Anda di halaman 1dari 720

~Seri Thiansan ~

Peng Tjoan Thian Lie

Karya : Liang Ie Shen (Liang Yu Shen)


Saduran : Boe Beng Tjoe

Bidadari dari Sungai Es


(Peng Tjoan Thian Lie)

Sungai es di puncak gunung laksana Thianho*) yang nyungsang. Dengarlah 'tu


kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali, Ibarat suara tetabuhan yang
dipentil dengan jeriji si gadis jelita,
Si nona tanya pada sang pengembara: Berapa gunung es lagi yang harus kau daki?
Berapa topan lagi harus kau lewati? Pengembara!
Sang elang di atas padang rumput pun tak dapat terbang terus-terusan. Tapi kau jalan,
jalan terus, jalan terus,
Sampai tahun apa, bulan apa, barulah kalian mau turun dari kuda?
Nona, terima kasih atas kebaikanmu.
Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu.
Apakah kau pernah melihat bunga di padang pasir?
Apakah kau pernah melihat gunung es menjadi lumer?
Kau belum pernah lihat? Belum pernah!
Maka itu, kami pengembara.
Juga tak akan berhenti jalan selama-lamanya.
*) Thianho, Bima Sakti atau Milky Way adalah sehelai sinar terang di waktu malam yang
membentang di langit, terdiri dari rangkaian bintang-bintang. Sungai es yang mengalir dari
atas puncak gunung ke bawah diibaratkan Thianho yang membentang nyungsang.

Itulah suara nyanyian, diseling dengan klenengan kuda, yang pada suatu hari dapat
didengar di padang rumput perbatasan Tibet. Nyanyian itu keluar dari mulutnya
pengembara yang sedang lewat di padang rumput tersebut. Pegunungan Himalaya yang
berentet-rentet, puncak-puncak gunung yang tertutup es dan menjulang tinggi sehingga
menembus awan seperti juga sedang mendengari nyanyian itu yang menyedihkan hati.
Dan tanpa diketahui oleh sang penyanyi, satu pemuda bangsa Han turut pasang
kupingnya. Air mata berlinang di kedua matanya. Ia menghela napas panjang dan berkata
seorang diri: "Aku dan kalian tak ada bedanya. Kalian mengembara ke ujung langit, aku
pun tak tahu kapan bisa dapat pulang ke kampung kelahiranku."
Pemuda itu she Tan, bernama Thian Oe, kelahiran Souwtjiu, daerah Kanglam. Ayahnya,
Tan Teng Kie, dahulu pegang pangkat di kota raja, tapi lantaran ia berani ajukan
pengaduan yang menyerang Ho Kun, satu menteri busuk yang sangat disayang oleh
Kaizar Kian Liong, ia dikirim ke Tibet (Seetjong) sebagai Amban1) (Soanwiesoe) pada
sekte Sakya. Sedari waktu itu sampai sekarang, delapan tahun sudah lewat. Waktu
datang di Tibet, Thian Oe masih anak-anak berusia sepuluh tahun, sekarang ia sudah jadi
pemuda 18 tahun.
Berada jauh di tempat orang, hatinya Thian Oe sangat rindukan kampung halamannya,
terutama lantaran ayahnya hampir saban hari ceritakan keindahannya Kanglam yang
permai.
Jumlahnya pengembara itu ada belasan orang, antaranya terdapat orang Tibet, Uighur
dan dua orang Han. Rupanya mereka bertemu di tengah jalan dan lalu membentuk satu
rombongan penjual suara yang berkelana ke sana-sini. Kedua matanya Thian Oe yang
mengikuti mereka mendadak terpaku kepada satu gadis dari suku Tsang yang memakai
pakaian serba putih. Berjalan di antara kawan-kawannya, gadis itu adalah laksana burung
ho di antara kawanan ayam. Lain orang menyanyi, ia sendiri tutup mulut rapat-rapat,
sedang kedua matanya yang bersinar terang mengawasi langit dan awan tanpa berkesip.
Duduk di atas sela, ia seperti juga tidak dengar suara kawan-kawannya, seperti sedang
memikir sesuatu. Kalau bukan biji matanya masih bergerak-gerak, Thian Oe bisa salah
mata dan menduga ia sebagai patung di atas kuda.
Selagi mengimplang seperti orang kehilangan semangat, tiba-tiba terdengar suara
burung gagak di tengah udara. Thian Oe dongak dan mendadak dengar suara
menjepratnya tali gendewa dan sebatang anak panah, yang dilepaskan oleh salah satu
orang Han, menyambar ke arah ia. Dari mendesingnya sang anak panah yang menusuk
telinga, ia tahu bahwa orang yang melepaskan mempunyai tenaga dalam yang sangat
kuat.
Thian Oe kelit sembari angkat tangannya yang tepat menangkap buntut anak panah.
Baru mau membentak, ia kembali dengar suara menjeprat dan sang gagak jatuh terguling
sembari berteriak keras.
Dengan tangan mencekal gendewa, orang itu memberi hormat kepada Thian Oe dan
berkata: "Lantaran jengkel mendengar suara gagak, aku jadi panah padanya. Cuma
menyesal, sebab kepandaianku belum sempurna, aku jadi membikin kongtjoe mendapat
kaget."
Thian Oe keluarkan suara di hidung dan berkata dengan berdongkol: "Jika aku tidak
mengerti ilmu menangkap anak panah, apakah aku sekarang masih bisa bicara dengan
kau? Kenapa kau memanah secara begitu?"
"Harap kongtjoe perhatikan anak panahku," kata orang itu sembari tertawa. "Anak
panah itu tidak bisa mencelakakan orang!
Aku sebenarnya mau panah gagak, tapi sebab kepandaianku belum cukup, maka aku
membikin kongtjoe jadi salah mengerti."
Tan Thian Oe periksa anak panah itu, yang ternyata benar tidak ada tajamnya. Orang
itu cabut sebatang anak panah yang ada tajamnya dan berkata: "Ini barulah anak panah
yang dapat mencelakakan orang."
Ia lantas pentang gendewanya dan memanah ke udara. Selagi anak panah itu jatuh ke
bawah, ia susul dengan lain anak panah yang secara tepat sekali ujungnya kebentrok
dengan ujung anak panah pertama, sehingga lelatu api kelihatan muncrat di udara dan
kedua anak panah jatuh
berbareng ke muka bumi. Orang itu tertawa berkakakan dan merangkap kedua
tangannya, akan kemudian keprak kudanya buat susul kawan-kawannya.
Thian Oe jadi seperti orang kesima. "Ilmu memanah orang itu jarang terdapat dalam
dunia," kata ia dalam hatinya.
"Barusan terang-terangan ia memanah aku, tapi bilang kesalahan tangan. Sedang aku
tidak kenal padanya, kenapa ia panah padaku? Dan kalau toh sudah memanah aku,
kenapa ia gunakan anak panah tumpul? Apa maksudnya?"
Selagi putar otaknya buat mencari-cari jawabannya, mendadak kedengaran satu seman
"Siauwya (majikan kecil)!" dan satu kacung yang berusia kurang lebih 17 tahun kelihatan
muncul.
Tan Thian Oe terkejut dan berkata: "Kang Lam, kau juga ada disini? Kenapa aku tadi
tidak lihat kau?"
Lantaran kangen pada daerah Kanglam yang ia sudah tinggalkan dalam tempo lama,
ayahnya Thian Oe memberi nama Kang Lam kepada kacungnya, sebagai semacam
peringatan bagi tempat kelahirannya. Usianya Kang Lam hampir bersamaan dengan
Thian Oe yang menjadi kawan memainnya sedari kecil.
Mendengar pertanyaan majikannya, kacung yang nakal itu lalu tertawa haha-hihi dan
menyahut: "Looya (majikan tua) perintah aku cari kau dan waktu orang hitam itu panah
padamu, aku mengumpat di alang-alang. Siauwya, banyak tahun aku ikuti kau, tapi aku
tidak tahu kau mempunyai kepandaian begitu tinggi dan sekali jambret saja, kau bisa
tangkap anak panah itu! Dan lebih heran lagi, aku belum pernah lihat kau belajar
memanah. Siauwya, bolehkah kau ajarkan aku."
Parasnya Thian Oe berobah dan ia berkata dengan sungguh-sungguh: "Kang Lam, aku
larang kau memberitahukan hal ini kepada looya! Jika hal aku menangkap anak panah
kau beritahukan kepada lain orang, aku akan keset kulitmu!"
Melihat sikap majikan kecilnya begitu sungguh-sungguh, Kang Lam segera berkata
sembari leletkan lidah: "Tidak, aku tentu tidak omong dengan siapa pun juga." Tapi dalam
hatinya ia merasa heran, kenapa juga majikan itu sungkan memberitahukan
kepandaiannya kepada sang ayah.
Sembari lari loncat-loncatan, Kang Lam pungut burung gagak yang barusan dipanah
jatuh oleh orang itu. "Hei!" mendadak ia berseru. "Kenapa gagak ini mati tanpa ada
lukanya?"
Thian Oe terkejut dan periksa bangkai burung itu yang ternyata benar tidak terluka
barang sedikit, sedang sebatang anak panah tumpul menggeletak di dekat bangkai
burung itu. Ia tahu, gagak itu binasa dengan luka di dalam badannya lantaran terpukul
batang anak panah. "Jika gagak ini yang terbang begitu tinggi binasa tertikam tajamnya
anak panah, tidaklah usah dibuat heran," kata Thian Oe di dalam hatinya. "Tapi dengan
binasa cuma lantaran kena terpukul batang anak panah, bisalah dibayangkan hebatnya
tenaga dalam orang yang memanah itu."
Demikianlah dengan hati masgul, Thian Oe lalu berjalan pulang bersama ka.cungnya.
Setibanya di rumah, ia lihat ayahnya sedang pasang omong dengan satu orang di kamar
tetamu. Orang itu berusia kurang lebih 50 tahun, paras mukanya bersih dan jujur,
jenggotnya panjang, punggungnya sedikit bongkok, sehingga ia kelihatannya seperti
seorang sastrawan tua yang gagal dalam ujian. Orang itu bukan lain dari gurunya (guru
surat), she Siauw bernama Tjeng Hong.
Guru itu mulai bekerja pada tahunan Tan Teng Kie dikirim ke Tibet oleh Kaizar Kian
Liong. Waktu itu ia masih menjabat pangkat Tjiesoe, dan oleh karena keuruk dengan
tugasnya, ia jadi tidak mempunyai tempo senggang untuk mendidik puteranya.
belakangan salah satu sahabatnya pujikan Siauw Tjeng Hong buat ajar ilmu surat kepada
puteranya itu. Sesudah omong-omong, ia dapat kenyataan Siauw Tjeng Hong mempunyai
pengetahuan yang cukup baik, maka tanpa rewel ia segera pekerjakan padanya. Tidak
lama kemudian, lantaran menulis surat pengaduan yang menyerang Ho Kun, Teng Kie
dikirim ke Tibet sebagai semacam hukuman. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati buat
ajak sang guru pergi ke tempat yang begitu jauh, akan tetapi Siauw Tjeng Hong sendirilah
yang sudah mendesak supaya diajak. Ia mengatakan merasa cocok dengan majikannya
itu dan secara suka rela suka turut pergi ke Tibet. Oleh karena lihat kesungguhan orang,
Tan Teng Kie jadi sangat hargakan padanya dan perlakukan ia seperti anggauta keluarga
sendiri.
Sesudah Thian Oe memberi hormat kepada ayah dan gurunya, Teng Kie lantas
menanya: "Oe-djie (anak Oe), kemana kau pergi begitu lama? Lain kali tidak boleh pergi
memain sendirian."
"Datang serombongan penyanyi, malam ini mungkin ada pertunjukan," si kacung
menyeletuk. Thian Oe lirik kacungnya itu, tapi ia seperti juga tidak melihat. "Sinshe
(guru)," kata Kang Lam
lagi. "Kau adalah seorang berpengalaman dan
berpengetahuan luas, tapi pernahkah kau lihat orang panah gagak dengan anak panah
tumpul?"
Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dengan mendadak. "Apa?" ia menegasi.
Sehabis berkata begitu, mukanya pucat seperti kertas, sedang badannya bergoyang-
goyang.
Tan Teng Kie kaget dan menanya: "Kau kenapa, Siauw sinshe?"
"Lantaran perobahan hawa, mungkin kena pilek," jawabnya.
"Kang Lam," kata Teng Kie. "Pergi antar sinshe ke kamarnya supaya
mengasoh." "Sinshe lagi kurang enak badan, kau jangan banyak bicara,"
memesan Thian Oe.
Kang Lam manggutkan kepalanya. Diam-diam ia lirik Thian Oe dan bikin muka badut.
"Aku toh tidak sebut-sebut soal kau tangkap anak panah. Kenapa kau jadi kebingungan?"
kata ia dalam hatinya.
Thian Oe jadi heran sekali. Ia tidak mengerti, kenapa gurunya jadi begitu ketakutan,
setelah mendengar perkataannya Kang Lam.
"Mulai dari sekarang, kau tidak boleh lagi pergi keluar sendirian," kata lagi sang ayah.
"Kalau tidak ada pekerjaan, berdiamlah di dalam rumah. Kau tahu? Tahun yang lalu, suku
Gurkha dari Nepal telah menyerang Tibet dan telah dipukul oleh tentara kerajaan 2).
Mereka tentu penasaran. Sepanjang warta, mereka telah kirim sejumlah pembunuh buat
binasakan pembesar-pembesar kerajaan Tjeng. Sekarang pembesar-pembesar yang
bertugas di Tibet tidak berani keluar tanpa pengawal."
"Apa benar? Apa benar mereka begitu besar nyalinya?" tanya sang putera.
"Warta ini datang dari markas besar Jenderal Hok. Kita tidak boleh tidak percaya,"
sahut sang ayah.
Jenderal Hok itu adalah Hok Kong An (Fu Kang An). Ada orang bilang, ia adalah "anak
gelapnya" Kian Liong, akan tetapi, ini cuma merupakan desas-desus yang tidak ada
buktinya. Tapi memang benar, Hok Kong An adalah jenderal yang paling disayang oleh
Kian Liong, yang lantaran sangat mengutamakan keselamatan di daerah perbatasan,
sudah kirim jenderal tersebut untuk menduduki Tibet, dengan markas besarnya di Lhasa.
Malam itu, siang-siang Thian Oe sudah disuruh tidur oleh ayahnya. Akan tetapi, gulak-
gulik di atas bantal, ia tidak bisa pulas lantaran otaknya selalu ingat rombongan
pengembara yang ia ketemukan tadi siang. Ia tidak dapat menebak siapa adanya itu
orang yang mempunyai kepandaian memanah begitu tinggi. Ia tidak dapat singkirkan dari
otaknya itu gadis Tsang yang sangat aneh. Begitu meramkan mata, parasnya si nona
lantas terbayang di depan matanya. Itu muka yang seperti patung dengan sinar mata yang
dingin bagaikan es seakan-akan diam-diam melirik padanya dalam malam yang gelap-
gelita itu.
Mendadak kupingnya dapat tangkap suara tambur yang kedengarannya lapat-lapat di
tempat yang jauh. Di sebelahnya tambur, kedengaran juga suara cecer dan terompet. Tapi
suara tetabuhan itu sangat membosankan lantaran tetap begitu-begitu juga, tanpa ada
perubahan tinggi dan rendah, cepat dan perlahan. Tan Thian Oe tahu, tentulah rombongan
penyanyi yang tadi siang sedang membuka pertunjukan malam di padang rumput.
Mendengari suara itu, di tengah malam yang sunyi, tanpa merasa ia jadi mengkirik bulu
badannya.
Pada besokan paginya, baru saja Thian Oe sadar dari tidurnya, di luar sudah
kedengaran Kang Lam bicara: "Hei! Kau percaya atau tidak? Semalam aku lihat setan
perempuan. Ha! Benar loh! Aku tidak mendusta. Setan perempuan!"
Thian Oe terkejut. Berapa saat kemudian, si kacung berkata lagi: "Ha! Setan itu pakai
dua selendang sutera merah, rambut palsunya terurai sampai di pinggangnya, dia pakai
kedok tiga pasegi, lidahnya yang panjang melelet keluar! Ha! Dia juga menari, putar, putar,
putar, luar biasa cepatnya. Di bawah kedua kateknya terselip dua golok pendek. Sesudah
menari, dia poksay (loncat jungkir balik), goloknya mengkeredep benar-benar menakuti.
Sesudah itu, ia lemparkan rambut palsu dan tarik kedoknya. Ha! Kau bisa tebak! Aduh
cantiknya! Aku belum pernah lihat
wanita Tibet yang begitu cantik seperti ia. Cuma paras mukanya dingin seperti es. Ha! Tak
bedanya seperti muka setan perempuan!"
Kang Lam ternyata sedang bicara dengan Loo Ong (si tua she Ong), penjaga pintu. Ia
sedang ceritakan pertunjukan yang ia telah saksikan semalam. Thian Oe tahu, yang ia
namakan "setan perempuan" tentulah juga itu gadis Tibet yang aneh.
Loo Ong keluarkan suara di hidung dan berkata sembari tertawa dingin: "Kulitmu
kelihatannya sudah gatal. Looya baru saja pesan, kita tidak boleh sembarangan keluar,
kau seorang sudah nyolong lihat wayang."
Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Aku satu orang keluar lihat wayang?" kata ia
dengan suara yang menggenggam rahasia. "Ha! Loo Ong, kau salah raba! Sinshe kita
juga pergi kesana! Hi! Cara-caranya lebih mengherankan daripada setan perempuan itu.
Sinshe kita...."
Baru Kang Lam bicara sampai disitu, Thian Oe sudah loncat keluar dari kamarnya dan
membentak: "Kang Lam, sampai kapan penyakit rewelmu bisa hilang? Hayo, lekas
bereskan pembaringanku!"
Melihat majikannya gusar, Loo Ong ngeloyor dengan cepat, sedang Kang Lam masuk
ke kamarnya Thian Oe sembari leletkan lidah. "Siauwya", kata ia seperti orang yang
diperlakukan tidak adil. "Kenapa dalam dua hari ini kau begitu galak?"
Thian Oe rapatkan pintu. "Siauw sinshe kenapa semalam?" ia tanya dengan suara
perlahan.
"Oh, kalau begitu Siauwya juga kepengen dengar cerita?" kata ia sembari
tertawa nakal.
"Menurut penglihatanku, sinshe kita juga mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.
Semalam jumlah penonton bukan main banyaknya. Sesudah keluarkan banyak keringat,
barulah aku dapat menyelesep masuk, tapi toh tidak bisa berdiri tetap sebab tak hentinya
kena didorong ke depan dan ke belakang. Tapi sinshe kita, jangan kau pandang rendah
badannya yang kelihatannya
lemah. Ia berdiri tegak. Orang-orang yang mendorong sudah pada mental sebelum
senggol badannya. Aku tidak tahu, ilmu apa ia gunakan. Aku heran bukan main.
Sebetulnya aku mau tegor padanya, tapi orang terlalu banyak, sedang itu setan
perempuan sudah keluar, maka aku urungkan niatan itu. Tapi siapa tahu, baru saja
pertunjukan setan perempuan itu selesai, ia sudah pergi. Kalau ia suka nonton, kenapa
tidak nonton terus? Siauwya, bukankah ia seorang aneh?"
"Kang Lam," kata Tan Thian Oe sembari perengutkan mukanya. "Urusannya Siauw
sinshe, kau cuma boleh ceritakan kepadaku. Pada lain orang, dari Loo Ong sampai Looya,
kau tidak boleh cerita. Jika kau langgar, aku akan keset kulitmu. Tidak, aku akan tidak
ladeni kau lagi."
Thian Oe dan Kang Lam adalah kawan memain sedari kecil. Perhubungan antara
mereka adalah perhubungan sahabat dan bukannya perhubungan antara majikan dan
bujang. Thian Oe kenal baik adatnya si kacung, yang paling takut kalau tidak diajak
omong oleh majikan kecilnya.
Baru saja Thian Oe cuci muka dan makan sarapan pagi, Kang Lam datang lagi dan
berkata:
"Looya panggil kau."
"Ada urusan apa ayah panggil padaku?" tanya ia dalam hati sambil masuk ke ruangan
tengah, dimana ia ketemukan orang tua itu sedang duduk dengan paras muka seperti
orang yang lagi berpikir keras.
"Touwsoe mau bertemu dengan kau," kata sang ayah. "Aku tak tahu ada urusan apa.
Touwsoe ini adatnya sangat jelek. Pembesar-pembesar kerajaan tidak ada satu yang
dipandang mata olehnya. Selama berdiam disini delapan tahun, baru berapa kali saja aku
bertemu dengan ianya. Sekarang ia sengaja undang aku bersantap dan pesan juga
supaya ajak kau datang bersama-sama. Lekas pergi salin pakaian."
"Aku tidak kenal ia," kata sang putera dengan suara heran. "Ada urusan apa ia pesan
supaya aku datang? Tidak, ayah, aku tak kesudian."
"Tidak boleh begitu, anakku," kata Teng Kie. "Aku bertugas dalam daerah
kekuasaannya. Ia tuan rumah, kita tetamu. Perhubungan antara tuan rumah dan tetamu
haruslah baik, apalagi dalam banyak hal aku harus mengandal kepada pengaruhnya.
Dalam kalangan pembesar negeri, perhubungan antara kedua keluarga adalah kejadian
yang lumrah. Sekarang ia mengundang kita dan kita tidak boleh menolak. Jangan kau
bawa adat anak-anak."
Mendengar ayahnya berkata begitu, Thian Oe tidak membantah lagi dan lalu pergi salin
pakaian.
Amban adalah pembesar sipil dan cuma mempunyai beberapa puluh serdadu
pengawal.
Sesudah pilih memilih, Teng Kie ajak delapan pengawal buat antar padanya.
Selagi mau berangkat, diluar mendadak terdengar suara berbengernya kuda dan
penjaga pintu datang melaporkan: "Nyepa
Omateng ingin bertemu dengan taydjin (orang besar = panggilan buat orang
berpangkat)." "Nyepa" adalah semacam pangkat di Tibet. Di bawah saban Touwsoe
ada empat Nyepa.
Tan Teng Kie kaget berbareng girang. "Apa benar?" Nyepa yang berkuasa atas
ketentaraan dan pengadilan, sehingga pengaruhnya besar sekali. Saban kali satu Nyepa
keluar dari rumahnya, ia selalu diiring oleh satu pasukan tentara, dan oleh karena begitu,
Teng Kie jadi merasa heran dan ajukan pertanyaan, waktu mendengar Nyepa Omateng
datang seorang diri. "Omateng?" ia menegasi. "Kenapa ia datang seorang diri?"
Thian Oe berdiri di satu pinggiran buat turut sambut kedatangannya pembesar Tibet itu.
Ia lihat Omateng masuk dengan tindakan meniru caranya pembesar-pembesar kerajaan
Tjeng. Sembari menggendong tangan, ia mendatangi setindak demi setindak sampai di
hadapannya Teng Kie. Ia memberi hormat dengan sikap hormat sekali dan berkata:
"Apakah Ponpo mau hadiri perjamuan Touwsoe?" (Ponpo = Pembesar negri. Panggilan
menghormat untuk orang berpangkat).
"Benar," jawab Teng Kie dengan suara terperanjat. "Aku sungguh merasa jengah
sampai Nyepa datang buat menyambut."
Hatinya merasa heran, sebab sang Nyepa yang biasanya angkuh, sekarang jadi begitu
menghormat.
Omateng awasi padanya dan berkata sambil tertawa: "Kalau tidak ada urusan penting,
aku tentu tidak datang kesini. Kedatanganku ini adalah buat mohon Ponpo lakukan satu
pekerjaan mulia."
Teng Kie yang tadinya duga ia datang atas perintah Touwsoe untuk menyambut
padanya, jadi tercengang mendengar
perkataannya itu. "Urusan apa?" ia tanya.
"Apakah Ponpo tahu kemarin datang serombongan pengembara yang menjual suara?"
tanya ia.
"Aku dengar orang bilang begitu," sahutnya.
"Mereka sebenarnya kawanan pencuri kuda," menerangkan Omateng. "Kepandaian
mereka juga lumayan dan mereka telah dapat curi lima ekor kudanya Touwsoe. Yang
lelaki bisa kabur semuanya, yang kena dibekuk satu wanita muda."
Thian Oe terkesiap. "Yang lain aku tidak tahu, tapi orang yang lepaskan anak panah
benar-benar mempunyai kepandaian tinggi. Kenapa mereka curi kuda? Dalam urusan ini
tentu ada lain latar belakang. Wanita yang kena ditangkap tentulah juga itu gadis yang
aneh," demikian Thian Oe memikir dalam hatinya.
"Ponpo sudah berdiam disini banyak tahun dan tentu mengetahui peraturan Touwsu
terhadap pencuri kuda," kata lagi Omateng.
Kembali Thian Oe terkesiap. Ia pun sudah pernah dengar penuturan ayahnya, bahwa
hukuman terhadap pencuri-pencuri kuda adalah kejam sekali. Paling dahulu kedua
matanya pencuri dikorek dan kemudian kedua tangannya dibacok kutung. Mengingat sinar
matanya gadis itu yang bening seperti es, tanpa terasa badannya jadi gemetar.
Paras mukanya Teng Kie juga berobah, tapi ia tentu tidak dapat mencampuri urusannya
Touwsoe.
"Sebagaimana Ponpo tahu, hatiku selalu tidak tegaan," Omateng sambung
pembicaraannya. "Aku sungguh tidak tega, kalau gadis itu sampai mesti jalankan
hukuman yang biasa. Maka itu, kalau sebentar bertemu dengan Touwsoe, aku sangat
harap Ponpo sudi mintakan ampun. Jika mesti membayar hukuman denda dengan emas,
mohon Ponpo suka talangi dahulu dan aku akan pulangkan emas itu secara diam-diam."
Mendengar permintaan orang, Teng Kie jadi terlebih heran lagi. "Omateng biasanya
sangat sekaker, kenapa hari ini dia begitu loyar? Apakah wanita itu mempunyai hubungan
apa-apa dengan ia? Tapi kalau benar wanita itu mempunyai hubungan rapat dengan
Omateng, kenapa juga ia mesti menjual suara di padang rumput?" tanya Teng Kie dalam
hatinya.
Melihat Teng Kie bersangsi, Omateng kelihatannya bingung sekali. "Ponpo Taydjin,"
kata ia. "Jiwanya nona itu sekarang berada dalam tanganmu."
"Menolong jiwanya satu manusia ada lebih baik daripada berdirikan menara tujuh
tingkat," kata Teng Kie akhirnya. "Aku berjanji akan berbuat apa yang bisa. Kalau harus
membayar denda, aku juga masih mempunyai sedikit uang, sehingga tidaklah perlu Nyepa
mesti mengodol kantong. Cuma aku kualir Touwsoe tidak akan mau meluluskan."
"Jika Ponpo yang minta, Touwsu pasti meluluskan," kata Omateng dengan suara
girang. "Sekarang aku mau permisi. Urusan hari ini harap Ponpo jangan sebut-sebut di
hadapan Touwsoe."
Ia lalu pamitan dengan cara hormat sekali dan waktu bertindak keluar pintu, ia mesem-
mesem kepada Thian Oe dengan sikap yang mengherankan.
Baru saja Omateng berangkat, Thian Oe lantas berkata: "Ayah, hayolah."
"Bukankah tadi kau sungkan pergi?" kata sang ayah sembari mesem.
Mukanya sang putera jadi bersemu merah, tapi Teng Kie berlagak tidak lihat dan lantas
suruh orang sela-kan kuda.
Gedungnya Touwsoe dibikin dengan menyender pada suatu bukit, sehingga gedung itu
jadi bertingkat-tingkat, yang satu lebih tinggi dari yang lain. Dipandang dari bawah, gedung
tersebut agaknya seperti satu benteng yang berbentuk pasegi.
Rombongan Tan Teng Kie tiba waktu matahari sudah naik tinggi dan tepat pada
waktunya bersantap tengah hari. (Perjamuan Touwsoe di Tibet biasanya dimulai tengah
hari dan berlangsung sampai sore). Tan Teng Kie bersama puteranya diantar ke satu
pendopo dalam kebun bunga, sedang para pengikutnya tersebar dalam kebun itu untuk
mengawal. Di tengah-tengah pendopo sudah siap sedia sebuah meja santapan. Baru
saja, ayah dan anak duduk, serdadu-serdadu yang berbaris di bawah pendopo sudah
berseru: "Touwsoe datang!"
Touwsoe itu berusia kira-kira 50 tahun, hidungnya bengkok, janggut pasegi, sedang
kedua matanya bersinar tajam, sehingga macamnya jadi kelihatan angker sekali.
Sesuai dengan adat kebiasaan orang Tibet, Tan Teng Kie lebih dahulu
mempersembahkan khata 3) kepada tuan rumah. Sembari tertawa dengan meram-
meramkan matanya, Touwsoe mengawasi tetamunya dan sesudah selang beberapa saat,
ia lantas berkata: "Apakah pemuda ini puteramu? Sungguh cakap romannya!"
Saat itu, Thian Oe mendadak rasakan jantungnya mengetok keras dan napasnya agak
sesak. Dua serdadu Tibet kelihatan mengiring satu wanita yang jalan menghampiri
perlahan-lahan dan berhenti di luar pendopo. Wanita itu ternyata bukan orang lain
daripada gadis aneh yang ia ketemu kemarin. Di bawah pendopo sudah siap sedia
pekakas hukuman, antaranya dua golok tajam dan dua bungbung bambu yang digunakan
untuk korek biji matanya orang yang terhukum. Di sebelahnya terdapat satu batu bundar
yang di atasnya dipasangi dua pelat besi tipis dari setengah lingkaran. Thian Oe tidak
mengetahui kegunaannya alat itu.
Menghadapi alat menghukum itu, si jelita melirik pun tidak. Paras mukanya tetap
tenang, sedang pada kedua matanya tertampak semacam sinar yang mengejek, seolah-
olah orang yang lagi menghadap pengadilan bukannya ia, tapi si Touwsoe sendiri. Dengan
adanya alat-alat menghukum dan dengan sikapnya si nona yang sedemikian rupa, kecuali
Touwsoe, semua orang yang menyaksikan jadi mengkirik bulu badannya.
Touwsoe itu tertawa kejam dan berkata sembari tunjuk pekakas hukum itu: "Taruh batu
itu di atas kepalanya pesakitan dan ketok pelat besi itu dengan martil kecil. Matanya akan
lantas nonjol keluar dan korek kedua biji matanya sama bungbung bambu kecil!"
Sehabis berkata begitu, ia kebaskan tangannya dan niat segera perintah supaya
hukuman itu lantas dijalankan.
"Tahan! Tahan!" Tan Teng Kie mendadak berseru.
Touwsoe bangun dan berkata: "Apa? Kalian orang Han kecil nyalinya. Apa kau tidak
berani saksikan hukuman itu?"
"Aku mohon tanya," sahut Teng Kie sambil menahan amarah. "Berapa ekor kuda sudah
dicuri mereka?"
"Lima ekor yang paling baik," sahutnya.
"Bagaimana kalau aku ganti dengan sepuluh ekor?" tanya Tan Teng Kie.
"Dia juga niat bakar istalku," berkata Touwsoe.
"Apa sudah dibakar?" Teng Kie tanya lagi.
"Dia sudah kena dibekuk selagi nyalakan batu api," sahutnya.
Teng Kie mesem dan keluarkan batu api dari kantongnya. "Kau lihat, aku pun
membawa barang ini!" kata ia.
Si Touwsoe tertawa terbahak-bahak. Ia mengerti maksudnya Teng Kie, yang hendak
mengatakan, bahwa dengan membawa batu api belum merupakan suatu bukti bahwa
seseorang berniat jahat.
SedikitpunTan Teng Kie tidak unjuk perasaan keder. Ia diawasi, ia balas
mengawasi.
"Bagaimana, Touwsoe? Bisakah kau memberi pengampunan?" tanya ia.
Thian Oe tahan napasnya. Ia awasi Touwsoe itu, kemudian awasi ayah sendiri. Tak
pernah ia begitu kagumi ayahnya seperti pada saat itu. Kalau biasanya sang ayah suka
takut ini dan takut itu, sekarang ia berdiri tegak, dengan paras muka yang sama
tenangnya seperti si gadis itu. Sedikitpun tidak terdapat tanda-tanda keder. Mungkin
sekali, semangat yang sedemikian juga telah diunjuk oleh sang ayah, ketika ia ajukan
surat pengaduan buat serang sepak terjangnya Ho Koen. Demikianlah, pada saat itu Tan
Thian Oe dapat lihat semangat muda dari ayahnya yang sekarang sudah berambut putih.
Touwsoe terkejut. "Tak dinyana, pembesar Han yang kelihatannya begitu lemah
mempunyai nyali yang begitu besar," ia kata.dalam hatinya. Mendadak ia tertawa dan
berkata: "Menurut pantas, aku sebenarnya harus meluluskan permintaan Ponpo. Cuma
saja, peraturannya kakek moyang tidak dapat gampang-gampang dirobah."
Tan Thian Oe cekal keras-keras belati yang ia sembunyikan dalam tangan bajunya. Ia
sudah mengambil putusan pasti buat lantas menerjang, begitu lekas Touwsoe itu
memerintahkan di jalankannya hukuman.
Sesudah berpikir beberapa saat dan manggut-manggut beberapa kali, Touwsoe itu
berkata: "Peraturan leluhur memang tidak dapat dirubah, akan tetapi muka Ponpo pun
tidak harus hilang. Baiklah! Sekarang kita pertaruhkan nasibnya pesakitan itu!"
Ia kebaskan tangan bajunya dan satu serdadu lantas taruh satu buah apel merah di
atas kepalanya si gadis.
Sang Touwsoe kembali tertawa besar. Ia berpaling kepada Tan Teng Kie dan menanya:
"Apa kalian pandai menggunakan hoeito (golok terbang)?" Dengan satu suara "srett!" ia
cabut satu golok lancip yang ditaruh di atas meja.
"Jika dengan sebatang golok terbang, kalian dapat membelah buah apel itu di sama
tengah, tanpa penggantian apa pun juga, aku akan segera lepaskan dia," kata Touwsoe
itu. "Cara ini juga adalah peraturan leluhur kita. Baiklah. Sekarang bawa pesakitan itu
sampai seratus tindak jauhnya!"
Satu serdadu lantas saja tuntun gadis itu sembari menghitung tindakannya dan lantas
berhenti sesudah cukup seratus tindak.
"Aku permisikan kau atau siapa saja di antara pengikutmu buat membelah apel itu
dengan golok terbang," berkata si Touwsoe.
Tan Teng Kie adalah seorang pembesar sipil yang lemah, sedang di antara pengikutnya
pun tidak ada orang yang berkepandaian begitu tinggi. Cangkriman yang dibertelorkan
oleh Touwsoe terang-terangan adalah buat hinakan orang Han. Ia jadi naik darah dan
berkata dengan suara gusar: "Touwsoe, cara bagaimana jiwa manusia bisa dibuat
permainan?"
Touwsoe itu lantas saja kasih unjuk paras yang memandang rendah. "Jika kalian tidak
berani pertaruhkan nasibnya, biarlah hukuman itu di jalankan saja," kata ia sembari
tertawa.
Mendadak Tan Thian Oe berdiri dengan sinar mata yang berapi dan berkata: "Jika
dengan sebatang golok terbang aku dapat membelah buah apel itu..."
"Aku lantas lepaskan dia!" Touwsoe potong perkataan orang.
"Aku harap perjanjian ini tidak berobah lagi," kata Thian Oe.
"Aku tidak pernah omong kosong," Touwsoe itu menyahut dengan pendek.
Tan Teng Kie terkesiap dan menanya: "Oe-djie, apa kau gila?"
Baru habis ayahnya bicara,
Thian Oe sudah jumput golok itu dan tanpa mengincar, ia menimpuk! Bagaikan kilat
golok itu terbang ke kepalanya si jelita, dan di lain saat, sang apel terpental menjadi dua!
Satu serdadu lantas pungut dan berseru: "Tepat betul terbelah dua di tengah-tengah!"
Paras mukanya Touwsoe berobah, tapi ia segera tertawa berkakakan sembari
acungkan jempol tangannya. "Sungguh bagus ilmu menimpuk golok itu!" ia kata
Tan Teng Kie adalah seperti orang baru sadar dari mengimpi. Perasaan herannya sukar
dapat dilukiskan. Apa yang ia tahu, puteranya belum pernah belajar ilmu silat. Delapan
belas tahun mereka bersama-sama, en toh ia tidak mengetahui sang anak mempunyai
kepandaian yang sedemikian tinggi.
Satu serdadu segera lepaskan tali urat kerbau yang mengikat badannya nona itu. Ia lirik
penolongnya dan kemudian berjalan keluar dari antara dua baris serdadu yang
memegang macam-macam senjata. Parasnya yang tenang tetap tidak berobah, kedua
matanya tetap bersinar dingin bagaikan es! Ia tidak mengucapkan sepatah kata, malahan
tidak menghaturkan terima kasih kepada Tan Thian Oe.
Touwsoe geleng-gelengkan kepalanya. "Hm!" kata ia.
"Sungguh terlalu enak pesakitan ilu!" Seperti satu bola yang sudah kempes, ia
sekarang tidak begitu bersemangat lagi. Mereka kembali mengambil tempat duduk di
seputar meja perjamuan. Waktu Tan Teng Kie mau angkat cawan sebagai pemberian
hormat. Touwsoe itu lirik Thian Oe. Tiba-tiba ia jadi gembira kembali dan berkata kepada
salah satu pengikutnya: "Undang Kangma Kusiu datang kesini!"
Kangma Kusiu dalam bahasa Tibet berarti siotjia (nona). "Ah? Kenapa ia suruh
puterinya keluar buat temani tetamu?" tanya Teng Kie dalam hatinya.
Barulah sekarang Thian Oe merasa tangannya gemetaran lantaran ia ingat bagaimana
besar adanya bahaya waktu menimpuk dengan golok. Inilah buat pertama kali, ia unjuk
kepandaiannya di muka umum dan sungguh mujur, ia berhasil.
"Siapa wanita itu? Apa benar ia curi kuda? Apa ia mengerti silat? Kenapa paras
mukanya begitu luar biasa?" demikian rupa-rupa pertanyaan mengaduk dalam otaknya
pemuda itu, sehingga ia seperti tidak dengar waktu Touwsoe perintah orang undang
puterinya datang kesitu.
Tiba-tiba ia jadi sadar mendengar kerincingnya perhiasan, dibarengi dengan
kedatangannya satu gadis Tibet. Nona itu memakai perhiasan yang reboh sekali.
Jubahnya yang panjang berwarna biru muda, sedang badannya ditutup dengan baju
sutera warna biru langit dan pinggangnya diikat sama selendang sutera. Dengan
dandanan yang kaya-raya, ia seperti juga sekuntum bunga mawar di musim panas. Tapi,
setahu bagaimana, dengan segala kerebohannya itu, orang yang melihat masih mendapat
perasaan bahwa nona itu berharga murah.
Dengan mulut tersungging senyuman, puterinya Touwsoe berjalan ke arah Thian Oe.
Pemuda itu terkejut. Begitu berhadapan, gadis itu membungkuk dan sembari tertawa ia
berkata: "Tali sepatumu kendor!" Di lain saat, dengan kedua tangannya ia bikin kencang
tali sepatunya Thian Oe.
Kejadian itu yang tidak terduga-duga, membuat Thian Oe jadi kesima. Ia seperti tidak
tahu apa yang dilakukan oleh gadis itu dan juga tak tahu apa yang ia harus berbuat.
Sesudah ikatkan sepatunya Thian Oe, gadis itu lalu bangun berdiri dan paras mukanya
jadi bersemu merah. Ia pelengoskan mukanya supaya matanya tidak kebentrok dengan
matanya Thian Oe yang mengawasi dengan perasaan tidak mengerti.
Sementara itu, Tan Teng Kie kasih lihat paras yang penuh keheranan, tercampur sedikit
kegirangan. Touwsoe tertawa besar dan berkata dengan suara girang: "Keringkan cawan!
Mulai dari sekarang, kita jadi orang sendiri!"
Tan Thian Oe seperti orang sadar dari tidurnya dan mukanya lantas berobah pucat. Ia
ingat, bahwa menurut adat kebiasaan di Tibet, jika seorang gadis ikatkan tali sepatunya
satu pria, berarti gadis itu meminang si pria. Dan jika pihak lelaki tidak menolak, berarti ia
setuju dan tinggal pilih hari buat langsungkan pernikahan. Puteri Touwsoe sering tunggang
kuda dan memanah di padang rumput, dimana beberapa kali ia bertemu dengan Tan
Thian Oe, yang sama sekali tidak menaruh perhatian. Gadis itu sudah cukup usianya dan
sudah temponya buat menikah, akan tetapi belum ada pemuda yang pantas buat jadi
suaminya. Melihat Thian Oe yang cakap, puterinya Touwsoe jadi menaruh hati. Dan
sekarang ternyata, bahwa maksud perjamuannya Touwsoe adalah buat rangkap jodoh
puterinya dengan puteranya Tan Teng Kie.
Dengan paras muka berseri-seri, Touwsoe angkat satu cawan yang kakinya tinggi. "Aku
sungguh merasa puas dengan perjodohan ini." kata ia kepada Teng Kie. "Tjinke (besan),
marilah kita keringkan cawan."
Tan Teng Kie tidak tahu harus berbuat bagaimana. Mendadak sang putera berkata
dengan suara gugup: "Tidak, aku tidak puas!"
Mukanya Touwsoe berobah dengan mendadak."Apa?" ia membentak. "Kau tidak puas
dengan puterinya seorang Touwsoe?" Sedang sang ayah marah, sang puteri lantas
menangis.
"Oleh karena masih berusia sangat muda, anakku jadi tidak mengenal aturan," berkata
Teng Kie dengan perasaan bingung. "Mohon Touwsoe jangan jadi gusar."
Touwsoe itu kembali tertawa girang. "Nah, inilah baru omongan yang benar," kata ia.
"Hei, bocah! Lekas keringkan cawan bersama tunanganmu!"
Puterinya Touwsoe yang barusan menangis juga lantas tertawa. Ia segera angsurkan
satu cawan arak kepada Thian Oe, yang jadi bingung sekali.
Saat itu... di luar kebun bunga mendadakan saja terdengar suara ribut. Tiba-tiba,
seorang yang rambutnya teriap-riap menerobos dan berteriak: "Tan Taydjin, celaka!
Celaka!"
Teng Kie terperanjat. "Ada apa?" ia tanya.
"Kantor dibakar penjahat! Banyak yang mati dan luka!" sahut orang itu.
Cawan arak terlepas dari tangannya Teng Kie, sedang Thian Oe, tanpa mengucapkan
sepatah kata, segera loncat turun dari pendopo dan cemplak seekor kuda yang lantas
dikaburkan sekeras bisa.
"Segala perampok kecil, buat apa bikin banyak ribut?" kata Touwsoe sembari tertawa.
"Kangho Nyepa, tolong siapkan seratus serdadu untuk bekuk kawanan kecu itu, Tjinke,
dengan aku sebagai sandaran, kau tidak usah takutkan apa juga!"
Teng Kie bingung sekali. Baru saja Touwsoe tutup mulutnya, ia sudah lari turun dari
pendopo, cemplak kudanya yang lantas dikaburkan. Lapat-lapat ia dengar suara
tertawanya Touwsoe yang berteriak: "Tjinke Ponpo, perjamuan belum berakhir. Sesudah
penjahat dibekuk, lantas balik kesini bersama puteramu!"
Thian Oe yang kaburkan kudanya seperti terbang, jauh-jauh sudah lihat sinar api.
Bagus juga waktu itu tidak turun angin dan api belum mengamuk hebat. Ia loncat turun
depan kantor Amban, dimana ia dengar teriakan dan rintihan, tapi sang penjahat sudah
tidak kelihatan mata hidungnya.
Buru-buru ia loloskan jubah panjangnya dan menerobos masuk ke dalam kantor. Disitu
ia ketemukan banyak mayat yang pada menggeletak, tapi tidak lihat tanda-tanda darah, la
mengetahui, bahwa mereka binasa sebab kena pukulan berat. Beberapa di antaranya
yang belum mati pada berteriak-teriak kesakitan.
Thian Oe terkejut dan memanggil: "Siauw sinshe! Siauw sinshe!" Mendadak di antara
tumpukan mayat terdengar suara orang: "Siauw sinshe dan penjahat sudah pergi!" Orang
itu adalah Kang Lam.
"Aduh! Terima kasih kepada Tuhan, kau tidak binasa," kata Thian Oe.
"Dua perampok itu duga aku sudah mampus," kata si kacung sembari Ieletkan lidah.
"Ha! Sebenarnya aku berlagak mati dan berhasil tipu mereka. Kalau tidak begitu, sekarang
aku tentu sudah tidak bernyawa!" Dalam keadaan yang berbahaya, ternyata Kang Lam
masih belum hilang kebawelannya.
Thian Oe lantas ajak ia menyingkir keluar dari dalam kantor dan kemudian berkata:
"Bagaimana sih kejadiannya? Coba ceritakan."
"Baru saja kalian berangkat, dua penjahat datang kesini," Kang Lam mulai menutur.
"Mereka itu adalah dua orang Han yang turut rombongan penyanyi. Satu antaranya adalah
orang yang telah panah padamu. Apa kau masih ingat?"
"Ingat. Bicara terus," kata sang majikan.
"Satu penjahat membawa bungbung penyemprot api. Kemana juga ia menyemprot, api
segera berkobar," kata si kacung. "Siauwya, apa kau pernah lihat benda yang luar biasa
itu?"
"Belum pernah. Lekas teruskan, jangan omongkan segala tetek bengek," kata Thian Oe
dengan suara berdongkol dan tidak sabaran.
Kang Lam manggutkan kepalanya dan teruskan penuturannya: "Penjahat yang satunya
lagi membawa satu gendewa besar. Wah tangannya cepat sekali! Begitu ketemu serdadu
pengawal, ia
menyabet ke arah kepala, dan begitu kena, serdadu itu kontan roboh tanpa bersuara lagi.
Sebelum ia datang dekat kepadaku, buru-buru aku rebahkan diri di atas lantai dan
berlagak mati. Ha! Waktu itu Siauw sinshe keluar. Punggungnya tidak bongkok lagi, kedua
matanya besar dan bundar. "Orang she Siauw ada disini!" ia berteriak. "Urusan kita tak
ada sangkut pautnya dengan majikan rumah ini. Marilah kita pergi ke gunung di belakang
buat mendapat kepastian, siapa mati, siapa hidup. Hari ini akan aku iring keinginanmu
buat bereskan hutang yang sudah sepuluh tahun lamanya!"
Baru saja Kang Lam bicara sampai disitu, di sebelah kejauhan kelihatan debu
mengepul, diikuti dengan suara berbengemya kuda. Tan Teng Kie dan pengawalnya
ternyata sedang mendatangi.
"Aku mau pergi ke gunung buat cari sinshe," kata Thian Oe kepada kacungnya. "Kau
cuma boleh beritahukan hal ini kepada looya." Sehabis berkata begitu, ia cemplak kuda
yang lantas dikaburkan.
Jalanan gunung penuh bahaya, disini es disana salju dengan batu-batu dari macam-
macam bentuk, sehingga sang kuda tidak dapat lari cepat. Sesudah lewati dua lembah,
kupingnya Thian Oe dapat dengar suara "ting-tang, ting-tang", seperti juga suara
tetabuhan yang tidak ada lagunya
dan membikin sakit kuping pendengar.
Thian Oe naik ke tempat tinggi dan melongok ke bawah. Ia lihat gurunya
yang
bersenjatakan hudtim (kebutan debu) sedang dikepung oleh dua orang. Satu musuh
bersenjata gendewa besar yang talinya mengeluarkan suara "ting-tang" jika kelanggar
senjata gurunya. Musuh yang satunya lagi bersenjata Tjittjiat Djoanpian (Pian lemas tujuh
tekukan), yang menyambar-nyambar bagaikan kilat.
"Soehoe!" Thian Oe berteriak.
Sembari sampok gendewa musuh, Siauw Tjeng Hong berseru: "Oe-djie, jangan
kemari!" Suaranya tidak lampias, lantaran napas sengal-sengal. Thian Oe kaget. Biarpun
ia baru saja mendapat dasar-dasarnya pelajaran Iweekang (ilmu dalam), tapi, mendengar
suara gurunya, ia mengetahui bahwa sang guru sudah mendapat luka di dalam.
Siauw Tjeng Hong sebenarnya adalah satu tayhiap (pendekar) yang umpatkan diri.
Secara diam-diam ia turunkan pelajaran ilmu silat kepada muridnya itu, dengan memesan
wanti-wanti, bahwa hal itu tidak dapat dibocorkan. Ia memberitahukan, bahwa kalau bocor,
jiwanya terancam bahaya. Demikianlah, Thian Oe belajar ilmu surat di-waktu siang dan
ilmu silat di waktu malam, sehingga ayahnya sendiri tidak mengetahui.
Thian Oe belajar ilmu silat di tahun kedua sedari datangnya Tjeng Hong, sehingga ia
sudah belajar tujuh tahun lamanya. Selama itu, ia cuma mengetahui, bahwa gurunya
adalah ahli silat kenamaan dari Tjengshia pay (Partai kota hijau). Tentang asal-usulnya
sang guru dan kenapa ia tinggalkan Tionggoan (wilayah Tiongkok) buat ikut keluarga Tan,
Tjeng Hong sama sekali belum pernah bilang kepada muridnya dan larang sang murid
menanya melit-melit. Ia cuma mengatakan, bahwa mereka berjodoh dan kalau sang murid
bocorkan asal-usulnya, jodoh itu akan habis. Thian Oe adalah seorang yang sangat jujur
dan hormati gurunya itu. Sesudah menanya sekali, ia tidak berani menanya lagi.
Pertempuran di atas lapangan yang tertutup es jadi semakin hebat. Sering-sering
terdengar suara hancurnya kepingan-kepingan es yang terinjak oleh ketiga orang itu. Buat
orang biasa, jangan kata berkelahi, berjalan di atas es yang licin mungkin sudah tidak
mampu. Hatinya sang murid bergoncang keras. "Walaupun mesti dicomeli, kali ini aku
tidak dapat menurut lagi perintahnya guru," kata ia dalam hatinya. Sembari menahan
napas, ia buru-buru turun. Ia tahu, kedua musuh itu sangat tangguh dan penyerbuannya
sama juga mengantarkan jiwa. Akan tetapi, hatinya tidak tega buat peluk tangan, sedang
jiwa gurunya terancam bahaya.
Mendadak ia melihat badan gurunya limbung, disusul dengan suara hancurnya
kepingan es, seperti juga kaki gurunya terpeleset dan badannya jadi limbung doyong ke
depan. Orang yang bersenjata pian sungkan sia-siakan ketika yang baik dan menyabet
bagaikan kilat dengan sabetan yang membinasakan. Thian Oe terkesiap dan keluarkan
teriakan tertahan. Akan tetapi, sedang mulutnya masih menganga, matanya lihat satu
bayangan hitam melesat ke tengah udara, dibarengi dengan teriakan hebat dan badannya
seorang lain tergelincir ke dalam jurang es.
Orang yang bersenjata gendewa menggereng seperti binatang terluka dan menyabet
dengan senjatanya. Ternyata orang yang barusan loncat ke atas adalah Siauw Tjeng Hong
yang sengaja
berlagak terpeleset, dan ketika musuhnya menyabet dengan pian, ia kirim satu tendangan
yang sudah mendapat hasil.
Kupingnya Thian Oe mendadak dengar suara mengaungnya tali gendewa dan lihat
benang-benang hudtim gurunya yang halus bagaikan sutera berterbangan di tengah
udara, seperti juga kena ditarik putus dengan tali gendewa.
Harus diketahui, bahwa kebutannya Siauw Tjeng Hong dilihatnya halus seperti buntut
kuda, tapi sebenarnya benang-benang itu terbuat dari emas hitam yang luar biasa kuat
dan uletnya, sehingga merupakan satu senjata mustika. Dan sekarang, benang-benang itu
kena ditarik putus dengan tali gendewa musuh. Dari sini dapat dibayangkan, bagaimana
tinggi adanya tenaga dalam sang musuh.
Mukanya Thian Oe jadi pucat. Selagi ia niat memburu, kupingnya mendadak dengar
lagi satu suara
"ting-tang" yang luar biasa keras dan berkumandang jauh. Di lain saat, kedua orang
yang sedang bertempur terpental dan jatuh duduk di atas tanah. Gurunya goyang-goyang
hudtimnya seperti orang yang mau memukul, sedang sang musuh pentil tali gendewanya,
yang sekarang sudah tidak bersuara lagi. Heran sungguh hatinya Thian Oe melihat
kejadian itu.
Ketika itu Thian Oe sudah memburu ke tanah datar dan cuma terpisah kurang lebih 100
tindak dari kedua orang itu. Ia lihat gurunya duduk di atas es dengan kepala
mengeluarkan uap putih dan musuhnya juga sami mawon. Mereka duduk berhadapan
dalam jarak tidak lebih dari sepuluh tindak dan matanya saling mengawasi dengan penuh
kegusaran, tapi badan mereka sama sekali tidak bergerak.
Melihat begitu, Thian Oe mengetahui, bahwa gurunya sedang ukur tenaga sama
musuhnya dengan gunakan lweekang (tenaga dalam) yang paling tinggi. Di lain saat, ia
melihat gurunya
kalah seurat dari musuhnya. Tanpa berpikir lagi, ia pentang gendewanya dan lepaskan
sebatang anak panah ke arah bebokongnya musuh.
"Oe-djie! Lekas lari!" mendadak gurunya berteriak. Pada detik itu, sang musuh
kebaskan gendewanya dan anak panahnya Thian Oe menyambar balik. Thian Oe
terkesiap, tapi masih keburu angkat goloknya buat menangkis. Ia rasakan lengannya
kesemutan dan telapakan tangannya pecah, sedang anak panah itu menancap di atas
golok! Kalau bukan secara kebetulan goloknya dapat menangkis, anak panah itu tentu
sudah menembus ulu hatinya.
Thian Oe kaget tidak terhingga dan sebelum ia dapat tetapkan hatinya, kupingnya
sudah dengar lagi satu teriakan keras. Ia lihat badan gurunya melesat ke udara, sedang
sang musuh bergulingan beberapa kali dan badannya tergelincir ke dalam jurang, seperti
kawannya tadi.
Thian Oe buru-buru menghampiri. Siauw Tjeng Hong waktu itu sudah jatuh duduk di
atas tanah, matanya meram, mukanya pucat seperti kertas, sedang kebutannya
menggeletak di
dekatnya. Sambil tundukkan kepala, sang murid berdiri mengawal gurunya itu. Kira-kira
sepasangan hio, mukanya Siauw Tjeng Hong perlahan-lahan bersemu merah dan kedua
matanya terbuka. "Oe-djie, tolong ambilkan hudtim," kata ia dengan napas sengal-sengal.
Thian Oe lantas saja pungut kebutan itu.
"Gantung hudtim itu di pinggangku," memerintah lagi sang guru.
Sekarang Thian Oe baru dapat lihat, bahwa jeriji gurunya gemetaran, pundaknya turun
dan gerakannya sukar sekali.
"Soehoe, kau kenapa?" ia tanya dengan suara berkuatir.
"Hudtim-ku masih ketinggalan separoh, sedang tali gendewanya kena aku kebut putus,"
kata sang guru sembari mesem. "Dalam pertandingan ini, aku tidak terhitung kalah."
"Tapi, tanganmu... tanganmu," kata sang murid.
Siauw Tjeng Hong kembali mesem dan berkata: "Orang she Tjoei itu adalah ahli silat
kelas satu dari Khongtong pay. Dengan berhasil gulingkan dia ke dalam jurang, aku
sendiri pun mesti mendapat sedikit luka. Kedua lenganku kena kepukul senjatanya, hingga
jadi begini. Akan tetapi, ia masih belum mampu membuat aku bercacat selamanya. Dalam
tempo lima hari, atau paling lama tujuh hari, aku sendiri akan dapat menyembuhkan. Oe-
djie, sekali ini aku ketolongan lantaran anak panahmu."
Thian Oe jadi kemalu-maluan dan berkata: "Anak panah yang dilepaskan olehku sama
juga telor menghantam batu. Bukan saja tidak mengenakan sasaran, malahan kena
dipukul balik. Ini semua disebabkan ilmu silatku masih sangat rendah, sehingga tidak
dapat membantu soehoe."
"Oe-djie, kau ternyata masih belum mengerti terang persoalannya," kata sang guru.
"Kalau begitu, mohon soehoe sudi menerangkan," kata Thian Oe.
"Tadi musuh sedang layani aku dengan tumplek semua tenaganya," demikian Siauw
Tjeng Hong memberi keterangan. "Oleh karena mesti menyambut anak panahmu,
perhatiannya jadi terpecah dan dengan menggunakan kekosongan itu, aku menyerang
masuk. Kalau bukannya begitu, walaupun aku tidak sampai menjadi kalah, tapi buat
menang juga bukannya perkara gampang. Cuma saja, kau sudah menempuh bahaya
yang terlalu besar. Kalau bukan jaraknya ada seratus tindak, kau pasti tidak akan kuat
menahan serangannya itu. Kalau diingat, sungguh luar biasa. Ilmu memanah yang aku
ajarkan padamu sudah membikin bocor rahasia tempat sembunyiku. Tapi ilmu itu juga
sudah membantu aku untuk jatuhkan musuh."
Sang murid jadi merasa heran dan menanya: "Kalau begitu, apakah soehoe mau
bilang, bahwa ia memanah padaku dengan anak panah tumpul adalah buat cari tahu
rahasia?"
"Benar." sahut gurunya. Dengan melihat caranya kau menangkap anak panah, ia lantas
tahu bahwa kau adalah muridku. Sepuluh tahun ia cari ubak-ubakan dan akhirnya dapat
ketemukan juga padaku."
Hatinya sang murid jadi sangat tidak enak sebab ia mendadak ingat suatu hal. "Kalau
begitu, apakah semua pengembara yang menjual suara adalah orang-orang jahat?"
"Ah, tidak," sahut sang guru. "Aku sudah cari keterangan, bahwa selainnya itu wanita
Tsang, yang lain semuanya benar-benar adalah kaum pengembara. Kedua musuhku dan
wanita itu masing-masing mempunyai maksud tertentu dan sudah campuri dirinya ke
dalam rombongan pengembara."
"Apakah soehoe mendapat tahu asal-usulnya wanita Tsang itu?" tanya lagi Thian Oe
dengan hati berdebar.
"Tidak, aku tidak tahu," kata Siauw Tjeng Hong. "Urusan sendiri sudah cukup bikin aku
jadi sakit kepala, manalah aku mempunyai kegembiraan buat cari tahu asal-usulnya
wanita itu. Ah, Oe-djie, sekarang jodoh kita sudah sampai pada akhirnya."
Sang murid jadi sangat terkejut. "Ada apa lagi yang harus ditakuti? Bukankah kedua
musuh itu sudah binasa?" kata ia.
Siauw Tjeng Hong meringis dan menyahut: "Ong Lioe Tjoe yang kena tendanganku
mungkin tidak dapat hidup lagi. Tapi Sinkiong (Gendewa malaikat) Tjoei Loosam (Si tua
ketiga she Tjoei) mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat dan aku duga ia tidak mati
lantaran jatuh. Selainnya begitu, aku bukannya cuma mempunyai dua musuh berat.
Kepandaiannya musuh yang ketiga malahan banyak lebih tinggi dari kepandaianku. Jika
Tjoei Loosam tidak mati, ia tentu akan ajak musuh itu cari padaku. Aku kuatir dalam dunia
ini tidak ada orang yang dapat menolong."
"Habis bagaimana baiknya, soehoe?" tanya Thian Oe dengan suara bingung.
"Aku dengar di pinggiran Tibet ada hidup satu orang luar biasa," kata Siauw Tjeng
Hong. "Mungkin sekali ia masih dapat melawan musuhku itu. Cuma aku tidak tahu apa ia
sudi menolong atau tidak. Akan tetapi, dalam keadaan yang serba sulit, aku tidak dapat
lihat lain jalan lagi. Hari ini juga aku mau berlalu dari tempat ini buat coba-coba cari
padanya."
Selagi Thian Oe mau menanya lagi, mendadak ia lihat satu titik hitam di lamping
gunung yang sedang turun mendatangi dan semakin dekat jadi semakin nyata. "Ah, itulah
Kang Lam," kata Thian Oe.
Sesudah berhadapan, napasnya Kang Lam memburu dan sengal-sengal. Sesudah
sengal-sengalnya jadi lebih reda, ia berkata: "Looya
perintah aku cari kalian. Urusan hari ini, sesuai dengan pesanan Siauwya, aku sudah
beritahukan Looya."
"Bagaimana keadaan Looya?" tanya Thian Oe.
"Looya datang bersama serdadu pengawal dan tidak lama kemudian pasukannya
Touwsoe juga sampai," menerangkan Kang Lam. "Sekarang api sudah padam, yang
binasa sudah dirawat, yang luka sudah diobati. Serdadu kantor banyak sekali yang tewas
dan yang ketinggalan cuma beberapa belas orang saja. Looya bilang, ia mau pergi ke
Lhasa buat memberi laporan kepada
Jenderal Hok. Nyepa yang pimpin pasukannya Touwsoe, mengatakan ia mau cari kau.
Menurut katanya, malam ini kau harus pergi ke rumahnya Touwsoe."
"Tidak, aku tidak mau!" kata Thian Oe.
"Benar," kata Kang Lam lagi. "Looya juga tahu, kau tentu tidak mau. Ia perintah aku
sampaikan kepadamu, bahwa ia tak mau paksa kau melakukan apa-apa yang tidak
disukai olehmu. Sekarang ia tahu, bahwa Siauw sinshe adalah orang yang berkepandaian
tinggi, sehingga hatinya jadi lega dan suka permisikan kau mengikuti sinshe. Siauwya, ada
urusan apa yang kau tidak suka lakukan?"
Sang majikan tidak gubris pertanyaannya si kacung. "Soehoe," kata Thian Oe sambil
berpaling kepada gurunya. "Kalau begitu, biarlah aku ikut cari orang luar biasa itu."
"Kau ikut? Tak boleh! Berbahaya sekali," kata gurunya.
"Soehoe, kalau berdiam terus disini malahan akan lebih berbahaya," kata lagi Thian Oe.
"Bagaimana persoalannya aku akan ceritakan belakangan. Kang Lam, kau pulang saja
dan beritahukan Looya, bahwa aku akan pergi ke Lhasa buat ketemui ia."
Tjeng Hong awasi kedua tangannya dengan perasaan terharu sekali. "Muridku," kata ia
dengan suara sember. "Aku mengerti niatanmu yang sangat baik. Baiklah, kau boleh ikut
padaku."

***

Waktu itu sudah buntut musim semi, akan tetapi di jalanan pegunungan antara Sakya
(di Tibet Selatan) dan Shigatse (Tibet Barat), es dan salju masih belum mulai lumer.
Pengembara yang nyalinya paling besar juga mesti tunggu kira-kira setengah bulan lagi
sampai sinarnya matahari musim panas lumerkan gumpalan-gumpalan salju yang
menutup jalanan, barulah berani berjalan. Tapi tak terduga, pada waktu itu toh masih
ada dua penunggang kuda yang berani lalui jalanan gunung yang bulat-belit dan penuh
bahaya itu. Kedua penunggang kuda itu, satu tua dan satu muda, bukan lain daripada
Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe.
Tibet dikenal sebagai "Atapnya dunia." Daerah antara Sakya dan Shigatse, di sebelah
selatan terdapat pegunungan Himalaya, sedang di sebelah utara membentang gunung
Koenloen san, sehingga jalanannya lebih-lebih sukar dilewati. Di tempat tinggi, tipisnya
hawa udara membikin orang lebih sukar bernapas. Baik juga, Siauw Tjeng Hong
mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat, sedang Tan Thian Oe sudah memiliki dasar-
dasarnya ilmu silat dan usianya masih sangat muda, sehingga mereka tidak merasakan
penderitaan yang terlalu berat. Tapi kedua tunggangannya sangat kepayahan, napasnya
sengal-sengal, sedang dari mulutnya keluar ilar tak hentinya.
"Manusia masih dapat tahan, sang kuda dapat mati kecapaian," kata Siauw Tjeng Hong
sembari usap-usap bulu suri kudanya.
Hawa udara di Tibet Barat sangat luar biasa. Waktu siang, matahari sangat panas, dan
ditambah sama tipisnya hawa udara, panasnya menakuti orang. Akan tetapi, di tempat-
tempat teduh, atau di waktu malam, dinginnya bukan main.
Walaupun di puncak gunung, es bertumpuk-tumpuk, sedang di lurang, sungai es
mengalir legat-legot laksana naga, akan tetapi orang yang berkepandaian bagaimana
tinggi pun tidak berani menempuh bahaya buat coba-coba memacul es atau salju buat
dilumerkan menjadi air. Harus diketahui, bahwa dengan sedikit getaran saja, tumpukan
salju bisa menjadi ambruk dan manusia serta binatang bisa terkubur hidup-hidup. Maka
itulah, dengan tumpukan es di seputarnya, seorang pelancong bisa kehausan setengah
mati, tanpa berani mengambil es itu.
Melihat tunggangannya sengal-sengal, Siauw Tjeng Hong menanya: "Kita masih punya
berapa kantong air?"
"Tiga kantong," jawab muridnya.
"Bagus," kata sang guru. "Coba berikan setengah kantong kepada kedua kuda. Kita irit
sedikit. Tanpa diberi minum, kedua binatang ini tidak akan kuat berjalan terus."
Kedua lengannya Siauw Tjeng Hong yang kena dibikin luka oleh musuh, masih belum
dapat bergerak leluasa, sehingga segala pekerjaan dilakukan oleh Thian Oe seorang.
Thian Oe lantas loncat turun, buka kantong air dan beri minum kedua binatang itu.
Mendadak di sebelah belakang terdengar suara kelenengan kuda dan tiga penunggang
kuda kelihatan mendatangi. Mereka itu adalah orang-orang Han, alisnya tebal, matanya
besar dan romannya kasar sekali. Melihat Thian Oe sedang kasih minum kudanya, satu
antaranya berkata: "Sayang! Sayang!"
Orang yang jalan paling depan tahan les dan berhenti di pinggirnya Thian Oe. "Eh," ia
menegur. "Apa kau punya banyak air? Persediaan kami sudah hampir habis. Dapatkah
kau bagi satu kantong?"
Cara bicaranya orang itu yang sangat kasar membuat Thian Oe jadi kaget dan, berkata
dalam hatinya: "Disini air lebih berharga daripada emas. Cara bagaimana bisa bagi kau?"
Tapi sebelum ia menyahut, gurunya sudah mendahului: "Pelancong harus saling
membantu. Oe-djie, kasihkan!"
Thian Oe tidak berani membantah. Ia serahkan satu kantong kepada orang itu yang
lantas tenggak dengan bernapsu sekali. "Kau orang baik. Mau kemana?" kata ia sembari
lirik Siauw Tjeng Hong.
"Ke Shigatse," jawabnya dengan pendek.
"Kenapa begitu buru-buru, tak mau tunggu sampai salju lumer?" ia tanya lagi.
"Ada anggauta keluarga yang sakit keras di Shigatse dan kami mesti lekas-lekas
tengok padanya," jawab Tjeng Hong.
Orang itu awasi kawannya. Paras mukanya mengunjuk kesangsian.
"Oe-djie," kata Siauw Tjeng Hong pada muridnya. "Hati-hati obat itu. Kantong obat lebih
baik jangan digantung di sela. Simpan saja. Jalanan sangat jelek, kalau kuda terpeleset
dan kantong obat hilang, akibatnya bisa hebat sekali. Yang lain masih tidak apa, tapi
Iiongsoeko sukar dicari."
Thian Oe terperanjat. Kantong yang tergantung di sela sebenarnya adalah kantong
senjata rahasia. Ia lirik gurunya yang balas mengawasi ia dengan sorot mata berarti. Ia
mendusin dan berkata dalam hatinya: "Benar, ketiga orang yang berani jalan di waktu
sekarang tentulah mempunyai kepandaian tinggi. Kita tidak boleh perlihatkan muka yang
sebenarnya. Tapi Iiongsoeko bukannya barang langka dan bisa dibeli dengan gampang di
Sakya. Kenapa soehoe bilang begitu?"
"Oh, kalau begitu pamilimu dapat sakit keluar-keluarkan darah?" kata lagi orang itu.
"Liongsoeko memang obatnya, tapi belum tentu bisa berhasil baik. Aku mengerti sedikit
ilmu pengobatan dan juga mau pergi ke Shigatse.
Marilah kita jalan bersama-sama."
"Bagus! Bagus!" jawab Siauw Tjeng Hong. "Walaupun aku pernah baca beberapa buku
obat, tapi tidak mengerti banyak tentang penyakit yang keluarkan banyak darah waktu
datang bulan. Maka itu, rasanya aku mesti minta pertolongan saudara untuk
mengobatinya."
"Sesudah dihadiahkan air, aku tentu akan menolong apa yang bisa," kata orang itu
sembari menyoja.
Ia lantas kedut les, sedang kedua kawannya apit Thian Oe di tengah-tengah.
Thian Oe merasa jengkel lantaran tidak mengerti maksud perkataan gurunya, dan
dengan diapit di sama tengah seperti orang perantaian, hatinya jadi mendeluh. Ia tidak
tahu, bahwa biarpun di Sakya liongsoeko, bukannya barang langka, akan tetapi pada
waktu begini, liongsoeko sukar didapat di Shigatse, karena mesti menunggu sampai
lumernya salju barulah ada pedagang yang angkut obat itu ke Shigatse.
Di sepanjang jalan, ketiga orang itu coba pancing-pancing Siauw Tjeng Hong. Akan
tetapi ia berlaku sangat hati-hati. Begitu lekas pembicaraan biluk ke soal Kangouw, ia
lantas memberi jawaban tolol dan belokkan omongan ke ilmu pengobatan.
Mereka ternyata tidak mempunyai banyak pengetahuan tentang ilmu tersebut dan cuma
kenal cara mengobati orang kepukul, muntah darah dan sebagainya, yang umumnya
harus dimengerti oleh orang yang pandai silat.
Sesudah jalan beberapa lama, matahari doyong ke barat. "Untung kita tidak ketemukan
salju roboh," kata orang yang jalan paling depan. Belum habis ia ucapkan perkataannya,
di sebelah depan mendadak terdengar suara tindakan kaki kuda. Ia terkejut dan lihat satu
penunggang kuda
mendatangi dari satu lembah. Kaki kudanya dibungkus kain wol tebal buat menjaga hawa
dingin, sehingga tindakannya baru dapat didengar, sesudah ia datang dekat.
Jalanan disitu sangat berbahaya dan sempit dan cuma dapat dilalui oleh seekor kuda.
Kuda yang mendatangi jalan sangat cepat dan agaknya tidak akan dapat ditahan oleh si
penunggangnya, sehingga satu tubrukan sukar disingkirkan.
Orang yang beroman kasar dan jalan paling depan dari rombongan Siauw Tjeng Hong,
jepit keras perut kuda dengan kedua dengkulnya dan kuda itu lantas berhenti. Satu
tangannya terangkat dan dorong orang yang baru datang, dengan niatkan jatuhkan ia ke
dalam jurang. Sembari menjerit, orang itu tergelincir dari kudanya, sedang satu tangannya
jambret selanya orang kasar itu. Ia jatuh tepat di depan kudanya Thian Oe, sedang
jambretannya mengenakan kantong air si kasar yang lantas menggelinding jatuh ke dalam
jurang.
Hatinya Thian Oe kembali jadi kaget. Ia lihat orang itu adalah pemuda yang
dandanannya seperti anak sekolah. Disitu ia berdiri, dengan sikap yang ketakutan. Si
orang kasar loncat turun dari kudanya dan memaki: "Apa kau buta? Hayo lekas ganti
kantong airku!"
"Airku sendiri sudah diminum habis. Aku justru sedang mencari air, mana bisa
mengganti?" jawabnya.
"Tak bisa ganti?" membentak si kasar. "Baiklah! Aku keset saja kulitmu dan hirup
darahmu!" Ia cabut goloknya dan jalan menghampiri buat pegang tangannya si anak
sekolah.
Thian Oe jadi sangat gusar. Anak sekolah itu memang ceroboh, tapi mengambil jiwanya
adalah perbuatan keterlaluan. "Aku yang ganti!" ia berseru tanpa merasa lagi.
Si kasar kelihatan terkejut. "Baik!" kata ia sembari tertawa dingin. "Kau yang mau ganti?
Mari!" Thian Oe lantas saja lepaskan satu kantong air yang tergantung di sela kuda.
Waktu
berangkat, mereka bawa tiga kantong air. Satu kantong sudah dihadiahkan, satu kantong
dibuat mengganti, isinya sekantong lagi sudah diminum separoh oleh sang kuda, sehingga
sekarang mereka cuma mempunyai setengah kantong air. Si kasar tidak main sungkan-
sungkan. la angsurkan tangannya untuk sambuti kantong air itu.
Anak sekolah itu rangkap kedua tangannya dan memberi hormat kepada Thian Oe.
"Terima kasih banyak-banyak buat budi saudara yang sudah menolong jiwaku," kata ia.
"Ah, sekarang bisalah kita melihat budi pekertinya seorang koentjoe (manusia utama) dan
serakahnya seorang siauwdjin (orang rendah)."
"Kau bilang apa?" tanya si kasar sembari mendelik.
"Aku sedang bersyair, ada sangkut paut apakah dengan kau?" kata si anak sekolah.
"Sama-sama pelancong kita harus saling mengalah," kata Thian Oe dengan suara
berkuatir.
"Sudahlah, pihak tuan toh tidak mendapat rugi apa-apa."
Satu orang yang berada di belakangnya Siauw Tjeng Hong (rupanya, ia adalah saudara
paling tua antara mereka bertiga), juga turut membujuk: "Loosam, dengan memandang
mukanya ini saudara kecil, biarlah kita ampuni padanya."
Sembari marah-marah si kasar loncat naik ke atas kudanya. "Sekarang mundurkan
kudamu sampai dibilukan yang lebih luas, supaya kita bisa lewat lebih dahulu," kata ia
kepada si anak sekolah dengan suara aseran.
"Ah, buat apa begitu berabe," jawabnya. "Kemanakah kalian mau pergi?"
"Bukan urusan kau," kata si kasar.
"Manalah aku berani tanya kau? Aku tanya ini saudara kecil," kata si anak sekolah
dengan suara tenang.
"Kita semua mau pergi ke Shigatse," kata Thian Oe.
"Bagus! Bagus!" kata si anak sekolah lagi. "Kalau begitu, kita beramai semua satu
tujuan."
"Kau barusan datang dari jurusan sana, kenapa sekarang bilang mau ke Shigatse?"
tanya Thian Oe dengan penuh keheranan.
"Barusan aku cari air dan lantaran jalanan bulat-belit, jadi sampai disini," menerangkan
ia. "Aduh, haus! Haus! Saudara kecil, menolong orang harus menolong sampai di
akhirnya. Kasihlah aku minum barang dua ceglukan."
Thian Oe tidak dapat berbuat lain daripada buka lagi kantong airnya, yang isinya tinggal
separoh. Si anak sekolah lantas saja gelogok isinya dan Thian Oe mengawasi dengan
perasaan sayang.
Sesudah minum, si anak sekolah miringkan badannya dan lewat di pinggir kudanya si
orang kasar. Ia angkat les buat bilukkan kepala kuda, supaya si anak sekolah jadi kaget.
Tapi tak dinyana gerakannya si anak sekolah luar biasa cepat dan di lain saat, ia sudah
cemplak kudanya. Ia rangkap kedua tangannya dan soja kepada Thian Oe sembari
berkata: "Aku jalan duluan sebagai pengunjuk jalan."
"Siapa mau kau jadi pengunjuk jalan?" kata si kasar dengan suara perlahan. Si anak
sekolah seperti tidak mendengar dan lantas jalankan kudanya.
Si kasar yang kelihatannya masih berdongkol, tak hentinya mengoceh sama dua
kawannya dalam bahasa Kangouw yang tidak dimengerti oleh Thian Oe.
Ketika itu, matahari sudah silam ke barat. Angin gunung mulai turun dan hawa luar
biasa dinginnya. Mendadak di sebelah depan terdengar suara "srr, srr." Orang yang jalan
di belakangnya Siauw Tjeng Hong, berkata dengan girang: "Kita kuatir malam ini tidak bisa
dapat tempat mengasoh yang baik. Untung benar sekarang ketemu sumber air panas."
Sesudah lewati satu lembah, mereka tiba di satu tanah datar luas dan dari antara batu-
batu gunung yang besar, uap panas keluar bergulung-gulung, sedang cipratan air muncrat
berterbangan di tengah udara, sehingga merupakan bunga-bunga dalam warna ungu dan
merah muda. Pemandangan itu sungguh indah, seakan-akan kembang api yang dipasang
di waktu pesta Goansiauw (Capgomeh).
Dalam bumi Tibet terdapat banyak sekali gunung api yang antaranya masih terus
bekerja dan semburkan air mancur yang sangat panas ke atas bumi, dan inilah yang
merupakan salah satu pemandangan yang aneh di wilayah Tibet. Oleh karena di
pegunungan sukar mencari bahan bakar, maka penduduk sangat hargakan ini sumber air
panas. Sering-sering mereka mengikat daging kering sama tali dan dicemplungkan ke
dalam air panas itu. Sesudah lewat beberapa jam, daging itu akan matang.
Hawa di sekitar sumber air panas ini hangat seperti hawa musim semi. Selainnya itu,
sesudah dibikin dingin, air panas tersebut merupakan minuman yang paling baik. Maka
itulah, para pelancong paling girang kalau bertemu dengan sumber panas itu. Mereka
turun dari kuda dan pasang tenda buat mengasoh.
Ketiga orang yang berkawan lantas saja pasang satu tenda buat mereka mengasoh.
Oleh karena kuatir si anak sekolah dihina oleh ketiga orang itu, diam-diam Thian Oe
berdamai dengan gurunya buat undang ia itu mengasoh bersama-sama dalam tendanya.
Tapi sang guru unjuk paras muka sungguh-sungguh dan gelengkan sedikit kepalanya,
sehingga si murid tidak berani bicara lebih jauh.
Sesudah ambil air dan makan rangsum kering, mereka semua masuk ke dalam tenda.
"Soehoe, apakah kau lihat apa-apa yang kurang baik dalam dirinya anak sekolah itu?"
Thian Oe berbisik.
"Aku masih belum tahu asal-usulnya. Tapi ketiga orang yang berkawan adalah
musuhku!" jawab sang guru.
"Habis bagaimana?" tanya Thian Oe dengan terkejut.
"Pada sepuluh tahun berselang, aku telah tanam bibit permusuhan dengan tiga orang,"
menerangkan si guru. "Dua antaranya kemarin dulu datang di Sakya buat cari padaku.
Yang satu bernama Ong Lioe Tjoe, sedang yang lain Tjoei In Tjoe. Kepadaiannya Ong
Lioe Tjoe berada di sebelah bawahanku, sedang Tjoei In Tjoe kira-kira berimbang dengan
aku. Musuhku yang ketiga adalah ahli silat kelas satu dari Boetong pay, yaitu Loei Tjin
Tjoe. Kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada aku. Buat singkirkan diri, aku
mengumpat di tempat sepi. Tapi, siapa nyana, mereka dapat juga cari diriku."
"Apa antara tiga orang di tenda itu terdapat Loei Tjin Tjoe?" tanya Thian Oe.
"Kalau Loei Tjin Tjoe ada, aku tentu sudah tidak bernyawa," jawab Siauw Tjeng Hong.
"Mereka itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe. Barusan aku dapat dengar
pembicaraannya dalam bahasa Kangouw. Ternyata mereka mendapat perintah Loei Tjin
Tjoe buat cari Ong Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Masih untung, mereka tidak tahu aku
adalah musuh gurunya. Tapi mereka curigai anak sekolah itu, yang diduga adalah
muridku. Menurut
pemandanganku, anak sekolah itu juga adalah seorang yang berkepandaian tinggi,
cuma masih belum terang, apa ia kawan atau lawan. Biar bagaimana juga, kita harus
sangat berhati-hati."
Thian Oe gulak-gulik di dalam tenda dan tidak dapat tidur pulas. Tak tahu sudah lewat
berapa lama, kupingnya mendadak dengar suara tangisan di tempat jauh. Suara itu yang
menyayatkan hati seperti juga tangisan setan dalam tempat yang belukar itu. Waktu baru
mendengar, bulu badannya Thian Oe pada bangun. Lama kelamaan, Thian Oe merasa
seperti sudah pemah dengar suara begitu. Ia lantas loncat berdiri.
"Mau apa?" tanya gurunya.
"Soehoe," berbisik sang murid.
"Dengarlah tangisannya wanita itu, seperti orang sedang hadapi bencana. Rasanya
masih bisa ditolong."
"Baiklah, Oe-djie! Pergi selidiki," kata sang guru dengan mata bersinar.
"Tidak, aku harus temani soehoe," kata sang murid.
Meskipun ilmu silatnya Siauw Tjeng Hong sangat tinggi, tapi lantaran kedua tangannya
belum dapat bergerak leluasa, ia seperti juga orang bercacat. Thian Oe kuatir, begitu ia
berlalu, musuh segera menyatroni. Dari sebab itu, sedang di satu pihak, ia sangat pikirkan
nasibnya wanita yang sedang menangis,, di lain pihak ia tidak berani tinggalkan gurunya.
Tapi parasnya sang guru lantas berobah dan berkata: "Kita adalah kaum ksatria yang
mengutamakan pribudi dan kita tidak boleh berpeluk tangan, jika ketemu dengan sesama
manusia yang menghadapi kebinasaan.
Dengarlah suara tangisannya wanita itu. Kalau bukan ketemu penjahat, ia tentu mau
bunuh diri. Kau pergilah! Aku masih dapat menolong diri sendiri, jika perlu. Hayo, lekas!"
Thian Oe bersangsi. Suara tangisan jadi lebih menyayatkan hati. "Urusan ada yang
penting, ada yang kurang penting," kata Siauw Tjeng Hong dengan suara gusar.
"Saat ini menolong orang yang paling penting. Kenapa kau membandel? Hayo lekas!"
"Soehoe, kalau begitu, jagalah diri baik-baik. Aku pergi lantas kembali," kata sang murid
dengan suara terharu melihat tingginya budi pekerti sang guru.
Dengan perlahan Thian Oe keluar dari tenda dan lalu berlari-lari menuju ke arah suara
tangisan, dengan gunakan ilmu entengi badan.
Thian Oe belajar ilmu silat dengan sembunyi-sembunyi dan belum pernah digunakan
dalam praktek. Inilah buat pertama kali, ia menggunakan ilmu tersebut. Jalanan gunung
yang penuh bahaya dan banyak batunya, ditambah lagi sama gelapnya sang malam,
membikin perjalanan jadi semakin sukar. Begitu kerahkan ilmu Teetjiongsoet, badannya
melesat beberapa tombak jauhnya. Lantaran belum mahir dan lari terlalu cepat, kakinya
terpeleset dan ia jatuh terguling. Mendadakan, ia dengar suara tertawa dingin. Buru-buru
ia bangun dan memandang ke seputarnya, tapi tidak kelihatan bayangannya barang satu
manusia.
Sesudah tetapkan hatinya, ia kembali berlari-lari, kali ini dengan terlebih hati-hati.
Sesudah jalan kurang lebih setengah jam, ia tiba di depannya satu bukit es.
Di atas bukit es itu berdiri seorang wanita, yang bukan lain daripada itu gadis Tsang!
"Thianlie tjietjie," kata si nona sembari menangis. "Sungguh aku menyesal tidak belajar
lebih lama dengan kau. Sekarang bukan saja sakit hati tak dapat dibalas, malahan
berbalik didesak orang. Oh, ayah dan ibuku! Terlebih baik anakmu mengikut kau!"
Thian Oe terperanjat. Mendadak, ia lihat nona itu bergerak seperti orang mau buang
diri, tapi tidak jadi. "Biarlah! Bisa lawan satu, aku lawan satu! Mari! Mari!" katanya dengan
suara geregetan.
Ketika itu Thian Oe masih berada dalam jarak belasan tombak dari bukit es dan di
depannya menghalang satu batu besar. Si gadis pun bukannya berdiri berhadapan
dengan ia, maka perkataannya tadi tentulah bukan berarti ditujukan kepadanya.
Hatinya Thian Oe jadi legaan sebab tahu si nona tidak akan segera mengambil jalanan
pendek. Rupa-rupa pikiran saling susul berkelebat dalam otaknya. Apakah Touwsoe itu
yang jadi musuhnya si nona? Kalau benar, kenapa Touwsoe mau melepaskan ia secara
begitu gampang? Apakah, diam-diam si Touwsoe perintah orang ubar padanya? Kalau
bukan begitu, kenapa ia bilang sedang didesak orang? Dtm siapa itu wanita yang
dinamakan Thianlie? Kenapa namanya begitu luar biasa?
Sembari memikir begitu, Thian Oe niat melangkah buat mendaki bukit es. Tiba-tiba ia
dengar wanita itu berteriak keras, tangannya diayun dan sehelai sinar terang menyambar
bagaikan kilat. Itulah golok terbang! Sebelum Thian Oe dapat melihat tegas, wanita itu,
yang rupanya terpleset lantaran gunakan tenaga terlalu besar, jatuh terpelanting. Pada
saat yang sangat berbahaya, dari pojokan bukit es loncat keluar satu orang yang lantas
jambret padanya.
Thian Oe terkesiap, sebab orang itu bukan lain adalah Nyepa Omateng yang telah
minta pertolongan ayahnya buat menolong wanita Tsang itu. Tidak dinyana, Nyepa yang
rakus dan gemuk itu, yang biasanya sukar dapat berjalan tegak, sekarang dapat loncat ke
atas bukit es dalam gerakan yang sedemikian cepatnya.
Pada saat itu, Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, sedang satu tangannya
mencekal hoeito keras-keras, siap sedia buat lantas menimpuk jika Omateng coba bikin
celaka gadis itu.
"Minggir!" gadis itu membentak. "Aku memang bukan tandinganmu. Sakit hatiku tak
dapat dibalas, biarlah aku terjun ke bawah. Kau yang sudah terima perintahnya Touwsoe
buat mengubar padaku, harus mengetahui bahwa aku ini sebangsa apa. Manalah aku
mau kasih diri dihina olehmu?"
Omateng tertawa terbahak-bahak dan berkata: "Aku tahu, nama pedenganmu adalah
Sanma, sedang namamu yang asli adalah Chena. Kau adalah puterinya Raja muda
Chinpu!"
"Kalau kau sudah tahu, kenapa masih rewel!" membentak sang puteri. "Puterinya Raja
muda Chinpu cuma mengenal bunuh diri, tapi tidak boleh dihina orang! Sesudah aku
binasa di bawah bukit, barulah kau boleh kutungkan kepalaku!"
Omateng terus cekal tangannya dan berkata sembari tertawa" "Apa kau tahu, siapa
adanya aku?"
"Anjingnya Touwsoe Sakya!" sahutnya.
"Tidak," kata Omateng. "Kau salah. Aku pun musuhnya Touwsoe dan aku sengaja
datang kemari buat menolong jiwamu."
Sekarang Chena kaget. Sesudah berdiam beberapa saat, ia menanya: "Jadi kau
datang bukan buat menangkap aku?"
"Touwsoe tidak mengetahui, bahwa kau adalah puterinya Raja muda Chinpu," kata
Omateng. "Kalau ia tahu, ia tentu akan kirim orang buat bekuk padamu."
Chena menghela napas, sedang Omateng lepaskan cekalannya. "Nyalimu cukup besar,
cuma terlalu goblok," kata ia
"Apa?" Chena menegasi.
"Goblok," mengulangi Omateng. "Kau sama sekali tidak pikirkan Touwsoe mempunyai
berapa banyak orang pandai, dan dengan seorang diri, kau sudah berani coba-coba
membalas sakit hati. Aku sendiri, yang mempunyai kepandaian banyak lebih tinggi
daripada kau, bertahun-tahun mengabdi padanya sebagai Nyepa dengan menukar she
dan nama. Buat membalas sakit hati, orang harus menunggu sampai datang temponya
yang tepat. Orang Han ada bilang: "Koentjoe membalas sakit hati, sepuluh tahun masih
belum terlambat. Apakah kau belum pernah dengar nasehat itu?"
Kedua matanya Chena lantas saja berlinang air. Ia agaknya sudah percaya habis
kepada Nyepa itu.
"Siapa yang ajarkan kau ilmu silat?" Omateng mendadak tanya.
"Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)!" sahutnya.
"Pengtjoan Thianlie?" menegaskan Omateng dengan paras muka berobah. "Apa benar
Pengtjoan Thianlie?"
"Ia menolak buat jadi guruku dalam artian yang sebenarnya. Ia cuma mau ajarkan ilmu
silat buat tiga hari lamanya," menerangkan Chena.
"Oh, kalau begitu, aku percaya," kata Omateng. Dengan berkata begitu, Omateng
seperti mau bilang, bahwa jika benar Chena adalah muridnya Pengtjoan Thianlie, ilmu
silatnya mesti banyak lebih tinggi daripada apa yang dipunyai olehnya sekarang.
"Dimana tempat tinggalnya Pengtjoan Thianlie?" tanya lagi Omateng.
"Di Thian-ouw (Telaga Langit)" jawab Chena. "Namanya yang sejati jarang diketahui
orang. Cara bagaimana kau dapat mengenal padanya?"
"Sebenarnya aku tidak kenal, cuma aku tahu, ada orang yang sedang cari pad-anya,"
kata Omateng. Sesudah itu, ia bicara bisik-bisik, sehingga Thian Oe tidak dapat dengar. Ia
cuma lihat, sang puteri manggut-manggutkan kepalanya.
"Sekarang pergilah kau lari dengan ambil jalanan di bawah jurang es itu," kata
Omateng. "Disini ada satu lengtjian-nya (pertandaan) Touwsoe. Ambillah. Dengan lengtjian
itu, orang tidak akan berani ganggu padamu. Hi! Aku dengar suara orang. Pergi sembunyi.
Aku pergi lebih dahulu."
Thian Oe pasang kupingnya, tapi tidak dapat dengar suatu apa. Dengan mengintip, ia
dapat lihat Omateng keluarkan seutas tambang panjang, dengan apa ia turun ke bawah
bukit. Mendadak, dari sinar rembulan dan es, ia lihat Omateng keluarkan satu senyuman
yang membikin bulu badannya berdiri. Itulah senyuman licik, berlapis kejam! Sesudah
mendengar pembicaraannya barusan, perasaan membencinya Thian Oe terhadap
Omateng sebenarnya sudah menjadi hilang. Ia anggap, Nyepa itu adalah seorang baik.
Tapi sekarang, sesudah lihat senyuman itu, hatinya timbul perasaan sebal dan kembali
curigai orang yang serakah itu.
Sang puteri perlahan-lahan menengok ke belakang dan menggape ke arah tempat
sembunyinya Thian Oe. "Keluarlah! Aku sudah lihat kau," kata ia. Sehabis berkata begitu,
ia lantas jalan turun ke bawah bukit es.
Hatinya Thian Oe berdebar keras. Ia datang buat menolong si nona, tapi sekarang,
sesudah berhadapan, ia tak tahu mesti bicara apa.
Sesudah datang dekat, si nona berkata sambil tertawa: "Terima kasih atas
pertolonganmu kepada wanita yang menderita ini!"
Tan Thian Oe sudah hidup delapan belas tahun lamanya dan selama itu, belum pernah
ia bicara dengan wanita asing. Sebab begitu, mukanya lantas saja bersemu merah dan ia
berdiri dengan sikap kemalu-maluan. Akan tetapi, melihat gadis itu mengawasi padanya
dengan mulut tersungging senyuman, biarpun paras mukanya masih tetap dingin dan
angkuh, Thian Oe jadi merasa lebih tetap hatinya.
Tanpa merasa, Thian Oe balas mesem. Ia keluarkan selampe sutera yang berwarna
putih dan persembahkan kepada sang puteri, sebagai suatu khata. Si gadis mesem simpul
dan sambuti hadiah itu dengan dua jerijinya. Sembari masukkan khata dalam sakunya, ia
berkata: "Terima kasih buat hadiahmu. Sudah berapa lama kau datang disini?"
"Cukup lama buat menyaksikan apa yang telah terjadi barusan," jawab Thian Oe.
"Sungguh 'ku tidak nyana bahwa kau ini adalah sang puteri yang kita muliakan."
"Urusanku kau tak usah sebut -sebut lagi," kata Chena. "Di antara orang Tsang ada
satu pepatah yang mengatakan: Impian semalam jangan ceritakan di siang hari."
Thian Oe merasa kikuk sekali. Tanpa mengetahui sebabnya, hatinya sangat
memperhatikan wanita itu. Ia sangat ingin mengeluarkan isi hatinya, akan tetapi mulutnya
seperti terkancing. Akhirnya, dengan memberanikan hati, ia berkata: "Alangkah baiknya
kalau nona tidak terlalu percaya Nyepa Omateng."
"Apa ia?" kata Chena. "Urusanku aku dapat mengurus sendiri. Legakanlah hatimu."
Sesudah berkata begitu, ia agaknya merasa menyesal dan kuatir kalau-kalau
perkataannya menyinggung perasaan. Maka itu, ia kembali mesem dan berkata: "Biar
bagaimana juga, aku menghaturkan banyak terima kasih buat maksudmu yang sangat
baik. Sebenarnya aku pun tidak percaya habis padanya! Sedari tadi, aku sudah
mengetahui kedatanganmu, akan tetapi aku tidak membilang apa-apa di hadapannya."
Thian Oe juga membalas dengan satu meseman. Baru ia akan buka suara, sang puteri
sudah mendahului "Terima kasih banyak buat hadiahmu. Aku sendiri tidak mempunyai
suatu apa untuk membalasnya. Biarlah aku persembahkan sekuntum bunga kepadamu."
Thian Oe heran. "Di tempat yang begini tinggi dan dengan hawa sedemikian dingin,
dimanalah orang dapat mencari kembang?" kata ia dalam hatinya.
Chena keluarkan satu vas perak kecil dari dalam sakunya. Dalam vas itu terdapat
sekuntum bunga putih yang di atasnya masih menempel butiran-butiran embun, seperti
juga baru dipetik dari tangkainya.
"Bunga ini adalah hadiah dari Pengtjoan Thianlie dan aku sudah simpan setahun
lamanya," kata Chena. "Sekarang biarlah aku persembahkan kepadamu."
Bukan main herannya Thian Oe. Dalam dunia ini dimanakah tumbuhnya bunga itu,
yang sesudah dipetik setahun, masih kelihatan begitu segar?
"Menurut keterangan Thianlie tjietjie," kata lagi Chena. "Bunga ini dinamakan soatlian
(Teratai salju) yang ia cabut dari pegunungan Thiansan dan dipindahkan ke tempat
tinggalnya. Tidak perduli orang mendapat luka di dalam yang bagaimana berat, begitu
makan bunga ini, jiwanya akan ketolongan. Kau ambillah."
"Ah, manalah aku berani terima hadiah yang berharga sedemikian besar," kata Thian
Oe.
"Apa kau lupakan gurumu?" tanya Chena. "Aku tahu, dua orang Han itu cari
permusuhan dengan gurumu. Mungkin sekarang ia mendapat luka Hari itu kau sudah
menolong jiwaku dan aku tidak mempunyai apa-apa buat membalas budimu. Soatlian ini
justru cocok buat gurumu. Ambillah."
Mendengar begitu, Thian Oe tidak berlaku sungkan lagi dan lantas menerima vas
tersebut. Meskipun gurunya bilang, dalam tujuh hari, ia sendiri dapat menyembuhkan
lukanya, akan tetapi sekarang, sesudah lewat empat hari, kedua lengannya masih belum
dapat bergerak leluasa, sehingga belumlah tentu, apa cara pengobatan dengan jalankan
napas itu bisa berhasil baik.
"Gurumu tentu sedang menunggu dengan tidak sabaran. Kau pulanglah," kata Chena
sembari tertawa. Sehabis berkata begitu, dari pinggangnya ia loloskan seutas tambang
panjang yang ujungnya dipasangi gaetan. Dengan sekali lempar, gaetan itu nyangkol pada
batangnya satu pohon siong tua. Sambil mencekal tambang, ia ayun badannya yang
lantas terbang ke seberang. Dengan berbuat begitu beberapa kali, dalam tempo sekejap,
ia sudah lewati tanjakan di sebelah depan dan sesudah biluk di satu lembah, badannya
lantas menghilang.
Thian Oe menghela napas panjang. "Ah, bertahun-tahun aku belajar silat, tapi ia, yang
baru belajar tiga hari, sudah mempunyai kepandaian entengi badan yang lebih tinggi
daripada aku," katanya di dalam hati.
Sesudah kantongi soatlian itu, ia lantas berbalik dan berjalan pulang. Sembari jalan,
otaknya penuh dengan rupa-rupa pikiran. Ia ingat kejadian-kejadian luar biasa selama
beberapa hari paling belakang. Itu gadis dari Tsang sudah aneh sekali, akan tetapi,
didengar dari pembicaraannya sama Omateng, Pengtjoan Thianlie lebih aneh lagi. Cara
bagaimana, dalam tempo cuma tiga hari, ia sudah bikin puteri yang lemah dari seorang
raja muda menjadi seorang yang ilmu silatnya tinggi.

