompensasinya pun
tidak disamaratakan, jadi perlu ada penyesuaian terhadap kompetensi DLP.
Penyesuaian dapat menggunakan porto-folio DLP. Porto-folio mencerminkan kehandalan
DLP, yaitu pengejawantahan pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman DLP dalam
mengelola suatu masalah kesehatan sampai tuntas. Porto-folio ini diperoleh dari
pengalaman praktik sehari-hari yang diperkaya dan dikukuhkan melalui program CPD
terstruktur. Penggunaan istilah kehandalan DLP dimaksudkan untuk membedakan porto-
folio ini dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012 yang fokus pada diagnosis, dan
dengan kompetensi DLP yang setara spesialis produk dari UU Pendidikan Kedokteran tapi
belum ada dokternya.
Secara teoritis, diasumsikan bobot kehandalan DLP produk kurikulum UU Pendidikan
Kedokteran adalah 100 poin (maksimal). Poin maksimal ini menunjukkan DLP mampu
menyelesaikan sebagian besar masalah kesehatan individu, suatu kodisi ideal yang
diharapkan program JKN. Dengan mempertimbangkan kondisi saat ini diasumsikan bobot
dokter internsip adalah 50 poin, dan bobot dokter umum adalah 60 poin.
Selisih bobot dokter umum dan DLP sebesar 40 poin ini menggambarkan perbedaan
kehandalan dalam menyelesaikan masalah kesehatan peserta JKN. Makin besar poin berarti
makin banyak masalah kesehatan yang dapat diselesaikan di praktiknya dan makin sedikit
yang dirujuk ke spesialis. Dengan demikian poin ini dapat dijadikan faktor untuk
menyesuaikan ( ) kapitasi berdasarkan porto-folio (lihat simulasi berikut).
Dokter umum yang ingin mempunyai kemampuan setara DLP dapat mengikuti program CPD
terstruktur dalam di bawah ini. DLP dapat menentukan sendiri program CPD
mana yang menjadi prioritasnya.

No Program CPD Terstruktur Poin


1 2
2 2
3 2
4 2
5 2
6 2
7 2
8 2
9 2
10 2
11 2
12 2
13 2
14 2
15 2
16 2
17 2
18 2
19 2
20 2
40
Adanya faktor penyesuaian porto-folio ini diharapkan dapat memotivasi dokter umum untuk
mengikuti program CPD terstruktur, karena poin yang diperoleh berdampak langsung pada
peningkatan kompensasinya.

Administrasi untuk menerapkan komponen ini relatif mudah, dengan catatan manajemen
kepesertaan BPJS dan manajemen rekam medik DLP yang cukup baik. Dibutuhkan langkah
berikut ini untuk menerapkan komponen kedua metode Sandwich.
1. Adanya ketetapan tentang formula pembayaran kapitasi dan metode menghitung biaya
kapitasi yang disepakati bersama. Di sini metode kapitasi diterapkan sebagai strategi
membayar dokter yang terintegrasi dengan metode lain dalam model Sandwich. Jadi
komponen biaya pembentuk kapitasi tidak sama dengan metode kapitasi untuk
membayar fasilitas kesehatan. Ketetapan ini menjadi tanggung jawab Kemenkes, BPJS,
dan IDI.
2. Adanya program CPD terstruktur yang dikaitkan dengan porto-folio DLP dan harus
mengacu pada kompetensi DLP produk UU Pendidikan Kedokteran. Pengembangan
program ini menjadi tanggung jawab IDI, KKI, Kemenkes, dan BPJS.
Contoh penerapan kompensasi untuk tanggung jawab dan beban kerja

