Anda di halaman 1dari 469

Tiraikasih Website http://kangzusi.

com/

~Seri Thiansan ~

Peng Tjoan Thian Lie

Karya : Liang Ie Shen (Liang Yu Shen)


Saduran : Boe Beng Tjoe
Djvu file oleh Manise di Dimhad
Conver oleh : Abu Keisel di Dimhad
Final Edit & Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http:// http://dewikz.byethost22.com/

Bidadari dari Sungai Es


(Peng Tjoan Thian Lie)

Sungai es di puncak gunung laksana Thianho*) yang nyungsang. Dengarlah 'tu kepingan es
mengalir dengan bersuara perlahan sekali, Ibarat suara tetabuhan yang dipentil dengan jeriji si
gadis jelita,
Si nona tanya pada sang pengembara: Berapa gunung es lagi yang harus kau daki? Berapa
topan lagi harus kau lewati? Pengembara!
Sang elang di atas padang rumput pun tak dapat terbang terus-terusan. Tapi kau jalan, jalan
terus, jalan terus,
Sampai tahun apa, bulan apa, barulah kalian mau turun dari kuda?
Nona, terima kasih atas kebaikanmu.
Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu.
Apakah kau pernah melihat bunga di padang pasir?
Apakah kau pernah melihat gunung es menjadi lumer?
Kau belum pernah lihat? Belum pernah!
Maka itu, kami pengembara.
Juga tak akan berhenti jalan selama-lamanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

*) Thianho, Bima Sakti atau Milky Way adalah sehelai sinar terang di waktu malam yang
membentang di langit, terdiri dari rangkaian bintang-bintang. Sungai es yang mengalir dari atas
puncak gunung ke bawah diibaratkan Thianho yang membentang nyungsang.

Itulah suara nyanyian, diseling dengan klenengan kuda, yang pada suatu hari dapat didengar di
padang rumput perbatasan Tibet. Nyanyian itu keluar dari mulutnya pengembara yang sedang
lewat di padang rumput tersebut. Pegunungan Himalaya yang berentet-rentet, puncak-puncak
gunung yang tertutup es dan menjulang tinggi sehingga menembus awan seperti juga sedang
mendengari nyanyian itu yang menyedihkan hati.
Dan tanpa diketahui oleh sang penyanyi, satu pemuda bangsa Han turut pasang kupingnya. Air
mata berlinang di kedua matanya. Ia menghela napas panjang dan berkata seorang diri: "Aku dan
kalian tak ada bedanya. Kalian mengembara ke ujung langit, aku pun tak tahu kapan bisa dapat
pulang ke kampung kelahiranku."
Pemuda itu she Tan, bernama Thian Oe, kelahiran Souwtjiu, daerah Kanglam. Ayahnya, Tan
Teng Kie, dahulu pegang pangkat di kota raja, tapi lantaran ia berani ajukan pengaduan yang
menyerang Ho Kun, satu menteri busuk yang sangat disayang oleh Kaizar Kian Liong, ia dikirim ke
Tibet (Seetjong) sebagai Amban1) (Soanwiesoe) pada sekte Sakya. Sedari waktu itu sampai
sekarang, delapan tahun sudah lewat. Waktu datang di Tibet, Thian Oe masih anak-anak berusia
sepuluh tahun, sekarang ia sudah jadi pemuda 18 tahun.
Berada jauh di tempat orang, hatinya Thian Oe sangat rindukan kampung halamannya,
terutama lantaran ayahnya hampir saban hari ceritakan keindahannya Kanglam yang permai.
Jumlahnya pengembara itu ada belasan orang, antaranya terdapat orang Tibet, Uighur dan dua
orang Han. Rupanya mereka bertemu di tengah jalan dan lalu membentuk satu rombongan
penjual suara yang berkelana ke sana-sini. Kedua matanya Thian Oe yang mengikuti mereka
mendadak terpaku kepada satu gadis dari suku Tsang yang memakai pakaian serba putih. Berjalan
di antara kawan-kawannya, gadis itu adalah laksana burung ho di antara kawanan ayam. Lain
orang menyanyi, ia sendiri tutup mulut rapat-rapat, sedang kedua matanya yang bersinar terang
mengawasi langit dan awan tanpa berkesip. Duduk di atas sela, ia seperti juga tidak dengar suara
kawan-kawannya, seperti sedang memikir sesuatu. Kalau bukan biji matanya masih bergerak-
gerak, Thian Oe bisa salah mata dan menduga ia sebagai patung di atas kuda.
Selagi mengimplang seperti orang kehilangan semangat, tiba-tiba terdengar suara burung
gagak di tengah udara. Thian Oe dongak dan mendadak dengar suara menjepratnya tali gendewa
dan sebatang anak panah, yang dilepaskan oleh salah satu orang Han, menyambar ke arah ia.
Dari mendesingnya sang anak panah yang menusuk telinga, ia tahu bahwa orang yang
melepaskan mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat.
Thian Oe kelit sembari angkat tangannya yang tepat menangkap buntut anak panah. Baru mau
membentak, ia kembali dengar suara menjeprat dan sang gagak jatuh terguling sembari berteriak
keras.
Dengan tangan mencekal gendewa, orang itu memberi hormat kepada Thian Oe dan berkata:
"Lantaran jengkel mendengar suara gagak, aku jadi panah padanya. Cuma menyesal, sebab
kepandaianku belum sempurna, aku jadi membikin kongtjoe mendapat kaget."
Thian Oe keluarkan suara di hidung dan berkata dengan berdongkol: "Jika aku tidak mengerti
ilmu menangkap anak panah, apakah aku sekarang masih bisa bicara dengan kau? Kenapa kau
memanah secara begitu?"
"Harap kongtjoe perhatikan anak panahku," kata orang itu sembari tertawa. "Anak panah itu
tidak bisa mencelakakan orang!
Aku sebenarnya mau panah gagak, tapi sebab kepandaianku belum cukup, maka aku membikin
kongtjoe jadi salah mengerti."
Tan Thian Oe periksa anak panah itu, yang ternyata benar tidak ada tajamnya. Orang itu cabut
sebatang anak panah yang ada tajamnya dan berkata: "Ini barulah anak panah yang dapat
mencelakakan orang."
Ia lantas pentang gendewanya dan memanah ke udara. Selagi anak panah itu jatuh ke bawah,
ia susul dengan lain anak panah yang secara tepat sekali ujungnya kebentrok dengan ujung anak
panah pertama, sehingga lelatu api kelihatan muncrat di udara dan kedua anak panah jatuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

berbareng ke muka bumi. Orang itu tertawa berkakakan dan merangkap kedua tangannya, akan
kemudian keprak kudanya buat susul kawan-kawannya.
Thian Oe jadi seperti orang kesima. "Ilmu memanah orang itu jarang terdapat dalam dunia,"
kata ia dalam hatinya.
"Barusan terang-terangan ia memanah aku, tapi bilang kesalahan tangan. Sedang aku tidak
kenal padanya, kenapa ia panah padaku? Dan kalau toh sudah memanah aku, kenapa ia gunakan
anak panah tumpul? Apa maksudnya?"
Selagi putar otaknya buat mencari-cari jawabannya, mendadak kedengaran satu seman
"Siauwya (majikan kecil)!" dan satu kacung yang berusia kurang lebih 17 tahun kelihatan muncul.
Tan Thian Oe terkejut dan berkata: "Kang Lam, kau juga ada disini? Kenapa aku tadi tidak lihat
kau?"
Lantaran kangen pada daerah Kanglam yang ia sudah tinggalkan dalam tempo lama, ayahnya
Thian Oe memberi nama Kang Lam kepada kacungnya, sebagai semacam peringatan bagi tempat
kelahirannya. Usianya Kang Lam hampir bersamaan dengan Thian Oe yang menjadi kawan
memainnya sedari kecil.
Mendengar pertanyaan majikannya, kacung yang nakal itu lalu tertawa haha-hihi dan
menyahut: "Looya (majikan tua) perintah aku cari kau dan waktu orang hitam itu panah padamu,
aku mengumpat di alang-alang. Siauwya, banyak tahun aku ikuti kau, tapi aku tidak tahu kau
mempunyai kepandaian begitu tinggi dan sekali jambret saja, kau bisa tangkap anak panah itu!
Dan lebih heran lagi, aku belum pernah lihat kau belajar memanah. Siauwya, bolehkah kau
ajarkan aku."
Parasnya Thian Oe berobah dan ia berkata dengan sungguh-sungguh: "Kang Lam, aku larang
kau memberitahukan hal ini kepada looya! Jika hal aku menangkap anak panah kau beritahukan
kepada lain orang, aku akan keset kulitmu!"
Melihat sikap majikan kecilnya begitu sungguh-sungguh, Kang Lam segera berkata sembari
leletkan lidah: "Tidak, aku tentu tidak omong dengan siapa pun juga." Tapi dalam hatinya ia
merasa heran, kenapa juga majikan itu sungkan memberitahukan kepandaiannya kepada sang
ayah.
Sembari lari loncat-loncatan, Kang Lam pungut burung gagak yang barusan dipanah jatuh oleh
orang itu. "Hei!" mendadak ia berseru. "Kenapa gagak ini mati tanpa ada lukanya?"
Thian Oe terkejut dan periksa bangkai burung itu yang ternyata benar tidak terluka barang
sedikit, sedang sebatang anak panah tumpul menggeletak di dekat bangkai burung itu. Ia tahu,
gagak itu binasa dengan luka di dalam badannya lantaran terpukul batang anak panah. "Jika
gagak ini yang terbang begitu tinggi binasa tertikam tajamnya anak panah, tidaklah usah dibuat
heran," kata Thian Oe di dalam hatinya. "Tapi dengan binasa cuma lantaran kena terpukul batang
anak panah, bisalah dibayangkan hebatnya tenaga dalam orang yang memanah itu."
Demikianlah dengan hati masgul, Thian Oe lalu berjalan pulang bersama ka.cungnya. Setibanya
di rumah, ia lihat ayahnya sedang pasang omong dengan satu orang di kamar tetamu. Orang itu
berusia kurang lebih 50 tahun, paras mukanya bersih dan jujur, jenggotnya panjang,
punggungnya sedikit bongkok, sehingga ia kelihatannya seperti seorang sastrawan tua yang gagal
dalam ujian. Orang itu bukan lain dari gurunya (guru surat), she Siauw bernama Tjeng Hong.
Guru itu mulai bekerja pada tahunan Tan Teng Kie dikirim ke Tibet oleh Kaizar Kian Liong.
Waktu itu ia masih menjabat pangkat Tjiesoe, dan oleh karena keuruk dengan tugasnya, ia jadi
tidak mempunyai tempo senggang untuk mendidik puteranya. belakangan salah satu sahabatnya
pujikan Siauw Tjeng Hong buat ajar ilmu surat kepada puteranya itu. Sesudah omong-omong, ia
dapat kenyataan Siauw Tjeng Hong mempunyai pengetahuan yang cukup baik, maka tanpa rewel
ia segera pekerjakan padanya. Tidak lama kemudian, lantaran menulis surat pengaduan yang
menyerang Ho Kun, Teng Kie dikirim ke Tibet sebagai semacam hukuman. Sebenarnya ia merasa
tidak enak hati buat ajak sang guru pergi ke tempat yang begitu jauh, akan tetapi Siauw Tjeng
Hong sendirilah yang sudah mendesak supaya diajak. Ia mengatakan merasa cocok dengan
majikannya itu dan secara suka rela suka turut pergi ke Tibet. Oleh karena lihat kesungguhan
orang, Tan Teng Kie jadi sangat hargakan padanya dan perlakukan ia seperti anggauta keluarga
sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah Thian Oe memberi hormat kepada ayah dan gurunya, Teng Kie lantas menanya: "Oe-
djie (anak Oe), kemana kau pergi begitu lama? Lain kali tidak boleh pergi memain sendirian."
"Datang serombongan penyanyi, malam ini mungkin ada pertunjukan," si kacung menyeletuk.
Thian Oe lirik kacungnya itu, tapi ia seperti juga tidak melihat. "Sinshe (guru)," kata Kang Lam
lagi. "Kau adalah seorang berpengalaman dan
berpengetahuan luas, tapi pernahkah kau lihat orang panah gagak dengan anak panah
tumpul?"
Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dengan mendadak. "Apa?" ia menegasi. Sehabis
berkata begitu, mukanya pucat seperti kertas, sedang badannya bergoyang-goyang.
Tan Teng Kie kaget dan menanya: "Kau kenapa, Siauw sinshe?"
"Lantaran perobahan hawa, mungkin kena pilek," jawabnya.
"Kang Lam," kata Teng Kie. "Pergi antar sinshe ke kamarnya supaya mengasoh."
"Sinshe lagi kurang enak badan, kau jangan banyak bicara," memesan Thian Oe.
Kang Lam manggutkan kepalanya. Diam-diam ia lirik Thian Oe dan bikin muka badut. "Aku toh
tidak sebut-sebut soal kau tangkap anak panah. Kenapa kau jadi kebingungan?" kata ia dalam
hatinya.
Thian Oe jadi heran sekali. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya jadi begitu ketakutan, setelah
mendengar perkataannya Kang Lam.
"Mulai dari sekarang, kau tidak boleh lagi pergi keluar sendirian," kata lagi sang ayah. "Kalau
tidak ada pekerjaan, berdiamlah di dalam rumah. Kau tahu? Tahun yang lalu, suku Gurkha dari
Nepal telah menyerang Tibet dan telah dipukul oleh tentara kerajaan 2). Mereka tentu penasaran.
Sepanjang warta, mereka telah kirim sejumlah pembunuh buat binasakan pembesar-pembesar
kerajaan Tjeng. Sekarang pembesar-pembesar yang bertugas di Tibet tidak berani keluar tanpa
pengawal."
"Apa benar? Apa benar mereka begitu besar nyalinya?" tanya sang putera.
"Warta ini datang dari markas besar Jenderal Hok. Kita tidak boleh tidak percaya," sahut sang
ayah.
Jenderal Hok itu adalah Hok Kong An (Fu Kang An). Ada orang bilang, ia adalah "anak
gelapnya" Kian Liong, akan tetapi, ini cuma merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Tapi
memang benar, Hok Kong An adalah jenderal yang paling disayang oleh Kian Liong, yang lantaran
sangat mengutamakan keselamatan di daerah perbatasan, sudah kirim jenderal tersebut untuk
menduduki Tibet, dengan markas besarnya di Lhasa.
Malam itu, siang-siang Thian Oe sudah disuruh tidur oleh ayahnya. Akan tetapi, gulak-gulik di
atas bantal, ia tidak bisa pulas lantaran otaknya selalu ingat rombongan pengembara yang ia
ketemukan tadi siang. Ia tidak dapat menebak siapa adanya itu orang yang mempunyai
kepandaian memanah begitu tinggi. Ia tidak dapat singkirkan dari otaknya itu gadis Tsang yang
sangat aneh. Begitu meramkan mata, parasnya si nona lantas terbayang di depan matanya. Itu
muka yang seperti patung dengan sinar mata yang dingin bagaikan es seakan-akan diam-diam
melirik padanya dalam malam yang gelap-gelita itu.
Mendadak kupingnya dapat tangkap suara tambur yang kedengarannya lapat-lapat di tempat
yang jauh. Di sebelahnya tambur, kedengaran juga suara cecer dan terompet. Tapi suara
tetabuhan itu sangat membosankan lantaran tetap begitu-begitu juga, tanpa ada perubahan tinggi
dan rendah, cepat dan perlahan. Tan Thian Oe tahu, tentulah rombongan penyanyi yang tadi
siang sedang membuka pertunjukan malam di padang rumput. Mendengari suara itu, di tengah
malam yang sunyi, tanpa merasa ia jadi mengkirik bulu badannya.
Pada besokan paginya, baru saja Thian Oe sadar dari tidurnya, di luar sudah kedengaran Kang
Lam bicara: "Hei! Kau percaya atau tidak? Semalam aku lihat setan perempuan. Ha! Benar loh!
Aku tidak mendusta. Setan perempuan!"
Thian Oe terkejut. Berapa saat kemudian, si kacung berkata lagi: "Ha! Setan itu pakai dua
selendang sutera merah, rambut palsunya terurai sampai di pinggangnya, dia pakai kedok tiga
pasegi, lidahnya yang panjang melelet keluar! Ha! Dia juga menari, putar, putar, putar, luar biasa
cepatnya. Di bawah kedua kateknya terselip dua golok pendek. Sesudah menari, dia poksay
(loncat jungkir balik), goloknya mengkeredep benar-benar menakuti. Sesudah itu, ia lemparkan
rambut palsu dan tarik kedoknya. Ha! Kau bisa tebak! Aduh cantiknya! Aku belum pernah lihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

wanita Tibet yang begitu cantik seperti ia. Cuma paras mukanya dingin seperti es. Ha! Tak
bedanya seperti muka setan perempuan!"
Kang Lam ternyata sedang bicara dengan Loo Ong (si tua she Ong), penjaga pintu. Ia sedang
ceritakan pertunjukan yang ia telah saksikan semalam. Thian Oe tahu, yang ia namakan "setan
perempuan" tentulah juga itu gadis Tibet yang aneh.
Loo Ong keluarkan suara di hidung dan berkata sembari tertawa dingin: "Kulitmu kelihatannya
sudah gatal. Looya baru saja pesan, kita tidak boleh sembarangan keluar, kau seorang sudah
nyolong lihat wayang."
Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Aku satu orang keluar lihat wayang?" kata ia dengan suara
yang menggenggam rahasia. "Ha! Loo Ong, kau salah raba! Sinshe kita juga pergi kesana! Hi!
Cara-caranya lebih mengherankan daripada setan perempuan itu. Sinshe kita...."
Baru Kang Lam bicara sampai disitu, Thian Oe sudah loncat keluar dari kamarnya dan
membentak: "Kang Lam, sampai kapan penyakit rewelmu bisa hilang? Hayo, lekas bereskan
pembaringanku!"
Melihat majikannya gusar, Loo Ong ngeloyor dengan cepat, sedang Kang Lam masuk ke
kamarnya Thian Oe sembari leletkan lidah. "Siauwya", kata ia seperti orang yang diperlakukan
tidak adil. "Kenapa dalam dua hari ini kau begitu galak?"
Thian Oe rapatkan pintu. "Siauw sinshe kenapa semalam?" ia tanya dengan suara perlahan.
"Oh, kalau begitu Siauwya juga kepengen dengar cerita?" kata ia sembari tertawa nakal.
"Menurut penglihatanku, sinshe kita juga mempunyai kepandaian yang sangat tinggi. Semalam
jumlah penonton bukan main banyaknya. Sesudah keluarkan banyak keringat, barulah aku
dapat menyelesep masuk, tapi toh tidak bisa berdiri tetap sebab tak hentinya kena didorong ke
depan dan ke belakang. Tapi sinshe kita, jangan kau pandang rendah badannya yang kelihatannya
lemah. Ia berdiri tegak. Orang-orang yang mendorong sudah pada mental sebelum senggol
badannya. Aku tidak tahu, ilmu apa ia gunakan. Aku heran bukan main. Sebetulnya aku mau tegor
padanya, tapi orang terlalu banyak, sedang itu setan perempuan sudah keluar, maka aku
urungkan niatan itu. Tapi siapa tahu, baru saja pertunjukan setan perempuan itu selesai, ia sudah
pergi. Kalau ia suka nonton, kenapa tidak nonton terus? Siauwya, bukankah ia seorang aneh?"
"Kang Lam," kata Tan Thian Oe sembari perengutkan mukanya. "Urusannya Siauw sinshe, kau
cuma boleh ceritakan kepadaku. Pada lain orang, dari Loo Ong sampai Looya, kau tidak boleh
cerita. Jika kau langgar, aku akan keset kulitmu. Tidak, aku akan tidak ladeni kau lagi."
Thian Oe dan Kang Lam adalah kawan memain sedari kecil. Perhubungan antara mereka adalah
perhubungan sahabat dan bukannya perhubungan antara majikan dan bujang. Thian Oe kenal
baik adatnya si kacung, yang paling takut kalau tidak diajak omong oleh majikan kecilnya.
Baru saja Thian Oe cuci muka dan makan sarapan pagi, Kang Lam datang lagi dan berkata:
"Looya panggil kau."
"Ada urusan apa ayah panggil padaku?" tanya ia dalam hati sambil masuk ke ruangan tengah,
dimana ia ketemukan orang tua itu sedang duduk dengan paras muka seperti orang yang lagi
berpikir keras.
"Touwsoe mau bertemu dengan kau," kata sang ayah. "Aku tak tahu ada urusan apa. Touwsoe
ini adatnya sangat jelek. Pembesar-pembesar kerajaan tidak ada satu yang dipandang mata
olehnya. Selama berdiam disini delapan tahun, baru berapa kali saja aku bertemu dengan ianya.
Sekarang ia sengaja undang aku bersantap dan pesan juga supaya ajak kau datang bersama-
sama. Lekas pergi salin pakaian."
"Aku tidak kenal ia," kata sang putera dengan suara heran. "Ada urusan apa ia pesan supaya
aku datang? Tidak, ayah, aku tak kesudian."
"Tidak boleh begitu, anakku," kata Teng Kie. "Aku bertugas dalam daerah kekuasaannya. Ia
tuan rumah, kita tetamu. Perhubungan antara tuan rumah dan tetamu haruslah baik, apalagi
dalam banyak hal aku harus mengandal kepada pengaruhnya. Dalam kalangan pembesar negeri,
perhubungan antara kedua keluarga adalah kejadian yang lumrah. Sekarang ia mengundang kita
dan kita tidak boleh menolak. Jangan kau bawa adat anak-anak."
Mendengar ayahnya berkata begitu, Thian Oe tidak membantah lagi dan lalu pergi salin
pakaian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Amban adalah pembesar sipil dan cuma mempunyai beberapa puluh serdadu pengawal.
Sesudah pilih memilih, Teng Kie ajak delapan pengawal buat antar padanya.
Selagi mau berangkat, diluar mendadak terdengar suara berbengernya kuda dan penjaga pintu
datang melaporkan: "Nyepa
Omateng ingin bertemu dengan taydjin (orang besar = panggilan buat orang berpangkat)."
"Nyepa" adalah semacam pangkat di Tibet. Di bawah saban Touwsoe ada empat Nyepa.
Tan Teng Kie kaget berbareng girang. "Apa benar?" Nyepa yang berkuasa atas ketentaraan dan
pengadilan, sehingga pengaruhnya besar sekali. Saban kali satu Nyepa keluar dari rumahnya, ia
selalu diiring oleh satu pasukan tentara, dan oleh karena begitu, Teng Kie jadi merasa heran dan
ajukan pertanyaan, waktu mendengar Nyepa Omateng datang seorang diri. "Omateng?" ia
menegasi. "Kenapa ia datang seorang diri?"
Thian Oe berdiri di satu pinggiran buat turut sambut kedatangannya pembesar Tibet itu. Ia lihat
Omateng masuk dengan tindakan meniru caranya pembesar-pembesar kerajaan Tjeng. Sembari
menggendong tangan, ia mendatangi setindak demi setindak sampai di hadapannya Teng Kie. Ia
memberi hormat dengan sikap hormat sekali dan berkata: "Apakah Ponpo mau hadiri perjamuan
Touwsoe?" (Ponpo = Pembesar negri. Panggilan menghormat untuk orang berpangkat).
"Benar," jawab Teng Kie dengan suara terperanjat. "Aku sungguh merasa jengah sampai Nyepa
datang buat menyambut."
Hatinya merasa heran, sebab sang Nyepa yang biasanya angkuh, sekarang jadi begitu
menghormat.
Omateng awasi padanya dan berkata sambil tertawa: "Kalau tidak ada urusan penting, aku
tentu tidak datang kesini. Kedatanganku ini adalah buat mohon Ponpo lakukan satu pekerjaan
mulia."
Teng Kie yang tadinya duga ia datang atas perintah Touwsoe untuk menyambut padanya, jadi
tercengang mendengar
perkataannya itu. "Urusan apa?" ia tanya.
"Apakah Ponpo tahu kemarin datang serombongan pengembara yang menjual suara?" tanya ia.
"Aku dengar orang bilang begitu," sahutnya.
"Mereka sebenarnya kawanan pencuri kuda," menerangkan Omateng. "Kepandaian mereka
juga lumayan dan mereka telah dapat curi lima ekor kudanya Touwsoe. Yang lelaki bisa kabur
semuanya, yang kena dibekuk satu wanita muda."
Thian Oe terkesiap. "Yang lain aku tidak tahu, tapi orang yang lepaskan anak panah benar-
benar mempunyai kepandaian tinggi. Kenapa mereka curi kuda? Dalam urusan ini tentu ada lain
latar belakang. Wanita yang kena ditangkap tentulah juga itu gadis yang aneh," demikian Thian
Oe memikir dalam hatinya.
"Ponpo sudah berdiam disini banyak tahun dan tentu mengetahui peraturan Touwsu terhadap
pencuri kuda," kata lagi Omateng.
Kembali Thian Oe terkesiap. Ia pun sudah pernah dengar penuturan ayahnya, bahwa hukuman
terhadap pencuri-pencuri kuda adalah kejam sekali. Paling dahulu kedua matanya pencuri dikorek
dan kemudian kedua tangannya dibacok kutung. Mengingat sinar matanya gadis itu yang bening
seperti es, tanpa terasa badannya jadi gemetar.
Paras mukanya Teng Kie juga berobah, tapi ia tentu tidak dapat mencampuri urusannya
Touwsoe.
"Sebagaimana Ponpo tahu, hatiku selalu tidak tegaan," Omateng sambung
pembicaraannya. "Aku sungguh tidak tega, kalau gadis itu sampai mesti jalankan hukuman
yang biasa. Maka itu, kalau sebentar bertemu dengan Touwsoe, aku sangat harap Ponpo sudi
mintakan ampun. Jika mesti membayar hukuman denda dengan emas, mohon Ponpo suka talangi
dahulu dan aku akan pulangkan emas itu secara diam-diam."
Mendengar permintaan orang, Teng Kie jadi terlebih heran lagi. "Omateng biasanya sangat
sekaker, kenapa hari ini dia begitu loyar? Apakah wanita itu mempunyai hubungan apa-apa
dengan ia? Tapi kalau benar wanita itu mempunyai hubungan rapat dengan Omateng, kenapa
juga ia mesti menjual suara di padang rumput?" tanya Teng Kie dalam hatinya.
Melihat Teng Kie bersangsi, Omateng kelihatannya bingung sekali. "Ponpo Taydjin," kata ia.
"Jiwanya nona itu sekarang berada dalam tanganmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Menolong jiwanya satu manusia ada lebih baik daripada berdirikan menara tujuh tingkat," kata
Teng Kie akhirnya. "Aku berjanji akan berbuat apa yang bisa. Kalau harus membayar denda, aku
juga masih mempunyai sedikit uang, sehingga tidaklah perlu Nyepa mesti mengodol kantong.
Cuma aku kualir Touwsoe tidak akan mau meluluskan."
"Jika Ponpo yang minta, Touwsu pasti meluluskan," kata Omateng dengan suara girang.
"Sekarang aku mau permisi. Urusan hari ini harap Ponpo jangan sebut-sebut di hadapan
Touwsoe."
Ia lalu pamitan dengan cara hormat sekali dan waktu bertindak keluar pintu, ia mesem-mesem
kepada Thian Oe dengan sikap yang mengherankan.
Baru saja Omateng berangkat, Thian Oe lantas berkata: "Ayah, hayolah."
"Bukankah tadi kau sungkan pergi?" kata sang ayah sembari mesem.
Mukanya sang putera jadi bersemu merah, tapi Teng Kie berlagak tidak lihat dan lantas suruh
orang sela-kan kuda.
Gedungnya Touwsoe dibikin dengan menyender pada suatu bukit, sehingga gedung itu jadi
bertingkat-tingkat, yang satu lebih tinggi dari yang lain. Dipandang dari bawah, gedung tersebut
agaknya seperti satu benteng yang berbentuk pasegi.
Rombongan Tan Teng Kie tiba waktu matahari sudah naik tinggi dan tepat pada waktunya
bersantap tengah hari. (Perjamuan Touwsoe di Tibet biasanya dimulai tengah hari dan
berlangsung sampai sore). Tan Teng Kie bersama puteranya diantar ke satu pendopo dalam kebun
bunga, sedang para pengikutnya tersebar dalam kebun itu untuk mengawal. Di tengah-tengah
pendopo sudah siap sedia sebuah meja santapan. Baru saja, ayah dan anak duduk, serdadu-
serdadu yang berbaris di bawah pendopo sudah berseru: "Touwsoe datang!"
Touwsoe itu berusia kira-kira 50 tahun, hidungnya bengkok, janggut pasegi, sedang kedua
matanya bersinar tajam, sehingga macamnya jadi kelihatan angker sekali.
Sesuai dengan adat kebiasaan orang Tibet, Tan Teng Kie lebih dahulu mempersembahkan
khata 3) kepada tuan rumah. Sembari tertawa dengan meram-meramkan matanya, Touwsoe
mengawasi tetamunya dan sesudah selang beberapa saat, ia lantas berkata: "Apakah pemuda ini
puteramu? Sungguh cakap romannya!"
Saat itu, Thian Oe mendadak rasakan jantungnya mengetok keras dan napasnya agak sesak.
Dua serdadu Tibet kelihatan mengiring satu wanita yang jalan menghampiri perlahan-lahan dan
berhenti di luar pendopo. Wanita itu ternyata bukan orang lain daripada gadis aneh yang ia
ketemu kemarin. Di bawah pendopo sudah siap sedia pekakas hukuman, antaranya dua golok
tajam dan dua bungbung bambu yang digunakan untuk korek biji matanya orang yang terhukum.
Di sebelahnya terdapat satu batu bundar yang di atasnya dipasangi dua pelat besi tipis dari
setengah lingkaran. Thian Oe tidak mengetahui kegunaannya alat itu.
Menghadapi alat menghukum itu, si jelita melirik pun tidak. Paras mukanya tetap tenang,
sedang pada kedua matanya tertampak semacam sinar yang mengejek, seolah-olah orang yang
lagi menghadap pengadilan bukannya ia, tapi si Touwsoe sendiri. Dengan adanya alat-alat
menghukum dan dengan sikapnya si nona yang sedemikian rupa, kecuali Touwsoe, semua orang
yang menyaksikan jadi mengkirik bulu badannya.
Touwsoe itu tertawa kejam dan berkata sembari tunjuk pekakas hukum itu: "Taruh batu itu di
atas kepalanya pesakitan dan ketok pelat besi itu dengan martil kecil. Matanya akan lantas nonjol
keluar dan korek kedua biji matanya sama bungbung bambu kecil!"
Sehabis berkata begitu, ia kebaskan tangannya dan niat segera perintah supaya hukuman itu
lantas dijalankan.
"Tahan! Tahan!" Tan Teng Kie mendadak berseru.
Touwsoe bangun dan berkata: "Apa? Kalian orang Han kecil nyalinya. Apa kau tidak berani
saksikan hukuman itu?"
"Aku mohon tanya," sahut Teng Kie sambil menahan amarah. "Berapa ekor kuda sudah dicuri
mereka?"
"Lima ekor yang paling baik," sahutnya.
"Bagaimana kalau aku ganti dengan sepuluh ekor?" tanya Tan Teng Kie.
"Dia juga niat bakar istalku," berkata Touwsoe.
"Apa sudah dibakar?" Teng Kie tanya lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Dia sudah kena dibekuk selagi nyalakan batu api," sahutnya.


Teng Kie mesem dan keluarkan batu api dari kantongnya. "Kau lihat, aku pun membawa
barang ini!" kata ia.
Si Touwsoe tertawa terbahak-bahak. Ia mengerti maksudnya Teng Kie, yang hendak
mengatakan, bahwa dengan membawa batu api belum merupakan suatu bukti bahwa seseorang
berniat jahat.
Sedikitpun Tan Teng Kie tidak unjuk perasaan keder. Ia diawasi, ia balas mengawasi.
"Bagaimana, Touwsoe? Bisakah kau memberi pengampunan?" tanya ia.
Thian Oe tahan napasnya. Ia awasi Touwsoe itu, kemudian awasi ayah sendiri. Tak pernah ia
begitu kagumi ayahnya seperti pada saat itu. Kalau biasanya sang ayah suka takut ini dan takut
itu, sekarang ia berdiri tegak, dengan paras muka yang sama tenangnya seperti si gadis itu.
Sedikitpun tidak terdapat tanda-tanda keder. Mungkin sekali, semangat yang sedemikian juga
telah diunjuk oleh sang ayah, ketika ia ajukan surat pengaduan buat serang sepak terjangnya Ho
Koen. Demikianlah, pada saat itu Tan Thian Oe dapat lihat semangat muda dari ayahnya yang
sekarang sudah berambut putih.
Touwsoe terkejut. "Tak dinyana, pembesar Han yang kelihatannya begitu lemah mempunyai
nyali yang begitu besar," ia kata.dalam hatinya. Mendadak ia tertawa dan berkata: "Menurut
pantas, aku sebenarnya harus meluluskan permintaan Ponpo. Cuma saja, peraturannya kakek
moyang tidak dapat gampang-gampang dirobah."
Tan Thian Oe cekal keras-keras belati yang ia sembunyikan dalam tangan bajunya. Ia sudah
mengambil putusan pasti buat lantas menerjang, begitu lekas Touwsoe itu memerintahkan di
jalankannya hukuman.
Sesudah berpikir beberapa saat dan manggut-manggut beberapa kali, Touwsoe itu berkata:
"Peraturan leluhur memang tidak dapat dirubah, akan tetapi muka Ponpo pun tidak harus hilang.
Baiklah! Sekarang kita pertaruhkan nasibnya pesakitan itu!"
Ia kebaskan tangan bajunya dan satu serdadu lantas taruh satu buah apel merah di atas
kepalanya si gadis.
Sang Touwsoe kembali tertawa besar. Ia berpaling kepada Tan Teng Kie dan menanya: "Apa
kalian pandai menggunakan hoeito (golok terbang)?" Dengan satu suara "srett!" ia cabut satu
golok lancip yang ditaruh di atas meja.
"Jika dengan sebatang golok terbang, kalian dapat membelah buah apel itu di sama tengah,
tanpa penggantian apa pun juga, aku akan segera lepaskan dia," kata Touwsoe itu. "Cara ini juga
adalah peraturan leluhur kita. Baiklah. Sekarang bawa pesakitan itu sampai seratus tindak
jauhnya!"
Satu serdadu lantas saja tuntun gadis itu sembari menghitung tindakannya dan lantas berhenti
sesudah cukup seratus tindak.
"Aku permisikan kau atau siapa saja di antara pengikutmu buat membelah apel itu dengan
golok terbang," berkata si Touwsoe.
Tan Teng Kie adalah seorang pembesar sipil yang lemah, sedang di antara pengikutnya pun
tidak ada orang yang berkepandaian begitu tinggi. Cangkriman yang dibertelorkan oleh Touwsoe
terang-terangan adalah buat hinakan orang Han. Ia jadi naik darah dan berkata dengan suara
gusar: "Touwsoe, cara bagaimana jiwa manusia bisa dibuat permainan?"
Touwsoe itu lantas saja kasih unjuk paras yang memandang rendah. "Jika kalian tidak berani
pertaruhkan nasibnya, biarlah hukuman itu di jalankan saja," kata ia sembari tertawa.
Mendadak Tan Thian Oe berdiri dengan sinar mata yang berapi dan berkata: "Jika dengan
sebatang golok terbang aku dapat membelah buah apel itu..."
"Aku lantas lepaskan dia!" Touwsoe potong perkataan orang.
"Aku harap perjanjian ini tidak berobah lagi," kata Thian Oe.
"Aku tidak pernah omong kosong," Touwsoe itu menyahut dengan pendek.
Tan Teng Kie terkesiap dan menanya: "Oe-djie, apa kau gila?"
Baru habis ayahnya bicara,
Thian Oe sudah jumput golok itu dan tanpa mengincar, ia menimpuk! Bagaikan kilat golok itu
terbang ke kepalanya si jelita, dan di lain saat, sang apel terpental menjadi dua! Satu serdadu
lantas pungut dan berseru: "Tepat betul terbelah dua di tengah-tengah!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Paras mukanya Touwsoe berobah, tapi ia segera tertawa berkakakan sembari acungkan jempol
tangannya. "Sungguh bagus ilmu menimpuk golok itu!" ia kata
Tan Teng Kie adalah seperti orang baru sadar dari mengimpi. Perasaan herannya sukar dapat
dilukiskan. Apa yang ia tahu, puteranya belum pernah belajar ilmu silat. Delapan belas tahun
mereka bersama-sama, en toh ia tidak mengetahui sang anak mempunyai kepandaian yang
sedemikian tinggi.
Satu serdadu segera lepaskan tali urat kerbau yang mengikat badannya nona itu. Ia lirik
penolongnya dan kemudian berjalan keluar dari antara dua baris serdadu yang memegang
macam-macam senjata. Parasnya yang tenang tetap tidak berobah, kedua matanya tetap bersinar
dingin bagaikan es! Ia tidak mengucapkan sepatah kata, malahan tidak menghaturkan terima
kasih kepada Tan Thian Oe.
Touwsoe geleng-gelengkan kepalanya. "Hm!" kata ia.
"Sungguh terlalu enak pesakitan ilu!" Seperti satu bola yang sudah kempes, ia sekarang tidak
begitu bersemangat lagi. Mereka kembali mengambil tempat duduk di seputar meja perjamuan.
Waktu Tan Teng Kie mau angkat cawan sebagai pemberian hormat. Touwsoe itu lirik Thian Oe.
Tiba-tiba ia jadi gembira kembali dan berkata kepada salah satu pengikutnya: "Undang Kangma
Kusiu datang kesini!"
Kangma Kusiu dalam bahasa Tibet berarti siotjia (nona). "Ah? Kenapa ia suruh puterinya keluar
buat temani tetamu?" tanya Teng Kie dalam hatinya.
Barulah sekarang Thian Oe merasa tangannya gemetaran lantaran ia ingat bagaimana besar
adanya bahaya waktu menimpuk dengan golok. Inilah buat pertama kali, ia unjuk kepandaiannya
di muka umum dan sungguh mujur, ia berhasil.
"Siapa wanita itu? Apa benar ia curi kuda? Apa ia mengerti silat? Kenapa paras mukanya begitu
luar biasa?" demikian rupa-rupa pertanyaan mengaduk dalam otaknya pemuda itu, sehingga ia
seperti tidak dengar waktu Touwsoe perintah orang undang puterinya datang kesitu.
Tiba-tiba ia jadi sadar mendengar kerincingnya perhiasan, dibarengi dengan kedatangannya
satu gadis Tibet. Nona itu memakai perhiasan yang reboh sekali. Jubahnya yang panjang
berwarna biru muda, sedang badannya ditutup dengan baju sutera warna biru langit dan
pinggangnya diikat sama selendang sutera. Dengan dandanan yang kaya-raya, ia seperti juga
sekuntum bunga mawar di musim panas. Tapi, setahu bagaimana, dengan segala kerebohannya
itu, orang yang melihat masih mendapat perasaan bahwa nona itu berharga murah.
Dengan mulut tersungging senyuman, puterinya Touwsoe berjalan ke arah Thian Oe. Pemuda
itu terkejut. Begitu berhadapan, gadis itu membungkuk dan sembari tertawa ia berkata: "Tali
sepatumu kendor!" Di lain saat, dengan kedua tangannya ia bikin kencang tali sepatunya Thian
Oe.
Kejadian itu yang tidak terduga-duga, membuat Thian Oe jadi kesima. Ia seperti tidak tahu apa
yang dilakukan oleh gadis itu dan juga tak tahu apa yang ia harus berbuat. Sesudah ikatkan
sepatunya Thian Oe, gadis itu lalu bangun berdiri dan paras mukanya jadi bersemu merah. Ia
pelengoskan mukanya supaya matanya tidak kebentrok dengan matanya Thian Oe yang
mengawasi dengan perasaan tidak mengerti.
Sementara itu, Tan Teng Kie kasih lihat paras yang penuh keheranan, tercampur sedikit
kegirangan. Touwsoe tertawa besar dan berkata dengan suara girang: "Keringkan cawan! Mulai
dari sekarang, kita jadi orang sendiri!"
Tan Thian Oe seperti orang sadar dari tidurnya dan mukanya lantas berobah pucat. Ia ingat,
bahwa menurut adat kebiasaan di Tibet, jika seorang gadis ikatkan tali sepatunya satu pria, berarti
gadis itu meminang si pria. Dan jika pihak lelaki tidak menolak, berarti ia setuju dan tinggal pilih
hari buat langsungkan pernikahan. Puteri Touwsoe sering tunggang kuda dan memanah di padang
rumput, dimana beberapa kali ia bertemu dengan Tan Thian Oe, yang sama sekali tidak menaruh
perhatian. Gadis itu sudah cukup usianya dan sudah temponya buat menikah, akan tetapi belum
ada pemuda yang pantas buat jadi suaminya. Melihat Thian Oe yang cakap, puterinya Touwsoe
jadi menaruh hati. Dan sekarang ternyata, bahwa maksud perjamuannya Touwsoe adalah buat
rangkap jodoh puterinya dengan puteranya Tan Teng Kie.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dengan paras muka berseri-seri, Touwsoe angkat satu cawan yang kakinya tinggi. "Aku
sungguh merasa puas dengan perjodohan ini." kata ia kepada Teng Kie. "Tjinke (besan), marilah
kita keringkan cawan."
Tan Teng Kie tidak tahu harus berbuat bagaimana. Mendadak sang putera berkata dengan
suara gugup: "Tidak, aku tidak puas!"
Mukanya Touwsoe berobah dengan mendadak."Apa?" ia membentak. "Kau tidak puas dengan
puterinya seorang Touwsoe?" Sedang sang ayah marah, sang puteri lantas menangis.
"Oleh karena masih berusia sangat muda, anakku jadi tidak mengenal aturan," berkata Teng
Kie dengan perasaan bingung. "Mohon Touwsoe jangan jadi gusar."
Touwsoe itu kembali tertawa girang. "Nah, inilah baru omongan yang benar," kata ia. "Hei,
bocah! Lekas keringkan cawan bersama tunanganmu!"
Puterinya Touwsoe yang barusan menangis juga lantas tertawa. Ia segera angsurkan satu
cawan arak kepada Thian Oe, yang jadi bingung sekali.
Saat itu... di luar kebun bunga mendadakan saja terdengar suara ribut. Tiba-tiba, seorang yang
rambutnya teriap-riap menerobos dan berteriak: "Tan Taydjin, celaka! Celaka!"
Teng Kie terperanjat. "Ada apa?" ia tanya.
"Kantor dibakar penjahat! Banyak yang mati dan luka!" sahut orang itu.
Cawan arak terlepas dari tangannya Teng Kie, sedang Thian Oe, tanpa mengucapkan sepatah
kata, segera loncat turun dari pendopo dan cemplak seekor kuda yang lantas dikaburkan sekeras
bisa.
"Segala perampok kecil, buat apa bikin banyak ribut?" kata Touwsoe sembari tertawa. "Kangho
Nyepa, tolong siapkan seratus serdadu untuk bekuk kawanan kecu itu, Tjinke, dengan aku sebagai
sandaran, kau tidak usah takutkan apa juga!"
Teng Kie bingung sekali. Baru saja Touwsoe tutup mulutnya, ia sudah lari turun dari pendopo,
cemplak kudanya yang lantas dikaburkan. Lapat-lapat ia dengar suara tertawanya Touwsoe yang
berteriak: "Tjinke Ponpo, perjamuan belum berakhir. Sesudah penjahat dibekuk, lantas balik kesini
bersama puteramu!"
Thian Oe yang kaburkan kudanya seperti terbang, jauh-jauh sudah lihat sinar api. Bagus juga
waktu itu tidak turun angin dan api belum mengamuk hebat. Ia loncat turun depan kantor Amban,
dimana ia dengar teriakan dan rintihan, tapi sang penjahat sudah tidak kelihatan mata hidungnya.
Buru-buru ia loloskan jubah panjangnya dan menerobos masuk ke dalam kantor. Disitu ia
ketemukan banyak mayat yang pada menggeletak, tapi tidak lihat tanda-tanda darah, la
mengetahui, bahwa mereka binasa sebab kena pukulan berat. Beberapa di antaranya yang belum
mati pada berteriak-teriak kesakitan.
Thian Oe terkejut dan memanggil: "Siauw sinshe! Siauw sinshe!" Mendadak di antara tumpukan
mayat terdengar suara orang: "Siauw sinshe dan penjahat sudah pergi!" Orang itu adalah Kang
Lam.
"Aduh! Terima kasih kepada Tuhan, kau tidak binasa," kata Thian Oe.
"Dua perampok itu duga aku sudah mampus," kata si kacung sembari Ieletkan lidah. "Ha!
Sebenarnya aku berlagak mati dan berhasil tipu mereka. Kalau tidak begitu, sekarang aku tentu
sudah tidak bernyawa!" Dalam keadaan yang berbahaya, ternyata Kang Lam masih belum hilang
kebawelannya.
Thian Oe lantas ajak ia menyingkir keluar dari dalam kantor dan kemudian berkata: "Bagaimana
sih kejadiannya? Coba ceritakan."
"Baru saja kalian berangkat, dua penjahat datang kesini," Kang Lam mulai menutur. "Mereka
itu adalah dua orang Han yang turut rombongan penyanyi. Satu antaranya adalah orang yang
telah panah padamu. Apa kau masih ingat?"
"Ingat. Bicara terus," kata sang majikan.
"Satu penjahat membawa bungbung penyemprot api. Kemana juga ia menyemprot, api segera
berkobar," kata si kacung. "Siauwya, apa kau pernah lihat benda yang luar biasa itu?"
"Belum pernah. Lekas teruskan, jangan omongkan segala tetek bengek," kata Thian Oe dengan
suara berdongkol dan tidak sabaran.
Kang Lam manggutkan kepalanya dan teruskan penuturannya: "Penjahat yang satunya lagi
membawa satu gendewa besar. Wah tangannya cepat sekali! Begitu ketemu serdadu pengawal, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

menyabet ke arah kepala, dan begitu kena, serdadu itu kontan roboh tanpa bersuara lagi.
Sebelum ia datang dekat kepadaku, buru-buru aku rebahkan diri di atas lantai dan berlagak mati.
Ha! Waktu itu Siauw sinshe keluar. Punggungnya tidak bongkok lagi, kedua matanya besar dan
bundar. "Orang she Siauw ada disini!" ia berteriak. "Urusan kita tak ada sangkut pautnya dengan
majikan rumah ini. Marilah kita pergi ke gunung di belakang buat mendapat kepastian, siapa mati,
siapa hidup. Hari ini akan aku iring keinginanmu buat bereskan hutang yang sudah sepuluh
tahun lamanya!"
Baru saja Kang Lam bicara sampai disitu, di sebelah kejauhan kelihatan debu mengepul, diikuti
dengan suara berbengemya kuda. Tan Teng Kie dan pengawalnya ternyata sedang mendatangi.
"Aku mau pergi ke gunung buat cari sinshe," kata Thian Oe kepada kacungnya. "Kau cuma
boleh beritahukan hal ini kepada looya." Sehabis berkata begitu, ia cemplak kuda yang lantas
dikaburkan.
Jalanan gunung penuh bahaya, disini es disana salju dengan batu-batu dari macam-macam
bentuk, sehingga sang kuda tidak dapat lari cepat. Sesudah lewati dua lembah, kupingnya Thian
Oe dapat dengar suara "ting-tang, ting-tang", seperti juga suara tetabuhan yang tidak ada lagunya
dan membikin sakit kuping pendengar.
Thian Oe naik ke tempat tinggi dan melongok ke bawah. Ia lihat gurunya yang
bersenjatakan hudtim (kebutan debu) sedang dikepung oleh dua orang. Satu musuh bersenjata
gendewa besar yang talinya mengeluarkan suara "ting-tang" jika kelanggar senjata gurunya.
Musuh yang satunya lagi bersenjata Tjittjiat Djoanpian (Pian lemas tujuh tekukan), yang
menyambar-nyambar bagaikan kilat.
"Soehoe!" Thian Oe berteriak.
Sembari sampok gendewa musuh, Siauw Tjeng Hong berseru: "Oe-djie, jangan kemari!"
Suaranya tidak lampias, lantaran napas sengal-sengal. Thian Oe kaget. Biarpun ia baru saja
mendapat dasar-dasarnya pelajaran Iweekang (ilmu dalam), tapi, mendengar suara gurunya, ia
mengetahui bahwa sang guru sudah mendapat luka di dalam.
Siauw Tjeng Hong sebenarnya adalah satu tayhiap (pendekar) yang umpatkan diri. Secara
diam-diam ia turunkan pelajaran ilmu silat kepada muridnya itu, dengan memesan wanti-wanti,
bahwa hal itu tidak dapat dibocorkan. Ia memberitahukan, bahwa kalau bocor, jiwanya terancam
bahaya. Demikianlah, Thian Oe belajar ilmu surat di-waktu siang dan ilmu silat di waktu malam,
sehingga ayahnya sendiri tidak mengetahui.
Thian Oe belajar ilmu silat di tahun kedua sedari datangnya Tjeng Hong, sehingga ia sudah
belajar tujuh tahun lamanya. Selama itu, ia cuma mengetahui, bahwa gurunya adalah ahli silat
kenamaan dari Tjengshia pay (Partai kota hijau). Tentang asal-usulnya sang guru dan kenapa ia
tinggalkan Tionggoan (wilayah Tiongkok) buat ikut keluarga Tan, Tjeng Hong sama sekali belum
pernah bilang kepada muridnya dan larang sang murid menanya melit-melit. Ia cuma
mengatakan, bahwa mereka berjodoh dan kalau sang murid bocorkan asal-usulnya, jodoh itu akan
habis. Thian Oe adalah seorang yang sangat jujur dan hormati gurunya itu. Sesudah menanya
sekali, ia tidak berani menanya lagi.
Pertempuran di atas lapangan yang tertutup es jadi semakin hebat. Sering-sering terdengar
suara hancurnya kepingan-kepingan es yang terinjak oleh ketiga orang itu. Buat orang biasa,
jangan kata berkelahi, berjalan di atas es yang licin mungkin sudah tidak mampu. Hatinya sang
murid bergoncang keras. "Walaupun mesti dicomeli, kali ini aku tidak dapat menurut lagi
perintahnya guru," kata ia dalam hatinya. Sembari menahan napas, ia buru-buru turun. Ia tahu,
kedua musuh itu sangat tangguh dan penyerbuannya sama juga mengantarkan jiwa. Akan
tetapi, hatinya tidak tega buat peluk tangan, sedang jiwa gurunya terancam bahaya.
Mendadak ia melihat badan gurunya limbung, disusul dengan suara hancurnya kepingan es,
seperti juga kaki gurunya terpeleset dan badannya jadi limbung doyong ke depan. Orang yang
bersenjata pian sungkan sia-siakan ketika yang baik dan menyabet bagaikan kilat dengan sabetan
yang membinasakan. Thian Oe terkesiap dan keluarkan teriakan tertahan. Akan tetapi, sedang
mulutnya masih menganga, matanya lihat satu bayangan hitam melesat ke tengah udara,
dibarengi dengan teriakan hebat dan badannya seorang lain tergelincir ke dalam jurang es.
Orang yang bersenjata gendewa menggereng seperti binatang terluka dan menyabet dengan
senjatanya. Ternyata orang yang barusan loncat ke atas adalah Siauw Tjeng Hong yang sengaja
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

berlagak terpeleset, dan ketika musuhnya menyabet dengan pian, ia kirim satu tendangan yang
sudah mendapat hasil.
Kupingnya Thian Oe mendadak dengar suara mengaungnya tali gendewa dan lihat benang-
benang hudtim gurunya yang halus bagaikan sutera berterbangan di tengah udara, seperti juga
kena ditarik putus dengan tali gendewa.
Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw Tjeng Hong dilihatnya halus seperti buntut kuda,
tapi sebenarnya benang-benang itu terbuat dari emas hitam yang luar biasa kuat dan uletnya,
sehingga merupakan satu senjata mustika. Dan sekarang, benang-benang itu kena ditarik putus
dengan tali gendewa musuh. Dari sini dapat dibayangkan, bagaimana tinggi adanya tenaga dalam
sang musuh.
Mukanya Thian Oe jadi pucat. Selagi ia niat memburu, kupingnya mendadak dengar lagi satu
suara
"ting-tang" yang luar biasa keras dan berkumandang jauh. Di lain saat, kedua orang yang
sedang bertempur terpental dan jatuh duduk di atas tanah. Gurunya goyang-goyang hudtimnya
seperti orang yang mau memukul, sedang sang musuh pentil tali gendewanya, yang sekarang
sudah tidak bersuara lagi. Heran sungguh hatinya Thian Oe melihat kejadian itu.
Ketika itu Thian Oe sudah memburu ke tanah datar dan cuma terpisah kurang lebih 100 tindak
dari kedua orang itu. Ia lihat gurunya duduk di atas es dengan kepala mengeluarkan uap putih
dan musuhnya juga sami mawon. Mereka duduk berhadapan dalam jarak tidak lebih dari sepuluh
tindak dan matanya saling mengawasi dengan penuh kegusaran, tapi badan mereka sama sekali
tidak bergerak.
Melihat begitu, Thian Oe mengetahui, bahwa gurunya sedang ukur tenaga sama musuhnya
dengan gunakan lweekang (tenaga dalam) yang paling tinggi. Di lain saat, ia melihat gurunya
kalah seurat dari musuhnya. Tanpa berpikir lagi, ia pentang gendewanya dan lepaskan
sebatang anak panah ke arah bebokongnya musuh.
"Oe-djie! Lekas lari!" mendadak gurunya berteriak. Pada detik itu, sang musuh kebaskan
gendewanya dan anak panahnya Thian Oe menyambar balik. Thian Oe terkesiap, tapi masih
keburu angkat goloknya buat menangkis. Ia rasakan lengannya kesemutan dan telapakan
tangannya pecah, sedang anak panah itu menancap di atas golok! Kalau bukan secara kebetulan
goloknya dapat menangkis, anak panah itu tentu sudah menembus ulu hatinya.
Thian Oe kaget tidak terhingga dan sebelum ia dapat tetapkan hatinya, kupingnya sudah
dengar lagi satu teriakan keras. Ia lihat badan gurunya melesat ke udara, sedang sang musuh
bergulingan beberapa kali dan badannya tergelincir ke dalam jurang, seperti kawannya tadi.
Thian Oe buru-buru menghampiri. Siauw Tjeng Hong waktu itu sudah jatuh duduk di atas
tanah, matanya meram, mukanya pucat seperti kertas, sedang kebutannya menggeletak di
dekatnya. Sambil tundukkan kepala, sang murid berdiri mengawal gurunya itu. Kira-kira
sepasangan hio, mukanya Siauw Tjeng Hong perlahan-lahan bersemu merah dan kedua matanya
terbuka. "Oe-djie, tolong ambilkan hudtim," kata ia dengan napas sengal-sengal. Thian Oe lantas
saja pungut kebutan itu.
"Gantung hudtim itu di pinggangku," memerintah lagi sang guru.
Sekarang Thian Oe baru dapat lihat, bahwa jeriji gurunya gemetaran, pundaknya turun dan
gerakannya sukar sekali.
"Soehoe, kau kenapa?" ia tanya dengan suara berkuatir.
"Hudtim-ku masih ketinggalan separoh, sedang tali gendewanya kena aku kebut putus," kata
sang guru sembari mesem. "Dalam pertandingan ini, aku tidak terhitung kalah."
"Tapi, tanganmu... tanganmu," kata sang murid.
Siauw Tjeng Hong kembali mesem dan berkata: "Orang she Tjoei itu adalah ahli silat kelas satu
dari Khongtong pay. Dengan berhasil gulingkan dia ke dalam jurang, aku sendiri pun mesti
mendapat sedikit luka. Kedua lenganku kena kepukul senjatanya, hingga jadi begini. Akan tetapi,
ia masih belum mampu membuat aku bercacat selamanya. Dalam tempo lima hari, atau paling
lama tujuh hari, aku sendiri akan dapat menyembuhkan. Oe-djie, sekali ini aku ketolongan
lantaran anak panahmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe jadi kemalu-maluan dan berkata: "Anak panah yang dilepaskan olehku sama juga
telor menghantam batu. Bukan saja tidak mengenakan sasaran, malahan kena dipukul balik. Ini
semua disebabkan ilmu silatku masih sangat rendah, sehingga tidak dapat membantu soehoe."
"Oe-djie, kau ternyata masih belum mengerti terang persoalannya," kata sang guru.
"Kalau begitu, mohon soehoe sudi menerangkan," kata Thian Oe.
"Tadi musuh sedang layani aku dengan tumplek semua tenaganya," demikian Siauw Tjeng
Hong memberi keterangan. "Oleh karena mesti menyambut anak panahmu, perhatiannya jadi
terpecah dan dengan menggunakan kekosongan itu, aku menyerang masuk. Kalau bukannya
begitu, walaupun aku tidak sampai menjadi kalah, tapi buat menang juga bukannya perkara
gampang. Cuma saja, kau sudah menempuh bahaya yang terlalu besar. Kalau bukan jaraknya ada
seratus tindak, kau pasti tidak akan kuat menahan serangannya itu. Kalau diingat, sungguh luar
biasa. Ilmu memanah yang aku ajarkan padamu sudah membikin bocor rahasia tempat
sembunyiku. Tapi ilmu itu juga sudah membantu aku untuk jatuhkan musuh."
Sang murid jadi merasa heran dan menanya: "Kalau begitu, apakah soehoe mau bilang, bahwa
ia memanah padaku dengan anak panah tumpul adalah buat cari tahu rahasia?"
"Benar." sahut gurunya. Dengan melihat caranya kau menangkap anak panah, ia lantas tahu
bahwa kau adalah muridku. Sepuluh tahun ia cari ubak-ubakan dan akhirnya dapat ketemukan
juga padaku."
Hatinya sang murid jadi sangat tidak enak sebab ia mendadak ingat suatu hal. "Kalau begitu,
apakah semua pengembara yang menjual suara adalah orang-orang jahat?"
"Ah, tidak," sahut sang guru. "Aku sudah cari keterangan, bahwa selainnya itu wanita Tsang,
yang lain semuanya benar-benar adalah kaum pengembara. Kedua musuhku dan wanita itu
masing-masing mempunyai maksud tertentu dan sudah campuri dirinya ke dalam rombongan
pengembara."
"Apakah soehoe mendapat tahu asal-usulnya wanita Tsang itu?" tanya lagi Thian Oe dengan
hati berdebar.
"Tidak, aku tidak tahu," kata Siauw Tjeng Hong. "Urusan sendiri sudah cukup bikin aku jadi
sakit kepala, manalah aku mempunyai kegembiraan buat cari tahu asal-usulnya wanita itu. Ah, Oe-
djie, sekarang jodoh kita sudah sampai pada akhirnya."
Sang murid jadi sangat terkejut. "Ada apa lagi yang harus ditakuti? Bukankah kedua musuh itu
sudah binasa?" kata ia.
Siauw Tjeng Hong meringis dan menyahut: "Ong Lioe Tjoe yang kena tendanganku mungkin
tidak dapat hidup lagi. Tapi Sinkiong (Gendewa malaikat) Tjoei Loosam (Si tua ketiga she Tjoei)
mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat dan aku duga ia tidak mati lantaran jatuh. Selainnya
begitu, aku bukannya cuma mempunyai dua musuh berat. Kepandaiannya musuh yang ketiga
malahan banyak lebih tinggi dari kepandaianku. Jika Tjoei Loosam tidak mati, ia tentu akan ajak
musuh itu cari padaku. Aku kuatir dalam dunia ini tidak ada orang yang dapat menolong."
"Habis bagaimana baiknya, soehoe?" tanya Thian Oe dengan suara bingung.
"Aku dengar di pinggiran Tibet ada hidup satu orang luar biasa," kata Siauw Tjeng Hong.
"Mungkin sekali ia masih dapat melawan musuhku itu. Cuma aku tidak tahu apa ia sudi menolong
atau tidak. Akan tetapi, dalam keadaan yang serba sulit, aku tidak dapat lihat lain jalan lagi. Hari
ini juga aku mau berlalu dari tempat ini buat coba-coba cari padanya."
Selagi Thian Oe mau menanya lagi, mendadak ia lihat satu titik hitam di lamping gunung yang
sedang turun mendatangi dan semakin dekat jadi semakin nyata. "Ah, itulah Kang Lam," kata
Thian Oe.
Sesudah berhadapan, napasnya Kang Lam memburu dan sengal-sengal. Sesudah sengal-
sengalnya jadi lebih reda, ia berkata: "Looya
perintah aku cari kalian. Urusan hari ini, sesuai dengan pesanan Siauwya, aku sudah
beritahukan Looya."
"Bagaimana keadaan Looya?" tanya Thian Oe.
"Looya datang bersama serdadu pengawal dan tidak lama kemudian pasukannya Touwsoe juga
sampai," menerangkan Kang Lam. "Sekarang api sudah padam, yang binasa sudah dirawat, yang
luka sudah diobati. Serdadu kantor banyak sekali yang tewas dan yang ketinggalan cuma
beberapa belas orang saja. Looya bilang, ia mau pergi ke Lhasa buat memberi laporan kepada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Jenderal Hok. Nyepa yang pimpin pasukannya Touwsoe, mengatakan ia mau cari kau. Menurut
katanya, malam ini kau harus pergi ke rumahnya Touwsoe."
"Tidak, aku tidak mau!" kata Thian Oe.
"Benar," kata Kang Lam lagi. "Looya juga tahu, kau tentu tidak mau. Ia perintah aku sampaikan
kepadamu, bahwa ia tak mau paksa kau melakukan apa-apa yang tidak disukai olehmu. Sekarang
ia tahu, bahwa Siauw sinshe adalah orang yang berkepandaian tinggi, sehingga hatinya jadi lega
dan suka permisikan kau mengikuti sinshe. Siauwya, ada urusan apa yang kau tidak suka
lakukan?"
Sang majikan tidak gubris pertanyaannya si kacung. "Soehoe," kata Thian Oe sambil berpaling
kepada gurunya. "Kalau begitu, biarlah aku ikut cari orang luar biasa itu."
"Kau ikut? Tak boleh! Berbahaya sekali," kata gurunya.
"Soehoe, kalau berdiam terus disini malahan akan lebih berbahaya," kata lagi Thian Oe.
"Bagaimana persoalannya aku akan ceritakan belakangan. Kang Lam, kau pulang saja dan
beritahukan Looya, bahwa aku akan pergi ke Lhasa buat ketemui ia."
Tjeng Hong awasi kedua tangannya dengan perasaan terharu sekali. "Muridku," kata ia dengan
suara sember. "Aku mengerti niatanmu yang sangat baik. Baiklah, kau boleh ikut padaku."

***

Waktu itu sudah buntut musim semi, akan tetapi di jalanan pegunungan antara Sakya (di Tibet
Selatan) dan Shigatse (Tibet Barat), es dan salju masih belum mulai lumer. Pengembara yang
nyalinya paling besar juga mesti tunggu kira-kira setengah bulan lagi sampai sinarnya matahari
musim panas lumerkan gumpalan-gumpalan salju yang menutup jalanan, barulah berani berjalan.
Tapi tak terduga, pada waktu itu toh masih
ada dua penunggang kuda yang berani lalui jalanan gunung yang bulat-belit dan penuh bahaya
itu. Kedua penunggang kuda itu, satu tua dan satu muda, bukan lain daripada Siauw Tjeng Hong
dan Tan Thian Oe.
Tibet dikenal sebagai "Atapnya dunia." Daerah antara Sakya dan Shigatse, di sebelah selatan
terdapat pegunungan Himalaya, sedang di sebelah utara membentang gunung Koenloen san,
sehingga jalanannya lebih-lebih sukar dilewati. Di tempat tinggi, tipisnya hawa udara membikin
orang lebih sukar bernapas. Baik juga, Siauw Tjeng Hong mempunyai tenaga dalam yang sangat
kuat, sedang Tan Thian Oe sudah memiliki dasar-dasarnya ilmu silat dan usianya masih sangat
muda, sehingga mereka tidak merasakan penderitaan yang terlalu berat. Tapi kedua
tunggangannya sangat kepayahan, napasnya sengal-sengal, sedang dari mulutnya keluar
ilar tak hentinya.
"Manusia masih dapat tahan, sang kuda dapat mati kecapaian," kata Siauw Tjeng Hong sembari
usap-usap bulu suri kudanya.
Hawa udara di Tibet Barat sangat luar biasa. Waktu siang, matahari sangat panas, dan
ditambah sama tipisnya hawa udara, panasnya menakuti orang. Akan tetapi, di tempat-tempat
teduh, atau di waktu malam, dinginnya bukan main.
Walaupun di puncak gunung, es bertumpuk-tumpuk, sedang di lurang, sungai es mengalir
legat-legot laksana naga, akan tetapi orang yang berkepandaian bagaimana tinggi pun tidak
berani menempuh bahaya buat coba-coba memacul es atau salju buat dilumerkan menjadi air.
Harus diketahui, bahwa dengan sedikit getaran saja, tumpukan salju bisa menjadi ambruk dan
manusia serta binatang bisa terkubur hidup-hidup. Maka itulah, dengan tumpukan es di
seputarnya, seorang pelancong bisa kehausan setengah mati, tanpa berani mengambil es itu.
Melihat tunggangannya sengal-sengal, Siauw Tjeng Hong menanya: "Kita masih punya berapa
kantong air?"
"Tiga kantong," jawab muridnya.
"Bagus," kata sang guru. "Coba berikan setengah kantong kepada kedua kuda. Kita irit sedikit.
Tanpa diberi minum, kedua binatang ini tidak akan kuat berjalan terus."
Kedua lengannya Siauw Tjeng Hong yang kena dibikin luka oleh musuh, masih belum dapat
bergerak leluasa, sehingga segala pekerjaan dilakukan oleh Thian Oe seorang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe lantas loncat turun, buka kantong air dan beri minum kedua binatang itu. Mendadak
di sebelah belakang terdengar suara kelenengan kuda dan tiga penunggang kuda kelihatan
mendatangi. Mereka itu adalah orang-orang Han, alisnya tebal, matanya besar dan romannya
kasar sekali. Melihat Thian Oe sedang kasih minum kudanya, satu antaranya berkata: "Sayang!
Sayang!"
Orang yang jalan paling depan tahan les dan berhenti di pinggirnya Thian Oe. "Eh," ia
menegur. "Apa kau punya banyak air? Persediaan kami sudah hampir habis. Dapatkah kau bagi
satu kantong?"
Cara bicaranya orang itu yang sangat kasar membuat Thian Oe jadi kaget dan, berkata dalam
hatinya: "Disini air lebih berharga daripada emas. Cara bagaimana bisa bagi kau?"
Tapi sebelum ia menyahut, gurunya sudah mendahului: "Pelancong harus saling membantu.
Oe-djie, kasihkan!"
Thian Oe tidak berani membantah. Ia serahkan satu kantong kepada orang itu yang lantas
tenggak dengan bernapsu sekali. "Kau orang baik. Mau kemana?" kata ia sembari lirik Siauw Tjeng
Hong.
"Ke Shigatse," jawabnya dengan pendek.
"Kenapa begitu buru-buru, tak mau tunggu sampai salju lumer?" ia tanya lagi.
"Ada anggauta keluarga yang sakit keras di Shigatse dan kami mesti lekas-lekas tengok
padanya," jawab Tjeng Hong.
Orang itu awasi kawannya. Paras mukanya mengunjuk kesangsian.
"Oe-djie," kata Siauw Tjeng Hong pada muridnya. "Hati-hati obat itu. Kantong obat lebih baik
jangan digantung di sela. Simpan saja. Jalanan sangat jelek, kalau kuda terpeleset dan kantong
obat hilang, akibatnya bisa hebat sekali. Yang lain masih tidak apa, tapi Iiongsoeko sukar dicari."
Thian Oe terperanjat. Kantong yang tergantung di sela sebenarnya adalah kantong senjata
rahasia. Ia lirik gurunya yang balas mengawasi ia dengan sorot mata berarti. Ia mendusin dan
berkata dalam hatinya: "Benar, ketiga orang yang berani jalan di waktu sekarang tentulah
mempunyai kepandaian tinggi. Kita tidak boleh perlihatkan muka yang sebenarnya. Tapi
Iiongsoeko bukannya barang langka dan bisa dibeli dengan gampang di Sakya. Kenapa soehoe
bilang begitu?"
"Oh, kalau begitu pamilimu dapat sakit keluar-keluarkan darah?" kata lagi orang itu.
"Liongsoeko memang obatnya, tapi belum tentu bisa berhasil baik. Aku mengerti sedikit ilmu
pengobatan dan juga mau pergi ke Shigatse.
Marilah kita jalan bersama-sama."
"Bagus! Bagus!" jawab Siauw Tjeng Hong. "Walaupun aku pernah baca beberapa buku obat,
tapi tidak mengerti banyak tentang penyakit yang keluarkan banyak darah waktu datang bulan.
Maka itu, rasanya aku mesti minta pertolongan saudara untuk mengobatinya."
"Sesudah dihadiahkan air, aku tentu akan menolong apa yang bisa," kata orang itu sembari
menyoja.
Ia lantas kedut les, sedang kedua kawannya apit Thian Oe di tengah-tengah.
Thian Oe merasa jengkel lantaran tidak mengerti maksud perkataan gurunya, dan dengan
diapit di sama tengah seperti orang perantaian, hatinya jadi mendeluh. Ia tidak tahu, bahwa
biarpun di Sakya liongsoeko, bukannya barang langka, akan tetapi pada waktu begini, liongsoeko
sukar didapat di Shigatse, karena mesti menunggu sampai lumernya salju barulah ada pedagang
yang angkut obat itu ke Shigatse.
Di sepanjang jalan, ketiga orang itu coba pancing-pancing Siauw Tjeng Hong. Akan tetapi ia
berlaku sangat hati-hati. Begitu lekas pembicaraan biluk ke soal Kangouw, ia lantas memberi
jawaban tolol dan belokkan omongan ke ilmu pengobatan.
Mereka ternyata tidak mempunyai banyak pengetahuan tentang ilmu tersebut dan cuma kenal
cara mengobati orang kepukul, muntah darah dan sebagainya, yang umumnya harus dimengerti
oleh orang yang pandai silat.
Sesudah jalan beberapa lama, matahari doyong ke barat. "Untung kita tidak ketemukan salju
roboh," kata orang yang jalan paling depan. Belum habis ia ucapkan perkataannya, di sebelah
depan mendadak terdengar suara tindakan kaki kuda. Ia terkejut dan lihat satu penunggang kuda
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

mendatangi dari satu lembah. Kaki kudanya dibungkus kain wol tebal buat menjaga hawa dingin,
sehingga tindakannya baru dapat didengar, sesudah ia datang dekat.
Jalanan disitu sangat berbahaya dan sempit dan cuma dapat dilalui oleh seekor kuda. Kuda
yang mendatangi jalan sangat cepat dan agaknya tidak akan dapat ditahan oleh si
penunggangnya, sehingga satu tubrukan sukar disingkirkan.
Orang yang beroman kasar dan jalan paling depan dari rombongan Siauw Tjeng Hong, jepit
keras perut kuda dengan kedua dengkulnya dan kuda itu lantas berhenti. Satu tangannya
terangkat dan dorong orang yang baru datang, dengan niatkan jatuhkan ia ke dalam jurang.
Sembari menjerit, orang itu tergelincir dari kudanya, sedang satu tangannya jambret selanya
orang kasar itu. Ia jatuh tepat di depan kudanya Thian Oe, sedang jambretannya mengenakan
kantong air si kasar yang lantas menggelinding jatuh ke dalam jurang.
Hatinya Thian Oe kembali jadi kaget. Ia lihat orang itu adalah pemuda yang dandanannya
seperti anak sekolah. Disitu ia berdiri, dengan sikap yang ketakutan. Si orang kasar loncat turun
dari kudanya dan memaki: "Apa kau buta? Hayo lekas ganti kantong airku!"
"Airku sendiri sudah diminum habis. Aku justru sedang mencari air, mana bisa mengganti?"
jawabnya.
"Tak bisa ganti?" membentak si kasar. "Baiklah! Aku keset saja kulitmu dan hirup darahmu!" Ia
cabut goloknya dan jalan menghampiri buat pegang tangannya si anak sekolah.
Thian Oe jadi sangat gusar. Anak sekolah itu memang ceroboh, tapi mengambil jiwanya adalah
perbuatan keterlaluan. "Aku yang ganti!" ia berseru tanpa merasa lagi.
Si kasar kelihatan terkejut. "Baik!" kata ia sembari tertawa dingin. "Kau yang mau ganti? Mari!"
Thian Oe lantas saja lepaskan satu kantong air yang tergantung di sela kuda. Waktu
berangkat, mereka bawa tiga kantong air. Satu kantong sudah dihadiahkan, satu kantong dibuat
mengganti, isinya sekantong lagi sudah diminum separoh oleh sang kuda, sehingga sekarang
mereka cuma mempunyai setengah kantong air. Si kasar tidak main sungkan-sungkan. la
angsurkan tangannya untuk sambuti kantong air itu.
Anak sekolah itu rangkap kedua tangannya dan memberi hormat kepada Thian Oe. "Terima
kasih banyak-banyak buat budi saudara yang sudah menolong jiwaku," kata ia. "Ah, sekarang
bisalah kita melihat budi pekertinya seorang koentjoe (manusia utama) dan serakahnya seorang
siauwdjin (orang rendah)."
"Kau bilang apa?" tanya si kasar sembari mendelik.
"Aku sedang bersyair, ada sangkut paut apakah dengan kau?" kata si anak sekolah.
"Sama-sama pelancong kita harus saling mengalah," kata Thian Oe dengan suara berkuatir.
"Sudahlah, pihak tuan toh tidak mendapat rugi apa-apa."
Satu orang yang berada di belakangnya Siauw Tjeng Hong (rupanya, ia adalah saudara paling
tua antara mereka bertiga), juga turut membujuk: "Loosam, dengan memandang mukanya ini
saudara kecil, biarlah kita ampuni padanya."
Sembari marah-marah si kasar loncat naik ke atas kudanya. "Sekarang mundurkan kudamu
sampai dibilukan yang lebih luas, supaya kita bisa lewat lebih dahulu," kata ia kepada si anak
sekolah dengan suara aseran.
"Ah, buat apa begitu berabe," jawabnya. "Kemanakah kalian mau pergi?"
"Bukan urusan kau," kata si kasar.
"Manalah aku berani tanya kau? Aku tanya ini saudara kecil," kata si anak sekolah dengan
suara tenang.
"Kita semua mau pergi ke Shigatse," kata Thian Oe.
"Bagus! Bagus!" kata si anak sekolah lagi. "Kalau begitu, kita beramai semua satu tujuan."
"Kau barusan datang dari jurusan sana, kenapa sekarang bilang mau ke Shigatse?" tanya Thian
Oe dengan penuh keheranan.
"Barusan aku cari air dan lantaran jalanan bulat-belit, jadi sampai disini," menerangkan ia.
"Aduh, haus! Haus! Saudara kecil, menolong orang harus menolong sampai di akhirnya. Kasihlah
aku minum barang dua ceglukan."
Thian Oe tidak dapat berbuat lain daripada buka lagi kantong airnya, yang isinya tinggal
separoh. Si anak sekolah lantas saja gelogok isinya dan Thian Oe mengawasi dengan perasaan
sayang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah minum, si anak sekolah miringkan badannya dan lewat di pinggir kudanya si orang
kasar. Ia angkat les buat bilukkan kepala kuda, supaya si anak sekolah jadi kaget. Tapi tak
dinyana gerakannya si anak sekolah luar biasa cepat dan di lain saat, ia sudah cemplak kudanya.
Ia rangkap kedua tangannya dan soja kepada Thian Oe sembari berkata: "Aku jalan duluan
sebagai pengunjuk jalan."
"Siapa mau kau jadi pengunjuk jalan?" kata si kasar dengan suara perlahan. Si anak sekolah
seperti tidak mendengar dan lantas jalankan kudanya.
Si kasar yang kelihatannya masih berdongkol, tak hentinya mengoceh sama dua kawannya
dalam bahasa Kangouw yang tidak dimengerti oleh Thian Oe.
Ketika itu, matahari sudah silam ke barat. Angin gunung mulai turun dan hawa luar biasa
dinginnya. Mendadak di sebelah depan terdengar suara "srr, srr." Orang yang jalan di belakangnya
Siauw Tjeng Hong, berkata dengan girang: "Kita kuatir malam ini tidak bisa dapat tempat
mengasoh yang baik. Untung benar sekarang ketemu sumber air panas."
Sesudah lewati satu lembah, mereka tiba di satu tanah datar luas dan dari antara batu-batu
gunung yang besar, uap panas keluar bergulung-gulung, sedang cipratan air muncrat
berterbangan di tengah udara, sehingga merupakan bunga-bunga dalam warna ungu dan merah
muda. Pemandangan itu sungguh indah, seakan-akan kembang api yang dipasang di waktu pesta
Goansiauw (Capgomeh).
Dalam bumi Tibet terdapat banyak sekali gunung api yang antaranya masih terus bekerja dan
semburkan air mancur yang sangat panas ke atas bumi, dan inilah yang merupakan salah satu
pemandangan yang aneh di wilayah Tibet. Oleh karena di pegunungan sukar mencari bahan
bakar, maka penduduk sangat hargakan ini sumber air panas. Sering-sering mereka mengikat
daging kering sama tali dan dicemplungkan ke dalam air panas itu. Sesudah lewat beberapa jam,
daging itu akan matang.
Hawa di sekitar sumber air panas ini hangat seperti hawa musim semi. Selainnya itu, sesudah
dibikin dingin, air panas tersebut merupakan minuman yang paling baik. Maka itulah, para
pelancong paling girang kalau bertemu dengan sumber panas itu. Mereka turun dari kuda dan
pasang tenda buat mengasoh.
Ketiga orang yang berkawan lantas saja pasang satu tenda buat mereka mengasoh. Oleh
karena kuatir si anak sekolah dihina oleh ketiga orang itu, diam-diam Thian Oe berdamai dengan
gurunya buat undang ia itu mengasoh bersama-sama dalam tendanya. Tapi sang guru unjuk paras
muka sungguh-sungguh dan gelengkan sedikit kepalanya, sehingga si murid tidak berani bicara
lebih jauh.
Sesudah ambil air dan makan rangsum kering, mereka semua masuk ke dalam tenda.
"Soehoe, apakah kau lihat apa-apa yang kurang baik dalam dirinya anak sekolah itu?" Thian Oe
berbisik.
"Aku masih belum tahu asal-usulnya. Tapi ketiga orang yang berkawan adalah musuhku!"
jawab sang guru.
"Habis bagaimana?" tanya Thian Oe dengan terkejut.
"Pada sepuluh tahun berselang, aku telah tanam bibit permusuhan dengan tiga orang,"
menerangkan si guru. "Dua antaranya kemarin dulu datang di Sakya buat cari padaku. Yang satu
bernama Ong Lioe Tjoe, sedang yang lain Tjoei In Tjoe. Kepadaiannya Ong Lioe Tjoe berada di
sebelah bawahanku, sedang Tjoei In Tjoe kira-kira berimbang dengan aku. Musuhku yang ketiga
adalah ahli silat kelas satu dari Boetong pay, yaitu Loei Tjin Tjoe. Kepandaiannya banyak lebih
tinggi daripada aku. Buat singkirkan diri, aku mengumpat di tempat sepi. Tapi, siapa nyana,
mereka dapat juga cari diriku."
"Apa antara tiga orang di tenda itu terdapat Loei Tjin Tjoe?" tanya Thian Oe.
"Kalau Loei Tjin Tjoe ada, aku tentu sudah tidak bernyawa," jawab Siauw Tjeng Hong. "Mereka
itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe. Barusan aku dapat dengar pembicaraannya dalam
bahasa Kangouw. Ternyata mereka mendapat perintah Loei Tjin Tjoe buat cari Ong Lioe Tjoe dan
Tjoei In Tjoe. Masih untung, mereka tidak tahu aku adalah musuh gurunya. Tapi mereka curigai
anak sekolah itu, yang diduga adalah muridku. Menurut
pemandanganku, anak sekolah itu juga adalah seorang yang berkepandaian tinggi, cuma masih
belum terang, apa ia kawan atau lawan. Biar bagaimana juga, kita harus sangat berhati-hati."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe gulak-gulik di dalam tenda dan tidak dapat tidur pulas. Tak tahu sudah lewat berapa
lama, kupingnya mendadak dengar suara tangisan di tempat jauh. Suara itu yang menyayatkan
hati seperti juga tangisan setan dalam tempat yang belukar itu. Waktu baru mendengar, bulu
badannya Thian Oe pada bangun. Lama kelamaan, Thian Oe merasa seperti sudah pemah dengar
suara begitu. Ia lantas loncat berdiri.
"Mau apa?" tanya gurunya.
"Soehoe," berbisik sang murid.
"Dengarlah tangisannya wanita itu, seperti orang sedang hadapi bencana. Rasanya masih bisa
ditolong."
"Baiklah, Oe-djie! Pergi selidiki," kata sang guru dengan mata bersinar.
"Tidak, aku harus temani soehoe," kata sang murid.
Meskipun ilmu silatnya Siauw Tjeng Hong sangat tinggi, tapi lantaran kedua tangannya belum
dapat bergerak leluasa, ia seperti juga orang bercacat. Thian Oe kuatir, begitu ia berlalu, musuh
segera menyatroni. Dari sebab itu, sedang di satu pihak, ia sangat pikirkan nasibnya wanita yang
sedang menangis,, di lain pihak ia tidak berani tinggalkan gurunya.
Tapi parasnya sang guru lantas berobah dan berkata: "Kita adalah kaum ksatria yang
mengutamakan pribudi dan kita tidak boleh berpeluk tangan, jika ketemu dengan sesama manusia
yang menghadapi kebinasaan.
Dengarlah suara tangisannya wanita itu. Kalau bukan ketemu penjahat, ia tentu mau bunuh
diri. Kau pergilah! Aku masih dapat menolong diri sendiri, jika perlu. Hayo, lekas!"
Thian Oe bersangsi. Suara tangisan jadi lebih menyayatkan hati. "Urusan ada yang penting, ada
yang kurang penting," kata Siauw Tjeng Hong dengan suara gusar.
"Saat ini menolong orang yang paling penting. Kenapa kau membandel? Hayo lekas!"
"Soehoe, kalau begitu, jagalah diri baik-baik. Aku pergi lantas kembali," kata sang murid
dengan suara terharu melihat tingginya budi pekerti sang guru.
Dengan perlahan Thian Oe keluar dari tenda dan lalu berlari-lari menuju ke arah suara
tangisan, dengan gunakan ilmu entengi badan.
Thian Oe belajar ilmu silat dengan sembunyi-sembunyi dan belum pernah digunakan dalam
praktek. Inilah buat pertama kali, ia menggunakan ilmu tersebut. Jalanan gunung yang penuh
bahaya dan banyak batunya, ditambah lagi sama gelapnya sang malam, membikin perjalanan jadi
semakin sukar. Begitu kerahkan ilmu Teetjiongsoet, badannya melesat beberapa tombak jauhnya.
Lantaran belum mahir dan lari terlalu cepat, kakinya terpeleset dan ia jatuh terguling.
Mendadakan, ia dengar suara tertawa dingin. Buru-buru ia bangun dan memandang ke
seputarnya, tapi tidak kelihatan bayangannya barang satu manusia.
Sesudah tetapkan hatinya, ia kembali berlari-lari, kali ini dengan terlebih hati-hati. Sesudah
jalan kurang lebih setengah jam, ia tiba di depannya satu bukit es.
Di atas bukit es itu berdiri seorang wanita, yang bukan lain daripada itu gadis Tsang!
"Thianlie tjietjie," kata si nona sembari menangis. "Sungguh aku menyesal tidak belajar lebih
lama dengan kau. Sekarang bukan saja sakit hati tak dapat dibalas, malahan berbalik didesak
orang. Oh, ayah dan ibuku! Terlebih baik anakmu mengikut kau!"
Thian Oe terperanjat. Mendadak, ia lihat nona itu bergerak seperti orang mau buang diri, tapi
tidak jadi. "Biarlah! Bisa lawan satu, aku lawan satu! Mari! Mari!" katanya dengan suara geregetan.
Ketika itu Thian Oe masih berada dalam jarak belasan tombak dari bukit es dan di depannya
menghalang satu batu besar. Si gadis pun bukannya berdiri berhadapan dengan ia, maka
perkataannya tadi tentulah bukan berarti ditujukan kepadanya.
Hatinya Thian Oe jadi legaan sebab tahu si nona tidak akan segera mengambil jalanan pendek.
Rupa-rupa pikiran saling susul berkelebat dalam otaknya. Apakah Touwsoe itu yang jadi musuhnya
si nona? Kalau benar, kenapa Touwsoe mau melepaskan ia secara begitu gampang? Apakah,
diam-diam si Touwsoe perintah orang ubar padanya? Kalau bukan begitu, kenapa ia bilang sedang
didesak orang? Dtm siapa itu wanita yang dinamakan Thianlie? Kenapa namanya begitu luar
biasa?
Sembari memikir begitu, Thian Oe niat melangkah buat mendaki bukit es. Tiba-tiba ia dengar
wanita itu berteriak keras, tangannya diayun dan sehelai sinar terang menyambar bagaikan kilat.
Itulah golok terbang! Sebelum Thian Oe dapat melihat tegas, wanita itu, yang rupanya terpleset
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

lantaran gunakan tenaga terlalu besar, jatuh terpelanting. Pada saat yang sangat berbahaya, dari
pojokan bukit es loncat keluar satu orang yang lantas jambret padanya.
Thian Oe terkesiap, sebab orang itu bukan lain adalah Nyepa Omateng yang telah minta
pertolongan ayahnya buat menolong wanita Tsang itu. Tidak dinyana, Nyepa yang rakus dan
gemuk itu, yang biasanya sukar dapat berjalan tegak, sekarang dapat loncat ke atas bukit es
dalam gerakan yang sedemikian cepatnya.
Pada saat itu, Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, sedang satu tangannya mencekal
hoeito keras-keras, siap sedia buat lantas menimpuk jika Omateng coba bikin celaka gadis itu.
"Minggir!" gadis itu membentak. "Aku memang bukan tandinganmu. Sakit hatiku tak dapat
dibalas, biarlah aku terjun ke bawah. Kau yang sudah terima perintahnya Touwsoe buat mengubar
padaku, harus mengetahui bahwa aku ini sebangsa apa. Manalah aku mau kasih diri dihina
olehmu?"
Omateng tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Aku tahu, nama pedenganmu adalah Sanma,
sedang namamu yang asli adalah Chena. Kau adalah puterinya Raja muda Chinpu!"
"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih rewel!" membentak sang puteri. "Puterinya Raja muda
Chinpu cuma mengenal bunuh diri, tapi tidak boleh dihina orang! Sesudah aku binasa di bawah
bukit, barulah kau boleh kutungkan kepalaku!"
Omateng terus cekal tangannya dan berkata sembari tertawa" "Apa kau tahu, siapa adanya
aku?"
"Anjingnya Touwsoe Sakya!" sahutnya.
"Tidak," kata Omateng. "Kau salah. Aku pun musuhnya Touwsoe dan aku sengaja datang
kemari buat menolong jiwamu."
Sekarang Chena kaget. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya: "Jadi kau datang bukan
buat menangkap aku?"
"Touwsoe tidak mengetahui, bahwa kau adalah puterinya Raja muda Chinpu," kata Omateng.
"Kalau ia tahu, ia tentu akan kirim orang buat bekuk padamu."
Chena menghela napas, sedang Omateng lepaskan cekalannya. "Nyalimu cukup besar, cuma
terlalu goblok," kata ia
"Apa?" Chena menegasi.
"Goblok," mengulangi Omateng. "Kau sama sekali tidak pikirkan Touwsoe mempunyai berapa
banyak orang pandai, dan dengan seorang diri, kau sudah berani coba-coba membalas sakit hati.
Aku sendiri, yang mempunyai kepandaian banyak lebih tinggi daripada kau, bertahun-tahun
mengabdi padanya sebagai Nyepa dengan menukar she dan nama. Buat membalas sakit hati,
orang harus menunggu sampai datang temponya yang tepat. Orang Han ada bilang: "Koentjoe
membalas sakit hati, sepuluh tahun masih belum terlambat. Apakah kau belum pernah dengar
nasehat itu?"
Kedua matanya Chena lantas saja berlinang air. Ia agaknya sudah percaya habis kepada Nyepa
itu.
"Siapa yang ajarkan kau ilmu silat?" Omateng mendadak tanya.
"Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)!" sahutnya.
"Pengtjoan Thianlie?" menegaskan Omateng dengan paras muka berobah. "Apa benar
Pengtjoan Thianlie?"
"Ia menolak buat jadi guruku dalam artian yang sebenarnya. Ia cuma mau ajarkan ilmu silat
buat tiga hari lamanya," menerangkan Chena.
"Oh, kalau begitu, aku percaya," kata Omateng. Dengan berkata begitu, Omateng seperti mau
bilang, bahwa jika benar Chena adalah muridnya Pengtjoan Thianlie, ilmu silatnya mesti banyak
lebih tinggi daripada apa yang dipunyai olehnya sekarang.
"Dimana tempat tinggalnya Pengtjoan Thianlie?" tanya lagi Omateng.
"Di Thian-ouw (Telaga Langit)" jawab Chena. "Namanya yang sejati jarang diketahui orang.
Cara bagaimana kau dapat mengenal padanya?"
"Sebenarnya aku tidak kenal, cuma aku tahu, ada orang yang sedang cari pad-anya," kata
Omateng. Sesudah itu, ia bicara bisik-bisik, sehingga Thian Oe tidak dapat dengar. Ia cuma lihat,
sang puteri manggut-manggutkan kepalanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Sekarang pergilah kau lari dengan ambil jalanan di bawah jurang es itu," kata Omateng. "Disini
ada satu lengtjian-nya (pertandaan) Touwsoe. Ambillah. Dengan lengtjian itu, orang tidak akan
berani ganggu padamu. Hi! Aku dengar suara orang. Pergi sembunyi. Aku pergi lebih dahulu."
Thian Oe pasang kupingnya, tapi tidak dapat dengar suatu apa. Dengan mengintip, ia dapat
lihat Omateng keluarkan seutas tambang panjang, dengan apa ia turun ke bawah bukit.
Mendadak, dari sinar rembulan dan es, ia lihat Omateng keluarkan satu senyuman yang membikin
bulu badannya berdiri. Itulah senyuman licik, berlapis kejam! Sesudah mendengar
pembicaraannya barusan, perasaan membencinya Thian Oe terhadap Omateng sebenarnya sudah
menjadi hilang. Ia anggap, Nyepa itu adalah seorang baik. Tapi sekarang, sesudah lihat senyuman
itu, hatinya timbul perasaan sebal dan kembali curigai orang yang serakah itu.
Sang puteri perlahan-lahan menengok ke belakang dan menggape ke arah tempat
sembunyinya Thian Oe. "Keluarlah! Aku sudah lihat kau," kata ia. Sehabis berkata begitu, ia lantas
jalan turun ke bawah bukit es.
Hatinya Thian Oe berdebar keras. Ia datang buat menolong si nona, tapi sekarang, sesudah
berhadapan, ia tak tahu mesti bicara apa.
Sesudah datang dekat, si nona berkata sambil tertawa: "Terima kasih atas pertolonganmu
kepada wanita yang menderita ini!"
Tan Thian Oe sudah hidup delapan belas tahun lamanya dan selama itu, belum pernah ia bicara
dengan wanita asing. Sebab begitu, mukanya lantas saja bersemu merah dan ia berdiri dengan
sikap kemalu-maluan. Akan tetapi, melihat gadis itu mengawasi padanya dengan mulut
tersungging senyuman, biarpun paras mukanya masih tetap dingin dan angkuh, Thian Oe jadi
merasa lebih tetap hatinya.
Tanpa merasa, Thian Oe balas mesem. Ia keluarkan selampe sutera yang berwarna putih dan
persembahkan kepada sang puteri, sebagai suatu khata. Si gadis mesem simpul dan sambuti
hadiah itu dengan dua jerijinya. Sembari masukkan khata dalam sakunya, ia berkata: "Terima
kasih buat hadiahmu. Sudah berapa lama kau datang disini?"
"Cukup lama buat menyaksikan apa yang telah terjadi barusan," jawab Thian Oe. "Sungguh 'ku
tidak nyana bahwa kau ini adalah sang puteri yang kita muliakan."
"Urusanku kau tak usah sebut-sebut lagi," kata Chena. "Di antara orang Tsang ada satu
pepatah yang mengatakan: Impian semalam jangan ceritakan di siang hari."
Thian Oe merasa kikuk sekali. Tanpa mengetahui sebabnya, hatinya sangat memperhatikan
wanita itu. Ia sangat ingin mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi mulutnya seperti terkancing.
Akhirnya, dengan memberanikan hati, ia berkata: "Alangkah baiknya kalau nona tidak terlalu
percaya Nyepa Omateng."
"Apa ia?" kata Chena. "Urusanku aku dapat mengurus sendiri. Legakanlah hatimu." Sesudah
berkata begitu, ia agaknya merasa menyesal dan kuatir kalau-kalau perkataannya menyinggung
perasaan. Maka itu, ia kembali mesem dan berkata: "Biar bagaimana juga, aku menghaturkan
banyak terima kasih buat maksudmu yang sangat baik. Sebenarnya aku pun tidak percaya habis
padanya! Sedari tadi, aku sudah mengetahui kedatanganmu, akan tetapi aku tidak membilang
apa-apa di hadapannya."
Thian Oe juga membalas dengan satu meseman. Baru ia akan buka suara, sang puteri sudah
mendahului "Terima kasih banyak buat hadiahmu. Aku sendiri tidak mempunyai suatu apa untuk
membalasnya. Biarlah aku persembahkan sekuntum bunga kepadamu."
Thian Oe heran. "Di tempat yang begini tinggi dan dengan hawa sedemikian dingin, dimanalah
orang dapat mencari kembang?" kata ia dalam hatinya.
Chena keluarkan satu vas perak kecil dari dalam sakunya. Dalam vas itu terdapat sekuntum
bunga putih yang di atasnya masih menempel butiran-butiran embun, seperti juga baru dipetik
dari tangkainya.
"Bunga ini adalah hadiah dari Pengtjoan Thianlie dan aku sudah simpan setahun lamanya," kata
Chena. "Sekarang biarlah aku persembahkan kepadamu."
Bukan main herannya Thian Oe. Dalam dunia ini dimanakah tumbuhnya bunga itu, yang
sesudah dipetik setahun, masih kelihatan begitu segar?
"Menurut keterangan Thianlie tjietjie," kata lagi Chena. "Bunga ini dinamakan soatlian (Teratai
salju) yang ia cabut dari pegunungan Thiansan dan dipindahkan ke tempat tinggalnya. Tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

perduli orang mendapat luka di dalam yang bagaimana berat, begitu makan bunga ini, jiwanya
akan ketolongan. Kau ambillah."
"Ah, manalah aku berani terima hadiah yang berharga sedemikian besar," kata Thian Oe.
"Apa kau lupakan gurumu?" tanya Chena. "Aku tahu, dua orang Han itu cari permusuhan
dengan gurumu. Mungkin sekarang ia mendapat luka Hari itu kau sudah menolong jiwaku dan aku
tidak mempunyai apa-apa buat membalas budimu. Soatlian ini justru cocok buat gurumu.
Ambillah."
Mendengar begitu, Thian Oe tidak berlaku sungkan lagi dan lantas menerima vas tersebut.
Meskipun gurunya bilang, dalam tujuh hari, ia sendiri dapat menyembuhkan lukanya, akan tetapi
sekarang, sesudah lewat empat hari, kedua lengannya masih belum dapat bergerak leluasa,
sehingga belumlah tentu, apa cara pengobatan dengan jalankan napas itu bisa berhasil baik.
"Gurumu tentu sedang menunggu dengan tidak sabaran. Kau pulanglah," kata Chena sembari
tertawa. Sehabis berkata begitu, dari pinggangnya ia loloskan seutas tambang panjang yang
ujungnya dipasangi gaetan. Dengan sekali lempar, gaetan itu nyangkol pada batangnya satu
pohon siong tua. Sambil mencekal tambang, ia ayun badannya yang lantas terbang ke seberang.
Dengan berbuat begitu beberapa kali, dalam tempo sekejap, ia sudah lewati tanjakan di sebelah
depan dan sesudah biluk di satu lembah, badannya lantas menghilang.
Thian Oe menghela napas panjang. "Ah, bertahun-tahun aku belajar silat, tapi ia, yang baru
belajar tiga hari, sudah mempunyai kepandaian entengi badan yang lebih tinggi daripada aku,"
katanya di dalam hati.
Sesudah kantongi soatlian itu, ia lantas berbalik dan berjalan pulang. Sembari jalan, otaknya
penuh dengan rupa-rupa pikiran. Ia ingat kejadian-kejadian luar biasa selama beberapa hari paling
belakang. Itu gadis dari Tsang sudah aneh sekali, akan tetapi, didengar dari pembicaraannya
sama Omateng, Pengtjoan Thianlie lebih aneh lagi. Cara bagaimana, dalam tempo cuma tiga hari,
ia sudah bikin puteri yang lemah dari seorang raja muda menjadi seorang yang ilmu silatnya
tinggi.
Dengan berjalan sembari ngelamun, tanpa merasa ia sudah lewati beberapa lembah dan ia
sudah lihat uap putih yang disemburkan oleh sumber air panas. Sesudah datang lebih dekat, di
antara suara semburan air, lapat-lapat terdengar suara bentrokan senjata yang semakin lama jadi
semakin tegas. Thian Oe terkejut dan cepatkan tindakannya.
Sekonyong-konyong kupingnya dengar suara tertawa dingin yang keluar dari pinggir jalan.
Thian Oe cabut pedangnya dan di lain saat, dari pinggir jalanan loncat keluar satu orang yang
tangannya mencekal pecut panjang.
"Bocah tolol!" ia mengejek sembari tertawa. "Kau mau pulang buat antar jenazahnya tua
bangka she Siauw?"
Dengan gusar Thian Oe menyabet dengan pedangnya. Orang itu berkelit sembari sabetkan
pecutnya ke arah pinggangnya Thian Oe, yang hampir saja kena terpecut kalau tidak buru-buru
loncat tinggi. Sembari tertawa berkakakan, orang itu gentak pecutnya yang menyambar dua kali
beruntun bagaikan ular. Dengan gerakan Toeitjhung bonggoat (Buka jendela melongok bulan),
Thian Oe membabat lengannya musuh. Orang itu benar liehay. Dengan cepat ia robah gerakan
dan sapu kakinya Thian Oe yang jadi sangat ripuh lantaran diserang atas dan bawah. Dalam
kerepotannya itu, Thian Oe kirim satu tikaman hebat. Mendadakan, ia rasakan lengannya berat,
sebab pedangnya kena digulung sama ujung pecut. Thian Oe bingung dan tanpa berpikir keluarlah
ilmu silat simpanan dari gurunya. Ia pasang kuda-kuda dan gentak pedangnya Orang itu keluarkan
seruan tertahan lantaran ujung pecutnya yang sedang melibat jadi terlepas. Saat itu, Thian Oe
segera barengi dengan dua serangan yang saling susul. Diserang secara begitu, orang itu terpaksa
mundur beberapa tindak.
Ilmu silatnya Thian Oe sebenarnya ada lebih tinggi dari lawannya. Cuma saja lantaran baru
pertama kali bertempur dengan musuh, maka pada gebrakan pertama, hatinya sedikit keder.
Sesudah lihat kemampuan sang lawan cuma sebegitu saja, nyalinya jadi lebih besar dan dengan
tenang ia keluarkan Tjengshia Kiamhoat (Ilmu pedang dari Tjengshia pay) yang lantas
menyambar-nyambar bagaikan seekor naga. Lima puluh jurus sudah lewat tanpa ada yang
keteter. Thian Oe lebih unggul dalam ilmu pedang, tapi orang itu lebih matang dalam pengalaman.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sekarang orang itu tidak berani lagi memandang enteng kepada pemuda lawanannya. "Murid dari
guru ternama, memang juga tidak sembarangan," kata ia dalam hatinya.
Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, orang itu lalu keluarkan akal licik. Kakinya terus
bergerak ke kiri dan ke kanan, sehingga Thian Oe terpaksa mengikuti padanya.
Sebagaimana diketahui, jalanan gunung itu sangat berbahaya. Ditambah dengan gelapnya sang
malam dan licinnya jalanan lantaran es, bahaya itu jadi semakin besar. Thian Oe belum
mempunyai pengalaman. Buat jalan di atas jalanan gunung saja, ia sudah tidak biasa, apalagi
mesti bertempur hebat. Maka itu, baru saja bulak-biluk beberapa kali dalam mengikuti tindakan
lawannya, kakinya sudah terpeleset beberapa kali dan hampir-hampir jatuh terguling. Dengan
perlahan orang itu tuntun Thian Oe ke pinggir jurang dan hatinya diam-diam merasa girang.
Tapi mendadak, muridnya Siauw Tjeng Hong tancap kedua kakinya dan tidak mau bergerak
lagi. Ia putar pedangnya untuk melindungi badannya dan saban-saban musuh datang dekat, ia
menikam atau menyabet bagaikan kilat. Ternyata Thian Oejuga sangat cerdik. Begitu melihat cara
berkelahinya orang itu, ia tahu akan bahaya yang mengancam. Buru-buru ia kerahkan ilmu
Tjiankin toei (Ilmu bikin berat badan seribu kati) dan tancap kedua kakinya di atas tanah. Dalam
kedudukan begitu, ia mengambil siasat membela diri. Berulang kali orang itu coba pancing
padanya, tapi ia tetap tidak mau bergerak.
Dua puluh jurus kembali sudah lewat. Orang itu tidak dapat menyerang masuk, sedang Thian
Oe pun sungkan menyerang keluar. Selagi hatinya merasa sangat tidak sabaran, kupingnya Thian
Oe mendadak dengar suara tertawa dari seorang tua. "Hm!" kata orang itu. "Masa segala bocah
kau tidak dapat takluki! Jangan bikin malu padaku. Houw-tjoe, coba dekatan supaya aku dapat
melihat terlebih nyata."
Thian Oe awasi orang itu dan hatinya kaget bukan main. Seorang lelaki tinggi besar dan
bermuka hitam panggul sebuah tandu dan dalam tandu itu duduk satu orang yang mukanya
kuning dan menakuti sekali, sedang kedua matanya bundar dan besar. Orang itu bukan lain
daripada Tjoei In
Tjoe yang kena dipukul terguling ke dalam jurang oleh gurunya. Kena terpukul hudtim, isi
perutnya mendapat luka berat, badannya mati sebelah dan tidak dapat bergerak. Lantaran begitu,
ia perintah dua muridnya tandu padanya buat pergi ke Shigatse guna cari Loei Tjin Tjoe supaya
dapat diobati oleh saudara angkatnya itu. Dan tidak dinyana, di tengah jalan ia bertemu dengan
Tan Thian Oe.
Sebagai orang yang lebih tua, ia masih menjaga kedudukannya dan sungkan turun tangan
terhadap orang dari tingkatan lebih muda. Ia lebih dahulu perintah salah satu muridnya
menyerang pemuda itu. Ia menduga, berhubung usianya yang masih sangat muda. Thian Oe tidak
mempunyai kepandaian tinggi, sedang muridnya sudah berlatih dua puluh tahun, sehingga dengan
sekali gebrak, ia taksir murid Siauw Tjeng Hong akan dapat dibekuk.
Tapi siapa nyana, dugaannya meleset jauh sekali. Apa yang dibelajarkan oleh Thian Oe adalah
lweekang (ilmu tenaga dalam) yang tulen dari Tjengshia pay dan pemuda itu sudah mempunyai
dasar-dasar yang kuat. Ditambah dengan ilmu silat pedangnya yang sangat bagus, kalau bukan ia
masih kurang pengalaman, murid Tjoei In Tjoe benar-benar bukan tandingannya. Melihat
muridnya keteter, mau tidak mau Tjoei In Tjoe terpaksa munculkan diri.
Mendengar makian gurunya, muridnya Tjoei In Tjoe jadi kemalu-maluan dan ia berdiri sembari
tunduk di pinggir tandu. Badan Tjoei In Tjoe mati sebelah di bagian bawah, tapi kedua tangannya
masih dapat bergerak leluasa. Sembari tertawa menyeramkan, dua jerijinya sentil sebutir Thielian
tjoe (Biji teratai besi) ke arah Thian Oe. Senjata rahasia itu melesat bagaikan kilat dan sebelum
Thian Oe keburu kelit, ia rasakan dadanya kesemutan dan badannya terguling di atas tanah. Masih
untung, lantaran mendapat luka, tenaga dalamnya Tjoei In Tjoe sudah banyak kurang, sehingga
muridnya Siauw Tjeng Hong tidak sampai menjadi pingsan.
Muridnya Tjoei In Tjoe yang bermuka hitam lantas taruh tandu di atas tanah dan bersama
soehengnya, ia ikat Thian Oe seperti lepat.
"Geledah badannya!" memerintah sang guru.
Hasil penggeledahan itu adalah itu vas kecil yang berisi soatlian. Tjoei In Tjoe tertawa
terbahak-bahak dan berkata: "Ha! Kalau begitu Sanma rela menyerahkan soatlian dari Thiansan
kepadamu. Muridku, serahkan vas itu kepadaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Bukan main gusarnya Thian Oe. "Itu adalah milik guruku!" ia berseru.
"Gurumu tak perlu lagi barang begini," kata Tjoei In Tjoe. "Sebentar aku akan kirim kau
ketemui gurumu."
Thian Oe berontak-rontak sekuat tenaga, tapi tali yang bebat badannya ada cukup kuat.
"Houwtjoe, totok jalanan darahnya dan taruh ia ke dalam tandu," Tjoei In Tjoe perintah muridnya.
Dengan badan rebah di dampingnya musuh itu, Thian Oe menyaksikan cara bagaimana ia buka
tutup vas, ambil soatlian yang lantas dimasukkan ke dalam mulutnya! Mengingat soatlian itu
tadinya adalah untuk gurunya sendiri, bukan main sakit hatinya Thian Oe.
Tandu lalu diangkat oleh dua muridnya Tjoei In Tjoe yang lantas jalan dengan cepat sekali.
Ketika itu, sang rembulan pancarkan sinarnya di atas puncak-puncak gunung yang tertutup es,
sehingga puncak-puncak itu jadi bersinar putih bagaikan perak.
Sambil menggeletak di dalam tandu, dengan perasaan sangat heran Thian Oe awasi perubahan
pada mukanya sang musuh. Kalau tadi muka In Tjoe kuning pias, adalah sekarang, sesudah
makan soatlian, mukanya mulai bersemu merah. Ia duduk disitu dengan meramkan kedua
matanya, sambil kasih jalan napasnya. Lewat beberapa saat, ia tertawa nyaring sekali. "Sungguh
manjur soatlian dari Thiansan!" ia berseru. Suaranya yang nyaring berbeda sekali daripada tadi.
Tak terkira sakit hatinya Thian Oe, sakit hati yang tercampur keheranan. "Aku tidak duga soatlian
begitu manjur. Luka di dalam dari manusia ini sudah menjadi sembuh secara begitu cepat. Ah,
malam ini jiwanya guru dan murid akan binasa!" pikir Thian Oe dalam hatinya.
Sesudah lewat beberapa lama, suara semburan air panas kedengaran semakin nyata, diseling
dengan suara bentakan dan beradunya senjata. Paras muka Tjoei In Tjoe menunjukkan
keheranan. "Ih! Urat lengan si tua bangka she Siauw sudah diputuskan dengan tali gendewaku.
Cara bagaimana ia masih bisa bertempur?" kata ia.
Mendadak dengan dua jerijinya ia gunting tali yang mengikat badan Thian Oe, yang lantas
diangkat, dan ia lantas loncat turun dari tandu. "Tak usah digotong lagi!" kata ia. "Aku Tjoei
Loosam tidak berdusta. Sekarang juga aku antar kau ketemui gurumu."
Dikempit oleh musuh tangguh, Thian Oe tidak dapat berkutik. Setibanya di dekat sumber air
panas, ia lihat tendanya robek sana sini, sedang ketiga orang kasar yang masing-masing mencekal
golok mengkilap, sedang kepung gurunya yang bersita di tengah-tengah tenda yang robek itu.
Thian Oe terperanjat. Gurunya bersila dengan badan tidak bergerak, sedang mulutnya
menggigit hudtim. Golok yang menyambar, ia sampok dengan hudtim. Tak perduli serangan
datang dari depan, samping atau belakang, dengan sedikit saja goyang kepalanya, hudtim itu
selalu dapat menyambut dengan tepat sekali! Semakin hebat bacokan musuh, semakin hebat lagi
tenaga yang menangkis.
Tjoei In Tjoe kerutkan alisnya dan kemudian tertawa berkakakan. "Siauw Tjeng Hong!" ia
berseru. "Marilah aku sambut lagi hudtimmu." Tiga orang yang sedang mengepung lantas loncat
mundur. Dengan sekali loncat, Tjoei In Tjoe sudah berhadapan dengan Siauw Tjeng Hong dan
kedua tangannya lantas terangkat naik.
Dengan seruan tertahan, Tjeng Hong pentang mulutnya dan kebutannya melesat bagaikan
anak panah. Dengan sebet, Tjoei In Tjoe kelit senjata itu.
"In Tjoe," berkata Siauw Tjeng Hong sambil menghela napas. "Lweekangmu ternyata lebih
tinggi daripada aku. Empat hari aku kerahkan hiankong, kedua lenganku belum dapat bergerak,
tapi kau sudah bisa jalan sebagaimana biasa. Aku mengaku kalah!"
"Tidak! Soehoe, kau tidak kalah!" berseru Thian Oe. "Dia yang kalah. Dia rampas soatlian-ku."
Siauw Tjeng Hong kaget dan berseru: "Apa? Dari mana kau..." Belum habis perkataannya, Tjoei
In Tjoe sudah loncat sembari menotok jalan darahnya sama jerijinya, sehingga ia tidak keburu
menanya terus.
Tan Thian Oe yang jalanan darahnya masih belum terbuka, ketika itu telah didorong roboh oleh
satu muridnya Tjoei In Tjoe.
"Siauw Tjeng Hong," kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa. "Mengenai ilmu, kau memang lebih
tinggi daripadaku. Tapi memang sudah maunya Tuhan, aku mesti membunuh kau. Maka itu,
dengan pinjam tangan muridmu, Tuhan sudah kirim soatlian yang langka untukku!"
Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dan keluarkan suara di hidung. "Bagus!" kata ia.
"Sungguh gagah! Hari ini aku dapat saksikan kepandaiannya ahli silat Khongtong pay!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tjoei In Tjoe kembali tertawa dan berkata: "Menurut peraturan Kangouw, aku mesti tunggu
sampai kau sembuh, barulah jajal lagi kepandaianmu. Cuma aku kuatir, sesudah sembuh, kau
kembali akan kabur sembari kelepotan buntut. Kemana aku mesti cari padamu? Apalagi dahulu,
kau bersama itu perempuan siluman juga menggunakan akal bulus buat celakakan kita. Hai!
Dengarlah! Sekarang lebih dahulu aku mau balaskan sakit hatinya toako dengan persen empat
bacokan di atas mukamu!"
Sehabis berkata begitu, ia ambil sebatang golok dari tangan soetit-nya (keponakan murid, tiga
orang itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe). Sembari bulang-balingkan golok itu, ia tarik
tangannya Siauw Tjeng Hong dan awasi muka korbannya dengan sorot mata kejam. Mendadak ia
keluarkan satu suara tertawa seperti orang kalap dan angkat goloknya yang akan segera
menyabet mukanya Siauw Tjeng Hong.
Mendadak, mendadakan saja, satu suara tertawa dingin terdengar, disusul dengan perkataan
halus mengejek: "Aduh! Gagah betul!"
Tan Thian Oe kaget sebab satu bayangan berkelebat di pinggir badannya, dan apa yang
membikin ia jadi lebih kaget lagi, adalah jalanan darahnya mendadak terbuka sendirinya! Orang
yang baru datang adalah si anak sekolah yang berdiri disitu sembari mesemmesem simpul.
Tjoei In Tjoe mengawasi dan menanya: "Apa tuan tidak suka hati?"
"Mana aku berani!" jawab si anak sekolah. "Dalam kalangan Kangouw, soal membalas sakit hati
adalah soal yang lumrah. Cuma saja orang tua ini mempunyai sedikit hubungan denganku."
"Dalam kalangan Kangouw, hal membantu sahabat adalah hal yang lumrah," kata Tjoei In Tjoe
sembari tertawa dingin. "Baiklah. Kita jangan banyak omong yang tidak ada perlunya. Cabut
senjatamu, aku Tjoei In Tjoe akan meladeni beberapa jurus dengan tangan kosong."
Si anak sekolah dongak dan tertawa terbahak-bahak. "Aku belum keluar dari rumah
perguruan," kata ia. "Guruku larang aku adu tenaga dengan orang."
"Kalau begitu, apakah dengan dengar omongannya satu pitik, aku harus ampuni si tua
bangka?" kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa bergelak-gelak. "Siapa kau? Siapa gurumu?"
"Siapa suruh kau ampuni si tua bangka?" sahut si anak sekolah. "Si tua bangka adalah
musuhku juga!"
Tjoei In Tjoe kaget dan berkata: "Kalau begitu aku salah sangka. Apa kau juga mempunyai
permusuhan dengan dia?"
"Benar," sahutnya.
"Sungguh bagus nasibmu," kata Tjoei In Tjoe dengan sikap sombong. "Dengan ilmu silatmu,
sekali pentil saja, dia bisa bikin kau terguling ke dalam jurang. Mengingat kita berdua sama-sama
bermusuh padanya, sesudah aku membacok empat kali, kau boleh bacok satu kali buat
lampiaskan ganjelanmu."
"Tidak," kata si anak sekolah. "Sakit hatiku dalam seperti lautan. Kasihlah aku yang membalas
lebih dahulu."
Hatinya Tjoei In Tjoe gusar sekali, tapi oleh karena perasaan herannya, ia segera menahan
sabar. "Kau mempunyai permusuhan apa dengan dia?" tanya ia. "Coba ceritakan."
"Kemarin di tengah jalan aku bertemu mereka, guru dan murid," ia menerangkan. "Waktu aku
minta air dari muridnya, si tua unjuk paras sekaker. Baik juga muridnya yang baik hati, bagikan air
kepadaku. Ah, orang kehausan bisa jadi mati, dan si tua rela melihat kebinasaan sambil berpeluk
tangan. Inilah sakit hatiku yang pertama Tadi, saudara kecil itu sebenarnya mau undang aku buat
sama-sama mengasoh dalam tendanya. Tapi si tua tidak permisikan. Tendaku sudah pada robek
dan angin dingin menyerang hebat sekali, hingga hampir-hampir aku mati kedinginan. Ah,
mendesak orang sampai mesti mati kelaparan dan kedinginan adalah kedosaan hebat. Inilah sakit
hatiku yang kedua."
Begitu bertemu dengan si anak sekolah, Siauw Tjeng Hong sudah merasa heran. Sekarang,
sesudah dengar omongannya, hatinya jadi kaget sekali. "Cara bagaimana ia bisa dapat dengar
pembicaraanku dengan Oe-djie?" tanya ia dalam hatinya.
Tjoei In Tjoe jadi gusar sekali. "Jangan banyak bacot!" ia berteriak sembari sabetkan goloknya
ke arah si anak sekolah.
Sembari berteriak "A-yo!" ia miringkan badannya dan goloknya Tjoei In Tjoe jatuh di tempat
kosong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kau tidak bacok si tua, sebaliknya membacok aku," berseru si anak sekolah. "Punya sakit hati
tidak dibalas, berbalik hantam kawan sendiri. Dalam dunia mana ada aturan begitu!"
Diejek secara begitu, Tjoei In Tjoe jadi seperti orang kalap dan ia lalu membacok beruntun tiga
kali.
"Kalau kau tak mau membalas sakit hati, biarlah aku turun tangan lebih dahulu," kata si anak
sekolah, "aku belum keluar dari perguruan dan guruku larang aku menggunakan senjata tajam.
Tapi menggunakan senjata rahasia rasanya masih boleh juga."
Sembari kelit sana-sini buat loloskan diri dari bacokan saling susul, ia ayun satu tangannya dan
beberapa sinar emas melesat ke arah Siauw Tjeng Hong.
Ketika itu Siauw Tjeng Hong tak dapat bergerak lantaran jalanan darahnya sudah kena ditotok
dan beberapa jarum emas itu mengenakan tepat pada sasarannya!
Thian Oe terkesiap. Barusan mendengar si anak sekolah permainkan Tjoei In Tjoe, Thian Oe
menduga, ia berdiri sebagai kawan. Tapi tak dinyana, benar-benar ia menggunakan senjata
rahasia buat menyerang * gurunya. Tanpa berpikir lagi, ia loncat dan hantam jalanan darah
Tayyang hiat si anak sekolah dengan gerakan Kimkouw kibeng (Tambur emas bersuara). Si anak
sekolah berkelit. "Dengan menghadiahkan air, kau adalah tuan penolongku," kata ia sembari
tertawa. "Seorang laki-laki harus membalas budi dan sakit hati secara tepat. Maka itu, manalah
aku boleh turun tangan terhadap seorang penolong." Sehabis berkata begitu, badannya berkelebat
dan lantas tidak kelihatan lagi!
Sesudah membacok tempat kosong empat kali dan setelah melihat lagak lagunya si anak
sekolah yang sedemikian aneh, Tjoei In Tjoe jadi bengong beberapa saat. Hatinya sungguh tidak
dapat mengerti apa maunya orang itu.
Ia balik badannya dan menoleh kepada Siauw Tjeng Hong. Kali ini, ia benar-benar kaget! Siauw
Tjeng Hong sudah bisa angkat kedua tangannya dan berseru: "Tjoei Loosam, marilah kita adu
tenaga lagi!" Beberapa jarum emas yang menancap di dagingnya masih kelihatan menonjol di luar
bajunya dan pancarkan sinar yang gilang-gemilang!
Ketika si anak sekolah menimpuk dengan jarum emas, hatinya Siauw Tjeng Hong terkejut
bukan main. Tapi di lain saat, mendadak ia rasakan satu perasaan segar dalam badannya, hawa
dan darah mengalir lagi seperti biasa, bukan saja jalanan darah yang tertotok terbuka kembali,
akan tetapi, urat-uratnya yang kena terpukul juga sudah pulih seperti sediakala, sedang buku-
buku tulang yang kesemutan pun sudah dapat bergerak leluasa. Inilah ada kejadian seperti di
dalam impian dan Siauw Tjeng Hong kaget berbareng girang.
Tjoei In Tjoe terperanjat bukan main. Ketika itu tangannya Siauw Tjeng Hong sudah terangkat
dan terus menghantam dengan sepenuh tenaga. In Tjoe menyambut dan rasakan tenaga yang
luar biasa besarnya, mendorong ia sehingga badannya sempoyongan ke belakang beberapa
tindak. "Tenaga dalamnya si tua cuma lebih tinggi setingkat daripadaku. Tapi kenapa dalam tempo
yang begitu pendek, ia sudah jadi begitu liehay?" tanya In Tjoe dalam hatinya. Ia tidak
mengetahui, bahwa tenaganya Siauw Tjeng Hong sudah pulih kembali, sedang tenaganya sendiri,
biarpun lukanya sudah disembuhkan dengan soatlian, belum balik seperti biasa, oleh karena ia
mendapat luka yang lebih berat daripada musuhnya. Itulah sebabnya kenapa ia kalah jauh dari
tenaganya Siauw Tjeng Hong.
Melihat gurunya sembuh mendadak, Thian Oe jadi seperti orang kalap lantaran kegirangan.
"Oe-djie, hati-hati!" mendadak ia dengar gurunya berteriak.
Dua muridnya Tjoei In Tjoe menyerang dari kiri dan kanan dengan mendadak. Melihat dirinya
dikerubuti, Thian Oe lantas menyambut dengan gerakan Kaykiong siatiauw (Pentang gendewa
memanah burung tiauw). Murid-muridnya Loei Tjin Tjoe juga sudah menyabet dengan goloknya.
Dikerubuti oleh beberapa musuh, manalah Thian Oe bisa tahan? Dalam tempo sekejap, ia sudah
keteter dan keadaannya berbahaya sekali. Mendadak terdengar suara berkerontrangan dan
goloknya satu musuh terlempar di atas tanah, sedang musuh itu berteriak kesakitan sembari
pegang tangannya.
Orang yang menolong adalah gurunya sendiri. Sembari desak Tjoei In Tjoe dengan serangan-
serangan hebat, Siauw Tjeng Hong masih sempat hantam jatuh senjata murid-muridnya Loei Tjin
Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Melihat gelagat tidak baik, Tjoei In Tjoe lantas berseru: "Kabur!" dan
bersama dua murid serta tiga cucu murid, ia panjangkan langkahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe segera mengejar sembari tengteng pedang. "Oe-djie, balik! Jangan kejar!" berteriak
Siauw Tjeng Hong. Thian Oe lantas balik dan waktu mau menanya, ia lihat gurunya sedang cabuti
jarum, jarum emas dari badannya, dengan saban-saban gelengkan kepalanya.
"Soehoe, bagaimana sih duduknya kejadian ini?" tanya Thian Oe.
"Dalam ilmu pengobatan ada semacam cara mengobati dengan menggunakan jarum,"
menerangkan Siauw Tjeng Hong. "Akan tetapi, yang paling luar biasa adalah dengan menimpuk
dari tempat jauh, tujuh batang jarumnya pemuda itu bisa menancap tepat di jalanan darah yang
diingini. Dari sini dapat dibayangkan, bukan saja ilmu ketabibannya pemuda itu luar biasa tinggi,
tapi tenaga dalamnya pun tak dapat diukur bagaimana dalamnya!"
"Kalau begitu, barusan ia menolong soehoe?" kata sang murid. "Tadi aku ketakutan setengah
mati!"
Siauw Tjeng Hong menghela napas panjang dan berkata: "Sungguh-sungguh di luar langit
masih terdapat langit, di atas kepandaian masih terdapat kepandaian. Ia itu masih berusia begitu
muda, tapi ilmu silatnya banyak lebih tinggi daripada aku. Benar-benar aku seperti kodok di dalam
sumur yang tidak mengetahui luasnya langit dan bumi. Mulai dari sekarang, sungguh-sungguh aku
tak berani tonjol-tonjolkan lagi ilmu silatku." ..- "Soehoe berdiam di rumahku hampir sepuluh
tahun, tapi semua orang, kecuali aku, tidak mengetahui, bahwa soehoe mempunyai kepandaian
yang begitu tinggi," kata Thian Oe. "Dari sini dapat dilihat, bahwa kesabaran soehoe sukar
terdapat dalam dunia ini."
Siauw Tjeng Hong kembali menghela napas panjang dan berkata: "Kau mana tahu, bahwa di
waktu muda, lantaran gara-gara tonjolkan kepandaian, aku sudah bentur bencana dan tanam
permusuhan hebat dengan beberapa memedi itu."
Thian Oe yang belum pernah dengar asal-usulnya sang guru, jadi merasa sangat ketarik dan
pasang kuping terang-terang.
"Apakah kau tahu, di kolong langit dalam jaman ini, ilmu pedang partai mana yang paling
bagus?" Tjeng Hong tanya muridnya.
"Bukankah soehoe pernah bilang, ilmu pedang yang paling bagus adalah dari Thiansan?" jawab
sang murid. "Ilmu pedang dari Thiansan, yang digubah oleh Hoeibeng Siansu telah diturunkan
kepada Leng Bwee Hong dan kemudian diwarisi pula kepada Tong Siauw Lan. Mereka itu adalah
pendekar-pendekar besar dari setiap jaman dan rasanya sukar dicari tandingannya di dalam
dunia."
"Benar," kata sang guru. "Akan tetapi ilmu pedang Thiansan, lantaran berpusat di tempat jauh,
sesudah jamannya Tayhiap Tong Siauw Lan, jarang sekali terlihat di daerah Tionggoan. Maka
itulah, tiga cabang besar dari Rimba Persilatan di daerah Tionggoan adalah Boetong, Siauwlim dan
Gobie. Partai kita, Tjengshia pay, adalah pecahan dari Gobie dan telah berdiri sebagai satu partai
sendiri."
Mendengar sang guru mau bicarakan soal partai-partai ilmu pedang dengan dirinya, Thian Oe
jadi merasa heran.
"Coba kau tebak, berapa usiaku tahun ini?" tanya sang guru.
Sembari awasi rambut orang yang sudah putih, Thian Oe menjawab: "Mungkin tidak berjauhan
dengan usia ayah." Ayahnya Thian Oe berusia lima puluh tahun lebih.
"Lantaran jengkel, rambutku jadi putih sebelum waktunya," kata Siauw Tjeng Hong sembari
tarik napas. "Sekarang aku baru berusia empat puluh lebih sedikit."
Thian Oe kaget. Sebelum ia menanya apa-apa, gurunya sudah lanjutkan penuturannya: "Pada
tiga belas tahun berselang, aku berada di Soetjoan. Tahun itu kebetulan tahunan Moh Tjoan Seng
mengadakan kiatyan, yang diadakan saban sepuluh tahun sekali (Kiatyan = Dalam agama Budha,
memberi ceramah dan sedekah kepada orang-orang miskin). Moh Tjoan Seng adalah tokoh
kenamaan dari Boetong pay."
"Apakah Moh Tayhiap satu hweeshio (pendeta)?" tanya Thian Oe.
"Bukan," jawab sang guru sembari tertawa. "Moh Tayhiap bukannya memberi ceramah tentang
keagamaan seperti caranya seorang pendeta. Ia memberi ceramah kepada orang tingkat mudaan
dari kalangan Rimba Persilatan. Menurut
pendengaranku, Moh Tjoan Seng adalah ahli pedang dari tingkatan tua dan ia adalah puteranya
Koei
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tiong Beng, ahli waris ilmu pedang Tatmo dari Partai Utara Boetong. Oleh karena harus
menyambung turunan keluarga Moh, ia jadi menggunakan she ibunya, yaitu she Moh. Dalam
kalangan Rimba Persilatan di daerah Tionggoan, ia diakui sebagai orang yang mempunyai ilmu
silat paling tinggi. Saban sepuluh tahun sekali, Moh Tayhiap membuka pintu dan memberi
ceramah tentang ilmu silat. Di sebelahnya itu, ia juga memberi petunjuk-petunjuk kepada orang-
orang dari tingkatan lebih muda. Maka itulah, saban-saban ia mengadakan Kiatyan, orang-orang
pandai dari berbagai cabang persilatan pada naik gunung buat mendengar ceramahnya. Pada
tempo itulah, aku mulai kenal Loei Tjin Tjoe, Tjoei In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe. Waktu itu, di
lehernya Ong Lioe Tjoe belum tumbuh daging lebih. Namanya ketika itu adalah Ong Lioe (Lioe
dalam artian "Mengalir") Tjoe. Selewatnya tahun tersebut, lantaran di lehernya tumbuh daging
lebih yang nonjol, orang-orang Kangouw tukar huruf Lioe (Mengalir) jadi Lioe (Daging lebih).
Antara orang-orang yang hadiri Kiatyan terdapat pula seorang murid wanita Gobie pay yang
bernama Tjia In Tjin, tergelar Sengtjhioe Siannio (Dewi tangan malaikat). Sepanjang warta, ia
mempunyai ilmu silat paling tinggi di antara orang-orang tingkat kedua dari Gobie pay." Waktu
menyebutkan namanya Tjia In Tjin, badannya Siauw Tjeng Hong kelihatan sedikit gemetar.
Pada waktu biasa, girang dan gusarnya sang guru jarang terlukis di atas mukanya, tapi
sekarang ia kelihatannya sangat dipengaruhi oleh perasaannya, sehingga Thian Oe jadi merasa
heran.
"Tjia In Tjin adalah seorang wanita cantik dan ilmu silatnya pun sangat tinggi," Siauw Tjeng
Hong lanjutkan penuturannya. "Di sebelahnya itu, adatnya juga sangat ramah-tamah. Dalam
perguruan, aku dan ia memang masih terhitung ada sangkut pautnya. Dalam kalangan Rimba
Persilatan memang tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan yang dapat bergaul secara
bebas sekali. Maka itulah, ketika Moh Tayhiap mengadakan Kiatyan, aku dan ia sudah bergaul
rapat."
Biarpun Thian Oe masih belum mengenal urusan cinta, akan tetapi, dengan melihat cara bicara
gurunya, ia sudah dapat menebak, bahwa gurunya sangat menyukai wanita yang bernama Tjia In
Tjin itu.
"Pada suatu hari," kata sang guru selanjutnya. "Aku dan ia rundingkan ilmu pedang dari
berbagai partai. Menurut ia, dalam jaman ini,- biarpun ilmu pedang
Boetong tersohor dan menjagoi di Tionggoan, akan tetapi dalam soal pukulan aneh dan
kemujijatan, ilmu pedang Gobie paling terutama.
"Lain-lain partai semuanya berada di sebelah bawah dan tidak berharga buat dirundingkan,
demikian katanya. Aku tidak nyana ia begitu temberang. Ketika itu aku masih berusia muda dan
berdarah panas dan lantas saja berkata: "Aku rasa perkataanmu tidak begitu tepat. Kau harus
mengetahui, bahwa saban cabang persilatan masing-masing mempunyai kebagusannya sendiri.
Dalam hal ilmu silat tidak ada yang boleh dibilang nomor satu dalam dunia." Mendengar
omonganku, ia cuma tertawa dingin dan tidak berkata apa-apa lagi.
"Di antara orang-orang yang hadir dalam perhimpunan, Loei Tjin Tjoe adalah ahli dari Boetong,
Tjoei In Tjoe jagoan dari Khongtong, sedang Ong Lioe Tjoe adalah muridnya The Peng, seorang
ahli silat kenamaan di Djielam. Tjoei In Tjoe mempunyai satu adik lelaki, Tjoei Ie Tjoe namanya,
yang juga masuk Gobie pay. Tak tahu lantaran apa, Ie Tjoe telah diusir keluar dari perguruan, dan
pada tahun itu, ia pun hadiri ceramahnya Moh Tayhiap. Empat orang itu sering berada sama-sama
dan mereka bergaul rapat dengan aku.
"Satu hari, kita kembali bicarakan ilmu silatnya berbagai partai, Loei Tjin Tjoe mengatakan,
bahwa Moh Tayhiap yang menjadi tjiangboen (pemimpin) dari Boetong pay, mempunyai ilmu silat
yang sedemikian tinggi, sehingga sudah tentu ilmu silat Boetong adalah yang paling bagus di
kolong langit. Aku tidak setuju dan lantas berkata: "Bakatnya orang berbeda satu sama lain,
latihannya juga tidak bersamaan. Maka itu, kalau sang guru nomor satu dalam dunia, murid-
muridnya belum tentu semua nomor satu. Mendengar perkataanku, Loei Tjin Tjoe lantas saja
menantang buat adu pedang dengan syarat lantas berhenti, jika ada yang kena ketowel. Dalam
pertandingan, aku yang kalah. Akan tetapi, aku telah kirim pukulan Senglo kogoan (Bintang jatuh
di tanah tinggi), yaitu pukulan istimewa dari Tjengshia pay, yang telah dapat tembuskan tangan
bajunya Loei Tjin Tjoe. Biarpun kalah, aku jadi bukannya kalah seluruhnya. Sesudah bertanding,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Loei Tjin Tjoe tertawa terbahak-bahak dan puji tinggi ilmu silatku. Melihat ia tidak sombong dalam
kemenangannya, hatiku menjadi lega.
"Cuma saja, sesudah mendapat pengalaman begitu, aku mengambil putusan buat tidak mau
sembarangan adu pedang lagi. Tapi dalam dunia sering terjadi apa-apa yang tidak diduga-duga.
Belum lewat tiga hari sesudah mengambil keputusan begitu, aku kembali terpaksa mengadu
pedang."
"Ahli silat panai mana lagi yang berlaku sombong dan soehoe tidak merasa senang?" tanya
Thian Oe.
"Bukan," jawab sang guru. "Kejadiannya terjadi satu malam sebelum Moh Tayhiap bubarkan
perhimpunan. Ong Lioe Tjoe mendadak datang sendirian dan tarik tanganku buat diajak omong di
tempat sepi. Ia bilang Gobie Liehiap Tjia In Tjin mau jajal ilmu silatku dan minta ia sampaikan
keinginannya kepadaku. Selainnya itu dijanjikan kedua belah pihak memakai kedok dan
pertandingan dilakukan di belakang gunung pada jam tiga pagi. Sesudah bertanding, kedua belah
pihak lantas bubaran dan anggap seperti tidak kejadian suatu apa. Dengan cara begini, siapa yang
menang dan siapa yang kalah, tidak akan merasa kurang enak hati. Aku menolak, tapi Ong Lioe
Tjoe lantas berkata sembari tertawa: 'Hm! Kau benar tolol! Tjia In Tjin sebenarnya ada hati
terhadapmu, apa kau tak tahu? Ia sangat kagumi budi pekertimu, cuma belum mendapat tahu
tinggi rendahnya ilmu silatmu. Sesudah aku omong begitu terang, apa kau belum mengerti
maksudnya?' Mendengar begitu, hatiku jadi goncang dan menyetujui. Tapi siapa nyana, disitu
terselip satu akal busuk."
"Bagaimana?" tanya Thian Oe.
Kedua matanya Siauw Tjeng Hong mengawasi ke tempat gelap dengan mendelong dan
kemudian berkata lagi: "Kau harus mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw, jika seorang
pria dan seorang wanita saling penuju, mereka paling suka menjajal ilmu silat, seperti caranya
kalangan sastrawan adu bikin syair. Maka itu, mendengar perkataannya Ong Lioe Tjoe, aku jadi
girang bukan main. Akan tetapi, setelah mengingat bahwa Tjia In Tjin adalah orang terpandai
dalam tingkat kedua Gobie pay, hatiku kembali merasa sangsi.
"Ong Lioe Tjoe seperti dapat baca jalannya pikiranku dan ia lantas berkata sembari tertawa:
'Mengenai ilmu silat dan ilmu pedang, mungkin sekali kau masih kalah sedikit, akan tetapi, kalau di
dalam beberapa puluh jurus saja, Jcau tentu tidak sampai menjadi kalah. Ia suka sekali
menggunakan pukulan Lengkim liantjie (Burung malaikat tarik sayapnya), dan dalam puluhan
jurus itu, pukulan tersebut rasanya mesti dikeluarkan sedikitnya satu kali. Pukulanmu Senglo
kogoan (Bintang jatuh di tanah tinggi) justru adalah pukulan yang dapat pecahkan Lengkim
liantjie.' Memang juga, sesudah Tjengshia pay lepaskan diri dari
Gobie pay, telah digubah banyak sekali pukulan yang menjadi lawannya pukulan Gobie. Maka
itu, perkataannya Ong Lioe Tjoe bukannya dusta.
"Pada besok malamnya, sesuai dengan perjanjian, aku pergi ke gunung belakang. Malam itu
gelap-gulita, sedang sang angin meniup keras sekali, sehingga orang tidak dapat melihat suatu
apa dalam jarak yang lebih dari sepuluh tindak. Setibanya di gunung itu, benar saja aku lihat
bayangan orang yang memakai baju hitam dan mukanya ditutup kedok. Potongan badannya orang
itu bersamaan dengan badannya In Tjin. Aku dihinggapi perasaan tegang dan tidak berani
mengeluarkan sepatah kata. Sesudah cabut pedang, aku segera menyerang. Orang itu balas
menyerang seperti hujan angin dengan serangan-serangan yang membinasakan, seakan-akan ia
sedang adu jiwa. Aku kaget bukan main. Apakah Tjia In Tjin maukan jiwaku? Akan tetapi aku
berbalik pikir, mungkin sekali ia sengaja berbuat begitu, supaya aku keluarkan segala
kepandaianku. Aku tak dapat memikir panjang-panjang lagi sebab serangannya semakin hebat.
Mau tidak mau aku mesti keluarkan segala rupa kebisaanku buat layani padanya. Dengan cepat
tiga puluh jurus sudah lewat, tapi sebegitu jauh bukan saja pukulan Lengkim liantjie tidak muncul,
malahan cara bersilatnya tidak mirip-mirip ilmu pedang Gobie dan lebih mirip dengan ilmu pedang
Boetong. Bukan main heranku. Selagi mau menanya, dari tempat gelap mendadak loncat keluar
tiga orang yang lantas saja kerubuti aku. Sedang melawan satu orang saja, aku sudah kewalahan,
bagaimana ditambah lagi dengan tiga musuh tangguh? Dalam sekejap, aku menghadapi bahaya.
"Dengan lantas aku berteriak: "Hei! Aku ini adalah Siauw Tjeng Hong dari Tjengshia pay.
Siapakah adanya kau orang?" Teriakanku cuma disambut dengan tertawa dingin oleh tiga musuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendadakan terdengar satu suara tertawa nyaring. Berbareng dengan itu, satu wanita baju hijau
loncat turun dari atas pohon. Ia tidak memakai kedok."
"Apa ia Tjia In Tjin?" menanya Thian Oe.
"Benar," jawab sang guru. "Ia benar Tjia In Tjin. Aku jadi bengong lantaran kaget. Tiba-tiba
aku dengar sambaran golok dari samping dan satu bayangan hitam melesat ke arahku. Hampir
pada detik yang bersamaan, sebatang pedang yang mengkilap sudah sampai di depan mukaku
dan pukulan yang digunakan adalah Lengkim liantjie. Pikiranku sedang kalut, dan buat tolong jiwa,
tanpa merasa aku menyambut dengan pukulan Senglo kogoan. Orang itu keluarkan jeritan keras
sebab satu lengannya kena terbabat kutung. Pada saat itu juga, pedangnya In Tjin menyambar
dan binasakan padanya!
"Aku berteriak, tapi pedangnya In Tjin sudah menyambar lagi dua kali dan persen dua bacokan
pada mukanya lawanku yang pertama. Dengan dua kali suara "srt", kedoknya robek, dan biarpun
dalam kegelapan, aku masih dapat lihat darah yang berketel-ketel. Lantaran kesakitan, orang itu
cakar mukanya dan kedoknya jatuh. Melihat mukanya, aku jadi terkesiap!"
"Apakah soehoe jadi kaget sebab lihat mukanya tidak keruan macam?" tanya Thian Oe.
"Benar," jawab Tjeng Hong. "Mukanya ditapak jalak, sedang biji matanya yang sebelah kiri
kena ditusuk pedang, sehingga meletos keluar dan kelihatannya menakuti sekali! Tapi itu belum
seberapa. Begitu mengenali siapa adanya ia, aku jadi lebih-lebih kaget. Apakah kau bisa tebak dia
siapa?"
Mendengar penuturannya sang guru, hatinya Thian Oe berdebar-debar dan waktu gurunya
menanya, seperti orang kesima, ia balas menanya: "Siapa ia?"
Siauw Tjeng Hong tarik napas beberapa kali. "Loei Tjin Tjoe!" kata ia dengan suara sember.
"Ah! Kenapa Loei Tjin Tjoe?" kata Thian Oe.
"Tangannya Tjia In Tjin cepat sekali," Tjeng Hong lanjutkan penuturannya. "Sesudah lukakan
Loei Tjin Tjoe, sembari tertawa nyaring, tangan kanannya yang mencekal pedang menyabet satu
kali, sedang tangan kirinya terayun dan beberapa senjata rahasia menyambar. Dua orang lantas
saja terguling. Antara empat orang yang sedang bertempur denganku, satu binasa, tiga mendapat
luka. Sebelum dapat tetapkan semangatku, Tjia In Tjin sudah berkata sembari tertawa: "Kau juga
sebenarnya harus terima satu bacokan. Tapi mengingat kau sudah membantu aku, maka aku suka
mengampuni!" Sesudah berkata begitu, ia enjot badannya dan lantas menghilang di tempat gelap.
"Aku nyalakan umpan api dan buka kedoknya ketiga orang itu. Begitu lihat, aku jadi lebih-lebih
terperanjat, sebab yang binasa adalah Tjoei Ie Tjoe, yang kena senjata rahasia adalah Ong Lioe
Tjoe, yang kebacok adalah Tjoei In Tjoe, sedang Loei Tjin Tjoe menggoser di atas tanah. Aku
menghampiri dengan niat tolong bebet lukanya, tapi ia membentak dengan suara keras: "Pergi!"
Ong
Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga mengawasi dengan mata gusar. Dalam malam yang gelap itu,
tiga pasang mata yang bersinar mengincar diriku, seakan-akan matanya binatang liar yang
mengawasi sang pemburu. Aku mengkirik, balik badan dan lantas kabur sekeras mungkin, tanpa
pamitan dengan Moh Tayhiap."
"Dilihat begitu, Loei Tjin Tjoe agaknya sengaja mau celakakan soehoe," kata Thian Oe. "Tapi
kenapa, ia juga pancing Gobie Liehiap Tjia In Tjin datang kesitu?"
"Kau cuma dapat menebak separoh," jawab sang guru. "Belakangan aku baru tahu, bahwa Loei
Tjin Tjoe-dan Tjoei Ie Tjoe kedua-duanya pernah melamar In Tjin. Lamarannya Loei Tjin Tjoe
ditolak sehingga ia mendapat malu besar, sedang Tjoei Ie Tjoe, sebab mau coba nodai soetjie-nya
(kakak perempuan seperguruan), sudah diusir dari rumah perguruan. Malam itu, Loei Tjin Tjoe
sudah janjikan In Tjin buat mengadu pedang, dengan masing-masing memakai kedok. Diam-diam
ia atur tiga kawannya buat membantu padanya. Lantaran masih kuatir tak dapat menangkan In
Tjin, ia perintah Ong Lioe Tjoe pancing diriku.
"Loei Tjin Tjoe sebenarnya niat menarik keuntungan selagi aku dan In Tjin bertempur. Tapi,
dengan menggunakan siasat yang sampai sekarang tidak diketahui olehku, sebelum tiba jam yang
dijanjikan, Tjia In Tjin berhasil pancing keluar Loei Tjin Tjoe, yang, dengan serupa tangan jahat,
sudah dibikin kalang-kabut jalan darahnya, sehingga otaknya menjadi kalut.
"Malam itu, lantaran tidak sabaran, aku sudah tiba di gunung sebelum jam tiga. Lantaran gelap
dan sebab badannya Loei Tjin Tjoe hampir bersamaan dengan tubuhnya Tjia In Tjin, aku jadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bergebrak dengan ia. Belakangan datanglah Tjoei In Tjoe bertiga. Mereka duga aku sudah
mengetahui akal busuknya dan berbalik membantu Tjia In Tjin. Maka itu, mereka lalu menyerang.
Tjoei Ie Tjoe adalah murid Gobie pay dan tanpa disengaja, ia sudah menyerang dengan pukulan
Lengkim liantjie, sehingga menemui ajalnya. Jika malam itu tidak terjadi salah mengerti, biarpun
ilmu silatnya In Tjin lebih tinggi lagi, aku rasa ia sukar dapat melawan empat musuhnya itu.
"Loei Tjin Tjoe sebenarnya mempunyai paras yang cakap dan bergelar Giokbin Holie (Rase
muka batu kemala). Sekarang mukanya rusak dan satu matanya menjadi buta. Dengan begitu, ia
jadi sangat sakit hati terhadap aku dan In Tjin. Tjoei In Tjoe sendiri menaruh dendam lantaran
kebinasaan adiknya. Ong Lioe Tjoe kena terpanggang jarum beracunnya In Tjin, dan sesudah
lukanya sembuh, pada tempat bekas luka tumbuh daging lebih. Di sebelahnya itu, ilmu silatnya
pun tidak dapat pulih kembali seperti sediakala. Sesudah peristiwa malam itu, Tjia In Tjin tidak
kelihatan mata hidungnya lagi. Tiga orang itu lantas saja tumpleki kegusarannya atas diriku dan
selama sepuluh tahun, ubak-ubakan mencari aku buat dibinasakan."
Thian Oe dengarkan penuturan gurunya dengan perasaan seram sekali. "Kalau begitu soehoe
menjadi sinshe dan kemudian ikut kita ke Tibet, lantaran mau menyingkirkan diri dari mereka,"
kata Thian Oe.
"Ya!" kata Siauw Tjeng Hong sembari menghela napas panjang. "Sesudah peristiwa malam itu,
lantaran jengkel dan kuatir, rambutku menjadi putih sebelum waktunya. Cuma ada satu hal yang
aku masih belum dapat tahu terang. Sebab apa Ong Lioe Tjoe mau membantu Loei Tjin Tjoe
memasang jebakan itu?"
"Apakah itu orang yang kena ditendang jatuh kedalam jurang oleh soehoe?" tanya Thian Oe.
"Benar," jawabnya. "Lantaran terdesak, aku terpaksa binasakan padanya. Dendaman ini jadi
semakin dalam saja. Sepanjang warta, sesudah mendapat luka, Loei Tjin Tjoe terus menerus
berlatih dan sekarang ilmu silatnya sudah maju jauh sekali. Belasan tahun berselang, aku sudah
bukan tandingannya, dan kalau sekarang bertemu lagi, jiwaku tentu akan melayang!"
"Sesudah mendengar penuturan soehoe, aku merasa, bahwa biarpun perbuatannya Loei Tjin
Tjoe dan kawan-kawannya tidak pantas, akan tetapi tangannya Tjia In Tjin juga terlalu kejam,"
kata Thian Oe.
Mendadak Siauw Tjeng Hong kelihatan seperti orang terkesiap. Di antara menderunya angin,
terdengar suara tertawa. Di lain saat, dari luar menyambar serupa benda. ... Tjeng Hong kelit
sembari loncat keluar tenda. Akan tetapi, kecuali semburan air panas dan sinarnya rembulan,
diluar tidak kelihatan barang satu manusia. Tjeng Hong terkejut. Ilmu entengi badan orang itu
ternyata luar biasa tingginya, sebab dalam tempo yang begitu pendek, ia sudah dapat
menyingkirkan diri.
Dengan hati bimbang Tjeng Hong masuk lagi ke dalam tenda. "Lihatlah soehoe!" kata Thian Oe
dengan suara sedikit gemetar, sambil menuding dengan telunjuknya. Tjeng Hong mengawasi ke
tempat yang ditunjuk oleh muridnya. Ia lihat sepotong kulit kerbau, bagian atasnya menembus
dan nyangkol di tenda, sedang bagian bawahnya tergulung. Lagi-lagi Tjeng Hong terkejut.
Walaupun kulit itu lebih tebal dari kertas, akan tetapi sebagaimana diketahui, kulit bukannya
benda yang dapat digunakan buat menimpuk. Bahwa orang itu dapat menggunakan kulit seperti
senjata rahasia yang menancap pada kain tenda, dapatlah dibayangkan berapa tinggi tenaga
dalamnya. Thian Oe ambil kulit kerbau itu yang di atasnya terdapat dua baris huruf, ditulis dengan
menggunakan kuku dan berbunyi seperti berikut:
"Di atas telaga dan lautan terumbang-ambing belasan tahun, Hanya di Kanglam dan Gobie
Utara menetap buat sementara. Tuan-tuan lekas pergi ke telaga Thian-ouw, Cari seorang yang
dijuluki Thiekoay sian."
Kedua matanya Siauw Tjeng Hong keluarkan sinar terang dan berkata seorang diri: "Tadinya
aku kira Loei Tjin Tjoe. Siapa tahu yang datang adalah Thiekoay sian (Dewa tongkat besi). Ih,
inilah sungguh mengherankan!"
"Siapa Thiekoay sian?" tanya muridnya.
"Pada dua puluh tahun berselang, Thiekoay sian adalah seorang pendekar aneh yang malang
melintang di daerah Kanglam. Katanya, ia adalah muridnya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie.
Sesudah binasanya Liauw In, Kam Hong Tie cabut tongkat besinya soeheng itu yang menancap
pada batu di gunung Binsan dan turunkan ilmu silat tongkat kepadanya..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Cara bagaimana tongkatnya Liauw In bisa menancap di batu gunung?" tanya Thian Oe.
"Bermula, Liauw In adalah kepala dari Kanglam Pathiap (Delapan Pendekar Kanglam),"
menerangkan sang guru. "Hubungan antara Liauw In dan Hong Tie adalah hubungan setengah
guru (Liauw In pernah ajarkan ilmu silat kepada Hong Tie). Belakangan oleh karena Liauw In
langgar sumpahnya, Tujuh Pendekar Kanglam telah binasakan dia di hadapan makam gurunya.
Yang bunuh padanya adalah Liehiap Lu Soe Nio. Sesudah kalah dan sebelum tarik napasnya yang
penghabisan, Liauw In timpukkan tongkat besinya ke batu gunung dari gunung Binsan, sehingga
tongkatnya nancap dalam sekali di batu itu. Belakangan Kam Hong Tie cabut tongkat itu dan
turunkan ilmu silat tongkat kepada muridnya, sebagai satu peringatan untuk soeheng-nya yang
pernah mewakili sang guru untuk mengajar ia. Nama muridnya Hong Tie adalah Lu Tjeng.
Sesudah mendapat tongkatnya sang supeh, ia robah namanya menjadi Thiekoay (Tongkat besi).
Hong Tie ajarkan ia 108 jalan ilmu silat tongkat yang dinamakan Hokmo Tianghoat (Ilmu silat
Tongkat takluki iblis), dan oleh karena begitu, ia jadi dikenal sebagai Thiekoay sian."
"Apakah Thiekoay sian mempunyai hubungan dengan soehoe?" tanya Thian Oe.
"Waktu aku baru keluar dari rumah perguruan, namanya sudah tersohor di kalangan Kangouw.
Aku sangat kagumi ia, tapi belum mempunyai kesempatan buat bertemu muka," jawab Siauw
Tjeng Hong.
"Kalau begitu soehoe belum kenal Thiekoay sian. Tapi kenapa ia djanjikan kau buat bertemu di
Thian-ouw?" kata lagi sang murid.
"Yah, aku juga sedang pikirkan sebabnya," jawab Siauw Tjeng Hong. "Kedatanganku di Thian-
ouw adalah buat cari satu orang luar biasa. Jika disitu aku juga bisa bertemu dengan Thiekoay
sian, kejadian itu sungguh menggirangkan."
Omong-omong sampai disitu, Thian Oe ingat perkataannya itu wanita Tsang. "Orang yang
soehoe cari, apa masih mempunyai hubungan dengan Pengtjoan Thianlie?" tanya ia.
"Apa? Pengtjoan Thianlie?" menegasi sang guru. "Nama itu kedengarannya luar biasa, tapi aku
belum pernah dengar. Siapakah Pengtjoan Thianlie?"
"Aku pun tidak mengetahui," jawab Thian Oe. "Tapi menurut gadis Tsang itu, ia juga berdiam
di Thian-ouw." Sehabis berkata begitu, Thian Oe lantas tuturkan segala kejadian dalam
pertemuannya sama Chena di bukit es. "Tapi, apakah aku boleh mengetahui, siapa yang sedang
dicari oleh soehoe?" kata ia akhirnya.
"Aku dapat dengar, adiknya Tayhiap Moh Tjoan Seng yang bernama Koei Hoa Seng telah kabur
ke Tibet dan menetap di Thian-ouw sesudah kalah sejurus dalam pertandingan pedang melawan
suami isteri Tong Siauw Lan. Cerita ini tersiar luas, akan tetapi aku sendiri tidak dapat pastikan
benar tidaknya. Akan tetapi oleh karena keadaan terlalu mendesak dan kepandaiannya Loei Tjin
Tjoe lebih unggul banyak daripada aku, maka sesudah pikir pergi datang, harapanku satu-satunya
adalah Koei Tayhiap, yang mungkin masih dapat singkirkan bencana yang sedang mengancam."
"Kenapa adiknya Moh Tayhiap she Koei?" tanya Thian Oe.
"Pernikahan antara Koei Tiong Beng tjianpwee dan pendekar wanita Moh Hoan Lian telah
dikurniai tiga putera. Yang satu ambil she ayahnya, yang lain teruskan she ibunya, sedang yang
satunya lagi pakai she ayah angkatnya. Yang paling tua bernama Moh Tjoan Seng, yang kedua
Tjio Kong Seng, sedang yang ketiga adalah Koei Hoa Seng. Antara ketiga saudara, Moh Tjoan
Seng mempunyai lweekang yang paling tinggi, sedang Koei Hoa Seng unggul dalam ilmu pedang.
Tingkatannya Koei Hoa Seng sangat tinggi dan jika ia sudi menolong, Loei Tjin Tjoe tentu tak
dapat berbuat apa-apa. Hai! Cuma tak tahu, apakah ia masih hidup dalam dunia ini!"
"Bagaimana kalau
kepandaiannya Thiekoay sian dibandingkan dengan Loei Tjin Tjoe?" tanya Thian Oe.
"Sesudah berpisahan belasan tahun, aku tidak tahu, sampai dimana kemajuan Loei Tjin Tjoe,"
sahut sang guru. "Akan tetapi, sesudah lihat kepandaiannya Thiekoay sian yang barusan, aku kira
Loei Tjin Tjoe masih belum mampu menangkan ia."
Sesudah berdiam beberapa saat, Siauw Tjeng Hong berkata lagi dengan paras muka guram:
"Aku dan Thiekoay sian tidak mengenal satu sama lain dan ia djanjikan aku buat bertemu di
Thian-ouw. Apakah maksudnya itu? Loei Tjin Tjoe adalah orang Boetong pay, yang mempunyai
hubungan luas sekali dalam kalangan Rimba Persilatan. Kalau Thiekoay sian datang buat
membantu Loei Tjin Tjoe, kedudukanku akan lebih celaka lagi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe sebenarnya ingin usulkan supaya gurunya minta bantuan Thiekoay sian, akan tetapi,
sesudah dengar begitu, hatinya jadi semakin tidak enak.
Separoh malam guru dan murid berdiam dalam tenda yang robek itu. Angin dingin meniup
keras dan rasanya meresap ke tulang-tulang. Tak lama kemudian fajar menyingsing, dan mereka
lalu bereskan bekalannya. Tendanya musuh masih berada disitu. Waktu lari, mereka tidak keburu
ambil tenda tersebut. Tanpa sungkan-sungkan, Thian Oe lantas benahkan tenda orang. Tjeng
Hong mengawasi dan berkata sembari menghela napas: "Lweekang-mu belum sempurna,
sehingga kau tidak dapat menahan hawa dingin. Baiklah. Kau boleh ambil tenda itu."
Siauw Tjeng Hong dinginkan air panas yang kemudian diisikan ke dalam tiga kantong.
Sesudah beres bebenah, mereka segera teruskan perjalanan dengan menunggang kuda. Hari
pertama hawa udara masih lumayan, tapi di hari kedua turun hujan salju, sehingga Thian Oe
menggetget lantaran kedinginan.
Pada hari ketiga, biarpun udara terang, tapi hawa jadi lebih dingin sebab lumernya salju. Lewat
lohor mereka keluar dari mulut gunung dan keadaan bumi jadi lebih merata, sedang kota Shigatse
lapat-lapat sudah dapat dilihat.
"Malam ini kita bisa sampai di Shigatse," kata Tjeng Hong dengan suara girang. Mendadak
dengan satu suara "Ih!", paras mukanya jadi berubah. Thian Oe yang bermata jeli lantas dapat
lihat, bahwa di atas satu tanjakan sedang rebah satu pengemis yang rambutnya kusut seperti
rumput, sebelah mukanya terpendam dalam salju, kepalanya ditandelkan atas sebatang tongkat
besi, pakaiannya rombeng, sehingga kulitnya kelihatan merah lantaran kedinginan.
Thian Oe yang mempunyai hati kasihan, lantas menghampiri dan dorong badannya pengemis
itu sembari berkata: "Hei! Hei! Jangan tidur disini!"
Pengemis itu miringkan badannya, yang hampir-hampir jadi tergelincir. Thian Oe buru-buru
angkat padanya. Pengemis itu mengulet dan mendadak membentak: "Jangan raba!"
Sekarang ia baru dapat lihat, pengemis itu pincang, dengan kaki kiri lebih panjang dari kaki
kanan. Ia lantas menghaturkan maaf dan menanya: "Apa kau mau makan apa-apa?" Pengemis itu
perlahan-lahan angkat kepalanya dan kedua matanya kebentrok dengan matanya Thian Oe, yang
jadi sangat kaget, lantaran mukanya hitam seperti pantat kuali, rambutnya awut-awutan, sedang
kedua matanya bersinar tajam dingin bagaikan es.
"Taruh!" kata pengemis itu.
Thian Oe lantas taruh sekantong ransum kering di atas tanah. Orang itu tidak menghaturkan
terima kasih, ia miringkan badannya dan sesapkan lagi mukanya ke dalam tumpukan salju.
Waktu ia dongak, Thian Oe lihat kedua mata gurunya bersorot kuatir, seperti juga mau suruh ia
buru-buru tinggalkan tempat itu. Thian Oe segera loloskan baju .luarnya yang terbuat dari bulu
onta dan kerebongi badannya pengemis itu. Sesudah itu, bersama gurunya, ia tunggang kembali
kudanya. Tidak lama kemudian mereka tiba di tanah datar dan Siauw Tjeng Hong barulah
bernapas lega.
"Soehoe, apa ada apa-apa yang kurang baik?" tanya Thian Oe.
"Apa kau perhatikan tongkat besinya?" Siauw Tjeng Hong balas menanya.
Thian Oe terkejut. "Apa ia Thiekoay sian?" ia tanya.
"Aku belum pernah bertemu dengan Thiekoay sian dan juga belum pernah dengar bahwa ia itu
adalah seorang pincang," kata Tjeng Hong. "Cuma saja, tongkat itu yang besarnya seperti
mangkok nasi, paling sedikit beratnya tujuh puluh kati. Pengemis biasa mana bisa angkat tongkat
yang begitu berat! Apalagi ia berani rebahkan diri di atas salju yang sangat dingin. Maka itulah,
aku berani pastikan, ia itu bukannya orang biasa."
"Kalau ia benar Thiekoay sian, kenapa soehoe tidak mau coba-coba berkenalan?" tanya lagi
Thian Oe.
"Kau baru saja terjun ke dalam kalangan Kangouw, mana kau tahu peraturan orang Kangouw,"
kata sang guru sembari geleng-gelengkan kepalanya. "Kalau ia benar Thiekoay sian, lebih-lebih
lagi aku tak dapat menegur di tempat itu."
"Kenapa?" tanya sang murid.
"Ia djanjikan aku bikin pertemuan di Thian-ouw, kawan atau lawan, masih belum terang,"
menerangkan Siauw Tjeng Hong. "Menurut peraturan Kangouw, sesudah tiba di Thian-ouw,
barulah aku boleh bertemu dengan ianya. Di waktu itulah, baru aku boleh dengar apa maksudnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Andaikata kedatangannya adalah untuk sahabatnya buat jajal kepandaianku, satu pertemuan yang
dibikin lebih siang dari tempo yang dijanjikan, berarti suatu kesombongan dan mau bertempur
dengan ia, sebelum waktunya. Sekarang ini, kita masih belum tahu, apakah ia Thiekoay sian atau
bukan. Kalau benar ia Thiekoay sian, dengan buka rahasia penyamarannya, kita juga melanggar
kebiasaan Kangouw."
"Kalau ia bukannya Thiekoay sian?" tanya lagi Thian Oe.
"Orang-orang aneh dari kalangan Kangouw yang kita tidak tahu benar asal-usulnya, tak dapat
diganggu secara sembrono," kata sang guru. "Apa kau lupa kejadian pada tiga hari berselang,
kapan kau coba dekati manusia-manusia itu?"
Thian Oe tidak berkata apa-apa, tapi hatinya kurang menyetujui perkataan gurunya. Biarpun
benar waktu itu ia seperti juga menuntun anjing hutan masuk ke dalam rumah, akan tetapi,
dengan menolong si anak sekolah, mereka telah mendapat bantuan yang tidak diduga-duga.
Biarpun hatinya berpikir begitu, Thian Oe sungkan berbantahan dengan gurunya. Mereka lantas
pecut tunggangannya yang lantas lari terlebih cepat.
Kira-kira magrib, benar saja mereka tiba di kota Shigatse. Kota itu adalah kota yang kesohor di
Tibet, cuma saja karena berkedudukan di tempat jauh dan sepi, jumlahnya pelancong yang
mundar-mandir tidaklah banyak dan dalam kota cuma terdapat sebuah rumah penginapan yang
lumayan. Guru dan murid lantas masuk ke rumah penginapan itu. Sang pelayan yang lihat mereka
berpakaian seperti orang asing, buru-buru antar mereka masuk dengan sikap hormat sekali.
Tapi baru saja mereka menginjak lorak, di dalam mendadak terdengar suara ribut-ribut. Siauw
Tjeng Hong mengawasi dan hatinya terkejut. Ia lihat satu pengemis dengan pakaian rombeng dan
tongkat besi ditandelkan di tanah, sedang memaki kalang kabut: "Kau orang buka rumah
penginapan kenapa tidak kasih aku menginap disini. Hm, hm! Mata anjingmu betul berminyak.
Orang yang berpakaian bagus dihormat-hormati, sedang tuan besarmu yang pakaiannya rombeng,
ditegur pun tidak!" Sehabis berseru begitu, ia ketruk tongkatnya dan satu ubin persegi lantas
hancur.
"Mohon tayya (tuan besar) jangan gusar," kata pengurus rumah penginapan. "Lantaran rumah
penginapan ini sangat kecil dan modal tidak seberapa, maka telah diadakan aturan, ongkos sewa
kamar dan harga makanan harus dibayar terlebih dahulu."
Pengemis itu tertawa besar. "Ah, kenapa kau tidak bicara siang-siang. Apa kau takut tuan
besarmu nganglap?" kata ia. Ia rogoh sakunya dan keluarkan sepotong perak. Sedang bajunya
begitu rombeng, tak tahu perak itu ia taruh dimana. Sembari lempar perak itu di atas meja, ia
berkata: "Bereskan kamar, sediakan dua kati arak dan seekor ayam yang gemuk. Baik-baik layani
tuan besarmu, mengerti! Apa? Kenapa matamu melotot? Apa uang tidak cukup?"
Si pengurus hotel yang tak duga pengemis itu mempunyai sepotong perak yang begitu besar,
jadi girang hatinya. "Dua tail sudah cukup," kata ia. "Siauwdjie, coba timbang perak ini. Kalau ada
lebihnya, pulangkan kepada tayya."
Pengemis itu kembali tertawa berkakakan. Sembari kebaskan tangannya, ia berkata: "Tak usah,
lebihnya ambil! Besok pagi, tuan besarmu mau lantas berangkat. Lain kali cuci bersih-bersih
matamu. Jangan lihat orang miskin lantas mau diusir."
"Maaf Maaf!" kata si pengurus hotel sembari tertawa. "Kalau rawatan kurang memuaskan,
harap tayya sudi maafkan."
Siauw Tjeng Hong terkejut lantaran ia itu adalah pengemis yang tadi siang mereka ketemu di
tengah jalan. Mereka tunggang kuda, ia jalan kaki, tapi ia sampai lebih dahulu. Andaikata ia
potong jalan, toh kepandaiannya sudah cukup luar biasa. Tjeng Hong sebenarnya mau mundur
kembali, tapi kakinya sudah menginjak lorak, dan kalau mundur, orang bisa jadi curiga. Maka itu,
ia ikuti terus pelayan rumah penginapan.
Tjeng Hong minta satu kamar besar buat dua orang. Sesudah mengunci pintu, guru dan murid
duduk saling berhadapan dengan perasaan masgul. Sesudah bersantap, mereka dengar suara
berbengernya kuda dan di luar datang lagi dua tetamu. Begitu masuk, mereka berteriak-teriak
minta disediakan kamar dan makanan. Tjeng Hong melongok dari jendela dan lihat kedua tetamu
itu adalah pembesar tentara. Orang yang jalan duluan mengempit satu peti kayu merah yang
kelihatannya sangat berharga. Kamar mereka justru berhadapan dengan kamar Siauw Tjeng
Hong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tjeng Hong melirik. Mendadak ia lihat di kamar sebelah depan juga muncul dua kepala orang
yang begitu nongol, lantas ditarik masuk kembali. Kepalanya kedua orang itu diikat sama ikatan
kain putih, matanya blau, kumisnya merah dan ternyata adalah orang asing. Waktu kepala mereka
nongol, di bibirnya tersungging dengan senyuman luar biasa.
Tjeng Hong jadi heran. Waktu pelayan hotel masuk buat bereskan kamar, ia memberi persen
satu tail perak dan tanya siapa adanya itu dua tetamu asing.
"Bahasa mereka aku tidak mengerti," jawab sang pelayan. "Menurut katanya pengurus, yang
mengerti banyak bahasa, mereka itu adalah boesoe (pahlawan) dari Nepal."
Sesudah si pelayan pergi, Thian Oe lantas berkata: "Tahun yang lalu, orang Gurkha dari Nepal
telah menyerang Tibet Barat. Mereka membunuh banyak penduduk pribumi dan merampas kerbau
dan kambing yang tidak sedikit jumlahnya. Belakangan mereka kena dipukul mundur oleh tentara
kerajaan. Sudah hampir setahun mereka tidak berani masuk lagi di Tibet Barat. Belakangan aku
dengar keterangan ayah, bahwa sesudah keadaan menjadi reda, mereka mulai bergerak lagi.
Maka itu, kedua boesoe ini mungkin mempunyai tujuan yang kurang baik."
"Sesudah dua negara mengadakan perdamaian, memang juga tidak bisa diambil sikap
bermusuhan lagi dan perhubungan harus pulih seperti sediakala. Inilah ada kelumrahan dalam
perhubungan antara negara dan negara," demikian Tjeng Hong memberi keterangan. "Di antara
boesoe bangsa Nepal terdapat banyak sekali ksatria. Maka itu, kita tidak boleh sama ratakan
semua orang."
Mendengar nasehatnya sang guru, Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya.
"Andaikata benar ada apa-apa yang luar biasa, malam ini kau tidak boleh bergerak," memesan
Siauw Tjeng Hong.
Selagi mereka omong-omong, di luar jendela mendadak berkelebat bayangan orang. Thian Oe
melongok dari jendela dan lihat seorang tua yang bermuka merah dan jenggotnya kasar, sedang
mundar-mandir di luar kamar.
Orang itu mendadak dongak dan menyanyi dengan suara nyaring sekali:
"Di bawah gunung Holan san
barisan laksana awan.
Gerakan tentara siang malam
dapat kedengaran,
Sapu debu di pakaian perang
dengan kebutan,
Angkat pedang buat tantang
pihak lawan.
Sungguh 'ku ingin dapatkan gendewa malaikat buat memanah panglima musuh,
Supaya tak usah mendapat malu dan tangisi raja lantaran kalah dalam peperangan."
Belum habis nyanyian itu, dua perwira di kamar seberang sudah memaki: "Siapa yang bikin
ribut di luar, sampai aku tak bisa tidur? Kalau berani lagi, aku akan gebuk supaya kau bisa
berkaok-kaok sepuas hati."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Ia tidak gusar dan juga tidak berkata suatu apa. Ia
lantas masuk ke dalam kamarnya, yang terletak di sebelah kanannya kamar Siauw Tjeng Hong.
Waktu Thian Oe menengok, ia lihat kedua mata gurunya bersinar terang, sedang paras
mukanya mengunjuk kegirangan.
"Siapa orang tua itu?" tanya Thian Oe.
"Bintang penolong datang," kata gurunya.
"Apa?" muridnya menegasi. "Orang tua itu bernama Bek Eng Beng," sahut sang guru. "Ia
adalah seorang pendekar yang paling ternama di propinsi Siamsay dan Kamsiok. Bagaimana dalam
ilmu .silatnya, sukar orang dapat mengukur. Ia adalah seorang mulia yang sangat suka menolong
sesama manusia, dan di sebelahnya itu, ia masih mempunyai hubungan rapat dengan golongan
kita. Cuma aku tidak tahu, sebab apa ia berada disini."
Sesudah berpikir beberapa saat, Tjeng Hong niat keluar dari kamarnya buat mengunjungi orang
tua itu. Tapi mendadak si pengemis aneh yang berdiam di kamar sebelah kiri, berjalan keluar dan
setibanya di depan kamar Tjeng Hong, ia keluarkan suara tertawa. Tjeng Hong kerutkan alis.
Sekonyong-konyong ia tiup lampu dan tidur tanpa membuka baju.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kenapa soehoe tidak jadi pergi?" tanya Thian Oe.


"Malam ini, dalam rumah penginapan ini sudah datang begitu banyak orang pandai," kata
gurunya. "Kalau dilihat gelagatnya, ini malam mesti terjadi apa-apa. Buat sementara aku tidak
mau unjuk muka. Biarlah kita tunggu saja,"
Perasaannya Thian Oe menjadi tegang Ia ambil kantong senjata rahasia dari atas meja dan
taruh di bawah bantalnya.
"Oe-djie," kata Tjeng Hong. "Tidak perduli di luar ada kejadian apapun juga, aku larang kau
bergerak."
Mendengar perkataan gurunya, hatinya Thian Oe jadi semakin bergoncang. Ia gulak-gulik di
atas bantal dan tentu saja tidak dapat tidur pulas. Akan tetapi, sesudah lewat sekian lama, di luar
tetap sepi-sepi saja. Tidak lama kemudian, kentongan berbunyi empat kali, tapi masih juga belum
terjadi suatu apa. Thian Oe jadi merasa sangat ngantuk dan ia meramkan kedua matanya. Dalam
layap-layap, mendadak ia seperti lihat bayangan orang dan waktu membuka mata, orang itu
ternyata adalah gurunya sendiri yang sudah bangun berdiri. Ia loncat bangun dengan perasaan
kaget. "Jangan bergerak," berbisik gurunya. "Aku mau keluar buat lihat-lihat."
Thian Oe tidak mengetahui, bahwa di atas genteng lewat satu tetamu malam. Cuma saja sebab
ilmu entengi badannya sangat tinggi dan gerakannya cuma mengeluarkan sedikit suara, maka
Thian Oe tidak dapat mendengar.
Tapi Siauw Tjeng Hong bukan saja sudah mendengar, tapi juga mengetahui, bahwa gerakan itu
adalah gerakan dari seorang ahli Heng-ie pay. Bek Eng Beng adalah tokoh dari partai tersebut,
maka orang itu tentulah mesti ianya.
Tjeng Hong lantas salin pakaian hitam peranti jalan malam dan lalu loncat keluar dari jendela.
Begitu berada di luar, ia lihat satu bayangan hitam mendekam di payon kamar seberang dan
sedang mengintip ke dalam kamar. Tjeng Hong loncat ke atas genteng dan waktu orang itu
menengok, ternyata ia memang Bek Eng Beng adanya.
Tjeng Hong segera memberi tanda dengan gerakan tangan, buat mengasih tahu, bahwa ia
adalah seorang kawan. Biarpun sudah belasan tahun tidak pernah bertemu, Bek Eng Beng
kelihatannya masih belum lupa. Ia angkat tangan kanannya yang digoyang beberapa kali, seperti
juga mau bilang, Tjeng Hong tak usah campur urusannya. Siauw Tjeng Hong segera mendekam di
satu tempat ceglok di atas genteng. Ia lihat dalam kamar perwira itu dipasang lilin sebesar lengan,
jendelanya ditutup separoh, sedang suara menggeros kedengaran keras sekali. "Persiapan
semacam itu tidak akan dibikin, kalau bukannya orang itu mempunyai kepandaian tinggi. Orang
Kangouw yang tanggung-tanggung, begitu lihat persiapan begitu, tentu akan lantas angkat
kakinya. Tak dinyana, kedua perwira itu adalah orang-orang Kangouw - yang berkepandaian
tinggi," demikian Tjeng Hong berkata dalam hatinya.
Bek Eng Beng juga rupanya memikir begitu, sebab, sesudah mendekam lama, ia kelihatan
masih bersangsi. Sementara itu, suara menggeros kedengaran semakin santer. Di lain saat, Bek
Eng Beng rupanya sudah mengambil putusan. Ia cabut pedangnya dan bagaikan walet menembus
tirai, ia loncat ke dalam kamar.
Siauw Tjeng Hong lantas bergerak dan loncat ke tempat dimana barusan Bek Eng Beng
mendekam. Semua itu terjadi dalam tempo sekejapan mata saja. Begitu masuk, tangannya Bek
Eng Beng lantas menjambret ke peti kayu merah yang ditaruh di pinggir pembaringan. Hampir
berbareng, kedua perwira sudah loncat dari pembaringan dan dua batang pedang menyambar ke
arah jalanan darah di kedua pundaknya Bek Eng Beng.
Tak malu Bek Eng Beng bergelar Siamkam Tayhiap (Pendekar dari propinsi Siamsay dan
Kamsiok). Diserang selagi membungkuk, badannya
mendadak lempeng dan melesat ke atas, sedang pedangnya sampok kedua senjata musuh.
Sebelum hinggap di muka bumi, badannya diputar, kaki kirinya menendang lebih dahulu, disusul
dengan kaki kanannya. Itulah Lioeseng Kangoat Toeihong kiam (Ilmu pedang Bintang sapu
mengejar bulan dan angin) dan Lianhoan Tokbeng Wanyangkak (Tendangan berantai membetot
jiwa) dari Heng-ie pay yang digunakan secara saling susul. Dihantam secara begitu, kedua perwira
itu lantas terdesak ke pojok kamar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Bek Eng Beng berbalik buat jumput peti merah itu. "Bangsat yang bernyali besar!" membentak
satu perwira. "Malam ini kita pasang umpan buat tangkap ikan emas. Apa kau masih berani turun
tangan?"
Baru saja Bek Eng Beng mau lonjorkan tangannya, di bebokongnya sudah menyambar senjata
musuh. Ia tendang peti itu sampai di pinggir pintu, sedang pedangnya tangkis senjata musuh. Bek
Eng Beng menyerang dengan serangan-serangan yang
membinasakan, tapi kedua perwira itu pun bukannya lawanan empuk. Mereka putar pedangnya
secara rapat sekali dan berbareng mengirim serangan-serangan yang tidak kurang hebatnya.
"Barang apa terdapat dalam peti itu?" tanya Tjeng Hong dalam hatinya. "Tapi biarlah aku bantu
Bek Tayhiap." Selagi ia mau loncat turun, mendadak terdengar suara gedubrakan dan pintu kamar
terpentang akibat tendangan.
Berbareng dengan itu, dua boesoe Nepal menerobos masuk dengan sikap garang, sedang satu
antaranya lantas jumput peti merah itu.
Selagi kedua boesoe mau lari keluar, badannya Tjeng Hong melayang turun sembari mengebut
dengan hudtim-nya. Satu boesoe lantas memapaki dengan goloknya. Golok itu' berbentuk bulan
sisir dengan tajamnya bengkok ke dalam. Itulah senjata yang bukan saja dapat melukakan orang,
tapi juga dapat menggaet senjata musuh. Tapi hudtim-nya Siauw Tjeng Hong juga adalah senjata
mustika yang jarang terdapat dalam Rimba Persilatan. Kebutan itu bisa keras dan bisa lemas.
Begitu lekas ia membacok, boesoe itu rasakan goloknya seperti membacok kapas, tanpa ada
tenaga yang melawan. Hatinya terkesiap dan tarik pulang goloknya, tapi golok itu sudah tergubat
hudtim. Boesoe itu membetot, tapi goloknya tak dapat putuskan benang-benang hudtim. Tjeng
Hong kerahkan tenaganya dan membentak: "Lepaskan golokmu!" Lantaran sayang goloknya,
boesoe itu kerahkan seluruh tenaganya pada lengan kanannya buat lawan tenaga musuh. Itulah
justru yang diingini Siauw Tjeng Hong. Mendadakan saja tangan kirinya menyambar dan betot peti
merah itu yang dipeluk dengan tangan kirinya boesoe tersebut. Itu adalah tipu yang dinamakan
suara di timur, menyerang di barat. Oleh karena perhatiannya sedang dipusatkan kepada sang
golok, bagian kirinya jadi terbuka dan di lain saat, peti merah itu sudah pindah ke tangannya
Tjeng Hong.
Boesoe itu seperti terbang semangatnya. Ia baru sadar, bahwa isinya peti itu ada laksaan kali
lipat lebih berharga dari goloknya. Sedang pikiran musuh kalut, dengan sekali gentak saja, Siauw
Tjeng Hong bikin terpental golok musuh dari tangannya.
Ketika peti merah kena dirampas oleh sang boesoe, keadaan pertempuran dalam kamar lantas
jadi berobah. Kedua perwira dan Bek Eng Beng berhenti berkelahi dan ketiga batang pedang
lantas meluruk kepada dua musuh yang baru datang. Tapi baru saja pedang mereka menyambar,
peti merah itu sudah pindah ke tangannya Siauw Tjeng Hong. Semua itu sudah terjadi dalam
tempo sekejap mata.
Tapi boesoe itu juga bukan orang sembarangan. 1 Begitu goloknya terpental, ia loncat,
tangannya menyambar dan sanggap pulang goloknya itu. Berbareng dengan itu kaki kanannya
sapu kedua kakinya Siauw Tjeng Hong. Kawannya juga lantas menubruk dan kirim tiga bacokan
beruntun ke arah Tjeng Hong.
Dengan satu tangan memeluk peti merah, Tjeng Hong kelit serangan boesoe yang pertama.
Golok boesoe yang satunya lagi, ia sampok dengan hudtim-nya. Tiba-tiba ia rasakan sambaran
angin tajam di bebokongnya dan pedangnya kedua perwira menikam dengan berbareng. Ia
menangkis dengan hudtim-nya, dan selagi perhatiannya ditujukan kepada serangannya kedua
perwira itu, boesoe Nepal yang kedua berhasil merampas lagi peti merah itu. Bek Eng Beng
kebaskan pedangnya dan sampok pedangnya dua perwira. Pada saat itu, kedua boesoe Nepal
sudah menerobos keluar pintu dan terus kabur.
"Ubar!" berseru Bek Eng Beng sembari enjot badannya. Siauw Tjeng Hong dan dua perwira
berhenti berkelahi dan turut mengubar.
Bagaikan kilat, keenam orang itu berlari-lari melewati genteng-genteng rumah. Tidak lama
kemudian, mereka sudah berada di luar kota. Antara mereka, Bek Eng Beng-lah yang mempunyai
ilmu entengi badan paling tinggi dan ia paling dahulu dapat menyandak.
Begitu kecandak, kedua boesoe Nepal lantas berbalik dan kerubuti Bek Eng Beng. Beberapa
saat kemudian, Siauw Tjeng Hong sudah menyusul. Dengan dua lawan satu, keadaan kedua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

boesoe masih boleh juga, tapi begitu lekas Tjeng Hong turut ambil bagian, mereka segera jadi
keteter. Dengan hebat Eng Beng desak dua lawannya, yang napasnya jadi sengal-sengal.
Menggunakan kesempatan itu, Tjeng Hong putar hudtim-nya buat melindungi badan, sedang satu
tangannya menyambar buat rampas balik peti merah itu.
"Serahkan peti itu kepadaku!" mendadak kedengaran orang membentak. Dua perwira yang
ketinggalan ternyata sudah sampai disitu. Dua pedangnya menyabet dari kiri dan kanan, ke arah
boesoe Nepal yang peluk peti merah itu.
Diserang oleh empat orang yang mempunyai kepandaian tinggi, kelihatannya boesoe itu tak
akan dapat loloskan diri lagi. Tak dinyana, sembari membentak, ia timpuk mukanya Bek Eng Beng
dengan peti itu, yang lantas menanggapi. Sekarang
pertempuran kembali berobah. Dua perwira dan dua boesoe jadi berkawan dan kerubuti Bek
Eng Beng, yang cuma dibantu oleh Siauw Tjeng Hong seorang.
Demikianlah pertempuran berjalan dengan hebat. Dua perwira dan dua boesoe itu, kalau satu
lawan satu, tak ada yang bisa jadi tandingannya Bek Eng Beng atau Siauw Tjeng Hong. Tapi
dengan empat lawan dua, mereka jadi berada di atas angin. Selainnya itu, dengan tangan
memeluk peti merah, perhatiannya Eng Beng jadi terpecah. Sesudah lewat kurang lebih lima puluh
jurus, mereka jadi kedesak dan cuma dapat membela diri, tanpa mampu balas menyerang.
Dua perwira dan dua boesoe makin lama menyerang makin hebat. Mendadak, sembari
membentak keras, Bek Eng Beng lemparkan peti itu kepada sang boesoe Nepal. Melihat begitu,
dua perwira terkejut. Bek Eng Beng putar pedangnya dan menyerang kalang kabutan sembari
membentak: "Biar aku bikin mampus dahulu dua manusia ini!"
Sekarang dua perwira itu berbalik menghantam sang boesoe yang pegang peti merah. Sembari
tertawa nyaring, ia menangkis dengan goloknya dan berbareng lempar peti itu. Siauw Tjeng Hong
yang berdiri paling dekat sambutí peti tersebut dan ia lantas saja dikepung oleh dua perwira dan
dua boesoe! Peti merah itu yang tadi menjadi rebutan, sekarang jadi bibit penyakit!
Sesudah melawan beberapa jurus, Tjeng Hong lempar peti itu ke arah satu perwira. Tidak
dinyana, sembari tertawa dingin, perwira itu angkat tangannya buat hantam peti itu. Bek Eng
Beng terkesiap dan lantas loncat menyambut. Di lain saat, ia sudah dikepung oleh kedua perwira
dan kedua boesoe!
Selagi bertempur hebat, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat nyaring dan
satu bayangan hitam berkelebat bagaikan kilat. Orang yang baru datang bukan lain dari si
pengemis aneh. Begitu tiba, ia putar tongkat besinya dan mengamuk secara aneh pula.
Keanehannya ialah ia hantam siapa juga yang menghalang di depannya. Si perwira, si boesoe dan
Bek Eng Beng semua dirabu olehnya.
"Kalau begitu ia mau bikin semua orang jadi lelah, akan kemudian menarik keuntungan dan
kantongi peti merah itu." pikir Tjeng Hong dalam hatinya. Selagi ia mau buka kedoknya si
pengemis, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat panjang dan dalam
gelanggang pertempuran, tambah lagi satu orang baru! Orang itu datang secara luar biasa.
Barusan, ketika si pengemis datang, suaranya terdengar lebih dahulu, belakangan barulah
manusianya muncul. Tapi kali ini, suara dan manusia datang berbareng.
Dengan bantuannya sinar rembulan, Siauw Tjeng Hong lantas kenali, bahwa orang itu adalah si
anak sekolah yang beberapa hari berselang telah tolong jiwanya dengan jarum emas. Sembari
tolak pinggang dengan satu tangannya, ia membuat setengah lingkaran dengan tangannya yang
lain. "Barang langka apakah yang membikin kalian jadi berebut?" ia tanya dengan suara malas-
malasan.
Munculnya si anak sekolah membikin semua orang jadi kaget dan mereka segera hentikan
pertempuran. Si-pengemis aneh tertawa dingin dan bawa sikap acuh tak acuh, tapi sebenarnya ia
pusatkan seluruh perhatiannya kepada anak sekolah itu dan siap sedia dengan tongkatnya.
Bek Eng Beng yang mempunyai banyak pengalaman lantas mengetahui, bahwa anak sekolah
itu bukannya sembarang orang. Sembari usap gagang pedangnya, ia memberi hormat dan
berkata: "Aku, Pokee Bek Eng Beng, ingin mengambil serupa barang dari tangannya ini kedua
kuku garuda. Jika tuan adalah seorang kawan dalam Rimba Persilatan, aku tak berani minta
bantuan, tapi memohon supaya tempatkan diri di luar gelanggang. Di lain hari, aku tentu akan
membalas budi ini." Harus diketahui bahwa Bek Eng Beng adalah pendekar besar di propinsi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Siamsay dan Kamsiok. Di beberapa propinsi Tiongkok Utara barat, namanya besar sekali dan
dikenal oleh semua orang kalangan Rimba Persilatan. Sekarang ia sendiri memperkenalkan diri dan
menggunakan kata-kata yang menghormat. Menurut taksiran, usianya si anak sekolah tidak lebih
dari dua puluh tahun, sehingga tingkatannya tidak bisa berada di atas Bek Eng Beng. Dalam
omongannya itu, Bek Eng Beng tidak menonjolkan kedudukan sebagai tjianpwee (orang dari
tingkatan lebih tua), tapi cuma singgung soal pribudi dalam kalangan Kangouw. Ia menaksir,
sesudah dengar omongannya, biarpun tidak sampai membantu, si anak sekolah tentu akan
minggir.
Tapi siapa nyana, ia cuma berkata dengan suara dingin: "Hm! Aku tahu!" Dari lagu suaranya,
seperti juga ia belum pernah dengar namanya Bek Eng Beng, sehingga Siauw Tjeng Hong sendiri
sampai merasa, si anak sekolah bersikap sedikit keterlaluan.
Mendengar perkataan yang dingin itu, kedua perwira jadi merasa sangat girang. Sembari
rangkap kedua tangannya, salah seorang berkata: "Kami adalah anggauta dari Gielimkoen
(Pasukan pengawal kaizar) dan menerima perintah Bansweeya (Kaizar) buat antar serupa barang
ke Lhasa. Tapi di tengah jalan, barang itu kena dirampas oleh bangsat tua ini. Maka itu, kami
memohon bantuan tuan."
Si anak sekolah kembali keluarkan satu gerendengan dan berkata dengan tawar: "Yah, aku
tahu!"
Si pengemis tertawa dingin dan niat lantas lampiaskan amarahnya. Tapi mendadak si anak
sekolah maju dua tindak, dan setahu bagaimana, dengan sekali berkelebat, tangannya sudah
dapat rampas peti merah itu dari cekatannya Bek Eng Beng! Bagaimana tinggi kepandaiannya Bek
Eng Beng sudah sukar diukur, tapi toh, barang yang dicekal olehnya, sudah dapat dirampas secara
begitu gampang! Hal itu bukan saja sudah membikin Siauw Tjeng Hong jadi terkejut, tapi kedua
perwira dan kedua boesoe pun sampai keluarkan teriakan tertahan dan loncat mundur beberapa
tindak.
Si anak sekolah cepat bagaikan kilat, si pengemis pun tidak kurang cepatnya. Hampir pada saat
yang berbareng, tongkatnya si pengemis berkelebat dan menimpa gegernya si anak sekolah.
Melihat bahaya itu Siauw Tjeng Hong yang pernah ditolong jiwanya, tanpa merasa keluarkan
teriakan "Ayo!"
Tanpa menengok, si anak sekolah menyampok dengan tangannya, sedang badannya sudah
melesat setombak lebih. Betul indah gerakannya itu! Pada sebelum si pengemis tarik pulang
tongkatnya, ia sudah berkata dengan suara nyaring: "Sungguh Thiekoay sian bukannya cuma
nama kosong!"
Tjeng Hong terkejut. Si pengemis aneh ternyata memang benar Thiekoay sian adanya!
Sementara itu, si anak sekolah sudah berkata lagi sembari tertawa: "Sekarang aku mau lihat,
barang luar biasa apakah yang membikin kalian jadi berebut sampai begitu." Ia menepok dan peti
merah itu lantas terbuka. Ia ambil isinya, banting di atas tanah dan dengan satu suara krontangan
benda itu pecah jadi delapan potong!
Bek Eng Beng keluarkan teriakan kaget. "Ah, bukannya guci emas!" ia berseru. Si pengemis
aneh juga kelihatan tidak kurang kagetnya. Ia goyang-goyang tongkatnya, tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Tjeng Hong mengawasi dan ternyata yang hancur itu adalah vas porselen biasa. Ia
sungguh heran, kenapa mereka berebuti barang begitu.
Sesudah banting vas porselen itu, si anak sekolah dongakkan kepalanya dan tertawa nyaring.
"Bibit bencana hilang, pertempuran berhenti," kata ia. "Kejadian ini bisa keja Louw Tiong Lian 51
jaman sekarang jadi mati tertawa. Ha, ha! Sungguh menggembirakan! Sekarang aku permisi
pergi!" Ia kebaskan tangan bajunya, badannya melesat seperti seekor burung dan berlalu seperti
terbang.
Mendadak Bek Eng Beng menggereng. "Kau sudah nyebur ke dalam air, mana bisa begitu
gampang lepaskan senjata?" ia membentak sembari mengudak. Dua perwira dan dua boesoe
Nepal juga turut memburu sembari berteriak-teriak, sehingga suaranya berkumandang jauh di
padang rumput yang luas itu.
Si pengemis aneh ketruk tongkatnya di atas tanah, tapi badannya tidak bergerak. Melihat
begitu, Siauw Tjeng Hong yang tadinya mau ikut mengubar, jadi urungkan niatannya. Selagi ia
niat menegur, kedua matanya si pengemis mendadak mendelik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Hm, apa kau rasa bisa menyandak?" katanya dengan suara tawar. "Simpan tenagamu buat
pertemuan di Thian-ouw!"
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ia angkat tongkatnya dan sabet pinggangnya Siauw Tjeng
Hong. Pukulan ini bukan saja datangnya tidak diduga-duga, tapi juga cepat bagaikan kilat,
sehingga biarpun mempunyai kepandaian yang lebih tinggi, Siauw Tjeng Hong tidak akan dapat
loloskan diri. Dengan satu suara "buk", tongkatnya si pengemis sudah mampir di pundaknya.
Ketika tongkat itu menyambar, dengan perasaan mencelos, Siauw Tjeng Hong berkata dalam
hatinya: "Tak dinyana aku mesti mati secara mengecewakan di tempat ini!"
Tapi aneh, sungguh aneh, ketika tongkat itu mampir di pundaknya, ia bukan rasakan pukulan
biasa, tapi semacam dorongan hebat yang membikin badannya ngapung beberapa tombak
tingginya! Sebagai ahli silat, selagi berada di tengah udara, Tjeng Hong putar badannya yang
lantas turun ke bumi tanpa mendapat luka apa-apa! Dan waktu ia mengawasi sekelilingnya, si
pengemis sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sungguh heran hatinya Tjeng Hong. Jika si pengemis mempunyai dendaman, kenapa ia
tidak turunkan tangan jahat?
Kalau tidak mempunyai ganjelan, kenapa juga ia permainkan dirinya? Biarpun sudah lama
tenggelam timbul dalam kalangan Kangouw, kali ini benar-benar ia tidak mengerti.
Sekarang marilah kita tengok rumah penginapan itu yang menjadi kacau balau lantaran
terjadinya pertempuran yang berlangsung dari dalam sampai diluar.
Tak usah dibilang lagi, pemilik rumah penginapan dan para tetamu jadi ketakutan setengah
mati dan pada mengumpat sambil sesepkan kepala. Sesudah orang-orang yang berkelahi pergi
jauh, barulah pemilik hotel berani muncul sembari bawa lampu buat periksa keadaan rumah
penginapannya. Ia lihat kamarnya Bek Eng Beng, kamar kedua perwira, dua boesoe dan kamarnya
si pengemis semuanya terpentang dengan tidak ada manusianya. "Sudahlah! Sudahlah! Aku sudah
duga, si pengemis bukannya orang baik!" ia kata sembari banting kaki. Ia tidak berani maki itu
pembesar militer, itu kedua boesoe dan Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, maka si pengemis yang
menjadi korban.
Tapi si pelayan kelihatannya masih mempunyai liangsim (perasaan hati). "Berat peraknya ada
dua belas tail, aku sudah timbang," kata ia.
Mendengar perkataan itu, paras mukanya si pemilik hotel jadi berobah. Buru-buru ia lari masuk
ke kamarnya, akan kemudian keluar lagi sembari berteriak-teriak: "Bangsat! Bangsat besar! Dia
berani colong perakku!"
Ternyata pemilik hotel adalah seorang sekaker yang suka sekali tukarkan perak hancur dengan
goanpo (potongan perak besar) buat disimpan. Beberapa hari berselang, ia baru saja tukarkan
sepotong goanpo yang beratnya dua belas tail. Barusan waktu dicari, potongan perak itu lenyap!
Tak usah. disangsikan lagi, potongan perak itu tentu sudah dicuri oleh si pengemis! Sembari
memaki, si pemilik hotel menangis pikirkan peraknya yang hilang.
Tan Thian Oe yang dengar itu semua, berkata dalam hatinya: "Pengemis aneh itu liehay sekali,
akan tetapi, dengan mau tidur dan makan gratis, ia agaknya keterlaluan." Sebagai seorang
pemuda yang berhati kasihan, tanpa pikirkan segala akibatnya, ia lantas berjalan keluar dari
kamarnya dan berkata: "Tiam tjoedjin (pemilik hotel) tak usah bersedih hati dan mencaci maki.
Goanpo itu biarlah aku yang ganti. Mpe pengemis adalah seorang tjianpwee-ku (orang tingkatan
lebih tua). Adatnya aneh sekali dan aku rasa ia sengaja main-main dengan kau."
Si pemilik hotel merasa heran, kenapa Thian Oe yang pakaiannya indah seperti seorang
kongtjoe hartawan bisa kenal pengemis itu. Tapi mendengar kerugiannya bakal ditutup, ia jadi
kegirangan setengah mati dan haturkan ribu-ribu terima kasih, tanpa berani menanya melit-melit.
Waktu Thian Oe balik ke kamarnya, fajar sudah menyingsing, tapi gurunya belum juga balik,
sehingga hatinya merasa sangat kuatir. Mendadak ia dengar suara orang tertawa di luar jendela.
"Bocah ini hatinya baik sekali!" kata orang itu.
"Tjianpwee siapakah yang bicara?" ia menanya dengan perasaan terkejut. Ia tolak jendela dan
melongok keluar, tapi tidak kelihatan bayangan manusia. Begitu balik lagi badannya, ia lihat satu
bungkusan di atas meja kecil, di pinggir pembaringan. Bungkusan itu ternyata berisi baju bulu
onta yang ia hadiahkan kepada si pengemis dan sepotong goanpo! Thian Oe terkesiap dan
berkata: "Ah, tjianpwee itu benar-benar luar biasa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah siang, barulah Siauw Tjeng Hong kembali di rumah penginapan. Guru dan murid saling
tuturkan pengalamannya yang semalam dan kedua-duanya merasa sangat heran. Mereka tak
tahu, apa pengemis itu kawan atau lawan. Mereka tak dapat tebak, kenapa Bek Eng Beng, dua
perwira dan dua boesoe Nepal sampai perebutkan satu vas porselen biasa. Sesudah bersantap
pagi, dengan perasaan masgul mereka lalu teruskan perjalanan.
Sesudah berjalan lagi setengah bulan, tibalah mereka di sebelah utara barat Lhasa. Jauh-jauh
mereka lihat satu gunung tinggi menghadang jalanan.
Itulah gunung Nyenchin Dangla yang tingginya cuma kalah dari gunung Himalaya. Waktu itu
sudah masuk musim panas. Di kaki gunung ratusan macam kembang berbunga indah sekali,
sedang di lamping gunung, air yang bening laksana kaca mengalir legat-legot di antara batu-batu
dan hawa udara kira-kira bersamaan dengan hawa musim semi di daerah Kanglam. Tapi di
sebelah atas, salju putih masih menutupi puncak gunung yang tinggi, sehingga memberi
pemandangan yang istimewa sekali.
"Aku dengar, Lootjianpwee Koei Hoa Seng berdiam di gunung ini." kata Siauw Tjeng Hong.
"Aku hanya berharap beliau masih hidup, supaya dapat menolong kesukaranku ini."
Guru dan murid yang sudah siap sedia dengan alat-alat, lantas mulai mendaki gunung. Sesudah
berjalan tiga hari, barulah mereka tiba di pinggang gunung. Dari situ, mereka dapat lihat sungai es
yang melingkar-lingkar seperti naga perak dan mengasih lihat lain pemandangan yang
mengherankan. Lapisan atas sungai es itu sudah menjadi lumer lantaran kena sorotnya matahari
yang hangat. Tapi kembang salju dari puncak gunung selembar-selembar melayang turun ke
bawah, seakan-akan lembaran-lembaran kertas kristal yang jatuh di atas muka sungai es itu.
Lembaran-lembaran salju itu segera menjadi keras, yang tidak lama kemudian menjadi lumer pula
lantaran hangatnya sang matahari. Maka itulah, sedari dahulu sampai sekarang sungai es di
pegunungan Nyenchin Dangla selalu tidak berobah. Disorot sinar matahari, lapisan es itu
merupakan benda transparan yang berwarna hijau muda dan keindahannya sungguh sukar
dilukiskan dengan sang kalam. Salju dari permulaan musim panas sifatnya lebih keras dan basah,
dan di dalamnya mengandung lebih banyak air, sehingga pada sebelumnya menjadi es, salju itu
seperti juga bunga-bunga bwee yang ngambang di atas sungai es. Maka itulah, ada satu syair
yang berbunyi kira-kira seperti berikut:
Salju musim semi di tengah udara berterbangan, Sekuntum-kuntum bagaikan bunga yang
sedang mekar. Sehingga orang yang kurang pengetahuan.
Akan kira mereka itu bunga sungguhan.
Itulah syair yang sering diucapkan oleh mereka yang menyaksikan pemandangan yang
menakjubkan itu.
Selagi guru dan murid puaskan matanya, di sebelah bawah pinggang gunung mendadak
terdengar suara apa-apa. Dua orang berpakaian warna- abu-abu kelihatan loncat ke atas puncak
di seberang. Pegunungan Nyenchin Dangla penuh dengan puncak-puncak yang antaranya cuma
berjarak kira-kira satu li satu antara lainnya. Di lain saat, dua bayangan orang itu sudah masuk ke
mulut gunung dan tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Tjeng Hong dan Thian Oe merasa heran. Sementara itu, tiba-tiba kuping mereka menangkap
suaranya tetabuhan khim yang datang dari tempat jauh.
Mereka lantas saja tujukan tindakan ke arah tetabuhan itu. Semakin lama berjalan, semakin
hangat hawa udara. "Beberapa hari yang lalu, makin tinggi, kita merasa makin dingin. Tapi kenapa
sekarang, sesudah tiba di pinggang gunung, hawa jadi berbalik hangat?" tanya Thian Oe.
"Mungkin di bawah tanah ini terdapat sebuah gunung berapi," menerangkan Tjeng Hong.
Dengan perlahan, suara khim jadi semakin tedas kedengarannya. Sebagai satu ahli, Thian Oe
lantas mengetahui bahwa tetabuhan itu adalah o-khim yang bertali lima.
Suaranya tetabuhan itu sangat menyedihkan hati, dan sesudah mendengari berapa lama,
hatinya Thian Oe jadi bergoncang, sebab ia merasa pernah mendengar suara seperti itu.
Mendadak, suara khim diiring dengan nyanyian yang seperti berikut:
Di bawah sungai es seekor anak kambing.
Kehilangan ayah, kehilangan bunda.
Sang elang memburu dia. Mau dicengkeram, dijadikan santapan.
Pengtjoan Thianlie — oh, ciciku yang mulia!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dengarkah kau teriakannya yang menyayatkan hati.


Tahukah kau penderitaannya? Tolonglah usir sang elang yang jahat,
Selama hidup dia tak akan melupakannya.
Thian Oe kenali. Suara itu keluar dari mulutnya Chena, itu gadis Tsang yang aneh. "Soehoe",
kata ia dengan kaget tercampur girang. "Dengarlah! Nyanyian itu adalah permintaan tolong
kepada Pengtjoan Thianlie. Tak salah lagi, Pengtjoan Thianlie berdiam di ini tempat! Hai! Gadis itu
sungguh hebat penderitaannya. Nyanyian itu mengunjuk, bahwa ia kembali diubar orang."
Tanpa tunggu jawaban gurunya, Thian Oe cabut dua hoeito dan berlari-lari ke arah suara
nyanyian itu. Sesudah lewati satu lembah gunung, matanya dapat lihat satu telaga yang sangat
luas, yang seputarnya dikitari gunung. Telaga itu adalah telaga yang paling tinggi dalam dunia,
yang dalam bahasa Tibet dinamakan Tengri Nor. Telaga tersebut terletak di tempat yang tingginya
lebih dari 4.672 kaki, sehingga lebih tinggi 800 kaki lebih dari telaga Titicaca, di antara Peru dan
Bolivia di Amerika Selatan. Telaga inilah yang orang Han namakan Thian-ouw, atau Telaga Langit.
Air telaga bening jernih seperti kaca, sedang ombak halus menyapu ke sana-sini tak henti-
hentinya. Di tengah telaga terdapat lempengan-lempengan es yang mengambang, yang berkilat-
kilat, lantaran tertojo sinarnya sang matahari. Air telaga seakan-akan menempel dengan tepian
langit, sang langit menempel dengan air telaga. Thian Oe jadi seperti orang kesima. "Tempat ini
benar-benar bagaikan surga. Apakah benar Pengtjoan Thianlie tinggal disini?" kata ia dalam
hatinya.
Di pinggir telaga penuh dengan rumput hijau dan pohon-pohon bunga yang menyiarkan bau
harum sekali. Dan di antara pohon-pohon kembang itu, kelihatan berkibar-kibar selendang sutera
putih dari seorang wanita.
"Nona Chena! Aku disini!" berseru Thian Oe. Baru saja gadis itu menengok, kembali terdengar
lain suara: "Nona Chena! Kami pun berada disini!" Berbareng dengan itu, dari gombolan pohon
loncat keluar dua orang tinggi besar yang berpakaian warna abu-abu. Sembari nyengir, mereka
tubruk Chena.
Thian Oe membentak sembari menimpuk dengan kedua hoeito-nya. Kedua orang itu mengebut
dengan tali pinggangnya dan kedua golok terbang tersampok jatuh ke dalam telaga.
Dalam kagetnya, Thian Oe dengar satu orang berteriak kesakitan, sedang yang satunya jatuh
menggelinding ke bawah tanjakan. Orang yang membantu Thian Oe adalah Siauw Tjeng Hong
yang telah timpuk jitu jalanan darah kedua orang itu dengan cabang pohon.
Kedua orang itu sebenarnya bukan makanan empuk, tapi lantaran mereka sedang perhatikan
hoeito-nya Thian Oe dan juga sebab tenaga dalamnya Tjeng Hong ada cukup tinggi, maka biarpun
jaraknya jauh, jalanan darahnya kena ketotok juga dan dirasakan sakit bukan main, walaupun
tidak sampai roboh klengar. Mereka tahu sedang berhadapan dengan orang pandai dan buru-buru
kabur buat minta bala bantuan.
Gadis Tsang itu berlari-lari dengan paras muka ketakutan. "Sudah tak ada apa-apa lagi. Musuh
sudah kena diusir oleh guru," kata Thian Oe. Melihat sikap muridnya, Tjeng Hong jadi ingat
pengalamannya sendiri, ketika diam-diam ia mencintai Tjia ln Tjin. Ia segera jalan perlahan sekali,
supaya tidak mengganggu kedua orang muda.
Sekonyong-konyong dari gombolan pohon berkelebat bayangan orang. "Timpukan bagus!
Timpukan Bagus! Sahabat-sahabat lama sekarang bertemu kembali!" demikian kedengaran satu
orang berkata.
Hatinya Tjeng Hong mencelos. Dua orang kelihatan muncul. Pada mukanya orang yang jalan di
depan terdapat tapak golok tapak jalak, satu matanya buta, mukanya menyeringai, sehingga
kelihatannya menakuti sekali. Orang itu bukan lain daripada Loei Tjin Tjoe, pentolan nomor satu
dari tingkatan kedua Boetong pay dan yang ditakuti oleh Siauw Tjeng Hong. Orang yang jalan
belakangan adalah Tjoei In Tjoe yang sudah sembuh lantaran kasiatnya soatlian dan tangannya
mencekal satu gendewa dengan tali baru.
Diudak oleh Tan Thian Oe, gadis Tsang itu berlari-lari lewat di pinggirnya Tjoei In Tjoe, yang
berkata sembari tertawa: "Sanma! Terima kasih buat soatlian-mu." Sesudah Chena lewat, ia
kebaskan gendewanya dan papaki Thian Oe. "Oe-djie, balik!" berseru Siauw Tjeng Hong. Thian Oe
hampiri gurunya, sedang si nona lari terus.
Loei Tjin Tjoe cabut pedangnya dan setindak demi setindak ia mendekati Siauw Tjeng Hong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kejadian pada tahun itu, sebenarnya sudah terjadi lantaran tidak sengaja. Loei Toako buat
apalah mendendam sampai begitu," kata Tjeng Hong.
Loei Tjin Tjoe keluarkan satu suara "htn" dan spier mukanya berkerut, sehingga macamnya
menakuti sekali. "Kalau kau tidak ingin aku menaruh dendam, tidak sukar," kata ia dengan suara
tawar. "Kau kemari dan kasih aku bacok mukamu dua kali dan kemudian korek biji matamu."
"Itu toh bukan dilakukan olehku," sahut Tjeng Hong. "Aku cuma secara tidak disengaja sudah
membantu Tjia In Tjin."
Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu mendelik. Ia jadi semakin gusar ketika Tjeng Hong
sebutkan namanya Tjia In Tjin. Ia dahulu adalah seorang lelaki yang berparas cakap sekali dan
sekarang jadi tidak keruan macam. Sedang Tjia In Tjin tidak dapat dicari, semua amarahnya jadi
tumplek ke atas kepalanya Tjeng Hong.
Sesudah datang dekat, ia menuding sembari berkata: "Sahabat, kepandaianmu tidak mundur,
sedang akupun sudah berlatih beberapa macam ilmu. Belasan tahun berselang kita pernah
bertanding dan sekarang aku kembali mau persembahkan kebodohanku." Pedang lantas
berkelebat dan ia kirim satu serangan membinasakan.
"Loei Toako kau mendesak siauwtee (adik) sampai di satu pojokan," kata Tjeng Hong sembari
meringis.
Loei Tjin Tjoe kirim tiga serangan beruntun yang semuanya dapat dikelit oleh Tjeng Hong.
Bacokan Loei Tjin Tjoe yang satu lebih cepat dari yang lain dan serangan ke empat, dalam
gerakan Pekhong koandjit (Bianglala tembuskan matahari), menikam jalanan darah Tongboen hiat
pada dadanya Siauw Tjeng Hong. Serangan itu hebat luar biasa dan kelihatannya Tjeng Hong
tidak akan dapat singkirkan dirinya lagi. Mendadak ia putar badan sembari mengebut dan ribuan
benang halus lantas gulung pedangnya Loei Tjin Tjoe.
Oleh karena kuatirkan pembalasan, belasan tahun lamanya Tjeng Hong pikirkan cara buat
jatuhkan musuh. Ilmu silatnya Loei Tjin Tjoe banyak lebih tinggi, sehingga kemungkinan satu-
satunya adalah melawan dengan tipu. Dengan terus kelit tiga serangan, ia sengaja perlihatkan
rasa ketakutan, dan ketika musuh menikam habis dengan pedangnya, barulah ia menggulung
dengan kebutannya. Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw Tjeng Hong adalah mustika dalam
Rimba Persilatan. Hudtim itu rupanya mirip dengan buntut kuda, tapi sebenarnya terbuat dari
benang-benang emas hitam yang luar biasa uletnya dan tak dapat diputuskan dengan senjata
tajam. Melihat ilmu pukulannya yang sudah dilatih belasan tahun, mendapat hasil, hatinya Tjeng
Hong jadi girang sekali.
Loei Tjin Tjoe tertawa dingin dan lantas kerahkan tenaganya sembari betot pedangnya. Di lain
saat, ribuan benang halus pada berterbangan di tengah udara!
Tjeng Hong mencelos hatinya. Ia tak duga, tenaga dalamnya begitu tinggi. Sementara itu
musuh kembali sudah menyerang tiga kali beruntun dan ia tidak dapat berbuat lain daripada putar
hudtim-nya buat menjaga diri, tanpa mampu balas menyerang lagi.
Semakin lama Loei Tjin Tjoe menyerang semakin cepat. Tjeng Hong terus mundur dan dari
kepalanya keluar uap putih, yang menandakan ia sudah kerahkan setaker tenaga yang berada
dalam dirinya. Sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Loei Tjin Tjoe mendadak meniup
dengan mulutnya, sedang pedangnya berbareng membabat. Saat itu juga, sebagian hudtim-nya
Tjeng Hong terbabat putus dan benang-benangnya berterbangan bagaikan rumput. Jika benang-
benang hudtim-nya Tjeng Hong berkumpul jadi satu, senjata yang paling tajam tak akan dapat
memutuskannya. Akan tetapi, sesudah kena ditiup buyar oleh Loei Tjin Tjoe yang berbareng
kerahkan tenaga dalamnya ke badan pedang, hudtim itu jadi seperti sesapu yang terbuka
ikatannya dan tak sukar buat dibabat putus.
Bukan main sakit hatinya Tjeng Hong yang tidak berani berkelahi lagi. "Baiklah, aku terima
nasib!" kata ia dengan suara sedih.
Loei Tjin Tjoe keluarkan tertawa nyaring. Ia maju dua tindak dan matanya mengawasi
musuhnya. "Baiklah," kata ia sembari kebas pedangnya. "Aku akan kirim dua sabetan tapak jalak
ke mukamu seperti contoh mukaku sendiri. Tjoei Hiantee, mari sini! Saksikanlah bagaimana aku
turunkan tangan!"
Satu perasaan dingin bagaikan es dirasakan oleh Tjeng Hong. Ia meramkan kedua matanya,
tak berani ia lihat pedangnya musuh yang mengkilap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tiba-tiba saja ia dengar suara "tring" dan Loei Tjin Tjoe kedengaran membentak: "Bocah dari
mana berani membokong aku!"
Tjeng Hong buka kedua matanya dan lihat ujung pedangnya musuh miring dan tergetar tak
hentinya, dengan keluarkan sedikit suara mengaung. Teranglah bagi Siauw Tjeng Hong, bahwa
pedangnya Loei Tjin Tjoe kena terpukul miring dengan semacam senjata rahasia. Heran benar
hatinya. Siapakah yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi sehingga dapat pukul miring
senjatanya Loei Tjin Tjoe?
Baru saja Loei Tjin Tjoe habis membentak, satu suara menyahut: "Apa matamu buta? Tuanmu
berada disini." Loei Tjin Tjoe menengok dan lihat satu orang berdiri di sebelah kanannya.
Orang itu adalah satu pengemis yang mukanya seperti pantat kuali, rambutnya awut-awutan,
hidungnya dongak ke atas, sedang bajunya penuh tambalan. Tjeng Hong kaget berbareng
girang. "Thiekoay sian datang, tak tahu apa ia kawan atau lawan," kata ia dalam hatinya. Tapi ia,
yang sudah tinggal tunggu kebinasaannya, tidak jadi lebih keder hatinya. Taruh kata si pengemis
datang sebagai musuh, buntutnya toh sama saja. Adalah Loei Tjin Tjoe yang merasa kaget dan
bersangsi.
Dengan terpincang-pincang si pengemis menghampiri.
Biarpun tahu orang genggam niatan kurang baik, tapi dengan andalkan kepandaiannya yang
tinggi, Loei Tjin Tjoe tidak jadi keder.
"Siauw Tjeng Hong, boleh juga kau!" kata ia sembari tertawa dingin. "Tak kukira, kau sudah
sediakan sahabatmu." Ia lirik Tjoei In Tjoe, supaya kawannya bersiap untuk bertempur.
"Ha, ha!" tertawa si pengemis. "Hari ini aku bukan mau bantu orang berkelahi, tapi mau
menerima gebukan. Eh, bukankah kau niat kirim dua bacokan pada mukanya?"
"Apa?" kata Loei Tjin Tjoe. "Apa kau tidak tega dan mau gulung tangan baju?"
Si pengemis lagi-lagi tertawa.
"Aku pengemis miskin mana punya begitu banyak sahabat?" kata ia. "Cuma saja, aku lihat ini
Siauw sinshe mempunyai paras muka yang begitu halus, dan seperti juga kau, dahulu tentunya
cakap sekali. Kalau mukanya dibacok, bukankah sayang sekali? Ha! Aku adalah seorang yang
sangat tahu diri. Aku tahu romanku jelek dan tak pernah ngimpi akan dicintai oleh wanita cantik.
Maka itu, andaikata di atas mukaku tambah dua tapak golok, muka yang sudah jelek tidak akan
bertambah banyak lebih jelek. Ha! Biarlah aku talangi dua bacokan itu, hayolah gunakan
pedangmu! Eh, Siauw sinshe! Mau apa kau awasi aku? Apa kau tak suka hati pernah digebuk
olehku? Kalau tak suka hati, kau boleh lantas turun tangan!"
Siauw Tjeng Hong turunkan hudtim-nya. "Tak berani," kata ia sembari mundur.
Mendengar sepatah-sepatah perkataannya si pengemis mengandung ejekan, Loei Tjin Tjoe
lantas saja menjadi gusar.
"Baiklah! Kalau kau sendiri yang minta, lihatlah pedangku!" ia membentak, sembari menyabet
dengan pedangnya yang menyambar bagaikan kilat. Si pengemis angkat tongkatnya dan dengan
suara "trang", lelatu api muncrat berhamburan, sedang badannya Loei Tjin Tjoe melesat ke udara.
Selagi badannya masih berada di tengah udara, dengan satu gerakan Pengpok kioesiauw (Garuda
terbang ke sembilan lapis langit), pedangnya menikam ke bawah.
"Bagus!" berteriak si pengemis yang lantas papaki dengan tongkatnya yang menotok ke
pusarnya musuh. Buat tolong dirinya, Loei Tjin Tjoe poksay (jungkir balik) turun dan pedangnya
menyambar ke pundaknya si pengemis. Sembari merengketkan sedikit pundaknya, si pengemis
menyampok dengan tongkat, sehingga pedang dan tongkat kebentrok sedikit. Semua pukulan itu
adalah pukulan yang membinasakan dan sudah terjadi dalam tempo yang sangat cepat, sehingga
Siauw Tjeng Hong merasa sangat kagum dalam hatinya.
Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, Loei Tjin Tjoe mendadak berseru dengan suara kaget:
"Apakah kau Thiekoay sian?"
"Apa?" kata si pengemis. "Kalau kau tidak berani bacok mukaku, akulah yang akan gebuk
bebokongmu tiga kali buat ajar adat!"
Loei Tjin Tjoe gusar sangat. "Biarpun kau Thiekoay sian, aku tak takut!" ia membentak sembari
menikam. Si pengemis loncat sembari menyapu dengan tongkatnya dan mereka kembali
bertempur dengan sengit sekali, sehingga Siauw Tjeng Hong yang menyaksikan merasa matanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

berkunang-kunang. Pedang dan tongkat berkelebat-kelebat dan siapa yang meleng sedikit saja,
jiwanya tentu akan segera melayang.
Siauw Tjeng Hong cekal keras hudtim-nya, sedang Tjoei In Tjoe pegang gendewanya. Mata
mereka mengawasi jalannya pertempuran sambil siap sedia.
Sesudah lewat kurang lebih setengah jam, di atas kepalanya Loei Tjin Tjoe keluar uap putih,
sedang gerakan tongkatnya si pengemis jadi semakin perlahan. Siauw Tjeng Hong keluarkan
napas lega dan berkata dalam hatinya: "Untung juga Thiekoay sian masih lebih unggul setingkat."
Walaupun gerakannya terlebih lambat, pukulannya si pengemis malahan jadi semakin berat.
Pedangnya Loei Tjin Tjoe sekarang sudah kena didesak dengan sang tongkat.
Berbeda dengan gurunya, Tan Thian Oe tidak pusatkan perhatian kepada gelanggang
pertempuran. Badannya berada disitu, tapi hatinya terus memikiri gadis Tsang itu, yang sekarang
sudah tidak kelihatan lagi bayang-bayangannya.
Permukaan Tengri Nor, atau Thian-ouw, luar biasa luasnya.
Thian Oe lihat, di pojokan utara barat dari telaga tersebut, terdapat satu sungai es yang
kelihatannya seperti satu Thianho (Milky way), yang terbentang nyungsang. Sungai es itu dari
puncak gunung mengalir ke bawah, laksana satu air tumpah. Bisa jadi lantaran adanya hawa yang
lebih hangat, berbeda dari yang lain, sebagian es di sungai tersebut pada lumer. Di lapisan
sebelah bawah, esnya keras seperti bukit-bukit, tapi di lapisan atas, es itu lumer menjadi
kepingan-kepingan besar dan kecil, yang dengan suara ribut mengalir ke sebelah bawah dan terus
masuk kedalam telaga. Itulah sebabnya, kenapa di tengah telaga terdapat banyak kepingan-
kepingan es yang pada ngambang.
Thian Oe dongak mengawasi ke atas. Di bagian atas dari sungai es, yaitu yang berdekatan
dengan puncak gunung, lapat-lapat seperti juga berdiri sebuah keraton, atau sedikitnya satu
gedung yang sangat besar. Cuma saja lantaran jaraknya terlalu jauh, Thian Oe tak dapat melihat
tegas dan tak dapat menentukan, apakah yang kelihatan itu ada gedung-gedung atau cuma batu-
batu belaka.
Mendadak kupingnya dengar suara tindakan dan suara orang bicara. Di tempat, dari mana
gadis Tsang itu keluar, muncul sererotan orang yang sedang mendaki gunung. Yang paling
depan adalah tiga orang yang jalan berbaris. Dua orang yang di kiri dan kanan adalah mereka
yang tadi ditimpuk jatuh oleh gurunya, sedang orang yang berjalan di tengah adalah satu Lhama
yang memakai jubah panjang warna merah. Setiba di pinggir telaga, mereka awasi pertempuran
antara si pengemis dan Loei Tjin Tjoe, dan kemudian, tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka
lantas jalan menuju ke arah sungai es.
Di belakangnya tiga orang itu, terdapat dua boesoe Nepal yang Thian Oe pernah ketemu dalam
rumah penginapan di Shigatse. Tangannya kedua boesoe memegang hio Tibet, sikapnya
menghormat sekali dan tanpa menengok, mereka terus menuju ke arah sungai es, dengan mulut
kemak-kemik, seperti juga orang yang sedang berdoa.
Di belakangnya kedua boesoe terdapat lima atau enam orang. Antara mereka, ada pemuda
cakap, ada orang kasar, ada pendeta dan sebagainya.
Waktu tiba disitu, mereka kelihatannya ketarik dengan pertempuran antara si pengemis dan
Loei Tjin Tjoe. Mereka berhenti sebentar. Ada yang rundingkan jalannya pertempuran, sembari
menunjuk-nunjuk, ada juga yang cuma omong-omong antara kawannya.
"Dua manusia ini benar tak tahu diri," demikian Thian Oe dengar seorang berkata. "Kodok
buduk mau makan daging angsa langit! Mereka kelihatannya sudah mendahului kita."
Belum sempat orang itu tutup mulutnya, dengan tongkatnya Thiekoay sian sontek sepotong
batu yang lantas menyambar ke arah orang yang barusan bicara. "Bagus!" berseru orang itu
sembari menyampok dengan dua tangannya dan batu itu terpental jatuh ke jurang.
Disontek oleh Thiekoay sian yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi, batu itu
mempunyai tenaga ratusan kati dan menyambar luar biasa cepatnya. Bahwa orang itu dapat
menyampok dengan gampang saja, merupakan bukti bahwa ilmu silatnya tidaklah lemah. Siauw
Tjeng Hong sungguh tak mengerti, kenapa di tempat itu muncul begitu banyak orang pandai
dengan berbareng.
Sesudah lihat tindakannya Thiekoay sian, orang-orang itu tidak banyak bicara dan lalu menuju
ke arah sungai es. Thian Oe dengar, sembari jalan mereka itu beromong-omong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Bagaimana sih macamnya Pengtjoan Thianlie?" kata seorang.


"Namanya begitu bagus, orangnya tentu juga cantik," sahut seorang lain.
"Ah, kalau jelek, aku serahkan saja pada kau," kata seorang lagi.
"Jangan terburu napsu. Pengtjoan Thianlie kita belum pernah lihat. Tapi nona Chena sudah
cantik luar biasa," kata yang lain. Demikianlah mereka bicara sembari tertawa-tawa, sampai
suaranya tidak kedengaran lagi.
Thian Oe kaget sekali, "Ah kalau begitu mereka maui Pengtjoan Thianlie dan niat rampas juga
nona Tsang itu," kata ia dalam hatinya.
Terhadap Pengtjoan Thianlie, Thian Oe cuma sangat kepengen tahu. Akan tetapi terhadap
Chena, ia mempunyai serupa perasaan yang sukar dilukiskan. Ia lirik gurunya yang ternyata
sedang pusatkan seluruh perhatiannya kepada pertempuran.
Siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, sekarang sudah kelihatan nyata.
Thiekoay sian jadi semakin gagah, tongkatnya menyambar-nyambar seperti ular dan naga,
sesuatu sabetan mengeluarkan kesiuran angin yang menderu-deru, sehingga di empat penjuru
seperti juga penuh dengan bayangan Thiekoay sian dan tongkat itu berubah menjadi puluhan
batang. Loei Tjin Tjoe sudah terkurung dalam sinar tongkat dan lingkaran sabetan pedangnya
semakin lama jadi semakin ciut. Cuma saja, lantaran ilmu pedangnya memang sudah sampai pada
puncak yang tinggi, maka biarpun keteter, tongkatnya Thiekoay sian masih belum dapat
tembuskan sinar pedangnya.
Thian Oe tak mempunyai kegembiraan buat menyaksikan jalannya pertempuran. Matanya
ditujukan ke arah tempat sungai es masuk ke dalam telaga. Mendadak, kupingnya mendengar
suara luar biasa, sedang matanya dapat lihat bahwa di aliran atas sungai es itu, terdapat satu titik
hitam yang turut mengalir *ke bawah. Dengan perlahan titik hitam itu menjadi besar dan ternyata
adalah sebuah perahu kecil yang di dalamnya berduduk tiga orang.
Mukanya ketiga orang itu belum kelihatan nyata, akan tetapi, kecuali dua boesoe Nepal yang
masih berlutut, lain-lain orang keluarkan teriakan girang, sedang semua mata ditujukan kepada
sungai es.
"Apa yang datang Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe dalam hatinya.
Sebagaimana diketahui, aliran air sungai es, yang dari puncak gunung turun ke bawah, deras
luar biasa. Di lapisan atas terdapat banyak kepingan-kepingan es, sedang di lapisan bawah
sembunyi bukit-bukit es. Jika kebentur dengan kepingan es, apalagi bukit es, jangan kata perahu
kecil, perahu besar pun akan segera menjadi hancur. Tapi heran sungguh, perahu kecil itu seperti
juga sedang laju di atas sungai biasa yang tenang airnya. Begitu lekas sang perahu mendekati,
kepingan-kepingan es itu lantas minggir sendirinya, seperti juga didorong dengan satu tenaga
yang tidak kelihatan!
Biarpun tidak tahu cara bagaimana, Thian Oe mengerti, bahwa hal itu sudah terjadi lantaran di
dalam perahu terdapat orang yang kepandaiannya tidak dapat diukur bagaimana tingginya.
Tak lama kemudian, perahu itu sudah datang dekat. Dalam perahu kecil terdapat tiga wanita.
Di sebelah kiri adalah Chena yang mukanya sekarang tersungging dengan senyuman girang. Di
sebelah kanan berdiri seorang wanita, yang dalam usia pertengahan, romannya masih cantik
sekali. Yang paling luar biasa adalah wanita yang di sama tengah. Rambutnya awut-awutan dan
berdiri seperti jarum, mukanya putih meletak seperti juga bukan muka manusia, kedua tangannya
dirangkap di dada dan sepuluh jerijinya seperti juga cakar ayam, dan dengan mata yang
mengawasi ke depan, rupanya wanita itu sungguh seperti satu mayat yang baru keluar dari
kuburan. Orang-orang yang melihat semua keluarkan teriakan tertahan, bahna kagetnya. Tiga
orang yang hatinya lebih kecil lantas saja balik badannya dan turun gunung.
"Apa Pengtjoan Thianlie berada di perahu itu?" tanya Thian Oe dalam hatinya. "Kalau ia ada
disitu, jika bukan si wanita usia pertengahan, tentulah juga wanita yang seperti mayat."
Mendadak, gurunya keluarkan satu seruan kaget. Thian Oe menengok dan lihat muka gurunya
pucat bagaikan mayat, kaki tangannya gemetar, seperti orang yang sakit keras. "Ah, sungguh tak
dinyana, aku bisa bertemu ia di tempat ini!" demikian gurunya berkata seorang diri.
"Soehoe, siapa yang kau maksudkan?" tanya Thian Oe.
"Gobie Lihiap Tjia In Tjin!" sahut sang guru.
"Apa wanita yang di tengah?" tanya lagi sang murid.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Bukan, yang sebelah kanan," sahut Siauw Tjeng Hong. "Mukanya masih sama saja seperti
pada belasan tahun berselang."
Thian Oe terkejut. "Apakah wanita yang di tengah Pengtjoan Thianlie adanya?" tanya ia dalam
hatinya.
Perahu itu sekarang sudah terpisah cuma belasan tombak saja dan sudah hampir masuk ke
dalam telaga. Lhama yang memakai jubah merah mendadak membentak:
"Yang mana Pengtjoan Thianlie?" Sehabis membentak begitu, badannya melesat ke arah sungai
es, kedua kakinya menotol kepingan es yang ngambang dan dengan kecepatan kilat memburu ke
arah perahu. Begitu berhadapan, ia angkat tangannya yang seperti kipas, yang menyambar ke
arah Tjia In Tjin. Rupanya si Lhama menduga, bahwa Tjia In Tjin adalah Pengtjoan Thianlie.
Dengan pukulan Lengshan tjiang (Pukulan gunung Lengshan), tangannya si Lhama menyambar,
sehingga Siauw Tjeng Hong keluarkan satu teriakan kaget.
Tjia In Tjin tertawa tawar, tapi sebelum ia dapat bergerak, wanita yang di tengah sudah pentil
sekeping es ke arah uluhatinya Lhama itu. Dengan satu teriakan menyayatkan hati, ia terguling
dan badannya tersapu air yang mengalir ke bawah deras luar biasa. Mungkin sekali badannya
kebentur bukit es, sebab warna air lantas berobah merah!
Bukan main terkejutnya Siauw Tjeng Hong. Harus diketahui, bahwa orang yang belajarkan ilmu
pukulan Lengshan tjiang, tentu mesti mempunyai juga ilmu Kimtjiongto dan Tiatposan (dua
macam ilmu weduk), dan badannya dapat melawan tekanan ribuan kati. Ditimpuk dengan senjata
rahasia, paling banyak kulitnya merasa sedikit gatal-gatal. Tapi, siapa nyana, dengan kepingan es
yang begitu kecil, ia roboh dan melayang jiwanya!
Orang-orang yang berkumpul di pinggir telaga, dapat dibagi menjadi tiga rombongan. Satu
rombongan adalah itu kedua boesoe Nepal yang masih terus berlutut sembari tundukkan
kepalanya. Lain rombongan adalah si Lhama yang sudah binasa dan dua orang Tibet yang ubar-
ubar Chena. Mereka itu adalah orang-orangnya Touwsoe di Sakya yang diperintah buat bekuk
gadis tersebut. Rombongan ketiga yaitu orang-orang, yang lantaran dengar nama wanginya
Pengtjoan Thianlie sudah datang buat coba-coba meminang dengan niatan merampas juga Chena
yang cantik. Melihat liehaynya wanita dalam perahu itu, orang-orang rombongan kedua dan ketiga
jadi ketakutan bukan main. Ada yang ketakutan sampai kaki tangannya lemas, ada yang lantas
balik badannya buat kabur dan ada juga, yang lebih besar nyalinya, ingin menjajal-jajal dengan
jalan mengerubuti.
Sementara itu, jerijinya Chena kelihatan menuding dua kali. "Yang mau menangkap aku adalah
dua orang itu," kata ia. Wanita yang mukanya seperti mayat, lantas pungut kepingan es yang
dipentil dengan jerijinya. Dua orang Tibet itu, yang baru tiga kali melangkah dalam percobaan
kabur, kena kesambar jitu dan lantas terguling sembari muntahkan darah hidup!
"Orang-orang itu semuanya bukan orang baik-baik," berkata Tjia In Tjin. Wanita itu kembali
ayun tangan kanan dan tangan kirinya dan kepingan-kepingan es menyambar bagaikan kilat.
Dalam tempo sekejapan, kecuali kedua boesoe Nepal, semua orang sudah kena dihantam
kepingan es. Dua antaranya yang mempunyai kepandaian lebih tinggi, masih dapat kabur dengan
menderita luka berat. Yang lainnya semua roboh binasa!
Kejadian itu ada begitu mengejutkan, sehingga bukan saja Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian
Oe mengawasi dengan mulut ternganga, tapi Thiekoay sian dan Loei Tjin Tjoe pun jadi lebih
lambat serang menyerangnya.
Ketiga wanita itu lantas mendarat dan naik dari gili-gili dengan tindakan perlahan. Saat itu,
kedua matanya Siauw Tjeng Hong kebentrok dengan matanya Tjia In Tjin, yang mengawasi
dengan paras muka seperti tertawa, tapi bukannya tertawa. Pada saat itu, perasaan mencinta dan
membenci mengaduk jadi satu. Hatinya Tjeng Hong niat memanggil, tapi mulutnya seperti
terkancing. Tjia In Tjin cuma manggut-manggutkan sedikit kepalanya dan bersama dua kawannya
terus menghampiri gelanggang pertempuran.
Semakin dekat, mukanya wanita itu jadi semakin hebat. In Tjin berkata sembari tertawa: "Hei
kawan hidup! Pengtjoan Thianlie sudah datang. Apa kau enak hati masih terus hinakan anak
cucunya? Lekas simpan tongkat pemukul anjing itu!"
Mendengar perkataan itu, hatinya Tjeng Hong mencelos. Ia sama sekali tidak mengimpi, bahwa
wanita yang begitu cantik seperti Tjia In Tjin sudah mau menjadi isterinya Thiekoay sian yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

begitu jelek rupanya. Thian Oe juga tidak kurang kagetnya. Sekarang dapat dipastikan, bahwa
Pengtjoan Thianlie adalah itu wanita yang mukanya seperti mayat.
Mendadak gadis Tsang itu berkata sembari tertawa: "Thianlie tjietjie, anak muda itu adalah
orang baik. Tjietjie, jangan bikin takut padanya."
Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie usap kepalanya dan rambutnya yang seperti rumput jatuh ke
bawah. Rambut itu adalah rambut palsu. Ia buka jubah luarnya dan usap kedua tangannya.
Sekarang kelihatan, bahwa jeriji-jeriji yang seperti cakar ayam adalah jeriji palsu dari sarung
tangan. Paling belakang ia usap mukanya dan locoti satu kedok. Pada saat itu, Tan Thian Oe jadi
kesima!
Disitu ia berdiri, cantik dan agung laksana satu dewi atau bidadari. Badannya yang langsing
ditutup dengan baju warna biru telaga, mukanya bundar laksana rembulan tanggal lima belas,
kedua alisnya panjang dan lentik, biji matanya yang bersinar terang berwarna agak kebiru-biruan,
mulutnya kecil seperti buah engtoh yang masak, yang agaknya selalu tersungging senyuman,
rambutnya yang hitam jengat dikepang jadi dua cacing yang pada ujungnya diikat dengan sutera
merah, kulitnya halus ibarat batu kemala yang bersinar terang lantaran kena sorotnya salju dan
sebagai pelengkap dari itu semua, gerakannya ayu dan halus! Tan Thian Oe sering bayangkan
kecantikannya Pengtjoan Thianlie, tapi apa yang sekarang ia saksikan adalah melebihi dari segala
lamunannya.
Pengtjoan Thianlie menyapu dengan matanya dan berkata: "Tolong berhenti bertempur!"
suaranya halus, tapi sangat berpengaruh.
Thiekoay sian tarik pulang tongkatnya dan loncat berdiri di dampingnya Tjia In Tjin. Loei Tjin
Tjoe juga lintangkan pedangnya di depan dada dengan paras muka yang heran sekali.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Loei Tjin Tjoe, lepaskan pedangmu. Berlutut
tiga kali di hadapan Siauw sinshe dan lantas turun gunung!" Ia ucapkan perkataannya dengan
lagu suara seperti seorang tingkatan lebih tua kepada orang dari tingkatan lebih muda.
Loei Tjin Tjoe terkesiap. Lantaran terlalu gusar, ia jadi tertawa besar. "Siapa kau?" ia tanya.
"Dengan andalkan apakah, kau berani perintah aku berlutut di hadapannya?"
Loei Tjin Tjoe adalah jago terutama dari tingkatan kedua partai Boetong pay. Di sebelahnya itu,
usianya sudah empat puluh tahun lebih, sedang Pengtjoan Thianlie baru kirarkira berusia dua
puluh tahun. Juga harus diingat, bahwa sudah banyak tahun ia mendapat nama besar di kalangan
Kangouw, sehingga adatnya jadi sombong sekali. Maka itulah dapat dimengerti, perutnya seperti
mau meledak waktu dengar perkataannya nona yang cantik itu. . "Apa bunyinya larangan kedua
belas dari Boetong pay?" tanya Pengtjoan Thianlie. Bunyinya larangan ke 12 adalah: "Harus dapat
membedakan yang mana benar, yang mana salah. Dalam segala urusan, harus tanya diri sendiri,
apakah ada berbuat kesalahan atau tidak. Dilarang, dengan andalkan kekuatan, menghina orang."
Loei Tjin Tjoe terkejut. Ia merasa heran, kenapa wanita itu yang tinggal di atas Puncak Es, bisa
mengetahui larangan-larangan dari partainya.
"Urusanmu aku sudah tahu semuanya," berkata lagi Pengtjoan Thianlie. "Asal mulanya adalah
salahmu sendiri. Tapi lantaran ingat walaupun hatimu kurang baik, tapi kau bukannya melakukan
kedosaan besar, dan juga sebab dalam urusan itu terselip tangannya orang jahat, maka aku
ampuni kau dari hukuman mati. Hayo lekas haturkan maaf kepada Siauw sinshe!"
Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu, mendelik. "Biarpun andaikata kau ini adalah
tjianpwee dari Boetong pay, kau masih tidak dapat campur urusanku," kata ia dengan suara keras.
"Perlu apa aku ladeni omongan segala perempuan yang masih ada pupuknya!"
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berubah. "Murid siapa kau? Berani buka suara begitu besar!"
kata ia.
Loei Tjin Tjoe lintangkan pedangnya sembari mengawasi dengan sorot mata gusar dan tidak
sahuti pertanyaannya Pengtjoan Thianlie. Lantaran begitu, Thiekoay sian lantas talangi: "Dia
adalah muridnya tjiangboen (pemimpin) Boetong pay, Hian In Toodjin." Hian In adalah soetit-nya
(keponakan murid) Moh Tjoan Seng. Biarpun memegang tampuk pimpinan, tapi lantaran suka
sekali berkelana, ia jadi tidak banyak mengurus urusan partai, dan dari sebab begitu, semakin
lama Loei Tjin Tjoe jadi semakin besar kepala.
"Apa yah?" kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Aku dengar peraturan Boetong pay dijaga
dengan keras sekali, sedang perbedaan antara tingkatan tua dan muda sangat diindahkan. Apakah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sekarang keadaan sudah berobah? Kalau begitu, orang-orang tua dari partaimu sudah tak dapat
mengurus kau, akulah yang mau talangi mereka mengurus kau!"
Loei Tjin Tjoe tidak dapat menahan sabar lagi. Ia -kebas pedangnya dan loncat maju. "Baiklah!
Cobalah! Aku Loei Tjin Tjoe bersedia buat terima pengajaranmu!" ia berteriak.
"Oh, kalau begitu kau mau adu pedang denganku?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
Ketika itu kedua tangannya kosong, sedang ia pun tidak membawa senjata. Selagi Tjia In Tjin mau
serahkan pedangnya, Pengtjoan Thianlie berkata: "Tak usah!" Ia lantas jalan menuju ke pinggir
telaga dan jumput sepotong es, yang berbentuk toya. Dengan menabas beberapa kali sama
tangannya, potongan es jadi merupakan sebatang pedang.
Sembari mesem Thianlie sabetkan pedang es itu. "Loei Tjin Tjoe," kata ia. "Jika kau dapat
melayani aku dalam sepuluh jurus, aku akan biarkan kau berbuat sesuka hati terhadap Siauw
sinshe." Waktu itu adalah kira-kira tengah hari dan sang matahari pancarkan sinarnya yang hangat
dan gilang gemilang. Sedang kepingan-kepingan es yang ngambang di atas sungai es sudah mulai
lumer, apalagi es yang tercekal dalam tangan, yang menerima hawa hangat dari badan manusia.
Mendengar perkataannya Thianlie, Siauw Tjeng Hong jadi terkejut. "Taruh kata Loei Tjin Tjoe
tak dapat putuskan pedang es itu, dalam tempo cepat es itu toh akan menjadi lumer. Bukankah
dengan demikian Pengtjoan Thianlie bikin jiwaku jadi seperti lelucon?"
Loei Tjin Tjoe lantas saja tertawa besar. "Baiklah," kata ia. "Inilah ada perjanjian yang
dikatakan olehmu sendiri. Dan di pihakku, jika dalam sepuluh jurus aku tak dapat putuskan
pedang es itu, aku akan berlutut di hadapanmu!"
"Kemauanku adalah kau mesti berlutut di hadapan Siauw sinshe," kata Thianlie.
"Sudah, jangan banyak bacot. Aku turut segala perkataanmu. Sambutlah!" Pedangnya lantas
berkelebat dan coba tabas pedang es itu. "Jurus pertama!" Thiekoay sian menghitung dengan
suara keras.
Sabetan pertama cepat bukan main, ditambah dengan tenaga dalam yang sudah dilatih oleh
Loei Tjin Tjoe puluhan tahun lamanya.
Jangan kata es, biarpun senjata logam akan putus kena sabetannya itu. "Bagus!" kata Thianlie
sembari mesem dan pedang es berkelebat meluncur ke arah jalanan darah Hiankie hiat di bagian
dada. Serangan itu dilakukan dari suatu kedudukan (posisi) yang tak dapat diduga, sedang Hiankie
hiat adalah jalanan darah yang kalau ketotol dapat membinasakan orang. Loei Tjin Tjoe terkesiap.
Dengan Seantero kemampuannya ia membungkuk buat tarik pulang tenaganya yang sudah
dikeluarkan, dan dengan lintangkan pedangnya serta menggunakan banyak tenaga, barulah ia
dapat punahkan serangan yang sangat berbahaya itu. Sembari mesem, Pengtjoan Thianlie tarik
pulang pedang esnya dan gebrakan pertama sudah selesai.
Sesudah bikin rapi lagi kedudukannya, Loei Tjin Tjoe mendadak lakukan tiga serangan
beruntun. Itulah serangan dari ilmu pedang Lianhoan Tokbeng Kiamhoat (Ilmu pedang berantai
membetot jiwa), yang sangat hebat dan sukar dijaga.
"Ilmu pedangmu masih jauh dari sempurna," kata Thianlie sembari tertawa. Badannya bergerak
dan dalam sekejap sudah membalas dengan tiga serangan pula. Setiap serangan berbeda satu
dengan lainnya dan perubahan itu dibikin selagi sang pedang es tengah menyambar. Sedang
serangan Loei Tjin Tjoe dengan mudah dapat dipunahkan, serangannya Thianlie sudah membikin
matanya Tjin Tjoe menjadi kabur, sehingga ia terpaksa main mundur dan main kelit. Sementara
itu, Thiekoay sian sudah menghitung empat kali.
Loei Tjin Tjoe terkesiap sebab ternyata ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie adalah ilmu pedang
Tatmo Kiamhoat dari Boetong pay! Tatmo Kiamhoat yang tulen telah menjadi hilang pada jaman
Kerajaan Goan, dan baru pada permulaan Kaisar Konghie (Tjeng), barulah Sin Liong Tjoe dapat
cari lagi itu ilmu pedang yang sejati, yang belakangan diwariskan kepada Koei Tiong Beng.
Lantaran begitu, Koei Tiong Beng menjadi leluhur dari Boetong pay cabang Utara. Tapi oleh
karena Tatmo Kiamhoat luar biasa sukarnya dan di sebelahnya itu, pulangnya lagi ilmu pedang
tersebut belum berapa lama, maka selama beberapa puluh tahun, jumlahnya orang yang benar-
benar sudah dapat mewarisi tidaklah lebih dari beberapa orang saja.
Loei Tjin Tjoe adalah murid dari Boetong pay cabang Selatan. Walaupun ilmu pedang Boetong
Selatan dan Boetong Utara belakangan berendeng bersama-sama, akan tetapi, pengetahuan
orang-orang cabang Selatan terhadap Tatmo Kiamhoat ada lebih rendah daripada orang-orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

cabang Utara. Loei Tjin Tjoe sendiri tentu saja pernah belajarkan Tatmo Kiamhoat, tapi belum
sampai pada puncak yang tinggi. Ketika lihat ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie malahan lebih
tinggi dari gurunya sendiri, dapat dimengerti kalau Loei Tjin Tjoe jadi kaget bukan main.
"Apakah tidak bisa jadi, perempuan ini benar-benar orang tingkatan atas dari -Boetong pay?"
tanya ia dalam hatinya. Mendadakan saja, ia ingat satu hal dan hatinya jadi lebih bingung lagi.
Tapi, selagi ia mau buka mulut buat menanya, ia lihat Thiekoay sian mengawasi padanya dengan
meseman mengejek, sehingga hatinya jadi panas sekali. "Baiklah! Biar aku buang-buangan jiwaku
sekali ini," demikian ia kata dalam hatinya. Ketika itu Thianlie berdiri dengan sikap tenang, ujung
pedangnya menuding dirinya, tapi tidak mau bergerak lebih dahulu. Inilah ada sikapnya orang dari
tingkatan lebih tua jika menghadapi orang tingkatan muda.
Dengan adanya kelambatan begitu, pedang es yang dicekal oleh
Thianlie sudah lumer sebagian dan air es tak hentinya mengetel-ngetel. Pedang es itu sudah
jadi lebih tipis dan lebih kecil. Tiba-tiba saja Loei Tjin Tjoe ingat suatu cara yang sangat beracun.
"Baiklah!" kata ia dalam hatinya. "Bagus sekali jika kau tidak mau menyerang. Aku pun tidak
mau buka serangan. Asal pedang esmu lumer, tanpa bertempur aku sudah dapat kemenangan!"
Sebelum bertempur, mereka sudah janji bahwa pertempuran dilakukan dengan menggunakan
pedang. Maka itu, jika pedang esnya Thianlie lumer sampai habis dan belum bisa dapat
kemenangan, Loei Tjin Tjoe tidak bisa disalahkan menarik keuntungan dengan akal bulus.
"Hei! Loei Tjin Tjoe. Kau kenapa?" tanya Thiekoay sian dengan paras muka gusar. Yang ditanya
tidak meladeni. Ia cekal pedangnya dan mengawasi Thianlie dengan mata tajam.
Tapi Pengtjoan Thianlie tidak menjadi gusar. Sebaliknya, ia kembali mesem. "Dengan adanya
niatanmu yang kurang baik, baiklah aku wakilkan Hian In Tootiang memberi pelajaran kepadamu,"
kata ia. Sehabis berkata begitu, kedua jerijinya mementil dan air es menyambar ke arah Tjin Tjoe.
Mendadakan saja ia rasakan kedua matanya kabur, beberapa ketel air es mengenakan tepat pada
mukanya dan sakitnya menembus ke tulang-tulang. Dalam keadaan yang kabur itu, Pengtjoan
Thianliee mendadak kirim satu serangan aneh.
Sebagaimana biasanya orang yang pandai silat, reaksi badan dan tangannya semua terjadi
tanpa merasa. Begitu ada gerakan musuh, gerakan membela diri muncul secara otomatis.
Demikianlah, begitu lihat Thianlie bergerak, tangannya Loei Tjin Tjoe yang mencekal pedang juga
lantas bergerak buat mendahului menyerang.
Tapi baru saja pedangnya menyambar sampai di tengah jalan, ia ingat bahwa dengan berbuat
begitu, ia jadi masuk dalam perangkap. Ia niat tarik pulang pedangnya, tapi sudah tidak keburu.
Hampir pada detik yang bersamaan, ia rasakan tenggorokannya dingin. Pedang esnya Pengtjoan
Thianlie ternyata sudah menempel pada tenggorokannya! Tenggorokan adalah bagian tubuh
manusia yang lemah dan jika Thianlie sedikit saja menggunakan tenaganya, jiwanya Loei Tjin Tjoe
akan segera melayang!
Thianlie tertawa sembari berkata: "Sebenarnya aku mau lihat kepandaianmu dalam sepuluh
jurus, buat mendapat tahu sampai bagaimana jauh majunya pelajaranmu. Tapi lantaran hatimu
kurang bersih, aku kurangkan separuh dan cuma jajal kau dalam lima jurus? Apa di hari kemudian
kau masih berani kurang ajar terhadap orang yang lebih tinggi tingkatannya? Apa kau masih
berani hinakan orang dengan andalkan kegagahanmu?"
"Kau, apakah kau puterinya Koei Soesioktjouw?" tanya Loei Tjin Tjoe dengan suara gemetar.
"Kau menebak jitu," sahut Thianlie.
"Koei Soesioktjouw" yang disebutkan oleh Loei Tjin Tjoe adalah Koei Hoa Seng. Di antara tiga
saudara dalam keluarga Koei, Koei Hoa Seng yang paling muda usianya, tapi yang paling tinggi
kepandaiannya dalam ilmu pedang. Loei Tjin Tjoe pernah dengar penuturannya orang tua-tua,
bahwa Koei Hoa Seng telah meninggalkan daerah Tionggoan dengan hati penuh kegusaran. Dan
sungguh tidak terduga, puterinya Koei Hoa Seng bisa berada di Thian-ouw.
Loei Tjin Tjoe keluarkan helahan napas dan lemparkan pedangnya.
Sesudah itu, ia hampiri Pengtjoan Thianlie dan berlutut tiga kali. Pedang es sudah lumer dan
cuma ketinggalan satu kepingan kecil saja. Sembari tertawa Thianlie gosok kedua telapakan
tangannya dan es yang ketinggalan lantas lumer menjadi air. Mendadak mukanya berubah dan
membentak: "Kau belum mau jalankan kehormatan kepada Siauw sinshe?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mukanya Loei Tjin Tjoe pucat seperti kertas. Tanpa berkata suatu apa, ia lari menghampiri
Siauw Tjeng Hong dan berlutut tiga kali. Mendadak ia membungkuk, jumput pedang yang
menggeletak di atas tanah dan gorok lehernya sendiri.
Harus diingat, bahwa nasibnya Loei Tjin Tjoe ada buruk sekali. Ia bukan saja gagal dalam
percintaan, tapi malahan juga kena dirusak mukanya oleh wanita yang ia pernah cintakan. Maka
itu, perasaan cinta berobah jadi satu dendaman hebat. Di sebelahnya membenci Gobie Liehiap Tjia
In Tjin, kegusarannya ditujukan terhadap Siauw Tjeng Hong. Sesudah menaruh dendam belasan
tahun, ia sekarang dapat ketemukan musuhnya, tapi siapa nyana, selagi mau bikin pembalasan, ia
bertemu dengan Pengtjoan Thianlie dan mengalami lagi penghinaan yang begitu besar. Maka
tidaklah heran, dalam putus harapan dan kegusaran, ia jadi nekat dan mengambil putusan
pendek.
Siauw Tjeng Hong keluarkan teriakan tertahan. Ia tak keburu menolong, sebab gerakannya
Loei Tjin Tjoe terlalu cepat. Mendadak dengan satu suara "trang" dan muncratnya kepingan es,
pedangnya Loei Tjin Tjoe jatuh di atas tanah. Orang yang menolong bukan lain daripada
Pengtjoan Thianlie yang telah menimpuk dengan sekeping es.
"Manusia tak punya nyali!" berkata si nona. "Kalau kepandaian kurang, apa tak bisa dipelajari
lagi?"
Mendengar perkataan itu, matanya Loei Tjin Tjoe berkunang-kunang dan dadanya dirasakan
seperti mau meledak. "Benar," kata ia dalam hatinya. "Kalau aku bunuh diri, ia akan kira aku
benar-benar tidak mempunyai nyali."
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berkata pula: "Kalau kau harus mendapat hukuman mati
lantaran dosamu, siang-siang aku sudah jatuhkan hukuman mati. Tidak perlu kau sendiri yang
turun tangan, Segala kejadian pada tahun itu sudah dituturkan oleh Thiekoay sian suami isteri
kepadaku. Dalam urusan itu, hatimu memang mengandung niatan yang kurang baik, tapi kau
sendiri tidak mengetahui, bahwa dalam urusan itu, kau sudah dipermainkan oleh seorang jahat.
Sungguh kau harus dikasihani dan ditertawai dengan berbareng. Apa kau tahu bagaimana maksud
hatinya Ong Lioe Tjoe? Kalau kau ingin tahu, pada Tiongtjhioe (pertengahan musim rontok, atau
Bulan Delapan tanggal 15) tahun ini, kau boleh pergi ke Chaklun buat mencari tahu."
Loei Tjin Tjoe terperanjat mendengar omongan itu. "Ong Lioe Tjoe sudah binasa, cara
bagaimana orang masih bisa dapat mengetahui isi hatinya," pikir ia. "Cara bagaimana, dengan
pergi ke Chaklun, aku bisa mendapat tahu isi hatinya Ong Lioe Tjoe yang sekarang sudah tidak
ada lagi dalam dunia?" Dengan timbulnya perasaan heran, ia tidak ingat lagi soal membunuh diri.
Sesudah pungut pedangnya, bersama Tjoei In Tjoe, ia segera turun gunung sembari tundukkan
kepala.
Ketika itu Siauw Tjeng Hong seperti juga berada dalam mengimpi. Ia lihat Tjia In Tjin dan
Thiekoay sian bicara dengan suara perlahan sembari tertawa-tawa, dengan tingkah laku yang
hangat sekali. Menyaksikan itu, hatinya seperti diremas-remas. "Suatu orang mempunyai nasib
sendiri-sendiri dan segala apa tidak dapat dipaksa," pikir Tjeng Hong. "Walaupun Thiekoay sian
beroman buruk, akan tetapi ia adalah murid yang mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam
Hong Tie sehingga dengan jadi pasangannya Tjia In Tjin, ia tidaklah membikin turun derajatnya
Gobie Liehiap."
Mengingat bahwa bekas kecintaannya sekarang sudah mendapat pasangan yang setimpal,
hatinya Siauw Tjeng Hong jadi tenang. Mendadak ia lihat Thiekoay sian menghampiri dengan
terpincang-pincang dan memberi hormat sesudah berhadapan. Siauw Tjeng Hong buru-buru balas
hormatnya, sambil ucapkan perkataan-perkataan merendah.
"Siauw loote," katanya sembari tertawa. "Apakah kau tahu kenapa aku sudah gebuk kau dan
sekarang memberi hormat padamu?"
Siauw Tjeng Hong gaga-gugu dan tak tahu harus menjawab bagaimana. Thiekoay sian tertawa
lagi dan berkata: "Aku tahu, bahwa aku adalah seorang yang berparas buruk sekali. Maka itu,
maka itu..."
Sebelum ia dapat teruskan omongannya, Tjia In Tjin sudah membentak: "Setan tak kenal malu!
Apa kau mau ditertawakan orang? Tutup mulutmu!" Sang isteri membentak begitu, sebab
mengetahui, kalau si suami bicara terus, ia bakal jadi jengah sekali. Thiekoay sian tahu parasnya
jelek sekali. Apa mau, ia dapat isteri yang sangat cantik. Sebagai seorang yang mempunyai adat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

aneh, dalam hatinya timbul rasa cemburu yang aneh pula. Hatinya belum merasa puas kalau
belum hantam siapa juga yang pernah jatuh hati pada isterinya itu. Siauw Tjeng Hong mana tahu
adatnya Thiekoay sian yang luar biasa itu.
Dengan omongannya diputuskan oleh sang isteri, Thiekoay sian tertawa meringis. "Baiklah,"
kata ia. "Aku tak omong lagi sebabnya kenapa aku memukul kau. Sekarang aku mau bicara
tentang kenapa aku jalankan kehormatan padamu. Hei, Siauw Tjeng Hong, berapa usiamu
sekarang?"
Siauw Tjeng Hong kembali terkejut. "Buat apa dia tanya begitu?" pikirnya. "Siauwtee sekarang
baru berusia empat puluh lebih sedikit," ia jawab.
"Kalau begitu, kau banyak lebih muda dari aku," kata Thiekoay sian. "Sungguh kasihan, rupamu
sudah kelihatan begitu tua, dan rambutmu sudah putih semua. Aku dengar, pada belasan tahun
berselang, kau masih jadi pemuda yang cakap sekali."
Mukanya Siauw Tjeng Hong yang putih mendadakan saja bersemu merah. "Itu semua lantaran
gara-gara isterimu," kata ia dalam hatinya.
"Siauw loote," kata lagi Thiekoay sian. "Aku tahu adanya perasaan kecewa dalam hatimu. Maka
itu, isteriku minta aku wakilkan ia menjalankan kehormatan di hadapanmu buat meminta maaf. Ia
kata, hatinya merasa sangat tidak enak lantaran sudah menyeret kau kedalam gelombang. Dari
sebab begitu, di sebelahnya meminta maaf, isteriku ingin persembahkan serupa barang kepada
kau."
Sehabis berkata begitu, ia rogoh sakunya, keluarkan satu kotak batu kemala yang lantas
diserahkan kepada Siauw Tjeng Hong. "Bukalah!" kata ia.
Siauw Tjeng Hong buka dan kotak itu berisi sekuntum bunga warna merah darah yang sebesar
mangkok. Heran sekali hatinya Siauw Tjeng Hong yang tak tahu harganya hadiah itu.
"Itu adalah kembang dewa Yoetam Sianhoa," menerangkan Thiekoay sian. "Orang yang makan
kembang itu, rambut putih bisa berobah jadi hitam, sedang parasnya yang tua dapat berobah
menjadi muda lagi. Aku si jelek tak gunanya makan bunga itu, maka aku rela mempersembahkan
kepada kau."
Waktu masih muda, Tjia In Tjin digelarkan Tokbeng Siantjoe (Dewi tukang betot jiwa orang).
Hatinya kejam dan tangannya telengas. Pada belasan tahun berselang, tanpa pikir-pikir lagi ia
turunkan tangannya secara ganas, dan sebagai akibatnya, Siauw Tjeng Hong yang kena getahnya.
Tapi sesudah menikah, adatnya jadi berubah. Saban-saban ingat Siauw Tjeng Hong, hatinya
merasa menyesal sekali. Satu ketika, bersama suaminya, ia berkelana di daerah Utara barat.
Waktu pesiar di pegunungan Thiansan, ia telah dapatkan kembang itu dan lantas saja ia
mengambil putusan buat menghadiahkan kepada Tjeng Hong buat menebus dosa.
"Ah, kalau begitu kembang ini Yoetam Sianhoa?" kata Tjeng Hong dengan perasaan terkejut
tercampur girang. Ia jadi ingat penuturannya orang-orang tua, bahwa buat satu kali mekar,
kembang itu harus melalui tempo 60 tahun. Pada seratus tahun lebih yang lalu, leluhur Boetong
pay Toh It Hang ingin petik kembang itu buat dipersembahkan kepada Pekhoat Molie, tapi
sesudah menunggu seluruh penghidupannya, kembang itu belum mekar juga. Belakangan
Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe telah dapatkan dan makan kembang tersebut, sehingga sampai mati
rambutnya masih tetap tidak berobah putih. Sekarang bukan saja ia dapat lihat benda yang langka
itu, tapi juga bisa punyakan sebagai hadiah dari Thiekoay sian.
Siauw Tjeng Hong mengawasi kembang itu dengan mata mendelong. Ia tak berani menerima.
Tjia In Tjin menghampiri dengan perlahan dan berkata sesudah berhadapan: "Tjeng Hong! Kau
makanlah. Pada lima tahun berselang, di Soetjoan barat aku telah bertemu piauwmoay-mu
(saudara misan perempuan) Gouw Tjiang Sian, yang tanyakan keselamatanmu. Ibumu juga
sekarang masih kuat dan sehat. Apakah kau tidak niat pulang buat tengok mereka?"
Hatinya Tjeng Hong lantas saja tergerak. Secara mendadakan saja, ia jadi ingat kepada orang
tua, famili, sahabat dan kampung kelahirannya. "Sekarang sedang permusuhan sudah menjadi
beres, memang seharusnya aku pulang," kata ia dalam hatinya. "Lantaran gara-gara dia, aku telah
menderita begitu hebat, maka adalah sepantasnya saja, jika aku menerima hadiahnya itu."
Memikir begitu, ia lantas ambil kembang.-tersebut dan berkata sambil dongakkan kepala dan
menghela napas: "Terombang-ambing di dunia Kangouw puluhan tahun lamanya. Bermula
ketemu, rambut belum putih, usia masih muda."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Maka sekarang lebih baik pulang, buat cari kawan memain waktu masih kecil," In Tjin
sambungi.
"Benar, benar!" kata Tjeng Hong sembari tertawa berkakakan. "Perkataanmu benar sekali! Oe-
djie, gurumu sekarang mau berpisahan denganmu!"
Selama setengah harian itu, Thian Oe telah saksikan banyak sekali kejadian mengherankan,
sehingga ia seperti juga sedang mengimpi. Sekarang mendadak ia dengar gurunya mau pulang ke
kampung kelahirannya, maka ia jadi sangat kaget dan buat beberapa saat, tidak dapat
mengucapkan sepatah kata. Siauw Tjeng Hong juga merasa berat buat berpisahkan dengan murid
yang baik itu.
"Muridmu itu sangat baik hatinya dan aku sangat penuju padanya," kata Thiekoay sian sembari
tertawa. "Aku si pengemis, kalau lihat barang baik, memang lantas mau meminta, Siauw Loote,
serahkan saja muridmu kepadaku."
"Sungguh mujur jika kau sudi menerima Oe-djie sebagai murid," kata Tjeng Hong dengan
girang sekali. "Oe-djie, lekas berlutut!"
"Soehoe," kata Thian Oe dengan suara sedih. "Apakah benar kau mau pulang?"
"Kalau tidak pulang, aku mau bikin apa disini?" jawab sang guru. "Aku pun merasa sangat berat
harus berpisahan dengan kau, tapi oleh karena orang tuamu berada di daerah ini, aku tentu tak
dapat ajak kau pergi bersama-sama."
"Ha, bocah," kata Thiekoay sian. "Apa kau tidak.suka angkat pengemis busuk sebagai gurumu?"
Thian Oe buru-buru membantah pernyataan itu dan segera berlutut di hadapan Thiekoay sian.
"Aku tidak begitu sabar sebagai gurumu," kata si pengemis sembari tertawa terbahak-bahak.
"Sebagai muridku, kau mesti mengemis nasi dan uang, dan kalau tidak dengar kata, aku akan
hantam pantatmu dengan tongkat ini."
"Jangan bikin takut anak baik ini," kata Tjia In Tjin. "Aku bicara terus terang, kalau kau sengaja
cari, biar kau jalan sampai pecah sepatu besi, tak nanti kau dapat ketemukan murid yang begini
baik."
Sembari tahan air matanya, Siauw Tjeng Hong awasi sang murid dan kemudian bekas
kecintaannya. "Nah, sekarang aku berangkat saja," kata ia dengan suara sedih. "Oe-djie, kau
harus dengar segala perintah gurumu. Kalau ada jodoh, di belakang hari .kita akan bertemu pula."
Tidak lama sesudah pulang ke kampung kelahirannya, Siauw Tjeng Hong telah dapat pasangan
yang setimpal sekali dan berkat latihannya yang terus menerus, di kemudian hari, ia jadi seorang
yang ilmu silatnya paling tinggi dalam Tjengshia pay.
Sesudah Siauw Tjeng Hong berangkat, sembari tertawa Thiekoay sian berkata: "Mau pergi,
pergi saja, buat apa begitu rewel-rewel."
"Kau lihat, ada orang yang lebih rewel lagi," berbisik isterinya.
Thiekoay sian menoleh dan lihat kedua boesoe Nepal, yang tadi berlutut di pinggir telaga,
sekarang sedang bicara sama Pengtjoan Thianlie dengan suara perlahan. Pengtjoan Thianlie
sendiri sedang dongakkan kepalanya, sikapnya tawar dan seperti acuh tak acuh. Tapi kedua
boesoe terus bicara sembari pentang-pentang tangan, seperti orang yang sedang memohon-
mohon, dengan paras muka yang bingung sekali. Thiekoay sian tidak mengerti bahasa Nepal,
sehingga biarpun pasang kuping, ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan.
Thian Oe sudah berdiam tujuh delapan tahun di Tibet, yang sering dikunjungi oleh pedagang
Nepal, sehingga sedikit-sedikit ia mengenal juga bahasa itu. Ia pun turut pasang kuping dan dapat
tangkap beberapa perkataan, seperti "guci emas", "ayahanda raja" dan sebagainya, tapi tidak
dapat hubungkan perkataan-perkataan itu sampai dapat dimengerti apa maksudnya.
Mendadak ia ingat perebutan guci porselen di Shigatse antara Bek Tayhiap, Thiekoay sian dan
yang lain-lain. "Apakah urusan yang sedang dibicarakan oleh kedua boesoe mempunyai hubungan
dengan guci porselen itu?" ia tanya dalam hatinya. "Tapi guci itu adalah porselen, dan bukannya
emas. Apa artinya itu perkataan ayahanda raja?"
Sedang Thian Oe diliputi perasaan heran, Pengtjoan Thianlie, yang rupanya sudah tidak
sabaran, membentak dalam bahasa Nepal: "Kecuali Puncak Es roboh, aku tak nanti turun dari
gunung ini." Bentakan itu dikeluarkan dengan keras, sehingga Thian Oe dapat dengar nyata sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Pergi! Pergi! Kalian pergi pulang," kata lagi Pengtjoan Thianlie. Suaranya tidak keras, tapi
berpengaruh sekali dan diucapkan dengan sikap angker, seperti juga seorang jenderal yang
sedang pimpin ratusan laksa tentara.
Kedua boesoe itu saling mengawasi. Mereka mundur tanpa berani buka suara lagi, sedang pada
paras mukanya terbayang perasaan putus harapan.
Sesudah itu, dengan muka yang bersorot sedih, seperti juga hatinya sedang dipengaruhi oleh
serupa perasaan, Pengtjoan Thianlie petik sekuntum bunga yang ia lemparkan ke telaga dan jatuh
pada tempat, dimana sungai es masuk ke dalam telaga. Bunga itu digulung pusar air akan
kemudian selembar-lembar terombang-ambing, menurut alirannya gelombang-gelombang halus.
Thian Oe jadi bergidik sebab ia ingat: "Jika benda tak berjiwa (sang kembang) bisa bernasib
sedemikian, apa lagi manusia?" la lihat itu gunung salju dengan puncaknya yang menjulang
menembus awan dan hawanya dingin bukan main, akan tetapi di tempat dimana ia berdiri, sang
telaga dengan kembang-kembangnya memberi suatu pemandangan dari musim semi. Dan di
pinggir telaga berdiri seorang wanita cantik yang hidup sendirian di atas Puncak Es. Keadaan
sedemikian seakan-akan merupakan suatu musim semi dalam musim dingin, cuma sayang,
pemandangan yang begitu indah, tidak banyak diketahui oleh manusia dalam dunia. Bahwa dalam
gunung salju terdapat telaga Thian-ouw, sudah merupakan kejadian yang mengherankan. Akan
tetapi, bahwa di atas sungai es hidup seorang bidadari, ada lebih mengherankan lagi! Apakah
Bidadari dari Sungai es ini akan mendapat nasib seperti sang kembang, yang terbuka dan rontok
sendirinya, akan kemudian terombang-ambing menurut alirannya air?
Selagi Thian Oe ngelamun begitu, kupingnya mendadak dengar Pengtjoan Thianlie berkata lagi:
"Aku sebenarnya tidak pernah menerima tetamu, akan tetapi, lantaran Kam Tayhiap dan ayahku
adalah sahabat-sahabat baik, maka, Thiekoay sian, sebab atas perintahnya Kam Tayhiap dengan
susah payah kau sudah mencari aku, dengan melanggar kebiasaan, aku sekarang undang kalian
berdua suami isteri buat menginap di rumahku beberapa hari."
Sesudah Koei Hoa Seng menghilang, kedua kandanya telah mencari ubak-ubakan dan
memesan kawan-kawannya buat bantu mencari. Salah seorang yang pernah diminta bantuannya,
adalah Kam Hong Tie. Selama tiga puluh tahun Hong Tie sudah berdaya tanpa mendapat hasil. Ia
adalah seorang ksatria yang pegang teguh janjinya, maka itu, pada sebelum menutup mata, ia
telah pesan muridnya supaya sang murid talangi ia melakukan satu pekerjaan yang belum dapat
dipenuhi. Thiekoay sian tidak sia-siakan pesanan gurunya. Belakangan ia mendapat warta, bahwa
di atas sungai es ada hidup seorang wanita yang mendapat julukan Pengtjoan Thianlie. Ia
menduga, bahwa wanita itu sepuluh sembilan adalah puterinya Koei Hoa Seng. Pada waktu ia
sedang bertempur melawan Loei Tjin Tjoe, isterinya justru sedang menemui Bidadari dari Sungai
es itu.
"Sudah lama aku pangeni tempat ini yang seperti surga, akan tetapi aku tidak berani membuka
mulut," kata Thiekoay sian sembari tertawa. "Maka itu, tentu saja aku merasa sangat girang, jika
kau sudi menerima kami berdiam beberapa hari."
"Kalau begitu, marilah kita turun ke perahu," kata Pengtjoan Thianlie. "Kau adalah muridnya
Thiekoay sian dan juga sahabatnya Chena moaymoay. Maka itu, kaupun boleh ikut." Thian Oe
bermula merasa sedikit bersangsi, akan tetapi, ia lantas turut turun ke dalam perahu, tanpa
berkata suatu apa.
Waktu itu sudah lewat tengah hari. Kepingan-kepingan es yang mengambang di atas sungai
jadi semakin lumer dan air mengalir semakin deras, dari puncak gunung menyapu ke bawah. "Naik
ke atas dengan melawan aliran air ada banyak lebih sukar dari turun ke bawah," pikir Thian Oe.
"Biarpun ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sedemikian tinggi, tapi apakah ia mampu bikin
perahu itu manjat ke atas? Apakah ia bukan terdiri dari darah dan daging seperti manusia biasa?"
Selagi hatinya sangat bersangsi, kupingnya sudah dengar Pengtjoan Thianlie berkata: "Semua
orang duduk biar benar. Perahu mulai jalan."
Sehabis berkata begitu, dengan sebatang kejen batu kemala, ia totol sekeping es dan perahu
itu lantas meluncur beberapa tombak jauhnya. Mendadak perahu terpukul arus dan mundur lagi
setombak lebih. Pengtjoan Thianlie sapu kepingan-kepingan es yang ngambang akan kemudian
menotol lagi dengan kejennya dan sang perahu kembali meluncur beberapa tombak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie pusatkan Seantero perhatiannya dan menggunakan banyak
sekali tenaga, sedang orang-orang yang berduduk di dalam perahu semuanya berpeluk tangan.
"Sedang dia begitu capai, bagaimana kita bisa enak diam saja?" kata Thian Oe dalam hatinya.
Tiba-tiba arus yang sangat keras menerjang hebat sekali, sehingga sang perahu terputar-putar
dalam pusar air dan air yang muncrat membasahi mukanya semua orang.
Thian Oe terkesiap. Melihat tongkat besi gurunya yang disenderkan di pinggir perahu, tanpa
banyak pikir, ia lantas jumput tongkat itu, yang ternyata sangat berat, buat bantu mendorong.
Tapi begitu lekas ia mendorong dengan tongkat, sang perahu bergoncang dan berputar keras, dan
dengan dibarengi sama sambaran satu gelombang, sebagian badan perahu tenggelam di dalam
air, tapi untung timbul lagi dengan goncangan keras.
"Kau cari mampus?" membentak Thiekoay sian sembari rampas tongkat itu dari tangan
muridnya.
"Maksudnya baik sekali, kau tak usah marahi dia," kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
Thian Oe rasakan mukanya panas lantaran malu. Ketika itu, setahu bagaimana, badannya
perahu sudah tetap kembali, sehingga hatinya jadi legaan. Sekonyong-konyong satu arus yang
lebih hebat daripada tadi, menyambar dari sebelah kiri. Thian Oe mencelos dan berkata dalam
hatinya: "Sekarang matilah!" Mukanya jadi pucat seperti kertas. Tiba-tiba badannya perahu
terlempar ke atas, seperti juga terbang di tengah udara, dan di lain saat, sudah hinggap di muka
air dengan selamat dan terpisah agak jauh dari tempat tadi!
Bukan main herannya Thian Oe. Melihat keheranan pemuda itu, Chena berkata sembari
tertawa: "Waktu pertama datang, aku pun sudah dibikin kaget setengah mati oleh arus itu.
Belakangan barulah aku mendapat tahu, bahwa tanpa adanya arus tersebut, sang perahu malahan
tak dapat naik turun."
Pengtjoan Thianlie yang sedari kecil hidup di tempat tersebut, mengenal baik sifatnya arus
sungai, yang mempunyai tenaga menyapu balik. Sifatnya arus sungai tersebut adalah ibarat
sifatnya angin puyuh yang terputar, dan dalam putarannya itu, dapat melempar sang perahu ke
sebelah atas. Maka itu, dalam menjalankan perahu di sungai es, biarpun benar seorang harus
mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tetapi kejadian tersebut bukanlah suatu kejadian yang
mujijat.
Belum cukup sejam, perahu sudah tiba di puncak gunung. Keraton yang nangkring di puncak
terbuat dari kristal, marmer atau balokan-balokan es, sehingga di dalamnya jadi terang
benderang, dan jika tertojo sinarnya matahari, keraton itu berkredepan dalam rupa-rupa warna.
Sungguh satu pemandangan yang langka! Melihat itu semua, Thian Oe yang tadinya sudah lelah
sekali, mendadak jadi segar kembali. "Dengan berdiam seorang diri dalam keraton ini, apakah
Pengtjoan Thianlie tidak merasa kesepian?" tanya ia dalam hatinya.
"Thianlie tjietjie," kata Chena sembari tertawa. "Jika kau sudi menerima aku sebagai pelayan,
aku rela berdiam di tempat ini seumur hidupku."
"Anak otak!" menyahut Pengtjoan Thianlie sembari mesem. "Mana kau bisa betah tinggal di
tempat ini? Dan bukankah kau siang malam terus pikirkan soal membalas sakit hatinya kedua
orang tuamu?" Mendengar omongan itu, Chena tidak berkata suatu apa lagi.
"Aku dengar kau selalu memanggil aku sebagai Thianlie tjietjie." Berkata lagi Pengtjoan
Thianlie. "Apa dengan memanggil begitu, kau tidak kuatir orang nanti mentertawakan? Aku cuma
bertempat tinggal di Pengtjoan (Sungai es), dan manalah boleh disebut bidadari (Thianlie). Aku
sebenarnya she Koei bernama Peng Go. Thiekoay sian berdua suami isteri juga rasanya belum
mengetahui namaku."
"Nama itu sungguh bagus," kata Tjia In Tjin sembari tertawa. "Tapi kau benar-benar cantik
laksana bidadari, maka biarlah aku memanggil saja Thianlie tjietjie."
Pengtjoan Thianlie segera anter semua tetamunya masuk ke dalam keraton. Berbareng dengan
tepukan kedua tangannya, di depan saban keraton lantas muncul satu wanita muda, yang
berpakaian indah sekali. Walaupun di antara bangunan-bangunan terdapat banyak pintu, tapi oleh
karena keraton tersebut terbuat dari bahan-bahan yang terang seperti kristal dan es, maka semua
wanita itu lapat-lapat bisa dilihat. Semua dayang itu, yang rata-rata berparas cantik, berpakaian
secara luar biasa, bukan pakaian Tibet maupun Han, dan sekali lihat lantas dapat diketahui, bahwa
mereka itu bukannya orang Tionghoa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe rasakan seperti masuk ke dalam surga. "Kalau begitu, Pengtjoan Thianlie bukannya
hidup sendirian," kata ia dalam hatinya. "Cuma dari manakah ia dapatkan begitu banyak nona-
nona?"
"Kalian tentu capai sekali, maka biarlah kalian mengasoh dahulu," kata Pengtjoan Thianlie.
Suami isteri Thiekoay sian, Tan Thian Oe dan Chena lalu diantar oleh dayang-dayang itu ke
gedung-gedung yang terpisah. Sesudah melalui jalanan bulak-belok dengan diantar oleh sang
dayang, Thian Oe tiba di satu kebun kembang. Bunga-bunga dan rumput-rumput yang tumbuh
disitu dengan warna-warni yang gilang gemilang, hampir semua belum pernah dilihat oleh Thian
Oe.
"Siangkong (tuan) masuklah ke dalam gedung ini buat mengasoh," kata dayang itu. "Jika
siangkong memerlukan aku, tarik saja tali tembaga yang terdapat di pojokan. Jalanan disini
banyak belitannya, dan jika siangkong mau jalan-jalan di dalam taman, ingatkan saja tanda itu,
supaya tak kesasar." Sembari berkata begitu, jerijinya menunjuk ke atas gedung, dimana terukir
satu singa-singaan batu. Ternyata di atas saban gedung terdapat ukiran-ukiran binatang yang
berlainan. Ada ukiran kuda, macan, burung Hong dan sebagainya. Biarpun bukannya orang
Tionghoa, akan tetapi dayang itu dapat bicara bahasa Pakkhia dengan lancar sekali. Sesudah
memesan begitu, ia lantas undurkan diri.
Thian Oe tolak pintu dan masuk ke dalam gedung. Hatinya kaget lantaran beberapa pemuda
kelihatan mendatangi ke arah ia. Tapi segera juga ia mengerti, bahwa semua pemuda itu adalah
bayangannya sendiri, lantaran di empat penjuru tembok dipasang kaca yang sangat besar.
Gedung itu dihias indah sekali dengan perabotan yang mahal harganya. Dalam kamar tidur,
kasurnya terbuat dari sutera mahal dengan kelambu sulam, sedang di atas meja tulis terdapat
satu vas yang ditancapkan semacam bunga luar biasa, yang menyiarkan bau harum sekali. Di atas
tembok tergantung sebuah lonceng dari negara Barat yang mengeluarkan suara "tik-tak, tik-tak"
tak henti-hentinya. Pada jaman itu, yaitu jaman Kaizar Kianliong, masih sedikit sekali lonceng
Barat yang di impor ke Tiongkok. Pertama kali Thian Oe lihat lonceng itu adalah di rumahnya
Touwsoe.
Selainnya itu, di atas tembok juga terdapat sepasang gambar lukisan dengan sajak yang
tulisannya indah sekali.
Gambar yang satu memperlihatkan seorang pemuda yang memakai baju warna kuning, sedang
pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Romannya pemuda itu bukan saja
cakap, tapi juga angker sekali. Gambar yang lain adalah gambarnya seorang wanita yang pakai
pakaian kuno. Dengan kedua alis yang bengkok dan potongan muka seperti kuaci, wanita itu
cantik luar biasa dan matanya sedikit mirip dengan Pengtjoan Thianlie.
Sajak yang tertulis pada kedua gambar itu seperti juga buah kalamnya seorang wanita dan
berbunyi seperti berikut:
Mengangkat cawan berpisahan.
Nyanyikan lagu berpisahan.
Bisiki kata-kata berpisahan, Siapakah yang membuat lagu itu, seperti seekor burung berkelebat
di atas air dan menghilang dalam sekejapan mata? Tjioe Nio nyanyikan lagu Kim Louw.
Nyanyian berakhir, penonton bubar, cuma ketinggalan beberapa puncak gunung yang hijau.
Tapi kumandangnya sang lagu tak putus-putusnya,
Sampai mengimpi tiba di kota Pakkhia.