Dengan berjalan sembari ngelamun, tanpa merasa ia sudah lewati beberapa lembah
dan ia sudah lihat uap putih yang disemburkan oleh sumber air panas. Sesudah datang
lebih dekat, di antara suara semburan air, lapat-lapat terdengar suara bentrokan senjata
yang semakin lama jadi semakin tegas. Thian Oe terkejut dan cepatkan tindakannya.
Sekonyong-konyong kupingnya dengar suara tertawa dingin yang keluar dari pinggir
jalan. Thian Oe cabut pedangnya dan di lain saat, dari pinggir jalanan loncat keluar satu
orang yang tangannya mencekal pecut panjang.
"Bocah tolol!" ia mengejek sembari tertawa. "Kau mau pulang buat antar jenazahnya
tua bangka she Siauw?"
Dengan gusar Thian Oe menyabet dengan pedangnya. Orang itu berkelit sembari
sabetkan pecutnya ke arah pinggangnya Thian Oe, yang hampir saja kena terpecut kalau
tidak buru-buru loncat tinggi. Sembari tertawa berkakakan, orang itu gentak pecutnya yang
menyambar dua kali beruntun bagaikan ular. Dengan gerakan Toeitjhung bonggoat (Buka
jendela melongok bulan), Thian Oe membabat lengannya musuh. Orang itu benar liehay.
Dengan cepat ia robah gerakan dan sapu kakinya Thian Oe yang jadi sangat ripuh
lantaran diserang atas dan bawah. Dalam kerepotannya itu, Thian Oe kirim satu tikaman
hebat. Mendadakan, ia rasakan lengannya berat, sebab pedangnya kena digulung sama
ujung pecut. Thian Oe bingung dan tanpa berpikir keluarlah ilmu silat simpanan dari
gurunya. Ia pasang kuda-kuda dan gentak pedangnya Orang itu keluarkan seruan
tertahan lantaran ujung pecutnya yang sedang melibat jadi terlepas. Saat itu, Thian Oe
segera barengi dengan dua serangan yang saling susul. Diserang secara begitu, orang itu
terpaksa mundur beberapa tindak.
Ilmu silatnya Thian Oe sebenarnya ada lebih tinggi dari lawannya. Cuma saja lantaran
baru pertama kali bertempur dengan musuh, maka pada gebrakan pertama, hatinya
sedikit keder. Sesudah lihat kemampuan sang lawan cuma sebegitu saja, nyalinya jadi
lebih besar dan dengan tenang ia keluarkan Tjengshia Kiamhoat (Ilmu pedang dari
Tjengshia pay) yang lantas menyambar-nyambar bagaikan seekor naga. Lima puluh jurus
sudah lewat tanpa ada yang keteter. Thian Oe lebih unggul dalam ilmu pedang, tapi orang
itu lebih matang dalam pengalaman.Sekarang orang itu tidak berani lagi memandang
enteng kepada pemuda lawanannya. "Murid dari guru ternama, memang juga tidak
sembarangan," kata ia dalam hatinya.
Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, orang itu lalu keluarkan akal licik. Kakinya
terus bergerak ke kiri dan ke kanan, sehingga Thian Oe terpaksa mengikuti padanya.
Sebagaimana diketahui, jalanan gunung itu sangat berbahaya. Ditambah dengan
gelapnya sang malam dan licinnya jalanan lantaran es, bahaya itu jadi semakin besar.
Thian Oe belum mempunyai pengalaman. Buat jalan di atas jalanan gunung saja, ia sudah
tidak biasa, apalagi mesti bertempur hebat. Maka itu, baru saja bulak-biluk beberapa kali
dalam mengikuti tindakan lawannya, kakinya sudah terpeleset beberapa kali dan hampir-
hampir jatuh terguling. Dengan perlahan orang itu tuntun Thian Oe ke pinggir jurang dan
hatinya diam-diam merasa girang.
Tapi mendadak, muridnya Siauw Tjeng Hong tancap kedua kakinya dan tidak mau
bergerak lagi. Ia putar pedangnya untuk melindungi badannya dan saban-saban musuh
datang dekat, ia menikam atau menyabet bagaikan kilat. Ternyata Thian Oejuga sangat
cerdik. Begitu melihat cara berkelahinya orang itu, ia tahu akan bahaya yang mengancam.
Buru-buru ia kerahkan ilmu Tjiankin toei (Ilmu bikin berat badan seribu kati) dan tancap
kedua kakinya di atas tanah. Dalam kedudukan begitu, ia mengambil siasat membela diri.
Berulang kali orang itu coba pancing padanya, tapi ia tetap tidak mau bergerak.
Dua puluh jurus kembali sudah lewat. Orang itu tidak dapat menyerang masuk, sedang
Thian Oe pun sungkan menyerang keluar. Selagi hatinya merasa sangat tidak sabaran,
kupingnya Thian Oe mendadak dengar suara tertawa dari seorang tua. "Hm!" kata orang
itu. "Masa segala bocah kau tidak dapat takluki! Jangan bikin malu padaku. Houw-tjoe,
coba dekatan supaya aku dapat melihat terlebih nyata."
Thian Oe awasi orang itu dan hatinya kaget bukan main. Seorang lelaki tinggi besar
dan bermuka hitam panggul sebuah tandu dan dalam tandu itu duduk satu orang yang
mukanya kuning dan menakuti sekali, sedang kedua matanya bundar dan besar. Orang itu
bukan lain daripada Tjoei In
Tjoe yang kena dipukul terguling ke dalam jurang oleh gurunya. Kena terpukul hudtim,
isi perutnya mendapat luka berat, badannya mati sebelah dan tidak dapat bergerak.
Lantaran begitu, ia perintah dua muridnya tandu padanya buat pergi ke Shigatse guna cari
Loei Tjin Tjoe supaya dapat diobati oleh saudara angkatnya itu. Dan tidak dinyana, di
tengah jalan ia bertemu dengan Tan Thian Oe.
Sebagai orang yang lebih tua, ia masih menjaga kedudukannya dan sungkan turun
tangan terhadap orang dari tingkatan lebih muda. Ia lebih dahulu perintah salah satu
muridnya menyerang pemuda itu. Ia menduga, berhubung usianya yang masih sangat
muda. Thian Oe tidak mempunyai kepandaian tinggi, sedang muridnya sudah berlatih dua
puluh tahun, sehingga dengan sekali gebrak, ia taksir murid Siauw Tjeng Hong akan dapat
dibekuk.
Tapi siapa nyana, dugaannya meleset jauh sekali. Apa yang dibelajarkan oleh Thian Oe
adalah lweekang (ilmu tenaga dalam) yang tulen dari Tjengshia pay dan pemuda itu sudah
mempunyai dasar-dasar yang kuat. Ditambah dengan ilmu silat pedangnya yang sangat
bagus, kalau bukan ia
masih kurang pengalaman, murid Tjoei In Tjoe benar-benar bukan tandingannya. Melihat
muridnya keteter, mau tidak mau Tjoei In Tjoe terpaksa munculkan diri.
Mendengar makian gurunya, muridnya Tjoei In Tjoe jadi kemalu-maluan dan ia berdiri
sembari tunduk di pinggir tandu. Badan Tjoei In Tjoe mati sebelah di bagian bawah, tapi
kedua tangannya masih dapat bergerak leluasa. Sembari tertawa menyeramkan, dua
jerijinya sentil sebutir Thielian tjoe (Biji teratai besi) ke arah Thian Oe. Senjata rahasia itu
melesat bagaikan kilat dan sebelum Thian Oe keburu kelit, ia rasakan dadanya kesemutan
dan badannya terguling di atas tanah. Masih untung, lantaran mendapat luka, tenaga
dalamnya Tjoei In Tjoe sudah banyak kurang, sehingga muridnya Siauw Tjeng Hong tidak
sampai menjadi pingsan.
Muridnya Tjoei In Tjoe yang bermuka hitam lantas taruh tandu di atas tanah dan
bersama soehengnya, ia ikat Thian Oe seperti lepat.
"Geledah badannya!" memerintah sang guru.
Hasil penggeledahan itu adalah itu vas kecil yang berisi soatlian. Tjoei In Tjoe tertawa
terbahak-bahak dan berkata: "Ha! Kalau begitu Sanma rela menyerahkan soatlian dari
Thiansan kepadamu. Muridku, serahkan vas itu kepadaku."
Bukan main gusarnya Thian Oe. "Itu adalah milik guruku!" ia berseru.
"Gurumu tak perlu lagi barang begini," kata Tjoei In Tjoe. "Sebentar aku akan kirim kau
ketemui gurumu."
Thian Oe berontak-rontak sekuat tenaga, tapi tali yang bebat badannya ada
cukup kuat.
"Houwtjoe, totok jalanan darahnya dan taruh ia ke dalam tandu," Tjoei In Tjoe perintah
muridnya.
Dengan badan rebah di dampingnya musuh itu, Thian Oe menyaksikan cara
bagaimana ia buka tutup vas, ambil soatlian yang lantas dimasukkan ke dalam mulutnya!
Mengingat soatlian itu tadinya adalah untuk gurunya sendiri, bukan main sakit hatinya
Thian Oe.
Tandu lalu diangkat oleh dua muridnya Tjoei In Tjoe yang lantas jalan dengan cepat
sekali. Ketika itu, sang rembulan pancarkan sinarnya di atas puncak-puncak gunung yang
tertutup es, sehingga puncak-puncak itu jadi bersinar putih bagaikan perak.
Sambil menggeletak di dalam tandu, dengan perasaan sangat heran Thian Oe awasi
perubahan pada mukanya sang musuh. Kalau tadi muka In Tjoe kuning pias, adalah
sekarang, sesudah makan soatlian, mukanya mulai bersemu merah. Ia duduk disitu
dengan meramkan kedua matanya, sambil kasih jalan napasnya. Lewat beberapa saat, ia
tertawa nyaring sekali. "Sungguh manjur soatlian dari Thiansan!" ia berseru. Suaranya
yang nyaring berbeda sekali daripada tadi. Tak terkira sakit hatinya Thian Oe, sakit hati
yang tercampur keheranan. "Aku tidak duga soatlian begitu manjur. Luka di dalam dari
manusia ini sudah menjadi sembuh secara begitu cepat. Ah, malam ini jiwanya guru dan
murid akan binasa!" pikir Thian Oe dalam hatinya.
Sesudah lewat beberapa lama, suara semburan air panas kedengaran semakin nyata,
diseling dengan suara bentakan dan beradunya senjata. Paras muka Tjoei In Tjoe
menunjukkan keheranan. "Ih! Urat lengan si tua bangka she Siauw sudah diputuskan
dengan tali gendewaku. Cara bagaimana ia masih bisa bertempur?" kata ia.
Mendadak dengan dua jerijinya ia gunting tali yang mengikat badan Thian Oe, yang
lantas diangkat, dan ia lantas loncat turun dari tandu. "Tak usah digotong lagi!" kata ia.
"Aku Tjoei Loosam tidak berdusta. Sekarang juga aku antar kau ketemui gurumu."
Dikempit oleh musuh tangguh, Thian Oe tidak dapat berkutik. Setibanya di dekat
sumber air panas, ia lihat tendanya robek sana sini, sedang ketiga orang kasar yang
masing-masing mencekal golok mengkilap, sedang kepung gurunya yang bersita di
tengah-tengah tenda yang robek itu.
Thian Oe terperanjat. Gurunya bersila dengan badan tidak bergerak, sedang mulutnya
menggigit hudtim. Golok yang menyambar, ia sampok dengan hudtim. Tak perduli
serangan datang dari depan, samping atau belakang, dengan sedikit saja goyang
kepalanya, hudtim itu selalu dapat menyambut dengan tepat sekali! Semakin hebat
bacokan musuh, semakin hebat lagi tenaga yang menangkis.
Tjoei In Tjoe kerutkan alisnya dan kemudian tertawa berkakakan. "Siauw Tjeng Hong!"
ia berseru. "Marilah aku sambut lagi hudtimmu." Tiga orang yang sedang mengepung
lantas loncat mundur. Dengan sekali loncat, Tjoei In Tjoe sudah berhadapan dengan
Siauw Tjeng Hong dan kedua tangannya lantas terangkat naik.
Dengan seruan tertahan, Tjeng Hong pentang mulutnya dan kebutannya melesat
bagaikan anak panah. Dengan sebet, Tjoei In Tjoe kelit senjata itu.
"In Tjoe," berkata Siauw Tjeng Hong sambil menghela napas. "Lweekangmu ternyata
lebih tinggi daripada aku. Empat hari aku kerahkan hiankong, kedua lenganku belum
dapat bergerak, tapi kau sudah bisa jalan sebagaimana biasa. Aku mengaku kalah!"
"Tidak! Soehoe, kau tidak kalah!" berseru Thian Oe. "Dia yang kalah. Dia rampas
soatlian-ku." Siauw Tjeng Hong kaget dan berseru: "Apa? Dari mana kau..." Belum
habis perkataannya, Tjoei
In Tjoe sudah loncat sembari menotok jalan darahnya sama jerijinya, sehingga ia tidak
keburu menanya terus.
Tan Thian Oe yang jalanan darahnya masih belum terbuka, ketika itu telah didorong
roboh oleh satu muridnya Tjoei In Tjoe.
"Siauw Tjeng Hong," kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa. "Mengenai ilmu, kau memang
lebih tinggi daripadaku. Tapi memang sudah maunya Tuhan, aku mesti membunuh kau.
Maka itu, dengan pinjam tangan muridmu, Tuhan sudah kirim soatlian yang langka
untukku!"
Paras mukanya Siauw Tjeng Hong berobah dan keluarkan suara di hidung. "Bagus!"
kata ia. "Sungguh gagah! Hari ini aku dapat saksikan kepandaiannya ahli silat Khongtong
pay!"
Tjoei In Tjoe kembali tertawa dan berkata: "Menurut peraturan Kangouw, aku mesti
tunggu sampai kau sembuh, barulah jajal lagi kepandaianmu. Cuma aku kuatir, sesudah
sembuh, kau kembali akan kabur sembari kelepotan buntut. Kemana aku mesti cari
padamu? Apalagi dahulu, kau bersama itu perempuan siluman juga menggunakan akal
bulus buat celakakan kita. Hai! Dengarlah! Sekarang lebih dahulu aku mau balaskan sakit
hatinya toako dengan persen empat bacokan di atas mukamu!"
Sehabis berkata begitu, ia ambil sebatang golok dari tangan soetit-nya (keponakan
murid, tiga orang itu adalah murid-muridnya Loei Tjin Tjoe). Sembari bulang-balingkan
golok itu, ia tarik tangannya Siauw Tjeng Hong dan awasi muka korbannya dengan sorot
mata kejam. Mendadak ia keluarkan satu suara tertawa seperti orang kalap dan angkat
goloknya yang akan segera menyabet mukanya Siauw Tjeng Hong.
Mendadak, mendadakan saja, satu suara tertawa dingin terdengar, disusul dengan
perkataan halus mengejek: "Aduh! Gagah betul!"
Tan Thian Oe kaget sebab satu bayangan berkelebat di pinggir badannya, dan apa
yang membikin ia jadi lebih kaget lagi, adalah jalanan darahnya mendadak terbuka
sendirinya! Orang yang baru datang adalah si anak sekolah yang berdiri disitu sembari
mesemmesem simpul.
Tjoei In Tjoe mengawasi dan menanya: "Apa tuan tidak suka hati?"
"Mana aku berani!" jawab si anak sekolah. "Dalam kalangan Kangouw, soal membalas
sakit hati adalah soal yang lumrah. Cuma saja orang tua ini mempunyai sedikit hubungan
denganku."
"Dalam kalangan Kangouw, hal membantu sahabat adalah hal yang lumrah," kata Tjoei
In Tjoe sembari tertawa dingin. "Baiklah. Kita jangan banyak omong yang tidak ada
perlunya. Cabut senjatamu, aku Tjoei In Tjoe akan meladeni beberapa jurus dengan
tangan kosong."
Si anak sekolah dongak dan tertawa terbahak-bahak. "Aku belum keluar dari rumah
perguruan," kata ia. "Guruku larang aku adu tenaga dengan orang."
"Kalau begitu, apakah dengan dengar omongannya satu pitik, aku harus ampuni si tua
bangka?" kata Tjoei In Tjoe sembari tertawa bergelak-gelak. "Siapa kau? Siapa gurumu?"
"Siapa suruh kau ampuni si tua bangka?" sahut si anak sekolah. "Si tua bangka adalah
musuhku juga!"
Tjoei In Tjoe kaget dan berkata: "Kalau begitu aku salah sangka. Apa kau juga
mempunyai permusuhan dengan dia?"
"Benar," sahutnya.
"Sungguh bagus nasibmu," kata Tjoei In Tjoe dengan sikap sombong. "Dengan ilmu
silatmu, sekali pentil saja, dia bisa bikin kau terguling ke dalam jurang. Mengingat kita
berdua sama-sama bermusuh padanya, sesudah aku membacok empat kali, kau boleh
bacok satu kali buat lampiaskan ganjelanmu."
"Tidak," kata si anak sekolah. "Sakit hatiku dalam seperti lautan. Kasihlah aku yang
membalas lebih dahulu."
Hatinya Tjoei In Tjoe gusar sekali, tapi oleh karena perasaan herannya, ia segera
menahan sabar. "Kau mempunyai permusuhan apa dengan dia?" tanya ia. "Coba
ceritakan."
"Kemarin di tengah jalan aku bertemu mereka, guru dan murid," ia menerangkan.
"Waktu aku minta air dari muridnya, si tua unjuk paras sekaker. Baik juga muridnya yang
baik hati, bagikan air kepadaku. Ah, orang kehausan bisa jadi mati, dan si tua rela melihat
kebinasaan sambil berpeluk tangan. Inilah sakit hatiku yang pertama Tadi, saudara kecil
itu sebenarnya mau undang aku buat sama-sama mengasoh dalam tendanya. Tapi si tua
tidak permisikan. Tendaku sudah pada robek dan angin dingin menyerang hebat sekali,
hingga hampir-hampir aku mati kedinginan. Ah, mendesak orang sampai mesti mati
kelaparan dan kedinginan adalah kedosaan hebat. Inilah sakit hatiku yang kedua."
Begitu bertemu dengan si anak sekolah, Siauw Tjeng Hong sudah merasa heran.
Sekarang, sesudah dengar omongannya, hatinya jadi kaget sekali. "Cara bagaimana ia
bisa dapat dengar pembicaraanku dengan Oe-djie?" tanya ia dalam hatinya.
Tjoei In Tjoe jadi gusar sekali. "Jangan banyak bacot!" ia berteriak sembari sabetkan
goloknya ke arah si anak sekolah.
Sembari berteriak "A-yo!" ia miringkan badannya dan goloknya Tjoei In Tjoe jatuh di
tempat kosong.
"Kau tidak bacok si tua, sebaliknya membacok aku," berseru si anak sekolah. "Punya
sakit hati tidak dibalas, berbalik hantam kawan sendiri. Dalam dunia mana ada aturan
begitu!"
Diejek secara begitu, Tjoei In Tjoe jadi seperti orang kalap dan ia lalu membacok
beruntun tiga kali.
"Kalau kau tak mau membalas sakit hati, biarlah aku turun tangan lebih dahulu," kata si
anak sekolah, "aku belum keluar dari perguruan dan guruku larang aku menggunakan
senjata tajam. Tapi menggunakan senjata rahasia rasanya masih boleh juga."
Sembari kelit sana-sini buat loloskan diri dari bacokan saling susul, ia ayun satu
tangannya dan beberapa sinar emas melesat ke arah Siauw Tjeng Hong.
Ketika itu Siauw Tjeng Hong tak dapat bergerak lantaran jalanan darahnya sudah kena
ditotok dan beberapa jarum emas itu mengenakan tepat pada sasarannya!
Thian Oe terkesiap. Barusan mendengar si anak sekolah permainkan Tjoei In Tjoe,
Thian Oe menduga, ia berdiri sebagai kawan. Tapi tak dinyana, benar-benar ia
menggunakan senjata rahasia buat menyerang * gurunya. Tanpa berpikir lagi, ia loncat
dan hantam jalanan darah Tayyang hiat si anak sekolah dengan gerakan Kimkouw kibeng
(Tambur emas bersuara). Si anak sekolah berkelit. "Dengan menghadiahkan air, kau
adalah tuan penolongku," kata ia sembari tertawa. "Seorang laki-laki harus membalas budi
dan sakit hati secara tepat. Maka itu, manalah aku boleh turun tangan terhadap seorang
penolong." Sehabis berkata begitu, badannya berkelebat dan lantas tidak kelihatan lagi!
Sesudah membacok tempat kosong empat kali dan setelah melihat lagak lagunya si
anak sekolah yang sedemikian aneh, Tjoei In Tjoe jadi bengong beberapa saat. Hatinya
sungguh tidak dapat mengerti apa maunya orang itu.
Ia balik badannya dan menoleh kepada Siauw Tjeng Hong. Kali ini, ia benar-benar
kaget! Siauw Tjeng Hong sudah bisa angkat kedua tangannya dan berseru: "Tjoei
Loosam, marilah kita adu tenaga lagi!" Beberapa jarum emas yang menancap di
dagingnya masih kelihatan menonjol di luar bajunya dan pancarkan sinar yang gilang-
gemilang!
Ketika si anak sekolah menimpuk dengan jarum emas, hatinya Siauw Tjeng Hong
terkejut bukan main. Tapi di lain saat, mendadak ia rasakan satu perasaan segar dalam
badannya, hawa dan darah mengalir lagi seperti biasa, bukan saja jalanan darah yang
tertotok terbuka kembali, akan tetapi, urat-uratnya yang kena terpukul juga sudah pulih
seperti sediakala, sedang buku-buku tulang yang kesemutan pun sudah dapat bergerak
leluasa. Inilah ada kejadian seperti di dalam impian dan Siauw Tjeng Hong kaget
berbareng girang.
Tjoei In Tjoe terperanjat bukan main. Ketika itu tangannya Siauw Tjeng Hong sudah
terangkat dan terus menghantam dengan sepenuh tenaga. In Tjoe menyambut dan
rasakan tenaga yang luar biasa besarnya, mendorong ia sehingga badannya
sempoyongan ke belakang beberapa tindak. "Tenaga dalamnya si tua cuma lebih tinggi
setingkat daripadaku. Tapi kenapa dalam tempo yang begitu pendek, ia sudah jadi begitu
liehay?" tanya In Tjoe dalam hatinya. Ia tidak mengetahui, bahwa tenaganya Siauw Tjeng
Hong sudah pulih kembali, sedang tenaganya sendiri, biarpun lukanya sudah
disembuhkan dengan soatlian, belum balik seperti biasa, oleh karena ia mendapat luka
yang lebih berat daripada musuhnya. Itulah sebabnya kenapa ia kalah jauh dari tenaganya
Siauw Tjeng Hong.
Melihat gurunya sembuh mendadak, Thian Oe jadi seperti orang kalap lantaran
kegirangan.
"Oe-djie, hati-hati!" mendadak ia dengar gurunya berteriak.
Dua muridnya Tjoei In Tjoe menyerang dari kiri dan kanan dengan mendadak. Melihat
dirinya dikerubuti, Thian Oe lantas menyambut dengan gerakan Kaykiong siatiauw
(Pentang gendewa memanah burung tiauw). Murid-muridnya Loei Tjin Tjoe juga sudah
menyabet dengan goloknya. Dikerubuti oleh beberapa musuh, manalah Thian Oe bisa
tahan? Dalam tempo sekejap, ia sudah keteter dan keadaannya berbahaya sekali.
Mendadak terdengar suara berkerontrangan dan goloknya satu musuh terlempar di atas
tanah, sedang musuh itu berteriak kesakitan sembari pegang tangannya.
Orang yang menolong adalah gurunya sendiri. Sembari desak Tjoei In Tjoe dengan
serangan-serangan hebat, Siauw Tjeng Hong masih sempat hantam jatuh senjata murid-
muridnya Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Melihat gelagat tidak baik, Tjoei In Tjoe lantas
berseru: "Kabur!" dan bersama dua murid serta tiga cucu murid, ia panjangkan
langkahnya.
Thian Oe segera mengejar sembari tengteng pedang. "Oe-djie, balik! Jangan kejar!"
berteriak Siauw Tjeng Hong. Thian Oe lantas balik dan waktu mau menanya, ia lihat
gurunya sedang cabuti jarum, jarum emas dari badannya, dengan saban-saban gelengkan
kepalanya.
"Soehoe, bagaimana sih duduknya kejadian ini?" tanya Thian Oe.
"Dalam ilmu pengobatan ada semacam cara mengobati dengan menggunakan jarum,"
menerangkan Siauw Tjeng Hong. "Akan tetapi, yang paling luar biasa adalah dengan
menimpuk
dari tempat jauh, tujuh batang jarumnya pemuda itu bisa menancap tepat di jalanan darah
yang diingini. Dari sini dapat dibayangkan, bukan saja ilmu ketabibannya pemuda itu luar
biasa tinggi, tapi tenaga dalamnya pun tak dapat diukur bagaimana dalamnya!"
"Kalau begitu, barusan ia menolong soehoe?" kata sang murid. "Tadi aku ketakutan
setengah mati!"
Siauw Tjeng Hong menghela napas panjang dan berkata: "Sungguh-sungguh di luar
langit masih terdapat langit, di atas kepandaian masih terdapat kepandaian. Ia itu masih
berusia begitu muda, tapi ilmu silatnya banyak lebih tinggi daripada aku. Benar-benar aku
seperti kodok di dalam sumur yang tidak mengetahui luasnya langit dan bumi. Mulai dari
sekarang, sungguh-sungguh aku tak berani tonjol-tonjolkan lagi ilmu silatku." ..- "Soehoe
berdiam di rumahku hampir sepuluh tahun, tapi semua orang, kecuali aku, tidak
mengetahui, bahwa soehoe mempunyai kepandaian yang begitu tinggi," kata Thian Oe.
"Dari sini dapat dilihat, bahwa kesabaran soehoe sukar terdapat dalam dunia ini."
Siauw Tjeng Hong kembali menghela napas panjang dan berkata: "Kau mana tahu,
bahwa di waktu muda, lantaran gara-gara tonjolkan kepandaian, aku sudah bentur
bencana dan tanam permusuhan hebat dengan beberapa memedi itu."
Thian Oe yang belum pernah dengar asal-usulnya sang guru, jadi merasa sangat
ketarik dan pasang kuping terang-terang.
"Apakah kau tahu, di kolong langit dalam jaman ini, ilmu pedang partai mana yang
paling bagus?" Tjeng Hong tanya muridnya.
"Bukankah soehoe pernah bilang, ilmu pedang yang paling bagus adalah dari
Thiansan?" jawab sang murid. "Ilmu pedang dari Thiansan, yang digubah oleh Hoeibeng
Siansu telah diturunkan kepada Leng Bwee Hong dan kemudian diwarisi pula kepada
Tong Siauw Lan. Mereka itu adalah pendekar-pendekar besar dari setiap jaman dan
rasanya sukar dicari tandingannya di dalam dunia."
"Benar," kata sang guru. "Akan tetapi ilmu pedang Thiansan, lantaran berpusat di
tempat jauh, sesudah jamannya Tayhiap Tong Siauw Lan, jarang sekali terlihat di daerah
Tionggoan. Maka itulah, tiga cabang besar dari Rimba Persilatan di daerah Tionggoan
adalah Boetong, Siauwlim dan Gobie. Partai kita, Tjengshia pay, adalah pecahan dari
Gobie dan telah berdiri sebagai satu partai sendiri."
Mendengar sang guru mau bicarakan soal partai-partai ilmu pedang dengan dirinya,
Thian Oe jadi merasa heran.
"Coba kau tebak, berapa usiaku tahun ini?" tanya sang guru.
Sembari awasi rambut orang yang sudah putih, Thian Oe menjawab: "Mungkin tidak
berjauhan dengan usia ayah." Ayahnya Thian Oe berusia lima puluh tahun lebih.
"Lantaran jengkel, rambutku jadi putih sebelum waktunya," kata Siauw Tjeng Hong
sembari tarik napas. "Sekarang aku baru berusia empat puluh lebih sedikit."
Thian Oe kaget. Sebelum ia menanya apa-apa, gurunya sudah lanjutkan penuturannya:
"Pada tiga belas tahun berselang, aku berada di Soetjoan. Tahun itu kebetulan tahunan
Moh Tjoan Seng mengadakan kiatyan, yang diadakan saban sepuluh tahun sekali
(Kiatyan = Dalam agama Budha, memberi ceramah dan sedekah kepada orang-orang
miskin). Moh Tjoan Seng adalah tokoh kenamaan dari Boetong pay."
"Apakah Moh Tayhiap satu hweeshio (pendeta)?" tanya Thian Oe.
"Bukan," jawab sang guru sembari tertawa. "Moh Tayhiap bukannya memberi ceramah
tentang keagamaan seperti caranya seorang pendeta. Ia memberi ceramah kepada orang
tingkat mudaan dari kalangan Rimba Persilatan. Menurut
pendengaranku, Moh Tjoan Seng adalah ahli pedang dari tingkatan tua dan ia adalah
puteranya Koei Tiong Beng, ahli waris ilmu pedang Tatmo dari Partai Utara Boetong. Oleh
karena harus menyambung turunan keluarga Moh, ia jadi menggunakan she ibunya, yaitu
she Moh. Dalam kalangan Rimba Persilatan di daerah Tionggoan, ia diakui sebagai orang
yang mempunyai ilmu silat paling tinggi. Saban sepuluh tahun sekali, Moh Tayhiap
membuka pintu dan memberi ceramah tentang ilmu silat. Di sebelahnya itu, ia juga
memberi petunjuk-petunjuk kepada orang-orang dari tingkatan lebih muda. Maka itulah,
saban-saban ia mengadakan Kiatyan, orang-orang pandai dari berbagai cabang persilatan
pada naik gunung buat mendengar ceramahnya. Pada tempo itulah, aku mulai kenal Loei
Tjin Tjoe, Tjoei In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe. Waktu itu, di lehernya Ong Lioe Tjoe belum
tumbuh daging lebih. Namanya ketika itu adalah Ong Lioe (Lioe dalam artian "Mengalir")
Tjoe. Selewatnya tahun tersebut, lantaran di lehernya tumbuh daging lebih yang nonjol,
orang-orang Kangouw tukar huruf Lioe (Mengalir) jadi Lioe (Daging lebih). Antara orang-
orang yang hadiri Kiatyan terdapat pula seorang murid wanita Gobie pay yang bernama
Tjia In Tjin, tergelar Sengtjhioe Siannio (Dewi tangan malaikat). Sepanjang warta, ia
mempunyai ilmu silat paling tinggi di antara orang-orang tingkat kedua dari Gobie pay."
Waktu menyebutkan namanya Tjia In Tjin, badannya Siauw Tjeng Hong kelihatan sedikit
gemetar.
Pada waktu biasa, girang dan gusarnya sang guru jarang terlukis di atas mukanya, tapi
sekarang ia kelihatannya sangat dipengaruhi oleh perasaannya, sehingga Thian Oe jadi
merasa heran.
"Tjia In Tjin adalah seorang wanita cantik dan ilmu silatnya pun sangat tinggi," Siauw
Tjeng Hong lanjutkan penuturannya. "Di sebelahnya itu, adatnya juga sangat ramah-
tamah. Dalam perguruan, aku dan ia memang masih terhitung ada sangkut pautnya.
Dalam kalangan Rimba Persilatan memang tidak ada perbedaan antara lelaki dan
perempuan yang dapat bergaul secara bebas sekali. Maka itulah, ketika Moh Tayhiap
mengadakan Kiatyan, aku dan ia sudah bergaul rapat."
Biarpun Thian Oe masih belum mengenal urusan cinta, akan tetapi, dengan melihat
cara bicara gurunya, ia sudah dapat menebak, bahwa gurunya sangat menyukai wanita
yang bernama Tjia In Tjin itu.
"Pada suatu hari," kata sang guru selanjutnya. "Aku dan ia rundingkan ilmu pedang dari
berbagai partai. Menurut ia, dalam jaman ini,- biarpun ilmu pedang
Boetong tersohor dan menjagoi di Tionggoan, akan tetapi dalam soal pukulan aneh dan
kemujijatan, ilmu pedang Gobie paling terutama.
"Lain-lain partai semuanya berada di sebelah bawah dan tidak berharga buat
dirundingkan, demikian katanya. Aku tidak nyana ia begitu temberang. Ketika itu aku
masih berusia muda dan berdarah panas dan lantas saja berkata: "Aku rasa perkataanmu
tidak begitu tepat. Kau harus mengetahui, bahwa saban cabang persilatan masing-masing
mempunyai kebagusannya sendiri. Dalam hal ilmu silat tidak ada yang boleh dibilang
nomor satu dalam dunia." Mendengar omonganku, ia cuma tertawa dingin dan tidak
berkata apa-apa lagi.
"Di antara orang-orang yang hadir dalam perhimpunan, Loei Tjin Tjoe adalah ahli dari
Boetong, Tjoei In Tjoe jagoan dari Khongtong, sedang Ong Lioe Tjoe adalah muridnya The
Peng, seorang ahli silat kenamaan di Djielam. Tjoei In Tjoe mempunyai satu adik lelaki,
Tjoei Ie Tjoe namanya, yang juga masuk Gobie pay. Tak tahu lantaran apa, Ie Tjoe telah
diusir keluar dari perguruan, dan pada tahun itu, ia pun hadiri ceramahnya Moh Tayhiap.
Empat orang itu sering berada sama-sama dan mereka bergaul rapat dengan aku.
"Satu hari, kita kembali bicarakan ilmu silatnya berbagai partai, Loei Tjin Tjoe
mengatakan, bahwa Moh Tayhiap yang menjadi tjiangboen (pemimpin) dari Boetong pay,
mempunyai ilmu silat yang sedemikian tinggi, sehingga sudah tentu ilmu silat Boetong
adalah yang paling bagus di kolong langit. Aku tidak setuju dan lantas berkata: "Bakatnya
orang berbeda satu sama lain, latihannya juga tidak bersamaan. Maka itu, kalau sang
guru nomor satu dalam dunia, murid-muridnya belum tentu semua nomor satu.
Mendengar perkataanku, Loei Tjin Tjoe lantas saja menantang buat adu pedang dengan
syarat lantas berhenti, jika ada yang kena ketowel. Dalam pertandingan, aku yang kalah.
Akan tetapi, aku telah kirim pukulan Senglo kogoan (Bintang jatuh di tanah tinggi), yaitu
pukulan istimewa dari Tjengshia pay, yang telah dapat tembuskan tangan bajunya Loei
Tjin Tjoe. Biarpun kalah, aku jadi bukannya kalah seluruhnya. Sesudah bertanding, Loei
Tjin Tjoe tertawa terbahak-bahak dan puji tinggi ilmu silatku. Melihat ia tidak sombong
dalam kemenangannya, hatiku menjadi lega.
"Cuma saja, sesudah mendapat pengalaman begitu, aku mengambil putusan buat tidak
mau sembarangan adu pedang lagi. Tapi dalam dunia sering terjadi apa-apa yang tidak
diduga-duga. Belum lewat tiga hari sesudah mengambil keputusan begitu, aku kembali
terpaksa mengadu pedang."
"Ahli silat panai mana lagi yang berlaku sombong dan soehoe tidak merasa senang?"
tanya Thian Oe.
"Bukan," jawab sang guru. "Kejadiannya terjadi satu malam sebelum Moh Tayhiap
bubarkan perhimpunan. Ong Lioe Tjoe mendadak datang sendirian dan tarik tanganku
buat diajak omong di tempat sepi. Ia bilang Gobie Liehiap Tjia In Tjin mau jajal ilmu silatku
dan minta ia sampaikan keinginannya kepadaku. Selainnya itu dijanjikan kedua belah
pihak memakai kedok dan pertandingan dilakukan di belakang gunung pada jam tiga pagi.
Sesudah bertanding, kedua belah pihak lantas bubaran dan anggap seperti tidak kejadian
suatu apa. Dengan cara begini, siapa yang menang dan siapa yang kalah, tidak akan
merasa kurang enak hati. Aku menolak, tapi Ong Lioe Tjoe lantas berkata sembari
tertawa: 'Hm! Kau benar tolol! Tjia In Tjin sebenarnya ada hati terhadapmu, apa kau tak
tahu? Ia sangat kagumi budi pekertimu, cuma belum mendapat tahu tinggi rendahnya ilmu
silatmu. Sesudah aku omong begitu terang, apa kau belum mengerti maksudnya?'
Mendengar begitu, hatiku jadi goncang dan menyetujui. Tapi siapa nyana, disitu terselip
satu akal busuk."
"Bagaimana?" tanya Thian Oe.
Kedua matanya Siauw Tjeng Hong mengawasi ke tempat gelap dengan mendelong dan
kemudian berkata lagi: "Kau harus mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw, jika
seorang pria dan seorang wanita saling penuju, mereka paling suka menjajal ilmu silat,
seperti caranya kalangan sastrawan adu bikin syair. Maka itu, mendengar perkataannya
Ong Lioe Tjoe, aku jadi girang bukan main. Akan tetapi, setelah mengingat bahwa Tjia In
Tjin adalah orang terpandai dalam tingkat kedua Gobie pay, hatiku kembali merasa
sangsi.
"Ong Lioe Tjoe seperti dapat baca jalannya pikiranku dan ia lantas berkata sembari
tertawa: 'Mengenai ilmu silat dan ilmu pedang, mungkin sekali kau masih kalah sedikit,
akan tetapi, kalau di dalam beberapa puluh jurus saja, Jcau tentu tidak sampai menjadi
kalah. Ia suka sekali menggunakan pukulan Lengkim liantjie (Burung malaikat tarik
sayapnya), dan dalam puluhan jurus itu, pukulan tersebut rasanya mesti dikeluarkan
sedikitnya satu kali. Pukulanmu Senglo kogoan (Bintang jatuh di tanah tinggi) justru
adalah pukulan yang dapat pecahkan Lengkim liantjie.' Memang juga, sesudah Tjengshia
pay lepaskan diri dari
Gobie pay, telah digubah banyak sekali pukulan yang menjadi lawannya pukulan Gobie.
Maka itu, perkataannya Ong Lioe Tjoe bukannya dusta.
"Pada besok malamnya, sesuai dengan perjanjian, aku pergi ke gunung belakang.
Malam itu gelap-gulita, sedang sang angin meniup keras sekali, sehingga orang tidak
dapat melihat suatu apa dalam jarak yang lebih dari sepuluh tindak. Setibanya di gunung
itu, benar saja aku lihat bayangan orang yang memakai baju hitam dan mukanya ditutup
kedok. Potongan badannya orang itu bersamaan dengan badannya In Tjin. Aku dihinggapi
perasaan tegang dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata. Sesudah cabut pedang,
aku segera menyerang. Orang itu balas menyerang seperti hujan angin dengan serangan-
serangan yang membinasakan, seakan-akan ia sedang adu jiwa. Aku kaget bukan main.
Apakah Tjia In Tjin maukan jiwaku? Akan tetapi aku berbalik pikir, mungkin sekali ia
sengaja berbuat begitu, supaya aku keluarkan segala kepandaianku. Aku tak dapat
memikir panjang-panjang lagi sebab serangannya semakin hebat. Mau tidak mau aku
mesti keluarkan segala rupa kebisaanku buat layani padanya. Dengan cepat tiga puluh
jurus sudah lewat, tapi sebegitu jauh bukan saja pukulan Lengkim liantjie tidak muncul,
malahan cara bersilatnya tidak mirip-mirip ilmu pedang Gobie dan lebih mirip dengan ilmu
pedang Boetong. Bukan main heranku. Selagi mau menanya, dari tempat gelap
mendadak loncat keluar tiga orang yang lantas saja kerubuti aku. Sedang melawan satu
orang saja, aku sudah kewalahan, bagaimana ditambah lagi dengan tiga musuh tangguh?
Dalam sekejap, aku menghadapi bahaya.
"Dengan lantas aku berteriak: "Hei! Aku ini adalah Siauw Tjeng Hong dari Tjengshia
pay.
Siapakah adanya kau orang?" Teriakanku cuma disambut dengan tertawa dingin oleh tiga
musuh.
Mendadak terdengar satu suara tertawa nyaring. Berbareng dengan itu, satu wanita baju
hijau loncat turun dari atas pohon. Ia tidak memakai kedok."
"Apa ia Tjia In Tjin?" menanya Thian Oe.
"Benar," jawab sang guru. "Ia benar Tjia In Tjin. Aku jadi bengong lantaran kaget. Tiba-
tiba aku dengar sambaran golok dari samping dan satu bayangan hitam melesat ke
arahku. Hampir pada detik yang bersamaan, sebatang pedang yang mengkilap sudah
sampai di depan mukaku dan pukulan yang digunakan adalah Lengkim liantjie. Pikiranku
sedang kalut, dan buat tolong jiwa, tanpa merasa aku menyambut dengan pukulan Senglo
kogoan. Orang itu keluarkan jeritan keras sebab satu lengannya kena terbabat kutung.
Pada saat itu juga, pedangnya In Tjin menyambar dan binasakan padanya!
"Aku berteriak, tapi pedangnya In Tjin sudah menyambar lagi dua kali dan persen dua
bacokan pada mukanya lawanku yang pertama. Dengan dua kali suara "srt", kedoknya
robek, dan biarpun dalam kegelapan, aku masih dapat lihat darah yang berketel-ketel.
Lantaran kesakitan, orang itu cakar mukanya dan kedoknya jatuh. Melihat mukanya, aku
jadi terkesiap!"
"Apakah soehoe jadi kaget sebab lihat mukanya tidak keruan macam?" tanya Thian Oe.
"Benar," jawab Tjeng Hong. "Mukanya ditapak jalak, sedang biji matanya yang sebelah
kiri
kena ditusuk pedang, sehingga meletos keluar dan kelihatannya menakuti sekali! Tapi itu
belum seberapa. Begitu mengenali siapa adanya ia, aku jadi lebih-lebih kaget. Apakah kau
bisa tebak dia siapa?"
Mendengar penuturannya sang guru, hatinya Thian Oe berdebar-debar dan waktu
gurunya menanya, seperti orang kesima, ia balas menanya: "Siapa ia?"
Siauw Tjeng Hong tarik napas beberapa kali. "Loei Tjin Tjoe!" kata ia dengan suara
sember.
"Ah! Kenapa Loei Tjin Tjoe?" kata Thian Oe.
"Tangannya Tjia In Tjin cepat sekali," Tjeng Hong lanjutkan penuturannya. "Sesudah
lukakan Loei Tjin Tjoe, sembari tertawa nyaring, tangan kanannya yang mencekal pedang
menyabet satu kali, sedang tangan kirinya terayun dan beberapa senjata rahasia
menyambar. Dua orang lantas saja terguling. Antara empat orang yang sedang bertempur
denganku, satu binasa, tiga mendapat luka. Sebelum dapat tetapkan semangatku, Tjia In
Tjin sudah berkata sembari tertawa: "Kau juga sebenarnya harus terima satu bacokan.
Tapi mengingat kau sudah membantu aku, maka aku suka mengampuni!" Sesudah
berkata begitu, ia enjot badannya dan lantas menghilang di tempat gelap.
"Aku nyalakan umpan api dan buka kedoknya ketiga orang itu. Begitu lihat, aku jadi
lebih-lebih terperanjat, sebab yang binasa adalah Tjoei Ie Tjoe, yang kena senjata rahasia
adalah Ong Lioe Tjoe, yang kebacok adalah Tjoei In Tjoe, sedang Loei Tjin Tjoe
menggoser di atas tanah. Aku menghampiri dengan niat tolong bebet lukanya, tapi ia
membentak dengan suara keras: "Pergi!" Ong
Lioe Tjoe dan Tjoei In Tjoe juga mengawasi dengan mata gusar. Dalam malam yang
gelap itu, tiga pasang mata yang bersinar mengincar diriku, seakan-akan matanya
binatang liar yang mengawasi sang pemburu. Aku mengkirik, balik badan dan lantas kabur
sekeras mungkin, tanpa pamitan dengan Moh Tayhiap."
"Dilihat begitu, Loei Tjin Tjoe agaknya sengaja mau celakakan soehoe," kata Thian Oe.
"Tapi kenapa, ia juga pancing Gobie Liehiap Tjia In Tjin datang kesitu?"
"Kau cuma dapat menebak separoh," jawab sang guru. "Belakangan aku baru tahu,
bahwa Loei Tjin Tjoe-dan Tjoei Ie Tjoe kedua-duanya pernah melamar In Tjin.
Lamarannya Loei Tjin Tjoe ditolak sehingga ia mendapat malu besar, sedang Tjoei Ie Tjoe,
sebab mau coba nodai soetjie-nya (kakak perempuan seperguruan), sudah diusir dari
rumah perguruan. Malam itu, Loei Tjin Tjoe sudah janjikan In Tjin buat mengadu pedang,
dengan masing-masing memakai kedok. Diam-diam ia atur tiga kawannya buat membantu
padanya. Lantaran masih kuatir tak dapat menangkan In Tjin, ia perintah Ong Lioe Tjoe
pancing diriku.
"Loei Tjin Tjoe sebenarnya niat menarik keuntungan selagi aku dan In Tjin bertempur.
Tapi, dengan menggunakan siasat yang sampai sekarang tidak diketahui olehku, sebelum
tiba jam yang dijanjikan, Tjia In Tjin berhasil pancing keluar Loei Tjin Tjoe, yang, dengan
serupa tangan jahat, sudah dibikin kalang-kabut jalan darahnya, sehingga otaknya
menjadi kalut.
"Malam itu, lantaran tidak sabaran, aku sudah tiba di gunung sebelum jam tiga.
Lantaran gelap dan sebab badannya Loei Tjin Tjoe hampir bersamaan dengan tubuhnya
Tjia In Tjin, aku jadi
bergebrak dengan ia. Belakangan datanglah Tjoei In Tjoe bertiga. Mereka duga aku sudah
mengetahui akal busuknya dan berbalik membantu Tjia In Tjin. Maka itu, mereka lalu
menyerang. Tjoei Ie Tjoe adalah murid Gobie pay dan tanpa disengaja, ia sudah
menyerang dengan pukulan Lengkim liantjie, sehingga menemui ajalnya. Jika malam itu
tidak terjadi salah mengerti, biarpun ilmu silatnya In Tjin lebih tinggi lagi, aku rasa ia sukar
dapat melawan empat musuhnya itu.
"Loei Tjin Tjoe sebenarnya mempunyai paras yang cakap dan bergelar Giokbin Holie
(Rase muka batu kemala). Sekarang mukanya rusak dan satu matanya menjadi buta.
Dengan begitu, ia jadi sangat sakit hati terhadap aku dan In Tjin. Tjoei In Tjoe sendiri
menaruh dendam lantaran kebinasaan adiknya. Ong Lioe Tjoe kena terpanggang jarum
beracunnya In Tjin, dan sesudah lukanya sembuh, pada tempat bekas luka tumbuh daging
lebih. Di sebelahnya itu, ilmu silatnya pun tidak dapat pulih kembali seperti sediakala.
Sesudah peristiwa malam itu, Tjia In Tjin tidak kelihatan mata hidungnya lagi. Tiga orang
itu lantas saja tumpleki kegusarannya atas diriku dan selama sepuluh tahun, ubak-ubakan
mencari aku buat dibinasakan."
Thian Oe dengarkan penuturan gurunya dengan perasaan seram sekali. "Kalau begitu
soehoe menjadi sinshe dan kemudian ikut kita ke Tibet, lantaran mau menyingkirkan diri
dari mereka," kata Thian Oe.
"Ya!" kata Siauw Tjeng Hong sembari menghela napas panjang. "Sesudah peristiwa
malam itu, lantaran jengkel dan kuatir, rambutku menjadi putih sebelum waktunya. Cuma
ada satu hal yang aku masih belum dapat tahu terang. Sebab apa Ong Lioe Tjoe mau
membantu Loei Tjin Tjoe memasang jebakan itu?"
"Apakah itu orang yang kena ditendang jatuh kedalam jurang oleh soehoe?" tanya
Thian Oe. "Benar," jawabnya. "Lantaran terdesak, aku terpaksa binasakan padanya.
Dendaman ini jadi
semakin dalam saja. Sepanjang warta, sesudah mendapat luka, Loei Tjin Tjoe terus
menerus berlatih dan sekarang ilmu silatnya sudah maju jauh sekali. Belasan tahun
berselang, aku sudah bukan tandingannya, dan kalau sekarang bertemu lagi, jiwaku tentu
akan melayang!"
"Sesudah mendengar penuturan soehoe, aku merasa, bahwa biarpun perbuatannya
Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya tidak pantas, akan tetapi tangannya Tjia In Tjin juga
terlalu kejam," kata Thian Oe.
Mendadak Siauw Tjeng Hong kelihatan seperti orang terkesiap. Di antara menderunya
angin, terdengar suara tertawa. Di lain saat, dari luar menyambar serupa benda. ... Tjeng
Hong kelit sembari loncat keluar tenda. Akan tetapi, kecuali semburan air panas dan
sinarnya rembulan, diluar tidak kelihatan barang satu manusia. Tjeng Hong terkejut. Ilmu
entengi badan orang itu ternyata luar biasa tingginya, sebab dalam tempo yang begitu
pendek, ia sudah dapat menyingkirkan diri.
Dengan hati bimbang Tjeng Hong masuk lagi ke dalam tenda. "Lihatlah soehoe!" kata
Thian Oe dengan suara sedikit gemetar, sambil menuding dengan telunjuknya. Tjeng
Hong mengawasi ke tempat yang ditunjuk oleh muridnya. Ia lihat sepotong kulit kerbau,
bagian atasnya menembus dan nyangkol di tenda, sedang bagian bawahnya tergulung.
Lagi-lagi Tjeng Hong terkejut. Walaupun kulit itu lebih tebal dari kertas, akan tetapi
sebagaimana diketahui, kulit bukannya benda yang dapat digunakan buat menimpuk.
Bahwa orang itu dapat menggunakan kulit seperti senjata rahasia yang menancap pada
kain tenda, dapatlah dibayangkan berapa tinggi tenaga dalamnya. Thian Oe ambil kulit
kerbau itu yang di atasnya terdapat dua baris huruf, ditulis dengan menggunakan kuku
dan berbunyi seperti berikut:
"Di atas telaga dan lautan terumbang-ambing belasan tahun, Hanya di Kanglam dan
Gobie Utara menetap buat sementara. Tuan-tuan lekas pergi ke telaga Thian-ouw, Cari
seorang yang dijuluki Thiekoay sian."
Kedua matanya Siauw Tjeng Hong keluarkan sinar terang dan berkata seorang diri:
"Tadinya aku kira Loei Tjin Tjoe. Siapa tahu yang datang adalah Thiekoay sian (Dewa
tongkat besi). Ih, inilah sungguh mengherankan!"
"Siapa Thiekoay sian?" tanya muridnya.
"Pada dua puluh tahun berselang, Thiekoay sian adalah seorang pendekar aneh yang
malang melintang di daerah Kanglam. Katanya, ia adalah muridnya Kanglam Tayhiap Kam
Hong Tie. Sesudah binasanya Liauw In, Kam Hong Tie cabut tongkat besinya soeheng itu
yang menancap pada batu di gunung Binsan dan turunkan ilmu silat tongkat kepadanya..."
"Cara bagaimana tongkatnya Liauw In bisa menancap di batu gunung?" tanya Thian
Oe. "Bermula, Liauw In adalah kepala dari Kanglam Pathiap (Delapan Pendekar
Kanglam),"
menerangkan sang guru. "Hubungan antara Liauw In dan Hong Tie adalah hubungan
setengah guru (Liauw In pernah ajarkan ilmu silat kepada Hong Tie). Belakangan oleh
karena Liauw In langgar sumpahnya, Tujuh Pendekar Kanglam telah binasakan dia di
hadapan makam gurunya. Yang bunuh padanya adalah Liehiap Lu Soe Nio. Sesudah
kalah dan sebelum tarik napasnya yang penghabisan, Liauw In timpukkan tongkat besinya
ke batu gunung dari gunung Binsan, sehingga tongkatnya nancap dalam sekali di batu itu.
Belakangan Kam Hong Tie cabut tongkat itu dan turunkan ilmu silat tongkat kepada
muridnya, sebagai satu peringatan untuk soeheng-nya yang pernah mewakili sang guru
untuk mengajar ia. Nama muridnya Hong Tie adalah Lu Tjeng. Sesudah mendapat
tongkatnya sang supeh, ia robah namanya menjadi Thiekoay (Tongkat besi). Hong Tie
ajarkan ia 108 jalan ilmu silat tongkat yang dinamakan Hokmo Tianghoat (Ilmu silat
Tongkat takluki iblis), dan oleh karena begitu, ia jadi dikenal sebagai Thiekoay sian."
"Apakah Thiekoay sian mempunyai hubungan dengan soehoe?" tanya Thian Oe.
"Waktu aku baru keluar dari rumah perguruan, namanya sudah tersohor di kalangan
Kangouw. Aku sangat kagumi ia, tapi belum mempunyai kesempatan buat bertemu muka,"
jawab Siauw Tjeng Hong.
"Kalau begitu soehoe belum kenal Thiekoay sian. Tapi kenapa ia djanjikan kau buat
bertemu di Thian-ouw?" kata lagi sang murid.
"Yah, aku juga sedang pikirkan sebabnya," jawab Siauw Tjeng Hong. "Kedatanganku di
Thian-ouw adalah buat cari satu orang luar biasa. Jika disitu aku juga bisa bertemu
dengan Thiekoay sian, kejadian itu sungguh menggirangkan."
Omong-omong sampai disitu, Thian Oe ingat perkataannya itu wanita Tsang. "Orang
yang soehoe cari, apa masih mempunyai hubungan dengan Pengtjoan Thianlie?" tanya ia.
"Apa? Pengtjoan Thianlie?" menegasi sang guru. "Nama itu kedengarannya luar biasa,
tapi aku belum pernah dengar. Siapakah Pengtjoan Thianlie?"
"Aku pun tidak mengetahui," jawab Thian Oe. "Tapi menurut gadis Tsang itu, ia juga
berdiam di Thian-ouw." Sehabis berkata begitu, Thian Oe lantas tuturkan segala kejadian
dalam pertemuannya sama Chena di bukit es. "Tapi, apakah aku boleh mengetahui, siapa
yang sedang dicari oleh soehoe?" kata ia akhirnya.
"Aku dapat dengar, adiknya Tayhiap Moh Tjoan Seng yang bernama Koei Hoa Seng
telah kabur ke Tibet dan menetap di Thian-ouw sesudah kalah sejurus dalam
pertandingan pedang melawan suami isteri Tong Siauw Lan. Cerita ini tersiar luas, akan
tetapi aku sendiri tidak dapat pastikan benar tidaknya. Akan tetapi oleh karena keadaan
terlalu mendesak dan kepandaiannya Loei Tjin Tjoe lebih unggul banyak daripada aku,
maka sesudah pikir pergi datang, harapanku satu-satunya adalah Koei Tayhiap, yang
mungkin masih dapat singkirkan bencana yang sedang mengancam."
"Kenapa adiknya Moh Tayhiap she Koei?" tanya Thian Oe.
"Pernikahan antara Koei Tiong Beng tjianpwee dan pendekar wanita Moh Hoan Lian
telah dikurniai tiga putera. Yang satu ambil she ayahnya, yang lain teruskan she ibunya,
sedang yang satunya lagi pakai she ayah angkatnya. Yang paling tua bernama Moh Tjoan
Seng, yang kedua Tjio Kong Seng, sedang yang ketiga adalah Koei Hoa Seng. Antara
ketiga saudara, Moh Tjoan Seng mempunyai lweekang yang paling tinggi, sedang Koei
Hoa Seng unggul dalam ilmu pedang. Tingkatannya Koei Hoa Seng sangat tinggi dan jika
ia sudi menolong, Loei Tjin Tjoe tentu tak dapat berbuat apa-apa. Hai! Cuma tak tahu,
apakah ia masih hidup dalam dunia ini!"
"Bagaimana kalau
kepandaiannya Thiekoay sian dibandingkan dengan Loei Tjin Tjoe?" tanya Thian Oe.
"Sesudah berpisahan belasan tahun, aku tidak tahu, sampai dimana kemajuan Loei Tjin
Tjoe," sahut sang guru. "Akan tetapi, sesudah lihat kepandaiannya Thiekoay sian yang
barusan, aku kira Loei Tjin Tjoe masih belum mampu menangkan ia."
Sesudah berdiam beberapa saat, Siauw Tjeng Hong berkata lagi dengan paras muka
guram: "Aku dan Thiekoay sian tidak mengenal satu sama lain dan ia djanjikan aku buat
bertemu di Thian-ouw. Apakah maksudnya itu? Loei Tjin Tjoe adalah orang Boetong pay,
yang mempunyai hubungan luas sekali dalam kalangan Rimba Persilatan. Kalau Thiekoay
sian datang buat membantu Loei Tjin Tjoe, kedudukanku akan lebih celaka lagi!"
Thian Oe sebenarnya ingin usulkan supaya gurunya minta bantuan Thiekoay sian, akan
tetapi, sesudah dengar begitu, hatinya jadi semakin tidak enak.
Separoh malam guru dan murid berdiam dalam tenda yang robek itu. Angin dingin
meniup keras dan rasanya meresap ke tulang-tulang. Tak lama kemudian fajar
menyingsing, dan mereka lalu bereskan bekalannya. Tendanya musuh masih berada
disitu. Waktu lari, mereka tidak keburu ambil tenda tersebut. Tanpa sungkan-sungkan,
Thian Oe lantas benahkan tenda orang. Tjeng Hong mengawasi dan berkata sembari
menghela napas: "Lweekang-mu belum sempurna, sehingga kau tidak dapat menahan
hawa dingin. Baiklah. Kau boleh ambil tenda itu."
Siauw Tjeng Hong dinginkan air panas yang kemudian diisikan ke dalam tiga kantong.
Sesudah beres bebenah, mereka segera teruskan perjalanan dengan menunggang
kuda. Hari pertama hawa udara masih lumayan, tapi di hari kedua turun hujan salju,
sehingga Thian Oe menggetget lantaran kedinginan.
Pada hari ketiga, biarpun udara terang, tapi hawa jadi lebih dingin sebab lumernya
salju. Lewat lohor mereka keluar dari mulut gunung dan keadaan bumi jadi lebih merata,
sedang kota Shigatse lapat-lapat sudah dapat dilihat.
"Malam ini kita bisa sampai di Shigatse," kata Tjeng Hong dengan suara girang.
Mendadak dengan satu suara "Ih!", paras mukanya jadi berubah. Thian Oe yang bermata
jeli lantas dapat lihat, bahwa di atas satu tanjakan sedang rebah satu pengemis yang
rambutnya kusut seperti rumput, sebelah mukanya terpendam dalam salju, kepalanya
ditandelkan atas sebatang tongkat besi, pakaiannya rombeng, sehingga kulitnya kelihatan
merah lantaran kedinginan.
Thian Oe yang mempunyai hati kasihan, lantas menghampiri dan dorong badannya
pengemis itu sembari berkata: "Hei! Hei! Jangan tidur disini!"
Pengemis itu miringkan badannya, yang hampir-hampir jadi tergelincir. Thian Oe buru-
buru angkat padanya. Pengemis itu mengulet dan mendadak membentak: "Jangan raba!"
Sekarang ia baru dapat lihat, pengemis itu pincang, dengan kaki kiri lebih panjang dari
kaki kanan. Ia lantas menghaturkan maaf dan menanya: "Apa kau mau makan apa-apa?"
Pengemis itu perlahan-lahan angkat kepalanya dan kedua matanya kebentrok dengan
matanya Thian Oe, yang jadi sangat kaget, lantaran mukanya hitam seperti pantat kuali,
rambutnya awut-awutan, sedang kedua matanya bersinar tajam dingin bagaikan es.
"Taruh!" kata pengemis itu.
Thian Oe lantas taruh sekantong ransum kering di atas tanah. Orang itu tidak
menghaturkan terima kasih, ia miringkan badannya dan sesapkan lagi mukanya ke dalam
tumpukan salju.
Waktu ia dongak, Thian Oe lihat kedua mata gurunya bersorot kuatir, seperti juga mau
suruh ia buru-buru tinggalkan tempat itu. Thian Oe segera loloskan baju .luarnya yang
terbuat dari bulu onta dan kerebongi badannya pengemis itu. Sesudah itu, bersama
gurunya, ia tunggang kembali kudanya. Tidak lama kemudian mereka tiba di tanah datar
dan Siauw Tjeng Hong barulah bernapas lega.
"Soehoe, apa ada apa-apa yang kurang baik?" tanya Thian Oe.
"Apa kau perhatikan tongkat besinya?" Siauw Tjeng Hong balas menanya.
Thian Oe terkejut. "Apa ia Thiekoay sian?" ia tanya.
"Aku belum pernah bertemu dengan Thiekoay sian dan juga belum pernah dengar
bahwa ia itu adalah seorang pincang," kata Tjeng Hong. "Cuma saja, tongkat itu yang
besarnya seperti mangkok nasi, paling sedikit beratnya tujuh puluh kati. Pengemis biasa
mana bisa angkat tongkat yang begitu berat! Apalagi ia berani rebahkan diri di atas salju
yang sangat dingin. Maka itulah, aku berani pastikan, ia itu bukannya orang biasa."
"Kalau ia benar Thiekoay sian, kenapa soehoe tidak mau coba-coba berkenalan?"
tanya lagi Thian Oe.
"Kau baru saja terjun ke dalam kalangan Kangouw, mana kau tahu peraturan orang
Kangouw," kata sang guru sembari geleng-gelengkan kepalanya. "Kalau ia benar
Thiekoay sian, lebih-lebih lagi aku tak dapat menegur di tempat itu."
"Kenapa?" tanya sang murid.
"Ia djanjikan aku bikin pertemuan di Thian-ouw, kawan atau lawan, masih belum
terang," menerangkan Siauw Tjeng Hong. "Menurut peraturan Kangouw, sesudah tiba di
Thian-ouw, barulah aku boleh bertemu dengan ianya. Di waktu itulah, baru aku boleh
dengar apa maksudnya. Andaikata kedatangannya adalah untuk sahabatnya buat jajal
kepandaianku, satu pertemuan yang dibikin lebih siang dari tempo yang dijanjikan, berarti
suatu kesombongan dan mau bertempur dengan ia, sebelum waktunya. Sekarang ini, kita
masih belum tahu, apakah ia Thiekoay sian atau bukan. Kalau benar ia Thiekoay sian,
dengan buka rahasia penyamarannya, kita juga melanggar kebiasaan Kangouw."
"Kalau ia bukannya Thiekoay sian?" tanya lagi Thian Oe.
"Orang-orang aneh dari kalangan Kangouw yang kita tidak tahu benar asal-usulnya, tak
dapat diganggu secara sembrono," kata sang guru. "Apa kau lupa kejadian pada tiga hari
berselang, kapan kau coba dekati manusia-manusia itu?"
Thian Oe tidak berkata apa-apa, tapi hatinya kurang menyetujui perkataan gurunya.
Biarpun benar waktu itu ia seperti juga menuntun anjing hutan masuk ke dalam rumah,
akan tetapi, dengan menolong si anak sekolah, mereka telah mendapat bantuan yang
tidak diduga-duga. Biarpun hatinya berpikir begitu, Thian Oe sungkan berbantahan
dengan gurunya. Mereka lantas pecut tunggangannya yang lantas lari terlebih cepat.
Kira-kira magrib, benar saja mereka tiba di kota Shigatse. Kota itu adalah kota yang
kesohor di Tibet, cuma saja karena berkedudukan di tempat jauh dan sepi, jumlahnya
pelancong yang
mundar-mandir tidaklah banyak dan dalam kota cuma terdapat sebuah rumah penginapan
yang lumayan. Guru dan murid lantas masuk ke rumah penginapan itu. Sang pelayan
yang lihat mereka berpakaian seperti orang asing, buru-buru antar mereka masuk dengan
sikap hormat sekali.
Tapi baru saja mereka menginjak lorak, di dalam mendadak terdengar suara ribut-ribut.
Siauw Tjeng Hong mengawasi dan hatinya terkejut. Ia lihat satu pengemis dengan
pakaian rombeng dan tongkat besi ditandelkan di tanah, sedang memaki kalang kabut:
"Kau orang buka rumah penginapan kenapa tidak kasih aku menginap disini. Hm, hm!
Mata anjingmu betul berminyak. Orang yang berpakaian bagus dihormat-hormati, sedang
tuan besarmu yang pakaiannya rombeng, ditegur pun tidak!" Sehabis berseru begitu, ia
ketruk tongkatnya dan satu ubin persegi lantas hancur.
"Mohon tayya (tuan besar) jangan gusar," kata pengurus rumah penginapan. "Lantaran
rumah penginapan ini sangat kecil dan modal tidak seberapa, maka telah diadakan aturan,
ongkos sewa kamar dan harga makanan harus dibayar terlebih dahulu."
Pengemis itu tertawa besar. "Ah, kenapa kau tidak bicara siang-siang. Apa kau takut
tuan besarmu nganglap?" kata ia. Ia rogoh sakunya dan keluarkan sepotong perak.
Sedang bajunya begitu rombeng, tak tahu perak itu ia taruh dimana. Sembari lempar
perak itu di atas meja, ia berkata: "Bereskan kamar, sediakan dua kati arak dan seekor
ayam yang gemuk. Baik-baik layani tuan besarmu, mengerti! Apa? Kenapa matamu
melotot? Apa uang tidak cukup?"
Si pengurus hotel yang tak duga pengemis itu mempunyai sepotong perak yang begitu
besar, jadi girang hatinya. "Dua tail sudah cukup," kata ia. "Siauwdjie, coba timbang perak
ini. Kalau ada lebihnya, pulangkan kepada tayya."
Pengemis itu kembali tertawa berkakakan. Sembari kebaskan tangannya, ia berkata:
"Tak usah, lebihnya ambil! Besok pagi, tuan besarmu mau lantas berangkat. Lain kali cuci
bersih-bersih matamu. Jangan lihat orang miskin lantas mau diusir."
"Maaf Maaf!" kata si pengurus hotel sembari tertawa. "Kalau rawatan kurang
memuaskan, harap tayya sudi maafkan."
Siauw Tjeng Hong terkejut lantaran ia itu adalah pengemis yang tadi siang mereka
ketemu di tengah jalan. Mereka tunggang kuda, ia jalan kaki, tapi ia sampai lebih dahulu.
Andaikata ia potong jalan, toh kepandaiannya sudah cukup luar biasa. Tjeng Hong
sebenarnya mau mundur kembali, tapi kakinya sudah menginjak lorak, dan kalau mundur,
orang bisa jadi curiga. Maka itu, ia ikuti terus pelayan rumah penginapan.
Tjeng Hong minta satu kamar besar buat dua orang. Sesudah mengunci pintu, guru dan
murid duduk saling berhadapan dengan perasaan masgul. Sesudah bersantap, mereka
dengar suara berbengernya kuda dan di luar datang lagi dua tetamu. Begitu masuk,
mereka berteriak-teriak minta disediakan kamar dan makanan. Tjeng Hong melongok dari
jendela dan lihat kedua tetamu itu adalah pembesar tentara. Orang yang jalan duluan
mengempit satu peti kayu merah yang kelihatannya sangat berharga. Kamar mereka
justru berhadapan dengan kamar Siauw Tjeng Hong.
Tjeng Hong melirik. Mendadak ia lihat di kamar sebelah depan juga muncul dua kepala
orang yang begitu nongol, lantas ditarik masuk kembali. Kepalanya kedua orang itu diikat
sama ikatan kain putih, matanya blau, kumisnya merah dan ternyata adalah orang asing.
Waktu kepala mereka nongol, di bibirnya tersungging dengan senyuman luar biasa.
Tjeng Hong jadi heran. Waktu pelayan hotel masuk buat bereskan kamar, ia memberi
persen satu tail perak dan tanya siapa adanya itu dua tetamu asing.
"Bahasa mereka aku tidak mengerti," jawab sang pelayan. "Menurut katanya pengurus,
yang mengerti banyak bahasa, mereka itu adalah boesoe (pahlawan) dari Nepal."
Sesudah si pelayan pergi, Thian Oe lantas berkata: "Tahun yang lalu, orang Gurkha dari
Nepal telah menyerang Tibet Barat. Mereka membunuh banyak penduduk pribumi dan
merampas kerbau dan kambing yang tidak sedikit jumlahnya. Belakangan mereka kena
dipukul mundur oleh tentara kerajaan. Sudah hampir setahun mereka tidak berani masuk
lagi di Tibet Barat. Belakangan aku dengar keterangan ayah, bahwa sesudah keadaan
menjadi reda, mereka mulai bergerak lagi. Maka itu, kedua boesoe ini mungkin
mempunyai tujuan yang kurang baik."
"Sesudah dua negara mengadakan perdamaian, memang juga tidak bisa diambil sikap
bermusuhan lagi dan perhubungan harus pulih seperti sediakala. Inilah ada kelumrahan
dalam perhubungan antara negara dan negara," demikian Tjeng Hong memberi
keterangan. "Di antara boesoe bangsa Nepal terdapat banyak sekali ksatria. Maka itu, kita
tidak boleh sama ratakan semua orang."
Mendengar nasehatnya sang guru, Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya.
"Andaikata benar ada apa-apa yang luar biasa, malam ini kau tidak boleh bergerak,"
memesan Siauw Tjeng Hong.
Selagi mereka omong-omong, di luar jendela mendadak berkelebat bayangan orang.
Thian Oe melongok dari jendela dan lihat seorang tua yang bermuka merah dan
jenggotnya kasar, sedang mundar-mandir di luar kamar.
Orang itu mendadak dongak dan menyanyi dengan suara nyaring sekali:
"Di bawah gunung Holan san
barisan laksana awan.
Gerakan tentara siang malam
dapat kedengaran,
Sapu debu di pakaian perang
dengan kebutan,
Angkat pedang buat tantang
pihak lawan.
Sungguh 'ku ingin dapatkan gendewa malaikat buat memanah panglima
musuh, Supaya tak usah mendapat malu dan tangisi raja lantaran kalah
dalam peperangan."
Belum habis nyanyian itu, dua perwira di kamar seberang sudah memaki: "Siapa yang
bikin ribut di luar, sampai aku tak bisa tidur? Kalau berani lagi, aku akan gebuk supaya kau
bisa berkaok-kaok sepuas hati."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Ia tidak gusar dan juga tidak berkata suatu apa.
Ia lantas masuk ke dalam kamarnya, yang terletak di sebelah kanannya kamar Siauw
Tjeng Hong.
Waktu Thian Oe menengok, ia lihat kedua mata gurunya bersinar terang, sedang paras
mukanya mengunjuk kegirangan.
"Siapa orang tua itu?" tanya Thian Oe.
"Bintang penolong datang," kata gurunya.
"Apa?" muridnya menegasi. "Orang tua itu bernama Bek Eng Beng," sahut sang guru.
"Ia adalah seorang pendekar yang paling ternama di propinsi Siamsay dan Kamsiok.
Bagaimana dalam ilmu .silatnya, sukar orang dapat mengukur. Ia adalah seorang mulia
yang sangat suka menolong sesama manusia, dan di sebelahnya itu, ia masih mempunyai
hubungan rapat dengan golongan kita. Cuma aku tidak tahu, sebab apa ia berada disini."
Sesudah berpikir beberapa saat, Tjeng Hong niat keluar dari kamarnya buat
mengunjungi orang tua itu. Tapi mendadak si pengemis aneh yang berdiam di kamar
sebelah kiri, berjalan keluar dan setibanya di depan kamar Tjeng Hong, ia keluarkan suara
tertawa. Tjeng Hong kerutkan alis. Sekonyong-konyong ia tiup lampu dan tidur tanpa
membuka baju.
"Kenapa soehoe tidak jadi pergi?" tanya Thian Oe.
"Malam ini, dalam rumah penginapan ini sudah datang begitu banyak orang pandai,"
kata gurunya. "Kalau dilihat gelagatnya, ini malam mesti terjadi apa-apa. Buat sementara
aku tidak mau unjuk muka. Biarlah kita tunggu saja,"
Perasaannya Thian Oe menjadi tegang Ia ambil kantong senjata rahasia dari atas meja
dan taruh di bawah bantalnya.
"Oe-djie," kata Tjeng Hong. "Tidak perduli di luar ada kejadian apapun juga, aku larang
kau bergerak."
Mendengar perkataan gurunya, hatinya Thian Oe jadi semakin bergoncang. Ia gulak-
gulik di atas bantal dan tentu saja tidak dapat tidur pulas. Akan tetapi, sesudah lewat
sekian lama, di luar tetap sepi-sepi saja. Tidak lama kemudian, kentongan berbunyi empat
kali, tapi masih juga belum terjadi suatu apa. Thian Oe jadi merasa sangat ngantuk dan ia
meramkan kedua matanya. Dalam layap-layap, mendadak ia seperti lihat bayangan orang
dan waktu membuka mata, orang itu ternyata adalah gurunya sendiri yang sudah bangun
berdiri. Ia loncat bangun dengan perasaan kaget. "Jangan bergerak," berbisik gurunya.
"Aku mau keluar buat lihat-lihat."
Thian Oe tidak mengetahui, bahwa di atas genteng lewat satu tetamu malam. Cuma
saja sebab ilmu entengi badannya sangat tinggi dan gerakannya cuma mengeluarkan
sedikit suara, maka Thian Oe tidak dapat mendengar.
Tapi Siauw Tjeng Hong bukan saja sudah mendengar, tapi juga mengetahui, bahwa
gerakan itu adalah gerakan dari seorang ahli Heng-ie pay. Bek Eng Beng adalah tokoh
dari partai tersebut, maka orang itu tentulah mesti ianya.
Tjeng Hong lantas salin pakaian hitam peranti jalan malam dan lalu loncat keluar dari
jendela. Begitu berada di luar, ia lihat satu bayangan hitam mendekam di payon kamar
seberang dan sedang mengintip ke dalam kamar. Tjeng Hong loncat ke atas genteng dan
waktu orang itu menengok, ternyata ia memang Bek Eng Beng adanya.
Tjeng Hong segera memberi tanda dengan gerakan tangan, buat mengasih tahu,
bahwa ia adalah seorang kawan. Biarpun sudah belasan tahun tidak pernah bertemu, Bek
Eng Beng kelihatannya masih belum lupa. Ia angkat tangan kanannya yang digoyang
beberapa kali, seperti juga mau bilang, Tjeng Hong tak usah campur urusannya. Siauw
Tjeng Hong segera mendekam di satu tempat ceglok di atas genteng. Ia lihat dalam kamar
perwira itu dipasang lilin sebesar lengan, jendelanya ditutup separoh, sedang suara
menggeros kedengaran keras sekali. "Persiapan semacam itu tidak akan dibikin, kalau
bukannya orang itu mempunyai kepandaian tinggi. Orang Kangouw yang tanggung-
tanggung, begitu lihat persiapan begitu, tentu akan lantas angkat kakinya. Tak dinyana,
kedua perwira itu adalah orang-orang Kangouw - yang berkepandaian tinggi," demikian
Tjeng Hong berkata dalam hatinya.
Bek Eng Beng juga rupanya memikir begitu, sebab, sesudah mendekam lama, ia
kelihatan masih bersangsi. Sementara itu, suara menggeros kedengaran semakin santer.
Di lain saat, Bek Eng Beng rupanya sudah mengambil putusan. Ia cabut pedangnya dan
bagaikan walet menembus tirai, ia loncat ke dalam kamar.
Siauw Tjeng Hong lantas bergerak dan loncat ke tempat dimana barusan Bek Eng
Beng mendekam. Semua itu terjadi dalam tempo sekejapan mata saja. Begitu masuk,
tangannya Bek Eng Beng lantas menjambret ke peti kayu merah yang ditaruh di pinggir
pembaringan. Hampir berbareng, kedua perwira sudah loncat dari pembaringan dan dua
batang pedang menyambar ke arah jalanan darah di kedua pundaknya Bek Eng Beng.
Tak malu Bek Eng Beng bergelar Siamkam Tayhiap (Pendekar dari propinsi Siamsay
dan Kamsiok). Diserang selagi membungkuk, badannya
mendadak lempeng dan melesat ke atas, sedang pedangnya sampok kedua senjata
musuh. Sebelum hinggap di muka bumi, badannya diputar, kaki kirinya menendang lebih
dahulu, disusul dengan kaki kanannya. Itulah Lioeseng Kangoat Toeihong kiam (Ilmu
pedang Bintang sapu mengejar bulan dan angin) dan Lianhoan Tokbeng Wanyangkak
(Tendangan berantai membetot jiwa) dari Heng-ie pay yang digunakan secara saling
susul. Dihantam secara begitu, kedua perwira itu lantas terdesak ke pojok kamar.
Bek Eng Beng berbalik buat jumput peti merah itu. "Bangsat yang bernyali besar!"
membentak satu perwira. "Malam ini kita pasang umpan buat tangkap ikan emas. Apa kau
masih berani turun tangan?"
Baru saja Bek Eng Beng mau lonjorkan tangannya, di bebokongnya sudah menyambar
senjata musuh. Ia tendang peti itu sampai di pinggir pintu, sedang pedangnya tangkis
senjata musuh. Bek Eng Beng menyerang dengan serangan-serangan yang
membinasakan, tapi kedua perwira itu pun bukannya lawanan empuk. Mereka putar
pedangnya secara rapat sekali dan berbareng mengirim serangan-serangan yang tidak
kurang hebatnya.
"Barang apa terdapat dalam peti itu?" tanya Tjeng Hong dalam hatinya. "Tapi biarlah
aku bantu Bek Tayhiap." Selagi ia mau loncat turun, mendadak terdengar suara
gedubrakan dan pintu kamar terpentang akibat tendangan.
Berbareng dengan itu, dua boesoe Nepal menerobos masuk dengan sikap garang,
sedang satu antaranya lantas jumput peti merah itu.
Selagi kedua boesoe mau lari keluar, badannya Tjeng Hong melayang turun sembari
mengebut dengan hudtim-nya. Satu boesoe lantas memapaki dengan goloknya. Golok itu'
berbentuk bulan sisir dengan tajamnya bengkok ke dalam. Itulah senjata yang bukan saja
dapat melukakan orang, tapi juga dapat menggaet senjata musuh. Tapi hudtim-nya Siauw
Tjeng Hong juga adalah senjata mustika yang jarang terdapat dalam Rimba Persilatan.
Kebutan itu bisa keras dan bisa lemas. Begitu lekas ia membacok, boesoe itu rasakan
goloknya seperti membacok kapas, tanpa ada tenaga yang melawan. Hatinya terkesiap
dan tarik pulang goloknya, tapi golok itu sudah tergubat hudtim. Boesoe itu membetot, tapi
goloknya tak dapat putuskan benang-benang hudtim. Tjeng Hong kerahkan tenaganya
dan membentak: "Lepaskan golokmu!" Lantaran sayang goloknya, boesoe itu kerahkan
seluruh tenaganya pada lengan kanannya buat lawan tenaga musuh. Itulah justru yang
diingini Siauw Tjeng Hong. Mendadakan saja tangan kirinya menyambar dan betot peti
merah itu yang dipeluk dengan tangan kirinya boesoe tersebut. Itu adalah tipu yang
dinamakan suara di timur, menyerang di barat. Oleh karena perhatiannya sedang
dipusatkan kepada sang golok, bagian kirinya jadi terbuka dan di lain saat, peti merah itu
sudah pindah ke tangannya Tjeng Hong.
Boesoe itu seperti terbang semangatnya. Ia baru sadar, bahwa isinya peti itu ada
laksaan kali lipat lebih berharga dari goloknya. Sedang pikiran musuh kalut, dengan sekali
gentak saja, Siauw Tjeng Hong bikin terpental golok musuh dari tangannya.
Ketika peti merah kena dirampas oleh sang boesoe, keadaan pertempuran dalam
kamar lantas jadi berobah. Kedua perwira dan Bek Eng Beng berhenti berkelahi dan
ketiga batang pedang lantas meluruk kepada dua musuh yang baru datang. Tapi baru saja
pedang mereka menyambar, peti merah itu sudah pindah ke tangannya Siauw Tjeng
Hong. Semua itu sudah terjadi dalam tempo sekejap mata.
Tapi boesoe itu juga bukan orang sembarangan. 1 Begitu goloknya terpental, ia loncat,
tangannya menyambar dan sanggap pulang goloknya itu. Berbareng dengan itu kaki
kanannya sapu kedua kakinya Siauw Tjeng Hong. Kawannya juga lantas menubruk dan
kirim tiga bacokan beruntun ke arah Tjeng Hong.
Dengan satu tangan memeluk peti merah, Tjeng Hong kelit serangan boesoe yang
pertama. Golok boesoe yang satunya lagi, ia sampok dengan hudtim-nya. Tiba-tiba ia
rasakan sambaran angin tajam di bebokongnya dan pedangnya kedua perwira menikam
dengan berbareng. Ia menangkis dengan hudtim-nya, dan selagi perhatiannya ditujukan
kepada serangannya kedua perwira itu, boesoe Nepal yang kedua berhasil merampas lagi
peti merah itu. Bek Eng Beng kebaskan pedangnya dan sampok pedangnya dua perwira.
Pada saat itu, kedua boesoe Nepal sudah menerobos keluar pintu dan terus kabur.
"Ubar!" berseru Bek Eng Beng sembari enjot badannya. Siauw Tjeng Hong dan dua
perwira berhenti berkelahi dan turut mengubar.
Bagaikan kilat, keenam orang itu berlari-lari melewati genteng-genteng rumah. Tidak
lama kemudian, mereka sudah berada di luar kota. Antara mereka, Bek Eng Beng-lah
yang mempunyai ilmu entengi badan paling tinggi dan ia paling dahulu dapat menyandak.
Begitu kecandak, kedua boesoe Nepal lantas berbalik dan kerubuti Bek Eng Beng.
Beberapa saat kemudian, Siauw Tjeng Hong sudah menyusul. Dengan dua lawan satu,
keadaan kedua
boesoe masih boleh juga, tapi begitu lekas Tjeng Hong turut ambil bagian, mereka segera
jadi keteter. Dengan hebat Eng Beng desak dua lawannya, yang napasnya jadi sengal-
sengal. Menggunakan kesempatan itu, Tjeng Hong putar hudtim-nya buat melindungi
badan, sedang satu tangannya menyambar buat rampas balik peti merah itu.
"Serahkan peti itu kepadaku!" mendadak kedengaran orang membentak. Dua perwira
yang ketinggalan ternyata sudah sampai disitu. Dua pedangnya menyabet dari kiri dan
kanan, ke arah boesoe Nepal yang peluk peti merah itu.
Diserang oleh empat orang yang mempunyai kepandaian tinggi, kelihatannya boesoe
itu tak akan dapat loloskan diri lagi. Tak dinyana, sembari membentak, ia timpuk mukanya
Bek Eng Beng dengan peti itu, yang lantas menanggapi. Sekarang
pertempuran kembali berobah. Dua perwira dan dua boesoe jadi berkawan dan kerubuti
Bek Eng Beng, yang cuma dibantu oleh Siauw Tjeng Hong seorang.
Demikianlah pertempuran berjalan dengan hebat. Dua perwira dan dua boesoe itu,
kalau satu lawan satu, tak ada yang bisa jadi tandingannya Bek Eng Beng atau Siauw
Tjeng Hong. Tapi dengan empat lawan dua, mereka jadi berada di atas angin. Selainnya
itu, dengan tangan memeluk peti merah, perhatiannya Eng Beng jadi terpecah. Sesudah
lewat kurang lebih lima puluh jurus, mereka jadi kedesak dan cuma dapat membela diri,
tanpa mampu balas menyerang.
Dua perwira dan dua boesoe makin lama menyerang makin hebat. Mendadak, sembari
membentak keras, Bek Eng Beng lemparkan peti itu kepada sang boesoe Nepal. Melihat
begitu, dua perwira terkejut. Bek Eng Beng putar pedangnya dan menyerang kalang
kabutan sembari membentak: "Biar aku bikin mampus dahulu dua manusia ini!"
Sekarang dua perwira itu berbalik menghantam sang boesoe yang pegang peti merah.
Sembari tertawa nyaring, ia menangkis dengan goloknya dan berbareng lempar peti itu.
Siauw Tjeng Hong yang berdiri paling dekat sambutí peti tersebut dan ia lantas saja
dikepung oleh dua perwira dan dua boesoe! Peti merah itu yang tadi menjadi rebutan,
sekarang jadi bibit penyakit!
Sesudah melawan beberapa jurus, Tjeng Hong lempar peti itu ke arah satu perwira.
Tidak dinyana, sembari tertawa dingin, perwira itu angkat tangannya buat hantam peti itu.
Bek Eng Beng terkesiap dan lantas loncat menyambut. Di lain saat, ia sudah dikepung
oleh kedua perwira dan kedua boesoe!
Selagi bertempur hebat, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat
nyaring dan satu bayangan hitam berkelebat bagaikan kilat. Orang yang baru datang
bukan lain dari si pengemis aneh. Begitu tiba, ia putar tongkat besinya dan mengamuk
secara aneh pula. Keanehannya ialah ia hantam siapa juga yang menghalang di
depannya. Si perwira, si boesoe dan Bek Eng Beng semua dirabu olehnya.
"Kalau begitu ia mau bikin semua orang jadi lelah, akan kemudian menarik keuntungan
dan kantongi peti merah itu." pikir Tjeng Hong dalam hatinya. Selagi ia mau buka
kedoknya si pengemis, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat panjang
dan dalam gelanggang pertempuran, tambah lagi satu orang baru! Orang itu datang
secara luar biasa. Barusan, ketika si pengemis datang, suaranya terdengar lebih dahulu,
belakangan barulah manusianya muncul. Tapi kali ini, suara dan manusia datang
berbareng.
Dengan bantuannya sinar rembulan, Siauw Tjeng Hong lantas kenali, bahwa orang itu
adalah si anak sekolah yang beberapa hari berselang telah tolong jiwanya dengan jarum
emas. Sembari tolak pinggang dengan satu tangannya, ia membuat setengah lingkaran
dengan tangannya yang lain. "Barang langka apakah yang membikin kalian jadi berebut?"
ia tanya dengan suara malas-malasan.
Munculnya si anak sekolah membikin semua orang jadi kaget dan mereka segera
hentikan pertempuran. Si-pengemis aneh tertawa dingin dan bawa sikap acuh tak acuh,
tapi sebenarnya ia pusatkan seluruh perhatiannya kepada anak sekolah itu dan siap sedia
dengan tongkatnya.
Bek Eng Beng yang mempunyai banyak pengalaman lantas mengetahui, bahwa anak
sekolah itu bukannya sembarang orang. Sembari usap gagang pedangnya, ia memberi
hormat dan berkata: "Aku, Pokee Bek Eng Beng, ingin mengambil serupa barang dari
tangannya ini kedua kuku garuda. Jika tuan adalah seorang kawan dalam Rimba
Persilatan, aku tak berani minta
bantuan, tapi memohon supaya tempatkan diri di luar gelanggang. Di lain hari, aku tentu
akan membalas budi ini." Harus diketahui bahwa Bek Eng Beng adalah pendekar besar di
propinsi
Siamsay dan Kamsiok. Di beberapa propinsi Tiongkok Utara barat, namanya besar sekali
dan dikenal oleh semua orang kalangan Rimba Persilatan. Sekarang ia sendiri
memperkenalkan diri dan menggunakan kata-kata yang menghormat. Menurut taksiran,
usianya si anak sekolah tidak lebih dari dua puluh tahun, sehingga tingkatannya tidak bisa
berada di atas Bek Eng Beng. Dalam omongannya itu, Bek Eng Beng tidak menonjolkan
kedudukan sebagai tjianpwee (orang dari tingkatan lebih tua), tapi cuma singgung soal
pribudi dalam kalangan Kangouw. Ia menaksir, sesudah dengar omongannya, biarpun
tidak sampai membantu, si anak sekolah tentu akan minggir.
Tapi siapa nyana, ia cuma berkata dengan suara dingin: "Hm! Aku tahu!" Dari lagu
suaranya, seperti juga ia belum pernah dengar namanya Bek Eng Beng, sehingga Siauw
Tjeng Hong sendiri sampai merasa, si anak sekolah bersikap sedikit keterlaluan.
Mendengar perkataan yang dingin itu, kedua perwira jadi merasa sangat girang.
Sembari rangkap kedua tangannya, salah seorang berkata: "Kami adalah anggauta dari
Gielimkoen (Pasukan pengawal kaizar) dan menerima perintah Bansweeya (Kaizar) buat
antar serupa barang ke Lhasa. Tapi di tengah jalan, barang itu kena dirampas oleh
bangsat tua ini. Maka itu, kami memohon bantuan tuan."
Si anak sekolah kembali keluarkan satu gerendengan dan berkata dengan tawar: "Yah,
aku tahu!"
Si pengemis tertawa dingin dan niat lantas lampiaskan amarahnya. Tapi mendadak si
anak sekolah maju dua tindak, dan setahu bagaimana, dengan sekali berkelebat,
tangannya sudah dapat rampas peti merah itu dari cekatannya Bek Eng Beng! Bagaimana
tinggi kepandaiannya Bek Eng Beng sudah sukar diukur, tapi toh, barang yang dicekal
olehnya, sudah dapat dirampas secara begitu gampang! Hal itu bukan saja sudah
membikin Siauw Tjeng Hong jadi terkejut, tapi kedua perwira dan kedua boesoe pun
sampai keluarkan teriakan tertahan dan loncat mundur beberapa tindak.
Si anak sekolah cepat bagaikan kilat, si pengemis pun tidak kurang cepatnya. Hampir
pada saat yang berbareng, tongkatnya si pengemis berkelebat dan menimpa gegernya si
anak sekolah. Melihat bahaya itu Siauw Tjeng Hong yang pernah ditolong jiwanya, tanpa
merasa keluarkan teriakan "Ayo!"
Tanpa menengok, si anak sekolah menyampok dengan tangannya, sedang badannya
sudah melesat setombak lebih. Betul indah gerakannya itu! Pada sebelum si pengemis
tarik pulang tongkatnya, ia sudah berkata dengan suara nyaring: "Sungguh Thiekoay sian
bukannya cuma nama kosong!"
Tjeng Hong terkejut. Si pengemis aneh ternyata memang benar Thiekoay sian adanya!
Sementara itu, si anak sekolah sudah berkata lagi sembari tertawa: "Sekarang aku mau
lihat, barang luar biasa apakah yang membikin kalian jadi berebut sampai begitu." Ia
menepok dan peti merah itu lantas terbuka. Ia ambil isinya, banting di atas tanah dan
dengan satu suara krontangan benda itu pecah jadi delapan potong!
Bek Eng Beng keluarkan teriakan kaget. "Ah, bukannya guci emas!" ia berseru. Si
pengemis aneh juga kelihatan tidak kurang kagetnya. Ia goyang-goyang tongkatnya, tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Tjeng Hong mengawasi dan ternyata yang hancur itu adalah
vas porselen biasa. Ia sungguh heran, kenapa mereka berebuti barang begitu.
Sesudah banting vas porselen itu, si anak sekolah dongakkan kepalanya dan tertawa
nyaring. "Bibit bencana hilang, pertempuran berhenti," kata ia. "Kejadian ini bisa keja Louw
Tiong Lian 51 jaman sekarang jadi mati tertawa. Ha, ha! Sungguh menggembirakan!
Sekarang aku permisi pergi!" Ia kebaskan tangan bajunya, badannya melesat seperti
seekor burung dan berlalu seperti terbang.
Mendadak Bek Eng Beng menggereng. "Kau sudah nyebur ke dalam air, mana bisa
begitu gampang lepaskan senjata?" ia membentak sembari mengudak. Dua perwira dan
dua boesoe Nepal juga turut memburu sembari berteriak-teriak, sehingga suaranya
berkumandang jauh di padang rumput yang luas itu.
Si pengemis aneh ketruk tongkatnya di atas tanah, tapi badannya tidak bergerak.
Melihat begitu, Siauw Tjeng Hong yang tadinya mau ikut mengubar, jadi urungkan
niatannya. Selagi ia niat menegur, kedua matanya si pengemis mendadak mendelik.
"Hm, apa kau rasa bisa menyandak?" katanya dengan suara tawar. "Simpan tenagamu
buat pertemuan di Thian-ouw!"
Sehabis berkata begitu, tiba-tiba ia angkat tongkatnya dan sabet pinggangnya Siauw
Tjeng Hong. Pukulan ini bukan saja datangnya tidak diduga-duga, tapi juga cepat
bagaikan kilat, sehingga biarpun mempunyai kepandaian yang lebih tinggi, Siauw Tjeng
Hong tidak akan dapat loloskan diri. Dengan satu suara "buk", tongkatnya si pengemis
sudah mampir di pundaknya. Ketika tongkat itu menyambar, dengan perasaan mencelos,
Siauw Tjeng Hong berkata dalam hatinya: "Tak dinyana aku mesti mati secara
mengecewakan di tempat ini!"
Tapi aneh, sungguh aneh, ketika tongkat itu mampir di pundaknya, ia bukan rasakan
pukulan biasa, tapi semacam dorongan hebat yang membikin badannya ngapung
beberapa tombak tingginya! Sebagai ahli silat, selagi berada di tengah udara, Tjeng Hong
putar badannya yang lantas turun ke bumi tanpa mendapat luka apa-apa! Dan waktu ia
mengawasi sekelilingnya, si pengemis sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sungguh heran hatinya Tjeng Hong. Jika si pengemis mempunyai dendaman, kenapa
ia tidak turunkan tangan jahat?
Kalau tidak mempunyai ganjelan, kenapa juga ia permainkan dirinya? Biarpun sudah
lama tenggelam timbul dalam kalangan Kangouw, kali ini benar-benar ia tidak mengerti.
Sekarang marilah kita tengok rumah penginapan itu yang menjadi kacau balau lantaran
terjadinya pertempuran yang berlangsung dari dalam sampai diluar.
Tak usah dibilang lagi, pemilik rumah penginapan dan para tetamu jadi ketakutan
setengah mati dan pada mengumpat sambil sesepkan kepala. Sesudah orang-orang yang
berkelahi pergi jauh, barulah pemilik hotel berani muncul sembari bawa lampu buat
periksa keadaan rumah penginapannya. Ia lihat kamarnya Bek Eng Beng, kamar kedua
perwira, dua boesoe dan kamarnya si pengemis semuanya terpentang dengan tidak ada
manusianya. "Sudahlah! Sudahlah! Aku sudah duga, si pengemis bukannya orang baik!"
ia kata sembari banting kaki. Ia tidak berani maki itu pembesar militer, itu kedua boesoe
dan Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, maka si pengemis yang menjadi korban.
Tapi si pelayan kelihatannya masih mempunyai liangsim (perasaan hati). "Berat
peraknya ada dua belas tail, aku sudah timbang," kata ia.
Mendengar perkataan itu, paras mukanya si pemilik hotel jadi berobah. Buru-buru ia lari
masuk ke kamarnya, akan kemudian keluar lagi sembari berteriak-teriak: "Bangsat!
Bangsat besar! Dia berani colong perakku!"
Ternyata pemilik hotel adalah seorang sekaker yang suka sekali tukarkan perak hancur
dengan goanpo (potongan perak besar) buat disimpan. Beberapa hari berselang, ia baru
saja tukarkan sepotong goanpo yang beratnya dua belas tail. Barusan waktu dicari,
potongan perak itu lenyap! Tak usah. disangsikan lagi, potongan perak itu tentu sudah
dicuri oleh si pengemis! Sembari memaki, si pemilik hotel menangis pikirkan peraknya
yang hilang.
Tan Thian Oe yang dengar itu semua, berkata dalam hatinya: "Pengemis aneh itu liehay
sekali, akan tetapi, dengan mau tidur dan makan gratis, ia agaknya keterlaluan." Sebagai
seorang pemuda yang berhati kasihan, tanpa pikirkan segala akibatnya, ia lantas berjalan
keluar dari kamarnya dan berkata: "Tiam tjoedjin (pemilik hotel) tak usah bersedih hati dan
mencaci maki. Goanpo itu biarlah aku yang ganti. Mpe pengemis adalah seorang
tjianpwee-ku (orang tingkatan lebih tua). Adatnya aneh sekali dan aku rasa ia sengaja
main-main dengan kau."
Si pemilik hotel merasa heran, kenapa Thian Oe yang pakaiannya indah seperti
seorang kongtjoe hartawan bisa kenal pengemis itu. Tapi mendengar kerugiannya bakal
ditutup, ia jadi kegirangan setengah mati dan haturkan ribu-ribu terima kasih, tanpa berani
menanya melit-melit.
Waktu Thian Oe balik ke kamarnya, fajar sudah menyingsing, tapi gurunya belum juga
balik, sehingga hatinya merasa sangat kuatir. Mendadak ia dengar suara orang tertawa di
luar jendela. "Bocah ini hatinya baik sekali!" kata orang itu.
"Tjianpwee siapakah yang bicara?" ia menanya dengan perasaan terkejut. Ia tolak
jendela dan melongok keluar, tapi tidak kelihatan bayangan manusia. Begitu balik lagi
badannya, ia lihat satu bungkusan di atas meja kecil, di pinggir pembaringan. Bungkusan
itu ternyata berisi baju bulu onta yang ia hadiahkan kepada si pengemis dan sepotong
goanpo! Thian Oe terkesiap dan berkata: "Ah, tjianpwee itu benar-benar luar biasa."
Sesudah siang, barulah Siauw Tjeng Hong kembali di rumah penginapan. Guru dan
murid saling tuturkan pengalamannya yang semalam dan kedua-duanya merasa sangat
heran. Mereka tak tahu, apa pengemis itu kawan atau lawan. Mereka tak dapat tebak,
kenapa Bek Eng Beng, dua perwira dan dua boesoe Nepal sampai perebutkan satu vas
porselen biasa. Sesudah bersantap pagi, dengan perasaan masgul mereka lalu teruskan
perjalanan.
Sesudah berjalan lagi setengah bulan, tibalah mereka di sebelah utara barat Lhasa.
Jauh-jauh mereka lihat satu gunung tinggi menghadang jalanan.
Itulah gunung Nyenchin Dangla yang tingginya cuma kalah dari gunung Himalaya.
Waktu itu sudah masuk musim panas. Di kaki gunung ratusan macam kembang berbunga
indah sekali, sedang di lamping gunung, air yang bening laksana kaca mengalir legat-legot
di antara batu-batu dan hawa udara kira-kira bersamaan dengan hawa musim semi di
daerah Kanglam. Tapi di sebelah atas, salju putih masih menutupi puncak gunung yang
tinggi, sehingga memberi pemandangan yang istimewa sekali.
"Aku dengar, Lootjianpwee Koei Hoa Seng berdiam di gunung ini." kata Siauw Tjeng
Hong. "Aku hanya berharap beliau masih hidup, supaya dapat menolong kesukaranku ini."
Guru dan murid yang sudah siap sedia dengan alat-alat, lantas mulai mendaki gunung.
Sesudah berjalan tiga hari, barulah mereka tiba di pinggang gunung. Dari situ, mereka
dapat lihat sungai es yang melingkar-lingkar seperti naga perak dan mengasih lihat lain
pemandangan yang mengherankan. Lapisan atas sungai es itu sudah menjadi lumer
lantaran kena sorotnya matahari yang hangat. Tapi kembang salju dari puncak gunung
selembar-selembar melayang turun ke bawah, seakan-akan lembaran-lembaran kertas
kristal yang jatuh di atas muka sungai es itu. Lembaran-lembaran salju itu segera menjadi
keras, yang tidak lama kemudian menjadi lumer pula lantaran hangatnya sang matahari.
Maka itulah, sedari dahulu sampai sekarang sungai es di pegunungan Nyenchin Dangla
selalu tidak berobah. Disorot sinar matahari, lapisan es itu merupakan benda transparan
yang berwarna hijau muda dan keindahannya sungguh sukar dilukiskan dengan sang
kalam. Salju dari permulaan musim panas sifatnya lebih keras dan basah, dan di
dalamnya mengandung lebih banyak air, sehingga pada sebelumnya menjadi es, salju itu
seperti juga bunga-bunga bwee yang ngambang di atas sungai es. Maka itulah, ada satu
syair yang berbunyi kira-kira seperti berikut:
Salju musim semi di tengah udara berterbangan, Sekuntum-kuntum bagaikan bunga
yang sedang mekar. Sehingga orang yang kurang pengetahuan.
Akan kira mereka itu bunga sungguhan.
Itulah syair yang sering diucapkan oleh mereka yang menyaksikan pemandangan yang
menakjubkan itu.
Selagi guru dan murid puaskan matanya, di sebelah bawah pinggang gunung
mendadak terdengar suara apa-apa. Dua orang berpakaian warna- abu-abu kelihatan
loncat ke atas puncak di seberang. Pegunungan Nyenchin Dangla penuh dengan puncak-
puncak yang antaranya cuma berjarak kira-kira satu li satu antara lainnya. Di lain saat,
dua bayangan orang itu sudah masuk ke mulut gunung dan tidak kelihatan bayang-
bayangannya lagi.
Tjeng Hong dan Thian Oe merasa heran. Sementara itu, tiba-tiba kuping mereka
menangkap suaranya tetabuhan khim yang datang dari tempat jauh.
Mereka lantas saja tujukan tindakan ke arah tetabuhan itu. Semakin lama berjalan,
semakin hangat hawa udara. "Beberapa hari yang lalu, makin tinggi, kita merasa makin
dingin. Tapi kenapa sekarang, sesudah tiba di pinggang gunung, hawa jadi berbalik
hangat?" tanya Thian Oe.
"Mungkin di bawah tanah ini terdapat sebuah gunung berapi," menerangkan Tjeng
Hong. Dengan perlahan, suara khim jadi semakin tedas kedengarannya. Sebagai satu
ahli, Thian Oe
lantas mengetahui bahwa tetabuhan itu adalah o-khim yang bertali lima.
Suaranya tetabuhan itu sangat menyedihkan hati, dan sesudah mendengari berapa
lama, hatinya Thian Oe jadi bergoncang, sebab ia merasa pernah mendengar suara
seperti itu. Mendadak, suara khim diiring dengan nyanyian yang seperti berikut:
Di bawah sungai es seekor anak kambing.
Kehilangan ayah, kehilangan bunda.
Sang elang memburu dia. Mau dicengkeram, dijadikan santapan.
Pengtjoan Thianlie — oh, ciciku yang mulia!
Dengarkah kau teriakannya yang menyayatkan hati.
Tahukah kau penderitaannya? Tolonglah usir sang elang yang
jahat, Selama hidup dia tak akan melupakannya.
Thian Oe kenali. Suara itu keluar dari mulutnya Chena, itu gadis Tsang yang aneh.
"Soehoe", kata ia dengan kaget tercampur girang. "Dengarlah! Nyanyian itu adalah
permintaan tolong kepada Pengtjoan Thianlie. Tak salah lagi, Pengtjoan Thianlie berdiam
di ini tempat! Hai! Gadis itu sungguh hebat penderitaannya. Nyanyian itu mengunjuk,
bahwa ia kembali diubar orang."
Tanpa tunggu jawaban gurunya, Thian Oe cabut dua hoeito dan berlari-lari ke arah
suara nyanyian itu. Sesudah lewati satu lembah gunung, matanya dapat lihat satu telaga
yang sangat luas, yang seputarnya dikitari gunung. Telaga itu adalah telaga yang paling
tinggi dalam dunia, yang dalam bahasa Tibet dinamakan Tengri Nor. Telaga tersebut
terletak di tempat yang tingginya lebih dari 4.672 kaki, sehingga lebih tinggi 800 kaki lebih
dari telaga Titicaca, di antara Peru dan Bolivia di Amerika Selatan. Telaga inilah yang
orang Han namakan Thian-ouw, atau Telaga Langit.
Air telaga bening jernih seperti kaca, sedang ombak halus menyapu ke sana-sini tak
henti-hentinya. Di tengah telaga terdapat lempengan-lempengan es yang mengambang,
yang berkilat-kilat, lantaran tertojo sinarnya sang matahari. Air telaga seakan-akan
menempel dengan tepian langit, sang langit menempel dengan air telaga. Thian Oe jadi
seperti orang kesima. "Tempat ini benar-benar bagaikan surga. Apakah benar Pengtjoan
Thianlie tinggal disini?" kata ia dalam hatinya.
Di pinggir telaga penuh dengan rumput hijau dan pohon-pohon bunga yang menyiarkan
bau harum sekali. Dan di antara pohon-pohon kembang itu, kelihatan berkibar-kibar
selendang sutera putih dari seorang wanita.
"Nona Chena! Aku disini!" berseru Thian Oe. Baru saja gadis itu menengok, kembali
terdengar lain suara: "Nona Chena! Kami pun berada disini!" Berbareng dengan itu, dari
gombolan pohon loncat keluar dua orang tinggi besar yang berpakaian warna abu-abu.
Sembari nyengir, mereka tubruk Chena.
Thian Oe membentak sembari menimpuk dengan kedua hoeito-nya. Kedua orang itu
mengebut dengan tali pinggangnya dan kedua golok terbang tersampok jatuh ke dalam
telaga.
Dalam kagetnya, Thian Oe dengar satu orang berteriak kesakitan, sedang yang
satunya jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Orang yang membantu Thian Oe adalah
Siauw Tjeng Hong yang telah timpuk jitu jalanan darah kedua orang itu dengan cabang
pohon.
Kedua orang itu sebenarnya bukan makanan empuk, tapi lantaran mereka sedang
perhatikan hoeito-nya Thian Oe dan juga sebab tenaga dalamnya Tjeng Hong ada cukup
tinggi, maka biarpun jaraknya jauh, jalanan darahnya kena ketotok juga dan dirasakan
sakit bukan main, walaupun tidak sampai roboh klengar. Mereka tahu sedang berhadapan
dengan orang pandai dan buru-buru kabur buat minta bala bantuan.
Gadis Tsang itu berlari-lari dengan paras muka ketakutan. "Sudah tak ada apa-apa lagi.
Musuh sudah kena diusir oleh guru," kata Thian Oe. Melihat sikap muridnya, Tjeng Hong
jadi ingat pengalamannya sendiri, ketika diam-diam ia mencintai Tjia ln Tjin. Ia segera
jalan perlahan sekali, supaya tidak mengganggu kedua orang muda.
Sekonyong-konyong dari gombolan pohon berkelebat bayangan orang. "Timpukan
bagus! Timpukan Bagus! Sahabat-sahabat lama sekarang bertemu kembali!" demikian
kedengaran satu orang berkata.
Hatinya Tjeng Hong mencelos. Dua orang kelihatan muncul. Pada mukanya orang yang
jalan di depan terdapat tapak golok tapak jalak, satu matanya buta, mukanya menyeringai,
sehingga kelihatannya menakuti sekali. Orang itu bukan lain daripada Loei Tjin Tjoe,
pentolan nomor satu dari tingkatan kedua Boetong pay dan yang ditakuti oleh Siauw Tjeng
Hong. Orang yang jalan belakangan adalah Tjoei In Tjoe yang sudah sembuh lantaran
kasiatnya soatlian dan tangannya mencekal satu gendewa dengan tali baru.
Diudak oleh Tan Thian Oe, gadis Tsang itu berlari-lari lewat di pinggirnya Tjoei In Tjoe,
yang berkata sembari tertawa: "Sanma! Terima kasih buat soatlian-mu." Sesudah Chena
lewat, ia kebaskan gendewanya dan papaki Thian Oe. "Oe-djie, balik!" berseru Siauw
Tjeng Hong. Thian Oe hampiri gurunya, sedang si nona lari terus.
Loei Tjin Tjoe cabut pedangnya dan setindak demi setindak ia mendekati Siauw Tjeng
Hong.
"Kejadian pada tahun itu, sebenarnya sudah terjadi lantaran tidak sengaja. Loei Toako
buat apalah mendendam sampai begitu," kata Tjeng Hong.
Loei Tjin Tjoe keluarkan satu suara "htn" dan spier mukanya berkerut, sehingga
macamnya menakuti sekali. "Kalau kau tidak ingin aku menaruh dendam, tidak sukar,"
kata ia dengan suara tawar. "Kau kemari dan kasih aku bacok mukamu dua kali dan
kemudian korek biji matamu."
"Itu toh bukan dilakukan olehku," sahut Tjeng Hong. "Aku cuma secara tidak disengaja
sudah membantu Tjia In Tjin."
Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu mendelik. Ia jadi semakin gusar ketika Tjeng
Hong sebutkan namanya Tjia In Tjin. Ia dahulu adalah seorang lelaki yang berparas cakap
sekali dan sekarang jadi tidak keruan macam. Sedang Tjia In Tjin tidak dapat dicari,
semua amarahnya jadi tumplek ke atas kepalanya Tjeng Hong.
Sesudah datang dekat, ia menuding sembari berkata: "Sahabat, kepandaianmu tidak
mundur, sedang akupun sudah berlatih beberapa macam ilmu. Belasan tahun berselang
kita pernah bertanding dan sekarang aku kembali mau persembahkan kebodohanku."
Pedang lantas berkelebat dan ia kirim satu serangan membinasakan.
"Loei Toako kau mendesak siauwtee (adik) sampai di satu pojokan," kata Tjeng Hong
sembari meringis.
Loei Tjin Tjoe kirim tiga serangan beruntun yang semuanya dapat dikelit oleh Tjeng
Hong. Bacokan Loei Tjin Tjoe yang satu lebih cepat dari yang lain dan serangan ke
empat, dalam
gerakan Pekhong koandjit (Bianglala tembuskan matahari), menikam jalanan darah
Tongboen hiat pada dadanya Siauw Tjeng Hong. Serangan itu hebat luar biasa dan
kelihatannya Tjeng Hong tidak akan dapat singkirkan dirinya lagi. Mendadak ia putar
badan sembari mengebut dan ribuan benang halus lantas gulung pedangnya Loei Tjin
Tjoe.
Oleh karena kuatirkan pembalasan, belasan tahun lamanya Tjeng Hong pikirkan cara
buat jatuhkan musuh. Ilmu silatnya Loei Tjin Tjoe banyak lebih tinggi, sehingga
kemungkinan satu-satunya adalah melawan dengan tipu. Dengan terus kelit tiga
serangan, ia sengaja perlihatkan rasa ketakutan, dan ketika musuh menikam habis
dengan pedangnya, barulah ia menggulung dengan kebutannya. Harus diketahui, bahwa
kebutannya Siauw Tjeng Hong adalah mustika dalam Rimba Persilatan. Hudtim itu
rupanya mirip dengan buntut kuda, tapi sebenarnya terbuat dari benang-benang emas
hitam yang luar biasa uletnya dan tak dapat diputuskan dengan senjata tajam. Melihat
ilmu pukulannya yang sudah dilatih belasan tahun, mendapat hasil, hatinya Tjeng Hong
jadi girang sekali.
Loei Tjin Tjoe tertawa dingin dan lantas kerahkan tenaganya sembari betot pedangnya.
Di lain saat, ribuan benang halus pada berterbangan di tengah udara!
Tjeng Hong mencelos hatinya. Ia tak duga, tenaga dalamnya begitu tinggi. Sementara
itu musuh kembali sudah menyerang tiga kali beruntun dan ia tidak dapat berbuat lain
daripada putar hudtim-nya buat menjaga diri, tanpa mampu balas menyerang lagi.
Semakin lama Loei Tjin Tjoe menyerang semakin cepat. Tjeng Hong terus mundur dan
dari kepalanya keluar uap putih, yang menandakan ia sudah kerahkan setaker tenaga
yang berada dalam dirinya. Sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Loei Tjin Tjoe
mendadak meniup dengan mulutnya, sedang pedangnya berbareng membabat. Saat itu
juga, sebagian hudtim-nya Tjeng Hong terbabat putus dan benang-benangnya
berterbangan bagaikan rumput. Jika benang-benang hudtim-nya Tjeng Hong berkumpul
jadi satu, senjata yang paling tajam tak akan dapat memutuskannya. Akan tetapi, sesudah
kena ditiup buyar oleh Loei Tjin Tjoe yang berbareng kerahkan tenaga dalamnya ke badan
pedang, hudtim itu jadi seperti sesapu yang terbuka ikatannya dan tak sukar buat dibabat
putus.
Bukan main sakit hatinya Tjeng Hong yang tidak berani berkelahi lagi. "Baiklah, aku
terima nasib!" kata ia dengan suara sedih.
Loei Tjin Tjoe keluarkan tertawa nyaring. Ia maju dua tindak dan matanya mengawasi
musuhnya. "Baiklah," kata ia sembari kebas pedangnya. "Aku akan kirim dua sabetan
tapak jalak ke mukamu seperti contoh mukaku sendiri. Tjoei Hiantee, mari sini!
Saksikanlah bagaimana aku turunkan tangan!"
Satu perasaan dingin bagaikan es dirasakan oleh Tjeng Hong. Ia meramkan kedua
matanya, tak berani ia lihat pedangnya musuh yang mengkilap.
Tiba-tiba saja ia dengar suara "tring" dan Loei Tjin Tjoe kedengaran membentak:
"Bocah dari mana berani membokong aku!"
Tjeng Hong buka kedua matanya dan lihat ujung pedangnya musuh miring dan tergetar
tak hentinya, dengan keluarkan sedikit suara mengaung. Teranglah bagi Siauw Tjeng
Hong, bahwa pedangnya Loei Tjin Tjoe kena terpukul miring dengan semacam senjata
rahasia. Heran benar hatinya. Siapakah yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi
sehingga dapat pukul miring senjatanya Loei Tjin Tjoe?
Baru saja Loei Tjin Tjoe habis membentak, satu suara menyahut: "Apa matamu buta?
Tuanmu berada disini." Loei Tjin Tjoe menengok dan lihat satu orang berdiri di sebelah
kanannya.
Orang itu adalah satu pengemis yang mukanya seperti pantat kuali, rambutnya awut-
awutan, hidungnya dongak ke atas, sedang bajunya penuh tambalan. Tjeng Hong kaget
berbareng
girang. "Thiekoay sian datang, tak tahu apa ia kawan atau lawan," kata ia dalam hatinya.
Tapi ia, yang sudah tinggal tunggu kebinasaannya, tidak jadi lebih keder hatinya. Taruh
kata si pengemis datang sebagai musuh, buntutnya toh sama saja. Adalah Loei Tjin Tjoe
yang merasa kaget dan bersangsi.
Dengan terpincang-pincang si pengemis menghampiri.
Biarpun tahu orang genggam niatan kurang baik, tapi dengan andalkan kepandaiannya
yang tinggi, Loei Tjin Tjoe tidak jadi keder.
"Siauw Tjeng Hong, boleh juga kau!" kata ia sembari tertawa dingin. "Tak kukira, kau
sudah sediakan sahabatmu." Ia lirik Tjoei In Tjoe, supaya kawannya bersiap untuk
bertempur.
"Ha, ha!" tertawa si pengemis. "Hari ini aku bukan mau bantu orang berkelahi, tapi mau
menerima gebukan. Eh, bukankah kau niat kirim dua bacokan pada mukanya?"
"Apa?" kata Loei Tjin Tjoe. "Apa kau tidak tega dan mau gulung tangan baju?"
Si pengemis lagi-lagi tertawa.
"Aku pengemis miskin mana punya begitu banyak sahabat?" kata ia. "Cuma saja, aku
lihat ini Siauw sinshe mempunyai paras muka yang begitu halus, dan seperti juga kau,
dahulu tentunya cakap sekali. Kalau mukanya dibacok, bukankah sayang sekali? Ha! Aku
adalah seorang yang sangat tahu diri. Aku tahu romanku jelek dan tak pernah ngimpi akan
dicintai oleh wanita cantik. Maka itu, andaikata di atas mukaku tambah dua tapak golok,
muka yang sudah jelek tidak akan bertambah banyak lebih jelek. Ha! Biarlah aku talangi
dua bacokan itu, hayolah gunakan pedangmu! Eh, Siauw sinshe! Mau apa kau awasi aku?
Apa kau tak suka hati pernah digebuk olehku? Kalau tak suka hati, kau boleh lantas turun
tangan!"
Siauw Tjeng Hong turunkan hudtim-nya. "Tak berani," kata ia sembari mundur.
Mendengar sepatah-sepatah perkataannya si pengemis mengandung ejekan, Loei Tjin
Tjoe lantas saja menjadi gusar.
"Baiklah! Kalau kau sendiri yang minta, lihatlah pedangku!" ia membentak, sembari
menyabet dengan pedangnya yang menyambar bagaikan kilat. Si pengemis angkat
tongkatnya dan dengan suara "trang", lelatu api muncrat berhamburan, sedang badannya
Loei Tjin Tjoe melesat ke udara. Selagi badannya masih berada di tengah udara, dengan
satu gerakan Pengpok kioesiauw (Garuda terbang ke sembilan lapis langit), pedangnya
menikam ke bawah.
"Bagus!" berteriak si pengemis yang lantas papaki dengan tongkatnya yang menotok ke
pusarnya musuh. Buat tolong dirinya, Loei Tjin Tjoe poksay (jungkir balik) turun dan
pedangnya menyambar ke pundaknya si pengemis. Sembari merengketkan sedikit
pundaknya, si pengemis menyampok dengan tongkat, sehingga pedang dan tongkat
kebentrok sedikit. Semua pukulan itu adalah pukulan yang membinasakan dan sudah
terjadi dalam tempo yang sangat cepat, sehingga Siauw Tjeng Hong merasa sangat
kagum dalam hatinya.
Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, Loei Tjin Tjoe mendadak berseru dengan suara
kaget:
"Apakah kau Thiekoay sian?"
"Apa?" kata si pengemis. "Kalau kau tidak berani bacok mukaku, akulah yang akan
gebuk bebokongmu tiga kali buat ajar adat!"
Loei Tjin Tjoe gusar sangat. "Biarpun kau Thiekoay sian, aku tak takut!" ia membentak
sembari menikam. Si pengemis loncat sembari menyapu dengan tongkatnya dan mereka
kembali bertempur dengan sengit sekali, sehingga Siauw Tjeng Hong yang menyaksikan
merasa matanya
berkunang-kunang. Pedang dan tongkat berkelebat-kelebat dan siapa yang meleng sedikit
saja, jiwanya tentu akan segera melayang.
Siauw Tjeng Hong cekal keras hudtim-nya, sedang Tjoei In Tjoe pegang gendewanya.
Mata mereka mengawasi jalannya pertempuran sambil siap sedia.
Sesudah lewat kurang lebih setengah jam, di atas kepalanya Loei Tjin Tjoe keluar uap
putih, sedang gerakan tongkatnya si pengemis jadi semakin perlahan. Siauw Tjeng Hong
keluarkan napas lega dan berkata dalam hatinya: "Untung juga Thiekoay sian masih lebih
unggul setingkat." Walaupun gerakannya terlebih lambat, pukulannya si pengemis
malahan jadi semakin berat. Pedangnya Loei Tjin Tjoe sekarang sudah kena didesak
dengan sang tongkat.
Berbeda dengan gurunya, Tan Thian Oe tidak pusatkan perhatian kepada gelanggang
pertempuran. Badannya berada disitu, tapi hatinya terus memikiri gadis Tsang itu, yang
sekarang sudah tidak kelihatan lagi bayang-bayangannya.
Permukaan Tengri Nor, atau Thian-ouw, luar biasa luasnya.
Thian Oe lihat, di pojokan utara barat dari telaga tersebut, terdapat satu sungai es yang
kelihatannya seperti satu Thianho (Milky way), yang terbentang nyungsang. Sungai es itu
dari puncak gunung mengalir ke bawah, laksana satu air tumpah. Bisa jadi lantaran
adanya hawa yang lebih hangat, berbeda dari yang lain, sebagian es di sungai tersebut
pada lumer. Di lapisan sebelah bawah, esnya keras seperti bukit-bukit, tapi di lapisan atas,
es itu lumer menjadi kepingan-kepingan besar dan kecil, yang dengan suara ribut mengalir
ke sebelah bawah dan terus masuk kedalam telaga. Itulah sebabnya, kenapa di tengah
telaga terdapat banyak kepingan-kepingan es yang pada ngambang.
Thian Oe dongak mengawasi ke atas. Di bagian atas dari sungai es, yaitu yang
berdekatan dengan puncak gunung, lapat-lapat seperti juga berdiri sebuah keraton, atau
sedikitnya satu gedung yang sangat besar. Cuma saja lantaran jaraknya terlalu jauh,
Thian Oe tak dapat melihat tegas dan tak dapat menentukan, apakah yang kelihatan itu
ada gedung-gedung atau cuma batu-batu belaka.
Mendadak kupingnya dengar suara tindakan dan suara orang bicara. Di tempat, dari
mana gadis Tsang itu keluar, muncul sererotan orang yang sedang mendaki gunung. Yang
paling depan adalah tiga orang yang jalan berbaris. Dua orang yang di kiri dan kanan
adalah mereka yang tadi ditimpuk jatuh oleh gurunya, sedang orang yang berjalan di
tengah adalah satu Lhama yang memakai jubah panjang warna merah. Setiba di pinggir
telaga, mereka awasi pertempuran antara si pengemis dan Loei Tjin Tjoe, dan kemudian,
tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka lantas jalan menuju ke arah sungai es.
Di belakangnya tiga orang itu, terdapat dua boesoe Nepal yang Thian Oe pernah
ketemu dalam rumah penginapan di Shigatse. Tangannya kedua boesoe memegang hio
Tibet, sikapnya menghormat sekali dan tanpa menengok, mereka terus menuju ke arah
sungai es, dengan mulut kemak-kemik, seperti juga orang yang sedang berdoa.
Di belakangnya kedua boesoe terdapat lima atau enam orang. Antara mereka, ada
pemuda cakap, ada orang kasar, ada pendeta dan sebagainya.
Waktu tiba disitu, mereka kelihatannya ketarik dengan pertempuran antara si pengemis
dan Loei Tjin Tjoe. Mereka berhenti sebentar. Ada yang rundingkan jalannya pertempuran,
sembari menunjuk-nunjuk, ada juga yang cuma omong-omong antara kawannya.
"Dua manusia ini benar tak tahu diri," demikian Thian Oe dengar seorang berkata.
"Kodok buduk mau makan daging angsa langit! Mereka kelihatannya sudah mendahului
kita."
Belum sempat orang itu tutup mulutnya, dengan tongkatnya Thiekoay sian sontek
sepotong batu yang lantas menyambar ke arah orang yang barusan bicara. "Bagus!"
berseru orang itu sembari menyampok dengan dua tangannya dan batu itu terpental jatuh
ke jurang.
Disontek oleh Thiekoay sian yang mempunyai tenaga dalam sedemikian tinggi, batu itu
mempunyai tenaga ratusan kati dan menyambar luar biasa cepatnya. Bahwa orang itu
dapat menyampok dengan gampang saja, merupakan bukti bahwa ilmu silatnya tidaklah
lemah. Siauw Tjeng Hong sungguh tak mengerti, kenapa di tempat itu muncul begitu
banyak orang pandai dengan berbareng.
Sesudah lihat tindakannya Thiekoay sian, orang-orang itu tidak banyak bicara dan lalu
menuju ke arah sungai es. Thian Oe dengar, sembari jalan mereka itu beromong-omong.
"Bagaimana sih macamnya Pengtjoan Thianlie?" kata seorang.
"Namanya begitu bagus, orangnya tentu juga cantik," sahut seorang lain.
"Ah, kalau jelek, aku serahkan saja pada kau," kata seorang lagi.
"Jangan terburu napsu. Pengtjoan Thianlie kita belum pernah lihat. Tapi nona Chena
sudah cantik luar biasa," kata yang lain. Demikianlah mereka bicara sembari tertawa-tawa,
sampai suaranya tidak kedengaran lagi.
Thian Oe kaget sekali, "Ah kalau begitu mereka maui Pengtjoan Thianlie dan niat
rampas juga nona Tsang itu," kata ia dalam hatinya.
Terhadap Pengtjoan Thianlie, Thian Oe cuma sangat kepengen tahu. Akan tetapi
terhadap Chena, ia mempunyai serupa perasaan yang sukar dilukiskan. Ia lirik gurunya
yang ternyata sedang pusatkan seluruh perhatiannya kepada pertempuran.
Siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, sekarang sudah kelihatan nyata.
Thiekoay sian jadi semakin gagah, tongkatnya menyambar-nyambar seperti ular dan
naga, sesuatu sabetan mengeluarkan kesiuran angin yang menderu-deru, sehingga di
empat penjuru seperti juga penuh dengan bayangan Thiekoay sian dan tongkat itu
berubah menjadi puluhan batang. Loei Tjin Tjoe sudah terkurung dalam sinar tongkat dan
lingkaran sabetan pedangnya semakin lama jadi semakin ciut. Cuma saja, lantaran ilmu
pedangnya memang sudah sampai pada puncak yang tinggi, maka biarpun keteter,
tongkatnya Thiekoay sian masih belum dapat tembuskan sinar pedangnya.
Thian Oe tak mempunyai kegembiraan buat menyaksikan jalannya pertempuran.
Matanya ditujukan ke arah tempat sungai es masuk ke dalam telaga. Mendadak,
kupingnya mendengar suara luar biasa, sedang matanya dapat lihat bahwa di aliran atas
sungai es itu, terdapat satu titik hitam yang turut mengalir *ke bawah. Dengan perlahan
titik hitam itu menjadi besar dan ternyata adalah sebuah perahu kecil yang di dalamnya
berduduk tiga orang.
Mukanya ketiga orang itu belum kelihatan nyata, akan tetapi, kecuali dua boesoe Nepal
yang masih berlutut, lain-lain orang keluarkan teriakan girang, sedang semua mata
ditujukan kepada sungai es.
"Apa yang datang Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe dalam hatinya.
Sebagaimana diketahui, aliran air sungai es, yang dari puncak gunung turun ke bawah,
deras luar biasa. Di lapisan atas terdapat banyak kepingan-kepingan es, sedang di lapisan
bawah sembunyi bukit-bukit es. Jika kebentur dengan kepingan es, apalagi bukit es,
jangan kata perahu kecil, perahu besar pun akan segera menjadi hancur. Tapi heran
sungguh, perahu kecil itu seperti juga sedang laju di atas sungai biasa yang tenang airnya.
Begitu lekas sang perahu mendekati, kepingan-kepingan es itu lantas minggir sendirinya,
seperti juga didorong dengan satu tenaga yang tidak kelihatan!
Biarpun tidak tahu cara bagaimana, Thian Oe mengerti, bahwa hal itu sudah terjadi
lantaran di dalam perahu terdapat orang yang kepandaiannya tidak dapat diukur
bagaimana tingginya.
Tak lama kemudian, perahu itu sudah datang dekat. Dalam perahu kecil terdapat tiga
wanita. Di sebelah kiri adalah Chena yang mukanya sekarang tersungging dengan
senyuman girang. Di sebelah kanan berdiri seorang wanita, yang dalam usia pertengahan,
romannya masih cantik sekali. Yang paling luar biasa adalah wanita yang di sama tengah.
Rambutnya awut-awutan dan berdiri seperti jarum, mukanya putih meletak seperti juga
bukan muka manusia, kedua tangannya dirangkap di dada dan sepuluh jerijinya seperti
juga cakar ayam, dan dengan mata yang mengawasi ke depan, rupanya wanita itu
sungguh seperti satu mayat yang baru keluar dari kuburan. Orang-orang yang melihat
semua keluarkan teriakan tertahan, bahna kagetnya. Tiga orang yang hatinya lebih kecil
lantas saja balik badannya dan turun gunung.
"Apa Pengtjoan Thianlie berada di perahu itu?" tanya Thian Oe dalam hatinya. "Kalau ia
ada disitu, jika bukan si wanita usia pertengahan, tentulah juga wanita yang seperti
mayat."
Mendadak, gurunya keluarkan satu seruan kaget. Thian Oe menengok dan lihat muka
gurunya pucat bagaikan mayat, kaki tangannya gemetar, seperti orang yang sakit keras.
"Ah, sungguh tak dinyana, aku bisa bertemu ia di tempat ini!" demikian gurunya berkata
seorang diri.
"Soehoe, siapa yang kau maksudkan?" tanya Thian Oe.
"Gobie Lihiap Tjia In Tjin!" sahut sang guru.
"Apa wanita yang di tengah?" tanya lagi sang murid.
"Bukan, yang sebelah kanan," sahut Siauw Tjeng Hong. "Mukanya masih sama saja
seperti pada belasan tahun berselang."
Thian Oe terkejut. "Apakah wanita yang di tengah Pengtjoan Thianlie adanya?" tanya ia
dalam hatinya.
Perahu itu sekarang sudah terpisah cuma belasan tombak saja dan sudah hampir
masuk ke dalam telaga. Lhama yang memakai jubah merah mendadak membentak:
"Yang mana Pengtjoan Thianlie?" Sehabis membentak begitu, badannya melesat ke
arah sungai es, kedua kakinya menotol kepingan es yang ngambang dan dengan
kecepatan kilat memburu ke arah perahu. Begitu berhadapan, ia angkat tangannya yang
seperti kipas, yang menyambar ke arah Tjia In Tjin. Rupanya si Lhama menduga, bahwa
Tjia In Tjin adalah Pengtjoan Thianlie. Dengan pukulan Lengshan tjiang (Pukulan gunung
Lengshan), tangannya si Lhama menyambar, sehingga Siauw Tjeng Hong keluarkan satu
teriakan kaget.
Tjia In Tjin tertawa tawar, tapi sebelum ia dapat bergerak, wanita yang di tengah sudah
pentil sekeping es ke arah uluhatinya Lhama itu. Dengan satu teriakan menyayatkan hati,
ia terguling dan badannya tersapu air yang mengalir ke bawah deras luar biasa. Mungkin
sekali badannya kebentur bukit es, sebab warna air lantas berobah merah!
Bukan main terkejutnya Siauw Tjeng Hong. Harus diketahui, bahwa orang yang
belajarkan ilmu pukulan Lengshan tjiang, tentu mesti mempunyai juga ilmu Kimtjiongto
dan Tiatposan (dua macam ilmu weduk), dan badannya dapat melawan tekanan ribuan
kati. Ditimpuk dengan senjata rahasia, paling banyak kulitnya merasa sedikit gatal-gatal.
Tapi, siapa nyana, dengan kepingan es yang begitu kecil, ia roboh dan melayang jiwanya!
Orang-orang yang berkumpul di pinggir telaga, dapat dibagi menjadi tiga rombongan.
Satu rombongan adalah itu kedua boesoe Nepal yang masih terus berlutut sembari
tundukkan kepalanya. Lain rombongan adalah si Lhama yang sudah binasa dan dua
orang Tibet yang ubar-ubar Chena. Mereka itu adalah orang-orangnya Touwsoe di Sakya
yang diperintah buat bekuk gadis tersebut. Rombongan ketiga yaitu orang -orang, yang
lantaran dengar nama wanginya Pengtjoan Thianlie sudah datang buat coba-coba
meminang dengan niatan merampas juga Chena yang cantik. Melihat liehaynya wanita
dalam perahu itu, orang-orang rombongan kedua dan ketiga jadi ketakutan bukan main.
Ada yang ketakutan sampai kaki tangannya lemas, ada yang lantas balik badannya buat
kabur dan ada juga, yang lebih besar nyalinya, ingin menjajal-jajal dengan jalan
mengerubuti.
Sementara itu, jerijinya Chena kelihatan menuding dua kali. "Yang mau menangkap aku
adalah dua orang itu," kata ia. Wanita yang mukanya seperti mayat, lantas pungut
kepingan es yang dipentil dengan jerijinya. Dua orang Tibet itu, yang baru tiga kali
melangkah dalam percobaan kabur, kena kesambar jitu dan lantas terguling sembari
muntahkan darah hidup!
"Orang-orang itu semuanya bukan orang baik-baik," berkata Tjia In Tjin. Wanita itu
kembali ayun tangan kanan dan tangan kirinya dan kepingan-kepingan es menyambar
bagaikan kilat. Dalam tempo sekejapan, kecuali kedua boesoe Nepal, semua orang sudah
kena dihantam kepingan es. Dua antaranya yang mempunyai kepandaian lebih tinggi,
masih dapat kabur dengan menderita luka berat. Yang lainnya semua roboh binasa!
Kejadian itu ada begitu mengejutkan, sehingga bukan saja Siauw Tjeng Hong dan Tan
Thian Oe mengawasi dengan mulut ternganga, tapi Thiekoay sian dan Loei Tjin Tjoe pun
jadi lebih lambat serang menyerangnya.
Ketiga wanita itu lantas mendarat dan naik dari gili-gili dengan tindakan perlahan. Saat
itu, kedua matanya Siauw Tjeng Hong kebentrok dengan matanya Tjia In Tjin, yang
mengawasi dengan paras muka seperti tertawa, tapi bukannya tertawa. Pada saat itu,
perasaan mencinta dan membenci mengaduk jadi satu. Hatinya Tjeng Hong niat
memanggil, tapi mulutnya seperti terkancing. Tjia In Tjin cuma manggut-manggutkan
sedikit kepalanya dan bersama dua kawannya terus menghampiri gelanggang
pertempuran.
Semakin dekat, mukanya wanita itu jadi semakin hebat. In Tjin berkata sembari tertawa:
"Hei kawan hidup! Pengtjoan Thianlie sudah datang. Apa kau enak hati masih terus
hinakan anak cucunya? Lekas simpan tongkat pemukul anjing itu!"
Mendengar perkataan itu, hatinya Tjeng Hong mencelos. Ia sama sekali tidak
mengimpi, bahwa wanita yang begitu cantik seperti Tjia In Tjin sudah mau menjadi
isterinya Thiekoay sian yang
begitu jelek rupanya. Thian Oe juga tidak kurang kagetnya. Sekarang dapat dipastikan,
bahwa Pengtjoan Thianlie adalah itu wanita yang mukanya seperti mayat.
Mendadak gadis Tsang itu berkata sembari tertawa: "Thianlie tjietjie, anak muda itu
adalah orang baik. Tjietjie, jangan bikin takut padanya."
Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie usap kepalanya dan rambutnya yang seperti rumput jatuh
ke bawah. Rambut itu adalah rambut palsu. Ia buka jubah luarnya dan usap kedua
tangannya. Sekarang kelihatan, bahwa jeriji-jeriji yang seperti cakar ayam adalah jeriji
palsu dari sarung tangan. Paling belakang ia usap mukanya dan locoti satu kedok. Pada
saat itu, Tan Thian Oe jadi kesima!
Disitu ia berdiri, cantik dan agung laksana satu dewi atau bidadari. Badannya yang
langsing ditutup dengan baju warna biru telaga, mukanya bundar laksana rembulan
tanggal lima belas, kedua alisnya panjang dan lentik, biji matanya yang bersinar terang
berwarna agak kebiru-biruan, mulutnya kecil seperti buah engtoh yang masak, yang
agaknya selalu tersungging senyuman, rambutnya yang hitam jengat dikepang jadi dua
cacing yang pada ujungnya diikat dengan sutera merah, kulitnya halus ibarat batu kemala
yang bersinar terang lantaran kena sorotnya salju dan sebagai pelengkap dari itu semua,
gerakannya ayu dan halus! Tan Thian Oe sering bayangkan kecantikannya Pengtjoan
Thianlie, tapi apa yang sekarang ia saksikan adalah melebihi dari segala lamunannya.
Pengtjoan Thianlie menyapu dengan matanya dan berkata: "Tolong berhenti
bertempur!" suaranya halus, tapi sangat berpengaruh.
Thiekoay sian tarik pulang tongkatnya dan loncat berdiri di dampingnya Tjia In Tjin. Loei
Tjin Tjoe juga lintangkan pedangnya di depan dada dengan paras muka yang heran
sekali.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Loei Tjin Tjoe, lepaskan pedangmu.
Berlutut tiga kali di hadapan Siauw sinshe dan lantas turun gunung!" Ia ucapkan
perkataannya dengan lagu suara seperti seorang tingkatan lebih tua kepada orang dari
tingkatan lebih muda.
Loei Tjin Tjoe terkesiap. Lantaran terlalu gusar, ia jadi tertawa besar. "Siapa kau?" ia
tanya. "Dengan andalkan apakah, kau berani perintah aku berlutut di hadapannya?"
Loei Tjin Tjoe adalah jago terutama dari tingkatan kedua partai Boetong pay. Di
sebelahnya itu, usianya sudah empat puluh tahun lebih, sedang Pengtjoan Thianlie baru
kirarkira berusia dua puluh tahun. Juga harus diingat, bahwa sudah banyak tahun ia
mendapat nama besar di kalangan Kangouw, sehingga adatnya jadi sombong sekali.
Maka itulah dapat dimengerti, perutnya seperti mau meledak waktu dengar perkataannya
nona yang cantik itu. . "Apa bunyinya larangan kedua belas dari Boetong pay?" tanya
Pengtjoan Thianlie. Bunyinya larangan ke 12 adalah: "Harus dapat membedakan yang
mana benar, yang mana salah. Dalam segala urusan, harus tanya diri sendiri, apakah ada
berbuat kesalahan atau tidak. Dilarang, dengan andalkan kekuatan, menghina orang."
Loei Tjin Tjoe terkejut. Ia merasa heran, kenapa wanita itu yang tinggal di atas Puncak Es,
bisa mengetahui larangan-larangan dari partainya.
"Urusanmu aku sudah tahu semuanya," berkata lagi Pengtjoan Thianlie. "Asal mulanya
adalah salahmu sendiri. Tapi lantaran ingat walaupun hatimu kurang baik, tapi kau
bukannya melakukan kedosaan besar, dan juga sebab dalam urusan itu terselip
tangannya orang jahat, maka aku ampuni kau dari hukuman mati. Hayo lekas haturkan
maaf kepada Siauw sinshe!"
Matanya Loei Tjin Tjoe yang tinggal satu, mendelik. "Biarpun andaikata kau ini adalah
tjianpwee dari Boetong pay, kau masih tidak dapat campur urusanku," kata ia dengan
suara keras. "Perlu apa aku ladeni omongan segala perempuan yang masih ada
pupuknya!"
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berubah. "Murid siapa kau? Berani buka suara
begitu besar!" kata ia.
Loei Tjin Tjoe lintangkan pedangnya sembari mengawasi dengan sorot mata gusar dan
tidak sahuti pertanyaannya Pengtjoan Thianlie. Lantaran begitu, Thiekoay sian lantas
talangi: "Dia adalah muridnya tjiangboen (pemimpin) Boetong pay, Hian In Toodjin." Hian
In adalah soetit-nya (keponakan murid) Moh Tjoan Seng. Biarpun memegang tampuk
pimpinan, tapi lantaran suka sekali berkelana, ia jadi tidak banyak mengurus urusan
partai, dan dari sebab begitu, semakin lama Loei Tjin Tjoe jadi semakin besar kepala.
"Apa yah?" kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Aku dengar peraturan Boetong
pay dijaga dengan keras sekali, sedang perbedaan antara tingkatan tua dan muda sangat
diindahkan. Apakah
sekarang keadaan sudah berobah? Kalau begitu, orang-orang tua dari partaimu sudah tak
dapat mengurus kau, akulah yang mau talangi mereka mengurus kau!"
Loei Tjin Tjoe tidak dapat menahan sabar lagi. Ia -kebas pedangnya dan loncat maju.
"Baiklah! Cobalah! Aku Loei Tjin Tjoe bersedia buat terima pengajaranmu!" ia berteriak.
"Oh, kalau begitu kau mau adu pedang denganku?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari
tertawa. Ketika itu kedua tangannya kosong, sedang ia pun tidak membawa senjata.
Selagi Tjia In Tjin mau serahkan pedangnya, Pengtjoan Thianlie berkata: "Tak usah!" Ia
lantas jalan menuju ke pinggir telaga dan jumput sepotong es, yang berbentuk toya.
Dengan menabas beberapa kali sama tangannya, potongan es jadi merupakan sebatang
pedang.
Sembari mesem Thianlie sabetkan pedang es itu. "Loei Tjin Tjoe," kata ia. "Jika kau
dapat melayani aku dalam sepuluh jurus, aku akan biarkan kau berbuat sesuka hati
terhadap Siauw sinshe." Waktu itu adalah kira-kira tengah hari dan sang matahari
pancarkan sinarnya yang hangat dan gilang gemilang. Sedang kepingan-kepingan es
yang ngambang di atas sungai es sudah mulai lumer, apalagi es yang tercekal dalam
tangan, yang menerima hawa hangat dari badan manusia.
Mendengar perkataannya Thianlie, Siauw Tjeng Hong jadi terkejut. "Taruh kata Loei Tjin
Tjoe tak dapat putuskan pedang es itu, dalam tempo cepat es itu toh akan menjadi lumer.
Bukankah dengan demikian Pengtjoan Thianlie bikin jiwaku jadi seperti lelucon?"
Loei Tjin Tjoe lantas saja tertawa besar. "Baiklah," kata ia. "Inilah ada perjanjian yang
dikatakan olehmu sendiri. Dan di pihakku, jika dalam sepuluh jurus aku tak dapat putuskan
pedang es itu, aku akan berlutut di hadapanmu!"
"Kemauanku adalah kau mesti berlutut di hadapan Siauw sinshe," kata Thianlie.
"Sudah, jangan banyak bacot. Aku turut segala perkataanmu. Sambutlah!" Pedangnya
lantas berkelebat dan coba tabas pedang es itu. "Jurus pertama!" Thiekoay sian
menghitung dengan suara keras.
Sabetan pertama cepat bukan main, ditambah dengan tenaga dalam yang sudah dilatih
oleh Loei Tjin Tjoe puluhan tahun lamanya.
Jangan kata es, biarpun senjata logam akan putus kena sabetannya itu. "Bagus!" kata
Thianlie sembari mesem dan pedang es berkelebat meluncur ke arah jalanan darah
Hiankie hiat di bagian dada. Serangan itu dilakukan dari suatu kedudukan (posisi) yang
tak dapat diduga, sedang Hiankie hiat adalah jalanan darah yang kalau ketotol dapat
membinasakan orang. Loei Tjin Tjoe terkesiap. Dengan Seantero kemampuannya ia
membungkuk buat tarik pulang tenaganya yang sudah dikeluarkan, dan dengan lintangkan
pedangnya serta menggunakan banyak tenaga, barulah ia dapat punahkan serangan
yang sangat berbahaya itu. Sembari mesem, Pengtjoan Thianlie tarik pulang pedang
esnya dan gebrakan pertama sudah selesai.
Sesudah bikin rapi lagi kedudukannya, Loei Tjin Tjoe mendadak lakukan tiga serangan
beruntun. Itulah serangan dari ilmu pedang Lianhoan Tokbeng Kiamhoat (Ilmu pedang
berantai membetot jiwa), yang sangat hebat dan sukar dijaga.
"Ilmu pedangmu masih jauh dari sempurna," kata Thianlie sembari tertawa. Badannya
bergerak dan dalam sekejap sudah membalas dengan tiga serangan pula. Setiap
serangan berbeda satu dengan lainnya dan perubahan itu dibikin selagi sang pedang es
tengah menyambar. Sedang serangan Loei Tjin Tjoe dengan mudah dapat dipunahkan,
serangannya Thianlie sudah membikin matanya Tjin Tjoe menjadi kabur, sehingga ia
terpaksa main mundur dan main kelit. Sementara itu, Thiekoay sian sudah menghitung
empat kali.
Loei Tjin Tjoe terkesiap sebab ternyata ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie adalah ilmu
pedang Tatmo Kiamhoat dari Boetong pay! Tatmo Kiamhoat yang tulen telah menjadi
hilang pada jaman Kerajaan Goan, dan baru pada permulaan Kaisar Konghie (Tjeng),
barulah Sin Liong Tjoe dapat cari lagi itu ilmu pedang yang sejati, yang belakangan
diwariskan kepada Koei Tiong Beng. Lantaran begitu, Koei Tiong Beng menjadi leluhur
dari Boetong pay cabang Utara. Tapi oleh karena Tatmo Kiamhoat luar biasa sukarnya dan
di sebelahnya itu, pulangnya lagi ilmu pedang tersebut belum berapa lama, maka selama
beberapa puluh tahun, jumlahnya orang yang benar-benar sudah dapat mewarisi tidaklah
lebih dari beberapa orang saja.
Loei Tjin Tjoe adalah murid dari Boetong pay cabang Selatan. Walaupun ilmu pedang
Boetong Selatan dan Boetong Utara belakangan berendeng bersama-sama, akan tetapi,
pengetahuan orang-orang cabang Selatan terhadap Tatmo Kiamhoat ada lebih rendah
daripada orang-orang
cabang Utara. Loei Tjin Tjoe sendiri tentu saja pernah belajarkan Tatmo Kiamhoat, tapi
belum sampai pada puncak yang tinggi. Ketika lihat ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie
malahan lebih tinggi dari gurunya sendiri, dapat dimengerti kalau Loei Tjin Tjoe jadi kaget
bukan main.
"Apakah tidak bisa jadi, perempuan ini benar-benar orang tingkatan atas dari -Boetong
pay?" tanya ia dalam hatinya. Mendadakan saja, ia ingat satu hal dan hatinya jadi lebih
bingung lagi. Tapi, selagi ia mau buka mulut buat menanya, ia lihat Thiekoay sian
mengawasi padanya dengan meseman mengejek, sehingga hatinya jadi panas sekali.
"Baiklah! Biar aku buang-buangan jiwaku sekali ini," demikian ia kata dalam hatinya.
Ketika itu Thianlie berdiri dengan sikap tenang, ujung pedangnya menuding dirinya, tapi
tidak mau bergerak lebih dahulu. Inilah ada sikapnya orang dari tingkatan lebih tua jika
menghadapi orang tingkatan muda.
Dengan adanya kelambatan begitu, pedang es yang dicekal oleh
Thianlie sudah lumer sebagian dan air es tak hentinya mengetel-ngetel. Pedang es itu
sudah jadi lebih tipis dan lebih kecil. Tiba-tiba saja Loei Tjin Tjoe ingat suatu cara yang
sangat beracun.
"Baiklah!" kata ia dalam hatinya. "Bagus sekali jika kau tidak mau menyerang. Aku pun
tidak mau buka serangan. Asal pedang esmu lumer, tanpa bertempur aku sudah dapat
kemenangan!" Sebelum bertempur, mereka sudah janji bahwa pertempuran dilakukan
dengan menggunakan pedang. Maka itu, jika pedang esnya Thianlie lumer sampai habis
dan belum bisa dapat kemenangan, Loei Tjin Tjoe tidak bisa disalahkan menarik
keuntungan dengan akal bulus.
"Hei! Loei Tjin Tjoe. Kau kenapa?" tanya Thiekoay sian dengan paras muka gusar. Yang
ditanya tidak meladeni. Ia cekal pedangnya dan mengawasi Thianlie dengan mata tajam.
Tapi Pengtjoan Thianlie tidak menjadi gusar. Sebaliknya, ia kembali mesem. "Dengan
adanya niatanmu yang kurang baik, baiklah aku wakilkan Hian In Tootiang memberi
pelajaran kepadamu," kata ia. Sehabis berkata begitu, kedua jerijinya mementil dan air es
menyambar ke arah Tjin Tjoe. Mendadakan saja ia rasakan kedua matanya kabur,
beberapa ketel air es mengenakan tepat pada mukanya dan sakitnya menembus ke
tulang-tulang. Dalam keadaan yang kabur itu, Pengtjoan Thianliee mendadak kirim satu
serangan aneh.
Sebagaimana biasanya orang yang pandai silat, reaksi badan dan tangannya semua
terjadi tanpa merasa. Begitu ada gerakan musuh, gerakan membela diri muncul secara
otomatis. Demikianlah, begitu lihat Thianlie bergerak, tangannya Loei Tjin Tjoe yang
mencekal pedang juga lantas bergerak buat mendahului menyerang.
Tapi baru saja pedangnya menyambar sampai di tengah jalan, ia ingat bahwa dengan
berbuat begitu, ia jadi masuk dalam perangkap. Ia niat tarik pulang pedangnya, tapi sudah
tidak keburu. Hampir pada detik yang bersamaan, ia rasakan tenggorokannya dingin.
Pedang esnya Pengtjoan Thianlie ternyata sudah menempel pada tenggorokannya!
Tenggorokan adalah bagian tubuh manusia yang lemah dan jika Thianlie sedikit saja
menggunakan tenaganya, jiwanya Loei Tjin Tjoe akan segera melayang!
Thianlie tertawa sembari berkata: "Sebenarnya aku mau lihat kepandaianmu dalam
sepuluh jurus, buat mendapat tahu sampai bagaimana jauh majunya pelajaranmu. Tapi
lantaran hatimu kurang bersih, aku kurangkan separuh dan cuma jajal kau dalam lima
jurus? Apa di hari kemudian kau masih berani kurang ajar terhadap orang yang lebih tinggi
tingkatannya? Apa kau masih berani hinakan orang dengan andalkan kegagahanmu?"
"Kau, apakah kau puterinya Koei Soesioktjouw?" tanya Loei Tjin Tjoe dengan suara
gemetar.
"Kau menebak jitu," sahut Thianlie.
"Koei Soesioktjouw" yang disebutkan oleh Loei Tjin Tjoe adalah Koei Hoa Seng. Di
antara tiga saudara dalam keluarga Koei, Koei Hoa Seng yang paling muda usianya, tapi
yang paling tinggi kepandaiannya dalam ilmu pedang. Loei Tjin Tjoe pernah dengar
penuturannya orang tua-tua, bahwa Koei Hoa Seng telah meninggalkan daerah Tionggoan
dengan hati penuh kegusaran. Dan sungguh tidak terduga, puterinya Koei Hoa Seng bisa
berada di Thian-ouw.
Loei Tjin Tjoe keluarkan helahan napas dan lemparkan pedangnya.
Sesudah itu, ia hampiri Pengtjoan Thianlie dan berlutut tiga kali. Pedang es sudah
lumer dan cuma ketinggalan satu kepingan kecil saja. Sembari tertawa Thianlie gosok
kedua telapakan tangannya dan es yang ketinggalan lantas lumer menjadi air. Mendadak
mukanya berubah dan membentak: "Kau belum mau jalankan kehormatan kepada Siauw
sinshe?"
Mukanya Loei Tjin Tjoe pucat seperti kertas. Tanpa berkata suatu apa, ia lari
menghampiri Siauw Tjeng Hong dan berlutut tiga kali. Mendadak ia membungkuk, jumput
pedang yang menggeletak di atas tanah dan gorok lehernya sendiri.
Harus diingat, bahwa nasibnya Loei Tjin Tjoe ada buruk sekali. Ia bukan saja gagal
dalam percintaan, tapi malahan juga kena dirusak mukanya oleh wanita yang ia pernah
cintakan. Maka itu, perasaan cinta berobah jadi satu dendaman hebat. Di sebelahnya
membenci Gobie Liehiap Tjia In Tjin, kegusarannya ditujukan terhadap Siauw Tjeng Hong.
Sesudah menaruh dendam belasan tahun, ia sekarang dapat ketemukan musuhnya, tapi
siapa nyana, selagi mau bikin pembalasan, ia bertemu dengan Pengtjoan Thianlie dan
mengalami lagi penghinaan yang begitu besar. Maka tidaklah heran, dalam putus harapan
dan kegusaran, ia jadi nekat dan mengambil putusan pendek.
Siauw Tjeng Hong keluarkan teriakan tertahan. Ia tak keburu menolong, sebab
gerakannya Loei Tjin Tjoe terlalu cepat. Mendadak dengan satu suara "trang" dan
muncratnya kepingan es, pedangnya Loei Tjin Tjoe jatuh di atas tanah. Orang yang
menolong bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie yang telah menimpuk dengan sekeping
es.
"Manusia tak punya nyali!" berkata si nona. "Kalau kepandaian kurang, apa tak bisa
dipelajari lagi?"
Mendengar perkataan itu, matanya Loei Tjin Tjoe berkunang-kunang dan dadanya
dirasakan seperti mau meledak. "Benar," kata ia dalam hatinya. "Kalau aku bunuh diri, ia
akan kira aku benar-benar tidak mempunyai nyali."
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berkata pula: "Kalau kau harus mendapat hukuman
mati lantaran dosamu, siang-siang aku sudah jatuhkan hukuman mati. Tidak perlu kau
sendiri yang turun tangan, Segala kejadian pada tahun itu sudah dituturkan oleh Thiekoay
sian suami isteri kepadaku. Dalam urusan itu, hatimu memang mengandung niatan yang
kurang baik, tapi kau sendiri tidak mengetahui, bahwa dalam urusan itu, kau sudah
dipermainkan oleh seorang jahat. Sungguh kau harus dikasihani dan ditertawai dengan
berbareng. Apa kau tahu bagaimana maksud hatinya Ong Lioe Tjoe? Kalau kau ingin
tahu, pada Tiongtjhioe (pertengahan musim rontok, atau Bulan Delapan tanggal 15) tahun
ini, kau boleh pergi ke Chaklun buat mencari tahu."
Loei Tjin Tjoe terperanjat mendengar omongan itu. "Ong Lioe Tjoe sudah binasa, cara
bagaimana orang masih bisa dapat mengetahui isi hatinya," pikir ia. "Cara bagaimana,
dengan pergi ke Chaklun, aku bisa mendapat tahu isi hatinya Ong Lioe Tjoe yang
sekarang sudah tidak ada lagi dalam dunia?" Dengan timbulnya perasaan heran, ia tidak
ingat lagi soal membunuh diri. Sesudah pungut pedangnya, bersama Tjoei In Tjoe, ia
segera turun gunung sembari tundukkan kepala.
Ketika itu Siauw Tjeng Hong seperti juga berada dalam mengimpi. Ia lihat Tjia In Tjin
dan Thiekoay sian bicara dengan suara perlahan sembari tertawa-tawa, dengan tingkah
laku yang hangat sekali. Menyaksikan itu, hatinya seperti diremas-remas. "Suatu orang
mempunyai nasib sendiri-sendiri dan segala apa tidak dapat dipaksa," pikir Tjeng Hong.
"Walaupun Thiekoay sian beroman buruk, akan tetapi ia adalah murid yang mewarisi
kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie sehingga dengan jadi pasangannya Tjia
In Tjin, ia tidaklah membikin turun derajatnya Gobie Liehiap."
Mengingat bahwa bekas kecintaannya sekarang sudah mendapat pasangan yang
setimpal, hatinya Siauw Tjeng Hong jadi tenang. Mendadak ia lihat Thiekoay sian
menghampiri dengan terpincang-pincang dan memberi hormat sesudah berhadapan.
Siauw Tjeng Hong buru-buru balas hormatnya, sambil ucapkan perkataan-perkataan
merendah.
"Siauw loote," katanya sembari tertawa. "Apakah kau tahu kenapa aku sudah gebuk
kau dan sekarang memberi hormat padamu?"
Siauw Tjeng Hong gaga-gugu dan tak tahu harus menjawab bagaimana. Thiekoay sian
tertawa lagi dan berkata: "Aku tahu, bahwa aku adalah seorang yang berparas buruk
sekali. Maka itu, maka itu..."
Sebelum ia dapat teruskan omongannya, Tjia In Tjin sudah membentak: "Setan tak
kenal malu! Apa kau mau ditertawakan orang? Tutup mulutmu!" Sang isteri membentak
begitu, sebab mengetahui, kalau si suami bicara terus, ia bakal jadi jengah sekali.
Thiekoay sian tahu parasnya jelek sekali. Apa mau, ia dapat isteri yang sangat cantik.
Sebagai seorang yang mempunyai adat
aneh, dalam hatinya timbul rasa cemburu yang aneh pula. Hatinya belum merasa puas
kalau belum hantam siapa juga yang pernah jatuh hati pada isterinya itu. Siauw Tjeng
Hong mana tahu adatnya Thiekoay sian yang luar biasa itu.
Dengan omongannya diputuskan oleh sang isteri, Thiekoay sian tertawa meringis.
"Baiklah," kata ia. "Aku tak omong lagi sebabnya kenapa aku memukul kau. Sekarang aku
mau bicara tentang kenapa aku jalankan kehormatan padamu. Hei, Siauw Tjeng Hong,
berapa usiamu sekarang?"
Siauw Tjeng Hong kembali terkejut. "Buat apa dia tanya begitu?" pikirnya. "Siauwtee
sekarang baru berusia empat puluh lebih sedikit," ia jawab.
"Kalau begitu, kau banyak lebih muda dari aku," kata Thiekoay sian. "Sungguh kasihan,
rupamu sudah kelihatan begitu tua, dan rambutmu sudah putih semua. Aku dengar, pada
belasan tahun berselang, kau masih jadi pemuda yang cakap sekali."
Mukanya Siauw Tjeng Hong yang putih mendadakan saja bersemu merah. "Itu semua
lantaran gara-gara isterimu," kata ia dalam hatinya.
"Siauw loote," kata lagi Thiekoay sian. "Aku tahu adanya perasaan kecewa dalam
hatimu. Maka itu, isteriku minta aku wakilkan ia menjalankan kehormatan di hadapanmu
buat meminta maaf. Ia kata, hatinya merasa sangat tidak enak lantaran sudah menyeret
kau kedalam gelombang. Dari sebab begitu, di sebelahnya meminta maaf, isteriku ingin
persembahkan serupa barang kepada kau."
Sehabis berkata begitu, ia rogoh sakunya, keluarkan satu kotak batu kemala yang
lantas diserahkan kepada Siauw Tjeng Hong. "Bukalah!" kata ia.
Siauw Tjeng Hong buka dan kotak itu berisi sekuntum bunga warna merah darah yang
sebesar mangkok. Heran sekali hatinya Siauw Tjeng Hong yang tak tahu harganya hadiah
itu.
"Itu adalah kembang dewa Yoetam Sianhoa," menerangkan Thiekoay sian. "Orang yang
makan kembang itu, rambut putih bisa berobah jadi hitam, sedang parasnya yang tua
dapat berobah menjadi muda lagi. Aku si jelek tak gunanya makan bunga itu, maka aku
rela mempersembahkan kepada kau."
Waktu masih muda, Tjia In Tjin digelarkan Tokbeng Siantjoe (Dewi tukang betot jiwa
orang). Hatinya kejam dan tangannya telengas. Pada belasan tahun berselang, tanpa
pikir-pikir lagi ia turunkan tangannya secara ganas, dan sebagai akibatnya, Siauw Tjeng
Hong yang kena getahnya. Tapi sesudah menikah, adatnya jadi berubah. Saban-saban
ingat Siauw Tjeng Hong, hatinya merasa menyesal sekali. Satu ketika, bersama
suaminya, ia berkelana di daerah Utara barat. Waktu pesiar di pegunungan Thiansan, ia
telah dapatkan kembang itu dan lantas saja ia mengambil putusan buat menghadiahkan
kepada Tjeng Hong buat menebus dosa.
"Ah, kalau begitu kembang ini Yoetam Sianhoa?" kata Tjeng Hong dengan perasaan
terkejut tercampur girang. Ia jadi ingat penuturannya orang-orang tua, bahwa buat satu
kali mekar, kembang itu harus melalui tempo 60 tahun. Pada seratus tahun lebih yang lalu,
leluhur Boetong pay Toh It Hang ingin petik kembang itu buat dipersembahkan kepada
Pekhoat Molie, tapi sesudah menunggu seluruh penghidupannya, kembang itu belum
mekar juga. Belakangan Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe telah dapatkan dan makan
kembang tersebut, sehingga sampai mati rambutnya masih tetap tidak berobah putih.
Sekarang bukan saja ia dapat lihat benda yang langka itu, tapi juga bisa punyakan
sebagai hadiah dari Thiekoay sian.
Siauw Tjeng Hong mengawasi kembang itu dengan mata mendelong. Ia tak berani
menerima. Tjia In Tjin menghampiri dengan perlahan dan berkata sesudah berhadapan:
"Tjeng Hong! Kau makanlah. Pada lima tahun berselang, di Soetjoan barat aku telah
bertemu piauwmoay-mu (saudara misan perempuan) Gouw Tjiang Sian, yang tanyakan
keselamatanmu. Ibumu juga sekarang masih kuat dan sehat. Apakah kau tidak niat pulang
buat tengok mereka?"
Hatinya Tjeng Hong lantas saja tergerak. Secara mendadakan saja, ia jadi ingat kepada
orang tua, famili, sahabat dan kampung kelahirannya. "Sekarang sedang permusuhan
sudah menjadi beres, memang seharusnya aku pulang," kata ia dalam hatinya. "Lantaran
gara-gara dia, aku telah menderita begitu hebat, maka adalah sepantasnya saja, jika aku
menerima hadiahnya itu." Memikir begitu, ia lantas ambil kembang.-tersebut dan berkata
sambil dongakkan kepala dan menghela napas: "Terombang-ambing di dunia Kangouw
puluhan tahun lamanya. Bermula ketemu, rambut belum putih, usia masih muda."
"Maka sekarang lebih baik pulang, buat cari kawan memain waktu masih kecil," In Tjin
sambungi.
"Benar, benar!" kata Tjeng Hong sembari tertawa berkakakan. "Perkataanmu benar
sekali! Oe-djie, gurumu sekarang mau berpisahan denganmu!"
Selama setengah harian itu, Thian Oe telah saksikan banyak sekali kejadian
mengherankan, sehingga ia seperti juga sedang mengimpi. Sekarang mendadak ia
dengar gurunya mau pulang ke kampung kelahirannya, maka ia jadi sangat kaget dan
buat beberapa saat, tidak dapat mengucapkan sepatah kata. Siauw Tjeng Hong juga
merasa berat buat berpisahkan dengan murid yang baik itu.
"Muridmu itu sangat baik hatinya dan aku sangat penuju padanya," kata Thiekoay sian
sembari tertawa. "Aku si pengemis, kalau lihat barang baik, memang lantas mau meminta,
Siauw Loote, serahkan saja muridmu kepadaku."
"Sungguh mujur jika kau sudi menerima Oe-djie sebagai murid," kata Tjeng Hong
dengan girang sekali. "Oe-djie, lekas berlutut!"
"Soehoe," kata Thian Oe dengan suara sedih. "Apakah benar kau mau pulang?"
"Kalau tidak pulang, aku mau bikin apa disini?" jawab sang guru. "Aku pun merasa
sangat berat harus berpisahan dengan kau, tapi oleh karena orang tuamu berada di
daerah ini, aku tentu tak dapat ajak kau pergi bersama-sama."
"Ha, bocah," kata Thiekoay sian. "Apa kau tidak.suka angkat pengemis busuk sebagai
gurumu?" Thian Oe buru-buru membantah pernyataan itu dan segera berlutut di
hadapan Thiekoay sian. "Aku tidak begitu sabar sebagai gurumu," kata si pengemis
sembari tertawa terbahak-bahak.
"Sebagai muridku, kau mesti mengemis nasi dan uang, dan kalau tidak dengar kata, aku
akan hantam pantatmu dengan tongkat ini."
"Jangan bikin takut anak baik ini," kata Tjia In Tjin. "Aku bicara terus terang, kalau kau
sengaja cari, biar kau jalan sampai pecah sepatu besi, tak nanti kau dapat ketemukan
murid yang begini baik."
Sembari tahan air matanya, Siauw Tjeng Hong awasi sang murid dan kemudian bekas
kecintaannya. "Nah, sekarang aku berangkat saja," kata ia dengan suara sedih. "Oe-djie,
kau harus dengar segala perintah gurumu. Kalau ada jodoh, di belakang hari .kita akan
bertemu pula."
Tidak lama sesudah pulang ke kampung kelahirannya, Siauw Tjeng Hong telah dapat
pasangan yang setimpal sekali dan berkat latihannya yang terus menerus, di kemudian
hari, ia jadi seorang yang ilmu silatnya paling tinggi dalam Tjengshia pay.
Sesudah Siauw Tjeng Hong berangkat, sembari tertawa Thiekoay sian berkata: "Mau
pergi, pergi saja, buat apa begitu rewel-rewel."
"Kau lihat, ada orang yang lebih rewel lagi," berbisik isterinya.
Thiekoay sian menoleh dan lihat kedua boesoe Nepal, yang tadi berlutut di pinggir
telaga, sekarang sedang bicara sama Pengtjoan Thianlie dengan suara perlahan.
Pengtjoan Thianlie sendiri sedang dongakkan kepalanya, sikapnya tawar dan seperti acuh
tak acuh. Tapi kedua boesoe terus bicara sembari pentang-pentang tangan, seperti orang
yang sedang memohon-mohon, dengan paras muka yang bingung sekali. Thiekoay sian
tidak mengerti bahasa Nepal, sehingga biarpun pasang kuping, ia sama sekali tidak
mengerti apa yang sedang dibicarakan. Thian Oe sudah berdiam tujuh delapan tahun di
Tibet, yang sering dikunjungi oleh pedagang Nepal, sehingga sedikit-sedikit ia mengenal
juga bahasa itu. Ia pun turut pasang kuping dan dapat tangkap beberapa perkataan,
seperti "guci emas", "ayahanda raja" dan sebagainya, tapi tidak dapat hubungkan
perkataan-perkataan itu sampai dapat dimengerti apa maksudnya.
Mendadak ia ingat perebutan guci porselen di Shigatse antara Bek Tayhiap, Thiekoay
sian dan yang lain-lain. "Apakah urusan yang sedang dibicarakan oleh kedua boesoe
mempunyai hubungan dengan guci porselen itu?" ia tanya dalam hatinya. "Tapi guci itu
adalah porselen, dan bukannya emas. Apa artinya itu perkataan ayahanda raja?"
Sedang Thian Oe diliputi perasaan heran, Pengtjoan Thianlie, yang rupanya sudah
tidak sabaran, membentak dalam bahasa Nepal: "Kecuali Puncak Es roboh, aku tak nanti
turun dari gunung ini." Bentakan itu dikeluarkan dengan keras, sehingga Thian Oe dapat
dengar nyata sekali.
"Pergi! Pergi! Kalian pergi pulang," kata lagi Pengtjoan Thianlie. Suaranya tidak keras,
tapi berpengaruh sekali dan diucapkan dengan sikap angker, seperti juga seorang jenderal
yang sedang pimpin ratusan laksa tentara.
Kedua boesoe itu saling mengawasi. Mereka mundur tanpa berani buka suara lagi,
sedang pada paras mukanya terbayang perasaan putus harapan.
Sesudah itu, dengan muka yang bersorot sedih, seperti juga hatinya sedang
dipengaruhi oleh serupa perasaan, Pengtjoan Thianlie petik sekuntum bunga yang ia
lemparkan ke telaga dan jatuh pada tempat, dimana sungai es masuk ke dalam telaga.
Bunga itu digulung pusar air akan kemudian selembar-lembar terombang-ambing,
menurut alirannya gelombang-gelombang halus.
Thian Oe jadi bergidik sebab ia ingat: "Jika benda tak berjiwa (sang kembang) bisa
bernasib sedemikian, apa lagi manusia?" la lihat itu gunung salju dengan puncaknya yang
menjulang menembus awan dan hawanya dingin bukan main, akan tetapi di tempat
dimana ia berdiri, sang telaga dengan kembang-kembangnya memberi suatu
pemandangan dari musim semi. Dan di pinggir telaga berdiri seorang wanita cantik yang
hidup sendirian di atas Puncak Es. Keadaan sedemikian seakan-akan merupakan suatu
musim semi dalam musim dingin, cuma sayang, pemandangan yang begitu indah, tidak
banyak diketahui oleh manusia dalam dunia. Bahwa dalam gunung salju terdapat telaga
Thian-ouw, sudah merupakan kejadian yang mengherankan. Akan tetapi, bahwa di atas
sungai es hidup seorang bidadari, ada lebih mengherankan lagi! Apakah Bidadari dari
Sungai es ini akan mendapat nasib seperti sang kembang, yang terbuka dan rontok
sendirinya, akan kemudian terombang-ambing menurut alirannya air?
Selagi Thian Oe ngelamun begitu, kupingnya mendadak dengar Pengtjoan Thianlie
berkata lagi: "Aku sebenarnya tidak pernah menerima tetamu, akan tetapi, lantaran Kam
Tayhiap dan ayahku adalah sahabat-sahabat baik, maka, Thiekoay sian, sebab atas
perintahnya Kam Tayhiap dengan susah payah kau sudah mencari aku, dengan
melanggar kebiasaan, aku sekarang undang kalian berdua suami isteri buat menginap di
rumahku beberapa hari."
Sesudah Koei Hoa Seng menghilang, kedua kandanya telah mencari ubak-ubakan dan
memesan kawan-kawannya buat bantu mencari. Salah seorang yang pernah diminta
bantuannya, adalah Kam Hong Tie. Selama tiga puluh tahun Hong Tie sudah berdaya
tanpa mendapat hasil. Ia adalah seorang ksatria yang pegang teguh janjinya, maka itu,
pada sebelum menutup mata, ia telah pesan muridnya supaya sang murid talangi ia
melakukan satu pekerjaan yang belum dapat dipenuhi. Thiekoay sian tidak sia-siakan
pesanan gurunya. Belakangan ia mendapat warta, bahwa di atas sungai es ada hidup
seorang wanita yang mendapat julukan Pengtjoan Thianlie. Ia menduga, bahwa wanita itu
sepuluh sembilan adalah puterinya Koei Hoa Seng. Pada waktu ia sedang bertempur
melawan Loei Tjin Tjoe, isterinya justru sedang menemui Bidadari dari Sungai es itu.
"Sudah lama aku pangeni tempat ini yang seperti surga, akan tetapi aku tidak berani
membuka mulut," kata Thiekoay sian sembari tertawa. "Maka itu, tentu saja aku merasa
sangat girang, jika kau sudi menerima kami berdiam beberapa hari."
"Kalau begitu, marilah kita turun ke perahu," kata Pengtjoan Thianlie. "Kau adalah
muridnya Thiekoay sian dan juga sahabatnya Chena moaymoay. Maka itu, kaupun boleh
ikut." Thian Oe bermula merasa sedikit bersangsi, akan tetapi, ia lantas turut turun ke
dalam perahu, tanpa berkata suatu apa.
Waktu itu sudah lewat tengah hari. Kepingan-kepingan es yang mengambang di atas
sungai jadi semakin lumer dan air mengalir semakin deras, dari puncak gunung menyapu
ke bawah. "Naik ke atas dengan melawan aliran air ada banyak lebih sukar dari turun ke
bawah," pikir Thian Oe. "Biarpun ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sedemikian tinggi,
tapi apakah ia mampu bikin perahu itu manjat ke atas? Apakah ia bukan terdiri dari darah
dan daging seperti manusia biasa?"
Selagi hatinya sangat bersangsi, kupingnya sudah dengar Pengtjoan Thianlie berkata:
"Semua orang duduk biar benar. Perahu mulai jalan."
Sehabis berkata begitu, dengan sebatang kejen batu kemala, ia totol sekeping es dan
perahu itu lantas meluncur beberapa tombak jauhnya. Mendadak perahu terpukul arus
dan mundur lagi setombak lebih. Pengtjoan Thianlie sapu kepingan-kepingan es yang
ngambang akan kemudian menotol lagi dengan kejennya dan sang perahu kembali
meluncur beberapa tombak.
Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie pusatkan Seantero perhatiannya dan menggunakan
banyak sekali tenaga, sedang orang-orang yang berduduk di dalam perahu semuanya
berpeluk tangan. "Sedang dia begitu capai, bagaimana kita bisa enak diam saja?" kata
Thian Oe dalam hatinya.
Tiba-tiba arus yang sangat keras menerjang hebat sekali, sehingga sang perahu
terputar-putar dalam pusar air dan air yang muncrat membasahi mukanya semua orang.
Thian Oe terkesiap. Melihat tongkat besi gurunya yang disenderkan di pinggir perahu,
tanpa banyak pikir, ia lantas jumput tongkat itu, yang ternyata sangat berat, buat bantu
mendorong. Tapi begitu lekas ia mendorong dengan tongkat, sang perahu bergoncang
dan berputar keras, dan dengan dibarengi sama sambaran satu gelombang, sebagian
badan perahu tenggelam di dalam air, tapi untung timbul lagi dengan goncangan keras.
"Kau cari mampus?" membentak Thiekoay sian sembari rampas tongkat itu dari tangan
muridnya.
"Maksudnya baik sekali, kau tak usah marahi dia," kata Pengtjoan Thianlie sembari
tertawa. Thian Oe rasakan mukanya panas lantaran malu. Ketika itu, setahu
bagaimana, badannya
perahu sudah tetap kembali, sehingga hatinya jadi legaan. Sekonyong-konyong satu arus
yang lebih hebat daripada tadi, menyambar dari sebelah kiri. Thian Oe mencelos dan
berkata dalam hatinya: "Sekarang matilah!" Mukanya jadi pucat seperti kertas. Tiba-tiba
badannya perahu terlempar ke atas, seperti juga terbang di tengah udara, dan di lain saat,
sudah hinggap di muka air dengan selamat dan terpisah agak jauh dari tempat tadi!
Bukan main herannya Thian Oe. Melihat keheranan pemuda itu, Chena berkata
sembari tertawa: "Waktu pertama datang, aku pun sudah dibikin kaget setengah mati oleh
arus itu. Belakangan barulah aku mendapat tahu, bahwa tanpa adanya arus tersebut,
sang perahu malahan tak dapat naik turun."
Pengtjoan Thianlie yang sedari kecil hidup di tempat tersebut, mengenal baik sifatnya
arus sungai, yang mempunyai tenaga menyapu balik. Sifatnya arus sungai tersebut
adalah ibarat sifatnya angin puyuh yang terputar, dan dalam putarannya itu, dapat
melempar sang perahu ke sebelah atas. Maka itu, dalam menjalankan perahu di sungai
es, biarpun benar seorang harus mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tetapi kejadian
tersebut bukanlah suatu kejadian yang mujijat.
Belum cukup sejam, perahu sudah tiba di puncak gunung. Keraton yang nangkring di
puncak terbuat dari kristal, marmer atau balokan-balokan es, sehingga di dalamnya jadi
terang benderang, dan jika tertojo sinarnya matahari, keraton itu berkredepan dalam rupa-
rupa warna. Sungguh satu pemandangan yang langka! Melihat itu semua, Thian Oe yang
tadinya sudah lelah sekali, mendadak jadi segar kembali. "Dengan berdiam seorang diri
dalam keraton ini, apakah Pengtjoan Thianlie tidak merasa kesepian?" tanya ia dalam
hatinya.
"Thianlie tjietjie," kata Chena sembari tertawa. "Jika kau sudi menerima aku sebagai
pelayan, aku rela berdiam di tempat ini seumur hidupku."
"Anak otak!" menyahut Pengtjoan Thianlie sembari mesem. "Mana kau bisa betah
tinggal di tempat ini? Dan bukankah kau siang malam terus pikirkan soal membalas sakit
hatinya kedua orang tuamu?" Mendengar omongan itu, Chena tidak berkata suatu apa
lagi.
"Aku dengar kau selalu memanggil aku sebagai Thianlie tjietjie." Berkata lagi Pengtjoan
Thianlie. "Apa dengan memanggil begitu, kau tidak kuatir orang nanti mentertawakan? Aku
cuma bertempat tinggal di Pengtjoan (Sungai es), dan manalah boleh disebut bidadari
(Thianlie). Aku sebenarnya she Koei bernama Peng Go. Thiekoay sian berdua suami isteri
juga rasanya belum mengetahui namaku."
"Nama itu sungguh bagus," kata Tjia In Tjin sembari tertawa. "Tapi kau benar-benar
cantik laksana bidadari, maka biarlah aku memanggil saja Thianlie tjietjie."
Pengtjoan Thianlie segera anter semua tetamunya masuk ke dalam keraton. Berbareng
dengan tepukan kedua tangannya, di depan saban keraton lantas muncul satu wanita
muda, yang berpakaian indah sekali. Walaupun di antara bangunan-bangunan terdapat
banyak pintu, tapi oleh karena keraton tersebut terbuat dari bahan-bahan yang terang
seperti kristal dan es, maka semua wanita itu lapat-lapat bisa dilihat. Semua dayang itu,
yang rata-rata berparas cantik, berpakaian secara luar biasa, bukan pakaian Tibet maupun
Han, dan sekali lihat lantas dapat diketahui, bahwa mereka itu bukannya orang Tionghoa.
Thian Oe rasakan seperti masuk ke dalam surga. "Kalau begitu, Pengtjoan Thianlie
bukannya hidup sendirian," kata ia dalam hatinya. "Cuma dari manakah ia dapatkan begitu
banyak nona-nona?"
"Kalian tentu capai sekali, maka biarlah kalian mengasoh dahulu," kata Pengtjoan
Thianlie. Suami isteri Thiekoay sian, Tan Thian Oe dan Chena lalu diantar oleh dayang-
dayang itu ke
gedung-gedung yang terpisah. Sesudah melalui jalanan bulak-belok dengan diantar oleh
sang dayang, Thian Oe tiba di satu kebun kembang. Bunga-bunga dan rumput-rumput
yang tumbuh disitu dengan warna-warni yang gilang gemilang, hampir semua belum
pernah dilihat oleh Thian Oe.
"Siangkong (tuan) masuklah ke dalam gedung ini buat mengasoh," kata dayang itu.
"Jika siangkong memerlukan aku, tarik saja tali tembaga yang terdapat di pojokan.
Jalanan disini banyak belitannya, dan jika siangkong mau jalan-jalan di dalam taman,
ingatkan saja tanda itu, supaya tak kesasar." Sembari berkata begitu, jerijinya menunjuk
ke atas gedung, dimana terukir satu singa-singaan batu. Ternyata di atas saban gedung
terdapat ukiran-ukiran binatang yang berlainan. Ada ukiran kuda, macan, burung Hong
dan sebagainya. Biarpun bukannya orang Tionghoa, akan tetapi dayang itu dapat bicara
bahasa Pakkhia dengan lancar sekali. Sesudah memesan begitu, ia lantas undurkan diri.
Thian Oe tolak pintu dan masuk ke dalam gedung. Hatinya kaget lantaran beberapa
pemuda kelihatan mendatangi ke arah ia. Tapi segera juga ia mengerti, bahwa semua
pemuda itu adalah bayangannya sendiri, lantaran di empat penjuru tembok dipasang kaca
yang sangat besar. Gedung itu dihias indah sekali dengan perabotan yang mahal
harganya. Dalam kamar tidur, kasurnya terbuat dari sutera mahal dengan kelambu sulam,
sedang di atas meja tulis terdapat satu vas yang ditancapkan semacam bunga luar biasa,
yang menyiarkan bau harum sekali. Di atas tembok tergantung sebuah lonceng dari
negara Barat yang mengeluarkan suara "tik-tak, tik-tak" tak henti-hentinya. Pada jaman
itu, yaitu jaman Kaizar Kianliong, masih sedikit sekali lonceng Barat yang di impor ke
Tiongkok. Pertama kali Thian Oe lihat lonceng itu adalah di rumahnya Touwsoe.
Selainnya itu, di atas tembok juga terdapat sepasang gambar lukisan dengan sajak
yang tulisannya indah sekali.
Gambar yang satu memperlihatkan seorang pemuda yang memakai baju warna kuning,
sedang pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang. Romannya pemuda itu
bukan saja cakap, tapi juga angker sekali. Gambar yang lain adalah gambarnya seorang
wanita yang pakai pakaian kuno. Dengan kedua alis yang bengkok dan potongan muka
seperti kuaci, wanita itu cantik luar biasa dan matanya sedikit mirip dengan Pengtjoan
Thianlie.
Sajak yang tertulis pada kedua gambar itu seperti juga buah kalamnya seorang wanita
dan berbunyi seperti berikut:
Mengangkat cawan berpisahan.
Nyanyikan lagu berpisahan.
Bisiki kata-kata berpisahan, Siapakah yang membuat lagu itu, seperti seekor burung
berkelebat di atas air dan menghilang dalam sekejapan mata? Tjioe Nio nyanyikan lagu
Kim Louw.
Nyanyian berakhir, penonton bubar, cuma ketinggalan beberapa puncak gunung
yang hijau. Tapi kumandangnya sang lagu tak putus-putusnya, Sampai mengimpi
tiba di kota Pakkhia.