2000 peserta pertama masing-masing diberi 1 poin, peserta berikutnya diberi 0,5 poin
Setiap peserta wanita mendapat tambahan 0,1 poin
Setiap peserta di bawah 6 tahun dan di atas 65 tahun mendapat tambahan 0,5 poin
Seluruh peserta mendapat tambahan poin setara poin porto-folio dokter
Simulasi berikut menunjukkan kompensasi untuk tanggung jawab dan beban kerja yang
diterima 2 dokter. Dr.DD dengan masa kerja 8 tahun berpraktik di wilayah pekotaan (kategori
1), memiliki porto-folio 0,75, dipilih oleh 2.000 peserta yang terdiri dari 700 pria dan 1.300
wanita; dari segi usia ada 400 peserta berusia di bawah 6 tahun, 300 peserta berusia di atas 65
tahun dan sisanya berusia antara 6-65 tahun. Dr.FF dengan masa praktik 4 tahun berpraktik di
daerah terpencil (kategori 8), memiliki porto-folio 0,45, mempunyai komunitas binaan 2.500
peserta dan 1500 di antaranya peserta wanita, 700 peserta berusia di bawah 6 tahun, 1400
peserta berusia 6-65 tahun, dan 400 peserta berusia di atas 65 tahun.
Perhitungan kompensasi untuk tanggung jawab dan beban kerja yang dihitung berdasarkan
formula dan data di atas menghasilkan per bulan untuk Dr. DD = Rp.11.940.000
dan untuk Dr. FF = Rp.12.195.000.
Dr.DD Dr.FF
Komunitas binaan (peserta) 2,000 2,500
Kapitasi/peserta/bulan (Rp) 3,000 3,000
Formula penyesuaian
Poin dasar kapitasi 2000 x 1 2,000 2000 x 1 + 500 x 0,5 2,250
Poin umur 400 x 0,5 + 300 x 0,5 350 700 x 0,5 + 400 x 0,5 550
Poin gender 1300 x 0,1 130 1500 x 0,1 150
Poin porto-folio DLP 2000 x 0,75 1,500 2500 x 0,45 1,125
Total 3,980 4,075
Take home pay/bulan (Rp) 11,940,000 12,225,000
(Catatan: NILAI YANG DISAJIKAN DALAM SIMULASI INI HANYA UNTUK MODELING)
5. Insentif Untuk Mendukung Pencapaian Target Pembangunan Kesehatan
Keberadaan DLP di tengah masyarakat adalah untuk menerapkan trias peranan dokter
( ). Namun, selama ini DLP
hanya difungsikan sebagai , yang hanya peduli dengan praktiknya. Praktik
DLP belum dilibatkan dan terlepas dari tujuan pembangunan kesehatan nasional, seperti
penurunkan AKI dan AKB, mensukseskan program KB, penurunkan insidens dan prevalens
TB, dan lain-lain. Program nasional ini seolah-olah hanya milik Puskesmas, Dinkes, dan
Kemenkes.
Era JKN menjadi peluang untuk mengembalikan trias peranan dokter dan mengajak DLP
turut aktif berpartisipasi mendukung pencapaian target pembangunan kesehatan nasional.
Caranya dengan melibatkan DLP untuk melaksanakan program nasional di komunitas binaan
DLP. Dalam komunitas kecil ini DLP harus dapat mencapai target maksimum. Misalnya
imunisasi lengkap 100%, K1 dan K4 100%, gizi buruk 0%, kesembuhan TB 100%, dan lain lain.
Komponen ketiga metode Sandwich ini dibentuk dengan maksud memberi insentif kepada
DLP yang berperan aktif dalam mendukung pencapaian program nasional. Metode yang
tepat untuk membayar insentif DLP adalah , karena FFS memotivasi
dokter untuk melaksanakan lebih banyak pelayanan. DLP yang memberikan pelayanan yang
termasuk dalam program nasional seperti disimulasikan di berikut ini dapat
menagih insentifnya setiap periode.

Pelayanan Kesehatan Poin


Program KB
Pasang IUD 100
Pasang implant 60
Vasektomi 200
Program imunisasi
Imunisasi dasar lengkap 50
Imunisasi Influenza pada lansia 50
Program menurunkan AKI, AKB, AKBA
ANC K1 150
ANC K4 200
Pengendalian penyakit
Deteksi kasus baru TB 400
Pengobatan TB tuntas 500
Adanya komponen ketiga ini diharapkan dapat memotivasi DLP untuk secara proaktif
melaksanakan program kesehatan nasional. Setiap DLP akan menerima insentif berbeda,
yang besarnya bergantung pada peranannya dalam mendukung pencapaian target
pembangunan kesehatan nasional. Besar insentif ini idealnya sekitar 5-10% dari total
kompensasi dokter.
Dalam era JKN, seluruh penduduk akan terbagi habis ke semua DLP, atau bila dibalik,
komunitas kecil DLP (1000-2500 peserta) bila digabungkan menjadi satu adalah sama
dengan populasi nasional. Jadi keterlibatan DLP dalam melaksanakan progran nasional akan
memberi hasil yang sangat bermakna pada upaya meningkatkan derajat kesehatan nasional.
Administrasi untuk menerapkan komponen ketiga metode Sandwich ini juga relatif mudah.
Untuk menyiapkan penerapannya diperlukan langkah berikut ini.
1. Adanya ketetapan sistem poin yang dikaitkan dengan pembayaran DLP. Para penanggung
jawab program nasional, organisasi profesi, dan BPJS. perlu duduk bersama untuk
menentukan skala prioritas program nasional dan membuat sistem poin.
2. Adanya ketetapan tentang nilai faktor konversi per poin dan tata cara penagihan insentif
berdasarkan sistem poin.
Contoh penerapan insentif DLP untuk mendukung pencapaian target pembangunan
kesehatan nasional