Cawan penuh, tapi toh kosong. Nyanyian merdu, toh kosong juga,
Tetabuhan khim indah, pun kosong.
Rembulan terang, akhirnya kosong juga.
Semua orang sudah bubaran dari taman bunga anggrek dan ketinggalan debu yang
berhamburan.
Musim dingin meliputi daerah Kanglam,
Dalam liati mengutuk salju dan angin yang meresap ke tulang-tulang.
Orang yang dicinta berada di ujung langit.
Siapa lagi yang dapat hiburi hatinya anak yang terlantar?
Sebagai peringatan dari marhum ayah dan ibu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Hoan Lian.
Tan Thian Oe sekarang tahu, bahwa lelaki dan wanita itu adalah kakek dan neneknya
Pengtjoan Thianlie, yaitu Koei Tiong Beng dan isterinya Moh Hoan Lian, sedang sajak itu adalah
buah kalam ayahnya Moh Hoan Lian, yaitu Moh Pie Kiang.
Hatinya Thian Oe diliputi dengan perasaan heran yang sangat besar. Bahwa Pengtjoan Thianlie
adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng, sudah merupakan satu hal yang mengherankan.
Akan tetapi, keraton di puncak gunung dengan dayang-dayangnya yang terdiri dari wanita-wanita
asing, merupakan keheranan yang lebih besar lagi. Walaupun asal-usulnya Pengtjoan Thianlie
sudah terbentet sekali, akan tetapi, dalam keseluruhannya, ia masih merupakan satu teka-teki.
Malam itu, sesudah bersantap dengan hidangan yang diantar oleh sang dayang, Thian Oe
gulak-gulik di atas pembaringan dan tidak dapat tidur pulas. Ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang
aneh, ia ingat Pengtjoan Thianlie yang diliputi rahasia, ia ingat suami isteri Thiekoay sian, ia ingat
macam-macam hal yang datang saling-susul dalam otaknya.
Ia melongok keluar jendela dan saksikan satu dunia yang diselimuti dengan sinar perak.
Dengan sinar salju yang datang dari atas puncak gunung, ditambah sama bunga-bunga yang
memenuhi seluruh taman, Thian Oe merasa seperti juga berada di tengah-tengah dunia kaca
dengan warna-warninya yang indah luar biasa.
Seperti dibetot besi berani, Thian Oe pakai jubah luarnya dan dengan tindakan perlahan, ia
keluar dari gedung itu buat menikmati pemandangan alam yang seindah itu.
Mendadak kupingnya dengar orang bicara yang datang dari kejauhan. Thian Oe lalu
mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan dan lihat dua bayangan orang sedang
mendatangi ke arah ia. Yang jalan duluan adalah Pengtjoan Thianlie, sedang yang belakangan
bukan lain daripada Thiekoay sian. Thian Oe merasa heran. Ada urusan apa, mereka jalan-jalan
dalam taman, di tengah malam buta itu?
Dalam jarak belasan tombak dari tempat sembunyinya Thian Oe, mereka mendadak berhenti.
"Terima kasih banyak buat berita yang kau sampaikan," demikian kedengaran Pengtjoan Thianlie
berkata. "Dan terima kasih juga kepada paman-paman sekalian yang sudah begitu memperhatikan
diriku. Tapi aku sudah bersumpah, bahwa selama hidup, aku tidak nanti turun dari gunung ini."
"Tapi... Tapi guci emas itu ada luar biasa pentingnya," kata Thiekoay sian. "Dahulu, pada jaman
tujuh ahli pedang turun dari gunung Thiansan, kakek dan nenekmu, bersama-sama Leng Bwee
Hong Tayhiap, dengan bersatu padu sudah melawan kerajaan Tjeng. Kau sendiri adalah cucunya
Koei Tayhiap. Apakah kau tega melihat Tibet menjadi jajahannya bangsa Boan? Begitu lekas guci
emas itu tiba, tamatlah riwayatnya Tibet."
"Aku tidak urus urusan begitu," kata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar.
Thiekoay sian menghela napas. Baru ia mau buka mulut, Pengtjoan Thianlie sudah
mendahului:
"Kecuali Puncak Es roboh, putusanku tak dapat dirobah lagi. Sebenarnya terhadap kalian suami
isteri yang jauh-jauh sudah datang disini, aku harus penuhkan kewajiban sebagai tuan-rumah buat
melayani beberapa hari Cuma menyesal, lantaran dahulu aku pernah bersumpah, bahwa siapa
saja yang berani membujuk aku turun gunung, biarpun ia adalah seorang dari tingkatan yang lebih
tua, aku tak dapat menahan lagi padanya. Thiekoay sian! Terima kasih buat kebaikan hatimu, tapi
besok aku akan perintah dayang antar kalian turun gunung dan di kemudian hari tak usah datang
lagi disini."
Thian Oe tak dapat lihat mukanya Pengtjoan Thianlie yang berdiri membelakangi ia. Suaranya
halus, tapi tegas, seperti satu ratu yang sedang keluarkan firman.
Thiekoay sian berdiri diam tanpa menjawab sepatah kata. Thian Oe juga merasa heran, kenapa
seorang wanita yang begitu cantik bisa bersikap sedemikian keras dan mengeluarkan kata-kata
yang terang-terangan mengusir tetamunya. Ia merasa berat buat tinggalkan tempat itu yang
sepera surga, terutama itu gadis Tsang yang aneh. Hatinya merasa sedih, sebab ingat besok ia
harus berlalu bersama-sama gurunya dan tak akan bisa datang lagi ke tempat itu.
Sesudah lewat sekian lama, barulah kedengaran Thiekoay sian berkata: "Sesudah berbuat
kesalahan terhadap nona, aku tak berani meminta maaf. Aku akan turut apa yang diinginkan oleh
nona." Sesudah itu lantas kedengaran suara tindakan kaki yang semakin lama jadi semakin jauh,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dan waktu Thian Oe melongok dari gunung-gunungan, kedua orang itu sudah tidak kelihatan
bayang-bayangannya lagi.
Sembari tarik napas panjang, Thian Oe keluar dari tempat mengumpatnya. Tiba-tiba, dari
antara pohon-pohon kembang muncul satu orang. Baru saja ia niat menyingkir, orang itu sudah
menanya dengan suara nyaring: "Kau belum tidur?"
Thian Oe mengawasi dan ia itu adalah Chena, yang kepalanya dibungkus dengan sutera putih,
sedang kedua matanya yang jeli bersinar terang dalam malam yang remang-remang itu dan pada
mulutnya tersungging meseman yang sukar dijajaki.
"Terima kasih buat budimu yang beberapa kali sudah menolong jiwaku," katanya sembari
mesem. "Cuma sayang besok kau sudah harus berlalu dari sini."
"Hm," kata Thian Oe. "Apa kau juga dengar pembicaraan yang barusan?"
Chena manggutkan kepalanya dan berkata: " Menurut Thianlie tjietjie, jiwanya gurumu berada
dalam bahaya, jika ia teruskan niatannya buat merampas guci emas itu. Ia bilang, kau haruslah
berlaku hati-hati."
Thian Oe terkejut. "Aku sungguh tidak mengerti persoalan ini," kata ia. "Barang apakah adanya
guci emas itu yang mau direbut?"
"Apa kau belum pernah dengar halnya guci emas itu?" menegasi Chena.
"Belum," jawab Thian Oe. Chena kerutkan alisnya dan paras mukanya berobah jadi sungguh-
sungguh sekali.
"Apakah kau tahu, bahwa Dalai Lama, Panchen Lama, Hutuketu dan lain-lain Budha hidup
semuanya menjalankan lahir mengulang (reinkarnasi) "?" tanya Chena dengan suara perlahan.
Sebagai orang yang menjadi besar di Tibet, Thian Oe tentu saja mengetahui kepercayaan itu.
Ia menggutkan kepalanya dan Chena berkata pula: "Oleh karena dalam soal reinkarnasi ini sering-
sering timbul percekcokan, maka kaizar Tjeng mengirimkan sebuah guci emas buat mengakhiri
segala pertentangan. Manakala timbul percekcokan, maka Naichung yang berhak harus menulis
nama-namanya semua calon di atas sepotong kertas yang sesudah digulung, dikasih masuk ke
dalam guci emas itu. Kemudian, di hadapan orang banyak diambillah salah satu gulungan kertas
dan calon yang namanya kena diambil dianggap sebagai Budha hidup yang tulen. Aku dapat
dengar, guci emas itu sudah dikirim dari Pakkhia dan setibanya di Lhasa akan disambut secara
besar-besaran oleh Dalai Lama dan lain-lain pembesar, akan kemudian ditaruh dalam Gereja Pusat
di Lhasa. Dengan demikian, guci tersebut akan menjadi semacam benda suci yang sifatnya abadi.
Kau tentu mengerti, bahwa pengiriman barang yang begitu penting tentu saja bakal dilindungi
oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi. Maka itu, bukankah gurumu seperti mau
antarkan jiwa, jika ia coba merampasnya?"
Thian Oe tadinya niat menanya, cara bagaimana Chena bisa mengetahui persoalan itu. Akan
tetapi mengingat gadis tersebut adalah puterinya Raja muda Chinpu, Thian Oe jadi urungkan
niatannya.
Ayahnya Thian Oe adalah seorang pembesar yang dikirim oleh Kaizar Kianliong ke Tibet sebagai
Amban. Walaupun hatinya merasa tidak puas terhadap bangsa Boan, akan tetapi ia merasa,
tindakannya kaisar Boan di ini kali tidaklah boleh terlalu disalahkan, sebab sedikitnya dapat
menyingkirkan segala pertentangan di Tibet. Maka itu, ia tidak mengerti sebab apa gurunya niat
rampas guci emas tersebut.
"Kita orang Tibet paling memuja Budha hidup," kata lagi Chena sesudah menghela napas
panjang. "Jika orang Han bikin rusak guci emas itu atau merampas benda suci kita, maka
permusuhan antara bangsa Tibet dan Han akan jadi semakin dalam. Aku dengar, di antara kau
orang Han terdapat sejumlah pendekar yang merasa kuatir, bahwa sesudah menerima guci emas
itu, pemerintahan yang berdasarkan keagamaan di Tibet akan jatuh di bawah perintahnya
kerajaan Tjeng dan Tibet akan jadi semacam jajahannya bangsa Boan. Dari sebab begitu, mereka
mati-matian mau merampas guci emas itu. Cuma aku kuatir, maksud yang baik itu akan dianggap
sebagai maksud jahat oleh orang Tibet. Maka itu, aku rasa lebih baik kau bujuk supaya gurumu
batalkan niatannya."
"Adatnya guruku sangat luar biasa dan sebagai murid baru, cara bagaimana aku berani
membuka mulut?" kata Thian Oe.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kedua orang muda berdiam buat beberapa lama. "Chena," kata Thian Oe. "Cara bagaimana kau
jadi bermusuhan dengan Touwsoe di Sakya?" Baru saja ucapkan perkataan itu, Thian Oe lantas
merasa menyesal sebab kuatir ia sudah melewati batas kesopanan.
Tapi Chena kelihatannya tidak merasa tersinggung. "Kau sudah menolong jiwaku dalam
rumahnya Touwsoe, maka biarpun kau tidak menanya, aku seharusnya memberitahukan
padamu," katanya dengan suara perlahan. "Biarlah sekarang aku tuturkan satu cerita, yang
selainnya Thianlie tjietjie, kau adalah orang kedua yang pernah mendengar ini.
"Dahulu, yaitu pada jaman kerajaan Tong, suku Tukuhun (daerah Koko Nor) telah menyerang
Tibet. Satu panglima Tibet yang gagah perkasa sudah berhasil pukul mundur musuh yang
menyerang itu. Tak lama kemudian, raja Tibet mengadakan pesta pernikahan besar dan
permaisurinya adalah Puteri Boenseng dari Kaisar Tong. Dengan menggunakan kesempatan itu
sang raja memberi hadiah kepada mereka yang berjasa. Panglima yang sudah pukul mundur
serangan Tukuhun adalah orang yang paling berjasa, maka Raja Tibet menghadiahkan ia sebidang
tanah yang luasnya ditentukan dengan larinya seekor kuda dalam tempo seharian. Panglima
tersebut tersohor mahir dalam ilmu menunggang kuda dan sepanjang cerita, dalam tempo
seharian kudanya dapat melalui satu lingkaran dari 5000 li lebih. Tanah yang seluas itu segera
dihadiahkan kepadanya dan ia diberi pangkat Hoan-ong (raja muda). Panglima tersebut adalah
leluhurku.
"Tanah dan pangkat itu dipegang turun menurun. Ayahku adalah turunan yang ke 50. Ia
berkuasa atas empat Touwsoe, antaranya Touwsoe di Sakya yang mempunyai pengaruh paling
besar. Isterinya Touwsoe Sakya itu adalah puterinya paman misananku. Lantaran adanya
hubungan pangkat dan hubungan keluarga, maka kedua keluarga bergaul dengan sangat rapat.
"Ayahku suka sekali berburu. Siapa nyana, pada satu hari ketika sedang mengubar seekor rase
bulu emas, kepalanya kebentur cabang pohon dan ia terguling dari kudanya akan terus meninggal
dunia.
"Aku tak mempunyai saudara lelaki, maka setelah diadakan perundingan, telah disetujui bahwa
kedudukan ayahku harus diwarisi kepada pamanku, dan jika sang paman meninggal dunia, kepada
saudara-saudara misananku.
"Tapi siapa kira beberapa kejadian ajaib terjadi dengan beruntun. Pertama, sehabis minum
semangkok susu kuda, badan pamanku mendadak pada matang biru dan bengkak-bengkak dan
meninggal dunia tidak lama kemudian. Sesudah itu, beberapa saudara misananku dengan
beruntun meninggal secara luar biasa sekali. Badan mereka pada matang biru, sedang darah
keluar dari lubang mulut, kuping, hidung dan sebagainya. Orang-orang tua bilang, kejadian ini
adalah akibat gangguan setan memedi, maka sekeluarga kita pada mengumpat dalam sebuah
gereja yang terletak di dalam pekarangan gedung. Sebuah kunci besar dipasang diluar gereja dan
di seputar tembok disebarkan kapur. Katanya, penjagaan itu dapat menahan masuknya kawanan
setan. Ah, sungguh menakutkan hari-hari yang seram itu!"
Thian Oe bergidik. Keindahan alam yang terbentang di depannya segera juga berobah jadi
pemandangan yang menyeramkan.
"Demikianlah saudara-saudara misananku satu persatu binasa secara mengerikan itu," Chena
lanjutkan penuturannya. "Aku ingat, itu hari, saudara misananku yang terakhir, yang baru saja
berusia tiga tahun, juga tidak terluput dari kebinasaan. Bukan main rasa takutku. Aku merasa,
bahwa aku sendiri pun tidak akan hidup lama lagi di dalam dunia. "Hari itu adalah hari
Hoeihoentjee 81 ayah. Sebenarnya satu sembahyangan harus dibikin dalam gedung raja muda,
akan tetapi, berhubung dengan terjadinya kejadian-kejadian hebat, kami tidak berani mengisar
dari dalam gereja, sedang orang luar pun tak berani datang di rumah kita.
"Tapi masih ada satu orang yang tidak takut. Orang itu adalah koekoe-ku (paman, saudara
lelaki dari ibu) yang bernama Lochu. Apa kau pernah dengar namanya?"
"Ya," menyahut Thian Oe. "Ayah kata, ia adalah orang gagah nomor satu di bawah perintahnya
Chinpu. Menurut katanya soehoe, ia adalah seorang kenamaan dari Thianliong pay."
"Ilmu kepandaian koekoe sangat tinggi," kata Chena sambil manggutkan kepalanya, "Ia juga
tidak takuti segala setan memedi. Hari itu ia kebetulan datang dan turut bersembahyang pada
malam itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Hatiku selalu ketakutan. Biasanya setiap malam aku tidur bersama ibu di satu kamar. Tapi
malam itu, koekoe yang temani aku, sedang ibu mau menjaga meja sembahyang sampai jam lima
pagi bersama dua dayang.
"Malam itu aku tak dapat pulas. Saban kesiuran angin atau bergoyangnya rumput membuat aku
kaget dan menduga kedatangannya roh ayah. Aku ingat, bahwa semasa hidupnya ayah sangat
mencintai aku, dan sekarang, sesudah menjadi roh halus, ia haruslah menjaga aku, menjaga juga
ibuku, supaya kita jangan diganggu oleh segala setan keliaran.
"Jam tiga sudah lewat dan jam empat menyusul. Semua bujang sudah pada tidur, sehingga
keadaan jadi sunyi senyap, sedang di luar cuma kedengaran suara ketak-ketiknya sang lonceng.
Dalam kamar terdapat dua pembaringan kayu. Aku tidur di pembaringan sebelah dalam, sedang
koekoe di pembaringan sebelah luar. Aku mengintip dari sela-sela pintu dan lihat api lilin
bergoyang-goyang. Mengingat seramnya keadaan diluar, aku mau teriaki ibu supaya masuk saja
ke dalam buat temani aku. Tapi sebelum dapat buka suara, api lilin mendadak padam semuanya!
"Berbareng dengan itu, aku dengar teriakan ibu yang membikin bulu badanku jadi berdiri. Tiba-
tiba koekoe membentak sembari menjotos, sehingga tiang ranjang sempal. Sekarang aku dapat
lihat, satu bayangan hitam sudah bertempur seru dengan koekoe.
"Sesudah bertempur beberapa lama, koekoe desak dia keluar kamar dan mereka terus
berkelahi dengan hebatnya. Setiap pukulan mengeluarkan deruan angin dan mataku tak dapat
membedakan, yang mana koekoe, yang mana musuh. Perabot rumah tangga banyak yang hancur
lantaran kepukul atau ketendang. Tiba-tiba aku dengar teriakan koekoe yang menyeramkan.
Semangatku terbang, hampir-hampir aku pingsan, sebab duga koekoe kena dirobohkan. Tapi,
sesudah teriakan itu, keadaan jadi sunyi kembali. Aku buka kedua mataku dan merasa satu orang
usap-usap kepalaku."
"Apa koekoe?" Thian Oe menanya tanpa merasa.
Chena tarik napas panjang dan menyahut: "Benar, ia adalah koekoe. Napasnya sengal-sengal
dan suaranya gemetar waktu ia berkata: "Chena, aku... Lekas ikut padaku." Ketika itu, aku sudah
jadi begitu ketakutan, sehingga kedua kakiku menjadi lemas. Koekoe pondong aku dan berjalan
keluar. "Mana ibu? Ajaklah ibu bersama-sama," kata aku. Koekoe tidak menjawab. Ia buka pintu
gereja dan lantas loncat ke atas punggung kuda, yang lantas dikaburkan secepat bisa. Belakangan
aku baru tahu, bahwa ibu dan dua dayang semuanya binasa dalam tangannya pembunuh. Si
pembunuh sebenarnya maui juga jiwaku, dan kalau tidak ada koekoe, sekarang aku tentu sudah
tidak hidup lagi. Koekoe terus kaburkan kudanya dan dalam tempo semalaman sudah melalui lebih
dari dua ratus li. Disitu barulah ia memberitahukan aku, bahwa paman dan saudara-saudara
misanan semua binasa dalam tangannya pembunuh itu, yang mempunyai semacam ilmu pukulan
sangat beracun yang dinamakan Tjit-im tjiang. Siapa yang kena pukulan itu, sekujur badannya
lantas matang biru dan dari lubang-lubang tubuhnya mengeluarkan darah! Tak usah dibilang lagi,
si korban tidak akan dapat ditolong jiwanya. Dengan taruhkan jiwanya, koekoe lawan pembunuh
itu, yang dapat juga dipukul mundur, tapi koekoe sendiri sudah kena satu pukulannya.
"Semangatku rasanya terbang dan buru-buru tanya bagaimana baiknya. Koekoe menerangkan,
bahwa lantaran mempunyai tenaga dalam yang cukup kuat, maka ia masih bisa tahan tujuh hari
lamanya. Koekoe dengar, di pegunungan Nyenchin Dangla terdapat satu telaga Thian-ouw dan di
pinggir telaga tersebut hidup seorang dewi. Sepanjang cerita, air suci dari telaga tersebut dan
bunga Mantolo yang tumbuh di atas gunung dapat mengobati macam-macam penyakit. Lantaran
tidak terdapat lain jalan lagi, dengan tidak perdulikan benar atau tidaknya cerita itu, sambil
mendukung diriku, koekoe panjat gunung
Nyenchin Dangla. Waktu matanya melihat air telaga, mendadak koekoe keluarkan teriakan dan
jatuh pingsan, mungkin lantaran lukanya dan kecapaian, tercampur dengan perasaan girang sudah
bisa sampai di telaga tersebut. Sembari menangis, aku coba bikin sadar padanya. Lantaran lapar
dan lelah, sesudah menangis beberapa lama, aku pun jatuh pingsan.
"Tak tahu sudah selang berapa lama, perlahan-lahan aku jadi sadar. Koekoe sudah tidak berada
disitu, tapi di hadapanku berdiri seorang wanita yang parasnya cantik sekali. Aku menduga, ia itu
tentu sang dewi yang bertempat tinggal di pinggir telaga. 'Sianlie tjietjie, mana koekoe-ku?' aku
menanya. Ia mesem dan menyahut: 'Apa ia koekoe-mu? Aku bukannya dewi. Aku she Koei
bernama Peng Go. Orang luar namakan aku sebagai Pengtjoan Thianlie.' Mendengar begitu, aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

segera berkata kembali: 'Kalau begitu, Thianlie tjietjie, dimanakah adanya koekoe?' 'Aku belum
pernah permisikan orang luar naik disini, maka itu aku sudah usir koekoe-mu ke bawah gunung,'
jawab Pengtjoan Thianlie. Kembali aku menangis keras. 'Jangan nangis,' ia membujuk. 'Aku sudah
obati lukanya koekoe-mu dan sekarang jiwanya sudah ketolongan. Kalau bukannya begitu, cara
bagaimana ia bisa turun dari gunung ini?' Aku merasa heran mendengar cara-caranya Thianlie
tjietjie, yang sesudah menolong, lalu mengusir koekoe. 'Thianlie tjietjie apakah kau akan usir juga
diriku?' aku menanya. Waktu itu, aku tidak mengerti barang sedikit ilmu silat, sehingga kalau
benar diusir, aku tentu mesti binasa, kalau tidak lantaran terpleset jatuh, tentu juga lantaran
kelaparan.
"Pengtjoan Thianlie kembali mesem dan berkata dengan suara halus: 'Aku dan kau ada
berjodoh, maka aku bersedia buat menahan dirimu untuk sementara waktu.' Belakangan aku baru
mendapat tahu, bahwa Thianlie tjietjie belum pernah bergaul dengan orang luar dan ia ingin sekali
mengetahui keadaan dalam dunia. Selainnya itu, ia juga merasa senang terhadapku sebab mataku
mirip sekali dengan matanya. Itulah sebabnya, maka ia sudi menahan aku."
Mendengar begitu, Thian Oe segera awasi kedua matanya Chena yang bundar dan besar,
dengan kedua biji mata yang warnanya sedikit blau. Kalau biji mata itu sedang memain, orang
seperti juga melihat dua gumpalan air perak putih yang memeluk dua titik hitam, sedang
bergulikan ke kiri-kanan. Sungguh indah kedua mata itu dan benar mirip dengan matanya
Pengtjoan Thianlie.
Diimplang dengan mata tajam oleh Thian Oe, paras mukanya Chena jadi bersemu merah.
"Lantaran lihat ia bersikap ramah tamah, aku segera berdiam padanya dan ceritakan segala asal-
usulku," kata lagi Chena sembari tundukkan kepala.
"Belakangan bagaimana?" tanya Thian Oe.
"Biarpun ia belum mengasih lihat kepandaian luar biasa, aku sudah merasa, Pengtjoan Thianlie
bukannya sembarang orang," kata lagi Chena. "Aku segera memohon buat menjadi muridnya, tapi
ia mengatakan ia selamanya tidak suka campur urusan dunia dan tidak ingin menjadi guru.
Sesudah aku memohon berulang-ulang, ia berkata: 'Baiklah, lantaran aku merasa kasihan akan
nasibmu, sebagai seorang saudara, aku akan turunkan pelajaran ilmu silat secara lisan kepadamu,
buat tiga hari lamanya. Berapa banyak pelajaran kau bisa dapat selama tiga hari itu, tergantung
atas untungmu.' Demikianlah ia lalu turunkan pelajaran ilmu silat secara lisan kepadaku. Sebulan
lamanya aku berdiam dalam keraton Thianlie tjietjie, dimana diam-diam aku berlatih di bawah
petunjuk para dayangnya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, benar saja aku sudah mendapat
kemajuan yang sangat besar. Sebetulnya Thianlie tjietjie masih mau menahan padaku, tapi
lantaran hatiku sangat ingin membalas sakit hati secepat mungkin, maka, tanpa mendengar
nasihatnya, aku lalu turun gunung. Dan tak dinyana, benar saja ilmu silatku masih terlalu rendah,
sehingga bukan saja aku sudah gagal dalam percobaan membalas sakit hati, tapi juga hampir-
hampir jiwaku sendiri turut melayang."
Harus diketahui, bahwa ilmu silatnya Chena pada ketika itu, sudah terhitung tinggi. Ilmu
entengi badannya sudah berada di sebelah atasan Thian Oe. Mendengar penuturan itu, hatinya
Thian Oejadi kagum sekali. "Ia cuma belajar tiga hari, tapi ilmunya sudah begitu tinggi," kata
Thian Oe dalam hatinya. "Dari sini bisa dilihat, bahwa kepandaiannya Pengtjoan Thianlie sungguh-
sungguh sukar diukur bagaimana dalamnya. Dan kecerdasannya Chena mungkin sukar dicari
keduanya dalam dunia ini."
"Sesudah turun gunung barulah aku mendapat tahu, bahwa segala kebencanaan dalam
keluargaku adalah perbuatannya Touwsoe di Sakya," demikian Chena teruskan penuturannya.
"Sesudah peristiwa hebat pada malam itu, kapan ibuku binasa dan aku sendiri hilang, sedang sang
paman dan saudara-saudara misanan sudah binasa terlebih dahulu, maka di antara keluarga
dekat, sudah tidak ada orang lagi yang berhak mewarisi kedudukan Raja muda Chinpu. Pada
besokan harinya, dengan membawa satu pasukan tentara, Touwsoe Sakya angkat paman
misananku (yang bukan lain dari mertua sang Touwsoe) menjadi raja muda. Orang-orang
sekaumku tidak ada yang berani membantah lantaran takuti pengaruh dan kekuasaannya yang
besar. Paman misananku sudah berusia 60 tahun lebih dan adalah ibarat api lilin di tengah-tengah
angin. Touwsoe Sakya segera perintah anak lelakinya yang sulung menjadi Chiepa (semacam
kuasa). Secara merdu dikatakan, bahwa sang cucu membantu kakek, akan tetapi sebenar-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

benarnya si cuculah yang menjadi raja muda dan sudah rampas banyak sekali tanahnya Raja
muda Chinpu. Mendengar itu, aku tak dapat menahan sabar lagi. Bagaimana buntutnya sudah
diketahui olehmu, sehingga aku tak perlu menuturkan lagi."
"Apa Pengtjoan Thianlie meluluskan buat turunkan lagi ilmu silatnya kepadamu?" tanya Thian
Oe.
"Ia sudah meluluskan buat mengajar lagi tiga hari lamanya," jawab Chena "Sesudah itu, apa
aku mampu membalas sakit hati atau tidak, adalah urusanku sendiri."
"Biarlah aku saja yang balaskan sakit hatimu," kata Thian Oe dengan suara terharu.
Chena mesem dan berkata: "Apa? Terima kasih banyak buat kebaikanmu. Cuma saja, buat
balas sakit hatinya orang tua, kalau bukan terlalu terpaksa, aku tidak mau pinjam tangannya
orang lain. Selainnya itu, Touwsoe di Sakya mempunyai banyak sekali orang pandai, antaranya itu
pembunuh yang mempunyai ilmu Tjit-im tjiang. Dengan ilmu silat yang dipunyai oleh kau dan aku,
biarpun kita belajar lagi tiga sampai lima tahun, aku rasa belum tentu dapat menandingi dia."
Mengingat kepandaiannya yang masih sangat rendah dan sudah keluarkan omongan besar,
Thian Oe jadi merasa jengah sekali.
Di bawah sinarnya sang rembulan, Thian Oe dapat lihat sorot sangat berterima kasih dalam
kedua matanya Chena yang jeli. "Bukankah besok kau akan ikut gurumu berlalu dari sini?" ia tanya
dengan suara perlahan.
Hatinya Thian Oe bergoncang. "Benar, besok aku sudah mesti berlalu," katanya dengan suara
serak. Tapi baru ia habis ucapkan perkataannya, di sebelah kejauhan mendadak terdengar
bentakannya Thiekoay sian.
Keraton kristal dari Pengtjoan Thianlie adalah keraton yang transparan dan terang benderang.
Jauh di tengah-tengah taman terlihat dua bayangan orang yang sedang bertempur hebat. Satu
antaranya yang bersenjata tongkat besi, yang diputar seperti titiran cepatnya, adalah Thiekoay
sian. Yang satunya lagi berbadan tinggi besar, seperti juga bukan badannya orang Han, dan
memakai jubah pertapaan yang berwarna merah. Di antara sinar rembulan yang seperti perak,
warna merah itu kelihatan menyolok sekali, seakan-akan segumpal awan merah yang memain di
antara awan-awan putih.
"Dengan dapat panjat sungai es dan bisa masuk ke dalam keraton ini, kepandaiannya orang itu
mestinya tinggi sekali," kata Thian Oe dalam hatinya dengan perasaan kaget.
"Peraturan Thianlie tjietjie ada sangat keras, tapi kenapa ia belum juga keluar dan biarkan
orang itu bikin ribut dalam keratonnya?" kata Chena dengan suara heran.
Chena kenal baik jalanan dalam keraton. Sesudah bulak-belok bersama-sama Thian Oe mereka
tiba dalam taman di depannya keraton dengan ukiran kuda emas. Orang yang sedang berkelahi
sama Thiekoay sian adalah satu Hoantjeng (pendeta asing), yang hidungnya berpatok, mulutnya
lebar dan romannya jelek sekali. Ia bersenjata sianthung (tongkat pertapaan) yang banyak lebih
kecil dari tongkatnya Thiekoay sian, tapi yang dengan mudah dapat punahkan sesuatu serangan.
Tidak jauh dari situ, di kaki satu gunung-gunungan, berdiri dua orang lain yang mulutnya
menggerendeng sembari rangkap kedua tangannya. Mereka itu adalah kedua boesoe Nepal yang
kita sudah kenal.
Thian Oe merasa heran sekali, kenapa kedua boesoe itu, yang kelihatannya sangat memuja
Pengtjoan Thianlie, berani ikut si pendeta masuk ke dalam keraton tanpa permisi. "Dua boesoe itu
memanggil Koksoe (Guru negara) kepada si pendeta," berbisik Chena.
"Mereka kata apa?" tanya Thian Oe.
"Aku pun tak dengar terang. Rupa-rupanya mereka sedang membujuk supaya si Koksoe jangan
berkelahi terus." jawab Chena.
Semakin berkelahi, Thiekoay sian jadi semakin bersemangat. Tongkatnya terputar bagaikan
titiran yang kurung badannya si pendeta, dan pada saat-saat beradunya kedua tongkat, sang
kuping menjadi pengeng lantaran kerasnya suara.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih 50 jurus. Makin lama Thian Oe
jadi makin heran. Suara beradunya tongkat ada cukup keras buat bikin sadar orang yang tidur
bagaimana nyenyak pun. Tapi, bukan saja Pengtjoan Thianlie, malahan sang dayang pun tidak
kelihatan mata hidungnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Chena," kata Thian Oe yang sudah tidak dapat menahan sabar lagi. "Perlukah panggil kau
punya Thianlie tjietjie?"
"Gerak-geriknya Thianlie tjietjie sangat luar biasa," jawab Chena. "Sekarang ia belum keluar,
tentulah juga ada sebab lain."
Tiba-tiba kedua tongkat beradu luar biasa kerasnya, sehingga membikin pengeng kupingnya
Thian Oe dan Chena. Di lain saat, si pendeta sudah bersila di atas tanah, sedang sianthung-nya
digoyang-goyang dengan perlahan. Dengan kumis yang berdiri, Thiekoay sian menubruk dan
menghantam dengan sepenuh tenaga.
Melihat begitu, Thian Oe jadi girang dan berkata dalam hatinya: "Sekarang tak perlu lagi
bantuannya Pengtjoan Thianlie. Manusia itu sudah bukan tandingannya guruku lagi."
Tapi ia tidak tahu, justru pada saat itu gurunya berada dalam keadaan kejepit. Sebagai murid
kepala dari Kam Hong Tie, tenaga dalamnya Thiekoay sian tidak ada tandingannya, baik di sebelah
selatan, "maupun di sebelah utara Sungai Besar. Tapi tak nyana, berhadapan dengan pendeta
asing itu, ia tidak bisa mendapat angin. Ia menyerang sehebat-hebatnya dengan menggunakan
tenaga Kimkong Toalek, akan tetapi semua serangannya dengan gampang dapat dipunahkan oleh
si pendeta
Dua puluh tahun lebih Thiekoay sian malang melintang dalam dunia Kangouw, dan inilah buat
pertama kali ia bertemu musuh yang tangguh, sehingga dengan terpaksa, ia mesti gunakan juga
Hokmo Tianghoat (Ilmu silat tongkat takluki iblis).
Hokmo Tianghoat adalah gubahan Tokpie Sinnie (Malaikat Wanita Lengan Satu, gurunya
Delapan Pendekar Kanglam) dan kemudian dipelajari dan ditambah lagi oleh Liauw In Hweeshio.
Ilmu tongkat tersebut mempunyai 108 jalan dan setiap pukulan mempunyai tenaga yang seribu
kati beratnya. Selainnya itu, kepala dan ujung tongkat juga dapat digunakan buat menotok jalanan
darahnya musuh. Ilmu silat tersebut luar biasa liehaynya, tapi juga sangat memakan tenaga
dalam. Sesudah bersilat habis 108 jalan, orang mesti mengasoh sedikitnya tiga hari buat dapat
pulang lagi tenaganya. Itulah sebabnya kenapa Thiekoay sian jarang sekali menggunakan Hokmo
Tianghoat itu.
Sekarang dengan terpaksa ia gunakan juga! Mendadakan saja, sang tongkat menyambar-
nyambar bagaikan hujan dan angin dan benar saja si pendeta menjadi ripuh. Thiekoay sian segera
kerahkan tenaga dalam yang lebih besar buat hantam jatuh padanya. Tiba-tiba si pendeta terputar
dan lantas bersila di atas tanah sambil meremkan mata dan tundukkan kepalanya, seperti juga
orang lagi bersemedhi, sedang tongkatnya digoyang-goyang dengan perlahan.
Thiekoay sian adalah seorang yang berpengalaman, tapi melihat begitu, hatinya jadi terkejut.
"Apa maunya dia?" ia tanya dalam hatinya.
Di lain saat, ia rasakan serangan-serangannya kena ditutup dan satu tenaga yang sangat besar
terasa menolak dirinya. Semakin hebat ia menghantam, semakin besar lagi tenaga yang menolak
itu. Tongkatnya si pendeta yang digoyang-goyang dengan perlahan merupakan satu tembok
tembaga yang tak dapat ditembuskan dengan serangan apapun juga.
Thiekoay sian terkesiap dan menyerang semakin gencar. Dalam sekejap ia sudah gunakan
habis 36 jalan yang pertama. 108 jalan Hokmo Tianghoat dipecah jadi tiga bagian. Bagian
pertama, yang terdiri dari 36 jalan, adalah serangan-serangan hebat yang menggunakan tenaga
Kimkong.
Kalau ini tidak berhasil, lantas menyusul bagian kedua, yang juga terdiri dari 36 jalan. Pukulan-
pukulan dari bagian kedua ini semuanya dikeluarkan dengan menggunakan tenaga lweekeh
(tenaga dalam) yang sejati, dan hebatnya bukan kepalang, sehingga satu batu besar bisa hancur
lebur kalau kena pukulan itu. Pukulan-pukulan dari bagian pertama semuanya mengeluarkan suara
angin yang keras, tapi pukulan-pukulan bagian kedua sama sekali tidak menerbitkan suara,
sehingga jadi lebih sukar dijaganya. Tapi sungguh heran, biarpun ia meremkan mata dan
tundukkan kepala, bebokongnya si pendeta seperti juga ada matanya, sehingga tidak perduli
pukulan Thiekoay sian datang dari mana, ia selalu dapat mengebas dengan tongkatnya. Selainnya
begitu, tenaga yang menolak juga jadi bertambah besar dan beberapa kali hampir-hampir
tongkatnya Thiekoay sian terlepas dari tangannya!
Ilmu yang digunakan oleh si pendeta adalah ilmu Yoga dari India, yang dicampur dengan ilmu
silat Djioekang (ilmu silat lembek) dari cabang silat Bittjong di Tibet. Djioekang ini juga adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

satu ilmu silat lweekeh yang sangat tinggi, tapi berbeda dengan lweekeh dari Tiongkok asli.
Orang yang mempelajari Djioekang, paling terutama harus melatih isi perutnya Kalau ilmunya
sudah tinggi, ia bisa dimasukkan di dalam peti yang kemudian direndam dalam laut, dan sesudah
tiga hari diangkat lagi, ia masih hidup seperti biasa. Yang paling sukar dipelajari adalah
menghentikan jalannya
pernapasan. Orang yang sudah berlatih sampai di puncak itu, badannya seperti juga badan
dewa yang tidak bisa rusak.
Ilmunya si pendeta belum sampai pada puncaknya, akan tetapi, dibanding dengan tenaga
Thiekoay sian, ia sudah menang seurat. Ilmu yang dikeluarkan oleh si pendeta memerlukan
kedudukan sila buat mengerahkan napas, yang semakin lama mengeluarkan tenaga semakin
besar. Itulah sebabnya, walaupun Hokmo Tianghoat makin lama jadi makin hebat, tapi masih
terus dapat dipukul mundur oleh tenaga dalamnya si pendeta.
Dengan cepat, 36 jalan yang kedua juga sudah digunakan hampir habis. Di atas kepalanya
Thiekoay sian sudah kelihatan keluar uap putih, tapi Pengtjoan Thianlie belum juga muncul.
Melihat begitu, hatinya Thiekoay sian jadi berdongkol. "Kalau begitu, buat apa aku campur
urusannya?" kata ia dalam hatinya. Memikir begitu, ia ambil putusan buat tidak keluarkan bagian
ketiga dari Hokmo Tianghoat dan sembari sabetkan tongkatnya, ia niat loncat keluar dari
gelanggang.
Tapi siapa nyana usaha itu tidak berhasil! Sianthung si pendeta jubah merah seperti juga
mempunyai tenaga menghisap dan ia tidak dapat loloskan diri!
Kaget dan gusarnya Thiekoay sian teraduk menjadi satu. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam
dan kebas tongkatnya, yang bisa bergoyang tapi tidak bisa copot sebab tenaga yang menghisap
jadi semakin kuat. Maka itu, Thiekoay sian tak dapat berbuat lain daripada tambah tenaganya buat
layani lawanan itu dan kemudian keluarkan bagian ketiga dari Hokmo Tianghoat.
Bagian ketiga inilah yang paling memakan tenaga dalam. Thian Oe lihat pukulan-pukulan kedua
lawanan itu jadi semakin perlahan. Si pendeta masih terus meremkan mata dan tundukkan kepala,
tapi sekarang uap putih juga sudah muncul di atas kepalanya, sedang napasnya mulai sengal-
sengal. Tapi keadaan gurunya ada terlebih menyedihkan. Pakaiannya Thiekoay sian sudah cipruk
dengan keringat yang terus mengetel-ngetel sebesar kacang. Saban kali gerakkan tongkatnya,
buku-buku tulangnya kedengaran peratak-perotok.
Biarpun Thian Oe belum mengerti ilmu silat tinggi, tapi ia tahu keadaan gurunya sudah
kepayahan.
Lewat beberapa saat lagi, si pendeta mendadak buka kedua matanya dan membentak: "Roboh
kau!"
Thiekoay sian sempoyongan dan badannya bergoyang-goyang. Ia kertek giginya, tongkatnya
membuat setengah lingkaran dan terus menindih ke jurusan bawah. "Belum tentu aku roboh!"
kata ia. Waktu itu Thiekoay sian menyerang dengan pukulan yang ke 96, yaitu Hangliong
Hokhouw (Pukulan takluki naga dan macan), dan Seantero tenaga dalamnya dipusatkan kepada
kepala tongkat.
Si pendeta mesem tawar dan berkata: "Apa kau mau cari mampus?" Ia lantas angkat
sianthung-nya ke atas dan bentur tongkatnya Thiekoay sian. Sungguh aneh, tongkatnya Thiekoay
sian yang sebesar mangkok lantas melengkung dengan perlahan!
Mukanya Thiekoay sian jadi pias. Mendadak, dengan satu suara "trang!", tongkatnya Thiekoay
sian terpisah dari tempelan tongkat lawannya, sedang si pendeta loncat mundur beberapa tindak,
tongkatnya diturunkan ke bawah dan ia berdiri dengan sikap hormat. Thian Oe heran sungguh
melihat perubahan yang begitu mendadak.
Waktu menoleh, ia segera tahu sebabnya. Dengan memakai jubah sutera putih, Pengtjoan
Thianlie kelihatan muncul dari antara pohon-pohon kembang dengan tindakan perlahan, sedang di
dampingnya kelihatan isterinya Thiekoay sian, Gobie Liehiap Tjia In Tjin. Sembari keluarkan
teriakan perlahan, Tjia In Tjin loncat dan pegang tangan suaminya. Dengan berpegangan tangan,
mereka berdua lalu bersila di atas tanah sambil jalankan napasnya.
Pengtjoan Thianlie tertawa dingin. Setindak demi setindak, ia menghampiri. Kedua boesoe
Nepal itu ketakutan sekali. Sembari rangkap kedua tangannya, mereka berlutut dan meratap
seperti juga sedang memohon ampun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sambil cekal tongkatnya, si pendeta juga memberi hormat dan keluarkan sehelai firman warna
kuning dari kantongnya dan ucapkan beberapa perkataan.
Chena keluarkan suara kaget dan berbisik di kupingnya Thian Oe: "Ini Hoantjeng menggunakan
panggilan puteri terhadap Thianlie tjietjie dan minta ia menerima firman. Sungguh
mengherankan."
Pengtjoan Thianlie terima firman itu, yang sesudah dibaca selewatan lantas dipulangkan lagi.
Mukanya si pendeta jadi merah dan ia ketruk tongkatnya di atas tanah. "Kita orang tidak bisa
biarkan guci emasnya Kaizar Tjeng tiba di Lhasa," kata ia dalam bahasa Nepal. "Raja telah
memerintahkan supaya kau turun gunung buat memberi bantuan. Apakah kau tidak sudi
meluluskan?" Dengan adanya Chena sebagai juru bahasa, Thian Oe juga mengerti apa yang
dikatakan oleh pendeta itu.
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berobah sedikit, tapi pada bibirnya masih terus tersungging
senyuman. Si pendeta jubah merah kelihatannya mau buka mulut lagi, tapi Pengtjoan Thianlie
sudah menuding dengan jerijinya dan berkata dengan suara tawar: "Semua orang menggelinding
turun dari gunung ini!"
Di bawah sinar rembulan yang putih dingin, mukanya si pendeta yang barusan merah sekarang
berubah menjadi hijau, sehingga kelihatannya menakuti sekali! "Lihatlah, lantaran malu ia jadi
gusar," berbisik Chena di kupingnya Thian Oe.
Sebagai Koksoe (Guru negara) dari negara Nepal, manalah si pendeta dapat menelan hinaan
itu? Amarahnya meluap luber, sehingga jerijinya jadi gemetar. Mendadak ia dongak dan tertawa
terbahak-bahak akan kemudian menuding sambil membentak: "Kau, kau suruh aku menggelinding
turun? Raja sendiri tak berani berlaku begitu kurang ajar terhadapku!"
"Tak salah," kata Pengtjoan Thianlie. "Aku perintah kau menggelinding turun dari sini. Habis
kau mau apa? Aku sebenarnya sudah beri muka yang sangat besar kepadamu dengan
membiarkan kau masuk ke dalam keraton ini dan menemui aku. Apa kau tidak kenal puas? Aku
sudah bersumpah, bahwa siapapun berani membujuk aku turun gunung, ia itu mesti berlalu dari
sini. Kau pun tak terkecuali."
Si pendeta kembali tertawa berkakakan seperti orang kalap. Ia ketruk lagi tongkatnya, sehingga
mengeluarkan suara yang sangat nyaring. Sesudah itu ia manggutkan .kepala dan berkata dengan
suara nyaring: "Dari tempat yang jauhnya laksaan li, aku datang disini buat menemui Paduka
Puteri. Memang juga hatiku tidak mengenal kepuasan. Aku dengar ilmu silatnya Paduka Puteri
terhitung nomor satu di daerah Tiongkok dan wilayah Barat. Maka itu, aku sekarang ingin sekali
dapat menambah pengalaman."
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. Ia tertawa dingin dan tepuk kedua tangannya sambil
berseru: "Kemari!"
Di lain saat, sembilan dayang sudah kelihatan muncul. Pengtjoan Thianlie dongakkan kepalanya
dan kebaskan tangannya dengan sikap agung. "Usir ini pendeta liar!" ia memerintah.
"Ah, kalau begitu kau tidak sudi turun tangan sendiri?" kata si pendeta. "Dengan demikian,
undanganku yang barusan agaknya terlalu melanggar pri kesopanan. Maka itu, dengan tidak
mengimbangi kebodohan sendiri, aku mohon belas kasihannya Paduka Puteri."
Kedua boesoe Nepal itu ketakutan setengah mati dan membujuk-bujuk supaya Koksoe nya
menyingkir saja, tapi si pendeta tidak meladeni.
Pengtjoan Thianlie ambil sikap acuh tak acuh. Begitu ia kebaskan tangannya, sembilan dayang
itu lantas kurung si pendeta. Kedua matanya yang angker dan tajam laksana pedang, kemudian
mengawasi si pendeta yang tanpa merasa lantas mundur beberapa tindak. Sembilan dayang itu
lalu gerakkan tangannya seperti orang menggebah ayam, sehingga si pendeta menjadi kalap
lantaran gusarnya. "Baiklah!" ia membentak. "Biarlah lebih dahulu aku minta pengajaran dari
dayang-dayangmu dan kemudian barulah minta pengajarannya Paduka Puteri sendiri."
Sebaliknya dari meladeni omongan si pendeta, Pengtjoan Thianlie hampiri Chena yang lantas
dipegang tangannya.
"Perhatikanlah, kiamhoat yang mereka gunakan, semuanya diajarkan olehku," kata ia dengan
suara menyayang. Thian Oe merasa bahwa sikapnya Pengtjoan Thianlie terhadap Chena benar-
benar seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya sendiri dan berbeda seperti langit dan bumi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dengan keangkerannya yang barusan. "Sifatnya Pengtjoan Thianlie benar-benar tak dapat
ditebak," demikian Thian Oe pikir dalam hatinya.
Si pendeta kebaskan tongkatnya dan pasang kuda-kuda, tapi tidak lantas menyerang, mungkin
sebab mau pertahankan kedudukannya sebagai seorang yang lebih tua.
Apa yang mengherankan adalah pedangnya sembilan dayang yang semuanya seperti kristal,
dan begitu digerakkan, sinar serta hawa dingin menyambar-nyambar sehingga Thian Oe jadi
bergidik. Di lain saat, ia rasakan dirinya seperti juga masuk ke dalam jurang es dan giginya
bercakrukan. Ia lirik Chena dan gadis itu juga ternyata gemetaran sekujur badannya lantaran
kedinginan.
Pengtjoan Thianlie berkata sembari tertawa; "Aku lupa kalian belum dapat lawan hawa ini.
Biarlah kalian menahan buat sementara waktu."
Mendadak, bagaikan kilat jerijinya menotok batang lehernya Thian Oe.
Thian Oe terperanjat, sebab begitu kena, ia rasakan seperti juga kena listrik dan sekujur badan
jadi kesemutan. Tapi di lain saat, semacam hawa panas naik dari tantian (bagian pusar) dan
mengalir di seluruh badannya. Ia rasakan jantung mengetok keras dan darahnya mengalir lebih
deras, seperti orang habis lari keras. Di luar hawa sangat dingin, tapi badan berasa panas. Chena
juga sudah mendapat totokan begitu. Ia sudah tidak gemetaran dan kedua pipinya bersemu
merah.
Thian Oe pernah dengar penuturan gurunya, bahwa orang yang mempunyai lweekang (ilmu
dalam) sangat tinggi, bukan saja dapat membinasakan manusia dengan totokannya, tapi juga bisa
mengobati penyakit dengan totokan itu. Waktu mendengar itu, ia anggap penuturan tersebut
seperti cerita dongeng. Tapi sekarang, sesudah mengalami sendiri, barulah ia percaya, bahwa
dalam dunia benar-benar ada kepandaian yang sedemikian tinggi.
"Thianlie tjietjie, apakah mereka menggunakan pedang es?" tanya Chena. Ia menanya begitu
sebab sudah pernah lihat Pengtjoan Thianlie robohkan Loei Tjin Tjoe dengan sebatang pedang es.
Thian Oe juga sebenarnya ingin majukan pertanyaan begitu, maka itu, ia sangat perhatikan
jawabannya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, manalah mereka mempunyai kepandaian begitu tinggi?" jawab Pengtjoan Thianlie sembari
tertawa. "Pedang mereka adalah buatanku sendiri yang diberi nama Pengpok Hankong kiam
(Pedang Roh Es Sinar Dingin). Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala hangat) yang
sudah ribuan tahun tuanya dan merupakan keluaran istimewa dari gunung ini. Batu kemala
tersebut, yang ribuan tahun teruruk es, harus diolah tiga tahun lamanya barulah menjadi pedang
yang demikian. Ituiah sebabnya kenapa kalau digerakkan, pedang tersebut lantas keluarkan hawa
dingin yang sangat hebat. Orang yang belum mempelajari Iweekang yang tinggi tidak bisa tahan
hawa itu."
Melihat sinar dan merasa hawanya sembilan batang pedang itu, si pendeta jubah merah juga
kelihatannya sangat terkejut. Tapi berkat lweekangnya, ia tidak takuti hawa itu. Sembilan batang
pedang yang bagian kepalanya bersambung dengan bagian buntut, segera merupakan satu jala
yang bersinar terang dan yang dengan perlahan menjadi semakin ciut.
Pendeta jubah merah tak dapat menahan sabar lagi. Dengan pukulan Lekhoa hongkouw
(Dengan tenaga menggurat perbatasan), sianthung-nya mendorong keluar. Dengan beberapa
suara kerontangan, empat batang pedang beradu dengan tongkat itu. Melihat tongkatnya yang
mempunyai tenaga ribuan kati, kena ditahan oleh empat dayang itu, hatinya si pendeta merasa
heran. Berbareng dengan itu, empat pedang dari garisan belakang, menikam bagaikan kilat
cepatnya. Sembari berkelit, si pendeta sampok pedang yang datang dari belakang dan pentil
miring pedang yang datang dari sebelah depan. Tapi dua pedang dari kiri dan kanan sudah
menyambar ke badannya!
"Bagus!" berseru Thian Oe.
"Anak-anak, awas!" Pengtjoan Thianlie berteriak hampir berbareng.
Pada detik itu, ke empat dayang kelihatan loncat dengan berbareng, sedang si pendeta,
sembari membentak keras, menyerang seperti hujan angin dengan tangan dan sianthung-nya.
Ternyata, dengan mahir dalam ilmu Yoga, ototnya si pendeta dapat berobah-robah menurut
sukanya. Pada waktu pedangnya nempel pada jubahnya si pendeta, kedua dayang yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

menyerang dari kiri dan kanan mendadak rasakan ujung pedang mereka terpeleset, sebab otot
pundaknya si pendeta mendadak berubah bentuknya dan jadi lebih besar beberapa dim.

Berbareng dengan itu, si pendeta lalu menyerang dengan tongkat dan tangannya sembari
kerahkan tenaga dalamnya.
Si pendeta sama sekali tidak duga, dayang-dayang itu mempunyai ilmu entengi badan begitu
tinggi. Begitu tongkatnya menyambar, mereka sudah menghilang ke empat penjuru seperti
cecapung menotol air atau kupu-kupu berterbangan di antara bunga-bunga, sebentar ke kiri
sebentar ke kanan, sebentar berkumpul sebentar berpencaran. Beberapa kali ia kirim pukulan-
pukulan hebat, tapi semuanya jatuh di tempat kosong, dan tanpa merasa, ia sendirilah yang
berbalik kena dikepung di sama tengah.
Dengan perasaan sangat berdongkol, ia lalu bersila di atas tanah dengan niatan menggunakan
ilmu yang tadi ia gunakan terhadap Thiekoay sian. Akan tetapi, melayani sembilan orang sangat
berbeda dengan melawan satu orang. Sembilan dayang itu bergerak tak hentinya dan tikaman-
tikaman pedang mereka selalu ditujukan ke arah jalanan darah yang berbahaya. Oleh karena ilmu
Yoga si pendeta belum sampai pada puncaknya, maka adalah sangat sukar buat ia menutup
semua jalanan darahnya dan berbareng meladeni sembilan lawanan itu. Demikianlah, menghadapi
serangan yang bertubi-tubi, sesudah bersila sementara waktu, ia terpaksa loncat bangun lagi
sembari putar tongkatnya. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia bersila lagi, akan kemudian
loncat bangun kembali. Kejadian itu terulang sampai beberapa kali, sehingga kelihatannya lucu
sekali sampai Thian Oe yang tak tahan buat tidak tertawa berkakakan.
Bukan main gusarnya si pendeta mendengar hinaan itu. "Biar aku lukakan dua orang lebih
dahulu," kata ia dalam hatinya sembari loncat bangun dan putar tongkatnya. Ia mengamuk seperti
kerbau gila, seakan-akan sudah tidak pcrdulikan lagi keselamatannya sendiri dan turunkan
tangannya tanpa sungkan-sungkan lagi. Disurung dengan hawa amarah, bukan main hebat
pukulan-pukulan tongkatnya, sehingga sembilan dayang itu tidak berani menyambut lagi dan
cuma berkelit ke sana-sini. Melihat begitu, Thian Oe jadi terkejut. "Kalau terus begini, satu dua
orang tentu akan kena terpukul," kata ia dalam hatinya.
Tapi Pengtjoan Thianlie tetap tenang dan pada bibirnya terus tersungging meseman yang
manis.
Mendadakan, satu perobahan terlihat dalam barisannya sembilan dayang itu. Sekarang mereka
berlari-lari di empat penjuru, sebentar berkumpul sebentar berpencaran, dan gunakan batu-batu
hiasan taman sebagai tameng mereka. Barisan itu berobah-robah bentuknya tak henti-hentinya,
sehingga matanya orang yang menyaksikan jadi kekunangan. Dengan gerak-gerakannya yang
seperti kilat, itu sembilan dayang berobah seperti ratusan orang, dengan selendang suteranya
yang berkibar-kibar dan pakaiannya berkelebat-kelebat, sehingga dalam taman itu seperti juga
sedang dipertunjukan tarian "Bidadari Menyebar Bunga."
Thickoay sian sebenarnya sedang bersila sembari meramkan mata dan jalankan
pernapasannya. Dengan adanya perobahan itu, ia buka kedua matanya dan hatinya merasa
sangat heran. Ia heran oleh karena barisannya sembilan dayang itu ada mirip-mirip dengan
barisan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw (Tjoekat Boehouw adalah Tjoekat Liang atau Khong
Beng, koensoe Lauw Pie dari jaman Samkok). Cuma mirip dan tidak seluruhnya bersamaan
dengan Pattintouw. Kedudukannya delapan dayang adalah sesuai dengan kedudukan delapan
pintu, yaitu Hioe, Seng, Siang, Touw, Sie, Keng, Kheng dan Kay. Delapan pintu ini saling bantu
satu sama lainnya. Perbedaan dengan Pattintouw adalah kelebihan satu orang dalam barisan itu.
Dayang yang ke sembilan tidak ikut bergerak. Ia menjaga di sama tengah dan seperti juga
otaknya barisan itu.
Si pendeta juga rupanya mendapat lihat kedudukannya barisan itu, maka ia terus cecar dayang
yang berdiri di tengah buat coba menjatuhkannya. Tapi barisan itu berobah luar biasa cepatnya.
Begitu ia bergerak ke timur, musuh yang di sebelah barat lantas meluruk. Begitu ia ke barat,
pedang dari sebelah timur dan selatan lantas menyambar.
Biar bagaimanapun juga, ilmu silatnya si pendeta memang ada sangat tinggi. Tanpa mengenal
barisan itu, ia terus mengamuk dan tongkatnya sapu segala apa yang menghadang di tengah
jalan, sehingga banyak gunung-gunungan dan batu-batu hiasan taman jadi hancur lebur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya dan paras mukanya jadi berobah. Di lain saat, dayang
yang menjadi kepala kedengaran membentak: "Kau benar keterlaluan! Keindahan taman ini
sampai menjadi rusak." Sehabis membentak, ia mementil dengan dua jerijinya dan beberapa sinar
terang menyambar ke arah pendeta itu.
"Senjata rahasia mana bisa celakakan aku?" kata si pendeta sembari tertawa dan lalu putar
tongkatnya seperti titiran. Senjata rahasia itu, yang masing-masing sebesar mutiara, terus
menyambar-nyambar dan jadi hancur lantaran sampokannya tongkat. Dan dalam kehancurannya
itu, sinar dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar, sehingga si pendeta sendiri sampai
bergidik.
Di atas puncak gunung dari Telaga Thian-ouw terdapat semacam es yang ribuan tahun tak
pernah lumer. "Jantung"-nya es itulah yang diambil oleh Pengtjoan Thianlie dan diolah menjadi
serupa senjata rahasia yang tidak ada keduanya dalam dunia dan diberi nama Pengpok Sintan
(Peluru malaikat roh-nya es). Dalam pembuatan lain-lain senjata rahasia di muka bumi, tak perduli
senjata rahasia buat lukakan musuh atau buat memukul jalanan darah, yang diperhatikan adalah
kejituannya dan ketajamannya senjata rahasia tersebut. Cuma Pengpok Sintan yang lain dari yang
lain. Yang diandalkan adalah hawa dinginnya yang sangat luar biasa. Begitu lekas senjata rahasia
itu tersampok, keluarlah hawa dingin yang menusuk ke tulang-tulang dan hebatnya bukan buatan.
Dengan tenaga dalam yang dipunyai olehnya, si pendeta sebenarnya masih dapat melawan
hawa dingin itu. Cuma saja, lantaran mesti layani serangannya sembilan musuh, ia tak dapat
pusatkan perhatiannya buat kerahkan tenaga dalamnya. Di sebelahnya itu, lantaran Pengpok
Hankong kiam juga adalah senjata yang mengeluarkan hawa dingin, maka hawa dingin itu makin
lama jadi makin hebat, sehingga badannya si pendeta jadi gemetaran dan giginya bercakrukan.
Bagaikan orang edan, ia terus mengamuk. Dari jidatnya keringat turun berketel-ketel, tapi
badannya tetap gemetaran.
Pengtjoan Thianlie mesem dan berkata pada Chena: "Dia anggap dengan gunakan tenaga
Iweekeh, dia bisa keluarkan hawa panas buat melawan hawa dingin itu. Tapi dia tak tahu, dengan
demikian, dingin dan panas jadi berkelahi dan bisa mencelakakan. Ini kali, biarpun tidak menjadi
mati, rasanya dia bakal sakit keras beberapa hari."
Thian Oe yang hatinya sangat mulia lantas saja berkata: "Kalau begitu, ampuni sajalah ia."
"Kau mintakan ampun?" kata Chena sembari melirik. Pengtjoan Thianlie tidak berkata apa-apa
dan cuma mesem.
Semakin lama pendeta itu kelihatan semakin lelah. Sesudah bertempur lagi beberapa lama,
dayang yang menjadi pemimpin membentak: "Robohlah!" Ia ayun tangannya dan sebutir peluru
kembali menyambar. Jantungnya si pendeta gemetar, kedua kakinya lemas, kepalanya terputar
dan badannya bergoyang-goyang seperti mau jatuh.
"Berhenti!" Pengtjoan Thianlie membentak.
Di lain saat, sembilan dayang itu sudah tarik pulang pedangnya dan berdiri berbaris di kedua
pinggirnya Pengtjoan Thianlie.
Mukanya si pendeta jadi seperti kepiting direbus. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia tarik
napas panjang beberapa kali, memberi hormat kepada Pengtjoan Thianlie dan lantas lari keluar
dari keraton es. Kedua boesoe Nepal juga lalu memberi hormat dan dengan paras muka ketakutan
lalu mengikut di belakangnya si pendeta. Dalam sekejap, keadaan kembali menjadi sunyi.
"Dengan dapat menerobos masuk kedalam keraton, kepandaiannya orang itu tidaklah rendah,"
berkata Chena sembari tertawa.
"Tak bakal ada orang kedua yang bisa masuk secara begitu," kata Pengtjoan Thianlie.
"Sebenarnya akulah yang sengaja membiarkan dia masuk. Kalau bukannya begitu, walaupun dia
bisa menyebrangi sungai es, tak nanti dia dapat tembus barisan Kioethian Hianlie (Dewi sembilan
lapisan langit)."
Mendengar omongan temberang itu, Thiekoay sian tertawa dalam hatinya. "Kalau begitu, ia
merobah sedikit Pattintouw Tjoekat Boehouw dan ganti namanya," kata Thiekoay sian dalam
hatinya. "Liehay memang cukup liehay, tapi kalau mau dibilang barisan itu dapat menahan semua
orang pandai dalam dunia, rasanya terlalu terkebur."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thiekoay sian adalah murid kepala Kam Hong Tie dan pengalamannya luas sekali. Ia yakin,
bahwa kepandaian manusia tak ada batasnya dan di luar langit masih terdapat langit. Maka itu, ia
tidak sependapat dengan temberangnya Pengtjoan Thianlie.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berpaling kepada Thiekoay sian dan bibirnya bergerak seperti
orang mau bicara. Tapi lantaran lihat mukanya Thiekoay sian yang sangat pucat, ia urungkan
niatannya dan lantas jalan menghampiri.
"Dia menghaturkan banyak terima kasih buat budimu," berkata Tjia In Tjin. "Tapi sekarang dia
belum bisa jalan, maka aku mohon kau suka kirim dua dayang buat antar dia turun gunung."
Pengtjoan Thianlie awasi mukanya Thiekoay sian dan kemudian berkata: "Masih untung kau
cuma jalankan 96 jurus Hokmo Tianghoat. Kalau kau jalankan habis 108 jurus, biarpun diberi obat
dewa, tidak nanti kau dapat pulang tenagamu yang sediakala. Sekarang benar-benar kau tidak
boleh berangkat."
"Apa?" Tjia In Tjin menegasi dengan suara kaget.
"Tak apa-apa," sahut yang ditanya dengan suara tawar. "Cuma lantaran gunakan tenaga
melewati batas, jalanan darahnya jadi kalang kabut dan isi perutnya bergerak. Kalau ia turun
gunung juga, begitu kena goncangan di sungai es, walaupun tidak sampai menjadi mati, rasanya
ia akan bercacat seumur hidup dan tidak akan bisa jalan lagi, meskipun memakai tongkat. Berkat
tenaga dalamnya yang sangat kuat, dengan mengasoh lima hari dan ditambah sama obat, aku
rasa ia akan jadi sembuh kembali. Baiklah aku beri tempo lima hari lagi." Ia lantas gapekan satu
dayang dan memberi perintah: "Bereskan satu kamar supaya ia bisa atur pernapasannya ---
siapapun tak boleh ganggu padanya. Dan juga pinjamkan Oen-giok padanya."
Sesudah memesan begitu, ia berpaling pada Tjia In Tjin dan berkata sembari tertawa: "Kali ini
"menyimpang dari kebiasaan, aku permisikan kalian berdiam lima hari lagi. Sesudah lewat lima
hari, kalian boleh turun gunung dengan tak usah pamitan!"
Mendengar perkataannya Pengtjoan Thianlie, Tjia In Tjin merasa sangat terkejut, sebab ia tidak
duga, suaminya mendapat luka di dalam yang begitu berat. Di satu pihak sikapnya Pengtjoan
Thianlie seperti juga kurang mempunyai perasaan kemanusiaan, akan tetapi di lain pihak, ia rela
meminjamkan mustika Oen-giok buat mengobati suaminya, satu pertolongan yang penuh pri
kemanusiaan.
Maka itulah, perkataan-perkataannya Pengtjoan Thianlie membikin Thiekoay sian suami isteri
tak tahu mesti menangis atau tertawa. Perasaan berdongkol dan berterima kasih tercampur
menjadi satu.
"Kau boleh rawat ia, dan kalau tidak ada urusan penting jangan cari padaku," kata lagi
Pengtjoan Thianlie yang lantas saja berlalu dengan dayang-dayangnya.
Dahulu, sifatnya Tjia In Tjin juga sombong dan dingin. Sesudah mendapat banyak pengalaman
pahit getir, ia berobah banyak, akan tetapi toh ia masih tak dapat menelan kesombongan orang
yang ditujukan kepadanya. Tidak dinyana, kali ini sesudah melalui perjalanan laksaan li, ia sudah
mendapat perlakuan sedemikian, cuma lantaran membujuk supaya Pengtjoan Thianlie suka turun
gunung. Semakin diingat, ia jadi semakin mendeluh dan hampir-hampir saja ia keluarkan
perkataan perkataan keras buat menimpali. Cuma saja, walaupun Pengtjoan Thianlie sepuluh kali
lipat lebih angkuh dari ianya, keangkuhan itu keluar dengan sewajarnya. Sikapnya yang agung
tanpa dibuat-buat membikin orang jadi tidak berani banyak rewel terhadapnya. Tjia In Tjin coba
tahan perasaan mendeluhnya yang malang di tengah uluhatinya, dan beberapa saat kemudian
dengan satu suara "wah!", ia muntahkan cairan pahit yang naik dari kantong nasinya.
"Soenio (isteri dari guru), kau kenapa?" tanya Thian Oe dengan perasaan kaget. Mukanya Tjia
In Tjin pucat, disusul dengan semu merah. "Anak kecil jangan campur urusan lain orang," kata ia
sembari kebaskan tangannya dan lalu ajak sang dayang tuntun Thiekoay sian pergi ke kamar buat
mengasoh.
Dengan rasa masgul Thian Oe berdiri bengong.
"Sesudah repot setengah malaman, kau pun harus mengasoh," kata Chena. "Besok aku akan
ajak kau jalan-jalan buat saksikan pemandangan-pemandangan luar biasa dalam keraton." Sehabis
berkata begitu, ia lantas berlalu.
Thian Oe awasi belakangnya si nona, yang semakin lama jadi semakin jauh dan akhirnya
menghilang di antara pohon-pohon kembang. Ia ingat, lima hari lagi ia toh bakal turun gunung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

juga, dan berhubung dengan kekeliruan gurunya terhadap Pengtjoan Thianlie, mulai waktu itu ia
tidak akan dapat bertemu lagi. Mengingat begitu, hatinya jadi semakin masgul.
Pada besokan paginya, begitu mcndusin ia melongok keluar jendela dan kedua matanya
kembali saksikan pemandangan luar biasa. Di bawah sorotnya matahari, keraton es yang terang
benderang mengeluarkan cahaya aneka warna, sehingga Thian Oe merasa seakan-akan berada
dalam dunia dongengan. Tidak lama kemudian, sang dayang antarkan makanan pagi yang terdiri
dari dua buah merah yang sangat besar. Dua buah itu bukan saja rasanya manis, tapi baunya pun
harum sekali.
Sebagaimana telah dijanjikan, Chena menyamper dan ajak ia keluar jalan-jalan. Sesudah
berdiam di keraton es, walaupun pada sinar matanya masih terdapat sorot kesedihan, Chena
sudah banyak lebih gembira. Ia jalan perlahan-lahan sembari omong-omong dan tertawa-tawa,
seperti juga pohon yang sudah dapat hawanya musim semi yang menyegarkan.
Adalah sukar buat melukiskan pemandangan-pemandangan indah permai di sekitar keraton itu.
Pendopo-pendopo yang mungil, jalanan-jalanan bulat-belit yang terawat baik, jendela-jendela
dengan macam-macam ukiran, gunung-gunungan dan batu-batu perhiasan yang hampir
semuanya terbuat dari kristal, beberapa air mancur yang tersebar di seluruh taman, solokan-
solokan dan empang-empang yang airnya jernih bagaikan kaca.
"Air pengempang dan solokan semuanya ditarik naik dari Thian-ouw, makanya jernih luar
biasa," kata Chena. "Aku paling suka minum air itu."
Buat memperlengkap keindahan disitu, di seluruh taman penuh dengan pohon-pohon bebuahan
dan pohon-pohon kembang yang menyiarkan bebauan sangat harum. "Tempat ini seperti juga
tempat dewa-dewa, maka tidaklah heran kalau Pengtjoan Thianlie sungkan turun gunung," kata
Thian Oe sembari tertawa.
Demikianlah mereka pesiar ke sana-sini dan kalau merasa lapar mereka petik buah-buah
matang buat tangsel perut. Oleh karena luasnya, sesudah jalan setengah harian mereka belum
juga dapat putari habis seluruh wilayah keraton itu.
Selagi enak jalan, hidungnya Thian Oe mendadak dapat endus bebauan yang sangat luar biasa,
harumnya melebihi bunga yang paling harum, tapi bagaimana harumnya, tak mungkin dapat
dilukiskan. Thian Oe segera cepatkan tindakannya dan menuju ke arah keluarnya wewangian itu.
Beberapa saat kemudian, matanya dapat lihat sebuah bangunan yang sangat berbedaan dengan
semua gedung yang berada disitu. Bangunan tersebut berbentuk gereja yang atapnya lancip, dan
kalau lain-lain bangunan semuanya terbuat dari kristal, marmer atau es yang keras, adalah
bangunan itu berwarna hitam, sehingga kelihatan menyolok sekali. Wewangian yang luar biasa itu
ternyata keluar dari rumah tersebut.
Dengan perasaan heran Thian Oe coba menolak pintunya. Parasnya Chena berobah dengan
mendadak dan buru-buru mencegah. "Waktu aku berdiam disini pertama kali, Thianlie tjietjie
pernah memesan, bahwa aku boleh pergi kemana juga, cuma ke dalam rumah itu aku tidak boleh
masuk," kata Chena dengan suara berbisik.
"Kenapa?" tanya Thian Oe.
"Siapa tahu?" kata Chena.
"Menurut katanya para dayang, saban malam Tje-it (Tanggal 1 penanggalan Imlek, bulan
gelap), ia pergi sendirian ke dalam rumah itu, dimana ia berdiam kira-kira satu jam lamanya. Apa
yang ia lakukan, tak ada yang berani menanya. Dari dayang-dayang itu aku mendapat tahu,
bahwa rumah itu terbuat dari semacam kayu garu, yang kalau dibakar, baunya yang harum bisa
diendus dari tempat belasan li jauhnya."
Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oe jadi lebih-lebih heran lagi.
Malam itu, Thian Oe tidak dapat tidur lantaran tidak dapat melupakan rumah yang penuh teka-
teki itu. Dalam layap-layap ia masuk ke dalam dunia impian, la mengimpi lihat Pengtjoan Thianlie
pasang hio dan bersembahyang dalam rumah itu, dengan di dampingi oleh Chena. Setahu
bagaimana, ia sendiri juga berada dalam rumah tersebut. Mendadak Pengtjoan Thianlie cabut
sebatang pedang yang sinarnya bergemilapan dan tikam uluhatinya. Rambutnya Pengtjoan
Thianlie mendadak berobah jadi ular terbang yang tak dapat dihitung berapa banyaknya dan
terbang menyambar ke arah dirinya. Chena keluarkan teriakan kaget dan rumah itu mendadak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

roboh, dengan sebatang balok wuwungan menindih dirinya sendiri. Dalam mengimpinya Thian Oe
berteriak-teriak dan berontak-rontak.
"Jangan ngigo! Bangun, hayo bangun!" mendadak ia dengar suaranya satu wanita di
kupingnya. Thian Oe sadar. Ia buka kedua matanya dan ternyata Chena berdiri di hadapannya.
"Hayo, bangun!" kata si nona sembari goyang-goyang badannya. "Seorang aneh kembali masuk
ke dalam keraton es tanpa permisi!"
Begitu mendengar, Thian Oe hilang ngantuknya. Ada orang lagi! "Apa dia sudah bisa seberangi
sungai es dan terobos barisan Kioethian Hianlie yang dipasang di sebelah luar?" tanya Thian Oe.
"Kalau bukan sudah menerobos barisan itu, cara bagaimana ia bisa sampai di keraton es?"
jawab Chena. "Sekarang lonceng pertandaan bahaya sudah dipukul dan Thianlie tjiitjie segera juga
akan keluar!"
Thian Oe buru-buru pakai baju luarnya dan ikut Chena berlari-lari keluar. Sembilan dayang
yang kemarin sudah mengambil masing-masing kedudukannya dan seorang pemuda yang
memakai baju putih berada di tengah-tengah mereka. Waktu itu mereka belum bergebrak. Begitu
lihat, Thian Oe keluarkan teriakan tertahan.
"Kenapa?" tanya Chena.
"Aku kenal orang itu!" jawabnya.
Si pemuda baju putih juga rupanya sudah lihat Thian Oe, sebab ia lantas menengok sembari
mesem. Orang itu bukan lain daripada si anak sekolah yang pernah tolong jiwanya Siauw Tjeng
Hong dengan jarum emas dan yang pernah bikin repot Bek Tayhiap dan yang lain-lain di kota
Shigatse.
"Siapa ia?" tanya lagi Chena.
"Aku tak tahu namanya," jawab Thian Oe. "Tapi ia pernah tolong jiwanya guruku. Aku rasa ia
adalah seorang baik."
"Wah, celaka!" kata Chena. "Menurut dayang-dayang, Thianlie tjietjie merasa sangat gusar dan
mengatakan, bahwa orang itu harus diajar adat sekeras-kerasnya. Tanpa memberi hajaran keras,
keraton es bisa-bisa tidak aman lagi. Garisan pertahanan keraton es, semakin ke belakang,
semakin kuat. Ini dayang-dayang keraton sangat tinggi ilmu silatnya. Aku kuatir, kalau toh tidak
sampai mati, orang itu akan luka berat!"
Sembilan dayang itu lantas cabut pedangnya, tapi mendadak hentikan gerakannya. Keadaan
jadi sunyi senyap, sehingga kalau sebatang jarum jatuh di atas tanah, suaranya akan bisa
terdengar nyata. Thian Oe menoleh dan lihat Pengtjoan Thianlie sudah berjalan keluar dengan
paras muka yang penuh kegusaran.
Begitu lihat si pemuda, ia keluarkan satu seruan perlahan. Sikapnya lantas berobah, seperti
orang yang sedang merasa heran. Pengtjoan Thianlie tadinya kira, bahwa orang yang datang
adalah sebangsa pendeta jubah merah. Tapi tidak terduga, yang ia ketemukan adalah seorang
pemuda Han yang parasnya cakap sekali.
"Tanpa latihan puluhan tahun, tak gampang-gampang orang bisa lewati sungai es dan terobos
barisan depan," pikir ia dalam hatinya. "Apakah pemuda ini yang usianya sepantaran denganku
mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari si pendeta jubah merah?"
Dua pasang mata lantas kebentrok. Pemuda baju putih itu tertawa dan menanya: "Apa kau ini
majikan dari keraton es? Kenapa kau begitu lambat menyambut tetamu?"
"Siapa kau?" Pengtjoan Thianlie balas tanya. "Ada urusan apa kau datang disini?"
"Jika aku menyebutkan namaku, kau tentu akan terlebih tidak sungkan-sungkan lagi
terhadapku," kata pemuda itu. "Biar bagaimana juga, lambat laun aku harus memberitahukan,
asal saja kau suka luluskan satu permintaanku."
"Permintaan apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa kau tahu halnya guci emas?" si pemuda balas tanya.
Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. "Ah, lagi-lagi guci emas!" katanya. "Benar
menyebalkan. Apakah kau mau minta aku turun gunung buat rampas guci emas itu? Kalian
bermusuhan sama bangsa Boan, sama aku tak ada sangkut pautnya."
"Kau menebak salah," kata si pemuda sembari mesem. "Aku mau minta kau turun gunung,
justru buat melindungi guci emas itu! Orang Nepal mau rampas guci itu. Beberapa hiapkek tolol,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

seperti sebangsa Thiekoay sian, juga ingin merampas. Dengan sendirian saja, aku repot. Maka itu,
kau mestilah turun gunung buat membantu!"
Caranya si pemuda seperti juga sedang minta bantuan dengan satu sahabat karib, yang seolah-
olah tidak boleh tidak meluluskan. Pengtjoan Thianlie merasa gusar sekali, sehingga kedua alisnya
berdiri. "Dengan memiliki ilmu silat seperti sekarang, boleh dibilang kepandaianmu sudah lumayan.
Lekas berlalu, supaya kau tidak, menyesal," kata Pengtjoan Thianlie sembari kebaskan tangannya.
Bahwa ia tidak lantas memberi perintah kepada sembilan dayangnya buat mengusir dengan
kekerasan, Pengtjoan Thianlie sebenarnya sudah berlaku sungkan sekali.
Tapi, sebaliknya dari mundur, pemuda itu malahan maju setindak dan pada kedua bibirnya
terus tersungging senyuman. "Apa? Apakah kau tak sudi memberi muka padaku?" tanya ia.
Pengtjoan Thianlie berobah parasnya. Dayang yang jadi pemimpin lantas saja membentak:
"Kau benar tak mengenal kesopanan? Apa benar-benar kau mau kami mengusir dengan
kekerasan?"
Si pemuda berbangkes dan berkata sembari tertawa: "Naik gampang, turun sukar. Hari ini aku
sudah capai sekali dan ingin tidur sebentaran!"
Sang dayang tepuk kedua tangannya dan barisan itu segera mulai bergerak. Delapan batang
pedang yang hawanya dingin lantas saja menyambar bagaikan kilat.
"Dingin! Dingin! Ah, hilanglah perasaan ngantukku!" berseru si pemuda yang badannya lantas
saja berkelebat-kelebat di antara sinarnya pedang-pedang itu. Sebagaimana diketahui, serangan-
serangannya barisan itu hebat sekali dan delapan pedang menyambar-nyambar saling susul
bagaikan gelombang. Sang pedang cepat, tapi si pemuda lebih cepat lagi. Ujung pedang
kelihatannya sudah menempel pada badannya, en toh pada detik yang terakhir, ia selalu dapat
mengegos dengan tepat sekali. Melihat begitu, mau tak mau, Pengtjoan Thianlie jadi merasa
kagum. Semakin lama serangan delapan pedang jadi semakin seru dan badannya si pemuda
seperti juga sudah dikurung sinar pedang yang seperti jala.
Thian Oe amat berkuatir. "Chena tjietjie," berbisik ia. "Dapatkah kau menolong padaku buat
minta Pengtjoan Thianlie hentikan pertempuran?" Chena tidak menyahut. Ia cuma geleng-
gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba si pemuda tertawa terbahak-bahak. "Ilmu pedang bagus! Sungguh bagus sekali!" ia
berseru. "Sekarang maafkan padaku."
Setahu bagaimana, selagi ia kelit delapan batang Pengpok Hankong kiam, tahu-tahu tangannya
sudah mencekal sebatang pedang panjang, yang mengeluarkan sinar berkeredepan dan
mengaung kapan dikebaskan. "Pedang bagus!" Pengtjoan Thianlie berkata tanpa merasa.
Sesudah mengebas sekali, si pemuda membuat satu lingkaran bundar dengan pedangnya dan
di lain saat, dengan suara berkrontangan, pedangnya dua dayang sudah terbabat putus! Semua
dayang terkesiap dan lantas pada loncat mundur. Dengan kecepatan yang tak dapat dilukiskan
dan pengetahuan akan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw, ia menindak di pintu Hioe, biluk di pintu
Kay, putari pintu Sie, injak pintu Seng dan lantas balas menyerang. Di lain saat, pedangnya
dayang yang menjaga pintu Keng dan pintu Siang sudah terbabat putus.
Dayang yang menjaga di tengah-tengah lantas saja timpukkan Pengpok Sintan dengan
gerakan Thianli Sanhoa (Bidadari sebar kembang). Di tengah udara lantas saja penuh dengan
peluru yang seperti mutiara dan bersinar terang.
Si pemuda juga lantas ayun tangannya dan lepaskan senjata rahasianya. Pengpok Sintan sudah
luar biasa, tapi senjata rahasianya si pemuda lebih luar biasa lagi. Senjata rahasia itu ada
sedemikian halus, sehingga tak dapat dikenali dengan sang mata, dan yang terlihat cuma sinar
emas yang berkredep. Dalam tempo sekejapan, Pengpok Sintan sudah tidak kelihatan lagi.
Pengtjoan Thianlie terkesiap sebab lihat tenaga dalam si pemuda yang luar biasa besarnya.
Senjata rahasia itu macamnya seperti rumput bong (rumput buat bikin kasut). Begitu nempel,
Pengpok Sintan lantas mental beberapa tombak dan jatuh di atas tanah! Hatinya si nona jadi
tergoncang, sebab ia mendadak ingat penuturan mendiang ayahnya mengenai Thiansan Sinbong
(Bong malaikat dari gunung Thiansan), semacam senjata rahasia ahli-ahli pedang Thiansan, yang
kalau dilepaskan mengeluarkan sinar merah yang mengkredep. Mengingat begitu, pandangannya
terhadap pemuda itu lantas jadi lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Di lain saat, badannya si pemuda mendadak terputar-putar seperti kilat. Para dayang cuma
merasa bayangannya berkelebat dan empat batang Pengpok Hankong kiam sudah pindah ke
dalam tangannya si pemuda!
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. "Berhenti!" ia berseru. Dengan satu kelebatan, si
pemuda sudah berdiri tegak di luar barisan dan sembari tertawa ia mengawasi Pengtjoan Thianlie.
"Kenapa?" ia tanya.
"Tak apa-apa," jawabnya dengan tawar. "Perkataanku tak dapat dirobah lagi."
"Kalau begitu kau mau turun tangan sendiri buat mengusir aku?" tanya si pemuda.
"Benar," jawabnya. "Kau masuk dengan kekerasan, maka tuan rumah juga harus mengusir
dengan kekerasan."
"Tak ada yang lebih baik daripada itu," kata si pemuda sembari tertawa. "Aku jadi dapat
kesempatan buat tambah pengalaman dan saksikan Tatmo Kiamhoat yang sudah hilang dari
wilayah Tiongkok."
Ia sama sekali tidak keder menghadapi sorot matanya Pengtjoan Thianlie yang dingin. Pada
kedua bibirnya terus tersungging senyuman dan balas mengawasi dengan mata tajam.
Thian Oe dan Chena duga Pengtjoan Thianlie akan segera turun tangan. Tapi tak dinyana,
sembari menyapu dengan matanya yang bagus, Pengtjoan Thianlie berkata: "Sesudah
menyebrangi sungai es dan bertempur lama, kau tentu lelah sekali. Maka itu biarlah besok tengah
hari kau datang lagi!"
Si pemuda memberi hormat dan berkata sembari tertawa: "Baiklah. Kalau kau perintah aku
datang lagi, aku tentu datang." Sesudah kasih masuk pedangnya ke dalam sarung, ia putar
badannya, tapi sebelum berjalan pergi, ia berkata pula sembari mesem: "Masih boleh jugalah
perlakuan itu terhadap seorang sahabat."
"Apa kau bilang?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Tak apa-apa," sahutnya. "Dalam dunia ini, memang ada manusia yang tidak tergerak
perasaannya biarpun ia bertemu dengan sahabat yang saling mengenal isi sang hati. Kau hidup
tanpa sahabat dalam keraton yang begini indah. Itulah yang dinamakan kekurangan dalam serba
kecukupan."
Mukanya Pengtjoan Thianlie bersemu merah. Perkataan itu kena betul pada uluhatinya.
Memang juga, sedari ayah dan ibunya meninggal dunia, tak ada seorangpun terhadap siapa ia
dapat tumpleki isi hatinya. Saban-saban bertemu dengan malam terang bulan, mau tak mau ia
merasakan juga satu kesepian.
"Kau terlalu rewel," kata Pengtjoan Thianlie. "Siapa suruh kau campur urusan lain orang?"
Sehabis berkata begitu, tanpa merasa ia melangkah beberapa tindak, mengikuti si pemuda yang
sedang naik ke atas jembatan yang terbentang di atas satu pengempang teratai. Di sebelahnya
pohon-pohon teratai yang sedang berbunga, atas empang itu terdapat beberapa macam pohon air
yang bunganya luar biasa dan menyiarkan bau harum sekali. Di atas jembatan itu terdapat satu
pendopo yang di kedua sampingnya tergantung sepasang lian (toeilian) yang bunyinya seperti
berikut:
Sinar rembulan, harumnya bunga
semua masuk impian. Keraton dewi,
ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan.
"Perkataannya cukup bagus, cuma kurang cocok sama keadaannya," kata si pemuda sembari
tertawa. Ia tak tahu bahwa toeilian itu adalah buah kalamnya Pengtjoan Thianlie sendiri. Moh
Hoan Lian, neneknya Pengtjoan Thianlie, adalah satu tjaylie (wanita pintar) yang tersohor
namanya. Sebagai satu cucu yang mewarisi pelajaran keluarganya, sedari kecil Koei Peng Go
(Pengtjoan Thianlie) sudah belajar membuat syair, menabuh khim dan main tiokie. Semua toeilian
yang terdapat dalam keraton itu adalah buah kalamnya sendiri. Lantaran begitu, tidaklah heran
kalau ia jadi merasa berdongkol waktu dengar celaannya si pemuda.
Ia maju lebih dekat dan menanya dengan suara menantang: "Kenapa tak cocok sama
keadaannya? Coba kau bilang?"
"Sinar rembulan dan harumnya bunga bisa diketemukan dimana juga," menerangkan pemuda
itu. "Keraton dewi dan ranggon indah juga cuma kata-kata yang melukiskan keindahannya suatu
gedung dan dapat digunakan di segala tempat. Maka itulah, perkataan-perkataan tersebut tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

cukup melukisi pemandangan istimewa yang terdapat disini. Apalagi, toeilian tersebut cuma
melukis pemandangan dan tidak melukis manusia. Itulah yang aku namakan satu cacat dalam
keindahan."
Walaupun bersifat sangat angkuh, tapi Pengtjoan Thianlie adalah seorang gadis yang suci
bersih. Mendengar penjelasannya si pemuda yang beralasan, ia jadi mesem dan berkata: "Kalau
begitu, cobalah kau tolong bikinkan gantinya."
Baru saja si pemuda mau buka mulurnya, satu dayang menyeletuk: "Apakah kau tahu, bahwa
toeilian itu digubah berdasarkan namanya orang? Tak gampang mengubah itu."
"Jangan banyak bacot," membentak Pengtjoan Thianlie sembari lirik dayangnya. Sesudah itu, ia
berpaling kepada si pemuda dan berkata: "Cobalah kau sebutkan syairmu buat gantikan sepasang
lian itu, supaya aku dapat menimbang apa cocok dengan pemandangan disini."
"Kalau begitu, baiklah aku mempersembahkan kebodohanku," kata si pemuda sembari mesem
dan lalu bersyair:
"Sinar bulan atas sungai es, dewi rembulan turun,
Bidadari menyebar bunga. Sang penyair datang."
Sehabis bersyair, ia tertawa dan berkata pula: "Walaupun kata-katanya tidak begitu bagus, tapi
sang manusia yang disebutkan dalam lian itu betul-betul cantik luar biasa, sehingga aku rasa,
toeilian ini bolehlah juga."
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang dan mukanya jadi bersemu dadu. Syair yang disebutkan
barusan bukan saja terdapat kata-kata "Pengtjoan Thianlie," tapi juga menggenggam namanya
sendiri, yaitu Peng Go. (Sungai es = Pengtjoan, Bidadari = Thianlie, Es = Peng, yang kalau
digabung dengan Go-Dewi rembulan -- menjadi Peng Go).
Syair tersebut terang-terangan digubah untuk dirinya sendiri dan di dalamnya menggenggam
arti, bahwa si penyair mengagumi ia. Sinar rembulan di atas sungai es adalah seperti sang dewi
rembulan sudah turun ke muka bumi. Belakangan disebutkan, bidadari sebarkan bunga, sehingga
menyebabkan datangnya si penyair. Dengan berkata begitu, si pemuda mau bilang, bahwa ia
datang kesitu lantaran kagumi Pengtjoan Thianlie. Akan tetapi, orang tidak dapat katakan ia
memberi umpakan murah, sebab syair itu memang sesuai dengan keadaannya. Maka itulah, diam-
diam Koei Peng Go kagumi kepintarannya pemuda itu.
"Nah, sekarang aku sudah persembahkan syairku," kata si pemuda sembari berpaling kepada
sang dayang. "Barusan kau bilang, lian ini dibuat berdasarkan nama orang. Nama siapa? Apa
boleh kau memberitahukan?" Dayang itu tidak menjawab, tapi tekap mulutnya sambil tertawa.
"Biarlah aku saja yang memberitahukan," Pengtjoan Thianlie menyelak. "Kata-kata dalam
toeilian itu aku gubah berdasarkan namanya. Dalam taman ini ada dua belas pemandangan
istimewa. Di saban tempat ada toeilian dan setiap toeilian digubah berdasarkan namanya dayang-
dayangku."
"Sinar rembulan, harumnya bunga semua masuk impian,
keraton dewi, ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan,"
demikian si pemuda ulangi bunyinya toeilian itu dan kemudian berkata sambil menunjuk si
dayang: "Kalau begitu, namamu Goat Sian." (Rembulan = Goat, Dewi = Sian, kalau digabung jadi
satu ialah Goat Sian).
"Benar," sahut sang dayang sembari manggutkan kepala.
"Bagus," kata si pemuda, "Sekarang izinkan aku mempersembahkan lagi kebodohanku dan
mengubah sepasang lian untukmu." Ia mesem-mesem dan sambung omongannya: "Aku ingat
syairnya seorang dahulu kala. Biarlah aku pinjam syair itu untuk mengubahnya. Dengarlah:
"Sinar bulan tiada cacatnya, jendela jodoh, pintu merah, setiap tahun dikitari.
Sang dewi patah hatinya, lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri.
Demikian ia mengubah toeilian tersebut. Kalau perkataan "bulan" (goat) digabung sama
perkataan "dewi" (sian), jadilah Goat Sian, namanya dayang itu.
"Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri" adalah sebagian dari syairnya Lie Gie San yang
berbunyi seperti berikut:
"Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab,
lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dengan mengubah syair tersebut si pemuda ejek Pengtjoan Thianlie seperti satu bidadari, yang
dengan penuh kesunyian berdiam dalam keraton es seorang diri. Pengtjoan Thianlie kerutkan
kedua alisnya. Tanpa merasa, ia sudah mengikuti si pemuda menyeberangi jembatan itu! Dengan
main bersyair secara begitu, dimanalah adanya sifat permusuhan antara mereka berdua?
Sesudah menyebrang jembatan, si pemuda lalu angkat kedua tangannya dan berkata sembari
tertawa: "Tak usah mengantar terlebih jauh dan tak usah kalian mengusir. Aku sekarang mau
pergi, besok tengah hari aku akan balik buat penuhi janji."
Mukanya Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu. Si pemuda baju putih lalu pentang kedua
kakinya dan dalam sekejap sudah hilang dari pemandangan.
Sesudah sang tetamu berlalu, semua orang dalam keraton ramai bicarakan ia, antaranya juga
Tan Thian Oe. Ilmu silatnya si pemuda baju putih dan Pengtjoan Thianlie tak dapat diukur
bagaimana tingginya, maka besok tentulah juga bakal terjadi pertempuran yang sangat hebat.
Pada esokan harinya, sebelum tengah hari, Chena sudah samper Thian Oe buat diajak saksikan
keramaian. Baru saja menginjak taman, kuping mereka sudah dengar suara tetabuhan khim yang
merdu sekali.
"Apakah khim itu dipentil oleh Thianlie tjietjie? Main khim pagi-pagi adalah diluar
kebiasaannya," kata Chena.
Mereka pasang kuping dan ternyata yang sedang diperdengarkan adalah lagu "Tjioelam" dari
Siekeng (Kitab Syair). Nyanyian dari lagu tersebut berbunyi kira-kira seperti berikut:
Di Selatan ada pohon tinggi, tapi
tak ada tempat meneduh.
Di Hankiang si cantik berenang,
tak mungkin dapat diubar.
Ibarat luasnya Sungai Hansoei,
jangan harap dapat
menyeberang.
Ibarat panjangnya Sungai Tiangkang,
jangan harap dapat diputari.
Syair itu melukiskan seorang gadis angkuh, yang hatinya tak dapat dicuri oleh lelaki mana juga.
Kata-kata yang digunakan dalam syair itu semuanya petunjuk yang samar-samar. "Kenapa
Pengtjoan Thianlie mainkan lagu itu?" tanya Thian Oe dalam hatinya. "Apakah ia ibaratkan dirinya
seperti itu gadis Hankiang? Memang juga, jika dibandingkan, Pengtjoan (Sungai es) adalah lebih
sukar diseberangi daripada Hankiang."
Ketika itu, matahari sudah berada di tengah-tengah langit dan suara khim mendadak berhenti.
Seluruh taman diliputi kesunyian dan semua orang berdebar hatinya, sebab saat pertemuan antara
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih sudah tiba.
Mendadak dari kejauhan terdengar suara suling yang merdu sekali. Lagu itupun adalah petikan
dari Kitab Siekeng dan syairnya berbunyi kira-kira sebagai berikut:
Kembang putih putih, embun menjadi es.
Jiwa hatiku, berada di seberang. Melawan arus air, aku mencari ia, terputar-putar jauh sekali.
Mengikuti arus air, aku mencari ia, terombang-ambing di tengah air yang tiada tepiannya.
Syair itu adalah syair percintaan yang melukiskan seorang lelaki sedang cari kecintaannya, yang
boleh dipandang, tapi tidak boleh dipegang, penuh dengan perasaan cinta dan sedih dengan
berbareng.
Begitu suara suling berhenti dalam taman sudah tambah satu orang lagi, yaitu si pemuda baju
putih, yang satu tangannya memegang suling batu kemala, sedang di pinggangnya tergantung
sebatang pedang panjang, sehingga ia kelihatannya jadi lebih cakap dan angker.
"Nona pandai benar mementil khim, sehingga hampir-hampir aku lupa soal adu pedang," kata
ia sembari pegang gagang pedangnya.
"Kau juga pandai meniup suling," sahut Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. "Ilmu
pedangmu tentulah juga lebih tinggi lagi, maka itu, lebih-lebih aku harus minta pengajaranmu."
Diam-diam Thian Oe tertawa dalam hatinya. Yang satu pentil khim, yang lain tiup suling,
manalah seperti dua musuh yang mau bertempur?
"Kalau turut kemauanmu, bukankah itu terlalu gila?" kata si pemuda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kau mau aku turun gunung, bukankah itu pun terlalu gila?" kata
Pengtjoan Thianlie. "Jika kau sungkan adu pedang, aku pun tidak memaksa. Pergilah, disini
bukan tempatmu."
Si pemuda baju putih geleng-gelengkan kepalanya dan berkata sembari tertawa: "Kecuali adu
pedang, apakah tidak ada lain jalan buat undang kau turun gunung? Baiklah, kita janji saja begini:
Jika aku kalah, aku tidak akan mengganggu lagi. Kalau kau kalah, kau harus bantu aku melindungi
guci emas itu."
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Memang juga dalam dunia ini tak hentinya
manusia main rebut-rebutan, sehingga aku merasa mendeluh sekali. Baiklah, cabut pedangmu."
Didengar dari lagu omongannya, Pengtjoan Thianlie seolah-olah merasa, bahwa dalam
pertempuran sebentar, ia pasti menjadi pihak yang menang.
Sehabis berkata begitu, ia lantas cabut pedangnya yang lantas mengeluarkan sinar berkilau-
kilauan dan hawa dingin yang sangat hebat. Pedangnya Pengtjoan Thianlie juga adalah Pengpok
Hankong kiam, tapi tidak sama dengan pedang yang digunakan oleh para dayangnya. Pedang itu
terbuat dari sarinya lima macam logam dan diolah di dalam gua es dan umbul dingin. Thian Oe
dan Chena sebenarnya sudah telan pel Liokyang wan yang dapat menahan segala rupa hawa
dingin, tapi toh mereka masih bergidik begitu lekas pedang itu dicabut dari sarungnya.
Si pemuda bersikap tenang sekali, sembari mesem-mesem ia tarik keluar pedangnya sendiri. Ia
berdiri di sebelah bawah, ia berkata: "Silahkan!"
Pengtjoan Thianlie menuding dengan pedangnya yang bagaikan kilat, lantas saja menyambar.
Sebelum Thian Oc dapat melihat tegas, badannya si pemuda sudah ngapung ke atas beberapa
kaki tingginya, sedang Pengpok Hankong kiam lewat di bawah kakinya. Tanpa merasa, Pengtjoan
•Thianlie keluarkan satu seruan heran, sebab barusan ia sudah menyerang dengan serangan
Tatmo Kiamhoat yang sangat liehay. Satu serangan itu menuju ke arah tiga jalanan darah musuh
yang membinasakan, tapi tidak dinyana, serangan sehebat itu dapat disingkirkan secara begitu
gampang oleh si pemuda baju putih.
Hampir berbareng, dengan satu siulan panjang, si pemuda balas menyerang. Ia kirim dua
tikaman ke sebelah kiri, dua tikaman ke sebelah kanan dan satu tikaman di tengah-tengah, setiap
serangan di kirim dengan gerakan yang berbeda-beda. Dengan satu teriakan "Bagus!", Pengpok
Hankong kiam berkelebat-kelebat ke kiri kanan dengan gerakan yang berobah-robah luar biasa
cepat, dan di lain saat, pedang itu kembali kelihatan menyambar lehernya si pemuda. "Sungguh
indah Tatmo Kiamhoat!" berseru si pemuda sembari tertawa dan dengan gampang ia sudah
loloskan diri dari serangan Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie heran bukan main. Pemuda itu mengetahui kiamhoat-nya, akan tetapi, ia
sendiri tidak tahu, ilmu pedang apa yang sedang digunakan oleh pemuda tersebut. Dengan
demikian, kesombongannya lantas hilang beberapa bagian.
Si pemuda kembali keluarkan siulan panjang dan mulai menyerang secara hebat. Pedangnya
menyambar-nyambar seperti hujan angin, sehingga matanya orang yang melihat menjadi kabur.
Pengtjoan Thianlie jadi sengit. Cara bersilatnya mendadak berobah dan di lain saat, bayangannya
dan sinar pedang berkelebat-kelebat seperti titiran, seolah-olah dalam taman itu muncul
bayangannya puluhan Pengtjoan Thianlie.
"Dengan sesungguhnya Pengtjoan Thianlie bukan cuma mempunyai nama kosong," kata si
pemuda dalam hatinya dengan perasaan heran. "Ia ternyata sudah tambahkan banyak pukulan-
pukulan luar biasa ke dalam Tatmo Kiamhoat." Memang juga, kedua orang tuanya Pengtjoan
Thianlie sudah tambahkan banyak pukulan heran-heran ke dalam Tatmo Kiamhoat. Dengan
gunakan ilmu pedang Tatmo sebagai dasar, kedua orang tua itu sudah menambah dengan sarinya
ilmu pedang di Tibet yang agak berlainan dengan ilmu pedang dari Tiongkok asli.
Demikianlah kedua ahli pedang bertempur dengan luar biasa sengitnya. Masing-masing
keluarkan segala rupa ilmu simpanannya tanpa mendapat hasil. Menit lepas menit, jam lepas jam,
dari tengah hari mereka sudah berkelahi sampai hampir magrib, tapi kedua-duanya masih tetap
segar dan belum ada yang keteter.
Mendadak satu suara sangat nyaring akibat bentrokan kedua pedang, terdengar. Dengan
berbareng, mereka loncat mundur beberapa tindak dan masing-masing periksa pedangnya yang
ternyata sama kuatnya dan masih tetap utuh seperti biasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apakah hari ini kita boleh berhenti dahulu?" tanya si pemuda baju putih sembari tertawa.
"Hari ini belum dapat keputusan siapa menang, siapa kalah. Besok kau datang lagi," sahut
Pengtjoan Thianlie.
"Hatiku merasa tidak tega," kata lagi si pemuda. "Dengan bertempur disini kita bikin rusak
pemandangan indah dari keratonmu."
Mendengar perkataan itu, para dayang baru memperhatikan itu gunung-gunungan dan batu-
batu hiasan yang ternyata benar sudah banyak somplak lantaran tertabas pedang.
"Kita enak-enakan, adu pedang, batu-batu indah yang jadi korban. Sungguh sayang!" kata si
pemuda.
"Kalau begitu, sudahlah, jangan bertempur lagi," kata Pengtjoan Thianlie.
"Kau belum menangkan aku dan kau juga sungkan turun gunung. Habis bagaimanakah
baiknya?" kata si pemuda sembari mesem-mesem.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Apa kau tidak bisa turun gunung sendiri?" kata ia dengan
suara tidak sabaran.
"Sebenarnya aku ingin sekali ikat tali persahabatan dengan kau," kata si pemuda. "Sesudah
turun gunung, cara bagaimana aku dapat menemui kau lagi? Di sebelahnya itu, ketemu tandingan
setimpal adalah salah satu kejadian paling menggembirakan dalam
penghidupan manusia. Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku bisa cari lagi satu
tandingan seperti kau?"
"Habis bagaimana pendapatmu?" Pengtjoan Thianlie menanya tanpa merasa.
"Selama dua hari ini, kau jadi tuan rumah, sedang aku sebagai tetamu," sahut si pemuda.
"Walaupun perlakuanmu terhadap tetamu ada kurang sopan, akan tetapi aku merasa berwajib
undang kau satu kali. Maka pada besok tengah hari, aku undang kau datang ke lembah es buat
mendapat suatu keputusan. Disitu, biarpun andaikata kau tabas rata Puncak Es, masih tidak ada
halangannya. Dengan begitu, kita tak usah bertempur di tempat ini dan merusak keindahan
keratonmu."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau bilang, bahwa hari itu, lantaran kuatir bikin rusak -
keindahan keraton, ia belum keluarkan semua kepandaiannya.
Pengtjoan Thianlie mengerti maksud tersembunyi dari omongan si si pemuda. "Baiklah, aku
iringi Keinginanmu!" jawab ia dengan suara bcrdongkol. Begitu habis bicara, ia lantas ingat, bahwa
ia sekarang toh sudah kena juga dipancing keluar dari keratonnya!
Dengan sikap tenang, kedua matanya si pemuda mengawasi gunung-gunungan dan batu-batu
hiasan yang ada pada rusak akibat pertempuran. Mendadak ia tertawa dan berkata: "Hiasan
sebuah taman adalah ibarat pakaiannya seorang gadis, yang saban-saban harus ditukar coraknya.
Kerusakan ini ada juga baiknya supaya dapat dihias baru." Tanpa perdulikan didengar atau tidak
oleh Pengtjoan Thianlie, ia lantas saja bicara panjang lebar mengenai cara-cara menghias taman.
Memang juga rencana menghias keraton disusun sendiri oleh Pengtjoan Thianlie yang
kemudian perintah dayang-dayangnya buat mengerjakannya. Mendengar perundingannya si
pemuda yang sangat menarik, dayang-dayang itu lantas pada mendekati dan berkumpul di
seputar ia. Pengtjoan Thianlie berdongkol bukan main, tapi ia merasa kurang enak buat semprot
dayang-dayangnya di hadapan orang luar.
Sesudah bicara beberapa lama, si pemuda mendadak membungkuk dan berkata: "Sayang sekali
kau tidak sudi menerima tetamu. Malam ini baiklah aku tidur lagi di bawahnya Puncak Es!"
"Yah, pergilah!" kata Pengtjoan Thianlie dengan suara gusar.
"Terhadap sahabat, kau benar tak sungkan-sungkan lagi," kata si pemuda sembari mesem.
"Baiklah, aku pun merasa sangat capai dan ingin tidur. Sedang tuan rumah sungkan menerima
tetamu, aku pun paling baik jalan. Tapi besok, janganlah lupa janjimu!"
Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan jalan perlahan-lahan, sedang mulutnya tak hentinya
bicarakan bunga-bunga dan pohon-pohon dalam taman itu. Sebentar ia ceritakan cara
menggunting daun-daun kembang ini, sebentar ia bentangkan cara merawat pohon itu. Bicaranya
bukan saja sangat menarik, tapi juga memperlihatkan satu pengetahuan yang mendalam
mengenai ilmu tumbuh-tumbuhan, sehingga para dayang yang mendengari jadi bengong, dan
tanpa merasa mereka ikuti pemuda itu, seperti juga sedang mewakili sang majikan buat
mengantar tetamu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia menghampiri dengan niat panggil pulang dayang-
dayangnya.
Mendadak si pemuda hentikan tindakannya di depan satu gerbang. Di belakangnya gerbang itu
terdapat beberapa puluh pohon anggrek hitam yang menyiarkan bau harum sekali. "Pemandangan
disini luar biasa bagusnya. Kenapa tidak dibuat toeilian?" kata si pemuda sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata apa-apa. "Dalam dua hari memang juga
mau ditulis dan kemudian dicukil," sahut satu dayang. "Paduka Puteri bilang..."
"Jangan banyak bacot!" membentak sang majikan.
"Ah, kalau begitu belum ditulis beres," kata si pemuda. "Nama dayang mana yang kau ingin
gunakan buat toeilian itu?"
Kembali Pengtjoan Thianlie lirik padanya. "Aku lihat kau sudah kepengen sekali," ia mendadak
berkata. "Nah, coba kau tolong karangkan."
Si pemuda tertawa nyaring. "Baiklah," kata ia. "Lagi-lagi kau mau uji aku. Aku ini memang tak
tahu diri. Nah, biarlah aku coba persembahkan kebodohanku."
Satu dayang lantas menunjuk dan berkata: "Toeilian yang mau dibuat menggunakan namanya.
Ia bernama Hoei Kheng."
Si pemuda berpikir. Dua huruf itu, yang satu huruf "kosong", yang lain huruf "berisi", benar-
benar sukar di-toei (dipasangkan). Hoei Kheng adalah dayang yang biasanya membantu Pengtjoan
Thianlie mengambil kertas dan menggosok bak dalam kamar tulis, sehingga sedikit banyak ia
mengerti juga syair. "Tak bisa dapat?" ia tanya sembari tertawa.
"Kalau dipaksa-paksa bisa juga," jawab si pemuda. "Gerbang ini sangat tinggi, maka perlu
dibikin toeilian yang agak panjang. Begini sajalah:
"Bakat kepintaran lebih berharga dari bunga anggrek. Yang bergoyang tertiup angin di
pegunungan kosong.
Rembulan benar terang, tapi sang hati berada dalam kesedihan.
Awan yang indah menyinari lautan perak.
Melayang-layang di selebar langit.
Pergi ke Yauwtie tiada jalanannya,
mundar-mandir (seperti awan) tiada juntrungannya."
Demikianlah huruf pertama "Kepintaran" (Hoei) dari syair yang kesatu ditimpali dengan huruf
pertama "Indah" (Kheng) dari syair yang kedua, sehingga dapatlah "Hoei Kheng" atau namanya
dayang itu.
Arti toeilian tersebut kembali mengenakan Pcngtjoan Thianlie. Si pemuda umpamakan ia seperti
lembah kosong dan anggrek yang sunyi dengan cuma sang rembulan yang menjadi kawannya,
sehingga menambahkan kesedihan.
Pengtjoan Thianlie tidak berkata apa-apa. Ia berdiri bengong seperti orang yang sedang
ngelamun.
Sembari menuding ke satu tempat, si dayang kembali berkata:" Eh, coba karang lagi buat
tempat itu. Kau harus gunakan namanya saudariku, Yoe Pcng." Tempat itu adalah satu pendopo
delapan pasegi yang berdiri di atas satu empang teratai, yang penuh dengan pohon-pohon teratai
dan rumput air yang dinamakan "peng".
"Huruf Yoe Peng juga satu kosong dan satu berisi, sehingga lebih-lebih sukar dipasangkan,"
kata si pemuda sembari tertawa. "Baik juga pemandangan disitu dapat dipinjam buat
menggubahnya. Kau dengarlah:
"Lembah sunyi, gunung belukar. Sinar rembulan menindih lain-lain warna.
Batang peng (rumput), daun teratai.
Suara hujan menutup suara teratai."
Dengan begitu huruf Yoe (Sunyi) dipasangi dengan huruf Peng (namanya semacam rumput).
Lembah sunyi, gunung belukar,
batang rumput (peng), daun teratai,
masing-masing sudah merupakan toei (pasangan). Perkataan yang di sebelah bawah, si
pemuda pinjam karangannya seorang penyair jaman dahulu yang berbunyi:
Yang ketinggalan hanya bunga teratai yang sudah rontok,
sambil mendengari jatuhnya sang hujan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dengan demikian, syair itu bukan saja cocok dengan pemandangannya, tapi juga mengenakan
dirinya Pengtjoan Thianlie. Si pemuda seolah-olah mau menyatakan simpatinya kepada ia, yang
dengan penuh kesunyian, bertempat tinggal dalam keraton es. Hatinya si nona jadi tergoncang. Ia
tidak kira, pemuda itu mempunyai kepandaian sedemikian tinggi, baik dalam ilmu surat, maupun
dalam ilmu silat.
"Sudahlah, jangan mengantar terus," kata si pemuda sembari angkat kedua tangannya.
"Terima kasih, terima kasih."
Pengtjoan Thianlie jadi tersadar. Tanpa merasa, -ia ternyata sudah ikut menyeberangi
jembatan batu giok putih. Mendadakan saja mukanya jadi bersemu dadu dan berkata dengan
suara tawar: "Piara semangatmu, besok kita adu pedang lagi."
"Baiklah," kata ia sembari berjalan pergi dan di lain saat, ia sudah menghilang di antara
pepohonan.
Seperti orang yang kehilangan apa-apa, si nona berdiri di atas jembatan. Ia dongak ke atas dan
memandang itu lembaran-lembaran awan yang mengambang, dengan paras muka sedih.
Sesudah si pemuda baju putih berlalu, Thian Oe jadi masgul lantaran ingat, bahwa besok ia
sudah mesti meninggalkan tempat itu. Ia lantas balik ke kamarnya buat mengasoh. Selagi rebah-
rebahan, mendadak seorang dayang datang dan memberitahukan, bahwa Pengtjoan Thianlie
undang ia bersantap malam.
Dalam beberapa hari itu, barang santapan selamanya diantar oleh seorang dayang dan ia selalu
makan seorang diri dalam kamarnya. Maka itu, ia merasa agak heran mendengar undangannya
Pengtjoan Thianlie.
Tanpa berkata suatu apa, ia buru-buru salin pakaian dan ikut sang dayang pergi ke keratonnya
Pengtjoan Thianlie. Sesudah jalan bulak-belok, mereka tiba pada satu telaga es. Di kakinya puncak
gunung Nyenchin Dangla terdapat satu gunung api, sehingga pemandangan dalam keraton adalah
lain dari yang lain. Dengan hawanya yang hangat, disitu terdapat bunga-bunga yang mekar
sepanjang tahun dan rumput-rumput yang tetap hijau sepanjang masa. Di tengah telaga terdapat
teratai putih, teratai merah, bunga Mantolo yang harum luar biasa, dan lain-lain bunga yang aneh-
aneh. Di sebelahnya itu, kepingan-kepingan es kelihatan kelap-kelip di tengah telaga, dan jika
sang angin meniup dengan perlahan, bebauan yang harum menyambar-nyambar ke dalam
hidung. Sungguh orang tak tahu, musim apa adanya itu? Apa musim semi, apa musim rontok, apa
musim dingin atau musim panas!
Di dekat telaga terdapat satu pendopo yang terbuat dari batu giok putih mulus. Disorot dengan
sinar matahari magrib, pendopo itu mengeluarkan warna-warni yang luar biasa indahnya.
Di tengah pendopo dipasang satu meja makan, dimana terlihat, di sebelahnya Pengtjoan
Thianlie, Thiekoay sian suami isteri. Thian Oe lantas memberi hormat dan mengambil tempat
duduk di samping gurunya. Selain masih sedikit layu, paras mukanya Thiekoay sian sudah pulih
seperti biasa.
"Keadaan gurumu sekarang sudah tidak berbahaya lagi," kata Pengtjoan Thianlie.
"Terima kasih dan itu semua adalah berkat bantuannya Oen-giok yang usianya laksaan tahun,"
kata Thiekoay sian. "Kalau tidak ada mustika itu, aku masih harus mengasoh beberapa hari lagi."
Suaranya tawar sekali yang mana menandakan perasaan
berdongkolnya, sebab Pengtjoan Thianlie sudah bataskan tempo berdiamnya dalam keraton es.
Pengtjoan Thianlie lirik padanya dan berkata lagi: "Masih ada sedikit hawa dingin yang belum
habis. Kau masih harus minum air godokan rumput Sinlongtjo. Rumput itu bisa didapat di sebelah
selatan Puncak Es dan besok aku akan titahkan dayang antar In Tjin tjietjie pergi memetiknya."
"Terima kasih," sahut In Tjin dengan pendek.
"Besok aku sudah janjikan orang buat mengadu pedang di bawah Puncak Es dan mungkin
pulangnya laat sekali," kata Pengtjoan Thianlie. "Lusa pagi kalian harus berangkat, maka itu, aku
siapkan meja perjamuan ini buat memberi selamat jalan."
Thiekoay sian suami isteri lantas saja bangun berdiri dan membungkuk sebagai pernyataan
terima kasih. Sikap mereka kaku sekali, tapi Pengtjoan Thianlie kelihatannya tidak memperdulikan.
Setelah undang tetamunya minum segelas arak, ia berkata: "Thiekoay sian, kau sudah
berkelana di seluruh negeri dan kenal baik segala ilmu pedang dari macam-macam partai.
Sekarang aku menemui semacam ilmu pedang, yang aku tak kenal. Apa kau tahu ilmu pedang apa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

adanya itu?" Sehabis berkata begitu, ia lalu petakan beberapa macam pukulan yang luar biasa.
"Ilmu pedang itu adalah ilmu pedangnya si pemuda yang sudah janjikan aku buat mengadu
pedang," ia sambung keterangannya. "Selain itu, ia mempunyai senjata rahasia yang juga luar
biasa. Senjata itu mengeluarkan sinar emas hitam!"
"Aku tahu. In Tjin sudah dengar penuturannya dayangmu," sahut Thiekoay sian.
"Jika kau kenal, coba beritahukan padaku namanya ilmu pedang itu," kata Pengtjoan Thianlie.
"Dan lagi, apa namanya senjata rahasia itu? Apa di dalamnya tidak terdapat cacat yang bisa
diserang?"
"Oh, kalau begitu kau mau minta pengajaranku?" kata Thiekoay sian dalam hatinya. "Biarlah
aku gertak padanya!" Memikir begitu, ia lantas saja berkata: "Ilmu pedang itu adalah ilmu pedang
Thiansan yang kesohor di kolong langit. Kiamhoat tersebut adalah gubahan tjianpwee Hoei Beng
Siansu, yang telah petik sarinya berbagai macam ilmu pedang dan tambah sama gubahannya
sendiri. Di kolong langit ini, tidak ada satu manusia yang dapat pecahkan ilmu pedang itu!"
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung dan berkata: "Oh, kalau begitu Thiansan
Kiamhoat!" Harus diketahui bahwa ayahnya Pengtjoan Thianlie dahulu pernah dikalahkan oleh
Tong Siauw Lan dan Phang Eng dari Thiansan pay. Itulah sebabnya ia sudah kabur ke Tibet
dengan niatan memetik ilmu pedang daerah Barat buat dicampur sama Tatmo Kiamhoat, akan
kemudian digubah menjadi semacam ilmu pedang baru guna diadu lagi sama Thiansan Kiamhoat.
Sedari kecil Pengtjoan Thianlie sudah dengar namanya Thiansan pay dan tak diduga, pemuda itu
adalah orang dari partai tersebut. 91
"Senjata rahasia itu mempunyai asal-usul yang lebih besar lagi," Thiekoay sian sambung
keterangannya. "Namanya Thiansan Sinbong dan bahannya cuma bisa didapat di Thiansan. Bukan
emas dan juga bukan besi, tapi sifatnya lebih keras dan emas dan besi. Bentuknya juga macam-
macam, ada yang panjang seperti anak panah, ada yang bundar seperti mutiara. Dahulu Leng
Bwee Hong Tayhiap mendapat nama besarnya lantaran Thiansan Sinbong dan dari sini bisa dilihat
liehaynya senjata rahasia itu."
Mendengar pujiannya Thiekoay sian, Pengtjoan Thianlie mendeluh dan berkata dengan suara
tawar: "Ah, belum tentu tak ada tandingannya di kolong langit!"
"Dengan ilmu silatmu yang merangkap dua macam ilmu silat, mungkin sekali masih setanding,"
kata Thiekoay sian. "Cuma saja dalam dunia persilatan, jika kita menemui lawanan tangguh, pada
sebelum ingat kemenangan, lebih dahulu kita harus berjaga-jaga akan kekalahan, maka itu,
terlebih baik kau berlaku sedikit hati-hati." Dengan berkata begitu, Thiekoay sian seperti juga mau
bilang, ia bukan tandingannya pemuda tersebut.
Pengtjoan Thianlie merasa tak senang dan kembali ia keluarkan suara di hidung. Sebenarnya ia
mau tanyakan dua rupa hal. Pertama, asal-usul ilmu pedangnya pemuda itu, dan kedua, cacatnya
ilmu pedang tersebut. Sekarang, soal pertama ia sudah mengetahui, tapi dalam soal kedua,
menurut Thiekoay sian ilmu pedang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan dan sama
sekali tidak ada cacatnya. Maka tidaklah heran ia jadi merasa sangat berdongkol dan berkata
dengan suara kaku: "Dalam dunia tidak ada ilmu pedang yang tidak dapat dipecahkan. Setiap ilmu
silat mesti ada lawannya yang dapat menaklukinya. Tapi biar bagaimanapun juga, aku harus
menyatakan terima kasih buat segala pengunjukanmu. Sekarang marilah aku undang kalian suami
isteri minum kering tiga cangkir arak. Pertama buat membilang terima kasih, dan kedua, buat
memberi selamat jalan." Seorang dayang lantas menuang arak dan mereka lalu minum kering tiga
gelas.
Mendadak terjadi perubahan pada dirinya Tjia In Tjin, yang seperti juga tidak kuat tahan
pengaruhnya alkohol. Ia bangun dan menuju ke pinggir telaga, tapi sebelum sampai disitu, ia
sudah muntahkan arak dan makanan dari dalam perutnya.
"Arak itu dibuat olehku sendiri dengan mengambil sarinya ratusan bunga," kata Pengtjoan
Thianlie. "Sifatnya halus sekali dan bukannya arak yang keras. Kenapa In Tjin tjietjie jadi tak
tahan?"
Dengan badan bergoyang-goyang dan satu tangannya memegang uluhati, Tjia In Tjin balik ke
meja perjamuan dengan muka pucat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kenapa?" tanya Thiekoay sian. Mukanya si isteri menjadi merah, tapi tidak menyahut. Dilihat
macamnya, ia sama sekali bukan mabok arak. Pengtjoan Thianlie lantas perintah satu dayang
ambil es dan selampe, tapi In Tjin goyang tangannya dan berkata: "Tak usah! Tak usah!"
"Bukankah kau mabok arak? Dikompres sama es, maboknya bisa lantas hilang," kata Pengtjoan
Thianlie.
Mukanya In Tjin jadi semakin merah. Ia cuma geleng-gelengkan kepalanya. Melihat begitu,
sang suami agak mendusin dan lantas berkata: "Ah, aku tahu. Coba aku tebak penyakitmu."
Kuatir suaminya bicara terus terang, buru-buru In Tjin berbisik: "Jangan ribut! Aku... Aku
ada..."
"Ada apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
In Tjin jadi semakin kemalu-maluan. Hal yang sebenarnya, ia sedang ngidam dan baru saja
hamil. Mereka sudah menikah banyak tahun dan usianya Thiekoay sian sudah mendekati setengah
abad, tanpa mempunyai anak. Maka itu, tentu saja ia jadi girang sekali, dan dalam
kegembiraannya, ia keja jatuh cangkir arak, untung tidak sampai pecah. Melihat begitu, Thian Oe
dan Pengtjoan Thianlie jadi sangat heran.
"Ada soal apa kau bergirang sampai begitu?" tanya si nona sembari melirik. "Kesehatanmu
belum pulih betul, tidak boleh terlalu girang atau terlalu gusar. Baiklah, sekarang sudah laat, aku
harus lantas balik ke keraton. Lusa pagi kalian boleh lantas turun gunung dan tak usah menemui
aku lagi."
Perjamuan lantas dibubarkan dengan kurang kegembiraan. Malam itu, Pengtjoan Thianlie tak
dapat tidur pulas, begitu juga Thian Oe. Hatinya sedih lantaran ingat, lusa pagi ia sudah mesti
berlalu dari tempat itu. Ia ingat besok Pengtjoan Thianlie dan pemuda baju putih itu akan
bertempur kembali. Hatinya ingin sekali menyaksikan keramaian itu, tapi ia tak tahu, apa
Pengtjoan Thianlie kasih permisi atau tidak. Ia ingat juga Chena, itu gadis Tsang yang luar
biasa dan sangat menarik hatinya. Rupa-rupa pikiran mengaduk dalam otaknya. Ia meramkan
kedua matanya, tapi sebaliknya dari pulas, ia jadi semakin segar.
Dengan perasaan kewalahan, ia lalu bangun, pakai baju luarnya dan keluar jalan-jalan di dalam
taman. Tanpa merasa, kakinya menuju ke arah gedung yang aneh itu. Rembulan yang sangat
terang menyelimuti bumi dengan sinarnya yang seperti perak. Mendadak ia dengar suara tindakan
dan buru-buru ia mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan. Di lain saat, pintunya
gedung itu mendadak terbuka dan seorang wanita yang memakai baju putih kelihatan keluar.
Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie sendiri.
Dari Chena, Thian Oe sudah mengetahui bahwa saban malam Tje-it, Pengtjoan Thianlie masuk
ke gedung itu seorang diri dan berdiam kurang lebih satu jam lamanya. Apa yang dilakukan
olehnya, tidak diketahui oleh siapa juga.
"Ah, kalau ia tahu aku mengumpat disini, ia tentu akan menuduh aku mau curi rahasianya,"
kata Thian Oe dalam hatinya. "Adatnya sangat luar biasa. Ia tentu akan memberi hukuman berat!"
Thian Oe jadi ketakutan. Ia tak berani bergerak dan tahan napasnya.
Dengan paras muka sedih, Pengtjoan Thianlie jalan mendekati tempat mengumpatnya Thian
Oe. Jantungnya Thian Oe mengetok lebih keras. Mendadak, dalam jarak kurang lebih setombak
dari Thian Oe, ia berhenti dan keluarkan satu seruan perlahan. Thian Oe terbang semangatnya
dan keringat dingin mengucur keluar dari dahinya, la duga, Pengtjoan Thianlie sudah mengetahui
tempat
mengumpatnya. Dengan hati berdebar, ia mengintip dari sela-sela batu. Matanya mendadak
lihat bayangannya seorang wanita lain, yang sedang menuju ke arah utara barat, yaitu ke jurusan
gedung tempat mengasohnya. Thian Oe terkejut.
"Chena! Kenapa tengah malam buta kau masih jalan-jalan?" demikian kedengaran Pengtjoan
Thianlie menanya.
Thian Oe lega. "Chena tentulah mau cari aku," kata ia dalam hatinya. "Tak tahu, ia mau omong
apa. Ah, tinggal besok sehari. Lusa sudah tak dapat bertemu lagi dengan ia."
"Thianlie tjietjie," demikian kedengaran Chena menyahut. "Aku cari kau terputar-putar, tak
tahunya kau berada disini."
Thian Oe mesem. Gadis itu ternyata pandai juga berdusta.
"Ada apa kau cari aku?" tanya Pengtjoan Thianlie.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa tjietjie sudah mempunyai pegangan buat kalahkan musuh?" Chena balas menanya.
"Oh, kalau begitu kau pikirkan soal itu?" kata Pengtjoan Thianlie. "Legakan hatimu. Walaupun
andaikata aku tidak bisa menang, tapi aku pun tidak akan sampai kena dijatuhkan oleh pemuda
itu."
"Maka itulah..." Kata Chena seraya tertawa, tapi tidak teruskan omongannya.
"Maka apa?"
"Maka itulah, pertempuran besok tentu luar biasa menariknya," kata Chena. "Aku ingin sekali...
Aku kepengen..."
"Ingin nonton?"
"Benar, tjietjie," kata Chena. "Aku anggap, kalau tidak saksikan pertempuran itu, mungkin
selama hidupku, aku tak akan dapat saksikan pertempuran yang sedemikian hebatnya."
Hatinya Pengtjoan Thianlie sebenarnya lagi pepat sekali. Tapi melihat Chena begitu pandang
tinggi pertempuran antara ia dan si pemuda dan begitu kagumi ilmu pedangnya, tanpa terasa ia
jadi tertawa. "Aku sebenarnya tidak permisikan siapa juga pergi melihat, tapi sekarang aku bikin
kecualian," kata ia. "Baiklah, besok kau dan seorang dayangku boleh nonton dari puncak gunung
di sebelah barat."
"Bukankah puncak gunung itu jaraknya jauh sekali dari tempat adu pedang?" tanya Chena
dengan suara agak tidak puas.
"Puncak itu memang tinggi dan dari situ kau dapat saksikan jalannya pertempuran," kata
Pengtjoan Thianlie. "Terhadap kau, aku sudah bikin kecualian itu. Apa kau masih belum merasa
puas? Mari, ikut aku pulang. Aku akan ajarkan lagi serupa ilmu pedang. Aku sudah janji akan ajar
kau tiga hari lagi. Sesudah pelajaran ini, aku sudah penuhi janji itu."
Mereka berdua lantas berjalan pergi. Keadaan kembali sunyi senyap. Sesudah mengumpat
beberapa lama lagi, barulah Thian Oe berani keluar. Wewangian yang keluar dari rumah aneh itu
jadi semakin keras dan seakan-akan mempunyai serupa tenaga membetot. Tanpa merasa Thian
Oe menghampiri pintunya dan tangannya meraba-raba gelang-gelangan pintu. Gelang-gelangan
pintu ternyata bisa terputar. Iseng-iseng ia putar-putar dan sesudah memutar dua kali, sang pintu
mendadak bergerak dan terbuka sendirinya!
Thian Oe kaget dan mau lantas lari, tapi setahu bagaimana, kakinya seperti juga dibetot.
Ditambah dengan keinginan mengetahui rahasia gedung itu, tanpa merasa ia sudah bertindak
masuk.
Keadaan dalam gedung itu seperti juga sebuah gereja. Di tengah-tengah terdapat patungnya
seorang wanita yang mukanya bundar seperti rembulan, sedang rambutnya yang berwarna emas
terurai di kedua pundaknya. Dari mukanya ternyata wanita itu adalah seorang wanita asing.
Selagi Thian Oe memandang dengan penuh keheranan, mendadak ia dengar suara orang batuk
di belakangnya.
Ia menengok dan Pengtjoan Thianlie berdiri disitu dengan paras muka sangat gusar!
Semangatnya Thian Oe terbang. "Nyalimu benar besar," Pengtjoan Thianlie berkata dengan
suara tawar. "Mau apa kau masuk kesini?"
Thian Oe gugup dan menyahut dengan suara terputus-putus: "Aku... aku... tidak tahu tidak
boleh masuk kesini."
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung. "Tak tahu?" ia menegasi. "Chena belum pernah
beritahukan kau? Aku tak percaya! Kalau dia tidak memberitahukan, dialah yang bersalah. Aku
nanti tanyakan dia. Aku tak percaya Chena begitu ceroboh. Hayo, bicara saja terus terang, jangan
salahkan orang yang tidak berdosa."
Thian Oe memang tidak biasa berdusta dan di sebelahnya itu, ia juga kuatir Pengtjoan Thianlie
nanti salahkan Chena. Maka itu, lantas saja ia berkata: "Benar, barusan aku berdusta. Pada hari
pertama, Chena sudah memberitahukan."
Pengtjoan Thianlie jadi semakin gusar. "Tapi kenapa kau toh sudah mencuri masuk?" ia
membentak. "Hm! Kau orang, guru dan murid, memang bukannya orang baik. Apa gurumu yang
ajar kau masuk kesini?"
"Bukan," jawab Thian Oe. "Aku sendiri yang mau masuk disini. Disurung dengan hati yang
kepengen tahu, tanpa merasa aku sudah masuk kesini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah bicara begitu, keberanian Thian Oe pulang kembali. Sekarang ia dapat memandang
keadaan disitu dengan hati yang lebih tenang. Di empat pojokan gedung itu dipasang lampu-
lampu, sedang pada temboknya terdapat mutiara-mutiara yang mengeluarkan sinar terang.
Sesudah berdiam beberapa hari di keraton es, baru ini kali Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie
gusar. Kedua sinar matanya yang tajam dan dingin seperti es seperti juga menembus sampai pada
uluhatinya.
Mendadak ia rasakan lehernya ditepuk dan sekujur badannya jadi kesemutan dan lemas.
Ternyata badannya sudah diangkat naik oleh Pengtjoan Thianlie. Di bawah pimpinan Siauw Tjeng
Hong, ia sudah belajar silat tujuh atau delapan tahun lamanya. Dalam kalangan Kangouw yang
biasa, ilmu silatnya sudah boleh dibilang lumayan. Tapi sekarang, menghadapi Pengtjoan Thianlie,
ia sama sekali tidak berdaya dan badannya diangkat begitu rupa, seperti juga anak ayam disambar
ulung-ulung.
"Kalau toh kau suka datang kesini, biarlah kau jangan keluar lagi!" kata Pengtjoan Thianlie
dengan suara tawar. Sehabis berkata begitu, ia putar badannya Thian Oe dua kali di tengah udara.
Thian Oe rasakan kepalanya puyeng dan sebelum dapat berbuat suatu apa, ia rasakan badannya
ambruk, sebab Pengtjoan Thianlie sudah banting ia ke atas lantai. Thian Oe keluarkan teriakan
ngeri, semangatnya terbang dan ia duga jiwanya akan segera melayang. Tapi, begitu lekas
badannya mengenakan lantai, disitu mendadak terbuka satu lubang dan badannya lantas masuk
ke dalam lubang itu. Waktu jatuh di dasar lubang, ia rasakan sakit, tapi belakangan ternyata tidak
mendapat luka yang berarti.
Ia bangun dengan perlahan. Gua itu gelap petang. Ia tak dapat lihat tangannya sendiri. Lubang
di atas sudah tertutup kembali. Beberapa saat kemudian, sayup-sayup ia dengar suara tindakan.
Rupanya Pengtjoan Thianlie sudah berlalu dari situ.
Belum berapa lama, hawa dingin dan hawa basah menyerang hebat sekali. Buru-buru ia bersila
dan jalankan pernapasannya. Baik juga ia sudah mempunyai dasar ilmu dalam (lweekang),
sehingga beberapa saat kemudian ia rasakan badannya jadi cnakan dan tidak begitu menderita
lagi dari hawa dingin dan basah itu.
Perasaan takut dan menyesal mengaduk dalam pikirannya Thian Oe. Mengingat perkataan "kau
jangan keluar lagi," ia jadi bergidik. Apa benar ia bakal dipenjarakan disitu seumur hidup? Ia lantas
saja ingat ayahnya, gurunya, soenio-nya (Tjia In Tjin) dan Chena. Dengan mereka itu, ia tak akan
dapat bertemu kembali! Thian Oe sebenarnya masih bersifat satu bocah. Mengingat begitu, ia
lantas saja kucurkan air mata dan menangis segak-seguk.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, kupingnya mendadak dengar suara tindakan orang di
atas. Ia susut air matanya dan berkata dalam hatinya: "Ah, kalau Pengtjoan Thianlie lihat aku
menangis, ia tentu akan tertawakan aku." Ia tidak merasa sakit hati, tapi ia pun sungkan
perlihatkan kelemahannya di hadapan Pengtjoan Thianlie. Berpikir begitu, ia segera bersila dan
meramkan kedua matanya.
Suara kaki yang barusan kedengaran mendekati, sekarang jadi semakin jauh dan akhirnya tidak
kedengaran lagi. Thian Oe tentu saja tidak mengetahui, bahwa suara kaki itu adalah tindakannya
Chena dan satu dayangnya Pengtjoan Thianlie. Ilmu silat mereka belum seberapa tinggi dan
tindakannya masih berat, sehingga Thian Oe dapat mendengarnya. Mereka berdua bangun
sebelum fajar dan buru-buru pergi ke puncak gunung yang terletak di sampingnya Puncak Es, buat
saksikan adu pedang antara Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang akan
dilangsungkan pada waktu tengah hari.
Dengan perasaan kecewa, Thian Oe terus bersemedhi. Tidak lama kemudian, kupingnya dapat
dengar suara nyanyiannya burung-burung yang baru sadar dari tidurnya.
Mendengar nyanyian itu, hatinya Thian Oe kembali jadi sedih dan ia berkata dalam hatinya:
"Satu penyair ahala Tong ada bilang:
‘Tidur di musim semi, tak tahu datangnya sang fajar, di segala tempat terdengar suara
nyanyian burung-burung, semalam turun hujan dan angin, tahukah kau berapa banyak bunga
jatuh berhamburan?’
Keadaan diluar tentulah indah sekali, akan tetapi keadaanku sekarang justru sebaliknya dari
keindahan itu. Dengan mendengar suaranya burung-burung itu, langit tentunya sudah menjadi
terang. Semalam Chena mencari aku, tapi manalah ia tahu, sekarang aku sedang terkurung disini
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dan seluruh malam belum dapat pulas barang sekejap! Semalam sama sekali tidak ada hujan
maupun angin. Tapi pengalamanku semalam adalah ibarat topan yang sangat hebat!"
Demikianlah Thian Oe ngelamun seorang diri. Matanya pedas dan badannya lelah, tapi ia tidak
rasakan ngantuk. Ia duduk terpekur seorang diri dalam gua yang gelap itu dan rasakan sang
tempo jalan luar biasa perlahan.
Sesudah lewat lagi tak tahu berapa lama, ia mendadak ingat pula itu adu pedang antara
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih. "Ah, sekarang tentunya mereka sudah bertempur di
kakinya Puncak Es," kata ia dalam hatinya. "Sayang sungguh kedua mataku tidak mempunyai
rejeki buat menyaksikan."
Mendadak, mendadakan saja di dalam tanah terdengar suara luar biasa, yang semakin lama
jadi semakin keras. Di lain saat, dinding gua bergoyang-goyang. Thian Oe terkesiap dan hatinya
penuh tanda tanya. Tiba-tiba dari dalam tanah muncul keluar hawa yang panas. Ia jadi semakin
heran. Suara gemuruh jadi semakin keras. Sekarang, bukan saja dinding, tapi lantainya gua pun
turut bergoyang-goyang. Sekonyong-konyong, dengan satu suara gedubrakan, beberapa batu
dinding mental keluar dan sinar matahari masuk dari lubang itu! Badannya Thian Oe pun
terpelanting di atas lantai lantaran goncangan yang sangat keras.
"Ah, inilah gempa bumi!" Thian Oe berteriak dengan suara di tenggorokan.
Di bawah tanah dari wilayah Tibet memang banyak terdapat gunung-gunung api yang masih
bekerja. Itulah sebabnya, maka di Tibet sering terjadi gempa bumi besar dan kecil. Thian Oe juga
mengetahui kenyataan itu, akan tetapi ia sendiri belum pernah mengalami kejadian tersebut.
Mengingat gempa bumi, semangatnya Thian Oe kembali terbang. Badannya jadi gemetar. Rasa
takutnya malahan melebihi itu rasa takut, ketika ia baru dipergoki oleh Pengtjoan Thianlie dalam
rumah terlarang itu.
Di lain saat, satu suara menggeleger yang luar biasa hebatnya terdengar. Suara itu ada terlebih
hebat dari apa yang satu manusia pernah bayangkan. Bumi bergoyang-goyang dan seakan-akan
segera terbalik. Seperti orang kalap, Thian Oe tutup kedua kupingnya. Kepalanya puyeng,
matanya berkunang-kunang dan ia roboh dalam keadaan pingsan!
Perlahan-perlahan ia sadar. Dengan hati kebat-kebit, ia merayap keluar dari dinding yang
melekah. Ia lihat udara ditutup dengan semacam debu warna kuning, sehingga sinarnya matahari
turut berwarna kuning. Dilihat dari duduknya matahari, itu tempo sudah magrib. Thian Oe lantas
kerahkan tenaganya buat kasih jalan darahnya. Ia bangun berdiri dan jalan beberapa tindak
sambil memandang keadaan di seputarnya.
Itu gedung aneh yang atapnya lancip sudah miring dindingnya, tapi tidak sampai roboh. Thian
Oe tidak mempunyai kegembiraan lagi buat masuk ke dalamnya, tapi lantas pergi ke taman sambil
berlari-lari. Disitu banyak sekali gunung-gunungan dan batu-batu hiasan yang pada terguling dan
rusak. Beberapa keraton juga sudah berobah jadi tumpukan puing, tapi ada juga yang masih utuh.
Thian Oe memanggil-manggil sekeras suara, tapi tidak mendapat jawaban. Seluruh keraton es jadi
sunyi senyap. Bukan main takutnya
Thian Oe. Ia berlari-lari ke sana-sini seperti orang gila, mulutnya memanggil-manggil Chena
dan gurunya, tapi tak satu manusia ia dapat ketemukan, malahan burung-burung dan binatang-
binatang lainnya juga rupanya sudah pada kabur.
Dan ketika Thian Oe dongak, kedua matanya lihat satu pemandangan yang lebih mengejutkan
lagi. Itu Puncak Es yang putih dan menjulang ke awan, yang tadinya berhadapan dengan keraton
es, sekarang sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi! Puncak Es itu, yang siang malam
pancarkan sinar dingin, merupakan salah satu pemandangan luar biasa dari pegunungan Nyenchin
Dangla. Thian Oe ketakutan, tapi sekarang ketakutannya itu dicampur dengan perasaan sayang.
Ia lalu naik ke tempat yang lebih tinggi dan memandang ke arah yang lebih jauh. Secara
menakjubkan, di selebar gunung, balokan-balokan es raksasa masih terus menggelinding ke
bawah. Ia juga lihat bahwa di seputar keraton bertambah banyak sekali batu besar. Ia
mengetahui, bahwa batu-batu itu terbang melayang waktu Puncak Es sedang roboh. Masih untung
ada beberapa keraton yang tidak ketimpa batu dan keraton-keraton itulah yang masih tinggal
utuh.
Melihat perobahan yang hebat itu, Thian Oe jadi kcsima dan bengong sekian lama. Ia ingat,
waktu Puncak Es yang tingginya ribuan tombak ambruk, Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

putih tentunya juga sedang bertempur di kakinya puncak tersebut. Ketimpa secara begitu,
bukankah badan mereka dengan segera jadi perkedel? Walaupun ia baru saja kena disemprot dan
dihukum oleh si jelita, akan tetapi mengingat kecantikannya, usianya yang masih begitu muda dan
kepandaiannya yang sedemikian tinggi, tanpa merasa Thian Oe dongak ke atas dan berkata
dengan suara gemetar "Oh, Thian, kenapa begitu tega?" la juga ingat Chena yang menonton
pertempuran dari puncak gunung yang terletak di sebelahnya Puncak Es. Apakah ia bisa terlolos
dari mala petaka itu? Depan matanya lantas saja terbayang senyuman aneh dari gadis Tsang itu,
yang ia pertama bertemu di atas padang rumput. Dan di sebelahnya Chena, berbayang pula
Pengtjoan Thianlie yang cantik dan agung laksana ratu. Thian Oe bergidik dan tak berani
ngelamun terlebih jauh.
Lantaran perutnya lapar, Thian Oe lalu petik dua buah, yang sesudahnya dimakan, memberikan
ia tenaga baru. Ia kembali jalan terputar-putar seraya memanggilmanggil, dengan harapan kalau-
kalau bisa bertemu manusia yang masih hidup. Tapi jangan kata manusia, binatang pun ia tidak
ketemu. Cuma pohon-pohon dan bunga-bunga masih tetap seperti kemarin, masih terus siarkan
keharumannya yang luar biasa. Yang paling mengherankan Thian Oe adalah: Sesudah berputaran
di seluruh keraton, ia tidak ketemukan barang satu mayat! Apakah semua dayang dari seluruh
keraton dapat menghilang dengan begitu saja? Taruh kata mereka semua binasa ketimpa reruntuk
rumah atau batu-batu besar, mayatnya mesti dapat diketemukan juga. Walaupun tidak banyak,
satu dua toh mestinya dapat diketemukan. Tapi kenyataannya: Thian Oe tak ketemukan barang
satu mayat! Andaikata mereka bisa kabur, sekarang toh mestinya sudah ada yang pulang buat
lihat-lihat keadaan. Waktu itu, rembulan sudah naik tinggi dan belum ada barang satu manusia
yang kelihatan balik. Itulah benar-benar membikin Thian Oe jadi pusing sekali. Ia tidak mengerti
apa artinya semua kejadian itu.
"Apa kau sedang mengimpi?" ia tanya dirinya. Ia gigit jerijinya dan segera berteriak kesakitan.
Nyatalah ia bukannya lagi mengimpi!
Puteri Malam naik semakin tinggi dan debu kuning yang muncrat keluar dari peledakan gunung
dengan perlahan disapu bersih oleh sang angin malam. Di bawah sinar rembulan yang laksana
perak, keraton es masih tetap indah, biarpun keindahan sekarang adalah kenangan yang
menyedihkan. Thian Oe kembali jadi seperti orang kalap. Ia berlari-lari lagi sembari memanggil-
manggil. Ia agaknya tidak mengenal capai.
Tiba-tiba di antara kesunyian malam yang menyeramkan, satu suara perlahan kedengaran:
"Oe-djie, apakah kau?"
Hatinya Thian Oe terkesiap. Suara itu adalah seperti barang yang paling berharga dalam dunia
ini. Ia memburu ke tempat dari mana suara itu datang, yaitu dari bawah reruntuknya satu kamar
yang roboh.
Thian Oe buru-buru gali puing itu dan didalamnya ia ketemukan Thiekoay sian yang rebah
dengan pakaian ternoda darah.
"Soehoe! Kau?" tanya Thian Oe dengan suara terharu.
"Benar. Aku," jawab sang guru. "Coba minta sedikit makanan. Oh, ambil air lebih dahulu."
Thian Oe lantas petik dua buah dan gunakan selembar daun buat ambil air telaga yang lantas
diberikan kepada gurunya. Sesudah mengasoh beberapa saat, Thiekoay sian berkata: "Kita berdua
guru dan murid, sekarang sudah lolos dari mala petaka. Tapi apakah masih ada lain orang yang
hidup?"
Thian Oe lantas saja tuturkan segala pengalamannya. Thiekoay sian menghela napas dan
berkata pula: "Pengtjoan Thianlie telah bilang, bahwa ia tidak akan turun gunung, kecuali jika
Puncak Es roboh. Sekarang puncak itu sudah ambruk, cuma barangkali ia sudah terpendam buat
selamanya dan tidak dapat lagi turun gunung." Sehabis berkata begitu, ia ingat isterinya yang
sedang cari obat, ketika terjadinya gempa bumi. Mengingat begitu, hatinya jadi sangat kuatirkan
keselamatannya sang isteri.
"Soehoe, apa kau terluka?" tanya Thian Oe.
"Masih bagus cuma luka sedikit kena ketimpa batu," sahut sang guru. Tapi sebenarnya, lukanya
Thiekoay sian tidaklah enteng. Sedang kesehatannya belum pulih, ia kembali mesti terima
goncangan hebat di dalam tubuhnya lantaran gempa bumi itu. Walaupun berkat lweekang-nya
yang sangat dalam, ia masih dapat selamatkan jiwanya, akan tetapi tenaga latihan sepuluh tahun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

jadi musnah karenanya. Dan kalau Thiekoay sian masih dapat berjalan, itu hanya terjadi berkat
pertolongan sang tongkat.
Dengan perlahan guru dan murid berjalan didalam keraton dengan mulut terus memanggil-
manggil, tapi hasilnya nihil.
"Aku mendadak rasakan tanah goyang pada waktu sedang melatih diri di dalam kamar buat
mengobati lukaku," demikian Thiekoay sian tuturkan pengalamannya. "Sesudah itu, aku dengar
suara berlari-larinya dan teriakan para dayang, dan di antara teriakan itu, aku dengar suara orang
memanggil-manggil namaku. Ketika itu, latihanku sedang mencapai puncak yang sangat penting,
dan jika aku menyahut, akibatnya bisa hebat sekali. Maka itu aku teruskan latihan itu. Selagi aku
mau akhiri latihan menurut peraturan dan kemudian mau pergi keluar.buat menanyakan, kejadian
hebat sudah keburu terjadi. Kamarku sendiri turut ambruk."
Mendengar keterangannya sang guru, Thian Oe jadi menarik kesimpulan, bahwa pada waktu
terjadinya gempa bumi, di dalam keraton masih terdapat banyak dayang. Tapi kemana perginya
mereka?
Sesudah mengasoh semalaman, pada hari kedua, mereka keluar buat membikin pemeriksaan
terlebih lanjut. Kecuali beberapa keraton yang roboh, kerugian harta benda agaknya tidak terlalu
besar. Kawanan burung juga sudah mulai balik kesitu. Persediaan bahan makanan didalam
keraton adalah lebih dari cukup, sehingga mereka boleh tidak usah kuatir.
"Soehoe, apa yang kita harus perbuat?" tanya Thian Oe sesudah selesai dengan
pemeriksaannya.
Thiekoay sian tertawa getir dan berkata: "Menurut perintahnya Pengtjoan Thianlie, hari ini aku
mesti turun gunung. Akan tetapi, dengan kepandaianku seperti sekarang ini, aku tak akan bisa
turun gunung pada sebelumnya berlatih sepuluh tahun lamanya."
Thian Oe lantas ingat bahayanya sungai es yang tidak akan dapat dilewati oleh orang yang
tidak mempunyai ilmu silat sangat tinggi atau oleh orang yang tidak mengetahui sifatnya sang air.
"Oleh karena terjadinya perobahan yang tidak terduga, maka kita tidak dapat berbuat lain
daripada langgar perintahnya Pengtjoan Thianlie," kata lagi Thiekoay sian sembari tertawa getir.
"Kita tidak dapat berbuat lain daripada terus berdiam disini. Aku cuma berharap Pengtjoan Thianlie
masih hidup, supaya ia dapat menolong kita keluar dari tempat ini." Tapi harapan itu hanya tinggal
harapan belaka. Sesudah lewat tujuh hari, jangan sentara Pengtjoan Thianlie, dayangnya saja tak
seorang yang muncul. Selama hari-hari itu, Thiekoay sian terus menerus berlatih dan akhirnya ia
dapat usir keluar sisa hawa dingin yang masih mengeram dalam tubuhnya.
Tak usah dibilang lagi, Thian Oe bukan main merasa kesepian. Hari itu, ia kembali berada di
depannya itu gedung yang penuh rahasia. Sebagaimana diketahui gedung itu belum roboh, cuma
dindingnya saja yang sudah miring. Mengingat pengalamannya, sebenarnya Thian Oe tidak
mempunyai perasaan senang terhadap gedung itu, akan tetapi ia merasa tidak tahan buat tidak
tolak pintunya dan masuk ke dalam.
Keadaan dalam gedung masih tetap seperti sediakala. Patungnya wanita itu masih berdiri
seperti biasa. Sekarang, tanpa kuatirkan suatu apa, ia dapat meneliti keadaan disitu. Ia lihat pada
dinding yang miring penuh dengan macam-macam ukiran manusia yang sedang bersilat dengan
gunakan pedang. Diteliti dari gambar-gambar itu, gerakan-gerakan ilmu pedang tersebut sangat
berbeda dengan ilmu pedang yang dikenal di Tiongkok.
"Inilah tentu ilmu pedang yang digubah oleh kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie," kata
Thian Oe seorang diri. "Tidak heran kalau ia larang orang masuk kesini. Ia sering datang buat
bersembahyang. Patung itu tentulah patung ibunya."
Memikir begitu, asal-usulnya Pengtjoan Thianlie kelihatannya jadi lebih sulit lagi buat diketahui.
Sebab tidak niat belajarkan ilmu pedangnya lain orang, sesudah mengawasi beberapa lama, Thian
Oe segera keluar dari gedung itu buat pergi cari gurunya.
Sesudah berlatih tujuh hari, Thiekoay sian sudah dapat usir sisa hawa dingin dalam tubuhnya.
Biarpun tenaga dalamnya berkurang banyak, tapi sekarang ia dapat bergerak pula dengan leluasa
dan tidak usah lagi dapat pertolongannya tongkat.
Begitu bertemu dengan gurunya, Thian Oe segera ceritakan apa yang dilihat dalam gedung
aneh itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Buat beberapa saat Thiekoay sian tidak berkata apa-apa. Mendadak ia berkata: "Aku rasa kau
harus angkat satu guru lagi."
"Apa? Apa soehoe sudah tidak mau akui aku sebagai murid lagi?" tanya Thian Oe dengan suara
kaget.
"Bukan," kata Thiekoay sian. "Dengarlah perkataanku dahulu. Ilmu silat tidak ada batasnya.
Andaikata kau sudah dapatkan semua pelajaranku dan sudah mempunyai kepandaian yang
bersamaan dengan aku, toh kepandaianmu itu masih belum cukup buat bertanding dengan ahli
silat kelas utama. Jangan sentara Pengtjoan Thianlie dan itu pemuda baju putih yang ilmu silatnya
luar biasa tinggi, sedang kepandaiannya itu Ihama jubah merah saja masih berada di sebelah
atasanku."
Thian Oe tidak berkata apa-apa. la tahu gurunya bicara dengan sejujurnya.
"Kau tahu, tenaga dalamku belum pulih kembali," sang guru berkata pula. "Aku harus berlatih
lagi kira-kira sepuluh tahun, barulah ada harapan bisa turun dari gunung ini. Dalam tempo sepuluh
tahun, kalau ada musuh datang mengganggu, cara bagaimana kita dapat melawannya. Itulah
sebabnya kenapa aku ingin kau belajarkan lain macam ilmu silat yang tinggi dan angkat lagi
seorang guru lain."
"Dalam keraton es ini cuma terdapat kita berdua. Siapakah adanya guru baru itu?" tanya Thian
Oe dengan perasaan heran.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Thian Oe terkejut, tapi lekas juga ia mengerti maksudnya Thiekoay sian.
"Mati hidupnya Pengtjoan Thianlie belum ketahuan. Cara bagaimana kita boleh pelajari ilmu
pedangnya?" kata Thian Oe sembari gelengkan kepalanya.
"Justru lantaran begitu, kau mesti pelajari ilmu pedangnya," jawab Thiekoay sian. "Cobalah kau
pikir: Kalau Pengtjoan Thianlie benar sudah mati dan semua dayangnya pun ikut binasa, bukankah
ilmu pedang itu akan jadi hilang dari muka bumi? Buat menggubah ilmu pedang yang luar biasa
itu, ayah ibunya Pengtjoan Thianlie sudah gunakan banyak tenaga, pikiran dan tempo. Kalau ilmu
pedangnya sampai hilang dari muka bumi, di alam baka rohnya kedua orang tua itu tentu tidak
akan merasa senang. Selain itu, kehilangan tersebut juga merupakan satu kerugian yang sangat
besar bagi dunia persilatan."
Mendengar keterangan yang beralasan itu, Thian Oe merasa takluk terhadap gurunya yang
berpemandangan jauh. Maka itu, mereka berdua lalu pergi ke gedung itu buat meneliti gambar-
gambar di dinding.
Dapat dimengerti, bahwa ilmu pedang yang diukir itu ada sangat sulit dan tak mungkin dapat
dipelajari oleh orang yang belum mempunyai dasar-dasar yang kuat. Tapi Thiekoay sian adalah
murid utama yang mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie. Apa yang dipelajari
oleh Thiekoay sian adalah ilmu silat yang tulen. Dalam dunia persilatan, walaupun berbagai
cabang mempunyai macam-macam cara yang istimewa, akan tetapi dasar-dasarnya tidak berbeda
banyak. Demikianlah, sesudah mempelajari tiga hari lamanya, Thiekoay sian sudah dapat
menyelami artinya gambar-gambar itu.
Lebih dahulu ia ajarkan Thian Oe ilmu melatih napas dari lweekeh (ilmu silat dalam). Sesudah
belajar tujuh delapan tahun di bawah pimpinan Siauw Tjeng Hong, Thian Oe sudah mempunyai
dasar-dasar lweekang. Ditambah dengan petunjuk-petunjuk Thiekoay sian, ia dapat kemajuan
sangat pesat dan dalam tempo sebulan, ia sudah siap sedia buat mulai belajarkan ilmu pedangnya
Pengtjoan Thianlie.
Mulai waktu itu, setiap hari Thian Oe belajar dua rupa ilmu silat. Di waktu pagi, ia belajar ilmu
silatnya Thiekoay sian, sedang pada sorenya, ia belajar ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Dengan kerepotan sedemikian, tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu.
Pada suatu malam, sedang Thiekoay sian berlatih sendirian, Thian Oe jalan-jalan di dalam
taman. Sinar rembulan terang sekali dan bunga-bunga siarkan bebauan yang sangat harum.
Sesudah selang beberapa bulan, keadaan dalam taman sudah mulai pulih seperti dahulu, sedang
burung-burung juga sudah pada balik kesitu.
Melihat pemandangan itu, hatinya Thian Oe jadi sedih sekali. Pada tiga bulan berselang, adalah
Chena yang ajak ia jalan-jalan dalam taman tersebut, tapi sekarang, ia berada seorang diri,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sedang nasibnya gadis itu belum ketahuan bagaimana jadinya. Ia ingat juga itu dayang-dayang
yang seperti lenyap dari muka bumi.
Thian Oe jalan tanpa tujuan, sedang hatinya ngelamun ke sana-sini. Mendadak hidungnya
dapat endus semacam wewangian yang datang dari satu pojok taman. Sesudah berdiam tiga
bulan lamanya, ia sudah kenal baik segala tumbuh-tumbuhan yang terdapat di situ. Ia sudah
dapat membedakan wanginya macam-macam bunga. Tapi wewangian yang baru ia endus adalah
wewangian yang ia belum kenal. Dengan perasaan heran, ia segera menuju ke pojok taman, dari
mana harum-haruman itu datang.
Setibanya disitu ia lihat satu pohon besar yang berdiri mencil. Apa yang luar biasa adalah pada
pohon itu terdapat satu buah tunggal, besarnya seperti mangkok dan warnanya merah terang.
Buah itulah yang menyiarkan bau harum. Thian Oe segera panjat pohon itu dan petik buah
tersebut, yang harumnya seakan-akan menembus sampai ke uluhatinya. Ia masukkan ke dalam
mulutnya dan terus digigit. Buah itu ternyata bukan saja harum dan manis luar biasa, tapi juga
mempunyai semacam hawa menyegarkan yang seakan-akan menembus sampai di pusarnya.
Sesudah makan habis Thian Oe lalu turun dan coba mencari-cari lagi. Tapi seluruh taman cuma
terdapat satu pohon begitu yang berbuah tunggal.
Lewat beberapa saat, mendadak ia rasakan perutnya sakit. "Apa aku kena makan buah
beracun?" tanya ia dalam hatinya dan lalu buru-buru pergi cari gurunya. Tapi baru saja lari
puluhan tindak, perutnya jadi semakin mules dan bersuara tak henti-hentinya. Ia tak tahan lagi
dan lalu buang-buang air besar.
Sesudah buang air besar, ia bangun dan berjalan pergi. Mendadak ia rasakan satu perobahan
yang benar-benar menakjubkan. Badannya dirasakan enteng luar biasa! Ia coba-coba enjot
badannya dan tubuhnya lantas melesat ke atas dan hinggap di atasnya satu pohon besar.
Tingginya pohon itu ada lebih dari dua tombak. Biasanya, paling tinggi ia cuma dapat melompat
kurang lebih satu tombak, tapi sekarang, sesudah makan buah itu, dengan gampang ia dapat
melompat dua tombak lebih.
Ia jadi kaget tercampur girang dan buru-buru cari gurunya, kepada siapa ia segera tuturkan
pengalamannya yang luar biasa.
Mendengar penuturan itu, Thiekoay sian segera jajal muridnya dan ternyata omongannya tidak
dusta. Sang guru juga turut bergirang dan berkata: "Keunggulan ilmu pedangnya Pengtjoan
Thianlie berdasarkan kegesitannya. Aku sebenarnya sedang pikiri kau punya ilmu entengi badan
yang belum mempunyai dasar yang kuat. Tak dinyana kau sudah mendapat berkah yang begitu
luar biasa! Sekarang, sebegitu jauh mengenai ilmu entengi badan, walaupun kau belum bisa dapat
menandingi Pengtjoan Thianlie dan itu pemuda baju putih, sedikitnya kau sudah berada di sebelah
atasanku!"
Pada esokan paginya, waktu berlatih lagi ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie, benar saja ia
rasakan latihannya berjalan banyak lebih licin berkat kegesitannya yang berlipat ganda. Hari itu,
sesudah makan malam, seorang diri ia pergi -lagi ke taman buat berlatih pula dengan pedangnya.
Semakin ia bersilat, semakin cepat gerak-gerakannya, dan semua pukulan-pukulan yang sukar
dapat ia jalankan secara otomatis.
"Sungguh indah ilmu pedang itu!" mendadak terdengar suaranya satu orang. Thian Oe menoleh
dan orang itu ternyata adalah Thiekoay sian.
"Kau sudah mendapat kemajuan pesat sekali," kata Thiekoay sian. "Kalau dilihat begini, tidak
usah sepuluh tahun, kita sudah bisa turun dari gunung ini. Cuma saja, biarpun ilmu entengi
badanmu sudah maju jauh, kuping dan mata belum terlatih cukup. Barusan, sesudah aku berada
dekat sekali denganmu, barulah kau mengetahui."
Sehabis berkata begitu, Thiekoay sian segera turunkan serupa ilmu buat melatih kuping kepada
muridnya itu. Dengan ilmu tersebut, orang dapat membedakan macam-macam senjata seperti
senjata rahasia, dengan cuma dengar suara anginnya senjata itu. Sesudah memberi semua
petunjuk secara terang, Thian Oe segera berlatih dengan ilmu baru itu.
"Sekarang aku mau coba padamu," kata Thiekoay sian. "Coba kau balik badan dan aku akan
datang dari sebelah belakang. Begitu dengar suaranya angin, kau mesti lantas menimpuk dengan
batu. Aku mau lihat, apa kau dapat menimpuk jitu atau tidak." Thiekoay sian lantas pergi ke
tempat yang agak jauh, sedang sang murid berdiri menunggu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Lewat beberapa saat, Thian Oe mendadak dengar suara tindakan yang sangat enteng
mendatangi dari samping, la kaget dan kata dalam hatinya: "Kenapa terdengar tindakannya dua
orang? Apa soehoe sengaja keluarkan ilmu luar biasa, atau kupingku belum terlatih baik?"
Sementara itu, suara tindakan jadi semakin dekat. Thian Oe tak sempat memikir panjang-
panjang lagi. Ia ayun tangannya dan menimpuk. Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh dan batu
itu terpukul balik. Didengar dari anginnya, batu itu menyambar ke arah Thian Oe luar biasa
cepatnya. Ia terkesiap dan tidak mengerti kenapa gurunya menghantam begitu hebat.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar bentakannya Thiekoay sian: "Pendeta jahat!
Jangan lukakan muridku!" Berbareng dengan itu satu senjata rahasia menyambar dan kebentrok
dengan batu itu. Kedua-duanya kemudian jatuh kedalam telaga es.
Thian Oe berbalik. Segera juga ia jadi ternganga bahna kagetnya. Orang yang muncui dari
samping bukan gurunya, tapi itu pendeta jubah merah yang pernah datang ke keraton es dan
belakangan kena diusir oleh Pengtjoan Thianlie! Di belakangnya pendeta itu mengikuti satu boesoe
yang berusia muda. Kedua orang itu mengawasi ia sembari menyeringai, sedang gurunya
memburu dari sebelah belakang dengan paras muka kaget dan heran.
Sembari tertawa tawar, pendeta itu ucapkan beberapa perkataan pada Thiekoay sian yang tidak
mengetahui apa yang dikatakan olehnya sehingga ia cuma geleng-gelengkan kepalanya. Thian Oe
yang mengerti juga sedikit bahasa Nepal lantas berkata: "Soehoe, ia datang buat cari tahu dimana
adanya Pengtjoan Thianlie."
Thiekoay sian segera menuding ke arah bekas Puncak Es dengan tongkatnya dan gerak-
gerakkan tangannya buat memberitahu, bahwa Puncak Es itu ambruk dan mungkin Pengtjoan
Thianlie sudah mati tertindih gunung yang ambruk itu.
Paras mukanya si pendeta lantas berobah gusar, sedang si boesoe ucapkan beberapa
perkataan sembari tunjuk-tunjuk Thiekoay sian. Pendeta itu kelihatan jadi lebih gusar lagi.
Mendadak dalam bahasa Tibet, ia ucapkan perkataan "guci emas" dan tangannya membuat satu
gerakan merampas.
Perkataan "guci emas" dan gerakan itu membikin Thiekoay sian mengerti apa yang
dimaksudkan oleh si pendeta yang seperti juga mau menanya: "Apa kau niat merampas guci
emas?"
Thiekoay sian adalah seorang pendekar yang telah mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap
Kam Hong Tie. Ia tahu dirinya berada dalam bahaya, tapi ia pantang berdusta. Maka itu, dengan
suara angkuh ia segera berkata:
"Tidak salah! Aku memang mau rampas guci emas itu!"
Pendeta jubah merah itu menggereng dan lantas menyapu dengan sianthung-nya. Dalam hal
ini telah terbit salah mengerti. Dari gerakan tangannya Thiekoay sian, si pendeta anggap
Pengtjoan
Thianlie sudah kena dibinasakan olehnya. Di sebelahnya itu, kisikan sang boesoe muda, bahwa
Thiekoay sian niat merampas guci emas, ternyata benar. Demikianlah, dengan adanya dua macam
kegusaran yang menjadi satu, tanpa menyelidiki lebih lanjut, si pendeta lalu membuka serangan.
Di lain pihak, Thiekoay sian yang mempunyai ganjelan, juga jadi sangat gusar melihat caranya si
pendeta yang datang-datang sudah menyerang membabi buta. Ia kerahkan tenaganya dan
menyampok sama tongkat besinya. Dengan satu suara keras, kedua senjata kebentrok dan
Thiekoay sian terhuyung beberapa tindak.
Bukan main kagetnya Thian Oe. Ia tahu tenaga gurunya belum pulih dan bukan tandingannya
si pendeta. Di antara suara beradunya senjata, ia dengar sang guru berseru: "Oe-djie! Lari! Kalau
tidak dengar perkataanku, aku tidak akui lagi kau sebagai murid!"
Tan Thian Oe tahu, bahwa dengan berseru begitu sang guru ingin selamatkan jiwanya. Sebagai
seorang yang sangat tebal pribudinya, manalah ia tega tinggalkan gurunya dalam' keadaan yang
berbahaya itu. Sebaliknya dari angkat kaki, ia berdiri dengan mulut ternganga. Sementara itu,
kedua orang sudah bertempur belasan jurus.
Si boesoe muda menyender di satu pohon, matanya menyapu ke arah Thian Oe. Dengan
menyaksikan cara bagaimana batu yang ditimpukkan oleh Thian Oe, kena dibikin terpental oleh si
pendeta, ia mengetahui ilmunya Thian Oe masih cetek. Ia jadi tidak memandang mata dan
perhatiannya lalu dipusatkan kepada gelanggang pertempuran." .
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dalam tempo sekejap, Thiekoay sian dan si pendeta' sudah bertempur kurang lebih dua puluh
jurus. Walaupun mesti saban-saban mundur, tapi gerakan-gerakannya Thiekoay sian sama sekali
tidak jadi kalut dan masih dapat menyambut serta membalas sesuatu serangan.
Mendadak dalam gelanggang pertempuran terjadi perobahan yang membikin Thian Oe jadi
terkesiap. Muka gurunya kelihatan menyeramkan sekali, kedua kakinya bertindak menurut
kedudukan Ngoheng Patkwa, sedang tongkatnya diputar keras sehingga menerbitkan angin yang
menderu-deru. Ia tahu sang guru sedang bersilat dengan ilmu Hokmo Tianghoat yang paling
banyak meminta tenaga lweekeh. Ia ingat, sesudah gurunya pertama kali bertempur melawan si
pendeta, Pengtjoan Thianlie pernah mengatakan, bahwa masih untung Thiekoay sian baru
keluarkan sembilan puluh enam jurus Hokmo
Tianghoat, sebab kalau sampai di jalankan seluruhnya, yaitu sampai seratus delapan jurus,
Thiekoay sian tentu akan menderita sakit berat. Dan sekarang, dengan kesehatan yang belum
pulih, sang guru kembali menggunakan ilmu silat tersebut. Ia mengetahui hebatnya bahaya yang
mengancam dan niat segera membantu, akan tetapi, sebelum ia bergerak, gurunya sudah deliki
padanya. Ia mengerti, delikan mata itu merupakan satu tegoran lantaran ia tidak buru-buru angkat
kaki. Saat itu, satu bentrokan senjata yang sangat keras terdengar dan kedua lawan sama-sama
mundur beberapa tindak dengan badan sempoyongan, tapi lekas juga mereka maju kembali dan
bertempur semakin sengit.
Bahwa dengan pertaruhkan jiwanya Thiekoay sian sudah keluarkan Hokmo Tianghoat adalah
buat membikin muridnya dapat tempo untuk melarikan diri. Tapi tidak dinyana, lantaran perasaan
cinta terhadap sang guru, si murid jadi tidak dengar kata dan rela binasa bersama-sama. Thiekoay
sian mengeluh dalam hatinya. Di satu pihak ia terharu sangat melihat pribudinya sang murid, di
lain pihak ia berdongkol lantaran kebandelannya Thian Oe. Dan sungguh kasihan, biarpun hatinya
mau, Thiekoay sian tidak 179
dapat bicara lagi dengan muridnya, sebab seluruh perhatiannya harus dipusatkan kepada sang
lawan.
Sebagaimana diketahui, Hokmo Tianghoat terbagi jadi tiga bagian. Bagian pertama yang terdiri
dari tiga puluh enam jurus dengan lekas sudah dijalankan habis, dan bagian kedua yang juga
terdiri dari tiga puluh enam jurus, segera menyusul. Sambil kertek gigi Thiekoay sian kerahkan
tenaga lweekeh yang diperlukan buat jalankan bagian kedua dari Hokmo Tianghoat. Oleh karena
hatinya sudah mengambil putusan buat berkelahi sampai mati, tak tahu dari mana datangnya,
tenaganya jadi bertambah berlipat ganda, sehingga buat sementara dapat juga ia
mempertahankan dirinya.
Tiba-tiba si pendeta jubah merah keluarkan tertawa aneh dan sianthung-nya menyambar ke
atas buat totok tongkatnya Thiekoay sian. Ketika itu bajunya Thiekoay sian sudah basah dengan
keringat yang terus turun berketel-ketel dari badannya. Melihat sambaran senjata lawan, sambil
membentak keras, ia menyampok dengan tongkatnya. Sianthung-nya si pendeta dapat dibikin
terpental, tapi tongkat itu yang sebesar mangkok sudah jadi sedikit bengkok! Melihat begitu,
jantungnya Thian Oe memukul semakin keras.
Tidak lama kemudian, bagian kedua Hokmo Tianghoat juga sudah habis dijalankan. Sekarang
pertempuran berobah sifatnya. Tongkatnya Thiekoay sian bergerak perlahan-lahan seperti juga
beratnya ribuan kati. Saban kali badannya bergerak, tulangnya kedengaran berkrotokan, sedang
urat-urat pada timbul di kepalanya, dan itu semua menandakan, bahwa ia sedang menggunakan
seluruh tenaga yang masih ketinggalan dalam badannya. Si pendeta jubah merah juga hilang
segala sikapnya yang memandang enteng dan tumplek semua perhatiannya kepada gerakan sang
lawan. Seperti dalam pertempuran yang dahulu, ia kembali keluarkan ilmu Yoga dengan duduk
bersila dan goyang-goyang senjatanya. Seperti kena dibetot, semakin lama Thiekoay sian semakin
mendekati si pendeta. Hatinya terkesiap, la sudah kerahkan semua tenaga dalamnya, tapi lantaran
memangnya kalah tenaga, sekarang ia tidak dapat melawan lagi betotan itu. Sedapat mungkin, ia
berusaha buat loloskan diri, tapi tongkatnya terus kena ditempel senjata musuh dan tak dapat
lolos. Ia tahu, begitu lekas badannya kena dibetot cukup dekat, si pendeta akan segera turunkan
pukulan yang membinasakan. Ketika itu dari 108 jurus Hokmo Tianghoat, ia sudah jalankan jurus
yang ke-106.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dengan Seantero semangatnya dipusatkan kepada senjatanya, si pendeta mendadak membetot


keras sembari membentak: "Robohlah!"
Thian Oe lihat badan gurunya bergoyang-goyang, sedang kepalanya tunduk ke depan seperti
juga akan segera terguling di hadapannya si pendeta. Semangatnya Thian Oe terbang. Segala
rupa perhitungan lenyap dari otaknya. Dengan sekali jejak kakinya, badannya melesat seperti anak
panah dan pedangnya tikam jalanan darah Liongtjong hiat yang terletak di bawah dadanya si
pendeta. Dalam serangan itu Thian Oe cuma ingat menolong gurunya. Ia tidak perhitungkan lagi
jiwanya. Ia malahan tidak perhitungkan apakah serangan itu bisa berhasil atau tidak.
Tapi, di luar semua dugaan, begitu pedangnya Thian Oe menyambar, begitu juga terdengar
teriakan si pendeta yang badannya terpental tiga tombak jauhnya.
Oleh karena jarak dimana Thian Oe berdiri ada beberapa tombak dan juga sebab mengetahui
ilmu silatnya pemuda itu masih sangat cetek, si pendeta jubah merah sama sekali tidak
memandang mata padanya. Selainnya itu, kawannya, yaitu si boesoe muda, juga berada disitu,
sehingga lebih-lebih ia tidak menjaga-jaga serangannya Thian Oe. Ia tentu saja tidak mengetahui,
bahwa sesudah makan buah mujijat, walaupun ilmu silatnya tidak seberapa, ilmu entengi
badannya Thian Oe sudah boleh berendeng sama ahli silat kelas utama. Dengan sekali loncat saja,
ia sudah lalui jarak tiga tombak itu dan kirim tikamannya dengan sepenuh tenaga. Si boesoe muda
sudah tidak keburu menolong, sedang si pendeta, yang lagi pusatkan Seantero perhatiannya
kepada Thiekoay sian guna robohkan lawanan itu, sudah tidak dapat menangkis lagi dan jalanan
darahnya kena ditikam secara telak sekali!
Sebenarnya dengan tenaga dalam yang dipunyai oleh si pendeta, tikaman Thian Oe belum
cukup buat robohkan padanya. Akan tetapi, pada ketika badannya bergoyang akibat tikaman itu,
Thiekoay sian tidak mau kasih lewat kesempatan yang baik itu dan lantas kirim satu sabetan ke
arah dadanya dengan gunakan jurus ke-107 dari Hokmo Tianghoat. Dengan dua serangan hebat
yang datang hampir berbareng, andaikata si pendeta mempunyai badan tembaga, ia toh tidak
akan dapat pertahankan dirinya lagi. Masih untung, berkat ilmu silatnya yang sangat tinggi, ia
tidak lantas jadi binasa. Tapi biarpun begitu, ia muntahkan darah hidup dan tenaga dalamnya
menjadi buyar, sehingga ilmu silatnya tidak akan dapat pulang kembali, jika ia tidak berlatih lagi
dari tiga sampai lima tahun.
Thian Oe kaget berbareng girang. Baru saja ia niat menghampiri gurunya, mendadakan
Thiekoay sian berteriak: "Minggir!"
Thian Oe menoleh dan satu bayangan hitam sedang menubruk ke arah ia. Pada saat itu,
Thiekoay sian menimpuk dan tongkat besinya melesat bagaikan kilat. Itulah jurus Sinmo
kwiwie (Siluman balik ke kedudukannya), yaitu jurus penghabisan dari Hokmo Tianghoat. Sebegitu
jauh, belum pernah Hokmo Tianghoat, digunakan sampai pada jurus penghabisan. Kalau toh
jurus ke-108 sampai digunakan juga, itu berarti yang menggunakannya bersedia buat binasa
bersama-sama sang lawan. Thiekoay sian menimpuk dengan pakai semua sisa tenaga yang ia
dapat kumpulkan dalam dirinya. Dapat dimengerti, kalau si boesoe muda tak dapat loloskan diri
dari serangan yang sedemikian hebat. Tongkatnya Thiekoay sian mengenakan dadanya dan dari
depan terus tembus sampai ke belakang. Dengan satu teriakan ngeri, ia roboh binasa.
Selama hidupnya, belum pernah Thian Oe lihat pemandangan yang begitu mengerikan. Kaki
tangannya lemas dan ia tidak berani menengok lagi. Di lain saat, ia dengar suara berkereseknya
daun-daun. Rupanya si pendeta jubah merah sudah melarikan diri.
Keadaan kembali jadi sunyi-senyap. Thiekoay sian menghela napas dan memanggil: "Oe-djie,
mari!"
Thian Oe lihat gurunya sedang menyender di satu pohon dengan muka yang pias seperti
kertas. Ia seperti juga seorang yang sedang menderita sakit keras dan keadaannya banyak lebih
hebat daripada waktu bertempur dengan si pendeta jubah merah pertama kali.
Thian Oe menghampiri dan menanya dengan suara terharu: "Soehoe, bagaimana keadaanmu?"
"Muridku," jawab sang guru. "Malam ini adalah malam perpisahan kita!"
Sang murid lantas saja menangis dan air matanya mengucur deras. Thiekoay sian terharu, tapi
ia lantas tertawa dan berkata dengan suara lemah: "Dalam dunia ini, tidak ada perjamuan yang
tidak ada akhirnya. Kejadian begini tidak berharga buat ditangisi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Tenaga dalam soehoe ada sangat kuat dan di dalam keraton terdapat banyak sekali obat-
obatan. Biarlah aku bawa kemari seraup obat-obatan supaya soehoe bisa lihat yang mana dapat
digunakan," kata Thian Oe dengan suara sedih.
Thiekoay sian geleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Dalam keadaan badan yang belum
pulih kembali, barusan aku sudah jalankan habis seratus delapan jurus Hokmo Tianghoat. Biarpun
aku makan semua obat mujijat dalam dunia ini, aku tidak dapat ditolong lagi. Aku tidak
mempunyai banyak tempo lagi. Lebih baik kau dengar apa yang aku mau pesan kepadamu."
Sembari tahan air matanya, Thian Oe manggutkan kepalanya.
“Biarpun kita baru menjadi guru murid tiga bulan lamanya, aku sudah mengetahui bahwa kau
mempunyai pribudi yang sangat tinggi," kata sang guru. "Aku berani pastikan, bahwa di belakang
hari kau akan berhasil dalam penghidupanmu. Sekarang aku mau minta satu pertolonganmu."
"Soehoe bilang saja," kata Thian Oe.
"Jika Tuhan menaruh belas kasihan, sehingga isteriku tidak sampai turut binasa, dan kalau di
kemudian hari kau bertemu dengan soenio-mu, bilang padanya, bahwa aku pesan supaya dia
rawat anak kita baik-baik. Sesudah berusia sepuluh tahun, suruh anak itu angkat kau sebagai
guru," demikian Thiekoay sian memberi pesanannya.
Thian Oe kaget sebab sebegitu jauh, gurunya belum pernah bilang mempunyai anak. Akan
tetapi, dalam keadaan begitu, ia tentu saja tidak mau menanya melit-melit. Ia cuma manggut-
manggutkan kepalanya, sebagai tanda bersedia buat turut pesanan itu.
"Semua pelajaran ilmu silatku, aku sudah turunkan kepada kau," kata lagi sang guru. "Ilmu
tongkatku juga kau sudah mengerti semua. Biarlah kau turunkan ilmu silat itu kepada anakku.
Tongkat ini kau simpan baik-baik. Nanti, kalau anak itu sudah besar, serahkanlah kepadanya dan
bentahukan, bahwa itulah ada warisan dari soetjouw-nya. Mengenai si pendeta itu, meskipun
malam ini dia bisa loloskan diri, tapi dia pasti akan jadi orang yang bercacat. Maka itu, siapa juga
tidak usah membikin pembalasan apa-apa. Apa kau bersedia buat jadi gurunya anakku itu?"
"Jika murid bisa turun dari gunung ini dengan masih bernyawa, pesanan soehoe murid akan
jalankan satu persatu," jawab Thian Oe dengan suara sedih sekali.
Thiekoay sian tertawa dan paras mukanya kelihatan terang. Ia kumpulkan tenaganya dan
kemudian berkata pula: "Dahulu aku pernah terima pesanannya soetjouw-mu dan Moh Tjoan Seng
lootjianpwee buat coba cari turunannya Koei Hoa Seng tjianpwee. Sekarang kita sudah
mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie adalah puterinya Koei tjianpwee. Maka itu andaikata
Pengtjoan Thianlie masih hidup, kau mesti cari padanya dan sampaikan penuturanku ini. Sekarang
Puncak Es sudah roboh dan ia merdeka buat cari pamannya."
Thian Oe kembali manggutkan kepalanya. Mulutnya seperti terkancing lantaran perasaannya
yang sangat terharu. Thiekoay sian meramkan matanya dan napasnya jadi semakin perlahan.
Dengan hati-hati, Thian Oe dukung gurunya itu.
Sesudah lewat beberapa saat, dengan suara terputus-putus Thiekoay sian berkata: "Itu... itu
guci emas. Aku sendiri tidak tahu harus membantu pihak yang mana. Tapi, biar bagaimanapun
juga tidak boleh dibiarkan jatuh ke dalam tangan orang luar. Itu... itu pemuda baju putih...
omongannya ada juga benarnya. Kau... kau pergilah cari padanya..." Semakin lama suaranya
semakin perlahan dan belum habis ia bicara, kedua kakinya berkelejet dan Thiekoay sian
tinggalkan dunia ini buat selama-lamanya.
Thian Oe menangis menggerung-gerung dan kemudian kubur jenazah gurunya dalam taman
itu. Ia juga galikan lubang buat kubur jenazahnya itu boesoe muda. Sesudah beres mengubur, ia
bersihkan semua bekas-bekas darah dan ambil tongkat gurunya. Ia dongak dan lihat sang
rembulan sudah doyong ke barat, bintang-bintang sudah mulai menghilang dan sang malam
sudah mulai terganti sama fajar. Tanpa juntrungan, ia jalan ke sana-sini. Dalam keraton es yang
sedemikian luas, sekarang cuma ketinggalan ia seorang diri. Hatinya sedih berbareng takut.
Keraton dan tamannya yang begitu indah sekarang hilang keindahannya dan ia segera mengambil
keputusan buat segera menyingkir dari tempat itu.
Baru saja matahari mengintip di sebelah timur, Thian Oe lantas bebenah. Ia bekal makanan
kering, bereskan barang-barangnya dan keluar dari keraton es. Tapi baru saja jalan puluhan
tindak, ia sudah mandek lagi. "Dengan kepandaianku ini, cara bagaimana aku bisa seberangi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sungai es?" tanya ia dalam hatinya. Tapi, buat berdiam seorang diri dalam keraton itu dengan
peringatan-peringatannya yang hebat, benar-benar ia tidak mau.
Selagi hatinya bersangsi, mendadak di bawah tanah timbul suara yang aneh. Suara itu, yang
Thian Oe tak dapat tebak suara apa, sebentar muncul dan sebentar hilang. "Apa mau gempa bumi
lagi? Tapi kenapa suaranya tidak jadi lebih keras?" tanya ia dalam hatinya. Dengan hati berdebar-
debar, ia lari. Mendadak suara itu muncul lagi, tapi di lain saat, sudah menghilang pula.
Thian Oe tetapkan hatinya. Sekarang ia tahu pasti, bahwa suara itu bukannya gempa bumi. la
jadi semakin heran. Dalam keraton tersimpan banyak sekali mustika. Apakah datang orang jahat
yang niat mencuri barang-barang berharga itu? Walaupun ia sudah mengambil putusan buat tidak
berdiam lebih lama lagi, akan tetapi, sesudah tinggal tiga bulan lamanya dalam keraton itu, setahu
bagaimana, dalam hatinya timbul semacam perasaan menyayang yang luar biasa. Ia tahu, bahwa
sesudah ia pergi, keraton yang seperti surga itu mungkin akan menjadi sarangnya kawanan tikus,
akan tetapi, sebegitu lama ia masih berada disitu, ia tidak mau orang merusak atau menduduki
keraton tersebut. Maka itulah, ia lalu berjalan balik ke keraton es.
Begitu masuk ke dalam taman, suara di dalam tanah kedengaran lagi. "Apa manusia? Kalau
manusia, pasti tidak bisa berada di dalam tanah," pikir Thian Oe. Sesudah ketelanjur balik, ia
segera ambil putusan buat memeriksa di dalam keraton. Baru saja tiba di dekat telaga es,
kupingnya mendadak dengar suara tindakan manusia. Ia terkesiap dan dengan indap-indap
menghampiri suara itu. Oleh karena ia apal betul dengan jalanan-jalanan disitu dan juga sebab
ilmu entengi badannya sudah sempurna, maka gerakannya tidak dapat diketahui oleh tetamu-
tetamu yang baru datang itu.
Di depannya itu gedung aneh yang atapnya lancip, Thian Oe lihat berdiri tiga orang. Yang di
tengah berbadan gemuk dan bukan lain daripada Nyepa Omateng. Dua orang yang berdiri di
kedua sampingnya Omateng adalah itu dua boesoe Nepal yang kita sudah kenal.
"Suara apa itu?" tanya Omateng. "Apa bukan gempa bumi lagi?"
"Rasanya bukannya gempa bumi," sahut boesoe yang berusia lebih tua. Mereka berbicara
dalam bahasa Tibet yang dapat dimengerti juga oleh Thian Oe.
"Barusan kita ketemukan darah yang masih baru di atas tanah, rupa-rupanya disini masih ada
manusianya," kata lagi Omateng. "Tapi heran, tidak ada bayangannya barang satu manusia."
Kedua boesoe itu rangkap tangannya dan berteriak: "Pengtjoan Thianlie!" Tapi kecuali
kumandang suaranya tidak terdengar suatu apa lagi. Mereka lantas saja perlihatkan paras muka
ketakutan. "Jika Paduka Puteri masih berada disini, ia tentu akan keluar," kata yang satu. "Apa
mungkin ia sudah jadi korban bencana alam?" sahut yang lain. "Ah, kalau sampai kejadian begitu,
bagaimana kita mesti bicara dengan Paduka Raja!"
Thian Oe segera mengetahui, bahwa kedua boesoe itu mendapat perintah rajanya buat mencari
Pengtjoan Thianlic. Tapi, apa yang ia tidak mengerti, kenapa juga Omateng mesti ikut-ikutan.
Biarpun Nyepa itu pernah menolong Chena, setahu bagaimana, Thian Oe sangat membenci dia.
Dalam hatinya ia merasa, orang itu licik sekali. Mukanya manis, hatinya busuk.
"Tak perduli Paduka Puteri ada atau tidak, marilah kita bikin pemeriksaan," kata Omateng.
"Tidak bisa," kata boesoe yang lebih tua. "Tempat ini adalah tempat suci dari agama negara
kita. Tanpa permisinya Paduka Puteri, siapa juga tidak boleh masuk kesitu."
"Tempat ini sudah tidak ada majikannya. Halangan apa kalau kita masuk buat lihat-lihat?" kata
Omateng.
Sebagaimana diketahui, pintu gedung sudah rusak lantaran gempa bumi. Sembari nyengir
kepada dua boesoe itu, Omateng segera pentang langkahnya buat masuk ke dalam.
Mengingat akan larangannya
Pengtjoan Thianlie dan juga sebab kuatir Omateng curi kiamhoat yang terdapat disitu, Thian Oe
lantas saja loncat keluar seraya membentak: "Omateng! Besar sungguh nyalimu!"
Omateng berpaling dengan paras muka terkejut. Tapi begitu lihat siapa yang datang, ia lantas
tertawa. "Tan kongtjoe, kau?" kata ia. "Mana Chena?"
"Jangan bicara yang tidak perlu," kata Thian Oe. "Kau orang keluar dari sini!"
"Ah, itulah heran!" kata Omateng. "Apa kau sudah jadi majikan dari keraton ini?"
"Tak usah perduli! Kau orang mau pergi atau tidak?" kata lagi Thian Oe dengan suara gusar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Dan atas alasan apa kau mau campur-campur urusanku?" kata Omateng sembari tertawa.
Mulutnya tertawa, tapi tangannya lantas mencabut golok.
Thian Oe naik darahnya. "Pergi!" ia membentak sembari menikam dengan pedangnya.
"Waduh, Tan kongtjoe!" kata Omateng sembari tertawa besar. "Kau mau main-main senjata?"
Omateng yang pernah saksikan ilmu silatnya Thian Oe sedikitpun tidak pandang mata pemuda itu.
Ia merasa pasti akan dapat robohkan Thian Oe dengan sekali jurus. Tapi Thian Oe sekarang
bukannya Thian Oe dahulu. Serangannya adalah satu jurus aneh dari Tatmo Kiamhoat. Ujung
pedang berkelebat seperti juga mau menabas ke kiri, tapi berbalik membabat ke kanan dan tanpa
tercegah lagi, pundaknya Omateng kena digores. Bagus juga ilmunya Thian Oe belum cukup
tinggi, sedang Omateng pun bukannya lawanan lemah. Kalau bukannya begitu, tabasan yang
barusan tentu sudah kutungkan pundaknya.
Mukanya Omateng segera berobah pucat. Buru-buru ia pusatkan Seantero perhatian buat
lawan pemuda itu yang tadinya dipandang rendah dan dengan beruntun kirim tiga bacokan. Tapi
biar bagaimanapun juga, kiamhoat-nya Thian Oe ada lebih tinggi dan ia terus kena didesak
mundur. Kedua boesoe Nepal yang menonton dari pinggiran jadi heran tidak habisnya.
"Anak ini adalah anaknya pembesar Boantjeng," berseru Omateng. "Dia sudah mencuri masuk
disini dan sudah belajarkan juga ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Tidak bisa salah lagi dialah
yang membunuh Pengtjoan Thianlie yang sedang terluka akibat gempa bumi. Dia rupanya ingin
merampas keraton ini dan pandang dirinya sebagai majikan!"
Oboran itu, yang sebenarnya sama sekali tidak beralasan, benar-benar sudah membikin panas
hatinya kedua boesoe itu. Mereka cabut goloknya yang berbentuk bulan sisir dan menyerang
dengan berbareng.
"Dengar dahulu keteranganku!" berseru Thian Oe.
"Mau bicara apa lagi?" membentak Omateng yang terus mencecer sehebat bisa supaya pemuda
itu tidak sempat bicara. Thian Oe bukannya seorang yang pandai omong dan juga memang
sebenarnya ia sudah curi belajar kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie. Lantaran begitu, ia tidak dapat
memberi keterangan yang memuaskan, sedang ketiga musuhnya terus menyerang dengan sengit
dan tidak memberi kesempatan buat ia bicara panjang-panjang. Demikianlah dengan pedang di
tangan kiri dan tongkat gurunya di tangan kanan, Thian Oe melawan dengan keluarkan dua
macam ilmu silat dengan berbareng, yaitu ilmu pedang Tatmo dan ilmu tongkatnya Thiekoay sian.
Dalam sekejap saja, tiga puluh jurus sudah lewat.
Akan tetapi, meskipun sudah mengetahui jalan-jalannya kedua ilmu silat yang sangat tinggi itu,
Thian Oe belum matang betul dan tenaga dalamnya juga belum cukup kuat. Maka itulah, semakin
lama ia berkelahi, semakin ia rasakan tidak tahan dikerubuti oleh ketiga lawan itu. Kedua boesoe
Nepal agaknya masih sungkan-sungkan dan cuma tangkis-tangkis saja serangan-serangannya
Thian Oe. Tapi tidak begitu dengan Omateng yang sungguh-sungguh maui jiwanya pemuda itu.
Setiap serangannya adalah serangan yang membinasakan, yang ditujukan kepada bagian-bagian
badan yang lemah. Melihat Thian Oe mulai keteter, pada bibirnya tersungging senyuman yang licik
sekali.
Tiba-tiba itu suara di dalam tanah kedengaran lagi, sekali ini lebih keras dan nyata. Keempat
orang yang sedang bertempur kaget dan pada loncat keluar dari gelanggang, sehingga Thian Oe
bisa buang napasnya. Selagi Thian Oe mau buka mulutnya guna memberi keterangan, mendadak
suara itu berhenti dan Omateng segera membentak: "Lebih baik bekuk dahulu manusia ini, baru
bikin penyelidikan." Sehabis membentak, ia lantas menyerang, diturut oleh kedua boesoe Nepal.
Napasnya Thian Oe sengal-sengal dan keadaannya jadi semakin berbahaya.
"Lekas lepas senjatamu, supaya tak usah menderita lebih lanjut!" berseru Omateng. Bukan
main berdongkolnya Thian Oe. Pedangnya berkelebat laksana kilat, Omateng coba kelit tapi
pundaknya kembali tergores ujung pedang! Sembari berteriak-teriak kesakitan ia membentak:
"Binatang! Kalau belum dihajar, memang kau belum kenal takut. Lihat, aku putuskan kedua
lenganmu!"
Dengan dilindungi oleh kedua boesoe Nepal, kakinya menginjak kedudukan Tiongkiong dan
lantas menyabet dengan senjatanya. Melihat dua kali Thian Oe melukakan Omateng, kedua
boesoe Nepal juga jadi berdongkol dan segera menyerang tanpa sungkan-sungkan lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe jadi lelah dan jatuh di bawah angin. Ia menghela napas dan duga bakal binasa di
tempat itu. Girang sekali hatinya Omateng. Sembari menyeringai, ia sabetkan goloknya ke arah
pundaknya Thian Oe. Lantaran kena didesak dengan dua goloknya si boesoe Nepal, sekali ini
Thian Oe tidak mampu menangkis lagi. Pada saat yang sangat berbahaya, mendadakan saja
Omateng dan kedua boesoe itu keluarkan teriakan kaget dan hentikan serangannya.
"Mau apa kamu orang datang kesini? Apa mau cari mampus?" demikian Thian Oe dengar
bentakan yang halus nyaring. Ia menengok dan lihat dayang-dayang keraton es pada meluber
keluar dari antara pohon-pohon kembang, sedang orang yang barusan membentak adalah Goat
Sian, yaitu dayang dari kamar tulisnya Pengtjoan Thianlie!
Thian Oe kaget berbareng girang. Munculnya para dayang itu membikin ia merasa seperti juga
berada dalam impian.
Pada waktu kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie masih hidup, mereka sudah bersiap-siap
buat menghadapi gempa bumi yang hebat. Di bawah keraton terdapat satu gua es yang ribuan
tahun tidak pernah mengenal sinarnya matahari. Ayah ibunya Pengtjoan Thianlie mengetahui,
bahwa sebuah gunung berapi yang masih bekerja terletak di dekatnya Puncak Es dan terpisah
kira-kira lima puluh li dari keraton. Kalau sampai gunung berapi itu meledak dan terjadi gempa
bumi, keraton es bakal turut tergetar, akan tetapi kerusakannya tidak bakal seberapa besar.
Sebagai penjagaan terhadap batu-batu yang terlempar akibat robohnya Puncak Es, siang-siang
mereka sudah siapkan tempat mengumpat di gua itu. Mereka membuka satu jalanan di bawah
tanah yang di tembok dengan batu gunung yang sangat keras. Dalam gua itu selalu sedia bahan
makanan buat beberapa bulan lamanya, sedang sebagai air minum, orang dapat menggunakan es
yang dilumerkan. Demikianlah, sedari puluhan tahun berselang persiapan buat menghadapi gempa
bumi sudah dibikin dengan seksama.
Maka itulah, pada waktu terjadinya gempa bumi, kecuali Thiekoay sian yang sedang berlatih
seorang diri dalam kamarnya dan Tan Thian Oe yang berada di dalam guanya gedung terlarang,
semua dayang menyelamatkan dirinya dengan masuk ke dalam gua es itu. Tapi biar
bagaimanapun juga, perhitungan manusia tak dapat melampaui maunya takdir. Sebagai akibat
gempa bumi yang sangat hebat, sebagian tanah melesak ke bawah dan tutup jalanan di bawah
tanah itu. Masih untung jumlahnya dayang cukup banyak dan dengan bekerja sama-sama, tiga
bulan lamanya mereka gali tanah yang menutupi jalanan. Suara luar biasa yang didengar Thian Oe
dan yang lain-lain adalah suara menggali tanah.
Begitu muncul di muka bumi, para dayang itu jadi sangat kaget lantaran lihat kedatangannya
itu beberapa tetamu yang tidak diundang. Dengan dikepalai oleh Goat Sian, sembilan dayang
segera cabut Pengpok Hankong kiam dan mengambil tempatnya masing-masing dalam barisan
Kioethian Hianlie. Hawa yang luar biasa dinginnya lantas saja menyambar-nyambar sehingga
Omateng dan kedua boesoe itu pada menggetget. Thian Oe yang sudah belajarkan ilmu silatnya
Pengtjoan Thianlie dan telan beberapa pel mustajab, dapat melawan hawa yang dingin itu.
Dayang yang menjadi kepala membentak dan mengebas dengan Hankong kiam buat segera
turun tangan. Omateng bercakrukan giginya dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Kedua
boesoe Nepal itu buru-buru meratap meminta ampun dan memberitahu maksud kedatangannya.
Di antara dayang-dayang ada seorang yang pernah dengar penuturan Pengtjoan Thianlie
mengenai asal-usulnya kedua boesoe itu dan lalu memberitahukan kepada dayang kepala. Dayang
kepala itu segera teriaki satu tanda perintah dan barisan Kioethian Hianlie lantas terpencar. "Kalau
bukannya mengetahui bahwa kau orang tidak bermaksud jahat, sudah pasti kau tidak bisa pulang
kembali," membentak ia. "Baiklah! Sekarang kau orang boleh pergi. Tapi kalau berani datang lagi,
kami tentu tidak akan berlaku sungkan lagi."
Boesoe Nepal yang berusia lebih tua mau coba buka mulutnya lagi, tapi sudah didahului oleh
salah seorang dayang. "Kongtjoe (Puteri) kami tak perlu diurus oleh kau orang," kata ia, sembari
kebaskan Pengpok Hankong kiam. Omateng tak tahan lagi dinginnya hawa. Sembari berteriak
keras, ia kabur secepat bisa. Kedua boesoe menghela napas panjang. Mereka rangkap kedua
tangannya buat memberi hormat ke arah gedung terlarang dan lalu berjalan pergi. Sekarang cuma
ketinggalan Tan Thian Oe seorang yang berdiri bengong di hadapannya para dayang itu.
Goat Sian mengawasi padanya dan berkata: "Kau masih berada disini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Sungguh beruntung aku lolos dari bencana alam dan buat sementara terpaksa berdiam disini
lantaran tidak bisa keluar," sahut Thian Oe. "Buat kelancangan itu, aku mohon dimaafkan."
"Kenapa kau curi belajarkan ilmu pedang kita?" tanya lagi Goat Sian.
"Aku duga kalian tidak akan kembali lagi," sahut Thian Oe. "Dan lantaran kuatir ilmu pedang itu
menjadi lenyap dari muka bumi..."
Thian Oe yang tidak pandai bicara tidak dapat teruskan perkataannya, lantaran sejumlah
dayang sudah naik amarahnya dan pada mencaci dirinya. "Hm!" kata yang satu. "Kau masih
begitu kecil, tapi hatimu sudah begitu tidak baik. Kau harap-harapkan supaya kami mati
semuanya!"
"Kami perlakukan kau sebagai tetamu terhormat, tapi kau sudah mencuri masuk ke dalam
tempat pemujaan yang suci dan malahan mempunyai niatan buat menduduki keraton es ini!" kata
yang lain. Beberapa dayang yang pemandangannya sempit lantas saja mau cabut pedangnya buat
mengusir Thian Oe.
Dikerubuti secara begitu, Thian Oe tak dapat buka suara. Baik juga dayang kepala masih
mempunyai rasa kasihan. Sembari kebas tangan bajunya, ia berkata dengan suara angker:
"Sesudah kau mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan, Puteri kami sebenarnya niat kurung kau
seumur hidup. Sekarang, sesudah kau curi ilmu pedangnya, kami tak dapat berlaku sungkan lagi.
Cuma saja, lantaran mengingat kau adalah tetamu Puteri kami, maka tanpa diminta kami suka
ampuni jiwamu. Tapi kau tak dapat berdiam lebih lama di tempat ini!"
Harus diketahui, bahwa peraturannya Pengtjoan Thianlie biasa dipegang keras sekali, sehingga
meskipun ia sendiri tidak berada dalam keraton itu, para dayangnya tidak berani langgar segala
peraturannya. Satu dua dayang yang sifatnya agak sombong sudah bantu menggebah Thian Oe
dengan sikap keren sekali.
Diperlakukan secara begitu, Thian Oe naik darahnya. "Akupun mau berlalu," ia berkata dengan
suara angkuh. "Cuma saja lantaran kalian belum balik, aku kuatir sembarang orang masuk disini,
sehingga aku jadi berdiam sampai di ini hari."
"Kalau begitu kau adalah seorang yang berpahala." kata satu dayang dengan suara menyindir.
"Pujian itu tak dapat aku menerima," jawabnya dengan suara kaku. "Cuma saja lantaran ingin
melindungi keraton ini, guruku sudah korbankan jiwanya di tempat ini. Sesudah aku berlalu, harap
kalian tolong lihat-lihat kuburannya." Sesudah berkata begitu, air matanya menetes turun dari
kedua pipinya.
"Ha! Thiekoay sian meninggal dunia?" tanya Goat Sian dengan suara kaget. "Ia binasa cara
bagaimana?"
Dengan ringkas Thian Oe segera tuturkan apa yang sudah terjadi. Mendengar begitu hatinya
Goat Sian jadi menyesal sudah perlakukan pemuda itu secara sedemikian kasar, akan tetapi,
dayang itu yang coba tiru-tiru majikannya, sungkan tarik pulang perkataannya. Di sebelahnya itu,
mengingat semua penghuni keraton semuanya wanita, sedang Thian Oe adalah lelaki satu-
satunya, maka ia juga merasa tidak enak buat menahan pemuda itu.
"Baiklah," kata ia. "Aku berjanji akan rawat baik-baik kuburannya Thiekoay sian. Kau
berangkatlah!
Apa perlu aku perintah orang antar padamu?"
"Tak usah," sahut Thian Oe yang masih berdongkol.
"Apa Paduka Puteri pernah pulang kesini?" tanya lagi Goat Sian.
"Tidak," jawabnya dengan pendek.
Goat Sian terkesiap dan berkata dengan suara sedih: "Paduka Puteri pernah mengeluarkan
perintah, bahwa tak perduli ia ada atau tidak, kami tidak dapat turun dari gunung ini. Perintahnya
itu kami tidak berani langgar. Sesudah kau turun gunung, manakala Puteri kami masih berada
dalam dunia, tolong kau coba menyelidiki."
Mendengar begitu, depan matanya Thian Oe lantas terbayang parasnya Pengtjoan Thianlie.
Walaupun hatinya dingin, paras itu sangat mengesankan. Ia angkuh dan tinggi hati, tapi
keangkuhannya keluar secara wajar dan bukannya •kesombongan dibuat-buat dari beberapa
orang dayangnya. Mengingat begitu, hatinya menjadi lemas dan ia menjawab dengan suara
terharu: "Aku mengerti. Aku akan perhatikan pesanan itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sehabis berkata begitu, dengan menggendol bungkusannya dan tengteng tongkat gurunya,
tanpa menengok lagi Thian Oe lantas berjalan keluar dari keraton es. Selagi berjalan, ia dengar
helahan napas dari beberapa dayang. "Ah, di antara dayang-dayang itu terdapat juga orang-orang
yang baik hatinya," ia menggerendeng dan hatinya jadi terhibur.
Dengan hati sedih, ia jalan perlahan-lahan. Mengingat bahayanya sungai es, ia jadi berkuatir.
Dengan kepandaiannya yang begitu cetek, dapatkah ia lewati sungai tersebut? Cuma saja lantaran
tadi sudah menampik dengan penuh keangkuhan, ia jadi merasa tidak enak buat balik lagi guna
minta pengantar.
Thian Oe naik gunung pada permulaan musim panas, dan sekarang, sesudah lewat tiga bulan,
sudah masuk musim rontok. Di atas gunung, salju putih bertumpuk-tumpuk, di lereng gunung
daun-daun berwarna kemerah-merahan. Dengan perasaan masgul, Thian Oe berjalan terus.
Mendadak matanya dapat lihat asap hitam mengebul ke tengah udara. Ternyata sesudah
robohnya Puncak Es, disitu muncul sebuah kawah yang semburkan api dan asap, yang sehingga
sekarang masih belum padam.
Thian Oe ternganga dan menghela napas berulang-ulang. Ia ingat Pengtjoan Thianlie dan si
pemuda baju putih yang hari itu mengadu pedang di bawahnya Puncak Es tersebut. "Mereka lebih
banyak mati daripada hidup," kata Thian Oe dalam hatinya. Ia pun ingat sang soenio (Tjia In Tjin)
dan Chena dan hatinya jadi merasa lebih tidak enak.
"Harap saja Tuhan melindungi mereka," kata ia dalam hatinya. "Kalau mereka masih hidup,
walaupun mesti pergi ke ujung langit, aku tentu akan mencarinya."
Tapi bagaimana ia dapat lewati sungai es yang sangat berbahaya itu. Dengan pikiran kusut dan
bimbang, ia tujukan tindakannya ke bawah gunung. Sesudah jalan beberapa lama, ia merasa
kedudukan bumi sudah berobah dan tidak bersamaan lagi dengan keadaan pada waktu ia naik ke
keraton es.
Itu sungai es yang berbahaya sebenarnya terletak tidak terlalu jauh dari keraton. Ia ingat,
dekat sungai tersebut terdapat satu hutan pohon yanglioe, sedang di pinggir sungai berdiri satu
pohon lioe yang sangat besar, dimana tertambat sebuah perahu kecil. Tapi sekarang, dimanakah
adanya sungai es tersebut?
Bukan main herannya Thian Oe, tapi ia berjalan terus. Sesudah jalan lagi kira-kira setengah
jam, mendadakan saja di depan matanya terbentang satu telaga yang luar biasa luasnya, sehingga
air telaga seperti juga menempel dengan tepian langit dan tepian langit menempel dengan telaga.
Kepingan-kepingan es yang warnanya gilang gemilang lantaran disorot sinarnya matahari,
kelihatan ngambang di atas telaga itu. Dan telaga itu bukan lain daripada Thian-ouw, Telaga
Langit atau Tengri Nor!
Sesudah memandang beberapa lama seperti orang mengimpi, Thian Oe mengetahui apa
sebabnya. Robohnya puncak telah merobah kedudukan bumi banyak sekali. Sungai es itu, yang
turun dari atas gunung terus sampai di Thian-ouw, ternyata sudah diuruk dengan Puncak Es yang
roboh itu! Demikianlah, dengan urukan tanah Puncak Es, satu jalanan telah terbuka antara
keraton es dan telaga Thian-ouw!
Bukan main girangnya Thian Oe: "Tak heran kalau itu dua boesoe dan Omateng bisa datang ke
keraton es," kata ia dalam hatinya.
Keadaan Thian-ouw masih tetap seperti sediakala, dengan airnya yang bening dan pohon-
pohon dan rumputnya yang berwarna hijau. Thian Oe duduk mengasoh di pinggir telaga dan
isikan kantong kulitnya dengan air yang bening. Lama sekali ia duduk termenung disitu dan
sampai lewat lohor barulah berjalan lagi.
Selang tiga hari, tibalah Thian Oe di kaki gunung. Oleh karena mati hidupnya Pengtjoan
Thianlie belum diketahui dan sukar mencarinya kalau bukan bertemu secara kebetulan, maka ia
lalu ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa. Lhasa adalah ibukota Tibet dimana berdiam
jenderal Hok Kong An bersama pasukannya. Pada harian kantor Amban dirusak oleh Tjoei In Tjoe
dan Ong Lioe Tjoe, ayahnya Thian Oe (Tan Teng Kie) segera meninggalkan Sakya buat pergi ke
Lhasa guna melaporkan kejadian itu kepada Hok Kong An. Sebagaimana diketahui, hal itu telah
diberitahukan kepada Thian Oe oleh si kacung Kang Lam. Itulah sebabnya kenapa sekarang ia
ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa dengan maksud menemui ayahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah berjalan lagi tujuh delapan hari, ia tiba di satu kota Chaklun yang terletak antara
Shigatse dan Lhasa. Tibet adalah satu tempat yang tidak banyak penduduknya. Sebuah kota yang
dinamakan kota besar kebanyakan hanya mempunyai beberapa ratus rumah penduduk. Chaklun
juga terhitung kota besar, akan tetapi, di situ cuma terdapat satu rumah penginapan. Thian Oe
minta satu kamar dalam rumah penginapan itu dan sesudah makan malam, ia lalu rebahkan
dirinya di atas pembaringan lantaran merasa capai sesudah lakukan perjalanan seharian suntuk.
Tapi baru saja rebahkan diri, ia dengar suara rintihan di kamar sebelah. Dengan heran, ia
panggil Tiam Siauwdjie (pelayan hotel) dan lalu menanyakan siapa yang sakit.
"Mereka adalah dua pembesar ketentaraan dan sudah sakit tiga hari," sahut Tiam Siauw Djie.
"Mendapat sakit di tengah perjalanan adalah kejadian yang menyedihkan," kata Thian Oe. "Apa
disini tidak ada tabib?"
"Ada satu dua, tapi tak ada yang tahu penyakit apa," sahut si pelayan. "Sesudah bongmeh
(periksa nadi), ia tidak berani tulis surat obat."
"Penyakit apa?" kata Thian Oe. "Kalau diceritakan sangat luar biasa," Tiam Siauw Djie berkata
dengan suara perlahan. "Hari itu, kedua perwira tersebut yang menginap disini minum arak di
ruangan luar. Kau tahu, hotel ini juga menjual arak dan makanan buat melayani orang-orang yang
kebetulan mampir disini. Tiba-tiba datang seorang wanita muda yang rupanya mampir buat makan
dan minum. Ia kelihatannya seperti orang asing, hidungnya mancung dan matanya rada-rada
berwarna blau. Sembari nyengir, kedua perwira itu keluarkan beberapa perkataan mengejek.
Wanita itu tidak jadi gusar, ia cuma tertawa dingin dan berkata: "Kalian suka main-main disini.
Biarlah kalian mengasoh beberapa hari." Sehabis berkata begitu, tak tahu ia gunakan ilmu apa,
mendadakan saja di depannya kedua perwira itu berkelebat sinar yang sangat dingin. Aku yang
menonton dari sebelah kejauhan juga rasakan hawa yang sangat dingin. Wanita itu lalu lemparkan
sepotong perak di atas meja dan berlalu dengan cepat. Sembari berteriak-teriak kedinginan kedua
perwira itu lari masuk ke dalam kamar dan gulung dirinya dengan selimut, tapi itu semua ternyata
tidak menolong. Selama tiga hari, mereka berada dalam keadaan ngelindur, badannya sebentar
panas, sebentar dingin. Coba pikir, apa bukannya luar biasa?"
Thian Oe kaget berbareng girang. Yang dilepaskan oleh wanita itu tentulah juga Pengpok
Sintan. Apa ia bukannya Pengtjoan Thianlie?
"Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Coba aku periksa penyakitnya," kata ia kepada sang
pelayan.
Tiam Siauw Djie antar Thian Oe ke kamar sebelah dan berkata: "Tuan, ada satu tuan mau
periksa penyakitmu."
Kedua perwira itu buka kedua matanya. Tiba-tiba mereka keluarkan suara teriakan tertahan.
"Siapa kau?" tanya satu antaranya.
Thian Oe mengawasi dan kenali, bahwa mereka itu adalah dua perwira yang mengantar guci
emas, yang tempo hari ia bertemu dalam penginapan di Shigatse.
"Ayahku Tan Teng Kie adalah Soanwiesoe (Amban) pada suku Sakya," sahut Thian Oe.
"Namaku Thian Oe. Kita sudah pernah bertemu di Shigatse."
Pada malam itu, ketika Siauw Tjeng Hong turut bertempur, Thian Oe tidak munculkan muka,
sehingga kedua perwira itu tidak menaruh curiga apa-apa. Sesudah Thian Oe perkenalkan dirinya,
salah seorang lantas berkata: "Oh, kalau begitu Tan Kongtjoe?" Ia lalu minta Tiam Siauwdjie
berlalu dari kamar itu dan kemudian menanya pula: "Ada urusan apa Tan-heng datang kesini?"
Selagi bicara, mereka diserang lagi dengan kedinginan, sehinggga giginya pada bercakrukan.
Thian Oe tidak tega dan segera berkata: "Penyakit begini siauwtee mengerti juga sedikit."
la lalu keluarkan dua butir pel yang berwarna biru dan berikan kepada mereka. Beberapa saat
sesudah menelan pel itu, dalam badan mereka muncul semacam hawa panas yang menembus
sampai di pusar. Kedua perwira itu mempunyai lweekang yang cukup tinggi. Buru-buru mereka
kerahkan pernapasannya buat bikin hawa panas itu mengalir terus sampai ke tangan dan kaki.
Semakin lama mereka rasakan semakin segar.
"Besok, sesudah semua hawa dingin keluar, kesehatan djiewie taydjin (kedua tuan pembesar)
akan pulih kembali," kata Thian Oe.
Kedua perwira itu – yang satu bernama Mauwyan dan yang satunya lagi bernama Lunpo --
adalah ahli silat di bawah perintahnya jenderal Hok Kong An. Jika hari itu mereka waspada dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kerahkan tenaga dalamnya buat melindungi badannya, meskipun kena serangan Pengpok Sintan,
mereka tidak akan menderita begitu hebat. Waktu itu, lantaran sedang gembira minum arak dan
juga sebab tidak menduga wanita itu berkepandaian tinggi, mereka jadi tidak berjaga-jaga.
Sesudah hawa dingin menyerang masuk ke dalam sumsum, barulah mereka kerahkan tenaganya
buat melawan, tapi sudah kasep.
Sekarang, begitu telan pelnya Thian Oe, mereka rasakan banyak entengan dan mereka tentu
saja jadi merasa sangat heran. Mereka lantas ingat, bahwa si orang tua yang turut bertempur di
Shigatse adalah kawannya Thian Oe. Tanpa merasa, mereka terkesiap dan salah seorang menanya
lagi: "Sebenarnya kau siapa?"
"Bukankah aku sudah beritahukan?" kata Thian Oe.
"Apa benar kau Tan Kongtjoe?" Mauwyan menegasi.
"Jika kalian tidak percaya, nanti setibanya di Lhasa kita boleh sama-sama pergi ke kantornya
Hok Tayswee buat cari ayahku," kata Thian Oe.
"Tapi cara bagaimana kau bisa mempunyai yowan (pel) yang dapat punahkan ilmunya wanita
siluman itu?" tanya Lunpo.
Sebelumnya para dayang Pengtjoan Thianlie keluar dari gua es, Thian Oe telah ketemukan
banyak sekali yowan dalam keraton es. Ia ambil seraup dan simpan dalam bungkusannya. Ia
kenali, bahwa di antara yowan itu terdapat Yanghowan, yaitu pel buat lawan hawa dingin. Pel
itulah yang ia berikan kepada Mauwyan dan Lunpo.
Didedas secara begitu, Thian Oe gelagapan dan tidak tahu mesti menyahut bagaimana. Kedua
perwira jadi semakin curiga dan Mauwyan membentak: "Apa kau di kirim oleh wanita siluman itu?"
Baru saja Mauwyan habis ucapkan perkataannya, di luar jendela mendadakan terdengar suara
tertawanya seorang wanita yang lantas membentak: "Inilah yang dinamakan sang anjing gigit Lu
Tong Pin. Kau tidak mengenal kebaikannya orang. Aku kirim obat, kau berbalik mencaci aku. Apa
kau mau sakit lagi beberapa hari?"
Kedua perwira itu yang badannya masih sangat lemas, jadi kaget sekali dan tidak berani buka
suara lagi.
"Orang yang curi lengtan (pel mustajab), lekas keluar ketemui aku," demikian terdengar lagi
suaranya wanita itu, yang lagu suaranya mirip-mirip dengan suaranya Pengtjoan Thianlie.
Dengan hati berdebar-debar, Thian Oe loncat keluar kamar, tapi wanita itu sudah loncat naik ke
atas genteng. Buru-buru ia balik ke kamarnya buat ambil buntalannya, dan sesudah lemparkan
uang penginapan, ia lantas memburu. Wanita itu lari sangat keras, tapi untung ilmu entengi
badannya Thian Oe sudah maju jauh, sehingga begitu keluar dari pintu kota, ia dapat menyandak.
Wanita itu menengok dan berkata sembari tertawa: "Ilmu silatmu sudah banyak maju. Apa
Puteri kami yang memberi pelajaran? Apa ia sudah balik ke keraton?"
Di bawahnya sinar rembulan, Thian Oe kenali bahwa wanita itu adalah Yoe Peng, dayangnya
Pengtjoan Thianlie yang sangat disayang. Sedari kecil ia ikuti majikannya dan di antara para
dayang, ilmu surat dan ilmu silatnya terhitung salah seorang dari kelas satu. Pada harian gempa
bumi, ia diperintah Pengtjoan Thianlie buat menemani Tjia In Tjin pergi petik daun obat.
Thian Oe tentu saja merasa sangat girang dapat bertemu dengan ianya. Tapi mendengar
pertanyaannya, ia jadi jengah dan berkata: "Aku curi belajar. Apakah kau mau jalankan perintah
majikanmu buat menghukum aku?"
Yoe Peng tertawa-tawa dan menyahut: "Puteri kami sebenarnya sangat sayang kau. Sebetul-
betulnya, ia sudah perintah aku ajarkan kau beberapa macam ilmu silat, sebelumnya kau
meninggalkan keraton. Cuma menyesal malam itu kau mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan,
sehingga Kongtjoe jadi gusar sekali. Menurut dugaanku, ia cuma mau gertak kau, dan sehabis
mengadu pedang, rasanya ia akan segera lepaskan kau dari kurungan. Sesudah mengalami
bencana alam yang hebat, tak dinyana kau dan aku masih bisa hidup terus. Cobalah tuturkan
pengalaman dalam keraton selama tiga bulan yang lalu."
Thian Oe segera tuturkan segala kejadian secara ringkas. "Aku sudah duga semua saudara-
saudara tidak akan sampai binasa," kata Yoe Peng setelah dengar penuturan Thian Oe. "Sebetul-
betulnya, waktu itu aku cuma kuatirkan keselamatanmu yang sedang dikurung dalam gua. Jika
kau sampai kenapa-kenapa, Kongtjoe tentu akan merasa tidak enak hati."
"Dan bagaimana dengan Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Yoe Peng geleng-gelengkan kepalanya dan menyahut: "Selagi menemani soenio-mu memetik
daun obat, aku lihat tanda-tanda bakal terjadinya gempa bumi. Maka itu, buru-buru kita naik
perahu dan turun ke telaga Thian-ouw. Aku sama sekali tidak mengetahui keadaannya Kongtjoe."
Thian Oe merasa putus harapan. "Soenio-ku?" ia tanya lagi.
"Ia sudah pulang ke Soetjoan buat tunggu lahirnya anak yang sedang dikandung," sahut Yoe
Peng.
Mendengar begitu, Thian Oe jadi sadar. Ia sekarang mengetahui, bahwa soenio-nya sedang
hamil, sehingga tidaklah heran gurunya sudah tinggalkan pesanan begitu kepadanya.
"Tak lama lagi kau akan mempunyai soetee atau soemoay. Apa kau tidak girang?" kata Yoe
Peng sembari tertawa.
Mengingat kebinasaan yang menyedihkan dari gurunya, hatinya Thian Oe kembali merasa
sedih. "Tapi kenapa kau tidak buru-buru balik ke keraton?" tanya ia dengan suara menegor.
"Kau tahu, hari itu gunung berapi meledak dan gempa bumi yang hebat telah terjadi,"
menerangkan Yoe Peng. "Sesudah gempa bumi itu, di selebar gunung penuh dengan batu-batu
dan lahar yang sangat panas. Selainnya itu, jalanan juga sudah tertutup semuanya. Melihat
begitu, kita tahu tidak akan bisa naik ke gunung pada sebelumnya lahar itu menjadi dingin.
Soenio-mu sedang hamil, mana bisa ia berdiam lama-lama di daerah pegunungan yang tidak
mempunyai tempat meneduh. Aku tahu dalam keraton sudah siap sedia tempat berlindung,
sehingga, kecuali pikirkan keselamatanmu, aku anggap keselamatan para saudara dan Thiekoay
sian sudah terjamin. Aku segera bujuk soenio-mu supaya pulang lebih dahulu ke Soetjoan buat
melahirkan dan begitu ada kemungkinan, aku percaya Thiekoay sian juga akan segera menyusul."
"Tapi guruku tak akan bisa pulang lagi," kata Thian Oe dengan suara serak.
Mendengar kebinasaannya Thiekoay sian, Yoe Peng juga merasa sangat terharu. Ia berdiri
bengong beberapa saat dan kemudian menanya: "Kemana kau mau pergi?"
"Ke Lhasa. Dan kau?" Thian Oe balas tanya.
"Aku tak tahu mau pergi kemana," jawab Yoe Peng sembari tertawa. "Sebetulnya, aku cuma
niat berdiam di daerah ini buat sementara waktu dan lantas pulang begitu lekas lahar menjadi
dingin dan keras."
"Sekarang, selainnya satu kawah yang masih semburkan api dan asap, di atas gunung sudah
tidak terdapat lahar panas lagi," menerangkan Thian Oe.
"Itulah aku tidak tahu," kata Yoe Peng. "Aku sebetulnya niat menunggu sampai musim semi
baru pulang buat lihat-lihat keadaan." Ia berdiam beberapa saat dan kemudian berkata lagi
sembari mesem: "Apa kau masih ingat itu toeilian yang digubah oleh si pemuda baju putih
dengan mengambil namaku? Ia persamakan diriku seperti seorang wanita suci yang
berdiam dalam lembah gunung yang sunyi. Tapi sebenar-benarnya, sebagai manusia biasa, aku
pun ingin sekali melihat-lihat keadaan di dunia luar. Selama berdiam begitu banyak tahun dalam
keraton, sering-sering aku merasa sangat kesepian."
Dengan senyumannya yang manis, di bawah sinarnya sang bulan, Yoe Peng seakan-akan satu
bocah yang nakal. Hatinya Thian Oe juga masih bebocahan. Ia tertawa dan berkata: "Hm! Kau
rupanya ingin menggunakan kesempatan ini buat jalan-jalan. Di seluruh Tibet, Lhasa-lah yang
paling ramai. Disitu terdapat gereja
Lhama yang luar biasa indahnya. Paling baik kau ikut aku pergi ke Lhasa."
"Bagus! Kita juga bisa sekalian dengar-dengar halnya Kongtjoe," sahut Yoe Peng dengan suara
girang.
Mendengar namanya Pengtjoan Thianlie, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia berdiam beberapa
saat dan kemudian berkata sambil menghela napas: "Tu hari mereka sedang adu pedang di
kakinya Puncak Es. Apa mereka bisa selamatkan diri?"
"Puteri kami bergelar Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)," kata Yoe Peng. "Meskipun
ia tidak dapat disamakan seperti sebangsa dewi, akan tetapi kepandaiannya sesungguhnya tak
dapat diukur bagaimana dalamnya. Aku sama sekali tidak percaya ia sampai hilang jiwa lantaran
bencana alam itu." Dari perkataan dan sikapnya, Yoe Peng kelihatan pandang majikannya betul-
betul seperti seorang dewi, sehingga Thian Oe jadi terpengaruh dan tidak percaya lagi Pengtjoan
Thianlie binasa dalam gempa bumi. Dengan demikian, hatinya jadi legaan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kau lihat Puteri kami bertempur seru dengan si pemuda baju putih, tapi janganlah kau anggap
mereka berkelahi seperti musuh," kata Yoe Peng sembari tertawa. "Aku sudah dapat lihat,
Kongtjoe sebenarnya suka pemuda itu!"
Thian Oe tertawa besar seraya berkata: "Kau ini benar-benar setan yang cerdik!"
"Kau juga setan pintar yang berlagak bodoh," membalas Yoe Peng. "Kau mencintai siapa, aku
juga sudah tahu."
Paras mukanya Thian Oe lantas berubah guram. "Ilmu kepandaiannya Chena masih sangat
cetek. Belum tentu ia dapat loloskan diri," katanya dengan suara perlahan.
"Orang baik tentu akan dilindungi Tuhan. Kalau belum takdirnya mati, ia tentu tidak akan mati,"
kata Yoe Peng dengan suara menghibur. Kata-kata itu sebenarnya cuma merupakan hiburan
belaka, akan tetapi, sesudah mendengar, hatinya Thian Oe jadi terhibur juga.
Sesudah berjalan beberapa lama, Thian Oe menanya: "Kau selalu memanggil Pengtjoan
Thianlie sebagai Paduka Puteri. Bolehkah aku mendapat tahu, ia sebenarnya puteri dari negara
mana? Kenapa ia mempunyai kedudukan Kongtjoe, sedang ayahnya hanya seorang pendekar
dalam Rimba Persilatan?"
"Baiklah," sahut Yoe Peng. "Buat hilangkan kesepian, aku akan ceritakan asal-usulnya
Kongtjoe."
Demikianlah, dengan diterangi sinar bulan yang bagaikan perak, Yoe Peng segera jalan lebih
dekat dengan Thian Oe dan mulai dengan penuturannya:
"Pada tiga puluh tahun yang lalu, di negara Nepal hidup seorang puteri raja yang bernama Hoa
Giok. Ia diberi nama Hoa Giok oleh karena raja sangat mengagumi sifat ke Tionghoa-an dan juga
oleh karena sang puteri berparas sangat cantik, ibarat batu giok dari bangsa Han. Sesudah besar,
Hoa Giok Kongtjoe menjadi seorang gadis yang boenboe songtjoan (mahir dalam ilmu surat dan
ilmu silat). Ia belajar ilmu surat dari guru-guru yang sengaja diundang dari Tiongkok, sehingga
ia bukan saja apal macam-macam kitab, tapi juga pandai menggubah syair-syair Tionghoa. Buat
menjadi guru silatnya, Raja Nepal undang ahli silat dari negara Arab. Di sebelahnya itu, ia
tentu saja mahir dalam ilmu menunggang kuda dan ilmu memanah yang menjadi kesukaannya.
"Sang tempo berjalan cepat sekali. Dalam tempo sekejap, sang puteri sudah berusia delapan
belas tahun. Para pemuda di Nepal tentu saja sangat ingin dapatkan Hoa Giok sebagai isterinya,
akan tetapi, tak ada barang satu yang dipenuju oleh sang puteri. Tahun lepas tahun dan Hoa Giok
sudah berusia dua puluh dua tahun. Raja Nepal yang cuma mempunyai seorang puteri jadi merasa
bingung juga. Supaya puterinya tidak sia-siakan usia muda, ia niat pilih satu Hoema (menantu
raja) dan kemudian paksa supaya puterinya mau menikah dengan pemuda pilihannya itu. Akan
tetapi, Hoa Giok menolak dengan keras dan ajukan satu usul balasan.
"Sesuai dengan apa yang ia sering baca dalam buku-buku Tionghoa, ia ingin memilih sendiri
suaminya dengan berdirikan loeitay. Ia usulkan kepada ayahnya, supaya dibcrdirikan dua loeitay,
yaitu loeitay buat adu ilmu surat dan loeitay buat adu ilmu silat. Setiap calon harus lebih dahulu
dijajal ilmu silatnya, dan jika lulus, baru dicoba ilmu suratnya. Dalam ilmu silat, sesudah lulus
beberapa ujian sulit, seorang calon harus adu pedang dengan ia sendiri, dan kalau menang,
barulah diuji ilmu suratnya. Dalam ilmu surat, satu calon bukan saja harus mahir dalam
kesusasteraan Nepal, tapi juga mesti mengenal kitab-kitab dan syair Tionghoa. Di antara orang
Nepal memang banyak yang mengenal bahasa Tionghoa, tapi pengetahuan mereka kebanyakan
sangat cetek dan manalah bisa gampang-gampang lulus dari ujiannya sang pulen. Selama dua
tahun, jumlah pemuda yang majukan lamaran semuanya ada seratus dua puluh empat orang, tapi
yang berhak adu pedang dengan sang puteri cuma ada tujuh orang, sedang yang bisa menangkan
Hoa Giok cuma tiga orang saja. Akhirnya ketiga orang itu jatuh semuanya dalam ujian
kesusasteraan Tionghoa.
"Raja jadi bingung sekali dan belakangan malahan permisikan masuknya calon-calon bangsa
Han. Tapi semua calon Tionghoa pun siang-siang sudah pada roboh dalam ujian ilmu silat.
"Tanpa merasa, usianya Kongtjoe sudah menanjak jadi dua puluh empat tahun. Pada suatu
hari, dengan suara sungguh-sungguh Raja Nepal berkata kepada puterinya: 'Sekarang kau sudah
gagal dalam usaha memilih Hoema, maka sepantasnya kau serahkan urusan itu ke dalam
tanganku. Aku tak dapat permisikan kau membuka loeitay terus-menerus dalam tempo yang tidak
terbatas.' Hoa Giok lalu minta tempo seratus hari lagi, dan kalau sudah lewat seratus hari lagi ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

belum juga berhasil, barulah ayah dan anak berunding lagi. Akan tetapi, diam-diam Kongtjoe yang
beradat tinggi dan agung itu sudah mengambil putusan pasti buat tidak menikah dengan lelaki
sembarangan, dan jika sesudah seratus hari ia beium juga berhasil, ia rela menjadi pendeta dan
tidak menikah seumur hidupnya.
"Sesudah lewat sembilan puluh sembilan hari belum juga ada calon yang berhasil, sehingga
Kongtjoe sendiri juga merasa putus harapan. Pada hari yang ke seratus mendadak datang satu
calon bangsa Han yang mukanya penuh debu dan mengatakan, bahwa ia baru saja tiba dari
tempat jauh dan ingin ajukan diri sebagai seorang calon. Dalam ujian ilmu silat, pemuda itu
ternyata pandai menunggang kuda dan memanah, sedang kedua tangannya sanggup angkat batu
yang beratnya ribuan kati. Sesudah lulus berbagai ujian berat, ia akhirnya berhadapan dengan
puteri Hoa Giok sendiri. Ia layani sang puteri dari tengah hari sampai magrib dan akhirnya secara
indah sekali, ia sontek tutupan mukanya Puteri dengan ujung pedangnya.
"Ketika dijajal ilmu suratnya, Puteri Hoa Giok sendiri sampai merasa sangat kagum. Ia ternyata
mengenal baik kesusasteraan Nepal dan tentu saja sangat mahir dalam kesusasteraan Tionghoa
dan malahan banyak penjelasan-penjelasan yang belum dikenal oleh sang puteri sendiri.
"Sekarang tinggal dua ujian terakhir buat coba kecepatan otakmu" kata Puteri Hoa Giok. "Jika kau
lulus, kau..." Kongtjoe tidak dapat teruskan perkataannya dan mukanya jadi bersemu merah.
Pemuda itu lantas saja minta ia keluarkan dua ujian terakhir itu..."
"Pemuda itu tentulah juga ayahnya Pengtjoan Thianlie, Koei Hoa Seng Tayhiap," Thian Oe
potong penuturan orang. "Koei Tayhiap sedari kecil mendapat didikan langsung dari ibunya
sendiri, maka tidaklah heran kalau ia mempunyai pengetahuan tinggi sekali dalam ilmu surat dan
ilmu silat. Apakah adanya itu dua ujian terakhir?"
"Ujian yang pertama ialah Kongtjoe rninta Koei Tayhiap menggubah sepasang toeilian," Yoe
Peng lanjutkan penuturannya. "Toeilian tersebut harus digubah dengan menggunakan namanya,
yaitu Hoa Giok. Buat itu Koei Tayhiap diberi tempo sepasangan hio, dan kalau sampai hio terbakar
habis, toeilian belum selesai, Koei Tayhiap jatuh dari ujian itu. Sesudah mendengar penjelasan
Kongtjoe, Koei Tayhiap segera berkata: "Toeilian itu sudah ada, cuma mungkin kata-katanya
sedikit menyinggung, sehingga aku mohon Paduka Puteri sudi maafkan." Sehabis berkata begitu,
Koei Tayhiap segera menulis toeilian yang bunyinya seperti berikut:
"Gunung indah, pemandangan permai,
siapakah yang mau diajak pesiar?
Melihat pohon Buhdi berkembang, Sa Kya bermesem simpul.
Suling giok (batu kemala), suaranya merdu,
mengundang tetamu turut bersuka ria.
Mendengar Siang Djie mementil khim, Tjoe Tjin meniup suling."
"Pada baris pertama dari toeilian itu, Koei Tayhiap telah mengambil petikan dari kitab Budha,
sedang pada baris kedua, ia menggunakan hikayatnya Soema Siang Djie yang meminang Tjo Boen
Koen dengan mementil khim dan hikayatnya Tjoe Tjin yang dengan meniup suling, telah
mengundang burung Hong buat melamar puterinya Raja muda Tjin Bok Kong, yang bernama Long
Giok. Demikianlah, pada baris kedua itu, Koei Tayhiap telah kutib cara melamar isteri dari dua
orang dahulu kala itu. Ketika ia menulis habis, hio baru saja terbakar sepertiga. Begitu membaca
toeilian tersebut, Hoa Giok Kongtjoe tertawa dengan paras muka girang dan lalu maju dengan
ujian yang kedua, yaitu ujian yang paling akhir." (Perkataan "indah" –- hoa -- dari baris pertama,
jika dirangkap dengan perkataan "giok" dari baris kedua, jadilah Hoa Giok, yaitu namanya sang
puteri).
Thian Oe tertawa seraya berkata: "Kalau begitu tidak heran Pengtjoan Thianlie begitu suka
menggubah toeilian dari namanya orang. Tak tahunya ia mewarisi kesukaan itu dari ayah ibunya."
"Kedatangan si pemuda baju putih ke keraton es adalah seperti kedatangan Koei Tayhiap ke
Nepal buat meminang dirinya Kongtjoe," kata Yoe Peng.
"Tapi bagaimana dengan ujian kedua?" tanya Thian Oe dengan suara tidak sabaran. "Hayolah
jangan omongi segala hal yang tidak ada perlunya."
"Cerita ini adalah cerita didalam cerita," demikian Yoe Peng lanjutkan penuturannya.
"Pendahuluan dari ujian kedua ialah satu cerita dahulu kala. Cerita itu belum berakhir dan dapat
di akhiri menurut sukanya orang. Dengan lain perkataan, cerita itu bisa berakhir girang dan juga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bisa berakhir sedih. Buat uji kecerdasan otaknya, Kongtjoe minta Koei Tayhiap menulis akhirnya
cerita itu."
"Cerita itu adalah begini: Dahulu kala, seorang puteri diam-diam jatuh cinta kepada seorang
boesoe (pahlawan). Tidak terduga, boesoe itu bercintaan dengan satu dayang. Apa mau rahasia
ini terbuka. Dalam kegusarannya, sang puteri beritahukan ayahnya. Kedosaan itu adalah kedosaan
besar dan si boesoe harus mendapat hukuman berat.
"Akan tetapi, negeri itu mempunyai cara menghukum yang sangat luar biasa. Mereka percaya,
bahwa di langit terdapat dewa yang memegang nasibnya manusia. Apakah terdakwa berdosa atau
tidak juga diputuskan oleh sang dewa itu. Caranya adalah begini: Si terdakwa dilepaskan di atas
satu lapangan terbuka yang sangat luas. Di sebelah kiri dan kanannya lapangan tersebut terdapat
satu pintu. Dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa kelaparan, sehingga kalau si terdakwa
masuk kesitu, ia tentu akan dibeset dan dimakan oleh singa tersebut. Dalam pintu yang satunya
lagi terdapat satu jalanan yang menerus keluar lapangan. Jika si terdakwa masuk di pintu itu, ia
segera dapat pulang kemerdekaannya dan segala tuduhan dibikin habis. Menurut kepercayaan,
orang itu mendapat berkahnya dewa dan siapa yang mendapat berkahnya dewa, bukannya
seorang jahat."
"Oleh karena tidak mengetahui bahwa puterinya mencintai si boesoe dan juga oleh karena
sangat sayang pahlawan itu, maka raja sengaja menaruh belas kasihan yang istimewa. Seperti
biasa, dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa kelaparan. Akan tetapi, dalam pintu yang
satunya lagi, raja perintah taruh si dayang kecintaannya boesoe itu. Jika boesoe itu masuk ke
dalam pintu yang terisi singa, memang sudah nasibnya ia mesti binasa dan dewa anggap ia
berdosa. Akan tetapi, manakala ia masuk ke dalam pintu yang berisi dayang, maka bukan saja ia
akan memperoleh kemerdekaannya, tapi juga diperbolehkan menikah dengan kecintaannya itu."
"Pada harian penentuan nasibnya boesoe tersebut, sang puteri juga turut menonton.
Panggungnya keluarga raja berdiri di tengah-tengah antara kedua pintu nasib. Waktu lewat di
depan panggung, boesoe tersebut mengawasi sang puteri dengan sorot mata mohon dikasihani.
Kongtjoe itu tahu pintu mana yang berisi singa dan pintu mana yang berisi dayang."
"Saat itu, nasibnya si boesoe terletak dalam tangannya Kongtjoe. Dengan sekali tunjuk, ia
dapat memutuskan, apa boesoe itu mati atau hidup. Pintu manakah yang akan ditunjuk oleh sang
puteri? Di satu pihak, hatinya gusar dan sakit hati lantaran perbuatannya boesoe itu, ditambah
pula dengan perasaan mengiri terhadap sang dayang yang sudah merebut kecintaannya. Akan
tetapi di lain pihak, dengan cintanya yang sangat besar, dimana ia tega kalau boesoe itu sampai
dibeset singa?"
"Pada saat itu, dua rupa pemandangan berkelebat di depan matanya Kongtjoe. Di ini detik, ia
lihat boesoe itu menikah dengan sang dayang dengan penuh kecintaan dan kemanisan. Di lain
detik, ia lihat tubuh yang berlumuran darah dari boesoe tersebut, akibat dibeset singa. Ketika ia
dongakkan kepalanya, ia lihat sorot mata yang memohon kasihan dari kecintaannya itu. Pintu
manakah yang sang puteri harus tunjuk?"
Thian Oe sudah dibikin begitu ketarik dengan cerita itu, sehingga ia mendengari dengan mata
mendelong dan mulut ternganga, dan tanpa merasa, hatinya berdebar-debar dan turut memikiri,
pintu mana yang harus ditunjuk oleh Kongtjoe.
Yoe Peng tertawa dan berkata pula: "Waktu itu, pertanyaannya Hoa Giok Kongtjoe juga adalah
sedemikian. 'Andaikata kau jadi puteri itu,' kata Puteri Hoa Giok kepada Koei Tayhiap, 'pintu
manakah yang kau akan tunjuk?' Jawabannya Koei Tayhiap haruslah cocok dengan pendapatnya
sang puteri yang menurut sukanya dapat memutuskan sendiri, apa jawaban Koei Tayhiap benar
atau salah.
"Pertanyaan itu bukan main sukarnya. Tidak perduli pintu mana juga yang ditunjuk oleh Koei
Tayhiap, Hoa Giok Kongtjoe bisa bilang ia tidak mengerti soal cinta. Soal cinta dapat ditafsirkan
secara berbeda-beda, menurut pendapat pribadi dari sesuatu orang. Sebagai contoh, jika sang
puteri dalam cerita itu menunjuk pintu yang ada singanya, maka dapat ditafsirkan, bahwa ia
menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab cinta menimbulkan cemburu dan cinta yang sangat
dapat menimbulkan kebencian yang sangat. Jika sang puteri tunjuk pintu yang berisi dayang, itu
juga bisa ditafsirkan bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab orang yang betul-
betul mencinta selamanya bersedia buat mengampuni orang yang dicinta, dan di sebelahnya itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

cinta berarti juga pengorbanan guna keberuntungannya orang yang dicinta. Tapi
bagaimanakah pendapat Hoa Giok Kongtjoe mengenai soal itu? Itulah ada soal sulit yang mesti
ditebak dengan jitu oleh Koei Tayhiap!"
"Koei Tayhiap memikir beberapa saat dan kemudian tanya Hoa Giok Kongtjoe: 'Puteri dalam
cerita itu, apakah puteri dari negara Timur atau puteri dari negara Barat?' Cerita itu sebenarnya
adalah cerita dari Eropa yang belakangan masuk ke Timur dan menjadi bahan dari berbagai
penulis. Koei Tayhiap mengetahui sumbernya cerita itu, akan tetapi ia sengaja menanya begitu."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak mengerti maksudnya segera balas menanya: 'Kalau puteri Timur
bagaimana? Kalau puteri Barat bagaimana?' Koei Tayhiap tertawa dan menyahut: 'Kalau sang
puteri adalah puteri dari negara Timur, ia tentu akan tunjuk pintu yang berisi dayang. Tapi jika ia
adalah puteri dari Barat, ia tentu akan tunjuk pintu yang ada singanya. Orang Timur biasanya lebih
bersedia saling mengampuni, sedang kaum wanitanya kebanyakan berhati welas asih, sehingga
sepuluh sembilan ia tidak akan tega melihat kecintaannya dibeset singa. Di lain pihak, cintanya
wanita negara Barat bersifat monopoli, yaitu tidak sudi membagi kepada lain orang. Orang Barat
suka mengatakan bahwa cinta adalah seperti biji mata dan disitu tidak boleh menyelip barang
sebutir pasir. Maka itulah, jika sang puteri adalah puteri negara Barat, sepuluh sembilan ia akan
tunjuk pintu yang berisi singa, sebab ia kebanyakan lebih suka kecintaannya binasa daripada
direbut oleh lain perempuan. Akan tetapi, jika boesoe itu adalah seorang Tionghoa, siang-siang ia
tentu dapat mengetahui kecintaannya sang puteri, sehingga kejadian itu sebenarnya tidak usah
terjadi!"
"Bukan main licinnya jawaban itu. Tapi Koei Tayhiap sebenarnya boleh tidak usah susah-susah.
Kita bisa duga, tak perduli Koei Tayhiap menjawab bagaimana juga, Hoa Giok Kongtjoe tentu akan
merasa puas."
"Begitulah Hoa Giok Kongtjoe segera menetapkan Koei Tayhiap sebagai Hoema. Bukan main
girangnya raja. Waktu dilangsungkan pesta pernikahan, tiga hari libur diberikan di seluruh negeri
dan semua orang pada bersuka ria. Pada lain tahunnya, Hoa Giok Kongtjoe melahirkan seorang
puteri yang diberi nama Peng Go oleh Koei Tayhiap. Ia itulah yang belakangan dikenal sebagai
Pengtjoan Thianlie. Raja tidak mempunyai anak lelaki. Hoa Giok Kongtjoe adalah anaknya yang
tunggal. Dari sebab begitu, sang cucu Peng Go juga diberi gelaran Kongtjoe."
"Kedua mempelai hidup beruntung sekali dan tidak terasa lima tahun sudah lewat. Usianya raja
sudah lanjut dan ia merasa jengkel memikiri soal ahli waris yang harus gantikan ia menjadi raja."
"Dalam banyak negara, seorang puteri dapat naik ke atas tahta. Akan tetapi, menurut
kebiasaan di Tiongkok, cuma orang lelaki yang boleh menjadi kaizar. Sudah lama Nepal kena
pengaruhnya kebudayaan Tionghoa, sehingga soal itu menjadi pertentangan antara dua partai.
Satu partai menghendaki supaya Hoa Giok Kongtjoe gantikan ayahnya, sedang lain pihak ingin
Raja Nepal angkat keponakan lelakinya sebagai ahli waris. Keponakan itu sudah lama sekali incar-
incar tahta kerajaan. Dia sudah mempunyai banyak sekali konco-konco dan tukang pukul. Tak
usah dibilang lagi, dia sangat membenci Hoa Giok Kongtjoe. Pertentangan antara kedua partai
semakin lama jadi semakin hebat, sehingga dalam kerajaan Nepal yang tenteram jadi timbul hujan
angin."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak tega melihat negaranya terancam bahaya, segera berdamai
dengan Hoema. Koei Tayhiap anjurkan isterinya melepaskan haknya dan sama-sama
menyingkirkan diri ke Tibet. Kedua suami isteri itu, yang mempunyai ilmu silat sangat tinggi, telah
melebur ilmu pedang Tionghoa dan ilmu pedang daerah Barat menjadi satu dan menggubah satu
ilmu pedang baru. Hoa Giok menyetujui pikiran suaminya. Ia pun merasa, bahwa hidup tenteram
bersama-sama suaminya yang tercinta, ada lebih beruntung daripada menjadi ratu. Maka itulah, ia
tinggalkan sepucuk surat buat ayahandanya dan diam-diam tinggalkan keraton bersama suami,
puterinya dan sejumlah dayang. Selama hidup dalam keraton, sang puteri sangat dicintai orang.
Waktu mau berangkat, beberapa puluh dayangnya berkeras mau mengikut juga, sehingga ia
terpaksa mesti mengajak."
"Sesudah keraton es berdiri, sejumlah dayang yang usianya lebih tua telah pulang ke Nepal
buat sementara waktu, guna memilih sejumlah anak perempuan dari kalangan keluarga mereka
buat diajak datang ke keraton supaya dapat mengawani Puteri Peng Go. Anak-anak perempuan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

menjadi besar bersama-sama Pengtjoan Thianlie dan mereka semuanya mempunyai ilmu silat
yang cukup tinggi."
"Sesudah Hoa Giok Kongtjoe meninggalkan keraton tiga tahun lamanya, Raja Nepal wafat dan
keponakan lelakinya naik ke atas tahta sebagai gantinya."
"Menurut katanya orang, begitu naik tahta, raja baru coba menyelidiki dimana adanya Koei
Tayhiap suami isteri, akan tetapi mana dia bisa mencarinya. Sesudah berdiam di atas Thian-ouw,
hatinya Kongtjoe menjadi lebih tawar terhadap segala urusan ke negaraan. Ia lebih-lebih tidak
sudi balik ke negaranya, ketika dapat dengar bahwa saudara misanannya adalah satu raja yang
kejam dan sombong. Hoa Giok Kongtjoe meninggal dunia terlebih dahulu dari Koei Hoema. Waktu
mau menutup mata, ia tinggalkan pesanan, bahwa, kecuali kalau Puncak Es roboh, semua
penghuni dari keraton es tidak boleh turun gunung. Sesudah isterinya meninggal dunia, Koei
Tayhiap berdirikan sebuah kuil yang berbentuk kuil Nepal dalam taman keraton. Selainnya
membuat sebuah patung isterinya guna pemujaan, ia ukir ilmu pedang gubahannya pada dinding
kuil tersebut. Kecuali Pengtjoan Thianlie, tak ada lain orang yang boleh masuk kedalam kuil
tersebut yang jadi semacam tempat terlarang.
"Lewat setahun sesudah meninggalnya sang puteri, Koei Tayhiap susul isterinya ke alam baka
dan Pengtjoan Thianlie menjadi majikan tunggal dari keraton es. Seperti kedua orang tuanya, ia
juga sangat suka dengan kesusasteraan Tionghoa dan semua dayang-dayangnya diberikan nama
Han."
Demikian penuturan mengenai riwayatnya Pengtjoan Thianlie yang diberikan oleh Yoe Peng.
"Apa cerita itu cukup menarik?" tanya Yoe Peng dengan tertawa sedih, setelah selesai dengan
ceritanya.
Sesudah berdiam beberapa saat, Thian Oe berkata: "Cerita ini juga belum berakhir. Seperti juga
cerita si boesoe, cerita Pengtjoan Thianlie juga bisa berakhir sedih atau berakhir girang."
"Bagaimana?" tanya Yoe Peng.
"Perangkapan jodoh antara dua orang yang berlainan bangsa dan kemudian hidup seperti di
dalam surga, ceritamu luar biasa indahnya," menerangkan Thian Oe. "Sepasang merpati itu
kemudian dapat satu puteri – yaitu Pengtjoan Thianlie – yang benar-benar seperti satu bidadari
dari kahyangan. Jika Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih bisa terangkap jodoh dan dapat
hidup seperti Koei Tayhiap dan Hoa Giok Kongtjoe, maka cerita ini berakhir girang. Akan tetapi,
jika Pengtjoan Thianlie tak dapat loloskan diri dari bencana gempa bumi dan binasa secara kecewa
sekali, maka cerita ini berakhir sedih."
"Tentu bisa lolos! Tentu bisa lolos!" Yoe Peng berkata dengan suara tetap.
"Harap saja begitu," berkata Thian Oe sembari dongakkan kepalanya. Dengan hati sedih ia
mengawasi itu rembulan yang sinarnya dingin. Mendadakan saja ia ingat cerita tentang ia sendiri
dan Chena. Ia juga tak tahu, apa cerita itu akan berakhir sedih atau akan berakhir girang.
Thian Oe bengong terlongong-longong. Lama, lama sekali ia tak dapat keluarkan sepatah kata.
"Anak tolol!" kata Yoe Peng sembari towel pipinya. "Apa yang kau lagi pikirkan."
Mendadak ia lihat paras mukanya Thian Oe berobah, seperti juga sedang mendengari apa-apa.
Yoe Peng juga pasang kupingnya dan sudah dengar suara itu. "Ih! Ada orang!" ia berbisik di
kupingnya Thian Oe. Mereka berdua lantas saja loncat dan sembunyikan dirinya di belakang satu
batu besar.
Di lain saat, beberapa bayangan orang kelihatan berkelebat mendatangi. Di sebelah timur
terdengar dua tepukan tangan, sedang di sebelah barat juga terdengar dua tepukan tangan.
"Mari kita ke tempat yang lebih tinggi, supaya tak dapat dilihat oleh mereka," kata Thian Oe.
Dengan menggunakan ilmu entengi badan yang sangat tinggi, seperti monyet mereka naik ke
lereng gunung dan mengumpat di belakangnya satu batu besar, dari mana, dengan bantuan sinar
rembulan, mereka dapat lihat keadaan di sebelah bawah dengan nyata sekali.
Dengan beruntun, bayangan-bayangan hitam itu berhenti di tempat dimana barusan Thian Oe
dan Yoe Peng berdiri. Mereka lalu bersila di atas tanah dalam bentuk satu lingkaran bundar.
"Dilihat begini, mereka rupanya mau berunding," berbisik Thian
Oe, yang mempunyai lebih banyak pengetahuan daripada Yoe Peng tentang kebiasaan orang-
orang Kangouw, berkat pengunjukannya Thiekoay sian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendadak Yoe Peng tertawa dan berkata: "Pedagang-pedagang dari Eropa yang sangat
tahayul, sangat tidak menyukai hari Jumat dan angka tiga belas. Mereka anggap, hari Jumat dan
angka tiga belas membawa kesialan. Coba lihat! Mereka itu berjumlah tiga belas orang dan kalau
tidak salah, hari ini adalah hari Jumat."
"Mana boleh!" kata Thian Oe. "Kalau toh benar-benar sial, aku anggap cuma kebetulan saja."
Mendengar Yoe Peng menyebutkan hari, tiba-tiba Thian Oe ingat apa-apa. "Eh," katanya. "Tanggal
berapa ini? Tanggal penanggalan Tionghoa (Imlek)."
"Tak ingat," jawab Yoe Peng. "Penanggalan Tionghoa rewel sekali, ada bulan besar, bulan kecil.
Cuma semalam dan pagi tadi di dalam kota aku lihat banyak orang Han membeli kue, katanya
mau digunakan buat sembahyang Tiongtjhioe (Pertengahan Musim Rontok)."
"Dengan Puteri Kecil (Pengtjoan Thianlie) kau pernah baca banyak bukunya orang Han, apa kau
tidak tahu bahwa perayaan Tiongtjhioe adalah salah satu perayaan bangsa Han yang sangat
penting?" kata Thian Oe. "Apa kau tak tahu, perayaan itu jatuh pada Pegwee Tjapgo (bulan
delapan tanggal lima belas)?"
"Aku tahu," jawab Yoe Peng. "Tapi ada urusan apa dengan Pegwee Tjapgo? Perlu apa kau
begitu perhatikan penanggalan?"
"Aku jadi ingat perkataannya Pengtjoan Thianlie," jawab Thian Oe. "Ah, aku kuatir benar-benar
ada alamat jelek!"
Yoe Peng jadi merasa heran sekali. "Apa?", tanya ia. "Pengtjoan Thianlie pernah bilang apa?"
"Apa kau tidak ingat kejadian pada harian aku tiba di keraton es?" tanya Thian Oe. "Hari itu
guruku yang pertama (Siauw Tjeng Hong) telah bertemu musuhnya, yang belakangan diusir oleh
Pengtjoan Thianlie."
"Aku tidak turut menyaksikan," kata Yoe Peng. "Baru belakangan aku dengar penuturannya
Kongtjoe. Ia bilang musuhnya Siauw Soehoe bernama Loei Tjin Tjoe. Nama itu kedengarannya
luar biasa sekali."
"Benar", kata Thian Oe. "Musuhnya Siauw Soehoe semuanya ada tiga orang. Satu bernama
Loei Tjin Tjoe, satu bernama Tjoei In Tjoe dan satunya lagi bernama Ong Lioe Tjoe, yang sudah
kena dibinasakan oleh guruku. Yang hari itu kita bertemu di Thian-ouw adalah Loei Tjin Tjoe dan
Tjoei In Tjoe. Orang yang turun tangan cuma Loei Tjin Tjoe seorang. Dengan gunakan pedang es,
Pengtjoan Thianlie telah robohkan Loei Tjin Tjoe yang mungkin lantaran malu, mau coba bunuh
diri. Pengtjoan Thianlie menolong dan mengatakan, bahwa ia sebenarnya sudah kena
dipermainkan oleh Ong Lioe Tjoe dan kalau mau tahu terang duduk persoalan, ia boleh datang di
Chaklun pada tanggal Pegwee Tjapgo tahun ini. Nah, tempat ini adalah Chaklun dan justru
Pegwee Tjapgo!"
Yoe Peng merasa heran sekali dan berkata: "Puteri Kecil selamanya belum pernah turun
gunung, cara bagaimana ia bisa mengetahui kejadian yang bakal terjadi pada malam ini?" Tapi
lantaran percaya Thian Oe tidak berdusta, ia menanya pula: "Coba kau lihat, apa di antara tiga
belas orang itu terdapat Loei Tjin Tjoe?"
Thian Oe mengawasi dan lalu geleng-gelengkan kepalanya. "Tak ada," katanya. "Heran betul!
Apa ia tidak datang? Sst! Diam! Mereka sudah mulai bicara."
Ketiga belas orang itu pasang hio, rupanya sedang jalankan semacam upacara. "Kenapa Ong
Lioe Tjoe sampai sekarang belum datang?" demikian terdengar suaranya satu orang. Thian Oe
terkejut. Rupanya mereka belum mengetahui, bahwa Ong Lioe Tjoe sudah binasa.
"Mana boleh tidak datang?" kata seorang lain. "Ia sendiri yang janjikan supaya malam ini kita
berkumpul disini."
"Tak usah tunggu padanya," kata orang yang pertama. "Mari kita mulai. Bermula Hok Tayswee
(Jenderal Hok, yaitu Hok Kong An) mau perintah kita melindungi itu guci emas, tapi sekarang tidak
perlu lagi. Ia perintah kita memberitahukan kawan-kawan, supaya pada sebelum buntut tahun,
semua kawan pada pergi ke Sinkiang."
"Kenapa tenaga kita tidak dipakai lagi?" tanya seorang.
"Aku dengar suku Hapsatkek di Sinkiang memberontak," jawab orang yang pertama. "Dalam
pemberontakan itu ada turut sejumlah murid-murid Boetong pay. Buat menghadapi mereka itu,
Hok Tayswee memerlukan sekali tenaga kita. Maka itu, Hok Tayswee bukannya pandang kita
rendah. Saudara tak usah banyak pikiran."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendengar perkataan itu, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia ingat penuturannya Siauw Tjeng
Hong dan Thiekoay sian tentang riwayatnya berbagai partai Rimba Persilatan. Partai Boetong
dahulu sebenarnya mempunyai peraturan keras yang melarang murid-muridnya mencampuri
urusan negara dan politik. Belakangan, pada buntutnya ahala Beng dan permulaan dinasti Tjeng,
muncul seorang pendekar Boetong yang bernama Toh It Hang. Oleh karena mencintai Liehiap
Giok Lo Sat, yang belakangan dikenal sebagai Pekhoat Molie (Siluman Perempuan Rambut Putih),
ia tinggalkan Boetongsan dan pergi ke Sinkiang, dimana ia berdirikan satu partai baru yang
membantu Yo In Tjong (muridnya Hoei Beng Siansu) melawan tentara Boantjeng. Demikianlah
peraturan Boetong pay yang lama telah jadi berobah. Hal itu terjadi pada kira-kira seratus tahun
berselang. Belakangan Koei Tiong Beng menjadi Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay dan
mempunyai banyak sekali murid di wilayah Sinkiang. Sebagian besar murid-murid itu adalah
pencinta-pencinta negeri yang tentangkan pemerintahan Boantjeng. Itulah sebabnya kenapa
cabang Boetong di Sinkiang lebih dihargai rakyat daripada Partai Boetong di Tionggoan
(wilayah Tiongkok asli).
"Kalau begitu orang-orang itu maui tentang murid-murid Boetong," kata Thian Oe dalam
hatinya. "Tapi ada hubungan apa sama Ong Lioe Tjoe? Ong Lioe Tjoe adalah saudara angkatnya
Loei Tjin Tjoe dari Boetong pay, sehingga sebenar-benarnya ia pun ada musuhnya orang-orang
yang sedang berunding itu."
Selagi hatinya bimbang, kupingnya sudah dengar lagi perkataannya satu orang: "Kita tak dapat
menghadapi Boetong pay, tanpa Ong Lioe Tjoe. Kenapa sih ia belum juga datang? Apa ia sudah
kena ditarik ke pihak Boetong?"
Orang yang macamnya seperti toako (saudara tua) berkata sembari tertawa: "Saudara
janganlah terlalu bercuriga. Ong Lioe Tjoe adalah tokoh dari partai Khongtong pay kita. Dengan
banyak susah, sudah hampir dua puluh tahun ia mendekati orang-orang Boetong pay, dengan
tujuan mempelajari rahasia ilmu pedang Boetong. Jika kita dapat melayani pukulan-pukulan aneh
dari ilmu pedang Boetong, kita jadi mempunyai pegangan dalam usaha menindas pemberontakan
di Sinkiang. Ong Lioe Tjoe sudah janjikan supaya kita berkumpul disini, aku rasa ia tidak akan
hilang kepercayaan."
"Pada musim semi tahun ini, ada orang lihat ia datang bersama-sama dua saudara angkatnya,"
berkata lagi seorang lain. "Tapi dalam beberapa bulan, lantas tidak ada wartanya lagi. Apakah
sudah terjadi kejadian di luar dugaan?"
"Kejadian apa?" tanya seorang. "Mungkin ia kena ditahan oleh Loei Tjin Tjoe dan tak dapat
loloskan diri," kata orang itu. "Dalam soal ini ada satu hal yang hiantee (adik) tidak mengetahui,"
menerangkan sang toako. "Tujuannya Loei Tjin Tjoe adalah membalas sakit hati dan ia tak nanti
mau campur-campur urusan negeri. Kedatangannya bersama-sama Ong Lioe Tjoe adalah buat
membalas sakit hati terhadap Siauw Tjeng Hong. Mereka sudah datang disini beberapa bulan
lamanya, sehingga aku duga ia sudah balas sakit hatinya dan sudah pulang ke kampungnya. Pada
musim semi yang baru lalu, Ong Lioe Tjoe telah memberi warta begitu kepadaku dan mengatakan
juga, bahwa ia akan berdiam terus disini dan tidak akan ikut Loei Tjin Tjoe pulang ke Soetjoan."
Mendengar pembicaraan itu, bulu badannya Thian Oe jadi pada berdiri. Ia sama sekali tidak
menduga, bahwa dalam kalangan Kangouw terdapat orang-orang yang begitu macam. Ia
bayangkan bagaimana gusarnya Loei Tjin Tjoe andaikata ia dapat mendengar perundingan
tersebut. Meskipun Tan Thian Oe adalah puteranya seorang pembesar Boantjeng, akan tetapi oleh
karena sedari kecil ia telah mendapat didikannya Siauw Tjeng Hong, diam-diam hatinya membenci
pemerintahan yang menjajah bangsa Han itu.
Sang rembulan dengan perlahan doyong ke barat. Ketiga belas orang itu jadi semakin gelisah
dan masing-masing lalu utarakan pikirannya tentang tidak munculnya Ong Lioe Tjoe. Yang satu
kata begini, yang lain kata begitu, sedang yang satunya lagi berkata dengan suara keras: "Aku tak
percaya ilmu pedang Boetong begitu liehay. Jika Ong Lioe Tjoe tidak datang, apakah kita tidak
berani pergi ke Sinkiang?"
Di antara ramainya suara orang bicara, mendadak terdengar suara tertawa dingin dan dari
belakangnya batu-batu loncat keluar dua orang! Pada mukanya orang yang jalan duluan terdapat
tanda tapak golok, sehingga mukanya jadi menyeramkan sekali. Orang itu bukan lain daripada
Loei Tjin Tjoe, jagoan nomor satu dari turunan kedua partai Boetong pay dan saudara angkatnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Ong Lioe Tjoe! Orang yang jalan belakangan dengan satu tangan mencekal gendewa, adalah Tjoei
In Tjoe, ahli silat Gobie pay.
Ketiga belas orang Khongtong pay itu hampir berbareng loncat bangun dengan perasaan kaget
sekali. Yang menjadi kepala, yaitu Tjiangboen (pemimpin) Khongtong pay yang bernama Tio Leng
Koen, segera berseru sembari rangkap tangannya: "Ah, kalau begitu orang sendiri! Loei Toako,
Tjoei Toako, lagi kapan kalian datang?"
"Kami sudah datang lama sekali," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara tawar.
"Kenapa tidak lantas datang duduk-duduk disini?" tanya Tio Leng Koen.
"Lantaran aku tidak berani menjadi orang sendirimu," jawab Loei Tjin Tjoe dengan menyindir.
Paras mukanya Tio Leng Koen berobah mendadak. Ia tahu, pembicaraan tadi tentu sudah
dapat didengar oleh Loei Tjin Tjoe dan satu pertempuran hebat tidak akan dapat disingkirkan lagi.
Ia segera kasih tanda dengan lirikan mata kepada kawan-kawannya dan berkata dengan suara
nyaring: "Oleh karena Loei Toako pernahkan diri sebagai orang luar, maka dapatkah aku
menanya, dengan maksud apa Toako datang pada malam ini?"
"Aku sengaja datang buat memberitahukan kau orang, bahwa Ong Lioe Tjoe tidak bisa datang
pada malam ini," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara tawar. "Nanti juga dia tidak akan bisa
datang!"
"Apa?" Tio Leng Koen menegasi.
"Kalau mau cari dia, kau orang boleh pergi menghadap Giam Loo Ong (Raja Akhirat) di
neraka!" jawabnya.
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Besar benar nyalimu! Sesudah membunuh, kau masih
berani datang kemari." Dengan sekali kebas tangannya, saudara-saudaranya lantas bergerak
mengurung Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe.
Loei Tjin Tjoe dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Sungguh sayang bukannya
tanganku sendiri yang membinasakan padanya!" katanya dengan suara menyesal. Perasaan
kecewanya sukar dilukiskan bagaimana besarnya. Mengimpi pun ia tak pernah mengimpi, bahwa
orang yang sudah jadi saudara angkatnya hampir dua puluh tahun, sebenar-benarnya adalah
mata-mata dari Khongtong pay. Hatinya sedih dan suara tertawanya kedengaran menyayatkan
hati.
"Ong Lioe Tjoe bukan dibunuh olehmu?" tanya Tio Leng Koen dengan terkejut. Pertanyaan itu
disusul dengan bentakannya lain-lain jago Khongtong pay yang memaki dan menanya siapa yang
sudah membunuh Ong Lioe Tjoe.
Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang beradat angkuh dan dalam kegusarannya, ia sungkan
banyak bicara lagi. "Biarpun dimampuskan, Ong Lioe Tjoe belum habis bayar dosanya," kata ia
dengan suara tawar. "Siapa juga boleh bunuh padanya. Kalau kau orang mau balas sakit hati,
terjang saja diriku!"
Dengan gusar Tio Leng Koen angkat tangannya dan lantas menerjang. Loei Tjin Tjoe lantas
tempel pundak dengan Tjoei In Tjoe dan segera putar pedangnya.
Tio Leng Koen adalah Tjiangboen (Pemimpin) Khongtong pay, sehingga dapat dimengerti kalau
ilmu silat dan tenaga dalamnya sudah sampai di puncak yang tinggi. Melihat serangan musuh
yang hebat, tangan kirinya menyambar sembari tekuk dua jerijinya dan coba cangkol lengannya
Loei Tjin Tjoe dengan ilmu Siauwkinna Tjhioehoat (Ilmu Menangkap dengan tangan). Berbareng
dengan itu, pedangnya yang dipegang dengan tangan kanan, menuding dengan gerakan
Wankiong siapeng (Pentang gendewa memanah garuda). Maksudnya gerakan itu ialah, begitu
lekas Loei Tjin Tjoe bergerak menyerang, pedang tersebut akan mendahului. Tapi tidak dinyana,
Tatmo Kiamhoat yang digunakan oleh Loei Tjin Tjoe tidak bergerak menurut jalannya ilmu pedang
biasa. Mendadakan saja, pedangnya Loei Tjin Tjoe berbalik dan papas pundak satu soetee-
nya Tio Leng Koen yang sedang menyerang dari sebelah kanan. Dengan suara "brt", baju dengan
dagingnya sudah sempoak!
Tio Leng Koen loncat sembari berteriak: "Serang dari empat penjuru!" Dua belas murid
Khongtong pay segera terbagi jadi tiga rombongan dengan empat orang setiap rombongan dan
mereka lalu menyerang bagaikan gelombang, Tio Leng Koen sendiri berdiri di sama tengah buat
amat-amati serangan-serangannya Loei Tjin Tjoe yang luar biasa. Sambil tempel pundak, Loei Tjin
Tjoe dan Tjoei In Tjoe tancap kakinya di atas tanah dan melawan secara nekat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah menonton beberapa lama Yoe Peng berbisik di kupingnya Thian Oe: "Walaupun
kiamhoat-nya Loei Tjin Tjoe cukup mahir, ia kelihatannya belum mendapat sumsumnya Tatmo
Kiamhoat yang tulen." Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya dan berkata: "Aku rasa Loei Tjin
Tjoe masih bisa bertahan setengah jam lagi, tapi Tjoei In Tjoe sudah sangat kepayahan." Tali
gendewanya Tjoei In Tjoe terbuat dari urat binatang Kauw dan benang emas hitam, sehingga
sebenarnya adalah semacam senjata mustika yang dapat membetot serta memutuskan senjata
musuh. Dalam pertempuran di Sakya, tali gendewa itu telah diputuskan dengan hudtim-nya Siauw
Tjeng Hong. Belakangan ia perbaiki dan sambung tali itu, akan tetapi, kekuatannya sudah banyak
berkurang. Kalau bertemu sama lawanan setanding, dengan menggunakan gendewa tersebut,
memang Tjoei In Tjoe bisa menang seurat Akan tetapi, dengan dikerubuti begitu banyak orang,
gendewa tersebut tentu saja tidak dapat menolong banyak dan semakin lama ia jadi semakin
kepayahan. Keadaannya Loei Tjin Tjoe cuma mendingan sedikit. Tiga belas orang itu semuanya
adalah jago-jago dari Khongtong pay. Kalau satu lawan satu, memang mereka semua bukannya
tandingan Loei Tjin Tjoe. Akan tetapi, dengan mengerubuti dan menyerang saling ganti seperti
gelombang, mereka segera berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung sedang serunya, badannya Tio Leng Koen mendadak
"terbang" ke atas dan selagi tubuhnya melayang ke bawah, pedangnya menyambar ke arah
tengah-tengah antara Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, dengan pukulan Hoenkang toanlioe
(Membendung sungai memutuskan aliran). Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe yang repot melayani
serangan bergelombang, tidak keburu menangkis lagi dan terpaksa masing-masing mengegos ke
depan buat singkirkan sambaran pedang. Dengan demikian, mereka jadi terpisah satu sama
lainnya. Hampir berbareng, kedua belas musuhnya meluruk, sehingga mereka tidak dapat tempel
pundak kembali.
Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak sembari pimpin kawan-kawannya mengepung secara
rapat sekali. Dengan andalkan pukulan-pukulan aneh dari Tatmo Kiamhoat, buat sementara Loei
Tjin Tjoe masih dapat pertahankan diri. Tapi keadaannya Tjoei ln Tjoe tidak sedemikian, la
kelihatannya sudah kewalahan dan tali gendewanya tak hentinya berbunyi "ting-tang, ting-tang."
Beberapa saat kemudian, dengan satu teriakan kesakitan, pundak kirinya kena dipapas pedang,
sedang gendewanya pecah tersabet golok.
"Tjoei Loojie!" membentak Tio Leng Koen. "Kau bukannya penjahat utama. Lepaskan
gendewamu! Aku akan ampuni jiwamu!"
"Kau mau aku menakluk terhadap kawanan tikus?" jawabnya sembari tertawa getir. "Hm! Tjoei
In Tjoe boleh mati, tapi tak sudi dihinakan oleh manusia sebangsa kau!"
"Bagus! Itulah baru saudaraku!" berseru Loei Tjin Tjoe sembari menerjang secara nekat buat
menggabungkan dirinya sama saudaranya itu. Akan tetapi, ia tidak berhasil lantaran sudah keburu
dicegat oleh Tio Leng Koen.
Terhadap Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, Thian Oe tidak mempunyai rasa simpati. Akan tetapi,
sesudah menyaksikan pertempuran tersebut, ia kagumkan juga keangkuhannya kedua orang itu,
yang ternyata masih mempunyai tulang punggung.
Lewat lagi beberapa saat, keadaan kedua orang itu, lebih-lebih Tjoei In Tjoe, jadi semakin
berbahaya. Suara tali gendewanya Tjoei In Tjoe sudah kedengaran dengkek dan sumbang.
"Orang itu bisa hilang jiwa sembarang waktu," kata Yoe Peng. "Eh, kau tak mau membantu?"
"Apa?" Thian Oe menegasi.
"Asalnya ilmu pedang Pengtjoan Thianlie adalah dari Boetong," kata Yoe Peng. "Kau sudah
belajarkan ilmu pedang tersebut, sehingga sama Loei Tjin Tjoe kau masih terhitung saudara
seperguruan."
"Baik, kita menyerbu bersama-sama!" kata Thian Oe yang lantas munculkan dirinya di atas
batu. "Loei Tjin Tjoe!" ia berseru. "Jangan takut! Aku menolong!"
Orang-orang Khongtong pay, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe terkejut semuanya. Mereka
dongak dan lihat sepasang orang muda, satu lelaki dan satu perempuan, sedang berlari-lari ke
arah mereka. Di bawahnya sinar bulan, muka mereka dapat dilihat nyata sekali.
Hatinya Loei Tjin Tjoe tergetar. "Aku kira siapa, tak tahunya murid Siauw Tjeng Hong," kata ia
dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa Loei Tjin Tjoe adalah seorang beradat tinggi yang anggap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

ilmu silatnya sudah sempurna sekali. Sedang sang guru ia tak pandang sebelah mata, cara
bagaimana ia dapat hargakan muridnya Siauw Tjcng Hong?
Di lain pihak, melihat yang datang adalah orang-orang yang baru berusia belasan tahun, Tio
Leng Koen jadi tertawa besar. "Apa kamu tahu berapa tingginya langit dan berapa tebalnya
bumi?" katanya sembari tertawa bergelak-gelak. "Bau susumu belum hilang, sudah berani datang
kesini buat cari mampus!"
"Tan kongtjoe! Lekas menyingkir!" Loei Tjin Tjoe juga berseru. "Tolong beritahukan gurumu,
aku sudah tidak membenci ia!"
"Lantaran kau sudah tidak membenci soehoe, maka aku mau menolong," jawab Thian Oe yang
bagaikan kilat sudah menikam Tio Leng Koen dengan pedangnya. Sembari kebas tangannya, Tio
Leng Koen menyampok dengan pedangnya buat bikin terpental senjatanya Thian Oe. Tapi siapa
nyana gerakan pedangnya Thian Oe malahan lebih aneh daripada pedangnya Loei Tjin Tjoe. Tiba-
tiba saja, ujung pedangnya tukar haluan dan sambar dadanya Tio Leng Koen, yang jadi terbang
semangatnya sebab sama sekali tak menduga bakal diserang secara begitu. Sebagai orang yang
berpengalaman dan tinggi ilmunya, dalam bahaya ia tak jadi gugup. Dengan gerakan Tiatpankio
(Jembatan papan besi), badannya melenggak ke belakang sampai hampir nempel ke tanah.
Jantungnya tergetar, sebab meskipun bagaimana cepat juga gerakannya, toh rambutnya masih
kena terpapas juga! Begitu lekas pedangnya Thian Oe lewat, Tio Leng Koen segera berdiri pula
sembari menyapu dengan tangannya. Ujung pedangnya Thian Oe, yang baru disabetkan lagi, jadi
mencong sebab kena getaran pukulan musuh. Hal ini sudah terjadi lantaran tenaga dalamnya
Thian Oe belum cukup kuat, meskipun ilmu pedangnya sangat luar biasa. Melihat pemimpinnya
hampir-hampir binasa dalam tangannya satu bocah, semua murid Khongtong pay jadi kaget bukan
main.
"Hati-hati terhadap bocah ini!" Tio Leng Koen kasih peringatan sembari loncat tinggi.
Yoe Peng sudah lantas loncat menyerbu dan berkata sembari tertawa: "Masih ada aku! Aku
mau menyerang dengan senjata rahasia. Kau orang juga harus berlaku hati-hati!"
Senjata rahasia adalah senjata yang digunakan buat membokong musuh. Dimana ada orang
mau lepas senjata rahasia lebih dahulu memberitahukan kepada
musuhnya? Tio Leng Koen jadi merasa geli dan tertawa terbahak-bahak. "Bocah!" katanya.
"Kau punya senjata apa? Coba kasih 'ku lihat."
Yoe Peng mementil dengan jerijinya dan di tengah udara lantas terdengar suara "srr, srr".
Menduga serangan jarum, Tio Leng Koen putar pedangnya buat melindungi badan. Dengan suara
"peletak!", senjata rahasia itu yang berbentuk bundar seperti mutiara, hancur kena terpukul
pedang. Berbareng dengan itu, semacam hawa yang luar biasa dinginnya menyambar-nyambar,
sehingga Tio Leng Koen jadi bergidik. Itulah bukan lain dari Pengpok Sintan yang tiada keduanya
dalam dunia!
Tio Leng Koen terkesiap. "Ilmu iblis!" ia berteriak. "Kepung! Jangan kasih dia menimpuk lagi!"
Yoe Peng mementil kembali dan lepaskan empat butir Pengpok Sintan. Tiga antaranya
mengenakan tiga orang, sedang yang keempat kena dipukul jatuh dengan Kimtjhie piauw-nya Tio
Leng Koen. Tiga orang itu yang tenaga dalamnya belum seberapa, lantas saja gemetar sekujur
badannya, tapi dari janggutnya mengeluarkan keringat yang turun berketel-ketel.
"Kalau setiap orang aku persen dua peluru, mereka tak akan dapat tahan lagi," katanya Yoe
Peng dalam hatinya. "Cuma sayang, persediaanku tak mencukupi."
Pengpok Sintan dibuat dari "rohnya es" yang diambil oleh Pengtjoan Thianlie dalam gua es
yang dalamnya ribuan tombak. Di seluruh dunia, bahan tersebut cuma bisa didapatkan di daerah
Nyenchin Dangla. Dalam sakunya, Yoe Peng cuma membawa belasan peluru. Berbeda dengan
senjata rahasia lainnya yang bisa diambil pulang, begitu dilepaskan Pengpok Sintan lantas meledak
dan musnah. Sekali lepas berarti hilangnya satu peluru. Maka itu, mau tidak mau Yoe Peng harus
irit, dan selagi ia bersangsi, gelombang musuh yang kedua sudah meluruk dan kepung padanya.
Sembari membentak, Yoe Peng cabut Pengpok Hankong kiam yang lantas saja mengeluarkan
sinar gemerlapan yang sangat dingin, sehingga empat musuhnya kembali bergidik. Pedang
tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala hangat), yaitu keluaran istimewa dari Puncak Es.
Sesudah direndam di dalam Hantjoan (Umbul dingin) dan diolah tiga tahun lamanya, barulah
pembuatannya selesai. Dari sebab begitu, Pengpok Hankong kiam mengeluarkan semacam hawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dingin, yang, meskipun tidak sehebat Pengpok Sintan, dapat mencelakakan orang-orang yang
tenaga dalamnya belum kuat betul.
Ketiga belas jago Khongtong pay rata-rata sudah mempunyai lweekang yang kuat, sehingga,
biarpun merasa sangat tidak enak diserang sinar dan hawa dingin, mereka masih dapat
mempertahankan diri. Di bawah pimpinan Tio Leng Koen, mereka dipecah jadi empat rombongan
dan kepung empat musuhnya itu.
Thian Oe dan Yoe Pcng segera keluarkan Tokboen Kiamhoat (Ilmu pedang tunggal) dari
Pengtjoan Thianlie dengan pukulan-pukulannya yang aneh-aneh. Sesudah bertempur kurang lebih
lima puluh jurus, murid-murid Khongtong pay masih belum dapat mengetahui, ilmu pedang apa
adanya itu! Tio Leng Koen sendiri juga merasa bingung. "Ilmu siluman! Ilmu siluman!" ia berkata
sembari geleng-gelengkan kepala.
"Ilmu siluman apa!" membentak Yoe Peng sembari mementil lagi dengan dua jerijinya. Dua
butir Pengpok Sintan menyambar. Buru-buru Leng Koen lepaskan dua Kimtjhie piauw. Sebutir
peluru kena terpukul jatuh, tapi sebutir lagi keburu meledak sendiri dan mengenakan tepat
mukanya Tio Leng Koen. Seperti kena arus listrik, hawa dingin yang sangat hebat masuk ke dalam
dua biji matanya, dan ia lantas tak dapat membuka matanya lagi.
Saat itu, dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku), Yoe Peng putar pedangnya
dan menyerang dari tiga jurusan, yaitu dari atas, tengah dan bawah. Pukulan ini adalah salah satu
pukulan paling luar biasa dari ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Diserang dari tiga jurusan
hampir berbareng, pihak musuh jadi kabur penglihatannya, dan dalam usaha sambutannya, ia bisa
membikin kesalahan yang dapat mencelakakan dirinya sendiri. Yoe Peng keluarkan pukulan itu
dengan maksud buat lebih dahulu merobohkan Tio Leng Koen, yang jadi pemimpin dari ketiga
belas musuh itu.
Akan tetapi, tidak dinyana, baru saja pedangnya bergerak, badannya Tio Leng Koen berkelebat
dan tangannya sudah menyambar dari sebelah kanan. Thian Oe coba menolong, tapi sudah tidak
keburu. Dengan suara "plak!", pundaknya Yoe Peng kena terpukul, sehingga terhuyung dan
Pengpok Hankong kiam hampir-hampir jatuh dari tangannya.
Keliehayannya pukulan Pengho kiattang ialah dapat membikin kabur penglihatan musuh. Dalam
serangan itu, Yoe Peng tidak ingat, bahwa lantaran kedua matanya musuh tertutup rapat akibat
serangan Pengpok Sintan, Tio Leng Koen jadi tidak kena dibikin bingung. Sementara itu, dalam
kedudukannya yang sangat berbahaya, ia sudah keluarkan pukulan Bittjiong tjiang dari Khongtong
pay. Masih untung, lantaran matanya rapat, arah tangannya jadi kurang tepat dan cuma
mengenakan pundak. Kalau lebih ke bawah beberapa dim saja, tangannya bisa menghantam dada
dan Yoe Peng bisa dapat luka berat.
Sesudah berhasil, Leng Koen loncat mundur beberapa tindak dan kucek-kucek matanya yang
penglihatannya jadi samar-samar dan seperti juga melihat uap putih, la kaget berbareng gusar
dan membentak dengan suara keras: "Perempuan kejam! Kalau tak korek biji matamu, aku tak
puas!" la segera teriaki kawan-kawannya buat kepung Yoe Peng secara lebih keras, sedang ia
sendiri, dengan andalkan ilmu "Membedakan datangnya senjata dengan mendengari sambaran
angin," sudah turut menerjang.
Walaupun Yoe Peng merupakan salah satu dayang terkemuka dalam keraton es, akan tetapi
ilmu silatnya masih kacek jauh jika dibandingkan dengan musuh-musuhnya. Maka itu, begitu
dikepung sungguh-sungguh, ia lantas berada di bawah angin. Buat sementara waktu, ia masih
bisa pertahankan diri dengan andalkan kegesitannya, akan tetapi, ia sudah tidak mempunyai
tempo buat menimpuk lagi dengan Pengpok Sintan.
Thian Oe terkejut dan menyerang dengan mati-matian dengan gunakan segala rupa
pukulannya Pcngtjoan Thianlie yang luar biasa. Di antara dayang-dayang, meskipun mendapat
didikan langsung dari Pengtjoan Thianlie, akan tetapi tidak ada barang seorang yang belajarkan
seluruh Tokboen Kiamhoat. Di lain pihak, Thian Oe mencuri belajar dari gambar-gambar di dinding
gedung terlarang. Maka itu dibandingkan dengan para dayang, ia dapat lebih banyak
sumsumnya ilmu pedang tersebut. Dalam terjangannya yang mati-matian, ia sudah berhasil
membuka satu jalanan dan dapat mempersatukan dirinya sama Yoe Peng. Oleh karena mesti
meladeni Thian Oe dan Yoe Peng yang mengamuk seperti kerbau edan, barisannya Khongtong
pay jadi kalut, sehingga Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga dapat menerjang keluar dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

gabungkan diri sama Thian Oe dan Yoe Peng. Dengan demikian, ke empat orang itu menjadi dua
pasangan, yang, dengan saling tempel pundak, melawan serangan-serangannya ketiga belas jago
Khongtong pay.
Loei Tjin Tjoe sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa dalam tempo beberapa bulan saja,
ilmu silatnya Thian Oe sudah maju begitu jauh dan kelihatannya sudah berada di sebelah atasan
gurunya sendiri. Semangatnya jadi terbangun dan ia dapat menyerang dan membela diri secara
rapi. Tjoei In Tjoe pun dapat pulang ketenangannya dan tali gendewanya kembali bersuara
nyaring.
Dengan perlahan sinar bulan condong ke sebelah barat dan mereka sudah bertempur lebih dari
satu jam. Perlahan tapi tentu, keadaan di gelanggang kembali berobah.
Sesudah berkelahi begitu lama, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe jadi lelah. Oleh karena tenaga
dalamnya belum begitu kuat, Thian Oe dan Yoe Peng juga sekarang cuma dapat membela diri.
Tio Leng Koen dan kawan-kawannya jadi girang dan mereka menyerang semakin hebat.
"Perempuan siluman! Sekarang baru kau tahu keliehayan kami! Lekas keluarkan obat pemunah!"
berseru Tio Leng Koen. Dengan andalkan Iweekang-nya yang sangat tinggi, buat sementara ia
masih dapat menahan hawa dinginnya Pengpok Sintan. Tapi belakangan, ia rasakan kedua biji
matanya seperti juga ditusuk-tusuk jarum sehingga ia kuatir menjadi buta, jika terlambat
pengobatannya. Maka itu, ia mendesak hebat dan mau paksa Yoe Peng keluarkan obatnya.
Yoe Peng ambil sikap acuh tak acuh. "Obat apa?" tanya ia sembari tertawa.
"Kau tak mau keluarkan?" kata Tio Leng Koen. "Kalau kau tidak keluarkan, biarpun buta, aku
masih dapat membunuh engkau!" Sembari tekap matanya dengan tangan kiri, pedangnya kembali
menyerang hebat dengan pukulan-pukulan yang membinasakan. Ketika itu, matanya sudah jadi
bengkak seperti buah engtoh dan hatinya takut bukan main.
Yoe Peng benar nakal. Dalam keadaan yang berbahaya, ia masih bisa tertawa. "Ha! Tadi aku
sudah suruh kau hati-hati!" katanya. "Kau sendiri yang tak hati-hati, sekarang berbalik salahkan
orang!" sembari tempel pundak dengan Thian Oe, ia kembali singkirkan beberapa serangan. "Hai,
aku dengar lelaki Han lebih suka keluarkan darah daripada keluarkan air mata. Tapi kau lebih suka
menangis! Apa tak malu?" Yoe Peng mengejek pula.
Tio Leng Koen jadi seperti orang kalap. Bersama empat saudaranya, ia menyerang seperti
macan edan, sehingga Thian Oe dan Yoe Peng jadi benar-benar kedesak.
"Aku lihat kau, benar-benar kasihan! Biarlah aku berikan obat pemunah!" kata Yoe Peng.
"Mari!" Leng Koen membentak.
"Galak benar, kau!" kata Yoe Peng. Kalau kau minta baik-baik, mungkin aku mau juga
kasihkan."
"Yah, hayo kasihkan!" kata Tio Leng Koen dengan suara lebih lunak.
"Mana bisa begitu gampang!" kata Yoe Peng sembari nyengir. "Kau lebih dahulu harus minta
maaf pada Loei-ya dan bersumpah tak akan pergi ke Sinkiang buat satrukan orang-orang Boetong.
Kau pun harus minta maaf kepada kami. Sesudah itu, barulah aku mau kasihkan obatku."
Tio Leng Koen sangat bersangsi. Ia tak tahu mesti ambil jalanan yang mana. Ia paksakan
membuka kedua matanya dan samar-samar lihat cara bersilatnya Loei Tjin Tjoe sudah menjadi
kalut.
"Lebih dahulu mampuskan siluman perempuan ini!" mendadak ia berseru sesudah mengambil
putusan. "Saudara Thio, Oey dan Yo, kau bertiga pergi layani itu dua manusia. Cukup kalau kau
bikin mereka tak bisa membantu kedua bocah ini!"
Sehabis memerintah begitu, di bawah pimpinannya sendiri, sepuluh jagoan Khongtong pay
segera meluruk mengepung Thian Oe dan Yoe Peng. Maksudnya Tio Leng Koen adalah coba
membinasakan Yoe Peng selekas mungkin supaya bisa ambil obat pemunah dari badannya.
Akan tetapi, ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sangat luar biasa dan tak gampang-gampang
dapat dipecahkan dalam tempo yang pendek. Tio Leng Koen jadi bingung sekali dan dengan
sepenuh tenaga, ia cecer kedua orang muda itu dengan pukulan-pukulan yang paling hebat.
Belasan jurus kembali lewat. Thian Oe dan Yoe Peng sengal-sengal dan mereka tahu, tak akan
dapat pertahankan diri lebih lama lagi. Di lain pihak, kedua biji matanya Tio Leng Koen juga
dirasakan semakin sakit, sehingga kedua belah pihak jadi sama-sama bingungnya.
Dalam keadaan yang sangat genting, mendadak terdengar suara nyanyian:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Pada malam Tiongtjhioe sama-sama memandang bidan, tapi kenapa hawa pedang melonjak
ke tengah awan?"
Suara itu kedengarannya datang dari tempat yang sangat jauh, dengan kecepatan luar biasa.
Begitu nyanyian berhenti, seorang pemuda baju putih dengan mulut tersungging senyuman, sudah
berada disitu.
Kecepatan bergeraknya pemuda itu, membikin semua orang jadi terkejut. Tio Leng Koen loncat
mundur tiga tindak dan berkata sembari lintangkan pedangnya: "Sahabat dari mana adanya tuan?
Pengajaran apakah yang tuan hendak berikan kepada kami?"
Pemuda itu tertawa dingin seraya menyahut dengan suara nyaring: "Kedatanganku adalah buat
memberi sedikit pengajaran kepada kau orang. Khongtong pay adalah salah satu partai besar
dalam Rimba Persilatan dan dengan banyak susah payah partai itu telah diberdirikan. Pada jaman
yang lampau, Tjiangboen Khongtong pay, Ouw Bong Tootiang, adalah seorang pendeta beribadat
yang menjaga keras peraturan partai. Akan tetapi, begitu pimpinan jatuh ke dalam tanganmu,
orang-orang Khongtong pay lantas saja lakukan segala perbuatan yang tidak pantas. Apa kamu
orang tidak merasa malu kepada leluhurmu yang sudah berada di alam baka?"
Pemuda baju putih itu baru saja berusia kurang lebih dua puluh tahun, akan tetapi ia bawa
sikap seperti caranya seorang tingkatan tua bicara terhadap orang dari tingkatan muda. Maka
tidaklah heran jika Tio Leng Koen lantas naik darahnya dan ia dongak sembari tertawa besar.
"Dengan berkata begitu, tuan rupanya ingin membersihkan rumah tangga Khongtong pay!"
katanya dengan suara dingin.
"Benar," jawab si pemuda dengan suara sungguh-sungguh. "Lantaran tidak tega melihat
seluruh Khongtong pay dikorbankan dalam tanganmu, maka tanpa perdulikan kecapaian, aku
sengaja datang kesini buat mengurus kamu orang!"
Harus diketahui, bahwa menurut peraturan Rimba Persilatan, pekerjaan "membersihkan rumah
tangga" hanya dapat dilakukan oleh tetua dari partai itu sendiri. Manakala seorang luar hendak
"membersihkan rumah tangga" partai lain, maka orang itu haruslah seorang yang tingkatannya
sangat tinggi dengan mempunyai ilmu silat yang dapat menindih semua anggauta dari partai yang
mau dibersihkan. Maka itu, dapat dimengerti jika perkataannya si pemuda bukan saja sudah
membikin gusarnya Tio Leng Koen, tapi juga sudah keja dua belas orang Khongtong pay yang
berada disitu, jadi mata merah.
Sembari paksa buka kedua matanya, Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak dan menuding
dengan pedangnya.
"Sungguh malu, sebagai Tjiangboen dari Khongtong pay, aku mesti membikin Lootjianpwee jadi
berabe buat membersihkan rumah tangga kita!" ia berseru sekeras suara. "Cuma saja aku orang
she Tio sangat kepala batu dan sukar menerima pengajaranmu! Maaf, maaf, aku yang rendah
terpaksa menolak segala kemauanmu!" Mendengar perkataan pemimpinnya, semua murid
Khongtong pay jadi tertawa keras. Mereka ejek si pemuda yang dianggap sangat tidak tahu diri.
Tapi si pemuda tetap berlaku tenang. Ia menyapu dengan matanya dan berkata pula: "Apa kau
orang benar-benar mau aku turun tangan?"
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Kau betul-betul sudah bosan hidup! Cabut pedangmu!
Lihat, apa kau ajar aku, atau aku mengajar kamu!"
Si pemuda tertawa besar. "Buat menghadapi orang-orang seperti kau, perlu apa aku mencabut
pedang?" katanya. "Thian Oe! Kau semua menyingkir, supaya tak menghalangkan gerakanku. Tio
Leng Koen! Panggil semua kawanmu, supaya aku tak usah turun tangan dua kali!"
Thian Oe manggutkan kepalanya dan sembari tarik tangannya Yoe Peng, ia segera loncat
keluar dari gelanggang. Bukan main herannya Loei Tjin Tjoe. "Apa pemuda itu berotak miring?"
tanya ia dalam hatinya. Selagi terheran-heran, mendadakan kupingnya dengar teriakan Thian Oe:
"Loei Toako! Lekas mundur!" Mau tidak mau, ia lantas turut loncat keluar dari kalangan.
Pada saat itu, ketiga belas jago Khongtong pay sudah meluruk ke arah si pemuda itu. Dengan
mata berkilat, pemuda itu ayun satu tangannya dan di tengah udara lantas terdengar suara "srr,
srr, srr!" Buat keheranannya semua penonton, hampir pada detik yang bersamaan, tiga belas
orang itu, terhitung juga Tio Leng Koen, keluarkan teriakan kesakitan dan roboh menggoser di
atas tanah!
Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe ternganga bahna herannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Tio Leng Koen! Apa kau menyerah?" tanya si pemuda sembari tertawa.
Sebagai orang yang mempunyai tenaga dalam yang lebih kuat daripada saudara-saudaranya,
dengan paksakan diri, Tio Leng Koen bisa juga bangun duduk. "Terima kasih buat pengajaranmu,"
kata ia. "Jika kami tidak binasa, kejadian ini tentulah tak dapat dilupakan. Dapatkah aku mendapat
tahu nama tuan yang mulia?"
Sebagai Tjiangboen dari satu partai, dalam kekalahannya, ia masih tidak lupa buat keluarkan
kata-kata yang sesuai dengan kebiasaan Rimba Persilatan. Dengan berkata begitu, ia
rnemberitahu, bahwa sebegitu lama masih hidup, ia tentu akan membalas sakit hati.
"Kamu orang mau balas sakit hati? Jangan ngimpi!" kata si pemuda dengan suara tawar.
"Semua tulang pundakmu sudah kena ditobloskan! Yah, mati sih tidak, tapi buat bisa bersilat lagi,
jangan kau harap! Pulanglah dan hidup tenteram!"
Baru perkataan itu habis diucapkan, semua orang kembali terkejut. Bahwa dengan sekali
gerakkan tangan, si pemuda sudah dapat robohkan tiga belas ahli silat Khongtong pay, sudah
sangat luar biasa. Tapi, bahwa semua senjata rahasianya dengan tepat mengenakan tulang
pundak orang, adalah satu kepandaian yang sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana
tingginya!
Tanpa merasa Tio Leng Koen meraba tulang pundaknya, dan benar saja, tulang itu sudah
hancur dan sakitnya sampai membikin ia keluarkan air mata. Ia mengetahui, sekarang ia sudah
jadi orang bercacat seumur hidup, ilmu silatnya musnah dan ia cuma bisa hidup seperti orang
biasa.
Si pemuda baju putih mesem dan berkata: "Aku sudah ampuni jiwamu, apa kau masih tidak
merasa puas? Pulanglah dan hidup secara tenteram."
Bukan main sedihnya Tio Leng Koen. "Apakah tuan dapat menaruh belas kasihan buat
perlihatkan senjata rahasia itu, supaya kita dapat membuka mata kita?", katanya dengan suara
perlahan.
Pemuda itu kembali mesem. Mendadak ia cabut pedangnya yang lantas pancarkan sinar terang
ke empat penjuru. "Barusan aku tak gunakan ia. Sekarang perlu digunakan," katanya.
Hatinya Leng Koen berdebar-debar dan sebelum ia tahu si pemuda mau berbuat apa, ujung
pedang sudah sontek pundaknya dan ia merasa seperti juga serupa benda panjang loncat keluar
dari daging pundak. Pemuda itu pegang benda tersebut dengan kedua jerijinya dan goyang-
goyang di depan matanya Tio Leng Koen. "Sudah lihat?" tanya ia.
Senjata rahasia itu bukannya emas dan juga bukannya besi. Warnanya hitam dan bentuknya
kecil panjang seperti anak panah tanpa bulu. Dengan senjata itu, si pemuda ketok pedangnya
yang lantas saja keluarkan suara mengaung yang sangat jernih dan bersih.
Tio Leng Koen pucat bagaikan mayat. "Ah", ia berseru dengan suara di tenggorokan. "Thiansan
Sinbong dan Yoeliong kiam!"
"Benar," kata si pemuda. "Apa sekarang kau sudah tahu asal-usulku?"
Pedang Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang dipandang suci dalam kalangan partai
Thiansan pay. Siapa yang membawa senjata itu, ia tak bisa lain daripada ahli waris tulen dari
Thiansan pay. Tjiangboen Thiansan pay di waktu itu adalah Tong Siauw Lan yang tingkatannya
dua kali lebih tinggi dari Tio Leng Koen. Maka itu, jika si pemuda adalah muridnya Tong Siauw
Lan, tingkatannya berada lebih atas daripada Tio Leng Koen.
Dengan cepat si pemuda keluarkan dua belas Thiansan Sinbong lainnya dari pundaknya lain-
lain jago Khongtong pay.
"Dia sudah tidak mempunyai ilmu silat lagi dan tak dapat jadi bibit penyakit. Tak usah bikin
matanya menjadi buta," kata si pemuda sembari berpaling pada Yoe Peng.
"Baik," sahut Yoe Peng sembari keluarkan sebutir Yangho wan yang lantas diberikan kepada Tio
Leng Koen. "Telan ini dan mengasoh tiga hari," katanya.
Tio Leng Koen kucek-kucek matanya, sikapnya seperti seekor ayam jantan yang baru
dipecundangkan. Sesudah memberi hormat kepada si pemuda baju putih, dengan dipepayang oleh
kawan-kawannya, ia segera berlalu dari situ. Si pemuda tertawa bergelak-gelak dan berkata
kepada Thian Oe: "Pertempuran yang barusan sungguh menyenangkan! Eh, bocah, nasibmu
benar-benar baik. Baru berdiam di keraton es tiga bulan, ilmu silatmu sudah maju begitu jauh."
"Bukankah kau berada sama-sama Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Dialah yang tak sudi berada sama-sama aku," sahut si pemuda sembari tertawa. "Aku justru
mau tanya keterangan mengenai dirinya dari kalian."
Yoe Peng terkejut dan buru-buru menanya: "Bukankah pada hari itu kau sedang adu pedang
dengan Kongtjoe kami?"
"Janji adu pedang harus ditangguhkan sampai di lain hari," sahut si pemuda.
"Meskipun adu pedang tidak dapat dilangsungkan, tapi kau toh mesti bertemu muka dengan
ianya!" kata Yoe Peng lagi.
"Sebelum tiba di kakinya Puncak Es, aku sudah rasakan alamat bakal adanya gempa bumi,"
menerangkan si pemuda. "Apa kau kira aku masih berani maju terus buat cari mati?"
"Kalau begitu, jadi kau tak pernah lihat padanya?" Thian Oe menegasi.
"Ah, buat apa kau begitu berkuatir?" katanya dengan suara jengkel. "Sedang aku dapat
loloskan diri, apa kau kira ia tak mampu selamatkan jiwanya? Hari itu, selagi aku kabur ke arah
utara, aku lihat bayangannya kabur ke jurusan selatan. Belakangan, sesudah gunung berapi
meledak, biarpun mau, aku pun tak akan dapat mencarinya. Barulah sekarang aku mendapat tahu,
ia belum balik ke keraton es."
Mendengar keterangan si pemuda, bahwa Pengtjoan Thianlie sudah terlolos dari bencana alam,
hatinya Thian Oe dan Yoe Peng menjadi lega.
"Apakah kalian mau pergi ke Lhasa?" tanya si pemuda.
Thian Oe manggutkan kepalanya, sedang si pemuda berdiam beberapa saat seperti orang lagi
berpikir. Mendadak ia keluarkan satu kotak sulam dari sakunya dan berkata: "Ayahmu berada di
tempatnya Hok Kong An. Sekarang aku mau minta pertolonganmu buat serahkan kotak ini kepada
Hok Kong An, supaya aku tak usah berabe mundar-mandir."
Thian Oe sambuti kotak itu, dan selagi mau menanya, si pemuda sudah mendahului sembari
tertawa: "Kasihkan saja padanya. Percayalah, barang ini mempunyai banyak kebaikan bagi
ayahmu. Di belakang hari kita bakal bertemu pula. Kau tak usah banyak menanya." Ia berpaling
kepada Loei Tjin Tjoe dan lanjutkan perkataannya: "Kau juga harus segera pulang ke Soetjoan.
Jika bertemu dengan Moh Tayhiap, tolong sampaikan salamku kepadanya." Sehabis berkata
begitu, ia angkat kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah lenyap dari pemandangan.
Sesudah dapat banyak pengalaman pahit getir, habislah segala kesombongannya Loei Tjin
Tjoe. Dengan mulut ternganga dan hati yang kagum tak habisnya, ia awasi bayangannya si
pemuda baju putih yang melesat seperti anak panah. Sesudah mengasoh beberapa lama, keempat
orang lantas berpisahan. Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe menuju ke Soetjoan, sedang Thian Oe
dan Yoe Peng teruskan perjalanan ke Lhasa.
Tanpa mendapat rintangan suatu apa, pada satu magrib Thian Oe dan Yoe Peng tiba di ibukota
Tibet itu. Begitu masuk ke dalam kota, selagi Thian Oe mau tanya orang dimana letaknya markas
besar Hok Kong An, Yoe Peng mendadak berkata: "Kenapa begitu terburu-buru? Marilah kita
pesiar barang semalaman, buat lihat-lihat pemandangan Lhasa di waktu malam. Biarlah besok saja
cari ayahmu."
Thian Oe mesem. Ia jadi ingat janjinya buat ajak Yoe Peng pesiar di kota Lhasa dan ia juga
merasa, bahwa begitu lekas sudah masuk ke markas besarnya Hok Kong An, mereka tidak dapat
keluar masuk lagi sesuka hati. Maka itu, tanpa membantah, ia lantas tuntun tangannya Yoe Peng
dan keliling di seputar kota.
Sebagai ibukota Tibet, Lhasa dikurung oleh bukit-bukit yang tingginya dari empat sampai lima
ribu kaki. Rumah-rumah yang papak dan tenda-tenda di sana-sini memperlihatkan pemandangan
yang lain daripada apa yang terlihat di Tiongkok Asli. Di waktu malam, sinar lilin yang muncul dari
beribu-ribu tenda memberi satu pemandangan yang sangat luar biasa. Keraton Potala yang berdiri
di atas bukit dan atapnya mengeluarkan sinar emas berkredepan, kelihatannya angker dan indah
sekali.
"Mari kita pergi kesana," mengajak Yoe Peng.
"Itulah keratonnya Budha Hidup, mana boleh orang sembarangan masuk," menerangkan Thian
Oe. "Mari kita pergi ke lapangan yang terletak di sebelah bawahnya."
Lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala adalah pusatnya keramaian dari kota
Lhasa. Di seputar lapangan berdiri tenda-tenda yang berjejer-jejer, sedang di tengah-tengah
terdapat macam-macam pedagang yang gelar barang-barangnya di atas tanah. Di sebelahnya itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

terdapat juga rombongan-rombongan penyanyi, wayang, dangsu dan sebagainya. Yoe Peng yang
biasa berdiam dalam keraton yang sepi, tentu saja belum pernah saksikan keramaian yang
sedemikian rupa. Ia merasa, keindahan bilang ribu lilin dan lampu yang gilang-gemilang adalah
lebih mengagumkan dari apa yang dapat dilihat di keraton es. Sesudah nonton orang India
bermain ular, mereka pergi saksikan pertunjukan yang diberikan oleh rombongan orang-orang
Hapsatkek dari Sinkiang. Yang satu kasih lihat kepandaian menelan pedang, sedang yang lain
semburkan api menyala dari mulutnya. Orang itu kasih masuk sebatang pedang yang panjangnya
tiga kaki ke dalam mulutnya. Pedang itu amblas dan yang ketinggalan di luar mulut cuma
gagangnya saja yang pendek.
"Ah!" kata Yoe Peng dengan suara kagum. "Ilmu silatnya orang itu kelihatannya melebihi si
pemuda baju putih!"
"Bukan ilmu sejati, semacam sulap," menerangkan Thian Oe sembari tertawa. Baru saja Thian
Oe berkata begitu, orang itu cabut pedangnya yang lantas ditekuk-tekuk. Ternyata pedang itu
terbuat dari timah tipis yang sangat lemas. Yoe Peng tertawa terbahak-bahak dan hatinya girang
sekali. Mendadak ia rasakan badannya disenggol orang dan ketika ia meraba dengan tangannya,

Pengpok Hankong kiam sudah lenyap!