Cawan penuh, tapi toh kosong. Nyanyian merdu, toh kosong


juga, Tetabuhan khim indah, pun kosong.
Rembulan terang, akhirnya kosong juga.
Semua orang sudah bubaran dari taman bunga anggrek dan ketinggalan debu yang
berhamburan.
Musim dingin meliputi daerah Kanglam,
Dalam liati mengutuk salju dan angin yang meresap ke tulang-tulang.
Orang yang dicinta berada di ujung langit.
Siapa lagi yang dapat hiburi hatinya anak yang terlantar?
Sebagai peringatan dari marhum ayah dan ibu,
Hoan Lian.
Tan Thian Oe sekarang tahu, bahwa lelaki dan wanita itu adalah kakek dan neneknya
Pengtjoan Thianlie, yaitu Koei Tiong Beng dan isterinya Moh Hoan Lian, sedang sajak itu
adalah buah kalam ayahnya Moh Hoan Lian, yaitu Moh Pie Kiang.
Hatinya Thian Oe diliputi dengan perasaan heran yang sangat besar. Bahwa Pengtjoan
Thianlie adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng, sudah merupakan satu hal yang
mengherankan. Akan tetapi, keraton di puncak gunung dengan dayang-dayangnya yang
terdiri dari wanita-wanita asing, merupakan keheranan yang lebih besar lagi. Walaupun
asal-usulnya Pengtjoan Thianlie sudah terbentet sekali, akan tetapi, dalam
keseluruhannya, ia masih merupakan satu teka-teki.
Malam itu, sesudah bersantap dengan hidangan yang diantar oleh sang dayang, Thian
Oe gulak-gulik di atas pembaringan dan tidak dapat tidur pulas. Ia ingat Chena, itu gadis
Tsang yang aneh, ia ingat Pengtjoan Thianlie yang diliputi rahasia, ia ingat suami isteri
Thiekoay sian, ia ingat macam-macam hal yang datang saling-susul dalam otaknya.
Ia melongok keluar jendela dan saksikan satu dunia yang diselimuti dengan sinar perak.
Dengan sinar salju yang datang dari atas puncak gunung, ditambah sama bunga-bunga
yang memenuhi seluruh taman, Thian Oe merasa seperti juga berada di tengah-tengah
dunia kaca dengan warna-warninya yang indah luar biasa.
Seperti dibetot besi berani, Thian Oe pakai jubah luarnya dan dengan tindakan
perlahan, ia keluar dari gedung itu buat menikmati pemandangan alam yang seindah itu.
Mendadak kupingnya dengar orang bicara yang datang dari kejauhan. Thian Oe lalu
mengumpat di belakangnya satu gunung-gunungan dan lihat dua bayangan orang sedang
mendatangi ke arah ia. Yang jalan duluan adalah Pengtjoan Thianlie, sedang yang
belakangan bukan lain daripada Thiekoay sian. Thian Oe merasa heran. Ada urusan apa,
mereka jalan-jalan dalam taman, di tengah malam buta itu?
Dalam jarak belasan tombak dari tempat sembunyinya Thian Oe, mereka mendadak
berhenti. "Terima kasih banyak buat berita yang kau sampaikan," demikian kedengaran
Pengtjoan Thianlie berkata. "Dan terima kasih juga kepada paman-paman sekalian yang
sudah begitu memperhatikan diriku. Tapi aku sudah bersumpah, bahwa selama hidup, aku
tidak nanti turun dari gunung ini."
"Tapi... Tapi guci emas itu ada luar biasa pentingnya," kata Thiekoay sian. "Dahulu,
pada jaman tujuh ahli pedang turun dari gunung Thiansan, kakek dan nenekmu, bersama-
sama Leng Bwee Hong Tayhiap, dengan bersatu padu sudah melawan kerajaan Tjeng.
Kau sendiri adalah cucunya Koei Tayhiap. Apakah kau tega melihat Tibet menjadi
jajahannya bangsa Boan? Begitu lekas guci emas itu tiba, tamatlah riwayatnya Tibet."
"Aku tidak urus urusan begitu," kata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar.
Thiekoay sian menghela napas. Baru ia mau buka mulut, Pengtjoan Thianlie sudah
mendahului:

"Kecuali Puncak Es roboh, putusanku tak dapat dirobah lagi. Sebenarnya terhadap
kalian suami isteri yang jauh-jauh sudah datang disini, aku harus penuhkan kewajiban
sebagai tuan-rumah buat melayani beberapa hari Cuma menyesal, lantaran dahulu aku
pernah bersumpah, bahwa siapa saja yang berani membujuk aku turun gunung, biarpun ia
adalah seorang dari tingkatan yang lebih tua, aku tak dapat menahan lagi padanya.
Thiekoay sian! Terima kasih buat kebaikan hatimu, tapi besok aku akan perintah dayang
antar kalian turun gunung dan di kemudian hari tak usah datang lagi disini."
Thian Oe tak dapat lihat mukanya Pengtjoan Thianlie yang berdiri membelakangi ia.
Suaranya halus, tapi tegas, seperti satu ratu yang sedang keluarkan firman.
Thiekoay sian berdiri diam tanpa menjawab sepatah kata. Thian Oe juga merasa heran,
kenapa seorang wanita yang begitu cantik bisa bersikap sedemikian keras dan
mengeluarkan kata-kata yang terang-terangan mengusir tetamunya. Ia merasa berat buat
tinggalkan tempat itu yang sepera surga, terutama itu gadis Tsang yang aneh. Hatinya
merasa sedih, sebab ingat besok ia harus berlalu bersama-sama gurunya dan tak akan
bisa datang lagi ke tempat itu.
Sesudah lewat sekian lama, barulah kedengaran Thiekoay sian berkata: "Sesudah
berbuat kesalahan terhadap nona, aku tak berani meminta maaf. Aku akan turut apa yang
diinginkan oleh nona." Sesudah itu lantas kedengaran suara tindakan kaki yang semakin
lama jadi semakin jauh,
dan waktu Thian Oe melongok dari gunung-gunungan, kedua orang itu sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sembari tarik napas panjang, Thian Oe keluar dari tempat mengumpatnya. Tiba-tiba,
dari antara pohon-pohon kembang muncul satu orang. Baru saja ia niat menyingkir, orang
itu sudah menanya dengan suara nyaring: "Kau belum tidur?"
Thian Oe mengawasi dan ia itu adalah Chena, yang kepalanya dibungkus dengan
sutera putih, sedang kedua matanya yang jeli bersinar terang dalam malam yang remang-
remang itu dan pada mulutnya tersungging meseman yang sukar dijajaki.
"Terima kasih buat budimu yang beberapa kali sudah menolong jiwaku," katanya
sembari mesem. "Cuma sayang besok kau sudah harus berlalu dari sini."
"Hm," kata Thian Oe. "Apa kau juga dengar pembicaraan yang barusan?"
Chena manggutkan kepalanya dan berkata: " Menurut Thianlie tjietjie, jiwanya gurumu
berada dalam bahaya, jika ia teruskan niatannya buat merampas guci emas itu. Ia bilang,
kau haruslah berlaku hati-hati."
Thian Oe terkejut. "Aku sungguh tidak mengerti persoalan ini," kata ia. "Barang apakah
adanya guci emas itu yang mau direbut?"
"Apa kau belum pernah dengar halnya guci emas itu?" menegasi Chena.
"Belum," jawab Thian Oe. Chena kerutkan alisnya dan paras mukanya berobah jadi
sungguh-sungguh sekali.
"Apakah kau tahu, bahwa Dalai Lama, Panchen Lama, Hutuketu dan lain-lain Budha
hidup semuanya menjalankan lahir mengulang (reinkarnasi) "?" tanya Chena dengan
suara perlahan.
Sebagai orang yang menjadi besar di Tibet, Thian Oe tentu saja mengetahui
kepercayaan itu. Ia menggutkan kepalanya dan Chena berkata pula: "Oleh karena dalam
soal reinkarnasi ini sering-sering timbul percekcokan, maka kaizar Tjeng mengirimkan
sebuah guci emas buat mengakhiri segala pertentangan. Manakala timbul percekcokan,
maka Naichung yang berhak harus menulis nama-namanya semua calon di atas sepotong
kertas yang sesudah digulung, dikasih masuk ke dalam guci emas itu. Kemudian, di
hadapan orang banyak diambillah salah satu gulungan kertas dan calon yang namanya
kena diambil dianggap sebagai Budha hidup yang tulen. Aku dapat dengar, guci emas itu
sudah dikirim dari Pakkhia dan setibanya di Lhasa akan disambut secara besar-besaran
oleh Dalai Lama dan lain-lain pembesar, akan kemudian ditaruh dalam Gereja Pusat di
Lhasa. Dengan demikian, guci tersebut akan menjadi semacam benda suci yang sifatnya
abadi. Kau tentu mengerti, bahwa pengiriman barang yang begitu penting tentu saja bakal
dilindungi oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi. Maka itu, bukankah
gurumu seperti mau antarkan jiwa, jika ia coba merampasnya?"
Thian Oe tadinya niat menanya, cara bagaimana Chena bisa mengetahui persoalan itu.
Akan tetapi mengingat gadis tersebut adalah puterinya Raja muda Chinpu, Thian Oe jadi
urungkan niatannya.
Ayahnya Thian Oe adalah seorang pembesar yang dikirim oleh Kaizar Kianliong ke
Tibet sebagai Amban. Walaupun hatinya merasa tidak puas terhadap bangsa Boan, akan
tetapi ia merasa, tindakannya kaisar Boan di ini kali tidaklah boleh terlalu disalahkan,
sebab sedikitnya dapat menyingkirkan segala pertentangan di Tibet. Maka itu, ia tidak
mengerti sebab apa gurunya niat rampas guci emas tersebut.
"Kita orang Tibet paling memuja Budha hidup," kata lagi Chena sesudah menghela
napas panjang. "Jika orang Han bikin rusak guci emas itu atau merampas benda suci kita,
maka permusuhan antara bangsa Tibet dan Han akan jadi semakin dalam. Aku dengar, di
antara kau orang Han terdapat sejumlah pendekar yang merasa kuatir, bahwa sesudah
menerima guci emas itu, pemerintahan yang berdasarkan keagamaan di Tibet akan jatuh
di bawah perintahnya kerajaan Tjeng dan Tibet akan jadi semacam jajahannya bangsa
Boan. Dari sebab begitu, mereka mati-matian mau merampas guci emas itu. Cuma aku
kuatir, maksud yang baik itu akan dianggap sebagai maksud jahat oleh orang Tibet. Maka
itu, aku rasa lebih baik kau bujuk supaya gurumu batalkan niatannya."
"Adatnya guruku sangat luar biasa dan sebagai murid baru, cara bagaimana aku berani
membuka mulut?" kata Thian Oe.
Kedua orang muda berdiam buat beberapa lama. "Chena," kata Thian Oe. "Cara
bagaimana kau jadi bermusuhan dengan Touwsoe di Sakya?" Baru saja ucapkan
perkataan itu, Thian Oe lantas merasa menyesal sebab kuatir ia sudah melewati batas
kesopanan.
Tapi Chena kelihatannya tidak merasa tersinggung. "Kau sudah menolong jiwaku dalam
rumahnya Touwsoe, maka biarpun kau tidak menanya, aku seharusnya memberitahukan
padamu," katanya dengan suara perlahan. "Biarlah sekarang aku tuturkan satu cerita,
yang selainnya Thianlie tjietjie, kau adalah orang kedua yang pernah mendengar ini.
"Dahulu, yaitu pada jaman kerajaan Tong, suku Tukuhun (daerah Koko Nor) telah
menyerang Tibet. Satu panglima Tibet yang gagah perkasa sudah berhasil pukul mundur
musuh yang menyerang itu. Tak lama kemudian, raja Tibet mengadakan pesta pernikahan
besar dan permaisurinya adalah Puteri Boenseng dari Kaisar Tong. Dengan menggunakan
kesempatan itu sang raja memberi hadiah kepada mereka yang berjasa. Panglima yang
sudah pukul mundur serangan Tukuhun adalah orang yang paling berjasa, maka Raja
Tibet menghadiahkan ia sebidang tanah yang luasnya ditentukan dengan larinya seekor
kuda dalam tempo seharian. Panglima tersebut tersohor mahir dalam ilmu menunggang
kuda dan sepanjang cerita, dalam tempo seharian kudanya dapat melalui satu lingkaran
dari 5000 li lebih. Tanah yang seluas itu segera dihadiahkan kepadanya dan ia diberi
pangkat Hoan-ong (raja muda). Panglima tersebut adalah leluhurku.
"Tanah dan pangkat itu dipegang turun menurun. Ayahku adalah turunan yang ke 50. Ia
berkuasa atas empat Touwsoe, antaranya Touwsoe di Sakya yang mempunyai pengaruh
paling besar. Isterinya Touwsoe Sakya itu adalah puterinya paman misananku. Lantaran
adanya hubungan pangkat dan hubungan keluarga, maka kedua keluarga bergaul dengan
sangat rapat.
"Ayahku suka sekali berburu. Siapa nyana, pada satu hari ketika sedang mengubar
seekor rase bulu emas, kepalanya kebentur cabang pohon dan ia terguling dari kudanya
akan terus meninggal dunia.
"Aku tak mempunyai saudara lelaki, maka setelah diadakan perundingan, telah disetujui
bahwa kedudukan ayahku harus diwarisi kepada pamanku, dan jika sang paman
meninggal dunia, kepada saudara-saudara misananku.
"Tapi siapa kira beberapa kejadian ajaib terjadi dengan beruntun. Pertama, sehabis
minum semangkok susu kuda, badan pamanku mendadak pada matang biru dan
bengkak-bengkak dan meninggal dunia tidak lama kemudian. Sesudah itu, beberapa
saudara misananku dengan beruntun meninggal secara luar biasa sekali. Badan mereka
pada matang biru, sedang darah keluar dari lubang mulut, kuping, hidung dan sebagainya.
Orang-orang tua bilang, kejadian ini adalah akibat gangguan setan memedi, maka
sekeluarga kita pada mengumpat dalam sebuah gereja yang terletak di dalam pekarangan
gedung. Sebuah kunci besar dipasang diluar gereja dan di seputar tembok disebarkan
kapur. Katanya, penjagaan itu dapat menahan masuknya kawanan setan. Ah, sungguh
menakutkan hari-hari yang seram itu!"
Thian Oe bergidik. Keindahan alam yang terbentang di depannya segera juga berobah
jadi pemandangan yang menyeramkan.
"Demikianlah saudara-saudara misananku satu persatu binasa secara mengerikan itu,"
Chena lanjutkan penuturannya. "Aku ingat, itu hari, saudara misananku yang terakhir,
yang baru saja berusia tiga tahun, juga tidak terluput dari kebinasaan. Bukan main rasa
takutku. Aku merasa, bahwa aku sendiri pun tidak akan hidup lama lagi di dalam dunia.
"Hari itu adalah hari
Hoeihoentjee 81 ayah. Sebenarnya satu sembahyangan harus dibikin dalam gedung
raja muda, akan tetapi, berhubung dengan terjadinya kejadian-kejadian hebat, kami tidak
berani mengisar dari dalam gereja, sedang orang luar pun tak berani datang di rumah kita.
"Tapi masih ada satu orang yang tidak takut. Orang itu adalah koekoe-ku (paman,
saudara lelaki dari ibu) yang bernama Lochu. Apa kau pernah dengar namanya?"
"Ya," menyahut Thian Oe. "Ayah kata, ia adalah orang gagah nomor satu di bawah
perintahnya Chinpu. Menurut katanya soehoe, ia adalah seorang kenamaan dari
Thianliong pay."
"Ilmu kepandaian koekoe sangat tinggi," kata Chena sambil manggutkan kepalanya, "Ia
juga tidak takuti segala setan memedi. Hari itu ia kebetulan datang dan turut
bersembahyang pada malam itu.
"Hatiku selalu ketakutan. Biasanya setiap malam aku tidur bersama ibu di satu kamar.
Tapi malam itu, koekoe yang temani aku, sedang ibu mau menjaga meja sembahyang
sampai jam lima pagi bersama dua dayang.
"Malam itu aku tak dapat pulas. Saban kesiuran angin atau bergoyangnya rumput
membuat aku kaget dan menduga kedatangannya roh ayah. Aku ingat, bahwa semasa
hidupnya ayah sangat mencintai aku, dan sekarang, sesudah menjadi roh halus, ia
haruslah menjaga aku, menjaga juga ibuku, supaya kita jangan diganggu oleh segala
setan keliaran.
"Jam tiga sudah lewat dan jam empat menyusul. Semua bujang sudah pada tidur,
sehingga keadaan jadi sunyi senyap, sedang di luar cuma kedengaran suara ketak
-ketiknya sang lonceng. Dalam kamar terdapat dua pembaringan kayu. Aku tidur di
pembaringan sebelah dalam, sedang koekoe di pembaringan sebelah luar. Aku mengintip
dari sela-sela pintu dan lihat api lilin bergoyang-goyang. Mengingat seramnya keadaan
diluar, aku mau teriaki ibu supaya masuk saja ke dalam buat temani aku. Tapi sebelum
dapat buka suara, api lilin mendadak padam semuanya!
"Berbareng dengan itu, aku dengar teriakan ibu yang membikin bulu badanku jadi
berdiri. Tiba-tiba koekoe membentak sembari menjotos, sehingga tiang ranjang sempal.
Sekarang aku dapat lihat, satu bayangan hitam sudah bertempur seru dengan koekoe.
"Sesudah bertempur beberapa lama, koekoe desak dia keluar kamar dan mereka terus
berkelahi dengan hebatnya. Setiap pukulan mengeluarkan deruan angin dan mataku tak
dapat membedakan, yang mana koekoe, yang mana musuh. Perabot rumah tangga
banyak yang hancur lantaran kepukul atau ketendang. Tiba-tiba aku dengar teriakan
koekoe yang menyeramkan. Semangatku terbang, hampir-hampir aku pingsan, sebab
duga koekoe kena dirobohkan. Tapi, sesudah teriakan itu, keadaan jadi sunyi kembali. Aku
buka kedua mataku dan merasa satu orang usap-usap kepalaku."
"Apa koekoe?" Thian Oe menanya tanpa merasa.
Chena tarik napas panjang dan menyahut: "Benar, ia adalah koekoe. Napasnya sengal-
sengal dan suaranya gemetar waktu ia berkata: "Chena, aku... Lekas ikut padaku." Ketika
itu, aku sudah jadi begitu ketakutan, sehingga kedua kakiku menjadi lemas. Koekoe
pondong aku dan berjalan keluar. "Mana ibu? Ajaklah ibu bersama-sama," kata aku.
Koekoe tidak menjawab. Ia buka pintu gereja dan lantas loncat ke atas punggung kuda,
yang lantas dikaburkan secepat bisa. Belakangan
aku baru tahu, bahwa ibu dan dua dayang semuanya binasa dalam tangannya pembunuh.
Si pembunuh sebenarnya maui juga jiwaku, dan kalau tidak ada koekoe, sekarang aku
tentu sudah tidak hidup lagi. Koekoe terus kaburkan kudanya dan dalam tempo
semalaman sudah melalui lebih dari dua ratus li. Disitu barulah ia memberitahukan aku,
bahwa paman dan saudara-saudara misanan semua binasa dalam tangannya pembunuh
itu, yang mempunyai semacam ilmu pukulan sangat beracun yang dinamakan Tjit-im
tjiang. Siapa yang kena pukulan itu, sekujur badannya lantas matang biru dan dari lubang-
lubang tubuhnya mengeluarkan darah! Tak usah dibilang lagi, si korban tidak akan dapat
ditolong jiwanya. Dengan taruhkan jiwanya, koekoe lawan pembunuh itu, yang dapat juga
dipukul mundur, tapi koekoe sendiri sudah kena satu pukulannya.
"Semangatku rasanya terbang dan buru-buru tanya bagaimana baiknya. Koekoe
menerangkan, bahwa lantaran mempunyai tenaga dalam yang cukup kuat, maka ia masih
bisa tahan tujuh hari lamanya. Koekoe dengar, di pegunungan Nyenchin Dangla terdapat
satu telaga Thian-ouw dan di pinggir telaga tersebut hidup seorang dewi. Sepanjang
cerita, air suci dari telaga tersebut dan bunga Mantolo yang tumbuh di atas gunung dapat
mengobati macam-macam penyakit. Lantaran tidak terdapat lain jalan lagi, dengan tidak
perdulikan benar atau tidaknya cerita itu, sambil mendukung diriku, koekoe panjat gunung
Nyenchin Dangla. Waktu matanya melihat air telaga, mendadak koekoe keluarkan
teriakan dan jatuh pingsan, mungkin lantaran lukanya dan kecapaian, tercampur dengan
perasaan girang sudah bisa sampai di telaga tersebut. Sembari menangis, aku coba bikin
sadar padanya. Lantaran lapar dan lelah, sesudah menangis beberapa lama, aku pun
jatuh pingsan.
"Tak tahu sudah selang berapa lama, perlahan-lahan aku jadi sadar. Koekoe sudah
tidak berada disitu, tapi di hadapanku berdiri seorang wanita yang parasnya cantik sekali.
Aku menduga, ia itu tentu sang dewi yang bertempat tinggal di pinggir telaga. 'Sianlie
tjietjie, mana koekoe-ku?' aku menanya. Ia mesem dan menyahut: 'Apa ia koekoe-mu?
Aku bukannya dewi. Aku she Koei bernama Peng Go. Orang luar namakan aku sebagai
Pengtjoan Thianlie.' Mendengar begitu, aku
segera berkata kembali: 'Kalau begitu, Thianlie tjietjie, dimanakah adanya koekoe?' 'Aku
belum pernah permisikan orang luar naik disini, maka itu aku sudah usir koekoe-mu ke
bawah gunung,' jawab Pengtjoan Thianlie. Kembali aku menangis keras. 'Jangan nangis,'
ia membujuk. 'Aku sudah obati lukanya koekoe-mu dan sekarang jiwanya sudah
ketolongan. Kalau bukannya begitu, cara bagaimana ia bisa turun dari gunung ini?' Aku
merasa heran mendengar cara-caranya Thianlie tjietjie, yang sesudah menolong, lalu
mengusir koekoe. 'Thianlie tjietjie apakah kau akan usir juga diriku?' aku menanya. Waktu
itu, aku tidak mengerti barang sedikit ilmu silat, sehingga kalau benar diusir, aku tentu
mesti binasa, kalau tidak lantaran terpleset jatuh, tentu juga lantaran kelaparan.
"Pengtjoan Thianlie kembali mesem dan berkata dengan suara halus: 'Aku dan kau ada
berjodoh, maka aku bersedia buat menahan dirimu untuk sementara waktu.' Belakangan
aku baru mendapat tahu, bahwa Thianlie tjietjie belum pernah bergaul dengan orang luar
dan ia ingin sekali mengetahui keadaan dalam dunia. Selainnya itu, ia juga merasa
senang terhadapku sebab mataku mirip sekali dengan matanya. Itulah sebabnya, maka ia
sudi menahan aku."
Mendengar begitu, Thian Oe segera awasi kedua matanya Chena yang bundar dan
besar, dengan kedua biji mata yang warnanya sedikit blau. Kalau biji mata itu sedang
memain, orang seperti juga melihat dua gumpalan air perak putih yang memeluk dua titik
hitam, sedang bergulikan ke kiri-kanan. Sungguh indah kedua mata itu dan benar mirip
dengan matanya Pengtjoan Thianlie.
Diimplang dengan mata tajam oleh Thian Oe, paras mukanya Chena jadi bersemu
merah. "Lantaran lihat ia bersikap ramah tamah, aku segera berdiam padanya dan
ceritakan segala asal-usulku," kata lagi Chena sembari tundukkan kepala.
"Belakangan bagaimana?" tanya Thian Oe.
"Biarpun ia belum mengasih lihat kepandaian luar biasa, aku sudah merasa, Pengtjoan
Thianlie bukannya sembarang orang," kata lagi Chena. "Aku segera memohon buat
menjadi muridnya, tapi ia mengatakan ia selamanya tidak suka campur urusan dunia dan
tidak ingin menjadi guru. Sesudah aku memohon berulang-ulang, ia berkata: 'Baiklah,
lantaran aku merasa kasihan akan nasibmu, sebagai seorang saudara, aku akan turunkan
pelajaran ilmu silat secara lisan kepadamu, buat tiga hari lamanya. Berapa banyak
pelajaran kau bisa dapat selama tiga hari itu, tergantung atas untungmu.' Demikianlah ia
lalu turunkan pelajaran ilmu silat secara lisan kepadaku. Sebulan lamanya aku berdiam
dalam keraton Thianlie tjietjie, dimana diam-diam aku berlatih di bawah petunjuk para
dayangnya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, benar saja aku sudah mendapat
kemajuan yang sangat besar. Sebetulnya Thianlie tjietjie masih mau menahan padaku,
tapi lantaran hatiku sangat ingin membalas sakit hati secepat mungkin, maka, tanpa
mendengar nasihatnya, aku lalu turun gunung. Dan tak dinyana, benar saja ilmu silatku
masih terlalu rendah, sehingga bukan saja aku sudah gagal dalam percobaan membalas
sakit hati, tapi juga hampir-hampir jiwaku sendiri turut melayang."
Harus diketahui, bahwa ilmu silatnya Chena pada ketika itu, sudah terhitung tinggi. Ilmu
entengi badannya sudah berada di sebelah atasan Thian Oe. Mendengar penuturan itu,
hatinya Thian Oejadi kagum sekali. "Ia cuma belajar tiga hari, tapi ilmunya sudah begitu
tinggi," kata Thian Oe dalam hatinya. "Dari sini bisa dilihat, bahwa kepandaiannya
Pengtjoan Thianlie sungguh-sungguh sukar diukur bagaimana dalamnya. Dan
kecerdasannya Chena mungkin sukar dicari keduanya dalam dunia ini."
"Sesudah turun gunung barulah aku mendapat tahu, bahwa segala kebencanaan dalam
keluargaku adalah perbuatannya Touwsoe di Sakya," demikian Chena teruskan
penuturannya. "Sesudah peristiwa hebat pada malam itu, kapan ibuku binasa dan aku
sendiri hilang, sedang sang paman dan saudara-saudara misanan sudah binasa terlebih
dahulu, maka di antara keluarga dekat, sudah tidak ada orang lagi yang berhak mewarisi
kedudukan Raja muda Chinpu. Pada besokan harinya, dengan membawa satu pasukan
tentara, Touwsoe Sakya angkat paman misananku (yang bukan lain dari mertua sang
Touwsoe) menjadi raja muda. Orang-orang sekaumku tidak ada yang berani membantah
lantaran takuti pengaruh dan kekuasaannya yang besar. Paman misananku sudah berusia
60 tahun lebih dan adalah ibarat api lilin di tengah-tengah angin. Touwsoe Sakya segera
perintah anak lelakinya yang sulung menjadi Chiepa (semacam kuasa). Secara merdu
dikatakan, bahwa sang cucu membantu kakek, akan tetapi sebenar-
benarnya si cuculah yang menjadi raja muda dan sudah rampas banyak sekali tanahnya
Raja muda Chinpu. Mendengar itu, aku tak dapat menahan sabar lagi. Bagaimana
buntutnya sudah diketahui olehmu, sehingga aku tak perlu menuturkan lagi."
"Apa Pengtjoan Thianlie meluluskan buat turunkan lagi ilmu silatnya kepadamu?" tanya
Thian Oe.
"Ia sudah meluluskan buat mengajar lagi tiga hari lamanya," jawab Chena "Sesudah itu,
apa aku mampu membalas sakit hati atau tidak, adalah urusanku sendiri."
"Biarlah aku saja yang balaskan sakit hatimu," kata Thian Oe dengan suara terharu.
Chena mesem dan berkata: "Apa? Terima kasih banyak buat kebaikanmu. Cuma saja,
buat balas sakit hatinya orang tua, kalau bukan terlalu terpaksa, aku tidak mau pinjam
tangannya orang lain. Selainnya itu, Touwsoe di Sakya mempunyai banyak sekali orang
pandai, antaranya itu pembunuh yang mempunyai ilmu Tjit-im tjiang. Dengan ilmu silat
yang dipunyai oleh kau dan aku, biarpun kita belajar lagi tiga sampai lima tahun, aku rasa
belum tentu dapat menandingi dia."
Mengingat kepandaiannya yang masih sangat rendah dan sudah keluarkan omongan
besar, Thian Oe jadi merasa jengah sekali.
Di bawah sinarnya sang rembulan, Thian Oe dapat lihat sorot sangat berterima kasih
dalam kedua matanya Chena yang jeli. "Bukankah besok kau akan ikut gurumu berlalu
dari sini?" ia tanya dengan suara perlahan.
Hatinya Thian Oe bergoncang. "Benar, besok aku sudah mesti berlalu," katanya dengan
suara serak. Tapi baru ia habis ucapkan perkataannya, di sebelah kejauhan mendadak
terdengar bentakannya Thiekoay sian.
Keraton kristal dari Pengtjoan Thianlie adalah keraton yang transparan dan terang
benderang. Jauh di tengah-tengah taman terlihat dua bayangan orang yang sedang
bertempur hebat. Satu
antaranya yang bersenjata tongkat besi, yang diputar seperti titiran cepatnya, adalah
Thiekoay sian. Yang satunya lagi berbadan tinggi besar, seperti juga bukan badannya
orang Han, dan memakai jubah pertapaan yang berwarna merah. Di antara sinar
rembulan yang seperti perak, warna merah itu kelihatan menyolok sekali, seakan-akan
segumpal awan merah yang memain di antara awan-awan putih.
"Dengan dapat panjat sungai es dan bisa masuk ke dalam keraton ini, kepandaiannya
orang itu mestinya tinggi sekali," kata Thian Oe dalam hatinya dengan perasaan kaget.
"Peraturan Thianlie tjietjie ada sangat keras, tapi kenapa ia belum juga keluar dan
biarkan orang itu bikin ribut dalam keratonnya?" kata Chena dengan suara heran.
Chena kenal baik jalanan dalam keraton. Sesudah bulak-belok bersama-sama Thian
Oe mereka tiba dalam taman di depannya keraton dengan ukiran kuda emas. Orang yang
sedang berkelahi sama Thiekoay sian adalah satu Hoantjeng (pendeta asing), yang
hidungnya berpatok, mulutnya lebar dan romannya jelek sekali. Ia bersenjata sianthung
(tongkat pertapaan) yang banyak lebih kecil dari tongkatnya Thiekoay sian, tapi yang
dengan mudah dapat punahkan sesuatu serangan.
Tidak jauh dari situ, di kaki satu gunung-gunungan, berdiri dua orang lain yang
mulutnya menggerendeng sembari rangkap kedua tangannya. Mereka itu adalah kedua
boesoe Nepal yang kita sudah kenal.
Thian Oe merasa heran sekali, kenapa kedua boesoe itu, yang kelihatannya sangat
memuja Pengtjoan Thianlie, berani ikut si pendeta masuk ke dalam keraton tanpa permisi.
"Dua boesoe itu memanggil Koksoe (Guru negara) kepada si pendeta," berbisik Chena.
"Mereka kata apa?" tanya Thian Oe.
"Aku pun tak dengar terang. Rupa-rupanya mereka sedang membujuk supaya si
Koksoe jangan berkelahi terus." jawab Chena.
Semakin berkelahi, Thiekoay sian jadi semakin bersemangat. Tongkatnya terputar
bagaikan titiran yang kurung badannya si pendeta, dan pada saat-saat beradunya kedua
tongkat, sang kuping menjadi pengeng lantaran kerasnya suara.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih 50 jurus. Makin lama
Thian Oe jadi makin heran. Suara beradunya tongkat ada cukup keras buat bikin sadar
orang yang tidur bagaimana nyenyak pun. Tapi, bukan saja Pengtjoan Thianlie, malahan
sang dayang pun tidak kelihatan mata hidungnya.
"Chena," kata Thian Oe yang sudah tidak dapat menahan sabar lagi. "Perlukah panggil
kau punya Thianlie tjietjie?"
"Gerak-geriknya Thianlie tjietjie sangat luar biasa," jawab Chena. "Sekarang ia belum
keluar, tentulah juga ada sebab lain."
Tiba-tiba kedua tongkat beradu luar biasa kerasnya, sehingga membikin pengeng
kupingnya Thian Oe dan Chena. Di lain saat, si pendeta sudah bersila di atas tanah,
sedang sianthung -nya digoyang-goyang dengan perlahan. Dengan kumis yang berdiri,
Thiekoay sian menubruk dan menghantam dengan sepenuh tenaga.
Melihat begitu, Thian Oe jadi girang dan berkata dalam hatinya: "Sekarang tak perlu lagi
bantuannya Pengtjoan Thianlie. Manusia itu sudah bukan tandingannya guruku lagi."
Tapi ia tidak tahu, justru pada saat itu gurunya berada dalam keadaan kejepit. Sebagai
murid kepala dari Kam Hong Tie, tenaga dalamnya Thiekoay sian tidak ada tandingannya,
baik di sebelah selatan, "maupun di sebelah utara Sungai Besar. Tapi tak nyana,
berhadapan dengan pendeta asing itu, ia tidak bisa mendapat angin. Ia menyerang
sehebat-hebatnya dengan menggunakan tenaga Kimkong Toalek, akan tetapi semua
serangannya dengan gampang dapat dipunahkan oleh si pendeta
Dua puluh tahun lebih Thiekoay sian malang melintang dalam dunia Kangouw, dan
inilah buat pertama kali ia bertemu musuh yang tangguh, sehingga dengan terpaksa, ia
mesti gunakan juga Hokmo Tianghoat (Ilmu silat tongkat takluki iblis).
Hokmo Tianghoat adalah gubahan Tokpie Sinnie (Malaikat Wanita Lengan Satu,
gurunya Delapan Pendekar Kanglam) dan kemudian dipelajari dan ditambah lagi oleh
Liauw In Hweeshio. Ilmu tongkat tersebut mempunyai 108 jalan dan setiap pukulan
mempunyai tenaga yang seribu kati beratnya. Selainnya itu, kepala dan ujung tongkat juga
dapat digunakan buat menotok jalanan darahnya musuh. Ilmu silat tersebut luar biasa
liehaynya, tapi juga sangat memakan tenaga dalam. Sesudah bersilat habis 108 jalan,
orang mesti mengasoh sedikitnya tiga hari buat dapat pulang lagi tenaganya. Itulah
sebabnya kenapa Thiekoay sian jarang sekali menggunakan Hokmo Tianghoat itu.
Sekarang dengan terpaksa ia gunakan juga! Mendadakan saja, sang tongkat
menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin dan benar saja si pendeta menjadi ripuh.
Thiekoay sian segera kerahkan tenaga dalam yang lebih besar buat hantam jatuh
padanya. Tiba-tiba si pendeta terputar dan lantas bersila di atas tanah sambil meremkan
mata dan tundukkan kepalanya, seperti juga orang lagi bersemedhi, sedang tongkatnya
digoyang-goyang dengan perlahan.
Thiekoay sian adalah seorang yang berpengalaman, tapi melihat begitu, hatinya jadi
terkejut.
"Apa maunya dia?" ia tanya dalam hatinya.
Di lain saat, ia rasakan serangan-serangannya kena ditutup dan satu tenaga yang
sangat besar terasa menolak dirinya. Semakin hebat ia menghantam, semakin besar lagi
tenaga yang menolak itu. Tongkatnya si pendeta yang digoyang-goyang dengan perlahan
merupakan satu tembok tembaga yang tak dapat ditembuskan dengan serangan apapun
juga.
Thiekoay sian terkesiap dan menyerang semakin gencar. Dalam sekejap ia sudah
gunakan habis 36 jalan yang pertama. 108 jalan Hokmo Tianghoat dipecah jadi tiga
bagian. Bagian pertama, yang terdiri dari 36 jalan, adalah serangan-serangan hebat yang
menggunakan tenaga Kimkong.
Kalau ini tidak berhasil, lantas menyusul bagian kedua, yang juga terdiri dari 36 jalan.
Pukulan-pukulan dari bagian kedua ini semuanya dikeluarkan dengan menggunakan
tenaga lweekeh (tenaga dalam) yang sejati, dan hebatnya bukan kepalang, sehingga satu
batu besar bisa hancur lebur kalau kena pukulan itu. Pukulan-pukulan dari bagian pertama
semuanya mengeluarkan suara angin yang keras, tapi pukulan-pukulan bagian kedua
sama sekali tidak menerbitkan suara, sehingga jadi lebih sukar dijaganya. Tapi sungguh
heran, biarpun ia meremkan mata dan tundukkan kepala, bebokongnya si pendeta seperti
juga ada matanya, sehingga tidak perduli pukulan Thiekoay sian datang dari mana, ia
selalu dapat mengebas dengan tongkatnya. Selainnya begitu, tenaga yang menolak juga
jadi bertambah besar dan beberapa kali hampir-hampir tongkatnya Thiekoay sian terlepas
dari tangannya!
Ilmu yang digunakan oleh si pendeta adalah ilmu Yoga dari India, yang dicampur
dengan ilmu silat Djioekang (ilmu silat lembek) dari cabang silat Bittjong di Tibet.
Djioekang ini juga adalah
satu ilmu silat lweekeh yang sangat tinggi, tapi berbeda dengan lweekeh dari Tiongkok
asli. Orang yang mempelajari Djioekang, paling terutama harus melatih isi perutnya Kalau
ilmunya sudah tinggi, ia bisa dimasukkan di dalam peti yang kemudian direndam dalam
laut, dan sesudah tiga hari diangkat lagi, ia masih hidup seperti biasa. Yang paling sukar
dipelajari adalah menghentikan jalannya
pernapasan. Orang yang sudah berlatih sampai di puncak itu, badannya seperti juga
badan dewa yang tidak bisa rusak.
Ilmunya si pendeta belum sampai pada puncaknya, akan tetapi, dibanding dengan
tenaga Thiekoay sian, ia sudah menang seurat. Ilmu yang dikeluarkan oleh si pendeta
memerlukan kedudukan sila buat mengerahkan napas, yang semakin lama mengeluarkan
tenaga semakin besar. Itulah sebabnya, walaupun Hokmo Tianghoat makin lama jadi
makin hebat, tapi masih terus dapat dipukul mundur oleh tenaga dalamnya si pendeta.
Dengan cepat, 36 jalan yang kedua juga sudah digunakan hampir habis. Di atas
kepalanya Thiekoay sian sudah kelihatan keluar uap putih, tapi Pengtjoan Thianlie belum
juga muncul. Melihat begitu, hatinya Thiekoay sian jadi berdongkol. "Kalau begitu, buat
apa aku campur urusannya?" kata ia dalam hatinya. Memikir begitu, ia ambil putusan buat
tidak keluarkan bagian ketiga dari Hokmo Tianghoat dan sembari sabetkan tongkatnya, ia
niat loncat keluar dari gelanggang.
Tapi siapa nyana usaha itu tidak berhasil! Sianthung si pendeta jubah merah seperti
juga mempunyai tenaga menghisap dan ia tidak dapat loloskan diri!
Kaget dan gusarnya Thiekoay sian teraduk menjadi satu. Buru-buru ia kerahkan tenaga
dalam dan kebas tongkatnya, yang bisa bergoyang tapi tidak bisa copot sebab tenaga
yang menghisap jadi semakin kuat. Maka itu, Thiekoay sian tak dapat berbuat lain
daripada tambah tenaganya buat layani lawanan itu dan kemudian keluarkan bagian
ketiga dari Hokmo Tianghoat.
Bagian ketiga inilah yang paling memakan tenaga dalam. Thian Oe lihat pukulan-
pukulan kedua lawanan itu jadi semakin perlahan. Si pendeta masih terus meremkan mata
dan tundukkan kepala, tapi sekarang uap putih juga sudah muncul di atas kepalanya,
sedang napasnya mulai sengal-sengal. Tapi keadaan gurunya ada terlebih menyedihkan.
Pakaiannya Thiekoay sian sudah cipruk dengan keringat yang terus mengetel-ngetel
sebesar kacang. Saban kali gerakkan tongkatnya, buku-buku tulangnya kedengaran
peratak-perotok.
Biarpun Thian Oe belum mengerti ilmu silat tinggi, tapi ia tahu keadaan gurunya sudah
kepayahan.
Lewat beberapa saat lagi, si pendeta mendadak buka kedua matanya dan membentak:
"Roboh kau!"
Thiekoay sian sempoyongan dan badannya bergoyang-goyang. Ia kertek giginya,
tongkatnya membuat setengah lingkaran dan terus menindih ke jurusan bawah. "Belum
tentu aku roboh!" kata ia. Waktu itu Thiekoay sian menyerang dengan pukulan yang ke 96,
yaitu Hangliong Hokhouw (Pukulan takluki naga dan macan), dan Seantero tenaga
dalamnya dipusatkan kepada kepala tongkat.
Si pendeta mesem tawar dan berkata: "Apa kau mau cari mampus?" Ia lantas angkat
sianthung-nya ke atas dan bentur tongkatnya Thiekoay sian. Sungguh aneh, tongkatnya
Thiekoay sian yang sebesar mangkok lantas melengkung dengan perlahan!
Mukanya Thiekoay sian jadi pias. Mendadak, dengan satu suara "trang!", tongkatnya
Thiekoay sian terpisah dari tempelan tongkat lawannya, sedang si pendeta loncat mundur
beberapa tindak, tongkatnya diturunkan ke bawah dan ia berdiri dengan sikap hormat.
Thian Oe heran sungguh melihat perubahan yang begitu mendadak.
Waktu menoleh, ia segera tahu sebabnya. Dengan memakai jubah sutera putih,
Pengtjoan Thianlie kelihatan muncul dari antara pohon-pohon kembang dengan tindakan
perlahan, sedang di dampingnya kelihatan isterinya Thiekoay sian, Gobie Liehiap Tjia In
Tjin. Sembari keluarkan teriakan perlahan, Tjia In Tjin loncat dan pegang tangan
suaminya. Dengan berpegangan tangan, mereka berdua lalu bersila di atas tanah sambil
jalankan napasnya.
Pengtjoan Thianlie tertawa dingin. Setindak demi setindak, ia menghampiri. Kedua
boesoe Nepal itu ketakutan sekali. Sembari rangkap kedua tangannya, mereka berlutut
dan meratap seperti juga sedang memohon ampun.
Sambil cekal tongkatnya, si pendeta juga memberi hormat dan keluarkan sehelai firman
warna kuning dari kantongnya dan ucapkan beberapa perkataan.
Chena keluarkan suara kaget dan berbisik di kupingnya Thian Oe: "Ini Hoantjeng
menggunakan panggilan puteri terhadap Thianlie tjietjie dan minta ia menerima firman.
Sungguh mengherankan."
Pengtjoan Thianlie terima firman itu, yang sesudah dibaca selewatan lantas
dipulangkan lagi. Mukanya si pendeta jadi merah dan ia ketruk tongkatnya di atas tanah.
"Kita orang tidak bisa biarkan guci emasnya Kaizar Tjeng tiba di Lhasa," kata ia dalam
bahasa Nepal. "Raja telah memerintahkan supaya kau turun gunung buat memberi
bantuan. Apakah kau tidak sudi meluluskan?" Dengan adanya Chena sebagai juru
bahasa, Thian Oe juga mengerti apa yang dikatakan oleh pendeta itu.
Paras mukanya Pengtjoan Thianlie berobah sedikit, tapi pada bibirnya masih terus
tersungging senyuman. Si pendeta jubah merah kelihatannya mau buka mulut lagi, tapi
Pengtjoan Thianlie sudah menuding dengan jerijinya dan berkata dengan suara tawar:
"Semua orang menggelinding turun dari gunung ini!"
Di bawah sinar rembulan yang putih dingin, mukanya si pendeta yang barusan merah
sekarang berubah menjadi hijau, sehingga kelihatannya menakuti sekali! "Lihatlah,
lantaran malu ia jadi gusar," berbisik Chena di kupingnya Thian Oe.
Sebagai Koksoe (Guru negara) dari negara Nepal, manalah si pendeta dapat menelan
hinaan itu? Amarahnya meluap luber, sehingga jerijinya jadi gemetar. Mendadak ia dongak
dan tertawa terbahak-bahak akan kemudian menuding sambil membentak: "Kau, kau
suruh aku menggelinding turun? Raja sendiri tak berani berlaku begitu kurang ajar
terhadapku!"
"Tak salah," kata Pengtjoan Thianlie. "Aku perintah kau menggelinding turun dari sini.
Habis kau mau apa? Aku sebenarnya sudah beri muka yang sangat besar kepadamu
dengan membiarkan kau masuk ke dalam keraton ini dan menemui aku. Apa kau tidak
kenal puas? Aku sudah bersumpah, bahwa siapapun berani membujuk aku turun gunung,
ia itu mesti berlalu dari sini. Kau pun tak terkecuali."
Si pendeta kembali tertawa berkakakan seperti orang kalap. Ia ketruk lagi tongkatnya,
sehingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring. Sesudah itu ia manggutkan .kepala
dan berkata dengan suara nyaring: "Dari tempat yang jauhnya laksaan li, aku datang disini
buat menemui Paduka Puteri. Memang juga hatiku tidak mengenal kepuasan. Aku dengar
ilmu silatnya Paduka Puteri terhitung nomor satu di daerah Tiongkok dan wilayah Barat.
Maka itu, aku sekarang ingin sekali dapat menambah pengalaman."
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. Ia tertawa dingin dan tepuk kedua tangannya
sambil berseru: "Kemari!"
Di lain saat, sembilan dayang sudah kelihatan muncul. Pengtjoan Thianlie dongakkan
kepalanya dan kebaskan tangannya dengan sikap agung. "Usir ini pendeta liar!" ia
memerintah.
"Ah, kalau begitu kau tidak sudi turun tangan sendiri?" kata si pendeta. "Dengan
demikian, undanganku yang barusan agaknya terlalu melanggar pri kesopanan. Maka itu,
dengan tidak mengimbangi kebodohan sendiri, aku mohon belas kasihannya Paduka
Puteri."
Kedua boesoe Nepal itu ketakutan setengah mati dan membujuk-bujuk supaya Koksoe
nya menyingkir saja, tapi si pendeta tidak meladeni.
Pengtjoan Thianlie ambil sikap acuh tak acuh. Begitu ia kebaskan tangannya, sembilan
dayang itu lantas kurung si pendeta. Kedua matanya yang angker dan tajam laksana
pedang, kemudian mengawasi si pendeta yang tanpa merasa lantas mundur beberapa
tindak. Sembilan dayang itu lalu gerakkan tangannya seperti orang menggebah ayam,
sehingga si pendeta menjadi kalap lantaran gusarnya. "Baiklah!" ia membentak. "Biarlah
lebih dahulu aku minta pengajaran dari dayang-dayangmu dan kemudian barulah minta
pengajarannya Paduka Puteri sendiri."
Sebaliknya dari meladeni omongan si pendeta, Pengtjoan Thianlie hampiri Chena yang
lantas dipegang tangannya.
"Perhatikanlah, kiamhoat yang mereka gunakan, semuanya diajarkan olehku," kata ia
dengan suara menyayang. Thian Oe merasa bahwa sikapnya Pengtjoan Thianlie terhadap
Chena benar-benar seperti sikap seorang kakak terhadap adiknya sendiri dan berbeda
seperti langit dan bumi
dengan keangkerannya yang barusan. "Sifatnya Pengtjoan Thianlie benar-benar tak dapat
ditebak," demikian Thian Oe pikir dalam hatinya.
Si pendeta kebaskan tongkatnya dan pasang kuda-kuda, tapi tidak lantas menyerang,
mungkin sebab mau pertahankan kedudukannya sebagai seorang yang lebih tua.
Apa yang mengherankan adalah pedangnya sembilan dayang yang semuanya seperti
kristal, dan begitu digerakkan, sinar serta hawa dingin menyambar-nyambar sehingga
Thian Oe jadi bergidik. Di lain saat, ia rasakan dirinya seperti juga masuk ke dalam jurang
es dan giginya bercakrukan. Ia lirik Chena dan gadis itu juga ternyata gemetaran sekujur
badannya lantaran kedinginan.
Pengtjoan Thianlie berkata sembari tertawa; "Aku lupa kalian belum dapat lawan hawa
ini. Biarlah kalian menahan buat sementara waktu."
Mendadak, bagaikan kilat jerijinya menotok batang lehernya Thian Oe.
Thian Oe terperanjat, sebab begitu kena, ia rasakan seperti juga kena listrik dan sekujur
badan jadi kesemutan. Tapi di lain saat, semacam hawa panas naik dari tantian (bagian
pusar) dan mengalir di seluruh badannya. Ia rasakan jantung mengetok keras dan
darahnya mengalir lebih deras, seperti orang habis lari keras. Di luar hawa sangat dingin,
tapi badan berasa panas. Chena juga sudah mendapat totokan begitu. Ia sudah tidak
gemetaran dan kedua pipinya bersemu merah.
Thian Oe pernah dengar penuturan gurunya, bahwa orang yang mempunyai lweekang
(ilmu dalam) sangat tinggi, bukan saja dapat membinasakan manusia dengan totokannya,
tapi juga bisa mengobati penyakit dengan totokan itu. Waktu mendengar itu, ia anggap
penuturan tersebut seperti cerita dongeng. Tapi sekarang, sesudah mengalami sendiri,
barulah ia percaya, bahwa dalam dunia benar-benar ada kepandaian yang sedemikian
tinggi.
"Thianlie tjietjie, apakah mereka menggunakan pedang es?" tanya Chena. Ia menanya
begitu sebab sudah pernah lihat Pengtjoan Thianlie robohkan Loei Tjin Tjoe dengan
sebatang pedang es. Thian Oe juga sebenarnya ingin majukan pertanyaan begitu, maka
itu, ia sangat perhatikan jawabannya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, manalah mereka mempunyai kepandaian begitu tinggi?" jawab Pengtjoan Thianlie
sembari tertawa. "Pedang mereka adalah buatanku sendiri yang diberi nama Pengpok
Hankong kiam (Pedang Roh Es Sinar Dingin). Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu
kemala hangat) yang sudah ribuan tahun tuanya dan merupakan keluaran istimewa dari
gunung ini. Batu kemala tersebut, yang ribuan tahun teruruk es, harus diolah tiga tahun
lamanya barulah menjadi pedang yang demikian. Ituiah sebabnya kenapa kalau
digerakkan, pedang tersebut lantas keluarkan hawa dingin yang sangat hebat. Orang yang
belum mempelajari Iweekang yang tinggi tidak bisa tahan hawa itu."
Melihat sinar dan merasa hawanya sembilan batang pedang itu, si pendeta jubah
merah juga kelihatannya sangat terkejut. Tapi berkat lweekangnya, ia tidak takuti hawa itu.
Sembilan batang pedang yang bagian kepalanya bersambung dengan bagian buntut,
segera merupakan satu jala yang bersinar terang dan yang dengan perlahan menjadi
semakin ciut.
Pendeta jubah merah tak dapat menahan sabar lagi. Dengan pukulan Lekhoa
hongkouw
(Dengan tenaga menggurat perbatasan), sianthung-nya mendorong keluar. Dengan
beberapa suara kerontangan, empat batang pedang beradu dengan tongkat itu. Melihat
tongkatnya yang mempunyai tenaga ribuan kati, kena ditahan oleh empat dayang itu,
hatinya si pendeta merasa heran. Berbareng dengan itu, empat pedang dari garisan
belakang, menikam bagaikan kilat cepatnya. Sembari berkelit, si pendeta sampok pedang
yang datang dari belakang dan pentil miring pedang yang datang dari sebelah depan. Tapi
dua pedang dari kiri dan kanan sudah menyambar ke badannya!
"Bagus!" berseru Thian Oe.
"Anak-anak, awas!" Pengtjoan Thianlie berteriak hampir berbareng.
Pada detik itu, ke empat dayang kelihatan loncat dengan berbareng, sedang si pendeta,
sembari membentak keras, menyerang seperti hujan angin dengan tangan dan sianthung-
nya.
Ternyata, dengan mahir dalam ilmu Yoga, ototnya si pendeta dapat berobah-robah
menurut sukanya. Pada waktu pedangnya nempel pada jubahnya si pendeta, kedua
dayang yang
menyerang dari kiri dan kanan mendadak rasakan ujung pedang mereka terpeleset, sebab
otot pundaknya si pendeta mendadak berubah bentuknya dan jadi lebih besar beberapa
dim.

