Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang

ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi

insulin absolut atau relatif.(1) KAD dan Hiperosmolar Hyperglycemia State (HHS) adalah 2

komplikasi akut metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam nyawa. Kedua

keadaan tersebut dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan 2, meskipun KAD lebih

sering dijumpai pada DM tipe 1.(2) KAD mungkin merupakan manifestasi awal dari DM tipe 1

atau mungkin merupakan akibat dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada

keadaan infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya.(3)

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per

tahun di Amerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden

KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah.

Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada

pasien DM tipe 2.(1)

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada banyak senter,

beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%, 2 – 10%, atau 9 – 10%. Sedangkan di klinik dengan

sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka

kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok

berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi,

uremia dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda

umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai

dengan patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering
dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.(1) Mengingat pentingnya pengobatan rasional dan tepat

untuk menghindari kematian pada pasien KAD usia muda, maka selanjutnya akan dibicarakan

Laporan Kasus tentang KAD disertai dengan komplikasi akibat penatalaksanaannya


BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai

oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin

absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes mellitus (DM)

yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik,

KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.(1)

II.2. EPIDEMIOLOGI

Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden KAD sebesar

8/1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur

kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien DM per tahun.1 Sumber lain menyebutkan

insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000 pasien DM per tahun.(4,5)

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang dirawat per

tahun di Amerika Serikat.(6) Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden

KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah.

Laporan insiden KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada

pasien DM tipe 2.(1)

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada banyak senter,

beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%2, 2 – 10%, atau 9-10%.(1) Sedangkan di klinik

dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat mencapai 25 – 50%.

Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti
sepsis, syok berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal

yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang rendah.

Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat,

pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia

lanjut, penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.(1)

II.3. FAKTOR PENCETUS

Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama

kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya

faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui faktor pencetusnya.(1,6)

Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai pencetus

lebih dari 50% kasus KAD.(6-8) Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol dan

glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna. Faktor lainnya adalah

cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, trauma,

pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau

terapi insulin inadekuat.(1,2,5-8)

Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor komorbid

penderita.(5) Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD adalah trauma, kehamilan,

pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD

adalahinfeksi saluran kemih dan pneumonia.(5,6) Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat

mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan

sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis

metabolik.(2) Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi tenggorokan.
Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid,

pentamidine, dan obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan

KAD. Obat-obat lain yang diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat

antipsikotik, dan fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang

disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang.

Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda diantaranya

ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan perbaikan kontrol metabolik, ketakutan

terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat penyakit kronik.(4,6,7) Namun demikian, seringkali faktor

pencetus KAD tidak ditemukan dan ini dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus KAD, akan

tetapi hal ini tidak mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.(9,10)

II.4 PATOFISIOLOGI KAD

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan konsentrasi

keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari kekurangan atau

inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator

(glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan

perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda

keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal

(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.

Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat (alanin,

laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim

glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat

karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkanpatogenesis utama yang


bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.

Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis

osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular filtration rate.

Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari

peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin dan

peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang

sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid menjadi gliserol

dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat

penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang

berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.


Gambar 1. Bagan Patofisiologi KAD(13)
Gambar 2. Proses Ketogenesis di Hepar(1)

Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya

distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan kadar

malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A

melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam

lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim untuk

transesteri¿ kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan oksidasi

asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke
mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan

CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketongenesis.(6)

II.5. GEJALA KLINIS

Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen pasien KAD telah diketahui menderitaDM

sebelumnya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai pasien dalam keadaan

ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor

kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok.

Keluhan poliuria dan polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan riwayat berhenti

menyuntik insulin, demam, atau infeksi. (1)

Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai. Pada KAD anak, sering

dijumpai gejala muntah-muntah massif. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal

ini dapat berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien

bervariasi, mulai dari kompos mentis sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu

dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum

alcohol). Bau aseton dari hawa napas tidak selalu mudah tercium.

II.6. DIAGNOSIS

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status

mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat

menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga

penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan.(1)


Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari,

perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24

jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan

pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.

Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan

berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma.

Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia,

hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi

muntah-muntah yang tampak seperti kopi.

Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan

prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala ini

dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda.

Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan

asidosis metabolik.

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah

dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan

glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara

kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium

lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3,

anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan laktat serta 3HB.
Tabel 1. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association(7)

II.7. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan pendekatan terstruktur

dokter dan paramedis yang bertugas. Terdapat banyak sekali pedoman penatalaksanaan KAD

pada literatur kedokteran, dan hendaknya semua itu tidak diikuti secara ketat sekali dan

disesuaikan dengan kondisi penderita. Dalam menatalaksana penderita KAD setiap rumah sakit

hendaknya memiliki pedoman atau disebut sebagai integrated care pathway. Pedoman ini harus

dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam rangka mencapai tujuan terapi. Studi terakhir

menunjukkan sebuah integrated care pathway dapat memperbaiki hasil akhir penatalaksanaan

KAD secara signifikan.(7)

Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia,


asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan yang terpenting

adalah pemantauan pasien terus menerus.(3,7) Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan

pada penatalaksanaan KAD.