Bukan main kagetnya Yoe Peng. Ia menengok dan lihat Thian Oe sedang cekal satu orang
sembari membentak: "Dia!" Tak salah lagi orang itu adalah si pencopet, sebab sarung pedang
kelihatan nongol di bawah jubahnya yang panjang. Yoe Peng enjot badannya buat rebut pulang
pedangnya. Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring dan dengan sekali goyang badannya, ia sudah
terlepas dari cekalannya Thian Oe, akan kemudian kabur dengan menyelesap di antara orang
banyak. Thian Oe ternganga sambil pegangi jubahnya si copet, yang tenyata sudah akali ia
dengan tipu "Tonggeret lepaskan kulit." Selagi Thian Oe pegang tangan jubahnya dan hendak
membekuk dengan cekalan Kinna hoat, si copet loloskan tangannya dari tangan jubah dan kabur
dengan tinggalkan jubahnya.
Sembari berteriak "tangkap!", Thian Oe loncat memburu. Meskipun ilmu entengi badannya
sudah cukup tinggi, tapi si copet terlebih gesit lagi dan dalam tempo sekejap, ia sudah kabur
keluar dari antara orang banyak. Thian Oe mengubar terus tanpa perdulikan beberapa orang yang
jadi terpelanting lantaran ditubruk olehnya. Di lain saat, ia lihat si copet sudah loncat ke atas
sebuah tenda. Pencopetan adalah kejadian lumrah di tempat tersebut dan orang banyak
mengambil sikap acuh tak acuh, malahan beberapa antaranya yang kena dibikin terpelanting jadi
berbalik maki Thian Oe yang dikatakan ceroboh.
Dengan berdiri di atas tenda, si copet buat main Pengpok Hankong kiam dan mulutnya memuji
tak hentinya: "Pedang bagus! Sungguh bagus!" Dengan gusar, Yoe Peng dan Thian Oe loncat ke
atas tenda itu, tapi si copet yang luar biasa gesitnya, sudah pindah ke lain tenda dan dengan
beberapa lompatan, ia sudah turun ke atas lapangan yang terletak di belakangnya tenda-tenda.
Thian Oe terkejut. Ilmu entengi badannya si copet ternyata tidak berada di sebelah bawahnya!
Lapangan tersebut terletak di bawahnya suatu bukit, di atas mana berdiri keraton Potala. Si copet
lari dengan mendaki tanjakan gunung, tapi ia menuju ke arah selatan barat dan bukannya ke
jurusan Potala.
Thian Oe dan Yoe Peng mengubar terus sekeras-kerasnya, tapi mereka tetap ketinggalan di
belakang dalam jarak beberapa tombak. "Orang ini mungkin bukan copet sewajar," kata Thian Oe.
"Tak perduli," kata Yoe Peng. "Dia sudah curi pedangku, aku mesti merebut pulang."
Mereka terus ubar-ubaran, dari depan sampai di belakang bukit dan akhirnya masuk ke satu
daerah pegunungan yang sangat sepi.
"Sahabat!" Thian Oe berteriak. "Sudahlah, jangan main-main!"
Orang itu tidak meladeni dan lari terus, sambil mencekal Pengpok Hankong kiam yang sinarnya
menerangi jalanan. Sesudah kabur lagi beberapa lama, si copet mendadak berhenti di depannya
satu rumah, yang mengeluarkan sinar lilin. Bentuknya rumah itu agak luar biasa, bukan pasegi tapi
bundar seperti tenda, sedang seputarnya dikurung tembok. Si copet mendadak lompati tembok
dan masuk ke dalam.
"Ha! Inilah sarangnya!" berseru Yoe Peng sembari enjot badannya. Thian Oe mau mencegah,
tapi sudah tidak keburu, sehingga ia pun lantas turut loncat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Begitu masuk, mereka menghadapi penerangan yang menyilaukan mata. Di ruangan tengah
terpasang dua baris lilin sebesar lengan, sehingga ruangan itu jadi terang seperti siang. Di tengah
ruangan duduk seorang pembesar militer Boan dan si copet menyerahkan Pengpok Hankong kiam
kepadanya. Orang itu meneliti pedang tersebut dan berkata: "Benar! Benar pedang ini! Apa wanita
itu datang bersama-sama?" Sebagaimana diketahui, Pengpok Hankong kiam mengeluarkan sinar
dingin yang luar biasa dan dapat membikin pingsan orang yang belum mempunyai cukup tenaga
dalam. Tapi pembesar itu, yang lantas cabut pedang tersebut dari sarungnya dan bulang-
balingkan beberapa lama, seperti juga tidak merasakan suatu apa.
Yoe Peng memburu bagaikan terbang seraya membentak: "Pulangkan pedangku!"
Pembesar itu mengawasi dengan mata tajam dan berkata: "Apa pedang ini milikmu? Ah, tak
benar!"
"Kenapa tak benar?" tanya Yoe Peng.
Si pembesar mengawasi pula dan lalu berkata: "Coba kau jalan dua tindak."
Bukan main gusarnya Yoe Peng yang segera enjot badannya sembari ayun tangannya buat
melepaskan dua butir Pengpok S intan, yang satu menyambar ke arah si pembesar dan yang
satunya lagi ke jurusan si copet.
Sungguh sebet gerakannya pembesar tersebut! Dengan satu gerakan kilat, tangannya sudah
menyambar ke depannya si copet, dan dengan gerakan Tjianpie Djie Lay (Djie Lay Hud dengan
seribu tangan), ia sudah sambuti kedua senjata rahasianya Yoe Peng! Ia pencet dan kedua
Pengpok Sintan lantas meledak dalam telapakan tangannya! Gelombang demi gelombang, hawa
yang sangat dingin keluar dari sela-sela jarinya.
"Sekarang kau tahu keliehayanku!" kata Yoe Peng sembari tertawa. "Hayo, pulangkan
pedangku!" Dari jarak beberapa kaki, hawa dinginnya Pengpok Sintan sudah menusuk sampai ke
tulang-tulang, apa lagi jika peluru itu meledak didalam tangan. Yoe Peng merasa pasti, pembesar
itu tak akan dapat mempertahankan dirinya lagi dan bakal segera memohon ampun. Tapi tak
dinyana, sedikitpun ia tidak kelihatan kedinginan, dan seperti juga tidak terjadi apa-apa, ia susut
kedua tangannya yang penuh air es di bajunya. "Ah!" kata ia. "Baik juga ketemu aku. Kalau lain
orang, biar tak mati, sedikitnya mesti sakit keras."
Thian Oe terkesiap. Dengan meledakkan Pengpok Sintan secara demikian, kepandaiannya
orang itu kelihatannya tidak berada di sebelah bawahnya si pemuda baju putih.
Baru saja ia niat memberi hormat, Yoe Peng sudah kebaskan tangan kirinya dan membuat
setengah lingkaran dengan tangan kanannya, akan kemudian loncat menerjang. Itulah satu
pukulan yang sangat liehay dari Tatmo Tjianghoat. "Ah! Ini jadi semakin tak benar!" kata si
pembesar sembari lonjorkan tangannya buat tangkap lengannya Yoe Peng.
Thian Oe terkejut melihat gerakan orang yang sangat hebat. Dalam kebingungannya tanpa
memikir lagi, ia enjot badannya sembari mencabut pedang. "Sungguh indah!" berseru pembesar
itu. "Di antara tingkatan muda, kepandaian seperti ini sungguh jarang terdapat!" Selagi mulutnya
bicara, tangan kirinya bekerja terus. Mendadakan saja, Thian Oe rasakan jari-jarinya terbuka dan
pedangnya sudah pindah ke tangannya orang itu, sedang lengannya pun kena tercekal!
Demikianlah dengan satu gerakan saja, orang itu sudah dapat cekal lengannya Yoe Peng dan
Thian Oe yang lalu dilemparkan. Belum sempat berteriak, mereka sudah jatuh duduk di atas kursi,
tanpa mendapat luka sedikit pun!
Thian Oe dan Yoe Peng mengawasi dengan mata mendelong dan mulut ternganga. Mereka
hampir tak percaya, bahwa dalam dunia masih ada orang yang mempunyai kepandaian begitu
tinggi.
Pembesar itu mesem dan berkata: "Tak susah buat dapat pulang kedua pedang ini. Aku cuma
mau minta kalian bicara sebenarnya. Siapakah adanya kalian?"
"Ayahku adalah Tan Teng Kie, Soanwiesoe dari Sakya," sahut Thian Oe. Orang itu keluarkan
satu seruan kaget dan berkata: "Ah, kalau begitu kau adalah Tan Kongtjoe. Maaf buat
perbuatanku yang barusan." Ia lalu berpaling kepada Yoe Peng dan menanya: "Dan kau?"
Lantaran masih berdongkol, Yoe Peng tutup mulutnya. "Kekeliruanku yang tadi sudah terjadi
lantaran adanya salah mengerti," kata si pembesar dengan suara halus. "Aku menduga, kau
adalah seorang wanita lain, tapi siapa nyana, biarpun pedangmu mirip dengan pedangnya, ilmu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

silatmu masih kacek terlalu jauh dengan ilmu silatnya! Itu sebabnya kenapa barusan aku bilang,
tak benar."
Begitu mendengar perkataannya si pembesar, Thian Oe dan Yoe Peng loncat bangun dengan
berbareng. "Wanita siapa yang kau ketemu?" tanya Yoe Peng.
"Bagaimana sebenarnya hubungan antara kau dan wanita itu?" ia balas menanya.
"Aku adalah dayangnya," jawab Yoe Peng.
Pembesar itu manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata: "Nah, kalau begitu barulah
benar. Siapakah adanya majikanmu?"
Oleh karena tidak kenal siapa adanya orang itu, hatinya Yoe Peng jadi sangsi. "Aku she Liong,
namaku Leng Kiauw," ia perkenalkan dirinya sembari mesem. "Banyak sahabat bilang namaku
sukar diingat, dan oleh karena aku adalah anak yang ketiga, mereka pada panggil aku Liong Sam.
Bukankah Tan Kongtjoe sudah pernah dengar namaku yang rendah?"
Thian Oe jadi berdebar hatinya. Ia sama sekali tak duga, bahwa pembesar yang kelihatannya
begitu sederhana adalah orang luar biasa nomor satu di bawah perintahnya Hok Kong An -- Liong
Sam Sianseng yang kesohor namanya!
Dari ayahnya, Thian Oe pernah dengar, bahwa di bawah perintahnya panglima besar tersebut
terdapat seorang pandai yang tak mau munculkan mukanya. Orang itu dikenal sebagai Liong Sam
Sianseng. Pangkatnya kecil saja, yaitu pangkat Tjamtjan (semacam penulis), tapi pengaruhnya
sangat besar dan semua nasehatnya selalu diturut oleh Hok Tayswee. Banyak sekali usaha yang
berfaedah di daerah perbatasan keluar dari otaknya.
Menurut katanya orang, kepandaian Liong Sam tak dapat diukur bagaimana tingginya. Tugas
Hok Kong An di Lhasa adalah tugas yang bukan main beratnya, akan tetapi, selama beberapa
tahun, ia selalu dapat lakukan pekerjaannya secara licin, dan ini, menurut katanya orang,
sebagian besar adalah berkat bantuannya Liong Sam Sianseng. Namanya Liong Sam tidak banyak
dikenal orang dan cuma diketahui oleh beberapa pembesar penting di bawahnya Hok Kong An.
Dahulu, setiap kali Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe bicara mengenai dirinya Liong Sam,
mereka selalu merasa sangsi, apakah benar orang itu mempunyai kepandaian yang tinggi. Mereka
anggap, manakala benar ia mempunyai kepandaian seperti yang diagulkan orang, Liong Sam tentu
tak akan sudi bekerja sebagai satu Tjamtjan di bawahnya Hok Tayswee.
Tapi belakangan, ketika berada di keraton es, Thiekoay sian pernah utarakan perasaan
kagumnya terhadap Liong Sam. Dikatakan olehnya, bahwa Liong Sam adalah seperti satu naga
malaikat, yang kelihatan kepalanya, tapi tak kelihatan buntutnya. Ketika itu, Thian Oe pernah
tanyakan asal-usulnya Liong Sam, akan tetapi sang guru sungkan banyak bicara dan cuma geleng-
gelengkan kepalanya. Ia cuma bilang, kalau nanti sudah turun gunung, ia mau bawa Thian Oe
pergi ketemukan orang pandai itu. Cuma sungguh menyesal, sebelum niatan itu terwujut,
Thiekoay sian sudah tinggalkan dunia ini buat selamalamanya. Dan sekarang, secara kebetulan
sekali, dengan matanya sendiri, Thian Oe dapat saksikan kepandaiannya Liong Leng Kiauw.
"Sesudah aku perkenalkan diri, apakah kau dapat memberitahukan namanya majikanmu?"
tanya Liong Sam sembari tertawa. Yoe Peng masih juga belum menyahut. Ia hanya mengawasi
dengan perasaan bimbang.
"Lagi kapan kau bertemu ia?" tanya Thian Oe.
"Apa kau kenal majikannya?" Liong Sam balas menanya.
"Majikannya adalah Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Liong Sam kelihatan terkejut. "Hm!" ia menggerendeng. "Aku kira Pengtjoan Thianlie cuma
cerita burung. Tak tahunya, benar ada orangnya!"
"Lagi kapan kau bertemu Kongtjoe kami?" tanya Yoe Peng.
"Tiga hari yang lalu, di waktu malam," sahutnya.
"Bagaimana bertemunya?" tanya lagi Yoe Peng.
"Ia datang disini dan ambil serupa barang," menerangkan Liong Sam.
"Ia ambil barangmu?" tanya Yoe Peng sembari tertawa dingin, lantaran ia sama sekali tak
percaya. Puterinya mau mengambil barang lain orang.
"Barang apa?" tanya Thian Oe.
"Bukan barang terlalu penting, cuma aku tak mau ia mengambilnya," sahut Liong Sam secara
menyimpang. "Cuma sayang, aku tak dapat tahan padanya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pada tiga malam yang lalu, seorang wanita telah satroni rumahnya Liong Sam dan curi satu
rencana cara bagaimana Hok Tayswee akan menyambut guci emas yang di kirim dari Pakkhia.
Rencana itu telah disusun oleh Liong Sam sendiri. Wanita tersebut mempunyai ilmu entengi badan
yang luar biasa tingginya dan menggunakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar terang
serta hawa dingin. Liong Sam mengubar dan sesudah beberapa gebrakan, ia masih belum dapat
jatuhkan wanita itu. Dalam kegelapan malam, ia tak dapat lihat tegas mukanya wanita tersebut
yang mendadak tertawa bergelak-gelak dan berkata: "Cuma sebegini ilmunya Naga Malaikat!"
Sehabis berkata begitu, ia menyerang dengan serangan aneh, sehingga Liong Sam terpaksa loncat
mundur, dan dengan gunakan kesempatan itu, ia enjot badannya dan menghilang di tempat
gelap.
Kejadian itu sudah membikin Liong Sam yang pandai dan banyak pengalamannya jadi garuk-
garuk kepalanya. Itu sebabnya kenapa sudah terjadi salah mengerti dan Yoe Peng, yang diduga
adalah wanita itu sebab mempunyai pedang yang mirip dengan pedangnya wanita tersebut, sudah
dipancing datang kesitu.
Sesudah Liong Leng Kiauw tuturkan duduknya persoalan, semua orang jadi bengong dengan
masing-masing mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Thian Oe sendiri sudah merasa pasti, bahwa
wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Di lain pihak, Yoe Peng tidak percaya omongannya tuan
rumah, bahwa Pengtjoan Thianlie datang menyatroni buat mencuri barangnya. "Bukankah di
keraton es bertumpuk-tumpuk macam-macam mustika? Mana bisa dipercaya, Kongtjoe mau curi
barangnya!" kata Yoe Peng dalam hatinya. Tapi Yoe Peng tidak tahu, bahwa rencana yang dicuri
oleh Pengtjoan Thianlie ada lebih berharga dari mustika apapun juga. Sementara itu, Liong Leng
Kiauw tak habis mengerti, kenapa Pengtjoan Thianlie sudah curi rencananya. Apakah ia mau
campur tangan? Mengingat ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie yang sangat tinggi, mau tak mau
hatinya jadi keder juga.
Matanya Liong Sam yang sangat tajam dapat lihat kesangsiannya Yoe Peng, tapi ia tidak kata
apa-apa dan lantas pulangkan Pengpok Hankong kiam. Selagi Thian Oe mau pamitan, Liong Sam
sudah mendahului dengan berkata: "Tan Kongtjoe, jika kalian tak mencela tempatku yang buruk,
aku undang kalian mengasoh semalaman disini. Besok aku akan antar kau pergi ke gedungnya
Hok Tayswee. Mungkin sekali ayahmu juga berada disitu."
"Apa ayah tinggal disitu?" tanya Thian Oe.
"Bukan," sahut Liong Sam. "Ia menyewa rumah lain. Besok Hok Tayswee mau berunding
dengan ia, dan aku dengar, tak lama lagi ia sudah boleh balik ke Sakya.
Besok paginya, bersama Liong Sam, Thian Oe pergi ke gedungnya Hok Kong An, sedang Yoe
Peng menunggu di rumah. Gedungnya Hok Tayswee terletak di tengah-tengah kota dan
berdekatan dengan Gereja Besar (Thaytjiauw Sie). Di tengah jalan Liong Leng Kiauw tanyakan
mengenai Pengtjoan Thianlie dan dijawab dengan sejujurnya oleh Thian Oe.
Setibanya di gedung Hok Kong An, Liong Sam minta Thian Oe menunggu di kamar peranti
tetamu menulis nama. Tak lama kemudian, seorang pelayan muncul dan undang Thian Oe masuk
ke dalam. Baru saja kakinya menginjak undakan batu, ia dengar suaranya Liong Sam yang berkata
sembari tertawa: "Tan Taydjin, aku bilang hari ini kau bakal dapat kegirangan besar, tapi kau tidak
mau percaya.
Coba lihat, siapa yang datang!” Begitu masuk, ia lihat di tengah-tengah ruangan berduduk
seorang pembesar Boantjiu yang berusia kurang lebih 40 tahun. Ia berwajah angker sekali, tapi
pada keangkeran itu terselip sinar kejengkelan. Orang yang duduk di sebelahnya pembesar Boan
tersebut bukan lain daripada ayahnya sendiri, Tan li-ny Kie.
Melihat puteranya, Teng kie girang tak terhingga. "Oe-djie!" ia berseru. "Lekas memberi hormat
kepada Hok Tayswee!" Thian Oesegera jalankan peradatan sesuai dengan adat istiadat, dan
sesudah itu, ia lalu berdiri di samping ayahnya.
Hok Tayswee lirik Thian Oe dan berkata: "Dengan lihat romannya Tan Sieheng, dengan
sesungguhnya burung Hong muda boleh berendeng dengan Hong tua. Aku berani bilang, di
belakang hari nama dan keberuntungannya Tan Sieheng akan berada di sebelah atasannya
Taydjin sendiri. Sungguh aku harus memberi selamat kepada Taydjin."
"Buat itu semua kami ayah dan anak tentu saja harus mengandal kepada bantuannya
Tayswee," sahut Teng Kie.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thian Oe sebal mendengar kata-kata yang manis-manis dari kalangan pembesar negeri, maka
itu, tanpa menunggu sampai Hok Kong An membuka mulut lagi, ia sudah mendahului. "Hok
Tayswee," katanya. "Ada orang minta aku sampaikan serupa barang kepadamu."
"Ada orang minta kau sampaikan barang kepadaku?" menegasi panglima itu dengan suara
heran. "Barang apa?"
Thian Oe rogoh sakunya dan keluarkan kotak sulam yang ia terima dari si pemuda baju putih
dan serahkan itu kepada Hok Kong An, yang lantas buka tutupnya. Kotak itu ternyata berisi sejilid
buku. Begitu membaca, paras mukanya Hok Kong An jadi berobah, dan sembari pegang buku itu
dengan satu tangannya, ia menanya dengan suara tidak sabaran: "Siapa yang berikan buku ini?"
Pada mukanya panglima itu, yang tadi kelihatan begitu tenang, sekarang terlukis perasaan kaget
dan girang. Teng Kie gelisah dan awasi puteranya.
"Yang memberikan adalah seorang muda yang kelihatannya seperti anak sekolah, yang aku
ketemu di tengah jalan," menerangkan Thian Oe.
Tan Teng Kie yang tidak mengetahui apa isinya buku itu, jadi merasa bingung dan tidak
mengerti, cara bagaimana puteranya boleh sembarangan terima saja barangnya orang yang tak
dikenal, buat disampaikan kepada panglima besar itu. Tapi Hok Kong An tidak jadi gusar dan
tangannya menggape kepada Liong Leng Kiauw, yang, begitu lihat isinya buku tersebut, segera
berkata dengan suara girang: "Hok Tayswee, sekarang kau sudah boleh legakan hati. Tan
Kongtjoe, sahabatmu sudah banyak membantu kami."
"Urusan ini, benar-benar mengherankan," kata lagi Hok Kong An. "Tan Sieheng, aku minta kau
bicara terus terang. Siapakah adanya sahabatmu itu?"
"Aku bertemu padanya secara kebetulan saja dan tak mengetahui asal-usulnya," sahut Thian
Oe.
"Aku rasa orang itu adalah seorang pendekar yang berkepandaian sangat tinggi," berkata Liong
Sam. "Menurut pendapatku, buku ini bukannya dicuri olehnya."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Hok Kong An.
"Jika ia yang curi, tentu ia tak akan kirim pulang dengan begitu saja," jawab Liong Sam.
Hok Kong An diam, ia rupanya sedang berpikir keras.
"Orang luar biasa dalam kalangan Kangouw, sering lakukan perbuatan yang luar biasa pula,"
kata lagi Liong Leng Kiauw. "Aku rasa Tan Sieheng sudah bicara sejujurnya, sehingga Tayswee tak
usah sangsikan lagi. Menurut anggapanku, kita memerlukan juga bantuannya Tan Sieheng."
"Benar," sahut Hok Kong An. "Sekarang lebih baik kita rundingkan soal cara bagaimana harus
menyambut guci emas itu. Tan Sieheng duduklah."
"Aku mohon tanya, buku apakah itu sebenarnya?" tanya Tan Teng Kie yang sudah tak dapat
menahan sabar lagi.
"Ini adalah firman yang dikirim oleh Hongsiang (kaizar)," sahut Hok Kong An.
Teng Kie keluarkan teriakan kaget dan mukanya jadi pucat. Cara bagaimana firman yang begitu
penting bisa jatuh di tangan orang sembarangan, dan malahan, nyasar juga ke dalam tangannya
puteranya sendiri?
Hatinya jadi berdebar-debar, ia tak tahu apa sedang menghadapi kecelakaan atau kegirangan.
"Dalam firman ini ditulis dengan terang seluruh perjalanannya guci emas itu," Hok Kong An
lanjutkan keterangannya. "Segala jalanan yang diambil dan tempat mengasoh pada setiap hari
semuanya ditentukan secara jelas sekali. Menurut rencana ini, tanggal satu lain tahun, guci emas
tersebut sudah mesti tiba di Lhasa dan kita ditugaskan buat menyambut dari tempat lima ratus li
jauhnya dari sini. Setibanya disini, guci itu harus ditaruh di Gereja Besar dan segala upacaranya
juga sudah ditentukan dalam firman ini. Sedari mendapat laporan yang duluan, aku sudah tahu,
bahwa guci itu sudah berangkat dari kota raja. Tadi aku justru sedang buat pikiran, kenapa firman
ini belum juga datang, tapi sekarang hatiku sudah menjadi lega."
Tan Teng Kie gemetaran dan keringat dingin keluar dari dahinya. Ia lirik kotak itu dan
kemudian lirik puteranya sendiri. Sementara itu Hok Kong An sudah berkata lagi: "Cuma saja,
sekarang kita tahu terang, bahwa firman ini sudah kena dirampas orang di tengah jalan. Dimana
adanya pengawal yang melindungi firman, kita tidak mengetahui, dan jika Hongsiang menyelidiki,
kedosaan ini tidaklah enteng."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Tayswee tak usah kuatir," kata Liong Leng Kiauw. "Biar bagaimana pun juga, firman itu
sekarang sudah berada dalam tangan kita. Di kemudian hari, kalau pengawalnya datang, kita
anggap saja dialah yang sudah antar sampai kesini. Aku rasa, dia juga takut memikul kedosaan
buat ketidak becusannya. Maka itu, soal hilangnya firman di tengah jalan tentu tidak akan sampai
diketahui oleh Hongsiang."
"Bagaimana kau dapat pastikan, pengawal yang mengantar firman masih hidup atau sudah
mati?" tanya Hok Kong An.
"Menurut peraturan dalam kalangan Kangouw, kalau pengawal itu kena dibinasakan, dalam
kotak tentu mesti ditaruh pisau atau lain benda buat memberitahukannya," menerangkan Liong
Leng Kiauw.
Hok Kong An cuma menggerendeng dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia tidak begitu percaya
dipegangnya peraturan begitu dalam kalangan Kangouw, cuma saja, oleh karena keadaannya ada
sedemikian, ia juga tidak dapat berbuat lain daripada tunggu perkembangan selanjutnya.
"Apa yang aku kuatirkan adalah kemungkinan hilangnya guci emas di tengah jalan," kata Liong
Sam.
"Tak boleh terjadi!" kata Hok Kong An. "Kalau sampai dirampok di tengah jalan, kita pembesar-
pembesar yang bertugas di Seetjong (Tibet) bisa kehilangan kepala! Liong Tjamtjan, apakah kita
tetap akan menyambut guci itu menurut rencana yang sudah ditetapkan?" Hok Kong An tak tahu,
bahwa rencana itu sudah kena dicuri oleh Pengtjoan Thianlie. Kalau tahu, ia tentu akan jadi lebih
kaget lagi.
Liong Leng Kiauw diam beberapa saat dan matanya lirik Thian Oe. "Yah, kita turut rencana
semula, dengan sedikit perobahan," sahutnya.
"Perobahan apa?" tanya Hok Kong An.
"Menurut rencana semula, aku menetap di Lhasa buat bantu Tayswee pimpin upacara
penyambutan," sahut Liong Leng Kiauw. "Sekarang dirobah, biarlah aku yang pergi menyambut
guci emas itu."
Matanya Hok Kong An memain dan hatinya bimbang. Liong Leng Kiauw adalah pengawal
pribadinya, dan tanpa kawalannya, ia kuatir keselamatannya terancam.
Melihat panglima itu bersangsi, Liong Leng Kiauw segera berkata: "Kalau toh ada orang maui
guci itu, percobaan merampas tentu dilakukan... di tengah jalan. Penjagaan disini ada cukup kuat,
sehingga aku rasa Tayswee tak usah berkuatir. Di sebelahnya itu, aku akan minta soetee-ku bantu
mengawal Tayswee. Andaikata sampai ada penjahat, aku anggap ia masih dapat menghadapinya,"
Soetee-nya Liong Leng Kiauw bernama Gan Lok, yaitu orang yang telah copet pedangnya Yoe
Peng. Biarpun ilmu silatnya masih kacek jauh dengan sang soeheng, ia mempunyai ilmu entengi
badan yang istimewa. Walaupun mengetahui kepandaiannya Gan Lok masih kalah dengan
soeheng-nya, tapi mengingat pentingnya guci itu, yang memang juga harus dilindungi oleh orang
semacam Liong Leng Kiauw, Hok Kong An segera manggutkan kepalanya buat menyatakan
persetujuannya.
"Aku pun ingin minta bantuannya Tan Kongtjoe," kata Liong Sam.
Tan Tang Kie kaget dan buru-buru berkata: "Anakku bisa apa?"
"Orang bilang, mengetahui anak tidak melebihi ayahnya," kata Liong Sam sembari tertawa.
"Tan Kongtjoe mempunyai kepandaian sangat tinggi, maka buat apalah Taydjin berlaku begitu
sungkan!"
"Pujian Liong Sianseng tentu tak salah," Hok Kong An sambungi. "Baiklah, kita atur begitu
saja."
Liong Leng Kiauw mesem dan berkata pula: "Di sebelahnya itu, kita pun perlu minta
bantuannya Tan Taydjin."
"Sebagai pembesar sipil, aku bisa membantu apa?" kata Teng Kie.
"Kalau sudah tiba temponya, aku bersama Tan Kongtjoe dan beberapa pengikut akan
berangkat lebih dahulu buat membuka jalan," kata Liong Leng Kiauw. "Tan Taydjin sendiri boleh
pimpin seribu serdadu pilihan buat menyambut di tempat lima ratus li jauhnya. Berhubung dengan
itu, aku minta Hok Tayswee suka angkat Tan Taydjin sebagai utusan istimewa buat menyambut
guci emas itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Liong Sianseng, kau... kau jangan main-main," kata Teng Kie dengan suara gugup.
"Bagaimana aku bisa pimpin pasukan tentara?"
"Tan Taydjin, aku bukan minta kau pergi perang atau atur barisan," jawabnya sembari mesem.
"Bawa serdadu ada apa sukarnya? Tan Taydjin adalah seorang keluaran Hanlim yang hafal dalam
segala rupa adat istiadat dan upacara. Menurut pendapatku, kau adalah calon satu-satunya yang
paling cocok buat menjadi utusan istimewa guna menyambut guci emas itu."
Tan Tang Kie cuma berpangkat Soanwiesoe (Amban) pada sekte Sakya, yaitu pangkat sipil
kelas empat. Menurut kepantasan, pangkatnya memang tidak cukup tinggi buat menjadi utusan
guna menyambut kiriman yang begitu penting dari sang kaizar. Akan tetapi, sebagaimana
diketahui, Hok Kong An biasanya selalu turut nasehatnya Liong Sam, maka kali ini pun ia segera
menyetujui. Ia merasa, bahwa dengan terlebih dahulu minta bantuannya sang putera dan
kemudian memberi tugas kepada sang ayah, Liong Leng Kiauw tentu mempunyai perhitungan
yang sudah dipikir masak-masak, dan di sebelahnya itu, firman kaizar telah didapat pulang dari
tangannya Thian Oe, yang menerimanya dari seorang lain, sehingga biar bagaimanapun juga,
Thian Oe tentu masih mempunyai hubungan apa-apa dengan orang tersebut. Dengan diangkatnya
Teng Kie sebagai utusan, sang putera tentulah juga akan mengeluarkan segala tenaganya buat
bantu melindungi keselamatannya guci emas itu. Demikianlah jalan pikirannya Hok Kong An ketika
ia memberi persetujuannya. Saat itu juga, ia perintah seorang pegawai menulis satu surat
pengangkatan.
"Banyak tahun Tan Taydjin menderita dalam menjalankan tugas di daerah perbatasan," kata
Hok Kong An sembari tertawa. "Ini kali Taydjin menjalankan tugas yang sangat berat dan penting
dan pahala Taydjin tentu akan sangat dihargakan oleh Hongsiang. Sesudah selesai, terdapat
kemungkinan besar Taydjin akan dapat pulang pangkat yang dahulu atau malahan akan diberi
pangkat yang terlebih tinggi. Inilah benar-benar satu kesempatan sangat baik bagi Taydjin."
Teng Kie anggap omongannya panglima itu ada benarnya, maka, walaupun mengetahui
beratnya tugas, ia lantas menerima tanpa rewel lagi.
"Jika Tan Kongtjoe mempunyai sahabat, aku pun ingin minta bantuannya," kata Liong Leng
Kiauw, Thian Oe tahu, bahwa sahabat yang dimaksudkan adalah Yoe Peng. Ingat Yoe Peng, ia jadi
ingat Pengtjoan Thianlie dan hatinya lantas jadi bergoncang. Ia ingat, bahwa Thiekoay sian telah
membujuk supaya Pengtjoan Thianlie bantu merampas guci itu, sedang si pemuda baju putih
minta ia melindunginya, tapi kedua usul itu sudah ditolak secara mentah-mentah. Apa yang
mengherankan, kenapa sekarang ia curi rencananya Liong Sam? Apa ia niat merampas guci emas
itu? Kalau benar, bagaimanakah baiknya? Dan sikap apa yang akan diambil oleh Yoe Peng? Itulah
ada pertanyaan-pertanyaan yang mengaduk dalam otaknya Thian Oe. Akan tetapi, ia tidak dapat
berbuat lain, oleh karena ayahnya sudah terima perbaik tugas tersebut.
Sesudah beres berunding dan minum teh, Teng Kie lantas pamitan dan pulang bersama-sama
puteranya. "Urusan ini benar-benar di luar dugaan," katanya kepada sang putera. "Sedari tiba di
Lhasa, berulang kali aku telah ajukan permohonan kepada Hok Tayswee supaya ia bikin betul
kantor Soanwiesoe yang rusak dan tambah penjagaan. Kalau tak diluluskan, aku minta ia
bebaskan saja tugasku dan kirim aku pulang ke kampung kita. Tapi ia tidak mau pecat padaku dan
juga sungkan luluskan permohonan yang pertama. Dengan begitu, bulan lewat bulan, aku tetap
luntang-lantung dan makan gaji buta. Aku sungguh merasa tidak betah, tapi siapa nyana hari ini
aku mendapat tugas yang begitu berat."
"Yah, sesudah kita menerima, jalan satu-satunya adalah coba menunaikan tugas itu sebaik
bisa," kata sang putera. "Dan bagaimana dengan keadaan di Sakya?"
"Aku dengar, sesudah aku meninggalkan Sakya, Touwsoe semakin pentang pengaruhnya,
sebab sudah tidak ada orang yang menjadi rintangan," jawab Teng Kie. "Cuma saja, ia
kelihatannya tak dapat melupakan kau. Bulan yang lalu, ia malahan kirim orang buat menanyakan
keadaanmu." Thian Oe jadi ingat cara bagaimana ia mau dipaksa menikah dengan puterinya
Touwsoe itu, sehingga tanpa merasa, ia jadi tertawa getir.
Rumah yang disewa oleh Tan Teng Kie cuma terpisah dua jalanan dengan gedung Hok
Tayswee. Rumah itu adalah rumah penduduk biasa yang sangat sederhana, dan oleh karena Teng
Kie kempes kantongnya, ia cuma ambil seorang pelayan buat bantu mengurus rumahnya.
Perabotan rumah juga sangat sederhana dan berbeda jauh dengan kemewahan kantor
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Soanwiesoe. Baru saja mereka masuk ke dalam mereka lihat seorang wanita muda yang berdiri di
tengah ruangan sembari tertawa. Wanita itu adalah Yoe Peng!
Tan Teng Kie terkesiap, sedang puteranya lantas buru-buru berkata: "Nona ini adalah kawanku
yang datang bersama-sama ke Lhasa. Eh, bagaimana kau bisa datang kesini?"
"Lantaran tak sabaran menunggu di rumahnya keluarga Liong, aku tanyakan dimana letaknya
rumahmu dan lantas pergi cari sendiri," menerangkan Yoe Peng. "Apa orang tua ini ayahmu?"
Sesudah berkata begitu, ia segera memberi hormat menurut adat istiadat bangsa Han. Teng Kie
lihat gadis itu berparas cantik dan sikapnya gagah, sehingga jika dibandingkan dengan puterinya
Touwsoe, ia menang beberapa kali lipat. "Kalau dipasangi dengan Thian Oe memang pantas
sekali, cuma gerak-geriknya terlalu luar biasa," kata Teng Kie dalam hatinya.
Melihat ayahnya mengawasi dengan mata mendelong, Thian Oe jadi tertawa dan berkata:
"Ayah, dia adalah satu bidadari!"
"Foei! Jangan omong kosong!" membentak Yoe Peng sembari monyongkan mulutnya. Melihat
lagak orang yang masih kekanak-kanakan, Teng Kie jadi tertawa lebar. "Memang juga seperti
bidadari!" katanya.
"Ah, Looyatjoe (panggilan menghormat terhadap orang tua) juga suka guyon-guyon!" kata Yoe
Peng.
"Ayah, memang benar ia adalah satu bidadari, kalau tak percaya, dengarlah ceritaku," kata
sang putera yang lantas saja tuturkan segala pengalamannya dalam keraton es selama beberapa
bulan. Teng Kie mendengari dengan mulut ternganga dan hampir-hampir tidak mau percaya cerita
itu yang seperti cerita dongeng.
Mulai waktu itu, Yoe Peng berdiam di rumahnya Teng Kie dan bersama Thian Oe, diam-diam ia
coba cari keterangan tentang halnya Pengtjoan Thianlie, tapi sebegitu jauh, uasaha itu tidak
berhasil. Tanpa terasa musim dingin sudah hampir lewat dan tempo yang ditetapkan buat
menyambut guci emas sudah hampir tiba.
Menurut rencana, Liong Leng Kiauw, Thian Oe dan Yoe Peng berangkat satu hari lebih dahulu
buat membuka jalan. Sebelum berangkat, pemuda itu beritahukan kekuatirannya kalau-kalau
Pengtjoan Thianlie benar niat merampas guci itu, kepada Yoe Peng. "Kalau benar Kongtjoe
datang, aku pasti berdiri di pihaknya," kata Yoe Peng. "Jika ia mau merampas guci itu, aku tentu
akan membantu. Manakala sampai kejadian begitu, kau buru-buru kabur dan aku berjanji tidak
akan menyerang dirimu." Mendengar jawaban orang, hatinya Thian Oe jadi lebih kesal.
Liong Leng Kiauw pilih tiga ekor kuda Tibet yang paling baik buat dijadikan tunggangan dan
mereka berangkat pada Capdjiegwee Tjapgo (bulan dua belas tanggal lima belas), supaya dapat
bertemu dengan rombongan yang mengantar guci itu di mulutnya gunung Tantat san pada tangal
dua puluh tiga. Jalanan gunung luar biasa sukarnya dengan jurang-jurang yang berbahaya dan
pegunungan itu dikenal sebagai tempat keluar masuknya kawanan kecu.
Dalam perjalanan, Liong Leng Kiauw dan Thian Oe merasa cocok sekali, tapi Yoe Peng selalu
mengambil sikap tawar. Berhubung dengan musim dingin, jalanan tertutup salju, dan perjalanan
jadi terlebih sukar lagi. Masih untung, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju banyak, sehingga ia
dapat menahan segala penderitaan dengan tidak banyak susah.
Di sepanjang jalan Liong Sam berlaku sangat hati-hati, dan ditambah sama sukarnya jalanan
gunung, mereka maju lambat sekali. Sesudah berjalan tujuh hari, barulah mereka dapat lalui
kurang lebih empat ratus li. Hari itu, mereka masuklah di dalam daerah pegunungan Tantat san.
"Sesudah lewati jalanan ini, besok pagi kita akan tiba di mulut gunung dan dapat persatukan diri
dengan mereka," kata Liong Sam.
"Siapakah yang dikirim buat antar guci itu dari kota raja?" tanya Thian Oe.
"Aku dengar, pimpinan rombongan berada dalam tangannya Raja muda Ho Sek Tjin-ong dan
delapan pengawal utama dari keraton juga datang semuanya," sahut Liong Leng Kiauw.
"Bagaimana kepandaiannya delapan pengawal itu?" tanya Thian Oe.
Liong Leng Kiauw tertawa dan menjawab: "Sudah lama mereka dapat nama besar dan rasanya
kepandaian mereka tidak berada di sebelah bawah kita." Didengar dari lagu suaranya, Thian Oe
merasa Liong Sam tidak terlalu pandang mata kepada delapan orang itu.
Jalanan di sebelah depan diapit dua puncak gunung dan jalanan gunung lugat-legot seperti
ular. Sesudah lewati satu lembah, mereka lihat tiga penunggang kuda yang jalan berbaris, semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

berpakaian hitam, sedang tudungnya pun berwarna hitam, sehingga kelihatannya menyolok sekali
di atas jalanan yang tertutup salju putih. Mendadak, orang yang jalan paling dahulu menengok ke
belakang dan begitu lihat mukanya, Thian Oe keluarkan satu seruan tertahan, sebab ia kenali,
orang itu bukan lain daripada Siamkam Tayhiap Bek eng Beng, yang tempo hari ia ketemu di
shigatse. Untung juga, malam ini Thjian Oe tidak munculkan muka, sehingga sesudah menengok
sekali, Bek Eng Beng tidak perhatikan mereka lagi dan terus teriaki dua kawannya supaya berjalan
terlebih cepat.
"Yang di sebelah depan adalah Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng," kata Thian Oe dengan suara
perlahan.
"Kau kenal tidak sedikit orang," kata Liong Sam sembari tertawa. "Walaupun mendapat julukan
Siamkam Tayhiap, Bek Eng Beng tidak seberapa liehay. Dua kawannya yang jalan belakangan
banyak lebih tinggi kepandaiannya."
"Siapa mereka?" tanya Thian Oe.
"Dilihat dari bebokongnya, mereka agaknya seperti dua jagoan dari Tjionglam pay, yaitu Boe-
sie Hengtee (dua saudara she Boe)," sahut Liong Sam. Boe-sie Hengtee adalah turunannya
Tayhiap Boe Goan Eng yang hidup pada jamannya Kaizar Soentie dan keluarga Boe biasanya
hidup mengumpat dalam pegunungan Tjionglam san, tapi tak dinyana, sekarang kedua jagonya
berada di Tibet.
Di sebelah depan adalah jalanan sempit yang bulak-biluk seperti usus kambing dan diapit oleh
dua puncak gunung. Mendadak terdengar suara kelenengan kuda dan seekor kuda Arab yang
tinggi besar kelihatan mendatangi, dengan seorang penunggangnya yang memakai jubah
pertapaan warna merah. Hampir berbareng Thian Oe dan Yoe Peng keluarkan teriakan tertahan.
"Ah, dia!" berseru mereka. Orang itu bukan lain daripada Hoantjeng jubah merah yang pernah dua
kali menyatroni keraton es dan binasakan Thiekoay sian! Thian Oe merasa heran sekali, sebab,
ketika mau lepaskan napasnya yang penghabisan, Thiekoay sian bilang, bahwa paderi itu telah
mendapat luka berat dan harus berlatih lagi dari tiga sampai lima tahun buat dapat pulang
tenaganya. Tapi baru saja berselang empat bulan, ia kelihatannya sudah sama gagahnya seperti
sebelum mendapat luka.
Sembari membentak keras, paderi itu kaburkan kudanya. Bek Eng Beng tidak keburu
menyingkir dan hampir-hampir saja ia jatuh terguling. Dengan sangat gusar, Siamkam Tayhiap
angkat tangannya dan hantam kepalanya kuda itu. Bagaikan kilat, si paderi gerakkan tangannya,
sedang badannya Bek Eng Beng kelihatan ngapung ke tengah udara. Hampir pada detik yang
bersamaan, kedua saudara Boe loncat dari tunggangannya dan dua pasang tangan menyambar
dengan berbareng. Paderi itu keluarkan teriakan keras dan jatuh terguling dari kudanya.
"Binatang tak kenal aturan!" kedua saudara Boe membentak. Mereka bergerak dengan
berbareng, yang satu menendang dengan kaki kirinya, sedang yang lain menyepak sama kaki
kanannya. Si paderi buru-buru putar badannya buat sambut kedua serangan yang hebat itu.
Mendadak kuda Arab itu berbenger keras. Ternyata lantaran kaget, bintang itu terpeleset dan
jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Di sebelah bawah tanjakan terdapat jurang yang
dalamnya ratusan tombak, sehingga kalau dia sampai jatuh kesitu, badannya tentu akan hancur
lebur. Si paderi terkesiap dan terlalu gugup buat bisa menolong tunggangannya. Tiba-tiba
badannya kedua saudara Boe melesat ke bawah seperti anak panah. Yang satu tangkap kaki
belakang kanan, sedang yang lain cekal kaki belakang kirinya sang kuda, dan kemudian, sembari
kerahkan tenaga dalamnya, dengan berbareng mereka lemparkan kuda itu ke atas! Tenaga yang
dikeluarkan tidak kebanyakan atau kesedikitan dan kuda itu hinggap di atas tanah tanpa
mendapat luka! Sesudah lihat kepandaian orang yang istimewa itu, si paderi tidak berani banyak
tingkah lagi. Tanpa keluarkan sepatah kata, ia hampiri kudanya. Ketika itu, Bek Eng Beng juga
sudah duduk di atas sela, dan selagi ia mau menghalangi si paderi, Boe-sie Hengtee mencegah
dengan berkata: "Bek Toako, biarkan manusia itu berlalu." Bek Eng Beng tundukkan kepalanya
dan berbareng dengan berkesiurnya angin, badannya si paderi sudah melesat di atasan kepalanya
dan hinggap di atas punggung kuda.
Liong Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Hoantjeng itu cukup liehay. Kalau satu lawan satu,
Boe-sie Hengtee tentu tidak bisa gampang-gampang dapat kemenangan." Melihat musuh besar
yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi merah matanya. Si paderi pun kelihatannya kaget
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

ketika dapat lihat Thian Oe bersama Yoe Peng dan lantas keprak kudanya. Thian Oe cabut
pedangnya yang lantas diputar buat sambut kedatangan musuh.
Mendadak kedengaran bentakan Liong Leng Kiauw dalam bahasa Nepal: "Bangsat gundul
minggir!" Thian Oe cepat, tapi tangannya Liong Sam terlebih cepat lagi. Dengan gerakan
menuntun kambing, ia angkat si paderi dari atas kuda dan terus dilemparkan ke belakang, sedang
sang kuda lari terus. Ilmunya paderi itu sesungguhnya tinggi sekali. Selagi badannya berada di
tengah udara, dengan gerakan Leehie hoansin (Ikan Leehie balik badan), ia hinggap dengan
selamat di atas punggung kudanya yang sedang lari keras! Cuma saja, lantaran sudah beruntun
dua kali kena tubruk tembok, semangatnya jadi merosot dan ia cuma menengok ke belakang dan
awasi Liong Leng Kiauw dengan sorot mata gusar.
Liong Sam tak ladeni dia dan perintah Thian Oe berjalan terus. "Permusuhan apakah terdapat
antara kau dan Hoantjeng itu?" tanya Liong Sam.
"Ia binasakan guruku," jawab Thian Oe.
Liong Sam heran mendengar pengakuan itu. Benar si pendeta ada terlebih liehay daripada
Thian Oe, tapi keunggulan itu cuma terletak kepada tenaga dalam yang hanya bisa didapat
dengan latihan lama. Jika dilihat ilmu silatnya Thian Oe yang mempunyai pukulan-pukulan sangat
aneh, gurunya tentu adalah seorang ahli silat kelas satu dalam Rimba Persilatan. Tapi kenapa ia
kena dibinasakan oleh paderi tersebut? Ia heran, tapi tidak mau menanya pula, sebab bukan
temponya buat bicara panjang-panjang. "Sekarang bukan waktunya membalas sakit hati," kata ia.
"Hayolah kita jalan terus."
Thian Oe tidak membantah dan mereka lalu teruskan perjalanan. Ketika itu, Bek Eng Beng
bertiga sudah lewati lembah gunung. Kedua saudara Boe menoleh ke belakang dan dari sikapnya,
ternyata mereka juga sedang dihinggapi perasaan heran.
"Ikuti tiga penunggang kuda itu, cuma jangan terlalu dekat," kata Liong Leng Kiauw.
"Liong Sianseng, ilmu apa yang barusan kau gunakan?" tanya Thian Oe.
Liong Sam tertawa dan menyahut: "Pukulan Soentjhioe kianyo (pukulan menuntun kambing)
yang sanggat sederhana. Kesalahan paderi itu ialah dia terlalu tidak pandang mata kepada kita
dan menerjang tanpa bikin persediaan. Maka itulah, dengan meminjam tenaganya sendiri, sekali
gentak saja aku sudah berhasil keja dia jungkir balik." Liong Sam bicara secara merendah sekali,
akan tetapi, Thian Oe mengetahui, bahwa ia mempunyai kepandaian yang sukar diukur bagaimana
tingginya, lantaran dengan pukulan yang begitu sederhana, ia sudah bisa robohkan satu musuh
yang begitu liehay. Dengan demikian, Thian Oe jadi lebih-lebih kagumi orang pandai itu.
Sesudah berjalan beberapa lama, tiba-tiba terdengar pula suara kelenengan kuda. Mereka
menengok dan lihat si paderi jubah merah balik lagi dan sedang mengikuti dari sebelah kejauhan.
"Paderi itu adalah Guru Negara dari Nepal dan dia bermaksud buat merampas guci emas itu,"
kata Thian Oe.
"Jangan perdulikan padanya," kata Liong Sam. "Kepandaiannya belum cukup buat bikin kita
berkuatir. Di sebelah depan mungkin sekali bakal muncul lain-lain orang yang lebih liehay dan kita
harus sangat berhati-hati."
Sesudah lewati lagi beberapa lembah, tiga penunggang kuda yang jalan di depan mendadak
tahan tunggangannya. Liong Sam lantas beri tanda supaya Thian Oe dan Yoe Peng pun tahan
kuda mereka dan mengawasi gerak-gerik ketiga orang itu dari jarak belasan tombak jauhnya.
Mereka lihat, di mulutnya lembah, bersender pada satu batu besar terdapat seorang paderi
kurus kering yang mukanya hitam dan berpakaian seperti paderi berkelana dari India. Di atas
tanah terdapat satu paso pecah dan sebatang tongkat bambu, sedang si paderi sendiri lagi
angsurkan kedua tangannya seperti juga lagi minta sedekah.
Bek Eng Beng dan Boe-sie Hengtee saling awasi. "Kasihlah," kata Boe Lootoa (saudara she Boe
yang lebih tua). Bek Tayhiap keluarkan sepotong perak yang lantas dilemparkan ke dalam paso.
Paderi itu menggerendeng dan mendadak lonjorkan tangannya buat usap kepalanya Bek Eng
Beng. Bek Tayhiap yang tidak kenal kebiasaan "memberi berkah" dari paderi India, buru-buru
mengkeretkan lehernya dan tangannya si paderi jadi kena usap pundaknya. Bek Eng Beng
terkesiap lantaran rasakan pundaknya seperti kena arus listrik dan ia loncat setombak lebih
tingginya sembari berteriak: "Ilmu iblis! Ilmu iblis!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kami juga mau memberi sedekah," kata kedua saudara Boe sembari keluarkan seraup perak
hancur yang lantas dilemparkan ke arah paderi itu. Dengan sikap tenang, si paderi kebas kedua
tangan bajunya dan semua perak itu masuk ke dalamnya, dan kemudian, dengan miringkan
tangan bajunya, ia tuang semua perak kedalam paso.
Kedua saudara Boe barusan menimpuk dengan ilmu Thianlie Sanhoa (bidadari menyebar
kembang), yaitu serupa ilmu menimpuk senjata rahasia yang sangat tinggi. Dengan disertai
tenaga dalam, perak hancur itu ada lebih liehay daripada puluhan piauw. Tapi si paderi dapat
menyambut dengan begitu gampang, sehingga kedua saudara Boe jadi kaget sekali.
Paderi itu lalu menghampiri dengan perlahan sembari angsurkan kedua tangannya buat
"memberi berkah". "Tak usah banyak peradatan," berkata Boe-sie Hengtee sembari menangkis
dengan gerakan tangan Toalek Kimkong.
Begitu kebentrok, kedua saudara Boe rasakan tangannya seperti memukul kapas sehingga
mereka jadi terkejut. Mendadak semacam tenaga yang sangat besar mendorong mereka. Buru-
buru mereka tarik pulang tenaga yang sudah dikeluarkan dan-berbareng loncat mundur setombak
lebih. Mereka jalankan pernapasannya dan mengetahui tidak sampai mendapat luka. Mereka
lantas saja cemplak kudanya dan berlalu tanpa menengok lagi.
Sembari menuntun kuda, Liong Leng Kiauw menghampiri. Paderi itu kembali keluarkan
beberapa patah perkataan yang tak dapat dimengerti dan angsurkan kedua tangannya. Liong Sam
segera keluarkan seraup perak hancur, dan seperti caranya Boe-sie Hengtee, ia lemparkan ke arah
sang paderi. Thian Oe dan Yoe Peng merasa heran, lantaran, sesudah ada contohnya Boe-sie
Hengtee, Liong Sam masih juga mau menggunakan gerakan Thianlie Sanhoa waktu melemparkan
peraknya. Si paderi lalu kebas tangan bajunya, dan seperti tadi, semua perak lantas masuk ke
dalamnya. Mendadak terdengar suara "bret" dan baju paderinya robek sedikit, sedang sebagian
perak moncor keluar.
Si paderi tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Sungguh bagus!" Ia berseru sembari acungkan
jempol tangannya. Ia pentang telapakan tangannya yang lantas turun perlahan-lahan buat
"memberi berkah".
Barusan Liong Leng Kiauw telah gunakan ilmu melepaskan senjata rahasia yang istimewa
sekali. Ia timpukkan seraup perak hancur itu dengan sekali timpuk, akan tetapi, setiap keping
menyambar dengan tenaga yang berlainan beratnya. Selainnya itu, pada sebelum menimpuk, lebih
dahulu ia pencet sekeping perak dengan dua jarinya, sehingga kepingan perak itu menjadi gepeng
seperti Kimtjhie piauw (piauw uang tembaga) dan sangat tajam. Itulah sebabnya, kenapa
kepingan itu dapat merobek bajunya si paderi. Tentu saja Thian Oe tak dapat lihat itu semua,
sedang si paderi sendiri jadi sangat terkejut.
Melihat tangan orang yang turun perlahan-lahan, Liong Leng Kiauw segera angkat tangannya
buat menangkis sembari berkata dengan tertawa: "Jangan! Aku tak berani terima!" Begitu
kebentrok, mereka sama-sama rasakan seperti dilanggar arus listrik dan kedua-duanya mundur
beberapa tindak. Liong Sam balas memberi hormat dan lantas teriaki supaya Thian Oe dan Yoe
Peng buru-buru berangkat. Si paderi lalu punguti perak yang berantakan dan kembali menyender
di batu besar sembari meramkan kedua matanya, buat tunggu kedatangannya lain orang.
"Orang macam apa adanya paderi itu?" tanya Thian Oe sesudah mereka jalan beberapa jauh.
"Aku cuma harap
kedatangannya disini tidak mempunyai hubungan dengan guci emas," sahut Liong Sam.
"Kepandaian yang barusan diperlihatkan olehnya adalah ilmu Yoga yang tidak kalah dengan
Hianboen lweekang dari Tiongkok. Jika kedatangannya adalah buat mencampuri urusan guci
emas, kita sunguh bakal ketemu lawanan berat." Sesudah mereka lalui dua lembah gunung, tiba-
tiba mereka dengar teriakannya si paderi jubah merah. Waktu Liong Sam bertiga menoleh ke
belakang, mereka lihat paderi itu menggemblok di punggung kuda tanpa bisa angkat kepalanya
lagi!
"Hoantjeng itu tentulah juga unjuk kegalakannya, sehingga ia dipersen sedikit berkah," kata
Liong Sam sembari tertawa.
Thian Oe juga turut tertawa dan berkata: "Paderi itu memberi berkah seperti juga pembesar
ujian menguji calonnya. Setiap orang yang lewat tentu mesti diujinya. Ah, caranya benar aneh
sekali."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kalau Pengtjoan Thianlie yang lewat disitu, aku rasa dia bakal telan tulang," Yoe Peng beri
pendapatnya. Liong Sam tidak turut bicara, ia seperti sedang berpikir keras.
Malam itu mereka menginap dalam gunung Tantat san dengan memasang tenda. Pada esok
paginya, ternyata si paderi jubah merah, Bek Eng Beng dan kedua saudara Boe sudah tidak
kelihatan mata hidungnya. Liong Sam menghela napas dan sembari mengawasi keadaan di
seputarnya, ia berkata: "Marilah kita berangkat pada sebelumnya matahari keluar, supaya bisa tiba
terlebih siang di mulut gunung guna menanti kedatangannya guci emas!"
Baru saja matahari munculkan diri, mereka sudah tiba di mulutnya selat Tantat san. "Kalian
tunggu disini sebentaran, aku mau lihat-lihat di sebelah depan," kata Liong Sam. Belum habis
perkataannya, dalam selat gunung tiba-tiba terdengar suaranya kaki kuda yang sangat ramai.
"Heran benar!" kata Liong Leng Kiauw dengan suara kaget. "Menurut rencana, rombongan
pengantar guci akan tiba pada waktu tengah hari. Kenapa mereka sudah sampai begini pagi?"
Sementara itu debu tebal sudah mengebul ke tengah udara dan ribuan kuda dengan
penunggangnya lapat-lapat sudah bisa terlihat. Hatinya Thian Oe berdebar-debar, ia kuatir timbul
kesulitan yang bisa rembet diri ayahnya dan berbareng harapkan munculnya Pengtjoan Thianlie.
Selat gunung itu berbentuk seperti terompet, di dalamnya sempit, di luarnya lebar. Barisan
Gielimkoen yang mengawal guci emas itu, terbagi jadi dua pasukan yang keluar dari mulut selat
secara angker sekali, seperti dua ekor naga. Ribuan bendera seakan-akan menutupi sinarnya
matahari, sedang ribuan kuda dengan para penunggangnya yang berpakaian indah dan beroman
keren, tak hentinya berbenger-benger. Di antara barisan itu terdapat sehelai bendera kuning yang
berkibar-kibar menurut tiupannya angin dan di belakangnya bendera, tertampak empat payung
sulam warna kuning, yang mendahului empat ekor kuda bulu putih. Sekali lihat saja, orang akan
mengetahui, bahwa salah satu dari empat kuda itu menggendol guci emas di bebokongnya.
"Utusan istimewa belum datang, apakah kita boleh menyambut lebih dahulu?" tanya Thian Oe.
"Tunggu dahulu," jawab Liong Sam.
Baru saja pasukan Gielimkoen berbaris di mulut selat, tiba-tiba terdengar suara riuh dan
serombongan orang menerjang keluar dari lereng gunung, dengan dikepalai oleh si pendeta jubah
merah. Sambil putar sianthung-nya, ia menerjang masuk ke dalam pasukan Boan, dengan
dilindungi oleh enam boesoe Nepal yang bersenjata golok bulan sebelah. Bagian depan Gielimkoen
segera menjadi kacau. Dua perwira, yang satu bersenjata tongkat besi dan yang lain cekal golok,
loncat keluar dan tahan majunya si pendeta. Dengan sepenuh tenaga, si pendeta jubah merah
sampok dua senjata musuhnya yang lantas terpental, tapi untung tidak sampai terlepas. "Bangsat
Hoan! Besar benar nyalimu berani coba-coba merampas guci emas!" membentak satu
perwira sembari kebaskan tangannya dan Gielimkoen lantas bergerak. Pasukan anak panah segera
maju ke depan, sehingga enam boesoe Nepal itu jadi tertahan di luar sebab dihujani anak panah,
sedang si pendeta jubah merah dikepung oleh kedua perwira di tengah-tengah.
Sembari mengumpat di belakang batu, Liong Sam bertiga tonton pertempuran itu.
"Apa kita perlu membantu?" tanya Thian Oe.
"Coba kita tonton dahulu kepandaiannya delapan pengawal istana," sahut Liong Sam.
Pertempuran berlangsung dengan sangat seru, tapi lekas juga kedua perwira itu berada di
bawah angin.
"Dua perwira itu adalah Tiatkoay Thio Hoa (Thio Hoa si Tongkat Besi) dan Tanto Tjioe Ngo
(Tjioe Ngo si Golok Tunggal), yaitu dua antara delapan pengawal istana yang utama,"
menerangkan Liong Sam. "Kalau sedang berkelahi, mereka biasanya tak suka orang membantu,
tapi sekarang rupanya kebiasaan itu tak akan dapat dipertahankan lagi."
Semakin lama, serangan si pendeta jubah merah jadi semakin hebat. Tongkatnya seperti juga
berobah jadi puluhan batang dan menyambar-nyambar dengan disertai sama deruan angin yang
santer, sehingga kedua perwira itu seakan-akan terkurung dalam bayangan tongkat. Selagi ia mau
turunkan tangan yang membinasakan, tiba-tiba dari belakang barisan Boan muncul seekor kuda,
yang dikaburkan keras sekali. Sebelum sang kuda tiba di gelanggang pertempuran, badannya si
penunggang sudah melesat ke tengah udara. "Sungguh indah gerakan Tian-ek mo-in itu (Pentang
sayap mengusap awan)!" memuji Thian Oe.
Bagaikan sehelai bianglala putih, pedangnya orang itu menyambar. Si pendeta angkat
sianthung-nya dalam gerakan Kiehwee liauwthian (Angkat obor menerangi langit) buat sambut
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

serangan musuh. Tiba-tiba dengan satu suara "srt", satu benda hitam ngapung ke udara,
mengikuti berkelebatnya sinar bianglala putih. Ternyata, topinya si pendeta yang pesegi delapan
sudah kena disontek dan dibabat putus dengan pedangnya orang itu.
"Orang itu adalah jagoan kedua, Ginhong kiam (Pedang Bianglala Putih) Yoe It Gok," kata Liong
Sam. "Sekarang si Hoantjeng ketemu tandingan berat." Benar saja dalam tempo sekejap keadaan
jadi berobah. Si pendeta terus main mundur dan sekarang cuma dapat membela dirinya saja,
tanpa mampu balas menyerang. Yoe It Gok adalah jagoan kelas satu dari Siauwlim pay dengan
mempunyai ilmu pedang Lianhoan Kiamhoat (Ilmu pedang berantai) yang liehay bukan main.
Selagi si pendeta terdesak hebat, tiba-tiba kembali terdengar suara riuh dan dari sebelah
selatan dan utara muncul keluar sejumlah orang. Rombongan sebelah selatan dipimpin oleh
Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, sedang yang datang dari sebelah utara berada di bawah
pimpinannya Boe-sie Hengtee. Liong Leng Kiauw mengawasi dan berkata sembari tertawa: "Si tua
she Bek benar-benar banyak kawannya. Jago-jago dari Lima Propinsi Utara agaknya semua turun
kesini." Sementara itu, kedua rombongan itu sudah menyerbu sehingga barisan Gielimkoen
kembali menjadi kalut.
Dengan satu tanda kebutan dari bendera pasukan tengah, delapan jagoan istana lantas dipecah
buat sambut kedua serangan itu. Rombongannya Bek Eng Beng ditahan oleh satu pasukan di
bawah pimpinannya satu perwira yang bersenjata bandringan dan mereka lantas saja bertempur
hebat. Boe-sie Hengtee yang gagah luar biasa dapat menyerbu terus sampai di tengah-tengahnya
pasukan Boan. Dengan bekerja sama, kedua pedangnya menyambar ke kanan kiri bagaikan hujan
dan angin. Selagi mereka mengamuk hebat, dari belakang barisan muncul dua perwira yang lantas
tahan majunya kedua saudara itu. Mereka itu adalah dua anggauta dari delapan jagoan istana,
yang satu bersenjata golok bergigi seperti gergaji, sedang yang lain mencekal pedang.
"Yang merintangkan aku, mampus, yang menyingkir, selamat!" membentak kedua saudara Boe
sambil menyabet dengan pedangnya. Dengan satu suara krontrangan, giginya golok kena tersabet
putus, sedang pedangnya perwira yang satunya lagi kena dibikin terpental ke tengah udara. Buru-
buru mereka bilukkan kudanya, tapi gerakannya Boe-sie Hengtee luar biasa cepat, dan berbareng
sama berkelebatnya sinar pedang, kedua perwira itu kena bacokan dan roboh dari atas kudanya.
Sesudah robohkan kedua musuhnya, Boe-sie Hengtee segera menerjang ke pasukan tengah, ke
arah empat kuda putih itu.
Dengan hati terkejut, Yoe It Gok tinggalkan si pendeta j ubah merah dan balik badannya buat
cegat kedua saudara Boe itu. Tapi Boe-sie Hengtee bergerak luar biasa cepat, mereka menubruk
ke kiri dan ke kanan dan segera sudah mendekati bendera kuning yang berkibar-kibar di pasukan
tengah.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan seorang perwira yang berpakaian kebesaran kelas tiga,
loncat keluar dari tengah-tengah pasukan Boan. Ia itu berkumis merah dan tangannya mencekal
senjata yang rupanya aneh sekali. "Kau orang adalah bangsa Han, tapi kenapa sudi membantu
orang asing buat merebut guci emas!" ia membentak sembari cegat majunya Boe-sie Hengtee.
Suaranya orang itu luar biasa nyaring dan terdengar jelas di antara gemuruhnya pertempuran.
Kedua saudara Boe balas membentak: "Hei, kau juga bangsa Han, tapi kenapa kesudian
menjadi budaknya bangsa Boan? Kami pasti tak akan permisikan guci emas itu diantar ke Lhasa.
Majikanmu sudah duduki Tionggoan, apa dia belum puas? Dia sekarang masih mau telan juga
Sinkiang, Mongolia dan Tibet! Merampas guci itu adalah kemauannya kami sendiri, sama sekali
tidak ada hubungannya sama pendeta asing itu. Kau jangan omong besar, sambutlah senjataku!"
Perwira kumis merah itu tertawa terbahak-bahak. "Kamu orang sudah sekongkol sama bangsa
asing dan memberontak, dan sekarang coba goyang lidah di hadapanku," kata ia. "Kalau benar
kau punya kepandaian, ambillah guci emas itu dari tanganku!"
Boe-sie Hengtee tahu mereka sedang berhadapan sama lawanan berat, dengan berbareng
kedua pedang mereka menyambar, yang satu membabat, yang lain menikam, sehingga
gerakannya kedua pedang itu merupakan setengah lingkaran yang bekerja sama, menyambar ke
arah pingangnya perwira itu. Si perwira dengan cepat sodok masuk senjatanya ke dalam setengah
lingkaran itu dan kedua pedangnya Boe-sie Hengtee lantas saja terpencar dan suara
mengaungnya logam akibat bentrokan senjata kedengaran lama sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Liong Leng Kiauw mengawasi sembari manggut-manggutkan kepalanya, sedang Thian Oe


berkata sembari tertawa: " Orang itu tak usah malu menjadi kepala dari delapan pengawal istana,
benar-benar ilmu silatnya liehay."
Ilmu silatnya Boe-sie Hengtee adalah warisan dari leluhurnya dan liehaynya bukan main. Dalam
sekejap, mereka berdua sudah kirim beberapa serangan berbahaya dengan beruntun. Senjata
aneh dari perwira itu ada lebih pendek dari toya biasa, tapi lebih panjang dari Poankoan pit
(senjata yang macamnya seperti pit, pena Tionghoa yang terbuat dari bulu). Di atasnya tongkat
itu penuh dengan gaetan-gaetan mengkilap yang biasa digunakan buat cangkol senjata musuh.
Maka itu, walaupun ilmu silatnya sangat tinggi, mau tidak mau Boe-sie Hengtee harus berlaku
sangat hati-hati.
"Apa namanya senjata perwira itu? Kenapa begitu liehay?" tanya Thian Oe.
"Perwira itu bernama Tjiauw Tjoen Loei, kepala dari delapan pengawal keraton," sahut Liong
Leng Kiauw sembari tertawa. "Tenaga dalamnya tidak kalah dari Boe-sie Hengtee, sehingga
biarpun ia menggunakan senjata biasa, dua saudara Boe tidak nanti bisa mendapat kemenangan.
Dengan gunakan Longgee pang (Tongkat gigi anjing hutan) yang terutama digunakan buat
menindih senjata sebangsa golok, dalam lima puluh jurus, Boe-sie hengtee bakal menjadi kalah."
Sementara itu, barisan Tjeng sudah menjadi teguh kembali. Bek Eng Beng dan kawan-
kawannya terkepung di tengah-tengah, sedang si pendeta jubah merah bersama enam boesoe
Nepal kena ditahan di luar barisan.
"Dilihat begini, kita boleh tak usah keluar membantu," kata Thian Oe.
"Mana bisa begitu mudah," sahut Liong Leng Kiauw dengan paras muka guram. Baru saja ia
habis ucapkan perkataannya, di mulut gunung sebelah timur sudah terlihat munculnya tiga orang
yang pakai pakaian seperti Lhama Tibet, cuma warnanya putih.
Kaum Lhama di Tibet terbagi jadi dua sekte, yaitu Sekte Topi Merah dan Sekte Topi Kuning.
Warna jubahnya, kalau bukan merah, tentulah kuning. Lhama yang pakai jubah putih, Thian Oe
belum pernah lihat dan jadi merasa sangat heran.
"Ah, Hoat-ong (raja) dari Tjenghay (Kokonor) juga kirim orang buat ngaduk di air keruh," kata
Liong Leng Kiauw. "Kalau begini, kita toh mesti turun tangan juga!"
Thian Oe terkejut dan segera ingat sejarah agama Lhama yang pernah dituturkan kepadanya
oleh ayahnya.
Ketika itu, Dalai Lhama dan Panchen Lhama merupakan kepala dari Sekte Topi Kuning di Tibet.
Sekte Topi Merah telah mendapat kekuasaan pada jaman kerajaan Goan. Akan tetapi, di
sebelahnya kedua sekte itu masih ada satu sekte lain, yaitu Sekte Topi Putih, yang pentang
pengaruh sesudah jaman Sekte Topi Merah dan sebelum Sekte Topi Kuning. Di jaman Kerajaan
Beng, Sekte Topi Putihlah yang berkuasa di Tibet. Pada jaman Kaizar Beng yang terakhir, yaitu
pada tahun ke-16 dari Kaizar Tjongtjeng, Dalai Lhama ke lima telah minta bantuannya Kushi Khan,
seorang pangeran Mongol dari Kokonor, buat tergulingkan kekuasaannya Hoat-ong (Raja Tsang-
Pa). Mulai waktu itulah, Sekte Topi Kuning (atau Gelupa) berkuasa di Tibet. Sesudah diusir dari
Tibet, orang-orang Sekte Topi Putih lari ke Tjenghay dan tancap kaki disitu dengan pemimpinnya
yang dikenal dengan nama Hoat-ong.
Mengingat sejarah itu, Thian Oe jadi tidak merasa heran lagi melihat datangnya ketiga Lhama
yang berjubah putih. "Kalau sampai guci emas kena dirampas oleh mereka, Tibet bakal jadi kalut
sekali," pikir Thian Oe.
Ketiga Lhama itu bukan main garangnya. Mereka semua menggunakan Kiuhoan Sekthung
(tongkat timah) yang mengeluarkan suara keras waktu diputar.
"Kita harus pasang mata," berbisik Leng Kiauw sembari cekal gagang pedangnya.
Dalam tempo sekejap, mereka bertiga sudah menerjang masuk ke dalam barisan Tjeng.
Dengan ajak sejumlah boesoe, Yoe It Gok coba tahan mereka, akan tetapi, baru saja beberapa
gebrakan, ia dan kawan-kawannya sudah terdesak mundur.
Selagi kegentingan memuncak, di atas gunung mendadak berkelebat satu bayangan hitam.
"Celaka!" berseru Liong Leng Kiauw sembari cabut pedangnya dan lantas pentang kedua
kakinya. Thian Oe dan Yoe Peng lantas saja mengikuti dari belakang. Thian Oe merasa heran
sekali, kenapa Liong Leng Kiauw yang begitu tenang, jadi begitu kaget setelah lihat berkelebatnya
bayangan hitam tersebut. Siapakah musuh itu?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kecepatan bayangan hitam itu sungguh sukar dilukiskan. Barusan saja ia terlihat di atas gunung
Tantat san yang terpisah ribuan kaki dari selat. Mula-mula cuma terlihat satu titik hitam. Dalam
sekejap, seluruh badannya sudah dapat dilihat, dan di lain saat, ia sudah berada di lereng gunung.
Begitu lihat romannya. Thian Oe terkesiap. Ia itu bukan lain daripada si pendeta India berkelana,
yang kemarin mereka bertemu di tengah jalan. Di belakangnya pendeta itu kelihatan mengikuti
beberapa bayangan hitam lain.
"Dia satu saja sudah sukar dilawan, bagaimana dengan kawan-kawannya," kata Thian Oe
dalam hatinya. "Kalau begini, guci emas sukar dilindungi lagi."
Gerakan Liong Leng Kiauw cepat bagaikan angin. Sembari acungkan pedangnya, ia menerjang
masuk ke dalam barisan. "Atas titahnya Hok Tayswee, aku datang disini buat menyambut guci
emas!" ia berseru. Dengan serentak, Gielimkoen terpecah dua buat memberi jalan kepadanya.
Mendengar bentakan Liong Leng Kiauw, tiga Lhama jubah putih yang sudah berada di dalam
barisan, segera menengok dan tiga batang sekthung menghantam dengan berbareng. Liong Leng
Kiauw, yang tidak ingin bertempur sama tiga Lhama itu, lantas tekan ujung pedangnya pada salah
satu sekthung dan badannya segera melesat ke tengah udara. Dengan satu gerakan Koetjoe
hoansin (Anak ayam putar badan) yang sangat indah, badannya sudah
"terbang" melewati kepalanya tiga Lhama tersebut, akan kemudian langsung memburu ke
pasukan tengah.
Thian Oe dan Yoe Peng yang datang belakangan sudah bertemu dengan enam boesoe Nepal di
luar barisan. Mereka berdiri berjajar sambil cekal goloknya yang berbentuk bulan sebelah.
"Siauw Kongtjoe akan segera datang. Kenapa kau orang tidak mau lantas melarikan diri?"
berkata Yoe Peng dalam bahasa Nepal.
Enam boesoe itu terkejut. "Jangan percaya omongannya!" membentak si pendeta jubah merah.
"Pengtjoan Thianlie siang-siang sudah ditelan gunung berapi!"
Tanpa berkata satu apa lagi, Yoe Peng lantas lepaskan dua butir Pengpok Sintan. Enam boesoe
itu jadi bergidik dan dua antaranya, yang pernah turut si pendeta jubah merah naik ke keraton es
dan mengenali Yoe Peng, sudah jadi begitu ketakutan, sehingga badannya bergoyang-goyang.
Dengan menggunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng segera menerjang masuk ke
dalam barisan.
Dalam barisan sedang terjadi pertempuran campur aduk. Oleh karena tidak ingin kebentrok
dengan jago-jago Lima Propinsi Utara, Thian Oe segera teriaki Yoe Peng: "Mari kita gempur itu
Hoantjeng!"
Oleh karena dibukakan jalan oleh tentara Tjeng, Thian Oe dan Yoe Peng bisa masuk secara
gampang. Selagi mereka mau menerobos lebih jauh, tiga Lhama jubah putih mendadak
menengok. "Bocah, lekas pergi!" kata satu antaranya yang menjadi pemimpin dan yang lantas
menghantam dengan tongkatnya. Thian Oe dan Yoe Peng rasakan satu tenaga yang luar biasa
besar menyapu pedang mereka, yang lantas terbang ke tengah udara. Ternyata, lantaran lihat
usia mereka yang masih begitu muda, si Lhama tidak tega turunkan tangan jahat dan cuma bikin
terpental saja pedang mereka.
Selagi Lhama itu tertawa girang, dengan berbareng Yoe Peng lepaskan tiga Pengpok Sintan.
Tiga Lhama tersebut mana tahu dalam dunia ada senjata rahasia yang begitu liehay. Diserang
selagi tidak bersedia, tiga peluru itu dengan tepat mengenakan dada mereka yang terbuka lebar.
Mendadakan saja, mereka rasakan menyambarnya hawa yang luar biasa dingin, sehingga badan
mereka jadi gemetaran. Dengan gunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng sambut pedang
mereka yang sedang jatuh ke bawah dan lalu menerjang ke sebelah depan.
Begitu menerobos ke dalam barisan, pendeta berkelana itu segera kasih lihat kepandaian yang
menakjubkan. Dengan tongkat bambunya, ia menotol ke kanan dan ke kiri, dan serdadu-serdadu
Gielimkoen yang berada dalam jarak tujuh tindak dari ianya, begitu kena ditotol, begitu roboh.
Mukanya Tjiauw Tjoen Loei jadi pucat bagaikan kertas. Sembari menyampok dengan Longgee
pang-nya, ia tinggalkan kedua saudara Boe dan coba cegat si pendeta.
Pada saat tersebut, Liong Leng Kiauw juga sudah tiba disitu dan lantas papaki kedua saudara
Boe yang baru saja ditinggalkan oleh Tjiauw Tjoen Loei. Kedua pedangnya saudara Boe lantas
bekerja sama. Pedang kiri menikam dengan gerakan Lioeseng kangoat (Bintang sapu ubar bulan),
sedang pedang kanan menyambar dengan gerakan Tjietian hoei-in (Kilat terbang di awan).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pedangnya Liong Leng Kiauw terputar dan dengan satu sinar dingin, kedua pedang yang barusan
bersatu jadi berpencar. Begitu berpencar, kedua pedang terus menikam jalanan darahnya Liong
Leng Kiauw. Dalam ilmu pedang, serangan pada jalanan darah dari jarak yang begitu dekat adalah
serangan yang luar biasa sukar ditangkisnya. Tapi ilmu pedangnya Liong Leng Kiauw sangat luar
biasa. Dengan sedikit gerakan, ujung pedangnya sudah bentur ujung pedangnya Boe Lootoa,
sehingga mengeluarkan suara "trang" yang sangat nyaring. Berbareng dengan itu, dengan
gunakan tenaga berbaliknya sang pedang, gagang pedangnya Liong Leng Kiauw bentur ujung
pedangnya Boe Loodjie, yang lantas menjadi miring! Gerakan itu dilakukan dalam waktu yang luar
biasa tepatnya, sehingga Boe-sie Hengtee merasa sangat terkejut.
"Minggir!" berseru Liong Leng Kiauw sembari mendesak dengan tiga serangan kilat. Di antara
ahli-ahli silat kelas utama, satu dua gebrakan saja sudah cukup buat mengetahui isinya pihak
lawan. Demikianlah Boe-sie Hengtee segera mengetahui, bahwa ilmu silatnya sang lawan ada
banyak lebih tinggi dari mereka dan bahwa sang lawan itu masih berlaku sungkan dan tidak mau
turunkan tangan jahat. Dengan berbareng, mereka loncat ke samping buat membuka jalan.
"Terima kasih," berkata Liong Leng Kiauw sembari loncat.
Sekarang marilah kita tengok Tjiauw Tjoen Loei, yang sesudah tinggalkan Boe-sie Hengtee,
lantas cegat majunya si pendeta berkelana. Saat itu, si pendeta sudah totok roboh dua pengawal
yang melindungi guci emas. Melihat sambarannya Tjiauw Tjoen Loei, dengan sikap acuh tak acuh,
ia angkat tongkat bambunya yang lantas menyambar ke arah jalanan darah Honghoe hiat. Buat
ahli-ahli silat, ilmu menotok jalanan darah adalah ilmu yang biasa saja. Akan tetapi, bahwa dalam
perkelahian campur aduk di antara ribuan orang, si pendeta masih dapat kirim totokan yang
begitu tepat, adalah satu kejadian yang langka dalam Rimba Persilatan.
Tjiauw Tjoen Loei tak berani berayal lagi. Ia segera kerahkan tenaga dalamnya terus sampai di
ujung Longgee pang, yang lantas digunakan buat tempel tongkat bambunya si pendeta. Dengan
seluruh tenaga, ia menekuk buat mematahkan tongkat musuh. Tapi siapa nyana, Longgee pang
itu seperti juga kena dihisap dan nempel keras pada sang tongkat. Tjiauw Tjoen Loei rasakan
bukan saja tenaganya hilang tapi juga tekanan tenaga musuh yang luar biasa besarnya. Ia betot
Longgee pang-nya tapi tak dapat terlepas lagi! Ia tahu, lweekang si pendeta ada banyak lebih
tinggi dan jika bertahan sedikit lama lagi. Ia akan mendapat luka di dalam badan.
Selagi ia kebingungan, mendadak berkelebat satu sinar hijau dan dengan suara "srt",
pedangnya Liong Leng Kiauw menyambar di tengah-tengah dan pencarkan Longgee pang dari
tempelannya tongkat bambu. "Tjiauw Taydjin, pergilah lindungi guci emas," berkata Liong Leng
Kiauw sembari tertawa
Melihat pada tongkatnya terdapat tanda goresan pedang, pendeta itu merasa agak terkejut tapi
begitu lekas mendapat tahu siapa lawannya, ia lantas tertawa terbahak-bahak. "Ah, kau pun
datang!" katanya.
"Kemarin kau jajal aku, hari ini akulah yang mau jajal padamu," kata Liong Leng Kiauw sembari
menyabet dengan pedangnya, yang lantas ditangkis sama tongkatnya si pendeta. Menurut pantas,
begitu kebentrok sama pedang, tongkat bambu mestinya lantas putus. Akan tetapi, sampokannya
si pendeta disertai dengan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya, sehingga begitu lekas kedua
senjata kebentrok, badannya Liong Leng Kiauw jadi sempoyongan tiga tindak.
Di lain saat, tongkatnya si pendeta kembali menyambar. Dengan tangan kiri mencekal pedang,
Leng Kiauw mementil sama dua jerijinya dan tongkat musuh segera terpentil miring. "Bagus!"
berseru si pendeta dengan perasaan kagum sebab barusan ia menyabet dengan gunakan tenaga
dalam yang cukup besar dan tidak nyana lawannya dapat punahkan serangan itu sama satu
pentilan jeriji. Bagaikan kilat, Leng Kiauw kirim tiga serangan, dengan setiap serangan berisi tiga
sambaran yang menuju ke arah sembilan jalanan darah. Si pendeta berkelana juga benar-benar
ahli silat kelas utama. Dengan sekali putar tongkatnya, ia kirim empat serangan membalas dan
punahkan semua totokan lawannya. Kedua lawan itu merupakan tandingan setimpal sehingga
buat sementara waktu sukar dilihat siapa yang lebih unggul.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng, yang sesudah lewatkan tiga Lhama
jubah putih, lantas saja terjang si pendeta jubah merah. "Waktu kau menyatroni keraton es,
jiwamu sudah diberi ampun. Apa kau lupa pesanan Kongtjoe kami?" membentak Yoe Peng.
Pesanan Pengtjoan Thianlie pada waktu itu adalah supaya ia buru-buru pulang ke Nepal dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

jangan campur-campur urusan guci emas. Sebagaimana diketahui, Hoantjeng itu adalah Koksoe
(Guru Negara) dari Nepal dan selama hidupnya, baru dua kali ia mengalami kekalahan di keraton
es. Maka itu, lantas ia menjadi gusar, ketika Yoe Peng sebut-sebut kejadian tersebut.
"Perempuan tak kenal mampus!" ia membentak. "Biar aku kirim kau pulang ke akherat, supaya
bisa bertemu dengan Kongtjoe-mu!" Ia berkata begitu lantaran menduga pasti, Pengtjoan Thianlie
mesti binasa waktu terjadi gempa bumi.
Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi seperti orang kalap.
Sebelum si pendeta jubah merah bergerak, ia sudah dahului dengan serangan yang
membinasakan. Sama gerakan Totjoan pengpo (Bikin terbalik sungai es), sinar pedangnya
berkelebat-kelebat menyambar dari empat penjuru. Si pendeta jubah merah terkesiap dan berkata
dalam hatinya: "Baru saja berdiam beberapa bulan di keraton es, ilmu silatnya ini bocah sudah
maju begitu jauh!" Buru-buru ia menyampok dengan sianthung-nya. Pada saat itu, serupa hawa
yang luar biasa dinginnya mendadak menyambar, sehingga ia jadi bergidik dan gerakan
tongkatnya jadi agak terlambat. Tapi meskipun begitu, pedangnya Thian Oe kena tersampok juga
dan ia rasakan tangannya sakit sekali.
Tenaga dalamnya si pendeta jubah merah sebenarnya ada beberapa kali lipat lebih tinggi dari
Thian Oe. Akan tetapi, lantaran pertama ia sudah capai sekali, kedua lantaran ilmu silatnya Thian
Oe memang sudah maju jauh dan ketiga lantaran Thian Oe mendapat bantuannya Yoe Peng,
maka dalam pertempuran itu, si pendeta jubah merah sama sekali tidak bisa berada di atas angin.
Harus diketahui, bahwa di antara dayang-dayangnya Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng mempunyai
ilmu silat yang paling tinggi, sedang Pengpok Hankong kiam juga merupakan senjata luar biasa
yang meminta banyak tenaganya musuh guna melawan hawa dinginnya yang sangat hebat.
Waktu itu, pertempuran campur aduk di selat gunung sedang berlangsung dengan serunya.
Thian Oe dan Yoe Peng yang sedang pusatkan seluruh perhatiannya guna melayani musuh, tidak
mempunyai tempo buat memperhatikan lain bagian. Tiba-tiba terdengar suara teriakan riuh di
antara tentara Tjeng dan ribuan orang bergerak seperti gelombang. Thian Oe dan Yoe Peng
melirik. Ternyata itu tiga Lhama jubah putih sudah berhasil menerjang masuk ke pasukan tengah
dan sudah rampas itu tiga kuda putih, satu antaranya menggendol bungkusan besar yang ditutup
sama sutera sulam warna kuning. Tjiauw Tjoen Loei, kepala delapan pengwal istana, kelihatan
sedang ubar kuda putih itu, sembari keluarkan satu teriakan geledek. Thian Oe terkejut dan
menduga bahwa bungkusan itu tentulah juga berisi guci emas. Di lain saat, ketiga Lhama jubah
putih itu sudah duduk di punggung kuda, yang sembari berbenger keras, sudah lantas menerjang
keluar.
Dengan sekuat tenaga Tjiauw Tjoen Loei coba menyandak, tapi ketinggalan jauh dan tiga kuda
putih tersebut kelihatannya akan segera dapat menerjang keluar dari barisan Tjeng.
Sembari berteriak keras, Liong Leng Kiauw keluarkan ilmu pedang Tjiauwhoen Sippat tjiauw
(Ilmu pedang tarik nyawa yang mempunyai delapan belas macam pukulan). Delapan belas
pukulan itu, yang satu lebih cepat dari yang lain, terutama digunakan buat menikam jalanan darah
musuh. Liehay memang luar biasa liehay, tapi sangat meminta tenaga dalam. Baru saja ia
keluarkan pukulan yang ke tujuh, yaitu Toeihoen tokpok (Memburu roh menarik sukma), napasnya
si pendeta berkelana sudah sengal-sengal dan sembari kebas tongkatnya, ia loncat minggir buat
kasih Liong Leng Kiauw lewat.
Liong Leng Kiauw jadi heran bukan main. Ia mengetahui, bahwa tenaga dalamnya si pendeta
berkelana kira-kira setanding dengan tenaganya sendiri. Menurut taksirannya, sesudah jalankan
habis itu delapan belas pukulan, barulah ada kemungkinan si pendeta dapat dipukul mundur. Maka
itu, ia merasa sangat tidak mengerti, kenapa sebelum ilmu pedangnya di jalankan separoh, si
pendeta sudah keteter. Liong Leng Kiauw adalah ahli silat kelas berat dan tak gampang orang
dapat kelabui padanya. Panca inderanya yang sangat tajam sudah dapat tangkap, bahwa sengal-
sengalnya si pendeta adalah sengal-sengal yang dibuat-buat. Tapi kenapa toh ia berlagak kalah?
Tapi ketika itu, ia tidak sempat buat berpikir banyak-banyak. Dengan gunakan ilmu entengi badan,
bagaikan kilat ia molos dari antara badan-badan manusia dan kejar tiga Lhama jubah putih itu.
Dalam tempo sekejap, ia sudah menyandak dan kemudian lewati Tjiauw Tjoen Loei. Selagi
lewat, lapat-lapat ia dengar Tjiauw Tjoen Loei berkata: "Biarkan mereka pergi." Leng Kiauw yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sedang bergerak luar biasa cepat, tidak dapat lantas hentikan tindakannya, akan tetapi, ketika
menengok, ia lihat Tjiauw Tjoen Loei masih terus mengubar sembari acungkan tongkatnya.
Hatinya Liong Leng Kiauw jadi merasa sangat heran. "Apa aku dengar salah?" tanya ia dalam
hatinya. "Tjiauw Tjoen Loei adalah pemimpin dari para pengawal istana dan tugas terutama dalam
melindungi guci emas itu jatuh di atas pundaknya. Tapi kenapa ia kata 'Biarkan mereka pergi'?
Dan kalau toh sudah berkata begitu, kenapa ia masih mengubar terus?"
Biarpun hatinya heran, ia mengejar terus dan dalam tempo sekejap sudah dapat candak tiga
kuda putih itu. Ketiga Lhama bilukkan kudanya dan tiga batang Kioehoan Sekthung menyambar
dengan berbareng. Dengan gerakan Tianghong kengthian (Bianglala membentang di langit), Liong
Leng Kiauw menggurat dengan pedangnya dan tiga batang toya timah itu lantas tersampok
miring. Meskipun berhasil menangkis serangannya musuh, tapi Leng Kiauw rasakan tangannya
tergetar lantaran tiga musuh itu bukan ahli silat sembarangan dan lebih pula, sang musuh duduk
di atas kuda, sedang ia sendiri berjalan kaki. Mendadak ia dengar teriakannya Tjiauw Tjoen Loei.
Ketika menengok, ia lihat pengawal istana itu menggape dengan paras muka kebingungan.
Leng Kiauw heran bukan main, sehingga gerakan pedangnya jadi agak lambat. Dengan
menggunakan kesempatan itu, ketiga Lhama jubah putih putar kudanya yang lalu dikaburkan
seperti terbang. Dalam tempo sekejap mereka sudah lewati mulut selat gunung yang seperti
terompet. Pertahanan tentara disitu agak tipis, sehingga dengan tidak banyak sukar mereka dapat
menerjang keluar.
Liong Leng Kiauw mendadakan saja ingat apa-apa. "Ah, apakah mereka bukan gunakan siasat
pancing macan keluar gunung?" tanya ia dalam hatinya. "Apakah bungkusan yang digendol kuda
putih bukannya berisi guci emas?" Akan tetapi, walaupun hatinya berpikir begitu, ia masih sangat
bersangsi lantaran urusan ini adalah urusan yang sangat besar dan jika guci emas sampai kena
dirampas, semua pembesar Tjeng yang berada di Tibet harus turut pikul kedosaannya.
Sedang Liong Leng Kiauw berada dalam kesangsian, tiga Lhama itu yang sudah menerjang
keluar dari kepungan, sedang mendaki satu tanjakan. Melihat guci emas kena dirampas, beberapa
ribu serdadu Gielimkoen lantas saja menjadi kalut. Seluruh barisan lantas saja dirobah, pasukan
belakang jadi pasukan depan, sedang yang di depan mengambil kedudukan di sebelah belakang.
Laksaan anak panah menyambar dengan berbareng dan ribuan kuda coba mengubar ketiga
Lhama itu. Akan tetapi, tiga kuda putih yang ditunggangi oleh mereka adalah kuda-kuda pilihan
dari istal keraton kaizar. Bagaikan kilat, tiga binatang itu sudah naik di atas tanjakan dan tentara
Gielimkoen ketinggalan jauh sekali.
Pada saat yang sangat genting, di atas tanjakan mendadak terdengar siulan yang nyaring dan
panjang dan di tengah jalan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang pakai baju putih. Dengan
sekali ayun tangannya, tiga kuda putih itu berjingkrak dan berbenger keras.
Dengan gusar, tiga Lhama jubah putih menyapu dengan tongkatnya. Mendadak si pemuda
ayun kedua tangannya dengan berbareng dan tiga sinar hitam merah menyambar, masing-masing
mengenakan tepat tiga tongkat itu. Tiga Lhama rasakan tangannya sakit dan tongkat mereka
hampir-hampir saja terlepas dari tangannya.
Di bawah selat tiba-tiba terdengar suara teriakan orang: "Thiansan Sinbong! Thiansan
Sinbong!"
Sedang ketiga Lhama itu terkejut, si pemuda sudah berkata sembari tertawa: "Serahkan guci
emas itu dan lantas berlalu dari sini!"
Tiga Lhama itu yang merasa sudah kantongi hasil, mana mau gampang-gampang menyerah.
Mereka keprak kudanya yang lantas saja pentang kakinya dan menerjang.
Si pemuda baju putih tertawa tawar dan berkata: "Kau orang benar-benar kepengen dihajar,
baru mau mengerti?" Ia ayun tangan kanannya dan tiga sinar hitam merah kembali menyambar.
Tiga Lhama itu coba menyampok dengan tongkatnya, tapi luput, dan hampir pada saat itu juga,
tiga tunggangannya berjingkrak sambil berbenger keras diikuti dengan robohnya ketiga Lhama itu.
Liong Leng Kiauw kaget berbareng girang dan mengetahui, bahwa si pemuda itu adalah murid
dari Thiansan pay. Ia pun mengetahui, bahwa kepandaiannya pemuda tersebut ada lebih tinggi
dari kepandaiannya sendiri dan sudah cukup buat melayani tiga Lhama tersebut, sehingga hatinya
jadi merasa lega. Tapi, baru saja ia mau maju menghampiri, dari lereng gunung mendadakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

muncul lima pendeta India dan semuanya memakai jubah pertapaan warna hitam dan bersenjata
tongkat bambu. Mereka itu ternyata adalah murid-muridnya si pendeta berkelana.
Biarpun Liong Leng Kiauw berkepandaian tinggi, akan tetapi dengan dikerubuti oleh lima ahli
silat kelas satu yang bekerja sama secara erat sekali, tak gampang ia bisa buru-buru loloskan diri.
Dilihat dari cara berkelahinya, lima pendeta India itu kelihatannya mau "ikat" Liong Leng Kiauw di
luar barisan, supaya ia tak dapat masuk lagi ke pasukan tengah. Dengan begitu, hatinya Liong
Leng Kiauw jadi sangsi dan curiga. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia dengar
bentakannya si pemuda baju putih dan tiga ekor kuda putih itu sudah balik ke barisan Tjeng.
Sejumlah serdadu lantas menyambut dan bungkusan yang digendol oleh salah satu kuda, masih
tetap berada di atas punggungnya kuda itu.
Tiga Lhama jubah putih kelihatan masih sangat penasaran dan ubar si pemuda dengan
tindakan sempoyongan. Si pemuda balik badannya dan berkata sembari tertawa: "Lekas pulang ke
Tjenghay. Kau orang semua sudah kena Sinbong. Dengan mengasoh empat puluh sembilan hari,
mungkin kau orang akan sembuh kembali. Yang paling penting adalah jiwamu sendiri, buat apa
kau orang terus ubar-ubar aku."
Tiga Lhama itu tahu, mereka sudah kena senjata rahasia. Cuma saja, dengan andalkan ilmu
Kimtjiongto (semacam ilmu weduk), mereka percaya senjata rahasia itu tidak akan dapat
celakakan dirinya dan sesudah pekerjaannya selesai, mereka masih dapat mencabutnya. Itulah
sebabnya, mereka tidak begitu percaya perkataannya si pemuda baju putih. Mereka cuma kuatir,
kalau-kalau senjata rahasia itu mengandung racun. Dengan adanya kekuatiran tersebut, mereka
jadi lebih ingin bertempur pula buat paksa si pemuda keluarkan obat pemunah.
Gerakannya si pemuda baju putih cepat luar biasa dan dalam tempo sekejap, ia sudah masuk
ke pasukan tengah. Lima pendeta India yang lagi kepung Liong Leng Kiauw dengan lantas
berpencaran. Selagi Liong Leng Kiauw mau menghaturkan terima kasih, mendadak ia dengar
teriakannya Boe-sie Hengtee: "Keng Thian-heng, sungguh kebetulan kau juga datang disini!
Bungkusan yang digendong oleh kuda putih itu berisi guci emas. Lekas rampas guci itu!"
Liong Leng Kiauw terkesiap seperti orang disambar geledek. Ilmu silatnya si pemuda itu lebih
hebat daripada si pendeta berkelana. Jika ia sampai turun tangan, siapakah yang dapat
mencegahnya?
"Saudara-saudara Boe, Bek Lootjianpwee," kata si pemuda itu sembari tertawa. "Aku sekarang
ingin ajukan satu permohonan pada kalian. Aku mohon kalian bubar saja dan biarkan guci emas
itu tiba di Lhasa!"
Perkataan itu sudah membikin semua orang gagah dari Lima Propinsi Utara jadi terkesiap.
"Apa?" berteriak Bek Eng Beng. "Kau mau bantu kerajaan Tjeng melindungi guci emas itu?"
"Benar!" jawabnya dengan tenang. "Aku datang buat melindungi guci emas itu."
"Tong Sieheng!" berseru Boe sie Hengtee. "Dengan membantu kerajaan Tjeng, apakah kau
masih ada muka buat menemui ayahmu?"
"Inilah justru kemauan ayahku sendiri," jawab si pemuda sembari tertawa. "Boe Lootoa,
sekarang lebih baik kalian bubaran saja dahulu. Sebentar kita bertemu, di gunung depan, supaya
aku dapat memberi penjelasan terlebih lanjut."
"Aku tak percaya!" membentak Boe-sie Hengtee dengan suara keras.
Semua orang gagah kawan-kawannya Bek Eng Beng jadi heran bukan main dan mereka mulai
saling menyatakan pikirannya. "Oh, kalau begitu ia adalah puteranya Tayhiap Tong Siauw Lan?"
kata yang satu.
"Cara bagaimana Tong Tayhiap bisa permisikan puteranya menjadi kuku garuda kerajaan
Tjeng? Apakah ia bukan satu penipu yang menggunakan namanya Tong Tayhiap?" tanya seorang
lain.
"Ah," kata orang ketiga. "Dilihat dari ilmu silatnya dan didengar panggilannya Boe-sie Hengtee,
pasti tulen puteranya Tong Tayhiap. Hm! Anak poethauw (tidak berbakti)!"
Demikianlah mereka berunding dan pertempuran terhenti buat sementara waktu.
Pemuda itu memang benar adalah putera tunggal dari Tong Siauw Lan, tjiangboen (pemimpin)
dari Thiansan pay. Namanya pemuda itu adalah Tong Keng Thian. Dengan keluarga Boe, Tong
Siauw Lan mempunyai hubungan yang sangat rapat, dan ketika masih kecil Boe-sie Hengtee
pernah naik ke Thiansan buat menemui Tong Siauw Lan dan oleh karena itu, mereka jadi kenal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keng Thian. Oleh karena Keng Thian baru pertama kali terjun ke dalam kalangan Kangouw, maka
banyak tjianpwee dan orang gagah masih belum tahu asal-usulnya. Mereka ingat, dahulu Tong
Siauw Lan bersama-sama Kam Hong Tie, Lu Soe Nio dan lain-lain pendekar sudah musuhi
kerajaan Tjeng secara hebat dan pernah lakukan pekerjaan yang menggemparkan seluruh negeri.
Salah satu antara tiga pendekar wanita yang menyatroni keraton kaizar dan kemudian bunuh
mati kaizar Yongtjeng, adalah isteri Tong Siauw Lan sendiri. Sedang kepalanya kaizar, ayah ibunya
masih berani kutungkan, mana bisa jadi mereka sekarang permisikan sang putera melindungi guci
emas dari kerajaan Tjeng? Dengan adanya pendapat begitu, semua orang gagah sukar percaya
keterangannya Keng Thian dan mereka mengawasi pemuda itu dengan sorot mata gusar. Keadaan
yang sunyi senyap menakuti sekali, seperti juga mendung tebal yang tinggal tunggu turunnya
hujan lebat.
Keng Thian mesem, tapi selagi ia mau buka suara, mendadakan saja terdengar teriakan kaget
dari Tjiauw Tjoen Loei dan para perwira yang berkumpul di bawah bendera kuning jadi kalang
kabut. Seluruh pasukan tengah lantas saja menjadi kalut.
Ternyata dengan gunakan kesempatan selagi semua orang perhatikan puteranya Tong Siauw
Lan, si pendeta berkelana loncat ke atas satu kereta keledai. Dari dalam kereta lantas menyambar
dua martil besi, yang dengan gampang dibikin terpental sama satu sampokan tongkat. Dengan
sekali kasih masuk tangannya ke dalam kereta, si pendeta tarik keluar dan terus lemparkan dua
perwira yang menjaga dalam kereta itu!
Dua perwira itu juga bukannya sembarang orang. Begitu jatuh, dengan gerakan Leehie tahteng
(Ikan leehie meletik), ia sudah loncat bangun dan terus menubruk ke dalam kereta, tapi si pendeta
sudah keburu loncat keluar dan kabur ke jurusan barat.
Semua itu terjadi dengan luar biasa cepatnya. Baru saja Tjiauw Tjoen Loei dan lain-lain perwira
mengetahui kejadian itu, si pendeta sudah kabur puluhan tombak jauhnya. Ia putar tongkat
bambunya dan semua serdadu
Gielimkoen, yang berada dalam jarak delapan kaki dari dirinya, begitu kebentur tongkat, begitu
rebah. Oleh karena di sekitar itu tidak terdapat lawanan yang mempunyai ilmu silat berarti, maka
ia kelihatannya akan segera dapat menoblos keluar dari barisan Tjeng.
Sembari keluarkan teriakan kaget, Tong Keng Thian cabut pedangnya dan terus mengubar.
Kereta yang tadi diserbu oleh si pendeta berkelana sebenarnya adalah kereta yang paling jelek
kelihatannya, seperti juga kereta rumput. Bukan saja tendanya tua dan pada robek, tapi
keledainya pun kurus kering. Akan tetapi, guci emas yang tulen justru terdapat dalam kereta
tersebut. Bungkusan indah yang digendong kuda putih hanya satu siasat buat kelabui orang. Itu
sebabnya, biarpun diluar Tjiauw Tjoen Loei kelihatan bingung dan ubar tiga Lhama jubah putih
yang merampas tiga kuda putih itu, dalam hatinya ia merasa girang dan ingin supaya mereka
buru-buru pergi supaya lawanan berat jadi berkurang. Menyerbunya lima pendeta India jubah
hitam, yaitu murid-muridnya si pendeta berkelana, bertujuan memecah perhatian orang, supaya
sang guru dapat menyerbu kereta itu dan rampas guci emas yang lagi diincar. Pendeta berkelana
itu bukannya pendeta biasa. Ia adalah ahli Yoga yang sengaja di kirim oleh raja Kalimpong, India.
Raja tersebut mempunyai angan-angan berkuasa di Tibet dan dari sebab begitu, ia mengirim
orang-orangnya buat coba rampas guci emas kiriman kaizar Tjeng.
Tong Keng Thian yang sudah kuntit lama barisan Tjeng itu, mengetahui rahasia tersebut. Maka
itulah, begitu lihat si pendeta serbu kereta keledai, ia jadi terkejut dan cabut pedangnya buat
mengubar. Di lain saat, Liong Leng Kiauw juga sudah turut memburu bagaikan terbang.
Seperti sudah direncanakan lebih dahulu, begitu lihat gurunya berhasil, lima murid itu lantas
saja cegat Keng Thian dan Leng Kiauw. Walaupun ilmu silat mereka masih kalah jauh sekali jika
dibanding dengan Keng Thian dan Leng Kiauw, akan tetapi oleh karena adanya kerja sama dalam
menggunakan Ilmu Tongkat Tiantiok (Ilmu tongkat India) yang seperti berantai dengan kepala
dan buntut berhubungan satu sama lainnya, maka buat sementara waktu, Leng Kiauw dan Keng
Thian kena juga "diikat" oleh mereka. Selagi Keng Thian mau turunkan tangan membinasakan,
tiga Lhama jubah putih tiba-tiba datang menyerbu, sehingga mereka berdua jadi dikerubuti
delapan orang. Dengan demikian, mereka jadi lebih sukar menoblos dan pada ketika itu, si
pendeta berkelana sudah berada di luar barisan pasukan Tjeng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa kau orang sudah bosan hidup!" membentak Keng Thian. "Kau bertiga sudah kena
Thiansan Sinbong yang sekarang sudah masuk di jalanan darah. Jika kau orang pulang dan
mengasoh sambil kerahkan pernapasan, mungkin masih bisa ditolong. Tapi kalau kau orang masih
mau bertempur terus dan Sinbong sampai menusuk ke jantung, biar ada obat apapun juga,
jiwamu tidak akan dapat ditolong lagi!" Tapi tiga Lhama itu, yang sangat andalkan lweekang-nya
yang tinggi, sudah tidak ladeni peringatannya Keng Thian dan terus menyerang dengan sengit.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah keluar dari mulut selat dan sedang mendaki tanjakan
dengan cepat sekali. Ia bakal segera tiba di lereng gunung dan kalau ia sudah berada disitu,
biarpun bisa terlepas dari "ikatannya" itu delapan musuh, Keng Thian dan Leng Kiauw tidak bakal
dapat menyandak lagi.
Hampir berbareng dengan siulan panjang yang dikeluarkan oleh si pendeta berkelana, dari
lereng gunung kembali muncul lima orang pendeta India. Ternyata dalam rencana merebut guci
emas, ia sudah bikin persiapan yang sangat rapi dengan membawa sepuluh orang muridnya, yang
dibagi jadi dua rombongan. Lima orang ikut masuk ke dalam barisan Tjeng, sedang lima murid
lainnya menunggu di lereng gunung buat menyambut. Sepuluh murid itu sebenarnya disiapkan
buat cegat delapan pengawal istana atau cegat musuh-musuh yang menjaga di bagian belakang.
Akan tetapi, sebagaimana diketahui, delapan pengawal istana telah dibikin repot oleh
rombongannya Bek Eng Beng, sehingga pertahanan di bagian belakang jadi kosong sama sekali.
Begitu lekas si pendeta berkelana dan lima muridnya tiba di lereng gunung, lima pendeta India
yang kepung Keng Thian dan Leng Kiauw, lantas mulai mundur, tapi tiga Lhama jubah putih masih
saja menyerang secara hebat.
"Hei!" berseru Keng Thian. "Coba kau bertiga rasakan, ada apa di jalanan darah Thiansoan hiat,
di bawah tulang dada."
Tiga Lhama itu kaget dan benar saja di dekat jalanan darah itu, mereka merasa baal dan gatal,
seperti juga ada binatang semut sedang berjalan, dan semakin lama perasaan itu jadi semakin
hebat. Tiga orang itu adalah ahli silat kelas satu dan mereka segera mengetahui, bahwa senjata
rahasia musuh sedang berjalan dalam badan mereka dengan mengikuti jalanan darah. Bukan main
kagetnya mereka dan gerakannya lantas menjadi lambat. Pada saat itu, lima pendeta India sedang
berusaha buat kabur, tapi belum dapat kesempatannya. Mendadak dengan satu bentakan keras,
Tong Keng Thian menyabet dengan Yoeliong kiam yang mengeluarkan sinar panjang bagai
bianglala "Rasakan tiamhoat-ku. Roboh!" Keng Thian berseru. Dengan satu getaran tangan,
pedangnya totok jalanan darah lima pendeta itu yang hampir berbareng roboh di atas tanah! Tiga
Lhama jubah putih terkesiap dan buru-buru loncat minggir, sedang Liong Leng Kiauw dan Tong
Keng Thian lantas loncat melewati dirinya.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah tiba di lereng gunung. Tingginya gunung Tantat san ada
ribuan kaki dan buat mendaki setengah gunung, orang biasa harus gunakan tempo setengah hari.
Leng Kiauw dan Keng Thian belum berada di kaki gunung, sehingga biarpun mereka mempunyai
ilmu entengi badan yang lebih tinggi lagi, mereka tidak akan dapat menyandak pendeta itu.
Selainnya berteriak-teriak, tentara Tjeng tidak dapat berbuat suatu apa, sedang orang-orang
gagah dari Utara barat pun hanya dapat mengawasi dengan perasaan gusar. Berhubung dengan
terampasnya guci emas, pertempuran lantas berhenti dengan sendirinya.
Selagi semua orang menahan napas, mendadak di antara suasana gunung yang sunyi senyap
terdengar suara khim yang merdu sekali. Tiga ribu serdadu Tjeng dan seratus lebih orang gagah
jadi terkejut dan menduga-duga siapa yang menabuh tabuh-tabuhan itu. Tapi orang yang paling
kaget adalah Tong Keng Thian, sebab ia kenali, bahwa lagu itu adalah lagu yang ia pernah dengar
ketika bertemu Pengtjoan Thianlie buat pertama kali. Tanpa merasa, ia hentikan tindakannya dan
dongak mengawasi ke atas.
Tiba-tiba di atas puncak gunung yang ditutup awan putih muncul bayangannya seorang wanita,
yang memakai jubah biru laut dengan ikatan pinggang sutera merah. Dengan sekelebatan saja ia
sudah kenali, bahwa wanita itu adalah wanita yang siang malam ia tak dapat lupakan – Pengtjoan
Thianlie! Semua orang dongak memandang ke atas dan biarpun disitu terdapat ribuan manusia
dan kuda, keadaan ada sedemikian sunyinya, sehingga andaikata jatuh sebatang jarum, suaranya
akan dapat didengar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kecepatan bergeraknya Pengtjoan Thianlie sukar dapat dilukiskan. Orang-orang yang berada di
bawah cuma dapat lihat pakaiannya yang berkibar-kibar, seolah-olah ia sedang terbang turun
dengan mengikuti alirannya sang angin. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di lereng gunung dan
berhadapan sama si pendeta berkelana dan lima muridnya.
Si pendeta India juga kelihatannya terkejut. "Serahkan guci emas itu dan pergi dari sini!"
berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. Suaranya lemah lembut, tapi tak mengenal
kompromi, sedang sikapnya seakan-akan seorang ratu yang sedang mengeluarkan perintah.
Si pendeta berkelana terkesiap dan sembari kebas tangannya, enam batang tongkat bambu
lantas menyambar dengan berbareng. Sesudah lihat ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie, ia
mengetahui sedang berhadapan sama musuh yang luar biasa tangguhnya. Maka itu, dengan
mengebas tangan, ia beri tanda supaya lima muridnya turun tangan dengan berbareng. Mereka
menyerang dengan Barisan Tongkat Thaythianlo (Jaring langit besar), yaitu suatu ilmu yang paling
-istimewa dari Ilmu Tongkat Tiantiok. Dengan sambaran enam tongkat itu, biarpun seorang
mempunyai tiga kepala enam tangan juga masih sukar menjaganya.
Bukan main kagetnya Leng Kiauw dan Keng Thian. Mereka tak nyana, begitu berhadapan,
enam pendeta India itu sudah turunkan tangan yang sedemikian kejam. Mendadak, badannya
Pengtjoan Thianlie kelihatan berkelebat dan jerijinya mementil. Hampir berbareng terdengar
jeritan kesakitan dan lima badan manusia tergelincir ke bawah gunung seperti layangan putus!
Ternyata, melihat serangan musuh yang telengas, Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar dan
melepaskan Pengpok Sintan, senjata rahasia yang tiada keduanya dalam dunia. Tenaga dalamnya
Pengtjoan Thianlie berlipat-lipat lebih kuat daripada Yoe Peng. Maka itu, biarpun sama-sama
Pengpok Sintan, bekerjanya lain sekali. Jika senjata itu dilepaskan oleh Yoe Peng, paling banyak
muridnya si pendeta berkelana gemetar badannya dan masih dapat pertahankan diri. Tapi dengan
dilepaskan oleh Pengtjoan Thianlie, Sintan itu masuk ke dalam jalanan darah dan sang darah
lantas membeku, sehingga tidaklah heran jika lima pendeta itu lantas roboh terguling ke dalam
jurang.
Si pendeta berkelana juga kena satu Sintan dan rasakan hawa dingin luar biasa yang meresap
ke tulang-tulang. Akan tetapi, lantaran mempunyai ilmu Yoga yang sangat tinggi, ia masih dapat
pertahankan diri dan menyerang terus. Sembari tertawa tawar, Pengtjoan Thianlie buka ikatan
pinggangnya yang lantas menyambar-nyambar seperti naga sedang memain di tengah udara. Di
lain saat, tongkatnya si pendeta sudah kena digulung dan biarpun ia gunakan Seantero tenaga
dalam, ia tidak berhasil lepaskan tongkatnya dari gulungan itu.
Pengtjoan Thianlie juga merasa heran sebab ia pun tidak berhasil betot terlepas tongkatnya si
pendeta. Sembari keluarkan seruan "ih!" ia lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan. Si pendeta
yang tongkatnya masih tergulung, tidak dapat berkelit dan dua peluru itu mengenai tepat pada
jalanan darah Soankhie hiat di dada dan Thiantjoe hiat, di belakang otak. Seketika itu juga, ia
bergidik beberapa kali. Buru-buru, ia kerahkan khiekang (tenaga napas), tapi tidak dapat segera
pulihkan kekuatannya.
"Masih belum mau menyerah?" membentak Pengtjoan Thianlie sembari cabut pedangnya.
Dengan sekali kebas, bagaikan halimun, sinar dan hawa dingin seperti juga tutup seluruh
badannya si pendeta. Ketika itu, dari dalam jurang sayup-sayup terdengar suara jeritan lima
muridnya si pendeta yang sedang melarikan diri dengan dapat luka-luka berat.
Sambil menghela napas panjang, si pendeta masukkan tangan kirinya ke dalam kantong. Di lain
saat, ia sudah keluarkan sebuah guci emas bertahta batu-batu permata yang pancarkan sinar
gilang gemilang ke empat penjuru. Pengtjoan Thianlie sambuti guci emas itu dan kemudian gentak
ikatan pinggangnya buat lepaskan tongkatnya si pendeta. Ia miringkan sedikit badannya buat
memberi jalan kepada si pendeta yang segera kabur secepat mungkin.
Sesudah kasih masuk Pengpok Hankong kiam ke dalam sarung dan dengan sebelah tangan
memegang guci emas, Pengtjoan Thianlie melayang turun ke bawah. Hosek Tjin-ong, raja muda
yang pimpin barisan Tjeng segera memberi perintah supaya pasukan belakang jadi pasukan
depan, yang kemudian dipecah jadi dua sayap buat kurung Pengtjoan Thianlie guna ditanya
maksud kedatangannya dan buat rampas pulang guci emas itu.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng yang kerubuti si pendeta jubah merah.
Mengingat sakit hati gurunya. Thian Oe menyerang sehebat mungkin dengan pusatkan seluruh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

perhatiannya kepada musuh. Meskipun di lain gelanggang dengan dengan beruntun sudah terjadi
banyak perobahan luar biasa, ia sama sekali tidak mau perdulikan dan terus cecar si pendeta
jubah merah dengan setaker tenaganya. Pendeta itu adalah orang yang pertama menyerbu dan
sesudah bertempur lama, baru ia bertemu Thian Oe dan Yoe Peng yang serang padanya dengan
mata merah.
Selagi berkelahi mati hidup, pertempuran di seluruh garisan mendadak berhenti dan keadaan
jadi sunyi senyap. Hal itu sudah terjadi oleh karena munculnya Pengtjoan Thianlie. Yoe Peng
melirik dan kegirangannya meluap-luap. "Thian Oe! Lihat siapa yang datang!" ia berteriak seperti
orang kalap. Mau tak mau, si pendeta jubah merah juga turut menengok dan begitu lihat siapa
yang muncul, semangatnya terbang. "Pengtjoan Thianlie!" berseru Thian Oe sembari menikam
dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku). Oleh karena hatinya sedang gemetar dan
tidak nyana bakal diserang secara begitu, si pendeta jubah merah tidak keburu berkelit atau
menangkis dan tak ampun lagi, pedangnya Thian Oe bersarang di dadanya! "Suruh kau nyingkir,
kau tak mau nyingkir, sekarang sudah terlambat," berkata Yoe Peng sembari menikam dengan
pedangnya yang juga mengenai tepat pada dadanya. Dengan satu teriakan keras, ia roboh dan
badannya yang besar ditendang Thian Oe yang sudah balaskan sakit hati gurunya. Sesudah itu,
sembari tuntun tangannya Yoe Peng, Thian Oe berlari-lari menghampiri Pengtjoan Thianlie.
Sembari cekal pedangnya, Liong Leng Kiauw mau bergerak. Tong Keng Thian mendekati dan
berbisik: "Lekas tahan tentara negeri. Biar aku yang sambut padanya. Aku rasa ia tidak
mempunyai niatan kurang baik."
Leng Kiauw merasa sangsi. Ia sekarang kenali bahwa Pengtjoan Thianlie adalah itu wanita yang
sudah curi rencana menyambut guci emas. Di satu pihak, ia tidak percaya kalau Pengtjoan Thianlie
mau membantu pihaknya, akan tetapi, di lain pihak, ia merasa heran, kenapa sesudah dapat
rampas guci emas itu, sebaliknya dari kabur, Pengtjoan Thianlie malahan datang menghampiri.
Ketika itu, delapan pengawal istana sudah loncat keluar dari barisan dan maju mengurung dari kiri
dan kanan. Mendadak, Boe-sie Hengtee juga loncat keluar dari dalam barisan dan seperti angin
puyuh mereka mendahului delapan pengawal istana. Di belakang mereka ikut belasan orang
gagah dari Utara barat.
Dengan anggapan bahwa Pengtjoan Thianlie adalah orang kalangan sendiri, sembari pegang
gagang pedangnya, Boe-sie Hengtee memberi hormat dan berkata: "Terima kasih banyak buat
bantuan Liehiap (pendekar wanita). Harap serahkan guci emas itu kepadaku. Sekarang pekerjaan
kita sudah selesai dan Liehiap boleh mundur bersama-sama rombongan kita." Dengan berkata
begitu, kedua saudara Boe mempunyai maksud yang baik sekali. Melihat delapan pengawal istana
sudah bersiap buat mengepung, mereka berkuatir Pengtjoan Thianlie tidak gampang dapat
loloskan diri, lantaran tangannya memegang guci emas yang menjadi bulan-bulanan perebutan.
Maka itu, mereka minta si jelita serahkan guci tersebut kepadanya, supaya kawan-kawannya dapat
melindungi ia mengundurkan diri.
Tapi tak dinyana, Pengtjoan Thianlie hanya kerutkan kedua alisnya dan menanya: "Siapa kau?"
Sementara itu tentara Tjeng sudah mulai maju mengurung. Boe-sie Hengtee jadi bingung sekali
dan menyahut dengan pendek: "Kami adalah kawan-kawan yang mau rebut guci itu. Segala
omongan yang tidak perlu bisa ditunda sampai sebentar." Sehabis berkata begitu, mereka
angsurkan tangan buat sambuti guci emas itu.
"Kau orang mau minggir atau tidak?" kata Pengtjoan Thianlie sembari mementil dengan
jerijinya dan lepaskan dua butir Pengpok Sintan. Kedua saudara Boe lantas saja rasakan hawa
dingin yang meresap sampai ke tulang dan roboh seketika itu juga. Kawan-kawannya jadi terkejut
dan memburu. Pengtjoan Thianlie mementil lagi beberapa kali dan lima enam orang lantas turut
terjungkal. Kawan-kawannya yang lain jadi keder dan pada loncat minggir, sedang Pengtjoan
Thianlie terus bertindak maju.
Bek Eng Beng kaget tercampur gusar, sedang pemimpin tentara Tjeng jadi bukan main
girangnya. Mereka sama sekali tidak mengimpi, bahwa Pengtjoan Thianlie berdiri di pihaknya.
Tjiauw Tjoen Loei keprak kudanya dan memberi hormat sembari peluk senjatanya. "Liehiap benar-
benar mengerti kesetiaan kepada negara dan sudah membantu kerajaan dalam merebut pulang
guci emas itu," katanya dengan sikap hormat. "Pahala itu bukannya kecil dan dengan jalan ini, aku
Tjiauw Tjoen Loei memberi hormat. Aku adalah tongleng (pemimpin) dari pengawal-pengawal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

istana dan mohon Liehiap serahkan guci itu kepadaku." Ia lantas angsurkan tangannya buat ambil
guci tersebut.
Tapi seperti tadi, di luar dugaan, Pengtjoan Thianlie cuma kerutkan alisnya dan berkata dengan
suara tawar: "Aku tak perduli tongleng atau bukan tongleng. Aku tidak mempunyai tempo buat
saling menghormat denganmu!" Dengan sekali mementil, Tjiauw Tjoen Loei bergidik dan lantas
jatuh terguling dari kudanya. Semua pengawal istana terkesiap, beberapa antaranya buru-buru
menolong pemimpinnya, sedang yang lain serang Pengtjoan Thianlie. Sembari mesem tawar,
Pengtjoan Thianlie mementil beberapa kali dan beberapa pengawal istana lantas roboh
kejengkang.
Melihat itu semua, tentara Tjeng jadi seperti orang kesima. Mereka tidak menduga, bahwa
wanita yang begitu cantik bisa mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Mereka berdiri bengong
dan tidak berani bergerak buat melepaskan anak panah atau angkat senjata.
Bek Eng Beng jadi kaget berbareng girang. Tiba-tiba Tong Keng Thian menghampiri dan
berkata sembari rangkap kedua tangannya: "Bek Tayhiap, hari ini biar bagaimanapun juga kita
tidak boleh rampas guci emas itu. Mohon Bek Tayhiap keluarkan perintah supaya semua saudara-
saudara lantas undurkan diri."
"Hm!" menggerendeng Bek Eng Beng dengan berdongkol sekali. "Aku tak nyana kau sekarang
jadi kaki tangan kerajaan Tjeng." Ia angkat tangannya buat menghantam Keng Thian, yang buru-
buru gunakan tiga jerijinya buat tekan kepalannya Bek Eng Beng dan berkata dengan suara
perlahan: "Antara dua mara bahaya, kita harus pilih yang lebih enteng. Lebih baik kerajaan Tjeng
yang menguasai Tibet daripada satu negara asing. Guci emas itu benar-benar tidak boleh
diganggu."
Bek Eng Beng terkesiap, sehingga keringat dingin mengucur di seluruh badannya. "Tapi, Boe-
sie Hengtee sudah kena senjata rahasianya perempuan itu. Sakit hati ini bagaimana boleh tidak
dibalas?" kata ia.
"Serahkan padaku, aku akan sembuhkan mereka," kata Tong Keng Thian. "Lekas mundur!
Lekas mundur!"
Bek Eng Beng berdiam beberapa saat dan memikir bulak-balik. Dalam usaha merampas guci
emas, tujuan mereka adalah buat tentangkan keinginan bangsa Boan untuk berkuasa di Tibet.
Tapi tidak dinyana, urusan itu mempunyai latar belakang yang sedemikian ruwet. Nepal dan
Kalimpong juga ingin pentang pengaruh di Tibet dan coba merampas guci tersebut. Dilihat dari
sudut itu, sikapnya Keng Thian yang lebih suka Tibet dikuasai oleh bangsa Boan daripada bangsa
lain, agaknya cukup beralasan. Sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, ia lantas saja
berkata: "Baiklah, aku setujui pendapatmu. Kami tunggu kau di gunung depan." Dengan sekali
memberi tanda, orang-orang gagah dari Lima Propinsi Utara lantas pada mundur ke gunung depan
sambil mendukung Boe-sie Hengtee.
Pada waktu Keng Thian sedang membujuk Bek Eng Beng, Liong Leng Kiauw juga lagi bujuk
Hosek Tjin-ong supaya ia tahan majunya Gielimkoen dan biarkan Pengtjoan Thianlie masuk ke
dalam barisan. Melihat liehaynya wanita itu dan juga sebab sekarang guci emas berada dalam
tangannya, sehingga andaikata ia dapat dibekuk atau dibinasakan, tapi kalau guci itu sampai
menjadi rusak, semua pengantarnya akan turut berdosa, maka, sesudah memikir beberapa saat, ia
segera menyetujui perkataannya Liong Leng Kiauw dan memberi perintah supaya semua serdadu
jangan bergerak.
Thian Oe dan Yoe Peng yang berdiri di dalam barisan tiba-tiba lihat sayap depannya pasukan
Tjeng mendadak terpencar dan membuka satu jalanan buat Pengtjoan Thianlie.
"Dilihat begini, barisan Tjeng seperti benar-benar sedang menyambut seorang Paduka Puteri,"
kata Thian Oe sembari tertawa.
"Ia toh memang seorang puteri," sahut Yoe Peng. "Ah, ia kelihatannya sedang cari orang."
Dengan satu tangan memegang guci emas, perlahan-lahan Pengtjoan Thianlie masuk ke dalam
barisan Tjeng dengan sikap agung sekali. Dengan kedua matanya yang angker, ia menyapu segala
orang yang berada disitu. Mendadak ia hentikan tindakannya dan mengawasi satu orang yang
berdiri disitu. Thian Oe kegirangan dan berbisik di kupingnya Yoe Peng: "Ah, kalau begitu ia
sedang cari dia!"
"Siapa?" tanya Yoe Peng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Pemuda baju putih," sahut Thian Oe.


Benar saja Yoe Peng lihat majikannya sedang mengawasi si pemuda baju putih. Ia sebenarnya
mau teriaki majikannya itu, tapi sudah ditahan oleh suasana yang tegang dan sunyi senyap.
"Hm! Kau juga berada disini?" kata Peijgtjoan Thianlie sembari mesem.
"Jah, kau pun sudah turun gunung," jawab Keng Thian. Dua pasang mata kebentrok dan paras
mukanya Pengtjoan Thianlie segera bersemu dadu.
"Aku tak mempunyai perkataan yang tepat buat menyatakan rasa terima kasih," kata Keng
Thian sambil tertawa. "Sungguh beruntung, guci emas sudah dapat direbut pulang. Buat
bantuanmu di ini hari, bukan saja aku, tapi semua pembesar di Tibet juga ingin haturkan banyak
terima kasih."
Pengtjoan Thianlie juga tertawa dan kemudian berkata dengan sikap acuh tak acuh: "Ada
hubungan apa guci emas ini dengan diriku? Aku juga merampas ini bukan untuk mereka. Siapa
mau mereka haturkan terima kasih. Berapa harganya guci ini, sehingga dijadikan barang rebutan
oleh semua orang? Aku sendiri tak kesudian. Pada beberapa bulan berselang, kau pernah bantu
menyusun beberapa toeilian untuk keraton es. Mengetahui bahwa kau juga sangat inginkan guci
emas ini, maka aku mau serahkan kepadamu sebagai tanda terima kasih. Mulai dari sekarang,
kedua belah pihak tidak berhutang budi lagi. Kau juga tidak perlu banyak rewel-rewel lagi."
Sembari tertawa Keng Thian sambuti guci emas itu yang diangsurkan kepadanya. "Eh," ia kata.
"Kau lupakan satu urusan. Janji kita buat adu pedang di kakinya Puncak Es, belum dipenuhi!"
Pengtjoan Thianlie kerutkan alis. "Kau masih mau bertanding?" tanya ia. "Baiklah, malam ini
jam tiga kau boleh datang ke atas gunung ini."
Ia kembali menyapu dengan matanya dan kali ini ia lihat Thian Oe dan Yoe Peng yang berdiri di
antara orang banyak. Pertemuan yang tidak diduga-duga membikin ia agak kaget dan lalu
gapekan tangannya buat memanggil mereka.
"Kenapa kau berada disini?" ia tanya Yoe Peng.
"Hari itu, ketika aku antar Tjia Kouwkouw memetik daun obat, Puncak Es mendadak roboh dan
gunung berapi meledak," menerangkan Yoe Peng. "Terhalang dengan lahar panas, aku jadi tidak
bisa pulang dan belakangan datang kesini."
"Dan kau?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari mengawasi Thian Oe.
Thian Oe yang tidak tahu mesti mulai dari mana, lantas menyahut dengan suara gugup: "Aku
sebenarnya belum dilepaskan olehmu. Cuma saja lantaran terjadinya gempa bumi, aku terpaksa
lari keluar juga. Kalau kau mau menghukum, boleh hukum sekarang. Kejadian yang lain-lainnya
semuanya diketahui oleh dayangmu."
"Baiklah," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat bicara sebenar-benarnya, aku kuatir kau tidak dapat
loloskan diri. Kau sudah langgar peraturanku, sebenarnya harus dipenjarakan seumur hidup. Akan
tetapi, sesudah lewati bencana itu, kau seperti juga sudah mati satu kali. Semua kedosaanmu
yang sudah-sudah aku sudah coret dan sekarang kau merdeka buat pergi kemana juga." Ia
berpaling pada Yoe Peng dan berkata pula: "Kau sekarang boleh ikut aku pulang ke gunung."
Mendengar perkataan majikannya, hatinya Yoe Peng mencelos. Sedari turun gunung, ia telah
dapat banyak kegembiraan, terutama sesudah bertemu Thian Oe yang merupakan sahabat baik
sekali. Hatinya merasa sangat berat buat segera berpisahan, akan tetapi, ia tentu saja tidak berani
membantah perintah majikannya, sehingga ia lantas saja menyanggupi sembari tundukkan
kepalanya.
Pengtjoan Thianlie lihat itu semua, tapi ia tidak berkata apa-apa dan lantas tuntun tangannya
Yoe Peng buat diajak pergi.
"Tahan!" kata Tong Keng Thian.
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. "Kau terlalu tidak sabar dan mau bertempur disini?"
"Bukan," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Pengpok Sintan-mu terlalu hebat!"
Pengtjoan Thianlie merasa bangga sekali dan lalu berkata: "Kalau kau takut, aku berjanji tidak
akan gunakan Sintan."
"Kau salah tangkap maksudku," kata Keng Thian. "Pengpok Sintan telah lukakan banyak
sahabatku. Aku mau minta obat buat mengobati mereka."
"Oh begitu? Baiklah, ambil obat ini," kata si jelita sembari angsurkan sebungkus obat, yang
diterima oleh Keng Thian sambil menghaturkan banyak terima kasih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Manusia dalam dunia memang banyak rewel," menggerendeng Pengtjoan Thianlie seorang
diri.
"Aku mau rewel lagi sekali. Jangan lupa janjian malam ini," kata Keng Thian sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie juga jadi turut tertawa dan kemudian, dengan sikap kemalu-maluan ia
berlalu sembari menuntun Yoe Peng.
Tiba-tiba, dari dalam barisan loncat keluar enam boesoe Nepal yang lantas berlutut di hadapan
Pengtjoan Thianlie sembari acungkan kedua tangannya di atasan kepala dan mulutnya keluarkan
suara ratapan. Hosek Tjin-ong heran dan tanya Liong Leng Kiauw: "Apa perlu kita bekuk itu
beberapa penjahat?"
"Urusan hari ini kita harus serahkan kepada putusannya Pengtjoan Thianlie," berbisik Leng
Kiauw. "Kalau bertindak salah, bisa terjadi perobahan yang kurang enak."
Hosek Tjin-ong merasa jengah, tapi lantaran sudah dapat pulang guci emas itu, hatinya sudah
merasa sangat puas dan tidak membantah nasehat itu. "Apa wanita itu dipanggil Pengtjoan
Thianlie? Namanya luar biasa betul," ia akhirnya kata sembari tertawa.
Pembicaraan antara Pengtjoan Thianlie dan enam boesoe Nepal cuma dapat dimengerti oleh
Liong Leng Kiauw, Tong Keng Thian dan Yoe Peng. Mereka itu memohon supaya sang puteri suka
pulang ke negerinya.
"Apa yang aku sudah bilang, aku tak akan robah," sahut sang puteri dengan suara tawar. "Pergi
pulang dan beritahukan rajamu, supaya ia baik-baik saja mengurus negara."
Enam boesoe itu tidak berani buka suara lagi.
"Mana Koksoe-mu?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ia sudah binasa," jawab satu boesoe sembari mengawasi Thian Oe.
"Aku yang bunuh ia," Yoe Peng menyelak.
"Dia memang suka cari urusan," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat apa rebut-rebut guci emas?
Pergi beritahukan rajamu, mengurus negeri sendiri saja sudah cukup meminta tenaga dan pikiran,
buat apa mengaduk di Tibet? Koksoe-nya binasa memang ada baiknya, supaya ia dapat sedikit
pelajaran."
Mendengar perkataan itu, Liong Leng Kiauw terkejut, sedang Tong Keng Thian bergirang. Leng
Kiauw terkejut lantaran Pengtjoan Thianlie yang ilmu silatnya begitu tinggi, adalah seorang puteri
dari negara Nepal, sedang Keng Thian bergirang, sebab, biarpun si jelita sudah mengatakan tidak
mau campur urusan dunia, sekarang ia toh telah membantu usahanya.
Sesudah berkata begitu, Pengtjoan Thianlie kebas tangannya dan enam boesoe Nepal itu,
seperti orang baru dibebaskan dari hukuman, lantas buru-buru undurkan diri dengan sikap hormat
sekali, akan kemudian kabur secepat mungkin. Atas perintah panglimanya, pasukan Tjeng
membuka satu jalan untuk mereka.
"Hayolah kita berangkat!" kata Pengtjoan Thianlie sembari menengok kepada dayangnya dan
mereka berlalu dengan tindakan perlahan. Ribuan tentara Gielimkoen tahan napasnya, mata
mereka mengawasi bayangannya kedua wanita cantik itu dengan perasaan agak menyesal, bahwa
mereka berdua sudah berlalu sedemikian cepat.
Hatinya Thian Oe berdebar-debar dan perasaannya sukar dilukiskan. Seperti kehilangan
semangat, dengan mata mendelong ia mengawasi sang puteri bersama dayangnya yang sedang
berjalan keluar dari selat gunung. Mendadak Yoe Peng menengok sembari tertawa dan kedua
matanya yang bagus kebentrok dengan matanya Thian Oe. Si anak muda goncang hatinya, tapi
saat itu juga ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang aneh dan yang sudah tarik seluruh
perhatiannya. Chena yang pendiam adalah ibarat lembah gunung yang sunyi senyap, sedang Yoe
Peng yang nakal dan lincah adalah seakan-akan bunga mawar di musim panas. Hatinya Thian Oe
jadi merasa sangat terharu, ia meramkan kedua matanya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, agar Chena masih hidup dalam dunia ini.
Beberapa saat kemudian, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng sudah berada di lereng gunung dan
kemudian mereka menghilang di antara pohon-pohon yang rindang.
Hosek Tjin-ong tarik napas lega dan lantas bereskan pasukannya yang telah jadi sedikit kacau
akibat pertempuran. Sesudah itu, ia hampiri Tong Keng Thian dengan niat mengambil pulang guci
emas itu dari tangannya si pemuda. Tapi ia jadi sangat kecele, lantaran Keng Thian cuma
manggutkan sedikit kepalanya secara tawar dan berbalik serahkan guci emas itu kepada Liong
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Leng Kiauw. "Jagalah hati-hati, jangan hilang lagi," katanya sembari tertawa. Leng Kiauw sambuti
barang berharga itu, yang kemudian lalu dipasrahkan kepada Hosek Tjin-ong.
"Bolehkah aku mendapat tahu Hiapsoe (pendekar) empunya she dan nama yang mulia?" tanya
Hosek Tjin-ong dengan sikap menghormat. "Kali ini Hiapsoe sudah membuat pahala yang sangat
besar dan Siauw-ong (raja muda, bahasakan dirinya sendiri) akan melaporkan kepada Hongsiang
(kaizar) yang tentu akan memberi hadiah sepantasnya."
"Aku adalah rakyat kecil dari pegunungan yang sudah biasa dengan hidup merdeka dan tidak
inginkan nama maupun harta," jawab Keng Thian dengan suara tawar. "Jika ada hadiah apa-apa,
tolong bagikan saja hadiah itu kepada para serdadu yang bantu mengawal guci emas itu." Ia
keluarkan beberapa butir yowan (pel) yang lalu diserahkan kepada Liong Leng Kiauw seraya
berkata; "Inilah obat buat orang-orang yang kena Pengpok Sintan. Telan saja dengan air matang
dan orang itu akan segera sembuh. Liong-heng, aku mau berangkat lebih dahulu, biarlah kita
bertemu pula di lain kali."
Melihat sikapnya pemuda itu yang sangat tawar terhadap dirinya, tapi sedemikian hangat
terhadap Liong Leng Kiauw, hatinya Hosek Tjin-ong jadi merasa sangat tidak senang.
Baru saja Keng Thian berjalan beberapa tindak, Leng Kiauw mendadak berseru: "Tong-heng,
tunggu dahulu!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian sembari berbalik.
Liong Leng Kiauw keluarkan satu kotak batu pualam yang besarnya lima tjoen pesegi dan
angsurkan itu kepada Keng Thian sembari berkata: "Harap Tong-heng suka ambil barang ini."
Parasnya Keng Thian lantas saja berobah kurang senang dan ia berkata dengan suara kaku:
"Apakah aku membayar pulang guci emas dengan mengharap hadiah?"
"Ini bukanlah hadiah dari aku sendiri," sahut Leng Kiauw sembari tertawa. "Ini adalah barang
lama milik keluargamu, yang secara kebetulan sudah jatuh ke dalam tanganku. Puluhan tahun aku
tolong simpan dan sekarang mau dibayar pulang. Jika kau merasa sangsi, tanyalah ayahmu."
Keng Thian jadi merasa sangat bimbang. "Didengar dari omongannya, barang ini bukanlah
barang biasa," kata ia dalam hatinya. "Ilmu silatnya ayahku, dalam jaman ini sukar dicari
tandingannya. Apakah mungkin, barangnya sendiri jatuh ke dalam tangan lain orang? Ilmu
silatnya Liong Leng Kiauw tidak berada di sebelah bawahku, sedang gerak-geriknya aneh sekali.
Apa mungkin orang yang berkepandaian seperti ia, sudi bekerja di bawah perintahnya Hok Kong
An dengan satu pangkat yang tidak besar dan tidak kecil? Apakah tidak bisa jadi ia ada seorang
yang mempunyai asal-usul besar?" Dengan hati yang penuh pertanyaan, akhirnya Keng Thian
mengambil putusan buat terima kotak batu pualam itu.
Saat itu, di sebelah belakang mendadak terdengar tiga dentuman meriam, dan ketika Keng
Thian menengok, ia lihat satu pasukan tentara yang kelihatannya angker sekali, sedang masuk ke
dalam selat gunung.
"Utusan istimewa buat menyambut guci emas sudah tiba," kata Liong Leng Kiauw.
"Siapa utusan itu?" tanya Keng Thian.
Leng Kiauw menggape dan Thian Oe lantas keluar dari dalam barisan. "Utusan itu adalah
ayahnya," kata Leng Kiauw.
Thian Oe segera maju menghampiri dan menghaturkan terima kasih buat pertolongan Keng
Thian yang tempo hari sudah tolong jiwanya.
"Ilmu silatmu sudah maju jauh sekali," kata Keng Thian sembari tertawa. "Dengan adanya kau
dan Liong Loosam, guci emas itu pasti akan dapat diantar sampai di Lhasa dengan selamat. Aku
jadi tak usah buat pikiran dan sekarang aku mau berlalu saja." Ia manggutkan kepalanya kepada
Liong Leng Kiauw dan lalu berjalan pergi. Hosek Tjin-ong jadi merasa lebih tidak senang, tapi
sebab harus buruburu menyambut utusan, ia jadi tidak mempunyai tempo buat perhatikan Tong
Keng Thian lagi.
Setibanya di gunung depan, Keng Thian segera bertemu dengan Bek Eng Beng dan lain-lain
orang gagah dari Utara barat. Semua orang merasa sangat mendongkol dan mereka ramai-ramai
sesalkan pemuda itu. Keng Thian lalu memberi penjelasan berulang-ulang kenapa mereka
sekarang tidak boleh rampas guci emas itu dan kemudian lalu keluarkan yowan pemberiannya
Pengtjoan Thainli buat mengobati orang-orang yang kena Pengpok Sintan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Boe-sie Hengtee adalah orang-orang yang sangat terbuka dan sesudah mendengar
penjelasannya Keng Thian yang dianggap beralasan, lantas saja mereka berkata sembari tertawa:
"Tong Sieheng benar berpemandangan sangat jauh yang tidak dipunyai oleh orang-orang seperti
kami. Dalam urusan di ini hari, kamilah yang bertindak salah."
Keng Thian merasa senang dalam hatinya dan lalu berkata sembari membungkuk: "Buat luka
yang sudah diderita oleh saudara, dengan jalan ini aku menghaturkan maaf."
"Cara bagaimana kami dapat sesalkan Ioohcng?" kata Boe-sie Hengtee sembari tertawa.
"Pernah apakah wanita itu dengan Tong heng? Sehingga Tong-heng sudah haturkan maaf guna
ianya?"
Mukanya Reng Thian lantas jadi berobah merah.
"Biarpun dalam bantuannya kepada Tong-heng, maksudnya wanita itu adalah sangat baik, tapi
tangannya terlalu kejam," kata Boe-sie Hengtee. "Jika ada kesempatan, kami ingin minta
pengajaran lagi dari ianya. Kita semua adalah turunannya Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar
Pedang dari Thiansan), maka itu kalau temponya tiba, Tong-heng tak boleh membantu orang
luar!"
"Ah, janganlah kau main-main, saudaraku," berkata Keng Thian, yang merasa geli dan berkata
dalam hatinya: "Inilah yang dinamakan sang air mau rendam kelenteng Raja Naga. Kau tidak
tahu, semuanya orang sendiri. Ia adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng dan kalau dihitung-
hitung tingkatannya masih lebih atas dari kau berdua."
Sesudah berpisahan dengan kawanan orang gagah dari Utara barat, seorang diri Keng Thian
mendaki gunung. Sembari jalan, ia ingat halnya Liong Leng Kiauw yang membikin hatinya jadi
penuh dengan kesangsian. Ia buka kotak batu pualam itu yang didalamnya ternyata terisi
sepotong batu giok (batu pualam) yang luar biasa indah dan berwarna biru hijau. Di tengahtengah
giok itu terdapat sebuah cap merah dengan ukiran huruf-huruf kuno yang berbunyi: "Sioe Beng Ie
Thian, Kok Oen Kioe Tiang (Terima firman dari Langit, rejeki negara kekal abadi). Membaca itu,
Keng Thian jadi seperti orang terkesima. Harganya giok itu yang sukar ditaksir berapa besarnya
tidaklah cukup buat membikin ia menjadi heran, akan tetapi, huruf-huruf itulah yang keja Keng
Thian jadi bukan main terkejutnya, sebab tak bisa salah lagi, barang itu adalah miliknya kaizar.
"Kenapa Liong Loosam bilang, barang ini adalah barang keluargaku?" tanya ia dalam hatinya.
Mendadakan saja, ia ingat cerita ibunya (Phang Eng) yang sering tuturkan sepak terjang ayahnya
waktu masih muda. Ibunya pernah ceritakan, bahwa dahulu sang ayah pernah dihadiahkan
sepotong batu giok oleh Kaizar Konghie. Apakah giok itu adalah giok hadiah Konghie?
Tong Siauw Lan (ayahnya Keng Thian) sebenarnya adalah putera (tidak resmi) Kaizar Konghie.
Pada ketika Tong Siauw Lan masuk ke dalam keraton buat menemui ibunya, Konghie pernah
hadiahkan giok itu kepadanya. Oleh karena tidak ingin sang putera mengetahui urusan itu yang
cuma dapat menambahkan kejengkelan, maka saban-saban ceritakan halnya giok tersebut, Tong
Siauw Lan dan Phang Eng cuma mengatakan, bahwa lantaran secara kebetulan sudah menolong
Konghie dalam peristiwa perebutan tahta antara putera-putera kaizar, maka kaizar tersebut telah
hadiahkan giok itu kepadanya. Latar belakang yang sebenarnya sama sekali tidak pernah disebut-
sebut. Sebab-sebab hilangnya giok tersebut, Keng Thian juga belum pernah dengar dari kedua
orang tuanya. Maka itulah, ia jadi merasa sangat heran dan terutama merasa sangat tidak
mengerti, kenapa barang itu bisa jatuh kedalam tangannya Liong Leng Kiauw.
Keng Thian putar otaknya sampai ia jadi uring-uringan, tapi lekas juga ia menjadi sadar dan
berkata seorang diri sembari tertawa: "Ah, kenapa juga aku jadi begitu tolol? Dengan menanyakan
ayah dan ibu, segala apa tentu akan menjadi terang. Buat apa aku capaikan pikiran?" Ia lantas
masukkan kotak itu ke dalam sakunya dan terus mendaki gunung.
Sesudah lewat magrib, sang rembulan mulai naik dan mengintip dari antara sela-sela puncak
gunung. Di gunung itu juga terdapat satu sungai es, yang meskipun tidak seindah sungai es
pegunungan Nyenchin Dangla, toh sudah memberi suatu pemandangan yang
menggetarkan jiwanya Keng Thian. Bagaikan seekor naga perak, sungai es itu putari lereng
gunung dan dengan sinar es dan sinar rembulan yang saling menyoroti, keindahan pemandangan
alam itu benar-benar mempengaruhi orang yang sedang menanggung rindu.
Mengingat Pengtjoan Thianlie, Keng Thian mendapat suatu perasaan yang sukar dilukiskan dan
tanpa merasa mulutnya ucapkan suatu syair:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Sinar rembulan atas sungai es, dewi rembulan turun, bidadari menyebar bunga, sang penyair
datang.
Ah, walaupun bagaimana juga, aku akan undang dewi rembulan turun ke atas bumi."
Tiba-tiba, dari puncak gunung, sayup-sayup terdengar suara khim yang dibawa angin masuk ke
dalam kupingnya Keng Thian. Di antara suara tabuh-tabuhan yang merdu itu, lapat-lapat
terdengar suara nyanyian Yoe Peng:
Lilin pendek di belakang sekosol akan padam dalam sekejap. Bintang pagi kelak-kelik akan
segera mengundurkan diri, Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab, Lautan blau, langit
biru, saban malam dipikiri.
Nyanyian itu adalah berdasarkan Syair Dewi Rembulan, buah kalamnya Lie Sian Djin, satu
penyair dari ahala Tong. Ketika naik di keraton es, Keng Thian pernah petik baris terakhir dari
syair tersebut buat menggubah toeilian untuk namanya Yoe Peng. Mendengar sang majikan
mementil khim, sedang sang dayang nyanyikan syair tersebut, Keng Thian jadi tertawa dan
berkata dalam hatinya: "Ah, Konghan Siantjoe sekarang sudah ingin turun ke dunia." Ia pentang
langkahnya dan berlari-lari menuju ke arah suara khim itu.
Selagi enak lari, tiba-tiba saja ia dengar suara kresekan di sebelah depannya, pada jarak
belasan tombak, dan berbareng dengan itu, dua bayangan manusia yang pakai pakaian hijau
kelihatan berkelebat dengan gunakan ilmu entengi badan yang paling tinggi, yaitu Tengpeng
touwsoei (Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput). Dengan ilmu tersebut, mereka dapat
berlari-lari di atas rumput-rumput yang tinggi. Di lain saat, kedua orang itu sudah menghilang di
antara pepohonan. Keng Thian terkejut, sebab ia dapat kenyataan, bahwa ilmu entengi badannya
kedua orang itu sedikitnya tidak berada di sebelah bawah ia. Kenapa malam-malam mereka
berada di gunung belukar itu?
Dengan cepat dan hati-hati Keng Thian menguntit dari belakang. Jauh-jauh ia lihat kedua orang
itu sedang mengumpat di antara alang-alang dan saling berbisik. Keng Thian menghampiri lebih
dekat dan tahan napasnya buat mendengari apa yang dibicarakan oleh mereka.
"Aku dengar hari ini semua orang dari Utara barat pada turun tangan buat rampas guci emas,"
demikian dengar suaranya seorang lelaki tua. "Tjiauw Tjoen Loei dan kawan-kawannya hampir-
hampir dapat malu besar, kalau tidak ditolong oleh Liong Loosam yang keluarkan kepandaiannya,
sehingga guci yang hilang dapat dirampas kembali. Dilihat begitu, Liong Loosam benar-benar tidak
boleh dipandang rendah."
Keng Thian tertawa dalam hatinya. Hal yang menarik perhatiannya, adalah disebut-sebutnya
nama Liong Leng Kiauw.
"Yah, memang juga mencurigakan," kata seorang perempuan. "Kenapa Liong Loosam yang
begitu tinggi kepandaiannya rela bekerja sebagai Tjamtjan di bawah perintahnya Hok Kong An?
Memang mencurigakan. Tak heran jika Hoei Tjongkoan minta kita keluar buat selidiki asal-usulnya.
Kiranya Hongsiang pun sudah merasa curiga."
Keng Thian sekarang mengerti, bahwa kedua orang itu adalah kaki tangannya keraton Tjeng
yang ilmu silatnya lebih tinggi dari delapan pengawal istana.
Beberapa saat kemudian, di atas gunung kembali terdengar suara khim dan kali ini, lagu yang
dimainkan berdasarkan sajak Souw Tong Po yang berbunyi seperti berikut:
Antara dahan pohon Tong mengintip sang rembulan.
Larut malam, keadaaan penuh dengan kesunyian.
Kadang-kadang terlihat orang pertapaan mundar-mandir sendirian.
Atau sang burung Hong yang melayang-layang tanpa juntrungan.
Dalam kagetnya, sang burung menengok ke belakang.
Hatinya sedih, tiada manusia mengetahui perasaannya.
Mencari-cari, belum juga dapat sang cabang.
Lebih baik menclok di pulau mencil dengan air di seputarnya.
Arti sajak yang mengharukan membikin suara khim penuh dengan kesedihan, sehingga Keng
Thian jadi terpesona.
"Besok malam kita sudah mesti tiba di Lhasa, tapi kau mau juga dengari orang main khim,"
kata si wanita. "Apakah maksudmu yang sebenarnya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Aku dengar hari ini ada seorang wanita yang bantu turun tangan," sahut yang lelaki. "Mungkin
sekali, yang dimaksudkan adalah orang yang sedang mementil khim. Sudah ketelanjur lewat disini,
kita tidak boleh tidak menyelidiki."
"Hm!" kata si wanita dengan suara di hidung. "Kalau yang pentil khim segala lelaki bau, kau
tentu tidak kesudian naik kesini!"
Cara bicaranya kedua orang itu yang mengunjuk, bahwa mereka adalah suami isteri, sudah
membikin Keng Thian jadi terkejut. "Di daerah perbatasan sebelah barat, suami isteri kenamaan
yang berusia seperti mereka, kecuali lethio dan Iebo (Lie Tie dan Phang Lin) dan ayah ibuku, cuma
ada pasangan In Leng Tjoe dari Lengsan pay di Tjenghay," kata ia dalam hatinya. "Apakah mereka
itu benar-benar suami isteri In Leng Tjoe yang sudah kena ditarik oleh bangsa Boan?"
"Ah, kau orang apa!" si lelaki membentak. "Wanita yang sedang pentil khim itu, kalau bukannya
Pengtjoan Thianlie, tentulah juga seorang yang mempunyai asal-usul besar. Sesudah menerima
firmannya Hongsiang, kita harus bertindak secara hati-hati sekali. Kebetulan lewat disini, tidak
dapat tidak kita mesti menyelidiki sampai terang betul."
"Hongsiang perintah kau selidiki asal-usulnya Liong Loosam dan bukannya wanita itu," sahut si
wanita dengan suara berdongkol.
"Liong Loosam sekarang sedang repot melindungi guci emas dan tentu tak duga diam-diam ada
orang yang incar padanya," kata yang lelaki dengan suara membujuk. "Begitu tiba di Lhasa, kita
tentu akan berhasil. Apalagi Lootoa sudah mendahului kita. Sudahlah, kau tak usah kuatir. Aku
rasa perlu kita tengok wanita itu, mungkin sekali kita dapat beberapa keterangan penting tentang
Liong Loosam dari mulutnya." Sehabis berkata begitu, ia lantas loncat keluar dari tempat
sembunyinya, diikuti oleh si wanita.
Pengtjoan Thianlie yang sudah mulai berdongkol lantaran sehabis mainkan dua lagu, Keng
Thian belum juga kelihatan muncul, merasa terkejut melihat munculnya sepasang lelaki dan
perempuan yang beroman jelek sekali. Yang lelaki nyengir-nyengir sembari perlihatkan giginya
yang tonggos, sehingga si nona jadi gusar sekali.
Melihat kecantikannya Pengtjoan Thianlie dan lagak suaminya, si wanita naik darahnya dan
lantas menanya dengan suara kaku: "Hei! Apakah kau yang hari ini membantu Liong Loosam
melindungi guci emas?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan membentak: "Anjing! Berani betul kau orang curi dengar
aku mementil khim! Hayo, menggelinding turun dari sini!" Berbareng dengan bentakan itu, ia ayun
tangannya dan dua butir Pengpok Sintan lantas menyambar.
Sesuai dengan dugaannya Keng Thian, mereka itu memang juga adalah suami isteri In Leng
Tjoe. Sebagai pemimpin dari suatu partai, mereka tentu tidak dapat menerima hinaan. Tapi belum
sempat turun tangan, mereka sudah rasakan menyambarnya hawa yang sangat dingin, sehingga
mereka jadi terkejut dan buru-buru tutup semua jalanan darahnya, tapi meskipun begitu, mereka
toh masih bergidik juga.
Melihat dua pelurunya tak dapat robohkan mereka, Pengtjoan Thianlie merasa agak kaget dan
segera lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan dengan gunakan tenaga dalam yang lebih besar. In
Leng Tjoe kelit dan Sintan meledak di pinggir badannya. Isterinya, yang lebih sebet, sudah buka
ikatan pinggangnya yang digunakan buat gulung Sintan yang satunya lagi. Dengan sekali kedut
Pengpok Sintan meledak di dalam ikatan pinggang, yang segera digunakan sebagai pian lemas
(djoanpian) buat menghantam Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie juga lantas buka ikatan pinggangnya, yang, bagaikan seekor naga, papaki
ikatan pinggangnya musuh. Di lain saat, kedua ikatan pinggang sudah menyambar-nyambar di
tengah udara dengan kecepatan kilat, sehingga memberi pemandangan yang indah sekali.
"Apakah kau bukan Pengtjoan Thianlie?" membentak In Leng Tjoe.
"Kau sudah tahu aku siapa, kenapa tak mau buru-buru menggelinding dari sini," sahut si nona.
"Biarpun kau benar-benar bidadari dari atas langit, aku toh mau jajal-jajal dahulu
kepandaianmu," kata In Leng Tjoe sembari tertawa tawar. Ia lantas cabut sepasang Poankoan pit
(senjata yang merupakan pit) dari pinggangnya dan coba totok dua jalanan darah di bebokongnya
Pengtjoan Thianlie.
Sambaran Poankoan pit yang disertai dengan tenaga dalam yang hebat, sudah membikin
Pengtjoan Thianlie jadi terkesiap. Ia tak duga, si lelaki yang mukanya jelek itu adalah ahli menotok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

jalanan darah. Lantaran begitu, ia tidak berani memandang enteng lagi lawannya dan sembari
putar badan, ia cabut Pengpok Hankong kiam. In Leng Tjoe rangkap kedua senjata yang lantas
diacungkan buat papaki
Hankong kiam dengan gerakan Hoenka kimliang (Menunjang penglari emas). Dengan latihan
puluhan tahun, sambaran Poankoan pit itu mempunyai tenaga ribuan kati dan In Leng Tjoe
menduga, bahwa dengan sekali bentur saja, ia akan dapat patahkan pedangnya Pengtjoan
Thianlie. Tapi si jelita yang gerakannya luar biasa gesit sudah egos pedangnya dan berbareng
dengan berkelebatnya sang pedang, In Leng Tjoe kembali bergidik lantaran sambaran hawa
dingin. Di lain saat, dengan beruntun Pengtjoan Thianlie kirim tiga serangan, sehingga dari
menyerang, In Leng Tjoe berbalik harus membela diri. Dengan kedua kaki menginjak kedudukan
Patkwa, ia terpaksa mundur, tapi Poankoan pit-nya sudah tutup rapat seluruh badannya dan ujung
senjata itu terus bayangi jalanan darah musuhnya yang dapat ditotok begitu lekas ada
kesempatan.
Ilmu silat isterinya In Leng Tjoe, yang bernama San Tjeng Nio, tidak berada di sebelah bawah
suaminya. Melihat liehaynya sang lawan, buru-buru ia kedut ikatan pinggangnya yang lantas jadi
lempang bagaikan pit dan mulai bersilat dengan ilmu Hoeiliong Pianhoat (Ilmu silat pian naga
terbang). San Tjeng Nio adalah ahli Djioekang (Ilmu silat lembek) dari Bittjong pay di Tibet.
Dengan "kelemasan," ia dapat tindih "kekerasan" dan dengan ilmu itu yang mempunyai delapan
rupa jalan, ikatan pinggangnya bukan saja dapat mainkan peranan beberapa macam senjata, tapi
juga dapat digunakan buat merebut senjata musuh. Dibanding dengan djoanpian biasa, ikatan
pinggang tersebut lebih liehay ratusan kali lipat.
Oleh karena harus layani dua lawanan berat, pembelaan ikatan pinggangnya Pengtjoan Thianlie
jadi kurang rapat. Melihat kesempatan itu, San Tjeng Nio segera kedut senjatanya, yang seperti
seekor ular terbang, lantas menyambar ke arah matanya musuh. Dalam keadaan terdesak,
Pengtjoan Thianlie terpaksa gunakan Pengpok Hankong kiam buat menyabet dua kali – ke kanan
dengan gerakan Soathoa lioktjoet (Kembang salju berhamburan ke enam penjuru), ke kiri dengan
gerakan Kisoei lengpeng (Air membeku jadi es) —— dan dua serangan itu berubah jadi delapan
rupa serangan yang menyambar-nyambar secara berantai. San Tjeng Nio tidak berani terlalu
mendesak, buru-buru ia tarik pulang ikatan pinggangnya buat lindungi diri.
Baru saja singkirkan gencatan si isteri, sang suami sudah mendesak dengan kedua senjatanya
yang makin lama jadi makin hebat menyerangnya, sehingga Pengtjoan Thianlie jadi tidak
mempunyai kesempatan lagi buat lakukan serangan membalas.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus. Kedua belah
pihak sama-sama merasa kaget dan heran. In Leng Tjoe suami isteri adalah jagoan kelas berat
yang sudah dapat nama lama sekali di daerah perbatasan barat, maka dapat dimengerti, jika
mereka merasa kaget melihat tangguhnya Pengtjoan Thianlie yang tidak dapat dijatuhkan biarpun
dikerubuti berdua. Di lain pihak, si nona juga tidak kurang kagetnya sebab ilmu pedangnya yang
begitu liehay masih juga belum dapat robohkan dua lawanan itu.
Keng Thian yang mengintip dari belakang batu, terus mengawasi jalannya pertempuran dengan
mata tidak berkesip. Ia lihat, makin lama serangan In Leng Tjoe suami isteri jadi makin hebat.
Sesuatu sambaran Poankoan pit ditujukan kepada jalanan darah, sedang ikatan pinggangnya San
Tjeng Nio selalu siap sedia buat masuk ke tempat kosong. Demikianlah, perlahan-lahan Pengtjoan
Thianlie jadi berada di bawah angin. Tapi, berkat ilmu silatnya yang luar biasa, setiap kali keteter,
muncullah pukulan-pukulannya yang aneh, yang tak dikenal oleh In Leng Tjoe suami isteri,
sehingga, walaupun sudah berada di atas angin, mereka selalu mesti berlaku sangat hati-hati buat
menjaga serangan-serangan yang tidak diduga-duga.
Keng Thian tumplek seluruh perhatiannya dan diam-diam coba meraba-raba ilmu pedangnya
Pengtjoan Thianlie. "Ah," ia menghela napas. "Tadinya aku kira Thiansan Kiamhoat adalah ilmu
pedang yang tiada keduanya dalam dunia. Tapi sekarang aku dapat kenyataan, banyak
pukulannya Pengtjoan Thianlie yang lebih unggul daripada ilmu pedang Thiansan. Benar-benar
pelajaran tidak ada batasnya."
Jika mau dirundingkan soal ilmu pedang, ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie memang sedikit
lebih unggul dalam hal keanehannya dan perobahan-perobahannya yang luar biasa. Akan tetapi,
mengenai luasnya, dalamnya dan teguhnya, kiamhoat-nya si jelita masih belum dapat menyusul
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thiansan Kiamhoat. Jika bertemu dengan lawan yang ilmu silatnya lebih tinggi, seorang ahli
Thiansan Kiamhoat masih dapat membela diri dengan penjagaannya yang sangat rapat. Di lain
pihak, kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie ada lebih liehay dalam penyerangan, tapi masih kurang
sempurna dalam pembelaan diri, jika bertemu dengan lawanan yang lebih kuat.
Ilmunya suami isteri In Leng Tjoe adalah kira-kira sctanding dengan si pendeta berkelana dan
Liong Leng Kiauw. Jika satu lawan satu, dalam seratus jurus, ia tentu roboh dalam tangannya
Pengtjoan Thianlie. Akan tetapi dengan mengerubuti, kedudukannya suami isteri itu jadi terlebih
unggul. Cuma saja, berkat kiamhoat-nya si nona yang luar biasa dan ditambah lagi sama Pengpok
Hankong kiam yang istimewa, maka buat sementara mereka masih belum dapat menarik
keuntungan dari keunggulan itu.
Dengan perlahan, sang rembulan sudah mulai doyong ke barat. Sesudah bertempur kurang
lebih seratus jurus, Pengtjoan Thianlie mulai merasa lelah dan napasnya jadi sedikit sengal-sengal.
"Kenapa si pemuda baju putih belum juga datang?" ia tanya dalam hatinya yang mulai jadi
jengkel, sehingga tidak dapat pusatkan lagi Seantero perhatiannya kepada pertempuran yang
sedang berlangsung dengan hebatnya.
In Leng Tjoe suami isteri adalah orang-orang yang sudah kawakan dalam pertempuran. Begitu
lihat kesempatan, mereka lalu mendesak semakin hebat. Sepasang Poankoan pit In Leng Tjoe
terus tindih pedangnya si nona buat cegah ia keluarkan pukulan-pukulannya yang aneh, sedang
ikatan pinggangnya San Tjeng Nio terus menyambar-nyambar ke bagian-bagian yang agak
lowong. Yoe Peng yang sedari tadi menonton, dengan sikap acuh tak acuh, sekarang mulai
kuatirkan keselamatan majikannya.
Sekonyong-konyong dengan gerakan Lioeseng poengoat (Bintang sapu mengubar bulan),
kedua Poankoan pit menyambar ke arah kepalanya Pengtjoan Thianlie, dan hampir berbareng,
ikatan pinggangnya San Tjeng Nio melesat ke garisan dalam dari pembelaan si nona. Saat itu,
pedangnya Pengtjoan Thianlie yang sedang digunakan di garisan luar buat tangkis Poankoan pit,
sudah tidak keburu ditarik pulang guna singkirkan sambarannya ikatan pinggang. Yoe Peng
terkesiap dan keluarkan satu teriakan: "Celaka!"
Pada detik itulah, Pengtjoan Thianlie keluarkan pukulan yang benar-benar istimewa. Dengan
sekali getarkan gagang pedangnya, begitu bentur Poankoan pit musuh, dari Pengpok Hankong
kiam seperti juga terbang keluar ratusan "kembang pedang" yang sinarnya bergemilapan dan
menyilaukan mata. Satu batang pedang itu seakan-akan berobah jadi ratusan batang pedang.
Inilah pukulan Pengho kaytang (Sungai es melumer), yaitu pukulan istimewa dari Pengtjoan
Kiamhoat yang digunakan buat menolong diri dalam bahaya. Ketika itu, jika In Leng Tjoe teruskan
juga serangannya, batok kepalanya si jelita memang bisa menjadi toblos, tapi mereka pun pasti
bakal jadi korbannya Pengpok Hankong kiam. Mereka berdua tidak berani berlaku mati-matian
lantaran, pertama, mereka tidak kenal ilmu pukulannya Pengtjoan Thianlie, ditambah sama
silaunya sang mata lantaran sinar Hankong kiam sehingga mereka tidak dapat lihat tegas
badannya musuh, dan kedua, sebagai ahli-ahli kawakan dalam Rimba Persilatan, mereka selalu
taat pada nasehat yang berbunyi: Sebelum menghitung kemenangan, hitunglah kekalahan.
Demikianlah buru-buru mereka tarik pulang senjatanya dan tutup rapat dirinya. Pada saat
itulah, dari belakang batu besar keluar satu teriakan: "Bagus!" yang keluar dari mulutnya Tong
Keng Thian. In Leng Tjoe dan isterinya terkesiap. Sembari pentang senjatanya, In Leng Tjoe
membentak dengan suara keras: "Lengsan pay In Leng Tjoe ada disini. Sahabat, keluarlah buat
menemui aku."
In Leng Tjoe adalah seorang yang sudah dapat nama besar lama sekali di daerah perbatasan
sebelah barat dan dengan perkenalkan dirinya, ia berharap, orang yang sembunyi akan merasa
jeri. Tapi tak dinyana, baru ia tutup mulutnya, dua sinar terang menyambar dan kedua senjatanya
kena terpukul miring, sehingga garisan pembelaannya jadi terbuka, dan berbareng dengan itu,
Pengpok Hankong kiam sudah menerobos masuk bagaikan kilat.
In Leng Tjoe terbang semangatnya. Matanya silau dan hawa dingin menyambar ke uluhatinya,
sehingga .ia tak dapat membela dirinya lagi. "Binasalah aku!" ia mengeluh.
Mendadakan terdengar suara terbesetnya kain dan sinar pedang berkelebat di atasan
kepalanya. Sebagai seorang yang tinggi ilmu silatnya, pada saat itulah, dengan gerakan Yauwtjoe
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

hoansin (Elang balik badannya), In Leng Tjoe jejak kedua kakinya dan badannya melesat
beberapa tombak, akan kemudian jatuh menggelinding ke bawah tanjakan.
Suara terbesetnya kain yang didengar oleh In Leng Tjoe muncul ketika ikatan pinggangnya San
Tjeng Nio dibabat putus dengan Hankong kiam. Barusan, melihat suaminya berada dalam bahaya,
San Tjeng Nio kerahkan tenaga dalamnya dan bagaikan sebatang pedang, ikatan pinggangnya
sambar kedua matanya Pengtjoan Thianlie, yang lantas papaki dengan Hankong kiam. Oleh
karena adanya pertolongan sang isteri, In Leng Tjoe jadi dapat loloskan dirinya.
Sambil lempar ikatan pinggangnya yang sudah tinggal sepotong, San Tjeng Nio turut loncat
turun ke bawah tanjakan. Mereka menengok ke atas dan lihat Pengtjoan Thianlie mau mengubar,
tapi dicegah oleh seorang pemuda baju putih.
In Leng Tjoe cabut senjata rahasia yang menancap pada kedua senjatanya dan begitu lihat, ia
terkesiap. "Hei!" ia berseru. "Thiansan Tong Siauw Lan masih pernah apa dengan kau?"
"Aku wakili ayah buat menanyakan keselamatannya kedua Lootjianpwee," sahut Keng Thian.
"Harap kedua Lootjianpwee sudi maafkan kekurang ajaranku."
In Leng Tjoe suami isteri saling mengawasi. Biar bagaimanapun juga, mereka belum
mempunyai nyali buat coba-coba bentur Tayhiap Tong Siauw Lan, apalagi ilmu silatnya si pemuda
sendiri sudah cukup tinggi dan dapat pukul miring kedua Poankoan pit dengan Thiansan Sinbong.
Di sebelahnya itu, mereka juga harus perhitungkan Pengtjoan Thianlie yang terus mengawasi
dengan mata beringas. Keringat dingin keluar dari dahinya In Leng Tjoe. Tapi buat tutup perasaan
malunya, ia membentak dengan suara keras: "Baiklah! Aku sungkan berurusan sama segala
bocah. Aku akan bikin perhitungan dengan ayahmu sendiri!"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Penjahat gundul! Kau masih berani banyak
bacot? Apa kau mau rasakan lagi pedangku?"
Mendengar perkataan "penjahat gundul," In Leng Tjoe terkejut dan lantas raba kepalanya.
Hatinya mencelos sebab ia dapat kenyataan, rambutnya sudah kelimis dan tanpa berani
mengeluarkan sepatah kata lagi, ia tarik tangan isterinya dan menyingkir secepat bisa.
"Dua bangsat itu sudah berani curi dengar suara khim-ku, biarpun senjatanya sudah diputuskan
dan rambutnya dipapas, hatiku rasanya belum merasa puas," berkata Pengtjoan Thianlie dengan
suara mendongkol.
"Dalam dunia ini masih banyak orang-orang yang terlebih jahat daripada mereka," kata Keng
Thian sembari tertawa. "Mana boleh kau selalu turuti napsu amarahmu."
Lewat beberapa saat, Keng Thian berkata pula sembari tertawa: "Apakah kau mementil khim
hanya untuk didengar olehku? Sungguh sayang aku bukannya Pek Gee (Djie Pek Gee, seorang ahli
khim dari jaman Liatkok), sehingga tidak mengetahui dimana adanya hati tetabuhan tersebut."
Mukanya si jelita lantas saja bersemu dadu. "Cis" katanya. "Siapa yang pentil khim untuk kau?
Eh, apa kau mau adu pedang lagi?"
"Tak usah," sahut Keng Thian. "Barusan aku sudah saksikan kepandaianmu yang sejati dan
benar-benar tinggi sekali. Aku sekarang mengaku kalah."
"Aku paling benci orang yang bicara lain, hatinya lain," kata lagi si nona. "Dalam hati, kau tentu
kata: "Kepandaiannya Pengtjoan Thianlie cuma sebegitu saja? Mana bisa menangkan Thiansan
Kiamhoat?"
Keng Thian jadi tertawa keras. "Ah!" katanya. "Kalau begitu kau mempunyai ilmu membaca hati
orang! Tapi, kali ini kau membaca salah. Barusan hatiku kata: "Kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie
benar-benar liehay. Dalam tiga sampai lima tahun, aku belum dapat menangkan dia."
Pengtjoan Thianlie menghela napas, sebab dalam hatinya, ia justru sedang pikir apa yang
dikatakan oleh Keng Thian. Sesudah meneliti ilmunya si pemuda, ia merasa, bahwa meskipun tak
usah kalah, akan tetapi buat bisa dapat jatuhkan Keng Thian, paling sedikitnya ia harus berlatih
antara tiga sampai lima tahun lagi. Dan ia merasa tercengang, sebab apa yang lagi dipikir sudah
dikatakan oleh Keng Thian.
"Kenapa tarik napas?" tanya Keng Thian.
Si nona tak menyahut. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata: "Kalau begitu, kau adalah
puteranya Thiansan Tong Tayhiap."
"Sekarang kita sama-sama sudah mengetahui asal-usul masing-masing dan kita sebenarnya
bukan orang luar," kata Keng Thian. "Ayahku mempunyai matan buat satu tempo kumpulkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

semua turunan dan murid-muridnya Thiansan Tjitkiam. Jika niatan itu terwujud, aku akan ajak
kau, supaya dapat berkenalan dengan sahabat-sahabatnya mendiang ayahmu."
Mendengar itu, parasnya Pengtjoan Thianlie segera jadi berobah. "Ayahku sudah singkirkan diri
ke daerah perbatasan dan sedari dahulu ia sudah tidak anggap dirinya sebagai orang Thiansan
pay," katanya. "Cara bagaimana aku dapat hadiri pertemuan itu?"
Keng Thian terkejut, ia tak mengerti, kenapa si nona boleh keluarkan perkataan begitu. Tapi ia
lihat Pengtjoan Thianlie bicara dengan sungguh-sungguh, sehingga ia tak menanya apa-apa lagi.
Keng Thian tidak mengetahui, bahwa ayahnya si nona, yaitu Koei Hoa Seng, dahulu justru
pernah dijatuhkan oleh ayah ibunya sendiri. Dengan perasaan mendongkol, Koei Tayhiap pergi ke
lain negara dengan tujuan mempelajari ilmu pedang daerah sebelah barat guna digabung dengan
ilmu pedangnya sendiri, supaya bisa menggubah serupa ilmu pedang yang lebih unggul dari
Thiansan Kiamhoat.
Kedua matanya Pengtjoan Thianlie mengawasi ke arah jauh, seakan-akan ia sedang berpikir
keras. Beberapa saat kemudian, ia berkata dengan suara agak terharu: "Berjodoh, manusia
berkumpul. Jodoh habis, berpisah kembali. Satu kali kau pernah naik ke atas Puncak Es dan aku
telah membalas budi dengan ambil pulang guci emas. Dengan demikian, kita sudah rampungkan
sekelumit lelakon hidup ini. Kita tak usah adu pedang lagi dan biarlah kita berpisahan sebagai
sahabat."
Nepal adalah satu negara yang banyak kena pengaruhnya agama Budha, sehingga sebagai
seorang Puteri Nepal, Pengtjoan Thianlie pun kena pengaruh agama tersebut. Keng Thian
tercengang mendengar kata-kata itu dan buat beberapa saat, ia tak dapat membuka suara.
"Puncak Es sudah roboh dan kau sendiri sudah masuk lagi ke dalam dunia pergaulan," berkata
Keng Thian sembari mesem. "Apakah jodoh dalam dunia dapat berakhir dengan begitu saja?
Meskipun keraton es ada cukup indah, akan tetapi dingin dan sunyi. Andaikata benar-benar di
belakang hari kau bisa jadi seorang bidadari, paling banyak kau jadi seperti bidadari dari
rembulan. Dan sebagaimana kau mengetahui, bidadari rembulan saja masih kadang-kadang
merasa kesepian, masih saban malam pikiri lautan blau dan langit biru! Apakah, selainnya keraton
es, dalam dunia sudah tidak ada lain tempat yang cocok bagi dirimu?"
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang keras, sehingga dadanya turun naik terlebih cepat. Ia
angkat kepalanya dan mengawasi si pemuda, yang dengan pakaiannya yang serba putih dan
parasnya yang cakap sekali, kelihatan angker dan agung di bawahnya sinar rembulan yang
laksana perak. Ketika itu, Keng Thian pun sedang mengawasi ia dengan sorot matanya yang
bening, sehingga dua pasang mata segera kebentrok. Paras mukanya Pengtjoan Thianlie kembali
bersemu dadu dan pikirannya jadi semakin kusut. Hatinya merasa berat, akan tetapi, ia sendiri
tidak mengetahui, apa yang dibuat berat. Apakah keindahan dunia? Apakah pemuda itu dengan
kata-katanya dan cara-caranya yang sangat menarik hati? Tapi, bukankah pemuda itu adalah
seorang, dengan siapa ia harus ukur tenaga supaya tidak sia-siakan capai lelah ayahnya sendiri?
Mengingat begitu, si nona rasakan kepalanya pusing.
"Apakah kau tidak mau pergi ketemui kedua pamanmu?" tanya Keng Thian mendadakan. "Yang
satu berada di Soetjoan, sedang , yang lain di Ouwpak. Puluhan tahun mereka pikiri ayahmu dan
pesan banyak sahabatnya buat bantu mencari. Gurunya Thian Oe, yaitu Thiekoay sian, yang juga
pernah terima pesanan begitu, sudah naik ke atas Puncak Es tanpa perdulikan bahaya, sehingga
akhirnya ia mesti membuang jiwa di dalam keraton es. Apakah sesudah mengetahui itu, hatimu
sedikitpun tidak jadi tergerak?"
"Apa? Thiekoay sian mati di keraton es?" tanya si nona dengan suara terkejut.
"Benar," menyeletuk Yoe Peng. "Guna melindungi keraton es, Thiekoay sian telah binasa dalam
tangannya si pendeta jubah merah." Si dayang lalu tuturkan segala apa yang ia dapat dengar dari
Thian Oe, mengenai kebinasaannya Thiekoay sian.
Mendengar penuturan itu, Pengtjoan Thianlie jadi merasa jengah. Ia ingat budinya Thiekoay
sian suami isteri yang sudah begitu sudi gawe buat mendaki Puncak Es, guna kepentingan lain
orang, sehingga akhirnya sang suami harus membuang jiwa secara kecewa sekali.
"Jika kedua pamanmu mengetahui, mereka mempunyai satu keponakan yang begitu pintar,
mereka tentulah juga akan merasa girang sekali," Keng Thian teruskan bujukannya. "Apa benar-
benar kau tidak kepengen menemui pamili di Tiongkok?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Aku tak tahu dimana mereka tinggal, bagaimana bisa mencarinya?" kata Pengtjoan Thianlie
akhir-akhir.
Melihat si nona sudah tergerak hatinya, Keng Thian jadi girang sekali. "Itulah, jodoh kita
memang belum habis dan kita tidak dapat lantas berpisahan," katanya. "Biarlah aku antar kau
pergi cari kedua pamanmu itu. Lebih dahulu kita pergi cari ke Soetjoan barat buat cari Moh Tjoan
Seng Tayhiap dan sesudah itu, baru kita mendaki Boetong san buat menemui Tjio Kong Seng
Tayhiap."
Mukanya si nona jadi merah lantaran kemalu-maluan. Ia berdiri bengong buat beberapa saat
dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Baiklah. Kapan kita berangkat?"
"Pada sebelum aku antar kau cari kedua pamanmu, lebih dahulu kau harus kawani aku pergi
cari seorang lain," sahut Keng Thian.
"Siapa? Apa jauh?" tanya si nona.
"Orang yang aku mau cari adalah Liong Leng Kiauw," menerangkan Keng Thian "Sekarang kita
pergi dahulu ke Lhasa. Perjalanan itu tidak meminta tempo terlalu lama."
"Guci emas toh sudah dipulangkan, buat apa cari ia lagi?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Asal-usulnya Liong Leng Kiauw sangat mencurigakan," kata Keng Thian. "Apa kau tahu,
maksud kedatangan suami isteri In Leng Tjoe adalah buat menyusahkan padanya?" Sesudah itu,
ia lalu tuturkan segala apa yang ia dengar dari mulutnya kedua suami isteri tersebut. "Ilmu
silatnya suami isteri In Leng Tjoe adalah lebih tinggi dari delapan pengawal istana," Keng Thian
sambung penuturannya. "Tapi sebaliknya dari perintah mereka lindungi guci emas, kaizar Boan
suruh mereka pergi menyelidiki asal-usulnya Liong Loosam. Dari sini dapat dilihat, bahwa di
matanya kaizar, pentingnya penyelidikan itu tidak kalah dari pentingnya guci emas. Itulah
sebabnya kenapa aku merasa perlu buat coba pecahkan teka-teki itu."
"Ah, kau memang sangat usilan!" kata si nona sembari kerutkan alisnya.
"Biarpun kau tak sudi, tapi kali ini toh kau harus antarkan aku," kata Keng Thian sembari
tertawa.
"Kenapa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Supaya kita sama-sama tak usah menanggung budi," sahut Keng Thian. "Jika dikemudian hari,
kau kebetulan ingin adu pedang lagi denganku, kau jadi bisa buka mulut tanpa sungkan-sungkan
lagi!"
"Cis" membentak si nona sembari tertawa. "Kau benar jail. Baiklah, aku luluskan
permintaanmu."
Demikianlah mereka bertiga lantas berangkat dan tiba di Lhasa pada malaman Tahun Baru.
Ketika itu, ibukota Tibet, sedang berada dalam suasana pesta. Jalanan-jalanan penuh dengan
rakyat yang keluar buat saksikan keramaian, rumah-rumah pasang lampu terang-terang dan di
segala tempat terlihat menguleknya asap hio yang dibakar tak henti-hentinya. Pusatnya keramaian
terletak di sekitar Kelenteng Thaytjiauw sie yang dipajang indah sekali dengan lampu-lampu yang
beraneka warna. Gelombang manusia semuanya mengalir ke kelenteng tersebut yang sudah jadi
penuh sesak dengan rakyat yang bersuka ria -- ada yang sembahyang, ada yang menari-nari di
tengah jalan atau menyanyi sekeras suara.
"Sekali ini kaizar Boan telah bertindak secara tepat sekali," kata Keng Thian dalam hatinya.
"Dengan mengirim guci emas, pemerintahan keagamaan di Tibet jadi berada di bawah pimpinan
langsung dari pemerintah pusat di Pakkhia, sehingga Tiongkok dan Tibet tak dapat dipisahkan lagi.
Tak heran kalau rakyat jadi begitu girang." Dalam kepuasannya, si pemuda merasa sedikit
menyesal, bahwa mereka datang terlambat sedikit sehingga tidak dapat saksikan upacara
penyambutan guci emas yang tiba di Lhasa pada siang harinya.
Sesudah lihat-lihat keramaian buat sementara waktu, mereka bertiga lalu menuju ke lapangan
yang terletak di bawahnya Keraton Potala. Sesudah lewati lapangan tersebut, mereka tiba pada
satu daerah pegunungan di sebelah utara Gunung Anggur. Mereka terus mendaki satu tanjakan, di
atas mana berdiri sebuah rumah yang berbentuk bundar dan terkurung tembok, yaitu rumahnya
Liong Leng Kiauw. Sesudah pesan supaya Yoe Peng tunggu di lapangan di kaki gunung, bersama
Pengtjoan Thianlie, dengan gunakan ilmu entengi badan, Keng Thian segera masuk ke dalam
pekarangan dengan loncati tembok.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keadaan disitu sangat sunyi, mungkin para penghuninya pada pergi nonton keramaian. Waktu
tiba di dekat kamar tulisnya Liong Sam, kuping mereka mendadak dengar suara tindakan orang
yang jalan mundar-mandir di dalam kamar tersebut. Mereka segera loncat ke atas payon rumah
dan sembari cantelkan kaki kepada payon, mereka mengintip ke dalam. Ilmu entengi badannya
Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian boleh dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan,
sehingga walaupun Liong Leng Kiauw berilmu tinggi, ia masih belum mengetahui kedatangannya
kedua tetamu tersebut.
Di dalam kamar, tuan rumah kelihatan jalan mundar-mandir tak hentinya, dengan paras muka
yang sangat guram. Keng Thian merasa sangat heran kenapa, sesudah guci emas berada dalam
Gereja Besar, Leng Kiauw masih kelihatan begitu bersusah hati.
Sekonyong-konyong dari sebelah luar kedengaran suara tindakan orang Buru-buru Pengtjoan
Thianlie dan Keng Thian naik ke atas dan mengumpat di pancoran air. Tirai disingkap dan seorang
yang tinggi kurus kelihatan masuk ke dalam. Ia itu adalah Gan Lok, soetee-nya Liong Sam, yang
pernah curi pedangnya Yoe Peng.
"Soetee belum tidur!" tanya Leng Kiauw sembari menghela napas.
"Selama setengah bulan, aku sangat kuatirkan keselamatan soeheng, tapi sekarang aku dapat
bernapas lega," sahutnya.
Leng Kiauw meringis dan berkata: "Sesudah tibanya guci emas, urusan kita justru baru mulai
main!"
"Menurut pendapatku, lebih baik kita singkirkan diri dahulu buat sementara waktu," kata Gan
Lok.
"Apa kau takut?" tanya sang soeheng.
"Bukannya takut," jawabnya. "Cuma dalam beberapa hari, aku seperti dapat firasat, bahwa
rahasia kita sudah diketahui orang."
"Hok Tayswee sama sekali tidak merasa curiga," menghibur Leng Kiauw. "Kau tak usah pikir
yang tidak-tidak."
Gan Lok diam, mulutnya bergerak, tapi ia tidak jadi bicara.
"Belasan tahun lamanya kita mengumpat di gedungnya pembesar negeri," kata pula Liong Leng
Kiauw. "Buat apa? Sekarang kita sudah mempunyai dasar yang kuat, dan di sebelahnya itu, sesuai
sama rencanaku, kita sudah dapat menyambut guci emas dengan selamat. Mulai dari sekarang,
Hok Tayswee akan lebih perlu sama tenaga kita. Andaikata sampai timbul badai, aku rasa kita
masih dapat lewati dengan selamat. Kau takut apa?"
"Aku harap saja begitu," kata sang soetee dengan paras lesu.
"Aku perintah kau adakan hubungan dengan berbagai Touwsoe, apa jalannya urusan cukup
licin?" tanya Leng Kiauw.
"Boleh juga," sahutnya.
"Dalam gedung Tayswee ada aku. Kali ini kita harus bertindak," kata lagi Leng Kiauw.
"Dalam gedung Tayswee besok bakal diadakan pertemuan Tahun Baru, sembari memberi
hadiah kepada perwira dan serdadu yang berjasa," kata Gan Lok. "Soeheng, baik kau pergi tidur."
"Dan kau?" tanya Leng Kiauw.
"Dalam pertemuan besok, soeheng pegang peranan terutama, sedang aku cuma ambil peranan
pembantu, sehingga datang terlambat masih tidak apa," kata sang soetee. "Aku masih mau pergi
meronda."
Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Kau memang terlalu hati-hati. Apa sekiranya masih ada
orang yang berani datang disini?"
"Apa soeheng lupa kejadian bulan yang lalu?" Gan Lok balas menanya.
"Dalam dunia ada berapa Pengtjoan Thianlie?" kata Leng Kiauw. "Selainnya itu, Pengtjoan
Thianlie pun tidak mengandung maksud jahat."
"Biarpun begitu, aku rasa lebih hati-hati ada lebih baik," kata Gan Lok yang lantas berlalu
sesudah ucapkan selamat tidur.
Sesudah mendengar pembicaraan antara kedua saudara seperguruan itu, hatinya Tong Keng
Thian jadi semakin bimbang. Pekerjaan apakah yang mau dilakukan oleh Liong Leng Kiauw? Siapa
sebenarnya dia? Selagi hatinya bersangsi, mendadak tuan rumah menggerendeng seorang diri:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Balik bumi, gulung langit adalah pekerjaanku. Ha, ha! Dengan sampainya guci emas, tibalah
temponya buat memperlihatkan kesaktianku!"
Keng Thian terkesiap. "Liong Loosam benar temberang!" katanya di dalam hati. "Apa ia mau
berontak? Tapi, di tempat ini dan dalam tempo begini, manalah bisa berontak?"
Keng Thian sangsi sekali, ia tak dapat ambil putusan, apakah baik loncat turun buat menemui
orang yang luar biasa itu. Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara teriakannya Gan Lok,
yang seperti juga kena dipukul orang. Liong Leng Kiauw loncat dan selagi mau singkap tirai,
sedang suara teriakan masih berkumandang di dalam telinga, tiba-tiba kedengaran suara tertawa
menyeramkan. Tertawa itu, yang mula-mula terdengar di tempat agak jauh, tahu-tahu sudah
berada di depan rumah, dan dari sini dapat dilihat, bahwa gerakannya orang yang tertawa
sungguh luar biasa cepat, sehingga Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sendiri merasa
sangat terkejut.
Walaupun ilmu silatnya Gan Lok masih kalah setingkat dari Liong Leng Kiauw, akan tetapi ia
sudah terhitung seorang ahli kelas satu. Bahwa dalam sekejap saja, ia sudah dapat dirobohkan,
merupakan suatu petunjuk, bahwa ia sudah bertemu dengan musuh yang bukan main liehaynya.
Saat itu, dalam tangannya, Keng Thian cekal dua batang Thiansan Sinbong, sedang Pengtjoan
Thianlie genggam dua butir Pengpok Sintan, siap sedia buat menimpuk sembarang waktu. Keng
Thian kedipi matanya, supaya si nona suka bersabar buat sementara waktu.
Begitu tiba, orang itu lantas menerobos masuk dan berhadapan dengan Leng Kiauw yang
sedang mau singkap tirai. Beberapa sinar perak kelihatan menyambar dan orang itu berseru:
"Sungguh indah gerakan Patpie Lo Tjia Tjopo (Lo Tjia yang mempunyai delapan tangan
menangkap mustika). Apakah gurumu Tong Loodjie dari Soetjoan?"
Di bawahnya sinar rembulan yang remang-remang, orang itu kelihatan berbadan tinggi kurus,
mukanya dekok, kedua matanya berkilat seperti api, sedang rambutnya awut-awutan, sehingga
rupanya jadi menakuti sekali.
Tong Keng Thian heran. Senjata rahasia yang dilepaskan oleh tetamu malam itu, adalah paku
Samleng Touwkoet teng yang selalu digunakan buat timpuk jalanan darah musuh. Tapi hal ini
tidak mengherankan. Apa yang mengherankan adalah cara menyambut senjata rahasia yang
diperlihatkan oleh Liong Leng Kiauw, yang dengan sekali bergerak, sudah dapat tangkap enam
batang paku tersebut. Itulah ada gerakan istimewa dari keluarga Tong di Soetjoan, yang terkenal
sebagai ahli senjata rahasia yang kenamaan. Keng Thian pernah dengar penuturan ayahnya,
bahwa dalam keluarga Tong terdapat seorang tertua bernama Tong Kim Hong, yang, sebagai
putera kedua, jadi dikenal sebagai Longsin Tong Loodjie. Dahulu, dengan gendewa dan peluru,
nama Tong Loodjie pernah menggetarkan seluruh dunia Kangouw. "Tong Loodjie" yang
disebutkan oleh tetamu malam itu, sudah tentu Tong Kim Hong adanya. Akan tetapi, jika masih
hidup, waktu ini Tong Kim Hong sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun. Apakah bisa jadi,
Leng Kiauw muridnya orang tua itu?
Liong Leng Kiauw rangkap kedua tangannya dan membungkuk, seraya menyahut secara
hormat sekali: "Benar. Ia adalah guruku. Apakah aku boleh tanya, ada urusan apa Lootjianpwee
datang kesini dan siapa adanya Lootjianpwee?"
Orang itu tertawa seram dan berkata: "Sepuluh tahun kau berada di luar Tiongkok. Apakah
masih belum tahu, siapa adanya aku?" Ia angkat kedua tangannya yang digoyang beberapa kali di
depan matanya Liong Sam. Kedua telapak tangan itu berwarna merah bagaikan darah, seperti
juga tidak berkulit lagi, dan di bawah sinar bulan, tangan itu kelihatan terang sekali.
Bukan main terkejutnya Keng Thian.
"Ah, kalau begitu Hiatsintjoe Tjianpwee yang datang!" demikian terdengar suaranya Leng
Kiauw. "Harap sudi maafkan ketololan boanpwee (orang dari tingkatan lebih rendah) yang sudah
tidak menyambut dari tempat jauh."
Hiatsintjoe adalah satu memedi besar yang lama hidup mengumpat di daerah perbatasan Tibet.
Ilmu yang dipelajari olehnya ada sangat aneh. Ia keset kulit kedua kaki tangannya yang kemudian
direndam didalam cair dari macam-macam rumput beracun, sampai akhirnya kaki tangannya
berwarna merah darah. Siapa saja yang kena dilanggar kaki tangan beracun itu, jangan harap bisa
hidup terus. Jago-jago Kangouw pada umumnya sangat segani ia dan kasih julukan Hiatsintjoe (Si
Malaikat Darah) kepadanya. Namanya yang sebenarnya tidak ada orang yang mengetahui.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pada ketika Tong Siauw Lan (ayahnya Tong Keng Thian) mulai munculkan diri dalam kalangan
Kangouw, Hiatsintjoe sudah malang melintang di daerah Tiongkok Utara barat, tapi kemudian,
dengan mendadak, orang tak pernah dengar apa-apa lagi tentang dirinya. Sepanjang warta, ia
sembunyi sesudah kena dihajar oleh Bu Kheng Yao, salah seorang pendekar wanita dari Thiansan
Tjitkiam, akan tetapi, cara bagaimana dia dihajar, tak ada seorang yang mengetahui terang.
Sesudah Tong Siauw Lan undurkan diri dari pergaulan umum dan hidup sembunyi di Thiansan,
selama beberapa belas tahun beberapa antara tujuh pendekar pedang itu meninggal dunia dengan
beruntun, antaranya Liehiap Ie Lan Tjoe dan Bu Kheng Yao sendiri. Sesudah itu, Hiatsintjoe
barulah kelihatan muncul kembali di dunia Kangouw. Satu waktu, ia pernah tantang Tong Siauw
Lan buat adu silat, akan tetapi Tong Tayhiap sungkan ladeni padanya, sehingga ia pun tak dapat
berbuat suatu apa. Siapa nyana, malam itu puteranya Tong Tayhiap dapat ketemui ia di rumahnya
Liong Leng Kiauw.
Hiatsintjoe tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan suara angkuh: "Sesudah mengetahui
siapa adanya aku, kau sekarang harus turut segala perintahku. Pekerjaan apa yang kau lakukan
selama belasan tahun di Tibet, kau mesti tuturkan secara terus terang."
"Bilang belas tahun aku bekerja di bawah perintahnya Hok Tayswee," sahut Leng Kiauw dengan
suara sabar. "Segala pekerjaan yang dilakukan olehku, semuanya diketahui oleh Hok Tayswee.
Jika Lootjianpwee tidak percaya, pergilah tanyakan sendiri kepada Hok Tayswee."
Hiatsintjoe tertawa dingin seraya berkata: "Apa kau mau takut-takuti aku dengan namanya Hok
Kong An? Kau bisa kelabui Hok Kong An, tapi tak dapat abui Thiantjoe (Anak Langit, yaitu kaizar).
Apakah kau rasa aku tak tahu, bahwa kau sembunyi disini dengan gunakan nama samaran?"
Leng Kiauw terkejut, akan tetapi ia masih dapat pertahankan ketenangannya dan menyahut
dengan suara tetap: "Aku sungguh tak mengerti maksudnya Lootjianpwee. Aku sama sekali tidak
melanggar undang-undang negeri. Apa perlunya menggunakan nama samaran?"
Dalam penyelidikannya, Hiatsintjoe mengetahui, bahwa Tong Kim Hong sudah meninggal dunia
pada beberapa belas tahun berselang dan bahwa Liong Leng Kiauw adalah muridnya jago silat itu.
Akan tetapi, ia masih belum dapat menyelidiki asal usulnya Liong Leng Kiauw yang sebenarnya.
Mendengar perkataan Liong Sam yang membikin ia jadi tidak berdaya, hawa amarahnya
mendadak naik dan ia tidak ingat lagi pesan Tjongkoan istana buat bertindak secara hati-hati
dalam penyelidikannya.
"Hm!" katanya dengan suara di hidung. "Pandai benar kau goyang lidah buat cuci bersih dirimu!
Baiklah, sekarang kau ikut saja padaku. Apa kau berdosa atau tidak, nanti ada orang yang
memutuskannya."
"Kalau begitu, Lootjianpwee harus minta permisi dahulu dari Hok Tayswee," kata Leng Kiauw.
Hiatsintjoe lantas saja jadi gusar sekali. "Kau mau gunakan Hok Kong An sebagai tameng
pelindung?" ia membentak. "Belum tentu Hok Kong An bisa lindungi dirimu! Sekarang pendek
saja: Kau mau ikut atau tidak?"
"Boanpwee bukannya mau melawan perintah Lootjianpwee," sahut Leng Kiauw. "Cuma saja
berhubung dengan tugasku, aku tidak berani sembarangan berlalu dari sini."
"Segala pangkat yang tak ada artinya! Sembarang waktu bisa dicopot!" membentak Hiatsintjoe.
"Walaupun dicopot, tapi toh harus ada surat pemecatan resmi atau atas perintahnya Tayswee,"
kata Leng Kiauw lagi. "Menurut undang-undang kerajaan Tjeng, segala pembesar negeri, tak
perduli pangkat tinggi atau rendah, dilarang sembarangan meninggalkan tugasnya, jika tidak ada
perintah dari pihak atasannya. Dan justru oleh karena pangkatku kecil, maka aku terlebih tidak
berani sembarangan berlalu menurut suka sendiri."
Darahnya Hiatsintjoe jadi naik tinggi. "Hm!" ia membentak. "Kau rupanya andali betul Hok
Tayswee-mu! Ini Hok Tayswee, itu Hok Tayswee! Aku tak perduli Hok Tayswee-mu atau undang-
undangmu. Aku kasih tahu terang-terangan: Jika malam ini kau tidak ikut aku, kau sendirilah yang
sengaja mencari susah!"
"Aku lebih suka terima hukuman Lootjianpwee daripada melanggar peraturan Kaizar," sahut
Leng Kiauw dengan suara tetap.
"Peraturan Kaizar!" Hiatsintjoe berkata dengan suara tawar. "Akulah peraturan Kaizar!" Tiba-
tiba ia lonjorkan tangannya yang sebesar kipas dan coba cengkeram kepalanya Leng Kiauw.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Leng Kiauw yang sudah siap sedia lantas kebaskan tangan bajunya yang gulung dan sampok
tangannya Hiatsintjoe.
"Bagus!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa dingin. "Sekarang kau berani lawan padaku
dengan segala ilmu silat kucing pincang dari Tong Loodjie!" Leng Kiauw sudah cepat, tapi
tangannya Hiatsintjoe lebih cepat lagi dan di lain saat, tangannya sudah menyambar ke arah
dadanya Leng Kiauw. Dengan sebet Liong Sam loncat ke pinggir lantaran ia tidak berani bentur
tangan yang sangat beracun itu. Dengan cepat enam tujuh jurus sudah lewat dan buat
keheranannya Pengtjoan Thianlie serta Tong Keng Thian, mereka sudah dengar suara napas
sengal-sengal dari Liong Leng Kiauw.
Menurut taksirannya Pengtjoan Thianlie, meskipun Leng Kiauw kalah dari musuhnya, akan
tetapi ia sedikitnya bisa melayani sampai kira-kira lima puluh jurus. Maka itu, ia jadi sangat heran
ketika dengar suara napasnya Liong Sam, sedang pertempuran baru saja berjalan beberapa jurus.
Dalam keheranannya itu, tanpa merasa si nona keluarkan suara "ih" yang sangat perlahan.
"Hm!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa seram. "Kalau begitu kau masih mempunyai kawan?
Bagus! Suruh dia turun sekalian!" Sedang mulutnya bicara, tangannya dikasih kerja lebih keras
dan dengan satu suara "breet!", tangan bajunya Liong Sam terbeset! Leng Kiauw terkesiap dan
terus mundur dengan didesak oleh lawannya.
Pada saat itulah, dengan diiringi tertawa nyaring, badannya Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng
Thian melayang turun ke bawah. Melihat datangnya penolong yang tidak diduga-duga itu, Liong
Sam jadi bengong seperti orang terkesima.
Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Ia terutama merasa kaget melihat kecantikannya si
nona yang seakan-akan bidadari dari kahyangan. Hampir ia tak percaya, bahwa dalam dunia
terdapat wanita yang sedemikian cantik. Ia kucek-kucek kedua matanya dan kemudian mengawasi
Pengtjoan Thianlie dengan tidak berkesip.
"Lihat apa? Biar aku hantam dahulu mata anjingmu!" membentak Pengtjoan Thianlie sembari
mementil dengan dua jerijinya.
Hiatsintjoe benar liehay. Meskipun diserang secara mendadak selagi bengong, ia masih dapat
selamatkan dirinya. Dengan gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong manggut), ia kasih lewat
kedua Pengpok Sintan yang kemudian ditangkap dengan tangan kirinya. Ia cuma keluarkan suara
"ih" ketika kedua peluru meledak dalam telapakan tangannya dan air es mengetel keluar dari sela-
sela jerijinya. Di lain saat, tangan kanannya sudah memukul. Ia memukul dari jarak yang jauhnya
kira-kira satu tombak, tapi toh tenaganya menyambar hebat ke arah dadanya si nona.
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. Pengpok Sintan yang barusan dilepaskan olehnya,
tidak akan dapat disambut oleh orang-orang yang mempunyai kepandaian seperti Liong Leng
Kiauw atau Tong Keng Thian. Tapi Hiatsintjoe sudah dapat sambuti itu secara tenang sekali. Di
sebelahnya itu, apa yang membikin si nona menjadi kaget adalah hawa sangat panas yang
menyertai angin pukulannya Hiatsintjoe, sehingga ia merasa napasnya agak sesak. Buru-buru ia
kerahkan tenaganya dan kelit pukulan musuh dengan gunakan ilmu entengi badan.
"Pendeta siluman!" ia membentak sesudah kelit tiga pukulan. "Sekarang coba rasakan
pedangku!"
Hiatsintjoe juga kagum melihat kegesitan si nona yang dengan mudah sudah dapat loloskan diri
dari tiga pukulannya yang sangat hebat. Di lain saat, berbareng dengan berkredepnya satu sinar
terang, Pengpok Hankong kiam sudah menyambar ke arah mukanya!
Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya Angin panas dan hawa dingin lantas saja
kebentrok! Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih dua puluh jurus tanpa
ada yang keteter.
Sedari jatuh dalam tangannya Bu Kheng Yao pada tiga puluh tahun berselang, barulah
sekarang Hiatsintjoe bertemu dengan lawan berat. Oleh karena begitu, semangatnya jadi
terbangun dan ia tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" ia berseru. "Aku justru sedang
kepanasan, terima kasih kau tolong kipasi!"
Pengtjoan Thianlie jadi meluap dan dengan mata mendelik, ia putar Hankong kiam bagaikan
titiran dan menyerang dengan Tokboen Kiamhoat yang merangkap ilmu pedang Tatmo, ilmu
pedang Eropa Barat serta ilmu pedang Arab menjadi satu. Diserang secara begitu, Hiatsintjoe
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

tidak berani main-main lagi dan lantas pusatkan perhatiannya buat sambut serangannya si nona
yang menyambar-nyambar seperti hujan dan angin.
Sesudah bertempur lagi beberapa saat, Hiatsintjoe berkata dengan suara kagum: "Bagus! Kau
bisa lawan aku lebih dari lima puluh jurus, di antara tingkatan orang-orang muda, boleh dibilang
kaulah yang nomor satu. Siapa kau? Siapa gurumu?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Bukan gampang kau mempunyai ilmu silat
seperti ini. Maka itu, lebih baik kau berlalu dan jangan rewel disini." Mulutnya bicara, pedangnya
terus mencecer secara hebat.
"Bocah tak kenal mampus!" membentak Hiatsintjoe. "Kau jadi banyak tingkah dan tak tahu
Tjouwsoeya sengaja ampuni jiwamu!" Sehabis membentak begitu, ia empos semangatnya,
sehingga pukulannya jadi bertambah berat dan anginnya jadi semakin panas. Buat sementara
Pengtjoan Thianlie masih dapat melayani, tapi keringat sudah mulai mengucur dari badannya
Selagi Pengtjoan Thianlie bertempur hebat melawan Hiatsintjoe, Keng Thian tarik tangannya
Leng Kiauw dan berkata dengan suara perlahan: "Liong Sam Sianseng. Siapa sebenarnya kau?"
"Apakah kau juga tidak percaya padaku?" tanya Leng Kiauw sembari mesem. "Kasihkan batu
giok itu kepada ayahmu dan ia tentu akan segera mengetahui asal-usulku."
"Bukan, bukan tidak percaya padamu," jawab Keng Thian. "Aku bukannya mau selidiki asal-
usulmu. Aku hanya mau memberitahu, bahwa kerajaan Tjeng sangat perhatikan gerak-gerikmu
dan kaki tangannya yang dikirim bukan cuma Hiatsintjoe seorang. Jika benar kau mempunyai
niatan apa-apa yang dianggap 'berdosa besar' oleh kaizar, sekarang kau masih mempunyai
kesempatan buat melarikan diri. Kami berdua akan tahan Hiatsintjoe dan kawan-kawannya."
Liong Sam tidak menyahut, kedua biji matanya memain seperti orang yang sedang berpikir
keras. Mendadak ia cekal tangannya Keng Thian keras-keras dan berkata dengan suara terharu:
"Saudara Tong, terima kasih banyak-banyak. Aku tak dapat melarikan diri. Kalian boleh tak usah
perdulikan aku."
Mendengar jawaban itu, hatinya Keng Thian jadi semakin bimbang dan benar-benar tidak dapat
meraba siapa adanya Liong Sam. Jika mau anggap ia sebagai salah seorang pendekar dari
kalangan Rimba Persilatan, jago-jago dari Utara barat tak ada barang satu yang kenal padanya
Jika mau dikatakan ia sebagai seorang yang membela Hok Kong An secara mati-matian, secara
diam-diam ia perintah soetee-nya mengadakan hubungan dengan berbagai Touwsoe. Jika mau
mencap ia sebagai kaki tangannya negara asing buat membikin kacau Tibet, ia toh sudah
melindungi guci emas secara begitu sungguh-sungguh. Jika mau dibilang ia sebagai seorang yang
mempunyai angan-angan besar dan hendak gunakan Tibet sebagai pangkalan buat melawan
kerajaan Tjeng, temponya justru tidak sesuai untuk melakukan pekerjaan yang besar itu.
Demikianlah semakin memikir Keng Thian jadi semakin tidak mengerti dan tak tahu harus bersikap
bagaimana terhadap orang yang gerak-geriknya luar biasa itu.
Selagi Keng Thian pikiri perkataan yang cocok buat coba menanyakan lebih jauh, satu
perobahan terjadi dalam gelanggang pertempuran.
Sekarang, cepat bagaikan kilat, mereka berkelahi secara renggang dan main udak-udakan,
sehingga, dengan berkelebat-kelebatnya bayangan mereka, dalam gelanggang seperti juga
sedang bertempur puluhan orang. Meskipun ilmu pedangnya si nona luar biasa tinggi, akan tetapi,
dengan mengandalkan latihan puluhan tahun dan kedua tangannya yang beracun, dalam suatu
pertempuran yang lama, perlahan-lahan Hiatsintjoe dapat mendesak lawannya
"Jika kelanggar tangannya memedi itu, orang bisa lantas binasa," kata Liong Sam. "Kalian lebih
baik menyingkir dan tak usah menempuh bahaya guna kepentinganku. Aku sendiri mempunyai
daya buat menghadapi ia."
Keng Thian tak menyahut sebab seluruh perhatiannya sedang dipusatkan ke arah gelanggang
pertempuran. Ia lihat kedua matanya si nona yang mengandung sinar menegur, sedang awasi ia.
Ia tahu adatnya Pengtjoan Thianlie yang selamanya sungkan menyingkir walaupun keadaannya
terdesak, maka itu, sembari berpaling kepada Liong Sam, ia berkata sembari mesem: "Aku akan
segera berlalu, sesudah mengusir Hiatsintjoe!"
Sehabis berkata begitu, ia enjot badannya dan menerjang ke dalam gelanggang, sembari ayun
satu tangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Selagi enak desak lawannya buat coba rebut Pengpok Hankong kiam, Hiatsintjoe mendadak
lihat menyambarnya satu sinar terang, yang disertai dengan sambaran angin yang sangat hebat.
Ia sudah angkat tangannya buat menyambut, tapi buru-buru urungkan niatannya sebab merasa
telapakan tangannya bakal ditembuskan oleh senjata rahasia itu yang menyambar sedemikian
hebat!
Tapi dalam bahaya, Hiatsintjoe tak jadi bingung. Ia pentil pedangnya Pengtjoan Thianlie yang
lantas jadi miring, dan Thiansan Sinbong lewat di tempat kosong antara mereka dan amblas di
satu tiang batu!
Pentilan Hiatsintjoe merupakan satu gerakan yang sangat sempurna dan indah luar biasa.
Gerakan pedangnya Pengtjoan Thianlie cepat seperti angin, tetapi ia masih dapat mementil secara
tepat sekali. Jika kurang tepat sedikit saja, jerijinya bisa terpapas kutung. Apa yang lebih luar
biasa adalah: Ujung Pengpok Hankong kiam yang miring tepat sekali mengenakan Thiansan
Sinbong yang sedang menyambar!
Keng Thian terkesiap dan berkata dalam hatinya: "Ilmunya memedi ini sungguh tinggi!"
Tapi Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Baru saja ia anggap si nona adalah jago nomor
satu di antara orang-orang tingkatan muda. Tidak dinyana, tenaga dalamnya si pemuda malahan
ada lebih tinggi daripada Pengtjoan Thianlie.
Begitu lihat Sinbong tidak mengenai sasarannya, Keng Thian segera cabut Yoeliong kiam,
pedang mustika dari gunung Thiansan, yang dibuat oleh Hoei Beng Siansu dengan mengambil
sarinya lima macam logam utama. Pedang itu keluar dari sarungnya disertai dengan sinar yang
menyilaukan mata dan terus menyambar bagaikan seekor naga yang memain di tengah udara.
Tangannya Hiatsintjoe yang sedang memukul hampir-hampir saja kena digores ujung Yoeliong
kiam. Buru-buru ia putar badannya buat sampok Pengpok Hankong kiam, akan kemudian
menggunakan kedua tangannya buat dorong pedangnya Keng Thian yang sudah menyambar lagi.
Kesiuran angin yang sangat panas menyambar keras, sehingga Keng Thian terpaksa mundur
beberapa tindak.
"Sungguh berbahaya!"
menggercndeng Hiatsintjoe sembari menyerang pula dan kedua kakinya menginjak kedudukan
Ngoheng Patkwa.
Sekarang Tong Keng Thian mendapat tahu, kenapa belum sepuluh jurus, Liong Leng Kiauvv
sudah sengal-sengal napasnya. Ia tentu merasa tidak tahan dengan hawa yang sangat panas itu.
Lweekang Thiansan pay adalah ilmu tulen dari satu cabang persilatan yang sejati. Walaupun
latihannya Keng Thian masih belum sempurna betul, akan tetapi berkat ajaran yang teliti dari
kedua orang tuanya, begitu lekas ia pusatkan seluruh semangatnya, segera juga ia dapat melawan
hawa panas yang luar biasa itu. Dengan kerja sama antara Hankong kiam dan Yoeliong kiam,
serangan-serangan kedua orang muda itu jadi semakin berat bagi Hiatsintjoe. Jika satu lawan
satu, memang juga Hiatsintjoe menang setingkat. Tapi dengan dikerubuti dua orang, ia tidak
gampang-gampang bisa berada di atas angin lagi.
Semakin lama, pertempuran jadi semakin seru. Pengtjoan Thianhc yang tidak takuti hawa
panas, terus mendesak dengan pedangnya yang menyambar-nyambar bagaikan rantai, sehingga
mau tidak mau, Hiatsintjoe mesti berkelahi sembari mundur. Sesudah lewat beberapa jurus,
Hiatsintjoe sudah mundur sampai di pinggir tembok dan tak dapat mundur lebih jauh lagi.
Dalam keadaan yang semakin berbahaya, mendadak di luar terdengar satu suara aneh, disusul
dengan munculnya dua orang dalam gelanggang pertempuran. Mereka itu bukan lain dari In Leng
Tjoe bersama isterinya!
Semangatnya Hiatsintjoe terbangun dan tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi, In Leng Tjoe
suami isteri tidak lantas menyerbu, mereka berhenti di luar gelanggang dan berdiri nonton.
"Kalau kalian takut dapat urusan, lebih baik jangan datang disini," kata Hiatsintjoe dengan
perasaan mendongkol.
"Toako," kata In Leng Tjoe. "Orang yang sedang berkelahi dengan kau adalah puteranya Tong
Siauw Lan Tayhiap."
Hiatsintjoe berobah parasnya. Mendadak ia tertawa besar dan berkata: "Kalian takut padanya,
tapi aku tak takut. Sungguh percuma kau jadi pemimpin dari satu partai, belum apa-apa sudah
kena dibikin ketakutan oleh namanya Tong Siauw Lan. Baiklah! Jika kau tak berani langgar orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thiansan pay, biarlah aku yang layani." Dengan berkata begitu, Hiatsintjoe bermaksud supaya In
Leng Tjoe berdua pergi layani Pengtjoan Thianlie.
In Leng Tjoe jengah kena disikat begitu, tapi itulah justru ada keinginannya. Ia tertawa tengal
dan berkata buat tutup malu: "Kami bukan takut, cuma sungkan berpandangan seperti orang dari
tingkatan muda."
"Segala orang muda yang kurang ajar, kita pantas mengajar adat," kata Hiatsintjoe. "Baiklah,
hari ini lebih dahulu aku bekuk anaknya Tong Siauw Lan dan kirim dia pulang ke Thiansan, dengan
kasih tegoran kepada ayahnya yang tak mampu mengajar anak."
In Leng Tjoe suami isteri tidak berkata apa-apa lagi dan lantas terjang Pengtjoan Thianlie
sesudah hunus senjatanya. Pertempuran lantas berobah. Kalau tadi Hiatsintjoe cuma bisa
membela diri, sekarang ia lantas saja buka serangan-serangan hebat terhadap Keng Thian.
Sembari tertawa dingin, Keng Thian lantas robah cara bersilatnya. Yoeliong kiam diputar seperti
titiran dan badannya seperti juga dikurung dengan sinar pedang yang putih. Itulah ilmu pedang
Thaysiebie yang paling liehay dalam Thiansan Kiamhoat, yang istimewa digunakan jika bertemu
dengan lawan yang lebih tinggi ilmunya. Pembelaan Thaysiebie yang sangat rapat bagaikan
tembok tembaga, sukar dapat ditembuskan oleh orang yang punya kepandaian bagaimana tinggi
pun. Tapi ilmu Thaysiebie bukan cuma buat membela diri. Dalam gerakannya yang laksana kilat,
begitu ada tempat kosong, ilmu itu juga dapat digunakan buat menyerang musuh.
Serangannya Hiatsintjoe semakin lama jadi semakin berat, tapi sesudah lewat kurang lebih tiga
puluh jurus, Keng Thian masih tetap tidak bergeming. Cuma saja, walaupun tangannya Hiatsintjoe
tidak dapat masuk ke dalam tembok pedang, akan tetapi hawanya yang panas terus menyambar-
nyambar, sehingga, meskipun Keng Thian kerahkan seantero tenaga dalamnya, perlahan-lahan ia
mulai merasa tak tahan. Kalau tadi ia dapat pertahankan diri selama ratusan jurus adalah berkat
hawa dingin yang keluar dari Pengpok Hankong kiam.
Di lain pihak, Pengtjoan Thianlie pun sudah mulai jatuh di bawah angin, cuma keadaannya
masih mendingan sedikit daripada Tong Keng Thian. San Tjeng Nio yang sangat mendongkol
lantaran lihat kecantikannya si nona, terus menerus kirim serangan membinasakan dengan ikatan
pinggangnya. Kedua Poankoan pilnya In Leng Tjoe yang terutama digunakan buat totok tiga puluh
enam jalanan darah, juga terus menyambar-nyambar seperti rantai, sehingga si nona jadi sangat
repot.
Dengan gunakan seantero tenaga dan kepandaian, Keng Thian kembali sudah layani musuhnya
lebih dari lima puluh jurus. Matanya sudah merah dan keringat ngucur dari badannya. Ia melirik
dan lihat Liong Leng Kiauw sedang nyender enak-enakan di tembok kamar tulisnya. Keng Thian
mendongkol berbareng heran, sebab ia tidak melarikan diri, tapi juga tidak mau membantu. Keng
Thian juga lihat Pengtjoan Thianlie sudah kena didesak oleh dua musuhnya, sehingga hatinya
menjadi bingung. Dalam pertempuran antara ahli-ahli silat kelas satu, pantangan paling besar
adalah perasaan bingung atau gusar. Demikianlah, begitu lekas hatinya bingung, gerakan
pedangnya Keng Thian menjadi kalut dan pada garisan pembelaannya segera terbuka beberapa
kekosongan.
Hiatsintjoe tentu saja sungkan sia-siakan kesempatan yang baik. Sambil membentak keras, ia
kirim satu pukulan hebat di antara kekosongan itu. Akan tetapi, mendadak saja sinar pedang
kelihatan tergetar dan bagaikan kembang api, dari atas menyambar ke bawah. Hiatsintjoe jadi
kekunangan, di delapan penjuru ia seperti lihat bayangan orang dan tak tahu musuhnya berada
dimana. la terkesiap, tak berani teruskan pukulannya dan tarik pulang tangannya buat menjaga
diri.
Pada saat itulah, dengan suara "srr, srr," dua Thiansan Sinbong menyambar ke arah suami
isteri In Leng Tjoe. Mereka itu, yang tahu liehaynya senjata rahasia tersebut, buru-buru loncat
minggir, dan dengan gunakan kesempatan tersebut, Keng Thian segera loncat dan persatukan
dirinya dengan Pengtjoan Thianlie.
Pukulan yang barusan dikeluarkan oleh Keng Thian cuma digunakan jika sangat terpaksa,
lantaran banyak juga bahayanya. Namanya pukulan itu adalah Tiansia sengtjie (Kilat menyambar,
bintang mengubar), yaitu satu pukulan dari ilmu pedang Toeihong (Memburu angin) dari Thiansan
Kiamhoat. Pukulan tersebut terdiri dari beberapa puluh gerakan gertakan, dalam artian, ujung
pedang kelihatan bergerak, tapi bukannya benar-benar menyerang masuk. Oleh karena
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bergeraknya luar biasa cepat, maka di matanya musuh, seolah-olah puluhan pedang menyambar
dirinya dari berbagai jurusan. Pukulan ini cuma dapat menyilaukan mata musuh dan bukan benar-
benar dapat melukakan orang. Jika sang lawan mengetahui siasat tersebut dan terus mengirim
serangan, pihak yang menggunakannya bisa jadi celaka. Sebab keliwat terpaksa, Keng Thian
mendadak tukar ilmu pedang Thaysiebie dengan ilmu pedang Toeihong, dan benar-benar saja,
lantaran tak mengenal Thiansan Kiamhoat, Hiatsintjoe sudah kena dikelabui. Waktu ia sadar, Keng
Thian sudah berdampingan dengan Pengtjoan Thianlie dan mengawasi padanya sembari mesem-
mesem.
Hiatsintjoe jadi seperti orang kalap. Sembari berteriak-teriak, ia menerjang pula, diikuti oleh
suami isteri In Leng Tjoe yang kembali mau coba kepung Pengtjoan Thianlie, tapi sudah keburu
dicegat oleh Tong Keng Thian. Di lain pihak, baru saja badannya Hiatsintjoe bergerak, sembari
mesem tawar Pengtjoan Thianlie lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan berbareng.
Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya dan enam Sintan itu meledak di atas kepalanya
dengan berbareng. Hawa dingin lantas menyambar ke empat penjuru dan badannya Hiatsintjoe
seperti juga tertutup uap warna abu-abu yang luar biasa dinginnya. Biar bagaimana liehay,
Hiatsintjoe ternyata masih tidak cukup kuat buat tahan perledakan enam butir Sintan itu dan mau
tidak mau badannya jadi bergidik. Biarpun tidak sampai mendapat luka di dalam, tapi ia toh
rasakan napasnya agak sesak.
Satu perobahan kembali terjadi dalam pertempuran. Biarpun tidak berada di atas angin,
sekarang Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie tidak sampai jadi keteter. Hal ini disebabkan
lantaran adanya Pengpok Hankong kiam yang dapat melawan hawa panas dari pukulannya
Hiatsintjoe dan juga lantaran tenaga dalamnya Hiatsintjoe sudah mendapat sedikit pukulan, akibat
serangan enam butir Pengpok Sintan.

CATATAN

1) Amban, semacam duta sipil, pertama dikirim kc Tibi-i oleh Kaizar Yong Tjeng dalam tahun
1726 buat damaikan golom-an golongan yang bercekcokan.
2) Menurut sejarah, orang Gurkha menyerang Tibet dalam tahun 1791. Pada tahun berikutnya,
Kaizar Kian Liong kirim dua panglimanya yang paling pandai, yaitu Fu Kang An (Hok Kong Au) dan
Hai Lan Tsa, dengan 10.000 tentara lebih. Mereka usir pasukan Gurkha sampai di dekat Katmandu
(ibukota Nepal) dan kemudian mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat enteng.
3) Khata, atau selendang sutera, adalah barang penting dalam pergaulan di Tibet. Semuanya
ada tiga macam khata. Pertama dari sutera tulen, panjang 12 kaki, lebar 3 kaki, tersulam,
dipersembahkan hanya kepada orang-orang yang berkedudukan paling tinggi, seperti Dalai Lama,
Panchen Lama dsb. Yang kedua, juga dari sutera, panjangnya 9 kaki, lebar 3 kaki, digunakan
sebagai hadiah di kalangan atas. Yang ketiga, terbuat dari campuran sutera dan linen, bentuknya
banyak lebih kecil, digunakan di kalangan bawahan.
Cara mempersembahkannya juga tiga cara. Kepada orang atasan, kedua tangan diangkat
sampai ke jidat. Kepada pantaran, diangsurkan secara biasa dan yang memberi juga menerima
khata dari yang diberikan. Kepada orang bawahan, khata itu diselendangkan di belakang leher.
4) Cerita tentang Kam Hong Tie, Liauw In dan Lu Soe Nio dapat diikuti dalam cerita Kangouw
Sam Liehiap (Tiga Dara Pendekar)
5) Louw Tiong Lian adalah seorang ternama dari negara Tjee, pada jaman Tjiankok. Ia terkenal
sebagai seorang yang suka menolong orang dan damaikan segala percekcokan.
6) Kisah cinta To It Hang dan Pekhoat Molie dan kisah bunga Yoetam Sianhoa dapat diikuti
dalam cerita Giok Lo Sat, Pek Hoat Mo Lie, Tjau Guan Enghiong dan Thian San Tjit Kiam.
7) Kapan seorang Dalai Lama meninggal dunia, rohnya lahir kembali (reinkarnasi). Yang
menjadi soal adalah cara bagaimana harus mencari Dalai Lama itu dalam inkarnasinya yang baru.
Banyak jalan digunakan untuk meramalkan, akan tetapi yang lebih dipercaya adalah Naichung
(semacam ahli nujum negara) dan visi yang dapat dilihat di Telaga Lhamo Namtso, yang terletak
di sebelah selatan timur Lhasa. Dalam usaha mencari inkarnasi baru dari Dalai Lama, sesudah
bersembahyang, seorang pembesar tinggi Tibet lantas bersila di pinggir telaga buat tunggu visi.
Visi yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

.muncul bisa berupa simbol keagamaan, roman manusia dan scbagainya, yang belakangan
digunakan sebagai petunjuk buat mencari Dalai Lama baru. Dalam usaha itu sering muncul
beberapa calon, sehingga menimbulkan pertentangan. Buat mengakhiri pertentangan itu, dalam
tahun 1792, Kaisar Kian Liong telah memerintahkan penarikan lotre dari sebuah guci emas, yang
dihadiahkan oleh kaisar tersebut. Namanya semua calon ditulis di atas sepotong kertas yang
kemudian dimasukkan kedalam guci, yang ditaroh di depan patung Sakya Muni dalam Gereja
Pusat. Sesudah bersembahyang tujuh hari, salah satu Amban ambil satu gulung kertas dari dalam
guci tersebut dan calon yang namanya kena diambil dianggap sebagai Dalai Lama
8) Menurut ketahayulan orang Tibet, sesudah meninggal 28 hari, roh yang meninggal pulang
dan harus dibikin Hoeihoentjie (sembahyang roh yang pulang).
9) Adu pedang antara Koei Hoa Seng (ayah Pengtjoan Thianlie) dan Tong Siauw Lan (Teng
Hiau Lan) dan Phang Eng dapat diikuti dalam cerita Kangouw Sam Liehiap (Tiga Dara Pendekar).
Sedangkan perantauan Koei Hoa Seng ke Tibet dan Nepal dapat diikuti dalam kisah Peng Pok Han
Kong Kiam (Pedang Inti Es).

Selagi pertempuran berlangsung dengan hebatnya, di luar mendadak terdengar suara ribut-
ribut dan beberapa saat kemudian, berbareng dengan terbukanya pintu samping, serombongan
pembesar negeri kelihatan masuk. Orang yang jalan paling depan memakai bulu burung pada
topinya dan mengenakan baju makwa warna kuning, sehingga dapat diketahui, ia itu adalah
seorang pembesar sipil dari tingkatan kedua. Di belakangnya mengikuti tujuh atau delapan
pembesar militer, antaranya terdapat Gan Lok, yang meskipun mukanya sangat pucat, masih
dapat pertahankan dirinya.
Pembesar sipil tinggi itu adalah orang yang berkuasa pada bahagian hukum dalam kantornya
Hok Kong An dan kedudukannya bersamaan dengan hakim dari pengadilan tinggi, namanya Tjong
Lok dan masih mempunyai ikatan keluarga dengan kaizar Boan. Beberapa perwira yang ikut
padanya adalah rekan-rekannya Liong Leng Kiauw. Ternyata, sesudah kena pukulannya
Hiatsintjoe, sambil pertahankan diri sekuat tenaga, Gan Lok terus pergi ke kantornya Hok Tayswee
buat memberi laporan dan undang mereka datang guna memberi pertolongan.
"Siapa kau? Kenapa bikin ribut disini?" membentak Tjong Lok.
Sembari mesem, Keng Thian tarik pulang pedangnya dan bersama Pengtjoan Thianlie lantas
loncat keluar dari gelanggang pertempuran. "Siapa adanya kami, aku rasa sudah diketahui oleh
orang-orang yang ikut padamu," jawab Keng Thian. Beberapa perwira itu lantas saja kenali
mereka dan salah seorang lantas berkata: "Mereka adalah kedua orang gagah yang telah bantu
lindungi guci emas di gunung Tantat san."
Tjong Lok lirik Pengtjoan Thianlie dan lantas tertawa sembari manggut-manggutkan kepalanya.
"Bagus," katanya. "Kalau begitu kalian adalah orang-orang yang berjasa."
Sehabis berkata begitu, ia awasi Hiatsintjoe dan membentak: "Nyalimu benar besar! Malam-
malam berani satroni rumahnya pembesar negeri dan coba lakukan pembunuhan! Kau betul-betul
sudah tidak pandang lagi undang-undang kaizar."
"Undang-undang kaizar?" Hiatsintjoe mengulangi perkataan orang. "Aku justru datang kemari
atas perintah kaizarmu!"
"Andaikata kau seorang Kimtjhee Taydjin (utusan kaizar), kau toh tidak boleh berlaku begitu
kurang ajar!" berteriak Tjong Lok dengan gusar sekali.
Beberapa perwira itu juga naik darahnya dan siap sedia buat lantas turun tangan. "Orang yang
dikirim dari istana, mana bisa begitu biadab," kata satu antaranya. "Kalau dia benar terima
perintahnya kaizar, tak mungkin tidak diketahui oleh Hok Tayswee," sahut yang lain.
Bukan main gusarnya Hiatsintjoe yang lantas saja lemparkan surat perintah yang ia dapat dan
Tjongkoan istana. Melihat surat perintah itu tulen adanya, Tjong Lok jadi terkesiap dan suaranya
lantas berobah lunak. "Tapi, apa maksudnya kalian datang kemari?" tanya ia.
"Orang itu sangat mencurigakan," jawab Hiatsintjoe sembari tuding Liong Leng Kiauw. "Belasan
tahun dia malang melintang di Tibet, kenapa kau orang tidak mengetahui, sampai kaizar sendiri
yang mesti turun tangan. Kau orang malu atau tidak?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Dusta Taydjin," berkata Leng Kiauw dengan suara dingin. "Mereka bertiga adalah manusia-
manusia busuk dalam Rimba Persilatan dan dahulu mempunyai ganjelan pribadi dengan aku.
Sekarang, sesudah dapat masuk ke dalam kalangan istana, mereka mau gunakan kedudukannya
buat membalas sakit hati pribadi dan palsukan perintah kaizar. Coba Taydjin tanya, apakah
mereka mempunyai surat perintah buat menangkap aku?"
Terhadap Liong Leng Kiauw, istana Tjeng sebenarnya cuma bercuriga dan sama sekali belum
mengetahui siapa adanya ia dan apa kesalahannya. Maka itu, Tjongkoan istana cuma
menyampaikan perintah rahasia kaizar yang ingin supaya asal-usulnya Liong Sam diselidiki sampai
terang dan sama sekali bukannya surat perintah menangkapnya.
Hiatsintjoe terkejut dan lantas menyahut dengan sembarangan: "Apa perlunya segala surat
perintah, sedang yang mau dibekuk cuma seorang yang pangkatnya begitu kecil?"
Sebagai seorang yang ulung dalam kalangan pembesar negeri, Tjong Lok jadi merasa sangat
bimbang. Jika Hiatsintjoe tidak berdusta, ia bisa mendapat dosa besar atas tuduhan melindungi
tangkapan kaizar. Tapi, jika Hiatsintjoe main gila dan ia biarkan saja Liong Leng Kiauw dibekuk,
Hok Tayswee tentu akan gusar sekali. Walaupun Leng Kiauw berpangkat rendah, siapa juga
mengetahui, bahwa ia itu adalah tangan kanannya Hok Tayswee yang sangat disayang.
Sesudah berpikir beberapa saat, Tjong Lok segera ambil jalan yang paling selamat. "Hok
Tayswee adalah orang yang sangat berpengaruh dan disayang oleh kaisar," katanya di dalam hati.
"Biarlah dia saja yang memutuskan." Siasat kelit dan timpakan tanggung jawab ke pundak lain
orang adalah semacam modal yang sangat dikenal dalam kalangan pembesar Tjeng.
Sesudah memikir begitu, ia lantas berkata: "Kalian masing-masing mempunyai alasan sendiri-
sendiri, sehingga aku juga merasa sukar buat memutuskannya Akan tetapi, semua urusan di Tibet,
menurut perintah Kaizar berada di bawah kekuasaan Hok Tayswee. Jika benar kalian datang disini
buat menangkap orang, menurut pantas kalian lebih dahulu harus melaporkan kepada Hok
Tayswee. Baiklah, besok pagi semua orang ikut aku pergi menghadap Hok Tayswee dan sekarang
aku larang kalian bertempur lagi."
Meskipun Hiatsintjoe beradat angkuh, akan tetapi ia masih indahkan juga pangkatnya Tjong
Lok. Maka itu, ia lantas menyetujui dengan berkata: "Baiklah, aku rasa Hok Tayswee pun tak nanti
mau lindungi orang yang mau ditangkap oleh Kaizar."
Tjong Lok berpaling kepada Pengtjoan Thianlie seraya berkata: "Kedua giesoe (orang gagah)
juga aku harap suka datang bersama-sama buat menjadi saksi."
"Siapa mau begitu banyak rewel," sahut si nona.
Keng Thian tertawa dan berkata sembari membungkuk: "Kami berdua adalah rakyat
pegunungan yang tidak biasa bertemu dengan pembesar negeri. Maka itu, kami harap Taydjin
suka bebaskan kami dari tugas tersebut dan sekarang juga kami ingin pamitan." Sehabis berkata
begitu, ia jejak kedua kakinya dan badannya lantas melesat, diikuti oleh Pengtjoan Thianlie. Ketika
menengok di waktu hinggap di atas tembok, Keng Thian lihat Leng Kiauw manggutkan kepalanya
sembari tertawa, dengan sorot mata yang mengandung perasaan berterima kasih.
Hatinya Keng Thian jadi semakin tidak mengerti dan di sepanjang jalan terus putar otaknya.
"Liong Loosam boleh dibilang satu manusia jempolan, cuma kenapa ia tak mau singkirkan diri?"
kata Pengtjoan Thianlie.
"Aku lihat ia adalah seorang yang bijaksana sekali," sahut Keng Thian. "Sesudah urusan ini
jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An, keadaan akan jadi berobah baik."
Mereka omong-omong sembari jalan dan tidak lama kemudian sudah tiba di kakinya Gunung
Anggur. Penerangan Keraton Potala pancarkan sinarnya sampai ke lapangan yang terletak di kaki
gunung, dimana Yoe Peng disuruh tunggu majikannya.
Jauh-jauh mereka lihat di kaki gunung terdapat dua bayangan hitam yang sangat berdekatan
satu sama lain, seperti sedang bicara dengan suara perlahan.
"Dilihat dari bayangannya, orang itu seperti lelaki," kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
"Kenapa Yoe Peng kelihatan begitu rapat?" Dengan tindakan perlahan Pengtjoan Thianlie
mendekati dan segera juga ia dapat dengar suaranya sang dayang: "Kongtjoe bilang buat
sementara tidak balik dahulu ke keraton es. Katanya, mau pergi ke Soetjoan. Mungkin sekali aku
akan diajak dan mulai dari sekarang, kita lebih sukar bertemu muka lagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Jika kau bertemu dengan Chena, aku mohon kau pesan ia pergi ke Sakya buat menemui aku,"
kata bayangan hitam yang lain.
"Apakah kau cuma pikiri Chena Tjietjie seorang?" kata Yoe Peng sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie merasa sangat geli dan tanpa merasa ia jadi tertawa.
"Ada orang!" kata bayangan hitam itu sembari loncat dan raba gagang pedangnya, tapi
Pengtjoan Thianlie sudah mendahului loncat keluar dan berkata sembari tertawa: "Thian Oe,
ilmumu benar sudah maju jauh. Apakah itu semua curian dari keraton es?"
Bayangan hitam itu memang juga Thian Oe adanya Ia juga dapat dengar, bahwa Liong Leng
Kiauw telah menemui urusan sulit dan ia sengaja datang buat coba menyelidiki. Tapi baru saja tiba
di kaki gunung, ia sudah bertemu dengan Yoe Peng yang memberitahu, bahwa majikannya
bersama Tong Keng Thian sudah pergi ke rumahnya Liong Sam. Mendengar begitu, hatinya Thian
Oe menjadi lega dan ia segera pasang omong dengan sahabatnya itu. Thian Oe dan Yoe Peng
pandang Pengtjoan Thianlie dan Keng Thian seperti dewi dan dewa dan mereka yakin, bahwa
dengan bantuan kedua orang itu, segala urusannya Liong Sam akan segera dapat dibikin beres.
Mereka sama sekali tidak nyana, bahwa persoalan Leng Kiauw mempunyai latar belakang yang
sedemikian sulit.
Thian Oe kaget bukan main waktu lihat munculnya Pengtjoan Thianlie. "Aku sangat berhutang
budi dengan gurumu dan tidak akan dapat membalasnya," kata si nona dengan suara terharu.
"Biarpun tanpa permisi, kau sudah belajar ilmu silatku, akan tetapi, mengingat hal itu terjadi
sesudah gempa bumi dan juga lantaran kau belajar dengan tujuan menyelamatkan ilmu silatku,
maka aku tidak salahkan padamu. Aku cuma mau tanya, perlu apa kau datang kemari?"
"Bagaimana dengan keselamatannya Liong Sam Sianseng," Thian Oe balas tanya. "Aku lihat, ia
adalah seorang baik. Apakah kalian sudah membantu ia?"
Ketika itu Tong Keng Thian sudah muncul dan ia berkata sembari tertawa: "Anak ini
mempunyai hati yang hangat."
"Akan tetapi, kau lebih baik jangan campur-campur urusan ini," kata Pengtjoan Thianlie.
Mendengar itu, Thian Oe jadi tercengang.
"Kali ini ayahmu telah berpahala besar dan tentu akan sangat dihargai oleh Hok Kong An dan
Hosek Tjin-ong," kata lagi Keng Thian. "Kalau nanti diberi hadiah, aku rasa paling sedikit ia akan
dapat pulang pangkatnya yang dahulu, sehingga kau, ayah dan anak, bisa pulang ke negeri
sendiri."
Tan Teng Kie, ayahnya Thian Oe dahulu berpangkat Tjiesoe di kota raja. Oleh karena berani
menentang dorna Ho Koen di hadapan kaisar, belakangan ia disingkirkan ke Tibet dan sampai
sekarang sudah ada sepuluh tahun. Tak usah dibilang lagi, ayah dan anak sangat kangen dengan
kampungnya dan berharap-harap satu ketika akan dapat kesempatan buat pulang kembali ke
Tiongkok. Keng Thian berkata begitu lantaran tahu rahasia hatinya Teng Kie dan puteranya.
Thian Oe tertawa getir dan berkata: "Ho Koen sedang disayang dan pengaruhnya besar sekali,
maka itu, manalah kami bisa pulang dengan gampang-gampang. Ayahku benar sudah dapat
kembali pangkatnya, cuma sayang bukannya pangkat Tjiesoe."
"Pangkat apa?" tanya Keng Thian.
"Pangkat Soanwiesoe pada sekte Sakya," sahutnya. "Hok Tayswee sudah menyetujui buat bikin
betul kantor Soanwiesoe dan kirim satu pasukan tentara guna antar ayah balik ke Sakya. Aku rasa,
beberapa hari lagi kami sudah harus berangkat. Kepada ayah, Hok Tayswee telah berkata begini:
'Di Sakya kau sudah kehilangan serdadu dan kehilangan muka, sehingga sebenarnya kau berdosa.
Jasamu di ini kali digunakan buat menebus dosa itu dan dalam hal ini, Kaizar sudah bersikap
sangat longgar terhadapmu. Maka itu, pergilah ke Sakya dan bekerja baik-baik untuk dua tiga
tahun lagi. Waktu itu aku akan majukan usul kembali, supaya kau bisa dipermisikan pulang.'
Demikian katanya Hok Tayswee. Hm! Ayahku bisa bilang apa lagi? Ia cuma bisa menurut
perintah."
"Hai!" Keng Thian menghela napas. "Aku tak nyana, dalam kalangan pembesar Tjeng, hadiah
dan hukuman diberikan secara begitu serampangan! Tapi pekerjaan di Sakya toh bukannya
pekerjaan terlalu berat, sedang kalian sudah berdiam disana kurang lebih sepuluh tahun lamanya,
maka apa sebab kau kelihatannya begitu jengkel?"
Thian Oe tidak menjawab, la cuma kerutkan kedua alisnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kau tak tahu!" Yoe Peng mendadak menyeletuk sembari tertawa. "Touwsoe di Sakya ingin
rangkap puterinya dengan ia, sedang anak tolol itu sudah penuju lain orang, la tentu kuatir rewel
lagi, kalau balik ke Sakya. Anak goblok! Lain orang mau, tapi tidak bisa, kenapa juga kau begitu
susah-susah hati!"
Sebagaimana diketahui, Yoe Peng pernah bergaul rapat sekali dengan Thian Ce, sehingga ia
jadi mengetahui segala isi hatinya anak muda itu. Paras mukanya Thian Oe jadi merah seperti
kepiting direbus, ketika dengar si nakal buka rahasia.
Pengtjoan Thianlie jadi turut tertawa dan berkata: "Aku kira urusan apa, tak tahunya segala
urusan kecil. Apa kau tidak punya kaki? Kalau tak mau, apa kau tak bisa kabur?"
Si nona omong seenaknya saja lantaran, ia tak tahu seluk-beluknya kalangan pembesar yang
sulit sekali. Buat Thian Oe, perkataannya Pengtjoan Thianlie malah telah menambah
kejengkelannya.
"Kau pulang saja," kata Keng Thian. "Mari! Aku ajarkan kau satu siasat yang sangat baik!" Ia
tarik tangannya Thian Oe dan bicara dengan bisik-bisik di kuping orang.
"Hm! Kau memang paling senang main gila!" kata Pengtjoan Thianlie. "Siasat busuk apa yang
kau ajarkan padanya, sampai takut didengar orang?"
"Rahasia langit tak boleh dipecahkan!" Keng Thian nyengir. "Siasatku ini tak boleh didengar
oleh kalian."
"Siapa kesudian!" kata si nona sembari merengut.
Benar saja, sesudah dibisiki Keng Thian, parasnya Thian Oe jadi lebih terang. "Tapi, Omateng
pun sangat sukar dihadapinya," kata ia.
"Jangan takut," membujuk Keng Thian. "Ilmu silatmu sekarang sudah bukan tandingannya
Omateng lagi. Kau cuma perlu berlaku sedikit hati-hati buat jaga segala akal busuknya."
Ketika itu, sang rembulan sudah selam ke barat, sedang di tepi langit sebelah timur sudah
kelihatan sinar terang. Oleh karena kuatir ayahnya buat pikiran, Thian Oe lantas saja pamitan
dengan tiga sahabatnya itu.
Keng Thian ulap-ulapkan tangan sampai anak muda itu berjalan jauh, sedang Yoe Peng
mengawasi kawannya sambil berdiri bengong dengan paras muka sedih.
"Anak otak!" kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Satu anaknya Touwsoe saja sudah bikin
dia jadi ubanan, apa kau mau tambah kejengkelannya lagi?"
"Kongtjoe, kau sungguh jail!" kata Yoe Peng sembari monyongkan mulutnya.
Pada waktu mereka bertiga tiba di pusatnya kota Lhasa, langit sudah terang dan orang-orang
yang pada pelesir seluruh malam sudah pada bubar.
Tiga hari kemudian, mereka tinggalkan Lhasa buat teruskan perjalanan ke Sinkiang. Selama
tiga hari itu, mereka menyelidiki persoalannya Liong Leng Kiauw dan dapat tahu perkaranya sudah
jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An. Buat sementara waktu Liong Sam ditahan dalam penjara
sebab Hok Kong An mau tanyakan dahulu pikirannya kaizar, dan perjalanan pergi pulang ke kota
raja akan meminta tempo setengah tahun. Sebab mengetahui keselamatannya Leng Kiauw sudah
terjamin, maka Keng Thian bertiga lantas berangkat dengan hati lega.
Ketika itu adalah permulaan musim semi. Meskipun salju belum lumer semuanya, akan tetapi
jalanan sudah lebih gampang dilintasi. Sesudah berjalan sepuluh hari lebih, mereka sudah lewati
wilayah Tibet dari sebelah selatan dan masuk ke dalam daerah Sinkiang.
Keadaan bumi jadi berobah. Mereka sekarang berada di lautan pasir kuning dengan gunung
yang berderet-deret "Tiongkok benar-benar besar," kata Pengtjoan Thianlie sambil menghela
napas. "Gunung apakah itu yang puncaknya menjulang awan?"
"Itulah gunung Thiansan yang kesohor dalam dunia," jawab Keng Thian. "Deretan gunung yang
berada di sekitar ini semuanya adalah cabang-cabangnya
Thiansan yang panjangnya lebih dari tiga ribu li. Jarak antara puncak selatan dan puncak utara
ada kira-kira seribu li."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya sedang gembira, tapi begitu lekas ia dengar disebutkannya
Thiansan, parasnya lantas jadi berobah, tapi tak dapat dilihat oleh Keng Thian yang lantas berkata
lagi: "Dari sini kalau jalan terus ke jurusan timur, orang bisa masuk ke dalam propinsi Kamsiok,
dan dengan mengikuti jalanan canto (jalanan gunung dengan jembatan-jembatan kayu buat lewati
jurang-jurang) yang dahulu dibuat oleh Kaisar Lauw Pang (pendiri kerajaan Han), orang bisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

lantas masuk ke Soetjoan barat. Kalau kita terus ambil jalanan ke arah utara, kita bisa tiba di
gunung Thiansan. Peng Go Tjietjie, apakah kau tak mau jalan-jalan dahulu di Thiansan?"
Mendadak saja, Pengtjoan Thianlie tertawa tawar. "Apakah kau kira semua orang yang belajar
ilmu silat harus berziarah di gunung Thiansan-mu?" katanya dengan suara kaku.
"Eh, eh. Kenapa kau kata begitu?" kata Keng Thian dengan perasaan heran. "Bukankah
mendiang ayahmu pun berasal dari partai Thiansan? Kenapa kau jadi bicara begitu?" Si nona tak
menjawab, sehingga Keng Thian jadi lebih bingung lagi.
Dalam perjalanan di padang pasir, puluhan li tidak bertemu manusia adalah kejadian yang
lumrah. Hari itu, sesudah jalan kurang lebih seratus li, Keng Thian bertiga cuma dapat
menemukan sebuah bukit yang dapat menahan angin dan pasir. Mereka lalu pasang tenda di
kakinya bukit itu, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng satu tenda, sedang Keng Thian pasang
tendanya di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li.
Malam itu, Pengtjoan Thianlie tak dapat tidur pulas dengan rupa-rupa pikiran datang padanya
berganti-ganti. Lantaran begitu, ia lalu pasang omong dengan dayangnya dan goda Yoe Peng
dengan mengatakan ia itu agaknya tak dapat berpisah dengan Thian
Oe. Yoe Peng membantah dan lalu balas goda majikannya, yang dikatakan sudah jatuh cinta
kepada Keng Thian.
Selagi mereka enak bercanda, dari kejauhan mendadak terdengar suara: "Uh! Uh!" Pengtjoan
Thianlie berobah parasnya dan lalu pasang kuping. Suara itu aneh kedengarannya, mirip-mirip
suara terompet tanduk, tapi juga seperti suara semacam tetabuhan Nepal.
"Aku mau pergi lihat! Kau jangan bikin kaget Tong Siangkong," kata si nona sembari sembat
Pengpok Hankong kiam dan lalu loncat keluar dari tenda.
Sesudah lari kira-kira delapan li, Pengtjoan Thianlie lihat beberapa orang sedang bertempur
hebat di atas sebidang tanah rumput. Sesudah datang dekat, ia kenali, bahwa mereka itu adalah
dua boesoe Nepal yang sedang ukur tenaga sama dua saudara Boe. Kedua boesoe itu bersenjata
golok berbentuk bulan sisir, yang bagian atas gagangnya kosong melompong, sehingga
mengeluarkan suara "uh, uh," setiap kali digerakkan. Saat itu, kedua boesoe itu sudah kena
didesak hebat oleh Boe-sie Hengtee yang pedangnya menyambar-nyambar bagaikan kilat.
Begitu lihat kedatangannya Pengtjoan Thianlie, dua boesoe itu lantas berseru dalam bahasa
Nepal dan dijawab oleh si nona dalam bahasa itu juga, yang tidak dimengerti oleh kedua saudara
Boe.
Boe Loodjie yang adatnya berangasan lantas saja berteriak: "Hei! Kalau mau bicara, nanti saja
bicara sama Giam Loo-ong!" Sehabis membentak, ia menyabet dengan pedangnya yang sambar
batang lehernya boesoe yang barusan bicara. Saat itu goloknya justru kena disampok oleh Boe
Lootoa, sehingga ia tidak dapat menangkis lagi pedangnya Boe Loodjie. Pada detik yang sangat
berbahaya, Pengtjoan Thianlie mendadak berteriak: "Tahan!" Sungguh cepat gerakannya si nona!
Berbareng dengan bentakannya, pedangnya sudah menyambar, sehingga kedua saudara Boe
terpaksa loncat mundur.
"Perempuan siluman!" mereka membentak. "Kalau tidak dihajar, kau tentu kira di Tiongkok
tidak ada orang yang bisa takluki padamu!"
Berbareng dengan itu, pedangnya kedua saudara Boe sambar dadanya Pengtjoan Thianlie
dengan satu gerakan Tianghong koandjit (Bianglala tembuskan matahari), yaitu pukulan
membinasakan dari kiamhoat Tjionglam pay. Si nona merasa gusar sekali, sehingga alisnya jadi
berdiri. Mendadak, sembari empos semangatnya, ia getarkan Hankong kiam yang berobah jadi
seperti puluhan batang pedang. Boe-sie Hengtee terkesiap dan buru-buru loncat ke samping buat
hindarkan diri dari sambaran itu. Mereka tak nyana, serangan Tianghong koandjit yang sedemikian
hebat sudah dapat dipunahkan secara begitu gampang.
Tapi si nona tidak berlaku kejam. Melihat musuhnya mundur, ia tidak susul dengan lain
serangan yang membinasakan. Ketika itu, kedua boesoe Nepal sudah berlutut di atas tanah,
dengan tak hentinya bicara dalam bahasanya. Sembari putar pedangnya buat tangkis sesuatu
serangan, Pengtjoan Thianlie juga ucapkan beberapa perkataan dalam bahasa Nepal. Sesudah
mendengar perkataannya kedua boesoe itu, paras mukanya si nona yang tadi mengandung
kegusaran, jadi berobah sabar sampai akhirnya ia manggutkan kepalanya sembari mesem.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Di lain pihak, Boe-sie Hengtee jadi meluap darahnya dan mereka menyerang mati-matian
seperti orang kalap. Harus diketahui, bahwa mereka adalah turunan ahli silat kelas utama dan
biasanya mereka merasa sangat bangga dengan kepandaiannya yang dianggap sudah tinggi
sekali. Bahwa sekarang si nona layani mereka sembari bicara, seolah-olah tidak memandang
sebelah mata, oleh mereka dianggap seperti satu hinaan yang sangat besar.
Melihat kedua lawannya menyerang seperti kerbau gila dengan pukulan-pukulan yang sangat
hebat, Pengtjoan Thianlie merasa agak terkejut dan tidak berani lagi melayani secara
sembarangan. Ia putar pedangnya seperti titiran dan badannya seperti juga dikurung dengan sinar
putih yang sangat dingin. Mendadak, sembari kebaskan tangannya Pengtjoan Thianlie ucapkan
beberapa perkataan Nepal dan kedua boesoe itu, seperti orang hukuman yang dapat
pengampunan, manggut-manggutkan kepalanya beberapa kali, akan kemudian bangun berdiri dan
terus kabur secepat mungkin. Boe-sie Hengtee mau mengubar, tapi ditahan oleh si nona
Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie tertawa sembari menyampok dengan pedangnya, sehingga kedua
saudara Boe rasakan tangannya kesemutan dan loncat mundur beberapa tindak.
"Aku sudah perintah dua boesoe itu pulang ke negerinya dan kalian pun lebih baik pulang saja,"
katanya dalam bahasa Han, dengan suara halus, tapi mengandung nada memerintah.
Sebagai turunan ahli silat kelas utama, dalam kalangan Kangouw, Boe-sie Hengtee biasanya
disegani orang dan kecuali beberapa orang dari tingkatan tua, siapapun tak berani berlaku kurang
ajar di hadapan mereka. Maka itu, walaupun si nona bicara halus, mereka lantas saja menjadi
gusar.
"Dua bangsat itu datang kemari buat mengacau dan kau sudah berani lepaskan mereka,"
membentak Boe Lootoa. "Sekarang, biarpun kau mau kabur, kami tak akan permisikan lagi."
"Siluman perempuan!" Boe Loodjie sambung perkataan saudaranya. "Aku memang sudah lihat,
kau bukannya orang baik-baik. Tong Keng Thian sekarang tidak berada di dampingmu. Kau mau
cari dia buat mintakan ampun juga sudah tidak keburu lagi!"
Mendengar cacian itu, keruan saja si nona lantas menerjang pula.
Pada waktu Pengtjoan Thianlie rebut guci emas, ia telah perintah supaya boesoe-boesoe Nepal
itu segera pulang ke negerinya dan jangan mengacau lagi di Tiongkok. Maka itu, ketika baru
bertemu, ia merasa gusar lantaran anggap, mereka berdua sudah langgar perintahnya. Akan
tetapi, sesudah menanya terang, ia dapat kenyataan mereka bukannya melanggar perintah.
Mereka datang di Sinkiang buat samper beberapa kawannya yang dikirim oleh Raja Nepal, guna
pulang bersama-sama. Apa mau, di tengah jalan mereka bertemu dengan kedua saudara Boe,
yang duga mereka mengandung maksud kurang baik. Dengan nasehatkan supaya Boe-sie
Hengtee pulang saja, si nona sebenarnya bermaksud baik dan tidak mau permusuhan jadi
berlarut-larut.
Sebagai seorang yang adatnya tinggi, bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie mendengar
cacian itu yang bawa-bawa juga namanya Tong Keng Thian. Sesudah bertempur lagi beberapa
lama, sembari berseru keras, kedua saudara Boe pentang langkah seribu, dengan tak hentinya
memaki "perempuan siluman."
"Binatang tak kenal mampus!" kata si nona dalam hatinya. "Dengan pandang mukanya Keng
Thian, aku tidak ambil jiwa anjingmu. Tapi, kau mesti dihajar adat!" Ia empos semangatnya dan
terus mengubar. Begitu menyandak, ia totol bebokongnya kedua saudara Boe dengan Hankong
kiam dan hawa dingin yang sangat hebat meresap ke tulang-tulang. Boe-sie Hengtee seperti juga
tahu si nona tidak akan turunkan tangan jahat dan begitu Hankong kiam menotol, mereka lantas
berbalik buat menyampok dengan pedangnya akan kemudian lari lagi. Sesudah ubar-ubaran lima
enam li, beberapa kali bebokongnya Boe-sie Hengtee kena ditotol, sehingga perlahanlahan mereka
merasa tidak tahan lagi dan gemetar sekujur badannya.
"Masih berani memaki?" tanya si nona* sembari tertawa.
Sekonyong-konyong kedua saudara Boe bersiul keras dan berbareng dengan itu, dari atas satu
gundukan tanah loncat keluar satu wanita muda. Di bawah sinarnya rembulan, dapat dilihat ia
memakai pakaian warna ungu dengan satu tusuk konde emas pada rambutnya, parasnya cantik
bagaikan gambar dan tertawanya manis seperti bunga yang baru mekar.
"Ah, dua bocah ini sekarang kena tubruk tembok," katanya sembari tunjuk kedua saudara Boe.
"Betul bikin malu orang! Hayo lekas mundur!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kouwkouw (bibi)," kata kedua saudara Boe. "Perempuan siluman itu sangat liehay. Hati-hati!
Lebih baik undang Loodjinkee (orang tua)."
"Omong kosong!" membentak si Kouwkouw itu. "Lekas mundur! Masa buat urusan begini kecil
mesti seret-seret tangan orang tua?"
Dilihat dari paras mukanya, nona itu belum cukup berusia dua puluh tahun dan banyak lebih
muda dari Boe-sie Hengtee. Tapi didengar dari panggilan kedua saudara Boe, ia mempunyai
tingkatan yang lebih tinggi dari mereka itu.
Melihat munculnya orang baru, Pengtjoan Thianlie segera hentikan tindakannya. Si nona
mengawasi Pengpok Hankong kiam seperti lagaknya satu bocah nakal dan berkata sembari
tertawa: "Pedangmu bagus sekali, mengkilap kredepan. Boleh dibuat main? Dibuat dari apa sih?"
Tanpa merasa, Pengtjoan Thianlie jadi tertawa. "Pedang ini bukan barang mainan," katanya.
"Aku suka hadiahkan padamu, tapi kau tentu tidak akan dapat pegang padanya. Siapa kau?"
"Kenapa tak dapat?" kata si nona. "Ibu! Boleh aku ambil barangnya lain orang?"
Pengtjoan Thianlie terkejut dan ketika ia menengok, di atas gundukan tanah sudah berdiri
seorang wanita usia pertengahan yang mengenakan pakaian warna hitam dan rambutnya diikat
dengan sutera putih yang merupakan dua kupu-kupu. Pengtjoan Thianlie terkesiap, la kagum,
lantaran tanpa terdengar suara apa-pun, tahu-tahu nyonya itu sudah berdiri disitu. Nyonya itu
mengawasi padanya sembari mesem dan lagaknya tidak berbeda dengan si nona muda. "Ada
ibunya, ada anaknya," kata Pengtjoan Thianlie dalam hatinya. "Coba lihat, ia mau apa."
"Bwee-djie (anak Bwee)," kata si nyonya sembari tertawa. "Kepandaiannya Tjietjie itu ada lebih
tinggi daripada kau. Jika tak percaya, coba jajal. Kau tak akan dapat ambil barangnya. Eh, Toa-
boe, Siauw-boe, kenapa kau orang jadi berkelahi dengan ia?"
Boe-sie Hengtee maju mendekati dan bicara panjang lebar, antaranya terdengar perkataan
"perempuan siluman" yang diucapkan keras-keras dan rupanya disengaja supaya dapat didengar
oleh Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie jadi gusar sekali, tapi sebelum sempat unjuk kegusarannya, si gadis muda
sudah berkata: "Ibu, kau selalu tidak memandang mata padaku. Aku bukan anak-anak lagi.
Cobalah aku jajal-jajal." Ia berpaling kepada Pengtjoan Thianlie dan berkata sembari tertawa:
"Tjietjie, pinjam pedangmu. Bolehkah?"
Mendadakan saja, ia loncat tinggi dan lalu menubruk dari tengah udara dalam gerakan yang
luar biasa cepatnya. Pengtjoan Thianlie terkejut dan menyabet dengan pedangnya.
"Ah, benar saja tak kena!" kata si gadis. Tiba-tiba, ia putar badannya yang masih berada di
tengah udara, tangan kirinya coba tepuk pundaknya Pengtjoan Thianlie, sedang lima jerijinya
tangan kanannya coba cekal ugal-ugalannya Peng Go.
Ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie sudah jarang terdapat dalam dunia, akan tetapi,
ilmunya gadis itu, yang dapat menubruk bulak-balik seperti burung di tengah udara, lebih-lebih
mengherankan. Tiga kali Pengtjoan Thianlie menyabet dengan Hankong kiam, tapi selalu dapat
dikelit secara gampang sekali.
Sembari loncat pergi datang dan melesat ke sana-sini, seperti kupu-kupu berterbangan di
antara bunga-bunga, gadis itu kelit sabetan-sabetannya Hankong kiam, dengan tangannya saban-
saban menyambar buat coba rebut pedang tersebut.
"Sungguh indah gerakanmu!" memuji Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
"Bagus! Bagus sekali!" memuji wanita setengah tua itu. "Bwee-djie hati-hati! Itulah Tatmo
Kiamhoat!"
Ketika itu Pengtjoan Thianlie sudah mulai menyerang dengan pukulan-pukulan Tatmo Kiamhoat
yang terlebih hebat dan Hankong kiam menyambar-nyambar seperti hujan dan angin. Lewat lagi
beberapa saat, si gadis mulai kelihatan keteter. Melihat begitu, Pengtjoan Thianlie yang memang
tidak bermaksud jahat, lantas mau hentikan serangannya, akan tetapi, sebelum ia tarik pulang
pedangnya, gadis itu sudah berseru: "Dengan tangan kosong aku tak dapat menangkan kau.
Sekarang aku mau gunakan pedang!" Berbareng dengan perkataannya itu, ia putar Imdannya di
tengah udara dan tahutahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang pendek yang
mengeluarkan sinar berkredepan.
Ketika itu, Pengtjoan Thianlie sedang menyerang dengan gerakan Tjoenhong kiattang (Angin
musim semi buyarkan kedinginan) dan ujung pedangnya sambar kedua matanya gadis itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendadak gadis itu menyampok dengan pedangnya dan terus menikam ke arah perutnya
Pengtjoan Thianlie. Buru-buru Pengtjoan Thianlie putar tangannya dan membuat satu lingkaran
dengan pedangnya, dengan tujuan menggulung pedang lawannya. Tapi, siapa nyana, kiamhoat-
nya gadis itu tidak menurut peraturan yang biasa. Terang-terangan, barusan ia menikam ke arah
perut, tapi setahu bagaimana, ujung pedangnya miring sedikit dan sambar dada! Bukan main
kagetnya Pengtjoan Thianlie yang lantas sedot napasnya dan otot dadanya "melesak" kira-kira
satu dim dalamnya. Saat itu, ujung pedang si gadis sudah menyentuh bajunya Pengtjoan Thianlie.
Mendadak ia rasakan ujung pedang seperti juga menikam kapas dan tenaga pedang sudah kena
dibikin buyar, sehingga ia jadi terkesiap!
Pada saat itulah, Pengtjoan Thianlie balik tangannya dan kirim pukulan Kisoei lengpeng (Air
membeku menjadi es), yang meskipun menyambarnya kelihatan enteng, disertai tenaga dalam
yang sangat kuat. Pengtjoan Thianlie duga gadis itu tidak akan dapat menyambut pukulannya dan
benar saja, ia lantas loncat mundur dua tindak dan kemudian barulah menyambut dengan gerakan
Hoeitouw imsan (Loncat melewati gunung).
Hoeitouw imsan adalah satu pukulan biasa dari ilmu pedang Boetong yang dikenal baik oleh
Pengtjoan Thianlie. "Kau tak boleh gunakan pukulan itu," katanya sembari tertawa. "Buat sambut
seranganku, kau harus gunakan pukulan Hoayong kiatto (Di Hoayong mencegat jalanan)." Dengan
pukulan Hoeitouw imsan, si penyerang harus lebih dahulu menikam dua kali ke sebelah kiri dan
kemudian menikam satu kali ke sebelah kanan. Dua tikaman yang pertama cuma gertakan dan
tikaman yang ketiga barulah serangan yang benar-benar. Oleh Karena mengetahui jalannya
pukulan tersebut, Pengtjoan Thianlie segera majukan dirinya buat tutup bagian kirinya, supaya
dua tikaman gertakan menjadi buyar dan tak dapat menikam lagi ke sebelah kanan. Tapi tak
dinyana, gerakannya gadis itu benar-benar luar biasa. Barusan, terang-terangan ia menikam
dengan gerakan Hoeitouw imsan, tapi tak diduga, begitu ujung pedangnya menyambar, arahnya
lantas berobah, yaitu menikam beruntun dua kali dari sebelah kanan.
Dalam pertempuran antara ahli dan ahli, yang paling berbahaya adalah taksiran yang salah.
Saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah majukan dirinya dan perhatiannya ditujukan ke sebelah kiri,
sehingga bagian kanannya jadi terbuka. Buat menangkis dengan Hankong kiam sudah tidak
keburu lagi. Si gadis mesem dan coba sabet putus ikatan pinggangnya Pengtjoan Thianlie.
"Bwee-djie, hati-hati!" mendadak si wanita setengah tua berteriak. Saat itu, ikatan pinggangnya
Pengtjoan Thianlie mendadak berkibar dan gulung gagang pedangnya si gadis!
Barusan, jika gadis itu benar-benar menikam, Pengtjoan Thianlie pasti akan mendapat luka.
Tapi ia memang tidak mempunyai niatan kurang baik. Melihat ikatan pinggangnya Pengtjoan
Thianlie yang sangat indah, dalam kenakalannya, ia ambil putusan buat putuskan ikatan pinggang
itu. Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie ada banyak lebih tinggi daripada gadis itu. Semua bagian
badannya sudah terlatih baik dan otot-ototnya secara otomatis menurut segala kemauannya. Pada
detik si gadis sedikit bersangsi, ia sudah keburu kerahkan tenaga dalam di pinggangnya dan ikatan
pinggang itu lantas berobah menjadi senjata yang kebut dan gulung pedang sang lawan. Baik juga
si gadis sudah diperingati oleh ibunya, sehingga ia masih dapat loncat mundur pada saat yang
tepat.
Begitu lawannya mundur, Pengtjoan Thianlie segera mencecer dengan serangan-serangan kilat
dan tidak memberi kesempatan lagi kepada gadis itu buat keluarkan pukulan-pukulannya yang
aneh. Dengan cepat ia jadi keteter dan cuma dapat membela diri saja.
"Kau curang!" berseru si gadis sembari monyongkan mulutnya. "Kenapa kau tak kasih aku balas
menyerang? Adu pedang cara begini, aku tak mau!"
"Cis" Pengtjoan Thianlie tertawa. "Baiklah. Aku berikan lagi kesempatan." Ia pertahankan
gerakan Hankong kiam dan buka lowongan supaya dapat diserang. Si gadis jadi gembira dan
dengan beruntun kirim tiga serangan yang masing-masing berbeda satu sama lainnya. Serangan
pertama adalah pukulan Bansoei tiauwtjong (Laksaan sungai mengalir ke laut) dari kiamhoat Gobie
pay, yang kedua Tjoenma poentjoan (Kuda bagus mengubar mata air) dari Khongtong pay,
sedang yang ketiga adalah Kimtjiam touwsie (Jarum emas menolong manusia) dari Siongyang
pay. Apa yang mengherankan adalah: Setiap serangan berobah arahnya pada detik penghabisan,
umpamanya serangan yang bermula kelihatannya seperti Bansoei tiauwtjong mendadak berobah
arahnya dan menikam dari jurusan yang tidak diduga-duga. Pengtjoan Thianlie yang sudah siap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sedia sudah dapat loloskan diri dari serangan-serangan itu dengan gunakan ilmu entengi
badannya. Tapi lantaran dicecer, ia sekarang cuma dapat membela diri dan tidak sempat lagi balas
menyerang.
Hatinya Pengtjoan Thianlie mendadak bergoncang sebab ia ingat penuturan mendiang ayahnya.
Dahulu, ketika sedang rundingkan berbagai cabang persilatan di Tiongkok, ayahnya pernah
ceritakan halnya satu ilmu pedang tunggal gubahan Pekhoat Molie. Ilmu pedang itu merupakan
petikan dari sarinya macam-macam kiamhoat, yang kemudian diolah lagi menjadi satu. Meskipun
gerakannya bersamaan dengan gerakan macam-macam kiamhoat itu, tapi arah serangannya,
pada detik penghabisan, berbeda dan malahan sebaliknya dari kiamhoat yang asli. "Apakah ilmu
pedangnya nona ini ada ilmu pedang Pekhoat Molie?" tanya Pengtjoan Thianlie dalam hatinya.
Tidak salah dugaannya si nona.
Ilmu pedang gadis muda itu memang juga ilmu pedangnya Pekhoat Molie. Buat ahli silat biasa,
biarpun kenal ilmu pedang tersebut, tak gampang-gampang dia dapat melawannya. Tapi
Pengtjoan Thianlie adalah lain dari yang lain. Dasar dari ilmu pedangnya adalah Tatmo Kiamhoat
yang sangat tinggi dan kiamhoat tersebut telah dicampur dengan ilmu pedang Eropa dan Arab,
sehingga jadi sangat luar biasa. Maka itu, begitu lekas mengenali ilmu pedangnya lawan dan
pusatkan semangatnya buat melayani, si gadis tidak dapat berbuat banyak lagi dengan pukulan-
pukulan yang aneh.
Demikianlah sesudah lewat beberapa saat, gerakan pedangnya si gadis lantas mulai kalut. "Mau
bertempur terus?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
Gadis itu tak menyahut, dengan mendadak badannya melesat tinggi dan selagi badannya turun
ke bawah, ia menikam dengan pedangnya. Ia ternyata gunakan ilmu aneh yang bisa menubruk di
tengah udara seperti burung, dicampur dengan ilmu pedangnya Pekhoat Molie. Pengtjoan Thianlie
terkesiap. Tanpa sempat berpikir lagi, badannya sudah turut melesat ke udara dan membabat
dengan gerakan Itwie touwkang (Rumput wie seberangi sungai). Saat itu, mereka berdua sama-
sama berada di tengah udara dan gerakan pedang cepat bagaikan kilat. Begitu lekas pedangnya
menyambar ke tenggorokan orang, Pengtjoan Thianlie lantas merasa menyesal. Ia sama sekali tak
bermusuhan dengan gadis itu, kenapa juga turunkan tangan yang jahat? Ia mau tarik pulang
pedangnya, tapi sudah tidak keburu lagi!
Si gadis keluarkan satu teriakan kaget. "Bwee-djie, kau masih tak percaya aku?" demikian ia
dengar suara ibunya, dan berbareng, ia rasakan badannya diangkat dan dilemparkan, akan
kemudian hinggap di atas tanah tanpa kurang suatu apa. Ketika menengok, ia lihat ibunya sudah
berhadapan dengan Pengtjoan Thianlie.
Barusan, pada saat hatinya menyesal tapi pedangnya sudah tak dapat ditarik pulang, tiba-tiba
saja depan matanya Pengtjoan Thianlie berkelebat satu bayangan hitam, yang menyelak di antara
kedua batang pedang yang sudah hampir beradu dan sudah berhasil menolong gadis itu.
Pengtjoan Thianlie yang begitu liehay jadi kesima dan badannya kej engkang ke belakang. "Hati-
hati!" ia dengar satu suara berbisik dan merasa badannya didukung orang. Ia jungkir balik, akan
kemudian hinggap di muka bumi dengan selamat.
Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan berdebar-debar. Wanita setengah tua itu, yang
pakaiannya dan lagaknya seperti si wanita muda, ternyata mempunyai kepandaian yang tak dapat
diukur bagaimana dalamnya.
"Sungguh cantik! Apa kau sudah punya mertua?" tanya wanita itu sembari tertawa, lagaknya
mirip seperti bocah nakal.
Mukanya Pengtjoan Thianlie lantas saja bersemu merah. Sebagai seorang yang mempunyai
kedudukan puteri dan sedari kecil biasa dihormati oleh para dayangnya, inilah buat pertama kali
seorang yang baru ketemu berani guyon-guyon padanya.
Sesudah kenyang tertawa, wanita itu lalu berkata lagi: "Ilmu silatmu juga benar-benar indah.
Inilah baru boleh dibilang, kepandaian dan paras dua-dua jempol. Maukah kau dicarikan mertua
olehku?"
"Kau tua-tua kenapa bicara begitu sembarangan?" sahut si nona dengan perasaan mendongkol.
"Jika kau terus omong gila-gila, aku tak akan berlaku sungkan lagi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Wanita itu tertawa terbahak-bahak. "Usiamu masih begitu muda, kenapa begitu galak?"
katanya. "Sama seperti Tjietjie-ku. Titsoen-ku (cucu keponakan) namakan kau perempuan
siluman, tapi aku lihat kau seperti nenek bawel!"
Si nona jadi meluap darahnya dan lantas angkat pedangnya. Ia tahu bukan tandingan, tapi
amarahnya mesti dilampiaskan.
Wanita itu tapinya terus tertawa. "Terhadap anakku kau berlaku cukup sungkan," kata ia. "Tapi
terhadap titsoen-ku, tanganmu kejam sekali. Siapa gurumu?"
"Sudah! Sudah!" berteriak Pengtjoan Thianlie. "Memang aku hinakan titsoen-mu. Nah,
hukumlah aku!" Si nona yang beradat angkuh lantas saja menikam, meskipun tahu bakalan kalah.
"Aku sungguh sayang padamu," kata si wanita yang terus kocok si nona. "Kau begitu cantik,
mana tega aku menghukum kau!" Sehabis berkata begitu, dengan mendadak ia usap mukanya
Pengtjoan Thianlie. Terang-terang, si nona lihat gerakan tangannya, tapi toh ia tidak keburu kelit!
Sekarang Pengtjoan Thianlie benar-benar gusar. Seperti orang kalap ia putar pedangnya dan
menyerang dengan pukulan-pukulan yang membinasakan.
"Kau benar-benar marah?" tanya wanita itu sembari tertawa dan kembali usap kepala orang.
Pengtjoan Thianlie terus menerjang dan kirim beberapa tikaman. Wanita itu tidak jadi gusar, ia
cuma kelit dan mulutnya ngoceh lagi:
"Ah, pedangmu sungguh-sungguh bagus! Cuma sayang sekarang musim dingin. Kalau musim
panas tak perlu bawa-bawa kipas lagi. Dari apa dibuatnya? Coba kasih aku lihat!"
Pengtjoan Thianlie terkejut dan lantas putar Hankong kiam bagaikan titiran. "Aku mau lihat cara
bagaimana kau rebut pedangku," katanya didalam hati.
Tiba-tiba si nona endus bebauan yang sangat harum dan dengan satu suara "tring!" Pengpok
Hankong kiam sudah kena dipentil terbang dengan dua jerijinya dan kemudian disambut dengan
satu tangannya. "Benar-benar aku pusing," katanya sembari bulak-balik pedang itu. "Benar-benar
aku tak tahu, dibuat dari bahan apa."
Kaget dan gusarnya si nona ngaduk menjadi satu. Tanpa pikir akibatnya, ia menubruk seperti
macan edan. "Buat apa begitu kesusu! Aku toh tak inginkan milikmu!" kata lagi si wanita setengah
tua sembari tertawa. Ia angsurkan tangannya dan kembalikan pedang itu.
Begitu terima pedangnya, begitu si nona menikam lagi. Bagaikan kilat, si wanita tangkap
lengannya dan berkata pula: "Coba aku lihat lagi. Aduh benar-benar cantik! Tugas comblang pasti
aku jalankan!" Sembari ngoceh, tangannya kembali usap mukanya
Pengtjoan Thianlie. Sesudah kenyang menggoda, ia lepaskan tangannya dan sedang suara
tertawanya masih kedengaran, bayangannya sudah menghilang dari pemandangan!
Pengtjoan Thianlie celingukan. Boe-sie Hengtee dan si gadis juga sudah tidak berada disitu.
Rupanya mereka sudah berlalu, ketika si wanita setengah tua goda dirinya.
Si nona menghela napas berulang-ulang dan parasnya lesu sekali. "Ayah ibuku sudah peras
pikiran dan tenaga buat gubah ilmu pedang ini dengan anggapan tiada bandingannya di dalam
dunia," katanya dalam hati. "Tapi siapa nyana, wanita itu saja aku sudah tidak mampu
menangkan. Ah, kalau begini, keinginan ayahku rasanya tidak akan terwujut."
Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak tahu, bahwa ilmu silat dan tingkatannya wanita itu cuma
dapat direndengi oleh dua tiga orang saja dalam Rimba Persilatan.
Dengan hati mendeluh, si nona jalan balik ke tendanya. Ketika itu sudah lewat tengah malam
dan sang rembulan pancarkan sinarnya yang gilang gemilang, sehingga padang pasir jadi seperti
mandi dalam lautan perak, dalam suasana yang sunyi-senyap. Di padang pasir, benda yang
jauhnya beberapa li masih dapat dilihat. Kedua tenda yang dipasang di kaki gunung jauh-jauh
sudah kelihatan. Mendadak hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang. Di depan tendanya Tong Keng
Thian terdapat dua bayangan orang, satu lelaki dan satu perempuan. Yang lelaki adalah Keng
Thian, tapi potongan badan yang perempuan, bukan potongan badannya Yoe Peng. Sesudah
berlari-lari kurang lebih satu li lagi, barulah ia dapat tahu, bahwa wanita itu adalah gadis yang
barusan jadi lawannya!
Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie keluar dari tendanya buat selidiki itu suara "uh, uh," Keng Thian
sedang gulak-gulik dalam tendanya dengan tidak dapat pulas. Otaknya selalu tak dapat lupakan si
nona yang sikapnya membikin ia tidak mengerti. Sedikit banyak, ia sudah mengetahui asal-
usulnya, yaitu turunan dari jago partai Thiansan dan cucu perempuannya Koei Tiong Beng. Tapi,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kenapa terhadap Thiansan pay, si nona kelihatannya adem sekali? Kenapa? Ia ingat, ketika mau
turun gunung, ayah ibunya pesan supaya ia cari tahu dimana adanya paman Koei Hoa Seng.
Sekarang ia sudah dapat cari puterinya Koei Hoa Seng, tetapi si nona tak sudi naik ke Thiansan
buat menemui sahabat-sahabat dari mendiang ayahnya. Kenapa?
Memikir pergi datang, pemuda itu jadi semakin jengkel. Jika lain orang, ia tentu sudah
memaksa buat mendapat tahu seterang-terangnya. Tapi terhadap Pengtjoan Thianlie, ia benar-
benar tak sanggup berlaku keras, oleh karena adanya keagungan si nona yang wajar, yang
membikin orang tidak berani rewel-rewel di hadapannya.
Dalam kekesalannya itu, Keng Thian jadi gusar pada dirinya sendiri. Kenapa, sesudah kenal
Pengtjoan Thianlie, ia jadi begitu tolol? Saat itu, dalam otaknya berkelebat bayangannya seorang
wanita lain, seorang gadis jelita yang usianya lebih muda dari Pengtjoan Thianlie. Gadis itu adalah
Lie Kim Bwee, puteri Ie-ie-nya (bibi) sendiri (puterinya Lie Tie dan Phang Lin). Kim Bwee adalah
kawan memainnya sedari kecil, tapi ia heran sekali, terhadap nona itu, ia tidak mempunyai
perasaan seperti yang dirasakan terhadap Pengtjoan Thianlie.
Angin diluar tenda jadi semakin santer dan di antara suaranya angin, sayup-sayup, ia dapat
dengar suara "uh, uh." "Apakah itu bukan suara goloknya boesoe Nepal?" ia tanya dalam hatinya.
Dalam pertemuan di Shigatse dan di gunung Tantat san ketika bantu merebut guci emas, ia tahu
gagang goloknya boesoe Nepal berlubang dan mengeluarkan suara "uh, uh," jika kesampok angin.
Keng Thian heran. Kenapa mereka masih berada di Tiongkok?
Ia keluar dan loncat ke atas tenda, dari mana ia lihat bayangannya Pengtjoan Thianlie yang
sedang berlari-lari ke arah utara barat. Tadinya ia mau mengubar, tapi kemudian urungkan
niatannya. Ia ingat, kedua boesoe Nepal adalah orang sebawahannya Pengtjoan Thianlie,
sehingga jika si nona datang, segala urusan tentu bisa menjadi beres. Di sebelahnya itu, jika
menguntit, ia kuatir si nona jadi gusar dan menganggap ia terlalu mau tahu urusan lain orang.
Mengingat begitu, ia urungkan niatannya dan dengan tindakan perlahan, menuju ke tendanya
Pengtjoan Thianlie.
Di luar tenda ia bertemu Yoe Peng yang kelihatannya bingung. "Ah, Tong Siangkong!" katanya.
"Kenapa malam-malam begini masih jalan-jalan?"
"Kau dengar itu suara "uh, uh," tanya Keng Thian.
"Dengar,"sahutnya. "Mungkin cuma suara burung."
"Kongtjoe-mu?" tanya Keng Thian sembari tertawa.
"Ia kecapaian dan sudah pulas," Yoe Peng mendusta. "Aku keluar lantaran dengar suara
tindakanmu. Baliklah, kalau kau bikin ia mendusin, ia bisa jadi gusar."
Keng Thian tertawa dan lantas balik ke tendanya. "Benar saja dia tak mau aku mendapat tahu,"
kata pemuda itu dalam hatinya.
Biarpun mengetahui Pengtjoan
Thianlie bukan sedang menghadapi bahaya, Keng Thian tak dapat tetapkan hatinya. Ia sulut
sebatang lilin besar dan duduk termenung dalam tendanya.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, mendadak di luar tenda terdengar suara tindakan yang
sangat enteng dan kain tenda dipentil beberapa kali.
Keng Thian loncat bangun dan menanya: "Kau sudah pulang?" Ia heran. Sedang si nona mau
rahasiakan kepergiannya, kenapa sekarang ia datang pada tendanya? Tangannya membuka tenda
dan segera juga kupingnya dapat dengar suara tertawa yang sudah dikenal baik. "Koko, kau
sedang pikiri siapa?" tanya satu suara wanita.
"Ah, aku kira siapa, tak tahunya setan kecil!" kata Keng Thian sembari tertawa. Wanita itu
bukan lain daripada Lie Kim Bwee, adik misanannya (piauw).
"Tak salah omongannya Toa-boe dan Siauw-boe," kata Kim Bwee sembari tertawa haha-hihi.
"Ada dia, mesti ada kau. Mereka kata, tendamu mesti berdekatan dengan tendanya dan benar
saja tidak meleset. Eh, kau tahu bagaimana keadaannya
kecintaanmu sekarang? Aku sih tahu!"
Keng Thian bingung berbareng geli. "Kenapa? Kau ketemu padanya?" tanya ia sembari pukul si
nona dengan perlahan.
"Sudah punya kawan baru, kenapa kau jadi begitu galak? Sudahlah, aku tak mau bicara," Kim
Bwee menggoda terus.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Baiklah, Piauwmoay-ku yang manis," kata Keng Thian sambil membungkuk. "Aku minta maaf.
Puas? Hayo, lekas bilang."
Kim Bwee tertawa-tawa. "Tadi aku bertempur dengan dia," katanya. "Benar-benar hebat! Aku
rasa, kau juga bukan tandingannya. Hati-hati lho! Mesti siap-siap buat dihajar olehnya!"
Keng Thian yang sangat kepengen tahu keadaannya Pengtjoan Thianlie, seperti juga tidak
dengar godaan adiknya. "Apa? Kau bertempur dengan ia? Dan dia?" tanya Keng Thian.
"Ibu sedang main-main dengan dia," jawabnya. "Kau tahu adat ibu. Tak tahu ia mau main-main
sampai kapan."
"Dan Boe-sie Hengtee?" Keng Thian tanya lagi.
"Kedua mustika itu bilang, lantaran kau lindungi 'si perempuan siluman', mereka sungkan
menemui kau," jawab Kim Bwee. "Tapi aku tahu, sebenar-benarnya mereka merasa jengah
lantaran kena dikalahkan oleh 'perempuan siluman' itu. Eh, siapa sih namanya? Aku belum pernah
lihat wanita yang begitu cantik.
Sungguh tak pantas Toa-boe dan Siauw-boe namakan ia 'perempuan siluman'."
Keng Thian yang sedang kebingungan, mana sempat ladeni godaan adiknya. Ia jalan mundar-
mandir dan tarik napas berulang-ulang seraya berkata: "Hai, bagaimana baiknya? Ie-ie bertempur
dengan ia. Bagaimana baiknya?"
"Eh, kenapa kau begitu kebingungan?" kata Kim Bwee sembari tertawa. "Ibu toh bukan mau
binasakan padanya. Ibu sendiri bilang, dia cantik sekali. Ia cuma mau main-main sedikit."
Tapi Keng Thian tidak dapat dihiburi dengan perkataan Kim Bwee. Ia kenal adatnya Pengtjoan
Thianlie yang tak dapat dipermainkan secara begitu. Ia merasa sangat jengkel, kenapa semakin
tua bibinya jadi semakin suka geguyonan. Ia rupanya lupa, bahwa di waktu masih kecil, berkat
sifat bibinya yang suka bercanda, ia sendiri jadi lebih dekat dengan sang bibi daripada dengan
ibunya sendiri.
Phang Lin dan Phang Eng (ibunya Keng Thian) adalah saudara kembar, tapi sifatnya berbeda
seperti langit dan bumi. Phang Eng pendiam dan sungguh-sungguh, Phang Lin nakal dan
berandalan. Sifat itu tidak berubah sampai Phang Lin berusia lanjut.
Boe Kheng Yab (ibunya Lie Tie atau neneknya Lie Kim Bwee) adalah murid penutup dari
Pekhoat Molie. Itu sebabnya kenapa Lie Kim Bwee paham ilmu silatnya Pekhoat Molie. Di
sebelahnya itu, ia juga dapat berbagai macam ilmu dari ibunya, antaranya ilmu berkelahi di tengah
udara seperti seekor burung. Ilmu tersebut didapat oleh Phang Lin dari Patpie Sinmo (Memedi
Delapan Tangan) Sat Thian Tjek. Phang Lin bukan saja turunkan ilmu silatnya, tapi juga adatnya
yang suka bercanda kepada puterinya itu.
Melihat piauwheng-nya kejengkelan, Kim Bwee jadi semakin bungah hatinya.
"Siapa suruh dia hinakan Toa-boe dan Siauw-boe," katanya sembari tertawa. "Kau tak lihat cara
bagaimana mereka dibikin kucar-kacir? Benar-benar bikin orang mendongkol! Bebokongnya ditotol
dengan pedang, tidak ditikam, cuma dipermainkan, seperti kucing permainkan tikus. Aku sungguh
tak sampai hati! Ibu tolong balaskan sakit hatinya. Eh, kau belum beritahu, siapa sih namanya?"
"Ah, jangan begitu melit," Keng Thian menghela napas. "Semua orang sendiri. Namanya Peng
Go. Koei Tiong Beng yang setingkat dengan nenekmu, adalah kakeknya. Kalian permainkan dia,
Iethio tentu akan menegur."
"Kau mau mengadu?" tanya Kim Bwee sembari letletkan lidahnya. "Aku tak takut! Aku takut
pada ayah, tapi ayah takut pada ibu dan ibu takut padaku. Kau mengadu juga tak ada gunanya."
Keng Thian benar-benar tidak berdaya. Ia cuma mengharap, di kemudian hari Pengtjoan
Thianlie akan mengetahui adatnya sang ie-ie yang suka memain dan dapat menyayang bibinya itu.
Memikir begitu, hatinya jadi lebih tenang.
"Eh, kenapa kalian bisa berada disini?" ia tanya sesudah berdiam beberapa saat.
"Piauwko," kata si nona sembari colek janggut kakaknya. "Kau benar sudah otak miring.
Masakan ujian tiga tahun sekali yang diadakan oleh ayahmu sendiri, kau sudah tidak ingat lagi?"
Thiansan pay mempunyai anggauta yang berjumlah besar, yaitu turunan dan murid-muridnya
Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar Pedang dari Thiansan). Sesudah Tong Siauw Lan pimpin partai
tersebut, tiga tahun sekali ia kumpulkan murid-murid Thiansan pay buat diuji ilmu silatnya. Ini
dinamakan Pertemuan Kecil. Saban sepuluh tahun sekali diadakan Pertemuan Besar, dimana
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bukan saja murid-murid, tapi orang-orang dari tingkatan tua juga diundang datang, seperti Moh
Tjoan Seng, Tjio Kong Seng dan yang lain-lain.
Tahun itu ialah tahun Pertemuan Kecil. Tahun yang lalu, ketika mau turun gunung, Tong Keng
Thian telah dapat kelonggaran istimewa dari ayahnya buat tidak usah hadiri Pertemuan Kecil itu,
jika terpaksa. Kalau mungkin, ia tentu saja mesti pulang pada temponya yang tepat, akan tetapi,
kalau dalam usaha mencari Koei Hoa Seng ia berada di tempat jauh, maka ia boleh tidak usah
pulang ke Thiansan. Itulah sebabnya, kenapa Keng Thian sudah lupakan hal tersebut.
Biarpun sudah dibikin sadar, tapi masih ada hal yang kurang dimengerti. "Ujian yang dibuka
oleh ayahku, ada hubungan apa dengan kedatangan kalian?" tanya ia.
"Apa benar kau belum pernah dengar penuturannya Iethio (ayahnya Keng Thian)?" tanya Kim
Bwee. "Biarlah aku ceritakan. Dahulu, Hoei-angkin
Lootjianpwee, yaitu soetji nenekku, pernah turunkan beberapa jurus ilmu silat kepada suami
isteri Huke-tsihu, pemimpin suku Hapsatkek. Isterinya Huke-tsihu, yang bernama Mungmanlis,
telah meninggal dunia pada kira-kira sepuluh tahun berselang. Waktu aku masih kecil, aku pernah
bertemu padanya yang datang buat sambangi nenek (Boe Kheng Yao). Ketika nenek meninggal
dunia, ia sudah terlalu tua buat bisa datang menyambangi."
"Tapi, kalian mempunyai hubungan apakah dengan Mungmanlis yang sudah mati?" tanya Keng
Thian dengan perasaan heran. "Apa kau mau cari ia di tempatnya Giam Loo-ong?"
"Eh, apa kau tolol atau berlagak tolol?" kata si nona sembari monyongkan mulutnya.
"Aku benar-benar tolol," jawab Keng Thian sembari tertawa.
"Nah, kalau begitu, kau dengarlah," kata Kim Bwee sembari mesem. "Mungmanlis benar sudah
meninggal dunia, tapi ia mempunyai anak cucu. Dari Hui-angkin Lootjianpwee, ia cuma dapat
beberapa jurus ilmu silat, sehingga tidak bisa dibilang menjadi murid dan dengan demikian, ia pun
tidak termasuk anggauta Thiansan pay. Belakangan, cucu-cucunya Mungmanlis mendapat tahu,
bahwa Iethio dan Ie-ie tiga tahun sekali mengadakan Pertemuan Kecil buat uji kepandaiannya
murid-murid Thiansan dan juga memberi petunjuk-petunjuk. Lantaran begitu, mereka ingin turut
hadir dalam pertemuan tersebut. Mengingat nenek, ibu sudah permisikan mereka datang.
Belakangan, oleh karena kuatir mereka tidak dapat cari tempat pertemuan, ibu segera mengambil
putusan buat sambut mereka. Tapi sebenarnya, ibu sudah merasa sangat kesepian dan kepengen
turun gunung buat main-main. Aku sendiri tentu saja merasa sangat girang bisa turut jalan-jalan.
Itu sebabnya kenapa sekarang kami berada disini. Sudah mengertikah kau? Eh, aku dengar di
sebelah depan adalah wilayahnya suku Hapsatkek. Apa benar?"
"Benar," sahut Keng Thian. "Ie-ie hapal benar keadaan di Sinkiang, buat apa kau tanya-tanya
aku?"
"Aku sudah sebal jalan di padang pasir ini," kata Kim Bwee sembari tertawa. "Aku menanya
sebab kuatir ibu dustai aku." Sesudah berdiam beberapa saat, ia berkata pula: "Di tengah jalan,
kami bertemu dengan Toa-boe dan Siauw-boe yang mengatakan sedang ubar dua orang. Lantaran
kami juga mau seberangi padang pasir ini, maka kami lantas jalan bersama-sama. Tak dinyana,
malam ini kami bertemu dengan wanita yang bernama Koei Peng Go itu." . "Dan dimana adanya
dua boesoe Nepal itu?" tanya Keng Thian.
"Boesoe Nepal?" menegasi si nona.
"Yah, itu dua orang yang diubar oleh Toa-boe dan Siauw-boe," jawab Keng Thian.
"Aku tak lihat," jawabnya. "Sesudah mereka ribut-ribut, barulah aku turun tangan."
Keng Thian jadi tertawa geli.
"Eh, kenapa kau tertawa?" tanya Kim Bwee. "Mungkin kedua boesoe itu sudah dibinasakan oleh
Toa-boe dan Siauw-boe, sehingga kau punya Peng Go Tjietjie menjadi gusar."
Keng Thian tak mau ladeni ocehannya sang adik. Ia keluar dari tenda dan memandang ke
tempat jauh dengan paras muka guram. "Kenapa belum juga pulang?" ia berkata seorang diri.
"Mungkin ibu belum cukup menggoda ia," kata si nona.
"Apa Ie-ie bakal datang kesini?" tanya Keng Thian.
Mendadak Kim Bwee pegang pundak kakaknya dan bisik-bisik di kupingnya: "Ibu bilang, ia
bersedia jadi comblang. Malam ini ia goda sang penganten dan lantaran kuatir kau berdua menjadi
gusar, ia tak mau datang kesini. Ibu perintah aku memberitahukan kau, supaya ajak pengantenmu
pulang ke Thiansan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Omong kosong!" membentak Keng Thian.