Berbareng dengan itu, si pendeta lalu menyerang dengan tongkat dan tangannya
sembari kerahkan tenaga dalamnya.
Si pendeta sama sekali tidak duga, dayang-dayang itu mempunyai ilmu entengi badan
begitu tinggi. Begitu tongkatnya menyambar, mereka sudah menghilang ke empat penjuru
seperti cecapung menotol air atau kupu-kupu berterbangan di antara bunga-bunga,
sebentar ke kiri sebentar ke kanan, sebentar berkumpul sebentar berpencaran. Beberapa
kali ia kirim pukulan-pukulan hebat, tapi semuanya jatuh di tempat kosong, dan tanpa
merasa, ia sendirilah yang berbalik kena dikepung di sama tengah.
Dengan perasaan sangat berdongkol, ia lalu bersila di atas tanah dengan niatan
menggunakan ilmu yang tadi ia gunakan terhadap Thiekoay sian. Akan tetapi, melayani
sembilan orang sangat berbeda dengan melawan satu orang. Sembilan dayang itu
bergerak tak hentinya dan tikaman-tikaman pedang mereka selalu ditujukan ke arah
jalanan darah yang berbahaya. Oleh karena ilmu Yoga si pendeta belum sampai pada
puncaknya, maka adalah sangat sukar buat ia menutup semua jalanan darahnya dan
berbareng meladeni sembilan lawanan itu. Demikianlah, menghadapi serangan yang
bertubi-tubi, sesudah bersila sementara waktu, ia terpaksa loncat bangun lagi sembari
putar tongkatnya. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia bersila lagi, akan kemudian
loncat bangun kembali. Kejadian itu terulang sampai beberapa kali, sehingga kelihatannya
lucu sekali sampai Thian Oe yang tak tahan buat tidak tertawa berkakakan.
Bukan main gusarnya si pendeta mendengar hinaan itu. "Biar aku lukakan dua orang
lebih dahulu," kata ia dalam hatinya sembari loncat bangun dan putar tongkatnya. Ia
mengamuk seperti kerbau gila, seakan-akan sudah tidak pcrdulikan lagi keselamatannya
sendiri dan turunkan tangannya tanpa sungkan-sungkan lagi. Disurung dengan hawa
amarah, bukan main hebat pukulan-pukulan tongkatnya, sehingga sembilan dayang itu
tidak berani menyambut lagi dan cuma berkelit ke sana-sini. Melihat begitu, Thian Oe jadi
terkejut. "Kalau terus begini, satu dua orang tentu akan kena terpukul," kata ia dalam
hatinya.
Tapi Pengtjoan Thianlie tetap tenang dan pada bibirnya terus tersungging meseman
yang manis.
Mendadakan, satu perobahan terlihat dalam barisannya sembilan dayang itu. Sekarang
mereka berlari-lari di empat penjuru, sebentar berkumpul sebentar berpencaran, dan
gunakan batu-batu hiasan taman sebagai tameng mereka. Barisan itu berobah-robah
bentuknya tak henti-hentinya, sehingga matanya orang yang menyaksikan jadi
kekunangan. Dengan gerak-gerakannya yang seperti kilat, itu sembilan dayang berobah
seperti ratusan orang, dengan selendang suteranya yang berkibar-kibar dan pakaiannya
berkelebat-kelebat, sehingga dalam taman itu seperti juga sedang dipertunjukan tarian
"Bidadari Menyebar Bunga."
Thickoay sian sebenarnya sedang bersila sembari meramkan mata dan jalankan
pernapasannya. Dengan adanya perobahan itu, ia buka kedua matanya dan hatinya
merasa sangat heran. Ia heran oleh karena barisannya sembilan dayang itu ada mirip-
mirip dengan barisan Pattintouw dari Tjoekat Boehouw (Tjoekat Boehouw adalah Tjoekat
Liang atau Khong Beng, koensoe Lauw Pie dari jaman Samkok). Cuma mirip dan tidak
seluruhnya bersamaan dengan Pattintouw. Kedudukannya delapan dayang adalah sesuai
dengan kedudukan delapan pintu, yaitu Hioe, Seng, Siang, Touw, Sie, Keng, Kheng dan
Kay. Delapan pintu ini saling bantu satu sama lainnya. Perbedaan dengan Pattintouw
adalah kelebihan satu orang dalam barisan itu. Dayang yang ke sembilan tidak ikut
bergerak. Ia menjaga di sama tengah dan seperti juga otaknya barisan itu.
Si pendeta juga rupanya mendapat lihat kedudukannya barisan itu, maka ia terus cecar
dayang yang berdiri di tengah buat coba menjatuhkannya. Tapi barisan itu berobah luar
biasa cepatnya. Begitu ia bergerak ke timur, musuh yang di sebelah barat lantas meluruk.
Begitu ia ke barat, pedang dari sebelah timur dan selatan lantas menyambar.
Biar bagaimanapun juga, ilmu silatnya si pendeta memang ada sangat tinggi. Tanpa
mengenal barisan itu, ia terus mengamuk dan tongkatnya sapu segala apa yang
menghadang di tengah jalan, sehingga banyak gunung-gunungan dan batu-batu hiasan
taman jadi hancur lebur.
Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya dan paras mukanya jadi berobah. Di lain saat,
dayang yang menjadi kepala kedengaran membentak: "Kau benar keterlaluan! Keindahan
taman ini sampai menjadi rusak." Sehabis membentak, ia mementil dengan dua jerijinya
dan beberapa sinar terang menyambar ke arah pendeta itu.
"Senjata rahasia mana bisa celakakan aku?" kata si pendeta sembari tertawa dan lalu
putar tongkatnya seperti titiran. Senjata rahasia itu, yang masing-masing sebesar mutiara,
terus menyambar-nyambar dan jadi hancur lantaran sampokannya tongkat. Dan dalam
kehancurannya itu, sinar dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar, sehingga si
pendeta sendiri sampai bergidik.
Di atas puncak gunung dari Telaga Thian-ouw terdapat semacam es yang ribuan tahun
tak pernah lumer. "Jantung"-nya es itulah yang diambil oleh Pengtjoan Thianlie dan diolah
menjadi serupa senjata rahasia yang tidak ada keduanya dalam dunia dan diberi nama
Pengpok Sintan (Peluru malaikat roh-nya es). Dalam pembuatan lain-lain senjata rahasia
di muka bumi, tak perduli senjata rahasia buat lukakan musuh atau buat memukul jalanan
darah, yang diperhatikan adalah kejituannya dan ketajamannya senjata rahasia tersebut.
Cuma Pengpok Sintan yang lain dari yang lain. Yang diandalkan adalah hawa dinginnya
yang sangat luar biasa. Begitu lekas senjata rahasia itu tersampok, keluarlah hawa dingin
yang menusuk ke tulang-tulang dan hebatnya bukan buatan.
Dengan tenaga dalam yang dipunyai olehnya, si pendeta sebenarnya masih dapat
melawan hawa dingin itu. Cuma saja, lantaran mesti layani serangannya sembilan musuh,
ia tak dapat pusatkan perhatiannya buat kerahkan tenaga dalamnya. Di sebelahnya itu,
lantaran Pengpok Hankong kiam juga adalah senjata yang mengeluarkan hawa dingin,
maka hawa dingin itu makin lama jadi makin hebat, sehingga badannya si pendeta jadi
gemetaran dan giginya bercakrukan. Bagaikan orang edan, ia terus mengamuk. Dari
jidatnya keringat turun berketel-ketel, tapi badannya tetap gemetaran.
Pengtjoan Thianlie mesem dan berkata pada Chena: "Dia anggap dengan gunakan
tenaga Iweekeh, dia bisa keluarkan hawa panas buat melawan hawa dingin itu. Tapi dia
tak tahu, dengan demikian, dingin dan panas jadi berkelahi dan bisa mencelakakan. Ini
kali, biarpun tidak menjadi mati, rasanya dia bakal sakit keras beberapa hari."
Thian Oe yang hatinya sangat mulia lantas saja berkata: "Kalau begitu, ampuni sajalah
ia." "Kau mintakan ampun?" kata Chena sembari melirik. Pengtjoan Thianlie tidak
berkata apa-apa
dan cuma mesem.
Semakin lama pendeta itu kelihatan semakin lelah. Sesudah bertempur lagi beberapa
lama, dayang yang menjadi pemimpin membentak: "Robohlah!" Ia ayun tangannya dan
sebutir peluru kembali menyambar. Jantungnya si pendeta gemetar, kedua kakinya lemas,
kepalanya terputar dan badannya bergoyang-goyang seperti mau jatuh.
"Berhenti!" Pengtjoan Thianlie membentak.
Di lain saat, sembilan dayang itu sudah tarik pulang pedangnya dan berdiri berbaris di
kedua pinggirnya Pengtjoan Thianlie.
Mukanya si pendeta jadi seperti kepiting direbus. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia
tarik napas panjang beberapa kali, memberi hormat kepada Pengtjoan Thianlie dan lantas
lari keluar dari keraton es. Kedua boesoe Nepal juga lalu memberi hormat dan dengan
paras muka ketakutan lalu mengikut di belakangnya si pendeta. Dalam sekejap, keadaan
kembali menjadi sunyi.
"Dengan dapat menerobos masuk kedalam keraton, kepandaiannya orang itu tidaklah
rendah," berkata Chena sembari tertawa.
"Tak bakal ada orang kedua yang bisa masuk secara begitu," kata Pengtjoan Thianlie.
"Sebenarnya akulah yang sengaja membiarkan dia masuk. Kalau bukannya begitu,
walaupun dia bisa menyebrangi sungai es, tak nanti dia dapat tembus barisan Kioethian
Hianlie (Dewi sembilan lapisan langit)."
Mendengar omongan temberang itu, Thiekoay sian tertawa dalam hatinya. "Kalau
begitu, ia merobah sedikit Pattintouw Tjoekat Boehouw dan ganti namanya," kata
Thiekoay sian dalam hatinya. "Liehay memang cukup liehay, tapi kalau mau dibilang
barisan itu dapat menahan semua orang pandai dalam dunia, rasanya terlalu terkebur."
Thiekoay sian adalah murid kepala Kam Hong Tie dan pengalamannya luas sekali. Ia
yakin, bahwa kepandaian manusia tak ada batasnya dan di luar langit masih terdapat
langit. Maka itu, ia tidak sependapat dengan temberangnya Pengtjoan Thianlie.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie berpaling kepada Thiekoay sian dan bibirnya
bergerak seperti orang mau bicara. Tapi lantaran lihat mukanya Thiekoay sian yang sangat
pucat, ia urungkan niatannya dan lantas jalan menghampiri.
"Dia menghaturkan banyak terima kasih buat budimu," berkata Tjia In Tjin. "Tapi
sekarang dia belum bisa jalan, maka aku mohon kau suka kirim dua dayang buat antar dia
turun gunung."
Pengtjoan Thianlie awasi mukanya Thiekoay sian dan kemudian berkata: "Masih untung
kau cuma jalankan 96 jurus Hokmo Tianghoat. Kalau kau jalankan habis 108 jurus,
biarpun diberi obat dewa, tidak nanti kau dapat pulang tenagamu yang sediakala.
Sekarang benar-benar kau tidak boleh berangkat."
"Apa?" Tjia In Tjin menegasi dengan suara kaget.
"Tak apa-apa," sahut yang ditanya dengan suara tawar. "Cuma lantaran gunakan
tenaga melewati batas, jalanan darahnya jadi kalang kabut dan isi perutnya bergerak.
Kalau ia turun gunung juga, begitu kena goncangan di sungai es, walaupun tidak sampai
menjadi mati, rasanya ia akan bercacat seumur hidup dan tidak akan bisa jalan lagi,
meskipun memakai tongkat. Berkat tenaga dalamnya yang sangat kuat, dengan
mengasoh lima hari dan ditambah sama obat, aku rasa ia akan jadi sembuh kembali.
Baiklah aku beri tempo lima hari lagi." Ia lantas gapekan satu dayang dan memberi
perintah: "Bereskan satu kamar supaya ia bisa atur pernapasannya ---
siapapun tak boleh ganggu padanya. Dan juga pinjamkan Oen-giok padanya."
Sesudah memesan begitu, ia berpaling pada Tjia In Tjin dan berkata sembari tertawa:
"Kali ini "menyimpang dari kebiasaan, aku permisikan kalian berdiam lima hari lagi.
Sesudah lewat lima hari, kalian boleh turun gunung dengan tak usah pamitan!"
Mendengar perkataannya Pengtjoan Thianlie, Tjia In Tjin merasa sangat terkejut, sebab
ia tidak duga, suaminya mendapat luka di dalam yang begitu berat. Di satu pihak sikapnya
Pengtjoan Thianlie seperti juga kurang mempunyai perasaan kemanusiaan, akan tetapi di
lain pihak, ia rela meminjamkan mustika Oen-giok buat mengobati suaminya, satu
pertolongan yang penuh pri kemanusiaan.
Maka itulah, perkataan-perkataannya Pengtjoan Thianlie membikin Thiekoay sian
suami isteri tak tahu mesti menangis atau tertawa. Perasaan berdongkol dan berterima
kasih tercampur menjadi satu.
"Kau boleh rawat ia, dan kalau tidak ada urusan penting jangan cari padaku," kata lagi
Pengtjoan Thianlie yang lantas saja berlalu dengan dayang-dayangnya.
Dahulu, sifatnya Tjia In Tjin juga sombong dan dingin. Sesudah mendapat banyak
pengalaman pahit getir, ia berobah banyak, akan tetapi toh ia masih tak dapat menelan
kesombongan orang yang ditujukan kepadanya. Tidak dinyana, kali ini sesudah melalui
perjalanan laksaan li, ia sudah mendapat perlakuan sedemikian, cuma lantaran membujuk
supaya Pengtjoan Thianlie suka turun gunung. Semakin diingat, ia jadi semakin mendeluh
dan hampir-hampir saja ia keluarkan perkataan perkataan keras buat menimpali. Cuma
saja, walaupun Pengtjoan Thianlie sepuluh kali lipat lebih angkuh dari ianya, keangkuhan
itu keluar dengan sewajarnya. Sikapnya yang agung tanpa dibuat-buat membikin orang
jadi tidak berani banyak rewel terhadapnya. Tjia In Tjin coba tahan perasaan mendeluhnya
yang malang di tengah uluhatinya, dan beberapa saat kemudian dengan satu suara
"wah!", ia muntahkan cairan pahit yang naik dari kantong nasinya.
"Soenio (isteri dari guru), kau kenapa?" tanya Thian Oe dengan perasaan kaget.
Mukanya Tjia In Tjin pucat, disusul dengan semu merah. "Anak kecil jangan campur
urusan lain orang," kata ia sembari kebaskan tangannya dan lalu ajak sang dayang tuntun
Thiekoay sian pergi ke kamar buat mengasoh.
Dengan rasa masgul Thian Oe berdiri bengong.
"Sesudah repot setengah malaman, kau pun harus mengasoh," kata Chena. "Besok
aku akan ajak kau jalan-jalan buat saksikan pemandangan-pemandangan luar biasa
dalam keraton." Sehabis berkata begitu, ia lantas berlalu.
Thian Oe awasi belakangnya si nona, yang semakin lama jadi semakin jauh dan
akhirnya menghilang di antara pohon-pohon kembang. Ia ingat, lima hari lagi ia toh bakal
turun gunung
juga, dan berhubung dengan kekeliruan gurunya terhadap Pengtjoan Thianlie, mulai waktu
itu ia tidak akan dapat bertemu lagi. Mengingat begitu, hatinya jadi semakin masgul.
Pada besokan paginya, begitu mcndusin ia melongok keluar jendela dan kedua
matanya kembali saksikan pemandangan luar biasa. Di bawah sorotnya matahari, keraton
es yang terang benderang mengeluarkan cahaya aneka warna, sehingga Thian Oe
merasa seakan-akan berada dalam dunia dongengan. Tidak lama kemudian, sang dayang
antarkan makanan pagi yang terdiri dari dua buah merah yang sangat besar. Dua buah itu
bukan saja rasanya manis, tapi baunya pun harum sekali.
Sebagaimana telah dijanjikan, Chena menyamper dan ajak ia keluar jalan-jalan.
Sesudah berdiam di keraton es, walaupun pada sinar matanya masih terdapat sorot
kesedihan, Chena sudah banyak lebih gembira. Ia jalan perlahan-lahan sembari omong-
omong dan tertawa-tawa, seperti juga pohon yang sudah dapat hawanya musim semi
yang menyegarkan.
Adalah sukar buat melukiskan pemandangan-pemandangan indah permai di sekitar
keraton itu. Pendopo-pendopo yang mungil, jalanan-jalanan bulat-belit yang terawat baik,
jendela-jendela dengan macam-macam ukiran, gunung-gunungan dan batu-batu
perhiasan yang hampir semuanya terbuat dari kristal, beberapa air mancur yang tersebar
di seluruh taman, solokan-solokan dan empang-empang yang airnya jernih bagaikan kaca.
"Air pengempang dan solokan semuanya ditarik naik dari Thian-ouw, makanya jernih
luar biasa," kata Chena. "Aku paling suka minum air itu."
Buat memperlengkap keindahan disitu, di seluruh taman penuh dengan pohon-pohon
bebuahan dan pohon-pohon kembang yang menyiarkan bebauan sangat harum. "Tempat
ini seperti juga tempat dewa-dewa, maka tidaklah heran kalau Pengtjoan Thianlie sungkan
turun gunung," kata Thian Oe sembari tertawa.
Demikianlah mereka pesiar ke sana-sini dan kalau merasa lapar mereka petik buah-
buah matang buat tangsel perut. Oleh karena luasnya, sesudah jalan setengah harian
mereka belum juga dapat putari habis seluruh wilayah keraton itu.
Selagi enak jalan, hidungnya Thian Oe mendadak dapat endus bebauan yang sangat
luar biasa, harumnya melebihi bunga yang paling harum, tapi bagaimana harumnya, tak
mungkin dapat dilukiskan. Thian Oe segera cepatkan tindakannya dan menuju ke arah
keluarnya wewangian itu. Beberapa saat kemudian, matanya dapat lihat sebuah
bangunan yang sangat berbedaan dengan semua gedung yang berada disitu. Bangunan
tersebut berbentuk gereja yang atapnya lancip, dan kalau lain-lain bangunan semuanya
terbuat dari kristal, marmer atau es yang keras, adalah bangunan itu berwarna hitam,
sehingga kelihatan menyolok sekali. Wewangian yang luar biasa itu ternyata keluar dari
rumah tersebut.
Dengan perasaan heran Thian Oe coba menolak pintunya. Parasnya Chena berobah
dengan mendadak dan buru-buru mencegah. "Waktu aku berdiam disini pertama kali,
Thianlie tjietjie pernah memesan, bahwa aku boleh pergi kemana juga, cuma ke dalam
rumah itu aku tidak boleh masuk," kata Chena dengan suara berbisik.
"Kenapa?" tanya Thian Oe.
"Siapa tahu?" kata Chena.
"Menurut katanya para dayang, saban malam Tje-it (Tanggal 1 penanggalan Imlek,
bulan gelap), ia pergi sendirian ke dalam rumah itu, dimana ia berdiam kira-kira satu jam
lamanya. Apa yang ia lakukan, tak ada yang berani menanya. Dari dayang-dayang itu aku
mendapat tahu, bahwa rumah itu terbuat dari semacam kayu garu, yang kalau dibakar,
baunya yang harum bisa diendus dari tempat belasan li jauhnya."
Mendengar penuturan itu, hatinya Thian Oe jadi lebih-lebih heran lagi.
Malam itu, Thian Oe tidak dapat tidur lantaran tidak dapat melupakan rumah yang
penuh teka-teki itu. Dalam layap-layap ia masuk ke dalam dunia impian, la mengimpi lihat
Pengtjoan Thianlie pasang hio dan bersembahyang dalam rumah itu, dengan di dampingi
oleh Chena. Setahu bagaimana, ia sendiri juga berada dalam rumah tersebut. Mendadak
Pengtjoan Thianlie cabut sebatang pedang yang sinarnya bergemilapan dan tikam
uluhatinya. Rambutnya Pengtjoan Thianlie mendadak berobah jadi ular terbang yang tak
dapat dihitung berapa banyaknya dan terbang menyambar ke arah dirinya. Chena
keluarkan teriakan kaget dan rumah itu mendadak
roboh, dengan sebatang balok wuwungan menindih dirinya sendiri. Dalam mengimpinya
Thian Oe berteriak-teriak dan berontak-rontak.
"Jangan ngigo! Bangun, hayo bangun!" mendadak ia dengar suaranya satu wanita di
kupingnya. Thian Oe sadar. Ia buka kedua matanya dan ternyata Chena berdiri di
hadapannya.
"Hayo, bangun!" kata si nona sembari goyang-goyang badannya. "Seorang aneh
kembali masuk ke dalam keraton es tanpa permisi!"
Begitu mendengar, Thian Oe hilang ngantuknya. Ada orang lagi! "Apa dia sudah bisa
seberangi sungai es dan terobos barisan Kioethian Hianlie yang dipasang di sebelah
luar?" tanya Thian Oe.
"Kalau bukan sudah menerobos barisan itu, cara bagaimana ia bisa sampai di keraton
es?" jawab Chena. "Sekarang lonceng pertandaan bahaya sudah dipukul dan Thianlie
tjiitjie segera juga akan keluar!"
Thian Oe buru-buru pakai baju luarnya dan ikut Chena berlari-lari keluar. Sembilan
dayang yang kemarin sudah mengambil masing-masing kedudukannya dan seorang
pemuda yang memakai baju putih berada di tengah-tengah mereka. Waktu itu mereka
belum bergebrak. Begitu lihat, Thian Oe keluarkan teriakan tertahan.
"Kenapa?" tanya Chena.
"Aku kenal orang itu!" jawabnya.
Si pemuda baju putih juga rupanya sudah lihat Thian Oe, sebab ia lantas menengok
sembari mesem. Orang itu bukan lain daripada si anak sekolah yang pernah tolong
jiwanya Siauw Tjeng Hong dengan jarum emas dan yang pernah bikin repot Bek Tayhiap
dan yang lain-lain di kota Shigatse.
"Siapa ia?" tanya lagi Chena.
"Aku tak tahu namanya," jawab Thian Oe. "Tapi ia pernah tolong jiwanya guruku. Aku
rasa ia adalah seorang baik."
"Wah, celaka!" kata Chena. "Menurut dayang-dayang, Thianlie tjietjie merasa sangat
gusar dan mengatakan, bahwa orang itu harus diajar adat sekeras-kerasnya. Tanpa
memberi hajaran keras, keraton es bisa-bisa tidak aman lagi. Garisan pertahanan keraton
es, semakin ke belakang, semakin kuat. Ini dayang-dayang keraton sangat tinggi ilmu
silatnya. Aku kuatir, kalau toh tidak sampai mati, orang itu akan luka berat!"
Sembilan dayang itu lantas cabut pedangnya, tapi mendadak hentikan gerakannya.
Keadaan jadi sunyi senyap, sehingga kalau sebatang jarum jatuh di atas tanah, suaranya
akan bisa terdengar nyata. Thian Oe menoleh dan lihat Pengtjoan Thianlie sudah berjalan
keluar dengan paras muka yang penuh kegusaran.
Begitu lihat si pemuda, ia keluarkan satu seruan perlahan. Sikapnya lantas berobah,
seperti orang yang sedang merasa heran. Pengtjoan Thianlie tadinya kira, bahwa orang
yang datang adalah sebangsa pendeta jubah merah. Tapi tidak terduga, yang ia
ketemukan adalah seorang pemuda Han yang parasnya cakap sekali.
"Tanpa latihan puluhan tahun, tak gampang-gampang orang bisa lewati sungai es dan
terobos barisan depan," pikir ia dalam hatinya. "Apakah pemuda ini yang usianya
sepantaran denganku mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari si pendeta jubah
merah?"
Dua pasang mata lantas kebentrok. Pemuda baju putih itu tertawa dan menanya: "Apa
kau ini majikan dari keraton es? Kenapa kau begitu lambat menyambut tetamu?"
"Siapa kau?" Pengtjoan Thianlie balas tanya. "Ada urusan apa kau datang disini?"
"Jika aku menyebutkan namaku, kau tentu akan terlebih tidak sungkan-sungkan lagi
terhadapku," kata pemuda itu. "Biar bagaimana juga, lambat laun aku harus
memberitahukan, asal saja kau suka luluskan satu permintaanku."
"Permintaan apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa kau tahu halnya guci emas?" si pemuda balas tanya.
Pengtjoan Thianlie kerutkan kedua alisnya. "Ah, lagi-lagi guci emas!" katanya. "Benar
menyebalkan. Apakah kau mau minta aku turun gunung buat rampas guci emas itu?
Kalian bermusuhan sama bangsa Boan, sama aku tak ada sangkut pautnya."
"Kau menebak salah," kata si pemuda sembari mesem. "Aku mau minta kau turun
gunung, justru buat melindungi guci emas itu! Orang Nepal mau rampas guci itu.
Beberapa hiapkek tolol,
seperti sebangsa Thiekoay sian, juga ingin merampas. Dengan sendirian saja, aku repot.
Maka itu, kau mestilah turun gunung buat membantu!"
Caranya si pemuda seperti juga sedang minta bantuan dengan satu sahabat karib,
yang seolah-olah tidak boleh tidak meluluskan. Pengtjoan Thianlie merasa gusar sekali,
sehingga kedua alisnya berdiri. "Dengan memiliki ilmu silat seperti sekarang, boleh
dibilang kepandaianmu sudah lumayan. Lekas berlalu, supaya kau tidak, menyesal," kata
Pengtjoan Thianlie sembari kebaskan tangannya. Bahwa ia tidak lantas memberi perintah
kepada sembilan dayangnya buat mengusir dengan kekerasan, Pengtjoan Thianlie
sebenarnya sudah berlaku sungkan sekali.
Tapi, sebaliknya dari mundur, pemuda itu malahan maju setindak dan pada kedua
bibirnya terus tersungging senyuman. "Apa? Apakah kau tak sudi memberi muka
padaku?" tanya ia.
Pengtjoan Thianlie berobah parasnya. Dayang yang jadi pemimpin lantas saja
membentak: "Kau benar tak mengenal kesopanan? Apa benar-benar kau mau kami
mengusir dengan kekerasan?"
Si pemuda berbangkes dan berkata sembari tertawa: "Naik gampang, turun sukar. Hari
ini aku sudah capai sekali dan ingin tidur sebentaran!"
Sang dayang tepuk kedua tangannya dan barisan itu segera mulai bergerak. Delapan
batang pedang yang hawanya dingin lantas saja menyambar bagaikan kilat.
"Dingin! Dingin! Ah, hilanglah perasaan ngantukku!" berseru si pemuda yang badannya
lantas saja berkelebat-kelebat di antara sinarnya pedang-pedang itu. Sebagaimana
diketahui, serangan-serangannya barisan itu hebat sekali dan delapan pedang
menyambar-nyambar saling susul bagaikan gelombang. Sang pedang cepat, tapi si
pemuda lebih cepat lagi. Ujung pedang kelihatannya sudah menempel pada badannya, en
toh pada detik yang terakhir, ia selalu dapat mengegos dengan tepat sekali. Melihat
begitu, mau tak mau, Pengtjoan Thianlie jadi merasa kagum. Semakin lama serangan
delapan pedang jadi semakin seru dan badannya si pemuda seperti juga sudah dikurung
sinar pedang yang seperti jala.
Thian Oe amat berkuatir. "Chena tjietjie," berbisik ia. "Dapatkah kau menolong padaku
buat minta Pengtjoan Thianlie hentikan pertempuran?" Chena tidak menyahut. Ia cuma
geleng-gelengkan kepalanya.
Tiba-tiba si pemuda tertawa terbahak-bahak. "Ilmu pedang bagus! Sungguh bagus
sekali!" ia berseru. "Sekarang maafkan padaku."
Setahu bagaimana, selagi ia kelit delapan batang Pengpok Hankong kiam, tahu-tahu
tangannya sudah mencekal sebatang pedang panjang, yang mengeluarkan sinar
berkeredepan dan mengaung kapan dikebaskan. "Pedang bagus!" Pengtjoan Thianlie
berkata tanpa merasa.
Sesudah mengebas sekali, si pemuda membuat satu lingkaran bundar dengan
pedangnya dan di lain saat, dengan suara berkrontangan, pedangnya dua dayang sudah
terbabat putus! Semua dayang terkesiap dan lantas pada loncat mundur. Dengan
kecepatan yang tak dapat dilukiskan dan pengetahuan akan Pattintouw dari Tjoekat
Boehouw, ia menindak di pintu Hioe, biluk di pintu Kay, putari pintu Sie, injak pintu Seng
dan lantas balas menyerang. Di lain saat, pedangnya dayang yang menjaga pintu Keng
dan pintu Siang sudah terbabat putus.
Dayang yang menjaga di tengah-tengah lantas saja timpukkan Pengpok Sintan dengan
gerakan Thianli Sanhoa (Bidadari sebar kembang). Di tengah udara lantas saja penuh
dengan peluru yang seperti mutiara dan bersinar terang.
Si pemuda juga lantas ayun tangannya dan lepaskan senjata rahasianya. Pengpok
Sintan sudah luar biasa, tapi senjata rahasianya si pemuda lebih luar biasa lagi. Senjata
rahasia itu ada sedemikian halus, sehingga tak dapat dikenali dengan sang mata, dan
yang terlihat cuma sinar emas yang berkredep. Dalam tempo sekejapan, Pengpok Sintan
sudah tidak kelihatan lagi.
Pengtjoan Thianlie terkesiap sebab lihat tenaga dalam si pemuda yang luar biasa
besarnya. Senjata rahasia itu macamnya seperti rumput bong (rumput buat bikin kasut).
Begitu nempel, Pengpok Sintan lantas mental beberapa tombak dan jatuh di atas tanah!
Hatinya si nona jadi tergoncang, sebab ia mendadak ingat penuturan mendiang ayahnya
mengenai Thiansan Sinbong (Bong malaikat dari gunung Thiansan), semacam senjata
rahasia ahli-ahli pedang Thiansan, yang kalau dilepaskan mengeluarkan sinar merah yang
mengkredep. Mengingat begitu, pandangannya terhadap pemuda itu lantas jadi lain.
Di lain saat, badannya si pemuda mendadak terputar-putar seperti kilat. Para dayang
cuma merasa bayangannya berkelebat dan empat batang Pengpok Hankong kiam sudah
pindah ke dalam tangannya si pemuda!
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. "Berhenti!" ia berseru. Dengan satu
kelebatan, si pemuda sudah berdiri tegak di luar barisan dan sembari tertawa ia
mengawasi Pengtjoan Thianlie. "Kenapa?" ia tanya.
"Tak apa-apa," jawabnya dengan tawar. "Perkataanku tak dapat dirobah
lagi." "Kalau begitu kau mau turun tangan sendiri buat mengusir aku?"
tanya si pemuda.
"Benar," jawabnya. "Kau masuk dengan kekerasan, maka tuan rumah juga harus
mengusir dengan kekerasan."
"Tak ada yang lebih baik daripada itu," kata si pemuda sembari tertawa. "Aku jadi dapat
kesempatan buat tambah pengalaman dan saksikan Tatmo Kiamhoat yang sudah hilang
dari wilayah Tiongkok."
Ia sama sekali tidak keder menghadapi sorot matanya Pengtjoan Thianlie yang dingin.
Pada kedua bibirnya terus tersungging senyuman dan balas mengawasi dengan mata
tajam.
Thian Oe dan Chena duga Pengtjoan Thianlie akan segera turun tangan. Tapi tak
dinyana, sembari menyapu dengan matanya yang bagus, Pengtjoan Thianlie berkata:
"Sesudah menyebrangi sungai es dan bertempur lama, kau tentu lelah sekali. Maka itu
biarlah besok tengah hari kau datang lagi!"
Si pemuda memberi hormat dan berkata sembari tertawa: "Baiklah. Kalau kau perintah
aku datang lagi, aku tentu datang." Sesudah kasih masuk pedangnya ke dalam sarung, ia
putar badannya, tapi sebelum berjalan pergi, ia berkata pula sembari mesem: "Masih
boleh jugalah perlakuan itu terhadap seorang sahabat."
"Apa kau bilang?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Tak apa-apa," sahutnya. "Dalam dunia ini, memang ada manusia yang tidak tergerak
perasaannya biarpun ia bertemu dengan sahabat yang saling mengenal isi sang hati. Kau
hidup tanpa sahabat dalam keraton yang begini indah. Itulah yang dinamakan kekurangan
dalam serba kecukupan."
Mukanya Pengtjoan Thianlie bersemu merah. Perkataan itu kena betul pada uluhatinya.
Memang juga, sedari ayah dan ibunya meninggal dunia, tak ada seorangpun terhadap
siapa ia dapat tumpleki isi hatinya. Saban-saban bertemu dengan malam terang bulan,
mau tak mau ia merasakan juga satu kesepian.
"Kau terlalu rewel," kata Pengtjoan Thianlie. "Siapa suruh kau campur urusan lain
orang?" Sehabis berkata begitu, tanpa merasa ia melangkah beberapa tindak, mengikuti si
pemuda yang sedang naik ke atas jembatan yang terbentang di atas satu pengempang
teratai. Di sebelahnya pohon-pohon teratai yang sedang berbunga, atas empang itu
terdapat beberapa macam pohon air yang bunganya luar biasa dan menyiarkan bau
harum sekali. Di atas jembatan itu terdapat satu pendopo yang di kedua sampingnya
tergantung sepasang lian (toeilian) yang bunyinya seperti berikut:
Sinar rembulan, harumnya bunga
semua masuk impian. Keraton dewi,
ranggon indah sama-sama datangkan kedinginan.
"Perkataannya cukup bagus, cuma kurang cocok sama keadaannya," kata si pemuda
sembari tertawa. Ia tak tahu bahwa toeilian itu adalah buah kalamnya Pengtjoan Thianlie
sendiri. Moh Hoan Lian, neneknya Pengtjoan Thianlie, adalah satu tjaylie (wanita pintar)
yang tersohor namanya. Sebagai satu cucu yang mewarisi pelajaran keluarganya, sedari
kecil Koei Peng Go (Pengtjoan Thianlie) sudah belajar membuat syair, menabuh khim dan
main tiokie. Semua toeilian yang terdapat dalam keraton itu adalah buah kalamnya sendiri.
Lantaran begitu, tidaklah heran kalau ia jadi merasa berdongkol waktu dengar celaannya
si pemuda.
Ia maju lebih dekat dan menanya dengan suara menantang: "Kenapa tak cocok sama
keadaannya? Coba kau bilang?"
"Sinar rembulan dan harumnya bunga bisa diketemukan dimana juga," menerangkan
pemuda itu. "Keraton dewi dan ranggon indah juga cuma kata-kata yang melukiskan
keindahannya suatu gedung dan dapat digunakan di segala tempat. Maka itulah,
perkataan-perkataan tersebut tidak
cukup melukisi pemandangan istimewa yang terdapat disini. Apalagi, toeilian tersebut
cuma melukis pemandangan dan tidak melukis manusia. Itulah yang aku namakan satu
cacat dalam keindahan."
Walaupun bersifat sangat angkuh, tapi Pengtjoan Thianlie adalah seorang gadis yang
suci bersih. Mendengar penjelasannya si pemuda yang beralasan, ia jadi mesem dan
berkata: "Kalau begitu, cobalah kau tolong bikinkan gantinya."
Baru saja si pemuda mau buka mulurnya, satu dayang menyeletuk: "Apakah kau tahu,
bahwa toeilian itu digubah berdasarkan namanya orang? Tak gampang mengubah itu."
"Jangan banyak bacot," membentak Pengtjoan Thianlie sembari lirik dayangnya.
Sesudah itu, ia berpaling kepada si pemuda dan berkata: "Cobalah kau sebutkan syairmu
buat gantikan sepasang lian itu, supaya aku dapat menimbang apa cocok dengan
pemandangan disini."
"Kalau begitu, baiklah aku mempersembahkan kebodohanku," kata si pemuda sembari
mesem dan lalu bersyair:
"Sinar bulan atas sungai es, dewi rembulan
turun, Bidadari menyebar bunga. Sang
penyair datang."
Sehabis bersyair, ia tertawa dan berkata pula: "Walaupun kata-katanya tidak begitu
bagus, tapi sang manusia yang disebutkan dalam lian itu betul-betul cantik luar biasa,
sehingga aku rasa, toeilian ini bolehlah juga."
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang dan mukanya jadi bersemu dadu. Syair yang
disebutkan barusan bukan saja terdapat kata-kata "Pengtjoan Thianlie," tapi juga
menggenggam namanya sendiri, yaitu Peng Go. (Sungai es = Pengtjoan, Bidadari =
Thianlie, Es = Peng, yang kalau digabung dengan Go-Dewi rembulan -- menjadi Peng
Go).
Syair tersebut terang-terangan digubah untuk dirinya sendiri dan di dalamnya
menggenggam arti, bahwa si penyair mengagumi ia. Sinar rembulan di atas sungai es
adalah seperti sang dewi rembulan sudah turun ke muka bumi. Belakangan disebutkan,
bidadari sebarkan bunga, sehingga menyebabkan datangnya si penyair. Dengan berkata
begitu, si pemuda mau bilang, bahwa ia datang kesitu lantaran kagumi Pengtjoan Thianlie.
Akan tetapi, orang tidak dapat katakan ia memberi umpakan murah, sebab syair itu
memang sesuai dengan keadaannya. Maka itulah, diam-diam Koei Peng Go kagumi
kepintarannya pemuda itu.
"Nah, sekarang aku sudah persembahkan syairku," kata si pemuda sembari berpaling
kepada sang dayang. "Barusan kau bilang, lian ini dibuat berdasarkan nama orang. Nama
siapa? Apa boleh kau memberitahukan?" Dayang itu tidak menjawab, tapi tekap mulutnya
sambil tertawa.
"Biarlah aku saja yang memberitahukan," Pengtjoan Thianlie menyelak. "Kata-kata
dalam toeilian itu aku gubah berdasarkan namanya. Dalam taman ini ada dua belas
pemandangan istimewa. Di saban tempat ada toeilian dan setiap toeilian digubah
berdasarkan namanya dayang-dayangku."
"Sinar rembulan, harumnya bunga semua masuk impian,
keraton dewi, ranggon indah sama-sama datangkan
kedinginan,"
demikian si pemuda ulangi bunyinya toeilian itu dan kemudian berkata sambil menunjuk
si dayang: "Kalau begitu, namamu Goat Sian." (Rembulan = Goat, Dewi = Sian, kalau
digabung jadi satu ialah Goat Sian).
"Benar," sahut sang dayang sembari manggutkan kepala.
"Bagus," kata si pemuda, "Sekarang izinkan aku mempersembahkan lagi kebodohanku
dan mengubah sepasang lian untukmu." Ia mesem-mesem dan sambung omongannya:
"Aku ingat syairnya seorang dahulu kala. Biarlah aku pinjam syair itu untuk mengubahnya.
Dengarlah:
"Sinar bulan tiada cacatnya, jendela jodoh, pintu merah, setiap tahun dikitari.
Sang dewi patah hatinya, lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri.
Demikian ia mengubah toeilian tersebut. Kalau perkataan "bulan" (goat) digabung sama
perkataan "dewi" (sian), jadilah Goat Sian, namanya dayang itu.
"Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri" adalah sebagian dari syairnya Lie Gie
San yang berbunyi seperti berikut:
"Sang bidadari menyesal sudah curi obat
mustajab, lautan blau, langit biru, saban
malam dipikiri."
Dengan mengubah syair tersebut si pemuda ejek Pengtjoan Thianlie seperti satu
bidadari, yang dengan penuh kesunyian berdiam dalam keraton es seorang diri. Pengtjoan
Thianlie kerutkan kedua alisnya. Tanpa merasa, ia sudah mengikuti si pemuda
menyeberangi jembatan itu! Dengan main bersyair secara begitu, dimanalah adanya sifat
permusuhan antara mereka berdua?
Sesudah menyebrang jembatan, si pemuda lalu angkat kedua tangannya dan berkata
sembari tertawa: "Tak usah mengantar terlebih jauh dan tak usah kalian mengusir. Aku
sekarang mau pergi, besok tengah hari aku akan balik buat penuhi janji."
Mukanya Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu. Si pemuda baju putih lalu pentang
kedua kakinya dan dalam sekejap sudah hilang dari pemandangan.
Sesudah sang tetamu berlalu, semua orang dalam keraton ramai bicarakan ia,
antaranya juga Tan Thian Oe. Ilmu silatnya si pemuda baju putih dan Pengtjoan Thianlie
tak dapat diukur bagaimana tingginya, maka besok tentulah juga bakal terjadi
pertempuran yang sangat hebat.
Pada esokan harinya, sebelum tengah hari, Chena sudah samper Thian Oe buat diajak
saksikan keramaian. Baru saja menginjak taman, kuping mereka sudah dengar suara
tetabuhan khim yang merdu sekali.
"Apakah khim itu dipentil oleh Thianlie tjietjie? Main khim pagi-pagi adalah diluar
kebiasaannya," kata Chena.
Mereka pasang kuping dan ternyata yang sedang diperdengarkan adalah lagu
"Tjioelam" dari
Siekeng (Kitab Syair). Nyanyian dari lagu tersebut berbunyi kira-kira seperti berikut:
Di Selatan ada pohon tinggi, tapi
tak ada tempat meneduh.
Di Hankiang si cantik berenang,
tak mungkin dapat diubar.
Ibarat luasnya Sungai Hansoei,
jangan harap dapat
menyeberang.
Ibarat panjangnya Sungai Tiangkang,
jangan harap dapat diputari.
Syair itu melukiskan seorang gadis angkuh, yang hatinya tak dapat dicuri oleh lelaki
mana juga. Kata-kata yang digunakan dalam syair itu semuanya petunjuk yang samar-
samar. "Kenapa Pengtjoan Thianlie mainkan lagu itu?" tanya Thian Oe dalam hatinya.
"Apakah ia ibaratkan dirinya seperti itu gadis Hankiang? Memang juga, jika dibandingkan,
Pengtjoan (Sungai es) adalah lebih sukar diseberangi daripada Hankiang."
Ketika itu, matahari sudah berada di tengah-tengah langit dan suara khim mendadak
berhenti.
Seluruh taman diliputi kesunyian dan semua orang berdebar hatinya, sebab saat
pertemuan antara
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih sudah tiba.
Mendadak dari kejauhan terdengar suara suling yang merdu sekali. Lagu itupun adalah
petikan dari Kitab Siekeng dan syairnya berbunyi kira-kira sebagai berikut:
Kembang putih putih, embun menjadi es.
Jiwa hatiku, berada di seberang. Melawan arus air, aku mencari ia, terputar-putar jauh
sekali.
Mengikuti arus air, aku mencari ia, terombang-ambing di tengah air yang tiada
tepiannya.
Syair itu adalah syair percintaan yang melukiskan seorang lelaki sedang cari
kecintaannya, yang boleh dipandang, tapi tidak boleh dipegang, penuh dengan perasaan
cinta dan sedih dengan berbareng.
Begitu suara suling berhenti dalam taman sudah tambah satu orang lagi, yaitu si
pemuda baju putih, yang satu tangannya memegang suling batu kemala, sedang di
pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang, sehingga ia kelihatannya jadi lebih
cakap dan angker.
"Nona pandai benar mementil khim, sehingga hampir-hampir aku lupa soal adu
pedang," kata ia sembari pegang gagang pedangnya.
"Kau juga pandai meniup suling," sahut Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. "Ilmu
pedangmu tentulah juga lebih tinggi lagi, maka itu, lebih-lebih aku harus minta
pengajaranmu."
Diam-diam Thian Oe tertawa dalam hatinya. Yang satu pentil khim, yang lain tiup suling,
manalah seperti dua musuh yang mau bertempur?
"Kalau turut kemauanmu, bukankah itu terlalu gila?" kata si pemuda.
"Kau mau aku turun gunung, bukankah itu pun terlalu gila?" kata
Pengtjoan Thianlie. "Jika kau sungkan adu pedang, aku pun tidak memaksa. Pergilah,
disini bukan tempatmu."
Si pemuda baju putih geleng-gelengkan kepalanya dan berkata sembari tertawa:
"Kecuali adu pedang, apakah tidak ada lain jalan buat undang kau turun gunung? Baiklah,
kita janji saja begini: Jika aku kalah, aku tidak akan mengganggu lagi. Kalau kau kalah,
kau harus bantu aku melindungi guci emas itu."
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya dan berkata: "Memang juga dalam dunia ini tak
hentinya manusia main rebut-rebutan, sehingga aku merasa mendeluh sekali. Baiklah,
cabut pedangmu." Didengar dari lagu omongannya, Pengtjoan Thianlie seolah-olah
merasa, bahwa dalam pertempuran sebentar, ia pasti menjadi pihak yang menang.
Sehabis berkata begitu, ia lantas cabut pedangnya yang lantas mengeluarkan sinar
berkilau-kilauan dan hawa dingin yang sangat hebat. Pedangnya Pengtjoan Thianlie juga
adalah Pengpok Hankong kiam, tapi tidak sama dengan pedang yang digunakan oleh
para dayangnya. Pedang itu terbuat dari sarinya lima macam logam dan diolah di dalam
gua es dan umbul dingin. Thian Oe dan Chena sebenarnya sudah telan pel Liokyang wan
yang dapat menahan segala rupa hawa dingin, tapi toh mereka masih bergidik begitu
lekas pedang itu dicabut dari sarungnya.
Si pemuda bersikap tenang sekali, sembari mesem-mesem ia tarik keluar pedangnya
sendiri. Ia berdiri di sebelah bawah, ia berkata: "Silahkan!"
Pengtjoan Thianlie menuding dengan pedangnya yang bagaikan kilat, lantas saja
menyambar. Sebelum Thian Oc dapat melihat tegas, badannya si pemuda sudah ngapung
ke atas beberapa kaki tingginya, sedang Pengpok Hankong kiam lewat di bawah kakinya.
Tanpa merasa, Pengtjoan •Thianlie keluarkan satu seruan heran, sebab barusan ia sudah
menyerang dengan serangan Tatmo Kiamhoat yang sangat liehay. Satu serangan itu
menuju ke arah tiga jalanan darah musuh yang membinasakan, tapi tidak dinyana,
serangan sehebat itu dapat disingkirkan secara begitu gampang oleh si pemuda baju
putih.
Hampir berbareng, dengan satu siulan panjang, si pemuda balas menyerang. Ia kirim
dua tikaman ke sebelah kiri, dua tikaman ke sebelah kanan dan satu tikaman di tengah-
tengah, setiap serangan di kirim dengan gerakan yang berbeda-beda. Dengan satu
teriakan "Bagus!", Pengpok Hankong kiam berkelebat-kelebat ke kiri kanan dengan
gerakan yang berobah-robah luar biasa cepat, dan di lain saat, pedang itu kembali
kelihatan menyambar lehernya si pemuda. "Sungguh indah Tatmo Kiamhoat!" berseru si
pemuda sembari tertawa dan dengan gampang ia sudah loloskan diri dari serangan
Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie heran bukan main. Pemuda itu mengetahui kiamhoat-nya, akan
tetapi, ia sendiri tidak tahu, ilmu pedang apa yang sedang digunakan oleh pemuda
tersebut. Dengan demikian, kesombongannya lantas hilang beberapa bagian.
Si pemuda kembali keluarkan siulan panjang dan mulai menyerang secara hebat.
Pedangnya menyambar-nyambar seperti hujan angin, sehingga matanya orang yang
melihat menjadi kabur. Pengtjoan Thianlie jadi sengit. Cara bersilatnya mendadak berobah
dan di lain saat, bayangannya dan sinar pedang berkelebat-kelebat seperti titiran, seolah-
olah dalam taman itu muncul bayangannya puluhan Pengtjoan Thianlie.
"Dengan sesungguhnya Pengtjoan Thianlie bukan cuma mempunyai nama kosong,"
kata si pemuda dalam hatinya dengan perasaan heran. "Ia ternyata sudah tambahkan
banyak pukulan-pukulan luar biasa ke dalam Tatmo Kiamhoat." Memang juga, kedua
orang tuanya Pengtjoan Thianlie sudah tambahkan banyak pukulan heran-heran ke dalam
Tatmo Kiamhoat. Dengan gunakan ilmu pedang Tatmo sebagai dasar, kedua orang tua itu
sudah menambah dengan sarinya ilmu pedang di Tibet yang agak berlainan dengan ilmu
pedang dari Tiongkok asli.
Demikianlah kedua ahli pedang bertempur dengan luar biasa sengitnya. Masing-masing
keluarkan segala rupa ilmu simpanannya tanpa mendapat hasil. Menit lepas menit, jam
lepas jam, dari tengah hari mereka sudah berkelahi sampai hampir magrib, tapi kedua-
duanya masih tetap segar dan belum ada yang keteter.
Mendadak satu suara sangat nyaring akibat bentrokan kedua pedang, terdengar.
Dengan berbareng, mereka loncat mundur beberapa tindak dan masing-masing periksa
pedangnya yang ternyata sama kuatnya dan masih tetap utuh seperti biasa.
"Apakah hari ini kita boleh berhenti dahulu?" tanya si pemuda baju putih sembari
tertawa.
"Hari ini belum dapat keputusan siapa menang, siapa kalah. Besok kau datang lagi,"
sahut Pengtjoan Thianlie.
"Hatiku merasa tidak tega," kata lagi si pemuda. "Dengan bertempur disini kita bikin
rusak pemandangan indah dari keratonmu."
Mendengar perkataan itu, para dayang baru memperhatikan itu gunung-gunungan dan
batu-batu hiasan yang ternyata benar sudah banyak somplak lantaran tertabas pedang.
"Kita enak-enakan, adu pedang, batu-batu indah yang jadi korban. Sungguh sayang!"
kata si pemuda.
"Kalau begitu, sudahlah, jangan bertempur lagi," kata Pengtjoan Thianlie.
"Kau belum menangkan aku dan kau juga sungkan turun gunung. Habis bagaimanakah
baiknya?" kata si pemuda sembari mesem-mesem.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Apa kau tidak bisa turun gunung sendiri?" kata ia
dengan suara tidak sabaran.
"Sebenarnya aku ingin sekali ikat tali persahabatan dengan kau," kata si pemuda.
"Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku dapat menemui kau lagi? Di sebelahnya itu,
ketemu tandingan setimpal adalah salah satu kejadian paling menggembirakan dalam
penghidupan manusia. Sesudah turun gunung, cara bagaimana aku bisa cari lagi satu
tandingan seperti kau?"
"Habis bagaimana pendapatmu?" Pengtjoan Thianlie menanya tanpa merasa.
"Selama dua hari ini, kau jadi tuan rumah, sedang aku sebagai tetamu," sahut si
pemuda. "Walaupun perlakuanmu terhadap tetamu ada kurang sopan, akan tetapi aku
merasa berwajib undang kau satu kali. Maka pada besok tengah hari, aku undang kau
datang ke lembah es buat mendapat suatu keputusan. Disitu, biarpun andaikata kau tabas
rata Puncak Es, masih tidak ada halangannya. Dengan begitu, kita tak usah bertempur di
tempat ini dan merusak keindahan keratonmu."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau bilang, bahwa hari itu, lantaran kuatir bikin rusak
- keindahan keraton, ia belum keluarkan semua kepandaiannya.
Pengtjoan Thianlie mengerti maksud tersembunyi dari omongan si si pemuda. "Baiklah,
aku iringi Keinginanmu!" jawab ia dengan suara bcrdongkol. Begitu habis bicara, ia lantas
ingat, bahwa ia sekarang toh sudah kena juga dipancing keluar dari keratonnya!
Dengan sikap tenang, kedua matanya si pemuda mengawasi gunung-gunungan dan
batu-batu hiasan yang ada pada rusak akibat pertempuran. Mendadak ia tertawa dan
berkata: "Hiasan sebuah taman adalah ibarat pakaiannya seorang gadis, yang saban-
saban harus ditukar coraknya. Kerusakan ini ada juga baiknya supaya dapat dihias baru."
Tanpa perdulikan didengar atau tidak oleh Pengtjoan Thianlie, ia lantas saja bicara
panjang lebar mengenai cara-cara menghias taman.
Memang juga rencana menghias keraton disusun sendiri oleh Pengtjoan Thianlie yang
kemudian perintah dayang-dayangnya buat mengerjakannya. Mendengar perundingannya
si pemuda yang sangat menarik, dayang-dayang itu lantas pada mendekati dan
berkumpul di seputar ia. Pengtjoan Thianlie berdongkol bukan main, tapi ia merasa kurang
enak buat semprot dayang-dayangnya di hadapan orang luar.
Sesudah bicara beberapa lama, si pemuda mendadak membungkuk dan berkata:
"Sayang sekali kau tidak sudi menerima tetamu. Malam ini baiklah aku tidur lagi di
bawahnya Puncak Es!"
"Yah, pergilah!" kata Pengtjoan Thianlie dengan suara gusar.
"Terhadap sahabat, kau benar tak sungkan-sungkan lagi," kata si pemuda sembari
mesem. "Baiklah, aku pun merasa sangat capai dan ingin tidur. Sedang tuan rumah
sungkan menerima tetamu, aku pun paling baik jalan. Tapi besok, janganlah lupa janjimu!"
Sehabis berkata begitu, ia berlalu dengan jalan perlahan-lahan, sedang mulutnya tak
hentinya bicarakan bunga-bunga dan pohon-pohon dalam taman itu. Sebentar ia ceritakan
cara menggunting daun-daun kembang ini, sebentar ia bentangkan cara merawat pohon
itu. Bicaranya bukan saja sangat menarik, tapi juga memperlihatkan satu pengetahuan
yang mendalam mengenai ilmu tumbuh-tumbuhan, sehingga para dayang yang
mendengari jadi bengong, dan tanpa merasa mereka ikuti pemuda itu, seperti juga sedang
mewakili sang majikan buat mengantar tetamu.
Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia menghampiri dengan niat panggil pulang
dayang-dayangnya.
Mendadak si pemuda hentikan tindakannya di depan satu gerbang. Di belakangnya
gerbang itu terdapat beberapa puluh pohon anggrek hitam yang menyiarkan bau harum
sekali. "Pemandangan disini luar biasa bagusnya. Kenapa tidak dibuat toeilian?" kata si
pemuda sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata apa-apa. "Dalam dua hari memang
juga mau ditulis dan kemudian dicukil," sahut satu dayang. "Paduka Puteri bilang..."
"Jangan banyak bacot!" membentak sang majikan.
"Ah, kalau begitu belum ditulis beres," kata si pemuda. "Nama dayang mana yang kau
ingin gunakan buat toeilian itu?"
Kembali Pengtjoan Thianlie lirik padanya. "Aku lihat kau sudah kepengen sekali," ia
mendadak berkata. "Nah, coba kau tolong karangkan."
Si pemuda tertawa nyaring. "Baiklah," kata ia. "Lagi-lagi kau mau uji aku. Aku ini
memang tak tahu diri. Nah, biarlah aku coba persembahkan kebodohanku."
Satu dayang lantas menunjuk dan berkata: "Toeilian yang mau dibuat menggunakan
namanya. Ia bernama Hoei Kheng."
Si pemuda berpikir. Dua huruf itu, yang satu huruf "kosong", yang lain huruf "berisi",
benar-benar sukar di-toei (dipasangkan). Hoei Kheng adalah dayang yang biasanya
membantu Pengtjoan Thianlie mengambil kertas dan menggosok bak dalam kamar tulis,
sehingga sedikit banyak ia mengerti juga syair. "Tak bisa dapat?" ia tanya sembari tertawa.
"Kalau dipaksa-paksa bisa juga," jawab si pemuda. "Gerbang ini sangat tinggi, maka
perlu dibikin toeilian yang agak panjang. Begini sajalah:
"Bakat kepintaran lebih berharga dari bunga anggrek. Yang bergoyang tertiup angin di
pegunungan kosong.
Rembulan benar terang, tapi sang hati berada dalam kesedihan.
Awan yang indah menyinari lautan perak.
Melayang-layang di selebar langit.
Pergi ke Yauwtie tiada jalanannya,
mundar-mandir (seperti awan) tiada juntrungannya."
Demikianlah huruf pertama "Kepintaran" (Hoei) dari syair yang kesatu ditimpali dengan
huruf pertama "Indah" (Kheng) dari syair yang kedua, sehingga dapatlah "Hoei Kheng"
atau namanya dayang itu.
Arti toeilian tersebut kembali mengenakan Pcngtjoan Thianlie. Si pemuda umpamakan
ia seperti lembah kosong dan anggrek yang sunyi dengan cuma sang rembulan yang
menjadi kawannya, sehingga menambahkan kesedihan.
Pengtjoan Thianlie tidak berkata apa-apa. Ia berdiri bengong seperti orang yang sedang
ngelamun.
Sembari menuding ke satu tempat, si dayang kembali berkata:" Eh, coba karang lagi
buat tempat itu. Kau harus gunakan namanya saudariku, Yoe Pcng." Tempat itu adalah
satu pendopo delapan pasegi yang berdiri di atas satu empang teratai, yang penuh
dengan pohon-pohon teratai dan rumput air yang dinamakan "peng".
"Huruf Yoe Peng juga satu kosong dan satu berisi, sehingga lebih-lebih sukar
dipasangkan," kata si pemuda sembari tertawa. "Baik juga pemandangan disitu dapat
dipinjam buat menggubahnya. Kau dengarlah:
"Lembah sunyi, gunung belukar. Sinar rembulan menindih lain-lain warna.
Batang peng (rumput), daun teratai.
Suara hujan menutup suara teratai."
Dengan begitu huruf Yoe (Sunyi) dipasangi dengan huruf Peng (namanya semacam
rumput). Lembah sunyi, gunung belukar,
batang rumput (peng), daun teratai,
masing-masing sudah merupakan toei (pasangan). Perkataan yang di sebelah bawah,
si pemuda pinjam karangannya seorang penyair jaman dahulu yang berbunyi:
Yang ketinggalan hanya bunga teratai yang sudah
rontok, sambil mendengari jatuhnya sang hujan.
Dengan demikian, syair itu bukan saja cocok dengan pemandangannya, tapi juga
mengenakan dirinya Pengtjoan Thianlie. Si pemuda seolah-olah mau menyatakan
simpatinya kepada ia, yang dengan penuh kesunyian, bertempat tinggal dalam keraton es.
Hatinya si nona jadi tergoncang. Ia tidak kira, pemuda itu mempunyai kepandaian
sedemikian tinggi, baik dalam ilmu surat, maupun dalam ilmu silat.
"Sudahlah, jangan mengantar terus," kata si pemuda sembari angkat kedua tangannya.
"Terima kasih, terima kasih."
Pengtjoan Thianlie jadi tersadar. Tanpa merasa, -ia ternyata sudah ikut menyeberangi
jembatan batu giok putih. Mendadakan saja mukanya jadi bersemu dadu dan berkata
dengan suara tawar: "Piara semangatmu, besok kita adu pedang lagi."
"Baiklah," kata ia sembari berjalan pergi dan di lain saat, ia sudah menghilang di antara
pepohonan.
Seperti orang yang kehilangan apa-apa, si nona berdiri di atas jembatan. Ia dongak ke
atas dan memandang itu lembaran-lembaran awan yang mengambang, dengan paras
muka sedih.
Sesudah si pemuda baju putih berlalu, Thian Oe jadi masgul lantaran ingat, bahwa
besok ia sudah mesti meninggalkan tempat itu. Ia lantas balik ke kamarnya buat
mengasoh. Selagi rebah-rebahan, mendadak seorang dayang datang dan
memberitahukan, bahwa Pengtjoan Thianlie undang ia bersantap malam.
Dalam beberapa hari itu, barang santapan selamanya diantar oleh seorang dayang dan
ia selalu makan seorang diri dalam kamarnya. Maka itu, ia merasa agak heran mendengar
undangannya Pengtjoan Thianlie.
Tanpa berkata suatu apa, ia buru-buru salin pakaian dan ikut sang dayang pergi ke
keratonnya Pengtjoan Thianlie. Sesudah jalan bulak -belok, mereka tiba pada satu telaga
es. Di kakinya puncak gunung Nyenchin Dangla terdapat satu gunung api, sehingga
pemandangan dalam keraton adalah lain dari yang lain. Dengan hawanya yang hangat,
disitu terdapat bunga-bunga yang mekar sepanjang tahun dan rumput-rumput yang tetap
hijau sepanjang masa. Di tengah telaga terdapat teratai putih, teratai merah, bunga
Mantolo yang harum luar biasa, dan lain-lain bunga yang aneh-aneh. Di sebelahnya itu,
kepingan-kepingan es kelihatan kelap-kelip di tengah telaga, dan jika sang angin meniup
dengan perlahan, bebauan yang harum menyambar-nyambar ke dalam hidung. Sungguh
orang tak tahu, musim apa adanya itu? Apa musim semi, apa musim rontok, apa musim
dingin atau musim panas!
Di dekat telaga terdapat satu pendopo yang terbuat dari batu giok putih mulus. Disorot
dengan sinar matahari magrib, pendopo itu mengeluarkan warna-warni yang luar biasa
indahnya.
Di tengah pendopo dipasang satu meja makan, dimana terlihat, di sebelahnya
Pengtjoan Thianlie, Thiekoay sian suami isteri. Thian Oe lantas memberi hormat dan
mengambil tempat duduk di samping gurunya. Selain masih sedikit layu, paras mukanya
Thiekoay sian sudah pulih seperti biasa.
"Keadaan gurumu sekarang sudah tidak berbahaya lagi," kata Pengtjoan Thianlie.
"Terima kasih dan itu semua adalah berkat bantuannya Oen-giok yang usianya laksaan
tahun," kata Thiekoay sian. "Kalau tidak ada mustika itu, aku masih harus mengasoh
beberapa hari lagi." Suaranya tawar sekali yang mana menandakan perasaan
berdongkolnya, sebab Pengtjoan Thianlie sudah bataskan tempo berdiamnya dalam
keraton es. Pengtjoan Thianlie lirik padanya dan berkata lagi: "Masih ada sedikit hawa
dingin yang belum habis. Kau masih harus minum air godokan rumput Sinlongtjo. Rumput
itu bisa didapat di sebelah
selatan Puncak Es dan besok aku akan titahkan dayang antar In Tjin tjietjie pergi
memetiknya." "Terima kasih," sahut In Tjin dengan pendek.
"Besok aku sudah janjikan orang buat mengadu pedang di bawah Puncak Es dan
mungkin pulangnya laat sekali," kata Pengtjoan Thianlie. "Lusa pagi kalian harus
berangkat, maka itu, aku siapkan meja perjamuan ini buat memberi selamat jalan."
Thiekoay sian suami isteri lantas saja bangun berdiri dan membungkuk sebagai
pernyataan terima kasih. Sikap mereka kaku sekali, tapi Pengtjoan Thianlie kelihatannya
tidak memperdulikan.
Setelah undang tetamunya minum segelas arak, ia berkata: "Thiekoay sian, kau sudah
berkelana di seluruh negeri dan kenal baik segala ilmu pedang dari macam-macam partai.
Sekarang aku menemui semacam ilmu pedang, yang aku tak kenal. Apa kau tahu ilmu
pedang apa
adanya itu?" Sehabis berkata begitu, ia lalu petakan beberapa macam pukulan yang luar
biasa. "Ilmu pedang itu adalah ilmu pedangnya si pemuda yang sudah janjikan aku buat
mengadu pedang," ia sambung keterangannya. "Selain itu, ia mempunyai senjata rahasia
yang juga luar biasa. Senjata itu mengeluarkan sinar emas hitam!"
"Aku tahu. In Tjin sudah dengar penuturannya dayangmu," sahut Thiekoay sian.
"Jika kau kenal, coba beritahukan padaku namanya ilmu pedang itu," kata Pengtjoan
Thianlie. "Dan lagi, apa namanya senjata rahasia itu? Apa di dalamnya tidak terdapat
cacat yang bisa diserang?"
"Oh, kalau begitu kau mau minta pengajaranku?" kata Thiekoay sian dalam hatinya.
"Biarlah aku gertak padanya!" Memikir begitu, ia lantas saja berkata: "Ilmu pedang itu
adalah ilmu pedang Thiansan yang kesohor di kolong langit. Kiamhoat tersebut adalah
gubahan tjianpwee Hoei Beng Siansu, yang telah petik sarinya berbagai macam ilmu
pedang dan tambah sama gubahannya sendiri. Di kolong langit ini, tidak ada satu manusia
yang dapat pecahkan ilmu pedang itu!"
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung dan berkata: "Oh, kalau begitu Thiansan
Kiamhoat!" Harus diketahui bahwa ayahnya Pengtjoan Thianlie dahulu pernah dikalahkan
oleh Tong Siauw Lan dan Phang Eng dari Thiansan pay. Itulah sebabnya ia sudah kabur
ke Tibet dengan niatan memetik ilmu pedang daerah Barat buat dicampur sama Tatmo
Kiamhoat, akan kemudian digubah menjadi semacam ilmu pedang baru guna diadu lagi
sama Thiansan Kiamhoat. Sedari kecil Pengtjoan Thianlie sudah dengar namanya
Thiansan pay dan tak diduga, pemuda itu adalah orang dari partai tersebut. 91
"Senjata rahasia itu mempunyai asal-usul yang lebih besar lagi," Thiekoay sian
sambung keterangannya. "Namanya Thiansan Sinbong dan bahannya cuma bisa didapat
di Thiansan. Bukan emas dan juga bukan besi, tapi sifatnya lebih keras dan emas dan
besi. Bentuknya juga macam-macam, ada yang panjang seperti anak panah, ada yang
bundar seperti mutiara. Dahulu Leng Bwee Hong Tayhiap mendapat nama besarnya
lantaran Thiansan Sinbong dan dari sini bisa dilihat liehaynya senjata rahasia itu."
Mendengar pujiannya Thiekoay sian, Pengtjoan Thianlie mendeluh dan berkata dengan
suara tawar: "Ah, belum tentu tak ada tandingannya di kolong langit!"
"Dengan ilmu silatmu yang merangkap dua macam ilmu silat, mungkin sekali masih
setanding," kata Thiekoay sian. "Cuma saja dalam dunia persilatan, jika kita menemui
lawanan tangguh, pada sebelum ingat kemenangan, lebih dahulu kita harus berjaga-jaga
akan kekalahan, maka itu, terlebih baik kau berlaku sedikit hati-hati." Dengan berkata
begitu, Thiekoay sian seperti juga mau bilang, ia bukan tandingannya pemuda tersebut.
Pengtjoan Thianlie merasa tak senang dan kembali ia keluarkan suara di hidung.
Sebenarnya ia mau tanyakan dua rupa hal. Pertama, asal-usul ilmu pedangnya pemuda
itu, dan kedua, cacatnya ilmu pedang tersebut. Sekarang, soal pertama ia sudah
mengetahui, tapi dalam soal kedua,
menurut Thiekoay sian ilmu pedang itu sudah mencapai puncak kesempurnaan dan sama
sekali tidak ada cacatnya. Maka tidaklah heran ia jadi merasa sangat berdongkol dan
berkata dengan suara kaku: "Dalam dunia tidak ada ilmu pedang yang tidak dapat
dipecahkan. Setiap ilmu silat mesti ada lawannya yang dapat menaklukinya. Tapi biar
bagaimanapun juga, aku harus menyatakan terima kasih buat segala pengunjukanmu.
Sekarang marilah aku undang kalian suami isteri minum kering tiga cangkir arak. Pertama
buat membilang terima kasih, dan kedua, buat memberi selamat jalan." Seorang dayang
lantas menuang arak dan mereka lalu minum kering tiga gelas.
Mendadak terjadi perubahan pada dirinya Tjia In Tjin, yang seperti juga tidak kuat tahan
pengaruhnya alkohol. Ia bangun dan menuju ke pinggir telaga, tapi sebelum sampai disitu,
ia sudah muntahkan arak dan makanan dari dalam perutnya.
"Arak itu dibuat olehku sendiri dengan mengambil sarinya ratusan bunga," kata
Pengtjoan Thianlie. "Sifatnya halus sekali dan bukannya arak yang keras. Kenapa In Tjin
tjietjie jadi tak tahan?"
Dengan badan bergoyang-goyang dan satu tangannya memegang uluhati, Tjia In Tjin
balik ke meja perjamuan dengan muka pucat.
"Kenapa?" tanya Thiekoay sian. Mukanya si isteri menjadi merah, tapi tidak menyahut.
Dilihat macamnya, ia sama sekali bukan mabok arak. Pengtjoan Thianlie lantas perintah
satu dayang ambil es dan selampe, tapi In Tjin goyang tangannya dan berkata: "Tak usah!
Tak usah!"
"Bukankah kau mabok arak? Dikompres sama es, maboknya bisa lantas hilang," kata
Pengtjoan Thianlie.
Mukanya In Tjin jadi semakin merah. Ia cuma geleng-gelengkan kepalanya. Melihat
begitu, sang suami agak mendusin dan lantas berkata: "Ah, aku tahu. Coba aku tebak
penyakitmu."
Kuatir suaminya bicara terus terang, buru-buru In Tjin berbisik: "Jangan ribut! Aku... Aku
ada..."
"Ada apa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
In Tjin jadi semakin kemalu-maluan. Hal yang sebenarnya, ia sedang ngidam dan baru
saja hamil. Mereka sudah menikah banyak tahun dan usianya Thiekoay sian sudah
mendekati setengah abad, tanpa mempunyai anak. Maka itu, tentu saja ia jadi girang
sekali, dan dalam kegembiraannya, ia keja jatuh cangkir arak, untung tidak sampai pecah.
Melihat begitu, Thian Oe dan Pengtjoan Thianlie jadi sangat heran.
"Ada soal apa kau bergirang sampai begitu?" tanya si nona sembari melirik.
"Kesehatanmu belum pulih betul, tidak boleh terlalu girang atau terlalu gusar. Baiklah,
sekarang sudah laat, aku harus lantas balik ke keraton. Lusa pagi kalian boleh lantas
turun gunung dan tak usah menemui aku lagi."
Perjamuan lantas dibubarkan dengan kurang kegembiraan. Malam itu, Pengtjoan
Thianlie tak dapat tidur pulas, begitu juga Thian Oe. Hatinya sedih lantaran ingat, lusa pagi
ia sudah mesti berlalu dari tempat itu. Ia ingat besok Pengtjoan Thianlie dan pemuda baju
putih itu akan bertempur kembali. Hatinya ingin sekali menyaksikan keramaian itu, tapi ia
tak tahu, apa
Pengtjoan Thianlie kasih permisi atau tidak. Ia ingat juga Chena, itu gadis Tsang yang
luar biasa dan sangat menarik hatinya. Rupa-rupa pikiran mengaduk dalam otaknya. Ia
meramkan kedua matanya, tapi sebaliknya dari pulas, ia jadi semakin segar.
Dengan perasaan kewalahan, ia lalu bangun, pakai baju luarnya dan keluar jalan-jalan
di dalam taman. Tanpa merasa, kakinya menuju ke arah gedung yang aneh itu. Rembulan
yang sangat terang menyelimuti bumi dengan sinarnya yang seperti perak. Mendadak ia
dengar suara tindakan dan buru-buru ia mengumpat di belakangnya satu gunung-
gunungan. Di lain saat, pintunya gedung itu mendadak terbuka dan seorang wanita yang
memakai baju putih kelihatan keluar. Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie sendiri.
Dari Chena, Thian Oe sudah mengetahui bahwa saban malam Tje-it, Pengtjoan
Thianlie masuk ke gedung itu seorang diri dan berdiam kurang lebih satu jam lamanya.
Apa yang dilakukan olehnya, tidak diketahui oleh siapa juga.
"Ah, kalau ia tahu aku mengumpat disini, ia tentu akan menuduh aku mau curi
rahasianya," kata Thian Oe dalam hatinya. "Adatnya sangat luar biasa. Ia tentu akan
memberi hukuman berat!" Thian Oe jadi ketakutan. Ia tak berani bergerak dan tahan
napasnya.
Dengan paras muka sedih, Pengtjoan Thianlie jalan mendekati tempat mengumpatnya
Thian Oe. Jantungnya Thian Oe mengetok lebih keras. Mendadak, dalam jarak kurang
lebih setombak dari Thian Oe, ia berhenti dan keluarkan satu seruan perlahan. Thian Oe
terbang semangatnya dan keringat dingin mengucur keluar dari dahinya, la duga,
Pengtjoan Thianlie sudah mengetahui tempat
mengumpatnya. Dengan hati berdebar, ia mengintip dari sela-sela batu. Matanya
mendadak lihat bayangannya seorang wanita lain, yang sedang menuju ke arah utara
barat, yaitu ke jurusan gedung tempat mengasohnya. Thian Oe terkejut.
"Chena! Kenapa tengah malam buta kau masih jalan-jalan?" demikian kedengaran
Pengtjoan Thianlie menanya.
Thian Oe lega. "Chena tentulah mau cari aku," kata ia dalam hatinya. "Tak tahu, ia mau
omong apa. Ah, tinggal besok sehari. Lusa sudah tak dapat bertemu lagi dengan ia."
"Thianlie tjietjie," demikian kedengaran Chena menyahut. "Aku cari kau terputar-putar,
tak tahunya kau berada disini."
Thian Oe mesem. Gadis itu ternyata pandai juga berdusta.
"Ada apa kau cari aku?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Apa tjietjie sudah mempunyai pegangan buat kalahkan musuh?" Chena balas
menanya.
"Oh, kalau begitu kau pikirkan soal itu?" kata Pengtjoan Thianlie. "Legakan hatimu.
Walaupun andaikata aku tidak bisa menang, tapi aku pun tidak akan sampai kena
dijatuhkan oleh pemuda itu."
"Maka itulah..." Kata Chena seraya tertawa, tapi tidak teruskan omongannya.
"Maka apa?"
"Maka itulah, pertempuran besok tentu luar biasa menariknya," kata Chena. "Aku ingin
sekali...
Aku kepengen..."
"Ingin nonton?"
"Benar, tjietjie," kata Chena. "Aku anggap, kalau tidak saksikan pertempuran itu,
mungkin selama hidupku, aku tak akan dapat saksikan pertempuran yang sedemikian
hebatnya."
Hatinya Pengtjoan Thianlie sebenarnya lagi pepat sekali. Tapi melihat Chena begitu
pandang tinggi pertempuran antara ia dan si pemuda dan begitu kagumi ilmu pedangnya,
tanpa terasa ia jadi tertawa. "Aku sebenarnya tidak permisikan siapa juga pergi melihat,
tapi sekarang aku bikin kecualian," kata ia. "Baiklah, besok kau dan seorang dayangku
boleh nonton dari puncak gunung di sebelah barat."
"Bukankah puncak gunung itu jaraknya jauh sekali dari tempat adu pedang?" tanya
Chena dengan suara agak tidak puas.
"Puncak itu memang tinggi dan dari situ kau dapat saksikan jalannya pertempuran,"
kata Pengtjoan Thianlie. "Terhadap kau, aku sudah bikin kecualian itu. Apa kau masih
belum merasa puas? Mari, ikut aku pulang. Aku akan ajarkan lagi serupa ilmu pedang.
Aku sudah janji akan ajar kau tiga hari lagi. Sesudah pelajaran ini, aku sudah penuhi janji
itu."
Mereka berdua lantas berjalan pergi. Keadaan kembali sunyi senyap. Sesudah
mengumpat beberapa lama lagi, barulah Thian Oe berani keluar. Wewangian yang keluar
dari rumah aneh itu jadi semakin keras dan seakan-akan mempunyai serupa tenaga
membetot. Tanpa merasa Thian Oe menghampiri pintunya dan tangannya meraba-raba
gelang-gelangan pintu. Gelang-gelangan pintu ternyata bisa terputar. Iseng-iseng ia putar-
putar dan sesudah memutar dua kali, sang pintu mendadak bergerak dan terbuka
sendirinya!
Thian Oe kaget dan mau lantas lari, tapi setahu bagaimana, kakinya seperti juga
dibetot. Ditambah dengan keinginan mengetahui rahasia gedung itu, tanpa merasa ia
sudah bertindak masuk.
Keadaan dalam gedung itu seperti juga sebuah gereja. Di tengah-tengah terdapat
patungnya seorang wanita yang mukanya bundar seperti rembulan, sedang rambutnya
yang berwarna emas terurai di kedua pundaknya. Dari mukanya ternyata wanita itu adalah
seorang wanita asing.
Selagi Thian Oe memandang dengan penuh keheranan, mendadak ia dengar suara
orang batuk di belakangnya.
Ia menengok dan Pengtjoan Thianlie berdiri disitu dengan paras muka sangat gusar!
Semangatnya Thian Oe terbang. "Nyalimu benar besar," Pengtjoan Thianlie berkata
dengan
suara tawar. "Mau apa kau masuk kesini?"
Thian Oe gugup dan menyahut dengan suara terputus-putus: "Aku... aku... tidak tahu
tidak boleh masuk kesini."
Pengtjoan Thianlie keluarkan suara di hidung. "Tak tahu?" ia menegasi. "Chena belum
pernah beritahukan kau? Aku tak percaya! Kalau dia tidak memberitahukan, dialah yang
bersalah. Aku nanti tanyakan dia. Aku tak percaya Chena begitu ceroboh. Hayo, bicara
saja terus terang, jangan salahkan orang yang tidak berdosa."
Thian Oe memang tidak biasa berdusta dan di sebelahnya itu, ia juga kuatir Pengtjoan
Thianlie nanti salahkan Chena. Maka itu, lantas saja ia berkata: "Benar, barusan aku
berdusta. Pada hari pertama, Chena sudah memberitahukan."
Pengtjoan Thianlie jadi semakin gusar. "Tapi kenapa kau toh sudah mencuri masuk?" ia
membentak. "Hm! Kau orang, guru dan murid, memang bukannya orang baik. Apa gurumu
yang ajar kau masuk kesini?"
"Bukan," jawab Thian Oe. "Aku sendiri yang mau masuk disini. Disurung dengan hati
yang kepengen tahu, tanpa merasa aku sudah masuk kesini."
Sesudah bicara begitu, keberanian Thian Oe pulang kembali. Sekarang ia dapat
memandang keadaan disitu dengan hati yang lebih tenang. Di empat pojokan gedung itu
dipasang lampu-lampu, sedang pada temboknya terdapat mutiara-mutiara yang
mengeluarkan sinar terang. Sesudah berdiam beberapa hari di keraton es, baru ini kali
Thian Oe lihat Pengtjoan Thianlie gusar. Kedua sinar matanya yang tajam dan dingin
seperti es seperti juga menembus sampai pada uluhatinya.
Mendadak ia rasakan lehernya ditepuk dan sekujur badannya jadi kesemutan dan
lemas. Ternyata badannya sudah diangkat naik oleh Pengtjoan Thianlie. Di bawah
pimpinan Siauw Tjeng Hong, ia sudah belajar silat tujuh atau delapan tahun lamanya.
Dalam kalangan Kangouw yang biasa, ilmu silatnya sudah boleh dibilang lumayan. Tapi
sekarang, menghadapi Pengtjoan Thianlie, ia sama sekali tidak berdaya dan badannya
diangkat begitu rupa, seperti juga anak ayam disambar ulung-ulung.
"Kalau toh kau suka datang kesini, biarlah kau jangan keluar lagi!" kata Pengtjoan
Thianlie dengan suara tawar. Sehabis berkata begitu, ia putar badannya Thian Oe dua kali
di tengah udara. Thian Oe rasakan kepalanya puyeng dan sebelum dapat berbuat suatu
apa, ia rasakan badannya ambruk, sebab Pengtjoan Thianlie sudah banting ia ke atas
lantai. Thian Oe keluarkan teriakan ngeri, semangatnya terbang dan ia duga jiwanya akan
segera melayang. Tapi, begitu lekas badannya mengenakan lantai, disitu mendadak
terbuka satu lubang dan badannya lantas masuk ke dalam lubang itu. Waktu jatuh di dasar
lubang, ia rasakan sakit, tapi belakangan ternyata tidak mendapat luka yang berarti.
Ia bangun dengan perlahan. Gua itu gelap petang. Ia tak dapat lihat tangannya sendiri.
Lubang di atas sudah tertutup kembali. Beberapa saat kemudian, sayup-sayup ia dengar
suara tindakan. Rupanya Pengtjoan Thianlie sudah berlalu dari situ.
Belum berapa lama, hawa dingin dan hawa basah menyerang hebat sekali. Buru-buru
ia bersila dan jalankan pernapasannya. Baik juga ia sudah mempunyai dasar ilmu dalam
(lweekang), sehingga beberapa saat kemudian ia rasakan badannya jadi cnakan dan tidak
begitu menderita lagi dari hawa dingin dan basah itu.
Perasaan takut dan menyesal mengaduk dalam pikirannya Thian Oe. Mengingat
perkataan "kau jangan keluar lagi," ia jadi bergidik. Apa benar ia bakal dipenjarakan disitu
seumur hidup? Ia lantas saja ingat ayahnya, gurunya, soenio-nya (Tjia In Tjin) dan Chena.
Dengan mereka itu, ia tak akan dapat bertemu kembali! Thian Oe sebenarnya masih
bersifat satu bocah. Mengingat begitu, ia lantas saja kucurkan air mata dan menangis
segak-seguk.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, kupingnya mendadak dengar suara tindakan
orang di atas. Ia susut air matanya dan berkata dalam hatinya: "Ah, kalau Pengtjoan
Thianlie lihat aku menangis, ia tentu akan tertawakan aku." Ia tidak merasa sakit hati, tapi
ia pun sungkan perlihatkan kelemahannya di hadapan Pengtjoan Thianlie. Berpikir begitu,
ia segera bersila dan meramkan kedua matanya.
Suara kaki yang barusan kedengaran mendekati, sekarang jadi semakin jauh dan
akhirnya tidak kedengaran lagi. Thian Oe tentu saja tidak mengetahui, bahwa suara kaki
itu adalah tindakannya Chena dan satu dayangnya Pengtjoan Thianlie. Ilmu silat mereka
belum seberapa tinggi dan tindakannya masih berat, sehingga Thian Oe dapat
mendengarnya. Mereka berdua bangun sebelum fajar dan buru-buru pergi ke puncak
gunung yang terletak di sampingnya Puncak Es, buat saksikan adu pedang antara
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih yang akan dilangsungkan pada waktu tengah
hari.
Dengan perasaan kecewa, Thian Oe terus bersemedhi. Tidak lama kemudian,
kupingnya dapat dengar suara nyanyiannya burung-burung yang baru sadar dari tidurnya.
Mendengar nyanyian itu, hatinya Thian Oe kembali jadi sedih dan ia berkata dalam
hatinya:
"Satu penyair ahala Tong ada bilang:
‘Tidur di musim semi, tak tahu datangnya sang fajar, di segala tempat terdengar suara
nyanyian burung-burung, semalam turun hujan dan angin, tahukah kau berapa banyak
bunga jatuh berhamburan?’
Keadaan diluar tentulah indah sekali, akan tetapi keadaanku sekarang justru sebaliknya
dari keindahan itu. Dengan mendengar suaranya burung-burung itu, langit tentunya sudah
menjadi terang. Semalam Chena mencari aku, tapi manalah ia tahu, sekarang aku sedang
terkurung disini
dan seluruh malam belum dapat pulas barang sekejap! Semalam sama sekali tidak ada
hujan maupun angin. Tapi pengalamanku semalam adalah ibarat topan yang sangat
hebat!"
Demikianlah Thian Oe ngelamun seorang diri. Matanya pedas dan badannya lelah, tapi
ia tidak rasakan ngantuk. Ia duduk terpekur seorang diri dalam gua yang gelap itu dan
rasakan sang tempo jalan luar biasa perlahan.
Sesudah lewat lagi tak tahu berapa lama, ia mendadak ingat pula itu adu pedang antara
Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih. "Ah, sekarang tentunya mereka sudah
bertempur di kakinya Puncak Es," kata ia dalam hatinya. "Sayang sungguh kedua mataku
tidak mempunyai rejeki buat menyaksikan."
Mendadak, mendadakan saja di dalam tanah terdengar suara luar biasa, yang semakin
lama jadi semakin keras. Di lain saat, dinding gua bergoyang-goyang. Thian Oe terkesiap
dan hatinya penuh tanda tanya. Tiba-tiba dari dalam tanah muncul keluar hawa yang
panas. Ia jadi semakin heran. Suara gemuruh jadi semakin keras. Sekarang, bukan saja
dinding, tapi lantainya gua pun turut bergoyang-goyang. Sekonyong-konyong, dengan
satu suara gedubrakan, beberapa batu dinding mental keluar dan sinar matahari masuk
dari lubang itu! Badannya Thian Oe pun terpelanting di atas lantai lantaran goncangan
yang sangat keras.
"Ah, inilah gempa bumi!" Thian Oe berteriak dengan suara di tenggorokan.
Di bawah tanah dari wilayah Tibet memang banyak terdapat gunung-gunung api yang
masih bekerja. Itulah sebabnya, maka di Tibet sering terjadi gempa bumi besar dan kecil.
Thian Oe juga mengetahui kenyataan itu, akan tetapi ia sendiri belum pernah mengalami
kejadian tersebut. Mengingat gempa bumi, semangatnya Thian Oe kembali terbang.
Badannya jadi gemetar. Rasa takutnya malahan melebihi itu rasa takut, ketika ia baru
dipergoki oleh Pengtjoan Thianlie dalam rumah terlarang itu.
Di lain saat, satu suara menggeleger yang luar biasa hebatnya terdengar. Suara itu ada
terlebih hebat dari apa yang satu manusia pernah bayangkan. Bumi bergoyang-goyang
dan seakan-akan segera terbalik. Seperti orang kalap, Thian Oe tutup kedua kupingnya.
Kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang dan ia roboh dalam keadaan pingsan!
Perlahan-perlahan ia sadar. Dengan hati kebat-kebit, ia merayap keluar dari dinding
yang melekah. Ia lihat udara ditutup dengan semacam debu warna kuning, sehingga
sinarnya matahari turut berwarna kuning. Dilihat dari duduknya matahari, itu tempo sudah
magrib. Thian Oe lantas kerahkan tenaganya buat kasih jalan darahnya. Ia bangun berdiri
dan jalan beberapa tindak sambil memandang keadaan di seputarnya.
Itu gedung aneh yang atapnya lancip sudah miring dindingnya, tapi tidak sampai roboh.
Thian Oe tidak mempunyai kegembiraan lagi buat masuk ke dalamnya, tapi lantas pergi
ke taman sambil berlari-lari. Disitu banyak sekali gunung-gunungan dan batu-batu hiasan
yang pada terguling dan rusak. Beberapa keraton juga sudah berobah jadi tumpukan
puing, tapi ada juga yang masih utuh. Thian Oe memanggil-manggil sekeras suara, tapi
tidak mendapat jawaban. Seluruh keraton es jadi sunyi senyap. Bukan main takutnya
Thian Oe. Ia berlari-lari ke sana-sini seperti orang gila, mulutnya memanggil-manggil
Chena dan gurunya, tapi tak satu manusia ia dapat ketemukan, malahan burung-burung
dan binatang-binatang lainnya juga rupanya sudah pada kabur.
Dan ketika Thian Oe dongak, kedua matanya lihat satu pemandangan yang lebih
mengejutkan lagi. Itu Puncak Es yang putih dan menjulang ke awan, yang tadinya
berhadapan dengan keraton es, sekarang sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya
lagi! Puncak Es itu, yang siang malam pancarkan sinar dingin, merupakan salah satu
pemandangan luar biasa dari pegunungan Nyenchin Dangla. Thian Oe ketakutan, tapi
sekarang ketakutannya itu dicampur dengan perasaan sayang.
Ia lalu naik ke tempat yang lebih tinggi dan memandang ke arah yang lebih jauh.
Secara menakjubkan, di selebar gunung, balokan-balokan es raksasa masih terus
menggelinding ke bawah. Ia juga lihat bahwa di seputar keraton bertambah banyak sekali
batu besar. Ia mengetahui, bahwa batu-batu itu terbang melayang waktu Puncak Es
sedang roboh. Masih untung ada beberapa keraton yang tidak ketimpa batu dan keraton-
keraton itulah yang masih tinggal utuh.
Melihat perobahan yang hebat itu, Thian Oe jadi kcsima dan bengong sekian lama. Ia
ingat, waktu Puncak Es yang tingginya ribuan tombak ambruk, Pengtjoan Thianlie dan si
pemuda baju
putih tentunya juga sedang bertempur di kakinya puncak tersebut. Ketimpa secara begitu,
bukankah badan mereka dengan segera jadi perkedel? Walaupun ia baru saja kena
disemprot dan dihukum oleh si jelita, akan tetapi mengingat kecantikannya, usianya yang
masih begitu muda dan kepandaiannya yang sedemikian tinggi, tanpa merasa Thian Oe
dongak ke atas dan berkata dengan suara gemetar "Oh, Thian, kenapa begitu tega?" la
juga ingat Chena yang menonton pertempuran dari puncak gunung yang terletak di
sebelahnya Puncak Es. Apakah ia bisa terlolos dari mala petaka itu? Depan matanya
lantas saja terbayang senyuman aneh dari gadis Tsang itu, yang ia pertama bertemu di
atas padang rumput. Dan di sebelahnya Chena, berbayang pula Pengtjoan Thianlie yang
cantik dan agung laksana ratu. Thian Oe bergidik dan tak berani ngelamun terlebih jauh.
Lantaran perutnya lapar, Thian Oe lalu petik dua buah, yang sesudahnya dimakan,
memberikan ia tenaga baru. Ia kembali jalan terputar-putar seraya memanggilmanggil,
dengan harapan kalau-kalau bisa bertemu manusia yang masih hidup. Tapi jangan kata
manusia, binatang pun ia tidak ketemu. Cuma pohon-pohon dan bunga-bunga masih tetap
seperti kemarin, masih terus siarkan keharumannya yang luar biasa. Yang paling
mengherankan Thian Oe adalah: Sesudah berputaran di seluruh keraton, ia tidak
ketemukan barang satu mayat! Apakah semua dayang dari seluruh keraton dapat
menghilang dengan begitu saja? Taruh kata mereka semua binasa ketimpa reruntuk
rumah atau batu-batu besar, mayatnya mesti dapat diketemukan juga. Walaupun tidak
banyak, satu dua toh mestinya dapat diketemukan. Tapi kenyataannya: Thian Oe tak
ketemukan barang satu mayat! Andaikata mereka bisa kabur, sekarang toh mestinya
sudah ada yang pulang buat lihat-lihat keadaan. Waktu itu, rembulan sudah naik tinggi dan
belum ada barang satu manusia yang kelihatan balik. Itulah benar-benar membikin Thian
Oe jadi pusing sekali. Ia tidak mengerti apa artinya semua kejadian itu.
"Apa kau sedang mengimpi?" ia tanya dirinya. Ia gigit jerijinya dan segera berteriak
kesakitan. Nyatalah ia bukannya lagi mengimpi!
Puteri Malam naik semakin tinggi dan debu kuning yang muncrat keluar dari peledakan
gunung dengan perlahan disapu bersih oleh sang angin malam. Di bawah sinar rembulan
yang laksana perak, keraton es masih tetap indah, biarpun keindahan sekarang adalah
kenangan yang menyedihkan. Thian Oe kembali jadi seperti orang kalap. Ia berlari-lari lagi
sembari memanggil-manggil. Ia agaknya tidak mengenal capai.
Tiba-tiba di antara kesunyian malam yang menyeramkan, satu suara perlahan
kedengaran:
"Oe-djie, apakah kau?"
Hatinya Thian Oe terkesiap. Suara itu adalah seperti barang yang paling berharga
dalam dunia ini. Ia memburu ke tempat dari mana suara itu datang, yaitu dari bawah
reruntuknya satu kamar yang roboh.
Thian Oe buru-buru gali puing itu dan didalamnya ia ketemukan Thiekoay sian yang
rebah dengan pakaian ternoda darah.
"Soehoe! Kau?" tanya Thian Oe dengan suara terharu.
"Benar. Aku," jawab sang guru. "Coba minta sedikit makanan. Oh, ambil air lebih
dahulu." Thian Oe lantas petik dua buah dan gunakan selembar daun buat ambil air
telaga yang lantas
diberikan kepada gurunya. Sesudah mengasoh beberapa saat, Thiekoay sian berkata:
"Kita berdua guru dan murid, sekarang sudah lolos dari mala petaka. Tapi apakah masih
ada lain orang yang hidup?"
Thian Oe lantas saja tuturkan segala pengalamannya. Thiekoay sian menghela napas
dan berkata pula: "Pengtjoan Thianlie telah bilang, bahwa ia tidak akan turun gunung,
kecuali jika Puncak Es roboh. Sekarang puncak itu sudah ambruk, cuma barangkali ia
sudah terpendam buat selamanya dan tidak dapat lagi turun gunung." Sehabis berkata
begitu, ia ingat isterinya yang sedang cari obat, ketika terjadinya gempa bumi. Mengingat
begitu, hatinya jadi sangat kuatirkan keselamatannya sang isteri.
"Soehoe, apa kau terluka?" tanya Thian Oe.
"Masih bagus cuma luka sedikit kena ketimpa batu," sahut sang guru. Tapi sebenarnya,
lukanya Thiekoay sian tidaklah enteng. Sedang kesehatannya belum pulih, ia kembali
mesti terima goncangan hebat di dalam tubuhnya lantaran gempa bumi itu. Walaupun
berkat lweekang-nya yang sangat dalam, ia masih dapat selamatkan jiwanya, akan tetapi
tenaga latihan sepuluh tahun
jadi musnah karenanya. Dan kalau Thiekoay sian masih dapat berjalan, itu hanya terjadi
berkat pertolongan sang tongkat.
Dengan perlahan guru dan murid berjalan didalam keraton dengan mulut terus
memanggil-manggil, tapi hasilnya nihil.
"Aku mendadak rasakan tanah goyang pada waktu sedang melatih diri di dalam kamar
buat mengobati lukaku," demikian Thiekoay sian tuturkan pengalamannya. "Sesudah itu,
aku dengar suara berlari-larinya dan teriakan para dayang, dan di antara teriakan itu, aku
dengar suara orang memanggil-manggil namaku. Ketika itu, latihanku sedang mencapai
puncak yang sangat penting, dan jika aku menyahut, akibatnya bisa hebat sekali. Maka itu
aku teruskan latihan itu. Selagi aku mau akhiri latihan menurut peraturan dan kemudian
mau pergi keluar.buat menanyakan, kejadian hebat sudah keburu terjadi. Kamarku sendiri
turut ambruk."
Mendengar keterangannya sang guru, Thian Oe jadi menarik kesimpulan, bahwa pada
waktu terjadinya gempa bumi, di dalam keraton masih terdapat banyak dayang. Tapi
kemana perginya mereka?
Sesudah mengasoh semalaman, pada hari kedua, mereka keluar buat membikin
pemeriksaan terlebih lanjut. Kecuali beberapa keraton yang roboh, kerugian harta benda
agaknya tidak terlalu besar. Kawanan burung juga sudah mulai balik kesitu. Persediaan
bahan makanan didalam keraton adalah lebih dari cukup, sehingga mereka boleh tidak
usah kuatir.
"Soehoe, apa yang kita harus perbuat?" tanya Thian Oe sesudah selesai dengan
pemeriksaannya.
Thiekoay sian tertawa getir dan berkata: "Menurut perintahnya Pengtjoan Thianlie, hari
ini aku mesti turun gunung. Akan tetapi, dengan kepandaianku seperti sekarang ini, aku
tak akan bisa turun gunung pada sebelumnya berlatih sepuluh tahun lamanya."
Thian Oe lantas ingat bahayanya sungai es yang tidak akan dapat dilewati oleh orang
yang tidak mempunyai ilmu silat sangat tinggi atau oleh orang yang tidak mengetahui
sifatnya sang air.
"Oleh karena terjadinya perobahan yang tidak terduga, maka kita tidak dapat berbuat
lain daripada langgar perintahnya Pengtjoan Thianlie," kata lagi Thiekoay sian sembari
tertawa getir. "Kita tidak dapat berbuat lain daripada terus berdiam disini. Aku cuma
berharap Pengtjoan Thianlie masih hidup, supaya ia dapat menolong kita keluar dari
tempat ini." Tapi harapan itu hanya tinggal harapan belaka. Sesudah lewat tujuh hari,
jangan sentara Pengtjoan Thianlie, dayangnya saja tak seorang yang muncul. Selama
hari-hari itu, Thiekoay sian terus menerus berlatih dan akhirnya ia dapat usir keluar sisa
hawa dingin yang masih mengeram dalam tubuhnya.
Tak usah dibilang lagi, Thian Oe bukan main merasa kesepian. Hari itu, ia kembali
berada di depannya itu gedung yang penuh rahasia. Sebagaimana diketahui gedung itu
belum roboh, cuma dindingnya saja yang sudah miring. Mengingat pengalamannya,
sebenarnya Thian Oe tidak mempunyai perasaan senang terhadap gedung itu, akan tetapi
ia merasa tidak tahan buat tidak tolak pintunya dan masuk ke dalam.
Keadaan dalam gedung masih tetap seperti sediakala. Patungnya wanita itu masih
berdiri seperti biasa. Sekarang, tanpa kuatirkan suatu apa, ia dapat meneliti keadaan
disitu. Ia lihat pada dinding yang miring penuh dengan macam-macam ukiran manusia
yang sedang bersilat dengan gunakan pedang. Diteliti dari gambar-gambar itu, gerakan-
gerakan ilmu pedang tersebut sangat berbeda dengan ilmu pedang yang dikenal di
Tiongkok.
"Inilah tentu ilmu pedang yang digubah oleh kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie,"
kata Thian Oe seorang diri. "Tidak heran kalau ia larang orang masuk kesini. Ia sering
datang buat bersembahyang. Patung itu tentulah patung ibunya."
Memikir begitu, asal-usulnya Pengtjoan Thianlie kelihatannya jadi lebih sulit lagi buat
diketahui. Sebab tidak niat belajarkan ilmu pedangnya lain orang, sesudah mengawasi
beberapa lama, Thian Oe segera keluar dari gedung itu buat pergi cari gurunya.
Sesudah berlatih tujuh hari, Thiekoay sian sudah dapat usir sisa hawa dingin dalam
tubuhnya. Biarpun tenaga dalamnya berkurang banyak, tapi sekarang ia dapat bergerak
pula dengan leluasa dan tidak usah lagi dapat pertolongannya tongkat.
Begitu bertemu dengan gurunya, Thian Oe segera ceritakan apa yang dilihat dalam
gedung aneh itu.
Buat beberapa saat Thiekoay sian tidak berkata apa-apa. Mendadak ia berkata: "Aku
rasa kau harus angkat satu guru lagi."
"Apa? Apa soehoe sudah tidak mau akui aku sebagai murid lagi?" tanya Thian Oe
dengan suara kaget.
"Bukan," kata Thiekoay sian. "Dengarlah perkataanku dahulu. Ilmu silat tidak ada
batasnya. Andaikata kau sudah dapatkan semua pelajaranku dan sudah mempunyai
kepandaian yang bersamaan dengan aku, toh kepandaianmu itu masih belum cukup buat
bertanding dengan ahli silat kelas utama. Jangan sentara Pengtjoan Thianlie dan itu
pemuda baju putih yang ilmu silatnya luar biasa tinggi, sedang kepandaiannya itu Ihama
jubah merah saja masih berada di sebelah atasanku."
Thian Oe tidak berkata apa-apa. la tahu gurunya bicara dengan sejujurnya.
"Kau tahu, tenaga dalamku belum pulih kembali," sang guru berkata pula. "Aku harus
berlatih lagi kira-kira sepuluh tahun, barulah ada harapan bisa turun dari gunung ini.
Dalam tempo sepuluh tahun, kalau ada musuh datang mengganggu, cara bagaimana kita
dapat melawannya. Itulah sebabnya kenapa aku ingin kau belajarkan lain macam ilmu
silat yang tinggi dan angkat lagi seorang guru lain."
"Dalam keraton es ini cuma terdapat kita berdua. Siapakah adanya guru baru itu?"
tanya Thian Oe dengan perasaan heran.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Thian Oe terkejut, tapi lekas juga ia mengerti maksudnya Thiekoay sian.
"Mati hidupnya Pengtjoan Thianlie belum ketahuan. Cara bagaimana kita boleh pelajari
ilmu pedangnya?" kata Thian Oe sembari gelengkan kepalanya.
"Justru lantaran begitu, kau mesti pelajari ilmu pedangnya," jawab Thiekoay sian.
"Cobalah kau pikir: Kalau Pengtjoan Thianlie benar sudah mati dan semua dayangnya pun
ikut binasa, bukankah ilmu pedang itu akan jadi hilang dari muka bumi? Buat menggubah
ilmu pedang yang luar biasa itu, ayah ibunya Pengtjoan Thianlie sudah gunakan banyak
tenaga, pikiran dan tempo. Kalau ilmu pedangnya sampai hilang dari muka bumi, di alam
baka rohnya kedua orang tua itu tentu tidak akan merasa senang. Selain itu, kehilangan
tersebut juga merupakan satu kerugian yang sangat besar bagi dunia persilatan."
Mendengar keterangan yang beralasan itu, Thian Oe merasa takluk terhadap gurunya
yang berpemandangan jauh. Maka itu, mereka berdua lalu pergi ke gedung itu buat
meneliti gambar-gambar di dinding.
Dapat dimengerti, bahwa ilmu pedang yang diukir itu ada sangat sulit dan tak mungkin
dapat dipelajari oleh orang yang belum mempunyai dasar-dasar yang kuat. Tapi Thiekoay
sian adalah murid utama yang mewarisi kepandaiannya Kanglam Tayhiap Kam Hong Tie.
Apa yang dipelajari oleh Thiekoay sian adalah ilmu silat yang tulen. Dalam dunia
persilatan, walaupun berbagai cabang mempunyai macam-macam cara yang istimewa,
akan tetapi dasar-dasarnya tidak berbeda banyak. Demikianlah, sesudah mempelajari tiga
hari lamanya, Thiekoay sian sudah dapat menyelami artinya gambar-gambar itu.
Lebih dahulu ia ajarkan Thian Oe ilmu melatih napas dari lweekeh (ilmu silat dalam).
Sesudah belajar tujuh delapan tahun di bawah pimpinan Siauw Tjeng Hong, Thian Oe
sudah mempunyai dasar-dasar lweekang. Ditambah dengan petunjuk-petunjuk Thiekoay
sian, ia dapat kemajuan sangat pesat dan dalam tempo sebulan, ia sudah siap sedia buat
mulai belajarkan ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Mulai waktu itu, setiap hari Thian Oe belajar dua rupa ilmu silat. Di waktu pagi, ia
belajar ilmu silatnya Thiekoay sian, sedang pada sorenya, ia belajar ilmu pedangnya
Pengtjoan Thianlie. Dengan kerepotan sedemikian, tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu.
Pada suatu malam, sedang Thiekoay sian berlatih sendirian, Thian Oe jalan-jalan di
dalam taman. Sinar rembulan terang sekali dan bunga-bunga siarkan bebauan yang
sangat harum. Sesudah selang beberapa bulan, keadaan dalam taman sudah mulai pulih
seperti dahulu, sedang burung-burung juga sudah pada balik kesitu.
Melihat pemandangan itu, hatinya Thian Oe jadi sedih sekali. Pada tiga bulan
berselang, adalah Chena yang ajak ia jalan-jalan dalam taman tersebut, tapi sekarang, ia
berada seorang diri,
sedang nasibnya gadis itu belum ketahuan bagaimana jadinya. Ia ingat juga itu dayang-
dayang yang seperti lenyap dari muka bumi.
Thian Oe jalan tanpa tujuan, sedang hatinya ngelamun ke sana-sini. Mendadak
hidungnya dapat endus semacam wewangian yang datang dari satu pojok taman.
Sesudah berdiam tiga bulan lamanya, ia sudah kenal baik segala tumbuh-tumbuhan yang
terdapat di situ. Ia sudah dapat membedakan wanginya macam-macam bunga. Tapi
wewangian yang baru ia endus adalah wewangian yang ia belum kenal. Dengan perasaan
heran, ia segera menuju ke pojok taman, dari mana harum-haruman itu datang.
Setibanya disitu ia lihat satu pohon besar yang berdiri mencil. Apa yang luar biasa
adalah pada pohon itu terdapat satu buah tunggal, besarnya seperti mangkok dan
warnanya merah terang. Buah itulah yang menyiarkan bau harum. Thian Oe segera panjat
pohon itu dan petik buah tersebut, yang harumnya seakan-akan menembus sampai ke
uluhatinya. Ia masukkan ke dalam mulutnya dan terus digigit. Buah itu ternyata bukan saja
harum dan manis luar biasa, tapi juga mempunyai semacam hawa menyegarkan yang
seakan-akan menembus sampai di pusarnya. Sesudah makan habis Thian Oe lalu turun
dan coba mencari-cari lagi. Tapi seluruh taman cuma terdapat satu pohon begitu yang
berbuah tunggal.
Lewat beberapa saat, mendadak ia rasakan perutnya sakit. "Apa aku kena makan buah
beracun?" tanya ia dalam hatinya dan lalu buru-buru pergi cari gurunya. Tapi baru saja lari
puluhan tindak, perutnya jadi semakin mules dan bersuara tak henti-hentinya. Ia tak tahan
lagi dan lalu buang-buang air besar.
Sesudah buang air besar, ia bangun dan berjalan pergi. Mendadak ia rasakan satu
perobahan yang benar-benar menakjubkan. Badannya dirasakan enteng luar biasa! Ia
coba-coba enjot badannya dan tubuhnya lantas melesat ke atas dan hinggap di atasnya
satu pohon besar. Tingginya pohon itu ada lebih dari dua tombak. Biasanya, paling tinggi
ia cuma dapat melompat kurang lebih satu tombak, tapi sekarang, sesudah makan buah
itu, dengan gampang ia dapat melompat dua tombak lebih.
Ia jadi kaget tercampur girang dan buru-buru cari gurunya, kepada siapa ia segera
tuturkan pengalamannya yang luar biasa.
Mendengar penuturan itu, Thiekoay sian segera jajal muridnya dan ternyata
omongannya tidak dusta. Sang guru juga turut bergirang dan berkata: "Keunggulan ilmu
pedangnya Pengtjoan Thianlie berdasarkan kegesitannya. Aku sebenarnya sedang pikiri
kau punya ilmu entengi badan yang belum mempunyai dasar yang kuat. Tak dinyana kau
sudah mendapat berkah yang begitu luar biasa! Sekarang, sebegitu jauh mengenai ilmu
entengi badan, walaupun kau belum bisa dapat menandingi Pengtjoan Thianlie dan itu
pemuda baju putih, sedikitnya kau sudah berada di sebelah atasanku!"
Pada esokan paginya, waktu berlatih lagi ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie, benar
saja ia rasakan latihannya berjalan banyak lebih licin berkat kegesitannya yang berlipat
ganda. Hari itu, sesudah makan malam, seorang diri ia pergi -lagi ke taman buat berlatih
pula dengan pedangnya. Semakin ia bersilat, semakin cepat gerak-gerakannya, dan
semua pukulan-pukulan yang sukar dapat ia jalankan secara otomatis.
"Sungguh indah ilmu pedang itu!" mendadak terdengar suaranya satu orang. Thian Oe
menoleh dan orang itu ternyata adalah Thiekoay sian.
"Kau sudah mendapat kemajuan pesat sekali," kata Thiekoay sian. "Kalau dilihat begini,
tidak usah sepuluh tahun, kita sudah bisa turun dari gunung ini. Cuma saja, biarpun ilmu
entengi badanmu sudah maju jauh, kuping dan mata belum terlatih cukup. Barusan,
sesudah aku berada dekat sekali denganmu, barulah kau mengetahui."
Sehabis berkata begitu, Thiekoay sian segera turunkan serupa ilmu buat melatih kuping
kepada muridnya itu. Dengan ilmu tersebut, orang dapat membedakan macam-macam
senjata seperti senjata rahasia, dengan cuma dengar suara anginnya senjata itu. Sesudah
memberi semua petunjuk secara terang, Thian Oe segera berlatih dengan ilmu baru itu.
"Sekarang aku mau coba padamu," kata Thiekoay sian. "Coba kau balik badan dan aku
akan datang dari sebelah belakang. Begitu dengar suaranya angin, kau mesti lantas
menimpuk dengan batu. Aku mau lihat, apa kau dapat menimpuk jitu atau tidak." Thiekoay
sian lantas pergi ke tempat yang agak jauh, sedang sang murid berdiri menunggu.
Lewat beberapa saat, Thian Oe mendadak dengar suara tindakan yang sangat enteng
mendatangi dari samping, la kaget dan kata dalam hatinya: "Kenapa terdengar
tindakannya dua orang? Apa soehoe sengaja keluarkan ilmu luar biasa, atau kupingku
belum terlatih baik?"
Sementara itu, suara tindakan jadi semakin dekat. Thian Oe tak sempat memikir
panjang-panjang lagi. Ia ayun tangannya dan menimpuk. Tiba-tiba terdengar suara
tertawa aneh dan batu itu terpukul balik. Didengar dari anginnya, batu itu menyambar ke
arah Thian Oe luar biasa cepatnya. Ia terkesiap dan tidak mengerti kenapa gurunya
menghantam begitu hebat.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar bentakannya Thiekoay sian: "Pendeta
jahat! Jangan lukakan muridku!" Berbareng dengan itu satu senjata rahasia menyambar
dan kebentrok dengan batu itu. Kedua-duanya kemudian jatuh kedalam telaga es.
Thian Oe berbalik. Segera juga ia jadi ternganga bahna kagetnya. Orang yang muncui
dari samping bukan gurunya, tapi itu pendeta jubah merah yang pernah datang ke keraton
es dan belakangan kena diusir oleh Pengtjoan Thianlie! Di belakangnya pendeta itu
mengikuti satu boesoe yang berusia muda. Kedua orang itu mengawasi ia sembari
menyeringai, sedang gurunya memburu dari sebelah belakang dengan paras muka kaget
dan heran.
Sembari tertawa tawar, pendeta itu ucapkan beberapa perkataan pada Thiekoay sian
yang tidak mengetahui apa yang dikatakan olehnya sehingga ia cuma geleng-gelengkan
kepalanya. Thian Oe yang mengerti juga sedikit bahasa Nepal lantas berkata: "Soehoe, ia
datang buat cari tahu dimana adanya Pengtjoan Thianlie."
Thiekoay sian segera menuding ke arah bekas Puncak Es dengan tongkatnya dan
gerak-gerakkan tangannya buat memberitahu, bahwa Puncak Es itu ambruk dan mungkin
Pengtjoan Thianlie sudah mati tertindih gunung yang ambruk itu.
Paras mukanya si pendeta lantas berobah gusar, sedang si boesoe ucapkan beberapa
perkataan sembari tunjuk-tunjuk Thiekoay sian. Pendeta itu kelihatan jadi lebih gusar lagi.
Mendadak dalam bahasa Tibet, ia ucapkan perkataan "guci emas" dan tangannya
membuat satu gerakan merampas.
Perkataan "guci emas" dan gerakan itu membikin Thiekoay sian mengerti apa yang
dimaksudkan oleh si pendeta yang seperti juga mau menanya: "Apa kau niat merampas
guci emas?"
Thiekoay sian adalah seorang pendekar yang telah mewarisi kepandaiannya Kanglam
Tayhiap Kam Hong Tie. Ia tahu dirinya berada dalam bahaya, tapi ia pantang berdusta.
Maka itu, dengan suara angkuh ia segera berkata:
"Tidak salah! Aku memang mau rampas guci emas itu!"
Pendeta jubah merah itu menggereng dan lantas menyapu dengan sianthung-nya.
Dalam hal ini telah terbit salah mengerti. Dari gerakan tangannya Thiekoay sian, si
pendeta anggap Pengtjoan
Thianlie sudah kena dibinasakan olehnya. Di sebelahnya itu, kisikan sang boesoe
muda, bahwa Thiekoay sian niat merampas guci emas, ternyata benar. Demikianlah,
dengan adanya dua macam kegusaran yang menjadi satu, tanpa menyelidiki lebih lanjut,
si pendeta lalu membuka serangan. Di lain pihak, Thiekoay sian yang mempunyai
ganjelan, juga jadi sangat gusar melihat caranya si pendeta yang datang-datang sudah
menyerang membabi buta. Ia kerahkan tenaganya dan menyampok sama tongkat
besinya. Dengan satu suara keras, kedua senjata kebentrok dan Thiekoay sian terhuyung
beberapa tindak.
Bukan main kagetnya Thian Oe. Ia tahu tenaga gurunya belum pulih dan bukan
tandingannya si pendeta. Di antara suara beradunya senjata, ia dengar sang guru
berseru: "Oe-djie! Lari! Kalau tidak dengar perkataanku, aku tidak akui lagi kau sebagai
murid!"
Tan Thian Oe tahu, bahwa dengan berseru begitu sang guru ingin selamatkan jiwanya.
Sebagai seorang yang sangat tebal pribudinya, manalah ia tega tinggalkan gurunya
dalam' keadaan yang berbahaya itu. Sebaliknya dari angkat kaki, ia berdiri dengan mulut
ternganga. Sementara itu, kedua orang sudah bertempur belasan jurus.
Si boesoe muda menyender di satu pohon, matanya menyapu ke arah Thian Oe.
Dengan menyaksikan cara bagaimana batu yang ditimpukkan oleh Thian Oe, kena dibikin
terpental oleh si pendeta, ia mengetahui ilmunya Thian Oe masih cetek. Ia jadi tidak
memandang mata dan perhatiannya lalu dipusatkan kepada gelanggang pertempuran." .
Dalam tempo sekejap, Thiekoay sian dan si pendeta' sudah bertempur kurang lebih dua
puluh jurus. Walaupun mesti saban-saban mundur, tapi gerakan-gerakannya Thiekoay
sian sama sekali tidak jadi kalut dan masih dapat menyambut serta membalas sesuatu
serangan.
Mendadak dalam gelanggang pertempuran terjadi perobahan yang membikin Thian Oe
jadi terkesiap. Muka gurunya kelihatan menyeramkan sekali, kedua kakinya bertindak
menurut kedudukan Ngoheng Patkwa, sedang tongkatnya diputar keras sehingga
menerbitkan angin yang menderu-deru. Ia tahu sang guru sedang bersilat dengan ilmu
Hokmo Tianghoat yang paling banyak meminta tenaga lweekeh. Ia ingat, sesudah
gurunya pertama kali bertempur melawan si pendeta, Pengtjoan Thianlie pernah
mengatakan, bahwa masih untung Thiekoay sian baru keluarkan sembilan puluh enam
jurus Hokmo
Tianghoat, sebab kalau sampai di jalankan seluruhnya, yaitu sampai seratus delapan
jurus, Thiekoay sian tentu akan menderita sakit berat. Dan sekarang, dengan kesehatan
yang belum pulih, sang guru kembali menggunakan ilmu silat tersebut. Ia mengetahui
hebatnya bahaya yang mengancam dan niat segera membantu, akan tetapi, sebelum ia
bergerak, gurunya sudah deliki padanya. Ia mengerti, delikan mata itu merupakan satu
tegoran lantaran ia tidak buru-buru angkat kaki. Saat itu, satu bentrokan senjata yang
sangat keras terdengar dan kedua lawan sama-sama mundur beberapa tindak dengan
badan sempoyongan, tapi lekas juga mereka maju kembali dan bertempur semakin sengit.
Bahwa dengan pertaruhkan jiwanya Thiekoay sian sudah keluarkan Hokmo Tianghoat
adalah buat membikin muridnya dapat tempo untuk melarikan diri. Tapi tidak dinyana,
lantaran perasaan cinta terhadap sang guru, si murid jadi tidak dengar kata dan rela
binasa bersama-sama. Thiekoay sian mengeluh dalam hatinya. Di satu pihak ia terharu
sangat melihat pribudinya sang murid, di lain pihak ia berdongkol lantaran kebandelannya
Thian Oe. Dan sungguh kasihan, biarpun hatinya mau, Thiekoay sian tidak 179
dapat bicara lagi dengan muridnya, sebab seluruh perhatiannya harus dipusatkan
kepada sang lawan.
Sebagaimana diketahui, Hokmo Tianghoat terbagi jadi tiga bagian. Bagian pertama
yang terdiri dari tiga puluh enam jurus dengan lekas sudah dijalankan habis, dan bagian
kedua yang juga terdiri dari tiga puluh enam jurus, segera menyusul. Sambil kertek gigi
Thiekoay sian kerahkan tenaga lweekeh yang diperlukan buat jalankan bagian kedua dari
Hokmo Tianghoat. Oleh karena hatinya sudah mengambil putusan buat berkelahi sampai
mati, tak tahu dari mana datangnya, tenaganya jadi bertambah berlipat ganda, sehingga
buat sementara dapat juga ia mempertahankan dirinya.
Tiba-tiba si pendeta jubah merah keluarkan tertawa aneh dan sianthung-nya
menyambar ke atas buat totok tongkatnya Thiekoay sian. Ketika itu bajunya Thiekoay sian
sudah basah dengan keringat yang terus turun berketel-ketel dari badannya. Melihat
sambaran senjata lawan, sambil membentak keras, ia menyampok dengan tongkatnya.
Sianthung-nya si pendeta dapat dibikin terpental, tapi tongkat itu yang sebesar mangkok
sudah jadi sedikit bengkok! Melihat begitu, jantungnya Thian Oe memukul semakin keras.
Tidak lama kemudian, bagian kedua Hokmo Tianghoat juga sudah habis dijalankan.
Sekarang pertempuran berobah sifatnya. Tongkatnya Thiekoay sian bergerak perlahan-
lahan seperti juga beratnya ribuan kati. Saban kali badannya bergerak, tulangnya
kedengaran berkrotokan, sedang urat-urat pada timbul di kepalanya, dan itu semua
menandakan, bahwa ia sedang menggunakan seluruh tenaga yang masih ketinggalan
dalam badannya. Si pendeta jubah merah juga hilang segala sikapnya yang memandang
enteng dan tumplek semua perhatiannya kepada gerakan sang lawan. Seperti dalam
pertempuran yang dahulu, ia kembali keluarkan ilmu Yoga dengan duduk bersila dan
goyang-goyang senjatanya. Seperti kena dibetot, semakin lama Thiekoay sian semakin
mendekati si pendeta. Hatinya terkesiap, la sudah kerahkan semua tenaga dalamnya, tapi
lantaran memangnya kalah tenaga, sekarang ia tidak dapat melawan lagi betotan itu.
Sedapat mungkin, ia berusaha buat loloskan diri, tapi tongkatnya terus kena ditempel
senjata musuh dan tak dapat lolos. Ia tahu, begitu lekas badannya kena dibetot cukup
dekat, si pendeta akan segera turunkan pukulan yang membinasakan. Ketika itu dari 108
jurus Hokmo Tianghoat, ia sudah jalankan jurus yang ke-106.
Dengan Seantero semangatnya dipusatkan kepada senjatanya, si pendeta mendadak
membetot keras sembari membentak: "Robohlah!"
Thian Oe lihat badan gurunya bergoyang-goyang, sedang kepalanya tunduk ke depan
seperti juga akan segera terguling di hadapannya si pendeta. Semangatnya Thian Oe
terbang. Segala rupa perhitungan lenyap dari otaknya. Dengan sekali jejak kakinya,
badannya melesat seperti anak panah dan pedangnya tikam jalanan darah Liongtjong hiat
yang terletak di bawah dadanya si pendeta. Dalam serangan itu Thian Oe cuma ingat
menolong gurunya. Ia tidak perhitungkan lagi jiwanya. Ia malahan tidak perhitungkan
apakah serangan itu bisa berhasil atau tidak.
Tapi, di luar semua dugaan, begitu pedangnya Thian Oe menyambar, begitu juga
terdengar teriakan si pendeta yang badannya terpental tiga tombak jauhnya.
Oleh karena jarak dimana Thian Oe berdiri ada beberapa tombak dan juga sebab
mengetahui ilmu silatnya pemuda itu masih sangat cetek, si pendeta jubah merah sama
sekali tidak memandang mata padanya. Selainnya itu, kawannya, yaitu si boesoe muda,
juga berada disitu, sehingga lebih-lebih ia tidak menjaga-jaga serangannya Thian Oe. Ia
tentu saja tidak mengetahui, bahwa sesudah makan buah mujijat, walaupun ilmu silatnya
tidak seberapa, ilmu entengi badannya Thian Oe sudah boleh berendeng sama ahli silat
kelas utama. Dengan sekali loncat saja, ia sudah lalui jarak tiga tombak itu dan kirim
tikamannya dengan sepenuh tenaga. Si boesoe muda sudah tidak keburu menolong,
sedang si pendeta, yang lagi pusatkan Seantero perhatiannya kepada Thiekoay sian guna
robohkan lawanan itu, sudah tidak dapat menangkis lagi dan jalanan darahnya kena
ditikam secara telak sekali!
Sebenarnya dengan tenaga dalam yang dipunyai oleh si pendeta, tikaman Thian Oe
belum cukup buat robohkan padanya. Akan tetapi, pada ketika badannya bergoyang
akibat tikaman itu, Thiekoay sian tidak mau kasih lewat kesempatan yang baik itu dan
lantas kirim satu sabetan ke arah dadanya dengan gunakan jurus ke-107 dari Hokmo
Tianghoat. Dengan dua serangan hebat yang datang hampir berbareng, andaikata si
pendeta mempunyai badan tembaga, ia toh tidak akan dapat pertahankan dirinya lagi.
Masih untung, berkat ilmu silatnya yang sangat tinggi, ia tidak lantas jadi binasa. Tapi
biarpun begitu, ia muntahkan darah hidup dan tenaga dalamnya menjadi buyar, sehingga
ilmu silatnya tidak akan dapat pulang kembali, jika ia tidak berlatih lagi dari tiga sampai
lima tahun.
Thian Oe kaget berbareng girang. Baru saja ia niat menghampiri gurunya, mendadakan
Thiekoay sian berteriak: "Minggir!"
Thian Oe menoleh dan satu bayangan hitam sedang menubruk ke arah ia. Pada saat
itu, Thiekoay sian menimpuk dan tongkat besinya melesat bagaikan kilat. Itulah jurus
Sinmo kwiwie (Siluman balik ke kedudukannya), yaitu jurus penghabisan dari Hokmo
Tianghoat. Sebegitu jauh, belum pernah Hokmo Tianghoat, digunakan sampai pada jurus
penghabisan. Kalau toh jurus ke-108 sampai digunakan juga, itu berarti yang
menggunakannya bersedia buat binasa bersama-sama sang lawan. Thiekoay sian
menimpuk dengan pakai semua sisa tenaga yang ia dapat kumpulkan dalam dirinya.
Dapat dimengerti, kalau si boesoe muda tak dapat loloskan diri dari serangan yang
sedemikian hebat. Tongkatnya Thiekoay sian mengenakan dadanya dan dari depan terus
tembus sampai ke belakang. Dengan satu teriakan ngeri, ia roboh binasa.
Selama hidupnya, belum pernah Thian Oe lihat pemandangan yang begitu mengerikan.
Kaki tangannya lemas dan ia tidak berani menengok lagi. Di lain saat, ia dengar suara
berkereseknya daun-daun. Rupanya si pendeta jubah merah sudah melarikan diri.
Keadaan kembali jadi sunyi-senyap. Thiekoay sian menghela napas dan memanggil:
"Oe-djie, mari!"
Thian Oe lihat gurunya sedang menyender di satu pohon dengan muka yang pias
seperti kertas. Ia seperti juga seorang yang sedang menderita sakit keras dan
keadaannya banyak lebih hebat daripada waktu bertempur dengan si pendeta jubah
merah pertama kali.
Thian Oe menghampiri dan menanya dengan suara terharu: "Soehoe, bagaimana
keadaanmu?"
"Muridku," jawab sang guru. "Malam ini adalah malam perpisahan kita!"
Sang murid lantas saja menangis dan air matanya mengucur deras. Thiekoay sian
terharu, tapi ia lantas tertawa dan berkata dengan suara lemah: "Dalam dunia ini, tidak
ada perjamuan yang tidak ada akhirnya. Kejadian begini tidak berharga buat ditangisi."
"Tenaga dalam soehoe ada sangat kuat dan di dalam keraton terdapat banyak sekali
obat-obatan. Biarlah aku bawa kemari seraup obat-obatan supaya soehoe bisa lihat yang
mana dapat digunakan," kata Thian Oe dengan suara sedih.
Thiekoay sian geleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Dalam keadaan badan yang
belum pulih kembali, barusan aku sudah jalankan habis seratus delapan jurus Hokmo
Tianghoat. Biarpun aku makan semua obat mujijat dalam dunia ini, aku tidak dapat
ditolong lagi. Aku tidak mempunyai banyak tempo lagi. Lebih baik kau dengar apa yang
aku mau pesan kepadamu."