Dalam era JKN, telah ditetapkan untuk membayar dokter dengan metode Sandwich.
Pembayaran komponen 3 metode Sandwich menggunakan metode FFS. Para DLP yang
melaksanakan pelayanan yang termasuk program nasional akan mendapat insentif yang
besarnya sesuai dengan poin yang ditetapkan, dan penagihan dilakukan secara berkala.
Simulasi berikut menunjukkan insentif untuk mendukung pencapaian target pembangunan
kesehatan nasional yang diberikan kepada Dr. DD dan Dr. FF berdasarkan partisipasinya dalam
satu periode. Bila ditetapkan faktor konversi 1 poin adalah Rp.500,-, maka dalam simulasi ini
Dr. DD yang mengumpulkan 3.730 poin mendapat insentif Rp.1.865.000 per bulan, dan Dr. FF
mendapat insentif Rp.2.150.000 per bulan dari 4.300 poin.
Dr. DD Dr. FF
Pelayanan Kesehatan Poin
Frek Poin Frek Poin
Program KB
Pasang IUD 100 2 200 0
Pasang implant 60 3 180 0
Vasektomi 200 1 200 0
Program imunisasi
Imunisasi dasar lengkap 50 5 250 10 500
Imunisasi Influenza pada lansia 50 3 150 0
Program menurunkan AKI, AKB, AKBA
ANC K1 150 3 450 4 600
ANC K4 200 3 600 3 600
Pengendalian penyakit
Deteksi kasus baru TB 400 3 1,200 4 1,600
Pengobatan TB tuntas 500 1 500 2 1,000
Nilai konversi 1 poin ~ Rp.500 500 3,730 4,300
Insentif DLP 1,865,000 2,150,000
(Catatan: NILAI YANG DISAJIKAN DALAM SIMULASI INI HANYA UNTUK MODELING)
6. Penerapan Metode Sandwich
Simulasi setiap komponen metode Sandwich yang disajikan di atas, bila kemudian hasilnya
digabungkan akan memberikan gambaran sebagai berikut.

METODE SANDWICH Dr. DD Dr. FF


Komponen 1 Masa kerja Madya (0.4) Pratama (0.2)
Gaji basik Domisili Perkotaan (0) Terpencil (0.7)
Rp.5,000,000/bulan masa kerja 0,4 0.2
geografi 0 0.7
Total 1.4 1.9
Pendapatan per bulan (Rp) 7,000,000 9,500,000
Porto-folio Tinggi (0,75) Sedang (0.45)
Komponen 2 Komunitas binaan 2,000 2,500
Kapitasi basik jumlah peserta 0 (250)
Rp.3,000/pmpm umur 350 550
____________
gender 130 150
porto-folio 1,500 1,125
Total 3,980 4,075
Pendapatan per bulan (Rp) 11,940,000 12,225,000
Komponen 3 Total poin 3,730 4,300
FFS Rp.500/poin
_____________

Pendapatan per bulan (Rp) 1,865,000 2,150,000

Total kompensasi DLP per bulan 23,305,000 22,875,000

Dengan metode Sandwich, Dr.DD memperoleh kompensasi sebesar Rp.23,305,000/bulan dan


Dr.FF sebesar Rp.22,875,000/bulan. Meskipun besar kompensasi tidak jauh berbeda, namun
besaran kompensasi ini ditentukan oleh keunggulan masing-masing dokter.
Komponen 1 menetapkan gaji basik sebesar Rp. 5 juta/bulan. Dr.FF yang masa kerjanya kalah
dari Dr.DD mendapat tambahan yang cukup besar karena berdomisili di daerah terpencil dan
memperoleh pendapatan sebesar Rp.9,5 juta atau hampir dua kali gaji basik. Komponen 2
dibayar dengan kapitasi sebesar Rp.3,000/peserta/bulan. Setelah dilakukan penyesuaian
terhadap jumlah peserta, umur, gender, dan porto-folio, Dr. DD yang mempunyai komunitas
binaan sebanyak 2,000 peserta memperoleh pendapatan sebesar Rp.11,940,000/bulan, dan
Dr.FF sebesar Rp.12,225.000/bulan untuk melayani 2500 peserta. Dr.DD lebih diuntungkan
karena memiliki porto-folio yang lebih tinggi, Dr.FF tidak diuntungkan dengan komunitas
binaan yang lebih besar. Komponen 3 memberi insentif Rp.500/poin, dan insentif ini cukup
memotivasi kedua dokter ini untuk berpartisipasi melaksanakan program nasional, dan
memberi tambahan pendapatan Rp.1,865,000 bagi Dr. DD, dan Rp.2,150,000 bagi Dr.FF.

Hasil simulasi ini menunjukkan prinsip dasar yang melandasi metode Sandwich ternyata
dapat digunakan untuk membayar dokter yang memiliki perbedaan masa kerja dokter,
tingkat kompetensi, kondisi geografi, dan beban kerja akibat melayani populasi berbeda.
Berbagai perbedaan tersebut dapat diakomodasi dengan menerapkan formula sederhana
menggunakan data yang mudah diperoleh. Padahal, perbedaan ini biasanya sangat sulit
dipertemukan, yang antara lain disebabkan tidak adanya formula yang standar dan
transparan, yang menjadi acuan bagi pembayar maupun para dokter.