"Ah, bukan omong kosong!" jawab Kim Bwee. "Apakah sesudah tiba disini, kau tak mau
menemui Twathio dan Twa-ie?"
Keng Thian jadi kewalahan. Ia angkat tangannya seperti orang mau memukul dan si nakal
berlari-lari sembari berteriak-teriak. Pada saat itulah, mendadak berkelebat satu bayangan orang
yang memakai pakaian warna putih dan dalam sekejap sudah berada di hadapan mereka.
Lie Kim Bwee berhenti tertawa. "Cepat benar kau balik!" katanya. Tong Keng Thian sendiri
sembari tertawa lantas maju menghampiri. Pengtjoan Thianlie awasi mereka dengan sorot mata
dingin dan mendadak, ia putar badannya dan berlalu tanpa berkata sepatah kata. Sebenarnya, ia
merasa suka terhadap Kim Bwee. Cuma saja, lantaran barusan ia lihat si nona bercanda begitu
hangat dengan Keng Thian, ditambah perkataan "cepat benar kau balik," hatinya jadi berdongkol.
Selainnya begitu, barusan ia sudah digoda pulang pergi oleh ibunya Kim Bwee, sehingga
amarahnya jadi naik. Ia jalan terus balik ke tenda dan tidak ladeni teriakannya Keng Thian.
"Hebat benar adatnya!" kata Kim Bwee sembari letletkan lidah. "Tong Koko, aku sudah bikin
marah kau punya Peng Go Tjietjie. Tak berani aku berdiam lama-lama lagi disini."
Terhadap adik misan yang nakal itu, benar-benar Keng Thian tak berdaya. Ia cuma bisa tertawa
getir. Baru jalan beberapa tindak, si nona berpaling dan berkata pula: "Ingat! Ajak isterimu supaya
bisa berkenalan dengan saudara-saudara. Penemuan kali ini dibikin di atas Puncak Onta dari
gunung
Mostako. Yang bakal memberi ceramah tentang ilmu silat adalah ibumu sendiri. Kesempatan itu
benar-benar tidak boleh dilewati begitu saja." Sehabis berkata begitu, dengan satu tertawa
nyaring, si nakal lantas berlari-lari dengan gunakan ilmu entengi badan dan dalam sekejap saja, ia
sudah menghilang dari pemandangan.
Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan KengThian hampiri tendanya Pengtjoan Thianlie.
Penerangan sudah padam, cuma lapat-lapat ia dengar suara tangisan.
"Peng Go Tjietjie," ia memanggil.
Tak ada sahutan. Ia memanggil lagi beberapa kali, tapi tetap si nona tidak menyahut, cuma
suara tangisan lantas berhenti. Keng Thian berdiri bengong di depan tenda.
Mendadak satu ingatan berkelebat di otaknya. "Piauwmoay guyon-guyon, tapi perkataannya
memang ada benarnya juga," katanya didalam hati. "Memang baik juga jika aku bisa bawa Peng
Go menemui ayah dan ibu. Ayah dan beberapa tjianpwee lainnya sangat pikiri Koei Hoa Seng
Pehpeh. Mereka tentu akan girang sekali kalau bisa bertemu dengan puterinya Koei Pehpeh. Cuma
saja, Peng Go selalu kelihatan kurang senang jika dengar aku mau ke Thiansan dan Ie-ie baru saja
permainkan dia. Sekarang ia tentu lebih-lebih sungkan pergi ke Thiansan. Ah, bagaimanakah
baiknya?"
Dalam kebimbangan, tangannya mendadak kena langgar batu giok pemberian Liong Sam yang
berada dalam kantongnya. "Perjalanan buat menemui Pehhu-nya (paman) Peng Go mesti makan
tempo beberapa bulan," pikir Keng Thian. "Kalau bisa pergi dahulu ke Thiansan, dua urusan, bisa
beres dengan berbareng, sedang ayah dan ibu juga tak usah pikiri aku. Berbareng dengan itu, aku
juga bisa tahu asal-usulnya Liong Sam Sianseng. Tapi bagaimana membujuk Peng Go?"
Sesudah putar otaknya, tiba-tiba ia dapat jalan yang sangat baik. Ketika itu sang malam sudah
hampir terganti dengan siang.
Sesudah mendapat pikiran baik, Keng Thian jadi bersemangat. Ia tidak balik ke tendanya, tapi
jalan mundar-mandir di depan tenda si nona sampai fajar menyingsing. Begitu lekas terang tanah,
tenda tersingkap dan Yoe Peng munculkan diri. Ia merasa heran ketika lihat Keng Thian masih
berada disitu dan lalu berkata: "Kongtjoe bilang, kau tak usah kawani ia lagi. Ia bisa pergi sendiri."
Tong Keng Thian tercengang. Ia tak duga hatinya Pengtjoan Thianlie begitu keras. Sesudah
putar otak setengah malaman, baru ia dapat satu tipu bagus, tapi sekarang jadi sia-sia saja. Ia
jadi bengong dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Melihat si pemuda jadi seperti orang linglung, Yoe Peng jadi kasihan berbareng geli. "Eh, apa
semalam kau tak tidur?" ia tanya.
Keng Thian tertawa getir. Ia tidak jawab pertanyaan orang, tapi berkata seorang diri:
"Keadaan sekarang bukannya seperti keadaan semalam, untuk siapakah 'ku gadangi sang
malam di tengah angin dan embun!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Baru saja ia habis ucapkan perkataan begitu, tenda kembali terbuka dan Pengtjoan Thianlie
kelihatan berjalan keluar!
Hatinya si nona sebenarnya masih mendongkol, akan tetapi begitu dengar sajak yang
diucapkan oleh Keng Thian, ia jadi girang berbareng sedih, sehingga hampir-hampir ia kucurkan
air mata. Sajak itu adalah buah kalamnya Oey Tiong Tjek, seorang sastrawan kenamaan pada
jaman itu, yang dikenal bukan saja di sebelah selatan dan utara Sungai Besar, tapi malahan
sampai di daerah perbatasan yang jauh. Sedari usia sepuluh tahun, pada waktu kedua orang
tuanya masih hidup, Pengtjoan Thianlie sudah baca kumpulan sajak-sajaknya Oey Tiong Tjek.
Maka itulah, begitu dengar ucapannya Tong Keng Thian, ia jadi merasa terharu, seolah-olah si
pemuda yang sengaja menggubah sajak tersebut untuk dirinya. "Ah, si tolol ternyata sudah
gadangi malam di tengah angin dan embun untuk diriku!" katanya didalam hati.
Melihat Pengtjoan Thianlie muncul waktu ia baru saja habis ucapkan perkataannya, mukanya
Keng Thian jadi bersemu merah lantaran jengah. "Peng Go Tjietjie! Pagi benar kau sudah
bangun!" katanya sembari menghampiri.
"Kau sendiri terlebih pagi," kata Yoe Peng. "Eh, Siauw Kongtjoe! Si tolol tak tidur seluruh
malam!"
Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata suatu apa. Sesudah lewat sekian lama, ia
dongak dan berkata dengan suara tawar: "Terima kasih yang kau sudah kawani kami selama
banyak hari. Mulai dari sekarang, tak usah lagi. Kami sendiri bisa tanya-tanya jalanan."
Keng Thian yang tajam kupingnya lantas bisa menangkap, bahwa biarpun suaranya tawar, tapi
cukup lunak."Di padang pasir, orang paling gampang kesasar," katanya sembari tertawa.
"Selainnya begitu, di tengah jalan kalian belum tentu bisa bertemu orang-orang yang kenal jalan.
Aku justru sedang senggang dan dengan mau sendiri, aku bersedia jadi penunjuk jalan. Kenapa
juga kalian mau jalan sendiri?"
Sekali ini, si nona kena dikalahkan juga. Sebenarnya, jika turuti adatnya, ia masih ingin
ngambek dan semprot si pemuda dengan beberapa perkataan tajam. Akan tetapi, lantaran
sungkan dikatakan jelus terhadap si nona cilik yang kelihatannya begitu rapat dengan Keng Thian
dan juga sebab merasa tidak tega buat keluarkan perkataan berat, maka, sesudah dengar
omongannya Keng Thian, ia manggut sedikit dan berkata dengan suara perlahan: "Baiklah."
Sebagai orang yang belum pernah menjelajah di padang pasir, Pengtjoan Thianlie tidak tahu ke
arah mana mereka sedang berjalan, oleh karena di hadapan mereka cuma terlihat lautan pasir
yang seakan-akan tiada tepinya. Sesudah berjalan beberapa hari, deretan gunung yang tadinya
hanya kelihatan samar-samar jadi semakin nyata, sedang sebuah gunung besar yang menjulang
keawan semakin lama jadi semakin dekat.
"Bukankah kau bilang mau pergi ke Soetjoan?" tanya Pengtjoan Thianlie. "Tapi kenapa kita
agaknya mendekati Thiansan?"
"Dari sini Thiansan masih jauh sekali," jawab Keng Thian sembari tertawa. "Kita sekarang
sedang potong jalan, supaya lebih dekat."
Si nona yang tidak kenal jalan, tidak berkata apa-apa lagi dan terus mengikuti saja. Selama
beberapa hari yang pertama, sikapnya Pengtjoan Thianlie masih tawar, akan tetapi, sesudah lewat
belasan hari, ia dapat pulang kegembiraannya dan berjalan sembari omong-omong dan tertawa-
tawa. Sesudah seberangi lautan pasir, pada suatu hari tibalah mereka di depannya satu gunung
besar yang atasnya tertutup es dan salju. Pada lerengnya gunung tersebut terdapat satu puncak
tertutup salju yang bentuknya seperti seekor onta, kepalanya di timur, buntutnya di sebelah barat.
Hatinya Pengtjoan Thianlie jadi curiga dan tanya: "Apakah ini bukannya Thiansan?"
"Bukan," jawab Keng Thian. Jika tak percaya, kau boleh tanya gembala." Di kaki gunung itu
.terdapat tanah rumput yang sangat subur, dimana orang sering dapat ketemukan kaum gembala
yang angon binatang piaraannya. Sesudah berjalan lagi beberapa li, mereka bertemu
serombongan orang yang sedang giring ontanya dan waktu ditanya, mereka menerangkan, bahwa
gunung itu adalah gunung Mostako, sedang puncak yang seperti onta dinamakan Puncak Onta.
Mendengar keterangan itu, hatinya Pengtjoan Thianlie baru menjadi lega. Ia tidak tahu, bahwa
gunung Mostako sebenarnya adalah cabangnya Thiansan, sedang tempat itu sudah dekat sekali
dari Puncak Selatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pengtjoan Thianlie dongak mengawasi awan yang melayang hilir mudik, sedang salju yang
menutupi puncak menyiarkan ribuan warna gilang gemilang lantaran disoroti sinarnya matahari.
Melihat itu semua, mau tak mau, si nona jadi ingat keraton es dan lama sekali ia berdiri disitu,
menikmati pemandangan alam yang sangat indah.
"Gunung ini agaknya lebih tinggi dari Nyenchin Dangla!" katanya dengan suara kagum.
"Pemandangannya juga luar biasa indah! Cuma saja di Nyenchin Dangla terdapat Thian-ouw, yang
merupakan timpalan tepat bagi sang gunung dan tak dapat dicari bandingannya di lain tempat."
Keng Thian mesem dan berkata: "Di atas Puncak Onta terdapat sebuah telaga es, yang
meskipun tak dapat direndengkan dengan Thian-ouw, mempunyai semacam keindahan yang
sangat istimewa."
Si nona menengok dan tertawa. "Apa benar?" ia tanya, tapi lantas juga ia menghela napas dan
berkata lagi: "Cuma sayang kita mesti teruskan perjalanan."
Mendadak di atas gunung lapat-lapat terdengar suara seperti pecahnya kepingan es. "Ih!" kata
Yoe Peng. "Itulah suara hancurnya es lantaran kena diinjak orang. Apa di atas puncak terdapat
banyak manusia?"
"Telaga es yang barusan aku sebutkan, bukan cuma pemandangan-nya yang indah, tapi juga
mempunyai daya penarik lain, yaitu Soatlian (Teratai es) yang banyak tumbuh di tengah telaga,"
menerangkan Keng Thian. "Pada permulaan musim semi, pemburu yang nyalinya besar sering
datang kesitu buat memetik Soatlian yang harganya sangat tinggi. Didengar dari suaranya, orang
yang berada di atas bukan cuma satu dua orang."
Thiansan Soatlian adalah semacam bunga yang langka dalam dunia, bukan saja warnanya luar
biasa indah, tapi juga merupakan satu obat yang tiada bandingannya. Soatlian dapat
menyembuhkan penyakit kurang darah, macam-macam luka dan punahkan racun.
Dalam keraton es terdapat macam-macam obat, di antaranya ada juga yang menggunakan
Soatlian sebagai campuran, tapi Pengtjoan Thianlie belum pernah lihat Soatlian yang sedang
mekar. Kegembiraannya si nona jadi terbangun dan ia berkata sembari tertawa: "Kalau begitu,
apa tidak baik kita korbankan tempo setengah hari buat naik ke atas untuk melihat bunga yang
langka itu?"
Keng Thian hampir bersorak lantaran girangnya, tapi sedapat mungkin, ia tahan perasaan
hatinya. "Jika Tjietjie ingin, aku bersedia buat mengantar," katanya dengan sikap tenang.
Oleh karena tertutup es, Puncak Onta luar biasa licinnya, sehingga sekalipun kawanan binatang
masih sukar manjat ke atas. Pemetik Soatlian biasanya mendaki gunung beramai-ramai dengan
hubungkan badan mereka satu sama lam dengan tambang yang kuat. Mereka pacul es guna
membuat tempat taruh kaki dan naik dengan perlahan sekali. Akan tetapi, biarpun begitu, masih
tidak jarang terjadi kecelakaan.
Tong Keng Thian bertiga yang mempunyai ilmu entengi badan sangat tinggi, masih
memerlukan satu jam lebih buat naik ke atas puncak.
Setibanya di atas, dengan hati terbuka, mereka pandang alam yang luas. Bagaikan sehelai
sutera putih, air yang sangat bening turun dengan perlahan dari atas gunung dan masuk ke dalam
satu telaga yang garis tengahnya beberapa puluh tombak. Di atas telaga itu terlihat kepingan-
kepingan es yang bersinar terang dan rontokan bunga yang terombang-ambing kesana-sini,
menuruti gerakannya sang air. Di sebelah sana terdapat pohon-pohon bunga hutan yang tumbuh
berdampingan dengan pohon-pohon berduri.
"Dimana adanya Soatlian?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, semuanya sudah kena dipetik orang," jawab Keng Thian dengan suara menyesal. Si nona
merasa kecewa, akan tetapi, lantaran pemandangan disitu benar-benar indah, ia merasa ada
harganya juga buat datang ke tempat tersebut. Selagi pandang keadaan di sekitarnya, mendadak
ia lihat banyak tapak kaki di atas salju, dari pinggir telaga sampai ke gerombolan pohon-pohon
kembang. Di sebelah belakang pohon-pohon kembang itu lapat-lapat masih terdengar suara
tindakan manusia.
"Sesudah tiba disini, kau sebenarnya harus melihat-lihat lebih banyak lagi," Keng Thian
mendadak berkata sembari tertawa. "Tempat ini adalah tempat asal dari partaimu."
"Apa?" menegasi si nona.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Dahulu kakekmu bertemu dengan Soetjouw-mu, Sin Liong Tjoe, di ini tempat," menerangkan
Keng Thian.
"Kalau begitu, di belakangnya pohon-pohon kembang itu mesti terdapat guanya Soetjouw,"
kata Pengtjoan Thianlie yang lantas cabut pedangnya buat membabat pohon-pohon itu dan lalu
masuk ke dalamnya.
Baru masuk beberapa tindak, ia dapatkan satu jalanan kecil, yang dilihat dari tanahnya, baru
saja habis dibuat. Pengtjoan Thianlie jadi curiga.
Di belakangnya pohon-pohon kembang itu terdapat satu batu besar dan di atas batu terpahat
sebuah gua cetek yang bentuknya seperti manusia yang sedang bersemedhi. Batu itu adalah
tempat bersemedhinya Sin Liong Tjoe yang pernah bersila disitu sembilan belas tahun lamanya,
sehingga badannya jadi terpeta di atas batu. Belakangan dengan turuti peta badan itu, murid-
muridnya pahat batu itu dan membuat satu gua cetek. Sesudah Sin Liong Tjoe meninggal dunia, ia
tinggalkan sejilid kitab ilmu silat. Koei Tiong Beng, kakeknya Pengtjoan Thianlie, adalah murid
yang mewarisi kitab tersebut, sesudah Sin Liong Tjoe menutup mata. Maka itulah, tempat tersebut
dianggap sebagai tempat suci dari Boetong pay cabang Utara.
Sesudah memberi hormat dengan berlutut tiga kali, Pengtjoan Thianlie putari batu itu. Tiba-
tiba, suara tindakan kaki jadi semakin jelas kedengarannya. Si nona angkat kepalanya dan lihat
belasan gua di lereng gunung seberang. Di depannya gua yang tengah, dipasang satu tetarap
bambu dan dalam tetarap itu kelihatan beberapa bayangan manusia. Selainnya itu, ditanjakan
gunung kelihatan sejumlah orang yang berjalan berkelompok-kelompok, seperti juga sedang mau
menghadiri serupa pertemuan.
Pengtjoan Thianlie jadi semakin curiga. Walaupun belum kenal seluk beluknya Kangouw, akan
tetapi dengan sekali lihat saja, ia sudah mengetahui, bahwa orang-orang itu bukannya tukang cari
Soatlian. Dengan mendadak, dalam hatinya muncul satu pertanyaan: "Buat apa Tong Keng Thian
pancing aku naik ke gunung itu?"
Mengingat begitu, si nona lantas lari seperti terbang dengan gunakan ilmu entengi badan
Tengpeng touwsoei (Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput).
Mendadak ia dengar satu orang berseru: "Hei, siapa wanita itu? Orang luar toh tidak boleh
hadiri pertemuan!"
"Ah! Dia berani bawa pedang!" berteriak seorang lain.
Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia lihat dua pemuda yang mengenakan pakaian hitam dan
berdiri ditanjakan, sedang tunjuk-tunjuk dirinya. Selagi mau unjuk kegusarannya, mendadak
terdengar suara tertawa yang sangat nyaring. Orang yang tertawa adalah satu gadis cilik yang
bukan lain daripada Lie Kim Bwee. "Ha, Tong Koko!" Ia berseru sembari gapekan Tong Keng
Thian. "Benar saja kau turut nasehatku dan bawa dia kemari. Hei! Kalian jangan pentang bacot!
Bisa-bisa kalian digusari Tong Koko! Dia bukan orang luar. Kau tahu dia siapa? Mari, mari! Aku
beritahukan kalian!" Sehabis berseru begitu, ia kembali tertawa nyaring dan mengedip matanya
kepada kedua pemuda yang berpakaian hitam, sehingga Pengtjoan Thianlie merasa ia sedang
diejek. Di belakangnya Lie Kim Bwee berdiri Boe-sie Hengtee dan dua orang lagi yang tidak
dikenal.
Bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie. "Hm, Tong Keng Thian!" ia menggerendeng dengan
hati panas. "Berani benar kau permainkan aku! Kau pancing aku ke atas gunung buat jadi buah
tertawaan orang!" Ia enjot tubuhnya buat bikin perhitungan dengan Tong Keng Thian yang
dianggap kurang ajar sekali.
Ketika itu, Keng Thian sendiri sudah dicegat dan dikocok oleh Lie Kim Bwe. "Piauwmoay,
janganlah omong yang gila-gila!" kata Keng Thian berulang-ulang dengan suara memohon.
Pengtjoan Thianlie jadi terlebih gusar lagi, tapi sebelum ia dapat datang dekat, di depannya
berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua sudah berdiri di hadapannya. Si
nona kenali wanita itu sebagai orang yang pernah permainkan dirinya di tengah jalan.
"Apakah kau datang bersama Keng-djie (anak Keng)?" tanya wanita itu sembari tertawa.
Seperti api disiram minyak, tanpa pikir panjang, Pengtjoan Thianlie ayun tangannya dan
lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan berbareng. Ia tahu, ilmu silatnya tidak nempil dengan
nyonya itu dan lantas mendahului dengan senjata rahasianya yang liehay.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa artinya ini?" kata wanita itu sembari pentang lima jerijinya, yang bagaikan bunga anggrek
mendadak mekar, sudah pentil lima butir pelurunya Pengtjoan Thianlie. Sungguh heran, begitu
kena pentilan, lima peluru itu melayang-layang di tengah udara, tidak meledak dan juga tidak
jatuh ke tanah! Dari sini dapat dilihat, bahwa lweekang-nya wanita itu sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan. Tapi ini belum seberapa. Apa yang membikin Pengtjoan Thianlie jadi terkesima
adalah: Ketika Pengpok Sintan yang terakhir menyambar, wanita itu sanggap dengan mulutnya
dan terus telan peluru tersebut! "Sungguh menyegarkan!" katanya sembari mesem. "Lebih
menyegarkan dari air gunung."
Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan mempunyai hawa dingin yang luar biasa. Orang yang
lweekang-nya belum cukup, kena hawanya saja sudah menggeletak. Orang yang lweekang-nya
cukup tinggi kebanyakan mesti roboh, jika kena dihantam jalanan darahnya. Maka itu, tidaklah
heran jika Pengtjoan Thianlie sendiri jadi terkesima waktu lihat wanita tersebut dapat menelan
pelurunya, seperti orang telan sebutir es.
Tanpa berkata suatu apa, si nona lantas balik badannya dan terus kabur. Badannya wanita itu
mendadak melesat ke tengah udara sembari kebas tangannya dan lima butir Pengpok Sintan
lantas masuk kedalam tangan bajunya. "Senjata rahasia ini aku belum pernah lihat," katanya
sembari tertawa. "Nona, kita belum kenal satu sama lain, tapi kenapa, begitu bertemu muka, kau
lantas menyerang dengan senjata yang begitu hebat?"
Pengtjoan Thianlie yang pernah rasakan liehaynya wanita itu, lantas duga dirinya mau
dipermainkan lagi. Ia tahu tak akan dapat loloskan diri dan segera hentikan tindakannya. "Jika kau
benar-benar seorang pandai dari tingkatan tua, tidaklah pantas berulang kali kau permainkan
orang dari tingkatan muda," ia membentak. "Hm! Thiansan pay benar pandai menghina pihak
yang lemah. Sekarang aku baru percaya!"
Wanita itu terkejut dan berkata dalam hatinya: "Lagi kapan aku permainkan dia? Kenapa dia
memaki?"
Sebenarnya nyonya itu bukannya Phang Lin (ibunya Lie Kim Bwee), tapi Phang Eng, ibunya
Tong Keng Thian. Phang Lin dan Phang Eng adalah saudara kembar yang rupanya bersamaan
seperti pinang dibelah dua, tapi adatnya sangat berlainan bagaikan langit dan bumi. Phang Eng
adalah ahli warisnya Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe dan pernah dapat pelajaran juga dari Lu Soe
Nio, sehingga ilmu silatnya ada lebih tinggi dari suaminya, Tong Siauw Lan, yang ketika itu jadi
pemimpin dari Thiansan pay. Pada jaman itu, ilmu silatnya Phang Eng tidak ada tandingannya di
seluruh Tiongkok. Pertemuan di Puncak Onta pada kali itu juga berada di bawah pimpinannya.
Melihat kegusarannya Pengtjoan Thianlie, Phang Eng yang lemah lembut berbalik jadi kasihan.
Tadinya ia ingin menanyakan lebih jauh, tapi sesudah dengar perkataannya si nona, ia jadi
mundur tiga tindak dan berkata sembari tertawa:
"Pemandanganmu terhadap Thiansan pay agaknya terlalu mendalam! Baiklah, aku sungkan
mendesak kau. Jika kau tak sudi, aku juga tak mau menanyakan asal-usulmu."
"Peng-djie, hayo turun gunung!" berseru Pengtjoan Thianlie sembari enjot badannya yang
lantas melesat belasan tombak jauhnya. Melihat begitu, Phang Eng sendiri jadi kagum dan berkata
dalam hatinya: "Ketika berusia seperti dia, ilmu entengi badanku masih belum begitu tinggi."
Selagi lari, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar seruannya Keng Thian. Lantaran hatinya
panas, ia menengok pun tidak. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di satu lembah. Tiba-tiba saja
terdengar suara tertawa. "Bwee-djie bilang, kau tentu datang, aku tadinya belum mau percaya,"
kata seorang wanita yang mendadak menghadang di tengah jalan. "Sekarang benar-benar kau
berada disini. Tugas comblang rasanya harus dilakukan juga!" Sehabis berkata begitu, ia tertawa
bergelak-gelak, sehingga dua pita kupu-kupu bergoyang-goyang di atas kepalanya. Pengtjoan
Thianlie tak tahu, bahwa wanita itu adalah Phang Lin. Ia kira Phang Lin adalah wanita yang
barusan telan Pengpok Sintan dan yang sekarang sengaja cegat padanya dengan potong jalan. Ia
egos badannya dan lari ke arah tanjakan dan selagi mau mencaci, dari gundukan batu di tanjakan
itu sekonyong-konyong loncat keluar satu orang yang ternyata Hiatsintjoe adanya!
Sesudah Liong Leng Kiauw ditahan oleh Hok Kong An, Hiatsintjoe tidak dapat berbuat suatu
apa. Ia cuma bisa perintah In Leng Tjoe pergi ke kota raja untuk memberi laporan kepada
Tjongkoan istana dan minta isterinya berdiam di Lhasa untuk mengamat-amati, sedang ia sendiri
segera kuntit Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie, dengan harapan bisa dapat bantuannya satu dua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kawan di tengah jalan. Waktu Keng Thian bertiga tiba di atas Puncak Onta, sebab tidak kenal
jalan, ia baru sampai di pinggang gunung. Maka itulah, sebelum sampai di atas, ia sudah bertemu
dengan Pengtjoan Thianlie yang sedang kabur ke bawah gunung Mostako.
Begitu bertemu si nona, Hiatsintjoe terkesiap. Tapi melihat Pengtjoan Thianlie cuma sendirian
dan juga rupanya baru kena dikalahkan orang, diam-diam ia bergirang. Ia lantas loncat keluar dari
tempat sembunyinya dan menghantam sama tangannya.
Melihat di depan dicegat musuh dan di belakang diubar orang, Pengtjoan Thianlie mengeiuh. Ia
tidak berani mundur lantaran wanita yang berada di belakangnya merupakan lawanan yang terlalu
berat dan sesudah berpikir beberapa saat, ia ambil putusan untuk terjang musuh yang di depan.
Dengan sekali ayun tangannya, ia lepaskan tiga butir Pengpok Sintan dan sesudah cabut Pengpok
Hankong kiam, ia segera menerjang dengan sepenuh tenaga.
Mengetahui liehaynya peluru itu, Hiatsintjoe mengegos sembari maju setindak, sehingga di lain
saat, ia sudah berdampingan dengan si nona. Dengan ilmu Kinna Tjhioehoat (Ilmu menangkap
dengan tangan), ia sambar pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Selagi si nona mau membabat sama pedangnya, mendadak ia rasakan lehernya ditiup angin
dingin dan kupingnya dengar orang berkata: "Hawa hari ini benar-benar luar biasa, ada dingin,
ada panas!" Itulah Phang Lin yang setelah melihat sambaran hawa panas dari tangannya
Hiatsintjoe dan hawa dingin dari Pengpok Hankong kiam, jadi timbul kegembiraannya dan tiup
lehernya kedua orang itu. Mendapat kesempatan, sembari kelit, Pengtjoan Thianlie lalu kabur ke
arah tanjakan.
Hiatsintjoe yang tidak kenal siapa adanya nyonya itu, bukan main gusarnya dan lalu
menghantam sama tangannya.
Sesudah tiba di tanjakan, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar teriakannya Keng Thian.
Hatinya jadi bergoncang dan ia pertahankan tindakannya. Sekonyong-konyong, dari ujung
tanjakan muncul keluar dua pemuda baju hitam yang tadi berada sama-sama Lie Kim Bwee.
"Tinggalkan pedangmu! Baru boleh turun gunung!" berseru salah satu pemuda itu.
Salah satu antara dua pemuda itu adalah kakaknya Lie Kim Bwee yang bernama Lie Tjeng Lian,
sedang yang satunya lagi adalah muridnya Tong Siauw Lan yang bernama Tjiong Tian, cucu
keponakannya Tjiong Ban Tong (Pemimpin Boekek pay). Mereka berdua yang bersamaan usia dan
bersamaan pula pakaiannya adalah seperti saudara kandung. Tadi mereka sudah kena diobor oleh
Boe-sie Hengtee dan sengaja cegat baliknya Pengtjoan Thianlie untuk tolong balaskan sakit
hatinya kedua saudara Boe itu.
Alisnya si nona jadi berdiri bahna gusarnya. "Aku tadinya tak percaya murid-murid Thiansan
begitu jago-jagoan!" katanya dengan suara tawar, la jejak kakinya dan bagaikan kilat sudah
berada di hadapannya kedua pemuda itu. Dengan gerakan Tjianli penghong (Ribuan li es
menutup), ia membuat satu lingkaran dengan pedangnya dan kedua pedang lawannya lantas saja
terkurung di dalam sinar Pengpok Hankong kiam. Tadi, jarak antara Pengtjoan Thianlie dan kedua
pemuda itu ada kira-kira belasan tombak. Jika si nona menggunakan ilmu entengi badan yang
biasa, mereka berdua masih mempunyai kesempatan untuk bersiap. Tak dinyana, kali itu
Pengtjoan Thianlie menggunakan Hoasoat (Menyerosot di salju) yang tiada tandingannya dalam
dunia dan lebih cepat daripada ilmu Lioktee hoeiteng (Terbang di atas tanah). Suara dan
manusianya tiba hampir berbareng dan sebelum kedua pemuda dapat bergerak lebih jauh, pedang
mereka sudah berada dalam kurungan Hankong kiam. Mereka terkejut bukan main. Baru Hankong
kiam diputar beberapa kali, Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian sudah merasa kewalahan dan hampir-
hampir saja pedangnya kena dibikin terpental. Si nona yang sedang panas hatinya tak sungkan-
sungkan lagi dan terus desak lawannya secara hebat.
Tjiong Tian yang berdiri di sebelah kanannya Pengtjoan Thianlie, adalah murid satu-satunya
dari Tong Siauw Lan. Walaupun ilmu silatnya belum matang seperti Tong Keng Thian, tapi ia
sudah dapat menyelami isinya Thiansan Kiamhoat. Selagi keteter, ia tak jadi bingung dan
mendadakan saja ingat satu cara untuk membela diri.
Tiba-tiba ia robah cara bersilatnya dan menyerang dengan gerakan Kanghay lengkong (Sungai
dan lautan membeku sinar). Pukulan itu adalah salah satu pukulan dari ilmu pedang Thaysiebie
yang digubah untuk pertahankan diri terhadap lawan yang lebih kuat. Dengan Kanghay lengkong,
semua tenaga dalam dipusatkan di ujung pedang. Pengtjoan Thianlie yang sedang gembira jadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kaget sekali, ketika dapat kenyataan pedangnya lawan tak dapat lagi disampok terpental. Di lain
saat, Lie Tjeng Lian yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari adiknya, tidak mau sia-siakan
kesempatan yang baik dan lalu kirim beberapa serangan dengan ilmu silatnya Pekhoat Molie.
Jika satu sama satu, memang kepandaiannya Pengtjoan Thianlie ada lebih tinggi dari kedua
pemuda itu. Akan tetapi dengan dua lawan satu, si nona jadi berada di bawah angin. Barusan,
berkat ilmu Hoasoat, ia dapat mendahului menyerang dan sudah bikin dua lawannya menjadi
repot. Tapi itu adalah untuk sementara waktu saja. Sesudah Tjiong Tian dan Lie Tjeng Lian dapat
tetapkan hatinya dan bersilat secara tenang, Pengtjoan Thianlie mulai rasakan beratnya sang
lawan. Akan tetapi, lantaran sudah pernah lihat cara bersilatnya Lie Kim Bwee dan juga lantaran
biasa bersilat di atas salju yang licin, sesudah tiga puluh jurus, Pengtjoan Thianlie masih terus
dapat melayani secara berimbang.
Melihat begitu, diam-diam Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian merasa terkejut berbareng kagum.
Pengtjoan Thianlie juga tidak kurang kagumnya dan mesti akui, bahwa murid-murid Thiansan pay
benar-benar tidak boleh dipandang enteng. Sedang serunya mereka bertempur, sekonyong-
konyong terdengar suara teriakan seorang wanita dari atas gunung: "Lian-djie! Tian-djie! Biarkan
dia pergi! Lekas balik!"
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Suara itu terang-terangan datang dari Puncak Onta yang jauh, en
toh kedengarannya seperti di dalam kuping! Apa yang lebih mengherankan adalah: Wanita
setengah tua itu toh sedang layani Hiatsintjoe di tanjakan gunung, tapi kenapa sekarang suaranya
datang dari atas gunung? Si nona tak tahu, bahwa yang sedang layani Hiatsintjoe adalah Phang
Lin, sedang yang panggil Tjeng Lian dan Tjiong Tian adalah Phang Eng.
Mendengar panggilan itu, Tjeng Lian dan Tjiong Tian tak berani membantah. Mereka mendesak
hebat dengan berharap si nona mundur beberapa tindak, supaya dapat undurkan diri. Tapi
Pengtjoan Thianlie yang beradat tinggi bukan saja tidak mau memberikan kesempatan, tapi
malahan segera ambil putusan untuk jatuhkan lawannya. Demikianlah, selagi kedua pemuda itu
mau tarik pulang pedangnya, ia barengi dengan dua kali babatan. Tjiong Tian masih dapat tolong
dirinya, tapi Lie Tjeng Lian yang terlambat sedikit kena disontek pedangnya yang lantas terbang
ke tengah udara!
"Hm! Coba lihat siapa yang keok?" kata Pengtjoan Thianlie sembari menyingkir dengan ilmu
Hoasoat. Tjeng Lian berteriak-teriak bahna gusarnya, tapi ia tidak dapat berbuat lain daripada
pulang ke gunung bersama sahabatnya.
Sekarang marilah kita tengok Keng Thian yang tadinya dengan pancing Pengtjoan Thianlie ke
atas Puncak Onta, ingin
mempertemukan si nona dengan kedua orang tuanya, supaya dapat singkirkan ganjelan yang
dahulu. Tapi siapa nyana, si nona sudah keliru sangka ibunya sebagai bibinya dan tanpa banyak
bicara lantas menimpuk dengan Pengpok Sintan. Keng Thian tahu, ibunya yang pendiam tidak
boleh dibuat gegabah, beda jauh dengan bibinya yang suka bercanda. Begitu lihat si jelita
menimpuk, hatinya mencelos! la sangat kuatir, dengan adanya peristiwa itu, sang ibu akan
membenci kecintaannya. Dalam kebingungannya, ia sudah diganggu oleh Kim Bwee yang
nakal dan sesudah buang banyak tempo yang berharga, barulah ia dapat mengubar.
Pengtjoan Thianlie lari terus tanpa ladeni segala teriakannya Keng Thian, yang juga tak kenal
sudah dan terus mengubar dengan sekuat tenaga. Semakin lama, jarak antara mereka jadi
semakin dekat dan sesudah Keng Thian berada belasan tombak dari dirinya, barulah si nona
menengok sembari keluarkan suara di hidung.
"Peng Go Tjietjie, dengarlah dahulu omonganku!" berseru Keng Thian.
Pengtjoan Thianlie pungut segumpal salju yang lantas ditimpukan ke mukanya si pemuda.
"Baru sekarang aku tahu kau siapa!" ia membentak. "Aku dibuat bahan guyonan olehmu!" Dengan
ilmu Hoasoat, ia kembali sudah terpisah jauh dari Keng Thian.
"Sesudah dengar omonganku, masih belum terlambat kalau kau mau pergi juga," mengeluh
Keng Thian.
Si nona kembali menimpuk dengan bola salju. "Siapa mau dengar ocehanmu!" membentak ia.
"Sudah, kau jangan bicara lagi sama aku!"
Sebagai seorang yang masih mempunyai keangkuhan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

mendengar itu Keng Thian segera hentikan tindakannya. Sedang ia putar otaknya untuk
mencari lain jalan, dari atas Puncak Onta mendadak terdengar suara ibunya: "Keng-djie, balik!"
Beberapa saat kemudian, terdengar suara yang angker: "Keng-djie, tak boleh kau halangi nona
itu!" Itulah suara ayahnya, Tong Siauw Lan.
Waktu baru bertemu, Tong Siauw Lan suami isteri duga Pengtjoan Thianlie adalah sahabat
puteranya. Meskipun merasa kurang senang puteranya bawa-bawa orang luar kesitu, mereka tidak
merasa terlalu keberatan. Belakangan, setelah tanpa sebab, si nona menyerang dengan Pcngpok
Sintan, mereka jadi salah menaksir. Mereka taksir nona itu adalah muridnya salah satu siapay
(cabang persilatan yang kotor) yang sengaja dikirim kesitu untuk coba mengacau. Mereka
malahan menduga, bahwa nona itu sudah digiring ke Puncak Onta oleh Keng Thian, supaya
mereka dapat menjatuhkan hukuman. Akan tetapi, mengingat tingkatannya yang tinggi dalam
Rimba Persilatan, Tong Siauw Lan suami isteri sungkan menyusahkan orang yang tingkatannya
lebih rendah. Terlebih pula, tadi Phang Eng sendiri sudah membiarkan ia turun gunung. Oleh
karena begitu, mereka lantas teriaki puteranya untuk larang sang putera menghalangi perginya si
nona.
Keng Thian tentu saja tidak berani membantah perintah kedua orang tuanya. Dengan mata
mendelong, ia mengawasi si nona yang kabur dengan gunakan ilmu Hoasoat dan dalam tempo
sekejapan saja, badannya berubah seperti satu titik hitam, akan kemudian menghilang dari
pandangan.
Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan Keng Thian mendaki gunung. Sesampainya di pinggang
gunung, ia bertemu bibinya yang sedang permainkan Hiatsintjoe. "Keng-djie!" berseru sang bibi.
"Lihat, aku sedang main-main dengan monyet tua ini. Lihat yang benar! Pukulan ini mesti kau
pelajari!" Sehabis berseru, ia tiup lawannya! Hiatsintjoe jadi kalap. Dengan kuping yang sudah
terlatih, ia tahu si nyonya sedang berada di belakangnya. Sembari berbalik, ia menghantam
dengan sekuat tenaga.
Phang Lin pentang tiga jerijinya dan dengan meniru caranya Niauw-eng (semacam burung
elang), ia sambar nadinya Hiatsintjoe. Nadi adalah bagian tubuh yang sangat berbahaya. Jika nadi
kena dicekel, biar bagaimana pandai pun, ia bakalan tidak berdaya lagi. Secepat mungkin,
Hiatsintjoe tarik pulang tangannya, tapi toh masih kena juga kepentil, sehingga tanpa tercegah
lagi, tangannya balik menggaplok mukanya yang lantas saja menjadi bengkak!
"Pukulan itu dinamakan pukulan gaplok diri sendiri!" kata si nyonya sembari tertawa besar.
Tong Keng Thian sebenarnya lagi sangat jengkel. Tapi mendengar omongan bibinya yang sangat
jail itu, ia jadi tertawa berkakakan.
Puluhan tahun Hiatsintjoe berlatih dan sebegitu jauh ia merasa kepandaiannya sudah tiada
tandingannya lagi. Tapi siapa nyana, baru saja turun gunung, beruntun dua kali ia kena tubruk
tembok. Tidaklah heran jika ia jadi berteriak-teriak seperti orang gila dan lantas ambil putusan
untuk bertempur mati-matian. Lebih dahulu ia tutup semua bagian badannya yang berbahaya dan
kemudian kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai pada kedua tangannya yang lantas
digunakan untuk serang Phang Lin secara nekat-nekatan. Bukan main hebatnya pukulan-pukulan
itu. Keng Thian yang berdiri dalam jarak tiga tombak, masih dapat rasakan hawa yang sangat
panas!
"Aku sungguh sebal menghadapi setan kecil ini," kata Phang Lin sembari kerutkan alisnya.
"Anjing kecil bisa juga ngambek! Hm! Baiklah, aku kasih kau sedikit ajaran!" Ia berpaling kepada
Keng Thian dan berkata: "Eh, Keng-djie! Kau tahu, siapa adanya siluman tua ini?"
"Anjingnya kerajaan Tjeng," jawab sang keponakan.
Phang Lin tanya begitu lantaran mau menimbang berat entengnya hukuman yang ia mau
jatuhkan. Begitu dengar jawaban Keng Thian, ia tertawa gembira sekali.
"Bagus! Bagus!" katanya. "Kau andalkan kedua tangan anjingmu untuk hinakan orang, baiklah
aku putuskan dua tangan anjing itu!"
"Iebo (bibi), pakailah pedangku," kata Keng Thian.
"Hm, masakah untuk kutungkan tangan anjing saja aku memerlukan pedang wasiat," kata si
nyonya. "Kau lihat saja."
Phang Lin tertawa bergelak-gelak sehingga kedua kupu sutera yang dipasang pada rambutnya,
jadi tergoyang-goyang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendadakan, ia raba kepalanya dan copotkan dua kupu-kupu itu, yang ternyata dibuat dari
puluhan lembar benang sutera berwarna. Ia buka benang-benang itu yang lantas saja melayang-
layang di tengah udara.
"Nah, kau lihat biar betul," kata sang bibi sembari menengok kepada Keng Thian. Kedua
tangannya pegang benang-benang itu yang lantas disabetkan ke arah Hiatsintjoe.
"Perempuan siluman! Sungguh kau menghina aku!" membentak Hiatsintjoe sembari membabat
dengan dua tangannya. Sedikitpun ia tidak percaya, benang yang begitu halus dapat mengikat
tangannya. Tapi siapa nyana, benang-benang itu yang tidak dapat dicengkeram dan juga tidak
dapat diputuskan dengan sabatan tangan, melayang terus ke arah kedua tangannya yang dalam
sekejap lantas kena terikat dan tidak dapat bergerak lagi!
Ternyata, diam-diam Phang Lin sudah kerahkan tenaga dalamnya sampai pada benang-benang
itu yang lantas berobah sifatnya seperti kawat baja. Demikianlah, seorang yang tenaga dalamnya
sudah mencapai puncak kesempurnaan, dapat binasakan musuhnya dengan selembar daun atau
sekuntum bunga.
Dalam Rimba Persilatan, tidak ada orang yang mempunyai begitu banyak macam kepandaian
seperti Phang Lin. Ilmu yang barusan dikeluarkan olehnya berasal dari sekte Topi Merah di Tibet.
Orang Tibet suka tangkap badak dengan menggunakan laso. Oleh karena sang badak mempunyai
tenaga yang luar biasa besarnya, kecuali kalau kejirat kaki depannya, tambang laso dengan
mudah dapat dibikin putus olehnya. Melihat cara menangkap badak itu, Tjouwsoe sekte Topi
Merah yang bernama Khalpa segera menggubah semacam ilmu untuk jirat nadinya musuh dengan
tambang lemas. Jika nadi kena diikat, biar orang itu mempunyai tenaga yang bagaimana besar
juga, ia pasti tidak berdaya lagi. Waktu masih kecil, selagi berdiam dalam gedungnya Soehongtjoe
(putera kaizar yang ke empat) In Tjeng (belakangan jadi kaizar Yongtjeng), Phang Lin telah
pelajari ilmu tersebut. Belakangan, sesudah undurkan diri ke Thiansan dan pelajari Lweekeh
Khiekang, ia dapat kerahkan tenaga dalamnya sampai pada benang-benang halus yang lantas
berobah sifatnya jadi seperti kawat baja.
Begitulah, dengan terjiratnya kedua nadi, darahnya Hiatsintjoe tidak dapat berjalan benar,
sehingga bukan saja ia rasakan kesakitan hebat, tapi napasnya juga lantas menjadi sesak. Ia tak
dapat kerahkan tenaga dalamnya, matanya melotot dan tak dapat mengeluarkan suara.
Melihat begitu, Keng Thian taksir, setengah jam lagi, biarpun kedua tangannya tidak sampai
menjadi putus, Hiatsintjoe pasti akan binasa. Tiba-tiba dengan berkelebatnya bayangan orang di
puncak seberang, terdengar teriakan: "Lin-moay, guyonanmu sudah sedikit keterlaluan!" Orang
yang berseru begitu adalah Tong Siauw Lan.
"Kau tak tahu kejahatannya manusia ini," jawab Phang Lin. "Dia adalah kaki tangannya bangsa
Boan!"
Sesudah dapat tahu siapa yang terikat kedua tangannya, Tong Siauw Lan segera berseru lagi:
"Orang itu dahulu pernah dilepaskan oleh Popo-mu (mertuanya Phang Lin, Boe Kheng Yao). Bukan
gampang dia berlatih beberapa puluh tahun. Jika tidak melanggar kedosaan besar, baik kau
lepaskan padanya."
"Lin-moay!" Phang Eng turut berseru dari Puncak Onta. "Kau masih suka umbar adat seperti
anak-anak. Lepas padanya! Tak senang aku lihat paras mukanya."
Phang Lin paling segani kakaknya. Sembari mesem-mesem, ia lepaskan benangnya seraya
berkata: "Baiklah. Jika lain kali manusia ini satrukan Keng-djie, aku tak akan ladeni lagi segala
perintahmu."
Begitu lekas ikatan terbuka, Hiatsintjoe tarik napas dalam-dalam sembari loncat menyingkir. Ia
lihat di seputar nadinya terdapat tanda seperti kena dibakar dan ugal-ugalan tangannya masih
sukar digerakkan. Mendengar
panggilannya Siauw Lan, ia tahu wanita itu adalah ie-ie-nya (saudara perempuan dari isteri). Ia
juga tahu, kepandaiannya Tong Siauw Lan suami isteri ada terlebih tinggi daripada Phang Lin dan
mengingat begitu, ia jadi bergidik, sebab dahulu ia pernah tantang Siauw Lan mengadu silat.
Tanpa berkata sepatah kata, buru-buru ia kabur ke bawah gunung.
"Keng-djie, mari!" berseru Tong Siauw Lan sembari balik ke Puncak Onta dengan diikuti oleh
puteranya. Mereka masuk ke dalam gua tengah. Gua-gua itu semua dibuat untuk keperluan
pertemuan Thiansan pay kali itu. Gua yang di tengah adalah untuk Tong Siauw Lan suami isteri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah ajak puteranya masuk, Siauw Lan undang juga Lie Tie dan Phang Lin dan kemudian
barulah menanya: "Keng-djie, siapa nona itu? Apa kau kenal? Kenapa begitu bertemu, dia lantas
timpuk ibumu dengan peluru es?"
"Ia biasa dipanggil Pengtjoan Thianlie," jawab sang putera. Oleh karena sudah dua puluh tahun
Siauw Lan tidak pernah ceburkan diri ke dalam dunia Kangouw, ia jadi heran mendengar nama
itu. "Nama itu kedengarannya aneh sekali," katanya.
"Timpukannya indah sekali!" Phang Lin menyeletuk sembari tertawa.
"Apa?" tanya sang kakak. "Tjietjie, kaulah yang kena getahnya," kata Phang Lin sembari ha-ha,
hi-hi. "Dia sebenarnya mau hajar aku!"
Phang Eng kenal adat adiknya.
"Tentulah kau yang sudah ganggu padanya," kata ia. "Aku lihat dia, rasanya kasihan, tapi kau
permainkan padanya. Tua-tua tak tahu harga diri!"
"Tjietjie rewel sekali," jawab si adik. "Sang menantu belum masuk, kau sudah bantu dia
menyerang diriku. Aku cuma main-main
sedikit. Siapa hinakan padanya?" "Keng-djie, kalau begitu, nona itu benar kau yang bawa
kemari untuk menemui kami, bukan?"
Phang Eng tanya puteranya.
"Ibu jangan dengari omongannya Le-ie," jawab Keng Thian.
"Tjietjie, kau tak tahu, mereka berdua sudah bergaul rapat sekali dan luar biasa manisnya!"
menggoda Phang Lin yang lantas tuturkan segala pengalamannya waktu bertemu Pengtjoan
Thianlie pada malam itu. "Sekarang kau masih berani menyangkal, bahwa dia memang dibawa
olehmu kemari?" tanya si bibi sembari tunjuk keponakannya.
"Benar," jawab Keng Thian sembari tertawa. "Benar aku yang ajak ia datang kesini. Tapi kalian
belum tahu, siapa adanya ia."
"Kalau tahu, untuk apa kita tanya kau?" kata lagi Phang Lin.
"Ayah," kata Keng Thian. "Pada waktu kau perintah aku turun gunung, bukankah kau pesan
aku sekalian cari tahu dimana adanya Koei Hoa Seng Pehpeh? Koei Pehpeh sudah meninggal
dunia, Pengtjoan Thianlie adalah puteri tunggal dari Koei Pehpeh! Jadi dia bukannya orang luar
dan kalian tak dapat salahkan aku bawa-bawa orang luar datang kemari."
Keterangan itu sudah membikin semua orang jadi girang tercampur kaget. Mereka lantas saja
minta keterangan yang lebih jelas. Keng Thian segera tuturkan segala pengalamannya di keraton
es, cara bagaimana ia minta si nona bantu lindungi guci emas dan sebagainya. Ketika Keng Thian
lukiskan keindahan keraton es yang seperti surga, semua orang jadi terpesona dan seakan-akan
sedang dengar cerita dongeng.
"Aku tak nyana, Koei Hoa Seng bisa mendapat pengalaman yang begitu luar biasa dan
mempunyai juga seorang puteri yang cantik bagaikan bidadari," kata Phang Eng.
"Nah, sekarang Tjietjie lekas-lekas perintah Keng-djie susul padanya," kata Phang Lin dengan
suara menggoda. "Kalau terlambat, bisa-bisa didahului orang!"
Keng Thian tak gubris godaan bibinya dan lantas berkata pada ayahnya: "Tapi ada satu hal
yang aku merasa sangat tidak mengerti. Kalau diusut, ia sebenarnya masih terhitung anggauta
dari keluarga Thiansan pay. Tapi kenapa, setiap kali aku menyebutkan namanya Thiansan, ia
lantas bersikap tawar dan seperti juga merasa kurang senang. Thiansan yang menjadi tempat
ziarahnya orang-orang Rimba Persilatan, di mata dia seakan-akan satu tempat yang
menyebalkan."
Tong Siauw Lan kerutkan alisnya. Ia juga tidak mengerti sikapnya Pengtjoan Thianlie yang
aneh. Phang Eng yang sangat cerdas lantas saja ingat satu kejadian dahulu. Ia tertawa seraya
berkata: "Lin-moay, urusan ini juga lantaran gara-garamu."
"Apa? Memang, segala apa kau salahkan aku!" kata sang adik sembari monyongkan mulutnya.
"Keng-djie," kata Phang Eng pada puteranya. "Sekarang biarlah aku tuturkan satu cerita. Pada
kira-kira tiga puluh tahun berselang, ahli senjata rahasia nomor satu di kolong langit adalah Tong
Kim Hong dan dia mempunyai seorang menantu, Ong Go namanya, yang telah lukakan ie-ie-mu
dengan dengan jarum Pekbie tjiam. Dalam gusarnya, ie-ie-mu telah bunuh mati padanya.
Dengan bawa puterinya Tong Kim Hong datang untuk bikin pembalasan. Ketika itu, aku sedang
berdiam di rumahnya Shoatang Tayhiap Yo Tiong Eng. Tong Kim Hong dan puterinya salah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

anggap diriku sebagai ie-ie-mu. Bersama Yo Tayhiap, aku pukul mundur mereka dan salah
mengerti serta sakit hati jadi semakin mendalam. Koci Hoa Seng adalah sahabatnya keluarga
Tong. Untuk kedua kalinya, mereka menyatroni bersama-sama Koei Hoa Seng. Kami semua waktu
itu tidak mengetahui, bahwa Koei Hoa Seng adalah puteranya Koci Tiong Beng. Ilmu pedangnya
Koei Hoa Seng sangat liehay dan ia sudah bikin puterinya Yo Tayhiap kecebur di dalam telaga dan
kemudian diseret air deras." Berkata sampai disini, Phang Eng awasi suaminya sembari tertawa.
Puterinya Yo Tiong Eng, yang bernama Yo Lioe Tjeng, dahulu adalah tunangannya Tong Siauw
Lan dan sesudah pertunangan diputuskan, barulah Siauw Lan menikah sama Phang Eng.
"Hari itu, ayahmu justru berada disitu," Phang Eng teruskan penuturannya. "Dalam gusarnya,
ia segera mau lakukan pertempuran mati hidup dengan Koei Hoa Seng. Belakangan dengan
gunakan Thiansan Kiamhoat kita desak ia sampai hampir-hampir jatuh ke dalam telaga dan tewas
jiwanya. Beruntung Lu Soe Nio keburu datang sehingga jiwanya ketolongan. Sesudah
lewat beberapa lama diketahui bahwa Yo Kouwkouw tidak mati di dalam air. Sebab sudah lama,
sekarang ternyata ayahmu sudah lupakan kejadian itu. Sedari waktu itu, Koei Hoa Seng
menghilang. Mungkin sekali, itulah kejadiannya yang ia tak dapat lupakan."
"Oh, begitu?" kata Keng Thian. "Sekarang aku tak heran lagi." "Apa?" tanya ibunya. "Tak heran
kalau Koei Hoa Seng Pehpeh pergi merantau ke lain negara dan dengan memetik bagian-bagian
yang liehay dari ilmu pedang Tionghoa dan Barat, menggubah semacam ilmu pedang baru,"
menerangkan sang putera. "Juga tak heran kalau Pengtjoan Thianlie selalu ingin jajal ilmu silatku."
Tong Siauw Lan menghela napas. "Tak nyana Koei Hoa Seng mempunyai keinginan mau
menang yang begitu besar," katanya.
"Aku sendiri sebaliknya hargakan ia," kata sang isteri. "Dengan cara begitu, ilmu pedang
Tionghoa jadi bertambah maju. Bukankah kejadian itu harus dibuat girang?"
Siauw Lan manggut-manggutkan kepalanya, tapi tidak berkata suatu apa lagi.
"Ibu," Keng Thian mendadak berkata lagi. "Barusan kau bilang, ahli senjata rahasia nomor satu
di kolong langit adalah Tong Kim Hong. Apakah ia itu bukannya yang biasa dipanggil Tong Djie
Sianseng?"
"Bagaimana kau tahu?" tanya si ibu dengan perasaan heran.
"Apa Tong Djie Sianseng mempunyai murid?" Keng Thian menanya pula.
Paras mukanya Siauw Lan jadi sedikit berobah. "Keng-djie, dengan siapa kau sudah bertemu?"
tanya ia.
"Ada orang kasihkan aku semacam barang untuk diserahkan kepada ayah," menerangkan sang
putera. "Ia bilang, barang itu sebenarnya milik keluarga kita."
Semua orang jadi merasa heran. "Coba kasihkan kepadaku," kata Siauw Lan.
Keng Thian segera keluarkan batu giok yang ia dapat dari Liong Leng Kiauw dan serahkan itu
kepada ayahnya. Sesudah permainkan batu pualam tersebut dalam tangannya Siauw Lan
menghela napas dan segala kejadian di jaman lampau kembali terbayang di depan matanya.
"Siapa yang kasih?" tanya Phang Eng.
"Orangnya Hok Kong An, yang dikenal sebagai Liong Leng Kiauw," jawab sang putera.
Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya. "She Liong?" ia menegasi. "Tidak, tak bisa. Orang yang
simpan Han-giok ini pasti bukannya orang biasa. Aku rasa, nama itu mesti nama samaran."
"Benar, ayah," kata Keng Thian. "Hiatsintjoe pun bilang, ia tentu gunakan nama palsu. Ia
dikatakan sedang berusaha melakukan pekerjaan yang melanggar undang-undang. Tapi
Hiatsintjoe cuma tahu ia itu adalah muridnya Tong Kim Hong dan tak tahu namanya yang sejati.
Ayah, siapakah dia?"
"Puteranya Lian Keng Giauw!" jawab sang ayah.
Tong Keng Thian terkesiap mendengar nama itu. Lian Keng Giauw adalah jagoan yang dahulu
menjadi satru terutama dari suami isteri Tong Siauw Lan, Kanglam Tjithiap (Tujuh Pendekar
Kanglam) dan lain-lain orang gagah dari Rimba Persilatan. Cerita-cerita yang menggetarkan hati
dari orang she Lian itu, Keng Thian sudah sering dengar dari kedua orang tuanya.
"Ah, puteranya Lian Keng Giauw!" kata Keng Thian. "Tak heran, kalau ia mengadakan
persekutuan dengan para Touwsoe di Lhasa. Dilihat begini, ia agaknya mau dirikan kerajaan baru
di daerah perbatasan, supaya jika berhasil dapat jatuhkan kerajaan Tjeng, kalau gagal, bisa
mundur dan jaga daerahnya sendiri. Tapinya, Tibet mempunyai latar belakang yang sangat sulit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Jika ia bergerak, kemungkinan besar orang luar akan gunakan kesempatan itu untuk masuk ke
Tibet."
"Tak salah pandanganmu, anak," kata Tong Siauw Lan.
"Tapi kenapa kau bisa pastikan dia anaknya Lian Keng Giauw?" tanya Phang Lin.
"Pada waktu In Tjeng baru naik ke atas tahta kerajaan, diam-diam aku telah masuk ke
keraton," menerangkan Siauw Lan. "Disitu aku kena ditangkap oleh Haputo dan Liauw In. Han-
giok pemberian Kaizar Konghie kena dirampas oleh mereka. Lian Keng Giauw adalah seperti juga
majikannya kedua orang itu. Aku merasa pasti, batu giok tersebut tidak diserahkan kepada Yong
Tjeng, tapi kepada Lian Keng Giauw."
"Jika orang itu benar-benar puteranya Lian Keng Giauw dan hal ini dapat diketahui oleh si
kaizar, ia tentu mesti mati," kata lagi Phang Lin. "Bagaimana pikiranmu: Apa kau bersedia
menolong padanya atau tidak?"
"Musuh besar kita adalah ayahnya dan bukan dia," jawab Siauw Lan. "Dalam gerakannya
menentang kerajaan Tjeng, rasanya ia akan berusaha tarik tangan kita. Dengan menyerahkan
batu giok itu kepada Keng-djie, ia pasti mempunyai maksud yang dalam."
"Sudah terang, ia mau bergandengan tangan dengan kita," kata Phang Eng.
Mendadak Phang Lin menghela napas panjang. "Hm!" katanya. "Sampai sekarang begitu
dengar orang menyebut namanya Lian Keng Giauw, aku lantas merasa mendeluh. Harap saja
anaknya tidak seperti bapaknya."
Mendengar bibinya menghela napas panjang, Keng Thian jadi merasa agak heran, sebab sang
bibi biasanya tak kenal jengkel dan selalu suka bercanda. Keng Thian tidak tahu, bahwa dahulu,
waktu masih kecil, bibi itu dikukut dalam rumah keluarga Lian dan Lian Keng Giauw adalah kawan
bermainnya. Sesudah besar. Lian Keng Giauw jatuh cinta padanya, tapi Phang Lin yang
belakangan mengetahui bahwa orang she Lian itu busuk hatinya, jadi berbalik benci padanya. Tapi
biar bagaimana juga, sedikit banyak ia masih ingat perhubungan yang dahulu. Maka itu,
mendengar warta tentang puteranya Lian Keng Giauw, ia jadi menarik napas panjang.
Phang Eng mesem melihat sikap adiknya. "Aku pun mengharap anaknya jangan turut-turut
kebusukan ayahnya," kata ia. "Tapi, oleh karena belum mengetahui benar latar belakangnya, kita
tidak boleh sembarangan menolong. Begini saja: Keng-djie, bukankah kau mau pergi ke Soetjoan?
Sekalian jalan, baik kau mampir pada keluarga Tong dan beritahukan halnya Liong Leng Kiauw.
Keluarga Tong adalah keluarga yang terkenal dalam Rimba Persilatan dan menurut peraturan
Kangouw, merekalah yang berhak campur tangan."
Keng Thian yang tadinya kuatir kedua orang tuanya akan menahan ia, jadi merasa girang
sekali. Sesudah berdiam beberapa saat, Phang Eng tertawa seraya berkata: "Jika kau bertemu
dengan Koei Moaymoay (Pengtjoan Thianlie), bilanglah, bahwa aku sangat suka padanya. Kau
juga boleh minta Moh Pehpeh membujuk ia, supaya ganjelan dahulu dibikin habis saja. Undanglah
ia untuk datang kesini tiga tahun kemudian."
"Eh, Keng-djie," Phang Lin mendadak menyeletuk dengan paras sungguh-sungguh. "Aku
ajarkan kau satu siasat yang sangat bagus. Coba kau ajak ia adu pedang lagi dan sengaja
berlagak kalah dalam pertandingan itu. Aku merasa pasti, dengan jalan begitu hatinya akan
merasa puas."
Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya mendengar ajaran itu. "Ah, inilah yang dinamakan
orang tua tidak tahu tuanya," kata ia. "Sekarang kau berbalik mengajar anak-anak jadi orang
palsu." Mendengar tegoran itu, Phang Lin jadi tertawa geli sekali.
Pada besok harinya, Tong Keng Thian kembali turun dari Puncak Onta dan berjalan menuju ke
jurusan timur. Jalan yang semula diambilnya adalah dari Siamsay terus ke Soetjoan. Akan tetapi,
oleh karena sudah mengambil jalan mutar, maka sekarang ia harus masuk ke Tjenghay, akan
kemudian menuju ke Soetjoan barat.
Sesudah berjalan belasan hari, tibalah Keng Thian di padang rumput Tsaidam yang terletak di
Tjenghay tengah. Padang rumput itu luas luar biasa dan meskipun di sana-sini terdapat pasir serta
tanah yang berwarna kuning, akan tetapi pada umumnya daerah itu gemuk tanahnya. Dengan hati
yang lapang, Keng Thian larikan kudanya di padang rumput itu, dengan saban-saban bertemu
rombongan-rombongan kambing liar yang pada lari serabutan jika bertemu manusia. Melihat itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

semua, Keng Thian sungguh merasa tidak mengerti, kenapa tanah yang sedemikian kaya
dibiarkan tinggal tersia-sia.
Selagi enak berjalan, kupingnya mendadak mendengar suara kelenengan kuda dan
serombongan pelancong kelihatan mendatangi dari sebelah depan. Di antara mereka itu terdapat
lelaki dan perempuan, tua dan muda. Keng Thian merasa heran. "Sekarang adalah permulaan
musim semi dan menurut kebiasaan, hanya orang-orang dari sebelah utara yang datang ke
selatan," katanya di dalam hati. "Kenapa orang-orang ini dari selatan datang kemari?"
Waktu hampir berpapasan, hatinya jadi lebih heran lagi, oleh karena mereka kelihatan seperti
orang sedang kebingungan, seolah-olah orang hukuman yang sedang melarikan diri. Ia segera
majukan kudanya dan menanya seorang tua yang berjalan paling depan.
Orang tua itu mengawasi ia seraya berkata: "Apakah kau sendirian?"
"Benar," sahut Keng Thian. "Bolehkah aku menanya, kenapa Loopeh meninggalkan daerah
selatan yang sangat subur? Apakah kalian hendak pergi ke Tibet untuk berdagang?"
Si tua menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika kau seorang diri, tak halangan berjalan terus,"
katanya. "Dua hari lagi, kau akan tiba di kota Naichi, satu kota besar yang berada di bawah
kekuasaan Tukuhun Khan."
"Kenapa, jika seorang diri tak ada halangan untuk aku berjalan terus?" tanya Keng Thian
dengan suara heran.
"Entah kenapa, sedari beberapa waktu berselang, Hoat-ong (Raja Agama) dari Lhama sekte
Topi Putih telah mencari wanita-wanita muda yang berparas cantik. Setiap wanita yang datang
dari tempat lain, asal ia berparas cantik, tak ampun akan ditangkap, jika bertemu dengan orang-
orangnya Hoat-ong. Oleh karena itu, semua orang jadi ketakutan. Ketika melewati kota itu, kami
semua tak berani berhenti mengasoh dan terus kabur secepat mungkin. Menurut pendengaran,
lagi kemarin dulu, seorang tetamu wanita yang berparas cantik dan pandai silat, sudah kena
dibekuk oleh mereka!"
"Hoat-ong sekte Topi Putih toh bukannya kaizar, untuk apa ia mencari wanita-wanita cantik?"
menanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Kami pun tak tahu," sahut orang tua itu. "Ada orang berkata, mereka mau dipersembahkan
kepada malaikat. Ah! Sungguh menakutkan! Baik juga, mereka hanya menangkap wanita. Orang
lelaki sama sekali tidak diganggu. Oleh karena itu, kau boleh tak usah kuatir."
Keng Thian kerutkan alisnya, hatinya sangat bersangsi. "Hoat-ong sekte Topi Putih adalah
pemimpin dari satu cabang agama," katanya dalam hati. "Sungguh aku tak percaya, jika ia
dikatakan melakukan perbuatan yang tidak patut. Selain itu, agama Lhama masih merupakan satu
cabang dari agama Budha dan aku belum pernah mendengar kaum Lhama memerlukan Tong-lam-
lie (anak lelaki dan perempuan) untuk sembahyangi malaikat. Bagaimana sih, duduknya persoalan
yang sebenarnya? Aku sebetulnya tak ingin pergi ke Naichi, tapi ada baiknya juga jika aku mampir
disitu untuk menyelidiki."
Memikir begitu, sesudah berpisah dengan rombongan itu, Keng Thian segera menuju ke kota
tersebut.
Pada esok harinya, kira-kira tengah hari, Keng Thian tiba di kota Naichi. Naichi terletak di
pinggir Tsaidam dan terhitung salah satu kota besar di wilayah Tjenghay, akan tetapi, dengan
jumlah penduduk yang belum cukup sepuluh ribu jiwa, Naichi tentu saja tak dapat dibandingkan
dengan kota-kota di wilayah Tionggoan.
Dalam kota tersebut hanya terdapat beberapa jalan dan kecuali rumah-rumah makan serta
penginapan, pintu rumah-rumah penduduk hampir semua terkunci rapat-rapat, sehingga memberi
kesan yang agak menyedihkan.
Keng Thian masuk ke sebuah rumah penginapan dan sesudah bersantap, ia memberi persen
yang lumayan kepada sang pelayan yang jadi girang sekali dan mulutnya lantas saja terbuka.
"Aku dengar Hoat-ong sedang memilih wanita cantik, apa benar?" tanya Keng Thian.
"Benar," jawab si pelayan. "Apa kau tak lihat rumah-rumah yang pada terkunci? Wanita muda
tak berani keluar pintu. Tapi, kehebohan sudah lewat. Katanya, jumlah wanita yang diperlukan,
sudah cukup. Mulai hari ini, sudah tak ada lagi peristiwa Lhama menangkap wanita muda."
"Kenapa mesti mengambil wanita-wanita cantik? Apa mau sembahyangi malaikat?" menanya
pula Keng Thian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Hoat-ong mengeluarkan perintah, siapa berani tanya-tanya?" jawabnya. "Hanya katanya, dari
Tibet datang satu Lhama Besar dan Hoat-ong hendak menyambut ia dengan segala upacara. Dua
hari lagi bakal ada satu perhimpuan besar. Aku tak tahu perhimpunan apa, tapi yang pasti bukan
sembahyang malaikat."
Mendengar keterangan itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti.
Harus diketahui, pada buntutnya ahala Beng, yaitu pada jaman pemerintahan Kaizar Tjong
Tjeng. Lhama sekte Topi Putih telah diusir keluar dari Tibet oleh kaum Lhama sekte Topi Kuning,
yang kemudian berkuasa pada jaman itu (Kaizar Kian Liong). Selama seratus tahun lebih,
hubungan kedua sekte adalah seperti api dan air. Kenapa Lhama Besar sekte Topi Kuning datang
ke Naichi dan Hoat-ong Topi Putih mau menyambut dengan upacara besar?
"Baik juga kau adalah seorang lelaki," kata lagi si pelayan. "Jika kau seorang wanita, bisa-bisa
diculik tanpa diketahui oleh keluargamu. Dua hari berselang, seorang wanita yang datang dari
tempat lain sudah kena ditawan oleh beberapa Lhama. Wanita itu paham ilmu silat."
Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Bagaimana kau tahu ia pandai ilmu silat?" ia menanya.
"Kejadiannya di rumah makan seberang," jawab si pelayan. "Aku sendiri turut menyaksikan
peristiwa itu! Wanita itu mengenakan pakaian orang Tibet. Ia bukan hanya pandai silat, tapi
pandai juga ilmu siluman!"
"Omong kosong!" kata Keng Thian. "Siang hari bolong, dimana ada ilmu siluman?"
"Kau tak percaya?" kata si pelayan, sungguh-sungguh. "Aku lihat dengan mata sendiri.
Bermula, yang turun tangan adalah empat Lhama. Sekali bergebrak saja, dua antaranya roboh.
Kemudian ia ayun tangannya. Mendadak muncul hawa dingin yang sangat hebat dan dua Lhama
yang lain gemetar sekujur badannya. Apa itu bukan ilmu siluman?"
Begitu mendengar, Keng Thian terkesiap. Senjata rahasia itu sudah pasti Pengpok Sintan
adanya. Ia tak percaya, Pengtjoan Thianlie kena ditangkap. Apa Yoe Peng?
Sementara itu, si pelayan sudah berkata lagi: "Tapi, biar bagaimanapun juga, Yauwhoat (ilmu
siluman) tak dapat mengalahkan Hoedhoat (ilmu Budha). Sesudah empat Lhama kecil itu
dirobohkan, datang pula dua Lhama lainnya, sekali ini Lhama besar. Mereka tak takut ilmu siluman
itu Mereka hanya bergidik sedikit dan berhasil membekuk wanita itu."
"Agaknya mungkin benar-benar Yoe Peng-lah yang kena ditangkap," kata Keng Thian dalam
hatinya. "Sudah pasti Pengtjoan Thianlie tidak akan berpeluk tangan saja. Tak nyana, aku dapat
menemukan ia disini."
Tanpa membuang tempo, ia segera menanyakan dimana letaknya kuil Lhama.
"Apa tuan mau sembahyang?" tanya si pelayan. "Kuil itu biasanya sangat ramai, tapi selama
beberapa hari ini, sedikit sekali yang datang berkunjung. Sebagai tetamu dari tempat lain, aku
rasa tak ada halangannya kalau kau ingin pasang hio. Kuil itu adalah gedung paling besar yang
terdapat dalam kota ini. Memang juga, sesudah tiba disini, ada harganya untuk jalan-jalan di kuil
itu."
Sesudah mendapat keterangan tentang letaknya kuil itu, Keng Thian mengasoh sebentar dan
setelah makan tengah hari, ia segera pergi ke kuil itu.
Jika dibandingkan dengan Keraton Potala, kuil itu tentu masih kalah jauh. Akan tetapi, menurut
ukuran biasa, kuil itu sudah cukup besar dan indah. Puluhan gedung besar dan kecil berdiri
berjajar di lereng gunung dan seluruh bangunan itu kelihatan angker dan mewah. Tiga gedung
yang paling depan adalah tempat pemujaan yang penuh dengan patung-patung Budha. Ketika
Keng Thian datang, jumlah tetamu yang mau pasang hio, boleh dikatakan banyak juga. Ia
menempatkan dirinya di antara para tetamu itu, sambil memasang kuping. Benar saja, ia
mendengar banyak sekali pembicaraan tentang ditangkapnya wanita-wanita muda. Akan tetapi, ia
juga mendapat kenyataan, bahwa mereka itu sangat menghormat terhadap Hoat-ong. Salah
seorang malah berkata begini: "Dalam bertindak begitu, Budha Hidup pasti mempunyai alasan
kuat. Wanita-wanita itu dapat dikatakan besar rejekinya oleh karena mereka sudah mendapat
perhatiannya Budha Hidup. Lebih baik kita jangan terlalu banyak bicara. Apa kau tak takut masuk
ke neraka?"
Sesudah memperhatikan kedudukan seluruh bangunan itu, Keng Thian segera balik ke rumah-
penginapan. Malam itu, kira-kira jam tiga, ia segera menukar pakaian untuk jalan malam yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

berwarna hitam dan memakai topeng, dan begitu beres berdandan, ia segera pergi ke kuil Lhama
dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Berhubung dengan banyaknya gedung-gedung, Keng Thian tidak dapat lantas mengetahui
dimana adanya gedung Hoat-ong. Ia loncat naik ke atas genteng sebuah gedung yang paling
besar dan memasang kupingnya. Sayup-sayup, ia mendengar suara tabuh-tabuhan dan nyanyian
di sebelah bawah. Sembari mengkerutkan alisnya, ia loncat turun.
Tiba-tiba dari sebelah depan mendatangi dua orang Lhama. Buru-buru Keng Thian berlindung
di belakang pohon.
"Tak lama lagi kita akan mempunyai Wanita Suci," kata salah seorang Lhama. "Dengarlah!
Mereka membaca Keng (kitab suci) dan menyanyikan lagu-lagu Budha. Sungguh merdu! 'Ku
dengar, mereka juga akan belajar menari. Mulai dari sekarang, jangan kuatir kesepian lagi."
"Setan kecil!" membentak kawannya. "Jangan sekali-kali kau mengingat-ingat soal-soal
keduniawian. Kau tahu, melihat saja sudah berdosa!"
"Omong kosong!" jawab Lhama yang pertama. "Bukan aku, tapi kaulah yang hatinya sudah
bergoncang. Aku hanya mendengarkan dari jauh, tapi kau sendiri sudah tiga kali lewat di depan
gedungnya."
Dengan sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah dapat merobohkan kedua Lhama itu.
"Jangan bersuara!" ia berbisik. "Jawab apa yang aku tanya. Mampus kau, jika berani berteriak!"
Kedua Lhama itu jadi kesima dan mengawasi dengan mulut ternganga.
"Dari mana wanita Suci itu?" menanya Keng Thian. "Apa mereka adalah wanita-wanita yang
telah ditangkap beberapa hari berselang?"
Kedua Lhama itu manggut-manggutkan kepalanya.
"Dimana mereka dikurung?" Keng Thian menanya pula.
"Mereka di tempatkan di gedung Wanita Suci, yaitu gedung yang berdampingan dengan
gedungnya Hoat-ong," jawab Lhama yang satu.
"Kau adalah murid-murid Budha," berkata Keng Thian. "Untuk apa menangkap wanita-wanita
muda?"
"Itu semuanya adalah hokki (untung bagus) mereka," jawabnya. "Hoat-ong ingin mengangkat
mereka sebagai Wanita Suci rombongan pertama."
"Untuk apa Wanita Suci itu?" mendesak Keng Thian.
Kedua Lhama itu mengawasi Keng Thian dengan paras muka heran, seolah-olah menganggap
pemuda itu sebagai seorang tolol. "Ah! Apakah kau belum mengetahui?" kata satu antaranya.
"Yang lelaki menjadi Lhama, yang wanita menjadi Wanita Suci. Itu toh sudah disebutkan dalam
kitab suci. Sungguh heran, kau masih merasa perlu untuk menanya lagi!"
Keng Thian terkejut dan segera ingat, bahwa memang benar dalam agama Lhama ada
beberapa cabang yang cara-caranya agak berlainan. Cabang (sekte) Topi Merah dan Topi Kuning
sama sekali tidak menerima murid wanita, tapi menurut kata orang-orang tua, sekte Topi Putih
biasa menerima penganut wanita. Oleh karena sudah seabad lamanya sekte Topi Putih berada
diluar Tibet, maka peraturan tersebut jarang sekali dibicarakan orang, sehingga Keng Thian sendiri
sampai menjadi lupa. Ia sekarang mengerti, bahwa "Wanita Suci," atau Shengnu, berarti Lhama
wanita.
Hati si pemuda menjadi lega. "Apakah tidak ada yang mengganggu mereka?" ia menanya
dengan suara lunak.
Walaupun sedang dicekal keras dengan tangan yang seperti jepitan besi, begitu mendengar
pertanyaan Keng Thian, kedua Lhama itu lantas saja menjadi gusar.
"Kau sungguh berdosa!" kata satu antaranya. "Berani sungguh kau mengeluarkan perkataan
begitu! Dalam istana Wanita Suci, lelaki mana juga tidak dipermisikan datang berkunjung. Hanya
beberapa Ibu Suci yang diperbolehkan masuk kesitu untuk mengajar kitab suci dan lagu-lagu suci
kepada mereka. Mereka baru boleh keluar jika ada sembahyang atau upacara besar."
"Di antara yang kena ditangkap oleh kau orang, bukankah terdapat seorang wanita yang
pandai silat?" menanya Keng Thian, tanpa memperdulikan comelan orang.
"Yah, aku dengar memang begitu," jawab yang satu. "Akan tetapi, katanya ia tak sudi menjadi
Wanita Suci. Ini berarti ia tidak mempunyai jodoh dengan agama kita dan Budha Hidup pun tak
dapat memaksa padanya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa ia juga dikurung dalam istana Wanita Suci?" tanya Keng Thian.
"Mana aku tahu?" jawabnya. "Bukankah 'ku sudah kata, orang lelaki tak boleh datang kesitu?"
Keng Thian percaya, bahwa Lhama itu bicara dengan sejujurnya, maka ia sungkan mendesak
lagi. Berselang beberapa saat, ia menanya pula: "Tapi, dimana istananya Hoat-ong?"
Dengan jerijinya, mereka menunjuk sebuah gedung besar yang terletak di tengah-tengah.
"Tapi, siapakah kau ini?" tanya mereka.
Sesudah mendapat keterangan yang diperlukan, Keng Thian tidak meladeni lagi dan segera
menotok Ah-hiat (jalanan darah yang membikin orang jadi gagu) mereka. Dengan totokan itu,
dalam tempo dua belas jam, kedua Lhama tersebut tidak akan dapat bergerak atau berbicara.
Gedung yang di tengah-tengah itu terkurung tembok, dengan genteng kaca yang berwarna
kuning emas. Sesudah menyembunyikan kedua Lhama itu di belakang pohon, Keng Thian segera
melompati tembok dan masuk ke dalam pekarangan gedung.
Muka gedung itu ternyata dijaga oleh dua Lhama baju putih. Ilmu mengentengkan badannya
Keng Thian boleh dibilang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan, gerakannya cepat bagaikan kilat dan hinggapnya di atas bumi seperti juga
jatuhnya selembar daun kering. Tapi, meskipun begitu, kedua Lhama itu toh masih dapat
mengetahui kedatangan pemuda tersebut. Mereka agak kaget dan celingukan ke empat penjuru.
Keng Thian terkejut dan kemudian mengetahui, bahwa mereka adalah orang-orang yang pernah
turut dalam perebutan guci emas dan sudah pernah bertempur dengan ia. Ia mengetahui, mereka
mempunyai kepandaian yang cukup tinggi dan jika kepergok, ia bakal jadi berabe.
Dalam pekarangan itu terdapat sebuah pohon tua yang berusia ratusan tahun, Keng Thian
mengenjot badannya dan seperti burung ia hinggap di sebuah cabang. Di ujung pohon terdapat
beberapa ekor burung besar yang sedang mengasoh dan kedatangan Keng Thian, sudah
membikin mereka mengebas-ngebaskan sayap. Keng Thian segera memetik sehelai daun dan
mementil dengan menggunakan tenaga dalamnya. Bagaikan senjata rahasia, daun itu menyambar
ke atas, sehingga burung-burung itu pada berterbangan sambil berbunyi keras.
"Ah, benar saja burung-burung itu yang kurang ajar!" berkata kedua Lhama itu.
Tanpa mensia-siakan waktu, selagi kedua Lhama itu berdiri membelakangi ia, dengan sekali
mengenjot badan, Keng Thian sudah hinggap di atas genteng dan lalu bersembunyi di pojok
payon rumah.
Beberapa tombak dari tempat sembunyi Keng Thian terdapat sebuah kamar, dimana, teraling
tirai jendela, kelihatan dua bayangan manusia. Seorang berbadan tinggi besar, yang sudah boleh
dipastikan adalah Hoat-ong sendiri, duduk di tengah kamar, sedang orang yang satunya lagi
berdiri didampingnya.
Keng Thian segera pusatkan semangatnya untuk mendengarkan pembicaraan kedua orang itu.
"Sesudah menunggu seratus tahun lebih, hari yang ditunggu akhirnya datang juga," kata Hoat-
ong. "Utusan Panchen telah mengundang kita pulang ke Tibet, dengan mengatakan, bahwa mulai
dari sekarang, kita jangan bertengkar lagi. Anan! Bagaimana pikiranmu?"
"Itulah memang kita semua harap-harapkan," sahut orang yang dipanggil Anan. "Akan tetapi..."
"Tapi apa?" menanya Hoat-ong. "Apa pulangnya kita tidak cukup mentereng?"
"Bukan, bukan itu yang aku maksudkan," jawab Anan. "Tapi kedudukan kita disini adalah
kedudukan yang paling atas..."
"Dan kalau pulang, kita jadi berada di bawah orang lain," Hoat-ong menyambung. "Begitu yang
kau maksudkan? Aku sekarang memberitahukan kau, bahwa utusan itu sudah menyampaikan
pesan kedua Budha Hidup, bahwa mereka telah menyediakan tiga tempat untuk kita mendirikan
kuil. Aku anggap, tawaran itu cukup baik. Persoalan antara kita sama kita, memang juga harus
dipecahkan dengan saling mengalah. Sesudah bergulat seabad lebih, aku sekarang sungkan
mengangkat senjata lagi."
Mendengar itu, diam-diam Keng Thian memuji Raja agama itu, yang ternyata mempunyai
pandangan yang luas.
"Aku sendiri tak dapat berlalu dari sini," kata pula Hoat-ong. "Di kemudian hari, tiga tempat itu
di Tibet harus diurus olehmu."
Keng Thian melihat Anan merangkap kedua tangannya sambil membungkuk untuk
menghaturkan terima kasih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Hoat-ong menghela napas panjang dan kemudian berkata pula: "Ah! Dengan dapat pulang ke
Tibet, terkabullah sudah angan-angan Tjouwsoe. Dan dengan mempunyai tiga tempat itu, hatiku
sudah merasa puas. Eh, bagaimana dengan rombongan Wanita Suci?"
"Kecuali beberapa orang, yang lain semuanya rela menurut perintah Budha Hidup," jawab A-
nan.
"Tak boleh kita memaksa mereka," berkata Hoat-ong dengan suara halus. "Pada seratus tahun
yang lalu, yaitu pada waktu Tjouwsoe memegang tampuk pimpinan agama di Tibet, para wanita
pada berebut untuk menjadi Wanita Suci. Akan tetapi, keadaan disini, yang penduduknya sebagian
besar terdiri dari orang Han, berlainan dengan keadaan di Tibet.
Mereka tak mengetahui, kemuliaan seorang Wanita Suci sehingga tidaklah heran mereka jadi
ketakutan tak keruan. Itulah justru sebabnya, kenapa selama satu abad kami tidak memilih Wanita
Suci. Akan tetapi, oleh karena sekarang kita harus membuat persiapan untuk pulang ke Tibet,
maka tak dapat tidak, kita harus kembali pada kebiasaan lama. Dalam upacara pembukaan kuil
baru, kita mesti mempunyai rombongan Wanita Suci untuk menjalankan upacara dengan nyanyian
dan tarian."
"Oh! Kiranya begitu?" berkata Keng Thian dalam hatinya. "Hampir-hampir saja aku
menganggap mereka sebagai paderi cabul!"
"Benar," kata Anan. "Mereka ketakutan tak keruan. Sungguh tak bagus!"
"Kita tak boleh terlalu salahkan mereka," berkata Hoat-ong."Tak banyak orang Han yang rela
mengirim puteranya untuk menjadi Lhama. Apalagi puterinya! Mereka yang menentang
kebanyakan adalah orang-orang Han. Bukankah begitu?"
Anan manggut-manggutkan kepalanya. Sebelum ia keburu menjawab, Hoat-ong sudah berkata
pula: "Oleh karena terlalu repot, kita tidak memberi penjelasan terlebih dulu kepada mereka. Ini
sebenarnya adalah kurang betul.
Begini sajalah: Besok kita mengadakan sembahyang besar dan pergilah kau mengundang para
pemuka dan orang-orang tua di seluruh kota ini, supaya kita dapat memberi keterangan kepada
mereka. Gadis-gadis yang sungkan menjadi Wanita Suci boleh diambil pulang oleh orang tuanya."
"Di antara yang menolak terdapat seorang gadis, yang bukan orang Han," melaporkan Anan.
"Dilihat dari pakaiannya, ia kelihatannya datang dari Tibet barat. Ketika mau ditangkap, ia sudah
hajar beberapa orang kita. Bagaimana? Apa ia pun dilepaskan saja?"
Mencaci atau memukul seorang Lhama adalah satu kedosaan besar di daerah itu, sehingga
Hoat-ong jadi bersangsi setelah mendengar laporan Anan. Berselang beberapa saat, barulah ia
berkata: "Lihat saja nanti. Tapi janganlah membikin susah padanya."
"Aku dengar ia tak mau makan," Anan berkata lagi.
"Oh, begitu?" Hoat-ong menegaskan. "Biarlah besok aku perintah seorang Ibu Suci pergi
membujuk ia."
Berkata sampai disitu, Hoat-ong mendadak bangun seraya berkata: "Tolong tuangkan secangkir
arak."
Di lain saat, dengan jerijinya menjepit cangkir, ia menghampiri jendela yang dibukanya secara
tiba-tiba. Dengan sekali mementil, cangkir itu melesat ke atas dan menyambar ke arah Tong Keng
Thian!
Bukan main kagetnya Keng Thian. Melesatnya cangkir tersebut disertai dengan suara
mengaung dan apa yang mengherankan, cangkir tersebut tepat menyambar ke arah jalan darah
Hiankie hiat, di dadanya Keng Thian. Pada sebelum sang cangkir mengenakan dada, hidung Keng
Thian mendadak mengendus bau wangi arak, dan berbareng dengan itu, bagaikan air mancur,
arak yang berada dalam cangkir, menyambar padanya! Ternyata, dengan tenaga dalam yang luar
biasa dan kepandaian menggunakan senjata rahasia yang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan, Hoat-ong sudah menyerang Keng Thian bukan saja dengan cangkir, tapi juga
dengan araknya.
Bagaikan kilat, Keng Thian mementil dan berkelit. Dengan terdengarnya suara "tring!" cangkir
itu hancur, tapi, biarpun gerakannya cukup cepat, tak urung bajunya kecipratan juga beberapa
tetes arak dan menjadi berlubang!
"Manusia dari mana yang mempunyai nyali begitu besar?" membentak Hoat-ong. Berbareng
dengan bentakannya bagaikan segundukan awan, badan Hoat-ong yang berjubah merah sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

melesat ke atas. Ketika itu, kedua kaki Keng Thian masih menyantel di payon sedang sebagian
badannya masih menggelantung di luar genteng. Dengan kedua tangannya, Hoat-ong mendorong
dan lantas saja ia terkejut, oleh karena badan Keng Thian tidak bergeming.
Dengan tangan kirinya tetap menahan kedua tangannya Keng Thian, tiba-tiba ia tarik pulang
tangan kanannya yang lalu digunakan untuk mengorek kedua mata Keng Thian. Berbareng
dengan itu, ia mengempos semangatnya dan menambahkan tenaga pada tangan kirinya.
Di lain pihak, Keng Thian yang sedang bertahan dengan kedua tangannya mendadak rasakan
tekanan musuh di sebelah kiri menghilang dan tekanan di sebelah kanan bertambah dua kali lipat.
Pada detik itu juga badannya bergoyang-goyang. Lebih celaka lagi, dua jeriji Hoat-ong dengan
mendadak menyambar matanya!
Selagi Keng Thian hendak menurunkan tangan kejam untuk menolong diri, sekonyony-konyong
ia ingat, bahwa orang berilmu itu adalah pemimpin dari satu cabang agama, sehingga jika ia
sampai celaka, akibatnya bakal jadi besar sekali. Mengingat hal itu, ia lantas saja mengurungkan
niatannya. Buru-buru ia tarik pulang tenaga dalamnya dan menjejek kedua kakinya, sehingga
badannya melesat ke atas, akan kemudian melayang turun ke bawah.
Hoat-ong tertawa dingin, "Hm!" katanya didalam hati: "Meskipun dengan ilmu mengentengkan
badan, kau dapat meloloskan diri dari serangan jeriji, tapi punggungmu dijual kepadaku!" Dengan
gerakan Tjhioehoei pipee (Tangan merabu tali pipee), ia gasak punggung Keng Thian.
Dengan terdengarnya suara "buk!" tubuh Keng Thian terpental keluar tembok, tapi, pada saat
yang sama, dengan satu teriakan keras, badan Hoat-ong pun roboh di atas genteng.
Ternyata, pada waktu punggungnya dihajar, Keng Thian membalik sebelah tangannya dan
mengebas dengan ilmu Hoedhiat (Mengebas jalanan darah), semacam ilmu istimewa dari
Thiansan pay. Dengan hanya satu kebasan itu, lima jerijinya sudah menotok lima jalan darah
Hoat-ong!
Buru-buru Hoat-ong menjalankan pernapasannya tiga kali, lima jalan darahnya sudah kembali
terbuka semua, tapi kaki tangannya masih dirasakan sangat lemas. Herannya Hoat-ong tidak
kepalang. Ia mengetahui, bahwa ilmu silat Keng Thian tidak berada di sebelah bawahnya, dan jika
mau, pemuda itu dapat memunahkan serangannya dengan balas menyerang. Sungguh ia tak
mengerti, kenapa Keng Thian seperti sengaja menempuh bahaya dan memasang punggungnya?
Mendengar suara ribut-ribut dan melihat larinya Keng Thian, kedua Lhama yang menjaga di
luar segera bergerak untuk mengubar.
"Tolol!" membentak Hoat-ong. "Apa kau mau antarkan jiwa? Dia sudah kena pukulanku dan
akan binasa dalam tempo tiga hari."
Sehabis berkata begitu, ia menghela napas. "Tak gampang orang itu memiliki ilmu silat yang
sedemikian tinggi," katanya di dalam hati. "Entah siapa yang menyuruh ia datang kesini, sehingga
ia mesti korbankan jiwanya secara cuma-cuma. Sungguh sayang!" Dalam hatinya, pemimpin
agama tersebut merasa sangat menyesal, bahwa secara ketelanjur, ia sudah menurunkan tangan
yang begitu berat.
Keng Thian merasakan punggungnya sakit dan begitu tiba di rumah penginapan, ia segera
membuka Kimsie Djoanka, semacam baju kutang yang terbuat dari semacam benang berwarna
emas.
Dengan pertolongan sebuah kaca tembaga, ia melihat satu titik hitam di punggungnya.
Keng Thian kaget, tapi sesaat kemudian ia berkata seorang diri: "Baik juga ada ini Kimsie
Djoanka, jika tidak, isi perutku bisa terluka hebat. Sungguh tak terduga, tenaga dalamnya Hoat-
ong begitu dahsyat."
Kimsie Djoanka itu mempunyai riwayat yang menarik. Dulu, ketika Phang Eng dan Phang Lin
jangkep berusia satu tahun, Tjiong Ban Tong, pemimpin Boekek pay, telah menghadiahkan dua
rupa mustika dari Rimba Persilatan, yaitu, yang satu Kimsie Djoanka, sedang yang lain golok
Tokbeng Sinto. Pada hari itu, kedua saudara kembar itu dibiarkan memilih sendiri dan sebagai
hasilnya, Phang Eng mengambil Kimsie Djoanka, sedang Phang Lin mengambil Tokbeng Sinto.
Baju kutang tersebut terbuat dari bulu warna emas yang diambil dari punggungnya Kimmo houw
(semacam singa berbulu emas) di pegunungan Himalaya. Djoanka itu, yang lemas dan enteng, tak
dapat ditembuskan senjata tajam juga tak dapat dihancurkan dengan pukulan. Dengan adanya
lapisan baju kutang itu, walaupun pukulan Hoat-ong sangat dahsyat, tenaganya sudah hilang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

separoh, dan ditambah pula tenaga dalam Keng Thian sendiri, pukulan tersebut hanya dapat
menggetarkan isi perutnya, tapi tak sampai mencelakakannya. Buru-buru Keng Thian
mengerahkan jalan pernapasannya dan menelan sebutir Pekleng tan yang terbuat dari Soatlian.
Sesudah itu, dengan hati lega, ia tidur untuk mengasoh.
Pada besok paginya, si pelayan datang di kamar Keng Thian dan mereka lalu membicarakan
pula halnya Hoat-ong.
"Aku dengar, malam ini Hoat-ong akan mengadakan sembahyang besar," kata si pelayan.
"Mereka telah mengundang tetua-tetua kota ini dan para orang tua gadis-gadis yang kena
ditangkap, semuanya ada seratus orang lebih. Inilah satu kejadian yang baru pernah terjadi.
Besok pagi kita akan mengetahui, kenapa mereka menangkapi gadis-gadis cantik."
"Mereka tidak mengundang kau, cara bagaimana kau bisa mengetahui begitu cepat?" Keng
Thian sengaja menanya.
"Biarpun aku sendiri tak diundang, tapi majikanku mendapat undangan," jawabnya. "Ialah yang
memberitahukan hal itu kepadaku."
Keng Thian jadi girang dan lalu menanyakan lebih jauh tentang si pemilik rumah penginapan.
Ia itu ternyata adalah seorang yang mempunyai kedudukan agak tinggi dalam kota Naichi dan
telah mewarisi perusahaan rumah penginapan dari orang tuanya.
Keng Thian juga mendapat tahu, bahwa orang bisa masuk ke dalam ruangan sembahyang
dengan memperlihatkan surat undangan, dan mengingat banyaknya orang yang diundang,
pemeriksaan tentu tidak dilakukan secara teliti.
Kira-kira magrib, diam-diam Keng Thian masuk ke kamar tidur si pemilik rumah penginapan dan
lalu bersembunyi di atas salah satu balok penyangga atap. Ia lihat, dengan penuh kegirangan,
orang itu mengeluarkan makwa hitam yang indah, sedang surat undangan yang berwarna merah
menggeletak di atas pembaringan. Keng Thian segera memulung sedikit tanah yang melekat di
tembok dan menimpuk jalan darah Hoenswee hiat dari si pemilik rumah penginapan yang lantas
saja terguling di atas lantai dan akan tetap rebah selama dua belas jam.
Kemudian ia loncat turun dan sesudah membaringkan si pemilik rumah penginapan di atas
pembaringan, ia segera memakai pakaian orang itu yang memang sudah tersedia. Untung juga,
potongan badan si pemilik rumah penginapan tidak banyak berbeda dengan potongan badannya.
Selanjutnya, ia mengeluarkan sepotong Yayong tan yang lantas dihancurkan dengan sedikit air teh
dan kemudian dipoleskan pada mukanya. Yayong tan atau obat untuk merubah paras muka
adalah semacam perlengkapan dari kawanan penjahat di jaman itu. Tong Siauw Lan, ayah Keng
Thian, telah belajar membuat obat tersebut dari Kam Hong Tie. Setelah merubah paras mukanya,
dengan tangan mencekal surat undangan itu, sembari mesem Keng Thian segera berangkat
menuju ke kuil Lhama.
Cocok dengan dugaannya beberapa Lham? yang mendapat tugas untuk menyambut para tamu,
tidak banyak rewel dan semua tamu yang membawa surat undangan dipersilahkan masuk tanpa
pemeriksaan teliti.
Sebelum sembahyang, terlebih dulu diadakan perjamuan. Orang-orang yang dijamu di gedung
tengah adalah pemimpin-pemimpin dari berbagai kuil Lhama dan tamu-tamu penting. Di gedung
sebelah timur adalah tempat perjamuan untuk para tetua kota Naichi dan ayah atau walinya gadis-
gadis yang telah ditangkap.
Sesudah para tamu minum beberapa gelas arak, murid kepala dari Hoat-ong, yaitu Anan
Tjoentjia (Tjoentjia adalah panggilan menghormat terhadap satu paderi atau Lhama), datang
sendiri untuk melayani para tamu.
"Hari ini adalah hari yang sangat menggembirakan," demikian Anan mulai dengan pidatonya,
sesudah mengajak para tamu mengeringkan segelas arak. "Hari ini kami ingin mengumumkan
suatu berita menggirangkan kepada kalian, yaitu: Budha Hidup di Tibet sudah mengadakan
perdamaian dengan Budha Hidup kita!"
Pengumuman itu disambut dengan sorak-sorai oleh para hadirin. Selama seratus tahun, sudah
puluhan kali kedua sekte bertempur hebat, sehingga menerbitkan kerugian jiwa manusia dan
harta benda yang tak dapat dihitung berapa banyaknya. Maka itu, tidaklah heran jika berita
tersebut disambut dengan kegirangan besar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Akan tetapi, sesudah sorakan mereka, beberapa tetua lantas saja berkata: "Kami ingin Budha
Hidup menetap di Tjenghay dan tak mau beliau meninggalkan kami."
Anan mesem dan melanjutkan pidatonya: "Dalam perundingan perdamaian, Budha Hidup
Panchen sudah menyetujui untuk memberikan Chinka, Sakya dan Chinpu kepada kita, supaya kita
dapat mendirikan kuil-kuil yang seperlunya. Sesudah kuil-kuil selesai didirikan, Hoat-ong tentu
harus pergi ke Tibet untuk melakukan upacara pembukaan. Akan tetapi, sesudah itu, beliau akan
menyerahkan segala tugas mengurusnya kepadaku dan beliau sendiri akan balik kesini untuk
melindungi kalian selama-lamanya."
Pidato itu kembali disambut dengan tampik sorak yang bergemuruh. Apa yang diumumkan oleh
Anan Tjoentjia sudah diketahui oleh Tong Keng Thian. Yang belum didengar olehnya adalah
nama-nama ketiga tempat itu. Pada waktu Anan menyebutkan Sakya hati Keng Thian bergoncang
oleh karena ia ingat, bahwa Sakya adalah tempat kedudukan ayah Tan Thian Oe.
Sesudah suara sorakan menjadi reda, Anan berkata pula: "Untuk keperluan upacara
pembukaan kuil baru itu di Tibet, maka mau tidak mau, kita harus mempertahankan kebiasaan
lama dan memilih Wanita-wanita Suci. Mereka yang dapat diangkat menjadi Wanita Suci
mempunyai rejeki besar dan mempunyai jodoh dengan Sang Budha. Akan tetapi, Hoat-ong juga
dapat mengerti jalan pikiran kalian, dan oleh karena itu, siapa saja yang tak setuju puterinya
menjadi Wanita Suci, dapat memberitahukannya secara berterus terang dan beliau bersedia untuk
melepaskan puteri-puteri mereka."
Keadaan sunyi senyap, tak ada yang berani menyatakan, pikirannya terlebih dahulu, sehingga
Anan Tjoentjia mengulangi pula pertanyaannya. Sebagai hasilnya, antara tiga puluh enam ayah
atau wali yang puterinya telah ditangkap, hanya tujuh yang menyatakan ingin mengambil pulang
puterinya. Belasan orang lainnya tidak berani membuka suara, meskipun hatinya merasa tidak
setuju, sedang beberapa belas ayah-ayah lain lagi menyatakan kegirangannya, bahwa puteri
mereka ternyata berjodoh untuk menjadi murid Sang Budha.
Sesudah beres, Anan segera mengajak para tamunya mengeringkan gelas arak sekali lagi.
"Sekarang Hoat-ong mengundang kalian untuk bersembahyang," kata Anan sesudah semua
orang mencegluk araknya. "Kalian boleh masuk ke tempat sembahyang dan berbaris dengan rapi
di lorak depan. Sesudah kalian memasang hio, seorang Lhama akan ambil hio itu dari tangan
kalian dan menyampaikan semua nama."
Sehabis berkata begitu, Anan segera berjalan masuk, diikuti oleh semua orang, antaranya tentu
saja juga Keng Thian sendiri.
Ruangan sembahyang kelihatan angker sekali, dengan seratus lebih Lhama yang berbaris di
dalam ruangan dan seratus lebih tamu yang berdiri di lorak. Di belakang meja sembahyang
terdapat beberapa puluh patung Budha besar dan kecil.
Perlahan-lahan Raja agama itu berdiri dan berjalan menuju ke depan patung Djielayhoed. Ia
menyalakan sebatang hio yang besar dan lantas saja mulai bersembahyang.
Walaupun sudah pernah bertempur, baru sekarang Keng Thian melihat tegas muka Hoat-ong.
Badan Raja agama itu tinggi dan besar, mukanya bundar bagaikan rembulan dan kelihatan angker
sekali. Diam-diam Keng Thian merasa girang, bahwa semalam ia tidak menurunkan tangan jahat.
Sesudah Hoat-ong dan semua tamunya beres memasang hio, tiba-tiba terdengar suara lonceng
dan di lain saat, dari belakang meja sembahyang keluar dua baris wanita yang mengenakan
pakaian putih. Setiap baris terdiri dari delapan belas gadis yang dipimpin oleh seorang Ibu Suci.
Begitu tiba di depan meja sembahyang, mereka segera menari-nari dan menyanyikan lagu-lagu
Budha yang kedengarannya merdu dan melapangkan dada.
Berselang beberapa saat, Hoat-ong menepuk tangan dua kali sebagai tanda bahwa upacara
sudah berakhir dan wanita-wanita itu segera masuk pula ke dalam dengan berbaris. Seorang Ibu
Suci yang barusan memimpin salah satu barisan Wanita Suci, tidak turut masuk ke dalam, tapi
segera menghampiri Hoat-ong dan berbicara dengan bisik-bisik.
Semua orang menahan napas, tak ada yang berani berbicara. Keng Thian segera memusatkan
semangatnya dan coba mendengarkan bisikan Ibu Suci itu.
"Aku sudah membujuk berulang-ulang, tapi ia masih juga sungkan menurut," katanya.
"Baiklah," kata Hoat-ong. "Coba kau ajak ia keluar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Hati Keng Thian berdebar-debar, matanya mengawasi ke belakang meja sembahyang. Apakah
ia harus lantas menyerbu, begitu Yoe Peng muncul? Ia sungguh merasa sangat sangsi dan tak
dapat lantas mengambil putusan.
Mendadak ia dengar suara tindakan dan dari pojok meja sembahyang kelihatan keluar dua
orang wanita, yang satu adalah sang Ibu Suci, sedang yang lain adalah seorang wanita muda yang
berpakaian serba putih. Keadaan jadi sunyi senyap, ratusan pasang mata mengawasi mereka.
Mulut nona itu, yang mengenakan pakaian wanita Tibet, ditutup rapat-rapat, kedua matanya
yang bening mengawasi ke depan dengan mendelong seperti juga orang yang tak sadar akan
dirinya, sedang paras mukanya adalah dingin bagaikan es. Muka gadis itu hanya agak mirip
dengan Pengtjoan Thianlie dan ia duga pasti bukannya Yoe Peng!
Keng Thian terkesiap lantaran barusan ia sudah menduga pasti, bahwa wanita itu tentu bukan
4ain daripada Yoe Peng. Ia mengawasi si nona dengan tidak berkesip, lapat-lapat ia ingat, seperti
juga sudah pernah bertemu dengan wanita itu, akan tetapi ia lupa dimana lagi kapan. Ia coba
mengingat-ingat segala kejadian di keraton es. Satu hal yang ia dapat pastikan, bahwa dayang
Pengtjoan Thianlie yang turun gunung hanya Yoe Peng seorang. Siapakah gadis yang
menggunakan Pengpok Sintan, satu senjata rahasia yang hanya terdapat di keraton es? Ia
memutar otak tapi tetap tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Dapat dimengerti jika Keng Thian tak ingat lagi siapa adanya gadis itu, yang bukan lain
daripada Chena, jantung hati Tan Thian Oe. Pada waktu ia naik ke keraton es, di antara dayang-
dayang Pengtjoan Thianlie memang juga terdapat Chena. Akan tetapi, oleh karena pada waktu itu
seluruh perhatiannya ditujukan kepada Koei Peng Go seorang, maka dalam pertemuan ini, ia tak
dapat mengenali pula nona ini yang telah dijumpainya baru sekali dua kali secara sepintas lalu.
"Inilah dia," berkata sang Ibu Suci sesudah berhadapan pula dengan Hoat-ong. "Ia bukan saja
cantik dan suci bersih, akan tetapi juga pandai bersilat, sehingga aku tadinya berniat mengangkat
ia sebagai Wanita Suci yang memimpin kuil di Sakya. Hanya sayang, ia tak berjodoh dengan Sang
Budha, sehingga kita pun tak dapat berbuat apa-apa."
Di antara begitu banyak orang yang berdiri di lorak, perkataan Ibu Suci hanya dapat didengar
oleh Keng Thian seorang.
Tiba-tiba mata Chena bergerak dengan perlahan dan lalu mengawasi Hoat-ong. Di lain saat,
mukanya terlihat seakan-akan kaget dan alisnya berkerut, seperti orang yang sedang memikir apa-
apa. Akan tetapi, perobahan itu hanya terjadi dalam sekejap mata dan parasnya segera juga
berbalik dingin kembali.
Ketika itu, kedua Lhama yang dulu pernah bertempur melawan Keng Thian, berdiri di kiri kanan
Hoat-ong. "Gadis ini tak boleh dilepaskan," kata salah satu antaranya. "Ia pernah melukakan
beberapa Lhama dengan ilmu siluman."
Muka Hoat-ong yang angker kelihatan menyeramkan dan ia tidak menjawab perkataan Lhama
itu. Hati segenap hadirin jadi berdebar, mereka tak tahu, putusan apa yang akan diambil.
Orang yang duduk berendeng dengan Hoat-ong adalah Khan (raja) dari Tukuhun. Sedari Chena
muncul, kedua matanya mengawasi gadis itu tanpa berkesip. Sekonyong-konyong ia berdiri dan
sembari merangkap kedua tangannya, ia berkata dengan suara perlahan: "Aku memohon
kemurahan Budha Hidup untuk mengampuni gadis itu. Izinkanlah aku membawa ia ke istanaku
untuk diberi nasehat. Izinkanlah aku menebus kedosaannya dengan memperbarui istana Budha."
Pada jaman pemerintahan Tjeng, menurut kebiasaan di Tibet, Tjenghay dan tempat-tempat
lain, Hoat-ong atau Raja agama, berkuasa atas keagamaan, sedang Khan, atau Raja, menguasai
urusan pemerintahan dan politik. Kekuasaan agama dipandang lebih tinggi daripada kekuasaan
politik, sehingga Raja agama mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Raja manusia.
Akan tetapi, pada waktu para Lhama sekte Topi Putih melarikan diri ke Tjenghay, mereka sudah
bisa menetap disitu karena bernaung di bawah perlindungan Khan. Maka itulah, begitu mendengar
perkataan Tukuhun Khan, Hoat-ong segera kerutkan alisnya dan paras mukanya memperlihatkan
kesangsian yang sangat sukar di atasinya.
Sementara itu, setelah mendengar permintaan Tukuhun Khan, Tong Keng Thian lantas saja
naik darahnya. Ia merasa, raja itu mempunyai maksud yang kurang baik. Walaupun gadis itu
bukannya Yoe Peng, Keng Thian sangat tak setuju, jika ia terjatuh kedalam tangan Khan itu.
Selagi memutar otak untuk mencari jalan guna memberikan pertolongan, dari antara tamu-tamu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

agung mendadak keluar satu orang yang, sesudah memberi hormat kepada Hoat-ong, segera
berkata dengan suara nyaring: "Perempuan siluman itu agaknya mempunyai riwayat yang
mencurigakan. Maka itu, aku memohon izin Budha Hidup untuk menjajal padanya."
Keng Thian terkejut karena mengenali orang itu yang ternyata bukan lain daripada In Leng
Tjoe, yaitu konconya Hiatsintjoe, yang pernah berusaha menangkap Liong Leng Kiauw.
Sebagaimana diketahui, In Leng Tjoe adalah kaki tangan Kaizar Boan yang berada dalam
perjalanan pulang ke kota raja, untuk melaporkan halnya Liong Leng Kiauw. Oleh karena ia kenal
Raja agama sekte Topi Putih, maka waktu tiba di Tjenghay, ia mampir dan turut menghadiri
upacara sembahyang itu.
Dalam perhubungan antara kerajaan Tjeng dan Tukuhun Khan, meskipun benar Khan tersebut
dapat dikatakan berdiri sendiri, akan tetapi secara resmi Tjenghay masih berada dalam kekuasaan
Kaizar Boan. Oleh karena itu, mengingat In Leng Tjoe adalah orang penting dalam istana Tjeng,
maka biarpun sangat gusar, Tukuhun tak berani sembarang mengumbar napsunya. Parasnya
lantas saja jadi berubah dan ia menanya dengan suara dingin: "Cara bagaimana kau ingin
menjajal ia?"
"Khan yang Besar tak usah kuatir," jawabnya. "Biarpun bagaimana juga, aku tak akan merusak
paras mukanya."
Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, tanpa memperdulikan kegusaran Khan dan
juga tanpa menunggu persetujuan Hoat-ong, ia segera menghampiri Chena dan menotok dada
gadis itu dengan kedua jerijinya.
Totokan itu adalah satu serangan hebat dan dilihat dari cara ia menurunkan tangan, In Leng
Tjoe kelihatannya ingin memaksa supaya Chena menangkis pukulannya.
Latar belakang dari tindakan itu adalah seperti berikut: Ketika baru tiba di kota Naichi, ia
mendengar halnya seorang wanita yang sudah merobohkan beberapa Lhama dengan semacam
senjata yang membikin orang kedinginan. Seperti Keng Thian, ia segera menarik kesimpulan,
bahwa wanita itu adalah Yoe Peng. Barusan, sesudah melihat Chena, baru ia mengetahui, bahwa
gadis itu bukan Yoe Peng. Akan tetapi, Pengpok Sintan adalah senjata rahasia istimewa yang
hanya terdapat di keraton es. Maka itu, meskipun Chena bukan dayang Pengtjoan Thianlie, akan
tetapi, dengan mempunyai Pengpok Sintan, ia tentu mempunyai hubungan rapat dengan Koei
Peng Go. Sebagaimana diketahui suami isteri In Leng Tjoe pernah dihajar oleh Pengtjoan Thianlie
dan mereka sangat membenci gadis tersebut. Itulah sebabnya, mengapa lantas saja In Leng Tjoe
mengambil putusan untuk mempersulit Chena dan dengan totokannya itu, ia ingin mencari tahu,
apakah ilmu silat gadis itu sama dengan ilmu silat Koei Peng Go.
Melihat orang menurunkan tangan jahat. Tukuhun Khan lantas naik amarahnya. "Jangan
celakakan Wanita Suci!" ia membentak sembari loncat bangun dan teriaki orang-orangnya supaya
maju menolong.
In Leng Tjoe tidak memperdulikan bentakan itu dan dua jerijinya terus menotok dada Chena.
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras dan badan In Leng Tjoe melesat ke atas setombak lebih,
dan berbareng dengan itu, dua pahlawan Tukuhun Khan jatuh terlentang tanpa bisa bangun lagi.
Di lain saat, orang melihat In Leng Tjoe memegang pergelangan tangannya, mukanya pucat dan
keringatnya mengucur turun dari dahinya. Ia kelihatan menderita kesakitan hebat dan tak dapat
mengeluarkan sepatah kata.
Hoat-ong terkesiap, ia sungguh tak mengerti bagaimana bisa terjadi peristiwa begitu. Ia kenal
kepandaian In Leng Tjoe yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri. Biarpun
wanita itu pandai ilmu silat, ia mengetahui, bahwa kepandaiannya belum seberapa dan masih
kalah jauh dari kedua pahlawannya sendiri. Maka itu, ia tidak mengerti, cara bagaimana In Leng
Tjoe bisa kena dihajar secara begitu mudah. Dengan matanya yang sangat tajam, ia mengetahui,
bahwa In Leng Tjoe terluka pada jalan darahnya akibat serangan senjata rahasia. Dan sungguh
luar biasa, ia sendiri tak dapat melihat, senjata apa yang sudah digunakan untuk menghantam In
Leng Tjoe.
Dalam kagetnya, tanpa mengingat kedudukannya sebagai Budha Hidup, ia segera berdiri dan
menghampiri In Leng Tjoe guna menyelidiki terlebih jauh.
Sekonyong-konyong Chena merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara halus:
"Terima kasih untuk budi Budha Hidup yang sangat besar. Aku yang rendah mulai dari sekarang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bersedia untuk mempersembahkan jiwa dan raga kepada Sang Budha dan bersedia pula untuk
menjadi pengikutnya selama-lamanya."
Pernyataan Chena sudah membikin Ibu Suci dan semua Lhama jadi terkejut. Dua hari ia tak
makan dan tak minum, dua hari ia menolak segala rupa bujukan. Sungguh di luar dugaan, bahwa
pada saat itu, ia sudah menyatakan persetujuannya tanpa diminta lagi.
Begitu mendengar perkataan Chena, sang Ibu Suci segera mengucapkan doa, sebagai tanda,
bahwa keinginan gadis itu sudah diterimanya dan disetujui pula.
Sekonyong-konyong, Hoat-ong yang matanya sangat tajam melihat semacam perhiasan luar
biasa yang tergantung pada dada Chena. Perhiasan itu dibuat daripada sepotong gading dan
berbentuk bundar dengan ukiran huruf-huruf Sansekerta. Itulah sebuah Lenghoe (jimat) untuk
menjaga keselamatan yang biasa diberikan oleh pemimpin agama Lhama kepada pengikut-
pengikutnya yang berjasa dan suci bersih. Dalam agama Lhama, gajah putih dipandang sebagai
hewan yang paling mulia.
Maka itu Lenghoe yang terbuat dari gading merupakan jimat yang dianggap paling tinggi
khasiatnya dan jarang diberikan kepada seorang wanita.
Chena adalah puteri tunggal Chinpu Hoan-ong, yang dulu paling berpengaruh dan paling luas
wilayahnya di Tibet. Semasa hidupnya, Chinpu banyak berjasa terhadap agama Lhama dan itulah
sebabnya, mengapa pada waktu Chena berusia tiga tahun, Panchen Lhama telah menghadiahkan
Lenghoe gading itu. Dalam kalangan Lhama terdapat suatu kepercayaan, bahwa jimat tersebut
mempunyai kekuatan untuk menolak segala "barang kotor."
Walaupun pernah berseteru, sekte Topi Kuning dan Topi Putih bersumber satu. Dari sebab
begitu, Lenghoe yang diberikan oleh Raja agama sekte Topi Kuning atas nama Budha, juga
diindahkan oleh Raja agama dari sekte Topi Putih.
Ketika itu, Hoat-ong yang masih belum mengetahui asal-usul Chena, sudah menduga bahwa
gadis itu adalah Wanita Suci dari sekte Topi Kuning. Mendengar Chena bersedia untuk menjadi
Wanita Suci dari agamanya sendiri, sudah tentu saja ia jadi merasa girang sekali. Tapi sebelum ia
keburu membuka suara, In Leng Tjoe sudah berteriak-teriak seperti orang gila. Ternyata, ia sudah
berhasil membuka jalan darahnya dan dalam gusarnya, ia sudah berteriak-teriak.
"Lukamu masih belum sembuh, tak dapat kau banyak bergerak," berkata Hoat-ong dengan
suara tawar.
In Leng Tjoe terkejut dan menghentikan teriakannya. Mendadak, Tukuhun Khan
menghampirinya dengan diikuti dua pahlawannya. "Bekuklah orang hutan ini!" ia membentak.
"Siapa berani mengganggu Wanita Suci kami!"
Selagi kedua pahlawan itu coba menangkap In Leng Tjoe, Tukuhun Khan mendekati Chena.
Hoat-ong mesem dan berkata dengan suara nyaring: "Oh, Khan Yang Besar! Perkataanmu tiada
salahnya. Ia sekarang sudah menjadi Wanita Suci dari agama kami, siapa pun tak boleh
mengganggu padanya!"
Muka Khan lantas saja berubah, tapi ia tidak berani bergerak lebih jauh. "Sesudah ia mendapat
perlindungan Budha Hidup, aku pun tak mau banyak urusan lagi," katanya dengan suara perlahan,
tapi mukanya kelihatan menyeramkan sekali.
Heran sungguh hati semua Lhama yang berada disitu. Inilah untuk pertama kali mereka
menyaksikan bentrokan antara Hoat-ong dan Khan Yang Besar. Mereka merasa sangat tidak
mengerti, mengapa Tukuhun Khan rela berselisih dengan Hoat-ong untuk seorang wanita yang
sama sekali tidak diketahui siapa adanya.
Baru saja Tukuhun Khan memutar badan, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan. Ternyata,
kedua pahlawannya yang mau membekuk In Leng Tjoe sudah dirobohkan orang yang mau
ditangkap.
Bukan main gusarnya Tukuhun Khan. Sedang terhadap sang Budha Hidup ia tak dapat berbuat
suatu apa, sekarang ia melampiaskan perasaan mendongkolnya terhadap In Leng Tjoe.
"Bekuk padanya!" ia berteriak sekeras-kerasnya. Para
pahlawannya yang berjajar di lorak dengan serentak menyerbu ke atas untuk menjalankan
perintah sang raja.
Keng Thian menyaksikan semua kejadian itu dengan perasaan geli. "Aku mau lihat, cara
bagaimana Hoat-ong membereskan peristiwa ini," katanya di dalam hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Perlahan-lahan Raja agama itu menghampiri Tukuhun Khan. Mendadak, dua bayangan melesat
dari samping Hoat-ong dan bagaikan dua ekor garuda, mereka menyambar ke arah Chena. Kedua
bayangan itu adalah dua murid Hoat-ong, ialah Lhama jubah putih yang pernah bertempur dengan
Keng Thian pada waktu perebutan guci emas. Di waktu itu, mereka berdua pernah mendapat
bantuan In Leng Tjoe dan sekarang, ketika melihat In Leng Tjoe mendapat luka, tanpa berpikir
panjang lagi, mereka segera menyerang Chena. Mereka menganggap In Leng Tjoe telah dilukakan
oleh Chena dan sama sekali tidak teringat, bahwa kepandaian ln Leng Tjoe masih lebih tinggi dari
kepandaian mereka sendiri dan tentu saja banyak lebih tinggi daripada kepandaian Chena. Di
samping itu, mereka sangat membenci Chena, oleh karena gadis itu pernah melukakan beberapa
Lhama. Barusan, melihat sikap Hoat-ong, mereka kuatir Raja agama itu akan mengampuni Chena.
Pada waktu menerjang, mereka belum mendengar terang perkataan Hoat-ong yang diucapkan
terhadap Tukuhun Khan dan mereka juga tidak memperhatikan gading yang tergantung pada
dada gadis tersebut.
Ketika Hoat-ong menghampiri Tukuhun Khan, ia sedang memutar otak untuk mencari jalan
guna meredakan keributan itu, maka ia tidak dapat melihat gerakan kedua Lhama yang
semberono itu dan waktu ia mengetahui adanya serangan tersebut, ia sudah tidak keburu
mencegah lagi.
Pada saat yang sangat genting, dari sebelah luar tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat
nyaring, dan pada detik itu juga, kedua Lhama itu bergemetar sekujur badannya dan meloncat
setombak tingginya.
Semua orang terkesiap dan menengok ke arah suara tertawa itu. Mereka melihat dua orang
wanita muda, dengan muka bersenyum, sedang maju menghampiri dengan tindakan ayu. Wanita
yang berjalan di sebelah depan mengenakan pakaian warna biru laut, mukanya bundar laksana
bulan, alisnya melengkung dan kedua matanya yang berwarna kebiru-biruan bersinar terang
sekali. Dengan kecantikan-nya yang luar biasa dan sikapnya yang agung, ia sudah membikin
semua orang terpesona, antaranya In Leng Tjoe sendiri yang mengawasi dengan mulut
ternganga.
Wanita yang berjalan di sebelah belakang, memakai pakaian yang hampir sama dengan wanita
yang pertama, tetapi rambutnya dikepang dan diikat dengan sutera merah. Paras mukanya, yang
bagaikan paras bocah nakal, kelihatan seperti mau tertawa, tapi bukan tertawa la mengikuti
wanita yang pertama, seperti caranya seorang budak mengikuti majikannya.
Melihat kedatangan mereka, Hoat-ong kaget tak kepalang. Harus diingat, bahwa dalam
ruangan itu terdapat empat sampai lima ratus orang dan halaman di luar gedung dijaga oleh para
Lhama yang jumlahnya tidak sedikit. Bahwa kedua wanita itu muncul secara tiba-tiba tanpa
diketahui dulu oleh orang lain, adalah kejadian yang benar-benar luar biasa.
Tapi orang yang paling terpengaruh oleh kedatangannya kedua wanita itu mungkin adalah
Tong Keng Thian sendiri, oleh karena mereka bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie dan Yoe
Peng! Dalam kaget dan girangnya, hampir-hampir ia berteriak.
Di lain saat, Koei Peng Go sudah berdiri di samping Chena. Begitu mengenali si nona yang dulu
sudah membantu melindungi guci emas, kedua Lhama jubah putih yang semberono itu menjadi
sangat gusar dan tanpa banyak bicara, mereka lalu menjotos.
Badan Pengtjoan Thianlie sama sekali tidak bergerak. Pada saat empat buah tinju hampir
mengenakan tubuhnya, tiba-tiba ia mengebas dengan tangan jubahnya dengan menggunakan
ilmu Tjiam-ic sippattiat (Delapan belas cara merobohkan musuh dengan Kebasan baju), yaitu ilmu
silat yang paling tinggi dan harus digunakan dengan tenaga dalam yang sangat besar. Begitu
dikebas, badan kedua Lhama itu yang seperti kerbau besarnya lantas terpental serombak (Kulinya
dan menggelinding sampai di kaki Hoat-ong.
Di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah menarik tangan Chena dan lalu bertindak keluar. Ketika
itu, mata semua orang sedang ditujukan kepada kedua Lhama itu yang kena dibikin terpental oleh
Koei Peng Go dan hanya Tong Keng Thian seorang yang terus memperhatikan kedua wanita itu.
Pada saat itu, Pengtjoan Thianlie agaknya tiba-tiba melihat Lenghoe yang dipakai Chena dan ia
mengeluarkan seruan tertahan. Di lain pihak, Chena kelihatan mendekatkan mulutnya pada kuping
Pengtjoan Thianlie dan telah mengucapkan beberapa kata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Tahan!" berseru Hoat-ong, yang, dengan sekali menjejek kaki, sudah berdiri di samping
Pengtjoan Thianlie. Keng Thian kaget bukan main. Ilmu silat kedua orang itu hampir sama tinggi
dan jika mereka sampai bertempur, mungkin ia tak akan dapat memisahkan.
Sekonyong-konyong Chena mundur dua tindak dan sembari menyoja kepada Koei Peng Go, ia
berkata dengan suara nyaring: "Sioelie (paderi atau imam wanita) dari agama Topi Putih memberi
hormat kepada Hoehoat (Pelindung agama)."
Hoat-ong kaget dan mengawasi dada Peng Go, dimana kelihatan tergantung sebuah Lenghoe
yang mengeluarkan bau wangi-wangian halus. Itulah Pweyap Lenghoe (jimat kitab Budha yang
suci) yang oleh para penganut agama Budha dianggap sebagai semacam mustika yang langka.
Kecuali beberapa gelintir paderi suci, Budha Hidup atau raja-raja yang sangat berjasa terhadap
agama, semua pengikut agama Budha, dari hidup sampai mati, belum tentu pernah melihat
Lenghoe tersebut.
Pweeyap Lenghoe yang dipakai oleh Pengtjoan Thianlie adalah warisan ibunya, yaitu Hoa Giok
Kongtjoe. Nepal adalah negeri yang beragama Budha. Semasa hidupnya ayah Hoa Giok adalah
murid Budha yang taat pada agamanya dan dalam kedudukannya sebagai raja Nepal membuat
banyak sekali jasa terhadap agama. Itulah sebabnya, maka Raja agama telah menghadiahkan
Pweeyap Lenghoe kepadanya sebagai pernyataan terima kasih dan penghargaan terhadap segala
perbuatannya yang mulia. Sebagaimana diketahui, raja tersebut semula ingin sekali menurut
contoh raja-raja Barat dan hendak mewariskan tahta kerajaan kepada puterinya yang tunggal.
Oleh karena adanya niatan tersebut, maka pada waktu usianya sudah lanjut, ia mewariskan
Lenghoe itu kepada Hoa Giok.
Pweeyap Lenghoe dari Pengtjoan Thianlie tidak dapat disamakan dengan Hoesin Lenghoe
(jimat untuk melindungi diri sendiri) dari Chena. Dengan memakai Lenghoe tersebut, kedudukan
Chena adalah sebagai seorang Wanita Suci, atau Shenglie, yang masih berada di bawah
kedudukan Lhama Besar. Di lain pihak, kedudukan Pengtjoan Thianlie merupakan kedudukan
Pelindung agama, atau Hoehoat, dan tingkatannya dapat dibilang berendeng dengan tingkatan
seorang Budha Hidup. Maka itulah, waktu Pengtjoan Thianlie memberi hormat kepada Hoat-ong,
Raja agama itu pun segera membalas dengan tidak kurang hormatnya. Para tetamu, terhitung
juga Tong Keng Thian, yang tidak mengetahui tata tertib agama Lhama rata-rata merasa heran,
ketika melihat Hoat-ong membalas hormatnya Koei Peng Go.
Sementara itu, Keng Thian melihat Yoe Peng sedang kasak-kusuk dengan Chena. Mereka bicara
dengan berbisik dan menggunakan bahasa Tibet. Apa yang kuping Keng Thian dapat menangkap
hanya perkataan "Sakya" dan "Tan Thian Oe." Chena kelihatan mengerutkan alisnya dan
mengawasi Yoe Peng, seperti juga ia ingin meminta supaya dayang Koei Peng Go itu jangan
banyak berbicara.
"Hei! Siapa kau?" demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Keng Thian yang sedang
memusatkan perhatiannya kepada kedua gadis itu, jadi gelagapan ketika melihat Raja agama itu
menuding padanya. Ternyata, untuk coba mendengar pembicaraan antara Yoe Peng dan Chena,
Keng Thian sudah melupakan dirinya dan maju terlebih jauh, sehingga ia berada di garisan depan.
Hampir berbareng dengan bentakan Hoat-ong, sembari menggereng seperti harimau terluka, In
Leng Tjoe menerjang Pengtjoan Thianlie.
Hoat-ong mengebas dengan tangan jubahnya sambil membentak: "In Leng Tjoe! Jangan
kurang ajar!"
"Lihatlah! Apa ini"" berteriak In Leng Tjoe sembari memperlihatkan satu Sinbong yang hitam
bersinar. "Inilah Thiansan Sinbong! Sekarang terbukti, orang dari Thiansan pay, bersama-sama
perempuan siluman itu, sudah datang kemari untuk mengacau. Budha Hidup! Kenapa kau tak mau
lantas membekuk mereka?"
Ternyata, senjata rahasia yang barusan menghantam In Leng Tjoe adalah Thiansan Sinbong
yang dilepaskan oleh Tong Keng Thian. Sesudah dapat membuka jalan darahnya, dalam
kegusarannya ia segera menerjang Koei Peng Go, yang sangat dibencinya.
Dengan terkejut, Hoat-ong kembali mengebas dengan tangan jubanya. "In Leng Tjoe!" ia
membentak. "Jangan bicara gila-gila. Lieposat (Wanita mulia) ini adalah seorang Pelindung
agama."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Akibat kebasan Hoat-ong, In Leng Tjoe terhuyung beberapa tindak. Darahnya meluap, tapi ia
tidak berani mengumbar napsu amarahnya terhadap Raja agama itu.
Sesaat itu, para pahlawan Tukuhun Khan sudah menerjang In Leng Tjoe, yang, sambil berteriak
keras, menghantam kalang kabut, sehingga dalam sekejap mata, banyak yang sudah terguling
dengan mendapat luka-luka. Sesudah mengamuk hebat, In Leng Tjoe segera lari ke lorak dan
para tetamu lantas saja menjadi kalut.
Dalam keadaan yang sedemikian kalut, Tong Keng Thian masih tetap tenang dan kedua
matanya terus mengawasi Koei Peng Go. Barusan, ketika In Leng Tjoe menerjang padanya,
Pengtjoan Thianlie mengegoskan badan sembari mengebas tangan bajunya yang panjang dan
gerakannya itu seperti juga gerakan menyingkirkan diri dari serangan musuh yang kuat. Akan
tetapi sebenar-benarnya gerakan Peng Go ditujukan terhadap Keng Thian, oleh karena, pada saat
ia mengegos, tangan bajunya membuat saru huruf "Tjauw" (lari) di tengah udara, dengan maksud
supaya pemuda itu lekas-lekas melarikan diri. Melihat itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti.
Sebelum dapat memikirkan harus berbuat bagaimana, In Leng Tjoe sudah lari sampai di
hadapannya dengan diubar oleh dua Lhama. Dengan cepat, Keng Thian pasang kuda-kuda, dua
jeriji tangan kirinya dipentang dan menyambar ke depan, sedang tangan kanannya ditarik ke
belakang, dalam gerakan mementang gendewa. Itulah pukulan Thiansan pay yang paling liehay
dan dikenal sebagai pukulan Houwtek siadjit (Houw Tek memanah matahari). Kedua jeriji yang
menghantam ke depan menggunakan ilmu Tiattjie Sinkang (Ilmu jeriji besi), sedang sikutnya yang
memukul ke belakang bekerja seperti satu martil besi. Ilmu silat In Leng Tjoe memang sudah
kalah setingkat dari Tong Keng Thian dan ditambah dengan lukanya, ia lebih-lebih bukan
tandingan pemuda itu. Melihat sambaran kedua jeriji Keng Thian, dengan mengandalkan ilmu
Tiatposan (Ilmu baju besi, yaitu semacam ilmu weduk), In Leng Tjoe menyambut dengan
pundaknya Berbareng dengan satu suara "tak!" tulang pundak itu patah dan hampir-hampir ia
roboh di atas lantai. Pada detik itu, kedua Lhama yang mengubar juga sudah tiba dan sikut Keng
Thian membentur tepat sang Lhama yang jalan di depan. Dengan teriakan keras, ia jatuh
kejengkang dan badannya menubruk sang kawan yang berada di belakangnya, sehingga tak
ampun lagi, mereka berdua terguling dengan berbareng.
Biar bagaimanapun juga, In Leng Tjoe adalah pemimpin satu cabang persilatan dan ilmu
silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi. Demikianlah, walaupun tulangnya patah, sesudah
mengempos semangat, ia segera menerjang pula. Mendadak, dua sinar dingin kelihatan
menyambar. Keng Thian, yang menduga Pengtjoan Thianlie sedang membantu ia, sudah tidak
berjaga-jaga dan tahu-tahu mukanya basah dan bukan main dinginnya.
"Jangan membiarkan dia lari!" berteriak kedua Lhama yang barusan dirobohkan sikut Keng
Thian. Sekarang Hoat-ong sendiri sudah dapat mengenali, bahwa pemuda itu bukan lain daripada
si tetamu bertopeng yang semalam telah mengunjungi ia.
"Terima kasih atas bantuan Lieposat," berkata Hoat-ong sembari membungkuk dan lalu
bergerak untuk turun tangan sendiri.
Pengtjoan Thianlie mengawasi Raja agama itu sembari mesem. "Sesudah Budha Hidup
mengenali siapa adanya ia, kenapa juga masih mau turun tangan? Apakah Budha Hidup masih
ingin bertempur dengan agama Topi Kuning di Tibet?" menanya si nona.
Hoat-ong terkejut dan lalu balas menanya: "Kenapa Lieposat berkata begitu?"
"Apakah Budha Hidup mengetahui, bahwa orang itu sudah membantu kerajaan Tjeng dan
agama Topi Kuning untuk melindungi guci emas?" Pengtjoan Thianlie berkata pula
Waktu itu, kedua Lhama tadi sedang mencaci Keng Thian yang dulu telah melukakan mereka
dalam perebutan guci emas. Hoat-ong jadi semakin bersangsi, ia mengawasi Pengtjoan Thianlie
tanpa berkesip.
"Pada waktu guci emas direbut kembali, aku pun berada disitu," kata Pengtjoan Thianlie.
Soal inilah yang membikin Hoat-ong bersangsi. Dari murid-muridnya ia mendapat tahu, bahwa
dua lawan berat pada waktu itu adalah seorang dari Thiansan pay dan seorang wanita yang
dikenal sebagai Pengtjoan Thianlie. "Ia adalah Hoehoat dari agama Budha, akan tetapi, siapakah
yang sebenarnya dilindungi?" tanya Hoat-ong dalam hatinya. "Apakah benar pernyataan In Leng
Tjoe, bahwa ia datang unuk menyeterukan aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Selagi Raja agama itu berada dalam kesangsian, Koei Peng Go sudah berkata pula: "Agama
Topi Kuning dan Topi Putih sebenar-benarnya bersumber satu. Sekarang, sesudah diadakan
perdamaian, Budha Hidup hendaknya jangan mempersulit orang itu. Bahwa guci emas waktu ini
berada di Lhasa, sebenarnya adalah suatu kejadian yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Aku mohon Budha Hidup sudi memaafkan aku yang sudah mencampuri urusan ini."
Hoat-ong adalah seorang yang sangat cerdas dan begitu mendengar perkataan Pengtjoan
Thianlie, ia segera menjadi sadar. "Benar!" katanya didalam hati. "Untung juga hari itu mereka
berdua sudah turun tangan. Andaikata waktu itu guci emas dapat direbut, cara bagaimana dapat
dicapai perdamaian seperti yang tercapai hari ini? Ah! Ternyata mereka mempunyai pandangan
yang sangat luas dan diam-diam sudah menyingkirkan akar permusuhan antara kedua agama."
Memikir begitu, ia lantas saja memberi hormat kepada Koei Peng Go dan menepuk kedua
tangannya untuk memanggil balik kedua muridnya.
Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie menimpuk mukanya dengan Pengpok Sintan guna membuka
rahasia penyamarannya, Keng Thian merasa sangat tidak mengerti, kenapa si nona sudah
bertindak begitu. Sesaat kemudian, ia menduga, bahwa Peng Go tidak sudi bicara dengan ia dan
ingin mendesak supaya ia berlalu dari tempat itu, dan berhubung dengan dugaan tersebut, Keng
Thian segera memutuskan untuk segera menyingkir. Akan tetapi, ia sudah kena "diikat" oleh In
Leng Tjoe dan kedua Lhama itu, sehingga untuk sementara waktu, ia tak dapat meloloskan diri.
Selagi bertempur hebat, ia tentu saja tidak dapat mendengar pembicaraan antara Hoat-ong dan
Peng Go dengan jelas. Tiba-tiba Hoat-ong menepuk tangannya dan memanggil pulang kedua
muridnya yang sedang mengerubuti Keng Thian, sehingga pemuda itu, yang justru sedang
berkuatir Hoat-ong akan turut turun tangan sendiri, jadi merasa sangat heran.
Sesudah dua lawan itu meninggalkan gelanggang pertempuran, merobohkan In Leng Tjoe
sudah tidak merupakan soal lagi baginya. "Lootjianpwee, maafkan aku yang berlaku kurang ajar,"
kata Keng Thian sembari tertawa dan mengirim dua pukulan berat, yang telak mengenakan bagian
tubuh yang berbahaya. Apa yang lebih hebat lagi, ialah pukulan Keng Thian dengan menggunakan
Imlat (Tenaga lembek), sehingga In Leng Tjoe semula tidak merasakan apa-apa dan sesudah
lewat beberapa saat, baru ia terkena pengaruh pukulan itu. Sesaat itu, In Leng Tjoe bukan hanya
menghadapi Keng Thian, akan tetapi juga para pahlawan Tukuhun Khan juga sudah bergerak
untuk membekuk ia.
Jalan yang paling selamat untuk In Leng Tjoe adalah meminta pertolongan Hoat-ong dan
berdiam beberapa hari dalam kuil untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, sebagai seorang yang
angkuh, sebaliknya dari memohon pertolongan, ia menjejek kedua kakinya dan melompati
tembok, akan kemudian kabur tanpa menengok lagi. Tindakannya itu sudah membikin lukanya jadi
semakin berat dan ia terpaksa harus rebah sebulan lebih untuk memulihkan kesehatannya. Akan
tetapi, walaupun sudah sembuh, ilmu silatnya banyak berkurang dan tugas melaporkan hal Liong
Leng Kiauw kepada atasannya di kota raja, jadi tertunda. Maka Tong Keng Thian sudah melukakan
In Leng Tjoe juga lantaran ingin memperlambat perjalanannya ke kota raja.
Sesudah In Leng Tjoe kabur, Keng Thian lantas saja mengenjot badannya yang segera melesat
keluar tembok. Selagi melompati tembok, ia menengok dan melihat si nona mengawasi padanya
sembari mesem.
Pada waktu Keng Thian kembali ke rumah penginapan, para pelayan sedang kebingungan
dalam usaha menolong majikannya. Semula, mereka hanya merasa heran melihat sang majikan
belum juga keluar dari kamarnya untuk memenuhi undangan Hoat-ong, tapi mereka tak berani
masuk kedalam kamar. Kemudian, sesudah siang berganti malam dan sang majikan belum juga
muncul, dengan memberanikan hati, salah seorang pegawai masuk ke dalam kamar. Begitu
masuk, ia terkejut oleh karena sang majikan sedang tidur bagaikan mayat dan tak menjadi sadar
meskipun dipanggil-panggil dengan suara keras. Buru-buru ia keluar dan memberitahukan rekan-
rekannya yang jadi kebingungan dan menduga majikan itu terkena "barang kotor." Salah seorang
lantas pergi mengundang dukun untuk mengusir setan atau memedi yang mengganggunya.
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. Diam-diam ia mengembalikan surat undangan Hoat-ong
dan membuka jalan darah si pemilik rumah penginapan. Sesudah itu, tanpa memperdulikan segala
kekacauan, ia membereskan buntalannya dan tanpa pamitan lagi segera berlalu dari penginapan
itu, sesudah meninggalkan sepotong perak di atas meja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dalam peristiwa pada malam itu, ada banyak hal yang tidak dimengerti Keng Thian. Pertama,
siapakah gadis Tibet itu? Kenapa, sedang semula ia menolak begitu keras untuk dijadikan Wanita
Suci, akhirnya secara suka rela ia menyatakan suka menurut? Kedua, sebagai seorang yang baru
turun gunung, Pengtjoan Thianlie tak mengenal jalan. Kenapa ia bisa datang ke kuil itu? Apakah
kejadian itu hanya kejadian kebetulan saja? Ketiga, Koei Peng Go bermula mendesak supaya ia
cepat-cepat mengangkat kaki, tapi kemudian mesem-mesem kepadanya. Apakah arti sikap itu?
Selain itu, sedang Pengtjoan Thianlie sendiri pernah membantu melindungi guci emas, kenapa
Hoat-ong bersikap begitu menghormat terhadapnya?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh Tong Keng Thian. "Jika dilihat dari
sikapnya, Peng Go pasti mengenal baik gadis Tibet itu," katanya didalam hati. "Tapi gadis itu
sudah pasti bukan dayangnya."
Berselang beberapa saat, kentongan berbunyi empat kali. Keng Thian lantas mengambil
keputusan dan tanpa bersangsi, ia segera menuju lagi ke kuil Lhama dengan gunakan ilmu
mengentengkan badan. Begitu tiba, ia pergi ke Istana Wanita Suci yang terletak di sebelah timur.
Ia sudah bertekad untuk menyelidiki hal ihwal gadis Tibet tersebut dalam usaha mencari tahu
dimana adanya Pengtjoan Thianlie.
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah hinggap di atas genteng istana. Ketika itu, para
Wanita Suci sudah berada dalam masing-masing kamarnya dan penerangan sudah dipadamkan.
Sesudah terjadinya peristiwa hebat tadi, para wanita itu ternyata tak dapat tidur pulas dan masih
terus membicarakan kejadian tadi dengan suara bisik-bisik. Sambil merangkak di atas genteng,
Keng Thian mendengar suara kasak-kusuk itu, akan tetapi ia tidak mengetahui suara yang mana
adalah suara si gadis Tibet dan ia juga tak berani sembarang masuk ke dalam kamar orang.
Sambil menghela napas, Keng Thian mengangkat kepalanya. Mendadak, di sebuah loteng kecil
yang terletak di sebelah timur, terlihat api lampu yang berkelak-kelik. Buru-buru ia menghampiri
dan setelah datang dekat, lewat jendela kaca ia dapat kenyataan, bahwa di kamar itu terdapat
tiga wanita yang bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng dan si gadis Tibet yang
sedang dicarinya.
Bukan main girangnya. Ia datang lebih dekat pula dan memasang kuping.
"Ini beberapa lembar adalah pelajaran menimpuk dengan senjata rahasia," demikian
kedengaran suara Pengtjoan Thianlie. "Simpanlah baik-baik."
"Budi Tjietjie yang sangat besar, sampai mati aku tak akan melupakan," kata sigadis Tibet.
"Ah! Benar-benar mereka sudah saling mengenal," berkata Keng Thian dalam hatinya. "Tapi
kenapa ia turunkan pelajaran senjata rahasia, sedang ilmu silat ada begitu banyak macamnya?"
Di lain saat terdengar suara tertawa Yoe Peng yang lalu berkata: "Kau hidup atau mati, untuk
aku tak ada halangannya. Tapi ada orang yang tidak rela, jika kau sampai menutup mata!"
Dari luar jendela, Keng Thian melihat gadis Tibet itu menggebuk Yoe Peng yang mulutnya
usilan.
"Aku sama sekali tidak berdusta," kata pula Yoe Peng yang nakal. "Benar-benar ia sedang
menunggu kau dengan tidak sabar."
"Ah! Kalau begitu, ia sudah mempunyai kecintaan," kata Keng Thian dalam hatinya. "Tapi
siapa?" Walaupun pintar dan cerdas, Tong Keng Thian sedikitpun tidak menduga, bahwa orang
yang dimaksudkan Yoe Peng adalah Tan Thian Oe. Dengan mata sendiri, ia pernah menyaksikan
hubungan yang rapat antara Thian Oe dan Yoe Peng, sehingga ia sama sekali tak mengira, bahwa
kecintaan Thian Oe adalah si gadis Tibet.
"Yoe Peng!" demikian terdengar Pengtjoan Thianlie membentak. "Jangan bicara yang gila-gila!
Adik Chena, jagalah dirimu baik-baik!"
Keng Thian tahu, si nona sudah mau berlalu. Tiba-tiba kesunyian sang malam dipecahkan suara
bentakan yang keluar dari atas loteng. "Binatang!" membentak seorang wanita. "Berani betul kau
menggerayang kesini! Leng-ouw (Anjing sakti)! Gigit orang itu!"
Di lain saat, berbareng dengan suara menggeram yang dahsyat, empat ekor anjing sebesar
anak kerbau dan galak luar biasa, menerjang Keng Thian. Anjing itu adalah dari daerah Tibet dan
merupakan turunan dari perkawinan campuran antara anjing hutan dan anjing biasa, dan itulah
sebabnya, mengapa galaknya luar biasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mereka mengepung Keng Thian dari empat penjuru, tak berbeda dengan cara manusia yang
berakal budi. Baru saja Keng Thian membikin terpental yang satu, dua ekor yang lain sudah
menubruk, yang satu coba menggigit lehernya, sedang yang lain menyambar pundaknya. Buru-
buru Keng Thian membentur dengan pundaknya sembari mengebas dengan tangan kirinya dan
kedua anjing itu lantas saja terguling dengan terkuing-kuing. Sekonyong-konyong di tengah udara
terdengar suara hebat bagaikan guntur, dibarengi dengan menubruknya seekor anjing yang
agaknya menjadi pemimpin rombongan anjing itu. Kedua matanya yang berwarna biru seperti
juga mengeluarkan api dan tubrukannya tidak kalah dengan tubrukan seekor harimau.
Keng Thian memutarkan badan dan pada saat dua kaki depan anjing itu hampir mengenakan
badannya, ia mengirimkan satu tendangan keras. Akan tetapi, binatang itu yang sudah mendapat
latihan lama, dapat mengegosi tendangan tersebut. Keng Thian terkejut! "Cara berkelit anjing ini
seperti juga manusia yang sudah belajar ilmu mengentengkan badan sepuluh tahun lamanya,"
katanya di dalam hati. Mengingat ini, dalam hatinya lantas timbul perasaan kasihan dan
menyayangkan, jika binatang itu sampai jadi celaka. Tendangan Keng Thian barusan adalah
tendangan Wanyo Lianhoan toeihoat, atau tendangan berantai. Sesudah tendangan kaki kiri
meleset, kaki kanan harus menyusul. Akan tetapi, oleh karena timbulnya perasaan itu, Keng Thian
tidak mengirimkan tendangan kedua. Di lain saat, anjing tersebut kembali sudah menubruk secara
hebat. Tiga kawannya yang barusan terguling sekarang sudah bangun kembali dan sembari
menyalak, mereka kembali menerjang Keng Thian.
Sesudah mendapat pengalaman pahit, bagaikan manusia, keempat anjing itu merobah
siasatnya. Sekarang mereka menggunakan siasat gerilya, yaitu buru-buru meloncat mundur jika
Keng Thian menghantam dengan tangan atau kakinya dan menyerobot begitu lekas terbuka
lowongan. Sesudah bertempur beberapa saat, karena mendengar bentakan-bentakan di atas
loteng yang sesuai benar dengan gerakan-gerakan kawanan anjing itu, Keng Thian mengetahui,
bahwa serangan itu dipimpin oleh seorang yang bersembunyi di atas loteng. Sementara itu, para
Wanita Suci sudah pada keluar dari masing-masing kamarnya dan suara manusia menjadi
semakin ramai.
Keng Thian merangkap kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga dalam dari ilmu
Lweekee, sehingga keempat anjing itu tertolak mundur oleh satu tenaga yang tak kelihatan dan
tidak dapat mendekati ia lagi. "Kedatanganku ini adalah untuk menemui seorang sahabat," ia
berseru dengan suara nyaring. "Aku sama sekali tidak mempunyai niatan kurang baik dan
mengharap supaya pihak majikan yang terhormat sudi memanggil pulang keempat anjing ini. Jika
tidak, janganlah salahkan aku memukul anjing tanpa memandang majikannya."
Baru saja Keng Thian berkata begitu, dari atas loteng melayang turun seorang wanita tua yang
mengenakan pakaian warna hijau dan tangannya mencekal sebatang pedang panjang. "Binatang!"
ia membentak. "Apakah belum cukup kau mengacau di ruangan sembahyang maka datang lagi ke
Istana Wanita Suci? Jagalah pedangku!" Berbareng dengan makiannya ia menikam dengan ilmu
pedang Thianliong pay dari Tibet.
Keng Thian berkelit dan pada saat itu, keempat ekor anjing sudah membantu menyerang.
Dengan sekali melirik, ia mengetahui, bahwa wanita tersebut adalah si Ibu Suci yang sudah
dilihatnya di ruangan sembahyang.
"Benar-benar aku datang untuk menemui seorang sahabat yang berada disitu!" berteriak Keng
Thian sembari menunjuk loteng.
(bu Suci menjadi gusar bukan main. "Jika kau berani keluarkan pula omongan kotor, kau akan
binasa tanpa mempunyai tempat untuk mengubur mayatmu!" ia mencaci.
Harus diingat, bahwa Wanita Suci dalam agama mereka dipandang sedemikian suci bersih,
sehingga seorang lelaki melirik saja sudah tidak diperbolehkan. Lantaran begitu, mana boleh ia
mempunyai sahabat lelaki yang tidak dikenal? Perkataan Keng Thian merupakan pelanggaran
besar terhadap agama tersebut dan di mata sang Ibu Suci, ia adalah seorang bermoral bejat.
Demikianlah, sambil menyerang dengan pedangnya secara sengit, ia memimpin serangan
keempat anjing itu, sehingga Keng Thian menjadi sangat repot dan tidak mempunyai kesempatan
untuk memberi penjelasan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pengtjoan Thianlie yang rupanya masih mendongkol tidak mau turun dari loteng untuk
memberikan pertolongan, sehingga kedudukan pemuda itu menjadi sulit sekali. Ia sangat kuatir
Hoat-ong keburu datang dan urusan bisa menjadi terlebih ruwet lagi.
Dalam mendongkolnya, dengan kedua tangan ia menangkap seekor anjing yang lalu
dilontarkan ke anjing lain hingga sembari berkuing-kuing, kedua binatang itu terguling-guling
tanpa bisa bangun pula. Si Ibu Suci jadi sangat gusar dan lalu mengirim tiga serangan berantai.
Dengan gerakan Poanliong djiauwpo (Tindakan naga), Keng Thian mengegos beberapa kali dan
kemudian bagaikan seekor burung, ia melewati badan Ibu Suci dan menyambar seekor anjing
lagi dengan ilmu Siauwkinna (Ilmu menangkap). Seperti tadi, ia mengangkat badan anjing itu
yang lantas dilemparkan ke arah anjing yang ke empat. Tapi tak dinyana, anjing terakhir itu
adalah anjing yang paling liehay. Dengan geraman hebat, dia meloncat tinggi dan terus menubruk
Keng Thian. Loncatan tersebut sudah membikin timpukan Keng Thian jatuh di tempat kosong dan
kedua kaki depannya sudah mengenakan baju pemuda itu.
Buru-buru Keng Thian mengeluarkan ilmu Tjiam-ie sippattiat- dengan lweekang-nya yang
sangat tinggi. Dengan sekali menggoyangkan badan, anjing itu sudah dilontarkannya sejauh
beberapa kaki dan dengan satu egosan, ia berkelit dari tikaman si Ibu Suci. Mendadak suatu sinar
dingin menyambar ke arahnya. Keng Thian tahu, benda itu adalah Pengpok Sintan dan lantas
menangkap dengan sebelah tangannya. Setelah Sintan itu lumer, dalam tangannya ketinggalan
serupa benda lain, sehingga hatinya menjadi kaget.
Mendadak terdengar suara Pengtjoan Thianlie yang ditujukan kepada Ibu Suci: "Ibu Suci! Kau
sedang repot, ijinkanlah aku berlalu lebih dulu!" Di lain saat, dua bayangan putih kelihatan turun
dari atas loteng dengan cepat sekali.
Melihat perginya dua wanita itu, Keng Thian tak mempunyai kegembiraan lagi untuk berdiam
lebih lama. Tiba-tiba ia menyerang secara hebat dan selagi si Ibu Suci meloncat mundur, ia lantas
mengenjot badannya untuk melarikan diri.
Ibu Suci itu meluap darahnya dan berseru: "Leng-ouw! Ubar bangsat itu!" Berbareng dengan
bentakannya, si Ibu Suci juga mengubar dengan diikuti empat anjingnya, sehingga Keng Thian tak
dapat mencapai maksudnya. Sementara itu, di Istana Wanita Suci sudah terdengar suara lonceng
tanda bahaya.
Keng Thian mengerutkan alisnya, tapi lekas juga ia mendapat suatu tipu. Selagi seekor anjing
menubruk, ia mengebas dan mendorong binatang itu ke arah Ibu Suci. Gerakannya cepat luar
biasa dan sebelum Ibu Suci melihat tegas, mulut anjing itu yang mengeluarkan air liur sudah
berada di depan mukanya yang lantas berlepotan air liur!
"Binatang!" berteriak Ibu Suci bagaikan kalap dan kedua tangannya mendorong anjing itu. Di
lain detik, berbareng dengan suara tertawanya yang nyaring,
Keng Thian sudah berada di luar tembok
Setibanya di luar, ia mengawasi ke empat penjuru, tapi Pengtjoan Thianlie sudah tak kelihatan
bayang-bayangannya lagi. Hal ini dapat dimengerti oleh karena ilmu mengentengkan badan si
nona memang setingkat dengan Keng Thian dan mereka berdua sudah berlalu terlebih dulu.
Dengan rasa putus harapan, pemuda itu menghela napas berulang-ulang. Ia membuka
tangannya dan ternyata, benda yang disertakan Pengpok Sintan tadi adalah selembar kertas kecil.
Keng Thian membuka kertas itu dan dengan pertolongan sinar rembulan, ia membaca
tulisannya:
"Jangan campur urusan orang lain!"
Keng Thian meringis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seorang diri: "Ah! Maksudku
hanyalah ingin menemui kau. Siapa kesudian campur-campur urusan orang lain? Hm! Jika kau tak
sudi menemui aku, aku tentu tak dapat memaksa. Tapi, kenapa beberapa kali kau
mempermainkan aku?"
Ia menengok ke belakang dan melihat seluruh istana Wanita Suci sudah terang benderang.
"Ah! Hoat-ong tentu akan mendongkol sekali," katanya di dalam hati. "Tak dinyana, tanpa sengaja
aku jadi menanam permusuhan. Jika si gadis Tibet rela menjadi Wanita Suci, aku tentu tidak
berhak untuk mencampuri urusannya lagi."
Demikianlah dengan perasaan tertindih, Keng Thian keluar dari kota Naichi dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sembari jalan, ia teringat, bahwa tujuan Pengtjoan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Thianlie adalah Soetjoan barat untuk mencari pamannya, sehingga, meskipun tak mengenal jalan,
lama atau cepat pasti ia akan tiba juga disitu. "Paling benar sekarang aku langsung menuju ke
tempat Moh Pehpeh untuk menunggu kedatangannya," pikir ia. Sesudah mengambil putusan itu,
hatinya menjadi lebih lega dan ia lalu tidur di pinggir jalan. Pada besok paginya, ia lantas berjalan
menuju ke arah timur.
Sesudah melewati gunung Bayan Karasan, Keng Thian sudah berada di bagian barat propinsi
Soetjoan. Semenjak dulu, Soetjoan barat yang penuh gunung dikenal sebagai tempatnya "manusia
liar." Berhari-hari, Keng Thian berjalan tanpa menemui manusia. Untung juga gunung itu kaya
akan pohon-pohon buah sehingga ia dapat menghilangkan rasa haus dengan memetik buah-
buahan hutan dan rasa lapar dengan membakar daging kambing hutan yang terdapat banyak
sekali di pegunungan itu.
Sesudah lewat lagi beberapa hari, tibalah ia di gunung Tjiakdjie san yang sudah termasuk
wilayah bangsa Han.
Tjiakdjie san dikenal sebagai gunung yang sangat berbahaya dengan puncak-puncaknya yang
menjulang tinggi ke angkasa dan curam luar biasa. Jika seorang sudah tiba di puncak yang tinggi
dan memandang ke sebelah bawah, ia akan melihat gunung-gunung yang tertutup salju seakan-
akan binatang-binatang raksasa yang berbulu putih sedang mendekam di kaki gunung. Dimana-
mana orang dapat bertemu dengan batu-batu raksasa yang beraneka bentuknya dan jika
dipandang dari jauh, batu-batu itu seolah-olah sekosol-sekosol yang diatur secara sedemikian
indah oleh tangan sang alam sendiri.
Sesudah berjalan lagi dua hari, di suatu lereng, Keng Thian melihat mengepulnya asap. Hatinya
jadi girang, tapi di lain saat ia teringat, bahwa meskipun dilihatnya sangat dekat, tempat itu
mungkin baru dapat dicapai sesudah berjalan dua hari lagi.
Keng Thian mempercepat tindakannya dan sebelum berjalan berapa lama, cuaca mendadak
berobah gelap. Ternyata ia sekarang sudah masuk ke bagian yang paling berbahaya dari gunung
Tjiakdjie san. Jalan di tempat itu diapit dua puncak yang berdiri hampir berdempetan, sehingga di
tempat-tempat yang tersempit, lebarnya hanya dua atau tiga kaki. Jalan itu bukan saja naik turun,
tapi juga berbelit-belit dan penuh dengan batu-batu. Belum juga berapa jauh, mendadak Keng
Thian mendengar suara bernapasnya manusia. Dengan kaget, ia berjalan lebih cepat.
Di lain saat, ia melihat seorang lelaki yang berpakaian rombeng sedang menyender pada
lamping gunung.
"Siapa kau?" menanya Keng Thian.
Orang itu mengucapkan beberapa patah kata yang tidak terang. Keng Thian mendekati.
Sekonyong-konyong ia mengangsurkan kedua tangannya seraya berkata: "Tolonglah aku si
pengemis!"
Keng Thian mengawasi dan ia terkesiap. Kedua lengan orang itu penuh dengan bisul-bisul
besar dan kecil. Sepuluh jerijinya bengkok, sedang di mukanya yang bersinar merah juga terdapat
banyak sekali bisul. Tak bisa salah lagi orang itu adalah penderita penyakit kusta (lepra), sehingga
Keng Thian yang gagah perkasa tanpa merasa mundur tiga tindak bahna kagetnya.
Orang itu mengawasi dengan mata hampa sebagai tak ada semangatnya dan seolah-olah
sudah beberapa hari ia tak pernah ketemu nasi.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian heran tak kepalang. Pertama, menurut
kebiasaan, penderita kusta kebanyakan terdapat di Tiongkok Selatan, sedang di daerah Utara
barat penyakit itu adalah hal yang langka sekali. Kedua, Tjiakdjie san adalah sebuah gunung yang
sangat berbahaya dan, kecuali orang yang berkepandaian tinggi, jarang ada manusia yang mampu
mendaki gunung tersebut. Tapi, baru saja mengingat itu, ia berkata dalam hatinya sendiri: "Ah!
Dia tentu adalah seorang yang melarikan diri karena desakan masyarakat."
Pada jaman ini, kita semua mengetahui, bahwa penyakit kusta bukan disebabkan pengaruh
setan atau hukuman Tuhan. Akan tetapi, pada jaman itu, ialah jaman pemerintahan Boan, orang
masih percaya, bahwa kusta adalah satu penyakit yang menandakan dosa seseorang dan seorang
penderita kusta dipandang sebagai manusia berbahaya, sehingga mesti dibakar hidup-hidup dan
tulang-tulangnya harus dikubur di dalam tanah. Di Tiongkok Utara barat jumlah penderita kusta
ada sangat sedikit dan tidak banyak orang yang mengetahui tanda-tanda penyakit tersebut. Maka
itu, memang benar ada sejumlah penderita kusta yang secara untung-untungan melarikan diri ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

daerah Utara barat untuk menyingkir dari buruan sesama manusia. Akan tetapi, oleh karena
macamnya si sakit memang sangat menakuti dan tak ada orang yang sudi memberi tempat
meneduh padanya, maka jarang sekali mereka bisa tiba di Utara barat dengan masih bernapas.
Memikir begitu, dalam hati Keng Thian segera timbul rasa kasihan. "Dengan badan menderita
penyakit, ia lebih suka berkawan dengan binatang daripada dengan sesama manusia yang selalu
mengubar-ubarnya," katanya dalam hati. "Sungguh harus dikasihani! Dan sungguh besar
nyalinya!"
Ia segera mengeluarkan sepotong daging kambing dari sakunya dan berkata sembari
melemparkan daging itu kepada si sakit: "Ambillah. Di sebelah depan terdapat banyak sekali buah-
buahan. Kau bisa petik sendiri."
Melihat daging itu dilemparkan, orang itu tidak lantas memungut. Mendadak kedua biji matanya
bergerak dan... suatu sinar berkredep keluar dari kedua matanya! Keng Thian terkejut oleh karena
sinar yang sedemikian adalah sinar mata orang yang mempunyai kepandaian silat sangat tinggi.
Tapi, di lain saat, sorot kedua mata itu lantas berobah menjadi sayu kembali dan perlahan-lahan ia
membungkuk untuk memungut potongan daging itu.
"Eh, siapa namamu?" menanya Keng Thian. "Apa kau pernah belajar silat?"
Orang itu seperti juga tak mendengar perkataan Keng Thian. Ia duduk di atas tanah sembari
makan daging itu secara rakus.
"Ah, guna apa aku tanya namanya?" kata Keng Thian dalam hatinya. "Andaikata benar ia
pandai ilmu silat, aku toh tak bisa berkawan dengan ia ini." Memikir begitu, ia lantas bergerak
untuk segera berlalu, tapi sebelum menindak, ia menengok ke belakang dulu. Di luar segala
dugaan, orang itu sedang mengawasi ia dengan sorot mata gusar dan membenci. Keng Thian
bergidik dan buru-buru berjalan pergi.
Sebelum berjalan herapa jauh, Keng Thian tiba-tiba mendengar suara menggelegar di
belakangnya dan ketika ia menengok, sebuah batu besar sedang menggelinding dari atas ke
arahnya. Sebagaimana diketahui, jalan gunung itu sangat sempit, sehingga ia tak dapat
menyingkir lagi. Oleh karena sudah tak ada jalan lain, buru-buru ia mengerahkan tenaga dalamnya
dan dengan kedua tangannya menyampok batu itu, yang lantas saja terpental dan jatuh ke dalam
jurang. Ia mendongak dan melihat si penderita kusta sedang menyontek sebuah batu lain.
"Kau bikin apa?" membentak Keng Thian. Baru habis ia berkata begitu, batu tersebut sudah
menggelinding ke bawah dengan kecepatan kilat. Mau tidak mau, ia terpaksa mengerahkan lagi
tenaga dalamnya dan melontarkan pula batu itu. Pada waktu batu itu terpental, tanah dan debu
pada muncrat, sehingga Keng Thian harus meramkan kedua matanya. Waktu ia membuka lagi
matanya, orang itu sudah tak kelihatan bayang-bayangannya.
Keng Thian gusar bukan main. "Hei! Binatang!" ia berseru sekeras-kerasnya. "Kita belum
pernah saling mengenal, kenapa juga kau mau mencelakakan aku!" Tapi hanya kumandang
suaranya yang kedengaran. Si penderita kusta tetap menghilang tanpa bekas.
Sedari turun gunung, ia sudah mengalami banyak juga kejadian-kejadian mengherankan, tapi
tak ada yang seaneh ini. Bahwa orang itu tinggi ilmu silatnya, sudah tak usah disangsikan pula.
Tapi yang membikin Keng Thian tak habis mengerti, adalah: Terhadap orang itu, ia tak pernah
berdosa dan malah sudah melepas budi dengan memberikan sepotong daging. Tapi kenapa, ia
menurunkan tangan jahat? Apakah orang itu sudah hilang sifat kemanusiaannya?
Tak lama kemudian, ia tiba di tempat terbuka dan jalan sudah tidak begitu berbahaya seperti
tadi. la sekarang sudah sampai di bagian selatan dari gunung Tjiakdjie san dan sesudah mengasoh
sebentar, ia segera meneruskan perjalananannya.
Kira-kira magrib pada hari kedua, ia sudah tiba di tengah-tengah gunung itu. Di satu tanjakan
ia menemukan sebuah rumah tanah yang berdiri sebelah menyebelah dengan sebuah gubuk
beratap alang-alang. Dari dalam rumah itu mengepul asap dan hidung Keng Thian mengendus
wanginya daging bakar dan nasi yang baru dimasak. Rumah tersebut berbentuk istal kuda
panjangnya kira-kira tiga tombak dan lebarnya setombak lebih. Keng Thian mengetahui, bahwa
rumah itu adalah semacam penginapan untuk orang-orang yang mendaki gunung untuk memetik
daun obat atau berburu binatang. Sesudah berhari-hari lamanya menangsel perut dengan daging
kering dan buah-buahan hutan, Keng Thian ingin sekali makan nasi yang putih dan segera juga ia
mengetuk pintu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tuan rumah adalah seorang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun dengan cara-caranya
yang sederhana, seperti biasanya seorang pegunungan. Mendengar permintaan menginap, lantas
saja ia berkata sembari tertawa: "Beberapa bulan tak pernah ada tetamu, sekali datang satu
rombongan besar. Tuan, malam ini kau tak akan kesepian. Di dalam sudah ada belasan orang,
rombongan pedagang obat yang datang dari Selatan."
Sesudah memberikan sepotong perak untuk barang santapan, Keng Thian segera bertindak
masuk. Dalam ruangan itu berjajar belasan pikulan obat-obatan dan begitu ia masuk, dua
piauwsoe (orang yang bertugas sebagai pelindung) setengah tua terus mengawasi gerak-geriknya.
Tiba-tiba terdengar suara mendehem dari seorang piauwsoe tua dan kedua kawannya itu lantas
menundukkan kepala, seperti juga tidak melihat masuknya seorang tetamu baru.
Selain ketiga piauwsoe itu, terdapat juga tujuh delapan orang lelaki yang berbadan kekar, pada
menggeletak di atas tanah dengan menggunakan pikulan sebagai bantal. Di samping si piauwsoe
tua duduk seorang pedagang yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan yang matanya terus
melirik pedang Keng Thian.
Keng Thian memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya. "Apakah Saudarasaudara
ingin pergi ke Tjenghay?" ia menanya sembari tertawa.
Si piauwsoe tua hanya manggutkan kepalanya sedikit, sedang si pedagang menjawab dengan
satu suara "hm."
"Aku sendiri ingin pergi ke Soetjoan barat," berkata pula Keng Thian. "Aku merasa sangat
beruntung malam ini dapat bertemu dengan kalian. Dengan mempunyai banyak kawan, kita bisa
tidur enak."
"Bagus! Bagus!" berkata si piauwsoe tua. "Apakah Saudara datang dari utara?"
"Benar. Jalanan gunung sukar sekali dilewati," sahut Keng Thian.
"Dengan berkelana seorang diri, nyali saudara benar-benar besar," berkata pula piauwsoe itu.
"Aku si tua mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai piauwsoe dan dalam pekerjaan itu, aku
hanya mengandalkan bantuan sahabat-sahabat. Aku mohon saudara jangan mentertawakan
diriku. Untuk bicara terus terang, jika harus berjalan seorang diri, aku tak akan berani mendaki
gunung Tjiakdjie san." Sehabis berkata begitu, kedua matanya mengawasi Keng Thian dengan
sorot tajam.
"Gila! Si tua menganggap diriku sebagai perampok!" berkata Keng Thian dalam hatinya. Ia
lantas saja menyoja dan berkata dengan suara hormat: "Loosoehoe janganlah bicara begitu
merendah. Dapatkah aku mendapat tahu she dan nama Loosoehoe yang mulia?"
"Aku she Kwee, namaku Tay Kie," jawabnya. "Dan siapakah adanya saudara?" Mendengar
pertanyaan orang, Keng Thian segera memperkenalkan dirinya secara terus terang.
Piauwsoe itu ternyata sungkan banyak bicara. Setiap pertanyaan, ia jawab dengan singkat.
Keng Thian mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw orang selalu bercuriga terhadap mereka
yang belum dikenal dan ia pun mengetahui, bahwa dirinya sangat dicurigai. Maka itu, ia tidak
banyak menanya pula, hanya hatinya merasa agak heran, oleh karena belum pernah mendengar
nama Kwee Tay Kie.
Di daerah Seekong, Tibet, Tjenghay dan Sinkiang terdapat banyak sekali bahan obat yang luar
biasa, seperti nyali biruang dan sebagainya, tapi sangat kekurangan obat-obatan biasa. Maka itu,
setiap tahun seorang dua orang pedagang obat-obatan yang besar selalu mengunjungi beberapa
propinsi itu dengan membawa obat-obatan biasa, untuk ditukar dengan bahan-bahan obat
istimewa keluaran daerah tersebut. Setiap kali berdagang paling sedikit harganya meliputi sepuluh
laksa tail perak, sehingga piauwsoe yang berkepandaian tanggung-
tanggung, tak akan berani bertugas untuk melindungi rombongan pedagang tersebut.
Sesudah bersantap malam, rombongan pedagang lalu menyalakan perapian dan mereka tidur
di sekitar perapian itu, dengan para piauwsoe menjaga bergiliran. Keng Thian sendiri lantas saja
merebahkan diri di suatu sudut.
Baru saja ia meramkan mata, tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan dan dua piauwsoe
setengah tua dengan serentak meloncat bangun. "Ada orang!" mereka berbisik.
"Jangan ribut!" membentak si piauwsoe tua.
Menurut kebiasaan rumah penginapan, untuk menggampangkan para tetamu yang keluar
masuk, daun pintu hanya dirapatkan. Suara tindakan itu cepat luar biasa dan dalam sekejap,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sudah tiba di depan pintu. Sebelum pintu ditolak, terdengar suara tertawa yang sangat nyaring
lebih dulu. Keng Thian dan semua orang merasa terkejut oleh karena suara itu adalah suara
seorang wanita.
Di lain saat, dua wanita masuk ke dalam, diikuti seorang lelaki. Kedua wanita itu, satu tua dan
satu muda, mempunyai paras muka yang hampir sama, sehingga dapat diduga, bahwa mereka itu
adalah ibu dan anak. Si wanita muda, yang pada rambutnya ditancapkan sekuntum kembang
hutan, berparas riang gembira dan begitu masuk, ia berseru: "Ha! Begitu banyak orang? Benar-
benar ramai!"
Wanita yang setengah tua, yang kedua alisnya bengkok dan mengenakan pakaian warna dadu
dengan sulaman kembang Botan, mengeluarkan suara "stt," sembari menempelkan jerijinya pada
mulutnya. "Perlahan sedikit!", katanya. "Jangan mengganggu tamu-tamu lain!" Walaupun
perkataannya merupakan perintah, akan tetapi paras mukanya mesem-mesem dan sama sekali
tak mempunyai keangkeran seorang ibu.
Keng Thian merasa geli. "Ie-ie-ku (Phang Lin) adalah satu manusia aneh," katanya di dalam
hati. "Wanita ini rasanya tak banyak beda dengan Ie-ie."
Pada pinggang kedua wanita itu tergantung gendewa dan sembari masuk, mereka tertawa
haha-hihi, seolah-olah sepasang bocah yang belum mengenal asam garam dunia. Akan tetapi,
meskipun lagaknya seperti anak-anak, mata mereka memancarkan sorot keksatriaan. Orang lelaki
yang mengikuti di belakang mereka berusia kurang lebih lima puluh tahun dan berbadan tinggi
besar. Ia tidak membawa senjata, akan tetapi dilihat dari tindakannya yang mantap, sudah boleh
dipastikan, bahwa ia seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi.
Rombongan pedagang obat belum ada yang tidur pulas. Begitu ketiga tamu itu masuk, mereka
semua membuka mata, terutama kedua piauwsoe setengah tua, yang terus mengawasi mereka
tanpa berkesip.
Si gadis mendadak tertawa nyaring seraya berseru: "Hei! Kalau mau lihat, lihatlah secara
berterang! Guna apa main sembunyi?"
Muka kedua piauwsoe itu lantas saja berobah merah dan matanya mendelik. Tapi sebelum
mereka membalas menyemprot, si orang tua yang berbadan tinggi besar buru-buru menghampiri
dan berkata sembari menyoja: "Anakku memang nakal sekali. Aku sangat mengharap, mengingat
usianya yang masih sangat muda, saudara-saudara sudi memaafkannya." Sehabis berkata begitu,
ia mendorong puterinya seraya membentak: "Hee-djie! Lekas minta maaf pada sekalian paman!"
Melihat sikap ayah si nona yang sangat patut, si piauwsoe tua lantas saja berdiri dan berkata
sembari tertawa: "Anak-anak guyon-guyon, janganlah Looheng buat pikiran. Kedua kawanku
adalah orang-orang kasar yang tidak mengenal aturan. Nona! Aku pun mengharap kau jangan
menjadi gusar."
Dengan demikian, sengketa kecil itu sudah menjadi beres, orang-orang piauwkiok lantas pada
merebahkan diri lagi, sedang si nona terus mengikuti kedua orang tuanya.
Sembari berjalan, wanita setengah tua itu berkata kepada suaminya dengan suara yang cukup
keras untuk didengar oleh semua orang: "Loyatjoe! Kau sendiri yang terlalu rewel! Kau sudah
mengganggu semua orang yang ingin tidur." Nyonya itu yang sangat menyayangi puterinya,
sudah sangat mendongkol mendengar comelan sang suami dan orang-orang piauwkiok
mengetahui, bahwa perkataannya ditujukan kepada mereka.
"Dalam kalangan Kangouw, yang paling tak boleh dibuat gegabah adalah hweeshio, toosu,
sasterawan dan wanita," kata si piauwsoe tua dalam hatinya. "Kedua wania ini, yang membawa
gendewa, kelihatannya bukan penjual silat. Ah! Malam ini aku harus berjaga-jaga."
Sesudah memilih suatu sudut, sang ibu dan puterinya segera menggelar tikar untuk mengasoh.
Sambil menyandar pada tembok, Keng Thian mengawasi mereka. Mendadak, kedua mata si
wanita setengah tua mengeluarkan sinar luar biasa dan setindak demi setindak, ia menghampiri
Keng Thian. Tiba-tiba ia menghentikan tindakannya dan mengawasi pemuda itu dengan muka
bersemu dadu dan sebelah tangannya memegang koen, sebagai lagaknya seorang gadis muda
yang bertemu dengan kecintaannya.
Pada saat itu, si orang tua yang berbadan tinggi besar menghampiri seraya berkata: "Tjeng-
moay, lebih baik kita mengambil tempat di pojok sana." Sekonyong-konyong kedua matanya
bersinar dan seperti si wanita, ia pun mengawasi Keng Thian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keruan saja Keng Thian jadi kaget. "Ah! Kenapa begini lagaknya kedua orang tua ini?" ia
menanya dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, sembari tertawa si orang tua menyoja dan menanya: "Siauwko
(Saudara kecil), bolehkah aku mendapat tahu she-mu yang mulia?"
"Aku she Tong," jawab Keng Thian.
Si wanita mengeluarkan satu seruan tertahan dan menanya dengan suara tergugu: "Kau... kau
she Tong?"
"Perlahan sedikit!" membentak si tua.
"Tong Siangkong (tuan)," berkata pula wanita itu dengan suara terlebih perlahan. "Kau datang
dari mana dan sekarang mau pergi kemana?"
Sekonyong-konyong puterinya tertawa. "Ibu," katanya "Kenapa kau menanya begitu melit?"
Keng Thian agak bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut juga: "Aku datang dari Tibet dan ingin
pergi ke Soetjoan barat untuk mencari seorang sahabat."
"Hm," berkata pula si wanita setengah tua. "Dari Tibet? Dilihat dari gerak-gerikmu. Aku rasa
kau sudah pernah belajar ilmu silat dalam banyak tahun." Sembari berkata begitu, ia mengawasi
Yoeliong kiam yang digunakan sebagai bantal kepala oleh Keng Thian.
Gadis itu kembali tertawa nyaring dan berkata: "Ibu! Benar-benar kau sudah linglung! Apakah
kau tak lihat pedangnya? Perlu apa kau menanya lagi?"
"Aku berjalan seorang diri dan dengan membawa pedang, hatiku jadi lebih besar," kata Keng
Thian. "Manalah aku mempunyai kepandaian silat?"
Orang tua yang berbadan tinggi besar itu mesem-mesem, seolah-olah ingin memuji Keng Thian
yang bisa merendahkan diri dan berbareng menegur kedustaannya.
"Aku ingin menanyakan kau tentang satu orang yang she-nya sama dengan kau," kata si-
wanita setengah tua. "Mungkin sekali ia masih tersangkut pamili dengan kau."
"Siapa?" menanya Keng Thian.
"Orang itu bernama Tong Siauw Lan!" sahutnya.
Keng Thian terkejut. Harus diketahui, bahwa kedua orang tua Keng Thian dulu pernah
mengamuk di istana kaizar dan sudah membinasakan Kaisar Yong Tjeng. Walaupun kejadian itu
sudah berselang banyak tahun, akan tetapi Tong Siauw Lan suami isteri masih tetap merupakan
orang buronan yang menjadi musuh kerajaan Boan. Oleh karena itu, dapat dimengerti, bahwa
Keng Thian tak berani membuka rahasia di depan sembarang orang.
Wanita setengah tua itu mengawasi padanya dengan sorot mata tidak sabar dan dilihat dari
sikapnya, ia sama sekali tidak mengandung maksud yang kurang baik.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian segera berkata sembari tertawa: "Nama Tong
Tayhiap aku sudah pernah dengar lama sekali. Ia adalah seorang pemimpin dari satu cabang
persilatan dan aku sangat kagum padanya. Hanya sayang sungguh, sampai sebegitu jauh aku
belum pernah dapat berjumpa."
Paras muka wanita setengah tua itu lantas saja berobah, seperti orang yang kecewa dan putus
harapan.

"Ibu!" kata puterinya. "Tong Pehpeh bertempat tinggal di atas gunung Thiansan, orang biasa
mana bisa jumpai ia? Tapi setiap kali bertemu orang yang datang dari Sinkiang atau Tibet, kau
selalu tak lupa untuk menanya. Apakah ibu tidak takut ditertawai orang?"
Mendengar ejekan itu, sang ibu jadi mendongkol. "Setan kecil!" ia membentak. "Sekarang anak
mau mengajar orang tua!"
Oleh karena kuatir didesak terus, Keng Thian lantas berlagak menguap, seperti orang yang
sudah sangat mengantuk, sehingga si orang tua jadi malu hati. "Hee-djie, Tjeng-moay, besok
pagi-pagi Siauwko tentu ingin meneruskan perjalannya dan kita pun harus mengasoh." Sehabis
berkata begitu, ia segera berjalan kembali ke tikarnya, diikuti kedua wanita itu.
Sesudah mengalami beberapa kejadian luar biasa selama dua hari beruntun, mana Keng Thian
bisa cepat-cepat pulas. Ia putar otaknya, tapi tak juga dapat menebak siapa adanya ketiga orang
itu. Ia membuka matanya sedikit dan melihat kedua piauwsoe setengah tua itu sedang duduk di
pinggir perapian dengan tangan mencekal golok dan matanya sering-sering melirik ke arah dua
wanita itu. Si piauwsoe tua menggeros, tapi Keng Thian mengetahui, ia hanya berlagak pulas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Berselang beberapa lama para pegawai piauwkiok yang sudah kecapaian tak dapat menahan
pula perasaan ngantuknya dan sudah pada menggeros keras. Mendadak, Kwee Tay Kie, si
piauwsoe tua, membuka kedua matanya dan berkata dengan suara perlahan: "Awas!" Ia segera
mencekal hoentjwee-nya (pipa panjang), yang lalu diisikan tembako, dinyalakan dan kemudian
dihisap. Hoentjwee itu yang panjang dan kepalanya sebesar cangkir teh, berwarna hitam
mengkilap, sehingga dapat diduga, bahwa hoentjwee itu bukan dibuat dari pada kayu, tapi dari
pipa besi yang dapat digunakan sebagai senjata.
Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan, disusul dengan terpentalnya daun pintu, dan
di lain saat, belasan orang menerobos masuk. Yang berjalan paling depan adalah seorang lelaki
bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun. Sembari mengacungkan gendewa
yang dicekalnya, ia berseru sembari tertawa berkakakan: "Bagus! Bagus! Kambing-kambing
gemuk semuanya berkumpul dalam rumah ini!"
Kedua piauwsoe setengah tua itu serentak meloncat bangun, tapi sebelum mereka dapat
bergerak lebih jauh, Kwee Tay Kie sudah meloncat ke depan dan sambil mengebas dengan
hoentjwee-nya, ia memberi hormat seraya berkata: "Sahabat, selamat datang! Aku yang rendah
adalah Kwee Tay Kie dari Tjinwie Piauwkiok di Pakkhia dan mencari sesuap nasi dengan
menjalankan tugas sebagai satu piauwsoe. Mataku sungguh buta dan kupingku tuli sehingga tak
mengetahui, bahwa Tjeetjoe (pangilan terhadap kepala perampok) bertempat tinggal di gunung
ini, dan aku tidak mengunjungi terlebih dahulu untuk memberi hormat. Untuk semua keteledoran
itu, aku memohon maaf."
Kawanan penjahat yang berdiri di belakang kepala perampok itu, tertawa terbahak-bahak. "Hei!
Tak perlu kami mendengar segala perkataan-perkataan yang indah!" berteriak seorang. "Kami
hanya tahu, kambing gemuk berada di depan mata dan tinggal menunggu ditangkap. Majikan!
Bukankah begitu?"
Kepala perampok itu mengawasi Kwee Tay Kie dan berkata sembari tertawa: "Siauwsamtjoe!
Kau jangan bawel! Aku lihat, Kwee Piauwtauw adalah seorang yang mengenal aturan dan di dalam
kalangan Kangouw, kita memang harus menghargakan tali persahabatan. Begini saja: Obat-
obatan ini justru sangat diperlukan di tempat kami dan tanpa sungkansungkan kami ingin
memintanya. Semua pegawai Piauwkiok boleh berlalu tanpa mendapat gangguan dan kami pun
tak akan merampas uang. Kwee Piauwtauw! Bukankah peraturan ini sudah cukup pantas?"
Si pedagang obat ketakutan bukan main dan sekujur badannya jadi gemetaran. Ia mengawasi
Kwee Tay Kie dengan perasaan kuatir, kalau-kalau si piauwsoe tua akan tunduk terhadap
kemauan kepala perampok itu.
Kwee Tay Kie dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Terima kasih atas
kemurahan hati Tjeetjoe," katanya. "Sebenarnya aku harus menurut pada kemauan Tjeetjoe, akan
tetapi, seorang yang makan gaji, harus setia terhadap majikannya. Orang yang menyewa tenaga
kami merupakan ayah ibu yang memberi makan kepada piauwkiok. Jika sekarang, untuk
menyelamatkan diri, kami tunduk terhadap perintah Tjeetjoe dan meninggalkan sang ayah dan
ibu, maka piauwkiok kami pasti akan segera menggulung tikar dan puluhan keluarga kami akan
mati kelaparan. Tjeetjoe! Aku si tua mohon Tjeetjoe sudi mempertimbangkan perkataanku ini."
Kepala penjahat itu tertawa tawar. "Perkataan Kwee Piauwtauw sedikitpun tiada salahnya,"
katanya dengan suara menyindir. "Akan tetapi, jika kami tidak berjual beli (merampok), apakah
Kwee Piauwtauw mau suruh kami makan angin?"
"Soehoe!" berseru salah seorang piauwsoe setengah tua itu. "Jika mereka sungkan memberi
muka, guna apa kita bicara panjang-panjang lagi?"
Si kepala perampok tertawa besar sambil menarik tali gendewa. Berbareng dengan suara
menjepretnya gendewa, kedua piauwsoe setengah tua itu menangkis dengan goloknya.
Mendadak terdengar suara "plak!" dan peluru itu pecah dengan mengeluarkan api yang lantas
saja membakar baju kedua piauwsoe itu. Buru-buru mereka bergulingan di atas tanah dan waktu
mereka bangun lagi, Kwee Tay Kie sudah bertempur dengan kepala perampok itu.
Walaupun sudah berusia lanjut, gerakan Kwee Tay Kie sangat cepat dan sebelum si penjahat
dapat melepaskan pelurunya, hoentjwee-nya sudah menyambar kepala si pemimpin rampok.
"Bagus!" berteriak kepala perampok itu sembari mengebas dengan gendewanya untuk membabat
pergelangan tangan Kwee Tay Kie. Serangan itu adalah satu serangan aneh, sehingga dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

cepat si piauwsoe memutarkan badannya sambil menyodok dengan hoentjwee-nya yang


digunakan seperti sebatang tombak pendek. Serangan itu disusul dengan pukulan Tjinpo lianhoan
(Majukan kaki secara berantai), hoentjwee-nya mengetok ke bawah, seperti orang mengetok
dengan martil. Dan sebagai serangan yang ketiga, sembari memutar badan sekali lagi, Kwee Tay
Kie menotok jalan darah Djoanma hiat di dada si penjahat dan kali ini hoentjwee tersebut
digunakan sebagai Poankoan pit (senjata yang bentuknya seperti pit, pena Tionghoa). Demikianlah
dengan beruntun Kwee Tay Kie mengirimkan tiga serangan dengan menggunakan tiga macam
pukulan yang berlainan. Kepala perampok itu segera mengangkat gendewanya dan dengan tiga
macam pukulan yang berlainan, ia dapat memunahkan ketiga serangan si piauwsoe tua.
Ia tertawa berkakakan. "Piauwtauw Tjinwie Piauwkiok sungguh liehay!" katanya. "Tapi bertemu
Hoeihweetan Tjoe Teng (Tjoe Teng si Peluru Api Terbang), keangkerannya akan menjadi
musnah!"
Sehabis berteriak, ia segera merobah cara bersilatnya, punggung gendewa digunakan untuk
menyapu dan memukul. Sedang tali gendewa digunakan untuk membetot dan membabat.
Gendewa tidak termasuk di dalam delapan belas jenis senjata dan jika seorang dapat
menggunakan gendewa sebagai senjata, ia tentu mempunyai ilmu silat yang istimewa. Maka itu,
sesudah bertempur lama juga, walaupun mempunyai pengalaman puluhan tahun, Kwee Tay Kie
masih belum bisa berada di atas angin.
Sementara itu, dengan dipimpin oleh kedua piauwsoe setengah tua itu, para pegawai piauwkiok
sudah bertempur dengan kawanan perampok. Jumlah kedua belah pihak kira-kira berimbang.
Pihak perampok terlebih unggul daripada para pegawai piauwkiok dalam ilmu silat, tapi dapat
diimbangi oleh kedua piauwsoe itu yang kepandaiannya banyak lebih tinggi dari mereka. Dengan
demikian, sesudah berkutet lama juga, belum kelihatan siapa yang bakal kalah.
Keng Thian duduk dan menonton. Ia tidak mau lantas turun tangan dan diam-diam mengawasi
gerak-gerik keluarga yang terdiri atas tiga orang itu.
Tiba-tiba si gadis tertawa geli. "Ibu," katanya "Perampok itu juga dapat menggunakan Tankiong
(Gendewa peluru)!"
"Fui!" membentak ibunya. "Dalam dunia yang lebar, apakah hanya kau seorang yang dapat
menggunakan Tankiong?"
"Benar! Tapi dalam dunia yang lebar ini, Tankiong dari keluarga Yo yang paling liehay," berkata
pula gadisnya. "Ibu! Aku masih ingat, kaulah yang berkata begitu."
"Bawel benar kau!" mengomel sang ibu.
Keng Thian kaget. "Tankiong dari keluarga Yo?" ia menanya dirinya sendiri. "Keluarga Yo yang
mana?"
Sekonyong-konyong sambil mengeluarkan teriakan
menyeramkan, gendewa si perampok menyambar bagaikan kilat dan di lain saat, pundak Kwee
Tay Kie terluka dan ia terhuyung beberapa tindak. "Binatang! Biar sekarang aku mengadu jiwa
tuaku!" ia berteriak.
Kepala perampok itu tertawa berkakakan sembari mementang gendewa dan melepaskan
belasan peluru.
Begitu Lioehong Hweeyamtam (peluru api yang dibuat dari welirang) menyambar, beberapa
pegawai piauwkiok roboh terjungkal dan beberapa orang lain pada terbakar bajunya, sehingga
buru-buru mereka menggulingkan diri.
Selagi si perampok melepaskan peluru, orang tua yang berbadan tinggi besar itu berkata pada
puterinya: "Hee-djie. Aku lihat tanganmu sudah gatal sekali. Sekarang boleh kau turun tangan!"
Si gadis tertawa girang dan sambil meloncat bangun, ia mementang gendewanya. Di lain saat,
bagaikan bintang sapu sejumlah peluru menyambar peluru api si penjahat yang lantas pada jatuh
dengan terbakar.
Bukan main gusarnya kepala perampok itu. Sambil mengegos untuk menyingkir dari serangan
Kwee Tay Kie, ia mementang gendewanya dan puluhan peluru api menyambar si nona seperti
hujan gerimis.
"Hee-djie!" berseru ibunya. "Caramu belum sempurna. Lihatlah ini!" Bagaikan kilat, si nyonya
segera melepaskan puluhan peluru ke arah peluru-peluru api itu, yang, seperti juga mempunyai
mata, lantas pada berbalik menyambar ke kawanan perampok. Dalam sekejap, beberapa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

perampok sudah bergulingan di atas tanah dengan 'pakaian terbakar dan sebuah peluru api
hampir-hampir saja mengenakan Tjoe Teng, si kepala perampok, yang lalu berteriak-teriak bahna
gusarnya.
Kwee Tay Kie yang sudah tidak menghitung hidup, jadi terkejut berbareng girang melihat
datangnya bintang penolong yang tidak diduga-duga. Selagi ia bengong mengawasi si nyonya,
tiba-tiba Tjoe Teng menendang dadanya dengan ilmu tendangan Tengkak.
Pada detik yang sangat berbahaya, si orang tua yang berbadan tinggi besar berseru: "Tjeng-
moay! Bereskanlah buaya-buaya yang lainnya!" Sehabis berseru begitu, ia menjejek kedua kakinya
dan badannya lantas melesat bagaikan seekor burung. Di lain saat, tangannya sudah menyambar
kepala perampok itu yang lantas dilemparkan keluar pintu.
Pada detik itu, di luar pintu tiba-tiba terdengar suara tertawa menyeramkan yang tidak begitu
diperhatikan orang oleh karena pertempuran sedang berlangsung hebat. Sesaat kemudian,
seorang lelaki sudah berada dalam ruangan itu.
Keng Thian yang kupingnya liehay sangat terkejut ketika mendengar suara tertawa itu. Ia
mengawasi lelaki yang baru masuk itu, dan yang ternyata adalah seorang pengemis berpakaian
rombeng dengan sebelah tangan mencekal tongkat hitam dan seluruh badannya penuh bisul.
Orang tersebut bukan lain daripada si penderita kusta dengan siapa ia pernah bertemu di gunung
Tjiakdjie san.
Keng Thian tetap menyandar pada tembok, ia mengangkat leher bajunya, sehingga sebagian
mukanya jadi ketutup. Begitu masuk, si pengemis mengebas tangannya dan si orang tua mundur
beberapa tindak. "Siapa kau?" ia membentak dengan suara gusar.
Si penderita kusta lantas saja mengeluarkan suara tertawa yang membikin orang bergidik. "Kau
tak kenal aku, tapi aku kenal kau!" katanya sembari tertawa ha-ha he-he. "Di Shoatang, namamu
besar sekali. Aku kira kau masih berada disitu dan telah mengunjungi dua kali, tapi selalu tidak
bertemu. Tak tahunya kau berada di tempat ini! Ha-ha! He-he! Sungguh bagus! Sungguh bagus!
Aku dengar Ngohengkoen-mu adalah ilmu silat yang paling liehay di sebelah selatan dan utara
Sungai Besar. Maka itu, aku sengaja mencari kau untuk memperluas pemandanganku! Ah! Nyonya
itu katanya adalah puterinya Tiattjiang Sintan (si Tangan Besi Peluru Malaikat, gelaran ayahnya
nyonya tersebut). Hm! Aku dilahirkan agak terlambat, sehingga tak mempunyai kesempatan untuk
berjumpa dengan Tiattjiang Sintan. Sungguh beruntung, di tempat ini aku dapat bertemu dengan
seorang pendekar wanita yang pada dua puluh tahun berselang, sudah menggetarkan dunia
Kangouw. Dari beliau, aku pun ingin memohon pengajaran!"
Kepala perampok yang tadi dilemparkan keluar pintu, sekarang sudah masuk kembali. Ia girang
bukan main waktu mendengar kata-kata si pengemis, yang diduga adalah seorang penjahat juga.
"Eh," katanya. "Kambing gemuk itu kita bagi seorang separoh. Semangkok air kita minum
bersama-sama!"
Si penderita kusta mendelik dan membentak: "Siapa perdulikan kambing gemukmu! Keluar!" Ia
mendorong dengan kedua tangannya dan badan si perampok lantas terpental serta menubruk
pintu, sehingga sebelah daun pintu copot dari engselnya. Di antara desiran angin malam yang
sayup-sayup, terdengar suara jeritan si perampok yang menyayatkan hati.
Melihat itu semua, kawanan perampok jadi pecah nyalinya dan lari serabutan untuk
menyelamatkan jiwa Orang-orang dari Piauwkiok dan si pedagang obat juga ketakutan setengah
mati dan mereka mundur ke pojok tembok.
Barusan, ketika si pengemis mendorong Tjoe Teng, baru Kwee Tay Kie dapat melihat bisul-
bisulnya dan ia kaget tak kepalang. Bagaikan kesima, ia mengawasi dengan mata mendelong.
Muka si orang tua yang berbadan tinggi-besar jadi pucat. "Apakah kau bukannya Toktjhiu
Hongkay (si Pengemis Kusta Yang Tangannya Beracun) yang sengaja menyeterukan orang-orang
gagah di kolong langit?" ia menanya.
"Ha-ha! Hehe! Tak salah!" jawabnya. "Dalam dunia ini, tak banyak orang gagah yang
mempunyai cukup derajat untuk bertempur dengan aku. Hayo! Keluarkanlah kepandaianmu!"
"Hee-djie!" berseru si orang tua. "Lekas lari!" Dengan sekali meloncat, ia menyambar sebatang
golok seorang pegawai piauwkiok dan tanpa berkata suatu apa, ia membacok. Orang tua itu
sebenarnya tersohor liehay dalam ilmu silat tangan kosong Ngohengkoen dan tidak begitu biasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

menggunakan golok. Akan tetapi, ia merasa jijik untuk berbenturan tangan dengan si kusta oleh
karena melihat bisul-bisul yang membikin bulu roma berdiri.
Si pengemis mendelik akan kemudian tertawa berkakakan seperti orang gila. "Ha! Kau jijik
berbenturan tangan denganku?" ia berkata dengan suara mengejek. "Hm! Sebentar kau rasakan
bagaimana enaknya rasa bisulku!" Ia pindahkan tongkat besinya ke tangan kiri dan tanpa
bersenjata, tangan kanannya segera mengirim serentetan pukulan hebat, sembari mengangsek
maju.
"Hee-djie! Lari!" si nyonya meneriaki puterinya, sembari melepaskan tiga buah peluru yang
menyambar ke muka, ke dada dan ke kaki, masing-masing menuju ke jalan darah yang
membinasakan. Cara melepaskan tiga Sintan dengan beruntun itu sudah kesohor sedari dulu
dan pernah merobohkan banyak sekali orang gagah.
"Sintan keluarga Yo benar-benar liehay!" berseru si pengemis. Dengan menundukkan kepala, ia
menghindari Sintan yang menyambar mukanya, dengan kedua jerijinya ia menjepit Sintan yang
menghantam dada dan akhirnya, dengan tongkatnya ia menyampok peluru yang terbang ke
kakinya. Sesudah itu, sambil membentak keras, ia membuka mulut dan menggigit belakang golok
si orang tua.
Puluhan tahun ia berkelana di sebelah selatan dan utara Sungai Besar, tapi belum pernah ia
bertemu dengan seorang lawan yang mempunyai ilmu silat sedemikian luar biasa. Begitu goloknya
digigit, ia merasakan tangannya kesemutan dan tanpa tercegah lagi, senjata itu terlepas dari
tangannya.
Si pengemis tertawa keras dan melonjorkan sebelah tangannya untuk mengusap muka
lawannya. Si orang tua menggeram seperti harimau terluka dan sembari mengempos semangat, ia
mengirim satu pukulan ke dada musuh. Dalam gusarnya, ia menghantam dengan pukulan
membinasakan dari ilmu silat Ngohengkoen.
Si penderita kusta mengeluarkan teriakan aneh dan meloncat mundur beberapa tindak akan
kemudian, dengan sekali menotok tanah dengan tongkatnya, ia sudah meloncat pula ke depan
dan berhadapan lagi dengan si orang tua.
"Aku tak percaya kau dapat menahan tiga pukulanku!" katanya sembari tertawa haha-hihi.
Jotosan Ngohengkoen si-orang tua barusan itu mempunyai tenaga kurang lebih delapan ratus
kati dan seumur hidupnya, pukulan tersebut dapat dikatakan belum pernah meleset. Akan tetapi,
kali ini tinjunya yang sedemikian liehay sudah dapat dipunahkan secara begitu mudah oleh si
pengemis, maka tidaklah heran, jika ia jadi kaget berbareng kuatir.
Sekonyong-konyong si pengemis menjotos dengan sebelah tinjunya dan selagi si orang tua
mau loncat menyingkir, lehernya mendadak digaet dengan tongkat besi.
Melihat ayahnya berada dalam bahaya, si gadis lantas melepaskan segenggam peluru dengan
menggunakan ilmu Boanthian hoa-ie (Hujan bunga di selebar langit). Si pengemis terus
menggentak sehingga orang tua itu jadi terguling dan kemudian berkata sembari tertawa:
"Sebentar kau akan merasakan enaknya bisulku!" Berbareng dengan perkataannya itu, ia putarkan
tongkatnya sehingga semua peluru jatuh berhamburan di atas tanah.
"Bagus!" ia berseru. "Biarlah nona cantik ini lebih dulu merasakan gurihnya bisulku!" Sekali
menotol tanah dengan tongkatnya, badannya melesat ke atas dan lalu menyambar gadis itu yang
lantas saja jatuh kejengkang.
Dalam kaget dan bingungnya sang ibu melepaskan tujuh peluru yang menghantam ke tujuh
jalan darah si pengemis. Ia mengetahui, bahwa pelurunya tak akan dapat melukakan si penderita
kusta, akan tetapi, dalam saat yang berbahaya itu, ia tak mempunyai lain jalan yang lebih baik.
Tanpa memperdulikan peluru-peluru itu, si pengemis menurunkan tangannya untuk menjambak si
nona.
Pada detik yang luar biasa gentingnya, tiba-tiba saja terdengar suara "ssr, ssr" dan dua sinar
merah berkelebat di tengah udara. Hampir berbareng dengan itu, si pengemis mengeluarkan suara
teriakan hebat dan tubuhnya melesat ke atas, hampir-hampir kepalanya
mengenakan payon. Selagi badannya melayang turun ke bawah, ia menghantam si nyonya
dengan tongkatnya.
Nyonya itu kaget bukan main, sambil melemparkan gendewa, ia mencabut sepasang Lioeyap to
(Golok daun lioe) untuk menyambut serangan itu. Si pengemis menyerang bagaikan harimau edan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dan dalam tiga jurus saja, sepasang golok si nyonya sudah terpental ke tengah udara Sekonyong-
konyong, pengemis itu menyembur dengan mulutnya sembari membentak: "Bocah! Kau juga
berada disini?"
Begitu kedua goloknya terpental, si nyonya jadi terkesima dan berdiri bengong. Di lain saat,
kedua matanya menjadi silau lantaran munculnya sinar dingin dari sebatang pedang dan si
pemuda baju putih sudah mulai bertempur dengan pengemis itu.
"Yoeliong kiam!" berseru si nyonya dengan suara tertahan.
Pemuda baju putih itu tentu saja bukan lain daripada Tong Keng Thian. Tadi, pada detik yang
paling berbahaya, dengan satu timpukan yang sungguh indah, ia melepaskan dua Thiansan
Sinbong. Melihat menyambarnya senjata rahasia, buru-buru pengemis itu menutup semua jalan
darahnya Ia menduga, dengan menutup jalan darah, senjata rahasia itu tak akan dapat melukakan
tubuhnya. Tapi sekali ini ia keliru. Thiansan Sinbong yang liehay luar biasa, ditambah dengan
tenaga dalam Keng Thian yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, sudah dapat menobloskan
"tutupan" itu. Begitu tertusuk, si pengemis merasakan jantungnya sakit dan ia mengetahui, bawa
ia sudah mendapat luka berat.
Hampir berbareng dengan senjata rahasianya, Keng Thian menerjang dengan Yoeliong kiam.
Saat itu, dalam kegusaran hebat, si pengemis menyembur. Keng Thian segera berkelit dengan
anggapan, bahwa musuh itu ingin meludahinya. Juga ia sudah menduga keliru. Mengimpi pun ia
tak pernah, bahwa senjata rahasia si pengemis justru disimpan di dalam mulutnya dan dengan
semburan itu, sejumlah senjata rahasia yang sangat halus menyambar dirinya
Mendadak ia merasakan pergelangan tangannya seperti digigit semut, tak seberapa sakit, tapi
sangat gatal.
Darah Keng Thian naik tinggi. "Binatang!" ia membentak. "Kau ini tak bedanya dengan ular
berbisa! Begitu bertemu manusia lantas menggigit!"
Si pengemis tertawa besar. "Benar! Benar!" katanya. "Malam ini kau adalah manusia pertama
yang digigit ular!"
Tanpa banyak bicara, Keng Thian segera mengirim serangan berantai yang sangat hebat. Si
pengemis cekal tongkatnya dengan kedua tangannya dan sekali tarik, ia mencabut keluar
sebatang pedang besi yang hitam mengkilap. Ternyata, tongkat itu merupakan sarung pedang
yang dibuat secara istimewa sekali.
Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang sudah kesohor di seluruh Rimba Persilatan. Begitu
kedua senjata berbentrok, lelatu api muncrat dan pedang si pengemis somplak. "Ih!" berseru si
pengemis sembari meloncat mundur. Keng Thian juga diam-diam merasa kaget, oleh karena
Yoeliong kiam yang dapat mengutungkan besi dan memapas baja, tak dapat memutuskan pedang
besi itu.
Ilmu silat si penderita kusta sangat aneh dan tak menurut peraturan biasa. Akan tetapi,
walaupun kelihatan kalang-kabut, setiap serangannya sangat berbahaya dan mempunyai
perobahan-perobahan yang tak diduga-duga. Dengan penuh kegusaran, Keng Thian menyerang
dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat, akan tetapi, sesudah menjalankan habis delapan belas
rupa serangannya, si pengemis belum memperlihatkan tanda-tanda keteter. Di sebelah ilmu
silatnya, penderita kusta itu pun sangat dalam lweekang-nya dan kurang lebih dapat direndengkan
dengan tenaga dalam Keng Thian.
Sesudah si nona sadar dari pingsannya, ayah, ibu dan puteri itu lantas saja menerjang si
pengemis jahat untuk membantu Keng Thian. Dengan tangan kanan mencekal pedang besi, ia
melawan Keng Thian, sedang tangan kirinya yang memegang sarung pedang melayani tiga lawan
baru itu. Tangan kanannya lebih banyak membela diri daripada menyerang, sedang tangan kirinya
lebih banyak menyerang daripada membela diri. Dengan penuh semangat, Keng Thian mencecer
musuhnya dengan Toeihong Kiamhoat dan dalam sekejap, tiga puluh jurus sudah lewat. Beberapa
saat kemudian, di atas kepala si pengemis keluar uap panas dan keringat mengucur dari mukanya
Keng Thian tahu, bahwa Thiansan Sinbong sudah mulai menyerang jantung orang itu dan ia lalu
memperhebat serangannya.
Si pengemis tiba-tiba mendelik dan menyapu Keng Thian dengan matanya yang bersinar seperti
kilat. "Bocah!" ia membentak. "Dengan mengeluarkan tenaga begitu banyak, apa kau kira bisa
hidup terus?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keng Thian kertek giginya dan mengirim satu tikaman hebat. Pada saat ujung Yoeliong kiam
hampir mengenakan badannya, si pengemis mendadak berjungkir balik dan meloncat keluar
melewati mulut pintu. Keng Thian segera menjejek kedua kakinya untuk mengubar, akan tetapi,
tiba-tiba ia merasakan badannya seperti ditusuk-tusuk dengan ribuan jarum dan semacam hawa
amis naik ke tenggorokannya dari dalam perutnya! Di lain detik, matanya berkunang-kunang dan
tanpa dapat berdaya lagi, ia roboh di atas tanah.
Keng Thian segera mengempos semangatnya untuk menjaga jantungnya. Semua orang
menjadi bingung dan berusaha untuk memberikan pertolongan.
Walaupun terluka hebat, kuping Keng Thian terang sekali dan dapat menangkap satu-satu
perkataan orang.
"Loopiauwtauw janganlah menghaturkan terima kasih," demikian terdengar suara si orang tua.
"Mari kita periksa luka sahabat ini."
Keng Thian tak dapat bicara lagi, kepalanya berat dan lapat-lapat ia mendengar perkataan
salah seorang: "Ih! Senjata rahasia apa yang digunakan olehnya?"
"Jangan menggunakan sembarang obat, kalau salah, lukanya bisa jadi semakin berat."
"Ah! Kenapa seperti gigitan ular?"
"Lihat! Mukanya bersemu hitam!"
"Siapa mempunyai jarum emas? Coba keluarkan darahnya."
"Tak usah. Senjata rahasia sudah terang direndam dalam bisa ular..."
Hanya sebegitu yang dapat didengar Keng Thian. Ia ingin sekali memberitahukan mereka,
bahwa dalam kantongnya terdapat pil Pekleng tan yang dibuat daripada Soatlian, tapi mulutnya
sudah terkancing. Kepalanya semakin lama jadi semakin berat dan sesaat kemudian, matanya
gelap dan ia tak ingat dirinya lagi.
Berselang tujuh hari, seperti orang yang baru mendusin dari suatu impian jelek, ia sadar
kembali. Ketika itu, ia sendiri tentu saja belum mengetahui sudah pingsan begitu lama. Di antara
kekaburan, ia ingat kejadian tujuh hari berselang dan ketika membuka kedua matanya, ia melihat
sinar matahari yang menembus ke kamarnya dan dahan-dahan bunga yang bergoyang-goyang
diluar jendela. Hidungnya mengendus serupa wangi-wangian yang halus sekali dan ia merasakan
dadanya lapang.
"Oh, Tuhan! Terima kasih! Terima kasih banyak! Akhirnya ia mendusin juga!" demikian
terdengar suara wanita yang lemah lembut.
Ia melirik. Kedua wanita yang ia jumpakan di gunung Tjiakdjie san pada tujuh hari berselang,
kelihatan duduk di depan pembaringan sambil mengawasi mukanya dengan paras muka girang,
sedang Yoeliong kiam tergantung di kepala ranjang.
"Kenapa aku bisa berada disini?" menanya Keng Thian. "Tempat siapakah ini?"
"Hee-djie," berkata sang ibu. "Pergi ambil semangkuk Somthung (air godokan Yosom)."
Sesudah itu, dengan suara halus ia berkata kepada Keng Thian: "Kau sudah terkena senjata
rahasia beracun si pengemis kusta dan sudah rebah disini tujuh hari dan tujuh malam. Ini adalah
rumah kami."
Keng Thian meramkan kedua matanya, mengingat-ingat kejadian pada malam itu. Ia bergidik
dan berkata dengan suara terharu: "Terima kasih!"
"Bukan kau, tapi kamilah yang harus menghaturkan terima kasih padamu," sahut si nyonya
sembari tertawa.
Sesaat itu, gadisnya sudah masuk pula dengan membawa Somthung yang lantas diberikan
kepada Keng Thian. Sesudah minum air godokan itu, ia merasa badannya segar dan semangatnya
terbangun.
"Hee-djie," berkata pula sang ibu. "Bawa keluar pakaian Tong Koko. Apa dua stel pakaian baru
itu sudah selesai dijahit?"
"Siang-siang sudah selesai," jawab si nona
Keng Thian mengendus bau amis yang keluar dari pakaiannya dan melihat mata ibu dan anak
itu agak merah, satu tanda bahwa bermalam-malam mereka sudah menggadangi dirinya
Mengingat kebaikan orang Keng Thian jadi sangat terharu dan berkata dengan suara perlahan:
"Budimu yang sangat besar, seumur hidup tak akan aku lupakan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendadak si nona tertawa nyaring. "Ibu," katanya. "Apakah lagak ayahnya juga seperti ia,
halus dan lemah lembut?"
Sang ibu tertawa dan tak meladeni pertanyaan puterinya yang nakal. "Racun itu hebat luar
biasa dan jarang terdapat dalam dunia," menerangkan si nyonya. "Sebenar-benarnya kau
sendirilah yang sudah menyembuhkan lukamu. Untuk apa menghaturkan terima kasih kepada
kami?"
"Apa?" menanya Keng Thian dengan rasa heran.
"Untung juga aku masih mengenali Yoeliong pokiam dan mengetahui cara menggunakan
Pekleng tan," jawab nyonya itu. "Kalau bukannya begitu, kami pun tak akan dapat berdaya lagi."
Si nyonya tertawa-tawa dan kemudian menyambung pula penuturannya: "Orang yang paling
dulu mendapat tahu, bahwa kau sudah kena racun ular adalah si pedagang obat. Ia segera
memberikan dua butir yowan (pil) yang istimewa untuk
menyembuhkan luka digigit binatang berbisa. Obat itu sebenarnya sudah dipesan oleh sebuah
toko obat besar di kota Pakkhia dan oleh karena merasa sangat berhutang budi atas pertolongan
kita, tanpa merasa sayang ia sudah mengeluarkan obatnya yang mahal itu. Akan tetapi, yowan
tersebut juga hanya dapat menahan menjalarnya racun untuk sementara waktu. Buru-buru kami
menyewa tandu dan membawa kau sampai disini. Kami berusaha memberikan pertolongan
dengan mengurut jalan darahmu, tapi semua tinggal sia-sia. Dalam kebingungan, tiba-tiba aku
ingat, bahwa sebagai pemilik Yoeliong kiam, kau tentu membawa juga Pekleng tan yang terbuat
dari Soatlian. Benar saja kami beruntung menemukan pil yang mujarab itu dalam kantongmu dan
buru-buru aku menghancurkan sebutir Pekleng tan dengan air salju, separoh aku cekokkan ke
dalam mulutmu dan separoh lagi dipoleskan pada lukamu. Hm! Sungguh hebat racun si pengemis
kusta! Thiansan Pekleng tan yang dapat menyembuhkan segala rupa racun, masih memerlukan
tujuh hari dan tujuh malam!"
Ketika itu Keng Thian sudah sadar benar-benar dan ia ingat segala kejadian pada malam itu.
Mendengar penuturan sang penolong, tanpa merasa ia menanya: "Kalau begitu kau kenal baik
ayahku, bukan?"
Si nyonya mesem dan paras mukanya mendadak bersemu dadu, seperti juga pada malam itu,
ketika mereka baru bertemu muka. "Kenal baik?" ia mengulangi dengan suara perlahan. "Kami
berdua, aku dan ayahmu, adalah kawan bermain sedari kecil! Apakah ayahmu belum pernah
menyebutkan namanya Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng? Aku adalah anak perempuan Tiattjiang
Sintan."
"Ha!" Keng Thian mengeluarkan seruan tertahan. "Kalau begitu, kau adalah Yo Pehbo. Ibu
sering sekali menyebut namamu."
"Apakah ibumu baik?" menanya nyonya itu sembari tertawa.
"Baik," jawabnya. "Sering sekali ibu mengatakan, bahwa pada dua puluh tahun berselang,
mereka pernah menerima budi ayahmu yang sangat besar. Lima tahun ayahku pernah menjadi
murid Yo soetjouw (Kakek guru) dan kalau dihitung-hitung, aku harus memanggil Soesiok (Paman
guru) kepada Pehbo."
Mendengar itu, si nyonya lantas saja teringat segala kejadian pada dua puluh tahun berselang
dan paras mukanya lantas saja menjadi guram. "Apakah ayahmu baik?" ia menanya.
"Baik, tak kurang suatu apa," jawabnya. "Di Thiansan, ayah memelihara abunya Yo Soetjouw."
Mendengar itu, muka si nyonya lantas menjadi terang kembali.
"Kami sebenarnya ingin pergi ke Thiansan guna menyambangi kedua orang tuamu. Tak
dinyana, di tengah jalan bertemu dengan kau. Benar-benar maunya Tuhan."
Nama nyonya itu adalah Yo Lioe Tjeng, bekas tunangan Tong Siauw Lan. Belakangan sesudah
pertunangan putus, ia menikah dengan Tjee Sek Kioe, seorang ahli silat Ngohengkoen. Memang
sudah lumrahnya, bahwa seorang wanita sukar sekali dapat melupakan kecintaannya yang
pertama. Maka itu, walaupun sudah menikah dan mempunyai seorang puteri, kadang-kadang ia
teringat segala kejadian yang lampau. Sesudah banyak tahun berpisah dengan Tong Siauw Lan,
sering-sering ia teringat bekas tunangan itu. Tjee Sek Kioe mengetahui isi hati isterinya dan pula
mengetahui, bahwa sesudah mereka menikah dengan segala keberuntungan, kecintaan sang isteri
terhadap Tong Siauw Lan bukannya "kecintaan" yang menyeleweng, akan tetapi suatu kecintaan
dari seorang saudara. Di sebelah itu, ia pun merasa sangat kangen kepada Tong Siauw Lan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sahabatnya. Maka itulah, ketika sang isteri mengutarakan keinginannya, dengan segala senang
hati ia menemani Yo Lioe Tjeng untuk pergi mencari Tong Siauw Lan. Dulu, keluarga Tjee
bertempat tinggal di rumah Yo Tiong Eng. Tapi belakangan, gara-gara suatu kejadian, mereka
pindah ke propinsi Soetjoan.
Oleh karena hebatnya racun, sesudah sadar beberapa hari, Keng Thian baru dapat jalan
merayap dengan berpegangan tembok dan untuk mendapat kembali seluruh kesehatannya,
agaknya ia harus mengasoh sedikitnya setengah bulan lagi. Maka itu, tak dapat tidak ia harus
berdiam terus di rumah keluarga Tjee untuk beberapa lama.
Dengan penuh kecintaan, keluarga tersebut merawat Keng Thian, terlebih pula Yo Lioe Tjeng
yang memperlakukan ia seperti puteranya sendiri. Puteri Tjee Sek Kioe, yang bernama Tjee Tjiang
Hee, adalah seorang gadis jang simpatik dan gembira sifatnya, dengan gerak-geriknya yang lincah
bagaikan seekor burung kecil. Sering sekali ia menemani Keng Thian dan sering pula meminta
petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat. Dalam hari-hari pertama, oleh karena si pemuda belum kuat,
Tjiang Hee sering menuntun si pemuda waktu jalan di kebun belakang. Keng Thian adalah
seorang ksatria yang jiwanya bebas dari segala ingatan kotor dan sudah memperlakukan gadis itu
seperti saudara kandungnya sendiri.
Selang sepuluh hari lagi, kecuali badannya yang belum kuat betul, semua racun sudah tertolak
keluar dari tubuhnya. Perlahan-lahan ia mendapat kembali kesehatannya.
Malam itu, bersama Tjiang Hee, ia jalan-jalan di luar rumah. Di bawah sinar bulan jang laksana
perak, ribuan bunga menyiarkan bau harum semerbak, oleh karena waktu itu adalah buntut
musim semi dan permulaan musim panas, di kala kembang-kembang sedang mekarnya.
Sesudah bercakap-cakap ke barat dan ke timur, mendadak Tjiang Hee munculkan soal
Thiansan.
"Apakah enak bertempat tinggal di Thiansan?" menanya si nona.
"Yang sudah biasa tak akan merasakan apa-apa," jawab Keng Thian. "Tapi untuk seorang yang
baru datang, keadaan disana tentu mengherankan dan ia harus menyesuaikan diri dulu. Seluruh
tahun gunung itu ditutup es dan dimana-mana terdapat sungai es. Dipandang dari jauh, sungai-
sungai es itu seakan-akan ribuan naga yang berwarna putih."
"Oh, begitu?" berkata si nona dengan perasaan kagum. "Bukankah tempat itu jadi seperti surga
dalam dongengan tempat tinggalnya dewi-dewi?"
Keng Thian jadi teringat Pengtjoan Thianlie dan tanpa merasa ia berkata: "Aku sendiri pernah
melihat keraton es!"
"Di Thiansan?" menanya Tjiang Hee.
"Bukan, bukan di Thiansan," jawabnya.
Tiba-tiba si nona melihat paras muka Keng Thian yang sedikit guram. "Apakah kau jadi ingat
keluargamu, lantaran aku menyebut-nyebut Thiansan?" ia menanya. "Sesudah kau sembuh, kami
semua akan mengantar kau pulang ke Thiansan."
"Bukan, aku bukan teringat keluargaku," sahut Keng Thian. "Sesudah sembuh, aku malah ingin
meneruskan perjalanan ke Soetjoan barat."
"Apa orang yang hidup di Thiansan tak merasa kesepian?" menanya pula si nona.
"Di atas gunung terdapat beberapa keluarga yang berhubungan rapat sekali, sehingga kita tak
merasa kesepian," menerangkan Keng Thian. "Ie-ie-ku juga berada di Thiansan. Ia paling senang
bergaul dengan nona-nona yang nakal."
"Menurut kata ibu, ibumu dan adiknya adalah saudara kembar dan muka mereka sangat mirip,"
kata lagi Tjiang Hee. "Apa benar begitu?"
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Aku sendiri sering tak dapat membedakannya."
"Apakah muka saudara misanmu mirip dengan kau?" tanya Tjiang Hee.
"Tidak," jawab Keng Thian sembari tertawa dan kemudian menambahkan: "Piauwmoay-ku
(adik misan perempuan) mirip sekali dengan kau."
"Apa ia cantik?" tanya si nona.
"Cantik. Sungguh cantik!" jawabnya. "Secantik kau!"
"Dusta," kata Tjiang Hee. "Ia tentu banyak lebih cantik!" Sesaat kemudian, ia tertawa dan
berkata pula: "Kata ibu, kau adalah seorang pemuda yang baik sekali, sama benar dengan
ayahmu dulu. Kalau benar begitu, kau juga tentu adalah seorang muda yang sangat romantis."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa?" menegasi Keng Thian dengan perasaan jengah.


"Dulu, pada waktu ayahmu berdiam di rumah kakekku (Yo Tiong Eng), ia telah menulis sebuah
sajak yang kemudian disimpan oleh ibuku," menerangkan Tjiang Hee. "Belakangan, oleh karena
merasa ketarik, aku mengambil sajak itu dan selalu kubawa-bawa dalam kantongku. Aku sendiri
tak begitu mengerti isinya dan ingin minta petunjukmu. Sesudah membaca itu berulang kali,
sedikit banyak aku mengetahui, bahwa penulisnya adalah seorang lelaki yang sangat romantis."
Tjiang Hee adalah puteri tunggal dari keluarga Tjee dan sedari kecil mendapat didikan seperti
seorang anak lelaki. Maka itu, ditambah dengan adatnya yang sangat polos, ia selalu bicara terus
terang, tanpa tedeng aling-aling.
Di lain pihak, mendengar si nona membicarakan soal ayahnya, Keng Thian merasa agak jengah.
Akan tetapi, tersurung hati kepingin tahu, lantas saja ia berkata: "Bolehkah aku membaca itu?"
Kertas itu sudah pecah di sana-sini, tapi huruf-hurufnya masih lengkap dan dapat dibaca. Di
atas kalimat "Pek Tjoe Leng" atau Sajak Seratus Huruf terdapat tulisan yang artinya kira-kira
seperti berikut:
Sungguh lelah, hidup terombang-ambing,
Di antara lautan manusia, Apakah ada sahabat yang mengetahuinya? Sarung pedang dan
kantong syair adalah kawan satu-satunya, Melawan sang angin malam, menginjak embun pagi,
berjalan tak henti-hentinya, Nyanyiannya yang keras menembus awan. Suaranya yang santer
membubarkan halimun. Bagaikan seekor burung Gan yang terbang pergi akan kemudian balik
kembali! Bagaikan si burung Yo, bagaikan si burung walet, Menginjak salju, tapaknya tak
berbekas!

***

Gunung yang tertutup awan, bayangan dalam impian, semuanya samar-samar, Anak walet
mencari sarang. Tapi takut rintangan sang tirai, Walaupun dalam kantong sudah penuh dengan
tulisan indah, Tapi siapakah yang dapat menyampaikan kepada si dia? Demikianlah sambil
memeluk khim, menggubah lagu. Dengan mata mengawasi sang langit yang tiada tepinya! Sogo
dan Tjenglie, Sampai kapankah kita dapat bertemu?
Dulu, sajak itu sebenarnya ditulis oleh Tong Siauw Lan lantaran ia tak dapat melupakan Lu Soe
Nio. Tapi Yo Lioe Tjeng sudah salah sangka, ia menduga, bahwa Siauw Lan menulis untuk dirinya
sendiri, dan itulah sebabnya, mengapa ia lalu menyimpan sajak tersebut sebagai peringatan yang
indah.
Sehabis Keng Thian membaca, sambil tertawa Tjiang Hee berkata: "Ibumu sungguh beruntung.
Ayahmu membandingkan ia seperti seorang dewi (Sogo dan Tjenglie)!"
Dengan begitu, Tjiang Hee juga sudah salah menafsirkan. Ia menganggap, dengan "Sogo dan
Tjenglie" dimaksudkan ibu Keng Thian.
Tapi Keng Thian sendiri merasa sangat heran dalam hatinya. Membaca sajak itu, Keng Thian
yang cerdas mengetahui, bahwa si penulis sedang memikirkan seorang wanita yang berada jauh,
yang bagaikan sekuntum bunga, hanya dapat dipandang, tapi tak dapat dipetik. "Ketika itu ayah
berada dalam rumah keluarga Yo, maka tak bisa jadi sajak tersebut ditulis untuk Yo Pehbo,"
katanya di dalam hati. Sebagai seorang yang tak mengetahui asal-usul sajak tersebut, Keng Thian
segera menarik kesimpulan, bahwa ayahnya sudah menulis untuk ibunya sendiri.
"Begitu ayahnya, begitu juga anaknya," kata Tjiang Hee, tertawa. "Kau pun tentu seorang
muda yang romantis. Hanya sayang, piauwmoay-mu tak berada disini." Mendengar perkataan si
nona, Keng Thian jadi merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Hm! Mana kau tahu? Piauwmoay-
ku dan kau sendiri sama saja seperti ibumu dahulu, sedang aku sendiri tak berbeda seperti
ayahku. Mana kau tahu, bahwa di dalam hati aku sedang memikirkan seorang lain!"
Melihat si pemuda sebentar merengut dan sebentar mesem, Tjiang Hee jadi merasa heran
sekali.
Tiba-tiba Keng Thian mendehem dan dari antara pohon-pohon bunga, berjalan keluar ibu
Tjiang Hee.
"Ibu, kenapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?" tanya si nakal.
"Kalian bicara apa, sedikitpun aku tak dengar," jawabnya sembari tertawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Ibu dan anak itu, yang perhubungannya, seperti juga kakak dan adik, gemar sekali berguyon-
guyon, akan tetapi Keng Thian yang mendengar kata-kata mereka itu sudah jadi jengah sekali.
"Malam sudah larut, untuk apa Pehbo keluar seorang diri?" ia menanya.
"Yah memang sudah larut malam," jawab sang bibi sembari lirik mereka.
Muka Keng Thian jadi berubah merah. Sesaat kemudian, Yo Lioe Tjeng berkata dengan suara
perlahan: "Keng Thian, sekarang ini kesehatanmu belum pulih kembali. Hee-djie, tak boleh kau
mengajak Tong Koko pergi terlalu jauh dari rumah ini."
Mendengar ibunya bicara sungguh-sungguh, si nona segera menanya: "Kenapa?"
"Keng Thian," berkata pula Yo Lioe Tjeng tanpa menjawab pertanyaan puterinya. "Apakah kau
masih ingat si pengemis kusta?"
Tjiang Hee bergidik dan mendului menjawab: "Manusia jelek yang seperti beburonan itu?
Sampai badanku menjadi debu, tak dapat aku melupakannya!"
"Sebenar-benarnya, mukanya tidak begitu," kata Keng Thian sembari mesem. "Jika tidak
sengaja menakut-nakuti orang, ia sebenarnya adalah seorang pemuda yang berparas cakap."
Baru saja berkata begitu, hati Keng Thian tergoncang, oleh karena ia ingat serupa hal. Ia ingat
penuturan kedua orang tuanya cara bagaimana dulu mereka bertempur melawan Tokliong
Tjoentjia di suatu pulau kecil. Semula Tokliong Tjoentjia adalah seorang penderita kusta dan
kemudian melarikan diri ke pulau itu dan dapat menyembuhkan sendiri
penyakitnya. Oleh karena itu, di kemudian hari, ia jadi sangat membenci manusia seumumnya.
Sebagai seorang jang pernah membaca buku-buku pengobatan, Keng Thian sungguh tidak
mengerti halnya si pengemis kusta. "Dengan bisul-bisul yang memenuhi sekujur badannya,
penyakitnya tentu sudah sangat berat," pikir Keng Thian. "Tapi kenapa bulu alisnya tidak rontok?
Apakah ia bukan seperti Tokliong Tjoentjia? Jika benar begitu, penyakitnya tentu sudah sembuh
lama sekali. Dulu, sesudah berlatih puluhan tahun, baru Tokliong Tjoentjia memperoleh ilmu silat
yang tinggi. Di lain pihak, si pengemis masih berusia sangat muda dan sebagai orang jang
menderita penyakit kusta, siapakah yang sudi menjadi gurunya? Tapi, kenapa ia mempunyai
kepandaian yang begitu tinggi?"
Demikianlah, macam-macam pertanyaan datang ke alam pikiran Keng Thian. Apakah si
pengemis adalah murid Tokliong Tjoentjia? Ini juga tak mungkin, oleh karena, sepanjang
penuturan ibunya, sesudah ditakluki oleh Loe Soe Nio, Tokliong Tjoentjia telah kembali ke
Tionggoan dan tiga tahun kemudian, ia sudah meninggal dunia. Waktu itu, usia si pengemis kusta
paling banyak baru dua atau tiga tahun.
Keng Thian adalah seorang yang sangat cerdas, semakin ia memikir, semakin besar rasa
sangsinya terhadap pengemis itu. "Pehbo," katanya. "Kau menyebut-nyebutkan pengemis kusta
itu, apakah dia sedang berada di dekat-dekat sini?"
"Benar," jawab Yo Lioe Tjeng. "Seorang guru silat dari Lengkoan datang berkunjung dan
mengatakan, bahwa di tempatnya telah muncul seorang pengemis kusta yang menyeterukan
orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Menurut katanya, Tong Lootaypo juga telah dirobohkan.
Kedatangannya adalah untuk minta bantuan dari ayah Hee-djie, tanpa mengetahui bahwa kita
juga sudah bergebrak dengan pengemis itu."
Mendengar kisah itu, Keng Thian terkejut. Kesehatannya belum pulih dan jika benar-benar si
pengemis kusta datang, sungguh tak ada orang yang akan melawannya.
"Apakah Tong Lootaypo yang pernah mengajarkan aku menimpuk senjata rahasia?" tanya
Tjiang Hee.
"Benar," jawab ibunya, yang kemudian sembari tertawa berkata kepada Keng Thian: "Pada dua
puluh tahun lebih berselang, suaminya telah dibunuh oleh Ie-ie-mu. Ketika itu, beberapa kali ia
telah mencari kami untuk membalas dendam. Belakangan urusan itu dapat didamaikan oleh
seorang sahabat dan sekarang kita sudah menjadi sahabat."
"Tong Lootaypo" atau Nyonya Tua Tong yang disebutkkan oleh Yo Lioe Tjeng, adalah Tong Say
Hoa, yaitu soetjie (kakak seperguruan) Liong Leng Kiauw. Hati Keng Thian berdebar sebab ia
memang mau mencari keluarga Tong yang secara kebetulan ternyata bertempat tinggal di
Lengkoan.
"Pengemis kusta itu sungguh harus dimampuskan?" berkata Tjiang Hee dengan suara gusar.
"Tak bedanya seperti anjing gila yang menyerobot segala orang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apakah Pehbo tahu asal-usulnya?" tanya Keng Thian.


"Menurut kata Pehpeh-mu (pamanmu Tjee Sek Kioe), pengemis kusta itu baru muncul sedari
kira-kira dua tahun berselang," jawab sang bibi. "Dari Tionggoan ia datang di Utara barat, dimana
ia mencari orang-orang ternama dari Rimba Persilatan untuk dibikin malu. Siapa juga tidak
mengetahui asal-usulnya."
Keng Thian menundukkan kepalanya, ia sungguh tak dapat memecahkan teka-teki di sekitar si
pengemis kusta.
"Soal si pengemis sudah cukup aneh, tapi ada lagi lain hal yang terlebih aneh," berkata Yo Lioe
Tjeng.
"Ada apa lagi?" menanya Keng Thian.
"Menurut kata orang, dua wanita yang cantik bagaikan dewi berjalan bersama-sama pengemis
itu," menerangkan sang bibi.
Keng Thian terkesiap. "Apa?" ia menegaskan.
"Ada orang melihat mereka bertiga jalan bersama-sama, sembari bercakap-cakap dengan
tertawa-tawa," menerangkan Yo Lioe Tjeng. "Kata orang, kedua wanita itu juga pernah
berkunjung ke rumah keluarga Tong, tapi bagaimana kejadian yang sesungguhnya, orang itu tak
mengetahui jelas."
Tak kepalang herannya Keng Thian. Apakah tak bisa jadi, kedua wanita itu adalah Pengtjoan
Thianlie dan Yoe Peng? Tapi Koei Peng Go adalah seorang angkuh dan sama sekali tak ada
kemungkinan, bahwa ia sudi berjalan bersama-sama dengan seorang penderita kusta. Tapi, selain
mereka berdua, siapa lagi yang "cantik bagaikan dewi?"

***

Sekarang biarlah kita meninggalkan Keng Thian yang sedang kebingungan dan mengikuti
gerak-gerik Pengtjoan Thianlie dan dayangnya.
Malam itu, sesudah meninggalkan kuil Lhama, malam-malam mereka meneruskan perjalanan
ke arah Soetjoan. Oleh karena tidak mengenal jalan, walaupun tidak salah arahnya, beberapa kali
mereka mengambil cabang jalan yang salah, sehingga pada waktu tiba di Tjiakdjie san, mereka
berada di belakang Keng Thian.
Pada waktu berjalan di bagian gunung yang paling berbahaya, Yoe Peng mendadak
mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur beberapa tindak.
Di bawah sebuah batu besar kelihatan sedang rebah seorang pengemis yang pakaiannya
rombeng dan kedua lengannya penuh bisul. Muka orang itu yang bersinar merah dan bengkak-
bengkak kelihatan menakutkan sekali. Pengtjoan Thianlie yang tidak mengenal penyakit kusta,
lantas saja timbul rasa kasihannya dan lalu berkata pada dayangnya: "Menolong jiwa satu manusia
adalah lebih berharga daripada membuat gedung dari tujuh tingkat. Yoe Peng, coba kau
mengangkat orang itu. Aku mau memeriksa keadaannya."
Yoe Peng tak menduga nonanya akan bertindak begitu dan ia menjadi serba salah.
"Tempat ini jarang diinjak manusia," berkata pula Koei Peng Go, setelah melihat kesangsian
dayangnya. "Jika kita tidak menolong, siapa lagi yang akan memberikan pertolongan? Yoe Peng,
hayo!"
Pengtjoan Thianlie yang belum mempunyai banyak pengalaman, sudah bertindak dengan
menuruti hatinya yang sangat mulia. Ia sama sekali tak ingat, bahwa oleh karena gunung itu
jarang diinjak manusia, seorang yang bisa berada disitu tentu juga bukan manusia sembarangan
Dengan terpaksa Yoe Peng maju beberapa tindak dan mengawasi si penderita kusta. "Orang ini
rasanya tak akan bisa hidup lebih lama lagi," katanya.
"Bagaimana kau tahu?" tanya si nona.
"Lihatlah! Ia rebah seperti mayat dan sudah tak dapat bergerak lagi," berkata Yoe Peng.
Belum habis Yoe Peng mengucapkan perkataannya, si pengemis mendadak berbangkis dan
sesudah mengulet beberapa kali, ia bangun duduk. Dengan sorot mata ketolol-tololan, ia
mengawasi Peng Go dan berkata dengan suara perlahan: "Aku sudah hampir mati. Apakah kamu
berdua masih merasa perlu untuk hinakan diriku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendengar suara itu, yang meskipun lemah, masih juga mempunyai semangat, si nona
bersenyum dan lalu berkata: "Kau tentu sudah menahan lapar beberapa hari. Makanlah ini."
Tanpa menghaturkan terima kasih, si pengemis mengambil sepotong daging kambing kering
yang diangsurkan oleh Peng Go itu dan lalu makan dengan bemapsu.
"Kenapa sekujur badanmu penuh bisul?" menanya Pengtjoan Thianlie dengan suara kasihan.
Si pengemis mendelik dan menyahut dengan suara aseran: "Sedari kecil, aku sudah begini. Jika
kau jijik, pergilah jauh-jauh!"
"Ah, bukan begitu," kata si nona. "Maksudku adalah, jika mungkin aku mau coba mengobati
penyakitmu."
"Mau mengobati aku?" menegasi si pengemis. Sesudah berkata begitu, ia menunduk dan tidak
berkata suatu apa lagi.
Dalam keraton es terdapat macam-macam obat yang mujarab dan beberapa antaranya selalu
dibawa-bawa oleh si nona. Ia lantas saja mengeluarkan sebotol obat bubuk untuk mengobati
rupa-rupa bisul beracun. "Cobalah obat ini, usapkan di bisulmu," kata Peng Go sembari
mengangsurkan botol obat itu.
Sesudah mengusapkan obat bubuk itu di kedua lengannya, ia lalu membuka baju. "Tanganku
tak sampai ke punggung," katanya.
"Yoe Peng, kau tolonglah!" memerintah Pengtjoan Thianlie.
Sang dayang tentu saja tidak berani membantah perintah itu. Ia lalu mematahkan sebatang
cabang pohon dan membungkus ujungnya dengan selembar kain putih, yang kemudian dicelup
dalam air pancuran gunung. Kemudian ia tuangkan obat bubuk tersebut di atas kain basah itu
yang lalu digosok-gosokan di punggung si pengemis.
"Obat ini dingin rasanya, benar-benar bagus," kata si pengemis. "Tapi penyakitku sudah sering
sekali diobati dan aku sudah menggunakan ratusan macam obat tanpa berhasil. Maka itu, belum
tentu obatmu dapat menyembuhkan."
"Jika obat itu tidak berhasil sesudah dua hari, aku akan memberikan kau lain obat," kata si
nona.
"Hayolah kita berangkat!" berkata Yoe Peng dengan suara tidak sabar.
"Bagus!" kata si pengemis. "Aku justru sedang kuatir tak dapat makanan. Dengan berjalan
bersama kalian, bukan saja ada obat, tapi juga ada makanan!" Sehabis berkata begitu, lantas saja
ia berdiri.
Pengtjoan Thianlie tak duga si sakit bakal berkata begitu. Sesudah berpikir beberapa saat, ia
berkata: "Baiklah. Menolong orang harus menolong sampai akhirnya. Kau boleh mengikuti kami.
Apa kau bisa jalan?"
"Sesudah perut kenyang, jalanan gunung tak menjadi soal bagiku," jawabnya dengan suara
gagah dan sambil mengangkat tongkatnya, ia lalu mulai bertindak.
Sesudah berjalan dua hari, tibalah mereka di bagian selatan gunung Tjiakdjie san dan dari situ,
mereka sudah melihat rumah-rumah penduduk di kaki gunung. Selama dua hari itu, si pengemis
mengikuti tanpa bicara. Setiap hari, Pengtjoan Thianlie memburu binatang dan membakar
dagingnya untuk dijadikan barang santapan. Semua daging yang diberikan pengemis itu. "Di atas
ada air terjun, di bawah ada solokan, kalian bisa loncat, tapi aku tak mampu." Sehabis berkata
begitu, lantas saja ia duduk di atas tanah.
Yoe Peng merasakan dadanya sesak, tak tahu apa ia mesti menangis atau tertawa.
"Siauwkontjoe! Sudahlah jangan ladeni padanya," kata ia.
"Tunggu," kata Pengtjoan Thianlie. Belum sempat ia menyambung perkataannya, mendadak
terdengar suara tertawa menyeramkan yang menggetarkan seluruh selat.
Di lain saat, dari antara tumpukan batu di lamping gunung, loncat keluar dua orang, satu
antaranya bukan lain daripada Hiatsintjoe.
"Siluman perempuan kecil!" ia membentak sembari tertawa berkakakan. "Akhir-akhir kita
bertemu pula. Tong Keng Thian, si bocah bau, hari ini tak dapat melindungi kau!"
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah berhadapan dengan Pengtjoan Thianlie dan terus
menghantam dengan kedua telapakan tangannya yang merah bagaikan darah.
Kawannya juga sudah loncat turun dan tanpa berkata suatu apa, ia menjotos Yoe Peng dengan
tinjunya yang sebesar mangkok nasi. Yoe Peng berkelit, tapi gerakan orang itu cepat luar biasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dan baru saja ia berkelit, punggungnya kembali sudah disambar kesiuran angin yang sangat
tajam.
Orang itu adalah pembantu Hiatsintjoe, namanya Kok Sek Koen, "manusia liar" dari gunung
Tjiakdjie san. Selain mempunyai ilmu weduk Kimtjiongto, tenaganya juga luar biasa besarnya dan
sekali menjotos, ia dapat membinasakan seekor harimau.
Sesudah mendapat hajaran dari Phang Lin di atas Puncak Onta, sakit sekali hati Hiatsintjoe.
Oleh karena tak ungkulan melawan Phang Lin, lantas saja ia tumplekan sakit hatinya kepada Keng
Thian. Tanpa memperdulikan segala kesukaran, ia lalu pergi ke Tjiakdjie san untuk mengundang
Kok Sek Koen guna menghadapi Keng Thian dan Peng Go.
Ketika itu, melihat Keng Thian tidak berada bersama Pengtjoan Thianlie, hati Hiatsintjoe jadi
lebih besar lagi.
Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa baru saja berkelit, Yoe Peng sudah merasakan
sambaran angin di punggungnya. Pukulan itu yang cepat bagaikan kilat, sudah tak dapat diegosi
lagi. Pengtjoan Thianlie yang sedang repot melayani musuhnya tak dapat menolong lagi. "Celaka!"
ia berteriak dengan hati mencelos.
Tapi, satu kejadian tak diduga-duga telah terjadi. Bukannya Yoe Peng yang terkena pukulan,
sebaliknya adalah Kok Sek Koen yang terhuyung beberapa tindak dan hampir-hampir jatuh
terguling. "Binatang! Apa kau mau cari mampus?" ia membentak.
Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, entah bagaimana, si penderita kusta sudah
menggulingkan badannya dan tepat menghadang di antara Yoe Peng dan Kok Sek Koen, yang jadi
sempoyongan karena dibentur badannya yang keras seperti batu.
Dengan mata merah, Sek Koen menendang sekeras-kerasnya. "Celaka!" berteriak si pengemis
sembari menggelindingkan badannya. Sek Koen kaget bukan main lantaran tendangannya yang
begitu cepat masih dapat dikelit oleh pengemis itu. Pada saat ia bengong, tiga sinar dingin
menyambar dan tiga jalan darahnya sudah kena dihantam Pengpok Sintan yang dilepaskan oleh
Pengtjoan Thianlie.
Kok Sek Koen yang bertulang besi dan berkulit tembaga, tidak takut akan segala senjata
rahasia. Tapi Pengpok Sintan adalah lain dari yang lain. Begitu kena, ia bergidik. Dengan
menggunakan kesempatan itu, Pengtjoan Thianlie putar Pengpok Hankong kiam
untuk melindungi Yoe Peng.
Di lain pihak, si pengemis yang menggelinding pergi beberapa tombak jauhnya, sudah rebah-
rebahan di atas tanah dengan menggunakan sebuah batu besar sebagai bantal kepala. Sambil
membuka kedua matanya sedikit, ia menonton pertempuran itu.
"Sahabat dari mana yang barusan munculkan diri?" seru Hiatsintjoe.
Si pengemis mengulet dan berkata dengan suara ogah-ogahan: "Pintu kota kebakaran, sang
ikan kekeringan. Tak bagus! Tak bagus!" Hiatsintjoe gusar bukan main, badannya melesat ke arah
si pengemis. Tapi mendadak si pengemis sudah berguling pula dan menggelinding beberapa
tombak jauhnya, akan kemudian tandalkan lagi kepalanya di atas sebuah batu. Dengan sikap acuh
tak acuh, ia menonton pertempuran itu.
Melihat gerak-gerik si pengemis, Hiatsintjoe kaget dan selagi ia mau mengubar untuk
menurunkan tangan jahat, tiba-tiba ia mendengar jeritan Kok Sek Koen yang ternyata sudah
terkena pedang Pengtjoan Thianlie.
Gwakang (tenaga luar) Kok Sek Koen sudah dilatih sampai di puncak kesempurnaan, akan
tetapi, apa mau ia harus menghadapi Pengpok Hankong kiam, semacam senjata mustika yang
satu-satunya di dalam dunia. Meskipun pedang itu tidak dapat melukakan kulit musuh, akan tetapi
hawanya yang luar biasa dinginnya sudah membikin Kok Sek Koen kelabakan. Sesudah tiga kali
kena tikaman, Kok Sek Koen yang tenaga dalamnya belum seberapa tinggi, sudah merasa seolah-
olah darahnya membeku, sehingga mau tidak mau, ia menjerit-jerit.
Waktu mengundang sahabatnya itu, Hiatsintjoe ingin menggunakan ia untuk menghadapi Tong
Keng Thian. Tapi tak dinyana, kawan yang berilmu weduk itu sudah kena ditindih dengan peluru
es dan pedang es, sehingga ia tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya. Dengan hati
mendongkol, tanpa memperdulikan lagi si pengemis, buru-buru Hiatsintjoe menyerang Pengtjoan
Thianlie untuk membantu kawannya. Begitu lekas si Malaikat Darah menghantam tiga kali
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

beruntun dengan telapak tangannya, hawa yang sangat panas segera menyambar-nyambar,
sehingga Kok Sek Koen jadi bersemangat pula dan lalu bantu menyerang secara hebat.
Sekarang pertempuran berlangsung antara dua pasang musuh. Pengtjoan Thianlie dengan
Pengpok Hankong kiam yang dingin melawan Hiatsintjoe yang pukulannya panas. Mengenai
tenaga dalam, Hiatsintjoe lebih unggul setingkat daripada si nona, tapi dalam kiamhoat, Peng Go
terlebih lihay daripada lawannya. Masing-masing mempunyai keunggulan sendiri dan kekacekan
antara mereka tidak seberapa besar. Tapi tidak begitu dalam pasangan antara Kok Sek Koen dan
Yoe Peng. Baru saja bertempur setengah jam, sedang Pengtjoan Thianlie masih dapat berkelahi
dengan penuh semangat, adalah Yoe Peng yang sudah tersengal-sengal napasnya.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sambil membentak keras, tangan kanan Hiatsintjoe
menghantam kepala Pengtjoan Thianlie dengan pukulan Soathoa kayteng (Kembang salju jatuh di
kepala), sehingga si nona terpaksa mundur setindak sambil membabat dengan pedangnya. Pada
detik itulah, yaitu pada waktu Peng Go berpisah dengan budaknya, tangan kiri Hiatsintjoe
mendadak menyambar ke arah kepala Yoe Peng.
Pukulan itu sedemikian cepatnya, sehingga Yoe Peng jadi seperti orang kesima. Pada saat yang
saat berbahaya, mendadak saja ia merasakan betisnya dipeluk orang dan ditarik ke belakang,
sehingga ia jadi terguling. Pada betisnya, ia lihat dua bekas telapak tangan berlumpur yang basah,
sedang si pengemis lagi tidur meringkuk di tengah jalan. Sekarang ia tahu, bahwa orang yang
barusan sudah menolong jiwanya adalah si pengemis kusta. Mengingat, bahwa betisnya itu telah
dicekal tangan yang penuh bisul, uluhatinya menjadi 'nak dan tanpa tercegah ia jadi muntah.
Melihat sepak terjang si pengemis, Kok Sek Koen jadi gusar bukan main. "Pengemis bau!" ia
membentak. "Kau sengaja mau merintangi kami?" Sehabis membentak, ia kirimkan tendangan
Lianhoan toei (tendangan berantai) Si pengemis yang tadi meram-melek, tiba-tiba saja bangun
berduduk dengan gerakan Lcehic tahteng (Ikan gabus meletik). "Eh, apa tempat ini milik
bapakmu?" ia membentak. "Aku senang tidur disini, anak Allah (kaizar) pun tak dapat
melarangnya." Sehabis membentak, ia menyemburkan ludahnya.
Kuatir kesembur ludah, Kok Sek Koen buru-buru loncat minggir.
"Awas!" demikian teriakan Hiatsintjoe.
Kok Sek Koen sama sekali tidak mengimpi, bahwa senjata rahasia si penderita kusta tersimpan
dalam ludahnya. Sekonyong-konyong pundaknya gatal dan di lain saat, matanya berkunang-
kunang. Cepat bagaikan kilat, pengemis itu bergulingan sambil membabat dengan tongkat besinya
dan tak ampun lagi, badan Kok Sek Koen yang tinggi besar rubuh bagaikan pohon ditebang.
Pengpok Hankong kiam menyambar dan menikam manusia weduk itu.
Selagi Peng Go menikam Kok Seng Koen, Hiatsintjoe sudah bergebrak dengan pengemis itu.
Dengan gemas, Hiatsintjoe menurunkan pukulan yang membinasakan dengan kedua tangannya,
tangan kanan mencengkeram tenggorokan, tangan kirinya menghantam dada. Selagi mau
menyampok dengan tongkatnya, mendadak pengemis itu merasakan menyerangnya hawa yang
sangat panas, sehingga ia sukar bernapas. "Celaka!" ia berseru, badannya kena disampok dan
"plung!", ia kecebur dalam kobakan di bawah jurang.
Buru-buru Pengtjoan Thianlie memburu dan mengirim beberapa serangan hebat. Mendadak,
paras muka Hiatsintjoe berubah, sedang dari atas kepalanya keluar uap putih. Dengan sekali
menjejek kaki, badannya melesat ke atas dan terus kabur mendaki gunung, tanpa memperdulikan
lagi nasib kawannya.
Pengtjoan Thianlie merasa sangat heran, ia tidak mengerti kenapa Hiatsintjoe lantas melarikan
diri. Ia mengawasi ke arah kobakan dan mendadak sadja ia jadi terpaku bahna kagetnya. Si
pengemis yang barusan kecemplung, ternyata sedang duduk di atas batu dengan tidak memakai
baju. Apa yang membikin si nona jadi kesima adalah: Kulit badan dan mukanya yang bisulan
sudah berubah licin, sepuluh jerijinya yang bengkak-bengkok sudah menjadi lempeng, sedang
mukanya yang bersinar merah sudah berubah menjadi putih! Meskipun ia tidak secakap Tong
Keng Thian, tapi toh ia bukan seorang pemuda yang jelek romannya.
Sekonyong-konyong Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget sambil menuding ke satu jurusan.
Yang membikin Yoe Peng berteriak ternyata adalah Kok Sek Koen yang lengannya bengkak
sebesar timba air, mukanya berwarna hitam, sedang mulutnya mengeluarkan rintihan yang
menyayatkan hati. Dilihat dari tanda-tandanya, ia seperti juga kena digigit ular yang sangat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

berbisa. Sesaat kemudian, ia bergulingan, mulutnya menggigit rumput dan kedua tangannya
mencengkeram tanah. Melihat begitu, Pengtjoan Thianlie merasa tak tega. Ia pungut sebutir batu
dan menimpuk jalan darah Kok Sek Koen yang membinasakan.
Si pengemis tertawa terbahak-bahak. "Yang mujur adalah Hiatsintjoe," katanya.
"Siapakah kau?" tanya Peng Go Sekali mengenjot badan, pengemis itu sudah hinggap di atas
tanah datar dan sesudah memungut tongkat besinya yang berwarna hitam, ia menyahut sembari
nyengir: "Aku adalah seorang penderita kusta yang romannya seperti memedi!"
Waktu mempelajari buku obat-obatan bangsa Han, Peng Go pernah membaca penuturan
tentang penyakit itu.
"Apa? Penyakit kusta?" ia menegasi.
Si pengemis tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan kedua tangan, ia mencekal tongkatnya
yang kemudian ditarik. Dengan satu suara "srt", tercabutlah sebatang pedang yang hitam
mengkilap. Ia tunggingkan tongkat besi itu (atau lebih benar sarung pedang) dan dengan telapak
tangannya, ia menadah semacam bubuk yang keluar dari dalamnya. Sesudah itu, ia mengusap
mukanya. Hampir berbareng, Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget. Pengemis itu yang barusan
saja berparas cakap dan berkulit licin, sudah pulang asal menjadi penderita kusta yang mukanya
bersinar merah.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Sesudah memperlihatkan mukamu yang sejati, guna apa
kau main gila lagi?" kata si nona.
Si nona ternyata sudah dapat menebak, bahwa tanda-tanda penyakit kusta itu adalah buatan
belaka dengan mengerahkan tenaga dalam, sehingga otot-ototnya pada menonjol keluar, seolah-
olah bisul penyakit kusta. Peng Go juga mengetahui, bahwa sinar merah pada mukanya adalah
akibat semacam sepuhan yang disimpan dalam sarung pedangnya.
Si pengemis menyapu dengan kedua matanya yang tajam. Mendadak ia mengeluarkan tertawa
aneh. "Apa artinya muka yang sejati?" ia tanya. "Tahukah kau, bagaimana mukaku yang sejati?"
Tiba-tiba ia loncat dan menikam si nona dengan pedangnya.
Itulah serangan yang tidak diduga-duga!
"Kenapa kau menyerang?" membentak Peng Go.
Tanpa menyahut, si pengemis mengirim tiga serangan, serangan yang sangat hebat.
Selama hidupnya, Pengtjoan Thianlie sering mengalami kejadian yang luar biasa. Akan tetapi,
kejadian pada hari itu adalah pengalamannya yang paling aneh. Dengan mempunyai ilmu
mengentengkan badan yang sangat tinggi, hampir-hampir Peng Go tak dapat mengelit tiga
serangan itu.
"Kongtjoe! Cabutlah senjata!" berseru Yoe Peng.
Dengan gerakan Djieyan tjoanliam (Anak walet menembus tirai), Peng Go mengegos empat
lima serangan. Waktu serangan ke enam menyambar, Pengpok Hankong kiam sudah terhunus dan
bagaikan kilat, Pengtjoan Thianlie melakukan serangan pembalasan. Si pengemis bergidik akan
kemudian tertawa terbahak-bahak. "Maksudku adalah untuk berkenalan dengan pedang
mustikamu," katanya sembari menyerang terlebih hebat.
Pengemis itu ternyata mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya. Saban kali kedua senjata
berbentrok, Peng Go selalu merasa lengannya pegal. Ia kaget berbareng heran, ketika mendapat
kenyataan, bahwa ilmu silat orang itu tidak berada di sebelah bawahnya ataupun Keng Thian.
Dengan cepat ia mengempos semangat dan melayani dengan terutama menggunakan ilmu
mengentengkan badan dan menjaga, supaya pedangnya tidak kebentrok pedang si pengemis.
Pengpok Hankong kiam berkelebat-kelebat bagaikan titiran, seolah-olah berubah menjadi
puluhan pedang. Hawa yang luar biasa dinginnya meliputi mereka berdua, sehingga orang yang
ilmu silatnya kurang tinggi tentu sudah roboh kedinginan, meskipun tidak ketikam pedang. Si
pengemis kusta seperti juga tidak merasakan hawa dingin itu. Ia tertawa terbahak-bahak seraya
berteriak: "Bagus! Bagus! Hawa memang sedang panas."
Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, tanpa ada yang keteter.
"Orang ini tentu mempunyai asal-usul luar biasa," pikir Pengtjoan Thianlie.
"Untuk apa aku bertempur mati-matian?" Berpikir begitu, si nona lantas saja menyerang
dengan pukulan-pukulan simpanan dari Tatmo Kiamhoat dan akhirnya, dengan pukulan Gioklie
tauwso (Dewi menenun), Pengpok Hankong kiam berhasil memapas rambut si pengemis. Tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

pada saat itu juga, berbareng dengan suara "trang!", pedang Pengtjoan Thianlie terbang ke atas
udara!
Ternyata, kedua belah pihak mempunyai pikiran yang sama. Masing-masing ingin
menghentikan pertempuran, begitu lekas sudah berhasil memperlihatkan keunggulannya.
Dalam gebrakan itu, gerakan Pengtjoan Thianlie agak lebih cepat dari lawannya, tapi si pengemis
mempunyai tenaga dalam yang lebih besar, sehingga ia berhasil melontarkan pedang si nona.
Yoe Peng terkesiap. "Binatang!" ia membentak. "Benar kau tak mengenal budi. Kebaikan
dibalas dengan kejahatan!"
Si penderita kusta tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba mulutnya menyembur dan dua titik hitam
sebesar kacang kedele, menyambar Yoe Peng. Hati Pengtjoan Thianlie mencelos, ia sudah tak
keburu menolong lagi. Pada saat itu, sedapat mungkin Yoe Peng berkelit, tapi tak urung
rambutnya terpapas juga.
Dengan sekali meloncat, Peng Go sudah berhasil menyambut pedangnya yang sedang
melayang jatuh. Selagi ia hendak menyerang pula, sekonyong-konyong si pengemis menangis,
semakin lama semakin sedih dan keras.
"Eh, kenapa engkau?" tanya Peng Go akhir-akhirnya.
Tanpa menyahut, pengemis itu memasukkan pedang besinya ke dalam sarung yang berupa
tongkat besi itu, dan kemudian terpincang-pincang, ia pergi ke solokan untuk mencuci mukanya.
Di lain saat, sinar merah yang menakutkan sudah hilang dari mukanya dan pada kulitnya pun tidak
terlihat lagi bisul-bisul yang menjijikan. Ia berdiri tegak dengan paras mukanya yang cakap dan
angker.
Mendadak ia menyoja dan berkata: "Untukmu, aku sudah melangggar sumpahku. Dalam dunia
ini, kau adalah manusia pertama yang tidak membenci diriku. Kalian pergilah!"
"Apa artinya perkataanmu itu?" tanya si nona.
"Aku pernah bersumpah untuk memusuhi semua manusia yang ilmu silatnya tinggi," jawabnya.
"Kau dan aku adalah setanding. Sebenarnya aku ingin berkelahi terus sampai ada keputusan, tapi
sekarang aku mengurungkan niatan itu."
"Kenapa?" tanya si nona.
"Karena kau tidak membenci aku," sahutnya.
"Aku tak percaya," kata Peng Go. "Aku sama sekali tidak percaya, bahwa selain aku, semua
orang membenci kau."
"Kecuali jika Lu Soe Nio masih hidup dalam dunia ini," kata si pengemis. "Menurut Soehoe
(guru), dalam dunia ini hanya Lu Soe Nio yang tidak membenci kusta."
Dari mendiang ayahnya, si nona pun pernah mendengar nama Lu Soe Nio, seorang pendekar
wanita yang dianggap sebagai ahli silat nomor satu di jaman itu. Ia menjadi heran karena ia tidak
mengerti, ada hubungan apa antara Lu Soe Nio dan pengemis itu.
"Bagaimana kau tahu, bahwa ia tidak membenci penderita kusta?" tanya Peng Go. "Selain itu,
bukankah kau sendiri sebenarnya tidak menderita penyakit kusta!"
Si pengemis menyusut air matanya, akan kemudian tertawa terbahak-bahak. "Perkataan
guruku, mana bisa palsu?" katanya.
"Di dalam dunia, hanya ia yang tidak membenci penderita kusta. Tidak! Sekarang ditambah
dengan kau dan dalam dunia ini hanya dua orang yang tak membenci si sakit kusta."
"Terang-terang kau tidak menderita penyakit kusta," kata pula si nona. "Apakah gurumu
seorang penderita kusta?"
"Aku dan guruku adalah sama saja," sahutnya. "Jika tak ada guruku, siang-siang aku sudah
mati di pinggir jalan, tanpa diperdulikan siapapun juga."
Koei Peng Go tergoncang hatinya. Ia ingat, bahwa menurut kitab ketabiban, kusta adalah
penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan. Didengar dari keterangan si pengemis, gurunya
seperti juga seorang yang pernah menderita penyakit itu dan yang belakangan sudah menjadi
sembuh. Hatinya jadi semakin heran dan ia sungkan melepaskan orang itu dengan begitu saja.
"Siapa gurumu?" tanya pula si nona.
Pengemis itu mendelik. "Aku juga tak tahu, guruku siapa," sahutnya.
"Mana bisa begitu?" Pengtjoan Thianlie mendesak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apakah bocah yang baru berusia tiga empat tahun, bisa mengerti segala urusan?" pengemis
itu berbalik menanya.
"Ha?" Apakah kau mau mengartikan, bahwa kau sudah masuk dalam rumah perguruan sedari
usia tiga empat tahun?' tanya Peng Go lagi.
"Benar," jawabnya. "Baru saja aku belajar mendaki gunung sembari merangkak, guruku sudah
meninggal dunia,"
Pengtjoan Thianlie memanggut-manggutkan kepalanya. "Sungguh kasihan!" katanya.
Mendadak paras muka si pengemis berubah. "Aku tak sudi dikasihani orang!" ia membentak
sembari mengangkat tongkatnya, tapi sesaat kemudian, senjata itu diturunkan pula dengan
perlahan.
Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan mata tajam dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: "Gurumu..." Sebenarnya ia ingin berkata begini: "Jika benar gurumu sudah meninggal
dunia ketika kau baru berusia tiga empat tahun, dari mana kau mendapat ilmu silat yang begitu
tinggi?" Tapi ia tak dapat menanya terus, karena si pengemis sudah mendelik lagi dan berteriak:
"Aku tak memperkenankan manusia yang mengasihani penderita kusta, menyebut-nyebut pula
nama guruku!'
"Kongtjoe, marilah kita berangkat!" kata Yoe Peng yang sudah tidak dapat menahan sabarnya
lagi.
Pengtjoan Thianlie menggoyangkan tangannya dan dengan suara lemah lembut menanya pula:
"Siapa namamu? Apa boleh aku majukan pertanyaan itu?"
Pengemis itu mengawasi si nona dan menghela napas panjang. Ia menundukkan kepalanya dan
menjawab dengan suara perlahan: "Kau adalah orang pertama yang menanyakan namaku.
Baiklah. Aku bersedia memberitahukannya. Namaku Kim Sie Ie, nama pemberian guruku."
Begitu mendengar, Peng Go mengetahui, bahwa "Kim Sie Ie" yang berarti "Peninggalan jaman
emas" sama diucapkannya dengan "kim sie ie" yang berarti "disia-siakan atau diasingkan seluruh
penghidupannya." Kata si nona di dalam hatinya: "Jika ia seorang penderita kusta yang belum
sembuh dari penyakitnya, menurut kebiasaan orang Han, memang ia harus diasingkan seluruh
masa hidupnya."
Sesudah memberitahukan namanya, Kim Sie Ie terus mengawasi Peng Go.
"Kemana kau mau pergi?" tanya si nona.
"Kemana kau pergi, kesitu aku juga pergi," jawabnya. "Kemana kau mau pergi?"
"Ke Soetjoan barat," jawabnya.
"Kalau begitu, aku pun ke Soetjoan barat," kata Kim Sie le.
"Apakah kau kenal jalan?”
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tak ingin berjalan bersama-sama pemuda itu, tapi ia tidak bisa
berdusta. "Aku sudah tanya-tanya," sahutnya. "Sesudah lewat gunung ini, aku tak tahu jalan lagi."
"Jika begitu, apa boleh aku menyertai kalian?" tanya pemuda itu.
Yoe Peng mendongkol sekali, ia mengawasi majikannya. Tapi Pengtjoan Thianlie yang penuh
welas asih merasa kasihan kepadanya dan juga kuatir, jika pemuda itu nanti salah mengerti, kalau
ia menolak. Maka itu, lantas saja ia menyahut dengan suara perlahan: "Baiklah."
"Begitu turun dari gunung ini, kita akan bertemu dengan rumah-rumah penduduk," kata Yoe
Peng. "Siauwkongtjoe, bagaimana kita dapat jalan bersama-sama dia?"
Pengtjoan Thianlie yang tadi bicara dengan hati setulusnya, menjadi sadar begitu mendengar
perkataan dayangnya. Pengemis yang berdiri di hadapannya, tidak berbaju, sedang celananya
yang rombeng terbuat dari selembar karung. Sungguh tak pantas untuk seorang gadis seperti ia
berjalan bersama-sama dengan pengemis itu.
Kim Sie le tertawa terbahak-bahak. "Kau mencela pakaianku yang rombeng?" katanya sembari
memutarkan badan dan di lain saat, ia sudah lari seperti terbang dan segera lenyap dari
pemandangan.
"Kau lihat!" kata Peng Go dengan suara menyesal. "Tanpa sebab, tanpa lantaran, kita kembali
menanam bibit permusuhan."
"Siauwkongtjoe," kata si pelayan. "Melihat dia saja, nyaliku sudah ciut."
"Ya," kata si nona sesudah berselang beberapa saat. "Baik juga aku dulu-dulu tidak mengenal
penyakit itu. Jika aku sudah tahu, mungkin sekali aku juga akan jadi ketakutan." Ia sungguh tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

mengerti, kenapa Kim Sie Ie berkelakuan begitu aneh. Ia memutar otak, tapi tidak dapat
memecahkan teka-teki di sekitar si pengemis yang luar biasa.

***
Di sekitar gunung Tjiakdjie san terdapat banyak sekali puncak-puncak yang menjulang ke atas
bagaikan gigi anjing. Selama berada di bagian tertinggi dari gunung itu, dunia dirasakan sempit
dan berjalan di antara pohon-pohon besar, orang akan mendapat perasaan menyeramkan.
Sesudah melewati puncak tertinggi itu, baru orang akan tiba di tempat terbuka, darimana ia
dapat memandang puncak-puncak yang lebih rendah dan kelihatan seolah-olah kambing-kambing
berbulu putih.
Melihat pemandangan yang indah itu, semangat Yoe Peng jadi terbangun. "Untung juga kita
sudah melepaskan diri dari si kusta yang menyebalkan," katanya sembari tertawa dan bertepuk
tangan. "Jika ia masih berada disini, pemandangan yang begini indah seperti juga dikotorkan
olehnya."
"Dia toh sebenarnya tidak mendapat penyakit itu," kata sang majikan sembari tertawa. "Dia
sama sekali tidak mengganggu kita, kenapa kau begitu jengkel terhadapnya?"
"Aku sebal melihat tingkah lakunya yang aneh," kata pula Yoe Peng. "Mana bisa dia
dibandingkan dengan Tong Siangkong."
Mendengar sang dayang menyebutkan Tong Keng Thian, tanpa sadar si nona menghela napas
panjang.
Sesudah berjalan lagi kira-kira dua jam, mereka sudah melewati selat gunung di sebelah
selatan dan rumah-rumah penduduk sudah terlihat di depan mata. Yoe Peng jadi semakin
gembira. "Ah! Berjalan di jalan gunung selama beberapa hari ini, sungguh-sungguh menyesakkan
dadaku," katanya. "Sungguh menyebalkan terus menerus makan daging kambing bakar."
Pengtjoan Thianlie mesem mendengar perkataan dayangnya. Tiba-tiba ia menuding ke sebelah
depan seraya berkata: "Coba lihat, siapa itu?" Yoe Peng mengawasi ke arah yang ditunjuk
majikannya. Di lereng gunung tiba-tiba muncul seorang yang mengenakan pakaian berwarna
hijau, sedang kepalanya dibungkus dengan ikat kepala pasegi. Beberapa saat kemudian, mereka
kenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Kim Sie Ie!
Yoe Peng mendeluh, ia melengoskan mukanya.
"Kenapa kau kembali lagi?" tanya si nona sembari mesem, sesudah Kim Sie Ie datang dekat.
"Sang Budha harus mengenakan pakaian bersalut emas, manusia harus berpakaian rapi,"
jawabnya. "Karena kau mencela aku, tak ada jalan lain daripada mencuri pakaian supaya aku
dapat berjalan bersama-sama kau."
"Hm! Tak nyana, kau juga bisa menjadi pencuri," kata Peng Go sembari tertawa.
"Benar," kata Kim Sie Ie. "Aku juga sudah mencuri lain macam barang. Apa kau mau?" Sehabis
berkata begitu, dari kantong yang menggemblok di punggungnya, ia mengeluarkan rantang
makanan yang terisi empat macam sayur dan nasi putih.
Si nona menyambuti rantang itu dan berkata: "Terima kasih." Ia membagi separoh makanan
itu kepada Yoe Peng, tapi si dayang menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Tidak, aku
tak mau." Meskipun mengetahui, bahwa Kim Sie Ie tidak berpenyakit kusta, Yoe Peng tak dapat
menyingkirkan perasaan jijiknya. Selagi majikannya makan, ia sendiri lalu memetik beberapa buah
dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Melihat si nona makan santapan yang disuguhkan olehnya dengan enak sekali, sorot mata Kim
Sie Ie memperlihatkan sinar berterima kasih dan dua butir air mata turun di kedua pipinya.
Selama dua hari mengikuti Pengtjoan Thianlie, Kim Sie Ie tidak memperlihatkan lagak gila-gila
lagi. Di sepanjang jalan, ia bercakap-cakap sembari tertawa-tawa, tempo-tempo menceritakan
kejadian aneh dalam kalangan Kangouw.
Tapi, begitu lekas si nona coba menyelidiki asal-usulnya, ia bungkam dalam seribu bahasa,
sehingga Peng Go merasa tidak enak untuk mendesak.
Hari itu, mereka tiba di sebuah kota kecil, di sebelah selatan Tjiakdjie san. Di sepanjang jalan,
orang-orang yang berpapasan dengan mereka, selalu mengawaskan dengan sorot mata heran,
sehingga Yoe Peng merasa sangat tidak enak dan diam-diam menyesalkan majikannya yang sudah
mau berjalan bersama-sama pengemis itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Selagi enak berjalan, tiba-tiba Kim Sie Ie berkata: "Disini aku mempunyai seorang sahabat. Mari
kita mengunjungi ia."
"Kami tidak mengenal sahabatmu itu," kata Yoe Peng. "Kau pergilah sendiri." Tapi Pengtjoan
Thianlie berpikir lain, ia ingin mengetahui, siapa sahabat orang aneh itu. "Sudah ketelanjur kita
berjalan bersama-sama, rasanya baik juga aku berkenalan dengan sahabatmu itu," katanya
sembari tertawa.
Yoe Peng mendongkol bukan main, tapi ia tak dapat membantah kemauan nonanya.
Sesudah berjalan mengikuti Kim Sie Ie beberapa lama, mereka tiba di depan sebuah gedung
yang pintunya dicat merah. Kim Sie Ie memanggil-manggil beberapa kali, tapi tak ada yang
menyahut. Entah dengan menggunakan ilmu apa, dalam sekejap saja ia dapat membuka pintu itu
dan di lain saat, dari dalam keluar seorang pemuda.
Paras muka pemuda itu, yang mengenakan baju makwa, tenang dan agung, sehingga Peng Go
merasa heran melihat si pengemis punya sahabat serupa pemuda itu.
Begitu keluar, pemuda itu menyapu mereka bertiga dengan sorot mata heran. Sesaat
kemudian, ia merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: "Maaf, aku tidak
mengenali Hengtay (saudara). Apakah sudah lama Hengtay datang disini?"
Mendengar pertanyaan itu, Pengtjoan Thianlie terkejut. Lagi-lagi Kim Sie Ie mengeluarkan
lagak-lagaknya yang gila-gila!
"Aku datang untuk menemui Tong Djiesianseng," kata Kim Sie Ie. "Siapa mau bertemu dengan
kau?"
Sekali lagi Peng Go terkejut. Tong Djiesianseng? Nama itu agak tak asing baginya.
"Mendiang kakekku sudah meninggal dunia lama sekali," jawab si pemuda.
"Apa? Tong Djiesianseng sudah meninggal dunia?" Kim Sie Ie menegasi. "Sayang! Sungguh
sayang! Apakah kau masih mempunyai anggauta keluarga yang tingkatannya tua?"
"Kakek dan pamanku sudah pada meninggal," jawabnya. "Tak ada orang lagi yang dapat
melayani kau."
"Mana bisa? Apakah semua orang, laki-laki dan perempuan, dari tingkatan lebih tua sudah pada
mati seanteronya?" tanya si pengemis secara kurang ajar sekali.
Meskipun terdidik baik, mau tak mau, pemuda itu menjadi gusar. "Yang tingkatannya lebih tua
dalam keluarga kami hanya ketinggalan
Kouwkouw (bibi)," sahutnya dengan suara mendongkol. "Ia sudah tua dan berpenyakitan,
sudah beberapa tahun, ia tidak pernah keluar pintu/'
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Coba panggil Kouwkouw-mu."
Pemuda itu tercengang. Sedikitpun ia tidak nyana, tetamu itu bisa mengeluarkan kata-kata
yang sedemikian kurang ajar. "Dua tahun berselang, ketika Moh Tjoan Seng Loopeh datang
berkunjung, Kouwkouw-ku juga tidak keluar menyambut," katanya dengan suara dingin. "Dengan
sebenar-benarnya ia sakit dan bukan tidak sudi menemui tamu. Jika mungkin, beritahukan saja
kepadaku she dan nama tuan, supaya aku dapat menyampaikan kepada
Kouwkouw. Maafkanlah, siauwtee (adik) tak dapat mengantar kalian." Ia menyoja, sebagai
suatu tanda, bahwa ia tak dapat melayani lagi terlebih lama.
Pengtjoan Thianlie terkejut. Moh Tjoan Seng yang disebutkan oleh pemuda itu adalah paman
yang ia sedang cari. Harus diketahui, bahwa pada jaman itu, Moh Tjoan Seng adalah pemimpin
Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan. Cobalah pikir: Jika seorang sebagai Moh Tjoan Seng masih
belum mendapat kehormatan untuk disambut oleh Kouwkouw pemuda itu, bukankah permintaan
Kim Sie Ie berarti, bahwa ia sungguh tak tahu diri?
Sementara itu, paras muka Kim Sie Ie sudah berubah. "Apakah kau mau mengusir tamu?"
tanyanya dengan suara aseran.
"Mana aku berani? Mana berani? Maaf, harap dimaafkan," jawab si pemuda, tapi kedua
tangannya tetap membuat gerakan seperti sedang mengantar tamu keluar.
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Di lain saat, parasnya bersinar
merah, mukanya penuh dengan daging yang menonjol keluar seperti bisul dan di kedua lengannya
pun muncul bisul-bisul yang menjijikkan.
Pemuda itu mencelos hatinya. "Kau! Kau!" ia berteriak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah ke muka pemuda itu dan tangannya bergerak, sehingga
pemuda tersebut jatuh terpelanting. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Kau mau
mengusir aku, aku justru tak mau pergi! Tong Lootaypo! Aku mau melihat, apakah kau mau keluar
atau tidak!'
"Sungguh jempol! Sungguh tinggi ilmu itu!" demikian terdengar suara seorang tua. Beberapa
saat kemudian, seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua, muncul dengan dipepayang
seorang pelayan wanita.
Pemuda yang barusan dirobohkan Kim Sie Ie meloncat bangun dan berseru sambil menuding
pengemis itu: "Kouwkouw! Pengemis jahat itu mau juga menemui kau."
"Bagaimana kau harus berbuat jika menghadapi anjing gila?" kata si nenek. "Apa kau tak tahu?
Ambil busurku!"
Begitu berbicara, sikap nenek itu berubah. Kalau barusan ia kelihatan lemah dan tidak berdaya,
sekarang ia berubah angker dan garang. Ia menyambuti sebuah busur yang disodorkan
pelayannya dan berbareng dengan suara menjepret, belasan peluru menyambar susul menyusul.
Kim Sie Ie tertawa besar. "Sungguh beruntung hari ini aku dapat menyaksikan senjata rahasia
dari keluarga Tong!" ia berseru sambil loncat dan memutarkan tongkatnya bagaikan titiran.
Pengtjoan Thianlie jadi seperti orang kesima. Dua belas peluru itu menyambar dengan macam-
macam cara-ada yang lurus menyambarnya, ada yang miring, ada yang lebih dulu berbentrok satu
dengan yang lain, kemudian baru menyambar sasarannya, seperti bola bilyar -- dan anehnya,
setiap peluru itu menyambar ke arah jalan darah Kim Sie Ie yang besar! Cara melepaskan senjata
rahasia itu sungguh tiada keduanya dalam Rimba Persilatan!
Tapi Kim Sie Ie agaknya juga sudah mempunyai persiapan. Dengan disertai suara "tring-tring!"
dan meletiknya api, tongkatnya yang diputar luar biasa cepatnya, sudah berhasil mementalkan
dua belas peluru itu. Tapi walaupun berhasil, tak urung Kim Sie Ie mengeluarkan juga keringat
dingin. Tongkat besinya penuh titik-titik akibat hantaman peluru-peluru itu. Ia sekarang mendapat
bukti, bahwa meskipun tua, tenaga dalam nenek itu tidak berada di sebelah bawahnya.
"Bagus!" seru si nenek. "Muda-muda tak sayang diri. Sungguh sayang!"
Busur menjepret lagi, tapi kali ini berbeda dengan yang pertama. Jika tadi peluru-peluru itu
menyambar dengan bunyi nyaring, kali ini menyambarnya tidak bersuara. Peluru-peluru itu
melayang dalam empat kelompok, setiap kelompok terdiri dari tiga butir peluru. Mereka
menyambar dari empat penjuru dengan kecepatan yang berbeda-beda. Begitu mendekati sasaran,
kelompok yang di belakang tiba-tiba seakan-akan menambah kecepatannya dan melombai
kelompok yang di sebelah depan. Di lain saat, bagaikan hujan peluru-peluru itu menyambar tubuh
Kim Sie Ie dengan serentak!
"Senjata rahasia keluarga Tong benar-benar hebat!" teriak Kim Sie Ie yang lantas saja jungkir
balik beberapa kali di atas tanah.
"Kau pun boleh coba merasakan senjata rahasiaku!" ia berseru sembari meloncat dan
menyemburkan ludahnya.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Melihat senjata rahasia si nenek, ia segera mengetahui, bahwa ia
tentu bukan lain daripada Tong Say Hoa yang namanya pernah disebut-sebut Tong Keng Thian.
Beberapa puluh tahun berselang, nama nenek itu telah menggetarkan seluruh dunia Kangouw dan
ia adalah puteri tunggal Tong Kim Hong, seorang ahli senjata rahasia nomor satu di jamannya.
Tong Kim Hong adalah putera kedua dalam keluarganya dan oleh karena itu, belakangan ia
dikenal sebagai Tong Djiesianseng. Dulu, Tong Kim Hong dan puterinya pernah berbentrok dengan
kedua orang tua Tong Keng Thian dan dengan bantuan Lu Soe Nio, baru sengketa itu dapat
diselesaikan. Liong Leng Kiauw adalah murid penutup dari Tong Kim Hong dan menjadi Soetee
Tong Say Hoa. Dalam perjalanan ke Soetjoan untuk sekalian menyelidiki soalnya Liong Leng
Kiauw, orang yang ingin dicari oleh Keng Thian adalah nenek itu.
Maka, demi mengetahui asal-usul si nenek, Pengtjoan Thianlie terkejut ketika melihat Kim Sie
Ie menggunakan senjata rahasianya yang mengandung racun. Tanpa berpikir lagi, ia menghunus
pedangnya dan sembari meloncat, menikam jalan darah Hiankie hiat, di dada Kim Sie Ie, dengan
tujuan supaya pengemis itu batal melepaskan senjata rahasianya.
Di lain detik, berbareng dengan suara mengaung yang sangat keras, busur Tong Say Hoa
berbentrok dengan tongkat si pengemis dan sebagai akibatnya, lima helai tali busur itu putus,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sedang tongkat besi si pengemis terpental ke tengah udara. Hampir berbareng dengan itu, baju
Kim Sie Ie, di bagian dada, dirobek ujung pedang Pengtjoan Thianlie.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie sembari loncat menyambut tongkatnya yang sedang melayang turun,
dan sesudah itu, ia kabur bagaikan terbang.
"Kau benar manusia kejam!" seru Peng Go dengan gusar sekali. "Lain kali jangan kau menemui
aku lagi." Si pengemis tidak menyahut, ia kabur terus sesudah melompati tembok.
Untuk sesaat, Koei Peng Go berdiri terpaku. Dengan mata mendelong, ia mengawasi punggung
si pengemis yang sedang kabur. Ia tak tahu, apakah ia harus gusar, apakah ia merasa sayang
melihat perbuatan pemuda yang berkepandaian tinggi itu atau bersimpati kepadanya.
Dengan paras muka gusar, Tong Say Hoa melemparkan busurnya yang rusak. "Nona yang
cantik, apakah kau datang bersama-sama ia?" tanyanya.
"Moh Tjoan Seng adalah Pehpeh-ku," jawabnya dengan menyimpang.
Si nenek kelihatan heran. "Hm!" Ia menggerendeng. "Kau keponakan Moh Tjoan Seng?
Bagaimana kau bisa berada bersama-sama seorang pengemis penderita kusta?"
Di waktu mengucapkan kata-kata "pengemis penderita kusta," suaranya mengandung
kegusaran dan penghinaan hebat. Pengtjoan Thianlie sebenarnya belum menganggap Kim Sie Ie
sebagai sahabatnya, akan tetapi, entah kenapa, begitu mendengar nada suara dan melihat sikap si
nenek, hatinya lantas saja menjadi kurang senang.
Maka itu, ia hanya memberi jawaban pendek dengan suara tawar: "Aku menjumpainya di
tengah jalan."
Tiba-tiba ia melihat sinar hitam pada muka Tong Say Hoa. "Tong Pehbo!" ia berseru dengan
suara kaget. "Kau terkena senjata rahasianya!" Mengingat hebatnya racun senjata si pengemis, ia
bergidik dan segala rasa simpatinya lantas saja hilang seperti ditiup angin. "Aku tak nyana, ia
seperti juga anjing gila yang menggigit setiap orang yang dijumpainya!" katanya dengan suara
gusar.
"Apakah tadinya menganggap dia manusia baik-baik?" tanya si nenek sembari tertawa dingin.
Si nona mengerutkan alisnya. "Pehbo," katanya "Apakah kau sudi menggunakan obatku untuk
memunahkan racun?"
Pemuda keponakan Tong Say Hoa, yang kelihatannya merasa suka terhadap Peng Go dan yang
sedari tadi berdiri di dekat bibinya, lantas saja berkata: "Nona, terima kasih untuk kebaikanmu.
Untung ada kau yang sudah bantu mengusir dia. Kau mempunyai obat mustajab?"
"Obat itu dibuat olehku sendiri," jawab Peng Go. "Meskipun tidak dapat dipersamakan dengan
Thiansan Soatlian, tapi boleh juga untuk memunahkan racun. Tapi aku tak tahu, apakah obat itu
berguna terhadap racun senjata rahasia pengemis itu."
Oleh karena sedari kecil sehingga besar dipelihara dalam keraton es yang terasing dari dunia
luar, Peng Go tidak mengetahui, bahwa ia harus menjalankan peradatan terhadap Tong Say Hoa
sebagai seorang yang tingkatannya lebih rendah terhadap orang yang tingkatannya tinggi. Selain
itu, iapun tidak menjawab dengan kata-kata yang tepat terhadap pernyataan terima kasih pemuda
itu, ditambah pula dengan sikapnya yang angkuh, ia sudah membikin Tong Say Hoa jadi lebih
mendongkol.
Tanpa sadar, bahwa sikapnya sudah menerbitkan salah mengerti, Pengtjoan Thianlie merogoh
sakunya untuk mengeluarkan obat.
Tiba-tiba si nenek mendongak "Tidak!"
"Kouwkouw, tak ada halangannya untuk dicoba-coba," bujuk si keponakan.
Mendadak Tong Say Hoa mendelik. "Toan-djie!" ia membentak. "Senjata rahasia keluarga Tong
belum pernah dilepaskan dengan percuma. Orang luar yang cupat pandangannya, mungkin tak
tahu. Apa kau sendiri tidak tahu? Dalam tempo tiga hari, kutanggung pengemis kusta itu akan
datang untuk menukar obatnya dengan obatku. Walaupun Kouwkouw-mu sudah tua, rasanya ia
masih dapat mempertahankan diri untuk tiga hari."
"Kouwkouw, apakah memedi itu terkena senjata rahasiamu?" tanya pemuda itu.
"Pehbie tjiam (jarum alis putih)!" jawabnya. "Dalam tiga hari racunnya akan mengamuk, dalam
tujuh hari ia akan mampus, jika tidak mendapat obat pemunahnya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dulu Phang Lin, bibi Tong Keng Thian, pernah dilukakan dengan Pehbie tjiam oleh suami Tong
Say Hoa. Ketika itu, biarpun diobati oleh Lie Tie menurut cara pengobatan yang liehay, tak urung
ia masih harus menderita agak lama juga. Kejadian itu diketahui Peng Go dari mulut Keng Thian.
"Dua tahun berselang Moh Tjoan Seng pernah datang kesini dan sekarang ia hidup menyendiri
di Tjengshia san," kata Tong Say Hoa. "Dia adalah tetua Rimba Persilatan jaman ini dan tidak
mengherankan, jika kau mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Aku sudah tua, maaf, aku tak
dapat mengantar kau mencari pamanmu itu."
Peng Go mengetahui, bahwa dengan berkata begitu, si nenek seperti juga mau mengusir ia.
"Aku bisa pergi sendiri, tak berani aku membikin capai Pehbo," katanya. "Tapi ada suatu kejadian
yang aku ingin memberitahukan Pehbo. Liong Leng Kiauw telah di penjarakan di Lhasa. Apakah
Pehbo sudah tahu?"
"Apa?" teriak si nenek dengan suara kaget. "Liong Leng Kiauw ditangkap di Lhasa?"
Harus diketahui, bahwa Tong Say Hoa tidak mempunyai anak. Sedari berusia tujuh tahun,
Liong Leng Kiauw sudah berguru kepada keluarga Tong. Maka itu, meskipun secara resmi ia
adalah Soetee (adik seperguruan) Say Hoa, akan tetapi, si nenek menganggap ia seperti putera
sendiri.
Pengtjoan Thianlie lantas saja menuturkan segala kejadian yang diketahuinya.
"Hm!" si nenek menggerendeng sehabis Peng Go menutur. "Besar benar nyali Hok Kong An dan
Hiatsintjoe. Hm! Dilihat begini, benar-benar mereka tidak mau membiarkan aku, si tua, hidup
senang di rumah."
"Kouwkouw," kata keponakannya. "Lebih baik kau jangan terlalu gusar. Sesudah kau sembuh,
barulah kita berdamai bagaimana baiknya."
Tong Say Hoa memanggut-manggutkan kepalanya. "Benar!" katanya. "Toan-djie! Antar aku
masuk." Tanpa memperdulikan Pengtjoan Thianlie, ia segera masuk ke dalam.
Dapat dibayangkan berapa besar rasa mendongkolnya Peng Go.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
Pemuda itu merasa sangat tidak enak, buru-buru ia menghampiri dan menyoja. "Kouwkouw-ku
yang tua memang rada linglung dan aku mohon kalian jangan menjadi kecil hati," katanya.
"Siapakah ayahmu? Tjio Tayhiap atau Koei Tayhiap?”
"Ayahku Koei Hoa Seng," jawab si nona.
Pemuda itu terkejut dan segera berkata: "Ah! Kalau begitu Koei Tjietjie! Namaku Tong Toan.
Aku mohon, dengan mengingat Kouwkouw tidak mempunyai pelindung, supaya Tjietjie sudi
berdiam disini beberapa hari,"
"Bukankah Kouwkouw-mu sudah melukakan pengemis kusta itu dengan Pehbie tjiam dan
sekarang hanya menunggu penukaran obat?" kata si nona. "Kepandaianku sangat cetek. Mana
bisa aku melindungi Kouwkouw-mu?"
Tong Toan tertawa dan berkata pula: "Kouwkouw mengandalkan kepandaiannya secara
berlebih-lebihan. Siapa dapat memastikan, bahwa pengemis kusta itu tidak akan menyatroni lagi
dalam tiga hari ini? Jika ia, tanpa mengetahui liehaynya Pehbie tjiam menyatroni pula dalam tiga
hari, siapa yang akan dapat melawan ia?"
Peng Go berpikir sejenak. Ia merasa, perkataan pemuda itu memang ada benarnya. "Walaupun
nenek itu agak kurang ajar, tapi ia adalah seorang Tjianpwee," katanya di dalam hati. "Jika aku
lantas berlalu dan sampai terjadi apa-apa, aku akan turut merasa berdosa." Mengingat begitu,
lantas saja ia menyanggupi untuk berdiam beberapa hari dalam rumah keluarga Tong.
Dengan cepat tiga hari sudah lewat. Selama tiga hari itu, Tong Say Hoa terus menyekap diri di
dalam kamar, duduk bersemedhi untuk mengeluarkan racun dari badannya. Dengan
memperhatikan paras muka Tong Toan yang semakin lama jadi semakin guram, Pengtjoan
Thianlie mengetahui, bahwa racun si pengemis sudah bekerja keras dan oleh karena itu, hatinya
merasa sangat tidak enak.
Berdasarkan sakit hatinya terhadap masyarakat, Kim Sie Ie memusuhi semua orang-orang
gagah dari Rimba Persilatan. Akan tetapi, melukakan seorang tua dengan senjata beracun secara
serampangan, adalah perbuatan yang menurut Peng Go, tidak bisa dimaafkan. Berpikir sampai
disini, tanpa merasa si nona teringat Tong Keng Thian. Kedua-duanya adalah pemuda yang
berkepandaian tinggi, akan tetapi mengenai pendidikan, Kim Sie Ie tak dapat direndengkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dengan Tong Keng Thian. Sesaat itu, mau tak mau, ia ingat juga bagaimana Tong Keng Thian
sudah mempermainkan dirinya dan berbareng, ia ingat pula cara-cara Kim Sie Ie yang aneh, tapi
yang mengandung kejujuran dalam keanehannya itu.
Si nona sendiri tidak mengetahui, bahwa terhadap Tong Keng Thian, ia sudah jatuh cinta.
Maka itu, ia selalu gusar dan ingin menghukum pemuda itu untuk segala cacat dan
kesalahannya. Tapi terhadap Kim Sie Ie, ia hanya mempunyai perasaan kepengen tahu, paling
banyak perasaan kasihan. Itulah sebabnya, kenapa ia masih dapat melihat "sifat baik" dalam
keanehan pemuda itu.
Waktu itu sudah magrib dan si pengemis kusta belum juga muncul. Dengan hati cemas, Peng
Go keluar dari kamarnya untuk menanyakan keadaan Tong Loothaypo. Keluarga Tong mempunyai
rumah yang sangat besar, tapi hanya sedikit bujang mereka. Begitu si nona berada di luar kamar
Tong Say Hoa, ia mendengar suara si nenek.
"Malam ini pengemis kusta itu pasti akan datang," kata si nenek dengan suara keras. "Jika ia
tidak berlutut memohon ampun, jangan kau berikan obat pemunah itu!"
"Kouwkouw," kata Tong Toan. "Kita pun membutuhkan obatnya."
"Semenjak dulu, tak ada manusia yang berani memandang rendah keluarga Tong," bentak
Tong Say Hoa. "Bahwa seorang pengemis sudah berani keluar masuk disini, adalah suatu kejadian
yang sangat menghilangkan muka kita. Kalau ia tidak berlutut minta ampun, tak boleh kau
memberikan obat itu. Mengerti?"
"Tapi, Kouwkouw, kau..." kata Tong Toan, terputus-putus.
"Jika ia tidak minta ampun, biarpun sampai mati aku akan tetap menolak obatnya," kata si
nenek yang kepala batu. "Lebih baik biar dia mampus bersama-sama aku, supaya seluruh dunia
mendapat tahu, siapa juga yang berani melanggar keluarga Tong, dia mesti membayar dengan
jiwanya."
"Kouwkouw," kata Tong Toan, tergugu. "Inilah... inilah..." Suaranya gemetar, hatinya sangat
berkuatir.
Tiba-tiba terdengar Tong Say Hoa menggebrak ranjang. "Manusia tak punya semangat!" ia
membentak dengan gusar. "Benar-benar kau tak berhak menjadi anggauta keluarga Tong!"
Pengtjoan Thianlie bergidik. Menukar obat sebetulnya bukan kejadian yang memalukan. Ia
tidak nyana, Tong Say Hoa begitu keras kepala dan kejam hati. Ia merasa gusar terhadap Kim Sie
Ie, tapi sesudah mendengar pembicaraan itu, perasaannya terhadap Tong Say Hoa menjadi lain.
Sementara itu terdengar suara Tong Toan yang sangat perlahan. Mungkin sekali pemuda itu
sedang membujuk bibinya. Tiba-tiba terdengar pula ranjang digebrak.
"Benar bandel kau!" membentak si nenek. "Sebelum mati, lebih dulu aku akan mengambil
jiwanya!"
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dan Tong Toan berjalan keluar. Buru-buru
Pengtjoan Thianlie menyingkir. Gerakannya ini luar biasa cepatnya, sekali berkelebat, ia sudah
berada di belakang sebuah gunung-gunungan batu. Meskipun kepandaian pemuda itu masih kacek
jauh jika dibandingkan si nona, tapi karena sedari kecil sudah berlatih menggunakan senjata
rahasia, perasaan dan kupingnya tajam luar biasa. Dengan cepat ia memburu ke arah
berkelebatnya bayangan orang. Sesaat itu, dengan tindakan perlahan, Peng Go keluar dari tempat
sembunyinya. Tong Toan sudah membuka mulut untuk berteriak, tapi ia keburu mengenali nona
itu.
"Ah! Kiranya Koei Tjietjie!" katanya dengan suara halus. "Apakah kau mencari aku?"
"Benar," jawabnya, tapi karena tidak biasa berdusta, mukanya lantas saja bersemu dadu.
"Ada urusan apa?" tanya Tong Toan dengan suara girang.
"Aku mencari kau... mencari kau... untuk menanyakan hal ihwal seseorang," jawabnya dengan
suara tergugu.
"Siapa?" tanya pula Tong Toan.
"Tong Keng Thian, putera Tong Tayhiap, yang kemarin dulu disebutkan olehmu," jawab si
nona. "Menurut dugaanku, ia sudah lewat disini. Kau adalah penduduk disini, lebih gampang untuk
menyelidikinya."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tidak ingin menimbulkan halnya Tong Keng Thian, tapi dalam
keadaan kedesak, tanpa merasa ia sudah menyebutkan nama pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Hati Tong Toan mencelos, tapi sebagai pemuda yang terdidik baik, ia tidak mengentarakan
perasaan itu pada paras mukanya. "Karena dalam beberapa hari ini aku repot melayani
Kouwkouw, tak sempat aku keluar rumah," katanya. "Sesudah lewat malam ini, aku tentu akan
menyelidiki. Sst! Tjietjie! Lekas sembunyi!"
Peng Go yang kupingnya cukup tajam, juga sudah dapat menangkap suara seperti jatuhnya
daun kering di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li.
"Ini adalah urusan keluargaku sendiri," kata Tong Toan. "Hanya dalam keadaan yang sangat
berbahaya, baru aku mohon bantuan Tjietjie."
Pengtjoan Thianlie tahu, bahwa yang datang tak bisa lain daripada Kim Sie Ie. Ia mengangguk
dan lantas loncat ke belakang gunung-gunungan batu. Diam-diam ia merasa heran oleh karena,
sedang tiga hari berselang Tong Toan berusaha menahan ia untuk bantu menghadapi Kim Sie Ie,
kenapa sekarang ia menolak bantuan, kecuali jika sangat perlu. Di lain saat ia sadar. Perubahan
sikap Tong Toan tentu juga disebabkan oleh kepala batu si nenek yang berkeras ingin
menyelesaikan urusan itu dengan tenaga keluarga Tong sendiri.
Baru saja si nona berada di belakang gunung-gunungan, Kim Sie Ie sudah berada di dalam
pekarangan rumah sambil mengeluarkan suara tertawa yang menyeramkan. Sebelum Tong Toan
sempat membuka mulut, pengemis itu sudah berseru: "Pehbie tjiam sungguh-sungguh liehay! Biar
bagaimana pun juga, aku sudah berkenalan dengan senjata rahasia keluarga Tong. Aku sungguh
kagum, begitu bertemu lawan, kamu tak sungkan-sungkan lagi menggunakan senjata yang
beracun. Apakah itu memang kebiasaan keluargamu?"
Tong Toan gusar bukan main. Ia mendelik dan membentak: "Apakah senjatamu tidak beracun?
Tanpa sebab, tanpa lantaran melukakan seorang tua. Apakah itu perbuatan seorang ksatria?"
Peng Go memuji Tong Toan yang sudah menyemprot secara tepat sekali.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Aku memang bukan ksatria," katanya. "Perkataanmu tak
perlu dikeluarkan!'
Dalam kalangan Kangouw, banyak sekali manusia keparat yang mengaku ksatria dan tak
pernah ada yang mengatakan, seperti yang dikatakan Kim Sie Ie. Mendengar itu Tong Toan
menjadi kaget.
Lagi-lagi Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Aku memang biasa meminta pelajaran dari kaum
ksatria yang berkepandaian tinggi," katanya. "Jika Kouwkouw-mu seorang biasa, aku tentu tak
akan perlu mencarinya. Tapi ia sendiri yang mengaku dirinya ahli senjata rahasia nomor satu
dalam dunia dan di samping itu, sudah beberapa turunan keluarga Tong menempel merek ksatria.
Ha-ha! Dan sekarang aku sudah mendapat pelajaran bagus sekali."
"Apa katamu?" bentak Tong Toan. "Kami dari keluarga Tong tak akan membokong orang
seperti kau!'
Kim Sie Ie mendongakkan kepalanya dan kembali tertawa besar. "Sekarang aku tanya,"
katanya. "Bukankah menurut peraturan Rimba Persilatan, menjajal ilmu dianggap sebagai kejadian
lumrah?"
"Benar," jawab Tong Toan.
"Nah," kata pula Kim Sie Ie. "Aku sebetulnya hanya ingin berkenalan dengan senjata rahasia
keluarga Tong. Adalah Kouwkouw-mu yang lebih dulu menggunakan jarum beracun Pehbie tjiam,
untuk membinasakan aku. Coba kau katakan: Apakah yang aku harus lakukan? Dalam dunia,
senjata beracun bukan hanya dimiliki keluargamu. Ha-ha! Tak bisa lain, aku pun harus melayani!
Pehbie tjiam memerlukan tempo tujuh hari untuk mengambil jiwa manusia. Tokliongteng-ku (Paku
naga beracun) paling lama tiga hari. Kau mau aku mati? Gampang! Tapi, sebelum mampus, lebih
dulu aku mau menyaksikan kau menangis di depan jenazah Kouwkouw-mu!"
Bukan main kagetnya Tong Toan. Sekarang ia baru mengetahui, bahwa si pengemis kusta
sudah menggunakan pakunya karena diserang lebih dulu dengan jarum beracun.
Perkataan Kim Sie Ie ada benarnya juga. Jika Tong Say Hoa mengetahui, bahwa ia hanya ingin
menjajal ilmu, walaupun ia dapat menggunakan senjata rahasia, tak pantas ia menggunakan
senjata beracun. Akan tetapi, dari Shoatang Kim Sie Ie telah menyatroni sampai di Soetjoan utara
dan sudah menghina banyak sekali orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan, sehingga
namanya menjadi buruk, maka begitu bertemu, Tong Say Hoa segera turun tangan untuk
membinasakan pengemis itu. Dalam hal ini, Tong
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Say Hoa pun mempunyai alasan sendiri, yang dapat juga dimengerti jika dipandang dari
sudutnya.
Mendengar pertanyaan Kim Sie Ie, Tong Toan jadi kemekmek. Beberapa saat kemudian, baru
ia dapat menjawab dengan suara gusar: "Siapa mau bicara hal peraturan Kangouw dengan
manusia yang sepak'terjangnya seperti anjing gila! Kouwkouw-ku mana kesudian menjajal ilmu
dengan manusia semacam kau!"
Paras muka Kim Sie Ie lantas saja berubah menyeramkan. "Jika kau banyak rewel lagi, aku tak
akan memperdulikan peraturan
Kangouw lagi!" ia membentak "Lebih dulu aku akan mengambil jiwamu!' Selagi membentak
kedua matanya mengeluarkan sinar yang sangat ganas, sehingga Tong Toan menjadi terkejut.
Beberapa saat kemudian, si pengemis tertawa dingin seraya berkata:
"Kouwkouw-mu tak sudi melayani aku menjajal kepandaian, tapi sekarang, bukankah kau ingin
memohon obat?'
"Dan kau?" Tong Toan berteriak. "Bukankah kau juga datang untuk memohon obat pemunah
dari keluarga Tong?"
"Benar," jawabnya. "Tapi jangan kau lupa, Kouwkouw-mu tidak akan dapat melalui malam ini,
sedang aku masih mempunyai tempo empat hari. Aku merasa, bahwa dia pantas berlutut tiga kali
di hadapanku untuk perbedaan empat hari itu?"
"Apa?" bentak Tong Toan dengan suara gusar. "Dalam saling menukar obat, kau mau orang
lain berlutut di hadapanmu?"
"Menurut dugaanku,
Kouwkouw-mu sudah tidak dapat bergerak lagi," kata Kim Sie le. "Nah! Kau saja, yang mewakili
ia berlutut di depanku."
"Bagus mukamu!" berteriak Tong Toan. "Kaulah yang harus memohon ampun. Kalau kau tak
mau berlutut, jangan harap bisa mendapat obat."
Kim Sie Ie mesem tawar dan berkata dengan suara tawar pula: "Kalau begitu, tiada jalan lain
daripada membuka mata lebar-lebar untuk menyaksikan tangisanmu di hadapan peti jenazah!'
Tong Toan menjadi gusar berbareng kuatir. Tiba-tiba ia ingat, bahwa sesudah tiga hari terkena
jarum Pehbie tjiam, racun jarum tentu sudah mengamuk hebat di dalam tubuh Kim Sie Ie,
sehingga belum tentu ia tidak dapat melawan pengemis itu. Selagi ia ingin turun tangan, si
pengemis, yang agaknya sudah dapat mengerti apa yang dipikirnya, sekonyong-konyong memotes
sebatang cabang pohon dan berkata sembari tertawa: "Aha! Kau mau menggunakan
kekerasan? Baiklah!"
Tapi, belum habis perkataan itu diucapkan, ketika mendadak sesosok bayangan manusia
berkelebat cepat bagaikan angin.
Tong Toan terkesiap, ia menduga, bahwa serangan itu datangnya dari si pengemis. Cepat
seperti kilat, tangan kirinya menghantam dengan pukulan Wankiong siatiauw (Mementang busur
memanah burung rayawali), sedang tangan kanannya menabas dengan gerakan Pihong hoentjam
(Mengebas angin menabas miring).
Selain mengandalkan senjata rahasia yang dikenal di seluruh Tiongkok, keluarga Tong juga
mempunyai ilmu pukulan yang disegani orang. Dua pukulan tersebut, yang menyerang berbareng
membela diri, adalah pukulan-pukulan rahasia yang hanya digunakan untuk menolong jiwa dalam
saat berbahaya. Tapi dengan sekali mengegos, bayangan itu sudah dapat mengelit pukulan Tong
Toan dan di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah berdiri di tengah-tengah antara kedua lawan.
"Tak berani aku menerima bantuanmu," kata Tong Toan dengan suara dingin. "Urusan keluarga
Tong harus dipikul olehku sendiri."
Peng Go tidak menyahut. Dengan muka dingin bagaikan es, ia berpaling ke arah Kim Sie Ie dan
berkata: "Ambil ini dan keluarkan obatmu!'
Bukan main kagetnya Tong Toan. Ia meraba sakunya dan mendapat kenyataan, bahwa obat
pemunah, yang tadi berada di dalam kantongnya, sudah pindah ke tangan si nona. Ia terpaku dan
setelah berselang beberapa saat, baru ia dapat mengeluarkan suara terputus-putus: "Kau...
Kau..."
Kim Sie Ie, yang tidak kurang terkejutnya, loncat mundur dan hampir berbareng dengan Tong
Toan iapun berseru dengan suara tertahan: "Kau!..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Keluarkan obat pemunah!” perintah si nona dengan nada suara sebagai seorang ratu.
"Bagus!" Kim Sie Ie berseru.
Sambil menuding dengan pedangnya, Peng Go berkata pula: "Dengan saling menukar obat, tak
ada yang kehilangan muka. Lekas keluarkan obatmu dan mulai dari sekarang, jangan kau
menemui aku lagi!" "
Kim Sie Ie melirik. Tiba-tiba ia mengayun tangan dan berseru: "Ambil!'
Baru saja si nona menyambuti obat itu, si pengemis kembali mengayun tangan. "Ini juga!" ia
berteriak.
Pengtjoan Thianlie mengebas lengan jubahnya dan menggulung benda yang dilemparkan itu. Si
nona heran, sebab benda itu adalah sebutir batu yang dibungkus dengan kertas kulit kambing.
"Orang yang sedang dicari olehmu, berada di dalamnya," kata Kim Sie Ie dengan suara
mendongkol. "Pandanglah sepuas hatimu." Ia memutarkan badan, melompati tembok dan
melenyapkan diri dengan kecepatan luar biasa.
Tanpa merasa, Tong Toan bangun bulu romanya. "Sesudah terkena Pehbie tjiam, tak nyana ia
masih begitu liehay," katanya di dalam hati. "Untung juga aku tadi tidak lantas turun tangan."
Pengtjoan Thianlie membuka kertas yang membungkus batu itu dan mendadak saja, ia menjadi
bengong. Di atas kertas itu terdapat gambar dua orang, yang satu adalah Tong Keng Thian, yang
lain seorang wanita muda cantik dan kedua matanya mengawasi Keng Thian dengan meseman
manis. Di kertas itu terdapat pula peta bumi yang mengunjukkan jalan untuk mencari tempat Keng
Thian.
"Kalau begitu, Keng Thian berada di Lengkoan," kata si nona di dalam hatinya. "Dari sini hanya
memerlukan perjalanan dua hari. Siapa nona itu? Dengan maksud apa Kim Sie Ie memberikan
gambar ini kepadaku?"
Selagi ia berdiri bengong bagaikan orang linglung, kupingnya mendadak mendengar suara Tong
Toan: "Koei Tjietjie!” Buru-buru ia memasukkan gambar itu ke dalam sakunya dan menengok.
"Koei Tjietjie," kata pemuda itu. "Bagaimana baiknya? Kouwkouw tentu menggusari aku."
Si nona yang sedang kusut pikirannya, jadi merasa sebal. Ia menyesapkan obat Kim Sie Ie ke
dalam tangan Tong Toan dan berkata dengan suara dingin: "Bagaimana kalau aku saja yang
mewakili ia memohon maaf kepadamu?'
Tong Toan terkejut, buru-buru ia loncat minggir.
"Kouwkouw-mu telah memesan, bahwa jika ia tidak berlutut memohon ampun, obat keluarga
Tong tak boleh diberikan," kata pula Peng Go. "Bukankah begitu?"
"Benar!" jawabnya.
"Nah!" kata lagi si nona. "Obat keluarga Tong diberikan olehku kepadanya dan tidak ada
sangkut pautnya dengan kau. Jika Kouwkouw-mu menghukum, ia tidak boleh menghukum kau.
Obat ini lekas-lekas kau berikan kepada Kouwkouw-mu dan tolong kau menyampaikan hormatku
kepadanya." Sehabis berkata begitu, ia lantas berseru: "Yoe Peng! Yoe Peng!"
"Koei Tjietjie! Apa maksudmu?" tanya Tong Toan dengan suara bingung.
Sementara itu, Yoe Peng sudah menghampiri. "Terima kasih untuk pelayananmu selama tiga
hari," kata Peng Go. "Sampai ketemu lagi!"
"Koei Tjietjie," kata Tong Toan. "Apakah kau merasa tidak senang terhadap kami?"
"Kenapa tidak senang?" kata si nona. "Sesudah jiwa Kouwkouw-mu selamat, sekarang aku
boleh berlalu dengan hati lega."
Sehabis berkata begitu, bersama Yoe Peng, ia melompati tembok. Tong Toan mengubar.
Setibanya di luar, yang dapat dilihatnya hanya sang rembulan yang memancarkan sinar gilang
gemilang, tapi kedua gadis itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Tong Toan menghela napas, ia ingat akan bantuan Pengtjoan Thianlie. Tanpa bantuan itu, jika
ia dan si pengemis kusta sampai bergebrak, Kouwkouw-nya dan Kim Sie Ie tentu juga akan binasa
bersama-sama Ia merasa menyesal, bahwa si nona pergi begitu terburu-buru dan dengan
perasaan berat, ia segera menuju ke kamar Tong Say Hoa dengan membawa obat.
Tong Toan tidak mengetahui, bahwa pikiran Peng Go terlebih kusut daripada pikirannya.
Semenjak berpi sahan dengan Tong Keng Thian, entah kenapa, si nona selalu merasa tidak
gembira. Tadi, sesudah melihat gambar itu, hatinya jadi berdebar-debar. Sesaat, ia ingin segera
menemui Keng Thian, di lain saat, ia kepengen mabur jauh, jauh sekali, supaya tidak bertemu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

muka pula dengan pemuda itu untuk selama-lamanya. Ia sendiri tidak mengetahui, apakah ia
mencinta atau membenci pemuda tersebut, ia juga tidak mengerti, apa yang sedang dipikirkannya.
Dan Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak mengetahui, bahwa pada malam itu, pada detik-detik
yang sama, Tong Keng Thian pun sedang memikiri dirinya.

***

Pada malam itu, selagi Keng Thian dan Tjee Tjiang Hee berjalan-jalan di luar rumah, di bawah
sinar rembulan, ibu si nona mendadak datang untuk memberitahukan hal dilukakannya Tong Say
Hoa oleh si pengemis kusta yang berkawan dua wanita cantik bagaikan bidadari.
Mendengar itu, Keng Thian terkejut. Ia menduga, bahwa "dua wanita cantik bagaikan bidadari
itu" tentu bukan lain daripada Peng Go dan dayangnya. Sebenarnya ia tak mau percaya cerita itu,
akan tetapi, sesudah mendengar lukisan roman dan cara-cara kedua wanita tersebut, mau tidak
mau, ia harus percaya juga.
Melihat paras pemuda itu yang sangat guram, Yo Lioe Tjeng menduga, bahwa Keng Thian
merasa jengkel karena mendengar munculnya pengemis itu. "Dalam satu dua hari ini, lebih baik
kita menyingkir dulu," katanya. "Sesudah kau sembuh baru kita melawan pengemis itu."
Mendengar sang ibu tidak setuju mereka berjalan-jalan di luar, sembari monyongkan mulut,
Tjiang Hee berkata: "Tong Koko baru saja sembuh, ia perlu banyak berjalan-jalan untuk
menghibur hatinya. Mana ia tahan disekap di dalam rumah?"
Melihat lagak si nona, Keng Thian jadi tertawa. Mengingat dengan cara apa selama belasan hari
nona itu sudah merawatnya, Keng Thian merasa sangat berterima kasih dan lantas saja ia
berkata: "Sebenarnya, kita memang tidak perlu begitu berkuatir. Meskipun aku belum sembuh
betul, tapi jika bertemu dengan pengemis kusta itu, belum tentu ia dapat melukakan diriku lagi."
Tjiang Hee girang. "Tong Koko," katanya. "Apakah kau sudah mempunyai akal untuk
merobohkan padanya?"
"Senjata pengemis kusta itu yang paling liehay adalah senjata rahasianya yang disemburkan
dari mulutnya," Keng Thian menerangkan. "Tapi senjata itu hanya dapat menyerang dari jarak
dekat. Thiansan Sinbong-ku dapat merobohkan musuh yang berada dalam jarak lebih dari enam
tombak jauhnya. Jika sekarang aku harus menghadapi ia, aku dapat menggunakan Sinbong untuk
menahan majunya."
Yo Lioe Tjeng mesem dan segera berkata: "Jika kau sudah mempunyai pegangan, boleh kau
berjalan-jalan terus bersama Tjiang Hee. Aku tidak menghalang-halangi lagi."
Melihat tingkah laku kedua orang muda itu yang kelihatannya rapat sekali, Yo Lioe Tjeng, yang
di dalam hatinya mempunyai maksud tertentu, jadi merasa girang sekali.
Rumah keluarga Tjee berdiri membelakangi gunung, sedang di pekarangan depan yang cukup
luas, ditanami pohon-pohon bunga yang waktu itu sedang mekarnya. Jalan-jalan di bawah sinar
sang Puteri Malam, dengan segala pemandangannya yang sangat indah dan bau-bauan bunga
yang harum semerbak, benar-benar seperti juga berada didalam surga.
Lama, lama sekali, tanpa berkata-kata, mereka keluar masuk di antara pohon-pohon kembang.
"Tong Koko, kau lagi memikirkan apa?" tanya si nona.
"Tidak apa-apa," jawabnya.
Tjiang Hee tertawa geli. "Aku tahu," katanya "Kau tentu ingin bertemu dengan kedua wanita itu
yang katanya cantik seperti bidadari. Benarkah?"
Tjiang Hee sebenarnya hanya berbicara guyon-guyon, tapi di luar dugaan, Keng Thian
menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang. "Benar," sahutnya. "Aku sedang
memikirkan mereka!"
Si nona terkejut. "Tong Koko, apakah kau benar-benar kenal dengan mereka?" tanyanya.
"Kenal," jawab Keng Thian. "Mereka adalah sahabat-sahabatku."
"Tapi, kenapa mereka tidak berjalan bersama-sama kau, sebaliknya justru berkawan pengemis
kusta itu yang dibenci orang?" tanya Tjiang Hee pula.
"Aku justru ingin mencari mereka untuk menanyakan sebab-sebabnya," jawab Keng Thian.
Paras muka Tjiang Hee lantas saja berubah guram. "Aku tak ingin menemui pengemis kusta
itu," katanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Siapa menyuruh kau menemui ia?" kata Keng Thian.


"Tapi aku ingin sekali bertemu dengan kedua Tjietjie itu yang cantik bagaikan bidadari," kata si
nona.
"Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Orang yang kau sukai, tentu juga kusukai," jawabnya. "Bolehkah aku turut kau menemui
kedua Tjietjie itu?”
"Aku sendiri tak tahu, apakah mereka sudi menemui diriku," kata Keng Thian.
"Kenapa begitu?" tanya Tjiang Hee dengan suara heran. "Bukankah mereka itu sahabat-
sahabatmu?"
Keng Thian menghela napas panjang dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Hee-
moay, usiamu masih terlalu muda, sehingga biar pun aku memberi penjelasan, kau tidak akan
mengerti."
"Tapi usiamu tidak berbeda banyak dengan usiaku," kata si nona yang merasa agak kurang
senang dikatakan belum mengerti urusan. Ia berdiam beberapa saat, kemudian berkata pula:
"Dulu, waktu'aku baru saja mengerti urusan, aku sudah ingin bertemu denganmu. Apakah kau
tahu?"
Keng Thian tertawa. "Waktu itu bagaimana kau tahu, bahwa di dalam dunia ini ada seorang
yang bernama Tong Keng Thian?" tanyanya.
"Sedari aku mulai mengerti urusan, ibu sudah membicarakan hal dirimu," jawab Tjiang Hee.
"Aku tak percaya," kata Keng Thian. "Ibumu sendiri baru mengenal aku kira-kira setengah
bulan lamanya."
"Ibuku sering-sering
membicarakan hal ayahmu dengan aku," si nona menerangkan. "Ia sering menceritakan rupa-
rupa kejadian-kejadian menarik di waktu mereka masih belajar silat bersama-sama. Dalam
beberapa tahun ini, ibu sering mengutarakan keinginannya untuk pergi ke Thiansan guna
menyambangi kalian. Kata ibu, ayahmu pendiam, kadang-kadang suka marah-marah terhadapnya.
Hm! Dalam hal ini, kau agaknya berbeda dengan ayahmu. Sering-sering Ibu berkata begini: 'Hee-
djie, kau sangat mirip dengan aku. Tong Pehpeh juga tentu sudah mempunyai anak. Tak tahu,
apakah anaknya juga seperti ia atau tidak.' Itulah sebabnya, mengapa sedari kecil aku sering
menanya diriku sendiri: Macam apakah, Tong Koko ini? Biarpun aku belum pernah bertemu
dengan kau, malah tidak mengetahui, apakah di dunia ada seorang yang seperti kau, tapi sering
sekali aku membayang-bayangkan bagaimana kira-kira rupamu, sebagai putera Tong Pehpeh. Dan
sesudah benar-benar bertemu, ternyata rupa dan cara-caramu sungguh tiada beda dengan apa
yang telah kulihat dalam bayangan khayalku sekian lama."
Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Didengar dari perkataan Tjiang Hee, ternyata ibunya
menganggap ayah seolah-olah seorang anggauta keluarganya sendiri," katanya di dalam hati.
"Tapi kenapa ayah jarang sekali menyebutkan namanya?"
"Tong Koko, apa lagi yang kau pikirkan?" tanya pula si nona demi melihat Keng Thian
termenung.
"Aku terharu, kau benar-benar seperti adikku sendiri," jawabnya.
"Apakah benar? Kau suka padaku?" menegas si nona dengan suara girang dan dengan sikap
sebagai bocah yang baru mendapat kembang gula.
"Tentu saja," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Aku melihat kau seperti seekor burung
Pekleng niauw. Saban-saban hatiku pepat, suara dan lagak-lagakmu selalu dapat menghilangkan
kejengkelanku itu."
"Ya, aku pun merasa senang bergaul denganmu," kata si nona.
Demikianlah, kedua orang muda itu, yang dalam pergaulannya bebas dari segala pikiran
menyeleweng, bercakap-cakap dengan gembira dan tanpa merasa mereka berjalan sembari
bergandengan tangan.
Sekonyong-konyong selagi berjalan di bawah pohon-pohon bunga yang diterangi sinar sang
rembulan, Keng Thian teringat, bahwa Pengtjoan Thianlie pun sangat gemar akan kembang-
kembang. Ia membayangkan, bagaimana beruntungnya, jika ia dapat berjalan-jalan bersama Peng
Go di waktu itu dan dalam suasana yang begitu pula. Ia mengangkat kepalanya dan... tiba-tiba di
sebelah jauh, di antara cabang-cabang yang penuh bunga, ia melihat wajah seorang wanita muda!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kedua mata wanita itu, yang tajam luar biasa dan dingin bagaikan es, sedang mengawasi ia.
Sesaat itu, seluruh tubuh Keng Thian seolah-olah terkena arus listrik. Ia gemetar, sembari
mengeluarkan teriakan, ia meloncat ke depan.
"Tong Koko! Ada apa?" seru Tjiang Hee. "Apakah manusia menyebalkan itu?" Ia berteriak
begitu karena menduga, bahwa si pengemis kusta menyatroni pula. Tapi, setelah memperhatikan,
ia melihat seorang wanita yang parasnya cantik luar biasa. Ia jadi kesima dan terpaku!
"Peng Go!" Keng Thian berteriak.
Wanita itu, yang memang bukan lain daripada Koei Peng Go, menatap wajah Keng Thian
dengan sorot mata dingin, sedih dan gusar bercampur menjadi satu! Tanpa merasa, Tjiang Hee
bergidik. Di lain saat, Peng Go memutarkan badannya dan dengan sekali berkelebat, ia
menghilang dari pemandangan.
"Peng Go! Koei Tjietjie! Koei Tjietjie!" berteriak Keng Thian dengan suara menyayatkan hati,
sembari mengubar. Kasihan, ia mengubar dengan mengerahkan seantero tenaganya yang belum
pulih kembali. Baru tiba di suatu tanjakan, ia kesandung dan roboh terguling.
Beberapa saat kemudian, Tjiang Hee tiba dengan napas tersengal-sengal. Dengan terkejut, ia
membangunkan pemuda itu. "Apakah kau terluka?" tanyanya.
Keng Thian tidak menjawab, la menggelendot pada tubuh Tjiang Hee, kedua matanya
mencilak, mukanya pucat bagaikan mayat. Seolah-olah kehilangan semangat.
"Tong Koko! Tong Koko, kenapa kau?' tanya Tjiang Hee dengan suara bingung.
Sesudah lewat beberapa saat, baru Keng Thian dapat membuka mulut: "Dia! Dia sudah pergi!"
"Siapa dia?" tanya Tjiang Hee. "Pengtjoan Thianlie, yang barusan kita bicarakan," sahutnya. "Ah!
Kenapa ia tak mau bicara denganku?"
Tjiang Hee yang otaknya masih sederhana, merasa tidak mengerti, la tidak mengerti, kenapa,
jika toh Pengtjoan Thianlie sahabat Keng Thian, ia sudah bersikap begitu? Keng Thian menghela
napas berulang-ulang, seperti juga melupakan, bahwa di sampingnya masih ada seorang wanita
lain, sehingga Tjiang Hee, mengeluh, ia merasa kasihan, berbareng mendongkol.
Lama mereka tidak mengucapkan sepatah kata. "Tong Koko," kata Tjiang Hee akhirnya. "Mari
kita pulang. Ah! Aku tak nyana, di dalam dunia ada wanita yang begitu cantik!"