Sembari tahan air matanya, Thian Oe manggutkan kepalanya.
“Biarpun kita baru menjadi guru murid tiga bulan lamanya, aku sudah mengetahui
bahwa kau mempunyai pribudi yang sangat tinggi," kata sang guru. "Aku berani pastikan,
bahwa di belakang hari kau akan berhasil dalam penghidupanmu. Sekarang aku mau
minta satu pertolonganmu."
"Soehoe bilang saja," kata Thian Oe.
"Jika Tuhan menaruh belas kasihan, sehingga isteriku tidak sampai turut binasa, dan
kalau di kemudian hari kau bertemu dengan soenio-mu, bilang padanya, bahwa aku pesan
supaya dia rawat anak kita baik-baik. Sesudah berusia sepuluh tahun, suruh anak itu
angkat kau sebagai guru," demikian Thiekoay sian memberi pesanannya.
Thian Oe kaget sebab sebegitu jauh, gurunya belum pernah bilang mempunyai anak.
Akan tetapi, dalam keadaan begitu, ia tentu saja tidak mau menanya melit-melit. Ia cuma
manggut-manggutkan kepalanya, sebagai tanda bersedia buat turut pesanan itu.
"Semua pelajaran ilmu silatku, aku sudah turunkan kepada kau," kata lagi sang guru.
"Ilmu tongkatku juga kau sudah mengerti semua. Biarlah kau turunkan ilmu silat itu kepada
anakku. Tongkat ini kau simpan baik-baik. Nanti, kalau anak itu sudah besar, serahkanlah
kepadanya dan bentahukan, bahwa itulah ada warisan dari soetjouw-nya. Mengenai si
pendeta itu, meskipun malam ini dia bisa loloskan diri, tapi dia pasti akan jadi orang yang
bercacat. Maka itu, siapa juga tidak usah membikin pembalasan apa-apa. Apa kau
bersedia buat jadi gurunya anakku itu?"
"Jika murid bisa turun dari gunung ini dengan masih bernyawa, pesanan soehoe murid
akan jalankan satu persatu," jawab Thian Oe dengan suara sedih sekali.
Thiekoay sian tertawa dan paras mukanya kelihatan terang. Ia kumpulkan tenaganya
dan kemudian berkata pula: "Dahulu aku pernah terima pesanannya soetjouw-mu dan
Moh Tjoan Seng lootjianpwee buat coba cari turunannya Koei Hoa Seng tjianpwee.
Sekarang kita sudah mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie adalah puterinya Koei
tjianpwee. Maka itu andaikata Pengtjoan Thianlie masih hidup, kau mesti cari padanya
dan sampaikan penuturanku ini. Sekarang Puncak Es sudah roboh dan ia merdeka buat
cari pamannya."
Thian Oe kembali manggutkan kepalanya. Mulutnya seperti terkancing lantaran
perasaannya yang sangat terharu. Thiekoay sian meramkan matanya dan napasnya jadi
semakin perlahan. Dengan hati-hati, Thian Oe dukung gurunya itu.
Sesudah lewat beberapa saat, dengan suara terputus-putus Thiekoay sian berkata:
"Itu... itu guci emas. Aku sendiri tidak tahu harus membantu pihak yang mana. Tapi, biar
bagaimanapun juga tidak boleh dibiarkan jatuh ke dalam tangan orang luar. Itu... itu
pemuda baju putih...
omongannya ada juga benarnya. Kau... kau pergilah cari padanya..." Semakin lama
suaranya semakin perlahan dan belum habis ia bicara, kedua kakinya berkelejet dan
Thiekoay sian tinggalkan dunia ini buat selama-lamanya.
Thian Oe menangis menggerung-gerung dan kemudian kubur jenazah gurunya dalam
taman itu. Ia juga galikan lubang buat kubur jenazahnya itu boesoe muda. Sesudah beres
mengubur, ia bersihkan semua bekas-bekas darah dan ambil tongkat gurunya. Ia dongak
dan lihat sang rembulan sudah doyong ke barat, bintang-bintang sudah mulai menghilang
dan sang malam sudah mulai terganti sama fajar. Tanpa juntrungan, ia jalan ke sana-sini.
Dalam keraton es yang sedemikian luas, sekarang cuma ketinggalan ia seorang diri.
Hatinya sedih berbareng takut. Keraton dan tamannya yang begitu indah sekarang hilang
keindahannya dan ia segera mengambil keputusan buat segera menyingkir dari tempat
itu.
Baru saja matahari mengintip di sebelah timur, Thian Oe lantas bebenah. Ia bekal
makanan kering, bereskan barang-barangnya dan keluar dari keraton es. Tapi baru saja
jalan puluhan tindak, ia sudah mandek lagi. "Dengan kepandaianku ini, cara bagaimana
aku bisa seberangi
sungai es?" tanya ia dalam hatinya. Tapi, buat berdiam seorang diri dalam keraton itu
dengan peringatan-peringatannya yang hebat, benar-benar ia tidak mau.
Selagi hatinya bersangsi, mendadak di bawah tanah timbul suara yang aneh. Suara itu,
yang Thian Oe tak dapat tebak suara apa, sebentar muncul dan sebentar hilang. "Apa
mau gempa bumi lagi? Tapi kenapa suaranya tidak jadi lebih keras?" tanya ia dalam
hatinya. Dengan hati berdebar-debar, ia lari. Mendadak suara itu muncul lagi, tapi di lain
saat, sudah menghilang pula.
Thian Oe tetapkan hatinya. Sekarang ia tahu pasti, bahwa suara itu bukannya gempa
bumi. la jadi semakin heran. Dalam keraton tersimpan banyak sekali mustika. Apakah
datang orang jahat yang niat mencuri barang-barang berharga itu? Walaupun ia sudah
mengambil putusan buat tidak berdiam lebih lama lagi, akan tetapi, sesudah tinggal tiga
bulan lamanya dalam keraton itu, setahu bagaimana, dalam hatinya timbul semacam
perasaan menyayang yang luar biasa. Ia tahu, bahwa sesudah ia pergi, keraton yang
seperti surga itu mungkin akan menjadi sarangnya kawanan tikus, akan tetapi, sebegitu
lama ia masih berada disitu, ia tidak mau orang merusak atau menduduki keraton
tersebut. Maka itulah, ia lalu berjalan balik ke keraton es.
Begitu masuk ke dalam taman, suara di dalam tanah kedengaran lagi. "Apa manusia?
Kalau manusia, pasti tidak bisa berada di dalam tanah," pikir Thian Oe. Sesudah
ketelanjur balik, ia segera ambil putusan buat memeriksa di dalam keraton. Baru saja tiba
di dekat telaga es, kupingnya mendadak dengar suara tindakan manusia. Ia terkesiap dan
dengan indap-indap menghampiri suara itu. Oleh karena ia apal betul dengan jalanan-
jalanan disitu dan juga sebab ilmu entengi badannya sudah sempurna, maka gerakannya
tidak dapat diketahui oleh tetamu-tetamu yang baru datang itu.
Di depannya itu gedung aneh yang atapnya lancip, Thian Oe lihat berdiri tiga orang.
Yang di tengah berbadan gemuk dan bukan lain daripada Nyepa Omateng. Dua orang
yang berdiri di kedua sampingnya Omateng adalah itu dua boesoe Nepal yang kita sudah
kenal.
"Suara apa itu?" tanya Omateng. "Apa bukan gempa bumi lagi?"
"Rasanya bukannya gempa bumi," sahut boesoe yang berusia lebih tua. Mereka
berbicara dalam bahasa Tibet yang dapat dimengerti juga oleh Thian Oe.
"Barusan kita ketemukan darah yang masih baru di atas tanah, rupa-rupanya disini
masih ada manusianya," kata lagi Omateng. "Tapi heran, tidak ada bayangannya barang
satu manusia."
Kedua boesoe itu rangkap tangannya dan berteriak: "Pengtjoan Thianlie!" Tapi kecuali
kumandang suaranya tidak terdengar suatu apa lagi. Mereka lantas saja perlihatkan paras
muka ketakutan. "Jika Paduka Puteri masih berada disini, ia tentu akan keluar," kata yang
satu. "Apa mungkin ia sudah jadi korban bencana alam?" sahut yang lain. "Ah, kalau
sampai kejadian begitu, bagaimana kita mesti bicara dengan Paduka Raja!"
Thian Oe segera mengetahui, bahwa kedua boesoe itu mendapat perintah rajanya buat
mencari
Pengtjoan Thianlic. Tapi, apa yang ia tidak mengerti, kenapa juga Omateng mesti ikut-
ikutan.
Biarpun Nyepa itu pernah menolong Chena, setahu bagaimana, Thian Oe sangat
membenci dia.
Dalam hatinya ia merasa, orang itu licik sekali. Mukanya manis, hatinya busuk.
"Tak perduli Paduka Puteri ada atau tidak, marilah kita bikin pemeriksaan," kata
Omateng. "Tidak bisa," kata boesoe yang lebih tua. "Tempat ini adalah tempat suci dari
agama negara
kita. Tanpa permisinya Paduka Puteri, siapa juga tidak boleh masuk kesitu."
"Tempat ini sudah tidak ada majikannya. Halangan apa kalau kita masuk buat lihat-
lihat?" kata Omateng.
Sebagaimana diketahui, pintu gedung sudah rusak lantaran gempa bumi. Sembari
nyengir kepada dua boesoe itu, Omateng segera pentang langkahnya buat masuk ke
dalam.
Mengingat akan larangannya
Pengtjoan Thianlie dan juga sebab kuatir Omateng curi kiamhoat yang terdapat disitu,
Thian Oe lantas saja loncat keluar seraya membentak: "Omateng! Besar sungguh
nyalimu!"
Omateng berpaling dengan paras muka terkejut. Tapi begitu lihat siapa yang datang, ia
lantas tertawa. "Tan kongtjoe, kau?" kata ia. "Mana Chena?"
"Jangan bicara yang tidak perlu," kata Thian Oe. "Kau orang keluar dari sini!"
"Ah, itulah heran!" kata Omateng. "Apa kau sudah jadi majikan dari keraton ini?"
"Tak usah perduli! Kau orang mau pergi atau tidak?" kata lagi Thian Oe dengan suara
gusar.
"Dan atas alasan apa kau mau campur-campur urusanku?" kata Omateng sembari
tertawa.
Mulutnya tertawa, tapi tangannya lantas mencabut golok.
Thian Oe naik darahnya. "Pergi!" ia membentak sembari menikam dengan pedangnya.
"Waduh, Tan kongtjoe!" kata Omateng sembari tertawa besar. "Kau mau main-main
senjata?" Omateng yang pernah saksikan ilmu silatnya Thian Oe sedikitpun tidak pandang
mata pemuda itu. Ia merasa pasti akan dapat robohkan Thian Oe dengan sekali jurus. Tapi
Thian Oe sekarang bukannya Thian Oe dahulu. Serangannya adalah satu jurus aneh dari
Tatmo Kiamhoat. Ujung pedang berkelebat seperti juga mau menabas ke kiri, tapi berbalik
membabat ke kanan dan tanpa tercegah lagi, pundaknya Omateng kena digores. Bagus
juga ilmunya Thian Oe belum cukup tinggi, sedang Omateng pun bukannya lawanan
lemah. Kalau bukannya begitu, tabasan yang barusan tentu sudah kutungkan pundaknya.
Mukanya Omateng segera berobah pucat. Buru-buru ia pusatkan Seantero perhatian
buat lawan pemuda itu yang tadinya dipandang rendah dan dengan beruntun kirim tiga
bacokan. Tapi biar bagaimanapun juga, kiamhoat-nya Thian Oe ada lebih tinggi dan ia
terus kena didesak mundur. Kedua boesoe Nepal yang menonton dari pinggiran jadi heran
tidak habisnya.
"Anak ini adalah anaknya pembesar Boantjeng," berseru Omateng. "Dia sudah mencuri
masuk disini dan sudah belajarkan juga ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie. Tidak bisa
salah lagi dialah yang membunuh Pengtjoan Thianlie yang sedang terluka akibat gempa
bumi. Dia rupanya ingin merampas keraton ini dan pandang dirinya sebagai majikan!"
Oboran itu, yang sebenarnya sama sekali tidak beralasan, benar-benar sudah
membikin panas hatinya kedua boesoe itu. Mereka cabut goloknya yang berbentuk bulan
sisir dan menyerang dengan berbareng.
"Dengar dahulu keteranganku!" berseru Thian Oe.
"Mau bicara apa lagi?" membentak Omateng yang terus mencecer sehebat bisa supaya
pemuda itu tidak sempat bicara. Thian Oe bukannya seorang yang pandai omong dan
juga memang sebenarnya ia sudah curi belajar kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie. Lantaran
begitu, ia tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan, sedang ketiga musuhnya
terus menyerang dengan sengit dan tidak memberi kesempatan buat ia bicara panjang-
panjang. Demikianlah dengan pedang di tangan kiri dan tongkat gurunya di tangan kanan,
Thian Oe melawan dengan keluarkan dua macam ilmu silat dengan berbareng, yaitu ilmu
pedang Tatmo dan ilmu tongkatnya Thiekoay sian. Dalam sekejap saja, tiga puluh jurus
sudah lewat.
Akan tetapi, meskipun sudah mengetahui jalan-jalannya kedua ilmu silat yang sangat
tinggi itu, Thian Oe belum matang betul dan tenaga dalamnya juga belum cukup kuat.
Maka itulah, semakin lama ia berkelahi, semakin ia rasakan tidak tahan dikerubuti oleh
ketiga lawan itu. Kedua boesoe Nepal agaknya masih sungkan-sungkan dan cuma
tangkis-tangkis saja serangan-serangannya Thian Oe. Tapi tidak begitu dengan Omateng
yang sungguh-sungguh maui jiwanya pemuda itu. Setiap serangannya adalah serangan
yang membinasakan, yang ditujukan kepada bagian-bagian badan yang lemah. Melihat
Thian Oe mulai keteter, pada bibirnya tersungging senyuman yang licik sekali.
Tiba-tiba itu suara di dalam tanah kedengaran lagi, sekali ini lebih keras dan nyata.
Keempat orang yang sedang bertempur kaget dan pada loncat keluar dari gelanggang,
sehingga Thian Oe bisa buang napasnya. Selagi Thian Oe mau buka mulutnya guna
memberi keterangan, mendadak suara itu berhenti dan Omateng segera membentak:
"Lebih baik bekuk dahulu manusia ini, baru bikin penyelidikan." Sehabis membentak, ia
lantas menyerang, diturut oleh kedua boesoe Nepal. Napasnya Thian Oe sengal-sengal
dan keadaannya jadi semakin berbahaya.
"Lekas lepas senjatamu, supaya tak usah menderita lebih lanjut!" berseru Omateng.
Bukan main berdongkolnya Thian Oe. Pedangnya berkelebat laksana kilat, Omateng coba
kelit tapi
pundaknya kembali tergores ujung pedang! Sembari berteriak-teriak kesakitan ia
membentak: "Binatang! Kalau belum dihajar, memang kau belum kenal takut. Lihat, aku
putuskan kedua lenganmu!"
Dengan dilindungi oleh kedua boesoe Nepal, kakinya menginjak kedudukan Tiongkiong
dan lantas menyabet dengan senjatanya. Melihat dua kali Thian Oe melukakan Omateng,
kedua boesoe Nepal juga jadi berdongkol dan segera menyerang tanpa sungkan-sungkan
lagi.
Thian Oe jadi lelah dan jatuh di bawah angin. Ia menghela napas dan duga bakal
binasa di tempat itu. Girang sekali hatinya Omateng. Sembari menyeringai, ia sabetkan
goloknya ke arah pundaknya Thian Oe. Lantaran kena didesak dengan dua goloknya si
boesoe Nepal, sekali ini Thian Oe tidak mampu menangkis lagi. Pada saat yang sangat
berbahaya, mendadakan saja Omateng dan kedua boesoe itu keluarkan teriakan kaget
dan hentikan serangannya.
"Mau apa kamu orang datang kesini? Apa mau cari mampus?" demikian Thian Oe
dengar bentakan yang halus nyaring. Ia menengok dan lihat dayang-dayang keraton es
pada meluber keluar dari antara pohon-pohon kembang, sedang orang yang barusan
membentak adalah Goat Sian, yaitu dayang dari kamar tulisnya Pengtjoan Thianlie!
Thian Oe kaget berbareng girang. Munculnya para dayang itu membikin ia merasa
seperti juga berada dalam impian.
Pada waktu kedua orang tuanya Pengtjoan Thianlie masih hidup, mereka sudah
bersiap-siap buat menghadapi gempa bumi yang hebat. Di bawah keraton terdapat satu
gua es yang ribuan tahun tidak pernah mengenal sinarnya matahari. Ayah ibunya
Pengtjoan Thianlie mengetahui, bahwa sebuah gunung berapi yang masih bekerja terletak
di dekatnya Puncak Es dan terpisah kira-kira lima puluh li dari keraton. Kalau sampai
gunung berapi itu meledak dan terjadi gempa bumi, keraton es bakal turut tergetar, akan
tetapi kerusakannya tidak bakal seberapa besar. Sebagai penjagaan terhadap batu-batu
yang terlempar akibat robohnya Puncak Es, siang-siang mereka sudah siapkan tempat
mengumpat di gua itu. Mereka membuka satu jalanan di bawah tanah yang di tembok
dengan batu gunung yang sangat keras. Dalam gua itu selalu sedia bahan makanan buat
beberapa bulan lamanya, sedang sebagai air minum, orang dapat menggunakan es yang
dilumerkan. Demikianlah, sedari puluhan tahun berselang persiapan buat menghadapi
gempa bumi sudah dibikin dengan seksama.
Maka itulah, pada waktu terjadinya gempa bumi, kecuali Thiekoay sian yang sedang
berlatih seorang diri dalam kamarnya dan Tan Thian Oe yang berada di dalam guanya
gedung terlarang, semua dayang menyelamatkan dirinya dengan masuk ke dalam gua es
itu. Tapi biar bagaimanapun juga, perhitungan manusia tak dapat melampaui maunya
takdir. Sebagai akibat gempa bumi yang sangat hebat, sebagian tanah melesak ke bawah
dan tutup jalanan di bawah tanah itu. Masih untung jumlahnya dayang cukup banyak dan
dengan bekerja sama-sama, tiga bulan lamanya mereka gali tanah yang menutupi
jalanan. Suara luar biasa yang didengar Thian Oe dan yang lain-lain adalah suara
menggali tanah.
Begitu muncul di muka bumi, para dayang itu jadi sangat kaget lantaran lihat
kedatangannya itu beberapa tetamu yang tidak diundang. Dengan dikepalai oleh Goat
Sian, sembilan dayang segera cabut Pengpok Hankong kiam dan mengambil tempatnya
masing-masing dalam barisan Kioethian Hianlie. Hawa yang luar biasa dinginnya lantas
saja menyambar-nyambar sehingga Omateng dan kedua boesoe itu pada menggetget.
Thian Oe yang sudah belajarkan ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie dan telan beberapa pel
mustajab, dapat melawan hawa yang dingin itu.
Dayang yang menjadi kepala membentak dan mengebas dengan Hankong kiam buat
segera turun tangan. Omateng bercakrukan giginya dan tak dapat mengeluarkan sepatah
kata. Kedua boesoe Nepal itu buru-buru meratap meminta ampun dan memberitahu
maksud kedatangannya.
Di antara dayang-dayang ada seorang yang pernah dengar penuturan Pengtjoan
Thianlie mengenai asal-usulnya kedua boesoe itu dan lalu memberitahukan kepada
dayang kepala. Dayang kepala itu segera teriaki satu tanda perintah dan barisan Kioethian
Hianlie lantas terpencar. "Kalau bukannya mengetahui bahwa kau orang tidak bermaksud
jahat, sudah pasti kau tidak bisa pulang kembali," membentak ia. "Baiklah! Sekarang kau
orang boleh pergi. Tapi kalau berani datang lagi, kami tentu tidak akan berlaku sungkan
lagi."
Boesoe Nepal yang berusia lebih tua mau coba buka mulutnya lagi, tapi sudah
didahului oleh salah seorang dayang. "Kongtjoe (Puteri) kami tak perlu diurus oleh kau
orang," kata ia, sembari kebaskan Pengpok Hankong kiam. Omateng tak tahan lagi
dinginnya hawa. Sembari berteriak keras, ia kabur secepat bisa. Kedua boesoe menghela
napas panjang. Mereka rangkap kedua tangannya buat memberi hormat ke arah gedung
terlarang dan lalu berjalan pergi. Sekarang cuma ketinggalan Tan Thian Oe seorang yang
berdiri bengong di hadapannya para dayang itu.
Goat Sian mengawasi padanya dan berkata: "Kau masih berada disini?"
"Sungguh beruntung aku lolos dari bencana alam dan buat sementara terpaksa
berdiam disini lantaran tidak bisa keluar," sahut Thian Oe. "Buat kelancangan itu, aku
mohon dimaafkan."
"Kenapa kau curi belajarkan ilmu pedang kita?" tanya lagi Goat Sian.
"Aku duga kalian tidak akan kembali lagi," sahut Thian Oe. "Dan lantaran kuatir ilmu
pedang itu menjadi lenyap dari muka bumi..."
Thian Oe yang tidak pandai bicara tidak dapat teruskan perkataannya, lantaran
sejumlah dayang sudah naik amarahnya dan pada mencaci dirinya. "Hm!" kata yang satu.
"Kau masih begitu kecil, tapi hatimu sudah begitu tidak baik. Kau harap-harapkan supaya
kami mati semuanya!"
"Kami perlakukan kau sebagai tetamu terhormat, tapi kau sudah mencuri masuk ke
dalam tempat pemujaan yang suci dan malahan mempunyai niatan buat menduduki
keraton es ini!" kata yang lain. Beberapa dayang yang pemandangannya sempit lantas
saja mau cabut pedangnya buat mengusir Thian Oe.
Dikerubuti secara begitu, Thian Oe tak dapat buka suara. Baik juga dayang kepala
masih mempunyai rasa kasihan. Sembari kebas tangan bajunya, ia berkata dengan suara
angker: "Sesudah kau mencuri masuk ke dalam tempat pemujaan, Puteri kami
sebenarnya niat kurung kau seumur hidup. Sekarang, sesudah kau curi ilmu pedangnya,
kami tak dapat berlaku sungkan lagi. Cuma saja, lantaran mengingat kau adalah tetamu
Puteri kami, maka tanpa diminta kami suka ampuni jiwamu. Tapi kau tak dapat berdiam
lebih lama di tempat ini!"
Harus diketahui, bahwa peraturannya Pengtjoan Thianlie biasa dipegang keras sekali,
sehingga meskipun ia sendiri tidak berada dalam keraton itu, para dayangnya tidak berani
langgar segala peraturannya. Satu dua dayang yang sifatnya agak sombong sudah bantu
menggebah Thian Oe dengan sikap keren sekali.
Diperlakukan secara begitu, Thian Oe naik darahnya. "Akupun mau berlalu," ia berkata
dengan suara angkuh. "Cuma saja lantaran kalian belum balik, aku kuatir sembarang
orang masuk disini, sehingga aku jadi berdiam sampai di ini hari."
"Kalau begitu kau adalah seorang yang berpahala." kata satu dayang dengan suara
menyindir. "Pujian itu tak dapat aku menerima," jawabnya dengan suara kaku. "Cuma
saja lantaran ingin
melindungi keraton ini, guruku sudah korbankan jiwanya di tempat ini. Sesudah aku
berlalu, harap kalian tolong lihat-lihat kuburannya." Sesudah berkata begitu, air matanya
menetes turun dari kedua pipinya.
"Ha! Thiekoay sian meninggal dunia?" tanya Goat Sian dengan suara kaget. "Ia binasa
cara bagaimana?"
Dengan ringkas Thian Oe segera tuturkan apa yang sudah terjadi. Mendengar begitu
hatinya Goat Sian jadi menyesal sudah perlakukan pemuda itu secara sedemikian kasar,
akan tetapi, dayang itu yang coba tiru-tiru majikannya, sungkan tarik pulang perkataannya.
Di sebelahnya itu, mengingat semua penghuni keraton semuanya wanita, sedang Thian
Oe adalah lelaki satu-satunya, maka ia juga merasa tidak enak buat menahan pemuda itu.
"Baiklah," kata ia. "Aku berjanji akan rawat baik-baik kuburannya Thiekoay sian. Kau
berangkatlah!
Apa perlu aku perintah orang antar padamu?"
"Tak usah," sahut Thian Oe yang masih berdongkol.
"Apa Paduka Puteri pernah pulang kesini?" tanya lagi Goat Sian.
"Tidak," jawabnya dengan pendek.
Goat Sian terkesiap dan berkata dengan suara sedih: "Paduka Puteri pernah
mengeluarkan perintah, bahwa tak perduli ia ada atau tidak, kami tidak dapat turun dari
gunung ini. Perintahnya itu kami tidak berani langgar. Sesudah kau turun gunung,
manakala Puteri kami masih berada dalam dunia, tolong kau coba menyelidiki."
Mendengar begitu, depan matanya Thian Oe lantas terbayang parasnya Pengtjoan
Thianlie. Walaupun hatinya dingin, paras itu sangat mengesankan. Ia angkuh dan tinggi
hati, tapi keangkuhannya keluar secara wajar dan bukannya •kesombongan dibuat-buat
dari beberapa orang dayangnya. Mengingat begitu, hatinya menjadi lemas dan ia
menjawab dengan suara terharu: "Aku mengerti. Aku akan perhatikan pesanan itu."
Sehabis berkata begitu, dengan menggendol bungkusannya dan tengteng tongkat
gurunya, tanpa menengok lagi Thian Oe lantas berjalan keluar dari keraton es. Selagi
berjalan, ia dengar helahan napas dari beberapa dayang. "Ah, di antara dayang-dayang
itu terdapat juga orang-orang yang baik hatinya," ia menggerendeng dan hatinya jadi
terhibur.
Dengan hati sedih, ia jalan perlahan-lahan. Mengingat bahayanya sungai es, ia jadi
berkuatir. Dengan kepandaiannya yang begitu cetek, dapatkah ia lewati sungai tersebut?
Cuma saja lantaran tadi sudah menampik dengan penuh keangkuhan, ia jadi merasa tidak
enak buat balik lagi guna minta pengantar.
Thian Oe naik gunung pada permulaan musim panas, dan sekarang, sesudah lewat
tiga bulan, sudah masuk musim rontok. Di atas gunung, salju putih bertumpuk-tumpuk, di
lereng gunung daun-daun berwarna kemerah-merahan. Dengan perasaan masgul, Thian
Oe berjalan terus. Mendadak matanya dapat lihat asap hitam mengebul ke tengah udara.
Ternyata sesudah robohnya Puncak Es, disitu muncul sebuah kawah yang semburkan api
dan asap, yang sehingga sekarang masih belum padam.
Thian Oe ternganga dan menghela napas berulang-ulang. Ia ingat Pengtjoan Thianlie
dan si pemuda baju putih yang hari itu mengadu pedang di bawahnya Puncak Es tersebut.
"Mereka lebih banyak mati daripada hidup," kata Thian Oe dalam hatinya. Ia pun ingat
sang soenio (Tjia In Tjin) dan Chena dan hatinya jadi merasa lebih tidak enak.
"Harap saja Tuhan melindungi mereka," kata ia dalam hatinya. "Kalau mereka masih
hidup, walaupun mesti pergi ke ujung langit, aku tentu akan mencarinya."
Tapi bagaimana ia dapat lewati sungai es yang sangat berbahaya itu. Dengan pikiran
kusut dan bimbang, ia tujukan tindakannya ke bawah gunung. Sesudah jalan beberapa
lama, ia merasa kedudukan bumi sudah berobah dan tidak bersamaan lagi dengan
keadaan pada waktu ia naik ke keraton es.
Itu sungai es yang berbahaya sebenarnya terletak tidak terlalu jauh dari keraton. Ia
ingat, dekat sungai tersebut terdapat satu hutan pohon yanglioe, sedang di pinggir sungai
berdiri satu pohon lioe yang sangat besar, dimana tertambat sebuah perahu kecil. Tapi
sekarang, dimanakah adanya sungai es tersebut?
Bukan main herannya Thian Oe, tapi ia berjalan terus. Sesudah jalan lagi kira-kira
setengah jam, mendadakan saja di depan matanya terbentang satu telaga yang luar biasa
luasnya, sehingga air telaga seperti juga menempel dengan tepian langit dan tepian langit
menempel dengan telaga. Kepingan-kepingan es yang warnanya gilang gemilang lantaran
disorot sinarnya matahari, kelihatan ngambang di atas telaga itu. Dan telaga itu bukan lain
daripada Thian-ouw, Telaga Langit atau Tengri Nor!
Sesudah memandang beberapa lama seperti orang mengimpi, Thian Oe mengetahui
apa sebabnya. Robohnya puncak telah merobah kedudukan bumi banyak sekali. Sungai
es itu, yang turun dari atas gunung terus sampai di Thian-ouw, ternyata sudah diuruk
dengan Puncak Es yang roboh itu! Demikianlah, dengan urukan tanah Puncak Es, satu
jalanan telah terbuka antara keraton es dan telaga Thian-ouw!
Bukan main girangnya Thian Oe: "Tak heran kalau itu dua boesoe dan Omateng bisa
datang ke keraton es," kata ia dalam hatinya.
Keadaan Thian-ouw masih tetap seperti sediakala, dengan airnya yang bening dan
pohon-pohon dan rumputnya yang berwarna hijau. Thian Oe duduk mengasoh di pinggir
telaga dan isikan kantong kulitnya dengan air yang bening. Lama sekali ia duduk
termenung disitu dan sampai lewat lohor barulah berjalan lagi.
Selang tiga hari, tibalah Thian Oe di kaki gunung. Oleh karena mati hidupnya Pengtjoan
Thianlie belum diketahui dan sukar mencarinya kalau bukan bertemu secara kebetulan,
maka ia lalu ambil putusan buat langsung pergi ke Lhasa. Lhasa adalah ibukota Tibet
dimana berdiam jenderal Hok Kong An bersama pasukannya. Pada harian kantor Amban
dirusak oleh Tjoei In Tjoe dan Ong Lioe Tjoe, ayahnya Thian Oe (Tan Teng Kie) segera
meninggalkan Sakya buat pergi ke Lhasa guna melaporkan kejadian itu kepada Hok Kong
An. Sebagaimana diketahui, hal itu telah diberitahukan kepada Thian Oe oleh si kacung
Kang Lam. Itulah sebabnya kenapa sekarang ia ambil putusan buat langsung pergi ke
Lhasa dengan maksud menemui ayahnya.
Sesudah berjalan lagi tujuh delapan hari, ia tiba di satu kota Chaklun yang terletak
antara Shigatse dan Lhasa. Tibet adalah satu tempat yang tidak banyak penduduknya.
Sebuah kota yang dinamakan kota besar kebanyakan hanya mempunyai beberapa ratus
rumah penduduk. Chaklun juga terhitung kota besar, akan tetapi, di situ cuma terdapat
satu rumah penginapan. Thian Oe minta satu kamar dalam rumah penginapan itu dan
sesudah makan malam, ia lalu rebahkan dirinya di atas pembaringan lantaran merasa
capai sesudah lakukan perjalanan seharian suntuk.
Tapi baru saja rebahkan diri, ia dengar suara rintihan di kamar sebelah. Dengan heran,
ia panggil Tiam Siauwdjie (pelayan hotel) dan lalu menanyakan siapa yang sakit.
"Mereka adalah dua pembesar ketentaraan dan sudah sakit tiga hari," sahut Tiam
Siauw Djie. "Mendapat sakit di tengah perjalanan adalah kejadian yang menyedihkan,"
kata Thian Oe. "Apa
disini tidak ada tabib?"
"Ada satu dua, tapi tak ada yang tahu penyakit apa," sahut si pelayan. "Sesudah
bongmeh (periksa nadi), ia tidak berani tulis surat obat."
"Penyakit apa?" kata Thian Oe. "Kalau diceritakan sangat luar biasa," Tiam Siauw Djie
berkata dengan suara perlahan. "Hari itu, kedua perwira tersebut yang menginap disini
minum arak di ruangan luar. Kau tahu, hotel ini juga menjual arak dan makanan buat
melayani orang-orang yang kebetulan mampir disini. Tiba-tiba datang seorang wanita
muda yang rupanya mampir buat makan dan minum. Ia kelihatannya seperti orang asing,
hidungnya mancung dan matanya rada-rada berwarna blau. Sembari nyengir, kedua
perwira itu keluarkan beberapa perkataan mengejek. Wanita itu tidak jadi gusar, ia cuma
tertawa dingin dan berkata: "Kalian suka main-main disini. Biarlah kalian mengasoh
beberapa hari." Sehabis berkata begitu, tak tahu ia gunakan ilmu apa, mendadakan saja di
depannya kedua perwira itu berkelebat sinar yang sangat dingin. Aku yang menonton dari
sebelah kejauhan juga rasakan hawa yang sangat dingin. Wanita itu lalu lemparkan
sepotong perak di atas meja dan berlalu dengan cepat. Sembari berteriak-teriak
kedinginan kedua perwira itu lari masuk ke dalam kamar dan gulung dirinya dengan
selimut, tapi itu semua ternyata tidak menolong. Selama tiga hari, mereka berada dalam
keadaan ngelindur, badannya sebentar panas, sebentar dingin. Coba pikir, apa bukannya
luar biasa?"
Thian Oe kaget berbareng girang. Yang dilepaskan oleh wanita itu tentulah juga
Pengpok Sintan. Apa ia bukannya Pengtjoan Thianlie?
"Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Coba aku periksa penyakitnya," kata ia kepada
sang pelayan.
Tiam Siauw Djie antar Thian Oe ke kamar sebelah dan berkata: "Tuan, ada satu tuan
mau periksa penyakitmu."
Kedua perwira itu buka kedua matanya. Tiba-tiba mereka keluarkan suara teriakan
tertahan.
"Siapa kau?" tanya satu antaranya.
Thian Oe mengawasi dan kenali, bahwa mereka itu adalah dua perwira yang
mengantar guci emas, yang tempo hari ia bertemu dalam penginapan di Shigatse.
"Ayahku Tan Teng Kie adalah Soanwiesoe (Amban) pada suku Sakya," sahut Thian Oe.
"Namaku Thian Oe. Kita sudah pernah bertemu di Shigatse."
Pada malam itu, ketika Siauw Tjeng Hong turut bertempur, Thian Oe tidak munculkan
muka, sehingga kedua perwira itu tidak menaruh curiga apa-apa. Sesudah Thian Oe
perkenalkan dirinya, salah seorang lantas berkata: "Oh, kalau begitu Tan Kongtjoe?" Ia
lalu minta Tiam Siauwdjie berlalu dari kamar itu dan kemudian menanya pula: "Ada urusan
apa Tan-heng datang kesini?"
Selagi bicara, mereka diserang lagi dengan kedinginan, sehinggga giginya pada
bercakrukan. Thian Oe tidak tega dan segera berkata: "Penyakit begini siauwtee mengerti
juga sedikit."
la lalu keluarkan dua butir pel yang berwarna biru dan berikan kepada mereka.
Beberapa saat sesudah menelan pel itu, dalam badan mereka muncul semacam hawa
panas yang menembus sampai di pusar. Kedua perwira itu mempunyai lweekang yang
cukup tinggi. Buru-buru mereka kerahkan pernapasannya buat bikin hawa panas itu
mengalir terus sampai ke tangan dan kaki. Semakin lama mereka rasakan semakin segar.
"Besok, sesudah semua hawa dingin keluar, kesehatan djiewie taydjin (kedua tuan
pembesar) akan pulih kembali," kata Thian Oe.
Kedua perwira itu – yang satu bernama Mauwyan dan yang satunya lagi bernama
Lunpo -- adalah ahli silat di bawah perintahnya jenderal Hok Kong An. Jika hari itu mereka
waspada dan
kerahkan tenaga dalamnya buat melindungi badannya, meskipun kena serangan Pengpok
Sintan, mereka tidak akan menderita begitu hebat. Waktu itu, lantaran sedang gembira
minum arak dan juga sebab tidak menduga wanita itu berkepandaian tinggi, mereka jadi
tidak berjaga-jaga. Sesudah hawa dingin menyerang masuk ke dalam sumsum, barulah
mereka kerahkan tenaganya buat melawan, tapi sudah kasep.
Sekarang, begitu telan pelnya Thian Oe, mereka rasakan banyak entengan dan mereka
tentu saja jadi merasa sangat heran. Mereka lantas ingat, bahwa si orang tua yang turut
bertempur di Shigatse adalah kawannya Thian Oe. Tanpa merasa, mereka terkesiap dan
salah seorang menanya lagi: "Sebenarnya kau siapa?"
"Bukankah aku sudah beritahukan?" kata Thian Oe.
"Apa benar kau Tan Kongtjoe?" Mauwyan menegasi.
"Jika kalian tidak percaya, nanti setibanya di Lhasa kita boleh sama-sama pergi ke
kantornya Hok Tayswee buat cari ayahku," kata Thian Oe.
"Tapi cara bagaimana kau bisa mempunyai yowan (pel) yang dapat punahkan ilmunya
wanita siluman itu?" tanya Lunpo.
Sebelumnya para dayang Pengtjoan Thianlie keluar dari gua es, Thian Oe telah
ketemukan banyak sekali yowan dalam keraton es. Ia ambil seraup dan simpan dalam
bungkusannya. Ia kenali, bahwa di antara yowan itu terdapat Yanghowan, yaitu pel buat
lawan hawa dingin. Pel itulah yang ia berikan kepada Mauwyan dan Lunpo.
Didedas secara begitu, Thian Oe gelagapan dan tidak tahu mesti menyahut bagaimana.
Kedua perwira jadi semakin curiga dan Mauwyan membentak: "Apa kau di kirim oleh
wanita siluman itu?"
Baru saja Mauwyan habis ucapkan perkataannya, di luar jendela mendadakan
terdengar suara tertawanya seorang wanita yang lantas membentak: "Inilah yang
dinamakan sang anjing gigit Lu Tong Pin. Kau tidak mengenal kebaikannya orang. Aku
kirim obat, kau berbalik mencaci aku. Apa kau mau sakit lagi beberapa hari?"
Kedua perwira itu yang badannya masih sangat lemas, jadi kaget sekali dan tidak
berani buka suara lagi.
"Orang yang curi lengtan (pel mustajab), lekas keluar ketemui aku," demikian terdengar
lagi suaranya wanita itu, yang lagu suaranya mirip-mirip dengan suaranya Pengtjoan
Thianlie.
Dengan hati berdebar-debar, Thian Oe loncat keluar kamar, tapi wanita itu sudah loncat
naik ke atas genteng. Buru-buru ia balik ke kamarnya buat ambil buntalannya, dan
sesudah lemparkan uang penginapan, ia lantas memburu. Wanita itu lari sangat keras,
tapi untung ilmu entengi badannya Thian Oe sudah maju jauh, sehingga begitu keluar dari
pintu kota, ia dapat menyandak.
Wanita itu menengok dan berkata sembari tertawa: "Ilmu silatmu sudah banyak maju.
Apa Puteri kami yang memberi pelajaran? Apa ia sudah balik ke keraton?"
Di bawahnya sinar rembulan, Thian Oe kenali bahwa wanita itu adalah Yoe Peng,
dayangnya Pengtjoan Thianlie yang sangat disayang. Sedari kecil ia ikuti majikannya dan
di antara para dayang, ilmu surat dan ilmu silatnya terhitung salah seorang dari kelas satu.
Pada harian gempa bumi, ia diperintah Pengtjoan Thianlie buat menemani Tjia In Tjin
pergi petik daun obat.
Thian Oe tentu saja merasa sangat girang dapat bertemu dengan ianya. Tapi
mendengar pertanyaannya, ia jadi jengah dan berkata: "Aku curi belajar. Apakah kau mau
jalankan perintah majikanmu buat menghukum aku?"
Yoe Peng tertawa-tawa dan menyahut: "Puteri kami sebenarnya sangat sayang kau.
Sebetul-betulnya, ia sudah perintah aku ajarkan kau beberapa macam ilmu silat,
sebelumnya kau meninggalkan keraton. Cuma menyesal malam itu kau mencuri masuk ke
dalam tempat pemujaan, sehingga Kongtjoe jadi gusar sekali. Menurut dugaanku, ia cuma
mau gertak kau, dan sehabis mengadu pedang, rasanya ia akan segera lepaskan kau dari
kurungan. Sesudah mengalami bencana alam yang hebat, tak dinyana kau dan aku masih
bisa hidup terus. Cobalah tuturkan pengalaman dalam keraton selama tiga bulan yang
lalu."
Thian Oe segera tuturkan segala kejadian secara ringkas. "Aku sudah duga semua
saudara-saudara tidak akan sampai binasa," kata Yoe Peng setelah dengar penuturan
Thian Oe. "Sebetul-betulnya, waktu itu aku cuma kuatirkan keselamatanmu yang sedang
dikurung dalam gua. Jika kau sampai kenapa-kenapa, Kongtjoe tentu akan merasa tidak
enak hati."
"Dan bagaimana dengan Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
Yoe Peng geleng-gelengkan kepalanya dan menyahut: "Selagi menemani soenio-mu
memetik daun obat, aku lihat tanda-tanda bakal terjadinya gempa bumi. Maka itu, buru-
buru kita naik perahu dan turun ke telaga Thian-ouw. Aku sama sekali tidak mengetahui
keadaannya Kongtjoe."
Thian Oe merasa putus harapan. "Soenio-ku?" ia tanya lagi.
"Ia sudah pulang ke Soetjoan buat tunggu lahirnya anak yang sedang dikandung,"
sahut Yoe Peng.
Mendengar begitu, Thian Oe jadi sadar. Ia sekarang mengetahui, bahwa soenio-nya
sedang hamil, sehingga tidaklah heran gurunya sudah tinggalkan pesanan begitu
kepadanya.
"Tak lama lagi kau akan mempunyai soetee atau soemoay. Apa kau tidak girang?" kata
Yoe Peng sembari tertawa.
Mengingat kebinasaan yang menyedihkan dari gurunya, hatinya Thian Oe kembali
merasa sedih. "Tapi kenapa kau tidak buru-buru balik ke keraton?" tanya ia dengan suara
menegor.
"Kau tahu, hari itu gunung berapi meledak dan gempa bumi yang hebat telah terjadi,"
menerangkan Yoe Peng. "Sesudah gempa bumi itu, di selebar gunung penuh dengan
batu-batu dan lahar yang sangat panas. Selainnya itu, jalanan juga sudah tertutup
semuanya. Melihat begitu, kita tahu tidak akan bisa naik ke gunung pada sebelumnya
lahar itu menjadi dingin. Soenio-mu sedang hamil, mana bisa ia berdiam lama-lama di
daerah pegunungan yang tidak mempunyai tempat meneduh. Aku tahu dalam keraton
sudah siap sedia tempat berlindung, sehingga, kecuali pikirkan keselamatanmu, aku
anggap keselamatan para saudara dan Thiekoay sian sudah terjamin. Aku segera bujuk
soenio-mu supaya pulang lebih dahulu ke Soetjoan buat melahirkan dan begitu ada
kemungkinan, aku percaya Thiekoay sian juga akan segera menyusul."
"Tapi guruku tak akan bisa pulang lagi," kata Thian Oe dengan suara serak.
Mendengar kebinasaannya Thiekoay sian, Yoe Peng juga merasa sangat terharu. Ia
berdiri bengong beberapa saat dan kemudian menanya: "Kemana kau mau pergi?"
"Ke Lhasa. Dan kau?" Thian Oe balas tanya.
"Aku tak tahu mau pergi kemana," jawab Yoe Peng sembari tertawa. "Sebetulnya, aku
cuma niat berdiam di daerah ini buat sementara waktu dan lantas pulang begitu lekas
lahar menjadi dingin dan keras."
"Sekarang, selainnya satu kawah yang masih semburkan api dan asap, di atas gunung
sudah tidak terdapat lahar panas lagi," menerangkan Thian Oe.
"Itulah aku tidak tahu," kata Yoe Peng. "Aku sebetulnya niat menunggu sampai musim
semi baru pulang buat lihat-lihat keadaan." Ia berdiam beberapa saat dan kemudian
berkata lagi sembari mesem: "Apa kau masih ingat itu toeilian yang digubah oleh si
pemuda baju putih
dengan mengambil namaku? Ia persamakan diriku seperti seorang wanita suci yang
berdiam dalam lembah gunung yang sunyi. Tapi sebenar-benarnya, sebagai manusia
biasa, aku pun ingin sekali melihat-lihat keadaan di dunia luar. Selama berdiam begitu
banyak tahun dalam keraton, sering-sering aku merasa sangat kesepian."
Dengan senyumannya yang manis, di bawah sinarnya sang bulan, Yoe Peng seakan-
akan satu bocah yang nakal. Hatinya Thian Oe juga masih bebocahan. Ia tertawa dan
berkata: "Hm! Kau rupanya ingin menggunakan kesempatan ini buat jalan-jalan. Di seluruh
Tibet, Lhasa-lah yang paling ramai. Disitu terdapat gereja
Lhama yang luar biasa indahnya. Paling baik kau ikut aku pergi ke Lhasa."
"Bagus! Kita juga bisa sekalian dengar-dengar halnya Kongtjoe," sahut Yoe Peng
dengan suara girang.
Mendengar namanya Pengtjoan Thianlie, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia berdiam
beberapa saat dan kemudian berkata sambil menghela napas: "Tu hari mereka sedang
adu pedang di kakinya Puncak Es. Apa mereka bisa selamatkan diri?"
"Puteri kami bergelar Pengtjoan Thianlie (Bidadari dari Sungai Es)," kata Yoe Peng.
"Meskipun ia tidak dapat disamakan seperti sebangsa dewi, akan tetapi kepandaiannya
sesungguhnya tak dapat diukur bagaimana dalamnya. Aku sama sekali tidak percaya ia
sampai hilang jiwa lantaran bencana alam itu." Dari perkataan dan sikapnya, Yoe Peng
kelihatan pandang majikannya betul-betul seperti seorang dewi, sehingga Thian Oe jadi
terpengaruh dan tidak percaya lagi Pengtjoan Thianlie binasa dalam gempa bumi. Dengan
demikian, hatinya jadi legaan.
"Kau lihat Puteri kami bertempur seru dengan si pemuda baju putih, tapi janganlah kau
anggap mereka berkelahi seperti musuh," kata Yoe Peng sembari tertawa. "Aku sudah
dapat lihat, Kongtjoe sebenarnya suka pemuda itu!"
Thian Oe tertawa besar seraya berkata: "Kau ini benar-benar setan yang cerdik!"
"Kau juga setan pintar yang berlagak bodoh," membalas Yoe Peng. "Kau mencintai
siapa, aku juga sudah tahu."
Paras mukanya Thian Oe lantas berubah guram. "Ilmu kepandaiannya Chena masih
sangat cetek. Belum tentu ia dapat loloskan diri," katanya dengan suara perlahan.
"Orang baik tentu akan dilindungi Tuhan. Kalau belum takdirnya mati, ia tentu tidak
akan mati," kata Yoe Peng dengan suara menghibur. Kata-kata itu sebenarnya cuma
merupakan hiburan belaka, akan tetapi, sesudah mendengar, hatinya Thian Oe jadi
terhibur juga.
Sesudah berjalan beberapa lama, Thian Oe menanya: "Kau selalu memanggil
Pengtjoan Thianlie sebagai Paduka Puteri. Bolehkah aku mendapat tahu, ia sebenarnya
puteri dari negara mana? Kenapa ia mempunyai kedudukan Kongtjoe, sedang ayahnya
hanya seorang pendekar dalam Rimba Persilatan?"
"Baiklah," sahut Yoe Peng. "Buat hilangkan kesepian, aku akan ceritakan asal-usulnya
Kongtjoe."
Demikianlah, dengan diterangi sinar bulan yang bagaikan perak, Yoe Peng segera jalan
lebih dekat dengan Thian Oe dan mulai dengan penuturannya:
"Pada tiga puluh tahun yang lalu, di negara Nepal hidup seorang puteri raja yang
bernama Hoa Giok. Ia diberi nama Hoa Giok oleh karena raja sangat mengagumi sifat ke
Tionghoa-an dan juga oleh karena sang puteri berparas sangat cantik, ibarat batu giok dari
bangsa Han. Sesudah besar, Hoa Giok Kongtjoe menjadi seorang gadis yang boenboe
songtjoan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu silat). Ia belajar ilmu surat dari guru-guru yang
sengaja diundang dari Tiongkok, sehingga ia bukan saja apal macam-macam kitab, tapi
juga pandai menggubah syair-syair Tionghoa. Buat menjadi guru silatnya, Raja Nepal
undang ahli silat dari negara Arab. Di sebelahnya itu, ia tentu saja mahir dalam ilmu
menunggang kuda dan ilmu memanah yang menjadi kesukaannya.
"Sang tempo berjalan cepat sekali. Dalam tempo sekejap, sang puteri sudah berusia
delapan belas tahun. Para pemuda di Nepal tentu saja sangat ingin dapatkan Hoa Giok
sebagai isterinya, akan tetapi, tak ada barang satu yang dipenuju oleh sang puteri. Tahun
lepas tahun dan Hoa Giok sudah berusia dua puluh dua tahun. Raja Nepal yang cuma
mempunyai seorang puteri jadi merasa bingung juga. Supaya puterinya tidak sia-siakan
usia muda, ia niat pilih satu Hoema (menantu raja) dan kemudian paksa supaya puterinya
mau menikah dengan pemuda pilihannya itu. Akan tetapi, Hoa Giok menolak dengan
keras dan ajukan satu usul balasan.
"Sesuai dengan apa yang ia sering baca dalam buku-buku Tionghoa, ia ingin memilih
sendiri suaminya dengan berdirikan loeitay. Ia usulkan kepada ayahnya, supaya
dibcrdirikan dua loeitay, yaitu loeitay buat adu ilmu surat dan loeitay buat adu ilmu silat.
Setiap calon harus lebih dahulu dijajal ilmu silatnya, dan jika lulus, baru dicoba ilmu
suratnya. Dalam ilmu silat, sesudah lulus beberapa ujian sulit, seorang calon harus adu
pedang dengan ia sendiri, dan kalau menang, barulah diuji ilmu suratnya. Dalam ilmu
surat, satu calon bukan saja harus mahir dalam kesusasteraan Nepal, tapi juga mesti
mengenal kitab-kitab dan syair Tionghoa. Di antara orang Nepal memang banyak yang
mengenal bahasa Tionghoa, tapi pengetahuan mereka kebanyakan sangat cetek dan
manalah bisa gampang-gampang lulus dari ujiannya sang pulen. Selama dua tahun,
jumlah pemuda yang majukan lamaran semuanya ada seratus dua puluh empat orang,
tapi yang berhak adu pedang dengan sang puteri cuma ada tujuh orang, sedang yang bisa
menangkan Hoa Giok cuma tiga orang saja. Akhirnya ketiga orang itu jatuh semuanya
dalam ujian kesusasteraan Tionghoa.
"Raja jadi bingung sekali dan belakangan malahan permisikan masuknya calon-calon
bangsa Han. Tapi semua calon Tionghoa pun siang-siang sudah pada roboh dalam ujian
ilmu silat.
"Tanpa merasa, usianya Kongtjoe sudah menanjak jadi dua puluh empat tahun. Pada
suatu hari, dengan suara sungguh-sungguh Raja Nepal berkata kepada puterinya:
'Sekarang kau sudah gagal dalam usaha memilih Hoema, maka sepantasnya kau
serahkan urusan itu ke dalam tanganku. Aku tak dapat permisikan kau membuka loeitay
terus-menerus dalam tempo yang tidak terbatas.' Hoa Giok lalu minta tempo seratus hari
lagi, dan kalau sudah lewat seratus hari lagi ia
belum juga berhasil, barulah ayah dan anak berunding lagi. Akan tetapi, diam-diam
Kongtjoe yang beradat tinggi dan agung itu sudah mengambil putusan pasti buat tidak
menikah dengan lelaki sembarangan, dan jika sesudah seratus hari ia beium juga
berhasil, ia rela menjadi pendeta dan tidak menikah seumur hidupnya.
"Sesudah lewat sembilan puluh sembilan hari belum juga ada calon yang berhasil,
sehingga Kongtjoe sendiri juga merasa putus harapan. Pada hari yang ke seratus
mendadak datang satu calon bangsa Han yang mukanya penuh debu dan mengatakan,
bahwa ia baru saja tiba dari tempat jauh dan ingin ajukan diri sebagai seorang calon.
Dalam ujian ilmu silat, pemuda itu ternyata pandai menunggang kuda dan memanah,
sedang kedua tangannya sanggup angkat batu yang beratnya ribuan kati. Sesudah lulus
berbagai ujian berat, ia akhirnya berhadapan dengan puteri Hoa Giok sendiri. Ia layani
sang puteri dari tengah hari sampai magrib dan akhirnya secara indah sekali, ia sontek
tutupan mukanya Puteri dengan ujung pedangnya.
"Ketika dijajal ilmu suratnya, Puteri Hoa Giok sendiri sampai merasa sangat kagum. Ia
ternyata mengenal baik kesusasteraan Nepal dan tentu saja sangat mahir dalam
kesusasteraan Tionghoa dan malahan banyak penjelasan-penjelasan yang belum dikenal
oleh sang puteri sendiri. "Sekarang tinggal dua ujian terakhir buat coba kecepatan
otakmu" kata Puteri Hoa Giok. "Jika kau lulus, kau..." Kongtjoe tidak dapat teruskan
perkataannya dan mukanya jadi bersemu merah. Pemuda itu lantas saja minta ia
keluarkan dua ujian terakhir itu..."
"Pemuda itu tentulah juga ayahnya Pengtjoan Thianlie, Koei Hoa Seng Tayhiap," Thian
Oe potong penuturan orang. "Koei Tayhiap sedari kecil mendapat didikan langsung dari
ibunya sendiri, maka tidaklah heran kalau ia mempunyai pengetahuan tinggi sekali dalam
ilmu surat dan ilmu silat. Apakah adanya itu dua ujian terakhir?"
"Ujian yang pertama ialah Kongtjoe rninta Koei Tayhiap menggubah sepasang toeilian,"
Yoe Peng lanjutkan penuturannya. "Toeilian tersebut harus digubah dengan menggunakan
namanya, yaitu Hoa Giok. Buat itu Koei Tayhiap diberi tempo sepasangan hio, dan kalau
sampai hio terbakar habis, toeilian belum selesai, Koei Tayhiap jatuh dari ujian itu.
Sesudah mendengar penjelasan Kongtjoe, Koei Tayhiap segera berkata: "Toeilian itu
sudah ada, cuma mungkin kata-katanya sedikit menyinggung, sehingga aku mohon
Paduka Puteri sudi maafkan." Sehabis berkata begitu, Koei Tayhiap segera menulis
toeilian yang bunyinya seperti berikut:
"Gunung indah, pemandangan permai,
siapakah yang mau diajak pesiar?
Melihat pohon Buhdi berkembang, Sa Kya bermesem
simpul. Suling giok (batu kemala), suaranya merdu,
mengundang tetamu turut bersuka ria.
Mendengar Siang Djie mementil khim, Tjoe Tjin meniup suling."
"Pada baris pertama dari toeilian itu, Koei Tayhiap telah mengambil petikan dari kitab
Budha, sedang pada baris kedua, ia menggunakan hikayatnya Soema Siang Djie yang
meminang Tjo Boen Koen dengan mementil khim dan hikayatnya Tjoe Tjin yang dengan
meniup suling, telah mengundang burung Hong buat melamar puterinya Raja muda Tjin
Bok Kong, yang bernama Long Giok. Demikianlah, pada baris kedua itu, Koei Tayhiap
telah kutib cara melamar isteri dari dua orang dahulu kala itu. Ketika ia menulis habis, hio
baru saja terbakar sepertiga. Begitu membaca toeilian tersebut, Hoa Giok Kongtjoe
tertawa dengan paras muka girang dan lalu maju dengan ujian yang kedua, yaitu ujian
yang paling akhir." (Perkataan "indah" –- hoa -- dari baris pertama, jika dirangkap dengan
perkataan "giok" dari baris kedua, jadilah Hoa Giok, yaitu namanya sang puteri).
Thian Oe tertawa seraya berkata: "Kalau begitu tidak heran Pengtjoan Thianlie begitu
suka menggubah toeilian dari namanya orang. Tak tahunya ia mewarisi kesukaan itu dari
ayah ibunya."
"Kedatangan si pemuda baju putih ke keraton es adalah seperti kedatangan Koei
Tayhiap ke Nepal buat meminang dirinya Kongtjoe," kata Yoe Peng.
"Tapi bagaimana dengan ujian kedua?" tanya Thian Oe dengan suara tidak sabaran.
"Hayolah jangan omongi segala hal yang tidak ada perlunya."
"Cerita ini adalah cerita didalam cerita," demikian Yoe Peng lanjutkan penuturannya.
"Pendahuluan dari ujian kedua ialah satu cerita dahulu kala. Cerita itu belum berakhir
dan dapat
di akhiri menurut sukanya orang. Dengan lain perkataan, cerita itu bisa berakhir girang
dan juga
bisa berakhir sedih. Buat uji kecerdasan otaknya, Kongtjoe minta Koei Tayhiap menulis
akhirnya cerita itu."
"Cerita itu adalah begini: Dahulu kala, seorang puteri diam-diam jatuh cinta kepada
seorang boesoe (pahlawan). Tidak terduga, boesoe itu bercintaan dengan satu dayang.
Apa mau rahasia ini terbuka. Dalam kegusarannya, sang puteri beritahukan ayahnya.
Kedosaan itu adalah kedosaan besar dan si boesoe harus mendapat hukuman berat.
"Akan tetapi, negeri itu mempunyai cara menghukum yang sangat luar biasa. Mereka
percaya, bahwa di langit terdapat dewa yang memegang nasibnya manusia. Apakah
terdakwa berdosa atau tidak juga diputuskan oleh sang dewa itu. Caranya adalah begini:
Si terdakwa dilepaskan di atas satu lapangan terbuka yang sangat luas. Di sebelah kiri
dan kanannya lapangan tersebut terdapat satu pintu. Dalam pintu yang satu ditaruh
seekor singa kelaparan, sehingga kalau si terdakwa masuk kesitu, ia tentu akan dibeset
dan dimakan oleh singa tersebut. Dalam pintu yang satunya lagi terdapat satu jalanan
yang menerus keluar lapangan. Jika si terdakwa masuk di pintu itu, ia segera dapat
pulang kemerdekaannya dan segala tuduhan dibikin habis. Menurut kepercayaan, orang
itu mendapat berkahnya dewa dan siapa yang mendapat berkahnya dewa, bukannya
seorang jahat."
"Oleh karena tidak mengetahui bahwa puterinya mencintai si boesoe dan juga oleh
karena sangat sayang pahlawan itu, maka raja sengaja menaruh belas kasihan yang
istimewa. Seperti biasa, dalam pintu yang satu ditaruh seekor singa kelaparan. Akan
tetapi, dalam pintu yang satunya lagi, raja perintah taruh si dayang kecintaannya boesoe
itu. Jika boesoe itu masuk ke dalam pintu yang terisi singa, memang sudah nasibnya ia
mesti binasa dan dewa anggap ia berdosa. Akan tetapi, manakala ia masuk ke dalam
pintu yang berisi dayang, maka bukan saja ia akan memperoleh kemerdekaannya, tapi
juga diperbolehkan menikah dengan kecintaannya itu."
"Pada harian penentuan nasibnya boesoe tersebut, sang puteri juga turut menonton.
Panggungnya keluarga raja berdiri di tengah-tengah antara kedua pintu nasib. Waktu
lewat di depan panggung, boesoe tersebut mengawasi sang puteri dengan sorot mata
mohon dikasihani. Kongtjoe itu tahu pintu mana yang berisi singa dan pintu mana yang
berisi dayang."
"Saat itu, nasibnya si boesoe terletak dalam tangannya Kongtjoe. Dengan sekali tunjuk,
ia dapat memutuskan, apa boesoe itu mati atau hidup. Pintu manakah yang akan ditunjuk
oleh sang puteri? Di satu pihak, hatinya gusar dan sakit hati lantaran perbuatannya
boesoe itu, ditambah pula dengan perasaan mengiri terhadap sang dayang yang sudah
merebut kecintaannya. Akan tetapi di lain pihak, dengan cintanya yang sangat besar,
dimana ia tega kalau boesoe itu sampai dibeset singa?"
"Pada saat itu, dua rupa pemandangan berkelebat di depan matanya Kongtjoe. Di ini
detik, ia lihat boesoe itu menikah dengan sang dayang dengan penuh kecintaan dan
kemanisan. Di lain detik, ia lihat tubuh yang berlumuran darah dari boesoe tersebut, akibat
dibeset singa. Ketika ia dongakkan kepalanya, ia lihat sorot mata yang memohon kasihan
dari kecintaannya itu. Pintu manakah yang sang puteri harus tunjuk?"
Thian Oe sudah dibikin begitu ketarik dengan cerita itu, sehingga ia mendengari dengan
mata mendelong dan mulut ternganga, dan tanpa merasa, hatinya berdebar-debar dan
turut memikiri, pintu mana yang harus ditunjuk oleh Kongtjoe.
Yoe Peng tertawa dan berkata pula: "Waktu itu, pertanyaannya Hoa Giok Kongtjoe juga
adalah sedemikian. 'Andaikata kau jadi puteri itu,' kata Puteri Hoa Giok kepada Koei
Tayhiap, 'pintu manakah yang kau akan tunjuk?' Jawabannya Koei Tayhiap haruslah cocok
dengan pendapatnya sang puteri yang menurut sukanya dapat memutuskan sendiri, apa
jawaban Koei Tayhiap benar atau salah.
"Pertanyaan itu bukan main sukarnya. Tidak perduli pintu mana juga yang ditunjuk oleh
Koei Tayhiap, Hoa Giok Kongtjoe bisa bilang ia tidak mengerti soal cinta. Soal cinta dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda, menurut pendapat pribadi dari sesuatu orang. Sebagai
contoh, jika sang puteri dalam cerita itu menunjuk pintu yang ada singanya, maka dapat
ditafsirkan, bahwa ia menunjuk pintu itu lantaran mencinta, sebab cinta menimbulkan
cemburu dan cinta yang sangat dapat menimbulkan kebencian yang sangat. Jika sang
puteri tunjuk pintu yang berisi dayang, itu juga bisa ditafsirkan bahwa ia menunjuk pintu itu
lantaran mencinta, sebab orang yang betul-betul mencinta selamanya bersedia buat
mengampuni orang yang dicinta, dan di sebelahnya itu,
cinta berarti juga pengorbanan guna keberuntungannyaorang yang dicinta.
Tapi
bagaimanakah pendapat Hoa Giok Kongtjoe mengenai soal itu? Itulah ada soal sulit yang
mesti ditebak dengan jitu oleh Koei Tayhiap!"
"Koei Tayhiap memikir beberapa saat dan kemudian tanya Hoa Giok Kongtjoe: 'Puteri
dalam cerita itu, apakah puteri dari negara Timur atau puteri dari negara Barat?' Cerita itu
sebenarnya adalah cerita dari Eropa yang belakangan masuk ke Timur dan menjadi bahan
dari berbagai penulis. Koei Tayhiap mengetahui sumbernya cerita itu, akan tetapi ia
sengaja menanya begitu."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak mengerti maksudnya segera balas menanya: 'Kalau
puteri Timur bagaimana? Kalau puteri Barat bagaimana?' Koei Tayhiap tertawa dan
menyahut: 'Kalau sang puteri adalah puteri dari negara Timur, ia tentu akan tunjuk pintu
yang berisi dayang. Tapi jika ia adalah puteri dari Barat, ia tentu akan tunjuk pintu yang
ada singanya. Orang Timur biasanya lebih bersedia saling mengampuni, sedang kaum
wanitanya kebanyakan berhati welas asih, sehingga sepuluh sembilan ia tidak akan tega
melihat kecintaannya dibeset singa. Di lain pihak, cintanya wanita negara Barat bersifat
monopoli, yaitu tidak sudi membagi kepada lain orang. Orang Barat suka mengatakan
bahwa cinta adalah seperti biji mata dan disitu tidak boleh menyelip barang sebutir pasir.
Maka itulah, jika sang puteri adalah puteri negara Barat, sepuluh sembilan ia akan tunjuk
pintu yang berisi singa, sebab ia kebanyakan lebih suka kecintaannya binasa daripada
direbut oleh lain perempuan. Akan tetapi, jika boesoe itu adalah seorang Tionghoa, siang-
siang ia tentu dapat mengetahui kecintaannya sang puteri, sehingga kejadian itu
sebenarnya tidak usah terjadi!"
"Bukan main licinnya jawaban itu. Tapi Koei Tayhiap sebenarnya boleh tidak usah
susah-susah. Kita bisa duga, tak perduli Koei Tayhiap menjawab bagaimana juga, Hoa
Giok Kongtjoe tentu akan merasa puas."
"Begitulah Hoa Giok Kongtjoe segera menetapkan Koei Tayhiap sebagai Hoema. Bukan
main girangnya raja. Waktu dilangsungkan pesta pernikahan, tiga hari libur diberikan di
seluruh negeri dan semua orang pada bersuka ria. Pada lain tahunnya, Hoa Giok
Kongtjoe melahirkan seorang puteri yang diberi nama Peng Go oleh Koei Tayhiap. Ia
itulah yang belakangan dikenal sebagai Pengtjoan Thianlie. Raja tidak mempunyai anak
lelaki. Hoa Giok Kongtjoe adalah anaknya yang tunggal. Dari sebab begitu, sang cucu
Peng Go juga diberi gelaran Kongtjoe."
"Kedua mempelai hidup beruntung sekali dan tidak terasa lima tahun sudah lewat.
Usianya raja sudah lanjut dan ia merasa jengkel memikiri soal ahli waris yang harus
gantikan ia menjadi raja."
"Dalam banyak negara, seorang puteri dapat naik ke atas tahta. Akan tetapi, menurut
kebiasaan di Tiongkok, cuma orang lelaki yang boleh menjadi kaizar. Sudah lama Nepal
kena pengaruhnya kebudayaan Tionghoa, sehingga soal itu menjadi pertentangan antara
dua partai. Satu partai menghendaki supaya Hoa Giok Kongtjoe gantikan ayahnya,
sedang lain pihak ingin Raja Nepal angkat keponakan lelakinya sebagai ahli waris.
Keponakan itu sudah lama sekali incar-incar tahta kerajaan. Dia sudah mempunyai
banyak sekali konco-konco dan tukang pukul. Tak usah dibilang lagi, dia sangat membenci
Hoa Giok Kongtjoe. Pertentangan antara kedua partai semakin lama jadi semakin hebat,
sehingga dalam kerajaan Nepal yang tenteram jadi timbul hujan angin."
"Hoa Giok Kongtjoe yang tidak tega melihat negaranya terancam bahaya, segera
berdamai dengan Hoema. Koei Tayhiap anjurkan isterinya melepaskan haknya dan sama-
sama menyingkirkan diri ke Tibet. Kedua suami isteri itu, yang mempunyai ilmu silat
sangat tinggi, telah melebur ilmu pedang Tionghoa dan ilmu pedang daerah Barat menjadi
satu dan menggubah satu ilmu pedang baru. Hoa Giok menyetujui pikiran suaminya. Ia
pun merasa, bahwa hidup tenteram bersama-sama suaminya yang tercinta, ada lebih
beruntung daripada menjadi ratu. Maka itulah, ia tinggalkan sepucuk surat buat
ayahandanya dan diam-diam tinggalkan keraton bersama suami, puterinya dan sejumlah
dayang. Selama hidup dalam keraton, sang puteri sangat dicintai orang. Waktu mau
berangkat, beberapa puluh dayangnya berkeras mau mengikut juga, sehingga ia terpaksa
mesti mengajak."
"Sesudah keraton es berdiri, sejumlah dayang yang usianya lebih tua telah pulang ke
Nepal buat sementara waktu, guna memilih sejumlah anak perempuan dari kalangan
keluarga mereka buat diajak datang ke keraton supaya dapat mengawani Puteri Peng Go.
Anak-anak perempuan itu
menjadi besar bersama-sama Pengtjoan Thianlie dan mereka semuanya mempunyai ilmu
silat yang cukup tinggi."
"Sesudah Hoa Giok Kongtjoe meninggalkan keraton tiga tahun lamanya, Raja Nepal
wafat dan keponakan lelakinya naik ke atas tahta sebagai gantinya."
"Menurut katanya orang, begitu naik tahta, raja baru coba menyelidiki dimana adanya
Koei Tayhiap suami isteri, akan tetapi mana dia bisa mencarinya. Sesudah berdiam di atas
Thian-ouw, hatinya Kongtjoe menjadi lebih tawar terhadap segala urusan ke negaraan. Ia
lebih-lebih tidak sudi balik ke negaranya, ketika dapat dengar bahwa saudara misanannya
adalah satu raja yang kejam dan sombong. Hoa Giok Kongtjoe meninggal dunia terlebih
dahulu dari Koei Hoema. Waktu mau menutup mata, ia tinggalkan pesanan, bahwa,
kecuali kalau Puncak Es roboh, semua penghuni dari keraton es tidak boleh turun gunung.
Sesudah isterinya meninggal dunia, Koei Tayhiap berdirikan sebuah kuil yang berbentuk
kuil Nepal dalam taman keraton. Selainnya membuat sebuah patung isterinya guna
pemujaan, ia ukir ilmu pedang gubahannya pada dinding kuil tersebut. Kecuali Pengtjoan
Thianlie, tak ada lain orang yang boleh masuk kedalam kuil tersebut yang jadi semacam
tempat terlarang.
"Lewat setahun sesudah meninggalnya sang puteri, Koei Tayhiap susul isterinya ke
alam baka dan Pengtjoan Thianlie menjadi majikan tunggal dari keraton es. Seperti kedua
orang tuanya, ia juga sangat suka dengan kesusasteraan Tionghoa dan semua dayang-
dayangnya diberikan nama Han."
Demikian penuturan mengenai riwayatnya Pengtjoan Thianlie yang diberikan oleh Yoe
Peng. "Apa cerita itu cukup menarik?" tanya Yoe Peng dengan tertawa sedih, setelah
selesai dengan
ceritanya.
Sesudah berdiam beberapa saat, Thian Oe berkata: "Cerita ini juga belum berakhir.
Seperti juga cerita si boesoe, cerita Pengtjoan Thianlie juga bisa berakhir sedih atau
berakhir girang."
"Bagaimana?" tanya Yoe Peng.
"Perangkapan jodoh antara dua orang yang berlainan bangsa dan kemudian hidup
seperti di dalam surga, ceritamu luar biasa indahnya," menerangkan Thian Oe. "Sepasang
merpati itu kemudian dapat satu puteri – yaitu Pengtjoan Thianlie – yang benar-benar
seperti satu bidadari dari kahyangan. Jika Pengtjoan Thianlie dan si pemuda baju putih
bisa terangkap jodoh dan dapat hidup seperti Koei Tayhiap dan Hoa Giok Kongtjoe, maka
cerita ini berakhir girang. Akan tetapi, jika Pengtjoan Thianlie tak dapat loloskan diri dari
bencana gempa bumi dan binasa secara kecewa sekali, maka cerita ini berakhir sedih."
"Tentu bisa lolos! Tentu bisa lolos!" Yoe Peng berkata dengan suara tetap.
"Harap saja begitu," berkata Thian Oe sembari dongakkan kepalanya. Dengan hati
sedih ia mengawasi itu rembulan yang sinarnya dingin. Mendadakan saja ia ingat cerita
tentang ia sendiri dan Chena. Ia juga tak tahu, apa cerita itu akan berakhir sedih atau akan
berakhir girang.
Thian Oe bengong terlongong-longong. Lama, lama sekali ia tak dapat keluarkan
sepatah kata. "Anak tolol!" kata Yoe Peng sembari towel pipinya. "Apa yang kau lagi
pikirkan."
Mendadak ia lihat paras mukanya Thian Oe berobah, seperti juga sedang mendengari
apa-apa. Yoe Peng juga pasang kupingnya dan sudah dengar suara itu. "Ih! Ada orang!" ia
berbisik di kupingnya Thian Oe. Mereka berdua lantas saja loncat dan sembunyikan
dirinya di belakang satu batu besar.
Di lain saat, beberapa bayangan orang kelihatan berkelebat mendatangi. Di sebelah
timur terdengar dua tepukan tangan, sedang di sebelah barat juga terdengar dua tepukan
tangan.
"Mari kita ke tempat yang lebih tinggi, supaya tak dapat dilihat oleh mereka," kata Thian
Oe. Dengan menggunakan ilmu entengi badan yang sangat tinggi, seperti monyet mereka
naik ke lereng gunung dan mengumpat di belakangnya satu batu besar, dari mana,
dengan bantuan sinar rembulan, mereka dapat lihat keadaan di sebelah bawah dengan
nyata sekali.
Dengan beruntun, bayangan-bayangan hitam itu berhenti di tempat dimana barusan
Thian Oe dan Yoe Peng berdiri. Mereka lalu bersila di atas tanah dalam bentuk satu
lingkaran bundar.
"Dilihat begini, mereka rupanya mau berunding," berbisik Thian
Oe, yang mempunyai lebih banyak pengetahuan daripada Yoe Peng tentang kebiasaan
orang-orang Kangouw, berkat pengunjukannya Thiekoay sian.
Mendadak Yoe Peng tertawa dan berkata: "Pedagang-pedagang dari Eropa yang
sangat tahayul, sangat tidak menyukai hari Jumat dan angka tiga belas. Mereka anggap,
hari Jumat dan angka tiga belas membawa kesialan. Coba lihat! Mereka itu berjumlah tiga
belas orang dan kalau tidak salah, hari ini adalah hari Jumat."
"Mana boleh!" kata Thian Oe. "Kalau toh benar-benar sial, aku anggap cuma kebetulan
saja." Mendengar Yoe Peng menyebutkan hari, tiba-tiba Thian Oe ingat apa-apa. "Eh,"
katanya. "Tanggal berapa ini? Tanggal penanggalan Tionghoa (Imlek)."
"Tak ingat," jawab Yoe Peng. "Penanggalan Tionghoa rewel sekali, ada bulan besar,
bulan kecil. Cuma semalam dan pagi tadi di dalam kota aku lihat banyak orang Han
membeli kue, katanya mau digunakan buat sembahyang Tiongtjhioe (Pertengahan Musim
Rontok)."
"Dengan Puteri Kecil (Pengtjoan Thianlie) kau pernah baca banyak bukunya orang Han,
apa kau tidak tahu bahwa perayaan Tiongtjhioe adalah salah satu perayaan bangsa Han
yang sangat penting?" kata Thian Oe. "Apa kau tak tahu, perayaan itu jatuh pada Pegwee
Tjapgo (bulan delapan tanggal lima belas)?"
"Aku tahu," jawab Yoe Peng. "Tapi ada urusan apa dengan Pegwee Tjapgo? Perlu apa
kau begitu perhatikan penanggalan?"
"Aku jadi ingat perkataannya Pengtjoan Thianlie," jawab Thian Oe. "Ah, aku kuatir
benar-benar ada alamat jelek!"
Yoe Peng jadi merasa heran sekali. "Apa?", tanya ia. "Pengtjoan Thianlie pernah bilang
apa?" "Apa kau tidak ingat kejadian pada harian aku tiba di keraton es?" tanya Thian
Oe. "Hari itu
guruku yang pertama (Siauw Tjeng Hong) telah bertemu musuhnya, yang belakangan
diusir oleh Pengtjoan Thianlie."
"Aku tidak turut menyaksikan," kata Yoe Peng. "Baru belakangan aku dengar
penuturannya Kongtjoe. Ia bilang musuhnya Siauw Soehoe bernama Loei Tjin Tjoe. Nama
itu kedengarannya luar biasa sekali."
"Benar", kata Thian Oe. "Musuhnya Siauw Soehoe semuanya ada tiga orang. Satu
bernama Loei Tjin Tjoe, satu bernama Tjoei In Tjoe dan satunya lagi bernama Ong Lioe
Tjoe, yang sudah kena dibinasakan oleh guruku. Yang hari itu kita bertemu di Thian-ouw
adalah Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe. Orang yang turun tangan cuma Loei Tjin Tjoe
seorang. Dengan gunakan pedang es, Pengtjoan Thianlie telah robohkan Loei Tjin Tjoe
yang mungkin lantaran malu, mau coba bunuh diri. Pengtjoan Thianlie menolong dan
mengatakan, bahwa ia sebenarnya sudah kena dipermainkan oleh Ong Lioe Tjoe dan
kalau mau tahu terang duduk persoalan, ia boleh datang di Chaklun pada tanggal Pegwee
Tjapgo tahun ini. Nah, tempat ini adalah Chaklun dan justru Pegwee Tjapgo!"
Yoe Peng merasa heran sekali dan berkata: "Puteri Kecil selamanya belum pernah
turun gunung, cara bagaimana ia bisa mengetahui kejadian yang bakal terjadi pada
malam ini?" Tapi lantaran percaya Thian Oe tidak berdusta, ia menanya pula: "Coba kau
lihat, apa di antara tiga belas orang itu terdapat Loei Tjin Tjoe?"
Thian Oe mengawasi dan lalu geleng-gelengkan kepalanya. "Tak ada," katanya. "Heran
betul! Apa ia tidak datang? Sst! Diam! Mereka sudah mulai bicara."
Ketiga belas orang itu pasang hio, rupanya sedang jalankan semacam upacara.
"Kenapa Ong Lioe Tjoe sampai sekarang belum datang?" demikian terdengar suaranya
satu orang. Thian Oe terkejut. Rupanya mereka belum mengetahui, bahwa Ong Lioe Tjoe
sudah binasa.
"Mana boleh tidak datang?" kata seorang lain. "Ia sendiri yang janjikan supaya malam
ini kita berkumpul disini."
"Tak usah tunggu padanya," kata orang yang pertama. "Mari kita mulai. Bermula Hok
Tayswee (Jenderal Hok, yaitu Hok Kong An) mau perintah kita melindungi itu guci emas,
tapi sekarang tidak perlu lagi. Ia perintah kita memberitahukan kawan-kawan, supaya
pada sebelum buntut tahun, semua kawan pada pergi ke Sinkiang."
"Kenapa tenaga kita tidak dipakai lagi?" tanya seorang.
"Aku dengar suku Hapsatkek di Sinkiang memberontak," jawab orang yang pertama.
"Dalam pemberontakan itu ada turut sejumlah murid-murid Boetong pay. Buat menghadapi
mereka itu, Hok Tayswee memerlukan sekali tenaga kita. Maka itu, Hok Tayswee
bukannya pandang kita rendah. Saudara tak usah banyak pikiran."
Mendengar perkataan itu, hatinya Thian Oe jadi berdebar. Ia ingat penuturannya Siauw
Tjeng Hong dan Thiekoay sian tentang riwayatnya berbagai partai Rimba Persilatan.
Partai Boetong dahulu sebenarnya mempunyai peraturan keras yang melarang murid-
muridnya mencampuri urusan negara dan politik. Belakangan, pada buntutnya ahala Beng
dan permulaan dinasti Tjeng, muncul seorang pendekar Boetong yang bernama Toh It
Hang. Oleh karena mencintai Liehiap Giok Lo Sat, yang belakangan dikenal sebagai
Pekhoat Molie (Siluman Perempuan Rambut Putih), ia tinggalkan Boetongsan dan pergi
ke Sinkiang, dimana ia berdirikan satu partai baru yang membantu Yo In Tjong (muridnya
Hoei Beng Siansu) melawan tentara Boantjeng. Demikianlah peraturan Boetong pay yang
lama telah jadi berobah. Hal itu terjadi pada kira-kira seratus tahun berselang. Belakangan
Koei Tiong Beng menjadi Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay dan mempunyai banyak
sekali murid di wilayah Sinkiang. Sebagian besar murid-murid itu adalah pencinta-pencinta
negeri yang tentangkan pemerintahan Boantjeng. Itulah sebabnya kenapa cabang
Boetong di Sinkiang lebih dihargai rakyat daripada Partai Boetong di Tionggoan (wilayah
Tiongkok asli).
"Kalau begitu orang-orang itu maui tentang murid -murid Boetong," kata Thian Oe
dalam hatinya. "Tapi ada hubungan apa sama Ong Lioe Tjoe? Ong Lioe Tjoe adalah
saudara angkatnya Loei Tjin Tjoe dari Boetong pay, sehingga sebenar-benarnya ia pun
ada musuhnya orang-orang yang sedang berunding itu."
Selagi hatinya bimbang, kupingnya sudah dengar lagi perkataannya satu orang: "Kita
tak dapat menghadapi Boetong pay, tanpa Ong Lioe Tjoe. Kenapa sih ia belum juga
datang? Apa ia sudah kena ditarik ke pihak Boetong?"
Orang yang macamnya seperti toako (saudara tua) berkata sembari tertawa: "Saudara
janganlah terlalu bercuriga. Ong Lioe Tjoe adalah tokoh dari partai Khongtong pay kita.
Dengan banyak susah, sudah hampir dua puluh tahun ia mendekati orang-orang Boetong
pay, dengan tujuan mempelajari rahasia ilmu pedang Boetong. Jika kita dapat melayani
pukulan-pukulan aneh dari ilmu pedang Boetong, kita jadi mempunyai pegangan dalam
usaha menindas pemberontakan di Sinkiang. Ong Lioe Tjoe sudah janjikan supaya kita
berkumpul disini, aku rasa ia tidak akan hilang kepercayaan."
"Pada musim semi tahun ini, ada orang lihat ia datang bersama-sama dua saudara
angkatnya," berkata lagi seorang lain. "Tapi dalam beberapa bulan, lantas tidak ada
wartanya lagi. Apakah sudah terjadi kejadian di luar dugaan?"
"Kejadian apa?" tanya seorang. "Mungkin ia kena ditahan oleh Loei Tjin Tjoe dan tak
dapat loloskan diri," kata orang itu. "Dalam soal ini ada satu hal yang hiantee (adik) tidak
mengetahui," menerangkan sang toako. "Tujuannya Loei Tjin Tjoe adalah membalas sakit
hati dan ia tak nanti mau campur-campur urusan negeri. Kedatangannya bersama-sama
Ong Lioe Tjoe adalah buat membalas sakit hati terhadap Siauw Tjeng Hong. Mereka
sudah datang disini beberapa bulan lamanya, sehingga aku duga ia sudah balas sakit
hatinya dan sudah pulang ke kampungnya. Pada musim semi yang baru lalu, Ong Lioe
Tjoe telah memberi warta begitu kepadaku dan mengatakan juga, bahwa ia akan berdiam
terus disini dan tidak akan ikut Loei Tjin Tjoe pulang ke Soetjoan."
Mendengar pembicaraan itu, bulu badannya Thian Oe jadi pada berdiri. Ia sama sekali
tidak menduga, bahwa dalam kalangan Kangouw terdapat orang-orang yang begitu
macam. Ia bayangkan bagaimana gusarnya Loei Tjin Tjoe andaikata ia dapat mendengar
perundingan tersebut. Meskipun Tan Thian Oe adalah puteranya seorang pembesar
Boantjeng, akan tetapi oleh karena sedari kecil ia telah mendapat didikannya Siauw Tjeng
Hong, diam-diam hatinya membenci pemerintahan yang menjajah bangsa Han itu.
Sang rembulan dengan perlahan doyong ke barat. Ketiga belas orang itu jadi semakin
gelisah dan masing-masing lalu utarakan pikirannya tentang tidak munculnya Ong Lioe
Tjoe. Yang satu kata begini, yang lain kata begitu, sedang yang satunya lagi berkata
dengan suara keras: "Aku tak percaya ilmu pedang Boetong begitu liehay. Jika Ong Lioe
Tjoe tidak datang, apakah kita tidak berani pergi ke Sinkiang?"
Di antara ramainya suara orang bicara, mendadak terdengar suara tertawa dingin dan
dari belakangnya batu-batu loncat keluar dua orang! Pada mukanya orang yang jalan
duluan terdapat tanda tapak golok, sehingga mukanya jadi menyeramkan sekali. Orang itu
bukan lain daripada Loei Tjin Tjoe, jagoan nomor satu dari turunan kedua partai Boetong
pay dan saudara angkatnya
Ong Lioe Tjoe! Orang yang jalan belakangan dengan satu tangan mencekal gendewa,
adalah Tjoei In Tjoe, ahli silat Gobie pay.
Ketiga belas orang Khongtong pay itu hampir berbareng loncat bangun dengan
perasaan kaget sekali. Yang menjadi kepala, yaitu Tjiangboen (pemimpin) Khongtong pay
yang bernama Tio Leng Koen, segera berseru sembari rangkap tangannya: "Ah, kalau
begitu orang sendiri! Loei Toako, Tjoei Toako, lagi kapan kalian datang?"
"Kami sudah datang lama sekali," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara tawar.
"Kenapa tidak lantas datang duduk-duduk disini?" tanya Tio Leng Koen.
"Lantaran aku tidak berani menjadi orang sendirimu," jawab Loei Tjin Tjoe dengan
menyindir. Paras mukanya Tio Leng Koen berobah mendadak. Ia tahu, pembicaraan
tadi tentu sudah
dapat didengar oleh Loei Tjin Tjoe dan satu pertempuran hebat tidak akan dapat
disingkirkan lagi. Ia segera kasih tanda dengan lirikan mata kepada kawan-kawannya dan
berkata dengan suara nyaring: "Oleh karena Loei Toako pernahkan diri sebagai orang luar,
maka dapatkah aku menanya, dengan maksud apa Toako datang pada malam ini?"
"Aku sengaja datang buat memberitahukan kau orang, bahwa Ong Lioe Tjoe tidak bisa
datang pada malam ini," jawab Loei Tjin Tjoe dengan suara tawar. "Nanti juga dia tidak
akan bisa datang!"
"Apa?" Tio Leng Koen menegasi.
"Kalau mau cari dia, kau orang boleh pergi menghadap Giam Loo Ong (Raja Akhirat) di
neraka!" jawabnya.
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Besar benar nyalimu! Sesudah membunuh,
kau masih berani datang kemari." Dengan sekali kebas tangannya, saudara-saudaranya
lantas bergerak mengurung Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe.
Loei Tjin Tjoe dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. "Sungguh sayang
bukannya tanganku sendiri yang membinasakan padanya!" katanya dengan suara
menyesal. Perasaan kecewanya sukar dilukiskan bagaimana besarnya. Mengimpi pun ia
tak pernah mengimpi, bahwa orang yang sudah jadi saudara angkatnya hampir dua puluh
tahun, sebenar-benarnya adalah mata-mata dari Khongtong pay. Hatinya sedih dan suara
tertawanya kedengaran menyayatkan hati.
"Ong Lioe Tjoe bukan dibunuh olehmu?" tanya Tio Leng Koen dengan terkejut.
Pertanyaan itu disusul dengan bentakannya lain-lain jago Khongtong pay yang memaki
dan menanya siapa yang sudah membunuh Ong Lioe Tjoe.
Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang beradat angkuh dan dalam kegusarannya, ia
sungkan banyak bicara lagi. "Biarpun dimampuskan, Ong Lioe Tjoe belum habis bayar
dosanya," kata ia dengan suara tawar. "Siapa juga boleh bunuh padanya. Kalau kau orang
mau balas sakit hati, terjang saja diriku!"
Dengan gusar Tio Leng Koen angkat tangannya dan lantas menerjang. Loei Tjin Tjoe
lantas tempel pundak dengan Tjoei In Tjoe dan segera putar pedangnya.
Tio Leng Koen adalah Tjiangboen (Pemimpin) Khongtong pay, sehingga dapat
dimengerti kalau ilmu silat dan tenaga dalamnya sudah sampai di puncak yang tinggi.
Melihat serangan musuh yang hebat, tangan kirinya menyambar sembari tekuk dua
jerijinya dan coba cangkol lengannya Loei Tjin Tjoe dengan ilmu Siauwkinna Tjhioehoat
(Ilmu Menangkap dengan tangan). Berbareng dengan itu, pedangnya yang dipegang
dengan tangan kanan, menuding dengan gerakan Wankiong siapeng (Pentang gendewa
memanah garuda). Maksudnya gerakan itu ialah, begitu lekas Loei Tjin Tjoe bergerak
menyerang, pedang tersebut akan mendahului. Tapi tidak dinyana, Tatmo Kiamhoat yang
digunakan oleh Loei Tjin Tjoe tidak bergerak menurut jalannya ilmu pedang
biasa. Mendadakan saja, pedangnya Loei Tjin Tjoe berbalik dan papas pundak satu
soetee-nya Tio Leng Koen yang sedang menyerang dari sebelah kanan. Dengan suara
"brt", baju dengan dagingnya sudah sempoak!
Tio Leng Koen loncat sembari berteriak: "Serang dari empat penjuru!" Dua belas murid
Khongtong pay segera terbagi jadi tiga rombongan dengan empat orang setiap
rombongan dan mereka lalu menyerang bagaikan gelombang, Tio Leng Koen sendiri
berdiri di sama tengah buat amat-amati serangan-serangannya Loei Tjin Tjoe yang luar
biasa. Sambil tempel pundak, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe tancap kakinya di atas tanah
dan melawan secara nekat.
Sesudah menonton beberapa lama Yoe Peng berbisik di kupingnya Thian Oe:
"Walaupun kiamhoat-nya Loei Tjin Tjoe cukup mahir, ia kelihatannya belum mendapat
sumsumnya Tatmo Kiamhoat yang tulen." Thian Oe manggut -manggutkan kepalanya dan
berkata: "Aku rasa Loei Tjin Tjoe masih bisa bertahan setengah jam lagi, tapi Tjoei In Tjoe
sudah sangat kepayahan." Tali gendewanya Tjoei In Tjoe terbuat dari urat binatang Kauw
dan benang emas hitam, sehingga sebenarnya adalah semacam senjata mustika yang
dapat membetot serta memutuskan senjata musuh. Dalam pertempuran di Sakya, tali
gendewa itu telah diputuskan dengan hudtim-nya Siauw Tjeng Hong. Belakangan ia
perbaiki dan sambung tali itu, akan tetapi, kekuatannya sudah banyak berkurang. Kalau
bertemu sama lawanan setanding, dengan menggunakan gendewa tersebut, memang
Tjoei In Tjoe bisa menang seurat Akan tetapi, dengan dikerubuti begitu banyak orang,
gendewa tersebut tentu saja tidak dapat menolong banyak dan semakin lama ia jadi
semakin kepayahan. Keadaannya Loei Tjin Tjoe cuma mendingan sedikit. Tiga belas
orang itu semuanya adalah jago-jago dari Khongtong pay. Kalau satu lawan satu, memang
mereka semua bukannya tandingan Loei Tjin Tjoe. Akan tetapi, dengan mengerubuti dan
menyerang saling ganti seperti gelombang, mereka segera berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung sedang serunya, badannya Tio Leng Koen mendadak
"terbang" ke atas dan selagi tubuhnya melayang ke bawah, pedangnya menyambar ke
arah tengah-tengah antara Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, dengan pukulan Hoenkang
toanlioe (Membendung sungai memutuskan aliran). Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe yang
repot melayani serangan bergelombang, tidak keburu menangkis lagi dan terpaksa
masing-masing mengegos ke depan buat singkirkan sambaran pedang. Dengan demikian,
mereka jadi terpisah satu sama lainnya. Hampir berbareng, kedua belas musuhnya
meluruk, sehingga mereka tidak dapat tempel pundak kembali.
Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak sembari pimpin kawan-kawannya mengepung
secara rapat sekali. Dengan andalkan pukulan-pukulan aneh dari Tatmo Kiamhoat, buat
sementara Loei Tjin Tjoe masih dapat pertahankan diri. Tapi keadaannya Tjoei ln Tjoe
tidak sedemikian, la kelihatannya sudah kewalahan dan tali gendewanya tak hentinya
berbunyi "ting-tang, ting-tang." Beberapa saat kemudian, dengan satu teriakan kesakitan,
pundak kirinya kena dipapas pedang, sedang gendewanya pecah tersabet golok.
"Tjoei Loojie!" membentak Tio Leng Koen. "Kau bukannya penjahat utama. Lepaskan
gendewamu! Aku akan ampuni jiwamu!"
"Kau mau aku menakluk terhadap kawanan tikus?" jawabnya sembari tertawa getir.
"Hm! Tjoei In Tjoe boleh mati, tapi tak sudi dihinakan oleh manusia sebangsa kau!"
"Bagus! Itulah baru saudaraku!" berseru Loei Tjin Tjoe sembari menerjang secara nekat
buat menggabungkan dirinya sama saudaranya itu. Akan tetapi, ia tidak berhasil lantaran
sudah keburu dicegat oleh Tio Leng Koen.
Terhadap Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe, Thian Oe tidak mempunyai rasa simpati.
Akan tetapi, sesudah menyaksikan pertempuran tersebut, ia kagumkan juga
keangkuhannya kedua orang itu, yang ternyata masih mempunyai tulang punggung.
Lewat lagi beberapa saat, keadaan kedua orang itu, lebih-lebih Tjoei In Tjoe, jadi
semakin berbahaya. Suara tali gendewanya Tjoei In Tjoe sudah kedengaran dengkek dan
sumbang.
"Orang itu bisa hilang jiwa sembarang waktu," kata Yoe Peng. "Eh, kau tak mau
membantu?" "Apa?" Thian Oe menegasi.
"Asalnya ilmu pedang Pengtjoan Thianlie adalah dari Boetong," kata Yoe Peng. "Kau
sudah belajarkan ilmu pedang tersebut, sehingga sama Loei Tjin Tjoe kau masih terhitung
saudara seperguruan."
"Baik, kita menyerbu bersama-sama!" kata Thian Oe yang lantas munculkan dirinya di
atas batu. "Loei Tjin Tjoe!" ia berseru. "Jangan takut! Aku menolong!"
Orang-orang Khongtong pay, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe terkejut semuanya.
Mereka dongak dan lihat sepasang orang muda, satu lelaki dan satu perempuan, sedang
berlari-lari ke arah mereka. Di bawahnya sinar bulan, muka mereka dapat dilihat nyata
sekali.
Hatinya Loei Tjin Tjoe tergetar. "Aku kira siapa, tak tahunya murid Siauw Tjeng Hong,"
kata ia dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa Loei Tjin Tjoe adalah seorang beradat
tinggi yang anggap
ilmu silatnya sudah sempurna sekali. Sedang sang guru ia tak pandang sebelah mata,
cara bagaimana ia dapat hargakan muridnya Siauw Tjcng Hong?
Di lain pihak, melihat yang datang adalah orang-orang yang baru berusia belasan
tahun, Tio Leng Koen jadi tertawa besar. "Apa kamu tahu berapa tingginya langit dan
berapa tebalnya bumi?" katanya sembari tertawa bergelak-gelak. "Bau susumu belum
hilang, sudah berani datang kesini buat cari mampus!"
"Tan kongtjoe! Lekas menyingkir!" Loei Tjin Tjoe juga berseru. "Tolong beritahukan
gurumu, aku sudah tidak membenci ia!"
"Lantaran kau sudah tidak membenci soehoe, maka aku mau menolong," jawab Thian
Oe yang bagaikan kilat sudah menikam Tio Leng Koen dengan pedangnya. Sembari
kebas tangannya, Tio Leng Koen menyampok dengan pedangnya buat bikin terpental
senjatanya Thian Oe. Tapi siapa nyana gerakan pedangnya Thian Oe malahan lebih aneh
daripada pedangnya Loei Tjin Tjoe. Tiba-tiba saja, ujung pedangnya tukar haluan dan
sambar dadanya Tio Leng Koen, yang jadi terbang semangatnya sebab sama sekali tak
menduga bakal diserang secara begitu. Sebagai orang yang berpengalaman dan tinggi
ilmunya, dalam bahaya ia tak jadi gugup. Dengan gerakan Tiatpankio (Jembatan papan
besi), badannya melenggak ke belakang sampai hampir nempel ke tanah. Jantungnya
tergetar, sebab meskipun bagaimana cepat juga gerakannya, toh rambutnya masih kena
terpapas juga! Begitu lekas pedangnya Thian Oe lewat, Tio Leng Koen segera berdiri pula
sembari menyapu dengan tangannya. Ujung pedangnya Thian Oe, yang baru disabetkan
lagi, jadi mencong sebab kena getaran pukulan musuh. Hal ini sudah terjadi lantaran
tenaga dalamnya Thian Oe belum cukup kuat, meskipun ilmu pedangnya sangat luar
biasa. Melihat pemimpinnya hampir-hampir binasa dalam tangannya satu bocah, semua
murid Khongtong pay jadi kaget bukan main.
"Hati-hati terhadap bocah ini!" Tio Leng Koen kasih peringatan sembari loncat tinggi.
Yoe Peng sudah lantas loncat menyerbu dan berkata sembari tertawa: "Masih ada aku!
Aku mau menyerang dengan senjata rahasia. Kau orang juga harus berlaku hati-hati!"
Senjata rahasia adalah senjata yang digunakan buat membokong musuh. Dimana ada
orang mau lepas senjata rahasia lebih dahulu memberitahukan kepada
musuhnya? Tio Leng Koen jadi merasa geli dan tertawa terbahak-bahak. "Bocah!"
katanya. "Kau punya senjata apa? Coba kasih 'ku lihat."
Yoe Peng mementil dengan jerijinya dan di tengah udara lantas terdengar suara "srr,
srr". Menduga serangan jarum, Tio Leng Koen putar pedangnya buat melindungi badan.
Dengan suara "peletak!", senjata rahasia itu yang berbentuk bundar seperti mutiara,
hancur kena terpukul pedang. Berbareng dengan itu, semacam hawa yang luar biasa
dinginnya menyambar-nyambar, sehingga Tio Leng Koen jadi bergidik. Itulah bukan lain
dari Pengpok Sintan yang tiada keduanya dalam dunia!
Tio Leng Koen terkesiap. "Ilmu iblis!" ia berteriak. "Kepung! Jangan kasih dia menimpuk
lagi!" Yoe Peng mementil kembali dan lepaskan empat butir Pengpok Sintan. Tiga
antaranya
mengenakan tiga orang, sedang yang keempat kena dipukul jatuh dengan Kimtjhie piauw-
nya Tio Leng Koen. Tiga orang itu yang tenaga dalamnya belum seberapa, lantas saja
gemetar sekujur badannya, tapi dari janggutnya mengeluarkan keringat yang turun
berketel-ketel.
"Kalau setiap orang aku persen dua peluru, mereka tak akan dapat tahan lagi," katanya
Yoe Peng dalam hatinya. "Cuma sayang, persediaanku tak mencukupi."
Pengpok Sintan dibuat dari "rohnya es" yang diambil oleh Pengtjoan Thianlie dalam gua
es yang dalamnya ribuan tombak. Di seluruh dunia, bahan tersebut cuma bisa didapatkan
di daerah Nyenchin Dangla. Dalam sakunya, Yoe Peng cuma membawa belasan peluru.
Berbeda dengan senjata rahasia lainnya yang bisa diambil pulang, begitu dilepaskan
Pengpok Sintan lantas meledak dan musnah. Sekali lepas berarti hilangnya satu peluru.
Maka itu, mau tidak mau Yoe Peng harus irit, dan selagi ia bersangsi, gelombang musuh
yang kedua sudah meluruk dan kepung padanya.
Sembari membentak, Yoe Peng cabut Pengpok Hankong kiam yang lantas saja
mengeluarkan sinar gemerlapan yang sangat dingin, sehingga empat musuhnya kembali
bergidik. Pedang tersebut dibuat dari Oen-giok (Batu kemala hangat), yaitu keluaran
istimewa dari Puncak Es. Sesudah direndam di dalam Hantjoan (Umbul dingin) dan diolah
tiga tahun lamanya, barulah pembuatannya selesai. Dari sebab begitu, Pengpok Hankong
kiam mengeluarkan semacam hawa
dingin, yang, meskipun tidak sehebat Pengpok Sintan, dapat mencelakakan orang-orang
yang tenaga dalamnya belum kuat betul.
Ketiga belas jago Khongtong pay rata-rata sudah mempunyai lweekang yang kuat,
sehingga, biarpun merasa sangat tidak enak diserang sinar dan hawa dingin, mereka
masih dapat mempertahankan diri. Di bawah pimpinan Tio Leng Koen, mereka dipecah
jadi empat rombongan dan kepung empat musuhnya itu.
Thian Oe dan Yoe Pcng segera keluarkan Tokboen Kiamhoat (Ilmu pedang tunggal)
dari Pengtjoan Thianlie dengan pukulan-pukulannya yang aneh-aneh. Sesudah bertempur
kurang lebih lima puluh jurus, murid-murid Khongtong pay masih belum dapat mengetahui,
ilmu pedang apa adanya itu! Tio Leng Koen sendiri juga merasa bingung. "Ilmu siluman!
Ilmu siluman!" ia berkata sembari geleng-gelengkan kepala.
"Ilmu siluman apa!" membentak Yoe Peng sembari mementil lagi dengan dua jerijinya.
Dua butir Pengpok Sintan menyambar. Buru-buru Leng Koen lepaskan dua Kimtjhie
piauw. Sebutir peluru kena terpukul jatuh, tapi sebutir lagi keburu meledak sendiri dan
mengenakan tepat mukanya Tio Leng Koen. Seperti kena arus listrik, hawa dingin yang
sangat hebat masuk ke dalam dua biji matanya, dan ia lantas tak dapat membuka
matanya lagi.
Saat itu, dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku), Yoe Peng putar
pedangnya dan menyerang dari tiga jurusan, yaitu dari atas, tengah dan bawah. Pukulan
ini adalah salah satu pukulan paling luar biasa dari ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Diserang dari tiga jurusan hampir berbareng, pihak musuh jadi kabur penglihatannya, dan
dalam usaha sambutannya, ia bisa membikin kesalahan yang dapat mencelakakan dirinya
sendiri. Yoe Peng keluarkan pukulan itu dengan maksud buat lebih dahulu merobohkan
Tio Leng Koen, yang jadi pemimpin dari ketiga belas musuh itu.
Akan tetapi, tidak dinyana, baru saja pedangnya bergerak, badannya Tio Leng Koen
berkelebat dan tangannya sudah menyambar dari sebelah kanan. Thian Oe coba
menolong, tapi sudah tidak keburu. Dengan suara "plak!", pundaknya Yoe Peng kena
terpukul, sehingga terhuyung dan Pengpok Hankong kiam hampir-hampir jatuh dari
tangannya.
Keliehayannya pukulan Pengho kiattang ialah dapat membikin kabur penglihatan
musuh. Dalam serangan itu, Yoe Peng tidak ingat, bahwa lantaran kedua matanya musuh
tertutup rapat akibat serangan Pengpok Sintan, Tio Leng Koen jadi tidak kena dibikin
bingung. Sementara itu, dalam kedudukannya yang sangat berbahaya, ia sudah keluarkan
pukulan Bittjiong tjiang dari Khongtong pay. Masih untung, lantaran matanya rapat, arah
tangannya jadi kurang tepat dan cuma mengenakan pundak. Kalau lebih ke bawah
beberapa dim saja, tangannya bisa menghantam dada dan Yoe Peng bisa dapat luka
berat.
Sesudah berhasil, Leng Koen loncat mundur beberapa tindak dan kucek-kucek
matanya yang penglihatannya jadi samar-samar dan seperti juga melihat uap putih, la
kaget berbareng gusar dan membentak dengan suara keras: "Perempuan kejam! Kalau
tak korek biji matamu, aku tak puas!" la segera teriaki kawan-kawannya buat kepung Yoe
Peng secara lebih keras, sedang ia sendiri, dengan andalkan ilmu "Membedakan
datangnya senjata dengan mendengari sambaran angin," sudah turut menerjang.
Walaupun Yoe Peng merupakan salah satu dayang terkemuka dalam keraton es, akan
tetapi ilmu silatnya masih kacek jauh jika dibandingkan dengan musuh-musuhnya. Maka
itu, begitu dikepung sungguh-sungguh, ia lantas berada di bawah angin. Buat sementara
waktu, ia masih bisa pertahankan diri dengan andalkan kegesitannya, akan tetapi, ia
sudah tidak mempunyai tempo buat menimpuk lagi dengan Pengpok Sintan.
Thian Oe terkejut dan menyerang dengan mati-matian dengan gunakan segala rupa
pukulannya Pcngtjoan Thianlie yang luar biasa. Di antara dayang-dayang, meskipun
mendapat didikan langsung dari Pengtjoan Thianlie, akan tetapi tidak ada barang seorang
yang belajarkan seluruh Tokboen Kiamhoat. Di lain pihak, Thian Oe mencuri belajar dari
gambar-gambar di dinding gedung terlarang. Maka itu dibandingkan dengan para dayang,
ia dapat lebih banyak sumsumnya ilmu pedang tersebut. Dalam terjangannya yang mati-
matian, ia sudah berhasil membuka satu jalanan dan dapat mempersatukan dirinya sama
Yoe Peng. Oleh karena mesti meladeni Thian Oe dan Yoe Peng yang mengamuk seperti
kerbau edan, barisannya Khongtong pay jadi kalut, sehingga Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In
Tjoe juga dapat menerjang keluar dan
gabungkan diri sama Thian Oe dan Yoe Peng. Dengan demikian, ke empat orang itu
menjadi dua pasangan, yang, dengan saling tempel pundak, melawan serangan-
serangannya ketiga belas jago Khongtong pay.
Loei Tjin Tjoe sama sekali tidak pernah mengimpi, bahwa dalam tempo beberapa bulan
saja, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju begitu jauh dan kelihatannya sudah berada di
sebelah atasan gurunya sendiri. Semangatnya jadi terbangun dan ia dapat menyerang
dan membela diri secara rapi. Tjoei In Tjoe pun dapat pulang ketenangannya dan tali
gendewanya kembali bersuara nyaring.
Dengan perlahan sinar bulan condong ke sebelah barat dan mereka sudah bertempur
lebih dari satu jam. Perlahan tapi tentu, keadaan di gelanggang kembali berobah.
Sesudah berkelahi begitu lama, Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe jadi lelah. Oleh karena
tenaga dalamnya belum begitu kuat, Thian Oe dan Yoe Peng juga sekarang cuma dapat
membela diri.
Tio Leng Koen dan kawan-kawannya jadi girang dan mereka menyerang semakin
hebat. "Perempuan siluman! Sekarang baru kau tahu keliehayan kami! Lekas keluarkan
obat pemunah!" berseru Tio Leng Koen. Dengan andalkan Iweekang-nya yang sangat
tinggi, buat sementara ia masih dapat menahan hawa dinginnya Pengpok Sintan. Tapi
belakangan, ia rasakan kedua biji matanya seperti juga ditusuk-tusuk jarum sehingga ia
kuatir menjadi buta, jika terlambat pengobatannya. Maka itu, ia mendesak hebat dan mau
paksa Yoe Peng keluarkan obatnya.
Yoe Peng ambil sikap acuh tak acuh. "Obat apa?" tanya ia sembari tertawa.
"Kau tak mau keluarkan?" kata Tio Leng Koen. "Kalau kau tidak keluarkan, biarpun
buta, aku masih dapat membunuh engkau!" Sembari tekap matanya dengan tangan kiri,
pedangnya kembali menyerang hebat dengan pukulan-pukulan yang membinasakan.
Ketika itu, matanya sudah jadi bengkak seperti buah engtoh dan hatinya takut bukan main.
Yoe Peng benar nakal. Dalam keadaan yang berbahaya, ia masih bisa tertawa. "Ha!
Tadi aku sudah suruh kau hati-hati!" katanya. "Kau sendiri yang tak hati-hati, sekarang
berbalik salahkan orang!" sembari tempel pundak dengan Thian Oe, ia kembali singkirkan
beberapa serangan. "Hai, aku dengar lelaki Han lebih suka keluarkan darah daripada
keluarkan air mata. Tapi kau lebih suka menangis! Apa tak malu?" Yoe Peng mengejek
pula.
Tio Leng Koen jadi seperti orang kalap. Bersama empat saudaranya, ia menyerang
seperti macan edan, sehingga Thian Oe dan Yoe Peng jadi benar-benar kedesak.
"Aku lihat kau, benar-benar kasihan! Biarlah aku berikan obat pemunah!" kata Yoe
Peng.
"Mari!" Leng Koen membentak.
"Galak benar, kau!" kata Yoe Peng. Kalau kau minta baik-baik, mungkin aku mau juga
kasihkan."
"Yah, hayo kasihkan!" kata Tio Leng Koen dengan suara lebih lunak.
"Mana bisa begitu gampang!" kata Yoe Peng sembari nyengir. "Kau lebih dahulu harus
minta maaf pada Loei-ya dan bersumpah tak akan pergi ke Sinkiang buat satrukan orang-
orang Boetong. Kau pun harus minta maaf kepada kami. Sesudah itu, barulah aku mau
kasihkan obatku."
Tio Leng Koen sangat bersangsi. Ia tak tahu mesti ambil jalanan yang mana. Ia
paksakan membuka kedua matanya dan samar-samar lihat cara bersilatnya Loei Tjin Tjoe
sudah menjadi kalut.
"Lebih dahulu mampuskan siluman perempuan ini!" mendadak ia berseru sesudah
mengambil putusan. "Saudara Thio, Oey dan Yo, kau bertiga pergi layani itu dua manusia.
Cukup kalau kau bikin mereka tak bisa membantu kedua bocah ini!"
Sehabis memerintah begitu, di bawah pimpinannya sendiri, sepuluh jagoan Khongtong
pay segera meluruk mengepung Thian Oe dan Yoe Peng. Maksudnya Tio Leng Koen
adalah coba membinasakan Yoe Peng selekas mungkin supaya bisa ambil obat pemunah
dari badannya.
Akan tetapi, ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie ada sangat luar biasa dan tak gampang-
gampang dapat dipecahkan dalam tempo yang pendek. Tio Leng Koen jadi bingung sekali
dan dengan sepenuh tenaga, ia cecer kedua orang muda itu dengan pukulan-pukulan
yang paling hebat. Belasan jurus kembali lewat. Thian Oe dan Yoe Peng sengal-sengal
dan mereka tahu, tak akan dapat pertahankan diri lebih lama lagi. Di lain pihak, kedua biji
matanya Tio Leng Koen juga dirasakan semakin sakit, sehingga kedua belah pihak jadi
sama-sama bingungnya.
Dalam keadaan yang sangat genting, mendadak terdengar suara nyanyian:
"Pada malam Tiongtjhioe sama-sama memandang bidan, tapi kenapa hawa pedang
melonjak ke tengah awan?"
Suara itu kedengarannya datang dari tempat yang sangat jauh, dengan kecepatan luar
biasa. Begitu nyanyian berhenti, seorang pemuda baju putih dengan mulut tersungging
senyuman, sudah berada disitu.
Kecepatan bergeraknya pemuda itu, membikin semua orang jadi terkejut. Tio Leng
Koen loncat mundur tiga tindak dan berkata sembari lintangkan pedangnya: "Sahabat dari
mana adanya tuan? Pengajaran apakah yang tuan hendak berikan kepada kami?"
Pemuda itu tertawa dingin seraya menyahut dengan suara nyaring: "Kedatanganku
adalah buat memberi sedikit pengajaran kepada kau orang. Khongtong pay adalah salah
satu partai besar dalam Rimba Persilatan dan dengan banyak susah payah partai itu telah
diberdirikan. Pada jaman yang lampau, Tjiangboen Khongtong pay, Ouw Bong Tootiang,
adalah seorang pendeta beribadat yang menjaga keras peraturan partai. Akan tetapi,
begitu pimpinan jatuh ke dalam tanganmu, orang-orang Khongtong pay lantas saja
lakukan segala perbuatan yang tidak pantas. Apa kamu orang tidak merasa malu kepada
leluhurmu yang sudah berada di alam baka?"
Pemuda baju putih itu baru saja berusia kurang lebih dua puluh tahun, akan tetapi ia
bawa sikap seperti caranya seorang tingkatan tua bicara terhadap orang dari tingkatan
muda. Maka tidaklah heran jika Tio Leng Koen lantas naik darahnya dan ia dongak
sembari tertawa besar. "Dengan berkata begitu, tuan rupanya ingin membersihkan rumah
tangga Khongtong pay!" katanya dengan suara dingin.
"Benar," jawab si pemuda dengan suara sungguh-sungguh. "Lantaran tidak tega
melihat seluruh Khongtong pay dikorbankan dalam tanganmu, maka tanpa perdulikan
kecapaian, aku sengaja datang kesini buat mengurus kamu orang!"
Harus diketahui, bahwa menurut peraturan Rimba Persilatan, pekerjaan
"membersihkan rumah tangga" hanya dapat dilakukan oleh tetua dari partai itu sendiri.
Manakala seorang luar hendak "membersihkan rumah tangga" partai lain, maka orang itu
haruslah seorang yang tingkatannya sangat tinggi dengan mempunyai ilmu silat yang
dapat menindih semua anggauta dari partai yang mau dibersihkan. Maka itu, dapat
dimengerti jika perkataannya si pemuda bukan saja sudah membikin gusarnya Tio Leng
Koen, tapi juga sudah keja dua belas orang Khongtong pay yang berada disitu, jadi mata
merah.
Sembari paksa buka kedua matanya, Tio Leng Koen tertawa terbahak-bahak dan
menuding dengan pedangnya.
"Sungguh malu, sebagai Tjiangboen dari Khongtong pay, aku mesti membikin
Lootjianpwee jadi berabe buat membersihkan rumah tangga kita!" ia berseru sekeras
suara. "Cuma saja aku orang she Tio sangat kepala batu dan sukar menerima
pengajaranmu! Maaf, maaf, aku yang rendah terpaksa menolak segala kemauanmu!"
Mendengar perkataan pemimpinnya, semua murid Khongtong pay jadi tertawa keras.
Mereka ejek si pemuda yang dianggap sangat tidak tahu diri.
Tapi si pemuda tetap berlaku tenang. Ia menyapu dengan matanya dan berkata pula:
"Apa kau orang benar-benar mau aku turun tangan?"
"Binatang!" membentak Tio Leng Koen. "Kau betul-betul sudah bosan hidup! Cabut
pedangmu! Lihat, apa kau ajar aku, atau aku mengajar kamu!"
Si pemuda tertawa besar. "Buat menghadapi orang-orang seperti kau, perlu apa aku
mencabut pedang?" katanya. "Thian Oe! Kau semua menyingkir, supaya tak
menghalangkan gerakanku. Tio Leng Koen! Panggil semua kawanmu, supaya aku tak
usah turun tangan dua kali!"
Thian Oe manggutkan kepalanya dan sembari tarik tangannya Yoe Peng, ia segera
loncat keluar dari gelanggang. Bukan main herannya Loei Tjin Tjoe. "Apa pemuda itu
berotak miring?" tanya ia dalam hatinya. Selagi terheran-heran, mendadakan kupingnya
dengar teriakan Thian Oe: "Loei Toako! Lekas mundur!" Mau tidak mau, ia lantas turut
loncat keluar dari kalangan.
Pada saat itu, ketiga belas jago Khongtong pay sudah meluruk ke arah si pemuda itu.
Dengan mata berkilat, pemuda itu ayun satu tangannya dan di tengah udara lantas
terdengar suara "srr, srr, srr!" Buat keheranannya semua penonton, hampir pada detik
yang bersamaan, tiga belas orang itu, terhitung juga Tio Leng Koen, keluarkan teriakan
kesakitan dan roboh menggoser di atas tanah!
Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe ternganga bahna herannya.
"Tio Leng Koen! Apa kau menyerah?" tanya si pemuda sembari tertawa.
Sebagai orang yang mempunyai tenaga dalam yang lebih kuat daripada saudara-
saudaranya, dengan paksakan diri, Tio Leng Koen bisa juga bangun duduk. "Terima kasih
buat pengajaranmu," kata ia. "Jika kami tidak binasa, kejadian ini tentulah tak dapat
dilupakan. Dapatkah aku mendapat tahu nama tuan yang mulia?"
Sebagai Tjiangboen dari satu partai, dalam kekalahannya, ia masih tidak lupa buat
keluarkan kata-kata yang sesuai dengan kebiasaan Rimba Persilatan. Dengan berkata
begitu, ia rnemberitahu, bahwa sebegitu lama masih hidup, ia tentu akan membalas sakit
hati.
"Kamu orang mau balas sakit hati? Jangan ngimpi!" kata si pemuda dengan suara
tawar. "Semua tulang pundakmu sudah kena ditobloskan! Yah, mati sih tidak, tapi buat
bisa bersilat lagi, jangan kau harap! Pulanglah dan hidup tenteram!"
Baru perkataan itu habis diucapkan, semua orang kembali terkejut. Bahwa dengan
sekali gerakkan tangan, si pemuda sudah dapat robohkan tiga belas ahli silat Khongtong
pay, sudah sangat luar biasa. Tapi, bahwa semua senjata rahasianya dengan tepat
mengenakan tulang pundak orang, adalah satu kepandaian yang sungguh tak dapat
dibayangkan bagaimana tingginya!
Tanpa merasa Tio Leng Koen meraba tulang pundaknya, dan benar saja, tulang itu
sudah hancur dan sakitnya sampai membikin ia keluarkan air mata. Ia mengetahui,
sekarang ia sudah jadi orang bercacat seumur hidup, ilmu silatnya musnah dan ia cuma
bisa hidup seperti orang biasa.
Si pemuda baju putih mesem dan berkata: "Aku sudah ampuni jiwamu, apa kau masih
tidak merasa puas? Pulanglah dan hidup secara tenteram."
Bukan main sedihnya Tio Leng Koen. "Apakah tuan dapat menaruh belas kasihan buat
perlihatkan senjata rahasia itu, supaya kita dapat membuka mata kita?", katanya dengan
suara perlahan.
Pemuda itu kembali mesem. Mendadak ia cabut pedangnya yang lantas pancarkan
sinar terang ke empat penjuru. "Barusan aku tak gunakan ia. Sekarang perlu digunakan,"
katanya.
Hatinya Leng Koen berdebar-debar dan sebelum ia tahu si pemuda mau berbuat apa,
ujung pedang sudah sontek pundaknya dan ia merasa seperti juga serupa benda panjang
loncat keluar dari daging pundak. Pemuda itu pegang benda tersebut dengan kedua
jerijinya dan goyang-goyang di depan matanya Tio Leng Koen. "Sudah lihat?" tanya ia.
Senjata rahasia itu bukannya emas dan juga bukannya besi. Warnanya hitam dan
bentuknya kecil panjang seperti anak panah tanpa bulu. Dengan senjata itu, si pemuda
ketok pedangnya yang lantas saja keluarkan suara mengaung yang sangat jernih dan
bersih.
Tio Leng Koen pucat bagaikan mayat. "Ah", ia berseru dengan suara di tenggorokan.
"Thiansan Sinbong dan Yoeliong kiam!"
"Benar," kata si pemuda. "Apa sekarang kau sudah tahu asal-usulku?"
Pedang Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang dipandang suci dalam kalangan
partai Thiansan pay. Siapa yang membawa senjata itu, ia tak bisa lain daripada ahli waris
tulen dari Thiansan pay. Tjiangboen Thiansan pay di waktu itu adalah Tong Siauw Lan
yang tingkatannya dua kali lebih tinggi dari Tio Leng Koen. Maka itu, jika si pemuda adalah
muridnya Tong Siauw Lan, tingkatannya berada lebih atas daripada Tio Leng Koen.
Dengan cepat si pemuda keluarkan dua belas Thiansan Sinbong lainnya dari
pundaknya lain-lain jago Khongtong pay.
"Dia sudah tidak mempunyai ilmu silat lagi dan tak dapat jadi bibit penyakit. Tak usah
bikin matanya menjadi buta," kata si pemuda sembari berpaling pada Yoe Peng.
"Baik," sahut Yoe Peng sembari keluarkan sebutir Yangho wan yang lantas diberikan
kepada Tio Leng Koen. "Telan ini dan mengasoh tiga hari," katanya.
Tio Leng Koen kucek-kucek matanya, sikapnya seperti seekor ayam jantan yang baru
dipecundangkan. Sesudah memberi hormat kepada si pemuda baju putih, dengan
dipepayang oleh kawan-kawannya, ia segera berlalu dari situ. Si pemuda tertawa
bergelak-gelak dan berkata kepada Thian Oe: "Pertempuran yang barusan sungguh
menyenangkan! Eh, bocah, nasibmu benar-benar baik. Baru berdiam di keraton es tiga
bulan, ilmu silatmu sudah maju begitu jauh."
"Bukankah kau berada sama-sama Pengtjoan Thianlie?" tanya Thian Oe.
"Dialah yang tak sudi berada sama-sama aku," sahut si pemuda sembari tertawa. "Aku
justru mau tanya keterangan mengenai dirinya dari kalian."
Yoe Peng terkejut dan buru-buru menanya: "Bukankah pada hari itu kau sedang adu
pedang dengan Kongtjoe kami?"
"Janji adu pedang harus ditangguhkan sampai di lain hari," sahut si pemuda.
"Meskipun adu pedang tidak dapat dilangsungkan, tapi kau toh mesti bertemu muka
dengan ianya!" kata Yoe Peng lagi.
"Sebelum tiba di kakinya Puncak Es, aku sudah rasakan alamat bakal adanya gempa
bumi,"
menerangkan si pemuda. "Apa kau kira aku masih berani maju terus buat cari mati?"
"Kalau begitu, jadi kau tak pernah lihat padanya?" Thian Oe menegasi.
"Ah, buat apa kau begitu berkuatir?" katanya dengan suara jengkel. "Sedang aku dapat
loloskan diri, apa kau kira ia tak mampu selamatkan jiwanya? Hari itu, selagi aku kabur ke
arah utara, aku lihat bayangannya kabur ke jurusan selatan. Belakangan, sesudah gunung
berapi meledak, biarpun mau, aku pun tak akan dapat mencarinya. Barulah sekarang aku
mendapat tahu, ia belum balik ke keraton es."
Mendengar keterangan si pemuda, bahwa Pengtjoan Thianlie sudah terlolos dari
bencana alam, hatinya Thian Oe dan Yoe Peng menjadi lega.
"Apakah kalian mau pergi ke Lhasa?" tanya si pemuda.
Thian Oe manggutkan kepalanya, sedang si pemuda berdiam beberapa saat seperti
orang lagi berpikir. Mendadak ia keluarkan satu kotak sulam dari sakunya dan berkata:
"Ayahmu berada di tempatnya Hok Kong An. Sekarang aku mau minta pertolonganmu
buat serahkan kotak ini kepada Hok Kong An, supaya aku tak usah berabe mundar-
mandir."
Thian Oe sambuti kotak itu, dan selagi mau menanya, si pemuda sudah mendahului
sembari tertawa: "Kasihkan saja padanya. Percayalah, barang ini mempunyai banyak
kebaikan bagi ayahmu. Di belakang hari kita bakal bertemu pula. Kau tak usah banyak
menanya." Ia berpaling kepada Loei Tjin Tjoe dan lanjutkan perkataannya: "Kau juga
harus segera pulang ke Soetjoan. Jika bertemu dengan Moh Tayhiap, tolong sampaikan
salamku kepadanya." Sehabis berkata begitu, ia angkat kedua tangannya dan dalam
sekejap, ia sudah lenyap dari pemandangan.
Sesudah dapat banyak pengalaman pahit getir, habislah segala kesombongannya Loei
Tjin Tjoe. Dengan mulut ternganga dan hati yang kagum tak habisnya, ia awasi
bayangannya si pemuda baju putih yang melesat seperti anak panah. Sesudah mengasoh
beberapa lama, keempat orang lantas berpisahan. Loei Tjin Tjoe dan Tjoei In Tjoe menuju
ke Soetjoan, sedang Thian Oe dan Yoe Peng teruskan perjalanan ke Lhasa.
Tanpa mendapat rintangan suatu apa, pada satu magrib Thian Oe dan Yoe Peng tiba di
ibukota Tibet itu. Begitu masuk ke dalam kota, selagi Thian Oe mau tanya orang dimana
letaknya markas besar Hok Kong An, Yoe Peng mendadak berkata: "Kenapa begitu
terburu-buru? Marilah kita pesiar barang semalaman, buat lihat-lihat pemandangan Lhasa
di waktu malam. Biarlah besok saja cari ayahmu."
Thian Oe mesem. Ia jadi ingat janjinya buat ajak Yoe Peng pesiar di kota Lhasa dan ia
juga merasa, bahwa begitu lekas sudah masuk ke markas besarnya Hok Kong An, mereka
tidak dapat keluar masuk lagi sesuka hati. Maka itu, tanpa membantah, ia lantas tuntun
tangannya Yoe Peng dan keliling di seputar kota.
Sebagai ibukota Tibet, Lhasa dikurung oleh bukit-bukit yang tingginya dari empat
sampai lima ribu kaki. Rumah-rumah yang papak dan tenda-tenda di sana-sini
memperlihatkan pemandangan yang lain daripada apa yang terlihat di Tiongkok Asli. Di
waktu malam, sinar lilin yang muncul dari beribu-ribu tenda memberi satu pemandangan
yang sangat luar biasa. Keraton Potala yang berdiri di atas bukit dan atapnya
mengeluarkan sinar emas berkredepan, kelihatannya angker dan indah sekali.
"Mari kita pergi kesana," mengajak Yoe Peng.
"Itulah keratonnya Budha Hidup, mana boleh orang sembarangan masuk,"
menerangkan Thian Oe. "Mari kita pergi ke lapangan yang terletak di sebelah bawahnya."
Lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala adalah pusatnya keramaian dari
kota Lhasa. Di seputar lapangan berdiri tenda-tenda yang berjejer-jejer, sedang di tengah-
tengah terdapat macam-macam pedagang yang gelar barang-barangnya di atas tanah. Di
sebelahnya itu,
terdapat juga rombongan-rombongan penyanyi, wayang, dangsu dan sebagainya. Yoe
Peng yang biasa berdiam dalam keraton yang sepi, tentu saja belum pernah saksikan
keramaian yang sedemikian rupa. Ia merasa, keindahan bilang ribu lilin dan lampu yang
gilang-gemilang adalah lebih mengagumkan dari apa yang dapat dilihat di keraton es.
Sesudah nonton orang India bermain ular, mereka pergi saksikan pertunjukan yang
diberikan oleh rombongan orang-orang Hapsatkek dari Sinkiang. Yang satu kasih lihat
kepandaian menelan pedang, sedang yang lain semburkan api menyala dari mulutnya.
Orang itu kasih masuk sebatang pedang yang panjangnya tiga kaki ke dalam mulutnya.
Pedang itu amblas dan yang ketinggalan di luar mulut cuma gagangnya saja yang pendek.
"Ah!" kata Yoe Peng dengan suara kagum. "Ilmu silatnya orang itu kelihatannya
melebihi si pemuda baju putih!"
"Bukan ilmu sejati, semacam sulap," menerangkan Thian Oe sembari tertawa. Baru
saja Thian Oe berkata begitu, orang itu cabut pedangnya yang lantas ditekuk-tekuk.
Ternyata pedang itu terbuat dari timah tipis yang sangat lemas. Yoe Peng tertawa
terbahak-bahak dan hatinya girang sekali. Mendadak ia rasakan badannya disenggol
orang dan ketika ia meraba dengan tangannya,