1. Terapi cairan

Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.8 Terapi insulin hanya

efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan

membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat jam

pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi.(2,11) Oleh karena

itu, hal penting pertama yang harus dipahami adalah penentuan defisit cairan yang terjadi.

Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang terjadi,

fungsi ginjal, dan intake cairan penderita.(11) Hal ini bisa diperkirakan dengan pemeriksaan klinis

atau dengan menggunakan rumus sebagai berikut:(2)

Fluid deficit = (0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)

*Corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5

Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah dengan

menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium concentration.

Osmolalitas serum total =

2 X Na (mEq/l) + kadar glukosa darah (mg/dl)/18 + BUN/2,8

Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq/l tiap

kenaikan 100 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/ dl.
•Corrected Na+ = (Plasma glucose-100) / 100 * 1.6)

Nilai corrected serum sodium concentration > 140 dan osmolalitas serum total > 330 mOsm/kg

air menunjukkan defisit cairan yang berat.(12) Penentuan derajat dehidrasi dengan gejala klinis

seringkali sukar dikerjakan, namun demikian beberapa gejala klinis yang dapat menolong untuk

menentukan derajat dehidrasi adalah.(13) :

- 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia

- 10% : capillary refill time ≥ 3 detik, kelopak mata cekung

- > 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria

Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah penggantian cairan

sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 – 12 jam pertama dan sisanya dalam 12 – 16 jam

berikutnya.(5,9) Menurut perkiraan banyak ahli, total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar

100 ml/kgBB, atau sebesar 5 – 8 liter.(2,5,9) Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung

diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi

ginjal.(7,9) Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis cairan yang dipergunakan.

Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan.(2)

Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal

untuk resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15 – 20

ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama (± 1 – 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan

petunjuk praktis pemberian cairan sebagai berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam

berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi.

Sumber lain menyarankan 1 – 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250 – 500 ml/jam pada

jam berikutnya.(2) Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan status hidrasi pasien. Pilihan cairan

selanjutnya tergantung dari status hidrasi, kadar elektrolit serum, dan pengeluaran urine. Pada
umumnya, cairan NaCl 0,45% diberikan jika kadar natrium serum tinggi (> 150 mEq/l), dan

diberikan untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum (corrected serum sodium) dengan

kecepatan 4 – 14 ml/kgBB/jam serta agar perpindahan cairan antara intra dan ekstraselular

terjadi secara gradual.(3,4,7)

Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi kemungkinan

terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakaian normal saline(14) dan

berdasarkan strong- ion theory untuk asidosis (Stewart hypothesis).(2)

Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang meyakinkan tentang keuntungan pemakaian

RL dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Jika kadar Na serum rendah tetaplah mempergunakan

cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal dinilai, infus cairan harus mengandung 20 – 30 mEq/l

Kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat makan. Keberhasilan terapi

cairan ditentukan dengan monitoring hemodinamik (perbaikan tekanan darah), pengukuran

cairan masuk dan keluar, dan pemeriksaan klinis.

Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan dalam jangka

waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi 3 mOsm/kgH 2O/jam. Pada

pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan

osmolalitas serum dan penilaian fungsi jantung, ginjal, dan status mental yang

berkesinambungan selama resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan iatrogenik.

Untuk itu pemasangan Central Venous Pressure (CVP) monitor dapat sangat menolong.

Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan dengan

cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau

dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemunginan

edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepat.(2,3,5,14)


Tabel 2. Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD(7)

2. Terapi Insulin

Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang

memadai.(1) Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD

ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai.(12) Pemakaian insulin akan menurunkan kadar

hormon glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas

dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa

oleh jaringan.(1,6) Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus intravena,

intramuskular, ataupun subkutan.

Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena

dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini dianjurkan karena lebih mudah

mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat

menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan


hipokalemia lebih sedikit.(1) Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi

pilihan pada KAD yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan

insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat hipokalemia (K <

3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1

u/kgBB/jam (5 – 7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk

mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan aritmia jantung.(6,12)

Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50 – 75

mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah tidak menurun

sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status

hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai

penurunan gula darah konstan antara 50 – 75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250

mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05 – 0,1 u/kgBB/jam (3 – 6 u/jam), dan tambahkan infus

dextrose 5 – 10%.(6,7) Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus

disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik.

Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka insulin

diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 – 0,6 iu)/ kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara

intravena dan setengahnya lagi secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin

secara intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya

sama seperti pemberian drip intravena.(12) Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih lama

daripada hiperglikemia. Pengukuran langsung β-OHB (beta hidroksi butirat) pada darah

merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Selama terapi β-OHB berubah

menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa ketosis memburuk. Selama terapi KAD

harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN, serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat
keasaman vena setiap 2 – 4 jam, sumber lain menyebutkan bahwa kadar glukosa kapiler

diperiksa tiap 1 – 2 jam.(6)

Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara subkutan atau intramuskular

setiap jam dengan efektifitas yang sama dengan pemberian intravena pada kadar gula darah yang

rendah dan keton bodies yang rendah. Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan

subkutan adalah sama, namun injeksi subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien.

Pasien dengan KAD ringan harus mendapatkan “priming dose” insulin regular 0,4 – 0,6 u/kgBB,

setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau injeksi intramuskular.

Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular 0,1 u/kgBB/jam.

Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum bikarbonat

≥ 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap ≤ 12 mEq/l. Saat ini, jika pasien NPO, lanjutkan

insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular subkutan sesuai

keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap

kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu

untuk gula darah ≥ 300 mg/dl.

Ketika pasien mendapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan memakai

kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long acting insulin sesuai

kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih mudah untuk melakukan transisi ini dengan

pemberian insulin saat pagi sebelum makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena

selama 1 – 2 jam setelah pergantian regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma

yang adekuat.

Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan yang terlambat

dapat mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping pemberian
insulin intravena dan subkutan. Pasien yang diketahuidiabetes sebelumnya dapat diberikan

insulin dengan dosis yang diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan

seperlunya. Pada pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 – 1,0 u/ kgBB/hari,

diberikan terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long

acting insulin sampai dosis optimal tercapai, duapertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan

sepertiganya diberikan sore hari sebagai split-mixed dose.(6,7)

3. Natrium

Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah, oleh

karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100

mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur.

Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah penyesuaian efek ini.

Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level natrium yang diukur 130, maka

level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak memerlukan koreksi

dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline (NaCl 0,9%).

Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan

normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium

ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular

sehingga akan meningkatkan kadar natrium.(8) Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150

mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%.(7)

4. Kalium

Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3 – 5 mEq/kgBB),
hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali terjadi. Hal ini terjadi karena shift kalium dari

intrasel ke ekstrasel oleh karena asidosis, kekurangan insulin, dan hipertonisitas, sehingga terapi

insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium

serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium serum

kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 – 30 mEq kalium (2/3

KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum

dalam range normal 4 – 5 mEq/l.

Kadang- kadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus

tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin harus

ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau gagal jantung dan

kelemahan otot pernapasan.(6,7) Terapi kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak

dilakukan jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/l.(16)

5. Bikarbonat

Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0 , pengembalian

aktifitas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis tanpa pemberian bikarbonat.

Studi random prospektif telah gagal menunjukkan baik keuntungan atau kerugian pada

perubahan morbiditas atau mortalitas dengan terapi bikarbonat pada pasien KAD dengan pH

antara 6,9 – 7,1. Tidak didapatkan studi random prospektif yang mempelajari pemakaian

bikarbonat pada KAD dengan nilai pH < 6,9. Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan

banyak efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa

pada pasien dewasa dengan pH < 6,9 , 100 mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam 400

ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 –
7,0, 50 mmol natrium bikarbonat dicampur dalam 200 mlcairan fisiologis dan diberikan dengan

kecepatan 200 ml/jam.

Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0. Sebagaimana natrium bikarbonat,

insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan

secara intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam

sampai pH menjadi 7,0 , dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.(7)

6. Fosfat

Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan hingga 1,0

mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat. Kadar fosfat menurun dengan

terapi insulin. Studi acak prospektif gagal untuk menunjukkan efek menguntungkan dari

pemberian fosfat pada hasil akhir pasien KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat menyebabkan

hipokalemia berat tanpa bukti adanya tetanus.

Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta depresi

pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-hati mungkin kadang-

kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan

pada mereka dengan kadar serum posfat < 1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 – 30 mEq/l kalium

fosfat dapat ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu diperlukan

pemantauan secara kontinu.(7) Beberapa peneliti menganjurkan pemakaian kalium fosfat rutin

karena mereka percaya akan dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan membatasi

pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan hipokalsemia simtomatis pada

beberapa pasien.(9)
7. Magnesium

Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1 – 2 mEq/l pada pasien KAD. Kadar

magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti diuretik yang dapat menurunkan

kadar magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium sangat sulit dinilai dan sering tumpang

tindih dengan gejala akibat kekurangan kalsium, kalium atau natrium. Gejala yang sering

dilaporkan adalah parestesia, tremor, spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia jantung.