***

Tak usah dikatakan lagi, bahwa Pengtjoan Thianlie mabur karena menyaksikan Keng Thian
berjalan-jalan dan bercakap-cakap secara hangat dengan seorang wanita muda, dengan
bergandengan tangan. Dan selain itu, paras muka wanita tersebut benar-benar sama dengan
gambar yang ia dapat dari Kim Sie Ie, dengan hati hancur, ia kabur, tanpa memperdulikan lagi
teriakan-teriakan Keng Thian. Dalam sekejap saja ia sudah lari belasan li dan tiba di tepi sebuah
sungai kecil, di kaki gunung, dimana Yoe Peng sedang menunggu.
Melihat majikannya kembali seorang diri dengan gerak-gerik seperti linglung, Yoe Peng menjadi
kaget dan menanya: "Kenapa Siauwkongtjoe kembali sendirian?”
"Dia... dia..." kata si nona, terputus-putus, fa menengok dan memandang pemandangan malam
yang indah, tapi tak kelihatan bayang-bayangan Keng Thian. Ia menjadi lebih-lebih mendongkol
karena dalam anggapannya, Keng Thian tidak bersungguh hati dan teriakannya hanya keluar dari
hati palsu. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa pemuda itu telah roboh di tengah jalan karena
kehabisan tenaga. "Dia... dia tak akan datang," jawabnya sesenggukan.
"Kau sudah bertemu? Dan dia tak mau bersama-sama kau lagi?" tanya Yoe Peng dengan hati
mencelos.
Pengtjoan Thianlie merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ia menundukkan kepalanya dan
air matanya mengucur deras.
Ia teringat bagaimana pertama kali Tong Keng Thian naik ke keraton es, ia teringat bagaimana
mereka bertanding pedang dan segala sesuatu mengenai "toeilian" di dalam taman, la ingat akan
semua kejadian itu yang tak akan bisa dilupakan olehnya.
Mendadak, ia mendengar suara tertawa yang nyaring. Ia menoleh ke arah suara itu dan di lain
saat, sambil menenteng tongkat besi, kelihatan Kim Sie Ie meloncat keluar dari antara pohon-
pohon yang rindang daunnya. Pemuda itu sekarang mengenakan pakaian sasterawan mirip
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dengan Tong Keng Thian, akan tetapi, dengan menenteng tongkat dan meloncat-loncat seperti
bocah nakal, ia jadi kelihatan lucu dan tidak sesuai dengan pakaiannya.
"Kenapa kau tertawa?" bentak si nona, mendongkol.
"Mentertawakan kau!" jawabnya, sembari tertawa haha-hihi.
Dalam keadaan biasa, Pengtjoan Thianlie tentu sudah menghunus pedangnya. Tapi sekarang,
dalam kesedihannya, ia tidak memperdulikan lagi segala ejekan.
"Bukankah kau ingin sekali menemui ia?" tanya Kim Sie Ie. "Sesudah bertemu, kenapa kau jadi
berbalik sedih. Apakah itu tidak lucu?"
"Jangan mencampuri urusan orang lain!" Peng Go membentak pula.
"Jika aku tak datang, kau tentu akan terus termenung-menung disini," kata lagi Kim Sie Ie
sembari nyengir. "Hayolah! Lebih baik menangis lebih siang daripada terlambat. Nangislah biar
puas! Sesudah puas, kau akan merasa lega."
Mendengar itu, air mata Peng Go justru jadi berhenti.
Si pengemis kusta lagi-lagi tertawa haha-hihi. "Bagaimana gambar pemberianku itu?" tanyanya.
"Bukankah bagus sekali?'
"Bret!" Dengan gusar si nona merobek kertas bergambar itu.
Kim Sie Ie menepuk-nepuk tangan. "Bagus! Bagus! Sesudah gambar itu dirobek, hatimu tentu
menjadi enteng!" katanya.
Kata-kata Kim Sie Ie yang mengandung sindiran, dimengerti jelas oleh Yoe Peng. Tapi Peng Go
sendiri, yang sedang terbenam dalam kedukaan hebat, sebaliknya merasa perkataan itu ada juga
benarnya. Ia menganggap, bahwa memang terlebih baik jika ia mencoret segala apa yang sudah
lewat dan menuntut penghidupan baru dengan hati enteng.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
"Benar, memang lebih baik kalian kembali ke keraton es!" kata Kim Sie Ie.
Pengtjoan Thianlie terkejut. "Bagaimana dia mengetahui asal-usulku?" tanyanya di dalam hati.
Mendadak pemuda itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara sungguh-sungguh:
"Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa di dalam dunia hanya terdapat beberapa gelintir
manusia baik-baik? Lebih baik berkawan dengan binatang daripada hidup bersama-sama manusia.
Apakah sekarang kau percaya?'
Si nona tidak menjawab, ia berdiri bengong bagaikan patung.
"Aku juga sudah merasa sebal hidup dalam dunia ini," kata pula pemuda itu. "Keraton es-mu
adalah seperti surga dalam dunia. Sungguh sayang kau sudah meninggalkan surga itu. Lebih baik
kita pulang bersama-sama. Pinjamkanlah kepadaku suatu pojokan dari keratonmu, supaya aku
bisa hidup secara tenteram."
"Kau ini benar-benar manusia yang tak tahu diri!" bentak Yoe Peng yang sudah tak dapat
menahan sabar lagi. "Apakah kau mengira Siauwkongtjoe sudi mengijinkan keratonnya dinodakan
oleh seorang penderita kusta?"
Muka Kim Sie Ie lantas saja berubah pucat, kemudian ia mengeluarkan suara tertawa
menyeramkan. Ia mengangkat tongkatnya, seperti hendak menyerang. Yoe Peng cepat-cepat
menghunus Hankong kiam-nya dan loncat ke belakang majikannya.
Peng Go mendongak mengawasi rembulan dan berkata dengan suara tawar: "Kau pergilah! Aku
pulang atau tidak adalah urusanku sendiri. Tak usah kau mencampuri urusan orang lain. Kau
sudah mengeluarkan perkataan tidak pantas, tapi aku juga tidak mau meladeni kau."
Kim Sie Ie mengawasi, lagaknya seperti bola karet yang kempes kehabisan angin. Perlahan-
lahan ia menurunkan tongkatnya dan berkata: "Baiklah. Dengan memandang kau, aku pun tidak
mau meladeni budak kecilmu." Mendadak ia tertawa keras dan berkata dengan suara nyaring:
"Sebenar-benarnya kita berdua adalah manusia-manusia yang telah disia-siakan oleh dunia.
Menurut pantas, kita harus saling mengasihani. Tapi kau sebaliknya memandang aku sebagai
lawan. Sungguh tak pantas! Jika di belakang hari kau bisa mendusin, beritahukanlah kepadaku."
Ia memutarkan badan dan terus berlalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Peng Go masih terus berdiri bengong.
"Pengemis kusta itu seperti juga setan air," kata Yoe Peng dengan suara gusar.
Peng Go merasa heran dan lalu menanya: "Apa?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Menurut kata orang Han, setan air paling jahat," Yoe Peng menerangkan. "Dia mati di dalam
air dan menjadi setan. Sebagai setan, tak hentinya ia mencari-cari pengganti. Begitu mengetahui
ada orang yang sedang menderita, ia lantas memancing-mancing dengan rupa-rupa akal busuk,
supaya orang itu membunuh diri dengan menyebur ke dalam air. Hm! Semua perkataannya itu
hanya bertujuan supaya Siauwkongtjoe tak memperdulikan pula Tong Siangkong dan rela
mengikuti jejaknya. Apakah dengan begitu, ia bukan seperti setan air?"
Mendengar penjelasan dayangnya, tanpa merasa Peng Go yang sedang bersedih, jadi tertawa.
"Belum cukup setahun kau turun gunung, lidahmu sudah begitu beracun," katanya sembari
mesem.
"Apa Siauwkongtjoe tak percaya perkataanku?" tanya Yoe Peng.
Paras muka Pengtjoan Thianlie segera berubah keren. "Aku sendiri mempunyai pendirian, tak
usah kau banyak rewel," katanya.
Yoe Peng bungkam, tak berani membuka suara lagi.
"Baiklah," kata Peng Go dengan suara halus. "Kita sekarang menuju ke Soetjoan barat.
"Sesudah bertemu dengan Pehpeh-ku, baru kita pulang ke Puncak Es dan tak usah memperdulikan
lagi segala urusan dunia."
Yoe Peng menghela napas. Tanpa berkata suatu apa, ia mengikuti tindakan majikannya.

***

Sekarang marilah kita menengok Keng Thian yang pulang ke rumah keluarga Tjee dengan
dipimpin oleh Tjiang Hee. Di tengah jalan, pemuda itu menutup mulutnya, sehingga si nona jadi
sangat berkuatir. Sesudah Keng Thian mengunci kamar tidurnya, Tjiang Hee tidak berani masuk
tidur dan terus berjalan mundar-mandir dengan tindakan perlahan di depan kamar pemuda itu.
Sampai kurang lebih jam empat pagi, di dalam kamar Keng Thian tidak terdengar suara apa-apa.
Ketika itu Tjiang Hee sudah merasakan betapa dinginnya hawa malam dan ia juga sudah
merasa ngantuk sekali. "Kakak tolol itu mungkin sudah tidur," katanya di dalam hati.
Selagi mau masuk ke dalam kamarnya, mendadak ia melihat jendela kamar Keng Thian
terpentang dan seorang yang mengenakan pakaian putih meloncat keluar. Buru-buru si nona
meloncat ke atas genteng sembari berseru: "Tong Koko!”
Keng Thian merandek dan menengok. "Jangan ribut," katanya dengan suara perlahan. "Jangan
sampai ibumu bangun. Terima kasih banyak-banyak untuk pertolonganmu. Aku mempunyai
urusan penting dan harus berangkat sekarang juga!”
"Tak bisa! Tak boleh begitu!" berseru Tjiang Hee, tapi Keng Thian sudah mengenjot badan dan
dengan beberapa loncatan, ia sudah melompati tembok pekarangan.
"Ibu!" teriak si nona. "Lekas keluar! Tong Koko mabur!"
Suami isteri Tjee Sek Kiu yang tidur di kamar sebelah barat, lantas saja bangun, sedang Keng
Thian sendiri, setelah mendengar teriakan Tjiang Hee, lantas saja berlari lebih cepat. Tjiang Hee
jadi bingung, tanpa menunggu orang tuanya, ia segera mengubar.
Meskipun baru sembuh, ilmu mengentengkan badan Keng Thian masih lebih unggul daripada
Tjiang Hee. Sesudah mengubar beberapa lama, jarak antara mereka menjadi semakin lebar.
"Tong Koko! Apakah benar-benar kau mau pergi juga secara begini!" seru nona Tjee dengan
suara sedih.
Mendengar seruan itu, hati Keng Thian menjadi sangat terharu dan dengan terpaksa, ia
menghentikan tindakannya. Ia berpaling seraya berkata: "Hee-moay, di lain tahun, jika kalian
pergi ke Thiansan, kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu pula. Aku mempunyai suatu
urusan yang sangat penting dan mesti segera berangkat. Aku mohon kau jangan mengantar
terlebih jauh." Sehabis berkata begitu, lantas saja ia berlari secepat-cepatnya, supaya tak
mendengar pula teriakan si nona.
Sesudah kabur belasan li, barulah Keng Thian membuang napas dan berlari lebih perlahan.
Mengingat cara-caranya yang kurang pantas terhadap keluarga Tjee, hatinya sungguh merasa
tidak enak. Untuk menyusul Pengtjoan Thianlie, ia pergi tanpa pamitan dan hanya meninggalkan
sepucuk surat. Ia merasa sangat malu terhadap Yo Lioe Tjeng dan puterinya yang sudah
melepaskan budi begitu besar terhadapnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keng Thian telah menduga tepat, bahwa Peng Go akan pergi ke Soetjoan barat untuk menemui
pamannya. Akan tetapi, ketika ia menanya-nanya di sepanjang jalan, tak ada seorang pun yang
mengatakan pernah bertemu dengan Peng Go dan Yoe Peng.
Sesudah berjalan sekian hari, tibalah ia di wilayah gunung Palong san, di sebelah barat propinsi
Soetjoan. Jika orang terus berjalan ke arah selatan, ia akan tiba di daerah gunung Gobi san.
Walaupun Palong san tidak sampai seberbahaya Tjiakdjie san, tapi jalannya yang legat-legot
bagaikan ular dan terlebih panjang daripada Tjiakdjie san, malah di puncak-puncaknya yang
berundak-undak, masih terdapat jalan yang berputar-putar ke atas seperti rumah keong. Sering
sekali, puncak di sebelah depan kelihatannya dekat, tapi sesudah didekati, ternyata masih jauh
sekali.
Keng Thian adalah seorang yang mempunyai ilmu silat yang tinggi dan berpengalaman luas
dalam perjalanan di gunung, tapi toh, dalam sehari paling banyak ia bisa berjalan seratus li lebih
dalam jarak lurus. Untung juga, daerah pegunungan di Soetjoan mempunyai pemandangan yang
sangat indah.
Sebagaimana diketahui, gunung Gobie san tersohor sebagai "Keindahan istimewa di kolong
langit." Dari Palong san, semakin ke selatan, pemandangan alam semakin indah permai, sehingga
seorang pelancong dapat berjalan tanpa merasa jemu.
Di gunung itu sangat sedikit jumlah penduduknya, sehingga sering-sering seorang pelancong
tidak bisa mendapat tempat bermalam. Malam itu, Keng Thian tak menemukan rumah orang dan
ia sudah bersiap-siap untuk mengasoh di salah sebuah gua. Tiba-tiba dari sebelah timur sang
rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan seluruh gunung seperti juga sedang
mandi dalam laut perak. Kegembiraannya terbangun dan ia segera mengambil keputusan untuk
meneruskan perjalanannya.
Selagi enak berjalan, di sebelah depan mendadak muncul suatu pemandangan luar biasa, yaitu
sekelompok batu-batu raksasa yang seolah-olah hutan batu. Setiap batu, yang tingginya paling
banyak dua atau tiga puluh tombak, mempunyai bentuk-bentuk aneh dan indah luar biasa, ada
yang berbentuk harimau, singa, beruang atau macan tutul.
Tong Keng Thian adalah seorang yang sudah biasa menjelajah gunung-gunung besar di daerah
Utara barat. Akan tetapi, melihat keangkeran hutan batu itu, tak urung ia merasa kagum dan
heran. Dari jauh, hutan batu itu seakan-akan merupakan sekosol yang menedengi sinar rembulan.
Akan tetapi, setelah didekati, Keng Thian menemukan suatu pintu gua, terbuat daripada dua batu
raksasa yang menempel satu pada yang lain. Pintu itu, yang ditembusi sinar rembulan, hanya
dapat dilewati seorang, sedang di dalamnya terdengar suara mengalirnya air.
Dengan perasaan heran, Keng Thian masuk ke dalam pintu itu. Di balik pintu tersebut ia
melihat sebidang tanah kosong yang penuh dengan pohon-pohon kembang dan di sekitarnya,
terdapat pula batu-batu raksasa dengan pintu-pintu yang beraneka bentuknya. Keng Thian
memilih sebuah terowongan yang paling besar dan merangkak masuk ke dalamnya. Semakin
lama, ia masuk semakin dalam dan selagi enak merangkak, lapat-lapat kupingnya menangkap
suara manusia.
Bukan main herannya Keng Thian. Ia merangkak terus keluar dari terowongan dan kemudian,
dengan menggunakan ilmu Pekhouw kang (Ilmu cicak), ia merayap naik ke atas sebuah batu
raksasa yang tingginya kira-kira dua puluh tombak. Dari atas batu tersebut Keng Thian
memandang ke sebelah bawah. Ia terkesiap berbareng heran.
Di sebelah bawah terdapat sebidang tanah kosong yang merupakan satu selat gunung, dimana
berdiri pula sejumlah besar batu-batu yang lebih kecil, paling tinggi hanya lima enam tombak.
Batu-batu itu menjulang ke atas dan dilihat dari kedudukannya, mereka merupakan suatu tin
(barisan). Dalam barisan batu itu terlihat dua orang, seorang lelaki dan seorang perempuan, yang
sedang berputar-putar seperti juga tengah mencari jalan keluar.
Jarak antara mereka dan pintu "hidup" tersebut sangat dekat, tapi sesudah berputar-putar
mereka tetap tidak dapat keluar.
Tong Keng Thian adalah seorang yang berpengetahuan luas, bukan saja tinggi ilmu silatnya,
tapi ia juga mengenal ilmu Patkwa tin (Barisan Patkwa). Ketika itu, dari sebelah atas, ia
memandang ke bawah dan tidak lama kemudian, ia sudah mengetahui, bahwa hutan batu itu
yang muncul di atas bumi secara wajar, mempunyai kedudukan seperti Pattintouw susunan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tjoekat Boehouw (Tjoekat Liang, panglima besar kerajaan Han pada jaman Sam Kok). Barisan
batu itu mempunyai delapan pintu dan seorang yang sudah masuk, tak akan bisa keluar lagi jika ia
tidak dapat mencari "Pintu Hidup."
Kedua orang itu mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Berulang kali mereka meloncat
setombak lebih dan memeluk salah sebuah pilar batu. Akan tetapi, oleh karena licinnya pilar
tersebut, mereka selalu tidak berhasil memanjat ke atas. Dua kali, secara kebetulan mereka
berhasil mendekati "Pintu Hidup," tapi dua-dua kalinya, mereka dipukul mundur dengan timpukan
batu yang tepat sekali. Keng Thian kaget. Ia menduga, bahwa dalam hutan batu itu mesti
bersembunyi seorang yang berkepandaian tinggi.
Lelaki dan perempuan itu agaknya juga. sudah mempunyai dugaan yang sama. "Memang tidak
pantas sekali Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah) sembarangan masuk disini," seru
yang lelaki. "Aku mohon majikan dari tempat ini sudi memaafkan."
Keng Thian terkejut, karena suara itu agaknya tidak asing baginya. Selagi mengingat-ingat,
mendadak terdengar teriakan "Aya!" yang nyaring, seperti suara anak tanggung.
Keng Thian jadi semakin heran. Sekonyong-konyong, dari
belakang segundukan batu yang terletak beberapa tombak jauhnya dari tin itu, muncul seorang
anak tanggung yang berusia kira-kira lima belas tahun.
"Apa Siauw Loosoe?" seru anak itu.
"Benar, aku Siauw Tjeng Hong," sahut orang laki-laki itu dengan suara kegirangan. "Apakah
kau Kang Lam?"
Bukan main tercengangnya Keng Thian. Di Tibet, ia pernah bertemu sekali dengan Siauw Tjeng
Hong. Waktu itu, Siauw Tjeng Hong berbadan kurus kering, mukanya pucat kuning dan sikapnya
seperti seorang sasterawan tua. Tapi sekarang, walaupun tak dapat dilihat tegas, tapi dengan
bantuan sinar rembulan, Keng Thian melihat ia sebagai seorang yang bersemangat dan berparas
angker, sedang usianya seperti juga sepuluh tahun lebih muda daripada kira-kira setahun yang
lampau.
"Tak heran jika tadi aku tidak mengenali ia," kata Keng Thian di dalam hatinya. Ia tentu saja
tidak mengetahui, bahwa perubahan itu sudah terjadi karena Siauw Tjeng Hong sudah makan
buah Yoetam Sianhoa, hadiah Thiekoay sian.
Sembari berlompat-lompatan dan tertawa-tawa di depan barisan batu itu, Kang Lam berkata:
"Ah! Benar-benar Siauw Loosoe! Jika kau tidak bersuara lebih dulu, aku tentu tidak berani
memanggil. Kenapa kau tidak bongkok lagi? Kerut-kerutan di atas mukamu juga tidak kelihatan
lagi. Ha-ha! Siapa nyonya itu? Apa Siauw Soenio? Ah! Siauw Loosoe! Beruntung benar kau! Kang
Lam harus memberi selamat dengan secangkir arak. Eh, Siauw Soenio! Apa Siauw Loosoe pernah
menyebutkan namaku, si Kang Lam?'
Demikianlah Kang Lam yang sekali berbicara lantas saja seperti petasan disulut.
Wanita itu tertawa seraya berkata: "Masakan ia tak pernah menyebutkan nama besar Kang Lam
yang kesohor? Bukankah kau menjadi kacung Tan Kongtjoe yang paling suka bicara?"
Lagi-lagi Keng Thian merasa heran. Dari mana kacung Thian Oe ini belajar silat? Dilihat dari
gerak-gerakannya, ilmu anak itu berbeda dengan ilmu Thian Oe.
"Eh," kata Siauw Tjeng Hong. "Sekarang jangan membicarakan yang tak penting. Lebih dulu
aku minta kau melepaskan kami."
"Mana aku mampu?" kata Kang Lam dengan suara jengkel.
"Kenapa tidak bisa?" tanya pula Siauw Tjeng Hong.
"Apakah kau sendiri tidak mengerti seluk-beluk barisan ini yang sangat aneh?" Kang Lam balas
menanya.
"Kenapa tadi kau menimpuk dengan batu?" tanya lagi Siauw Tjeng Hong.
"Aku tak tahu, yang ditimpuk adalah kau," sahutnya.
"Oh, kalau lain orang, kau rasa boleh menimpuk sembarangan?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Kang Lam, kau tidak kecil lagi. Kenapa masih begitu nakal?"
"Ada orang yang menyuruh aku berbuat begitu," anak itu menerangkan.
"Siapa?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Guruku," jawabnya. "Eh, salah! Tua bangka itu yang memaksa aku mengangkat ia sebagai
guruku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Tua bangka siapa?" tanya Siauw Tjeng Hong. "Sudah berapa lama kau belajar silat? Mana
Thian Oe? Ia memperlakukan kau sebagai saudara sendiri, kenapa kau mabur dengan diam-diam
dan mengangkat orang lain sebagai gurumu? Sudah berapa lama kau kabur?"
" "Siapa kata aku mabur diam-diam?" teriak Kang Lam. "Dusta besar jika dikatakan aku
kesudian mengangkat orang lain sebagai guru. Kongtjoe yang menyuruh aku. Kau tak tahu suatu
apa, kenapa sudah mengatakan yang tidak-tidak?"
Wanita itu tertawa dan berkata: "Dia tidak sabaran, kau pun begitu juga. Tjeng Hong! Kau
harus menanya satu demi satu. Jika kau majukan pertanyaan seperti hujan, mana bisa mendapat
jawaban beres."
"Benar," kata Siauw Tjeng Hong sembari mesem. "Aku melupakan adat Kang Lam yang seperti
api. Baiklah. Sekarang pertanyaan pertama: Kenapa Tan Kongtjoe menyuruh kau pergi ke lain
tempat?"
"Tan Kongtjoe?" kata Kang Lam. "Bukan! Looya (majikan tua) yang menyuruh aku
mengantarkan sepucuk surat kepada Tjioe Taydjin. Surat apa? Tentu saja ia tidak
memberitahukan. Ha! Tapi aku tahu. Tjioe Taydjin adalah besannya. Aku mendapat tahu dari
seorang budak perempuan, Tjay Hong namanya. Dialah yang memberitahukan kepadaku. Aku
malah tahu apa yang ditulis. Eh, Siauw Loosoe! Apakah kau tahu, kenapa aku diberi nama Kang
Lam? Looya memberikan nama itu kepadaku lantaran ia selalu ingat akan kampung kelahirannya,
di daerah Kanglam. Aku sendiri merasa betah hidup di Tibet, tapi Looya sangat tidak betah. Ia
selalu ingin pulang ke kampungnya. Suatu malam, aku telah mencuri mendengarkan pembicaraan
antara Looya dan Kongtjoe. Looya mengatakan, bahwa dengan menjadi utusan istimewa untuk
menyambut guci emas, ia sudah berjasa besar, tapi sungguh sayang, Hok Taydjin-hm! Hok Kong
An-tak sudi membantu ia.
Sebaliknya, dia malah memerintahkan Looya kembali ke Sakya untuk menjabat pula pangkat
Soanwiesoe."
"Oleh sebab itu, Looya segera mengambil keputusan untuk menulis surat kepada besannya,
dengan pengharapan Tjioe Taydjin suka memberitahukan Hongsiang (kaisar) tentang jasa-jasanya
dan memohon agar Hongsiang sudi membebaskan ia. Tapi, kata Looya, perjalanan begitu jauh,
siapa yang dapat dipercayakan membawa surat itu? Ha! Siauw Loosoe. Coba tebak, siapa yang
dipujikan oleh Siauwya (majikan muda)? Bukan lain daripada aku sendiri! Kata Siauwya: Orang
yang paling tepat adalah Kang Lam. Nah, lihatlah! Semua orang mengatakan aku rewel, banyak
mulut, tak mampu bekerja! Tapi, Siauwya? Siauwya memandang tinggi padaku! Maka itu, jika tadi
aku mengatakan, bahwa aku disuruh oleh Siauwya, aku pun tidak bicara salah!"
Begitulah keterangan Kang Lam yang panjang lebar dan banyak bumbunya. Mendengar itu,
Keng Thian pun merasa geli dan berkata di dalam hatinya: "Tak salah jika orang mengatakan,
Kang Lam suka benar bicara!"
Siauw Tjeng Hong tertawa terbahak-bahak. "Siauwya sungguh memandang tinggi dirimu,
sehingga ia sudah menurunkan ilmu silat kepadamu," katanya.

"Bukankah begitu?"
"Benar, tepat sekali dugaanmu, jawabnya. "Pada musim semi tahun yang lalu, sesudah
beberapa pencuri kuda itu membakar kantoran dan sesudah kau kabur, baru aku mengetahui,
bahwa Siauw Loosoe mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan bahwa Kongtjoe pun memiliki
ilmu yang tidak rendah. Waktu itu, aku sudah lantas memohon supaya Kongtjoe sudi menurunkan
ilmunya kepadaku. Tapi, oleh karena ingin menghindari kawin paksaan dan juga ingin mengantar
kau, maka Kongtjoe tidak dapat meluluskan permintaanku. Belakangan, sesudah kembali dari
Lhasa, baru ia mengajarkan aku beberapa macam ilmu silat yang kasar. Siauw Loosoe! Coba kau
pikir: Jika aku tak mempunyai bekal, bagaimana Kongtjoe mau memujikan diriku untuk membawa
surat yang begitu penting?"
"Jika kau tahu pentingnya surat itu, kenapa juga kau main lambat-lambatan disini?" tanya
Siauw Tjeng Hong lagi sembari menahan tertawa. "Dan kenapa kau membiarkan dirimu dijadikan
murid tua bangka itu?"
"Siapa mengatakan aku main lambat-lambatan disini?" teriak Kang Lam dengan suara
mendongkol. "Pengalamanku tiada bedanya dengan kau, Siauw
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Loosoe! Aku lewat disini, hatiku heran, aku masuk untuk melihat-lihat. Dan kau tahu, seperti
kau, begitu masuk aku tak bisa keluar."
Muka Siauw Tjeng Hong jadi berubah merah. "Baiklah," katanya. "Aku tidak mempersalahkan
kau. Tapi kemudian, bagaimana kau dapat keluar?"
"Lama juga aku terkurung dalam barisan ini," Kang Lam menerangkan. "Aku jalan terputar-
putar, perutku lapar dan aku mencaci maki sekeras-kerasnya. Ha! Baru aku memaki, sudah ada
yang datang."
"Apakah tua bangka itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Tak salah," sahutnya. "Selagi aku enak memaki, dengan sekali berkelebat, si tua yang
mengenakan jubah pertapaan kuning, sudah berdiri di hadapanku. Tak tahu, dari mana
datangnya. Katanya: Hei, anak muda! Kalau kau mau menjadi muridku, aku akan mengeluarkan
kau dari tempat ini."
"Dan kau lantas menerima tawaran itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Menolak pun tak ada gunanya," jawab si kacung. "Sehari suntuk aku sudah terkurung dalam
barisan batu ini, lebih lama daripada kau. Apakah boleh tak usah makan? Biarpun hatiku tak
kesudian, mulutku lantas saja menyanggupi. Si tua tertawa girang. Dengan menuntun tanganku,
ia berjalan bulak-balik dan entah bagaimana, tahu-tahu aku sudah berada di luar. Kataku: Maaf,
Lootjianpwee. Jika kau memerlukan murid, carilah saja yang lain. Aku sendiri perlu buru-buru
meneruskan perjalanan. Tua bangka itu lantas saja berkata: Anak kecil! Kau sungguh tak tahu diri.
Lain orang memohon-mohon berlutut di hadapanku tiga hari tiga malam, belum tentu aku sudi
mengambil dia sebagai murid. Apakah kau tahu, kenapa aku mau menerima kau sebagai murid?
Aku sudah bersumpah, bahwa sebelum mati, aku akan mengambil seorang murid untuk mewarisi
Seantero kepandaianku. Tapi aku pun tak sudi keluar dari selat ini. Aku menunggu sampai orang
datang. Asal dia belum berusia delapan belas tahun, aku akan mengambilnya sebagai murid.
Bukankah kau beruntung sekali? Aku lantas menjawab, bahwa aku tak sudi menerima
keberuntungan itu lalu memutarkan badan untuk berjalan pergi. Si tua bangka lantas saja berkata
sembari tertawa: Biarpun mempunyai kepandaian seratus kali lipat lebih tinggi, kau tak akan bisa
kabur. Cobalah! Aku tak meladeni dan berjalan terus. Mendadak, kedua dengkulku kesemutan dan
di luar keinginanku, aku jungkir balik tiga kali sampai berhadapan pula dengan si tua bangka.
Begitu berhenti jumpalitan, rasa kesemutan di dengkulku lantas saja menjadi hilang. Si tua berkata
lagi: Bocah! Jika kau mabur untuk kedua kalinya, seluruh badanmu akan kegatalan dan kesakitan
tiga hari tiga malam lamanya. Kalau kau berani mabur untuk ketiga kali, akan kumampuskan kau!
Suaranya tenang, agaknya jiwa manusia seperti jiwa kacoa di matanya. Sorot matanya sungguh
hebat. Aku menjadi ketakutan. Aku memberitahukan kepadanya, bahwa Siauwya-ku menyuruh
aku mengantarkan surat. Ia tidak meladeni dan kukuh pada kemauannya. Demikianlah, aku tak
dapat berbuat lain daripada menerima nasib menjadi muridnya."
"Sudah berapa lama kau mengikuti dia?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Baru tujuh hari," jawab Kang Lam sesudah menekuk jerijinya.
"Dusta! Lagi-lagi kau membohong!" membentak Siauw Tjeng Hong.
"Lagi kapan aku berdusta?' tanya Kang Lam dengan suara keras.
"Tujuh hari?" Siauw Tjeng Hong menegaskan dengan suara tidak percaya. "Dalam tujuh hari
bagaimana kau mampu mempelajari ilmu menimpuk jalan darah?"
"Ah!" seru Kang Lam. "Apakah itu ilmu menimpuk jalan darah dengan senjata rahasia? Tadinya
aku menduga ia hanya mengajarkan permainan anak-anak belaka."
Keng Thian tercengang. Jika benar dalam tempo tujuh hari ia bisa mengajar menimpuk jalan
darah dengan batu, kepandaian orang tua itu sungguh-sungguh tak dapat ditaksir bagaimana
dalamnya.
"Apa si tua sudah mengetahui kedatangan kami dan menyuruh kau menunggu disini untuk
menimpuk dengan batu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Mungkin," jawabnya.
"Semalam dia berkata begini kepadaku: Ada dua orang yang telah masuk ke dalam selat ini.
Sesudah mempunyai murid, aku tak suka orang luar datang kemari. "Hantamlah mereka dengan
batu, tapi jangan menimpuk sembarangan. Timpuklah sesudah mereka memutar dua kali ke
sebelah kiri, dua kali ke sebelah kanan dan mendekati pintu keluar. Siauw Loosoe! Aku tak tahu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kedua orang itu adalah kalian. Aku menganggap senang juga bisa bermain-main dan sudah segera
menurut perintahnya. Siauw Loosoe! Harap kau tidak menjadi gusar."
Siauw Tjeng Hong mendongkol berbareng geli. "Kalau begitu," katanya. "Kau tak dapat
melepaskan kami."
"Memang tak bisa," kata Kang Lam. "Jika kalian lapar, aku bisa mencuri sedikit makanan."
"Cobalah kami menjajal-jajal," kata Siauw Tjeng Hong yang segera jalan mutar ke kiri dua kali
dan ke kanan dua kali. Tapi, sesudah mencoba berulang-ulang, ia masih belum berhasil menoblos
dari barisan itu.
Tjeng Hong menjadi bingung. Ketika itu, rembulan sudah doyong ke sebelah barat dan fajar
akan segera menyingsing.
"Siauw Loosoe," kata Kang Lam. "Sudah semalam suntuk kau berputar-putar disitu. Apakah kau
tidak lapar? Jika lapar, aku bisa mencuri makanan "
"Tidak, aku tak lapar," jawab Tjeng Hong sembari menggaruk-garuk kepalanya.
Keng Thian tersenyum. Bagaikan seekor garuda, ia melayang turun dari atas batu seraya
berseru: "Siauw Sinshe! Selamat bertemu!"
Begitu mengetahui siapa yang datang itu, bukan main girangnya Siauw Tjeng Hong. "Tong
Siangkong!" ia berseru sembari berjingkrak. "Bagaimana kau pun bisa berada disini?"
"Seperti juga kalian, aku tersurung perasaan kepingin tahu," jawabnya sembari masuk ke dalam
barisan batu itu.
"Eh-eh," kata Kang Lam. "Sekali masuk, kau tak akan bisa keluar lagi. Aku tak mengenal kau,
tak dapat aku mencuri makanan untukmu."
Tapi Keng Thian tidak meladeni, ia masuk terus sembari mesem. Dengan dipimpin olehnya,
sesudah bulak-balik beberapa kali, Siauw Tjeng Hong dan wanita itu sudah berada diluar tin
(barisan).
Kang Lam membuka matanya lebar-lebar. "Ha!" katanya. "Tak nyana, kau berkepandaian
begitu tinggi. Siapa kau?"
Siauw Tjeng Hong tertawa dan berkata: "Dia adalah orang yang pernah menolong Kongtjoe-
mu..."
"Aku tahu!" Kang Lam putuskan perkataan orang. "Kau tentu Tong Keng Thian. Tong
Siangkong, Siauwya pernah menceritakan halmu kepadaku. Kata Siauwya, Thiansan Kiamhoat-mu,
tak ada bandingannya di dalam dunia.
"Eh, apakah kau bisa menolong supaya aku dapat meloloskan diri dari tempat ini? Bukankah
kau sudah mendengar semua pembicaraanku tadi? Aku perlu berangkat buru-buru untuk
menyampaikan surat."
"Kang Lam," kata Keng Thian sembari mesem. "Jangan kiiam Aku tahu, apa yang harus
kulakukan." Ia berpaling kcp.ula Tjeng Hong dan menyambung perkataannya: "Selamat, Siauw
Sinshe! Lagi kapan kau menikah?"
"Tahun yang lalu, sesudah pulang ke Sengtouw, aku lalu mempersatukan diri pula ke dalam
partai Tjengshia pay," Tjeng Hong menerangkan. "Dia juga berada di Sengtouw, menunggu aku."
Sesudah berkata begitu, ia lalu memperkenalkan isterinya kepada Keng Thian.
Isteri Siauw Tjeng Hong adalah adik misanannya sendiri yang bernama Gouw Tjiang Sian.
Sebagai kawan bermain semenjak kecil, Tjiang Sian mencintai Tjeng Hong, tapi ia selalu
mengumpatkan rasa cintanya, karena Tjeng Hong sudah jatuh cinta kepada Tjia In Tjin. Setelah
terjadi pertemuan di keraton es, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa orang yang dicintainya itu
sudah menikah dengan Thiekoay sian dan bahwa Gouw Tjiang Sian masih menunggu ia. Begitu
kembali ke Sengtouw, ia segera meminang adik misanannya itu dan mereka lalu menikah. Di
waktu menikah, Siauw Tjeng Hong sudah berusia empat puluh tahun lebih.
"Kemana kalian mau pergi?" tanya Keng Thian. "Kenapa lewat disini?"
"Tahun yang lalu, aku dan Thian Oe telah mendaki Nyenchin Dangla, bertemu dengan
Pengtjoan Thianlie dan mengetahui, bahwa nona itu adalah puteri Koei Hoa Seng," Tjeng Hong
menerangkan. "Sesudah pulang sebenarnya aku ingin sekali segera pergi menemui Moh Tjoan
Seng Lootjianpwee untuk menyampaikan warta girang itu. Akan tetapi, karena repot, belum juga
aku dapat mewujudkan niatan itu..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Siauw Loosoe!" Kang Lam mendadak menyeletuk. "Kau sudah menikah, kenapa masih repot
juga?"
"Kang Lam, jangan memotong perkataan Siauw Loosoe," kata Keng Thian.
"Tapi sekarang, aku mendengar suatu urusan yang, walaupun bagaimana juga, mesti diselidiki
sampai seterang-terangnya untuk diberitahukan kepada Moh Lootjianpwee," Tjeng Hong
melanjutkan penuturannya.
"Urusan apa?" tanya Keng Thian.
"Moh Lootjianpwee adalah tetua dari Boetong pay," Siauw Tjeng Hong menerangkan. "Di
samping itu, ia telah diakui sebagai ahli silat nomor satu dalam Rimba Persilatan di seluruh wilayah
Tionggoan. Sebagaimana kau tahu, setiap sepuluh tahun ia membuka pintu mengadakan Kiatyan
(memberi sedekah atau ceramah oleh seorang Budhis) dan memberi petunjuk-petunjuk kepada
orang-orang yang tingkatannya lebih rendah. Sekarang tempo untuk Kiatyan sudah mendekati,
yaitu tinggal setengah bulan lagi."
"Bagus!" kata Keng Thian. "Bukankah kita masih mempunyai tempo untuk tiba pada
waktunya?"
"Tapi... kali ini, mungkin bakal ada orang yang datang mengacau!" kata Tjeng Hong.
Keng Thian terkesiap. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar, hampir-hampir ia tak percaya
kupingnya sendiri. Harus diketahui, bahwa Moh Tjoan Seng adalah pendekar besar dari jaman itu.
Bukan saja ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, tapi kebatinannya pun sangat
luhur, sehingga kebesaran namanya dapat dipersamakan seperti gunung Thaysan atau bintang
Paktauw, yang diindahkan dan dikagumi oleh semua cabang dan partai persilatan di seluruh
Tiongkok. Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi dan nama begitu besar, siapakah yang berani
mengganggu ia?
Siauw Tjeng Hong mendehem beberapa kali lalu berkata pula: "Menurut apa yang kudengar,
yang mau mengacau adalah seorang luar biasa dari partai Khongtong pay." Keng Thian mesem.
"Tjiangboendjin (pemimpin) Khongtong pay adalah Tio Leng Koen," katanya. "Melawan
muridmu, saudara Thian Oe, ia masih belum tentu bisa memperoleh kemenangan."
Paras muka Siauw Tjeng Hong yang sangat guram, tetap tidak berubah. "Selama kurang lebih
tiga puluh tahun partai Khongtong pay memang sangat merojan," katanya dengan suara sungguh-
sungguh. "Orang-orangnya dari tingkatan atas masih belum dapat menandingi ahli-ahli silat kelas
satu. Itulah sebabnya, mengapa berbagai partai jadi memandang rendah partai tersebut. Akan
tetapi, sebenar-benarnya, Khongtong pay mempunyai keistimewaan yang luar biasa."
Keng Thian terkejut. "Benar," katanya. "Memang juga, jika tidak mempunyai keistimewaan,
Khongtong pay tentu tidak dapat menjadi suatu partai. Kecerdasan manusia tidak dapat
disamaratakan dan kerajinan orang pun berbeda-beda, sehingga memang juga kita tidak dapat
memukul rata semua orang. Tadi, oleh karena mengingat kepandaian Tio Leng Koen yang masih
cetek, aku jadi memandang rendah Khongtong pay sebagai partai. Aku mengakui, bahwa
perkataanku itu tidak benar."
Dari sini dapat dilihat, bahwa Keng Thian adalah seorang pemuda yang telah mendapat
pendidikan sangat baik dan segera mengakui kekeliruannya, begitu lekas ia menganggap dirinya
bersalah.
"Menurut apa yang aku dengar," kata pula Siauw Tjeng Hong. "Oleh karena melihat
merojannya partai mereka, sedari tiga puluh tahun berselang, sejumlah orang Khongtong pay dari
tingkatan atas, pergi menyembunyikan diri di tempat sepi untuk melatih diri dan meyakinkan
kitab-kitab ilmu silat dari Tjouwsoe (pendiri) Khongtong pay, dan selain itu, mereka juga telah
menggubah ilmu-ilmu silat baru. Selama beberapa puluh tahun ini, tak seorang pun mengetahui
sampai dimana mereka sudah mencapai kemajuan. Paling belakang, secara kebetulan aku
mendengar, bahwa ada tetua Khongtong pay yang ingin turun gunung."
"Apakah kau maksudkan, bahwa sesudah turun gunung, ia segera ingin menyatroni Moh
Tayhiap untuk menjajal kepandaian?" tanya Keng Thian.
"Benar," jawab Tjeng Hong. "Jika tidak membentur ahli silat nomor satu di wilayah Tionggoan,
dia tak dapat memperlihatkan kepandaiannya dan juga sukar mengangkat naik nama partainya
yang sudah merosot. Tapi, di samping itu, menurut yang kudengar, masih terselip sebab lain."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah berkata begitu, ia mengawasi Keng Thian sembari mesem dan menyambung pula
perkataannya: "Sebab itu, mungkin adalah karena gara-garamu."
"Sungguh mengherankan," kata Keng Thian.
"Aku mendengar, bahwa kau merobohkan tiga belas jago Khongtong pay dengan Thiansan
Sinbong," kata Siauw Tjeng Hong. "Apakah benar?”
"Benar, antara mereka terdapat juga Tio Leng Koen," jawabnya.
"Selain kau, terdapat seorang wanita muda yang menggunakan pedang es bukan?" tanya lagi
Tjeng Hong.
"Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie bersama dayangnya yang bernama Yoe Peng," Keng
Thian menerangkan. "Di samping mereka berdua, masih ada seorang lain, yaitu muridmu sendiri,
Thian Oe. Jika lantaran itu, Khongtong pay jadi merasa sakit hati, seharusnya mereka mencari aku
dan bukannya Moh Tayhiap."
"Kalian, ayah dan anak, mempunyai nama yang lebih besar daripada Moh Tayhiap," kata Tjeng
Hong. "Jika mereka menyatroni kalian dan bertempur di atas gunung Thiansan, orang luar tak
akan dapat menyaksikan menang kalahnya. Maka itu, mereka telah mengambil putusan untuk
menyatroni Moh Tayhiap. Mereka menganggap Yoe Peng sebagai Pengtjoan Thianlie dan entah
bagaimana, mereka juga sudah mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie adalah keponakan Moh
Tayhiap. Dengan adanya ikatan keluarga itu, mereka jadi mempunyai alasan lebih kuat untuk
menyukarkan Moh Tayhiap. Selain itu, aku pun mendengar, mereka sudah mengundang orang-
orang pandai dari partai lain untuk mengacau di harian Kiatyan. Kepergianku kali ini, pertama
adalah untuk menyampaikan warta tentang Pengtjoan Thianlie kepada Moh Tayhiap dan kedua,
untuk memberitahukan hal itu, supaya Moh Tayhiap bisa bersiap-siap. Tapi sedikitpun aku tidak
merasa kuatir. Dengan kepandaiannya yang sedemikian tinggi, Moh Tayhiap tentu akan dapat
mengatasi segala kejadian."
Keng Thian berpikir beberapa saat dan kemudian berkata sembari mesem: "Bagus!"
"Kenapa kau kata bagus?" tanya Tjeng Hong.
"Bukankah kita akan dapat turut menonton keramaian?" kata Keng Thian sembari mesem.
"Apakah kau juga ingin pergi menyambangi Moh Lootjianpwee?" tanya Tjeng Hong.
"Benar," jawabnya. "Menurut perhitunganku, kita masih mempunyai tempo untuk tiba pada
waktu Kiatyan. Aku pun berharap agar Pengtjoan Thianlie juga berada disitu. Ingin sekali aku
menyaksikan ilmu apa yang dimiliki orang Khongtong pay itu, sehingga ia berani menyatroni Moh
Lootjianpwee."
Mendengar itu, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa Keng Thian niat turun tangan dan
hatinya menjadi girang sekali. "Sebagai orang yang tingkatannya tinggi, Moh Lootjianpwee tak
pantas turun tangan sendiri," katanya didalam hati. "Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie,
mempunyai kepandaian tinggi, tapi tingkatannya rendah. Sungguh bagus, jika mereka berdua bisa
berada bersama-sama."
"Kalau begitu, biarlah kita menunggu sampai fajar untuk segera berangkat," kata Tjeng Hong.
Kang Lam yang sedari tadi sudah merasa sangat tidak sabar, lantas saja menyeletuk, begitu
lekas mereka berhenti berbicara. "Eh, aku bagaimana? tanyanya.
"Kau, kau apa?" kata Keng Thian. "Kau sudah mempunyai guru yang baik, apakah kau juga
ingin mengikut?"
"Kau toh sahabat Kongtjoe-ku bukan?" Kang Lam berseru. "Apakah kau tak tahu, aku
diperintah membawa surat? Bagaimana kau bisa tidak mengajak aku?”
Keng Thian tertawa. "Eh," katanya. "Aku mau menanya: Apakah Kongtjoe-mu baik?"
"Bagaimana tak baik?" sahutnya. "Sehari makan tiga kali!"
"Gila kau!' bentak Keng Thian. "Aku mau menanya: Bagaimana dengan puteri Touwsoe?"
"Apa lagi?" jawab Kang Lam sembari nyengir. "Setiap hari berhias, seperti sundal saja! Dari
pagi sampai malam, kerjanya memburu. Saban hari lewat di depan kantoran. Karena takut
kesomplok, siang hari malam, Siauwya selalu bersembunyi di dalam, sejenak pun tak berani
keluar. Agaknya Siauwya takut digigit!" Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak,
sehingga semua orang jadi turut tertawa.
"Kalau begitu, pernikahan mereka sudah tetap, bukan?" tanya Keng Thian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Tidak, tidak! Kongtjoe menolak keras," jawabnya. "Tapi... tapi sekarang sudah ada
ketetapannya... antara Touwsoe dan Looya. Si Touwsoe yang mendesak terus, supaya Looya
meluluskannya. Lain tahun musim semi, jika kuil Lhama yang sedang dibuat sudah rampung, aku
mendengar, bakal datang seorang Budha Hidup dari Agama Topi Putih untuk meresmikan
pembukaan kuil tersebut. Pada waktu itu, Touwsoe ingin minta bantuan Budha Hidup untuk
menikahkan mereka. Hm! Kongtjoe tentu tak bisa berkelit lagi."
Hati Keng Thian berdebar-debar. "Thian Oe tak dapat melupakan Chena, tapi ia tentu tak tahu,
nona itu sekarang sudah menjadi Wanita Suci," pikirnya. "Lain tahun di musim semi, ia akan
mengikut raja agama Sekte Topi Putih datang di Lhasa untuk meresmikan pembukaan kuil."
Ketika itu fajar sudah menyingsing dan sinar matahari pagi sudah menembus ke dalam hutan
batu itu.
"Apakah sekarang kita sudah boleh berangkat?" tanya Tjeng Hong.
"Eh, ajak aku!" kata Kang Lam.
"Baiklah," sahut Keng Thian. "Sebelum berangkat, aku minta kau mengajak kami pergi
menemui gurumu untuk berpamitan."
"Perlu apa berpamitan?" kata Kang Lam. "Jika pamitan, dia tentu menghalangi."
Mendadak saja, dari jauh terdengar suara seorang tua: "Orang berilmu dari manakah yang
sudah penuju dengan muridku yang tolol itu?" Suara itu tidak keras tapi "tajam" dan
mengeluarkan suara "ung-ung", di waktu gelombangnya membentur hutan batu.
Dengan hati mencelos, Kang Lam buru-buru bersembunyi di belakang Keng Thian yang lalu
merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Aku yang muda adalah Tong Keng Thian yang
sudah kesalahan masuk ke dalam tempat dewa-dewa ini. Mohon Lootjianpwee suka memberi
maaf." Suara Keng Thian juga tidak besar, tapi nyaring, seolah-olah tikaman pedang ke dalam
hutan batu itu, yang segera berkumandang, setelah dibentur gelombang suara.
Baru saja ia mengucapkan perkataannya, dengan sekali berkelebat, di hadapan mereka sudah
berdiri seorang Toosoe (imam) yang paras mukanya aneh dan mengenakan jubah pertapaan
warna kuning.
Kang Lam gemetar sekujur badannya, ia mepet di belakang Keng Thian, tanpa berani
menongolkan kepala.
"Selama beberapa puluh tahun, tuan adalah orang satu-satunya yang bisa keluar dari barisan
batu ini," katanya. "Orang yang pandai tidak perlu meminta maaf. Sesudah bisa keluar dari barisan
batu, kau tentu mempunyai kepandaian untuk membawa pergi muridku yang tolol. Baiklah. Kau
boleh membawa dia pergi!"
Keng Thian terkejut. Dari perkataannya, imam itu ingin mengukur kepandaiannya. Waktu
Toosoe itu pertama bicara, karena teraling puncak-puncak, Keng Thian tidak mengetahui persis
dimana ia berada, tapi bisa ditaksir, ia sedikitnya terpisah seratus tombak. Dan hampir berbareng
dengan suaranya, manusianya sudah tiba di hadapannya. Dari sini, Keng Thian mengetahui,
bahwa imam itu mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.
Sebagai penjagaan, ia menarik napas dalam-dalam untuk mengerahkan tenaga Hiankong dari
Thiansan pay. "Jika demikian," katanya sembari membungkuk. "Sesudah urusanku beres, aku
tentu akan datang lagi disini guna menyampaikan hormat." Sembari menuntun tangan Kang Lam,
perlahan-lahan ia berjalan keluar dari hutan batu.
Toosoe itu mencekal Hudtim (kebutan) dalam tangannya. Melihat tetamunya berangkat, tanpa
menggerakkan badannya, ia mengebut dengan Hudtim-nya dan berkata: "Sebelum mempunyai
sayap, bocah nakal itu sudah ingin terbang. Tuan harus menilik ia secara keras!"
Sebagai seorang yang sudah menyelami ilmu Thiansan pay, Keng Thian mempunyai perasaan
yang luar biasa tajamnya. Kebutan itu, yang sebenarnya sangat perlahan, sudah dapat didengar
olehnya, dan lebih dari itu, tanpa menengok, ia juga mengetahui, bahwa beberapa helai benang
Hudtim sedang menyambar jalan darah Kang Lam dan ia sendiri! Dengan perkataan lain, si Toosoe
dapat menggunakan benang-benang yang begitu halus seperti semacam jarum untuk menusuk
jalan darah musuh. Dapat dibayangkan, bahwa seorang yang tidak mempunyai "ketajaman"
seperti Keng Thian, tidak akan dapat mengelakkan serangan itu yang tidak ada suaranya dan
hampir tak kelihatan bahayanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Bagaikan kilat Keng Thian meloncat dan menarik tangan Kang Lam sambil berkata: "Hati-hati!
Ada batu." Dengan demikian, semua benang Hudtim itu menyambar ke badannya. Akan tetapi,
walaupun sudah berjaga-jaga dengan mengerahkan tenaga Hiankong, tak urung ia merasa
kesemutan di beberapa jalan darahnya, seperti digigit semut. "Tenaga dalam Toosoe itu sungguh
hebat," katanya di dalam hati. "Meskipun belum bisa menandingi Hoeihoa tjekyap (Bunga terbang
memetik daun) Ie-ie-ku, ilmunya masih lebih tinggi daripada aku."
"Mana ada batu?" tanya Kang Lam yang tidak mengetahui, bahwa tanpa pertolongan Keng
Thian, kedua dengkulnya tidak akan dapat digunakan lagi.
"Kang Lam," kata Keng Thian. "Haturkan terima kasih kepada gurumu!" Ia mengetahui, bahwa
sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, si Toosoe pasti tidak akan menyerang dua kali kepada
bocah yang menjadi muridnya sendiri.
Kang Lam adalah seorang yang sangat cerdas otaknya Meski tidak mengerti maksudnya, lantas
saja ia menyoja dan berkata: "Terima kasih atas budi Soehoe yang sudah melepaskan murid."
Keng Thian segera menggerakkan tangannya supaya Kang Lam berjalan lebih dulu.
Muka imam itu menjadi merah padam. "Mulai dari sekarang, antara kau dan aku sudah tidak
ada hubungan guru dan murid lagi," katanya dengan suara dingin. Suara itu menusuk kuping
sehingga si bocah merasakan kepalanya puyeng dan hampir-hampir ia jatuh terguling. Buru-buru
ia menutup kedua kupingnya dan mementang langkah lebar-lebar. Di lain saat, ia merasakan
badannya panas, tapi ia tidak menggubris itu dan terus berjalan secepat mungkin.
Selagi Keng Thian mau berpamitan, imam itu mengawasi ia dengan sorot mata tajam dan
menanya dengan suara yang sangat tidak enak kedengarannya: "Bagus! Liehay sungguh
kepandaianmu! Siapa gurumu? Bilanglah, supaya aku dapat meminta pengajarannya."
Keng Thian mesem. "Tempat tinggal Boanpwee jauh dari sini," jawabnya. "Mana berani aku
membikin Tjianpwee bercapai lelah."
Kata-kata Keng Thian yang manis itu sebenarnya mengandung duri di dalamnya. Dengan
perkataannya itu, ia seperti ingin menyatakan, bahwa gurunya sebenarnya dapat melayani
permintaan si Toosoe, hanya ia tidak berani membikin si imam menjadi capai. Keng Thian yang
biasanya suka merendah sudah terpaksa menggunakan kata-kata yang menusuk itu, oleh karena
ia mendongkol mendengar betapa temberangnya imam tersebut. Harus diketahui, bahwa ayah
Keng Thian adalah pemimpin suatu partai besar yang kedudukannya sangat tinggi, sehingga ia
boleh tak usah bicara sungkan-sungkan untuk ayahnya itu.
Toosoe jubah kuning itu lantas saja mendelik. "Sebetulnya aku tak ingin keluar dari hutan ini,"
katanya dengan suara tawar. "Tapi sesudah mendengar perkataanmu, tak dapat tidak aku mesti
mencari gurumu. Siapa gurumu?"
Keng Thian terus mesem. Selagi mau menjawab, dalam hutan batu itu tiba-tiba terdengar suara
tertawa yang menyeramkan. Di lain saat, seorang manusia muncul dari salah sebuah gua batu.
"Hongsek Tooyu," katanya sembari menyeringai. "Matamu lamur. Apakah kau tidak mengenali
ilmu silat dari Thiansan pay? Coba pikir: Di antara orang-orang tingkatan sebelah bawah, selain
putera tunggal Tong Siauw Lan, siapa lagi yang berani berlaku begitu kurang ajar di hadapanmu?
Sudah lama aku mengatakan, bahwa Thiansan pay sangat sombong dan memandang lain cabang
persilatan seperti juga partai yang menyeleweng. Apakah sekarang kau percaya perkataanku itu?"
Keng Thian menengok. Orang itu hitam kurus, mukanya melesek ke dalam, kedua matanya
bagaikan bara, rambutnya awut-awutan, sedang romannya menakutkan sekali dan dia bukan lain
daripada Hiatsintjoe.
Kang Lam mengeluarkan teriakan tertahan, hatinya heran bukan main. Terang-terangan ia
mengetahui, bahwa di dalam gua hanya terdapat gurunya seorang diri. Dari mana datangnya
manusia aneh itu? Apakah ada jalan rahasia di dalam hutan batu itu?
Keng Thian juga tidak kurang terkejutnya. Dengan kedatangan Hiatsintjoe, tak gampang-
gampang ia akan dapat meloloskan diri.
Imam itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba paras mukanya berubah dan sambil
mengebut dengan Hudtim-nya, ia berkata: Sebenarnya aku tidak berniat menyusahkan orang yang
tingkatannya di sebelah bawah. Akan tetapi, oleh karena orang itu adalah anak Tong Siauw Lan,
jika aku melepaskan ia, orang lain akan menduga aku takut kepada suami isteri Tong Siauw Lan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Biarpun berada dalam bahaya, Keng Thian tetap berlaku tenang. Ia mesem seraya berkata:
"Jika kedua Lootjianpwee ingin menahan aku, aku tentu tak akan bisa lari. Maka itu, aku bersedia
untuk menerima segala keputusan kalian."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau mengatakan, bahwa dalam kedudukannya sebagai
Houpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah), ia bersedia untuk melayani dua orang yang
kedudukannya lebih tinggi itu.
"Hm!" si Toosoe mengeluarkan suara di hidung. "Untuk menahan kau, aku tak perlu mendapat
bantuan orang. Hiatsintjoe! Biarlah kau menjadi saksi. Jika bocah itu dapat menyambut
seranganku dalam tujuh jurus, aku akan membiarkan mereka pergi. Bocah, sungguh sombong
kau! Sampai kapan baru kau mau menghunus senjata?"
Putera Tong Siauw Lan ini lantas saja tertawa besar. "Jika kau ingin memberi pelajaran, tak
usah dibatasi dalam tujuh jurus," katanya "Aku berdiri disini, tak bisa melarikan diri. Lootjianpwee!
Kenapa kau tidak lantas menyerang? Mau tunggu sampai kapan?"
Diejek begitu, Hongsek Toodjin jadi marah besar. "Baiklah," katanya."Kau tidak mau
mengeluarkan senjata, itu tandanya kau sendiri yang mencari mampus!" Berbareng dengan
perkataannya, badannya melesat setombak lebih dan tangannya mengebut dengan Hudtim-nya.
Kebutan itu, yang kelihatannya biasa saja, sebenarnya berisikan dua macam serangan dahsyat.
Dalam serangan pertama, benang-benang Hudtim berkumpul menjadi satu, dalam bentuk pit (alat
tulis Tionghoa) dan menghantam musuh dengan tenaga Yangkong (tenaga "keras"). Jika serangan
ini tidak dapat merobohkan musuh, benang-benang itu lantas terbuka dan menusuk jalan darah
musuh dengan tenaga Imdjioe (tenaga "lembek").
Kedua serangan itu hebat luar biasa dan tak akan dapat ditangkis oleh ahli silat yang tanggung-
tanggung. Tapi, dalam menghadapi serangan sehebat itu, Keng Thian sama sekali tidak bergerak.
"Apakah benar-benar kau mau mampus?" Hongsek Toodjin membentak. Ketika itu, benang-
benang Hudtim sudah terbuka dan tengah menyambar muka Keng Thian. Pada detik itu, si Toosoe
berpikir: "Bukankah aku akan jadi buah tertawaan, jika aku membinasakan bocah yang tidak
bersenjata? Selain itu, untung apa aku menanam permusuhan begitu hebat dengan Tong Siauw
Lan?'
Memikir begitu, tenaganya yang memang belum digunakan seanteronya, jadi semakin
berkurang. Tapi, biarpun begitu, jika kena dikebut, Keng Thian pasti akan bercacat seumur
hidupnya, meski tidak mati seketika.
Bagaikan kilat, ribuan benang itu menyambar. Pada saat yang sangat berbahaya, tiba-tiba Keng
Thian membuka mulutnya dan meniup sekeras-kerasnya, sehingga benang-benang itu tersapu
buyar. Tenaga dalam Hongsek Toodjin banyak lebih tinggi daripada Keng Thian, tapi dalam
serangannya itu, ia hanya menggunakan separoh tenaganya. Di lain pihak, Keng Thian sendiri
telah menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat dari Thiansan pay dan meniup sekeras-
kerasnya, sehingga serangan itu menjadi gagal.
Hongsek Toodjin terkejut. Dengan sekali membalik tangan, ia membuat ribuan benang itu
serentak berdiri dan seperti jarum-jarum tajam, menyambar ke arah tenggorokan dan mata Keng
Thian.
Sebagaimana diketahui, Siauw Tjeng Hong pun bersenjata Hudtim Tapi melihat liehaynya imam
itu dalam menggunakan senjata tersebut, ia jadi terpaku bahna kagumnya.
Hampir pada detik yang sama, sekonyong-konyong berkelebat sinar terang dan dingin,
dibarengi teriakan Keng Thian: "Bagus! Sambutlah pedangku!'
Yoeliong kiam adalah senjata mustika dari Thiansan pay dan tajamnya luar biasa. Hongsek
Toodjin sama sekali tidak menduga pemuda itu dapat menghunus pedang dengan begitu cepat
dan oleh karena merasa jeri akan tajamnya senjata itu, buru-buru ia menarik pulang tenaga
Yangkong dan memutar Hudtim-nya untuk menghindari sabetan Yoeliong kiam.
Keng Thian membabat dengan Toeihong Kiamhoat (Ilmu pedang memburu angin) yang saling
susul. Belum habis serangan yang pertama, serangan kedua sudah menyusul. Begitulah selagi
Hongsek Toodjin memikir untuk balas menyerang, serangan Keng Thian yang kedua sudah
menyambar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Bagus!" seru si imam sembari menggeser kakinya dan mengebut dengan menggunakan
tenaga Imdjioe, untuk memunahkan sabetan Yoeliong kiam. Ketika itu. Hongsek sudah
melakukan tii'.a serangan.
Tapi biar bagaimana juga Hongsek Toodjin benar-benar berkepandaian tinggi. Barusan, setelah
didesak dengan dua serangan Toeihong Kiamhoat, ia agak terdesak dan harus membela diri.
Mendadak, demi sekali mengebas dengan Hudtim-nya, ia berhasil mengunci gerakan pedang Keng
Thian. Benang-benang Hudtim menyambar-nyambar dari segala jurusan dan jika Keng Thian terus
menggunakan Toeihong Kiamhoat, punggungnya tentu akan segera kena ditusuk.
Selagi Hongsek bergembira, sekonyong-konyong sinar pedang merupakan suatu tirai bundar
yang menyelubungi seluruh badan Keng Thian. Itulah ilmu pedang Thaysiebie dari Thiansan
Kiamhoat yang hanya digunakan jika bertemu dengan musuh yang lebih tangguh. Tubuh pemuda
itu seolah-olah dikitari tembok tembaga yang tak dapat ditembus dengan apapun juga.
Hongsek terkesiap. Sedikitpun ia tak menduga, bahwa "si bocah" akan dapat merubah
gerakannya sedemikian cepat, dari menyerang jadi membela diri. Demikianlah, serangan si imam
itu menjadi gagal.
Kang Lam menongolkan kepalanya dari lubang gua dan berseru: "Bagus! Hanya ketinggalan
tiga jurus lagi!"
Bukan main gusarnya Hongsek Toodjin. Sembari mengempos semangat, ia menyapu dengan
senjatanya. Sungguh hebat serangan itu, sebab dengan sekali menyapu, senjata si imam
menyambar dua belas jalan darah Tong Keng Thian, di sebelah atas badannya.
Keng Thian terkejut. Hongsek mengetahui, bahwa pembelaan Thaysiebie Kiamhoat sangat
rapat, tapi kenapa ia menyerang juga? Dengan penuh keheranan, ia terus memutar pedangnya. Di
lain saat, beberapa puluh benang Hudtim sudah kena terbabat putus dan sesudah tersabet lagi
beberapa kali, benang-benang itu menjadi potongan-potongan yang sangat halus. Sekonyong-
konyong Hongsek meniup sekeras-kerasnya dan hancuran benang itu menyambar masuk ke dalam
sinar pedang!
Biar bagaimana pun rapatnya pembelaan, Thaysiebie Kiamhoat tak akan dapat menahan
masuknya hancuran benang itu. Hati Keng Thian mencelos. Ia mengetahui, bahwa jika hancuran
benang itu masuk ke dalam mulut, mata atau kupingnya, biar mempunyai kepandaian sepuluh kali
lipat lebih tinggi, ia toh akan roboh. Dalam keadaan terdesak, ia meloncat tinggi ke atas,
memutarkan badannya dan berbareng mengebas dengan tangan bajunya untuk menyapu
hancuran benang itu. Ia berhasil, tapi karena gerakannya itu, pembelaan Thaysiebie Kiamhoat
lantas saja berantakan.
"Kena!" teriak Hongsek Toodjin sembari menyodok dengan gagang Hudtim-nya dan "brt!" baju
Keng Thian, di sebelah bawah pundaknya, berlubang!
Harus diketahui, bahwa ilmu silat Hudtim dari Hongsek Toodjin terdiri dari tujuh rupa pukulan.
Akan tetapi, dalam tujuh pukulan itu terdapat pula banyak perubahan-perubahannya. Maka itu,
dengan "membatasi tujuh jurus", si imam sebenarnya sudah bersiap untuk mengeluarkan seluruh
kepandaiannya.
Sesudah mengeluarkan empat pukulan tanpa berhasil, si imam menjadi agak bingung dan oleh
karena itu, ia rela mengorbankan sebagian benang Hudtim-nya untuk merobohkan musuh dengan
serangan kelima dan keenam, yaitu suatu serangan untuk memecahkan Thaysiebie Kiamhoat dan
serangan yang lain untuk menotok bagian badan Keng Thian yang tidak berbahaya dengan
gagang Hudtim, yang digunakan sebagai Poankoan pit.
Hudtim Hongsek adalah senjata istimewa. Gagangnya yang dibuat dari campuran baja murni
dan emas, berujung lancip tajam, sehingga dapat digunakan untuk menikam jalan darah dan
memecahkan Lweekeeh Khiekang (ilmu dalam) dari musuhnya. Barusan, dengan menyodok jalan
darah Iekie hiat, di bawah pundak Keng Thian, Hongsek menduga pemuda itu akan lantas menjadi
roboh. Tak dinyana, begitu mengenakan sasarannya, gagang Hudtim seperti kebentur dengan
semacam tameng dan terpental kembali. Di saat itu juga, Keng Thian memutarkan tubuhnya dan
berkata sembari tertawa: "Hanya tinggal satu jurus lagi!”
Hongsek Toodjin jadi seperti orang terkesima. Sodokannya itu, yang berhasil merobek baju
Keng Thian, menyambar tepat pada sasarannya dan menurut perhitungan, walaupun pemuda itu
mempunyai ilmu Kimtjiongto atau Tiatposan (ilmu weduk), ia tak akan dapat menyelamatkan diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Apakah pemuda itu, yang usianya masih begitu muda, sudah mempunyai badan seperti dewa
yang tak dapat dilukakan dengan senjata? Benar-benar ia sukar percaya!
Si imam tentu saja tidak mengetahui, bahwa sebab dari itu semua adalah karena Keng Thian
memakai Kimsie Djoanka, semacam baju mustika peninggalan Po Tjeng Tjoe, yang pada empat
puluh tahun lebih berselang, telah diberikan kepada ibunya oleh Tjiong Ban Tong, pemimpin partai
Boekek pay.
Hiatsintjoe dan suami isteri Siauw Tjeng Hong, yang menyaksikan bagaimana Keng Thian dapat
menyelamatkan diri dari bahaya besar, dengan berbareng mengeluarkan seruan tertahan. Siauw
Tjeng Hong kaget lebih dulu, belakangan girang, Hiatsintjoe bergirang lebih dulu, belakangan
kaget. Selagi Siauw Tjeng Hong menyusut keringatnya, tiba-tiba Hongsek membentak keras,
badannya melesat ke tengah udara dan selagi melayang turun, ia menghantam dengan
senjatanya!
Dalam serangan yang terakhir itu, si imam menggunakan Hudtim dan tangannya dengan
berbareng, Hudtim menghantam jalan darah, telapak tangannya memukul dada Keng Thian.
Belum sempat Keng Thian mengeluarkan Thaysiebie Kiamhoat, serangan musuh sudah tiba dan
tak dapat diegos lagi. Kimsie Djoanka yang hanya melindungi bagian atas tubuh, tidak bisa
menahan tenaga pukulan itu yang dikirim dengan seluruh tenaga si imam. Melihat bahaya, dalam
keadaan kepepet, Keng Thian mengambil suatu keputusan nekat. Ia memutarkan badan untuk
menyambut pukulan itu dengan punggungnya.
Pada detik itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan Hiatsintjoe. Siauw Tjeng Hong jadi terkesima.
Dalam menyambut pukulan Hongsek dengan seluruh tenaganya, belum tentu Keng Thian bisa
berhasil. Siapa yang tidak kaget melihat serangan Hiatsintjoe pada saat yang berbahaya itu?
Dan pada detik, sedang jiwa Keng Thian tergantung atas selembar rambut, mendadak
terdengar teriakan Hiatsintjoe. Berbareng dengan itu, Hongsek bergidik dan tenaga pukulannya
lantas saja berkurang banyak. Sungguh gesit gerakan Tong Keng Thian! Hampir berbareng
dengan itu, badannya sudah melesat menyingkir, pedangnya menyambar dan pada detik itu juga,
lengan jubah Hongsek berlubang!
"Bocah dari mana berani kirim serangan gelap?" membentak si imam.
Sekonyong-konyong dari atas batu-batu terdengar suara tertawa yang aneh. "Tua bangka,
apakah kamu tidak malu?" kata orang itu. "Dua tua bangka mengerubuti satu bocah! Ha-ha-ha!'
Keng Thian mendongak, mengawasi. Di atas sebuah batu kelihatan bersila seorang pemuda
yang bukan lain daripada Kim Sie Ie dan tak jauh dari situ, terdapat Pengtjoan Thianlie bersama
dayangnya. Agaknya selagi pertempuran berjalan hebat-hebatnya, sedang perhatian semua
orang ditujukan ke arah pertempuran itu, mereka bertiga sudah datang dengan diam-diam.
Teriakan Hiatsintjoe dan bergidiknya Hongsek Toodjin disebabkan oleh senjata rahasia Koei Peng
Go dan si penderita kusta.
Si imam merasakan dadanya mau meledak. Dengan sekali menjejek kaki, ia meloncat ke atas
untuk mencengkeram Kim Sie Ie.
"Satu bocah saja kau masih belum dapat menjatuhkan," kata si pengemis sembari menyengir.
"Guna apa aku meladeni kau?" Ia meloncat bangun dan bagaikan seekor kera, ia memanjat
puncak batu dan dalam sekejap, ia sudah berada di garisan luar.
Selagi si imam mau mengubar, sekonyong-konyong terdengar teriakan kesakitan dari
Hiatsintjoe. Ia menengok dan melihat muka kawannya bersemu hitam, sebagai tanda sudah
terkena senjata beracun.
Oleh karena merasa, bahwa seorang diri belum tentu ia dapat melayani beberapa lawannya,
lantas saja ia mengurungkan niatannya untuk mengubar Kim Sie Ie dan kembali untuk menolong
Hiatsintjoe.
"Tujuh jurus sudah lewat, sekarang aku berangkat," kata Keng Thian. "Hm!" gerendeng si
imam yang sedang berjongkok untuk memeriksa luka Hiatsintjoe. Sesudah mengucapkan
beberapa perkataan merendah seperti lazimnya dalam dunia Kangouw, dengan terburu-buru Keng
Thian lari keluar hutan batu itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Mengubar belum berapa lama, ia melihat Peng Go bersama dayangnya berjalan di sebelah
depan, sedang Kim Sie Ie mengikuti dari belakang.
"Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!" teriak Keng Thian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si nona menengok dan mengawasi dengan sorot mata gusar dan sedih.
"Peng Go Tjietjie!" Keng Thian berseru pula. "Berhentilah sebentar! Dengarkanlah dulu
beberapa perkataanku."
Pentjoan Thianlie tidak meladeni. Sebaliknya dari menghentikan tindakannya, sembari
menuntun tangan Yoe Peng, ia berlari semakin keras.
"Peng Go Tjietjie!" teriak Keng Thian pula dengan suara menyayatkan hati. "Berhenti dulu!
Dengar dulu perkataanku!'
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Ia berhenti berlari, membalikan badannya dan menghadang di
tengah jalan. Begitu Keng Thian datang dekat, ia menyembur dengan ludahnya. "Siapa kesudian
mendengarkan segala ocehanmu!” ia membentak.
Keng Thian naik darah. "Minggir!" ia membentak.
Kim Sie Ie tertawa besar. Sambil mementang kedua tangannya, ia berteriak: "Tak tahu malu!
Mengudak-udak gadis orang!'
Keng Thian tak dapat menahan sabar lagi. Sekali ia mengayun tangan, sebatang Thiansan
Sinbong menyambar Kim Sie Ie.
Di waktu pertama kali bergebrak, si pengemis sudah mengenal liehaynya Sinbong. Sesudah
mengerahkan tenaga Hiankong tujuh hari lamanya, baru ia dapat menyembuhkan luka akibat
serangan senjata rahasia itu. Karena itu, sekali ini ia berwaspada. Begitu melihat sambaran
Sinbong, ia menjungkir balik, badannya melesat tiga tombak lebih dan berbareng, menyampok
dengan tongkatnya. "Tring!', lelatu api melentik dan senjata rahasia itu kena tersampok jatuh.
Dengan sekali berjungkir balik lagi, Kim Sie Ie sudah menghadang pula di tengah jalan. "Si nona
sudah lari jauh sekali," katanya, mengejek.
Keng Thian bingung. Thiansan Sinbong hanya dapat mendesak dia untuk sementara waktu.
Dengan hati mendongkol, tanpa berkata suatu apa lagi, ia melompat dan membabat dengan
Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie tak berani berlaku ayal. Ia menghunus pedang besinya dan
menangkis. "Trang!", dua pedang itu kebentrok dan kedua belah pihak, yang tenaga dalamnya
kira-kira setanding, mundur terhuyung beberapa tindak.
Keng Thian tak mengasih hati lagi kepada lawannya. Begitu bergebrak, ia segera menyerang
dengan Toeihong Kiamhoat, yang saling susul bagaikan gelombang. Baru bertempur beberapa
saat, Keng Thian sudah dapat melihat suatu kekosongan dalam pembelaan musuh. Yoeliong kiam
yang tengah menyambar dari kiri ke kanan, mendadak bergerak dalam suatu lingkaran dan
mengurung pedang Kim Sie Ie. Sekali dibalik lagi, ujung pedang itu menggetar dan menyambar
sembilan jalan darah Kim Sie Ie dengan berbareng.
"Hebat!" teriak si pengemis. "Bocah! Gara-gara si nona manis, kau lupa, bahwa barusan aku
sudah menolong jiwamu!"
Ia menjejek kakinya dan badannya melesat keluar gelanggang.
Keng Thian bergoncang hatinya. "Tadi, waktu Hongsek Toodjin mengirim serangan terakhir,
aku tentu sudah akan kena dipukul jika dia dan Peng Go tidak menolong dengan senjata rahasia,"
pikirnya. "Biarpun aku mempunyai
Djoanka dan jika terluka, masih mempunyai Thiansan Soatlian untuk mengobatinya, tapi budi
mereka tak dapat diabaikan begitu saja." Memikir begitu, lantas saja ia menarik pulang Yoeliong
kiam dan membentak: "Baiklah! Belum lama berselang, tanpa sebab kau sudah melukakan aku,
sehingga hampir-hampir aku terbinasa. Hari ini, mengingat pertolonganmu, sakit hatiku sudah
dibayar impas olehmu. Sekarang, kau minggirlah! Di kemudian hari, kita masih bisa bersahabat."
Kim Sie Ie mengawasi dan sesudah mengeluarkan tertawa aneh, ia berkata: "Siapa kesudian
menjadi sahabatmu? Bocah tak kenal malu! Sedikitpun kau tidak mengenal adat istiadat dalam
kalangan Kangouw."
"Apa?" menegas Keng Thian. "Aku tak mengenal adat istiadat dalam kalangan Kangouw?
Siapakah yang kau maki? Cacian itu sungguh tepat untuk ditujukan kepada alamatmu!"
"Aku memaki kau!" bentak Kim Sie Ie. "Jika tidak dijelaskan, kau tentu masih penasaran. Aku
mau menanya: Menurut adat istiadat kalangan Kangouw, bukankah ada nasi sama-sama makan,
ada pakaian sama-sama memakai dan sudah punya tak boleh merampas milik orang? Bukankah
begitu?"
"Benar," jawab Keng Thian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Orang-orang dari jalanan hitam sangat memperhatikan kebiasaan itu."


"Bagus!" kata si pengemis. "Kau sudah mempunyai nona dari keluarga Tjee itu, tapi kenapa
masih juga ingin mengudak-udak nona Koei? Ha! Tak sudi aku menjadi sahabatmu! Aku sudah
menganggap nona Koei sebagai sahabatku. Kau sendiri sudah punya satu, tapi masih mengubar-
ubar sahabat orang lain. Bukankah perbuatan itu perbuatan tak mengenal adat istiadat Kangouw?"
Tong Keng Thian adalah seorang pemuda dari keluarga baik-baik yang telah mendapat
pendidikan yang baik pula. Seujung rambut pun, ia tidak menduga bahwa ia akan mendengar
perkataan itu.
Ia kemekmek, untuk sementara ia tak dapat menjawab.
Si pengemis lantas saja mengeluarkan tertawanya yang menyeramkan dan berkata pula:
"Benar atau tidak perkataanku? Apakah kau sudah merasa bersalah?"
"Jangan ngaco!" Keng Thian membentak dengan gusar sekali. "Jika kau bicara lagi yang tidak-
tidak, tanpa sungkan-sungkan aku akan mengutungkan kepalamu!"
"Apakah kau mampu?" tanya si pengemis dengan suara mengejek.
Keng Thian jadi gelap mata.
Bagaikan kilat, ia menyabet dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie melayani dengan saban
saban menengok ke belakang. Agaknya ia ingin menunggu sampai Pengtjoan Thianlie sudah pergi
cukup jauh, baru ia ingin menghentikan pertempuran itu. Keng Thian gusar dan bingung. Ia
menyerang secara hebat, tapi karena kepandaian mereka kira-kira berimbang, maka sedikitnya
untuk sementara, ia tak dapat meloloskan diri.
Sekarang Keng Thian menumplek semua kemendongkolannya di atas kepala Kim Sie Ie. "Hra!"
katanya di dalam hati. "Kalau begitu, dia yang menjadi setan." Dengan gergetan, lantas saja ia
menyerang dengan pukulan-pukulan Thiansan Kiamhoat yang paling liehay. Kim Sie Ie
memutarkan pedangnya bagaikan titiran dan menutup rapat-rapat dirinya dengan sinar pedang,
sehingga sesudah lewat seratus jurus lebih, belum juga ada yang keteter.
Sementara itu, suami isteri Siauw Tjeng Hong dan Kang Lam sudah menyusul. Mereka terkejut
melihat pertempuran yang lebih hebat daripada pertarungan antara Keng Thian dan Hongsek
Toodjin.
Tiba-tiba sembari membentak keras, Keng Thian mengirimkan tiga serangan dengan
berbareng.
Tangan kirinya mengait tongkat Kim Sie Ie, kaki kanannya menendang, sedang Yoeliong kiam
menikam ke arah jantung. Menurut perhitungannya, dengan tiga serangan hebat itu, walaupun
tidak menjadi mati, si pengemis pasti akan terluka berat.
Pada detik itu, berbareng dengan terdengarnya tertawa aneh, Kim Sie Ie berjungkir balik dan
menyemburkan ludah lendirnya. "Untuk seorang wanita, kau mati-matian!" ia memaki. "Apakah
ada harganya? Bocah! Aku sungguh kasihan kepadamu. Baiklah, kakekmu mengijinkan kau lewat."
Berhubung dengan berjungkir baliknya, Kim Sie Ie berhasil mengelakkan bahaya. Yoeliong kiam
menikam tempat kosong, tapi kaki kanan Keng Thian berhasil menendang tongkat si pengemis
yang lantas saja terbang ke tengah udara. Pada saat yang sangat berbahaya itu, dengan
meminjam tenaga terpentalnya tongkat itu, badan Kim Sie Ie turut melesat ke udara dan
menangkap tongkatnya yang sedang melayang turun. Ia hinggap di tempat yang jauhnya kurang
lebih enam tombak dan begitu kedua kakinya menginjak bumi, ia mabur ke arah hutan, sembari
menengok dan tertawa kepada Keng Thian.
Dengan gergetan, Keng Thian mengeluarkan sebatang Thiansan Sinbong, tapi sebelum ia
sempat menimpuk, Kim Sie Ie sudah meloncat ke sebuah pohon besar dan naik ke atas bagaikan
seekor kera dan di lain saat, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Seperti kesima, putera Tong Siauw Lan ini berdiri terpaku. Melihat tertawanya Kim Sie Ie di
waktu ia ini barusan menengok, hati Keng Thian jadi berdebar keras. Ia ingat, bahwa di waktu
pertama kali bertemu, orang itu adalah seorang pengemis kotor yang muka dan badannya penuh
dengan bisul-bisul penyakit kusta. Tapi sekarang, perbedaan bagaikan langit dan bumi.
"Kalau begitu, ia juga adalah seorang pemuda tampan," katanya didalam hati. "Untuk apa dia
terus mengikuti Peng Go?"
Sebegitu jauh ia selalu menganggap, bahwa di dalam dunia ini, ia adalah satu-satunya orang
yang pantas menjadi pasangan Pengtjoan Thianlie.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sekarang, mau tak mau, di dalam hati kecil ia terpaksa mengakui, bahwa pemuda itu yang
berlagak sebagai penderita kusta, merupakan saingan berat baginya. Di samping itu, ia ingat juga
bagaimana Kim Sie Ie sudah meloloskan diri dari dua serangannya yang sangat hebat. Dengan
pengetahuannya yang sangat luas mengenai berbagai cabang persilatan, ia masih belum
mengetahui, ilmu silat cabang mana yang dimiliki si pengemis. Ia mengakui, bahwa Kim Sie Ie
adalah seorang yang jarang ada tandingannya dalam Rimba Persilatan, tapi kenapa tingkah
lakunya begitu luar biasa?
Sementara itu, sesudah napasnya yang tersengal-sengal menjadi reda. Kang Lam lantas saja
berkata: "Sungguh berbahaya! Eh, Tong Siangkong, siapa pemuda itu? Tadi dia membantu kau
dengan senjata rahasia, tapi kenapa belakangan menghalang-halangi kau mengubar nona itu?”
Keng Thian yang sedang kalut pikirannya tak menjawab pertanyaan kacung itu.
"Sungguh cantik wanita itu," Kang Lam mengoceh lagi. "Aku tahu, Kongtjoe-ku suka kepada
seorang gadis Tsang yang sangat aneh. Aku pernah melihat wajah gadis itu. Waktu itu, aku
menganggap dalam dunia tidak ada orang yang lebih cantik lagi. Ha! Sekarang, sesudah melihat
yang barusan, baru aku tahu, di luar langit masih ada langit, di atas manusia masih ada manusia.
Tong Siangkong, apakah dia kau punya?"
"Apa?" Keng Thian menegas, seperti baru mendusin dari tidurnya.
"Kau mirip sekali dengan Kongtjoe-ku," jawabnya. "Begitu melihat wanita cantik, lantas
kehilangan semangat. Aku tak mempersalahkan kau. Tapi mereka datang bersama-sama. Jika kau
memang sudah jatuh hati, sepantasnya kau harus minta lelaki itu memperkenalkan kau
kepadanya. Mungkin mereka bersaudara. Itu masih tidak apa. Jika mereka suami isteri, apakah
mengherankan kalau lelaki itu lantas menghantam kau?"
Keng Thian tak tahu, apa ia mesti menangis atau tertawa. Sesudah mengalami berbagai
kesukaran, ia naik ke keraton es dan membujuk si nona supaya turun gunung. Ia berhasil dalam
usahanya itu, tapi siapa nyana, buntutnya menjadi begini sehingga sampai Kang Lam juga
menganggap si nona adalah seorang asing baginya.
"Kang Lam, jangan rewel!" bentak Siauw Tjeng Hong. Kang Lam tidak berani membuka suara
lagi dan mereka lalu meneruskan perjalanan.
"Tong Siangkong," kata Siauw Tjeng Hong dengan suara perlahan. "Jangan kau terlalu jengkel.
Sekarang kita tak dapat menyandak ia, tapi setibanya di tempat Moh Lootjianpwee, kita tentu akan
bertemu pula."
Keng Thian lantas saja sadar. "Benar aku goblok," katanya di dalam hati. "Sesudah sampai
disini, ia tentu akan menyambangi pamannya." Akan tetapi, begitu mengingat masih setengah
bulan sebelum mereka dapat bertemu lagi dan selama setengah bulan itu, Peng Go akan selalu
berada bersama-sama dengan "si pengemis kusta," hati Keng Thian lantas saja menjadi pedih.
Tapi sebenarnya, pemuda itu sudah menduga salah. Pengtjoan Thianlie tidak berjalan bersama-
sama dengan Kim Sie Ie, tapi Kim Sie Ie-Iah yang selalu mengikuti dari belakang. Ia tidak berani
terlalu mendesak, oleh karena mengetahui bahwa si nona tidak begitu menyukai dirinya.
Sebenarnya Pengtjoan Thianlie telah tiba lebih dulu di hutan batu, sedang Kim Sie Ie menyusul
kemudian. Melihat si nona melepaskan Pengpok Sintan, ia mengetahui, bahwa Peng Go masih
belum dapat melupakan Keng Thian, sehinga ia jadi merasa jengkel. Akan tetapi, untuk
menyenangkan hati Pengtjoan Thianlie, ia pun segera melepaskan senjata rahasianya.
Dengan pikiran tertindih, Keng Thian meneruskan perjalanannya, sedang Siauw Tjeng Hong,
yang mengetahui persoalan si pemuda, juga kesal hatinya.
Selagi mereka berjalan dengan masing-masing tenggelam dalam alam pikiran sendiri, Kang Lam
mendadak berteriak: "Aduh!"
"Kenapa?" tanya Tjeng Hong sembari menengok ke belakang.
Bocah itu berjongkok sembari memegang perutnya. "Perutku sakit," jawabnya.
"Tadi masih baik-baik, kenapa mendadak sakit?" tanya Tjeng Hong yang lantas saja memegang
nadi Kang Lam, tapi ia tidak mendapatkan tanda-tanda penyakit.
"Setan kecil!"ia mengomel. "Kau selalu main gila! Siapa mempunyai tempo untuk melayani
kegila-gilaanmu? Kita mempunyai urusan penting dan perlu berjalan buru-buru."
"Siapa yang main gila?" teriak Kang Lam "Benar-benar perutku sakit."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keng Thian segera mendekati dan memegang nadinya. Sesudah beberapa saat, muka pemuda
itu menunjukkan perasaan heran dan kaget. Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya dan dengan dua
jeriji, ia menotok jalan darah Hiankie hiat, di dada Kang Lam.
Tjeng Hong terkesiap. Hiankie hiat adalah jalan darah yang membinasakan. Ia mau mencegah,
tapi sudah tidak keburu lagi.
Begitu ditotok, Kang Lam lantas saja tertawa haha-hihi. "Gatal! Gatal!" ia berteriak. "Aku paling
takut kegatalan. Tong Siangkong, ampun!"
"Perutmu masih sakit?" tanya Keng Thian.
"Ih! Heran sungguh. Sekarang tak sakit lagi," jawabnya.
Keng Thian mesem sambil menotok pundak Kang Lam dengan dua jerijinya. Tjeng Hong
mengetahui, bahwa yang ditotok adalah jalan darah Tonghay hiat, yang jika diurut, dapat
melemaskan urat dan menjalankan darah. Menurut kebiasaan Rimba Perdilatan, jika seseorang
kena ditotok jalan darahnya dan jalan darah itu untuk sementara masih belum dapat dibuka, maka
orang itu biasanya minta salah seorang kawannya untuk menotok Tonghay hiat guna menjalankan
aliran darah di lain-lain bagian badannya, untuk mempertahankan diri sementara waktu. Maka itu,
totokan Tonghay hiat ada baiknya dan tak ada jahatnya.
Tapi di luar dugaan, Kang Lam lantas saja berteriak-teriak: "Aduh! Sakit! Sakit!"
Buru-buru Keng Thian menotok jalan darah Tjietong hiat, di kempungan Kang Lam. Tjietong
hiat adalah salah saru dari sembilan jalan darah, yang jika ditotok, dapat membinasakan orang.
Keruan saja, Siauw Tjeng Hong menjadi kaget bukan main.
Tapi, sungguh luar biasa, Kang Lam lantas tidak berkaok-kaok lagi. "Ah, Tong Siangkong,"
katanya. "Kenapa kau mengganggu aku? Perutku tidak sakit lagi."
"Gatal tidak?" tanya Keng Thian.
"Tidak, hanya sedikit kesemutan," sahutnya.
Keng Thian tertawa berkakakan. "Ya sekarang aku tahu," katanya. "Bukan aku, tapi gurumu
yang mempermainkan kau."
"Apa?" Tjeng Hong menegas dengan suara heran. "Apakah benar perbuatan si Toosoe tua?
Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi dan kedudukannya sebagai guru, sedang ia sendiri
sudah meluluskan, apakah benar ia masih main gila terhadap muridnya?"
Keng Thian bersenyum. "Sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia mempermainkan
muridnya," katanya. "Mungkin kejadian ini adalah karena untung Kang Lam yang baik."
"Apakah yang kau maksudkan?" tanya pula Siauw Tjeng Hong, yang tidak mengerti perkataan
pemuda itu.
Keng Thian berdiam beberapa saat, seperti sedang mengasah otak. "Siauw Sinshe," katanya
mendadak."Apakah kau tahu, siapakah nama dan dimana tempat tinggal orang aneh dari
Khongtong pay itu yang menurut katamu ingin menyukarkan Moh Lootjianpwee?"
"Tidak," jawab Tjeng Hong sembari menggelengkan kepalanya. "Kalau aku tahu, aku tentu
sudah memberitahukan kepada Moh Lootjianpwee. Perlu apa aku pergi ke berbagai tempat untuk
mencari keterangan?"
"Dulu, di Thiansan, aku pernah mendengar pembicaraan antara ayah dan Iethio (suami bibi)
yang sangat menarik," Keng Thian menerangkan. "Menurut mereka, partai Khongtong pay dulu
mempunyai semacam ilmu yang luar biasa. Dengan ilmu tersebut, seseorang dapat mengacaukan
jalan darahnya sendiri.
Maka itu, ia akan terus segar bugar, meskipun jalan darahnya yang membinasakan kena
ditotok. Akan tetapi, orang yang mempunyai ilmu tersebut, harus berlatih terus seumur hidupnya.
Jika ia berhenti, jiwanya terancam. Di samping itu, walaupun berlatih terus-terusan, belum dapat
dipastikan, bahwa akhirnya ia tak akan masuk ke dalam jalan yang menyeleweng. Itulah
sebabnya, mengapa belakangan orang sungkan mempelajari ilmu itu yang perlahan-lahan jadi
tidak dikenal lagi."
"Kalau begitu," kata Tjeng Hong. "Apakah ilmu yang diajarkan oleh si Toosoe kepada Kang
Lam, adalah ilmu yang kau maksudkan?"
"Mungkin, mungkin sekali," jawabnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Siauw Tjeng Hong berdiam sejenak, kemudian ia berkata pula: "Jika memang demikian,
apakah, walaupun perhubungan guru dan murid sudah diputuskan, seumur hidupnya Kang Lam
harus terus menerus berlatih ilmu tersebut?"
"Kang Lam baru saja tujuh hari menjadi muridnya, sehingga apa yang didapat olehnya baru
hanya pelajaran permulaan," Keng Thian menerangkan. "Seperti juga pelajaran lain-lain,
untuk memperoleh kemajuan, ilmu itu harus dipelajari dengan perlahan, di bawah pimpinan guru
yang pandai. Mengenai Kang Lam, baik juga ia baru saja memperoleh sedikit pelajaran, sehingga
biarpun ada akibatnya, akibat itu hanya merupakan sakit perut, sakit miang dan sebagainya. Jika
ia sudah belajar lama dan pelajaran dihentikan mendadak, akibatnya tentu akan hebat sekali,
mungkin ia akan binasa, atau sedikitnya, menjadi orang bercacat. Maka itu, selama beberapa ratus
tahun ini, dalam partai Khongtong pay, orang yang mempelajari ilmu itu tidak pernah keluar dari
rumah perguruan."
"Kalau begitu," kata Siauw Tjeng Hong. "Apakah kau maksudkan, bahwa Kang Lam harus
kembali lagi dan seumur hidupnya harus menemani siluman tua itu?"
"Tidak!" teriak Kang Lam.
"Biarpun harus mati, aku tak akan kembali. Tong Siangkong, tolonglah aku!"
Keng Thian tertawa. "Tak kembali juga boleh," katanya sembari tertawa. "Hanya setiap hari kau
harus menderita sakit perut sejam lamanya."
"Tidak!" si bocah berteriak pula. "Aku paling takut akan sakit perut. Perut sakit, makanan enak
tak bisa masuk. Tong Siangkong, aku tahu kau bisa menolong. Tolonglah. Aku akan menurut
segala perintahmu."
"Baiklah," kata Tong Keng Thian yang merasa sudah cukup menggoda kacung itu. "Tapi aku
ingin kau berjanji, bahwa sesudah sembuh, mulutmu jangan terlalu rewel."
"Baik, baik," jawabnya, terburu-buru. "Sesudah sembuh, orang menanya sepatah, aku menj-
awab setengah patah."
Keng Thian tak tahan untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Ia menengok kepada Siauw Tjeng
Hong seraya berkata: "Itulah! Itulah sebabnya, mengapa aku mengatakan Kang Lam bagus
untungnya. Sebagaimana kau tahu, lethio-ku telah mewarisi kitab ketabiban, peninggalan Po
Tjeng Tjoe, sehingga ia mahir dalam ilmu pengobatan. Dalam kitab tersebut terdapat suatu bagian
yang membicarakan bahaya-bahaya akibat pelajaran ilmu silat. Menurut kitab tersebut, jika
seseorang ingin menyelamatkan diri dari bahaya itu, jalan satu-satunya adalah melatih diri dalam
ilmu lweekang dari cabang persilatan yang murni. Dengan latihan itu, isi perut dan bagian-bagian
dalam badannya akan menjadi kuat dan dengan sendirinya, dapat melawan segala akibat jelek
dari latihan ilmu yang menyeleweng. Maka itu, untuk menolong Kang Lam, aku harus menurunkan
pokok-pokok pelajaran lweekang dari Thiansan pay."
"Bagus!" seru Kang Lam, kegirangan. "Sekarang juga aku akan berlutut di hadapanmu, untuk
mengangkat kau menjadi guru." Berbareng dengan perkataannya, ia segera menekuk lutut.
Keng Thian mencekal tangan si nakal, sehingga ia ini tak dapat meneruskan niatannya.
"Siapa mau mempunyai murid begitu rewel?" kata Keng Thian sembari tertawa.
"Jangan begitu," kata Kang Lam, meringis. "Aku toh sudah berjanji untuk tidak rewel-rewel
lagi"
"Dalam menerima murid Thiansan pay memegang peraturan yang sangat keras," kata Keng
Thian dengan paras sungguh-sungguh. "Usiaku masih terlalu muda, sehingga tak dapat aku
menerima kau sebagai murid.
Selain itu, yang akan kuturunkan hanya pokok-pokok lweekang, bukan ilmu pedang atau ilmu
silat. Maka itu, kau tak dapat dipandang sebagai murid Thiansan pay."
"Kang Lam," kata Tjeng Hong sembari tertawa. "Dengan mendapat pokok-pokok lweekang
Thiansan pay, kau sudah mempunyai nasib yang bagus luar biasa. Kenapa kau tidak mengenal
puas?" Mendengar itu, si nakal tidak berkata apa-apa pula. Ia manggut-manggutkan kepalanya
dengan hati girang.
Keng Thian yang merasa sangat suka terhadap anak yang cerdik itu, lebih dulu memberikan
dua butir Pekleng tan yang dibuat dari Thiansan Soatlian, untuk memperkuat tubuh dan anggauta
dalam Kang Lam. Sesudah itu, baru ia menurunkan pelajarannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Waktu itu, Kang Lam sendiri tidak mengetahui, bahwa ia telah mendapat suatu kefaedahan
yang tidak kecil. Sesudah memperoleh dasar-dasar ilmu aneh Khongtong pay dan tidak takut lagi
akan totokan jalan darah, sekarang ia mendapat pokok lweekang dari Thiansan pay. Dengan
mempunyai dua dasar itu, tenaga dalamnya bertambah secara luar biasa. Walaupun ketika itu ia
hanya mengenal ilmu silat yang sangat cetek dari Tan Thian Oe, tapi jika digunakan, dengan
mudah ia akan dapat merobohkan ahli-ahli silat kelas tiga atau kelas dua dari kalangan Kangouw.
Di belakang hari, benar saja Kang Lam telah menjadi seorang ahli silat yang kenamaan dan
disegani.
Oleh karena harus memberi pelajaran kepada si bocah, dalam tiga hari Keng Thian hanya dapat
melalui seratus li lebih. Untung juga, berkat kecerdasannya, pada hari ke empat Kang Lam sudah
dapat menyelami pelajaran yang diberikan kepadanya, sehingga Keng Thian dapat mengambil
selamat berpisah dengan hati lega.
Kang Lam sendiri segera menuju ke timur untuk pergi ke Tiongkeng, dari mana, dengan perahu
ia akan pergi ke Boehan, akan kemudian langsung pergi ke kota raja untuk menyampaikan surat
majikannya.
Keng Thian bersama suami isteri Siauw Tjeng Hong meneruskan perjalanan ke Soetjoan selatan
untuk kemudian mendaki gunung Gobie san dan menemui Moh Tjoan Seng.
Sesudah berjalan sepuluh hari, Gobie san yang agung dan angker sudah kelihatan di depan
mata. Sebagai umumnya seorang yang sedang menderita penyakit asmara, di sepanjang jalan
Keng Thian lesu kelihatannya, tapi begitu mendekati Gobie san, semangatnya terbangun karena
mengingat bahwa saat pertemuan dengan Koei Peng Go sudah dekat. Tapi saban kali teringat "si
penderita kusta", ia lantas menjadi lesu kembali.
Dengan Tiangloo (paderi kepala) dari kuil Kimkong sie, Moh Tjoan Seng bersahabat baik,
sehingga selama kira-kira dua puluh tahun, ia menetap dalam kuil tersebut. Seperti juga yang lalu,
Kiatyan kali ini pun diadakan dalam kuil itu, yang berdiri di puncak tertinggi -- yaitu Puncak Emas-
dari gunung Gobie san.
Di waktu Keng Thian bertiga sampai disitu, Kiatyan sudah tiba waktunya dimulai.
Gobie san adalah salah satu dari empat gunung ternama di Tiongkok. Tiga yang lain adalah
Poto san di Tjiatkang, Kioehoa san di Anhoei dan Ngotay san di Shoasay. Luas gunung tersebut
adalah lebih dari empat ratus li, bentuknya agung, angker dan indah. Dipandang dari kejauhan,
Gobie san seakan-akan merupakan sepasang alis yang tebal dan itulah sebabnya, mengapa
gunung itu dinamakan Gobie (Bie berarti alis).
Pagi-pagi sekali, Keng Thian bertiga mulai mendaki gunung. Di sepanjang jalan, mereka
melewati pohon-pohon siong tua, batu-batu cadas yang bentuknya aneh, air terjun yang indah
dan solokan-solokan yang airnya jernih dan dingin. Gobie disebut sebagai salah satu "Keindahan
dalam dunia” dan julukan itu sungguh bukan pujian belaka. Berada di tempat yang
pemandangannya seindah itu, hati Keng Thian yang pepat menjadi lapang.
Di sepanjang jalan, sering mereka bertemu dengan kelompok- kelompok orang yang sedang
mendaki gunung untuk menghadiri Kiatyan. Semenjak kecil, Keng Thian berdiam di Thiansan yang
jauh dan belum pernah mengunjungi wilayah Tionggoan, sedang Siauw Tjeng Hong hidup
bersembunyi di Tibet untuk belasan tahun lamanya dan sekarang, mukanya sudah banyak
berubah. Maka itu, tidak mengherankan jika orang-orang Rimba Persilatan itu, tak satu pun yang
mengenali mereka.
Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, kira-kira tengah hari, Keng Thian bertiga
sudah tiba di Puncak Emas. Dari tempat yang tertinggi itu, jika orang memandang keempat
penjuru, ia akan melihat puncak-puncak di sebelah bawah yang bersusun tindih dan lautan awan
putih yang tiada batasnya. Kimkong sie yang berdiri tegak di puncak itu, seakan-akan diselimuti
awan tersebut.
Begitu Keng Thian dan suami isteri Siauw Tjeng Hong masuk ke dalam kuil, mereka disambut
oleh paderi yang bertugas.
"Apakah Moh Tyahiap baik?" tanya Keng Thian. "Tolong kau memberitahukan bahwa
keponakannya mohon bertemu dengan beliau."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si paderi merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: "Sudah tiga hari Moh
Tayhiap bersemedhi, aku tak berani mengganggu ia. Kalian tak usah memakai banyak peradatan,
besok kalian akan dapat bertemu dengan beliau."
Paderi itu yang tidak mengetahui asal-usul mereka, sudah menganggap mereka sebagai orang-
orang biasa yang ingin menghadiri Kiatyan. Harus diketahui, bahwa karena kedudukannya yang
sangat tinggi, di antara orang-orang yang berkunjung sebagian besar mengaku sebagai
"keponakan" dan banyak juga yang ingin sekali dapat bertemu dengan Moh Tjoan Seng pribadi,
sehingga, jika diladeni, orang tua itu akan menjadi repot sekali. Maka itu, benar Moh Tjoan Seng
sedang bersemedhi atau tidak, si paderi tak akan dapat meluluskan permintaan Keng Thian.
Sesudah mengantar tiga tamu itu kedua buah kamar yang sudah sedia, paderi itu segera berlalu
untuk menyambut tamu-tamu lain.
Moh Tjoan Seng adalah tetua Boetong pay dan orang yang paling banyak datang untuk
menghadiri Kiatyan, adalah orang-orang partai tersebut. Entah dari mana, mereka juga rupanya
sudah mengendus, bahwa Kiatyan kali ini bakal dikacau orang. Dalam kelompok-kelompok,
mereka kasak-kusuk, masing-masing mengutarakan pendapat-nya. Ada yang gusar, ada yang
menganggap Boetong pay akan malu besar jika Moh Tjoan Seng sampai mesti turun tangan
sendiri, ada yang tidak percaya dan sebagainya.
Mendengar itu, Keng Thian merasa geli bercampur kuatir. Malam itu ia tak dapat pulas.
Sesudah berlatih lweekang kurang lebih sejam, kira-kira tengah malam, ia menolak jendela dan
melongok keluar.
Sang rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Tiba-tiba, di sebelah jauh, di
antara puncak-puncak gunung, muncul titik-titik sinar api, seperti kunang-kunang, dari sedikit
semakin lama menjadi semakin banyak, perlahan-lahan mumbul ke atas dan bergoyang-goyang
kian kemari, seolah-olah ingin bersaing dengan bintang-bintang di langit.
Itulah pemandangan istimewa di gunung Gobie san yang oleh kaum Budhis dinamakan
"Sengteng" (Pelita Nabi). Pada malam-malam terang bulan, jika udara bersih, titik-titik sinar api itu
muncul, semakin lama semakin banyak, seperti juga api ribuan pelita yang terombang-ambing di
tengah udara. Itulah sebabnya mengapa sinar-sinar itu dinamakan "Sengteng". Tapi sebenar-
benarnya sinar-sinar tersebut muncul karena fosfor yang banyak sekali terdapat di gunung Gobie
san.
Kuil Kimkong sie mempunyai peraturan yang dipegang keras. Pada waktu itu, jumlah paderi
dan tamu yang bernaung dalam kuil tersebut, sedikitnya ada beberapa ratus orang, tapi keadaan
di sekelilingnya sunyi senyap dan tidur orang tidak terganggu suara apa-pun juga.
Dengan hati yang tidak keruan rasanya, Keng Thian mengawasi pemandangan malam yang
indah itu. "Tempat ini tenang dan damai," katanya didalam hati. "Sungguh sayang jika kelak
benar-benar dikacau orang."
Tiba-tiba ia ingat akan Hongsek Toodjin. Ia tak tahu, apakah benar imam itu si orang aneh dari
Khongtong pay yang telah disebutkan Siauw Tjeng Hong. Jika benar dia, ia merasa tidak ungkulan
untuk melayani musuh itu seorang diri. Sesaat kemudian, ia ingat kepada Pengtjoan Thianlie. Jika
si nona berada disitu dan bersama-sama melayani musuh, ia tak akan merasa keder lagi terhadap
si Toosoe atau orang lain yang berkepandaian lebih tinggi dari Hongsek Toodjin. Engingat Peng
Go, tanpa merasa ia teringat pula kepada "Si pengemis Kusta" yang terus mengikuti si nona dari
belakang. Kenapa Pengtjoan Thianlie sudi berkawan dengan orang itu? Benar-benar ia tak
mengerti.
Semakin berpikir, hatinya semakin pepat. Perlahan-lahan ia memakai jubah panjangnya dan
pergi ke kamar sebelah dengan niatan bercakap-cakap dengan suami isteri Siauw Tjeng Hong.
Tapi tak dinyana, mereka berdua tidak berada dalam kamar.
Seperti Keng Thian, malam itu Siauw Tjeng Hong juga tak dapat pulas. Inilah untuk kedua
kalinya ia menghadiri Kiatyan. Ia ingat, dulu, ketika datang untuk pertama kalinya, Tjia In Tjin
telah mengadu pedang dengan Loei Tjin Tjoe dan ia sendiri, tanpa sebab tanpa lantaran, sudah
terseret masuk ke dalam peristiwa itu dan jadi bermusuh hebat dengan Loei Tjin Tjoe, sehingga ia
mesti kabur ke Tibet dan hampir-hampir tak bisa pulang lagi ke kampung halamannya. Ia
menghitung-hitung, dari tempo itu sampai sekarang, sudah berselang dua puluh tahun. Untung
juga, pada tahun yang lalu, ketika mendaki Puncak Es, permusuhan dengan Loei Tjin Tjoe dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dibereskan dan ia bisa pulang ke kampungnya, akan kemudian menikah dengan Gouw Tjiang Sian.
Bahwa sekarang ia bisa berada pula di Gobie san dan akan turut pula dalam pertemuan Kiatyan,
sudah sangat mengharukan hatinya.
Sebagai isteri, Gouw Tjiang Sian mengetahui apa yang sedang dipikir suaminya dan di waktu
gembira, ia segera mengajak suaminya pergi ke tempat dimana dulu mereka bertempur.
Malam ini adalah sama dengan malam pada dua puluh tahun berselang, yaitu malaman
Kiatyan. Tapi beda dengan dulu, malam ini terang cemerlang disinari sang bulan, dengan
udaranya yang sangat bersih dan dengan "Sengteng" yang luar biasa. Di bawah sinar terang
laksana perak, segala apa dalam jarak setengah li, dapat dilihat tegas sekali. Siauw Tjeng Hong
menunjuk tempat dimana dulu terjadi pertempuran dan sekali lagi menuturkan segala kejadian itu.
Peristiwa itu sudah terjadi lama sekali, akan tetapi, pada saat itu, dalam suasana yang sedemikian,
Siauw Tjeng Hong merasa seakan-akan segala sesuatu itu baru saja terjadi kemarin.
Gouw Tjiang San tertawa dan berkata: "Tak tahu dimana adanya Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin
sekarang ini. Apakah kau masih ingat kepadanya?"
"Tjia In Tjin mempunyai tangan yang telengas," kata sang suami. "Tapi, biar bagaimanapun
juga, ia adalah seorang yang mencinta sahabat. Terhadap sahabat begitu, siapapun tak akan
dapat melupakannya. Di samping itu, aku juga merasa sangat berterima kasih terhadapnya. Ia
mengenal kau lebih dari aku."
"Kenapa begitu?" tanya Gouw Tjiang Sian.
Ia pernah mengatakan, bahwa kau adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya," Tjeng
Hong menerangkan. "Sekarang, aku juga mengetahui, bahwa kau adalah seorang isteri yang
sangat bijaksana. Sungguh sayang, aku adalah manusia goblok. Jika pada dua puluh tahun
berselang, aku sudah mengetahui perasaan cintamu, mungkin sekali aku tak usah menderita
sepuluh tahun di Tibet."
Siauw Tjeng Hong mengucapkan kata-kata itu dengan suara lemah lembut dan dengan hati
yang penuh kecintaan, sehingga si isteri merasa beruntung bercampur terharu.
"Aku sungguh ingin bertemu muka dengan Tjia In Tjin," kata Gouw Tjiang Sian sembari
mesem.
"Tak tahu, apakah ia dan Thiekoay sian sekarang masih berada di Tibet," kata sang suami.
"Memang tak gampang orang dapat menemui mereka."
Selagi mereka berbicara, di tempat agak jauh, di antara daun-daun pohon kembang, tiba-tiba
muncul muka seorang wanita.
Ketika wanita itu memutarkan badan, baru kelihatan bahwa di punggungnya menggemblok
seorang bayi, yang mungkin karena terpukul cabang, mendadak sadar dari tidurnya dan segera
menangis.
Hampir berbareng dengan itu, Siauw Tjeng Hong mengeluarkan teriakan tertahan. Kedua
matanya terbuka lebar sambil mengawasi wanita itu dengan mata mendelong.
"Siapa?" tanya Gouw Tjiang Sian.
"Tjia In Tjin!" jawabnya dengan suara di tenggorokan. Saat itu, hampir-hampir Siauw Tjeng
Hong tidak percaya matanya sendiri.
Tapi, sebelum mereka dapat bergerak atau memanggil, kesunyian sang malam sekonyong-
konyong dipecahkan oleh bentakan: "Perempuan siluman! Kau masih mempunyai nyali untuk
datang pula di Gobie san?"
"Ha!" bentak seorang lain. "Kau kira kami tidak mengenali kau? Lagi dua puluh tahun, biar kau
sudah mampus menjadi abu, kami toh masih mengenali kau!"
"Kami ingin berkenalan dengan cara-cara Tokbeng Siantjoe membetot jiwa manusia," kata
orang ketiga dengan suara mengejek. (Tokbeng Siantjoe berarti Dewi Pembetot Jiwa)
Di lain saat muncul empat imam yang mengenakan pakaian hitam dan masing-masing
mencekal pedang. Mereka mengambil kedudukan di timur, selatan, barat dan utara dan
mengurung Tjia In Tjin dalam jarak sepuluh tombak.
Siauw Tjeng Hong menghela napas mengingat sakit hati manusia yang begitu berlarut. Tak bisa
salah lagi, beberapa Toosoe itu sekarang ingin membalas sakit hati Loei Tjin Tjoe yang didendam
selama dua puluh tahun. Tapi mereka mungkin tidak mengetahui, bahwa pada waktu itu, dengan
segala kesombongannya, Loei Tjin Tjoe telah memasang jebakan untuk mencelakakan orang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sebenarnya Siauw Tjeng Hong ingin segera tampil ke muka untuk membujuk. Tapi mengingat,
bahwa dalam peristiwa dulu, ia adalah salah seorang yang turut tersangkut dan kalau sekarang ia
muncul besar sekali kemungkinannya ia akan terseret pula. Mengingat itu, ia lantas saja
mengurungkan niatannya dan mengambil keputusan untuk melihat dulu bagaimana tindakan Tjia
In Tjin. Ia segera menarik tangan isterinya dan mereka berdua bersembunyi di belakang sebuah
pohon besar.
Jika menuruti adatnya di waktu muda, siang-siang Tjia In Tjin sudah menghunus pedangnya.
Akan tetapi, sesudah berkelana dua puluh tahun dalam dunia Kangouw dan mendapat berbagai
pengalaman, "hawa apinya" sudah berkurang banyak. Ia menepuk-nepuk bayinya dan berkata
dengan suara tawar: "Moh Tayhiap telah meminjam Gobie san untuk mengadakan Kiatyan. Orang-
orang dari berbagai cabang persilatan semua diterima dengan tangan terbuka. Aku adalah
anggauta dari Gobie pay. Mengapa aku tak boleh datang kemari?"
"Moh Tayhiap adalah tetua Boetong pay kami," kata si imam yang berdiri di timur. "Kau sudah
melukakan Toasoeheng Loei Tjin Tjoe, sehingga tak ketahuan dimana ia berada sekarang. Apakah
kau masih mempunyai muka untuk mendengarkan petunjuk-petunjuk Moh Tayhiap?"
Toosoe yang berdiri di sebelah barat tertawa dingin dan berkata dengan suara mengejek: "Loei
Tjin Tjoe telah roboh dalam tangan jahatmu. Apakah kau yang berkepandaian begitu tinggi,
sekarang ingin belajar dari Boetong pay yang ilmunya begitu cetek?"
Lagi-lagi Siauw Tjeng Hong menghela napas. Ia ingat bahwa sebagai partai, Boetong pay
mengalami jaman makmur pada masa kerajaan Beng. Sesudah itu, Boetong pay mulai merojan.
Belakangan, yaitu seratus tahun lebih yang lampau, Koei Tiong Beng telah mendapatkan Tatmo
Kiamhoat yang asli. Semenjak itu, Boetong pay kembali naik namanya. Sekarang, walaupun putera
Koei Tiong Beng, yaitu Moh Tjoan Seng, memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan cukup syarat-
syaratnya untuk meneruskan pekerjaan ayahnya, tapi ia adalah seorang yang sungkan pusing dan
tak sudi mengurus segala soal-soal yang dianggap remeh. Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay
adalah seorang yang berilmu tinggi, tapi agak tolol, sehingga murid-murid Butong tidak terlalu
mengindahkan kepadanya. Demikianlah, seperti seratus tahun lebih yang lalu, keadaan Boetong
pay kembali merosot.
Nama Boetong pay masih kesohor sebagai suatu partai besar, tapi sedalam-dalamnya, orang
yang benar-benar berisi, jumlahnya sedikit sekali. Yang banyak adalah orang-orang sombong.
Mendengar disebutkannya nama Loei Tjin Tjoe, Tjia In Tjin mesem dan berkata: "Biarpun
mendapat luka sedikit, Loei Tjin Tjoe sudah mendapat keuntungan yang sangat besar."
Keempat Toosoe itu lantas saja menjadi gusar. "Perempuan siluman!" bentak seorang
antaranya. "Sudah melukakan orang, masih kau mengeluarkan perkataan merdu."
Tjia In Tjin tadinya berniat untuk menceritakan segala kejadian di Puncak Es, tapi melihat lagak
beberapa imam itu, ia sengaja mengurungkan niatannya. Ia mendongak dan berkata sembari
menarik napas panjang: "Sungguh sayang! Sungguh sayang!"
"Sayang apa?" empat Toosoe membentak dengan serentak.
Tjia In Tjin tak menyahut, tangannya kembali menepuk-nepuk bayinya. "Anak, jangan takut,"
katanya. "Ini beberapa hidung kerbau boleh kau pandang sepi saja."
Kecil-kecil bayi itu sudah mengunjukkan sifat-sifatnya yang mengherankan. Tadi, lantaran
kesampok cabang pohon, ia menangis keras. Tapi sekarang, melihat empat Toosoe itu yang
mencekal pedang mengkilap, ia berbalik seperti orang kegirangan. Sembari mengeluarkan kedua
tangannya yang kecil montok, ia tertawa lebar.
"Sungguh sayang," kata pula Tjia In Tjin. "Moh Tayhiap adalah guru besar dari satu jaman dan
tetua dari sebuah partai besar. Beliau dihormati oleh semua orang dari Rimba Persilatan dan diakui
sebagai pemimpin utama. Tapi kamu? Kamu sendiri hanya menganggap beliau sebagai seorang
Tiangloo (paderi yang memimpin kuil) dari Boetong pay. Dengan begitu, bukankah kamu sangat
merugikan keangkeran beliau? Ah! Sungguh aku merasa sangat sayang, bahwa Boetong pay
sudah mempunyai murid-murid yang segoblok kamu!"
Keempat Toosoe itu adalah murid-murid Boetong pay yang mendapat didikan langsung dari
adik Moh Tjoan Seng, yaitu Tjio Kong Seng, yang sudah meninggal dunia beberapa belas tahun
yang lalu, dan mereka mempunyai kedudukan yang agak tinggi di dalam partai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dimaki secara begitu oleh Tjia ln Tjin, tentu saja mereka menjadi gusar sekali. "Tjia In Tjin!"
bentak Toosoe yang berdiri di sebelah barat sambil mengebaskan pedangnya. "Lepaskan anakmu!
Kami ingin belajar kenal dengan Tokbeng Kiamhoat!'
Tjia In Tjin tetap bersikap acuh tak acuh. "Hm!" ia menggerendeng. "Besok Boetong pay bakal
mengalami peristiwa berdarah, tapi kamu masih tidak kenal takut dan masih ingin menyukarkan
aku. Sungguh membikin orang tertawa!"
Siauw Tjeng Hong terkejut. Ternyata Tjia In Tjin juga sudah mendapat endusan dan
perkataannya dikeluarkan secara begitu meyakinkan. Apakah ia mempunyai pengetahuan yang
lebih jelas mengenai mara bahaya yang mengancam?
Beberapa Toosoe itu yang biasanya sombong, selalu menganggap bahwa di dalam dunia ini tak
ada manusia yang berani membentur partainya. Maka itu, mendengar peringatan nyonya tersebut,
sebaliknya dari berterima kasih, mereka jadi semakin gusar.
"Mungkin sekali kaulah yang bersekutu dengan kaum siluman untuk mengacau," maki imam
yang berdiri di timur. "Lepaskan anakmu! Sambutlah pedang tuanmu!”
Mendengar bentakan keras, bayi itu yang sedang tertawa-tawa, menjadi kaget dan menangis.
"Aku sebenarnya sungkan meladeni kamu," kata Tjia In Tjin dengan paras muka berubah. "Tapi
karena kau, hidung kerbau, sudah membikin nangisnya anakku, aku tak dapat mengampuni lagi!"
Sebelum si Toosoe sempat membuka suara, sebuah sinar hijau sudah berkelebat. Semenjak
dulu, Tjia In Tjin kesohor cepat gerakannya. Begitu terhunus, pedang itu tahu-tahu sudah
menyambar ke tenggorokan si imam yang dengan hati terkesiap, sedapat mungkin coba
menangkis.
Dengan berbunyi "trang!", pedang Toosoe itu kutung menjadi dua. Sekali lagi pedang
berkelebat dan konde si imam terpapas separoh! Memang begitulah Kiamhoat Tjia In Tjin. Sekali
menghunus pedang, tak main sungkan-sungkan lagi. Muka Toosoe itu menjadi pucat pias dan ia
segera loncat mundur sejauh mungkin.
Bayi Tjia In Tjin mendadak berhenti mengangis dan kembali tertawa-tawa sambil mengeluarkan
suaranya yang tidak tegas, seolah-olah ia mengetahui kemenangan ibunya.
Siauw Tjeng Hong yang menonton dari jauh, jadi merasa geli. "Ah! Bayi itu sungguh-sungguh
anak Thiekoay sian dan Tjia In Tjin," katanya di dalam hati.
Tiga Toosoe lainnya gusar bukan main. Tanpa memperdulikan lagi bayi yang sedang
digendong, mereka membentak dan terus saja menyerang. Beberapa saat kemudian, sesudah
dapat menenteramkan jantungnya yang bergoncang keras, Toosoe yang barusan dihajar juga
lantas menerjang dengan pedang kutungnya. "Berikan dua tanda di badan perempuan siluman
itu!" ia berteriak. "Tapi hati-hati! Jangan melukakan anak yang tidak berdosa itu."
Empat Toosoe itu lantas saja mengurung dengan Soesiang Kiamtin (Barisan Pedang Empat
Gaya) yang kepala buntutnya bergandengan satu dengan yang lain dan perlahan-lahan mereka
mendekati Tjia In Tjin.
Soesiang Kiamtin adalah salah satu barisan pedang dari Boetong pay. Cara mengurungnya
barisan itu rapat bukan main dan kecuali, jika seorang dua orang pengepung dibinasakan, orang
yang dikepung tak akan gampang-gampang dapat meloloskan diri.
Pada mulut Tjia In Tjin tetap tersungging meseman tawar. Dengan keras ia mengebaskan
pedangnya sehingga mengeluarkan suara "ung, ung", siap sedia untuk membinasakan.
"Celaka!" Siauw Tjeng Hong mengeluarkan seruan tertahan. Baru saja ia ingin loncat keluar
untuk mendamaikan, tiba-tiba dari tanjakan gunung berkelebat bayangan manusia yang
gerakannya luar biasa cepatnya dan mulutnya mengeluarkan suara tertawa aneh. Dalam sekejap,
orang itu sudah tiba di dekat gelanggang pertempuran.
Hampir berbareng empat Toosoe itu berteriak: "Aya!" dan serentak loncat keluar gelanggang.
"Toasoeheng!" mereka berseru.
Siauw Tjeng Hong mengenali, orang itu benar Loei Tjin Tjoe adanya. Bajunya, di bagian atas,
penuh darah, seperti baru saja bertempur dengan musuh. Ia berlompat-lompat dan membentak:
"Hian Boe! Hian Ham, bikin apa kamu! Hi-hi. Lekas berhenti! Hi-hi." Ia berpaling kepada Tjia In
Tjin dan berkata pula: "Tjia Toatjie, kau juga datang? Hi-hi!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Perkataan-perkataannya itu, yang diseling dengan tertawa aneh, membikin ia jadi kelihatan
lucu sekali. Di samping itu, tak hentinya ia melompat-lompat, seperti juga tak tahan merasakan
kesakitan atau kegatalan.
Loei Tjin Tjoe adalah murid kepala dari turunan kedua partai Boetong pay, sehingga, kecuali
Tjiangboendjin, ialah yang paling tinggi kedudukannya. Maka itu, walaupun geli melihat lagaknya
yang aneh, empat Toosoe itu tidak berani tertawa.
"Loei Tjin Tjoe, kenapa kau?" tanya Tjia In Tjin sembari tertawa.
"Kenapa kau bertempur dengan mereka?" Loei Tjin Tjoe balas menanya. "Hi-hi! Biar mereka
berdosa, kau harus pandang juga mukaku. Hi-hi!"
Tjia In Tjin yang barusan merasa geli, sekarang mengetahui, bahwa Loei Tjin Tjoe telah
menemui kejadian luar biasa. "Mereka mengatakan, aku sudah mendesak kau, sehingga kau tak
ketahuan kemana perginya," Tjia In Tjin menerangkan. "Mereka mau juga bertempur denganku.
Bagus juga kau keburu datang. Jika tidak, jiwa Tokbeng Siantjoe berbalik lebih dulu dibetot oleh
murid-murid Boetong."
"Dua puluh tahun yang lalu, dia menghina kau," kata seorang Toosoe. "Sekarang dia menghina
kami. Toasoeheng, tak dapat kita melepaskan dia."
"Dan juga," sambung imam yang lain. "Dia mengatakan, besok partai kita akan mengalami
peristiwa berdarah. Hm! Toasoeheng, apa boleh manusia itu dibiarkan mengaco belo?"
Mendadak, Loei Tjin Tjoe meloncat beberapa tombak tingginya. "Benar!" ia berteriak. "Besok
bakal ada mara bahaya! Hi-hi! Kamu benar-benar sudah membikin malu Boetong pay. Hi-hi!"
Selagi badannya melayang turun, bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe menggaplok empat Toosoe itu
yang lantas saja terguling sembari berkaok-kaok. Di lain saat, ia juga roboh di atas tanah dengan
mulut mengeluarkan rintihan aneh dan badannya dingin bagaikan es.
Bukan main kagetnya keempat Toosoe itu, yang segera memeriksa keadaan kakak seperguruan
itu. Napas Loei Tjin Tjoe masih berjalan sebagaimana biasa dan nadinya pun tidak berubah, tapi ia
tak dapat berbicara lagi.
"Buka bajunya," Tjia In Tjin memerintah dengan suara dingin. "Mungkin sekali jalan darahnya
kena ditotok."
Begitu baju Loei Tjin Tjoe dibuka, semua orang mengeluarkan teriakan kaget. Dengan bantuan
sinar rembulan, dapat dilihat, bahwa pada pundak Loei Tjin Tjoe terdapat bekas tapak tangan
yang berwarna merah darah dan di lain bagian terdapat tiga tanda totokan pada jalan darah Ma-
hiat (jalan darah yang membikin orang merasa kesemutan), Yangyang hiat (jalan darah yang
menimbulkan rasa gatal) dan Siauwyauw hiat (jalan darah yang menimbulkan tertawa).
Empat Toosoe itu saling mengawasi dengan muka pucat. Mereka heran berbareng takut. Loei
Tjin Tjoe adalah seorang yang sangat terpandang dalam Boetong pay dan sekarang, ia sudah
kena dilukakan secara begitu menyedihkan. Mengingat
perkataan Tjia In Tjin dan kakak seperguruannya, mereka bergidik. Jika begitu, mungkin sekali
besok akan terjadi peristiwa berdarah.
Meskipun Tjia In Tjin berkepandaian banyak lebih tinggi dari empat Toosoe itu, tapi sesudah
melihat luka Loei Tjin Tjoe dan tiga totokan jalan darah itu, ia juga tak dapat mengetahui tangan
orang partai mana yang begitu beracun.
Tersipu-sipu empat Toosoe itu mengurut badan kakak seperguruannya untuk coba membuka
jalan darah yang kena ditotok. Tapi keadaan Loei Tjin Tjoe menjadi semakin hebat. Rintihannya
jadi semakin keras dan keringat dingin membasahi seluruh badannya.
"Sudahlah, kamu jangan mengurut sembarangan," kata Tjia In Tjin. "Jika kamu bisa menolong,
apakah soeheng-mu tak dapat membuka sendiri jalan darahnya?"
Disemprot begitu, mereka yang sedang kebingungan, lantas saja naik darah. "Kalau kami tak
mampu, apakah kau mampu?" tanya seorang antaranya dengan aseran.
Tjia In Tjin yang sebenarnya bermaksud baik, jadi mendongkol. Tapi, sebelum ia membalas
menyemprot, di sebelah belakang mendadak terdengar suara tertawa. "Ia dijuluki Tokbeng
Siantjoe, si Dewi Pembetot Jiwa, bukan Kioebeng Siantjoe (Dewi Penolong Jiwa)," kata seorang.
Dengan serentak empat imam itu memutarkan badan dan di hadapan mereka berdiri seorang
pemuda baju putih, yang tak ketahuan kapan datangnya. Tjia In Tjin segera mengenali, bahwa
pemuda itu bukan lain daripada Tong Keng Thian yang pernah naik ke Puncak Es dan mengadu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

pedang dengan Pengtjoan Thianlie. Ia menjadi girang bukan main dan berkata sembari tertawa:
"Dewa penolong jiwa sudah datang! Hei, kawanan hidung kerbau! Lekas berlutut untuk memohon
pertolongan!"
Melihat usia Keng Thian yang masih begitu muda, tentu saja mereka tak mau percaya
perkataan Tjia In Tjin yang dianggap hanya ingin mengejek. Mereka sudah lantas ingin
mengumbar kegusaran mereka, tapi Keng Thian keburu berkata: "Baiklah, aku mencoba-coba. Tjia
Liehiap, dua kawan lama sedang menunggu kau!"
Sedari tadi Tjia In Tjin memang mengetahui, bahwa suami isteri Siauw Tjeng Hong
bersembunyi di belakang pohon. Sesudah Keng Thian menyanggupi untuk mengobati Loei Tjin
Tjoe, lantas saja ia berlalu.
Tong Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa luka Loei Tjin Tjoe berhawa sangat panas dan
berbau daging dibakar. Ia terkejut, sebab tak bisa salah lagi, itulah akibat tangan Hiatsintjoe. Tapi
ia juga mengetahui, bahwa Hiatsintjoe hanya memukul dengan sebagian kecil tenaganya untuk
memberi "tanda" dan bukan untuk membinasakan. Waktu memeriksa totokan jalan darah, ia
menjadi heran sekali, sebab totokan itu bukan totokan yang biasa digunakan oleh ahli-ahli silat
wilayah Tionggoan. Sesudah berpikir beberapa saat, tiba-tiba ia ingat kepada seorang. "Apakah
tak mungkin dia yang datang!" katanya di dalam hati.
Buru-buru Keng Thian mengeluarkan Pekleng tan yang lalu dikunyah dan kemudian
ditempelkan pada luka itu. Beberapa saat kemudian, Loei Tjin Tjoe sadar dari pingsannya dan
sesudah membalikkan badan, ia bangun berduduk dan mengawasi Tong Keng Thian. Lantas saja
ia mengenali, bahwa si baju putih adalah pemuda yang sudah merobohkan tiga belas jago
Khongtong pay itu dengan sekaligus. Walaupun tak mengetahui nama Keng Thian, ia yakin bahwa
pemuda itu adalah murid Thiansan pay.
"Hian Boe! Hian Ham!" ia berseru. "Lekas berlutut! Hi-hi!'
"Tak usah banyak peradatan," kata Keng Thian yang segera memberikan sebutir Pekleng tan
kepadanya untuk ditelan.
"Kau ketemu siapa?" tanya Keng Thian.
"Lebih dulu seorang kusta," jawabnya. "Hi-hi! Belakangan seorang siluman tua yang rambutnya
awut-awutan. Hi-hi!"
Dugaan Keng Thian ternyata tidak meleset. Kedua orang itu ternyata benar Kim Sie Ie dan
Hiatsintjoe adanya. Tapi kenapa mereka bisa berada bersama-sama?
"Bermula si penderita kusta menyerang aku," kata pula Loei Tjin Tjoe. "Belakangan ia
menolong aku. Hi-hi!"
Sesudah diobati dengan Pekleng tan, rasa sakit dan panas sudah banyak mendingan, tapi jalan
darahnya belum dibuka, sehingga Loei Tjin Tjoe masih terus mengeluarkan tertawa aneh.
Keng Thian yang pernah bergebrak beberapa kali dengan Kim Sie Ie dan sudah mengenal ilmu
totokannya, buru-buru mengurut bagian badan Loei Tjin Tjoe yang perlu, untuk membuka tiga
jalan darah yang tertutup itu. Dilihat dari bekas-bekasnya, totokan itu dikirim dengan gunakan
tongkat besi dan biarpun cukup keras, sama sekali tidak merusak urat. Dilihat begitu, Kim Sie Ie
rupanya hanya ingin guyon-guyon dan bukan mau mencelakakan orang. Meskipun tidak ditolong,
jalan darah itu akan terbuka dengan sendirinya, tapi harus menunggu dua puluh empat jam.
Begitu jalan darahnya terbuka, rasa kesemutan dan geli segera menjadi lenyap. Untuk
beberapa lama, Loei Tjin Tjoe duduk mengasoh dengan napas tersengal-sengal.
"Cara bagaimana, si kusta lebih dulu menyerang dan kemudian menolong kau?” tanya Keng
Thian.
"Untuk menghadiri Kiatyan, terburu-buru aku datang kemari," Loei Tjin Tjoe menerangkan. "Di
mulut gunung, aku bertemu dengan seorang yang menderita penyakit kusta. Aku berpikir,
peraturan kita begitu keras, kenapa si kusta dibiarkan datang mengganggu? Maka itu, aku segera
coba mengusir dia. Ia menanyakan namaku. Aku memberitahukan sebenarnya dan menambahkan
bahwa masih untung dia bertemu aku. Jika dia bertemu Soetee-ku, bisa-bisa jiwanya melayang.
Sesudah itu, aku memberikan beberapa tail perak kepadanya dan suruh dia lekas-lekas pergi. Tak
dinyana, mendadak dia tertawa besar. Katanya: 'Kalau begitu kau Loei Tjin Tjoe? Kudengar, di
antara turunan kedua dari Boetong pay, kaulah yang berkepandaian paling tinggi." Begitu katanya.
Aku heran, bagaimana ia mengetahui namaku. Di luar dugaan, sedang ia belum habis tertawa,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

tongkatnya menyambar dan berhasil menotok jalan darahku beberapa kali. Aku tak dapat
mempertahankan diri lagi, lantas saja aku melompat-lompat dan tertawa seperti orang gila.
Dengan gusar aku mengambil putusan untuk bertarung mati-matian dengan ia. Tapi dalam
sekejap, ia sudah menghilang, entah kemana!"
Mendengar penuturan Soeheng-nya, empat Toosoe itu menjadi tercengang. Dalam Boetong
pay, Loei Tjin Tjoe mempunyai kepandaian tinggi dan bahwa ia sudah kena diserang beberapa kali
tanpa mampu membalas, merupakan satu bukti dari hebatnya ilmu si pengemis kusta.
Keng Thian merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Kau tentu saja tak mengetahui, bahwa
Kim Sie Ie memang paling senang mengganggu orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan.
Jika kau tidak memberitahukan namamu, kau tentu tidak akan mendapat gangguan suatu apa.
Tapi disurung kesombonganmu, kau sudah menonjolkan namamu yang dianggap besar. Dengan
begitu, sekalipun kau tidak mengusir-usir dia, kau tak akan bisa luput dari guyonannya."
Sesudah mengasoh beberapa saat, Loei Tjin Tjoe segera melanjutkan penuturannya:
"Sesudah kena dipermainkan, sudah tentu aku menjadi gusar bukan main. Tak terduga, baru saja
berjalan beberapa tindak, aku bertemu dengan manusia aneh yang rambutnya awut-awutan
seperti rumput. Dia ternyata mengenal diriku, sebab, begitu membuka mulut, dia berkata: 'Loei
Tjin Tjoe, kenapa kau tertawa begitu enak?' "Bukan urusanmu!" aku membentak dengan aseran.
Orang aneh itu mendelik dan berkata: 'Baiklah. Sekarang aku ingin memberi tanda di badanmu,
supaya kau dapat melaporkan kepada Moh Tjoan Seng.' Dengan cepat aku menghunus pedang,
tapi pada saat itu juga, aku merasakan menyambarnya hawa yang sangat panas. Hampir
berbareng, kupingku mendengar suara menyeramkan dan si kusta kembali muncul. 'Siluman tua!'
ia membentak. 'Mengertikah kau peraturan Kangouw? Kenapa kau campur-campur jual beliku?' Si
orang aneh lantas saja loncat menyingkir, tapi tangannya yang menyambar luar biasa cepat,
sudah menowel pundakku."
Sekarang Keng Thian mengetahui, bahwa Hiatsintjoe bukan berbelas kasihan, tapi oleh karena
merasa jeri terhadap senjata rahasia Kim Sie le, ia tidak keburu menurunkan tangan yang lebih
berat.
Dengan pertolongan Thiansan Soatlian, racun panas yang mengeram dalam badan Loei Tjin
Tjoe sudah dapat diredakan, tapi luka di dalam belum menjadi sembuh. Sesudah bicara banyak, ia
kelihatan lelah dan napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, beberapa murid Boetong yang
mendapat warta, sudah datang untuk memberi pertolongan.
"Loei-heng," kata Keng Thian. "Pergilah ke kuil untuk mengasoh. Dengan menggunakan obat
biasa, dalam tiga hari, kesehatanmu akan pulih seperti sediakala."
Dua kali Loei Tjin Tjoe pernah bertemu dengan Tong Keng Thian, tapi ia belum mengetahui
nama pemuda itu. Tapi, baru saja ia ingin menanyakan, dengan sekali berkelebat, badan si
pemuda sudah melesat melewati pohon-pohon dan di lain saat, sudah tak kelihatan lagi bayang-
bayangannya.
Empat Toosoe yang tadi mau mengepung Tjia In Tjin, saling mengawasi dengan mulut
ternganga. Sekarang mereka mengerti, bahwa di luar langit masih ada langit.
Keng Thian pergi tersipu-sipu oleh karena mengingat Pengtjoan Thianlie. Ia memang sudah"
menduga, bahwa Kim Sie Ie akan datang di tempat Moh Tjoan Seng. Sekarang, sesudah dugaan
itu merupakan kenyataan, hatinya berdebar-debar. "Dia tentu datang bersama-sama Peng Go,"
pikirnya. "Peng Go adalah seorang yang suka akan kebersihan. Ia sebenarnya adalah pemuda
cakap. Tapi kenapa ia muncul pula sebagai penderita kusta? Apakah ia tak kuatir Pengtjoan
Thianlie merasa jijik?' Ia menghela napas berulang-ulang. Memikirkan semua teka-teki itu, otaknya
yang cerdas agaknya sudah tidak dapat bekerja sebagaimana biasa lagi.
"Dengan berjalan bersama-sama, Kim Sie Ie tentu juga sudah mengetahui, bahwa Peng Go
adalah keponakan Moh Tayhiap," kata Keng Thian pula dalam hatinya. "Ia tentu tahu, Peng Go
juga terhitung orang Boetong. Tapi, kenapa ia mempermainkan juga murid Boetong pay?
Sekalipun adatnya aneh, tak boleh ia berlaku begitu keterlaluan. Apa ia tak takut kepada gusarnya
Pengtjoan Thianlie?"
Sembari jalan, otak Keng Thian bekerja terus. Berkata lagi ia dalam hatinya: "Sesudah tiba,
kenapa Pengtjoan Thianlie tidak lantas menemui pamannya? Apakah ia sudah ketularan sifat-sifat
Kim Sie Ie dan bermain-main dulu di dekat-dekat sini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Semakin berpikir, otaknya semakin butak, sehingga akhir-akhirnya ia mengambil keputusan


untuk tak tidur dan coba mencari Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie.
Selagi berjalan dengan pikiran pepat, matanya tiba-tiba melihat dua orang wanita dan seorang
pria sedang jalan berendeng di suatu tanjakan, di bawah pohon-pohon siong tua. Wanita yang
berjalan di sebelah kanan, menggendong bayi dan ia itu bukan lain daripada Tjia In Tjin, sedang
dua orang lainnya adalah suami isteri Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian sungkan mengganggu mereka, tapi sambil lalu, ia mendengar Tjia In Tjin berkata;
"Tak salah! Yaitu orang yang berpenyakit kusta!"
Hatinya melonjak dan ia menghentikan tindakannya secara mendadak, sehingga menerbitkan
suara kresekan.
Tjia In Tjin menengok dan menanya sembari tertawa: "Bagaimana? Apakah keadaan Loei Tjin
Tjoe tidak berbahaya?"
"Untung juga Hiatsintjoe tidak mengunakan seantero tenaganya," jawab Keng Thian. "Sesudah
menelan Pekleng tan, kurasa jiwanya tidak terancam lagi. Sebenarnya, ia harus berterima kasih
kepada si kusta."
"Apa?" menegasi Tjia In Tjin. "Ah! Lagi-lagi si kusta!"
Keng Thian lantas saja menceritakan apa yang didengarnya dari Loei Tjin Tjoe dan
menambahkan: "Tangan
Hiatsintjoe sangat beracun, tapi cara-cara si kusta yang aneh juga agak menakutkan. Baik juga
aku mengenal ilmu totokannya. Jika tidak, Loei Tjin Tjoe harus tertawa dan melompat-lompat
seperti orang gila dua puluh empat jam lagi. Sungguh sangat tak enak bagi Loei Tjin Tjoe yang
terkenal sebagai murid utama dari turunan kedua partai Boetong pay."
Tjia In Tjin terkesiap. "Ah, untung aku ditolong oleh seorang berilmu," katanya. "Kalau tidak,
aku pun harus menjadi korban si kusta itu!'
"Kau juga bertemu dengan ia?" tanya Keng Thian.
"Benar," sahut Tjia In Tjin. "Selagi dia mau menimpuk jalan darahku dengan batu, seorang
wanita muda yang tak mau menampakkan diri, sudah menggebah ia."
"Wanita mana yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?" tanya pula Keng Thian dengan
penuh keheranan. "Apakah Pengtjoan Thianlie?"
Nyonya itu tidak lantas menjawab. Ia menepuk-nepuk bayinya yang sudah pulas nyenyak dan
mulutnya bersenyum manis, seolah-olah sekuntum bunga yang indah mendadak muncul di tengah
hutan belukar.
"Jika kau ingin mengetahui, bagaimana aku bertemu dengan si kusta, aku harus bercerita dari
kepala sampai di buntut," jawabnya.
Keng Thian manggutkan kepalanya dan segera memasang kuping. Tjia In Tjin menepuk-nepuk
pula anaknya. Mendadak ia tertawa dan berkata: "Coba lihat! Sama sekali tak mirip dengan
ayahnya."
"Sangat mirip dengan kau," celetuk Siauw Tjeng Hong. "Di kemudian hari ia tentu akan menjadi
seorang pendekar muda yang cakap dan ganteng." Dengan berkata begitu Siauw Tjeng Hong
sebenarnya ingin memuji kecantikan nyonya itu.
Tjia In Tjin mesem. "Kau datang dari Tibet, apakah ayah anak ini masih berada di Puncak Es?"
tanyanya kepada Keng Thian. "Waktu terjadi gempa bumi, aku sedang memetik daun obat.
Belakangan jalan kembali sudah tertutup lahar, sehingga aku terpaksa pulang lebih dulu. Aku
sangat kuatirkan keselamatan mereka. Hari itu, aku melihat keraton es masih berdiri, hanya aku
tak tahu bagaimana keselamatan mereka."
Keng Thian merasa sangat pilu. Siauw Tjeng Hong tak tahu, tapi ia tahu, Thiekoay sian sudah
pulang ke alam baka dan dalam dunia ini, Tjia In Tjin tak bisa bertemu pula dengan suaminya.
Melihat paras muka nyonya itu, tak tega ia menyampaikan warta jelek itu. Maka itu, lantas saja ia
menjawab secara samar-samar: "Aku tidak naik lagi ke keraton es dan tak tahu keadaan suamimu.
Sesudah Kiatyan, kau boleh pergi ke Sakya untuk menemui muridmu, Tan Thian Oe, yang tentu
bisa memberikan keterangan terlebih jelas."
Mendengar jawaban itu, Tjia In Tjin merasa agak heran, tapi ia tidak mendesak terlebih jauh
dan mulai dengan penuturannya. "Sebenar-benarnya, sudah lama aku ingin datang kesini untuk
menemui Moh Tayhiap guna memberitahukan, bahwa keponakan perempuannya berada di atas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Puncak Es, di gunung Nyenchin Dangla," katanya. "Tapi karena anak ini, sampai sekarang baru
niatan itu terwujud. Sebelum berangkat, aku sudah medengar desas-desus tentang adanya
beberapa orang yang ingin menyukarkan Moh Tayhiap dalam Kiatyan kali ini. Tadinya aku tidak
begitu percaya, tapi siapa nyana aku sendiri mendapat buktinya. Kalau tak salah, besok bakal
ramai sekali."
"Apa?" Keng Thian menegas. "Di samping si kusta, apakah kau bertemu dengan orang lain?"
"Tak salah," Tjia In Tjin membenarkan. "Tadi, kira-kira magrib, baru saja aku masuk ke mulut
jalan gunung, anakku lapar. Aku segera bersembunyi di belakang sebuah batu besar dan menetei
ia. Tiba-tiba aku mendengar suara tindakan beberapa orang yang sedang memasuki lembah. Aku
mengintip dan mendapat kenyataan, bahwa mereka itu adalah beberapa Toosoe Boetong pay,
bersama Tjoei In Tjoe. Agaknya mereka sedang bertengkar. Mendadak aku mendengar suara Tjoei
In Tjoe yang sangat keras: 'Loei Toako tidak mati! Ia menjanjikan aku supaya malam ini
berkumpul di Kimkong sie. Jika kamu masih tidak percaya, sebentar kamu bisa menyaksikan
dengan mata sendiri.' Agaknya ia dan Loei Tjin Tjoe telah mengambil jalan yang berlainan. Maka
itu, waktu tadi bertemu dengan Loei Tjin Tjoe, aku tidak menjadi heran. Beberapa Toosoe itu
lantas saja mengatakan sesuatu, tapi tak dapat didengar olehku. Di lain saat, Tjoei In Tjoe
berteriak: 'Itu semua tak ada sangkut-pautnya dengan Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin! Semua-
semua adalah main gilanya Ong Loei Tjoe!' Mendengar namaku disebut-sebut, lantas saja aku
memasang kuping dengan lebih sungguh-sungguh"
"Beberapa Toosoe itu agaknya merasa sangat heran. 'Tapi bukankah Ong Lioe Tjoe saudara
angkatmu?' seru satu antaranya. 'Benar,'jawab Tjoei In Tjoe. 'Tapi dia adalah murid Khongtong
pay. Khongtong pay...'
"Baru saja Tjoei In Tjoe berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar suatu teriakan aneh dan dari
atas cadas berkelebat turun sesosok bayangan manusia yang lantas menubruk Tjoei In Tjoe."
"Tjoei In Tjoe mengangkat gendewanya untuk menangkis. Sekonyong-konyong terdengar suara
nyaring dan teriakan Tjoei In Tjoe yang menyayatkan hati dan ia lantas roboh di atas tanah.
Hampir berbareng dengan itu, serupa benda hitam turun melayang ke arah kepalaku!"
Tjia In Tjin bergelar si Dewi Pembetot Jiwa. Dalam kalangan Kangouw, orang lainlah yang takut
terhadapnya. Tapi, di waktu menutur sampai disitu, paras mukanya berubah pucat dan suaranya
agak gemetar.
"Apakah itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
Tjia ln Tjin menghela napas dan menjawab: "Sinkiong (Gendewa Malaikat) Tjoei In Tjoe yang
sudah berubah lempang bagaikan tongkat besi. Coba pikir: Dengan sekali sambar, sekali
membetot, senjata Tjoei In Tjoe sudah berubah menjadi begitu!"
Mendengar itu, Keng Thian ternganga. Bahwa orang itu bisa membetot dan melemparkan
gendewa tersebut dalam tempo sekejap mata, terlebih pula busur yang tadinya melengkung sudah
kena dibetot menjadi lurus, adalah suatu kejadian yang sungguh-sungguh luar biasa, la sendiri
belum tentu mampu berbuat begitu!
"Itu masih belum seberapa," kata pula Tjia In Tjin. "Sinkiong Tjoei In Tjoe adalah senjata
mustika. Talinya yang terbuat dari benang-benang emas, tak dapat diputuskan dengan senjata
tajam. Tapi sekarang, tali itu putus seanteronya dan benang-benangnya berkibar-kibar di tengah
udara. Jika hanya putus beberapa lembar benang, aku juga tidak merasa heran. Tapi orang itu,
dengan sekali mengebas, sudah memutuskan semua tali itu. Jika tak melihat dengan mata sendiri,
aku pun tak akan percaya."
"Apakah orang itu seorang imam tua yang mengenakan jubah pertapaan warna kuning?" tanya
Keng Thian.
"Bukan," jawabnya sembari menggelengkan kepala. "Dilihat dari mukanya, ia baru berusia tiga
puluh tahun lebih. Orangnya tinggi kurus, rambutnya awut-awutan seperti rumput dan di bawah
sinar rembulan, mukanya putih meletak, sehingga aku sendiri jadi bergidik."
"Ih!" kata Keng Thian, terkejut. "Kalau begitu, dia bukan Hongsek Toodjin! Dalam dunia ini,
kecuali beberapa Tjianpwee dari partai-partai yang murni, siapa lagi yang mempunyai kepandaian
begitu tinggi?"
Siauw Tjeng Hong juga heran bukan main, tapi sebagai orang yang berpengalaman luas, ia
segera dapat mengutarakan pikirannya. "Dilihat begini," katanya. "Kalau orang itu bukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Khongtong pay, tentu juga ia mempunyai sangkut paut rapat dengan partai tersebut. Maka itu, di
waktu Tjoei In Tjoe menyebut nama Khongtong pay, ia segera menyerang untuk menutup
mulutnya."
Keng Thian lantas saja ingat akan pengalamannya di waktu Loei Tjin Tjoe dikepung oleh Tio
Leng Koen dan dua belas kawannya. "Tak salah," katanya. "Sejumlah orang Khongtong pay, di
bawah pimpinan Tio Leng Koen, sudah menghamba kepada kerajaan Tjeng dan berniat
membasmi orang-orang Boetong yang melawan bangsa Boan di daerah Sinkiang."
"Apakah Tjoei In Tjoe ditotok jalan darah gagunya?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Lebih dari itu!" sahut Tjia In Tjin. "Gendewa itu jatuh di pinggir badanku dan sedikitpun aku
tidak berani bergerak. Untung anakku sudah kenyang dan sudah pulas. Dengan hati berdebar-
debar, aku mengintip dari sela-sela batu. Sesudah merobohkan Tjoei In Tjoe, bagaikan kilat, orang
itu mengerjakan kedua tangannya."
"Beberapa Toosoe itu mengeluarkan teriakan 'a-a u-u' yang luar biasa dan melompat-lompat
seperti orang menginjak bara. Orang itu tertawa seraya berkata: 'Sekarang kamu tak bisa
menggoyang lidah sembarang lagi.' Di lain saat, bagaikan seekor kera, bayangannya sudah berada
di tanjakan gunung, tapi suara tertawanya yang membangunkan bulu roma masih berkumandang
terus di selat gunung yang sunyi."
"Sesudah orang itu pergi jauh, dengan memberanikan hati, aku keluar dari tempat sembunyi
untuk melihat keadaan para korban itu. Bermula aku menduga mereka hanya ditotok jalan darah
gagunya. Tapi segera juga hatiku mencelos, sebab beberapa Toosoe itu, berikut Tjoei In Tjoe,
sudah dikutungkan lidahnya! Setelah memeriksa, aku mendapat kenyataan, bahwa tulang pundak
mereka juga dipukul hancur, sehingga mereka bukan saja menjadi orang gagu, tapi juga bercacat
untuk seumur hidupnya, tanpa mempunyai lagi kepandaian silat."
Suami isteri Siauw Tjeng Hong kaget bukan main. "Kenapa dia begitu kejam?" tanya Tjeng
Hong. "Lebih kejam seratus kali daripada si penderita kusta! Si kusta hanya main-main, tidak
melukakan orang secara sungguh-sungguh."
Tong Keng Thian tidak berkata suatu apa dan Tjia In Tjin lantas saja meneruskan
penuturannya: "Sorot mata mereka seperti orang berotak miring, mulut mereka ternganga tak bisa
ditutup dan juga tak dapat mengeluarkan suara. Otot-otot muka mereka pada timbul dan
kelihatannya sangat menakutkan. Tentu saja dengan seorang diri, aku tidak bisa menggendong
mereka. Maka itu, tanpa memperdulikan bahaya, jalan satu-satunya adalah memberi warta ke
Kimkong sie. Secepat mungkin aku berlari-lari. Tapi baru saja keluar dari selat gunung, aku
melihat belasan Toosoe yang membawa obor, masuk ke dalam mulut selat lain. Mereka berkaok-
kaok, memanggil-manggil saudara-saudara seperguruannya. Agaknya sesudah mendengar
teriakan-teriakan luar biasa, mereka berkuatir dan lalu mencari saudara-saudaranya itu. Hatiku
menjadi agak lega, tapi aku merasa, biar bagaimanapun juga, aku harus melaporkan kejadian itu
kepada Moh Tayhiap. Demikian aku terus mendaki gunung. Tapi, di luar dugaan, sebelum tiba di
Puncak Emas, aku bertemu dengan si penderita kusta!"
Tong Keng Thian mesem dan berkata: "Si kusta tentu juga sudah mendengar nama besar
Tokbeng Siantjoe, sehingga ia sengaja mengganggu kau."
"Ya," kata Tjia In Tjin. "Aku tak tahu, bagaimana ia bisa mengenal aku. Waktu itu, Kimkong sie
sudah dekat sekali dan gedungnya sudah bisa dilihat nyata dari jauh. Mungkin lantaran aku berlari
terlalu cepat, anakku mendusin dan menangis. Aku berhenti dan mengusap-usap tubuhnya. Saat
itu hatiku sedih oleh karena mengingat, bagaimana seorang diri dan dengan menggendong-
gendong anak, aku terombang-ambing di dalam dunia. Sambil menepuk-nepuk anakku, aku
berkata: "Ah! Jika ayahmu berada disini, bahaya apapun juga kita tak usah takuti lagi!' Anak itu
seolah mengerti perkataanku dan ia lantas saja berhenti menangis. Selagi mau meneruskan
perjalananku, di atas kepalaku mendadak terdengar suara tertawa. Aku mendongak dan disitu, di
atas sebuah batu besar, duduk bersila seorang penderita kusta yang macamnya sungguh-sungguh
menakutkan. Aku terkejut, lebih terkejut daripada tadi!"
"Si kusta mengawasi aku dan tertawa haha-hihi. 'Apakah kau bukannya Tokbeng Siantjoe Tjia
In Tjin?'” tanyanya.
"Sesaat itu, aku ingat warta yang tersiar dalam kalangan Kangouw tentang munculnya seorang
penderita kusta yang sangat ditakuti. Dengan memberanikan hati, aku berkata: 'Eh, jangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

menakut-nakuti anakku!' si kusta menyengir dan berkata pula: 'Hei! Bukankah kau Tokbeng
Siantjoe? Kau sendiri yang takut, sebaliknya kau mengatakan anakmu yang takut kepadaku!'
Sehabis berkata begitu, ia membuat lagak seperti monyet dan mengeluarkan suara lucu. Entah
bagaimana, anakku jadi tertawa. Ia kelihatan girang sekali. 'Nah, lihatlah!' katanya. 'Anakmu tak
takut padaku. Eh, bukankah suamimu yang dipanggil Thiekoay sian? Kenapa ia tidak bersama-
sama kau?' Aku tak menjawab sebab sedang mencari jalan untuk menghadapi gangguannya. Si
kusta tertawa pula dan berkata: 'Sayang! Sungguh sayang! Jika suamimu turut datang, bukankah
aku dapat meminta pengajaran dari seorang yang namanya begitu kesohor?' Dia mengenakan
pakaian rombeng seperti pengemis dan senjatanya juga sebatang tongkat besi, sehingga mirip
sekali dengan ayah anakku. Beberapa saat kemudian, ia berkata lagi: 'Eh, jelek bagus aku adalah
sekaum dengan suamimu. Kenapa kau tak meladeni?'
"Darahku mulai naik. Aku meraba gagang pedang dan membentak supaya ia menyingkir.
'Baiklah,' katanya. 'Tapi dengan satu syarat, yaitu kau harus tertawa dulu terhadapku.' Aku tak
dapat menahan sabar lagi, dengan menghunus pedang, aku menerjang.
"Dia lagi-lagi tertawa dan berkata: 'Ha, galak benar kau! Aku tak membetot jiwamu, hanya
ingin melihat tertawamu yang manis. Kenapa kau lantas marah?' Sembari berkata begitu,
tangannya menjumput sebuah batu yang lantas dicengkeram, sehingga menjadi hancur. Di lain
saat, ia mengayun tangannya dan hancuran batu itu menyambar ke arahku!"
Keng Thian mesem dan berkata: "Bukankah serangannya seperti serangan terhadap Loei Tjin
Tjoe? Hanya, terhadap Loei Tjin Tjoe, ia menyerang dengan tongkat, terhadapmu ia menggunakan
hancuran batu."
"Benar," jawab Tjia In Tjin. "Kepingan-kepingan batu itu cepat luar biasa, satu menyambar
Djoanma hiat (jalan darah yang membikin orang jadi kesemutan) di dada kiri, satu menyambar
Yangyang hiat (jalan darah gatal) di dada kanan, satu lagi menyambar ke arah Siauwyauw hiat
(jalan darah tertawa), sehingga serangan itu merupakan serangan segitiga. Oleh karena di
depanku menghadang batu besar, jalan satu-satunya adalah loncat ke belakang. Tapi kau tak
tahu, bahwa tiga kepingan batu itu, yang menyambar dari depan, bukan serangan satu-satunya.
Di samping tiga serangkai tersebut, dari kiri kanan malah dari belakang -- kepingan-kepingan itu
ada yang terbang melewati kepala dan kemudian berbalik menyambar lagi -- menyambar juga
kepingan-kepingan lain. Apa yang sangat luar biasa adalah: Kepingan-kepingan itu terbang dalam
bentuk (formasi) segitiga dan menyambar ke arah tiga jalan darah! Hatiku mencelos. Aku
mengerti, biar bagaimanapun juga, tak nanti aku dapat meloloskan diri."
"Memang," kata Keng Thian sambil mengangguk. "Memang ilmu melepaskan senjata rahasia itu
sudah mencapai puncaknya kesempurnaan. Menurut pendapatku, dalam dunia ini, di samping
keluarga Tong dan Han Tiong San dari Lengsan pay, dia adalah orang ketiga yang mempunyai
ilmu itu. Dengan menggendong anak, lebih-lebih sukar kau menyelamatkan diri."
"Aku pun merasa tak akan terlolos lagi," kata Tjia In Tjin. "Dalam kebingungan, buru-buru aku
menarik napas dalam-dalam untuk menutup semua jalan darahku. Tapi karena menyambarnya
kepingan-kepingan itu luar biasa cepatnya, aku tidak keburu lagi menutup jalan darahku. Pada
detik yang sangat berbahaya, tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring. Hampir berbareng
dengan itu, terdengar serentetan suara "tring-tring-tring" dan batu-batu itu terpukul jatuh. Si
kusta berteriak keras, lalu melompat tinggi dan dalam sekejap, ia sudah menghilang ke dalam
hutan. Di antara pohon-pohon yang rindang daunnya, aku melihat berkelebatnya seorang wanita
yang mengenakan pakaian berwarna hijau dan yang lantas saja menghilang."
Heran sungguh hati Keng Thian. "Didengar dari penuturanmu," katanya. "Wanita tersebut
sudah menggunakan senjata rahasia untuk memukul jatuh kepingan-kepingan batu itu. Apakah
kau tahu, senjata apa adanya itu?"
"Tidak," jawab Tjia In Tjin. "Tapi dari suaranya, aku dapat memastikan, bahwa senjata rahasia
itu adalah sangat halus, seperti sebangsa jarum."
Keng Thian terperanjat dan berpikir: "Wanita itu berada di dalam hutan, sehingga jarak antara
ia dan Tjia In Tjin adalah terlebih jauh daripada jarak antara si kusta dan nyonya itu. Bahwa ia
bisa memukul jatuh kepingan-kepingan batu itu dengan senjata jarum, membuktikan, bahwa
kepandaiannya sungguh-sungguh berada di sebelah atasku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah berdiam beberapa saat, Keng Thian berkata pula dengan suara perlahan: "Apakah
benar bukan Pengtjoan Thianlie?"
"Waktu itu hatiku sedang berdebar-debar dan gerakan wanita tersebut luar biasa cepatnya,"
jawabnya. "Selain itu, daun-daun pohon telah menedeng tubuhnya dan aku hanya dapat melihat
belakangnya, untuk sedetik saja. Tapi, jika tak salah, badan Pengtjoan Thianlie agak lebih
jangkung, sedang wanita itu lebih kate sedikit. Menurut dugaanku, ia bukan Pengtjoan Thianlie."
Sementara itu, sang Dewi Malam sudah doyong ke sebelah barat, sedang titik-titik sinar
"Sengteng" pun sudah mulai guram. Keng Thian betul-betul pusing otaknya.
"Dalam keadaan begitu, mungkin sekali Tjia In Tjin sudah salah melihat," katanya pula di dalam
hati. "Aku tak percaya, bahwa selain Peng Go, dalam dunia ini masih ada wanita lain yang
mempunyai kepandaian begitu."
Melihat pemuda itu berdiam saja dengan paras muka kusut, Tjia In Tjin segera berkata:
"Beberapa kali kau telah menyebutkan nama Pengtjoan Thianlie. Bukankah ia pernah mengatakan,
bahwa ia tak akan turun dari Puncak Es? Apakah ia sekarang berada disini?"
"Puncak Es sudah roboh, tentu saja ia boleh turun gunung," jawab Keng Thian. "Jika tak salah,
ia sekarang berada di antara kita!"
Tjia In Tjin menghela napas."Jika benar ia berada disini, harap saja ia tidak bertemu dengan si
kusta itu," katanya. "Pengtjoan Thianlie adalah bagaikan sekuntum bunga di selat gunung yang
indah. Jika ia melihat si kusta, jangankan sampai bertempur, melihat mukanya saja mungkin ia
sudah menjadi muntah."
Mendengar itu, di depan mata Keng Thian kembali terbayang si nona yang sedang berjalan
bersama-sama dengan Kim Sie Ie. Dalam dunia memang banyak sekali terjadi apa-apa yang di
luar dugaan. Siapa bisa percaya, bahwa Pengtjoan Thianlie bisa mempunyai perhubungan dengan
penderita kusta itu? Mengingat begitu, ia jadi sangat berduka.
"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Tjia In Tjin sembari tertawa. "Lagi memikirkan Pengtjoan
Thianlie atau si kusta? Lebih baik kau coba mengusir dia, supaya dia tidak mengacau disini."
"Ya," kata Keng Thian. "Aku sudah mengambil keputusan untuk melek terus malam ini, guna
mencari mereka."
"Mereka?" Tjia In Tjin menegasi, yang merasa heran, bahwa Keng Thian
menggabungkan Pengtjoan Thianlie dengan si kusta.
"Menurut dugaanku, malam ini mereka tidak menginap di kuil," kata pula Keng Thian. "Kurasa,
mereka masih berada di dekat-dekat sini. Keadaan Loei Tjin Tjoe tentu sudah banyak mendingan
dan menurut perhitunganku, sekarang ia sudah bisa berjalan pula. Maka itu, pergilah mencari ia
dan minta mengantarkan kalian pergi menemui Moh Tayhiap. Kejadian malam ini biar
bagaimanapun juga harus segera diberitahukan kepada Moh Tayhiap."
Sehabis berkata begitu, Keng Thian segera berlalu dan seorang diri berputar-putar di seluruh
bagian gunung, tapi sampai badannya lelah, tak seorang manusia pun dapat ia temukan.
Bukan main kalut pikirannya.
Kedatangannya sekali ini, pertama adalah untuk mencari Pengtjoan Thianlie dan kedua, adalah
untuk menghadiri Kiatyan. Di luar dugaan, dalam tempo semalam itu, ia sudah menemui begitu
banyak kejadian yang luar biasa. Jika dihitung-hitung, di pihak lawan sedikitnya terdapat tiga
orang yang berkepandaian tinggi, yaitu Hongsek Toodjin, Hiatsintjoe dan orang aneh itu yang
telah menganiaya Tjoei In Tjoe dan beberapa imam. Kepandaian mereka semuanya berada di
sebelah atasnya. Selain itu, masih ada si penderita kusta yang belum diketahui, apakah ia akan
menjadi lawan atau kawan. Maka itu, harapan satu-satunya adalah coba mencari Pengtjoan
Thianlie, supaya ia dan si nona bisa bersama-sama melawan musuh-musuh itu.
Dalam jengkelnya, ia berdongak dan berteriak: "Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!' dalam
teriakannya itu, ia telah menggunakan lweekang dari Thiansan pay, sehingga suaranya menjadi
nyaring tajam dan bisa terdengar dalam jarak belasan li. Tapi, sesudah berteriak berulang-ulang,
yang menjawab hanyalah kumandang suaranya sendiri.
Sekonyong-konyong dari puncak gunung di depan terdengar suara tertawa yang sangat
nyaring. Suara itu tak asing lagi baginya, tapi dalam keadaan was-was, Keng Thian tak dapat
memastikan, apakah itu suara Peng Go atau orang lain. Tanpa berpikir lagi, lantas saja ia
berteriak: "Peng Go Tjietjie! Aku disini! Kau keluarlah!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendadak serupa benda yang berwarna indah, datang menyambar. Setelah disambuti, benda
itu ternyata adalah karangan bunga yang sangat indah, dengan disertai tulisan seperti berikut:
"Sekali kau punya, tetap kau punya."
Bunga-bunga dan batang-batangnya masih basah dengan air embun, hal mana menandakan,
bahwa karangan bunga itu baru saja dibuat.
Hati Keng Thian meluap kegirangan. Puncak gunung di depan dan tempat dimana ia berdiri,
dihubungkan dengan batu-batu. Sambil mengempos semangat, dengan beberapa loncatan saja, ia
sudah tiba di seberang dan lantas berlari-lari masuk ke dalam hutan sambil berteriak-teriak: "Peng
Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!"
Kecuali beberapa Tjianpwee, yang dapat menandingi ilmu mengentengkan badan Keng Thian,
dengan sesungguhnya tiada berapa orang. Sesudah mencari ke seluruh peloksok hutan, orang
yang dicari itu masih tak kelihatan bayang bayangannya.
"Andaikata benar Peng Go Tjietjie, dia toh tak bisa lari begitu cepat," pikirnya. Di lain saat,
mendadak ia ingat apa-apa yang membikin ia seperti diguyur air dingin. "Ah!" katanya di dalam
hati. "Pengtjoan Thianlie adalah seorang wanita yang beradat angkuh. Tak mungkin ia
mengutarakan rasa cintanya begitu terang-terangan. Karangan bunga itu pasti bukan dibuat
olehnya! Tapi... jika bukan dia, siapakah yang begitu nakal dan mempermainkan diriku?"
Baru bergirang, ia kembali menjadi seperti orang linglung dan jalan sejalan-jalannya, tanpa
tujuan.

***

Dalam gunung itu terdapat seorang lain yang diliputi kedukaan dan kekecewaan yang lebih
hebat daripada Keng Thian. Orang itu adalah Kim Sie Ie.
Semenjak bertemu dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Tjiakdjie san, ia terus mengintil di
belakang si nona, tempo-tempo muncul, kadang-kadang menghilang, terus sampai di gunung
Gobie san.
Hari itu, ketika baru memasuki Gobie san, oleh karena kuatir diketahui si nona, Kim Sie Ie
hanya berani mengikuti dari jarak kira-kira setengah li jauhnya. Gobie san adalah sebuah gunung
yang angker dan berbahaya, penuh dengan pohon-pohon besar, cadas-cadas tajam dan jalan
yang berliku-liku. Mendadak ia kehilangan Pengtjoan Thianlie dan dayangnya. Ia mempercepat
tindakannya dan mencari ubek-ubekan. Baru ia masuk ke suatu lembah, cuaca sudah mulai gelap.
Di sebelah jauh, ia melihat air terjun yang turun dari atas gunung. Ia mendekati dan disitu ia
mendapatkan suatu kobakan yang airnya jernih dan yang dikitari pohon-pohon bunga hutan, yang
seakan-akan merupakan sebuah sekosol sulam.
Sekonyong-konyong di antara pohon-pohon bunga terdengar suara tertawa seorang wanita.
"Siauwkongtjoe (Puteri kecil)," demikian wanita itu berkata. " 'Ku sudah kata, Tong Siangkong
pasti datang lebih dulu disini untuk menunggu kau." Suara itu bukan lain daripada suara Yoe Peng,
sedang orang yang dipanggil "Puteri kecil" tentu Pengtjoan Thianlie sendiri.
Jantung Kim Sie Ie memukul keras. Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan sepatah kata.
Berselang beberapa saat, Yoe Peng berkata pula sembari tertawa: "Sebenar-benarnya
walaupun kau membenci dia, kau toh seharusnya menanya dulu biar terang."
Kim Sie Ie yang bersembunyi di belakang batu, menahan napas supaya persembunyiannya
tidak diketahui si nona.
Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang, disusul suara Peng Go yang sangat
perlahan: "Tak usah kau campur tahu."
Lagi-lagi Yoe Peng tertawa geli. "Siauwkongtjoe," katanya "Kenapa kau jadi begitu? Terang-
terang, aku mengetahui kau menyukai dia!"
"Jangan rewel!” bentak si nona.
"Andaikata kau tidak menyukai dia, aku tahu, kau tidak membenci dia," kata si dayang.
Mendengar itu, jantung Kim Sie Ie kembali memukul keras. Ia merasa, perkataan Yoe Peng
adalah beralasan.
Pengtjoan Thianlie tetap menutup mulut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Ah, Siauwkongtjoe!" kata Yoe Peng dengan suara penasaran. "Sekarang biarlah aku berterus
terang: Jika kau tetap mengumbar napsu terhadap Tong Siangkong, ada seorang siauwdjin (orang
rendah) yang akan merasa girang."
"Apa?" si nona menegas.
"Benarkah Siauwkongtjoe tak tahu?" jawabnya. "Ada seorang, seekor anjing pemburu yang
terus menguntit kita... tidak! Bukan, bukan anjing pemburu, tapi kodok buduk, seekor kodok
buduk yang mengimpi ingin gegares daging angsa langit!”
Mendadak saja, Kim Sie Ie tak dapat menguasai diri lagi. Dengan sekali mengenjot badan, ia
sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak sekuat-kuatnya: "Apa? Aku
kodok buduk?"
Daun-daun terdengar berkresekan dan Peng Go bersama dayangnya keluar dari antara pohon-
pohon bunga.
Yoe Peng tertawa dingin dan berkata: "Siauwkongtjoe, lihatlah! Bukankah benar, apa yang
kukatakan tadi? Tak bedanya seperti anjing pemburu yang hidungnya tajam. Kemana juga kita
pergi, dia selalu dapat mengendusnya. Anjing pemburu sebenarnya lebih tinggi setingkat daripada
kodok buduk."
Kim Sie Ie tertawa dingin. Dengan paras muka berubah pucat, ia mengangkat tongkatnya.
Melihat begitu, buru-buru Peng Go loncat menyelak di depan Yoe Peng. "Mau apa kau?" tanyanya.
"Kau adalah angsa langit, tak berani aku, si kodok buduk, melihat wajahmu," kata Kim Sie Ie.
"Tapi dayangmu adalah seekor bebek. Aku si kodok buduk, ingin menelan dia!"
"Kim Sie Ie!" kata si nona dengan suara tawar. "Apakah kau masih memandang aku atau
tidak?"
Selama hidupnya, Kim Sie Ie selalu bertindak dengan menuruti kemauannya sendiri saja.
Dengan memiliki ilmu silat seperti yang dimilikinya, dengan mudah ia akan dapat melukakan Yoe
Peng. Tapi mendengar teguran Peng Go, entah kenapa, ia menjadi keder. Ia merasa, bahwa
Pengtjoan Thianlie mempunyai keagungan dan keangkeran yang wajar, yang tak dapat dilanggar
oleh siapapun juga. Hatinya ingin menyindir, tapi sindiran itu tak bisa keluar dari mulutnya. Maka
itu, ia hanya berkata: "Dayangmu telah mencaci aku. Aku..."
"Kau ingin mengajar adat?" si nona memotong. "Dayangku tak perlu diajar oleh orang lain."
Kim Sie Ie kembali naik darah, tapi ia tak berani mengumbar kegusarannya. Sambil menahan
amarah, ia menanya dengan mengutib perkataan Peng Go sendiri: "Pengtjoan Thianlie! Apakah
kau masih memandang aku atau tidak?"
Peng Go melirik dan kemudian dengan tawar: "Kita bertemu hanya secara kebetulan saja. Soal
pandang memandang sebenarnya bukannya soal di antara kita."
Kim Sie Ie bungkam sejenak. Rasa jelus, membenci dan gusar berkumpul di dalam dadanya.
Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar, ia berteriak: "Dalam matamu, memang hanya terdapat si
bocah she Tong!"
"Tak ada sangkut pautnya dengan kau!" jawab si nona sembari tertawa tawar. Sehabis berkata
begitu, Peng Go menghela napas panjang, kedua matanya mengawasi Kim Sie Ie dengan sorot
kasihan.
Meskipun berusia lebih muda dari Kim Sie Ie, dengan suara seperti seorang kakak yang sedang
menasehati adiknya, ia berkata: "Ah! dengan kepandaianmu, sebenarnya kau bisa menjadi
seorang pendekar di jaman ini, jika kau berjalan dijalan lurus. Dan jika kau terus mempelajari
ilmu, kau bisa menjadi seorang guru besar dari suatu cabang persilatan. Tapi kenapa, kenapa kau
mengeluarkan lagak buaya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Itulah kata-kata yang ia baru pernah mendengar. Dalam mengeluarkan
kata-kata itu, nada suara Pengtjoan Thianlie penuh dengan rasa sayang. Tapi pada saat itu, mana
Kim Sie Ie dapat menerimanya dengan otak dingin? Mendadak saja, ia merasakan darahnya
mengalir deras dan dadanya seperti mau meledak.
"Kenapa lagak buaya?" tanyanya, dengan mata merah.
Seingatnya, ia selalu membenci dunia dengan segala umat manusia yang hidup di dalamnya.
Belum pernah ia menanya diri sendiri, apakah sepak terjangnya benar atau tidak. Maka itu,
baginya, kata-kata Peng Go adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Di lain pihak, ditanya begitu, Peng Go jadi kemekmek. Tak dapat ia menjawab pertanyaan Kim
Sie Ie. Harus diingat, bahwa pendidikan yang Peng Go dapat adalah berlainan dengan pendidikan
Kim Sie le. Bahwa ia sudah menggunakan kata-kata yang kasar itu, sebenarnya sudah melampaui
garis kebiasaannya. Maka itu, tak mungkin si nona memberi penjelasan lebih lanjut mengenai
lagak buaya Kim Sie Ie.
Dengan sorot mata gila, Kim Sie Ie mengawasi Pengtjoan Thianlie, sehingga Yoe Peng menjadi
takut. "Kau terus mengintil di belakang kami," katanya. "Apakah itu bukan lagak buaya?"
"Jalan bukan milikmu," sahutnya. "Kau jalan sejalanmu, aku jalan sejalanku. Kenapa lagak
buaya?"
Koei Peng Go jadi merasa kurang senang. "Sie le-heng," katanya. "Jalan ada banyak sekali.
Sebaiknya, kita masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri."
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara teriakan nyaring dan bagaikan seekor kera, tanpa
menengok lagi, ia terus memanjat puncak gunung yang berdekatan.
Seperti manusia edan, ia memanjat dan memanjat terus. Ia berteriak, ia tertawa, menandak
dan bergulingan, sehingga pakaiannya yang indah jadi rubat-rabit, muka dan sekujur badannya
ketusuk duri sehingga mengeluarkan darah, tapi semua itu, sedikitpun tidak diperdulikannya. Ia
merasa rohnya seakan-akan mau berontak keluar dari raganya. Ia ingin sekali agar, pada detik itu
juga, seluruh badannya hancur lebur menjadi debu untuk disebarkan ke seluruh bumi.
Seperti orang berotak miring, ia merobek-robek bajunya dan kemudian berdiri di pinggir
kobakan, bercermin di air yang bening bagaikan kaca. "Tiada beda dengan manusia lain, tubuhku
telah dilahirkan oleh ayah bundaku," ia berteriak. "Tapi kenapa manusia begitu menghina diriku?"

***

Di detik itu, segala pengalamannya yang lampau, berbayang pula di depan matanya. Ia ingat
masa bocahnya. Lain orang melewati masa kecilnya dengan penuh kebahagiaan, ia justru
sebaliknya. Apa yang dialaminya sepanjang masa itu, adalah kepahitan dan kegetiran. Siang-siang
ibunya sudah meninggal dunia, sedang ayahnya adalah seorang guru sekolah miskin yang mencari
makan di kampung orang.
Waktu ia berusia lima tahun, karena ayahnya berpenyakitan dan hasilnya sebagai guru sekolah
tidak mencukupi ongkos penghidupan, ayahnya itu telah mengambil putusan untuk pulang ke
kampung kelahirannya. Karena tidak mempunyai kemampuan lain, maka mau tak mau, ayah dan
anak itu terpaksa harus mengemis di sepanjang jalan. Di tengah jalan, sang ayah sakit keras dan
akhirnya meninggal dunia. Masih untung, berkat pertolongan seorang kawan pengemis, ia sendiri
tak sampai mati kelaparan.
Demikianlah, dengan pakaian rombeng dan badan kurus kering, ia menuntut penghidupan
sebagai pengemis kecil, yang hidupnya tergantung dari belas kasihan orang. Sesudah tiga tahun
hidup begitu, di badannya mulai tumbuh bisul-bisul dan pada mukanya timbul bintik-bintik merah
yang menonjol. Tentu saja ia tak mengerti apa artinya gejala-gejala itu. Ia hanya merasa heran
karena kawan-kawannya tak mau bergaul lagi dengan dirinya, bahkan selalu menyingkir jauh-jauh.
Pada suatu hari, seorang pengemis tua berkata kepadanya: "Kurasa kau menderita penyakit
kusta. Sekarang kau tidak dapat mengemis lagi, sebab kau bisa mati digebuk orang!”
Tentu saja ia jadi sangat ketakutan. Sekarang baru ia tahu, kenapa kawan-kawannya selalu
menyingkir jika di dekatnya. Mulai dari waktu itu, ia menyembunyikan diri di waktu siang dan baru
berani keluar di waktu malam untuk mencari sayur atau buah-buahan di kebun orang. Beberapa
kali, hampir-hampir ia binasa dihajar pemiliknya. Kadang-kadang, jika ia berpapasan dengan orang
lain di waktu siang hari, ia tentu akan dicaci sebagai "Siauwmahong (penderita kecil). Orang-orang
yang bernyali kecil menyingkir jauh-jauh, sedang yang berhati tabah mengejarnya dengan niat
akan menguburnya hidup-hidup. Untung juga, ia bisa lari keras sekali dan beberapa kali ia berhasil
meloloskan diri dari "lubang jarum."
Berbulan-bulan ia hidup sebagai orang liar. Dapatlah dibayangkan, betapa besar
penderitaannya pada waktu itu. Dalam otaknya yang masih sangat sederhana, sering-sering ia
mendapat pikiran nekat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pada suatu hari, dengan perut kosong dan badan kedinginan, ia mendaki sebuah gunung yang
tinggi. Akhirnya, tibalah ia di atas sebuah batu cadas yang sangat besar, didampingi air terjun
yang jatuh ke dalam jurang yang dalamnya ratusan tombak. Sampai disitu habislah tenaganya,
dan mau tidak mau ia harus berhenti. Lama ia berdiri disitu dengan kedukaan yang tak
terlukiskan.
Mendadak, ia jadi nekat. Sembari berteriak: "Ayah! Ibu!", ia melompat ke bawah!

***

Melamun sampai disitu, tiba-tiba Kim Sie Ie sadar dan ia merasa, bahwa tanah di bawah
kakinya, agak bergetar. Ia memperhatikan sekelilingnya dan mendapat kenyataan, bahwa di
hadapannya terdapat air terjun, yang mencurahkan airnya ke dalam sebuah jurang yang dalamnya
ratusan tombak.
Ia menghela napas panjang-panjang. "Dulu, ada yang menolong aku," katanya di dalam hati.
"Sekarang, siapakah yang akan menolong?" Berpikir begitu, ia ingat pula kepada pertemuan luar
biasa itu yang telah mengubah seluruh penghidupannya.

***

Begitu ia melompat dari batu cadas itu, selagi badannya berada di tengah udara, dalam
keadaan setengah sadar, ia merasa, bahwa sebuah tangan yang besar lagi kuat, menjambret
bajunya. Bagaikan dalam mimpi, ia merasakan tubuhnya dilontarkan ke ruang kosong tak
berdasar, tidak pula berbatas. Kepalanya pusing, kupingnya mendesing dan ia tak ingat orang
lagi...
Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, ketika sayup-sayup ia mendengar seseorang
berkata: "Sungguh kasihan anak ini!"
Ia merasakan pundaknya ditepuk-tepuk dan mulutnya disuapi makanan. Kejadian itu telah
menimbulkan lagi hal-hal di jaman lampau yang sebenarnya sudah lama hilang dari ingatannya. Ia
ingat pula kepada saat-saat penuh bahagia, ketika ia didukung ibunya, ditepuk-tepuk dan diberi
makanan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia terkejut, karena yang dilihatnya adalah
pemandangan sebagai dalam impian. Ia mendapatkan dirinya sedang berbaring di sebuah perahu
kecil dan sekelilingnya hanyalah laut biru yang berombak kecil-kecil. Dalam perahu itu terdapat
seorang kakek yang beroman aneh dan sedang memandangnya dengan sorot mata menyayang.
Ia mengucak-ngucak matanya dan memandang orang tua itu, yang berbadan tinggi besar dan
mengenakan pakaian linen. Rambut kakek itu panjang luar biasa, terurai sampai di pundak. Jika
dalam keadaan biasa, ia bertemu dengan orang begitu, sudah pasti ia akan menjadi ketakutan.
Tapi sekarang, sorot mata si kakek justru menimbulkan rasa hangat di dalam hatinya dan ia
merasa, bahwa berdampingan dengan orang tua itu ia seolah-olah berdampingan dengan ibunya
sendiri.
Si kakek tertawa seraya berkata: "Anak, kau sekarang sudah mendusin. Apakah kau lapar?"
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Orang tua itu segera mengambil sebuah kendi merah dan menuangkan isinya ke dalam
mulutnya. Cair itu berasa seperti arak dan sesudah mencegluk beberapa kali, semangatnya lantas
saja terbangun. "Siapakah kau?" tanyanya. "Apakah kau yang sudah menolong aku?"
Si kakek mengangguk sambil tertawa. "Anak, sudah sejak beberapa hari aku memperhatikan
dirimu," katanya. "Bahwa seorang diri kau berani bergulat untuk hidup di pegunungan yang
berbahaya, membuktikan, bahwa kau mempunyai nyali yang besar. Tapi kenapa kau mengambil
putusan pendek? Jika aku terlambat sedikit saja, badanmu tentu sudah hancur di dalam jurang."
Ia menggigit jarinya dan ia merasa sakit. Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa ia bukan
sedang bermimpi.
"Sudah lima hari kau pingsan," kata si kakek sembari mesem pula.
"Badanmu ulet sekali. Jika anak lain yang mengalami kejadian ini, dia pasti tak akan bisa sehat
kembali begitu cepat."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Ia merangkak bangun. "Kenapa kau menolong aku?" tanyanya sembari mengawasi orang itu.
"Kenapa kau tak takut? Aku adalah penderita kusta!"
Si kakek tertawa seraya berkata dengan perlahan: "Bukan, kau bukan penderita kusta. Aku,
akulah, yang benar-benar seorang penderita kusta."
Ia terperanjat dan menatap wajah orang tua itu. Meskipun beroman luar biasa dan berambut
panjang, muka orang tua itu kelihatan sehat dan bersinar merah, sedang kulitnya licin lagi halus,
sedikitpun tak terlihat tanda-tanda penyakit kusta kepadanya.
"Dulu, aku benar pernah menderita penyakit kusta, tapi sekarang sudah sembuh," si kakek
menerangkan. "Kau hanya mendapat penyakit kulit, karena hidup di tempat kotor. Sesudah mandi
dengan air laut beberapa kali dan berjemur beberapa hari, kau akan segera sembuh. Ah! Sungguh
sayang, bahwa kau bukan penderita kusta!" Sehabis berkata begitu, ia menghela napas panjang-
panjang.
Waktu itu, Kim Sie Ie baru saja berusia sebelas tahun. Tapi perkataan si kakek menimbulkan
rasa heran dalam hatinya. "Kenapa ia merasa menyesal, karena aku tidak menderita penyakit
kusta?" tanyanya di dalam hati sembari mengawaskan orang tua itu.
"Dulu aku pernah menderita penyakit kusta," kata kakek itu. "Aku telah mengalami penderitaan
yang sepuluh kali lebih hebat daripada penderitaanmu.
Belakangan aku lari ke sebuah pulau dan bersumpah tak akan menemui manusia lagi.
Bertahun-tahun aku bersembunyi dan beberapa belas tahun berselang, baru seorang pendekar
wanita menyadarkan aku dari kekeliruanku. Aku insyaf, bahwa hidup mengasingkan diri adalah tak
benar. Aku mengubah pendirianku dan akupun bersumpah untuk menolong para penderita
penyakit kusta, sebisaku dan sebanyak mungkin. Selama sepuluh tahun ini, sudah banyak juga
orang yang telah kutolong. Kini aku sudah merasa, bahwa hidupku sudah tak lama lagi. Aku ingin
sekali mengambil seorang anak yang berpenyakit kusta untuk dijadikan murid. Hanya, sayang aku
belum bisa menemukan seorang yang cocok."
Kim Sie Ie adalah seorang cerdik. Begitu mendengar perkataan orang tua itu, ia segera berlutut
di hadapannya. "Semua orang mencaci aku sebagai penderita kusta," katanya dengan suara
memohon. "Jika kembali ke darat, aku tentu akan mati digebuk orang. Soehoe, jika kau menolak,
lebih baik aku menceburkan diri ke dalam laut!"
Si kakek berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Baiklah. Tapi kau harus mempunyai nyali
untuk hidup bersama-sama dengan aku di pulau terpencil itu."
"Sedang mati 'ku tak takut, masakah aku takut hidup di pulau?" kata Kim Sie Ie. Demikianlah,
ia lalu menjalankan upacara mengangkat guru di perahu itu.
Dalam beberapa hari, dengan mandi di air laut dan berjemur di sinar matahari, Kim Sie Ie
sudah sehat kembali. Bukan saja tenaganya sudah kembali, malah bisul-bisulnya juga sudah
rontok semua dan kulitnya berubah licin. Berselang beberapa hari lagi, sebuah pulau kecil sudah
kelihatan di sebelah jauh. Setelah berada tak jauh dari pulau itu, Kim Sie Ie mengendus bau wangi
yang dibawa angin laut, tapi di antara bau wangi itu tercium juga bau amis. Ia melihat, bahwa
pulau itu ditumbuhi pohon-pohon yang rindang daunnya dan sebuah sungai kecil juga terdapat
disitu. Ombak laut kecil-kecil tiada habisnya bermain di pantainya, pantai berpasir putih.
Pemandangan indah, tenang dan menyenangkan itu, membikin hati Kim Sie Ie sangat gembira.
"Aduh! Bagus benar tempat ini!" ia berseru.
"Bagus atau tak bagus, sebentar baru kau dapat menentukannya," kata si kakek sembari
tertawa. Ia meloncat turun dari perahu itu dan sesaat kemudian ia sudah berjalan di pesisir sambil
menuntun muridnya. Mendadak, dari dalam hutan terdengar suara berkresekan yang sangat luar
biasa dan di detik berikutnya, ribuan ular keluar menyambut mereka! Alangkah hebatnya
pemandangan itu, beribu jenis ular dengan aneka warna kulit mereka, merayap, berbelit-belit
mendatangi sambil mendesis tiada sudahnya Seluruh pantai dipenuhi binatang menjijikan itu.
Kim Sie Ie kehilangan semangatnya, tapi si kakek sedikitpun tidak merasa takut dan sembari
bersenyum, ia maju mendekati. Sungguh mengharukan, ular-ular itu serentak menunduk dan
mengangguk-angguk seperti juga memberi hormat kepada si tua.
"Anak, apakah kau takut?" tanya orang tua itu sembari tertawa
"Takut apa?" jawabnya "Paling ganasnya, mereka juga sama dengan manusia-manusia di dunia
yang menghendaki jiwaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si kakek tertawa terbahak-bahak. "Jalan pikiranmu sama benar pikiranku, ketika aku baru
mendarat disini," katanya.
Mulai dari saat itu, Kim Sie Ie menetap di pulau tersebut dan belajar silat di bawah pimpinan
gurunya. Juga nama "Kim Sie le" itu adalah pemberian gurunya.
Sesudah lewat beberapa bulan, ia baru mengetahui, bahwa sang guru bernama Tokliong
Tjoentjia, sedang pulau itu adalah Tjoato (Pulau Ular), yang terletak di antara Laut Kuning dan
Pokhay, dan semenjak dulu hampir tak pernah didatangi orang lain.
Di waktu mudanya, Tokliong Tjoentjia adalah seorang guru silat. Belakangan, karena terserang
kusta, ia telah digebah dari rumahnya dan diubar-ubar oleh manusia yang takut ketularan dan
merasa jijik melihat bisul-bisulnya. Bertahun-tahun ia bersengsara, dikejar kian kemari, sampai
akhirnya ia tiba di pulau itu. Dalam kenekatannya, ia berkawan dengan kawanan ular itu.
Kemudian, dengan pertolongan ular, ia berhasil menyembuhkan penyakitnya. Ilmu silatnya yang
sangat luar biasa, telah diciptakannya sendiri di pulau tersebut.
Tokliong Tjoentjia menurunkan seantero kepandaiannya kepada muridnya. Kim Sie Ie yang
berotak cerdas, gampang sekali menerima pelajaran, sehingga sang guru menjadi girang sekali.
Menurut kebiasaan setiap tahun sekali atau dua kali Tokliong Tjoentjia pergi ke Tiongkok darat
dan setiap kalinya selama sebulan atau dua bulan. Selama gurunya menjalankan tugas sebagai
penolong sesama manusia, Kim Sie Ie sendiri terus berlatih silat di pulau itu, dengan dikawani oleh
ribuan ular. Di waktu senggang, Tokliong Tjoentjia sering menceritakan pengalaman-
pengalamannya dalam melaksanakan hasratnya, menolong para penderita kusta yang hidup
seperti dalam neraka. Ia juga sering menuturkan segala kepahitan yang pernah dialaminya sendiri,
selama ia sendiri masih berpenyakit kusta, antara lain bagaimana hampir-hampir ia mati dibakar
oleh orang-orang yang merasa jijik terhadapnya. Semua kisah itu, ditambah dengan
pengalamannya sendiri, sudah membikin Kim Sie le sangat membenci manusia dalam
keseluruhannya. Ia berharap, supaya ia bisa terus tinggal di pulau itu dan tak usah menemui lagi
manusia untuk selama-lamanya.
Tanpa terasa, tujuh tahun lewat dengan cepat sekali. Selama tujuh tahun itu, tiada hentinya
Kim Sie Ie belajar ilmu silat dan tanpa disadarinya ia sekarang sudah menjadi ahli silat kelas satu.
Mendadak datanglah suatu hari yang telah mengubah seluruh jalan penghidupannya.
Pada suatu magrib, ketika sang matahari tengah menyelam di sebelah barat dan tampak
seolah-olah sebuah bola api, Kim Sie Ie dipanggil gurunya.
Begitu berhadapan, ia melihat perubahan luar biasa yang terjadi pada muka gurunya.
"Sekarang kau sudah mewarisi semua kepadaianku," kata sang guru dengan perlahan. "Jika kau
kembali ke Tiongkok darat dan berkelana di kalangan Kangouw, kurasa di waktu ini sedikit sekali
orang yang bisa menandingi ilmu silatmu."
"Soehoe," kata Kim Sie le dengan bingung. "Kebanyakan manusia dalam dunia jahat sekali.
Lebih baik aku terus berdiam disini seumur hidupku."
Tokliong Tjoentjia mengangguk dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Benar,
benar, memang sangat banyak manusia berhati jahat," katanya dengan sabar. "Malah dalam
Rimba Persilatan juga terdapat banyak sekali manusia busuk. Tapi kau harus ingat, bahwa tidak
semua manusia berhati jahat. Antaranya, Lu Soe Nio dan Kam Hong Tie adalah orang-orang yang
berhati mulia."
Semenjak berdiam di pulau itu, Kim Sie Ie belum pernah mendengar gurunya bercerita tentang
orang-orang Rimba Persilatan. Maka sekali ini, ia menjadi sangat heran. Baru saja ia ingin
menanyakan siapa-siapa Lu Soe Nio dan Kam Hong Tie itu, gurunya sudah berkata pula: "Di
samping mereka, ada pula orang-orang dari Thiansan pay. Ah! Jika kau tidak mencari orang-orang
Thiansan pay, kau bisa celaka!"
Kim Sie Ie tak mengerti apa maksud gurunya. "Kenapa?" tanyanya.
"Orang yang sudah mahir dalam ilmu silat gubahanku, rasanya tak akan kalah dari pendekar-
pendekar Thiansan," jawabnya. "Tapi... Tapi..."
"Tapi kenapa?" si murid menanya lagi.
Tokliong Tjoentjia mengerutkan alisnya. "Tak lama lagi, kau akan mengerti sendiri," katanya.
"Ah! Di antara murid-murid Thiansan, entah siapa yang masih hidup. Bagaimana sikap mereka?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Apakah mereka akan merasa girang melihat kecelakaan dan membiarkan musnahnya ilmu silat
partai kita, agar partai mereka bisa hidup sendiri dalam dunia ini?"
"Apa?" tanya Kim Sie Ie. "Apakah dalam Thiansan pay tak ada orang jahat? Teetjoe (murid)
bersedia mengikut Soehoe untuk mencari mereka dan menjajal kepandaian mereka."
Tokliong Tjoentjia kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sebentar akan kujelaskan,"
katanya. "Sekarang panggillah dulu kawanan ular."
Sesudah tujuh tahun berdiam di Pulau Ular, Kim Sie Ie sudah mahir dalam ilmu menjinakkan
ular. Tapi baru saja ia ingin memutarkan badannya untuk menjalankan perintah gurunya, tiba-tiba
ia melihat uap putih yang keluar dari kepala sang guru.
"Sie Ie," Tokliong Tjoentjia berkata dengan mendadak. "Kau harus ingat segala penderitaanmu
di waktu kecil."
"Teetjoe tak akan melupakannya," jawab si murid.
"Pergilah!" perintah sang guru sembari mengebaskan tangannya. "Lekaslah kembali, karena
aku masih ingin bicara pula!"
Kim Sie Ie segera meninggalkan gurunya dan pergi ke berbagai tempat untuk memanggil
kawanan ular. Ternyata, ular-ular itu mengerti maksud manusia dan tak lama kemudian, mereka
sudah berkumpul diluar hutan dalam rombongan-rombongan yang masing-masing di kepalai
seekor ular besar.
Sesudah menjalankan tugasnya, Kim Sie Ie lalu kembali ketempat gurunya. "Soehoe!" ia
berteriak. "Kawanan ular sudah datang." Tetapi, segera juga ia terperanjat dan berdiri laksana
patung dengan mata membelalak.
Kedua mata Tokliong Tjoentjia terbuka lebar-lebar, biji matanya tak bergerak, sedang keringat
membasahi sekujur badannya. "Soehoe! Kau kenapa?" teriak si murid.
Tokliong Tjoentjia tak menjawab. Dengan jantung berdebar keras, Kim Sie le menubruk sang
guru dan meraba badannya yang ternyata sudah kaku. Ia sudah meninggal dunia! Di samping
jenazahnya terdapat tongkat besinya yang biasa digunakannya dan di bawah tongkat itu terdapat
sejilid kitab dengan tulisan "Tokliong Pitkip (Kitab Naga Beracun) di kulit luarnya. Sesaat
kemudian, Kim Sie Ie mendapat kenyataan, bahwa di atas tanah terdapat tulisan yang terbaca
seperti berikut:
"Sesudah kepandaianmu sempurna, pergilah mencari orang Thiansan pay dan perlihatkan kitab
ini kepadanya. Minta..."
Huruf "minta" agak guram dan bentuknya miring, sehingga bisa ditarik kesimpulan, bahwa,
tengah menulis huruf itu, Tokliong Tjoentjia sudah kehabisan tenaga.
Kim Sie le menangis sedih sekali, sedang semua ular dengan serentak menundukkan kepala
sebagai penghormatan penghabisan terhadap majikan itu.
Sekarang Kim Sie le baru mengerti, bahwa gurunya telah memanggil kawanan ular untuk
berpamitan. Sang guru telah mengatakan bahwa sebelum menutup mata, ia masih ingin bicara
dengannya dan kini ia merasa sangat menyesal, bahwa ia tak bisa mendengar pesan terakhir
gurunya itu. Dengan penuh kedukaan, ia mengubur mendiang gurunya. "Soehoe! Ia berteriak
dengan suara menyayatkan hati, sesudah jenazah Tokliong Tjoentjia diuruk dengan tanah. "Aku
tentu ingat segala perkataanmu. Aku tentu tak akan melupakan, bahwa kau dan aku telah
merasakan penderitaan yang sama. Aku mengerti maksudmu. Aku benci semua manusia dalam
dunia!"
Kim Sie Ie tentu saja tidak mengetahui, bahwa ia telah salah menafsirkan perkataan gurunya!
Memang benar Tokliong Tjoentjia pernah melarikan diri ke pulau itu karena diubar-ubar manusia
dan ia memang pernah membenci manusia. Akan tetapi, tujuh belas tahun berselang, Lu Soe Nio,
Kain Hong Tie, Phang Eng, Tong Siauw Lan dan beberapa pendekar lain pernah datang di Tjoato.
Pada waktu itu, Lu Soe Nio dan Phang Eng telah merobohkan Tokliong Tjoentjia dan berbareng
menolong juga jiwanya. Belakangan mereka telah memberi nasehat panjang lebar, sehingga
Tokliong Tjoentjia memperoleh kembali sifat kemanusiaannya. Kebenciannya berubah menjadi
kecintaan dan dengan segenap tenaganya, ia telah menolong para penderita kusta. Sebelum
menghembuskan napasnya yang terakhir, ia ingin meninggalkan pesan kepada Kim Sie Ie, supaya
si murid tidak melupakan penderitaannya di waktu kecil dan meneruskan pekerjaannya menolong
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

para penderita kusta. Tapi sungguh sayang, pesan terakhir itu tak keburu diucapkan, sehingga
Kim Sie Ie jadi salah mengerti!
Sesudah penguburan itu beres, Kim Sie Ie lalu mempelajari Tokliong Pitkip. Ia mendapat
kenyataan, bahwa meskipun sebagian besar pelajaran ilmu silat dalam kitab itu sudah
diketahuinya, tapi berapa bagian yang sulit masih belum dapat diselaminya. Bagian-bagian itu
diterangkan secara jelas dalam kitab tersebut. Di samping itu, dalam Tokliong Pitkip juga terdapat
pelajaran untuk membuat dan menggunakan macam-macam senjata rahasia beracun. Tiga tahun
lamanya, dengan bantuan kitab tersebut, Kim Sie Ie mempelajari segala apa yang belum keburu
diyakinkannya di bawah pimpinan sang guru. Berkat kegiatannya, ia memperoleh kemajuan yang
mentakjubkan. Dengan pukulan tangan kosong, ia sekarang bisa merobohkan pohon yang besar
dan dengan jarum beracun, i;i Ihmi membinasakan buaya yang berenang di air.
Berselang lagi beberapa lama dalam kesepiannya, Kim Sie Ie sering melamun. "Di pulau ini
soehoe telah menggubah ilmu silat yang begitu liehay," pikirnya pada suatu hari. "Sebagai murid,
aku berkewajiban membikin semua manusia di dunia mengetahui keliehayan soehoe. Dengan
demikian, barulah capai lelahnya tidak tersia-sia." Di lain saat, ia berpikir pula: "Menurut kata
soehoe, berbagai cabang persilatan di wilayah Tionggoan sebenarnya tidak seberapa liehay. Dulu,
semua manusia telah memandang rendah kepada soehoe dan mengejar-ngejarnya. Paling baik,
aku sekarang main-main ke daerah Tionggoan dan menghantam mereka sampai kalang kabut.
Sesudah aku merobohkan semua orang gagah di kolong langit, baru aku akan mengumumkan
asal-usul soehoe. Hanya dengan berbuat begitu aku bisa membikin nama soehoe menjadi harum
untuk selama-lamanya."
Demikianlah, dengan adanya angan-angan begitu, dalam hati Kim Sie Ie segera timbul niatan
untuk meninggalkan Pulau Ular.
Akan tetapi, semenjak gurunya meninggal dunia, selama tiga tahun, ia selalu merasa tertekan
karena ada dua teka-teki yang tak dapat dijawabnya sendiri. Teka-teki itu adalah perkataan
Tokliong Tjoentjia sebelum menarik napas yang penghabisan.
Kenapa sang guru telah memesan, supaya sesudah kepandaiannya sempurna, ia pergi mencari
orang Thiansan pay? Kenapa, jika tidak berbuat begitu, menurut gurunya ia bisa celaka? Ia
mengingat-ingat dan merasa, bahwa ketika mengeluarkan perkataan itu, sang guru sama sekali
tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Thiansan pay. Selain itu, kenapa ia harus
memperlihatkan Tokliong Pitkip kepada orang Thiansan pay? Ia benar-benar heran. Walaupun
belum pernah berkelana di Rimba Persilatan, ia mengetahui, bahwa setiap partai sangat
merahasiakan ilmu simpanan masing-masing dan tak akan gampang-gampang membocorkannya
kepada orang luar. Apakah tak mungkin, jika tulisan gurunya itu telah ditulis dalam keadaan
setengah sadar? Huruf "minta" sudah menimbulkan rasa tak rela di dalam hati Kim Sie Ie. Ia tak
tahu, sang guru ingin memerintah ia "minta" apa dari Thiansan pay. Ia hanya merasa, bahwa ilmu
silat Tokliong Tjoentjia yang sedemikian tingginya tak memerlukan apapun juga dari orang lain.
Yang lebih mengherankan lagi adalah meninggalnya sang guru secara begitu tiba-tiba. Ia yakin,
bahwa semua manusia tak dapat melawan takdir. Jika sudah sampai temponya, setiap manusia
memang harus berpulang ke alam baka. Akan tetapi, dengan memiliki ilmu yang tak bisa diukur
tingginya, kenapa sang guru tak dapat bertahan untuk beberapa saat, guna menyampaikan pesan
terakhir kepadanya.
Ketika baru datang, Kim Sie Ie memang berniat untuk berdiam terus di Pulau Ular sepanjang
hidupnya. Akan tetapi, sesudah gurunya meninggal dunia, perlahan-lahan ia merasa kesepian dan
tak betah. Ketika baru datang, ia masih berusia sebelas tahun. Sekarang, sesudah lewat sepuluh
tahun, ia sudah menjadi seorang pemuda yang berusia dua puluh satu tahun. Perasaan dan
pikiran seorang dewasa berbeda jauh dengan angan-angan anak kecil. Dulu, ia sudah merasa puas
dengan dunianya yang sempit kecil. Dulu, hari-hari dapat dilewatinya dengan gembira, ia bermain
dengan ular, menangkap burung, berenang, main pasir dan sebagainya. Tapi sekarang, saban-
saban ia teringat kepada dunia luar, dunia yang luas dan ramai, meskipun dunia itu agak asing
baginya dan sangat dibencinya.
Demikianlah, ditambah dengan beberapa teka-teki itu yang selalu mengganggu pikirannya,
sesudah kurang lebih tiga tahun Tokliong Tjoentjia meninggal dunia, ia tak tahan lagi. Dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

membawa tongkat dan kitab gurunya, ia naik sebuah perahu kecil, menyeberangi laut untuk
merantau ke daratan Tiongkok
Sepuluh tahun adalah jangka waktu yang tidak terlalu pendek dan juga tidak terlalu panjang.
Akan tetapi, bagi Kim Sie Ie, jangka waktu itu telah mengubahnya sama sekali. Dari seorang anak
berpenyakit kusta yang dikejar dan dihina orang, ia sekarang sudah menjadi pemuda tampan yang
mempunyai kepandaian sangat tinggi.
Tapi pemuda itu mempunyai suatu tujuan edan. Ia menantang dunia yang pernah
menghinanya! Dengan lweekang-nya yang sangat tinggi, ia bisa mengubah mukanya, sehingga
kelihatan sebagai penderita kusta. Celakalah orang yang berani menghinanya! Delikan dibalas
dengan delikan, gigi dibayar dengan gigi! Banyak orang yang berpapasan dengan dia, lantas saja
dianggapnya berdosa, menangis salah, tertawa pun keliru. Kemana saja ia pergi, ia tentu mencari
jago-jago setempat untuk diajak mengadu kepandaian. Begitulah, dalam beberapa tahun saja,
nama Toktjhioe Hongkay sudah menggetarkan seluruh dunia Kangouw. Dalam menjajal ilmu,
belum pernah ia menemukan tandingan. Semakin besar nama seorang jago dari kalangan
Kangouw, semakin hebat orang itu dipermainkan, sehingga banyak orang ternama buru-buru
menyingkir jika Kim Sie Ie hendak menjumpainya.
Ia pernah berniat mencari Kam Hong Tie dan Lu Soe Nio, tapi belakangan ia mendengar,
bahwa Kam Hong Tie sudah meninggal dunia, sedang Lu Soe Nio sudah lama menyingkir dari
pergaulan umum. Oleh sebab itu, ia telah melepaskan niatannya itu. Menurut gurunya, dalam
Rimba Persilatan hanya terdapat dua orang mulia, yaitu Kam Tayhiap dan Lu Liehiap. Sesudah
yang satu meninggal dunia dan yang lain menghilang, tanpa sungkan-sungkan lagi, ia
mempermainkan siapa saja yang hendak dipermainkannya.
Selama beberapa tahun, sudah banyak jago roboh dalam tangannya. Setiap kali memperoleh
kemenangan, hatinya menjadi gembira. Akan tetapi, kegembiraan itu selalu disusul dengan rasa
kesepian dan kedukaan. Semakin banyak ia mendapat kemenangan, semakin besar kedukaannya.
Kegembiraan itu hanya bagaikan pelangi di tepi langit, suatu bayang-bayang tak kekal, sedang
kesepiannya dan kedukaannya sebagai juga awan tebal yang gelap suram dan selalu meliputi
seluruh jiwa dan pikirannya!
Kenapa? Karena dia mempermainkan dunia, dunia meninggalkan dia seorang diri. Tak ada
seorang manusia pun yang dapat disebutkannya sebagai sahabatnya. Juga tak ada manusia yang
menganggap dia sebagai orang waras. Dia menghantam dunia, tapi dunia membalas
menghantamnya dengan tenaga yang seratus kali lebih dahsyat. Apa yang didapatnya tiada lain
daripada kesepian... kesepian... kesepian... tiada habisnya, tiada akhirnya.
Menurut rencananya sesudah menjatuhkan jago-jago di wilayah Tionggoan, ia akan berkelana
ke daerah barat laut untuk coba mencari Tjiangboendjin dari Thiansan pay. Tak dinyana, sebelum
kakinya menginjak Sinkiang, di gunung Tjiakdjie san, ia bertemu dengan seorang wanita yang
memperlakukan dirinya sebagai sahabat, yang tak menghina, tak membenci, malah berusaha
untuk mengobati dirinya serta bersedia untuk berjalan bersama-sama. Wanita itu adalah
Pengtjoan Thianlie. Tapi ia tak mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie sebenarnya belum pernah
mengenal penyakit kusta dan belum pernah melihat seorang penderita kusta.
Pertemuan itu seakan-akan menembusnya sinar matahari yang hangat ke dalam lembah yang
sunyi lagi dingin. Tanpa merasa, Koei Peng Go telah membuka hatinya. Kecuali dengan gurunya,
ia tak pernah mempunyai keinginan untuk bersahabat dengan manusia. Tapi begitu bertemu
dengan si nona, ia merasa berat untuk berpisah lagi. Perasaan itu sama sekali bebas dari niat
kurang baik dan caci Yoe Peng bahwa "kodok buduk ingin makan daging angsa langit" adalah
cacian yang tidak pada tempatnya, Kim Sie le hanya merasa, bahwa dalam dunia ini Pengtjoan
Thianlie adalah manusia satu-satunya yang boleh dijadikan sahabatnya.
Di Tjiakdjie san, ia juga bertemu dengan Tong Keng Thian. Belakangan, sesudah mengetahui,
bahwa Keng Thian adalah murid Thiansan pay dan kecintaan Peng Go, entah kenapa, di dalam
hatinya segera muncul rasa mengiri. Semula ia berniat mencari Tjiangboendjin dari Thiansan pay
untuk lebih dulu diajak mengadu silat dan kemudian ia akan coba menyelidiki perhubungan antara
gurunya dan partai tersebut, untuk memecahkan teka-teki yang memberatkan hatinya. Akan
tetapi, sesudah bertemu dengan Keng Thian, ia mengurungkan niatannya itu, pertama karena
adanya perasaan mengiri, kedua karena ia tak sudi meminta apapun juga dari Thiansan pay dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

ketiga karena ia mendapat kenyataan, bahwa ilmu silat Keng Thian tidak berada di bawahnya.
"Bocah itu adalah houwpwee (orang yang tingkatannya rendah) dalam Thiansan pay dan
kepandaiannya sudah begitu tinggi," pikirnya. "Ayahnya, yang menjadi Tjiangboendjin, sudah
tentu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripada aku. Kalau begitu, kepandaianku belum
sempurna."
Sebagai orang yang beradat angkuh, ia segera mengambil putusan untuk mempelajari lagi
Tokliong Pitkip dan sesudah kepandaiannya meningkat sampai setara dengan gurunya, barulah ia
akan pergi ke Thiansan untuk menantang bertanding.
Demikianlah, diam-diam ia menguntit Pengtjoan Thianlie dan sengaja merenggangkan
perhubungan kedua orang muda itu. Tentu saja tindakan itu bukan tindakan seorang ksatria. Tapi
di dalam otak Kim Sie Ie memang tak ada soal ksatria. Jiwanya masih seperti jiwa anak kecil. Jika
ia suka akan suatu barang, ia tak mau anak lain datang merebutnya. Masih untung, bahwa hatinya
bebas dari niat jahat. Jika bukan begitu, di waktu Keng Thian masih sakit di rumah keluarga Tjee,
dengan mudah ia bisa membinasakan pemuda itu.
Kim Sie Ie menguntit terus sampai di Gobie san. Di luar dugaannya, disitu ia membentur
tembok. Cacian Yoe Peng sedikitpun tak dihiraukannya. Tapi semprotan si nona yang
menggunakan kata-kata "lagak buaya" seolah-olah halilintar yang menghantam batok kepalanya...

***

Bagaikan bayang-bayang kacau, kejadian-kejadian yang lampau itu berkelebat-kelebat di depan


matanya, Semakin lama, ia jadi semakin berduka, sehingga akhirnya ia menjadi kalap. Ia
bergulingan di atas tanah, tanpa memperdulikan duri-duri yang melukakan kulitnya. Seperti orang
gila, ia berteriak-teriak, menangis keras dan tertawa terbahak-bahak, sesudah kenyang menangis
dan tertawa, ia merobek-robek pakaiannya dan kemudian menyeburkan diri ke dalam sebuah
sungai kecil. Lama sekali ia mandi disitu dan perlahan-lahan, otaknya yang panas menjadi agak
dingin. Sambil memandang bayangannya sendiri, ia berkata seorang diri: "Orang ini bukannya aku.
Apakah mukaku yang asli seperti muka ini?"
Mendadak ia meloncat ke atas dan membuka bungkusannya yang ditinggalkan di bawah pohon.
Ia mengambil dan memakai lagi pakaian rombeng yang biasa dipakainya dalam penyamaran
sebagai penderita kusta. Sesudah itu, ia memoles mukanya dengan bubuk obat dan mengerahkan
lweekang-nya. Dalam sekejap, mukanya berubah bersinar merah dan di sekujur badannya muncul
"bisul-bisul". Sekali lagi ia sudah menjadi penderita kusta yang menakutkan. Ia lari ke pinggir
solokan dan berkaca di permukaan air itu. "Nah! Inilah baru wajahku yang asli!" katanya sembari
tertawa terbahak-bahak.
Sebagaimana diketahui, sesudah bergaul dengan Koei Peng Go, watak Kim Sie Ie yang aneh
telah banyak berkurang. Oleh karena mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie tak menyukai
penyamarannya, ia pernah bersumpah untuk menghentikan penyamaran itu untuk selama-
lamanya. Ia malah sudah mencuri pakaian bagus guna
menyenangkan Peng Go. Tapi tak dinyana malam itu Pengtjoan Thianlie telah mengeluarkan
kata-kata menusuk, sehingga kebenciannya kepada dunia yang sudah ditindasnya, kembali muncul
dalam hatinya, malah lebih dahsyat dari semula. Apa yang dirasakannya bukanlah kekecewaan
akibat kegagalan dalam percintaan. Pada hakekatnya, ia belum mengenal cinta. Yang
dipikirkannya pada saat itu, adalah kegetiran pengasingan dan penghinaan, yang seratus kali lebih
hebat daripada kekecewaan karena gagal dalam percintaan.
Sesudah memandang romannya di air bening, sekonyong-konyong, sambil memperdengarkan
tertawanya sebagai orang gila, ia mengambil lumpur yang lalu dipoleskan ke sekujur badan dan
mukanya. "Manusia membenci aku," katanya di dalam hati. "Baiklah! Biarlah mereka lebih
membenci diriku lagi!"
Mendadak di belakangnya terdengar suara "he-he", suara tertawa yang sedap dan nakal
kedengarannya. "Aha! Kodok buduk ini benar-benar lucu!" demikian terdengar suara seorang
wanita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kim Sie Ie lantas saja naik darah. Ia memutarkan badannya dan menimpuk dengan tanah.
"Benar-benar tolol!" wanita itu berkata pula. "Kau merusak badanmu sendiri, siapa yang akan
mengasihani dirimu?"
Gerakan Kim Sie Ie itu cepat bagaikan kilat. Ia menimpuk sembari melompat ke jurusan suara
itu. Dengan timpukan yang disertai Iweekang, segenggam tanah itu tak kalah hebatnya dari
sebuah batu. Dengan berbunyi "tak!", sebatang dahan pohon sudah menjadi patah. Tapi ia
menubruk tempat kosong, disitu tak terdapat bayangan manusia.
Bukan main kagetnya Kim Sie Ie. Semenjak berkelana di dunia Kangouw, ia sudah merobohkan
banyak jago-jago ternama dan orang-orang yang bisa menandingi ia hanyalah Tong Keng Thian,
Pengtjoan Thianlie dan Hiatsintjoe tiga orang. Maka, seketika itu, ia terperanjat ketika mendapat
kenyataan, bahwa ia sekarang sedang menghadapi lawan berat, lebih-lebih karena lawan itu
adalah seorang wanita.
Dengan penasaran ia mengejar ke dalam hutan. Sekonyong-konyong di belakangnya kembali
terdengar suara tertawa. "Budi harus dibalas dengan budi," kata wanita itu. "Sambutlah senjata
rahasiaku!"
Sambil membentak keras, Kim Sie Ie memutarkan badannya dan menubruk, sembari menutup
semua jalan darahnya guna menjaga serangan senjata rahasia. Ia percaya, bahwa sekali ini
tubrukannya akan berhasil.
Tapi dugaannya meleset jauh. Sebelum tangannya bisa mencengkeram tubuh wanita itu, yang
ternyata mengenakan pakaian putih, sudah melesat ke atas setinggi beberapa tombak dan
melayang lewat di atas kepalanya. Hampir berbareng dengan itu, matanya berkunang-kunang dan
sejumlah "senjata rahasia" menyambar ke seluruh badannya. "Senjata-senjata rahasia" itu, tiada
satu yang meleset, beberapa antaranya, yang rasanya dingin-dingin, mengenai mukanya. Kim Sie
Ie mengusap mukanya dan ia menjadi kaget bukan main. Ternyata, "senjata rahasia" itu adalah
daun-daun bunga yang belum kering, sehingga terasa dingin di kulit!
Ia mendongkol tercampur geli. Sebagai orang yang biasa mempermainkan manusia, ia
sekarang dipermainkan orang, Ia mencari ubek-ubekan di hutan itu, tapi si wanita sudah tak
kelihatan bayang-bayangnya lagi. Karena lelah, ia lalu tidur di dalam hutan itu dan baru mendusin
keesokan harinya.
Hari itu, ia kembali mencari wanita itu, yang telah mempermainkan dirinya, tapi hasilnya tetap
nihil. Ia menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie tentu sudah masuk ke Kimkong sie dan sebenarnya
ia ingin turut masuk ke kuil itu untuk mengacau. Tapi, setelah melihat munculnya Tong Keng
Thian dan mengingat kata-kata si nona yang menusuk, ia mengurungkan niatan tersebut. Malam
itu ia berkeliaran di sekitar kuil itu untuk mengganggu para tamu. Ia menggoda Loei Tjin Tjoe,
menggebah Hiatsintjoe dan kemudian mempermainkan Tjia In Tjin. Di luar dugaannya,
sekonyong-konyong wanita yang sedang dicarinya itu menampakkan diri. Dengan menggunakan
jarum, wanita itu memukul jatuh semua batu yang dilontarkannya untuk menimpuk jalan darah
Tjia In Tjin.
Kejadian itu telah dituturkan oleh Tjia In Tjin kepada Tong Keng Thian yang menjadi terheran-
heran. Ia menduga, bahwa wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Tapi Kim Sie Ie yang tersangkut
secara langsung, bahkan lebih heran lagi.
Dengan rasa penasaran, ia segera meninggalkan Tjia In Tjin dan mengejar wanita itu ke dalam
hutan. Kali ini wanita itu tak lari secepat kemarin malamnya, seperti juga mau memancing Kim Sie
Ie. Bagaikan seekor burung, ia meloncat dari dahan ke dahan dan di tengah malam yang hanya
diterangi sinar bulan yang remang-remang, Kim Sie Ie hanya dapat melihat bayangannya yang
sebentar lenyap untuk sesaat kemudian muncul kembali di antara daun-daun pohon. "Apa dalam
dunia ini benar-benar terdapat wanita yang ilmu mengentengkan badannya sedemikian tinggi?"
tanya Kim Sie Ie kepada dirinya sendiri. "Apakah dia bukan dewi hutan?"
Dari Kimteng -- yaitu puncak Gobie san yang tertinggi – Kim Sie Ie mengejar terus sampai di
Houwtjoepo (Tanjakan Kera). Tiba-tiba, wanita itu lenyap dari pemandangan. "Aku tak percaya,
bahwa di dunia ada dewi," katanya di dalam hati. "Aku yang menganggap diriku sendiri paling
pandai dalam dunia, sekarang baru mengerti, bahwa di luar langit masih terdapat langit. Tong
Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie kira-kira berusia sama dengan aku dan kepandaian mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

pun tidak berada di bawahku. Tapi wanita itu, yang mestinya masih berusia sangat muda,
mempunyai kepandaian yang beberapa kali lebih tinggi daripada aku."
Selagi ia melamun, mendadak terdengar jeritan kera. Ia mengangkat kepalanya dan melihat
beberapa ekor kera sedang turun dari lamping gunung. Tiba-tiba timbul kegembiraannya. Ia
memburu mereka dan menangkap seekor yang lantas menjerit-jerit, sedang kawan-kawannya
segera melarikan diri.
"Betapa gesitpun, tak dapat kau terlolos dari tanganku," katanya sembari tertawa. Sesaat
kemudian, ia melepaskan kera yang pertama itu dan mengejar serta menangkap

seekor kera lain. Selagi ia keenakan mengganggu kawanan kera itu, sekonyong-konyong dari
atas sebuah batu besar terdengar suara tertawa yang tak asing lagi baginya.
Kim Sie Ie mendongak. Kali ini, ia dapat melihat wanita itu secara tegas. Disinari cahaya bulan,
si nona kelihatan duduk di atas batu. Ia mengenakan baju berwarna ungu, rambutnya terikat oleh
dua cincin emas, parasnya cantik dan segar, sedang usianya paling banyak baru delapan belas
tahun. Dengan sikap jenaka selaku anak nakal, ia menuding Kim Sie Ie sembari tertawa geli.
Kim Sie Ie memandangnya dengan mulut ternganga, ia benar-benar kesima Sediktpun ia tak
menyangka, bahwa si nona berusia semuda itu. Walaupun sudah berpengalaman sangat luas,
ketika itu Kim Sie Ie tak dapat menyembunyikan tercengangnya.
"Kera tak pandai bersilat," kata nona itu. "Guna apa kau menangkap mereka?"
Kim Sie Ie terkejut. Inilah wanita kedua yang tak jijik kepada penderita kusta, malah sikapnya
lebih bebas dan ramah daripada Pengtjoan Thianlie. Kim Sie Ie tetap mengawaskannya, tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
"Eh, apakah kau tuli?" teriak si nona sembari tertawa terkekeh-kekeh. "Dengan kekerasan, kau
menangkap mereka. Mereka jadi membenci kau. Lihatlah aku!"
"Baik," jawab Sie Ie.
Si nona kembali tertawa geli dan kemudian menyanyi:
"Sang kera! Sang kera! Kera nakal tak punya otak. Mari, mari, mari! Aku membawa buah
untukmu, mari kita bersahabat!"
Beberapa saat kemudian, benar saja beberapa ekor kera muncul dan mendekatinya, semakin
lama jumlah mereka jadi semakin besar. Dengan gembira, si nona menari-nari dan menyanyi. Dari
sakunya ia mengeluarkan seraup buah Leetjie yang segera dibagikannya kepada kawanan kera itu
yang segera berebut mengambilnya.
Pertunjukan itu bisa terjadi, bukannya karena si nona mempunyai ilmu luar biasa, tapi sebab
kawanan kera di Houwtjoepo memang tak takut kepada manusia. Mereka biasa berjumpa dengan
para hweeshio dan sering sekali, beramai-ramai mereka datang untuk meminta makanan dari
orang-orang beribadat yang berdiam di kuil itu.
Kim Sie Ie mengawaskan pertunjukan itu dengan sorot mata heran. "Jika kau berlaku baik
terhadap mereka, mereka pun bersikap manis terhadapmu," kata si nona sembari tertawa. "Jika
kau menghina mereka, mana mereka mau bersahabat dengan kau?"
Jantung Kim Sie Ie berdebar keras. Kata-kata itu seolah-olah sengaja diucapkan untuk memberi
nasehat kepadanya, yang biasa mengganggu sesama manusia. Oleh karena merasa ketarik, ia
segera mendaki batu besar itu untuk turut bermain-main. Tapi, sebelum ia bisa mendekati
kawanan kera itu, mereka lari serabutan dengan ketakutan. "Kurang ajar!" bentak si nona.
"Kenapa kau menakut-nakuti keraku?"
Melihat wanita muda itu gusar, Kim Sie Ie mengangkat tongkat besinya dan menjejek kakinya
di atas batu, sehingga tubuhnya lantas saja meluncur ke atas, setinggi tiga tombak dengan
gerakan Itho tjiongthian (Burung Ho menembus langit). Selagi tubuhnya masih berada di tengah
udara, ia memukul dengan tongkatnya untuk menjajal ilmu si nona.
"Bagus!" seru nona itu. "Pandai benar kau menghina orang!" Mendadak badannya melayang ke
atas, ujung kakinya menotol tongkat Kim Sie Ie dan, dengan meminjam tenaga totolan itu,
tubuhnya kembali melesat beberapa tombak tingginya, akan kemudian, sembari memutarkan
badan, bagaikan seekor burung, ia hingggap di tanjakan gunung. Itulah suatu gerakan yang indah
luar biasa! Di lain saat, nona itu sudah tak kelihatan lagi bayang-bayangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kim Sie Ie jadi terpaku. Lapat-lapat ia ingat, bahwa ia pernah melihat gerakan seperti yang
barusan diperlihatkan wanita itu. Sesudah berpikir beberapa saat, ia baru mendusin. Gerakan
itu menyerupai gerakan Niauw-eng (semacam elang). Di dekat Pulau Ular terdapat sebuah pulau
lain yang diberi nama Niauw-eng to (Pulau Niauw-eng), dimana hidup semacam burung buas yang
macamnya seperti kucing. Burung itu, yang merupakan musuh ular, dengan berkawan sering
menyatroni Pulau Ular dan bertempur dengan kawanan ular. Selama sepuluh tahun berdiam di
pulau tersebut, Kim Sie Ie pernah beberapa kali menyaksikan pertempuran yang luar biasa itu.
Menurut penuturan gurunya, di Niauw-eng to pernah hidup dua saudara kembar, yaitu Sat Thian
Tjek dan Sat Thian Touw, yang mempelajari cara-cara burung-burung buas itu bergerak dalam
pertempuran. Tapi sekarang mereka sudah meninggal dunia dan menurut kata gurunya, mereka
tak mempunyai murid yang mewarisi kepandaian mereka. Dari manakah wanita itu mendapat
ilmunya? Kim Sie Ie merasa heran, tapi di detik selanjutnya, ia ingat akan hal lain yang lebih,
mengherankan lagi.
"Bahwa wanita itu memiliki kepandaian untuk berkelahi seperti Niauw-eng, adalah kejadian
yang luar biasa," pikirnya. "Tapi, ketika barusan dia menotol tongkatku, tenaga dan
kepandaiannya tidak terlalu hebat dan sudah pasti tidak lebih tinggi daripada kepandaianku.
Kenapa bisa begitu?"
Harus diketahui, bahwa bagi seorang ahli silat, bergerak sekali saja sudah cukup untuk
mengetahui cetek dalamnya lweekang musuh. Selama dua malam, tiga kali wanita itu sudah
menampakkan diri. Pertama, ia menimpuk Kim Sie Ie dengan daun bunga. Kedua, dengan jarum
ia menjatuhkan batu yang ditimpukkan oleh Kim Sie Ie. Dalam dua kejadian itu teranglah sudah,
bahwa lweekang-nya tak terkira lagi tingginya. Tapi, sungguh heran, dalam pertemuan ketiga,
kepandaian yang diperlihatkan nona itu, jauh lebih rendah daripada dalam dua pertemuan yang
lebih dulu.
"Mungkinkah ia hanya berpura-pura?" tanya Kim Sie Ie di dalam hatinya. "Apakah bisa jadi,
kepandaiannya sudah begitu tinggi, sehingga ia bisa menambah dan mengurangkan tenaganya
sesuka hatinya? Akan tetapi, dengan kepandaian yang sekarang kumiliki, aku tentu bisa melihat,
jika ia berpura-pura. Apakah wanita yang muncul lebih dulu itu bukannya dia?" Ia mengasah otak
dan kemudian berkata pula di dalam hatinya: "Tidak, tak mungkin! Walaupun dunia ini cukup
lebar, akan tetapi, untuk mendapatkan seorang wanita saja yang berkepandaian sedemikian
tingginya, sudah tidak gampang. Mana bisa ada seorang lain lagi? Di samping itu, meskipun dalam
dua pertemuan yang terdahulu, aku tak bisa melihat wajahnya dengan tegas, tapi baik potongan
badan, maupun ilmu mengentengkan badannya, semuanya tiada berbeda. Tak mungkin aku salah
mata." Semakin memikirkannya, ia jadi semakin heran dan semalam suntuk, ia ubak-ubakan di
hutan itu untuk coba mencari wanita yang aneh itu.
Demikianlah, biarpun berotak cerdas, Kim Sie Ie sama-sekali tidak menyadari, bahwa dalam
tiga pertemuan itu, yang muncul adalah dua orang, seorang ibu dan puterinya. Yang
menimpukkan daun bunga dan jarum adalah Phang Lin, sedang yang memancing ia ke dalam
hutan adalah Lie Kim Bwee puterinya.
Waktu itu, Phang Lin sudah berusia empat puluh tahun lebih. Tapi jika dipandang dari jauh,
wajahnya tiada bedanya dengan seorang wanita muda. Yang lebih luar biasa lagi, adat dan
tingkah lakunya masih tetap seperti seorang anak nakal.
Sebagaimana diketahui, sebagai akibat dari guyon-guyon Phang Lin di atas gunung Mostako,
Pengtjoan Thianlie telah kabur dengan perasaan mendongkol. Setelah disesalkan oleh kakaknya,
yaitu Phang Eng, dan mengetahui adanya percintaan antara Keng Thian dan Peng Go, ia telah
berjanji akan berusaha untuk merangkap jodoh kedua orang muda itu. Phang Eng yang mengenal
adat adiknya, tidak menganggap, bahwa janji itu dibuat dengan sungguh-sungguh. Tapi di luar
dugaannya, si adik benar-benar melaksanakan kata-katanya dan menguntit Keng Thian sampai di
Gobie san. Semula ia tak mau mengajak Kim Bwee, tapi puterinya yang berandalan itu tak mau
mengerti, sehingga akhirnya ia menyerah juga.
Apa yang terjadi antara Tong Keng Thian, Koei Peng Go dan 'Kim Sie Ie, telah diketahui semua
olehnya. Di samping itu, dengan penuh rasa simpati, ia juga menyaksikan segala penderitaan dan
kedukaan Kim Sie [e. Walaupun nasib mereka tidak sama, di waktu kecil, Phang Lin juga pernah
merasakan pahit getirnya penghidupan. Dalam usia satu tahun, ia telah ditinggal mati oleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

ayahnya. Belakangan ia diculik oleh sepasang memedi, yaitu Sat Thian Tjek dan Sat Thian Touw,
yang menyembunyikannya di dalam istana Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat) In Tjeng
(belakangan kaizar Yong Tjeng). Selama berdiam dalam istana itu, ia telah memperoleh banyak
macam ilmu, antaranya ilmu untuk berkelahi seperti Niauw-eng yang diajarkan oleh sepasang
memedi itu. Meskipun begitu, dalam lingkungan mewah itu juga, ia telah merasakan banyak
penderitaan. Karena ia sendiri pernah mengalami banyak kegetiran, ia jadi bersimpati kepada
setiap orang yang sedang menderita.
Sesudah menyingkir dari Kim Sie Ie. Kim Bwee lalu pergi menemui ibunya di dalam hutan.
"Sebelum turun dari Thiansan, aku sudah mendengar, bahwa di Tionggoan telah muncul seorang
Toktjhioe Hongkay yang sangat jahat," kata Phang Lin sembari tertawa. "Tak tahunya, si jahat
adalah dia! Eh, apakah tidak lebih baik, jika sesudah puas mempermainkan dia, kita bunuh saja
pengemis itu?"
"Kenapa?" tanya puterinya. "Aku merasa kasihan."
"Bagaimana jika dibandingkan dengan Piauwko-mu (Tong Keng Thian)?" tanya pula sang ibu.
"Ilmu silat dan usia mereka kira-kira berimbang," sahut Kim Bwee.
"Tapi sikap Piauwko terlalu mirip dengan orang dewasa, tidak begitu menarik seperti dia."
Phang Lin menghela napas dan kemudian berkata sembari tertawa: "Baiklah! Kalau begitu, tak
jadi kubunuh dia. Biarlah dia hidup terus untuk mengawani kau."
Si nona yang masih belum mengenal percintaan, mengetahui, bahwa ibunya sedang berkelakar.
Ia tertawa cekikikan dan menubruk sang ibu.
"Ilmu mengentengkan badanmu lebih tinggi daripada dia," kata pula sang ibu. "Tapi dalam hal-
hal lain, kau masih kalah. Sekarang aku ingin mengajarkan semacam ilmu kepadamu untuk
mengalahkan dia, supaya kau bisa
mempermainkannya tanpa dia sendiri bisa mengganggu kau."
"Apakah kau masih menganggap aku seperti anak kecil?" tanya Kim Bwee dengan nada tak
percaya. "Mana bisa ilmu silat dipelajari begitu cepat?"
"Ilmu yang akan kuajarkan, hanya bisa digunakan untuk merobohkan dia," Phang Lin
menerangkan. "Terhadap orang lain, ilmu itu tak berguna. Kau percaya atau tidak?"
Melihat paras ibunya yang sungguh-sungguh, Kim Bwee jadi setengah percaya setengah tidak
dan ia mengikuti Phang Lin masuk ke hutan untuk berlatih. Ibu dan anak itu mempunyai watak
yang sama. Jika sudah mulai -mengerjakan sesuatu, mereka tak akan berhenti di tengah jalan.
Semula mereka ingin mengunjungi Moh Tjoan Seng pada hari Kiatyan. Akan tetapi, karena adanya
kegembiraan lain, mereka jadi melupakan segala apa.
Malam itu, baik Tong Keng Thian maupun Kim Sie Ie tak tidur semalam suntuk. Keesokan
paginya tibalah hari Kiatyan.

***

Begitu sang matahari terbit di kuil Kimkong sie terdengar seratus delapan kali suara lonceng.
Tayhong Potian (ruang sembahyang yang paling besar) disapu bersih untuk menerima kehadiran
para ahli silat dari segenap Rimba Persilatan.
Kali ini, tamu yang datang berkunjung luar biasa banyaknya. Murid-murid Boetong pay
bertindak sebagai tuan rumah untuk menyambut para tamu dan sebagian besar berkumpul di
sekitar tempat memberikan ceramah. Tong Keng Thian duduk di antara para tamu. Dengan
matanya yang sangat tajam, ia menyapu semua orang sambil menghela napas. Ia merasa sayang,
karena keadaan Boetong pay cabang Selatan sangat merosot dan di antara murid-murid turunan
kedua, tak seorang jua dapat mendekati kepandaian pemuka mereka, yang sudah tua itu.
Seluruh ruang besar itu sunyi-senyap, semua orang menantikan Moh Tjoan Seng. Tiba-tiba, di
luar terdengan suara tertawa "haha-hihi" yang sangat ramai. Loei Tjin Tjoe terkejut, buru-buru ia
lari keluar untuk menyelidiki. Ternyata, suara tertawa itu keluar dari mulut belasan murid Boetong
yang terus menari-nari dan melompat-lompat seperti orang edan. Tak usah diragukan lagi, bahwa
semua itu adalah perbuatan si penderita kusta!
Bukan main malunya orang-orang Boetong pay. Mereka tak tahu harus berbuat bagaimana, dan
berdiri termangu-mangu laksana patung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Di saat itu, tiba-tiba Tong Keng Thian melompat keluar dan tanpa mengeluarkan sepatah kata,
ia menepuk dan menggampar belasan orang yang sedang menari-nari itu.
Segenap murid Boetong lantas menjadi gusar dan empat murid yang mengikuti Loei Tjin Tjoe,
segera bergerak untuk mengepung Keng Thian.
Muka Loei Tjin Tjoe kelihatan menyeramkan. "Goblok!" ia membentak dengan suara perlahan.
"Apakah kamu buta? Dia sedang memberikan pertolongan!" Benar saja, dalam sekejap belasan
murid Boetong itu sudah tenang kembali.
Ternyata, oleh karena harus menggunakan terlalu banyak tempo jika mesti membuka jalan
darah mereka satu persatu, maka Keng Thian telah menggunakan ilmu Sintjiang kayhiat
(Membuka jalan darah dengan pukulan). Melihat kepandaian pemuda itu, semua ahli silat disitu
jadi merasa kagum.
Tiba-tiba lonceng kuil berdentang berulang-ulang, sebagai tanda, bahwa Moh Tjoan Seng akan
segera keluar.
Sebagaimana diketahui, Moh Tjoan Seng telah diakui sebagai ahli silat nomor satu di wilayah
Tionggoan. Sepuluh tahun sekali, ia mengadakan Kiatyan, yaitu mengadakan perhimpunan besar
untuk memberi ceramah tentang ilmu silat dan memberi petunjuk-petunjuk kepada mereka yang
memintanya. Sekarang ia sudah berusia lanjut dan mungkin sekali, Kiatyan sekali ini, adalah yang
terakhir.
Begitu mendengar gema lonceng, para hadirin, yang terdiri dari ahli-ahli berbagai cabang
persilatan, lantas saja berhenti bicara dan mengambil tempat duduk. Dengan demikian, Keng
Thian terbebas dari banyak pertanyaan dan ia pun segera duduk di antara orang banyak. Di lain
saat, ruang yang barusan ramai dengan suara orang, berubah sunyi.
Dengan matanya Keng Thian menyapu semua orang. Segera juga ia mendapat kenyataan,
bahwa sejumlah orang yang duduk di barisan kursi terdepan, bersikap agak mencurigakan, sinar
wajah mereka mencerminkan maksud kurang baik. Ia menghela napas dan berkata di dalam
hatinya: "Benar juga, jika dikatakan, bahwa pohon yang tinggi mengundang angin, nama yang
besar menimbulkan perasaan mengiri."
Sesudah lonceng berbunyi delapan belas kali, hweeshio kepala dari Kimkong sie mengantar
Moh Tjoan Seng keluar dari ruang dalam. Keng Thian mengawasi orang terkemuka dalam Rimba
Persilatan itu yang ternyata berparas agung, penuh welas asih, sedang rambut dan alisnya sudah
putih semua. Dengan sinar mata yang tajam luar biasa, Moh Tjoan Seng menyapu seluruh
ruangan.
"Ilmu silat dapat diumpamakan dengan laut," demikian Moh Tayhiap mulai dengan suara
perlahan. "Seperti juga laut, ilmupun tak bisa diukur bagaimana tingginya. Walaupun sudah hidup
agak lama dalam dunia ini, aku si tua sebenarnya hanya mengenal kulit luar ilmu itu dan belum
pantas dinamakan ahli. Dalam Kiatyan ini, sama sekali bukan maksudku untuk berlagak menjadi
guru. Kita berkumpul disini, hanya untuk merundingkan hal-hal ilmu silat secara sahabat."
Demikianlah kata-kata pembukaan Moh Tayhiap yang sangat merendahkan diri.
Harus diketahui, bahwa asal mula Kiatyan sebagai itu, adalah karena permintaan murid-murid
Boetong, supaya Moh Tjoan Seng menetapkan suatu hari untuk memberikan kepada mereka
petunjuk-petunjuk mengenai ilmu silat. Belakangan, pertemuan itu dihadiri juga oleh ahli-ahli silat
berbagai partai yang semakin lama jadi semakin besar jumlahnya, sehingga akhirnya Moh Tjoan
Seng mengambil putusan untuk sekali dalam sepuluh tahun mengadakan Kiatyan. Dengan
demikian, ia telah diakui sebagai seorang guru dalam Rimba Persilatan.
Kata-kata pembukaannya yang merendahkan diri disambut dengan rasa kagum oleh para
hadirin, malah juga oleh mereka yang ketika itu mengandung maksud kurang baik. Tayhiong
Potian adalah sebuah ruang yang sangat luas, panjangnya belasan tombak dan lebarnya pun
belasan tombak. Moh Tjoan Seng berbicara perlahan, tapi setiap orang dapat mendengarnya sama
tegasnya, tak ada yang mendengar lebih terang atau kurang jelas.
"Nama besar Moh Lootjianpwee sungguh bukan nama kosong," kata Keng Thian di dalam
hatinya.
"Dalam usia begitu lanjut, lvveekang-nya masih begitu teguh, sehingga sedkitnya ia tak kalah
dengan ayahku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Seorang yang lweekang-nya tinggi memang bisa mengirimkan suaranya ke tempat jauh.
Andaikata ia berbicara dalam suatu ruang yang luasnya seperti Tayhiong Potian, mereka yang
berada di barisan depan akan mendengarnya sebagai mendengar geledek, sedang mereka yang
berada di sebelah belakang akan merasa telinganya seperti "ditusuk" gelombang suara itu. Akan
tetapi, suara Moh Tjoan Seng itu, lain dari yang lain. Semua orang, yang di depan maupun yang di
belakang, mendengar suara itu seakan-akan Moh Tayhiap berbicara di hadapannya, tak keras dan
tak perlahan serta telinganya tak usah mengalami segala perasaan kurang enak. Itulah suatu
bukti, bahwa Iweekang Moh Tayhiap sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Sesudah itu, Moh Tjoan Seng segera memberi ceramah tentang Yakinkeng. Orang-orang yang
lweekang-nya sudah tinggi, mendapat banyak petunjuk baru, sedang mereka yang baru belajar
silat juga telah memperoleh banyak penerangan berharga.
Sesudah ceramah itu selesai, menurut kebiasaan, orang-orang yang ingin memohon petunjuk
boleh segera mempertunjukkan ilmu silat masing-masing yang paling tinggi. Menurut tradisi, orang
yang mendapat hak untuk paling dulu tampil ke muka adalah murid pertama dari turunan kedua
partai Boetong pay dan kali ini, orang itu adalah Loei Tjin Tjoe.
Sesudah memberi hormat pada pemuka partainya dan para hadirin, Loei Tjin Tjoe segera
bersilat dengan ilmu Kioekiong Patkwa tjiang. Ia bersilat dengan bersemangat, gerak-geriknya
gesit bagaikan kera, pukulannya dan serangan-serangannya dahsyat laksana serangan harimau.
Akan tetapi, ahli-ahli kelas satu yang berada disitu merasa heran, karena mereka sudah segera
lihat kekurangan Loei Tjin Tjoe, yaitu kelemahan dalam hal tenaga. Harus diketahui, bahwa dalam
Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan, Loei Tjin Tjoe sudah diakui sebagai salah seorang ahli
kelas utama. Orang-orang yang mengenal ilmunya atau pernah melihat ia mempertunjukkan
kepandaiannya, rata-rata merasa, bahwa selama sepuluh tahun, sebaliknya dari semakin maju,
kepandaiannya bahkan mundur banyak. Menurut kebiasaan, seorang ahli silat harus berlatih terus,
supaya, meskipun tak maju, scdikitpun jangan sampai merosot.
Antara mereka, hanya Tong Keng Thian yang mengetahui sebab musababnya. Ia menghela
napas dan berkata di dalam hatinya: "Sesudah dipukul oleh Hiatsintjoe dan ditotok oleh Kim Sie
Ie, meskipun sudah dapat kutolong, tenaganya tentu sangat berkurang."
Sehabis bersilat, Loei Tjin Tjoe segera berdiri tegak menunggu petunjuk-petunjuk Moh Tayhiap.
Moh Tjoan Seng membuka sepasang matanya lebar-lebar dan sinarnya yang seperti kilat
menyapu murid Boetong itu. Ia tersenyum seraya berkata: "Tjianghoat-mu (pukulan-pukulan)
sudah cukup lancar. Akan tetapi, dalam Tjianghoat ini mengandung Tiamhiat hoat (ilmu menotok
jalanan darah), sehingga telapak tangan dan jeriji harus digunakan berbareng. Tiamhiat hoat-mu
masih jauh dari sempurna."
Begitu mendengar perkataan Moh Tjoan Seng, para hadirin-terkejut tercampur heran, sedang
Loei Tjin Tjoe sendiri merasa penasaran, karena ia yakin, bahwa Tiamhiat hoat yang
dipertunjukkannya, sudah cukup sempurna. Para ahli silat sama berpendapat, bahwa
kekurangan Loei Tjin Tjoe bukan terletak pada Tiamhiat hoat, tapi pada tenaga dalamnya. Apakah,
karena sudah terlalu tua. Moh Tjoan Seng sudah menjadi linglung?
Biarpun penasaran, Loei Tjin Tjoe tak berani membantah "Mohon Tjouwsoe sudi mEMBERI
petunjuk," katanya dengan sikap menghormat.
"Coba kau Jemari!" Moh Tjoan Seng memanggil.
Dengan tetap duduk di tempatnya, tangannya menyambar dan jerijinya menotok jalan
darah Samtjiauw hiat, di pergelangan tangan Loei Tjin Tjoe. Si murid melompat dan sembari
membalikkan tangan, Moh Tayhiap menotok pula jalan darah Thiantjoe hiat, di punggungnya.
Dengan tak bergerak, bagaikan kilat, jeriji pemuka Boe Tong itu menotok susul menyusul dan
setiap kali, terpaksa Loei Tjin Tjoe harus berjingkrak. Semua totokan itu di kirimkan dengan
tenaga yang sudah diperhitungkan, sehingga Loei Tjin Tjoe tidak terluka sedikit jua. Para ahli silat
yang hadir, rata-rata merasa kagum bukan main melihat Tiamhiat hoat yang luar biasa itu dan tak
akan dapat ditiru oleh Loei Tjin Tjoe. Memang dalam ilmu silat, suatu perbandingan hanya dapat
dibuat di antara orang-orang yang berkepandaian setara. Sebagai juga dalam ilmu sastera,
karangan seorang anak kecil tentu saja tak dapat dibandingkan dengan buah karya seorang
Tjonggoan. Tapi, walaupun kagum akan kepandaian Moh Tjoan Seng, para ahli itu masih tetap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

menyangsikan kebenaran pernyataannya, bahwa kelemahan Loei Tjin Tjoe terletak pada Tiamhiat
hoat-nya.
Di antara begitu banyak orang, hanya Keng Thian seorang yang mempunyai pendapat lain.
Dengan jantung berdebar keras, ia mempelajari totokan-totokan Moh Tjoan Seng. Sebagai orang
yang berkepandaian tinggi dan berotak cerdas, segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa ilmu
totokan itu justru sangat sesuai untuk memecahkan Tokliong Tiamhiat hoat Kim Sie Ie. "Apakah
Moh Lootjianpwee memang sengaja ingin menurunkan ilmu totokan ini kepadaku?" tanyanya
kepada dirinya sendiri.
Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri. Yang ditakuti
Keng Thian adalah senjata rahasia beracun dan Tokliong Tiamhiat hoat Kim Sie Ie, sebaliknya Kim
Sie Ie agak gentar kepada Thiansan Sinbong dan Thaysiebie Kiamhoat. Sekarang, sesudah
memiliki ilmu yang dapat memecahkan Tokliong Tiamhiat hoat, kemungkinannya untuk dapat
merobohkan Toktjhioe Hongkay jadi lebih besar. Oleh sebab itu, dengan penuh kegirangan ia
terus memperhatikan totokan-totokan Moh Tayhiap.
Sesudah tiga puluh enam jalan darahnya selesai ditotok semua, Loei Tjin Tjoe merasakan
timbulnya semacam hawa panas dari jalan-jalan darahnya yang terus masuk ke bagian Tantian
(pusar). Hampir seketika itu juga, ia merasakan sekujur badannya nyaman luar biasa dan tenaga
dalamnya bukan saja kembali seperti sediakala, tapi juga jadi semakin besar. Sebagaimana
diketahui, ia telah dihajar oleh Hiatsintjoe dan kemudian ditolong oleh Tong Keng Thian. Akan
tetapi, walaupun sudah mendapat pertolongan pemuda itu, badannya masih merasa kurang enak.
Sekarang, sesudah ditotok oleh Tjouwsoe-nya, rasa sesak yang masih ketinggalan itu lantas saja
lenyap. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi, ia sendiri segera mengerti, bahwa totokan itu
telah memperkuat Iweekang-nya dan keuntungan yang didapatkannya bernilai sama dengan hasil
latihan tiga tahun. Orang-orang lain tidak mengetahui, bahwa dengan totokan tersebut, Moh Tjoan
Seng telah mengusir sisa racun yang mengeram dalam tubuh Loei Tjin Tjoe, sebagai akibat dari
pukulan Hiatsintjoe.
Sesudah selesai, sembari tertawa Moh Tjoan Seng menanya: "Apakah kau sudah mengerti
maksud totokan tadi?"
"Mengerti!" jawab Loei Tjin Tjoe sembari membungkuk.
"Belum tentu," kata Moh Tjoan Seng perlahan. "Tapi cukuplah jika kau bisa mengerti beberapa
bagian."
Keng Thian yang sedang mengingat-ingat pelajaran yang barusan didapatnya, merasa terkejut
ketika mendengar perkataan itu dan ia mengangkat kepalanya. Tiba-tiba matanya kebentrok
dengan mata Moh Tayhiap. "Ah!" pikirnya. "Perkataan Moh Lootjianpwee tentu ditujukan
kepadaku. Mana Loei Tjin Tjoe bisa mengerti?" Memang benar, baik Loei Tjin Tjoe maupun ia
sendiri, hanya mengerti sebagian. Totokan-totokan Moh Tayhiap barusan pada hakekatnya
mempunyai tiga tujuan. Pertama: untuk memperlihatkan
kepandaiannya kepada orang-orang yang mengandung maksud kurang baik. Kedua, untuk
menurunkan Tiamhiat hoat yang bisa memecahkan ilmu Kim Sie Ie, kepada Keng Thian. Ketiga:
untuk mengusir racun yang masih mengeram dalam tubuh Loei Tjin Tjoe. Tak seorang pun di
antara yang hadir mengerti semua maksud Moh Tayhiap.
Selagi Loei Tjin Tjoe ingin kembali ke tempat duduknya, sekonyong-konyong salah seorang
yang duduk di barisan kedua, melompat keluar dan berkata dengan suara nyaring: "Tjek Tiong Ho,
houwpwee (orang yang tingkatannya rendah) dari pulau Liehwee to (Pulau Menyingkir Dari Api)
Lamhay, memohon petunjuk dari Thaytjongsoe (guru besar)!"
"Ah! Kalau begitu, kau adalah murid Tjekshia totjoe (Majikan Pulau Kota Merah)," kata Moh
Tjoan Seng. "Bagus! Aku si tua sangat mengagumi ilmu silat Liehwee kansoei tjianghoat dari
partaimu."
"Jika Moh Lootjianpwee berkata begitu, apakah houwpwee harus pulang dengan tangan
kosong?" Tjek Tiong Ho mendesak.
Oleh karena menurut kebiasaan Kiatyan, Moh Tjoan Seng tak boleh menolak permintaan untuk
memberikan petunjuk kepada seorang houwpwee, maka ia lantas saja berkata: "Setiap partai atau
cabang perguruan mempunyai kebagusannya sendiri-sendiri. Mengenai Tjianghoat (Ilmu pukulan),
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

adalah gurumu yang seharusnya memberi petunjuk. Cobalah kau bersilat, supaya aku bisa
melihat, kalau-kalau ada bagian-bagian yang dapat kita rundingkan lebih jauh."
Tjek Tiong Ho memberi hormat seraya berkata: "Houwpwee memberanikan diri unuk
mengajukan satu permohonan. Houwpwee memohon supaya Loei Soeheng sudi membantu
dengan dalam toeitjiang (adu pukulan) dan jika dalam toeitjiang itu terdapat bagian-bagian yang
keliru, harap supaya Lootjianpwee sudi memberi petunjuk. Dengan demikian, keuntungan yang
kudapat akan menjadi lebih besar."
Mendengar tantangan itu, semua orang jadi terkejut.
Menurut peraturan Kiatyan, setiap houwpwee dapat memohon pengajaran dengan dua rupa
jalan. Pertama adalah bersilat sendiri dan kedua, adalah bersilat berdua. Oleh karena, pada setiap
Kiatyan, jumlah yang meminta petunjuk selalu sangat besar, maka cara yang kedua, yang
sekaligus bisa memberi kesempatan kepada dua orang, sering juga digunakan. Akan tetapi,
menurut kebiasaan, toeitjiang selalu dilakukan antara dua saudara seperguruan atau antara
sahabat-sahabat karib, sehingga menang atau kalah, tak akan merenggangkan keakuran. Tapi
sekarang Tjek Tiong Ho meminta Loei Tjin Tjoe yang maju sebagai kawan ber-toeitjiang. Mereka
berdua bukan saudara seperguruan dan juga bukan sahabat. Maka, permohonan Tjek Tiong Ho itu
tidak berbeda dengan tantangan.
Hati para hadirin jadi berdebar-debar, terutama Tong Keng Thian yang sangat kuatir akan
keselamatan Loei Tjin Tjoe. "Ilmu silat Tjekshia totjoe merupakan salah satu ilmu luar biasa dalam
Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Andaikata Loei Tjin Tjoe belum mendapat luka,
belum tentu ia bisa menandingi Tjek Tiong Ho. Dalam keadaannya sekarang, bagaimana ia bisa
melawan orang she Tjek itu?"
Moh Tjoan Seng tetap bersikap tenang. Ia mengangguk dan berkata sembari tertawa: "Begitu
juga baik. Loei Tjin Tjoe! Gunakanlah Kioekiong Lianhoan Tjianghoat untuk meminta pengajaran
dari Tjek Soeheng."
Loei Tjin Tjoe mengiakan dan ia lantas berjalan masuk ke tengah-tengah ruang. Ia memasang
kuda-kuda dan mengundang: "Tjek Soeheng, silahkan."
Tjek Tiong Ho tak berlaku sungkan. Hampir berbareng dengan undangan itu, ia segera
memukul dengan tangan kanannya. Lihwee kansoei tjianghoat gubahan Tjekshia totjoe adalah
ilmu silat yang sangat liehay. Ilmu itu merangkap Yang dan Im (positip dan negatip), yaitu tangan
kanan mengeluarkan pukulan "keras" yang sifatnya seperti api, sedang tangan kiri mengeluarkan
pukulan "lembek" yang bersifat bagaikan air. Sebagai murid kepala dari Tjekshia totjoe, Tjek Tiong
Ho telah paham akan sebagian besar kepandaian gurunya.
Tjekshia totjoe selalu hidup di pulau Liehwee to, dan ia tak pernah berkelana di dunia
Kangouw, tapi muridnya sering mundar-mandir di wilayah Tionggoan. Dalam Kiatyan sekali ini,
orang-orang yang mengandung maksud kurang baik, telah mengundang Tjekshia totjoe untuk
memberi bantuan. Akan tetapi, Totjoe itu telah menolak, karena ia sungkan mencari urusan
dengan Moh Tayhiap yang kesohor sekali. Sedang gurunya tak bergeming, sebaliknya Tjek Tiong
Ho justru kena dibujuk. Dalam perundingan di antara orang-orang itu, mereka berpendapat,
bahwa, asal kena dipancing untuk turun tangan sendiri, mereka sudah boleh dikatakan berhasil,
karena dengan begitu, Moh Tjoan Seng merosot derajatnya sebagai seorang guru besar. Dalam
perundingan itu, telah diambil putusan untuk minta Tjek Tong Ho maju sebagai jago pertama
guna merobohkan Loei Tjin Tjoe.
Sebagai seorang ahli, Tjek Tiong Ho tadi sudah segera mengetahui kelemahan lawannya. Maka
itu, begitu bergebrak, ia segera mengirimkan pukulan "keras" dengan tangan kanannya, Loei Tjin
Tjoe segera mengangkat kedua tangannya untuk menyambut pukulan itu. Dengan terdengarnya
bunyi "Tak!", di belakang tangan Tjek Tiong Ho timbul lima garis merah dan ia terhuyung ke
belakang beberapa tindak. Di lain pihak, telapak tangan Loei Tjin Tjoe juga terluka dan berdarah,
sedang badannya bergoyang-goyang, tapi ia tak sampai kena dipukul mundur. Dalam gebrakan
itu, meskipun kedua belah pihak sama-sama mendapat luka, Loei Tjin Tjoe-Iah yang lebih unggul.
Kejadian itu bukan saja mengejutkan bagi Tjek Tiong Ho, tapi semua hadirin, termasuk Keng
Thian juga, benar-benar terperanjat. Mereka tak mengerti, mengapa lweekang Loei Tjin Tjoe
mendadak bisa menjadi begitu besar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Lweekang Loei Tjin Tjoe sebenarnya kira-kira berimbang dengan Tjek Tiong Ho. Akan tetapi,
sesudah mendapat bantuan Moh Tjoan Seng, tenaga dalamnya jadi bertambah besar dan ia jadi
lebih unggul tiga bagian dari lawannya. Sesudah berada di atas angin, ia segera mengirimkan tiga
serangan berturut-turut, sehingga Tjek Tiong Ho terpaksa berkelahi sembari mundur.
Sesudah lewat beberapa jurus, Tjek Tiong Ho tiba-tiba menyambut pukulan Loei Tjin Tjoe
dengan tangan kirinya. Mendadak, Loei Tjin Tjoe merasakan tangannya seperti memukul kapas,
yang tidak bertenaga, dan belakang tangannya lantas saja seolah-olah melekat di tangan kiri
musuhnya. Seketika itu, Tjek Tiong Ho menabas pergelangan tangan lawannya dengan tangan
kanan. Murid-murid Boetong dengan serentak mengeluarkan teriakan tertahan, karena
pergelangan tangan Loei Tjin Tjoe pasti akan terpukul patah!
Pada detik yang sangat berbahaya itu, sekonyong-konyong Loei Tjin Tjoe menggerakkan
jerijinya dan menuding jalan darah di telapak tangan musuhnya yang sedang menyambar. Dengan
hati mencelos, buru-buru Tjek Tiong Ho melepaskan tangan kirinya dan melompat mundur untuk
menyingkir dari serangan Loei Tjin Tjoe.
Ternyata, dalam gebrakan-gebrakan pertama itu Loei Tjin Tjoe masih belum mengenal
liehaynya Liehwee kansoei tjianghoat yang menguasai dua macam tenaga, yaitu tenaga "keras"
dan tenaga "lembek". Pada saat tangannya kena "ditempel" tangan musuh yang bertenaga
"lembek", ia baru ingat kepada perkataan sang Tjouwsoe, bahwa Tiamhiat hoat-nya masih jauh
dari sempurna. Ia "mendusin, bahwa Kioekiong Patkwa tjiang harus digunakannya bersama-sama
dengan ilmu menotok jalan darah. Oleh karena itu, ia segera menggunakan Tiamhiat hoat untuk
memunahkan serangan musuh. Tjek Tiong Ho tentu saja tak ingin sama-sama menjadi korban,
lantas saja menarik kembali tabasannya yang dahsyat.
Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: "Pukulan Tjek Tiong Ho yang terakhir, seharusnya
digunakan untuk menyerang sikut, sedang tangan kirinya harus mencengkeram nadi Loei Tjin
Tjoe. Jika ia berbuat begitu, Loei Tjin Tjoe tentu tak bisa mengunakan ilmu menotok jalan darah!"
Para ahli lantas saja mengangguk-angguk dengan perasaan kagum terhadap petunjuk itu yang
sangat tepat. Tapi, Tjek Tiong Ho justru jadi mendongkol. "Kenapa kau tidak memberitahukan
lebih siang?" katanya di dalam hati.
Sementara itu, Loei Tjin Tjoe sudah menyerang dengan kedua tangannya. Dengan tangan
kanan Tjek Tiong Ho menyambut kekerasan dengan kekerasan dalam gerakan Lekpek samsan
(Memukul tiga gunung), sedang tangan kirinya menyerang dengan tenaga Imdjioe (tenaga
"lemas") dalam gerakan Soensoei toeitjouw (Dengan mengikuti air menolak perahu).
"Salah! Salah!" kata Moh Tjoan Seng tiba-tiba. "Kau harus lebih dulu menggunakan Tiamhoat
untuk memperkecil daya serangan lawan." Tanpa berpikir lagi, Tjek Tiong Ho segera bergerak
menurut petunjuk itu dan benar saja, serangan Loei Tjin Tjoe dapat dipecahkan secara mudah.
"Untung juga ia memberi peringatan," kata Tjek Tiong Ho di dalam hatinya. "Jika aku melawan
kekerasan dengan kekerasan, pergelangan tanganku bisa menjadi patah, karena dalam hal
lweekang, Loei Tjin Tjoe lebih kuat daripada aku." Sesudah berpencar, kedua orang itu lantas
melanjutkan pertempuran mereka.
Sesuai dengan peraturan Kiatyan, Moh Tjoan Seng memberi petunjuk pada kedua belah pihak,
malah kepada Tjek Tiong Ho ia memberikan lebih banyak daripada yang diberikannya kepada Loei
Tjin Tjoe. Melihat begitu, bukan saja hadirin lain, malah Tjek Tiong Ho sendiri juga merasa sangat
takluk akan kebesaran jiwa Moh Tjoan Seng.
Akan tetapi, semua orang tidak tahu, bahwa Moh Tjoan Seng sudah berbuat begitu oleh karena
ia yakin, bahwa ilmu Kioekiong Patkwa tjiang lebih unggul daripada ilmu yang digunakan Tjek
Tiong Ho dan ia yakin pula, bahwa lweekang Loei Tjin Tjoe lebih kuat daripada lweekang
lawannya, sehingga Loei Tjin Tjoe pasti akan mendapat kemenangan. Apa yang dikuatirkannya,
hanyalah, jika dalam gebrakan-gebrakan pertama, Loei Tjin Tjoe, yang belum mengetahui betapa
liehaynya Imyang Tjianghoat, akan menjadi bingung. Karena begitu, ia sengaja memberi petunjuk
kepada Tjek
Tiong Ho, supaya dengan mendengarkan petunjuk itu, Loei Tjin Tjoe menjadi sadar dan
mengerti keliehayan ilmu pukulan sang lawan. Di lain pihak, petunjuk yang diberikannya kepada
Loei Tjin Tjoe, adalah petunjuk yang sangat penting. Sebagai seorang yang sudah mahir betul
dalam Kioekiong Lianhoan Tjiang-hoat, dengan sedikit petunjuk itu, Loei Tjin Tjoe sendiri bisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

membuat perubahan-perubahan yang seperlunya. Oleh sebab itu, maka sesudah bertanding
ratusan jurus, Loei Tjin Tjoe masih tetap berada di pihak yang lebih unggul.
Sesudah bertempur lagi beberapa puluh jurus, sambil menghela napas, Tjek Tiong Ho meloncat
keluar dari gelanggang. "Tjianghoat Loei Soeheng benar-benar lebih tinggi daripada
kepandaianku," katanya sembari menyoja. "Terima kasih banyak atas petunjuk Thaytjongsoe.
Secepatnya, aku akan kembali ke pulau dan berlatih pula menurut petunjuk-petunjuk yang telah
diberikan oleh Thaytjongsoe." Memang kemudian Tjek Tiong Ho benar-benar pulang ke pulau
Liehwee to dan sejak itu ia tidak berani memusuhi lagi partai Boetong pay. Petunjuk Moh Tjoan
Seng telah memberi banyak bantuan kepadanya dalam mencapai kemajuan di kemudian hari.
Baru saja kedua orang itu kembali ke tempat duduk masing-masing, ketika sejumlah orang
yang duduk di barisan ketiga masuk ke dalam gelanggang dengan beruntun. Mereka itu, yang
berjumlah sembilan orang, semua mengenakan pakaian hitam, masing-masing bersenjata pedang
dan pada pinggang mereka tergantung kantong senjata rahasia.
Seorang yang menjadi kepala memberi hormat dan berkata dengan suara nyaring: "Sudah lama
kami mendengar betapa liehaynya Kioekiong Patkwa tjiang dari Boetong pay. Tin (barisan) kami
yang kecil ini juga diatur menurut kedudukan Kioekiong Patkwa dan cocok sekali untuk dijajal
dengan Kioekiong Patkwa tjiang. Kami mengharap, supaya Thaytjongsoe suka memberi petunjuk-
petunjuk." Selagi dia berkata begitu, kawan-kawannya sudah mengurung sekelompok murid
Boetong yang berdiri di depan dan tanpa menunggu perkenan Moh Tjoan Seng, mereka serentak
menghunus pedang. Murid Boetong yang terkurung berjumlah belasan orang, antaranya Loei Tjin
Tjoe juga. Begitu selesai berbicara, orang itu lantas saja membacok Loei Tjin Tjoe dengan
senjatanya!
Melihat kekurang ajaran sembilan orang itu, para hadirin terkejut sekali, sedang murid-murid
Boetong menjadi gusar bukan main. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka lantas saja
bertempur seru.
Meskipun berjumlah lebih besar, tapi karena tin itu saling bersambung kepala buntutnya dan
bisa berubah dengan cepat sekali, maka murid-murid Boetong lantas saja terkurung rapat-rapat
dan tak bisa menoblos keluar.
Tong Keng Thian terkejut. "Celaka!" katanya di dalam hati. "Kali ini, murid Boetong mungkin
akan menderita kekalahan." Baru saja ia memikirkan untuk memberi bantuan, mendadak
terdengar suara tertawa Moh Tjoan Seng. "Tin yang diwariskan oleh Han Tiong San dan Yap Hoen
Po benar-benar liehay," katanya dengan tenang. "Akan tetapi, untuk menarik keuntungan sebesar-
besarnya, tin itu harus digunakan bersama-sama dengan senjata rahasia. Kenapa kamu hanya
menggunakan separuh tenaga?"
Mendengar perkataan itu, Keng Thian jadi sangat terperanjat.
Harus diketahui, bahwa tiga puluh tahun berselang, sebelum Yong Tjeng naik ke tahta, Han
Tiong San dan Yap Hoen Po termasuk dalam "Enam Jago" yang mengabdi kepada putera kaizar itu
(pada waktu itu, Yong Tjeng masih dikenal sebagai Soehongtjoe, atau putera kaizar yang ke
empat). Empat jago lainnya adalah Liauw In Hweeshio, Haputo, Thian Yap Sandjin dan Tong Kie
Tjoan. Han Tiong San dan Yap Hoen Po adalah suami isteri yang bukan saja berkepandaian tinggi,
tapi senjata rahasia mereka pun liehay bukan main dan kebesaran nama mereka sejajar dengan
keluarga Tong di Soetjoan. Mereka berdua suami isteri adalah pemimpin Lengsan pay dan dalam
tingkatan, mereka masih lebih tinggi daripada Tong Siauw Lan. Belakangan, tiga pendekar wanita,
yaitu Lu Soe Nio, Phang Eng dan Phang Lin telah menyatroni istana kaizar dan berhasil membunuh
Yong Tjeng. Dalam pertempuran itu, Han Tiong San telah membuang jiwa, sedang isterinya Yap
Hoen Po, bersama Soetee-nya Thian Yap Sandjin, telah kabur pulang ke Lengsan dimana mereka
menutup pintu dan hidup tenang sambil mempelajari ilmu menimpuk dengan senjata rahasia yang
diwariskan oleh Han Tiong San. Sesudah lewat tiga puluh tahun, orang Lengsan pay belum pernah
mengunjukkan muka dalam kalangan Kangouw. Selama itu, Yap Hoen Po dan Thian Yap Sandjin
telah meninggal dunia dan Rimba Persilatan perlahan-lahan sudah melupakan mereka. Tapi tak
dinyana, tinhoat (barisan) yang diwariskan Han Tiong San masih tetap dipelajari oleh murid-murid
Lengsan pay dan hari ini muncul dengan tiba-tiba di gunung Gobie san.
Begitu Moh Tjoan Seng mengucapkan perkataannya, sembilan murid Lengsan pay dan Tong
Keng Thian diam-diam terkejut bukan main. Para murid Lengsan pay terkejut karena tin ciptaan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tjouwsoe mereka, yang belum pernah dipertunjukkan di muka umum selama tiga puluh tahun,
ternyata dikenal baik oleh Moh Tayhiap. Tong Keng Thian terkejut, karena, tanpa menggunakan
senjata rahasia, barisan itu sudah begitu liehay, sehingga, jika ditambah lagi dengan senjata
rahasia, para murid Boetong tentu sukar terlolos dari bencana!
Sementara itu, Kioekiong Patkwa tin orang-orang itu sudah mengurung semakin rapat,
sehingga murid-murid Boetong tak bisa membalas menyerang lagi. Pemimpin barisan itu adalah
Tjiangboendjin Lengsan pay yang bernama Yap Thian Djim. Mendengar perkataan Moh Tjoan
Seng, ia lantas saja berpikir di dalam hatinya: "Kedatangan kami sekali ini adalah untuk membikin
malu Boetong pay dan menaikkan derajat Lengsan pay. Dilihat dari perkembangan pertempuran,
dalam tempo sejam lagi, kita akan memperoleh kemenangan yang diharapkan. Jika kita
menggunakan senjata rahasia dan membinasakan murid-murid Boetong, Moh Tjoan Seng tentu
akan turun tangan sendiri. Biarpun turun tangannya itu akan berarti kemerosotan derajatnya
sebagai Thaytjongsoe, tapi pihak Lengsan pay pun tak akan terluput dari kerugian yang tidak
kecil." Berpikir begitu, ia segera berkata: "Perkataan Thaytjongsoe memang benar sekali. Tetapi
menurut kebiasaan, barisan ini baru menggunakan senjata rahasia jika berhadapan dengan lawan
yang berkepandaian tinggi. Musuh yang berkepandaian sedang-sedang saja, tak akan bisa
meloloskan diri, biarpun kami tidak menggunakan senjata rahasia." Perkataan itu yang sangat
sombong dan memandang rendah kepada murid-murid Boetong pay, sudah membangkitkan
kegusaran segenap anggauta partai tersebut. Dengan mata merah dan dengan seluruh tenaganya.
Bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe menikam orang temberang itu. Yap Thiam Djim meloncat mundur
dan serangan Loei Tjin Tjoe disambut oleh kedua Soetee-nya. Di lain saat, Loei Tjin Tjoe sudah
dikepung oleh dua musuh itu. "Apakah Kioekiong Patkwa tin masih mempunyai kelemahan lain?"
tanya Yap Thian Djim dengan sikap angkuh. "Harap Moh Lootjianpwee suka memberi petunjuk."
Moh Tayhiap tertawa dan berkata: "Barisanmu hanya menggunakan separuh tenaga, tentu saja
masih mempunyai banyak kelemahan. Hm! Loei Tjin Tjoe, kau pergi ke jurusan Kianhong dan lari
ke kedudukan Soenwie. Leng It Piauw, kau pergi ke jurusan Liehong dan lari ke kedudukan
Kanwie. Kamu menyingkir dari musuh yang dekat dan menyerang musuh yang jauh. Dengan
demikian, kamu akan segera bisa keluar dari barisan itu." Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas
saja bergerak menurut petunjuk itu. Mereka tidak memperdulikan musuh yang dekat dan masing-
masing merebut kedudukan yang disebutkan oleh Moh Tayhiap. Benar saja, tidak lama kemudian,
belasan murid Boetong pay itu sudah dapat menoblos keluar dari kepungan.
Yap Thian Djim menjadi malu tercampur gusar. Akan tetapi, karena ia sendiri yang meminta
petunjuk Moh Tjoan Seng dan ia sendiri yang berjanji untuk tidak menggunakan senjata rahasia,
maka ia tak berani memperlihatkan kegusarannya.
Moh Tayhiap bersenyum seraya berkata: "Biarpun kau menggunakan senjata rahasia, belum
tentu barisanmu bisa mengepung musuh. Di dalam tin itu masih terdapat banyak sekali
kelemahan."
Sembilan murid Lengsan pay menjadi pucat, dan darah mereka semua mendidih. Yap Thian
Djim mengeluarkan suara di hidung dan berkata dengan tawar. "Kalau begitu, biarlah Loei
Soeheng dan saudara-saudara lain masuk kembali ke dalam barisan kami, untuk memberi
pengajaran, dan aku juga memohon supaya Moh Lootjianpwee suka memberi penjelasan tentang
kelemahan-kelemahan barisan ini!"
Pelajaran getir yang diberikan oleh Moh Tayhiap kepada sembilan murid Lengsan pay yang
temberang itu, sudah menggirangkan banyak orang. Akan tetapi, mereka merasa, bahwa Moh
Tjoan Seng sudah bertindak keliru dengan mengeluarkan kata-katanya yang paling belakang,
karena Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya bisa celaka, jika mereka masuk kembali ke dalam
barisan itu. Tong Keng Thian juga berpendapat demikian. "Sebenarnya Moh Lootjianpwee harus
mengakhiri pertandingan itu," katanya didalam hati. "Meskipun benar Kioekiong Patkwa tin mereka
masih mempunyai banyak kelemahan, tapi senjata rahasia Lengsan pay bukan main hebatnya.
Walaupun mendapat petunjuk, Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya mungkin tak akan terlolos dari
bencana."
Dengan tetap duduk bersila di atas pentas, Moh Tayhiap menatap wajah Yap Thian Djim dan
berkata dengan suara dingin: "Untuk memecahkan barisanmu, tak perlu dikerahkan begitu banyak
orang. Satu orang saja sudah lebih dari cukup!'
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Muka Yap Thian Djim jadi berwarna hijau kekuning-kuningan, karena menahan amarahnya
yang meluap-luap. Ia menyoja sembari membungkuk dalam-dalam dan berkata: "Aku sungguh
merasa beruntung, jika Moh Lootjianpwee sudi turun tangan sendiri untuk memberi pelajaran. Aku
sungguh merasa berterima kasih!" Bukan saja Yap Thian Djim, tapi semua orang pun menduga,
bahwa Moh Tayhiap ingin turun sendiri ke dalam gelanggang. Siapakah, kecuali ia, yang mampu
memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang diri?
Tapi di luar semua taksiran, Moh Tayhiap bersenyum dan berkata: "Aku, si tua, mana
mempunyai kegembiraan lagi untuk turun ke dalam gelanggang. Biarlah aku memerintahkan
seorang houwpvvee dari Boetong pay untuk menjajal-jajal, untuk mendapat kepastian, apakah
kata-kataku benar atau tidak!"
Semua orang terkesiap dan terheran-heran. Mereka tahu, bahwa di antara murid-murid
Boetong turunan kedua, Loei Tjin Tjoe-lah yang berkepandaian paling tinggi. Dengan
kepandaiannya itu, bertempur satu lawan satu saja belum tentu Loei Tjin Tjoe bisa memperoleh
kemenangan. Mana bisa ia memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang diri!
Keheranan itu juga dirasakan oleh Tong Keng Thian. "Andaikata aku sendiri yang masuk ke
dalam barisan tersebut, aku masih ungkulan untuk memecahkannya jika mereka tidak
menggunakan senjata rahasia," katanya di dalam hati. "Jika mereka menggunakan senjata
rahasia, rasanya aku hanya bisa menolong diriku sendiri. Siapakah di antara houwpwee Boetong
pay yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?"
Selagi semua orang bersangsi, mendadak Moh Tayhiap bertepuk tangan dengan perlahan.
Hampir •berbareng dengan itu, di belakang ruang itu terdengar tindakan kaki. Sebelum orangnya
muncul, semacam wangi-wangian yang sedap sudah memenuhi seluruh ruang.
Semua mata ditujukan ke arah itu dengan tidak berkesip. Di lain saat, dari belakang sekosol
keluarlah seorang wanita yang cantik luar biasa, mukanya bundar laksana bulan, kedua alisnya
yang hitam, lentik melengkung, mulutnya kecil bagaikan buah tho, matanya yang jeli berwarna
kebiru-biruan, sedang pakaiannya yang indah berwarna biru laut. Semua orang terkejut, tapi
orang yang paling kaget tercampur girang adalah Tong Keng Thian, karena wanita itu bukan lain
daripada Pengtjoan Thianlie!
Bahwa Peng Go yang akan datang ke Gobie san memang sudah diduganya lebih dulu. Tapi ia
sama sekali tidak mengira, bahwa si nona bisa muncul secara begitu mendadak.
Begitu keluar, Pengtjoan Thianlie memberi hormat dan berkata dengan suara halus: "Apakah
kau ingin aku memecahkan Kioekiong Patkwa tin? Tapi aku tak ingin melukakan orang."
"Jangan kuatir," kata sang paman. "Jika mereka terluka, aku bisa mengobatinya."
"Tapi aku kuatir, bahwa mereka tetap akan menderita sakit selama kira-kira sebulan," kata si
nona.
Tadi, ketika melihat kecantikan Pengtjoan Thianlie, sembilan murid Lengsan pay itu jadi seperti
mabuk dan lupa kepada pertempuran yang akan terjadi. Tapi begitu mendengar tanya jawab
antara Moh Tjoan Seng dan si nona, seolah-olah kemenangan mereka sudah merupakan suatu
kepastian mutlak, dalam hati mereka lantas saja timbul perasaan mendongkol. Sesudah
mengebaskan pedangnya untuk mengatur Kioekiong Patkwa tin, Yap Thian Djim berkata:
"Walaupun badan kami menjadi hancur lebur, tak nanti kami menyalahkan orang lain, karena yang
harus disalahkan adalah kami sendiri yang tak mempunyai kebecusan. Akan tetapi, senjata tiada
matanya. Nona, kau sendiri pun harus berhati-hati. Jika kesalahan tangan dan pedang kami
menggores mukamu, kami sungguh tak akan sanggup memikul kedosaan yang begitu besar."
Perkataan Yap Thian Djim itu diam-diam dibenarkan para hadirin. Mereka bersimpati terhadap
nona itu yang sangat cantik dan memang benar-benar sayang, jika ia sampai terluka. Akan tetapi,
tak seorangpun berani mencegahnya di hadapan Moh Tjoan Seng.
Pengtjoan Thianlie tertawa angkuh dan menyapu semua lawannya dengan sinar matanya yang
tajam dan agung. Tanpa menjawab perkataan Yap Thian Djim, dengan tindakan enteng ia masuk
ke dalam tin musuh. Menurut keharusan, begitu lekas sang lawan masuk, Yap Thian Djim harus
segera memapakinya dengan senjata. Akan tetapi, karena melihat si nona bertangan kosong, ia
bersangsi dan sesudah mengangkat pedangnya, pedang itu tidak terus ditikamkan ke arah si
nona.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apakah kau takut?" tanya Peng Go dengan suara tawar. "Aku menunggu supaya kamu bisa
mengerahkan tenaga dalammu untuk melindungi diri. Jika tidak berbuat begitu, kamu pasti akan
sakit selama kira-kira sebulan."
Sembilan murid Lengsan pay itu menjadi gusar sekali. Dua Soetee Yap Thian Djim dengan
berbareng maju dan berkata: "Soeheng, guna apa kau berlaku sungkan terhadap perempuan itu?"
Hampir berbareng dengan perkataan itu, mereka menyerang. Yang di sebelah kiri membabatkan
pedangnya dengan gerakan Ganlok pengsee (Belibis jatuh di dataran pasir), sedang yang di
sebelah kanan menikam dengan serangan Hianniauw hoasee (burung sakti menggores pasir).
Kedua serangan itu hebat luar biasa dan menutup jalan mundur Pengtjoan Thianlie dari kiri dan
kanan. Kecuali Loei Tjin Tjoe, yang pernah menyaksikan
keliehayannya, semua murid Boetong menahan napas. Mereka sangat berkuatir, jika si nona
akan terluka.
Pengtjoan Thianlie tertawa nyaring, badannya bergoyang dan sebelum orang bisa melihat
tegas, bagaimana gerakannya, kedua senjata musuh sudah jatuh di tempat kosong. Hampir
seketika itu juga, dengan berbunyi "srt", Pengpok Hankong kiam si nona sudah terhunus. Dengan
serentak, sinar dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar ke seluruh ruangan. Yap Thian
Djim menggigil beberapa kali, sedang kedua Soetee-nya yang barusan menyerang Peng Go dan
masing-masing lweekang-nya lebih lemah, bergemetar seolah-olah berada di tengah lembah es.
"Mundur!" teriak Yap Thian Djim. "Serang perempuan siluman itu dengan senjata rahasia!"
Kioekiong Patkwa tin lantas saja terbuka lebar dan orang-orang yang berada di luar gelanggang
pun serentak mundur supaya berada di luar jarak serangan senjata rahasia. Di lain saat,
berbareng dengan komando Yap Thian Djim. bagaikan hujan gerimis aneka senjata rahasia
menyambar ke arah Peng Go.
"Bagus!" seru si nona sembari menyentilkan jeriji tangannya berulang-ulang. Sesaat itu juga,
Pengpok Sintan berterbangan di tengah udara. Senjata-senjata rahasia yang lebih kecil, seperti
jarum, Thieliantjoe, panah tangan, paku dan sebagainya, jatuh bagaikan bunga rontok beradu
dengan peluru-peluru es itu. Begitu lekas peluru-peluru itu pecah, hawa yang lebih dingin daripada
Pengpok Hankong kiam, meliputi seluruh ruangan. Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan dibuat
daripada kristal es dari lapisan yang sudah berlaksa tahun usianya di pegunungan Nyenchin
Dangla. Hawanya yang luar biasa meresap ke tulang-tulang, sehingga para tamu yang lweekang-
nya agak lemah, lantas saja mundur lebih jauh atau keluar dari ruangan itu. Tak usah dikatakan
lagi, yang menderita paling hebat adalah murid-murid Lengsan pay itu, yang berada di dalam
gelanggang dan beberapa antaranya lantas saja roboh terguling dengan badan lemas.
Senjata-senjata rahasia yang lebih besar, yang tidak terpukul jatuh dengan Pengpok Sintan,
ditangkis oleh si nona dengan pedangnya. Di antara senjata-senjata itu terdapat semacam senjata
rahasia yang berbentuk melengkung dan selagi menyambar, mengeluarkan suara "ung, ung".
Dengan perasaan heran, si nona menyabet dengan Hankong kiamnya. Mendadak, senjata itu
"melompat", berputar sekali di tengah udara dan menyambar pula dada Koei Peng Go.
Menghadapi serangan yang begitu luar biasa, si nona terkejut bukan main. Sekonyong-konyong, di
antara orang banyak terdengar teriakan: "Kimkong tjie!"
Pengtjoan Thianlie yang sudah mahir dalam ilmu itu, buru-buru mementang dua jerijinya dan
menjepit senjata tersebut, yang, biarpun sudah terjepit, masih terus meronta-ronta.
Peng Go menengok dan sinar matanya menyapu seluruh ruangan. Ia melihat Tong Keng Thian
berdiri di antara orang banyak sembari bersenyum, sedang Yap Thian Djim sendiri, dengan wajah
gusar, memegang dua buah lagi senjata aneh itu di kedua tangannya, siap sedia untuk menyerang
pula.
Senjata rahasia itu adalah Hoeihoan kauw, yaitu senjata rahasia Han Tiong San yang paling
kesohor. Selagi terbang, senjata itu bisa membiluk ke sana-sini dan jika tersentuh, dia bisa
berbalik. Di samping itu, Hoeihoan kauw itu adalah senjata yang sangat beracun. Untung juga
lweekang Yap Thian Djim masih kalah jauh dari tenaga dalam si nona. Jika bukan begitu,
Hoeihoan kauw (semacam boomerang) itu tentu tak akan dapat dijepit dengan jari tangannya.
Sementara itu, Yap Thian Djim mengayunkan kedua tangannya dan dua buah Hoeihoan kauw
itu terbang dengan kecepatan luar biasa. Di saat itu, karena tangan kanannya memegang pedang,
Pengtjoan Thianlie tentu tak akan dapat menjepit kedua-dua senjata itu, yang menyambar dari kiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kanan hanya dengan jeriji tangan kirinya. Semua hadirin terperanjat dan mengawasi gerakan
senjata itu sambil menahan napas. Pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak terlihat
berkelebatnya sesosok bayangan biru dan... Koei Peng Go menghilang dari ruangan itu!
Selagi kekagetan para hadirin belum hilang, kedua senjata itu, yang tidak menemukan sasaran
mereka, terus terbang ke arah para tamu sambil mengeluarkan suara "ung, ung, ung". Suasana
menjadi kalang kabut, ada yang melompat menyingkir, ada juga yang mengangkat tangan untuk
menyambutinya. Sekonyong-konyong di tengah udara terlihat menyambarnya dua sinar emas dan
berbareng dengan terdengarnya bunyi: "trang, trang!", kedua Hoeihoan kauw itu terbang kembali,
dengan kecepatan yang lebih besar daripada tadi.
Para hadirin sekali lagi terkesiap, karena orang yang melepaskan dua sinar emas itu
mempunyai lweekang yang sepuluh kali lebih tinggi daripada Yap Thian Djim. Sebenarnya, mereka
ingin sekali mencari tahu, siapa yang melepaskan dua sinar emas itu, tapi mereka tak sempat
berpaling, sebab kedua Hoeihoan kauw tersebut sekarang menyambar ke arah Moh Tjoan Seng.
Moh Tayhiap tersenyum dan mengebaskan lengan jubahnya. Untuk kedua kalinya, dua
Hoeihoan kauw itu terpental kembali, kali ini lebih tinggi, terbangnya, dan dalam sekejap sudah
terbang keluar dari ruang itu, lewat di atas kepala para tamu.
Tiba-tiba Yap Thian Djim mengeluarkan teriakan menyayatkan hati dan tubuhnya terguling di
atas lantai sambil menggigil hebat sekali. Hampir berbareng dengan itu, Pengtjoan Thianlie sudah
berada lagi di tengah gelanggang. Ternyata, ketika kedua Hoeihoan kauw itu menyambar, si nona
telah meloncat ke atas penglari, tapi karena mendongkol kepada Yap Thian Djim yang tanpa
segan-segan telah menggunakan senjata beracun, maka, sebelum meloncat turun, ia lebih dulu
menimpuk jalan darah Tayyang hiat orang she Yap itu, dengan Pengpok Sintan-nya.
"Siantjay! Siantjay!" kata Moh Tjoan Seng sembari merangkapkan kedua tangannya. "Murid-
muridku, lekaslah kamu menolong mereka!' Loei Tjin Tjoe dan sekalian saudara-saudara
seperguruannya lantas saja masuk ke dalam gelanggang dan menggotong sembilan murid
Lengsan pay itu ke ruang belakang untuk diobati. Baru saja keadaan tenang kembali, dari luar
tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menyeramkan.
Dengan penuh keheranan, semua orang menengok ke belakang. Sekonyong-konyong kelihatan
segulung sinar merah melayang di atas kepala mereka dan di lain detik, di tengah-tengah ruang
itu terdapat seorang laki-laki yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah merah. Kedua
mata orang itu bersinar merah seperti api, rambutnya awut-awutan dan rupanya sangat
menyeramkan. Beberapa orang dari tingkatan lebih tua serentak berseru dengan kaget:
"Hiatsintjoe!'
Sementara itu Hiatsintjoe kembali tertawa nyaring dan kemudian, dengan sikap sombong, ia
manggutkan kepalanya kepada Moh Tjoan Seng. "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Kamu
mengadakan pertandingan silat disini, sedikitpun tak ada sangkut pautnya denganku. Tapi kenapa
senjata rahasia terbang di atas kepalaku?" Sembari berkata begitu, ia melemparkan kedua
Hoeihoan kauw itu di atas lantai dan semua orang terkejut, karena senjata rahasia itu sudah patah
menjadi delapan potong.
"Hiatsin Tooyoe," kata Moh Tjoan Seng. "Senjata rahasia houwpwee (orang yang tingkatannya
lebih rendah), mana bisa melukakan kau? Guna apa kau menjadi gusar?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Coba panggil orang yang melepaskan senjata
rahasia itu," katanya dengan sikap memerintah.
"Sekarang mereka sedang menderita demam," kata Moh Tjoan Seng sembari tertawa. "Nanti
sesudah mereka sembuh, kau boleh mencari suami isteri In di Lenglouw san."
In Leng Tjoe suami isteri adalah Tiangloo (orang terkemuka) dari Lengsan pay dan
sebagaimana diketahui, mereka adalah sahabat Hiatsintjoe.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan matanya memandang kepingan-kepingan Hoeihoan kauw di atas
lantai itu. Lantas saja ia mengenali, bahwa senjata itu memang benar adalah senjata rahasia
Lengsan pay.
Kedatangan Hiatsintjoe di Gobie san memang sebenarnya untuk coba-coba mengadu tenaga
dan ia perlu mencari alasan untuk menantang. Sesudah usahanya yang pertama gagal, ia tertawa
dingin dan mengangkat tangannya yang menggengam dua batang Thiansan Sinbong.
"Apakah ini juga senjata rahasia Lengsan pay?" tanyanya, mengejek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Itulah Thiansan Sinbong, senjataku," kata Keng Thian sembari meloncat leluar. "Habis mau
apa kau?"
Ternyata, dua Thiansan Sinbong yang digunakan oleh Keng Thian, telah menancap di Hoeihoan
kauw Yap Thian Djim dan sekarang berada dalam tangan Hiatsintjoe.
Hiatsintjoe melirik Keng Thian. Matanya mencerminkan
kebenciannya, sesaat kemudian ia berkata kepada Moh Tjoan Seng: "Kiatyan ini merupakan
kejadian yang agak langka. Setelah berada disini, aku pun ingin meminta petunjuk-petunjukmu."
Sebenarnya Hiatsintjoe ingin segera menantang Tong Keng Thian, tapi karena merasa segan
akan keangkeran Moh Tayhiap, ia tak berani bertindak secara melampaui batas. Oleh sebab itu,
sebelum menantang, lebih dulu ia meminjam peraturan Kiatyan.
Moh Tjoan Seng tersenyum dan jawabannya adalah di luar dugaan Hiatsintjoe. "Aku merasa
girang, bahwa Tooyoe sudi berkunjung kesini," katanya dengan sabar. "Memberi petunjuk kepada
Tooyoe, sekali-kali aku tak berani. Biarlah aku memerintahkan kemenakanku meminta pelajaran
dari kau. Peng Go! Coba kau melayani Tjianpwee itu dengan Tatmo Kiamhoat."
Tingkatan Hiatsintjoe sebenarnya sama dengan Moh Tjoan Seng. Tapi dengan kata-katanya itu,
Moh Tayhiap seolah olah memandangnya sebagai seorang houwpwee saja. Tak usah dikatakan
lagi, betapa gusar Hiatsintjoe di saat itu, tapi sebelum ia keburu mengumbar napsunya, Pengtjoan
Thianlie sudah berkata sembari tertawa: "Sudah beberapa kali aku menerima pelajaran dari
Tjianpwee itu. Menurut pendapatku, sebaiknya ia berlatih pula selama sepuluh tahun, kemudian
baru datang kesini untuk meramaikan Kiatyan." Dengan berkata begitu, si nona seolah-olah ingin
mengatakan, bahwa jangankan Moh Tjoan Seng, sedang ia sendiri pun masih belum bisa
dikalahkan oleh Hiatsintjoe.
Moh Tayhiap menggelengkan kepalanya dan berkata, seakan-akan menegur: "Ibarat seorang
yang baru keluar dari rumah gubuk, kau tak mengetahui betapa dalamnya laut pada hakekatnya."
Hiatsintjoe merasakan dadanya seperti mau meledak dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia
menghantam Peng Go dengan tangannya yang seperti kipas. "Siluman kecil!" ia mencaci. "Coba
lihat, siapa yang harus berlatih lagi selama sepuluh tahun!”
Dengan penuh kesangsian, Keng Thian tetap berdiri di dalam gelanggang dengan tangan kanan
tetap pada gagang Yoeliong kiam-nya.
Moh Tjoan Seng mengulapkan tangannya sembari tertawa: "Kau juga ingin Kiatyan? Sekarang
belum tiba giliranmu. Mundurlah dulu."
Keng Thian lantas saja kembali ke tempat duduknya, sedang Hiatsintjoe sudah mulai bertempur
dengan Pengtjoan Thianlie. Dengan tangannya yang lebar, ia coba mencengkeram. Dengan
mudahnya Peng Go menghindari serangan itu. Begitu lekas serangannya yang pertama gagal,
Hiatsintjoe membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya dan kemudian mendorong ke
depan dengan perlahan.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan "aya!" dan seorang tamu roboh dari kursinya dalam
keadaan pingsan. Beberapa ahli silat yang duduk berdekatan menjadi kaget dan lantas saja
menolong orang itu.
Harus diketahui, bahwa Hiatsintjoe memiliki ilmu yang sangat aneh. Kedua tangannya, yang
sudah dikeset kulitnya, berwarna merah bagaikan darah dan tulang-tulangnya bisa dilihat nyata.
Tapi itu belum seberapa. Yang lebih hebat lagi adalah setiap pukulannya, yang disertai sambaran
angin yang sangat panas. Karena itu, para tamu dibarisan depan, terutama yang lweekang-nya
masih agak lemah, tak kuat menghadapi hawa panas itu. Salah seorang antaranya menjadi
pingsan. Di lain saat, sejumlah orang lantas saja mundur ke bagian belakang.
"Jangan berlagak disini!" kata Pengtjoan Thianlie sembari mengebaskan pedangnya. Suatu
gelombang hawa dingin menjalar ke empat penjuru dan hawa panas lantas saja sirap. Para tamu
menjadi girang sekali dan berapa antaranya segera maju pula ke depan, supaya bisa menyaksikan
pertempuran itu dari jarak dekat.
Hiatsintjoe lantas saja menyerang bagaikan singa gila. Ia menubruk ke kiri-kanan, ke depan
dan ke belakang, melancarkan pukulan-pukulan kilat yang disertai dengan hawa panas. Peng Go
melayaninya dengan kegesitan luar biasa. Sesudah bertempur beberapa lama, gerak-gerik mereka
sudah tak dapat diikuti pula oleh mata para penonton; hanya sesosok bayangan biru kelihatan
berkelebat-kelebat ke sana-sini, sedang hawa panas itu saban-saban menjadi buyar karena hawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pengpok Hankong kiam yang sangat dingin. Dengan cepat mereka sudah bertempur seratus jurus
lebih, tanpa ada yang keteter.
Moh Tayhiap menonton dengan penuh perhatian. Saban-saban ia manggutkan kepalanya. Tiba-
tiba ia tertawa dan berkata: "Kalian boleh dikatakan setanding, baik dalam serangan maupun
pembelaan diri, tak ada pukulan yang salah.
Mengenai Hiatsin Tooyoe, hanya tenaganya belum dapat dikeluarkan semua. Peng Go,
kegesitanmu sudah bisa dikatakan cukup baik, juga dalam membela diri kau sudah cukup tangguh.
Tapi kau harus mengerti juga, bahwa ilmu silat, pada dasarnya sama dengan ilmu perang. Untuk
memperoleh kemenangan, kita harus bisa melakukan serangan tiba-tiba yang tak terduga. Dalam
hal ini, kau belum dapat menyelami seluruh intisari Tatmo Kiamhoat." Sesudah berkata begitu, ia
mulai memberikan petunjuk-petunjuk, baik kepada Hiatsintjoe, maupun kepada kemenakannya
sendiri. Semua petunjuk itu termasuk dalam bidang ilmu silat yang sangat tinggi, dan hanya
dimengerti oleh Tong Keng Thian serta beberapa orang lain.
Hiatsintjoe tercengang berbareng gusar. Meskipun tingkatnya sebenarnya sama dengan Moh
Tjoan Seng. Akan tetapi, ia mendapat kenyataan, bahwa Moh Tayhiap mengenal segala rupa ilmu
silatnya dari awal sampai akhir, dan setiap petunjuknya juga diberikan secara jujur. Oleh sebab
itu, meskipun merasa dirinya dihinakan sebagai seorang houwpwee, Hiatsintjoe, terpaksa
membungkam saja Di lain pihak, sesudah mendapat petunjuk pamannya, serangan-serangan
Pengtjoan Thianlie semakin lama jadi semakin hebat.
Hiatsintjoe tahu, bahwa lweekang-nya setingkat lebih tinggi daripada tenaga dalam si nona.
Oleh sebab itu itu, ia menjadi gemas. Penasarannya memuncak sesudah bertanding hampir dua
ratus jurus dan lawannya masih belum keteter. Mendadak, sambil tertawa menyeramkan dan
dengan tulang-tulang di seluruh tubuhnya berbunyi kratak-krotok, ia menabas dengan kedua
tangannya. Bukan main hebatnya pukulan itu yang di kirimkan dengan seantero tenaganya. Suatu
lingkaran yang bergaris tengah kurang lebih setombak tertutup oleh tenaga pukulannya yang
berhawa panas.
Semua orang terkesiap, Keng Thian sendiri hampir-hampir mengeluarkan teriakan.
Sekonyong-konyong pinggang Koei Peng Go kelihatan bergerak dan hampir di saat itu juga,
pedangnya diputarkan bagaikan titiran. Di saat itu juga, seluruh ruangan seakan-akan dikelilingi es
dan tubuh si nona sendiri terkurung di tengah sinar pedangnya. Kecuali Tong Keng Thian yang
masih bisa melihat tegas gerakan si nona, mata semua tamu menjadi kabur dan yang masih bisa
dilihat mereka, hanyalah segulung sinar putih.
Melihat pembelaan diri yang begitu rapat, kedua tangan Hiatsintjoe terhenti di tengah udara
dan untuk sedetik, ia ragu-ragu untuk menubruk terus. Tiba-tiba si nona mundur setindak dan dari
suatu kedudukan yang tidak lazim, secara tak terduga, ia menikam dengan pedangnya. Dengan
hati mencelos Hiatsintjoe mengangkat kedua tangannya untuk melindungi dadanya. "Srt!",
bagaikan kilat kilat, pedang si nona menyambar dan sebagian rambut Hiatsintjoe terpapas putus!
Bukan main girangnya Tong Keng Thian. Ia tahu, bahwa tenaga dalam si nona masih kalah
setingkat dari lawannya dan sedari tadi ia terus berkuatir. Sungguh di luar taksirannya, bahwa
dalam menghadapi bahaya, Peng Go bisa melakukan dua serangan berantai luar biasa yang
ternyata telah berhasil baik. Kedua serangan itu adalah pukulan-pukulan rahasia dari Tatmo
Kiamhoat, yang satu Haysiang benghee (Awan terang di atas laut), yang lain adalah Itwie
touwkiang (Selembar rumput menyebrangi sungai).
Keng Thian tidak tahu, bahwa sesudah tiba di kuil Kimkong sie, Pengtjoan Thianlie telah
mendapat petunjuk-petunjuk penting mengenai Tatmo Kiamhoat dari pamannya. Karena
kepandaiannya sendiri memang sudah tinggi, beberapa petunjuk itu saja sudah cukup untuk
memungkinkan ia menyelami intisari Tatmo Kiamhoat. Ditambah dengan keistimewaan
pedangnya, yang bisa menindih hawa panas dari pukulan Hiatsintjoe, Pengtjoan Thianlie telah
memperoleh hasil, meskipun lweekang-nya masih kalah dari lawannya
Darah Hiatsintjoe mendidih. Dapat dimengerti, bahwa ia merasa penasaran sekali, karena
pamornya telah diturunkan seorang houwpwee. Sambil menggeram bagaikan harimau terluka, ia
mengumpulkan semangatnya dan menyerang lagi secara mati-matian. Berturut-turut, ia
mengirimkan delapan belas serangan yang paling diandalkannya, akan tetapi, biarpun Peng Go
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

terdesak mundur, ia masih belum bisa menarik keuntungan yang berarti. Semakin lama ia jadi
semakin bingung.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, mendadak, dengan mata menyala-nyala, ia menyalurkan
seluruh tenaganya ke sepasang tangannya. Kemudian, dengan gerakan Paysan oentjiang
(Mengatur gunung menggerakkan tangan), ia menghantam sekuat-kuatnya. Sungguh dahsyat
pukulan itu! Sinar pedang si nona bergoyang-goyang, garis pembelaannya terpukul pecah dan,
dengan jantung berdebar keras, semua orang menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie tentu akan
roboh di bawah pukulan itu!
Tiba-tiba, sebelum orang mengetahui apa yang terjadi, Hiatsintjoe mengeluarkan teriakan keras
dan menubruk lantai, disusul dengan suara gemuruh, debu dan kepingan-kepingan batu muncrat
ke atas serta tiang-tiang di ruang itu bergoyang-goyang. Ternyata, Hiatsintjoe sudah jatuh
terguling dengan kedua tangannya menghantam lantai yang jadi berlubang besar!
Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: "Peng Go, lekas minta maaf kepada Tjianpwee."
Hiatsintjoe melompat bangun dengan muka pucat bagaikan kertas. Tanpa mengeluarkan
sepatah kata, ia lari keluar dan sebelum Pengtjoan Thianlie bisa membuka mulut, ia sudah tak
kelihatan bayang-bayangnya lagi. Kenapa bisa terjadi begitu?
Sebagaimana diketahui, Iweekang Koei Peng Go masih kalah dari lawannya dan ia sebenarnya
tak akan bisa menangkis pukulan Paysan oentjiang yang di kirimkan oleh Hiatsintjoe dengan
seantero tenaganya. Akan tetapi, sesudah mendapat petunjuk pamannya, ia mengerti, bagaimana
harus melayaninya. Ketika Hiatsintjoe menubruk, sedang kedudukannya sangat berbahaya,
dengan kecepatan yang tak bisa dilukiskan, ia melompat ke belakang Hiatsintjoe sembari
menimpuk dengan tujuh butir Pengpok Sintan yang semuanya jitu sekali mengenai jalan darah
musuh. Pada ketika itu, Hiatsintjoe tengah mengerahkan Seantero tenaganya di kedua tangannya,
sehingga tubuhnya tak mempunyai pembelaan lagi. Dalam keadaaan begitu, jangankan sampai
tujuh butir, sedangkan sebutir Pengpok Sintan saja sudah akan cukup untuk merobohkannya.
Pertempuran yang luar biasa itu sudah menggetarkan hati semua penonton. Sejumlah tamu
yang semula mengandung niatan kurang baik, menjadi gentar dan ramai-ramai mundur ke bagian
belakang.
Baru saja keadaan menjadi tenang kembali, mendadak terlihat berkelebatnya sesosok
bayangan manusia. Di lain detik, tahu-tahu orang itu -- satu toosoe (imam) yang mengenakan
jubah kuning —— sudah berdiri di depan pentas ceramah. Moh Tjoan Seng yang sedari tadi terus
bersila, sekarang berdiri, suatu tanda bahwa orang yang baru datang itu bukan seorang
houwpwee.
Dengan heran, semua mata mengawaskan imam itu yang ternyata berparas agung dan sebelah
tangannya memegang hudtim (kebutan debu). Antara begitu banyak tamu tak satu pun yang
mengenal imam tersebut dan mereka sangat kepingin tahu, siapa sebenarnya orang itu yang agak
disegani oleh Moh Tayhiap.
Sambil menggoyangkan hudtim-nya, si toosoe tertawa bergelak-gelak seraya berkata: "Moh
Lootauwtjoe (orang tua she Moh) aku juga ingin Kiatyan!" Sehabis berkata begitu, ia
mengebaskan hudtim-nya dan ribuan bulu hudtim itu lantas saja menjadi tegak, seolah-olah kawat
baja. Pengtjoan Thianlie, yang masih menggengam pedang terhunus, segera menangkis hudtim
itu yang dihantamkan ke arahnya.
"Peng Go, mundur!" perintah Moh Tjoan Seng.
Dengan berbunyi "tring...", Pengpok Hankong kiam itu terpental. "Sungguh sayang jika sampai
terluka," kata si imam sembari tertawa dingin. "Kau bukan tandinganku. Moh Lootauwtjoe, kenapa
kau masih belum mau turun?"
Sekonyong-konyong, dengan suatu gerakan yang sangat indah, tubuh Tong Keng Thian
meluncur ke depan dan hinggap di antara Pengtjoan Thianlie dan imam itu.
"Dulu aku sudah mengampuni jiwamu," kata si imam. "Sekarang kau berani datang lagi?"
"Hongsek Toodjin!" bentak Keng Thian. "Jangan kurang ajar! Moh Lootjianpwee mana mau
melayani manusia semacam dirimu. Mari, mari! Aku bersedia melayani kau." Sehabis membentak,
ia menghunus Yoeliong kiam-nya dan menyerang dengan sekali bergerak.
Hongsek Toodjin yang sudah mengenal keliehayan pedang itu, tidak berani berlaku ayal dan
segera menangkis dengan hudtim-nya. Dengan suatu gerakan yang luar biasa, tanpa berkisar, ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

membalikkan hudtim-nya dan menghantam pedang Keng Thian dengan gagang kebutan. "Trang!",
Yoeliong kiam si pemuda terpental! Hongsek mengangsek dan seperti ribuan kawat baja, hudtim
itu menyambar kepala Keng Thian.
Melihat serangan yang hebat itu, buru-buru Keng Thian mengeluarkan Thaysiebie Kiamhoat
untuk melindungi dirinya. Di lain pihak, dengan sekali melompat, Hongsek sudah melewati Keng
Thian dan tiba kembali di depan pentas untuk segera menyerang Moh Tjoan Seng, guru besar dari
Rimba Persilatan di seluruh wilayah Tionggoan.
Dengan kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, biarpun bukan tandingan Hongsek, Keng
Thian masih bisa mempertahankan diri dalam lima puluh jurus. Akan tetapi, imam itu yang
bermaksud untuk mengangkat derajat partai Khongtong pay, sungkan berurusan lama-lama
dengan pemuda itu. Itulah sebabnya, mengapa begitu bergebrak, ia segera menyerang hebat
sekali supaya Keng Thian tak bisa merintangi gerak-geriknya.
Keng Thian terkejut bukan main. Ia ingin menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi, karena
Hongsek sudah berhadapan dengan Moh Tjoan Seng. Walaupun ia yakin, bahwa imam itu tak
akan bisa mencelakakan Moh Tayhiap, akan tetapi, jika guru besar itu sampai terpaksa turun
tangan sendiri dan tak bisa menjatuhkan lawannya dalam sepuluh jurus, Rimba Persilatan di
wilayah Tionggoan akan mendapat malu besar dan pertemuan Kiatyan tak akan bisa dilakukan
lagi.
Pada detik yang memutuskan, sekonyong-konyong, tubuh Pengtjoan Thianlie melayang ke
depan pentas dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, si nona lalu membacok dengan pukulan
Hoeipo lioetjoan (Air tumpah solokan mengalir), yaitu salah satu pukulan terliehay dari Pengtjoan
Kiamhoat yang diciptakan oleh ayah dan ibunya.
Hongsek memanggil dan ia terpaksa menangkis dengan hudtim-nya. "Bocah!" ia membentak.
"Apakah kau juga mencari mampus?"
Sehabis mencaci, ia menarik pulang hudtim-nya Peng Go yang sudah tak keburu menarik
pulang pedangnya, lalu mendorongnya untuk menikam dada Hongsek. Tiba-tiba ia merasakan
senjatanya terjepit dan tertarik oleh suatu tenaga yang besar luar biasa. Harus diketahui, bahwa
senjata Hongsek bisa menjadi "keras" dan juga bisa "lemas". Tadi, ia sengaja "melemaskan" bulu-
bulu hudtim-nya untuk memancing masuknya Pengpok Hankong kiam. Begitu pedang itu
menerobos masuk, dengan menggunakan Djioekin (tenaga "lemas"), ia menggubatnya dan
kemudian, dengan tenaga Yangkong (tenaga "keras"), ia menggencet dan menarik pedang itu.
Peng Go merasakan lengannya kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong kiam-nya terlepas
dari genggamannya.
Ketika si nona sudah hampir tak dapat bertahan lagi, tenaga Hongsek yang tengah menarik
dengan hebatnya, tiba-tiba hilang. Ternyata, penolong itu adalah Keng Thian yang telah menikam
punggung musuh dengan pedangnya. Walaupun memiliki lweekang yang sangat tinggi, Hongsek
tak berani memandang enteng kepada Yoeliong kiam. Mau tak mau, ia menarik hudtim-nya untuk
menangkis pedang Keng Thian. Peng Go tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan bagus
itu. Dengan beruntun ia mengirimkan tiga tikaman ke arah tiga jalan darah musuh. Tapi Hongsek
benar-benar liehay. Dengan mengebaskan lengan jubahnya, ia memunahkan tiga serangan itu dan
hampir berbareng dengan itu, sembari memutarkan badannya, lengan jubahnya menyampok Keng
Thian yang jadi sempoyongan dan harus mundur beberapa tindak.
Orang-orang dari cabang-cabang persilatan yang menyeleweng lantas saja bersorak-sorai,
sedang mereka dari cabang-cabang persilatan yang tulen jadi terkejut dan merasa kuatir untuk
keselamatan kedua orang muda itu. Mereka tidak tahu, bahwa barusan Hongsek Toodjin telah
"lolos dari lubang jarum." Di luar, imam itu tampaknya telah memukul mundur Keng Thian dan
Peng Go dengan mudah sekali. Akan tetapi, sebenarnya, ia telah berada dalam kedudukan yang
sangat berbahaya. Hanya karena Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian belum mendapat
kesempatan untuk berlatih bersama-sama (sehingga di antara mereka belum terdapat kecocokan
yang sempurna), maka Hongsek Toodjin sudah bisa meloloskan diri dari serangan itu. Jika
bukannya begitu, andaikata ia terlolos dari Pengpok Hankong kiam si nona, jangan harap ia bisa
terlolos dari Yoeliong kiam si pemuda.
Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus. Semakin lama kerja sama
antara Peng Go dan Keng Thian jadi semakin baik. Menyerang maupun membela diri dapat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dilakukan secara saling bantu membantu yang semakin lancar. Keunggulan ilmu pedang Pengtjoan
Thianlie terletak pada kegesitan dan keanehan pukulan-pukulannya, sedang keunggulan Kiamhoat
Tong Keng Thian terletak pada kemahirannya. Dengan masing-masing memiliki
keunggulan-keunggulan itu, mereka berdua bisa saling menambal bagian masing-masing yang
agak lemah. Demikianlah, meskipun Hongsek berkepandaian lebih tinggi, sesudah bertempur agak
lama, sebaliknya dari bisa mendesak, ia sendiri akhirnya yang terdesak.
Sesudah berhasil menindih keganasan sang lawan, diam-diam Keng Thian melirik Peng Go. Tapi
ia jadi kecewa, karena dari paras si nona, tak dapat ditaksir bagaimana perasaannya. Wajah Peng
Go kelihatan seperti girang, jengkel dan gusar bercampur menjadi satu. "Biarlah, sesudah
pertempuran ini berakhir, aku akan coba memberi keterangan kepadanya," kata Keng Thian di
dalam hatinya.
Dalam pertempuran antara jago dan jago, setiap pihak tak boleh memecah perhatiannya. Maka
begitu lekas pikiran Keng Thian ketarik ke jurusan lain, garis pembelaannya lantas saja menjadi
tak sekokoh tadinya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik itu, Hongsek segera mengirimkan
serangan berantai. Pengtjoan Thianlie terkejut, buru-buru ia memberikan pertolongan.
Sesudah mendapat pelajaran itu, Keng Thian tak berani memikirkan soal-soal lain lagi. Sembari
mengumpulkan semangatnya dan memusatkan seluruh perhatiannya, ia terus bersilat dengan
Thaysiebie Kiamhoat-nya. Segera juga, Yoeliong kiam-nya sudah merupakan tirai sinar putih yang
melindungi dirinya sendiri dan Peng Go dengan berbareng. Thaysiebie Kiamhoat adalah ilmu yang
paling liehay dari Thiansan pay. Jika ilmu itu digunakan hanya untuk membela diri, pengaruhnya
akan lebih besar lagi dan pertahanannya jadi sedemikian rapat, sehingga agaknya, seakan-akan
tak dapat ditembusi angin maupun hujan. Dengan mendapat perlindungan Keng Thian, Pengtjoan
Thianlie menjadi bebas untuk menyerang musuh itu dengan pukulan-pukulan Tatmo Kiamhoat
yang sangat dahsyat.
Bagi banyak orang, pertempuran itu adalah pertempuran terhebat yang mereka pernah melihat.
Sambil menahan napas, semua tamu menantikan kesudahannya dengan mata tidak berkesip.
Selagi pertempuran itu berlangsung dengan serunya, sekonyong-konyong di luar ruangan
terdengar suara tertawa yang ramai aneh. Keng Thian terkesiap. Ia tahu, bahwa Kim Sie Ie lagi-
lagi datang mengacau. Tapi selagi menghadapi lawan berat, ia tak berani memecah perhatiannya.
Semua orang lantas saja ramai-ramai menengok keluar. Mereka mendapat kenyataan, bahwa
belasan toosoe Boetong pay sedang memasuki ruang itu, sembari melompat-lompat dan tertawa
aneh tiada habisnya.
Bukan main gusarnya Loei Tjin Tjoe. Sembari membungkuk, ia berkata kepada Moh Tjoan
Seng: "Pengemis gila yang kemarin lagi-lagi datang mengacau. Mohon Tjouwsoe memberi
hukuman kepadanya." Dalam kegusarannya terhadap Kim Sie le, ia lupa, bahwa seorang yang
berkedudukan tinggi seperti Tjouwsoe-nya, tak boleh sembarang turun tangan terhadap seorang
houwpwee seperti Toktjhioe Hong-kay.
Dalam sekejap, belasan toosoe itu sudah masuk ke ruang sembahyang dan mereka diikuti
seorang pemuda tampan. Pemuda itu mengenakan pakaian indah yang robek di beberapa bagian,
sedang kedua tangannya —- yang memegang tongkat – tiada hentinya diangkat untuk menggiring
rombongan toosoe itu selaku gembala mengendalikan rombongan bebeknya.
Begitu mendengar nama "Toktjhioe Hongkay," semua orang terperanjat.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Ramai benar! Sungguh ramai!" ia berteriak. Belum sempat
ia meneruskan perkataannya, muka Moh Tayhiap berubah dan sebelah tangannya melontarkan
sejumlah biji tasbih. Bagaikan kilat, biji-biji itu terbang di tengah udara dan hampir di saat itu juga,
suara tertawa itu serentak berhenti!
Pada saat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi, suatu kesunyian yang menyeramkan...
Mendadak, mendadak saja, di luar terdengar seruan: "Sungguh ramai! Aku pun ingin turut
meramaikan Kiatyan!"
Hampir berbareng dengan habisnya suara itu, sesosok bayangan manusia melesat ke depan
pentas dan orang itu lantas saja menerjang Moh Tjoan Seng. Pada detik itu juga, Koei Peng Go
yang gesit luar biasa, sudah meninggalkan Hongsek Toodjin dan menghadang di depan pentas.
"Trang!" Peng Go terhuyung, lengannya kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong kiam-
nya terlepas!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Penyerang itu ternyata adalah seorang laki-laki yang badannya kurus tinggi, rambutnya terurai
di kedua pundaknya dan mukanya lebih menakutkan daripada muka Toktjhioe Hongkay Kim Sie
Ie. Peng Go kaget tak kepalang, karena lweekang orang itu bahkan lebih kuat daripada Hongsek
Toodjin.
Tentu saja, para hadirin juga terkejut, tapi yang paling terperanjat adalah Tjia In Tjin, karena ia
mengenal penyerang itu sebagai si manusia aneh yang sudah mengutungkan lidah sejumlah murid
Boetong.
"Tongbeng Tooyoe," kata Moh Tjoan Seng dengan tenang. "Apakah kau masih belum bisa
melupakan peristiwa yang terjadi empat puluh tahun berselang itu?"
Ketika mendengar perkataan itu, para ahli silat yang sudah berusia lima puluh tahun lebih
lantas saja, mengetahui siapa orang aneh itu. Kurang lebih empat puluh tahun sebelum hari itu,
gua Kouwtiok tong di gunung Koenloen san, didiami seorang pertapaan yang dikenal dengan
nama Tongbengtjoe. Entah dari mana, ia memiliki ilmu yang aneh. Sering sekali ia mengganggu
orang-orang gagah dari Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan. Ketika itu,
Moh Tjoan Seng masih muda dan semangatnya sedang bergelora. Mendengar kejadian
tersebut, ia segera mendaki Koenloen san dan menantang Tongbengtjoe. Sesudah bertempur
selama setengah hari, ia berhasil merobohkan lawannya dan memaksa Tongbengtjoe bersumpah
untuk tidak berkelana lagi di kalangan Kangouw. Selama empat puluh tahun, Tongbengtjoe
melenyapkan diri dan semua orang menduga, bahwa ia sudah meninggal dunia. Tak dinyana,
pada Kiatyan ketiga ini, ia muncul dengan tiba-tiba.
Teranglah sudah, bahwa kedatangannya sekali ini adalah untuk menantang Moh Tjoan Seng.
Mengenai usia, Tongbengtjoe sepantar dengan Moh Tayhiap. Akan tetapi, jika dilihat dari
wajahnya, ia masih seperti seorang yang baru berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dalam
Rimba Persilatan memang terdapat semacam ilmu yang dapat memepertahankan keremajaan
seseorang. Sesudah empat puluh tahun bersembunyi, Tongbengtjoe muncul kembali dengan
niatan mengukur kepandaian lagi dengan Moh Tjoan Seng. Semua orang menganggap, bahwa
tanpa mempunyai pegangan, ia tentu tak berani datang. Agaknya empat puluh tahun itu telah
dilewatkannya dengan memeras keringat untuk mencari kemajuan dan pada saat itu, tentunya ia
yakin, bahwa kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada Moh Tayhiap.
Tongbengtjoe tertawa lagi. "Moh Tjoan Seng!" katanya. "Kau sekarang sudah menjadi guru
besar, sedang aku masih tetap seorang perantaian. Bukankah ini terlalu tak adil? Aku datang
kesini untuk menanyakan apakah kau mau mengijinkan aku berkelana lagi di dunia Kangouw atau
tidak?"
"Selama empat puluh tahun, banyak sekali perubahan telah terjadi," jawab Moh Tjoan Seng.
"Sedang laut juga sudah bisa berubah menjadi kebun, apalagi manusia? Apakah kau masih mau
mentaati sumpahmu atau akan menghapuskannya, terserah kepada kau sendiri." Dengan berkata
begitu Moh Tjoan Seng ingin mengatakan, bahwa, jika Tongbengtjoe sekarang bisa mengambil
jalan lurus, ia boleh tak usah menunaikan sumpahnya lagi.
Tongbengtjoe tak bisa menangkap maksud Moh Tayhiap, sambil tertawa dingin ia berkata:
"Dulu, dengan kekerasan kau memaksa aku memenjarakan diriku sendiri. Sekarang, untuk kedua
kalinya aku muncul kembali. Aku sendiri tak tahu, apakah aku masih berhak untuk berkelana lagi
di dunia Kangouw. Maka, tak dapat tidak aku mesti meminta pengajaranmu pula."
Moh Tjoan Seng tersenyum. "Apakah di dunia Kangouw orang hanya mengandalkan ilmu silat?"
tanyanya.
Tongbengtjoe tertawa terbahak-bahak. "Dulu aku telah roboh karena tanganmu!" ia berkata
dengan lantang. "Sekarang, juga dari tanganmu, aku hendak merebut kembali kemerdekaanku!"
Ia melompat dan coba menyerang pula.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah menyiapkan tujuh butir Pengpok Sintan dalam kedua
tangannya. Begitu Tongbengtjoe melompat, ia segera menimpuk dengan kedua tangannya.
"Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?" ia membentak sembari
menyentil, tujuh butir Pengpok Sintan itu lantas saja terpental dan lumer menjadi air es. Hampir
berbareng dengan itu, ia melompat sambil mementang sepuluh jerijinya untuk menerkam batok
kepala si nona.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

***

Kim Sie Ie menyatroni Kimkong sie dengan hati mendongkol dan dengan niatan untuk
mengacau. Sebelum masuk, dengan batu kolar ia menimpuk jalan darah belasan murid Boetong
yang menjaga di luar pekarangan kuil. Yang ditimpuk olehnya adalah Siauwyauw hiat (jalan darah
untuk membikin orang tertawa) dan Mayang hiat (jalan darah yang mendatangkan perasaan baal
dan gatal). Sesudah itu, dengan gembira, ia menggiring para korbannya. Tapi sungguh di luar
dugaannya, dengan sekali menimpuk, Moh Tjoan Seng sudah berhasil menolong para murid
Boetong itu. Tiamhiat hoat (ilmu menotok jalan darah) ciptaan Tokliong Tjoentjia adalah ilmu
tunggal yang tidak dikenal oleh orang luar. Dengan ilmu itu, Kim Sie Ie sudah merobohkan banyak
sekali jago dalam Rimba Persilatan dan ia semula menduga, bahwa Tiamhiat hoat tersebut tak
akan dapat dipecahkan oleh siapapun juga.
Oleh sebab itu, ia menjadi kaget sekali, ketika mendapat kenyataan, bahwa Keng Thian dapat
menolong Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya. Ketika dengan sekali menggerakkan tangannya,
Moh Tjoan Seng sudah bisa membebaskan belasan orang yang telah ditotoknya, tentu saja ia jadi
makin terperanjat. Berdasarkan
bunyi biji-biji tasbih itu -- ketika datang menyambar —— ia tahu, jika ia ditimpuk, tak dapat ia
menahannya. Masih untung, bahwa Moh Tayhiap hanya menolong murid-murid Boetong tersebut,
dan tidak turun tangan untuk mencelakakannya. Setelah menyaksikan semua itu, kesombongan
Kim Sie Ie lantas saja berkurang banyak.
Sementara itu, hatinya mencelos ketika mendapat kenyataan, bahwa dengan berendeng
pundak, Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sedang mengerubuti Hongsek Toodjin. Selagi ia
mau mengundurkan diri dari ruangan itu, tiba-tiba muncul Tongbengtjoe, yang lantas dicegat oleh
si nona.
Di saat itu, ketika Tongbengtjoe menubruk Peng Go, pikiran Kim Sie Ie berubah sama sekali.
Biar bagaimana besar rasa bencinya terhadap Tong Keng Thian, tak dapat tidak ia mesti
menolong.
Bagaikan kilat, tangan Tongbengtjoe menyambar kepala si nona. Dengan tak kalah cepatnya,
Peng Go menunduk dengan gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong manggutkan kepala) dan
menyabet dengan Hankong kiam-nya. Begitu serangannya yang pertama meleset, Tongbengtjoe
segera menyusulkan terkamannya yang kedua.
Pada detik itulah, sambil membentak keras, Kim Sie Ie melompat dan menghantam kepala
Tongbengtjoe dengan tongkatnya. Tangan Tongbengtjoe menyambar dan berhasil menangkap
ujung tongkat itu. Dalam gebrakan itu, kedua belah pihak telah mengerahkan lweekang masing-
masing yang sangat tinggi. Begitu tongkatnya ketangkap musuh, badan Kim Sie Ie terhuyung dan
ia terseret dua tindak.
Sekarang, masing-masing memegang sebelah ujung tongkat itu. Tongbengtjoe tertawa
terbahak-bahak dan mendadak, ia memutarkan tongkat itu dan membuat satu lingkaran. Semakin
lama, ia memutarkannya semakin cepat, sehingga meskipun niat menolong, Pengtjoan Thianlie
tidak berani turun tangan, karena kuatir melukakan Kim Sie Ie sendiri. Tiba-tiba Kim Sie Ie tertawa
nyaring dan badannya kelihatan membubung ke atas, sehingga Pengtjoan Thianlie terkejut bukan
main. Di lain saat, ia mendapat kenyataan, bahwa, sedang Tongbengtjoe masih terus memegang
ujungnya, pemuda itu sendiri sudah menunggangi batang tongkat itu. Mendadak terdengar suara
"fui!" dan Kim Sie Ie menyemburkan ludah! Di antara semburan itu, sayup-sayup terdengar
sambaran jarum-jarum halus.
Tadi, Kim Sie Ie sebenarnya sudah berada di bawah kekuasaan musuhnya, sehingga apa yang
dilakukannya benar-benar di luar dugaan Tongbengtjoe.
Hampir berbareng dengan semburan ludah Kim Sie Ie, Pengtjoan Thianlie melompat dan
mengirimkan suatu tingkaman ke punggung musuh, Tongbengtjoe yang mengandalkan ilmu
Pithiat kanghu (ilmu menutup semua jalanan darah), tidak menghiraukan serangan senjata rahasia
Kim Sie Ie dan buru-buru mengebaskan lengan jubahnya untuk menangkis pedang si nona yang
menyambar laksana kilat. Pengpok Hankong kiam itu terpental, sehingga Peng Go terpaksa
meloncat mundur. Sebelum Tongbengtjoe sempat berbalik, ludah Kim Sie Ie sudah mengenai
lehernya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Amarah Tongbengtjoe jadi meluap. Sambil mengertak gigi, ia melontarkan tongkat itu – yang
sedang ditunggangi Kim Sie Ie —— ke tengah udara. Dengan kedua-dua tangannya tetap
memegang tongkat itu erat-erat, Kim Sie Ie berjungkir balik dan selagi badannya melayang turun,
mulutnya berteriak: "Tikam Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng hiat-nya. Dia sudah terkena
senjata rahasiaku yang beracun!"
Lweekang Tongbengtjoe sudah dilatih sampai di tingkatan paling tinggi, sehingga meskipun ia
belum mempunyai badan dewa yang tak bisa rusak, akan tetapi ia percaya, bahwa tubuhnya bisa
menahan segala rupa senjata rahasia dan ditambah dengan Pithiat kanghu, ia yakin, bahwa
badannya cukup kuat untuk melawan segala macam racun. Oleh sebab itu, ia semula tidak
menggubris perkataan Kim Sie le. Di luar dugaannya, sesudah menangkis beberapa serangan
Pengtjoan Thianlie, mendadak ia merasakan jalan darah Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng
hiat-nya baal. Di lain saat, ia merasakan hawa racun menyelusup dari jalan darah ke dadanya! la
terkesiap berbareng gusar.