Dalam era JKN, regulasi telah menetapkan BPJS akan membayar fasilitas kesehatan primer
dengan kapitasi. Selanjutnya pembayaran ke personil faskes, termasuk dokternya,
diserahkan pengaturannya kepada faskesnya. Mengingat metode kapitasi bertujuan
mentransfer risiko finansial ke faskes, maka mau tidak mau faskes pun harus menyebarkan
risiko ini keseluruh personilnya. Kondisi ini akan mendorong setiap faskes untuk
menerapkan sistem remunerasi yang sesuai dengan kondisi organisasinya, dan sistem
remunerasi ini dapat menerapkan metode Sandwich. (lihat gambar).

Gambar 4-3. Hubungan BPJS, fasilitas kesehatan dan dokter

Dari arus dana yang digambarkan di atas, dan mengingat metode Sandwich tidak
membutuhkan data yang kompleks, formulanya cukup sederhana dan administrasinya
mudah, maka metode Sandwich dapat diterapkan pada skala fasilitas kesehatan (mikro)
maupun skala nasional (makro). Penerapan metode ini sangat ditentukan oleh
dari para pemangku kepentingan.
Skala fasilitas kesehatan (mikro)
Metode Sandwich dapat digunakan untuk menyusun sistem remunerasi dokter di suatu
faskes yang memiliki dua dokter atau lebih, dengan tujuan untuk menciptakan transparansi
dalam membagi pendapatan faskes. Dalam kondisi ini besarnya komponen satu, dua dan
tiga ditentukan sendiri oleh organisasinya.
Metode Sandwich juga dapat diterapkan di puskesmas yang dikontrak BPJS. Dalam hal ini
gaji dokter PNS yang mengacu pada PGPNS dianggap sebagai komponen satu. Proporsi jasa
pelayanan dari kapitasi BPJS yang menjadi hak dokter digunakan untuk membayar
komponen dua. Sedangkan pembayaran komponen tiga dapat disisihkan dari kapitasi BPJS
yang diterima puskesmas, atau bersumber dari pengelola program tingkat nasional, atau
dana khusus di BPJS yang dialokasikan untuk membiayai program nasional di luar kapitasi.
Jadi setiap puskesmas, terutama yang sudah menjadi BLUD, dapat dengan mudah
menerapkan prinsip-prinsip metode Sandwich yang disesuaikan dengan kondisi setempat.

Skala nasional (makro)


Metode Sandwich dapat digunakan untuk menyusun sistem remunerasi dokter di tingkat
nasional. Dalam hal ini diperlukan kebijakan tentang standar formula yang digunakan,
standar nilai untuk kompensasi basik, kapitasi basik, dan konversi 1 poin, sumber untuk
membiayai komponen 1, komponen 2, dan komponen 3, serta tatacara pengelolaannya.
Metode Sandwich cukup fleksibel, sehingga penerapannya dapat disesuaikan dengan situasi
dan kondisi setempat dan tujuan yang ingin dicapai. Misalnya:
Menetapkan komponen 1 (untuk membayar kebutuhan dasar profesi dokter) menjadi
tanggung jawab pemerintah. Penerapannya dapat berupa kebijakan tentang status dan
pendapatan dokter yang harus diikuti institusi yang mempekerjakan dokter, atau dapat
lebih jauh lagi seperti komponen 1 menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan
daerah yang mempekerjakan dokter tersebut.
Menetapkan komponen 2 (kompensasi untuk tanggung jawab, beban kerja dan kinerja
dokter) menjadi tanggung jawab institusi tempat dokter bekerja, dan sumber biayanya
dari pendapatan faskes, termasuk pendapatan dari BPJS.
Menetapkan komponen 3 (insentif kontribusi dokter mensukseskan program nasional)
sumber biayanya dari pemerintah, atau dapat pula bersumber dari dana khusus BPJS
untuk membiayai program kesehatan nasional.
Mewajibkan semua fasilitas kesehatan menggunakan metode Sandwich sebagai acuan
untuk menyusun remunerasi dokter, dan menggunakan standar nilai yang ditetapkan
oleh pemerintah.

Penerapan metode Sandwich secara nasional akan menjadikan karir dan pendapatan dokter
menjadi lebih transparan dan lebih pasti. Dua hal ini yang saat ini tidak ada. Hal ini akan
sangat membantu para dokter untuk merencanakan karirnya, misalnya apakah akan
membuka praktik di suatu daerah terpencil atau sebaiknya menjadi pegawai gajian saja
(PNS). Para dokter pun diharapkan termotivasi untuk meningkatkan kompetensi dan aktif
berpartisipasi melaksanakan program nasional, karena hal ini berdampak langsung pada
peningkatan pendapatannya.