Pasien biasanya menunjukkan gejala pada kadar ≤ 1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal

disertai gejala, maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.(7)

8. Hiperkloremik asidosis selama terapi

Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine selama fase awal terapi,

substrat atau bahan turunan bikarbonat akan menurun. Sebagian defisit bikarbonat akan diganti

dengan infus ion klorida pada sejumlah besar salin untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada

kebanyakan pasien akan mengalami sebuah keadaan hiperkloremik dengan bikarbonat yang

rendah dengan anion gap yang normal. Keadaan ini merupakan kelainan yang ringan dan tidak

akan berbahaya dalam waktu 12 – 24 jam jika pemberian cairan intravena tidak diberikan terlalu

lama.(3)

9. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai

Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor pencetus terjadinya

KAD.(3) Jika faktor pencetus infeksi belum dapat ditemukan, maka antibiotika yang dipilih

adalah antibiotika spektrum luas.(5)


10. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)

Terapi pencegahan DVT diberikan terhadap penderita dengan risiko tinggi, terutama

terhadap penderita yang tidak sadar, immobilisasi, orang tua, dan hiperosmolar berat. Dosis yang

dianjurkan 5000 iu tiap 8 jam secara subkutan.(16)

Gambar 3. Bagan penatalaksanaan KAD(7)


II.8. PEMANTAUAN TERAPI

Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium yang komprehensif

termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil kimia termasuk pemeriksaan elektrolit dan

analisis gas darah. Pemberian cairan dan pengeluaran urine harus dimonitor secara hati-hati dan

dicatat tiap jam. Pemeriksaan EKG harus dikerjakan kepada setiap pasien, khususnya mereka

dengan risiko kardiovaskular.(9)

Terdapat bermacam pendapat tentang frekuensi pemeriksaan pada beberapa parameter

yang ada. ADA merekomendasikan pemeriksaan glukosa, elektrolit, BUN, kreatinin, osmolalitas

dan derajat keasaman vena tiap 2 – 4 jam sampai keadaan stabil tercapai. Sumber lain

menyebutkan pemeriksaan gula darah tiap 1 – 2 jam, elktrolit setiap 6 jam selama 24 jam

selanjutnya tergantung keadaan, analisis gas darah; bila pH<7 waktu masuk periksa setiap 6 jam

sampai pH> 7,1 selanjutnya setiap hari sampai stabil, kemudian cek juga tekanan darah, nadi,

frekuensi pernafasan, temperatur, keadaan hidrasi, balans cairan dan waspada kemungkinan

DIC.(6)

Pemeriksaan kadar gula darah yang sering adalah penting untuk menilai efikasi pemberian

insulin dan mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak memuaskan. Ketika kadar gula darah

250 mg/dl, monitor kadar gula darah dapat lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar elektrolit serum

diperiksa dalam interval 2 jam sampai 6 – 8 jam terapi. Jumlah pemberian kalium sesuai kadar

kalium, terapi fosfat sesuai indikasi. Titik terendah kadar kalium dan fosfat pada saat terapi

terjadi 4-6 jam setelah mulainya terapi.(7)

II.9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena penanganan
yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh pemberian insulin dan terapi

asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia sekunder akibat pemberian insulin yang tidak

kontinu setelah perbaikan tanpa diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah

membaik mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang

berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic acidosis seperti

klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti garam natrium dan kalium

selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini terjadi sementara dan tidak ada efek klinik

signifikan kecuali pada kasus gagal ginjal akut atau oliguria ekstrem.(7)

Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak didapatkan

data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri pada orang dewasa. Gejala

yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan

neurologis dapat terjadi cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan

kegagalan respirasi.

Tabel 3. Komplikasi Akibat Penatalaksanaan KAD(5)


Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini merupakan akibat

dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat mekanisme osmosis, ketika osmolaritas

plasma menurun secara cepat saat terapi KAD. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko

edema serebri pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara

bertahap pada pasien yang hiperosmolar (penurunan maksimal pada osmolalitas 2

mOsm/kgH2O/jam), dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai

250 mg/dl.(7)

Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat sebagai

komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan koloid osmotik yang

merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan penurunan compliance paru. Pasien

dengan KAD yang mempunyai gradient oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada

awal pemeriksaan analisa gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik

tampaknya mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru.(7)

II.10. DIAGNOSIS BANDING

1. Hyperglicemic Hyperosmolar State

Ialah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hyperosmolar, dehidrasi

berat tanpa ketoasidosis disertai penurunan kesadaran. Gejala klinik HHS sulit dibedakan dengan

KAD terutama dari hasil laboratorium seperti kadar gula darah, keton, dan keseimbangan asam-

basa belum diketahui hasilnya. Gejala klinik yang dapat dijadikan pegangan agar dapat

membedakan KAD dengan HHS :


a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu sekitar >60 tahun, semakin muda,semakin berkurang

dan belum pernah ditemukan pada anak.

b. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM, atau diabetes tanpa pengobatan insulin.

c. Mempunyai penyakit dasar lain. Sekitar 80% penderita HHS mempunyai penyakit ginjal dan

kardiovaskular, tirotoksikosis dan penyakit cushing.

d. Sering disebabkan obat-obatan antara lain tiazid, sterois, haloperidol,simetidin, dll

e. Mempunyai factor pencetus seperti penyakit kardiovaskular, pankreatitis,operasi.Pemeriksaan

dapat membantu membedakan KAD dengan HHS, adapun perbandingan hasil pemeriksaan

KAD dengan HHS sebagaimana terlampir pada tabel 2.Angka kematian pada HHS lebih

banyak dibandingkan KAD karena insidenlebih sering pada usia lanjut dan berhubungan

dengan penyakit kardiovaskular dan dehidrasi. Angka kematian pada HHS sekitar 30-

50%.(1,5,7)

2. Asidosis laktat

Merupakan komplikasi yang sangat jarang akaibat terapi dengan metformin. Pasien

datang biasanya dengan gejala malaise, anoreksia, muntah, pernapasankussmaul (cepat dan

dalam). Kadar glukosa biasanya normal, tidak ditemukan benda keton dalam urin, dan analis gas

darah menunjukkan asidosis berat, aniongap meninggi. Terapi bersifat suportif dengan

menghentikan penggunaan metformin.(5)

II.11. PENCEGAHAN

Faktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan

kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada system
pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada

saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).

Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM secara

komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik

dan akut melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.

Khusus mengenai pencegahan KAD dan Hipoglikemia, program edukasi perlu

menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi mengenai pemberian

insulin kerja cepat, target kadar glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi,

memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna.

Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat

hiperglikemik oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihat tenaga kesehatan yang

professional. Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami

masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri.

II.12. PROGNOSIS

Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu tinggi dan

kadar hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan glukosa sebagai

sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak untuk sumber energi.

Pemecahan lemak tersebut akan menghasilkan benda-benda keton dalam darah(ketosis).

Ketosis menyebabkan derajat keasaman (pH) darah menurun atau disebutsebagai asidosis.

Keduanya disebut sebagai ketoasidosis. Oleh karena itu prognosis pada KAD masih tergolong

dubia, tergantung pada usia,adanya infark miokard akut, sepsis, syok. Pasien membutuhkan

insulin dalam jangka panjang dan kematian pada penyakit ini dalam jumlah kecil sekitar 5%.
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.D
Umur : 48 Tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Jl. Mendawai Perum Sosial.
Pekerjaan : -
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Pendidikan terakhir : SMA
Asuransi : BPJS
Tanggal masuk RS : 16 Desember 2019
II. ANAMNESIS

Dilakukan Alloanamnesa dengan keluarga pasien tanggal 18 Desember 2019 pada pukul
17.30 WIB dan Autonamnesa tanggal 19 desember 2019 pada pukul 7.00 di Bangsal Bougenvile
RSUD Doris Sylvanus, Palangka Raya

1. Keluhan Utama
Keluhan utama : gelisah dan sesak sejak malam hari sebelum masuk RS.

2. Keluhan Tambahan
Keluarga pasien mengeluh gelisah dan sesak sejak semalam SMRS. Gelisah disertai
dengan mual muntah sebelumnya sebanyak 1 kali, banyak dan berisi makanan yang dimakan.
Keluhan tidak disertai demam. Keluarga mengaku lima hari SMRS pasien sempat terpeleset dan
pinggul membentur lantai, dan pasien sempat tidak sadar, setelah itu siuman dan dapat berjalan
kembali, namun pasien mengeluh lemah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Keluarga pasien mengeluhkan gelisah dan sesak sejak malam sebelum masuk RS.
Gelisah disertai dengan mual muntah sebanyak satu kali dengan jumlah banyak dan isinya adalah
makanan dan minuman yang telah dimakan pasien.
Riwayat gangguan buang air kecil, gangguan buang air besar disangkal. Pasien sering
terbangun malam hari untuk buang air kecil. Pasien tidak memeriksakan kondisi kesehatannya
secara rutin ke rumah sakit.

4. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):


Alergi : (-) TB paru : (-)
DM : (+) Hepatitis : (-)
Hipertensi : (-) Stroke : (-)
Dispepsia : (-)

Pasien memiliki riwayat penyakit DM, telah dimiliki selama 5 tahun tetapi tidak teratur
kontrol ke klinik ataupun rumah sakit. Pasien terkadang meminum obat diabetes yaitu golongan
sulfonylurea(glibenclamide).
5. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat
diabetes mellitus ada pada ayah pasien, tetapi riwayat penyakit lainnya disangkal pasien.
6. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol, hanya pasien terbiasa
tidak mengatur makanan yang dimakan dan jarang sekali kontrol gula darahnya.
III. ANAMNESIS SISTEM
Kulit : tidak ada keluhan
Kepala : pusing, terasa berat
Mata : agak rabun
Telinga : tidak ada keluhan
Hidung : tidak ada keluhan
Mulut : terasa kering, berbau aneh
Tenggorokan : tidak ada keluhan
Leher : tidak ada keluhan
Dada (jantung/paru-paru) : tidak ada keluhan
Abdomen (lambung/usus) : tidak ada keluhan
Saluran kemih / alat kelamin : tidak ada keluhan
Saraf dan otot : lemah bagian tubuh kiri
Ekstremitas : lemah bagian tangan dan kaki kiri

IV. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Somnolen
Berat badan : 58 Kg
Tinggi badan : 150 cm
BMI : 25.8
Status gizi : Gizi lebih(overweight)
Tanda vital : Tekanan darah: 110/700mmHg
Nadi: 120 x/menit
Respirasi: 28x/menit
Suhu: 37 °C
Taksiran umur : Sesuai dengan usia
Cara berbaring : Pasif
Cara berjalan : tidak dapat dinilai
Cara berbicara : tidak dapat dinilai
Sikap : tidak dapat dinilai
Penampilan : Cukup terawat
Status mental : Tingkah laku : tidak dapat dinilai
Alam perasaan : tidak dapat dinilai
Proses pikir : tidak dapat dinilai
STATUS GENERALIS
1. Kulit:
Warna : sawo matang, agak pucat, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak ada ruam
dan tidak terdapat hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi.
Lesi : tidak terdapat lesi primer seperti makula, papul vesikuler, pustule
maupun lesi sekunder seperti jaringan parut atau keloid pada bagian
tubuh yang lain.
Rambut : rambut putih, hamper merata, tidak mudah dicabut
Turgor : kurang baik
Suhu raba : hangat
2. Mata
Bentuk : normal, kedudukan bola mata simetris
Palpebra : normal, tidak ptosis, tidak lagoftalmus, tidak edema, tidak ada
perdarahan tidak blefaritis, tidak xanthelasma.
Gerakan : normal, tidak terdapat strabismus, nistagmus
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : tidak ikterik
Pupil : bulat isokor, diameter 3 mm, reflex cahaya langsung +/+
Reflex cahaya tidak langsung +/+
Eksoftalmus : tidak ditemukan
Endoftalmus : tidak ditemukan

3. Telinga
Inspeksi : Normotia, tidak hiperemis, tidak mikrotia, tidak cauliflower ear, liang
telinga lapang, serumen +/+, sekret -/-.
Palpasi : Nyeri tarik tragus -/-, nyeri tekan tragus -/-
4. Hidung
Bagian luar : normal, tidak ada deformitas, tidak ada nafas cuping hidung, tidak
sianosis, terpasang NGT.
Septum : di tengah, simetris
Mukosa hidung : tidak hiperemis, konka nasalis eutrofi
Cavum nasi : tidak ada perdarahan, tidak kotor, tidak ada sekret
5. Mulut dan tenggorok
Bibir : normal, tidak pucat, tidak sianosis, sedikit kering
Gigi-geligi : oral hygiene cukup
Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis, berwarna merah muda, berbau aseton
Lidah : normoglosia, tidak pelo, tidak kotor
Tonsil : ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis, kripti tidak melebar tidak ada
detritus
Faring : tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah
6. Leher
Bendungan vena : tidak ada bendungan vena
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris
Trakea : di tengah
7. Kelenjar getah bening
Leher : tidak terdapat pembesaran di KGB leher
Aksila : tidak terdapat pembesaran di KGB aksila
8. Thorax
Paru-paru
 Inspeksi : simetris, tidak ada hemithorax yang tertinggal
 Palpasi : gerak simetris, vocal fremitus simetris kedua lapang paru.
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
 Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung
 Inspkesi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
 Palpasi : terdapat pulsasi ictus cordis pada ICS VI, 1 cm medial linea
midklavikularis sinistra
 Perkusi
Batas jantung kanan : ICS III - V , linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS VI , 2-3 cm dari linea midklavikularis sinistra
Batas atas jantung : ICS III linea sternalis sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung I, II normal, regular, murmur (-), gallop
(-)
9. Abdomen
 Inspeksi : abdomen cembung, tidak ada sagging of the flanks, sedikit buncit,
tidak smiling umbilicus
 Palpasi : teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+), nyeri lepas
(-), ballottement (-)
 Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok CVA.
 Auskultasi : bising usus positif 6x/menit, Normal.
10. Ekstremitas
Tidak tampak deformitas, akral teraba hangat pada keempat ekstremitas, edema di
ekstremitas (-)
11. Refleks
Refleks Patologis -/-
Refleks Fisiologis -/-
12. Kekuatan otot
Lengan : 55555/55555
Kaki : 555555/55555
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
Hasil Lab tanggal 16-12-2019 saat pasien dirawat di IGD
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Leukosit 16.3 ribu/μl 3.6 – 11
Eritrosit 4.2 juta/μl 3.8 – 5.2
Hemoglobin 14.0 g/dL 11.7 – 15.5
Hematokrit 41.2 % 35 – 47
Trombosit 285 ribu/μl 150 – 440
MCV 89.0 fL 80 – 100
MCH 29.9 Pg 26 – 34
MCHC 33.7 g/dL 32 – 36
RDW 13.0 % < 14
GDS 346 mg/dL < 110
ANALISA GAS DARAH
pH 7.51 7.35 – 7.46
pCO2 32 mmHg 35 – 45
pO2 61 mmHg 80 – 100
Bikarbonat 17 mmol/L 21 – 28
Total CO2 26.5 mmol/L 23 – 27
Saturasi O2 93 % 95 – 100
GINJAL
Ureum 30 mg/dL 13-43
Kreatinin 0.72 mg/dL <1.1