***

Harus diketahui, bahwa senjata rahasia yang digunakan Kim Sie Ie adalah senjata paling
beracun di kolong langit. Di Pulau Ular terdapat semacam ular yang dinamakan Kimkak Sintjoa
(Ular malaikat yang bertanduk emas), Di kepala ular itu terdapat tulang yang munjul ke atas
seperti tanduk dan bisa ular tersebut hebat luar biasa. Dulu, di waktu Tokliong Tjoentjia
menggunakan ular itu, untuk mencelakakan Phang Eng, hampir-hampir jiwa Phang Eng tidak
ketolongan lagi jika Hie Kok tidak memberikan rumput Lengtjie yang sudah berusia ribuan tahun
kepadanya.
Senjata rahasia Kim Sie Ie, yaitu Hoeitjiam atau jarum yang sangat halus, telah diolah dengan
bisa Kimkak Sintjoa. Sebelum berlatih melepaskan jarum itu bersama-sama dengan semburan
ludah, lebih dulu ia minum obat pemunahnya dan sengaja melukakan tubuhnya sendiri dengan
gigitan ular tersebut, supaya badannya menjadi kebal. Itulah sebabnya, mengapa jarum tersebut
bisa dimasukkan dalam mulutnya tanpa menimbulkan bahaya.
Tapi, jika orang lain terkena serangan jarum-jarum itu, kecuali bila ia berbadan seperti dewa,
begitu darahnya kemasukan racun itu, hawa racun lantas saja menyerang ke jantung dan
menutup semua jalan darahnya, sehingga korban itu tak akan dapat ditolong lagi.
Kim Sie Ie mempunyai beberapa macam jarum beracun. Yang digunakan untuk melukakan
Tong Keng Thian dan Tong Say Hoa, racunnya jauh lebih enteng dan bekerjanya lebih perlahan.
Tapi jarum yang digunakannya terhadap Tongbengtjoe adalah yang terhebat dan bekerjanyapun
sangat cepat lagi ganas sekali.

***

Sementara itu, Kim Sie Ie sudah hinggap di atas lantai. Ia tertawa bergelak-gelak seraya
berkata: "Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?"
Kata-kata itu justru adalah ejekan yang digunakan Tongbengtjoe terhadap Pengtjoan Thianlie.
Kim Sie Ie mengembalikan ejekan itu untuk menyenangkan dan membalaskan sakit hati si nona,
sekalian untuk membangkitkan kegusaran musuh, supaya hawa racun itu bekerja semakin cepat.
Tentu saja Tongbengtjoe mengetahui maksud pemuda itu. Sambil menutup mulut, ia
mengerahkan lweekang-nya dan menangkis serangan-serangan Koei Peng Go.
"Dalam dunia tak ada yang bisa memunahkan racun senjata rahasiaku," kata Kim Sie Ie pula
sembari tertawa dingin. "Jika kau suka berlutut tiga kali di hadapanku dan memanggil kakek
kepadaku, dengan memandang muka si cucu, mungkin sekali aku akan mengampuni jiwamu."
Tongbengtjoe mendelik. "Bocah tak kenal mampus!" ia membentak. "Rasakanlah
keliehayanku!" Ia mengebaskan lengan jubahnya untuk memukul mundur Pengtjoan Thianlie dan
kemudian mengirimkan dua pukulan geledek ke arah Kim Sie Ie.
"Semakin banyak kau mengeluarkan tenaga, semakin cepat kau mampus!” Kim Sie Ie mengejek
sambil menangkis dengan tongkatnya yang ujungnya sekali lagi kena ditangkap oleh
Tongbengtjoe.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tadi, dengan mempertaruhkan jiwanya dengan pukulan yang sangat berbahaya, baru ia bisa
terlolos dari bencana. Sekarang, ia tak mau membiarkan dirinya diseret dan diputar-putarkan
sekali lagi oleh musuhnya. Begitu lekas tongkatnya ketangkap, ia mengerahkan tenaganya dan
ilmu Tjiankin toei (ilmu menambah berat badan), untuk memperkuat kuda-kudanya, ia membetot
sekuat-kuatnya.
Di saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah menerjang kembali mengirimkan tiga tikaman kepada tiga
jalan darah musuh yang sudah menjadi baal itu.
Hampir berbareng dengan serangan si nona, terdengar bunyi: "srt" dan tangan Kim Sie Ie
sudah memegang sebatang pedang besi, sedang Tongbengtjoe masih tetap menggenggam
tongkat itu yang sebenarnya sebuah sarung pedang.
Bersama dengan Koei Peng Go, lincah sekali Kim Sie Ie bergerak, menyerang musuh itu.
Pedangnya adalah pedang mustika yang, bila digunakan, mengeluarkan bau amis. Sesudah
bertempur lagi beberapa jurus, sekonyong-konyong Tongbengtjoe melontarkan tongkat Kim Sie Ie
dan lantas saja bersila di atas lantai, sedang kedua tangannya menyambar kian kemari untuk
menangkis setiap serangan. Buru-buru Kim Sie Ie memungut tongkatnya dan kemudian dengan
tangan kiri memegang tongkat dan tangan kanan membekal pedang, ia menyerang pula dengan
hebatnya.
Tongbengtjoe tetap bersila sembari mengerahkan lweekang-nya untuk menahan naiknya hawa
racun, sedang kedua tangannya digerakkan kian kemari, menangkis tiga senjata musuhnya yang
pergi datang menghujani ia dengan pukulan-pukulan membinasakan. Dalam sekejap, keadaannya
sudah sangat berbahaya dan ia hanya bisa membela diri, tanpa mampu membalas menyerang.
Sembari mengejek terus untuk membangkitkan amarah musuhnya, Kim Sie Ie memperhebat
serangan-serangannya. Melihat keadaan lawan, Peng Go —— yang berhati murah -- lantas saja
merasa kasihan. "Sudahlah! Lepaskanlah supaya ia bisa menyingkir dari sini," katanya.
Tongbengtjoe mendelik dan membentak: "Siapa sudi dikasihani olehmu! Jika sekarang kau niat
lari, kau tak akan bisa lari!"
"Lihatlah!" kata Kim Sie Ie. "Ia sendiri yang ingin melaporkan diri kepada Giam Loo-ong.
Siapakah yang bisa merintanginya?" Sembari berkata begitu, ia menghantam kalang kabut.
Peng Go melirik ke bagian lain dan mendapat kenyataan, bahwa Hongsek Toodjin yang dilayani
oleh Keng Thian seorang sedang membalas menyerang dengan pukulan-pukulan dahsyat.
Si nona menjadi kuatir. "Tongbengtjoe sudah mendapat luka berat dan Kim Sie Ie seorang diri
rasanya sudah cukup untuk melayaninya," katanya di dalam hati. Ia segera menarik Hankong
kiam-nya dan mengenjot badannya untuk melompat keluar dari gelanggang. Sekonyong-konyong,
berbareng dengan suatu gerakan tangan Tongbengtjoe, ia merasakan dirinya ditarik oleh suatu
tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia tak bisa meloloskan diri. Justru pada detik itu, Kim Sie Ie
memukul dengan tongkatnya dan musuh terpaksa membagi tenaganya untuk menangkis. Pada
saat itulah Peng Go mengempos semangatnya dan badannya lantas saja melesat keluar
gelanggang. Jantung si nona berdebar keras dan untuk sejenak ia bersangsi. Apa mau, di saat itu
Keng Thian didesak oleh Hongsek dengan serangan bertubi-tubi. Tanpa berpikir panjang-panjang
lagi, ia segera melompat dan menikam punggung imam itu,
untuk menolong Keng Thian.
Dengan bekerja sama, baru saja bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, Keng Thian dan Peng
Go kembali berada di atas angin. Selagi mereka mendesak musuh itu, alis si pemuda mendadak
berkerut dan ia berkata dengan perlahan: "Peng Go Tjietjie, pergi kau membantu Hongkay itu. Tak
usah memperdulikan aku."
Ketika itu Kim Sie Ie sedang dalam bahaya besar. Tadi, ketika ia dan si nona mengerubuti
Tongbengtjoe, ia tidak merasakan tekanan yang luar biasa. Tapi, begitu lekas Peng Go
meninggalkannya seorang diri, tekanan musuh semakin lama jadi semakin berat. Perlahan-lahan ia
merasa seakan-akan suatu tenaga tidak kelihatan menekan seluruh tubuhnya dan sesudah lewat
kira-kira tiga puluh jurus lagi, ia sudah tak dapat bergerak dengan leluasa. Tongkat dan
pedangnya dirasakan sangat berat dan ia harus menggunakan banyak tenaga untuk
mengangkatnya.
Kim Sie Ie kaget berbareng bingung. Sekonyong-konyong, Tongbengtjoe mengubah siasatnya.
Jika barusan ia hanya membela diri, sekarang ia membalas menyerang. Meskipun ia terus bersila,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

tenaganya telah "mengunci" suatu lingkaran yang garis tengahnya setombak lebih. Kedua senjata
Kim
Sie Ie seakan-akan ditempel dengan lem dan badannya terasa dibetot tenaga yang tidak
kelihatan itu. Beberapa kali ia menyemburkan jarumnya, tapi karena musuh itu sudah waspada,
semua jarum beracun itu telah dihalaukan dengan kebasan lengan jubah saja.
Semakin lama, Kim Sie Ie semakin mendekati musuhnya, terseret tenaga luar biasa itu. Ia
mengetahui, bahwa Tongbengtjoe sedang berusaha untuk memusnahkan tenaga lweekang-nya
dan dalam tiga puluh jurus lagi, ia akan kehabisan tenaga seperti lampu yang kehabisan minyak.
Meskipun tak mati, ia akan bercacat seumur hidupnya.
Selagi terengah-engah Kim Sie Ie coba bertahan terus, sekonyong-konyong Tongbengtjoe
membentak: "Bocah! Sekarang baru kau tahu keliehayanku!" Ia membuat sebuah lingkaran
dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, tongkat dan pedang Kim Sie Ie, dua-dua sudah
tertangkap tangannya.
Pada detik itu, kupingnya tiba-tiba mendengar suara Pengtjoan Thianlie. "Tidak," kata si nona.
"Lebih dulu kita membereskan siluman ini, belakangan baru menolong dia." Ternyata Pengtjoan
Thianlie belum tahu bencana apa yang dihadapi Kim Sie Ie, ia ingin merobohkan Hongsek lebih
dulu sebelum membantu pemuda itu. Bagi Kim Sie Ie, kata-kata itu bagaikan pisau yang menikam
jantungnya. Hatinya sakit bukan main. "Dengan suka rela aku membantu kau, tapi kau hanya
memperhatikan bocah itu," katanya dengan perasaan duka. Dengan munculnya kekecewaan itu,
semangatnya musnah dan badannya terbetot keras-keras...
Pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak terdengar teriakan Keng Thian: "Tidak!
Tolong dia lebih dulu!" Hampir berbareng dua Thiansan Sinbong menyambar Tongbengtjoe yang
harus menangkis dengan tangan jubahnya. Karena adanya serangan itu, tenaga yang menekan
Kim Sie Ie menjadi kendur, sehingga pemuda itu keburu memperbaiki kedudukannya dan coba
mempertahankan diri dengan seantero tenaganya. Dengan kedua senjatanya ditangkap musuh,
Kim Sie Ie jadi serba salah, menyerang ia tak bisa, mundur pun tak dapat.
Di lain pihak, sekonyong-konyong Tong Keng Thian mengubah cara bersilatnya. Kalau tadi ia
hanya membela diri dengan Thaysiebie Kiamhoat, adalah sekarang ia juga menyerang dengan
Toeihong Kiamhoat. Diserang dengan pukulan-pukulan hebat yang menyambar-nyambar bagaikan
hujan dan angin,
Hongsek terpaksa berkelahi sembari mundur.
Mendadak, Tong Keng Thian melonjak ke tengah udara dan selagi tubuhnya melayang turun,
bagaikan seekor elang, ia menikam leher Tongbengtjoe dengan Yoeliong kiam-nya. Gerakan itu,
indah dan cepat luar biasa, mengejutkan semua penonton. Hampir pada saat yang sama, suatu
sinar putih berkelebat dan menyambar punggung
Tongbengtjoe. Itulah serangan Pengtjoan Thianlie yang sudah melihat bahaya apa yang
mengancam Kim Sie Ie.
Biarpun berkepandaian lebih tinggi lagi, Tongbengtjoe tak akan bisa melawan serangan-
serangan tiga orang muda itu. Ia melompat bangun sembari mendorong dan tongkat serta pedang
besi Kim Sie Ie, yang terpental akibat dorongan itu, secara tepat menangkis Pengpok Hankong
kiam si nona.
Tapi gerak-gerik Toeihong Kiamhoat cepat luar biasa. Selagi musuh melompat dan membetot,
Keng Thian sudah mengubah gerakan pedangnya dan memapas musuh dari samping. Kedua
tangan Tongbengtjoe yang baru saja digunakan, tak keburu menangkis lagi dan Yoeliong kiam si
pemuda lantas saja mampir dipundaknya!
Tapi Tongbengtjoe benar-benar liehay luar biasa. Berbareng dengan tikaman Keng Thian,
tangannya sudah menghantam, sehingga Keng Thian terhuyung beberapa tindak karena kesambar
anginnya. Demikianlah, sebab harus meloloskan diri, dari pukulan musuh, tenaga tikaman Keng
Thian jadi berkurang. Jika bukan begitu, tulang kipas Tongbengtjoe tentu sudah ditobloskan
pedang Keng Thian.
Sesudah terkena senjata beracun dan kemudian tertikam pedang, buru-buru Tongbengtjoe
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup semua jalan darahnya, sehingga bukan saja
hawa racun dapat ditahan, tapi mengalirnya terlalu banyak darah pun dapat dicegah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Lweekang Tongbengtjoe tak sama dengan lweekang cabang persilatan yang tulen, ia
mempunyai suatu keistimewaan. Jika seorang dari cabang persilatan tulen mendapat luka, ia akan
segera mengerahkan lweekang-nya untuk melindungi diri dan ia tidak boleh menggunakan tenaga
lagi. Di lain pihak, begitu terluka, Tongbengtjoe segera mengumpulkan lweekang-nya di luka itu,
laksana gili-gili membendung air pasang. Jika air pasang itu tak begitu besar, gili-gili itu tentu kuat
menahannya, dan air bah itu tak dapat membahayakan sekitarnya. Demikian juga makna
pergerakan lweekang tersebut.
Tapi, sesudah sembuh dari lukanya, seorang dari cabang persilatan yang tulen akan mendapat
pulang semua tenaga dalamnya, tanpa menderita kerugian apa-apa. Di lain pihak, lweekang
Tongbengtjoe hanya merupakan semacam "tambalan," suatu sumbat sementara saja. Lama-lama,
sumbatan itu akan pecah dan bahaya akan mengancam sekitarnya. Sebagai akibatnya, walaupun
tak mati, orang itu akan bercacat, atau sedikitnya, lweekang-nya akan berkurang banyak.
Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie yang tak mengerti keistimewaan itu, merasa terkejut karena
musuh masih bisa bertempur terus dengan tak berkurang tenaganya.
Tongbengtjoe sangat membenci Kim Sie Ie, dan ia tahu, bahwa di antara tiga musuhnya,
pemuda itulah yang paling lemah. Sembari membentak keras, ia melompat tinggi-tinggi dan selagi
Tong Keng Thian belum keburu memperbaiki kedudukannya, ia menghantam kepala Kim Sie Ie
dengan pukulan yang membinasakan.
Kim Sie Ie mengerti, bahwa ia tak akan kuat menahan pukulan itu, tapi ia mengangkat juga
tongkatnya untuk menangkis dan pedangnya digunakan untuk melindungi dada, agar ia tidak
sampai terpukul mati.
Pada detik itulah, pada saat yang sangat berbahaya, sesosok bayangan berkelebat dan
Pengtjoan Thianlie sudah menghadang di depan pemuda itu. Dengan pukulan Soatyong Nakoan
(Salju meliputi Nakoan), ia membuat setengah lingkaran dari kiri ke kanan. Pukulan itu, pukulan
untuk untuk membela diri dan menyerang dengan berbareng, adalah salah satu pukulan paling
liehay dari Tatmo Kiamhoat. Tapi Tongbengtjoe telah mengerahkan seantero tenaganya dalam
pukulan itu. Dengan disertai sambaran angin dahsyat, tangannya menyambar si nona. Hampir
seketika itu juga, badan Pengtjoan Thianlie meluncur ke tengah udara dan jungkir balik dua kali,
sebelum hinggap lagi di atas lantai. Hanya dengan kegesitannya yang luar biasa dan ilmu
mengentengkan badan yang sudah mencapai kesempurnaan, si nona dapat menolong diri dari
pukulan itu. Jika kena terpukul, ia pasti binasa di bawah pukulan geledek itu. Di lain pihak, bukan
saja maksud Tongbengtjoe gagal, bahkan lengan bajunya pun dirobek sebagian oleh ujung
Hankong kiam.
Begitu terlolos dari bencana, Kim Sie Ie segera menyabet pinggang musuh dengan tongkatnya.
Tongbengtjoe buru-buru menangkis dengan tangan kirinya dan seketika terdengar "tak!", tongkat
Kim Sie Ic terbang ke tengah udara dan bentuknya sudah berubah melengkung. Tapi
Tongbengtjoe pun harus sama-sama menderita, karena dua tulang pergelangan tangan kirinya
menjadi patah dan tangan itu tak dapat digunakan lagi. Darah Tongbengtjoe seolah-olah
mendidih. Dengan nekat ia mengangsek dan sesudah mementalkan tongkat pemuda itu, tangan
kanannya menyambar ke dada orang.
Tapi, sebelum pukulan itu mengenai dada Kim Sie Ie, mendadak Tongbengtjoe merasakan
sambaran angin tajam di belakangnya, itulah pedang Keng Thian yang menikam punggungnya.
Mau tak mau, ia terpaksa memutarkan badan untuk menangkis serangan Tong Keng Thian. Tapi,
dalam kegusarannya, ia tak mau melepaskan Kim Sie Ie mentah-mentah. Selagi memutarkan
badan, ia mementang jerijinya yang berkuku panjang dan menggores dada Kim Sie Ie!
Pada saat itu, dalam gelanggang terjadi lakon belalang diterkam tonggeret dan tonggeret
dicengkeram burung. Tong Keng Thian, yang sedang menyerang Tongbengtjoe, dibayangi oleh
Hongsek Toodjin yang menerjang dari belakang. Ketika itu, Pengtjoan Thianlie baru saja hinggap
di atas lantai. "Awas di belakang!" ia berteriak sembari mengenjot badannya dan menikam
punggung Hongsek Toodjin.
Semua kejadian itu, yang harus dilukiskan panjang lebar, terjadi dalam sekejap mata saja.
Bagaikan kilat Hongsek mengebut punggung Keng Thian dengan hudtim-nya, sehingga pemuda
itu buru-buru melompat ke samping. Tapi Tongbengtjoe sudah siap sedia. Dengan pukulan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tjioehoei ngohian (Tangan memetik lima tali tabuh-tabuhan), lima jeriji tangan kanannya
menggores punggung Keng Thian. "Brt!", baju pemuda itu terrobek di beberapa tempat.
"Srt!", Keng Thian sudah menikam sebelum ia memperbaiki kedudukannya sendiri.
Tongbengtjoe terkesiap. Ia tak nyana, bahwa pemuda itu masih bisa meloloskan diri dari
gencatan dua serangan hebat itu, serangan Hongsek dan serangannya sendiri. Di samping itu, ia
juga tidak mengerti, kenapa keadaan pemuda itu tidak berubah sesudah terkena pukulan
Tjhioehoei ngohian. Harus diketahui, bahwa goresan lima jeriji itu adalah pukulan yang sangat
beracun yang diberi nama Sin-eng Djiauwhoat (Ilmu cengkeraman garuda sakti). Terang-terang,
sebagian bajunya robek dan paling sedikit, kulitnya di bagian punggung tentu mendapat luka.
Tapi kenapa sedikitpun tak kelihatan darah?
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah bertempur seru dengan Hongsek Toodjin. Biarpun ilmu
pedangnya dahsyat luar biasa, tetapi tenaga si nona kalah jauh dari musuhnya dan baru saja
bertanding belasan jurus, keringat sudah mulai mengucur dari dahinya. Keng Thian yang sedang
melayani Tongbengtjoe seorang diri, juga berada dalam keadaan terjepit.
Sembari bertempur, Keng Thian melirik. Ketika itu, hudtim Hongsek terbuka lebar seperti jala
ikan dan sedang menyambar sinar pedang si nona. Keng Thian mengetahui, bahwa si nona
bertahan dengan hanya mengandalkan sinar pedang itu. Jika satu saja di antara ribuan lembar
bulu hudtim itu, dapat menerobos masuk, Peng Go bisa celaka. Semakin lama, sinar pedang itu
semakin tertindih dan semakin ciut pula, sehingga Pengtjoan Thianlie hanya bisa melindungi
kepala, muka, dada dan beberapa bagian badan lain yang sangat penting.
Keng Thian terkejut dan berteriak: "Mari kita berkumpul!" Sekali memecah perhatian, garis
pembelaannya agak terbuka, sehingga hampir-hampir ia kena dihantam oleh Tongbengtjoe. Sengit
sekali ia berbalik menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, tapi gerakannya sudah kena "ditempel"
oleh tenaga Tongbengtjoe dan saban kali ia coba maju, segera juga ia terpukul mundur kembali.
Di lain pihak, seluruh tubuh Koei Peng Go, juga sudah berada di bawah pengaruh hudtim
lawannya dan si nona tak dapat meloloskan diri lagi.
Sementara itu, sesudah dapat menenteramkan hatinya, Kim Sie Ie segera memungut
tongkatnya yang sudah terpukul bengkok dan sudah berubah menjadi semacam gendewa. Sambil
mengerahkan tenaga dalamnya, ia menekuk dan berhasil melempangkan pula tongkat yang
melengkung itu. Sesudah itu ia menerjang pula ke dalam gelanggang dan menyodok punggung
Hongsek dengan tongkatnya. Si imam memutarkan badannya sembari mengebut dengan hudtim-
nya. Tapi serangan Kim Sie Ie itu hanya gertakan belaka dan begitu lekas hudtim sang lawan
lewat di sisi badannya, Kim Sie Ie menotok lantai dengan tongkatnya dan badannya lantas saja
melonjak ke atas. Selagi melayang turun, sekonyong-konyong mulutnya menyemburkan ludah.
Tongbengtjoe gusar bukan main. Dengan gesit, ia mengebaskan tangan jubahnya dan ludah itu
terpukul kembali.
Dalam pertempuran antara jago, menang kalah selalu diputuskan dalam perebutan tempo
sedetik. Serangan-serangan Kim Sie Ic yang aneh lagi tiba-tiba itu, sudah memaksa Hongsek dan
Tongbengtjoe memecahkan perhatian mereka dan saat-saat yang pendek itu sudah digunakan
oleh Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sebaik-baiknya untuk meloloskan diri dari tindihan
musuh.
Di lain saat, mereka bertiga sudah berdiri berendeng pundak —— Peng Go di tengah dengan
Keng Thian dan Kim Sie Ie di kiri kanan -- untuk melawan dua jago tua itu bersama-sama.
Sambil menangkis serangan-serangan Hongsek, Kim Sie Ie mencuri lihat wajah Koei Peng Go.
Ia mendapat kenyataan, bahwa —— dengan wajah berwarna dadu —— si nona justru sedang
melirik Keng Thian. Ketika melihat baju Keng Thian yang robek akibat cengkeraman Tongbengtjoe,
sinar mata Peng Go mengesankan kekuatirannya di samping berterima kasih dan mencinta.
"Apakah kau tak terluka?" ia berbisik.
"Jangan kuatir," jawabnya. "Aku tak apa-apa." Sembari menjawab begitu, pedangnya
menangkis tiga serangan Tongbengtjoe.
Hati Kim Sie Ie sangat berduka. "Ah! Setiap orang mempunyai untung sendiri," pikirnya. Di lain
saat, ia berkata didalam hatinya: "Tong Keng Thian telah dicengkeram Tongbengtjoe, tapi
sedikitpun ia tidak terluka. Ah! Apakah yang kupunya untuk menandingi ia?" Pada detik itu, ia
merasa dirinya kecil. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa Keng Thian telah tertolong baju
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

mustikanya, hadiah Po Tjeng Tjoe -- yang tak ternilai harganya —- kepada ibunya. Karena hatinya
berduka dan semangatnya runtuh, Kim Sie Ie lantas saja merasakan betapa sakit lukanya.
"Celaka!" ia mengeluh sembari mengumpulkan semangatnya untuk bertahan terus. Tongbengtjoe
sudah segera melihat kelemahan itu, ia segera menghantam dada Kim Sie Ie.
Pada saat itu, pedang Kim Sie Ie baru saja terpental disampok hudtim Hongsek Toodjin,
sehingga dadanya terbuka lebar. Hatinya mencelos, karena pukulan Tongbengtjoe sudah tak
dapat dielakkannya lagi.
Kim Sie Ie sudah memejamkan matanya, ketika tiba-tiba Keng Thian melompat dan memukul
pinggangnya. Tubuh Kim Sie Ie lantas saja terpental ke tengah udara. Semua orang terkejut,
sedang Kim Sie Ie sendiri, mula-mula juga menduga, bahwa pemuda itu sengaja mau mengambil
jiwanya dengan kesempatan tersebut. Tapi, sebelum sempat mencaci, ia merasakan badannya
seakan-akan didorong semacam tenaga luar biasa dan dorongan itu sesuai sekali dengan ilmu
mengentengkan badannya sendiri. Ia lantas saja mendusin. Tahulah ia sekarang, bahwa Tong
Keng Thian telah menggunakan ilmu "meminjam tenaga, mengirim tenaga" untuk menolong
jiwanya!
Pukulan Keng Thian itu menggunakan tenaga yang tepat luar biasa. Kelihatannya, ia
menghantam Kim Sie Ie dengan pukulan sungguh-sungguh, tapi sebenarnya, ia hanya mendorong
tubuh pemuda itu dengan tenaga yang telah diperhitungkan cermat sekali. Sebetulnya Keng Thian
belum pernah menggunakan ilmu itu, ilmu istimewa dari Thiansan pay. Sesudah beberapa kali
bertempur melawan Kim Sie Ie, ia mengenal ilmu mengentengkan badan pemuda itu dan dalam
keadaan berbahaya itu, secara untung-untungan ia mencoba ilmu tersebut. Sungguh mujur,
percobaannya yang pertama itu sudah berhasil baik.
Sesudah usahanya berulang-ulang digagalkan oleh ketiga orang muda itu, Tongbengtjoe
menjadi kalap. Dengan gigi dikertak-kertakan nyaring, ia mengebaskan tangan kanannya dan...
loh! lima kukunya yang panjang terlepas dari jerijinya dan menyambar ke arah sepasang mata
Tong Keng Thian! Semua orang terkesiap, tapi Pengtjoan Thianlie yang gerakannya gesit luar
biasa masih keburu menangkis lima kuku itu dengan Pengpok Hankong kiam-nya.
Sementara itu, sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, badan
Tongbengtjoe melesat ke tengah udara, mengejar Kim Sie Ie yang barusan dilontarkan oleh
Keng Thian. Peng Go dan Keng Thian ingin menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi, karena
Tongbengtjoe sudah tiba di belakang Kim Sie Ie.
Melewati kepala para tamu, dari tengah ruangan itu Kim Sie Ie "terbang" keluar dan jatuh di
tangga ruang sembahyang. Tongbengtjoe juga sangat liehay. Bagaikan anak panah yang baru
terlepas dari busurnya, ia menyusul sampai di atas kepala Kim Sie Ie. Sedang badannya masih
berada di tengah udara, bagaikan elang raksasa, ia menyerang batok kepala pemuda itu dengan
kedua tangannya. Dengan kebencian yang meluap-luap -- karena Kim Sie Ie sudah melukakannya
dengan racun ular, yang akan menyebabkan ia bercacat – ia mengumpulkan Seantero tenaganya
di telapakan tangan dan menghantam sekuat-kuatnya. Oleh karena ia memukul dari atas ke
bawah, pukulan itu jadi lebih hebat lagi. Di antara begitu banyak orang mungkin hanya Moh Tjoan
Seng seorang saja yang dapat menyambut serangan itu.
Pada detik itu sedang jiwa Kim Sie Ie tergantung pada sehelai rambut, tiba-tiba terdengar suara
tertawa yang sangat nyaring, disusul suara seorang wanita: "Tooyoe, kenapa kau jadi begitu
gusar?" Badan Tongbengtjoe kelihatan menggigil, pukulannya miring dan entah dari mana, di
depannya sudah berdiri seorang wanita setengah tua berparas sangat cantik. Wanita itu
mengebaskan lengan bajunya dan hampir sedetik itu, sembari mengeluarkan teriakan keras,
Tongbengtjoe terjungkal. Di lain saat, ia sudah bangun kembali dan kemudian duduk bersila di
atas lantai. Sementara itu Kim Sie Ie sendiri sudah kabur dari Kimkong sie. Wanita itu
mengeluarkan suara "ih!" dan bergerak seperti mau mengejar, tapi setelah melihat Tongbengtjoe
yang sedang bersila, ia mengurungkan niatannya.
Suatu peristiwa yang sangat luar biasa telah terjadi pada ketika itu. Rambut Tongbengtjoe yang
tadi masih berwarna hitam berkilau, dengan mendadak berubah menjadi putih layu, sedang
mukanya, yang semula licin dan berisi, tiba-tiba menjadi kisut, berkeriput sebagai wajah seorang
kakek. Dalam sekejap mata, dari seorang yang tampaknya baru berusia kurang lebih empat puluh
tahun, ia sudah berubah menjadi seorang tua yang berbadan lemah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sekali lagi wanita itu mengeluarkan suara "ih!". Perlahan-lahan ia menghampiri Tongbengtjoe
dan sembari merangkap kedua tangannya, ia berkata dengn perlahan: "Maaf, maaf! Tooyoe,
jalanlah baik, baik!"
Mulut Tongbengtjoe bergerak dan memperlihatkan senyumnya yang menyeramkan. Ia
membuka kedua matanya dan dengan napas tersengal-sengal, ia berkata: "Jatuh dalam
tanganmu, dapat dikatakan cukup berharga." Sehabis berkata begitu, matanya dipejamkan dan
rohnya pulang ke alam baka!
Kejadian itu hampir tak dapat dipercaya oleh semua tamu yang berada di ruangan itu.
Andaikata Moh Tjoan Seng turun tangan sendiri, menurut taksiran, paling banyak ia hanya dapat
menangkis serangan Tongbengtjoe. Tapi wanita itu, dengan kebasan lengan baju sekali saja,
sudah dapat mengambil jiwa Tongbengtjoe.
Keng Thian sudah memburu untuk menolong Kim Sie Ie. Di luar dugaan, dalam jangka waktu
sependek itu, sudah terjadi beberapa peristiwa luar biasa itu. Kaburnya Kim Sie Ie, munculnya
seorang wanita yang tak dikenal dan kebinasaan Tongbengtjoe! Dengan mata yang penuh
pertanyaan, ia mengawaskan wanita itu yang berparas cantik, angker, agung dan penuh welas
asih. Jantung Keng Thian berdebar keras. "Apakah ia bukannya Tjianpwee yang sangat dihormati
oleh kedua orang tuaku?" tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, sembari merangkap kedua tangannya, Moh Tayhiap sendiri sudah turun dari
pentas dan menghampiri dengan sikap menghormat. "Siantjay! Siantjay!" katanya. "Tongbengtjoe
sekarang sudah berpulang ke alam bahagia. Secara kebetulan Liehiap sudah menjalankan tugas
ini."
Wanita itu membalas penghormatannya seraya berkata: "Semenjak pertemuan di Tangpeng,
sampai sekarang sudah lewat tiga puluh tahun. Moh Loosoe, kau telah mendapat kemajuan jauh
sekali dalam pertapaanmu dan sekarang akhir yang penuh bahagia sudah menunggu di depan
pintu. Begitu lekas menerima surat, buru-buru aku datang kesini untuk turut mengantar. Hanya
secara tak disengaja, aku sudah membuka larangan membunuh. Meskipun kebinasaan
Tongbengtjoe bukan seluruhnya disebabkan olehku, tapi hatiku juga merasa sangat menyesal." Ia
berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Selama tiga puluh tahun, banyak sekali perubahan
telah terjadi. Tak dinyana, di antara houwpwee banyak muncul orang pandai, seperti juga
gelombang yang di sebelah belakang mendorong gelombang yang di sebelah depan. Kejadian ini
benar-benar menggirangkan." Ia berpaling kepada Keng Thian dan menanya: "Pernah apakah kau
dengan Siauw Lan?"
Keng Thian terkesiap karena ternyata, dengan melihat ilmu mengentengkan badannya saja,
wanita itu sudah bisa menebak asal-usulnya. Ia sudah yakin, bahwa Tjianpwee itu mestinya
adalah Liehiap yang sangat dikagumi kedua orang tuanya. Dengan sikap sangat menghormat, ia
segera berlutut. "Ialah ayahku," jawabnya. "Apakah Lootjianpwee bukan Lu Soe Nio dari Binsan?"
Wanita itu mengangkat tangannya dan Keng Thian merasakan semacam tenaga yang tak
kelihatan, mengangkat tubuhnya, sehingga Lu Soe Nio hanya menerima separuh pemberian
hormatnya. "Dengan mempunyai putera sebagai dirimu, Siauw Lan dan Phang Eng sungguh harus
diberi selamat," katanya sembari tertawa. "Ah. Saudara Tjoan Seng! Sang tempo jalannya cepat
luar biasa. Dalam sekejap mata, kawan-kawan lama kita hanya ketinggalan beberapa orang saja!"
Setelah mendengar, bahwa wanita cantik itu adalah Lu Soe Nio yang namanya kesohor di
seluruh negeri, para hadirin terkejut berbareng kagum. Serentak mereka berdiri untuk memberi
hormat kepada pendekar wanita itu.
Lu Soe Nio adalah salah seorang dari Kanglam Tjithiap (Tujuh Pendekar Daerah Kanglam).
Sesudah membinasakan Liauw In, kakak seperguruannya yang menjadi penghianat, kemudian
membunuh Yong Tjeng, puluhan tahun lamanya ia hidup bersembunyi, tak pernah ia muncul
dalam Rimba Persilatan, sehingga banyak orang menduga, bahwa ia sudah meninggal dunia. Tapi
ternyata, bukan saja ia masih hidup dan gagah, tapi wajahnya pun masih begitu muda. Dalam
tingkatan, kedudukannya setara dengan Moh Tjoan Seng dan Tong Siauw Lan. Menurut usia, ia
lebih muda dari Moh Tayhiap, tapi lebih tua daripada Tong Siauw Lan. Dinilai dari kemashyuran
nama, ia lebih kesohor daripada Tong Siauw Lan maupun Moh Tjoan Seng. Pada hakekatnya, di
seluruh Rimba Persilatan, tak ada yang dapat direndengkan dengan Lu Liehiap. Orang-orang yang
menghadiri Kiatyan biasanya sudah merasa puas jika bisa bertemu dengan Moh Tjoan Seng. Tapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sekarang, di samping Moh Tayhiap, mereka juga bisa melihat wajah Lu Liehiap. Kejadian itu
benar-benar sangat menggirangkan.
"Saudara-saudara janganlah berlaku begitu sungkan," kata Lu Liehiap. "Duduklah." Ia
mengangguk-anggukkan kepalanya dan sambil jalan berendeng dengan Moh Tjoan Seng, ia
memasuki ruang sembahyang.
Ketika itu, Hongsek Toodjin yang bertempur dengan Pengtjoan Thianlie, justru sedang berada
di atas angin. Mendengar kedatangan Lu Soe Nio, jantung Hongsek berdebar keras. Begitu lekas
Lu Liehiap mendekati, ia segera meloncat keluar dari gelanggang dan mengawasi pendekar wanita
itu dengan perasaan sangsi.
"Dengan banyak capai lelah, Tooyoe sekarang sudah mendapatkan kembali ilmu silat
Khongtong pay yang sudah lama lenyap," kata Lu Liehiap sembari bersenyum. "Untuk itu, Tooyoe
pantas diberi selamat." Berbareng dengan perkataan itu, bulu-bulu hudtim si toosoe mendadak
bergoyang seperti ditiup angin, sedang Hongsek sendiri merasakan tangannya kesemutan. Tanpa
tercegah lagi, hudtim itu jatuh di atas lantai!
Muka Hongsek lantas saja menjadi pucat bagaikan kertas. Sudah lama ia mendengar, bahwa
dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang dinamakan Tjoan-im tjoktek (Dengan
gelombang suara merobohkan musuh), tapi ia sendiri belum mendapat buktinya dan ia pun tak
percaya, bahwa dalam dunia terdapat ilmu yang begitu luar biasa. Baru sekarang ia yakin, bahwa
cerita itu bukan cerita kosong.
Dengan hati bercekat, buru-buru ia memberi hormat seraya berkata: "Pintoo Hongsek Toodjin
menghadap kepada Lu Liehiap."
"Perguruanmu dan perguruanku tak mempunyai sangkut paut sama sekali," kata Lu Soe Nio.
"Maka kita harus bergaul seperti orang sepantaran. Kata-kata 'menghadap' adalah kehormatan
yang tak dapat kuterima." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Setiap cabang
persilatan mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Sebenarnya orang tak perlu mempunyai niatan
untuk menang sendiri dan sebentar-sebentar ingin mengadu ilmunya."
Mendengar kata-kata yang tajam itu, selebar muka Hongsek menjadi merah. "Petunjuk Liehiap
pasti akan kuperhatikan," katanya dengan menunduk.
"Lihat saja Tongbengtjoe Tooyoe," Lu Liehiap melanjutkan nasehatnya. "Dari ilmu Gwakee
(ilmu silat luar) yang paling tinggi, ia terus menanyak sampai ke kalangan Lweekeeh (ilmu silat
dalam). Hasil itu sesungguhnya harus dihargakan tinggi-tinggi. Tapi karena salah bertindak,
latihannya selama berpuluh tahun telah terbuang-buang dengan percuma, malah Sampai ia harus
tewas tanpa mempunyai murid yang dapat mewarisi pelajarannya. Bukankah kejadian itu harus
disesalkan?"
Hongsek tak berani menjawab, ia hanya mengangguk berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, Lu Liehiap berkata pula: "Tongbengtjoe adalah Tiangloo (orang
terkemuka) dari Koenloen. Sudah selayaknya, jika jenazahnya dibawa pulang untuk dikuburkan di
gunung itu. Tooyoe, kau dan ia bersahabat baik. Bolehkah urusan ini diserahkan kepadamu? Di
samping itu, aku berharap, supaya kau suka memberikan penjelasan sebaik-baiknya kepada
murid-murid Koenloen."
"Terima kasih atas belas kasihan Lihiap," kata Hongsek. "Bahwa liehiap sudah mengijinkan
dibawa pulangnya jenazah Tongbeng Tooyoe, murid-murid Koenloen tentu sudah merasa
berterima kasih tiada habisnya."
Menurut peraturan Kangouw, Tongbengtjoe yang sudah menyatroni tempat orang dan
menantang bertempur, kebinasaannya harus dianggap sebagai bencana yang dicarinya sendiri.
Maka, ijin dari pihak yang disatroni supaya jenazahnya bisa dibawa pulang ke tempat asalnya,
sudah dianggap sebagai budi besar.
Hongsek segera mendekati jenazah Tongbengtjoe yang masih tetap bersila di atas lantai.
Begitu tersentuh, tubuh Tongbengtjoe lantas terguling, rambutnya rontok semua dan badannya
menjadi jauh lebih kecil, sehingga jubah pertapaannya menjadi sangat longgar. Semua orang
terkejut ketika mendapat kenyataan, bahwa dalam tempo sependek itu, tubuh Tongbengtjoe
sudah bisa menjadi begitu kecil lagi kurus kering.
Memang seseorang yang memiliki lweekang tinggi, bisa mempertahankan keremajaan
wajahnya yang tidak berubah menjadi tua. Tapi orang-orang yang benar-benar beribadat, seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

misalnya Moh Tjoan Seng, tak mau menggunakan ilmu tersebut. Mengenai paras Lu Soe Nio,
soalnya lain. Di waktu muda, Lu Liehiap telah memperoleh ilmu Tjiantjeng lweesit (ilmu
memperdalam dan memperkuat jiwa) dari le Lan Tjoe, maka kemudian, sesudah lweekang-nya
mencapai kesempurnaan mutlak, secara wajar wajahnya tetap muda dan tak akan berubah sampai
di akhir penghidupannya. Di lain pihak, Tongbengtjoe telah masuk ke jalan tersesat dan
mempelajari ilmu yang menyeleweng, sehingga ia bisa juga mencegah proses yang menjadikan
wajahnya berubah sesuai dengan usianya. Tapi begitu lekas tenaga dalamnya musnah, selekas itu
pula proses terhambat itu menyusul kelambatannya, dari seorang gagah yang bertubuh kekar
dalam sekejap mata ia diubah menjadi seorang kakek kurus kering. Dalam Rimba Persilatan,
kejadian itu bukannya sesuatu yang mengherankan. Soal yang mengherankan bagi Lu Liehiap
adalah, kenapa ia binasa begitu mendadak, terkena kebutannya sekali saja.
Hongsek Toodjin segera membuka jubah pertapaannya yang lalu digunakan untuk
membungkus jenazah
Tongbengtjoe. Sesudah itu, sembari membungkuk kepada kepala biara Kimkong sie, ia berkata:
"Apakah aku boleh meminjam tempat pembakaran jenazah dalam kuil ini?"
"Tentu saja," jawab hweeshio kepala itu sembari merangkap kedua tangannya. "Loolap pun
berkewajiban mengantar keberangkatan Tongbeng Tooyoe."
Ternyata, karena terlalu sukar untuk membawa jenazah dalam perjalanan sejauh itu, Hongsek
Toodjin telah mengambil keputusan untuk memperabukannya dan kemudian membawa abu itu
untuk dikuburkan di gunung Koenloen. Ketua Kimkong sie itu, Moh Tjoan Seng, Lu Soe Nio, Keng
Thian, Peng Go, Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas saja pergi ke tempat pembakaran yang
terletak tak jauh dari ruangan sembahyang itu.
Selagi api membakar jenazah Tongbengtjoe, Moh Tjoan Seng berkata kepada Lu Soe Nio: "Soe
Nio, aku sedianya ingin berangkat beberapa hari lagi. Tapi karena kau sudah datang, kurasa lebih
baik aku berangkat lebih siang."
"Lebih lambat beberapa hari atau lebih cepat beberapa hari tiada bedanya," kata Lu Lihiap.
"Tapi, apakah kau sudah mempunyai ahli waris?" Maksud Lu Soe Nio adalah ada tidaknya orang
yang mewarisi semua kepandaian Moh Tjoan Seng.
Pengrjoan Thianlie terkejut, ia tak mengerti maksud pembicaraan kedua orang itu. Mendadak
sang paman berpaling ke arahnya dan tersenyum, sedang Lu Soe Nio kelihatan seperti baru
mendusin. "Tatmo Kiamhoat yang diperlihatkan nona ini adalah kiamhoat Boetong pay asli." Kata
Lu Liehiap. "Sejak kapan kau menerima dia sebagai murid? Kenapa kau tidak memberitahukan
kepadaku?"
"Peng Go," Moh Tayhiap memanggil. "Mari sini! Inilah Lu Liehiap. Di kemudian hari kau harus
meminta banyak petunjuknya." Ia berpaling kepada Soe Nio dan menyambung perkataannya:
"Anak ini adalah kemenakanku, Hoa Seng telah berkelana ke negara asing, tapi dengan
mempunyai anak ini, ia boleh pulang ke alam baka dengan mata meram."
Buru-buru Pengtjoan Thianlie memberi hormat kepada Lu Liehiap.
Sembari menepuk-nepuk pundak si nona, Soe Nio berkata dengan gembira: "Dengan
mempunyai kemenakan ini, kau pun boleh berangkat dengan hati senang."
Mendengar perkataan itu, Loei Tjin Tjoe tercengang. "Di kuil ini Soetjouw dapat menuntut
penghidupan tenteram untuk melewatkan sisa penghidupannya," katanya didalam hati. "Dalam
usia yang sudah lanjut, kemana lagi Soetjouw hendak pergi?"
Saat itu, jenazah Tongbengtjoe sudah terbakar habis. Tiba-tiba di antara api yang berkobar-
kobar, kelihatan asap hitam berkepul ke atas dengan menyiarkan bau yang agak amis.
Muka Lu Liehiap lantas saja berubah. "Ah! Sekarang aku baru tahu," katanya perlahan.
"Kejadian ini sungguh diluar dugaanku."
"Soe Nio, apakah yang kau lihat?" tanya Moh Tayhiap.
Lu Liehiap tak menyahut, sebaliknya ia menengok kepada Keng Thian seraya menanya:
"Siapakah bocah itu yang bertempur melawan Tongbengtjoe?"
"Namanya Kim Sie Ie," jawab Keng Thian. "Dalam kalangan Kangouw, ia dikenal sebagai
Toktjhioe Hongkay. Cara-caranya sangat aneh dan agak menyeleweng."
"Menyeleweng atau tidak, sekarang belum dapat dipastikan," kata Lu Soe Nio. "Gurunya adalah
sahabatku. Dulu, dari jalan tersesat sahabatku itu telah beralih ke jalan lurus."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keng Thian yang sampai saat itu masih belum mengetahui asal-usul Kim Sie Ie, buru-buru
menanya: "Siapakah gurunya?"
"Begitu melihat gerakannya, aku sudah bercuriga," jawabnya. "Sesudah menyaksikan
munculnya asap hitam dari racun yang mengeram dalam tubuh Tongbengtjoe, aku bisa
memastikan, bahwa gurunya adalah Tokliong Tjoentjia."
Dengan serentak, Keng Thian dan Loei Tjin Tjoe mengeluarkan seruan tertahan. Sebagai
orang-orang yang mengenal selak beluk Rimba Persilatan, mereka tahu, bahwa Tokliong Tjoentjia
adalah orang aneh nomor satu di antara jago-jago dari tingkatan lebih tua.
"Sedari tadi aku agak heran, kenapa Tongbengtjoe lantas binasa begitu terkena kebutanku,"
kata Soe Nio perlahan. "Tak tahunya ia lebih dulu sudah terkena racun hebat dan harus
memusatkan seluruh tenaganya untuk membendung menjalarnya. Begitu lekas tenaganya buyar
hawa racun lantas naik ke uluhatinya dan ia lantas binasa."
Mendengar penjelasan itu Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain menjadi kagum bukan main. Racun
Kim Sie Ie yang begitu dahsyat sudah cukup mengherankan. Tapi yang lebih mengherankan lagi,
adalah pukulan Lu Liehiap. Dengan sekali mengebas saja, ia sudah bisa menangkis pukulan yang
begitu hebat, malah juga membuyarkan Seantero tenaga dalam Tongbengtjoe. Itulah kejadian
yang --sependengaran mereka -- belum pernah terjadi dalam Rimba Persilatan.
Sekonyong-konyong alis Lu Soe Nio berkerut dan sambil menghela napas, ia berkata: "Sayang!
Sungguh sayang!" Ia menengok ke arah Keng Thian seraya berkata: "Di antara houwpwee, Kim
Sie Ie adalah orang yang sukar dicari tandingannya. Bagaimana perhubunganmu dengan ia?"
Sebagaimana diketahui, terhadap pemuda itu, Keng Thian tak mempunyai rasa simpati. "Aku
merasa kasihan padanya, tapi aku tak bisa menghargakan cara-caranya," jawabnya, berterus
terang.
"Bagus," kata Soe Nio. "Dulu, semua orang mengatakan gurunya pantas mati, hanya aku yang
merasa kasihan. Apapula, Kim Sie Ie belum pantas dihukum mati. Dulu, ketika aku menolong
Tokliong Tjoentjia, Soeheng-ku sendiri, Kam Hong Tie, merasa tidak setuju. Tapi, kemudian semua
orang yakin, bahwa tindakanku itu yang benar."
Hati Keng Thian berdebar-debar. "Apakah Kim Sie Ie tengah menghadapi bencana?" tanyanya.
"Apakah teetjoe (murid) bisa menolongnya?"
Lu Liehiap bersenyum dan berkata: "Sesudah mengurus urusan Moh Loosoe, aku akan memberi
keterangan lebih jelas kepadamu."
Mendengar jawaban itu, Keng Thian tak berani mendesak lagi, hanya di dalam hati, ia merasa
bimbang. "Meskipun Kim Sie Ie telah dilukakan Tongbengtjoe, tapi dengan lweekang-nya yang
tinggi ia masih dapat menyembuhkan sendiri lukanya itu," pikirnya. "Mengapa Lu Liehiap
mengeluarkan kata-kata begitu?"
Sementara itu, Hongsek Toodjin sudah mengumpulkan abu dan tulang-tulang Tongbengtjoe
yang lalu dimasukkan ke dalam sebuah guci. Sesudah beres, ia segera berpamit dan berangkat ke
Koenloen san. Moh Tjoan Seng dan yang lain-lain mengantar sampai di pintu kuil dan kemudian
kembali ke ruangan sembahyang.
Semua orang segera mengambil pula tempat duduk masing-masing untuk menunggu
dilanjutkannya Kiatyan yang terputus karena pertempuran tadi. Moh Tayhiap juga kembali ke
pentas dan meneruskan ceramahnya mengenai Iekinkeng.
Sesudah selesai memberi ceramah, Moh Tayhiap segera berkata dengan suara perlahan:
"Pengetahuanku sebenarnya masih cetek, hanya atas budi kawan-kawan dari berbagai cabang
persilatan, aku telah diangkat menjadi pemimpin pertemuan ini. Selama tiga kali Kiatyan, di dalam
hati aku selalu merasa malu. Selama tiga kali Kiatyan itu, aku juga mendapat kenyataan, bahwa di
antara houwpwee sudah muncul banyak orang pandai. Memang dalam ilmu silat, yang belakang
selalu akan lebih unggul dari yang dulu. Maka, di antara perasaan malu, di dalam hatiku terdapat
juga kegirangan. Kiatyan sekali ini, kuakhiri sampai disini."
Menurut kebiasaan, paling sedikit Kiatyan berlangsung untuk setengah bulan lamanya. Oleh
sebab itu, pernyataan Moh Tjoan Seng, bahwa pertemuan itu -- yang baru saja berjalan satu hari
—— akan segera ditutup, telah membangkitkan keheranan semua orang.
Sebelum ada yang mengajukan pertanyaan, Moh Tjoan Seng sudah berkata pula:
"Sebagaimana kukatakan tadi, dalam ilmu silat, setiap cabang mempunyai keunggulan sendiri-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sendiri dan sekalian saudara adalah tokoh-tokoh dari berbagai cabang persilatan. Iekinkeng, yang
barusan diperbincangkan, adalah pokok dasar latihan lweekang. Jika masih ada bagian-bagian
yang kurang terang, saudara-saudara bisa memohon penjelasan dari para tokoh terkemuka dan
tak perlu kuterangkan lagi secara bertele-tele. Untuk kunjungan saudara-saudara, aku hanya bisa
menghaturkan banyak-banyak terima kasih. Sekarang ini aku akan mengurus sedikit urusan
pribadi dan aku memohon supaya saudara-saudara suka turut menyaksikannya." Ia berdiam
sejenak dan kemudian menyambung perkataannya: "Peng Go, mari sini!”
Pengtjoan Thianlie segera maju ke depan pentas. "Sesudah ditunjuk sebagai Tiangloo
(pemimpin, penasihat) Boetong pay, selama beberapa puluh tahun aku sudah menyia-nyiakan
kepercayaan orang dan jarang sekali memberi petunjuk kepada murid-murid Boetong, sehingga
partai kita semakin lama jadi semakin merana. Untuk kelalaian itu, aku merasa sangat malu
terhadap leluhur kita. Aku mendapat kenyataan, bahwa kau berhati bersih dan juga sudah paham
akan intisari ilmu silat Boetong pay. Maka itu, dengan menanggung risiko dicela orang, memilih
kasih kepada pamili sendiri, aku sekarang mengangkat kau sebagai ahli warisku. Mulai dari hari ini,
tanggung-jawab untuk memimpin saudara-saudara separtai jatuh di atas pundakmu."
Peng Go terkesiap mendengar perkataan pamannya. Ia tak pernah tertarik, bahkan merasa
sangat sebal terhadap keruwetan-keruwetan keduniawian dan siang-siang ia sudah mengambil
keputusan untuk kembali ke istana es guna menuntut penghidupan bebas, tenteram dan suci
bersih. Mana mau ia menjadi Tjiangboen (pemimpin, ketua) cabang persilatan yang begitu besar
seperti Boetong pay?
Sang paman, yang agaknya dapat membaca jalan pikirannya, lantas saja berkata pula: "Kau
jangan bingung. Aku akan memberi penjelasan lebih lanjut." Ia berpaling ke arah Loei Tjin Tjoe
dan memanggil: "Loei Tjin Tjoe, mari sini!"
Loei Tjin Tjoe segera maju dan memberi hormat.
"Ilmu silat adalah seperti laut yang sangat dalam," kata Moh Tayhiap. "Apakah kau sekarang
sudah mengerti akan kekuranganmu?"
"Teetjoe mengerti," jawabnya dan mukanya menjadi merah.
"Bagus," kata Moh Tjoan Seng sembari tersenyum. "Beberapa hari yang lalu, Tjiangboen
Soeheng-mu telah menulis surat kepadaku untuk memberitahukan, bahwa, karena sudah tua dan
berpenyakitan, ia tak dapat menunaikan kewajibannya terhadap partai dan minta aku mengangkat
Tjiangboendjin baru. Aku mendapat kenyataan, bahwa selama setahun ini, kau telah memperoleh
banyak kemajuan, maka sekarang aku mengangkat kau sebagai Tjiangboendjin dari Boetong pay."
Loei Tjin Tjoe girang berbareng kaget. Ia belum pernah bermimpi, bahwa ia akan mendapat
kehormatan untuk menjadi pemimpin partainya. Dengan wajahnya menjadi merah, ia menjawab
kemalu-maluan:
"Tanggung jawab yang begitu berat mungkin sekali tak akan terpikul oleh teetjoe." Sehabis
berkata begitu, ia melirik ke arah Pengtjoan Thianlie.
"Jika kau bisa mengenal kelemahanmu sendiri, kau pasti akan dapat memikul tanggungan itu,"
kata Moh Tayhiap. "Yang paling penting bagi seorang Tjiangboen adalah perbuatannya yang adil
dalam memberi ganjaran atau hukuman serta kepandaiannya untuk menjaga supaya saudara-
saudara separtainya selalu berjalan lurus. Kepandaian bersilat adalah soal kedua. Peng Go adalah
ahli warisku. Di hari kemudian jika muncul urusan-urusan yang tidak dapat kau putuskan sendiri,
kau harus memberitahukan soal itu kepadanya dan minta pendapatnya."
Menurut peraturan Rimba Persilatan, dalam setiap partai, di atas Tjiangboen masih terdapat
Tiangloo (pemimpin, penasihat) partai itu. Dalam urusan-urusan penting, Tjiangboen harus
mendengar pendapat Tiangloo. Kedudukan Tiangloo hampir sama dengan Thaysiang Tjiangboen
(ketua kehormatan), hanya ia tidak mencampuri segala urusan kecil. Pada jaman itu, Moh Tjoan
Seng bertiga saudara adalah para Tiangloo dari partai tersebut. Sesudah Tjio Kong Seng dan Koei
Hoa Seng meninggal dunia Tiangloo satu-satunya adalah Moh Tjoan Seng yang sekalian
menjabat Thaysiang Tjiangboen. Tjiangboen bisa diganti-ganti, tapi seorang Tiangloo menduduki
kursi kehormatan itu sehingga ia meninggal dunia.
Seorang Tiangloo bisa diangkat oleh rapat anggauta partai atau ditunjuk oleh Tiangloo yang
ingin mengundurkan diri. Tapi, karena kedudukan Tiangloo hanya boleh di tempati oleh seorang
yang berkepandaian sangat tinggi dan dihormati oleh seluruh Rimba Persilatan, maka sering
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kejadian, bahwa sesudah Tiangloo lama meninggal dunia, tidak diangkat lagi Tiangloo yang baru.
Dalam suatu partai yang tidak mempunyai Tiangloo, maka orang yang paling tinggi kedudukannya
adalah Tjiangboen.
Sekarang, sesudah menunjuk Pengtjoan Thianlie sebagai ahli warisnya dan memesan supaya
Loei Tjin Tjoe berunding dengan nona itu jika menemui urusan-urusan besar, maka secara resmi
Peng Go sudah diangkat menjadi Tiangloo atau Thaysiang Tjiangboen (ketua kehormatan)
Boetong pay.
Tapi menurut peraturan Rimba Persilatan, Thaysiang Tjiangboen yang baru belum boleh
diangkat secara resmi, sebelum yang lama meninggal dunia. Hal inilah yang tidak dapat
dimengerti oleh para hadirin, karena Moh Tjoan Seng tampak masih segar bugar.
Sesudah mendapat kenyataan, bahwa ia bukan disuruh menjadi Tjiangboen dan hanya
diperintah "menilik" Loei Tjin Tjoe, Peng Go yang tidak mengerti seluk-beluk peraturan itu, lantas
saja berkata di dalam hatinya: "Pehpeh tidak tahu, bahwa siang-siang aku sudah menilik Loei Tjin
Tjoe. Kurasa, pangkat ini boleh juga diterima." Berpikir begitu, lantas saja ia berkata: "Aku akan
memperhatikan segala perintah Pehpeh. Akan tetapi, titlie (keponakan perempuan) tak ingin
berdiam lama-lama di Boetong san dan ingin kembali untuk menetap di Puncak Es."
"Sekarang kau sudah menjadi pemimpin penasihat partai kita," kata sang paman sembari
bersenyum. "Kemana juga kau mau pergi, tak akan ada yang berani melarang!"
Si nona terkejut. "Bagaimana aku bisa jadi pemimpin penasihat partai kita?' tanyanya kepada
dirinya sendiri.
Sementara itu, Moh Tjoan Seng sudah memejamkan kedua matanya, pada mukanya terdapat
sifat welas asih dan pada kedua bibirnya tersungging senyum puas. Beberapa ratus orang yang
hadir itu, melihatkan dengan hati berdebar-debar, kemudian, dengan serentak mereka berbangkit
sembari menundukkan kepala. Seluruh ruangan besar itu menjadi sunyi senyap.
Soe Nio merangkap kedua tangannya dan mengucapkan pujian dengan suara perlahan:
"Puluhan tahun kau bertapa dan sudah bisa mendapat kesadaran yang diidam-idamkan. Lebih
menggirangkan lagi, kau sekarang sudah mempunyai ahli waris yang cakap dan tepat."
Kepala biara Kimkong sie pun turut merangkap kedua tangannya dan memberi pujian: "Dengan
bebas dari segala sangkutan dunia, Kiesoe berpulang ke Barat. Caramu berpulang adalah cara
seorang Pousat (dewa)!"
Sementara itu, dengan di kepalai oleh Loei Tjin Tjoe, semua murid Boetong segera berlutut.
Pengtjoan Thianlie terkejut tak kepalang. "Apakah Pehpeh meninggal dunia?" ia bertanya
dengan mata terbelalak.
"Dengan segala kejayaan dan dalam usia yang sudah begitu lanjut, Pehpeh-mu berpulang ke
alam baka," kata Soe Nio dengan khidmat. "Berpulang secara demikian adalah kejadian yang
langka dalam dunia dan harus dianggap menggirangkan."
Pengtjoan Thianlie pernah mempelajari agama Budha, ia juga mengetahui, bahwa meninggal
dunia sebagai pamannya barusan, adalah kejadian yang paling dikagumi oleh segenap penganut
agama Budha. Akan tetapi, karena mengingat, bahwa mulai dari saat itu, ia tak mempunyai sanak
dekat lagi, tak urung hatinya merasa sedih juga dan air matanya membasahi kedua pipinya. Buru-
buru ia berlutut untuk memberi penghormatan terakhir kepada pamannya itu.
"Lu Liehiap," kata Loei Tjin Tjoe kepada Soe Nio. "Mohon supaya Liehiap sudi menilik
pengurusan jenazah Tjouwsoe."
"Kedatanganku justru untuk mengantar Tjouwsoe-mu berpulang ke Barat," jawab Soe Nio.
"Maka, aku tentu tak akan menolak permintaanmu. Tapi lebih dulu aku ingin berbicara dengan
Keng Thian."
Bersama dengan pemuda itu, Lu Liehiap lantas saja keluar dari ruang sembahyang.
"Keng Thian," katanya. "Kau tak usah turut serta dalam upacara pemakaman."
"Moh Lootjianpwee adalah sahabat ayahku," kata Keng Thian. "Aku merasa tak enak hati, jika
tidak turut serta."
"Orang-orang sebangsa kita selamanya tidak mengukuhi segala peradatan," kata Lu Soe Nio.
"Menolong jiwa manusia lebih berharga daripada mendirikan gedung bertingkat tujuh. Roh Moh
Lootjianpwee tentu mengetahui, bahwa kau tidak dapat hadir karena tenagamu dibutuhkan untuk
menolong sesama manusia. Pasti sekali ia tidak akan mencela dirimu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Menolong siapa?" tanya Keng Thian dengan kaget.


"Kim Sie Ie."
"Apakah pukulan Tongbengtjoe begitu berat, sehingga jiwa Kim Sie Ie berada dalam bahaya?"
tanya pula pemuda itu dengan ragu-ragu.
"Bukan, bukan karena pukulan Tongbengtjoe," Soe Nio menerangkan. "Ia menghadapi bencana
karena ilmunya sendiri!"
"Teetjoe sungguh tak mengerti," kata Keng Thian sembari memandang pendekar wanita itu.
"Ilmu silat Tokliong Tjoentjia telah diciptakannya sendiri di sebuah pulau terpencil. Kecuali ular,
di pulau itu tak ada makhluk lain. Ditambah dengan kebenciannya terhadap dunia, jika sedang
berlatih lweekang, hatinya penuh dengan perasaan duka dan penasaran. Oleh sebab itu, meskipun
akhirnya ia memiliki semacam lweekang yang sangat tinggi dan yang tak kalah liehaynya daripada
lweekang cabang-cabang persilatan lain tapi jalan yang telah diambilnya bukanlah jalan lurus.
Semakin tinggi lweekang-nya, bencana yang tersembunyi di dalam badannya jadi semakin
besar. Menurut taksiranku, Tokliong Tjoentjia telah tewas karena 'dimakan' ilmunya sendiri.
Kenyataan itu, kenyataan, bahwa lweekang-nya sendiri yang akan mencelakakannya, mungkin
baru disadarinya ketika ia hampir menutup mata. Kim Sie Ie yang masih cetek ilmunya, tentu tak
menyadari bencana itu."
Soal ilmu "makan" peyakinnya sendiri, seperti senjata makan tuan, adalah kejadian yang
kadang-kadang memang terjadi dalam dunia persilatan. Hal demikian itu adalah akibat dari latihan
yang tidak benar. Sebagai perumpamaan, lihatlah orang yang menghisap candu. Candu
sebenarnya bisa mengobati penyakit. Tapi jika digunakan secara keliru, candu bahkan berbalik
mencelakakan. Lweekang yang "menyeleweng" hampir serupa dengan candu. Semakin lama
seseorang berlatih dengan lweekang itu, semakin besar bencana yang mengancamnya.
"Lweekang Kim Sie Ie masih belum mencapai tingkat gurunya," kata Soe Nio pula. "Maka
sementara ini, ia belum tercelakakan Lwekangnya. Tapi... jika tidak ditolong sekarang juga,
nasibnya tentu akan serupa dengan gurunya."
"Tapi kenapa begitu terburu-buru?" tanya Keng Thian.
"Sebenarnya, memang tak usah begitu kesusu. Akan tetapi, sesudah mendapat pukulan
Tongbengtjoe yang beracun, keadaannya kini sudah sangat berbahaya. Racun di dalam tubuhnya
itu, pada suatu saat akan 'meledak'. Celakalah ia, jika tak cepat-cepat diberi pertolongan. Ketika ia
bertempur melawan Tongbengtjoe, aku sudah memperhatikan lweekang-nya. Menurut taksiranku,
dengan memiliki lweekang sedalam itu, ia kan dapat bertahan sampai tiga puluh enam hari. Lekas-
Iekaslah kau mencarinya! Berikanlah tiga butir Pekleng tan-mu kepadanya. Dengan pertolongan pil
itu, jiwanya akan dapat diperpanjang sampai tujuh puluh dua hari."
Bukan main kagetnya Keng Thian. "Apakah pil Thiansan Soatlian itu hanya dapat
memperpanjang usianya dengan tiga puluh enam hari?" tanyanya.
"Penyakit itu sebenarnya tak akan dapat disembuhkan dengan obat apapun juga," jawab Lu
Liehiap sembari bersenyum. "Bahwa Thiansan Soatlian dapat menyambung jiwanya dengan tiga
puluh enam hari lagi, sudah merupakan kejadian yang luar biasa."
Hati Keng Thian mencelos, ia merasa kecewa sekali. "Kalau begitu, kita hanya bisa menambal,
tapi tak bisa mengobati akar penyakitnya," katanya. "Apa gunanya, memperpanjang usianya
dengan beberapa hari itu saja dan akhirnya ia mesti binasa juga?"
"Tidak, tidak begitu!" kata Soe Nio tanpa ragu-ragu. "Obat tak dapat menolong, tetapi masih
ada yang bisa menolong dia, golonganmu, orang-orang Thiansan pay!"
Keng Thian tercengang. "Kenapa begitu?" ia menegasi.
"Lweekang Thiansan pay adalah warisan Hoeibeng Siansoe," Soe Nio menjelaskan. "Ketika
menciptakan pelajaran lweekang tersebut, beliau telah memilih dan memetik bagian-bagian yang
paling berharga dan paling bersih dari ilmu berbagai cabang persilatan. Dengan demikian,
lweekang Thiansan pay bukan saja bersih dan dalam sifatnya, tapi juga dapat menyingkirkan
segala macam racun dari dalam tubuh orang, racun yang disebabkan latihan lweekang
'menyeleweng'. Maka, hanya kaum Thiansan pay yang akan dapat menolong jiwa Kim Sie Ie."
"Teetjoe masih belum mengerti," kata Keng Thian.
"Karena kepandaianmu belum mencapai kesempurnaan mutlak, tentu saja kau masih belum
mengerti," kata Soe Nio. "Tugasmu yang terutama adalah mencari Kim Sie Ie dan sesudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bertemu, bawalah dia ke Thiansan supaya bisa ditolong kedua orang tuamu. Dengan mendapat
pertolongan ayah dan ibumu, bukan saja jiwanya akan tertolong, tapi sesudah ia kembali ke jalan
lurus, di kemudian hari, Kim Sie le akan bisa memperoleh kemajuan, sehingga tidak kalah dari kau
sendiri."
Keng Thian tak mengucapkan sepatah kata, ia berdiri bengong seperti sedang berpikir.
"Apa yang kau harus perhatikan adalah: dalam tiga puluh enam hari kau harus sudah
menemukannya dan dalam tujuh puluh dua hari, dia harus sudah tiba di Thiansan," pesan Soe
Nio.
Keng Thian berkelahi dengan hatinya sendiri, tapi sesaat kemudian, sifatnya yang mulia telah
mengalahkan segala pikiran lain. "Baiklah, teetjoe akan berangkat sekarang juga," kalanya tanpa
sangsi-sangsi.
Sesudah mengalami banyak penderitaan baru saja ia bisa berkumpul kembali dengan Koei Peng
Go, dan segera juga mereka sudah mesti berpisah lagi. Sebagai manusia biasa, biar bagaimana
juga, ia merasa berat untuk segera meninggalkan kecintaannya. Ia menoleh dan justru pada saat
itu, Peng Go sedang memandang ke arahnya. Mata mereka beradu dan wajah Peng Go lantas saja
berwarna kemerah-merahan. Buru-buru ia melengos dan berlagak bicara dengan Yoe Peng,
dayangnya.
Lu Liehiap bermata sangat tajam, ia lantas saja mengerti apa yang tersembunyi di hati mereka.
Ia menghampiri si nona dan berkata: "Peng Go, antarkanlah Keng Thian sampai beberapa jauh."
Mendengar perintah itu, dengan perlahan Peng Go menghampiri Keng Thian. Walaupun
parasnya tenang, di dalam hati ia berduka, tapi ia tak berani menanyakan, mengapa begitu cepat
pemuda itu sudah harus berangkat pula.
"Menurut penglihatanku Kim Sie Ie agaknya beradat angkuh," kata Lu Liehiap kepada pemuda
itu. "Jika ia tahu, bahwa kau hendak menolongnya, belum tentu ia suka menerimanya. Dari sebab
itu, kau harus bertindak dengan mengimbangi keadaan dan jika perlu, kau boleh menggunakan
tipu untuk mempedayakannya, supaya dia suka turut naik ke Thiansan."
"Teetjoe mengerti," jawab pemuda itu.
Dari pembicaraan itu barulah Pengtjoan Thianlie mendusin, bahwa keberangkatan Keng Thian
adalah untuk menolong Kim Sie Ie. Ia menjadi kagum dan terharu, mau tak mau ia harus
mengakui kebesaran jiwa pemuda itu.
Lu Liehiap segera meninggalkan kedua orang muda itu dan pergi kepada Loei Tjin Tjoe untuk
merundingkan pengurusan jenazah Moh Tjoan Seng.
Bagaikan dua orang gagu, Keng Thian dan Peng Go meninggalkan Kimkong sie. Sesudah
berjalan jauh juga, setiba mereka di jalan yang menuju ke kaki gunung, Keng Thian menghela
napas dan berkata: "Peng Go Tjietjie, apakah kau masih membenci aku?'
"Ada hubungan apakah antara kau dan aku?" si nona berbalik menanya dengan kasar.
"Mengapa aku harus membenci kau?"
"Dengan berkata begitu, agaknya kau memang masih membenci diriku," kata Keng Thian
dengan sedih. "Tapi, tak perduli kau membenci atau tidak, aku sendiri tetap tak akan melupakan
kau."
"Tapi..." kata si nona setengah berbisik. "Aku kuatir, bahwa -- begitu lekas bertemu dengan
Moaymoay (adik perempuan) -- kau akan segera melupakan Tjietjie (kakak perempuan)."
Baru sekarang Keng Thian mengerti, bahwa Peng Go telah jadi mendongkol karena
persahabatannya dengan Tjee Tjiang Hee. Ia tertawa dan berkata: "Ah! Kau tak tahu, bahwa
orang yang kau maksudkan masih bersifat kekanak-kanakan, sedang waktu itu aku harus berobat
di rumahnya..." Dengan jelas Keng Thian lalu menceritakan segala pengalamannya dan berbareng
dengan itu, dengan kata-kata lemah lembut, ia membuka rahasia hatinya kepada si nona.
"Hm! Kalau begitu, semua itu adalah gara-gara Kim Sie Ie main gila," kata si nona.
"Mengapa?" tanya Keng Thian.
Pengtjoan Thianlie segera menceritakan, bagaimana Kim Sie Ie telah memberikan gambar itu
kepadanya dan apa yang telah terjadi karena itu. Keng Thian jadi mendongkol berbareng geli.
"Benar-benar gila!" katanya sembari tertawa.
"Dan kau masih tetap akan menolongnya?" si nona menegasi.
"Kenapa tidak?" jawab Keng Thian tegas-tegas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Peng Go tertawa manis dan berkata: "Aku merasa senang..."


"Senang apa?" Keng Thian mendesak.
Peng Go sebenarnya ingin menyahut: "Aku merasa senang, karena kau berjiwa begitu besar."
Tetapi kata-kata itu tidak terselesaikan. Ia hanya tertawa sembari menatap wajah pemuda itu dan
cintanya yang tak terbatas, terpancar dari sepasang matanya. Tertawa itu, bagaikan angin sejuk,
sudah menyapu bersih segala awan gelap, sudah menghilangkan semua salah paham...
Keng Thian telah gagal dalam usahanya mencari Kim Sie Ie. Ia telah pergi ke segala peloksok
Gobie san, tapi yang dicarinya tak kelihatan bayang-bayangnya. Ia hanya berhasil menemukan
beberapa potong kain, yaitu sobekan baju yang dikenakan Kim Sie Ie hari itu. Beberapa tetes
darah disobekan baju itu dan beberapa tapak kaki saja telah ditinggalkan Kim Sie Ie. Lebih dari
itu, tak dapat ditemukannya.
Kemana Kim Sie Ie pergi?
Dengan pikiran kalut, ia kabur sekeras-kerasnya dari Kimkong sie. Baginya, sinar mata
Pengtjoan Thianlie yang memandang Keng Thian dengan penuh kecintaan, seakan-akan sebilah
pisau yang menikam jantungnya. "Jika ada seorang wanita memandang aku seperti ia
memandang Keng Thian, walaupun mesti lantas mati, aku tentu akan rela," ia berteriak bagaikan
sudah menjadi gila.
Dalam saat-saat itu, kejadian-kejadian yang lampau silih berganti berkelebat dalam otaknya.
Caci Yoe Peng, yang mengumpamakan ia seekor "kodok buduk yang ingin makan daging angsa
kahyangan", teguran Peng Go yang menasehatkan supaya ia jangan membawa "lagak buaya",
segala penderitaannya di masa kecilnya...
kembali terbayang di depan matanya. Pukulan Tongbengtjoe yang mengandung racun
ditambah dengan kedukaan dan penasaran yang sangat besar sudah membikin otaknya tidak bisa
bekerja secara normal lagi. Apapula sesudah membandingkan dirinya dengan Keng Thian, ia
merasa dirinya kecil sekali dan agaknya di dunia yang lebar ini, sudah tak ada tempat lagi untuk ia
menyembunyikan diri.
Bagaikan seorang gila, ia lari dan lari terus. Tanpa merasa, ia telah tiba di tempat ia bertemu
dengan Lie Kim Bwee. Agaknya ia masih bisa mengenali tempat itu dan ia menghentikan
tindakannya dengan hati terkejut. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring yang bernada riang
gembira, disusul dengan munculnya seorang wanita muda. Di saat itu, Kim Sie Ie masih berada
dalam keadaan setengah linglung. Lapat-lapat ia merasa, bahwa ia pernah bertemu dengan nona
itu, tapi ia tak ingat, bahwa gadis tersebut adalah Lie Kim Bwee yang pernah mempermainkan
dirinya.
Kim Bwee muncul dengan diikuti beberapa ekor kera, yang begitu melihat Kim Sie Ie, lantas
kabur semua.
"Lihatlah!" kata si nona sembari tertawa. "Karena kau suka menghina orang, binatang pun tak
sudi bersahabat dengan dirimu."
Mendadak Kim Sie Ie ingat, bahwa ia pernah bergebrak dengan wanita itu di tempat tersebut
dan ditambah mendengar kata-kata yang menusuk itu, Kim Sie Ie... yang sedang was-was...
lantas saja naik darah. "Bagus!" ia berteriak. "Kamu lebih suka bergaul dengan binatang daripada
bergaul denganku. Jika aku mau menghina kau, mau apa kau?" Hampir berbareng dengan
perkataannya, ia mengangkat tongkatnya dan menyabet pinggang Lie Kim Bwee.
"Belum tentu kau mampu menghina aku!" kata si nona sembari tertawa.
Kim Sie Ie terkejut ketika sabetannya jatuh di tempat kosong. Ia jadi semakin gusar dan
menghantam kalang-kabut. Dalam sekejap Kim Bwee sudah terkurung, antara lingkungan
tongkatnya dan semua jalanan mundur si nona sudah tertutup seanteronya. Ternyata, dalam
keadaan was-was, Kim Sie Ie berubah buas.
Bukan main herannya Lie Kim Bwee. Pemuda itu disebut orang Toktjhioe Hongkay (Pengemis
gila yang tangannya beracun), tapi menurut ibunya, ia bukan gila benar-benar. Dalam
pertempurannya yang pertama dengan pemuda itu, walaupun serangan-serangannya hebat, tapi
semua serangan itu hanyalah gertakan belaka. Tapi sekarang, setiap serangan Kim Sie Ie bersifat
sungguh-sungguh dan jika ia terkena, akibatnya tentu hebat. "Baik juga ibu sudah mengajarkan
ilmu baru kepadaku untuk melayani kau," katanya di dalam hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah belasan kali memukul angin, Kim Sie Ie berteriak-teriak seakan-akan orang gila
sembari menyerang kalang-kabut. "Awas!" kata Lie Kim Bwee disertai tertawanya. "Aku akan
menotok Siauwyauw hiat-mu!" Dengan suatu gerakan aneh, ia mendesak dan kedua jerijinya
menyambar ke arah Siauwyauw hiat Kim Sie Ie. Ilmu silat Kim Sie Ie sebenarnya lebih tinggi
daripada Lie Kim Bwee, tapi karena gerakan si nona sangat luar biasa, pukulan tongkatnya tak
dapat merintangi Kim Bwee. Dalam keadaan berbahaya, seorang yang berkepandaian tinggi sering
mengeluarkan pukulan aneh untuk menolong diri. Demikian juga dengan Kim Sie Ie. Ia mendadak
memukul tanah dengan tongkatnya dan badannya lantas saja berjungkir balik, sehingga totokan
Kim Bwee jatuh di tempat kosong.
"Lari ke kedudukan Sunwie! Totok Honghoe hiat-nya!" demikian terdengar suara ibunya.
Begitu Kim Sie Ie menyerang lagi, Kim Bwee sudah melompat ke sampingnya sembari menotok
dengan jerijinya. Tapi totokan itu lagi-lagi meleset karena Kim Sie Ie sudah berhasil meloloskan
diri dengan berjungkir balik.
"Aku dan ibu sudah berlatih tiga hari, tapi masih tetap aku hampir tak dapat melayani dia," pikir
Kim Bwee dengan heran.
Tapi di lain pihak, keheranan Kim Sie Ie bahkan lebih besar. "Kenapa Tiamhiat hoat wanita ini
begitu liehay?" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Siapakah wanita yang barusan bicara? Dimana
dia bersembunyi?"
Sesudah berjungkir balik beberapa kali untuk meloloskan diri dari totokan si nona, napas Kim
Sie Ie jadi tersengal-sengal. "Aku sudah mengatakan, bahwa kau tak akan dapat menghina diriku,"
kata Kim Bwee sembari tertawa. "Apakah kau masih belum percaya? Sekarang kau sudah lelah.
Mengasohlah dulu."
Diejek begitu, bukan main gusarnya pemuda itu. "Fui!" mendadak ia menyemburkan ludahnya.

"Bwee-djie!" teriak Phang Lin yang bersembunyi di dalam hutan. "Lekas mundur!"
Kim Bwee berkelit secepat mungkin. Mendadak matanya berkunang-kunang, kakinya lemas dan
ia roboh di atas tanah.
Tiba-tiba saja, Kim Sie Ie sadar, pikirannya jernih kembali. Ia ingat, bahwa dalam dunia ini, Kim
Bwee adalah wanita kedua yang memperlakukan dia sebagai sahabat (wanita pertama adalah
Pengtjoan Thianlie). Teringat itu, bukan main rasa menyesalnya. Semenjak berkelana dalam
kalangan Kangouw ia telah mengganggu banyak sekali orang-orang gagah, tapi sebegitu jauh,
belum pernah ia membunuh manusia secara sembarang. Tak dinyana, hari ini ia telah mengambil
jiwa seorang nona muda yang telah menganggap dirinya sebagai kawan. Dalam perasaan
menyesalnya yang sangat besar, tanpa merasa ia berlutut dan merangkapkan kedua tangannya
sembari menundukkan kepala. Tak berani ia melihat si nona yang rebah di atas tanah, karena
hatinya tak kuat melihat penderitaan gadis itu. Jangankan nona cilik itu, sedangkan Tongbengtjoe
yang berkepandaian begitu tinggi masih tak mampu menahan serangan racun tersebut.
Selagi ia berlutut dengan pikiran linglung, mendadak terdengar suara tertawa Kim Bwee yang
sangat nyaring. "Kenapa kau?" tanya si nona. "Aku bukan nenekmu. Kenapa kau berlutut di
hadapanku?"
Kim Sie Ie terperanjat tidak kepalang. Bagaikan dipagut ular, ia melompat bangun. Di
hadapannya berdirilah Lie Kim Bwee yang sedang tertawa terpingkal-pingkal. Hampir-hampir ia tak
mempercayai kedua matanya sendiri!
Mendadak si nona meloncat dan berkata sembari tertawa: "Sekarang akan kuajarkan semacam
Tiamhiat hoat kepadamu!" Berbareng dengan perkataannya, jeriji Kim Bwee sudah menyambar.
Cepat-cepat Kim Sie Ie coba menangkis, tapi gerakan menotok itu aneh sekali, baru saja ia
mengangkat tangannya, tahu-tahu jalan darah di pinggangnya sudah tertotok. Seketika itu juga, ia
menari-nari dan tertawa tiada hentinya seperti seorang gila.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si nona nakal menjadi kegirangan, ia bertepuk tangan sembari tertawa geli, seperti anak kecil
melihat kelakar pelawak. "Hi-hi-hi! Inilah yang dinamakan budi dibalas dengan budi," kata Kim
Bwee. "Akan kulihat, apakah kau masih berani mempermainkan orang atau tidak." Ia menengok
ke arah hutan dan berteriak: "Ibu! Lekas keluar! Ilmu yang kau ajarkan, benar-benar liehay.
Sekarang dia sudah menjadi seekor kera. Sungguh lucu!"
Ternyata, selama tiga hari bersembunyi di dalam hutan, Phang Lin telah mengajarkan semacam
Tiamhiat hoat (Ilmu menotok jalanan darah) kepada puterinya untuk menaklukkan Kim Sie Ie.
Pada hakekatnya, ilmu menotok itu sama dengan ilmu yang diajarkan kepada Tong Keng Thian
oleh Moh Tjoan Seng. Hanya saja, sedang Moh Tjoan Seng, sekali melihat ilmu silat Kim Sie Ie,
sudah lantas bisa menggubah semacam ilmu untuk menaklukkan pemuda itu, Phang Lin harus
mengasah otak dua hari untuk menyusun ilmu tersebut. Terbuktilah, bahwa jalan ke arah ilmu
silat yang paling tinggi, adalah satu.
Lie Kim Bwee yang sedang bertepuk tangan dan melompat-lompat, mendadak melihat suatu
perubahan aneh pada wajah pemuda itu, perubahan yang lain daripada semestinya, jika hanya
tertotok jalan darah Siauwyauw hiat-nya. Kim Bwee berhenti tertawa dan memandang muka Kim
Sie Ie dengan terkejut.
Sesaat itu Phang Lin keluar dari dalam hutan. Begitu melihat muka Kim Sie Ie, ia berteriak:
"Celaka! Inilah tanda-tanda dari lweekang yang makan tuan!" Buru-buru, ia meloncat dan menarik
tangan Kim Sie Ie, sembari membuka jalan darah Siauwyauw hiat-nya yang barusan ditotok oleh
puterinya. Begitu jalan darahnya terbuka, Kim Sie Ie berontak. Tapi Phang Lin sudah bersiap
sedia, ia menekan tempat pertemuan antara Tayyang hiat dan Siauw-im hiat Kim Sie Ie.
Seketika itu juga, Kim Sie Ie merasakan semacam hawa sejuk perlahan-lahan mengalir ke
dalam tubuhnya yang lantas saja terasa nyaman luar biasa. Ia memejamkan kedua matanya,
sedang pundaknya ditepuk-tepuk perlahan-lahan oleh Phang Lin. Dalam keadaan begitu ia ingat
kepada kejadian di jaman yang lampau, di waktu ia masih kecil, bila ibunya sedang menepuk-
nepuknya supaya dia lekas-lekas tidur. Tak lama kemudian, ia pulas dengan bibir menyuntingkan
senyuman.
Kepandaian Phang Lin memang beraneka ragam. Pada saat itu ia menggunakan ilmu Tjiansim
modjie koeitjin (ilmu memulihkan tenaga dalam yang mendapat gangguan) yang didapatkannya
dari kaum Ihama Topi Merah di Tibet. Sambil mengerahkan lweekang-nya, ia mengurut sekujur
badan pemuda itu. Sebentar pula, aliran darah dan hawa Kim Sie Ie yang tadinya kacau balau
sudah menjadi beres dan tenang kembali. Ketika itu, Phang Lin sudah mengerti, bahwa latihan
lweekang Kim Sie Ie menyimpang dari jalan yang benar, tapi ia belum mengetahui apa sebabnya
sehingga pemuda itu mendapat serangan mendadak. Sesudah membuka baju Kim Sie Ie dan
melihat lukanya, akibat pukulan Tongbengtjoe, barulah nyonya itu mengerti. Tapi dengan rasa
menyesal, ia harus mengakui, bahwa ia tak dapat menolong jiwa Kim Sie Ie.
"Lweekang pemuda ini berbeda sekali dengan lweekang dari cabang persilatan lain," katanya
pada puterinya. "Semakin besar kemajuannya, semakin besar pula bencana yang terhimpun dalam
tubuhnya. Tjiansim modjie koeitjin hanya dapat memperpanjang usianya untuk tujuh puluh dua
hari, tapi tak dapat menolong jiwanya."
"Habis bagaimana ibu?" tanya si nona dengan hati berdebar-debar.
"Jalan satu-satunya adalah mengajaknya pergi ke Thiansan," kata sang ibu. "Iethio dan lebo-
mu (Tong Siauw Lan dan Phang Eng) adalah ahli-ahli Lweekeeh dari cabang persilatan yang asli.
Mungkin sekali mereka akan dapat menolongnya, apapula jika diingat, bahwa kita sudah
mengetahui siapa gurunya. Di samping itu, guru pemuda ini mempunyai hubungan yang akrab
dengan Iethio dan lebo-mu."
Selagi Kim Bwee akan bertanya lebih lanjut, Kim Sie Ie sudah sadar dari pulasnya dan perlahan-
lahan membuka kedua matanya.
Ia mendapat kenyataan, bahwa di samping Kim Bwee, terdapat seorang nyonya cantik yang
sedang memandangnya secara
menyayang. Wajah nyonya itu mirip sekali dengan Kim Bwee dan cara-caranya juga serupa
dengan gadis yang nakal itu.
"Apakah artinya, semua ini?" tanyanya kepada Kim Bwee. "Kau terkena jarum racunku. Kenapa
kau masih hidup? Siapakah nyonya itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Phang Lin tertawa dan menanya: "Bukankah kau murid Tokliong Tjoentjia?"
Kim Sie Ie lantas saja bangun berduduk. "Dalam dunia ini tak ada yang mengetahui asal-
usulku," katanya dengan nada heran. "Bagaimana kau mengenal nama guruku?"
"Tak usah bertanya melit-melit," kata Phang Lin sembari tertawa. "Senjata rahasiamu hanya
dapat digunakan oleh Tokliong Tjoentjia. Kecuali muridnya sendiri, tak ada pula yang mampu
menggunakan senjata rahasia itu. Aku juga tahu, bahwa racun jarum itu hanya dapat dipunahkan
dengan pil yang dibuat dari ilar burung Niauw-eng. Bukankah begitu?"
"Benar," jawabnya. "Tapi pil itu harus segera diberikan, lagi pula, meskipun sudah menelan
obat itu, tak bisa ia sembuh begitu cepat. Untuk berterus terang, di seluruh dunia sudah tidak ada
yang punya obat itu lagi, bahkan juga aku sendiri. Dari mana kau mendapatkan obat itu?"
Ketika meninggalkan Pulau Ular, Kim Sie Ie memang membekal sejumlah pil itu. Sebagaimana
diketahui, dalam pertemuan pertama dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Gobie san, ia sudah
disemprot Yoe Peng dengan kata-kata tajam. Dalam gusarnya, ia bergulingan di tanah, merobek
bajunya dan kemudian melompat ke sungai. Karena itu, semua obatnya hilang di dalam air.
Ia merasa sangat menyesal tapi tak bisa mengambil kembali obat itu.
Phang Lin tertawa haha-hihi seraya berkata: "Obatku jauh lebih liehay dari obatmu." Ia
.mengeluarkan sebutir pil merah sebesar bola kecil dan menggoyang-goyangnya di tengah udara.
Seketika itu juga, Kim Sie Ie mencium semacam bau aneh yang dikenalnya baik-baik. Ia meloncat
dan berteriak: "Bagaimana kau bisa memiliki mustika itu? Apakah kau sahabat guruku? Apakah
kau Lu Soe Nio?"
Phang Lin tertawa terpingkal-pingkal. "Hm! Kau hanya mengenal Lu Soe Nio," katanya.
Sebenarnya ia lantas hendak memperkenalkan dirinya, tapi di lain saat ia berpikir lain. Ia tidak
membenarkan dan juga tidak membantah dugaan Kim Sie Ie.
Pil merah itu mempunyai riwayat menarik, dan telah diperolehnya sebagai hadiah dari Phang
Eng, kakak perempuannya. Kira-kira tiga puluh tahun sebelumnya, ketika akan menghembuskan
napasnya yang penghabisan, majikan pulau Niauw-eng to, yaitu Sat Thian Tjek, telah
menghadiahkan pil tersebut kepada Phang Eng. Sebagai telah dikatakan oleh nyonya itu, obat
tersebut jauh lebih mustajab untuk memunahkan racun senjata rahasia Tokliong Tjoentjia. Ketika
sang adik mau berangkat ke wilayah Tionggoan, Phang Eng telah memberikan pil itu kepada
adiknya yang dikuatirkan akan mampir di Pulau Ular.
"Dimana gurumu?" tanya Phang Lin.
"Sudah meninggal dunia," jawabnya.
"Ah! Sayang! Sungguh sayang!" kata Phang Lin sembari menghela napas panjang-panjang.
Mendengar perkataan itu, di dalam hati Kim Sie Ie lantas saja timbul perasaan suka terhadap
nyonya tersebut. "Jika ia bukan Lu Soe Nio, paling sedikitnya ia tentu sahabat Soehoe," pikirnya.
"Coba jalankanlah pernapasanmu," kata Phang Lin.
Kim Sie Ie segera bersila dan melakukan apa yang diminta oleh nyonya itu. Mendadak
kepalanya pusing dan terasalah hawa kotor naik, menyesakkan dadanya.
Dengan perlahan Phang Lin segera mengurut punggung pemuda itu. "Apakah kau sekarang
sudah insyaf, bahwa jiwamu berada dalam bahaya?" tanyanya.
Sesaat itu, Kim Sie le merasakan semacam hawa dingin menerobos masuk ke dalam jantungnya
dan ia kembali berada dalam keadaan setengah sadar. Dengan perlahan Phang Lin menyentil
kedua pipinya dan ia segera sadar kembali.
Pengalaman itu -- dadanya terasa sesak begitu lekas ia mengerahkan lweekang-nya —— adalah
pengalaman yang baru bagi Kim Sie Ie. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi, ia juga lantas
insyaf, bahwa perkataan nyonya tersebut bukan gertakan belaka. Bukan main terperanjatnya,
tetapi sedetik kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak. "Kawanan semut sukar hidup untuk
sehari, kutu-kutu tak mengenal musim semi dan musim rontok," katanya dengan nyaring. "Aku
sudah hidup dua puluh tahun dan dibandingkan dengan mereka, aku sudah hidup cukup lama.
Sedang semua orang membenci aku, lebih cepat aku mati agaknya lebih baik, supaya mata
mereka tak usah melihat lagi romanku yang menyebalkan!"
"Bagaimana kau tahu, semua orang membenci kau?" tanya Phang Lin. "Bagiku, hidup lebih
lama malah lebih menyenangkan. Dunia ini sungguh indah dan penghidupan selalu penuh
kegembiraan!" Sembari berkata begitu, ia menekan punggung pemuda itu dengan jerijinya. Pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

saat itu juga, hilanglah rasa sesak di dada Kim Sie Ie dan ia dapat bernapas lagi dengan bebas. Ia
mengerti, bahwa dengan lweekang-nya yang sangat sempurna, si nyonya sudah melancarkan lagi
aliran darahnya yang kalang kabut dan untuk bantuan itu, besar sekali terima kasihnya. "Bagiku, ia
bukan sanak dan bukan saudara, tapi dengan suka rela ia sudah menolong diriku," katanya di
dalam hati. "Benar juga, tidak semua orang membenci aku."
"Bagaimana?" tanya Phang Lin. "Apakah kau masih ingin mati?"
"Ah!" kata Kim Sie Ie. "Mengapa kau begitu memaksa hendak menolongku?"
"Aku senang, jika semua orang bisa hidup gembira," jawabnya. "Hatiku jengkel, jika melihat
kedukaan orang lain. Maka, pada hakekatnya, pertolongan itu kuberikan kepada diriku sendiri,
yaitu untuk menyenangkan hatiku. Eh, hayolah ikut aku! Biarpun aku tak bisa menjamin kau akan
hidup seratus tahun, tapi kutanggung kau akan dapat mencapai usia tua. Dalam dunia terdapat
banyak sekali hal yang menggembirakan hati. Kesalahanmu satu-satunya adalah, bahwa kau tak
mampu mencari kegembiraan!'
Selama berkelana dalam dunia Kangouw, setiap kali ia mempermainkan orang, tujuannya
adalah untuk mencari kegembiraan. Tentu saja ia menjadi kaget ketika mendengar Phang Lin
mengatakan, bahwa ia tak mampu mencari kegembiraan. "Kau benar-benar sangat menarik,"
katanya sembari tertawa. "Baiklah, sekarang aku tak mau mati. Aku akan mengikuti kalian mencari
kegembiraan hidup. Kemana kau mau mengajak aku!"
"Jika diberitahukan, sebagian kegembiraanmu akan menjadi hilang," sahut Phang Lin.
Kim Sie Ie yang wataknya sama dengan ibu dan anak itu, lantas saja bertepuk tangan dan
berkata: "Bagus! Hayolah kita berangkat."
Demikianlah mereka segera meninggalkan Gobie san. Dari Soetjoan utara, mereka melewati
gunung Thaysoat san, Lengtjeng san dan lalu masuk ke Tibet, dari mana mereka akan terus pergi
ke Sinkiang. Dengan watak mereka yang hampir serupa, di sepanjang jalan mereka berkelakar dan
bercakap-cakap dengan gembira, sehingga mereka tidak merasa kesepian. Tapi Phang Lin tetap
tak mau memperkenalkan diri dan juga sungkan memberitahukan kemana mereka menuju. Jika
sedang mengasoh di waktu malam, ia menurunkan ilmu Tjiansim modjie koeitjin kepada Kim Sie
le, sehingga, dengan bantuan ilmu tersebut, kecerdasan otak pemuda itu jadi kembali seluruhnya,
juga lagaknya yang gila sudah berkurang banyak dan muncullah kegembiraan yang wajar bagi
seorang pemuda. Tak usah dikatakan lagi, bahwa ia sangat cocok dan bisa bergaul secara baik
sekali dengan Lie Kim Bwee.
Dengan masing-masing memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, dalam dua
puluh hari saja, mereka sudah tiba di Tibet.
Pada suatu hari, sedang mereka berjalan dengan gembira, tiba-tiba mereka melihat suatu iring-
iringan manusia di lembah sebelah bawah. Iring-iringan itu didahului delapan gajah putih dengan
payung-payung emasnya dan seluruh rombongan itu kelihatan megah sekali.
"Ibu, coba lihat!" kata Kim Bwee. "Bukankah iring-iringan Hoan-ong (raja) itu, yang sedang
meronda?"
Phang Lin memperhatikan rombongan itu dengan matanya yang tajam. "Bukan," jawabnya.
"Hoan-ong tidak biasanya begitu mewah. Mungkin sekali iring-iringan itu adalah rombongan salah
seorang kepala agama. Ah! Sungguh menarik. Coba kuselidiki." Hampir berbareng dengan
perkataannya, badannya sudah meluncur turun belasan tombak. "Anak-anak!" ia berseru dari
tanjakan. "Ingat pesanku! Kamu jangan pergi ke tempat lain. Jika ada apa-apa yang menarik,
sudah pasti aku akan segera kembali untuk
memberitahukannya." Baru saja mengucapkan perkataan itu, dengan sekali berkelebat, ia
sudah menghilang, sehingga Kim Sie Ie sangat kagum akan ilmu mengentengkan badan si nyonya
yang begitu tinggi.
Pemuda itu tentu saja tidak tahu, bahwa Phang Lin -- selain ingin menyelidiki iring-iringan itu --
mempunyai maksud lain. Dengan kesempatan itu, ia ingin membiarkan Kim Sie Ie berada berdua-
dua saja dengan puterinya, agar mereka jadi lebih bebas untuk membicarakan segala urusan
pribadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa perginya itu sudah membawa akibat lain.
Sambil mengawaskan iring-iringan itu, sesaat kemudian Kim
Sie Ie berkata semhari menghela napas: "Kau sungguh beruntung mempunyai ibu yang begitu
baik!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Ibumu?" tanya si nona.


"Sejak kecil aku sudah menjadi piatu, tak punya ayah ibu lagi," jawabnya dengan sedih.
"Kasihan!" kata Kim Bwee.
Mendadak, wajah pemuda itu berubah dan ia berkata dengan suara kaku: "Aku tak perlu
dikasihani orang!"
"Aku salah," kata si nakal sembari tertawa. "Janganlah gusar. Kau memang seorang laki-laki
luar biasa yang bisa berdiri di atas kedua kakimu sendiri." Sebagaimana diketahui, Lie Kim Bwee
adalah seorang gadis berandalan yang suka sekali membawa maunya sendiri. Akan tetapi, entah
kenapa, terhadap Kim Sie Ie yang sifatnya lebih berandalan lagi, ia menjadi jinak.
Mendengar pujian itu, kemendongkolan Kim Sie Ie lantas saja reda. "Aku pun belum pernah
bertemu dengan orang yang begitu luar biasa seperti kau dan ibumu," katanya sembari tertawa.
"Ibumu simpatik sekali, kepandaiannya tinggi, kepribadiannya menarik."
"Apa iya?" tanya Kim Bwee sembari tertawa nyaring. "Koko (kakak) tolol! Sebenarnya ibuku
seperti juga ibumu sendiri. Kau tahu? Ia menyayang kau lebih-lebih daripada aku." Inilah untuk
pertama kali dalam
penghidupannya, bahwa seorang manusia, wanita cantik, memanggil "Koko tolol!" kepadanya
dengan nada yang penuh kecintaan. Jantungnya berdebar keras dan ia merasakan kebahagiaan
yang tak dapat dilukiskan.
Untuk beberapa saat, ia memandang ke tempat jauh tanpa melihat suatu apa. Mendadak ia
melompat dan berkata: "Eh, kenapa ibumu berlaku begitu baik terhadapku?"
"Ia mengatakan, bahwa sebatang kara kau terombang-ambing dalam dunia ini," jawab si nona.
"Nasib itu sangat mirip dengan nasibnya sendiri di waktu ia masih kecil."
"Apakah sedari kecil ibumu sudah tidak mempunyai ayah dan ibu?" tanya Kim Sie Ie.
"Benar," jawabnya. "Menurut ceritanya, ketika ia baru berusia kira-kira setahun, keluarganya
telah ditimpa bencana hebat. Kakek telah binasa dalam peristiwa itu dan sesudah berselang
kurang lebih dua puluh tahun, barulah nenek bisa bertemu pula dengan ibu."
"Kalau begitu, ibumu bukan Lu Soe Nio," kata pemuda itu.
Harus diketahui, bahwa Lu Soe Nio adalah orang yang paling dikagumi dan dihormati oleh
Tokliong Tjoentjia. Ketika masih hidup, sering sekali ia menceritakan riwayat hidup pendekar
wanita itu kepada muridnya. Kakek Lu Soe Nio, yaitu Lu Lioe Liang, adalah seorang sasterawan
kenamaan pada jamannya. Ketika ayah Lu Liehiap, Lu Po Tiong, dibinasakan oleh kerajaan Tjeng,
pendekar wanita tersebut sudah berusia dua puluh tahun lebih.
"Siapa kata ibuku Lu Soe Nio?" tanya si nona. "Kenapa kau menganggap ia sebagai Lu Soe
Nio?”.
"Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, siapapun akan menduga, bahwa ia adalah Lu
Liehiap," kata Kim Sie Ie.
"Kau seperti juga kodok di dalam sumur," kata si nona sembari tertawa. "Hm! Lagi-lagi aku
mengejek kau. Jangan marah."
"Ejekanmu sekali ini kuterima dengan tangan terbuka," katanya. "Baru sekarang aku percaya,
bahwa dalam dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai."
"Terus terang saja, ibuku mungkin belum bisa menandingi Lu Soe Nio," kata si nona. "Tapi ibu
sama tersohornya dengan Lu Liehiap, karena ia memang salah seorang dari tiga pendekar wanita
di jaman ini."
Bukan main girangnya Kim Sie Ie. "Siapakah pendekar wanita yang satu lagi?" tanya ia.
"Iebo-ku," jawabnya.
"Kepandaian bibi masih jauh lebih tinggi daripada ibuku. Walaupun Iethio sekarang menjadi
Tjiangboendjin Thiansan pay, tapi masuknya ke partai itu masih terlebih belakang daripada Iebo.
Tahukah kau, siapa bibiku? Ia bukan lain daripada ahli waris le Lan Tjoe, salah seorang pendekar
dari Thiansan."
Dalam kegembiraannya memuji bibinya, Kim Bwee melupakan segala apa. Mendadak, muka
Kim Sie Ie menjadi pucat dan ia menanya dengan perlahan: "Ah! Kalau begitu, Iethio-mu adalah
Tjiangboen dari Thiansan pay. Bukankah ia bernama Tong Siauw Lan?"
Si nona yang belum melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, lantas saja menjawab
sembari tertawa: "Benar. Kau ternyata sudah mengenal juga nama Iethio-ku. Sekarang ini ibu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

akan mengajak kau naik ke Thiansan untuk meminta pertolongan Iebo dan Iethio, supaya mereka
suka mengobati penyakit yang mengeram dalam tubuhmu!"
Kata-kata Kim Bwee itu dirasakan Kim Sie Ie sebagai sebuah palu yang menghantam
jantungnya. Mukanya lantas saja menjadi merah. Tabir rahasia yang sudah lama ingin dibukanya,
sekarang sudah terbuka lebar-lebar. Insyaflah ia sekarang, bahwa lweekang yang telah
diyakinkannya adalah ilmu yang tidak benar, dan juga telah menewaskan gurunya sendiri. Baru
sekarang ia mengerti pesan gurunya supaya ia mencari ahli Thiansan pay untuk memohon
pertolongan. Dalam sekejap itu, segala kesangsian yang bertahun-tahun, telah mengganggu
pikirannya sudah terjawab semua.
Kim Sie Ie mempunyai watak angkuh dan ia gampang sekali tersinggung. Ia senantiasa
menganggap, bahwa ilmu silat gurunya nomor satu di kolong langit, sehinggga ia tak mau tunduk
kepada orang lain, apapula jika orang itu justru ayah Tong Keng Thian.
Sesaat kemudian, Kim Bwee sudah melihat perubahan pada wajah Kim Sie Ie itu. "Koko tolol,"
katanya, sembari memaksakan diri untuk tertawa. "Kau sedang memikirkan apa?"
Kim Sie Ie menahan amarahnya. "Kalau begitu, Tong Keng Thian adalah piauwheng-mu
(saudara misan)," katanya.
"Benar! Kau kenal ia?" jawabnya dengan girang.
"Bukan saja kenal, malah bersahabat baik," kata Kim Sie Ie sembari tertawa dingin. Mulutnya
mengatakan begitu, tapi hatinya berpikir lain. Tahulah ia sekarang, bahwa Phang Lin adalah bibi
Keng Thian. Ia menganggap, bahwa nyonya itu sengaja mengatur siasat supaya ayah Tong Keng
Thian melepaskan budi kepadanya, sehingga ia tak mampu mengangkat kepala lagi di hadapan
Keng Thian. Dengan demikian, maksud Phang Lin yang sangat mulia, sudah salah diartikan
olehnya. Pada saat itu, ia kembali merasakan, bahwa dirinya sebatang kara dan di mana-mana
selalu dihina orang. Daripada dihina orang, ia lebih suka mati lekas-lekas.
Lie Kim Bwee tak bisa menebak pikiran pemuda itu. Sembari tertawa dan bertepuk tangan ia
berkata: "Ah! Kalau kalian memang sudah bersahabat, aku benar-benar merasa girang."
"Tak salah! Sungguh bagus!" kata Kim Sie Ie, suaranya sumbang. "Siasatmu juga sangat
bagus. Mari sini!"
Melihat muka Kim Sie Ie yang merah padam, si nona menduga, bahwa pemuda itu diserang
demam. "Kau sakit?" tanyanya sembari mendekati.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak, tertawa yang membangunkan bulu
roma. "Terima kasih banyak-banyak kepada kalian yang sudah mengatur siasat begitu bagus!"
katanya. Mendadak, mendadak saja, jerijinya menotok jalan darah si nona! Sedetikpun tak pernah
terkilas dalam pikiran Kim Bwee bahwa ia akan diserang secara begitu tiba-tiba. Keruan saja,
tanpa mengeluarkan suara, ia terguling dan roboh di atas tanah.
Di detik selanjutnya, ia mendengar suara tertawa kegila-gilaan pemuda itu, yang semakin lama
sudah semakin jauh.
Kim Bwee -- yang tertotok Djoanma hiat-nya (jalan darah yang membikin orang lemas) – tak
bisa berbangkit. Untung juga, sesudah mempelajari Tiamhiat hoat Kim Sie Ie dari ibunya, ia bisa
membuka jalan darahnya sendiri. Sesudah mengerahkan lweekang-nya selama setengah jam, kaki
tangannya mulai bisa bergerak pula dan beberapa saat kemudian, ia sudah dapat berdiri.
Termangu-mangu, seperti kehilangan apa-apa, ia memandang gunung-gunung di kejauhan.
"Kenapa, baru saja ia masih baik-baik, mendadak kumat lagi penyakit gilanya," pikir si nona yang
menduga, bahwa pemuda itu benar-benar menderita penyakit gila. Suatu perasaan aneh yang
sukar dijelaskan datang kepadanya dan tanpa merasa, ia berlari-lari ke bawah untuk mengejar si
Koko tolol.
Begitu tiba di dasar lembah, sekonyong-konyong dari jurusan depan datanglah iring-iringan itu
dengan delapan ekor gajah putihnya yang sangat besar.
Di punggung seekor gajah putih yang berjalan di tengah-tengah, kelihatan berduduk seorang
Lhama yang bertubuh tinggi besar dan yang dipayungi dengan payung kuning. Barisan gajah itu
diiring oleh enam belas Lhama yang menunggang kuda, sedang di kedua sampingnya terdapat
barisan wanita muda yang mengenakan pakaian putih. Di antara mereka, terdapat satu nona yang
sangat cantik dengan paras dingin dan agung. Ia duduk di atas kuda dengan badan tak bergerak,
seolah-olah satu patung batu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Lie Kim Bwee yang menghampiri barisan itu sembari lari keras, tiba-tiba mendengar satu
bentakan: "Siapakah yang berani mengganggu iring-iringi Hoat-ong (Raja agama)?" Berbareng
dengan bentakan itu, seorang wanita yang memakai kudungan muka loncat turun dari kudanya
dan coba mencengkeram tangan si nona. Kim Bwee berkelit sembari mendorong dengan kedua
tangannya. Wanita itu, yang lantas saja terhuyung beberapa tindak, mengeluarkan seman
tertahan dan kemudian, sesudah memutar badan, ia merangsek pula.
Lie Kim Bwee tentu saja tidak mengetahui, bahwa wanita tersebut adalah Sengbo atau Ibu Suci
dari Lhama sekte Topi Putih. Ia juga tidak mendusin, bahwa secara tidak disengaja, ia sudah
mengganggu iring-iringan Hoat-ong. Kedudukan Hoat-ong atau Raja agama dari sekte Topi Putih
adalah setingkat dengan kedudukan Dalai atau Panchen. Mereka dipandang sebagai Budha Hidup.
Maka itu, di mata para Lhama, gangguan Kim Bwee adalah pelanggaran yang sangat hebat.
Di lain saat, enam belas Lhama yang berpakaian putih sudah mengurung Kim Bwee dalam satu
lingkaran. Mereka mengawasi si nona tanpa mengeluarkan sepatah kata dan maju mendekati
setindak demi setindak.
Kim Bwee jadi bingung. "Eh, mau apa kau orang?" tanyanya.
"Perempuan siluman!" membentak satu antaranya. "Besar benar nyalimu, berani mengganggu
iring-iringan Hoat-ong! Kenapa kau tak lekas memohon ampun kepada Budha Hidup?"
"Yang mana Budha Hidup?" tanya si nona. "Coba beritahukan kepadaku." Ia berkata begitu
seperti satu anak kecil yang sangat ingin melihat apa-apa yang luar biasa.
Semua Lhama jadi sangat gusar dan dua antaranya segera bergerak. Yang satu mengeluarkan
tangan kiri, yang lain mengeluarkan tangan kanan dan membuat satu lingkaran, akan kemudian,
dengan serentak mereka coba membekuk Kim Bwee.
Dalam Rimba Persilatan, ilmu silat sekte Topi Putih merupakan satu cabang yang istimewa.
Pukulan itu, yang dinamakan Kimkong Menangkap Siluman, adalah lebih hebat daripada Kinna
tjhioehoat (ilmu menangkap) dari wilayah Tionggoan. Tapi di luar dugaan, Kim Bwee yang
semenjak kecil sudah dilatih baik oleh kedua orang tuanya, gesit luar biasa. Baru saja tangan
kedua Lhama itu bergerak, sembari tertawa nyaring, bagaikan seekor ikan, ia melejit dari
serangan itu. Kedua Lhama tersebut terkesiap dan buru-buru balik ke kedudukannya yang semula.
Masih untung, si nona belum menoblos keluar dari kurungan.
"Eh!" berteriak Kim Bwee dengan suara nyaring. "Jalan raya bukan dimiliki oleh kau orang.
Seorang Budha Hidup mestinya mempunyai hati yang murah. Kenapa kau orang menjajah jalan?
Apakah berjalan disini merupakan satu kedosaan?" Enam belas Lhama itu sama sekali tak
menggubris teguran si nona. Perlahan-lahan mereka memperkecil lingkaran. Dengan hati bingung,
Kim Bwee menerjang ke sana-sini, tapi kurungan itu teguh bagaikan tembok tembaga.
"Hei!" ia berteriak pula sesudah usahanya untuk menoblos keluar tidak berhasil. "Masakah
enam belas lelaki gagah menghina seorang perempuan? Apa kau orang tak mengenal malu?"
Dalam jengkelnya, ia menunduk dan terus menyeruduk kurungan itu.
Sekonyong-konyong dua Lhama mengeluarkan suara tertawa aneh sedang mukanya
memperlihatkan paras seperti orang yang kena digaruk di bagian badannya yang gatal. Karena
tertawanya itu, badan mereka agak miring dan Kim Bwee sungkan menyia-nyiakan kesempatan
bagus, lantas saja menerobos keluar dari lubang itu. Sembari melompat, si nona merasa heran
dalam hatinya. "Ah! Mereka tentu merasa jengah karena dicaci olehku dan sengaja melepaskan
aku," katanya didalam hati. Ia menengok, menjebi dan terus kabur.
Tapi, baru saja lari beberapa tindak, dua ekor gajah sudah menghadang di depan dan dua
Lhama yang bersenjata Kioehoan Sekthung (toya timah) mencegat jalan.
"Hei! Benar-benar kau orang mau berkelahi?" membentak Kim Bwee sembari membabat
dengan pedang pendeknya. Dengan satu suara "trang!", pedangnya terpukul balik, sedang toya si
Lhma sama sekali tidak bergeming. Kedua Lhama itu adalah murid Hoat-ong yang berkepandaian
paling tinggi dan yang dulu pernah dikirim untuk coba merampas guci emas.
Sekarang Kim Bwee yang nakal benar-benar bingung. Jalan di depan dicegat, sedang dari
belakang mendatangi enam belas Lhama. Selagi hatinya kebat-kebit, sekonyong-konyong Lhama
yang badannya tinggi besar dan paras mukanya merah, berkata dengan suara agung: "Anak itu
belum mengerti apa-apa, biarlah dia pergi." Sembari berkata begitu, dari atas punggung gajah, ia
mengebas dengan hudtim-nya. Mendadak, Kim Bwee merasa dirinya didorong dengan semacam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia jungkir balik. Hampir berbareng, dua Lhama yang
menghadang di depan minggir ke kiri kanan, dan enam belas Lhama yang sedang merangsek dari
belakang, juga menghentikan gerakannya. "Benar juga apa yang dikatakan oleh anak itu," kata
pula Lhama yang tinggi besar. "Seorang Budha Hidup harus mempunyai hati yang murah."
Sehabis berkata begitu, ia mengucapkan beberapa perkataan dalam bahasa Tibet, seperti orang
sedang memberi berkah kepada si nona.
Kim Bwee menengok dan mendapat kenyataan, bahwa semua Lhama berdiri tegak dengan
sikap menghormat. "Ah! Kalau begitu dia adalah Budha Hidup yang dimaksudkan," katanya di
dalam hati. Ia tak berani mengawaskan lama-lama dan lalu kabur secepat mungkin.
Sesudah lari dua tiga li, di tanjakan sebelah depan kelihatan menunggu seorang wanita. "Kim-
djie!" berseru wanita itu yang bukan lain daripada ibunya sendiri. "Kau sungguh berani mati! Lekas
kemari!"
Kim Bwee mempercepat tindakannya dan di lain saat, ia sudah berada dalam pelukan ibunya.
"Aku sendiri tidak berani mengganggu mereka," kata Phang Lin sembari tertawa. "Jika tidak
ditolong olehku, kau akan merasakan lebih banyak penderitaan!"
"Ah! Sekarang aku tahu!" kata si nona. "Dua Lhama itu tentu juga ditimpuk Siauwyauw hiat-nya
(jalan darah yang membangkitkan perasaan geli) olehmu. Tadinya aku menduga, bahwa mereka
melepaskan aku karena merasa jengah dicaci olehku."
Ternyata, kedua Lhama itu sudah ditimpuk oleh Phang Lin dengan menggunakan ilmu Hoeihoa
tjekyap (menggunakan bunga dan daun sebagai senjata rahasia). Dengan menggunakan bunga
atau daun, ia dapat membinasakan musuh atau menotok jalanan darah. Lie Kim Bwee yang
lweekang-nya masih sangat cetek, tentu saja belum bisa belajar ilmu yang tinggi itu. Tapi begitu
mendengar perkataan ibunya, ia segera mengetahui, bahwa tadi ia sudah dibantu oleh sang ibu.
Ia tertawa dan berkata: "Hm! Tadinya aku kira Budha Hidup itu seorang baik. Tak tahunya, ia
sudah melepaskan aku karena takuti ibuku!"
"Jangan ngaco!” membentak Phang Lin dengan suara keras. "Hoat-ong adalah seorang yang
berhati sangat mulia. Aku sendiri sangat menghormati padanya. Jangan kau mengaco belo! Apa
kau tahu, untuk apa mereka datang kesini?"
"Tidak," jawab puterinya.
"Barusan, sesudah menyelidiki, aku mengetahui duduknya persoalan," menerangkan sang ibu.
"Di sebelah depan terdapat satu kota, Sakya namanya. Sekarang ini, Raja agama dari sekte
Topi Putih sudah mengadakan perdamaian dengan Lhama dari sekte Topi Kuning. Panchen sudah
mempermisikan mereka untuk menyebarkan pula agama mereka di Tibet dan mendirikan satu kuil
Lhama yang sangat besar di kota Sakya. Kedatangan Hoat-ong dengan murid-muridnya ke kota
Sakya, adalah untuk meresmikan pembukaan kuil tersebut."
"Apakah dalam tempo yang sependek itu ibu sudah pergi ke
Sakya?" tanya Kim Bwee.
"Pendek? Sudah setengah harian!' kata Phang Lin sembari tertawa. "Apa belum cukup kau
beromong-omong dengan dia? Eh! Mana Kim Sie Ie?"
Paras muka si nona lantas saja berubah. "Dia kumat lagi penyakit gilanya," jawabnya dengan
suara duka. "Dia kabur, entah kemana."
"Ngaco!" membentak sang ibu. "Beruntun beberapa hari, dengan ilmu Tjiansimmo aku
menekan 'api' yang bisa membakar dirinya. Menurut perhitunganku, paling sedikit ia bisa
mempertahankan diri selama tujuh puluh dua hari. Tak mungkin ia gila mendadak. Urusan apa
yang sudah dibicarakan oleh kau orang selama aku pergi?"
"Tidak, sama sekali kita tidak bicarakan apa-apa yang penting," kata Kim Bwee. "Aku hanya
memberitahukan kepadanya, bahwa kau ingin membawa dia ke Thiansan untuk memohon supaya
Iethio suka mengobati padanya."
Phang Lin menghela napas panjang. "Kau benar-benar bocah tak tahu urusan," ia berkata
dengan suara menyesal. "Aku justru sangat kuatir, ia sungkan menerima budi orang, karena
wataknya yang angkuh. Maka itu, aku sengaja sudah mempedayai ia. Tapi, kau yang membuka
rahasia! Kau tentu tak mengetahui, bahwa dia dan Tong Keng Thian mempunyai ganjelan hati."
"Ganjelan apa?" tanya Kim Bwee dengan suara heran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sang ibu kembali menghela napas panjang. "Hai!" katanya. "Benar-benar kau lebih gila
daripada aku, waktu aku semuda kau. Kau lebih suka mencampuri urusan orang lain, daripada
aku. Sudahlah! Tak perlu aku memberitahukan kau. Sekarang sekali lagi aku mesti capai hati
untuk mencari dia. Hai! Anak perempuan sudah besar, benar-benar memusingkan kepala!"
Paras muka si nona lantas saja berubah merah. "Siapa suruh kau mencari dia?" ia tanya
sembari monyongkan mulut.
"Baiklah," jawab sang ibu. "Hm! Di kolong langit memang terdapat banyak sekali lelaki gagah.
Tapi aku tahu, tak satupun yang cocok dengan adat gilamu. Bukankah begitu?"
"Benar," jawab puterinya sembari merengut.
"Nah, kalau begitu paling baik kita cari dia," kata pula sang ibu sambil menyengir. "Mari! Kita
pergi ke Sakya untuk melihat-lihat keramaian. Kim Sie Ie juga suka ramai-ramai. Dia tentu tidak
pergi jauh." Sambil berkata begitu, ia berjalan dengan menyeret tangan puterinya.
Sakya adalah sebuah kota pegunungan yang sangat indah di Tibet Selatan. Biasanya kota itu
sangat sepi, tapi sekarang, berhubung dengan kedatangan Hoat-ong Sekte Topi Putih, maka
tempat yang sunyi itu dengan mendadak menjadi ramai, dikunjungi tetamu dari tempat-tempat
jauh. Touwsoe dan Soanwiesoe Tan Teng Kie jadi repot bukan main, karena mereka harus
menyediakan tempat penginapan dan makanan untuk Raja agama (Hoat-ong) itu dan sekalian
pengiringnya. Di seluruh kota Sakya hanya ada seorang yang senggang dan nganggur dan yang
duduk melamun di taman bunga Soanwiesoe sambil menghela napas berulang-ulang. Orang itu
adalah Tan Thian Oe, putera Tan Teng Kie.
Begitu Thian Oe kembali ke Sakya bersama ayahnya, si Touwsoe lantas saja mengajukan pula
soal yang lama, yaitu soal perangkapan jodoh antara puterinya dan pemuda itu. Thian Oe
menghadapi desakan itu dengan menggunakan siasat mengulur waktu, sedang sang ayah pun,
yang tak penuju calon menantu itu, membantu puteranya dengan mengusap-usap si Touwsoe.
Sementara itu, atas nasehat puteranya, Teng Kie telah memerintahkan Kang Lam pergi ke kota
raja dengan membawa suratnya untuk seorang berpangkat Tjiesoe yang masih terkena sanak
dengannya. Dalam surat itu ia meminta pertolongan supaya sanak tersebut mengajukan
permohonan kepada kaizar, agar ia diperbolehkan pulang dengan mengingat jasanya waktu
menyambut guci emas. Akan tetapi, karena perjalanan yang sangat jauh, sesudah pergi kurang
lebih setengah tahun, Kang Lam belum juga memberi warta suatu apa. Ayah dan anak itu
melewati hari dengan hati mendongkol, karena si Touwsoe sering sekali mengganggu mereka
dengan undangan-undangan untuk menghadiri perjamuan, dimana sang puteri coba memikat-
mikat Thian Oe, yang jadi serba salah, tertawa salah, menangis pun keliru.
Hari itu, Tan Teng Kie dan Touwsoe menyambut Hoan-ong, sedang semua pegawai kantor
Soanwiesoe pun pergi keluar untuk melihat keramaian. Thian Oe sendiri yang tidak mempunyai
kegembiraan untuk pelesir, dan ia menyembunyikan diri di dalam gedung. Sampai jauh malam,
ayahnya belum pulang dan suara ramai-ramai pun belum mereda. Kira-kira tengah malam,
seorang diri ia pergi ke taman bunga. Sang rembulan memancarkan sinarnya yang dingin dan
taman itu seolah-olah mandi dalam lautan perak. Sambil menghela napas, Thian Oe mendongak
dan berkata dengan suara duka: "Ah, malam ini tiada bedanya dengan malam dulu itu. Malam di
musim semi dan bulan yang bersinar perak. Tapi dimana sekarang adanya Chena? Malam itu ia
mendampingi aku, tapi sekarang..."
Pada saat itu, Chena yang cantik manis, dengan senyuman yang penuh rahasia, kembali
terbayang di depan matanya. Hanya beberapa kali ia bertemu dengan gadis Tsang itu, tapi tak
dapat ia melupakannya lagi. Ia ingat peristiwa melempar golok di gedung Touwsoe, ia ingat
pertemuan di gunung belukar pada malam itu, dimana untuk pertama kalinya ia mengetahui asal-
usul si nona, ia ingat pula pertemuan di istana es yang seperti surga, pertemuan yang tak akan
dapat dilupakannya. Tak dinyana, bahwa Puncak Es akan roboh dan akhirnya ia kembali ke Sakya
tanpa mendapat warta apapun juga tentang gadis yang dicintainya itu.
"Apakah Chena binasa dalam bencana alam itu?" ia tanya dirinya sendiri berulang-ulang. Di lain
saat, ia menghibur hatinya: "Jika Yoe Peng selamat, Chena juga tentu bisa meloloskan diri."
Sementara itu, suara keramaian sudah mulai mereda, tapi Thian Oe masih duduk terpekur di
antara pohon-pohon bunga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendadak terdengar suara berkreseknya daun-daun dan tindakan kaki yang sangat enteng.
Thian Oe agak terkejut dan menoleh ke arah suara itu. Ia terkesiap karena apa yang dilihatnya
adalah seorang wanita muda yang mengenakan pakaian serba putih dan yang menghampirinya
dengan bibir tersungging senyuman.
Ia mengawaskan dengan mata membelalak. "Chena!" teriaknya. "Apa aku lagi mimpi?"
"Bukan, bukan mimpi," kata wanita itu. "Tapi, memang tiada beda dengan impian."
Senyumannya belum hilang, air matanya sudah berlinang-linang. Wanita itu memang Chena
adanya!
Thian Oe menggigit jarinya kuat-kuat. Ia melompat karena kesakitan dan berteriak sebab
kegirangan. "Chena! Bukan impian! Kita benar-benar bertemu pula. Kita tak akan berpisahan lagi!"
"Ya, kita tak akan berpisahan lagi," kata si nona.
Thian Oe memeluk erat-erat seolah-olah ia kuatir kecintaannya menghilang dengan mendadak.
Sekonyong-konyong ia melihat berlinangnya air mata dan paras yang penuh kedukaan. Ia merasa
seperti diguyur dengan air dingin. "Chena," katanya dengan suara bingung. "Kenapa kau? Apa
yang dipikiri olehmu? Bukankah kau sudah berjanji, bahwa kita tak akan berpisahan lagi!"
"Aku selalu berada di dampingmu," jawabnya secara menyimpang. "Apakah dalam impian, kau
tak pernah mimpi bertemu denganku?"
"Benar," kata Thian Oe. "Setiap kali bermimpi, aku selalu mimpi bertemu denganmu... kau
sedang tertawa, sedang berdiri di bawah sinar bulan, sedang menangis... Tapi itu semua sudah
lewat. Mulai dari sekarang, kita tak akan mengenal kesedihan lagi, kita akan berada dalam -
kebahagiaan."
"Aku juga sering mimpi bertemu denganmu," kata Chena. "Dengan demikian dapat dikatakan,
bahwa kita sebenarnya belum pernah berpisahan."
"Tidak," kata Thian Oe. "Apa yang diingin olehku bukan dunia mimpi. Aku menghendaki
berkumpul secara abadi."
Mata si nona mengawasi ke tempat jauh dan ia berkata dengan suara serak: "Apa artinya
sungguh? Apa artinya mimpi? Apa yang dikatakan sekejap mata? Dan apa yang dinamakan
abadi?"
Thian Oe terperanjat. Ia menatap muka si nona tanpa bisa menjawab. Pertanyaan-pertanyaan
itu sudah terdengar semenjak dahulu, memang belum dapat dijawab oleh ahli-ahli pemikir
sehingga di jaman ini.
Di luar, sayup-sayup masih terdengar suara orang berpesta, suara penjual silat, suara tukang
sulap, suara menyanyi...
Untuk beberapa lama, kedua orang muda itu saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah
kata. Kemudian, dengan sorot mata berduka dan dengan suara agak gemetar. Chena menyanyi
dengan perlahan:
Cinta abadi adalah sinar terang
yang sekelebatan,
Bagaikan berkeredepnya kilat di
tengah udara gelap gulita,
Tapi walaupun hanya untuk
sekejapan.
Kemuliaan sang kekasih sudah terlihat nyata.
Itulah sebuah nyanyian rakyat Nepal yang merembes masuk ke Tibet, nyanyian yang gembira,
tercampur sedih. Thian Oe berduka sangat. Ia bengong dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: ."Apa artinya sekejap mata? Apa arti abadi? Tidak! Yang dikehendaki olehku adalah
abadi yang bahagia!"
"Thian Oe," kata si nona sembari mesem. "Sekarang kita jangan rewel tentang hal yang tak
penting. Biarpun bagaimana juga, kita sudah bertemu kembali dan biarpun bagaikan
berkeredepnya kilat di tengah udara yang gelap gulita, apakah dalam tempo yang sependek itu,
kita tak bisa mengicipi kebahagiaan yang sebesar-besarnya? Thian Oe, cobalah kau bicara tentang
sesuatu yang menggembirakan."
Thian Oe terperanjat, mukanya lantas saja berubah pucat. "Apa?" ia menegas. "Apakah
pertemuan kita ini hanya seperti berkelebatnya kilat? Kenapa kau tak bisa berdiam terus disini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si nona menghela napas. "Hai! Kau tak tahu," katanya. "Untuk mengadakan pertemuan ini, aku
sebenarnya sudah menempuh bahaya yang sangat besar. Sudahlah, Thian Oe! Jangan kau
menanya banyak-banyak. Marilah, kita bicarakan saja tentang sesuatu yang menggirangkan hati.
Aku tak bisa berdiam lama-lama. Aku mesti segera berlalu!"
Kata-kata itu adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Thian Oe ternganga. Ia hanya
mengawasi muka si nona dengan sorot mata menanya.
"Thian Oe..." kata pula Chena, sambil tertawa. "Hayolah! Mari kita bergembira..." Suaranya
bergemetar dan meskipun ia tertawa, nada suara itu lebih menyayatkan hati daripada tangisan.
"Chena... sesudah kau mengatakan, bahwa kau akan segera berlalu, apakah aku masih bisa
bergembira?" tanya Thian Oe.
"Satu kali, kita pernah mengalami bencana robohnya Puncak Es dan kita sudah terlolos dari
bencana itu. Apakah sekarang kita sedang menghadapi bencana yang kedua, yang lebih hebat
daripada yang pertama?"
"Sedari dilahirkan, bencana memang membayangi diriku terus menerus," jawabnya. "Aku tak
dapat mengelakkannya. Ah! Kau tak tahu..."
"Aku tahu! Aku tahu semuanya," kata Thian Oe. "Aku tahu, kau ingin membalas sakit hati.
Chena, kita sama-sama hidup dan mati pun sama-sama. Marilah kita pergi membalas sakit hati
bersama-sama. Andaikata, dengan berkah Tuhan, kita tak mati, kita boleh lantas melarikan diri ke
selatan, ke kampung kelahiranku."
Si nona kembali tertawa, tertawa duka. "Anak tolol," katanya. "Sakit hati yang dalam bagaikan
lautan, mana bisa diwakili? Di samping itu, aku tak bisa mempermisikan mengamuknya badai di
Tibet, karena urusan pribadiku. Soal pembalasan sakit hatiku adalah soal remeh. Tapi begitu lekas
kau campur tangan, soal itu akan menjadi besar."
Thian Oe insyaf, bahwa si nona bicara sejujurnya. Ayahnya adalah Soanwiesoe dari Sakya.
Karena kuatir terjadi pemberontakan para Touwsoe di Tibet, maka selain mengirim Hok Kong An
untuk menilik dari Lhasa, kaizar Tjeng telah mengirim juga Soanwiesoe ke berbagai tempat
dengan tugas "menempel" dan mengawasi sepak terjangnya para Touwsoe itu. Jika ia benar-
benar membantu Chena dan membinasakan Touwsoe dari Sakya, maka ayahnya sudah pasti akan
mendapat hukuman mati. Juga terdapat kemungkinan timbulnya sengketa yang lebih besar gara-
gara itu.
Dengan air mata berlinang-linang, Chena dongak mengawasi awan yang terombang-ambing di
atas langit.
"Jika kau mati, aku pun tak bisa hidup terus," kata Thian Oe.
"Tidak, kau tak boleh mati," kata si nona. "Kau masih mempunyai banyak sekali tugas. Di
samping itu, aku pun belum tentu mati."
"Kalau begitu, biarlah aku menunggu kau," kata Thian Oe. "Tak perduli apa kau hidup atau
mati, aku akan menunggu terus."
Chena menghela napas. "Terima kasih," katanya. "Tapi, apa kau tahu, siapa aku sekarang?
Seumur hidup, aku tak boleh mencintai atau menikah dengan seorang pria. Kedatanganku
sekarang sudah melanggar peraturan. Thian Oe, sebaiknya kau menganggap, bahwa pertemuan
ini adalah pertemuan di dalam mimpi."
Mendengar perkataan itu, bukan main kaget dan herannya Thian Oe. "Kenapa?" ia
menegaskan. "Aku mengetahui, bahwa kau adalah puteri Raja muda Chinpu. Apakah puteri
seorang raja muda di negerimu tidak boleh menikah dengan seorang Han?'
Pada jaman itu, di Tibet memang ada kebiasaan tersebut. Akan tetapi, Thian Oe sudah
menebak salah, karena hal itu bukan sebab yang terutama.
Si nona tak menyahut, ia terus menunduk.
"Sudahlah!" kata Thian Oe dengan suara keras. "Jika begitu, aku tak akan menikah seumur
hidup."
Chena menyeka air matanya dengan tangan baju dan mendadak ia tertawa. "Kau adalah
manusia pertama yang mengenal jiwaku," katanya. "Kebahagiaanmu adalah keberuntunganku.
Aku ingin sekali kau bisa hidup beruntung. Apa kau tahui"
"Aku tahu," jawabnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kalau begitu, kau dengarlah perkataanku," katanya pula. "Pengtjoan Thianlie telah membuang
banyak budi kepadaku dan ia adalah orang kedua dalam dunia ini yang dapat menyelami isi
hatiku. Aku menganggapnya sebagai kakakku sendiri."
"Aku tahu," kata Thian Oe. "Aku pun pernah mendapat banyak sekali pertolongannya dan aku
merasa sangat berterima kasih."
Chena kembali menghela napas, sedang kedua matanya mengawasi ke tempat jauh. "Thianlie
Tjietjie banyak lebih beruntung daripadaku," katanya dengan suara perlahan. "Tong Keng Thian
mencintainya dengan segenap hati, seperti juga kau..." Mukanya mendadak berubah merah dan ia
tak dapat meneruskan perkataannya.
"Dalam ilmu silat, aku memang tak dapat dibandingkan dengan Tong Keng Thian," kata Thian
Oe. "Tapi... mengenai rasa cintaku, aku sedikitpun tak kalah dengannya."
Chena tersenyum, senyuman puas yang, untuk sejenak, telah menyapu awan kedukaan dari
mukanya. Sesaat kemudian, ia berkata pula: "Orang ketiga yang mengenal jiwaku adalah Yoe
Peng, dayangnya Thianlie Tjietjie. Ia adalah seorang yang selalu bergembira, sehingga siapa juga
yang bergaul dengannya, akan turut merasa gembira."
Thian Oe terkejut. "Apa maksudnya perkataan Chena?" ia tanya dirinya sendiri, la menatap
wajah si nona dengan rasa kasihan dan kemudian berkata: "Chena, aku hanya bisa berkumpul
dengan kau seorang. Dalam dunia ini, tiada lain manusia yang bisa dibandingkan denganmu."
Si nona dongak dan melihat sang rembulan yang sudah doyong ke barat. Untuk sekian kalinya
ia menghela napas. "Sekarang benar-benar aku mesti lantas berlalu," katanya.
"Tidak!... Tidak!... Chena, kau tak boleh meninggalkan aku dengan begitu saja!" kata Thian Oe
dengan suara serak, sambil mencekal erat-erat ujung baju si nona.
Tiba-tiba di sebelah kejauhan terdengar suara lonceng. Si nona kelihatan terkejut dan lalu mulai
menghitung dengan suara perlahan: Satu... dua... tiga... dua belas... tiga belas... tujuh belas...
delapan belas..."
"Kenapa kau menghitung?" tanya Thian Oe. "Apa suara lonceng itu dari istana sementara Hoat-
ong?"
"Sudah hampir sembahyang pagi," jawabnya.
"Sembahyang pagi?" menegas Thian Oe, sambil menatap wajah si nona.
Chena melengos. Mendadak ia berkata: "Hoat-ong sudah tiba disini dan kota Sakya ramai
bukan main. Dua hari lagi akan diadakan upacara pembukaan kuil Lhama."
"Tanpa kau, aku tak mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan keramaian apapun juga,"
kata Thian Oe. "Aku tak ingin menyaksikan pembukaan kuil itu."
"Baiklah," kata si nona dengan tertawa sedih. "Biarlah sekarang saja kita berpisahan." Hampir
berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebilah pisau dan memotong ujung bajunya yang
sedang dicekal Thian Oe dan di lain saat, ia sudah berada di atas tembok!...
Bagaikan orang lupa ingatan, Thian Oe berdiri terpaku dengan mulut ternganga. Kejadian
barusan seolah-olah suatu impian menakuti. Ia merasa otaknya pusing dan tak dapat bekerja lagi.
Kenapa Chena datang untuk segera pergi lagi dengan begitu terburu-buru? Apa arti perkataan-
perkataannya? Kenapa ia tak boleh menikah? Peraturan apa yang dilanggarnya? Berbagai
pertanyaan masuk ke dalam otaknya, pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat jawabnya.
Sementara itu, fajar mulai menyingsing dan orang-orang yang bersuka ria sudah mulai pulang.
Mereka tak tahu, bahwa sang majikan muda juga tak tidur semalam suntuk. Karena sudah
ketelanjur, mereka tidak lantas pergi tidur dan lalu beromong-omong. Thian Oe adalah majikan
yang selalu bersikap manis terhadap pegawai dan bujang, sehingga mereka tidak merasa takut
untuk bicara di hadapannya.
"Sayang sungguh Wanita-wanita Suci itu mengenakan kudungan muka," kata yang satu.
Thian Oe kaget dan segera mendekati sambil menanya: "Wanita Suci apa?"
Yang baru pulang menonton ada delapan orang dan mereka lantas saja memberi keterangan.
"Wanita Suci yang dibawa Budha Hidup. Agama Topi Putih berbeda dengan Topi Kuning. Topi
Putih boleh mempunyai Lhama wanita."
"Menurut katanya orang, Wanita Suci itu pandai menyanyi dan menari. Pada upacara
pembukaan kuil, mereka akan memperlihatkan kepandaiannya."
"Ya. Mereka kelihatannya cantik sekali, hanya sayang mengenakan kudungan muka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Kau jangan mengeluarkan perkataan gila-gila! Menurut pendengaranku, Wanita Suci itu
sungguh-sungguh suci dan tak boleh dilanggar-langgar. Jika kau tak turut menghadiri upacara,
mencuri lihat saja sudah merupakan satu kedosaan."
"Apa dia tak boleh menikah?"
"Tidak! Jangankan menikah, sedangkan bicara dengan lelaki sudah tak boleh."
"Ah! Sungguh sayang! Setiap Wanita Suci itu pasti cantik luar biasa. Pakaiannya saja sudah
begitu indah. Baju dan koen serba putih dan dua ikatan pinggang sutera yang berwarna putih
pula. Setiap orang ramping badannya, ceking pinggangnya dan kalau dia berjalan, aduh! Bagaikan
Puteri Kahyangan yang turun ke bumi!'
Thian Oe mendengari pembicaraan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya jantungnya
semakin lama memukul semakin keras. "Apa Chena sudah jadi Wanita Suci? Kenapa ia mau jadi
Wanita Suci?" tanyanya di dalam hati. Pikirannya jadi semakin kusut, kepalanya semakin pusing.
Semalam ayahnya menginap di gedung Touwsoe dan sampai tengah hari belum juga pulang.
Pagi itu, seperti orang kehilangan semangat, Thian Oe duduk termenung dalam kamar tulis sambil
mengasah otak untuk memecahkan teka-teki sekitar kecintaannya itu.
Tiba-tiba ia terkejut karena terdengarnya suara orang memanggil: "Kongtjoe, ada tamu."
"Siapa?" tanyanya. Alisnya berkerut dan ia berkata pula sambil mengebas tangan: "Hari ini aku
tidak menerima tamu. Minta dia datang di lain hari saja."
"Baiklah," kata si pelayan, tapi ia terus berdiri di depan pintu.
"Ada apa?" tanya pula Thian Oe.
"Menurut katanya tamu itu, ia adalah sahabat Kongtjoe," jawabnya. "Pengurus rumah tanga
sedang menemaninya di kamar tamu."
"Siapa ia?" menegas Thian Oe dengan perasaan heran, karena si pengurus rumah tangga
sudah berani menerima tamu itu tanpa permisi.
"Dandannya seperti seorang sasterawan dan ia she Tong," menerangkan si pelayan. "Menurut
katanya pengurus rumah tangga, ia pernah membuang budi besar kepada Looya."
"Aduh!" teriak Than Oe sambil berlari-lari keluar tanpa menukar pakaian lagi.
Tamu itu bukan lain daripada Tong Keng Thian. Pengurus rumah tangga keluarga Tan pernah
mengikut Tan Teng Kie waktu menyambut guci emas, sehingga ia mengenali pemuda itu.
Tak usah dikatakan lagi, pertemuan itu sangat menggirangkan kedua belah pihak.
"Tong-heng," kata Thian Oe sambil menjabat erat-erat tangan Keng Thian. "Angin apa yang
sudah meniup kau datang kemari? Benar-benar aku bisa pingsan karena kegirangan."
"Kebetulan lewat, aku mampir," jawabnya. "Dan lebih-lebih kebetulan, karena kota ini sedang
bersuka ria."
"Apa Tong-heng ingin menyaksikan upacara pembukaan kuil?" tanyanya.
"Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak," sahutnya.
Melihat paras tamunya seperti orang yang ingin membicarakan suatu rahasia, Thian Oe lantas
saja berkata: "Marilah masuk, supaya kita bisa bicara dengan leluasa dan gembira." Tanpa
menunggu jawaban, ia menuntun tangan Keng Thian yang lalu diajak ke kamar buku.
Baru saja pelayan mengantarkan teh, Keng Thian sudah berbisik: "Bagaimana dengan Chena?"
Thian Oe berjingkrak bahna kagetnya. Cangkir teh jatuh dan hancur di lantai. "Tong-heng, kau
kenal Chena?" tanyanya dengan suara gemetar.
Sebagai seorang yang sangat pintar, Keng Thian lantas saja dapat menebak, bahwa gadis
Tsang itu adalah jantung hatinya Thian Oe.
"Dimana Tong-heng bertemu dengannya?" tanya Thian Oe, tak sabaran.
"Di istana Hoat-ong Sekte Topi Putih," jawabnya. "Sungguh sayang, waktu itu aku belum tahu,
bahwa ia adalah gadis idam-idamanmu. Jika 'ku tahu, aku tentu akan membujuk supaya ia
mengurungkan niatan untuk menjadi Wanita Suci." Sesudah itu, secara ringkas ia lalu menuturkan
segala pengalamannya di istana Hoat-ong dan di keraton Wanita Suci.
"Kalau begitu, dia sendiri yang rela menjadi Wanita Suci," kata Thian Oe dengan suara
perlahan. "Tapi kenapa? Kenapa?..."
Mereka segera coba menduga-duga, tapi tak dapat menebak apa maksudnya Chena. Waktu
magrib, Tan Teng Kie pulang dan kunjungan Keng Thian menggirangkan sangat hatinya. Biarpun
sangat lelah, ia memaksakan diri untuk menemani pemuda itu dan menghaturkan terima kasih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

untuk segala pertolongannya pada waktu penyambutan guci emas. Dalam omong-omong, mereka
tentu saja membicarakan juga soal kedatangan rombongan Hoat-ong dengan Wanita-wanita Suci
yang sangat menarik perhatian. "Sebenarnya Touwsoe ingin membuat satu tempat istimewa
dalam bentengannya untuk tempat menginap para Wanita Suci," •menerangkan Teng Kie. "Ia juga
ingin memerintahkan budak-budak perempuannya untuk belajar menari dengan Wanita Suci itu.
Hoat-ong tidak berkeberatan, tapi Ibu Suci katanya tidak menyetujui. Belakangan mereka
membuat sebuah tempat penginapan di dalam taman istana sementara Hoat-ong. Touwsoe
merasa sangat mendongkol, tapi ia tak bisa berbuat suatu apa."
Hati Thian Oe berdebar-debar, tapi tidak mengatakan apa-apa. Tak lama kemudian, sebab
merasa terlalu capai, Teng Kie lalu meminta maaf kepada Keng Thian dan masuk ke dalam untuk
mengasoh.
Begitu ayahnya berlalu, Thian Oe segera mengajak tamunya kembali ke kamar tamu dan begitu
mereka mengambil tempat duduk, ia segera berkata: "Malam ini aku ingin mengunjungi Chena."
Keng Thian terkejut: "Tidak! Kau tak boleh pergi!" ia mencegah. "Istana sementara Hoat-ong
bukan tempat sembarangan. Tahun yang lalu, waktu menyelidiki keraton Wanita Suci, hampir-
hampir aku hilang jiwa."
Thian Oe mengawaskan tamunya dengan sorot mata duka. "Terima kasih untuk nasehatmu,"
katanya dengan suara perlahan. "Tapi, walaupun mesti berenang di air atau menyerbu api,
biarpun badanku bisa hancur lebur, malam ini aku mesti menemuinya. Andaikata tak dapat bicara,
sedikitnya aku harus melihat dia."
Tong Keng Thian yang cukup mengenal penderitaan cinta, menghela napas panjang. Ia
menatap wajah Thian Oe dengan perasaan kasihan. "Baiklah," katanya. "Malam ini aku akan
mengantar kau."
Bukan main girangnya Thian Oe. Ia menjabat tangan Keng Thian erat-erat dan mencekalnya
lama sekali.
"Sekarang pergilah kau mengasoh, supaya sebentar kau mempunyai cukup tenaga dan
semangat," kata Keng Thian.
"Mana aku bisa pulas?" kata Thian Oe sambil tertawa getir. "Jika mungkin, sekarang juga aku
ingin pergi kesana."
Keng Thian tersenyum, ia bisa merasakan apa yang dirasakan pemuda itu. "Jika kau tak mau
mengasoh, aku ingin menanya tentang satu orang," katanya.
"Siapa?" tanya Thian Oe.
"Seorang pengemis yang lagaknya gila-gilaan dan selalu cari-cari urusan," kata Keng Thian.
"Menurut katanya beberapa pegawai, beberapa hari berselang di kota ini berkeliaran seorang
pemuda otak miring yang membagi-bagikan kembang gula dan kue-kue kepada anak-anak di
sepanjang jalan," menerangkan Thian Oe. "Tapi dia bukan pengemis, pakaiannya bagus sekali.”
"Dimana dia sekarang?" tanya Keng Thian.
"Entah," sahutnya. "Dalam beberapa hari ini, orang tidak memperhatikannya lagi karena repot
menyambut rombongan Hoat-ong. Aku pun hanya mendengar cerita orang."
Alis Keng Thian berkerut, tapi ia tak menyatakan suatu apa. "Kalau begitu Kim Sie Ie tentu
sudah berada dalam kota ini," katanya didalam hati.
"Untuk apa Tong-heng menyelidiki orang itu?" tanya Thian Oe.
Keng Thian menghela napas panjang seraya berkata: "Biarpun urusanku tidak sesedih
urusanmu, tapi cukup sulit. Aku ingin menolong seorang yang tak disuka olehku. Jika mau
diceritakan, urusan ini panjang sekali. Hai! Biarlah nanti saja aku memberitahukannya."
Malam itu, dengan menggunakan lweekang, Keng Thian membantu Thian Oe menjalankan
pernapasannya. Kira-kira tengah malam mereka lalu menukar pakaian jalan malam dan segera
berangkat ke istana sementara Hoat-ong.
Istana sementara itu adalah sebuah gedung yang berdiri membelakangi gunung. Gedung itu
sebenarnya adalah rumah tinggal seorang Nyepa (semacam pangkat di sebelah bawah Touwsoe).
Untuk menyambut kedatangan Hoat-ong, maka pada satu bulan berselang, Touwsoe telah
memerintahkan supaya Nyepa dan keluarganya pindah dari gedung itu yang lalu diperbarui,
diperindah dan ditambah segala kekurangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sebab hatinya tidak sabaran, Thian Oe lari secepat-cepatnya dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan, sehingga kedua kakinya seolah-olah tidak menginjak bumi. Keng Thian
kaget karena ia tidak menduga, bahwa selama beberapa tahun saja, pemuda itu sudah mendapat
kemajuan yang sedemikian jauh. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa kemajuan tersebut adalah
berkat buah luar biasa yang telah dimakan Thian Oe di istana es.
Belum cukup setengah jam, mereka sudah tiba di istana Hoat-ong dan lalu melompat masuk ke
dalam taman bunga. Sesudah berjalan beberapa tombak, di antara ratusan pohon bunga yang
menyiarkan wewangian
menyedapkan, mereka melihat sebuah loteng cat merah yang agak tertutup dengan pohon-
pohon tinggi yang rindang daunnya. Selagi Thian Oe jalan memutari gunung-gunungan batu untuk
melompat ke atas loteng itu, sekonyong-konyong Keng Thian menarik tangan bajunya dan mereka
lalu bersembunyi di belakang gunung-gunungan itu.
Tiba-tiba terdengar kesiuran angin dan tiga bayangan manusia berkelebat masuk ke dalam
taman. Waktu mereka hinggap di muka bumi, hanya seorang yang kakinya memperdengarkan
suara, sehingga dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dua orang lainnya mempunyai ilmu
mengentengkan badan yang sangat tinggi. Begitu masuk, mereka mengawasi ke empat penjuru
dan kemudian bersembunyi di belakang gunung-gunungan batu yang lain. Thian Oe mengintip
dari sela-sela batu dan lapat-lapat ia melihat bayangan badan mereka. Sesaat kemudian, seorang
antaranya yang bertubuh gemuk dan yang tadi kakinya mengeluarkan suara waktu hinggap di atas
tanah, tiba-tiba menoleh ke belakang. Dalam sekelebatan Thian Oe melihat mukanya dan ia
terkejut. Orang itu ternyata bukan lain daripada orang kepercayaan Touwsoe, yaitu Omateng,
yang pada suatu malam dua tahun berselang, telah mengubar-ubar Chena di sebuah gunung.
Mendadak kuping Thian Oe menangkap suara yang sangat perlahan. "Apa kau sudah melihat
tegas, bahwa wanita itu adalah puteri Raja muda Chinpu?" tanya seorang.
"Ya, biarpun dia mengenakan kudungan, aku bisa
memastikannya," jawab Omateng.
Thian Oe heran tak kepalang. "Kenapa dia begitu memperhatikan Chena?" ia menanya dirinya
sendiri. "Kedatangannya di kali ini juga adalah untuk menyelidiki Chena." Sesaat itu, ia lantas saja
ingat segala tindakan Omateng dalam waktu yang lalu. Dulu, ketika Chena jatuh ke dalam tangan
Touwsoe, dialah yang sudah memohon ayahnya untuk menolongnya. Tapi belakangan, kenapa ia
terus mengubar-ubar, sampai di Puncak Es? Apa maksudnya? Maksud baik atau maksud jahat?"
"Apa kau ingin memberitahukan Touwsoe?" tanya kawannya.
"Jika Touwsoe diberitahukan, ada baiknya, ada juga tidak baiknya," jawabnya. "Paling bagus
jika kita bisa bertemu dengan Chena. Tapi..."
Belum habis perkataannya, di atas loteng mendadak terdengar suara apa-apa. Thian Oe
mendongak dan melihat terbukanya pintu di satu sudut, disusul dengan keluarnya seorang wanita
yang tangannya memegang serupa alat musik. Perlahan-lahan ia menghampiri langkan dan
kemudian, sambil menyender di langkan, ia mementil alat musik yang dibawanya. Sesaat
kemudian, terdengar nyanyian yang seperti berikut:
Sungai es di puncak gunung, laksana Bima Sakti (Milky Way) yang nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan perlahan sekali.
Ibarat suara letabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.
Si nona menanya si pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau mendaki?
Berapa topan lagi harus kau lewati?
Itulah suatu lagu gembala di wilayah Tibet yang sangat mengharukan hati, yang dulu pernah
didengar Thian Oe, waktu pertama kali ia bertemu dengan si nona di padang rumput. Hatinya
perih seperti diiris-iris dan matanya terus mengawasi seperti orang lupa ingatan. Tiba-tiba salah
satu jendela yang bersinar terang, terbuka dan seorang Wanita Suci memanggil dengan suara
perlahan: "Sudah malam, Chena Tjietjie. Apa kau tak mau tidur? Jangan melamun!"
"Aku tak bisa pulas," jawabnya. "Aku ingin turun sebentaran dan waktu kembali, aku akan
membawa bunga bwee untukmu." Sehabis berkata begitu, sambil memeluk alat musiknya ia turun
dari atas loteng dan menyanyi dengan suara perlahan:
Di langit, sang elang terbang berputaran.
Di bumi, kawanan binatang lari lintang pukang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Ah! Sungguh 'ku ingin menjadi sang elang!


Sungguh 'ku ingin menjadi pisau pembalasan!
Untuk menerkam si raja singa yang kejam.
Untuk menikam jantungnya musuh!
Nyanyian itu adalah nyanyian pembalasan sakit hati di wilayah padang rumput dan bahwa
nyanyian itu dinyanyikan oleh seorang Wanita Suci, adalah kejadian yang sungguh luar biasa.
Setindak demi setindak Chena berjalan ke arah tempat bersembunyinya Thian Oe yang terus
mengincarnya sambil menahan napas. Tak jauh dari situ adalah gunung-gunungan tempat
bersembunyinya Omateng dan kedua kawannya. Thian Oe melirik dan kebetulan si gemuk sedang
mengintip sambil menongolkan sedikit kepalanya. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang,
tiba-tiba ia melihat Omateng ' tersenyum, satu senyuman licik dan kejam yang membangunkan
bulu roma. Beberapa tahun berselang, waktu bertemu Chena dan Omateng di bukit es pada suatu
malam terang bulan, ia pun pernah melihat senyuman begitu. Tanpa merasa ia bergidik.
Tiba-tiba si nona menghentikan tindakannya dan mendongak memandang rembulan sambil
menghela napas berulang-ulang. "Ah! Thian Oe, Thian Oe!" ia mengeluh dengan suara perlahan.
"Sungguh-sungguh aku kejam terhadapmu!"
Mendengar itu, Thian Oe tak dapat menguasai dirinya lagi. Ia tak ingat lagi dimana ia berada
dan lalu melompat sambil berteriak: "Chena!"
Di lain saat. Dalam taman itu sudah terdengar teriakan-teriakan orang.
Tiba-tiba Thian Oe merasa dirinya dikempit dan dibawa terbang, akan kemudian kedua kakinya
hinggap di atas tembok. Hampir berbareng ia melihat satu sinar merah menyambar ke bawah.
"Lekas! Lekas lari!" Keng Thian berbisik. Thian Oe segera meloncat ke bawah dan terus kabur,
diikuti oleh kawannya. Sayup-sayup mereka mendengar suara ramai-ramai di dalam taman. "Hoat-
ong sudah keluar," kata Keng Thian sambil tertawa. "Omateng bisa celaka."
Sesuai dengan dugaan Keng Thian, sebelum keburu kabur, Omateng bertiga sudah dikepung.
Orang yang menerjang paling dulu adalah si Ibu Suci dan empat murid utama dari Hoat-ong yang
meronda di taman itu.
Dua kawan Omateng, yang satu bernama Teruchi dan yang lain Kili Singh, adalah jago-jago
yang mempunyai kepandaian paling tinggi di Kalimpong. Begitu berhadapan, si Ibu Suci yang
bersenjata sepasang pantek konde yang panjangnya satu kaki, segera menikam Teruchi. Senjata
itu yang terang-terangan mengenakan tepat di dada musuh, mendadak melejit seperti melanggar
benda licin, sehingga, waktu Teruchi melompat ke samping, si Ibu Suci terhuyung ke depan dan
menubruk salah satu Lhama. Ia malu bercampur gusar, sehingga mukanya berubah merah padam.
Ternyata jago Kalimpong itu memiliki ilmu Yoga yang sangat liehay. Sementara itu, Kili Singh yang
tidak mempunyai ilmu Yoga, tapi yang ilmu silatnya lebih tinggi daripada Teruchi, sudah mulai
bergebrak dengan murid Hoat-ong. Sesudah lewat beberapa jurus, murid Hoat-ong mendadak
mengirim satu pukulan geledek yang menyambar bagaikan kilat ke dada musuh. Sambil
mengerahkan tenaga dalam, Kili Singh menangkis kekerasan dengan kekerasan. Begitu kedua
tangan beradu, murid Hoat-ong sempoyongan, sedang Kili Singh pun bergoyang-goyang
badannya. Melihat kesempatan baik, Ibu Suci menerjang dan menikam jalanan darah Tiongpeng
hiat dan Kietjong hiat, di kempungan Kili Singh. Tapi, biarpun diserang mendadak selagi badannya
tergetar akibat pukulan musuh, Kili Singh yang memiliki ilmu silat Poloboen, bisa juga menolong
diri dengan jungkir balik. Pantek konde itu menembus celananya, tapi tak sampai mengenakan
jalanan darah. Sesudah itu, dengan gerakan Leehie tahteng (Ikan gabus meletik), ia melompat
berdiri dan terus kabur.
Ibu Suci jadi kalap karena gusarnya. Ia menganggap, bahwa dua musuh itu sengaja
mempermainkannya dengan ilmu yang aneh. Ia berteriak memberi komando dan dalam sekejap
empat murid utama dan sejumlah Lhama sudah mengubar dan mencegat dua jago Kalimpong itu.
Melihat ketika baik, dengan hati berdebar-debar Omateng melompat ke arah loteng merah
dengan niatan menyembunyikan diri untuk sementara waktu. Tapi apa mau, Hoat-ong yang baru
keluar dari istana, telah melihat gerak-geriknya. Ia lantas saja mematahkan cabang pohon yang
lalu dipentilnya. Bagaikan kilat cabang itu menyambar kaki Omateng yang segera roboh terguling
di atas tanah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Muka si gemuk jadi pucat seperti kertas waktu mengetahui siapa yang merobohkannya, sedang
Hoat-ong sendiri agak terkejut ketika melihat, bahwa si pengacau adalah Nyepa dari Touwsoe
Sakya sendiri. Tangannya yang sudah terangkat diturunkan lagi dan ia lalu memerintahkan
seorang Lhama untuk mengikat tawanan itu.
Sementara itu, Teruchi dan Kili Singh sudah kabur sampai di pinggir tembok. Dalam keadaaan
terdesak, buru-buru Kili Singh membuka Djoanso (tali) yang mengikat pinggangnya dan lalu
memutarnya bagaikan titiran. Karena titiran tali itu disertai dengan tenaga hebat, maka semua
Lhama tidak berani maju menyerang.
Dengan gusar Hoat-ong lalu memburu kesitu dan begitu tiba, Teruchi justru sedang naik ke
atas tembok. Sekali menjejak kaki, badannya melesat bagaikan anak panah dan tangannya
menjambret tumit kaki jago Kalimpong itu. Mendadak ia merasa tangannya seperti mencengkeram
kapas, tumit itu mengkeret dan terlepas dari cengkeramannya. Ia mendongkol bukan main dan
sambil mengerahkan lweekang, lalu menekuk jerijinya untuk mementil dengan ilmu Tantjie
Sinthong (ilmu mementil). Jika kena, tulang kaki Teruchi pasti akan hancur. Kili Singh terkesiap.
Untuk menolong kawan, buru-buru ia menyapu dengan Djoanso-nya. Hoat-ong marah, ia
membalik tangan dan lalu membabatnya. Hebat sungguh babatan itu yang disertai lweekang!
Begitu tersentuh, Djoanso Kili
Singh putus jadi dua potong. Sementara itu, berkat pertolongan sang kawan, Teruchi berhasil
meloloskan diri dan terus mabur. Dengan gergetan Hoat-ong menotok jalan darah Kili Singh yang
terus roboh dan lalu diikat oleh seorang Lhama.
Semua kejadian itu terjadi dalam tempo pendek. Chena sendiri berdiri terpaku bagaikan patung
sambil memeluk alat musiknya yang bertali lima. Kedua matanya mengawasi ke tempat jauh,
sedang di kupingnya masih terus berkumandang teriakan Thian Oe. Seolah-olah tidak melihat
segala kekacauan dan tidak mendengar teriakan-teriakan dalam taman itu. Sesudah Omateng dan
Kili Singh dibekuk dan Hoat-ong memanggil namanya, barulah ia tersadar dari lamunannya. Ia
mendongak dan matanya kebentrok dengan mata Omateng. Ia kelihatan kaget dan berkata
dengan suara perlahan: "Hm! Omateng!”
"Kau kenal dia?" tanya Hoat-ong.
"Kenal," jawabnya "Dia adalah Nyepa dari Touwsoe Sakya."
"Nona itu adalah piauwmoay-ku (adik misan)," kata Omateng.
"Chena," kata Ibu Suci dengan perasaan heran. "Kenapa kau tidak pernah memberitahukan,
bahwa kau masih punya saudara misan?"
Sebelum menjawab, si nona melirik Omateng yang parasnya kelihatan bingung sekali. Sesaat
itu juga, ia ingat beberapa kejadian pada waktu yang lalu. Ia ingat, bahwa Omateng pernah
meminta pertolongan Tan Teng Kie untuk menyelamatkan dirinya dari cengkeraman Touwsoe. Ia
ingat pula perkataan Omateng pada malam terang bulan itu, bahwa Touwsoe adalah musuh
bersama dari mereka berdua dan bahwa dia bersedia memberi bantuan dalam usaha membalas
sakit hati.
Walaupun ia tidak melupakan perkataan Thian Oe yang memperingatkan, bahwa Omateng
bukan manusia baik-baik, tapi, baik atau jahat, ia belum mempunyai bukti yang teguh. "Tak
perduli dia baik atau jahat, dia adalah seorang yang pernah coba menolong aku," katanya di
dalam hati. Mengingat begitu, dengan suara tawar ia menjawab: "Sesudah mengabdi kepada
Budha Hidup dan menjadi Wanita Suci secara suka rela, aku telah membebaskan diri dari segala
ikatan dunia. Jangankan piauwko (saudara misan), sedangkan ayah dan ibu sendiri pun sudah jadi
seperti orang luar."
Si Ibu Suci manggut-manggutkan kepalanya seraya memuji: "Bagus! Dengan demikian, kau
adalah seorang Wanita Suci yang benar-benar sudah memisahkan diri dari segala keduniawian."
Hoat-ong yang sudah agak mereda kegusarannya, lantas saja berkata: "Sebagai seorang
Nyepa, kau sudah mengacau dalam istana kami. Apa kau tak tahu, bahwa perbuatanmu itu adalah
satu kedosaan?"
"Tahu," jawabnya, menunduk. "Aku memohon pengampunan Budha Hidup."
"Apa kau datang kemari hanya untuk bertemu Chena?" tanyanya pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Benar," sahutnya. "Aku mengetahui, bahwa seorang Wanita Suci tidak boleh bertemu dengan
orang luar dan dengan tersesat, aku sudah masuk kesini seorang diri. Untuk kedosaan itu, aku
memohon pengampunan."
Alis Hoat-ong berkerut. "Kau datang sendirian?" ia menegas. "Apa dua orang itu bukan
kawanmu?"
"Bukan," si gemuk menyangkal. "Waktu tiba disini, dua penjahat itu sudah berada di dalam
taman. Lantaran begitu, aku segera menimpuk dengan batu untuk memperingatkan orang-orang
yang menjaga disini. Jika mereka adalah kawanku, aku tentu tak begitu gila."
Si gemuk ternyata satu pendusta yang liehay juga otaknya. Thiansan Sinbong yang ditimpukkan
oleh Tong Keng Thian, diakui sebagai batu yang dilontarkan olehnya. Hoat-ong merasa sangsi dan
lalu menanya pula: "Bagaimana kau tahu, bahwa mereka adalah penjahat?"
"Mereka sudah sering mengacau disini," jawabnya. "Mereka merampok dan melakukan banyak
kejahatan lain. Sebagai Nyepa, aku bertugas untuk membekuk orang-orang jahat, tapi karena
tidak mempunyai pembantu pandai, sebegitu lama mereka belum dapat ditangkap!"
Bukan main gusarnya Kili Singh. Tapi ia tidak dapat membela diri, sebab jalanan darahnya
sudah ditotok.
Hoat-ong tertawa terbahak-bahak. "Apa benar begitu?" tanyanya.
Sekonyong-konyong Omateng melompat dan menghantam kepala Kili Singh.
"Bikin apa kau?" membentak Hoat-ong sambil mengebas dengan tangannya, sehingga si gemuk
terjungkir balik. Tapi pertolongan itu agak terlambat, karena kepala Kili Singh sudah terpukul
hancur dan tewas jiwanya.
Sambil merangkak bangun, Omateng berkata dengan kegusaran yang dibuat-buat: "Berulang-
ulang manusia itu menghina aku dan mengacau dalam kota Sakya. Sekarang ia malahan berani
masuk kesini dan melawan Budha Hidup. Sewaktu hilap, aku tak bisa menahan sabar dan sudah
menurunkan tangan sebelum mendapat permisi. Untuk kesalahan itu, aku memohon Budha Hidup
sudi mengampuninya."
Hoat-ong sangat menyangsikan keterangan si gemuk, tapi ia mempunyai lain pertimbangan.
Biar bagaimanapun juga Omateng adalah orang sebawahannya Touwsoe sehingga, jika ia sendiri
menjatuhkan hukuman, seperti juga ia tidak memandang mukanya Touwsoe. Di samping itu, dia
adalah saudara misan Chena. Karena adanya pertimbangan itu, ia lantas saja berkata: "Baiklah.
Kejadian malam ini aku akan segera memerintahkan orang untuk melaporkan kepada Touwsoe.
Apa kau benar atau salah, apa kau harus dihukum atau tidak, biarlah Touwsoe yang
memutuskannya."
Omateng girang bukan main. Buru-buru ia berlutut sambil manggutkan kepala berulang-ulang.
"Terima kasih, terima kasih untuk belas kasihan Budha Hidup," katanya. "Tapi apakah aku bisa
bicara dengan Chena?”
"Boleh, kau boleh bicara disini," sahutnya. "Apa aku boleh mendengari pembicaraan itu?"
"Tentu saja boleh," jawabnya terburu-buru. "Hanya urusan kecil saja. Bahwa Budha Hidup
memberi ijin, sudah merupakan suatu budi yang sangat besar. Hm! Chena, sebagaimana kau tahu,
aku telah mempelajari Gwakang (ilmu luar) dari Agama Topi Merah. Dengan memiliki ilmu itu,
tulang-tulangku keras bagaikan besi. Tapi entah kenapa, belakangan ini kepalaku sering sakit.
Bagian yang sakit ialah tiga dim di bawah belakang kepala. Aku ingat, bahwa dalam keluargamu
terdapat kayu Simhio bok (semacam kayu garu) yang berusia ribuan tahun. Menurut katanya
orang, jika kita menggodok kayu itu dan diminum airnya, sakit kepala akibat latihan gwakang bisa
menjadi sembuh. Apa kau menyimpan kayu itu? Bolehkah aku meminjamnya untuk sementara
waktu?"
Chena bingung, ia tak mengerti apa maksudnya si gemuk. Apa itu Simhio bok? Ia sama sekali
tidak memilikinya.
Sementara itu Omateng mengacungkan jempol tangan dan meraba bagian belakang lehernya,
di tempat yang cekung. "Disini, disini yang sakit," katanya.
Tiba-tiba Hoat-ong mengangsurkan tangan dan menekan di bagian itu dengan jerijinya.
"Disini?" tanyanya.
"Aduh!" berteriak Omateng. "Benar disitu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Baiklah, aku akan menolong," kata Hoat-ong sambil mengurut beberapa kali. Omateng
berteriakteriak kesakitan dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang. Sesudah itu, dengan
terbirit-birit dia lari keluar dari taman itu. Hoat-ong tersenyum dan membiarkan dia kabur.
Sesudah si gemuk berlalu, Hoat-ong berkata dengan suara dingin: "Aku tak mengerti, kenapa
Touwsoe menggunakan orang gila itu sebagai Nyepa. Semua perkataannya dusta belaka."
Chena kaget.
"Apa dia berdusta?" tanya Ibu Suci.
"Bahwa dia pernah mempelajari Gwakang dari Agama Topi Merah, adalah hal yang
sebenarnya," menerangkan Hoat-ong. "Dan juga benar, bahwa jika seseorang berlatih salah, ia
bisa merasakan sakit di bagian kepala. Tapi barusan, waktu aku mencobanya, ternyata dia
berdusta. Jika benar ia mendapat luka di dalam badan karena latihan salah, ia tentu akan
memuntahkan darah hitam waktu diurut olehku."
"Tapi kenapa dia mengaco belo?" tanya pula Ibu Suci.
"Entah," sahutnya. "Aku juga tak tahu. Chena, apa benar keluargamu memiliki Simhio bok yang
berusia ribuan tahun? Memang benar, air godokan Simhio bok bisa menyembuhkan penyakit
begitu."
"Semenjak kecil, Piauwko-ku memang mempunyai penyakit otak miring yang kadang-kadang
kambuh," kata si nona. "Malam ini, penyakit itu rupanya kumat lagi. Dulu, keluargaku memang
mempunyai kayu mustika itu. Belakangan waktu ayah meninggal dunia, kayu itu dimasukkan ke
dalam peti matinya. Hal ini rupanya tidak diketahui Piauwko."
Di Tibet memang terdapat kepercayaan, bahwa Simhio bok bisa mencegah rusaknya jenazah
dalam tempo lama dan banyak hartawan menyimpan kayu begitu. Maka itu, Hoat-ong percaya
akan keterangan Chena dan tidak mendesak lagi. Ia tak tahu, bahwa Chena pun telah berdusta
kepadanya.
Malam itu, si nona tak tidur. Ia rebah di pembaringan sambil mengasah otak untuk coba
memecahkan apa maksud Omateng. Chena adalah seorang yang berotak cerdas dan sesudah
memikir beberapa lama, ia dapat meraba-raba maksud si gemuk. "Ya! Dengan mengacungkan
jempol mungkin ia ingin mengatakan bahwa Touwsoe tak boleh dibuat gegabah, bahwa Touwsoe
juga pernah mempelajari ilmu Gwakang Agama Topi Merah," katanya di dalam hati. "Mungkin ia
ingin memberitahukan, bahwa Touwsoe memakai baju lapis besi yang tidak dapat ditembuskan
senjata tajam dan bahwa bagian kelemahannya adalah di belakang kepala, tiga dim di bawah
otak." Semakin ia memikir, semakin ia merasa, bahwa tafsirannya adalah tafsiran yang tepat dan
diam-diam ia merasa berterima kasih untuk petunjuk itu.
Tanpa merasa fajar sudah menyingsing.
"Chena," memanggil Ibu Suci. "Lekas berdandan. Tengah hari tepat kita harus pergi ke kuil
untuk menjalankan upacara pembukaan."
Dengan perasaan duka, ia bangun dan lalu membersihkan badan. Ia berdandan dengan hati
seperti diiris-iris, karena mengingat Thian Oe.
"Apakah Thian Oe akan datang?" tanyanya di dalam hati. "Aku ingin sekali bertemu pula
dengannya untuk penghabisan kali. Tapi... ah! Lebih baik dia jangan datang."
Di lain pihak, Thian Oe pun berada dalam kedudukan yang sama. Ia berkeras ingin
menyaksikan upacara pembukaan kuil, tapi Keng Thian sebisa-bisa coba mencegahnya.
"Bagaimana kau sendiri? Kau pergi tidak?" tanya Thian Oe.
"Aku pergi," jawabnya. "Aku pergi sendirian, kau tunggu saja di rumah."
"Kenapa kau boleh, aku tak boleh?" kata Thian Oe, uring-uringan.
"Pergiku ini adalah untuk menemui seorang yang sedang dicari olehku," menerangkan Keng
Thian. "Tapi kau? Guna apa kau cari-cari urusan? Kau sendiri sudah tahu, dia menjadi Wanita Suci
dengan suka rela."
"Justru itu," kata pula Thian Oe. "Justru karena ia sudah menjadi Wanita Suci, aku ingin melihat
wajahnya sekali lagi."
"Hai! Benar-benar kau kepala batu," kata Keng Thian. "Semalam, jika tak keburu lari, kita tentu
sudah celaka. Upacara hari ini bukan upacara kecil. Di samping rombongan Hoat-ong, hadir juga
utusan Dalai dan Panchen Lama, Touwsoe dan lain-lain pembesar negeri. Jika sampai terjadi onar,
bagaimana kita menghadapinya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Mana bisa onar?" Thian Oe terus mendesak. "Aku berdiri di antara orang banyak dan tujuanku
hanyalah untuk melihat wajahnya, satu kali saja."
"Hm!" Keng Thian mengeluarkan suara di hidung. "Siapa berani tanggung? Semalam jika kau
tidak berteriak, Hoat-ong tentu tidak sampai keluar dari istananya."
"Aku bersumpah tak akan mengeluarkan sepatah kata!" kata Thian Oe dengan suara keras.
"Begini saja. Kau totok saja jalanan darah gagu, supaya aku tak bisa bicara."
Keng Thian jadi kewalahan. Ia tersenyum seraya berkata: "Baiklah! Aku merasa tak tega.
Biarlah, satu kali lagi aku menjalankan tugas sebagai pengantar."
Kuil Lhama Topi Putih yang baru itu berdiri di atas sebuah gunung dan dibuat menurut contoh
keraton Potala di Lhasa. Biarpun besarnya dan luasnya tidak bisa dibandingkan dengan Potala
yang bertingkat tiga belas, kuil itu mempunyai tujuh tingkatan dan tingginya lebih dari dua puluh
tombak. Tak usah dikatakan lagi, pembuatannya teguh dan indah luar biasa, dengan tiang-tiang
yang diukir, dengan batu-batu marmer dan tembok tinggi yang berwarna merah. Dari jarak
puluhan li, orang sudah bisa melihat bangunan itu yang sangat angker.
Dengan mengenakan pakaian penduduk Sakya, Keng Thian dan Thian Oe mendaki gunung itu
bersama orang-orang yang ingin memasang hio dan menonton keramaian. Kira-kira tengah hari,
tibalah mereka di depan kuil tersebut. Dengan melalui jalanan yang ditutup dengan batu-batu
marmer hijau, mereka mulai masuk ke dalam pekarangan. Sesaat itu, dua belas pintu besar sudah
dibuka semuanya dan dari pintu-pintu itu kelihatan mengepul ke atas asap hio dan kayu garu yang
sangat sedap baunya. Wewangian itu, keindahan seluruh kuil, suara tambur dan lonceng yang
dipukul tak henti-hentinya, menimbulkan suasana yang angker dan suci.
Tetamu yang datang berkunjung berjumlah ribuan, dan malahan mungkin laksaan orang. Tapi,
kecuali suara lonceng dan tambur, keadaan sunyi senyap, karena tiada seorang pun yang berani
bicara atau berbisik.
Dengan mengikuti iring-iringan yang panjang, Keng Thian dan Thian Oe maju setindak demi
setindak, melewati tiang-tiang jalanan yang tertutup genteng. Dinding di sekitar itu penuh dengan
lukisan, satu antaranya adalah lukisan "Phaspa mengunjungi Kublai di Mongolia."
Lukisan itu indah luar biasa. Di sebelah kiri dilukiskan sepasukan tentara Mongol yang sedang
mengiring joli Phaspa dan di sebelah depan terdapat sejumlah pembesar tinggi yang menyambut
kedatangannya. Tak jauh dari itu, dilukiskan tenda-tenda Mongol dan di belakang tenda, terlihat
sejumlah orang yang sedang menyalakan api sambil menunggu kedatangan tamu agung itu. Di
samping itu, terlihat juga unta-unta, keledai-keledai dan kerbau-kerbau yang sedang makan
rumput. Yang paling menyolok adalah lukisan seorang wanita muda yang mengenakan pakaian
bangsawan Nepal dan yang sedang berdiri di atas rumput. Paling menyolok, karena wanita itu
berparas luar biasa cantik dan sungguh mengherankan, mukanya sangat mirip dengan muka
Pengtjoan Thianlie.
Melihat lukisan tersebut, jantung Keng Thian memukul keras. "Siapa yang melukis gambar itu?"
ia tanya dirinya sendiri. "Tibet adalah tempat yang terpencil. Dari mana datangnya ahli gambar
yang begitu pandai? Kenapa muka wanita itu sangat mirip dengan muka Peng Go?"
Ia melirik Thian Oe, tapi kawan itu ternyata tidak memperhatikan gambar atau lainnya, sebab
kedua matanya tetap mengawaskan pintu, seperti juga Chena bisa muncul di sembarang saat. Ia
menghela napas, tapi lantas saja ia ingat, bahwa ia pun tiada banyak bedanya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan ruangan sembahyang yang indah dan besar. Semua
orang segera berdiri di undakan batu, sambil menunggu dimulainya upacara.
Di antara segala kemewahan yang terlihat dalam ruangan itu, yang paling menarik perhatian
adalah dua pagoda suci yang terbuat dari emas dan yang di atasnya ditata dengan giok, mutiara
dan lain-lain batu permata.
Selagi semua orang menunggu dengan hati berdebar-debar, tiba-tiba terdengar suara lonceng
dan tambur yang sangat gencar, disusul dengan keluarnya seiringan Lhama yang mengenakan
pakaian serba putih. Yang jalan paling muka adalah Hoat-ong, yang di kiri kanannya diapit oleh
empat muridnya yang terutama. Mereka berhenti dan berdiri di tengah-tengah kedua pagoda suci
itu.
Sesudah itu, keluar utusan-utusan Dalai dan Panchen Lama yang masing-masing diiring oleh
empat pengikut. Sebagai tetamu agung, mereka berdiri berendeng dengan Hoat-ong, di samping
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

pagoda suci. Belakangan, barulah keluar Touwsoe dari Sakya dengan empat Nyepa, antaranya
Omateng yang bibirnya tersungging senyuman licik. Dilihat parasnya yang agak ketakutan dan
sikapnya yang kikuk, dapat diduga, bahwa kejadian semalam belum dilaporkan kepada Touwsoe.
Mata Thian Oe terus mengawasi ruangan sembahyang dengan tidak berkesip, tapi rombongan
Wanita Suci belum juga keluar. Keng Thian pun memasang mata ke empat penjuru, tapi Kim Sie
Ie yang dicarinya tak kelihatan bayang-bayangannya.
Sesaat kemudian, perlahan-lahan Hoat-ong mengangkat tangan dan berkata dengan suara
nyaring:
"Semenjak agama kami meninggalkan Tibet, sampai sekarang sudah lebih dari seratus tahun.
Hari ini, berkat belas kasihannya Sang Budha kami bisa kembali ke negeri sendiri dan atas
dukungan Budha Hidup Dalai serta Panchen, kami memperoleh Sakya sebagai pusat untuk
menyiarkan agama kami. Kami mengharap, bahwa mulai dari sekarang tidak akan terjadi sengketa
apa-pun juga dan dengan dipayungi Sang Budha, kita sama-sama bisa mengicipi suatu
perdamaian yang abadi."
Harus diketahui, bahwa sedari tahun Tjong Tjeng (kaizar Beng) ke enam belas, Sekte Topi
Putih telah didesak keluar dari Tibet oleh. Sekte Topi Kuning, dan sedari waktu itu sampai pada
pembukaan kuil tersebut, sudah berselang lebih dari seratus tahun. Selama seabad lebih, sudah
terjadi puluhan kali benterokan senjata. Sekarang, walaupun di Sakya sudah tidak terdapat banyak
pengikut Sekte Topi Putih, akan tetapi kejadian itu sangat menggirangkan hatinya semua orang.
Maka itu, pidato Hoat-ong disambut dengan sorak-sorai yang gemuruh. Keng Thian manggut-
manggutkan kepalanya dan di dalam hati, ia mengakui, bahwa segala tenaga dan uang yang
digunakan untuk membuat kuil itu, mempunyai harga yang setimpal dengan maksudnya, yaitu
perdamaian.
Sesudah suara sorak-sorai mereda, lonceng di ruangan sembahyang dibunyikan tiga kali dan
dua baris Lhama lalu jalan memutari ruang itu sambil membaca doa dan menciprat-cipratkan air
suci.
Mendadak, seluruh ruangan seolah-olah kena arus listrik dan para hadirin membuka mata
mereka lebar-lebar. Sererotan wanita muda, semuanya berjumlah tiga puluh enam orang, yang
mengenakan pakaian serba putih dan kudungan muka, muncul dari pedalaman. Semua orang
mengetahui, bahwa upacara pembukaan kuil akan segera dimulai. Mereka mengawasi sambil
menahan napas, tapi orang yang hatinya berdebaran paling hebat adalah Thian Oe.
Dengan tangan masing-masing mencekal botol kristal yang berisi air suci, Wanita-wanita Suci
itu mulai menari-nari di depan patung Sang Budha, sambil menciprat-cipratkan air suci di seluruh
ruangan. Thian Oe mengawasi dengan mata tidak berkesip, akan tetapi, ia tak bisa membedakan
yang mana Chena. Sesudah menari-nari beberapa lama. mereka menyanyikan lagu agama dalam
bahasa Tibet, yang bunyinya kira-kira seperti berikut:
Air suci.
Membersihkan kekotoran di dunia.
Tenaga Sang Budha tidak terbatas.
Memayungi umat manusia.
Mendadak, pada bagian terakhir dari empat baris nyanyian itu, terdengar suara yang bernada
agak tinggi dan agak gemetar. Dengan cepat Thian Oe mengawasi ke arah suara itu. Tiba-tiba ia
melihat seorang Wanita Suci yang tubuhnya bergoyang-goyang dan gerakannya agak berlainan
dengan kawan-kawannya yang lain.
Jantung Thian Oe memukul keras. "Itulah Chena! Katanya di dalam hati dan matanya
mengawasi dengan tidak berkesip. "Chena, aku sungguh tak mengerti," ia mengeluh di dalam hati.
"Apa benar kau rela menjadi Wanita Suci seumur hidup?" Ia tentu saja tidak menduga, bahwa
pada waktu itu, kedukaan si nona adalah seratus kali lipat lebih hebat daripada penderitaannya.
Pada saat itu, Chena telah menggunakan seantero tenaganya untuk mempertahankan diri.
Sesudah memutari ruangan sembahyang sekali lagi, para Wanita Suci itu kembali
memperdengarkan nyanyiannya:
Air suci.
Mencuci hati, debu kotoran.
Langit dan manusia menyaksikan kebenaran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tersadar, bahwa dunia penuh kekosongan.


Mendadak, tiga puluh enam Wanita Suci itu berhenti menari dan menyanyi dan lalu berdiri
berjejer di depan patung Budha. Perlahan-lahan salah seorang membuka sebuah kelambu yang
terbuat dari sutera kuning dan terlihatlah delapan belas patung Budha yang sangat indah dan
halus buatannya. Di tengah-tengah adalah patung Sakyamuni (Djielayhoed) yang tingginya dua
tombak empat kaki. Para Wanita Suci segera mencipratkan air suci kepada patung-patung itu dan
kemudian lalu mundur dan berbaris di kedua samping. Demikian berakhirlah upacara resmi
pembukaan kuil baru.
Perlahan-lahan Hoat-ong maju ke depan patung dan dengan sikap hormat mempersembahkan
khata kepada patung Djielayhoed. Sesudah Hoat-ong, utusan Dalai dan Panchen Lama mendapat
giliran. Selama diadakan upacara tersebut, semua hadirin merangkap kedua tangannya sambil
menundukkan kepala dan membaca doa di dalam hati.
Sehabis utusan Dalai dan Panchen, Touwsoe Sakya lalu maju ke depan. Ia berlutut di
hadapan patung Djielayhoed dan mempersembahkan khata yang lalu disambuti oleh seorang
Lhama dan diselendangkan di lengan patung.
Pada detik itulah, mendadak, mendadak saja terdengar teriakan Touwsoe! Hampir berbareng
dengan berkelebatnya sinar putih, sebilah golok terbang menancap di belakang kepala Touwsoe!
"Chena!" demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Seluruh ruangan sembahyang lantas kacau
balau.
Untuk membalas sakit hati, bertahun-tahun puterinya Raja muda Chinpu melatih diri dalam ilmu
melepaskan golok terbang. Ia sudah memahami ilmu tersebut sampai di dasar-dasarnya dan
timpukannya tepat luar biasa, menancap di atas leher, tiga dim di bawah otak Tapi, karena kuatir
golok itu belum cukup untuk membinasakan musuh besarnya, hampir berbareng dengan bentakan
Hoat-ong, ia melepaskan pula golok kedua dan ketiga dengan beruntun. Hoat-ong yang berdiri
beberapa tombak jauhnya dari patung Djielayhoed, cepat-cepat melompat sambil mengebas
tangan bajunya, sehingga golok kedua terpental balik dan menancap di pundak Chena, yang
badannya lantas saja bergoyang-goyang, Thian Oe mencelos hatinya, hampir-hampir ia berteriak,
tapi untung mulutnya masih keburu ditekap oleh Tong Keng Thian.
Golok ketiga tidak mengenakan sasarannya dan mengenakan punggung Touwsoe. "Tring!",
golok itu terpental dan menyambar utusan Panchen, yang tidak mengenal ilmu silat. Dengan
terkesiap buru-buru ia menundukkan kepala, tapi golok itu menancap di dekat tulang
punggungnya.
Pada saat itu, dengan sekali melompat, Hoat-ong sudah mencekal tangan Chena. Tapi ia
terkejut bukan main setelah melihat utusan Panchen mendapat luka. Buru-buru ia melepaskan
Chena dan menolong utusan Panchen.
Begitu terlepas dari cekalan, Chena lalu melompat naik ke atas meja sembahyang dan
membuka kudungan mukanya. "Aku adalah anak Raja muda Chinpu!" teriaknya. "Aku membunuh
Touwsoe untuk membalas sakit hati orang tua dan kejadian ini sama sekali tiada sangkut pautnya
dengan orang lain."
Sesaat itu, empat murid Hoat-ong sudah meloncat ke arah Chena dan seorang antaranya sudah
menyentuh pakaian si nona. Hampir berbareng dengan ucapannya, Chena mencabut golok yang
menancap di pundaknya dan lalu menikam leher sendiri! Darah muncrat dan ia roboh terguling.
Perlahan-lahan ia membuka matanya yang menyapu ke empat penjuru. Di lain saat, ia meramkan
kedua matanya dan dengan bibir tersungging senyuman, ia berpulang ke alam baka. Ia merasa
puas, bahwa pada detik penghabisan, ia masih bisa melihat wajah Tan Thian Oe, yang juga
mengawasinya dengan mata tidak berkesip.
Dapatlah dibayangkan, betapa kagetnya semua orang melihat kejadian yang tidak diduga-duga
itu. Untuk sejenak, semua orang berdiri terpaku dengan mulut ternganga. Di lain saat, mereka
mengeluarkan teriakan dan bagaikan gelombang, berlomba lari keluar dengan saling desak. Hanya
Thian Oe sendiri yang tetap berdiri tegak, sambil terus mengawaskan tubuh Chena yang
berlumuran darah. Pada waktu si nona roboh, darahnya bergolak dan tanpa merasa, ia berteriak:
"Chena! Chena!" Sambil berteriak, ia melompat ke depan untuk menghampiri kecintaannya. Keng
Thian buru-buru mencekal tangannya seraya berbisik: "Thian Oe, kuatkan hatimu! Jangan
menerbitkan keonaran!" Ia menyeret pemuda itu, yang, seperti orang linglung, lalu mengikuti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Di dalam dan di luar ruangan sembahyang, keadaan kacau balau. Di antara teriakan-teriakan,
tiba-tiba terdengar jeritan: "Touwsoe binasa!" Itulah jeritan dari salah seorang pengikut Touwsoe.
Kekalutan menghebat dengan ribuan orang berlari-lari bagaikan kalap. Sekonyong-konyong
terdengar teriakan Omateng yang sangat nyaring: "Tangkap kawan pembunuh! Tangkap konco
pembunuh!"
Sesaat itu, Keng Thian dan Thian Oe sedang berlari-lari keluar dari pintu Goatgee boen.
Mendadak, seorang Lhama mecegat jalanan mereka. Tanpa menegur lagi, Keng Thian menyikut
dan Lhama itu lantas saja roboh terguling. Gelombang manusia terus merangsak dari belakang
dengan dahsyatnya, sehingga tubuh si Lhama terinjak-injak. Waktu ia merangkak bangun, Keng
Thian dan Thian Oe sudah tak kelihatan bayang-bayangannya.
Antara begitu banyak orang, hanyalah Hoat-ong yang bisa mempertahankan ketenangannya.
Sesudah kagetnya hilang, mata dan kupingnya memperhatikan segala apa. Teriakan Thian Oe
tentu saja tidak terlolos dari perhatiannya, akan tetapi, sebab Keng Thian dan Thian Oe
mengenakan pakaian penduduk Sakya dan juga karena mereka berada di antara ribuan orang,
untuk sementara Hoat-ong tak bisa mengenali siapa yang sudah mengeluarkan teriakan itu. Begitu
melihat seorang Lhama terpukul roboh, ia lantas memburu sambil berteriak: "Jangan lari! Semua
orang berpencar kedua pinggiran. Kawan pembunuh adalah dua bocah itu! Semua orang jangan
lari!"
Teriakan Hoat-ong yang sangat berpengaruh memberi hasil yang diharapkan dan, meskipun
ketakutan, semua orang lantas saja menghentikan tindakannya.
Keng Thian kaget bukan main. "Hoat-ong sungguh liehay!" katanya di dalam hati. Selagi ia
berusaha untuk mencari jalan guna meloloskan diri, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang aneh.
"Semua orang minggir! Aku ingin berjumpa dengan Budha Hidup!" katanya. Itulah suara Kim Sie
Ie!
Dengan hati berdebar-debar, Keng Thian menengok ke arah suara itu. Sesaat itu semua orang
sudah mulai lari lagi dan sambil menyeret Thian Oe, Keng Thian lalu menggunakan kesempatan
yang baik itu.
Dalam sekejap mereka sudah keluar dari pintu kuil dan terus kabur ke belakang gunung dengan
mengambil jalanan kecil. Kira-kira sepasangan hio, mereka tiba di belakang gunung yang sepi dan
sampai disitu, barulah hati Keng Thian menjadi lega. Ia menepuk pundak Thian Oe seraya
berkata: "Tan-heng, sadarlah!"
Thian Oe mengawaskan dengan sorot mata lupa ingat. "Chena! Ah, Chena!" ia mengeluh
dengan suara hampir tak kedengaran. "Sekarang aku tahu, kenapa kau menjadi Wanita Suci."
"Chena yang sudah mati tak bisa hidup kembali," kata Keng Thian dengan suara membujuk.
"Menurut pendapatku, kejadian ini akan menerbitkan keonaran besar. Paling benar kita cepat-
cepat pulang untuk berdamai."
"Berdamai apa? Aku toh tak bisa mengambil jenazahnya," jawab Thian Oe.
Keng Thian insyaf, bahwa otak pemuda itu masih kacau akibat pukulan yang hebat. Tanpa
bicara lagi, ia menyeret pula tangan Thian Oe dan terus berlari-lari ke arah gedung Soanwiesoe.
Selagi enak jalan, sekonyong-konyong terdengar suara orang dalam bahasa Tibet: "Hm!
Sesudah menerbitkan keonaran, kau orang mau mabur?" Keng Thian menoleh dan dari arah
belakang pohon muncul dua orang. Yang satu adalah seorang pendeta India yang tangan
kanannya mencekal tongkat bambu warna hijau, sedang tangan kirinya memegang sebuah
mangkok emas. Orang itu bukan lain dari si pendeta berkelana yang pernah coba merebut guci
emas dan yang telah dirobohkan dengan Pengpok Sintan. Orang yang satunya lagi adalah Teruchi
yang semalam mengacau di taman Hoat-ong.
Tanpa menegur lagi, si pendeta lalu membabat dengan tongkatnya dan menghantam kepala
Thian Oe dengan mangkok emas.
Melihat sambaran dahsyat dari mangkok itu, pada detik yang sangat berbahaya, Keng Thian
menyikut, sehingga tubuh Thian Oe terpental dan berbareng dengan itu, ia memapaki senjata
tersebut dengan tinju kiri, dengan menggunakan tenaga Toalek Kimkong. Di luar dugaan, begitu
tersentuh, mangkok itu terputar-putar bagaikan terbang dan Keng Thian merasa tinjunya "diisap"
dengan semacam tenaga yang sangat kuat. Ia terkesiap, tapi tak jadi bingung. Sambil
mengerahkan Iweekang dan dengan pukulan Ngoteng kaysan yang sangat keras, ia membabat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dengan telapakan tangan kanan. Akibat babatan itu, tongkat si pendeta terpental ke atas, akan
tetapi, sebagai ahli silat jempolan, hampir berbareng ia sudah menyodok jalanan darah Hianki hiat,
di dada Keng Thian. Serangan susulan ini memang sudah diduga Keng Thian. Cepat bagaikan
kilat, pukulan Ngoteng kaysan berubah menjadi Toakinna tjhioe (ilmu menangkap) dan ia
menangkap ujung tongkat. Si pendeta kaget bukan main dan lalu membetot dengan
menggunakan Iweekang, tapi tidak bergeming. Kedua jago itu lantas saja mengadu tenaga dalam
dan saling membetot. Tongkat si pendeta dicekal Keng Thian, sedang tinju kiri Keng Thian "diisap"
mangkok si pendeta.
Sesaat kemudian, dari atas kepala si pendeta mengepul uap putih, suatu tanda bahwa ia
sedang mengerahkan Seantero lweekang-nya. Teruchi, yang sedari tadi menonton tanpa bergerak,
jadi sangat kaget. Ia adalah soetit (keponakan murid) si pendeta dan mengetahui, bahwa paman
gurunya biasanya sungkan dibantu orang. Tapi keadaan sekarang adalah lain dari keadaan biasa.
Sesudah memikir sejenak, tanpa menghiraukan kemungkinan dimaki, ia membuka Kongso (tali
ikatan pinggang yang terbuat dari baja) yang lalu disabetkan ke muka Keng Thian.
Pada detik itu Keng Thian berada dalam bahaya besar. Karena sedang mengadu tenaga dengan
menggunakan dua tangannya, ia tak bisa berkelit atau menangkis lagi, sedang Thian Oe terus
berdiri terlongo-Iongo, seperti orang yang lupa ingatan. Pada saat genting itu, dalam bingungnya
Keng Thian membentak keras, suaranya menggeledek seolah-olah halilintar di tengah hari bolong.
Teruchi terkesiap dan tangannya agak bergemetar, sehingga Kongso itu meleset dari sasarannya,
lewat tiga dim dari kulit muka Keng Thian. Akibat bentakan itu, Thian Oe tersadar dan sambil
menghunus pedang, ia segera melompat dan menyampok Kongso yang telah disabetkan untuk
kedua kalinya ke muka Keng Thian.
Begitu senjata musuh terpental, ia mengirim serangan kedua dengan pukulan Taypeng tiantjie
(Burung garuda membuka sayap), sehingga dengan hati mencelos, buru-buru Teruchi meloncat ke
samping. Ia sungkan memberi napas kepada musuh dan lalu mengirim serangan ketiga dengan
ilmu Pengtjoan hoeipo (Sungai es berterbangan), ialah salah satu pukulan yang paling liehay dari
Pengtjoan Kiamhoat. Sebisa-bisa Teruchi coba menolong diri dengan melompat ke belakang, tapi
ia agak terlambat, karena topinya kena dibabat putus. Melihat liehaynya pemuda itu, Keng Thian
jadi sangat girang dan ia sama sekali tidak menduga, bahwa dengan berdiam beberapa bulan di
keraton es, ilmu silat Thian Oe sudah maju begitu jauh. Karena mengetahui, bahwa jago
Kalimpong itu bukan tandingan Thian Oe, maka dengan hati mantap, Keng Thian segera
mengerahkan Seantero lweekang-nya dan membetot sekeras-kerasnya. Sekali ini, kaki si pendeta
terangkat dari bumi dan tubuhnya terputar.
Melihat lawannya keteter, Keng Thian segera mengerahkan tenaga di tangan kiri untuk
melepaskan "isapan" mangkok. Sesaat itu, tiba-tiba ia mendengar suara Teruchi yang berkata
dalam bahasa Tibet: "Jangan banyak tingkah, kau! Kecintaan sendiri kau masih tak bisa
melindunginya, guna apa kau membantu kawan?" Sambil berkata begitu, ia mengawasi Thian Oe
dengan sorot mata mengejek.
Mendengar perkataan itu yang tajam seperti pisau, Thian Oe menjadi kalap. Ia melompat
keluar dari gelanggang pertempuran dan sambil menyender di pohon dengan badan bergoyang-
goyang, ia berteriak: "Benar! Benar! Guna apa aku menjadi manusia? Kecintaan sendiri saja, aku
sudah tak mampu melindungi. Chena! Chena! Aku sungguh merasa malu terhadap kau!"
Melihat siasatnya berhasil, sambil tertawa nyaring, Teruchi melompat dan menyabet muka Keng
Thian dengan senjatanya. Apa mau, sebelum Kongso mengenakan sasarannya, tubuh si pendeta
dan Keng Thian sudah mulai terputar-putar dengan cepatnya, sehingga, karena kuatir melukakan
paman guru sendiri, ia terpaksa menarik pulang senjatanya. Di lain detik, berbareng dengan
teriakan Keng Thian yang sangat nyaring, mereka berpencaran dan dengan gerakan kilat, Keng
Thian sudah menghunus pedang Yoeliong kiam.
Begitu melihat musuh terpencar dari Soesiok-nya, Teruchi segera menghantam dengan Kongso.
"Awas!" teriak si pendeta.
Teruchi kaget dan coba menarik pulang senjatanya, tapi sudah tidak keburu lagi. Ujung Kongso
terbabat putus dan dua bola baja yang tercantel disitu, jatuh di tanah.
Ternyata, sesudah saling membetot beberapa saat, Keng Thian mengetahui, bahwa tenaga
"mengisap" dari mangkok itu muncul dari gerakan terputarnya, sehingga semakin ia membetot
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

tangannya, "isapan" itu jadi semakin keras. Buru-buru ia menukar siasat dan memutar tangannya,
tapi arah putaran tangan itu adalah sebaliknya dari arah putaran mangkok. Benar saja, sesudah
dua putaran, tangannya terlepas dari "isapan". Di lain pihak, pada saat Keng Thian memusatkan
tenaganya di tangan kiri, si pendeta membetot tongkatnya dengan sekuat tenaga dan ia pun
berhasil melepaskan cekalan lawan. Begitu terlepas, mereka berpencaran dengan masing-masing
melompat ke samping, sedang Keng Thian sendiri menghunus Yoeliong kiam sembari meloncat.
Melihat keponakan muridnya berada dalam bahaya, si pendeta berkelana segera menerjang
pula dan mengirim pukulan-pukulan berantai dengan tongkat dan mangkoknya. Karena
menghadapi musuh yang terlalu kuat, ia tidak menghiraukan kebiasaannya lagi dan malahan
memerintahkan supaya Teruchi memberi bantuan. Keng Thian sedikitpun tak menjadi keder dan ia
lalu melayani dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat.
Sebagaimana diketahui, si pendeta adalah pecundang Pengtjoan Thianlie, sehingga menurut
pantas, ia juga bukan tandingan Keng Thian. Akan tetapi, keadaan sekarang sedikit berlainan
dengan keadaan dulu. Pertama, senjata rahasia Pengpok Sintan dari Koei Peng Go merupakan
senjata sangat istimewa yang disegani oleh si pendeta dan kedua, sekarang si pendeta dibantu
oleh keponakan muridnya yang memiliki ilmu Yoga dan yang selalu menyerang dari samping dan
belakang secara gerilya. Maka itulah, sesudah bertempur seratus jurus lebih, perlahan-lahan Keng
Thian jatuh di bawah angin. Ia melirik Thian Oe dan ternyata, kawan itu masih terus menyender di
pohon dengan mata mendelong, seperti orang kehilangan semangat, seolah-olah tidak
mengetahui, bahwa sang kawan sedang bertempur mati-matian untuknya. Keng Thian jadi
bingung, karena kedudukannya jadi semakin jelek.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan gergetan Keng Thian mengirim dua tikaman ke arah
Teruchi, tapi dua serangan itu telah ditangkis dengan mangkok emas. Berbareng dengan dua kali
suara "trang! trang!" Teruchi mengedut Kongso yang lantas saja menjadi lurus keras seperti
tombak dan yang lalu ditikamkan ke tenggorokan Keng Thian. Dengan gerakan Honghong
tiamtauw (Burung hong manggutkan kepala), Keng Thian mengegos tikaman itu yang lewat di
atas kepalanya. Tapi Teruchi pun bukan anak kemarin dulu. Hampir berbareng ia menggentak,
sehingga Kongso itu, yang berubah menjadi pecut lemas, menyabet punggung musuh. Berbareng
dengan serangan keponakan muridnya, si pendeta menekan Yoeliong kiam dengan mangkok emas
dan menotok jalan darah Djiekie hiat, di kempungan Keng Thian. Dua serangan itu, yang
menyambar dengan berbareng, tak bisa ditangkis atau dikelit lagi. Pada detik berbahaya, Keng
Thian mengempos semangat untuk menerima kedua pukulan musuh. Dengan mengenakan baju
mustika, ia merasa pasti akan bisa mempertahankan diri terhadap sabetan pecut yang menyambar
ke punggung. Tapi totokan si pendeta adalah totokan membinasakan yang sangat liehay dari ilmu
tongkat Thianmo Tianghoat dan totokan itu memang untuk memecahkan lweekang dari ahli-ahli
Lweekeeh. Maka itu, Keng Thian sendiri masih belum tahu, apa ia akan berhasil mempertahankan
diri dengan menutup semua jalanan darah.
Pada detik Kongso dan tongkat hampir menyentuh tubuhnya, mendadak saja si pendeta
mengeluarkan teriakan aneh, tongkatnya terpental ke belakang, seakan-akan didorong dengan
semacam tenaga yang sangat besar. Tubuh si pendeta kemudian terputar beberapa kali, dan
sesudah roboh, menggelinding ke bawah tanjakan. Sementara itu, begitu lekas Kongso
menghantam punggung Keng Thian, badan Teruchi pun terpental setombak lebih karena didorong
dengan tenaga dalam pemuda itu. Dia bergulingan beberapa kali dan kemudian, seperti juga
Soesiok-nya, menggelinding ke bawah tanjakan.
Semua kejadian itu, telah terjadi dalam beberapa detik. Keng Thian terlolos dari bencana, tapi
ia tak tahu, apa sebabnya. Robohnya Teruchi memang merupakan akibat dari serangan tenaga
dalamnya. Waktu Kongso menghantam punggungnya, yang tidak terluka karena dilindungi baju
mustika, ia mengerahkan lweekang sambil menggoyang punggung, sehingga tubuh Teruchi
terpental akibat dorongan tenaga dalam itu. Apa yang mengherankan adalah robohnya si pendeta
berkelana itu, Kenapa, sedang tongkat belum menyentuh badannya, si pendeta mendadak
menarik pulang senjatanya, seperti didorong oleh semacam tenaga yang sangat besar? Siapa yang
sudah menolongnya? Keng Thian sungguh tak mengerti.
Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa yang sangat nyaring, suara tertawa yang kedengarannya
tak asing lagi. Tanpa memikir panjang-panjang, ia melompat ke hutan, ke arah suara itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sekonyong-konyong dari dalam hutan terbang menyambar seikat bunga yang masih basah dengan
air embun.
Keng Thian menangkap ikatan bunga itu yang di dalamnya terselip selembar kertas dengan
tulisan:
Lekas berlalu dari Sakya!
Ia terkejut. Melihat gubahan dan cara menimpuknya ikatan kembang itu, ia ingat itu ikatan
bunga yang ditimpukkan pada waktu ia mencari Pengtjoan Thianlie di atas gunung Gobie san.
Ketika itu, ia menduga, bahwa orang yang menimpuk adalah Koei Peng Go. Belakangan, ia
menyangsikan dugaan tersebut, karena si nona pasti tak mempunyai lweekang yang sedemikian
tinggi. Tapi sekarang, sebab mengetahui, bahwa Peng Go belum tiba di Sakya, ia berani
menentukan, bahwa orang yang menimpuk bukan Pengtjoan Thianlie. Tapi siapa?
Sekonyong-konyong di dalam hutan kembali terdengar suara tertawa nyaring, yang dalam
sekejap mata, sudah terdengar jauh sekali. Jantung Keng Thian memukul keras. Dalam dunia ini,
tidak seberapa orang yang mempunyai ilmu entengkan badan begitu tinggi, yang bisa berlari
begitu cepat. Mendadak, dalam otaknya berkelebat satu nama dan ia lantas saja berteriak: "Ie-ie
(bibi)!" Tak bisa salah lagi orang yang menimpuk adalah Phang Lin, bibinya yang mahir dalam ilmu
Tjekyap Hoeihoa (Ilmu menimpuk dengan daun dan bunga) dan yang suka sekali berguyonan.
Untuk sejenak Keng Thian berdiri terpaku. Ia yakin, bahwa tak guna ia mengubar bibinya yang
liehay itu. "Tapi kenapa Ie-ie juga datang kesini?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa ia
menasehatkan supaya aku meninggalkan Sakya?" Itulah pertanyaan yang tak dapat dijawab
olehnya, tapi sesudah memikir beberapa saat, ia menarik kesimpulan, bahwa sang bibi hanya
berguyon-guyon. Tapi ia tak tahu, bahwa nasehat Phang Lin bukan guyonan.
Ia lalu menghampiri Thian Oe yang sedang duduk di bawah pohon dan menggurat-gurat tanah
dengan sebatang kayu. Ternyata, pemuda itu tengah menulis huruf-huruf "Chena." Keng Thian
menghela napas dan sambil menarik tangan orang, ia berkata: "Hayolah!"
"Kemana?” tanya Thian Oe. "Kemana kita cari Chena?"
"Dengarlah!" kata Keng Thian dengan suara sungguh-sungguh. "Chena sudah meninggal dunia
dan tentu bakal ada buntutnya. Jika kau tidak mengurus urusan-urusan yang merupakan akibat
dari kebinasaannya, di alam baka ia tentu merasa penasaran."
Mendengar perkataan itu, Thian Oe agak tersadar. "Bagaimana mengurusnya?" tanyanya.
"Paling terutama kau harus menyayang diri sendiri," jawabnya. "Sekarang marilah kita pulang
untuk berunding terlebih jauh."
Setibanya di gedung Soanwiesoe, mereka menuju langsung ke kamar Thian Oe, dimana Keng
Thian lalu memeriksa nadinya pemuda itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa mengalirnya darah
kacau balau karena kedukaan yang melampaui batas.
"Sekarang coba kau bersila dan mengeluarkan segala pikiran dari otakmu," kata Keng Thian.
Thian Oe menurut, tapi beberapa saat kemudian, ia membuka mata seraya berkata: "Tak bisa!
Tak dapat aku menolak gangguan pikiran."
Keng Thian memikir sejenak dan lalu berkata: "Bersilalah dengan tenang dan turut segala
petunjukku." Sesudah itu, ia lalu menurunkan ilmu melatih lweekang dari Thiansan pay.
Sebagai seorang penggemar ilmu silat, perhatian Thian Oe lantas saja ditujukan kepada
pelajaran itu. Dengan sepenuh hati, ia mendengari petunjuk-petunjuk dan lalu mulai berlatih.
Berselang kurang lebih setengah jam, benar saja ia bisa membebaskan diri dari segala gangguan
pikiran dan terus berlatih dengan tenang. Perlahan-lahan Keng Thian meninggalkan kamar itu
untuk mendengar-dengar warta tentang kejadian barusan.
Waktu itu, peristiwa di kuil Lhama sudah diketahui oleh segenap penghuni gedung Soanwiesoe.
Keng Thian memanggil pengurus rumah tangga dan memesan supaya semua penghuni dilarang
keluar sembarangan dan supaya pintu depan dijaga baik-baik. Sesudah lewat magrib, Tan Teng
Kie barulah pulang dengan paras muka kusut.
Si pengurus rumah tangga terkejut, karena belum pernah majikannya kelihatan begitu berduka.
Begitu pulang, Teng Kie segera memerintahkan pengurus rumah tangga menutup pintu tengah
dan memerintahkan juga dua puluh serdadu untuk menjaga diluar pintu. Sesudah itu, ia
mengundang Keng Thian masuk ke kamar tamu untuk berunding.
Begitu lekas mereka berduduk, Teng Kie menanya: " Mana Oe-djie?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dengan ringkas Kang Thian menuturkan segala kejadian yang dialaminya. "Baru sekarang aku
tahu, gadis yang dipenujui Oe-djie adalah puterinya Raja muda Chinpu," kata Tan Teng Kie.
"Semula aku menduga Yoe Peng, itu dewi dari istana es." Ia menghela napas dan kemudian
berkata pula: "Dengan demikian keadaan jadi semakin sulit."
"Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Jika tak salah, Omateng bakal menimbulkan kekacauan besar," jawabnya. "Sesudah kau dan
Oe-djie melarikan diri, dalam kuil terjadi lain peristiwa."
"Kehadiran kami dilihat olehmu?" tanya Keng Thian.
Teng Kie mengangguk. "Meskipun Oe-djie mengenakan pakaian orang Tibet, aku tentu
mengenalinya," jawabnya. "Sebelum kau orang kabur dari pintu Goatgee boen, Hoat-ong sudah
mengubar. Pada saat itu, aku bingung bukan main. Mendadak, muncul seorang pemuda aneh,
badannya jangkung, parasnya cakap, mirip-mirip Oe-djie. Ah! Pemuda itu benar-benar besar
nyalinya, entah dia pernah makan nyali singa atau jantung macan tutul. Begitu muncul, begitu dia
menerjang Budha Hidup!"
Keng Thian lantas saja mengetahui, bahwa "pemuda aneh" itu adalah Kim Sie Ie. "Habis
bagaimana?" tanyanya dengan hati berdebar-debar.
"Seperti seekor garuda, dia melayang turun dari payon rumah," Teng Kie melanjutkan
penuturannya. "Begitu kakinya menginjak bumi, begitu dia mengirim tinju ke arah Hoat-ong.
Dalam jarak yang agak jauh, sang Budha Hidup mengebas tangannya dan sungguh heran,
pemuda itu seperti kena didorong dengan semacam tenaga yang sangat besar, sehingga dia
terpental dan melompat naik lagi ke atas genteng. Sesaat kemudian, ia turun kembali, Hoat-ong
mengebas lagi dan untuk kedua kalinya, ia ngapung ke atas genteng. Sesudah kejadian itu
berulang tiga kali, empat murid Hoat-ong melompat ke atas dan lalu mengurungnya."-
"Dan bagaimana dengan Hoat-ong sendiri?" tanya Keng Thian.
"Hoat-ong sendiri tidak bergerak," jawabnya. "Empat murid yang sudah berada di genteng,
tidak lantas menyerang. Dengan sikap hati-hati, seperti sedang menghadapi lawan berat,
perlahan-lahan mereka mengurung. Dengan tetap berdiri di tanah, Hoat-ong mengirim beberapa
pukulan ke arah si pemuda yang berada di genteng.
Sungguh aneh, setiap kali Hoat-ong mengirim pukulan, badan pemuda itu bergoyang-goyang.
Sementara itu, empat Lhama sudah mengurung semakin rapat dan mereka akan segera
menyerang. Mendadak, entah kenapa, tubuh Hoat-ong bergoyang-goyang dan sebelum mengirim
pukulan lagi, ia menghela napas panjang dan berkata sambil mengebas tangannya: "Biarkan dia
pergi!" Sambil tertawa nyaring, seperti seekor walet, pemuda itu melompat ke wuwungan dan
dalam sekejap, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Keadaan jadi semakin kalut dan
orang ramai membicarakan kejadian itu. Ada yang mengatakan bahwa pemuda itu adalah jejadian
yang sengaja datang untuk menjajal Hoat-ong.
Bahwa Hoat-ong tak berhasil menangkapnya, adalah suatu tanda, bahwa kepandaiannya belum
cukup tinggi, demikian katanya orang-orang itu yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Sekte
Topi Kuning."
Keng Thian kaget berbareng kagum. Di dalam hati ia mengerti, bahwa pukulan yang di kirim
Hoat-ong dari bawah genteng adalah pukulan Pekpo sinkoen (Pukulan malaikat dari jarak seratus
kaki). "Dengan kepandaian yang dimiliki Kim Sie Ie, paling banyak ia bisa mempertahankan diri
dari serangan Hoat-ong ," pikirnya. "Bagaimana, selagi diserang Hoat-ong dan dikepung empat
Lhama yang berkepandaian tinggi, ia masih bisa meloloskan diri? Apakah ada orang pandai yang
membantunya? Didengar dari penuturan Tan Teng Kie, Hoat-ong rupanya telah mendapat
peringatan dari seorang pandai. Tapi siapakah orang itu?"
Keng Thian telah menebak jitu, hanya ia tidak menduga, bahwa orang yang sudah menolong
Kim Sie Ie, adalah bibinya sendiri.
Sesudah berdiam sejenak, Tan Teng Kie berkata pula: "Tentang puteri Raja muda Chinpu..."
"Namanya Chena," memotong Keng Thian.
"Ya, Chena," membenarkan Teng Kie sambil mengangguk. "Hal Chena membunuh Touwsoe
dan kemudian membunuh diri sendiri, sudah dilihat oleh kau orang. Sesudah nona itu roboh,
Omateng segera menghampiri dan membuka kudungan mukanya. 'Hei! Coba kau orang datang
kemari!' ia berteriak. 'Puteri Raja muda Chinpu adalah penjahat perempuan yang dulu pernah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

mencuri kuda dan membakar gedung Touwsoe!' Orang-orangnya Touwsoe segera mendekati dan
sebagian besar antaranya mengenali Chena. Mereka manggut-manggutkan kepala dan
membenarkan perkataan Nyepa gemuk itu. Di lain saat, sambil berpaling kepadaku, Omateng
berkata: 'Tan Taydjin, dia adalah itu penjahat perempuan yang dulu pernah dilindungi olehmu
dengan mengajukan permohonan pengampunan kepada Touwsoe.' Dia tertawa, tertawa yang
membangunkan bulu romaku. Baru saja aku ingin menjawab, bahwa tindakanku itu adalah karena
desakannya sendiri, mendadak Hoat-ong dan empat muridnya berjalan masuk ke ruangan
sembahyang. Sementara itu, Omateng dan orang-orangnya Touwsoe sudah menggotong jenazah
Touwsoe dan Chena keluar dari ruangan sembahyang. Dia juga sudah berhasil membujuk utusan
Dalai Lama untuk mengikutinya, dengan membawa utusan Panchen yang mendapat luka. Sambil
berjalan keluar, dia berteriak-teriak, mengatakan ingin membalas sakit hati Touwsoe dan
mengajak pulang semua orang-orangnya Touwsoe. Hoat-ong kelihatan bingung, tapi tidak
merintangi perbuatan Nyepa gemuk itu. Demikianlah, dengan sikap sombong, dengan diikuti oleh
utusan Dalai dan Panchen Lama, Omateng berlalu dari kuil tersebut. Coba kau pikir, siasat apa
yang akan dijalankan olehnya? Satu hal yang sudah boleh dipastikan, Omateng sedang bersiap
untuk menerbitkan badai di Tibet."
Keng Thian kaget tak kepalang. "Asal-usul Omateng tak diketahui olehku," katanya. "Tapi aku
sependapat, bahwa dia akan menimbulkan keonaran besar. Tan Taydjin, menurut pendapatku,
jalan yang paling baik adalah segera melaporkan kepada Hok Kong An."
Tan Teng Kie menyetujui usul Keng Thian dan ia segera menulis surat. Tapi belum selesai ia
menulis surat itu, mendadak di luar gedung terdengar suara ribut-ribut.
Di lain saat, pengurus rumah tangga masuk dengan tersipu-sipu. "Dengan membawa
sepasukan tentara, Omateng telah mengurung gedung ini," katanya dengan suara gugup.
Tan Teng Kie tertawa getir. "Sakit hati apakah yang didendam olehnya, sehingga dia datang
begitu cepat?' katanya. "Apa dia takut aku melarikan diri?"
Sehabis berkata begitu, dengan mengajak Keng Thian, ia lalu naik ke atas ranggon.
Mereka melihat Omateng dan isteri Touwsoe sedang mencaci di bawah tembok. Dalam
rombongan itu terdapat juga para Nyepa, si pendeta berkelana dan Teruchi. Sambil mengebas
dengan tangannya. Omateng berteriak: "Mampuskan semua pembesar Han! Mereka semua bukan
manusia baik-baik. Mereka datang ke Tibet untuk mengacau."
Dari atas ranggon, Tan Teng Kie membungkuk kepada nyonya Touwsoe seraya berkata dengan
suara nyaring: "Kebinasaan Touwsoe memang merupakan kejadian yang sangat menyedihkan dan
kami turut berduka cita. Tapi, ada hubungan apakah antara terbunuhnya Touwsoe dan aku
pribadi? Bolehkah aku mendapat tahu, untuk urusan apa Hoedjin datang kemari dengan
sepasukan tentara? Kenapa kalian menumplek kegusaran di atas pundak orang Han?"
Nyonya Touwsoe menangis keras dan sambil menuding Tan Teng Kie, ia berteriak: "Tan Teng
Kie! Jangan kau berpura-pura! Jika penjahat perempuan itu bukan suruhanmu, kenapa dulu kau
sudah coba melindunginya? Kenapa anakmu sudah menolongnya dengan mempertaruhkan
jiwanya sendiri?"
"Tan Teng Kie, kau dengarlah!" Omateng menyambungi dengan suara menggeledek' "Urusan
kami di Tibet bisa diurus oleh kami sendiri. Kami tak memerlukan bantuan orang Han. Dengan
menggunakan tangannya seorang penjahat perempuan, kau sudah membunuh Touwsoe dan kau
sudah memerintahkan supaya penjahat itu mengaku sebagai puterinya Raja muda Chinpu.
Terang-terangan kau ingin menimbulkan kekacauan di Tibet, supaya kau bisa menarik segala
keuntungan dan bisa berkuasa terus di wilayah kami. Sebelum manusia-manusia seperti kau diusir
semuanya, di Tibet tak akan bisa tercapai perdamaian kekal."
Bukan main gusarnya Tan Teng Kie. Sekarang sudah nyata, bahwa Omateng memang berniat
menimbulkan kekacauan dan sengaja menuduh dirinya secara membabi buta. Baru saja ia ingin
balas mencaci, si gemuk sudah mementang busur dan melepaskan sebatang anak panah.
Dengan cepat Keng Thian melompat dan berdiri di depan Tan Teng Kie, akan kemudian,
dengan dua jeriji, ia menjepit anak panah yang menyambar itu. "Manusia tak punya malu!"
bentaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Sambutlah anak panah ini!" Ia mementil dengan dua jerijinya dan anak panah itu menyambar
balik dengan tenaga lebih hebat daripada waktu dilepaskan dengan menggunakan busur. Cepat-
cepat Omateng mengangkat busur dan menangkisnya. "Tak!", busur itu patah dua!
Omateng kaget tak kepalang, buru-buru ia menggulingkan badan dan menyelesap masuk di
antara orang banyak. "Lepaskan anak panah!" teriaknya.
Dalam sekejap, ribuan anak panah menyambar bagaikan hujan gerimis ke arah ranggon.
Sambil memutar Yoeliong kiam, Keng Thian melindungi Tan Teng Kie turun dari ranggon itu dan
begitu turun, mereka lalu mengatur pembelaan.
Gedung Soanwiesoe hanya dijaga oleh seratus lebih serdadu, sedang jumlah musuh kurang
lebih seribu orang. Akan tetapi, sebab semua tentara memiliki ilmu silat yang lumayan berkat
pelajaran yang diberikan oleh Thian Oe dan juga karena gedung Soanwiesoe kekar dan kuat
buatannya, maka tentara Omateng tak gampang-gampang masuk. Mereka menggunakan "tangga
awan" untuk memanjat tembok, tapi tangga-tangga itu semua kena dirobohkan. Sehari dan
semalam. Mereka menyerang terus menerus, tapi gedung Soanwiesoe masih tidak bergeming. Di
pihak Tan Teng Kie, semua orang sudah lelah bukan main dan Keng Thian, yang belum tidur
sekejap, mengetahui, bahwa mereka tak bisa mempertahankan diri terus menerus secara begitu.
Pada hari ketiga, waktu fajar mulai menyingsing, Keng Thian melihat, bahwa tentara Omateng
telah ditarik mundur kurang lebih separuh. "Eh-eh!" katanya di dalam hati. "Aku justru kualir
mereka menambah kekuatan. Kenapa mereka mundur? Apa Omateng menukar siasat?" Tentara
Tibet itu hanya mengurung, sama sekali tidak memperlihatkan tanda untuk menyerang,
sedangkan Omateng dan Teruchi tidak berada dalam tentara. Selagi Keng Thian mengawasi
dengan perasaan sangsi, dari sebelah timur sekonyong-konyong terlihat satu bayangan manusia
yang mendatangi dengan cepat sekali dan melewati bagian yang agak kosong dari tentara musuh.
Karena cuaca masih belum terang, tentara Tibet itu tak bisa segera mengenali siapa yang
datang, entah musuh atau kawan, sehingga mereka tidak segera merintangi. Dalam sekejap,
bayangan manusia itu sudah melewati dua lapis tentara dan sekarang baru orang melihat tegas,
bahwa ia itu adalah seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun lebih dan mengenakan pakaian
sasterawan.
Beberapa tentara yang menjaga gedung, lantas saja berteriak: "Aha! Siauw Loosoe!" Waktu
Siauw Tjeng Hong masih menjadi guru dalam gedung Soanwiesoe, ia kelihatan tua dan loyo.
Bahwa sekarang ia muncul dengan gerakan yang begitu gesit, sudah menimbulkan perasaan
heran dalam hati segenap tentara yang mengenalnya.
Sesaat itu, tentara Tibet yang juga sudah mengetahui, bahwa Siauw Tjeng Hong bukan
seorang kawan, lantas saja merintangi dan coba mengepungnya. Dengan cepat ia mengebut
dengan hudtim dan setiap kali mengebut, satu serdadu roboh terguling. Tentara Tibet jadi
ketakutan, mereka menduga musuh mempunyai ilmu siluman dan tidak berani mengejar terus.
Sesaat itu, orang satu-satunya yang mengubar adalah si pendeta berkelana yang, dengan
beberapa kali lompatan saja, sudah menyandak Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian kaget, karena ia yakin, Siauw Tjeng Hong bukan tandingan si pendeta. Sambil
mengerahkan lweekang, ia menimpuk dengan dua batang Thiansan Sinbong. Si pendeta
menangkis dengan mangkoknya dan dua kali suara "trang!", senjata rahasia itu menancap di
mangkok. Si pendeta terkesiap, ia tak menduga, bahwa di dalam dunia terdapat senjata rahasia
yang begitu liehay dan bisa menembus emas.
Karena musuhnya tertahan Sinbong, Siauw Tjeng Hong bisa lari terus dan melompat naik ke
atas tembok.
"Siauw Loosoe, lagi kapan kau datang?" tanya Keng Thian sesudah Tjeng Hong hilang sengal-
sengalnya.
"Sesudah selesai mengubur jenazah Moh Tayhiap, aku segera menyusul kemari," jawabnya.
"Kau tiba lebih dahulu kira-kira satu setengah hari."
"Pengtjoan Thianlie?" tanya pula Keng Thian.
"Ia berangkat belakangan," sahutnya. "Sesudah aku berlalu, ia masih harus berdiam di Gobie
san dua hari lagi, untuk mengurus urusan-urusan partai Boetong pay. Ia akan berangkat
berbareng dengan Lu Liehiap."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keng Thian berdiam sejenak. "Ilmu entengkan badan Peng Go banyak lebih tinggi daripada
Siauw Tjeng Hong, sehingga, biarpun berangkat dua hari belakangan, sebenarnya ia sudah mesti
tiba disini," katanya di dalam hati. "Kenapa sampai sekarang ia belum kelihatan mata hidungnya?
Apa terjadi kejadian luar biasa?"
Memikir begitu, ia segera menanya pula: "Lagi kapan kau tiba di Sakya?"
"Kemarin," sahutnya. "Aku tak bisa lantas masuk kesini, karena penjagaan di luar sangat kuat.
Baru hari ini, aku mendapat kesempatan. Mana Thian Oe?'
"Jika mau dituturkan, ceritanya panjang sekali," jawab Keng Thian. "Dia sekarang sedang
beristirahat dalam kamarnya. Sekarang lebih dulu aku minta kau tuturkan keadaan di luar."
"Kalut bukan main," jawabnya. "Menurut pendengaranku, Omateng telah "membakar' utusan
Dalai Lama dengan mengatakan, bahwa Hoat-ong Sekte Topi Putih telah menghina Sekte Topi
Kuning, karena ia memerintahkan Wanita Suci untuk melukakan utusan Panchen Lama. Katanya,
mereka ingin memohon supaya Dalai dan Panchen Lama mengirim tentara untuk mengusir Sekte
Topi Putih, Aku kuatir kejadian ini akan berbuntut dengan perang agama."
Keng Thian terperanjat. Semula ia menduga Omateng hanya ingin mengusir orang Han dari
wilayah Tibet, tapi sesudah mendengar penuturan itu, si Nyepa gemuk ternyata sudah menyulut
api di beberapa tempat untuk membakar seluruh Tibet. Apa maksudnya?
"Kuil Lhama juga sudah diawasi oleh tentara Tibet, tapi mereka belum berani mengacau,
karena rupanya masih merasa segan terhadap Hoat-ong," kata pula Siauw Tjeng Hong. "Menurut
pendengaranku Omateng ingin minta bala bantuan dari Kalimpong dan Nepal untuk
mempersatukan Tibet."
"Bagaimana baiknya?" kata Keng Thian dengan suara bingung. "Jalan satu-satunya adalah
memberi laporan kepada Hok Kong An, supaya segera di kirim bantuan tentara."
Tapi, siapa yang harus membawa surat itu? Selagi mereka bersangsi, pasukan Tibet mendadak
berpencaran dan minggir ke kiri kanan dan di jalanan yang terbuka itu muncul Omateng yang
mengiring dua orang Lhama Sekte Topi Putih, yang menunggang seekor gajah putih.
Keng Thian lantas saja mengenali, bahwa mereka adalah murid-murid utama dari Hoat-ong
yang pernah dikirim untuk merebut guci emas. "Sungguh heran," katanya di dalam hati. "Menurut
keterangan, Omateng mengambil sikap bermusuh terhadap Hoat-ong. Tapi kenapa Hoat-ong
mengirim dua muridnya datang kesini!"
Sekonyong-konyong pasukan Touwsoe juga berpencaran dan membuka satu jalanan lebar. Di
lain saat, seorang gadis Tsang yang mengenakan pakaian warna hijau dan menunggang seekor
kuda, mendatangi dengan cepat sekali. Kedatangan wanita itu disambut dengan membungkuk
oleh semua perwira.
"Itulah puterinya Touwsoe!" kata Siauw Tjeng Hong.
Sementara itu, sambil mengaburkan tunggangannya, nona itu berteriak: "Omateng! Omateng!"
Si gemuk menoleh seraya berkata: "Sanpiie Kangma Kusiu (Nona Sanpiie), perlu apa kau
datang kemari? Pulang! Lekas pulang!"
Si nona mendelik dn membentak: "Omateng! Dengan siapa kau bicara? Bukan kau, tapi akulah
yang memerintahkan kau lekas pulang!"
Omateng tertawa dingin. "Tindakanku ini adalah atas perintah Hoat-ong dan sudah disetujui
oleh ibumu," katanya. "Ayahmu binasa dibunuh penjahat perempuan dan ia mati dengan mata
melek. Aku adalah seorang yang ingin membekuk musuh ayahmu!"
Sanpiie kelihatan jengkel sekali, tapi ia tak dapat menjawab perkataan Nyepa itu. Sementara
itu, Omateng dan dua murid Hoat-ong sudah tiba di depan pintu dan berteriak-teriak minta bicara
dengan Tan Teng Kie. Kedua Lhama itu mengacungkan Kioehoan Sekthung (tongkat timah) yang
pada ujungnya tergantung satu Patkwa tertata mutiara, yaitu tanda kekuasaan Hoat-ong.
"Kami, utusan Budha Hidup, minta bertemu dengan Taytjeng Ponpo (pembesar kerajaan
Tjeng)!" berteriak satu antaranya.
"Tan Taydjin bagaimana?" tanya Siauw Tjeng Hong, "Buka pintu atau jangan?"
Tan Teng Kie bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut: "Buka!"
Dengan segala kehormatan Tan Teng Kie menyambut empat tetamunya (Omateng, kedua
Lhama dan Sanpiie) dan mengundang mereka ke kamar tamu. Keng Thian mengikut sebagai
pengawal pribadi Soanwiesoe dan duduk di pinggiran. Sesudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

mempersembahkan khata dan mengajak tetamunya minum teh, Tan Teng Kie segera menanya
maksud kedatangan mereka.
"Karena merasa tak tega jika sampai terjadi bentrokan senjata, maka Budha Hidup bersedia
untuk mengadakan perdamaian," kata salah seorang murid Hoat-ong. "Orang-orang sebawahan
Touwsoe semua mengatakan, bahwa penjahat perempuan itu adalah kawan puteramu, yang
sudah turut campur tangan dalam pembunuhan itu. Maka itu, kami meminta supaya Ponpo
Taydjin suka menyerahkan puteramu kepada Hoat-ong untuk diadili."
Hati Tan Teng Kie mencelos. Ia tak menduga, bahwa Omateng sudah bisa mempengaruhi
Budha Hidup sampai begitu rupa. Tentu saja ia tak sudi meluluskan permintaan itu. Tapi, baru saja
ia mau membuka mulut, Sanpiie sudah mendahului: "Ayahku telah dibunuh oleh puteri Raja muda
Chinpu dan sekarang si pembunuh sudah membunuh dirinya sendiri. Maka itu, menurut
pendapatku, tidak pantas kita menyeret-nyeret Thian Oe. Jika mau dikatakan Thian Oe turut
berdosa, karena ia pernah menolong pembunuh itu, maka cukuplah kiranya jika ia diperintah
menjaga peti mati ayahku selama tujuh hari."
Si nona yang mencintai Thian Oe, mengetahui, bahwa jika pemuda itu jatuh ke dalam tangan
Omateng, hampir boleh dipastikan ia akan celaka. Maka itu, dengan mendusta pada ibunya, cepat-
cepat ia menyusul.
Teng Kie girang bukan main. "Perkataan Sanpiie Kangma Kusiu benar sekali," katanya. "Aku
menyetujui pemberesan itu. Begitu lekas kau mundurkan tentara, aku akan segera memerintahkan
Oe-djie pergi ke gedung Touwsoe."
Omateng tertawa dingin. "Urusan di Sakya diurus olehku dan ibumu," katanya. "Tak perlu kau
campur-campur. Aku sekarang ingin menandaskan sekali lagi: Aku datang kemari atas perintah
Hoat-ong dan ibumu. Apa kau belum mengerti?"
Jika Touwsoe masih hidup, Omateng tentu tak berani berlaku begitu kurang ajar. Tapi
sekarang, sesudah kekuasaan jatuh ke dalam tangannya, ia tak memandang sebelah mata lagi
puterinya Touwsoe. Sementara itu, si gemuk selalu menggunakan nama Hoat-ong dan ibunya
serta saban-saban mengatakan, bahwa segala tindakannya adalah untuk membalas sakit hatinya
ayahnya, Sanpiie pun tak bisa bertengkar lagi.
Omateng berpaling lagi kepada Teng Kie sambil memperlihatkan tertawa licik, ia berkata pula:
"Ponpo Taydjin, aku mengharap, bahwa dengan mengingat kepentingan yang lebih besar, kau
suka segera menyerahkan puteramu."
Teng Kie bingung bukan main dan berkata dengan suara gugup: "Ini... ini..."
"Orang Han sering mengatakan bahwa siapa yang berbuat, dialah yang harus menanggung
segala akibatnya," si gemuk memutuskan omongan tuan rumah. "Dulu di gedung Touwsoe,
puteramu sudah berani membelah buah dengan golok terbang. Apa sekarang ia tak mempunyai
nyali untuk mengikut kami?"
Sekonyong-konyong, dari dalam terdengar tertawa nyaring dan seorang pemuda muncul
dengan tindakan perlahan. "Oe-djie!..." Teng Kie mengeluarkan seman tertahan. Ia mau bicara
lagi, tapi mulutnya seperti terkancing, karena melihat hal yang sangat aneh.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Omateng!" katanya. "Benar katamu: orang yang berani
berbuat harus berani menanggung akibatnya. Aku justru ingin menemui Hoat-ong untuk bicara
dengannya. Hayolah! Mari kita berangkat sekarang."
Tan Teng Kie menatap wajah pemuda tersebut dengan mata terbelalak. Dia mengenakan
pakaian Thian Oe dan romannya memang mirip dengan puteranya itu, tapi sudah pasti, dia bukan
Thian Oe.
Keng Thian pun kelihatan kaget, tapi di lain saat, ia memberi isyarat kepada Teng Kie dengan
kedipan mata. "Saudara Thian Oe," katanya. "Kau belum sembuh, bagaimana kau bisa pergi?"
Si pemuda tertawa dingin seraya berkata: "Tak usah kau memperdulikan aku. Andaikata aku
tak sakit, Nyepa Omateng tentu tak sudi membiarkan aku hidup tenang. Eh, Nyepa! Kenapa kau
belum mau berangkat?"
Tan Teng Kie yakin, bahwa pemuda itu yang ingin menolong puteranya, mengenal Keng Thian,
tapi ia sendiri belum pernah melihatnya dan Thian Oe belum pernah memberitahukan tentang
sahabat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Jika Tan Teng Kie heran, Keng Thian sebenarnya lebih heran lagi, sebab pemuda itu bukan lain
daripada Kim Sie Ie. Kenapa dia mendadak muncul dalam peranan sebagai Thian Oe? la ingat,
bahwa menurut Lu Soe Nio, si pengemis kusta hanya bisa hidup tiga puluh enam hari lagi. Ia
menghitung-hitung dan ternyata, sedari Liehiap mengatakan begitu sampai sekarang, sudah
berselang tiga puluh tiga hari, atau dengan lain perkataan, Kim Sie Ie hanya bisa hidup tiga hari
lagi. Tapi kenapa mukanya masih tetap seperti biasa, sedikitpun tak memperlihatkan tanda-tanda
jelek? Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa berkat bantuan lweekang dari bibinya, umur Kim Sie
Ie diperpanjang lagi tiga puluh enam hari.
Sanpiie juga tak kurang kagetnya. Ia pun tahu, pemuda itu bukan Tan Thian Oe.
Sementara itu, kedua Lhama lalu bangun berdiri dan berkata sambil merangkap kedua
tangannya: "Terimakasih atas bantuan Ponpo Taydjin." Sehabis berkata begitu, ia segera bergerak
untuk berlalu dengan membawa Kim Sie Ie.
Harus diketahui, bahwa Hoat-ong dan empat muridnya sebenarnya merasa bersimpati terhadap
Tan Teng Kie dan mendongkol terhadap Omateng. Akan tetapi, karena Nyepa gemuk itu
menggunakan utusan Dalai dan Penchen Lama untuk menekannya dan juga karena mengingat
kepentingan Agama Topi Putih, maka dengan terpaksa, ia menuruti segala permintaan Omateng.
Pada hakekatnya, ia sama sekali tak berniat menyusahkan Tan Teng Kie dan keluarganya.
Di lain pihak, sesudah menatap wajah Kim Sie Ie beberapa saat, Omateng maju setindak sambil
membentak: "Siapa kau?"
Kim Sie Ie mendelik. "Siapa kau?" ia balas membentak.
"Aku adalah Nyepa besar dari Sakya, namaku Omateng," jawabnya. "Siapa tidak mengenal
aku?"
"Aku adalah Tan Thian Oe, menantu Touwsoe Sakya," Kim Sie Ie menimpali. "Siapa tidak
mengenal aku? Sesudah Touwsoe meninggal dunia, aku sudah menjadi separuh majikanmu.
Jangan kau berlaku kurang ajar di hadapanku."
"Bocah! Apa kau mau cari mampus?" mencaci Omateng dengan gusar sekali. "Jangan kau
coba-coba memalsukan nama orang lain?"
"Memalsukan nama orang lain?" menegas Kim Sie Ie. "Dalam dunia ini, mana ada manusia
yang mau memalsukan diri sebagai suami orang lain."
Kedua Lhama itu melirik Sanpiie yang paras mukanya berubah merah. "Thian Oe," kata si nona
dengan suara bergemetar. "Omateng mengandung maksud kurang baik. Kau tak boleh pergi."
Dengan berkata begitu, ia mengakui Kim Sie Ie sebagai Tan Thian Oe. Sebenarnya, ia juga
mengetahui, bahwa pemuda itu bukan kecintaannya, tapi karena tak ingin Thian Oe mengantarkan
jiwa, maka, dengan menahan malu, ia sudah berkata begitu.
Mendengar perkataan Sanpiie, kedua Lhama itu tidak bersangsi lagi. Mereka menganggap, tak
mungkin seorang gadis mengakui orang lain sebagai tunangannya dan di samping itu, juga tak
mungkin seorang manusia sudi mengantarkan jiwa untuk orang lain. Mengingat begitu, satu
antaranya lantas saja berkata; "Aku rasa dia adalah Thian Oe tulen, Nyepa tak usah bersangsi
lagi."
Omateng tertawa dingin. "Aku mengenal Tan Thian Oe," katanya. "Tan Thian Oe mempunyai
ilmu silat yang sangat tinggi." Sambil berkata begitu, ia mengangsurkan tangan untuk
mencengkeram.
"Terima kasih," kata Kim Sie Ie seraya menggoyang pundaknya dan... si gemuk jatuh
terjengkang. Ia merasa badannya sakit dan untuk sementara tak bisa bangun berdiri.
"Ilmu silatnya memang cukup tinggi," kata Keng Thian, tertawa. "Apa sekarang Nyepa
percaya?"
Dalam tindakannya yang barusan, Omateng ternyata sudah salah menduga. Ia menaksir,
bahwa pemuda itu adalah orang yang dibeli oleh Tan Teng Kie. Maka itu, dalam anggapannya,
seorang tenaga belian tentu tak mempunyai kepandaian suatu apa. Tapi kali ini ia membentur
tembok dan bertemu dengan si pengemis kusta yang berkepandaian lebih tinggi daripada Thian
Oe. Masih untung, Kim Sie Ie tidak menggunakan seluruh tenaganya, sehingga si gemuk tak
sampai patah tulang.
"Siapa berani kata, aku memalsukan nama?" membentak Kim Sie Ie sambil mendelik.
Omateng tak berani berkata apa-apa lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Nyepa tak usah bersangsi lagi," kata sang Lhama sambil tersenyum. "Budha Hidup tengah
menunggu. Marilah kita berangkat sekarang."
Keng Thian buru-buru bangun dan sesudah mendekati Kim Sie Ie, ia berkata: "Saudara Thian
Oe, dalam pergimu ini, aku mengharap kau bisa menjaga diri. Inilah yowan-mu (pil). Bawalah."
Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan satu botol perak kecil yang berisi tiga biji Pekleng
tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, setiap pil itu bisa memperpanjang umur Kim Sie Ie untuk tiga
puluh enam hari. Sesaat itu, karena merasa kagum akan pengorbanan si pengemis kusta, Keng
Thian rela menyerahkan semua pil bekalannya.
Sebagaimana diketahui, Pekleng tan dibuat dari Soatlian (Teratai salju) yang terdapat di
gunung Thiansan. Soatlian adalah bahan obat yang tiada bandingannya dalam dunia dan yang
bisa memunahkan racun serta menyembuhkan luka. Dulu, dalam pertempuran antara Tjoei In
Tjoe dan Siauw Tjeng Hong, Tjoei In Tjoe telah mendapat luka berat sehingga separuh badannya
tidak bisa bergerak. Hanya dengan sekuntum Soatlian saja, luka itu sudah menjadi sembuh.
Maka itulah, melihat Keng Thian menyerahkan botol obat kepada Kim Sie Ie, Siauw Tjeng Hong
jadi kagum bukan main.
Tapi di luar dugaan, pemuda itu mengebas tangan bajunya seraya tertawa terbahak-bahak.
"Tong Keng Thian!" katanya. "Aku tak sudi menerima budimu."
Karena dikebas secara tak terduga, botol itu terbang dan Keng Thian buru-buru menangkapnya
kembali. "Bukan kau, tapi akulah yang menerima budi," katanya. Selagi ia mau melanjutkan
omongannya, Kim Sie Ie sudah memotong: "Hm! Kau hanya ingin memperlihatkan ksatriaanmu
kepada Pengtjoan Thianlie. Tapi aku tak mau kau mewujutkan niatan itu. Mati atau hidup adalah
takdir Tuhan. Perlu apa aku menerima pertolonganmu?" Kata-kata itu dikeluarkan dengan suara
angkuh dan sebelum Keng Thian bisa menjawab, ia sudah bertindak keluar.
Keng Thian mengantar mereka sampai di depan pintu, tapi Kim Sie Ie terus berjalan tanpa
menoleh.
"Orang itu sungguh-sungguh aneh," kata Keng Thian sesudah kembali di kamar tamu.
"Siapa dia?" tanya Teng Kie.
"Orang itu adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay,"
jawabnya.
"Biar bagaimanapun juga, perbuatannya di kali ini adalah perbuatan seorang ksatria," kata
Siauw Tjeng Hong. "Ia sama sekali tidak mengenal Thian Oe dan aku sungguh tidak mengerti,
kenapa ia rela berbuat begitu." Mereka coba menebak-nebak, tapi tak dapat memecahkan teka-
teki itu.
Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan Kim Sie Ie itu bukan ditujukan untuk Thian
Oe, tapi untuk Keng Thian. Ia adalah seorang aneh yang gerak-geriknya aneh pula. la
mengetahui, bahwa jiwanya hanya dapat ditolong dengan Iweekang Thiansan pay. Tapi karena
menganggap Keng Thian sebagai lawannya, keangkuhannya tidak mempermisikan untuk ia
menerima belas kasihan. Ia jadi nekat dan tidak menghiraukan lagi soal mati atau hidup. Diam-
diam ia mengambil keputusan, bahwa sebelum mati, ia akan membuang budi kepada Tong Keng
Thian, supaya lawan itu berhutang budi untuk selama-lamanya. Ia mengetahui, bahwa Keng Thian
adalah sahabat Thian Oe dan pemuda itu sedang kebingungan karena tidak mendapat jalan untuk
menolongnya. Mendadak ia mendapat serupa ingatan. "Dengan menolong sahabatnya, aku
mendapat jalan untuk membuang budi kepadanya," pikirnya. Tapi jalan pikiran itu tentu saja tak
dapat ditebak oleh Keng Thian, yang merasa sangat berduka dan menyesal akan keangkuhan
orang aneh itu.
Kira-kira seminuman teh, serdadu yang menjaga di luar memberi laporan, bahwa sebagian
besar tentara Touwsoe sudah ditarik pulang dan si pendeta berkelana pun sudah berlalu. Tapi di
sekitar gedung Soanwiesoe masih ditaruh sejumlah tentara untuk mengamatamati.
Teng Kie dan yang lain-lain merasa heran dan tidak dapat meraba-raba apa maksud Omateng.
Sesudah berpikir sejenak, Keng Thian lalu minta Siauw Tjeng Hong pergi keluar untuk menyelidiki.
Sesudah lewat magrib, barulah Siauw Tjeng Hong kembali. "Dari keterangan yang dikumpul
olehku, Omateng menarik tentaranya untuk menghadapi lain musuh," katanya. "Apa kalian pernah
mendengar nama Lochu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Dia adalah saudara lelaki dari isteri Raja muda Chinpu," jawab Teng Kie. "Aku dengar, dia
adalah orang gagah nomor satu di bawah perintah Raja muda Chinpu."
"Begitu mendapat warta, bahwa keponakan perempuannya meninggal dunia dan jenazahnya
dirampas Omateng, Lochu segera mengerahkan sepasukan tentara untuk membalas sakit hati
Tjiehoe dan Gweesenglie-nya (Tjiehoe berarti suami kakak perempuan, sedang Gweesenglie
berarti keponakan perempuan)," Siauw Tjeng Hong melanjutkan keterangannya. "Pada waktu
tentara Omateng mengurung gedung ini, pasukan Lochu sudah mengepung bentengan Touwsoe.
Maka itu, mau tak mau, Omateng terpaksa menarik mundur tentaranya. Nyepa itu beranggapan,
bahwa Oe-djie adalah orang yang paling tinggi ilmu silatnya dalam gedung Soanwiesoe. Jika Oe-
djie disingkirkan, maka disini tak ada orang pandai lagi. Memikir begitu, ia lalu menggunakan
macam-macam akal licik untuk mendesak Hoat-ong, supaya Budha Hidup itu menangkap Oe-djie.
Keadaan di seluruh kota ini bukan main kalutnya. Omateng sudah memerintahkan orang pergi ke
Kalimpong dan Nepal untuk minta bantuan tentara, katanya guna mengusir orang Han dan
mempersatukan Tibet di bawah kekuasaan orang Tibet sendiri. Warta itu sudah tersiar luas dan
semua orang Han menutup pintu rapat-rapat, tanpa berani keluar rumah. Kekacauan sudah terjadi
dan jika tentara asing sampai masuk disini, dapatlah kita membayangkan hebatnya kekalutan yang
bakal terjadi. Menurut keterangan, tentara Lochu berjumlah kecil dan diduga akan dipukul hancur
dalam beberapa hari. Sesudah membasmi Lochu, Omateng tentu akan menggerayang kesini lagi."
Tan Teng Kie menghela napas berulang-ulang. "Pangkat Soanwiesoe adalah pangkat yang tidak
dihiraukan olehku," katanya dengan suara duka. "Tapi jika di Tibet sampai terjadi huru-hara, aku
tak ada muka untuk menghadapi kaizar dan rakyat."
Keng Thian mengasah otaknya, tapi ia tak bisa mendapatkan daya yang sempurna. "Paling baik
kita menjalankan tindakan yang sudah disetujui pagi ini," katanya. "Secepat mungkin mengirim
orang untuk melaporkan kepada Hok Kong An dan meminta bantuan bala tentara."
"Suruh siapa?" tanya Teng Kie.
"Aku bersedia untuk menjalankan tugas itu," Siauw Tjeng Hong menawarkan diri.
Keng Thian melirik tanpa berkata suatu apa. Dengan kepandaian yang dimilikinya, Siauw Tjeng
Hong belum tentu ia bisa tiba di Lhasa dengan selamat. Sebenarnya ia sendiri yang ingin pergi,
tapi mengingat keselamatan Tan Teng Kie dan segenap penghuni gedung Soanwiesoe, ia jadi
bersangsi.
"Tong Tayhiap, bagaimana pendapatmu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian merasa tak enak untuk bicara terus terang. Selagi bimbang, mendadak ia ingat satu
orang. "Siauw Loosoe," katanya. "Bukankah kau ingin menemui Oe-djie? Sekarang kau sudah
boleh menemuinya."
Sesudah melatih Iweekang Thiansan pay sehari dan semalam, kesehatan jasmani dan rohani
Thian Oe sudah pulih kembali. Mendengar teriakan ayahnya, buru-buru ia menyelesaikan latihan
dan keluar dari kamarnya. Begitu melihat gurunya, ia mengeluarkan teriakan girang dan lalu
memeluknya.
"Oe-djie," kata sang guru dengan air mata berlinang-linang. "Dua tahun kita berpisahan dan
baru hari ini kita bisa bertemu kembali. Aku dengar, selama dua tahun ini, ilmu silatmu sudah
maju jauh sekali. Aku sungguh merasa girang."
"Hal ini sudah terjadi berkat pelajaran yang diberikan oleh Djiewie Soehoe (kedua guru, yaitu
Siauw Tjeng Hong dan Thickoay sian) dan petunjuk Tong Tayhiap," katanya. "Sepanjang warta,
soehoe sudah menikah? Mana Socbo (isteri guru)? Apa beliau datang bersama-sama?"
Siauw Tjeng Hong merasa jengah, karena, sebagaimana diketahui, ia baru menikah sesudah
berusia lanjut. "Dia menunggu di Soetjoan," jawabnya dengan pendek.
Bicara tentang pernikahan, pemuda itu mendadak ingat Chena dan mukanya lantas saja
berubah sedih.
"Dengan membunuh Touwsoe yang kejam, Chena telah menyingkirkan satu kekuasaan jahat
dari kota Sakya," kata Keng Thian dengan suara perlahan. "Perbuatan itu harus mendapat pujian
tinggi."
Air mata Thian Oe sebenarnya sudah hampir mengucur, tapi begitu mendengar perkataan Keng
Thian, sebisa-bisa ia menahan rasa sedihnya. "Tapi dia tak bisa kembali kepada kita," katanya
dengan suara duka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Teng Kie turut berduka, ia merasa sangat kasihan kepada puteranya yang malang itu. Akan
tetapi, mengingat pentingnya urusan negara, ia segera berkata dengan suara keras: "Oe-djie!
Pelajaran apa yang diberikan oleh nabi dan pujangga kita?"
Thian Oe terkejut seraya berkata: "Aku memohon petunjuk ayah."
"Di ini saat, pemberontakan sudah meledak di Tibet," katanya. "Tapi kau sendiri, sebaliknya
daripada bangkit untuk melindungi rakyat, sudah mengambil sikap seperti seorang perempuan
yang lemah. Apa kau tidak merasa malu?"
Thian Oe menatap wajah ayahnya, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
"Hanya sayang Chena meninggal dunia dengan mata melek," kata Keng Thian sambil menghela
napas.
"Kenapa mata melek?" menegas Thian Oe, jantungnya memukul keras.
"Selama hidupnya, Chena selalu berangan-angan supaya orang Han dan orang Tibet bisa hidup
akur bersama-sama seperti satu keluarga," kata Keng Thian. "Kenyataan ini tentu juga diketahui
olehmu."
"Sebagai puteri seorang raja muda, belum pernah ia memandang rendah kepada orang Han,"
kata Thian Oe. "Hal ini tak akan bisa dilupakan olehku."
"Hm!" kata Keng Thian. "Sekarang, dengan menggunakan alasan dari kebinasaannya, Omateng
sudah menyulut api pemberontakan supaya orang Tibet saling membunuh dengan orang Han.
Bagaimana Chena bisa mati dengan mata meram? Omateng telah merampas jenazahnya yang
sampai sekarang masih belum dikubur. Bagaimana dia bisa mati dengan mata meram? Di samping
itu, orang yang dicintainya bukan saja tidak berusaha untuk mencegah pemberontakan itu, tapi
malahan enak-enak menonton sambil berpeluk tangan. Coba kau pikir: Bagaimana dia tidak mati
dengan mata melek?"
Perkataan Keng Thian itu bagaikan halilintar yang menyambar kuping Thian Oe, sehingga ia
berdiri terpaku seperti patung. Sesudah lewat beberapa lama, ia mendongak dan berkata dengan
suara perlahan: "Apakah yang harus dilakukan olehku?"
"Kita berniat mengirim orang untuk membawa surat kepada Hok Kong An," kata Keng Thian,
seperti juga ia bicara pada dirinya sendiri. "Hanya sayang, belum didapat orang untuk membawa
surat itu."
"Kenapa kau tidak memberitahukan siang-siang?" kata Thian Oe dengan cepat. "Guna ayah dan
Chena, aku bersedia untuk melakukan tugas itu."
"Surat ini penting luar biasa, sehingga kau harus bersungguh hati dan berlaku sangat hati-hati,"
memperingatkan Keng Thian.
"Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, aku pasti akan menyampaikan surat itu kepada
alamatnya," kata Thian Oe dengan suara tetap.
Mendengar begitu, Keng Thian jadi girang bukan main.
Harus diketahui, bahwa pada waktu itu, ilmu silat Thian Oe sudah lebih tinggi daripada
gurunya. Biarpun kepandaiannya masih belum bisa menandingi si pendeta berkelana, akan tetapi
ilmu mengentengkan badannya lebih tinggi setingkat daripada pendeta tersebut. Maka itu,
andaikata ia dikalahkan dalam pertempuran, ia masih dapat melarikan diri.
Tan Teng Kie lantas saja menyerahkan surat yang sudah ditulisnya, kepada Thian Oe dengan
memberi banyak nasehat dan pesanan. Waktu itu, matahari sudah selam ke barat. Sesudah
menangsal perut, Thian Oe segera berdandan dan mengenakan pakaian jalan malam yang
berwarna hitam, akan kemudian berangkat dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Berkat
gerakannya yang sangat gesit, ia bisa meloloskan diri dari belasan serdadu musuh yang menjaga
di luar, tanpa diketahui.

***

Dengan hati jengkel dan bingung, Hoat-ong jalan mundar-mandir di dalam kuil, sambil
menunggu kedua muridnya yang diperintah menangkap putera Soanwiesoe.
Ia menghela napas berulang-ulang dan berkata dalam hatinya: "Hai! Aku tahu, Omateng
seorang jahat yang licik, sedang Tan Teng Kie seorang pembesar jujur. Kenapa juga aku sudah
menyediakan diri untuk diperalat Omateng guna mencelakakan orang yang baik. Dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

perbuatan yang rendah itu, apakah aku masih ada muka untuk menjadi pemimpin dari satu
agama?" Di lain saat, ia ingat kepentingan agamanya sendiri. Jika ia tidak menunduk kepada
Omateng, terdapat kemungkinan besar, agama Sekte Topi Putih bakal diusir lagi dari wilayah
Tibet. Ia bingung dan sangsi. Di satu pihak, ia ingat kehormatan diri sendiri, di lain pihak, ia harus
memperhatikan kepentingan agamanya.
Sebelum ia mengambil keputusan, seorang Lhama melaporkan bahwa kedua muridnya sudah
kembali dengan membawa putera Tan Teng Kie.
Hoat-ong segera mengeluarkan perintah supaya "Thian Oe" dibawa ke hadapannya, sedang
Omateng boleh lantas pulang. Beberapa saat kemudian, dua muridnya sudah masuk dengan
mengiring Kim Sie Ie. Sekali melihat pemuda itu, Hoat-ong terkesiap.
Pemimpin agama yang matanya sangat awas itu, lantas saja mengenali, bahwa pemuda yang
berdiri di hadapannya, adalah si pemuda angin-anginan yang pernah mengacau waktu diadakan
upacara pembukaan kuil.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara dalam.
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Kau sendiri yang mengundang aku," jawabnya. "Apa benar kau tak
tahu siapa adanya aku?"
Kedua muridnya kaget bukan main dan buru-buru memberi keterangan: "Puteri Touwsoe telah
mengakui, bahwa dia adalah tunangannya sendiri. Tan Teng Kie juga mengakui, bahwa dia adalah
puteranya. Maka itu, kami menganggap tak bisa salah lagi."
Mulutnya berkata begitu, hatinya ketakutan, karena mengingat perkataan Omateng.
Hoat-ong jadi semakin bercuriga. "Jika benar dia putera Soanwiesoe, tak bisa jadi dia cari
permusuhan denganku," pikirnya. Memikir begitu, ia mengebas tangannya supaya kedua muridnya
berlalu dan kemudian mengunci pintu.
"Bocah!" bentaknya. "Sungguh sayang, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, kau sudah
berani menggunakan nama orang lain."
"Hoat-ong!" Kim Sie Ie balas membentak. "Sungguh sayang, sebagai kepala dari satu agama,
kau sudah rela diperalat Omateng, guna mencelakakan orang baik."
Hoat-ong merasa malu dan untuk sejenak, ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata.
Kim Sie Ie tertawa nyaring. "Ha-ha! Aku tak nyana, seorang Budha Hidup juga bisa menjadi
bingung," ia mengejek. "Tak usah kau bingung-bingung. Tak usah kau menghiraukan, apa aku
Tan Thian Oe atau bukan. Sebegitu jauh kau bisa menghukum satu manusia, kau sudah bisa
memuaskan hatinya binatang Omateng."
Bahwa satu manusia berani bicara begitu kasar di hadapan Hoat-ong, adalah kejadian yang
baru pernah terjadi. Selama Kim Sie Ie mengejek, beberapa pikiran keluar masuk dalam otaknya.
Bagaimana ia harus berbuat? Melepaskan pemuda itu? Menyerahkannya kepada
Omateng? Tapi, jika diserahkan kepada Omateng, pemuda yang mempunyai kepandaian tinggi
itu, mungkin akan menerbitkan keonaran yang lebih hebat.
Kim Sie Ie terus mengawaskan sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba paras muka Hoat-ong berubah menyeramkan. "Anak muda," katanya. "Apa benar kau
rela pergi ke bentengan Touwsoe untuk mewakili putera Soanwiesoe menerima hukuman?"
"Itu urusanku, tak perlu kau campur-campur," jawabnya dengan ketus.
"Baiklah," kata Hoat-ong. "Aku mengantar kau dengan memberi berkah." Ia membalik
tangannya yang lantas menyambar ke kepala Kim Sie Ie.
Sambil tertawa, Kim Sie Ie menangkis. "Aku tak percaya malaikat, tak menyembah Budha,"
katanya. "Tak perlu segala berkahmu."
Tapi, begitu lekas tangannya kebentrok tangan Hoat-ong, ia terkejut, karena tangan itu
menindih dengan tenaga yang luar biasa besar. Buru-buru ia mengempos semangat dan menahan
dengan sekuat tenaga.
"Anak muda," kata Hoat-ong. "Kesombongan dan kekurang ajaranmu pantas mendapat
hukuman. Kau adalah seorang yang sangat mengandalkan ilmu silatmu. Biarlah sekarang aku
memusnahkan ilmumu itu." Ia menambah tenaga dan menekan semakin kuat. Kim Sie Ie
sebenarnya masih mau mengejek, tapi ia tidak dapat berbuat begitu, sebab harus mengerahkan
seluruh tenaga untuk melawan serangan musuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Meskipun lweekang Tokliong Tjoentjia bukan dari cabang persilatan yang "tulen", akan tetapi,
dalam Rimba Persilatan, ilmu itu mempunyai kedudukan istimewa, sebagai lweekang yang tiada
keduanya di dalam dunia. Maka itu, biarpun Kim Sie Ie baru mempunyai latihan belasan tahun,
dalam tempo setengah jam, ia masih bisa mempertahankan diri. Hoat-ong merasa kagum dan
berkata dalam hatinya: "Sayang, sungguh sayang! Orang yang berbakat begini baik, tidak
mengambil jalanan lurus."
Sesudah bertahan kurang lebih sepasangan hio, Kim Sie Ie merasa badannya panas dan
tenaganya mulai berkurang. Ia mengerti, lama-lama ia pasti akan roboh sebagai orang yang
bercacat. Dengan nekat, ia lalu mengempos semangat untuk mempertahankan diri sedapat
mungkin.
Sesudah lewat lagi beberapa lama, Kim Sie le merasa bibir dan lidahnya kering, sedang
tubuhnya seperti dibakar. Di lain pihak, Hoat-ong pun merasa tulang-tulangnya sakit, suatu tanda
ia sudah mengeluarkan tenaga secara melampaui batas. Tapi biar bagaimanapun juga, berkat
latihan puluhan tahun, lweekang Hoat-ong lebih unggul setingkat daripada pemuda itu.
Tiba-tiba Hoat-ong mengempos semangat sambil menekan keras dengan telapakan tangannya.
Mendadak ia berpikir: "Dia masih berusia begitu muda, tapi ilmunya sudah begitu tinggi. Apa tidak
kasihan, jika aku memusnahkan kepandaiannya?" Di lain detik, dalam otaknya masuk lain pikiran:
"Jika aku tidak memusnahkan ilmunya, bagaimana aku bisa menyerahkan kepada Omateng?"
Pada detik itu, selagi Hoat-ong bersangsi, sinar mata Kim Sie Ie tiba-tiba berubah beringas dan
bibirnya bergerak. Hoat-ong adalah seorang Lhama yang berilmu sangat tinggi. Tapi, melihat sinar
mata itu, tanpa merasa hatinya berdebar-debar. Ia tak mengetahui, bahwa pada detik itu, dalam
hati Kim Sie Ie timbul keinginan untuk membinasakan lawannya. Sebagaimana diketahui, dalam
mulutnya tersimpan senjata rahasia yang paling beracun didalam dunia, yaitu jarum Tjitsat
Tokbcng Sintjiam (Jarum Pembetot Nyawa), yang telah direndam di dalam bisa ular dari pulau
Tjoato. Waktu Tong Keng Thian kena jarum itu, ia harus berobat sebulan lebih, biarpun sudah
menelan Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian. Lweekang Keng Thian dan Hoat-ong
kira-kira setanding, tapi Hoat-ong tidak memiliki obat semacam Pekleng tan, sehingga, jika ia kena
jarum itu, hampir boleh dipastikan, ia akan binasa. Pada saat Kim Sie Ie hendak menyemburkan
senjata rahasianya, sekonyong-konyong dalam otaknya berkelebat satu pikiran: "Aku dan dia sama
sekali tidak bermusuhan. Hatiku tentu tak enak, jika ia sampai binasa." Di lain saat, ia berkata
pada dirinya sendiri: "Jika aku tidak membinasakannya, dialah yang bakal memusnahkan seantero
kepandaianku. Tanpa ilmu silat, aku pasti diinjak-injak manusia, sehingga tak guna aku hidup
terus." Memikir begitu, bibirnya bergerak pula dan jarum racunnya sudah tersedia di atas lidah.
Tapi, mendadak saja ia mendapat lain ingatan: "Ah! Biar bagaimanapun juga, dia adalah pemimpin
dari satu agama. Apa tak sayang, jika ia binasa dalam tanganku? Waktu hidupku sudah tidak lama
lagi. Biarlah aku mengalah terhadapnya." Sesaat itu,
Hoat-ong kembali menambah tenaganya dan lagi-lagi ia mendapat lain pikiran: "Sedari aku
meninggalkan pulau Tjoato, banyak sekali jago-jago sudah dirobohkan olehku. Jika aku
dirobohkan, bukankah orang yang tak tahu akan mengatakan bahwa aku kalah dalam mengadu
ilmu. Mereka tentu tak menduga, bahwa kekalahanku adalah karena aku yang mengalah."
Demikianlah, pada detik yang sangat genting itu, beberapa pikiran keluar masuk bagaikan kilat
di dalam otaknya. Kim Sie Ie adalah seorang yang tak mau kalah dari siapapun juga. Pada detik
itu, dalam alam pikirannya ia lebih suka mati daripada dihina orang.
Yang harus dikasihani adalah empat murid Hoat-ong yang menunggu di luar pintu. Mereka
menungggu dan menunggu dengan tidak sabaran, tapi sesudah menunggu lebih dari satu jam,
pintu masih tetap tertutup. Mereka sama sekali tidak mimpi, bahwa dalam kamar itu dua jago
kelas utama sedang mengadu jiwa dan tengah berada pada detik yang memutuskan.