Pihak faskes yang mempekerjakan dokter dan BPJS pun akan memperoleh manfaat, karena
penerapan metode Sandwich ini menyebabkan biaya yang dibutuhkan untuk membayar
dokter menjadi lebih pasti dan tidak terlalu fluktuatif, dan hal ini akan memudahkan proses
perencanaan. Pencapaian target program nasional diharapkan juga meningkat, mengingat
besarnya populasi yang dicakup oleh DLP dan era JKN nanti.

7. Implikasi Pada Kebijakan Nasional


Penerapan JKN yang menempatkan BPJS sebagai pembayar tunggal ( ) dengan
mekanisme asuransi kesehatan sosial akan mendorong perubahan berantai ( )
pada berbagai bidang dan sektor. Sektor pendidikan harus berubah agar dapat menyediakan
tenaga kerja yang jenis, kualitas dan kuantitasnya sesuai kebutuhan JKN. Sektor pemberi
pelayanan akan terdorong melakukan integrasi vertikal dan horizontal untuk mengamankan
pasarnya dan untuk menjamin kesinambungan pelayanan bagi peserta JKN, industri farmasi
terdorong memproduksi obat-obatan berkualitas dan harganya terjangkau (murah),
lembaga dan institusi baru akan terbentuk untuk mengawal hak masyarakat, menjamin
kualitas layanan dan mengawasi penyelenggaraan JKN yang baik ( ), dan
perubahan lainnya.
Dalam melaksanaka berbagai perubahan menuju sistem pelayanan kesehatan nasional yang
lebih baik tersebut, sekaligus harus ditata pula status dan karir profesi dokter. Dalam
konteks ini adanya metode membayar dokter yang transparan dan menjadi acuan semua
pemangku kepentingan sangat diperlukan, mengingat status dan karir dokter selama ini
nyaris terabaikan. Penerapan metode Sandwich skala nasional harus ditempatkan sebagai
salah satu kebijakan untuk menata ulang sistem pelayanan kesehatan nasional. Penerapan
metode ini antara lain membutuhkan regulasi dan kebijakan lintas sektor berikut ini:
Menetapkan porsi dana untuk pelayanan primer minimal 40-50% dari total dana BPJS.
Penetapan ini menunjukkan komitmen negara untuk menjamin sistem pelayanan
kesehatan yang menopang JKN berorientasi pelayanan primer, mengutamakan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan seluruh penduduk Indonesia, dan menyelesaikan
80-90% masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
Menetapkan Indeks Geografi Praktik Dokter sebagai acuan pemangku kepentingan dalam
menyusunan kebijakan tentang penyebaran dokter, pemberian kompensasi dokter, dan
penghitungan biaya pelayanan kesehatan.
Menetapkan profesi dokter sebagai profesi strategis yang karir dan kesejahteraannya
dijamin negara, baik sebagai abdi negara (PNS) maupun bukan abdi negara. Hal ini bukan
berarti seluruh dokter Indonesia harus menjadi PNS.
Menetapkan DLP sebagai pemilik usaha pelayanan kesehatan primer atau pemilik entitas
praktiknya, mengingat dokter adalah dan dalam era JKN nanti
praktik DLP akan menjadi karir dan tumpuan hidup mayoritas dokter Indonesia selama ia
berprofesi dokter + 30-40 tahun. Kebijakan ini sekaligus diarahkan untuk menata ulang
bentuk entitas praktik DLP yang ada saat ini agar menjadi entitas praktik DLP yang dapat
menyajikan pelayanan komprehensif, bermutu, aman, dan biayanya terjangkau, serta
mudah diakses masyarakat pada saat ia membutuhkan, dan penyebarannya merata di
seluruh wilayah NKRI.
Menetapkan organisasi profesi dokter sebagai pihak yang berwenang mewakili entitas
praktik DLP dalam bernegosiasi dengan pihak BPJS, mengingat DLP sebagai pemilik
praktiknya dan pelayanan DLP kepada peserta JKN pada hakekatnya merupakan
pengejawantahan pengetahuan, keterampilan dan waktu kerja DLP.

Catatan: Metode Membayar Dokter Spesialis di Era JKN

Metode Sandwich yang dirancang untuk membayar dokter layanan primer ini, dapat pula
diterapkan untuk membayar dokter spesialis. Penyesuaian yang harus dilakukan adalah
pada komponen 2, yaitu komponen untuk membayar kompensasi untuk tanggung jawab,
beban kerja dan kinerja dokter. Dengan mempertimbangkan cara kerja dan pola pelayanan
dokter spesialis, metode yang tepat untuk membayar komponen 2 ini adalah metode FFS
namun pembayarannya bukan berdasarkan tarif jasa medik, tapi berbasis
yang diadopsi dari konsep (RBRVS).
Jadi metode Sandwich untuk membayar dokter spesialis terdiri dari 3 komponen:
komponen 1 (sebagai kompensasi kebutuhan dasar profesi dokter), berbasis ,
komponen 2 (sebagai kompensasi tanggung jawab, beban kerja dan kinerja dokter),
berbasis , dan
komponen 3 (sebagai insentif kontribusi dokter mensukseskan program nasional),
berbasis

ooGSoo
KEPUSTAKAAN

Adams, Owen. . Edmonton :


Canadian Medical Association, 2010.