Pengpok Hankong kiam sudah lenyap!


Bukan main kagetnya Yoe Peng. Ia menengok dan lihat Thian Oe sedang cekal satu
orang sembari membentak: "Dia!" Tak salah lagi orang itu adalah si pencopet, sebab
sarung pedang kelihatan nongol di bawah jubahnya yang panjang. Yoe Peng enjot
badannya buat rebut pulang pedangnya. Tiba-tiba orang itu tertawa nyaring dan dengan
sekali goyang badannya, ia sudah terlepas dari cekalannya Thian Oe, akan kemudian
kabur dengan menyelesap di antara orang banyak. Thian Oe ternganga sambil pegangi
jubahnya si copet, yang tenyata sudah akali ia dengan tipu "Tonggeret lepaskan kulit."
Selagi Thian Oe pegang tangan jubahnya dan hendak membekuk dengan cekalan Kinna
hoat, si copet loloskan tangannya dari tangan jubah dan kabur dengan tinggalkan
jubahnya.
Sembari berteriak "tangkap!", Thian Oe loncat memburu. Meskipun ilmu entengi
badannya sudah cukup tinggi, tapi si copet terlebih gesit lagi dan dalam tempo sekejap, ia
sudah kabur keluar dari antara orang banyak. Thian Oe mengubar terus tanpa perdulikan
beberapa orang yang jadi terpelanting lantaran ditubruk olehnya. Di lain saat, ia lihat si
copet sudah loncat ke atas sebuah tenda. Pencopetan adalah kejadian lumrah di tempat
tersebut dan orang banyak mengambil sikap acuh tak acuh, malahan beberapa antaranya
yang kena dibikin terpelanting jadi berbalik maki Thian Oe yang dikatakan ceroboh.
Dengan berdiri di atas tenda, si copet buat main Pengpok Hankong kiam dan mulutnya
memuji tak hentinya: "Pedang bagus! Sungguh bagus!" Dengan gusar, Yoe Peng dan
Thian Oe loncat ke atas tenda itu, tapi si copet yang luar biasa gesitnya, sudah pindah ke
lain tenda dan dengan beberapa lompatan, ia sudah turun ke atas lapangan yang terletak
di belakangnya tenda-tenda.
Thian Oe terkejut. Ilmu entengi badannya si copet ternyata tidak berada di sebelah
bawahnya! Lapangan tersebut terletak di bawahnya suatu bukit, di atas mana berdiri
keraton Potala. Si copet lari dengan mendaki tanjakan gunung, tapi ia menuju ke arah
selatan barat dan bukannya ke jurusan Potala.
Thian Oe dan Yoe Peng mengubar terus sekeras-kerasnya, tapi mereka tetap
ketinggalan di belakang dalam jarak beberapa tombak. "Orang ini mungkin bukan copet
sewajar," kata Thian Oe. "Tak perduli," kata Yoe Peng. "Dia sudah curi pedangku, aku
mesti merebut pulang."
Mereka terus ubar-ubaran, dari depan sampai di belakang bukit dan akhirnya masuk ke
satu daerah pegunungan yang sangat sepi.
"Sahabat!" Thian Oe berteriak. "Sudahlah, jangan main-main!"
Orang itu tidak meladeni dan lari terus, sambil mencekal Pengpok Hankong kiam yang
sinarnya menerangi jalanan. Sesudah kabur lagi beberapa lama, si copet mendadak
berhenti di depannya satu rumah, yang mengeluarkan sinar lilin. Bentuknya rumah itu
agak luar biasa, bukan pasegi tapi bundar seperti tenda, sedang seputarnya dikurung
tembok. Si copet mendadak lompati tembok dan masuk ke dalam.
"Ha! Inilah sarangnya!" berseru Yoe Peng sembari enjot badannya. Thian Oe mau
mencegah, tapi sudah tidak keburu, sehingga ia pun lantas turut loncat.
Begitu masuk, mereka menghadapi penerangan yang menyilaukan mata. Di ruangan
tengah terpasang dua baris lilin sebesar lengan, sehingga ruangan itu jadi terang seperti
siang. Di tengah ruangan duduk seorang pembesar militer Boan dan si copet
menyerahkan Pengpok Hankong kiam kepadanya. Orang itu meneliti pedang tersebut dan
berkata: "Benar! Benar pedang ini! Apa wanita itu datang bersama-sama?" Sebagaimana
diketahui, Pengpok Hankong kiam mengeluarkan sinar dingin yang luar biasa dan dapat
membikin pingsan orang yang belum mempunyai cukup tenaga dalam. Tapi pembesar itu,
yang lantas cabut pedang tersebut dari sarungnya dan bulang-balingkan beberapa lama,
seperti juga tidak merasakan suatu apa.
Yoe Peng memburu bagaikan terbang seraya membentak: "Pulangkan pedangku!"
Pembesar itu mengawasi dengan mata tajam dan berkata: "Apa pedang ini milikmu?
Ah, tak benar!"
"Kenapa tak benar?" tanya Yoe Peng.
Si pembesar mengawasi pula dan lalu berkata: "Coba kau jalan dua tindak."
Bukan main gusarnya Yoe Peng yang segera enjot badannya sembari ayun tangannya
buat melepaskan dua butir Pengpok S intan, yang satu menyambar ke arah si pembesar
dan yang satunya lagi ke jurusan si copet.
Sungguh sebet gerakannya pembesar tersebut! Dengan satu gerakan kilat, tangannya
sudah menyambar ke depannya si copet, dan dengan gerakan Tjianpie Djie Lay (Djie Lay
Hud dengan seribu tangan), ia sudah sambuti kedua senjata rahasianya Yoe Peng! Ia
pencet dan kedua Pengpok Sintan lantas meledak dalam telapakan tangannya!
Gelombang demi gelombang, hawa yang sangat dingin keluar dari sela-sela jarinya.
"Sekarang kau tahu keliehayanku!" kata Yoe Peng sembari tertawa. "Hayo, pulangkan
pedangku!" Dari jarak beberapa kaki, hawa dinginnya Pengpok Sintan sudah menusuk
sampai ke tulang-tulang, apa lagi jika peluru itu meledak didalam tangan. Yoe Peng
merasa pasti, pembesar itu tak akan dapat mempertahankan dirinya lagi dan bakal segera
memohon ampun. Tapi tak dinyana, sedikitpun ia tidak kelihatan kedinginan, dan seperti
juga tidak terjadi apa-apa, ia susut kedua tangannya yang penuh air es di bajunya. "Ah!"
kata ia. "Baik juga ketemu aku. Kalau lain orang, biar tak mati, sedikitnya mesti sakit
keras."
Thian Oe terkesiap. Dengan meledakkan Pengpok Sintan secara demikian,
kepandaiannya orang itu kelihatannya tidak berada di sebelah bawahnya si pemuda baju
putih.
Baru saja ia niat memberi hormat, Yoe Peng sudah kebaskan tangan kirinya dan
membuat setengah lingkaran dengan tangan kanannya, akan kemudian loncat menerjang.
Itulah satu pukulan yang sangat liehay dari Tatmo Tjianghoat. "Ah! Ini jadi semakin tak
benar!" kata si pembesar sembari lonjorkan tangannya buat tangkap lengannya Yoe Peng.
Thian Oe terkejut melihat gerakan orang yang sangat hebat. Dalam kebingungannya
tanpa memikir lagi, ia enjot badannya sembari mencabut pedang. "Sungguh indah!"
berseru pembesar itu. "Di antara tingkatan muda, kepandaian seperti ini sungguh jarang
terdapat!" Selagi mulutnya bicara, tangan kirinya bekerja terus. Mendadakan saja, Thian
Oe rasakan jari-jarinya terbuka dan pedangnya sudah pindah ke tangannya orang itu,
sedang lengannya pun kena tercekal!
Demikianlah dengan satu gerakan saja, orang itu sudah dapat cekal lengannya Yoe
Peng dan Thian Oe yang lalu dilemparkan. Belum sempat berteriak, mereka sudah jatuh
duduk di atas kursi, tanpa mendapat luka sedikit pun!
Thian Oe dan Yoe Peng mengawasi dengan mata mendelong dan mulut ternganga.
Mereka hampir tak percaya, bahwa dalam dunia masih ada orang yang mempunyai
kepandaian begitu tinggi.
Pembesar itu mesem dan berkata: "Tak susah buat dapat pulang kedua pedang ini. Aku
cuma mau minta kalian bicara sebenarnya. Siapakah adanya kalian?"
"Ayahku adalah Tan Teng Kie, Soanwiesoe dari Sakya," sahut Thian Oe. Orang itu
keluarkan satu seruan kaget dan berkata: "Ah, kalau begitu kau adalah Tan Kongtjoe.
Maaf buat perbuatanku yang barusan." Ia lalu berpaling kepada Yoe Peng dan menanya:
"Dan kau?"
Lantaran masih berdongkol, Yoe Peng tutup mulutnya. "Kekeliruanku yang tadi sudah
terjadi lantaran adanya salah mengerti," kata si pembesar dengan suara halus. "Aku
menduga, kau adalah seorang wanita lain, tapi siapa nyana, biarpun pedangmu mirip
dengan pedangnya, ilmu
silatmu masih kacek terlalu jauh dengan ilmu silatnya! Itu sebabnya kenapa barusan aku
bilang, tak benar."
Begitu mendengar perkataannya si pembesar, Thian Oe dan Yoe Peng loncat bangun
dengan berbareng. "Wanita siapa yang kau ketemu?" tanya Yoe Peng.
"Bagaimana sebenarnya hubungan antara kau dan wanita itu?" ia balas menanya.
"Aku adalah dayangnya," jawab Yoe Peng.
Pembesar itu manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata: "Nah, kalau begitu
barulah benar. Siapakah adanya majikanmu?"
Oleh karena tidak kenal siapa adanya orang itu, hatinya Yoe Peng jadi sangsi. "Aku she
Liong, namaku Leng Kiauw," ia perkenalkan dirinya sembari mesem. "Banyak sahabat
bilang namaku sukar diingat, dan oleh karena aku adalah anak yang ketiga, mereka pada
panggil aku Liong Sam. Bukankah Tan Kongtjoe sudah pernah dengar namaku yang
rendah?"
Thian Oe jadi berdebar hatinya. Ia sama sekali tak duga, bahwa pembesar yang
kelihatannya begitu sederhana adalah orang luar biasa nomor satu di bawah perintahnya
Hok Kong An -- Liong Sam Sianseng yang kesohor namanya!
Dari ayahnya, Thian Oe pernah dengar, bahwa di bawah perintahnya panglima besar
tersebut terdapat seorang pandai yang tak mau munculkan mukanya. Orang itu dikenal
sebagai Liong Sam Sianseng. Pangkatnya kecil saja, yaitu pangkat Tjamtjan (semacam
penulis), tapi pengaruhnya sangat besar dan semua nasehatnya selalu diturut oleh Hok
Tayswee. Banyak sekali usaha yang berfaedah di daerah perbatasan keluar dari otaknya.
Menurut katanya orang, kepandaian Liong Sam tak dapat diukur bagaimana tingginya.
Tugas Hok Kong An di Lhasa adalah tugas yang bukan main beratnya, akan tetapi,
selama beberapa
tahun, ia selalu dapat lakukan pekerjaannya secara licin, dan ini, menurut katanya orang,
sebagian besar adalah berkat bantuannya Liong Sam Sianseng. Namanya Liong Sam
tidak banyak dikenal orang dan cuma diketahui oleh beberapa pembesar penting di
bawahnya Hok Kong An. Dahulu, setiap kali Siauw Tjeng Hong dan Tan Thian Oe bicara
mengenai dirinya Liong Sam, mereka selalu merasa sangsi, apakah benar orang itu
mempunyai kepandaian yang tinggi. Mereka anggap, manakala benar ia mempunyai
kepandaian seperti yang diagulkan orang, Liong Sam tentu tak akan sudi bekerja sebagai
satu Tjamtjan di bawahnya Hok Tayswee.
Tapi belakangan, ketika berada di keraton es, Thiekoay sian pernah utarakan perasaan
kagumnya terhadap Liong Sam. Dikatakan olehnya, bahwa Liong Sam adalah seperti satu
naga malaikat, yang kelihatan kepalanya, tapi tak kelihatan buntutnya. Ketika itu, Thian Oe
pernah tanyakan asal-usulnya Liong Sam, akan tetapi sang guru sungkan banyak bicara
dan cuma geleng-gelengkan kepalanya. Ia cuma bilang, kalau nanti sudah turun gunung,
ia mau bawa Thian Oe pergi ketemukan orang pandai itu. Cuma sungguh menyesal,
sebelum niatan itu terwujut, Thiekoay sian sudah tinggalkan dunia ini buat
selamalamanya. Dan sekarang, secara kebetulan sekali, dengan matanya sendiri, Thian
Oe dapat saksikan kepandaiannya Liong Leng Kiauw.
"Sesudah aku perkenalkan diri, apakah kau dapat memberitahukan namanya
majikanmu?" tanya Liong Sam sembari tertawa. Yoe Peng masih juga belum menyahut. Ia
hanya mengawasi dengan perasaan bimbang.
"Lagi kapan kau bertemu ia?" tanya Thian Oe.
"Apa kau kenal majikannya?" Liong Sam balas menanya.
"Majikannya adalah Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
Liong Sam kelihatan terkejut. "Hm!" ia menggerendeng. "Aku kira Pengtjoan Thianlie
cuma cerita burung. Tak tahunya, benar ada orangnya!"
"Lagi kapan kau bertemu Kongtjoe kami?" tanya Yoe Peng.
"Tiga hari yang lalu, di waktu malam," sahutnya.
"Bagaimana bertemunya?" tanya lagi Yoe Peng.
"Ia datang disini dan ambil serupa barang," menerangkan Liong Sam.
"Ia ambil barangmu?" tanya Yoe Peng sembari tertawa dingin, lantaran ia sama sekali
tak percaya. Puterinya mau mengambil barang lain orang.
"Barang apa?" tanya Thian Oe.
"Bukan barang terlalu penting, cuma aku tak mau ia mengambilnya," sahut Liong Sam
secara menyimpang. "Cuma sayang, aku tak dapat tahan padanya."
Pada tiga malam yang lalu, seorang wanita telah satroni rumahnya Liong Sam dan curi
satu rencana cara bagaimana Hok Tayswee akan menyambut guci emas yang di kirim dari
Pakkhia. Rencana itu telah disusun oleh Liong Sam sendiri. Wanita tersebut mempunyai
ilmu entengi badan yang luar biasa tingginya dan menggunakan sebatang pedang yang
mengeluarkan sinar terang serta hawa dingin. Liong Sam mengubar dan sesudah
beberapa gebrakan, ia masih belum dapat jatuhkan wanita itu. Dalam kegelapan malam,
ia tak dapat lihat tegas mukanya wanita tersebut yang mendadak tertawa bergelak-gelak
dan berkata: "Cuma sebegini ilmunya Naga Malaikat!" Sehabis berkata begitu, ia
menyerang dengan serangan aneh, sehingga Liong Sam terpaksa loncat mundur, dan
dengan gunakan kesempatan itu, ia enjot badannya dan menghilang di tempat gelap.
Kejadian itu sudah membikin Liong Sam yang pandai dan banyak pengalamannya jadi
garuk-garuk kepalanya. Itu sebabnya kenapa sudah terjadi salah mengerti dan Yoe Peng,
yang diduga adalah wanita itu sebab mempunyai pedang yang mirip dengan pedangnya
wanita tersebut, sudah dipancing datang kesitu.
Sesudah Liong Leng Kiauw tuturkan duduknya persoalan, semua orang jadi bengong
dengan masing-masing mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Thian Oe sendiri sudah
merasa pasti, bahwa wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Di lain pihak, Yoe Peng tidak
percaya omongannya tuan rumah, bahwa Pengtjoan Thianlie datang menyatroni buat
mencuri barangnya. "Bukankah di keraton es bertumpuk-tumpuk macam-macam mustika?
Mana bisa dipercaya, Kongtjoe mau curi barangnya!" kata Yoe Peng dalam hatinya. Tapi
Yoe Peng tidak tahu, bahwa rencana yang dicuri oleh Pengtjoan Thianlie ada lebih
berharga dari mustika apapun juga. Sementara itu, Liong Leng Kiauw tak habis mengerti,
kenapa Pengtjoan Thianlie sudah curi rencananya. Apakah ia mau campur tangan?
Mengingat ilmu silatnya Pengtjoan Thianlie yang sangat tinggi, mau tak mau hatinya jadi
keder juga.
Matanya Liong Sam yang sangat tajam dapat lihat kesangsiannya Yoe Peng, tapi ia
tidak kata apa-apa dan lantas pulangkan Pengpok Hankong kiam. Selagi Thian Oe mau
pamitan, Liong Sam sudah mendahului dengan berkata: "Tan Kongtjoe, jika kalian tak
mencela tempatku yang buruk, aku undang kalian mengasoh semalaman disini. Besok
aku akan antar kau pergi ke gedungnya Hok Tayswee. Mungkin sekali ayahmu juga
berada disitu."
"Apa ayah tinggal disitu?" tanya Thian Oe.
"Bukan," sahut Liong Sam. "Ia menyewa rumah lain. Besok Hok Tayswee mau
berunding dengan ia, dan aku dengar, tak lama lagi ia sudah boleh balik ke Sakya.
Besok paginya, bersama Liong Sam, Thian Oe pergi ke gedungnya Hok Kong An,
sedang Yoe Peng menunggu di rumah. Gedungnya Hok Tayswee terletak di tengah-
tengah kota dan berdekatan dengan Gereja Besar (Thaytjiauw Sie). Di tengah jalan Liong
Leng Kiauw tanyakan mengenai Pengtjoan Thianlie dan dijawab dengan sejujurnya oleh
Thian Oe.
Setibanya di gedung Hok Kong An, Liong Sam minta Thian Oe menunggu di kamar
peranti tetamu menulis nama. Tak lama kemudian, seorang pelayan muncul dan undang
Thian Oe masuk ke dalam. Baru saja kakinya menginjak undakan batu, ia dengar
suaranya Liong Sam yang berkata sembari tertawa: "Tan Taydjin, aku bilang hari ini kau
bakal dapat kegirangan besar, tapi kau tidak mau percaya.
Coba lihat, siapa yang datang!” Begitu masuk, ia lihat di tengah-tengah ruangan
berduduk seorang pembesar Boantjiu yang berusia kurang lebih 40 tahun. Ia berwajah
angker sekali, tapi pada keangkeran itu terselip sinar kejengkelan. Orang yang duduk di
sebelahnya pembesar Boan tersebut bukan lain daripada ayahnya sendiri, Tan li-ny Kie.
Melihat puteranya, Teng kie girang tak terhingga. "Oe-djie!" ia berseru. "Lekas memberi
hormat kepada Hok Tayswee!" Thian Oesegera jalankan peradatan sesuai dengan adat
istiadat, dan sesudah itu, ia lalu berdiri di samping ayahnya.
Hok Tayswee lirik Thian Oe dan berkata: "Dengan lihat romannya Tan Sieheng, dengan
sesungguhnya burung Hong muda boleh berendeng dengan Hong tua. Aku berani bilang,
di belakang hari nama dan keberuntungannya Tan Sieheng akan berada di sebelah
atasannya Taydjin sendiri. Sungguh aku harus memberi selamat kepada Taydjin."
"Buat itu semua kami ayah dan anak tentu saja harus mengandal kepada bantuannya
Tayswee," sahut Teng Kie.
Thian Oe sebal mendengar kata-kata yang manis-manis dari kalangan pembesar
negeri, maka itu, tanpa menunggu sampai Hok Kong An membuka mulut lagi, ia sudah
mendahului. "Hok Tayswee," katanya. "Ada orang minta aku sampaikan serupa barang
kepadamu."
"Ada orang minta kau sampaikan barang kepadaku?" menegasi panglima itu dengan
suara heran. "Barang apa?"
Thian Oe rogoh sakunya dan keluarkan kotak sulam yang ia terima dari si pemuda baju
putih dan serahkan itu kepada Hok Kong An, yang lantas buka tutupnya. Kotak itu ternyata
berisi sejilid buku. Begitu membaca, paras mukanya Hok Kong An jadi berobah, dan
sembari pegang buku itu dengan satu tangannya, ia menanya dengan suara tidak
sabaran: "Siapa yang berikan buku ini?" Pada mukanya panglima itu, yang tadi kelihatan
begitu tenang, sekarang terlukis perasaan kaget dan girang. Teng Kie gelisah dan awasi
puteranya.
"Yang memberikan adalah seorang muda yang kelihatannya seperti anak sekolah, yang
aku ketemu di tengah jalan," menerangkan Thian Oe.
Tan Teng Kie yang tidak mengetahui apa isinya buku itu, jadi merasa bingung dan tidak
mengerti, cara bagaimana puteranya boleh sembarangan terima saja barangnya orang
yang tak dikenal, buat disampaikan kepada panglima besar itu. Tapi Hok Kong An tidak
jadi gusar dan tangannya menggape kepada Liong Leng Kiauw, yang, begitu lihat isinya
buku tersebut, segera berkata dengan suara girang: "Hok Tayswee, sekarang kau sudah
boleh legakan hati. Tan Kongtjoe, sahabatmu sudah banyak membantu kami."
"Urusan ini, benar-benar mengherankan," kata lagi Hok Kong An. "Tan Sieheng, aku
minta kau bicara terus terang. Siapakah adanya sahabatmu itu?"
"Aku bertemu padanya secara kebetulan saja dan tak mengetahui asal-usulnya," sahut
Thian Oe.
"Aku rasa orang itu adalah seorang pendekar yang berkepandaian sangat tinggi,"
berkata Liong Sam. "Menurut pendapatku, buku ini bukannya dicuri olehnya."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Hok Kong An.
"Jika ia yang curi, tentu ia tak akan kirim pulang dengan begitu saja," jawab Liong Sam.
Hok Kong An diam, ia rupanya sedang berpikir keras.
"Orang luar biasa dalam kalangan Kangouw, sering lakukan perbuatan yang luar biasa
pula," kata lagi Liong Leng Kiauw. "Aku rasa Tan Sieheng sudah bicara sejujurnya,
sehingga Tayswee tak usah sangsikan lagi. Menurut anggapanku, kita memerlukan juga
bantuannya Tan Sieheng."
"Benar," sahut Hok Kong An. "Sekarang lebih baik kita rundingkan soal cara bagaimana
harus menyambut guci emas itu. Tan Sieheng duduklah."
"Aku mohon tanya, buku apakah itu sebenarnya?" tanya Tan Teng Kie yang sudah tak
dapat menahan sabar lagi.
"Ini adalah firman yang dikirim oleh Hongsiang (kaizar)," sahut Hok Kong An.
Teng Kie keluarkan teriakan kaget dan mukanya jadi pucat. Cara bagaimana firman
yang begitu penting bisa jatuh di tangan orang sembarangan, dan malahan, nyasar juga
ke dalam tangannya puteranya sendiri?
Hatinya jadi berdebar-debar, ia tak tahu apa sedang menghadapi kecelakaan atau
kegirangan. "Dalam firman ini ditulis dengan terang seluruh perjalanannya guci emas
itu," Hok Kong An
lanjutkan keterangannya. "Segala jalanan yang diambil dan tempat mengasoh pada setiap
hari semuanya ditentukan secara jelas sekali. Menurut rencana ini, tanggal satu lain
tahun, guci emas tersebut sudah mesti tiba di Lhasa dan kita ditugaskan buat menyambut
dari tempat lima ratus li jauhnya dari sini. Setibanya disini, guci itu harus ditaruh di Gereja
Besar dan segala upacaranya juga sudah ditentukan dalam firman ini. Sedari mendapat
laporan yang duluan, aku sudah tahu, bahwa guci itu sudah berangkat dari kota raja. Tadi
aku justru sedang buat pikiran, kenapa firman ini belum juga datang, tapi sekarang hatiku
sudah menjadi lega."
Tan Teng Kie gemetaran dan keringat dingin keluar dari dahinya. Ia lirik kotak itu dan
kemudian lirik puteranya sendiri. Sementara itu Hok Kong An sudah berkata lagi: "Cuma
saja, sekarang kita tahu terang, bahwa firman ini sudah kena dirampas orang di tengah
jalan. Dimana adanya pengawal yang melindungi firman, kita tidak mengetahui, dan jika
Hongsiang menyelidiki, kedosaan ini tidaklah enteng."
"Tayswee tak usah kuatir," kata Liong Leng Kiauw. "Biar bagaimana pun juga, firman itu
sekarang sudah berada dalam tangan kita. Di kemudian hari, kalau pengawalnya datang,
kita anggap saja dialah yang sudah antar sampai kesini. Aku rasa, dia juga takut memikul
kedosaan buat ketidak becusannya. Maka itu, soal hilangnya firman di tengah jalan tentu
tidak akan sampai diketahui oleh Hongsiang."
"Bagaimana kau dapat pastikan, pengawal yang mengantar firman masih hidup atau
sudah mati?" tanya Hok Kong An.
"Menurut peraturan dalam kalangan Kangouw, kalau pengawal itu kena dibinasakan,
dalam kotak tentu mesti ditaruh pisau atau lain benda buat memberitahukannya,"
menerangkan Liong Leng Kiauw.
Hok Kong An cuma menggerendeng dan tidak berkata apa-apa lagi. Ia tidak begitu
percaya dipegangnya peraturan begitu dalam kalangan Kangouw, cuma saja, oleh karena
keadaannya ada sedemikian, ia juga tidak dapat berbuat lain daripada tunggu
perkembangan selanjutnya.
"Apa yang aku kuatirkan adalah kemungkinan hilangnya guci emas di tengah jalan,"
kata Liong Sam.
"Tak boleh terjadi!" kata Hok Kong An. "Kalau sampai dirampok di tengah jalan, kita
pembesar-pembesar yang bertugas di Seetjong (Tibet) bisa kehilangan kepala! Liong
Tjamtjan, apakah kita tetap akan menyambut guci itu menurut rencana yang sudah
ditetapkan?" Hok Kong An tak tahu, bahwa rencana itu sudah kena dicuri oleh Pengtjoan
Thianlie. Kalau tahu, ia tentu akan jadi lebih kaget lagi.
Liong Leng Kiauw diam beberapa saat dan matanya lirik Thian Oe. "Yah, kita turut
rencana semula, dengan sedikit perobahan," sahutnya.
"Perobahan apa?" tanya Hok Kong An.
"Menurut rencana semula, aku menetap di Lhasa buat bantu Tayswee pimpin upacara
penyambutan," sahut Liong Leng Kiauw. "Sekarang dirobah, biarlah aku yang pergi
menyambut guci emas itu."
Matanya Hok Kong An memain dan hatinya bimbang. Liong Leng Kiauw adalah
pengawal pribadinya, dan tanpa kawalannya, ia kuatir keselamatannya terancam.
Melihat panglima itu bersangsi, Liong Leng Kiauw segera berkata: "Kalau toh ada orang
maui guci itu, percobaan merampas tentu dilakukan... di tengah jalan. Penjagaan disini
ada cukup kuat, sehingga aku rasa Tayswee tak usah berkuatir. Di sebelahnya itu, aku
akan minta soetee-ku bantu mengawal Tayswee. Andaikata sampai ada penjahat, aku
anggap ia masih dapat menghadapinya,"
Soetee-nya Liong Leng Kiauw bernama Gan Lok, yaitu orang yang telah copet
pedangnya Yoe Peng. Biarpun ilmu silatnya masih kacek jauh dengan sang soeheng, ia
mempunyai ilmu entengi badan yang istimewa. Walaupun mengetahui kepandaiannya
Gan Lok masih kalah dengan soeheng-nya, tapi mengingat pentingnya guci itu, yang
memang juga harus dilindungi oleh orang semacam Liong Leng Kiauw, Hok Kong An
segera manggutkan kepalanya buat menyatakan persetujuannya.
"Aku pun ingin minta bantuannya Tan Kongtjoe," kata Liong Sam.
Tan Tang Kie kaget dan buru-buru berkata: "Anakku bisa apa?"
"Orang bilang, mengetahui anak tidak melebihi ayahnya," kata Liong Sam sembari
tertawa. "Tan Kongtjoe mempunyai kepandaian sangat tinggi, maka buat apalah Taydjin
berlaku begitu sungkan!"
"Pujian Liong Sianseng tentu tak salah," Hok Kong An sambungi. "Baiklah, kita atur
begitu saja."
Liong Leng Kiauw mesem dan berkata pula: "Di sebelahnya itu, kita pun perlu minta
bantuannya Tan Taydjin."
"Sebagai pembesar sipil, aku bisa membantu apa?" kata Teng Kie.
"Kalau sudah tiba temponya, aku bersama Tan Kongtjoe dan beberapa pengikut akan
berangkat lebih dahulu buat membuka jalan," kata Liong Leng Kiauw. "Tan Taydjin sendiri
boleh pimpin seribu serdadu pilihan buat menyambut di tempat lima ratus li jauhnya.
Berhubung dengan itu, aku minta Hok Tayswee suka angkat Tan Taydjin sebagai utusan
istimewa buat menyambut guci emas itu."
"Liong Sianseng, kau... kau jangan main-main," kata Teng Kie dengan suara gugup.
"Bagaimana aku bisa pimpin pasukan tentara?"
"Tan Taydjin, aku bukan minta kau pergi perang atau atur barisan," jawabnya sembari
mesem. "Bawa serdadu ada apa sukarnya? Tan Taydjin adalah seorang keluaran Hanlim
yang hafal dalam segala rupa adat istiadat dan upacara. Menurut pendapatku, kau adalah
calon satu-satunya yang paling cocok buat menjadi utusan istimewa guna menyambut
guci emas itu."
Tan Tang Kie cuma berpangkat Soanwiesoe (Amban) pada sekte Sakya, yaitu pangkat
sipil kelas empat. Menurut kepantasan, pangkatnya memang tidak cukup tinggi buat
menjadi utusan guna menyambut kiriman yang begitu penting dari sang kaizar. Akan
tetapi, sebagaimana diketahui, Hok Kong An biasanya selalu turut nasehatnya Liong Sam,
maka kali ini pun ia segera menyetujui. Ia merasa, bahwa dengan terlebih dahulu minta
bantuannya sang putera dan kemudian memberi tugas kepada sang ayah, Liong Leng
Kiauw tentu mempunyai perhitungan yang sudah dipikir masak-masak, dan di sebelahnya
itu, firman kaizar telah didapat pulang dari tangannya Thian Oe, yang menerimanya dari
seorang lain, sehingga biar bagaimanapun juga, Thian Oe tentu masih mempunyai
hubungan apa-apa dengan orang tersebut. Dengan diangkatnya Teng Kie sebagai utusan,
sang putera tentulah juga akan mengeluarkan segala tenaganya buat bantu melindungi
keselamatannya guci emas itu. Demikianlah jalan pikirannya Hok Kong An ketika ia
memberi persetujuannya. Saat itu juga, ia perintah seorang pegawai menulis satu surat
pengangkatan.
"Banyak tahun Tan Taydjin menderita dalam menjalankan tugas di daerah perbatasan,"
kata Hok Kong An sembari tertawa. "Ini kali Taydjin menjalankan tugas yang sangat berat
dan penting dan pahala Taydjin tentu akan sangat dihargakan oleh Hongsiang. Sesudah
selesai, terdapat kemungkinan besar Taydjin akan dapat pulang pangkat yang dahulu atau
malahan akan diberi pangkat yang terlebih tinggi. Inilah benar-benar satu kesempatan
sangat baik bagi Taydjin."
Teng Kie anggap omongannya panglima itu ada benarnya, maka, walaupun mengetahui
beratnya tugas, ia lantas menerima tanpa rewel lagi.
"Jika Tan Kongtjoe mempunyai sahabat, aku pun ingin minta bantuannya," kata Liong
Leng Kiauw, Thian Oe tahu, bahwa sahabat yang dimaksudkan adalah Yoe Peng. Ingat
Yoe Peng, ia jadi ingat Pengtjoan Thianlie dan hatinya lantas jadi bergoncang. Ia ingat,
bahwa Thiekoay sian telah membujuk supaya Pengtjoan Thianlie bantu merampas guci
itu, sedang si pemuda baju putih minta ia melindunginya, tapi kedua usul itu sudah ditolak
secara mentah-mentah. Apa yang mengherankan, kenapa sekarang ia curi rencananya
Liong Sam? Apa ia niat merampas guci emas itu? Kalau benar, bagaimanakah baiknya?
Dan sikap apa yang akan diambil oleh Yoe Peng? Itulah ada pertanyaan-pertanyaan yang
mengaduk dalam otaknya Thian Oe. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat lain, oleh karena
ayahnya sudah terima perbaik tugas tersebut.
Sesudah beres berunding dan minum teh, Teng Kie lantas pamitan dan pulang
bersama-sama puteranya. "Urusan ini benar-benar di luar dugaan," katanya kepada sang
putera. "Sedari tiba di Lhasa, berulang kali aku telah ajukan permohonan kepada Hok
Tayswee supaya ia bikin betul kantor Soanwiesoe yang rusak dan tambah penjagaan.
Kalau tak diluluskan, aku minta ia bebaskan saja tugasku dan kirim aku pulang ke
kampung kita. Tapi ia tidak mau pecat padaku dan juga sungkan luluskan permohonan
yang pertama. Dengan begitu, bulan lewat bulan, aku tetap luntang-lantung dan makan
gaji buta. Aku sungguh merasa tidak betah, tapi siapa nyana hari ini aku mendapat tugas
yang begitu berat."
"Yah, sesudah kita menerima, jalan satu-satunya adalah coba menunaikan tugas itu
sebaik bisa," kata sang putera. "Dan bagaimana dengan keadaan di Sakya?"
"Aku dengar, sesudah aku meninggalkan Sakya, Touwsoe semakin pentang
pengaruhnya, sebab sudah tidak ada orang yang menjadi rintangan," jawab Teng Kie.
"Cuma saja, ia kelihatannya tak dapat melupakan kau. Bulan yang lalu, ia malahan kirim
orang buat menanyakan keadaanmu." Thian Oe jadi ingat cara bagaimana ia mau dipaksa
menikah dengan puterinya Touwsoe itu, sehingga tanpa merasa, ia jadi tertawa getir.
Rumah yang disewa oleh Tan Teng Kie cuma terpisah dua jalanan dengan gedung Hok
Tayswee. Rumah itu adalah rumah penduduk biasa yang sangat sederhana, dan oleh
karena Teng Kie kempes kantongnya, ia cuma ambil seorang pelayan buat bantu
mengurus rumahnya. Perabotan rumah juga sangat sederhana dan berbeda jauh dengan
kemewahan kantor
Soanwiesoe. Baru saja mereka masuk ke dalam mereka lihat seorang wanita muda yang
berdiri di tengah ruangan sembari tertawa. Wanita itu adalah Yoe Peng!
Tan Teng Kie terkesiap, sedang puteranya lantas buru-buru berkata: "Nona ini adalah
kawanku yang datang bersama-sama ke Lhasa. Eh, bagaimana kau bisa datang kesini?"
"Lantaran tak sabaran menunggu di rumahnya keluarga Liong, aku tanyakan dimana
letaknya rumahmu dan lantas pergi cari sendiri," menerangkan Yoe Peng. "Apa orang tua
ini ayahmu?"
Sesudah berkata begitu, ia segera memberi hormat menurut adat istiadat bangsa Han.
Teng Kie lihat gadis itu berparas cantik dan sikapnya gagah, sehingga jika dibandingkan
dengan puterinya Touwsoe, ia menang beberapa kali lipat. "Kalau dipasangi dengan Thian
Oe memang pantas sekali, cuma gerak-geriknya terlalu luar biasa," kata Teng Kie dalam
hatinya.
Melihat ayahnya mengawasi dengan mata mendelong, Thian Oe jadi tertawa dan
berkata:
"Ayah, dia adalah satu bidadari!"
"Foei! Jangan omong kosong!" membentak Yoe Peng sembari monyongkan mulutnya.
Melihat lagak orang yang masih kekanak-kanakan, Teng Kie jadi tertawa lebar. "Memang
juga seperti bidadari!" katanya.
"Ah, Looyatjoe (panggilan menghormat terhadap orang tua) juga suka guyon-guyon!"
kata Yoe Peng.
"Ayah, memang benar ia adalah satu bidadari, kalau tak percaya, dengarlah ceritaku,"
kata sang putera yang lantas saja tuturkan segala pengalamannya dalam keraton es
selama beberapa bulan. Teng Kie mendengari dengan mulut ternganga dan hampir-
hampir tidak mau percaya cerita itu yang seperti cerita dongeng.
Mulai waktu itu, Yoe Peng berdiam di rumahnya Teng Kie dan bersama Thian Oe, diam-
diam ia coba cari keterangan tentang halnya Pengtjoan Thianlie, tapi sebegitu jauh,
uasaha itu tidak berhasil. Tanpa terasa musim dingin sudah hampir lewat dan tempo yang
ditetapkan buat menyambut guci emas sudah hampir tiba.
Menurut rencana, Liong Leng Kiauw, Thian Oe dan Yoe Peng berangkat satu hari lebih
dahulu buat membuka jalan. Sebelum berangkat, pemuda itu beritahukan kekuatirannya
kalau-kalau Pengtjoan Thianlie benar niat merampas guci itu, kepada Yoe Peng. "Kalau
benar Kongtjoe datang, aku pasti berdiri di pihaknya," kata Yoe Peng. "Jika ia mau
merampas guci itu, aku tentu akan membantu. Manakala sampai kejadian begitu, kau
buru-buru kabur dan aku berjanji tidak akan menyerang dirimu." Mendengar jawaban
orang, hatinya Thian Oe jadi lebih kesal.
Liong Leng Kiauw pilih tiga ekor kuda Tibet yang paling baik buat dijadikan tunggangan
dan mereka berangkat pada Capdjiegwee Tjapgo (bulan dua belas tanggal lima belas),
supaya dapat bertemu dengan rombongan yang mengantar guci itu di mulutnya gunung
Tantat san pada tangal dua puluh tiga. Jalanan gunung luar biasa sukarnya dengan
jurang-jurang yang berbahaya dan pegunungan itu dikenal sebagai tempat keluar
masuknya kawanan kecu.
Dalam perjalanan, Liong Leng Kiauw dan Thian Oe merasa cocok sekali, tapi Yoe Peng
selalu mengambil sikap tawar. Berhubung dengan musim dingin, jalanan tertutup salju,
dan perjalanan jadi terlebih sukar lagi. Masih untung, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju
banyak, sehingga ia dapat menahan segala penderitaan dengan tidak banyak susah.
Di sepanjang jalan Liong Sam berlaku sangat hati-hati, dan ditambah sama sukarnya
jalanan gunung, mereka maju lambat sekali. Sesudah berjalan tujuh hari, barulah mereka
dapat lalui kurang lebih empat ratus li. Hari itu, mereka masuklah di dalam daerah
pegunungan Tantat san. "Sesudah lewati jalanan ini, besok pagi kita akan tiba di mulut
gunung dan dapat persatukan diri dengan mereka," kata Liong Sam.
"Siapakah yang dikirim buat antar guci itu dari kota raja?" tanya Thian Oe.
"Aku dengar, pimpinan rombongan berada dalam tangannya Raja muda Ho Sek Tjin-
ong dan delapan pengawal utama dari keraton juga datang semuanya," sahut Liong Leng
Kiauw.
"Bagaimana kepandaiannya delapan pengawal itu?" tanya Thian Oe.
Liong Leng Kiauw tertawa dan menjawab: "Sudah lama mereka dapat nama besar dan
rasanya kepandaian mereka tidak berada di sebelah bawah kita." Didengar dari lagu
suaranya, Thian Oe merasa Liong Sam tidak terlalu pandang mata kepada delapan orang
itu.
Jalanan di sebelah depan diapit dua puncak gunung dan jalanan gunung lugat-legot
seperti ular. Sesudah lewati satu lembah, mereka lihat tiga penunggang kuda yang jalan
berbaris, semua
berpakaian hitam, sedang tudungnya pun berwarna hitam, sehingga kelihatannya
menyolok sekali di atas jalanan yang tertutup salju putih. Mendadak, orang yang jalan
paling dahulu menengok ke belakang dan begitu lihat mukanya, Thian Oe keluarkan satu
seruan tertahan, sebab ia kenali, orang itu bukan lain daripada Siamkam Tayhiap Bek eng
Beng, yang tempo hari ia ketemu di shigatse. Untung juga, malam ini Thjian Oe tidak
munculkan muka, sehingga sesudah menengok sekali, Bek Eng Beng tidak perhatikan
mereka lagi dan terus teriaki dua kawannya supaya berjalan terlebih cepat.
"Yang di sebelah depan adalah Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng," kata Thian Oe
dengan suara perlahan.
"Kau kenal tidak sedikit orang," kata Liong Sam sembari tertawa. "Walaupun mendapat
julukan Siamkam Tayhiap, Bek Eng Beng tidak seberapa liehay. Dua kawannya yang jalan
belakangan banyak lebih tinggi kepandaiannya."
"Siapa mereka?" tanya Thian Oe.
"Dilihat dari bebokongnya, mereka agaknya seperti dua jagoan dari Tjionglam pay, yaitu
Boe-sie Hengtee (dua saudara she Boe)," sahut Liong Sam. Boe-sie Hengtee adalah
turunannya Tayhiap Boe Goan Eng yang hidup pada jamannya Kaizar Soentie dan
keluarga Boe biasanya hidup mengumpat dalam pegunungan Tjionglam san, tapi tak
dinyana, sekarang kedua jagonya berada di Tibet.
Di sebelah depan adalah jalanan sempit yang bulak-biluk seperti usus kambing dan
diapit oleh dua puncak gunung. Mendadak terdengar suara kelenengan kuda dan seekor
kuda Arab yang tinggi besar kelihatan mendatangi, dengan seorang penunggangnya yang
memakai jubah pertapaan warna merah. Hampir berbareng Thian Oe dan Yoe Peng
keluarkan teriakan tertahan. "Ah, dia!" berseru mereka. Orang itu bukan lain daripada
Hoantjeng jubah merah yang pernah dua kali menyatroni keraton es dan binasakan
Thiekoay sian! Thian Oe merasa heran sekali, sebab, ketika mau lepaskan napasnya yang
penghabisan, Thiekoay sian bilang, bahwa paderi itu telah mendapat luka berat dan harus
berlatih lagi dari tiga sampai lima tahun buat dapat pulang tenaganya. Tapi baru saja
berselang empat bulan, ia kelihatannya sudah sama gagahnya seperti sebelum mendapat
luka.
Sembari membentak keras, paderi itu kaburkan kudanya. Bek Eng Beng tidak keburu
menyingkir dan hampir-hampir saja ia jatuh terguling. Dengan sangat gusar, Siamkam
Tayhiap angkat tangannya dan hantam kepalanya kuda itu. Bagaikan kilat, si paderi
gerakkan tangannya, sedang badannya Bek Eng Beng kelihatan ngapung ke tengah
udara. Hampir pada detik yang bersamaan, kedua saudara Boe loncat dari
tunggangannya dan dua pasang tangan menyambar dengan berbareng. Paderi itu
keluarkan teriakan keras dan jatuh terguling dari kudanya.
"Binatang tak kenal aturan!" kedua saudara Boe membentak. Mereka bergerak dengan
berbareng, yang satu menendang dengan kaki kirinya, sedang yang lain menyepak sama
kaki kanannya. Si paderi buru-buru putar badannya buat sambut kedua serangan yang
hebat itu.
Mendadak kuda Arab itu berbenger keras. Ternyata lantaran kaget, bintang itu
terpeleset dan jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Di sebelah bawah tanjakan
terdapat jurang yang dalamnya ratusan tombak, sehingga kalau dia sampai jatuh kesitu,
badannya tentu akan hancur lebur. Si paderi terkesiap dan terlalu gugup buat bisa
menolong tunggangannya. Tiba-tiba badannya kedua saudara Boe melesat ke bawah
seperti anak panah. Yang satu tangkap kaki belakang kanan, sedang yang lain cekal kaki
belakang kirinya sang kuda, dan kemudian, sembari kerahkan tenaga dalamnya, dengan
berbareng mereka lemparkan kuda itu ke atas! Tenaga yang dikeluarkan tidak kebanyakan
atau kesedikitan dan kuda itu hinggap di atas tanah tanpa mendapat luka! Sesudah lihat
kepandaian orang yang istimewa itu, si paderi tidak berani banyak tingkah lagi. Tanpa
keluarkan sepatah kata, ia hampiri kudanya. Ketika itu, Bek Eng Beng juga sudah duduk di
atas sela, dan selagi ia mau menghalangi si paderi, Boe-sie Hengtee mencegah dengan
berkata: "Bek Toako, biarkan manusia itu berlalu." Bek Eng Beng tundukkan kepalanya
dan berbareng dengan berkesiurnya angin, badannya si paderi sudah melesat di atasan
kepalanya dan hinggap di atas punggung kuda.
Liong Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Hoantjeng itu cukup liehay. Kalau satu lawan
satu, Boe-sie Hengtee tentu tidak bisa gampang-gampang dapat kemenangan." Melihat
musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi merah matanya. Si paderi pun
kelihatannya kaget
ketika dapat lihat Thian Oe bersama Yoe Peng dan lantas keprak kudanya. Thian Oe
cabut pedangnya yang lantas diputar buat sambut kedatangan musuh.
Mendadak kedengaran bentakan Liong Leng Kiauw dalam bahasa Nepal: "Bangsat
gundul minggir!" Thian Oe cepat, tapi tangannya Liong Sam terlebih cepat lagi. Dengan
gerakan menuntun kambing, ia angkat si paderi dari atas kuda dan terus dilemparkan ke
belakang, sedang sang kuda lari terus. Ilmunya paderi itu sesungguhnya tinggi sekali.
Selagi badannya berada di tengah udara, dengan gerakan Leehie hoansin (Ikan Leehie
balik badan), ia hinggap dengan selamat di atas punggung kudanya yang sedang lari
keras! Cuma saja, lantaran sudah beruntun dua kali kena tubruk tembok, semangatnya
jadi merosot dan ia cuma menengok ke belakang dan awasi Liong Leng Kiauw dengan
sorot mata gusar.
Liong Sam tak ladeni dia dan perintah Thian Oe berjalan terus. "Permusuhan apakah
terdapat antara kau dan Hoantjeng itu?" tanya Liong Sam.
"Ia binasakan guruku," jawab Thian Oe.
Liong Sam heran mendengar pengakuan itu. Benar si pendeta ada terlebih liehay
daripada Thian Oe, tapi keunggulan itu cuma terletak kepada tenaga dalam yang hanya
bisa didapat dengan latihan lama. Jika dilihat ilmu silatnya Thian Oe yang mempunyai
pukulan-pukulan sangat aneh, gurunya tentu adalah seorang ahli silat kelas satu dalam
Rimba Persilatan. Tapi kenapa ia kena dibinasakan oleh paderi tersebut? Ia heran, tapi
tidak mau menanya pula, sebab bukan temponya buat bicara panjang-panjang. "Sekarang
bukan waktunya membalas sakit hati," kata ia. "Hayolah kita jalan terus."
Thian Oe tidak membantah dan mereka lalu teruskan perjalanan. Ketika itu, Bek Eng
Beng bertiga sudah lewati lembah gunung. Kedua saudara Boe menoleh ke belakang dan
dari sikapnya, ternyata mereka juga sedang dihinggapi perasaan heran.
"Ikuti tiga penunggang kuda itu, cuma jangan terlalu dekat," kata Liong Leng Kiauw.
"Liong Sianseng, ilmu apa yang barusan kau gunakan?" tanya Thian Oe.
Liong Sam tertawa dan menyahut: "Pukulan Soentjhioe kianyo (pukulan menuntun
kambing) yang sanggat sederhana. Kesalahan paderi itu ialah dia terlalu tidak pandang
mata kepada kita dan menerjang tanpa bikin persediaan. Maka itulah, dengan meminjam
tenaganya sendiri, sekali gentak saja aku sudah berhasil keja dia jungkir balik." Liong Sam
bicara secara merendah sekali, akan tetapi, Thian Oe mengetahui, bahwa ia mempunyai
kepandaian yang sukar diukur bagaimana tingginya, lantaran dengan pukulan yang begitu
sederhana, ia sudah bisa robohkan satu musuh yang begitu liehay. Dengan demikian,
Thian Oe jadi lebih-lebih kagumi orang pandai itu.
Sesudah berjalan beberapa lama, tiba-tiba terdengar pula suara kelenengan kuda.
Mereka menengok dan lihat si paderi jubah merah balik lagi dan sedang mengikuti dari
sebelah kejauhan.
"Paderi itu adalah Guru Negara dari Nepal dan dia bermaksud buat merampas guci
emas itu," kata Thian Oe.
"Jangan perdulikan padanya," kata Liong Sam. "Kepandaiannya belum cukup buat bikin
kita berkuatir. Di sebelah depan mungkin sekali bakal muncul lain-lain orang yang lebih
liehay dan kita harus sangat berhati-hati."
Sesudah lewati lagi beberapa lembah, tiga penunggang kuda yang jalan di depan
mendadak tahan tunggangannya. Liong Sam lantas beri tanda supaya Thian Oe dan Yoe
Peng pun tahan kuda mereka dan mengawasi gerak-gerik ketiga orang itu dari jarak
belasan tombak jauhnya.
Mereka lihat, di mulutnya lembah, bersender pada satu batu besar terdapat seorang
paderi kurus kering yang mukanya hitam dan berpakaian seperti paderi berkelana dari
India. Di atas tanah terdapat satu paso pecah dan sebatang tongkat bambu, sedang si
paderi sendiri lagi angsurkan kedua tangannya seperti juga lagi minta sedekah.
Bek Eng Beng dan Boe-sie Hengtee saling awasi. "Kasihlah," kata Boe Lootoa (saudara
she Boe yang lebih tua). Bek Tayhiap keluarkan sepotong perak yang lantas dilemparkan
ke dalam paso. Paderi itu menggerendeng dan mendadak lonjorkan tangannya buat usap
kepalanya Bek Eng Beng. Bek Tayhiap yang tidak kenal kebiasaan "memberi berkah" dari
paderi India, buru-buru mengkeretkan lehernya dan tangannya si paderi jadi kena usap
pundaknya. Bek Eng Beng terkesiap lantaran rasakan pundaknya seperti kena arus listrik
dan ia loncat setombak lebih tingginya sembari berteriak: "Ilmu iblis! Ilmu iblis!"
"Kami juga mau memberi sedekah," kata kedua saudara Boe sembari keluarkan seraup
perak hancur yang lantas dilemparkan ke arah paderi itu. Dengan sikap tenang, si paderi
kebas kedua tangan bajunya dan semua perak itu masuk ke dalamnya, dan kemudian,
dengan miringkan tangan bajunya, ia tuang semua perak kedalam paso.
Kedua saudara Boe barusan menimpuk dengan ilmu Thianlie Sanhoa (bidadari
menyebar kembang), yaitu serupa ilmu menimpuk senjata rahasia yang sangat tinggi.
Dengan disertai tenaga dalam, perak hancur itu ada lebih liehay daripada puluhan piauw.
Tapi si paderi dapat menyambut dengan begitu gampang, sehingga kedua saudara Boe
jadi kaget sekali.
Paderi itu lalu menghampiri dengan perlahan sembari angsurkan kedua tangannya buat
"memberi berkah". "Tak usah banyak peradatan," berkata Boe-sie Hengtee sembari
menangkis dengan gerakan tangan Toalek Kimkong.
Begitu kebentrok, kedua saudara Boe rasakan tangannya seperti memukul kapas
sehingga mereka jadi terkejut. Mendadak semacam tenaga yang sangat besar mendorong
mereka. Buru-buru mereka tarik pulang tenaga yang sudah dikeluarkan dan-berbareng
loncat mundur setombak lebih. Mereka jalankan pernapasannya dan mengetahui tidak
sampai mendapat luka. Mereka lantas saja cemplak kudanya dan berlalu tanpa menengok
lagi.
Sembari menuntun kuda, Liong Leng Kiauw menghampiri. Paderi itu kembali keluarkan
beberapa patah perkataan yang tak dapat dimengerti dan angsurkan kedua tangannya.
Liong Sam segera keluarkan seraup perak hancur, dan seperti caranya Boe-sie Hengtee,
ia lemparkan ke arah sang paderi. Thian Oe dan Yoe Peng merasa heran, lantaran,
sesudah ada contohnya Boe-sie Hengtee, Liong Sam masih juga mau menggunakan
gerakan Thianlie Sanhoa waktu melemparkan peraknya. Si paderi lalu kebas tangan
bajunya, dan seperti tadi, semua perak lantas masuk ke dalamnya. Mendadak terdengar
suara "bret" dan baju paderinya robek sedikit, sedang sebagian perak moncor keluar.
Si paderi tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Sungguh bagus!" Ia berseru sembari
acungkan jempol tangannya. Ia pentang telapakan tangannya yang lantas turun perlahan-
lahan buat "memberi berkah".
Barusan Liong Leng Kiauw telah gunakan ilmu melepaskan senjata rahasia yang
istimewa sekali. Ia timpukkan seraup perak hancur itu dengan sekali timpuk, akan tetapi,
setiap keping menyambar dengan tenaga yang berlainan beratnya. Selainnya itu, pada
sebelum menimpuk, lebih dahulu ia pencet sekeping perak dengan dua jarinya, sehingga
kepingan perak itu menjadi gepeng seperti Kimtjhie piauw (piauw uang tembaga) dan
sangat tajam. Itulah sebabnya, kenapa kepingan itu dapat merobek bajunya si paderi.
Tentu saja Thian Oe tak dapat lihat itu semua, sedang si paderi sendiri jadi sangat terkejut.
Melihat tangan orang yang turun perlahan-lahan, Liong Leng Kiauw segera angkat
tangannya buat menangkis sembari berkata dengan tertawa: "Jangan! Aku tak berani
terima!" Begitu kebentrok, mereka sama-sama rasakan seperti dilanggar arus listrik dan
kedua-duanya mundur beberapa tindak. Liong Sam balas memberi hormat dan lantas
teriaki supaya Thian Oe dan Yoe Peng buru-buru berangkat. Si paderi lalu punguti perak
yang berantakan dan kembali menyender di batu besar sembari meramkan kedua
matanya, buat tunggu kedatangannya lain orang.
"Orang macam apa adanya paderi itu?" tanya Thian Oe sesudah mereka jalan
beberapa jauh. "Aku cuma harap
kedatangannya disini tidak mempunyai hubungan dengan guci emas," sahut Liong
Sam. "Kepandaian yang barusan diperlihatkan olehnya adalah ilmu Yoga yang tidak kalah
dengan Hianboen lweekang dari Tiongkok. Jika kedatangannya adalah buat mencampuri
urusan guci emas, kita sunguh bakal ketemu lawanan berat." Sesudah mereka lalui dua
lembah gunung, tiba-tiba mereka dengar teriakannya si paderi jubah merah. Waktu Liong
Sam bertiga menoleh ke belakang, mereka lihat paderi itu menggemblok di punggung
kuda tanpa bisa angkat kepalanya lagi!
"Hoantjeng itu tentulah juga unjuk kegalakannya, sehingga ia dipersen sedikit berkah,"
kata Liong Sam sembari tertawa.
Thian Oe juga turut tertawa dan berkata: "Paderi itu memberi berkah seperti juga
pembesar ujian menguji calonnya. Setiap orang yang lewat tentu mesti diujinya. Ah,
caranya benar aneh sekali."
"Kalau Pengtjoan Thianlie yang lewat disitu, aku rasa dia bakal telan tulang," Yoe Peng
beri pendapatnya. Liong Sam tidak turut bicara, ia seperti sedang berpikir keras.
Malam itu mereka menginap dalam gunung Tantat san dengan memasang tenda. Pada
esok paginya, ternyata si paderi jubah merah, Bek Eng Beng dan kedua saudara Boe
sudah tidak kelihatan mata hidungnya. Liong Sam menghela napas dan sembari
mengawasi keadaan di seputarnya, ia berkata: "Marilah kita berangkat pada sebelumnya
matahari keluar, supaya bisa tiba terlebih siang di mulut gunung guna menanti
kedatangannya guci emas!"
Baru saja matahari munculkan diri, mereka sudah tiba di mulutnya selat Tantat san.
"Kalian tunggu disini sebentaran, aku mau lihat-lihat di sebelah depan," kata Liong Sam.
Belum habis perkataannya, dalam selat gunung tiba-tiba terdengar suaranya kaki kuda
yang sangat ramai. "Heran benar!" kata Liong Leng Kiauw dengan suara kaget. "Menurut
rencana, rombongan pengantar guci akan tiba pada waktu tengah hari. Kenapa mereka
sudah sampai begini pagi?" Sementara itu debu tebal sudah mengebul ke tengah udara
dan ribuan kuda dengan penunggangnya lapat-lapat sudah bisa terlihat. Hatinya Thian Oe
berdebar-debar, ia kuatir timbul kesulitan yang bisa rembet diri ayahnya dan berbareng
harapkan munculnya Pengtjoan Thianlie.
Selat gunung itu berbentuk seperti terompet, di dalamnya sempit, di luarnya lebar.
Barisan Gielimkoen yang mengawal guci emas itu, terbagi jadi dua pasukan yang keluar
dari mulut selat secara angker sekali, seperti dua ekor naga. Ribuan bendera seakan-akan
menutupi sinarnya matahari, sedang ribuan kuda dengan para penunggangnya yang
berpakaian indah dan beroman keren, tak hentinya berbenger-benger. Di antara barisan
itu terdapat sehelai bendera kuning yang berkibar-kibar menurut tiupannya angin dan di
belakangnya bendera, tertampak empat payung sulam warna kuning, yang mendahului
empat ekor kuda bulu putih. Sekali lihat saja, orang akan mengetahui, bahwa salah satu
dari empat kuda itu menggendol guci emas di bebokongnya.
"Utusan istimewa belum datang, apakah kita boleh menyambut lebih dahulu?" tanya
Thian Oe.
"Tunggu dahulu," jawab Liong Sam.
Baru saja pasukan Gielimkoen berbaris di mulut selat, tiba-tiba terdengar suara riuh dan
serombongan orang menerjang keluar dari lereng gunung, dengan dikepalai oleh si
pendeta jubah merah. Sambil putar sianthung-nya, ia menerjang masuk ke dalam pasukan
Boan, dengan dilindungi oleh enam boesoe Nepal yang bersenjata golok bulan sebelah.
Bagian depan Gielimkoen segera menjadi kacau. Dua perwira, yang satu bersenjata
tongkat besi dan yang lain cekal golok, loncat keluar dan tahan majunya si pendeta.
Dengan sepenuh tenaga, si pendeta jubah merah sampok dua senjata musuhnya yang
lantas terpental, tapi untung tidak sampai terlepas. "Bangsat
Hoan! Besar benar nyalimu berani coba-coba merampas guci emas!" membentak satu
perwira sembari kebaskan tangannya dan Gielimkoen lantas bergerak. Pasukan anak
panah segera maju ke depan, sehingga enam boesoe Nepal itu jadi tertahan di luar sebab
dihujani anak panah, sedang si pendeta jubah merah dikepung oleh kedua perwira di
tengah-tengah.
Sembari mengumpat di belakang batu, Liong Sam bertiga tonton pertempuran itu.
"Apa kita perlu membantu?" tanya Thian Oe.
"Coba kita tonton dahulu kepandaiannya delapan pengawal istana," sahut Liong Sam.
Pertempuran berlangsung dengan sangat seru, tapi lekas juga kedua perwira itu berada
di
bawah angin.
"Dua perwira itu adalah Tiatkoay Thio Hoa (Thio Hoa si Tongkat Besi) dan Tanto Tjioe
Ngo (Tjioe Ngo si Golok Tunggal), yaitu dua antara delapan pengawal istana yang utama,"
menerangkan Liong Sam. "Kalau sedang berkelahi, mereka biasanya tak suka orang
membantu, tapi sekarang rupanya kebiasaan itu tak akan dapat dipertahankan lagi."
Semakin lama, serangan si pendeta jubah merah jadi semakin hebat. Tongkatnya
seperti juga berobah jadi puluhan batang dan menyambar-nyambar dengan disertai sama
deruan angin yang santer, sehingga kedua perwira itu seakan-akan terkurung dalam
bayangan tongkat. Selagi ia mau turunkan tangan yang membinasakan, tiba-tiba dari
belakang barisan Boan muncul seekor kuda, yang dikaburkan keras sekali. Sebelum sang
kuda tiba di gelanggang pertempuran, badannya si penunggang sudah melesat ke tengah
udara. "Sungguh indah gerakan Tian-ek mo-in itu (Pentang sayap mengusap awan)!"
memuji Thian Oe.
Bagaikan sehelai bianglala putih, pedangnya orang itu menyambar. Si pendeta angkat
sianthung-nya dalam gerakan Kiehwee liauwthian (Angkat obor menerangi langit) buat
sambut
serangan musuh. Tiba-tiba dengan satu suara "srt", satu benda hitam ngapung ke udara,
mengikuti berkelebatnya sinar bianglala putih. Ternyata, topinya si pendeta yang pesegi
delapan sudah kena disontek dan dibabat putus dengan pedangnya orang itu.
"Orang itu adalah jagoan kedua, Ginhong kiam (Pedang Bianglala Putih) Yoe It Gok,"
kata Liong Sam. "Sekarang si Hoantjeng ketemu tandingan berat." Benar saja dalam
tempo sekejap keadaan jadi berobah. Si pendeta terus main mundur dan sekarang cuma
dapat membela dirinya saja, tanpa mampu balas menyerang. Yoe It Gok adalah jagoan
kelas satu dari Siauwlim pay dengan mempunyai ilmu pedang Lianhoan Kiamhoat (Ilmu
pedang berantai) yang liehay bukan main.
Selagi si pendeta terdesak hebat, tiba-tiba kembali terdengar suara riuh dan dari
sebelah selatan dan utara muncul keluar sejumlah orang. Rombongan sebelah selatan
dipimpin oleh Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, sedang yang datang dari sebelah utara
berada di bawah pimpinannya Boe-sie Hengtee. Liong Leng Kiauw mengawasi dan
berkata sembari tertawa: "Si tua she Bek benar-benar banyak kawannya. Jago-jago dari
Lima Propinsi Utara agaknya semua turun kesini." Sementara itu, kedua rombongan itu
sudah menyerbu sehingga barisan Gielimkoen kembali menjadi kalut.
Dengan satu tanda kebutan dari bendera pasukan tengah, delapan jagoan istana lantas
dipecah buat sambut kedua serangan itu. Rombongannya Bek Eng Beng ditahan oleh
satu pasukan di bawah pimpinannya satu perwira yang bersenjata bandringan dan mereka
lantas saja bertempur hebat. Boe-sie Hengtee yang gagah luar biasa dapat menyerbu
terus sampai di tengah-tengahnya pasukan Boan. Dengan bekerja sama, kedua
pedangnya menyambar ke kanan kiri bagaikan hujan dan angin. Selagi mereka
mengamuk hebat, dari belakang barisan muncul dua perwira yang lantas tahan majunya
kedua saudara itu. Mereka itu adalah dua anggauta dari delapan jagoan istana, yang satu
bersenjata golok bergigi seperti gergaji, sedang yang lain mencekal pedang.
"Yang merintangkan aku, mampus, yang menyingkir, selamat!" membentak kedua
saudara Boe sambil menyabet dengan pedangnya. Dengan satu suara krontrangan,
giginya golok kena tersabet putus, sedang pedangnya perwira yang satunya lagi kena
dibikin terpental ke tengah udara. Buru-buru mereka bilukkan kudanya, tapi gerakannya
Boe-sie Hengtee luar biasa cepat, dan berbareng sama berkelebatnya sinar pedang,
kedua perwira itu kena bacokan dan roboh dari atas kudanya.
Sesudah robohkan kedua musuhnya, Boe-sie Hengtee segera menerjang ke pasukan
tengah, ke arah empat kuda putih itu.
Dengan hati terkejut, Yoe It Gok tinggalkan si pendeta j ubah merah dan balik badannya
buat cegat kedua saudara Boe itu. Tapi Boe-sie Hengtee bergerak luar biasa cepat,
mereka menubruk ke kiri dan ke kanan dan segera sudah mendekati bendera kuning yang
berkibar-kibar di pasukan tengah.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan seorang perwira yang berpakaian kebesaran
kelas tiga, loncat keluar dari tengah-tengah pasukan Boan. Ia itu berkumis merah dan
tangannya mencekal senjata yang rupanya aneh sekali. "Kau orang adalah bangsa Han,
tapi kenapa sudi membantu orang asing buat merebut guci emas!" ia membentak sembari
cegat majunya Boe-sie Hengtee. Suaranya orang itu luar biasa nyaring dan terdengar
jelas di antara gemuruhnya pertempuran.
Kedua saudara Boe balas membentak: "Hei, kau juga bangsa Han, tapi kenapa
kesudian menjadi budaknya bangsa Boan? Kami pasti tak akan permisikan guci emas itu
diantar ke Lhasa. Majikanmu sudah duduki Tionggoan, apa dia belum puas? Dia sekarang
masih mau telan juga Sinkiang, Mongolia dan Tibet! Merampas guci itu adalah
kemauannya kami sendiri, sama sekali tidak ada hubungannya sama pendeta asing itu.
Kau jangan omong besar, sambutlah senjataku!"
Perwira kumis merah itu tertawa terbahak-bahak. "Kamu orang sudah sekongkol sama
bangsa asing dan memberontak, dan sekarang coba goyang lidah di hadapanku," kata ia.
"Kalau benar kau punya kepandaian, ambillah guci emas itu dari tanganku!"
Boe-sie Hengtee tahu mereka sedang berhadapan sama lawanan berat, dengan
berbareng kedua pedang mereka menyambar, yang satu membabat, yang lain menikam,
sehingga gerakannya kedua pedang itu merupakan setengah lingkaran yang bekerja
sama, menyambar ke arah pingangnya perwira itu. Si perwira dengan cepat sodok masuk
senjatanya ke dalam setengah lingkaran itu dan kedua pedangnya Boe-sie Hengtee lantas
saja terpencar dan suara mengaungnya logam akibat bentrokan senjata kedengaran lama
sekali.
Liong Leng Kiauw mengawasi sembari manggut-manggutkan kepalanya, sedang Thian
Oe berkata sembari tertawa: " Orang itu tak usah malu menjadi kepala dari delapan
pengawal istana, benar-benar ilmu silatnya liehay."
Ilmu silatnya Boe-sie Hengtee adalah warisan dari leluhurnya dan liehaynya bukan
main. Dalam sekejap, mereka berdua sudah kirim beberapa serangan berbahaya dengan
beruntun. Senjata aneh dari perwira itu ada lebih pendek dari toya biasa, tapi lebih
panjang dari Poankoan pit (senjata yang macamnya seperti pit, pena Tionghoa yang
terbuat dari bulu). Di atasnya tongkat itu penuh dengan gaetan-gaetan mengkilap yang
biasa digunakan buat cangkol senjata musuh. Maka itu, walaupun ilmu silatnya sangat
tinggi, mau tidak mau Boe-sie Hengtee harus berlaku sangat hati-hati.
"Apa namanya senjata perwira itu? Kenapa begitu liehay?" tanya Thian Oe.
"Perwira itu bernama Tjiauw Tjoen Loei, kepala dari delapan pengawal keraton," sahut
Liong Leng Kiauw sembari tertawa. "Tenaga dalamnya tidak kalah dari Boe-sie Hengtee,
sehingga biarpun ia menggunakan senjata biasa, dua saudara Boe tidak nanti bisa
mendapat kemenangan. Dengan gunakan Longgee pang (Tongkat gigi anjing hutan) yang
terutama digunakan buat menindih senjata sebangsa golok, dalam lima puluh jurus, Boe-
sie hengtee bakal menjadi kalah."
Sementara itu, barisan Tjeng sudah menjadi teguh kembali. Bek Eng Beng dan kawan-
kawannya terkepung di tengah-tengah, sedang si pendeta jubah merah bersama enam
boesoe Nepal kena ditahan di luar barisan.
"Dilihat begini, kita boleh tak usah keluar membantu," kata Thian Oe.
"Mana bisa begitu mudah," sahut Liong Leng Kiauw dengan paras muka guram. Baru
saja ia habis ucapkan perkataannya, di mulut gunung sebelah timur sudah terlihat
munculnya tiga orang yang pakai pakaian seperti Lhama Tibet, cuma warnanya putih.
Kaum Lhama di Tibet terbagi jadi dua sekte, yaitu Sekte Topi Merah dan Sekte Topi
Kuning. Warna jubahnya, kalau bukan merah, tentulah kuning. Lhama yang pakai jubah
putih, Thian Oe belum pernah lihat dan jadi merasa sangat heran.
"Ah, Hoat-ong (raja) dari Tjenghay (Kokonor) juga kirim orang buat ngaduk di air keruh,"
kata Liong Leng Kiauw. "Kalau begini, kita toh mesti turun tangan juga!"
Thian Oe terkejut dan segera ingat sejarah agama Lhama yang pernah dituturkan
kepadanya oleh ayahnya.
Ketika itu, Dalai Lhama dan Panchen Lhama merupakan kepala dari Sekte Topi Kuning
di Tibet. Sekte Topi Merah telah mendapat kekuasaan pada jaman kerajaan Goan. Akan
tetapi, di sebelahnya kedua sekte itu masih ada satu sekte lain, yaitu Sekte Topi Putih,
yang pentang pengaruh sesudah jaman Sekte Topi Merah dan sebelum Sekte Topi
Kuning. Di jaman Kerajaan Beng, Sekte Topi Putihlah yang berkuasa di Tibet. Pada jaman
Kaizar Beng yang terakhir, yaitu pada tahun ke-16 dari Kaizar Tjongtjeng, Dalai Lhama ke
lima telah minta bantuannya Kushi Khan, seorang pangeran Mongol dari Kokonor, buat
tergulingkan kekuasaannya Hoat-ong (Raja Tsang-Pa). Mulai waktu itulah, Sekte Topi
Kuning (atau Gelupa) berkuasa di Tibet. Sesudah diusir dari Tibet, orang-orang Sekte Topi
Putih lari ke Tjenghay dan tancap kaki disitu dengan pemimpinnya yang dikenal dengan
nama Hoat-ong.
Mengingat sejarah itu, Thian Oe jadi tidak merasa heran lagi melihat datangnya ketiga
Lhama yang berjubah putih. "Kalau sampai guci emas kena dirampas oleh mereka, Tibet
bakal jadi kalut sekali," pikir Thian Oe.
Ketiga Lhama itu bukan main garangnya. Mereka semua menggunakan Kiuhoan
Sekthung (tongkat timah) yang mengeluarkan suara keras waktu diputar.
"Kita harus pasang mata," berbisik Leng Kiauw sembari cekal gagang pedangnya.
Dalam tempo sekejap, mereka bertiga sudah menerjang masuk ke dalam barisan
Tjeng. Dengan ajak sejumlah boesoe, Yoe It Gok coba tahan mereka, akan tetapi, baru
saja beberapa gebrakan, ia dan kawan-kawannya sudah terdesak mundur.
Selagi kegentingan memuncak, di atas gunung mendadak berkelebat satu bayangan
hitam. "Celaka!" berseru Liong Leng Kiauw sembari cabut pedangnya dan lantas
pentang kedua
kakinya. Thian Oe dan Yoe Peng lantas saja mengikuti dari belakang. Thian Oe merasa
heran sekali, kenapa Liong Leng Kiauw yang begitu tenang, jadi begitu kaget setelah lihat
berkelebatnya bayangan hitam tersebut. Siapakah musuh itu?
Kecepatan bayangan hitam itu sungguh sukar dilukiskan. Barusan saja ia terlihat di atas
gunung Tantat san yang terpisah ribuan kaki dari selat. Mula-mula cuma terlihat satu titik
hitam. Dalam sekejap, seluruh badannya sudah dapat dilihat, dan di lain saat, ia sudah
berada di lereng gunung. Begitu lihat romannya. Thian Oe terkesiap. Ia itu bukan lain
daripada si pendeta India berkelana, yang kemarin mereka bertemu di tengah jalan. Di
belakangnya pendeta itu kelihatan mengikuti beberapa bayangan hitam lain.
"Dia satu saja sudah sukar dilawan, bagaimana dengan kawan-kawannya," kata Thian
Oe dalam hatinya. "Kalau begini, guci emas sukar dilindungi lagi."
Gerakan Liong Leng Kiauw cepat bagaikan angin. Sembari acungkan pedangnya, ia
menerjang masuk ke dalam barisan. "Atas titahnya Hok Tayswee, aku datang disini buat
menyambut guci emas!" ia berseru. Dengan serentak, Gielimkoen terpecah dua buat
memberi jalan kepadanya.
Mendengar bentakan Liong Leng Kiauw, tiga Lhama jubah putih yang sudah berada di
dalam barisan, segera menengok dan tiga batang sekthung menghantam dengan
berbareng. Liong Leng Kiauw, yang tidak ingin bertempur sama tiga Lhama itu, lantas
tekan ujung pedangnya pada salah satu sekthung dan badannya segera melesat ke
tengah udara. Dengan satu gerakan Koetjoe hoansin (Anak ayam putar badan) yang
sangat indah, badannya sudah
"terbang" melewati kepalanya tiga Lhama tersebut, akan kemudian langsung memburu
ke pasukan tengah.
Thian Oe dan Yoe Peng yang datang belakangan sudah bertemu dengan enam boesoe
Nepal di luar barisan. Mereka berdiri berjajar sambil cekal goloknya yang berbentuk bulan
sebelah.
"Siauw Kongtjoe akan segera datang. Kenapa kau orang tidak mau lantas melarikan
diri?" berkata Yoe Peng dalam bahasa Nepal.
Enam boesoe itu terkejut. "Jangan percaya omongannya!" membentak si pendeta jubah
merah. "Pengtjoan Thianlie siang-siang sudah ditelan gunung berapi!"
Tanpa berkata satu apa lagi, Yoe Peng lantas lepaskan dua butir Pengpok Sintan.
Enam boesoe itu jadi bergidik dan dua antaranya, yang pernah turut si pendeta jubah
merah naik ke keraton es dan mengenali Yoe Peng, sudah jadi begitu ketakutan, sehingga
badannya bergoyang-goyang. Dengan menggunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe
Peng segera menerjang masuk ke dalam barisan.
Dalam barisan sedang terjadi pertempuran campur aduk. Oleh karena tidak ingin
kebentrok dengan jago-jago Lima Propinsi Utara, Thian Oe segera teriaki Yoe Peng: "Mari
kita gempur itu Hoantjeng!"
Oleh karena dibukakan jalan oleh tentara Tjeng, Thian Oe dan Yoe Peng bisa masuk
secara gampang. Selagi mereka mau menerobos lebih jauh, tiga Lhama jubah putih
mendadak menengok. "Bocah, lekas pergi!" kata satu antaranya yang menjadi pemimpin
dan yang lantas menghantam dengan tongkatnya. Thian Oe dan Yoe Peng rasakan satu
tenaga yang luar biasa besar menyapu pedang mereka, yang lantas terbang ke tengah
udara. Ternyata, lantaran lihat usia mereka yang masih begitu muda, si Lhama tidak tega
turunkan tangan jahat dan cuma bikin terpental saja pedang mereka.
Selagi Lhama itu tertawa girang, dengan berbareng Yoe Peng lepaskan tiga Pengpok
Sintan. Tiga Lhama tersebut mana tahu dalam dunia ada senjata rahasia yang begitu
liehay. Diserang selagi tidak bersedia, tiga peluru itu dengan tepat mengenakan dada
mereka yang terbuka lebar. Mendadakan saja, mereka rasakan menyambarnya hawa
yang luar biasa dingin, sehingga badan mereka jadi gemetaran. Dengan gunakan
kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng sambut pedang mereka yang sedang jatuh ke
bawah dan lalu menerjang ke sebelah depan.
Begitu menerobos ke dalam barisan, pendeta berkelana itu segera kasih lihat
kepandaian yang menakjubkan. Dengan tongkat bambunya, ia menotol ke kanan dan ke
kiri, dan serdadu-serdadu Gielimkoen yang berada dalam jarak tujuh tindak dari ianya,
begitu kena ditotol, begitu roboh. Mukanya Tjiauw Tjoen Loei jadi pucat bagaikan kertas.
Sembari menyampok dengan Longgee pang-nya, ia tinggalkan kedua saudara Boe dan
coba cegat si pendeta.
Pada saat tersebut, Liong Leng Kiauw juga sudah tiba disitu dan lantas papaki kedua
saudara Boe yang baru saja ditinggalkan oleh Tjiauw Tjoen Loei. Kedua pedangnya
saudara Boe lantas bekerja sama. Pedang kiri menikam dengan gerakan Lioeseng
kangoat (Bintang sapu ubar bulan), sedang pedang kanan menyambar dengan gerakan
Tjietian hoei-in (Kilat terbang di awan).
Pedangnya Liong Leng Kiauw terputar dan dengan satu sinar dingin, kedua pedang yang
barusan bersatu jadi berpencar. Begitu berpencar, kedua pedang terus menikam jalanan
darahnya Liong Leng Kiauw. Dalam ilmu pedang, serangan pada jalanan darah dari jarak
yang begitu dekat adalah serangan yang luar biasa sukar ditangkisnya. Tapi ilmu
pedangnya Liong Leng Kiauw sangat luar biasa. Dengan sedikit gerakan, ujung
pedangnya sudah bentur ujung pedangnya Boe Lootoa, sehingga mengeluarkan suara
"trang" yang sangat nyaring. Berbareng dengan itu, dengan gunakan tenaga berbaliknya
sang pedang, gagang pedangnya Liong Leng Kiauw bentur ujung pedangnya Boe Loodjie,
yang lantas menjadi miring! Gerakan itu dilakukan dalam waktu yang luar biasa tepatnya,
sehingga Boe-sie Hengtee merasa sangat terkejut.
"Minggir!" berseru Liong Leng Kiauw sembari mendesak dengan tiga serangan kilat. Di
antara ahli-ahli silat kelas utama, satu dua gebrakan saja sudah cukup buat mengetahui
isinya pihak lawan. Demikianlah Boe-sie Hengtee segera mengetahui, bahwa ilmu silatnya
sang lawan ada banyak lebih tinggi dari mereka dan bahwa sang lawan itu masih berlaku
sungkan dan tidak mau turunkan tangan jahat. Dengan berbareng, mereka loncat ke
samping buat membuka jalan. "Terima kasih," berkata Liong Leng Kiauw sembari loncat.
Sekarang marilah kita tengok Tjiauw Tjoen Loei, yang sesudah tinggalkan Boe-sie
Hengtee, lantas cegat majunya si pendeta berkelana. Saat itu, si pendeta sudah totok
roboh dua pengawal yang melindungi guci emas. Melihat sambarannya Tjiauw Tjoen Loei,
dengan sikap acuh tak acuh, ia angkat tongkat bambunya yang lantas menyambar ke arah
jalanan darah Honghoe hiat. Buat ahli-ahli silat, ilmu menotok jalanan darah adalah ilmu
yang biasa saja. Akan tetapi, bahwa dalam perkelahian campur aduk di antara ribuan
orang, si pendeta masih dapat kirim totokan yang begitu tepat, adalah satu kejadian yang
langka dalam Rimba Persilatan.
Tjiauw Tjoen Loei tak berani berayal lagi. Ia segera kerahkan tenaga dalamnya terus
sampai di ujung Longgee pang, yang lantas digunakan buat tempel tongkat bambunya si
pendeta. Dengan seluruh tenaga, ia menekuk buat mematahkan tongkat musuh. Tapi
siapa nyana, Longgee pang itu seperti juga kena dihisap dan nempel keras pada sang
tongkat. Tjiauw Tjoen Loei rasakan bukan saja tenaganya hilang tapi juga tekanan tenaga
musuh yang luar biasa besarnya. Ia betot Longgee pang-nya tapi tak dapat terlepas lagi!
Ia tahu, lweekang si pendeta ada banyak lebih tinggi dan jika bertahan sedikit lama lagi. Ia
akan mendapat luka di dalam badan.
Selagi ia kebingungan, mendadak berkelebat satu sinar hijau dan dengan suara "srt",
pedangnya Liong Leng Kiauw menyambar di tengah-tengah dan pencarkan Longgee pang
dari tempelannya tongkat bambu. "Tjiauw Taydjin, pergilah lindungi guci emas," berkata
Liong Leng Kiauw sembari tertawa
Melihat pada tongkatnya terdapat tanda goresan pedang, pendeta itu merasa agak
terkejut tapi begitu lekas mendapat tahu siapa lawannya, ia lantas tertawa terbahak-
bahak. "Ah, kau pun datang!" katanya.
"Kemarin kau jajal aku, hari ini akulah yang mau jajal padamu," kata Liong Leng Kiauw
sembari menyabet dengan pedangnya, yang lantas ditangkis sama tongkatnya si pendeta.
Menurut pantas, begitu kebentrok sama pedang, tongkat bambu mestinya lantas putus.
Akan tetapi, sampokannya si pendeta disertai dengan tenaga dalam yang luar biasa
hebatnya, sehingga begitu lekas kedua senjata kebentrok, badannya Liong Leng Kiauw
jadi sempoyongan tiga tindak.
Di lain saat, tongkatnya si pendeta kembali menyambar. Dengan tangan kiri mencekal
pedang, Leng Kiauw mementil sama dua jerijinya dan tongkat musuh segera terpentil
miring. "Bagus!" berseru si pendeta dengan perasaan kagum sebab barusan ia menyabet
dengan gunakan tenaga dalam yang cukup besar dan tidak nyana lawannya dapat
punahkan serangan itu sama satu pentilan jeriji. Bagaikan kilat, Leng Kiauw kirim tiga
serangan, dengan setiap serangan berisi tiga sambaran yang menuju ke arah sembilan
jalanan darah. Si pendeta berkelana juga benar-benar ahli silat kelas utama. Dengan
sekali putar tongkatnya, ia kirim empat serangan membalas dan punahkan semua totokan
lawannya. Kedua lawan itu merupakan tandingan setimpal sehingga buat sementara
waktu sukar dilihat siapa yang lebih unggul.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng, yang sesudah lewatkan tiga
Lhama jubah putih, lantas saja terjang si pendeta jubah merah. "Waktu kau menyatroni
keraton es, jiwamu sudah diberi ampun. Apa kau lupa pesanan Kongtjoe kami?"
membentak Yoe Peng. Pesanan Pengtjoan Thianlie pada waktu itu adalah supaya ia buru-
buru pulang ke Nepal dan
jangan campur-campur urusan guci emas. Sebagaimana diketahui, Hoantjeng itu adalah
Koksoe (Guru Negara) dari Nepal dan selama hidupnya, baru dua kali ia mengalami
kekalahan di keraton es. Maka itu, lantas ia menjadi gusar, ketika Yoe Peng sebut-sebut
kejadian tersebut.
"Perempuan tak kenal mampus!" ia membentak. "Biar aku kirim kau pulang ke akherat,
supaya bisa bertemu dengan Kongtjoe-mu!" Ia berkata begitu lantaran menduga pasti,
Pengtjoan Thianlie mesti binasa waktu terjadi gempa bumi.
Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi seperti orang
kalap. Sebelum si pendeta jubah merah bergerak, ia sudah dahului dengan serangan
yang membinasakan. Sama gerakan Totjoan pengpo (Bikin terbalik sungai es), sinar
pedangnya berkelebat-kelebat menyambar dari empat penjuru. Si pendeta jubah merah
terkesiap dan berkata dalam hatinya: "Baru saja berdiam beberapa bulan di keraton es,
ilmu silatnya ini bocah sudah maju begitu jauh!" Buru-buru ia menyampok dengan
sianthung-nya. Pada saat itu, serupa hawa yang luar biasa dinginnya mendadak
menyambar, sehingga ia jadi bergidik dan gerakan tongkatnya jadi agak terlambat. Tapi
meskipun begitu, pedangnya Thian Oe kena tersampok juga dan ia rasakan tangannya
sakit sekali.
Tenaga dalamnya si pendeta jubah merah sebenarnya ada beberapa kali lipat lebih
tinggi dari Thian Oe. Akan tetapi, lantaran pertama ia sudah capai sekali, kedua lantaran
ilmu silatnya Thian Oe memang sudah maju jauh dan ketiga lantaran Thian Oe mendapat
bantuannya Yoe Peng, maka dalam pertempuran itu, si pendeta jubah merah sama sekali
tidak bisa berada di atas angin. Harus diketahui, bahwa di antara dayang-dayangnya
Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng mempunyai ilmu silat yang paling tinggi, sedang Pengpok
Hankong kiam juga merupakan senjata luar biasa yang meminta banyak tenaganya
musuh guna melawan hawa dinginnya yang sangat hebat.
Waktu itu, pertempuran campur aduk di selat gunung sedang berlangsung dengan
serunya. Thian Oe dan Yoe Peng yang sedang pusatkan seluruh perhatiannya guna
melayani musuh, tidak
mempunyai tempo buat memperhatikan lain bagian. Tiba-tiba terdengar suara teriakan
riuh di antara tentara Tjeng dan ribuan orang bergerak seperti gelombang. Thian Oe dan
Yoe Peng melirik. Ternyata itu tiga Lhama jubah putih sudah berhasil menerjang masuk ke
pasukan tengah dan sudah rampas itu tiga kuda putih, satu antaranya menggendol
bungkusan besar yang ditutup sama sutera sulam warna kuning. Tjiauw Tjoen Loei,
kepala delapan pengwal istana, kelihatan sedang ubar kuda putih itu, sembari keluarkan
satu teriakan geledek. Thian Oe terkejut dan menduga bahwa bungkusan itu tentulah juga
berisi guci emas. Di lain saat, ketiga Lhama jubah putih itu sudah duduk di punggung
kuda, yang sembari berbenger keras, sudah lantas menerjang keluar.
Dengan sekuat tenaga Tjiauw Tjoen Loei coba menyandak, tapi ketinggalan jauh dan
tiga kuda putih tersebut kelihatannya akan segera dapat menerjang keluar dari barisan
Tjeng.
Sembari berteriak keras, Liong Leng Kiauw keluarkan ilmu pedang Tjiauwhoen Sippat
tjiauw (Ilmu pedang tarik nyawa yang mempunyai delapan belas macam pukulan).
Delapan belas pukulan itu, yang satu lebih cepat dari yang lain, terutama digunakan buat
menikam jalanan darah musuh. Liehay memang luar biasa liehay, tapi sangat meminta
tenaga dalam. Baru saja ia keluarkan pukulan yang ke tujuh, yaitu Toeihoen tokpok
(Memburu roh menarik sukma), napasnya si pendeta berkelana sudah sengal-sengal dan
sembari kebas tongkatnya, ia loncat minggir buat kasih Liong Leng Kiauw lewat.
Liong Leng Kiauw jadi heran bukan main. Ia mengetahui, bahwa tenaga dalamnya si
pendeta berkelana kira-kira setanding dengan tenaganya sendiri. Menurut taksirannya,
sesudah jalankan habis itu delapan belas pukulan, barulah ada kemungkinan si pendeta
dapat dipukul mundur. Maka itu, ia merasa sangat tidak mengerti, kenapa sebelum ilmu
pedangnya di jalankan separoh, si pendeta sudah keteter. Liong Leng Kiauw adalah ahli
silat kelas berat dan tak gampang orang dapat kelabui padanya. Panca inderanya yang
sangat tajam sudah dapat tangkap, bahwa sengal-sengalnya si pendeta adalah sengal-
sengal yang dibuat-buat. Tapi kenapa toh ia berlagak kalah? Tapi ketika itu, ia tidak
sempat buat berpikir banyak-banyak. Dengan gunakan ilmu entengi badan, bagaikan kilat
ia molos dari antara badan-badan manusia dan kejar tiga Lhama jubah putih itu.
Dalam tempo sekejap, ia sudah menyandak dan kemudian lewati Tjiauw Tjoen Loei.
Selagi lewat, lapat-lapat ia dengar Tjiauw Tjoen Loei berkata: "Biarkan mereka pergi."
Leng Kiauw yang
sedang bergerak luar biasa cepat, tidak dapat lantas hentikan tindakannya, akan tetapi,
ketika menengok, ia lihat Tjiauw Tjoen Loei masih terus mengubar sembari acungkan
tongkatnya.
Hatinya Liong Leng Kiauw jadi merasa sangat heran. "Apa aku dengar salah?" tanya ia
dalam hatinya. "Tjiauw Tjoen Loei adalah pemimpin dari para pengawal istana dan tugas
terutama dalam melindungi guci emas itu jatuh di atas pundaknya. Tapi kenapa ia kata
'Biarkan mereka pergi'? Dan kalau toh sudah berkata begitu, kenapa ia masih mengubar
terus?"
Biarpun hatinya heran, ia mengejar terus dan dalam tempo sekejap sudah dapat
candak tiga kuda putih itu. Ketiga Lhama bilukkan kudanya dan tiga batang Kioehoan
Sekthung menyambar dengan berbareng. Dengan gerakan Tianghong kengthian
(Bianglala membentang di langit), Liong
Leng Kiauw menggurat dengan pedangnya dan tiga batang toya timah itu lantas
tersampok miring. Meskipun berhasil menangkis serangannya musuh, tapi Leng Kiauw
rasakan tangannya tergetar lantaran tiga musuh itu bukan ahli silat sembarangan dan
lebih pula, sang musuh duduk di atas kuda, sedang ia sendiri berjalan kaki. Mendadak ia
dengar teriakannya Tjiauw Tjoen Loei. Ketika menengok, ia lihat pengawal istana itu
menggape dengan paras muka kebingungan.
Leng Kiauw heran bukan main, sehingga gerakan pedangnya jadi agak lambat. Dengan
menggunakan kesempatan itu, ketiga Lhama jubah putih putar kudanya yang lalu
dikaburkan seperti terbang. Dalam tempo sekejap mereka sudah lewati mulut selat
gunung yang seperti terompet. Pertahanan tentara disitu agak tipis, sehingga dengan tidak
banyak sukar mereka dapat menerjang keluar.
Liong Leng Kiauw mendadakan saja ingat apa-apa. "Ah, apakah mereka bukan
gunakan siasat pancing macan keluar gunung?" tanya ia dalam hatinya. "Apakah
bungkusan yang digendol kuda putih bukannya berisi guci emas?" Akan tetapi, walaupun
hatinya berpikir begitu, ia masih sangat bersangsi lantaran urusan ini adalah urusan yang
sangat besar dan jika guci emas sampai kena dirampas, semua pembesar Tjeng yang
berada di Tibet harus turut pikul kedosaannya.
Sedang Liong Leng Kiauw berada dalam kesangsian, tiga Lhama itu yang sudah
menerjang keluar dari kepungan, sedang mendaki satu tanjakan. Melihat guci emas kena
dirampas, beberapa ribu serdadu Gielimkoen lantas saja menjadi kalut. Seluruh barisan
lantas saja dirobah, pasukan belakang jadi pasukan depan, sedang yang di depan
mengambil kedudukan di sebelah belakang. Laksaan anak panah menyambar dengan
berbareng dan ribuan kuda coba mengubar ketiga Lhama itu. Akan tetapi, tiga kuda putih
yang ditunggangi oleh mereka adalah kuda-kuda pilihan dari istal keraton kaizar. Bagaikan
kilat, tiga binatang itu sudah naik di atas tanjakan dan tentara Gielimkoen ketinggalan jauh
sekali.
Pada saat yang sangat genting, di atas tanjakan mendadak terdengar siulan yang
nyaring dan panjang dan di tengah jalan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang pakai
baju putih. Dengan sekali ayun tangannya, tiga kuda putih itu berjingkrak dan berbenger
keras.
Dengan gusar, tiga Lhama jubah putih menyapu dengan tongkatnya. Mendadak si
pemuda ayun kedua tangannya dengan berbareng dan tiga sinar hitam merah
menyambar, masing -masing mengenakan tepat tiga tongkat itu. Tiga Lhama rasakan
tangannya sakit dan tongkat mereka hampir-hampir saja terlepas dari tangannya.
Di bawah selat tiba-tiba terdengar suara teriakan orang: "Thiansan Sinbong! Thiansan
Sinbong!"
Sedang ketiga Lhama itu terkejut, si pemuda sudah berkata sembari tertawa:
"Serahkan guci emas itu dan lantas berlalu dari sini!"
Tiga Lhama itu yang merasa sudah kantongi hasil, mana mau gampang-gampang
menyerah.
Mereka keprak kudanya yang lantas saja pentang kakinya dan menerjang.
Si pemuda baju putih tertawa tawar dan berkata: "Kau orang benar-benar kepengen
dihajar, baru mau mengerti?" Ia ayun tangan kanannya dan tiga sinar hitam merah kembali
menyambar. Tiga Lhama itu coba menyampok dengan tongkatnya, tapi luput, dan hampir
pada saat itu juga, tiga tunggangannya berjingkrak sambil berbenger keras diikuti dengan
robohnya ketiga Lhama itu.
Liong Leng Kiauw kaget berbareng girang dan mengetahui, bahwa si pemuda itu
adalah murid dari Thiansan pay. Ia pun mengetahui, bahwa kepandaiannya pemuda
tersebut ada lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri dan sudah cukup buat melayani tiga
Lhama tersebut, sehingga hatinya jadi merasa lega. Tapi, baru saja ia mau maju
menghampiri, dari lereng gunung mendadakan
muncul lima pendeta India dan semuanya memakai jubah pertapaan warna hitam dan
bersenjata tongkat bambu. Mereka itu ternyata adalah murid-muridnya si pendeta
berkelana.
Biarpun Liong Leng Kiauw berkepandaian tinggi, akan tetapi dengan dikerubuti oleh
lima ahli silat kelas satu yang bekerja sama secara erat sekali, tak gampang ia bisa buru-
buru loloskan diri. Dilihat dari cara berkelahinya, lima pendeta India itu kelihatannya mau
"ikat" Liong Leng Kiauw di luar barisan, supaya ia tak dapat masuk lagi ke pasukan
tengah. Dengan begitu, hatinya Liong Leng Kiauw jadi sangsi dan curiga. Sesudah
bertempur beberapa gebrakan, ia dengar bentakannya si pemuda baju putih dan tiga ekor
kuda putih itu sudah balik ke barisan Tjeng. Sejumlah serdadu lantas menyambut dan
bungkusan yang digendol oleh salah satu kuda, masih tetap berada di atas punggungnya
kuda itu.
Tiga Lhama jubah putih kelihatan masih sangat penasaran dan ubar si pemuda dengan
tindakan sempoyongan. Si pemuda balik badannya dan berkata sembari tertawa: "Lekas
pulang ke Tjenghay. Kau orang semua sudah kena Sinbong. Dengan mengasoh empat
puluh sembilan hari, mungkin kau orang akan sembuh kembali. Yang paling penting
adalah jiwamu sendiri, buat apa kau orang terus ubar-ubar aku."
Tiga Lhama itu tahu, mereka sudah kena senjata rahasia. Cuma saja, dengan andalkan
ilmu Kimtjiongto (semacam ilmu weduk), mereka percaya senjata rahasia itu tidak akan
dapat celakakan dirinya dan sesudah pekerjaannya selesai, mereka masih dapat
mencabutnya. Itulah sebabnya, mereka tidak begitu percaya perkataannya si pemuda baju
putih. Mereka cuma kuatir, kalau-kalau senjata rahasia itu mengandung racun. Dengan
adanya kekuatiran tersebut, mereka jadi lebih ingin bertempur pula buat paksa si pemuda
keluarkan obat pemunah.
Gerakannya si pemuda baju putih cepat luar biasa dan dalam tempo sekejap, ia sudah
masuk ke pasukan tengah. Lima pendeta India yang lagi kepung Liong Leng Kiauw
dengan lantas berpencaran. Selagi Liong Leng Kiauw mau menghaturkan terima kasih,
mendadak ia dengar teriakannya Boe-sie Hengtee: "Keng Thian-heng, sungguh kebetulan
kau juga datang disini! Bungkusan yang digendong oleh kuda putih itu berisi guci emas.
Lekas rampas guci itu!"
Liong Leng Kiauw terkesiap seperti orang disambar geledek. Ilmu silatnya si pemuda itu
lebih hebat daripada si pendeta berkelana. Jika ia sampai turun tangan, siapakah yang
dapat mencegahnya?
"Saudara-saudara Boe, Bek Lootjianpwee," kata si pemuda itu sembari tertawa. "Aku
sekarang ingin ajukan satu permohonan pada kalian. Aku mohon kalian bubar saja dan
biarkan guci emas itu tiba di Lhasa!"
Perkataan itu sudah membikin semua orang gagah dari Lima Propinsi Utara jadi
terkesiap. "Apa?" berteriak Bek Eng Beng. "Kau mau bantu kerajaan Tjeng
melindungi guci emas itu?" "Benar!" jawabnya dengan tenang. "Aku datang buat
melindungi guci emas itu."
"Tong Sieheng!" berseru Boe sie Hengtee. "Dengan membantu kerajaan Tjeng, apakah
kau masih ada muka buat menemui ayahmu?"
"Inilah justru kemauan ayahku sendiri," jawab si pemuda sembari tertawa. "Boe Lootoa,
sekarang lebih baik kalian bubaran saja dahulu. Sebentar kita bertemu, di gunung depan,
supaya aku dapat memberi penjelasan terlebih lanjut."
"Aku tak percaya!" membentak Boe-sie Hengtee dengan suara keras.
Semua orang gagah kawan-kawannya Bek Eng Beng jadi heran bukan main dan
mereka mulai saling menyatakan pikirannya. "Oh, kalau begitu ia adalah puteranya
Tayhiap Tong Siauw Lan?" kata yang satu.
"Cara bagaimana Tong Tayhiap bisa permisikan puteranya menjadi kuku garuda
kerajaan Tjeng? Apakah ia bukan satu penipu yang menggunakan namanya Tong
Tayhiap?" tanya seorang lain.
"Ah," kata orang ketiga. "Dilihat dari ilmu silatnya dan didengar panggilannya Boe-sie
Hengtee, pasti tulen puteranya Tong Tayhiap. Hm! Anak poethauw (tidak berbakti)!"
Demikianlah mereka berunding dan pertempuran terhenti buat sementara waktu.
Pemuda itu memang benar adalah putera tunggal dari Tong Siauw Lan, tjiangboen
(pemimpin) dari Thiansan pay. Namanya pemuda itu adalah Tong Keng Thian. Dengan
keluarga Boe, Tong Siauw Lan mempunyai hubungan yang sangat rapat, dan ketika masih
kecil Boe-sie Hengtee pernah naik ke Thiansan buat menemui Tong Siauw Lan dan oleh
karena itu, mereka jadi kenal
Keng Thian. Oleh karena Keng Thian baru pertama kali terjun ke dalam kalangan
Kangouw, maka banyak tjianpwee dan orang gagah masih belum tahu asal-usulnya.
Mereka ingat, dahulu Tong Siauw Lan bersama-sama Kam Hong Tie, Lu Soe Nio dan lain-
lain pendekar sudah musuhi kerajaan Tjeng secara hebat dan pernah lakukan pekerjaan
yang menggemparkan seluruh negeri. Salah satu antara tiga pendekar wanita yang
menyatroni keraton kaizar dan kemudian bunuh mati kaizar Yongtjeng, adalah isteri Tong
Siauw Lan sendiri. Sedang kepalanya kaizar, ayah ibunya masih berani kutungkan, mana
bisa jadi mereka sekarang permisikan sang putera melindungi guci emas dari kerajaan
Tjeng? Dengan adanya pendapat begitu, semua orang gagah sukar percaya
keterangannya Keng Thian dan mereka mengawasi pemuda itu dengan sorot mata gusar.
Keadaan yang sunyi senyap menakuti sekali, seperti juga mendung tebal yang tinggal
tunggu turunnya hujan lebat.
Keng Thian mesem, tapi selagi ia mau buka suara, mendadakan saja terdengar
teriakan kaget dari Tjiauw Tjoen Loei dan para perwira yang berkumpul di bawah bendera
kuning jadi kalang kabut. Seluruh pasukan tengah lantas saja menjadi kalut.
Ternyata dengan gunakan kesempatan selagi semua orang perhatikan puteranya Tong
Siauw Lan, si pendeta berkelana loncat ke atas satu kereta keledai. Dari dalam kereta
lantas menyambar dua martil besi, yang dengan gampang dibikin terpental sama satu
sampokan tongkat. Dengan sekali kasih masuk tangannya ke dalam kereta, si pendeta
tarik keluar dan terus lemparkan dua perwira yang menjaga dalam kereta itu!
Dua perwira itu juga bukannya sembarang orang. Begitu jatuh, dengan gerakan Leehie
tahteng (Ikan leehie meletik), ia sudah loncat bangun dan terus menubruk ke dalam
kereta, tapi si pendeta sudah keburu loncat keluar dan kabur ke jurusan barat.
Semua itu terjadi dengan luar biasa cepatnya. Baru saja Tjiauw Tjoen Loei dan lain-lain
perwira mengetahui kejadian itu, si pendeta sudah kabur puluhan tombak jauhnya. Ia
putar tongkat bambunya dan semua serdadu
Gielimkoen, yang berada dalam jarak delapan kaki dari dirinya, begitu kebentur tongkat,
begitu rebah. Oleh karena di sekitar itu tidak terdapat lawanan yang mempunyai ilmu silat
berarti, maka ia kelihatannya akan segera dapat menoblos keluar dari barisan Tjeng.
Sembari keluarkan teriakan kaget, Tong Keng Thian cabut pedangnya dan terus
mengubar. Kereta yang tadi diserbu oleh si pendeta berkelana sebenarnya adalah kereta
yang paling jelek kelihatannya, seperti juga kereta rumput. Bukan saja tendanya tua dan
pada robek, tapi keledainya pun kurus kering. Akan tetapi, guci emas yang tulen justru
terdapat dalam kereta tersebut. Bungkusan indah yang digendong kuda putih hanya satu
siasat buat kelabui orang. Itu sebabnya, biarpun diluar Tjiauw Tjoen Loei kelihatan
bingung dan ubar tiga Lhama jubah putih yang merampas tiga kuda putih itu, dalam
hatinya ia merasa girang dan ingin supaya mereka buru-buru pergi supaya lawanan berat
jadi berkurang. Menyerbunya lima pendeta India jubah hitam, yaitu murid-muridnya si
pendeta berkelana, bertujuan memecah perhatian orang, supaya sang guru dapat
menyerbu kereta itu dan rampas guci emas yang lagi diincar. Pendeta berkelana itu
bukannya pendeta biasa. Ia adalah ahli Yoga yang sengaja di kirim oleh raja Kalimpong,
India. Raja tersebut mempunyai angan-angan berkuasa di Tibet dan dari sebab begitu, ia
mengirim orang-orangnya buat coba rampas guci emas kiriman kaizar Tjeng.
Tong Keng Thian yang sudah kuntit lama barisan Tjeng itu, mengetahui rahasia
tersebut. Maka itulah, begitu lihat si pendeta serbu kereta keledai, ia jadi terkejut dan
cabut pedangnya buat mengubar. Di lain saat, Liong Leng Kiauw juga sudah turut
memburu bagaikan terbang.
Seperti sudah direncanakan lebih dahulu, begitu lihat gurunya berhasil, lima murid itu
lantas saja cegat Keng Thian dan Leng Kiauw. Walaupun ilmu silat mereka masih kalah
jauh sekali jika dibanding dengan Keng Thian dan Leng Kiauw, akan tetapi oleh karena
adanya kerja sama dalam menggunakan Ilmu Tongkat Tiantiok (Ilmu tongkat India) yang
seperti berantai dengan kepala dan buntut berhubungan satu sama lainnya, maka buat
sementara waktu, Leng Kiauw dan Keng Thian kena juga "diikat" oleh mereka. Selagi
Keng Thian mau turunkan tangan membinasakan, tiga Lhama jubah putih tiba-tiba datang
menyerbu, sehingga mereka berdua jadi dikerubuti delapan orang. Dengan demikian,
mereka jadi lebih sukar menoblos dan pada ketika itu, si pendeta berkelana sudah berada
di luar barisan pasukan Tjeng.
"Apa kau orang sudah bosan hidup!" membentak Keng Thian. "Kau bertiga sudah kena
Thiansan Sinbong yang sekarang sudah masuk di jalanan darah. Jika kau orang pulang
dan mengasoh sambil kerahkan pernapasan, mungkin masih bisa ditolong. Tapi kalau kau
orang masih mau bertempur terus dan Sinbong sampai menusuk ke jantung, biar ada obat
apapun juga, jiwamu tidak akan dapat ditolong lagi!" Tapi tiga Lhama itu, yang sangat
andalkan lweekang-nya yang tinggi, sudah tidak ladeni peringatannya Keng Thian dan
terus menyerang dengan sengit.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah keluar dari mulut selat dan sedang mendaki
tanjakan dengan cepat sekali. Ia bakal segera tiba di lereng gunung dan kalau ia sudah
berada disitu, biarpun bisa terlepas dari "ikatannya" itu delapan musuh, Keng Thian dan
Leng Kiauw tidak bakal dapat menyandak lagi.
Hampir berbareng dengan siulan panjang yang dikeluarkan oleh si pendeta berkelana,
dari lereng gunung kembali muncul lima orang pendeta India. Ternyata dalam rencana
merebut guci emas, ia sudah bikin persiapan yang sangat rapi dengan membawa sepuluh
orang muridnya, yang dibagi jadi dua rombongan. Lima orang ikut masuk ke dalam
barisan Tjeng, sedang lima murid lainnya menunggu di lereng gunung buat menyambut.
Sepuluh murid itu sebenarnya disiapkan buat cegat delapan pengawal istana atau cegat
musuh-musuh yang menjaga di bagian belakang. Akan tetapi, sebagaimana diketahui,
delapan pengawal istana telah dibikin repot oleh rombongannya Bek Eng Beng, sehingga
pertahanan di bagian belakang jadi kosong sama sekali.
Begitu lekas si pendeta berkelana dan lima muridnya tiba di lereng gunung, lima
pendeta India yang kepung Keng Thian dan Leng Kiauw, lantas mulai mundur, tapi tiga
Lhama jubah putih masih saja menyerang secara hebat.
"Hei!" berseru Keng Thian. "Coba kau bertiga rasakan, ada apa di jalanan darah
Thiansoan hiat, di bawah tulang dada."
Tiga Lhama itu kaget dan benar saja di dekat jalanan darah itu, mereka merasa baal
dan gatal, seperti juga ada binatang semut sedang berjalan, dan semakin lama perasaan
itu jadi semakin hebat. Tiga orang itu adalah ahli silat kelas satu dan mereka segera
mengetahui, bahwa senjata rahasia musuh sedang berjalan dalam badan mereka dengan
mengikuti jalanan darah. Bukan main kagetnya mereka dan gerakannya lantas menjadi
lambat. Pada saat itu, lima pendeta India sedang berusaha buat kabur, tapi belum dapat
kesempatannya. Mendadak dengan satu bentakan keras, Tong Keng Thian menyabet
dengan Yoeliong kiam yang mengeluarkan sinar panjang bagai bianglala "Rasakan
tiamhoat-ku. Roboh!" Keng Thian berseru. Dengan satu getaran tangan, pedangnya totok
jalanan darah lima pendeta itu yang hampir berbareng roboh di atas tanah! Tiga Lhama
jubah putih terkesiap dan buru-buru loncat minggir, sedang Liong Leng Kiauw dan Tong
Keng Thian lantas loncat melewati dirinya.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah tiba di lereng gunung. Tingginya gunung Tantat
san ada ribuan kaki dan buat mendaki setengah gunung, orang biasa harus gunakan
tempo setengah hari. Leng Kiauw dan Keng Thian belum berada di kaki gunung, sehingga
biarpun mereka mempunyai ilmu entengi badan yang lebih tinggi lagi, mereka tidak akan
dapat menyandak pendeta itu. Selainnya berteriak-teriak, tentara Tjeng tidak dapat
berbuat suatu apa, sedang orang-orang gagah dari Utara barat pun hanya dapat
mengawasi dengan perasaan gusar. Berhubung dengan terampasnya guci emas,
pertempuran lantas berhenti dengan sendirinya.
Selagi semua orang menahan napas, mendadak di antara suasana gunung yang sunyi
senyap terdengar suara khim yang merdu sekali. Tiga ribu serdadu Tjeng dan seratus
lebih orang gagah jadi terkejut dan menduga-duga siapa yang menabuh tabuh-tabuhan
itu. Tapi orang yang paling kaget adalah Tong Keng Thian, sebab ia kenali, bahwa lagu itu
adalah lagu yang ia pernah dengar ketika bertemu Pengtjoan Thianlie buat pertama kali.
Tanpa merasa, ia hentikan tindakannya dan dongak mengawasi ke atas.
Tiba-tiba di atas puncak gunung yang ditutup awan putih muncul bayangannya seorang
wanita, yang memakai jubah biru laut dengan ikatan pinggang sutera merah. Dengan
sekelebatan saja ia sudah kenali, bahwa wanita itu adalah wanita yang siang malam ia tak
dapat lupakan – Pengtjoan Thianlie! Semua orang dongak memandang ke atas dan
biarpun disitu terdapat ribuan manusia dan kuda, keadaan ada sedemikian sunyinya,
sehingga andaikata jatuh sebatang jarum, suaranya akan dapat didengar.
Kecepatan bergeraknya Pengtjoan Thianlie sukar dapat dilukiskan. Orang-orang yang
berada di bawah cuma dapat lihat pakaiannya yang berkibar-kibar, seolah-olah ia sedang
terbang turun dengan mengikuti alirannya sang angin. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba
di lereng gunung dan berhadapan sama si pendeta berkelana dan lima muridnya.
Si pendeta India juga kelihatannya terkejut. "Serahkan guci emas itu dan pergi dari
sini!" berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. Suaranya lemah lembut, tapi tak
mengenal kompromi, sedang sikapnya seakan-akan seorang ratu yang sedang
mengeluarkan perintah.
Si pendeta berkelana terkesiap dan sembari kebas tangannya, enam batang tongkat
bambu lantas menyambar dengan berbareng. Sesudah lihat ilmu entengi badannya
Pengtjoan Thianlie, ia mengetahui sedang berhadapan sama musuh yang luar biasa
tangguhnya. Maka itu, dengan mengebas tangan, ia beri tanda supaya lima muridnya
turun tangan dengan berbareng. Mereka menyerang dengan Barisan Tongkat Thaythianlo
(Jaring langit besar), yaitu suatu ilmu yang paling -istimewa dari Ilmu Tongkat Tiantiok.
Dengan sambaran enam tongkat itu, biarpun seorang mempunyai tiga kepala enam
tangan juga masih sukar menjaganya.
Bukan main kagetnya Leng Kiauw dan Keng Thian. Mereka tak nyana, begitu
berhadapan, enam pendeta India itu sudah turunkan tangan yang sedemikian kejam.
Mendadak, badannya Pengtjoan Thianlie kelihatan berkelebat dan jerijinya mementil.
Hampir berbareng terdengar jeritan kesakitan dan lima badan manusia tergelincir ke
bawah gunung seperti layangan putus!
Ternyata, melihat serangan musuh yang telengas, Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar
dan melepaskan Pengpok Sintan, senjata rahasia yang tiada keduanya dalam dunia.
Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie berlipat-lipat lebih kuat daripada Yoe Peng. Maka itu,
biarpun sama-sama Pengpok Sintan, bekerjanya lain sekali. Jika senjata itu dilepaskan
oleh Yoe Peng, paling banyak muridnya si pendeta berkelana gemetar badannya dan
masih dapat pertahankan diri. Tapi dengan dilepaskan oleh Pengtjoan Thianlie, Sintan itu
masuk ke dalam jalanan darah dan sang darah lantas membeku, sehingga tidaklah heran
jika lima pendeta itu lantas roboh terguling ke dalam jurang.
Si pendeta berkelana juga kena satu Sintan dan rasakan hawa dingin luar biasa yang
meresap ke tulang-tulang. Akan tetapi, lantaran mempunyai ilmu Yoga yang sangat tinggi,
ia masih dapat pertahankan diri dan menyerang terus. Sembari tertawa tawar, Pengtjoan
Thianlie buka ikatan pinggangnya yang lantas menyambar-nyambar seperti naga sedang
memain di tengah udara. Di lain saat, tongkatnya si pendeta sudah kena digulung dan
biarpun ia gunakan Seantero tenaga dalam, ia tidak berhasil lepaskan tongkatnya dari
gulungan itu.
Pengtjoan Thianlie juga merasa heran sebab ia pun tidak berhasil betot terlepas
tongkatnya si pendeta. Sembari keluarkan seruan "ih!" ia lepaskan lagi dua butir Pengpok
Sintan. Si pendeta yang tongkatnya masih tergulung, tidak dapat berkelit dan dua peluru
itu mengenai tepat pada jalanan darah Soankhie hiat di dada dan Thiantjoe hiat, di
belakang otak. Seketika itu juga, ia bergidik beberapa kali. Buru-buru, ia kerahkan
khiekang (tenaga napas), tapi tidak dapat segera pulihkan kekuatannya.
"Masih belum mau menyerah?" membentak Pengtjoan Thianlie sembari cabut
pedangnya. Dengan sekali kebas, bagaikan halimun, sinar dan hawa dingin seperti juga
tutup seluruh badannya si pendeta. Ketika itu, dari dalam jurang sayup-sayup terdengar
suara jeritan lima muridnya si pendeta yang sedang melarikan diri dengan dapat luka-luka
berat.
Sambil menghela napas panjang, si pendeta masukkan tangan kirinya ke dalam
kantong. Di lain saat, ia sudah keluarkan sebuah guci emas bertahta batu-batu permata
yang pancarkan sinar gilang gemilang ke empat penjuru. Pengtjoan Thianlie sambuti guci
emas itu dan kemudian gentak ikatan pinggangnya buat lepaskan tongkatnya si pendeta.
Ia miringkan sedikit badannya buat memberi jalan kepada si pendeta yang segera kabur
secepat mungkin.
Sesudah kasih masuk Pengpok Hankong kiam ke dalam sarung dan dengan sebelah
tangan memegang guci emas, Pengtjoan Thianlie melayang turun ke bawah. Hosek Tjin-
ong, raja muda yang pimpin barisan Tjeng segera memberi perintah supaya pasukan
belakang jadi pasukan depan, yang kemudian dipecah jadi dua sayap buat kurung
Pengtjoan Thianlie guna ditanya maksud kedatangannya dan buat rampas pulang guci
emas itu.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng yang kerubuti si pendeta jubah
merah. Mengingat sakit hati gurunya. Thian Oe menyerang sehebat mungkin dengan
pusatkan seluruh
perhatiannya kepada musuh. Meskipun di lain gelanggang dengan dengan beruntun
sudah terjadi banyak perobahan luar biasa, ia sama sekali tidak mau perdulikan dan terus
cecar si pendeta jubah merah dengan setaker tenaganya. Pendeta itu adalah orang yang
pertama menyerbu dan sesudah bertempur lama, baru ia bertemu Thian Oe dan Yoe Peng
yang serang padanya dengan mata merah.
Selagi berkelahi mati hidup, pertempuran di seluruh garisan mendadak berhenti dan
keadaan jadi sunyi senyap. Hal itu sudah terjadi oleh karena munculnya Pengtjoan
Thianlie. Yoe Peng melirik dan kegirangannya meluap-luap. "Thian Oe! Lihat siapa yang
datang!" ia berteriak seperti orang kalap. Mau tak mau, si pendeta jubah merah juga turut
menengok dan begitu lihat siapa yang muncul, semangatnya terbang. "Pengtjoan
Thianlie!" berseru Thian Oe sembari menikam dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai
es membeku). Oleh karena hatinya sedang gemetar dan tidak nyana bakal diserang
secara begitu, si pendeta jubah merah tidak keburu berkelit atau menangkis dan tak
ampun lagi, pedangnya Thian Oe bersarang di dadanya! "Suruh kau nyingkir, kau tak mau
nyingkir, sekarang sudah terlambat," berkata Yoe Peng sembari menikam dengan
pedangnya yang juga mengenai tepat pada dadanya. Dengan satu teriakan keras, ia
roboh dan badannya yang besar ditendang Thian Oe yang sudah balaskan sakit hati
gurunya. Sesudah itu, sembari tuntun tangannya Yoe Peng, Thian Oe berlari-lari
menghampiri Pengtjoan Thianlie.
Sembari cekal pedangnya, Liong Leng Kiauw mau bergerak. Tong Keng Thian
mendekati dan berbisik: "Lekas tahan tentara negeri. Biar aku yang sambut padanya. Aku
rasa ia tidak mempunyai niatan kurang baik."
Leng Kiauw merasa sangsi. Ia sekarang kenali bahwa Pengtjoan Thianlie adalah itu
wanita yang sudah curi rencana menyambut guci emas. Di satu pihak, ia tidak percaya
kalau Pengtjoan Thianlie mau membantu pihaknya, akan tetapi, di lain pihak, ia merasa
heran, kenapa sesudah dapat rampas guci emas itu, sebaliknya dari kabur, Pengtjoan
Thianlie malahan datang menghampiri. Ketika itu, delapan pengawal istana sudah loncat
keluar dari barisan dan maju mengurung dari kiri dan kanan. Mendadak, Boe-sie Hengtee
juga loncat keluar dari dalam barisan dan seperti angin puyuh mereka mendahului
delapan pengawal istana. Di belakang mereka ikut belasan orang gagah dari Utara barat.
Dengan anggapan bahwa Pengtjoan Thianlie adalah orang kalangan sendiri, sembari
pegang gagang pedangnya, Boe-sie Hengtee memberi hormat dan berkata: "Terima kasih
banyak buat bantuan Liehiap (pendekar wanita). Harap serahkan guci emas itu kepadaku.
Sekarang pekerjaan kita sudah selesai dan Liehiap boleh mundur bersama-sama
rombongan kita." Dengan berkata begitu, kedua saudara Boe mempunyai maksud yang
baik sekali. Melihat delapan pengawal istana sudah bersiap buat mengepung, mereka
berkuatir Pengtjoan Thianlie tidak gampang dapat loloskan diri, lantaran tangannya
memegang guci emas yang menjadi bulan-bulanan perebutan. Maka itu, mereka minta si
jelita serahkan guci tersebut kepadanya, supaya kawan-kawannya dapat melindungi ia
mengundurkan diri.
Tapi tak dinyana, Pengtjoan Thianlie hanya kerutkan kedua alisnya dan menanya:
"Siapa kau?" Sementara itu tentara Tjeng sudah mulai maju mengurung. Boe-sie
Hengtee jadi bingung sekali
dan menyahut dengan pendek: "Kami adalah kawan-kawan yang mau rebut guci itu.
Segala omongan yang tidak perlu bisa ditunda sampai sebentar." Sehabis berkata begitu,
mereka angsurkan tangan buat sambuti guci emas itu.
"Kau orang mau minggir atau tidak?" kata Pengtjoan Thianlie sembari mementil dengan
jerijinya dan lepaskan dua butir Pengpok Sintan. Kedua saudara Boe lantas saja rasakan
hawa dingin yang meresap sampai ke tulang dan roboh seketika itu juga. Kawan-
kawannya jadi terkejut dan memburu. Pengtjoan Thianlie mementil lagi beberapa kali dan
lima enam orang lantas turut terjungkal. Kawan-kawannya yang lain jadi keder dan pada
loncat minggir, sedang Pengtjoan Thianlie terus bertindak maju.
Bek Eng Beng kaget tercampur gusar, sedang pemimpin tentara Tjeng jadi bukan main
girangnya. Mereka sama sekali tidak mengimpi, bahwa Pengtjoan Thianlie berdiri di
pihaknya. Tjiauw Tjoen Loei keprak kudanya dan memberi hormat sembari peluk
senjatanya. "Liehiap benar-benar mengerti kesetiaan kepada negara dan sudah
membantu kerajaan dalam merebut pulang guci emas itu," katanya dengan sikap hormat.
"Pahala itu bukannya kecil dan dengan jalan ini, aku Tjiauw Tjoen Loei memberi hormat.
Aku adalah tongleng (pemimpin) dari pengawal-pengawal
istana dan mohon Liehiap serahkan guci itu kepadaku." Ia lantas angsurkan tangannya
buat ambil guci tersebut.
Tapi seperti tadi, di luar dugaan, Pengtjoan Thianlie cuma kerutkan alisnya dan berkata
dengan suara tawar: "Aku tak perduli tongleng atau bukan tongleng. Aku tidak mempunyai
tempo buat saling menghormat denganmu!" Dengan sekali mementil, Tjiauw Tjoen Loei
bergidik dan lantas jatuh terguling dari kudanya. Semua pengawal istana terkesiap,
beberapa antaranya buru-buru menolong pemimpinnya, sedang yang lain serang
Pengtjoan Thianlie. Sembari mesem tawar, Pengtjoan Thianlie mementil beberapa kali dan
beberapa pengawal istana lantas roboh kejengkang.
Melihat itu semua, tentara Tjeng jadi seperti orang kesima. Mereka tidak menduga,
bahwa wanita yang begitu cantik bisa mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Mereka
berdiri bengong dan tidak berani bergerak buat melepaskan anak panah atau angkat
senjata.
Bek Eng Beng jadi kaget berbareng girang. Tiba-tiba Tong Keng Thian menghampiri
dan berkata sembari rangkap kedua tangannya: "Bek Tayhiap, hari ini biar bagaimanapun
juga kita tidak boleh rampas guci emas itu. Mohon Bek Tayhiap keluarkan perintah supaya
semua saudara-saudara lantas undurkan diri."
"Hm!" menggerendeng Bek Eng Beng dengan berdongkol sekali. "Aku tak nyana kau
sekarang jadi kaki tangan kerajaan Tjeng." Ia angkat tangannya buat menghantam Keng
Thian, yang buru-buru gunakan tiga jerijinya buat tekan kepalannya Bek Eng Beng dan
berkata dengan suara perlahan: "Antara dua mara bahaya, kita harus pilih yang lebih
enteng. Lebih baik kerajaan Tjeng yang menguasai Tibet daripada satu negara asing. Guci
emas itu benar-benar tidak boleh diganggu."
Bek Eng Beng terkesiap, sehingga keringat dingin mengucur di seluruh badannya.
"Tapi, Boe-sie Hengtee sudah kena senjata rahasianya perempuan itu. Sakit hati ini
bagaimana boleh tidak dibalas?" kata ia.
"Serahkan padaku, aku akan sembuhkan mereka," kata Tong Keng Thian. "Lekas
mundur! Lekas mundur!"
Bek Eng Beng berdiam beberapa saat dan memikir bulak-balik. Dalam usaha
merampas guci emas, tujuan mereka adalah buat tentangkan keinginan bangsa Boan
untuk berkuasa di Tibet. Tapi tidak dinyana, urusan itu mempunyai latar belakang yang
sedemikian ruwet. Nepal dan Kalimpong juga ingin pentang pengaruh di Tibet dan coba
merampas guci tersebut. Dilihat dari sudut itu, sikapnya Keng Thian yang lebih suka Tibet
dikuasai oleh bangsa Boan daripada bangsa lain, agaknya cukup beralasan. Sesudah
menimbang-nimbang beberapa saat, ia lantas saja berkata: "Baiklah, aku setujui
pendapatmu. Kami tunggu kau di gunung depan." Dengan sekali memberi tanda, orang-
orang gagah dari Lima Propinsi Utara lantas pada mundur ke gunung depan sambil
mendukung Boe-sie Hengtee.
Pada waktu Keng Thian sedang membujuk Bek Eng Beng, Liong Leng Kiauw juga lagi
bujuk Hosek Tjin-ong supaya ia tahan majunya Gielimkoen dan biarkan Pengtjoan Thianlie
masuk ke dalam barisan. Melihat liehaynya wanita itu dan juga sebab sekarang guci emas
berada dalam tangannya, sehingga andaikata ia dapat dibekuk atau dibinasakan, tapi
kalau guci itu sampai menjadi rusak, semua pengantarnya akan turut berdosa, maka,
sesudah memikir beberapa saat, ia segera menyetujui perkataannya Liong Leng Kiauw
dan memberi perintah supaya semua serdadu jangan bergerak.
Thian Oe dan Yoe Peng yang berdiri di dalam barisan tiba-tiba lihat sayap depannya
pasukan Tjeng mendadak terpencar dan membuka satu jalanan buat Pengtjoan Thianlie.
"Dilihat begini, barisan Tjeng seperti benar-benar sedang menyambut seorang Paduka
Puteri," kata Thian Oe sembari tertawa.
"Ia toh memang seorang puteri," sahut Yoe Peng. "Ah, ia kelihatannya sedang cari
orang." Dengan satu tangan memegang guci emas, perlahan-lahan Pengtjoan Thianlie
masuk ke dalam
barisan Tjeng dengan sikap agung sekali. Dengan kedua matanya yang angker, ia
menyapu segala orang yang berada disitu. Mendadak ia hentikan tindakannya dan
mengawasi satu orang yang berdiri disitu. Thian Oe kegirangan dan berbisik di kupingnya
Yoe Peng: "Ah, kalau begitu ia sedang cari dia!"
"Siapa?" tanya Yoe Peng.
"Pemuda baju putih," sahut Thian Oe.
Benar saja Yoe Peng lihat majikannya sedang mengawasi si pemuda baju putih. Ia
sebenarnya mau teriaki majikannya itu, tapi sudah ditahan oleh suasana yang tegang dan
sunyi senyap.
"Hm! Kau juga berada disini?" kata Peijgtjoan Thianlie sembari mesem.
"Jah, kau pun sudah turun gunung," jawab Keng Thian. Dua pasang mata kebentrok
dan paras mukanya Pengtjoan Thianlie segera bersemu dadu.
"Aku tak mempunyai perkataan yang tepat buat menyatakan rasa terima kasih," kata
Keng Thian sambil tertawa. "Sungguh beruntung, guci emas sudah dapat direbut pulang.
Buat bantuanmu di ini hari, bukan saja aku, tapi semua pembesar di Tibet juga ingin
haturkan banyak terima kasih."
Pengtjoan Thianlie juga tertawa dan kemudian berkata dengan sikap acuh tak acuh:
"Ada hubungan apa guci emas ini dengan diriku? Aku juga merampas ini bukan untuk
mereka. Siapa mau mereka haturkan terima kasih. Berapa harganya guci ini, sehingga
dijadikan barang rebutan oleh semua orang? Aku sendiri tak kesudian. Pada beberapa
bulan berselang, kau pernah bantu menyusun beberapa toeilian untuk keraton es.
Mengetahui bahwa kau juga sangat inginkan guci emas ini, maka aku mau serahkan
kepadamu sebagai tanda terima kasih. Mulai dari sekarang, kedua belah pihak tidak
berhutang budi lagi. Kau juga tidak perlu banyak rewel-rewel lagi."
Sembari tertawa Keng Thian sambuti guci emas itu yang diangsurkan kepadanya. "Eh,"
ia kata. "Kau lupakan satu urusan. Janji kita buat adu pedang di kakinya Puncak Es,
belum dipenuhi!"
Pengtjoan Thianlie kerutkan alis. "Kau masih mau bertanding?" tanya ia. "Baiklah,
malam ini jam tiga kau boleh datang ke atas gunung ini."
Ia kembali menyapu dengan matanya dan kali ini ia lihat Thian Oe dan Yoe Peng yang
berdiri di antara orang banyak. Pertemuan yang tidak diduga-duga membikin ia agak
kaget dan lalu gapekan tangannya buat memanggil mereka.
"Kenapa kau berada disini?" ia tanya Yoe Peng.
"Hari itu, ketika aku antar Tjia Kouwkouw memetik daun obat, Puncak Es mendadak
roboh dan gunung berapi meledak," menerangkan Yoe Peng. "Terhalang dengan lahar
panas, aku jadi tidak bisa pulang dan belakangan datang kesini."
"Dan kau?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari mengawasi Thian Oe.
Thian Oe yang tidak tahu mesti mulai dari mana, lantas menyahut dengan suara gugup:
"Aku sebenarnya belum dilepaskan olehmu. Cuma saja lantaran terjadinya gempa bumi,
aku terpaksa lari keluar juga. Kalau kau mau menghukum, boleh hukum sekarang.
Kejadian yang lain-lainnya semuanya diketahui oleh dayangmu."
"Baiklah," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat bicara sebenar-benarnya, aku kuatir kau tidak
dapat loloskan diri. Kau sudah langgar peraturanku, sebenarnya harus dipenjarakan
seumur hidup. Akan tetapi, sesudah lewati bencana itu, kau seperti juga sudah mati satu
kali. Semua kedosaanmu yang sudah-sudah aku sudah coret dan sekarang kau merdeka
buat pergi kemana juga." Ia berpaling pada Yoe Peng dan berkata pula: "Kau sekarang
boleh ikut aku pulang ke gunung."
Mendengar perkataan majikannya, hatinya Yoe Peng mencelos. Sedari turun gunung, ia
telah dapat banyak kegembiraan, terutama sesudah bertemu Thian Oe yang merupakan
sahabat baik sekali. Hatinya merasa sangat berat buat segera berpisahan, akan tetapi, ia
tentu saja tidak berani membantah perintah majikannya, sehingga ia lantas saja
menyanggupi sembari tundukkan kepalanya.
Pengtjoan Thianlie lihat itu semua, tapi ia tidak berkata apa-apa dan lantas tuntun
tangannya Yoe Peng buat diajak pergi.
"Tahan!" kata Tong Keng Thian.
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. "Kau terlalu tidak sabar dan mau bertempur
disini?"
"Bukan," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Pengpok Sintan-mu terlalu hebat!"
Pengtjoan Thianlie merasa bangga sekali dan lalu berkata: "Kalau kau takut, aku
berjanji tidak akan gunakan Sintan."
"Kau salah tangkap maksudku," kata Keng Thian. "Pengpok Sintan telah lukakan
banyak sahabatku. Aku mau minta obat buat mengobati mereka."
"Oh begitu? Baiklah, ambil obat ini," kata si jelita sembari angsurkan sebungkus obat,
yang diterima oleh Keng Thian sambil menghaturkan banyak terima kasih.
"Manusia dalam dunia memang banyak rewel," menggerendeng Pengtjoan Thianlie
seorang diri.
"Aku mau rewel lagi sekali. Jangan lupa janjian malam ini," kata Keng Thian sembari
tertawa. Pengtjoan Thianlie juga jadi turut tertawa dan kemudian, dengan sikap kemalu-
maluan ia
berlalu sembari menuntun Yoe Peng.
Tiba-tiba, dari dalam barisan loncat keluar enam boesoe Nepal yang lantas berlutut di
hadapan Pengtjoan Thianlie sembari acungkan kedua tangannya di atasan kepala dan
mulutnya keluarkan suara ratapan. Hosek Tjin-ong heran dan tanya Liong Leng Kiauw:
"Apa perlu kita bekuk itu beberapa penjahat?"
"Urusan hari ini kita harus serahkan kepada putusannya Pengtjoan Thianlie," berbisik
Leng Kiauw. "Kalau bertindak salah, bisa terjadi perobahan yang kurang enak."
Hosek Tjin-ong merasa jengah, tapi lantaran sudah dapat pulang guci emas itu, hatinya
sudah merasa sangat puas dan tidak membantah nasehat itu. "Apa wanita itu dipanggil
Pengtjoan Thianlie? Namanya luar biasa betul," ia akhirnya kata sembari tertawa.
Pembicaraan antara Pengtjoan Thianlie dan enam boesoe Nepal cuma dapat
dimengerti oleh Liong Leng Kiauw, Tong Keng Thian dan Yoe Peng. Mereka itu memohon
supaya sang puteri suka pulang ke negerinya.
"Apa yang aku sudah bilang, aku tak akan robah," sahut sang puteri dengan suara
tawar. "Pergi pulang dan beritahukan rajamu, supaya ia baik-baik saja mengurus negara."
Enam boesoe itu tidak berani buka suara lagi.
"Mana Koksoe-mu?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ia sudah binasa," jawab satu boesoe sembari mengawasi Thian Oe.
"Aku yang bunuh ia," Yoe Peng menyelak.
"Dia memang suka cari urusan," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat apa rebut-rebut guci
emas? Pergi beritahukan rajamu, mengurus negeri sendiri saja sudah cukup meminta
tenaga dan pikiran, buat apa mengaduk di Tibet? Koksoe-nya binasa memang ada
baiknya, supaya ia dapat sedikit pelajaran."
Mendengar perkataan itu, Liong Leng Kiauw terkejut, sedang Tong Keng Thian
bergirang. Leng Kiauw terkejut lantaran Pengtjoan Thianlie yang ilmu silatnya begitu
tinggi, adalah seorang puteri dari negara Nepal, sedang Keng Thian bergirang, sebab,
biarpun si jelita sudah mengatakan tidak mau campur urusan dunia, sekarang ia toh telah
membantu usahanya.
Sesudah berkata begitu, Pengtjoan Thianlie kebas tangannya dan enam boesoe Nepal
itu, seperti orang baru dibebaskan dari hukuman, lantas buru-buru undurkan diri dengan
sikap hormat sekali, akan kemudian kabur secepat mungkin. Atas perintah panglimanya,
pasukan Tjeng membuka satu jalan untuk mereka.
"Hayolah kita berangkat!" kata Pengtjoan Thianlie sembari menengok kepada
dayangnya dan mereka berlalu dengan tindakan perlahan. Ribuan tentara Gielimkoen
tahan napasnya, mata mereka mengawasi bayangannya kedua wanita cantik itu dengan
perasaan agak menyesal, bahwa mereka berdua sudah berlalu sedemikian cepat.
Hatinya Thian Oe berdebar-debar dan perasaannya sukar dilukiskan. Seperti
kehilangan semangat, dengan mata mendelong ia mengawasi sang puteri bersama
dayangnya yang sedang berjalan keluar dari selat gunung. Mendadak Yoe Peng
menengok sembari tertawa dan kedua matanya yang bagus kebentrok dengan matanya
Thian Oe. Si anak muda goncang hatinya, tapi saat itu juga ia ingat Chena, itu gadis
Tsang yang aneh dan yang sudah tarik seluruh perhatiannya. Chena yang pendiam adalah
ibarat lembah gunung yang sunyi senyap, sedang Yoe Peng yang nakal dan lincah adalah
seakan-akan bunga mawar di musim panas. Hatinya Thian Oe jadi merasa sangat terharu,
ia meramkan kedua matanya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar Chena
masih hidup dalam dunia ini.
Beberapa saat kemudian, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng sudah berada di lereng
gunung dan kemudian mereka menghilang di antara pohon-pohon yang rindang.
Hosek Tjin-ong tarik napas lega dan lantas bereskan pasukannya yang telah jadi sedikit
kacau akibat pertempuran. Sesudah itu, ia hampiri Tong Keng Thian dengan niat
mengambil pulang guci emas itu dari tangannya si pemuda. Tapi ia jadi sangat kecele,
lantaran Keng Thian cuma manggutkan sedikit kepalanya secara tawar dan berbalik
serahkan guci emas itu kepada Liong
Leng Kiauw. "Jagalah hati-hati, jangan hilang lagi," katanya sembari tertawa. Leng Kiauw
sambuti barang berharga itu, yang kemudian lalu dipasrahkan kepada Hosek Tjin-ong.
"Bolehkah aku mendapat tahu Hiapsoe (pendekar) empunya she dan nama yang
mulia?" tanya Hosek Tjin-ong dengan sikap menghormat. "Kali ini Hiapsoe sudah
membuat pahala yang sangat besar dan Siauw-ong (raja muda, bahasakan dirinya
sendiri) akan melaporkan kepada Hongsiang (kaizar) yang tentu akan memberi hadiah
sepantasnya."
"Aku adalah rakyat kecil dari pegunungan yang sudah biasa dengan hidup merdeka
dan tidak inginkan nama maupun harta," jawab Keng Thian dengan suara tawar. "Jika ada
hadiah apa-apa, tolong bagikan saja hadiah itu kepada para serdadu yang bantu
mengawal guci emas itu." Ia keluarkan beberapa butir yowan (pel) yang lalu diserahkan
kepada Liong Leng Kiauw seraya berkata; "Inilah obat buat orang-orang yang kena
Pengpok Sintan. Telan saja dengan air matang dan orang itu akan segera sembuh. Liong-
heng, aku mau berangkat lebih dahulu, biarlah kita bertemu pula di lain kali."
Melihat sikapnya pemuda itu yang sangat tawar terhadap dirinya, tapi sedemikian
hangat terhadap Liong Leng Kiauw, hatinya Hosek Tjin-ong jadi merasa sangat tidak
senang.
Baru saja Keng Thian berjalan beberapa tindak, Leng Kiauw mendadak berseru: "Tong-
heng, tunggu dahulu!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian sembari berbalik.
Liong Leng Kiauw keluarkan satu kotak batu pualam yang besarnya lima tjoen pesegi
dan angsurkan itu kepada Keng Thian sembari berkata: "Harap Tong-heng suka ambil
barang ini."
Parasnya Keng Thian lantas saja berobah kurang senang dan ia berkata dengan suara
kaku:
"Apakah aku membayar pulang guci emas dengan mengharap hadiah?"
"Ini bukanlah hadiah dari aku sendiri," sahut Leng Kiauw sembari tertawa. "Ini adalah
barang lama milik keluargamu, yang secara kebetulan sudah jatuh ke dalam tanganku.
Puluhan tahun aku tolong simpan dan sekarang mau dibayar pulang. Jika kau merasa
sangsi, tanyalah ayahmu."
Keng Thian jadi merasa sangat bimbang. "Didengar dari omongannya, barang ini
bukanlah barang biasa," kata ia dalam hatinya. "Ilmu silatnya ayahku, dalam jaman ini
sukar dicari tandingannya. Apakah mungkin, barangnya sendiri jatuh ke dalam tangan lain
orang? Ilmu silatnya Liong Leng Kiauw tidak berada di sebelah bawahku, sedang gerak-
geriknya aneh sekali. Apa mungkin orang yang berkepandaian seperti ia, sudi bekerja di
bawah perintahnya Hok Kong An dengan satu pangkat yang tidak besar dan tidak kecil?
Apakah tidak bisa jadi ia ada seorang yang mempunyai asal-usul besar?" Dengan hati
yang penuh pertanyaan, akhirnya Keng Thian mengambil putusan buat terima kotak batu
pualam itu.
Saat itu, di sebelah belakang mendadak terdengar tiga dentuman meriam, dan ketika
Keng Thian menengok, ia lihat satu pasukan tentara yang kelihatannya angker sekali,
sedang masuk ke dalam selat gunung.
"Utusan istimewa buat menyambut guci emas sudah tiba," kata Liong Leng Kiauw.
"Siapa utusan itu?" tanya Keng Thian.
Leng Kiauw menggape dan Thian Oe lantas keluar dari dalam barisan. "Utusan itu
adalah ayahnya," kata Leng Kiauw.
Thian Oe segera maju menghampiri dan menghaturkan terima kasih buat pertolongan
Keng Thian yang tempo hari sudah tolong jiwanya.
"Ilmu silatmu sudah maju jauh sekali," kata Keng Thian sembari tertawa. "Dengan
adanya kau dan Liong Loosam, guci emas itu pasti akan dapat diantar sampai di Lhasa
dengan selamat. Aku jadi tak usah buat pikiran dan sekarang aku mau berlalu saja." Ia
manggutkan kepalanya kepada Liong Leng Kiauw dan lalu berjalan pergi. Hosek Tjin-ong
jadi merasa lebih tidak senang, tapi sebab harus buruburu menyambut utusan, ia jadi tidak
mempunyai tempo buat perhatikan Tong Keng Thian lagi.
Setibanya di gunung depan, Keng Thian segera bertemu dengan Bek Eng Beng dan
lain-lain orang gagah dari Utara barat. Semua orang merasa sangat mendongkol dan
mereka ramai-ramai sesalkan pemuda itu. Keng Thian lalu memberi penjelasan berulang-
ulang kenapa mereka sekarang tidak boleh rampas guci emas itu dan kemudian lalu
keluarkan yowan pemberiannya Pengtjoan Thainli buat mengobati orang-orang yang kena
Pengpok Sintan.
Boe-sie Hengtee adalah orang-orang yang sangat terbuka dan sesudah mendengar
penjelasannya Keng Thian yang dianggap beralasan, lantas saja mereka berkata sembari
tertawa: "Tong Sieheng benar berpemandangan sangat jauh yang tidak dipunyai oleh
orang-orang seperti kami. Dalam urusan di ini hari, kamilah yang bertindak salah."
Keng Thian merasa senang dalam hatinya dan lalu berkata sembari membungkuk:
"Buat luka yang sudah diderita oleh saudara, dengan jalan ini aku menghaturkan maaf."
"Cara bagaimana kami dapat sesalkan Ioohcng?" kata Boe-sie Hengtee sembari
tertawa. "Pernah apakah wanita itu dengan Tong heng? Sehingga Tong-heng sudah
haturkan maaf guna ianya?"
Mukanya Reng Thian lantas jadi berobah merah.
"Biarpun dalam bantuannya kepada Tong-heng, maksudnya wanita itu adalah sangat
baik, tapi tangannya terlalu kejam," kata Boe-sie Hengtee. "Jika ada kesempatan, kami
ingin minta pengajaran lagi dari ianya. Kita semua adalah turunannya Thiansan Tjitkiam
(Tujuh Pendekar Pedang dari Thiansan), maka itu kalau temponya tiba, Tong-heng tak
boleh membantu orang luar!"
"Ah, janganlah kau main-main, saudaraku," berkata Keng Thian, yang merasa geli dan
berkata dalam hatinya: "Inilah yang dinamakan sang air mau rendam kelenteng Raja
Naga. Kau tidak tahu, semuanya orang sendiri. Ia adalah cucu perempuannya Koei Tiong
Beng dan kalau dihitung-hitung tingkatannya masih lebih atas dari kau berdua."
Sesudah berpisahan dengan kawanan orang gagah dari Utara barat, seorang diri Keng
Thian mendaki gunung. Sembari jalan, ia ingat halnya Liong Leng Kiauw yang membikin
hatinya jadi penuh dengan kesangsian. Ia buka kotak batu pualam itu yang didalamnya
ternyata terisi sepotong batu giok (batu pualam) yang luar biasa indah dan berwarna biru
hijau. Di tengahtengah giok itu terdapat sebuah cap merah dengan ukiran huruf-huruf
kuno yang berbunyi: "Sioe Beng Ie Thian, Kok Oen Kioe Tiang (Terima firman dari Langit,
rejeki negara kekal abadi). Membaca itu, Keng Thian jadi seperti orang terkesima.
Harganya giok itu yang sukar ditaksir berapa besarnya tidaklah cukup buat membikin ia
menjadi heran, akan tetapi, huruf-huruf itulah yang keja Keng Thian jadi bukan main
terkejutnya, sebab tak bisa salah lagi, barang itu adalah miliknya kaizar.
"Kenapa Liong Loosam bilang, barang ini adalah barang keluargaku?" tanya ia dalam
hatinya. Mendadakan saja, ia ingat cerita ibunya (Phang Eng) yang sering tuturkan sepak
terjang ayahnya waktu masih muda. Ibunya pernah ceritakan, bahwa dahulu sang ayah
pernah dihadiahkan sepotong batu giok oleh Kaizar Konghie. Apakah giok itu adalah giok
hadiah Konghie?
Tong Siauw Lan (ayahnya Keng Thian) sebenarnya adalah putera (tidak resmi) Kaizar
Konghie. Pada ketika Tong Siauw Lan masuk ke dalam keraton buat menemui ibunya,
Konghie pernah hadiahkan giok itu kepadanya. Oleh karena tidak ingin sang putera
mengetahui urusan itu yang cuma dapat menambahkan kejengkelan, maka saban-saban
ceritakan halnya giok tersebut, Tong Siauw Lan dan Phang Eng cuma mengatakan, bahwa
lantaran secara kebetulan sudah menolong Konghie dalam peristiwa perebutan tahta
antara putera-putera kaizar, maka kaizar tersebut telah hadiahkan giok itu kepadanya.
Latar belakang yang sebenarnya sama sekali tidak pernah disebut-sebut. Sebab-sebab
hilangnya giok tersebut, Keng Thian juga belum pernah dengar dari kedua orang tuanya.
Maka itulah, ia jadi merasa sangat heran dan terutama merasa sangat tidak mengerti,
kenapa barang itu bisa jatuh kedalam tangannya Liong Leng Kiauw.
Keng Thian putar otaknya sampai ia jadi uring -uringan, tapi lekas juga ia menjadi sadar
dan berkata seorang diri sembari tertawa: "Ah, kenapa juga aku jadi begitu tolol? Dengan
menanyakan ayah dan ibu, segala apa tentu akan menjadi terang. Buat apa aku capaikan
pikiran?" Ia lantas masukkan kotak itu ke dalam sakunya dan terus mendaki gunung.
Sesudah lewat magrib, sang rembulan mulai naik dan mengintip dari antara sela-sela
puncak gunung. Di gunung itu juga terdapat satu sungai es, yang meskipun tidak seindah
sungai es
pegunungan Nyenchin Dangla, toh sudah memberi suatu pemandangan yang
menggetarkan jiwanya Keng Thian. Bagaikan seekor naga perak, sungai es itu putari
lereng gunung dan dengan sinar es dan sinar rembulan yang saling menyoroti, keindahan
pemandangan alam itu benar-benar mempengaruhi orang yang sedang menanggung
rindu.
Mengingat Pengtjoan Thianlie, Keng Thian mendapat suatu perasaan yang sukar
dilukiskan dan tanpa merasa mulutnya ucapkan suatu syair:
"Sinar rembulan atas sungai es, dewi rembulan turun, bidadari menyebar bunga, sang
penyair datang.
Ah, walaupun bagaimana juga, aku akan undang dewi rembulan turun ke atas bumi."
Tiba-tiba, dari puncak gunung, sayup-sayup terdengar suara khim yang dibawa angin
masuk ke dalam kupingnya Keng Thian. Di antara suara tabuh-tabuhan yang merdu itu,
lapat-lapat terdengar suara nyanyian Yoe Peng:
Lilin pendek di belakang sekosol akan padam dalam sekejap. Bintang pagi kelak-kelik
akan segera mengundurkan diri, Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab,
Lautan blau, langit biru, saban malam dipikiri.
Nyanyian itu adalah berdasarkan Syair Dewi Rembulan, buah kalamnya Lie Sian Djin,
satu penyair dari ahala Tong. Ketika naik di keraton es, Keng Thian pernah petik baris
terakhir dari syair tersebut buat menggubah toeilian untuk namanya Yoe Peng. Mendengar
sang majikan mementil khim, sedang sang dayang nyanyikan syair tersebut, Keng Thian
jadi tertawa dan berkata dalam hatinya: "Ah, Konghan Siantjoe sekarang sudah ingin turun
ke dunia." Ia pentang langkahnya dan berlari-lari menuju ke arah suara khim itu.
Selagi enak lari, tiba-tiba saja ia dengar suara kresekan di sebelah depannya, pada
jarak belasan tombak, dan berbareng dengan itu, dua bayangan manusia yang pakai
pakaian hijau kelihatan berkelebat dengan gunakan ilmu entengi badan yang paling tinggi,
yaitu Tengpeng touwsoei (Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput). Dengan ilmu
tersebut, mereka dapat berlari-lari di atas rumput-rumput yang tinggi. Di lain saat, kedua
orang itu sudah menghilang di antara pepohonan. Keng Thian terkejut, sebab ia dapat
kenyataan, bahwa ilmu entengi badannya kedua orang itu sedikitnya tidak berada di
sebelah bawah ia. Kenapa malam-malam mereka berada di gunung belukar itu?
Dengan cepat dan hati-hati Keng Thian menguntit dari belakang. Jauh-jauh ia lihat
kedua orang itu sedang mengumpat di antara alang-alang dan saling berbisik. Keng Thian
menghampiri lebih dekat dan tahan napasnya buat mendengari apa yang dibicarakan oleh
mereka.
"Aku dengar hari ini semua orang dari Utara barat pada turun tangan buat rampas guci
emas," demikian dengar suaranya seorang lelaki tua. "Tjiauw Tjoen Loei dan kawan-
kawannya hampir-hampir dapat malu besar, kalau tidak ditolong oleh Liong Loosam yang
keluarkan kepandaiannya, sehingga guci yang hilang dapat dirampas kembali. Dilihat
begitu, Liong Loosam benar-benar tidak boleh dipandang rendah."
Keng Thian tertawa dalam hatinya. Hal yang menarik perhatiannya, adalah disebut-
sebutnya nama Liong Leng Kiauw.
"Yah, memang juga mencurigakan," kata seorang perempuan. "Kenapa Liong Loosam
yang begitu tinggi kepandaiannya rela bekerja sebagai Tjamtjan di bawah perintahnya Hok
Kong An? Memang mencurigakan. Tak heran jika Hoei Tjongkoan minta kita keluar buat
selidiki asal-usulnya. Kiranya Hongsiang pun sudah merasa curiga."
Keng Thian sekarang mengerti, bahwa kedua orang itu adalah kaki tangannya keraton
Tjeng yang ilmu silatnya lebih tinggi dari delapan pengawal istana.
Beberapa saat kemudian, di atas gunung kembali terdengar suara khim dan kali ini,
lagu yang dimainkan berdasarkan sajak Souw Tong Po yang berbunyi seperti berikut:
Antara dahan pohon Tong mengintip sang rembulan.
Larut malam, keadaaan penuh dengan kesunyian.
Kadang-kadang terlihat orang pertapaan mundar-mandir sendirian.
Atau sang burung Hong yang melayang-layang tanpa juntrungan.
Dalam kagetnya, sang burung menengok ke belakang.
Hatinya sedih, tiada manusia mengetahui perasaannya.
Mencari-cari, belum juga dapat sang cabang.
Lebih baik menclok di pulau mencil dengan air di seputarnya.
Arti sajak yang mengharukan membikin suara khim penuh dengan kesedihan, sehingga
Keng Thian jadi terpesona.
"Besok malam kita sudah mesti tiba di Lhasa, tapi kau mau juga dengari orang main
khim,"
kata si wanita. "Apakah maksudmu yang sebenarnya?"
"Aku dengar hari ini ada seorang wanita yang bantu turun tangan," sahut yang lelaki.
"Mungkin sekali, yang dimaksudkan adalah orang yang sedang mementil khim. Sudah
ketelanjur lewat disini, kita tidak boleh tidak menyelidiki."
"Hm!" kata si wanita dengan suara di hidung. "Kalau yang pentil khim segala lelaki bau,
kau tentu tidak kesudian naik kesini!"
Cara bicaranya kedua orang itu yang mengunjuk, bahwa mereka adalah suami isteri,
sudah membikin Keng Thian jadi terkejut. "Di daerah perbatasan sebelah barat, suami
isteri kenamaan yang berusia seperti mereka, kecuali lethio dan Iebo (Lie Tie dan Phang
Lin) dan ayah ibuku, cuma ada pasangan In Leng Tjoe dari Lengsan pay di Tjenghay,"
kata ia dalam hatinya. "Apakah mereka itu benar-benar suami isteri In Leng Tjoe yang
sudah kena ditarik oleh bangsa Boan?"
"Ah, kau orang apa!" si lelaki membentak. "Wanita yang sedang pentil khim itu, kalau
bukannya Pengtjoan Thianlie, tentulah juga seorang yang mempunyai asal-usul besar.
Sesudah menerima firmannya Hongsiang, kita harus bertindak secara hati-hati sekali.
Kebetulan lewat disini, tidak dapat tidak kita mesti menyelidiki sampai terang betul."
"Hongsiang perintah kau selidiki asal-usulnya Liong Loosam dan bukannya wanita itu,"
sahut si wanita dengan suara berdongkol.
"Liong Loosam sekarang sedang repot melindungi guci emas dan tentu tak duga diam-
diam ada orang yang incar padanya," kata yang lelaki dengan suara membujuk. "Begitu
tiba di Lhasa, kita tentu akan berhasil. Apalagi Lootoa sudah mendahului kita. Sudahlah,
kau tak usah kuatir. Aku rasa perlu kita tengok wanita itu, mungkin sekali kita dapat
beberapa keterangan penting tentang Liong Loosam dari mulutnya." Sehabis berkata
begitu, ia lantas loncat keluar dari tempat sembunyinya, diikuti oleh si wanita.
Pengtjoan Thianlie yang sudah mulai berdongkol lantaran sehabis mainkan dua lagu,
Keng Thian belum juga kelihatan muncul, merasa terkejut melihat munculnya sepasang
lelaki dan perempuan yang beroman jelek sekali. Yang lelaki nyengir-nyengir sembari
perlihatkan giginya yang tonggos, sehingga si nona jadi gusar sekali.
Melihat kecantikannya Pengtjoan Thianlie dan lagak suaminya, si wanita naik darahnya
dan lantas menanya dengan suara kaku: "Hei! Apakah kau yang hari ini membantu Liong
Loosam melindungi guci emas?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan membentak: "Anjing! Berani betul kau orang curi
dengar aku mementil khim! Hayo, menggelinding turun dari sini!" Berbareng dengan
bentakan itu, ia ayun tangannya dan dua butir Pengpok Sintan lantas menyambar.
Sesuai dengan dugaannya Keng Thian, mereka itu memang juga adalah suami isteri In
Leng Tjoe. Sebagai pemimpin dari suatu partai, mereka tentu tidak dapat menerima
hinaan. Tapi belum sempat turun tangan, mereka sudah rasakan menyambarnya hawa
yang sangat dingin, sehingga mereka jadi terkejut dan buru-buru tutup semua jalanan
darahnya, tapi meskipun begitu, mereka toh masih bergidik juga.
Melihat dua pelurunya tak dapat robohkan mereka, Pengtjoan Thianlie merasa agak
kaget dan segera lepaskan lagi dua butir Pengpok Sintan dengan gunakan tenaga dalam
yang lebih besar. In Leng Tjoe kelit dan Sintan meledak di pinggir badannya. Isterinya,
yang lebih sebet, sudah buka ikatan pinggangnya yang digunakan buat gulung Sintan
yang satunya lagi. Dengan sekali kedut Pengpok Sintan meledak di dalam ikatan
pinggang, yang segera digunakan sebagai pian lemas (djoanpian) buat menghantam
Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie juga lantas buka ikatan pinggangnya, yang, bagaikan seekor naga,
papaki ikatan pinggangnya musuh. Di lain saat, kedua ikatan pinggang sudah
menyambar-nyambar di tengah udara dengan kecepatan kilat, sehingga memberi
pemandangan yang indah sekali.
"Apakah kau bukan Pengtjoan Thianlie?" membentak In Leng Tjoe.
"Kau sudah tahu aku siapa, kenapa tak mau buru-buru menggelinding dari sini," sahut
si nona. "Biarpun kau benar-benar bidadari dari atas langit, aku toh mau jajal-jajal
dahulu
kepandaianmu," kata In Leng Tjoe sembari tertawa tawar. Ia lantas cabut sepasang
Poankoan pit (senjata yang merupakan pit) dari pinggangnya dan coba totok dua jalanan
darah di bebokongnya Pengtjoan Thianlie.
Sambaran Poankoan pit yang disertai dengan tenaga dalam yang hebat, sudah
membikin Pengtjoan Thianlie jadi terkesiap. Ia tak duga, si lelaki yang mukanya jelek itu
adalah ahli menotok
jalanan darah. Lantaran begitu, ia tidak berani memandang enteng lagi lawannya dan
sembari putar badan, ia cabut Pengpok Hankong kiam. In Leng Tjoe rangkap kedua
senjata yang lantas diacungkan buat papaki
Hankong kiam dengan gerakan Hoenka kimliang (Menunjang penglari emas). Dengan
latihan puluhan tahun, sambaran Poankoan pit itu mempunyai tenaga ribuan kati dan In
Leng Tjoe menduga, bahwa dengan sekali bentur saja, ia akan dapat patahkan
pedangnya Pengtjoan Thianlie. Tapi si jelita yang gerakannya luar biasa gesit sudah egos
pedangnya dan berbareng dengan berkelebatnya sang pedang, In Leng Tjoe kembali
bergidik lantaran sambaran hawa dingin. Di lain saat, dengan beruntun Pengtjoan Thianlie
kirim tiga serangan, sehingga dari menyerang, In Leng Tjoe berbalik harus membela diri.
Dengan kedua kaki menginjak kedudukan Patkwa, ia terpaksa mundur, tapi Poankoan pit-
nya sudah tutup rapat seluruh badannya dan ujung senjata itu terus bayangi jalanan darah
musuhnya yang dapat ditotok begitu lekas ada kesempatan.
Ilmu silat isterinya In Leng Tjoe, yang bernama San Tjeng Nio, tidak berada di sebelah
bawah suaminya. Melihat liehaynya sang lawan, buru-buru ia kedut ikatan pinggangnya
yang lantas jadi lempang bagaikan pit dan mulai bersilat dengan ilmu Hoeiliong Pianhoat
(Ilmu silat pian naga terbang). San Tjeng Nio adalah ahli Djioekang (Ilmu silat lembek) dari
Bittjong pay di Tibet. Dengan "kelemasan," ia dapat tindih "kekerasan" dan dengan ilmu itu
yang mempunyai delapan rupa jalan, ikatan pinggangnya bukan saja dapat mainkan
peranan beberapa macam senjata, tapi juga dapat digunakan buat merebut senjata
musuh. Dibanding dengan djoanpian biasa, ikatan pinggang tersebut lebih liehay ratusan
kali lipat.
Oleh karena harus layani dua lawanan berat, pembelaan ikatan pinggangnya Pengtjoan
Thianlie jadi kurang rapat. Melihat kesempatan itu, San Tjeng Nio segera kedut
senjatanya, yang seperti seekor ular terbang, lantas menyambar ke arah matanya musuh.
Dalam keadaan terdesak, Pengtjoan Thianlie terpaksa gunakan Pengpok Hankong kiam
buat menyabet dua kali – ke kanan dengan gerakan Soathoa lioktjoet (Kembang salju
berhamburan ke enam penjuru), ke kiri dengan gerakan Kisoei lengpeng (Air membeku
jadi es) —— dan dua serangan itu berubah jadi delapan rupa serangan yang menyambar-
nyambar secara berantai. San Tjeng Nio tidak berani terlalu mendesak, buru-buru ia tarik
pulang ikatan pinggangnya buat lindungi diri.
Baru saja singkirkan gencatan si isteri, sang suami sudah mendesak dengan kedua
senjatanya yang makin lama jadi makin hebat menyerangnya, sehingga Pengtjoan
Thianlie jadi tidak mempunyai kesempatan lagi buat lakukan serangan membalas.
Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus. Kedua
belah pihak sama-sama merasa kaget dan heran. In Leng Tjoe suami isteri adalah jagoan
kelas berat yang sudah dapat nama lama sekali di daerah perbatasan barat, maka dapat
dimengerti, jika mereka merasa kaget melihat tangguhnya Pengtjoan Thianlie yang tidak
dapat dijatuhkan biarpun dikerubuti berdua. Di lain pihak, si nona juga tidak kurang
kagetnya sebab ilmu pedangnya yang begitu liehay masih juga belum dapat robohkan dua
lawanan itu.
Keng Thian yang mengintip dari belakang batu, terus mengawasi jalannya pertempuran
dengan mata tidak berkesip. Ia lihat, makin lama serangan In Leng Tjoe suami isteri jadi
makin hebat. Sesuatu sambaran Poankoan pit ditujukan kepada jalanan darah, sedang
ikatan pinggangnya San Tjeng Nio selalu siap sedia buat masuk ke tempat kosong.
Demikianlah, perlahan-lahan Pengtjoan Thianlie jadi berada di bawah angin. Tapi, berkat
ilmu silatnya yang luar biasa, setiap kali keteter, muncullah pukulan-pukulannya yang
aneh, yang tak dikenal oleh In Leng Tjoe suami isteri, sehingga, walaupun sudah berada
di atas angin, mereka selalu mesti berlaku sangat hati-hati buat menjaga serangan-
serangan yang tidak diduga-duga.
Keng Thian tumplek seluruh perhatiannya dan diam-diam coba meraba-raba ilmu
pedangnya Pengtjoan Thianlie. "Ah," ia menghela napas. "Tadinya aku kira Thiansan
Kiamhoat adalah ilmu pedang yang tiada keduanya dalam dunia. Tapi sekarang aku dapat
kenyataan, banyak pukulannya Pengtjoan Thianlie yang lebih unggul daripada ilmu
pedang Thiansan. Benar-benar pelajaran tidak ada batasnya."
Jika mau dirundingkan soal ilmu pedang, ilmu pedangnya Pengtjoan Thianlie memang
sedikit lebih unggul dalam hal keanehannya dan perobahan-perobahannya yang luar
biasa. Akan tetapi, mengenai luasnya, dalamnya dan teguhnya, kiamhoat-nya si jelita
masih belum dapat menyusul
Thiansan Kiamhoat. Jika bertemu dengan lawan yang ilmu silatnya lebih tinggi, seorang
ahli Thiansan Kiamhoat masih dapat membela diri dengan penjagaannya yang sangat
rapat. Di lain pihak, kiamhoat-nya Pengtjoan Thianlie ada lebih liehay dalam penyerangan,
tapi masih kurang sempurna dalam pembelaan diri, jika bertemu dengan lawanan yang
lebih kuat.
Ilmunya suami isteri In Leng Tjoe adalah kira-kira sctanding dengan si pendeta
berkelana dan Liong Leng Kiauw. Jika satu lawan satu, dalam seratus jurus, ia tentu roboh
dalam tangannya Pengtjoan Thianlie. Akan tetapi dengan mengerubuti, kedudukannya
suami isteri itu jadi terlebih unggul. Cuma saja, berkat kiamhoat-nya si nona yang luar
biasa dan ditambah lagi sama Pengpok Hankong kiam yang istimewa, maka buat
sementara mereka masih belum dapat menarik keuntungan dari keunggulan itu.
Dengan perlahan, sang rembulan sudah mulai doyong ke barat. Sesudah bertempur
kurang lebih seratus jurus, Pengtjoan Thianlie mulai merasa lelah dan napasnya jadi
sedikit sengal-sengal. "Kenapa si pemuda baju putih belum juga datang?" ia tanya dalam
hatinya yang mulai jadi jengkel, sehingga tidak dapat pusatkan lagi Seantero perhatiannya
kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya.
In Leng Tjoe suami isteri adalah orang-orang yang sudah kawakan dalam pertempuran.
Begitu lihat kesempatan, mereka lalu mendesak semakin hebat. Sepasang Poankoan pit
In Leng Tjoe terus tindih pedangnya si nona buat cegah ia keluarkan pukulan-pukulannya
yang aneh, sedang ikatan pinggangnya San Tjeng Nio terus menyambar-nyambar ke
bagian-bagian yang agak lowong. Yoe Peng yang sedari tadi menonton, dengan sikap
acuh tak acuh, sekarang mulai kuatirkan keselamatan majikannya.
Sekonyong-konyong dengan gerakan Lioeseng poengoat (Bintang sapu mengubar
bulan), kedua Poankoan pit menyambar ke arah kepalanya Pengtjoan Thianlie, dan
hampir berbareng, ikatan pinggangnya San Tjeng Nio melesat ke garisan dalam dari
pembelaan si nona. Saat itu, pedangnya Pengtjoan Thianlie yang sedang digunakan di
garisan luar buat tangkis Poankoan pit, sudah tidak keburu ditarik pulang guna singkirkan
sambarannya ikatan pinggang. Yoe Peng terkesiap dan keluarkan satu teriakan: "Celaka!"
Pada detik itulah, Pengtjoan Thianlie keluarkan pukulan yang benar-benar istimewa.
Dengan sekali getarkan gagang pedangnya, begitu bentur Poankoan pit musuh, dari
Pengpok Hankong kiam seperti juga terbang keluar ratusan "kembang pedang" yang
sinarnya bergemilapan dan menyilaukan mata. Satu batang pedang itu seakan-akan
berobah jadi ratusan batang pedang. Inilah pukulan Pengho kaytang (Sungai es melumer),
yaitu pukulan istimewa dari Pengtjoan Kiamhoat yang digunakan buat menolong diri dalam
bahaya. Ketika itu, jika In Leng Tjoe teruskan juga serangannya, batok kepalanya si jelita
memang bisa menjadi toblos, tapi mereka pun pasti bakal jadi korbannya Pengpok
Hankong kiam. Mereka berdua tidak berani berlaku mati-matian lantaran, pertama,
mereka tidak kenal ilmu pukulannya Pengtjoan Thianlie, ditambah sama silaunya sang
mata lantaran sinar Hankong kiam sehingga mereka tidak dapat lihat tegas badannya
musuh, dan kedua, sebagai ahli-ahli kawakan dalam Rimba Persilatan, mereka selalu taat
pada nasehat yang berbunyi: Sebelum menghitung kemenangan, hitunglah kekalahan.
Demikianlah buru-buru mereka tarik pulang senjatanya dan tutup rapat dirinya. Pada
saat itulah, dari belakang batu besar keluar satu teriakan: "Bagus!" yang keluar dari
mulutnya Tong Keng Thian. In Leng Tjoe dan isterinya terkesiap. Sembari pentang
senjatanya, In Leng Tjoe membentak dengan suara keras: "Lengsan pay In Leng Tjoe ada
disini. Sahabat, keluarlah buat menemui aku."
In Leng Tjoe adalah seorang yang sudah dapat nama besar lama sekali di daerah
perbatasan sebelah barat dan dengan perkenalkan dirinya, ia berharap, orang yang
sembunyi akan merasa jeri. Tapi tak dinyana, baru ia tutup mulutnya, dua sinar terang
menyambar dan kedua senjatanya kena terpukul miring, sehingga garisan pembelaannya
jadi terbuka, dan berbareng dengan itu, Pengpok Hankong kiam sudah menerobos masuk
bagaikan kilat.
In Leng Tjoe terbang semangatnya. Matanya silau dan hawa dingin menyambar ke
uluhatinya, sehingga .ia tak dapat membela dirinya lagi. "Binasalah aku!" ia mengeluh.
Mendadakan terdengar suara terbesetnya kain dan sinar pedang berkelebat di atasan
kepalanya. Sebagai seorang yang tinggi ilmu silatnya, pada saat itulah, dengan gerakan
Yauwtjoe
hoansin (Elang balik badannya), In Leng Tjoe jejak kedua kakinya dan badannya melesat
beberapa tombak, akan kemudian jatuh menggelinding ke bawah tanjakan.
Suara terbesetnya kain yang didengar oleh In Leng Tjoe muncul ketika ikatan
pinggangnya San Tjeng Nio dibabat putus dengan Hankong kiam. Barusan, melihat
suaminya berada dalam bahaya, San Tjeng Nio kerahkan tenaga dalamnya dan bagaikan
sebatang pedang, ikatan pinggangnya sambar kedua matanya Pengtjoan Thianlie, yang
lantas papaki dengan Hankong kiam. Oleh karena adanya pertolongan sang isteri, In Leng
Tjoe jadi dapat loloskan dirinya.
Sambil lempar ikatan pinggangnya yang sudah tinggal sepotong, San Tjeng Nio turut
loncat turun ke bawah tanjakan. Mereka menengok ke atas dan lihat Pengtjoan Thianlie
mau mengubar, tapi dicegah oleh seorang pemuda baju putih.
In Leng Tjoe cabut senjata rahasia yang menancap pada kedua senjatanya dan begitu
lihat, ia terkesiap. "Hei!" ia berseru. "Thiansan Tong Siauw Lan masih pernah apa dengan
kau?"
"Aku wakili ayah buat menanyakan keselamatannya kedua Lootjianpwee," sahut Keng
Thian. "Harap kedua Lootjianpwee sudi maafkan kekurang ajaranku."
In Leng Tjoe suami isteri saling mengawasi. Biar bagaimanapun juga, mereka belum
mempunyai nyali buat coba-coba bentur Tayhiap Tong Siauw Lan, apalagi ilmu silatnya si
pemuda sendiri sudah cukup tinggi dan dapat pukul miring kedua Poankoan pit dengan
Thiansan Sinbong. Di sebelahnya itu, mereka juga harus perhitungkan Pengtjoan Thianlie
yang terus mengawasi dengan mata beringas. Keringat dingin keluar dari dahinya In Leng
Tjoe. Tapi buat tutup perasaan malunya, ia membentak dengan suara keras: "Baiklah! Aku
sungkan berurusan sama segala bocah. Aku akan bikin perhitungan dengan ayahmu
sendiri!"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Penjahat gundul! Kau masih berani
banyak bacot? Apa kau mau rasakan lagi pedangku?"
Mendengar perkataan "penjahat gundul," In Leng Tjoe terkejut dan lantas raba
kepalanya. Hatinya mencelos sebab ia dapat kenyataan, rambutnya sudah kelimis dan
tanpa berani mengeluarkan sepatah kata lagi, ia tarik tangan isterinya dan menyingkir
secepat bisa.
"Dua bangsat itu sudah berani curi dengar suara khim-ku, biarpun senjatanya sudah
diputuskan dan rambutnya dipapas, hatiku rasanya belum merasa puas," berkata
Pengtjoan Thianlie dengan suara mendongkol.
"Dalam dunia ini masih banyak orang-orang yang terlebih jahat daripada mereka," kata
Keng Thian sembari tertawa. "Mana boleh kau selalu turuti napsu amarahmu."
Lewat beberapa saat, Keng Thian berkata pula sembari tertawa: "Apakah kau mementil
khim hanya untuk didengar olehku? Sungguh sayang aku bukannya Pek Gee (Djie Pek
Gee, seorang ahli khim dari jaman Liatkok), sehingga tidak mengetahui dimana adanya
hati tetabuhan tersebut."
Mukanya si jelita lantas saja bersemu dadu. "Cis" katanya. "Siapa yang pentil khim
untuk kau? Eh, apa kau mau adu pedang lagi?"
"Tak usah," sahut Keng Thian. "Barusan aku sudah saksikan kepandaianmu yang sejati
dan benar-benar tinggi sekali. Aku sekarang mengaku kalah."
"Aku paling benci orang yang bicara lain, hatinya lain," kata lagi si nona. "Dalam hati,
kau tentu kata: "Kepandaiannya Pengtjoan Thianlie cuma sebegitu saja? Mana bisa
menangkan Thiansan Kiamhoat?"
Keng Thian jadi tertawa keras. "Ah!" katanya. "Kalau begitu kau mempunyai ilmu
membaca hati orang! Tapi, kali ini kau membaca salah. Barusan hatiku kata: "Kiamhoat-
nya Pengtjoan Thianlie benar-benar liehay. Dalam tiga sampai lima tahun, aku belum
dapat menangkan dia."
Pengtjoan Thianlie menghela napas, sebab dalam hatinya, ia justru sedang pikir apa
yang dikatakan oleh Keng Thian. Sesudah meneliti ilmunya si pemuda, ia merasa, bahwa
meskipun tak usah kalah, akan tetapi buat bisa dapat jatuhkan Keng Thian, paling
sedikitnya ia harus berlatih antara tiga sampai lima tahun lagi. Dan ia merasa tercengang,
sebab apa yang lagi dipikir sudah dikatakan oleh Keng Thian.
"Kenapa tarik napas?" tanya Keng Thian.
Si nona tak menyahut. Lewat beberapa saat mendadak ia berkata: "Kalau begitu, kau
adalah puteranya Thiansan Tong Tayhiap."
"Sekarang kita sama-sama sudah mengetahui asal-usul masing-masing dan kita
sebenarnya bukan orang luar," kata Keng Thian. "Ayahku mempunyai matan buat satu
tempo kumpulkan
semua turunan dan murid-muridnya Thiansan Tjitkiam. Jika niatan itu terwujud, aku akan
ajak kau, supaya dapat berkenalan dengan sahabat-sahabatnya mendiang ayahmu."
Mendengar itu, parasnya Pengtjoan Thianlie segera jadi berobah. "Ayahku sudah
singkirkan diri ke daerah perbatasan dan sedari dahulu ia sudah tidak anggap dirinya
sebagai orang Thiansan pay," katanya. "Cara bagaimana aku dapat hadiri pertemuan itu?"
Keng Thian terkejut, ia tak mengerti, kenapa si nona boleh keluarkan perkataan begitu.
Tapi ia lihat Pengtjoan Thianlie bicara dengan sungguh-sungguh, sehingga ia tak menanya
apa-apa lagi.
Keng Thian tidak mengetahui, bahwa ayahnya si nona, yaitu Koei Hoa Seng, dahulu
justru pernah dijatuhkan oleh ayah ibunya sendiri. Dengan perasaan mendongkol, Koei
Tayhiap pergi ke lain negara dengan tujuan mempelajari ilmu pedang daerah sebelah
barat guna digabung dengan ilmu pedangnya sendiri, supaya bisa menggubah serupa
ilmu pedang yang lebih unggul dari Thiansan Kiamhoat.
Kedua matanya Pengtjoan Thianlie mengawasi ke arah jauh, seakan-akan ia sedang
berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia berkata dengan suara agak terharu: "Berjodoh,
manusia berkumpul. Jodoh habis, berpisah kembali. Satu kali kau pernah naik ke atas
Puncak Es dan aku telah membalas budi dengan ambil pulang guci emas. Dengan
demikian, kita sudah rampungkan sekelumit lelakon hidup ini. Kita tak usah adu pedang
lagi dan biarlah kita berpisahan sebagai sahabat."
Nepal adalah satu negara yang banyak kena pengaruhnya agama Budha, sehingga
sebagai seorang Puteri Nepal, Pengtjoan Thianlie pun kena pengaruh agama tersebut.
Keng Thian tercengang mendengar kata-kata itu dan buat beberapa saat, ia tak dapat
membuka suara.
"Puncak Es sudah roboh dan kau sendiri sudah masuk lagi ke dalam dunia pergaulan,"
berkata Keng Thian sembari mesem. "Apakah jodoh dalam dunia dapat berakhir dengan
begitu saja? Meskipun keraton es ada cukup indah, akan tetapi dingin dan sunyi.
Andaikata benar-benar di belakang hari kau bisa jadi seorang bidadari, paling banyak kau
jadi seperti bidadari dari rembulan. Dan sebagaimana kau mengetahui, bidadari rembulan
saja masih kadang-kadang merasa kesepian, masih saban malam pikiri lautan blau dan
langit biru! Apakah, selainnya keraton es, dalam dunia sudah tidak ada lain tempat yang
cocok bagi dirimu?"
Hatinya Pengtjoan Thianlie bergoncang keras, sehingga dadanya turun naik terlebih
cepat. Ia angkat kepalanya dan mengawasi si pemuda, yang dengan pakaiannya yang
serba putih dan parasnya yang cakap sekali, kelihatan angker dan agung di bawahnya
sinar rembulan yang laksana perak. Ketika itu, Keng Thian pun sedang mengawasi ia
dengan sorot matanya yang bening, sehingga dua pasang mata segera kebentrok. Paras
mukanya Pengtjoan Thianlie kembali bersemu dadu dan pikirannya jadi semakin kusut.
Hatinya merasa berat, akan tetapi, ia sendiri tidak mengetahui, apa yang dibuat berat.
Apakah keindahan dunia? Apakah pemuda itu dengan kata-katanya dan cara-caranya
yang sangat menarik hati? Tapi, bukankah pemuda itu adalah seorang, dengan siapa ia
harus ukur tenaga supaya tidak sia-siakan capai lelah ayahnya sendiri? Mengingat begitu,
si nona rasakan kepalanya pusing.
"Apakah kau tidak mau pergi ketemui kedua pamanmu?" tanya Keng Thian
mendadakan. "Yang satu berada di Soetjoan, sedang , yang lain di Ouwpak. Puluhan
tahun mereka pikiri ayahmu dan pesan banyak sahabatnya buat bantu mencari. Gurunya
Thian Oe, yaitu Thiekoay sian, yang juga pernah terima pesanan begitu, sudah naik ke
atas Puncak Es tanpa perdulikan bahaya, sehingga akhirnya ia mesti membuang jiwa di
dalam keraton es. Apakah sesudah mengetahui itu, hatimu sedikitpun tidak jadi tergerak?"
"Apa? Thiekoay sian mati di keraton es?" tanya si nona dengan suara terkejut.
"Benar," menyeletuk Yoe Peng. "Guna melindungi keraton es, Thiekoay sian telah
binasa dalam tangannya si pendeta jubah merah." Si dayang lalu tuturkan segala apa
yang ia dapat dengar dari Thian Oe, mengenai kebinasaannya Thiekoay sian.
Mendengar penuturan itu, Pengtjoan Thianlie jadi merasa jengah. Ia ingat budinya
Thiekoay sian suami isteri yang sudah begitu sudi gawe buat mendaki Puncak Es, guna
kepentingan lain orang, sehingga akhirnya sang suami harus membuang jiwa secara
kecewa sekali.
"Jika kedua pamanmu mengetahui, mereka mempunyai satu keponakan yang begitu
pintar, mereka tentulah juga akan merasa girang sekali," Keng Thian teruskan bujukannya.
"Apa benar-benar kau tidak kepengen menemui pamili di Tiongkok?"
"Aku tak tahu dimana mereka tinggal, bagaimana bisa mencarinya?" kata Pengtjoan
Thianlie akhir-akhir.
Melihat si nona sudah tergerak hatinya, Keng Thian jadi girang sekali. "Itulah, jodoh kita
memang belum habis dan kita tidak dapat lantas berpisahan," katanya. "Biarlah aku antar
kau pergi cari kedua pamanmu itu. Lebih dahulu kita pergi cari ke Soetjoan barat buat cari
Moh Tjoan Seng Tayhiap dan sesudah itu, baru kita mendaki Boetong san buat menemui
Tjio Kong Seng Tayhiap."
Mukanya si nona jadi merah lantaran kemalu-maluan. Ia berdiri bengong buat beberapa
saat dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Baiklah. Kapan kita berangkat?"
"Pada sebelum aku antar kau cari kedua pamanmu, lebih dahulu kau harus kawani aku
pergi cari seorang lain," sahut Keng Thian.
"Siapa? Apa jauh?" tanya si nona.
"Orang yang aku mau cari adalah Liong Leng Kiauw," menerangkan Keng Thian
"Sekarang kita pergi dahulu ke Lhasa. Perjalanan itu tidak meminta tempo terlalu lama."
"Guci emas toh sudah dipulangkan, buat apa cari ia lagi?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Asal-usulnya Liong Leng Kiauw sangat mencurigakan," kata Keng Thian. "Apa kau
tahu,
maksud kedatangan suami isteri In Leng Tjoe adalah buat menyusahkan padanya?"
Sesudah itu, ia lalu tuturkan segala apa yang ia dengar dari mulutnya kedua suami isteri
tersebut. "Ilmu silatnya suami isteri In Leng Tjoe adalah lebih tinggi dari delapan pengawal
istana," Keng Thian sambung penuturannya. "Tapi sebaliknya dari perintah mereka
lindungi guci emas, kaizar Boan suruh mereka pergi menyelidiki asal-usulnya Liong
Loosam. Dari sini dapat dilihat, bahwa di matanya kaizar, pentingnya penyelidikan itu tidak
kalah dari pentingnya guci emas. Itulah sebabnya kenapa aku merasa perlu buat coba
pecahkan teka-teki itu."
"Ah, kau memang sangat usilan!" kata si nona sembari kerutkan alisnya.
"Biarpun kau tak sudi, tapi kali ini toh kau harus antarkan aku," kata Keng Thian
sembari tertawa.
"Kenapa?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Supaya kita sama-sama tak usah menanggung budi," sahut Keng Thian. "Jika
dikemudian hari, kau kebetulan ingin adu pedang lagi denganku, kau jadi bisa buka mulut
tanpa sungkan-sungkan lagi!"
"Cis" membentak si nona sembari tertawa. "Kau benar jail. Baiklah, aku luluskan
permintaanmu."
Demikianlah mereka bertiga lantas berangkat dan tiba di Lhasa pada malaman Tahun
Baru. Ketika itu, ibukota Tibet, sedang berada dalam suasana pesta. Jalanan-jalanan
penuh dengan rakyat yang keluar buat saksikan keramaian, rumah-rumah pasang lampu
terang-terang dan di segala tempat terlihat menguleknya asap hio yang dibakar tak henti-
hentinya. Pusatnya keramaian terletak di sekitar Kelenteng Thaytjiauw sie yang dipajang
indah sekali dengan lampu-lampu yang beraneka warna. Gelombang manusia semuanya
mengalir ke kelenteng tersebut yang sudah jadi penuh sesak dengan rakyat yang bersuka
ria -- ada yang sembahyang, ada yang menari-nari di tengah jalan atau menyanyi sekeras
suara.
"Sekali ini kaizar Boan telah bertindak secara tepat sekali," kata Keng Thian dalam
hatinya. "Dengan mengirim guci emas, pemerintahan keagamaan di Tibet jadi berada di
bawah pimpinan langsung dari pemerintah pusat di Pakkhia, sehingga Tiongkok dan Tibet
tak dapat dipisahkan lagi. Tak heran kalau rakyat jadi begitu girang." Dalam kepuasannya,
si pemuda merasa sedikit menyesal, bahwa mereka datang terlambat sedikit sehingga
tidak dapat saksikan upacara penyambutan guci emas yang tiba di Lhasa pada siang
harinya.
Sesudah lihat-lihat keramaian buat sementara waktu, mereka bertiga lalu menuju ke
lapangan yang terletak di bawahnya Keraton Potala. Sesudah lewati lapangan tersebut,
mereka tiba pada satu daerah pegunungan di sebelah utara Gunung Anggur. Mereka terus
mendaki satu tanjakan, di atas mana berdiri sebuah rumah yang berbentuk bundar dan
terkurung tembok, yaitu rumahnya Liong Leng Kiauw. Sesudah pesan supaya Yoe Peng
tunggu di lapangan di kaki gunung, bersama Pengtjoan Thianlie, dengan gunakan ilmu
entengi badan, Keng Thian segera masuk ke dalam pekarangan dengan loncati tembok.
Keadaan disitu sangat sunyi, mungkin para penghuninya pada pergi nonton keramaian.
Waktu tiba di dekat kamar tulisnya Liong Sam, kuping mereka mendadak dengar suara
tindakan orang yang jalan mundar-mandir di dalam kamar tersebut. Mereka segera loncat
ke atas payon rumah dan sembari cantelkan kaki kepada payon, mereka mengintip ke
dalam. Ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian boleh dibilang
sudah mencapai puncak kesempurnaan, sehingga walaupun Liong Leng Kiauw berilmu
tinggi, ia masih belum mengetahui kedatangannya kedua tetamu tersebut.
Di dalam kamar, tuan rumah kelihatan jalan mundar-mandir tak hentinya, dengan paras
muka yang sangat guram. Keng Thian merasa sangat heran kenapa, sesudah guci emas
berada dalam Gereja Besar, Leng Kiauw masih kelihatan begitu bersusah hati.
Sekonyong-konyong dari sebelah luar kedengaran suara tindakan orang Buru-buru
Pengtjoan Thianlie dan Keng Thian naik ke atas dan mengumpat di pancoran air. Tirai
disingkap dan seorang yang tinggi kurus kelihatan masuk ke dalam. Ia itu adalah Gan Lok,
soetee-nya Liong Sam, yang pernah curi pedangnya Yoe Peng.
"Soetee belum tidur!" tanya Leng Kiauw sembari menghela napas.
"Selama setengah bulan, aku sangat kuatirkan keselamatan soeheng, tapi sekarang
aku dapat bernapas lega," sahutnya.
Leng Kiauw meringis dan berkata: "Sesudah tibanya guci emas, urusan kita justru baru
mulai main!"
"Menurut pendapatku, lebih baik kita singkirkan diri dahulu buat sementara waktu," kata
Gan Lok.
"Apa kau takut?" tanya sang soeheng.
"Bukannya takut," jawabnya. "Cuma dalam beberapa hari, aku seperti dapat firasat,
bahwa rahasia kita sudah diketahui orang."
"Hok Tayswee sama sekali tidak merasa curiga," menghibur Leng Kiauw. "Kau tak usah
pikir yang tidak-tidak."
Gan Lok diam, mulutnya bergerak, tapi ia tidak jadi bicara.
"Belasan tahun lamanya kita mengumpat di gedungnya pembesar negeri," kata pula
Liong Leng Kiauw. "Buat apa? Sekarang kita sudah mempunyai dasar yang kuat, dan di
sebelahnya itu, sesuai sama rencanaku, kita sudah dapat menyambut guci emas dengan
selamat. Mulai dari sekarang, Hok Tayswee akan lebih perlu sama tenaga kita. Andaikata
sampai timbul badai, aku rasa kita masih dapat lewati dengan selamat. Kau takut apa?"
"Aku harap saja begitu," kata sang soetee dengan paras lesu.
"Aku perintah kau adakan hubungan dengan berbagai Touwsoe, apa jalannya urusan
cukup licin?" tanya Leng Kiauw.
"Boleh juga," sahutnya.
"Dalam gedung Tayswee ada aku. Kali ini kita harus bertindak," kata lagi Leng Kiauw.
"Dalam gedung Tayswee besok bakal diadakan pertemuan Tahun Baru, sembari
memberi hadiah kepada perwira dan serdadu yang berjasa," kata Gan Lok. "Soeheng,
baik kau pergi tidur."
"Dan kau?" tanya Leng Kiauw.
"Dalam pertemuan besok, soeheng pegang peranan terutama, sedang aku cuma ambil
peranan pembantu, sehingga datang terlambat masih tidak apa," kata sang soetee. "Aku
masih mau pergi meronda."
Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Kau memang terlalu hati-hati. Apa sekiranya masih
ada orang yang berani datang disini?"
"Apa soeheng lupa kejadian bulan yang lalu?" Gan Lok balas menanya.
"Dalam dunia ada berapa Pengtjoan Thianlie?" kata Leng Kiauw. "Selainnya itu,
Pengtjoan Thianlie pun tidak mengandung maksud jahat."
"Biarpun begitu, aku rasa lebih hati-hati ada lebih baik," kata Gan Lok yang lantas
berlalu sesudah ucapkan selamat tidur.
Sesudah mendengar pembicaraan antara kedua saudara seperguruan itu, hatinya Tong
Keng Thian jadi semakin bimbang. Pekerjaan apakah yang mau dilakukan oleh Liong
Leng Kiauw? Siapa sebenarnya dia? Selagi hatinya bersangsi, mendadak tuan rumah
menggerendeng seorang diri:
"Balik bumi, gulung langit adalah pekerjaanku. Ha, ha! Dengan sampainya guci emas,
tibalah temponya buat memperlihatkan kesaktianku!"
Keng Thian terkesiap. "Liong Loosam benar temberang!" katanya di dalam hati. "Apa ia
mau berontak? Tapi, di tempat ini dan dalam tempo begini, manalah bisa berontak?"
Keng Thian sangsi sekali, ia tak dapat ambil putusan, apakah baik loncat turun buat
menemui orang yang luar biasa itu. Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara
teriakannya Gan Lok, yang seperti juga kena dipukul orang. Liong Leng Kiauw loncat dan
selagi mau singkap tirai, sedang suara teriakan masih berkumandang di dalam telinga,
tiba-tiba kedengaran suara tertawa menyeramkan. Tertawa itu, yang mula-mula terdengar
di tempat agak jauh, tahu-tahu sudah berada di depan rumah, dan dari sini dapat dilihat,
bahwa gerakannya orang yang tertawa sungguh luar biasa cepat, sehingga Pengtjoan
Thianlie dan Tong Keng Thian sendiri merasa sangat terkejut.
Walaupun ilmu silatnya Gan Lok masih kalah setingkat dari Liong Leng Kiauw, akan
tetapi ia sudah terhitung seorang ahli kelas satu. Bahwa dalam sekejap saja, ia sudah
dapat dirobohkan, merupakan suatu petunjuk, bahwa ia sudah bertemu dengan musuh
yang bukan main liehaynya.
Saat itu, dalam tangannya, Keng Thian cekal dua batang Thiansan Sinbong, sedang
Pengtjoan Thianlie genggam dua butir Pengpok Sintan, siap sedia buat menimpuk
sembarang waktu. Keng Thian kedipi matanya, supaya si nona suka bersabar buat
sementara waktu.
Begitu tiba, orang itu lantas menerobos masuk dan berhadapan dengan Leng Kiauw
yang sedang mau singkap tirai. Beberapa sinar perak kelihatan menyambar dan orang itu
berseru: "Sungguh indah gerakan Patpie Lo Tjia Tjopo (Lo Tjia yang mempunyai delapan
tangan menangkap mustika). Apakah gurumu Tong Loodjie dari Soetjoan?"
Di bawahnya sinar rembulan yang remang-remang, orang itu kelihatan berbadan tinggi
kurus, mukanya dekok, kedua matanya berkilat seperti api, sedang rambutnya awut-
awutan, sehingga rupanya jadi menakuti sekali.
Tong Keng Thian heran. Senjata rahasia yang dilepaskan oleh tetamu malam itu,
adalah paku Samleng Touwkoet teng yang selalu digunakan buat timpuk jalanan darah
musuh. Tapi hal ini tidak mengherankan. Apa yang mengherankan adalah cara
menyambut senjata rahasia yang diperlihatkan oleh Liong Leng Kiauw, yang dengan
sekali bergerak, sudah dapat tangkap enam batang paku tersebut. Itulah ada gerakan
istimewa dari keluarga Tong di Soetjoan, yang terkenal sebagai ahli senjata rahasia yang
kenamaan. Keng Thian pernah dengar penuturan ayahnya, bahwa dalam keluarga Tong
terdapat seorang tertua bernama Tong Kim Hong, yang, sebagai putera kedua, jadi
dikenal sebagai Longsin Tong Loodjie. Dahulu, dengan gendewa dan peluru, nama Tong
Loodjie pernah menggetarkan seluruh dunia Kangouw. "Tong Loodjie" yang disebutkan
oleh tetamu malam itu, sudah tentu Tong Kim Hong adanya. Akan tetapi, jika masih hidup,
waktu ini Tong Kim Hong sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun. Apakah bisa jadi,
Leng Kiauw muridnya orang tua itu?
Liong Leng Kiauw rangkap kedua tangannya dan membungkuk, seraya menyahut
secara hormat sekali: "Benar. Ia adalah guruku. Apakah aku boleh tanya, ada urusan apa
Lootjianpwee datang kesini dan siapa adanya Lootjianpwee?"
Orang itu tertawa seram dan berkata: "Sepuluh tahun kau berada di luar Tiongkok.
Apakah masih belum tahu, siapa adanya aku?" Ia angkat kedua tangannya yang digoyang
beberapa kali di depan matanya Liong Sam. Kedua telapak tangan itu berwarna merah
bagaikan darah, seperti juga tidak berkulit lagi, dan di bawah sinar bulan, tangan itu
kelihatan terang sekali.
Bukan main terkejutnya Keng Thian.
"Ah, kalau begitu Hiatsintjoe Tjianpwee yang datang!" demikian terdengar suaranya
Leng Kiauw. "Harap sudi maafkan ketololan boanpwee (orang dari tingkatan lebih rendah)
yang sudah tidak menyambut dari tempat jauh."
Hiatsintjoe adalah satu memedi besar yang lama hidup mengumpat di daerah
perbatasan Tibet. Ilmu yang dipelajari olehnya ada sangat aneh. Ia keset kulit kedua kaki
tangannya yang kemudian direndam didalam cair dari macam-macam rumput beracun,
sampai akhirnya kaki tangannya berwarna merah darah. Siapa saja yang kena dilanggar
kaki tangan beracun itu, jangan harap bisa hidup terus. Jago-jago Kangouw pada
umumnya sangat segani ia dan kasih julukan Hiatsintjoe (Si Malaikat Darah) kepadanya.
Namanya yang sebenarnya tidak ada orang yang mengetahui.
Pada ketika Tong Siauw Lan (ayahnya Tong Keng Thian) mulai munculkan diri dalam
kalangan Kangouw, Hiatsintjoe sudah malang melintang di daerah Tiongkok Utara barat,
tapi kemudian, dengan mendadak, orang tak pernah dengar apa-apa lagi tentang dirinya.
Sepanjang warta, ia sembunyi sesudah kena dihajar oleh Bu Kheng Yao, salah seorang
pendekar wanita dari Thiansan Tjitkiam, akan tetapi, cara bagaimana dia dihajar, tak ada
seorang yang mengetahui terang. Sesudah Tong Siauw Lan undurkan diri dari pergaulan
umum dan hidup sembunyi di Thiansan, selama beberapa belas tahun beberapa antara
tujuh pendekar pedang itu meninggal dunia dengan beruntun, antaranya Liehiap Ie Lan
Tjoe dan Bu Kheng Yao sendiri. Sesudah itu, Hiatsintjoe barulah kelihatan muncul kembali
di dunia Kangouw. Satu waktu, ia pernah tantang Tong Siauw Lan buat adu silat, akan
tetapi Tong Tayhiap sungkan ladeni padanya, sehingga ia pun tak dapat berbuat suatu
apa. Siapa nyana, malam itu puteranya Tong Tayhiap dapat ketemui ia di rumahnya Liong
Leng Kiauw.
Hiatsintjoe tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan suara angkuh: "Sesudah
mengetahui siapa adanya aku, kau sekarang harus turut segala perintahku. Pekerjaan apa
yang kau lakukan selama belasan tahun di Tibet, kau mesti tuturkan secara terus terang."
"Bilang belas tahun aku bekerja di bawah perintahnya Hok Tayswee," sahut Leng Kiauw
dengan suara sabar. "Segala pekerjaan yang dilakukan olehku, semuanya diketahui oleh
Hok Tayswee. Jika Lootjianpwee tidak percaya, pergilah tanyakan sendiri kepada Hok
Tayswee."
Hiatsintjoe tertawa dingin seraya berkata: "Apa kau mau takut-takuti aku dengan
namanya Hok Kong An? Kau bisa kelabui Hok Kong An, tapi tak dapat abui Thiantjoe
(Anak Langit, yaitu kaizar). Apakah kau rasa aku tak tahu, bahwa kau sembunyi disini
dengan gunakan nama samaran?"
Leng Kiauw terkejut, akan tetapi ia masih dapat pertahankan ketenangannya dan
menyahut dengan suara tetap: "Aku sungguh tak mengerti maksudnya Lootjianpwee. Aku
sama sekali tidak melanggar undang-undang negeri. Apa perlunya menggunakan nama
samaran?"
Dalam penyelidikannya, Hiatsintjoe mengetahui, bahwa Tong Kim Hong sudah
meninggal dunia pada beberapa belas tahun berselang dan bahwa Liong Leng Kiauw
adalah muridnya jago silat itu. Akan tetapi, ia masih belum dapat menyelidiki asal usulnya
Liong Leng Kiauw yang sebenarnya. Mendengar perkataan Liong Sam yang membikin ia
jadi tidak berdaya, hawa amarahnya mendadak naik dan ia tidak ingat lagi pesan
Tjongkoan istana buat bertindak secara hati-hati dalam penyelidikannya.
"Hm!" katanya dengan suara di hidung. "Pandai benar kau goyang lidah buat cuci
bersih dirimu! Baiklah, sekarang kau ikut saja padaku. Apa kau berdosa atau tidak, nanti
ada orang yang memutuskannya."
"Kalau begitu, Lootjianpwee harus minta permisi dahulu dari Hok Tayswee," kata Leng
Kiauw. Hiatsintjoe lantas saja jadi gusar sekali. "Kau mau gunakan Hok Kong An
sebagai tameng
pelindung?" ia membentak. "Belum tentu Hok Kong An bisa lindungi dirimu! Sekarang
pendek saja: Kau mau ikut atau tidak?"
"Boanpwee bukannya mau melawan perintah Lootjianpwee," sahut Leng Kiauw. "Cuma
saja berhubung dengan tugasku, aku tidak berani sembarangan berlalu dari sini."
"Segala pangkat yang tak ada artinya! Sembarang waktu bisa dicopot!" membentak
Hiatsintjoe. "Walaupun dicopot, tapi toh harus ada surat pemecatan resmi atau atas
perintahnya Tayswee," kata Leng Kiauw lagi. "Menurut undang-undang kerajaan Tjeng,
segala pembesar negeri, tak perduli pangkat tinggi atau rendah, dilarang sembarangan
meninggalkan tugasnya, jika tidak ada perintah dari pihak atasannya. Dan justru oleh
karena pangkatku kecil, maka aku terlebih tidak
berani sembarangan berlalu menurut suka sendiri."
Darahnya Hiatsintjoe jadi naik tinggi. "Hm!" ia membentak. "Kau rupanya andali betul
Hok Tayswee-mu! Ini Hok Tayswee, itu Hok Tayswee! Aku tak perduli Hok Tayswee-mu
atau undang-undangmu. Aku kasih tahu terang-terangan: Jika malam ini kau tidak ikut
aku, kau sendirilah yang sengaja mencari susah!"
"Aku lebih suka terima hukuman Lootjianpwee daripada melanggar peraturan Kaizar,"
sahut Leng Kiauw dengan suara tetap.
"Peraturan Kaizar!" Hiatsintjoe berkata dengan suara tawar. "Akulah peraturan Kaizar!"
Tiba-tiba ia lonjorkan tangannya yang sebesar kipas dan coba cengkeram kepalanya Leng
Kiauw.
Leng Kiauw yang sudah siap sedia lantas kebaskan tangan bajunya yang gulung dan
sampok tangannya Hiatsintjoe.
"Bagus!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa dingin. "Sekarang kau berani lawan
padaku dengan segala ilmu silat kucing pincang dari Tong Loodjie!" Leng Kiauw sudah
cepat, tapi tangannya Hiatsintjoe lebih cepat lagi dan di lain saat, tangannya sudah
menyambar ke arah dadanya Leng Kiauw. Dengan sebet Liong Sam loncat ke pinggir
lantaran ia tidak berani bentur tangan yang sangat beracun itu. Dengan cepat enam tujuh
jurus sudah lewat dan buat keheranannya Pengtjoan Thianlie serta Tong Keng Thian,
mereka sudah dengar suara napas sengal-sengal dari Liong Leng Kiauw.
Menurut taksirannya Pengtjoan Thianlie, meskipun Leng Kiauw kalah dari musuhnya,
akan tetapi ia sedikitnya bisa melayani sampai kira-kira lima puluh jurus. Maka itu, ia jadi
sangat heran ketika dengar suara napasnya Liong Sam, sedang pertempuran baru saja
berjalan beberapa jurus. Dalam keheranannya itu, tanpa merasa si nona keluarkan suara
"ih" yang sangat perlahan.
"Hm!" berkata Hiatsintjoe sembari tertawa seram. "Kalau begitu kau masih mempunyai
kawan? Bagus! Suruh dia turun sekalian!" Sedang mulutnya bicara, tangannya dikasih
kerja lebih keras dan dengan satu suara "breet!", tangan bajunya Liong Sam terbeset!
Leng Kiauw terkesiap dan terus mundur dengan didesak oleh lawannya.
Pada saat itulah, dengan diiringi tertawa nyaring, badannya Pengtjoan Thianlie dan
Tong Keng Thian melayang turun ke bawah. Melihat datangnya penolong yang tidak
diduga-duga itu, Liong Sam jadi bengong seperti orang terkesima.
Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Ia terutama merasa kaget melihat
kecantikannya si nona yang seakan-akan bidadari dari kahyangan. Hampir ia tak percaya,
bahwa dalam dunia terdapat wanita yang sedemikian cantik. Ia kucek-kucek kedua
matanya dan kemudian mengawasi Pengtjoan Thianlie dengan tidak berkesip.
"Lihat apa? Biar aku hantam dahulu mata anjingmu!" membentak Pengtjoan Thianlie
sembari mementil dengan dua jerijinya.
Hiatsintjoe benar liehay. Meskipun diserang secara mendadak selagi bengong, ia masih
dapat selamatkan dirinya. Dengan gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong manggut),
ia kasih lewat kedua Pengpok Sintan yang kemudian ditangkap dengan tangan kirinya. Ia
cuma keluarkan suara "ih" ketika kedua peluru meledak dalam telapakan tangannya dan
air es mengetel keluar dari sela-sela jerijinya. Di lain saat, tangan kanannya sudah
memukul. Ia memukul dari jarak yang jauhnya kira-kira satu tombak, tapi toh tenaganya
menyambar hebat ke arah dadanya si nona.
Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie. Pengpok Sintan yang barusan dilepaskan
olehnya, tidak akan dapat disambut oleh orang-orang yang mempunyai kepandaian
seperti Liong Leng Kiauw atau Tong Keng Thian. Tapi Hiatsintjoe sudah dapat sambuti itu
secara tenang sekali. Di sebelahnya itu, apa yang membikin si nona menjadi kaget adalah
hawa sangat panas yang menyertai angin pukulannya Hiatsintjoe, sehingga ia merasa
napasnya agak sesak. Buru-buru ia kerahkan tenaganya dan kelit pukulan musuh dengan
gunakan ilmu entengi badan.
"Pendeta siluman!" ia membentak sesudah kelit tiga pukulan. "Sekarang coba rasakan
pedangku!"
Hiatsintjoe juga kagum melihat kegesitan si nona yang dengan mudah sudah dapat
loloskan diri dari tiga pukulannya yang sangat hebat. Di lain saat, berbareng dengan
berkredepnya satu sinar terang, Pengpok Hankong kiam sudah menyambar ke arah
mukanya!
Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya Angin panas dan hawa dingin lantas
saja kebentrok! Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur kurang lebih dua puluh
jurus tanpa ada yang keteter.
Sedari jatuh dalam tangannya Bu Kheng Yao pada tiga puluh tahun berselang, barulah
sekarang Hiatsintjoe bertemu dengan lawan berat. Oleh karena begitu, semangatnya jadi
terbangun dan ia tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" ia berseru. "Aku justru sedang
kepanasan, terima kasih kau tolong kipasi!"
Pengtjoan Thianlie jadi meluap dan dengan mata mendelik, ia putar Hankong kiam
bagaikan titiran dan menyerang dengan Tokboen Kiamhoat yang merangkap ilmu pedang
Tatmo, ilmu pedang Eropa Barat serta ilmu pedang Arab menjadi satu. Diserang secara
begitu, Hiatsintjoe
tidak berani main-main lagi dan lantas pusatkan perhatiannya buat sambut serangannya si
nona yang menyambar-nyambar seperti hujan dan angin.
Sesudah bertempur lagi beberapa saat, Hiatsintjoe berkata dengan suara kagum:
"Bagus! Kau bisa lawan aku lebih dari lima puluh jurus, di antara tingkatan orang-orang
muda, boleh dibilang kaulah yang nomor satu. Siapa kau? Siapa gurumu?"
Pengtjoan Thianlie tertawa tawar dan berkata: "Bukan gampang kau mempunyai ilmu
silat seperti ini. Maka itu, lebih baik kau berlalu dan jangan rewel disini." Mulutnya bicara,
pedangnya terus mencecer secara hebat.
"Bocah tak kenal mampus!" membentak Hiatsintjoe. "Kau jadi banyak tingkah dan tak
tahu Tjouwsoeya sengaja ampuni jiwamu!" Sehabis membentak begitu, ia empos
semangatnya, sehingga pukulannya jadi bertambah berat dan anginnya jadi semakin
panas. Buat sementara Pengtjoan Thianlie masih dapat melayani, tapi keringat sudah
mulai mengucur dari badannya
Selagi Pengtjoan Thianlie bertempur hebat melawan Hiatsintjoe, Keng Thian tarik
tangannya Leng Kiauw dan berkata dengan suara perlahan: "Liong Sam Sianseng. Siapa
sebenarnya kau?"
"Apakah kau juga tidak percaya padaku?" tanya Leng Kiauw sembari mesem.
"Kasihkan batu giok itu kepada ayahmu dan ia tentu akan segera mengetahui asal-
usulku."
"Bukan, bukan tidak percaya padamu," jawab Keng Thian. "Aku bukannya mau selidiki
asal-usulmu. Aku hanya mau memberitahu, bahwa kerajaan Tjeng sangat perhatikan
gerak-gerikmu dan kaki tangannya yang dikirim bukan cuma Hiatsintjoe seorang. Jika
benar kau mempunyai niatan apa-apa yang dianggap 'berdosa besar' oleh kaizar,
sekarang kau masih mempunyai kesempatan buat melarikan diri. Kami berdua akan tahan
Hiatsintjoe dan kawan-kawannya."
Liong Sam tidak menyahut, kedua biji matanya memain seperti orang yang sedang
berpikir keras. Mendadak ia cekal tangannya Keng Thian keras-keras dan berkata dengan
suara terharu: "Saudara Tong, terima kasih banyak-banyak. Aku tak dapat melarikan diri.
Kalian boleh tak usah perdulikan aku."
Mendengar jawaban itu, hatinya Keng Thian jadi semakin bimbang dan benar-benar
tidak dapat meraba siapa adanya Liong Sam. Jika mau anggap ia sebagai salah seorang
pendekar dari kalangan Rimba Persilatan, jago-jago dari Utara barat tak ada barang satu
yang kenal padanya Jika mau dikatakan ia sebagai seorang yang membela Hok Kong An
secara mati-matian, secara diam-diam ia perintah soetee-nya mengadakan hubungan
dengan berbagai Touwsoe. Jika mau mencap ia sebagai kaki tangannya negara asing
buat membikin kacau Tibet, ia toh sudah melindungi guci emas secara begitu sungguh-
sungguh. Jika mau dibilang ia sebagai seorang yang mempunyai angan-angan besar dan
hendak gunakan Tibet sebagai pangkalan buat melawan kerajaan Tjeng, temponya justru
tidak sesuai untuk melakukan pekerjaan yang besar itu. Demikianlah semakin memikir
Keng Thian jadi semakin tidak mengerti dan tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap
orang yang gerak-geriknya luar biasa itu.
Selagi Keng Thian pikiri perkataan yang cocok buat coba menanyakan lebih jauh, satu
perobahan terjadi dalam gelanggang pertempuran.
Sekarang, cepat bagaikan kilat, mereka berkelahi secara renggang dan main udak-
udakan, sehingga, dengan berkelebat-kelebatnya bayangan mereka, dalam gelanggang
seperti juga sedang bertempur puluhan orang. Meskipun ilmu pedangnya si nona luar
biasa tinggi, akan tetapi, dengan mengandalkan latihan puluhan tahun dan kedua
tangannya yang beracun, dalam suatu pertempuran yang lama, perlahan-lahan Hiatsintjoe
dapat mendesak lawannya
"Jika kelanggar tangannya memedi itu, orang bisa lantas binasa," kata Liong Sam.
"Kalian lebih baik menyingkir dan tak usah menempuh bahaya guna kepentinganku. Aku
sendiri mempunyai daya buat menghadapi ia."
Keng Thian tak menyahut sebab seluruh perhatiannya sedang dipusatkan ke arah
gelanggang pertempuran. Ia lihat kedua matanya si nona yang mengandung sinar
menegur, sedang awasi ia. Ia tahu adatnya Pengtjoan Thianlie yang selamanya sungkan
menyingkir walaupun keadaannya terdesak, maka itu, sembari berpaling kepada Liong
Sam, ia berkata sembari mesem: "Aku akan segera berlalu, sesudah mengusir
Hiatsintjoe!"
Sehabis berkata begitu, ia enjot badannya dan menerjang ke dalam gelanggang,
sembari ayun satu tangannya.
Selagi enak desak lawannya buat coba rebut Pengpok Hankong kiam, Hiatsintjoe
mendadak lihat menyambarnya satu sinar terang, yang disertai dengan sambaran angin
yang sangat hebat. Ia sudah angkat tangannya buat menyambut, tapi buru-buru urungkan
niatannya sebab merasa telapakan tangannya bakal ditembuskan oleh senjata rahasia itu
yang menyambar sedemikian hebat!
Tapi dalam bahaya, Hiatsintjoe tak jadi bingung. Ia pentil pedangnya Pengtjoan Thianlie
yang lantas jadi miring, dan Thiansan Sinbong lewat di tempat kosong antara mereka dan
amblas di satu tiang batu!
Pentilan Hiatsintjoe merupakan satu gerakan yang sangat sempurna dan indah luar
biasa. Gerakan pedangnya Pengtjoan Thianlie cepat seperti angin, tetapi ia masih dapat
mementil secara tepat sekali. Jika kurang tepat sedikit saja, jerijinya bisa terpapas kutung.
Apa yang lebih luar biasa adalah: Ujung Pengpok Hankong kiam yang miring tepat sekali
mengenakan Thiansan Sinbong yang sedang menyambar!
Keng Thian terkesiap dan berkata dalam hatinya: "Ilmunya memedi ini sungguh tinggi!"
Tapi Hiatsintjoe juga tidak kurang kagetnya. Baru saja ia anggap si nona adalah jago
nomor satu di antara orang-orang tingkatan muda. Tidak dinyana, tenaga dalamnya si
pemuda malahan ada lebih tinggi daripada Pengtjoan Thianlie.
Begitu lihat Sinbong tidak mengenai sasarannya, Keng Thian segera cabut Yoeliong
kiam, pedang mustika dari gunung Thiansan, yang dibuat oleh Hoei Beng Siansu dengan
mengambil sarinya lima macam logam utama. Pedang itu keluar dari sarungnya disertai
dengan sinar yang menyilaukan mata dan terus menyambar bagaikan seekor naga yang
memain di tengah udara. Tangannya Hiatsintjoe yang sedang memukul hampir-hampir
saja kena digores ujung Yoeliong kiam. Buru-buru ia putar badannya buat sampok
Pengpok Hankong kiam, akan kemudian menggunakan kedua tangannya buat dorong
pedangnya Keng Thian yang sudah menyambar lagi. Kesiuran angin yang sangat panas
menyambar keras, sehingga Keng Thian terpaksa mundur beberapa tindak.
"Sungguh berbahaya!"
menggercndeng Hiatsintjoe sembari menyerang pula dan kedua kakinya menginjak
kedudukan Ngoheng Patkwa.
Sekarang Tong Keng Thian mendapat tahu, kenapa belum sepuluh jurus, Liong Leng
Kiauvv sudah sengal-sengal napasnya. Ia tentu merasa tidak tahan dengan hawa yang
sangat panas itu.
Lweekang Thiansan pay adalah ilmu tulen dari satu cabang persilatan yang sejati.
Walaupun latihannya Keng Thian masih belum sempurna betul, akan tetapi berkat ajaran
yang teliti dari kedua orang tuanya, begitu lekas ia pusatkan seluruh semangatnya, segera
juga ia dapat melawan hawa panas yang luar biasa itu. Dengan kerja sama antara
Hankong kiam dan Yoeliong kiam, serangan-serangan kedua orang muda itu jadi semakin
berat bagi Hiatsintjoe. Jika satu lawan satu, memang juga Hiatsintjoe menang setingkat.
Tapi dengan dikerubuti dua orang, ia tidak gampang-gampang bisa berada di atas angin
lagi.
Semakin lama, pertempuran jadi semakin seru. Pengtjoan Thianhc yang tidak takuti
hawa panas, terus mendesak dengan pedangnya yang menyambar-nyambar bagaikan
rantai, sehingga mau tidak mau, Hiatsintjoe mesti berkelahi sembari mundur. Sesudah
lewat beberapa jurus, Hiatsintjoe sudah mundur sampai di pinggir tembok dan tak dapat
mundur lebih jauh lagi.
Dalam keadaan yang semakin berbahaya, mendadak di luar terdengar satu suara aneh,
disusul dengan munculnya dua orang dalam gelanggang pertempuran. Mereka itu bukan
lain dari In Leng Tjoe bersama isterinya!
Semangatnya Hiatsintjoe terbangun dan tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi, In Leng
Tjoe suami isteri tidak lantas menyerbu, mereka berhenti di luar gelanggang dan berdiri
nonton.
"Kalau kalian takut dapat urusan, lebih baik jangan datang disini," kata Hiatsintjoe
dengan perasaan mendongkol.
"Toako," kata In Leng Tjoe. "Orang yang sedang berkelahi dengan kau adalah
puteranya Tong Siauw Lan Tayhiap."
Hiatsintjoe berobah parasnya. Mendadak ia tertawa besar dan berkata: "Kalian takut
padanya, tapi aku tak takut. Sungguh percuma kau jadi pemimpin dari satu partai, belum
apa-apa sudah kena dibikin ketakutan oleh namanya Tong Siauw Lan. Baiklah! Jika kau
tak berani langgar orang
Thiansan pay, biarlah aku yang layani." Dengan berkata begitu, Hiatsintjoe bermaksud
supaya In Leng Tjoe berdua pergi layani Pengtjoan Thianlie.
In Leng Tjoe jengah kena disikat begitu, tapi itulah justru ada keinginannya. Ia tertawa
tengal dan berkata buat tutup malu: "Kami bukan takut, cuma sungkan berpandangan
seperti orang dari tingkatan muda."
"Segala orang muda yang kurang ajar, kita pantas mengajar adat," kata Hiatsintjoe.
"Baiklah, hari ini lebih dahulu aku bekuk anaknya Tong Siauw Lan dan kirim dia pulang ke
Thiansan, dengan kasih tegoran kepada ayahnya yang tak mampu mengajar anak."
In Leng Tjoe suami isteri tidak berkata apa-apa lagi dan lantas terjang Pengtjoan
Thianlie sesudah hunus senjatanya. Pertempuran lantas berobah. Kalau tadi Hiatsintjoe
cuma bisa membela diri, sekarang ia lantas saja buka serangan-serangan hebat terhadap
Keng Thian.
Sembari tertawa dingin, Keng Thian lantas robah cara bersilatnya. Yoeliong kiam
diputar seperti titiran dan badannya seperti juga dikurung dengan sinar pedang yang putih.
Itulah ilmu pedang Thaysiebie yang paling liehay dalam Thiansan Kiamhoat, yang
istimewa digunakan jika bertemu dengan lawan yang lebih tinggi ilmunya. Pembelaan
Thaysiebie yang sangat rapat bagaikan tembok tembaga, sukar dapat ditembuskan oleh
orang yang punya kepandaian bagaimana tinggi pun. Tapi ilmu Thaysiebie bukan cuma
buat membela diri. Dalam gerakannya yang laksana kilat, begitu ada tempat kosong, ilmu
itu juga dapat digunakan buat menyerang musuh.
Serangannya Hiatsintjoe semakin lama jadi semakin berat, tapi sesudah lewat kurang
lebih tiga puluh jurus, Keng Thian masih tetap tidak bergeming. Cuma saja, walaupun
tangannya Hiatsintjoe tidak dapat masuk ke dalam tembok pedang, akan tetapi hawanya
yang panas terus menyambar-nyambar, sehingga, meskipun Keng Thian kerahkan
seantero tenaga dalamnya, perlahan-lahan ia mulai merasa tak tahan. Kalau tadi ia dapat
pertahankan diri selama ratusan jurus adalah berkat hawa dingin yang keluar dari
Pengpok Hankong kiam.
Di lain pihak, Pengtjoan Thianlie pun sudah mulai jatuh di bawah angin, cuma
keadaannya masih mendingan sedikit daripada Tong Keng Thian. San Tjeng Nio yang
sangat mendongkol lantaran lihat kecantikannya si nona, terus menerus kirim serangan
membinasakan dengan ikatan pinggangnya. Kedua Poankoan pilnya In Leng Tjoe yang
terutama digunakan buat totok tiga puluh enam jalanan darah, juga terus menyambar-
nyambar seperti rantai, sehingga si nona jadi sangat repot.
Dengan gunakan seantero tenaga dan kepandaian, Keng Thian kembali sudah layani
musuhnya lebih dari lima puluh jurus. Matanya sudah merah dan keringat ngucur dari
badannya. Ia melirik dan lihat Liong Leng Kiauw sedang nyender enak-enakan di tembok
kamar tulisnya. Keng Thian mendongkol berbareng heran, sebab ia tidak melarikan diri,
tapi juga tidak mau membantu. Keng Thian juga lihat Pengtjoan Thianlie sudah kena
didesak oleh dua musuhnya, sehingga hatinya menjadi bingung. Dalam pertempuran
antara ahli-ahli silat kelas satu, pantangan paling besar adalah perasaan bingung atau
gusar. Demikianlah, begitu lekas hatinya bingung, gerakan pedangnya Keng Thian
menjadi kalut dan pada garisan pembelaannya segera terbuka beberapa kekosongan.
Hiatsintjoe tentu saja sungkan sia-siakan kesempatan yang baik. Sambil membentak
keras, ia kirim satu pukulan hebat di antara kekosongan itu. Akan tetapi, mendadak saja
sinar pedang kelihatan tergetar dan bagaikan kembang api, dari atas menyambar ke
bawah. Hiatsintjoe jadi kekunangan, di delapan penjuru ia seperti lihat bayangan orang
dan tak tahu musuhnya berada dimana. la terkesiap, tak berani teruskan pukulannya dan
tarik pulang tangannya buat menjaga diri.
Pada saat itulah, dengan suara "srr, srr," dua Thiansan Sinbong menyambar ke arah
suami isteri In Leng Tjoe. Mereka itu, yang tahu liehaynya senjata rahasia tersebut, buru-
buru loncat minggir, dan dengan gunakan kesempatan tersebut, Keng Thian segera loncat
dan persatukan dirinya dengan Pengtjoan Thianlie.
Pukulan yang barusan dikeluarkan oleh Keng Thian cuma digunakan jika sangat
terpaksa, lantaran banyak juga bahayanya. Namanya pukulan itu adalah Tiansia sengtjie
(Kilat menyambar, bintang mengubar), yaitu satu pukulan dari ilmu pedang Toeihong
(Memburu angin) dari Thiansan Kiamhoat. Pukulan tersebut terdiri dari beberapa puluh
gerakan gertakan, dalam artian, ujung pedang kelihatan bergerak, tapi bukannya benar-
benar menyerang masuk. Oleh karena
bergeraknya luar biasa cepat, maka di matanya musuh, seolah-olah puluhan pedang
menyambar dirinya dari berbagai jurusan. Pukulan ini cuma dapat menyilaukan mata
musuh dan bukan benar-benar dapat melukakan orang. Jika sang lawan mengetahui
siasat tersebut dan terus mengirim serangan, pihak yang menggunakannya bisa jadi
celaka. Sebab keliwat terpaksa, Keng Thian mendadak tukar ilmu pedang Thaysiebie
dengan ilmu pedang Toeihong, dan benar-benar saja, lantaran tak mengenal Thiansan
Kiamhoat, Hiatsintjoe sudah kena dikelabui. Waktu ia sadar, Keng Thian sudah
berdampingan dengan Pengtjoan Thianlie dan mengawasi padanya sembari mesem-
mesem.
Hiatsintjoe jadi seperti orang kalap. Sembari berteriak-teriak, ia menerjang pula, diikuti
oleh suami isteri In Leng Tjoe yang kembali mau coba kepung Pengtjoan Thianlie, tapi
sudah keburu dicegat oleh Tong Keng Thian. Di lain pihak, baru saja badannya Hiatsintjoe
bergerak, sembari mesem tawar Pengtjoan Thianlie lepaskan enam butir Pengpok Sintan
dengan berbareng. Hiatsintjoe menyampok dengan kedua tangannya dan enam Sintan itu
meledak di atas kepalanya dengan berbareng. Hawa dingin lantas menyambar ke empat
penjuru dan badannya Hiatsintjoe seperti juga tertutup uap warna abu-abu yang luar biasa
dinginnya. Biar bagaimana liehay, Hiatsintjoe ternyata masih tidak cukup kuat buat tahan
perledakan enam butir Sintan itu dan mau tidak mau badannya jadi bergidik. Biarpun tidak
sampai mendapat luka di dalam, tapi ia toh rasakan napasnya agak sesak.
Satu perobahan kembali terjadi dalam pertempuran. Biarpun tidak berada di atas angin,
sekarang Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie tidak sampai jadi keteter. Hal ini
disebabkan lantaran adanya Pengpok Hankong kiam yang dapat melawan hawa panas
dari pukulannya Hiatsintjoe dan juga lantaran tenaga dalamnya Hiatsintjoe sudah
mendapat sedikit pukulan, akibat serangan enam butir Pengpok Sintan.