***

Sekarang marilah kita balik kepada Tan Thian Oe yang mendapat tugas untuk membawa surat
ayahnya kepada Hok Kong An. Karena harus berlomba dengan sang waktu, malam-malam Thian
Oe berangkat juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah melewati serdadu-serdadu Touwsoe yang menjaga di luar gedung Soanwiesoe,


dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia meneruskan perjalanan ke Lhasa. Dalam
perjalanan itu, ia harus melewati bentengan (gedung) Touwsoe yang berdiri di atas gunung dan
jalanan yang harus diambilnya, terletak melintang di satu lembah. Sesudah melewati lembah itu,
di tengah gunung ia melihat tentara dan bendera yang besar jumlahnya, sedang di bentengan pun
terlihat bayangan-bayangan hitam dan bendera yang berlapis-lapis. Ia mengetahui, bahwa tentara
yang berkumpul di tengah gunung adalah tentara Lochu yang sedang mengepung bentengan
Touwsoe. Dengan cepat ia sudah tiba di bagian utara gunung tersebut. Hatinya lega dan sambil
mengempos semangat, ia mendaki bukit yang menghadang di depannya. Tapi baru saja berlari-lari
beberapa puluh tombak, sekonyong-konyong berkelebat satu bayangan manusia yang lantas
berdiri di tengah jalan. Thian Oe mengawaskan dengan kaget dan ternyata, orang itu bukan lain
daripada si pendeta berkelana.
Di bawah sinar rembulan, pendeta itu juga segera mengenali, bahwa yang dicegatnya adalah
Tan Thian Oe. "Aha! Kalau begitu kau?" katanya sambil tertawa terbahak-bahak dan menghantam
dengan tongkat bambunya. Thian Oe melompat seraya membabat dengan pedangnya dalam
pukulan Tokoa ginho (Bima Sakti yang tergantung nyungsang), yaitu salah satu pukulan terliehay
dari Pengtjoan Kiamhoat. Ia menduga bahwa dengan sekali menyabet, tongkat itu akan menjadi
putus. Tapi, di luar dugaan, begitu kedua senjata kebentrok, tongkat si pendeta "menempel" di
pedang dan bergerak menurut gerakan pedang. Thian Oe terkejut, buru-buru ia mengebas
senjatanya untuk melepaskan "tempelan" itu. Baru saja ia mengangkat kaki untuk kabur,
mendadak si pendeta berteriak: "Ih! Omateng, kemari! Coba lihat, apa bocah ini benar Tan Thian
Oe?"
Kenapa si pendeta bersangsi?
Pada waktu ia bertemu Thian Oe untuk pertama kali, yaitu waktu ia coba merebut guci emas,
kepandaian pemuda itu paling banyak hanya bisa menandingi muridnya. Tapi sekarang, ia bukan
saja bisa mempertahankan diri dari serangan tongkat, tapi juga sudah berhasil melepaskan
senjatanya dari "tempelan" tongkat. Si pendeta merasa, bahwa lweekang pemuda itu sudah tidak
berjauhan dengan lwee4cang-nya sendiri. Itulah sebabnya ia bersangsi dan memanggil Omateng
untuk mendapat kepastian.
Sehabis berteriak begitu, si pendeta lalu mengirim dua serangan berantai, yang satu
menggunakan tenaga "lembek", yang lain tenaga "keras". Thian Oe menjejak kedua kakinya dan
bagaikan seekor garuda, tubuhnya terbang lewat di samping si pendeta dan dalam sekejap, ia
sudah lari belasan tombak.
Tiba-tiba, dari pinggir jalanan muncul seorang yang tertawa bergelak-gelak. "Bocah! Mau lari
kemana kau?" bentaknya.
Begitu mengenali orang yang mencegatnya, Thian Oe lantas saja menjadi kalap. Orang itu
adalah Omateng yang menjadi gara-gara dari kebinasaan Chena dan yang sudah merampas
jenazah kecintaannya itu. Matanya merah, darahnya mendidih dan ia melupakan segala pesanan
ayahnya dan Keng Thian. Ia mengangkat pedang dan mengirim satu tikaman kilat. "Bret!", pedang
Thian Oe menembus Djoanka (pakaian perang yang lemas) dan ujung pedang membuat satu
goresan panjang di pundak Omateng.
Ia berhasil melukakan musuh, tapi karena itu, si pendeta berkelana sudah menyandak. Sesaat
itu, ia sebenarnya masih bisa melarikan diri. Tapi dalam kalapnya, sebaliknya dari kabur, ia lalu
mengirim serangan-serangan nekat. Kepandaian Omateng tidak terlalu rendah. Biarpun ia kalah
setingkat dari Tan Thian Oe, tapi untuk sementara, sedikitnya ia masih bisa membela diri. Dalam
sekejap tiga serangan Thian Oe sudah ditangkis olehnya dan waktu Thian Oe mengirim serangan
keempat, si pendeta sudah meloncat masuk ke dalam gelanggang pertempuran dan menyampok
pedangnya.
Sekali ini, pendeta itu tidak berani berlaku ceroboh lagi. Dengan hati-hati ia melayani dan
mengunakan taktik gerilya. Jika Thian Oe mundur, ia merangsak, kalau Thian Oe merangsak, ia
mundur. Dilihat sekelebatan, mereka seperti juga dua bocah yang lagi main petak, tapi
sebenarnya kedua lawan itu sedang mengadu ilmu dengan menggunakan lweekang yang sangat
tinggi. Dilayani secara begitu, Thian Oe yang lweekang-nya masih kalah kuat, perlahan-lahan jatuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

di bawah angin. Selang kira-kira setengah jam, keadaannya sudah berbahaya sekali, hampir-
hampir ia tak dapat mempertahankan diri lagi.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Thian Oe bergidik karena menyambarnya hawa
dingin yang sangat hebat dan berbareng dengan itu, tekanan si pendeta lenyap. Dengan cepat ia
melompat ke-belakang dan sesudah menegakkan badannya yang bergoyang-goyang, ia menoleh
ke belakang. Di antara uap dingin yang berwarna abu-abu, ia melihat seorang wanita. Hatinya
meluap dengan kegirangan, karena wanita itu bukan lain daripada Yoe Peng. Tak usah dikatakan
lagi, hawa dingin yang barusan adalah akibat dari Pengpok Sintan yang dilepaskan oleh si nona.
Tapi karena lweekang Yoe Peng masih belum cukup, ia tidak berhasil melukakan pendeta itu.
Meskipun begitu, serangan tersebut sudah membantu Thian Oe meloloskan diri.
Si pendeta gusar tak kepalang. Sambil menggereng, ia menerjang si nona. Dengan gerak-
gerakannya yang sangat lincah, Yoe Peng mengegos tiga serangan berantai. Selagi Thian Oe mau
membantu, mendadak Yoe Peng tertawa nyaring seraya berteriak: "Manusia tak tahu diri! Dulu
majikanku telah mengampuni jiwamu. Apa sekarang kau masih berani melawannya?"
Si pendeta terkesiap karena ia lantas saja ingat, bahwa wanita itu adalah kawannya Pengtjoan
Thianlie.
Selagi ia bersangsi, Yoe Peng bersiul nyaring, disusul dengan suara tertawa yang merdu. "Yoe
Peng! Dengan siapa kau bertempur? Aku segera datang!" kata satu suara yang merayu. Suara itu
datang dari bukit di seberang, tapi setiap perkataannya terdengar nyata sekali.
Bagi si pendeta, suara yang merdu itu seakan-akan menggeledeknya halilintar. Ia mengenali,
bahwa itulah suara Pengtjoan Thianlie yang disegani olehnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata,
ia memutar badan dan lantas kabur.
Gerakan Pengtjoan Thianlie cepat luar biasa. Sedang suaranya masih berkumandang di lembah,
orangnya sudah berdiri di tanjakan gunung- Dengan pakaiannya yang serba putih dan yang
berkibar-kibar karena ditiup angin, ia seolah-olah seorang dewi. Si pendeta jadi semakin ketakutan
dan ia kabur bagaikan orang gila.
Omateng yang bertubuh gemuk tak bisa lari cepat. "Manusia itu jahat sekali!" berteriak Thian
Oe sambil melompat untuk mengejar.
"Tak usah begitu berabe!" kata Yoe Peng sambil mementil sebutir Pengpok Sintan. Omateng
yang tengah merat mendadak merasakan hawa yang luar biasa dingin di jalanan darah Thiantjoe
hiat, di belakang lehernya, dan hawa itu menembus sampai di uluhatinya. Di lain saat, badannya
kesemutan, tenaganya musna dan tanpa bersuara, ia roboh di tanah.
"Thian Oe," kata Yoe Peng. "Perlu apa di tengah malam buta kau bergelandangan disini?"
Air mata pemuda itu lantas saja mengucur deras. "Chena... dia... dia..." katanya terputus-putus.
Tak dapat ia meneruskan perkataannya.
Yoe Peng menghela napas seraya berkata dengan suara duka: "Hal meninggalnya Chena
Tjietjie sudah diketahui oleh kami."
Pengtjoan Thianlie pun kelihatan sedih sekali. "Sayang sekali, karena waktu tidak mengijinkan,
waktu itu aku hanya menurunkan ilmu melepaskan golok terbang," katanya dengan suara
perlahan. "Aku tak keburu memberi pelajaran untuk melindungi diri. Tapi, ia sekarang sudah
berhasil membalas sakit hati kedua orang tuanya. Aku percaya, ia mati dengan mata meram."
Pengtjoan Thianlie adalah seorang yang tidak gampang memperlihatkan perasaannya. Tapi
meninggalnya Chena sudah mendukakan sangat hatinya, sehingga parasnya jadi guram sekali. Ia
menghela napas seraya berkata: "Pada sebelum kau berguru dengan Thiekoay sian, Chena telah
memohon pertolonganku untuk memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Ia mengatakan, bahwa
sayang sungguh jika kau yang mempunyai bakat sangat baik, tidak mendapat guru yang
berkepandaian tinggi. Waktu itu aku telah menolak permintaannya. Siapa nyana, karena
robohnya Puncak Es, secara kebetulan kau telah makan Tjoeko (buah merah) dalam istanaku,
sehingga, tanpa belajar lagi, kau sudah memperoleh ilmu entengkan badan dari partai kami.
Belakangan, kau juga telah mencuri ilmu pedangku. Ini semua adalah maunya Tuhan dan aku
tidak menyalahkan kau. Tapi, biarpun kau sudah memiliki Kiamhoat-ku (ilmu pedang), kau
belum mengenal Kiamkoat (pelajaran praktek untuk menggunakan ilmu pedang itu). Sekarang,
sesudah Chena meninggal dunia, aku ingin sekali meluluskan permohonannya, agar di alam baka,
arwahnya jadi terhibur..." Bicara sampai disitu, si nona berhenti karena terharunya. Sesaat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kemudian, barulah ia berkata pula: "Aku bersedia untuk menurunkan Kiamkoat kepadamu. Akan
tetapi, oleh karena usia kita kira-kira bersamaan, maka tak dapat aku menjadi gurumu. Baik juga
Yoe Peng yang sudah mengikuti aku dalam banyak tahun, sudah mendapat intisari dari Kiamhoat
dan Kiamkoat dari partai kami. Maka itulah, aku sekarang mempermisikan Yoe Peng untuk
menurunkan pelajaran itu kepadamu." Bukan main girangnya Thian Oe dan ia buru-buru berlutut
untuk menghaturkan terima kasih.
Dengan memperoleh ilmu silat Pengtjoan Thianlie, ditambah dengan Iweekang Thiansan pay
dan ilmu silat Thiekoay sian serta Siauw Tjeng Hong, di belakang hari Tan Thian Oe menjadi
seorang Tayhiap (pendekar) yang ternama. Sesudah Tong Keng Thian dan Koei Peng Go kembali
ke keraton es untuk menuntut penghidupan yang terpisah dari pergaulan umum, ia mengikuti
ayahnya pulang ke Kanglam, dimana ia dikenal sebagai ahli waris Kam Hong Tie dan dikenal juga
sebagai Kanglam Tayhiap (Pendekar besar dari daerah Kanglam)
Pengtjoan Thianlie mengegos tubuhnya dan hanya menerima separuh kehormatan Thian Oe.
"Apa Tong Keng Thian berada di rumahmu?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. "Aku justru menerima perintah Tong Tayhiap untuk pergi ke Lhasa guna
meminta bala bantuan tentara."
Si nona tersenyum seraya berkata: "Kau tak usah pergi ke tempat Hok Kong An." Thian Oe
kaget. Selagi ia mau menanya, Peng Go sudah berkata lagi: "Bagaimana dengan Kim Sie Ie? Kau
sendiri belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi aku merasa, Keng Thian sudah pernah
menceritakannya."
"Kim Sie Ie telah datang ke rumahku," menerangkan Thian Oe. "Biarpun belum pernah bertemu
muka, tapi ia sudah menolong jiwaku."
Peng Go heran. "Kau belum mengenalnya, bagaimana ia bisa menolong jiwamu?" tanyanya.
Thian Oe segera menuturkan apa yang telah terjadi.
Si nona terkejut dan segera menanya: "Kapan ia berangkat untuk menemui Hoat-ong?"
"Kira-kira tengah hari, mengikuti dua Lhama itu, jawabnya. "Ia berangkat dari rumahku dan jika
Hoat-ong tidak lantas menyerahkannya kepada Omateng, sekarang mungkin ia masih berada di
kuil."
Sesudah berpikir sejenak, si nona segera berkata: "Yoe Peng, lihatlah! Aku sudah mengatakan
bahwa Kim Sie Ie bukan manusia jahat. Hatinya cukup mulia. Ia rela menolong orang dengan
mengorbankan diri sendiri. Tak bisa aku memeluk tangan. Kau dan Thian Oe berangkat lebih dulu
untuk menemui Keng Thian, sedang aku sendiri ingin mengunjungi Hoat-ong." Sehabis berkata
begitu, dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia segera berlalu dan dalam sekejap, ia
sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Thian Oe dan Yoe Peng saling mengawaskan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mengingat
perkataan Chena, pemuda itu merasa agak jengah dan ia hanya mengawasi dayangnya Peng Go
dengan mata mendelong.
Yoe Peng menghela napas dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Chena dan aku
adalah seperti saudara sendiri dan aku pun merasa duka akan kebinasaannya. Akan tetapi, orang
yang sudah mati tentu tak bisa hidup kembali. Sekarang, karena kebinasaannya, di Tibet timbul
gelombang hebat. Jika kita tidak berusaha untuk meredakan gelombang itu, arwahnya tentu
merasa tidak senang."
Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya. "Ya, pergiku ke Lhasa juga adalah untuk
meredakan gelombang itu," katanya. "Eh, barusan Pengtjoan Thianlie mengatakan, bahwa aku tak
usah pergi menemui Hok Kong An. Bagaimana duduknya persoalan?"
Yoe Peng tersenyum. "Pada harian pembukaan kuil baru, kami berdua sebenarnya sudah
berada di Sakya," ia menerangkan. "Segala kejadian sudah disaksikan oleh kami. Kongtjoe yang
sangat pintar, lantas saja bisa menduga bakal munculnya badai. Maka itu, tanpa menemui kalian,
buru-buru kami pergi ke Lhasa. Mengingat bantuan kami pada waktu terjadi perebutan guci emas,
Hok Kong An bersikap sangat ramah tamah dan percaya segala keterangan kami."
Selagi bicara, mendadak mereka mendengar suara merintihnya Omateng. "Segala kejadian ini
semuanya adalah gara-gara bangsat itu!" kata Thian Oe dengan suara gergetan.
"Bagus! Sekarang kita boleh berurusan dengannya," kata Yoe Peng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Omateng yang baru sadar dari pingsannya, menggigil karena hawa dingin yang sangat hebat.
Yoe Peng segera meminta Thian Oe mengurut dua jalanan darah di punggung si gemuk, untuk
mengurangkan hawa dingin.
"Tan Kongtjoe," kata si gemuk dengan suara gemetaran. "Dengan memandang muka Sang
Budha dan muka Chena, aku memohon kau sudi mengampuni jiwaku."
"Jika kau tidak menyebut nama Chena, masih tidak apa," kata Thian Oe dengan gusar. "Dengan
menyebutkan Chena, lebih-lebih aku harus mengambil jiwa anjingmu."
"Terhadap Chena, aku selalu membuang budi," kata Omateng. "Dulu, waktu ia ditangkap
Touwsoe, aku pernah meminta perantaraan ayahmu untuk menolongnya. Dalam usahanya untuk
membunuh Touwsoe, aku pun sudah memberi bantuan secara diam-diam. Hal ini adalah satu
kenyataan. Kongtjoe, masakah kau tak tahu?"
Yoe Peng tertawa dingin dan mengeluarkan suara di hidung. "Eh, apa kau kira kami tak tahu
rahasiamu?" katanya dengan suara mengejek. "Kau adalah mata-mata Raja Kalimpong. Tujuanmu
yang satu-satunya adalah menimbulkan kekacauan di Tibet, supaya, dengan bantuan tentara
asing, kau bisa memancing ikan di air keruh. Kau ingin mengangkat diri sendiri sebagai raja. Tipu
muslihatmu bisa mengelabui Touwsoe, tapi tak bisa mempedayai Kongtjoe-ku. Bantuanmu kepada
Chena Tjietjie hanyalah untuk meminjam tangannya guna mewujutkan maksudmu sendiri."
Perkataan Yoe Peng benar-benar mengejutkan Omateng, sehingga tubuhnya menggigil
semakin hebat.
Thian Oe pun terperanjat, tapi sebelum ia sempat menanya lebih jauh, di tanjakan gunung
mendadak terlihat bayangan-bayangan manusia yang mendatangi dengan cepat sekali dan di
antara beberapa orang yang jalan di depan, terdapat si pendeta berkelana.
"Si pendeta datang kembali dengan membawa bantuan," kata rhian Oe.
Yoe Peng mengangguk seraya berkata: "Sekarang paling baik kita buru-buru kembali di
rumahmu untuk menunggu Kongtjoe."
"Tapi aku mempunyai lain pikiran," kata Thian Oe. "Dengan kedatangan si pendeta bersama
kawan-kawannya yang
berkepandaian tinggi, di bentengan Touwsoe tentu tidak terdapat lagi orang pandai. Dengan
menggunakan kesempatan itu, aku ingin menyatroni sarangnya."
"Guna apa kita menempuh bahaya yang begitu besar?" kata Yoe Peng yang tidak menyetujui
pendapat Thian Oe.
"Bagaimana aku tega melihat jenazah Chena terus berada di tangan musuh?" kata Thian Oe
dengan suara duka. Sehabis berkata begitu, ia mengangkat pedang untuk membinasakan
Omateng.
"Tahan!" mencegah si nona. "Biarkan dia hidup terus untuk sementara waktu. Mungkin masih
ada kegunaannya." Berbareng dengan perkataannya, ia menekan badan Omateng dengan
jerijinya, sehingga mulut si gemuk terbuka lebar. Hampir berbareng, ia mementil dua butir
Pengpok Sintan ke dalam mulut si gemuk yang lalu menelannya. Mata si gemuk terbalik dan ia
pingsan seketika itu juga.
Yoe Peng tersenyum. "Kecuali Kongtjoe dan aku sendiri, di dalam dunia tiada orang yang bisa
menyadarkannya," katanya.
"Sekarang kita boleh pergi dengan hati tenang."
Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, mereka mendaki gunung dan menuju ke
bentengan Touwsoe. Mereka mengambil jalanan mutar dan naik dari bagian belakang gunung
yang dijaga oleh sejumlah kecil serdadu. Berkat kegesitan mereka, dengan tidak banyak susah,
mereka bisa masuk ke dalam bentengan.
Sesudah menyelidiki beberapa lama, mereka menghampiri sebuah kamar yang terang dan dari
kain jendela, mereka melihat bayangan dua wanita.
"Mari kita lihat," berbisik Yoe Peng.
"Guna apa?" Thian Oe bersangsi.
"Siapa dia?" Yoe Peng menanya.
"Puteri Touwsoe, Sanpiie," jawabnya.
Si nona tertawa. "Kau takut?" ia menggoda. "Jangan takut. Ada aku yang melindungi." Sambil
berkata begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan mereka lalu bersembunyi di bawah jendela.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Yang berada dalam kamar itu adalah Sanpiie bersama ibunya.


Sesaat kemudian, terdengar helaan napas nyonya Touwsoe. "Hai!" katanya. "Tak nyana, urusan
jadi begini. Aku kuatir peninggalan ayahmu semua akan jatuh kedalam tangan Omateng!"
"Semenjak dulu aku tak senang dengan orang itu," kata Sanpiie. "Ibulah yang selalu
mendengar segala omongannya."
"Bagaimana aku bisa membaca hatinya yang jahat?" sang ibu sungkan menerima salah. "Dia
selalu mengatakan, bahwa dia ingin membalas sakit hati ayahmu. Bagaimana aku bisa
mencegahnya?"
"Masih untung Thian Oe tak jatuh ke dalam tangannya," kata puterinya.
"Anak," kata nyonya Touwsoe dengan suara menyesal. "Apa kau tak bisa melupakan Thian
Oe?"
Jantung Thian Oe memukul keras.
Sanpiie tak menjawab pertanyaan ibunya, ia hanya tertawa.
Nyonya Touwsoe kembali menghela napas seraya berkata: "Sesudah keadaan menjadi begini,
apa kita masih ada muka untuk membicarakan soal pernikahanmu dengan keluarga Tan?"
"Ada jalan," Sanpiie mendadak berkata. "Kita membekuk Omateng dan menyerahkannya
kepada Soanwiesoe untuk diadili."
Nyonya Touwsoe terkejut, buru-buru ia menekap mulut puterinya. "Anak, apa kau gila!" ia
berbisik "Tak boleh kau mengeluarkan perkataan itu lagi. Kekuasaan tentara sekarang berada
dalam tangannya dan jika mau, ia bisa mengambil jiwa kita dengan mudah sekali!"
"Hm!" menggerendeng Sanpiie. "Menurut penglihatanku, ia bukan hanya ingin merampas
kekuasaan Touwsoe. Ia malahan kepingin menjadi raja di Tibet."
"Benar," kata sang ibu. "Sekarang aku baru tahu. Sebelum ayahmu meninggal dunia, ia sudah
memerintahkan orang pergi ke Kalimpong untuk meminta bantuan tentara."
"Ibu," kata Sanpiie. "Kita tak boleh main takut saja. Kita harus berusaha untuk menghadapinya.
Kenapa ibu tak mau coba berunding dengan utusan Budha Hidup Dalai dan Panchen?"
Nyonya Touwsoe menggelengkan kepala. "Aku tak berani mendekati mereka," ia berbisik. "Jiwa
mereka sendiri mungkin sukar dilindungi lagi!"
Sanpiie terperanjat. "Apa?" ia menegasi. "Apa Omateng bernyali begitu besar?"
Sang ibu tak menjawab, ia mengawasi tembok kamar dengan mata mendelong.
"Ibu, apa yang sedang dipikir olehmu?" tanya puterinya.
Mendadak nyonya Touwsoe bangun berdiri dan menghampiri jendela yang lalu dipentang.
Untung juga Thian Oe dan Yoe
Peng yang buru-buru berjongkok di bawah jendela tak dilihat olehnya. "Anak," katanya dengan
suara perlahan. "Aku justru ingin berdamai dengan kau."
Sanpiie mendekati. "Bicaralah," katanya.
"Memang benar Omateng ingin membunuh utusan Budha hidup Panchen," ia berbisik.
Paras muka Sanpiie berubah pucat. "Bagaimana ibu tahu?" tanyanya.
"Sebagaimana kau tahu, utusan Budha Hidup terluka dengan golok terbang, tapi luka itu tidak
membahayakan jiwanya," menerangkan sang ibu. "Urusan ini adalah urusan besar dan Omateng
ingin menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Dia ingin menggunakan utusan kedua
Budha Hidup supaya mereka mengirim laporan yang menumplek semua kesalahan atas pundak
Hoat-ong Sekte Topi Putih dan yang meminta agar agama Topi Putih diusir lagi dari wilayah
Tibet."
"Hal ini memang sudah didengar olehku," kata Sanpiie.
"Untung juga, kedua wakil itu tidak kena dijebak dengan begitu saja," kata pula sang ibu.
"Mereka hanya melaporkan kejadian yang sebenarnya, tidak menambah dan tidak mengurangkan
apapun juga. Mereka tidak menyarankan supaya Budha Hidup Dalai dan Panchen bertindak untuk
mengusir Hoat-ong. Tapi Omateng tak mau mengerti, setiap hari dia terus mendesak. Utusan
Budha Hidup Panchen ingin sekali menemui Hoat-ong untuk menyelidiki keadaan yang sebenar-
benarnya, tapi Omateng tentu saja sungkan mempermisikannya. Diam-diam dia memerintahkan
tabib untuk memberi obat beracun kepada utusan Budha Hidup Panchen sehingga, sebaliknya
daripada sembuh, lukanya jadi semakin berat. Dengan memberi alasan tak boleh menemui tamu,
dia memutuskan perhubungan kedua utusan itu dengan dunia luar. Sementara itu, saban hari dia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

terus mendesak utusan Budha Hidup Panchen untuk menulis surat yang diinginkan olehnya,
sehingga utusan tersebut jadi semakin bercuriga dan menolak dengan getas. Dia jadi nekat dan
memerintahkan supaya tabib memberi racun yang membinasakan dan memberi batas tempo,
bahwa tengah malam ini, jiwa utusan itu sudah mesti melayang. Semua orang mengetahui, bahwa
utusan Budha Hidup telah mendapat luka karena golok si pembunuh. Maka itu, dengan mudah dia
bisa mengatakan, bahwa utusan itu binasa karena lukanya. Dia sudah menghitung pasti, bahwa
tiada orang yang akan mencurigainya. Sesudah utusan itu binasa, dia akan coba 'membakar'
Budha Hidup Panchen untuk mencapai maksudnya yang keji."
Mendengar penuturan itu, Sanpiie terbang semangatnya. Untuk beberapa saat, ia mengawasi
ibunya dengan mulut ternganga. Walaupun mengetahui, bahwa si gemuk sangat jahat, ia tidak
menduga Omateng bisa mengambil tindakan yang begitu kejam. "Ibu," katanya beberapa saat
kemudian. "Jika utusan itu binasa di Sakya, mungkin semua orang dalam kota ini tidak akan
terluput dari hukuman."
"Benar, dan itulah sebabnya, tabib tersebut tidak berani segera menuruti kemauan Omateng,"
kata sang ibu. "Tapi ia juga jeri, jika membangkang. Lantaran begitu, diam-diam ia
memberitahukan hal ini kepadaku dan memohon pertolongan. Tapi, apakah yang bisa dilakukan
olehku? Jiwa kita sendiri berada dalam tangan Omateng."
"Jalan satu-satunya melawan mati-matian," kata sang puteri.
"Dengan apa melawannya?" tanya nyonya Touwsoe dengan suara getir. "Keadaan kita adalah
seperti telur diadu dengan batu!"
"Ibu! Apa kita mau menyerahkan jiwa dengan mentah-mentah saja!" kata Sanpiie dengan
kegusaran meluap-luap.
Sang ibu tidak menjawab, ia menatap wajah puterinya dengan paras sangat berduka.
Sekonyong-konyong dari jendela melompat masuk dua bayangan hitam.
Sanpiie meloncat sambil menghunus golok.
"Aku!" kata suara yang sudah tak asing lagi.
Si nona mengawasi dengan mata membelalak, la hampir tak percaya matanya sendiri, karena
yang berdiri di hadapannya bukan lain daripada Tan Thian Oe. Ia ingin melompat untuk memeluk
orang yang dicintainya itu, tapi lantas saja ia mundur setindak dengan hati berdebar-debar, karena
orang yang berdiri di belakang Thian Oe adalah seorang wanita cantik.
"Sanpiie, katakanlah: Kau percaya aku atau tidak?" tanya Thian Oe dengan suara halus.
Sedari berkenalan, belum pernah Thian Oe menggunakan kata-kata yang begitu halus
terhadapnya. Sanpiie girang bukan main dan ia manggut-manggutkan kepalanya. "Omateng sudah
dirobohkan olehku," kata Thian Oe. "Kalian tak usah takut."
Perkataan itu seakan-akan sebuah perahu untuk orang yang hampir kelelap. Kegirangan
nyonya Touwsoe dan puterinya meluap-luap.
"Ingatlah pesananku," kata pula Thian Oe. "Kalian jangan menghalang-halangi si tabib. Biarkan
dia memberi racun kepada utusan Budha Hidup."
"Apa arti perkataanmu?" tanya Sanpiie dengan suara kaget.
"Waktu sangat mendesak, sebentar saja aku memberitahukan sebabnya," jawabnya. "Dimana
tempatnya wakil Budha Hidup Panchen?"
Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, nyonya Touwsoe lantas saja mengerti maksud
Thian Oe. "Benar, kau harus bertindak cepat," katanya. "Ia berada di atas pagoda, di sebelah
barat bentengan ini, di tingkatan kedua."
Tanpa menunggu lagi, Thian Oe menarik tangan Yoe Peng dan mereka lantas saja melompat
dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Jantung Sanpiie memukul keras, tanpa merasa ia
turut melompat, tapi begitu tiba di depan jendela, ia menghentikan tindakannya. "Ibu, apa yang
mau dilakukan mereka?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Mereka ingin membuka rahasia Omateng kepada utusan Budha Hidup," jawabnya. "Tabib akan
segera datang kembali. Lebih baik kau balik ke kamarmu"

***
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sementara itu, sesudah mendapat petunjuk, dengan tak banyak sukar Thian Oe dan Yoe Peng
sudah mendapatkan pagoda itu, yang ternyata bertingkat tiga. Dengan sekali mengenjot badan,
kaki Thian Oe hinggap di tingkatan kedua, tapi Yoe Peng yang ilmunya belum setinggi kawannya,
harus melompat dua kali sebelum mencapai tingkatan itu. Sesaat itu, beberapa serdadu penjaga
melongok keluar, tapi sebelum bersuara, mereka sudah roboh karena ditimpuk dengan Pengpok
Sintan.
Dengan cepat mereka masuk ke dalam kamar yang diterangi lampu minyak. Ternyata, utusan
Panchen Lama sedang meringkuk di atas dipan, sambil mengeluarkan rintihan perlahan. Melihat
masuknya dua tetamu yang tidak diundang, bukan main kagetnya utusan itu sehingga sambil
menahan sakit, ia bangun duduk.
"Atas titah Budha Hidup kami sengaja datang kemari untuk menyambangi kau," kata Yoe Peng,
yang lalu mendekati sambil memperlihatkan Lenghoe (Jimat) yang tergantung di dadanya.
Waktu Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng ke Lhasa, Peng Go telah menemui Dalai Lama sebagai
seorang Liehoehoat (Pelindung agama wanita). Lenghoe yang berada di dada Yoe Peng adalah
hadiah Budha Hidup itu.
Walaupun sudah melihat Lenghoe itu, utusan Panchen masih bersangsi. "Bagaimana Budha
Hidup Dalai bisa mengetahui bahwa aku sedang menghadapi bencana?" tanyanya di dalam hati.
Yoe Peng lalu mendekati lampu dan membesarkan sumbu. Ia memeriksa luka utusan itu yang
ternyata sudah bernanah dan bengkak merah. "Sungguh jahat hati Omateng," pikirnya sambil
mengeluarkan sebutir pil yang lalu dihancurkan di dalam air teh. Sesudah melaburkan obat itu di
atas luka, ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Dengan berkah Sang Budha, lukamu
akan segera sembuh." Obat dari istana es tak bisa dibandingkan dengan obat-obatan biasa. Begitu
kena, rasa sakit mendadak menghilang dan luka yang barusan dirasakan panas berubah adem.
Sekarang utusan Panchen tidak bersangsi lagi. Sambil merangkap kedua tangan, ia menanya:
"Siapa kalian? Apakah kedatangan kalian tidak diketahui orang?"
"Kami sengaja datang untuk menolong kau," jawab Yoe Peng. "Omateng sudah dirobohkan dan
orang-orangnya belum tahu kejadian itu. Sebentar, jika ada orang membawa obat kau jangan
minum obat itu." Sehabis berkata begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan lalu menyembunyikan
diri di belakang patung Budha.
Utusan Panchen jadi bingung, karena ia tak mengerti apa maksud perkataan itu. Ia lalu
merangkap kedua tangan, meramkan mata dan membaca doa dengan suara perlahan.
Beberapa saat kemudian, satu orang masuk ke dalam.
"Kenapa tabib tidak datang sendiri?" tanya utusan Panchen.
Orang yang datang adalah pembantu sang tabib. Ternyata, karena ketakutan, tabib itu tidak
berani datang sendiri dan telah memerintahkan seorang pembantunya untuk membawa obat.
Pembantu itu yang tak menduga, bahwa obat yang dibawanya adalah racun, segera menjawab
dengan sikap hormat: "Tabib kebetulan mempunyai urusan penting dan sudah memerintahkan aku
untuk membawa obat..."
Belum habis perkataannya, Yoe Peng sudah melompat keluar dan mencengkeram tangannya.
"Aduh!" teriaknya dan mangkok obat direbut si nona. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Yoe
Peng lalu menuang racun itu ke dalam mulutnya. Hampir berbareng, mukanya berubah pucat dan
dari pucat menjadi hitam dan jiwanya melayang.
Utusan Panchen kaget bukan main. "Omateng benar-benar jahat!" katanya dengan suara
bergemetar. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata kepada Yoe Peng. "Sekarang aku
mengerti. Tapi, dengan adanya kejadian ini, kedoknya terlocot dan dia tentu akan menjadi gusar.
Bagaimana kita bisa meloloskan diri dari bentengan ini yang terjaga kuat?"
"Jangan kuatir," menghibur Thian Oe. "Kami akan melindungi kau." Baru saja ia mengeluarkan
perkataan itu, di luar sudah terdengar suara orang.
Sambil menghunus pedang Thian Oe membuka pintu dan melongok keluar. Ia melihat lima
enam orang sedang mendatangi, yang paling dulu adalah si pendeta berkelana dan Teruchi
sedang yang paling belakang adalah dua boesoe yang menggotong Omateng. Di antara mereka
terdapat dua orang kepercayaan Nyepa itu. Mereka sebenarnya ingin mencari Pengtjoan Thianlie,
tapi yang diketemukan adalah tubuh Omateng yang dingin seperti es. Si pendeta yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

berpengalaman lantas saja menduga, bahwa di bentengan mesti terjadi kejadian luar biasa, maka
buru-buru ia mengajak kawan-kawannya pulang.
Melihat Pengtjoan Thianlie tidak berada disitu, hati si pendeta menjadi lega. "Bocah!"
bentaknya. "Kau orang berani datang untuk merampas utusan Budha Hidup? Nyalimu sungguh tak
kecil!"
Thian Oe mengeluarkan suara di hidung. "Jangan banyak bacot!' ia lantas membentak. "Lekas
serahkan Omateng untuk dihukum!"
Orang kepercayaan Omateng jadi sangat gusar. "Binatang!" satu antaranya berteriak. "Ilmu
siluman apakah yang digunakan olehmu untuk mencelakakan Nyepa? Jika kau tak mengembalikan
kesehatannya, aku akan cabut jiwa anjingmu!" Sambil mencaci, mereka menerjang, yang satu
menggunakan golok, sedang yang lain menggunakan kampak.
"Peng-moay, kau lindungi utusan Budha Hidup," kata Thian Oe sambil menangkis serangan
musuh. Dalam sekejap mereka sudah bertempur seru.
Sementara itu, si pendeta tertawa dingin dan menjaga di luar sambil mencekal kedua
senjatanya. Thian Oe tak takut kedua musuhnya itu, tapi ia merasa jeri terhadap si pendeta. Ia
yakin, bahwa meskipun ia mengerubuti bersama Yoe Peng, mereka berdua masih belum tentu bisa
melawannya. Semakin lama ia jadi semakin bingung, karena tiada jalan untuk meloloskan diri.
Melihat pemuda itu tak berani menerjang keluar, si pendeta jadi lebih girang dan sambil tertawa
nyaring, ia merangsek.

***

Sementara itu, Hoat-ong dan Kim Sie Ie yang sedang mengadu tenaga mati-matian, sudah
mencapai pada detik yang memutuskan. Mendadak, Hoat-ong menghantam sekeras-kerasnya dan
berbareng Kim Sie le menyemburkan jarum beracun! Pada detik yang sangat genting itu,
sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring dan merdu! Kim Sie Ie terkejut sehingga
jarumnya mencong dan dikebut terpental dengan tangan baju Hoat-ong. Di lain pihak, karena
kagetnya sebab bentakan itu, tenaga pukulan Hoat-ong pun berkurang banyak, sehingga, biarpun
terpukul jatuh, Kim Sie Ie tak sampai mendapat luka di dalam badan. Sesudah bergulingan, ia
melompat bangun kembali.
Semenjak meninggalkan pulau Tjoato, inilah untuk pertama kali Kim Sie Ie bertempur dengan
menggunakan seantero tenaganya. Tadi, karena sedang memusatkan seluruh semangat dan
perhatian kepada pertempuran itu, ia tak tahu kedatangan Pengtjoan Thianlie. Sekarang begitu
melompat bangun, ia melihat Peng Go yang berdiri sambil tersenyum. Dalam kagetnya, ia
mengeluarkan teriakan "Aya!" dan mengawaskan dengan mulut ternganga. Tiba-tiba ia merasakan
hawa sangat dingin menyambar masuk ke dalam tubuhnya Ternyata, selagi ia ternganga, si nona
telah mementil dua butir Pengpok Sintan ke dalam mulutnya!
Barusan, karena ditindih tenaga Hoat-ong, Kim Sie Ie merasa panas dan haus luar biasa. Maka
itu, Pengpok Sintan seolah-olah air sejuk bagi seorang pelancong di tengah padang pasir dan
mendadak saja, badannya menjadi adem dan rasa hausnya hilang. Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian tinggi, ia segera mengerti, bahwa si nona sudah menolong dirinya dengan
menggunakan "racun untuk melawan racun". Tanpa pertolongan itu, meskipun tak sampai menjadi
binasa, sedikitnya ia bakal mendapat sakit berat.
Untuk sejenak, ia berdiri dengan kepala pusing dan pikiran kalut. Kedatangannya kepada Hoat-
ong adalah untuk melampiaskan rasa mendongkolnya terhadap Tong Keng Thian. Diluar dugaan,
hampir-hampir ia binasa dan kekalahannya yang menyedihkan telah disaksikan oleh Pengtjoan
Thianlie. Bukan saja disaksikan, malahan ditolong oleh si nona. Baginya, soal mati atau hidup
adalah soal remeh. Yang dipandang penting adalah soal kehormatan, menurut tafsirannya sendiri.
Maka itu, pada detik itu, ia merasa sangat jengah dan penasaran.
Koei Peng Go tentu saja tak dapat menebak jalan pikiran pemuda yang aneh itu. Perlahan-
lahan ia mendekati dan menanya sambil bersenyum: "Apa kau tidak mendapat luka? Hm! Apa kau
telah bertemu dengan Tong Keng Thian? Mari kita berangkat dan jika bertemu, kita boleh minta
beberapa butir Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, latihan lweekang-mu kurang tepat dan
hanya Pekleng tan yang dapat menolong kesehatanmu." Si nona bicara dengan suara lemah-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

lembut, tapi bagi Kim Sie Ie, setiap perkataan seperti juga jarum yang menusuk perasaannya.
Sekonyong-konyong, sambil berteriak keras, ia kabur. Pengtjoan Thianlie mengubar, tapi ia sudah
berada di atas genteng dan sebelum mabur lebih jauh, ia melirik si nona dengan sorot mata dingin
dan mendongkol.
Dengan hati berat, Peng Go kembali kepada Hoat-ong dan berkata seraya menggelengkan
kepala: "Ah! Benar-benar sukar diurus!"
"Benar-benar sukar diurus!" mengulangi Hoat-ong yang kemudian, sambil merangkap kedua
tangannya, menanya: "Apakah pemuda itu dikenal oleh Liehoehoat?"
"Dia adalah seorang sahabat yang aku pernah bertemu beberapa kali," jawabnya. "Bahwa dia
telah berlaku kurang ajar terhadap Budha Hidup, hatiku sungguh merasa tidak enak."
Hoat-ong tersenyum. "Sedang usianya masih begitu muda, kepandaiannya sudah begitu tinggi,"
katanya. "Dapat dikatakan, bahwa dalam dunia ini tidak berapa orang yang dapat direndengkan
dengannya. Jika Liehoehoat tidak keburu datang, mungkin sekali aku dan dia akan binasa
bersama-sama."
Pengtjoan Thianlie melirik ke jurusan yang diawaskan Hoat-ong. Ternyata, Budha Hidup itu
tengah mengawaskan jarum Kim Sie le yang menancap di batu marmer dan yang di seputarnya
berwarna hitam!
Waktu masih berada di Tjenghay (Kokonor), Peng Go pernah menjadi tamu Hoat-ong. Maka itu,
pertemuan yang kedua kali ini sangat menggirangkan kedua belah pihak. Hoat-ong segera
mengundang tamunya duduk minum teh. Sambil minum dan omong-omong, mata si nona terus
mengincar sebuah lukisan di tembok.
"Liehoehoat, apa kau merasa ketarik dengan lukisan itu?" tanya Hoat-ong.
Si nona mengangguk dan lalu bangun berdiri, akan kemudian perlahan-lahan mendekati lukisan
tersebut. Mendadak, pada paras mukanya terlihat perasaan heran.
"Lukisan itu adalah lukisan 'Phaspa mengunjungi Kublai di Mongolia'," menerangkan Hoat-ong.
"Baik lukisan wanitanya, maupun binatang-binatangnya, semua kelihatan hidup sekali.
Pemandangan di gurun utara juga dilukiskan secara indah sekali." Selagi memberi penjelasan,
sambil menunjuk-nunjuk lukisan itu, tiba-tiba Hoat-ong mengeluarkan seruan tertahan dan
matanya mengincar muka gambar wanita itu yang ternyata sangat mirip dengan muka si nona.
"Apakah pelukisnya masih berada disini?" tanya Peng Go.
"Para pelukis datang dari Lhasa dan mereka datang kemari atas undangan Touwsoe
almarhum," jawabnya. "Dalam kuil ini masih ada beberapa gambar yang belum selesai dan
pelukis-pelukis masih belum dibubarkan. Aku akan memerintahkan orang untuk menyelidiki." Ia
memanggil seorang muridnya yang lalu diperintah memanggil pelukis yang melukis gambar di
tembok itu.
Dalam omong-omong, si nona menceritakan apa yang sudah dilakukannya di Lhasa. Ia
menuturkan, bahwa dalam pertemuannya dengan Dalai Lama, Budha Hidup itu sudah mengerti
akan kejahatan Omateng dan menyetujui, bahwa Hoat-ong Agama Topi Putih memegang
kekuasaan tertinggi yang tak boleh diganggu-gugat di seluruh wilayah Sakya. Ia juga
memberitahukan, bahwa Hok Kong An telah berjanji untuk mengirim tentara guna mencegat
pasukan dari Kalimpong.
Hoat-ong jadi girang sekali dan berkata dengan suara berterima kasih: "Aku merasa sangat
berhutang budi kepada Liehoehoat yang sudah membebaskan Tibet dari bencana yang sangat
besar."
"Itu semua bukan karena pahalaku," si nona merendahkan diri. "Hal itu sudah terjadi karena
beberapa Budha Hidup mempunyai pandangan yang jauh dan hati yang welas asih, serta tidak
menghendaki pecahnya
peperangan yang merupakan bencana bagi umat manusia. Sekarang ini, tentara Omateng
sedang berhadapan dengan tentara Lochu. Aku berpendapat, secepat mungkin kita harus
membereskan soal ini."
Hoat-ong manggutkan kepala dan berkata: "Siang-siang aku sudah tahu, bahwa Omateng
bukan manusia baik. Jika sebegitu jauh aku belum bertindak, adalah karena memandang Agama
Topi Kuning. Sebagai tamu, tak pantas aku menentang tuan rumah. Tapi sekarang, sesudah
Budha Hidup, Dalai menyerahkan semua kekuasaan kepadaku, biarpun Omateng mempunyai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kepandaian yang lebih tinggi lagi, dia tak akan terlolos dari tanganku." Sehabis berkata begitu, ia
segera memerintahkan muridnya untuk bersiap, karena malam itu juga ia ingin pergi ke bentengan
Touwsoe untuk membereskan kekacauan.
Sebelum berangkat, seorang murid melaporkan, bahwa pelukis yang dicari sudah diketemukan
dan bahwa ia itu adalah orang dari Nepal.
"Siapa namanya?" tanya Peng Go.
"Dia baru mau memberitahukan, sesudah bertemu Liehoehoat," jawabnya.
"Bagaimana dia tahu, aku berada disini?" tanya pula Peng Go dengan saura heran. "Apa kau
yang memberitahukannya?"
"Tidak," jawab murid itu. "Begitu bertemu, ia mengatakan, bahwa yang mencari padanya tak
bisa lain daripada Peng Go Siauwkongtjoe."
"Undanglah ia masuk," kata si nona dengan tak sabaran.
Sesaat kemudian, seorang tua yang rambutnya putih dan yang matanya terus mengincar
Pengtjoan Thianlie, berjalan masuk. Begitu berhadapan, ia segera berkata dalam bahasa Nepal:
"Aha! Sungguh mirip dengan Hoa Giok Kongtjoe!"
"Siapa kau?" tanya si nona. "Kenapa kau tahu nama ibuku?"
"Budakmu bernama Ngotu," ia memperkenalkan diri. "Pada tiga puluh tahun berselang, aku
pernah bekerja di bawah Hoema dan Kongtjoe."
Peng Go mengeluarkan seruan tertahan sambil bangun berdiri. "Kalau begitu, kau adalah Ngotu
Kongkong," katanya. "Sungguh tak nyana, kita masih bisa bertemu di tempat ini." Sambil berkata
begitu, ia membungkuk dan memberi hormat kepada orang tua itu.
Murid-murid Hoat-ong kaget. Mereka tak nyana, pelukis miskin itu bisa mendapat kehormatan
yang begitu tinggi dari seorang tamu Budha Hidup dan seorang Liehoehoat, seorang Pelindung
Agama, yang mempunyai Pweeyap Lenghoe.
Buru-buru Hoat-ong memerintahkan muridnya mengambil kursi untuk Ngotu. "Aku tak duga,
kalian adalah sahabat lama," katanya.
"Bukan, bukan begitu," menerangkan si nona. "dengan Ngotu Kongkong aku baru pernah
bertemu muka. Tapi aku mengetahui, bahwa ia adalah guru melukis dari mendiang ibuku. Dulu,
ibuku sering mengatakan, bahwa Ngotu Kongkong adalah pelukis nomor satu di seluruh Nepal dan
di dalam istana es aku masih menyimpan beberapa rupa buah tangannya."
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Pertemuan luar biasa di negara asing
sungguh merupakan merupakan jodoh yang luar biasa pula."
"Kongkong," kata si nona. "Dalam usia yang sudah begitu lanjut, kenapa kau tak mau berdiam
saja di dalam istana? Perlu apa Kongkong merantau ke negeri orang?"
Si tua mengurut-urut jenggotnya dan berkata dengan suara perlahan: "Aku berdiam disini
justru untuk menunggu kau. Semula, aku tak tahu, berapa lama aku harus menunggu. Tapi atas
belas kasihan Sang Budha, hari ini kita bisa bertemu dan aku percaya Nepal masih dapat ditolong."
"Ada apa? Kenapa Kongkong mengatakan begitu?" tanya Peng Go.
"Raja Nepal yang dulu adalah saudara misan ibumu," kata Ngotu. "Dia seorang kejam dan
serakah, sehingga di dalam negeri ia tidak disuka rakyat,di luar negeri ia bermusuhan dengan
negara-negara tetangga. Apakah kau tahu hal itu?"
"Aku pernah mendengarnya dari ibu," jawab si nona. "Ibu pernah meminta pertolongan orang
untuk membujuknya. Dan jika tak salah, karena kejamnya paman, maka ibu telah bersumpah
untuk tidak kembali lagi ke Nepal. Tapi kenapa Kongkong mengatakan raja yang dulu?"
Ngotu mengirup teh dan kemudian, sesudah menghela napas panjang, ia berkata: "Dua tahun
berselang, yaitu dalam tahun terjadinya perebutan guci emas, ia mendapat luka waktu bertempur
dengan sebuah negara tetangga. Luka itu, luka kena anak panah, ternyata tak bisa disembuhkan,
sehingga tak lama kemudian ia meninggal dunia. Putera mahkota yang menggantikan
kedudukannya sebagai raja, lebih kejam daripada ayahnya. Penderitaan rakyat menghebat dan
secara wajar, orang-orang yang lebih tua mengingat Hoa Giok Kongtjoe, Mereka mengatakan,
bahwa tahta kerajaan sebenarnya harus diduduki oleh ibumu dan jika dulu ibumu menggantikan
kedudukan ayahnya, keadaan di Nepal tentu tidak jadi begitu kacau. Semua orang mengharap,
supaya Hoema dan Kongtjoe bisa kembali ke negeri sendiri untuk menolong Nepal dari
kemusnahan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Ibuku sudah meninggal belasan tahun lamanya," kata si nona dengan suara duka.
"Hal ini sudah didengar olehku, tapi belum diketahui rakyat," kata Ngotu.
"Bagaimana kau tahu, ibuku sudah meninggal dunia?" tanya Peng Go.
"Raja yang dulu pernah memerintahkan Koksoe (Guru negara) pergi ke Tibet untuk menyelidiki
Hoa Giok Kongtjoe," jawabnya. "Menurut pendengaranku, dia pernah bertemu muka dengan kau."
Pengtjoan Thianlie mengangguk. "Benar," katanya. "Pendeta jubah merah itu dua kali
menyateroni istana es, tapi dipukul mundur olehku. Belakangan, ia binasa waktu terjadi perebutan
guci emas."
"Biarpun dia sudah mati, tapi dalam laporannya kepada raja, dia sudah menanam bibit
bencana," kata Ngotu.
"Apa yang dikatakannya kepada raja?" tanya si nona dengan perasaan heran.
"Dia mengatakan telah bertemu dengan seorang dewi yang kecantikannya tiada bandingan
dalam dunia ini," jawabnya. "Dewi itu adalah kau sendiri. Dia juga melaporkan, bahwa kau
memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, malahan setiap dayangmu pun mempunyai kepandaian
lumayan. Jika kau suka membantu raja, Nepal tentu bisa menjagoi, tapi menurut pendapatnya,
kau tak akan sudi kembali ke negara sendiri.
Selanjutnya dia berpendapat, bahwa karena tidak setia kepada raja, kau bisa merupakan bibit
penyakit jika dibiarkan hidup terus. Maka itu, dia mengusulkan, supaya raja mengumpulkan orang-
orang pandai untuk mengambil jiwamu."
Si nona tertawa dingin. "Aku tak takut," katanya.
"Tapi Raja yang dulu tidak mengambil tindakan apa-apa, karena ia tengah menghadapi banyak
urusan di dalam negeri dan bermusuhan dengan beberapa negara tetangga," kata Ngotu.
"Tapi bahaya apa yang barusan disebutkan olehmu?" tanya si nona.
"Pada waktu Koksoe memberi laporan, Thaytjoe (putera mahkota) juga berada disitu,"
menerangkan si tua. "Sebagai pelukis istana, aku pun kebetulan berada dalam ruangan itu.
Sesudah Thaytjoe menjadi raja dua tahun lamanya, sampai sekarang ia belum mengambil
permaisuri dan sebabnya adalah karena ia ingin menunggu kau."
"Binatang!" menggerendeng si nona dengan suara gusar. "Dia jangan mimpi."
"Dia membuat persiapan dengan sungguh hati," si tua melanjutkan keterangannya. "Selama
dua tahun, dia telah mengumpulkan banyak sekali jago-jago dari negara-negara Arab dan Eropa
dan telah melatih satu pasukan untuk mendaki gunung. Sesudah persiapannya selesai, dia akan
segera datang ke Tibet untuk menyambut kau."
"Biarpun dia mengirim puluhan laksa tentara, aku tak akan menunduk," kata si nona dengan
suara mendongkol.
"Tapi dia mempunyai perhitungan lain," kata Ngotu. "Dia menganggap, bahwa dengan
ancaman perang, dia akan bisa menekan Hok Kong An dan Raja Tibet yang tentu tak sudi
berperang karena kau seorang. Maka itu, andaikata kau tak suka mengikut, kau tentu tak akan
bisa berdiam lebih lama lagi di wilayah Tibet."
Paras muka si nona jadi merah padam karena gusar dan jengkel, la tak menduga, bahwa
karena gara-garanya, di Tibet bakal muncul satu kejadian hebat.
Sesudah berdiam sejenak, Ngotu berkata pula: "Karena pernah menerima budi ibumu yang
sangat besar dan juga sebab mengingat penderitaan rakyat, maka aku sudah meninggalkan
penghidupan mewah dalam istana dan merantau ke Tibet untuk mencari kau. Sebab sudah berusia
lanjut, aku merasa tak sanggup untuk pergi ke istana es dan hanya menunggu untuk melihat lain
kesempatan. Kebetulan sekali, orang mencari pelukis untuk kuil Lhama yang baru didirikan dan
aku segera melamar pekerjaan itu.
Aku ingat, bahwa ibumu adalah seorang yang memuja Budha, sehingga mungkin sekali kau pun
akan datang berkunjung kesini. Memikir begitu, aku lalu melukis gambar itu dan benar saja, atas
berkah Sang Budha, sekarang kita bisa bertemu muka."
"Terima kasih untuk segala capai lelahmu," kata si nona sambil membungkuk.
"Aku datang kemari dengan membawa pengharapan rakyat dan pengharapanku sendiri," kata
pula Ngotu. "Aku memohon supaya kau suka mempertimbangkannya. Pengharapan itu adalah, jika
kau menganggap bahwa kau mampu membinasakan raja kejam itu, pulanglah dan merebut
kekuasaan dari tangannya. Tapi, andaikata kau tak bisa membunuh dia dengan tangan sendiri,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

begitu kau pulang dan memanggil rakyat, rakyat pasti akan bangkit untuk membunuh raja kejam
itu dan mengangkat kau sebagai raja. Tahta kerajaan memang adalah hak ibumu, sehingga kalau
kau menduduki tahta, hal itu tidak lebih daripada pantas."
Si nona bersenyum seraya berkata: "Aku sedikitpun tak mempunyai minat untuk menjadi raja.
Jika Puncak Es tidak roboh, aku tentu tidak berada disini. Sebenarnya aku sudah berkeputusan
pasti untuk hidup mengasingkan diri di istana es selama-lamanya."
"Jika kau tidak ingin menjadi raja, lebih baik kau segera menyingkir secepat mungkin," kata
Ngotu. "Aku kuatir, dalam waktu cepat dia akan datang kemari dengan tentaranya."
"Bagaimana Kongkong tahu?" tanya Peng Go.
"Omateng telah mengundangnya untuk mengirim tentara dan dia pasti tak mau menyia-nyiakan
kesempatan yang baik itu," jawabnya.
Pengtjoan Thianlie merasa duka sekali. Ia duduk bengong dan tidak mengeluarkan sepatah
kata. Dalam hatinya penuh dengan kesangsian, ia tak tahu tindakan apa yang harus diambilnya.
Sementara itu, seorang murid Hoat-ong melaporkan, bahwa segala apa sudah siap sedia untuk
keberangkatan raja agama itu ke bentengan Touwsoe.
"Ngotu Kongkong, terima kasih banyak untuk segala kebaikanmu," kata si nona. "Untuk
sementara, kau berdiam saja disini dan sesudah keadaan di Nepal menjadi beres, barulah kau
kembali ke negara sendiri." Si nona tidak memberitahukan apa yang akan dilakukannya, tapi bagi
Ngotu, perkataan itu sudah merupakan jaminan, bahwa sang puteri tak akan berpeluk tangan.
Maka itu, dengan perasaan syukur, ia lantas mengundurkan diri. Sesudah itu, Pengtjoan Thianlie
segera mengikut rombongan Hoat-ong berangkat ke bentengan Touwsoe.

***

Sementara itu, keadaan Tan Thian Oe dan Yoe Peng yang terkepung di dalam pagoda sudah
diliputi bahaya. Si pendeta berkelana menyerang hebat dengan tongkat dan mangkok
emasnya, sehingga Thian Oe terpaksa berkelahi sembari mundur. Yoe Peng yang melindungi
utusan Panchen, juga sudah mulai bertempur dengan Teruchi. Dua boesoe kepercayaan
Omateng lantas saja menerjang si nona dengan tujuan merebut utusan Panchen. Dikerubuti tiga
orang, dalam sekejap Yoe Peng terdesak dan dalam keadaan berbahaya, buru-buru ia melepaskan
dua butir Pengpok Sintan, yang mengenakan tepat pada jalanan darah kedua boesoe itu. Sambil
berteriak-teriak, mereka melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan terus kabur. Si nona
girang dan lalu melepaskan pula sebutir Pengpok Sintan. Teruuchi yang berkepandaian lebih tinggi
cepat-cepat memutar Djoanpian bagaikan titiran, sehingga, biarpun ia menggigil kedinginan,
senjata rahasia itu kena terpukul jatuh. Dengan beruntun Yoe Peng melepaskan lagi beberapa
Sintan, tapi semuanya dikebas terpental dengan tangan baju si pendeta.
Sekarang, sedang Yoe Peng bisa bernapas lebih lega, Thian Oe jadi semakin repot. Sesudah
lewat beberapa jurus lagi, dengan bentakan "kena!", mangkok si pendeta menyambar ujung
pedang Thian Oe. Sebisa-bisa pemuda itu coba menarik pulang senjatanya, tapi sudah tidak
keburu lagi, sehingga ujung pedang kena ditungkrup mangkok yang lalu diputar dan pedang Thian
Oe pun mengikuti terputar. Dengan mengerahkan seluruh lweekang, ia coba membetot
senjatanya, tapi tak bisa terlepas dari "isapan" mangkok.
Si pendeta girang bukan main, tapi mendadak ia merasakan ada apa-apa yang luar biasa di luar
pintu. Ia menoleh dan tiba-tiba saja dua butir benda kecil yang sangat dingin menyambar masuk
ke dalam lubang hidungnya. Hatinya mencelos karena Pengtjoan Thianlie kelihatan berdiri di
ambang pintu sambil mengawaskannya dengan sorot mata dingin.
Si pendeta terbang semangatnya dan sambil mengerahkan lweekang untuk melawan hawa
dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia melompat ke jendela dan terus kabur terbirit-birit. Si
nona tidak mengubar dan membiarkan pendeta itu mabur. Teruchi juga kaget bukan main,
sehingga gerakan senjatanya agak lambat dan Thian Oe yang sungkan menyia-nyiakan
kesempatan baik, segera melompat dan menangkap ujung Djoanpian. Baru saja ia mengangkat
pedang untuk menabas, Peng Go membentak: "Tahan! Ampuni padanya, jika ia mau bersumpah
untuk tidak mengacau lagi di Tibet." Teruchi yang masih sayang jiwanya, lantas saja
mengucapkan sumpah yang berat dan kemudian berlalu tanpa diganggu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sementara itu, Hoat-ong sudah naik ke atas dan berjumpa dengan utusan Panchen, yang
sudah bisa bergerak leluasa karena ditolong dengan obat istana es. Dengan perkataan-perkataan
halus ia pun menghaturkan banyak terima kasih untuk semua pertolongan.
Kaki tangan Omateng yang sudah mati kutunya, berdiri di sudut ruangan tanpa berani
bergerak. Mereka ketakutan setengah mati, lebih-lebih dua boesoe yang menggotong tubuh Nyepa
itu.
"Apakah kau orang ingin menebus dosa?" tanya Hoat-ong dengan suara angker.
Melihat dibukanya jalanan hidup, semua boesoe itu segera manggut-manggutkan kepala.
"Sebagai orang kepercayaan, kau orang tentu mengetahui, bahwa Omateng telah bersekutu
dengan orang luar untuk menimbulkan kekacauan di Tibet," kata pula Hoat-ong. "Sekarang aku
ingin mendapat bukti dari persekutuan itu untuk diumumkan kepada dunia, terutama kepada
pembesar-pembesar dan rakyat di Sakya." Sehabis berkata begitu, ia segera memerintahkan dua
orang muridnya untuk menggeledah kamar Omateng dengan orang-orang kepercayaan itu.
Benar saja dalam kamar itu telah didapatkan sejumlah surat-surat rahasia, antaranya surat
balasan Raja Kalimpong dan Raja Nepal yang menjanjikan pengiriman tentara. Hoat-ong segera
meminta Pengtjoan Thianlie untuk menyadarkan Nyepa itu, yang meskipun licik, sekarang tidak
bisa menyangkal lagi segala kedosaannya. Sesudah
menegurnya dengan perkataan-perkataan keras, Hoat-ong menotok beberapa bagian tubuhnya
untuk memusnahkan ilmu silatnya. Sesudah itu, ia menyerahkan Omateng kepada utusan Panchen
untuk dibawa ke Lhasa dan diadili.
Sesudah membereskan keadaan di dalam bentengan, Hoat-ong memerintahkan beberapa
muridnya, dengan membawa tanda kekuasaan Budha Hidup, pergi mendamaikan kedua pasukan
yang sedang berhadapan di luar bentengan, yaitu pasukan Touwsoe dan pasukan Lochu,
pamannya Chena.
Sementara itu, utusan Panchen telah memberi pengampunan kepada si tabib, yang telah
dipaksa Omateng untuk meracuninya. Tak usah dikatakan lagi, ia jadi kegirangan dan lalu berlutut
sambil manggutkan kepala berulang-ulang. Atas pertanyaan Thian Oe, tabib itu memberitahukan,
bahwa jenazah Chena ditaruh di belakang bentengan bersama peti mati Touwsoe. Tanpa
menunggu lagi, dengan diantar oleh si tabib, bersama Yoe Peng, Thian Oe segera menuju ke
tempat yang ditunjuk.
Ternyata jenazah Chena ditaruh dalam sebuah peti mati kaca, di samping peti mati Touwsoe.
Dengan berbuat begitu, Omateng mempunyai maksud tertentu, la ingin, supaya semua penghuni
dalam bentengan Touwsoe bisa mengenali, bahwa pembunuh itu adalah "si pencuri kuda" yang
pernah ditolong oleh Tan Teng Kie dan puteranya. Dengan berbuat begitu, ia bertujuan untuk
mengobarkan perasaan gusar terhadap orang Han seumumnya dan Soanwiesoe khususnya. Tapi,
di luar dugaan, tindakan Omateng telah memungkinkan Thian Oe melihat pula wajah
kecintaannya. Karena hawa yang dingin, maka biarpun sudah lewat sekian lama, jenazah itu masih
belum rusak dan di bawah kaca, paras muka Chena tiada bedanya seperti waktu masih hidup.
Melihat kecintaannya, untuk sejenak Thian Oe berdiri terpaku. Kepalanya terputar, ia
merasakan seolah-olah langit ambruk. Di lain saat, dengan satu teriakan menyayatkan hati, ia
melompat dan memeluk peti mati itu!
Semua orang -- Yoe Peng, si tabib, nyonya Touwsoe dan Sanpiie -- mengawaskan dengan mata
membelalak. Sesaat itu, segala apa sudah menjadi terang bagi Sanpiie. Ia sekarang tahu sebab-
sebab penolakan pemuda itu untuk menikah dengannya.
Sesudah hilang kagetnya, nyonya Touwsoe jadi gusar. "Tan Kongtjoe," katanya dengan suara
mendongkol. "Untuk apa kau masuk ke ruangan ini? Untuk bersembahyang kepada suamiku atau
kepada penjahat perempuan itu?"
"Dia... bukan... penjahat," jawabnya terputus-putus. "Dia adalah puteri Raja muda Chinpu. Jika
kalian tidak senang, biarlah sekarang juga aku memindahkan peti matinya."
"Aku tak perduli dia siapa!" berteriak nyonya Touwsoe. "Dia adalah pembunuh suamiku dan
biarpun dia sudah mati, dia masih harus membayar hutangnya!” Mendadak nyonya itu menangis
menggerung-gerung dan sesambat: "Ongya! Ongya! Sungguh buruk nasibmu! Sesudah mati,
masih ada orang yang menghina kau!" Selagi ia mau mencaci, sekonyong-konyong ia ingat
pertolongan Thian Oe yang sudah bantu menyingkirkan Omateng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mengingat begitu, ia jadi lebih sabar dan tangisannya mereda Sekonyong-konyong terdengar
tangisan Yoe Peng. "Chena Tjietjie!" teriaknya. "Jiwamu dijual terlalu murah! Orang lain
membunuh sekeluargamu dan merampas harta bendamu. Tapi, kau dengan hanya membunuh
satu musuh, sudah mesti membayar dengan jiwamu sendiri. Chena Tjietjie! Kematianmu sungguh
tidak berharga!"
Nyonya Touwsoe dan Sanpiie terkejut. Bahwa Touwsoe telah membunuh Raja muda Chinpu
serumah tangga dan kemudian merampas tanah, adalah kejadian yang diketahui mereka. Maka
itu, perkataan Yoe Peng yang tajam sudah mengejutkan mereka. Sedang Yoe Peng masih
mengucurkan air mata, dengan diantar Hoat-ong dari luar tiba-tiba masuk seorang yang bertubuh
tinggi besar. Orang itu adalah Lochu.
Melihat jenazah keponakannya yang ditaruh berendeng dengan peti mati Touwsoe, Lochu gusar
bukan main. "Binatang!" bentaknya. "Kau berani berendeng dengan keponakanku?" Ia
mengangkat tangan untuk menghantam peti mati Touwsoe.
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata dengan suara sabar: "Sesudah hutang
dibayar, permusuhan habis dengan sendirinya. Mulai dari sekarang, kedua belah pihak harus
menyingkirkan segala permusuhan."
Mendengar itu, Lochu mengurungkan niatnya dan dengan sorot mata gusar ia mengawasi
nyonya Touwsoe yang duduk di atas lantai tanpa mengeluarkan sepatah kata. Melihat kedatangan
Lochu, Thian Oe merasa tak perlu berdiam lebih lama lagi, maka sambil menarik tangan Yoe Peng,
ia segera berjalan keluar dari ruangan sembahyang itu.

***

Di gedung Soanwiesoe, Keng Thian kaget bukan main ketika orang melaporkan, bahwa Thian
Oe telah kembali bersama dua orang wanita.
"Eh-eh! Apa dia terluka?" tanya Keng Thian.
"Tidak, Kongtjoe kelihatan lebih segar daripada waktu berangkat," jawab serdadu yang
melaporkan.
Buru-buru Keng Thian keluar dan begitu melihat, kegirangannya meluap-luap. Thian Oe
berjalan masuk sambil tersenyum, sedang Peng Go dan Yoe Peng mengikuti dari belakang dengan
bergandengan tangan. Untuk melayani musuh, sudah beberapa hari ia bekerja terus menerus
hampir tanpa mengasoh, sehingga ia sudah lelah dan lesu sekali. Tapi kedatangan Peng Go
seolah-olah air hujan bagi pohon yang layu dan mendadak saja kesegarannya pulih kembali.
"Peng Go Tjietjie!" teriaknya. "Kenapa baru hari ini kau datang kesini? Thian Oe, apakah yang
sudah terjadi? Kenapa kau tidak pergi ke Lhasa?" Sedang mulutnya menanya Thian Oe, matanya
terus mengincar Pengtjoan Thianlie.
Yoe Peng tertawa terpingkal-pingkal, dan melepaskan tangannya dari cekalan si nona. Ia
mendorong Thian Oe dan berteriak: "Tolol! Tak usah meladeni pertanyaannya. Mari kita berlalu.
Biar mereka bicara sepuas hati."
"Tak usah pergi ke Lhasa," kata Peng Go yang lalu menceritakan apa yang sudah terjadi.
Itulah perkembangan yang sungguh di luar dugaan Keng Thian. "Peng Go Tjietjie, kau sungguh
seperti seorang dewi," ia memuji dengan perasaan kagum. "Dengan sekali mengebas tangan,
awan membuyar dan matahari muncul di langit cerah."
Paras muka si nona bersemu dadu. "Hm! Kegirangan, tapi aku justru sedang kebingungan,"
katanya.
Keng Thian terkejut. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan suara berkuatir. "Bencana yang paling
besar sudah dielakkan. Ada apa lagi yang menjengkelkan?"
"Bahaya masih belum lewat," jawab si nona yang lalu menuturkan pertemuannya dengan
Ngotu, yang memberitahukan, bahwa Raja Nepal ingin datang ke Tibet untuk memaksa ia pulang.
"Tindakan apa yang harus diambil olehku guna menghadapi bahaya itu?" tanya Peng Go akhirnya.
Paras muka Keng Thian lantas saja berubah guram, tapi sesudah memikir sejenak, ia tertawa.
"Sebagai seorang yang sudah kenyang membaca kitab-kitab pelajaran Budha, apakah kau tak
tahu, bahwa Hoedtjouw pernah memotong daging sendiri untuk diberikan kepada seekor elang
dan pernah berkorban untuk seekor Harimau?" tanyanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa kau rela melihat aku menikah dengan Raja Nepal?" si nona balas menanya dengan suara
menegur.
Keng Thian kembali tertawa seraya berkata: "Gila! Masakah aku rela membiarkan kau menikah
dengan raja kejam itu? Maksudku adalah supaya kau tidak menampik capai lelah untuk pergi ke
Nepal guna menemui manusia kejam itu. Pertama, kau bisa mengakhiri niatnya yang tidak-tidak
dan kedua, kau bisa bertindak dengan mengimbangi salatan. Misalnya, jika masih terdapat
kemungkinn, kau bisa menuntun dia ke jalanan yang lurus, atau, kau bisa juga menggulingkannya
dan mengangkat seorang raja yang lebih bijaksana. Dengan berbuat begitu, kau menyebar
kebaikan kepada umat manusia seumumnya dan kepada rakyat Nepal khususnya."
"Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Nepal," kata si nona. "Di samping itu,
andaikata aku pergi, belum tentu aku bisa berhasil."
"Dalam dunia ini banyak kejadian yang terjadi di luar dugaan manusia," membujuk Keng Thian.
"Dulu, kau pun pernah mengatakan, bahwa kau tak akan turun dari istana es. Tapi bagaimana
kesudahannya? Robohnya Puncak Es sudah memaksa kau kembali ke pergaulan umum, kau-
malahan sudah terlibat dalam pertempuran, sudah tertarik ke dalam banyak peristiwa yang
memusingkan otak.
Maka itu, untuk menolong sesama manusia, sekarang kau tak boleh takut pusing atau takut
capai."
Sebenarnya, si nona pun sudah menggenggam niatan itu. Mendengar bujukan Keng Thian, ia
segera menyetujui dan berkata sambil bersenyum: "Kalau begitu, kau harus mengikut aku pergi
bersama-sama!"
"Akur!" kata Keng Thian dengan suara girang. "Aku memang sedang menunggu undangan itu!
Sesudah mengasoh dua hari, kita lebih dulu pergi ke Lhasa untuk menemui Hok Kong An dan
mendengar-dengar soalnya Liong Leng Kiauw. Sesudah itu, barulah kita berangkat untuk
berjumpa dengan raja kejam itu."
Sambil berjalan berendeng di taman gedung Soanwiesoe, kedua orang muda itu beromong-
omong dengan suara perlahan. Dengan perasaan geli, mereka menceritakan kembali beberapa
salah mengerti di masa yang lampau yang sebagian besar disebabkan oleh sepak terjang Kim Sie
Ie.
"Orang itu sangat sukar ditaksir," kata Keng Thian. "Tadinya aku sangat membenci dia. Tapi
kali ini, di luar semua dugaan, ia telah menolong Thian Oe. Waktu Omateng mengirim orang untuk
menangkap pemuda itu, mendadak dia muncul dan dengan suka rela menggantikan Thian Oe
untuk menemui Hoat-ong. Coba kau pikir: Heran atau tidak?"
"Kau tentu tak tahu, dia hampir-hampir mengantarkan jiwa," kata si nona. "Barusan aku sudah
lupa untuk memberitahukan hal itu kepadamu. Waktu aku tiba di kuil Lhama, ia justru sedang
bertempur dengan Hoat-ong." Si nona lalu menuturkan kejadian itu secara jelas.
Keng Thian merasa semakin kagum akan cara-caranya orang aneh itu. Sesaat kemudian, ia
menghela napas seraya berkata: "Ia hanya bisa hidup tiga puluh enam hari lagi, tapi ia kukuh
menolak segala bantuan yang ditawarkan olehku. Dia sungguh manusia yang paling luar biasa
dalam dunia ini. Sebelum mencarinya, hatiku tak akan merasa senang. Tapi kemana dia sudah
pergi?

***

Kemana perginya Kim Sie Ie?


Dari kuil Lhama, ia kabur bagaikan orang gila, tanpa tujuan. Perlahan-lahan fajar menyingsing
dan angin pagi yang dingin menyadarkan otaknya yang ditutup kabut. "Kemana aku harus pergi?"
tanyanya pada diri sendiri. Tiba-tiba ia merasa haus, haus sekali. Dalam pertempuran melawan
Hoat-ong, ia telah mengeluarkan tenaga dan keringat terlalu banyak. Untung juga, berkat
pertolongan dua butir Pengpok Sintan, hawa panas itu tertindih dan tak sampai "membakar"
dirinya. Tapi peluru es bukannya obat, maka sesudah melumer dan habis kekuatannya, ia kembali
merasa haus, karena hawa panas dalam tubuhnya belum hilang semuanya. Ia lalu berjalan lebih
cepat di jalanan raya yang menuju ke Lhasa dan tak lama kemudian, ia bertemu dengan sebuah
warung arak. Karena hawa di Tibet sangat dingin, orang-orang yang berlalu-lintas sangat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

memerlukan arak untuk menghangatkan badan. Maka itu, di sepanjang jalanan raya terdapat
banyak sekali warung-warung arak.
Ia segera mampir di warung itu dan sambil minum arak, ia memandang alam yang indah. Di
ladang dan di bukit-bukit, dan rumput sudah mulai menghijau dan di antara warna hijau yang
menutup bumi, terdapat bunga-bunga kecil yang berwarna kuning muda. Itulah pemandangan
dari permulaan musim semi dan bunga yang mekar paling dulu adalah Potjoen hoa (Bunga yang
memberitahukan kedatangan musim semi). Waktu itu sudah masuk Djiegwee (Bulan kedua), tapi
karena datangnya musim semi selalu agak terlambat, maka di antara rumput hijau, masih terdapat
pohon-pohon gundul atau yang daunnya berwarna kuning tua.
Kim Sie Ie jadi semakin berduka. "Ah! Nasibku tiada bedanya seperti itu daun kuning yang
sedang menunggu rontoknya," ia mengeluh. Dalam dukanya, tanpa merasa ia menyanyi lagu
Lianhoalok, yaitu lagu kaum pengemis yang didapatnya waktu ia masih mengemis di daerah
Kanglam. Karena sedih dan penasaran, semakin lama ia menyanyi semakin keras, sehingga
pelayan yang membawa poci arak jadi terkejut. "Tuan tamu! Arak datang!" teriaknya. Tanpa
menoleh, ia mementil leher poci sehingga patah dan dari jauh ia menyedot. Loh! Arak itu
mendadak mancur keluar dari dalam poci dan masuk ke dalam mulutnya. Si pelayan kaget tak
kepalang dan mengawaskan pertunjukan itu dengan mata membelalak. Sekonyong-konyong,
sambil berteriak keras, Kim Sie Ie melompat seperti orang dipagut ular!
Kenapa?
Ternyata, selagi ia menyedot arak, mendadak menyambar serupa benda kecil yang berbentuk
pil dan bersama arak, masuk ke dalam mulutnya. Sambaran itu luar biasa cepat dan tidak terduga-
duga, waktu ia mengetahui, benda itu sudah masuk ke dalam perut. Sebagai orang yang
mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu menggunakan senjata rahasia, bokongan tersebut tentu
saja mengejutkan sangat hatinya.
Sesaat kemudian, ia merasa semacam hawa dingin menerobos masuk sampai di tantian (pusar)
dan hampir berbareng, rasa haus, puyeng dan sakit menghilang semuanya. Ia terkesiap dan ingat
perkataan Phang Lin yang pernah menceritakan tentang khasiat Pekleng tan. Apakah yang
ditelannya pil Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian?
"Aku ingin sekali bertemu dengan orang yang menolong diriku!" berseru Kim Sie Ie.
Sekonyong-konyong ia melihat muka dua wanita di jendela sebelah barat dan mereka itu bukan
lain daripada Phang Lin dan puterinya. Bahna kagetnya, ia mengeluarkan jeritan nyaring dan
berdiri terpaku. Ia sudah menolak Pekleng tan yang diberikan Keng Thian, tapi akhirnya, ia
menelan juga pil itu. Biarpun pil yang ditelannya bukan diberikan langsung oleh Keng Thian, tapi
Pekleng tan tetap Pekleng tan. Phang Lin adalah bibi Keng Thian. Bukankah dengan demikian,
secara tak langsung, ia juga menerima budinya pemuda itu?
Pada saat itu, rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat dalam otaknya, sedang Lie Kim Bwee
menggapai-gapai dengan sikap nakal. Bibirnya bergerak, tapi ia tak dapat mengeluarkan sepatah
kata.
Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya bayangan orang, Phang Lin dan puterinya
menghilang dari pandangan. Kim Sie Ie bengong dan tiba-tiba saja, ia merasa sangat menyesal. Ia
ingat, bahwa dalam pertemuan pertama di atas gunung Gobie san, selagi si nona bermain-main
dengan kawanan kera, Kim Bwee pernah berkata begini: "Jika kau berlaku baik terhadap mereka
(kera-kera), mereka pun bersikap manis terhadapmu. Jika kau menghina mereka, mana mereka
mau bersahabat dengan kau?" Sekarang, mendadak ia mendusin dan merasa, bahwa perkataan si
nona tepat sekali. Ia menganggap, bahwa dengan menolong Thian Oe, ia sudah berbuat suatu
kebaikan. Dan karena perbuatannya itu, beberapa orang memperhatikan dirinya dan tanpa
diminta, sudah mengulur tangan untuk menolongnya. Memikir begitu, dalam hatinya muncul
pertanyaan: "Apakah aku yang sudah menarik kesimpulan salah? Apakah dunia ini sebenarnya tak
begitu kejam seperti yang diduga olehku?"
Dalam kedukaannya, ia ingat pula banyak kejadian di masa lampau. Ia ingat kecintaan
mendiang ayahnya, ia ingat kecintaan seorang pengemis tua yang pernah mencuri ubi manis
untuk menolongnya dari kelaparan, ia ingat kebaikan Pengtjoan Thianlie dan ingat pula si nona
nakal yang sangat memperhatikan dirinya. Di samping ayahnya yang tercinta, orang-orang itu
telah berpapasan dengannya hanya untuk sementara waktu, tapi, dalam tempo yang sependek
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

itu, mereka telah berbuat apa-apa yang tak dapat dilupakannya. Mengingat begitu, air matanya
mengucur deras. Ia ingin berteriak untuk memanggil Kim Bwee dan ibunya, tapi mereka sudah tak
tertampak bayang-bayangannya lagi.
Sambil menangis, ia mengawasi ladang yang luas dengan sorot mata dan paras muka orang
yang hilang ingatan. Para pelayan berwaspada dengan hati berdebar-debar, tapi mereka tak
berani menegur tamu yang aneh itu.
Sekonyong-konyong, ia mendengar suara seorang wanita yang tak asing. "Aku minta sepoci
arak susu kuda," katanya.
"Ibu, aku tak suka arak susu kuda yang asam," kata seorang wanita muda. "Aku ingin minum
anggur yang manis."
Ia menoleh dan matanya kebentrok dengan mata dua orang wanita, seorang ibu dan puterinya.
Begitu melihat Kim Sie Ie, si nona lantas mundur beberapa tindak dengan mata membelalak.
Kedua wanita itu bukan lain daripada Yo Lioe Tjeng dan Tjee Tjiang Hee. Oleh karena sang ibu
ingin sekali bertemu dengan Tong Siauw Lan, sedang si anak kepingin berjumpa dengan Tong
Keng Thian, maka pada suatu hari ibu dan anak itu telah berangkat ke Sinkiang dengan niatan
mendaki Thiansan guna menemui keluarga Tong. Setibanya di Sinkiang, mereka bertemu Lie Tie
dan baru mereka mengetahui, bahwa Keng Thian berada di Tibet, sedang Siauw Lan pun sudah
berangkat ke Tibet kira-kira setengah bulan berselang, untuk menyusul puteranya Maka itulah,
mereka lalu menuju ke Tibet dan di luar dugaan, di tengah jalan bertemu dengan Toktjhioe
Hongkay. Waktu baru masuk ke warung arak, mereka tak mengenali pemuda itu yang
mengenakan pakaian Thian Oe. Sesudah melihat wajahnya, barulah mereka tahu siapa adanya dia
Kim Sie Ie tentu saja tak tahu, bahwa kaburnya Phang Lin adalah karena kedatangan Yo Lioe
Tjeng. Sebagaimana diketahui, Phang Lin adalah seorang wanita yang suka guyonan. Dulu,
dengan menyamar sebagai Phang Eng, kakaknya, ia pernah memapas rambut Yo Lioe Tjeng
dengan golok terbang. Itulah sebabnya, begitu melihat nyonya tersebut, ia kemalu-maluan, tidak
berani menemuinya dan lalu kabur sambil menyeret tangan puterinya yang merasa heran melihat
sikap sang ibu.
Sementara itu, melihat puterinya begitu ketakutan, Yo Lioe Tjeng berkata dengan suara
mendongkol: "Takut apa? Ingatlah, bahwa kau adalah cucu Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng. Jangan
kasih dirimu dipandang rendah!"
Beberapa puluh tahun lamanya, Yo Tiong Eng pernah jadi pemimpin Rimba Persilatan di lima
propinsi Tiongkok Utara. Sebagai puteri keluarga yang kesohor, Yo Lioe Tjeng tentu saja sungkan
merendahkan diri. la yakin, bahwa mereka berdua masih bukan tandingan Kim Sie Ie. Akan tetapi,
ia pun tahu, bahwa jika si penderita kusta mau menyusahkan, biarpun lari, mereka tak akan bisa
terlolos. Sebab itu, ia segera mengambil keputusan untuk mempertahankan diri, sesuai dengan
kedudukannya dalam Rimba Persilatan.
Jika perkataan nyonya itu dikeluarkan pada beberapa tahun berselang, ia pasti akan diganggu.
Tapi sekarang, bukan saja Kim Sie Ie tak mempunyai kegembiraan untuk mengganggu orang, tapi
perkataan Yo Lioe Tjeng malahan sudah menimbulkan rasa jengah dalam hatinya. "Ah, nona itu
cantik dan manis, seperti Kim Bwee Moaymoay," pikirnya. “Tapi begitu melihat aku, dia lantas saja
ketakutan. Ini memang salahku yang sudah menanam bibit jelek pada dulu hari, sehingga semua
manusia menganggap aku sebagai manusia aneh."
Yo Lioe Tjeng segera mengajak puterinya duduk di satu meja dan berteriak: "Pelayan, ambil
dua poci anggur!" Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan gendewa dan peluru yang lalu ditaruh
di atas meja. Tapi biarpun di mulut berani, hati si nyonya sebenarnya ketakutan, sehingga tangan
dan suaranya agak bergemetar. Kim Sie Ie tersenyum dan dengan tenang minum terus araknya.
Selang beberapa saat, dari luar mendadak masuk seorang anak muda yang dandanannya
seperti kacung kamar buku (pelayan pribadi dari seorang pemuda hartawan atau bangsawan) dan
yang menggendong buntalan di punggungnya. Kacung itu, yang berusia kira-kira enam belas atau
tujuh belas tahun, kelihatan lelah sekali, tapi pada bibirnya selalu tersungging senyuman dan ia
tak hentinya tertawa haha-hihi.
Sambil menaruh buntalan di atas meja, ia berkata seorang diri: "Bagus 'dah! Besok aku sudah
tiba di Sakya. Pelayan, berikan aku sepoci anggur dingin!" Di pegunungan Tibet, hawanya dingin
luar biasa dan sepanjang tahun es tak pernah melumer. Tapi di tanah datar, di waktu siang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

hawanya panas. Waktu itu belum tengah hari, tapi si kacung yang rupanya sudah berjalan sedari
pagi, sudah kepanasan dan kecapaian.
Sesaat kemudian, pelayan datang dengan membawa sepoci anggur dan sepiring es potongan.
Si kacung lalu menuang arak di cawan, mengambil sepotong es yang lalu dicemplungkan ke dalam
cawan dan kemudian menghirup isinya sambil meram-melek. "Aduh, enak betul!" katanya dengan
suara keras. "Arak kaizar belum tentu seenak ini!' Ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya
dan mendadak mendekati meja Yo Lioe Tjeng sambil tertawa haha-hihi.
"Aha!" serunya. "Kalian masih belum tahu cara meminum anggur. Masa anggur ditambah air?
Dengarlah, aku memberi petunjuk. Jika kalian takut anggur itu terlalu keras, tambahlah sepotong
es. Anggurnya jadi lebih lunak dan rasanya dingin."
Alis Yo Lioe Tjeng berkerut, tapi ia sungkan rewel, karena sedang memperhatikan gerak-gerik
Kim Sie Ie.
Tapi si kacung ternyata tak mengenal batas. Ia kembali ke mejanya, mengambil piring es dan
balik lagi seraya berkata: "Aku tak dusta. Cobalah!" Ia menjumput sepotong es dengan jerijinya
yang kotor dan lalu menaruhnya ke dalam cangkir Tjee Tjiang Hee.
Si nona gusar bukan main. "Siapa suruh kau campur-campur urusanku?" bentaknya sambil
mementil dua biji buah tho. Itulah ilmu mementil peluru dari keluarga Yo yang tersohor. "Tuk-
tuk!", biji itu mengenakan tepat pada jalanan darah Djoanma hiat, di bawah kedua ketiak si
kacung, yang lantas berteriak "aya!", sambil melompat tinggi, sehingga piring es tumpah dan
potongan-potongan es menimpa muka si nona.
"Jika kau tak suka, kenapa tak bilang siang-siang," teriak si kacung. "Benar-benar kau tak
mengenal kebaikan orang. Hm! Kongtjoe-ku tak begitu sukar dilayani seperti kau!"
Mukanya Tjiang Hee bersemu dadu. "Siapa mau dilayani olehmu?" ia balas membentak sambil
mengangkat tangan untuk menggampar. Tapi sebelum tangannya melayang, ia sudah ditarik
ibunya. Yo Lioe Tjeng yang mempunyai banyak pengalaman, mengawaskan si kacung dengan rasa
heran dan sangsi. Djoanma hiat adalah salah satu dari tiga puluh enam jalanan darah besar dalam
tubuh manusia. Jangankan seorang anak muda, sedangkan orang yang berkepandaian tinggi
mesti rebah jika Djoanma hiat-nya terpukul.
Apakah kacung itu mempunyai Pithiat Kanghoe (ilmu menutup jalanan darah)?
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak dan bangun berdiri. Yo Lioe Tjeng
terperanjat dan tangannya lalu mengambil gendewa dan peluru.
"Saudara kecil," kata Kim Sie Ie sambil tertawa. "Cara kau minum arak sungguh bagus.
Pelayan! Ambil sepiring es untukku."
Mendengar suara orang, si kacung memutar badan. Mendadak ia berteriak: "Aduh! Tak nyana
Inkong (tuan penolong) yang bicara! Hari itu, aku tidak keburu menghaturkan terima kasih.
Kenapa kau juga berada disini? Inkong, aku tak mempunyai apa-apa untuk membalas budimu.
Aku hanya bisa mengundang kau minum secawan a-rak. Harap Inkong jangan menampik. Aha!
Aku sungguh gila! Inkong sudah menolong aku, tapi aku sendiri belum menanya she dan nama
Inkong yang besar!"
Kim Sie Ie tertawa seraya berkata: "Hm! Jika tak salah, kau ini bernama Kang Lam, pelayan
yang sangat bawel dari Tan Tliian Oe. Bukankah begitu?"
"Tentulah Siauw Loosoe yang memberitahukannya kepadamu," kata Kang Lam. "Sebenarnya
aku sama sekali tidak banyak mulut. Mereka mengatakan begitu, karena mereka membenci aku."
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Kita berdua sama-sama dibenci orang. Marilah minum!"
Yo Lioe Tjeng semakin tak enak hatinya. Sedang satu Kim Sie Ie saja sudah sukar dilayani,
apalagi ditambah dengan si kacung aneh. Tapi sebenarnya, dalam hal ilmu silat, kepandaian Kang
Lam masih belum dapat menandingi Tjee Tjiang Hee. Hanyalah karena pernah dipaksa menjadi
murid Hongsek Toodjin, sehingga ia pernah mempelajari ilmu membalik aliran jalanan darah dari
imam itu, maka biji buah tho yang dipentil si nona tidak berhasil merobohkannya.
Bahwa hari itu ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Hongsek Toodjin, adalah berkat
pertolongan Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie. Biarpun benar, ia terutama ditolong oleh Tong
Keng Thian, tapi tanpa bantuan kedua orang itu, Keng Thian pasti tak akan dapat memundurkan
Hongsek. Kang Lam adalah seorang yang mempunyai ingatan kuat, sehingga, meskipun hanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

melihat sekelebatan, ia tak bisa melupakan wajah Kim Sie Ie. Maka itulah, begitu bertemu, ia
segera memanggil Inkong.
Kim Sie Ie yang sedang uring-uringan dengan beruntun menghabiskan belasan cawan dan
kemudian sambil mendelik, ia menanya: "Eh, kenapa kau memanggil Inkong? Selama hidupku,
baru pertama kali orang memanggil Inkong kepadaku."
"Tanpa pertolonganmu, sampai sekarang aku tentu masih jadi muridnya toosoe bau itu," kata
Kang Lam. "Sampai di ini detik, aku tentu masih terkurung di dalam hutan batu. Mungkin sekali
aku sudah mati lantaran sebal."
"Toosoe itu bersedia menurunkan kepandaiannya kepadamu," kata pula Kim Sie Ie. "Kenapa
kau berbalik merasa sebal terhadapnya?"
"Dia jahat," jawabnya. "Tak keruan-keruan, ia mencaci aku. Hm! Mukanya tak seperti muka
manusia. Belum pernah aku melihat ia tertawa. Bagaimana aku tidak merasa sebal?"
"Kau tahu aku siapa?" tanya Kim Sie Ie dengan mata melotot.
"Aku justru mau menanya," jawabnya dengan sikap hormat.
"Kau dengarlah!" membentak Kim Sie le dengan suara menggeledek. "Aku adalah Kim Sie Ie,
yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay! Kau tahu? Aku membunuh
manusia tanpa memilih hari, menggebuk orang tanpa alasan. Kau tahukah?"
Mendengar itu, jantung Yo Lioe Tjeng memukul keras, sedang Kang Lam pun berdebar-debar
hatinya. Tapi walaupun ketakutan, ia tetap bersenyum-senyum seraya berkata: "Itu semua aku tak
tahu dan aku tak mau ambil perduli. Yang penting adalah, kau telah berbuat baik kepadaku dan
budi itu tak dapat aku melupakannya."
Kata-kata Kang Lam seolah-olah jarum yang menusuk hati Kim Sie Ie. Ia segera ingat Lie Kim
Bwee yang mengatakan, bahwa orang akan bersikap baik terhadapnya, jika ia bersikap baik
terhadap orang lain. Ia menghela napas dan berkata sambil mendorong cawan arak: "Aku adalah
manusia yang bertindak sesenang hatiku. Aku paling benci manusia-manusia yang
memperdagangkan budi. Kata-kata Hiapsoe (pendekar) atau Inkong (tuan penolong) tak boleh
diucapkan lagi untuk alamatku. Jika kau senang dengan istilah itu, gunakannya terhadap Tong
Keng Thian."
Kang Lam terkejut dan lalu berkata: "Tong Tayhiap juga adalah tuan penolongku. Hm!
Bukankah Tong Tayhiap sahabatmu? Setiap kali Tong Tayhiap datang di Sakya, ia tentu menginap
di rumah Kongtjoeku." Kang Lam hanya mengetahui, bahwa Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie
pernah membantu Tong Keng Thian dalam pertempuran melawan Hongsek Toodjin. Tentu saja ia
sama sekali tak tahu adanya ganjelan antara kedua pemuda itu.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie melontarkan cawan arak dan tertawa terbahak-bahak. "Tong
Keng Thian adalah pendekar besar, sedang aku hanyalah si pengemis gila!" teriaknya. "Bagus!
Mari... mari! Mari kita minum!" Ia mengangkat lagi cawan, tapi sebelum mencegluk isinya, ia
berkata pula: "Kang Lam! Lidahmu sangat Ioncer! Jangan sombong kau! Lagi kapan kau minum
araknya kaizar?"
"Aku tidak berdusta," katanya "Memang benar aku pernah minumnya. Pergiku ke kota raja
adalah..." Mendadak ia berhenti bicara, karena ingat pesanan majikannya. Sebenarnya tugas Kang
Lam bukan tugas rahasia. Ia hanya diperintah membawa surat Tan Teng Kie ke kota raja. Ipar
Tan Teng Kie, yang harus menerima itu, berpangkat Giesoe dan Kang Lam tiba di kota raja
kebetulan pada hari-hari raya Tahun Baru. Sebagaimana biasa, setiap Tahun Baru, kaizar
menghadiahkan arak istana kepada pembesar-pembesar negeri, setiap orang mendapat beberapa
botol. Itulah sebabnya, Kang Lam pun dapat mencicipi secawan arak istana.
Tapi Kim Sie Ie yang sudah sinting, salah mengerti. Ia menganggap si kacung berhenti bicara
karena dalam ruangan itu terdapat banyak orang lain. "Baiklah!" tiba-tiba ia berteriak. "Aku akan
mengusir semua yang berada disini. Saudara kecil, kau tak usah kuatir."
Yo Lioe Tjeng jadi gusar sekali dan tangannya lantas saja mencekal busur dan peluru.
Pada saat hampir terjadi bentrokan, mendadak dari luar berjalan masuk dua tetamu. Begitu
melihat mereka, Kang Lam bergemetar sekujur badannya dan buru-buru bersembunyi di belakang
Kim Sie Ie.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Yang masuk itu adalah seorang pendeta dan seorang imam. Si pendeta tidak dikenal Kim Sie
Ie, tapi si imam bukan lain daripada itu jago Khongtong pay, Hongsek Toodjin, yang baru saja
disebut-sebut.
Hongsek tertawa dingin dan dengan sorot mata tajam, ia menyapu Kim Sie Ie dan Kang Lam,
sehingga si kacung terbang semangatnya. "Ha! Kau telah mendapat guru yang jempol!" katanya.
"Jangan takut," kata Kim Sie Ie. "Minum terus." Ia maju mendekati Hongsek dan menyambung
perkataannya: "Jangan campur-campur urusan orang, mengerti?"
Sebagaimana diketahui, ketika terjadi pertempuran antara Hongsek dan Tong Keng Thian, si
imam telah berjanji, bahwa jika ia tidak dapat merobohkan pemuda itu dalam tujuh jurus, ia tak
akan mencampuri urusan Kang Lam untuk selama-lamanya. Mengingat begitu, Kang Lam yang
mengenal kebiasaan dalam Rimba Persilatan, jadi agak tenteram hatinya. "Benar!" teriaknya.
"Sebagai ketua dari suatu partai, kau tidak boleh menarik pulang janjimu sendiri!"
Hongsek melotot dan berkata pula dengan suara dingin: "Bocah itu tak perlu digubris olehku.
Tapi kau berhutang denganku dan hutang itu mesti dibayar." Apa yang dimaksudkannya adalah
jarum beracun yang dulu pernah dilepaskan oleh Kim Sie Ie, sehingga hampir-hampir ia mendapat
luka.
Kim Sie Ie lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" serunya. "Sesudah minum
beberapa cawan, aku memang sedang mencari-cari manusia untuk melampiaskan rasa mendelu
dalam hatiku."
Bukan main gusarnya si imam. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengebut dengan
hudtim-nya. Dengan jungkir balik Kim Sie Ie lompat melewati meja seraya berteriak: "Jangan
ganggu Kang Lam! Bagaikan kilat, jerijinya menotok jalanan darah Koangoan hiat, di pergelangan
tangan si imam. Buru-buru Hongsek menarik pulang senjatanya mengerahkan lweekang, sehingga
benang-benang hudtim buyar terpencar untuk menggulung tangan musuh. Tapi di luar dugaan,
totokan Kim Sie Ie hanya serangan gertakan dan begitu lekas si imam menarik pulang senjatanya,
dengan sekali menjungkir balik, ia sudah berada di tembok seberang dan mengambil tongkatnya
yang disenderkan di dinding itu.
Hongsek jadi semakin kalap dan terus memburu.
"Eh!" kata Kim Sie Ie dengan suara mengejek. "Mari kita berkelahi di luar!"
Si imam yang kuatir diliciki lagi, lantas saja melompat dan menghadang di tengah pintu. Pemilik
warung arak yang ketakutan setengah mati, berteriak dengn suara gemetaran: "Tuan-tuan,
modalku kecil, mohon tuan-tuan... berkelahi... di luar!"
Hongsek mengebas tangan jubahnya dan sepotong emas terbang jatuh ke atas meja. "Jangan
rewel! Aku ganti segala kerusakan!" bentaknya.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie. "Eh, hitung juga arak yang sudah diminum olehku. Apa cukup?"
"Cukup, cukup!" jawab si pemilik warung arak sambil menjumput potongan emas itu dan lalu
lari bersembunyi di belakang meja.
Dua kali Kim Sie Ie mengayun tongkat dan dua meja terpukul hancur. "Jika Toaya rela
mengeluarkan uang, biarlah aku menemani kau untuk main-main sedikit," katanya sambil tertawa
terbahak-bahak. Hongsek yang sungkan tarik urat lagi, lantas menghantam dengan hudtim-nya.
Mereka segera bertempur dengan serunya. Tongkat Kim Sie Ie adalah senjata "keras", sedang
hudtim si imam merupakan senjata "lembek" dan karena kedua lawan itu adalah ahli-ahli silat
kelas utama, maka pertempuran itu adalah pertempuran yang jarang terlihat dalam Rimba
Persilatan. Tapi biar bagaimanapun juga, Hongsek yang mempunyai latihan puluhan tahun lebih
unggul setingkat daripada lawannya yang masih berusia muda. Sesudah lewat tiga puluh jurus,
benang-benang hudtim yang sebentar buyar dan sebentar bersatu, berkelebat-kelebat bagaikan
kilat di seputar tongkat. Setiap kali senjata Kim Sie Ie menyentuh hudtim, tenaganya yang dahsyat
lantas saja amblas di antara ribuan benang. Tanpa memiliki lweekang yang cukup tinggi, siang-
siang ia sudah roboh.
Sementara itu, Yo Lioe Tjeng dan puterinya sudah pindah duduk ke sudut tembok dan
menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian. Biarpun ilmu silat nyonya itu belum mencapai
puncak tertinggi, akan tetapi, sebagai turunan seorang ahli silat kenamaan, dengan sekali lihat, ia
dapat membedakan tinggi rendahnya kepandaian orang dan dapat pula menaksir jalannya sesuatu
pertempuran. Demikianlah, selagi Kim Sie Ie terdesak, tanpa merasa ia berkata: "Jika hudtim
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

menyapu Pekhay hiat dan gagangnya menotok Hiankie hiat, bocah itu akan roboh." Benar saja,
Hongsek menyerang sesuai dengan apa yang dikatakan Yo Lioe Tjeng.
Pada detik yang berbahaya, sekonyong-konyong Kim Sie Ie membungkuk sambil menekan
tanah dengan tongkatnya dan sesaat itu juga, badannya terputar. "Belum tentu roboh!" teriaknya
sambil tertawa. Hampir berbareng, tiba-tiba terdengar suara "fui!" dan ludah Kim Sie Ie
menyambar Hongsek.
Bukan main kagetnya si imam yang segera memutar senjatanya bagaikan titiran untuk
melindungi diri. Mendadak, seraya tertawa terbahak-bahak, Kim Sie Ie melompat tinggi dan di lain
detik, tangan kanannya sudah mencekal pedang besi, sedang tangan kirinya memegang tongkat
yang sebenarnya adalah sarung pedang.
Sesudah bersenjatakan tongkat dan pedang, ia lalu menyerang dengan beringas dan saban-
saban menyemburkan jarumnya. Diserang cara begitu, mau tak mau si imam jadi bingung, karena
ia harus sangat berhati-hati terhadap senjata rahasia si pengemis kusta yang sangat beracun.
Puluhan jurus kembali lewat, tanpa ada yang keteter.
Sesudah menonton beberapa lama, tiba-tiba Yo Lioe Tjeng mengeluh: "Celaka! Jika si gila
memperoleh kemenangan, aku dan anakku bisa celaka. Paling baik aku menyingkir sekarang."
Memikir begitu, ia lantas saja bangun dari tempat duduknya. Tapi, segera juga ia terkejut, karena
pendeta kawannya Hongsek sedang mengawasinya dengan sorot mata dingin!
Waktu hweeshio itu, yang bertubuh jangkung, masuk dan duduk tanpa mengeluarkan sepatah
kata, ia tidak memperhatikannya. Tapi sekarang, melihat sorot matanya yang tajam bagaikan
pisau, ia terkesiap, karena yakin, bahwa pendeta itu bukan orang sembarangan. Ia tertawa seraya
berkata: "Thaysoe, aku minta permisi untuk lewat."
Hweeshio itu mendelik. "Lie Kiesoe," katanya. "Apa kau masih mengenali Tang Thay Tjeng?"
Jantung Yo Lioe Tjeng lantas memukul keras.
Tang Thay Tjeng adalah murid kepala dari Patpie Sinmo Sat Thian Tjek (si Memedi Berlengan
Delapan). Pada tiga puluh tahun lebih berselang, waktu Yo Lioe Tjeng baru berusia enam belas
tahun, ia telah mengikut ayahnya, Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng, pergi ke gunung Thayheng san
untuk menghadiri perhimpunan besar antara jago-jago silat di lima propinsi Tiongkok Utara. Ketika
itu, Tang Thay Tjeng dan gurunya, yang mengabdi kepada Soehongtjoe (putera kaizar yang ke
empat) In Tjeng, telah menerima perintah untuk pergi ke Thayheng san guna membasmi jago-
jago silat itu. Di tengah jalan, Yo Tiong Eng dan puterinya bertemu Tang Thay Tjeng dan dalam
pertempuran yang terjadi, mereka hampir-hampir celaka. Untung juga keburu datang pertolongan
dari Lioe Sian Kay dan Tan Hian Pa, dua antara Kwantong Soehiap (Empat Pendekar Kwantong),
sehingga orang she Tang itu bisa dipukul mundur. Dalam pertempuran, dengan menggunakan
Tiattjiang (Pukulan besi) Yo Tiong Eng telah menghantam lengan kanan lawannya yang menjadi
patah dan tidak dapat digunakan lagi. Sebagai jago yang pernah bertempur ratusan kali, Yo Tiong
Eng segera melupakan kejadian itu dan ia juga tak tahu, bahwa pukulannya telah mengakibatkan
bercacatnya Tang Thay Tjeng.
Walaupun hatinya kaget, paras muka Yo Lioe Tjeng tetap tenang, la mundur dua tindak seraya
berkata: "Tiga puluh tahun kita tak pernah bertemu muka Tidak dinyana, sekarang Thaysoe sudah
menjadi orang beribadat. Untuk kejadian yang menggirangkan ini aku memberi selamat."
Tang Thay Tjeng tertawa dingin. "Bahwa aku sekarang berkeadaan begini, adalah hadiah dari
ayahmu," katanya dengan suara tawar. "Lie Kiesoe, aku bukan pendeta suci. Aku tak dapat
menerima pujianmu yang terlalu tinggi."
Nyonya itu yakin, bahwa satu pertempuran tak dapat dielakkan lagi. Sambil mencekal busur
dan peluru erat-erat, ia berkata: "Apa benar-benar Thaysoe tak mau minggir?"
Tan Thay Tjeng dongak dan menghela napas. "Sayang! Sungguh sayang!" katanya.
"Sayang apa?" tanya Yo Lioe Tjeng.
"Sayang ayahmu sudah meninggal dunia," jawabnya. "Aku tak bisa mengantarnya dan juga tak
bisa menerima lagi pelajaran Tiattjiang Sintan."
Alis Yo Lioe Tjeng berdiri bahna gusarnya. "Biarpun ayahku sudah tak ada lagi dalam dunia,
ilmu Tiattjiang Sintan tak jadi musnah," katanya dengan suara nyaring.
"Jika kau masih ingin meminta pelajaran, pelajaran itu bisa diberikan sekarang juga." Berbareng
dengan suara menjepretnya busur, peluru Sintan menyambar-nyambar bagaikan hujan gerimis,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sehingga tak perduli ia berkelit ke jurusan mana, badan si pendeta tak akan terluput dari
sambaran peluru.
Tiba-tiba sambil berteriak nyaring, Tang Thay Tjeng mengebas dengan tangan kanannya.
"Biarpun mempunyai ilmu weduk, dia tak akan bisa menahan serangan peluruku," kata Lioe Tjeng
dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa dalam ilmu melepaskan peluru, nyonya itu telah berlatih
puluhan tahun, sehingga Sintan yang dilepaskannya bertenaga dahsyat luar biasa dan sukar
dipunahkan, biarpun oleh orang-orang yang memiliki ilmu Kimtjiongto atau Tiatposan (ilmu
weduk).
Mendadak terdengar serentetan suara yang sangat nyaring, seperti juga peluru-peluru itu
membentur logam. Bukan main terkejutnya Yo Lioe Tjeng. Belum pernah ia mendapat pengalaman
yang begitu luar biasa.
Tang Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak. "Sungguh sayang!" teriaknya. "Ilmu melepaskan
Sintan dari keluarga Yo, semakin lama jadi semakin merojan." Ia melompat dan tangannya
menyambar.
Melihat ibunya berada dalam bahaya, Tjee Tjiang Hee menghunus golok dan sambil meloncat,
membabat lengan musuh. "Trang!", mata golok melengkung, telapakan tangan si nona terbeset
dan mengeluarkan darah!
Yo Lioe Tjeng terperanjat. Cepat bagaikan kilat, ia menyodok dengan busur dan menghantam
dengan tangan kanannya. Meskipun kepandaiannya belum cukup tinggi untuk melayani jago silat
utama pada jaman itu, Yo Lioe Tjeng mempunyai banyak pengalaman. Ia mengetahui, bahwa di
lengan kanan Tang Thay Tjeng mesti bersembunyi apa-apa yang luar biasa, maka tangannya
menghantam jalanan darah Samtjiauw hiat di dada musuh, sedang busurnya menyodok leher
pendeta itu.Kedua serangan yang dikirim dengan berbareng, hebat bukan main, sehingga Tang
Thay Tjeng terpaksa melepaskan Tjiang Hee dan melompat mundur.
"Hee-djie, lekas lari!" berseru si ibu. Ia yakin, bahwa ilmu silatnya tidak dapat menandingi
musuh dan guna menolong puterinya, ia menggunakan taktik gerilya. Sesudah lewat beberapa
jurus, lengan kanan si pendeta yang bisa terputar-putar, mendadak terbalik dan menyapu dengan
kecepatan luar biasa. Pada detik itu, busur Yo Lioe Tjeng yang sedang menyambar ke jalanan
darah Pekhouw hiat di janggut musuh, kena tersampok dan sambil mengeluarkan suara nyaring,
lantas patah dua.
Tjee Tjiang Hee yang baru lari sampai di pintu, kaget tak kepalang dan segera melompat balik
untuk membantu ibunya. Muka Yo Lioe Tjeng berubah pucat dan sambil menimpuk dengan busur
buntung, ia menerjang dan menghantam dengan tangan kanannya. Nyonya Tjee bergerak cepat,
tapi musuhnya lebih cepat lagi. Sambil menunduk untuk mengelakkan sambaran busur buntung,
lengan kanan Tang Thay Tjeng menyambar ke tulang kipas Tjiang Hee. Serangan itu sudah tak
dapat dikelit lagi dan jika tulang kipasnya terpukul hancur, ilmu silat si nona akan menjadi musnah
sama sekali.
Pada detik yang sangat berbahaya, tiba-tiba Kim Sie le menjungkir balik dan sebelum kedua
kakinya hinggap di lantai, tongkatnya sudah menotok dada Tang Thay Tjeng. Sambil
mengeluarkan teriakan keras, pendeta itu melompat tinggi dan Tjee Tjiang Hee tertolong.
Itulah perkembangan yang tidak diduga-duga oleh Yo Lioe Tjeng, yang tadinya menganggap
Kim Sie
Ie sebagai musuh. Di lain saat, dengan tongkat dan pedang besi, pemuda itu sudah mengirim
serangan berantai, sehingga Tang Thay Tjeng terdesak sampai di pinggir tembok. Pada waktu itu,
Yo Lioe Tjeng dan puterinya sebenarnya mendapat kesempatan baik untuk melarikan diri, tapi
mereka sungkan berbuat begitu.
"Hei! Siapa gurumu?" teriak Tang Thay Tjeng.
"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah seraya berkata dengan suara dingin: "Perlu apa kau
tanya-tanya guruku?"
Si pendeta yang rupanya mengetahui, bahwa ludah musuh mengandung jarum beracun, buru-
buru menangkis dengan lengan kanannya. Beberapa suara "tring" terdengar, seperti jarum
melanggar logam.
"Tahan!" teriak Tang Thay Tjeng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kim Sie Ie tak meladeni dan terus menyerang. Tiba-tiba, tanpa memutar badan, pedangnya
menyampok ke belakang untuk menangkis hudtim Hongsek Toodjin yang membokong dari
belakang dan berbareng, dengan pukulan Tokliong tjoettong (Naga beracun keluar dari lubang), ia
menyodok dada Tang Thay Tjeng.
Untuk mengerti tindakan Kim Sie Ie, orang harus mengetahui, bahwa jalan pikiran pemuda itu
adalah lain daripada orang biasa. Dulu, karena Yo Lioe Tjeng adalah puteri seorang kenamaan,
maka ia sudah sengaja mempermainkannya. Tapi sekarang, melihat nyonya itu sangat membenci
dirinya, ia berbalik memberi pertolongan, supaya nyonya itu mendapat malu. Di samping itu,
melihat rasa takut Tjee Tjiang Hee terhadap dirinya, ia ingat perkataan Lie Kim Bwee dan dalam
hatinya lantas timbul rasa menyesal akan perbuatannya yang dulu-dulu. Itulah sebabnya, kenapa,
tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri, ia segera memberi pertolongan.
Di lain pihak, sebagai orang yang berkedudukan tinggi, sebenarnya Hongsek sendiri merasa
bahwa tak pantas dua pentolan mengerubuti seorang pemuda. Akan tetapi, karena kawannya
berada dalam bahaya, terpaksa ia menyerang dari belakang. Bokongan itu tidak bermaksud untuk
mencelakakan Kim Sie Ie dan ia hanya menggunakan separuh tenaga, untuk menolong Tang Thay
Tjeng.
Tapi, di luar dugaan, Kim Sie Ie yang sudah mengambil putusan untuk lebih dulu
membinasakan Tang Thay Tjeng, tidak kena ditahan dengan serangan itu. Tanpa memutar badan,
ia menangkis hudtim dengan pedangnya, sedang kakinya melompat terus dan tongkatnya, yang
dicekal dengan tangan kiri, menyodok dada Tang Thay Tjeng.
Itulah sodokan yang sangat hebat dan ia menduga, bahwa musuhnya pasti akan binasa. Tapi
pada detik yang sangat berbahaya, Tang Thay Tjeng mengebas dengan lengan kanannya dan
dengan satu suara "trang!" tongkat Kim Sie Ie terpental balik!
Kim Sie Ie kaget tak kepalang. Kejadian itu sungguh-sungguh di luar taksiran. Menurut
perhitungan biasa, tangan manusia yang terdiri dari darah dan daging tak akan bisa menangkis
tongkat itu yang terbuat dari besi.
Sedang ia masih belum hilang kagetnya, mendadak terjadi lain kejadian yang lebih
mengejutkan. Sekonyong-konyong lengan kanan Tang Thay Tjeng mulur kira-kira satu kaki
panjangnya dan dari suatu posisi yang mustahil, tangannya menyambar ke pundak Kim Sie Ie.
Dalam pertempuran antara jago dan jago, menang kalahnya sering-sering diputuskan atas
perbedaan seujung rambut. Demikianlah, biarpun sangat liehay dan berhati-hati, serangan itu tak
dapat dielakkan lagi oleh Kim Sie Ie. Ketika tangan musuh menyentuh pundaknya, ia merasa
seperti dilanggar dengan benda yang dingin. Hampir berbareng, hudtim

Hongsek Toodjin juga menyambar dan ribuan benangnya yang terbuka lebar, seolah-olah
selembar jala yang sedang menungkrupnya.
Kim Sie le mencelos hatinya. "Tak dinyana jiwaku melayang di tempat ini!"
Sekonyong-konyong, kupingnya mendengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul dengan
suara seorang wanita yang sangat merdu: "Jangan takut!" Hampir berbareng, Tang Thay Tjeng
dan Hongsek Toodjin melompat menyingkir!
Bagaikan di dalam mimpi, Kim Sie Ie membuka kedua matanya lebar-lebar dan ternyata, bahwa
orang yang sudah menolong jiwanya bukan lain daripada Phang Lin dan puterinya!
Yo Lioe Tjeng jadi seperti orang kalap, bahna girangnya. "Eng-moay!" teriaknya. "Apa Siauw
Lan datang bersama-sama kau?"
Phang Eng dan Phang Lin adalah saudara kembar yang mukanya sangat mirip satu sama lain,
sehingga, kecuali suami dan anak sendiri, orang lain sering salah mata.
Mendengar Yo Lioe Tjeng menganggap dirinya sebagai kakaknya, Phang Lin tersenyum seraya
berkata: "Kau masih ingat Tong Siauw Lan? Hi-hi! Tidak, ia tak turut datang." Ia menoleh kepada
Tang Thay Tjeng. "Lengan tanganmu sungguh luar biasa. Boleh aku pinjam lihat?" katanya.
Hongsek Toodjin tak tahu siapa adanya nyonya itu. la terkejut dan hatinya ciut karena dengan
satu kebasan baju saja, hudtim-nya telah terpukul terpental. Tapi melihat sikap Phang Lin yang
seakan-akan tidak memandang sebelah mata kepadanya ia lantas saja menjadi gusar. "Kim Sie
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

le!" bentaknya. "Biarpun kau mempunyai senderan kuat, sedikitpun aku tidak takut. Mari! Mari kita
bertempur lagi. Kau boleh minta bantuan dari senderanmu." Sehabis berkata begitu, ia menerjang
dan menghantam dengan senjatanya.
Melihat kedatangan Phang Lin dan puterinya, Kim Sie Ie jadi seperti orang linglung, sehingga ia
terus berdiri bagaikan patung waktu hudtim menyambar.
"Hidung kerbau! Jaga pedangku!' berseru Lie Kim Bwee sambil menangkis dengan pedangnya
dan terus menyerang. Harus diketahui, bahwa walaupun lweekang si nona belum seberapa tinggi,
tapi ilmu pedangnya, yaitu kiamhoat dari Pekhoat Molie, sangat luar biasa dan mempunyai
perubahan-perubahan yang diluar dugaan. Maka itu, biarpun Hongsek pernah berlatih puluhan
tahun dalam hutan batu, dalam gebrakan-gebrakan pertama, ia telah terdesak mundur.
Sementara itu, sambil tertawa haha-hihi dan mengawasi Tang Thay Tjeng dengan sikap seperti
kucing tengah mempermainkan tikus, Phang Lin membuka ikatan pinggangnya yang terbuat dari
sutera berwarna. Ia tidak lantas menyerang, tapi memperhatikan gerak-gerik pendeta itu.
Antara beberapa orang itu, yang paling bergirang adalah Yo Lioe Tjeng. Ia menarik tangan
puterinya dan berkata seraya tertawa: "Dengan datangnya Tong Pehbo, kita tak usah takut lagi
terhadap siapapun juga." Dengan Phang Eng, ia sebenarnya mempunyai ganjelan di waktu muda.
Tapi sesudah masing-masing menikah, semua ganjelan itu telah tersingkirkan. Ia tak tahu, bahwa
yang dianggapnya sebagai Phang Eng, sebenarnya adalah Phang Lin.
Di lain pihak, sesudah berdiri bengong beberapa lama, Kim Sie Ie berkata dalam hatinya:
"Sesudah ibu dan anak itu datang, perlu apa aku berdiam lama-lama disini?" Dengan sekali
menotok tongkat di lantai, badannya melesat dan ia terus kabur.
"Eh, jangan lari!" berteriak Phang Lin. "Sesudah makan yowan-ku, kau masih belum
menghaturkan terima kasih." Ia mengenjot badan untuk mengubar, tapi baru ia bergerak, tangan
kanan Tang Thay Tjeng sudah menyambar kepalanya.
"Bagus!" serunya. "Biar aku putuskan dulu cakarmu dan kemudian barulah mengubar dia."
Dengan sekali menggentak, ikatan pingangnya sudah melibat lengan aneh itu.
Di lain saat, mereka sama-sama terkejut. Lengan kanan Tang Thay Tjeng sebenarnya satu
senjata yang sangat liehay dan cengkeraman itu mempunyai tenaga ribuan kati. Maka itu, ia kaget
bukan main karena, begitu dilibat dengan ikatan pinggang, lengan itu tidak dapat bergerak pula.
Phang Lin pun tidak kurang kagetnya. Ia yakin, bahwa ilmu silat si pendeta masih lebih rendah
dari kepandaian Kim Sie Ie. Tapi, waktu ikatan pinggangnya melibat dan membetot lengan itu,
yang keras bagaikan besi, si pendeta sama sekali tidak memperlihatkan rasa sakit. Harus diingat,
bahwa ilmu Hoeihoa Tjekyap sudah dilatih oleh Phang Lin sampai di puncak kesempurnaan,
sehingga jago seperti Hiatsintjoe masih tidak dapat melawannya.
Sebagaimana diketahui, nyonya Lie Tie mempunyai sifat kekanak-kanakan yang masih tetap
melekat sampai ia berusia setengah umur. Menghadapi lawan yang berat, kegembiraannya timbul
dan ia segera melupakan hal mengubar Kim Sie Ie. "Lenganmu benar-benar luar biasa," katanya
sambil tertawa. "Tak dapat tidak, aku mesti meminjamnya." Dengan sekali mengendorkan dan
menggentak, ikatan pinggang itu naik ke atas kurang lebih tiga dim. Ia membetot, tapi lengan si
pendeta tetap tidak bergeming. Ikatan pinggang itu sekali lagi naik ke atas, sehingga hampir
sampai di pundak.
Mendadak, Tang Thay Tjeng menggoyang pundak sambil membentak keras: "Ambillah!"
Hampir berbareng, lengan itu copot dari pundaknya dan terbang menyambar muka Phang Lin.
Nyonya Lie Tie terkejut bukan main, tapi sebagai ahli silat jempolan, ia tak jadi gugup dan lalu
menyambutnya dengan
menggunakan ilmu Kimkongtjie. Ternyata lengan itu yang berwarna hitam mengkilap terbuat
dari besi! Phang Lin tertawa seraya berkata: "Tak heran aku tak dapat membetotnya."
Sedari tulang lengannya dipukul patah oleh Yo Tiong Eng, Tang Thay Tjeng tidak dapat
menggunakan lengan itu sebagaimana biasa, biarpun tulangnya sudah bersambung pula. Dalam
jengkelnya, ia memutuskan lengan itu yang lalu ditukar dengan lengan besi. Kemudian ia
mencukur rambut,
menyembunyikan diri dan sesudah berlatih kurang lebih tiga puluh tahun, ia memperoleh ilmu
Tiatpie Sinkang, yaitu ilmu untuk menggunakan lengan besi sebagai senjata. Dengan kepercayaan,
bahwa ia sekarang bisa menjagoi dalam kalangan Kangouw, sekali lagi ia muncul dalam dunia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Rimba Persilatan. Tapi di luar dugaan, dalam pertempuran pertama, lengan besi itu sudah direbut
Phang Lin.
Sambil membulak-balik lengan itu, Phang Lin berkata dengan suara sungguh-sungguh: "Tak
mudah kau melatih lengan ini sehingga tiada bedanya seperti lengan tulen. Eh, bagaimana kau
melatihnya? Paling benar kau membacok putus lengan kirimu dan menukarnya dengan lengan
besi. Bukankah kau akan dua kali lipat lebih liehay daripada sekarang?"
Tang Thay Tjeng meringis, ia tak tahu apa mesti tertawa atau menangis. "Pulangkanlah
lenganku," katanya. "Sekarang baru aku tahu, bahwa dalam dunia ada ilmu yang begitu tinggi,
sehingga, biarpun aku berlatih lagi tiga puluh tahun, tak dapat aku menandingi kau."
Mendengar pujian itu, Phang Lin jadi girang. "Bagus! Kalau begitu, kau masih mempunyai otak
yang sehat," katanya sambil mengebas tangan, sebagai isyarat bahwa pendeta itu boleh berlalu.
Tapi mendadak ia membentak: "Tahan!"
Baru saja ia ingin menanya, kenapa si pendeta bertempur dengan Kim Sie Ie, tiba-tiba
terdengar teriakan puterinya yang tengah bertanding melawan Hongsek: "Ibu! Hidung kerbau ini
liehay sekali!"
"Liehay bagaimana?" tanya sang ibu, yang sambil menuding Tang Thay Tjeng dengan lengan
besi itu, menyambung perkataannya: "Orang yang suka berkelahi seperti kau, tentunya bukan
manusia baik-baik. Sekarang aku menjatuhkan hukuman berdiri terhadapmu. Jika kau berani
bergerak atau kabur, aku akan putuskan lengan kirimu."
Waktu itu, Tang Thay Tjeng sudah berusia hampir enam puluh tahun, sedang usia Phang Lin
baru kira-kira empat puluh tahun. Tapi ia menggunakan perkataan dan cara seorang guru yang
sedang menghukum muridnya. Tjee Tjiang Hee tak bisa menahan rasa gelinya dan lantas saja
tertawa terpingkal-pingkal. Alis Yo Lioe Tjeng berkerut dan ia berkata dalam hatinya: "Heran!
Kenapa sifat-sifat Phang Eng jadi berubah sama sekali?'
Sementara itu, Lie Kim Bwee sudah jadi repot sekali dan ia berkelahi sambil mundur karena
didesak keras oleh Hongsek Toodjin. Meskipun si nona memiliki kiamhoat yang sangat liehay, tapi
sebab lweekang-nya masih kalah jauh dari lawannya, maka sesudah lewat belasan jurus, Hongsek
sudah bisa lihat kelemahannya dan terus mencecer dengan pukulan-pukulan hebat. Lewat
beberapa saat lagi, napas si nona tersengal-sengal dan keadaannya mulai berbahaya.
"Hm! Bocah! Kau ternyata masih memerlukan juga ibumu," kata Phang Lin seraya tertawa.
"Sudahlah! Tak perlu bantuanmu!" berteriak si nakal dengan suara mendongkol. Selagi
berteriak begitu, hudtim musuh mendadak menyambar, sehingga hampir-hampir pedang
Tjengkong kiam kena terkebut jatuh.
"Kenapa kau tidak menggunakan ilmu Tiamhoat (Ilmu menotok jalanan darah) yang diajarkan
olehku?" kata sang ibu. "Lebih dulu hajar dengan Pengho kiattang (Sungai es melumer), kemudian
susul dengan Ginhan hoeiteh (Bima Sakti membentang di udara). Bagus! Tak salah! Balik
tanganmu dan totok Pekhay niatnya!"
Si nona yang sedang mendongkol sebenarnya sungkan menerima petunjuk ibunya, tapi
ternyata ia terpaksa menggunakan juga pukulan-pukulan itu. Tiamhoat yang diturunkan Phang Lin
kepada puterinya, telah digubah olehnya di gunung Gobie san dengan menggunakan tempo
beberapa hari dan tujuannya adalah untuk menghadapi Kim Sie Ie. Benar saja, dengan
menggunakan Tiamhoat itu dan kiamhoat dari Pek hoat Mo lie, serangan-serangan Hongsek
segera menjadi punah.
"Lihatlah!" kata sang ibu sambil tertawa. "Bukankah kau bisa melawan dia dengan mudah
sekali? Aku ingin kau merobohkannya dengan menggunakan tenaga sendiri. Ha! Kau mengerti?
Tak bisa kau terus mengandalkan ibu seumur hidup!"
Melihat dirinya dijadikan alat untuk berlatih, darah Hongsek Toodjin meluap-luap dan dalam
kalapnya, hampir-hampir jalanan darahnya tertotok. Buru-buru ia mengempos semangat dan
memperbaiki kedudukannya. Sambil memberi petunjuk, Phang Lin sendiri memperhatikan ilmu
silat musuh. Lewat beberapa saat, ia mengeluh: "Celaka! Si hidung kerbau benar liehay. Jika
pertempuran berlangsung lama, Bwee-djie akan kalah." Tapi sebab sudah mengatakan, bahwa ia
ingin puterinya menjatuhkan musuh dengan tenaganya sendiri, maka ia merasa malu hati untuk
memberi bantuan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, tiba-tiba Kim Bwee berteriak: "Ibu! Kenapa kau
melepaskan Sie le-ko?"
Sang ibu kaget. "Benar! Biaraku susul padanya!" katanya. "Kimtjiam touwsian (Benang
menusuk jarum emas), Gioklie tauwso (dewi menenun), Toamo hoyan (Asap mengepul di gurun),
Tiangho lokdjit (Matahari turun di sungai)! Sesudah itu, totok Pekyang hiat-nya!"
Sesuai dengan petunjuk ibunya, si nona segera menyerang dengan empat pukulan yang hebat
itu, sehingga Hongsek jadi ripuh sekali. Tapi biarpun repot, garis pembelaannya masih tetap rapat
dan sambil berkelit ke kiri-kanan, hudtim melindungi bagian-bagian tubuhnya yang penting.
"Bagaimana aku dapat menotok Pekyang hiat yang terletak di bawah teteknya?" Kim Bwee
menanya dirinya sendiri. Sekonyong-konyong, entah kenapa, benang-benang hudtim membuyar
dan dada Hongsek terbuka lebar. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik itu, jeriji Kim Bwee
menyambar tepat ke jalanan darah Pekyang hiat dan si imam tak dapat bergerak lagi! Si nona
tidak mengetahui, bahwa kemenangannya sudah didapat berkat bantuan sang ibu yang diam-diam
sudah meniup hudtim musuh.
Sesudah Hongsek tidak berdaya, dengan cepat Phang Lin berlari-lari, tapi apa yang tertampak
hanyalah lapangan-lapangan rumput dan lereng gunung, sedang Kim Sie Ie sudah tak kelihatan
bayang-bayangannya lagi. "Celaka! Ini semua adalah gara-garanya si keledai gundul!" katanya di
dalam hati. Ia sama sekali tidak mau mengakui, bahwa kesalahan itu sebagian besar terletak pada
dirinya sendiri.
Selagi ia kembali dengan uring-uringan, mendadak terdengar teriakan puterinya: "Ibu! Keledai
gundul kabur!"
Dengan gusar Phang Lin mengudak. Dalam jarak belasan tombak, ia menimpuk dengan lengan
besi dan hampir berbareng, melontarkan ikatan pinggangnya. "Bagus!" teriaknya. "Kau berani
melanggar perintahku? Tinggalkan lengan kirimu!"
Bagaikan kilat, lengan besi itu menyambar dan menurut perhitungan, Tang Thay Tjeng tak
akan bisa berkelit lagi. Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya, tubuh si pendeta melesat ke
tengah udara dan dengan "terbang" memutar, ia berhasil menyelamatkan dirinya.
Phang Lin kaget bukan main. Untuk sejenak, ia mengawasi dengan mulut ternganga. "Eh, dari
mana kau mendapat ilmu menubruk Niauw-eng?" tanyanya.
"Patpie Sinmo Sat Thian Tjek adalah guruku," jawabnya.
Phang Lin mengeluarkan seman kaget, badannya mendadak melesat ke atas dan ia juga
terbang bagaikan burung Niauw-eng. Dengan sekali mengedut, ikatan pinggangnya sudah melibat
lengan kiri Tang Thay Tjeng, tapi sebaliknya dari menggentak dengan menggunakan tenaga, ia
tertawa seraya berkata: "Sayang kau belum mahir betul. Nah! Sekarang ikutlah aku ke warung
arak." Sambil berkata begitu, ia melepaskan libatan ikat pinggangnya dari lengan si pendeta.
Tang Thay Tjeng kaget tercampur takut. Sambil memungut lengan besinya, ia melirik Phang Lin
yang paras mukanya tenang, sehingga hatinya jadi lebih lega. "Dari mana dia mendapat ilmu itu?"
tanyanya di dalam hati. "Apa dia mempunyai sangkut paut dengan guruku? Tapi kenapa ilmu
silatnya tidak mirip-mirip dengan ilmu silat guruku?" Ia tak berani menanya dan dengan
menundukkan kepala, ia lalu mengikuti nyonya itu kembali ke warung arak.
"Apa dia kawanmu?" tanya Phang Lin seraya menuding Hongsek.
"Benar," jawabnya.
Sambil menotok dan membuka jalanan darah si imam, Phang Lin berkata pula: "Bagus! Aku
juga undang kau minum bersama-sama."
Hongsek merasa dadanya seperti mau meledak, tapi ia tidak berani mengunjuk kegusaran,
karena, jika membantah, ia kuatir mendapat malu yang lebih hebat.
Dengan hati gembira, Phang Lin segera memerintahkan pelayan mengatur dua meja dan
menyediakan arak. Ia dan puterinya duduk di kepala meja, sedang Hongsek dan Tang Thay Tjeng
diundang duduk di kiri-kanannya. Yo Lioe Tjeng, Tjee Tjiang Hee dan Kang Lam diperintah duduk
di meja yang satunya lagi. Semua orang segera mengambil tempat duduknya dengan hati tak
enak, tapi tiada satu yang berani membantahnya.
"Sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan – aku menanya sepatah, kau jawab sepatah,"
kata Phang Lin dan kemudian sambil menuding Tang Thay Tjeng, ia berkata pula: "Kenapa kau
berkelahi dengan Kim Sie Ie?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Siapa Kim Sie Ie?" si pendeta balas menanya.


"Jangan berlagak gila!" membentak Phang Lin dengan gusar. "Kim Sie Ie adalah pemuda yang
tadi bertempur dengan kau."
"Murid siapa dia?" Tang Thay Tjeng menanya lagi.
Nyonya Lie Tie mendelik. "Eh, apa aku yang tanya kau atau kau yang tanya aku?" katanya.
"Jika kau rewel lagi, aku akan putuskan lengan kirimu. Lekas jawab!
Kenapa kau berkelahi dengan Kim Sie Ie?'
"Aku dan Yo Liehiap main-main sedikit dan itu sebenarnya bukan urusannya," menerangkan si
pendeta. "Aku pun tak tahu, sebab apa ia menyerang diriku."
Phang Lin menengok ke arah Yo Lioe Tjeng. "Aku tak tahu, kau dan Kim Sie Ie adalah sahabat
baik," katanya. Diam-diam hatinya berkuatir, kalau-kalau Yo Lioe Tjeng juga penuju pemuda itu
dan ingin mengambil sebagai menantu.
"Siapa sahabat dia?" kata Yo Lioe Tjeng. "Dia malahan pernah menghina kami."
"Kenapa Tang Thay Tjeng berkelahi dengan kau?' Phang Lin menanya pula.
"Pada tiga puluh tahun lebih berselang, ayahku pernah melukakan dia," jawab Yo Lioe Tjeng.
"Waktu itu kau baru berusia setahun dan Siauw Lan telah membawa kau lari. Ayah dan aku telah
bertemu Siauw Lan di rumah penginapan itu. Kejadian pada hari itu telah disaksikan oleh Siauw
Lan sendiri dan jika kau tanyakan, dia tentu masih ingat semua kejadiannya. Jika diteliti, Tang
Thay Tjeng masih boleh dianggap sebagai salah satu musuhmu."
Phang Lin bengong. Ia tak nyana, bahwa pendeta itu adalah salah seorang musuhnya.
Sesaat itu, depan matanya segera terbayang kejadian-kejadian pada tiga puluh tahun lebih
yang lampau. Waktu ia dan kakaknya (Phang Eng) baru berusia satu tahun, rumah tangganya
diubrak-abrik oleh Soehongtjoe In Tjeng dan ayahnya binasa. Ia sendiri ditolong oleh Tjiong Ban
Tong, pemimpin partai Boekek pay, sedang Phang Eng telah dibawa lari oleh Tong Siauw Lan.
Belakangan ia telah diculik dan dibawa ke pulau Niauw-cng oleh Patpie Sinmo yang
memeliharanya seperti anak sendiri. Sesudah berdiam di pulau itu beberapa lama, barulah ia
dibawa ke gedung In Tjeng. Ia baru bertemu dengan kakaknya, sesudah berpisahan kurang lebih
dua puluh tahun. Biarpun ayahnya bukan dibinasakan oleh Patpie Sinmo atau muridnya, akan
tetapi karena jago-jago lima propinsi Tiongkok Utara yang terbinasa dalam tangan Patpie Sinmo
dan saudaranya, bukan kecil jumlahnya, maka sakit hati itu tidak dapat dikatakan kecil.
Ia ingat, bagaimana Sat Thian Tjek telah menurunkan ilmu silat kepadanya, bagaimana ia
mendapat banyak cintanya orang di gedung Soehongtjoe, sehingga ia bisa mempelajari macam-
macam ilmu silat yang menyeleweng, sampai akhirnya ia mendapat ilmu asli dari Boekek pay. Ia
juga ingat, bagaimana Soehongtjoe ingin memaksa untuk mengambil dirinya sebagai selir,
sehingga ia kabur dari istana kaizar. Depan matanya juga terbayang peristiwa terbinasanya Patpie
Sinmo dan saudaranya dalam tangan Phang Eng dan bagaimana, pada waktu mau melepaskan
napasnya yang penghabisan, Sat Thian Tjek telah menyerahkan sebuah mustika kepada kakaknya,
yaitu pel yang berbentuk bola yang terbuat dari ilar Niauw-eng untuk memunahkan racun ular.
Mengingat itu semua, tanpa merasa Phang Lin menghela napas panjang.
"Ibu!" kata sang puteri sambil tertawa. "Tak dinyana, kau pun bisa menemui kesukaran. Paling
benar minta Iethio dan Iebo (Tong Siauw Lan dan Phang Eng) datang kemari untuk mengadili
mereka. Menurut pendapatku, ibu tak pantas menjadi hakim."
Harus diketahui, bahwa perhubungan antara Phang Lin dan puterinya adalah lain daripada
perhubungan yang biasa terdapat antara ibu dan anak. Mereka sudah biasa bersenda-gurau dan
saling mengejek, seperti antara kawan dan kawan. Maka itulah, Phang Lin tidak menjadi gusar
karena ejekan puterinya.
Orang yang merasa heran dan tersinggung adalah Yo Lioe Tjeng. Ia heran mendengar si nona
menyebut-nyebut "Iethio" dan "Iebo" dan merasa tersinggung mendengar perkataan "mengadili",
karena dengan begitu, ia seolah-olah seorang pesakitan yang harus diadili.
"Tjeng-tjie," kata Phang Lin seraya tertawa. "Lihatlah! Anakku jadi sangat kurang ajar karena
terlalu dimanja." Tiba-tiba parasnya berubah sungguh-sungguh dan ia berkata dengan suara
keren: "A-bwee, kau kata, aku tak bisa mengadili orang. Nah, kau dengarlah! Tang Thay Tjeng,
menurut putusanku, kau memang pantas mendapat hajaran dari Yo Lootjianpwee. Mulai dari
sekarang, kau tidak boleh banyak rewel lagi. Orang-orang yang tingkatannya lebih tua semua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sudah meninggal dunia dan urusan yang terjadi pada tiga puluh tahun berselang, tidak boleh
diungkat-ungkat lagi. Tjeng-tjie, kau pun tak usah ingat-ingat lagi permusuhan lama."
Yo Lioe Tjeng yang memang sungkan memperhebat
permusuhan, lantas saja mengangguk, sedang si pendeta pun merasa girang sekali. Sambil
merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Untuk kemurahan Lie Kiesoe, pintjeng merasa sangat
berterima kasih dan sekarang juga pintjeng minta permisi untuk berangkat."
"Tunggu dulu!" kata Phang Lin.
Si pendeta terkejut dan segera berkata: "Bukankah kau sudah mengatakan, bahwa segala
permusuhan diakhiri sampai disini?"
"Karena gara-garamu, orang yang dicari olehku dengan susah payah, telah kabur," katanya.
"Meskipun kau boleh diampuni dari hukuman berat, tapi tidak bisa terlolos dari hukuman enteng.
Aku menghukum kau berdiri menghadapi tembok tiga hari lamanya. A-bwee, lihatlah! Ilmu
menotok yang biasa, paling lama tahan dua belas jam. Tapi jalanan darah yang ditotok dengan
ilmuku baru bisa terbuka sesudah lewat tiga hari." Sambil berkata begitu, tangannya bergerak
untuk mengirim totokan.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng dengan suara bingung. "Siauwtjeng mempunyai urusan yang
sangat penting. Siauwtjeng sedang mencari orang!"
"Siapa yang dicari olehmu?" tanya Phang Lin.
"Murid Tokliong Tjoentjia," jawabnya.
Phang Lin terkesiap. "Perlu apa kau mencarinya?" tanyanya.
"Semua orang tahu, bahwa Tokliong Tjoentjia adalah sahabat mendiang guruku," jawabnya.
Mendadak Phang Lin tertawa besar. "Orang beribadat tidak boleh berdusta," katanya. "Kenapa
kau berani menipu aku? Kim Sie Ie adalah murid Tokliong Tjoentjia.
Jika benar kau mau mencari dia, kenapa tadi kau bertempur dengannya?"
"Sayang! Sungguh sayang!" mengeluh si pendeta.
"Apa kau tak kenal padanya?" tanya Phang Lin.
"Jika kenal, mana bisa aku melepaskannya" jawabnya. "Tadi, melihat tongkat besinya, aku
sebenarnya sudah bercuriga, karena pada tiga puluh tahun berselang, aku pernah melihat tongkat
itu. Hanya sayang, ia terus menyerang dengan membabi-buta."
"Fui!" membentak Kim Bwee. "Jika kau tidak menghina Tjee Pehbo, dia tentu tak akan
menyerang."
Melihat ibu dan anak itu sangat memperhatikan Kim Sie Ie, Tang Thay Tjeng lantas saja
menduga, bahwa di antara mereka tentu terdapat hubungan yang rapat. Maka itu. ia tertawa
seraya berkata: "Kalau begitu, kita bukan orang luar. Biarlah aku membantu kalian mencari Kim
Sie Ie."
Sekonyong-konyong Phang Lin menggelengkan kepala seraya berkata pada dirinya sendiri:
"Tak benar... tak benar." Ia menuding si pendeta dan membentak: "Kau dusta! Tinggalkan lengan
kirimu!"
Tang Thay Tjeng terkesiap. "Kenapa dusta?" Ia menegasi.
"Tadi kau mengatakan, bahwa sesudah dihajar oleh Yo Lootjianpwee, kau mencukur rambut
dan tidak mencampuri lagi urusan dunia," kata Phang Lin. "Dengan lain perkataan, kalau kau tidak
berdusta, mulai dari waktu itu, kau tidak pernah bertemu lagi dengan Tokliong Tjianpwee."
"Benar," jawabnya.
"Tapi bagaimana kau tahu, bahwa Tokliong Tjianpwee mempunyai murid?" tanya si nyonya.
Sesudah berdiam sejenak seperti orang sangsi, Tan Thay Tjeng berkata: "Tahun yang lalu, aku
pulang ke pulau Niauw-eng to dan dalam perjalanan itu, aku sekalian mampir di pulau Tjoato
untuk menyambangi Tokliong Soepeh. Disitu aku hanya menemui kuburan Soepeh dan aku
menaksir, bahwa kuburan itu dibuat oleh muridnya. Dengan mengingat hubungan yang rapat
antara mendiang guruku dan Tokliong Tjianpwee, aku segera mengambil keputusan untuk
mencari ahli warisnya itu. Inilah keterangan yang sejujurnya, sedikitpun aku tidak berdusta.
Phang Lin tertawa dingin. "Kau bukan manusia yang berhati begitu mulia," katanya. "Dengan
mencari murid Tokliong Tjianpwee, kau pasti mempunyai maksud tertentu. Katakan saja: Kau mau
bicara sebenarnya atau tidak? Apa kau percaya bahwa tanpa menggunakan golok, aku bisa
mencopotkan lengan kirimu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Paras muka Tang Thay Tjeng sebentar pucat sebentar merah, tanpa bisa mengeluarkan
sepatah kata.
"A-bwee, geledah badannya!" memerintah sang ibu. "Aku menaksir, ia sudah mencuri apa-apa
di pulau Tjoato." Melihat lagak si pendeta yang luar biasa, Phang Lin lantas saja bercuriga.
Tan Thay Tjeng ketakutan dan buru-buru berkata: "Waktu datang di pulau Tjoato, aku
menginap semalaman di tempat Tokliong Soepeh. Disitu aku mendapatkan sejilid buku dengan
tulisan tangan Soepeh sendiri. Aku ingin menyerahkan buku itu kepada muridnya."
"Serahkan kepadaku," memerintah Phang Lin, yang kemudian berkata dalam hatinya: "Kenapa
Tokliong Tjianpwee tidak memberikan buku silatnya kepada muridnya?"
Tapi buku itu ternyata bukan kitab ilmu silat dan hanya catatan hari-hari selama beberapa
puluh tahun. Phang Lin membalik-balik lembaran dan membacanya. Bagian depan mencatat
pendaratannya di pulau Tjoato, penderitaan dan kesepiannya di pulau yang tiada manusianya itu,
kebenciannya terhadap umat manusia, caranya ia melatih ular-ular, beracun bagaimana ia
menggubah ilmu silat yang luar biasa dan sebagainya. Bagian belakang buku itu menceritakan,
bagaimana, sesudah bertemu dengan Lu Soe Nio, pikirannya jadi berubah dan ia lalu
menggunakan sisa penghidupannya untuk menolong para penderita kusta. Dalam buku itu juga
tercatat bagaimana ia telah mengambil Kim Sie Ie sebagai muridnya. Paling belakang ia mencatat
kesadarannya, bahwa lweekang yang dipelajari olehnya tidak menurut jalan yang benar dan jika
tidak mendapat pertolongan lweekang Thiansan pay, satu waktu lweekang itu pasti akan "makan"
dirinya sendiri. Ketika membaca lembaran yang terakhir, tiba-tiba saja paras Phang Lin berubah
pucat dan jantungnya memukul keras.
Apakah yang tertulis di halaman paling penghabisan itu?
Di halaman itu yang ditulis beberapa hari sebelum ia meninggal dunia, Tokliong Tjoentjia
menyatakan, bahwa ia sudah berdiam di pulau Tjoato puluhan tahun lamanya. Waktu baru
datang, hawa di pulau itu sangat dingin. Tapi semakin lama, hawa itu jadi semakin panas dan
beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia, di pulau itu muncul sejumlah umbul hangat. Sesudah
menyelidiki bertahun ia mendapat tahu rahasia perubahan itu.
Ternyata, di bawah pulau terdapat sebuah gunung berapi dan muka bumi semakin lama
semakin mumbul ke atas. Mulut gunung berapi itu terletak di tengah-tengah pulau, di bawah
sebuah lubang yang menjadi sarang ular-ular beracun dan yang dalamnya beratus tombak.
Dengan menggunakan tambang, ia pernah turun di lubang itu untuk menyelidiki. Tapi, belum
separuhnya, ia sudah merasa tidak tahan karena hawa yang sangat panas. Ia mengawasi ke
bawah dan melihat, bahwa lapisan batu di dasar lubang , berwarna merah terang saking
panasnya. Hanya karena batu itu sangat tebal, maka api dan lahar belum menyembur keluar.
Sebagai akibat dari hawa yang semakin lama jadi semakin panas, maka laksaan ular yang
bersembunyi di dalam lubang merayap ke atas, sebagian keluar dari lubang dan berkeliaran di
seputar pulau, sedang sebagian lagi bersembunyi di dinding batu, dekat mulut lubang.
Di dasar lubang terdapat satu kobakan kecil yang berisi liur (ilar) ular-ular itu, sehingga
dapatlah dibayangkan, bahwa cair itu beracun bukan main. Jika satu waktu gunung berapi itu
meledak, maka bukan saja seluruh pulau akan menjadi abu, tapi semua makhluk yang berada
dalam lautan juga akan turut musnah karena racun itu dan manusia yang bertempat tinggal di
sepanjang pantai Lautan Kuning juga akan mengalami bencana besar.
Menurut perhitungan Tokliong Tjoentjia, gunung berapi itu akan meledak dalam tempo
beberapa belas tahun lagi dan jika orang berusaha untuk menolongnya sebelum terlambat,
bencana itu masih dapat dielakkan. Rencana Tokliong Tjoentjia adalah sebagai berikut:
Beberapa bulan sebelum gunung berapi meledak, seorang yang tidak takut ular harus turun di
lubang itu dan membuka sebuah terowongan untuk memasukkan air laut. Sesudah itu, ia harus
membuat sebuah lubang di mulut gunung berapi itu, supaya api yang berkumpul di dalamnya bisa
muncrat keluar. Dengan adanya air laut, maka api beracun yang menyembur itu tak akan
menerbitkan bencana besar. Akan tetapi pekerjaan itu harus dilakukan di tempo yang tepat, yaitu
beberapa bulan sebelum gunung berapi itu meledak, sebab pada waktu itu, lapisan batu yang
sangat tebal sudah mulai retak karena terbakar hebat dan lebih mudah ditobloskan guna membuat
terowongan untuk mengalirkan air laut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Di pulau Tjoato terdapat bahan-bahan asbes yang bisa menahan api dan asbes itu bisa
digunakan untuk membuat pakaian orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Di samping itu,
juga diperlukan sebatang pedang mustika untuk menobloskan lapisan batu. Sekian ringkasan
rencana Tokliong Tjoentjia.
Membaca itu, Phang Lin lantas saja merasa, bahwa orang satu-satunya yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut adalah Kim Sie Ie sendiri. Ia adalah seorang yang berilmu silat
tinggi dan tak takut ular. Kekurangan satu-satunya adalah pedang mustika.
Di bagian terakhir dari catatan hari-hari itu, Tokliong Tjoentjia juga menulis, bahwa ia ingin
sekali pekerjaan mulia itu dilakukan oleh muridnya. Tapi karena rasa cintanya yang sangat besar
terhadap si murid, maka hatinya selalu bersangsi untuk menyerahkan pekerjaan yang begitu
berbahaya kepada muridnya itu.
Sesudah selesai membaca, Phang Lin menghela napas panjang. Sekarang ia mengerti, kenapa
pada sebelum menarik napasnya yang penghabisan, di atas pasir Tokliong Tjoentjia telah menulis:
Sesudah ilmu silatmu sempurna, pergilah cari orang Thiansan pay. Dengan menulis begitu, sang
guru bukan saja mengharapkan keselamatan si murid dengan memperoleh lweekang yang tulen,
tapi juga berusaha supaya Kim Sie Ie meninggalkan pulau Tjoato yang penuh bahaya.
Melihat ibunya bengong, Kim Bwee jadi heran dan dengan memanjangkan leher, ia melongok
buku itu. "Hm! Kau mengandung maksud tak baik!" bentaknya sambil menuding, sehingga
jerijinya hampir mengenakan hidung Tang Thay Tjeng.
"Kenapa mengandung maksud tidak baik?" menegas si pendeta sambil bangun berdiri.
Hongsek jadi gusar sekali. Ia pun segera bangun berdiri dengan niatan membekuk nona yang
nakal itu. Tapi sebelum ia bergerak, Phang Lin sudah menarik tangan puterinya seraya berkata:
"Bukan urusanmu. A-bwee, kenapa kau mengoceh tak keruan?"
Phang Lin menanya begitu karena ia merasa heran, bagaimana, dengan sekali melirik,
puterinya sudah bisa membaca tulisan Tokliong Tjoentjia yang tak keruan macam, sedang ia
sendiri harus membaca dengan teliti untuk menangkap maksudnya.
"Ibu, coba lihat itu!" kata Kim Bwee sambil menunjuk bagian atas dari lembaran yang terbuka.
Ternyata, disitu terdapat sebaris huruf kecil dengan tulisan yang nyata dan berbunyi seperti
berikut:
"Aku sudah mengambil putusan untuk menyerahkan Pitkip (kitab ilmu silat) kepada Ie-djie,
supaya ia menjadi ahli warisku dan mengunakan seluruh penghidupannya untuk menolong
penderita kusta."
"Lihatlah!" berteriak si nona. "Aku justru tak ingin Sie Ie-ko membaca tulisan itu. Aku tak mau
ia berkawan dengan penderita kusta. Apa enaknya menuntut penghidupan begitu?"
Sang ibu tertawa geli. "Enak atau tidak enak bukan urusanmu," katanya. "Itu adalah keinginan
gurunya dan kau tak dapat menyalahkan orang lain." Sambil berkata begitu, ia menutup buku itu,
karena ia yakin puterinya akan lebih kaget jika tahu persoalan gunung berapi.
"Apa yang dikatakan Liehiap memang benar," kata Tang Thay Tjeng. "Aku belum pernah
membaca isi buku itu. Aku hanya menganggap, bahwa buku itu, sebagai peninggalan Tokliong
Soepeh, harus diserahkan kepada muridnya. Sedikitpun aku tidak mempunyai maksud yang lain."
Pendeta itu berdusta. Sebenarnya ia sudah membaca buku tersebut dan mengetahui, bahwa
Pitkip sudah diserahkan kepada si murid dan ia ingin menggunakan catatan hari-hari itu untuk
menipu Kim Sie Ie, untuk menukarnya dengan Tokliong Pitkip.
Mata Phang Lin melirik si pendeta dan mendadak ia berkata: "Kau tak usah berabe. Buku ini
biar disimpan olehku saja. Nah! Aku ampuni kau dan sekarang kau boleh berlalu."
Bukan main mendongkolnya Tang Thay Tjeng, tapi ia tak berani membantah. "Apa boleh aku
membantu kalian untuk mencari Kim Sie Ie?" tanyanya.
"Sesukamu, tapi aku tak memerlukan bantuanmu," jawab Phang Lin seraya berpaling kepada
Hongsek dan berkata pula: "Eh, kenapa kau tadi bertempur dengan Kim Sie Ie?"
Hongsek merasa dadanya seperti mau meledak, sehingga paras mukanya berubah merah
padam.
Melihat begitu, Kang Lam jadi merasa kasihan dan ia berkata: "Dalam hal ini, sebagian besar
adalah salahku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Aha! Kau ternyata mempunyai pribudi dari seorang Kangouw," kata si nyonya sambil
bersenyum. "Kenapa salahmu?"
"Aku sungkan menjadi murid Tootiang dan Kim Tayhiap bersama Tong Tayhiap telah
membantu aku," jawabnya. "Dari sebab itu, Tootiang menggusari mereka."
Phang Lin tertawa geli. "Eh, seorang yang memaksa mengambil murid, pasti akan celaka. Kau
tahu?" katanya sambil berpaling ke arah Hongsek. Ia berkata begitu karena ingat pengalaman
Patpie Sinmo yang dulu juga pernah memaksa untuk mengambil dirinya sebagai murid.
"Sudahlah!" kata Hongsek dengan suara mendongkol. "Biar aku mengubur kepandaianku dan
selama hidup aku tak akan mempunyai murid."
"Baiklah," kata Phang Lin. "Sesudah tahu kesalahanmu, kau sekarang boleh berlalu." Tanpa
berkata suatu apa, Hongsek segera bangun berdiri dan bersama Tang Thay Tjeng, ia segera
meninggalkan warung arak itu dengan perasaan gusar.
"Apa aku juga sudah boleh berlalu?" tanya Yo Lioe Tjeng dengan paras gusar.
Phang Lin terkejut. "Ah, kenapa Tjeng-tjie berkata begitu?" katanya. "Apakah kau masih ingat
ganjelan dulu?"
"Mana aku berani?" kata Yo Lioe Tjeng sambil menarik tangan puterinya dan lalu bertindak
keluar, dengan diikut oleh Kang Lam. "Hei! Bukankah kalian ingin cari Tong Tayhiap?" seru si
kacung.
Yo Lioe Tjeng menengok dan mendeliki Kang Lam. Tapi sebelum ia menyemprot si bawel,
Tjiang Hee sudah mendahului: "Benar, ibu. Kenapa kau tak mau tanya Tong Pehbo?"
Phang Lin memburu. "Tong Pehbo-mu berada di Thiansan," katanya sambil tertawa.
Tjee Tjiang Hee kaget. Ia menengok kepada ibunya seraya berkata dengan suara uring-
uringan: "Ibu, kenapa kau menyuruh aku menggunakan perbasaan Tong Pehbo?"
"Jangan menyalahkan ibumu," kata Phang Lin seraya tertawa. "Antara sepuluh orang yang
mengenal aku, ada sembilan yang salah melihat."
Yo Lioe Tjeng pun sudah tahu, bahwa nyonya itu bukan Phang Eng dan dengan rasa
mendongkol, ia ingat pula kejadian dulu, waktu Phang Lin memotong rambutnya dengan
menggunakan golok terbang. Tapi karena sekarang sama-sama sudah bukan berusia muda, ia
merasa tidak enak untuk memperlihatkan rasa jengkelnya.
"Tjeng-tjie," kata pula Phang Lin. "Aku juga ingin minta pertolongan Tjietjie (kakak, Phang
Eng). Sesudah dapat mencari Kim Sie Ie, aku akan mengantar kau naik ke Thiansan."
"Tak usah, aku bisa jalan sendiri," kata Yo Lioe Tjeng dengan suara tawar. Ia sebenarnya
sudah mendengar, bahwa suami isteri Tong Siauw Lan telah pergi ke Tibet dan hal itu sepatutnya
diberitahukan kepada Phang Lin. Tapi karena sedang mendongkol, ia menutup mulut dan sikapnya
itu hampir-hampir saja menggagalkan urusan besar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, sambil menarik tangan puterinya, Yo Lioe Tjeng segera
meninggalkan warung arak itu. Belum berapa jauh, tiba-tiba Kang Lam mengudak dan berteriak:
"Hei! Kenapa kalian tak mau menanyakan aku?"
"Sebal!" membentak Yo Lioe Tjeng.
Tjiang Hee mengambil cabang kering dan menyabet seraya membentak: "Tanya apa, bawel?"
"Aduh!" berteriak si kacung sambil menjungkir balik. "Tak kena!" Ia tertawa haha-hihi dan
berkata pula: "Bukankah kalian ingin mencari Tong Tayhiap?"
"Apakah bocah semacam kau mengenal Tong Tayhiap?" kata si nona.
"Ha! Jangan kau menghina aku," kata Kang Lam. "Aku bukan hanya mengenal, malahan
bersahabat baik. Setiap kali bertemu, ia selalu menggandeng tanganku dan kami beromong-
omong berjam-jam. Ia malahan mengajarkan ilmu silat kepadaku!"
"Omong kosong!" membentak Tjiang Hee.
"Omong kosong!" si kacung menegas dengan suara penasaran. "Tong Tayhiap berparas sangat
cakap, berusia lebih tua dua tiga tahun daripada Kongtjoe-ku. Ia mempunyai sebatang pedang
yang dinamakan Yoeliong kiam. Ia juga pandai menggunakan senjata rahasia yang sangat aneh,
Thiansan Sinbong namanya. Bukankah begitu?"
"Oh! Dia Tong Keng Thian," kata Tjiang Hee.
"Benar," kata Kang Lam. "Tong Keng Thian adalah Tong Tayhiap, Tong Tayhiap adalah Tong
Keng Thian. Tapi wanita itu mengatakan, bahwa Tong Tayhiap berada di Thiansan. Dia dusta."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si nona tertawa geli. "Yang dimaksudkan ibuku adalah ayahnya Tong Keng Thian," katanya.
"Ayahnya Tong Tayhiap aku tak kenal," kata si kacung. "Aku belum pernah mendusta. Kenal,
aku kata kenal, tidak kenal aku mengaku tak kenal. Jika kalian ingin mencari Tong Tayhiap, aku
bisa mengantarkannya. Kalau kalian mau mencari ayahnya Tong Tayhiap, aku tak bisa menolong."
Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.
"Tunggu!" berseru Tjiang Hee. "Aku memang mau cari Tong Keng Thian."
Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Ha! Apa kau kata?" katanya dengan hati senang. "Bukan
aku, tapi kau yang omong kosong. Kenapa kau tadi memukul aku?"
Yo Lioe Tjeng sungkan meladeni kacung yang rewel itu. "Baiklah," katanya. Sekarang aku mau
tanya: Dimana adanya Tong Keng Thian?"
"Di rumah majikanku?" jawabnya.
"Siapa majikanmu?" tanya pula Yo Lioe Tjeng.
"Majikanku adalah Soanwiesoe di Sakya, Tan Teng Kie Taydjin, sedang putera Tan Looya
adalah Tan Thian Oe Kongtjoe," menerangkan si bawel.
Yo Lioe Tjeng tertawa, sedang Tjiang Hee tersenyum seraya berkata: "Benar. Aku pernah
mendengar Keng Thian menyebutkan nama itu."

***

Mendengar kembalinya Kang Lam, Tan Teng Kie yang memang sedang mengharap-harap
dengan tidak sabaran, jadi merasa sangat girang dan memerintahkan supaya si kacung segera
datang menghadap. Ia heran melihat Kang Lam masuk bersama dua orang wanita. "Taydjin, inilah
TjeeTaytay, sahabat Tong Tayhiap," kata si kacung. "Tak gampang aku mengundang mereka
datang kemari."
Alis Teng Kie berkerut. "Kacungku sangat tidak mengenal adat, aku harap Djiewie tidak menjadi
gusar," katanya sambil memerintahkan seorang pelayan memanggil Siauw Tjeng Hong dan Thian
Oe.
Mendengar tamu yang berkunjung adalah puterinya Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng, Tjeng Hong
dan Thian Oe jadi girang dan mereka lalu menemani kedua tamu itu, sedang Teng Kie sendiri
bicara dengan Kang Lam mengenai kepergiannya ke kota raja. Yo Lioe Tjeng dan puterinya
sekarang mendapat kepastian, bahwa memang benar Tong Keng Thian telah datang berkunjung
ke rumah Soanwiesoe, hanya sayang ia sudah berangkat ke Lhasa bersama-sama Pengtjoan
Thianlie.
Selagi beromong-omong dengan tamunya, Thian Oe mendadak mendengar teriakan ayahnya:
"Oe-djie, mari sini!"
Ia mendekati dan ternyata sang ayah sedang mencekal sepucuk surat dengan tangan
bergemetaran. Begitu membaca, ia berteriak kegirangan.
Surat itu, yang dikirim oleh Tjioe Giesoe, mengatakan, bahwa ia sudah mengajukan
permohonan kepada kaizar yang sudah meluluskannya. Dikatakan, bahwa tak lama lagi, bakal
datang firman yang memanggil Teng Kie pulang ke kota raja guna memangku jabatan yang lama.
Sebagai orang yang sudah belasan tahun berada dalam pengasingan, berita itu menimbulkan
rasa girang tercampur terharu dalam hatinya Teng Kie dan tanpa merasa, air matanya mengucur.
Thian Oe pun tidak kurang girangnya. "Kang Lam," katanya dengan suara berterima kasih. "Ayah
dan aku merasa sangat menanggung budi."
"Kang Lam," menyambung Tan Teng Kie sambil tertawa. "Semula aku tak menaruh
kepercayaan atas dirimu, tapi sekarang ternyata kau bukan seorang tolol."
"Terima kasih atas pujian Looya dan Kongtjoe," jawab si kacung kemalu-maluan.
Sesudah melipat dan memasukkan surat itu ke dalam sakunya Tan Teng Kie berkata pula:
"Kang Lam, mulai dari sekarang, kau menggunakan saja perbasaan kakak dan adik dengan Thian
Oe. Aku sekarang membebaskan kau dari tugas kacung. Jika kau masih suka bekerja dan berdiam
disini, aku dan Thian Oe tentu akan merasa sangat girang. Tapi kau bebas untuk berhenti dan
mendirikan rumah tangga sekali, jika kau menghendakinya. Kalau kau ingin menikah, aku akan
menghadiahkan tiga ratus tail perak."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kang Lam merasa berterima kasih dan terharu mendengar kebaikan sang majikan. "Looya dan
Kongtjoe, terima kasih banyak-banyak untuk kebaikanmu," katanya dengan air mata berlinang.
"Tapi Kang Lam sungkan cari berabe. Aku hanya sudah berjanji kepada nyonya itu untuk bantu
mencari Tong Tayhiap. Seorang Koentjoe tak akan melanggar janji. Maka itu, jika dipermisikan
Looya dan Kongtjoe, aku ingin mengantarkan mereka pergi ke Lhasa. Sesudah menunaikan janji,
aku akan kembali untuk melayani lagi Kongtjoe."
"Oh, begitu?" kata Tan Teng Kie seraya tertawa. "Baiklah, kau boleh pergi. Jika bertemu
dengan Tong Tayhiap, tolong kau
menyampaikan hormatku."
Demikianlah, Kang Lam lalu mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya pergi ke Lhasa. Sesudah
berdiam di kota itu beberapa hari, mereka masih belum juga bisa menemui Keng Thian dan tak
tahu kemana harus mencarinya.

***

Tong Keng Thian dan Koei Peng Go sudah tiba di Lhasa beberapa hari lebih dulu dan pada
waktu itu, mereka sudah menemui kejadian yang sangat luar biasa.
Inilah untuk ketiga kalinya mereka mengunjungi Lhasa bersama-sama. Pada dua kunjungan
yang lebih dulu dari itu, biarpun di dalam hati mereka sudah saling mencinta, tapi di luar, mereka
masih bersikap seperti sahabat biasa. Kali ini adalah lain. Mereka tidak malu-malu lagi dan berlaku
seperti dua tunangan yang saling mencinta.
Tapi, biarpun mereka melewati hari dengan penuh kebahagian, dalam hati mereka selalu
terdapat satu ganjelan, yaitu soalnya Liong Leng Kiauw, yang sudah di penjarakan setahun lebih
dan yang belum diketahui bagaimana keselamatannya.
Mereka tak mau bertindak sembarangan untuk memberi pertolongan karena Liong Leng Kiauw
adalah ahli waris keluarga Tong. Tong Say Hoa adalah seorang nenek yang beradat aneh dan
sangat tak suka orang luar campur-campur urusan
keluarganya. Maka itulah, Tong Siauw Lan telah memesan puteranya supaya jangan bertindak
sembarangan dan yang paling perlu adalah pergi ke Soetjoan barat untuk memberitahukan
kejadian itu kepada si nenek. Begitu menerima warta, Tong Say Hoa gusar bukan main dan jika
mungkin, sesaat itu juga ia hendak menyateroni penjara. Tapi sebagaimana diketahui, mendadak
Kim Sie Ie mengacau di rumah keluarga Tong, sehingga si nenek dan pemuda itu sama-sama kena
senjata rahasia. Biarpun belakangan mereka saling menukar obat, Keng Thian tak bisa menaksir
apa Tong Say Hoa bisa datang di Lhasa, karena badannya tentu akan menjadi lemah akibat jarum
Kim Sie Ie.
Maka itu, sesudah berdamai, mereka mengambil keputusan untuk menemui Hok Kong An.
Mengingat jasa mereka yang sudah bantu melindungi guci emas dan mengingat bantuan
Pengtjoan Thianlie dalam peristiwa Sakya, mereka merasa pasti pembesar Boan itu akan
menerima kunjungannya.
Demikianlah, pada hari ketiga, mereka segera pergi ke gedung Hok Kong An yang ternyata
dijaga sangat keras. Mereka lantas saja mempersembahkan barang antaran dan meminta supaya
petugas yang menjaga pintu melaporkan kedatangan mereka. Beberapa saat kemudian, mereka
diundang ke kamar tamu dan disuguhkan teh. Duduk belum berapa lama, tirai pintu tersingkap
dan seorang Soeya (semacam sekretaris jaman sekarang) bertindak masuk. Melihat yang masuk
bukan Hok Kong An sendiri, Keng Thian dan Peng Go merasa sangat kecewa.
"Kesehatan Hok Tayswee terganggu dan beliau tak bisa menerima tamu," kata si Soeya sambil
memberi hormat. "Mendengar kedatangan Djiewie, beliau memerintahkan aku untuk menyambut.
Apakah aku bisa mendapat tahu maksud kedatangan kalian?"
"Aku mempunyai seorang sahabat yang katanya bekerja di bawah perintah Hok Tayswee," kata
Keng Thian dengan pura-pura tak tahu, bahwa Liong Leng Kiauvv sudah dipenjarakan. "Sekalian
datang kesini, aku ingin menyambanginya."
"Siapa namanya sahabat tuan?" tanya si Soeya.
"She Liong, bernama Leng Kiauw," jawabnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Paras muka Soeya itu lantas saja berubah. "Aku tak pernah dengar nama orang itu," katanya
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Melihat perubahan pada paras orang itu, hati Keng Thian jadi semakin tak enak. Apa terjadi
kejadian yang tak diingini atas diri Liong Leng Kiauw?
Sesudah masing-masing mengambil tempat duduk, si Soeya mengangkat cawan teh dan sambil
bangun berdiri, ia mengundang tamunya minum. Keng Thian pura-pura tidak mengenal adat dan
tetap duduk di kursi, ia mengajukan pertanyaan beruntun-runtun. Hok Tayswee sakit apa ? Apa
sudah mengundang tabib? Makan obat apa? Si Soeya jadi semakin gugup dan Keng Thian segera
dapat memastikan, bahwa alasan sakitnya Hok Kong An adalah alasan yang dibuat-buat.
Tiba-tiba diluar terdengar teriakan orang: "Orang lain boleh tak usah ditemui oleh Hok
Tayswee. Tapi kedatanganku harus disambut olehnya sendiri!"
Keng Thian terkejut. Ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara In Leng Tjoe.
In Leng Tjoe adalah Konghong dari istana kaizar Boan, semacam pangkat yang lebih tinggi
daripada Siewie (pengawal kaizar). Dulu ia pernah datang di Lhasa dengan mendapat tugas untuk
menangkap Liong Leng Kiauw, tapi ia tak bisa menjalankan tugas itu, karena Hok Kong An telah
menahan Liong Sam dalam kantor Tayswee. Maka itu, dengan perasaan mendongkol, ia kembali
ke kota raja untuk memberi laporan kepada kaizar dan memohon tugas yang lebih tegas.
Hok Kong An adalah seorang menteri yang mendapat kepercayaan paling besar dari Kaisar Kian
Liong dan mempunyai kekuasaan mutlak di Lhasa. Maka itu, melihat cara-caranya In Leng Tjoe
yang begitu kasar, orang-orang sebawahannya jadi merasa mendongkol. "Biarpun raja muda atau
pweelek (keluarga kaizar) yang datang kemari, ia harus menunggu sebelum mendapat undangan
dari Hok Taydjin," kata salah seorang. "Mana boleh bicara begitu kurang ajar di kantor Tayswee?"
In Leng Tjoe mengeluarkan suara di hidung dan kemudian tertawa terbahak-bahak. "Benar,
memang benar Hok Taydjin-mu bisa menolak untuk menemui raja muda atau pweelek," katanya
dengan suara mengejek. "Tapi sekarang aku mau tanya: Jika Hongsiang (kaizar) datang sendiri,
apakah Hok Taydjin juga akan menolak?"
Para pengawal gedung Tayswee jadi kaget bukan main. "Apa kau membawa firman?" tanya
seorang.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ln Leng Tjoe merogoh saku dan mengeluarkan sebuah
Kimpay (papan emas) dengan ukiran empat huruf yang berbunyi: Djie Tim Tjin Leng (Seperti juga
kami datang sendiri). Dengan mengangkat Kimpay itu tinggi-tinggi, ia membentak dengan suara
angker: "Apa matamu buta? Lekas panggil Hok Kong An untuk menyambut firman Kaisar!"
Dalam kamar tamu, Tong Keng Thian bertiga berhenti bicara dan memperhatikan kejadian di
luar itu. Si Soeya, yang sebenarnya adalah sahabat Liong Leng Kiauw, mengetahui, bahwa
kedatangan In Leng Tjoe adalah untuk mengurus urusan Liong Sam yang, jika dilihat gelagatnya,
bakal menghadapi bencana besar.
Sementara itu, para pengawal pintu jadi ketakutan. Buru-buru mereka mengundang In Leng
Tjoe ke sebuah kamar tamu yang lain dan lalu memberi laporan kepada Hok Kong An.
Mendadak Keng Thian bangun berdiri seraya berkata: "Karena, kesehatan Tayswee sedang
terganggu, maka kami mohon berlalu saja. Kami minta kau suka menyampaikan hormat kami
kepada Hok Tayswee." Si Soeya yang memang ingin mereka buru-buru pergi, lantas saja bangun
dan mengantar kedua tetamu itu sampai di luar pintu.
Sambil menarik tangan Peng Go, Keng Thian berjalan ke arah kamar tamu dimana In Leng Tjoe
sedang menunggu kedatangan Hok Kong An.
Si Soeya mengudak dan berteriak: "Salah! Kalian jalan salah!" Tapi kedua orang muda itu tidak
meladeni dan baru menghentikan tindakan di depan kamar tamu itu.
"Hei! Kau benar banyak lagak!" berteriak Keng Thian dengan mengubah suaranya.
In Leng Tjoe marah besar dan seraya melompat ke pintu, ia membentak: "Binatang!..." Tapi
perkataannya berhenti di tengah jalan, karena begitu lekas melihat Keng Thian dan Peng Go,
mulutnya ternganga dan matanya membelalak.
"Aku ingin pinjam lihat firman yang dibawa olehmu," kata Keng Thian dengan suara tawar.
Pengtjoan Thianlie sendiri lalu mengeluarkan sebutir Pengpok Sintan, yang dicekal dengan dua
jerijinya dan kamar itu lantas diliputi dengan hawa yang dingin luar biasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

In Leng Tjoe ketakutan setengah mati dan tidak berani berkutik lagi. la tahu, bahwa jiwanya
akan segera melayang, jika ia coba-coba melawan dua orang muda yang sangat liehay itu. Mau
tak mau, ia membiarkan Keng Thian menggeledah badannya dan mengeluarkan firman kaisar dari
dalam bajunya. Bunyi firman itu adalah seperti berikut:
"Liati Sioe, anak laki-laki penghianat Lian Keng Giauw, dengan menggunakan nama samaran
Liong Leng Kiauw, telah menyelesap masuk ke Tibet untuk menimbulkan huru-hara. Sekarang dia
sudah ditangkap. Dia harus dihukum mati di tempat itu juga dan tidak usah dibawa ke kota raja.
Sekianlah perintah Kami untuk Hok Kong An, Menteri Besar yang memegang kekuasaan di
Tibet."
Dengan menggunakan istilah "menyelesap masuk di Tibet", Kaisar Kian Liong sebenarnya sudah
memberi "muka" kepada menterinya yang disayang itu.
Keng Thian sekarang tahu, bahwa jiwa Liong Leng Kiauw digantung di atas selembar rambut.
Untuk sejenak, ia mencekal firman itu tanpa bersuara.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan-bentakan para pengawal, suatu tanda, bahwa Hok
Kong An akan segera keluar dari gedungnya. Keng Thian terkesiap. Ia memasukkan firman itu ke
dalam saku In Leng Tjoe seraya berkata dengan suara getir: "Terima kasih." Ia memutar badan
dan bersama Peng Go, segera meninggalkan gedung Tayswee.
Sesudah mendapat pelajaran pahit, In Leng Tjoe tidak berani mengunjuk kesombongannya lagi
dan tentu saja ia tidak menceritakan apa yang sudah terjadi kepada Hok Tayswee.
Setibanya di rumah penginapan, Keng Thian lalu berdamai dengan Pengtjoan Thianlie
mengenai tindakan yang harus diambil. Dalam perundingan, tiba-tiba si nona ingat Soetee-nya
Liong Leng Kiauw, yang bernama Gan Lok dan yang bertempat tinggal di kaki Gunung Anggur. Ia
mengajukan usul, bahwa berita jelek itu harus segera diberitahukan kepada Gan Lok.
Tanpa membuang tempo, mereka segera mengunjungi Gan Lok yang lantas saja mengajak
mereka masuk ke kamar rahasia.
"Kapan Tong Tayhiap datang di Lhasa ?" tanya Gan Lok sesudah mengunci pintu. "Apa Tayhiap
mendengar warta apa-apa mengenai Soeheng-ku?"
"In Leng Tjoe sudah kembali," menerangkan Keng Thian. "Aku kuatir kembalinya itu
mempunyai akibat tidak baik bagi dirinya Liong Sam Sianseng." Keng Thian bicara dengan hati-
hati dan ia tak mau segera memberitahukan hal firman kaisar.
Sekonyong-konyong Gan Lok bangun dan berlutut di hadapan kedua tetamunya. Keng Thian
ingin mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. "Tong Tayhiap," katanya dengan suara memohon.
"Siauwtee mempunyai suatu permintaan yang sebenarnya tidak pantas diajukan. Aku merasa
sangsi, apa boleh bicara terus terang?"
"Bicaralah," kata Keng Thian.
"Sesudah siauwtee memikir bulak-balik, rasanya tiada jalan lain daripada membongkar
penjara!" katanya.
Keng Thian terperanjat. Ia tidak lantas memberi jawaban dan duduk bengong dengan perasaan
sangsi. "Dengan Liong Leng Kiauw, aku belum bergaul lama dan belum tahu isi hatinya," katanya
di dalam hatinya, "jika aku bantu membongkar penjara, aku menimbulkan gelombang
besar di Tibet. Untuk membalas sakit hati ayahnya, mungkin sekali, sesudah keluar dari penjara, ia
akan menerbitkan kekacauan hebat." Di lain saat, ia mendapat lain pikiran: "Biarpun dia putera
Lian Keng Giauw, tapi dilihat gerak-geriknya, dia adalah seorang laki-laki sejati. Bukankah sayang
sekali, jika ia mesti membuang jiwa dengan cuma-cuma? Di samping itu, sesudah aku
menolongnya, ia pasti akan mendengar nasihatku untuk tidak menimbulkan huru-hara. Ayah
sendiri telah memerintahkan supaya aku memberitahukan hal ini kepada nyonya Tong dan dengan
begitu, ayah tentu tak akan menggusari aku, jika aku memberi pertolongan."
Seperti ayahnya, Keng Thian adalah seorang yang sangat berhati-hati. Dalam menghadapi
segala urusan, ia selalu memikir dulu sebelum bertindak. Melihat kesangsian tamunya, hati Gan
Lok berdebar-debar. Sesaat kemudian, Keng Thian berkata: "Baiklah,
malam ini, lewat tengah malam."
Gan Lok girang tak kepaiang. Tapi, sebelum ia sempat menghaturkan terima kasih, di luar
mendadak terdengar suara ribut-ribut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa itu? Djiewie berdiam saja disini untuk sementara waktu, aku mau keluar untuk
menyelidiki," kata Gan Lok sambil bertindak keluar dari kamar rahasia itu.
Begitu tiba di pintu, ia terkesiap karena yang datang adalah Lo Tiauw, pemimpin pasukan
pengawal Hok Kong An, yang diikuti oleh enam orang, empat antaranya adalah ahli-ahli silat kelas
satu di bawah perintah Hok Tayswee, sedang dua yang lain adalah seorang pria dan seorang
wanita yang mukanya luar biasa. Mereka berdua adalah In Leng Tjoe dan isterinya, San Tjeng Nio,
yang tidak dikenal Gan Lok.
"Ada urusan apa Lo Taydjin datang kesini?" tanyanya sambil merangkap kedua tangannya.
Lo Tiauw mengeluarkan suara di hidung. "Gan Lok!" bentaknya. "Besar sungguh nyalimu!"
"Aku adalah seorang rakyat kecil yang belum pernah melanggar undang-undang negara," kata
Gan Lok. "Apa artinya perkataan Taydjin?"
"Jangan berlagak gila!" berteriak Lo Tiauw. "Kau sudah membawa lari Liong Loosam.
Dimana dia sekarang?"
Gan Lok kemekmek. Perkataan Lo Tiauw bagaikan halilintar di tengah hari bolong. "Apa?" ia
menegasi. "Soeheng-ku dibawa lari orang?"
"Apa kau masih mau main gila terus?" kata Lo Tiauw dengan gusar. "Apa kau mau aku turun
tangan?"
Kagetnya Gan Lok sekarang tercampur dengan perasaan girang. "Lo Taydjin!" katanya dengan
suara nyaring. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti perkataanmu."
"Jika bukan kau, siapa lagi yang membongkar penjara?" tanya Lo Tiauw dengan mata melotot.
"Sudah setengah bulan, siauwtee tak pernah keluar dari rumah ini," jawabnya. "Mana bisa
siauwtee membongkar penjara?"
Lo Tiauw sangsi. "Dilihat dari parasnya, mungkin ia tidak berdusta," katanya di dalam hati. "Di
samping itu, begitu aku datang, ia lantas keluar menyambut. Tapi, kalau bukan dia, siapa lagi?"
"Bolehkah aku mendapat tahu, bagaimana penjara dibongkarnya?" tanya Gan Lok. "Dengan
adanya penjagaan yang begitu kuat, apa masih ada orang yang berani berbuat begitu?"
Lo Tiauw jadi semakin sangsi. "Hm!" ia menggereng. "Aku tanya kau, sekarang berbalik kau
tanya aku. Gan Lok! Jangan main gila kau!"
"Jika benar aku yang membongkar penjara, waktu ini aku tentu sudah kabur jauh," kata Gan
Lok. "Tak bisa jadi, aku terus berdiam di rumahku dan menyambut kedatangan kalian. Jika tidak
percaya, kalian boleh menggeledah."
Lo Tiauw tertawa dingin. "Tak mudah kau menipu aku dengan segala akal bulus," katanya.
"Sudah pasti, kaulah yang melepaskan Liong Loosam dan menyuruh dia kabur di tempat lain,
sedang kau sendiri pura-pura bersih. Gan Lok! Beritahukan saja tempat bersembunyinya Liong
Loosam. Dengan mengingat, bahwa kita pernah bekerja sama-sama, aku tentu tak akan
menyusahkan kau."
"Biarpun dibunuh mati, aku tak bisa memberitahukan dimana adanya Soeheng, karena aku
memang tak tahu," jawabnya dengan suara tetap.
Sementara itu, In Leng Tjoe sudah hilang sabarnya. "Sudahlah!" bentaknya. "Sebagai soetee
Liong Leng Kiauw, dia harus bertanggung jawab sepenuhnya. Perlu apa kita bicara panjang-
panjang?" Berbareng dengan perkataannya, ia maju setindak dan coba mencengkeram Gan Lok
dengan tangannya yang seperti kipas.
Dengan cepat Gan Lok berkelit dan melompat mundur. Mendadak, dengan disertai sambaran
angin dahsyat, bagaikan bianglala, sehelai ikatan pinggang sutera yang beraneka warnanya,
menyambar. Gan Lok terkesiap dan untuk menolong diri, ia berguling di atas lantai. Sementara itu,
In Leng Tjoe sudah merangsek maju untuk membekuk lawannya. Selagi melompat, tiba-tiba saja,
ia merasa kakinya menginjak serupa benda yang dingin luar biasa. Hatinya mencelos dan ia
meloncat mundur beberapa tindak.
Di lain saat, dengan jalan berendeng, Tong Keng Thian dan Koei Peng Go masuk ke dalam
ruangan itu. Melihat sambaran ikatan pinggang San Tjeng Nio, dengan tenang Keng Thian
mengangkat tangan kanannya dan dengan dua jeriji menjepit ikatan pinggang itu, yang lantas
saja putus seperti tergunting!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya In Leng Tjoe dan San Tjeng Nio. Untuk membekuk Gan
Lok, yang katanya memiliki ilmu silat tinggi, In Leng Tjoe telah mengajak iserinya datang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bersama-sama, la tak pernah mimpi bahwa kedua orang muda yang ditakuti itu, bisa berada di
rumah Gan Lok. Sebagaimana diketahui, mereka berdua pernah mengerubuti Pengtjoan Thianlie
tanpa bisa menarik keuntungan apapun juga dan kemudian dalam pertarungan itu, mereka pernah
berkenalan dengan liehaynya Thiansan Sinbong. Mereka juga mengetahui, bahwa Keng Thian
adalah putera Tong Siauw Lan yang benar-benar tidak boleh dibuat gegabah. Maka itu, biarpun
merasa sangat malu, buru-buru mereka lompat menyingkir sebagai jago pecundang.
Lo Tiauw dan kawan-kawan segera mengenali, bahwa kedua orang muda itu adalah orang-
orang yang pernah bantu melindungi guci emas. Sambil bersenyum. Keng Thian mendekati dan
memberi hormat. "Taydjin, kapan pembongkaran penjara itu terjadi? Apa malam ini?" tanyanya.
"Benar, baru kira-kira satu jam berselang," jawabnya. Hatinya bersangsi dan menduga-duga,
bahwa pembongkaran penjara dilakukan oleh kedua orang muda itu, tapi ia tak berani menanya
terang-terangan.
"Kami datang disini sudah dua jam lamanya," kata pula Keng Thian.
"Selama dua jam itu, Gan Sianseng terus menemani kami. Kecuali ia mempunyai kepandaian
memecah badan, tak mungkin ia pergi membongkar penjara."
Mendengar keterangan Keng Thian, di dalam hati In Leng Tjoe menduga, bahwa orang yang
membawa lari Liong Leng Kiauw adalah pemuda itu sendiri. Akan tetapi, karena takut, ia tidak
berani membuka mulut. Sementara itu, melihat gelagat kurang baik, sambil tersenyum Lo Tiauw
segera berkata: "Jika Djiewie Giesoe mengatakan begitu, perbuatan itu sudah tentu bukan
dilakukan oleh Gan-heng. Kami minta maaf untuk kecerobohan tadi, dan oleh karena ingin buru-
buru berusaha untuk membekuk orang yang berdosa, sekarang kami minta perkenan untuk
berlalu."
Sesudah para tamu berangkat, mereka duduk di ruangan tengah. Melihat paras Keng Thian
yang sangat guram, Gan Lok tertawa seraya berkata: "Sesudah ada orang yang mewakili
pekerjaan kita, kita boleh tak usah berabe lagi."
Alis pemuda itu berkerut. "Siapakah orang itu?" tanyanya. "Biarpun orang-orang Hok Kong An
bukannya ahli-ahli silat kelas utama, aku bisa membayangkan, bahwa malam ini penjagaan di
penjara sangat diperkuat. Mungkin sekali suami isteri In Leng Tjoe turut menjaga disitu. Tapi
orang itu telah berhasil membawa lari Liong Leng Kiauw. Siapa dia? Tak bisa tidak, dialah seorang
yang berkepandaian luar biasa."
"Apa tak mungkin nenek Tong?" tanya Peng Go.
Keng Thian menggelengkan kepala seraya berkata: "Jika benar Tong Lootaypo, apakah
mungkin, bahwa pengawal-pengawal penjara tak dapat membedakan lelaki atau perempuan?
Kenapa mereka menuduh Gan-heng?"
"Apakah Kim Sie Ie?" tanya pula si nona.
"Kurasa tak mungkin," jawab Keng Thian. "Meskipun dia seorang aneh, tapi mengingat, bahwa
dia sama sekali belum mengenal Liong Leng Kiauw, tak bisa jadi ia sudi menempuh bahaya untuk
menolong Liong Sam."
Keng Thian tahu, bahwa bertahun-tahun Liong Leng Kiauw telah mementang pengaruhnya di
daerah Tibet. Maka itu, ia girang tercampur jengkel karena Liong Sam jatuh ke dalam tangan
orang yang belum diketahui siapa adanya. Mereka coba menebak-nebak, tapi tak bisa menarik
kesimpulan yang memuaskan.
Malam itu Keng Thian tak bisa pulas. Ia menggulak-gulik di atas pembaringan sambil mengasah
otak. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengunjungi pula Hok Kong An guna menyelidiki
hal itu sedalam-dalamnya. Tapi di luar dugaan, sebelum ia berangkat, utusan Hok Tayswee, sudah
datang di rumah Gan Lok.
Orang yang diutus Hok Kong An adalah Tjiauw Tjoen Loei dan
Yoe It Gok yang pernah turut melindungi guci emas. Kedudukan mereka adalah pemimpin dan
wakil pemimpin dari delapan pengawal utama di istana kaisar dan kedudukan mereka masih jauh
lebih tinggi daripada Lo Tiauw. Sesudah selesai menjalankan tugas mengawal guci emas ke Lhasa,
Hok Tayswee telah mengajukan permohonan kepada kaizar, supaya mereka berdua tetap berdiam
di Lhasa guna memberi bantuan dalam soal-soal ketentaraan dan permohonan itu sudah
diluluskan oleh Kian Liong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Begitu fajar menyingsing, mereka sudah tiba di rumah Gan Lok. Melihat Keng Thian dan Peng
Go, Tjiauw Tjoen Loei segera berkata dengan sikap hormat: "Waktu Djiewie Giesoe datang
berkunjung kemarin, Tayswee tidak keluar menemui karena kesehatannya agak terganggu. Untuk
kelalaian itu, beliau telah mengutus kami guna minta maaf."
Keng Thian yang sangat cerdas, lantas saja menduga, bahwa kedatangan mereka mengandung
maksud untuk meminta pertolongan. Ia bersenyum seraya berkata: "Orang-orang dusun yang
seperti kami, sebenarnya tak boleh mengganggu Tayswee. Kami insyaf, bahwa Tayswee tentu
diuruk pekerjaan-pekerjaan penting dan kami tak berani mengganggu lagi. Di hadapan Tayswee,
mohon Djiewie menyampaikan permintaan maaf kami."
"Apakah Tong Tayhiap tak gusar terhadap kami?" tanya Tjiauw Tjoen Loei.
"Kenapa gusar?" Keng Thian balas menanya.
"Jika benar Tong Tayhiap tidak marah terhadap kami, kami memohon supaya Tayhiap suka
menolong mangkok nasi kami," katanya.
"Ah! Tjiauw Taydjin tak boleh bicara begitu!" kata Keng Thian.
"Bukankah Tong Tayhiap sudah tahu, bahwa semalam terjadi pembongkaran penjara?" tanya
Tjoen Loei pula.
"Ya," jawabnya. "In Leng Tjoe dan beberapa orang lain semalam telah datang untuk urusan
itu."
"Dalam hal ini, kami semua telah mendapat malu besar," kata Tjiauw Tjoen Loei. "Karena tidak
punya kemampuan, penjahat sudah berhasil membawa lari seorang pesakitan penting dan lebih
gila lagi, kami malah tak bisa melihat tegas muka penjahat itu. Barangkali Tong Tayhiap juga tahu,
bahwa pesakitan itu adalah pesakitan sangat penting yang diperhatikan oleh Hongsiang sendiri.
Jika dia tak bisa dibekuk kembali, semua orang disini, dari atas sampai di bawah, sudah pasti tak
akan terluput dari hukuman. Maka, kami memohon belas kasihan Tong Tayhiap untuk memberi
pertolongan."
Mendengar pernyataan Tjiauw Tjoen Loei, Keng Thian segera menduga, bahwa Hok Kong An
sudah tahu tentang perampasan firman yang dilakukan olehnya. Mungkin, In Leng Tjoe sendiri
merasa malu untuk memberitahukan kejadian itu, tapi di samping In Leng Tjoe, masih ada si
Soeya yang menyaksikan kejadian tersebut. Oleh sebab itu ia menduga, bahwa Soeya itulah yang
sudah melaporkan kepada Hok Tayswee. Dari perkataan Tjiauw Tjoen Loei, ia mendapat kesan,
bahwa orang masih menyangkanya sebagai orang yang sudah membawa lari Liong Leng Kiauw.
Maka itu, sambil tertawa ia segera berkata: "Dilihat gelagatnya, jika aku tak bisa membantu
kalian, aku sendiri pun tak akan terlolos dari kecurigaan."
Paras muka Tjiauw Tjoen Loei lantas saja menjadi merah. "Biarpun mempunyai seratus kepala,
kami tentu tak berani mencurigakan Tong Tayhiap," katanya. "Hanya karena yakin, bahwa Tayhiap
mempunyai pandangan dan pergaulan yang sangat luas, maka kami mohon, supaya Tayhiap sudi
memberi petunjuk-petunjuk."
Keng Thian tak lantas menjawab, ia duduk bengong sambil menimbang-nimbang tindakan yang
harus diambilnya.
Sementara itu, Tjiauw Tjoen Loei jadi semakin bingung dan dari merah, parasnya berubah
menjadi pucat bagaikan kertas. Ia tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu.
"Tong Tayhiap," katanya dengan suara gemetar. "Dengan Liong Loosam, kami sedikitpun tak
mempunyai ganjelan atau permusuhan. Aku sendiri juga merasa sangat tidak tega jika ia mesti
mendapat hukuman mati. Kami hanya mengharap, supaya ia bisa kembali dan aku bisa
menyerahkannya kepada I n Leng Tjoe. Sesudah menyelesaikan tugas itu, aku akan segera
mengajukan permintaan berhenti dan pulang ke kampung sendiri. Huh-huh! Sesudah Liong
Loosam berada dalam tangan In Leng Tjoe, kami bebas dari segala beban. Jika sampai terjadi
apa-apa lagi, aku boleh tak usah campur-campur lagi!"
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Apakah Taydjin berada disitu, di waktu terjadi
pembongkaran penjara?" tanyanya.
Muka Tjiauw Tjoen Loei yang pucat mendadak berubah menjadi merah. "Justeru aku dan Yoe-
heng yang sedang bertugas," jawabnya dengan suara kemalu-maluan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Heran benar!" kata Keng Thian. "Meskipun penjahat itu berkepandaian tinggi, tetapi,
mengingat tebalnya tembok penjara dan kuatnya kunci, tak mungkin ia bisa terbang tanpa
mengeluarkan suara."
"Bukan hanya suara, tapi suara yang sangat dahsyat," jawabnya. "Penjahat itu telah
menghancurkan tembok penjara!"
Keng Thian jadi semakin heran. "Kalau begitu, mana bisa jadi kalian tidak melihat tegas muka
penjahat itu?" tanyanya.
"Kira-kira tengah malam, di dalam penjara mendadak terdengar suara gedubrakan yang sangat
hebat," kata Tjiauw Tjoen Loei. "Kami segera memburu dan melihat berkelebatnya satu bayangan
hitam yang menggendong Liong Leng Kiauw. Mendadak, kami merasa seperti kehilangan
semangat, mata berkunang-kunang dan lutut lemas. Di lain saat, penjahat itu sudah tak kelihatan
bayang-bayangannya lagi."
"Apa penjahat itu menggunakan biehio (hio untuk memabukkan orang)?" tanya Keng Thian.
Tjiauw Tjoen Loei menggelengkan kepala.
"Sedikitpun aku tidak mengendus bebauan luar biasa," katanya. "Untuk itu, kami sudah
berjaga-jaga. Semua orang yang bertugas membekal obat pemunah. Biehio yang paling hebat tak
akan bisa merobohkan kami."
Sesudah berpikir sejenak, Reng Thian berkata: "Apa boleh kalian mengantar kami untuk
menyelidiki di penjara itu?"
"Bagus! Kami sebenarnya tak berani meminta begitu," jawabnya girang.
Setibanya di penjara, Keng Thian dan Peng Go segera menyelidiki dengan teliti. Ternyata,
tembok penjara tebal dan kokoh, sedang setiap pintu terbuat dari besi dengan kuncinya yang
besar. Waktu tiba di kamar (sel) Liong Leng Kiauw, mereka terkejut sebab dinding berlubang
besar, cukup untuk muat badannya satu manusia. Ditinjau bekas-bekasnya, tembok itu rupanya
digempur dengan menggunakan pundak. Keng Thian dan Peng Go merasa kagum bukan main,
karena tenaga yang begitu besar sungguh jarang terdapat dalam dunia. Tapi apa yang paling
mengherankan adalah pengaruh luar biasa yang dirasakan oleb para penjaga bui pada waktu si
penjahat sedang bekerja. Mereka semua merasa seperti orang linglung. Penglihatan mereka
mengenai tubuh si penjahat berlainan satu sama lain. Ada yang kata, penjahat itu berbadan
gemuk, ada yang kata kurus, ada yang kata tinggi dan ada pula yang kata kate.
Keng Thian menengok ke arah
Peng Go dan tiba-tiba ia terkejut, karena paras si nona kelihatan luar biasa, seakan-akan orang
kehilangan semangat. "Peng Go Tjietjie! Kenapa kau?" tanyanya.
Sedari tiba di penjara, Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan sepatah kata dan teguran itu
mengejutkannya. "Lekas sediakan dua ekor kuda yang baik!" katanya dengan suara nyaring. "Kita
harus mengubar ke jurusan barat!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Coba kau bersemedhi dan mengheningkan cipta," kata si nona.
Baru saja bersemedhi beberapa saat, hidung Keng Thian sudah mengendus semacam bebauan
wangi yang sangat halus dan luar biasa. Seumur hidup, belum pernah ia mencium bebauan yang
serupa itu.
Sementara itu, atas perintah Tjiauw Tjoen Loei, dua ekor kuda sudah tersedia di luar pintu
penjara.
Keng Thian melompat bangun seraya menanya: "Peng Go Tjietjie, bau apa itu?"
"Jangan tanya, mari kita berangkat," jawabnya sambil bertindak keluar. Tanpa bicara lagi,
mereka melompat ke atas punggung kuda yang lalu dikaburkan ke jurusan barat. Kedua
tunggangan itu adalah kuda-kuda pilihan yang larinya sangat cepat dan dalam sekejap, mereka
sudah berada di luar kota.
Tibet adalah daerah yang luas dengan sedikit penduduknya. Sebagian besar penduduk itu
berkumpul di sebelah timur Lhasa, sedang di wilayah sebelah barat Lhasa hanya terdapat tanah
belukar dan gurun pasir. Di daerah itu, orang bisa berjalan puluhan li tanpa menemui rumah
penduduk. Waktu itu, di Tiongkok Selatan sudah masuk permulaan musim semi, tapi Tibet masih
tertutup salju.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah mengaburkan tunggangan beberapa lama di tanah yang tandus itu, tiba-tiba Peng Go
menahan les dan berkata: "Diculiknya Liong Leng Kiauw mungkin akan menimbulkan kejadian-
kejadian luar biasa."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Keng Thian sambil merendengkan kudanya dengan tunggangan
si nona.
"Bukankah tadi kau mengendus bebauan wangi?" Peng Go balas menanya.
"Benar," jawabnya. "Bau itu halus luar biasa, sehingga sesudah bersemedhi, barulah aku dapat
mengendusnya. Aku sebenarnya merasa heran, bagaimana kau bisa mengendusnya dengan begitu
saja."
Si nona tertawa manis. "Kau tak usah heran," katanya. "Di Puncak Es terdapat pohon bunga
itu."
"Bunga?" menegas Keng Thian. "Bunga itu Asioelo namanya," menerangkan Peng Go. "Asioelo
berarti setan atau memedi. Walaupun sangat halus, bau kembang itu tak gampang buyar. Pada
waktu bunganya sedang mekar, orang yang mengendus wanginya bunga itu, akan berada dalam
keadaan seperti mabuk arak, semangatnya seolah-olah terbetot keluar, matanya berkunang-
kunang dan lututnya lemas. Maka itulah, namanya Bunga Setan. Pohon bunga itu hanya bisa
hidup di tempat yang sangat tinggi. Sepanjang keterangan, di samping daerah pegunungan
Nyenchin Dangla, Bunga Setan hanya terdapat di pegunungan Himalaya. Di gunung Nyenchin
Dangla tidak terdapat lain orang pandai, kecuali keluargaku sendiri. Maka itu, aku menaksir,
bahwa orang yang menculik Liong Leng Kiauw datang dari daerah Himalaya."
"Aha!" kata Keng Thian dengan kaget. "Apa dia orang asing? Benar. Jika dilihat dari
kepandaiannya dalam menggempur tembok penjara, memang kepandaian itu bukan kepandaian
orang Han."
"Aku pun menduga begitu," kata Peng Go sambil menghela napas. "Jika dia datang dari Nepal,
aku kuatir perbuatannya itu mempunyai sangkut paut dengan diriku. Maka itulah, andaikata orang
yang diculik bukan Liong Leng Kiauw, aku tetap harus menyelidiki sampai di dasarnya,"
Di sepanjang jalan, dengan rasa heran mereka melihat tapak-tapak di atas salju, tapi semua
tapak itu bukan tapak manusia, maupun kuda. Apa tapak-tapak binatang yang belum dikenal
mereka?
Sesudah berjalan beberapa jauh lagi, di atas salju terlihat tetesan darah, yang semakin lama
jadi semakin banyak. Apa yang mengherankan ialah di jalanan itu sama-sekali tidak kelihatan
tapak-tapak kaki. "Aneh," kata Peng Go. “Jika darah itu adalah darah manusia, orang yang
mengeluarkan darah pasti mempunyai ilmu berjalan tanpa meninggalkan tapak. Tapi, jika ia
memiliki ilmu yang begitu tinggi bagaimana ia bisa terluka?"
Dengan hati berdebar-debar, mereka terus mengikuti tetesan darah itu. Tak lama kemudian,
Keng Thian mengeluarkan seruan kaget, karena di tengah jalan menggeletak dua bangkai kuda.
Mereka lalu mendekati dan ternyata, ke empat kaki kuda-kuda itu telah dibacok putus. Mereka
coba mencari kaki-kaki itu, tapi tidak bisa didapatkannya, mungkin sebab sudah keuruk salju.
Keheranan mereka semakin memuncak. Jika tetesan darah yang terlihat di sepanjang jalan
adalah kuda, kenapa tidak terlihat tapak-tapak kakinya? Mereka melompat turun dari tunggangan
dan lalu menyelidiki terlebih teliti. Ternyata, di seputar bangkai kuda terdapat tapak-tapak kaki
manusia yang samar-samar, antaranya tapak yang pendek dan kecil. Setelah diakuri, tapak itu
ternyata tidak berjauhan besarnya dengan tapak kaki Peng Go. "Tapak wanita!" kata Keng Thian,
yang, sesudah mengawaskan kedua bangkai kuda itu beberapa lama, mendadak berteriak: "Aha!
Inilah tapak Tong Lootaypo!"
“Bagaimana kau tahu?” tanya si nona.
"Lihatlah kedua kuda itu," jawabnya. "Banyak lebih kecil daripada tunggangan kita, tapi
kelihatannya kuat dan gagah. Kuda itu bukan sembarang kuda, mereka adalah kuda-kuda yang
terkenal dari Soetjoan barat!"
"Benar," kata si nona. "Tong Lootaypo memang penduduk daerah itu. Tapi disini terdapat dua
ekor kuda. Siapa yang satunya lagi? Apakah nenek itu yang menolong Liong Leng Kiauw? Mana
bisa jadi?"
Keng Thian pun merasa, bahwa hal itu adalah tak mungkin. Walaupun memiliki ilmu silat yang
tinggi, si nenek pasti tak akan bisa menggempur tembok penjara dengan kekuatan badannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Pengalaman kita di hari ini benar-benar luar biasa," kata Keng Thian. "Jalan satu-satunya, kita
harus menyelidiki terlebih jauh."
Mereka lalu melompat naik ke punggung kuda dan berjalan mengikuti tapak-tapak kaki di atas
salju. Selagi turun di satu tanjakan, sekonyong-konyong terlihat pula tanda-tanda darah.
"Disitu ada orang!" seru Keng Thian.
Tubuh orang itu tertutup salju dan hanya sebagian mukanya yang terlihat dari luar. Buru-buru
mereka meloncat turun dari tunggangan dan menyingkirkan salju yang menutup badan orang itu.
Di lain saat, mereka berdiri terpaku, bahna kagetnya, baju orang itu, yang ternyata adalah
Tong Toan, keponakan Tong Say Hoa, robek di sana-sini, sedang di pundaknya terdapat tapak
tangan yang berwarna merah.
"Dadanya masih hangat," kata Keng Thian. "Lekas berikan Yangho wan (pel untuk menolak
hawa dingin)."
Peng Go segera menyerahkan dua butir Yangho wan kepada Keng Thian yang lalu
memasukkannya ke dalam mulut Tong Toan dan menuang juga sedikit arak, yang selalu dibawa
dalam sakunya, supaya pel itu bisa turun ke dalam perut. Kemudian, dengan mengerahkan
lweekang, Keng
Thian lalu mengurut sekujur badan Tong Toan untuk menjalankan darahnya yang sudah hampir
membeku.
Selagi tunangannya bekerja, si nona mengawasi ke seputarnya.
Tiba-tiba ia berteriak: "Keng Thian! Lihat!"
Keng Thian menengok ke arah yang ditunjuk Peng Go. Ternyata, tak jauh dari situ, terdapat
sebuah batu gunung yang somplak atasnya dan kepingan-kepingan batu berhamburan di
bawahnya. Sebagai seorang ahli, ia segera mengetahui, bahwa somplakan itu adalah akibat
pukulan senjata. Sesudah memperhatikan beberapa saat, mendadak ia berseru: "Aha! Tongkat
Kim Sie Ie!"
Si nona menghela napas. "Ya," katanya dengan suara duka. "Sebaliknya dari pergi ke Thiansan,
dia datang kemari. Bukankah dia seperti mencari mati sendiri? Andaikata kita sekarang dapat
mencarinya, mungkin sudah tidak keburu untuk menolongnya." Peng Go berkata begitu, karena
tahu, bahwa Kim Sie Ie tak bisa hidup sebulan lagi.
Keng Thian tidak menyahut. Ia terus mengurut Tong Toan. Selang beberapa lama, barulah
terdengar suara merintih dari tenggorokan pemuda yang terluka itu.
"Ketolongan!" katanya sambil bangun berdiri dan mengambil kantong kulit yang berisi arak
susu kuda dari selanya. Ia menuang arak itu ke mulut Tong Toan yang perlahan-lahan lalu
membuka kedua matanya. "Ih!" katanya dengan suara lemah. "Kau? Apa aku sedang mimpi?"
Pengtjoan Thianlie bersenyum. "Jangan kuatir, kau hanya mendapat luka di luar," katanya.
"Inilah Tong Keng Thian, putera paman Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin Thiansan pay."
Dengan sorot mata duka, Tong Toan mengawasi si nona. "Terima kasih," katanya dengan suara
lemah. "Koei Kouwnio, inilah untuk kedua kali kau menolong aku." Harus diketahui, bahwa waktu
Peng Go berdiam beberapa hari dalam gedung keluarga Tong untuk melindungi Tong Lootaypo,
dalam hati pemuda itu telah timbul rasa cinta terhadapnya. Hanya karena mengetahui, bahwa
kepandaiannya tidak berbanding dengan Pengtjoan Thianlie, ia merasa malu untuk
memperlihatkan rasa hatinya. Sekarang, melihat Peng Go bersama-sama putera Tong Siauw Lan,
ia jadi merasa duka, akan tetapi, sebagai seorang baik-baik, dalam kedukaan itu, ia merasa girang
sebab Pengtjoan Thianlie sudah mendapat seorang kawan yang kelihatannya setimpal.
"Mana Kouwkouw-mu (bibi)?" tanya si nona.
"Apa kalian tidak bertemu dengannya?" tanyanya dengan kaget.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. "Apa Kim Sie Ie cari-cari urusan lagi dengan kalian?" tanyanya. Ia
menunjuk batu yang somplak itu dan berkata pula: "Lihatlah, bukankah batu itu terpukul dengan
tongkatnya?"
"Aduh, begitu hebat!" kata Tong Toan. "Dia sebenarnya telah membantu Kouwkouw dalam
pertempuran melawan Ouwtjeng (pendeta asing)."
"Apa?" menegas si nona. "Siapa pendeta asing itu? Kim Sie Ie membantu Kouwkouw-mu?"
"Benar," jawabnya. "Jika tidak ditolong Kim Sie Ie, jiwaku tentu sudah melayang. Yang
menculik Soesiok (paman guru, Liong Leng Kiauw) adalah Ouwtjeng itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Waktu kecil, Liong Leng Kiauw telah dipelihara oleh Tong Say Hoa yang mencintainya bagaikan
anak sendiri. Tapi guru Liong Sam adalah Tong Djiesianseng, ayah Tong Say Hoa, sehingga Tong
Toan memanggil Soesiok kepadanya.
Si nona kaget bukan main. "Oh, begitu?" katanya. "Kenapa di sepanjang jalan sama sekali tidak
terlihat tapak kaki manusia atau kuda?"
Sesudah minum arak susu kuda, sebagian tenaga pemuda itu pulih kembali. Ia menghela napas
dan mulai menutur dengan suara perlahan: "Tempo hari, ketika kau datang di Soetjoan barat, kau
telah memberitahukan tentang di penjarakannya Soesiok.
Sebenarnya Kouwkouw ingin segera pergi ke Lhasa untuk memberi pertolongan, tapi sungguh
celaka, ia telah dilukakan Kim Sie Ie, sehingga sesudah berobat kurang lebih setengah tahun,
barulah kesehatannya pulih kembali. Kami berangkat sesudah Tiongtjhioe tahun yang lalu dan
sudah belasan hari tiba di Lhasa."
"Aku semula menduga, orang yang membongkar penjara adalah Kouwkouw-mu," kata si nona,
"Memang, memang Kouwkouw mempunyai niatan begitu," kata Tong Toan. "Ia membuat
persiapan untuk beberapa hari lamanya. Ia sudah menyelidiki keadaan di penjara dan
menyediakan dua ekor kuda di luar pintu kota, supaya, begitu lekas Soesiok tertolong, kami bisa
kabur dengan menunggang kuda. Kami sudah membuat rencana untuk membongkar penjara pada
tengah malam, kemarin malam."
"Pendeta asing itu juga datang pada waku itu, bukan?" tanya Keng Thian.
"Tak salah," jawabnya. "Kemarin malam, baru saja kami tiba di luar tembok penjara, mendadak
terdengar suara gedubrakan, disusul dengan suara tindakan yang ramai. Kami mengetahui,
bahwa di dalam telah terjadi perkembangan luar biasa dan lalu bersembunyi di kaki tembok. Tak
lama kemudian, dari dalam melompat keluar seorang pendeta asing yang menggendong seorang
lain. Kouwkouw yang bermata jeli lantas saja mengenali, bahwa orang yang digendong itu adalah
Soesiok. Ia berteriak-teriak dan memanggil-manggil nama Soesiok, tapi baik si pendeta, maupun
Soesiok tidak menjawab. Menurut peraturan Kangouw, kedua belah pihak harus saling
memperkenalkan diri. Si pendeta yang mempunyai ilmu entengkan badan sangat tinggi, kabur
terus dengan diubar oleh kami.
"Begitu keluar dari tembok kota, Ouwtjeng itu lantas saja melompat ke punggung kuda yang
lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Untung juga, kami pun sudah menyediakan kuda. Kedua kuda
kami sangat cepat larinya dan si pendeta telah kecandak di tempat ini."
"Kenapa di sepanjang jalan tidak tertampak tapak kaki kuda?" tanya Peng Go.
"Karena kuatir dikuntit orang, kami membungkusnya dengan kain wol yang tebal," jawabnya.
"Mungkin si pendeta asing pun berbuat begitu."
Pengtjoan Thianlie manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah mengasoh sebentaran, Tong Toan melanjutkan penuturannya: "Dalam jarak kira-kira
belasan tindak, Ouwtjeng mendadak berbalik dan melepaskan beberapa golok terbang dengan
berbareng. Kouwkouw adalah ahli senjata rahasia yang pandai melepaskan dan menyambut
macam-macam senjata. Ia segera bergerak untuk menangkap golok-golok dengan menggunakan
ilmu Tjiantjhioe Kwan Im Sioebanpo (Dewi Kwan Im yang mempunyai ribuan tangan menangkap
laksaan mustika). Tapi di luar dugaan, ilmu melepaskan golok dari si pendeta juga sangat luar
biasa. Waktu baru dilepaskan, golok-golok itu menyambar ke atas tapi begitu berdekatan, arahnya
berubah dan menyambar kaki kuda. Demikianlah, delapan kaki kuda Soetjoan itu jadi korban golok
terbang. Jika Kouwkouw masih muda atau serangan itu terjadi di siang hari, mungkin sekali si
pendeta tidak akan berhasil."
Mendengar penuturan itu, Keng Thian merasa geli. "Keluarga Tong dikenal sebagai ahli nomor
satu di dunia dalam ilmu melepaskan senjata rahasia," katanya di dalam hati. "Kekalahan ini pasti
mendukakan sangat hati si nenek."
"Kouwkouw jadi gusar bukan main," kata pula Tong Toan. "Ia segera menghujani senjata
rahasia kepada Ouwtjeng. Thielian tjie, Tokkilee, Ngoloei tjoe, Kimtjhie piauw dan sebagainya
menyambar-nyambar bagaikan gerimis, sehingga si pendeta jadi repot bukan main. Dia melompat
turun dari tunggangannya dan lalu menggunakan jubah pertapaannya sebagai tameng. Sementara
itu, Liong Soesiok masih tetap duduk di punggung kuda. Semula, kami menduga, ia kena obat
tidur. Tapi dengan pertolongan sinar bulan, kami melihat matanya terbuka lebar dan mengawasi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kami terlongong-longong. Kami yakin, bahwa jika Soesiok membantu, tidak terlalu sukar untuk
mengambil jiwa pendeta itu. 'Leng Kiauw!' teriak Kouwkouw. 'Tikamlah Honghoe hiat-nya!' Tapi
Soesiok tidak bergerak, kedua matanya tetap mendelong seperti orang lupa ingatan, sedang kaki
tangannya bergemetaran. Kami jadi jengkel tercampur kuatir.
"Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul
dengan berkelebatnya satu bayangan manusia!"
"Kim Sie Ie, bukan?" tanya Peng Go.
"Benar," jawabnya. "Kim Sie Ie. Sesaat itu, kami belum tahu, bahwa kedatangannya adalah
untuk memberi pertolongan. Kami kaget bukan main. Kouwkouw melayani Ouwtjeng dengan
hanya menggunakan senjata rahasia. Kami yakin, bahwa begitu lekas senjata rahasia habis, si
pendeta akan segera menyerang dan kami berdua belum tentu bisa menandinginya. Mana bisa
kami melayani lagi seorang musuh alot seperti Kim Sie Ie? Kouwkouw berteriak berulang-ulang
untuk menyadarkan Liong Soesiok, tapi tetap tidak berhasil. Waktu itu, aku sudah tidak memikir
hidup. Aku bertekad untuk lebih dulu membinasakan si pendeta dan jika berhasil, barulah
menghadapi Kim Sie Ie. Aku segera maju mendekati dan menunggu kesempatan untuk
menerjang.
"Di lain detik, Kim Sie Ie sudah tiba di gelanggang pertempuran, sedang aku sendiri hanya
terpisah tujuh delapan kaki dari si pendeta.
"Mendadak, Ouwtjeng menyabat dengan jubahnya dan beberapa senjata rahasia terpukul balik
dan menyambar ke punggung Kouwkouw. Sesaat itu, Kouwkouw sedang memutar tubuh untuk
menghadapi Kim Sie Ie dan ia sama sekali tak menduga, bahwa si pendeta bisa menyerang dirinya
dengan senjata rahasianya sendiri.
"Pada detik itulah, tongkat Kim Sie Ie menyambar. Jika Kouwkouw menangkis tongkat, ia tak
akan bisa menangkis senjata rahasia yang menyambar punggung dan begitu juga sebaliknya.
Melihat begitu, semangatku terbang.
"Sekonyong-konyong terdengar suara 'tring-tring-tring!' dan semua senjata rahasia terpental ke
empat penjuru. Ternyata, di luar semua taksiran, tongkat itu bukan menghantam Kouwkouw, tapi
menyabat senjata-senjata rahasia itu."
Keng Thian tertawa. "Cara-cara Kim Sie Ie memang aneh sekali," katanya.
"Waktu itu aku berdiri terpaku dan memusatkan Seantero perhatian ke arah Kouwkouw," kata
pula Tong Toan. "Tak dinyana, dengan menggunakan kesempatan itu, si pendeta mengedut
jubahnya yang lantas saja menyambar ke kepalaku. Kim Sie Ie membentak keras dan melompat
untuk menolong, tapi sudah tidak keburu. Mataku berkunang-kunang dan tidak ingat orang lagi
sampai ditolong oleh kalian."
"Kalau begitu, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak diketahui olehmu, bukan?" tanya
Keng Thian.
"Tidak, aku tak tahu," jawabnya. "Kouwkouw sudah tua. Aku sungguh berkuatir."
"Menurut pendapatku, Tong Lootjianpwee tak kurang suatu apa," menghibur Peng Go. "Jika dia
menang, si pendeta tentu tak akan membiarkan kau hidup terus. Di samping itu, kalau mereka
terluka, di sekitar sini mesti terdapat tanda-tanda darah. Menurut taksiranku, Tong Lootjianpwee
dan Kim Sie Ie telah mengubar pendeta itu."
"Mari kita mengejar terus." mengajak Keng Thian.
Salju mulai turun lagi, semakin lama jadi semakin lebat. Mereka yakin, bahwa niatan untuk
mengejar ketiga orang itu akan lebih sukar tercapai karena tapak-tapak tentu keuruk dengan salju
yang baru turun. Tapi sebab tiada lain jalan yang lebih baik, mereka terpaksa meneruskan
pengejaran ke jurusan barat. Di sepanjang jalan, Peng Go diliputi kedukaan, karena ia tak dapat
menebak, kenapa Kim Sie Ie tidak pergi ke Thiansan dan berkeliaran di daerah yang belukar itu.

***

Hari itu, Kim Sie Ie kabur dari warung arak dengan rasa kemalu-maluan. Ia merasa jengah dan
mengambil keputusan untuk tidak menemui lagi Phang Lin dan puterinya. Ia lari selari-larinya,
tanpa tujuan. Sesudah kabur tiga hari, ia tiba di daerah padang pasir dan kesasar. Ia berada di
tempat yang tiada manusianya, sedang makanan kering yang dibawanya, sudah habis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah menghitung-hitung, ternyata ia hanya bisa hidup kira-kira tiga puluh hari lagi. Ia
tertawa dalam hatinya. Ia merasa, bahwa mati di tanah belukar itu, lebih cepat beberapa hari atau
lebih lambat beberapa hari, tidak menjadi soal. Ia tak takut mati, ia memang siap sedia untuk
meninggalkan dunia yang penuh penderitaan. Tapi, di lain saat, ia berpikir lain. Sebagai seorang
yang memiliki kepandaian tinggi, ia merasa penasaran jika mesti mati kelaparan di padang pasir.
Ia tak rela untuk mati cara begitu. Kim Sie Ie adalah seorang yang sungkan menyerah kalah
terhadap siapapun juga. Setelah mengetahui, bahwa ia tak akan bisa terlolos dari kebinasaan,
harapan yang satu-satunya ialah: Ia ingin mati secara mengesankan. Ia tak rela untuk mati
dengan begitu saja, dengan sepi-sepi saja.
Akan tetapi, ia sekarang berada di padang pasir, tanpa makanan dan tanpa air. Hari itu, dengan
lapar dan haus, ia mendaki sebuah bukit pasir. Tiba-tiba ia melihat beberapa batu besar yang
berlubang-lubang. Batu-batu di daerah padang pasir banyak lebih empuk daripada baru biasa dan
di lubang-lubang sering terdapat air, yang dinamakan "susu batu".
Dengan girang ia melihat, bahwa di beberapa lubang masih terdapat air. Sesudah mengisap
"susu batu" itu, perasaan hausnya menghilang, tapi rasa laparnya jadi semakin hebat. Ia segera
bersila di belakang batu dan mengerahkan lweekang. Sesudah berlatih beberapa lama,
semangatnya terbangun dan rasa lapar mulai mereda.
Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara kelenengan unta. Ia girang bukan main.
Dengan merampas "perahu padang pasir" itu, ia pasti bisa menyelamatkan diri. Tapi di lain detik,
ia berkata pada dirinya sendiri: "Dengan merampok binatang itu, aku bisa hidup kurang lebih tiga
puluh hari lagi. Tapi dengan menolong diriku, si pelancong menjadi korban."
Dulu-dulu, Kim Sie Ie belum pernah memikirkan soal orang lain. Semenjak berkenalan dengan
Pengtjoan Thianlie, Phang Lin dan puterinya, rasa membencinya terhadap manusia perlahan-lahan
berkurang. Kadang-kadang, di tengah malam yang sunyi, ia sendiri merasa heran kenapa
perasaannya telah berubah.
Semakin lama, suara kelenengan semakin dekat. Ia bersangsi sangat. Rampas atau tidak
rampas?
Sekonyong-konyong, kesunyian gurun pasir dipecahkan dengan suara tertawa yang nyaring
dan luar biasa. Kim Sie Ie terkejut, karena suara itu tak asing bagi kupingnya. Ia lalu mengintip
dari atas batu. Unta itu masih terpisah beberapa li, tapi sebab di padang pasir tidak terdapat aling-
aling, maka ia bisa melihat tegas. Ternyata, di punggung unta berduduk dua orang, yang masing-
masing mempunyai muka luar biasa. Dengan sekali melihat saja, ia sudah mengenali, bahwa yang
satu adalah Hiatsintjoe, sedang yang lain si pendeta lengan besi, Tang Thay Tjeng.
Ia gembira dan berkata dalam hatinya: "Aha! Hatiku bebas dari perasaan berdosa jika
merampas tunggangan dua manusia busuk itu."
Karena berada di padang pasir, mereka bicara dengan bebas tanpa kuatir didengar orang.
"Hiatsin Tooyoe," kata Tang Thay Tjeng. "Menurut katanya Hongsek Tooheng kau sekarang
bekerja pada kerajaan Tjeng dan mempunyai harapan untuk diangkat menjadi Koksu (guru
negara). Tapi kenapa, sebaliknya dari mengicipi kebahagiaan di istana kaisar, kau sudah datang di
padang pasir ini. Apakah kau mempunyai tugas di tempat ini?"
Hiatsintjoe menghela napas panjang, paras mukanya berubah seram tercampur lucu, seperti
tertawa, bukan tertawa. "Hai!" katanya. "Jika mau dituturkan,
ceritanya panjang sekali. Aku juga ingin menanya kau. Kenapa kau juga berada di padang pasir
ini? Sesudah menyembunyikan diri tiga puluh tahun lamanya, kau muncul lagi dalam pergaulan
manusia. Aku yakin, kau sekarang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kenapa sebaliknya dari
berkelana dalam kalangan Kangouw, kau kabur ke tempat yang sepi ini?"
Tang Thay Tjeng pun menghela napas. Mukanya berubah merah, karena malu. Sesaat
kemudian, barulah ia menjawab: "Hra! Kepandaian apa! Baru muncul, aku sudah dirobohkan!"
Hiatsintjoe kaget dan heran. "Tang-heng," katanya. "Aku mengenal kau sebagai seorang yang
tak suka menyerah terhadap siapapun juga. Kenapa kau sekarang mengatakan begitu? Siapa
manusia itu? Bagaimana kau dirobohkannya?"
"Aku dirobohkan oleh Phang Lin, ie-ie (ipar) Tong Siauw Lan," jawabnya dengan suara masgul.
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Lagi-lagi orang Thiansan pay," katanya dengan
suara mendongkol.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Sesudah menderita kekalahan beberapa kali, Hongsek Toodjin dingin hatinya dan ia sekarang
sudah kembali ke hutan batu untuk tidak muncul lagi dalam dunia pergaulan," kata Tang Thay
Tjeng.
"Tapi aku sendiri masih penasaran. Aku ingin mencari satu orang guna mendapatkan sejilid
kitab yang luar biasa."
"Kitab apa?" tanya Hiatsintjoe. "Apa ilmu dalam kitab itu bisa menangkan ilmu silat Thiansan
pay?"
"Belum bisa dipastikan," jawabnya. "Pada kurang lebih empat puluh tahun berselang, siapakah
yang memiliki ilmu silat paling tinggi?"
"Ie Lan Tjoe, Lu Soe Nio dan Tokliong Tjoentjia," jawab Hiatsintjoe. "Ie Lan Tjoe sudah
meninggal dunia. Yang masih hidup adalah Tokliong Tjoentjia dan Lu Soe Nio."
"Yang sedang dicari olehku adalah murid Tokliong Tjoentjia," kata Tang Thay Tjeng. "Kitab itu,
yang diberi nama Tokliong Pitkip, disimpan olehnya."
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Apa dia sudi menyerahkannya?" tanyanya
Mendengar sampai disitu, Kim Sie Ie merasa geli dalam hatinya.
Tan Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Aku mempunyai satu jalan untuk
memaksanya."
Hiatsintjoe tak percaya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tooheng," kata pula Tang Thay Tjeng. "Jika aku tidak salah melihat, kau sendiri mempunyai
ganjelan di dalam hati. Pikiran dua orang lebih sempurna daripada pikiran satu orang. Bolehkah
kau memberitahukan siauwtee, apa yang menjengkelkan hatimu?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, sikapnya angkuh sekali, seolah-olah ia memandang
rendah kepandaian kawannya. Tapi, di lain saat, ia rupanya berbalik pikiran dan berkata dengan
suara manis: "Tang Tooheng, jangan kau mimpi. Masakah orang mau gampang-gampang
menyerahkan kitab ilmu silat kepadamu? Lebih baik kau mengikuti aku mendaki Puncak Mutiara
141 di Himalaya."
"Perlu apa?" tanya Tang Thay Tjeng. "Aku dengar, semenjak dulu belum pernah ada manusia
yang berhasil mendaki puncak itu, Apa kau mau cari mati?"
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Lebih baik mati daripada seperti sekarang," katanya dengan suara
getir. "Tak mati dan tak hidup, terus menerus dihina orang."
Tang Thay Tjeng heran bukan main. "Apa artinya perkataanmu?" tanyanya.
"Kau roboh dalam tangan Phang Lin dan kekalahan itu masih ada harganya," jawabnya. "Tapi
aku dijatuhkan oleh seorang houwpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah)."
"Siapa?" tanya pula Tang Thay Tjeng.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
"Aneh benar nama itu, aku belum pernah mendengarnya," kata si pendeta.
"Belakangan ini dalam Rimba Persilatan muncul orang-orang baru yang berkepandaian sangat
tinggi," menerangkan Hiatsintjoe. "Sesudah dihajar dengan tujuh butir Sintan oleh Pengtjoan
Thianlie, sehingga sekarang lweekang-ku belum pulih kembali. Aku dengar, di Puncak Mutiara
terdapat banyak sekali rumput dan pohon yang mempunyai khasiat luar biasa dan di antaranya
terdapat serupa rumput dewa yang dikenal sebagai Tjiangtjoe Siantjo (Rumput dewa mutiara
merah). Sepanjang keterangan, orang yang makan rumput itu dapat menambah lweekang-nya
seperti juga ia berlatih tiga puluh tahun. Untuk bicara terus terang, dengan suami isteri In Leng
Tjoe, aku sebenarnya mendapat tugas untuk menjalankan hukuman mati atas diri Liong Loosam di
Lhasa. Tapi sekarang, sesudah dirobohkan orang, aku tak ada muka lagi untuk berkelana dalam
kalangan Kangouw. Aku sudah tidak memikiri lagi segala pangkat Koksoe dan tujuanku yang
terutama adalah coba mendapat rumput dewa itu. Jika kau bersedia untuk mengikut, aku akan
merasa girang sekali."
Sementara itu, unta sudah mendekati tempat bersembunyinya Kim Sie Ie dan beberapa saat
kemudian, sudah mendaki bukit pasir itu. Tiba-tiba Kim Sie Ie melompat keluar sambil tertawa
nyaring. "Tahan!" teriaknya. "Kamu ingin mencari rumput dewa, aku hanya menghendaki
untamu!" Hampir berbareng, ia meloncat dan tangannya menyambar les, sehingga binatang itu
tak bisa bergerak lagi.
Hiatsintjoe gusar bukan main. "Kim Sie Ie! Mau apa kau?" bentaknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Apa kau tuli?" tanyanya. "Bukankah aku sudah
memberitahukan: Aku mau untamu!"
Hiatsintjoe dan Kim Sie Ie, yang sudah pernah bertempur beberapa kali, sama-sama tahu
kepandaian sang lawan. Dalam lweekang, Hiatsintjoe lebih unggul, tapi kalah dalam ilmu
melepaskan senjata rahasia, sehingga kekuatan mereka 'bisa dikatakan setanding. Sekarang,
sedang lweekang-nya belum pulih seperti biasa, ia merasa agak jeri dalam menghadapi pemuda
itu. Tapi mengingat adanya Tang Thay Tjeng, ia merasa, bahwa dengan dua melawan satu,
pemuda itu akan dapat dirobohkan.
Memikir begitu, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengenjot badan dan bagaikan
seekor elang, ia melayang turun dari punggung unta dan menubruk lawannya,
"Bagus!" teriak Kim Sie Ie sambil menyodok jalanan darah Tjongtjeng hiat, di kempungan
Hiatsintjoe, dengan tongkatnya. Dengan menggoyangkan badan di tengah udara, Hiatsintjoe
berhasil mengegos sodokan itu, tapi Kim Sie Ie sungkan memberi napas kepadanya dan terus
mengirim serangan berantai, sehingga ia terpaksa mundur beberapa tindak.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng. "Air bah merendam Liong-ong bio (Kuil Raja Naga), kita semua
adalah orang-sendiri. Hei! Mari kita bicara dulu!"
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Siapa sudi jadi orang sendirimu?" ia mengejek.
"Dengarlah dulu!" Tang Thay Tjeng berteriak pula. "Kau adalah murid Tokliong Tjoentjia,
sedang aku ahli waris Patpie Sinmo. Apa salah jika aku mengatakan orang sendiri?"
Kim Sie Ie terkejut, tapi di lain saat ia kembali tertawa dingin seraya berkata: "Sedari tiga puluh
tahun berselang, guruku sudah bercerai dengan pihakmu. Siapa kesudian bersahabat dengan
kamu?"
"Eh, jangan sombong kau," kata si pendeta dengan mendongkol. "Kau boleh menolak
persahabatan, tapi apa kau juga tak sayang jiwamu?"
"Apa?" menegas Kim Sie Ie, darahnya meluap. "Manusia semacam kau ingin mengambil jiwaku?
Maju! Kau kira aku takut?" Bibirnya bergerak, siap sedia untuk segera menyemburkan jarumnya.
"Jangan kalap, kau dengarlah dulu," kata pula Tang Thay Tjeng dengan menahan amarah.
"Bukan aku yang menghendaki jiwamu, tapi gurumu sendiri yang sudah mencelakakan kau. Itulah
yang dimaksudkan olehku."
"Apa?" menegas pula Kim Sie Ie.
"Kau sudah menggunakan cara yang salah dalam melatih lweekang," jawabnya. "Karena itu,
satu waktu lweekang-mu akan membakar dirimu sendiri. Apa belum ada tanda-tandanya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Kenapa dia tahu? Di lain detik, ia kembali tertawa nyaring. "Benar!"
teriaknya. "Aku hidup tak lama lagi. Aku justeru sedang mencari-cari kawan untuk menemani
perjalanan pulang ke alam baka!" Hampir berbareng, ia menghunus pedang dan lalu menyerang
Hiatsintjoe secara nekat-nekatan.
"Thay Tjeng Tooyoe!" teriak Hiatsintjoe. "Tak usah banyak rewel lagi dengan manusia ini. Jika
dia berhasil merampas unta, kita bisa mati di padang pasir ini."
Dengan berkata begitu, ia mengharapkan bantuan si pendeta.
Tapi Tang Thay Tjeng sama sekali tidak bergerak. Ia berkata: "Tokliong Pitkip adalah kitab ilmu
silat dari gurumu. Tapi kau tak tahu, bahwa sebelum menutup mata, ia telah mendapatkan serupa
ilmu mujijat untuk menolong jiwa dari akibat latihan lweekang yang salah. Karena tidak keburu
mencatatnya dalam Pitkip, ia menulis pendapatannya itu dalam buku catatan hari-hari. Buku itu
sekarang berada dalam tanganku. Apa kau mau aku menyerahkannya?" Tak usah dikatakan lagi,
keterangan si pendeta adalah dusta belaka dan hanya mengandung maksud untuk merampas
Tokliong Pitkip.
Kim Sie Ie tergerak hatinya, sebab perkataan Tang Thay Tjeng kedengarannya cukup
beralasan. Karena perhatiannya terpecah, sesaat itu Hiatsintjoe mendapat kesempatan untuk balas
menyerang dan ia mengirim beberapa pukulan dahsyat dengan telapakan tangannya yang
berhawa panas. Dikebas dengan angin panas, Kim Sie Ie yang sedang kehausan jadi semakin
haus. Dengan gusar buru-buru ia mengempos semangat dan segera dapat memulihkan
keunggulannya.
Sesudah berhasil menindih musuhnya, ia berkata: "Baiklah. Serahkan dulu buku guruku.
Sesudah buku itu diserahkan aku akan mengampuni jiwa kawanmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Huh!" kata si pendeta sambil tertawa. "Mana boleh begitu? Hentikan dulu seranganmu."
Kim Sie Ie jadi curiga. Ia tertawa besar seraya membentak "Kau kira aku anak kecil? Keluarkan
dulu buku itu!" Sambil berkata begitu, ia memperhebat serangannya, sehingga Hiatsintjoe jadi
repot sekali. "Thay Tjeng Tooyoe!" teriaknya. "Perlu apa tarik urat dengan bocah ini?"
Si pendeta sangat bersangsi. Di satu pihak ia sungkan bermusuhan dengan pemuda yang mau
diakali itu, tapi di lain pihak, ia merasa tak tega sebab kawannya sedang berada dalam bahaya
besar. Tiba-tiba tongkat Kim Sie Ie menyambar bagaikan kilat dan Hiatsintjoe sudah tak dapat
menangkis lagi.
Tang Thay Tjeng terkesiap. Ia tak sempat memikir panjang-panjang lagi dan lalu menggoyang
"pundaknya. Hampir berbareng, lengan besinya terbang menyambar. Dengan gerakan indah, Kim
Sie Ie kelit sambaran itu dan hampir berbareng, kakinya menendang Hiatsintjoe yang lantas saja
jatuh terjengkang. Ia tak berhenti sampai disitu. Pedangnya berkelebat dan jubah pertapaan Tang
Thay Tjeng robek di bagian saku, yang ternyata tidak berisi apapun juga.
"Binatang!" bentak Kim Sie Ie. "Kau berani menipu aku?"
Si pendeta jadi bingung dan ketakutan. "Tidak... aku tidak berdusta," katanya, terputus-putus.
"Aku berani bersumpah, bahwa gurumu meninggalkan sejilid buku catatan hari-hari."
"Dimana kau
menyembunyikannya? Lekas keluarkan!" bentak pemuda itu.
Tang Thay Tjeng mundur beberapa tindak dan berkata sambil tertawa: "Aku mengaku, bahwa
aku tak mempunyai kebecusan. Buku itu telah dirampas oleh Tong Siauw Lan."
"Omong kosong!" teriak Kim Sie Ie. "Perlu apa Tong Siauw Lan merampas buku itu?"
Si pendeta kembali tertawa dan berkata dengan suara tenang: "Dalam hal ini, ada latar
belakangnya yang tidak diketahui olehmu. Memang benar, Tong Siauw Lan yang mempunyai
kepandaian sangat tinggi, tidak memerlukan buku rahasia itu. Akan tetapi, selama hidupnya, ia
paling takuti gurumu Jika ilmu silat gurumu tersebar di dalam dunia, selalu terdapat kemungkinan,
bahwa di belakang hari, ilmu silat itu akan lebih unggul daripada ilmu Thiansan pay. Kau harus
tahu, bahwa selama kurang lebih seratus tahun, ilmu silat Thiansan pay dianggap sebagai ilmu
silat yang paling liehay di kolong langit. Tong Siauw Lan adalah pemimpin Thiansan pay. Dapatlah
dimengerti, jika ia tak mau membiarkan adanya ancaman bahaya di hari kemudian.
"Maka itulah, ia mau juga mengangkangi buku gurumu itu. Dengan demikian, biarpun kau
memiliki Tokliong Pitkip, tapi sebab tidak mengenal ilmu untuk menolong diri dari akibat latihan
Iweekang yang salah, selama-lamanya kau harus mengandal kepadanya. Bukan saja kau, tapi
semua orang yang mempelajari ilmu silat Tokliong Tioentjia, harus meminta belas kasihan
Thiansan pay. Ringkasnya, turun menurun orang-orang dari pihakmu akan tetap menjadi
semacam budak dari partai Thiansan!"
Perkataan yang beracun itu, yang kedengarannya sangat beralasan, berhasil mempengaruhi
Kim Sie Ie. Sebagaimana diketahui, ia adalah manusia yang beradat angkuh dan ia selalu merasa
tak rela untuk meminta pertolongan siapapun juga. Untuk beberapa saat, ia mengawasi si pendeta
dengan mata mendelong, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Melihat pancingnya agak berhasil,
Tang Thay Tjeng mesem dan berkata dengan nada mengejek: "Jika buku itu berada di tangan
orang lain, mungkin sekali masih agak gampang direbut pulang. Tapi di tangan Tong Siauw Lan,
rasanya tiada manusia yang bisa merampasnya kembali."
Kim Sie Ie mengeluarkan suara di hidung dan darahnya mulai naik tinggi. Tapi ia tak berani
mengeluarkan suara besar, karena ia pun yakin, bahwa apa yang dikatakan si pendeta bukan
ejekan belaka. Mana ia sanggup melawan Tjiangboendjin dari Thiansan pay?
"Tapi, kau jangan kuatir," kata pula si pendeta. "Aku mempunyai akal yang bagus."
"Akal apa?" tanyanya.
"Tong Siauw Lan mempunyai satu anak laki-laki yang bernama Tong Keng Thian," sahutnya.
"Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tapi aku yakin, kau masih bisa membereskannya. Kau
hanya perlu menyerang dengan jarummu waktu ia tidak berwaspada. Kau harus memasukkan
jarum itu ke dalam jalanan darahnya, sehingga, biarpun ia mempunyai Thiansan Soatlian, jiwanya
tak akan dapat ditolong, kecuali dengan obatmu sendiri. Huh-huh! Ia akan terpaksa memohon
belas kasihanmu. Dan pada waktu itulah, kau boleh berunding dengan Tong Siauw Lan untuk
menukar obat dengan buku gurumu itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Itulah racun hebat yang disebar Tang Thay Tjeng.


Kenapa pendeta itu sudah merasa tak segan untuk mengatur tipu yang begitu busuk?
Dulu, lengan Tang Thay Tjeng telah patah karena pukulan Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng.
Walaupun yang memukul adalah Yo Tiong Eng, tapi peristiwa itu sudah terjadi karena gara-gara
Tong Siauw Lan. Itulah sebabnya, setelah melihat Kim Sie Ie tak gampang ditipu, ia lalu
mengarang cerita untuk "meracuni" Tong Siauw Lan.
Alis Kim Sie Ie berkerut. "Meskipun busuk, tipu itu memang sangat bagus," katanya di dalam
hati. "Tapi apa aku bukan manusia? Waktu di Kimkong sie, bersama-sama Pengtjoan Thianlie,
Keng Thian pernah menolong jiwaku. Mana bisa aku menurunkan tangan yang begitu jahat?"
Melihat pemuda itu tetap membungkam, Tang Thay Tjeng jadi semakin besar hatinya, "Jika kau
setuju, aku sedia serupa tipu lain untuk memancing Tong Keng Thian," katanya.
Kim Sie Ie menjebi dan matanya berkilat. Sekonyong-konyong ia berteriak: "Tak nanti aku
menuruti perkataan manusia busuk seperti kau!" Tangannya melayang dan tubuh Tang Thay
Tjeng terpental setombak jauhnya.
Sambil tertawa besar ia melompat ke punggung unta yang lalu dilarikan perlahan-lahan,
Tang Thay Tjeng merangkak bangun dan berteriak-teriak memanggil-manggil, tapi tentu saja
tidak diladeni. Ia bingung tak kepalang. Buru-buru ia menolongi Hiatsintjoe yang masih
menggeletak di atas pasir untuk berdamai, bagaimana mereka harus meloloskan diri dari gurun
pasir itu.
Di sela unta, Kim Sie Ie mendapatkan makanan kering dan dua kantong kulit berisi air. Dengan
hati bungah, ia lalu minum sepuas hati dan menangsel perut. Waktu itu, daerah padang pasir
sudah berada di permulaan musim semi, kapan siang hari lebih pendek dan malam lebih panjang.
Tak lama kemudian, cuaca mulai gelap dan angin dingin mulai turun, sehingga pasir kuning pada
berterbangan ke tengah udara, Di antara angin yang menderu-deru, dalam hati pemuda itu timbul
kembali rasa dukanya.
Ia menghela napas berulang-ulang dan ingat lagi kejadian-kejadian di masa yang sudah selam.
Tiba-tiba dalam otaknya berkelebat serupa pikiran. "Menurut katanya Hiatsintjoe, di Puncak
Mutiara terdapat rumput dewa yang bisa memperkuat lweekang," pikirnya. "Siapa tahu kalau
rumput itu juga mempunyai khasiat untuk menolong jiwaku? Hanya sayang, puncak itu katanya
sukar dipanjat dan belum pernah ada manusia yang berhasil memanjatnya." Sesudah berjalan
beberapa jauh lagi, ia mendapat lain pikiran, Ia merasa, bahwa biarpun tak berhasil mendapatkan
rumput dewa, gagal dalam usahanya untuk mencapai puncak yang tinggi itu dan harus binasa di
tengah jalan, kebinasaan itu masih ada harganya. Ia memang mengharap, jika mesti mati, biarlah
ia mati secara menggemparkan dan tak cuma-cuma. Mengingat begitu, lantas saja ia mengambil
putusan untuk mendaki Puncak Mutiara.
Sesudah mempunyai ketetapan, hatinya jadi gembira dan ia lalu menyanyi sekeras suara,
bagaikan seorang edan. Unta yang ditunggangnya rupanya kaget mendengar nyanyiannya dan
lalu kabur sekeras-kerasnya. Kim Sie Ie tidak menggubris dan membiarkan binatang itu lari
semau-maunya.
Dengan hati tenang, ia meneruskan perjalanan. Jika merasa capai, ia merebahkan diri di atas
punggung unta dan kalau haus atau lapar, air dan makanan selalu tersedia. Lewat beberapa hari
ia sudah keluar dari padang pasir itu.
Sesudah tak memerlukan lagi tenaga unta, Kim Sie Ie menyerahkan tunggangannya kepada
seorang saudagar Mongol yang ia kebetulan bertemu di tengah jalan. Orang itu terheran-heran,
tapi Kim Sie Ie memaksa supaya ia suka menerimanya dan kemudian menanya jalanan yang
menerus ke pegunungan Himalaya.
Si saudagar menduga pemuda itu seorang gila, tapi dengan rasa berterima kasih, ia lalu
memberi keterangan jelas. Untuk pergi ke Himalaya, orang harus melewati satu padang rumput
yang luas, di sebelah barat Lhasa. Karena daerah itu banyak penduduknya dan tidak kekurangan
air, maka seorang pelancong tak perlu membawa makanan kering atau air minum. Di sampingnya
memberi keterangan, ia juga membekali Kim Sie Ie sekantong daging, sebagai balasan terima
kasih.
Waktu itu, di daerah Tibet baru saja masuk di permulaan musim semi dan salju masih belum
melumer. Dengan berjalan sendirian di padang rumput yang sangat luas itu, hati Kim Sie Ie
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kembali diliputi dengan kedukaan. Pengtjoan Thianlie, Tong Keng Thian, Phang Lin dan puterinya
sering-sering terbayang di depan matanya. Dengan menimbang-nimbang secara tenang, ia
merasa, bahwa mereka itu adalah manusia-manusia yang mempunyai sifat-sifat mengagumkan.
Kim Sie Ie berjalan tanpa mengenal waktu, tak perduli siang atau malam. Ia hanya mengasoh
jika merasa capai. Hari itu, ia berjalan terus menerus sampai jauh malam. Tiba-tiba turun angin
yang sangat dingin, disusul dengan turunnya salju. Ia merasa sangat lelah dan segera
merebahkan diri di atas satu batu besar. Tapi ia tak bisa pulas sebab rupa-rupa pikiran masuk ke
dalam otaknya. Ia ingat, bahwa selama kurang lebih dua puluh tahun, ia selalu membenci
manusia, yang dianggapnya kejam dan selalu menghina dirinya. Tapi sebenar-benarnya, kecuali
waktu ia masih kecil, orang lain lebih banyak membuang budi kepadanya dan malahan, ia
sendirilah yang sangat sering menghina sesama manusia. Mengingat begitu, dalam hatinya timbul
serupa perasaan menyesal dan rasa ngantuknya lantas saja menghilang.
Ia mengawasi bintang-bintang di langit dan mengetahui, bahwa tak lama lagi fajar akan
menyingsing. Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara kuda yang lari keras dan
beberapa saat kemudian berbareng dengan berhentinya suara kaki kuda, terdengar suara
perkelahian.
Dengan heran, Kim Sie Ie bangun dan memandang ke arah suara itu. Dengan bantuan
sepasang matanya yang sangat awas, ia melihat seorang wanita tua sedang bertempur dengan
seorang pendeta asing, sedang seorang pemuda berdiri di pinggir jalan. Begitu melihat ilmu
menimpuk senjata rahasia dari si nenek, ia segera mengenali, bahwa ia adalah Tong Say Hoa.
Sebab sangat jauh, ia tidak bisa melihat tegas siapa adanya pemuda itu, tapi ia menaksir, si
pemuda tentunya Tong Toan. Sesudah menyaksikan beberapa saat, ia yakin, bahwa si pendeta
asing mempunyai kepandaian lebih tinggi daripada Tong Say Hoa.
Di dekat gelanggang pertempuran terdapat seorang lain yang mengenakan seragam perwira
tentara Tjeng dan duduk di atas punggung kuda. Mendengar si pemuda menggunakan panggilan
"Liong Soesiok" dan Tong Say Hoa memanggil "Leng Kiauw," hati Kim Sie Ie mendadak berdebar-
debar.
Ia lantas saja ingat perkataan Hiatsintjoe, bahwa kaizar Tjeng telah menitahkan tiga jago
datang di Lhasa untuk mengawasi di jalankannya hukuman mati atas diri Liong Loosam. "Apa
orang itu yang dipanggil Liong Loosam?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa ia mengenakan seragam
perwira tentara Tjeng dan bukan pakaian perantaian?"
Harus diketahui, bahwa sebagai orang kepercayaan Hok Kong An, Liong Leng Kiauw telah
mendapat perlakuan istimewa. Sebelum datangnya firman kaisar, biarpun sudah dipenjarakan, ia
masih tetap mengenakan seragam itu.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Kim Sie Ie segera dapat mengendus, bahwa Tong
Say Hoa terancam bahaya. Ia yakin, bahwa begitu lekas senjata rahasianya habis, si pendeta
asing akan segera menyerang. "Walaupun nenek itu sangat menyebalkan, ia adalah salah seorang
ternama dalam kalangan Rimba Persilatan," pikirnya. "Jika ia roboh dalam tangan si pendeta
asing, bukankah seluruh Rimba Persilatan Tionggoan akan turut mendapat malu?" Berbareng
dengan itu, ia merasa agak jengah karena perbuatannya terhadap keluarga Tong. Diam-diam ia
mengakui, bahwa perbuatan itu memang tak pantas.
Beberapa saat kemudian, si nenek benar-benar terancam maut. Tanpa memikir panjang-
panjang lagi, Kim Sie Ie lalu melompat dan memberi pertolongan pada detik yang sangat penting.
Begitu bergebrak, baik Kim Sie Ie maupun si pendeta asing merasa sangat kaget. Setiap
pukulan pemuda itu disertai dengan Iweekang yang dahsyat. Di lain pihak, jubah pertapaan si
pendeta seolah-olah tameng besi setiap kali terbentur tongkat, mengeluarkan suara seperti benda
yang keras.
Sementara itu, bantuan Kim Sie Ie sungguh-sungguh di luar dugaan Tong Say Hoa yang jadi
girang tercampur heran, Karena tidak dapat menggunakan lagi senjata rahasia sebab bisa
menyasar ke kawan sendiri, si nenek lalu menyerang dengan gendewa, dengan menggunakan
ilmu Kimkiong Sippattah (ilmu silat gendewa yang mempunyai delapan belas jalan). Dikerubuti
oleh dua musuh yang berkepandaian tinggi, dalam sekejap Ouwtjeng jatuh di bawah angin.
Tapi si pendeta pun bukan tolol cepat-cepat ia menukar taktik. Terhadap Kim Sie Ie, ia hanya
membela diri dan terus mencecer si nenek dengan pukulan-pukulan hebat. Diserang cara begitu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

belum cukup setengah jam, napas Tong Say Hoa yang sudah berusia lanjut, mulai tersengal-
sengal.
Kim Sie Ie jadi jengkel. Ia yakin, bahwa tanpa perubahan, dalam tempo setengah jam lagi, si
nenek bisa roboh karena kecapaian. Biarpun ia tak takut untuk bertempur satu melawan satu, tapi
kalau Tong Say Hoa roboh ia harus memberi pertolongan. Ia ingin sekali menggunakan jarum
beracun, tapi lantaran belum tahu siapa adanya si pendeta, ia sungkan mencelakakan jiwa orang
secara sembarangan.
Selang beberapa saat, si nenek berteriak: "Leng Kiauw! Leng Kiauw!" Tapi Liong Leng Kiauw
tetap tidak bergerak.
"Tong Lootaypo, siapa orang itu?" tanya Kim Sie le.
"Murid ayahku," jawabnya.
"Kenapa dia tidak meladeni?" tanyanya pula. "Apa dia kena ilmu siluman ?"
Tong Say Hoa segera memanggil-manggil lagi beberapa kali. Tiba-tiba badan Liong Leng Kiauw
bergoyang-goyang dan dari tenggorokannya terdengar suara "kerokok-kerokok". Si nenek jadi
girang dan coba mendekati, tapi ia segera dihalangi oleh musuhnya.
"Baiklah," kata Kim Sie Ie. "Biar aku yang hajar manusia tak punya pribudi itu."
"Jangan! Jangan!" berteriak si nenek.
"Kenapa jangan?" kata pula pemuda itu. "Tong Lootaypo, kau hanya perlu membela diri untuk
beberapa jurus. Aku akan segera kembali." Berbareng dengan perkataannya, ia menghantam
jubah si pendeta dengan pukulan Tjianliong sengthian (Naga terbang ke langit), disusul dengan
totokan ke jalanan darah Inboen hiat, di bawah dada si pendeta. Untuk melindungi diri, Ouwtjeng
memutar jubahnya bagaikan titiran. Tapi kedua serangan itu hanya serangan gertakan dan pada
saat musuhnya membela diri, Kim Sie Ie menjungkir balik dan badannya hinggap di atas
punggung kuda, di belakang Liong Leng Kiauw.
Diluar dugaan, baru saja ia mau membuka mulut, tiba-tiba terdengar teriakan Tong Say Hoa.
Dengan terkejut, ia menengok. Ternyata, lengan si nenek sudah dicengkeram oleh pendeta asing
itu yang tengah mengangkat jubahnya tinggi-tinggi, siap sedia untuk menurunkan pukulan yang
membinasakan.
"Turun!" bentaknya. "Jika tidak, aku cabut jiwa nenek tua ini!" Sesudah bertempur begitu lama,
baru sekarang si pendeta bicara dan ia menggunakan dialek Pakkhia yang sangat lancar dan
bagus.
Sebenarnya dengan lweekang-nya yang sudah cukup tinggi dan ilmu Kimkiong Sippattah, Tong
Say Hoa sedikitnya masih bisa mempertahankan diri dalam sepuluh jurus. Tapi, mendengar
pernyataan, "si gila" yang mau menghajar Soetee-nya, ia jadi bingung dan segera bergerak untuk
coba mencegahnya. Tapi baru ia bertindak, si pendeta sudah menerjang dan mengebas
gendewanya dengan menggunakan jubah pertapaan. Hampir berbareng dengan terpentalnya
gendewa, ia merangsek dan mencengkeram lengan si nenek.
Kim Sie Ie terkesiap, ia kuatir Ouwtjeng membuktikan
ancamannya. Di lain saat, ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Baiklah. Lepaskan Tong
Lootaypo. Aku akan permisikan kau kabur." Ia melompat turun dan si pendeta segera melepaskan
cekalannya.
Tapi, sebelum ia melompat naik ke punggung tunggangannya, Kim Sie Ie menyembur. Dia
sungguh liehay. Begitu mendengar suara "srr" yang sangat halus, ia menyabat dan ludah Kim Sie
Ie menempel di jubahnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara menggeledek, dibarengi dengan muncratnya kepingan-
kepingan batu. Si pendeta menengok dan ia terkejut tercampur heran, karena tongkat pemuda itu
menghantam satu batu besar. Mendadak, satu benda hitam berkelebat bagaikan kilat dan dengan
suara "bret," jubah pertapaannya berlubang besar! Sebagaimana diketahui, dalam pertempuran
antara jago dan jago, walaupun sedetik, masing-masing pihak tidak boleh memecah perhatian.
Melihat tangguhnya musuh, Kim Sie Ie yang sangat pintar, sudah sengaja memukul batu untuk
membelokkan perhatian si pendeta dan hampir berbareng, ia menghunus pedang yang lalu
ditikamkan ke dada musuh. Masih untung, berkat kecepatan si pendeta, tikaman itu hanya
mengenakan jubah. Tapi, biarpun terlolos dari kebinasaan, jubah yang sudah berlubang itu tak
dapat digunakan lagi sebagai tameng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kim Sie fe sungkan memberi napas pada musuhnya. Ia mengirim serangan berantai, menikam
jalanan darah Thiantjoe hiat, Hiankie hiat dan Yangpek hiat, disusul dengan satu tikaman
membinasakan ke arah lutut si pendeta. Kim Sie Ie cepat, tapi Ouwtjeng lebih cepat lagi. Sesudah
mengegos tiga tikaman, tiba-tiba dia berteriak: "Bagus! Tikamlah!" Jubahnya berkelebat dan
menggentak pinggang Tong Say Hoa untuk memapaki tikaman Kim Sie Ie yang terakhir. Untung
juga, pada detik yang sangat penting, pemuda itu masih keburu menarik pulang pedangnya. Jika
tidak, tubuh si nenek tentu sudah berlubang!
Ternyata, sesudah cengkeram;»! pada lengannya dilepaskan, Tong Say Hoa yang sudah tua
tidak bisa segera bergerak. Selagi ia mengerahkan Iweekang untuk menjalankan aliran darahnya,
tiba-tiba Ouwtjeng menyapu dengan jubahnya, sehingga badannya terhuyung dan memapaki
pedang Kim Sie Ie.
Semua kejadian itu yang harus dituturkan agak panjang lebar, sudah terjadi cepat sekali. Jika
dihitung-hitung, meskipun jubahnya berlubang, pihak si pendeta yang memperoleh kemenangan.
Sambil tertawa berkakakan, ia melompat ke punggung kuda yang lalu dikaburkan sekeras-
kerasnya. Dengan demikian, usaha Tong Say Hoa untuk merebut adik seperguruannya mengalami
kegagalan.
Bukan main mendongkolnya Kim Sie Ie. Sebelum ia keburu membuka mulut untuk menanya si
nenek, mendadak jeriji Tong Say Hoa menyambar dan menotok jalanan darah Djiekie hiat-nya. Ia
terkesiap, tapi sebelum sempat menegur, sekonyong-konyong hidungnya mengendus serupa bau
yang halus dan wangi. Walaupun masih berusia muda, ia adalah seorang yang berpengalaman.
Lantas saja ia sadar, bahwa pendeta itu telah melepaskan semacam racun dan si nenek menotok
jalanan darahnya, supaya racun tak masuk ke dalam dada. "Sungguh tepat jika keluarga Tong
dijuluki sebagai ahli senjata rahasia nomor satu di dalam dunia," katanya di dalam hati. "Hidung
nenek tua itu ternyata banyak lebih tajam daripada hidungku." Hatinya heran bukan main, karena
ia tak tahu bau apa adanya itu.
Di lain saat, Tong Lootaypo mendadak mengusap hidung Kim Sie Ie yang lantas saja merasa
dadanya lega dan jalanan darahnya yang tertotok segera terbuka. Waktu itu, sambil memeluk
Liong Leng Kiauw, si pendeta sudah kabur puluhan tombak jauhnya.
"Ubar!" teriak si nenek. "Leng Kiauw kena obat lupa. Dia bukan sengaja tak suka mengenal
aku."
Barusan walaupun tak tahu racun apa yang dilepaskan oleh si pendeta, ia mengusap hidung
Kim Sie Ie sambil mencekal Liongyanko, semacam obat yang bisa memunahkan segala macam
racun dan ternyata obat tersebut cukup manjur untuk melawan Asioelo.
Sehabis berteriak, Tong Say Hoa lantas saja mengubar sekencang-kencangnya. Si pendeta
sudah kabur jauh sekali dan biar bagaimana jugapun tak akan dapat dicandak. Tapi si nenek tetap
mengudak, bagaikan orang edan. Melihat begitu Kim Sie Ie merasa terharu. "Tak dinyana, nenek
yang menyebalkan ini mempunyai rasa cinta yang begitu besar terhadap Liong Loosam," katanya
di dalam hati. Ia merasa tidak tega dan lalu membuntuti dari belakang.
Sesudah mengejar belasan li, dari sebelah kejauhan Kim Sie Ie mendadak melihat Tong Say
Hoa terpeleset dan jatuh terguling di atas tanah. Dengan kaget ia menghampiri dan ternyata,
nenek itu telah memuntahkan darah hidup, sedang paras mukanya pucat seperti mayat. Melihat
pemuda itu, ia membuka kedua matanya dan berkata dengan napas tersengal-sengal: "Aku bakal
segera mati, Aku hanya memohon, supaya kau suka melihat-lihat keponakan lelakiku."
Kim Sie Ie memegang nadi orang dan beberapa saat kemudian, ia berkata sambil bersenyum:
"Tak apa-apa, kau tidak akan mati. Kau hanya menggunakan tenaga melampaui batas. Sesudah
beristirahat beberapa hari, kau akan sembuh kembali."
Tong Say Hoa menghela napas panjang. Ia juga tahu sebab-sebab dari robohnya itu. Akan
tetapi, siapakah yang akan merawatinya selama beberapa hari?
Pemuda itu rupanya dapat membaca apa yang dipikir si nenek. Ia kembali mesem dan berkata
pula: "Keponakanmu masih berusia muda dan badannya kuat, sehingga, meskipun mendapat luka,
ia tentu tak akan mati. Yang paling penting adalah kau sendiri yang harus beristirahat dan
memelihara diri beberapa hari. Aku harap, kau jangan menganggap aku sebagai manusia yang
hanya bisa mengacau. Di samping mengacau, akupun pandai merawat orang. Di waktu kecil aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

pernah menjadi pengemis dan sudah biasa melayani orang. Belakangan, waktu berada di pulau
Tjoato, aku pun merawat soehoe, yang sering memuji kepandaianku."
Dengan berkata begitu, Kim Sie Ie memberitahukan penderitaannya di jaman lampau, tapi
perkataannya dikeluarkan dengan nada riang gembira. Mendengar itu, si nenek jadi merasa
terharu. Sebagai manusia biasa, ia juga sayang jiwanya. Tapi karena pernah mempunyai ganjelan
dengan pemuda itu, ia merasa berat untuk meminta pertolongan. Di luar dugaan, pemuda itu
sudah mengangsurkan dengan suka rela. Maka itu, dalam rasa terima kasihnya, ia juga merasa
jengah. "Ah, semua orang mengejek dia sebagai Toktjhioe Hongkay, sebagai pengemis gila yang
tangannya sangat beracun," pikirnya. "Tapi tak dinyana, ia mempunyai hati kasihan. Benar juga
orang kata, hati manusia tak bisa dilihat dari romannya. Tapi kenapa sepak terjangnya begitu
aneh?"
Dengan telaten, Kim Sie Ie merawat si nenek dan benar saja, selang beberapa hari,
kesehatannya telah pulih kembali. Mereka lalu kembali ke tempat pertempuran untuk coba
mencari jejak Tong Toan. Sesudah ditolong Keng Thian dan Peng Go, waktu itu Tong Toan sudah
pergi ke Lhasa. Tong Say Hoa yang kuatir keponakannya mati keuruk di dalam salju, telah
membongkar salju di beberapa tempat, di sekitar gelanggang pertempuran. Sesudah terbukti,
bahwa Tong Toan tidak menemui ajalnya disitu, hatinya merasa agak lega dan mereka lalu
meneruskan perjalanan ke jurusan barat untuk mencari si pendeta asing.

***

Dalam keadaan lupa ingat, untuk beberapa lamanya, Liong Leng Kiauw duduk di punggung
kuda, dalam pelukan Ouwtjeng. Sesudah melewati padang rumput, hari itu mereka tiba di kaki
sebuah gunung yang sangat besar. Bukit-bukit yang besar dan yang kecil berdiri berentet-rentet,
sedang puncak-puncak yang tertutup salju menjulang ke atas langit. Si pendeta menahan les kuda
dan memberikan obat pemunah kepada Liong Leng Kiauw. Angin dingin yang meniup tak hentinya
dan kembang salju yang melayang turun bagaikan kapas, sangat menyegarkan dan Liong Leng
Kiauw segera tersadar. Ia pernah mendaki banyak gunung yang tersohor, tapi gunung yang
menghadang di depan adalah lain daripada yang lain dan ia memandang dengan rasa kagum.
Si pendeta tersenyum seraya berkata: "Sesudah banyak capai beberapa hari, sekarang kita
boleh mengasoh." Ia melompat turun dari kuda, diturut oleh Liong Leng Kiauw.
Sebelum Leng Kiauw keburu menanya, si pendeta sudah mendului: "Liong Sam Sianseng...
salah, Kongtjoe dari Lian Thaysoe, di tempat ini kau boleh tak usah kuatir lagi. Andaikata kaisar
Tjeng mengirim sepuluh laksa tentara, ia juga tak akan dapat menangkap kau."
Leng Kiauw terkejut. "Bagaimana kau tahu asal-usulku?" tanyanya.
Si pendeta tertawa berkakakan. "Jika aku tak tahu asal-usulmu, perlu apa aku membuang
tenaga untuk menculikmu?" katanya.
"Apa artinya perkataanmu?" tanya pula Leng Kiauw.
Ouwtjeng menuding dengan cambuknya seraya berkata: "Lihatlah!"
Liong Sam mengawasi ke arah yang ditunjuk. Jauh-jauh, di satu selat gunung, ia melihat gerak-
geriknya tentara yang berjumlah besar, sedang di bawah pohon-pohon, lapat-lapat terlihat tenda-
tenda yang berderet-deret. Leng Kiauw kaget bukan main. "Siapa kau?" tanyanya.
"Aku bernama Taichiti, Koksoe (guru negara) dari negara Nepal," jawabnya sambil tertawa.
"Atas titah Raja, aku mengundang Sianseng (tuan) datang kemari untuk merundingkan suatu
usaha besar."
"Apa?" menegas Leng Kiauw. Si pendeta mengawaskan, muka Liong Sam dan berkata dengan
suara perlahan: "Selama hidupnya, mendiang ayahmu, Lian Keng Giauw Taytjiangkoen, telah
mengabdi kepada kaisar Tjeng dan telah berjasa besar sekali. Tapi pada akhirnya, tak urung ia
mesti binasa secara menyedihkan sekali. Maka itu, tidaklah heran jika Sianseng bertekad untuk
membalas sakit hati dan bertahun-tahun menderita di bawah perintah orang untuk mencapai
maksudmu itu. Rajaku merasa sangat bersimpati atas meninggalnya Lian Taytjiangkoen dan
merasa kagum akan segala usahamu!"
"Soal membalas sakit hati adalah soal pribadiku sendiri, yang tiada sangkut pautnya dengan
negara Koksoe," kata Leng Kiauw.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si pendeta bersenyum dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Biarpun Sianseng telah
berserikat dengan sejumlah Touwsoe tapi, Sianseng harus ingat, bahwa Hok Kong An mempunyai
tentara yang berjumlah besar, sehingga walaupun Sianseng berhasil melarikan diri dari penjara,
belum tentu bisa berhasil dalam seluruh usaha."
Mendengar itu, Leng Kiauw lantas saja mengerti maksud si pendeta. "Apa Koksoe ingin
membujuk supaya aku meminjam tentara dari negerimu?" tanyanya. "Hai! Jika aku menggunakan
cara itu, biarpun berhasil, aku tentu akan ditertawai orang."
"Sianseng salah," membantah si pendeta. "Dalam sejarah Tiongkok, meminjam tentara dari luar
negeri bukan hal yang belum pernah terjadi. Untuk membalas sakit hati ayahnya, Ngo Tjoe Sie
telah meminjam tentara negeri Gouw guna menghukum rajanya sendiri. Sebagaimana kutahu,
orang-orang di jaman belakangan tak pernah mentertawainya.
Bahwa pendeta asing itu mengenal baik sejarah Tiongkok, adalah di luar dugaan Leng Kiauw.
Mendengar bujukannya, tanpa merasa ia bergidik dan bulu romanya bangun semua. "Walaupun
benar Ngo Tjoe Sie pernah meminjam tentara Gouw, tapi negeri Gouw adalah negeri yang terletak
di Tiongkok juga dan tentara Gouw terdiri dari sesama bangsa," katanya di dalam hati. "Mana bisa
peminjaman tentara oleh Ngo Tjoe Sie dibandingkan dengan peminjaman tentara dari negara
Nepal. Di samping itu, pada akhirnya putera Raja Gouw -- yang mewarisi kedudukan Raja Gouw
tua – telah menghadiahkan hukuman bunuh diri sendiri kepada Ngo Tjoe Sie. Dengan menyebut-
nyebut Ngo Tjoe Sie, apakah si pendeta ingin aku mendapat nasib seperti orang itu? Jika aku
meminjam tentara asing, aku bukan satu Ngo Tjoe Sie, tapi seorang yang boleh dipersamakan
dengan Gouw Sam Kwie!"
Melihat Leng Kiauw membungkam, si pendeta berkata pula: "Seorang luar biasa harus
melakukan pekerjaan yang luar biasa pula. Negeriku adalah negeri kecil yang penduduknya sedikit
dan sama sekali tak punya niatan untuk menggeragoti wilayah Tiongkok. Untuk sementara, Lian
Sianseng boleh menancap kaki dan memperkuat kedudukan di daerah Tibet untuk menjagoi di
wilayah sebelah utara padang pasir. Sesudah mengumpul tenaga, Sianseng boleh maju terus ke
daerah Tionggoan dengan kemungkinan-
kemungkinan yang tiada batasnya. Jika di hari nanti Sianseng bisa menjadi tuan, dari sebuah
negara besar, maka negeriku yang kecil juga akan mendapat banyak manfaatnya!"
Seperti ayahnya, Liong Leng Kiauw pun mempunyai angan-angan besar. Mendengar perkataan
si pendeta, hatinya lantas saja tergerak. Selagi ia bersangsi, pendeta itu sudah berkata pula:
"Rajaku sudah membawa tentara sampai disini dan untuk sementara waktu berkemah di selat
gunung itu. Sesudah hawa udara menjadi lebih hangat dan salju melumer,
Aku sekarang mengundang Sianseng untuk menemui Rajaku, supaya bisa diadakan
perundingan yang lebih mendalam. Apakah Sianseng setuju dengan usulku itu?"
Leng Kiauw tidak menyahut. Ia memandang ke tempat jauh dengan mata mendelong.
Si pendeta tertawa pula seraya berkata: "Seorang laki-laki harus bisa mengambil keputusan
cepat dan tidak boleh terlalu bersangsi. Jika Sianseng maju ke barat, hari kemudianmu tak bisa
ditaksir bagaimana besarnya. Tapi jika Sianseng tetap menolak, aku pun tidak bisa memaksanya.
Hanya sepanjang pengetahuanku, kaizar Tjeng yang mempunyai banyak sekali kaki tangan yang
berkepandaian tinggi, telah bertekad untuk membinasakan Sianseng. Maka itu, manakala Sianseng
balik ke jurusan timur, andaikata bisa melewati padang rumput dengan selamat, mungkin sekali
Sianseng sudah menemui bencana sebelum tiba di Lhasa. Sebelum mengambil keputusan pasti,
aku memohon Sianseng suka menimbang dengan seksama."
Mendengar perkataan si pendeta yang cukup beralasan, Leng Kiauw segera berkata dalam
hatinya: "Sesudah tiba disini, biarlah aku menemui rajanya. Apa aku suka belakangan."
Sebagai gunung yang tinggi dan besar luar biasa, Himalaya mempunyai hawa yang berbeda-
beda. Di bagian atas, puncak-puncaknya ditutup es yang tak pernah melumer sepanjang tahun. Di
bagian tengah, di lereng gunung, hawanya seperti di musim dingin, dengan kembang-kembang
salju berterbangan kian kemari. Tapi di kakinya, ratusan bunga mekar serentak dan memberi
pemandangan seperti di musim semi.
Selat gunung dimana tentara Nepal sedang berkemah, dikurung dengan bukit-bukit tinggi yang
merupakan aling-aling bagi angin dingin, sehingga, oleh karenanya, hawa disitu nyaman dan
hangat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Begitu masuk di selat, Leng Kiauw melihat tenda-tenda yang dipasang berderet-deret. Di
tengah-tengah perkemahan terdapat bendera raja dan di seputarnya dipasang dua belas bendera
panglima. Leng Kiauw yang mengenal tata tertib dalam ketentaraan Nepal, tahu bahwa setiap
sepuluh tangsi tentara dipimpin oleh seorang panglima dan setiap tangsi terdiri dari lima ratus
serdadu. Maka itu, menurut perhitungan kasar, di selat tersebut berkumpul kurang lebih enam
puluh ribu tentara. Nepal adalah sebuah negri kecil dan dengan tentara yang sebesar itu, dapat
dikatakan sang raja sudah mengirim seluruh kekuatannya ke tempat tersebut. Tapi walaupun
berjumlah tidak sedikit, tentara itu belum memenuhi sebuah selat dari Himalaya.
Sambil berjalan, hati Leng Kiauw berdebar-debar. Ia ingat keangkeran di jaman lampau dari
mendiang ayahnya yang berkuasa atas ratusan laksa tentara. Semenjak kecil, ia telah berangan-
angan untuk mengikuti jejak ayahnya yang ia sangat kagumi. Sekarang, jika mau, mimpi itu bisa
terwujut. Ia bisa mengepalai sepasukan tentara dan menerjang ke jurusan Lhasa. Hanya sayang,
kesempatan yang datang itu mengandung hinaan bagi kehormatan dirinya. Demikianlah, sambil
berjalan, dua macam pikiran pro dan kontra, berkelahi dalam otaknya.
Mendadak di selat gunung terdengar suara ramai.

***
Sekarang mari kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go yang meneruskan perjalanan
ke arah barat untuk mencari Tong Say Hoa dan Kim Sie Ie.
Satu hari kembali lewat dengan hasil nihil. Pengtjoan Thianlie jadi semakin berkuatir, karena
lewatnya satu hari berarti semakin mendekatnya ajal Kim Sie Ie dan kekuatiran itu terlihat tegas
pada paras mukanya.
Keng Thian sendiri sebenarnya tidak menaruh simpati kepada pemuda edan-edanan itu. Tapi
sesudah Kim Sie Ie menolong Tan Thian Oe dan Tong Say Hoa, pandangannya jadi berubah.
Hanya setiap kali ingat pengacauan Kim Sie Ie terhadap percintaannya, ia selalu merasa
mendongkol.
Sekarang, dengan nyata ia melihat kekuatiran Peng Go akan keselamatan pemuda itu. Jika hal
ini terjadi di waktu dulu, sedikit banyak ia akan merasa jelus. Tapi sesudah mengenal si nona yang
welas asih dan suci bersih, kejelusan tak timbul dalam hatinya. Sebaliknya dari itu, ia malahan
lebih-lebih merasa kagum akan jiwa sang kecintaan yang mulia dan agung, la yakin, bahwa setiap
perasaan jelus hanyalah berarti kecilnya jiwa sendiri.
Sesudah membedal kuda beberapa hari, mereka melewati padang rumput dan pegunungan
Himalaya sudah berada di depan mata. Mereka lalu masuk ke daerah pegunungan itu dan berada
di tengah bukit-bukit dan batu-batu karang yang angker dan penuh bahaya. Sambil berjalan,
mereka menikmati pemandangan alam yang indah luar biasa.
Keng Thian menghela napas.
"Benar juga orang kata, bahwa dalam dunia ini tak ada apa-apa yang tiada lawannya, yang
satu lebih tinggi daripada yang lain," katanya dengan suara perlahan. "Tadinya aku menganggap,
gunung Thiansan tiada tandingannya lagi. Panjangnya gunung itu tak kurang dari tiga ribu li,
sedang kedua puncaknya, yang satu di selatan dan yang lain di utara, seolah-olah menembus
langit. Tapi tak dinyana, Himalaya lebih hebat daripada Thiansan."
Belum jalan berapa jauh, di depan mereka tiba-tiba menghadang sebuah puncak batu yang
bentuknya luar biasa. Puncak itu yang berdiri terpencil tak jauh dari padang rumput, menjulang ke
atas seperti satu kaca muka yang terbuat dari batu giok putih, Keng Thian dan Peng Go
memandangnya dengan rasa kagum dan mereka lalu maju mendekati. Mendadak Keng Thian
mengeluarkan seruan tertahan dan dengan paras yang mengunjuk keheranan, ia melompat turun
dari tunggangannya.
Hampir berbareng, Peng Go pun mengeluarkan teriakan kaget, karena ia melihat tetesan darah
di kaki puncak. "Ih! Apa Kim Sie Ie dan pendeta asing itu bertempur lagi di tempat ini?" tanyanya.
"Darah siapa ini ?"
"Darah?" menegas Keng Thian.
"Apa kau tak lihat?" si nona balas menanya, sambil melirik tunangannya, Ternyata mata
pemuda itu tengah mengawaskan ke atas puncak. Ia dongak dan lapat-lapat, melihat beberapa
baris huruf di atas puncak itu. Harus diingat, bahwa puncak batu itu yang berdiri lurus, sangat licin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

permukaannya, sehingga tak mungkin dipanjat manusia. Maka itulah, terlihatnya huruf-huruf
tersebut merupakan kejadian yang lebih aneh daripada tetesan darah.
Mereka lalu maju terlebih dekat dan mengawasi tulisan itu yang berbunyi seperti berikut:
"Beberapa kali mendaki Thiansan lulus dari ujian, sepasang pedang kini naik ke Puncak Mutiara,
gunung termashyur seolah-olah tempat tinggalnya dewa, tak tega melihat tentara asing
mengucurkan darah di selebar bumi!"
Setiap huruf, yang besarnya kurang lebih satu kaki pesegi, seperti juga terpahat di batu karang.
Sesudah mengawasi beberapa lama, Pengtjoan Thianlie kembali mengeluarkan seruan kaget. "Apa
dalam dunia ini ada manusia yang berkepandaian begitu tinggi?" tanyanya dengan suara heran
dan kagum. "Dilihat dari tulisannya, huruf-huruf itu pasti ditulis dengan jeriji tangan!"
Keng Thian tak menyahut, kedua matanya terus mengincar huruf-huruf itu. Mendadak saja ia
berseru: "Inilah buah tangannya ayahku!"
"Ayahmu?" menegas si nona. "Apa beliau tidak berada di Thiansan?" Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata pula: "Benar, aku rasa kau tak salah. Dilihat dari syair itu, bukan saja ayahmu,
tapi ibumu pun turut datang kesini. Tapi untuk apa mereka mendaki Himalaya?"
"Sudah dua puluh tahun, ayahku tak pernah memegang senjata," kata Keng Thian dengan
suara perlahan. "Kenapa ia melukakan orang di tempat ini?" Pada jaman itu, kepandaian Tong
Siauw Lan dan Phang Eng tiada tandingannya di kolong langit, sehingga dapatlah dimengerti, jika
Keng Thian segera menarik kesimpulan, bahwa darah itu adalah darah orang lain.
Dengan menggunakan ilmu Pekhouw yoetjiang (Cecak merayap di tembok), Keng Thian segera
memanjat puncak batu itu.
"Hati-hati!" teriak si nona. "Batu itu kelihatannya bergoyang-goyang.
"Tak apa," sahut Keng Thian. "Jika benar berbahaya, ayahku tentu tak akan memanjatnya."
Selagi berkata begitu, matanya melihat sebuah batu yang separuh menonjol keluar, sedang
separuhnya lagi menempel di tembok batu itu. Biarpun memiliki ilmu mengentengkan badan yang
sangat tinggi, tapi karena dari bawah ia harus merayap ke atas tanpa pegangan, maka waktu itu
Keng Thian sudah merasa capai bukan main. Ia girang melihat batu yang menonjol itu, sebab
dengan memegangnya, ia bisa mengasoh sebentaran. Satu tangannya segera menjambret batu
itu.
"Awas!" teriak Peng Go.
Sedang mulut si nona belum tertutup rapat, sudah terdengar suara gcdubfakan, disusul dengan
jatuhnya batu yang baru saja dipegang Keng Thian. Hati Peng Go mencelos dan mengawasi
dengan mata membelalak. Bagaikan kilat, Keng Thian menendang dan badannya lantas meluncur
ke bawah. Batu itu melayang turun dengan kecepatan luar biasa, tapi masih untung, jatuhnya
Keng Thian lebih cepat lagi dan untuk beberapa detik, punggungnya dibayangi dengan batu
tersebut dalam jarak beberapa kaki. Ia kaget bukan main, tapi sebagai seorang yang
berkepandaian tinggi, dalam kagetnya ia tak jadi bingung. Pada saat yang sangat berbahaya,
sambil mengerahkan Iweekang, ia menggoyang badannya yang lantas saja membelok sedikit dan
hampir berbareng, batu itu lewat di dekat kepalanya!
Tiba-tiba terdengar lagi suara gedubrakan hebat, disusul dengan jeritan kuda. Ternyata kedua
tunggangan mereka tertimpa batu dan lantas tewas jiwanya. Dengan jantung memukul keras,
Peng Go lompat menghampiri Keng Thian yang paras mukanya pucat dan kedua lututnya
berlumuran darah.
Dengan melupakan rasa malu, si nona memeluk tangannya dan air matanya mengucur deras.
"Puteri edan, kenapa kau menangis?" tanya Keng Thian sambil tertawa. “Tulangku tidak patah.
Andaikata patah, kau menangis pun tak ada gunanya."
Dengan muka bersemu merah, si nona memeriksa lutut Keng Thian dan benar saja, biarpun
lukanya tak terlalu enteng, urat dan tulangnya tidak terganggu. Diam-diam ia merasa kagum akan
liehaynya sang tunangan. Begitu batu itu jatuh, Keng Thian menendang dengan kedua kakinya,
untuk memperlambat gerakan jatuh batu itu dan mempercepat gerakan jatuh tubuhnya sendiri.
Jika ia tidak berbuat begitu, mungkin sekali batu tersebut sudah menghantam tubuhnya dan
membinasakannya. "Tak heran jika orang menganggap Iweekang Thiansan pay sebagai Iweekang
yang paling unggul dalam Rimba Persilatan," kata si nona dalam hatinya. "Usia Keng Thian tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

kacek jauh dengan usiaku, tapi lweekang-nya banyak lebih tinggi. Ia sanggup membentur batu
yang beratnya ribuan kati dan hanya mendapat luka di luar."
Dengan hati-hati si nona melabur obat dan membalut luka Keng Thian dan kemudian
memberikannya sebutir Liokyang wan. "Entah kenapa, aku mudah mengucurkan air mata,"
katanya seraya tersenyum. "Dulu, waktu burung betetku patah sayapnya, aku pun sudah
menangis. Di Nepal terdapat suatu dongengan rakyat. Menurut dongengan itu, di jaman purba
seorang puteri raja, yang tunangannya telah dibinasakan oleh seorang dukun. Pada waktu
pangeran itu -- ia adalah seorang putera raja – hendak dimakamkan, sang puteri datang dan
sambil memeluk jenazahnya, ia menangis sedu sedan. Air mata, itu telah membasahi dada sang
tunangan yang mendadak hidup kembali."
Keng Thian tertawa terbahak-bahak. "Aha! Sungguh mustajab air mata sang puteri!" katanya.
"Bukan saja bisa menyambung tulang, tapi juga bisa menghidupkan mayat. Dengan adanya kau di
dampingku, aku boleh tak usah takuti apapun juga."
Si nona tertawa manis. "Dari mana kau belajar bicara begitu," katanya sambil menabok pipi
sang tunangan. Demikianlah kedua orang muda itu bersenda gurau dengan rasa beruntung,
"Heran betul!" tiba-tiba Keng Thian berkata.
"Heran kenapa?" tanya Peng Go.
"Batu itu!" jawabnya.
Pengtjoan Thianlie tersadar dan ia berkata: "Benar. Kenapa batu itu jatuh? Coba aku
menyelidiki." Ia berjalan sampai di kaki puncak dan mendongak. Segera juga ia melihat, bahwa di
tempat bersambungnya batu menonjol itu -- yang sudah ambruk ke bawah – dengan tembok
batu, terdapat bekas-bekas bacokan golok atau kampak. Dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan, ia merayap ke atas dan tangannya meraba-raba di sekitar tempat
sambungan itu. Ternyata, tanah dan lumut yang melekat disitu juga memperlihatkan bekas-bekas
diganggu orang. Tapi karena "pengolahannya" dilakukan secara halus, maka sebelum jatuh, orang
masih menganggap, bahwa batu yang menonjol itu merupakan bagian yang tersatu dari puncak
batu tersebut.
Bukan main rasa herannya Pengtjoan Thianlie. Orang yang menaruh "racun" itu tentulah
bekerja sesudah Tong Siauw Lan meninggalkan tempat tersebut. Tapi siapa dia? Kenapa dia
berbuat begitu. Apakah dia sudah menduga, bahwa seorang lain akan memanjat puncak itu untuk
membaca syair Tong Siauw Lan?
Keng Thian pun tidak kurang herannya, tapi, seperti si nona, ia juga tidak bisa menduga-duga,
tangan siapa yang sudah melakukan itu.
Dengan Peng Go menuntun Keng Thian, perlahan-lahan mereka melanjutkan perjalanan.
Untung juga, belum jalan berapa jauh, mereka bertemu dengan sebuah Honghotay, peninggalan
di jaman dulu. (Honghotay adalah sebuah bangunan tinggi yang di jaman dulu digunakan sebagai
pertandaan untuk meminta bantuan tentara, dengan membakar kayu. Dengan melihat api dan
asap, kawan yang berada di tempat jauh dapat segera memberi pertolongan).
Sambil menuntun tunangannya, Peng Go masuk ke dalam bangunan itu. seraya berkata:
"Untung juga kita bertemu dengan tempat meneduh untuk beristirahat beberapa hari sampai
lukamu sembuh."
Honghotay adalah bangunan yang bertingkat dua, atasnya lancip, bawahnya lebar. Bagian
atasnya, atau loteng, biasa digunakan sebagai mercu untuk meninjau ke tempat jauh, sedang
bawahnya digunakan sebagai tangsi untuk serdadu. Pengtjoan Thianlie segera membersihkan
lantai dan sesudah mempersilahkan Keng Thian merebahkan diri, ia lalu keluar untuk mencari
makanan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa dua ekor ayam alas yang lalu
dijadikan barang santapan. Dengan dirawat oleh si nona dan saban-saban menelan pel mustajab
dari Istana Es, pada esokan harinya, luka Keng Thian sudah rapat dan satu dua hari lagi, ia akan
sembuh seperti sediakala.
Malam itu, Peng Go kembali memburu dan mendapat seekor kambing kecil yang lalu
dibakarnya. Sebagai seorang puteri yang sedari kecil biasa dirawat, Peng Go sama sekali tidak
mengenal ilmu masak. Malahan membakar daging saja, ia tak mampu, sebagian hangus dan
sebagian mentah. Tapi bagi Keng Thian, daging yang mentah matang itu, merupakan santapan
yang terlezat dalam dunia!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Kedua orang muda itu tentu
saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan yang baik dan sambil menggandeng tangan, mereka
naik ke loteng untuk menikmati pemandangan malam terang bulan yang indah itu. Sungguh
permai! Himalaya seolah-olah mandi dalam lautan perak dan sinar es yang menyorot dari puncak-
puncak yang tinggi memperlihatkan suatu pemandangan yang benar-benar luar biasa.
Sesudah memandang beberapa lama, si nona menghela napas seraya berkata dengan suara
perlahan: "Di sebelah sana adalah
negeri ibuku. Sungguh lucu-
meskipun aku berkedudukan sebagai puteri Nepal, belum pemah aku menginjak negeri itu."
"Tak satu manusia pun yang menghalangi kau pergi kesitu," kata Keng Thian sambil tertawa.
"Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali ke negeri sendiri." kata si nona.
"Keng Thian tersenyum. "Dalam dunia ini tiada yang kekal," katanya. "Coba kau pikir, siapa bisa
duga, Puncak Es bisa roboh dengan begitu saja?"
Peng Go tidak menyahut, parasnya kelihatan berduka sekali.
"Jika piauwko-mu (saudara sepupu) ingin menikah dengan kau, kau tak bisa tidak pulang ke
Nepal," kata Keng Thian.
"Piauwko-ku?" menegas si nona.
"Bukankah raja Nepal piauwko-mu?" kata pula pemuda itu, "Hm... menurut taksiranku, pendeta
asing itu tentu kabur ke Himalaya. Aku kuatir, dugaanmu tidak meleset, dia datang di Lhasa atas
perintah raja Nepal."
Peng Go membungkam. Beberapa saat kemudian, barulah ia berbisik: "Kecuali kau, dalam
hatiku tak ada tempat lagi untuk lain lelaki..." Sehabis berkata begitu, parasnya berubah merah.
Biarpun sudah tahu sama tahu, inilah untuk pertama kali si nona membuka rahasia hatinya terang-
terangan.
Kegirangan Keng Thian meluap-luap dan matanya berlinang-linang karena kegirangan yang
melampaui batas. Sambil memegang pundak si nona, ia berbisik: "Apa benar?..."
Dengan perlahan Peng Go mendorong kecintaannya. "Kau tidak permisikan aku menangis, tapi
kau sendiri yang mudah mengucurkan air mata," katanya dengan suara terharu.
Tiba-tiba kesunyian sang malam diganggu dengan suara tindakan kaki manusia di bawah
loteng. "Siapakah yang menggerayang kesini di tengah malam buta?" bisik Keng Thian.
Peng Go menghunus Pengpok Hankong kiam dan membuat lubang kecil di papan loteng.
"Aha!" demikian terdengar seruan seorang. "Daging kambing bakar? Mana yang punya?" Suara
itu adalah suara Hiatsintjoe yang menyeramkan.
"Jangan perdulikan yang punya," kata seorang lain. "Makan saja."
Keng Thian mengintip di lubang. Ia melihat seorang hweeshio, jangkung kurus tengah berjalan
mendekati perapian dan waktu lengannya menyentuh meja batu, terdengar suara beradunya
logam. Orang itu adalah Tang Thay Tjeng yang tidak dikenal Keng Thian. "Siapa dia?" tanyanya di
dalam hati. "Hiatsintjoe saja sudah merupakan lawan berat. Hweeshio itu kelihatannya bukan
sembarang orang. Bagaimana baiknya? Lukaku belum sembuh, apa Peng Go bisa melawan mereka
berdua?" Sambil mengeluarkan beberapa batang Thiansan Sinbong, ia berbisik di kuping Peng Go:
"Jangan ladeni mereka."
Peng Go mengangguk. Selagi hatinya penuh dengan rasa cinta, si nona memang tak punya
kegembiraan untuk bertempur.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan sambil mengunyah daging, ia berkata dengan suara mendongkol:
"Sungguh tolol orang yang membakar daging ini. Separuh hangus, separuh mentah."
Mendengar kecintaannya dimaki, Keng Thian gusar, tapi Peng Go sendiri hanya bersenyum.
Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Kau sungguh rewel," katanya. "Jika tak doyan, jangan makan!
Berikan semua, kepadaku, perutku lapar sangat. Di atas gunung mungkin lebih sukar mendapat
makanan."
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, mulutnya terus mengunyah daging. "Semakin aku
ingat, semakin perutku panas," mendadak dia berkata lagi. "Sungguh kurang ajar binatang Kim Sie
Ie! Jika aku berhasil mendapatkan, Tjiangtjoe Siantjo, huh-huh!... Aku akan keset kulitnya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Dari dulu sampai sekarang, belum pernah ada manusia yang
berhasil mendaki Puncak Chomo Lungma," katanya. "Jangan kau mengharap-harap embun tengah
hari. Jika kau bisa berhasil, Tuhan benar-benar memberkahi kau."
"Kalau kau takut mati, tak usah kau ikut," bentak Hiatsintjoe.
"Ikut tentu aku mesti ikut," kata si pendeta. "Seperti kau, aku pun sangat dihina orang.
Daripada dihina orang, lebih baik mati, daripada mati konyol, lebih baik coba-coba nasibku."
Mendengar pembicaraan yang tiada ujung pangkalnya itu, Peng Go tak mengerti apa yang
sedang dibicarakan. Ia hanya merasa heran, kenapa Hiatsintjoe gusar terhadap Kim Sie Ie, sedang
orang yang bersalah sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia tentu saja tak tahu terjadinya
pertempuran di padang pasir, dimana Hiatsintjoe dipukul pincang oleh Kim Sie Ie yang sudah
merampas juga unta mereka. Hanyalah sesudah mengalami banyak penderitaan, barulah mereka
bisa keluar dari padang pasir itu.
Selagi Hiatsintjoe mencaci Kim Sie Ie, tiba-tiba diluar terdengar suara kaki kuda.
"Celaka! Pemilik daging datang!" kata Tang Thay Tjeng sambil tertawa.
"Kalau dia rewel, aku hantam mampus padanya," kata kawannya.
"Jangan galak-galak," si pendeta tertawa haha-hihi. "Orang baik-baik tak boleh sembarangan
membunuh manusia."
Sementara itu, suara kaki kuda kedengaran berhenti di depan Honghotay. "Apa aku kata?"
demikian terdengar suara seorang anak tanggung yang sangat nyaring. "Aku sudah kata, kalian
tak usah bingung. Bukankah disini ada tempat meneduh? Ha-ha-ha! Bau daging kambing! Wangi
sungguh! Aku berani bertaruh, pemilik daging adalah seorang pelancong yang murah hati."
Keng Thian dan Peng Go saling memandang sambil mesem. Mereka mengenali, bahwa suara
itu adalah suara Kang Lam, si bawel.
"Ibu, rumah apa ini?" tanya seorang gadis.
"Tak tahu, tapi tak halangan jika kita numpang disini," jawab seorang wanita.
Keng Thian merasa heran. "Kenapa Yo Lioe Tjeng dan puterinya datang kemari?" tanyanya di
dalam hati. "Didengar dari suara tindakan, yang datang ada empat orang. Siapa yang satunya
lagi?"
Sesaat kemudian, empat orang masuk dengan beruntun-runtun. Dari lubang papan, Keng Thian
mendapat kenyataan, bahwa orang yang satunya lagi adalah Tong Toan.

***

Ternyata, selagi Kang Lam mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya ke Lhasa untuk mencari
Keng Thian, di tengah jalan mereka bertemu dengan Tong Toan. Keluarga Tong dan Yo adalah
sahabat-sababat lama. Pada dua puluh tahun lebih berselang, satu gelombang hebat telah terjadi
karena Phang Lin telah kesalahan membunuh suami Tong Say Hoa dan peristiwa itu hampir-
hampir menyeret juga Yo Tiong Eng dan puterinya. Sesudah gelombang mereda, keluarga Tong
insyaf bahwa kesalahan terletak di pihaknya dan merasa sangat malu akan perbuatan mereka
terhadap Yo Tiong Eng. Maka itulah, perhubungan antara mereka dan Yo Lioe Tjeng jadi
terlebih rapat lagi. Biarpun Yo Lioe Tjeng berusia banyak lebih muda daripada Tong Say Hoa, Tong
Toan selalu menganggapnya sebagai seorang tjianpwee dan memanggil Kouwkouw (bibi)
kepadanya.
Tong Toan segera menceritakan pertemuannya yang luar biasa dengan Keng Thian dan Peng
Go. Sesudah mengetahui jejak Keng Thian, Yo Lioe Tjeng segera mengajak Tong Toan pergi,
menyusul ke jurusan barat.
Begitu masuk ke ruangan bawah Honghotay, mereka melihat Hiatsintjoe yang sedang
mempertunjuki kepandaiannya yang menyeramkan. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam
perapian yang sudah hampir padam dan dengan menggunakan ilmu Inhwee siosin (Menarik api
membakar badan), ia mengeluarkan hawa yang sangat panas di telapakan tangannya, sehingga
perapian itu, kembali membara. Dengan kulit tangan yang terkeset, tulang-tulang jeriji kelihatan
tegas sekali di dalam bara. Tang Thay Tjeng sendiri terus mengunyah daging kambing sambil
menyender di meja batu, dengan memperlihatkan sikap acuh tak acuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Melihat kedua memedi itu, Yo Lioe Tjeng berempat kaget tak kepalang. Dengan badan
bergemetaran, Kang Lam mundur ke belakang Tjee Tjiang Hee.
Jantung Yo Lioe Tjeng memukul keras, tapi karena mempunyai banyak pengalaman, parasnya
sedikitpun tidak berubah. "Benar," katanya. "Tempat ini nyaman dan hangat. Kang Lam, coba
keluarkan arak dan daging ayam. Sebelum tidur, kita makan dulu."
Si kacung segera mengeluarkan sepotong paha ayam, tapi sebab sedang ketakutan, ia tak
punya napsu makan dan lalu mengangsurkannya kepada Tjiang Hee. "Kau makan saja sendiri,"
kata si nona. "Daging bekalanku belum habis."
Sesudah menenteramkan hati sambil memegang, paha ayam itu, Kang Lam berkata sambil
tertawa haha-hihi: "Tong Tayhiap, telah berjanji untuk bertemu disini. Sediakanlah sepotong
daging untuknya. Ha-ha! Tong Tayhiap bersahabat baik dengan Kongtjoe-ku dan ia belum pernah
salah janji, la kata, akan tiba disini tengah malam dan ia pasti datang."
Tjiang Hee kaget tapi segera juga ia mendusin, bahwa dengan perkataannya itu, si kacung
coba menakut-nakuti kedua musuhnya. Hanya lantaran hatinya ketakutan, tertawa dan suaranya
sangat tidak wajar.
Hiatsintjoe lantas saja mengeluarkan suara di hidung, sedang Tang Thay Tjeng tertawa
berkakakan. "Sayang sekali disini tak ada yang memukul kentongan, sehingga 'ku tak tahu, apa
sekarang tengah malam atau sudah lewat tengah malam," kata si pendeta dengan suara
menjengeki.
Kang Lam kaget, ia mengerti, bahwa ia sudah salah omong. Untuk memperbaiki kesalahannya,
ia kembali tertawa seraya berkata: "Tong Tayhiap dan kita sama-sama datang dari Lhasa. Biarpun
kepandaiannya tinggi, ia tentu saja tidak bisa jalan begitu cepat seperti yang menunggang kuda.
Tapi ia pasti datang. Sepoci arak ini lebih baik disediakan untuknya."
Dengan berkata begitu, Kang Lam lebih membuka kedok serdiri. "Plak!", Hiatsintjoe menepuk
meja batu seraya membentak: "Kang Lam! Mari!"
Jantung si kacung melonjak, la mundur setindak dan berkata seraya menggoyang tangan:
"Jangan sungkan-sungkan, makan saja sendiri. Aku tak doyan daging kambing."
"Jangan rewel!" bentak pula Hiatsintjoe. "Siapa undang kau makan daging kambing? Mari!
Layani tuan besarmu minum arak."
"Arak ini adalah untuk Kim Tayhiap," katanya dengan suara bingung.
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Kim Tayhiapmu sudah mampus di padang pasir," katanya dengan
suara mengejek. "Jangan banyak bacot! Kau ingin menakut-nakuti aku dengan menggunakan
nama Toktjhioe Hongkay? Hm! Kemari! Jika kau membandel, aku akan bakar badanmu." Sehabis
berkata begitu, ia mengebaskan tangannya dan hawa yang sangat panas lantas saja menyambar.
Tiba-tiba di luar terdengar suara tertawa yang sangat nyaring. "Bagus!" seru seorang. "Aku
paling doyan daging kambing!"
Hiatsintjoe menengok dan melihat dua orang aneh sedang berjalan masuk dengan jungkir balik,
dengan menggunakan tangan sebagai kaki. Sesudah melihat lebih tegas, ia tahu, bahwa kedua
orang itu patah tulang kakinya. Dilihat dari mata mereka yang dalam, hidung yang mancung dan
pakaian mereka, orang bisa lantas mengenali, bahwa mereka adalah orang Arab yang dapat
menggunakan bahasa Han dengan lancar sekali.
Begitu masuk, mereka bersila dan berkata sambil menuding Hiatsintjoe: "Wangi sungguh
daging itu. Coba berikan sepotong kepadaku."
Hiatsintjoe naik darahnya dan dengan mendelik, ia mengipas dengan kedua tangannya dan
hawa panas segera menyambar pada kedua orang itu. Tang Thay Tjeng buru-buru memberi
isyarat dengan kedipan mata untuk mencegah sang kawan berlaku semberono.
"Ha-ha-ha! Sungguh nyaman!" seru satu antaranya. "Dari gunung es masuk kesini seperti juga
masuk ke dalam surga." Dilihat dari muka dan gerak-geriknya, kedua orang itu sudah lelah sekali.
Sesudah berjalan di atas salju dan kemudian diserang hawa panas, mereka pasti sudah roboh jika
tak punya tenaga dalam yang sangat kuat. Mereka terus bersenyum-senyum dengan sikap acuh
tak acuh, seperti juga tidak merasakan kebasan tangan Hiatsintjoe.
Kedua orang aneh itu berbeda badannya, yang satu gemuk dan yang lain kurus. "Aku dengar
orang-orang di Tiongkok sangat ramah tamah terhadap tamu," kata si gemuk. "Sekarang ternyata,
omongan itu dusta belaka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa kau kata ?" bentak Hiatsintjoe.