Boland, Peter. . Berkeley : Boland


Health care, 1996.

Cotton, Horace. . New Jersey : Medical Economics, 1965.

Chawla, Mukesh at al. . Boston :


Department of Population and International Health Harvard School of Public Health, 1997.

Drossos, Alex. . 2002.

Du Bois, Gerd C. . Ontario : Copp


Clark Pitman, 1990.

Docteur, Elizabeth et al. .


Organisation for Economic Co-operation and Development. 2003

Fujisawa, Rie et al.


. 2008

Gosden T et al.
. Wiley, 2006.

Grignon, Michel et al.


. Commission on the Future of Health Care in Canada, 2002.

Gilman, Thomas A. . Ohio : An Aspen Publication, 1987.

Holden, Michael et al. . Library of Parliament,


2002.

Hsiao WC, Braun P, Dunn D, et al: . JAMA 1988;


260: 2347-2353.

Hsiao WC, Braun P, Becker ER, et al:


. JAMA 1987; 258: 799-802.

Kemenkes. . Jakarta, 2012.

Lee, Sidney et al. . CMA Journal, 1975.

Massam, Alan. . CMA


Journal, 1975.
Orovan, William L. .

Pavlock, Ernest J. . Englewood : MGMA ,2000.

Robinson, James C. .
Berkeley : University of California, 2001.

Soetono, Gatot. . Jakarta : IDI, 2008.

Soetono, Gatot. . Jakarta : IDI, 2006.

Soetono, Gatot cs. . Jakarta : IDI, 2007

The World Health Report 2000. . WHO, 2000.

Wranik, Dominika W. cs.


. Halifax : Springer Science+Business Media, 2009.

Warren, Tom. . 2008.


LAMPIRAN-1: Contoh Pelayanan Praktik Dokter Layanan Primer

1. PENILAIAN STATUS KESEHATAN PRIBADI (WELLNES CHECKUP)


Layanan ini merupakan suatu metode pengujian kesehatan terkini yang menggabungkan
penilaian faktor risiko dan pemeriksaan medik terarah. Layanan ini meliputi pengumpulan
informasi kesehatan pribadi melalui kuesioner, anamnesis, pemeriksaan fisik lengkap,
pemeriksaan penunjang terarah, dan konseling wellness. WellnessCheckup merupakan
metode dokter keluarga untuk memperoleh profil kesehatan pribadi yang diperlukan untuk
merancang upaya promotif-preventif-kuratif-rehabilitatif yang sesuai dengan kebutuhan
mitra. Bagi mitra sendiri, profil kesehatan pribadi ini dapat dijadikan cermin untuk melihat
bagaimana kondisi kesehatannya dan dapat pula dijadikan materi edukasi karena berisi
langkah-langkah yang harus dilakukan jika ingin memiliki kondisi kesehatan yang optimal.
WellnesCheckup akan dilaksanakan segera setelah seseorang menjadi mitra praktik dokter
mandiri (PDM) dan selanjutnya akan diulang setiap tahun.
2. PROGRAM PROAKTIF PENGENDALIAN PENYAKIT/KONDISI KHUSUS
Layanan ini merupakan program promotif-preventif yang dilaksanakan secara proaktif
dengan tujuan mengendalikan penyakit/kondisi khusus, seperti hipertensi, diabetes
mellitus, hiperlipidemia, kegemukan, merokok, dll. Sebagai contoh, bila hasil
WellnessCheckup menunjukkan mitra menderita hipertensi, maka dokter keluarga akan
merencanakan program yang sesuai dengan kondisi mitra. Program ini harus diikuti selama
satu periode, meliputi konseling tentang gaya hidup seperti apa yang cocok untuk mitra,
pola makan yang sehat, aktivitas olah raga, dan lain-lain agar mitra menjadi sehat, di
samping upaya medik (obat-obatan, pemeriksaan penunjang, dll). Selama mengikuti
program ini dokter keluarga akan mengingatkan mitra kapan harus datang ke PDM dan
kegiatan apa yang harus diikuti, memantau kemajuan yang telah dicapai mitra, dan
menginformasikan hasilnya kepada mitra. Dengan pendekatan ini penyakit/kondisi tertentu
dapat ditangani dengan lebih terarah, terpadu, dan biayanya dapat terkendali.
3. PENDIDIKAN KESEHATAN
Program pendidikan kesehatan ini dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan pengetahuan
kesehatan mitra. Dokter keluarga dan timnya akan memberikan pendidikan kesehatan
tentang pola hidup sehat, cara-cara mengatasi masalah kesehatan sehari-hari, dan
kemandirian dalam memelihara kesehatan. Sasaran pendidikan kesehatan ini adalah
individu, keluarga yang mempunyai masalah tertentu (misalnya narkoba), kelompok
penderita penyakit (misalnya, penyakit jantung, diabetes, i, dll), dan kelompok individu yang
mempunyai minat terhadap kesehatan.
PDM secara berkala akan menyelenggarakan pendidikan kesehatan dalam bentuk seminar,
mini-seminar, diskusi kelompok, konseling, audio-visual, dan brosur. Informasi tentang
agenda pendidikan kesehatan ini dapat diperoleh di layanan pelanggan yang ada di setiap
PDM.
4. IMUNISASI
Kegiatan ini merupakan suatu tindakan preventif untuk melindungi mitra dari penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi. PDM menyediakan pelayanan imunisasi dasar, ,
atau imunisasi khusus untuk bayi dan anak yang sesuai dengan jadwal imunisasi anjuran
IDAI dan WHO. Selain untuk bayi dan anak, juga disediakan imunisasi khusus untuk dewasa
dan lansia, seperti influenza, tifoid, serta imunisasi untuk calon haji.
5. PEMELIHARAAN KESEHATAN BAYI DAN ANAK BALITA
Dokter keluarga peduli dengan pada bayi dan anak balita dan meyakininya
sebagai masa tumbuh kembang yang terpenting. Oleh sebab itu dokter keluarga dan timnya
akan melaksanakan pemeriksaan rutin pada bayi dan anak balita, seperti memantau
pertumbuhan, status imunisasi dan gizi, perkembangan motorik, dan memberikan nasehat
tentang perawatan, nutrisi, dan psikologi agar tercapai pertumbuhan yang optimal.