CATATAN

1) Amban, semacam duta sipil, pertama dikirim kc Tibi-i oleh Kaizar Yong Tjeng dalam
tahun
1726 buat damaikan golom-an golongan yang bercekcokan.
2) Menurut sejarah, orang Gurkha menyerang Tibet dalam tahun 1791. Pada tahun
berikutnya, Kaizar Kian Liong kirim dua panglimanya yang paling pandai, yaitu Fu Kang An
(Hok Kong Au) dan Hai Lan Tsa, dengan 10.000 tentara lebih. Mereka usir pasukan
Gurkha sampai di dekat Katmandu (ibukota Nepal) dan kemudian mengadakan
perdamaian dengan syarat-syarat enteng.
3) Khata, atau selendang sutera, adalah barang penting dalam pergaulan di Tibet.
Semuanya ada tiga macam khata. Pertama dari sutera tulen, panjang 12 kaki, lebar 3
kaki, tersulam, dipersembahkan hanya kepada orang-orang yang berkedudukan paling
tinggi, seperti Dalai Lama, Panchen Lama dsb. Yang kedua, juga dari sutera, panjangnya
9 kaki, lebar 3 kaki, digunakan sebagai hadiah di kalangan atas. Yang ketiga, terbuat dari
campuran sutera dan linen, bentuknya banyak lebih kecil, digunakan di kalangan
bawahan.
Cara mempersembahkannya juga tiga cara. Kepada orang atasan, kedua tangan
diangkat sampai ke jidat. Kepada pantaran, diangsurkan secara biasa dan yang memberi
juga menerima khata dari yang diberikan. Kepada orang bawahan, khata itu
diselendangkan di belakang leher.
4) Cerita tentang Kam Hong Tie, Liauw In dan Lu Soe Nio dapat diikuti dalam cerita
Kangouw Sam Liehiap (Tiga Dara Pendekar)
5) Louw Tiong Lian adalah seorang ternama dari negara Tjee, pada jaman Tjiankok. Ia
terkenal sebagai seorang yang suka menolong orang dan damaikan segala percekcokan.
6) Kisah cinta To It Hang dan Pekhoat Molie dan kisah bunga Yoetam Sianhoa dapat
diikuti dalam cerita Giok Lo Sat, Pek Hoat Mo Lie, Tjau Guan Enghiong dan Thian San Tjit
Kiam.
7) Kapan seorang Dalai Lama meninggal dunia, rohnya lahir kembali (reinkarnasi).
Yang menjadi soal adalah cara bagaimana harus mencari Dalai Lama itu dalam
inkarnasinya yang baru. Banyak jalan digunakan untuk meramalkan, akan tetapi yang
lebih dipercaya adalah Naichung (semacam ahli nujum negara) dan visi yang dapat dilihat
di Telaga Lhamo Namtso, yang terletak di sebelah selatan timur Lhasa. Dalam usaha
mencari inkarnasi baru dari Dalai Lama, sesudah bersembahyang, seorang pembesar
tinggi Tibet lantas bersila di pinggir telaga buat tunggu visi. Visi yang
.muncul bisa berupa simbol keagamaan, roman manusia dan scbagainya, yang
belakangan digunakan sebagai petunjuk buat mencari Dalai Lama baru. Dalam usaha itu
sering muncul beberapa calon, sehingga menimbulkan pertentangan. Buat mengakhiri
pertentangan itu, dalam tahun 1792, Kaisar Kian Liong telah memerintahkan penarikan
lotre dari sebuah guci emas, yang dihadiahkan oleh kaisar tersebut. Namanya semua
calon ditulis di atas sepotong kertas yang kemudian dimasukkan kedalam guci, yang
ditaroh di depan patung Sakya Muni dalam Gereja Pusat. Sesudah bersembahyang tujuh
hari, salah satu Amban ambil satu gulung kertas dari dalam guci tersebut dan calon yang
namanya kena diambil dianggap sebagai Dalai Lama
8) Menurut ketahayulan orang Tibet, sesudah meninggal 28 hari, roh yang meninggal
pulang dan harus dibikin Hoeihoentjie (sembahyang roh yang pulang).
9) Adu pedang antara Koei Hoa Seng (ayah Pengtjoan Thianlie) dan Tong Siauw Lan
(Teng Hiau Lan) dan Phang Eng dapat diikuti dalam cerita Kangouw Sam Liehiap (Tiga
Dara Pendekar). Sedangkan perantauan Koei Hoa Seng ke Tibet dan Nepal dapat diikuti
dalam kisah Peng Pok Han Kong Kiam (Pedang Inti Es).