"Eh, apa kau mau cari-cari ribut?" tanya si kurus.
Hiatsintjoe tak bisa menahan sabar lagi. Ia melompat ke tengah ruangan dan berteriak: "Mari!
Mari kita coba-coba. Kami berdua dan kamu pun berdua."
Si kurus menggelengkan kepala. "Perutku lapar," katanya sambil tertawa. "Tak punya tenaga
untuk berkelahi."
Dengan gergetan Hiatsintjoe mengambil sepotong daging yang sedang dipegang Tang Thay
Tjeng dan lalu melontarkannya sembari membentak: "Makan! Lekas makan!" Waktu melemparkan,
ia mengerahkan lweekang, sehingga daging itu menyambar dengan tenaga yang hebat. Tapi si
kurus tetap tenang. Ia membuka mulutnya dan menggigit potongan daging yang menyambar itu.
"Mana untukku?" tanya si gemuk.
"Kang Lam! Berikan daging ayam kepadanya!" memerintah Hiatsintjoe.
Melihat perkembangan yang luar biasa itu, si kacung jadi girang. Dengan sikap hormat, ia
mempersembahkan dua potong daging ayam kepada si gemuk.
"Makanlah. Kalau tak cukup, masih ada lagi," katanya.
"Mari araknya," kata si gemuk.
Tanpa menunggu perintah Hiatsintjoe, cepat-cepat Kang Lam mempersembahkan sepoci arak
kepadanya. "Benar," katanya sambil tertawa. "Sesudah makan minum, baru ada kegembiraan
untuk berkelahi."
Dengan sorot mata gusar, Hiatsintjoe mengawasi kedua orang itu, tapi Tang Thay Tjeng
berulang-ulang menggelengkan kepala seraya berkata: "Guna apa? Guna apa berkelahi?"
Kawannya tidak meladeni. "Lekas! Lekasan sedikit!" teriak Hiatsintjoe.
Mereka makan minum perlahan-lahan sampai daging dan arak tiada sisanya lagi. Tiba-tiba si
kurus tertawa terbahak-bahak. "Sekarang aku sudah kenyang," katanya. "Mari! Siapa yang mau
berkelahi boleh datang kesini!"
"Sudahlah," membujuk Tang Thay Tjeng. "Kita sama-sama pelancong dan juga tak punya
permusuhan. Perlu apa, cari-cari urusan?" Ia berusaha untuk membatalkan pertempuran karena
dalam perhitungannya, pihaknya jatuh di bawah angin. Dengan lweekang Hiatsintjoe yang sudah
banyak berkurang, ia menaksir, bahwa mereka berdua belum tentu bisa menandingi kedua orang
aneh itu. Di samping itu, masih terdapat empat musuh lain yang mungkin sekali akan menyerang
pihaknya. Ia tak takuti Tjee Tjiang Hee, Tong Toan dan Kang Lam, tapi gendewa dan peluru Yo
Lioe Tjeng tak boleh dipandang ringan.
Sekonyong-konyong paras muka si gemuk berubah menyeramkan. Ia tertawa nyaring seraya
berkata: "Boleh, boleh tak usah berkelahi. Tapi aku ingin meminjam serupa barang."
"Apa?" menegas Hiatsintjoe dengan perut panas.
"Berikan empat kakimu sebatas dengkul kepada kami," jawabnya. "Aku perlu sekali dengan itu."
Ia berkata begitu dengan sikap sembarangan, seolah-olah yang mau dipinjamnya tak berharga
sepeser buta.
Dapat dimengerti, jika Hiatsintjoe jadi kalap. Belum habis si gemuk mengucapkan
perkataannya, ia sudah mengenjot badan dan sambil melompat, ia menghantam sekuat tenaga
dengan kedua telapakan tangannya. Hebat sungguh pukulan itu! Yo Lioe Tjeng berempat yang
berdiri dalam jarak beberapa tombak, masih merasakan hawa yang sangat panas. Kang Lam buru-
buru bersila dan, tanpa memperdulikan segala apa, lalu mengerahkan lweekang Thiansan pay,
yang didapat dari Tong Keng Thian.
Dengan tenang si gemuk mengangkat tangannya untuk menyambut serangan itu. Di lain pihak,
sedang kedua kakinya belum hinggap di bumi, Hiatsintjoe merasa didorong serupa tenaga yang
sangat besar, sehingga tubuhnya bergoyang-goyang. Begitu kakinya menginjak lantai, ia segera
mengirim pukulan kedua, tapi hawa panasnya sudah banyak berkurang.
Bukan main kagetnya Tang Thay Tjeng. Hiatsintjoe menyerang kalang kabut seperti harimau
edan, tapi ia tak bisa mendekati kedua lawannya dan tertahan dalam jarak kurang lebih setombak.
Beberapa saat kemudian, gerakan-gerakan Hiatsintjoe menjadi kalut dan ia menerjang terputar-
putar bagaikan seekor laler yang masuk ke dalam jebakan.
Harus diketahui, bahwa ilmu yang digunakan oleh kedua orang itu adalah Imyang Ngoheng
Tjianglek, ilmu pukulan yang terdiri dari "negatif dan "positif", yaitu satu pukulan mendorong
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

keluar, sedang pukulan yang lain membetot ke dalam. Dengan demikian, musuh yang masuk ke
dalam kalangan pukulan mereka seperti terseret ke dalam "pusar air", terus terputar-putar tanpa
mampu meloloskan diri.
Tang Thay Tjeng sebenarnya sungkan bermusuhan dengan kedua orang itu, tapi karena
sahabatnya berada dalam bahaya, ia tak bisa berpeluk tangan. Sebagai orang yang hati-hati,
sebelum turun tangan lebih dulu ia memikin siasat untuk meloloskan diri. Ia ingin menyerang
dengan menggunakan ilmu menubruk Niauw-eng dan jika serangannya gagal, ia bisa lantas
mengundurkan diri. Sedapat mungkin ia tak mau mengadu tenaga tangan dengan musuhnya "Kaki
mereka patah dan mereka tentu tak bisa mengubar aku," pikirnya.
Tapi di luar dugaan, ilmu silat kedua orang aneh itu sungguh luar biasa. Begitu Tang Thay
Tjeng "terbang" ke udara dan sebelum tangannya menyentuh kepala musuh, si gemuk tiba-tiba
mendorong si kurus yang tubuhnya lantas saja melesat ke atas dan tangannya membetot. Tang
Thay Tjeng terkesiap, buru-buru ia menggoyang badan yang segera membelok ke belakang.
Gerakan si pendeta cukup cepat, tapi si kurus lebih cepat lagi. Hampir berbareng, dengan satu
suara "hrr!", tubuh si kurus sudah melesat melewati kepala Tang Thay Tjeng dan tangannya
menjambret salah satu dari empat tiang yang terdapat di ruangan itu. Di lain saat, dengan satu
tangan mencekal tiang, tangannya yang lain menghantam Tang Thay Tjeng.
Sebagaimana diketahui, ilmu menubruk Niauw-eng adalah gubahan Patpie Sinnio Sat Thian
Tjek berdasarkan cara berkelahinya burung Niauw-eng. Dengan latihan yang lama, ia berhasil
menciptakan semacam ilmu entengkan badan yang tiada keduanya dalam Rimba Persilatan. Ilmu
mengentengkan badan dari lain cabang persilatan kebanyakan hanya merupakan kepandaian lari
cepat, tapi dengan ilmu gubahan Sat Thian Tjek, seseorang bisa "terbang" bulak-biluk di tengah
udara. Tang Thay Tjeng adalah ahli waris satu-satunya dari Patpie Sinmo dan pada waktu itu,
kepandaiannya tidak lebih rendah daripada gurunya sendiri. Demikianlah, pada sebelum tenaga
pukulan si kurus menyambar tubuhnya, ia sudah "terbang" membelok. Tapi apa lacur, baru saja ia
meloloskan diri, badan si kurus sudah melesat pula melewati kepalanya dan menjambret tiang di
seberang. Begitu satu tangannya mencekal tiang, badannya diputar dan kembali menghantam
dengan tangan yang lain. Kejadian serupa itu telah berulang sampai tiga kali, dengan Tang Thay
Tjeng masih tetap bisa mempertahankan diri di tengah udara dan mengegos pukulan-pukulan
musuh dengan "terbang" bulak-balik. Tapi, walaupun luar biasa, ilmu itu tak bisa dipertahankan
dalam tempo lama. Waktu si kurus menghantam ke empat kali, ia sudah tak kuat lagi dan roboh di
lantai akibat kebasan tangan si kurus. Secara kebetulan, ia jatuh di dekat Hiatsintjoe.
Sambil tertawa terbahak-bahak, si kurus lalu kembali ke tempatnya yang tadi dan bersila di
dekat kawannya. Sekarang, seperti Hiatsintjoe, Tang Thay Tjeng juga sudah terbetot masuk ke
dalam kalangan tenaga kedua orang itu dan mereka tak dapat meloloskan diri lagi.
Semakin lama gerakan tangan kedua orang aneh itu jadi semakin cepat. Tang Thay Tjeng dan
Hiatsintjoe yang semula berada dalam jarak kira-kira setombak, dengan perlahan mendekati kedua
musuhnya. Dengan keringat membasahi pakaian, mereka mengamuk bagaikan kerbau gila dan
maju sedikit demi sedikit. Seorang yang tak mengerti ilmu silat tentu menduga, bahwa mereka
sedang menyerang- Tapi Yo Lioe Tjeng mengetahui, bahwa mereka sedang dibetot dengan tenaga
tak kelihatan. Begitu lekas mereka berada pada jarak yang bisa disampaikan dengan tangan kedua
lawannya, riwayat mereka akan segera tamat.
Diam-diam Yo Lioe Tjeng merasa girang. Biarpun permusuhannya sudah dibereskan oleh Phang
Lin, tapi masih terdapat kemungkinan, bahwa Tang Thay Tjeng akan berusaha untuk membalas
sakit hati lagi di belakang hari. Maka itu, jika si pendeta binasa, ia akan terbebas dari segala
kekuatiran.
Dengan mata tidak berkesip ia memperhatikan jalannya
pertempuran. Hiatsintjoe yang Iweekang-nya lebih tinggi, masih terus berusaha untuk
meloloskan diri dengan Seantero tenaganya, tapi Tang Thay Tjeng sudah tak kuat lagi. Ia mundur
setindak, maju dua tindak, semakin lama jadi semakin dekat dengan kedua musuhnya Urat-urat di
kepalanya timbul keluar, sedang kedua biji matanya yang berwarna merah seolah-olah mau
melompat. Yo Lioe Tjeng jadi merasa tak tega, sehingga ia melengos supaya tak usah melihat
pemandangan yang tak enak itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring: "Tinggalkan lututmu!" Hampir berbareng


terdengar suara "trang!", seperti martil memukul lonceng. Sebelum Yo Lioe Tjeng sempat
menengok, mendadak ia merasakan lewatnya hawa panas di depan mukanya. Di lain saat, ia
melihat badan Tang Thay Tjeng "terbang" keluar dari jendela sebelah timur, sedang Hiatsintjoe
pun sudah tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Kedua orang aneh itu masih tetap bersila, dengan
si gemuk mencekal sebuah lengan besi seraya berkata seorang diri: "Tak dinyana dia mempunyai
ilmu yang luar biasa."
Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, Tang Thay Tjeng telah berhasil menolong diri
dengan melontarkan lengan besinya. Kedua orang aneh itu kaget bukan main dan sambil
mengerahkan lweekang, mereka menyambut senjata yang luar biasa itu. Dengan menggunakan
kesempatan tersebut, si pendeta melarikan diri bersama-sama kawannya.
Selagi Yo Lioe Tjeng bergirang karena dua musuhnya sudah mabur, tiba-tiba ia melihat kedua
orang aneh itu mengawaskan padanya dengan sorot mata bengis. Ia terkejut dan lalu mencekal
gendewa erat-erat.
Sementara itu, karena keadaan berubah sepi, Kang Lam yang lagi bersemedi membuka
matanya. Ia melompat bangun dan berkata sambil tertawa: "Ha! Dua memedi itu sudah dihajar
kabur? Ha-ha! Kalian harus menghaturkan terima kasih kepadaku. Arak itu memang bisa
membangunkan semangat dan daging ayam dapat menambah tenaga." Selagi berkata begitu,
mendadak ia melihat Yo Lioe Tjeng dan kedua orang aneh itu tengah saling memandang dengan
sorot mata menakuti. Hati Kang Lam berdebar-debar dan ia segera menutup mulut.
Tiba-tiba si gemuk tertawa besar. "Benar! Memang kami harus menghaturkan terima kasih
kepadamu," katanya.
"Aku ingin minta pinjam kedua lututmu," menyambung si kurus. "Jangan kuatir. Aku tanggung
kau tidak merasa sakit waktu lututmu digergaji."
"Apa?" menegas Kang Lam. "Kau mau gergaji lututku?"
"Tak salah," jawab si kurus sambil mengangguk. "Aku mempunyai ilmu bedah yang sangat
liehay. Lebih dulu aku akan memberi obat lupa dan begitu kau tersadar, segala apa sudah beres.
Bagaimana, apa kau setuju?"
"Tak bisa! Gila kau!" teriak si kacung dengan suara ketakutan. "Aku masih perlu dengan kedua
lututku."
"Aku juga perlu dengan kedua lututmu," kata si gemuk dengan suara dingin.
"Sesudah kau menyerahkan lututmu kepadaku, aku akan mengambil kau sebagai murid," kata
si kurus. "Kau akan punya senderan teguh, kau tak usah kuatir kekurangan makan pakai dan tak
akan ada manusia yang berani menghina kau."
"Tak bisa!" Kang Lam berteriak pula. "Tapi... kenapa... lututmu patah?"
Perkataan si kacung itu justeru menyentuh bagian yang lemah. Mendadak saja, kedua orang itu
jadi gusar tak kepalang. "Binatang!" geram si kurus "Aku ingin putuskan lutut semua manusia
yang pandai silat. Orang pertama adalah kau!" Berbareng dengan perkataannya, badannya
melesat dan tangannya menyambar untuk menotok jalanan darah Kang Lam.
"Celaka!" mengeluh Kang Lam.
Sebelum tangan si kurus menyentuh Kang Lam, Yo Lioe Tjeng sudah melepaskan pelurunya
dengan beruntun-runtun. Dalam sekejap, puluhan peluru menyambar-nyambar kedua orang aneh
itu. Tapi sungguh aneh, sebelum melanggar badan musuh, peluru-peluru itu sudah hancur semua!
Kedua orang itu tertawa terbahak-bahak. "Masih ada lagi? Hayo keluarkan semua!" teriaknya.
Yo Lioe Tjeng terkesiap dan di lain saat, ia merasa dirinya dibetot dengan semacam tenaga
yang tak kelihatan. Dengan sekuat tenaga, ia memberontak untuk meloloskan diri, tapi sebaliknya
dari berhasil, setindak demi setindak ia mendekati kedua musuhnya itu.
Pada detik yang berbahaya, sekonyong-konyong terdengar suara keras dan papan loteng
berlubang besar.
Kedua orang aneh itu terkejut. "Siapa yang bersembunyi di atas? Turun!" membentak satu
antaranya.
Mendadak dari atas terdengar suara "srr", disusul dengan menyambarnya sehelai sinar merah.
Kedua orang itu pucat mukanya. Buru-buru mereka menekan lantai dengan kedua tangan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

badan mereka lantas saja melesat keluar dari pintu. "Tong Siauw Lan!" teriak satu antaranya. "Kau
tak boleh melanggar janji!"
Yo Lioe Tjeng jadi seperti orang kalap bahna girangnya. "Siauw Lan! Kau berada disini?"
serunya.
Hampir berbareng, dari lubang papan loteng melayang turun seorang pemuda yang parasnya
cakap. "Bukan. Aku Keng Thian," katanya.
Sesaat kemudian, Pengtjoan Thianlie pun turun ke bawah. Yo Lioe Tjeng yang baru pertama
kali bertemu dengan si nona, jadi merasa sangat kagum. "Aku tak nyana dalam dunia ada wanita
yang begini cantik," katanya di dalam hati. Ia melirik Keng Thian melirik puterinya sendiri dan
kemudian menghela napas.
Sementara itu, dengan rasa girang Tjee Tjiang Hee menghampiri dan mencekal baju Peng Go.
"Tjietjie," katanya. "Sekali ini kau tak boleh kabur." Ia berpaling kepada ibunya dan berkata pula:
"Pada malam itu, Keng Thian Koko telah mabur tanpa bisa dicegah lagi. Tak tahunya ia kabur
untuk mengubar Tjietjie ini."
Muka Peng Go lantas saja berubah merah karena ia ingat salah mengerti yang terjadi pada
malam itu. Tanpa mengatakan suatu apa, ia bersenyum dengan perasaan jengah tercampur
girang.
"Inilah puteri tunggal dari Kui Hoa Seng Pehpeh, namanya Peng Go," Keng Thian
memperkenalkan kecintaanya kepada Yo Lioe Tjeng. "Inilah Tjee Pehbo. Pada tiga puluh tahun
berselang, beliau adalah Kangtong Liehiap Yo Lioe Tjeng yang namanya harum dalam Rimba
Persilatan. Ayahku adalah adik seperguruannya."
Yo Lioe Tjeng tertawa girang.
"Benar, memang benar, dan kita semua bukan orang luar," katanya sambil tertawa. Ia menarik
tangan Peng Go dan lalu mengajukan berbagai pertanyaan secara gembira sekali.
Sesudah menjawab pertanyaan-pertanyaan nyonya Tjee, Peng Go menengok kepada Keng
Thian seraya berkata: "Keng Thian, baik juga kau lekas-lekas melepaskan Thiansan Sinbong.
Kedua orang itu liehay bukan main. Mungkin sekali Pengpok Sintan tak akan berhasil mengusir
mereka."
"Keng Thian, kau lihatlah, aku sudah tua dan sangat pelupaan," kata Yo Lioe Tjeng sambil
tertawa "Aku belum menghaturkan terima kasih untuk pertolonganmu."
"Menurut pendapatku, Thiansan Sinbong yang dilepaskan olehku juga belum tentu bisa
melukakan mereka," kata Keng Thian. "Mereka kabur karena ketakutan."
"Kenapa begitu?" tanya Peng Go.
"Aku rasa, lutut mereka patah karena dihajar dengan Thiansan Sinbong oleh ayahku,"
jawabnya. "Maka itu, mereka lantas kabur sebab menduga ayahku datang kembali"
"Benar," kata Yo Lioe Tjeng. "Tadi, selagi lari, mereka menyebut-nyebut nama ayahmu.
Mungkin sekali ayahmu telah meluluskan untuk mengampuni jiwa mereka, maka barusan mereka
mengatakan Siauw Lan tak boleh melanggar janji."
"Dilihat begini, jebakan di puncak itu telah dipasang oleh mereka," kata Keng Thian. "Kenapa
mereka kebentrok dengan ayahku?"
"Jebakan apa?" tanya Yo Lioe Tjeng.
Keng Thian lantas saja menceritakan peristiwa yang dialaminya, sehingga ia hampir-hampir
binasa tertimpa batu besar.
Nyonya Tjee jadi kaget tercampur girang. "Kalau begitu, ayahmu benar berada disini," katanya.
"Tapi gunung Himalaya begini besar. Kemana kita mencarinya? Ah? Dua puluh tahun lebih aku tak
pernah bertemu dengan ayahmu." Sambil berkata begitu, ia melirik Keng Thian dan Peng Go dan
kemudian menghela napas. "Sesuatu manusia mempunyai jodoh sendiri-sendiri, manusia tak
dapat melawan nasib," katanya di dalam hati.
Harus diketahui, bahwa di waktu masih gadis, Yo Lioe Tjeng pernah ditunangkan dengan Tong
Siauw Lan. Belakangan, karena tak ada kecocokan, pertunangan itu tidak terwujut dengan
pernikahan. Sesudah lewat banyak tahun, biarpun masing-masing sudah menikah, Yo Lioe Tjeng
masih tidak bisa melupakan Siauw Lan sebagai kecintaannya yang pertama. Tapi kecintaan itu
adalah bebas dari segala arti yang jelek. Lioe Tjeng sekarang mencintai Siauw Lan sebagai
saudara sendiri, atau sedikitnya sebagai seorang sahabat karib. Maka itulah pada waktu bertemu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

dengan Keng Thian, ia segera berniat untuk merangkap jodoh Tjiang Hee dengan pp~iuda itu.
Tapi tak dinyana, putera Tong Siauw Lan sudah mempunyai kecintaan lain.
Malam itu, mereka menginap di Hongto tay. Pada besokan paginya, luka Keng Thian sudah
sembuh sama sekali dan mereka lalu meneruskan perjalanan ke jurusan barat.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebelah selatan Himalaya. Selagi enak berjalan,
mendadak Peng Go terkejut karena jauh-jauh ia melihat bendera-bendera yang sangat besar
jumlahnya. "Keng Thian, apa tentara Nepal benar sudah datang kesini?" tanyanya. "Mari kita
menyelidiki,"
"Baiklah, aku akan mengantar kau," kata pemuda itu. "Tjee Pehbo, kalian tunggu saja disini.
Sesudah menyelidiki, kami akan kembali untuk berdamai bagaimana baiknya."'
Sebagai gunung yang besar luar biasa di Himalaya terdapat banyak hutan-hutan yang belum
pernah ditembus orang, sehingga jika orang bertemu dengan hutan begitu, ia terpaksa mengambil
jalan mutar. Demikianlah, biarpun bendera-bendera yang dilihat Peng Go kelihatannya tidak
seberapa jauh, tapi waktu berusaha untuk mendekatinya, beberapa kali mereka menyasar dan
sesudah berjalan setengah harian, belum juga mereka sampai di tempat yang dituju.
"Dilihat begini, kita harus cari seorang pengunjuk jalan," kata Keng Thian.
"Jangan mimpi," kata si nona sambil tertawa. "Dari mana kau mau cari pengunjuk jalan?
Biarpun kau berani membayar seribu tail emas, tiada manusia yang bisa mengantar kau di gunung
ini."
"Kau salah!" Keng Thian mendadak berkata. "Coba lihat! Apa disana bukan manusia?"
Peng Go mendongak dan melihat seorang yang sedang berlari-lari di puncak gunung seberang.
Orang itu yang gerakannya sangat gesit, ternyata tengah diubar lima orang yang di kepalai oleh
seorang pendeta yang mengenakan jubah pertapaan warna merah. Dilihat dari jauh, warna merah
itu sangat menyolok mata.
"Orang yang dikejar adalah Liong Leng Kiauw!" teriak Keng Thian.
"Benar," kata si nona. "Pendeta yang mengejarnya tentulah si pendeta yang membongkar
penjara."
"Mereka pasti mengandung maksud tak baik, mari kita cegat," mengajak Keng Thian. Ketika itu
Liong Leng Kiauw dan pengejar-pengejarnya sudah lari jauh sekali.
Si nona mengangguk. "Baiklah, kita ambil jalan dari samping gunung," katanya.
Karena jarak antara kedua gunung itu tidak seberapa jauh dan juga sebab Keng Thian dan
Peng Go memiliki ilmu mengentengkan badan yang lebih tinggi daripada Leng Kiauw dan si
pendeta, maka belum cukup setengah jam, mereka sudah berada di sebelah depan si pendeta.
Ketika itu, Liong Leng Kiauw sudah mendaki puncak kedua, sedang beberapa boesoe Nepal
lainnya masih ketinggalan jauh di belakang si pendeta.
Ternyata, selama berdiam beberapa hari di perkemahan tentara Nepal, Leng Kiauw tak
hentinya mengasah otak. Biarpun mempunyai cita-cita besar, perasaan hatinya masih tidak
mengijinkan untuk menjadi pengkhianat bangsa yang mengajak tentara asing masuk ke dalam
negeri sendiri. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk kabur dan lebih suka dibinasakan oleh
kaizar Tjeng daripada jadi pengkhianat. Ia bertujuan pergi ke Lhasa guna melaporkan kejadian itu
kepada Hok Kong An. Di luar dugaan, kaburnya telah diketahui oleh si pendeta asing yang lalu
mengejar dengan mengajak beberapa boesoe.
Liong Leng Kiauw tidak berani mengambil jalanan di tanah datar dan terus mabur ke gunung-
gunung. Sesudah lari sehari dan semalam, ia naik semakin tinggi dan jalanan jadi semakin sukar.
Si pendeta asing yang bernama Taichiti dan berkedudukan sebagai Koksoe (guru negara) utama,
terus mengejar sekeras-kerasnya dan waktu Leng Kiauw mendaki puncak yang kedua, jarak
antara mereka hanya kira-kira seratus tindak.
Sesaat itu, mereka berada di tempat yang tertutup salju dan licin luar biasa. Beberapa kali si
pendeta mengempos semangat dan melompat tinggi, tapi ia selalu menyerosot lagi ke bawah
karena licinnya jalanan. Mendadak ia membuka jubah pertapaannya yang lalu digunakan untuk
mengeredongi pundaknya, sehingga ia seolah-olah mempunyai dua sayap. Sekali lagi ia melompat
tinggi dan dengan bantuan jubah itu yang seperti "layar perahu" kakinya bisa hinggap di atas salju
tanpa menyerosot ke bawah lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak: "Lian Sianseng, rajaku telah memperlakukan kau
sebagai tamu terhormat, tapi kenapa kau mabur tanpa pamitan lagi? Dengan menempuh bahaya,
aku membawa kau datang kesini. Perbuatanmu itu sungguh-sungguh tidak
memandang persahabatan."
Leng Kiauw tak menyahut, ia terus merayap ke atas dengan sepenuh tenaga.
"Lian Sianseng!" berseru pula si pendeta. "Lebih baik kau lekas-lekas turun. Jika dicandak
olehku, bisa terjadi kejadian yang kurang enak." Ia melompat lagi dan naik setombak lebih.
Selagi si pendeta tergirang-girang, tiba-tiba terdengar suara aneh, disusul dengan
menyambarnya satu sinar merah. Buru-buru ia mengebas dengan jubahnya. "Brt!", jubah itu
berlubang dan tidak bisa digunakan lagi sebagai "layar perahu". Si pendeta yang tidak berwaspada
terpeleset dan menyerosot turun beberapa tombak, hampir-hampir ia jatuh terguling. Jubah
pertapaan itu dibuat dari benang emas dan ditambah dengan lweekang, kekuatannya melebihi
sebuah tameng. Pada belasan hari berselang, dengan jubah itu, ia telah menyampok jatuh semua
senjata rahasia yang dilepaskan oleh Tong Say Hoa. Maka itu, ia kaget tak kepalang ketika tahu
jubahnya ditembuskan dengan senjata rahasia.
Di lain saat, dari lamping gunung mendadak muncul seorang pemuda yang parasnya cakap
sekali. Orang itu bukan lain daripada Tong Keng Thian yang tidak dikenal oleh si pendeta. "Siapa
kau?" bentaknya.
"Tak usah tahu!" jawabnya. "Yang penting adalah aku tidak mempermisikan kau naik di gunung
ini."
"Bocah! Besar benar nyalimu!" bentak si pendeta sambil mengebut dengan jubahnya. Biarpun
tahu pemuda itu mempunyai senjata rahasia yang sangat liehay, ia tak menjadi keder karena
menganggap Keng Thian yang berusia begitu muda, pasti tidak memiliki ilmu silat berarti. Maka
itu, ia lantas saja mengebut dengan ilmu Thianlo kaytee (Jala langit menungkup bumi), serupa
ilmu yang telah dilatih olehnya selama beberapa puluh tahun.
Melihat menyambarnya jubah itu dengan, tenaga yang dahsyat, Keng Thian terperanjat. "Tak
heran jika Tong Say Hoa dan Kim Sie Ie masih belum dapat
menjatuhkannya," pikirnya. Tanpa berayal lagi, ia menghunus Yoeliong kiam dan menikam
dengan pukulan Houwtek siadjit (Houwtek memanah matahari).
Sebagaimana diketahui, Yoeliong kiam adalah pedang mustika dari Thiansan pay, sehingga
jangankan jubah, sedangkan tameng baja pun dapat ditembuskannya. Dengan satu suara "bret!",
diiring dengan sinar berkilauan, jubah itu berlubang besar.
Si pendeta kemekmek, buru-buru ia menarik pulang jubahnya dan melompat ke belakang, akan
kemudian mengawasi pemuda itu dengan mata membelalak. Di lain pihak, biarpun berhasil
merobek jubah pertapaan itu dengan pedangnya, Keng Thian sendiri merasa lengannya sakit.
Di lain saat, pendeta itu sudah menyerang lagi dengan jubahnya. Dengan satu dua kebutan
saja, ia tahu tenaga pemuda itu sudah banyak berkurang. Maka itu, tanpa menghiraukan
kemungkinan jubahnya ditobloskan pula dengan pedang musuh, ia segera mengirim serangan
berantai sambil memutar jubahnya bagaikan titiran. Dengan menggunakan ilmu menggulung, ia
ingin merampas pedang Keng Thian. Sambil mengempos semangat, Keng Thian melayani dengan
hati-hati sekali. Sesudah lewat kira-kira dua puluh jurus, beberapa kali lagi jubah itu tertikam
tembus, tapi si pendeta tidak memperdulikan dan terus menerjang bagaikan kerbau gila.
Beberapa saat kemudian, barulah Pengtjoan Thianlie tiba disitu. Meskipun memiliki ilmu
mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi karena jalanan penuh rintangan dan pohon-pohon
berduri dan juga karena Pengpok Hankong kiam tidak setajam Yoeliong kiam, maka si nona agak
terlambat datangnya.
Melihat munculnya seorang wanita yang luar biasa cantik dan mengenakan pakaian serba putih,
si pendeta yang lagi menyerang sambil berteriak-teriak jadi terkesiap dan melompat mundur
beberapa tindak.
"Nepal dan Tiongkok adalah tetangga baik," kata si nona. "Kenapa kau merusak persahabatan
itu? Di samping itu, kau juga berani melintasi perbatasan dan menculik orang. Lekas pergi!" Suara
si nona nyaring bagaikan kelenengan perak dan mengandung keangkeran yang luar biasa. Si
pendeta terkejut dan mundur lagi beberapa tindak. Sebagai Koksoe utama dari Nepal, rajanya
sendiri tak pernah bicara begitu terhadapnya. Darahnya lantas saja naik dan sambil mengebas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

jubah pertapaannya, ia menanya dengan suara dingin: "Siapa kau? Sungguh besar nyalimu, berani
mencampuri urusan negaraku... ih!..." Mendadak ia mengebut dengan jubahnya dan tanpa merasa
ia bergidik, karena Peng Go sudah melepaskan sebutir Pengpok Sintan. Sekonyong-konyong ia
ingat suatu hal. Dengan memiliki lweekang yang tinggi, Pengpok Sintan tak cukup hebat untuk
menggetarkan badan si pendeta. Tapi begitu ingat hal itu, badannya lantas saja bergemetaran dan
parasnya berubah pucat.
Sebelum ia keburu berbuat apa-apa, tiba-tiba di belakangnya terdengar suara: "Kongtjoe
(Puteri), terimalah hormat kami!"
Ia menoleh dan melihat empat boesoe Nepal sudah berlutut di atas salju. Jantungnya memukul
keras dan ia berkata dalam hatinya: "Benar saja dia!"
Harus diketahui, bahwa Taichiti adalah Soeheng (kakak seperguruan) dari pendeta jubah merah
yang dulu pernah naik ke istana es dan belakangan binasa dalam tangan Tan Thian Oe. Waktu
masih hidup, Soete itu pernah menuturkan pengalamannya di istana es dan hebatnya Pengpok
Sintan, sehingga begitu ditimpuk dengan Sintan, ia segera menduga pasti, bahwa nona itu adalah
Pengtjoan Thianlie. Maka'itu, buru-buru ia memohon maaf kepada sang Puteri.
Pengtjoan Thianlie mengebas tangannya dan menegur dua boesoe yang berlutut paling depan:
"Aku pernah melarang kalian mengacau di Tiongkok, tapi kenapa sekarang kalian datang
kembali?"
Kedua orang itu manggut-manggutkan kepalanya. "Karena diperintah raja, hamba berdua tak
berani membantah," jawabnya dengan suara ketakutan.
"Dimana adanya rajamu?" tanya si nona
"Dengan membawa tentara, beliau berkemah di selat sebelah selatan," jawab satu antaranya
"Kedatangan raja di kali ini justeru adalah untuk mencari Kongtjoe" kata Taichiti sambil
bersenyum. • "Pertemuan ini sungguh menggirangkan, sehingga tentara kita terbebas dari
kecapaian. Maka itu, kami memohon Kongtjoe sudi berkunjung ke perkemahan."
"Baiklah," kata si nona "Aku memang mau cari dia."
Mendengar jawaban itu, bukan main girangnya si pendeta. "Hilangnya Liong Leng Kiauw
berbalik menjadi satu keberkahan," pikirnya. "Dengan berhasil mengundang Kongtjoe, pahalaku
bukan main besarnya." Ia lantas saja memerintahkan empat boesoe jalan di muka untuk
membuka jalan dalam perjalanan pulang ke perkemahan.
Taichiti dan kawan-kawannya membawa tenda dan malam itu mereka menginap di atas
gunung. Besokan paginya mereka meneruskan perjalanan dan sesudah berjalan setengah harian,
barulah lapat-lapat mereka mendengar suara berbengernya kuda. "Kira-kira sejam lagi kita akan
tiba di perkemahan," kata Taichiti kepada si nona "Pertemuan dengan Kongtjoe akan
menggirangkan sangat hatinya raja."
Peng Go tak menyahut, ia hanya mengangguk.
Sementara itu, hati Keng Thian terus berdebar-debar. Sebenarnya ia sendirilah yang telah
menganjurkan Peng Go pergi menemui raja Nepal, tapi sekarang, sesudah mereka berada dekat
dengan raja tersebut, hatinya jadi berkuatir kalau-kalau pertemuan itu akan mengakibatkan
kejadian yang tidak diingin. Ia melirik kecintaannya yang bersikap tenang sekali.
Selagi Keng Thian berjalan dengan hati bimbang, tiba-tiba Peng Go mengeluarkan seruan
tertahan dan si pendeta asing melompat dengan kaget. Ia segera mengawasi ke arah yang
diawasi mereka dan melihat bekas pukulan tongkat di atas sebuah batu besar yang licin. Dilihat
dari bekasnya, tak bisa salah lagi batu itu telah dipukul dengan tongkat Kim Sie Ie.
"Dia juga menulis beberapa baris huruf," kata si nona
Keng Thian segera mendekati dan membaca huruf-huruf itu yang ditulis di atas batu:
"Di antara manusia hina menghina adalah lumrah. Untuk apa manusia hidup terlalu lama?
Kuingin memetik bintang di ruang angkasa, Menenangkan lautan Tonghay aman sentosa."
Sesudah membaca syair itu Keng Thian berdiri bengong. Ia tak menduga, bahwa Kim Sie Ie
yang gila-gilaan dapat menulis syair yang luhur artinya dan bebas dari segala rasa dendam
terhadap sesama manusia. "Apakah sifatnya berubah karena dia sudah mendekati ajalnya?" tanya
Keng Thian di dalam hati. "Ditinjau dari syairnya, ia seolah-olah hendak mendaki Tjoehong untuk
mati di puncak gunung yang tinggi itu. Sungguh mengherankan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Peng Go menghela napas panjang seraya berkata: "Bagaimana kita bisa mencarinya di gunung
yang begini besar dan luas?"
"Siapa dia?" tanya Taichiti. "Seorang sahabat karib," jawab si nona.
Mendengar jawaban itu, si pendeta terkejut karena sebagaimana diketahui ia pernah dihajar
oleh Kim Sie Ie. Tapi ia tak berani menanya lebih jauh, sebab si nona kelihatannya sedang berpikir
keras dengan paras berduka.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, tibalah mereka di satu lembah yang sangat luas dimana
terdapat ribuan tenda yang berderet-deret dan ribuan bendera yang berkibar-kibar dengan
megahnya. Ditambah dengan suara berbengernya kuda dan tentara yang menjaga dengan senjata
terhunus, lembah itu memperlihatkan suatu pemandangan yang angker luar biasa.
Taichiti segera memerintahkan dua orang boesoe untuk melaporkan kedatangan Pengtjoan
Thianlie kepada raja
Berita itu tersiar dengan cepat sekali dan dalam sekejap mata, dengan berlomba-lomba ribuan
atau laksaan serdadu Nepal menerobos keluar dari tenda mereka untuk melihat wajah sang puteri.
Semenjak mendiang Koksoe jubah merah kembali dari Puncak Es dan membawa warta tentang
kecantikan dan kegagahan Pengtjoan Thianlie, di seluruh Nepal telah tersiar macam-macam cerita
-- yang satu lebih muluk dari yang lain -- tentang puteri itu. Sedari waktu itu, terutama sesudah
raja memerintah secara sewenang-wenang, segenap rakyat mengharap-harap kedatangan
puterinya Hoa Giok Kongtjoe, ahli waris tulen dari tahta kerajaan Nepal. Maka itu tidaklah heran,
begitu mendengar kedatangan Peng Go, tata tertib ketentaraan tidak dapat dipertahankan lagi dan
bagaikan gelombang laut, laksaan serdadu menerobos keluar dari perkemahan mereka.
Dengan jubah yang berkibar-kibar karena ditiup angin dan dengan duduk tegak di atas
punggung kuda, bagaikan seorang dewi yang baru turun dari kahyangan, Pengtjoan Thianlie
mengawasi laksaan tentara itu yang menghampirinya bagaikan air bah. Mendadak mereka
menghentikan tindakan dan keadaan di lembah itu mendadak berubah sunyi senyap. Semua
orang, dari perwira sampai serdadu biasa, memandang wajah sang Puteri dengan rasa cinta dan
kagum.
Tiba-tiba terdengar seruan "Banswee" yang bergemuruh! Pengtjoan Thianlie bersenyum sambal
mengulapkan tangan, sedang air mata berlinang-linang di kedua matanya.
Sedang seruan itu masih berkumandang di seputar lembah, sekonyong-konyong bendera raja
bergerak dan tenda besar yang berwarna kuning terbuka, disusul dengan keluarnya raja Nepal
yang menunggang gajah putih yang diiringi oleh para menteri serta pembesar agung. Keadaan di
lembah itu dengan serentak menjadi sunyi kembali. Keng Thian dan Peng Go mengawasi sang raja
yang parasnya kelihatan pucat sekali. Mereka menduga, bahwa raja itu telah jadi ketakutan karena
teriakan "Banswee" dari tentaranya dalam menyambut Peng Go. (Banswee yang berarti laksaan
tahun adalah panggilan untuk seorang raja atau ratu).
Dugaan mereka adalah tepat. Sesudah menggerakkan tentara, siang malam raja membayang-
bayangkan, bahwa dalam tempo cepat ia akan bisa menikah dengan saudara sepupunya yang
cantik bagaikan dewi. Tapi seruan "Banswee" itu adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong.
Mendadak ia ingat, bahwa Peng Go adalah ahli waris tahta kerajaan Nepal dan hal itu dengan
segala akibatnya sama sekali tidak diperhitungkan olehnya.
Waktu sudah berhadapan dengan si nona, rasa kuatir raja bercampur dengan rasa kagum yang
sangat besar. Kecantikan Peng Go ternyata melebihi dari apa yang pernah dibayangkannya. Ia
menatap wajah si nona tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Pengtjoan Thianlie sendiri menghadapi saudara sepupunya dengan sikap tenang dan sambil
bersenyum, ia memberi hormat.
Seperti orang baru tersadar dari tidurnya, buru-buru raja melompat turun dari atas punggung
gajah dan mempersilahkan Peng Go menunggang tunggangan
kehormatan itu. Melihat kecantikan yang angker dan dingin, sedikitpun ia tak berani berlaku
kurang ajar dan dengan segala upacara kehormatan, Peng Go diiringi masuk ke dalam tenda raja
Begitu masuk, raja segera memerintahkan disiapkannya meja perjamuan untuk menjamu si
nona. Ia mendongkol waktu Peng Go minta Keng Thian duduk di sampingnya, tapi ia tidak bisa
berbuat lain daripada menahan sabar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah minum beberapa cawan arak, hati sang raja mulai tenang, tapi sebelum ia bicara,
Peng Go sudah mendului: "Bolehkah kutahu, perlu apa Ong-heng (saudara raja) menggerakkan
tentara dan datang kesini?"
"Untuk menyambut Piauwmoay pulang ke negara sendiri," jawabnya.
Paras muka si nona lantas saja berubah dan ia berkata pula dengan suara dingin: "Walaupun
aku terlahir di Tiongkok dan belum pernah menginjak negara sendiri, tapi ibuku sering
memberitahukan tentang ajaran mendiang kakek raja Sebagai orang yang mewarisi tahta,
masakah Ong-heng tak tahu ajaran kakek sendiri?" Kata-kata yang berani itu sudah mengejutkan
hatinya semua orang!
Sehabis berkata begitu, dengan matanya yang sangat tajam, si nona mengawasi raja, yang
parasnya lantas saja berubah merah. Sesudah menetapkan hati, ia tertawa getir seraya menanya:
"Ajaran apa? bolehkah Piauwmoay memberitahukanku?"
"Negara kita adalah sebuah negara kecil yang dalam banyak hal harus menyender kepada
Tiongkok," kata si nona. "Maka itu, semenjak dulu, negara kita selalu mengikat tali persahabatan
dengan Tiongkok. Menurut ajaran leluhur, kita tak boleh mengganggu wilayah Tionggoan. Tapi
sekarang, mengapa Ong-heng sudah menggerakkan tentara dan melintasi daerah perbatasan?"
"Aku sama sekali bukan ingin mengganggu wilayah Tiongkok," jawabnya. "Karena tak ingin kau
berkelana di negeri orang, maka aku sudah datang kesini untuk menyambut kau pulang ke negeri
sendiri."
"Dalam hal ini sebenarnya Ong-heng boleh tak usah mencampuri," kata si nona. "Aku hidup
dengan senang di Tibet dan jika aku ingin pulang, aku bisa pulang sendiri. Andaikata benar Ong-
heng ingin mengajakku pulang, Ong-heng bisa berbuat begitu tanpa menggerakkan Seantero
tentara."
Raja Nepal kemekmek, tak dapat ia menjawab perkataan adiknya.
Selang beberapa saat, Peng Go berkata pula dengan suara perlahan: "Seantero tentara dari
negara kita masih belum cukup untuk memenuhi sebuah lembah gunung Himalaya. Tindakan Ong-
heng dengan sesungguhnya tindakan yang terlalu ceroboh!"
Karena malu, raja Nepal menjadi gusar, tapi terhadap Peng Go yang cantik dan angker, ia tak
berani sembarangan mengumbar napsu.
Sesudah menyapu para menteri dengan matanya yang sangat berpengaruh, si nona berkata
pula: "Dalam hal ini, kalian pun turut bersalah. Jika raja mau bertindak keliru, adalah kewajiban
para menteri untuk mencegahnya!" Menteri-menteri dan pembesar-pembesar tinggi itu tak berani
mengangkat muka. Biarpun mendongkol, tiada satupun yang membuka mulut.
Peng Go berdiam sejenak dan kemudian menyambung perkataannya: "Meskipun ibuku telah
meninggalkan negara sendiri, tapi ia telah dianugerahi Tiatkoen151 oleh Sian-ong (mendiang raja)
dan dengan kekuatan Tiatkoen itu, ia masih boleh mencampuri urusan dalam negara Nepal.
Tiatkoen sekarang berada dalam tanganku.
Demi persahabatan dan kepentingan kedua negara, aku menasehati supaya Ong-heng segera
menarik pulang tentara ini. Manakala Ong-heng tidak menyetujui, marilah kita menghimpunkan
seantero barisan dan membentangkan pendapat-pendapat kita kepada mereka supaya mereka
bisa menimbangnya dan memberi keputusan yang mengikat."
Raja Nepal terkesiap. Ia merasa seperti juga kepalanya diguyur dengan air dingin. Ia yakin,
bahwa jika tentara Nepal dikumpulkan dan diminta pendapatnya, mereka pasti akan menunjang
usul Pengtjoan Thianlie, yang mana bisa berarti tergulingnya ia dari tahta kerajaan. Ia mengeluh
dan menyesal, bahwa ia sudah cari-cari penyakit sendiri.
Sedang raja kebingungan, Keng Thian kegirangan, sebab ia tak menduga kecintaannya bisa
bertindak begitu tegas.
Karena tiada jalan lain, sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, raja menyerah juga.
"Baiklah," katanya sambil tertawa getir. "Akan tetapi penarikan tentara memerlukan persiapan
beberapa hari. Di samping persiapan, kita juga harus memerintahkan orang untuk menyingkirkan
salju yang menutup jalanan gunung."
Mendengar jawaban itu, paras muka si nona lantas saja berubah sabar dan bersinar terang,
"Kalau begitu, Ong-heng harus segera bertindak," katanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah soal yang penting dapat dibereskan, mereka lalu mulai makan minum dan bicara
dengan gembira.
"Aku mendengar dulu Piauwmoay berdiam dalam istana es yang tak pernah atau sedikitnya
jarang dikunjungi manusia," kata sang raja. "Apa kau tidak merasa kesepian?"
"Tidak, apalagi aku mempunyai banyak sekali dayang sebagai kawan," jawabnya.
Raja tertawa dan berkata pula: "Sebagai seorang yang hidup di wilayah Tionggoan Piauwmoay
tentu tahu ajaran orang Tionghoa. Lelaki harus menikah, sedang wanita harus keluar pintu. Itulah
satu kemestian dari semua manusia. Jika berdiam terus di Puncak Es, bagaimana kau bisa memilih
Hoema (suami seorang puteri raja)? Maka itu aku telah mengambil keputusan untuk menyambut
kau pulang ke negeri sendiri, supaya aku bisa mengatur soal pernikahanmu."
Alis si nona berkerut dan ia berkata dengan suara mendongkol: "Lebih baik Ong-heng
mengurus saja urusan-urusan yang penting..."
"Apa pernikahanmu bukan urusan penting?" memotong raja. "Aku adalah anggauta keluargamu
yang terdekat. Mana bisa aku tak memikiri soal itu?"
Paras muka Peng Go lantas saja berubah. "Soal pernikahanku tak perlu dipikiri Ong-heng,"
katanya dengan ketus.
Hati raja melonjak. "Apa kau sudah memilih Hoema?" tanyanya.
Peng Go tak menyahut. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan melirik Keng Thian yang
justeru sedang mengawasinya dengan sorot mata penuh kecintaan. Si nona jadi kemalu-maluan
dan ia menunduk dengan paras muka bersemu dadu.
Dengan sikap itu, siapapun juga bisa menduga, bahwa Keng Thian adalah pemuda yang sudah
dipilih Pengtjoan Thianlie. Mendadak saja, darah raja Nepal meluap, hatinya penuh dengan rasa
mengiri dan cemburu. "Siapa dia?" tanyanya dengan nada menghina.
"Ia adalah seorang Hiapkek (pendekar) ternama di wilayah Tionggoan," jawab Peng Go dengan
angkuh. "Ia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, baik dalam ilmu surat, maupun
dalam ilmu silat."
"Kongtjoe memuji terlalu tinggi," kata Keng Thian. "Di wilayah Tiongkok, orang yang seperti
aku tidak bisa dihitung berapa banyaknya."
Sang raja mendongkol bukan main. Ia hanya mengeluarkan suara di hidung dan tidak berkata
apa-apa lagi.
"Di kaki gunung masih terdapat beberapa orang sahabat," kata Pengtjoan Thianlie.
"Bagus," kata raja sambil berpaling kepada seorang perwira "Undanglah mereka semua."
Sambil berkata begitu, diam-diam ia mengambil keputusan mengenai tindakan yang akan diambil
olehnya.
Malam itu, sekejappun ia tak pulas. Di depan matanya terbayang-bayang wajah Pengtjoan
Thianlie yang seolah-olah merupakan sekuntum mawar berduri, boleh dipandang, tak boleh
dipegang. Ia tahu Peng Go tak boleh dibuat gegabah, tapi ia merasa berat untuk melepaskannya
dengan begitu saja. Di lain saat, terbayang pula sikap si nona terhadap Keng Thian dan tiba-tiba
saja hatinya jadi panas sekali. "Tak boleh tidak aku mesti membinasakan bocah cilik itu," pikirnya
dengan rasa jelus.
Pada esokan paginya, ia kembali mengadakan perjamuan untuk para tamunya di tenda besar.
Dalam perjamuan itu, di samping Peng Go dan Keng Thian, juga turut hadir Tong Say Hoa
bersama Tong Toan, Yo Lioe Tjeng bersama puterinya dan si kacung Kang Lam yang datang atas
undangan raja
Peng Go girang bukan main dan minta si nenek Tong duduk di sampingnya. "Sungguh sukar
kami mencari kau," bisiknya: "Bukankah kau berjalan bersama-sama Kim Sie Ie. Dimana dia?"
"Begitu tiba di kaki gunung, ia lalu meninggalkanku dan naik dengan kecepatan luar biasa,"
jawabnya. "Jika aku masih-muda, mungkin sekali aku masih dapat menyusulnya. Pemuda itu
sungguh-sungguh aneh. Hai! Aku menanggung budi yang sangat besar dan mungkin sekali budi
itu tak akan dapat dibalas olehku. Apakah kau pernah bertemu dengan Leng Kiauw?"
Sebelum Peng Go sempat menjawab, dari ruangan belakang tenda mendadak muncul sejumlah
boesoe yang terdiri dari berbagai kebangsaan, antaranya terdapat orang Eropa, Arab, India dan
sebagainya. Tong Say Hoa mengawasi dengan hati berdebar-debar, karena di antara mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

terlihat juga Taichiti yang telah menculik Liong Sam. Ia ingin sekali segera menanyakan si pendeta
tentang Liong Leng Kiauw, tapi sebisa-bisa ia menahan napsu.
"Sudah lama aku mendengar, bahwa di Tiongkok terdapat banyak sekali orang pandai," kata
raja Nepal sambil tertawa: "Kemarin Kongtjoe telah memuji Tong Tayhiap sebagai seorang yang
berkepandaian sangat tinggi, sehingga aku merasa sangat kagum. Maka itu, dengan meminjam
kesempatan ini, kapan para boesoe dari berbagai negara berkumpul disini, kami ingin meminta
pengajaran dari Tong Tayhiap, supaya kami bisa membuka mata terlebih lebar."
Mendengar tantangan itu, Peng Go tersenyum. "Dalam ilmu silat sebenarnya tiada perbedaan
antara negara ini dan negara itu," katanya. "Dengan berkata begitu, Ong-heng seolah-olah ingin
memisahkan orang-orang yang hadir disini menjadi dua rombongan."
"Tong Tayhiap adalah tamuku yang terhormat dan juga sahabat Piauwmoay," kata raja dengan
menyimpang. "Maka itu, aku ingin sekali melihat kepandaiannya. Mari! Aku ingin memberi hormat
kepada Tong Tayhiap dengan secawan arak ini!"
Melihat sinar mata raja yang luar biasa, Peng Go merasa curiga, tapi sebelum ia keburu
mencegah, Keng Thian sudah menyambuti cawan itu dan mencegluk isinya.
"Siapakah yang ingin melayani Tong Tayhiap?" tanya raja.
Taichiti bangun berdiri dan berkata sembari tertawa: "Kemarin kusudah berkenalan dengan
ilmu silat Tong Tayhiap, maka hari ini kuingin meminta pelajaran lebih jauh." Ternyata pendeta itu
sudah bersiap dengan dua macam senjata:
Tangan kiri mencekal jubah pertapaan yang berwarna merah, sedang tangan kanannya
memegang sebuah martil besar.
"Aku merasa sangat beruntung, bahwa Koksoe sudi memberi pelajaran kepadaku," kata Keng
Thian sambil menghunus Yoeliong kiam.
Raja segera menghadiahkan secawan arak kepada Koksoe-nya dan memerintahkan orang
membuka tenda, supaya pertandingan bisa berlangsung dengan leluasa.
Tanpa berkata suatu apa lagi, Taichiti, segera mengebut dengan jubah pertapaannya.
"Jubahmu sudah ditambal cepat sekali!" kata Keng Thian sambil menangkis dengan pedangnya.
"Trang!", si pendeta mendului menghantam Yoeliong kiam dengan martilnya dan Keng Thian
terhuyung beberapa tindak.
"Piauwmoay, pujianmu yang muluk ternyata melebihi kenyataan yang sebenarnya," kata raja
dengan suara mengejek.
Si nona heran bukan main. Biarpun Taichiti bertenaga besar, ia sama sekali tak percaya, bahwa
Keng Thian dapat dipukul sempoyongan dalam satu gebrakan. Ia merasa pasti, bahwa di dalam itu
terselip apa-apa yang luar biasa
Sesudah memperoleh hasil dalam jurus pertama, si pendeta segera menerjang seperti singa
kelaparan. Dengan jubah dan martil, ia mengirim serangan-serangan berantai secara ceroboh
sekali, seakan-akan tak memandang Keng Thian sebelah mata. Beberapa kali, garis pembelaannya
terbuka lebar, tapi ia tak menghiraukannya dan terus menyerang secara membabi-buta.
Mendadak, bagaikan kilat, Keng Thian balas menyerang dengan pukulan Hoeihong tjeklioe
(Angin puyuh mematahkan pohon lioe). Yoeliong kiam berkelebat laksana kredepan kilat dan
"brett!", jubah pertapaan si pendeta berlubang besar! Keng Thian merangsek dan mengirim dua
tikaman dengan beruntun sehingga si pendeta jadi gelagapan dan coba menangkis dengan
martilnya secara sembarangan. Apa mau pukulan martil itu meleset dan mengenakan sebuah batu
besar yang lantas saja terpukul pecah.
Keng Thian menarik pulang pedangnya dan berkata sambil bersenyum: "Maju lagi! Aku tak bisa
menyerang seekor anjing yang sudah basah kuyup!"
Pengtjoan Thianlie lega hatinya. "Ong-heng, kau lihatlah," katanya sambil bersenyum manis.
"Jika Tong Tayhiap mengirim pula satu tikaman, bukankah Koksoe-mu yang terutama sudah
melayang jiwanya?"
Paras muka raja jadi pucat, sekarang adalah gilirannya sendiri untuk terheran-heran.
Dalam niatannya untuk membinasakan pemuda yang dianggap sebagai saingannya, ia telah
menggunakan racun. Dalam poci arak yang tadi digunakannya terdapat dua kotak dengan alat
rahasianya Arak dalam kotak yang satu sudah dicampur dengan semacam rumput beracun yang
dinamakan Pekdjit tjoei (Mabuk seratus hari), sedang arak dalam kotak yang lain adalah arak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

biasa Dengan memijit alat rahasia, raja bisa menuang arak beracun atau arak biasa. Yang
diberikan kepada Keng Thian adalah arak beracun, sedang yang diminum Taichiti arak biasa.
Pekdjit tjoei adalah rumput yang tumbuh di pegunungan Himalaya dan dapat memabukkan
manusia secara hebat sekali. Tapi Keng Thian adalah seorang yang berpengalaman luas dan
sangat berhati-hati. Melihat paras sang raja yang luar biasa, hatinya merasa tak enak dan diam-
diam ia sudah menelan sebutir Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian. Sebagaimana
diketahui, Teratai Salju dari Thiansan itu mempunyai khasiat untuk memunahkan segala macam
racun. Jangankan baru Pekdjit tjoei, sedangkan Khongtjiok tan (Nyali burung merak) yang banyak
lebih hebat pun dapat dipunahkannya.
Sementara itu, Taichiti yang tahu, bahwa rajanya sudah turunkan tangan jahat, dan menduga,
bahwa musuhnya bakal segera roboh karena lemas dan mabuk, sudah menyerang secara
membabi-buta. Ia sama sekali tak pernah mimpi, bahwa dirinya sendirilah yang ditipu oleh
lawannya. Dalam gebrakan pertama, Keng Thian berlagak terhuyung, sehingga dia jadi semakin
besar hatinya dan kecerobohannya sudah mengakibatkan kekalahannya.
Sesudah mendapat pelajaran getir, Taichiti segera menyerang lagi dengan hati-hati. Kedua
lawan lantas saja bertempur dengan menggunakan Seantero
kepandaiannya. Dalam sekejap, mereka sudah bertanding seratus jurus lebih, tanpa ada yang
keteter. Jubah pertapaan berkelebat-kelebat bagaikan awan merah, sedang Yoeliong kiam yang
menyilaukan mata menari-nari di tengah udara. Semua orang mengawasi jalan pertempuran
dengan hati berdebar-debar.
Sesudah kemarinnya mendapat pengalaman dalam pertempuran dengan Keng Thian, Taichiti
tahu, bahwa pedang pemuda itu tajam luar biasa dan ia tak akan bisa mendapat kemenangan, jika
hanya mengandalkan jubah pertapaan. Maka itu, sekali ini ia menerjun ke dalam gelanggang
dengan membawa juga sebuah martil besar yang beratnya kurang lebih delapan puluh kati.
Walaupun pedang mustika, Yoeliong kiam tak bisa membabat putus senjata yang begitu besar,
apapula lweekang si pendeta ada lebih tinggi daripada tenaga dalamnya Keng Thian. Dengan
demikian biarpun pemuda itu mengeluarkan Thiansan Kiamhoat yang sangat liehay, sesudah
bertempur ratusan jurus, ia belum juga bisa berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung dengan serunya, mendadak turun angin besar. Angin di
Himalaya memang terkenal hebat. Bahwa tentara Nepal berkemah di suatu lembah, sebagian
adalah untuk melindungi diri dari hawa dingin dan sebagian pula guna menyingkir dari serangan
angin.
Bagi si pendeta, turunnya angin merupakan bantuan yang sangat besar. Didorong dengan
tenaga angin, setiap kebutan jubah jadi bertambah hebat dan dalam sekejap, badan Keng Thian
seolah-olah dikurung dengan awan merah, Keng Thian berusaha keras untuk merobek pula jubah
pertapaan si pendeta, tapi Yoeliong kiam selalu berbentur dengan martil.
Melihat jagonya berada di atas angin, raja bunga hatinya dan melirik Peng Go sambil mesem-
mesem. Tong Say Hoa yang duduk di samping si nona jadi mendongkol dan berkata sambil
menjebi: "Dengan mendapat bantuan angin, meskipun menang orang tak boleh merasa bangga."
Mendengar perkataan si nenek yang juga menduga, bahwa Keng Thian bakal kalah, hati Peng Go
jadi semakin berkuatir.
Sementara itu, dengan gembira Taichiti menyerang semakin hebat, sehingga beberapa kali
Keng Thian terpaksa melompat mundur. Tiba-tiba pemuda itu tertawa nyaring dan berkata: "Kau
menggunakan dua macam senjata, sedang aku hanya mempunyai sebatang pedang. Pertempuran
ini agak kurang adil."
Si pendeta tertawa dingin. "Aku tak pernah melarang kau menggunakan dua macam senjata,"
katanya dengan sombong.
"Kalau begitu, baiklah," kata Keng Thian seraya mengayun tangan kirinya. Dengan serentak
sejumlah sinar merah menyambar dengan saling susul dan jubah pertapaan Taichiti ditobloskan
dengan belasan Thiansan Sinbong. Bukan main kagetnya si pendeta. Sebelum ia dapat berbuat
suatu apa, Keng Thian sudah mengayun pula tangan kirinya dan membentak: "Lepas jubahmu!"
Beberapa
Thiansan Sinbong kembali menobloskan jubah itu dan mengenakan tangan si pendeta yang
mencekalnya. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan, Taichiti melepaskan jubahnya yang lantas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

saja terbang ke atas karena tiupan angin dan di lain saat sudah tak kelihatan bayang-bayangannya
lagi.
Sambil menundukkan kepala, Koksoe itu lalu menghilang di antara tenda-tenda yang ribuan
jumlahnya.
Keng Thian membungkuk kepada raja dan berkata sambil bersenyum: "Koksoe nomor satu dari
negara Nepal memang sangat tinggi ilmunya."
Mendengar sindiran itu, raja merasa gusar sekali tapi ia merasa malu untuk mengumbar napsu.
Ia bingung karena orang pandai yang diundang olehnya belum juga datang dan untuk menutupi
rasa malu, ia terpaksa berkata sambil tersenyum getir: "Dalam negaraku, setiap serdadu dilatih
masak-masak dalam ilmu perang, baik ilmu menunggang kuda, maupun ilmu melepaskan anak
panah. Kami bukan hanya memperhatikan satu-dua boesoe yang berilmu tinggi."
Mendengar keterangan itu, Tong Say Hoa tertawa dingin. "Apakah betul?" ia menegas. "Kalau
tidak berkeberatan, aku mohon baginda memanggil beberapa jago melepaskan anak panah
supaya aku si tua menambah pengalaman."
Muka raja lantas saja berubah merah padam karena gusar. Dengan sekali mengebas tangan,
dari dalam beberapa tenda lantas saja keluar empat orang boesoe yang masing-masing membawa
sebuah busur besar. Mereka itu adalah guru yang mengajar tentara Nepal dalam ilmu melepaskan
anak panah.
Sambil menunjuk ke empat jagonya itu, raja berkata kepada Keng Thian: "Mereka itu adalah
serdadu pilihan dari barisan anak panah. Apakah Tayhiap bersedia untuk mengadu ilmu dengan
mereka?" Dengan
memperkenalkan empat guru itu sebagai serdadu biasa, raja berlaku licik sekali. Jika Keng
Thian menang, kemenangan itu tiada artinya, tapi kalau kalah, ia akan kehilangan muka, karena
sudah dikalahkan oleh orang-orang yang tidak ternama.
Keng Thian bersenyum, tapi sebelum ia sempat menjawab, Tong Say Hoa sudah mendului:
"Dalam permainan bocah cilik itu. Tong Tayhiap tak perlu turun tangan sendiri. Hawa disini lembab
dan dingin, sehingga urat-uratku kaku. Biarlah aku saja yang turun untuk main-main sedikit guna
melemaskan urat." Sambil berkata begitu, ia segera berjalan masuk ke dalam gelanggang.
Bukan main gusarnya raja. "Biarpun negeraku kecil, tapi setiap orang yang berada dalam
tentaraku adalah laki-laki sejati," katanya dengan suara dingin. "Dan sebagai laki-laki sejati,
mereka tentu sungkan menghina seorang nenek tua!"
Tong Say Hoa mengeluarkan suara di hidung. "Hra!" katanya dengan nada menyindir.
"Memang, memang usiaku sudah lanjut. Kalau disuruh menjahit, memang kutak bisa. Tapi kalau
main panah... huh-huh! Jika baginda tidak memperkenalkan mereka sebagai jago-jago pilihan,
belum tentu aku kesudian menghadapi bocah-bocah itu!"
Raja mengawasi si nenek dengan sorot mata membenci. "Jika kau mau cari mampus, akupun
tak bisa menolong," katanya di dalam hati. Ia mengangguk seraya berkata: "Baiklah. Serdaduku
menggunakan busur nomor satu. Busur nomor berapakah yang ingin digunakan olehmu?"
Sebaliknya dari menjawab pertanyaan orang, si nenek berteriak: "Ambil secawan arak untuk
menambah semangatku!"
Sementara itu, beberapa serdadu sudah mengeluarkan sejumlah busur, dari yang besar sampai
yang paling kecil. "Lootaytay (nyonya tua), beratnya busur yang paling besar kurang lebih seratus
kati, sedang yang paling kecil kira-kira dua puluh kati," kata raja. "Kau boleh memilih yang
manapun juga. Dalam pertandingan ini, sebaiknya Lootaytay berlaku hati-hati."
Si nenek menyengir dan berkata dengan suara adem: "Aku tak biasa menggunakan busur. Di
negeriku, orang bisa balas menyerang lawannya dengan tangan kosong. Apakah jago-jagomu
belum pernah mempelajari ilmu itu?"
Ilmu melepaskan anak panah tanpa menggunakan busur belum pernah dikenal di Nepal dan
oleh karenanya, raja tak percaya omongan si nenek. Ia hanya menduga, bahwa orang tua itu
sudah mengaco belo sebab tak kuat menggunakan busurnya yang paling kecil. Ia tentu saja tak
tahu, bahwa di wilayah Tionggoan, keluarga Tong dikenal sebagai ahli melepaskan senjata rahasia
nomor satu di kolong langit.
Setindak demi setindak, dengan gerakan loyo, Tong Say Hoa masuk ke dalam gelanggang dan
lalu duduk di tengah-tengah dengan napas agak tersengal-sengal. Melihat lagak si nenek, ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

empat jago Nepal jadi merasa bingung. Sebagai guru-guru ternama, mana mereka tega
menyerang seorang tua yang tidak bersenjata?
"Eh-eh! Mengapa kamu diam saja?" tanya si nenek. "Apa kamu tak berani melawan aku si tua?"
Dua antara ke empat guru itu mengerti bahasa Han dan satu antaranya tak dapat menahan
sabar lagi "Baiklah," katanya. "Aku akan memanah tusuk konde giok di atas kepalamu. Hati-hati,
jangan bergerak!" Berbareng, dengan menjepretnya busur, sebatang anak panah menyambar ke
atas kepala Tong Say Hoa.
Si nenek memperlihatkan sikap acuh tak acuh. Begitu lekas anak panah mendekati kepalanya,
bagaikan kilat tangannya bergerak dan anak panah itu sudah kena ditangkap. Sambil tertawa
dingin, ia menancapnya di tanah seraya berkata: "Eh, mengapa yang lain tidak memanah?"
Si guru terkejut dan lalu melepaskan anak panah yang kedua. Seperti yang pertama, anak
panah itu juga ditangkap dengan mudah sekali dan lalu ditancap di tanah.
Seorang kawannya jadi gergetan dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memanah
tenggorokan Tong Say Hoa. "Celaka!" seru si nenek sambil membuka mulutnya dan anak panah
itu lantas saja masuk ke dalam mulut.
"Ah! Mengapa kau membinasakan dia?" kata seorang guru lain dengan suara menyesal.
Mendadak Tong Say Hoa membuka mulutnya dan menyemburkan anak panah itu yang lantas
saja menancap di tanah. "Baik juga gigiku masih cukup kuat," katanya sambil tertawa. Ilmu
menangkap senjata rahasia dengan menggunakan gigi adalah salah satu ilmu istimewa dari
keluarga Tong. "Hei!" seru si nenek. "Mengapa kamu begitu tolol? Sudah begitu lama, baru
melepaskan tiga batang yang tiada artinya!"
Sekarang keempat guru itu benar-benar gusar. Dengan berbareng empat busur menjepret dan
bagaikan kilat empat batang anak panah menyambar. Dengan tubuh tak bergerak, tangan Tong
Say Hoa bekerja. Dalam sekejap, di seputar tempat duduknya sudah penuh dengan anak panah
yang merupakan pagar.
Dengan kedua tangan terus menangkap anak-anak panah yang menyambar-nyambar, si nenek
berteriak berulang-ulang: "Terlalu lambat! Cepat! Cepat sedikit!"
Hati keempat guru itu panas bukan main. Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka segera
memanah dengan menggunakan ilmu Liantjoetjian (Anak panah berantai) yang terkenal liehay.
Bagaikan hujan gerimis, anak-anak panah itu lalu menyambar-nyambar dengan saling susul dan
tidak henti-hentinya.
"Tong Say Hoa lantas saja mengubah gerakan tangannya. Begitu menangkap, ia melontarkan
dan anak panah yang dilontarkan membentur anak panah yang lain, yang lantas saja mengikut
terbang balik. Dengan menggunakan Iweekang yang sangat tinggi, ia balas menyerang, tapi ia
juga sungkan melukakan orang dan anak-anak panah itu menancap di seputar ke empat jago
Nepal tersebut.
Muka keempat guru itu jadi pucat bagaikan mayat. Dalam sekejap, semua anak panah yang
tersimpan dalam kantong senjata, sudah habis digunakan. Tiba-tiba si nenek berteriak: "Awas!
Jaga busurmu baik-baik!" Sambil mengempos semangat, ia mengayun kedua tangannya dan
melemparkan empat batang anak panah yang terakhir. Bagaikan kilat dan dengan suara nyaring,
empat batang anak panah itu menyambar dengan dahsyatnya. Keempat orang itu terkesiap. Untuk
menolong jiwa, mereka menangkis dengan busur yang dicekalnya. Berbareng dengan
terdengarnya suara "pletak!" empat busur itu patah serentak!
Dengan kemalu-maluan, mereka melemparkan busur mereka di tanah dan lalu mundur sambil
menundukkan kepala. Perlahan-lahan Tong Say Hoa bangun berdiri dan sambil berpaling kepada
raja, ia berkata seraya bersenyum: "Bagaimana? Bagaimana dengan kepandaian si nenek tua?"
Muka raja merah padam, bahna malu dan gusarnya. Si nenek kembali mesem dan sambil
menggapai, ia berteriak: "Lioe Tjeng! Cobalah kau memperlihatkan serupa pertunjukan untuk
menambah kegembiraan."
Ketika itu, angin sudah mereda dan kawanan burung pada terbang masuk ke dalam lembah
untuk melindungi diri dari serangan salju dan angin di luar lembah. Lioe Tjeng segera
mengeluarkan busur dan peluru sambil menuding dua baris burung gan yang sedang terbang di
angkasa, ia berteriak: "Peluru pertama akan menghantam mata kiri burung gan di barisan sebelah
kiri, peluru kedua akan mengenakan mata kanan burung yang terbang di barisan sebelah kanan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Hampir berbareng, busur yang dicekalnya menjepret dua kali dan sesaat kemudian, dua ekor
burung melayang turun ke bumi.
Dua antara guru panah yang barusan dijatuhkan oleh si nenek, segera memungut dua bangkai
burung itu dan memeriksa lukanya. Mereka kagum bukan main karena luka kedua burung itu
adalah tepat dengan yang dikatakan Lioe Tjeng. Itulah serupa kepandaian yang benar-benar
belum pernah dilihat mereka. Mau tak mau, raja pun mengakui keliehayan lawan dan ia hanya
bisa mengawasi dengan mulut ternganga.
Sesudah memperlihatkan kepandaiannya, si nenek bersama Yo Lioe Tjeng segera kembali ke
tempat duduknya.
Raja Nepal jadi semakin bingung. "Apakah orang-orang Han ini dewa-dewi yang turun ke
dunia?" tanyanya di dalam hati. "Racun yang1 hebat tak dapat mencelakakannya, sedang seorang
nenek bangkotan mempunyai kepandaian yang begitu luar biasa." Ia tak bisa mendapat jalan yang
baik guna menjatuhkan Keng Thian, sedang seorang berilmu yang ditunggu-tunggu tak kunjung
datang.
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba seorang boesoe bangsa Eropa yang berambut kuning dan
bermata biru bangun berdiri dan mengucapkan kata-kata yang tak dimengerti oleh Peng Go dan
kawan-kawannya. Seorang juru bahasa segera menyalinnya. Orang Eropa itu, yang bernama
Smith mengatakan, bahwa ia mendengar di Tiongkok terdapat ilmu menotok jalanan darah yang
dapat membinasakan manusia. Menurut katanya di Eropa pun terdapat ilmu semacam itu yang
dapat menghentikan pengaliran darah. Maka itu, ia ingin sekali bisa menjajal ilmu dengan seorang
ahli Tionghoa.
Keng Thian jadi gembira, tapi sebelum ia menyambut tantangan itu, tiba-tiba Kang Lam bangun
berdiri sambil tertawa haha-hihi. "Tong Tayhiap, tanganku gatal sekali," katanya. "Bolehkah
kuturun tangan dalam gebrakan ini?"
"Bagus!" kata Keng Thian sambil mengangguk. "Hampir-hampir aku lupa, bahwa di antara kita
terdapat seorang ahli tiamhiat."
Kang Lam girang bukan main dan sambil tertawa-tawa, ia melompat ke tengah gelanggang.
Melihat yang maju ke gelanggang adalah seorang bocah cilik, raja jadi mendongkol, tapi
teringat pengalamannya dengan si nenek, ia tak berani memandang enteng lagi. Di lain pihak,
boesoe Eropa itu berteriak-teriak sambil menuding Kang Lam. Ia ternyata merasa tak senang
karena dihadapi dengan tandingan bocah cilik. Si nakal yang tak mengerti bahasa itu, segera
menuding lawannya dan mengeluarkan kata-kata seperti yang dikatakan oleh orang itu.
Si boesoe Eropa jadi gusar bukan main dan sambil membentak keras, ia menubruk. Karena
melihat Kang Lam yang masih kekanak-kanakan, ia merasa tak tega untuk menyerang dengan
menggunakan ilmu "menutup jalanan darah" dan hanya ingin memberi hajaran kepada si bocah
yang dianggap kurang ajar sekali. Tapi di luar dugaan, Kang Lam yang pernah mempelajari ilmu
Tjoanhoa yauwsoe (Bermain-main di antara bunga dan pohon) di hutan batu, licin bagaikan
lindung dan tak dapat ditangkap atau dihajar dengan begitu saja. Sebagai akibatnya, apa yang
tertampak dalam gelanggang bukanlah pertempuran, tapi semacam main petak yang menggelikan
hati.
Boesoe Eropa itu naik darahnya. "Jika kau terus main gila, kutak akan sungkan-sungkan lagi!"
teriaknya.
Kang Lam menyengir dan lalu berteriak dengan meniru kata-kata itu.
Si boesoe tak dapat menahan sabar lagi dan lalu mengeluarkan semacam senjata yang luar
biasa. Senjata itu yang terbuat daripada perak, menyerupai gagang pena dan panjangnya kurang
lebih tujuh dim, dengan kedua ujungnya berbentuk lancip. Begitu mencabut senjata, begitu ia
menusuk. Kang Lam melompat ke belakang, tapi... "gagang pena" perak itu mendadak mulur
beberapa dim dan menyentuh dada. Ternyata senjata itu diperlengkapi dengan alat rahasia,
sehingga bisa pendek dan bisa panjang.
Begitu tertotok Kang Lam merasa badannya kesemutan. Pada hakekatnya, ilrhu menutup
jalanan darah dari si orang Eropa adalah bersamaan dengan tiamhoat dari orang Tionghoa.
Dengan memperhatikan jam dan menit, ia bisa menotok dan menghentikan aliran darah di tubuh
lawannya. Tapi sebagaimana diketahui, dari Hongsek Toodjin Kang Lam telah mendapat serupa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

ilmu untuk mengacaukan jalan darah sendiri, sehingga walaupun jalanan darahnya tertotok, ia tak
roboh. Ia hanya merasa kesemutan, tapi tak sampai terluka.
Melihat si-bocah tak bergeming karena totokannya, bukan main kagetnya si boesoe Eropa.
Dengan cepat ia segera menusuk lagi, sekali ini ke arah pergelangan tangan Kang Lam. "Setan!"
bentak si bocah sambil menyambut dengan pukulan Soentjhioe kianyo (Tangan menuntun
kambing) yang ia dapat dari Tan Thian Oe. Dengan satu tangan ia menangkap sikut si boesoe dan
tangannya yang lain coba merampas senjata lawan. Tapi si orang Eropa mempunyai tenaga yang
sangat besar. Dengan sekali menggentak, Kang Lam terhuyung, dan hampir berbareng "gagang
pena" itu mengeluarkan jarum tajam yang lalu ditusukkan ke lutut si bocah. Kali ini pena itu bukan
digunakan untuk menutup jalanan darah, tapi dipakai sebagai jarum injeksi.
Harus diketahui, bahwa "gagang pena" tersebut terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah
"gagang pena" itu sendiri, bagian kedua jarum tumpul yang digunakan untuk menotok jalanan
darah dan bagian ketiga jarum tajam yang digunakan untuk menginjeksi racun ke dalam tubuh
musuh.
Begitu tertusuk Kang Lam mengeluarkan teriakan kesakitan dan ia merasa lututnya lemas baal.
Ia menduga, bahwa jalanan darahnya kena ditotok dan lalu berteriak dengan suara gusar
"Bangsat! Apa kau kira, hanya kau yang bisa tiamhiat? Jaga totokanku!" Ia melompat sambil
menotok dengan jerijinya yang mengenakan tepat pada jalanan darah Hoen-hiat, di bawah katek
lawannya. Boesoe Eropa itu mengaum seperti harimau terluka dan roboh tanpa berkutik lagi.
Sesudah lawannya roboh, dengan terpincang-pincang ia menghampiri Keng Thian seraya
berkata: "Tong Tayhiap, ilmu mengacau aliran darah tak manjur lagi. Coba tolong buka jalanan
darahku."
Keng Thian segera memeriksa luka si bocah dan melihat lutut itu bengkak merah. "Kau bukan
kena ditotok," katanya sambil tertawa. "Minum saja secawan arak."
Sehabis berkata begitu, diam-diam ia memasukkan sebutir Pekleng tan ke dalam cawan yang
berisi arak, yang lalu diberikan kepada Kang Lam. Benar saja begitu mencegluk arak, rasa
kesemutan dan baal pada lututnya lantas saja hilang.
Sambil tertawa haha-hihi Kang Lam berpaling kepada raja dan berkata: "Baginda, jagoanmu
benar-benar tak tahu malu! Dia bukan mengunakan ilmu tiamhoat, tapi jarum beracun. Lihatlah!
Aku sudah merobohkannya dengan ilmu tiamhoat tulen. Dalam pertandingan ini, akulah yang
menang, bukan?"
Selebar muka raja jadi merah karena malu dan gusar. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata,
sebab jagonya memang sudah dikalahkan.
Tiba-tiba beberapa boesoe Eropa lainnya berteriak-teriak. Sesudah gagal dalam usaha
menolong kawannya yang dirobohkan Kang Lam, mereka menduga jiwa kawan itu sudah tak bisa
ditolong lagi. Maka itu, mereka berteriak-teriak untuk minta Kang Lam mengganti jiwa.
Sesudah maksud teriakan itu diterangkan oleh juru bahasa Kang Lam menjebi dan berkata
dengan suara nyaring: "Hei! Kamu sungguh-sungguh tak mengenal malu! Siapa suruh dia
menantang? Siapa suruh dia mencari mampus? Minta ganti jiwa? Tak malu kamu!"
Raja Nepal pun menganggap, bahwa permintaan mengganti jiwa adalah tak pantas. Seorang
yang berani maju ke dalam gelanggang pertandingan silat, memang harus bersedia untuk
dibinasakan oleh lawannya. Maka itu, ia lalu berkata dengan suara memohon: "Benar. Memang
benar kami tak berhak untuk minta ganti jiwa. Tapi apakah Siauwhiap (pendekar kecil) dapat
menolongnya?"
Kang Lam girang setengah mati karena ini adalah untuk pertama kali orang memanggil
"Siauwhiap" kepadanya. Dengan paras muka berseri-seri, ia berkata: "Aku... aku... Guruku hanya
mengajar tiamhiat, belum pernah mengajar kayhiat (membuka jalanan darah). Siapa suruh dia
banyak lagak? Kalau tak punya kemampuan, paling baik jangan menentang orang."
Raja merasa putus harapan. "Habis bagaimana baiknya?" tanyanya pula.
"Ada jalan," kata Kang Lam sambil menunjuk Keng Thian. "Siauwhiap tak mampu, tapi ada
Tayhiap. Tong Tayhiap bukan saja bisa membuka jalanan darah, tapi ia malah mampu
menghidupkan manusia yang sudah mati."
Raja jadi girang dan lalu memohon pertolongan pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Baiklah," katanya sambil tertawa. "Aku boleh mencoba-
coba, tapi belum tentu berhasil. Mintalah orang-orang yang berkerumun menyingkir ke pinggir."
Raja segera memerintahkan juru bahasa memberitahukan boesoe-boesoe Eropa itu yang lantas
saja membuka jalan untuk Keng Thian. Tapi pemuda itu tidak bergerak dari tempat berdirinya. Ia
hanya membungkuk dan memungut sebutir batu kecil yang lalu dilontarkan ke arah si boesoe
yang menggeletak di tanah. Begitu lekas batu itu menyentuh alisnya, ia mengeluarkan teriakan
keras dan di lain saat, ia sudah bisa bangun berdiri!
Melihat kepandaian yang luar biasa itu, semua orang kaget berbareng kagum. Si boesoe yang
ditolong dan beberapa kawannya segera menghampiri dan menghaturkan terima kasih kepada
Keng Thian.
Selagi Kang Lam tertawa haha-hihi dengan gembiranya, tiba-tiba suasana berubah. Raja dan
semua orang Nepal yang berada disitu kelihatan kaget, seolah-olah terjadi suatu perubahan yang
luar biasa!
Sekonyong-konyong Raja Nepal mengeluarkan teriakan girang dan bangun berdiri. Di lain saat,
dari sebelah kejauhan kelihatan muncul dua orang aneh yang pincang kedua kakinya dan
mendatangi dengan menggunakan tongkat. Mereka itu bukan lain daripada si orang aneh yang
ingin memutuskan kedua kaki Kang Lam di Honghotay. Melihat mereka, si bocah mengeluarkan
keringat dingin dan tak berani tertawa lagi.
Di pundak salah seorang terdapat satu jubah pertapaan warna merah, milik Taichiti yang tadi
terbang ditiup angin dan yang telah diketemukan mereka.
Begitu tiba, dengan mata yang sangat tajam, mereka menyapu semua orang yang berada
disitu. Tiba-tiba orang yang membawa jubah mencabut sebatang Thiansan Sinbong dari jubah itu.
"Siapa punya senjata ini?" tanyanya.
Raja buru-buru bangun dari kursinya dan memperkenalkan mereka: "Ini adalah Tong Tayhiap,
seorang pendekar kenamaan di wilayah Tionggoan. Kedua tuan itu adalah orang-orang beribadat
yang sangat terkenal namanya di negeri Arab. Yang di sebelah kiri adalah Tunhuman dan yang di
sebelah kanan Asia. Guru mereka adalah seorang yang berilmu paling tinggi di daerah Eropa
Timur dan di negara Arab."
Keng Thian membungkuk sambil merangkap kedua tangannya. "Sinbong itu adalah milikku,"
katanya.
Kedua orang aneh itu menatap wajah Keng Thian dan sambil memberi hormat, salah seorang
berkata: "Kami merasa beruntung, bahwa kita bisa bertemu pula di tempat ini. Kami ingin sekali
meminta pelajaran dari Tong Tayhiap."
Mendengar perkataan itu, raja merasa heran, karena ia tak menduga, bahwa mereka sudah
pernah bertemu muka.
Sebagaimana diketahui, pada malam itu di Honghotay, Tunhuman dan Asia tidak, bertemu
muka dengan Keng Thian dan mereka kabur karena diserang dengan Thiansan Sinbong. Tadi,
ketika memungut jubah pertapaan Taichiti di luar lembah, mereka mendapatkan senjata rahasia
itu yang menancap di jubah tersebut dan oleh karenanya, mereka menganggap, bahwa orang
yang menjadi tamu Raja Nepal adalah Tong Siauw Lan. Sesudah menimbang-nimbang beberapa
lama, dengan memberanikan hati, mereka datang juga ke lembah itu. (Bercacatnya kaki mereka
adalah sebab diserang dengan Thiansan Sinbong oleh Tong Siauw Lan). Sekarang, melihat Tong
Siauw Lan tidak berada disitu, hati mereka jadi lega dan segera menantang Keng Thian.
Mendengar tantangan itu, Keng Thian segera berkata dengan suara tenang: "Harap Djiewie
sudi mengusulkan caranya kita mengadu ilmu." Sambil berkata begitu, diam-diam ia memutar otak
untuk mencari jalan guna memunahkan pukulan Imyang Tjianglek dari kedua lawan itu.
Sesudah berdamai dengan bisik-bisik, Tunhuman berkata: "Kami berdua mendapat pelajaran
dari satu guru. Menurut kebiasaan, melawan satu orang, kami maju berdua, melawan seribu
orang, kami pun maju berdua. Maka itu, dalam pertandingan melawan Tayhiap, kami pun harus
maju dengan berbareng,"
Keng Thian terkejut. Jika melawan satu orang, mungkin ia masih bisa memperoleh
kemenangan, tapi kalau mereka maju dengan berbareng, ia merasa tak ungkulan untuk
memecahkan Imyang Tjianglek. Sedang hatinya keder, paras mukanya sedikitpun tidak berubah,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sebab ia tahu, tak dapat ia memperlihatkan kelemahan di hadapan Raja Nepal. Ia mengangguk
seraya menjawab: "Bagus! Bagus! Biarlah dengan sendirian aku menghadapi kalian berdua."
"Tong Tayhiap adalah tamu terhormat dari paduka raja, sehingga jika kita bertanding secara
boe (dengan menggunakan kekerasan, berkelahi sungguh-sungguh), aku kuatir akan
merenggangkan persahabatan," kata Tunhuman.
Keng Thian girang. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, kita menjajal tenaga secara boen saja
(tanpa menggunakan kekerasan, tanpa berkelahi betul-betul). Sudikah Djiewie mengajukan usul?"
"Biarlah kita bertanding dalam ilmu mengentengkan badan," kata Tunhuman.
Mengapa mereka mengajukan usul itu?
Sesudah dirobohkan oleh Tong Siauw Lan, hati mereka selalu merasa keder. Mendengar Keng
Thian she "Tong" dan juga pandai menggunakan Thiansan Sinbong, mereka sudah menduga,
bahwa pemuda itu adalah puteranya Siauw Lan yang mungkin sekali memiliki kepandaian tinggi.
Maka itu, mereka tidak berani menantang untuk bertempur secara boe.
Usul itu sudah mengejutkan semua orang, terhitung juga Keng Thian. Tulang lutut kedua orang
itu dihancurkan Thiansan Sinbong dan biarpun sudah diobati sekian lama, mereka masih
memerlukan tongkat untuk berjalan. Dengan adanya kenyataan tersebut, usul itu sungguh-
sungguh tak bisa dimengerti.
Sementara itu, sambil bersenyum Tunhuman sudah berkata pula: "Tempat yang menjadi titik
terakhir dari perlombaan kita adalah puncak gunung yang terletak di sebelah selatan. Siapa yang
tiba lebih dulu di atas puncak, dialah yang menang."
Tong Say Hoa tertawa dingin. "Tapi di pihakmu terdapat dua orang," katanya. "Bagaimana jika
yang satu tiba lebih dulu dan yang lain tiba lebih belakang dari Tong Tayhiap?"
"Kalau menang, kami harus menang berdua, jika kalah, kami kalah berdua," jawab Tunhuman.
"Jika salah satu di antara kami berada di belakang Tong Tayhiap, kamilah yang kalah."
Tong Say Hoa tidak dapat mengatakan suatu apa lagi, karena jawaban itu justeru
menguntungkan Keng Thian.
Tunhuman mencegluk secawan arak dan kemudian melemparkan cawan kosong ke tengah
udara. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Udara sangat bagus, sekarang saja kita mulai.
Kalau turun angin, kita sukar bertanding."
Semua orang mendongak dan mengawasi puncak gunung di sebelah selatan yang menjadi titik
terakhir dari perlombaan itu. Puncak itu yang tingginya ribuan tombak, tertutup salju sehingga,
dipandang dari jauh, seolah-olah satu sekosol yang terbuat dari batu giok putih. Di bawah sorotan
matahari, "sekosol" itu memancarkan sinar beraneka warna yang gilang-gemilang dan
menyilaukan mata. Semua orang memandangnya sambil menahan napas, bagaimana seorang
manusia bisa memanjat puncak yang sedemikian licin dan tebing?
Belum sempat Keng Thian menjawab tantangan itu, tiba-tiba Pengtjoan Thianlie bangun dari
kursinya sambil bersenyum. "Tong Tayhiap baru saja bertanding dengan Koksoe terutama dari
negara kami," katanya dengan suara merdu. "Adalah kurang pantas jika kita membuat seorang
tamu terlalu capai. Maka itu, biarlah aku saja yang melayani kedua Taysoe dalam pertandingan ini.
Dalam persilatan tak ada perbedaan negara atau bangsa. Kalau kita terlalu mendesak Tong
Tayhiap, ia mungkin merasa diperlakukan sebagai orang luar."
Tunhuman jadi bingung. "Kongtjoe adalah seorang yang sangat mulia, tak dapat Kongtjoe
sembarangan maju dalam gelanggang pertandingan," katanya.
Si nona tertawa seraya berkata: "Waktu masih berdiam di Puncak Es, kusudah biasa mundar-
mandir di gunung yang tertutup salju. Jika aku kalah, barulah Tong Tayhiap yang melayani
Djiewie. Dengan demikian, kita tak bisa dikatakan menarik keuntungan selagi lawan masih letih."
Tunhuman dan Asia adalah orang-orang yang kenamaan. Mendengar kata-kata Peng Go yang
seperti juga menuduh, bahwa mereka mau menarik keuntungan selagi Keng Thian masih letih,
mereka lantas saja jadi mendongkol dan mengangguk dengan berbareng. "Baiklah," kata
Tunhuman. "Jika Kongtjoe mengatakan begitu, kami tak bisa berbuat lain daripada melayaninya.
Kami mengharap baginda sudi memaafkan kelancangan kami."
Raja Nepal tak menyahut. Sesudah berpikir beberapa saat, barulah ia berkata: "Baiklah, Aku
hanya minta supaya Piauwmoay menyayang diri sendiri dan jangan berlaku ceroboh." Melihat
puncak yang begitu tebing dan berbahaya, di dalam hati ia sebenarnya merasa berkuatir. Sekali
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

terpeleset, si nona bisa lantas binasa. Tapi sementara itu, ia juga ingat, bahwa kemungkinan
mengambil Peng Go sebagai permaisuri, adalah sangat tipis. Jika Pengtjoan Thianlie binasa, paling
banyak dia dan Keng Thian sama-sama tak bisa mendapatkan nona yang cantik itu. Sebegitu jauh
mengenai kepentingannya sendiri,
kebinasaan Peng Go adalah menguntungkan, karena dengan demikian, kedudukannya di atas
tahta kerajaan Nepal tidak terancam lagi. Itulah sebabnya, sesudah menimbang-nimbang
beberapa saat, ia segera memberi permisi.
Mendengar sang puteri akan turun sendiri ke dalam gelanggang pertandingan, segenap tentara
Nepal jadi kaget, berkuatir dan girang. Dengan serentak, laksaan manusia keluar dari ribuan tenda
untuk menyaksikan pertandingan yang luar biasa itu.
Perlahan-lahan, bersama Tunhuman dan Asia, Pengtjoan Thianlie berjalan ke kaki puncak dan
berdiri berjejer untuk menunggu pertandaan yang akan diberikan oleh raja.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba Asia berkata.
"Ada apa?" tanya si nona.
"Pertandingan kita ini namanya satu kali, tapi sebenarnya dua kali pertandingan," jawabnya.
"Sesudah tiba di puncak, kita harus turun lagi. Siapa yang tiba lebih dulu disini, dialah yang
menang dengan menggunakan peraturan seperti waktu naik gunung."
"Tentu saja, sesudah tiba di puncak, kita harus kembali," kata Peng Go. "Baiklah. Mari kita
mulai." Sehabis berkata begitu, ia mengulapkan tangan, sebagai tanda, bahwa mereka sudah siap
sedia.
Dalam mengajukan usul tadi, Asia ternyata lebih hati-hati daripada Tunhuman. Sebelum
menang, ia sudah memikir kalah. Dengan mengingat, bahwa sang puteri bergelar Pengtjoan
Thianlie, atau Bidadari dari Sungai es, ia menaksir, bahwa Peng Go memang mempunyai
kepandaian luar biasa dalam ilmu memanjat gunung. Maka itu, ia segera membagi perlombaan
tersebut menjadi dua babak. Jika pihaknya menderita kekalahan dalam babak pertama, ia percaya
akan mendapat kemenangan dalam babak kedua.
Melihat ulapan tangan si nona, raja segera memerintah seorang pengawal pribadinya
melepaskan sebatang anak panah nyaring sebagai tanda dimulainya pertandingan. Dengan sekali
menekan kedua tangannya di tanah, tubuh Tunhuman segera melesat ke atas kira-kira tiga
tombak tingginya, dengan kepala di bawah, kaki di atas. Apa yang mengherankan semua orang,
ialah begitu tiba di atas, badannya seolah-olah terpaku di tembok salju. Hampir berbareng, tubuh
Asia pun "terbang" dan satu tangannya menjambret tangan Tunhuman. Di lain saat, sambil
menekan tangan saudaranya, ia mengenjot tubuh dan kembali melesat beberapa tombak
tingginya, akan kemudian "menempel" di tembok salju. Sekarang giliran Tunhuman untuk
mengulangi perbuatan Asia dan dalam sekejap, dengan kerja sama seperti itu, mereka sudah naik
beberapa puluh tombak tingginya. Melihat kepandaian yang istimewa itu, dengan serentak tentara
Nepal bersorak-sorai.
Ternyata, sesudah mereka bercacat, Tunhuman dan Asia telah menggubah berbagai cara kerja
sama dalam macam-macam ilmu. Untuk pertandingan mendaki gunung, mereka sudah
mempunyai persiapan yang sempurna. Kedua tangan mereka memakai sarung tangan yang pada
ujung-ujung jerijinya terdapat besi-besi lancip untuk menancapkan jeriji-jeriji di salju atau es yang
keras. Itulah sebabnya, mengapa mereka tak bisa turun ke gelanggang seorang diri. Pengtjoan
Thianlie mengawasi kedua lawannya sambil bersenyum dan sesudah mengempos semangat, ia
segera melompat ke atas. Sekarang para penonton menyaksikan ilmu yang lebih luar biasa lagi.
Begitu kedua kakinya menyentuh tembok salju, tanpa bertindak lagi, badan si nona terus meluncur
ke atas, seperti cara orang bermain ski.
Nepal adalah sebuah negara yang banyak gunungnya dan banyak pula saljunya, sehingga ilmu
bermain ski adalah ilmu yang dikenal umum. Tapi dalam permainan ski, orang harus
menggunakan alat-alat dan dalam olah raga itu, seseorang hanya bisa menyerosot ke bawah dan
tak mungkin meluncur ke atas. Maka itulah, begitu Peng Go mempertunjuki kepandaiannya, sorak-
sorai bergemuruh di seluruh lembah. Keng Thian sendiri yang sudah mengenalnya beberapa
tahun, baru sekarang mengetahui, bahwa Peng Go memiliki ilmu yang luar biasa itu.
Bagaikan kilat, Pengtjoan Thianlie dan kedua lawannya mendaki puncak itu dengan saling
susul. Sebentar si nona yang berada di depan, sebentar kedua lawannya yang naik lebih dulu. Biar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bagaimanapun jua, Tunhuman dan Asia agaknya masih kalah cepat, karena mereka harus
meminjam tenaga untuk melesat ke atas. Saban kali ketinggalan, pada saat-saat itulah, si nona
bisa menyusul dan melewati lawannya. Semakin lama, mereka naik semakin tinggi, hingga para
penonton berkunang-kunang matanya dan sukar bisa melihat tegas, siapa yang unggul dan siapa
yang kalah.
"Eh," kata Kang Lam sambil menyentuh lengan Keng Thian dengan jerijinya. "Siapa yang
menang?"
Pemuda itu yang sedang mengawasi ke atas tanpa berkesip tidak meladeni. Tiba-tiba Keng
Thian mengeluarkan teriakan kegirangan, sehingga cawan yang sedang dicekalnya jatuh di tanah.
"Ada... apa?" tanya si kacung.
"Kongtjoe menang!" jawabnya.
Ternyata, pada detik hampir tiba di titik yang terakhir, dengan menggunakan seantero
tenaganya, Tunhuman melesat ke atas lima enam tombak tingginya dan berhasil melewati Peng
Go. Si nona pun segera mengempos semangat dan menyusul dengan meninggalkan Asia di
belakangnya. Dengan demikian, Tunhuman tiba paling dulu di titik terakhir, kedua Peng Go dan
ketiga Asia. Tapi sebagaimana sudah dijanji, untuk memperoleh kemenangan, Tunhuman dan Asia
harus menang bersama-sama dan jika ada satu saja yang kalah, pihak mereka dihitung kalah.
Maka itu, Keng Thian sudah mengatakan, bahwa kemenangan diperoleh oleh Pengtjoan Thianlie.
Untuk sementara waktu mereka mengasoh di puncak itu. Sedang kedua lawannya sudah
kehabisan napas, Peng Go masih tetap segar. Sambil bersenyum ia berkata: "Aku menang atas
Asia, tapi kalah dari Tunhuman. Menurut perjanjian, akulah yang menang dalam perlombaan ini.
Tapi kumerasa tak enak hati. Begini saja: Kali ini kita seri, tiada yang menang, tiada yang kalah.
Bagaimana? Apa cukup adil?"
Tunhuman yang napasnya masih sengal-sengal, tak bisa lantas menjawab. "Jika Kongtjoe
mengatakan begitu, kami hanya bisa menghaturkan terima kasih atas kebaikan itu," kata Asia.
"Sekarang marilah kita mencoba-coba dalam babak kedua."
Melihat sifat ksatria dari sang puteri, kedua orang itu jadi kagum bukan main. Sesudah mereka
mengasoh beberapa lama, Raja Nepal segera memerintahkan seorang pengawal pribadinya
melepaskan lagi anak panah sebagai pertanda dan dengan berbareng, ketiga orang yang berada
di puncak segera menyerosot turun.
Dalam perlombaan kedua, Tunhuman dan Asia juga menggunakan cara yang tadi. Tapi
perbedaannya ialah, kalau waktu naik sekali melesat mereka hanya bisa mencapai empat lima
tombak, kali ini, sekali melompat, mereka bisa meluncur ke bawah belasan tombak. Mereka cepat,
Pengtjoan Thianlie lebih cepat lagi. Hal ini bisa dimengerti, karena menyerosot turun menurut cara
si nona, adalah banyak lebih mudah daripada meluncur ke atas, Dalam sekejap, ia sudah tiba di
tengah-tengah puncak dan meninggalkan kedua lawannya di sebelah belakang.
Tunhuman jadi bingung. Sesaat itu, angin Himalaya mulai meniup dengan santer. Ia girang dan
dengan menggunakan tudungnya yang menggemblok di punggung sebagai layar, ia "terbang" ke
bawah.
Selagi Tunhuman lewat di sampingnya, sambil bersenyum Peng Go berkata: "Kau harus
berhati-hati!" Tapi Tunhuman yang tengah memusatkan seluruh tenaganya dan perhatiannya, tak
menjawab nasehat itu.
Angin meniup semakin hebat.
Asia lewat di depan Tunhuman. Baru saja jeriji Asia menancap di tembok es, Tunhuman sudah
menyusul dari belakang. Karena tak keburu menjambret tangan saudaranya, ia terpaksa menekan
pundak Asia untuk meminjam tenaga. Pada detik itulah, angin menyambar hebat luar biasa,
sehingga Asia yang jerijinya belum menancap dalam di es dan pundaknya didorong dari belakang,
lantas saja tergelincir ke bawah, berikut saudaranya. Bagaikan bola, mereka menggelinding
dengan kecepatan yang menakuti di tebing yang tingginya ribuan tombak! "Habislah sekali ini!"
mereka mengeluh di dalam hati.
Tapi orang-orang yang menonton di bawah sebagian besar tak tahu terjadi kecelakaan itu.
Mereka malahan menganggap kedua orang itu menggunakan ilmu luar biasa dan diam-diam
mereka merasa menyesal, karena menduga si nona bakal dikalahkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tiba-tiba kembang salju muncrat berhamburan. Ternyata, tubuh Tunhuman membentur


balokan es besar yang menonjol di tembok itu, sehingga kepalanya pecah dan pingsan seketika
dengan berlumuran darah. Tapi untung sungguh, badannya kena ditahan dengan balokan es itu.
Di lain saat, Asia pun tiba dan juga terbentur dengan balokan es tersebut, sehingga ia pun
mendapat luka-luka.
Melihat kecelakaan tersebut, dengan cepat Pengtjoan Thianlie menyusul sambil membuka
ikatan pinggangnya yang lalu dilontarkan dan melibat pinggang Tunhuman. Berbareng dengan itu,
ia memerintahkan Asia yang hanya terluka enteng, mencekal ikatan pinggang tersebut dan
kemudian, dengan hati-hati, ia membawa mereka turun ke bawah.
Begitu mereka tiba di kaki puncak, sejumlah boesoe segera memburu dan memberi
pertolongan. Untung juga, berkat lweekang yang sangat tinggi, kecelakaan itu tidak
membahayakan jiwa Tunhuman dan Asia.
Dengan hati berdebar-debar dan paras muka pucat, raja segera memerintahkan beberapa
boesoe menggotong kedua orang itu ke dalam tenda untuk diobati. Pada sebelum digotong
masuk, dengan sorot mata berterima kasih, mereka manggutkan kepala beberapa kali terhadap
Pengtjoan Thianlie.
Si nona lantas saja kembali ke meja perjamuan. Ia menghela napas dan berkata: "Aku merasa
menyesal, karena gara-garaku, mereka mendapat luka."
"Hati Piauwmoay sangat mulia dan berkepandaian sangat tinggi, sehingga di puncak yang
begitu berbahaya, kau masih dapat menolong mereka," kata raja sambil tertawa. "Untuk itu
semua, aku menghaturkan banyak terima kasih." Ia. segera menuang tiga cawan arak yang lalu
dipersembahkan kepada Peng Go sebagai pemberian selamat.
Sambil mengangsurkan cawan-cawan itu, jantung sang raja memukul keras. Sesudah
menyaksikan kepandaian saudari sepupunya, ia jadi keder dan malahan ketakutan. Andaikata si
nona bersedia untuk menjadi permaisurinya, ia merasa tak akan bisa hidup beruntung, karena
sang puteri pasti tak akan bisa dikendalikan olehnya. Malahan terdapat kemungkinan, bahwa ia
sendirilah yang berbalik dijajah sang puteri! Ia mengharap-harap Peng Go lekas-lekas berlalu, tapi
tentu saja ia tak dapat mengusirnya, sebab ia sendiri yang sudah mengatakan, bahwa
kedatangannya ini adalah untuk mengundang si nona pulang ke negeri sendiri. Hatinya takut
tak kepalang, karena jika Peng Go benar-benar pulang ke Nepal, kedudukannya di atas tahta
sukar dapat dipertahankan lagi.
Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara tambur yang dipukul tiga puluh enam
kali dengan beruntun. Peng Go tahu, bahwa pemukulan tambur itu adalah penyambutan resmi
untuk seorang tamu agung. "Siapa yang datang berkunjung?" tanyanya di dalam hati.
Paras muka raja mendadak berubah berseri-seri. Sambil bangun berdiri, ia berkata: "Tong
Tayhiap, aku ingin
memperkenalkan kau dengan seorang luar biasa. Ia adalah seorang yang berilmu paling tinggi
di Eropa Timur dan di negara-negara Arab. Namanya Timotato Thayhoatsoe."
Raja Nepal menyambut tamunya dengan upacara kerajaan. Dengan didului oleh barisan yang
membawa bendera raja dan diiring oleh sepasukan serdadu serta murid-muridnya, Timotato
memasuki lembah itu dengan menunggang seekor gajah putih.
Keng Thian mengawasi tamu itu yang ternyata sudah berambut putih, tapi mukanya bersemu
merah, seperti muka seorang muda. Melihat Tayyang hiat-nya yang menonjol keluar, Keng Thian
tahu, bahwa orang tua itu memiliki Iweekang yang sangat tinggi.
Terhadap raja yang keluar menyambutnya, Timotato hanya membungkuk sedikit dan lalu
melompat turun dari tunggangannya. Dengan diiring raja, ia masuk ke ruangan perjamuan dan
dipersilahkan duduk di kursi pertama, sedang raja sendiri menemani di sebelah bawah. Keng Thian
yang memperhatikan segala gerak-geriknya, mendapat kenyataan, bahwa salju yang diinjak oleh
orang tua itu segera melumer. Ia terkejut karena hal itu merupakan suatu bukti, bahwa si kakek
memiliki Iweekang yang sudah mencapai puncak kesempurnaan. Di seluruh daerah Tiongkok,
hanya beberapa orang saja yang dapat menandinginya.
Sesudah menyapu para hadirin dengan kedua matanya yang sangat tajam, Timotato berkata
dengan suara perlahan: "Kedatanganku ke Himalaya di kali ini sebenarnya adalah untuk mendaki
puncak tertinggi di dalam dunia (Everest). Aku merasa sangat beruntung, bahwa di tempat ini aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

bisa bertemu dengan baginda." (Pembicaraan antara Timotato dan para hadirin disalin oleh juru
bahasa).
Mendengar perkataan itu, Keng Thian bermesem di dalam hati, karena ia yakin, bahwa biarpun
kakek itu mempunyai kepandaian sangat tinggi, tak gampang-gampang ia bisa menakluki puncak
tersebut.
"Untuk mendaki Tjoe-hong (Everest), Thayhoatsoe sebaiknya menunggu beberapa hari lagi
sampai hawa udara jadi lebih hangat," kata raja. "Dalam perjamuan ini secara kebetulan
berkumpul ahli-ahli silat dari berbagai negara. Dalam kesempatan yang jarang terdapat ini, aku
justeru ingin meminta pengajaran-pengajaran dari Thayhoatsoe."
Dengan perasaan mendongkol, Pengtjoan Thianlie melirik orang tua itu. Ia merasa, bahwa jika
Timotato berhasil memanjat Tjoe-hong, maka bangsa Nepal akan. kehilangan muka dan ia jengkel
bukan main melihat cara-cara raja yang menjilat-jilat, la juga mengerti, mengapa si kakek sudah
menerima baik undangan raja untuk menghadiri perjamuan itu. Pada jaman itu, Himalaya berada
di bawah kekuasaan dua negara, yaitu Tiongkok dan Nepal. Ia tentu ingin meminta permisi dari
raja Nepal untuk memanjat Tjoe-hong. Bagian utara dari Himalaya dikuasai oleh pemerintah Tjeng
dan jika Timotato ingin mendaki puncak dari sebelah utara, maka, menurut pantas ia harus
mendapat permisi pembesar Boan yang berada di Tibet. Hanya sayang, berhubung dengan adanya
kegoncangan di wilayah Tibet pada masa itu, maka pemerintah Boan tak sempat lagi mengurus
hal-hal yang dianggap remeh.
Selagi si nona melirik apa mau Timotato pun meliriknya dan kedua pasang mata kebentrok.
Muka si kakek lantas saja berubah dan sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Apakah
Liepousat ini Puteri dari negara baginda?"
"Benar," jawabnya. "Semenjak kecil Kongtjoe hidup di negeri lain dan kedatanganku kali ini
adalah untuk menyambutnya pulang ke negeri sendiri."
Begitu masuk ke dalam lembah, Timotato sudah mendengar, bahwa dua muridnya telah
dikalahkan oleh si nona dalam perlombaan memanjat puncak dan kedua-duanya telah mendapat
luka. Maka itu, ia datang dengan perasaan gusar, tapi sesudah melihat wajah si nona dan tahu
siapa adanya Peng Go, ia tak dapat mengumbar napsu. Sekali lagi matanya menyapu para hadirin
dan kemudian mengawasi Keng Thian.
Sambil bersenyum raja menunjuk pemuda itu seraya berkata: "Tuan itu adalah pendekar yang
namanya paling kesohor di daerah Tiongkok, Soetit (keponakan murid) Thayhoatsoe, Taichiti
Koksoe, telah roboh dalam tangannya. Dalam dunia ini, kecuali Thayhoatsoe, mungkin sekali tiada
orang lain yang bisa menandinginya." Kata-kata yang "membakar" itu benar saja sudah lantas
membangkitkan rasa gusarnya si kakek. Sesudah mengeluarkan suara di hidung, ia berkata
dengan nada memandang rendah: "Memang sudah lama aku mendengar, bahwa di Tiongkok
terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Hanya sayang sebegitu jauh aku belum pernah
mengunjungi daerah Tionggoan. Hari ini, secara kebetulan aku bertemu dengan seorang pendekar
dan kesempatan ini tentu saja tak boleh dilewatkan begitu saja."
"Aku sungguh tak berani menerima julukan pendekar yang diberikan Thayhoatsoe," jawab Keng
Thian dengan sabar. "Jika Thayhoatsoe ingin menjajal ilmu dengan ahli-ahli silat Tionggoan,
keinginan itu bisa tercapai dengan mudah sekali. Dalam tempo sebulan, aku pasti akan mencari
seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi untuk menghadapi Thayhoatsoe." Keng Thian tahu,
bahwa kedua orang tuanya, Phang Lin dan Lu Soe Nio sudah datang di Tibet dan salah seorang
antaranya sudah cukup untuk bertanding dengan si kakek.
Timotato bersenyum tawar. Ia mendongakkan kepala dan berkata dengan suara mengejek:
"Mana kupunya tempo untuk menunggu sebulan! Kita bukan anak-anak kecil yang jika mau
berkelahi, harus menunggu kedatangan orang tua. Kita hanya menjajal ilmu silat, siapa menang,
siapa kalah, bukan soal besar. Jika Tong Tayhiap takut kalah dengan maju sendirian, biarlah kau
dan semua kawan-kawanmu mengerubutiku dan aku sendiri akan melawan dengan tangan
kosong."
Suara temberang itu sudah membangkitkan kegusaran, Tong Say Hoa yang lantas saja
berteriak: "Keng Thian! Jika kau tak mau turun ke gelanggang biarlah aku si tua yang meminta
pengajarannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Keng Thian segera mencegah dan berkata sambil tertawa: "Jika Thayhoatsoe mengatakan
begitu, biarpun aku tak cukup berharga untuk mewakili boesoe dari wilayah Tionggoan, biarlah
kusaja yang melayani Thayhoatsoe."
"Bagus!" kata Timotato sambil tertawa berkakakan dan lalu berjalan masuk ke dalam
gelanggang dengan sikap memandang rendah.
Keng Thian mendongkol bukan main, tapi sebagai seorang yang berusia lebih muda, ia menyoja
seraya berkata: "Hayolah!"
"Mengapa kau tidak menghunus pedang mustikamu?" tanya si kakek sembari menyengir.
"Hunuslah! Aku mempermisikan kau lebih dulu menyerang tiga kali."
Keng Thian terkejut, karena mata si tua ternyata awas sekali dan dapat mengenali pedang
mustika sebelum senjata itu dicabut. "Kubelum pernah menghinakan orang yang tidak bersenjata,"
jawabnya dengan suara tawar. "Keluarkanlah senjatamu dan kau boleh lebih dulu menyerang tiga
kali kepada diriku."
Timotato menggosok-gosok kedua tangannya seraya berkata: "Sudah banyak tahun kutak
pernah menggunakan senjata, sehingga kusudah lupa bagaimana harus menggunakannya."
"Baiklah," kata Keng Thian. "Kalau begitu kita bertempur saja dengan tangan kosong."
"Tong Tayhiap, jangan kena ditipu!" tiba-tiba Kang Lam berteriak. "Mengapa kau tidak mau
menggunakan pedang mustika?"
Timotato tertawa terbahak-bahak. "Benar," katanya. "Mengapa kau tak mau menggunakan
pedang mustika? Tanpa bersenjata, kukuatir kau akan merasa penasaran."
Tapi tentu saja Keng Thian sungkan menjilat kembali ludah yang sudah dibuang. "Sudahlah,
jangan rewel!" katanya dengan angkuh. "Hayolah! Jika kukalah, aku akan mengakui kekalahanku!"
Mendengar perkataan pemuda itu yang keras kepala, si kakek merasa kagum. "Kalau begitu,
kau bersiaplah!" katanya sambil bersenyum. Sehabis berkata begitu, tanpa memasang kuda-kuda,
ia lalu mengirim satu pukulan dari jarak tiga tombak jauhnya. Tiba-tiba Keng Thian merasakan
dirinya didorong dengan semacam tenaga yang sangat dahsyat, sehingga buru-buru ia
mengerahkan lweekang dan "menancap" kedua kakinya di tanah dengan ilmu Tjiankin toei (ilmu
memberatkan badan). Tapi biarpun begitu, badannya masih bergoyang-goyang beberapa kali.
Timotato heran sebab pemuda itu tidak menjadi roboh dan ia lalu menarik pulang tangannya
sambil mengerahkan lweekang.
Mendadak, Keng Thian merasa dirinya diseret dengan serupa tenaga membetot, sehingga
kedua kakinya terangkat dari tanah. Dengan kaget, ia mengenjot badannya yang lantas saja
melesat ke depan, sambil mengirim satu pukulan membinasakan dari Thiansan Tjianghoat.
Melihat gerakan yang indah, sejumlah boesoe Nepal bersorak. Mereka tak tahu, bahwa Keng
Thian sudah berbuat begitu, karena terpaksa. Di antara tampik sorak, tiba-tiba terlihat
berkelebatnya kedua tangan Timotato dan tubuh Keng Thian menjungkir balik dua kali di tengah
udara, akan kemudian hinggap di atas tanah yang jauhnya kurang lebih tiga tombak.
Melihat pemuda itu berhasil menyelamatkan diri dari dua serangan hebat, si kakek merasa
kagum. Sekarang ia tidak berani memandang rendah lagi dan lalu mulai menyerang dengan
bertubi-tubi.
Keng Thian lantas saja melayani dengan ilmu Toeihong Tjianghoat yang kesohor liehay. Ia
mengutamakan pembelaan diri dan hanya menyerang jika terbuka kesempatan baik. Akan tetapi,
karena si kakek memang banyak lebih unggul, dalam sekejap mata ia sudah berada di bawah
angin dan ia seperti juga terseret masuk ke dalam "pusar air", maju tak mungkin, keluar pun tak
bisa!
Ilmu yang digunakan Timotato adalah Imyang Ngoheng Tjianglek, yaitu pukulan yang
mempunyai tenaga "positif dan "negatif, tenaga mendorong dan tenaga membetot, sehingga
seseorang yang sudah "dikurung" dengan ilmu itu, sukar sekali bisa menyingkirkan diri.
Biarpun tidak mengenal ilmu itu, Keng Thian adalah turunan dan ahli waris seorang ahli silat
besar di wilayah Tionggoan. Begitu merasa dirinya terseret ke dalam gelombang tenaga yang
menyerupai "pusar air", ia tahu bahwa hal itu sudah terjadi karena Iweekang-nya masih kalah dari
lweekang lawan. Maka itu, buru-buru ia memusatkan pikiran dan mengempos semangat untuk
mempersatukan tenaga jasmaniah dan rohaniah, akan kemudian mengeluarkan ilmu silat Siebie
Tjianghoat, yaitu ilmu yang terliehay dalam seluruh Thiansan Tjianghoat, untuk coba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

menyelamatkan diri. Siebie Tjianghoat adalah ilmu silat nomor satu dalam pembelaan diri dan
terutama digunakan jika bertemu dengan lawan yang lebih liehay. Dengan menggunakan tenaga
Imdjioe (tenaga lembek), Keng Thian coba memunahkan gelombang tenaga Timotato. Tapi
serangan Timotato adalah lain dari serangan biasa. Pukulannya bukan ditujukan langsung ke
tubuh Keng Thian, tapi terputar-putar seperti "pusar air", yang satu mendorong dan yang lain
membetot, sehingga mau tak mau, Keng Thian turut terseret dan terputar-putar.
Melihat Keng Thian lari terputar-putar, sejumlah boesoe Nepal merasa heran karena mereka tak
mengerti apa sebabnya. Semakin lama pemuda itu lari semakin cepat dan di atas kepalanya
muncul uap putih. Tong Say Hoa kaget tak kepalang dan tanpa menunggu tempo lagi, ia
mengebas tangan bajunya dan tiga batang paku Samleng Touwkoet teng menyambar ke arah tiga
jalanan darah Timotato.
Pada jaman itu, Tong Say Hoa adalah ahli nomor satu dalam ilmu melepaskan senjata rahasia.
Tiga paku itu menyambar tanpa bersuara, sehingga orang-orang yang tengah memperhatikan
jalan pertempuran, sedikitpun tak tahu, bahwa si nenek telah membantu pemuda itu.
Tiba-tiba terdengar tiga kali suara "tring!" Si nenek terkesiap, sebab ia tahu senjatanya telah
menyentuh semacam logam. Sebagaimana diketahui, Timotato tidak bersenjata dan juga tidak
mengenakan pakaian berlapis besi. Paku yang barusan dilepaskan, dinamakan Touwkoet teng,
atau paku menembus tulang, sehingga begitu menyentuh badan manusia, paku yang sangat tajam
itu bisa menembus tulang. Tapi mengapa terdengar suara "tring!", seperti juga paku itu terbentur
logam?
Ternyata, tanpa diketahui oleh siapapun juga, pada waktu tiga paku itu menyambar ke arah
jalanan darahnya, dengan kecepatan kilat Timotato menyampok, sehingga senjata rahasia itu
berbalik menyambar Keng Thian. Baru saja ia ingin mengeluarkan ejekan, tiba-tiba ia melihat
peletikan api dan tiga paku itu terpental dari tubuh Keng Thian. Kecuali si kakek sendiri, tiada
manusia lain yang melihat kejadian itu. Kagetnya Timotato tak kurang dari kagetnya Tong Say
Hoa. Dibantu dengan tenaga pukulannya, andaikata Keng Thian mengenakan baju besi, tiga paku
itu belum tentu tidak menancap.
Si kakek tentu saja tak tahu, bahwa pemuda itu mengenakan semacam baju mustika, yaitu
Kimsie Djoanka (baju yang terbuat daripada benang emas), yang dulu dihadiahkan kepada ibunya
oleh Tjiong Ban Tong. Jangankan baru Touwkoet teng, sedangkan pedang mustika masih tak bisa
menembus baju mustika itu.
Keng Thian yang menduga, bahwa senjata rahasia itu dilepaskan oleh lawannya, segera
membentak dengan suara gusar: "Bagus! Kau menggunakan senjata rahasia? Sambutlah
senjataku!" Hampir berbareng, dua Thiansan Sinbong menyambar. Si kakek mengebas dengan
tangan jubahnya dan walaupun Sinbong terpukul jatuh, tapi tangan jubah itu tak urung berlubang
juga!
Inilah untuk pertama kali, Timotato bertemu dengan senjata rahasia yang begitu hebat. Ia
terkejut dan di lain saat, dua batang Sinbong kembali menyambar.
Sambil mengempos semangat, ia mengebas dengan tangannya dan Sinbong jatuh di tempat
yang jaraknya kira-kira setombak.
Ketika itu, juru bahasa baru menyalin cacian Keng Thian.
Bukan main gusarnya Timotato. "Gila!" teriaknya. "Kawanmu yang membokong aku, tapi kau
berbalik menyalahkan aku!" Sebenarnya, ia ingin mencaci lebih hebat, tapi mengingat
kesombongannya yang tadi sudah menantang semua kawan-kawan pemuda itu, ia jadi malu
sendiri dan lalu menutup mulut.
Sementara itu, Keng Thian sudah melepaskan pula dua Sinbong dari jarak dekat. Karena
sedang mendongkol, tenaga si kakek berkurang dan Sinbong itu jatuh dalam jarak hanya tiga kaki
dari tubuhnya. Ia terperanjat dan buru-buru mengempos semangat.
Pada detik itu, mendadak, mendadak saja si kakek merasa jalanan darah di lengannya
kesemutan dan jauh-jauh terdengar suara tertawa seorang wanita!
Semua orang menengok dan mengawasi ke arah suara tertawa itu. Mereka melihat dua orang
wanita muncul di tanjakan, yang satu setengah tua, yang lain seorang gadis yang parasnya cantik
sekali. Dandanan mereka hampir tidak berbedaan, di rambut masing-masing terikat dua kupu-
kupu yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

terbuat dari sutera, sedang gerak-gerik dan lagak mereka menyerupai kanak-kanak nakal.
"Ie-ie!" teriak Keng Thian dengan kegirangan yang meluap-luap.
Wanita yang setengah tua itu mengenjot badan dan tubuhnya lantas saja melesat ke tengah
udara. Sesudah memutar badan, dengan satu gerakan yang sangat indah, ia melayang turun ke
bawah. Melihat pertunjukan yang luar biasa itu, ribuan serdadu Nepal dengan serentak bersorak-
sorai.
Timotato mengawasi lengannya yang kesemutan dan melihat selembar daun hijau yang
menempel di lengan itu. Ternyata, wanita setengah tua itu... yang bukan lain daripada Phang
Lin... sudah menimpuknya dengan ilmu Hoeihoa tjekyap yang disertai dengan lweekang yang
tinggi luar biasa, lweekang antara si kakek dan Phang Lin sebenarnya kira-kira berimbang. Tapi
tadi, karena seluruh perhatiannya sedang dipusatkan kepada Thiansan Sinbong, maka ia merasa
lengannya kesemutan waktu tersentuh dengan daun yang dilontarkan oleh nyonya itu.
Sementara itu, sambil tertawa Phang Lin mendekati Keng Thian dan menanya: "Keng Thian,
mana Kim Sie Ie?"
"Kutak ketemu," jawabnya.
"Tapi melihat tapak-tapaknya, mungkin sekali ia pun sudah berada di sekitar tempat ini."
Sang le-ie (bibi) mengangguk seraya berkata: "Baiklah. Kau boleh omong-omong dengan
Piauwmoay-mu (Lie Kim Bwee). Aku ingin menghadapi pendeta asing itu." la berpaling kepada
Timotato dan berkata pula seraya tertawa: "Aku paling senang menyaksikan pertunjukan yang luar
biasa. Gerak-gerakan tangan Thayhoatsoe yang terputar-putar sungguh menarik perhatianku. Aku
ingin sekali bermain-main dengan Thayhoatsoe."
Hari ini, beberapa kali Timotato sudah diejek orang. Melihat cara Phang Lin melontarkan daun,
ia tahu, bahwa nyonya itu tidak boleh dibuat gegabah. Dalam pertandingan antara jago dan jago,
salah satu pantangan yang paling besar adalah naik darah. Maka itu, biarpun Phang Lin
mengejeknya, sebisa-bisa ia menahan sabar.
"Bagus!" katanya. "Aku merasa beruntung sekali, bahwa sekarang aku bisa berhadapan dengan
seorang jago wanita dari wilayah Tionggoan, hunuslah senjatamu!"
Sambil tertawa geli, si nyonya lalu mencopot satu kupu-kupu sutera yang terikat di rambutnya
dan lalu membukanya, sehingga di lain saat, tangan kanannya mencekal sehelai pita panjang yang
beraneka warna. "Aku bukan jago wanita dan kutak biasa menggunakan pedang atau golok."
katanya seraya bersenyum. "Aku hanya membekal seutas tali untuk mengikat kera."
Belum habis kata-kata Phang Lin disalin oleh juru bahasa, Timotato sudah membentak keras
dan menghantam dengan kedua tangannya.
Bagaikan pohon yanglioe yang tertiup angin, badan si nyonya bergoyang-goyang.
"Celaka!" seru Tong Say Hoa.
"Jangan kuatir, ibuku sedang mempermainkan dia," kata Lie Kim Bwee.
Di lain saat, tubuh Phang Lin melompat kian kemari bagaikan seorang yang menari-nari,
sedang pita sutera yang dicekalnya menyambar-nyambar di tengah udara. Beberapa saat
kemudian pita itu mendadak berubah tegak lurus dan meluncur masuk ke dalam . hidung si kakek!
Tentu saja ia gelagapan dan berbangkis keras-keras!
"Bagus! Sungguh bagus!" teriak Kang Lam sambil menepuk-nepuk tangan dan tertawa
terbahak-bahak. Raja Nepal yang sedang jengkel juga turut tertawa.
Phang Lin berkelahi dengan terus menerus mengunjuk kenakalannya. Sedang mulutnya tak
henti-hentinya berteriak: "Awas matamu! Awas kupingmu!... Pita suteranya yang tegak lurus
bagaikan kawat baja karena disertai dengan Iweekang yang sangat tinggi, menyambar ke arah
mata, ke kuping dan ke lain-lain bagian badan, sesuai dengan teriakan nyonya itu. Apa yang lebih
hebat lagi ialah sambaran-sambaran itu selalu menuju ke arah jalanan darah. Terhadap pita sutera
itu, yang sebentar lemas dan sebentar keras, Imyang Ngoheng Tjianglek tak bisa berbuat banyak.
Dalam gusarnya, si kakek menyerang dengan pukulan-pukulan Pekkong tjiang (pukulan yang bisa
merobohkan musuh dari jarak jauh), tapi siasat itu pun tidak berhasil karena Phang Lin segera
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

membela diri dengan mengerahkan Iweekang untuk menolak sambaran-sambaran angin dari
pukulan itu.
Selagi Keng Thian memperhatikan jalan pertempuran, Lie Kim Bwee tiba-tiba berbisik di
kupingnya: "Piauwko, apa kau membenci Kim Sie Ie?"
"Hm! Sedikit," jawabnya, tanpa memikir lagi. Ia melirik dan melihat paras muka si nona yang
bersungguh-sungguh. Ia terkejut sebab tahu, bahwa ia sudah kesalahan bicara. "Tidak, kutak
membencinya," katanya dengan cepat. "Aha! Lihatlah! Indah betul pukulan itu!"
"Eh," kata pula Kim Bwee. "Mengapa kau ogah-ogahan menjawab pertanyaanku. Ibu pasti
menang. Tak perlu kau menonton pertandingan itu. Jawablah pertanyaanku dengan sungguh-
sungguh: "Apakah kau membenci Kim Sie Ie?"
"Untuk bicara terus terang, dulu memang aku merasa agak mendongkol terhadapnya, tapi
sekarang sudah tidak lagi," jawab Keng Thian.
"Hm, tapi apa kau tahu, sekarang Sie Ie-ko hanya bisa hidup tujuh hari lagi?" tanya lagi si adik.
Keng Thian kaget. Ia merasa heran, bagaimana adik sepupunya bisa tahu begitu tepat.
Mendadak ia mendusin dan lalu berkata sambil bersenyum: "Kalau begitu kedatangan Ie-ie dan
kau kesini adalah untuk mengejar Kim Sie Ie, bukan?"
"Apakah kau bersedia menolong dia?" tanya Lie Kim Bwee tanpa menjawab pertanyaan
kakaknya. "Menurut katanya ibu, hanya Iethio dan kau sendiri yang bisa menolongnya dengan
menggunakan Iweekang dari Thiansan pay."
Sang kakak kembali bersenyum dan menyahut: "Kedatanganku dan Peng Go ke gunung ini
memang untuk menolong dia."
"Jika kau tidak mendusta, kita harus mendaki gunung secepat mungkin untuk mencarinya,"
kata si nona dengan nada memohon.
"Akur!" kata Keng Thian. "Tapi sedikitnya kita harus menunggu sampai ibumu menyelesaikan
pertandingan ini." Diam-diam ia merasa geli dalam hatinya karena seorang otak-otakan seperti
Kim Sie Ie masih disayang oleh seorang gadis jelita. Tapi di lain saat, ia merasa berduka sebab
mengingat, bahwa harapan adiknya adalah harapan yang sukar tercapai. Usaha mencari satu
manusia di gunung Himalaya adalah seperti usaha mencari jarum di lautan yang dalam.
"Ibu!" teriak Lie Kim Bwee. "Piauwko sudah berjanji akan menolong dia. Ibu! Lekas-lekas
robohkan pendeta itu, supaya kita bisa segera mendaki gunung."
Tiba-tiba di gelanggang pertempuran terdengar suara gedubrakan, sehingga semua orang jadi
terkejut. Ternyata lapisan es tebal yang diinjak Phang Lin mendadak pecah dan roboh.
Tiba-tiba tubuh Phang Lin melesat ke atas, pita suteranya berkelebat memutari dirinya dan
hampir berbareng, dengan menekuk lima jerijinya bagaikan gaetan, dari tengah udara ia
menghantam batok kepala Timotato.
"Sungguh indah gerakan Niauw-eng itu!" memuji Keng Thian.
Baru saja Keng Thian mengucapkan pujiannya, rambut si kakek berdiri dan kedua tangannya
menghantam ke atas, sedang Phang Lin "terbang" seputaran, akan kemudian melayang turun ke
muka bumi.
Tanpa diketahui oleh para penonton, dalam gebrakan barusan, kedua lawan telah
menggunakan siasat yang sangat liehay dan lweekang yang sangat tinggi.
Harus diketahui, bahwa Timotato sudah bisa menjagoi di Eropa Timur dan Asia Barat, karena ia
mempunyai kepandaian dan kecerdasan luar biasa. Begitu mengetahui, bahwa nyonya itu adalah
lawan yang berat, ia segera memusatkan tenaga lweekang di kedua kaki dan dengan sekali
menjejek, es yang diinjaknya lantas saja pecah. Phang Lin kaget dan segera melompat ke atas.
Waktu badannya melayang turun ke bawah, ia menggunakan kesempatan untuk memukul kepala
si kakek.
Inilah yang ditunggukan oleh Timotato! Untuk menggunakan Imyang Ngoheng Tjianglek, ia
perlu meminjam tenaga musuh. Waktu itu, lweekang Phang Lin dibagi jadi dua bagian, sebagian
digunakan untuk melompat dan sebagian pula untuk memukul musuh. Karena terpencarnya
tenaga, hampir-hampir ia kena dibetot dengan tenaga terputar dari Imyang Tjianglek. Untung
juga, Phang Lin memiliki ilmu mengentengkan badan yang tiada tandingannya dalam dunia,
sehingga pada saat yang sangat berbahaya, ia masih bisa melayang turun ke bumi dengan
selamat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Begitu lekas hinggap di tanah, Phang Lin segera mengempos semangat dan menyerang pula
dengan pitanya.
Sesudah lewat beberapa jurus, sekonyong-konyong Timotato mengubah cara bersilatnya. Ia
menyerang dengan mementang lima jeriji tangan kirinya, sedang tangan kanannya terus membuat
lingkaran-lingkaran. Dalam sekejap, satu perubahan telah terjadi, yaitu, pita si nyonya tak dapat
menembus lagi garis pembelaan si kakek.
Ternyata, sebagai seorang yang sangat cerdas, Timotato insyaf, bahwa tenaga lweekang-nya
kira-kira setanding dengan lweekang si nyonya dan ia sukar memperoleh kemenangan dengan
hanya menggunakan Imyang Tjianglek. Maka itu, ia lantas saja mengubah taktik: Telapakan
tangan kanannya tetap menyerang dengan Imyang Tjianglek, sedang lima jeriji tangan kiri
dipentang dan melawan serangan pita dengan memusatkan lweekang di ujung jeriji. Dapat
dimengerti, bahwa karena permukaan telapakan agak lebar, maka lweekang yang keluar dari
telapakan jadi terpancar agak lemah. Tapi lweekang dari jeriji yang kecil lancip, sangat "tajam"
sebab semua tenaga berpusat di satu titik, sehingga begitu tersentuh, pita Phang Lin lantas saja
terpental. Maka itulah, sesudah si kakek mengubah taktik, pita tersebut tak dapat menembus lagi
garis pembelaannya. Demikianlah mereka terus bertempur dengan serunya tanpa ada yang
keteter.
Keng Thian dan yang lain-lain mengawasi jalan pertempuran dengan hati berdebar-debar.
Tiba-tiba Kang Lam berbisik: "Tong Lootaypo, mengapa kau tak mau menggunakan lagi senjata
rahasia?" Sebab duduk di dekat si nenek, ia tahu, bahwa Samleng Touwkoet teng telah dilepaskan
oleh orang tua itu.
Tong Say Hoa tertawa getir. "Ilmu melepaskan senjata rahasia dari Phang Lin banyak lebih
liehay daripadaku," jawabnya. "Jika aku membantu, bisa-bisa keadaan jadi semakin jelek."
Mendengar itu, Keng Thian baru tahu, bahwa Touwkoet teng benar-benar bukan dilepaskan
oleh Timotato.
Semakin lama mereka bertempur semakin sengit dan Phang Lin yang biasanya selalu tertawa
haha-hihi, tidak terdengar lagi tertawanya.
Mendadak angin dari atas gunung kembali meniup keras, sehingga pasir, batu-batu kecil dan
kembang salju terbang berhamburan. Sekonyong-konyong, dibawa dengan kesiuran angin, dari
atas gunung terdengar teriakan yang aneh, panjang dan nyaring.
"Kim Sie Ie!" teriak Phang Lin, seraya melompat keluar dari gelanggang dan bagaikan kilat, ia
berlari-lari mendaki gunung.
Timotato kelihatan terkejut dan sesudah bicara beberapa patah, ia pun segera berlari-lari ke
atas gunung. Dalam sekejap, si nyonya dan si kakek sudah tak kelihatan bayang-bayangan lagi.
Perubahan yang mendadak itu sudah mengejutkan semua orang sehingga mereka saling
mengawasi dengan mulut ternganga.
Beberapa saat kemudian, barulah juru bahasa menghampiri raja dan melaporkan sambil
membungkuk: "Timotato
Thayhoatsoe mengatakan, bahwa seorang muridnya telah memanggilnya dari atas gunung dan
karena ia ingin segera mendaki Tjoe-hong, maka ia meminta diri dari baginda."
"Dusta!" teriak Keng Thian. "Itulah suaranya Kim Sie Ie.
Mengapa dia mengatakan muridnya?"
"Piauwko," kata Kim Bwee dengan suara tak sabaran sambil menyeret tangan kakaknya.
"Marilah kita menyusul."
Keadaan jadi kacau-Tong
Say Hoa, Pengtjoan Thianlie, Keng Thian dan yang lain-lain segera bangun berdiri. Tapi,
sebelum mereka berangkat, sekonyong-konyong terjadi pula perubahan yang lebih mengejutkan.
Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara terompet yang ramai dan saling susul dan
beberapa saat kemudian, boesoe Nepal yang menjaga di mulut lembah datang melaporkan:
"Tentara Tjeng sudah tiba di mulut lembah!"
Paras muka raja lantas saja berubah pucat bagaikan kertas.
"Karena tentara kita sudah melewati perbatasan orang, orang tentu saja datang menegur," kata
Peng Go. "Untung juga, mereka masih menunggu di luar lembah. Sekarang ini daya upaya yang
paling baik adalah menyingkirkan permusuhan dan mengadakan perdamaian."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Apa mereka mau?" tanya raja dengan perasaan kuatir.


"Karena sekarang belum di kirim surat tantangan, kurasa masih dapat diadakan perdamaian,
jika baginda bersedia untuk menghaturkan maaf," kata Keng Thian.
Dalam keadaan terdesak dan bingung, hati sang raja jadi agak terhibur karena perkataan Keng
Thian. "Kalau begitu, aku mohon Tong Tayhiap sudi pergi bersama-sama untuk bantu bicara,"
katanya.
"Menyingkirkan segala bencana adalah kewajiban dari setiap orang dalam Rimba Persilatan,"
kata pemuda itu. "Segala perintah baginda, kuakan menjalankan dengan segala senang hati."
Tanpa menyia-nyiakan tempo, raja segera mempersilahkan Keng Thian dan Peng Go
menunggang gajah putih dan dengan segala upacara kehormatan, bersama-sama raja mereka lalu
berangkat untuk menyambut tentara Tjeng.
"Piauwko," teriak Kim Bwee dengan suara bingung. "Apa kau tak sudi menolong Kim Sie Ie?"
"Begitu lekas aku sudah menyelesaikan urusan disini, aku akan segera mendaki gunung," jawab
sang kakak.
Paras muka si nona lantas saja berubah kurang senang. "Kalau begitu, aku berangkat lebih
dulu," katanya.
Keng Thian segera mengeluarkan sebuah peles perak yang di dalamnya berisi tiga butir Pekleng
tan dan menyerahkannya kepada Lie Kim Bwee. "Biarpun Pekleng tan tidak dapat menyembuhkan
akar penyakit, tapi bisa memperpanjang umurnya sekian hari," katanya "Di sepanjang jalan kau
harus memberi pertandaan, supaya aku dapat mengikutinya."
Si nona menyambuti peles itu sambil menghela napas. "Jika Sie Ie-ko tak dapat ditolong,
seluruh penghidupanku akan kosong melompong," katanya. Inilah untuk pertama kali Keng Thian
menyaksikan si nakal bersusah hati.
Begitu lekas rombongan raja Nepal keluar dari mulut lembah, mereka melihat tentara Tjeng
dalam formasi seperti kipas. Dengan senjata yang berkilauan dan bendera-bendera yang berkibar-
kibar dengan megah, tentara itu kelihatan angker sekali.
Sesudah mereka datang dekat, tiba-tiba Peng Go mengeluarkan seruan kaget sambil menuding
ke depan: "Ih! Coba lihat! Bukankah itu Thian Oe dan Yoe Peng?" Keng Thian mengawasi ke arah
yang ditunjuk si nona. Di bawah bendera "Swee" (bendera panglima perang yang memimpin
tentara) terlihat seorang jenderal yang paras mukanya angker dan bersenjata toya Longgee pang
diapit oleh seorang pemuda dan seorang wanita cantik. Keng Thian segera mengenali, bahwa
jenderal itu adalah Tjiauw Tjoen Loei, sedang kedua orang muda memang bukan lain daripada
Tan Thian Oe dan Yoe Peng. Ternyata, karena melihat bakat dan kecerdasan pemuda itu, dalam
menggerakkan tentara untuk menghadapi tentara Nepal, Hok Kong An sudah mengangkat Thian
Oe sebagai Tjamkoen. Yoe Peng yang ingin sekali bertemu dengan majikannya, sudah mendapat
permisi untuk mengikut pasukan itu.
Keng Thian jadi girang bukan main, karena ia merasa pasti, bahwa persoalan yang kini dihadapi
akan segera menjadi beres. Sesudah kedua belah pihak bertemu muka, Tjiauw Tjoen Loei yang
tak begitu pandai bicara, lantas mengangkat Thian Oe sebagai wakilnya untuk mengadakan
perundingan di tenda panglima perang.
Dalam musyawarah itu, Thian Oe menegur raja dan menanya, mengapa tentara Nepal
melanggar perbatasan. Raja memberi keterangan, bahwa dalam latihan tentara yang biasa
diadakan dalam tempo-tempo tertentu, mereka telah diserang dengan hawa yang sangat dingin
dan oleh karenanya, mereka masuk ke dalam lembah itu untuk berlindung. Sebab Himalaya adalah
sebuah gunung yang sangat besar dan luas, secara tidak disengaja tentara Nepal sudah melewati
perbatasan. Untuk kekeliruan itu, raja meminta maaf.
Walaupun merasa, bahwa keterangan itu adalah keterangan yang dibuat-buat, akan tetapi
sebagai seorang wakil yang cerdas. Thian Oe segera menerima baik keterangan itu. Diam-diam ia
merasa girang, bahwa pertikaian perbatasan dapat dibereskan secara begitu mudah. Akhirnya
diambil keputusan untuk melanjutkan pertemuan besok pagi guna merundingkan penukaran nota
persahabatan antara kerajaan Tjeng dan kerajaan Nepal.
Sesudah beres, Tjiauw Tjoen Loei segera memerintahkan orang menyediakan meja perjamuan
guna menjamu raja Nepal dan rombongannya. Di samping itu, ia juga menjanjikan hadiah selaksa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

pakaian musim dingin untuk tentara Nepal dan hadiah yang tidak diduga-duga itu sudah diterima
oleh raja dengan menghaturkan terima kasih.
Sebelum perjamuan dibuka, Thian Oe mengajak Keng Thian ke satu sudut untuk beromong-
omong mengenai hal-hal yang terjadi semenjak mereka berpisahan.
Mendengar terancamnya jiwa Kim Sie Ie yang sekarang sedang mendaki gunung seorang diri,
Thian Oe berduka dan ingin mengikut mencarinya.
"Tak usah," kata Keng Thian. "Disini kau mempunyai tugas penting dan untuk mencari Kim Sie
Ie, beberapa orang sudah naik ke atas."
Thian Oe mengangguk. Sesaat kemudian, ia berkata dengan suara terharu: "Tak lama lagi kita
akan berpisahan jauh."
"Apakah ayahmu sudah menerima firman kaisar?" tanya Keng Thian. "Apa sudah ada berita
tentang pemulangan kalian ke Selatan?"
"Dari kota raja sudah datang warta, bahwa ayah akan segera dipanggil pulang dan diangkat
pula menjadi Giesoe," jawabnya. "Menurut niatan ayah, sesudah kembali ke kota raja, ia akan
mengajukan permohonan untuk meletakkan jabatan dan pulang ke kampung halaman."
"Apa aku diajak?" menyeletuk Kang Lam. "Namaku Kang Lam dan setiap hari aku mendengar
ceritera tentang keindahan daerah Kanglam. Tapi aku sendiri belum pernah melihat Kanglam."
"Kanglam mirip-mirip seperti kau," kata Keng Thian sambil tertawa. "Nakal, bersemangat dan
selalu bergembira."
"Kang Lam, kedudukanmu sekarang tiada beda seperti kedudukanku," kata Thian Oe dengan
paras sungguh-sungguh. "Kau merdeka untuk pergi kemana pun kau suka. Jika kau suka mengikut
kami ke Kanglam, kami tentu saja akan merasa sangat bersyukur. Untuk bicara terus terang, aku
memang merasa berat berpisahan dengan kau."
Sementara itu, Yoe Peng pun sedang bicara dari hati ke hati dengan majikannya. "Kongtjoe,
apakah kau bakal pulang ke Nepal," tanya si dayang.
"Aku kepingin sekali, hanya kukuatir raja tidak menyukai kedatanganku," jawabnya. Sang
majikan lantas saja menceritakan apa yang sudah terjadi, sehingga Yoe Peng tertawa terpingkal-
pingkal.
"Tapi apakah Kongtjoe ingin kembali ke istana es?" tanya pula Yoe Peng.
"Mengapa kau tanya begitu?" si nona balas menanya.
Yoe Peng bersenyum dan menjawab dengan suara perlahan: "Istana es terlalu sepi dan dingin,
sekarang agaknya tak menarik lagi."
"Tapi kusendiri sangat senang berdiam di istana es," kata si nona.
Yoe Peng mengangguk, tapi pada paras mukanya terlihat perasaan putus harapan. Peng Go
bersenyum dan lalu berkata dengan suara halus: "Yoe Peng, sikapku terhadapmu adalah
bersamaan dengan sikap Thian Oe terhadap Kang Lam. Mulai dari ini waktu, kita adalah seperti
kakak dan adik. Kau sekarang merdeka dan bebas untuk pergi kemanapun jua."
"Kongtjoe, sedikitpun aku tak punya niatan untuk berpisahan denganmu," kata si dayang
terburu-buru.
Pengtjoan Thianlie tertawa dan berkata: "Yoe Peng, setiap manusia mempunyai peruntungan
sendiri-sendiri. Kutahu, bahwa dalam hatimu, kau tak ingin kembali ke istana es karena kau ingin
mengikut Tan Kongtjoe pulang ke Kanglam. Thian Oe adalah pemuda yang baik dan kumerasa
lega jika kau berada di bawah perlindungannya."
Mendengar perkataan sang majikan yang mengenai jitu rahasia hatinya, Yoe Peng tak bisa
bicara lagi. Ia menunduk dengan paras muka merah, dengan kemalu-maluan dan berterima kasih
akan kemuliaan dan kebijaksanaan sang majikan.
Perjamuan berlangsung dengan gembira dan baru berakhir sesudah magrib. Keng Thian dan
Pengtjoan Thianlie terus berdiam di perkemahan tentara Tjeng, sedang raja Nepal dan menteri-
menterinya pulang ke tenda mereka, untuk berunding lagi pada esokan harinya. Sesudah
mengetahui, bahwa Liong Leng Kiauw lari ke gunung, Tong Say Hoa bersama keponakannya
segera berangkat untuk menyusul.
Pemandangan malam di pegunungan Himalaya sangat luar biasa. Ribuan puncak berderet-deret
tertutup salju putih yang terang benderang, sehingga orang merasa seakan-akan ia berada di
dunia kristal. Untuk menolong sahabat, malam-malam Keng Thian dan Peng Go mendaki gunung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mereka berhenti sebentar di tempat dimana Kim Sie Ie menulis syairnya. Keng Thian tertawa dan
berkata: "Semula aku agak membenci dia, tapi sekarang dengan hati yang suci, aku mengharap
jiwanya bisa ketolongan."
"Dalam dunia ini memang terdapat banyak sekali hal yang tak bisa diduga terlebih dulu," kata si
nona.
Selagi beromong-omong, kesunyian malam tiba-tiba dipecahkan dengan teriakan aneh yang
panjang dan nyaring. Itulah teriakan Kim Sie Ie! Tapi dimana dia? Apa yang dilihatnya hanyalah
puncak-puncak yang menjulang ke langit.

***

Jika Pengtjoan Thianlie sangat memikir keselamatan Kim Sie Ie, adalah Kim Sie Ie selalu berdoa
untuk keselamatan gadis yang hatinya mulia itu. Kim Sie Ie telah melihat mereka, tapi mereka tak
melihat Kim Sie Ie.
Pada hari itu, pada waktu Keng Thian dan Peng Go mencegat si pendeta jubah merah untuk
menolong Liong Leng Kiauw, Kim Sie Ie sebenarnya bersembunyi di puncak seberang dan telah
menyaksikan segala kejadian.
Ia yakin, bahwa jika ia muncul, jiwanya akan segera ketolongan. Tapi ia adalah seorang angkuh
yang sungkan memohon terhadap siapapun juga. Sesudah Keng Thian dan Peng Go berlalu, ia
mendongak dan menghela napas panjang.
Angin gunung meniup kembang salju dan kembang salju menyentuh badannya. Mendadak,
pada hatinya yang "mati" seperti air telaga yang tenang muncul goncangan gelombang. Tiba-tiba
saja, di depan matanya terbayang kembali kejadian-kejadian yang lampau. Ia ingat kekejaman
manusia, tapi ia ingat juga kebaikan manusia, kebaikan orang-orang seperti Pengtjoan Thianlie
dan Lie Kim Bwee.
Sekonyong-konyong, bagaikan seorang yang mendapat ilham, ia berlutut dan berdoa akan
keselamatan Peng Go. Kim Sie Ie adalah seorang yang tak pernah bersembahyang dan tak pernah
memuja apapun jua. Tapi sekarang, dengan rendah hati, ia memohon kepada Yang Maha Kuasa
agar Peng Go dilindungi, agar dia bisa hidup beruntung dengan Tong Keng Thian. Pada sesaat itu,
bagaikan bayi yang baru terlahir, hatinya bebas dari rasa jelus dan benci.
Ia menarik napas panjang dan dengan hati lega, dengan suatu kerelaan untuk mati dimana pun
juga, ia mulai mendaki gunung seorang diri.
Selagi enak jalan, tiba-tiba ia melihat satu bayangan manusia yang berlari-lari dengan
kecepatan luar biasa. Orang itu adalah Liong Leng Kiauw. Karena merasa heran, ia lalu menguntit
dari belakang.
Liong Leng Kiauw kabur dengan pikiran kalut. Ia yakin, bahwa raja Nepal akan terus berusaha
untuk menangkapnya dan ia juga- tahu, bahwa jika pulang ke Lhasa, ia bakal dibekuk oleh
pemerintah Tjeng. Sesudah menimbang-nimbang beberapa lama, akhirnya ia mengambil
keputusan untuk kembali ke Lhasa guna melaporkan segala pengalamannya. Ia merasa lebih rela
untuk binasa dalam tangan Hok Kong An daripada jadi boneka kerajaan asing dan menuntun
tentara asing masuk ke wilayah Tionggoan.
Semakin lama salju turun semakin besar, sedang matahari sudah doyong ke barat. Leng Kiauw
mempercepat tindakannya untuk mencari gua guna melewati malam. Tiba-tiba di antara kesiuran
angin dingin, ia merasa hembusan hawa yang agak panas. Ia jalan terlebih cepat dan tak lama
kemudian, untuk kegirangannya, ia melihat sumber air panas yang mancur ke atas dengan
megahnya. Disoroti sinar matahari sore, air mancur yang mengepul-ngepul itu indah luar biasa,
seolah-olah kembang api yang beraneka-wama. Di Tibet memang terdapat banyak sekali sumber
air panas, tapi terdapatnya sumber itu di pegunungan Himalaya adalah suatu kejadian yang luar
biasa.
Leng Kiauw jadi girang karena ia bisa melewati malam itu tanpa kedinginan. Selagi duduk
mengasoh di pinggir air mancur, tiba-tiba hidungnya mengendus bebauan bunga yang sangat
harum. Dengan perasaan heran, ia bangun berdiri dan menuju ke arah bebauan itu. "Jalan belum
berapa jauh, ia melihat sebuah rumah kecil yang berdiri disatu tanjakan dan di seputar rumah itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

yang dikurung tembok kate, terdapat taman bunga dengan kembang-kembangnya yang beraneka-
warna.
"Tumbuhnya pohon bunga di tempat yang hawanya hangat bukan kejadian heran," katanya
didalam hati. "Tapi terdapatnya sebuah rumah penduduk yang terpencil di pegunungan ini, benar-
benar kejadian langka." Harus diketahui, bahwa walaupun tempat itu belum mencapai separuhnya
tinggi Himalaya, tapi karena gunung tersebut berlipat-lipat kali lebih besar dan lebih tinggi dari
gunung biasa, maka jangankan di puncaknya, sedangkan di lerengnya pun salju tak pernah
melumer di seluruh tahun. Itulah sebabnya, seorang manusia biasa tentu tak akan bisa hidup
disitu.
Leng Kiauw menghampiri dan menolak pintu taman yang tidak terkunci dan lantas saja terbuka.
Ia melihat seorang gadis muda yang justeru sedang memanggil ayahnya: "Thia-thia! Coba lihat!
Mawar yang ditanam olehku sudah mulai mekar." Mendadak gadis itu menengok dan dua pasang
mata lantas saja kebentrok, sehingga sama-sama mengeluarkan seruan kaget.
Nona itu yang tangannya kotor dengan tanah dan memegang gunting, segera menegur: "Siapa
kau?"
"Seorang pemburu yang kesasar," jawabnya.
"Kau berani naik gunung selagi salju turun begini besar?" tanya pula si nona.
"Aku ingin memburu kerbau liar," jawabnya.
Gadis itu mengawasi dengan rasa sangsi sebab Leng Kiauw sama sekali tidak membekal alat
memburu dan juga sebab sekali pun pemburu yang bernyali besar tak akan berani naik sampai
disitu. Tapi, biar bagaimanapun jua, sebagai seorang yang hidup terpencil, ia merasa girang
melihat munculnya sesama manusia. "Bagus!" katanya. "Kau tunggu dulu. Aku ingin melaporkan
kepada ayah."
"Berapa banyak jumlah keluargamu?" tanya Leng Kiauw.
"Hra! Hanya ayah dan aku," jawabnya.
Leng Kiauw jadi heran dan bimbang. Sesaat kemudian, di luar pekarangan sudah terdengar
tindakan kaki yang sangat enteng. "Tak perduli dia pemburu tulen atau bukan, kita harus
menyambutnya dengan segala senang hati dan kau tak usah menanyakan asal-usulnya," demikian
terdengar suara seorang tua yang sangat perlahan. Suara itu bukan saja sangat perlahan, tapi
malahan seperti dibisiki di kuping si nona, sehingga menurut pantas, tak akan bisa didengar oleh
orang ketiga. Tapi Leng Kiauw adalah seorang ahli senjata rahasia yang kupingnya tajam luar
biasa dan setiap perkataan orang tua itu sudah dapat didengar tegas olehnya.
Pintu taman terbuka dan seorang tua yang rambutnya putih, punggungnya agak bongkok, tapi
mukanya bersinar merah, bertindak masuk.
Leng Kiauw terkejut. "Tak bisa salah lagi, ia adalah seorang berilmu yang menyembunyikan
diri," pikirnya. Buru-buru ia memberi hormat dan menanyakan she dan nama orang tua itu.
"Aku she Phoei," jawabnya. "Sesudah berdiam disini tiga puluh tahun dan tak pernah ada orang
yang memanggil namaku, aku sendiri sudah melupakannya."
Sesudah memberitahukan she dan namanya, Leng Kiauw berkata: "Aku naik ke gunung ini
untuk memburu kerbau liar, tapi tidak dinyana semakin lama kunaik semakin tinggi dan akhirnya
kesasar sampai disini. Untuk gangguanku ini, harap Lootiang sudi memaafkan."
Si kakek mengangguk dan berkata dengan suara manis: "Jika Tjongsoe (orang gagah) tidak
buat celaan, sebaiknya kau menginap semalaman di gubukku ini."
Dengan rasa syukur dan sambil menghaturkan terima kasih, Leng Kiauw lalu mengikuti ayah
dan anak itu masuk ke dalam. Ruangan itu diperaboti sederhana sekali, sedang di tembok
tergantung beberapa kulit binatang dan di satu sudut ditumpuk sedikit rumput obat-obatan.
Beberapa saat kemudian, si nona membawa keluar sepiring daging dan semangkok besar susu
kerbau.
Orang tua itu tertawa seraya menanya: "Apakah kau bertemu dengan kerbau liar waktu
mendaki gunung?"
"Tidak," jawabnya.
"Kerbau itu biasanya keluar di waktu salju baru berhenti turun," katanya pula. "Untuk bisa
membinasakannya, seorang pemburu harus berlaku sabar dan menunggu lama. Beberapa hari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

yang lalu anakku sangat mujur dan sudah membinasakan seekor kerbau, cukup untuk hidup
beberapa bulan. Minumlah susu itu, paling enak jika diminum panas-panas."
Mendengar keterangan itu, Leng Kiauw terperanjat. Harus diketahui, bahwa kerbau liar di
daerah Tibet banyak lebih ganas dan buas daripada harimau. Dengan berkawan belasan atau
puluhan orang, barulah pemburu berani turun tangan untuk menangkap atau membunuhnya.
Bahwa seorang gadis jelita telah berhasil membunuh seekor kerbau itu, benar-benar kejadian luar
biasa. Biarpun ia sudah menduga, bahwa ayah dan anak itu bukan sembarang orang, tapi
keterangan tersebut masih tetap mengejutkan. Walaupun heran, ia tak berani menanyakan asal-
usul mereka, karena dalam kalangan Kangouw terdapat banyak pantangan.
"Bahwa Tjongsoe berani menangkap kerbau liar seorang diri merupakan bukti, bahwa nyalimu
besar sekali," kata si kakek. "Pedang yang tergantung di pinggangmu kelihatannya bukan
sembarang pedang dan Tjongsoe tentulah juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi."
Leng Kiauw merasa, bahwa tak guna ia berdusta. Maka itu, ia segera berkata dengan
merendah: "Aku hanya belajar beberapa tahun dan perkataan Lootiang, bahwa aku memiliki
kepandaian tinggi, tak dapat aku menerimanya."
"Siapa gurumu?" menyeletuk si nona.
Si kakek melirik puterinya yang lantas saja menunduk dengan paras kemalu-maluan.
"Guruku adalah seorang she Tong dari propinsi Soetjoan," jawab Leng Kiauw
Orang tua itu hanya mengeluarkan suara "oh" dan tidak mendesak terlebih jauh.
Leng Kiauw memasukkan sepotong daging kerbau ke dalam mulut, tapi lantas ia mengeluarkan
lagi sebab daging itu terlalu amis.
Si nona tertawa seraya berkata: "Apa Liong Sianseng tak doyan daging itu? Tong Tayhiap
doyan sekali!"
Sekali lagi, si kakek melirik puterinya yang sangat lancang.
Leng Kiauw kaget. "Tong Tayhiap yang mana?" tanyanya.
Orang tua itu bersenyum dan menjawab: "Seorang sahabat yang mengerti ilmu silat pedang.
Anakku jarang sekali bertemu dengan orang luar dan siapa saja yang berkepandaian lebih tinggi
daripadanya, ia lantas memanggil Tayhiap."
Leng Kiauw turut bersenyum, tapi dalam hatinya, ia heran bukan main. Ia tahu, dalam dunia
ini, orang yang dipanggil sebagai Tong Tayhiap hanyalah Keng Thian dan ayahnya. Tong Siauw
Lan berada di Thiansan, sedang Keng Thian sendiri masih berada di kaki gunung. Siapakah yang
dipanggil Tong Tayhiap oleh si nona?
Susu kerbau ternyata sangat cocok bagi lidah Leng Kiauw dan ia lantas minum habis
semangkok besar. Tapi karena susu itu sangat panas, sesudah minum, ia mengeluarkan banyak
keringat.
"Jika panas Tjongsoe boleh buka baju luarmu," kata orang tua itu.
Leng Kiauw manggutkan kepalanya dan lalu membuka baju luarnya yang terbuat dari kulit rase.
Tiba-tiba si kakek mengawasi pinggangnya dengan sorot mata yang sangat luar biasa. Liong Leng
Kiauw adalah seorang yang sudah kenyang mengalami gelombang dan badai besar. Tapi melihat
sorot mata itu, jantungnya memukul keras.
Di lain saat, ia mengetahui, bahwa apa yang diawasi tuan rumah adalah singa-singaan giok
putih yang tergantung di pinggangnya. "Apa mungkin seorang yang kelihatannya berilmu tinggi,
maui barang tidak berharga?" tanyanya di dalam hati. "Jika singa-singaan ini bukan barang
turunan dari ayahku, kutentu tak merasa halangan untuk memberikan kepadanya."
Gadis itu juga rupanya sudah melihat sorot mata ayahnya yang sangat aneh. "Thia-thia,"
katanya dengan suara perlahan. "Susu sudah dingin."
Sesudah memikir sejenak, Leng Kiauw segera merogoh saku dan mengeluarkan serenceng
mutiara. "Lootiang, untuk segala kebaikanmu, kutak mempunyai apa-apa untuk membalasnya dan
aku ingin sekali menyerahkan serenceng mutiara ini kepada puterimu," katanya dengan sikap
menghormat. "Aku sangat mengharap, Lootiang tidak menolaknya. Mutiara ini bukan untuk
membalas budi, tapi hanya sebagai tanda dari rasa terima kasihku."
Sinar mata si kakek yang luar biasa lantas saja menghilang. Ia tertawa terbahak-bahak seraya
berkata: "Apa gunanya mutiara bagi seorang wanita yang hidup di atas gunung? Apakah untuk
diperlihatkan kepada binatang-binatang liar?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si nona yang belum pernah melihat mutiara, lantas saja mengawasi dengan sorot mata heran.
"Apa itu?" tanyanya. "Mengapa bersinar terang?"
"Orang kata: Pedang mustika untuk dihadiahkan kepada pendekar, sedang mutiara untuk
wanita cantik," kata Leng Kiauw. "Nona, kau cocok sekali memakai perhiasan ini."
Gadis itu tertawa nyaring dan berkata: "Aku pernah melihat wanita cantik dalam lukisan. Dia
kelihatannya begitu ayu dan lemah lembut, seperti juga tak akan bisa berdiri tegak jika ditiup
angin. Hih! Aku tak mau menjadi wanita cantik yang seperti itu."
Sebagai seorang yang semenjak kecil hidup di gunung, si nona sama sekali tidak mengerti adat
istiadat dan kebiasaan dunia. Melihat rencengan mutiara yang sangat indah, hatinya ketarik dan ia
memperlihatkan perasaan hatinya itu secara terang-terangan.
Alis si kakek berkerut, tapi mendadak ia berkata: "Soat-djie, jika kau merasa suka kau boleh
menghaturkan terima kasih kepada tamu kita."
Si nona tertawa dan segera memberi hormat yang lantas dibalas oleh Liong Leng Kiauw. Tapi
terhadap si nona yang suci dan polos, sedikitpun ia tidak memandang rendah.
Sementara itu, si kakek bersenyum seraya berkata: "Untuk bisa membeli serenceng mutiara
Lamhay, seorang pemburu di Tibet harus lebih dulu menangkap beberapa belas kerbau liar."
Leng Kiauw jadi merasa jengah sendiri, karena dengan mempersembahkan mutiara itu, ia
membuka rahasia sendiri. Tapi sebab ia yakin, bahwa orang tua itu bukan sembarang orang, maka
walaupun rahasianya sudah terbuka, ia tidak berkuatir.
Malam itu, Leng Kiauw tidur dalam sebuah kamar yang berdempetan dengan taman bunga.
Dapat dimengerti, jika ia tak bisa pulas. Ia memikiri cara-cara luar biasa dari tuan rumah dan
puterinya, ia coba memecahkan teka-teki sekitar sorot mata aneh dari si kakek yang mengawasi
singa-singaan di pinggangnya. Mengingat singa-singaan, lantas saja ia ingat mendiang ayahnya,
yang dulu pernah memimpin ratusan laksa tentara, tapi yang tak urung dibinasakan juga oleh
kai/ar Tjeng. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: Waktu itu ayahku sebenarnya bisa
mengangkat diri menjadi raja, hanya sayang, nyalinya kurang besar." Ia ingat pula cita-cita dan
rencananya sendiri yang sudah diatur dalam banyak tahun, tapi yang akhirnya gagal semua.
Sambil memikir pergi datang, hidungnya terus mengendus wanginya bunga-bunga didalam taman.
Perlahan-lahan ia bangun dan memakai jubah luarnya, akan kemudian keluar jalan-jalan di
taman bunga. Sesudah melewati pohon-pohon bunga, tiba-tiba ia melihat pagar kate yang
mengurung satu sudut taman. Karena ingin tahu, ia lalu menghampiri dan begitu melihat, ia
terkesiap! Tanpa menghiraukan kemungkinan ditegur tuan rumah, ia mendorong pagar yang
lantas saja roboh dan bertindak masuk. Begitu masuk, ia melihat dua patung batu, yang satu
merupakan seorang bangsawan bangsa Boan, sedang yang satunya lagi adalah patung ayahnya
sendiri – Lian Keng Giauw! Apa yang lebih luar biasa, pada patung ayahnya tertancap dua batang
golok.
Leng Kiauw mengeluarkan keringat dingin dan bergemetar sekujur badannya. "Apa aku mimpi?"
tanyanya di dalam hati. Di lain saat, ia gusar tercampur takut.
Tiba-tiba ia mendengar suara berkreseknya pakaian yang tertiup angin. Sambil menggereng
bagaikan harimau terluka, ia memutar badan dan menindju. "Bangsat tua!" bentaknya. "Mengapa
kau hinakan ayahku?"
"Plak!", tinjunya seperti memukul segundukan rumput dan tubuhnya yang didorong oleh si
kakek, terhuyung beberapa tindak. Badan orang tua itu sendiri kelihatan bergoyang-goyang dan di
sudut mulutnya terdapat sedikit darah. Di bawah sinar rembulan yang dingin, paras muka si kakek
yang pucat kelihatan menakuti sekali.
Sambil menyusut darah di mulutnya dengan lengan baju, ia berkata dengan suara dalam: "Aku
sudah menduga, bahwa yang datang berkunjung adalah Lian Kongtjoe. Cabutlah golok itu."
Leng Kiauw bersangsi, tapi akhirnya ia mengangkat tangan untuk mencabut kedua golok itu.
Begitu tersentuh, gagang golok terlepas dan jatuh di tanah. Ternyata, karena sudah terlalu lama,
kayu gagang golok itu sudah menjadi rusak. Sesudah tercabut, sebagian golok itu sudah karatan,
tapi sebagian lagi, yang menancap di dalam batu, masih berkilauan sinarnya.
"Kedua golok itu telah ditancapkan pada tiga puluh tahun berselang," kata si kakek. "Pada
waktu itu, aku sangat membenci ayahmu."
"Ada permusuhan apakah antara ayahku dan kau?" tanya Leng Kiauw.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

"Pada tiga puluh tahun berselang, semua pendekar di kolong langit adalah musuh ayahmu!"
jawabnya "Aku sendiri, meskipun aku membenci ayahmu, tapi kebencian itu berbeda dengan
orang lain dan sangat memalukan, jika diceritakan."
"Siapa kau? Mengapa kau membenci ayahku?" tanya Leng Kiauw.
"Apa kau pernah mendengar nama Phoei Keng Beng?" si kakek balas menanya.
Lapat-lapat Leng Kiauw ingat, bahwa gurunya pernah menyebutkan nama, itu, tapi ia tak tahu
siapa adanya.
Orang tua itu tertawa getir seraya berkata: "Dalam tiga puluh tahun, dunia sudah banyak
berubah dan namaku sudah tidak dikenal lagi." Ia berdiam sejenak dan berkata pula dengan suara
perlahan: "Kaizar yang sekarang adalah Kian Liong. Pada empat lima puluh tahun yang lampau,
ayahnya Kian Liong, yaitu kaisar Yong Tjeng, masih dikenal sebagai Soehongtjoe (putera kaizar
yang ke empat) In Tjeng. Pada jaman itu, putera-putera kaizar berebut tahta dan lawan In Tjeng
yang paling berat adalah Tjapsie Hongtjoe (putera kaizar yang ke empat belas) In Tee. Apa kau
pernah mendengar cerita perebutan tahta itu
"Ya," jawab Leng Kiauw, sambil mengangguk.
"Kakeknya Kian Liong, yaitu kaizar Kong Hie, sebenarnya sudah menulis firman yang
menetapkan, bahwa tahta kerajaan diwariskan kepada Tjapsie Hongtjoe. Tapi, dengan bantuan
ayahmu dan pamannya, In Tjeng belakangan mengubah firman, sehingga akhirnya, dialah yang
menjadi kaizar."
"Tapi bukankah soal siapa yang menjadi kaizar tak bersangkut paut dengan rakyat jelata?" kata
Leng Kiauw.
"Persoalannya bukan begitu," kata Phoei Keng Beng. "Soal ini sedikitnya bersangkut paut
dengan diriku. Jika Yong Tjeng tidak menjadi kaizar, ayahmu tentu tak mati begitu cepat dan aku
tidak melarikan diri ke gunung ini."
Leng Kiauw bengong dan untuk beberapa saat ia tidak mengeluarkan sepatah kata. "Bagus
juga Yong Tjeng sudah dibinasakan oleh musuhnya," katanya.
"Pada empat puluh tahun berselang, Tjapsie Hongtjoe mempunyai dua boesoe yang paling
terkenal," kata pula si kakek. "Yang satu bernama Kie Pwee Sia yang belakangan berhamba
kepada Yong Tjeng. Yang satu lagi terus bersetia kepada majikan yang lama."
Tiba-tiba Leng Kiauw ingat cerita yang pernah didengarnya. "Ah! Orang itu adalah Sinkoen (si
Tinju Malaikat) Phoei Keng Beng!" teriaknya.
Si kakek bersenyum dan berkata: "Benar. Orang itu adalah aku sendiri."
Bicara sampai disitu, si nona datang. "Ayah, mengapa sampai begini malam kau masih terus
beromong-omong dengan tamu kita?" tanyanya. "Ih! Ada apa?"
Sambil bersenyum sang ayah menyusut ujung mulutnya yang mengeluarkan darah. "Tak apa-
apa," jawabnya. "Soat-djie, kaupun boleh mendengar pembicaraan ini." Ia menghela napas dan
kemudian melanjutkan penuturannya: "Sesudah mengubah firman dan naik ke atas tahta, Yong
Tjeng terus berusaha untuk membasmi saudara-saudaranya. Beberapa tahun kemudian, selagi
membawa tentara untuk memadamkan pemberontakan di Tiongkok Barat, Tjapsie Hongtjoe kena
dibinasakan. Orang yang mengatur rencana untuk membinasakan pangeran itu, adalah ayahmu
sendiri. Sesudah Tjapsie Hongtjoe binasa, ayahmu merampas kekuasaan tentara dan mulai waktu
itu, barulah ia mendapat pangkat sebagai jenderal besar."
"Lantaran itu, kau membenci ayahku dan Yong Tjeng, bukan?" tanya Leng Kiauw.
"Benar," jawabnya. "Karena aku sungkan menghamba, Yong Tjeng jadi gusar, sehingga aku
terpaksa kabur ke Tibet. Sesudah berada di Tibet, aku masih tetap ingin membalas sakit hati dan
segera menikah dengan ibunya Soat-djie, dengan pengharapan bisa mendapat anak lelaki, yang
akan bisa membalas sakit hatiku."
Si nona mengeluarkan seruan kaget.
Sang ayah tertawa dan berkata dengan suara halus: "Soat-djie, kau tak usah takut. Kedua
musuh itu sudah binasa tiga puluh tahun lamanya. Waktu itu, karena sukarnya perhubungan, aku
tak tahu kebinasaan mereka dan masih terus ingin membalas dendam. Sesudah Yong Tjeng mati
beberapa tahun, Tong Tayhiap menyambangiku dan barulah kutahu kejadian itu. Tapi biar
bagaimanapun juga, oleh pemerintah Tjeng aku masih dianggap sebagai seorang buronan dan
karena hatiku sudah menjadi dingin, aku segera menetap di Tibet dan hidup beruntung bersama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

ibumu. Waktu bermula pindah kesini, hatiku mendongkol terhadap Lian Keng Giauw, sehingga aku
membuat patungnya untuk digunakan sebagai sasaran dalam latihan golok terbang. Sebenarnya,
sesudah orangnya meninggal dunia, sakit hati harus disingkirkan dan melampiaskan hawa amarah
terhadap orang yang sudah mati, memang tak pantas. Tong Tayhiap pun sudah pernah
menasehati aku. Lian Kongtjoe, malam ini aku sengaja menuturkan segala apa secara terus terang
dan barusan aku membiarkan kau meninju mulutku, supaya sedikit banyak kau bisa melampiaskan
rasa jengkelmu."
Mendengar penuturan itu, kegusaran Leng Kiauw lantas saja mereda. "Sekarang baru kutahu,
mengapa kau membenci ayahku," katanya. "Tapi, kau bersetia kepada Tjapsie Hongtjoe, sedang
ayahku bersetia kepada Soehongtjoe, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa masing-
masing bersetia kepada majikannya sendiri. Mengapa sakit hatimu begitu mendalam?"
"Benar," kata si kakek. "Bahwa aku menghamba kepada Tjapsie Hongtjoe memang pantas
dicaci orang. Tapi kedudukanku berbeda jauh dengan kedudukan ayahmu. Aku hanya seorang
kepercayaan Tjapsie Hongtjoe, sedang ayahmu satu jenderal besar. Ia telah mempersembahkan
banyak rencana busuk kepada Yong Tjeng, ia telah membinasakan banyak sekali pendekar-
pendekar budiman dan ia sangat menindas rakyat. Ia sudah menghianati guru sendiri, membakar
kuil Siauwlim sie, membangun banyak penjara, mencelakakan dan menganiaya banyak sekali
manusia dan melakukan berbagai perbuatan terkutuk. Apakah kenyataan-kenyataan itu diketahui
olehmu?"
Semenjak kecil Leng Kiauw dipelihara oleh keluarga Tong dan karena kuatir melukakan hatinya,
keluarga tersebut belum pernah menceritakan segala perbuatan ayahnya. Sesudah besar, ia hanya
mengetahui, bahwa ayahnya pernah memegang kekuasaan atas ratusan laksa tentara dan
akhirnya dibinasakan oleh kaizar Yong Tjeng. Kebusukan ayahnya tak pernah diceritakan orang
kepadanya.
Maka itulah, mendengar keterangan Phoei Keng Beng, hatinya sakit seperti diiris-iris. Sedikitpun
ia tak pernah mimpi, bahwa ayahnya yang selalu dipuja-puja, sebenarnya adalah satu manusia
terkutuk. Ia berduka tercampur malu, sehingga parasnya pucat bagaikan kertas.
Si kakek mengawasi pemuda itu dengan rasa kasihan. "Kedosaan ayah tidak menyangkut paut
dengan anaknya," katanya dengan suara menghibur. "Apapula jika diingat, bahwa pada waktu
ayahmu meninggal dunia, kau baru berusia satu tahun. Waktu Tong Tayhiap datang kesini, ia
telah memberitahukan, bahwa kau telah menukar she dan nama dan bersembunyi di Tibet dengan
cita-cita tertentu. Ia mengatakan, bahwa kau adalah seorang baik dan ia merasa girang karena
itu. Tapi niatanmu untuk bergerak di Tibet tidak disetujui olehnya."
Dengan hati duka Leng Kiauw berdiri bengong. "Bagaimana kau tahu, bahwa aku adalah
anaknya Lian Keng Giauw?" tanyanya dengan suara parau.
"Aku pernah melihat ayahmu, memakai singa-singaan giok itu," jawabnya. "Hm! Jika aku ingin
mencelakakan kau, gampangnya seperti juga membalik tangan. Apa sekarang kegusaranmu sudah
mereda?"
Air mata Leng Kiauw mengucur deras. "Lootiang!..." katanya. Ia menyesal bukan main, bahwa
ia sudah memukul orang tua itu.
“Sesudah mendengar penuturanku, sekarang kau harus memberitahukan, mengapa kau sudah
kabur ke gunung ini," kata Phoei Keng Beng.
"Tentara Nepal berkemah di lembah di kaki gunung," menerangkan Leng Kiauw. "Walaupun
kumembenci
pemerintah Tjeng, tapi kujuga sungkan menuntun tentara asing masuk ke wilayah Tionggoan."
Mata si kakek bersinar terang. "Tong Tayhiap ternyata tak keliru, waktu ia mengatakan, bahwa
kau sangat berbeda dengan ayahmu," katanya.
Si nona yang merasa kasihan pada tamunya lantas saja menyeletuk: "Thia-thia, perlu apa kau
terus menyebut-nyebut ayah orang?"
"Benar," kata sang ayah sambil bersenyum. "Permusuhan yang dulu memang tak perlu disebut-
sebut lagi. Sekarang biarlah kau berdua berjabatan tangan, supaya segala permusuhan habis
sampai disini."
Gadis itu lantas saja mengangsurkan tangannya yang lalu dijabat erat-erat oleh Liong Leng
Kiauw yang sekarang baru tahu, bahwa si nona bernama Soat Koen.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dalam usaha menyingkirkan permusuhan dengan keluarga Lian, Phoei Keng Beng sebenarnya
mempunyai suatu maksud lain. Dengan bertempat tinggal di gunung yang jarang disampaikan
manusia, ia sangat sukar mencari menantu untuk puterinya. Pada waktu Tong Siauw Lan
memberitahukan, bahwa putera Lian Keng Giauw adalah seorang baik, hatinya lantas saja
tergerak. Begitu bertemu muka, ia mendapat kenyataan, bahwa pemuda itu adalah seorang yang
mempunyai kepribadian mengagumkan dan meskipun usianya belasan tahun lebih tua dari Soat
Koen, ia masih boleh dipasangi dengan puterinya itu. Tapi tentu saja ia tak bisa lantas membuka
mulut dan ia telah mengambil keputusan untuk meminta pertolongan Tong Siauw Lan.
"Lootiang," kata Leng Kiauw sesudah dapat menenteramkan hatinya. "Apakah Tong Tayhiap
berarti Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin Thiansan pay?"
"Benar," jawabnya. "Dia adalah sahabatku sedari empat puluh tahun berselang."
Baru saja Leng Kiauw ingin menanya lagi, jauh-jauh terdengar tindakan kaki yang sangat
enteng. "Ilmu mengentengkan badan dari orang yang mendatangi belum cukup tinggi, tapi sudah
tak boleh dipandang rendah," kata si kakek.
Leng Kiauw terkejut. "Mereka tentu adalah kaki tangan raja Nepal yang datang untuk
menangkap aku," katanya.
"Liong Sianseng," kata Keng Beng. "Biarlah aku tetap memanggil kau sebagai Liong Sianseng.
Sebegitu lama kau berada dalam gubukku, kami pasti tak akan mempermisikan kau ditangkap
orang. Hanya aku menduga, mereka itu bukan musuh-musuhmu."
Baru saja si kakek berkata begitu, pintu luar sudah terketuk.
"Aku disini!" bentak Phoei Keng Beng.
"Tua bangka!" demikian terdengar teriakan dalam bahasa Tibet. "Keluar! Berani benar kau
melawan murid-murid Timotato!"
"Oh! Mereka mencari kau!" kata Leng Kiauw dengan suara heran.
"Ya, kau tak usah mencampuri," jawabnya. "Tunggu disini, biar aku yang menyambutnya."
Sambil tertawa terbahak-bahak, ia membuka pintu taman dan melompat keluar.
Tentu saja Leng Kiauw tak akan membiarkan orang tua itu melawan musuh seorang diri. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, bersama Soat Koen ia segera melompati tembok untuk memberi
bantuan.
Di luar rumah kelihatan berdiri empat lima orang dan kecuali orang yang barusan mencaci,
yang lainnya adalah orang-orang asing. Begitu tuan rumah muncul, tanpa menegur lagi, mereka
menyerang.
Leng Kiauw menghunus pedang dan lalu melompat untuk menyambut serangan itu, Mendadak
ia merasa menyambarnya dua macam tenaga dari kiri kanan sehingga pedangnya hampir-hampir
jatuh. Ia terperanjat dan menanya dalam hatinya: "Ilmu apa ini?"
Tiba-tiba dari jarak sepuluh tindak, Keng Beng mengirim satu pukulan, sehingga badannya dua
pendeta asing yang berada paling depan, bergoyang-goyang!
"Benar-benar Tinju Malaikat!" memuji Leng Kiauw di dalam hati.
Di lain saat, dua orang lain sudah menerjang si kakek dari kedua samping dan pertempuran
segera dimulai. Leng Kiauw juga tak tinggal diam dan bersama si nona, ia segera menerjun ke
dalam gelanggang.
Biarpun belum bisa menandingi jago-jago kelas utama, Leng Kiauw memiliki kepandaian dan
lweekang yang cukup tinggi. Maka itu, sesudah bertempur beberapa jurus, ia segera dapat
meraba-raba keliehayannya Imyang Tjianglek dan dengan mengikuti gerakan-gerakan serangan
itu yang terputar-putar, ia bisa juga mengirim serangan-serangan dengan pedangnya, Sementara
itu, Soat Koen yang bersenjata pecut yang terbuat dari benang emas, juga merupakan bantuan
yang sangat berharga. Lweekang si nona masih rendah, tapi ia gesit dan lincah, sedang pecutnya
adalah senjata panjang yang dapat melukakan musuh dari jarak kurang lebih setombak.
Sesudah bertempur beberapa lama, mendadak terdengar suara "plak!" dan dua musuh yang
berada di sayap kiri roboh terguling dengan berbareng. Leng Kiauw melompat seraya mengayun
pedang, tapi dicegat oleh dua musuh lain yang berada di sayap kanan. Sedang kedua kawannya
menggelinding ke bawah tanjakan, mereka menyerang dengan pukulan berantai, sehingga Leng
Kiauw terpaksa melompat mundur. Dengan menggunakan kesempatan itu, mereka segera kabur
dan menyusul kedua kawannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Napas Phoei Keng Beng kelihatan tersengal-sengal. "Hai! Kusudah tua!" katanya dengan suara
duka. "Sudah tak berguna lagi!" Ternyata, meskipun ia berhasil memecahkan Imyang Tjianglek
dengan tenaga lweekang, tapi dirinya sendiri telah mendapat luka di dalam. Dengan dipayang oleh
Leng Kiauw dan Soat Koen, ia kembali ke dalam rumah dan bersila untuk mengerahkan lweekang.
Lewat seminuman teh, barulah napasnya mulai mereda.
"Siapa adanya mereka?" tanya Leng Kiauw. "Mengapa mereka musuhi Lootiang?"
"Entahlah," jawabnya. "Pergi satu, datang yang lain, sudah tiga kali mereka menyateroni aku.
Yang pertama adalah seorang pendeta asing yang berambut merah seorang juru bahasa Tibet. Ia
mengatakan, bahwa gurunya memerlukan gubukku ini dan yang lebih gila lagi, aku dan anakku
mau dijadikan semacam budak. Huh-huh! Aku si tua sudah hidup enam puluh tahun lebih, tapi
belum pernah bertemu dengan manusia yang begitu kurang ajar. Akhirnya aku menghajar mereka
yang lalu melarikan diri. Yang datang kedua kali adalah tiga orang, dua antaranya mempunyai
lweekang yang sangat tinggi. Kami melawan dan sesudah bertempur setengah harian, kami
keteter. Untung sungguh datang Tong Tayhiap yang lalu menghajar kedua orang itu dengan
Thiansan Sinbong. Dan kali ini, Liong Sianseng yang membantu aku. Tanpa bantuan, gubuk dan
taman ini tentu sudah direbut orang.
Leng Kiauw merasa sangat heran dalam hatinya. Perlu apa orang-orang asing itu merebut
sebuah rumah kecil di tengah-tengah gunung yang sepi?
Ia tentu saja tak tahu, bahwa dalam cita-citanya untuk mendaki Tjoe-hong, Timotato sudah
membuat rencana lama sekali dan telah memerintahkan murid-muridnya menyelidiki jalanan.
Melihat rumah si kakek, murid-murid itu merasa ketarik karena rumah tersebut terletak di tempat
yang hawanya hangat dan sangat cocok untuk dijadikan pangkalan. Jika mereka meminta secara
baik dan memberi alasan-alasan yang pantas, mungkin sekali Phoei Keng Beng akan meluluskan.
Tapi sebagai murid Timotato yang biasa berlaku sewenang-wenang kepada rakyat jelata, mereka
bersikap sangat kurang ajar dan sombong, sehingga mereka jadi bergebrak dengan Keng Beng
dan puterinya. Kedua orang asing yang telah dilukakan lututnya oleh Tong Siauw Lan, bukan lain
daripada Tunhuman dan Alsa.
Hawa jadi semakin dingin dan Soat Koen berkata kepada ayahnya: "Thia-thia, kau
mengasohlah."
Sang ayah tak menyahut, sebaliknya ia memasang kuping. "Kukuatir musuh tak mengijinkan
aku mengasoh," katanya dengan suara getir.
"Apa? Apa mereka datang lagi?" tanya si nona dengan hati berdebar-debar.
"Benar-benar kurang ajar!" mencaci Leng Kiauw, karena ia pun sudah mendengar tindakan
orang.
Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan dan tembok pekarangan roboh. Di lain saat, sejumlah
orang melompat masuk. Orang yang jalan di depan adalah Koksoe Nepal Taichiti, diikut oleh
empat muridnya Timotato yang barusan kabur dan di belakang mereka kelihatan dua boesoe
Nepal.
Ternyata, sesudah dirobohkan Keng Thian, Taichiti tak ada muka untuk bertemu lagi dengan
raja Nepal dan ia berhasil membujuk dua orang boesoe Nepal untuk mengejar Leng Kiauw,
dengan harapan bisa mendapat muka lagi jika ia berhasil membekuk buronan itu. Di tengah jalan,
mereka bertemu dengan ke empat murid Timotato dan mengetahui, bahwa Liong Leng Kiauw pun
berada di rumahnya si kakek. Maka itulah, dengan merangkap tenaga, mereka segera menyateroni
lagi.
Sekarang Taichiti sudah tidak menggunakan jubah merahnya yang telah dirusak Thiansan
Sinbong. Untuk gantinya jubah, ia membawa tameng besi sebagai timpalan dari martilnya.
Tembok taman keluarga Phoei dirobohkan olehnya dengan menggunakan martil.
Melihat kebun kembangnya rusak, si nona jadi kalap dan sambil memutar pecut, ia menerjang.
"Soat-djie! Mundur!" teriak sang ayah.
Tapi Soat Koen tidak meladeni dan dengan sekali mengayun tangan, ia menimpuk dengan
pedang pendek. "Trang!", pedang itu patah terbentur tameng. Hampir berbareng, ujung pecut si
nona sudah melibat pergelangan tangan Taichiti, tapi pendeta itu tidak menghiraukannya dan
terus maju sambil tertawa terbahak-bahak. "Lian Kongtjoe!" katanya. "Raja telah memperlakukan
kau dengan manis budi, mengapa kau melarikan diri?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Setiap kali ia maju setindak, pecut Soat Koen melibat selibatan di pergelangan tangannya,
sehingga semakin lama pecut itu jadi semakin pendek. Si nona coba membetot sekeras-kerasnya,
tapi sedikitpun tidak bergeming.
"Lepas!" bentak Leng Kiauw sambil mengangkat pedang.
Lengan Taichiti bergerak dan mendorong tubuh si nona untuk memapaki pedang. "Tikamlah
Lian Sianseng, tikamlah!" katanya, mengejek.
Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat, bagaikan menyambar elang. Hampir berbareng
denqan suara "plak!", pecut Phoei Soat Koen putus, sehingga dari setombak lebih panjangnya,
yang ketinggalan hanya kira-kira empat kaki. Ternyata, dengan menggunakan Sinkoen, Phoei
Keng Beng sudah menolong puterinya.
Paras Taichiti berubah pucat pias dan "uah!", ia muntahkan darah. Badan si kakek sendiri
bergoyang-goyang, seperti api lilin ditiup angin. Kalau pukulan itu dikirim waktu Phoei Keng Beng
masih berusia muda. Taichiti pasti segera melayang jiwanya. Tapi sekarang, karena ia sudah
berusia lanjut dan mendapat luka di dalam, maka akibatnya kedua belah pihak sama-sama
mendapat luka.
"Soat-moay!" teriak Leng Kiauw. "Ajak ayahmu masuk." Sambil berkata begitu, ia melepaskan
beberapa butir kilee dan panah tangan. Tapi semua senjata rahasia itu terbang melewati tubuh si
pendeta, karena disampok dengan pukulan Imyang Tjianglek oleh keempat murid Timotato. Leng
Kiauw jadi gusar bukan main dan tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia segera menerjang
musuh-musuhnya.
Taichiti benar-benar kedot. Biarpun sudah terluka, dengan gagah ia menyambut serangan Leng
Kiauw yang dalam sekejap sudah dikurung oleh tujuh musuh. Masih untung, Taichiti baru saja
terluka, sedang empat murid Timotato juga barusan saja bertempur hebat dan dua antaranya
sudah terpukul dengan pukulan Sinkoen, maka untuk sementara Leng Kiauw masih bisa bertahan.
Tapi sesudah bertempur kurang lebih dua puluh jurus, ia sudah "digulung" dengan gelombang
pukulan Imyang Tjianglek dan sukar berkutik lagi. Melihat saatnya tiba, Taichiti lalu mengempos
semangat dan menghantam dengan martilnya sekuat tenaga.
Pada detik yang sangat berbahaya bagi jiwa Liong Leng Kiauw, sekonyong-konyong terdengar
teriakan aneh yang sangat nyaring. Di lain saat, sebuah batu yang besar melayang turun ke
gelanggang pertempuran. Orang-orang yang lagi bertempur jadi kaget bukan main dan semua
melompat untuk menyingkirkan diri dari sambaran batu. Hampir berbareng dengan jatuhnya batu,
seorang pemuda yang pakaiannya compang-camping melompat keluar sambil tertawa terbahak-
bahak. "Aku paling benci orang main keroyok!" teriaknya. "Ha-ha! Mari! Mari! Rasakan enaknya
tongkatku!" Ia menjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu, ia sudah berada di depan Taichiti dan
kawan-kawannia. Gerakan yang begitu cepat sungguh-sungguh sukar dicari tandingannya.
Sebagaimana bisa diduga, pemuda itu bukan lain daripada Kim Sie Ie!
Leng Kiauw heran sebab ia belum mengenal penolongnya, tapi ia tak sempat menanya dan lalu
membantu pemuda itu yang sudah mulai dikepung oleh tujuh musuhnya.
Kim Sie Ie terkejut ketika badannya terbetot dengan empat tenaga tangan. "Binatang!"
bentaknya. "Ilmu siluman apa yang digunakan kamu?" Sambil mencaci, ia menghunus pedang dan
lalu menyerang seperti kerbau edan.
"Hengtay (saudara) jangan kalap!" seru Leng Kiauw. "Ikuti gerakan mereka, lebih dulu
membela diri dan kemudian baru menyerang!"
"Fui!" Kim Sie Ie ia membentak pula. "Geram harimau justeru perlu untuk menghadapi
kawanan tikus! Laki-laki tulen harus punya amarah!"
Mendengar jawaban itu, Leng Kiauw jadi mendongkol dan tak berkata apa-apa lagi.
Di lain pihak, melihat cara berkelahinya Kim Sie Ie, keempat murid Timotato jadi girang dan lalu
memperhebat serangan mereka supaya musuhnya tak dapat meloloskan diri lagi.
"Awas!" mendadak Taichiti berteriak.
Hampir berbareng Kim Sie Ie sudah menyemburkan ludah. Salah seorang murid Timotato yang
sedang menerjang tiba-tiba merasa alisnya seperti digigit semut dan ia tak dapat membuka
matanya lagi. "Cui! Cui!" dan dua boesoe Nepal terguling di atas tanah!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tiga murid Timotato yang lain jadi bingung dan buru-buru menggunakan Imyang Tjianglek
untuk membela diri. Taichiti kelihatan ketakutan sekali dan terus memutar tamengnya bagaikan ti
tiran.
Melihat begitu, Leng Kiauw mendusin. "Toktjhioe Hongkay!" serunya dengan suara kaget.
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Benar!" katanya. "Tak salah! Aku adalah Toktjhioe Hongkay!
Semua manusia mencaciku sebagai manusia beracun, sebagai seorang gila! Ha-ha. Apa kau juga
merasa jijik?"
Muka Leng Kiauw jadi berubah merah. Ia insyaf bahwa ia sudah salah omong. "Hengtay adalah
seorang pendekar yang berhati mulia," katanya dengan suara jengah. "Siauwtee memohon maaf."
Kim Sie Ie kembali tertawa terbahak-bahak. "Memang, memang aku Toktjhioe Hongkay!"
teriaknya. "Ha-ha, lihatlah tanganku yang beracun!"
Ia menyembur sambil menyabet dengan pedangnya yang berhasil menggores lengan Taichiti.
Dengan hati ketakutan, si pendeta memutar tamengnya bagaikan titiran untuk melindungi diri.
Sementara itu, tiga murid Timotato sudah memperbaiki kedudukannya dan mulai menyerang lagi
dengan Imyang Tjianglek, sehingga Taichiti bisa bernapas lebih lega. Tapi sebab takut diserang
dengan jarum beracun, mereka tidak berani mendesak terlalu keras dan sebagai akibatnya
pertandingan dua melawan empat itu jadi berimbang.
Sambil bertempur, ketiga murid Timotato tak hentinya mengeluarkan teriakan-teriakan aneh.
"Eh, perlu apa kamu berteriak-teriak?" bentak Kim Sie Ie. "Apa kau mau dengar geram harimau?"
Sehabis berkata begitu, ia segera mementang mulut dan turut berteriak-teriak.
Sesudah bertempur lagi kira-kira setengah jam, Taichiti kembali kena dipukul dengan tongkat
Kim Sie Ie dan ia kelihatannya sudah payah sekali.
Mendadak, secara tidak diduga-duga, pemuda itu berteriak: "Aku lapar! Sesudah makan, aku
akan melayani kau lagi."
Taichiti girang bukan main. "Baiklah," katanya. "Aku mempermisikan kau hidup lagi satu hari!"
"Cui!", Kim Sie Ie menyemburkan ludah dan Taichiti buru-buru lompat menyingkir, tanpa berani
membuka suara lagi.
Dari sakunya, Kim Sie Ie segera mengeluarkan sepotong daging ayam hutan yang dibakar
setengah matang. Ia memasukkan daging itu di mulutnya, tapi lantas dikeluarkan lagi. "Keras
sungguh, gara-gara hawa dingin, tak dapat dimakan lagi," katanya. "Eh, aku sudah membantu
kau, mengapa kau tidak mengundang aku untuk makan?"
Sedari tadi Leng Kiauw berdiam saja sebab ia tengah merasa sangat menyesal, bahwa pada
saat hampir memperoleh kemenangan, Kim Sie Ie sudah menghentikan pertempuran. Mendengar
teguran sang penolong, ia lantas saja tertawa seraya berkata: "Maaf, aku sungguh lupa. Di dalam
rumah sedia arak dan daging. Marilah." Ia sama sekali tak tahu, bahwa Kim Sie Ie menunda
pertandingan sebab tenaganya sudah hampir habis. Setelah memperhatikan pukulan-pukulan
Imyang Tjianglek, pemuda itu mengerti, bahwa dalam keadaannya yang sangat letih, ia tak akan
bisa memecahkan pukulan itu, sehingga oleh karenanya, ia ingin mengasoh untuk memelihara
tenaga.
Begitu bertindak masuk ke dalam rumah, mereka melihat paras Keng Beng pucat bagaikan
kertas. "Lootiang," menegur Leng Kiauw dengan rasa kuatir. "Bagaimana keadaanmu?"
Si kakek tersenyum seraya menjawab: "Tak apa-apa. Malam ini kutak akan mati."
Buru-buru Leng Kiauw memegang nadi orang dan hatinya lantas saja mencelos, sebab ternyata
orang tua itu tak bisa hidup lebih dari tujuh hari lagi. Ia berduka bukan main, tapi sebisa-bisa
menahan air matanya sebab kuatir si nona turut berduka.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Benar! Benar!" serunya. "Hidup satu hari
berarti satu hari. Asal malam ini tak mati, itu bagus! Siapa tahu kalau besok aku sudah tak ada lagi
dalam dunia?"
Leng Kiauw mendongkol, tapi ia merasa tak enak menegur penolongnya. Maka itu, ia hanya
berkata dengan suara tawar: "Di dalam ada arak dan daging, kau ambil saja sendiri."
Kim Sie Ie kembali tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" teriaknya. "Sesudah makan,
biarpun mesti mati, aku mati sebagai setan perut kenyang. Lootiang! Sebagai orang-orang yang
punya penyakit sama, kita saling mengasihani. Marilah kita minum tiga cawan besar!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Leng Kiauw jadi gusar. Ia tak tahu, bahwa pemuda gila-gilaan itu hanya bisa hidup tujuh hari
lagi.
Phoei Keng Beng melirik dan mendadak ia pun tertawa berkakakan. "Bagus! Bagus sungguh!"
serunya. "Saudara kecil beradat sangat terbuka. Baiklah! Mari kita minum tiga cawan besar! Soat-
djie, ambillah arak dan makanan untuk menjamu tamu kita ini." Walaupun tertawa, ia tertawa
duka dan pada suaranya menyayatkan hati. Jantung si nona memukul keras dan ia menatap wajah
ayahnya dengan mata membelalak.
Sebagai seorang ahli yang berkepandaian tinggi, sekali melirik saja, Phoei Keng Beng sudah
tahu, bahwa lweekang Kim Sie Ie adalah lweekang yang sesat dan yang akan segera "membakar"
dirinya sendiri. Ia tahu, bahwa pemuda itu hanya bisa hidup tujuh hari lagi, tanpa bisa
disembuhkan dengan obat apapun jua. Ia adalah seorang yang sudah kenyang makan asam
garam dunia sedikitpun tak takut mati. Ia menganggap pemuda itu sebagai seorang yang bernasib
sama dan sama sekali tidak menghiraukan kata-katanya yang gila-gilaan.
Sesudah memanasi arak, Soat Koen keluar dan menuang satu cawan untuk Kim Sie Ie. "Ayah,
apa kau juga mau minum?" tanyanya sambil mencekal poci arak.
Sang ayah tertawa besar dan mengambil poci yang dicekalnya. "Hari ini secara kebetulan aku
bertemu dengan Lian Kongtjoe dan bertemu pula dengan seorang gagah yang luar biasa,"
katanya. "Hatiku girang bukan main dan kesempatan ini tak boleh dilewatkan dengan begitu saja."
Ia menuang arak ke dalam cawannya dan lalu minum bersama-sama Kim Sie Ie. Demikianlah
kedua orang itu -- yang satu tua, yang lain muda -- yang sedang menghadapi maut, minum
dengan gembira tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi besok.
Leng Kiauw mengawasi si kakek dengan hati penuh kedukaan. Ia ingat, bahwa karena gara-
gara ayahnya, bersama puterinya, Phoei Keng Beng lerpaksa menyingkir ke pegunungan Himalaya
yang sunyi dan dingin. Ia ingat pula, bahwa si kakek telah terluka karena tinjunya sendiri. Dan
sekarang ia minum untuk melupakan penderitaannya!
Sesudah minum beberapa cawan, Phoei Keng Beng mendadak menaruh poci dan berkata:
"Liong Sianseng, aku merasa sangat beruntung, bahwa kita bisa bertemu muka. Aku mempunyai
serupa urusan yang belum dibereskan. Bolehkah aku meminta bantuanmu?"
"Segala perintah Lootiang aku akan menjalankan dengan segala senang hati," jawab Leng
Kiauw.
Si kakek tersenyum dan sambil menunjuk puterinya, ia berkata dengan suara perlahan: "Anak
perempuanku tak bisa berdiam di gunung Himalaya seumur hidup. Kalau nanti dia turun gunung,
aku mengharap kau sudi melihat-Iihatnya."
Mendengar pesanan itu yang mengandung maksud dalam, Leng Kiauw terperanjat. Ia berdiam
dan tidak dapat segera memberi jawaban.
"Bagaimana?" menegas si kakek.
"Tentu saja... tentu saja..." jawabnya dengan gugup. "Hal itu adalah hal yang wajar, yang pasti
akan dilakukanku, biarpun tidak mendapat pesanan Lootiang."
"Thia-thia," kata si nona yang tidak mengerti maksud ayahnya. "Jika aku turun gunung,
bukankah kau pun akan turun gunung? Apakah ayah tak mau memperhatikan lagi diriku?"
Sang ayah bersenyum duka seraya berkata: "Anak tolol! Apakah ayah bisa memperhatikan kau
terus menerus seumur hidupmu? Liong Sianseng, telah menghadiahkan serenceng mutiara. Hayo!
Haturkanlah terima kasih!"
Si nona jadi semakin bingung. "Bukankah tadi aku sudah menghaturkan terima kasih?"
tanyanya di dalam hati. "Apa ayah sudah jadi linglung?" Tapi walaupun hatinya berkata begitu,
untuk menyenangkan sang ayah, ia kembali memberi hormat kepada Leng Kiauw.
Liong Leng Kiauw adalah seorang cerdas dan kata-kata si kakek tentu saja dimengerti olehnya.
Ia tahu, bahwa Phoei Keng Beng ingin menganggap, bahwa serenceng mutiara itu adalah tanda
mengikat tali pertunangan. Sebagai seorang yang mempunyai cita-cita besar, sampai berusia tiga
puluh tahun, belum pernah ia memikir untuk menikah. Dan di luar dugaan, di pegunungan
.Himalaya yang sunyi secara sangat luar biasa, ia bertemu dengan si nona. Melihat kecantikan
Soat Koen yang beradat sangat polos, hatinya lantas saja tergerak dan buru-buru ia membalas
hormatnya nona itu, akan kemudian berlutut tiga kali di.hadapan Phoei Keng Beng. "Siauwtit pasti
tidak akan menyia-nyiakan perintah Lootiang," katanya dengan suara terharu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Phoei Keng Beng tertawa girang dan sambil mengurut-urut jenggot, ia minum kering secawan
arak.
Sekonyong-konyong Kim Sie le pun tertawa bergelak-gelak. Ia mengangkat poci dan minum
habis isinya. "Jika kau melanggar janji, kuakan hajar kau dengan tiga puluh gebukan tongkat!"
katanya dengan suara nyaring. "Ha-ha-ha! Tak dinyana hari ini kumenjadi saksi dari satu
perangkapan jodoh yang sangat luar biasa!"
"Hengtay mabuk," kata Leng Kiauw dengan suara jengah.
"Benar, benar aku sudah pusing," katanya. "Aku berjodoh untuk menjadi saksi, tak berjodoh
untuk minum lagi. Ha-ha-ha!" Sehabis tertawa, ia melemparkan poci arak, merebahkan diri di atas
lantai dan segera menggeros.
Dapat dimengerti, jika malam itu Leng Kiauw tak bisa tidur pulas. Ia duduk termenung-menung
sambil memikiri permainan nasib. Tak lama lagi fajar menyingsing.
Sekonyong-konyong, Kim Sie Ie melompat bangun. Sesudah menggosok-gosok mata dengan
tangannya, ia mengawasi langit yang sudah mulai terang. "Satu hari lagi!" serunya sambil tertawa
besar. Ia mengambil tongkat, membuka pintu dan lalu berjalan keluar. "Mari! Mari!" teriaknya.
"Pagi ini aku akan hajar beberapa bangsat kecil."
Begitu tiba di luar, ia melihat musuh-musuhnya berkumpul di satu tempat, dimana terdapat
seorang asing tinggi besar yang belum dikenalnya. Orang itu, yang bukan lain daripada Timotato,
sedang mengurut-urut tubuh seorang muridnya yang kena jarum racun. Tiba-tiba ia membentak
keras, dan dua jerijinya menjepit sebatang jarum! Ternyata, dengan menggunakan lweekang yang
sangat tinggi, ia berhasil mengeluarkan jarum itu dari dalam alis muridnya.
Begitu melihat munculnya Kim Sie Ie, Taichiti yang sedang menjalankan pernapasan untuk
mengobati lukanya segera berseru: "Bocah! Sesudah Timotato Thayhoatsoe datang, kamu semua
bakal segera mampus!"
Jarum racun Kim Sie Ie adalah salah satu senjata rahasia yang terhebat dalam Rimba
Persilatan. Bahwa dengan lweekang, Timotato bisa mengeluarkannya merupakan suatu bukti,
bahwa kepandaian orang asing itu bukan main tingginya. Tapi Kim Sie le yang sudah tidak
memikir hidup, sedikitpun tak menjadi keder. Begitu mendengar ancaman Taichiti, ia melompat
sambil menyemburkan ludah. "Fui!" bentaknya. "Thayhoatsoe apa? Akulah yang mau
mengantarkan Tayhoatsoe-mu ke alam baka."
Timotato mengebas dengan lengan jubah dan jarum racun itu tak kelihatan bayang-
bayangannya lagi. Sambil membentak keras, ia segera menghantam Kim Sie Ie dengan
tangannya.
Sambil mengempos semangat, pemuda itu menangkis dengan tongkatnya. "Buk!", tongkat
bengkok, tapi Timotato pun merasa lengannya sakit. Ia terkejut dan tanpa berani memandang
rendah lagi lawannya, ia segera menyerang secara teratur. Tentu saja, pemuda itu bukan
tandingannya. Belum berapa lama, Kim Sie Ie sudah terkurung dalam gelombang Imyang
Tjianglek.
Dengan dipayang oleh puterinya, Phoei Keng Beng keluar dan bersila di depan pintu untuk
menyaksikan jalan pertempuran. Ia menghela napas seraya berkata: "Ah, sayang! Benar-benar
sayang!"
"Mengapa?" tanya puterinya.
"Dalam usianya yang masih begitu muda, saudara kecil itu memiliki lweekang dan kepandaian
yang sedemikian tinggi," jawabnya. "Dalam dunia ini, mungkin sekali tidak berapa orang yang bisa
menandinginya. Tapi... begitu muda, begitu lekas berpulang ke alam baka. Sayang! Apa tak
sayang?"
Liong Leng Kiauw yang tak mengerti maksud sebenarnya dari si kakek, hanya menduga, bahwa
orang tua itu merasa sayang karena Kim Sie Ie bakal binasa dalam tangan Timotato. Mengingat
budi orang, ia segera menghunus pedang untuk membantu. Tapi sebelum menerjang, empat
murid Timotato mengawasi padanya dengan siap sedia. "Phoei Pehpeh menderita luka berat dan
jika mereka menyerang, Soat-moay pasti tak akan dapat melawannya," katanya di dalam hati. Ia
bimbang bukan main karena tak tahu harus berbuat bagaimana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Pada saat yang sangat berbahaya, mendadak, mendadak saja Phoei Keng Beng berteriak
dengan suara di tenggorokan: "Tong... Tong Tayhiap! Suami isteri Tong Tayhiap datang!" Karena
kegirangan yang meluap-luap, badan si kakek bergoyang-goyang.
Kim Sie Ie yang sedang melayani Timotato dengan kepala pusing dan menggunakan tenaganya
yang penghabisan, tak mendengar tegas apa yang dikatakan oleh orang tua itu. Tiba-tiba ia
merasa kesiuran angin yang bertenaga luar biasa besar. Ia terkesiap dan berusaha untuk berkelit,
tapi sudah tidak keburu lagi. Di lain saat badannya mengapung ke udara, seperti juga dilontarkan
orang. Dengan meminjam tenaga itu, ia menjungkir balik dan secara kebetulan ia melihat
Timotato terhuyung beberapa tindak.
Tong Siauw Lan datang pada saat yang berbahaya bagi jiwa Kim Sie Ie. Pada detik yang
genting itu, ia memisah kedua orang itu dengan kebasan tangan bajunya. Jika terlambat sedikit
saja, Kim Sie Ie pasti sudah binasa karena ia sudah tidak tahan lagi.
Orang yang paling kaget adalah Timotato sendiri. Semenjak menjagoi di Eropa dan negara-
negara Arab, belasan tahun belum pernah ia bertemu dengan tandingan. Tapi hari ini, ia
terhuyung karena satu kebasan lengan baju.
"Siapa kau?" tanya Tong Siauw Lan. "Mengapa kau berkelahi dengan sahabatku?"
Timotato tak mengerti bahasa Tionghoa, tapi suara Tong Siauw Lan yang tidak keras sangat
menusuk telinga. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya. Orang yang
menjawab pertanyaan Siauw Lan adalah Taichiti. "Ia adalah Timotato Thayhoatsoe, seorang
berilmu yang ilmu silatnya paling tinggi di dalam dunia dan yang telah menjagoi di Eropa dan
Asia," katanya.
Siauw Lan mendongakkan kepala seraya tertawa terbahak-bahak. "Selama hidup kubelum
pernah bertemu dengan seorang yang berani menganggap diri sendiri sebagai manusia paling
jempol di kolong langit," katanya. "Sekarang aku justeru ingin berkenalan dengan ilmunya.
Baiklah, begini saja: Biarlah ia memukul aku lebih dulu sepuluh kali." Sehabis menantang, ia
mengebas pula dengan lengan bajunya ke arah Timotato dan Taichiti. Timotato buru-buru
mengerahkan lweekang untuk mempertahankan diri, tapi Taichiti sendiri tak ampun lagi lantas
saja terguling-guling dan untung juga, ia masih keburu ditolong oleh murid-murid Timotato,
sehingga tak sampai menggelinding ke bawah tanjakan.
"Thayhoatsoe! Jangan sungkan-sungkan lagi," serunya dengan napas tersengal-sengal. "Dia
mengatakan, bersedia dipukul lebih dulu sepuluh kali. Asal kau bisa membereskan dia seorang, di
seluruh Tiongkok tiada orang lagi yang berani melawan kau." Sebagai seorang yang sering
berkelana di antara Nepal dan Tibet, walaupun tidak mengenal secara pribadi, Taichiti pernah
mendengar nama jago-jago silat di wilayah Tionggoan. Maka itu, mendengar seruan Phoei Keng
Beng, ia segera menduga, bahwa orang yang datang adalah Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin dari
Thiansan pay.
Selama hidup, Timotato belum pernah dihinakan seperti itu. Sambil membentak keras, ia
menghantam dengan kedua tangannya. Siauw Lan menancap kedua kakinya di atas bumi dan
badannya tidak bergerak. Dalam kagetnya, si pendeta jadi semakin gusar dan lalu mengirim
pukulan berantai. Pakaian Siauw Lan berkibar-kibar karena pukulan itu, tapi kedua kakinya tetap
tidak bergeming. Timotato jadi mata merah. Sambil mengempos semangat, dengan seluruh
tenaga, ia mengirim pukulan Imyang Tjianglek dengan kedua tangannya, tangan kiri mendorong,
tangan kanan membetot. Dihantam dengan pukulan geledek itu tubuh Siauw Lan bergoyang-
goyang dan kaki kirinya terangkat naik. Dengan cepat ia membuat sebuah lingkaran dengan kaki
kirinya itu yang lalu ditancap pula di atas tanah.
Ia tertawa berkakakan seraya berkata: "Sudah cukup sepuluh pukulan. Bahwa kau berhasil
menggoyangkan tubuhku sudah merupakan bukti, kau bukan sembarang orang. Nah! Sekarang
terimalah beberapa pukulanku!" Hampir berbareng, ia mengirim satu pukulan dengan
menggunakan ilmu Thiansan Sintjiang (Pukulan malaikat dari Thiansan).
Timotato tentu saja tak bisa menuruti contoh lawannya yang telah menahan serangannya
dengan hanya menggunakan tenaga dalam. Ia menaruh kedua tangannya di dada dan kemudian
mendorong ke depan, tapi tak urung ia terhuyung juga.
Sambil mengeluarkan seruan nyaring, Tong Siauw Lan maju setindak dan mengirim pula satu
pukulan. Timotato membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya seraya miringkan badan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

untuk mengegos pukulan itu. Tapi tak urung, kedua kakinya terangkat, tubuhnya sempoyongan
dan hampir-hampir ia terguling di tanah! Siauw Lan sungkan memberi napas pada lawannya. Ia
maju pula setindak sambil mengangkat tangan.
Tiba-tiba si pendeta berteriak dan lalu bicara dalam bahasa yang tidak dikenal Siauw Lan.
"Apa dia kata?" tanya Siauw Lan sambil menengok kepada Taichiti.
"Thayhoatsoe mengatakan, bahwa ia dan kau adalah orang-orang yang berkedudukan sangat
tinggi dan mengadu ilmu dengan jalan pertempuran, tidak sesuai dengan kedudukan yang tinggi.
Ia mengusulkan, supaya ditukar dengan lain cara."
"Cara bagaimana?" tanya Siauw Lan.
"Adu... adu memanjat gunung," jawabnya. "Adu memanjat puncak tertinggi di kolong langit."
"Baiklah," kata Siauw Lan dengan suara tenang.
"Tong Tayhiap!" seru Phoei Keng Beng. "Jangan!..." Suaranya parau dan napasnya tersengal-
sengal.
Siauw Lan kaget. "Mengapa kau, Phoei Toako?" tanyanya.
Sementara itu, Kim Sie Ie pun sudah mengetahui, bahwa orang yang menolongnya adalah ayah
Tong Keng Thian. Mengingat, bahwa orang tua itu adalah manusia yang bisa menolong jiwanya,
hampir-hampir ia maju menghampiri. Tapi di lain saat, ia ingat ejekan Tang Thay Tjeng, yang
mengatakan, bahwa Tong Siauw Lan mau menolong dirinya dengan maksud supaya ia tidak bisa
mengangkat kepala lagi, karena Tjiangboendjin Thiansan pay itu sebenarnya merasa mengiri dan
jelus terhadap ilmu silat Tokliong Tjoentjia. Pada sesaat itu, rupa-rupa pikiran masuk ke dalam
otak Kim Sie Ie, sehingga akhirnya ia memutar badan dan berjalan pergi.
Tapi baru jalan beberapa tindak, mendadak ia melihat seorang wanita setengah tua yang
melayang turun dari atas sebuah bukit. Ia mengawasi dengan mata membelalak dan berkata
dengan suara terputus-putus: "Kau... kau... perlu apa kau mengubar aku terus menerus?"
Wanita itu adalah Phang Eng, isteri Tong Siauw Lan, tapi Kim Sie Ie menganggapnya sebagai
Phang Lin. Ia mengeluh seraya berkata dalam hatinya: "Celaka! Kali ini dia tentu akan memaksa
supaya aku menerima budi Tong Siauw Lan."
Di lain pihak, perkataan pemuda itu mengherankan sangat hati Phang Eng. "Apa kau kata?"
tanyanya.
Melihat sikap yang dingin, Kim Sie le lantas saja meluap darahnya. "Hra! Kalau begitu dia hanya
berpura-pura manis terhadapku," pikirnya. "Sekarang, melihat ajalku sudah dekat tiba, dia lantas
menukar sikap." Itulah adat aneh dari Kim Sie Ie. Di satu pihak, ia sungkan menerima budi orang,
tapi di lain pihak ia ingin dicinta orang. Ia jengkel karena Phang Lin terus menguntit dirinya, tapi ia
jadi marah melihat sikap Phang Eng yang dingin.
Melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, Phang Eng agak terkejut dan berkata dalam
hatinya: "Apakah adikku yang kembali menimbulkan gara-gara?" Mengingat begitu, ia segera
tersenyum dan menanya dengan suara halus: "Siapa kau? Jika kau mempunyai urusan apa-apa,
beritahukanlah kepadaku."
Tiba-tiba Kim Sie Ie mengeluarkan teriakan aneh. "Baiklah!" bentaknya. "Mulai dari sekarang,
kau anggap saja belum pernah bertemu denganku. Minggir! Aku mau pergi." Karena kuatir Phang
Eng menahannya, sambil melompat tinggi, ia menyapu dengan tongkatnya.
"Siapa kesudian mencegat kau?" kata Phang Eng dengan suara dingin seraya mementil dengan
jerijinya. "Cring!" tongkat terpentil dan Kim Sie Ie merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat,
sehingga ia menjungkir balik tiga kali dan hinggap di tanjakan gunung. Bukan main kagetnya
pemuda itu. Ia pemah menyaksikan dan merasa kagum akan kepandaian Phang Lin, tapi ia tak
nyana, nyonya itu mempunyai lweekang yang sedemikian dahsyat. "Untung juga dia tidak
mempermainkan diriku terlebih jauh," katanya di dalam hati. Sambil mengempos semangat, ia
kabur secepat-cepatnya tanpa berani menengok lagi. Tentu saja ia tak tahu, bahwa Phang Eng –-
yang dianggapnya sebagai Phang Lin —— memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada adiknya
dan kira-kira berendeng dengan Lu Soe Nio. Jika yang mementilnya adalah Phang Lin, paling
banyak ia menjungkir balik satu kali.
Dalam pada itu, Tong Siauw Lan sudah memeriksa luka Phoei Keng Beng dan memberi dua
butir Pekleng tan, akan kemudian mengurut tubuh orang tua itu dengan menggunakan lweekang
Thiansan pay. Phang Eng mendekati dan lalu berdiri di belakang suaminya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Lewat beberapa saat, Siauw Lan selesai dan berkata sesudah menyusut keringat: "Phoei Toako,
mulai besok pagi kau harus menjalankan pernapasan dalam kamar yang sunyi untuk sepuluh hari
lamanya. Lukamu sudah tidak berbahaya lagi."
Si kakek tertawa getir. "Tong Tayhiap, perlu apa kau banyak berabe dan memperpanjang
usiaku untuk beberapa tahun?" katanya. Ia mengetahui, bahwa karena usianya yang sudah lanjut,
walaupun sembuh, ilmu silatnya akan berkurang banyak dan ia hanya bisa hidup beberapa tahun
lagi.
Ia mengangkat kepala dan kedua matanya menyapu seluruh ruangan. "Tong Tayhiap," katanya
pula dengan suara perlahan. "Aku ingin memperkenalkan kau dengan dua orang gagah dari
tingkatan muda. E-eh, mana itu saudara kecil yang satunya lagi?" Barusan, selagi diobati sambil
meramkan mata, ia tak tahu kaburnya Kim Sie Ie.
"Siapa dia?" tanya Phang Eng. "Mengapa gerak-geriknya begitu luar biasa?"
"Dia adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay," menerangkan
Leng Kiauw. "Namanya Kim Sie Ie."
"Kim Sie Ie?" menegas Siauw
Lan yang belum pernah mendengar nama pemuda itu.
"Ih! Tadi, waktu melihat ilmu silatnya, aku ingat seorang sahabat lama."
"Tokliong Tjoentjia!" seru sang isteri.
"Benar," kata Siauw Lan. "Bukankah ilmu silatnya menyerupai ilmu silat Tokliong Tjoentjia?"
"Bukan saja ilmu silatnya, tapi lweekang-nya pun tidak berbeda," jawabnya. "Celaka! Sayang
sungguh aku tidak menahannya!"
"Mengapa?" tanya sang suami.
"Barusan aku telah memukulnya dengan menggunakan ilmu Ittjiesian," sahutnya. "Ia tak tahu
maksudku yang baik dan lalu melawan dengan menggunakan lweekang. Menurut pantas, ia mesti
terluka tapi ia berhasil memunahkan tenagaku. Dalam dunia ini, hanya Tokliong Tjoentjia yang
memiliki lweekang begitu luar biasa. Tapi lweekang yang dikirimnya dengan perantaraan tongkat,
sama sekali tidak diiring dengan tenaga yang berikutnya. Menurut pendapatku, lweekang-nya akan
segera membakar dirinya sendiri dan ia hanya bisa hidup beberapa hari lagi."
Leng Kiauw kaget bukan main. Sekarang baru ia tahu, bahwa gerak-gerik pemuda itu yang gila
gilaan adalah untuk menutupi hatinya yang berduka.
Phoei Keng Beng menghela napas seraya berkata: "Semalam, dengan melihat paras mukanya,
aku menduga, bahwa paling banyak ia bisa hidup enam hari lagi. Sekarang Tong Hoedjin juga
mengatakan begitu, sehingga dugaan kita pasti tak akan salah."
"Jika kutahu, dia murid Tokliong Tjoentjia, kutentu akan menahannya," kata Phang Eng dengan
suara menyesal. "Ilmu Tokliong Tjoentjia merupakan satu cabang persilatan yang sangat luar
biasa. Sungguh sayang, jika ilmu itu termusnah dari dunia."
Si kakek termenung-menung beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Ya!
Gelombang Tiangkang yang di sebelah belakang mendorong gelombang yang di depan. Selama
belasan tahun ini, dalam Rimba Persilatan muncul banyak sekali orang-orang muda yang
berkepandaian tinggi. Tong Tayhiap, Tong Hoedjin, marilah aku memperkenalkan kalian dengan
seorang gagah dari tingkatan muda."
Leng Kiauw segera maju menghampiri dan memberi hormat kepada Siauw Lan dan isterinya.
Siauw Lan mengawasi pemuda itu dan ia kelihatan terkejut, ketika melihat singa-singaan giok
yang tergantung di pinggang Leng Kiauw. Sekonyong-konyong, ia tertawa terbahak-bahak dan
berkata. "Aha! Kalau begitu puteranya seorang kenalan lama."
Paras muka Leng Kiauw lantas saja berubah merah. "Anak seorang berdosa yang mengharap
dunia suka mengampuni kedosaan ayahku," katanya dengan suara jengah.
Siauw Lan kembali tertawa berkakakan. "Ada sangkut paut apakah antara kedosaan Lian Keng
Giauw dan kau sendiri?" tanyanya. "Ayahmu adalah seorang yang memiliki bakat panglima perang,
hanya sayang ia tak jalan di jalanan lurus. Aku hanya berharap kau akan lebih banyak membaca
kitab-kitab dari para nabi dan menyumbangkan tenagamu untuk kepentingan rakyat jelata."
Leng Kiauw mengangkat kedua tangannya dan menghaturkan terima kasih untuk nasehat itu.
"Terima kasih, bahwa kau telah menyimpan Han-giok-ku," kata Siauw Lan. "Keng Thian telah
bicara banyak tentang hal ihwalmu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mereka segera masuk ke dalam rumah Phoei Keng Beng dan terus beromong-omong.
Mendengar puteranya bersama Peng Go juga sudah tiba di Himalaya, Siauw Lan jadi sangat girang
dan lalu berkata kepada isterinya: "Aku sendiri ingin mengadakan perlombaan memanjat gunung
dengan Thayhoatsoe itu. Biarlah kau saja yang mencari anak-anak kita. Kunjungan kita ke tempat
Phoei Toako ternyata tidak percuma." Harus diketahui, bahwa karena mengetahui kedatangan
tentara Nepal, suami isteri Tong Siauw Lan buru-buru datang lagi ke tempat Phoei Keng Beng,
karena kuatir orang tua dan puterinya itu mendapat gangguan.
Mengingat kejadian di Puncak Unta, dimana Peng Go telah salah mengerti sebab gara-gara
adiknya, Phang Eng berkata sambil tertawa: "Calon menantuku mungkin masih merasa
mendongkol terhadapku. Biarpun sudah tua, Lin-moay masih belum bisa membuang adatnya yang
seperti kanak-kanak. Aku rasa, Toktjhioe Hongkay pun pernah dipermainkan olehnya. Jika tidak
begitu, mengapa begitu melihatku, dia segera lari terbirit-birit? E-eh! Siapa yang datang?" Ia
melompat keluar, diikuti oleh yang lain.
Di luar berdiri seorang wanita yang mengawasi mereka sambil tertawa haha-hihi. "Tjietjie!"
teriaknya. "Mengapa kau mencaci di belakangku? Tanyalah Keng Thian. Aku pernah mengganggu
menantumu, tapi aku juga pernah membantu banyak padanya!" Orang itu adalah Phang Lin. Ia
sebenarnya memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi karena tidak
mengenal jalanan, ia sudah ditinggalkan oleh Timotato dan tiba belakangan.
Baru kakaknya mau membuka mulut, Phang Lin sudah melompat dan mendului: "Tjietjie, apa
yang dibicarakan olehmu barusan? Apakah kau sudah bertemu dengan Kim Sie Ie?"
"E-eh, mengapa begitu bernapsu?" tanya sang kakak.
"Dia baru saja pergi," kata Siauw Lan.
"Ah! Apa kau tahu, umurnya hanya tinggal enam hari lagi?" tanyanya pula.
"Tahu," jawab Phang Eng.
"Mengapa melihat kebinasaan, kau tidak menolong?" teriak Phang Lin.
"Siapa suruh dia memukulku dengan tongkatnya?" sang kakak balas menanya sambil tertawa.
"Sudahlah! Jangan
mengganggu lagi adikmu," kata Siauw Lan. "Bahwa kami tidak menahannya, aku pun merasa
sangat menyesal." Sehabis berkata begitu, ia segera menerangkan segala kejadian yang barusan.
Phang Lin melompat-lompat dan sambil mencengkeram lengan kakaknya, ia berteriak "Baiklah!
Kau sudah melepaskan dia, kau juga yang harus mencarinya!"
Phang Eng yang mengenal adat si adik, lantas saja bisa menebak.
Ia memeluk leher adiknya seraya berbisik: "Mengapa hari ini kau begitu repot? Apa kau penuju
Toktjhioe Hongkay sebagai suami A-bwee?"
Phang Lin mendelik. "Apa?" ia menegasi. "Apa dosanya Kim Sie Ie? Kau memanggilnya sebagai
Toktjhioe Hongkay, tapi aku menganggapnya sebagai pemuda yang jujur dan baik. Kau
membencinya, aku justeru sebaliknya."
"Siapa membenci Kim Sie Ie?" kata Phang Eng seraya tertawa geli. "Begini saja: Kau sudah
bantu merangkap jodoh Keng Thian, akupun berjanji akan mencari menantumu itu."
Sedang mereka beromong-omong, dari tikungan tanjakan mendadak muncul seorang nenek
yang, ketika diawasi, bukan lain daripada Tong Say Hoa. Begitu melihat bekas pukulan tongkat di
atas batu, nenek itu mengeluarkan seruan kaget.
"Tjietjie," kata Phang Lin. "Sekarang aku mendapat kawan yang bisa bicara banyak mengenai
Kim Sie Ie."
"Untung juga Tong Lootaypo tidak mempunyai gadis," mengejek sang kakak.
Melihat Leng Kiauw dan mendengar kaburnya Kim Sie Ie, hati si nenek girang tercampur duka.
"Leng Kiauw," katanya sambil menarik tangan pemuda itu. "Tak dinyana, kita masih bisa bertemu
muka. Andaikata aku mati sekarang juga, aku akan mati dengan mata meram. Leng Kiauw, kau
sudah cukup tua. Selagi kumasih hidup, apakah kau masih tak mau menikah? Siang malam aku
mengharap bisa menyaksikan hari keberuntunganmu.
Menikahlah sekarang dan sesudah kumati, kau boleh berbuat sesukamu, kau boleh coba
merebut tahta, jika kau mau. Tapi selagi kumasih hidup, jangan kau gila-gilaan, supaya kutak usah
memikir keselamatanmu setiap detik."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sebagai seorang wanita yang muda-muda sudah menjadi janda Tong Say Hoa telah kukut Leng
Kiauw sedari kecil. Maka itu, biarpun sekarang Leng Kiauw sudah berusia tiga puluh tahun lebih, ia
masih memperlakukannya sebagai kanak-kanak.
Muka Leng Kiauw lantas saja berubah merah. "Mulai dari sekarang, aku hanya mengharap bisa
mengikuti jejak Tong Tayhiap dan lain-lain Tjianpwee untuk menolong sesama manusia," katanya.
"Aku sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari segala perebutan kekuasaan. Ibu,
biarpun sudah berusia lanjut, kau masih gagah sekali. Mengapa kau mengeluarkan perkataan yang
tidak-tidak?"
"Jika bukan ditolong oleh Kim Sie Ie, siang-siang kusudah binasa," kata si nenek. "Kau harus
berusaha sedapat mungkin untuk mencarinya. Siauw Lan, di dalam dunia hanya kau seorang yang
bisa menolong dia. Dengan memandang mukaku, aku juga mengharap, kau berdua suami isteri
suka bantu mencari dia."
"Dalam perjalanan dari kaki gunung kemari, apakah kau pernah mendengar warta tentang
Keng Thian?" tanya Phang Eng.
"Keng Thian dan Peng Go juga akan segera mendaki gunung," jawabnya. "Karena merasa
sangat tidak sabaran, aku sudah berjalan terlebih dulu."
"Apa?" menegas Siauw Lan. "Apakah tentara Nepal sudah mundur?"
"Mereka akan segera mundur," jawab si nenek yang lalu menceritakan segala
pengalamannya. Mendengar begitu, Tong Siauw Lan dan yang lain-lain jadi merasa lega.
Sesudah diadakan perundingan, mereka mencapai persetujuan untuk coba mencari Kim Sie Ie
dengan berpencaran: Tong Siauw Lan, Phang Eng dan Phang Lin masing-masing mengambil satu
jalanan, sedang Tong Lootaypo bersama Leng Kiauw mengambil jalanan yang lain. Tapi, walaupun
mengambil empat jalanan, usaha mereka adalah bagaikan orang mencari jarum di tengah lautan,
karena Himalaya adalah gunung yang besar luar biasa.
Selagi yang lain mengasoh atau menyediakan makanan kering untuk mendaki gunung, Phang
Eng dan Siauw Lan menarik Phang Lin ke satu sudut dan bertanya tentang pengalamannya dalam
perkenalan dengan Kim Sie Ie. Phang Lin lantas saja menceritakan segala apa yang diketahuinya
tentang pemuda itu, sehingga sesudah mendengar, Siauw Lan dan Phang Eng menghela napas
berulang-ulang. "Ah! Kalau begitu adatnya yang aneh mempunyai sebab-sebab yang
mengharukan," kata Phang Eng dengan air mata berlinang-linang.
Mendadak Phang Lin mendapat serupa ingatan. Ia mengeluarkan buku catatan harian Tokliong
Tjoentjia dan berkata sambil menyerahkannya kepada Siauw Lan: "Aku harap kau suka
menyimpan buku ini yang ditulis oleh Tokliong Tjoentjia selama beberapa puluh tahun. Jika kau
bertemu dengan Kim Sie Ie, aku minta kau menyerahkan kepadanya." Ia tahu, bahwa Kim Sie Ie
dan Keng Thian tidak begitu akur dan sudah sengaja memberikan buku tersebut kepada Siauw
Lan, dengan pengharapan bisa bantu menghilangkan ganjelan yang terdapat dalam hati Kim Sie
Ie. Siauw Lan yang tak punya banyak tempo untuk menanya melit-melit atau membacanya, sudah
menduga, bahwa buku itu adalah buku ilmu silat Tokliong Tjoentjia. "Andaikata kutak berhasil
menolong Kim Sie Ie, biarlah aku mencari seorang lain untuk mewarisi kepandaian Tokliong
Tjoentjia," katanya di dalam hati.

***

Sekarang marilah kita menengok Kim Sie Ie yang telah membuang kesempatan sangat baik
untuk menolong jiwanya sendiri. Dengan keyakinan, bahwa jiwanya akan melayang dalam
beberapa hari lagi, ia mendaki gunung dengan sekuat tenaga. Harapan satu-satunya adalah naik
ke puncak Tjoe-hong (Everest) sebelum menghembuskan napas yang penghabisan. Pada hari
pertama dan hari kedua, perjalanan masih dapat dilakukan dengan tak banyak kesukaran. Tapi
pada hari ketiga, ia mulai merasa sukar untuk bernapas. Ia tak tahu, bahwa kesukaran bernapas
itu adalah akibat hawa udara yang semakin tinggi jadi semakin tipis. Ia hanya menduga, bahwa
ajalnya sudah dekat tiba dan lalu memanjat terus dengan sekuat tenaga.
Semakin ke atas, pemandangan jadi semakin indah, tapi keadaan gunung juga jadi semakin
berbahaya. Tempo-tempo ia harus memanjat lereng yang sangat tebing bagaikan tembok,
melompati jurang-jurang antara dua tembokan es dan kadang-kadang disambar angin besar,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

sehingga beberapa kali ia hampir tergelincir ke bawah. Ia merasa badannya lemas dan saban-
saban harus mengasoh dengan napas tersengal-sengal. Tiba-tiba, selagi naik di satu tanjakan
matanya melihat pemandangan yang sungguh luar biasa. Jauh-jauh, di atas tanah yang tertutup
es, terlihat sejumlah besar balokan atau gundukan es yang menyerupai pagoda-pagoda yang
memancarkan sinar gilang-gemilang, bagaikan kristal. Ia mengawasi dengan mata membelalak
dan tiba-tiba saja, ia mengeluarkan seruan nyaring. "Biarpun tak bisa sampai di puncak Tjoe-hong,
sesudah melihat surga dalam dunia ini, aku bisa mati dengan mata meram!" teriaknya.
Sambil mengempos semangat, ia berlari-lari ke arah kumpulan pagoda itu. Mendadak kakinya
menyentuh serupa benda dan ketika dilihat, ternyata adalah mayatnya seorang asing. Di sekitar
mayat itu terdapat alat-alat mendaki gunung, tambang-tambang dan pakaiannya sudah bobrok
dan hancur begitu tersentuh, tapi mayat itu sendiri masih tidak berubah. Tak jauh dari situ, ia
kembali mendapatkan satu mayat lain. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Selama
ratusan tahun, entah berapa orang binasa dalam usaha mendaki Chomo Lungma. Dua tiga hari
lagi, akupun akan menemui mereka!"
Pagoda-pagoda es itu kelihatannya tidak seberapa jauh tapi sesudah berjalan beberapa jam,
belum juga ia tiba disitu. Makanan kering sudah habis, tapi untung juga, di sekitar gunung masih
terdapat binatang-binatang yang boleh dijadikan santapan. Dengan menggunakan batu, ia
berhasil merobohkan beberapa burung gagak dan seekor ayam salju. Ia mengeluarkan bahan api
dan sesudah menggosok-gosok sekian lama, barulah ia bisa mendapat api dan lalu menyalakan
perapian dengan menggunakan cabang-cabang kering. Dari mayat orang asing itu, ia mengambil
satu panci dan lalu masak air dengan menaruh es ke dalam panci itu. Sesudah membakar kurang
lebih satu jam, barulah air bergolak-golak. Dengan bernapsu ia makan ayam rebus dan minum air
panas. Setelah perutnya ditangsal, sebagian kekuatannya pulih kembali.
Belum jalan berapa jauh, tiba-tiba ia bertemu dengan satu balokan es besar, yang
mengambang di atas satu sungai es. Selagi lewat di pinggir balokan es itu, mendadak ia
mendengar suara rintihan manusia. Ia terkesiap dan dengan hati berdebar-debar, ia memanjat
gundukan es itu yang bergerak-gerak tak hentinya. Begitu tiba di atas, dengan mata membelalak
ia mengawasi dua orang yang menggeletak di atas es dengan muka penuh darah dan mereka itu
adalah Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng!
Jika bertemu di tempat biasa, Kim Sie Ie pasti tak akan merasa kasihan. Tapi di atas gunung
yang diliputi es itu, dimana tak terdapat manusia lain, ia memandang mereka seperti sahabat.
Hiatsintjoe ternyata sudah tidak bernapas lagi, sedang keadaan Tang Thay Tjeng pun sudah
sangat payah.
Sambil mengerahkan Iweekang, ia mengurut-urut tubuh Tang Thay Tjeng dan selang beberapa
saat, perlahan-lahan dia membuka matanya. "Kau?" tanyanya dengan suara lemah.
"Jangan bergerak," kata Kim Sie Ie. "Aku akan bantu kau menjalankan pernapasan."
"Tak guna lagi," katanya. "Lekas kau menyingkir dari tempat berbahaya ini."
Kim Sie Ie memegang nadi orang yang ternyata sudah kalut ketukannya, sedang badannya
sudah kaku seperti es. Ia tahu, bahwa Tang Thay Tjeng tak bisa ditolong lagi jiwanya, tapi ia
masih tak tega untuk meninggalkannya dengan begitu saja.
Sekonyong-konyong dengan menggunakan sisa tenaganya, Tang Thay Tjeng berkata dengan
berbisik: "Sie Ie-heng, aku telah mendustai kau!"
"Budi dan sakit hati sudah terbalas impas," kata Kim Sie Ie. "Urusan yang sudah lewat tak usah
disebut-sebut lagi. Aku tak punya kegembiraan untuk mengetahui, apa kau berdusta atau tidak."
"Jangan begitu..." kata Tang Thay Tjeng dengan suara parau. "Jika aku tak bicara sekarang,
aku tak akan bisa bicara lagi,"
"Bicaralah," kata Kim Sie Ie. "Bicaralah, jika dengan bicara hatimu bisa terhibur."
"Bukumu berada dalam tangan Phang Lin," katanya. "Buku itu bukan dalam tangan Tong Siauw
Lan, sebagaimana dikatakan olehku."
Kim Sie Ie tersenyum duka. "Kutak perduli berada di tangan siapa," katanya.
Tiba-tiba kedua kaki Tang Thay Tjeng berkelejet. "Lekas lari!" serunya dengan menggunakan
tenaganya yang penghabisan.
Hampir berbareng, angin keras yang dingin luar biasa menyambar-nyambar dan balokan es itu
bergoyang-goyang. Tanpa memikir lagi, Kim Sie Ie buru-buru melompat turun. Di lain saat,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

balokan es itu pecah terbelah dan mayat Tang Thay Tjeng dan Hiatsintjoe tercemplung ke dalam
sungai es!
Kim Sie Ie berduka dan tanpa merasa, beberapa tetes air mata mengalir di kedua pipinya. Ia
menangis, entah untuk kedua orang itu, entah untuk dirinya sendiri. Sesudah menghela napas
panjang, ia lalu meneruskan perjalanan. Tapi, baru saja jalan belasan tindak, matanya mendadak
melihat sekuntum bunga bwee yang diukir di atas segundukan es.
Mendadak saja, jantungnya memukul keras dan darahnya bergolak-golak. Ia mengenali, bahwa
bunga bwee itu, yang rupanya diukir dengan ujung pedang, adalah pertandaan Lie Kim Bwee.
Dalam perjalanan bersama-sama si nona di gunung Gobie san, ia pernah melihat Kim Bwee
membuat tanda-tanda itu di sepanjang jalan.
Secara tiba-tiba, dalam hatinya yang dingin muncul rasa yang hangat. Ia tak nyana, bahwa
dalam dunia yang kejam ini, masih terdapat satu manusia yang memikiri keselamatannya dan
sudah menyusul tanpa menghiraukan bahaya. Tapi, mengingat ajalnya sudah tak jauh lagi, pada
saat itu juga ia mengambil keputusan, bahwa andaikata bertemu dengan si nona, ia tentu akan
menyingkirkan diri, supaya Kim Bwee tak usah lebih berduka.
Selagi ia termenung-menung bagaikan orang hilang ingatan, sekonyong-konyong ia mendengar
suara orang bertempur. Ia terkesiap dan segera berlari-lari sekeras-kerasnya ke arah suara itu.
Dengan cepat, ia sudah masuk ke dalam kumpulan pagoda-pagoda es yang memang jadi
tujuannya. Dan ia kaget tak kepalang karena dari jauh ia melihat, bahwa Lie Kim Bwee tengah
dikepung oleh dua orang.
Sesudah menenteramkan hatinya, ia segera maju mendekati. Ternyata di tengah-tengah
kumpulan pagoda-pagoda es itu terdapat sebuah telaga kecil yang sudah membeku dan Kim Bwee
sedang bertempur melawan musuhnya di pinggir telaga.
Kedua lawan itu, yang kakinya lumpuh dan yang menyerang sambil menekan bumi dengan satu
tangannya, adalah Tunhuman dan Asia. Sesudah 'sembuh dari luka mereka sebagai akibat
perlombaan memanjat gunung melawan Pengtjoan Thianlie, mereka mendengar, bahwa guru
mereka, Timotato, sudah mendaki gunung dan oleh karenanya, mereka segera menyusul. Tak
diduga, di tengah jalan mereka bertemu dengan Lie
Kim Bwee dan dalam hati mereka lantas saja timbul niatan jahat. Mereka ingin membekuk si
nona untuk dibawa pulang ke negerinya. Sesudah bercacat karena Thiansan Sinbong, mereka
belum dapat melampiaskan rasa kedongkolan dan dengan menawan Kim Bwee, mereka bukan
saja bisa membalas sebagian sakit hati, tapi juga bisa mendapat muka terang di antara kawan-
kawan.
Waktu itu, si nona sudah lelah sekali. Akan tetapi, ilmu pedang Pekhoat Molie yang dimilikinya,
adalah ilmu pedang yang sangat luar biasa, sehingga walaupun sudah terkurung rapat, ia masih
bisa membela diri.
Sebagaimana diketahui, bahwa udara di tempat yang tinggi adalah sangat tipis dan bertempur
disitu meminta lebih banyak tenaga daripada bertempur di tanah datar. Bukan saja Kim Bwee, tapi
kedua lawannya pun sudah letih dan napas mereka tersengal-sengal. Melihat pedang si nona
menikam ke sana-sini secara sembarangan tanpa disertai lweekang, Kim Sie Ie terkesiap dan
sambil mengangkat tongkat, ia mempercepat tindakannya. Sesaat itu, dari tembokan pagoda-
pagoda es yang terang bagaikan kaca, si nona sudah melihat bayangan pemuda itu. Tiba-tiba
saja, bagaikan seorang pelancong di tengah gurun pasir yang bertemu dengan sumber air, ia
mengeluarkan teriakan nyaring dan bagaikan kalap, ia melemparkan pedangnya dan berlari-lari ke
arah Kim Sie Ie dengan tindakan sempoyongan. Tapi baru belasan tindak, ia sudah tak kuat lagi
dan roboh dalam keadaan pingsan.
Sementara itu, Tunhuman dan Asia masih terus terputar-putar di atas bumi dalam keadaan
seperti orang lupa ingatan. Tanpa menghiraukan mereka, buru-buru Kim Sie Ie memondong si
nona yang napasnya tersengal-sengal dan kedua matanya separuh tertutup. Ia mengusap-usap
rambut orang yang hitam jengat dan mementil alisnya sambil tersenyum. "Bwee-moay," bisiknya.
"Bukalah matamu."
Pada bibir si nona lantas saja tersungging senyuman bahagia dan perlahan-lahan ia membuka
matanya. "Sie Ie-ko," katanya dengan suara sangat perlahan. "Kutahu kau akan datang."
"Jalankanlah pernapasanmu, aku akan membantu," kata Kim Sie Ie.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Si nona tak menjawab, tapi dengan tangan bergemetaran, ia merogoh saku dan mengeluarkan
sebuah peles perak yang kecil. "Sie Ie-ko, lekas telan pel ini," bisiknya. Hampir berbareng, kedua
matanya tertutup, mulutnya rapat bagaikan bunga yang kuncup dan badannya berubah kaku.
Bukan main kagetnya Kim Sie Ie. Dengan jantung memukul keras, ia mengurut-urut badan si
nona, tapi sesudah mengurut beberapa lama, ia belum juga berhasil menyadarkannya. Ia
mendapat kenyataan, bahwa Kim Bwee tidak terluka dan keadaannya itu adalah akibat kelelahan
yang melampaui batas. Jika berada di tanah datar, dengan semangkok somthung dan beristirahat,
si nona bisa segera pulih kesehatannya. Tapi mereka berada di gunung tinggi, yang hawa
udaranya tipis dan sukar mencari makanan.
Hati Kim Sie Ie seperti diiris-iris dan air mata mengalir turun di kedua pipinya. "Bwee-moay, ini
semua memang juga adalah gara-garaku," katanya dengan suara duka. Untuk pertama kali selama
hidup, rasa cinta meluap-luap di dalam hatinya, tapi si nona sudah tak dapat mendengar dan tak
dapat melihatnya.
Ia menunduk tanpa berdaya. Tiba-tiba ia melihat sebuah peles perak dan hatinya melonjak. Ia
menjemputnya dan ternyata, dalam peles itu terisi tiga butir Pekleng tan yang berwarna biru.
Sebagaimana diketahui, Keng Thian pernah menyerahkan peles itu kepadanya, tapi ia menolak.
Sekarang, pada waktu ia hanya bisa hidup tiga hari lagi, ia kembali menemukan peles itu.
Jika ia menelan tiga Pekleng tan itu, hidupnya bisa diperpanjang sedikitnya tiga puluh enam
hari. Tapi ia bukan Kim Sie Ie, jika hanya mengingat kepentingan sendiri. Dengan cepat dan
dengan tangan bergemetaran, ia membuka tutup peles dan menuang isinya di telapakan tangan.
Kemudian perlahan-lahan ia membuka gigi si nona dan memasukkan tiga butir pel itu ke dalam
mulutnya. Ia menggoyang-goyang badan Kim Bwee beberapa kali dan lalu mengurutnya sambil
mengerahkan lweekang. Selang beberapa saat, napas si nona jadi terlebih keras, tapi belum
tersadar.
Ia girang tak kepalang, tapi kegirangannya itu tercampur dengan kedukaan. Ia hanya bisa
hidup tiga hari lagi, Apakah ia mesti berdampingan terus dengan si nona yang tiga hari lagi akan
menyaksikan keberangkatannya ke alam baka? Di lain pihak, dalam dunia yang lebar, Kim Bwee
adalah manusia satu-satunya yang mencintainya dengan segenap jiwa. Bagaimana ia tega
meninggalkannya dengan begitu saja dan membiarkan si nona, menunggu-nunggu seorang yang
tak bakal kembali lagi.
Dengan pikiran kusut, ia jalan mundar-mandir sambil menghela napas berulang-ulang.
Mendadak, ia melihat kedua orang aneh itu bersila di atas salju bagaikan patung. Setelah di
dekati, mereka ternyata sudah tidak bernapas lagi. Walaupun kepandaiannya tinggi, tapi lweekang
mereka tidak bisa menyamai lweekang Thiansan pay dan oleh karenanya, mereka kalah ulet dari
Lie Kim Bwee.
Kim Sie Ie berdiri bengong dan berkata dalam hatinya: "Inilah mayat ke empat yang ditemui
aku di gunung Himalaya." Karena tak ingin si nona melihat kedua mayat itu, buru-buru ia menggali
salju dengan tongkat dan lalu menguburnya. Sehabis mengubur, ia mendongak ke atas dan
mengawasi langit. "Ah! Hari ini aku mengubur mereka, tiga hari lagi siapa yang mengubur aku?"
katanya di dalam hati.
Sekonyong-konyong ia melihat tubuh Kim Bwee bergerak. Jantungnya memukul keras dan
secepat kilat ia mengambil suatu keputusan. "Tidak," pikirnya. "Tak dapat kumembiarkan ia
menyaksikan kebinasaanku! Selama hidup tak pernah kumencinta manusia. Di waktu mati, kujuga
tak berhak menerima kecintaan orang." Memikir begitu, biarpun hatinya merasa sangat berat, tapi
ia segera melompat dan sesudah mencium dahi si nona dan melemparkan sisa ayam salju yang
belum dimakannya, tanpa menengok lagi ia lari kabur dari kumpulan pagoda-pagoda es itu.
Lapat-Iapat ia mendengar teriakan Kim Bwee yang menyayatkan: "Sie Ie-ko! Sie Ie-ko!..."
Matahari menyilam ke barat... bulan sisir memencarkan sinarnya yang remang-remang di atas
Chomo Lungma yang tertutup salju. Tanpa menghiraukan segala apa, Kim Sie Ie berjalan terus.
Sesudah berjalan sekian lama, ia bertemu dengan sebuah bukit es yang di tengah-tengahnya
melekah, seperti sebuah gua. Ia lelah bukan main dan lalu masuk ke gua itu. Karena dingin yang
luar biasa, kaki tangannya kaku dan ia lalu bersila untuk menjalankan pernapasannya. Sesudah
mengerahkan lweekang beberapa lama, ia merasa, bahwa keadaannya sudah tidak seperti
sebagaimana biasa, sebab hawa yang dikerahkannya tak bisa lagi mengalir kedua belas aliran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

darah yang terutama. Demikianlah, dalam keadaan setengah pulas dan setengah sadar, ia
melewati malam yang panjang itu.
Pada besokan harinya, langit cerah dan matahari memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang.
Dengan badan yang terlebih segar Kim Sie Ie lalu meneruskan perjalanan dan sesudah berjalan
beberapa lama, barulah ia bisa melewati terowongan bukit es itu. Belum jalan berapa jauh, di
sebelah depan kembali menghadang sebuah bukit es yang tingginya kurang lebih dua puluh
tombak. Biarpun tidak terlalu tinggi, tapi karena sangat licin dan terus-menerus diserang dengan
sambaran-sambaran angin yang tajam bagaikan pisau, ia harus menggunakan Seantero tenaga
untuk memanjatnya Beberapa kali ia terpeleset dan merosot ke bawah, sehingga waktu tiba di
atas bukit es itu, matahari sudah berada di atas kepalanya. Sambil menyusut keringat, ia
menghela napas, karena mengingat, bahwa ia hanya bisa hidup tak cukup dua hari lagi!
Sesudah mengasoh dan makan makanan keringnya yang penghabisan, ia lalu meneruskan
perjalanan. Di tengah jalan, sesudah menimpuk jatuh seekor gagak hitam, ia menyalakan perapian
dan membakar burung itu yang lalu dimakannya dengan bernapsu. Sesudah mendapat tenaga
baru, ia berjalan pula.
Selang beberapa lama, ia tiba di satu tempat yang keadaannya lain daripada yang lain. Tempat
itu ialah lembah yang tanahnya tinggi dan yang selalu diserang dengan angin keras. Di lain-lain
tempat, salju putih menutupi daerah pegunungan itu. Hanya di tempat itu, sebab salju selalu
ditiup angin, orang bisa melihat batu-batu gunung yang berwarna gelap.
Perlahan-lahan, separuh merangkak, dengan melawan sambaran-sambaran angin, Kim Sie Ie
maju terus dan sesudah gelap, barulah ia melewati tempat yang luar biasa itu. Dalam
pergulatannya itu, kaki dan tangannya banyak terluka dan mengeluarkan darah. Ia mengasoh di
satu tanjakan dan membuat perapian. Untung juga, berkat hawa api yang hangat, malam itu ia
bisa tidur dan pada besokan paginya, ia kembali meneruskan perjalanan.
Inilah hari terakhir!
Tjoe-hong atau Chomo Lungma (Everest) dengan puncaknya yang tertutup awan, sudah
berada di sebelah depan, kelihatannya seolah-olah tak jauh lagi. Tapi andaikata ia mempunyai
tenaga untuk mencapai puncak itu, temponya sudah tidak mengijinkan lagi. Ia mengawasinya
dengan rasa putus harapan.
Hari yang terakhir! Tak ada tempo lagi!
Tapi, sebagai seorang yang berjiwa pejuang, ia bertekad untuk bergulat sampai di detik
penghabisan. Sambil mengempos semangat, ia maju terus...
Angin meniup keras... setindak demi setindak, ia maju terus... setindak demi setindak...
Akhir-akhir, bagaikan mimpi, tangannya menyentuh batu karang di kaki Chomo Lungma! Sesaat
itu, kaki dan tangannya sudah baal dan kaku.
Tapi batu karang yang dingin itu seolah-olah menggenggam arus listrik yang hangat. Chomo
Lungma! Ia sudah menyentuh batu dari Tjoe-hong! Darahnya bergolak dan dengan nekat ia maju
pula ke depan...
Tiba-tiba, matanya berkunang-kunang dan kepalanya puyeng. Sesaat yang terakhir sudah tiba!
Tenaganya habis semua.
Di depan matanya berkelebat-kelebat bayangan manusia. Bayangan gurunya, Tokliong
Tjoentjia... bayangan Pengtjoan Thianlie... bayangan Lie Kim Bwee...
Mendadak, sayup-sayup, ia seperti mendengar suara bicaranya orang: "Kasihan anak ini!"
Pada saat yang terakhir, keangkuhan Kim Sie Ie masih tak berkurang. Dengan sekuat tenaga, ia
memberontak dan berkata dengan suara hampir tak kedengaran: "Aku tak perlu dikasihani orang!"
Tenaganya habis... dan ia roboh!
Entah sudah lewat berapa lama, bagaikan baru tersadar dari mimpi yang menakuti, Kim Sie Ie
merasa sekujur badannya sakit. Di depan matanya, ia seolah-olah melihat gundukan-gundukan
awan yang turun menindih tubuhnya. Ia membuka mulut untuk berteriak, tapi suara tak dapat
keluar. Lapat-lapat, sekali lagi ia mendengar orang bicara: "Kasihan anak ini!"
Suara manusia! Benar, suara manusia!
"Apa kubelum mati? Apa aku sedang mimpi?" tanyanya di dalam hati. Tapi ia masih belum bisa
membuka mata. Mendadak, mendadak saja, ia merasa semacam hawa hangat mengalir di dalam
tubuhnya, menerobos ke berbagai jalanan darah besar dan kecil, sedang daging dan tulang-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

tulangnya sakit bukan main, seolah-olah diiris pisau. Tapi dalam kesakitan yang hebat itu, ia
merasakan semacam pembebasan dalam tubuhnya yang tak mungkin dilukiskan dengan
perkataan. Selang beberapa lama, rasa sakit itu banyak berkurang, diganti dengan mengamuknya
hawa yang sangat panas, sehingga ia merasa seakan-akan dibakar. Ia haus, haus bukan main,
tapi ia tak dapat membuka mulutnya. Dengan sekuat tenaga, ia coba membuka mata, tapi kedua
matanya seperti juga ditindih dengan benda yang beratnya ribuan kati.
Sekonyong-konyong, semacam hawa dingin menerobos sampai di pusarnya dan walaupun tak
minum setetes air, ia seperti mencegluk air penawar dewa yang telah memadamkan api yang
tengah mengamuk dalam tubuhnya. Sesudah itu, hawa yang hangat nyaman mengalir dengan
perlahan di dalam badannya.
Perlahan-lahan Kim Sie Ie pulih kesadarannya dan ia membuka matanya. Tiba-tiba sinar
matanya kebentrok dengan dua sinar mata yang terang tajam. Di lain saat, ia mengenali orang
yang sedang berhadapan dengannya.
Siapa yang sudah menolongnya?
Tak lain daripada Tong Siauw Lan!
Untuk mencari Kim Sie Ie dan untuk menyambut tantangan Timotato, dengan menggunakan
ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, Tong Siauw Lan mendaki Himalaya. Biarpun
memiliki lweekang yang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan dan meskipun sudah biasa berdiam di gunung Thiansan, tapi sesudah naik
tinggi, ia pun merasa sukar bernapas dan kemajuannya jadi sangat lambat. Hari ini, sesudah mulai
mendaki Tjoe-hong, matanya yang sangat jeli mendadak melihat tubuh Kim Sie Ie yang separuh
teruruk dengan salju tebal.
Tong Siauw Lan girang tercampur kaget. Buru-buru ia menyingkirkan salju dan meraba dada
pemuda itu, yang napasnya sudah lemah sekali. Demikianlah, walaupun harus mengeluarkan
banyak tenaga, ia berhasil menolong Kim Sie Ie dari kebinasaan.
Melihat di atas kepala Tong Siauw Lan keluar uap putih dan keringatnya terus mengucur, Kim
Sie Ie mengetahui bahwa penolongnya sedang mengerahkan lweekang Thiansan pay untuk
menjalankan aliran darahnya dan menyingkirkan segala "racun" yang mengeram dalam dirinya,
karena latihan lweekang yang sesat. Mendadak saja, dalam hatinya timbul rasa terima kasih yang
sangat besar, tercampur dengan rasa jengah. Seumur hidup, ia paling tak suka menerima budi
orang, tapi sekarang, di luar kemauannya, ia sudah menerima budi yang sangat besar. Ia tak
tahu, bahwa untuk menolong jiwanya, di samping mengeluarkan banyak tenaga, Tong Siauw Lan
pun telah memasukkan lima butir Pekleng tan ke dalam mulutnya. Dan lima butir Pekleng tan itu
adalah perbekalan yang semengga-mengganya.
Begitu Kim Sie Ie tersadar, Siauw Lan tersenyum seraya berkata. "Ah! Akhirnya kau tersadar
juga, nak!"
Kim Sie Ie merasa lehernya terkancing, tak dapat ia mengeluarkan sepatah kata. Di lain saat,
air matanya mengucur.
"Apa masih sakit?" tanya Siauw Lan dengan perasaan kasihan. "Tak apa-apa. Sebentar lagi, kau
akan merasa enakan." Sehabis berkata begitu, ia kembali mengerahkan lweekang dan mengurut
pula sekujur tubuh pemuda itu. Ia tak tahu bahwa Kim Sie Ie menangis bukan karena sakit di
badan, tapi sebab terharu di hati. Selang beberapa lama Kim Sie Ie merasa badannya segar bukan
main dan biarpun tenaganya belum pulih kembali, ia tahu, bahwa mulai dari sekarang, ia boleh tak
usah kuatir lagi keselamatan jiwanya dan malahan, berkat bantuan lweekang Thiansan pay,
Iweekang-nya sendiri mendapat banyak kemajuan.
Selagi Siauw Lan bekerja keras, di atas salju tiba-tiba terdengar suara tindakan yang enteng
luar biasa.
Jika ia bukan seorang guru besar dalam Rimba Persilatan, ia pasti tak bisa mendengar tindakan
yang begitu enteng. Ia terkejut dan bertanya dalam hatinya: "Apa Eng-moay?"
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie berteriak: "Awas, musuh!" Karena sedang rebah celentang di
salju, ialah yang lebih dulu melihat bayangan Timotato. Hampir berbareng dengan teriakannya,
Timotato sudah melompat dan menghantam kepala Siauw Lan dengan kedua tangannya.
Cepat sungguh gerakan Tong Siauw Lan! Tanpa menengok, ia mengebas ke belakang dengan
tangan kanannya. Begitu kedua tangan kebentrok, badan Siauw Lan terhuyung beberapa tindak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

hampir-hampir tergelincir ke bawah tanjakan. Lweekang Tong Siauw Lan sebenarnya lebih tinggi
daripada Timotato. Tapi karena ia sudah banyak mengeluarkan tenaga maka dalam gebrakan itu,
ia jatuh di bawah angin.
"Tak punya malu!" membentak Siauw Lan. "Mengapa kau membokong aku?"
Timotato tertawa terhehe-hehe dan kemudian, sambil menuding-nuding ke atas puncak, ia
bicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Siauw Lan. Tapi dengan gerakan tangan, Siauw Lan
tahu, bahwa ia kembali menantang untuk berlomba mendaki Chomo Lungma. Rupanya, karena
gagal dalam bokongannya ia sengaja menantang pula untuk menyimpangkan perhatian orang.
Sambil berteriak-teriak dan menggapai-gapai, ia berlari-lari dan mulai memanjat Tjoe-hong.
Melihat paras muka Kim Sie Ie yang sudah berubah merah, hati Siauw Lan jadi sangat lega. Ia
tahu, pemuda itu sudah terlepas dari bahaya. Ia bersenyum seraya berkata: "Phang Lin dan
puterinya juga sudah mendaki gunung ini. Biarlah kau menunggu mereka disini. Kalau tenagamu
sudah pulih kembali, kau juga boleh turun gunung dan menunggu di rumah Phoei Keng Beng."
Kim Sie Ie tidak menjawab, hanya air matanya berlinang-linang. Siauw Lan tak jadi kecil hati. Ia
menduga, pemuda itu menangis sebab terharu dan berterima kasih. Ia tak tahu, bahwa pada saat
itu, dua macam pikiran sedang berkelahi dalam otak Kim Sie Ie. Apa lebih baik menuntut
penghidupan biasa, pergi datang seorang diri dan menjauhi pergaulan umum? Apa lebih benar
kembali di antara khalayak ramai, mengikat persahabatan antara sesama manusia dan mendirikan
rumah tangga? Ia merasa sangsi dan tak dapat mengambil keputusan.
Sementara itu, Timotato sudah naik belasan tombak tingginya. Siauw Lan tak punya tempo lagi
untuk bicara panjang-panjang dan sesudah melemparkan sekantong makanan kering, ia lalu
mengubar. Tapi, baru jalan beberapa tindak, ia kembali lagi karena ingat suatu hal. Ia
mengeluarkan sejilid buku yang diberikan oleh Phang Lin dan berkata sambil tertawa. "Hampir-
hampir aku lupa. Ini adalah buku peninggalan mendiang gurumu." Ia mengangsurkannya kepada
Kim Sie Ie dan kemudian mengudak Timotato dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Sesudah memanjat beberapa tombak, ia menengok dan melihat pemuda itu duduk bersila
sambil membuka-buka lembaran buku gurunya.
Semakin tinggi, hawa udara jadi semakin tipis dan orang semakin sukar bernapas. Usaha
mendaki gunung tertinggi dalam dunia, memang juga penuh dengan bahaya. Siauw Lan
mengawasi ke atas dan melihat sebuah tanjakan es yang panjang dan tebing dan di atas tanjakan
itu terdapat puncak yang duduknya melintang, sehingga puncak itu seolah-olah tergantung di
tengah udara. Di antara awan yang putih terlihat pula beberapa ekor elang yang melayang-layang
dengan perlahan. Mendadak seekor antaranya jatuh ke bawah. Siauw Lan tahu, bahwa karena
tebalnya awan, elang itu tak bisa melihat tegas dan sudah membentur batu tajam di puncak yang
melintang itu. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Ah! Sekalipun elang masih tak
dapat mendaki puncak Tjoe-hong!" Tapi ia adalah seorang jago yang pantang mundur. Biarpun
yakin akan bahaya yang besar, ia terus memanjat ke atas.
Selang tak lama, jarak antara Siauw Lan dan Timotato jadi semakin pendek. Sambil merangkak,
Siauw Lan maju setindak demi setindak. Ia merasa heran sebab lawannya „masih terus dapat
mempertahankan diri. Sesudah datang lebih dekat, ia mendengar suara "ting-ting-ting" dan
barulah ia tahu, bahwa lawannya membekal rupa-rupa alat untuk mendaki gunung. Dengan
menggunakan cangkul kecil, Timotato membuat undakan-undakan untuk menaruh kaki di tanjakan
es itu. Dari tapak-tapak kaki ia juga mengetahui, bahwa Timotato menggunakan sepatu berduri
yang dibuat untuk mendaki gunung.
Tapi Siauw Lan tak jadi kecil hati. Dengan menggunakan ilmu Engdjiauwkang (Cengkeraman
cakar garuda), ia memanjat terus. Kalau bertemu dengan lereng yang tegak dan licin, ia
merambat dengan ilmu Pekhouw yoetjiang (Cicak merayap di tembok). Dengan begitu, biarpun
harus menggunakan banyak tenaga, ia masih bisa terus menyusul lawannya dan tak lama
kemudian, jarak antara mereka hanya tinggal lima enam tombak saja.
Dengan cepat kedua lawan itu mendekati puncak pertama yang melintang di atas. Dengan
menempelkan badannya di tembok es, Timotato memanjat. Napasnya tersengal-sengal, ia sudah
lelah dan kalau tak takut ditertawai, ia tentu sudah merosot turun. Keadaan Siauw Lan pun tak
lebih baik, ia merasa kaki tangannya baal dan kaku, sedang tenaganya pun sudah mulai habis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Tiba-tiba awan hitam berterbangan di langit yang cerah dan sesaat kemudian, turunlah badai.
Dengan kedua tangannya, Siauw Lan mencekal erat-erat sebuah batu yang menonjol seperti
rebung. Di antara menderunya angin, sekonyong-konyong terdengar suara gemuruh yang hebat
luar biasa, sehingga gunung itu seolah-olah bergoyang-goyang. Hati Siauw Lan mencelos. Itulah
"salju roboh" yang sering terjadi di puncak Chomo Lungma.
Di lain saat, bahaya datang! Balokan-balokan es yang sangat besar melayang turun ke bawah
bagaikan hujan. Sungguh untung, kedua lawan itu berada di bawah puncak yang melintang,
sehingga balokan-balokan itu jatuh di atas puncak dan kemudian tercemplung ke dalam jurang
yang ribuan tombak dalamnya. Sambil mencekal batu menonjol itu sekeras-kerasnya, Siauw Lan
menempelkan badannya di tembokan es, di bawah puncak. Dengan jantung memukul keras, ia
mengawasi balokan-balokan es yang lewat di pinggir badannya. Itulah pemandangan yang
sungguh menakuti! Tapi sebenar-benarnya, apa yang ditemui mereka adalah "salju roboh" dalam
ukuran kecil.
Dengan teraling kabut tebal, lapat-lapat Siauw Lan melihat, bahwa lawannya juga sedang
bersembunyi di bawah puncak, di tempat yang terpisah hanya beberapa tombak dari dirinya,
sambil mencekal sepotong rantai besi. Ternyata, lawan itu telah memantik sebatang paku besar ke
dalam batu dan kemudian melibatkan rantainya di paku itu. Biarpun badannya menggelantung di
tengah udara, tapi karena teraling dengan puncak yang melintang itu, ia berada dalam keadaan
yang sentosa. Pada sebelum mendaki Tjoe-hong, Timotato telah menyebar sejumlah muridnya
untuk menyelidiki keadaan, sehingga ia sudah tahu tentang sering terjadinya "salju roboh" di
gunung itu dan oleh karenanya, ia membekal alat-alat yang perlu.
Antara kedua lawan itu yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi, terdapat satu perbedaan:
Tong Siauw Lan yang sudah jadi nekat mencekal batu menonjol itu dengan hati tenang, sebab ia
sudah tidak memperdulikan mati atau hidup. Di lain pihak, Timotato ketakutan setengah mati,
sehingga badannya terus bergemetaran.
Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan yang sangat hebat. Ternyata sebuah balokan es raksasa
-- yang menyerupai bukit kecil -- jatuh menimpa puncak itu yang lantas saja bergoyang-goyang!
Hampir berbareng, badai menyambar-nyambar, disertai dengan sambaran-sambaran potongan-
potongan es yang lebih kecil. Sambil meramkan mata dan menyerahkan segala apa kepada sang
nasib, Siauw Lan mencekal batu itu dengan menggunakan Seantero tenaganya.
Mendadak, mendadak saja ia mendengar teriakan yang menyayatkan hati! Ia membuka kedua
matanya dan... badan Timotato yang tinggi besar melayang ke bawah! Rupanya, ketika bukit es
itu menimpa puncak, tangannya yang mencekal rantai terlepas karena kekagetan dan ketakutan
yang melampaui batas! Siauw Lan merasa duka, karena seorang yang berilmu tinggi mesti
mengorbankan jiwa cara begitu.
Tak lama kemudian angin mereda dan "salju roboh" berhenti.
Sesudah mengasoh beberapa lama, Siauw Lan merayap ke tempat dimana tadi Timotato
menggelantung. Rantai masih berada pada tempatnya dan bergoyang-goyang tak hentinya.
Sesudah mengambil rantai itu, perlahan-lahan ia naik ke atas puncak yang melintang dan
merebahkan diri untuk beristirahat. Hawa udara tipis bukan main dan jika Siauw Lan tidak memiliki
lweekang yang sangat tinggi, siang-siang ia sudah mati sesak. Langit terang benderang dan ia
bisa melihat puncak Chomo Lungma yang tertutup salju dan awan. Kelihatannya tidak seberapa
jauh, tapi ia tahu, bahwa ia belum mencapai separuh gunung itu. Ia menghela napas dan
melepaskan segala niatan yang tidak-tidak untuk mencapai puncak Tjoe-hong. Ia melongok ke
bawah dan apa yang dilihatnya hanyalah satu kekosongan, seperti juga ia berada di atas tembok
yang beribu-ribu tombak tingginya. Naiknya sukar, turunnya pun tak gampang.
Selagi memikiri cara untuk turun ke bawah, tiba-tiba kupingnya menangkap suara manusia,
suara yang seperti juga memanggil-manggil namanya!
Ia terkesiap dan di lain saat, ia berteriak: "Eng-moay! Eng-Moay!" Darahnya bergolak dan
semangatnya terbangun. Buru-buru ia memanjat ke atas, ke arah suara itu. Sesudah naik belasan
tombak, benar saja ia melihat isterinya yang sedang berduduk di atas dengan rambut terurai dan
pakaian bernoda darah. Tak usah dikatakan lagi, sang isteri telah terluka pada waktu terjadinya
"salju roboh".
"Siauw Lan!" seru Phang Eng dengan suara girang. "Tolonglah aku!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Dengan menggunakan Seantero tenaganya, Siauw Lan lalu memanjat lagi. Perlahan-lahan ia
mendekati dan di lain saat, dengan tenaga yang terakhir, ia melontarkan rantai ke arah Phang Eng
yang lalu menangkapnya. Dengan dibetot oleh isterinya, ia berhasil mencapai tempat itu dan
mereka lalu duduk berendeng untuk beristirahat.
"Siauw Lan," kata Phang Eng sambil bersenyum. "Andaikata aku mati sekarang, aku akan mati
dengan mata meram, karena berada sama-sama kau."
"Eng-moay, apa kau terluka berat?" tanya sang suami.
"Tidak, waktu terjadi salju roboh, aku bersembunyi di sela-sela batu," jawabnya. "Hanya terluka
sedikit, tapi tenagaku sudah habis semua. Barusan, waktu mendengar teriakan hebat, aku
menduga kau yang celaka. Syukur sungguh, kau tak kurang suatu apa. Dengan badan tak
bertenaga, aku kuatir kita sukar bisa turun ke bawah."
Sang suami bersenyum dan berkata dengan suara menghibur "Jika turun masing-masing,
memang juga agak sukar. Dengan berdua dan dengan adanya rantai ini, kurasa kita akan
berhasil."
Sesudah mengasoh, mereka lalu makan makanan kering. Tiba-tiba terdengar satu teriakan
nyaring.
"Ih! Lu Soe Nio!" teriak Siauw Lan sambil melompat bangun. Ia ingin balas berteriak, tapi
karena kuatir suaranya tidak terdengar dalam hawa udara yang tipis itu, ia segera melepaskan dua
batang Thiansan Sinbong sebagai pertandaan. Dengan hati berdebar-debar, mereka menunggu.
Selang beberapa lama, di atas sebuah tanjakan yang terjal, mereka melihat bayangan Lu Soe Nio.
"Mari! Kemari!" seru Lu Liehiap sambil menggapai-gapai.
Siauw Lan dan Phang Eng pun menggapai-gapai dan kemudian dengan saling tuntun, mereka
memanjat ke arah Lu Soe Nio. Ternyata, dengan bekerja sama, mereka dapat menghemat banyak
tenaga.
Paras Lu Soe Nio kelihatan pucat dan napasnya tersengal-sengal. Tapi, bahwa ia sudah bisa
naik lebih tinggi seorang diri, adalah kejadian yang sungguh mengagumkan.
Bagaimana Lu Soe Nio bisa* berada disitu?
Sesudah menyelesaikan segala urusan di Kimkong sie, ia segera pergi ke Himalaya untuk
mencari Tong Siauw Lan. Di kaki-gunung ia bertemu dengan Thian Oe dan mengetahui, bahwa
Keng Thian dan yang lain-lain sudah naik ke atas gunung untuk mencari Kim Sie Ie. Buru-buru ia
menyusul dan menginap semalaman di rumah Phoei Keng Beng, dimana ia mendapat segala
keterangan secara lebih jelas.
Waktu ia menanyakan hasil perlombaan melawan Timotato, Siauw Lan tertawa getir dan
menjawab: "Menang, tapi juga kalah."
"Apa artinya?" menegas Soe Nio.
"Dalam perlombaan, karena Timotato mati, bisa dikatakan aku yang menang," jawabnya. "Tapi
biar bagaimanapun juga, aku gagal mencapai puncak Tjoe-hong dan karena kegagalan itu, aku
sebenarnya kalah."
Soe Nio tersenyum. "Sesudah sampai disini, kau harus merasa puas," katanya. "Mari! Aku ingin
memperlihatkan sesuatu kepadamu."
Dengan bantu membantu mereka memanjat pula dan sesudah menggunakan tempo beberapa
jam, mereka tiba di bawah puncak kedua yang melintang di atas tembok salju itu. Tiba-tiba Soe
Nio menuding ke dinding salju. Siauw Lan dan Phang Eng mengawasi dan ternyata di atas sebuah
batu terukir empat huruf besar: Djin Thian Tjoat Kay (Perbatasan antara manusia dan langit). Di
bawah empat huruf itu terdapat beberapa baris huruf kecil yang berbunyi seperti berikut:
Pada musim rontok tahun Kalisin, aku tiba di Tibet dengan niatan mendaki puncak Tjoe-hong.
Aku tertahan di tempat ini, tenagaku habis, tak dapat kumaju lagi dan hampir-hampir kuhilang
jiwa. Sekarang baru aku yakin, bahwa tenaga manusia ada batasnya. Semenjak keluar dari rumah
perguruan, dengan sebatang pedang aku berkelana ke berbagai tempat tanpa menemui
tandingan. Aku menduga, bahwa di kolong langit tiada pekerjaan yang tidak bisa dilakukan. Tapi
sekarang, aku menunduk di bawah Tjoe-hong, dengan ditertawai oleh awan-awan putih. Manusia
mudah ditakluki, tapi langit tak dapat di atasi. Hai! Kenyataan ini adalah cukup untuk membuat
orang-orang gagah di kolong langit menghela napas sambil mengusap-usap pedangnya!
Di bawah huruf-huruf itu terdapat tiga huruf:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Leng Bwee Hong.


Ia adalah (kakek guru) Tong Siauw Lan dan Phang Eng.
Sambil menuding tulisan itu, Soe Nio berkata: "Dulu, Leng Tayhiap hanya bisa sampai disini.
Sekarang kita pun sudah tiba di ini tempat. Apakah kita tidak mengenal puas?"
Siauw Lan menghela napas dan kemudian mengangguk dengan perlahan.
Sesudah mengasoh beberapa lama, Phang Eng menanya: "Lu Tjietjie, waktu naik ke atas,
apakah kau pernah bertemu dengan Keng Thian?"
"Keng Thian dan bakal menantumu juga sudah naik gunung," jawabnya. "Menurut keterangan,
mereka naik ke gunung ini untuk mencari Kim Sie Ie."
"Kalau begitu, mungkin mereka sudah bertemu Kim Sie Ie di kaki Tjoe-hong," kata Siauw Lan
yang lalu menceritakan pengalamannya, bagaimana ia sudah menolong jiwa pemuda itu.
"Aku merasa senang sekali, bahwa Tokliong Tjoentjia sudah mempunyai ahli waris," kata Soe
Nio. "Sekarang cuaca masih baik, marilah kita menggunakan kesempatan ini untuk turun gunung."
"Syukur kami bertemu dengan Lu Tjietjie," kata Phang Eng. "Kalau tidak, mungkin sekali kami
tak akan bisa turun dari gunung ini."
Demikianlah dengan saling membantu, mereka mulai turun dari gunung itu. Meskipun harus
mengalami banyak kesukaran, tapi pada akhirnya mereka berhasil juga.
Mereka menduga, begitu tiba di kaki Tjoe-hong, mereka akan bisa bertemu dengan Kim Sie Ie.
Tapi dugaan itu meleset, karena muncul perkembangan yang tidak ditaksir-taksir.

***

Sekarang marilah kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go yang, sesesudah meminta
diri dari raja Nepal, segera mendaki gunung untuk mencari Kim Sie Ie. Bahwa raja Nepal sudah
berjanji akan menarik pulang tentaranya, sehingga satu peperangan dapat disingkirkan, telah
menggirangkan sangat hati mereka. Tapi mengingat keselamatan Kim Sie Ie, kegirangan itu
tercampur dengan kedukaan.
Dalam perjalanan itu, mereka tidak lewat di rumah Phoei Keng Beng, sehingga tak tahu
perkembangan yang terakhir.
Sesudah memanjat tiga hari, Pengtjoan Thianlie yang sudah biasa berdiam di istana es masih
tidak merasakan apa-apa, tapi Keng Thian sudah mulai merasa sesak dalam pernapasannya. Tapi
berkat pemandangan gunung yang sangat indah dan juga karena si nona yang dicintai selalu
berdampingan, maka ia seolah-olah tidak merasakan kesukaran itu.
Sesudah berjalan dua hari lagi, jauh-jauh mereka melihat kumpulan pagoda-pagoda es dimana
Lie Kim Bwee pernah ditolong oleh Kim Sie Ie. Melihat pemandangan yang luar biasa itu, mereka
bersorak dengan rasa kagum. Peng Go pun sudah sukar bernapas, tapi lantaran tertarik dengan
indahnya pagoda-pagoda es itu, tanpa merasa ia mengerahkan lweekang dan mempercepat
tindakannya. Kasihan, Keng Thian yang sudah hampir kehabisan tenaga, tak dapat mengikuti
kecintaannya itu.
Selagi berlari-lari, tiba-tiba Peng Go menghentikan tindakannya, karena di depannya
menghadang sungai es yang di atasnya mengambang satu balokan es yang sangat besar. Baru
saja ia ingin mengambil jalanan mutar, di belakang balokan es itu mendadak terdengar suara
tangisan, Si nona terkejut dan menggapai Keng Thian. Mereka berdua lalu memutari sungai es itu
untuk melihat siapa yang sedang menangis. Ternyata, di tepi sungai berduduk seorang pria.
"Hongsek Toodjin!" teriak Keng Thian.
Si imam berduduk disitu dengan muka berlepotan darah yang sudah membeku menjadi es,
sehingga kelihatannya menakuti sekali.
Begitu melihat Peng Go, ia berteriak: "Kau yang sudah mencelakakan dia! Kau yang sudah
mencelakakan dia!"
"Aku mencelakakan siapa?" tanya si nona dengan gusar. Ia mencabut Pengpok Hankong kiam
dan menyabet satu kali sehingga jubah pertapaan si imam menjadi robek.
Hongsek Toodjin mendelik. "Aku! Aku yang membinasakan dia! Aku yang membinasakan dia!"
serunya bagaikan orang gila.
Peng Go mundur setindak dengan hati berdebar-debar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Mendadak, sambil berteriak Hongsek Toodjin roboh dengan mengeluarkan darah yang lantas
saja membeku.
Peng Go merasa heran sebab sabetan pedang yang barusan sama sekali tidak menyentuh
badan si imam. Ia tak tahu, bahwa karena dinginnya hawa dan sukarnya bernapas, lweekang
Hongsek sudah banyak berkurang dan waktu diserang dengan Hankong kiam, tubuhnya tak kuat
bertahan lagi dan ia muntahkan darah. Jika mereka berada di atas tanah datar. Pengtjoan Thianlie
masih belum bisa menandingi si imam.
Buru-buru si nona memasukkan beberapa butir Yangho wan ke dalam mulut Hongsek untuk
menghangatkan badannya. Selang beberapa saat, ia membuka kedua matanya dan Keng Thian
lantas saja mengurut tubuhnya sambil mengerahkan lweekang. Ia membiarkan dirinya diolah
sambil mengawasi kedua orang muda itu dengan sorot mata berterima kasih.
Sekonyong-konyong ia kembali berkata dengan suara perlahan: "Aku, akulah yang sudah
mencelakakan mereka!"
"Siapa?" tanya si nona.
"Tak ada Tjiangtjoe Siantjo!" kata si imam tanpa menjawab pertanyaan Peng Go. "Turunlah!
Lekas kalian turun dari gunung yang berbahaya ini."
"Apa itu Tjiangtjoe Siantjo?" tanya pula Peng Go dengan suara heran.
"Bukankah kalian ingin mencari Tjiangtjoe Siantjo di puncak Chomo Lungma?" Hongsek balas
menanya.
Pengtjoan Thianlie menggelengkan kepala. "Namanya saja aku belum pernah mendengar,"
katanya.
Hongsek membuang napas. "Ah! Kalau begitu aku hanya mencelakakan Hiatsintjoe dan Tang
Thay Tjeng," katanya.
"Apa? Aku sungguh tak mengerti apa yang dikatakan olehmu," kata Peng Go.
Hongsek menghela napas berulang-ulang dan kemudian berkata dengan suara duka:
"Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng telah binasa di sungai es. Aku hanya melihat mayat mereka."
"Tapi mengapa kau mengatakan, bahwa kaulah yang sudah mencelakakan mereka?" tanya
Peng Go.
"Sesudah diserang dengan tujuh butir Pengpok Sintan-mu, lweekang Hiatsintjoe telah banyak
berkurang," menerangkan Hongsek. "Keinginan untuk memulihkan tenaganya adalah sedemikian
besar, sehingga aku merasa kasihan padanya. Selama hidupnya, ia hanya mempunyai satu
sahabat, ialah aku sendiri. Aku merasa tak tega, jika ia sampai mati lantaran jengkel. Untuk
menolongnya, aku sudah berdusta. Aku mengatakan, bahwa di puncak Tjoe-hong terdapat
semacam rumput dewa janq dikenal sebagai Tjiangtjoe Siantjo. Siapa yang makan rumput itu akan
bertambah Iweekang-nya, yang sama nilainya dengan latihan selama tiga puluh tahun. Dengan
berkata begitu, aku hanya ingin memberi satu harapan di dalam hatinya. Menurut perhitunganku,
andaikata ia benar-benar mendaki gunung ini, pada akhirnya ia akan turun lagi karena tak bisa
naik terus dan sesudah kembali, hatinya akan jadi lebih tenang. Tapi di luar dugaan, bersama
Tang Thay Tjeng, ia memanjat terus sampai disini dan terbinasa. Dengan begitu, bukankah aku
yang sudah mencelakakan mereka?"
Mendengar keterangan itu, dalam hati Keng Thian dan Peng Go lantas saja timbul rasa
persahabatan terhadap imam tua itu. Sekarang mereka tahu, bahwa Hongsek terganggu
pikirannya sebab menyesal dan duka. "Hiatsintjoe adalah seorang jahat dan kebinasaannya tak
harus dibuat sayang," kata Peng Go dalam hatinya. "Tapi Hongsek Toodjin, biarpun ia tak bisa
membedakan jahat dan baik, masih berharga untuk dipandang sebagai sahabat."
Peng Go berdiam beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara halus: "Kalau begitu, kau
turun gununglah. Sesudah menelan Yangho wan, kau tak akan takuti lagi hawa dingin dan kurasa
kau akan bisa sampai di kaki gunung dengan selamat."
"Dan kau?" tanya Hongsek.
"Kami ingin mencari sesuatu yang lebih berharga daripada Tjiangtjoe Siantjo," jawabnya.
Hongsek menggeleng-gelengkan kepala, tapi ia tak berani mencegah karena niatan Peng Go
kelihatannya sudah tak bisa diubah lagi Sesudah menghaturkan terima kasih kepada Keng Thian
dan si nona, ia lalu turun gunung seorang diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Sesudah si imam berlalu, dengan saling menggandeng tangan. Dua sejoli itu lalu memasuki
kumpulan pagoda-pagoda es. Selagi enak berjalan sambil menikmati pemandangan yang luar
biasa, sekonyong-konyong mereka mendengar suara tangisan yang perlahan.
Mereka kaget tak kepalang. "E-eh! Seperti suara orang yang sudah dikenal," kata Keng Thian
yang lalu memburu ke arah suara itu. Tiba-tiba ia berteriak: "Kim Bwee Piauwmoay!" Orang yang
sedang menangis di pinggir telaga memang juga Kim Bwee adanya.
Sesudah datang dekat, Keng Thian menanya sambil bersenyum: "A Bwee, apa kau kesasar?"
Sebagai kawan bermain semenjak kecil, ia tahu, bahwa saudari sepupunya menangis bukan
karena kesasar jalan, tapi ia sengaja menanya begitu.
Si nona mengangkat kepala dan menjawab dengan suara serak: "Dia sudah pergi!"
Mendengar perkataan Kim Bwee, Peng Go yang sudah menghampiri lantas saja berkata:
"Mengapa kau tidak menahan dia?"
Senyuman Keng Thian lantas saja menghilang dari bibirnya. Ia sekarang tahu, bahwa Kim Sie
Ie sudah kabur lagi tanpa dapat ditahan oleh si nona.
"Dia memberikan semua Pekleng tan kepadaku," kata si nona sambil menunjuk peles perak.
"Hatinya terlalu mulia dan terlalu kejam."
"Apa artinya?" tanya Keng Thian.
"Seperti di dalam mimpi... dalam sekejap dia menghilang," jawabnya sambil mengucurkan air
mata. Sesudah itu, dengan suara terputus-putus ia menuturkan segala pengalamannya.
Keng Thian dan Peng Go berduka sangat. Mereka tak tahu, bagaimana harus menghibur Kim
Bwee.
Sesudah memikir beberapa saat, Peng Go berkata: "Bwee-moay, sudahlah, kau jangan
menangis. Kami akan menemani kau mendaki Tjoe-hong."
Si nona mengawasi dengan sorot mata bersangsi.
"Menurut taksiranku, ia pasti memanjat Chomo Lungma," kata pula Peng Go.
Kedua mata Kim Bwee bersinar terang. "Peng Go Tjietjie, kau sungguh mulia," katanya dengan
suara berterima kasih.
"Ih! Mengapa kau tak makan daging itu?" tanya Keng Thian yang melihat sepotong daging
ayam di atas salju.
"Daging itu ditinggalkan olehnya, aku tak tega untuk memakannya," jawab Kim Bwee.
"Anak tolol!" kata Peng Go seraya tertawa. "Tanpa makan, mana kau punya tenaga?" Ia
meraba kantong makanan Kim Bwee yang ternyata sudah kosong sama sekali.
Ternyata, sudah sehari suntuk Kim Bwee tak makan apapun jua. Untung sekali Keng Thian
membekal banyak makanan kering dan sebatang jinsom. Si nona lalu makan sedikit ransum kering
dan separuh jinsom, tapi ia masih tak tega untuk makan daging ayam pemberian Kim Sie Ie.
Sesudah keluar dari kumpulan pagoda-pagoda es, mereka lalu mendaki tanjakan dengan
mengikuti tapak-tapak kaki Kim Sie Ie. Pada hari kedua, mereka tiba di lembah yang sering
diserang taufan dan tapak-tapak itu menghilang tertutup salju yang ditiup angin. Pada besokan
harinya, Chomo Lungma sudah berada di depan mata.
Setibanya disitu, mereka lelah bukan main dan sukar bernapas. Walaupun tak takut hawa
dingin, Peng Go merasa dadanya sakit dan sesak. Keadaan Keng Thian masih mendingan, karena
ia memiliki lweekang yang lebih tinggi. Orang yang paling menderita adalah Kim Bwee, yang
hanya bisa maju setindak demi setindak dengan dipayang Keng Thian.
Mereka tiba sesudah terjadinya "salju roboh". Dari bawah mereka memandang ke atas dan apa
yang dilihatnya hanya puncak-puncak yang menjulang ke langit, tertutup awan dan salju.
Peng Go dan Kim Bwee mengawasi puncak itu dengan hati berdebar-debar. Walaupun
berkepandaian tinggi, mereka yakin Kim Sie Ie tak akan mampu mendaki puncak yang setinggi itu.
Dalam hati kecil, mereka menduga, bahwa pemuda itu telah mengalami kecelakaan, tapi tak
satupun yang berani mengutarakan dugaan itu.
Tiba-tiba Kim Bwee berbisik: "Hari keberapa ini?" Karena pingsan lama di kumpulan pagoda-
pagoda es, ia tak dapat menghitung hari lagi. Sekonyong-konyong paras Peng Go berubah pucat,
la ingat bahwa bersama Keng Thian ia sudah berada di Himalaya tujuh hari tujuh malam, atau
dengan lain perkataan, sudah melampaui batas umur Kim Sie Ie dengan satu hari dan satu
malam!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Waktu itu matahari sudah menyilam ke barat dan sang rembulan sudah memancarkan sinarnya
yang remang-remang di atas langit. Lama sekali mereka mengasoh untuk memulihkan tenaga.
Selang satu dua jam, Keng Thian menghela napas seraya berkata: "Marilah kita turun saja."
"Tidak! Aku tak pulang!" teriak Kim Bwee dengan suara pasti
Peng Go mencekal tangan si nona dan mengawasi mukanya dengan penuh rasa kasihan. Tapi
sebelum ia sempat membujuk, di tanjakan tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita: "A Bwee!
Kau juga sudah tiba disini?"
"Ibu!" seru Kim Bwee sambil melompat bangun.
Phang Lin tertawa haha-hihi dan menggapai-gapai.
"Ie-ie!" teriak Keng Thian "Apa kau sudah bertemu dia?"
"Bertemu!" jawabnya.
Badan Kim Bwee bergemetaran, tapi larinya terlebih cepat daripada Pengtjoan Thianlie.
"Dimana dia?" tanyanya sambil memeluk sang ibu.
"Lihatlah sendiri," kata Phang Lin seraya menuding ke satu jurusan.
Semua orang menengok ke tembokan es yang ditunjuknya. Ternyata di tembok es itu terdapat
empat baris huruf yang berbunyi seperti berikut:
Kubukan manusia yang tak mengenal budi,
Memandang Tjoe-hong dengan hati bersedih,
Kuhanya cocok untuk hidup menyendiri,
Malu menerima kecintaan dari seorang dewi.
Di bawah syair yang ditulis dengan pedang itu terdapat juga tapak-tapak tongkat.
Pengtjoan Thianlie kelihatan berduka sekali. Hanya ia seorang yang mengenal isi hati Kim Sie
Ie. Syair itu keluar dari jiwa yang angkuh. Ia haus akan kecintaan manusia yang hangat, tapi pada
akhirnya, ia mabur seorang diri dari dunia pergaulan.
Untuk beberapa lama, mereka tak mengeluarkan sepatah kata. Mereka bengong dan
memandang dunia perak yang sangat indah, yang gilang-gemilang di bawah sorotan sinar
rembulan.
Akhirnya, kesunyian itu dipecahkan oleh Phang Lin yang berkata dengan mendadak: "Kurang
ajar sungguh bocah itu!" Comelan disusul dengan tertawa. "Jangan jengkel-jengkel," katanya pula
sambil melirik puterinya. "Asal dia masih bidup, aku pasti akan dapat membekuknya, supaya kau
bisa melampiaskan rasa kedongkolanmu." Kata-kata itu hanya untuk menghibur Kim Bwee. Dalam
hatinya, Phang Lin pun yakin, bahwa mencari pemuda itu bukan hal yang mudah.
"E-eh, apa itu?" mendadak Kim Bwee berkata sambil menuding ke atas. "Tiga bola salju...
menggelinding ke bawah..T eh sungguh cepat!"
"Anak tolol!" bentak sang ibu seraya tertawa. "Bukan bola salju. Itulah lethio-mu, Ie-ie dan...
siapa orang yang ketiga. Ah! Lu Soe Nio!"
Beberapa saat kemudian, Siauw Lan bertiga sudah tiba disitu. Tak usah dikatakan lagi,
pertemuan itu menggirangkan sangat hatinya semua orang.
Sambil mencekal tangan Peng Go, Phang Eng tertawa seraya menanya: "Apa sekarang kau
masih jengkel terhadapku?"
Phang Lin tertawa geli. "Aku berjanji akan carikan kau seorang menantu yang memuaskan,"
katanya dengan suara menggoda. "Bukankah sekarang aku sudah memenuhi janji itu?"
Peng Go tak menjawab, hanya mukanya berubah merah karena kemalu-maluan. Ia melirik
kedua saudara perempuan itu dan baru sekarang, sesuai dengan petunjuk Keng Thian, ia dapat
membedakannya. Bagi orang luar, mereka hanya dapat dibedakan waktu sedang tertawa. Yang
satu bersujen di pipi kiri, yang lain di pipi kanan.
"Aku sudah menepati janji, tapi bagaimana dengan janjimu?" tanya Phang Lin.
"Apa kalian belum bertemu dengan Kim Sie le?" tanya Siauw Lan dengan heran. "Aku minta ia
menunggu disini atau di rumah Phoei Keng Beng."
"Dia tak akan kembali," jawab Phang Lin. "Bacalah syair itu."
Sesudah membaca Siauw Lan menghela napas. "Begitu gurunya, begitu juga muridnya,"
katanya dengan suara duka. "Adat Kim Sie Ie lebih aneh daripada Tokliong Tjoentjia." Lantas saja
ia menceritakan, bagaimana pada saat yang sangat berbahaya, ia sudah berhasil menolong jiwa
pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

Kim Bwee jadi girang tercampur sedih. Ia girang sebab kecintaannya sudah terbebas dari
kebinasaan dan di kemudian hari, ia bakal menjadi seorang pandai dalam dunia persilatan. Tapi ia
juga merasa sedih, karena pemuda itu sudah mabur untuk tidak kembali lagi.
Phang Lin yang beradat "berandalan", kali ini pun merasa duka. Secara kebetulan ia telah
bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk menjadi suami puterinya. Tapi pemuda itu
telah kabur dengan begitu saja dengan menolak segala kecintaan orang. Mendengar Siauw Lan
menyebut-nyebut nama Tokliong Tjoentjia, ia ingat buku catatan harian yang diberikannya kepada
Siauw Lan. "Siauw Lan, apa buku catatan harian itu sudah diserahkan kepada Kim Sie Ie?"
tanyanya.
Siauw Lan terkejut. "Ya," jawabnya. "Apa? Buku catatan sehari-hari? Aku tadinya menduga,
buku ilmu silat."
"Kau tidak membacanya?" tanya pula Phang Lin.
"Bagaimana kuboleh baca buku orang lain?" Siauw Lan balas tanya.
Lu Soe Nio yang sedari tadi terus menutup mulut, mendadak bertanya: "Apa dalam buku itu
terdapat catatan penting?"
"Sangat penting, mengenai jiwa umat manusia di sepanjang pantai," jawab Phang Lin.
Siauw Lan terperanjat. "Apa?" ia menegas.
"Menurut catatan itu, di bawah pulau Tjoa-to terdapat sebuah gunung berapi yang menurut
taksiran Tokliong Tjoentjia, akan meledak kurang lebih sepuluh tahun lagi," menerangkan Phang
Lin. "Jika sampai terjadi kejadian itu, bukan saja seluruh pulau akan menjadi hancur, tapi semua
makhluk berjiwa di dalam laut dan umat manusia yang hidup di sepanjang pantai Lautan Kuning,
akan celaka. Menurut Tokliong Tjoentjia, masih ada jalan untuk mengelakkan bencana tersebut.
Beberapa bulan sebelum terjadi peledakan, seseorang harus masuk ke dalam lubang gunung dan
membuka sebuah terowongan untuk memasukkan air laut, supaya api dan lahar beracun bisa
mengalir keluar perlahan-lahan. Hanyalah dengan jalan itu saja, barulah bencana bisa dielakkan."
Paras muka Soe Nio lantas saja berubah terang. "Kalau begitu, kita tak usah mencari Kim Sie Ie
lagi," katanya sambil bersenyum.
"Mengapa?" tanya Phang Lin.
"Sesudah membaca buku gurunya, apakah ia tak mengerti, bahwa ia adalah orang satu-
satunya yang bisa mengelakkan bencana itu?" Soe Nio balas tanya.
Siauw Lan mengangguk beberapa kali dan berkata dengan suara perlahan: "Menolong sesama
manusia adalah tugas orang-orang sebangsa kita. Apalagi mengelakkan bencana yang sedemikian
besar! Mengenai tugas itu, aku merasa Tokliong Tjoentjia sudah menghitung masak-masak,
sehingga, biarpun ia masuk ke dalam gua api, ia pasti akan bisa keluar lagi dengan selamat."
Paras muka Phang Lin berubah lebih terang. "Ya," katanya. "Biarlah ia melakukan satu
perbuatan yang mulia itu."
Kim Bwee mengawasi ibunya dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Tapi... andaikata
ia selamat... apakah ia akan kembali?"
"Ia mabur karena merasa malu terhadap manusia," kata Lu Soe Nio. "Sesudah berhasil
melakukan perbuatan yang mulia itu, aku merasa pasti ia akan kembali ke dunia pergaulan."
Si nona tak mengatakan apa-apa lagi, tapi mendengar suara Lu Soe Nio yang begitu pasti,
hatinya jadi terhibur juga.
Demikianlah, dengan hati tertindih, mereka lalu mulai turun gunung. Tiga hari kemudian,
mereka tiba kembali di rumah Phoei Keng Beng, dimana sudah menunggu Liong Leng Kiauw,
Tong Lootaypo dan yang lain-lain yang terpaksa kembali karena tak bisa maju terus.
Sesudah mengasoh beberapa hari mereka lalu membereskan perjalanan. Atas anjuran Tong
Siauw Lan dan yang lain-lain, Phoei Keng Beng bersama puterinya pun turut turun gunung.
Sebenarnya ia merasa berat untuk meninggalkan rumah yang sudah di tempati puluhan tahun,
tapi mengingat hari kemudian puterinya sudah mendapat ketentuan, hatinya jadi agak terhibur.
Waktu itu adalah musim semi. Di kaki gunung, salju sudah melumer dan pemandangan alam,
dengan pohon-pobon yang berdaun hijau, bunga-bunga yang menyiarkan bebauan wangi dan
burung-burung yang bermain-main di dahan kayu, indah luar biasa. Peng Go memetik beberapa
kuntum bunga hutan dan kemudian menyebarnya di tengah udara dengan mata mengawasi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

puncak Tjoe-hong. Antara begitu banyak orang, hanya Keng Thian yang bisa merasakan apa yang
dirasakan oleh si nona.
Sesudah berjalan dua hari lagi, tibalah mereka di lembah itu, dimana tentara Nepal dan tentara
Tjeng pernah berkemah dan berhadapan satu sama lain. Sekarang mereka hanya mendapatkan
lembah yang sunyi senyap dan bertemu dengan sejumlah kambing hutan yang begitu melihat
datangnya manusia, lantas saja lari serabutan. Kedua tentara itu ternyata sudah ditarik mundur.
Tapi baru mau keluar dari mulut lembah, mereka melihat sebuah tenda yang masih berdiri
disitu. Ternyata, Thian Oe dan Yoe Peng yang sangat memikiri keselamatan Kim Sie le, tidak turut
pulang bersama tentara Tjeng, tapi sudah menunggu disitu. Mereka girang melihat kembalinya
Tong Siauw Lan dan yang lain-lain. Mereka juga bersyukur, bahwa jiwa Kim Sie Ie sudah dapat
ditolong. Tapi di antara kegirangan itu, mereka juga merasa duka, sebab Kim Sie Ie sudah
melenyapkan diri.
Sesudah keluar lembah, mereka masuk ke daerah padang rumput. Belum jalan berapa jauh,
mereka bertemu dengan serombongan pedagang kuda yang datang ke .daerah perbatasan untuk
berdagang. Sambil jalan perlahan-lahan, mereka menyanyikan lagu si Pengembara:
Sungai es di puncak gunung laksana Thianho yang nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali, Ibarat suara tetabuhan
yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.

Si nona tanya sang pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau mendaki? Berapa topan lagi
harus kau lewati? Pengembara! Sang elang di atas padang rumput pun tak dapat terbang terus
menerus.
Tapi kau jalan, jalan terus, jalan terus...
Sampai tahun apa, bulan apa, baru kalian mau turun dari kuda?

Nona, terima kasih atas kebaikanmu,


Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu, Apakah kau pernah melihat bunga di gurun
pasir? Apakah kau pernah melihat gunung es melumer? Kau belum pernah melihatnya? Belum
pernah! Ah! Maka itu, kami si pengembara. Juga tak akan berhenti selama-lamanya.

Itulah lagu yang pernah didengar Thian Oe pada tiga tahun berselang, pada waktu ia pertama
kali melihat wajah Chena. Segala pengalamannya dengan gadis Tsang itu lantas saja terbayang di
depan matanya dan air mata mengalir turun di kedua pipinya. Ia melirik Yoe Peng yang kebetulan
sedang mengawasi padanya, sehingga kedua pasang mata lantas saja kebentrok. Demikianlah,
luka di hatinya telah diperingan dengan obat yang mujarab.
Peng Go pun pernah mendengar lagu itu dan ia juga merasa sedih karena ingat nasib Kim Sie
le. Apakah pemuda itu akan bernasib seperti si pengembara yang disebutkan dalam lagu itu? Ia
menengok dan melihat Keng Thian tengah mengawasi dengan sorot mata penuh kecintaan. Ia
menghela napas dan dalam kedukaannya, ia merasa, bahwa dirinya banyak lebih beruntung
daripada wanita yang lain.
Lie Kim Bwee sendiri baru pernah mendengar lagu yang sedih itu. Ia harus berduka seorang
diri, karena tak ada orang yang menghiburnya dengan lirikan mata yang mengandung cinta. Ia
menangis seorang diri sambil menghadapi sebuah teka-teki yang tak dapat dijawab. Apa dia akan
segera kembali? Apa dia bernasib seperti si pengembara yang baru mau menahan les kuda
sesudah gurun berbunga dan gunung es melumer? Entahlah!
Dengan air mata berlinang-linang, tanpa berani menengok pula untuk melihat Chomo Lungma,
ia berjalan sambil menundukkan kepala seraya mendengari lagu si Pengembara yang semakin
lama jadi semakin menghilang dari pendengaran.....

TAMAT
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/

CATATAN

13) Phaspa (keponakan Sakya Pandit yang menakluk pada kerajaan Mongol) adalah seorang
nabi yang tersohor pintar. Dalam usia sangat muda, ia sudah menarik perhatian Kublai Khan (yang
belakangan menjadi kaizar di Tiongkok), sehingga diminta untuk memberi pelajaran Lhama-isme
kepada Kublai dan belakangan diangkat menjadi Guru Kerajaan. Sepanjang cerita, dengan
disaksikan kaizar, ia memperoleh kemenangan dalam suatu debat mengenai keagamaan, melawan
tokoh-tokoh kenamaan. Atas perintah Kublai, Lhama-isme dinyatakan sebagai agama kerajaan
Goan (Yuan) dan Phaspa diangkat menjadi pemimpin dari semua Budhis di kolong langit. Dalam
usia 31 tahun, ia diperintah menciptakan sistim menulis untuk orang Mongol. Dengan mengambil
alphabet Tibet sebagai dasar, ia menyelesaikan tugas itu dalam lima tahun.
14) Puncak Mutiara atau Tjoehong diambil dari perkataan "Chomo Lungma", bahasa Tibet
untuk Puncak Everest. Tinggi Everest 29.002 kaki dan nama itu diambil dari nama Sir George
Everest, seorang ahli pengukur gunung-gunung. Sebagaimana diketahui, Puncak Everest telah
ditakluki oleh Sir Edmund Hillary, Sherpa Tenzing dan kawan-kawannya pada tanggal 29 Mei 1953.
15) Tiatkoen atau Buku Besi adalah anugerah dari seorang raja kepada keluarga raja
atau menteri yang berjasa besar. Dengan kekuatan anugerah itu, ia dapat mencampuri
segala urusan negara, malahan dapat menegur atau menghukum raja yang belakangan
bertahta.

Anda mungkin juga menyukai