6. PEMELIHARAAN KESEHATAN ANAK USIA SEKOLAH


Dalam kerja sama dengan sekolah-sekolah, dokter keluarga dan timnya akan melaksanakan
pemeriksaan rutin dan deteksi dini masalah kesehatan anak usia sekolah, termasuk status
imunisasi dan gizi, kesehatan mata, kesehatan gigi dan mulut, dan memberikan konsultasi
psikologi perkembangan anak bila diperlukan.

7. PEMELIHARAAN KESEHATAN WANITA DAN KESEHATAN REPRODUKSI


Kesehatan wanita memerlukan pemeliharaan yang khusus dan teratur. Oleh sebab itu
dokter keluarga dan timnya akan melaksanakan pemeriksaan rutin, deteksi dini, dan
mengelola masalah kesehatan yang khususnya ada pada wanita, seperti deteksi dini kanker

kesehatan umum seperti pengelolaan berat badan, dan perawatan kulit wajah.

Untuk menjaga kesehatan reproduksi, dokter keluarga dan timnya menyediakan pelayanan
KB, termasuk konsultasi dan pemeriksaan rutin pra-nikah, tes kehamilan, pelayanan
kontrasepsi, konseling Keluarga Berencana, dan pemeriksaan kemandulan sampai batas
tertentu. Pelayanan kesehatan reproduksi juga dilaksanakan untuk kesehatan reproduksi
laki-laki.

8. PEMELIHARAAN KESEHATAN LANSIA


DLP dan timnya akan melaksanakan pemeriksaan rutin bagi mereka yang termasuk
kelompok lansia untuk deteksi dini dan mengelola masalah kesehatan yang sering ditemui di
usia lanjut, seperti pembesaran prostat, penyakit degeneratif, dan lain-lainnya.

DLP dan timnya juga melakukan pendampingan keluarga dalam menunjang pemeliharaan
kualitas hidup lansia. Pendampingan berupa pelayanan pembinaan keluarga.
9. PEMERIKSAN ANTE- & POSTNATAL
DLP dan timnya akan melakukan pemeriksaan rutin pada mitra yang hamil agar diperoleh
kehamilan yang baik dan persalinan yang aman. Jika tiba saatnya, dokter keluarga dan
timnya akan menangani persalinan atau merujuk ke rumah bersalin atau rumah sakit yang
tepat.

Untuk memulihkan kondisi ibu serta memelihara kesehatan bayi, pemeriksaan rutin
pascasalin (postpartum) akan dilakukan. Pelayanan edukasi perawatan bayi, perawatan luka
pascasalin, perawatan payudara dan cara menyusui yang sehat, dan lain lain akan diberikan
secara individual maupun kelompok.

10. KONSULTASI DAN PENGOBATAN


Dokter keluarga memberikan layanan konsultasi dan pengobatan yang dibutuhkan mitra.
Layanan pengobatan ini meliputi konsultasi medis/anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis, pengobatan, dan tindakan medis
yang sesuai dengan kewenangan dokter keluarga dan kebutuhan medis mitra.