ELEKTROLIT
Natrium(Na) 131 mmol/L 135-155
Kalium(K) 3.7 mmol/L 3.6-5.5
Klorida(Cl) 104 mmol/L 98-109
Terapi
O2 nasal canul 2-3 lpm
Inf Nacl 0,9% 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Sp Actrapid Sesuai protab
GDS 150-200 = 0,5 IU
GDS 201-250 = 1 IU
GDS 251-300 = 2 IU
GDS 301-350 = 3 IU
GDS > 350 = 4 IU
Po. Paracetamol 3x500 mg
Rawat HCU

Hasil Lab tanggal 17-12-2019 saat pasien diruangan (pemantauan GDS)


JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
GDS
Jam 00.00 302 mg/dL < 110
Jam 01.00 243 mg/dL < 110
Jam 02.00 212 mg/dL < 110
Jam 06.00 155 mg/dL < 110

Hasil Lab tanggal 18-11-2014 saat pasien diruangan


JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
GDS
Jam 07.00 146 mg/dL < 110

GDP 146 mg/dl


G2jpp 188 mg/dl
Hasil Lab Elektrolit tanggal 18-12-2019 saat pasien diruangan
JENIS PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI NORMAL
ELEKTROLIT
Natrium(Na) 131 mmol/L 135-155
Kalium(K) 4.4 mmol/L 3.6-5.5
Klorida(Cl) 107 mmol/L 98-109

Terapi
Inf Nacl 0,9% 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr (H3)
Inj. Levemir 1x12 unit
Inj. Novorapid 3x6 Unit
Sp. Actrapid STOP
BAB IV
DISKUSI KASUS

VI. MASALAH DAN PENGKAJIAN MASALAH

Masalah yang didapat pada kasus ini antara lain:


1. KAD
Ketoasidosis Diabetikum merupakan kondisi dimana terdapat trias KAD yaitu :
Ketonemia, Asidosis, dan Hiperglikemia.
Pada pasien awalnya sempat didapatkan gejala penurunan kesadaran diawali dengan
mual muntah hebat, pada pemeriksaan fisik juga di dapatkan nafas berbau aseton, ,
asidosis terkompensasi dengan PH 7.51, PCO2 32, HCO3 27.1, dan hiperglikemia dengan
GDS 346.
Untuk penatalaksanaan pada pasien adalah sebagai berikut:

Pada pasien yang wajib dimonitor adalah kadar gula, elektrolit, dan AGD. Selain
protokol KAD yang diterapkan dapat diberikan antibiotic (ceftriaxon) mengingat pada
KAD pencetus utama biasanya adalah infeksi dan pada pemeriksaan lab didapatkan

adanya leukositosis (16.3 ribu/μl).

Rencana diagnostik tambahan yang diperlukan antara lain; rontgen thorax untuk
mencari fokus infeksi DM yang biasanya terjadi di paru, BNO dengan atau tanpa kontras
untuk melihat Ginjal, tes Urin makro dan mikro untuk mengetahui adanya ISK sebagai
salah satu infeksi tersering yang mencetuskan KAD. Konsul ke bagian gizi untuk
menentukan diet yang baik dalam masa recovery hingga di rumah.

2. Leukositosis e.c Infeksi


Meskipun tidak ada tanda-tanda fisiologis infeksi seperti demam, tetapi ditemukan

leukositosis pada pasien hingga 16.3 ribu/μl, dan dikarenakan penyebab KAD tersering

adalah karena adanya infeksi maka pemberian antibiotik diperlukan dalam tatalaksana
pasien.
Antibiotik pilihan antara lain golongan cephalosporin(ceftriaxone inj, cefoperazone
inj), dan beta-lactam(meropenem inj). Antibiotik yang dipakai spectrum luas untuk
infeksi paru dan ISK sebagai penyebab terbanyak KAD.
Rencana diagnostik infeksi antara lain pemeriksaan LED, foto thorax dan urine
lengkap.

VII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Pada prognosis ad vitam adalah bonam dikarenakan follow up harian pasien
menunjukkan perbaikan dari keadaan umum dan gejala penyakit. Ad sanationam dubia ad malam
dikarenakan KAD dapat berulang dan melihat riwayat pasien yang jarang kontrol gula darah dan
penyakit lainnya kemungkinan berulangnya KAD amat besar. Ad fungsionam dubia ad malam
dikarenakan kadar gula tidak terkontrol pada pasien amat tinggi sehingga fungsi-fungsi organ
terlibat dalam peredarannya dapat terganggu, terlebih lagi dibarengi dengan hipertensi.
KESIMPULAN
Pasien Ny.D masuk ke ruangan dari UGD dengan keluhan gelisah dan nafas berbau
aseton. Pasien memiliki riwayat DM yang tidak rutin berobat. Pada pemeriksaan tanda vital
ditemukan TD 110/80, RR28x/menit, HR 120x/menit. Pemeriksaan penunjang laboratorium

menunjukan hasil Leukosit 16.3 ribu/μl, GDS 346 mg/dL , PCO2 32, HCO3 27.1. Ureum: 30,

Kreatinin: 0,72.
Pasien didiagnosis dengan KAD karena memenuhi trias KAD dan dilakukan
penatalaksanaan dengan protokol KAD berupa; Rehidrasi dan Insulin. Serta diberikan terapi
antibiotic (sefalosporin,betalakam) untuk meredakan infeksi yang terjadi sebagai pencetus KAD..
Monitor keadaan pasien difokuskan dari keadaan umum, tanda vital, kadar gula dalam
darah, kontrol AGD, serta produksi urin.
BAB V
KESIMPULAN

Datang seorang wanita berusia 48 tahun ke IGD RSUD Doris Sylvanus dengan keluhan
gelisah sejak semalam sebelum masuk RS. Diawali mual muntah dengan frekuensi satu kali,
banyak, berisi makanan yang dimakan. Pasien memiliki riwayat DM yang telah diderita selama 5
tahun tetapi jarang kontrol ke klinik atau RS.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran somnolen, TD 110/80, HR:
120x/menit, RR 28x/ menit. Nafas berbau aseton.

Dari hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan Leukosit 16,3 ribu/μl, GDS 346 mg/dL,

PCO2 32, HCo3 27.1. Ureum: 30, Kreatinin: 0,72.


Selama perawatan dalam kondisi stabil dan pasien direncanakan untuk kontrol ulang ke
fasilitas kesehatan terdekat untuk kontrol dan berobat rutin akan penyakitnya.
BAB IV.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,


Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p.1874-7.
2. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam Prac
2014;50:39-49.
3. Masharani U. Diabetic Ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange
current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange; 2015. p.1111-5.
4. Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic
Hyperosmolar State. Canadian Medical Association Journal 2013;168(7): p.859-66.
5. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of Diabetic Ketoacidosis in
Adults. Hospital Physician 2015. p. 21-35.
6. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum 2012;15(1):28-35.
7. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes. Diabetes Care
2014;27(1):94- 102.
8. Alberti KG. Diabetic Acidosis, Hyperosmolar Coma, and Lactic Acidosis. In: Becker KL,
editor. Principles and practice of endocrinology and metabolism. 3rd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004. p.1438-49.
9. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic Hyperosmolar
Syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors. Diabetes mellitus a
fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2010.
p.336-46.
10. Wallace TM, Matthews DR. Recent Advances in The Monitoring and Management of
Diabetic Ketoacidosis. Q J Med 2014;97(12):773-80.
11. Trachtenbarg DE. Diabetic Ketoacidosis. American Family Physician 2015;71(9):
1705-14.
12. Kitabachi AE, Wall BM. Management of Diabetic Ketoacidosis. American Family
Physician 1999;60:455-64.
13. Wolfsdore JW, Glaser N, Sperling MA. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and
Adolescents. Diabetes Care 2009;29(5):1150-6.
14. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Jameson JL, editor. Harrison’s endocrinology. New
York: McGraw-Hill;2010.p.283-332.
15. Guneysel O, Guralp I, Onur O. Bicarbonate Therapy in Diabetic Ketoacidosis. Bratisl
Lek Listy 2010;109(10):453-4.
16. NN. Diabetic Ketoacidosis, Epistaxis, Sepsis, Dyspneu. The medical student forum.
Available at: http//.www.medkaau.com. Accessed on: September 23rd, 2012.

Anda mungkin juga menyukai