Dokter keluarga akan merujuk mitra bila dibutuhkan layanan yang di luar kompetensi dan
bukan kewenangannya, atau bila di PDM-nya tidak tersedia fasilitas yang dibutuhkan
mitranya. Dalam hal ini dokter keluarga akan membuat surat rujukan ke dokter lain yang
telah menjalin kemitraan dengan PDM-nya dan memantau hasilnya.

11. PERESEPAN OBAT


Dokter keluarga akan meresepkan obat-obatan secara rasional yaitu meresepkan obat yang
dibutuhkan secara klinis dengan dosis yang cukup untuk jangka waktu yang memadai, dan
dengan cara pemberian yang tepat. Ia akan mengutamakan penggunaan obat esensial dan
obat generik yang terdapat di dalam

12. TINDAKAN MEDIS


Bila diperlukan tindakan medis untuk menyelesaikan masalah mitra, dokter keluarga akan
melakukan tindak medis yang menjadi kompetensi dan kewenangannya, antara lain
tindakan bedah kecil (ekstirpasi, insisi, sirkumsisi), injeksi, resusitasi, dan persalinan normal.

13. KONSELING
Dokter keluarga akan melaksanakan pelayanan konseling, yaitu membantu mitranya dalam
proses pengambilan keputusan menyangkut masalah kesehatan yang dihadapi mitra.
Konseling dapat diberikan kepada perseorangan, keluarga, atau kelompok yang mempunyai
masalah tertentu.

Konseling biasanya diberikan pada mitra yang perlu memodifikasi gaya hidup atau yang
menderita penyakit kronis atau penyakit berat, atau yang harus dirawat di rumah sakit
(misalnya harus menjalani tindak bedah yang berisiko, aborsi, HIV/AIDS, dll). Konseling
keluarga diselenggarakan dalam rangka menyelesaikan masalah pasien yang memerlukan
peran serta keluarga (misalnya masalah narkoba, perawatan lansia). Konseling kelompok
diselenggarakan untuk kelompok yang berpenyakit sama (misalnya penyakit jantung,
diabetes, ).

Konseling memerlukan waktu khusus, karena itu mitra harus membuat perjanjian lebih
dahulu untuk konseling perseorangan maupun konseling keluarga. Konseling kelompok akan
terjadwal di PDM.

14. PENUNJANG DIAGNOSTIK


Bila kondisi setempat membutuhkan, PDM dapat dilengkapi dengan fasilitas penunjang
diagnostik seperti laboratorium untuk layanan strata pertama, elektrokardiografi,
ultrasonografi, dan fasilitas penunjang lainnya. Bila fasilitas ini tidak tersedia, mitra dapat
dirujuk ke PDM lain atau sarana kesehatan lain yang bermitra dengan PDM.

15. REHABILITASI MEDIK


Dokter keluarga dan timnya menyediakan perawatan rehabilitasi medik bagi penderita
pasca- , pascabedah, dan kondisi lainnya. Perawatan rehabilitasi medik ini sebatas
kompetensi dokter keluarga dan timnya dan dapat dilakukan di PDM atau di rumah mitra.

16. KUNJUNGAN RUMAH


Dokter keluarga melakukan kunjungan rumah untuk memberikan layanan bila kondisi mitra,
karena alasan medis, tidak memungkinkannya datang ke PDM. Ia juga akan berkunjung
untuk melakukan penilaian kemungkinan adanya di rumah mitra, atau
melakukan pendidikan kesehatan kepada seluruh keluarga. Kunjungan dijadwalkan dan
dibedakan antara kebutuhan yang mendesak dengan yang tidak mendesak.

17. PERAWATAN DI RUMAH


Mitra dapat minta dirawat di rumah karena pertimbangan ekonomi dan kenyamanan, dan
dokter keluarga akan menyetujui permintaan tersebut bila secara medis memungkinkan.
Tim PDM akan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan agar perawatan di rumah
dapat dilaksanakan dengan baik, termasuk melatih anggota keluarga dalam merawat mitra.
Bila diperlukan, seorang perawat akan ditugaskan merawat mitra. Selama mitra menjalani
perawatan di rumah, dokter keluarga secara periodik akan memonitor mitra. Kasus yang
dapat dirawat di rumah antara lain adalah penderita yang telah melewati masa kritis di
rumah sakit dan tinggal menunggu masa pemulihan dan mitra yang memerlukan perawatan
paliatif.

18. KUNJUNGAN KE RUMAH SAKIT


Bila mitra dirawat di rumah sakit, dokter keluarga akan mengunjungi mitra. Ia akan
menjelaskan riwayat penyakit mitra kepada dokter yang merawat dan memantau
perawatan mitra. Upaya ini dilakukan agar mitra mendapat pelayanan medis yang sesuai
dengan kebutuhan dan terhindar dari pelayanan yang tidak perlu. Bila kondisi mengizinkan
DLP dapat ikut merawat dan mendampingi mitra dalam memutuskan tindakan/prosedur
yang akan dijalani mitra.

Anda mungkin juga menyukai