Selagi pertempuran berlangsung dengan hebatnya, di luar mendadak terdengar suara


ribut-ribut dan beberapa saat kemudian, berbareng dengan terbukanya pintu samping,
serombongan pembesar negeri kelihatan masuk. Orang yang jalan paling depan memakai
bulu burung pada topinya dan mengenakan baju makwa warna kuning, sehingga dapat
diketahui, ia itu adalah seorang pembesar sipil dari tingkatan kedua. Di belakangnya
mengikuti tujuh atau delapan pembesar militer, antaranya terdapat Gan Lok, yang
meskipun mukanya sangat pucat, masih dapat pertahankan dirinya.
Pembesar sipil tinggi itu adalah orang yang berkuasa pada bahagian hukum dalam
kantornya Hok Kong An dan kedudukannya bersamaan dengan hakim dari pengadilan
tinggi, namanya Tjong Lok dan masih mempunyai ikatan keluarga dengan kaizar Boan.
Beberapa perwira yang ikut padanya adalah rekan-rekannya Liong Leng Kiauw. Ternyata,
sesudah kena pukulannya Hiatsintjoe, sambil pertahankan diri sekuat tenaga, Gan Lok
terus pergi ke kantornya Hok Tayswee buat memberi laporan dan undang mereka datang
guna memberi pertolongan.
"Siapa kau? Kenapa bikin ribut disini?" membentak Tjong Lok.
Sembari mesem, Keng Thian tarik pulang pedangnya dan bersama Pengtjoan Thianlie
lantas loncat keluar dari gelanggang pertempuran. "Siapa adanya kami, aku rasa sudah
diketahui oleh orang-orang yang ikut padamu," jawab Keng Thian. Beberapa perwira itu
lantas saja kenali mereka dan salah seorang lantas berkata: "Mereka adalah kedua orang
gagah yang telah bantu lindungi guci emas di gunung Tantat san."
Tjong Lok lirik Pengtjoan Thianlie dan lantas tertawa sembari manggut-manggutkan
kepalanya. "Bagus," katanya. "Kalau begitu kalian adalah orang-orang yang berjasa."
Sehabis berkata begitu, ia awasi Hiatsintjoe dan membentak: "Nyalimu benar besar!
Malam-malam berani satroni rumahnya pembesar negeri dan coba lakukan pembunuhan!
Kau betul-betul sudah tidak pandang lagi undang-undang kaizar."
"Undang-undang kaizar?" Hiatsintjoe mengulangi perkataan orang. "Aku justru datang
kemari atas perintah kaizarmu!"
"Andaikata kau seorang Kimtjhee Taydjin (utusan kaizar), kau toh tidak boleh berlaku
begitu kurang ajar!" berteriak Tjong Lok dengan gusar sekali.
Beberapa perwira itu juga naik darahnya dan siap sedia buat lantas turun tangan.
"Orang yang dikirim dari istana, mana bisa begitu biadab," kata satu antaranya. "Kalau dia
benar terima perintahnya kaizar, tak mungkin tidak diketahui oleh Hok Tayswee," sahut
yang lain.
Bukan main gusarnya Hiatsintjoe yang lantas saja lemparkan surat perintah yang ia
dapat dan Tjongkoan istana. Melihat surat perintah itu tulen adanya, Tjong Lok jadi
terkesiap dan suaranya lantas berobah lunak. "Tapi, apa maksudnya kalian datang
kemari?" tanya ia.
"Orang itu sangat mencurigakan," jawab Hiatsintjoe sembari tuding Liong Leng Kiauw.
"Belasan tahun dia malang melintang di Tibet, kenapa kau orang tidak mengetahui,
sampai kaizar sendiri yang mesti turun tangan. Kau orang malu atau tidak?"
"Dusta Taydjin," berkata Leng Kiauw dengan suara dingin. "Mereka bertiga adalah
manusia-manusia busuk dalam Rimba Persilatan dan dahulu mempunyai ganjelan pribadi
dengan aku. Sekarang, sesudah dapat masuk ke dalam kalangan istana, mereka mau
gunakan kedudukannya buat membalas sakit hati pribadi dan palsukan perintah kaizar.
Coba Taydjin tanya, apakah mereka mempunyai surat perintah buat menangkap aku?"
Terhadap Liong Leng Kiauw, istana Tjeng sebenarnya cuma bercuriga dan sama sekali
belum mengetahui siapa adanya ia dan apa kesalahannya. Maka itu, Tjongkoan istana
cuma menyampaikan perintah rahasia kaizar yang ingin supaya asal-usulnya Liong Sam
diselidiki sampai terang dan sama sekali bukannya surat perintah menangkapnya.
Hiatsintjoe terkejut dan lantas menyahut dengan sembarangan: "Apa perlunya segala
surat perintah, sedang yang mau dibekuk cuma seorang yang pangkatnya begitu kecil?"
Sebagai seorang yang ulung dalam kalangan pembesar negeri, Tjong Lok jadi merasa
sangat bimbang. Jika Hiatsintjoe tidak berdusta, ia bisa mendapat dosa besar atas
tuduhan melindungi tangkapan kaizar. Tapi, jika Hiatsintjoe main gila dan ia biarkan saja
Liong Leng Kiauw dibekuk, Hok Tayswee tentu akan gusar sekali. Walaupun Leng Kiauw
berpangkat rendah, siapa juga mengetahui, bahwa ia itu adalah tangan kanannya Hok
Tayswee yang sangat disayang.
Sesudah berpikir beberapa saat, Tjong Lok segera ambil jalan yang paling selamat.
"Hok Tayswee adalah orang yang sangat berpengaruh dan disayang oleh kaisar," katanya
di dalam hati. "Biarlah dia saja yang memutuskan." Siasat kelit dan timpakan tanggung
jawab ke pundak lain orang adalah semacam modal yang sangat dikenal dalam kalangan
pembesar Tjeng.
Sesudah memikir begitu, ia lantas berkata: "Kalian masing-masing mempunyai alasan
sendiri-sendiri, sehingga aku juga merasa sukar buat memutuskannya Akan tetapi, semua
urusan di Tibet, menurut perintah Kaizar berada di bawah kekuasaan Hok Tayswee. Jika
benar kalian datang disini buat menangkap orang, menurut pantas kalian lebih dahulu
harus melaporkan kepada Hok Tayswee. Baiklah, besok pagi semua orang ikut aku pergi
menghadap Hok Tayswee dan sekarang aku larang kalian bertempur lagi."
Meskipun Hiatsintjoe beradat angkuh, akan tetapi ia masih indahkan juga pangkatnya
Tjong Lok. Maka itu, ia lantas menyetujui dengan berkata: "Baiklah, aku rasa Hok Tayswee
pun tak nanti mau lindungi orang yang mau ditangkap oleh Kaizar."
Tjong Lok berpaling kepada Pengtjoan Thianlie seraya berkata: "Kedua giesoe (orang
gagah) juga aku harap suka datang bersama-sama buat menjadi saksi."
"Siapa mau begitu banyak rewel," sahut si nona.
Keng Thian tertawa dan berkata sembari membungkuk: "Kami berdua adalah rakyat
pegunungan yang tidak biasa bertemu dengan pembesar negeri. Maka itu, kami harap
Taydjin suka bebaskan kami dari tugas tersebut dan sekarang juga kami ingin pamitan."
Sehabis berkata begitu, ia jejak kedua kakinya dan badannya lantas melesat, diikuti oleh
Pengtjoan Thianlie. Ketika menengok di waktu hinggap di atas tembok, Keng Thian lihat
Leng Kiauw manggutkan kepalanya sembari tertawa, dengan sorot mata yang
mengandung perasaan berterima kasih.
Hatinya Keng Thian jadi semakin tidak mengerti dan di sepanjang jalan terus putar
otaknya. "Liong Loosam boleh dibilang satu manusia jempolan, cuma kenapa ia tak
mau singkirkan diri?"
kata Pengtjoan Thianlie.
"Aku lihat ia adalah seorang yang bijaksana sekali," sahut Keng Thian. "Sesudah
urusan ini jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An, keadaan akan jadi berobah baik."
Mereka omong-omong sembari jalan dan tidak lama kemudian sudah tiba di kakinya
Gunung Anggur. Penerangan Keraton Potala pancarkan sinarnya sampai ke lapangan
yang terletak di kaki gunung, dimana Yoe Peng disuruh tunggu majikannya.
Jauh-jauh mereka lihat di kaki gunung terdapat dua bayangan hitam yang sangat
berdekatan satu sama lain, seperti sedang bicara dengan suara perlahan.
"Dilihat dari bayangannya, orang itu seperti lelaki," kata Pengtjoan Thianlie sembari
tertawa. "Kenapa Yoe Peng kelihatan begitu rapat?" Dengan tindakan perlahan Pengtjoan
Thianlie mendekati dan segera juga ia dapat dengar suaranya sang dayang: "Kongtjoe
bilang buat sementara tidak balik dahulu ke keraton es. Katanya, mau pergi ke Soetjoan.
Mungkin sekali aku akan diajak dan mulai dari sekarang, kita lebih sukar bertemu muka
lagi."
"Jika kau bertemu dengan Chena, aku mohon kau pesan ia pergi ke Sakya buat
menemui aku," kata bayangan hitam yang lain.
"Apakah kau cuma pikiri Chena Tjietjie seorang?" kata Yoe Peng sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie merasa sangat geli dan tanpa merasa ia jadi tertawa.
"Ada orang!" kata bayangan hitam itu sembari loncat dan raba gagang pedangnya, tapi
Pengtjoan Thianlie sudah mendahului loncat keluar dan berkata sembari tertawa: "Thian
Oe, ilmumu benar sudah maju jauh. Apakah itu semua curian dari keraton es?"
Bayangan hitam itu memang juga Thian Oe adanya Ia juga dapat dengar, bahwa Liong
Leng Kiauw telah menemui urusan sulit dan ia sengaja datang buat coba menyelidiki. Tapi
baru saja tiba di kaki gunung, ia sudah bertemu dengan Yoe Peng yang memberitahu,
bahwa majikannya bersama Tong Keng Thian sudah pergi ke rumahnya Liong Sam.
Mendengar begitu, hatinya Thian Oe menjadi lega dan ia segera pasang omong dengan
sahabatnya itu. Thian Oe dan Yoe Peng pandang Pengtjoan Thianlie dan Keng Thian
seperti dewi dan dewa dan mereka yakin, bahwa dengan bantuan kedua orang itu, segala
urusannya Liong Sam akan segera dapat dibikin beres. Mereka sama sekali tidak nyana,
bahwa persoalan Leng Kiauw mempunyai latar belakang yang sedemikian sulit.
Thian Oe kaget bukan main waktu lihat munculnya Pengtjoan Thianlie. "Aku sangat
berhutang budi dengan gurumu dan tidak akan dapat membalasnya," kata si nona dengan
suara terharu. "Biarpun tanpa permisi, kau sudah belajar ilmu silatku, akan tetapi,
mengingat hal itu terjadi sesudah gempa bumi dan juga lantaran kau belajar dengan
tujuan menyelamatkan ilmu silatku, maka aku tidak salahkan padamu. Aku cuma mau
tanya, perlu apa kau datang kemari?"
"Bagaimana dengan keselamatannya Liong Sam Sianseng," Thian Oe balas tanya.
"Aku lihat, ia adalah seorang baik. Apakah kalian sudah membantu ia?"
Ketika itu Tong Keng Thian sudah muncul dan ia berkata sembari tertawa: "Anak ini
mempunyai hati yang hangat."
"Akan tetapi, kau lebih baik jangan campur-campur urusan ini," kata Pengtjoan
Thianlie.
Mendengar itu, Thian Oe jadi tercengang.
"Kali ini ayahmu telah berpahala besar dan tentu akan sangat dihargai oleh Hok Kong
An dan Hosek Tjin-ong," kata lagi Keng Thian. "Kalau nanti diberi hadiah, aku rasa paling
sedikit ia akan dapat pulang pangkatnya yang dahulu, sehingga kau, ayah dan anak, bisa
pulang ke negeri sendiri."
Tan Teng Kie, ayahnya Thian Oe dahulu berpangkat Tjiesoe di kota raja. Oleh karena
berani menentang dorna Ho Koen di hadapan kaisar, belakangan ia disingkirkan ke Tibet
dan sampai sekarang sudah ada sepuluh tahun. Tak usah dibilang lagi, ayah dan anak
sangat kangen dengan kampungnya dan berharap-harap satu ketika akan dapat
kesempatan buat pulang kembali ke Tiongkok. Keng Thian berkata begitu lantaran tahu
rahasia hatinya Teng Kie dan puteranya.
Thian Oe tertawa getir dan berkata: "Ho Koen sedang disayang dan pengaruhnya besar
sekali, maka itu, manalah kami bisa pulang dengan gampang-gampang. Ayahku benar
sudah dapat kembali pangkatnya, cuma sayang bukannya pangkat Tjiesoe."
"Pangkat apa?" tanya Keng Thian.
"Pangkat Soanwiesoe pada sekte Sakya," sahutnya. "Hok Tayswee sudah menyetujui
buat bikin betul kantor Soanwiesoe dan kirim satu pasukan tentara guna antar ayah balik
ke Sakya. Aku rasa, beberapa hari lagi kami sudah harus berangkat. Kepada ayah, Hok
Tayswee telah berkata begini: 'Di Sakya kau sudah kehilangan serdadu dan kehilangan
muka, sehingga sebenarnya kau berdosa. Jasamu di ini kali digunakan buat menebus
dosa itu dan dalam hal ini, Kaizar sudah bersikap sangat longgar terhadapmu. Maka itu,
pergilah ke Sakya dan bekerja baik-baik untuk dua tiga tahun lagi. Waktu itu aku akan
majukan usul kembali, supaya kau bisa dipermisikan pulang.' Demikian katanya Hok
Tayswee. Hm! Ayahku bisa bilang apa lagi? Ia cuma bisa menurut perintah."
"Hai!" Keng Thian menghela napas. "Aku tak nyana, dalam kalangan pembesar Tjeng,
hadiah dan hukuman diberikan secara begitu serampangan! Tapi pekerjaan di Sakya toh
bukannya pekerjaan terlalu berat, sedang kalian sudah berdiam disana kurang lebih
sepuluh tahun lamanya, maka apa sebab kau kelihatannya begitu jengkel?"
Thian Oe tidak menjawab, la cuma kerutkan kedua alisnya.
"Kau tak tahu!" Yoe Peng mendadak menyeletuk sembari tertawa. "Touwsoe di Sakya
ingin rangkap puterinya dengan ia, sedang anak tolol itu sudah penuju lain orang, la tentu
kuatir rewel lagi, kalau balik ke Sakya. Anak goblok! Lain orang mau, tapi tidak bisa,
kenapa juga kau begitu susah-susah hati!"
Sebagaimana diketahui, Yoe Peng pernah bergaul rapat sekali dengan Thian Ce,
sehingga ia jadi mengetahui segala isi hatinya anak muda itu. Paras mukanya Thian Oe
jadi merah seperti kepiting direbus, ketika dengar si nakal buka rahasia.
Pengtjoan Thianlie jadi turut tertawa dan berkata: "Aku kira urusan apa, tak tahunya
segala urusan kecil. Apa kau tidak punya kaki? Kalau tak mau, apa kau tak bisa kabur?"
Si nona omong seenaknya saja lantaran, ia tak tahu seluk-beluknya kalangan
pembesar yang
sulit sekali. Buat Thian Oe, perkataannya Pengtjoan Thianlie malah telah menambah
kejengkelannya.
"Kau pulang saja," kata Keng Thian. "Mari! Aku ajarkan kau satu siasat yang sangat
baik!" Ia tarik tangannya Thian Oe dan bicara dengan bisik-bisik di kuping orang.
"Hm! Kau memang paling senang main gila!" kata Pengtjoan Thianlie. "Siasat busuk
apa yang kau ajarkan padanya, sampai takut didengar orang?"
"Rahasia langit tak boleh dipecahkan!" Keng Thian nyengir. "Siasatku ini tak boleh
didengar oleh kalian."
"Siapa kesudian!" kata si nona sembari merengut.
Benar saja, sesudah dibisiki Keng Thian, parasnya Thian Oe jadi lebih terang. "Tapi,
Omateng pun sangat sukar dihadapinya," kata ia.
"Jangan takut," membujuk Keng Thian. "Ilmu silatmu sekarang sudah bukan
tandingannya Omateng lagi. Kau cuma perlu berlaku sedikit hati-hati buat jaga segala akal
busuknya."
Ketika itu, sang rembulan sudah selam ke barat, sedang di tepi langit sebelah timur
sudah kelihatan sinar terang. Oleh karena kuatir ayahnya buat pikiran, Thian Oe lantas
saja pamitan dengan tiga sahabatnya itu.
Keng Thian ulap-ulapkan tangan sampai anak muda itu berjalan jauh, sedang Yoe Peng
mengawasi kawannya sambil berdiri bengong dengan paras muka sedih.
"Anak otak!" kata Pengtjoan Thianlie sembari tertawa. "Satu anaknya Touwsoe saja
sudah bikin dia jadi ubanan, apa kau mau tambah kejengkelannya lagi?"
"Kongtjoe, kau sungguh jail!" kata Yoe Peng sembari monyongkan mulutnya.
Pada waktu mereka bertiga tiba di pusatnya kota Lhasa, langit sudah terang dan orang-
orang yang pada pelesir seluruh malam sudah pada bubar.
Tiga hari kemudian, mereka tinggalkan Lhasa buat teruskan perjalanan ke Sinkiang.
Selama tiga hari itu, mereka menyelidiki persoalannya Liong Leng Kiauw dan dapat tahu
perkaranya sudah jatuh ke dalam tangannya Hok Kong An. Buat sementara waktu Liong
Sam ditahan dalam penjara sebab Hok Kong An mau tanyakan dahulu pikirannya kaizar,
dan perjalanan pergi pulang ke kota raja akan meminta tempo setengah tahun. Sebab
mengetahui keselamatannya Leng Kiauw sudah terjamin, maka Keng Thian bertiga lantas
berangkat dengan hati lega.
Ketika itu adalah permulaan musim semi. Meskipun salju belum lumer semuanya, akan
tetapi jalanan sudah lebih gampang dilintasi. Sesudah berjalan sepuluh hari lebih, mereka
sudah lewati wilayah Tibet dari sebelah selatan dan masuk ke dalam daerah Sinkiang.
Keadaan bumi jadi berobah. Mereka sekarang berada di lautan pasir kuning dengan
gunung yang berderet-deret "Tiongkok benar-benar besar," kata Pengtjoan Thianlie sambil
menghela napas. "Gunung apakah itu yang puncaknya menjulang awan?"
"Itulah gunung Thiansan yang kesohor dalam dunia," jawab Keng Thian. "Deretan
gunung yang berada di sekitar ini semuanya adalah cabang-cabangnya
Thiansan yang panjangnya lebih dari tiga ribu li. Jarak antara puncak selatan dan
puncak utara ada kira-kira seribu li."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya sedang gembira, tapi begitu lekas ia dengar
disebutkannya Thiansan, parasnya lantas jadi berobah, tapi tak dapat dilihat oleh Keng
Thian yang lantas berkata lagi: "Dari sini kalau jalan terus ke jurusan timur, orang bisa
masuk ke dalam propinsi Kamsiok, dan dengan mengikuti jalanan canto (jalanan gunung
dengan jembatan-jembatan kayu buat lewati jurang-jurang) yang dahulu dibuat oleh Kaisar
Lauw Pang (pendiri kerajaan Han), orang bisa
lantas masuk ke Soetjoan barat. Kalau kita terus ambil jalanan ke arah utara, kita bisa tiba
di gunung Thiansan. Peng Go Tjietjie, apakah kau tak mau jalan-jalan dahulu di
Thiansan?"
Mendadak saja, Pengtjoan Thianlie tertawa tawar. "Apakah kau kira semua orang yang
belajar ilmu silat harus berziarah di gunung Thiansan-mu?" katanya dengan suara kaku.
"Eh, eh. Kenapa kau kata begitu?" kata Keng Thian dengan perasaan heran.
"Bukankah mendiang ayahmu pun berasal dari partai Thiansan? Kenapa kau jadi bicara
begitu?" Si nona tak menjawab, sehingga Keng Thian jadi lebih bingung lagi.
Dalam perjalanan di padang pasir, puluhan li tidak bertemu manusia adalah kejadian
yang lumrah. Hari itu, sesudah jalan kurang lebih seratus li, Keng Thian bertiga cuma
dapat menemukan sebuah bukit yang dapat menahan angin dan pasir. Mereka lalu
pasang tenda di kakinya bukit itu, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng satu tenda, sedang
Keng Thian pasang tendanya di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li.
Malam itu, Pengtjoan Thianlie tak dapat tidur pulas dengan rupa-rupa pikiran datang
padanya berganti-ganti. Lantaran begitu, ia lalu pasang omong dengan dayangnya dan
goda Yoe Peng dengan mengatakan ia itu agaknya tak dapat berpisah dengan Thian
Oe. Yoe Peng membantah dan lalu balas goda majikannya, yang dikatakan sudah jatuh
cinta kepada Keng Thian.
Selagi mereka enak bercanda, dari kejauhan mendadak terdengar suara: "Uh! Uh!"
Pengtjoan Thianlie berobah parasnya dan lalu pasang kuping. Suara itu aneh
kedengarannya, mirip-mirip suara terompet tanduk, tapi juga seperti suara semacam
tetabuhan Nepal.
"Aku mau pergi lihat! Kau jangan bikin kaget Tong Siangkong," kata si nona sembari
sembat Pengpok Hankong kiam dan lalu loncat keluar dari tenda.
Sesudah lari kira-kira delapan li, Pengtjoan Thianlie lihat beberapa orang sedang
bertempur hebat di atas sebidang tanah rumput. Sesudah datang dekat, ia kenali, bahwa
mereka itu adalah dua boesoe Nepal yang sedang ukur tenaga sama dua saudara Boe.
Kedua boesoe itu bersenjata golok berbentuk bulan sisir, yang bagian atas gagangnya
kosong melompong, sehingga
mengeluarkan suara "uh, uh," setiap kali digerakkan. Saat itu, kedua boesoe itu sudah
kena didesak hebat oleh Boe-sie Hengtee yang pedangnya menyambar-nyambar
bagaikan kilat.
Begitu lihat kedatangannya Pengtjoan Thianlie, dua boesoe itu lantas berseru dalam
bahasa Nepal dan dijawab oleh si nona dalam bahasa itu juga, yang tidak dimengerti oleh
kedua saudara Boe.
Boe Loodjie yang adatnya berangasan lantas saja berteriak: "Hei! Kalau mau bicara,
nanti saja bicara sama Giam Loo-ong!" Sehabis membentak, ia menyabet dengan
pedangnya yang sambar batang lehernya boesoe yang barusan bicara. Saat itu goloknya
justru kena disampok oleh Boe Lootoa, sehingga ia tidak dapat menangkis lagi pedangnya
Boe Loodjie. Pada detik yang sangat berbahaya, Pengtjoan Thianlie mendadak berteriak:
"Tahan!" Sungguh cepat gerakannya si nona! Berbareng dengan bentakannya, pedangnya
sudah menyambar, sehingga kedua saudara Boe terpaksa loncat mundur.
"Perempuan siluman!" mereka membentak. "Kalau tidak dihajar, kau tentu kira di
Tiongkok tidak ada orang yang bisa takluki padamu!"
Berbareng dengan itu, pedangnya kedua saudara Boe sambar dadanya Pengtjoan
Thianlie dengan satu gerakan Tianghong koandjit (Bianglala tembuskan matahari), yaitu
pukulan membinasakan dari kiamhoat Tjionglam pay. Si nona merasa gusar sekali,
sehingga alisnya jadi berdiri. Mendadak, sembari empos semangatnya, ia getarkan
Hankong kiam yang berobah jadi seperti puluhan batang pedang. Boe-sie Hengtee
terkesiap dan buru-buru loncat ke samping buat hindarkan diri dari sambaran itu. Mereka
tak nyana, serangan Tianghong koandjit yang sedemikian hebat sudah dapat dipunahkan
secara begitu gampang.
Tapi si nona tidak berlaku kejam. Melihat musuhnya mundur, ia tidak susul dengan lain
serangan yang membinasakan. Ketika itu, kedua boesoe Nepal sudah berlutut di atas
tanah, dengan tak hentinya bicara dalam bahasanya. Sembari putar pedangnya buat
tangkis sesuatu serangan, Pengtjoan Thianlie juga ucapkan beberapa perkataan dalam
bahasa Nepal. Sesudah mendengar perkataannya kedua boesoe itu, paras mukanya si
nona yang tadi mengandung kegusaran, jadi berobah sabar sampai akhirnya ia
manggutkan kepalanya sembari mesem.
Di lain pihak, Boe-sie Hengtee jadi meluap darahnya dan mereka menyerang mati-
matian seperti orang kalap. Harus diketahui, bahwa mereka adalah turunan ahli silat kelas
utama dan biasanya mereka merasa sangat bangga dengan kepandaiannya yang
dianggap sudah tinggi sekali. Bahwa sekarang si nona layani mereka sembari bicara,
seolah-olah tidak memandang sebelah mata, oleh mereka dianggap seperti satu hinaan
yang sangat besar.
Melihat kedua lawannya menyerang seperti kerbau gila dengan pukulan-pukulan yang
sangat hebat, Pengtjoan Thianlie merasa agak terkejut dan tidak berani lagi melayani
secara sembarangan. Ia putar pedangnya seperti titiran dan badannya seperti juga
dikurung dengan sinar putih yang sangat dingin. Mendadak, sembari kebaskan tangannya
Pengtjoan Thianlie ucapkan beberapa perkataan Nepal dan kedua boesoe itu, seperti
orang hukuman yang dapat pengampunan, manggut-manggutkan kepalanya beberapa
kali, akan kemudian bangun berdiri dan terus kabur secepat mungkin. Boe-sie Hengtee
mau mengubar, tapi ditahan oleh si nona
Tiba-tiba Pengtjoan Thianlie tertawa sembari menyampok dengan pedangnya, sehingga
kedua saudara Boe rasakan tangannya kesemutan dan loncat mundur beberapa tindak.
"Aku sudah perintah dua boesoe itu pulang ke negerinya dan kalian pun lebih baik
pulang saja," katanya dalam bahasa Han, dengan suara halus, tapi mengandung nada
memerintah.
Sebagai turunan ahli silat kelas utama, dalam kalangan Kangouw, Boe-sie Hengtee
biasanya disegani orang dan kecuali beberapa orang dari tingkatan tua, siapapun tak
berani berlaku kurang ajar di hadapan mereka. Maka itu, walaupun si nona bicara halus,
mereka lantas saja menjadi gusar.
"Dua bangsat itu datang kemari buat mengacau dan kau sudah berani lepaskan
mereka,"
membentak Boe Lootoa. "Sekarang, biarpun kau mau kabur, kami tak akan permisikan
lagi."
"Siluman perempuan!" Boe Loodjie sambung perkataan saudaranya. "Aku memang
sudah lihat, kau bukannya orang baik-baik. Tong Keng Thian sekarang tidak berada di
dampingmu. Kau mau cari dia buat mintakan ampun juga sudah tidak keburu lagi!"
Mendengar cacian itu, keruan saja si nona lantas menerjang pula.
Pada waktu Pengtjoan Thianlie rebut guci emas, ia telah perintah supaya boesoe-
boesoe Nepal itu segera pulang ke negerinya dan jangan mengacau lagi di Tiongkok.
Maka itu, ketika baru bertemu, ia merasa gusar lantaran anggap, mereka berdua sudah
langgar perintahnya. Akan tetapi, sesudah menanya terang, ia dapat kenyataan mereka
bukannya melanggar perintah. Mereka datang di Sinkiang buat samper beberapa
kawannya yang dikirim oleh Raja Nepal, guna pulang bersama-sama. Apa mau, di tengah
jalan mereka bertemu dengan kedua saudara Boe, yang duga mereka mengandung
maksud kurang baik. Dengan nasehatkan supaya Boe-sie Hengtee pulang saja, si nona
sebenarnya bermaksud baik dan tidak mau permusuhan jadi berlarut-larut.
Sebagai seorang yang adatnya tinggi, bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie
mendengar cacian itu yang bawa-bawa juga namanya Tong Keng Thian. Sesudah
bertempur lagi beberapa lama, sembari berseru keras, kedua saudara Boe pentang
langkah seribu, dengan tak hentinya memaki "perempuan siluman."
"Binatang tak kenal mampus!" kata si nona dalam hatinya. "Dengan pandang mukanya
Keng Thian, aku tidak ambil jiwa anjingmu. Tapi, kau mesti dihajar adat!" Ia empos
semangatnya dan terus mengubar. Begitu menyandak, ia totol bebokongnya kedua
saudara Boe dengan Hankong kiam dan hawa dingin yang sangat hebat meresap ke
tulang-tulang. Boe-sie Hengtee seperti juga tahu si nona tidak akan turunkan tangan jahat
dan begitu Hankong kiam menotol, mereka lantas berbalik buat menyampok dengan
pedangnya akan kemudian lari lagi. Sesudah ubar-ubaran lima enam li, beberapa kali
bebokongnya Boe-sie Hengtee kena ditotol, sehingga perlahanlahan mereka merasa tidak
tahan lagi dan gemetar sekujur badannya.
"Masih berani memaki?" tanya si nona* sembari tertawa.
Sekonyong-konyong kedua saudara Boe bersiul keras dan berbareng dengan itu, dari
atas satu gundukan tanah loncat keluar satu wanita muda. Di bawah sinarnya rembulan,
dapat dilihat ia memakai pakaian warna ungu dengan satu tusuk konde emas pada
rambutnya, parasnya cantik bagaikan gambar dan tertawanya manis seperti bunga yang
baru mekar.
"Ah, dua bocah ini sekarang kena tubruk tembok," katanya sembari tunjuk kedua
saudara Boe. "Betul bikin malu orang! Hayo lekas mundur!"
"Kouwkouw (bibi)," kata kedua saudara Boe. "Perempuan siluman itu sangat liehay.
Hati-hati! Lebih baik undang Loodjinkee (orang tua)."
"Omong kosong!" membentak si Kouwkouw itu. "Lekas mundur! Masa buat urusan
begini kecil mesti seret-seret tangan orang tua?"
Dilihat dari paras mukanya, nona itu belum cukup berusia dua puluh tahun dan banyak
lebih muda dari Boe-sie Hengtee. Tapi didengar dari panggilan kedua saudara Boe, ia
mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari mereka itu.
Melihat munculnya orang baru, Pengtjoan Thianlie segera hentikan tindakannya. Si
nona mengawasi Pengpok Hankong kiam seperti lagaknya satu bocah nakal dan berkata
sembari tertawa: "Pedangmu bagus sekali, mengkilap kredepan. Boleh dibuat main?
Dibuat dari apa sih?"
Tanpa merasa, Pengtjoan Thianlie jadi tertawa. "Pedang ini bukan barang mainan,"
katanya. "Aku suka hadiahkan padamu, tapi kau tentu tidak akan dapat pegang padanya.
Siapa kau?"
"Kenapa tak dapat?" kata si nona. "Ibu! Boleh aku ambil barangnya lain orang?"
Pengtjoan Thianlie terkejut dan ketika ia menengok, di atas gundukan tanah sudah
berdiri seorang wanita usia pertengahan yang mengenakan pakaian warna hitam dan
rambutnya diikat dengan sutera putih yang merupakan dua kupu-kupu. Pengtjoan Thianlie
terkesiap, la kagum, lantaran tanpa terdengar suara apa-pun, tahu-tahu nyonya itu sudah
berdiri disitu. Nyonya itu mengawasi padanya sembari mesem dan lagaknya tidak berbeda
dengan si nona muda. "Ada ibunya, ada anaknya," kata Pengtjoan Thianlie dalam hatinya.
"Coba lihat, ia mau apa."
"Bwee-djie (anak Bwee)," kata si nyonya sembari tertawa. "Kepandaiannya Tjietjie itu
ada lebih tinggi daripada kau. Jika tak percaya, coba jajal. Kau tak akan dapat ambil
barangnya. Eh, Toa-boe, Siauw-boe, kenapa kau orang jadi berkelahi dengan ia?"
Boe-sie Hengtee maju mendekati dan bicara panjang lebar, antaranya terdengar
perkataan "perempuan siluman" yang diucapkan keras-keras dan rupanya disengaja
supaya dapat didengar oleh Pengtjoan Thianlie.
Pengtjoan Thianlie jadi gusar sekali, tapi sebelum sempat unjuk kegusarannya, si gadis
muda sudah berkata: "Ibu, kau selalu tidak memandang mata padaku. Aku bukan anak-
anak lagi. Cobalah aku jajal-jajal." Ia berpaling kepada Pengtjoan Thianlie dan berkata
sembari tertawa: "Tjietjie, pinjam pedangmu. Bolehkah?"
Mendadakan saja, ia loncat tinggi dan lalu menubruk dari tengah udara dalam gerakan
yang luar biasa cepatnya. Pengtjoan Thianlie terkejut dan menyabet dengan pedangnya.
"Ah, benar saja tak kena!" kata si gadis. Tiba-tiba, ia putar badannya yang masih
berada di tengah udara, tangan kirinya coba tepuk pundaknya Pengtjoan Thianlie, sedang
lima jerijinya tangan kanannya coba cekal ugal-ugalannya Peng Go.
Ilmu entengi badannya Pengtjoan Thianlie sudah jarang terdapat dalam dunia, akan
tetapi, ilmunya gadis itu, yang dapat menubruk bulak-balik seperti burung di tengah udara,
lebih-lebih mengherankan. Tiga kali Pengtjoan Thianlie menyabet dengan Hankong kiam,
tapi selalu dapat dikelit secara gampang sekali.
Sembari loncat pergi datang dan melesat ke sana-sini, seperti kupu-kupu berterbangan
di antara bunga-bunga, gadis itu kelit sabetan-sabetannya Hankong kiam, dengan
tangannya saban-saban menyambar buat coba rebut pedang tersebut.
"Sungguh indah gerakanmu!" memuji Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
"Bagus! Bagus sekali!" memuji wanita setengah tua itu. "Bwee-djie hati-hati! Itulah
Tatmo Kiamhoat!"
Ketika itu Pengtjoan Thianlie sudah mulai menyerang dengan pukulan-pukulan Tatmo
Kiamhoat yang terlebih hebat dan Hankong kiam menyambar-nyambar seperti hujan dan
angin. Lewat lagi beberapa saat, si gadis mulai kelihatan keteter. Melihat begitu,
Pengtjoan Thianlie yang memang tidak bermaksud jahat, lantas mau hentikan
serangannya, akan tetapi, sebelum ia tarik pulang pedangnya, gadis itu sudah berseru:
"Dengan tangan kosong aku tak dapat menangkan kau. Sekarang aku mau gunakan
pedang!" Berbareng dengan perkataannya itu, ia putar Imdannya di tengah udara dan
tahutahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang pendek yang mengeluarkan sinar
berkredepan.
Ketika itu, Pengtjoan Thianlie sedang menyerang dengan gerakan Tjoenhong kiattang
(Angin musim semi buyarkan kedinginan) dan ujung pedangnya sambar kedua matanya
gadis itu.
Mendadak gadis itu menyampok dengan pedangnya dan terus menikam ke arah perutnya
Pengtjoan Thianlie. Buru-buru Pengtjoan Thianlie putar tangannya dan membuat satu
lingkaran dengan pedangnya, dengan tujuan menggulung pedang lawannya. Tapi, siapa
nyana, kiamhoat-nya gadis itu tidak menurut peraturan yang biasa. Terang-terangan,
barusan ia menikam ke arah perut, tapi setahu bagaimana, ujung pedangnya miring
sedikit dan sambar dada! Bukan main kagetnya Pengtjoan Thianlie yang lantas sedot
napasnya dan otot dadanya "melesak" kira-kira satu dim dalamnya. Saat itu, ujung pedang
si gadis sudah menyentuh bajunya Pengtjoan Thianlie. Mendadak ia rasakan ujung
pedang seperti juga menikam kapas dan tenaga pedang sudah kena dibikin buyar,
sehingga ia jadi terkesiap!
Pada saat itulah, Pengtjoan Thianlie balik tangannya dan kirim pukulan Kisoei lengpeng
(Air membeku menjadi es), yang meskipun menyambarnya kelihatan enteng, disertai
tenaga dalam yang sangat kuat. Pengtjoan Thianlie duga gadis itu tidak akan dapat
menyambut pukulannya dan benar saja, ia lantas loncat mundur dua tindak dan kemudian
barulah menyambut dengan gerakan Hoeitouw imsan (Loncat melewati gunung).
Hoeitouw imsan adalah satu pukulan biasa dari ilmu pedang Boetong yang dikenal baik
oleh Pengtjoan Thianlie. "Kau tak boleh gunakan pukulan itu," katanya sembari tertawa.
"Buat sambut seranganku, kau harus gunakan pukulan Hoayong kiatto (Di Hoayong
mencegat jalanan)." Dengan pukulan Hoeitouw imsan, si penyerang harus lebih dahulu
menikam dua kali ke sebelah kiri dan kemudian menikam satu kali ke sebelah kanan. Dua
tikaman yang pertama cuma gertakan dan tikaman yang ketiga barulah serangan yang
benar-benar. Oleh Karena mengetahui jalannya pukulan tersebut, Pengtjoan Thianlie
segera majukan dirinya buat tutup bagian kirinya, supaya dua tikaman gertakan menjadi
buyar dan tak dapat menikam lagi ke sebelah kanan. Tapi tak dinyana, gerakannya gadis
itu benar-benar luar biasa. Barusan, terang-terangan ia menikam dengan gerakan
Hoeitouw imsan, tapi tak diduga, begitu ujung pedangnya menyambar, arahnya lantas
berobah, yaitu menikam beruntun dua kali dari sebelah kanan.
Dalam pertempuran antara ahli dan ahli, yang paling berbahaya adalah taksiran yang
salah. Saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah majukan dirinya dan perhatiannya ditujukan ke
sebelah kiri, sehingga bagian kanannya jadi terbuka. Buat menangkis dengan Hankong
kiam sudah tidak keburu lagi. Si gadis mesem dan coba sabet putus ikatan pinggangnya
Pengtjoan Thianlie.
"Bwee-djie, hati-hati!" mendadak si wanita setengah tua berteriak. Saat itu, ikatan
pinggangnya Pengtjoan Thianlie mendadak berkibar dan gulung gagang pedangnya si
gadis!
Barusan, jika gadis itu benar-benar menikam, Pengtjoan Thianlie pasti akan mendapat
luka. Tapi ia memang tidak mempunyai niatan kurang baik. Melihat ikatan pinggangnya
Pengtjoan Thianlie yang sangat indah, dalam kenakalannya, ia ambil putusan buat
putuskan ikatan pinggang itu. Tenaga dalamnya Pengtjoan Thianlie ada banyak lebih
tinggi daripada gadis itu. Semua bagian badannya sudah terlatih baik dan otot-ototnya
secara otomatis menurut segala kemauannya. Pada detik si gadis sedikit bersangsi, ia
sudah keburu kerahkan tenaga dalam di pinggangnya dan ikatan pinggang itu lantas
berobah menjadi senjata yang kebut dan gulung pedang sang lawan. Baik juga si gadis
sudah diperingati oleh ibunya, sehingga ia masih dapat loncat mundur pada saat yang
tepat.
Begitu lawannya mundur, Pengtjoan Thianlie segera mencecer dengan serangan-
serangan kilat dan tidak memberi kesempatan lagi kepada gadis itu buat keluarkan
pukulan-pukulannya yang aneh. Dengan cepat ia jadi keteter dan cuma dapat membela
diri saja.
"Kau curang!" berseru si gadis sembari monyongkan mulutnya. "Kenapa kau tak kasih
aku balas menyerang? Adu pedang cara begini, aku tak mau!"
"Cis" Pengtjoan Thianlie tertawa. "Baiklah. Aku berikan lagi kesempatan." Ia
pertahankan gerakan Hankong kiam dan buka lowongan supaya dapat diserang. Si gadis
jadi gembira dan dengan beruntun kirim tiga serangan yang masing-masing berbeda satu
sama lainnya. Serangan pertama adalah pukulan Bansoei tiauwtjong (Laksaan sungai
mengalir ke laut) dari kiamhoat Gobie pay, yang kedua Tjoenma poentjoan (Kuda bagus
mengubar mata air) dari Khongtong pay, sedang yang ketiga adalah Kimtjiam touwsie
(Jarum emas menolong manusia) dari Siongyang pay. Apa yang mengherankan adalah:
Setiap serangan berobah arahnya pada detik penghabisan, umpamanya serangan yang
bermula kelihatannya seperti Bansoei tiauwtjong mendadak berobah arahnya dan
menikam dari jurusan yang tidak diduga-duga. Pengtjoan Thianlie yang sudah siap
sedia sudah dapat loloskan diri dari serangan-serangan itu dengan gunakan ilmu entengi
badannya. Tapi lantaran dicecer, ia sekarang cuma dapat membela diri dan tidak sempat
lagi balas menyerang.
Hatinya Pengtjoan Thianlie mendadak bergoncang sebab ia ingat penuturan mendiang
ayahnya. Dahulu, ketika sedang rundingkan berbagai cabang persilatan di Tiongkok,
ayahnya pernah ceritakan halnya satu ilmu pedang tunggal gubahan Pekhoat Molie. Ilmu
pedang itu merupakan petikan dari sarinya macam-macam kiamhoat, yang kemudian
diolah lagi menjadi satu. Meskipun gerakannya bersamaan dengan gerakan macam-
macam kiamhoat itu, tapi arah serangannya, pada detik penghabisan, berbeda dan
malahan sebaliknya dari kiamhoat yang asli. "Apakah ilmu pedangnya nona ini ada ilmu
pedang Pekhoat Molie?" tanya Pengtjoan Thianlie dalam hatinya.
Tidak salah dugaannya si nona.
Ilmu pedang gadis muda itu memang juga ilmu pedangnya Pekhoat Molie. Buat ahli
silat biasa, biarpun kenal ilmu pedang tersebut, tak gampang-gampang dia dapat
melawannya. Tapi Pengtjoan Thianlie adalah lain dari yang lain. Dasar dari ilmu
pedangnya adalah Tatmo Kiamhoat yang sangat tinggi dan kiamhoat tersebut telah
dicampur dengan ilmu pedang Eropa dan Arab, sehingga jadi sangat luar biasa. Maka itu,
begitu lekas mengenali ilmu pedangnya lawan dan pusatkan semangatnya buat melayani,
si gadis tidak dapat berbuat banyak lagi dengan pukulan-pukulan yang aneh.
Demikianlah sesudah lewat beberapa saat, gerakan pedangnya si gadis lantas mulai
kalut. "Mau bertempur terus?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari tertawa.
Gadis itu tak menyahut, dengan mendadak badannya melesat tinggi dan selagi
badannya turun ke bawah, ia menikam dengan pedangnya. Ia ternyata gunakan ilmu aneh
yang bisa menubruk di tengah udara seperti burung, dicampur dengan ilmu pedangnya
Pekhoat Molie. Pengtjoan Thianlie terkesiap. Tanpa sempat berpikir lagi, badannya sudah
turut melesat ke udara dan membabat dengan gerakan Itwie touwkang (Rumput wie
seberangi sungai). Saat itu, mereka berdua sama-sama berada di tengah udara dan
gerakan pedang cepat bagaikan kilat. Begitu lekas pedangnya menyambar ke
tenggorokan orang, Pengtjoan Thianlie lantas merasa menyesal. Ia sama sekali tak
bermusuhan dengan gadis itu, kenapa juga turunkan tangan yang jahat? Ia mau tarik
pulang pedangnya, tapi sudah tidak keburu lagi!
Si gadis keluarkan satu teriakan kaget. "Bwee-djie, kau masih tak percaya aku?"
demikian ia dengar suara ibunya, dan berbareng, ia rasakan badannya diangkat dan
dilemparkan, akan kemudian hinggap di atas tanah tanpa kurang suatu apa. Ketika
menengok, ia lihat ibunya sudah berhadapan dengan Pengtjoan Thianlie.
Barusan, pada saat hatinya menyesal tapi pedangnya sudah tak dapat ditarik pulang,
tiba-tiba saja depan matanya Pengtjoan Thianlie berkelebat satu bayangan hitam, yang
menyelak di antara kedua batang pedang yang sudah hampir beradu dan sudah berhasil
menolong gadis itu. Pengtjoan Thianlie yang begitu liehay jadi kesima dan badannya kej
engkang ke belakang. "Hati-hati!" ia dengar satu suara berbisik dan merasa badannya
didukung orang. Ia jungkir balik, akan kemudian hinggap di muka bumi dengan selamat.
Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan berdebar-debar. Wanita setengah tua itu, yang
pakaiannya dan lagaknya seperti si wanita muda, ternyata mempunyai kepandaian yang
tak dapat diukur bagaimana dalamnya.
"Sungguh cantik! Apa kau sudah punya mertua?" tanya wanita itu sembari tertawa,
lagaknya mirip seperti bocah nakal.
Mukanya Pengtjoan Thianlie lantas saja bersemu merah. Sebagai seorang yang
mempunyai kedudukan puteri dan sedari kecil biasa dihormati oleh para dayangnya, inilah
buat pertama kali seorang yang baru ketemu berani guyon-guyon padanya.
Sesudah kenyang tertawa, wanita itu lalu berkata lagi: "Ilmu silatmu juga benar-benar
indah. Inilah baru boleh dibilang, kepandaian dan paras dua-dua jempol. Maukah kau
dicarikan mertua olehku?"
"Kau tua-tua kenapa bicara begitu sembarangan?" sahut si nona dengan perasaan
mendongkol. "Jika kau terus omong gila-gila, aku tak akan berlaku sungkan lagi!"
Wanita itu tertawa terbahak-bahak. "Usiamu masih begitu muda, kenapa begitu galak?"
katanya. "Sama seperti Tjietjie-ku. Titsoen-ku (cucu keponakan) namakan kau perempuan
siluman, tapi aku lihat kau seperti nenek bawel!"
Si nona jadi meluap darahnya dan lantas angkat pedangnya. Ia tahu bukan tandingan,
tapi amarahnya mesti dilampiaskan.
Wanita itu tapinya terus tertawa. "Terhadap anakku kau berlaku cukup sungkan," kata
ia. "Tapi terhadap titsoen-ku, tanganmu kejam sekali. Siapa gurumu?"
"Sudah! Sudah!" berteriak Pengtjoan Thianlie. "Memang aku hinakan titsoen-mu. Nah,
hukumlah aku!" Si nona yang beradat angkuh lantas saja menikam, meskipun tahu
bakalan kalah.
"Aku sungguh sayang padamu," kata si wanita yang terus kocok si nona. "Kau begitu
cantik, mana tega aku menghukum kau!" Sehabis berkata begitu, dengan mendadak ia
usap mukanya Pengtjoan Thianlie. Terang-terang, si nona lihat gerakan tangannya, tapi
toh ia tidak keburu kelit!
Sekarang Pengtjoan Thianlie benar-benar gusar. Seperti orang kalap ia putar
pedangnya dan menyerang dengan pukulan-pukulan yang membinasakan.
"Kau benar-benar marah?" tanya wanita itu sembari tertawa dan kembali usap kepala
orang. Pengtjoan Thianlie terus menerjang dan kirim beberapa tikaman. Wanita itu tidak
jadi gusar, ia cuma kelit dan mulutnya ngoceh lagi:
"Ah, pedangmu sungguh-sungguh bagus! Cuma sayang sekarang musim dingin. Kalau
musim panas tak perlu bawa-bawa kipas lagi. Dari apa dibuatnya? Coba kasih aku lihat!"
Pengtjoan Thianlie terkejut dan lantas putar Hankong kiam bagaikan titiran. "Aku mau
lihat cara bagaimana kau rebut pedangku," katanya didalam hati.
Tiba-tiba si nona endus bebauan yang sangat harum dan dengan satu suara "tring!"
Pengpok Hankong kiam sudah kena dipentil terbang dengan dua jerijinya dan kemudian
disambut dengan satu tangannya. "Benar-benar aku pusing," katanya sembari bulak-balik
pedang itu. "Benar-benar aku tak tahu, dibuat dari bahan apa."
Kaget dan gusarnya si nona ngaduk menjadi satu. Tanpa pikir akibatnya, ia menubruk
seperti macan edan. "Buat apa begitu kesusu! Aku toh tak inginkan milikmu!" kata lagi si
wanita setengah tua sembari tertawa. Ia angsurkan tangannya dan kembalikan pedang itu.
Begitu terima pedangnya, begitu si nona menikam lagi. Bagaikan kilat, si wanita
tangkap lengannya dan berkata pula: "Coba aku lihat lagi. Aduh benar-benar cantik! Tugas
comblang pasti aku jalankan!" Sembari ngoceh, tangannya kembali usap mukanya
Pengtjoan Thianlie. Sesudah kenyang menggoda, ia lepaskan tangannya dan sedang
suara tertawanya masih kedengaran, bayangannya sudah menghilang dari pemandangan!
Pengtjoan Thianlie celingukan. Boe-sie Hengtee dan si gadis juga sudah tidak berada
disitu.
Rupanya mereka sudah berlalu, ketika si wanita setengah tua goda dirinya.
Si nona menghela napas berulang-ulang dan parasnya lesu sekali. "Ayah ibuku sudah
peras pikiran dan tenaga buat gubah ilmu pedang ini dengan anggapan tiada
bandingannya di dalam dunia," katanya dalam hati. "Tapi siapa nyana, wanita itu saja aku
sudah tidak mampu menangkan. Ah, kalau begini, keinginan ayahku rasanya tidak akan
terwujut."
Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak tahu, bahwa ilmu silat dan tingkatannya wanita itu
cuma dapat direndengi oleh dua tiga orang saja dalam Rimba Persilatan.
Dengan hati mendeluh, si nona jalan balik ke tendanya. Ketika itu sudah lewat tengah
malam dan sang rembulan pancarkan sinarnya yang gilang gemilang, sehingga padang
pasir jadi seperti mandi dalam lautan perak, dalam suasana yang sunyi-senyap. Di padang
pasir, benda yang jauhnya beberapa li masih dapat dilihat. Kedua tenda yang dipasang di
kaki gunung jauh-jauh sudah kelihatan. Mendadak hatinya Pengtjoan Thianlie
bergoncang. Di depan tendanya Tong Keng Thian terdapat dua bayangan orang, satu
lelaki dan satu perempuan. Yang lelaki adalah Keng Thian, tapi potongan badan yang
perempuan, bukan potongan badannya Yoe Peng. Sesudah berlari-lari kurang lebih satu li
lagi, barulah ia dapat tahu, bahwa wanita itu adalah gadis yang barusan jadi lawannya!
Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie keluar dari tendanya buat selidiki itu suara "uh, uh,"
Keng Thian sedang gulak-gulik dalam tendanya dengan tidak dapat pulas. Otaknya selalu
tak dapat lupakan si nona yang sikapnya membikin ia tidak mengerti. Sedikit banyak, ia
sudah mengetahui asal-usulnya, yaitu turunan dari jago partai Thiansan dan cucu
perempuannya Koei Tiong Beng. Tapi,
kenapa terhadap Thiansan pay, si nona kelihatannya adem sekali? Kenapa? Ia ingat,
ketika mau turun gunung, ayah ibunya pesan supaya ia cari tahu dimana adanya paman
Koei Hoa Seng. Sekarang ia sudah dapat cari puterinya Koei Hoa Seng, tetapi si nona tak
sudi naik ke Thiansan buat menemui sahabat-sahabat dari mendiang ayahnya. Kenapa?
Memikir pergi datang, pemuda itu jadi semakin jengkel. Jika lain orang, ia tentu sudah
memaksa buat mendapat tahu seterang-terangnya. Tapi terhadap Pengtjoan Thianlie, ia
benar-benar tak sanggup berlaku keras, oleh karena adanya keagungan si nona yang
wajar, yang membikin orang tidak berani rewel-rewel di hadapannya.
Dalam kekesalannya itu, Keng Thian jadi gusar pada dirinya sendiri. Kenapa, sesudah
kenal Pengtjoan Thianlie, ia jadi begitu tolol? Saat itu, dalam otaknya berkelebat
bayangannya seorang wanita lain, seorang gadis jelita yang usianya lebih muda dari
Pengtjoan Thianlie. Gadis itu adalah Lie Kim Bwee, puteri Ie-ie-nya (bibi) sendiri (puterinya
Lie Tie dan Phang Lin). Kim Bwee adalah kawan memainnya sedari kecil, tapi ia heran
sekali, terhadap nona itu, ia tidak mempunyai perasaan seperti yang dirasakan terhadap
Pengtjoan Thianlie.
Angin diluar tenda jadi semakin santer dan di antara suaranya angin, sayup-sayup, ia
dapat dengar suara "uh, uh." "Apakah itu bukan suara goloknya boesoe Nepal?" ia tanya
dalam hatinya. Dalam pertemuan di Shigatse dan di gunung Tantat san ketika bantu
merebut guci emas, ia tahu gagang goloknya boesoe Nepal berlubang dan mengeluarkan
suara "uh, uh," jika kesampok angin. Keng Thian heran. Kenapa mereka masih berada di
Tiongkok?
Ia keluar dan loncat ke atas tenda, dari mana ia lihat bayangannya Pengtjoan Thianlie
yang sedang berlari-lari ke arah utara barat. Tadinya ia mau mengubar, tapi kemudian
urungkan niatannya. Ia ingat, kedua boesoe Nepal adalah orang sebawahannya
Pengtjoan Thianlie, sehingga jika si nona datang, segala urusan tentu bisa menjadi beres.
Di sebelahnya itu, jika menguntit, ia kuatir si nona jadi gusar dan menganggap ia terlalu
mau tahu urusan lain orang. Mengingat begitu, ia urungkan niatannya dan dengan
tindakan perlahan, menuju ke tendanya Pengtjoan Thianlie.
Di luar tenda ia bertemu Yoe Peng yang kelihatannya bingung. "Ah, Tong Siangkong!"
katanya. "Kenapa malam-malam begini masih jalan-jalan?"
"Kau dengar itu suara "uh, uh," tanya Keng
Thian. "Dengar,"sahutnya. "Mungkin cuma
suara burung." "Kongtjoe-mu?" tanya Keng
Thian sembari tertawa.
"Ia kecapaian dan sudah pulas," Yoe Peng mendusta. "Aku keluar lantaran dengar
suara tindakanmu. Baliklah, kalau kau bikin ia mendusin, ia bisa jadi gusar."
Keng Thian tertawa dan lantas balik ke tendanya. "Benar saja dia tak mau aku
mendapat tahu," kata pemuda itu dalam hatinya.
Biarpun mengetahui Pengtjoan
Thianlie bukan sedang menghadapi bahaya, Keng Thian tak dapat tetapkan hatinya. Ia
sulut sebatang lilin besar dan duduk termenung dalam tendanya.
Tak tahu sudah lewat beberapa lama, mendadak di luar tenda terdengar suara tindakan
yang sangat enteng dan kain tenda dipentil beberapa kali.
Keng Thian loncat bangun dan menanya: "Kau sudah pulang?" Ia heran. Sedang si
nona mau rahasiakan kepergiannya, kenapa sekarang ia datang pada tendanya?
Tangannya membuka tenda dan segera juga kupingnya dapat dengar suara tertawa yang
sudah dikenal baik. "Koko, kau sedang pikiri siapa?" tanya satu suara wanita.
"Ah, aku kira siapa, tak tahunya setan kecil!" kata Keng Thian sembari tertawa. Wanita
itu bukan lain daripada Lie Kim Bwee, adik misanannya (piauw).
"Tak salah omongannya Toa-boe dan Siauw-boe," kata Kim Bwee sembari tertawa
haha-hihi. "Ada dia, mesti ada kau. Mereka kata, tendamu mesti berdekatan dengan
tendanya dan benar saja tidak meleset. Eh, kau tahu bagaimana keadaannya
kecintaanmu sekarang? Aku sih tahu!"
Keng Thian bingung berbareng geli. "Kenapa? Kau ketemu padanya?" tanya ia sembari
pukul si nona dengan perlahan.
"Sudah punya kawan baru, kenapa kau jadi begitu galak? Sudahlah, aku tak mau
bicara," Kim Bwee menggoda terus.
"Baiklah, Piauwmoay-ku yang manis," kata Keng Thian sambil membungkuk. "Aku
minta maaf. Puas? Hayo, lekas bilang."
Kim Bwee tertawa-tawa. "Tadi aku bertempur dengan dia," katanya. "Benar-benar
hebat! Aku rasa, kau juga bukan tandingannya. Hati-hati lho! Mesti siap-siap buat dihajar
olehnya!"
Keng Thian yang sangat kepengen tahu keadaannya Pengtjoan Thianlie, seperti juga
tidak dengar godaan adiknya. "Apa? Kau bertempur dengan ia? Dan dia?" tanya Keng
Thian.
"Ibu sedang main-main dengan dia," jawabnya. "Kau tahu adat ibu. Tak tahu ia mau
main-main sampai kapan."
"Dan Boe-sie Hengtee?" Keng Thian tanya lagi.
"Kedua mustika itu bilang, lantaran kau lindungi 'si perempuan siluman', mereka
sungkan menemui kau," jawab Kim Bwee. "Tapi aku tahu, sebenar-benarnya mereka
merasa jengah lantaran kena dikalahkan oleh 'perempuan siluman' itu. Eh, siapa sih
namanya? Aku belum pernah lihat wanita yang begitu cantik.
Sungguh tak pantas Toa-boe dan Siauw-boe namakan ia 'perempuan siluman'."
Keng Thian yang sedang kebingungan, mana sempat ladeni godaan adiknya. Ia jalan
mundar-mandir dan tarik napas berulang-ulang seraya berkata: "Hai, bagaimana baiknya?
Ie-ie bertempur dengan ia. Bagaimana baiknya?"
"Eh, kenapa kau begitu kebingungan?" kata Kim Bwee sembari tertawa. "Ibu toh bukan
mau binasakan padanya. Ibu sendiri bilang, dia cantik sekali. Ia cuma mau main-main
sedikit."
Tapi Keng Thian tidak dapat dihiburi dengan perkataan Kim Bwee. Ia kenal adatnya
Pengtjoan Thianlie yang tak dapat dipermainkan secara begitu. Ia merasa sangat jengkel,
kenapa semakin tua bibinya jadi semakin suka geguyonan. Ia rupanya lupa, bahwa di
waktu masih kecil, berkat sifat bibinya yang suka bercanda, ia sendiri jadi lebih dekat
dengan sang bibi daripada dengan ibunya sendiri.
Phang Lin dan Phang Eng (ibunya Keng Thian) adalah saudara kembar, tapi sifatnya
berbeda seperti langit dan bumi. Phang Eng pendiam dan sungguh-sungguh, Phang Lin
nakal dan berandalan. Sifat itu tidak berubah sampai Phang Lin berusia lanjut.
Boe Kheng Yab (ibunya Lie Tie atau neneknya Lie Kim Bwee) adalah murid penutup
dari Pekhoat Molie. Itu sebabnya kenapa Lie Kim Bwee paham ilmu silatnya Pekhoat
Molie. Di sebelahnya itu, ia juga dapat berbagai macam ilmu dari ibunya, antaranya ilmu
berkelahi di tengah udara seperti seekor burung. Ilmu tersebut didapat oleh Phang Lin dari
Patpie Sinmo (Memedi Delapan Tangan) Sat Thian Tjek. Phang Lin bukan saja turunkan
ilmu silatnya, tapi juga adatnya yang suka bercanda kepada puterinya itu.
Melihat piauwheng-nya kejengkelan, Kim Bwee jadi semakin bungah hatinya.
"Siapa suruh dia hinakan Toa-boe dan Siauw-boe," katanya sembari tertawa. "Kau tak
lihat cara bagaimana mereka dibikin kucar-kacir? Benar-benar bikin orang mendongkol!
Bebokongnya ditotol dengan pedang, tidak ditikam, cuma dipermainkan, seperti kucing
permainkan tikus. Aku sungguh tak sampai hati! Ibu tolong balaskan sakit hatinya. Eh, kau
belum beritahu, siapa sih namanya?"
"Ah, jangan begitu melit," Keng Thian menghela napas. "Semua orang sendiri.
Namanya Peng Go. Koei Tiong Beng yang setingkat dengan nenekmu, adalah kakeknya.
Kalian permainkan dia, Iethio tentu akan menegur."
"Kau mau mengadu?" tanya Kim Bwee sembari letletkan lidahnya. "Aku tak takut! Aku
takut pada ayah, tapi ayah takut pada ibu dan ibu takut padaku. Kau mengadu juga tak
ada gunanya."
Keng Thian benar-benar tidak berdaya. Ia cuma mengharap, di kemudian hari
Pengtjoan Thianlie akan mengetahui adatnya sang ie-ie yang suka memain dan dapat
menyayang bibinya itu. Memikir begitu, hatinya jadi lebih tenang.
"Eh, kenapa kalian bisa berada disini?" ia tanya sesudah berdiam beberapa saat.
"Piauwko," kata si nona sembari colek janggut kakaknya. "Kau benar sudah otak miring.
Masakan ujian tiga tahun sekali yang diadakan oleh ayahmu sendiri, kau sudah tidak ingat
lagi?"
Thiansan pay mempunyai anggauta yang berjumlah besar, yaitu turunan dan murid-
muridnya Thiansan Tjitkiam (Tujuh Pendekar Pedang dari Thiansan). Sesudah Tong Siauw
Lan pimpin partai tersebut, tiga tahun sekali ia kumpulkan murid-murid Thiansan pay buat
diuji ilmu silatnya. Ini dinamakan Pertemuan Kecil. Saban sepuluh tahun sekali diadakan
Pertemuan Besar, dimana
bukan saja murid-murid, tapi orang-orang dari tingkatan tua juga diundang datang, seperti
Moh Tjoan Seng, Tjio Kong Seng dan yang lain-lain.
Tahun itu ialah tahun Pertemuan Kecil. Tahun yang lalu, ketika mau turun gunung, Tong
Keng Thian telah dapat kelonggaran istimewa dari ayahnya buat tidak usah hadiri
Pertemuan Kecil itu, jika terpaksa. Kalau mungkin, ia tentu saja mesti pulang pada
temponya yang tepat, akan tetapi, kalau dalam usaha mencari Koei Hoa Seng ia berada di
tempat jauh, maka ia boleh tidak usah pulang ke Thiansan. Itulah sebabnya, kenapa Keng
Thian sudah lupakan hal tersebut.
Biarpun sudah dibikin sadar, tapi masih ada hal yang kurang dimengerti. "Ujian yang
dibuka oleh ayahku, ada hubungan apa dengan kedatangan kalian?" tanya ia.
"Apa benar kau belum pernah dengar penuturannya Iethio (ayahnya Keng Thian)?"
tanya Kim Bwee. "Biarlah aku ceritakan. Dahulu, Hoei-angkin
Lootjianpwee, yaitu soetji nenekku, pernah turunkan beberapa jurus ilmu silat kepada
suami isteri Huke-tsihu, pemimpin suku Hapsatkek. Isterinya Huke-tsihu, yang bernama
Mungmanlis, telah meninggal dunia pada kira-kira sepuluh tahun berselang. Waktu aku
masih kecil, aku pernah bertemu padanya yang datang buat sambangi nenek (Boe Kheng
Yao). Ketika nenek meninggal dunia, ia sudah terlalu tua buat bisa datang menyambangi."
"Tapi, kalian mempunyai hubungan apakah dengan Mungmanlis yang sudah mati?"
tanya Keng Thian dengan perasaan heran. "Apa kau mau cari ia di tempatnya Giam Loo-
ong?"
"Eh, apa kau tolol atau berlagak tolol?" kata si nona sembari monyongkan mulutnya.
"Aku benar-benar tolol," jawab Keng Thian sembari tertawa.
"Nah, kalau begitu, kau dengarlah," kata Kim Bwee sembari mesem. "Mungmanlis
benar sudah meninggal dunia, tapi ia mempunyai anak cucu. Dari Hui-angkin
Lootjianpwee, ia cuma dapat beberapa jurus ilmu silat, sehingga tidak bisa dibilang
menjadi murid dan dengan demikian, ia pun tidak termasuk anggauta Thiansan pay.
Belakangan, cucu-cucunya Mungmanlis mendapat tahu, bahwa Iethio dan Ie-ie tiga tahun
sekali mengadakan Pertemuan Kecil buat uji kepandaiannya murid-murid Thiansan dan
juga memberi petunjuk-petunjuk. Lantaran begitu, mereka ingin turut hadir dalam
pertemuan tersebut. Mengingat nenek, ibu sudah permisikan mereka datang. Belakangan,
oleh karena kuatir mereka tidak dapat cari tempat pertemuan, ibu segera mengambil
putusan buat sambut mereka. Tapi sebenarnya, ibu sudah merasa sangat kesepian dan
kepengen turun gunung buat main-main. Aku sendiri tentu saja merasa sangat girang bisa
turut jalan-jalan. Itu sebabnya kenapa sekarang kami berada disini. Sudah mengertikah
kau? Eh, aku dengar di sebelah depan adalah wilayahnya suku Hapsatkek. Apa benar?"
"Benar," sahut Keng Thian. "Ie-ie hapal benar keadaan di Sinkiang, buat apa kau tanya-
tanya aku?"
"Aku sudah sebal jalan di padang pasir ini," kata Kim Bwee sembari tertawa. "Aku
menanya sebab kuatir ibu dustai aku." Sesudah berdiam beberapa saat, ia berkata pula:
"Di tengah jalan, kami bertemu dengan Toa-boe dan Siauw-boe yang mengatakan sedang
ubar dua orang. Lantaran kami juga mau seberangi padang pasir ini, maka kami lantas
jalan bersama-sama. Tak dinyana, malam ini kami bertemu dengan wanita yang bernama
Koei Peng Go itu." . "Dan dimana adanya dua boesoe Nepal itu?" tanya Keng Thian.
"Boesoe Nepal?" menegasi si nona.
"Yah, itu dua orang yang diubar oleh Toa-boe dan Siauw-boe," jawab Keng
Thian. "Aku tak lihat," jawabnya. "Sesudah mereka ribut-ribut, barulah aku
turun tangan." Keng Thian jadi tertawa geli.
"Eh, kenapa kau tertawa?" tanya Kim Bwee. "Mungkin kedua boesoe itu sudah
dibinasakan oleh Toa-boe dan Siauw-boe, sehingga kau punya Peng Go Tjietjie menjadi
gusar."
Keng Thian tak mau ladeni ocehannya sang adik. Ia keluar dari tenda dan memandang
ke tempat jauh dengan paras muka guram. "Kenapa belum juga pulang?" ia berkata
seorang diri.
"Mungkin ibu belum cukup menggoda ia," kata si nona.
"Apa Ie-ie bakal datang kesini?" tanya Keng Thian.
Mendadak Kim Bwee pegang pundak kakaknya dan bisik-bisik di kupingnya: "Ibu
bilang, ia bersedia jadi comblang. Malam ini ia goda sang penganten dan lantaran kuatir
kau berdua menjadi gusar, ia tak mau datang kesini. Ibu perintah aku memberitahukan
kau, supaya ajak pengantenmu pulang ke Thiansan."
"Omong kosong!" membentak Keng Thian.
"Ah, bukan omong kosong!" jawab Kim Bwee. "Apakah sesudah tiba disini, kau tak mau
menemui Twathio dan Twa-ie?"
Keng Thian jadi kewalahan. Ia angkat tangannya seperti orang mau memukul dan si
nakal berlari-lari sembari berteriak-teriak. Pada saat itulah, mendadak berkelebat satu
bayangan orang yang memakai pakaian warna putih dan dalam sekejap sudah berada di
hadapan mereka.
Lie Kim Bwee berhenti tertawa. "Cepat benar kau balik!" katanya. Tong Keng Thian
sendiri sembari tertawa lantas maju menghampiri. Pengtjoan Thianlie awasi mereka
dengan sorot mata dingin dan mendadak, ia putar badannya dan berlalu tanpa berkata
sepatah kata. Sebenarnya, ia merasa suka terhadap Kim Bwee. Cuma saja, lantaran
barusan ia lihat si nona bercanda begitu hangat dengan Keng Thian, ditambah perkataan
"cepat benar kau balik," hatinya jadi berdongkol. Selainnya begitu, barusan ia sudah
digoda pulang pergi oleh ibunya Kim Bwee, sehingga amarahnya jadi naik. Ia jalan terus
balik ke tenda dan tidak ladeni teriakannya Keng Thian.
"Hebat benar adatnya!" kata Kim Bwee sembari letletkan lidah. "Tong Koko, aku sudah
bikin marah kau punya Peng Go Tjietjie. Tak berani aku berdiam lama-lama lagi disini."
Terhadap adik misan yang nakal itu, benar-benar Keng Thian tak berdaya. Ia cuma bisa
tertawa getir. Baru jalan beberapa tindak, si nona berpaling dan berkata pula: "Ingat! Ajak
isterimu supaya bisa berkenalan dengan saudara-saudara. Penemuan kali ini dibikin di
atas Puncak Onta dari gunung
Mostako. Yang bakal memberi ceramah tentang ilmu silat adalah ibumu sendiri.
Kesempatan itu benar-benar tidak boleh dilewati begitu saja." Sehabis berkata begitu,
dengan satu tertawa nyaring, si nakal lantas berlari-lari dengan gunakan ilmu entengi
badan dan dalam sekejap saja, ia sudah menghilang dari pemandangan.
Dengan pikiran kusut, perlahan-lahanKengThian hampiri tendanya Pengtjoan
Thianlie.
Penerangan sudah padam, cuma lapat-lapat ia dengar suara tangisan.
"Peng Go Tjietjie," ia memanggil.
Tak ada sahutan. Ia memanggil lagi beberapa kali, tapi tetap si nona tidak menyahut,
cuma suara tangisan lantas berhenti. Keng Thian berdiri bengong di depan tenda.
Mendadak satu ingatan berkelebat di otaknya. "Piauwmoay guyon-guyon, tapi
perkataannya memang ada benarnya juga," katanya didalam hati. "Memang baik juga jika
aku bisa bawa Peng Go menemui ayah dan ibu. Ayah dan beberapa tjianpwee lainnya
sangat pikiri Koei Hoa Seng Pehpeh. Mereka tentu akan girang sekali kalau bisa bertemu
dengan puterinya Koei Pehpeh. Cuma saja, Peng Go selalu kelihatan kurang senang jika
dengar aku mau ke Thiansan dan Ie-ie baru saja permainkan dia. Sekarang ia tentu lebih-
lebih sungkan pergi ke Thiansan. Ah, bagaimanakah baiknya?"
Dalam kebimbangan, tangannya mendadak kena langgar batu giok pemberian Liong
Sam yang berada dalam kantongnya. "Perjalanan buat menemui Pehhu-nya (paman)
Peng Go mesti makan tempo beberapa bulan," pikir Keng Thian. "Kalau bisa pergi dahulu
ke Thiansan, dua urusan, bisa beres dengan berbareng, sedang ayah dan ibu juga tak
usah pikiri aku. Berbareng dengan itu, aku juga bisa tahu asal-usulnya Liong Sam
Sianseng. Tapi bagaimana membujuk Peng Go?"
Sesudah putar otaknya, tiba-tiba ia dapat jalan yang sangat baik. Ketika itu sang malam
sudah hampir terganti dengan siang.
Sesudah mendapat pikiran baik, Keng Thian jadi bersemangat. Ia tidak balik ke
tendanya, tapi jalan mundar-mandir di depan tenda si nona sampai fajar menyingsing.
Begitu lekas terang tanah, tenda tersingkap dan Yoe Peng munculkan diri. Ia merasa
heran ketika lihat Keng Thian masih berada disitu dan lalu berkata: "Kongtjoe bilang, kau
tak usah kawani ia lagi. Ia bisa pergi sendiri."
Tong Keng Thian tercengang. Ia tak duga hatinya Pengtjoan Thianlie begitu keras.
Sesudah putar otak setengah malaman, baru ia dapat satu tipu bagus, tapi sekarang jadi
sia-sia saja. Ia jadi bengong dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Melihat si pemuda jadi seperti orang linglung, Yoe Peng jadi kasihan berbareng geli.
"Eh, apa semalam kau tak tidur?" ia tanya.
Keng Thian tertawa getir. Ia tidak jawab pertanyaan orang, tapi berkata seorang diri:
"Keadaan sekarang bukannya seperti keadaan semalam, untuk siapakah 'ku gadangi
sang malam di tengah angin dan embun!"
Baru saja ia habis ucapkan perkataan begitu, tenda kembali terbuka dan Pengtjoan
Thianlie kelihatan berjalan keluar!
Hatinya si nona sebenarnya masih mendongkol, akan tetapi begitu dengar sajak yang
diucapkan oleh Keng Thian, ia jadi girang berbareng sedih, sehingga hampir-hampir ia
kucurkan air mata. Sajak itu adalah buah kalamnya Oey Tiong Tjek, seorang sastrawan
kenamaan pada jaman itu, yang dikenal bukan saja di sebelah selatan dan utara Sungai
Besar, tapi malahan sampai di daerah perbatasan yang jauh. Sedari usia sepuluh tahun,
pada waktu kedua orang tuanya masih hidup, Pengtjoan Thianlie sudah baca kumpulan
sajak-sajaknya Oey Tiong Tjek. Maka itulah, begitu dengar ucapannya Tong Keng Thian,
ia jadi merasa terharu, seolah-olah si pemuda yang sengaja menggubah sajak tersebut
untuk dirinya. "Ah, si tolol ternyata sudah gadangi malam di tengah angin dan embun
untuk diriku!" katanya didalam hati.
Melihat Pengtjoan Thianlie muncul waktu ia baru saja habis ucapkan perkataannya,
mukanya Keng Thian jadi bersemu merah lantaran jengah. "Peng Go Tjietjie! Pagi benar
kau sudah bangun!" katanya sembari menghampiri.
"Kau sendiri terlebih pagi," kata Yoe Peng. "Eh, Siauw Kongtjoe! Si tolol tak tidur
seluruh malam!"
Pengtjoan Thianlie lirik padanya, tapi tidak berkata suatu apa. Sesudah lewat sekian
lama, ia dongak dan berkata dengan suara tawar: "Terima kasih yang kau sudah kawani
kami selama banyak hari. Mulai dari sekarang, tak usah lagi. Kami sendiri bisa tanya-
tanya jalanan."
Keng Thian yang tajam kupingnya lantas bisa menangkap, bahwa biarpun suaranya
tawar, tapi cukup lunak."Di padang pasir, orang paling gampang kesasar," katanya
sembari tertawa. "Selainnya begitu, di tengah jalan kalian belum tentu bisa bertemu orang-
orang yang kenal jalan. Aku justru sedang senggang dan dengan mau sendiri, aku
bersedia jadi penunjuk jalan. Kenapa juga kalian mau jalan sendiri?"
Sekali ini, si nona kena dikalahkan juga. Sebenarnya, jika turuti adatnya, ia masih ingin
ngambek dan semprot si pemuda dengan beberapa perkataan tajam. Akan tetapi, lantaran
sungkan dikatakan jelus terhadap si nona cilik yang kelihatannya begitu rapat dengan
Keng Thian dan juga sebab merasa tidak tega buat keluarkan perkataan berat, maka,
sesudah dengar omongannya Keng Thian, ia manggut sedikit dan berkata dengan suara
perlahan: "Baiklah."
Sebagai orang yang belum pernah menjelajah di padang pasir, Pengtjoan Thianlie tidak
tahu ke arah mana mereka sedang berjalan, oleh karena di hadapan mereka cuma terlihat
lautan pasir yang seakan-akan tiada tepinya. Sesudah berjalan beberapa hari, deretan
gunung yang tadinya hanya kelihatan samar-samar jadi semakin nyata, sedang sebuah
gunung besar yang menjulang keawan semakin lama jadi semakin dekat.
"Bukankah kau bilang mau pergi ke Soetjoan?" tanya Pengtjoan Thianlie. "Tapi kenapa
kita agaknya mendekati Thiansan?"
"Dari sini Thiansan masih jauh sekali," jawab Keng Thian sembari tertawa. "Kita
sekarang sedang potong jalan, supaya lebih dekat."
Si nona yang tidak kenal jalan, tidak berkata apa-apa lagi dan terus mengikuti saja.
Selama beberapa hari yang pertama, sikapnya Pengtjoan Thianlie masih tawar, akan
tetapi, sesudah lewat belasan hari, ia dapat pulang kegembiraannya dan berjalan sembari
omong-omong dan tertawa-tawa. Sesudah seberangi lautan pasir, pada suatu hari tibalah
mereka di depannya satu gunung besar yang atasnya tertutup es dan salju. Pada
lerengnya gunung tersebut terdapat satu puncak tertutup salju yang bentuknya seperti
seekor onta, kepalanya di timur, buntutnya di sebelah barat.
Hatinya Pengtjoan Thianlie jadi curiga dan tanya: "Apakah ini bukannya Thiansan?"
"Bukan," jawab Keng Thian. Jika tak percaya, kau boleh tanya gembala." Di kaki
gunung itu
.terdapat tanah rumput yang sangat subur, dimana orang sering dapat ketemukan kaum
gembala yang angon binatang piaraannya. Sesudah berjalan lagi beberapa li, mereka
bertemu serombongan orang yang sedang giring ontanya dan waktu ditanya, mereka
menerangkan, bahwa gunung itu adalah gunung Mostako, sedang puncak yang seperti
onta dinamakan Puncak Onta. Mendengar keterangan itu, hatinya Pengtjoan Thianlie baru
menjadi lega. Ia tidak tahu, bahwa gunung Mostako sebenarnya adalah cabangnya
Thiansan, sedang tempat itu sudah dekat sekali dari Puncak Selatan.
Pengtjoan Thianlie dongak mengawasi awan yang melayang hilir mudik, sedang salju
yang menutupi puncak menyiarkan ribuan warna gilang gemilang lantaran disoroti
sinarnya matahari. Melihat itu semua, mau tak mau, si nona jadi ingat keraton es dan lama
sekali ia berdiri disitu, menikmati pemandangan alam yang sangat indah.
"Gunung ini agaknya lebih tinggi dari Nyenchin Dangla!" katanya dengan suara kagum.
"Pemandangannya juga luar biasa indah! Cuma saja di Nyenchin Dangla terdapat Thian-
ouw, yang merupakan timpalan tepat bagi sang gunung dan tak dapat dicari bandingannya
di lain tempat."
Keng Thian mesem dan berkata: "Di atas Puncak Onta terdapat sebuah telaga es, yang
meskipun tak dapat direndengkan dengan Thian-ouw, mempunyai semacam keindahan
yang sangat istimewa."
Si nona menengok dan tertawa. "Apa benar?" ia tanya, tapi lantas juga ia menghela
napas dan berkata lagi: "Cuma sayang kita mesti teruskan perjalanan."
Mendadak di atas gunung lapat-lapat terdengar suara seperti pecahnya kepingan es.
"Ih!" kata Yoe Peng. "Itulah suara hancurnya es lantaran kena diinjak orang. Apa di atas
puncak terdapat banyak manusia?"
"Telaga es yang barusan aku sebutkan, bukan cuma pemandangan-nya yang indah,
tapi juga mempunyai daya penarik lain, yaitu Soatlian (Teratai es) yang banyak tumbuh di
tengah telaga," menerangkan Keng Thian. "Pada permulaan musim semi, pemburu yang
nyalinya besar sering datang kesitu buat memetik Soatlian yang harganya sangat tinggi.
Didengar dari suaranya, orang yang berada di atas bukan cuma satu dua orang."
Thiansan Soatlian adalah semacam bunga yang langka dalam dunia, bukan saja
warnanya luar biasa indah, tapi juga merupakan satu obat yang tiada bandingannya.
Soatlian dapat menyembuhkan penyakit kurang darah, macam-macam luka dan punahkan
racun.
Dalam keraton es terdapat macam-macam obat, di antaranya ada juga yang
menggunakan Soatlian sebagai campuran, tapi Pengtjoan Thianlie belum pernah lihat
Soatlian yang sedang mekar. Kegembiraannya si nona jadi terbangun dan ia berkata
sembari tertawa: "Kalau begitu, apa tidak baik kita korbankan tempo setengah hari buat
naik ke atas untuk melihat bunga yang langka itu?"
Keng Thian hampir bersorak lantaran girangnya, tapi sedapat mungkin, ia tahan
perasaan hatinya. "Jika Tjietjie ingin, aku bersedia buat mengantar," katanya dengan sikap
tenang.
Oleh karena tertutup es, Puncak Onta luar biasa licinnya, sehingga sekalipun kawanan
binatang masih sukar manjat ke atas. Pemetik Soatlian biasanya mendaki gunung
beramai-ramai dengan hubungkan badan mereka satu sama lam dengan tambang yang
kuat. Mereka pacul es guna membuat tempat taruh kaki dan naik dengan perlahan sekali.
Akan tetapi, biarpun begitu, masih tidak jarang terjadi kecelakaan.
Tong Keng Thian bertiga yang mempunyai ilmu entengi badan sangat tinggi, masih
memerlukan satu jam lebih buat naik ke atas puncak.
Setibanya di atas, dengan hati terbuka, mereka pandang alam yang luas. Bagaikan
sehelai sutera putih, air yang sangat bening turun dengan perlahan dari atas gunung dan
masuk ke dalam satu telaga yang garis tengahnya beberapa puluh tombak. Di atas telaga
itu terlihat kepingan-kepingan es yang bersinar terang dan rontokan bunga yang
terombang-ambing kesana-sini, menuruti gerakannya sang air. Di sebelah sana terdapat
pohon-pohon bunga hutan yang tumbuh berdampingan dengan pohon-pohon berduri.
"Dimana adanya Soatlian?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ah, semuanya sudah kena dipetik orang," jawab Keng Thian dengan suara menyesal.
Si nona merasa kecewa, akan tetapi, lantaran pemandangan disitu benar-benar indah, ia
merasa ada harganya juga buat datang ke tempat tersebut. Selagi pandang keadaan di
sekitarnya, mendadak ia lihat banyak tapak kaki di atas salju, dari pinggir telaga sampai ke
gerombolan pohon-pohon
kembang. Di sebelah belakang pohon-pohon kembang itu lapat-lapat masih terdengar
suara tindakan manusia.
"Sesudah tiba disini, kau sebenarnya harus melihat-lihat lebih banyak lagi," Keng Thian
mendadak berkata sembari tertawa. "Tempat ini adalah tempat asal dari partaimu."
"Apa?" menegasi si nona.
"Dahulu kakekmu bertemu dengan Soetjouw-mu, Sin Liong Tjoe, di ini tempat,"
menerangkan Keng Thian.
"Kalau begitu, di belakangnya pohon-pohon kembang itu mesti terdapat guanya
Soetjouw," kata Pengtjoan Thianlie yang lantas cabut pedangnya buat membabat pohon-
pohon itu dan lalu masuk ke dalamnya.
Baru masuk beberapa tindak, ia dapatkan satu jalanan kecil, yang dilihat dari tanahnya,
baru saja habis dibuat. Pengtjoan Thianlie jadi curiga.
Di belakangnya pohon-pohon kembang itu terdapat satu batu besar dan di atas batu
terpahat sebuah gua cetek yang bentuknya seperti manusia yang sedang bersemedhi.
Batu itu adalah tempat bersemedhinya Sin Liong Tjoe yang pernah bersila disitu sembilan
belas tahun lamanya, sehingga badannya jadi terpeta di atas batu. Belakangan dengan
turuti peta badan itu, murid-muridnya pahat batu itu dan membuat satu gua cetek.
Sesudah Sin Liong Tjoe meninggal dunia, ia tinggalkan sejilid kitab ilmu silat. Koei Tiong
Beng, kakeknya Pengtjoan Thianlie, adalah murid yang mewarisi kitab tersebut, sesudah
Sin Liong Tjoe menutup mata. Maka itulah, tempat tersebut dianggap sebagai tempat suci
dari Boetong pay cabang Utara.
Sesudah memberi hormat dengan berlutut tiga kali, Pengtjoan Thianlie putari batu itu.
Tiba-tiba, suara tindakan kaki jadi semakin jelas kedengarannya. Si nona angkat
kepalanya dan lihat belasan gua di lereng gunung seberang. Di depannya gua yang
tengah, dipasang satu tetarap bambu dan dalam tetarap itu kelihatan beberapa bayangan
manusia. Selainnya itu, ditanjakan gunung kelihatan sejumlah orang yang berjalan
berkelompok-kelompok, seperti juga sedang mau menghadiri serupa pertemuan.
Pengtjoan Thianlie jadi semakin curiga. Walaupun belum kenal seluk beluknya
Kangouw, akan tetapi dengan sekali lihat saja, ia sudah mengetahui, bahwa orang-orang
itu bukannya tukang cari Soatlian. Dengan mendadak, dalam hatinya muncul satu
pertanyaan: "Buat apa Tong Keng Thian pancing aku naik ke gunung itu?"
Mengingat begitu, si nona lantas lari seperti terbang dengan gunakan ilmu entengi
badan Tengpeng touwsoei (Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput).
Mendadak ia dengar satu orang berseru: "Hei, siapa wanita itu? Orang luar toh tidak
boleh hadiri pertemuan!"
"Ah! Dia berani bawa pedang!" berteriak seorang lain.
Pengtjoan Thianlie jadi sangat gusar. Ia lihat dua pemuda yang mengenakan pakaian
hitam dan berdiri ditanjakan, sedang tunjuk-tunjuk dirinya. Selagi mau unjuk
kegusarannya, mendadak terdengar suara tertawa yang sangat nyaring. Orang yang
tertawa adalah satu gadis cilik yang bukan lain daripada Lie Kim Bwee. "Ha, Tong Koko!"
Ia berseru sembari gapekan Tong Keng Thian. "Benar saja kau turut nasehatku dan bawa
dia kemari. Hei! Kalian jangan pentang bacot! Bisa-bisa kalian digusari Tong Koko! Dia
bukan orang luar. Kau tahu dia siapa? Mari, mari! Aku beritahukan kalian!" Sehabis
berseru begitu, ia kembali tertawa nyaring dan mengedip matanya kepada kedua pemuda
yang berpakaian hitam, sehingga Pengtjoan Thianlie merasa ia sedang diejek. Di
belakangnya Lie Kim Bwee berdiri Boe-sie Hengtee dan dua orang lagi yang tidak dikenal.
Bukan main gusarnya Pengtjoan Thianlie. "Hm, Tong Keng Thian!" ia menggerendeng
dengan hati panas. "Berani benar kau permainkan aku! Kau pancing aku ke atas gunung
buat jadi buah tertawaan orang!" Ia enjot tubuhnya buat bikin perhitungan dengan Tong
Keng Thian yang dianggap kurang ajar sekali.
Ketika itu, Keng Thian sendiri sudah dicegat dan dikocok oleh Lie Kim Bwe.
"Piauwmoay, janganlah omong yang gila-gila!" kata Keng Thian berulang-ulang dengan
suara memohon.
Pengtjoan Thianlie jadi terlebih gusar lagi, tapi sebelum ia dapat datang dekat, di
depannya berkelebat bayangan orang dan seorang wanita setengah tua sudah berdiri di
hadapannya. Si nona kenali wanita itu sebagai orang yang pernah permainkan dirinya di
tengah jalan.
"Apakah kau datang bersama Keng-djie (anak Keng)?" tanya wanita itu sembari
tertawa. Seperti api disiram minyak, tanpa pikir panjang, Pengtjoan Thianlie ayun
tangannya dan
lepaskan enam butir Pengpok Sintan dengan berbareng. Ia tahu, ilmu silatnya tidak nempil
dengan nyonya itu dan lantas mendahului dengan senjata rahasianya yang liehay.
"Apa artinya ini?" kata wanita itu sembari pentang lima jerijinya, yang bagaikan bunga
anggrek mendadak mekar, sudah pentil lima butir pelurunya Pengtjoan Thianlie. Sungguh
heran, begitu kena pentilan, lima peluru itu melayang-layang di tengah udara, tidak
meledak dan juga tidak jatuh ke tanah! Dari sini dapat dilihat, bahwa lweekang-nya wanita
itu sudah mencapai puncaknya kesempurnaan. Tapi ini belum seberapa. Apa yang
membikin Pengtjoan Thianlie jadi terkesima adalah: Ketika Pengpok Sintan yang terakhir
menyambar, wanita itu sanggap dengan mulutnya dan terus telan peluru tersebut!
"Sungguh menyegarkan!" katanya sembari mesem. "Lebih
menyegarkan dari air gunung."
Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan mempunyai hawa dingin yang luar biasa.
Orang yang lweekang-nya belum cukup, kena hawanya saja sudah menggeletak. Orang
yang lweekang-nya cukup tinggi kebanyakan mesti roboh, jika kena dihantam jalanan
darahnya. Maka itu, tidaklah heran jika Pengtjoan Thianlie sendiri jadi terkesima waktu
lihat wanita tersebut dapat menelan pelurunya, seperti orang telan sebutir es.
Tanpa berkata suatu apa, si nona lantas balik badannya dan terus kabur. Badannya
wanita itu mendadak melesat ke tengah udara sembari kebas tangannya dan lima butir
Pengpok Sintan lantas masuk kedalam tangan bajunya. "Senjata rahasia ini aku belum
pernah lihat," katanya sembari tertawa. "Nona, kita belum kenal satu sama lain, tapi
kenapa, begitu bertemu muka, kau lantas menyerang dengan senjata yang begitu hebat?"
Pengtjoan Thianlie yang pernah rasakan liehaynya wanita itu, lantas duga dirinya mau
dipermainkan lagi. Ia tahu tak akan dapat loloskan diri dan segera hentikan tindakannya.
"Jika kau benar-benar seorang pandai dari tingkatan tua, tidaklah pantas berulang kali kau
permainkan orang dari tingkatan muda," ia membentak. "Hm! Thiansan pay benar pandai
menghina pihak yang lemah. Sekarang aku baru percaya!"
Wanita itu terkejut dan berkata dalam hatinya: "Lagi kapan aku permainkan dia?
Kenapa dia memaki?"
Sebenarnya nyonya itu bukannya Phang Lin (ibunya Lie Kim Bwee), tapi Phang Eng,
ibunya Tong Keng Thian. Phang Lin dan Phang Eng adalah saudara kembar yang rupanya
bersamaan seperti pinang dibelah dua, tapi adatnya sangat berlainan bagaikan langit dan
bumi. Phang Eng adalah ahli warisnya Thiansan Liehiap Ie Lan Tjoe dan pernah dapat
pelajaran juga dari Lu Soe Nio, sehingga ilmu silatnya ada lebih tinggi dari suaminya, Tong
Siauw Lan, yang ketika itu jadi pemimpin dari Thiansan pay. Pada jaman itu, ilmu silatnya
Phang Eng tidak ada tandingannya di seluruh Tiongkok. Pertemuan di Puncak Onta pada
kali itu juga berada di bawah pimpinannya.
Melihat kegusarannya Pengtjoan Thianlie, Phang Eng yang lemah lembut berbalik jadi
kasihan. Tadinya ia ingin menanyakan lebih jauh, tapi sesudah dengar perkataannya si
nona, ia jadi
mundur tiga tindak dan berkata sembari tertawa:
"Pemandanganmu terhadap Thiansan pay agaknya terlalu mendalam! Baiklah, aku
sungkan mendesak kau. Jika kau tak sudi, aku juga tak mau menanyakan asal-usulmu."
"Peng-djie, hayo turun gunung!" berseru Pengtjoan Thianlie sembari enjot badannya
yang lantas melesat belasan tombak jauhnya. Melihat begitu, Phang Eng sendiri jadi
kagum dan berkata dalam hatinya: "Ketika berusia seperti dia, ilmu entengi badanku
masih belum begitu tinggi."
Selagi lari, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar seruannya Keng Thian. Lantaran
hatinya panas, ia menengok pun tidak. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di satu
lembah. Tiba-tiba saja terdengar suara tertawa. "Bwee-djie bilang, kau tentu datang, aku
tadinya belum mau percaya," kata seorang wanita yang mendadak menghadang di tengah
jalan. "Sekarang benar-benar kau berada disini. Tugas comblang rasanya harus dilakukan
juga!" Sehabis berkata begitu, ia tertawa bergelak-gelak, sehingga dua pita kupu-kupu
bergoyang-goyang di atas kepalanya. Pengtjoan Thianlie tak tahu, bahwa wanita itu
adalah Phang Lin. Ia kira Phang Lin adalah wanita yang barusan telan Pengpok Sintan
dan yang sekarang sengaja cegat padanya dengan potong jalan. Ia egos badannya dan
lari ke arah tanjakan dan selagi mau mencaci, dari gundukan batu di tanjakan itu
sekonyong-konyong loncat keluar satu orang yang ternyata Hiatsintjoe adanya!
Sesudah Liong Leng Kiauw ditahan oleh Hok Kong An, Hiatsintjoe tidak dapat berbuat
suatu apa. Ia cuma bisa perintah In Leng Tjoe pergi ke kota raja untuk memberi laporan
kepada Tjongkoan istana dan minta isterinya berdiam di Lhasa untuk mengamat-amati,
sedang ia sendiri segera kuntit Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie, dengan harapan bisa
dapat bantuannya satu dua
kawan di tengah jalan. Waktu Keng Thian bertiga tiba di atas Puncak Onta, sebab tidak
kenal jalan, ia baru sampai di pinggang gunung. Maka itulah, sebelum sampai di atas, ia
sudah bertemu dengan Pengtjoan Thianlie yang sedang kabur ke bawah gunung Mostako.
Begitu bertemu si nona, Hiatsintjoe terkesiap. Tapi melihat Pengtjoan Thianlie cuma
sendirian dan juga rupanya baru kena dikalahkan orang, diam-diam ia bergirang. Ia lantas
loncat keluar dari tempat sembunyinya dan menghantam sama tangannya.
Melihat di depan dicegat musuh dan di belakang diubar orang, Pengtjoan Thianlie
mengeiuh. Ia tidak berani mundur lantaran wanita yang berada di belakangnya merupakan
lawanan yang terlalu berat dan sesudah berpikir beberapa saat, ia ambil putusan untuk
terjang musuh yang di depan. Dengan sekali ayun tangannya, ia lepaskan tiga butir
Pengpok Sintan dan sesudah cabut Pengpok Hankong kiam, ia segera menerjang dengan
sepenuh tenaga.
Mengetahui liehaynya peluru itu, Hiatsintjoe mengegos sembari maju setindak,
sehingga di lain saat, ia sudah berdampingan dengan si nona. Dengan ilmu Kinna
Tjhioehoat (Ilmu menangkap dengan tangan), ia sambar pedangnya Pengtjoan Thianlie.
Selagi si nona mau membabat sama pedangnya, mendadak ia rasakan lehernya ditiup
angin dingin dan kupingnya dengar orang berkata: "Hawa hari ini benar-benar luar biasa,
ada dingin, ada panas!" Itulah Phang Lin yang setelah melihat sambaran hawa panas dari
tangannya Hiatsintjoe dan hawa dingin dari Pengpok Hankong kiam, jadi timbul
kegembiraannya dan tiup lehernya kedua orang itu. Mendapat kesempatan, sembari kelit,
Pengtjoan Thianlie lalu kabur ke arah tanjakan.
Hiatsintjoe yang tidak kenal siapa adanya nyonya itu, bukan main gusarnya dan lalu
menghantam sama tangannya.
Sesudah tiba di tanjakan, lapat-lapat Pengtjoan Thianlie dengar teriakannya Keng
Thian. Hatinya jadi bergoncang dan ia pertahankan tindakannya. Sekonyong-konyong,
dari ujung tanjakan muncul keluar dua pemuda baju hitam yang tadi berada sama-sama
Lie Kim Bwee. "Tinggalkan pedangmu! Baru boleh turun gunung!" berseru salah satu
pemuda itu.
Salah satu antara dua pemuda itu adalah kakaknya Lie Kim Bwee yang bernama Lie
Tjeng Lian, sedang yang satunya lagi adalah muridnya Tong Siauw Lan yang bernama
Tjiong Tian, cucu keponakannya Tjiong Ban Tong (Pemimpin Boekek pay). Mereka berdua
yang bersamaan usia dan bersamaan pula pakaiannya adalah seperti saudara kandung.
Tadi mereka sudah kena diobor oleh Boe-sie Hengtee dan sengaja cegat baliknya
Pengtjoan Thianlie untuk tolong balaskan sakit hatinya kedua saudara Boe itu.
Alisnya si nona jadi berdiri bahna gusarnya. "Aku tadinya tak percaya murid-murid
Thiansan begitu jago-jagoan!" katanya dengan suara tawar, la jejak kakinya dan bagaikan
kilat sudah berada di hadapannya kedua pemuda itu. Dengan gerakan Tjianli penghong
(Ribuan li es menutup), ia membuat satu lingkaran dengan pedangnya dan kedua pedang
lawannya lantas saja terkurung di dalam sinar Pengpok Hankong kiam. Tadi, jarak antara
Pengtjoan Thianlie dan kedua pemuda itu ada kira-kira belasan tombak. Jika si nona
menggunakan ilmu entengi badan yang biasa, mereka berdua masih mempunyai
kesempatan untuk bersiap. Tak dinyana, kali itu Pengtjoan Thianlie menggunakan Hoasoat
(Menyerosot di salju) yang tiada tandingannya dalam dunia dan lebih cepat daripada ilmu
Lioktee hoeiteng (Terbang di atas tanah). Suara dan manusianya tiba hampir berbareng
dan sebelum kedua pemuda dapat bergerak lebih jauh, pedang mereka sudah berada
dalam kurungan Hankong kiam. Mereka terkejut bukan main. Baru Hankong kiam diputar
beberapa kali, Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian sudah merasa kewalahan dan hampir-
hampir saja pedangnya kena dibikin terpental. Si nona yang sedang panas hatinya tak
sungkan-sungkan lagi dan terus desak lawannya secara hebat.
Tjiong Tian yang berdiri di sebelah kanannya Pengtjoan Thianlie, adalah murid satu-
satunya dari Tong Siauw Lan. Walaupun ilmu silatnya belum matang seperti Tong Keng
Thian, tapi ia sudah dapat menyelami isinya Thiansan Kiamhoat. Selagi keteter, ia tak jadi
bingung dan mendadakan saja ingat satu cara untuk membela diri.
Tiba-tiba ia robah cara bersilatnya dan menyerang dengan gerakan Kanghay lengkong
(Sungai dan lautan membeku sinar). Pukulan itu adalah salah satu pukulan dari ilmu
pedang Thaysiebie yang digubah untuk pertahankan diri terhadap lawan yang lebih kuat.
Dengan Kanghay lengkong, semua tenaga dalam dipusatkan di ujung pedang. Pengtjoan
Thianlie yang sedang gembira jadi
kaget sekali, ketika dapat kenyataan pedangnya lawan tak dapat lagi disampok terpental.
Di lain saat, Lie Tjeng Lian yang mempunyai kepandaian lebih tinggi dari adiknya, tidak
mau sia-siakan kesempatan yang baik dan lalu kirim beberapa serangan dengan ilmu
silatnya Pekhoat Molie.
Jika satu sama satu, memang kepandaiannya Pengtjoan Thianlie ada lebih tinggi dari
kedua pemuda itu. Akan tetapi dengan dua lawan satu, si nona jadi berada di bawah
angin. Barusan, berkat ilmu Hoasoat, ia dapat mendahului menyerang dan sudah bikin
dua lawannya menjadi repot. Tapi itu adalah untuk sementara waktu saja. Sesudah Tjiong
Tian dan Lie Tjeng Lian dapat tetapkan hatinya dan bersilat secara tenang, Pengtjoan
Thianlie mulai rasakan beratnya sang lawan. Akan tetapi, lantaran sudah pernah lihat cara
bersilatnya Lie Kim Bwee dan juga lantaran biasa bersilat di atas salju yang licin, sesudah
tiga puluh jurus, Pengtjoan Thianlie masih terus dapat melayani secara berimbang.
Melihat begitu, diam-diam Lie Tjeng Lian dan Tjiong Tian merasa terkejut berbareng
kagum. Pengtjoan Thianlie juga tidak kurang kagumnya dan mesti akui, bahwa murid-
murid Thiansan pay benar-benar tidak boleh dipandang enteng. Sedang serunya mereka
bertempur, sekonyong-konyong terdengar suara teriakan seorang wanita dari atas
gunung: "Lian-djie! Tian-djie! Biarkan dia pergi! Lekas balik!"
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Suara itu terang-terangan datang dari Puncak Onta yang
jauh, en toh kedengarannya seperti di dalam kuping! Apa yang lebih mengherankan
adalah: Wanita setengah tua itu toh sedang layani Hiatsintjoe di tanjakan gunung, tapi
kenapa sekarang suaranya datang dari atas gunung? Si nona tak tahu, bahwa yang
sedang layani Hiatsintjoe adalah Phang Lin, sedang yang panggil Tjeng Lian dan Tjiong
Tian adalah Phang Eng.
Mendengar panggilan itu, Tjeng Lian dan Tjiong Tian tak berani membantah. Mereka
mendesak hebat dengan berharap si nona mundur beberapa tindak, supaya dapat
undurkan diri. Tapi Pengtjoan Thianlie yang beradat tinggi bukan saja tidak mau
memberikan kesempatan, tapi malahan segera ambil putusan untuk jatuhkan lawannya.
Demikianlah, selagi kedua pemuda itu mau tarik pulang pedangnya, ia barengi dengan
dua kali babatan. Tjiong Tian masih dapat tolong dirinya, tapi Lie Tjeng Lian yang
terlambat sedikit kena disontek pedangnya yang lantas terbang ke tengah udara!
"Hm! Coba lihat siapa yang keok?" kata Pengtjoan Thianlie sembari menyingkir dengan
ilmu Hoasoat. Tjeng Lian berteriak-teriak bahna gusarnya, tapi ia tidak dapat berbuat lain
daripada pulang ke gunung bersama sahabatnya.
Sekarang marilah kita tengok Keng Thian yang tadinya dengan pancing Pengtjoan
Thianlie ke atas Puncak Onta, ingin
mempertemukan si nona dengan kedua orang tuanya, supaya dapat singkirkan
ganjelan yang dahulu. Tapi siapa nyana, si nona sudah keliru sangka ibunya sebagai
bibinya dan tanpa banyak bicara lantas menimpuk dengan Pengpok Sintan. Keng Thian
tahu, ibunya yang pendiam tidak boleh dibuat gegabah, beda jauh dengan bibinya yang
suka bercanda. Begitu lihat si jelita menimpuk, hatinya mencelos! la sangat kuatir, dengan
adanya peristiwa itu, sang ibu akan
membenci kecintaannya. Dalam kebingungannya, ia sudah diganggu oleh Kim Bwee yang
nakal dan sesudah buang banyak tempo yang berharga, barulah ia dapat mengubar.
Pengtjoan Thianlie lari terus tanpa ladeni segala teriakannya Keng Thian, yang juga tak
kenal sudah dan terus mengubar dengan sekuat tenaga. Semakin lama, jarak antara
mereka jadi semakin dekat dan sesudah Keng Thian berada belasan tombak dari dirinya,
barulah si nona menengok sembari keluarkan suara di hidung.
"Peng Go Tjietjie, dengarlah dahulu omonganku!" berseru Keng Thian.
Pengtjoan Thianlie pungut segumpal salju yang lantas ditimpukan ke mukanya si
pemuda. "Baru sekarang aku tahu kau siapa!" ia membentak. "Aku dibuat bahan guyonan
olehmu!" Dengan ilmu Hoasoat, ia kembali sudah terpisah jauh dari Keng Thian.
"Sesudah dengar omonganku, masih belum terlambat kalau kau mau pergi juga,"
mengeluh Keng Thian.
Si nona kembali menimpuk dengan bola salju. "Siapa mau dengar ocehanmu!"
membentak ia. "Sudah, kau jangan bicara lagi sama aku!"
Sebagai seorang yang masih mempunyai keangkuhan,
mendengar itu Keng Thian segera hentikan tindakannya. Sedang ia putar otaknya untuk
mencari lain jalan, dari atas Puncak Onta mendadak terdengar suara ibunya: "Keng-djie,
balik!" Beberapa saat kemudian, terdengar suara yang angker: "Keng-djie, tak boleh kau
halangi nona itu!" Itulah suara ayahnya, Tong Siauw Lan.
Waktu baru bertemu, Tong Siauw Lan suami isteri duga Pengtjoan Thianlie adalah
sahabat puteranya. Meskipun merasa kurang senang puteranya bawa-bawa orang luar
kesitu, mereka tidak merasa terlalu keberatan. Belakangan, setelah tanpa sebab, si nona
menyerang dengan Pcngpok Sintan, mereka jadi salah menaksir. Mereka taksir nona itu
adalah muridnya salah satu siapay (cabang persilatan yang kotor) yang sengaja dikirim
kesitu untuk coba mengacau. Mereka malahan menduga, bahwa nona itu sudah digiring
ke Puncak Onta oleh Keng Thian, supaya mereka dapat menjatuhkan hukuman. Akan
tetapi, mengingat tingkatannya yang tinggi dalam Rimba Persilatan, Tong Siauw Lan
suami isteri sungkan menyusahkan orang yang tingkatannya lebih rendah. Terlebih pula,
tadi Phang Eng sendiri sudah membiarkan ia turun gunung. Oleh karena begitu, mereka
lantas teriaki puteranya untuk larang sang putera menghalangi perginya si nona.
Keng Thian tentu saja tidak berani membantah perintah kedua orang tuanya. Dengan
mata mendelong, ia mengawasi si nona yang kabur dengan gunakan ilmu Hoasoat dan
dalam tempo sekejapan saja, badannya berubah seperti satu titik hitam, akan kemudian
menghilang dari pandangan.
Dengan pikiran kusut, perlahan-lahan Keng Thian mendaki gunung. Sesampainya di
pinggang gunung, ia bertemu bibinya yang sedang permainkan Hiatsintjoe. "Keng-djie!"
berseru sang bibi. "Lihat, aku sedang main-main dengan monyet tua ini. Lihat yang benar!
Pukulan ini mesti kau pelajari!" Sehabis berseru, ia tiup lawannya! Hiatsintjoe jadi kalap.
Dengan kuping yang sudah terlatih, ia tahu si nyonya sedang berada di belakangnya.
Sembari berbalik, ia menghantam dengan sekuat tenaga.
Phang Lin pentang tiga jerijinya dan dengan meniru caranya Niauw-eng (semacam
burung elang), ia sambar nadinya Hiatsintjoe. Nadi adalah bagian tubuh yang sangat
berbahaya. Jika nadi kena dicekel, biar bagaimana pandai pun, ia bakalan tidak berdaya
lagi. Secepat mungkin, Hiatsintjoe tarik pulang tangannya, tapi toh masih kena juga
kepentil, sehingga tanpa tercegah lagi, tangannya balik menggaplok mukanya yang lantas
saja menjadi bengkak!
"Pukulan itu dinamakan pukulan gaplok diri sendiri!" kata si nyonya sembari tertawa
besar. Tong Keng Thian sebenarnya lagi sangat jengkel. Tapi mendengar omongan
bibinya yang sangat jail itu, ia jadi tertawa berkakakan.
Puluhan tahun Hiatsintjoe berlatih dan sebegitu jauh ia merasa kepandaiannya sudah
tiada tandingannya lagi. Tapi siapa nyana, baru saja turun gunung, beruntun dua kali ia
kena tubruk tembok. Tidaklah heran jika ia jadi berteriak-teriak seperti orang gila dan
lantas ambil putusan untuk bertempur mati-matian. Lebih dahulu ia tutup semua bagian
badannya yang berbahaya dan kemudian kerahkan seluruh tenaga dalamnya sampai
pada kedua tangannya yang lantas digunakan untuk serang Phang Lin secara nekat-
nekatan. Bukan main hebatnya pukulan-pukulan itu. Keng Thian yang berdiri dalam jarak
tiga tombak, masih dapat rasakan hawa yang sangat panas!
"Aku sungguh sebal menghadapi setan kecil ini," kata Phang Lin sembari kerutkan
alisnya. "Anjing kecil bisa juga ngambek! Hm! Baiklah, aku kasih kau sedikit ajaran!" Ia
berpaling kepada Keng Thian dan berkata: "Eh, Keng-djie! Kau tahu, siapa adanya
siluman tua ini?"
"Anjingnya kerajaan Tjeng," jawab sang keponakan.
Phang Lin tanya begitu lantaran mau menimbang berat entengnya hukuman yang ia
mau jatuhkan. Begitu dengar jawaban Keng Thian, ia tertawa gembira sekali.
"Bagus! Bagus!" katanya. "Kau andalkan kedua tangan anjingmu untuk hinakan orang,
baiklah aku putuskan dua tangan anjing itu!"
"Iebo (bibi), pakailah pedangku," kata Keng Thian.
"Hm, masakah untuk kutungkan tangan anjing saja aku memerlukan pedang wasiat,"
kata si nyonya. "Kau lihat saja."
Phang Lin tertawa bergelak-gelak sehingga kedua kupu sutera yang dipasang pada
rambutnya, jadi tergoyang-goyang.
Mendadakan, ia raba kepalanya dan copotkan dua kupu-kupu itu, yang ternyata dibuat
dari puluhan lembar benang sutera berwarna. Ia buka benang-benang itu yang lantas saja
melayang-layang di tengah udara.
"Nah, kau lihat biar betul," kata sang bibi sembari menengok kepada Keng Thian.
Kedua tangannya pegang benang-benang itu yang lantas disabetkan ke arah Hiatsintjoe.
"Perempuan siluman! Sungguh kau menghina aku!" membentak Hiatsintjoe sembari
membabat dengan dua tangannya. Sedikitpun ia tidak percaya, benang yang begitu halus
dapat mengikat tangannya. Tapi siapa nyana, benang-benang itu yang tidak dapat
dicengkeram dan juga tidak dapat diputuskan dengan sabatan tangan, melayang terus ke
arah kedua tangannya yang dalam sekejap lantas kena terikat dan tidak dapat bergerak
lagi!
Ternyata, diam-diam Phang Lin sudah kerahkan tenaga dalamnya sampai pada
benang-benang itu yang lantas berobah sifatnya seperti kawat baja. Demikianlah, seorang
yang tenaga dalamnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, dapat binasakan
musuhnya dengan selembar daun atau sekuntum bunga.
Dalam Rimba Persilatan, tidak ada orang yang mempunyai begitu banyak macam
kepandaian seperti Phang Lin. Ilmu yang barusan dikeluarkan olehnya berasal dari sekte
Topi Merah di Tibet. Orang Tibet suka tangkap badak dengan menggunakan laso. Oleh
karena sang badak mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya, kecuali kalau kejirat kaki
depannya, tambang laso dengan mudah dapat dibikin putus olehnya. Melihat cara
menangkap badak itu, Tjouwsoe sekte Topi Merah yang bernama Khalpa segera
menggubah semacam ilmu untuk jirat nadinya musuh dengan tambang lemas. Jika nadi
kena diikat, biar orang itu mempunyai tenaga yang bagaimana besar juga, ia pasti tidak
berdaya lagi. Waktu masih kecil, selagi berdiam dalam gedungnya Soehongtjoe (putera
kaizar yang ke empat) In Tjeng (belakangan jadi kaizar Yongtjeng), Phang Lin telah
pelajari ilmu tersebut. Belakangan, sesudah undurkan diri ke Thiansan dan pelajari
Lweekeh Khiekang, ia dapat kerahkan tenaga dalamnya sampai pada benang-benang
halus yang lantas berobah sifatnya jadi seperti kawat baja.
Begitulah, dengan terjiratnya kedua nadi, darahnya Hiatsintjoe tidak dapat berjalan
benar, sehingga bukan saja ia rasakan kesakitan hebat, tapi napasnya juga lantas menjadi
sesak. Ia tak dapat kerahkan tenaga dalamnya, matanya melotot dan tak dapat
mengeluarkan suara.
Melihat begitu, Keng Thian taksir, setengah jam lagi, biarpun kedua tangannya tidak
sampai menjadi putus, Hiatsintjoe pasti akan binasa. Tiba-tiba dengan berkelebatnya
bayangan orang di puncak seberang, terdengar teriakan: "Lin-moay, guyonanmu sudah
sedikit keterlaluan!" Orang yang berseru begitu adalah Tong Siauw Lan.
"Kau tak tahu kejahatannya manusia ini," jawab Phang Lin. "Dia adalah kaki tangannya
bangsa Boan!"
Sesudah dapat tahu siapa yang terikat kedua tangannya, Tong Siauw Lan segera
berseru lagi: "Orang itu dahulu pernah dilepaskan oleh Popo-mu (mertuanya Phang Lin,
Boe Kheng Yao). Bukan gampang dia berlatih beberapa puluh tahun. Jika tidak melanggar
kedosaan besar, baik kau lepaskan padanya."
"Lin-moay!" Phang Eng turut berseru dari Puncak Onta. "Kau masih suka umbar adat
seperti anak-anak. Lepas padanya! Tak senang aku lihat paras mukanya."
Phang Lin paling segani kakaknya. Sembari mesem-mesem, ia lepaskan benangnya
seraya berkata: "Baiklah. Jika lain kali manusia ini satrukan Keng-djie, aku tak akan ladeni
lagi segala perintahmu."
Begitu lekas ikatan terbuka, Hiatsintjoe tarik napas dalam-dalam sembari loncat
menyingkir. Ia lihat di seputar nadinya terdapat tanda seperti kena dibakar dan ugal-
ugalan tangannya masih sukar digerakkan. Mendengar
panggilannya Siauw Lan, ia tahu wanita itu adalah ie-ie-nya (saudara perempuan dari
isteri). Ia juga tahu, kepandaiannya Tong Siauw Lan suami isteri ada terlebih tinggi
daripada Phang Lin dan mengingat begitu, ia jadi bergidik, sebab dahulu ia pernah tantang
Siauw Lan mengadu silat. Tanpa berkata sepatah kata, buru-buru ia kabur ke bawah
gunung.
"Keng-djie, mari!" berseru Tong Siauw Lan sembari balik ke Puncak Onta dengan diikuti
oleh puteranya. Mereka masuk ke dalam gua tengah. Gua-gua itu semua dibuat untuk
keperluan pertemuan Thiansan pay kali itu. Gua yang di tengah adalah untuk Tong Siauw
Lan suami isteri.
Sesudah ajak puteranya masuk, Siauw Lan undang juga Lie Tie dan Phang Lin dan
kemudian barulah menanya: "Keng-djie, siapa nona itu? Apa kau kenal? Kenapa begitu
bertemu, dia lantas timpuk ibumu dengan peluru es?"
"Ia biasa dipanggil Pengtjoan Thianlie," jawab sang putera. Oleh karena sudah dua
puluh tahun Siauw Lan tidak pernah ceburkan diri ke dalam dunia Kangouw, ia jadi heran
mendengar nama itu. "Nama itu kedengarannya aneh sekali," katanya.
"Timpukannya indah sekali!" Phang Lin menyeletuk sembari tertawa.
"Apa?" tanya sang kakak. "Tjietjie, kaulah yang kena getahnya," kata Phang Lin
sembari ha-ha, hi-hi. "Dia sebenarnya mau hajar aku!"
Phang Eng kenal adat adiknya.
"Tentulah kau yang sudah ganggu padanya," kata ia. "Aku lihat dia, rasanya kasihan,
tapi kau permainkan padanya. Tua-tua tak tahu harga diri!"
"Tjietjie rewel sekali," jawab si adik. "Sang menantu belum masuk, kau sudah bantu dia
menyerang diriku. Aku cuma main-main
sedikit. Siapa hinakan padanya?" "Keng-djie, kalau begitu, nona itu benar kau yang
bawa kemari untuk menemui kami, bukan?"
Phang Eng tanya puteranya.
"Ibu jangan dengari omongannya Le-ie," jawab Keng Thian.
"Tjietjie, kau tak tahu, mereka berdua sudah bergaul rapat sekali dan luar biasa
manisnya!" menggoda Phang Lin yang lantas tuturkan segala pengalamannya waktu
bertemu Pengtjoan Thianlie pada malam itu. "Sekarang kau masih berani menyangkal,
bahwa dia memang dibawa olehmu kemari?" tanya si bibi sembari tunjuk keponakannya.
"Benar," jawab Keng Thian sembari tertawa. "Benar aku yang ajak ia datang kesini. Tapi
kalian belum tahu, siapa adanya ia."
"Kalau tahu, untuk apa kita tanya kau?" kata lagi Phang Lin.
"Ayah," kata Keng Thian. "Pada waktu kau perintah aku turun gunung, bukankah kau
pesan aku sekalian cari tahu dimana adanya Koei Hoa Seng Pehpeh? Koei Pehpeh sudah
meninggal dunia, Pengtjoan Thianlie adalah puteri tunggal dari Koei Pehpeh! Jadi dia
bukannya orang luar dan kalian tak dapat salahkan aku bawa-bawa orang luar datang
kemari."
Keterangan itu sudah membikin semua orang jadi girang tercampur kaget. Mereka
lantas saja minta keterangan yang lebih jelas. Keng Thian segera tuturkan segala
pengalamannya di keraton es, cara bagaimana ia minta si nona bantu lindungi guci emas
dan sebagainya. Ketika Keng Thian lukiskan keindahan keraton es yang seperti surga,
semua orang jadi terpesona dan seakan-akan sedang dengar cerita dongeng.
"Aku tak nyana, Koei Hoa Seng bisa mendapat pengalaman yang begitu luar biasa dan
mempunyai juga seorang puteri yang cantik bagaikan bidadari," kata Phang Eng.
"Nah, sekarang Tjietjie lekas-lekas perintah Keng-djie susul padanya," kata Phang Lin
dengan suara menggoda. "Kalau terlambat, bisa-bisa didahului orang!"
Keng Thian tak gubris godaan bibinya dan lantas berkata pada ayahnya: "Tapi ada satu
hal yang aku merasa sangat tidak mengerti. Kalau diusut, ia sebenarnya masih terhitung
anggauta dari keluarga Thiansan pay. Tapi kenapa, setiap kali aku menyebutkan namanya
Thiansan, ia lantas bersikap tawar dan seperti juga merasa kurang senang. Thiansan
yang menjadi tempat ziarahnya orang-orang Rimba Persilatan, di mata dia seakan-akan
satu tempat yang menyebalkan."
Tong Siauw Lan kerutkan alisnya. Ia juga tidak mengerti sikapnya Pengtjoan Thianlie
yang aneh. Phang Eng yang sangat cerdas lantas saja ingat satu kejadian dahulu. Ia
tertawa seraya berkata: "Lin-moay, urusan ini juga lantaran gara-garamu."
"Apa? Memang, segala apa kau salahkan aku!" kata sang adik sembari monyongkan
mulutnya. "Keng-djie," kata Phang Eng pada puteranya. "Sekarang biarlah aku tuturkan
satu cerita. Pada
kira-kira tiga puluh tahun berselang, ahli senjata rahasia nomor satu di kolong langit
adalah Tong Kim Hong dan dia mempunyai seorang menantu, Ong Go namanya, yang
telah lukakan ie-ie-mu dengan dengan jarum Pekbie tjiam. Dalam gusarnya, ie-ie-mu telah
bunuh mati padanya. Dengan bawa puterinya Tong Kim Hong datang untuk bikin
pembalasan. Ketika itu, aku sedang berdiam di rumahnya Shoatang Tayhiap Yo Tiong
Eng. Tong Kim Hong dan puterinya salah
anggap diriku sebagai ie-ie-mu. Bersama Yo Tayhiap, aku pukul mundur mereka dan salah
mengerti serta sakit hati jadi semakin mendalam. Koci Hoa Seng adalah sahabatnya
keluarga Tong. Untuk kedua kalinya, mereka menyatroni bersama-sama Koei Hoa Seng.
Kami semua waktu itu tidak mengetahui, bahwa Koei Hoa Seng adalah puteranya Koci
Tiong Beng. Ilmu pedangnya Koei Hoa Seng sangat liehay dan ia sudah bikin puterinya Yo
Tayhiap kecebur di dalam telaga dan kemudian diseret air deras." Berkata sampai disini,
Phang Eng awasi suaminya sembari tertawa. Puterinya Yo Tiong Eng, yang bernama Yo
Lioe Tjeng, dahulu adalah tunangannya Tong Siauw Lan dan sesudah pertunangan
diputuskan, barulah Siauw Lan menikah sama Phang Eng.
"Hari itu, ayahmu justru berada disitu," Phang Eng teruskan penuturannya. "Dalam
gusarnya, ia segera mau lakukan pertempuran mati hidup dengan Koei Hoa Seng.
Belakangan dengan
gunakan Thiansan Kiamhoat kita desak ia sampai hampir-hampir jatuh ke dalam telaga
dan tewas
jiwanya. Beruntung Lu Soe Nio keburu datang sehingga jiwanya ketolongan. Sesudah
lewat beberapa lama diketahui bahwa Yo Kouwkouw tidak mati di dalam air. Sebab sudah
lama, sekarang ternyata ayahmu sudah lupakan kejadian itu. Sedari waktu itu, Koei Hoa
Seng menghilang. Mungkin sekali, itulah kejadiannya yang ia tak dapat lupakan."
"Oh, begitu?" kata Keng Thian. "Sekarang aku tak heran lagi." "Apa?" tanya ibunya.
"Tak heran kalau Koei Hoa Seng Pehpeh pergi merantau ke lain negara dan dengan
memetik bagian-bagian yang liehay dari ilmu pedang Tionghoa dan Barat, menggubah
semacam ilmu pedang baru," menerangkan sang putera. "Juga tak heran kalau Pengtjoan
Thianlie selalu ingin jajal ilmu silatku."
Tong Siauw Lan menghela napas. "Tak nyana Koei Hoa Seng mempunyai keinginan
mau menang yang begitu besar," katanya.
"Aku sendiri sebaliknya hargakan ia," kata sang isteri. "Dengan cara begitu, ilmu
pedang Tionghoa jadi bertambah maju. Bukankah kejadian itu harus dibuat girang?"
Siauw Lan manggut-manggutkan kepalanya, tapi tidak berkata suatu apa lagi.
"Ibu," Keng Thian mendadak berkata lagi. "Barusan kau bilang, ahli senjata rahasia
nomor satu di kolong langit adalah Tong Kim Hong. Apakah ia itu bukannya yang biasa
dipanggil Tong Djie Sianseng?"
"Bagaimana kau tahu?" tanya si ibu dengan perasaan heran.
"Apa Tong Djie Sianseng mempunyai murid?" Keng Thian menanya pula.
Paras mukanya Siauw Lan jadi sedikit berobah. "Keng-djie, dengan siapa kau sudah
bertemu?" tanya ia.
"Ada orang kasihkan aku semacam barang untuk diserahkan kepada ayah,"
menerangkan sang putera. "Ia bilang, barang itu sebenarnya milik keluarga kita."
Semua orang jadi merasa heran. "Coba kasihkan kepadaku," kata Siauw Lan.
Keng Thian segera keluarkan batu giok yang ia dapat dari Liong Leng Kiauw dan
serahkan itu kepada ayahnya. Sesudah permainkan batu pualam tersebut dalam
tangannya Siauw Lan menghela napas dan segala kejadian di jaman lampau kembali
terbayang di depan matanya.
"Siapa yang kasih?" tanya Phang Eng.
"Orangnya Hok Kong An, yang dikenal sebagai Liong Leng Kiauw," jawab sang putera.
Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya. "She Liong?" ia menegasi. "Tidak, tak bisa.
Orang yang simpan Han-giok ini pasti bukannya orang biasa. Aku rasa, nama itu mesti
nama samaran."
"Benar, ayah," kata Keng Thian. "Hiatsintjoe pun bilang, ia tentu gunakan nama palsu.
Ia dikatakan sedang berusaha melakukan pekerjaan yang melanggar undang-undang.
Tapi Hiatsintjoe cuma tahu ia itu adalah muridnya Tong Kim Hong dan tak tahu namanya
yang sejati. Ayah, siapakah dia?"
"Puteranya Lian Keng Giauw!" jawab sang ayah.
Tong Keng Thian terkesiap mendengar nama itu. Lian Keng Giauw adalah jagoan yang
dahulu menjadi satru terutama dari suami isteri Tong Siauw Lan, Kanglam Tjithiap (Tujuh
Pendekar Kanglam) dan lain-lain orang gagah dari Rimba Persilatan. Cerita-cerita yang
menggetarkan hati dari orang she Lian itu, Keng Thian sudah sering dengar dari kedua
orang tuanya.
"Ah, puteranya Lian Keng Giauw!" kata Keng Thian. "Tak heran, kalau ia mengadakan
persekutuan dengan para Touwsoe di Lhasa. Dilihat begini, ia agaknya mau dirikan
kerajaan baru di daerah perbatasan, supaya jika berhasil dapat jatuhkan kerajaan Tjeng,
kalau gagal, bisa mundur dan jaga daerahnya sendiri. Tapinya, Tibet mempunyai latar
belakang yang sangat sulit.
Jika ia bergerak, kemungkinan besar orang luar akan gunakan kesempatan itu untuk
masuk ke Tibet."
"Tak salah pandanganmu, anak," kata Tong Siauw Lan.
"Tapi kenapa kau bisa pastikan dia anaknya Lian Keng Giauw?" tanya Phang Lin.
"Pada waktu In Tjeng baru naik ke atas tahta kerajaan, diam-diam aku telah masuk ke
keraton," menerangkan Siauw Lan. "Disitu aku kena ditangkap oleh Haputo dan Liauw In.
Han-giok pemberian Kaizar Konghie kena dirampas oleh mereka. Lian Keng Giauw adalah
seperti juga majikannya kedua orang itu. Aku merasa pasti, batu giok tersebut tidak
diserahkan kepada Yong Tjeng, tapi kepada Lian Keng Giauw."
"Jika orang itu benar-benar puteranya Lian Keng Giauw dan hal ini dapat diketahui oleh
si kaizar, ia tentu mesti mati," kata lagi Phang Lin. "Bagaimana pikiranmu: Apa kau
bersedia menolong padanya atau tidak?"
"Musuh besar kita adalah ayahnya dan bukan dia," jawab Siauw Lan. "Dalam
gerakannya menentang kerajaan Tjeng, rasanya ia akan berusaha tarik tangan kita.
Dengan menyerahkan batu giok itu kepada Keng-djie, ia pasti mempunyai maksud yang
dalam."
"Sudah terang, ia mau bergandengan tangan dengan kita," kata Phang Eng.
Mendadak Phang Lin menghela napas panjang. "Hm!" katanya. "Sampai sekarang
begitu dengar orang menyebut namanya Lian Keng Giauw, aku lantas merasa mendeluh.
Harap saja anaknya tidak seperti bapaknya."
Mendengar bibinya menghela napas panjang, Keng Thian jadi merasa agak heran,
sebab sang bibi biasanya tak kenal jengkel dan selalu suka bercanda. Keng Thian tidak
tahu, bahwa dahulu, waktu masih kecil, bibi itu dikukut dalam rumah keluarga Lian dan
Lian Keng Giauw adalah kawan bermainnya. Sesudah besar. Lian Keng Giauw jatuh cinta
padanya, tapi Phang Lin yang belakangan mengetahui bahwa orang she Lian itu busuk
hatinya, jadi berbalik benci padanya. Tapi biar bagaimana juga, sedikit banyak ia masih
ingat perhubungan yang dahulu. Maka itu, mendengar warta tentang puteranya Lian Keng
Giauw, ia jadi menarik napas panjang.
Phang Eng mesem melihat sikap adiknya. "Aku pun mengharap anaknya jangan turut-
turut kebusukan ayahnya," kata ia. "Tapi, oleh karena belum mengetahui benar latar
belakangnya, kita tidak boleh sembarangan menolong. Begini saja: Keng -djie, bukankah
kau mau pergi ke Soetjoan? Sekalian jalan, baik kau mampir pada keluarga Tong dan
beritahukan halnya Liong Leng Kiauw. Keluarga Tong adalah keluarga yang terkenal
dalam Rimba Persilatan dan menurut peraturan Kangouw, merekalah yang berhak campur
tangan."
Keng Thian yang tadinya kuatir kedua orang tuanya akan menahan ia, jadi merasa
girang sekali. Sesudah berdiam beberapa saat, Phang Eng tertawa seraya berkata: "Jika
kau bertemu dengan Koei Moaymoay (Pengtjoan Thianlie), bilanglah, bahwa aku sangat
suka padanya. Kau juga boleh minta Moh Pehpeh membujuk ia, supaya ganjelan dahulu
dibikin habis saja. Undanglah ia untuk datang kesini tiga tahun kemudian."
"Eh, Keng-djie," Phang Lin mendadak menyeletuk dengan paras sungguh-sungguh.
"Aku ajarkan kau satu siasat yang sangat bagus. Coba kau ajak ia adu pedang lagi dan
sengaja berlagak kalah dalam pertandingan itu. Aku merasa pasti, dengan jalan begitu
hatinya akan merasa puas."
Siauw Lan geleng-gelengkan kepalanya mendengar ajaran itu. "Ah, inilah yang
dinamakan orang tua tidak tahu tuanya," kata ia. "Sekarang kau berbalik mengajar anak-
anak jadi orang palsu." Mendengar tegoran itu, Phang Lin jadi tertawa geli sekali.
Pada besok harinya, Tong Keng Thian kembali turun dari Puncak Onta dan berjalan
menuju ke jurusan timur. Jalan yang semula diambilnya adalah dari Siamsay terus ke
Soetjoan. Akan tetapi, oleh karena sudah mengambil jalan mutar, maka sekarang ia harus
masuk ke Tjenghay, akan kemudian menuju ke Soetjoan barat.
Sesudah berjalan belasan hari, tibalah Keng Thian di padang rumput Tsaidam yang
terletak di Tjenghay tengah. Padang rumput itu luas luar biasa dan meskipun di sana-sini
terdapat pasir serta tanah yang berwarna kuning, akan tetapi pada umumnya daerah itu
gemuk tanahnya. Dengan hati yang lapang, Keng Thian larikan kudanya di padang rumput
itu, dengan saban-saban bertemu rombongan-rombongan kambing liar yang pada lari
serabutan jika bertemu manusia. Melihat itu
semua, Keng Thian sungguh merasa tidak mengerti, kenapa tanah yang sedemikian kaya
dibiarkan tinggal tersia-sia.
Selagi enak berjalan, kupingnya mendadak mendengar suara kelenengan kuda dan
serombongan pelancong kelihatan mendatangi dari sebelah depan. Di antara mereka itu
terdapat lelaki dan perempuan, tua dan muda. Keng Thian merasa heran. "Sekarang
adalah permulaan musim semi dan menurut kebiasaan, hanya orang -orang dari sebelah
utara yang datang ke selatan," katanya di dalam hati. "Kenapa orang-orang ini dari selatan
datang kemari?"
Waktu hampir berpapasan, hatinya jadi lebih heran lagi, oleh karena mereka kelihatan
seperti orang sedang kebingungan, seolah-olah orang hukuman yang sedang melarikan
diri. Ia segera majukan kudanya dan menanya seorang tua yang berjalan paling depan.
Orang tua itu mengawasi ia seraya berkata: "Apakah kau sendirian?"
"Benar," sahut Keng Thian. "Bolehkah aku menanya, kenapa Loopeh meninggalkan
daerah selatan yang sangat subur? Apakah kalian hendak pergi ke Tibet untuk
berdagang?"
Si tua menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika kau seorang diri, tak halangan berjalan
terus," katanya. "Dua hari lagi, kau akan tiba di kota Naichi, satu kota besar yang berada
di bawah kekuasaan Tukuhun Khan."
"Kenapa, jika seorang diri tak ada halangan untuk aku berjalan terus?" tanya Keng
Thian dengan suara heran.
"Entah kenapa, sedari beberapa waktu berselang, Hoat-ong (Raja Agama) dari Lhama
sekte Topi Putih telah mencari wanita-wanita muda yang berparas cantik. Setiap wanita
yang datang dari tempat lain, asal ia berparas cantik, tak ampun akan ditangkap, jika
bertemu dengan orang-orangnya Hoat-ong. Oleh karena itu, semua orang jadi ketakutan.
Ketika melewati kota itu, kami semua tak berani berhenti mengasoh dan terus kabur
secepat mungkin. Menurut pendengaran, lagi kemarin dulu, seorang tetamu wanita yang
berparas cantik dan pandai silat, sudah kena dibekuk oleh mereka!"
"Hoat-ong sekte Topi Putih toh bukannya kaizar, untuk apa ia mencari wanita-wanita
cantik?" menanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Kami pun tak tahu," sahut orang tua itu. "Ada orang berkata, mereka mau
dipersembahkan kepada malaikat. Ah! Sungguh menakutkan! Baik juga, mereka hanya
menangkap wanita. Orang lelaki sama sekali tidak diganggu. Oleh karena itu, kau boleh
tak usah kuatir."
Keng Thian kerutkan alisnya, hatinya sangat bersangsi. "Hoat-ong sekte Topi Putih
adalah pemimpin dari satu cabang agama," katanya dalam hati. "Sungguh aku tak
percaya, jika ia dikatakan melakukan perbuatan yang tidak patut. Selain itu, agama Lhama
masih merupakan satu cabang dari agama Budha dan aku belum pernah mendengar
kaum Lhama memerlukan Tong-lam-lie (anak lelaki dan perempuan) untuk sembahyangi
malaikat. Bagaimana sih, duduknya persoalan yang sebenarnya? Aku sebetulnya tak ingin
pergi ke Naichi, tapi ada baiknya juga jika aku mampir disitu untuk menyelidiki."
Memikir begitu, sesudah berpisah dengan rombongan itu, Keng Thian segera menuju
ke kota tersebut.
Pada esok harinya, kira-kira tengah hari, Keng Thian tiba di kota Naichi. Naichi terletak
di pinggir Tsaidam dan terhitung salah satu kota besar di wilayah Tjenghay, akan tetapi,
dengan jumlah penduduk yang belum cukup sepuluh ribu jiwa, Naichi tentu saja tak dapat
dibandingkan dengan kota-kota di wilayah Tionggoan.
Dalam kota tersebut hanya terdapat beberapa jalan dan kecuali rumah-rumah makan
serta penginapan, pintu rumah-rumah penduduk hampir semua terkunci rapat-rapat,
sehingga memberi kesan yang agak menyedihkan.
Keng Thian masuk ke sebuah rumah penginapan dan sesudah bersantap, ia memberi
persen yang lumayan kepada sang pelayan yang jadi girang sekali dan mulutnya lantas
saja terbuka.
"Aku dengar Hoat-ong sedang memilih wanita cantik, apa benar?" tanya Keng Thian.
"Benar," jawab si pelayan. "Apa kau tak lihat rumah-rumah yang pada terkunci? Wanita
muda tak berani keluar pintu. Tapi, kehebohan sudah lewat. Katanya, jumlah wanita yang
diperlukan, sudah cukup. Mulai hari ini, sudah tak ada lagi peristiwa Lhama menangkap
wanita muda."
"Kenapa mesti mengambil wanita-wanita cantik? Apa mau sembahyangi malaikat?"
menanya pula Keng Thian.
"Hoat-ong mengeluarkan perintah, siapa berani tanya-tanya?" jawabnya. "Hanya
katanya, dari Tibet datang satu Lhama Besar dan Hoat-ong hendak menyambut ia dengan
segala upacara. Dua hari lagi bakal ada satu perhimpuan besar. Aku tak tahu
perhimpunan apa, tapi yang pasti bukan sembahyang malaikat."
Mendengar keterangan itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti.
Harus diketahui, pada buntutnya ahala Beng, yaitu pada jaman pemerintahan Kaizar
Tjong Tjeng. Lhama sekte Topi Putih telah diusir keluar dari Tibet oleh kaum Lhama sekte
Topi Kuning, yang kemudian berkuasa pada jaman itu (Kaizar Kian Liong). Selama seratus
tahun lebih, hubungan kedua sekte adalah seperti api dan air. Kenapa Lhama Besar sekte
Topi Kuning datang ke Naichi dan Hoat-ong Topi Putih mau menyambut dengan upacara
besar?
"Baik juga kau adalah seorang lelaki," kata lagi si pelayan. "Jika kau seorang wanita,
bisa-bisa diculik tanpa diketahui oleh keluargamu. Dua hari berselang, seorang wanita
yang datang dari tempat lain sudah kena ditawan oleh beberapa Lhama. Wanita itu paham
ilmu silat."
Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Bagaimana kau tahu ia pandai ilmu silat?" ia
menanya. "Kejadiannya di rumah makan seberang," jawab si pelayan. "Aku sendiri turut
menyaksikan
peristiwa itu! Wanita itu mengenakan pakaian orang Tibet. Ia bukan hanya pandai silat,
tapi pandai juga ilmu siluman!"
"Omong kosong!" kata Keng Thian. "Siang hari bolong, dimana ada ilmu siluman?"
"Kau tak percaya?" kata si pelayan, sungguh-sungguh. "Aku lihat dengan mata sendiri.
Bermula, yang turun tangan adalah empat Lhama. Sekali bergebrak saja, dua antaranya
roboh. Kemudian ia ayun tangannya. Mendadak muncul hawa dingin yang sangat hebat
dan dua Lhama yang lain gemetar sekujur badannya. Apa itu bukan ilmu siluman?"
Begitu mendengar, Keng Thian terkesiap. Senjata rahasia itu sudah pasti Pengpok
Sintan adanya. Ia tak percaya, Pengtjoan Thianlie kena ditangkap. Apa Yoe Peng?
Sementara itu, si pelayan sudah berkata lagi: "Tapi, biar bagaimanapun juga, Yauwhoat
(ilmu siluman) tak dapat mengalahkan Hoedhoat (ilmu Budha). Sesudah empat Lhama
kecil itu dirobohkan, datang pula dua Lhama lainnya, sekali ini Lhama besar. Mereka tak
takut ilmu siluman itu Mereka hanya bergidik sedikit dan berhasil membekuk wanita itu."
"Agaknya mungkin benar-benar Yoe Peng-lah yang kena ditangkap," kata Keng Thian
dalam hatinya. "Sudah pasti Pengtjoan Thianlie tidak akan berpeluk tangan saja. Tak
nyana, aku dapat menemukan ia disini."
Tanpa membuang tempo, ia segera menanyakan dimana letaknya kuil Lhama.
"Apa tuan mau sembahyang?" tanya si pelayan. "Kuil itu biasanya sangat ramai, tapi
selama beberapa hari ini, sedikit sekali yang datang berkunjung. Sebagai tetamu dari
tempat lain, aku rasa tak ada halangannya kalau kau ingin pasang hio. Kuil itu adalah
gedung paling besar yang terdapat dalam kota ini. Memang juga, sesudah tiba disini, ada
harganya untuk jalan-jalan di kuil itu."
Sesudah mendapat keterangan tentang letaknya kuil itu, Keng Thian mengasoh
sebentar dan setelah makan tengah hari, ia segera pergi ke kuil itu.
Jika dibandingkan dengan Keraton Potala, kuil itu tentu masih kalah jauh. Akan tetapi,
menurut ukuran biasa, kuil itu sudah cukup besar dan indah. Puluhan gedung besar dan
kecil berdiri berjajar di lereng gunung dan seluruh bangunan itu kelihatan angker dan
mewah. Tiga gedung yang paling depan adalah tempat pemujaan yang penuh dengan
patung-patung Budha. Ketika Keng Thian datang, jumlah tetamu yang mau pasang hio,
boleh dikatakan banyak juga. Ia menempatkan dirinya di antara para tetamu itu, sambil
memasang kuping. Benar saja, ia mendengar banyak sekali pembicaraan tentang
ditangkapnya wanita-wanita muda. Akan tetapi, ia juga mendapat kenyataan, bahwa
mereka itu sangat menghormat terhadap Hoat-ong. Salah seorang malah berkata begini:
"Dalam bertindak begitu, Budha Hidup pasti mempunyai alasan kuat. Wanita-wanita itu
dapat dikatakan besar rejekinya oleh karena mereka sudah mendapat perhatiannya
Budha Hidup. Lebih baik kita jangan terlalu banyak bicara. Apa kau tak takut masuk ke
neraka?"
Sesudah memperhatikan kedudukan seluruh bangunan itu, Keng Thian segera balik ke
rumah-penginapan. Malam itu, kira-kira jam tiga, ia segera menukar pakaian untuk jalan
malam yang
berwarna hitam dan memakai topeng, dan begitu beres berdandan, ia segera pergi ke kuil
Lhama dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Berhubung dengan banyaknya gedung-gedung, Keng Thian tidak dapat lantas
mengetahui dimana adanya gedung Hoat-ong. Ia loncat naik ke atas genteng sebuah
gedung yang paling besar dan memasang kupingnya. Sayup-sayup, ia mendengar suara
tabuh-tabuhan dan nyanyian di sebelah bawah. Sembari mengkerutkan alisnya, ia loncat
turun.
Tiba-tiba dari sebelah depan mendatangi dua orang Lhama. Buru-buru Keng Thian
berlindung di belakang pohon.
"Tak lama lagi kita akan mempunyai Wanita Suci," kata salah seorang Lhama.
"Dengarlah! Mereka membaca Keng (kitab suci) dan menyanyikan lagu-lagu Budha.
Sungguh merdu! 'Ku dengar, mereka juga akan belajar menari. Mulai dari sekarang,
jangan kuatir kesepian lagi."
"Setan kecil!" membentak kawannya. "Jangan sekali-kali kau mengingat-ingat soal-soal
keduniawian. Kau tahu, melihat saja sudah berdosa!"
"Omong kosong!" jawab Lhama yang pertama. "Bukan aku, tapi kaulah yang hatinya
sudah bergoncang. Aku hanya mendengarkan dari jauh, tapi kau sendiri sudah tiga kali
lewat di depan gedungnya."
Dengan sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah dapat merobohkan kedua Lhama
itu. "Jangan bersuara!" ia berbisik. "Jawab apa yang aku tanya. Mampus kau, jika
berani berteriak!" Kedua Lhama itu jadi kesima dan mengawasi dengan mulut
ternganga.
"Dari mana wanita Suci itu?" menanya Keng Thian. "Apa mereka adalah wanita-wanita
yang telah ditangkap beberapa hari berselang?"
Kedua Lhama itu manggut-manggutkan kepalanya.
"Dimana mereka dikurung?" Keng Thian menanya pula.
"Mereka di tempatkan di gedung Wanita Suci, yaitu gedung yang berdampingan dengan
gedungnya Hoat-ong," jawab Lhama yang satu.
"Kau adalah murid-murid Budha," berkata Keng Thian. "Untuk apa menangkap wanita-
wanita muda?"
"Itu semuanya adalah hokki (untung bagus) mereka," jawabnya. "Hoat-ong ingin
mengangkat mereka sebagai Wanita Suci rombongan pertama."
"Untuk apa Wanita Suci itu?" mendesak Keng Thian.
Kedua Lhama itu mengawasi Keng Thian dengan paras muka heran, seolah-olah
menganggap pemuda itu sebagai seorang tolol. "Ah! Apakah kau belum mengetahui?"
kata satu antaranya. "Yang lelaki menjadi Lhama, yang wanita menjadi Wanita Suci. Itu
toh sudah disebutkan dalam kitab suci. Sungguh heran, kau masih merasa perlu untuk
menanya lagi!"
Keng Thian terkejut dan segera ingat, bahwa memang benar dalam agama Lhama ada
beberapa cabang yang cara-caranya agak berlainan. Cabang (sekte) Topi Merah dan Topi
Kuning sama sekali tidak menerima murid wanita, tapi menurut kata orang-orang tua,
sekte Topi Putih biasa menerima penganut wanita. Oleh karena sudah seabad lamanya
sekte Topi Putih berada diluar Tibet, maka peraturan tersebut jarang sekali dibicarakan
orang, sehingga Keng Thian sendiri sampai menjadi lupa. Ia sekarang mengerti, bahwa
"Wanita Suci," atau Shengnu, berarti Lhama wanita.
Hati si pemuda menjadi lega. "Apakah tidak ada yang mengganggu mereka?" ia
menanya dengan suara lunak.
Walaupun sedang dicekal keras dengan tangan yang seperti jepitan besi, begitu
mendengar pertanyaan Keng Thian, kedua Lhama itu lantas saja menjadi gusar.
"Kau sungguh berdosa!" kata satu antaranya. "Berani sungguh kau mengeluarkan
perkataan begitu! Dalam istana Wanita Suci, lelaki mana juga tidak dipermisikan datang
berkunjung. Hanya beberapa Ibu Suci yang diperbolehkan masuk kesitu untuk mengajar
kitab suci dan lagu-lagu suci kepada mereka. Mereka baru boleh keluar jika ada
sembahyang atau upacara besar."
"Di antara yang kena ditangkap oleh kau orang, bukankah terdapat seorang wanita
yang pandai silat?" menanya Keng Thian, tanpa memperdulikan comelan orang.
"Yah, aku dengar memang begitu," jawab yang satu. "Akan tetapi, katanya ia tak sudi
menjadi Wanita Suci. Ini berarti ia tidak mempunyai jodoh dengan agama kita dan Budha
Hidup pun tak dapat memaksa padanya."
"Apa ia juga dikurung dalam istana Wanita Suci?" tanya Keng Thian.
"Mana aku tahu?" jawabnya. "Bukankah 'ku sudah kata, orang lelaki tak boleh datang
kesitu?" Keng Thian percaya, bahwa Lhama itu bicara dengan sejujurnya, maka ia
sungkan mendesak
lagi. Berselang beberapa saat, ia menanya pula: "Tapi, dimana istananya Hoat-ong?"
Dengan jerijinya, mereka menunjuk sebuah gedung besar yang terletak di tengah-
tengah. "Tapi, siapakah kau ini?" tanya mereka.
Sesudah mendapat keterangan yang diperlukan, Keng Thian tidak meladeni lagi dan
segera menotok Ah-hiat (jalanan darah yang membikin orang jadi gagu) mereka. Dengan
totokan itu, dalam tempo dua belas jam, kedua Lhama tersebut tidak akan dapat bergerak
atau berbicara.
Gedung yang di tengah-tengah itu terkurung tembok, dengan genteng kaca yang
berwarna kuning emas. Sesudah menyembunyikan kedua Lhama itu di belakang pohon,
Keng Thian segera melompati tembok dan masuk ke dalam pekarangan gedung.
Muka gedung itu ternyata dijaga oleh dua Lhama baju putih. Ilmu mengentengkan
badannya Keng Thian boleh dibilang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan, gerakannya cepat bagaikan kilat dan hinggapnya di atas bumi seperti
juga jatuhnya selembar daun kering. Tapi, meskipun begitu, kedua Lhama itu toh masih
dapat mengetahui kedatangan pemuda tersebut. Mereka agak kaget dan celingukan ke
empat penjuru. Keng Thian terkejut dan kemudian mengetahui, bahwa mereka adalah
orang-orang yang pernah turut dalam perebutan guci emas dan sudah pernah bertempur
dengan ia. Ia mengetahui, mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi dan jika
kepergok, ia bakal jadi berabe.
Dalam pekarangan itu terdapat sebuah pohon tua yang berusia ratusan tahun, Keng
Thian mengenjot badannya dan seperti burung ia hinggap di sebuah cabang. Di ujung
pohon terdapat beberapa ekor burung besar yang sedang mengasoh dan kedatangan
Keng Thian, sudah membikin mereka mengebas-ngebaskan sayap. Keng Thian segera
memetik sehelai daun dan mementil dengan menggunakan tenaga dalamnya. Bagaikan
senjata rahasia, daun itu menyambar ke atas, sehingga burung-burung itu pada
berterbangan sambil berbunyi keras.
"Ah, benar saja burung-burung itu yang kurang ajar!" berkata kedua Lhama itu.
Tanpa mensia-siakan waktu, selagi kedua Lhama itu berdiri membelakangi ia, dengan
sekali mengenjot badan, Keng Thian sudah hinggap di atas genteng dan lalu bersembunyi
di pojok payon rumah.
Beberapa tombak dari tempat sembunyi Keng Thian terdapat sebuah kamar, dimana,
teraling tirai jendela, kelihatan dua bayangan manusia. Seorang berbadan tinggi besar,
yang sudah boleh dipastikan adalah Hoat-ong sendiri, duduk di tengah kamar, sedang
orang yang satunya lagi berdiri didampingnya.
Keng Thian segera pusatkan semangatnya untuk mendengarkan pembicaraan kedua
orang itu. "Sesudah menunggu seratus tahun lebih, hari yang ditunggu akhirnya datang
juga," kata Hoat-
ong. "Utusan Panchen telah mengundang kita pulang ke Tibet, dengan mengatakan,
bahwa mulai dari sekarang, kita jangan bertengkar lagi. Anan! Bagaimana pikiranmu?"
"Itulah memang kita semua harap-harapkan," sahut orang yang dipanggil Anan. "Akan
tetapi..."
"Tapi apa?" menanya Hoat-ong. "Apa pulangnya kita tidak cukup mentereng?"
"Bukan, bukan itu yang aku maksudkan," jawab Anan. "Tapi kedudukan kita disini
adalah kedudukan yang paling atas..."
"Dan kalau pulang, kita jadi berada di bawah orang lain," Hoat-ong menyambung.
"Begitu yang kau maksudkan? Aku sekarang memberitahukan kau, bahwa utusan itu
sudah menyampaikan pesan kedua Budha Hidup, bahwa mereka telah menyediakan tiga
tempat untuk kita mendirikan kuil. Aku anggap, tawaran itu cukup baik. Persoalan antara
kita sama kita, memang juga harus
dipecahkan dengan saling mengalah. Sesudah bergulat seabad lebih, aku sekarang
sungkan mengangkat senjata lagi."
Mendengar itu, diam-diam Keng Thian memuji Raja agama itu, yang ternyata
mempunyai pandangan yang luas.
"Aku sendiri tak dapat berlalu dari sini," kata pula Hoat-ong. "Di kemudian hari, tiga
tempat itu di Tibet harus diurus olehmu."
Keng Thian melihat Anan merangkap kedua tangannya sambil membungkuk untuk
menghaturkan terima kasih.
Hoat-ong menghela napas panjang dan kemudian berkata pula: "Ah! Dengan dapat
pulang ke Tibet, terkabullah sudah angan-angan Tjouwsoe. Dan dengan mempunyai tiga
tempat itu, hatiku sudah merasa puas. Eh, bagaimana dengan rombongan Wanita Suci?"
"Kecuali beberapa orang, yang lain semuanya rela menurut perintah Budha Hidup,"
jawab A-nan.
"Tak boleh kita memaksa mereka," berkata Hoat-ong dengan suara halus. "Pada
seratus tahun yang lalu, yaitu pada waktu Tjouwsoe memegang tampuk pimpinan agama
di Tibet, para wanita pada berebut untuk menjadi Wanita Suci. Akan tetapi, keadaan disini,
yang penduduknya sebagian besar terdiri dari orang Han, berlainan dengan keadaan di
Tibet.
Mereka tak mengetahui, kemuliaan seorang Wanita Suci sehingga tidaklah heran
mereka jadi ketakutan tak keruan. Itulah justru sebabnya, kenapa selama satu abad kami
tidak memilih Wanita Suci. Akan tetapi, oleh karena sekarang kita harus membuat
persiapan untuk pulang ke Tibet, maka tak dapat tidak, kita harus kembali pada kebiasaan
lama. Dalam upacara pembukaan kuil baru, kita mesti mempunyai rombongan Wanita
Suci untuk menjalankan upacara dengan nyanyian dan tarian."
"Oh! Kiranya begitu?" berkata Keng Thian dalam hatinya. "Hampir-hampir saja aku
menganggap mereka sebagai paderi cabul!"
"Benar," kata Anan. "Mereka ketakutan tak keruan. Sungguh tak bagus!"
"Kita tak boleh terlalu salahkan mereka," berkata Hoat-ong."Tak banyak orang Han
yang rela mengirim puteranya untuk menjadi Lhama. Apalagi puterinya! Mereka yang
menentang kebanyakan adalah orang-orang Han. Bukankah begitu?"
Anan manggut-manggutkan kepalanya. Sebelum ia keburu menjawab, Hoat-ong sudah
berkata pula: "Oleh karena terlalu repot, kita tidak memberi penjelasan terlebih dulu
kepada mereka. Ini sebenarnya adalah kurang betul.
Begini sajalah: Besok kita mengadakan sembahyang besar dan pergilah kau
mengundang para pemuka dan orang-orang tua di seluruh kota ini, supaya kita dapat
memberi keterangan kepada mereka. Gadis-gadis yang sungkan menjadi Wanita Suci
boleh diambil pulang oleh orang tuanya."
"Di antara yang menolak terdapat seorang gadis, yang bukan orang Han," melaporkan
Anan. "Dilihat dari pakaiannya, ia kelihatannya datang dari Tibet barat. Ketika mau
ditangkap, ia sudah hajar beberapa orang kita. Bagaimana? Apa ia pun dilepaskan saja?"
Mencaci atau memukul seorang Lhama adalah satu kedosaan besar di daerah itu,
sehingga Hoat-ong jadi bersangsi setelah mendengar laporan Anan. Berselang beberapa
saat, barulah ia berkata: "Lihat saja nanti. Tapi janganlah membikin susah padanya."
"Aku dengar ia tak mau makan," Anan berkata lagi.
"Oh, begitu?" Hoat-ong menegaskan. "Biarlah besok aku perintah seorang Ibu Suci
pergi membujuk ia."
Berkata sampai disitu, Hoat-ong mendadak bangun seraya berkata: "Tolong tuangkan
secangkir arak."
Di lain saat, dengan jerijinya menjepit cangkir, ia menghampiri jendela yang dibukanya
secara tiba-tiba. Dengan sekali mementil, cangkir itu melesat ke atas dan menyambar ke
arah Tong Keng Thian!
Bukan main kagetnya Keng Thian. Melesatnya cangkir tersebut disertai dengan suara
mengaung dan apa yang mengherankan, cangkir tersebut tepat menyambar ke arah jalan
darah Hiankie hiat, di dadanya Keng Thian. Pada sebelum sang cangkir mengenakan
dada, hidung Keng Thian mendadak mengendus bau wangi arak, dan berbareng dengan
itu, bagaikan air mancur, arak yang berada dalam cangkir, menyambar padanya! Ternyata,
dengan tenaga dalam yang luar biasa dan kepandaian menggunakan senjata rahasia
yang sudah mencapai puncaknya kesempurnaan, Hoat-ong sudah menyerang Keng Thian
bukan saja dengan cangkir, tapi juga dengan araknya.
Bagaikan kilat, Keng Thian mementil dan berkelit. Dengan terdengarnya suara "tring!"
cangkir itu hancur, tapi, biarpun gerakannya cukup cepat, tak urung bajunya kecipratan
juga beberapa tetes arak dan menjadi berlubang!
"Manusia dari mana yang mempunyai nyali begitu besar?" membentak Hoat-ong.
Berbareng dengan bentakannya bagaikan segundukan awan, badan Hoat-ong yang
berjubah merah sudah
melesat ke atas. Ketika itu, kedua kaki Keng Thian masih menyantel di payon sedang
sebagian badannya masih menggelantung di luar genteng. Dengan kedua tangannya,
Hoat-ong mendorong dan lantas saja ia terkejut, oleh karena badan Keng Thian tidak
bergeming.
Dengan tangan kirinya tetap menahan kedua tangannya Keng Thian, tiba-tiba ia tarik
pulang tangan kanannya yang lalu digunakan untuk mengorek kedua mata Keng Thian.
Berbareng dengan itu, ia mengempos semangatnya dan menambahkan tenaga pada
tangan kirinya.
Di lain pihak, Keng Thian yang sedang bertahan dengan kedua tangannya mendadak
rasakan tekanan musuh di sebelah kiri menghilang dan tekanan di sebelah kanan
bertambah dua kali lipat. Pada detik itu juga badannya bergoyang-goyang. Lebih celaka
lagi, dua jeriji Hoat-ong dengan mendadak menyambar matanya!
Selagi Keng Thian hendak menurunkan tangan kejam untuk menolong diri, sekonyony-
konyong ia ingat, bahwa orang berilmu itu adalah pemimpin dari satu cabang agama,
sehingga jika ia sampai celaka, akibatnya bakal jadi besar sekali. Mengingat hal itu, ia
lantas saja mengurungkan niatannya. Buru-buru ia tarik pulang tenaga dalamnya dan
menjejek kedua kakinya, sehingga badannya melesat ke atas, akan kemudian melayang
turun ke bawah.
Hoat-ong tertawa dingin, "Hm!" katanya didalam hati: "Meskipun dengan ilmu
mengentengkan badan, kau dapat meloloskan diri dari serangan jeriji, tapi punggungmu
dijual kepadaku!" Dengan gerakan Tjhioehoei pipee (Tangan merabu tali pipee), ia gasak
punggung Keng Thian.
Dengan terdengarnya suara "buk!" tubuh Keng Thian terpental keluar tembok, tapi,
pada saat yang sama, dengan satu teriakan keras, badan Hoat-ong pun roboh di atas
genteng.
Ternyata, pada waktu punggungnya dihajar, Keng Thian membalik sebelah tangannya
dan mengebas dengan ilmu Hoedhiat (Mengebas jalanan darah), semacam ilmu istimewa
dari Thiansan pay. Dengan hanya satu kebasan itu, lima jerijinya sudah menotok lima jalan
darah Hoat-ong!
Buru-buru Hoat-ong menjalankan pernapasannya tiga kali, lima jalan darahnya sudah
kembali terbuka semua, tapi kaki tangannya masih dirasakan sangat lemas. Herannya
Hoat-ong tidak kepalang. Ia mengetahui, bahwa ilmu silat Keng Thian tidak berada di
sebelah bawahnya, dan jika mau, pemuda itu dapat memunahkan serangannya dengan
balas menyerang. Sungguh ia tak mengerti, kenapa Keng Thian seperti sengaja
menempuh bahaya dan memasang punggungnya?
Mendengar suara ribut-ribut dan melihat larinya Keng Thian, kedua Lhama yang
menjaga di luar segera bergerak untuk mengubar.
"Tolol!" membentak Hoat-ong. "Apa kau mau antarkan jiwa? Dia sudah kena pukulanku
dan akan binasa dalam tempo tiga hari."
Sehabis berkata begitu, ia menghela napas. "Tak gampang orang itu memiliki ilmu silat
yang sedemikian tinggi," katanya di dalam hati. "Entah siapa yang menyuruh ia datang
kesini, sehingga ia mesti korbankan jiwanya secara cuma-cuma. Sungguh sayang!" Dalam
hatinya, pemimpin agama tersebut merasa sangat menyesal, bahwa secara ketelanjur, ia
sudah menurunkan tangan yang begitu berat.
Keng Thian merasakan punggungnya sakit dan begitu tiba di rumah penginapan, ia
segera membuka Kimsie Djoanka, semacam baju kutang yang terbuat dari semacam
benang berwarna emas.
Dengan pertolongan sebuah kaca tembaga, ia melihat satu titik hitam di punggungnya.
Keng Thian kaget, tapi sesaat kemudian ia berkata seorang diri: "Baik juga ada ini
Kimsie Djoanka, jika tidak, isi perutku bisa terluka hebat. Sungguh tak terduga, tenaga
dalamnya Hoat-ong begitu dahsyat."
Kimsie Djoanka itu mempunyai riwayat yang menarik. Dulu, ketika Phang Eng dan
Phang Lin jangkep berusia satu tahun, Tjiong Ban Tong, pemimpin Boekek pay, telah
menghadiahkan dua rupa mustika dari Rimba Persilatan, yaitu, yang satu Kimsie Djoanka,
sedang yang lain golok Tokbeng Sinto. Pada hari itu, kedua saudara kembar itu dibiarkan
memilih sendiri dan sebagai hasilnya, Phang Eng mengambil Kimsie Djoanka, sedang
Phang Lin mengambil Tokbeng Sinto. Baju kutang tersebut terbuat dari bulu warna emas
yang diambil dari punggungnya Kimmo houw (semacam singa berbulu emas) di
pegunungan Himalaya. Djoanka itu, yang lemas dan enteng, tak dapat ditembuskan
senjata tajam juga tak dapat dihancurkan dengan pukulan. Dengan adanya lapisan baju
kutang itu, walaupun pukulan Hoat-ong sangat dahsyat, tenaganya sudah hilang
separoh, dan ditambah pula tenaga dalam Keng Thian sendiri, pukulan tersebut hanya
dapat menggetarkan isi perutnya, tapi tak sampai mencelakakannya. Buru-buru Keng
Thian mengerahkan jalan pernapasannya dan menelan sebutir Pekleng tan yang terbuat
dari Soatlian. Sesudah itu, dengan hati lega, ia tidur untuk mengasoh.
Pada besok paginya, si pelayan datang di kamar Keng Thian dan mereka lalu
membicarakan pula halnya Hoat-ong.
"Aku dengar, malam ini Hoat-ong akan mengadakan sembahyang besar," kata si
pelayan. "Mereka telah mengundang tetua-tetua kota ini dan para orang tua gadis-gadis
yang kena ditangkap, semuanya ada seratus orang lebih. Inilah satu kejadian yang baru
pernah terjadi. Besok pagi kita akan mengetahui, kenapa mereka menangkapi gadis-gadis
cantik."
"Mereka tidak mengundang kau, cara bagaimana kau bisa mengetahui begitu cepat?"
Keng Thian sengaja menanya.
"Biarpun aku sendiri tak diundang, tapi majikanku mendapat undangan," jawabnya.
"Ialah yang memberitahukan hal itu kepadaku."
Keng Thian jadi girang dan lalu menanyakan lebih jauh tentang si pemilik rumah
penginapan. Ia itu ternyata adalah seorang yang mempunyai kedudukan agak tinggi
dalam kota Naichi dan telah mewarisi perusahaan rumah penginapan dari orang tuanya.
Keng Thian juga mendapat tahu, bahwa orang bisa masuk ke dalam ruangan
sembahyang dengan memperlihatkan surat undangan, dan mengingat banyaknya orang
yang diundang, pemeriksaan tentu tidak dilakukan secara teliti.
Kira-kira magrib, diam-diam Keng Thian masuk ke kamar tidur si pemilik rumah
penginapan dan lalu bersembunyi di atas salah satu balok penyangga atap. Ia lihat,
dengan penuh kegirangan, orang itu mengeluarkan makwa hitam yang indah, sedang
surat undangan yang berwarna merah menggeletak di atas pembaringan. Keng Thian
segera memulung sedikit tanah yang melekat di tembok dan menimpuk jalan darah
Hoenswee hiat dari si pemilik rumah penginapan yang lantas saja terguling di atas lantai
dan akan tetap rebah selama dua belas jam.
Kemudian ia loncat turun dan sesudah membaringkan si pemilik rumah penginapan di
atas pembaringan, ia segera memakai pakaian orang itu yang memang sudah tersedia.
Untung juga, potongan badan si pemilik rumah penginapan tidak banyak berbeda dengan
potongan badannya. Selanjutnya, ia mengeluarkan sepotong Yayong tan yang lantas
dihancurkan dengan sedikit air teh dan kemudian dipoleskan pada mukanya. Yayong tan
atau obat untuk merubah paras muka adalah semacam perlengkapan dari kawanan
penjahat di jaman itu. Tong Siauw Lan, ayah Keng Thian, telah belajar membuat obat
tersebut dari Kam Hong Tie. Setelah merubah paras mukanya, dengan tangan mencekal
surat undangan itu, sembari mesem Keng Thian segera berangkat menuju ke kuil Lhama.
Cocok dengan dugaannya beberapa Lham? yang mendapat tugas untuk menyambut
para tamu, tidak banyak rewel dan semua tamu yang membawa surat undangan
dipersilahkan masuk tanpa pemeriksaan teliti.
Sebelum sembahyang, terlebih dulu diadakan perjamuan. Orang-orang yang dijamu di
gedung tengah adalah pemimpin-pemimpin dari berbagai kuil Lhama dan tamu-tamu
penting. Di gedung sebelah timur adalah tempat perjamuan untuk para tetua kota Naichi
dan ayah atau walinya gadis-gadis yang telah ditangkap.
Sesudah para tamu minum beberapa gelas arak, murid kepala dari Hoat-ong, yaitu
Anan Tjoentjia (Tjoentjia adalah panggilan menghormat terhadap satu paderi atau
Lhama), datang sendiri untuk melayani para tamu.
"Hari ini adalah hari yang sangat menggembirakan," demikian Anan mulai dengan
pidatonya, sesudah mengajak para tamu mengeringkan segelas arak. "Hari ini kami ingin
mengumumkan suatu berita menggirangkan kepada kalian, yaitu: Budha Hidup di Tibet
sudah mengadakan perdamaian dengan Budha Hidup kita!"
Pengumuman itu disambut dengan sorak-sorai oleh para hadirin. Selama seratus
tahun, sudah puluhan kali kedua sekte bertempur hebat, sehingga menerbitkan kerugian
jiwa manusia dan harta benda yang tak dapat dihitung berapa banyaknya. Maka itu,
tidaklah heran jika berita tersebut disambut dengan kegirangan besar.
Akan tetapi, sesudah sorakan mereka, beberapa tetua lantas saja berkata: "Kami ingin
Budha Hidup menetap di Tjenghay dan tak mau beliau meninggalkan kami."
Anan mesem dan melanjutkan pidatonya: "Dalam perundingan perdamaian, Budha
Hidup Panchen sudah menyetujui untuk memberikan Chinka, Sakya dan Chinpu kepada
kita, supaya kita dapat mendirikan kuil-kuil yang seperlunya. Sesudah kuil-kuil selesai
didirikan, Hoat-ong tentu harus pergi ke Tibet untuk melakukan upacara pembukaan. Akan
tetapi, sesudah itu, beliau akan menyerahkan segala tugas mengurusnya kepadaku dan
beliau sendiri akan balik kesini untuk melindungi kalian selama-lamanya."
Pidato itu kembali disambut dengan tampik sorak yang bergemuruh. Apa yang
diumumkan oleh Anan Tjoentjia sudah diketahui oleh Tong Keng Thian. Yang belum
didengar olehnya adalah nama-nama ketiga tempat itu. Pada waktu Anan menyebutkan
Sakya hati Keng Thian bergoncang oleh karena ia ingat, bahwa Sakya adalah tempat
kedudukan ayah Tan Thian Oe.
Sesudah suara sorakan menjadi reda, Anan berkata pula: "Untuk keperluan upacara
pembukaan kuil baru itu di Tibet, maka mau tidak mau, kita harus mempertahankan
kebiasaan lama dan memilih Wanita-wanita Suci. Mereka yang dapat diangkat menjadi
Wanita Suci mempunyai rejeki besar dan mempunyai jodoh dengan Sang Budha. Akan
tetapi, Hoat-ong juga dapat mengerti jalan pikiran kalian, dan oleh karena itu, siapa saja
yang tak setuju puterinya menjadi Wanita Suci, dapat memberitahukannya secara berterus
terang dan beliau bersedia untuk melepaskan puteri-puteri mereka."
Keadaan sunyi senyap, tak ada yang berani menyatakan, pikirannya terlebih dahulu,
sehingga Anan Tjoentjia mengulangi pula pertanyaannya. Sebagai hasilnya, antara tiga
puluh enam ayah atau wali yang puterinya telah ditangkap, hanya tujuh yang menyatakan
ingin mengambil pulang puterinya. Belasan orang lainnya tidak berani membuka suara,
meskipun hatinya merasa tidak setuju, sedang beberapa belas ayah-ayah lain lagi
menyatakan kegirangannya, bahwa puteri mereka ternyata berjodoh untuk menjadi murid
Sang Budha.
Sesudah beres, Anan segera mengajak para tamunya mengeringkan gelas arak sekali
lagi. "Sekarang Hoat-ong mengundang kalian untuk bersembahyang," kata Anan
sesudah semua
orang mencegluk araknya. "Kalian boleh masuk ke tempat sembahyang dan berbaris
dengan rapi di lorak depan. Sesudah kalian memasang hio, seorang Lhama akan ambil
hio itu dari tangan kalian dan menyampaikan semua nama."
Sehabis berkata begitu, Anan segera berjalan masuk, diikuti oleh semua orang,
antaranya tentu saja juga Keng Thian sendiri.
Ruangan sembahyang kelihatan angker sekali, dengan seratus lebih Lhama yang
berbaris di dalam ruangan dan seratus lebih tamu yang berdiri di lorak. Di belakang meja
sembahyang terdapat beberapa puluh patung Budha besar dan kecil.
Perlahan-lahan Raja agama itu berdiri dan berjalan menuju ke depan patung
Djielayhoed. Ia menyalakan sebatang hio yang besar dan lantas saja mulai
bersembahyang.
Walaupun sudah pernah bertempur, baru sekarang Keng Thian melihat tegas muka
Hoat-ong. Badan Raja agama itu tinggi dan besar, mukanya bundar bagaikan rembulan
dan kelihatan angker sekali. Diam-diam Keng Thian merasa girang, bahwa semalam ia
tidak menurunkan tangan jahat.
Sesudah Hoat-ong dan semua tamunya beres memasang hio, tiba-tiba terdengar suara
lonceng dan di lain saat, dari belakang meja sembahyang keluar dua baris wanita yang
mengenakan pakaian putih. Setiap baris terdiri dari delapan belas gadis yang dipimpin
oleh seorang Ibu Suci. Begitu tiba di depan meja sembahyang, mereka segera menari-nari
dan menyanyikan lagu-lagu Budha yang kedengarannya merdu dan melapangkan dada.
Berselang beberapa saat, Hoat -ong menepuk tangan dua kali sebagai tanda bahwa
upacara sudah berakhir dan wanita-wanita itu segera masuk pula ke dalam dengan
berbaris. Seorang Ibu Suci yang barusan memimpin salah satu barisan Wanita Suci, tidak
turut masuk ke dalam, tapi segera menghampiri Hoat-ong dan berbicara dengan bisik-
bisik.
Semua orang menahan napas, tak ada yang berani berbicara. Keng Thian segera
memusatkan semangatnya dan coba mendengarkan bisikan Ibu Suci itu.
"Aku sudah membujuk berulang-ulang, tapi ia masih juga sungkan menurut,"
katanya. "Baiklah," kata Hoat-ong. "Coba kau ajak ia keluar."
Hati Keng Thian berdebar-debar, matanya mengawasi ke belakang meja sembahyang.
Apakah ia harus lantas menyerbu, begitu Yoe Peng muncul? Ia sungguh merasa sangat
sangsi dan tak dapat lantas mengambil putusan.
Mendadak ia dengar suara tindakan dan dari pojok meja sembahyang kelihatan keluar
dua orang wanita, yang satu adalah sang Ibu Suci, sedang yang lain adalah seorang
wanita muda yang berpakaian serba putih. Keadaan jadi sunyi senyap, ratusan pasang
mata mengawasi mereka.
Mulut nona itu, yang mengenakan pakaian wanita Tibet, ditutup rapat-rapat, kedua
matanya yang bening mengawasi ke depan dengan mendelong seperti juga orang yang
tak sadar akan dirinya, sedang paras mukanya adalah dingin bagaikan es. Muka gadis itu
hanya agak mirip dengan Pengtjoan Thianlie dan ia duga pasti bukannya Yoe Peng!
Keng Thian terkesiap lantaran barusan ia sudah menduga pasti, bahwa wanita itu tentu
bukan 4ain daripada Yoe Peng. Ia mengawasi si nona dengan tidak berkesip, lapat-lapat
ia ingat, seperti juga sudah pernah bertemu dengan wanita itu, akan tetapi ia lupa dimana
lagi kapan. Ia coba mengingat-ingat segala kejadian di keraton es. Satu hal yang ia dapat
pastikan, bahwa dayang Pengtjoan Thianlie yang turun gunung hanya Yoe Peng seorang.
Siapakah gadis yang menggunakan Pengpok Sintan, satu senjata rahasia yang hanya
terdapat di keraton es? Ia memutar otak tapi tetap tak dapat menjawab pertanyaan itu.
Dapat dimengerti jika Keng Thian tak ingat lagi siapa adanya gadis itu, yang bukan lain
daripada Chena, jantung hati Tan Thian Oe. Pada waktu ia naik ke keraton es, di antara
dayang-dayang Pengtjoan Thianlie memang juga terdapat Chena. Akan tetapi, oleh
karena pada waktu itu seluruh perhatiannya ditujukan kepada Koei Peng Go seorang,
maka dalam pertemuan ini, ia tak dapat mengenali pula nona ini yang telah dijumpainya
baru sekali dua kali secara sepintas lalu.
"Inilah dia," berkata sang Ibu Suci sesudah berhadapan pula dengan Hoat -ong. "Ia
bukan saja cantik dan suci bersih, akan tetapi juga pandai bersilat, sehingga aku tadinya
berniat mengangkat ia sebagai Wanita Suci yang memimpin kuil di Sakya. Hanya sayang,
ia tak berjodoh dengan Sang Budha, sehingga kita pun tak dapat berbuat apa-apa."
Di antara begitu banyak orang yang berdiri di lorak, perkataan Ibu Suci hanya dapat
didengar oleh Keng Thian seorang.
Tiba-tiba mata Chena bergerak dengan perlahan dan lalu mengawasi Hoat-ong. Di lain
saat, mukanya terlihat seakan-akan kaget dan alisnya berkerut, seperti orang yang
sedang memikir apa-apa. Akan tetapi, perobahan itu hanya terjadi dalam sekejap mata
dan parasnya segera juga berbalik dingin kembali.
Ketika itu, kedua Lhama yang dulu pernah bertempur melawan Keng Thian, berdiri di
kiri kanan Hoat-ong. "Gadis ini tak boleh dilepaskan," kata salah satu antaranya. "Ia
pernah melukakan beberapa Lhama dengan ilmu siluman."
Muka Hoat-ong yang angker kelihatan menyeramkan dan ia tidak menjawab perkataan
Lhama itu. Hati segenap hadirin jadi berdebar, mereka tak tahu, putusan apa yang akan
diambil.
Orang yang duduk berendeng dengan Hoat-ong adalah Khan (raja) dari Tukuhun.
Sedari Chena muncul, kedua matanya mengawasi gadis itu tanpa berkesip. Sekonyong-
konyong ia berdiri dan sembari merangkap kedua tangannya, ia berkata dengan suara
perlahan: "Aku memohon kemurahan Budha Hidup untuk mengampuni gadis itu.
Izinkanlah aku membawa ia ke istanaku untuk diberi nasehat. Izinkanlah aku menebus
kedosaannya dengan memperbarui istana Budha."
Pada jaman pemerintahan Tjeng, menurut kebiasaan di Tibet, Tjenghay dan tempat-
tempat lain, Hoat-ong atau Raja agama, berkuasa atas keagamaan, sedang Khan, atau
Raja, menguasai urusan pemerintahan dan politik. Kekuasaan agama dipandang lebih
tinggi daripada kekuasaan politik, sehingga Raja agama mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi daripada Raja manusia. Akan tetapi, pada waktu para Lhama sekte Topi Putih
melarikan diri ke Tjenghay, mereka sudah bisa menetap disitu karena bernaung di bawah
perlindungan Khan. Maka itulah, begitu mendengar perkataan Tukuhun Khan, Hoat-ong
segera kerutkan alisnya dan paras mukanya memperlihatkan kesangsian yang sangat
sukar di atasinya.
Sementara itu, setelah mendengar permintaan Tukuhun Khan, Tong Keng Thian lantas
saja naik darahnya. Ia merasa, raja itu mempunyai maksud yang kurang baik. Walaupun
gadis itu bukannya Yoe Peng, Keng Thian sangat tak setuju, jika ia terjatuh kedalam
tangan Khan itu. Selagi memutar otak untuk mencari jalan guna memberikan pertolongan,
dari antara tamu-tamu
agung mendadak keluar satu orang yang, sesudah memberi hormat kepada Hoat-ong,
segera berkata dengan suara nyaring: "Perempuan siluman itu agaknya mempunyai
riwayat yang mencurigakan. Maka itu, aku memohon izin Budha Hidup untuk menjajal
padanya."
Keng Thian terkejut karena mengenali orang itu yang ternyata bukan lain daripada In
Leng Tjoe, yaitu konconya Hiatsintjoe, yang pernah berusaha menangkap Liong Leng
Kiauw.
Sebagaimana diketahui, In Leng Tjoe adalah kaki tangan Kaizar Boan yang berada
dalam perjalanan pulang ke kota raja, untuk melaporkan halnya Liong Leng Kiauw. Oleh
karena ia kenal Raja agama sekte Topi Putih, maka waktu tiba di Tjenghay, ia mampir dan
turut menghadiri upacara sembahyang itu.
Dalam perhubungan antara kerajaan Tjeng dan Tukuhun Khan, meskipun benar Khan
tersebut dapat dikatakan berdiri sendiri, akan tetapi secara resmi Tjenghay masih berada
dalam kekuasaan Kaizar Boan. Oleh karena itu, mengingat In Leng Tjoe adalah orang
penting dalam istana Tjeng,
maka biarpun sangat gusar, Tukuhun tak berani sembarang mengumbar napsunya.
Parasnya lantas saja jadi berubah dan ia menanya dengan suara dingin: "Cara bagaimana
kau ingin menjajal ia?"
"Khan yang Besar tak usah kuatir," jawabnya. "Biarpun bagaimana juga, aku tak akan
merusak paras mukanya."
Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, tanpa memperdulikan kegusaran Khan
dan juga tanpa menunggu persetujuan Hoat-ong, ia segera menghampiri Chena dan
menotok dada gadis itu dengan kedua jerijinya.
Totokan itu adalah satu serangan hebat dan dilihat dari cara ia menurunkan tangan, In
Leng Tjoe kelihatannya ingin memaksa supaya Chena menangkis pukulannya.
Latar belakang dari tindakan itu adalah seperti berikut: Ketika baru tiba di kota Naichi, ia
mendengar halnya seorang wanita yang sudah merobohkan beberapa Lhama dengan
semacam senjata yang membikin orang kedinginan. Seperti Keng Thian, ia segera
menarik kesimpulan, bahwa wanita itu adalah Yoe Peng. Barusan, sesudah melihat
Chena, baru ia mengetahui, bahwa gadis itu bukan Yoe Peng. Akan tetapi, Pengpok
Sintan adalah senjata rahasia istimewa yang hanya terdapat di keraton es. Maka itu,
meskipun Chena bukan dayang Pengtjoan Thianlie, akan tetapi, dengan mempunyai
Pengpok Sintan, ia tentu mempunyai hubungan rapat dengan Koei Peng Go.
Sebagaimana diketahui suami isteri In Leng Tjoe pernah dihajar oleh Pengtjoan Thianlie
dan mereka sangat membenci gadis tersebut. Itulah sebabnya, mengapa lantas saja In
Leng Tjoe mengambil putusan untuk mempersulit Chena dan dengan totokannya itu, ia
ingin mencari tahu, apakah ilmu silat gadis itu sama dengan ilmu silat Koei Peng Go.
Melihat orang menurunkan tangan jahat. Tukuhun Khan lantas naik amarahnya.
"Jangan celakakan Wanita Suci!" ia membentak sembari loncat bangun dan teriaki orang-
orangnya supaya maju menolong.
In Leng Tjoe tidak memperdulikan bentakan itu dan dua jerijinya terus menotok dada
Chena. Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras dan badan In Leng Tjoe melesat ke atas
setombak lebih, dan berbareng dengan itu, dua pahlawan Tukuhun Khan jatuh terlentang
tanpa bisa bangun lagi. Di lain saat, orang melihat In Leng Tjoe memegang pergelangan
tangannya, mukanya pucat dan keringatnya mengucur turun dari dahinya. Ia kelihatan
menderita kesakitan hebat dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Hoat-ong terkesiap, ia sungguh tak mengerti bagaimana bisa terjadi peristiwa begitu. Ia
kenal kepandaian In Leng Tjoe yang tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya
sendiri. Biarpun wanita itu pandai ilmu silat, ia mengetahui, bahwa kepandaiannya belum
seberapa dan masih kalah jauh dari kedua pahlawannya sendiri. Maka itu, ia tidak
mengerti, cara bagaimana In Leng Tjoe bisa kena dihajar secara begitu mudah. Dengan
matanya yang sangat tajam, ia mengetahui, bahwa In Leng Tjoe terluka pada jalan
darahnya akibat serangan senjata rahasia. Dan sungguh luar biasa, ia sendiri tak dapat
melihat, senjata apa yang sudah digunakan untuk menghantam In Leng Tjoe.
Dalam kagetnya, tanpa mengingat kedudukannya sebagai Budha Hidup, ia segera
berdiri dan menghampiri In Leng Tjoe guna menyelidiki terlebih jauh.
Sekonyong-konyong Chena merangkap kedua tangannya dan berkata dengan
suara halus:
"Terima kasih untuk budi Budha Hidup yang sangat besar. Aku yang rendah mulai dari
sekarang
bersedia untuk mempersembahkan jiwa dan raga kepada Sang Budha dan bersedia pula
untuk menjadi pengikutnya selama-lamanya."
Pernyataan Chena sudah membikin Ibu Suci dan semua Lhama jadi terkejut. Dua hari
ia tak makan dan tak minum, dua hari ia menolak segala rupa bujukan. Sungguh di luar
dugaan, bahwa pada saat itu, ia sudah menyatakan persetujuannya tanpa diminta lagi.
Begitu mendengar perkataan Chena, sang Ibu Suci segera mengucapkan doa, sebagai
tanda, bahwa keinginan gadis itu sudah diterimanya dan disetujui pula.
Sekonyong-konyong, Hoat-ong yang matanya sangat tajam melihat semacam
perhiasan luar biasa yang tergantung pada dada Chena. Perhiasan itu dibuat daripada
sepotong gading dan berbentuk bundar dengan ukiran huruf-huruf Sansekerta. Itulah
sebuah Lenghoe (jimat) untuk menjaga keselamatan yang biasa diberikan oleh pemimpin
agama Lhama kepada pengikut-pengikutnya yang berjasa dan suci bersih. Dalam agama
Lhama, gajah putih dipandang sebagai hewan yang paling mulia.
Maka itu Lenghoe yang terbuat dari gading merupakan jimat yang dianggap paling
tinggi khasiatnya dan jarang diberikan kepada seorang wanita.
Chena adalah puteri tunggal Chinpu Hoan-ong, yang dulu paling berpengaruh dan
paling luas wilayahnya di Tibet. Semasa hidupnya, Chinpu banyak berjasa terhadap
agama Lhama dan itulah sebabnya, mengapa pada waktu Chena berusia tiga tahun,
Panchen Lhama telah menghadiahkan Lenghoe gading itu. Dalam kalangan Lhama
terdapat suatu kepercayaan, bahwa jimat tersebut mempunyai kekuatan untuk menolak
segala "barang kotor."
Walaupun pernah berseteru, sekte Topi Kuning dan Topi Putih bersumber satu. Dari
sebab begitu, Lenghoe yang diberikan oleh Raja agama sekte Topi Kuning atas nama
Budha, juga diindahkan oleh Raja agama dari sekte Topi Putih.
Ketika itu, Hoat-ong yang masih belum mengetahui asal-usul Chena, sudah menduga
bahwa gadis itu adalah Wanita Suci dari sekte Topi Kuning. Mendengar Chena bersedia
untuk menjadi Wanita Suci dari agamanya sendiri, sudah tentu saja ia jadi merasa girang
sekali. Tapi sebelum ia keburu membuka suara, In Leng Tjoe sudah berteriak-teriak seperti
orang gila. Ternyata, ia sudah berhasil membuka jalan darahnya dan dalam gusarnya, ia
sudah berteriak-teriak.
"Lukamu masih belum sembuh, tak dapat kau banyak bergerak," berkata Hoat-ong
dengan suara tawar.
In Leng Tjoe terkejut dan menghentikan teriakannya. Mendadak, Tukuhun Khan
menghampirinya dengan diikuti dua pahlawannya. "Bekuklah orang hutan ini!" ia
membentak. "Siapa berani mengganggu Wanita Suci kami!"
Selagi kedua pahlawan itu coba menangkap In Leng Tjoe, Tukuhun Khan mendekati
Chena. Hoat-ong mesem dan berkata dengan suara nyaring: "Oh, Khan Yang Besar!
Perkataanmu tiada
salahnya. Ia sekarang sudah menjadi Wanita Suci dari agama kami, siapa pun tak boleh
mengganggu padanya!"
Muka Khan lantas saja berubah, tapi ia tidak berani bergerak lebih jauh. "Sesudah ia
mendapat perlindungan Budha Hidup, aku pun tak mau banyak urusan lagi," katanya
dengan suara perlahan, tapi mukanya kelihatan menyeramkan sekali.
Heran sungguh hati semua Lhama yang berada disitu. Inilah untuk pertama kali mereka
menyaksikan bentrokan antara Hoat-ong dan Khan Yang Besar. Mereka merasa sangat
tidak mengerti, mengapa Tukuhun Khan rela berselisih dengan Hoat-ong untuk seorang
wanita yang sama sekali tidak diketahui siapa adanya.
Baru saja Tukuhun Khan memutar badan, tiba-tiba terdengar suara gedubrakan.
Ternyata, kedua pahlawannya yang mau membekuk In Leng Tjoe sudah dirobohkan orang
yang mau ditangkap.
Bukan main gusarnya Tukuhun Khan. Sedang terhadap sang Budha Hidup ia tak dapat
berbuat suatu apa, sekarang ia melampiaskan perasaan mendongkolnya terhadap In Leng
Tjoe.
"Bekuk padanya!" ia berteriak sekeras-kerasnya. Para
pahlawannya yang berjajar di lorak dengan serentak menyerbu ke atas untuk
menjalankan perintah sang raja.
Keng Thian menyaksikan semua kejadian itu dengan perasaan geli. "Aku mau lihat,
cara bagaimana Hoat-ong membereskan peristiwa ini," katanya di dalam hati.
Perlahan-lahan Raja agama itu menghampiri Tukuhun Khan. Mendadak, dua bayangan
melesat dari samping Hoat-ong dan bagaikan dua ekor garuda, mereka menyambar ke
arah Chena. Kedua bayangan itu adalah dua murid Hoat -ong, ialah Lhama jubah putih
yang pernah bertempur dengan Keng Thian pada waktu perebutan guci emas. Di waktu
itu, mereka berdua pernah mendapat bantuan In Leng Tjoe dan sekarang, ketika melihat
In Leng Tjoe mendapat luka, tanpa berpikir panjang lagi, mereka segera menyerang
Chena. Mereka menganggap In Leng Tjoe telah dilukakan oleh Chena dan sama sekali
tidak teringat, bahwa kepandaian ln Leng Tjoe masih lebih tinggi dari kepandaian mereka
sendiri dan tentu saja banyak lebih tinggi daripada kepandaian Chena. Di samping itu,
mereka sangat membenci Chena, oleh karena gadis itu pernah melukakan beberapa
Lhama. Barusan, melihat sikap Hoat-ong, mereka kuatir Raja agama itu akan
mengampuni Chena. Pada waktu menerjang, mereka belum mendengar terang perkataan
Hoat-ong yang diucapkan
terhadap Tukuhun Khan dan mereka juga tidak memperhatikan gading yang tergantung
pada dada gadis tersebut.
Ketika Hoat-ong menghampiri Tukuhun Khan, ia sedang memutar otak untuk mencari
jalan guna meredakan keributan itu, maka ia tidak dapat melihat gerakan kedua Lhama
yang semberono itu dan waktu ia mengetahui adanya serangan tersebut, ia sudah tidak
keburu mencegah lagi.
Pada saat yang sangat genting, dari sebelah luar tiba-tiba terdengar suara tertawa yang
sangat nyaring, dan pada detik itu juga, kedua Lhama itu bergemetar sekujur badannya
dan meloncat setombak tingginya.
Semua orang terkesiap dan menengok ke arah suara tertawa itu. Mereka melihat dua
orang wanita muda, dengan muka bersenyum, sedang maju menghampiri dengan
tindakan ayu. Wanita yang berjalan di sebelah depan mengenakan pakaian warna biru
laut, mukanya bundar laksana bulan, alisnya melengkung dan kedua matanya yang
berwarna kebiru-biruan bersinar terang sekali. Dengan kecantikan-nya yang luar biasa
dan sikapnya yang agung, ia sudah membikin semua orang terpesona, antaranya In Leng
Tjoe sendiri yang mengawasi dengan mulut ternganga.
Wanita yang berjalan di sebelah belakang, memakai pakaian yang hampir sama
dengan wanita yang pertama, tetapi rambutnya dikepang dan diikat dengan sutera merah.
Paras mukanya, yang bagaikan paras bocah nakal, kelihatan seperti mau tertawa, tapi
bukan tertawa la mengikuti wanita yang pertama, seperti caranya seorang budak
mengikuti majikannya.
Melihat kedatangan mereka, Hoat-ong kaget tak kepalang. Harus diingat, bahwa dalam
ruangan itu terdapat empat sampai lima ratus orang dan halaman di luar gedung dijaga
oleh para Lhama yang jumlahnya tidak sedikit. Bahwa kedua wanita itu muncul secara
tiba-tiba tanpa diketahui dulu oleh orang lain, adalah kejadian yang benar-benar luar
biasa.
Tapi orang yang paling terpengaruh oleh kedatangannya kedua wanita itu mungkin
adalah Tong Keng Thian sendiri, oleh karena mereka bukan lain daripada Pengtjoan
Thianlie dan Yoe Peng! Dalam kaget dan girangnya, hampir-hampir ia berteriak.
Di lain saat, Koei Peng Go sudah berdiri di samping Chena. Begitu mengenali si nona
yang dulu sudah membantu melindungi guci emas, kedua Lhama jubah putih yang
semberono itu menjadi sangat gusar dan tanpa banyak bicara, mereka lalu menjotos.
Badan Pengtjoan Thianlie sama sekali tidak bergerak. Pada saat empat buah tinju
hampir mengenakan tubuhnya, tiba-tiba ia mengebas dengan tangan jubahnya dengan
menggunakan ilmu Tjiam-ic sippattiat (Delapan belas cara merobohkan musuh dengan
Kebasan baju), yaitu ilmu silat yang paling tinggi dan harus digunakan dengan tenaga
dalam yang sangat besar. Begitu dikebas, badan kedua Lhama itu yang seperti kerbau
besarnya lantas terpental serombak (Kulinya dan menggelinding sampai di kaki Hoat-ong.
Di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah menarik tangan Chena dan lalu bertindak keluar.
Ketika itu, mata semua orang sedang ditujukan kepada kedua Lhama itu yang kena dibikin
terpental oleh Koei Peng Go dan hanya Tong Keng Thian seorang yang terus
memperhatikan kedua wanita itu. Pada saat itu, Pengtjoan Thianlie agaknya tiba-tiba
melihat Lenghoe yang dipakai Chena dan ia mengeluarkan seruan tertahan. Di lain pihak,
Chena kelihatan mendekatkan mulutnya pada kuping Pengtjoan Thianlie dan telah
mengucapkan beberapa kata.
"Tahan!" berseru Hoat-ong, yang, dengan sekali menjejek kaki, sudah berdiri di
samping Pengtjoan Thianlie. Keng Thian kaget bukan main. Ilmu silat kedua orang itu
hampir sama tinggi dan jika mereka sampai bertempur, mungkin ia tak akan dapat
memisahkan.
Sekonyong-konyong Chena mundur dua tindak dan sembari menyoja kepada Koei
Peng Go, ia berkata dengan suara nyaring: "Sioelie (paderi atau imam wanita) dari agama
Topi Putih memberi hormat kepada Hoehoat (Pelindung agama)."
Hoat-ong kaget dan mengawasi dada Peng Go, dimana kelihatan tergantung sebuah
Lenghoe yang mengeluarkan bau wangi-wangian halus. Itulah Pweyap Lenghoe (jimat
kitab Budha yang suci) yang oleh para penganut agama Budha dianggap sebagai
semacam mustika yang langka. Kecuali beberapa gelintir paderi suci, Budha Hidup atau
raja-raja yang sangat berjasa terhadap agama, semua pengikut agama Budha, dari hidup
sampai mati, belum tentu pernah melihat Lenghoe tersebut.
Pweeyap Lenghoe yang dipakai oleh Pengtjoan Thianlie adalah warisan ibunya, yaitu
Hoa Giok Kongtjoe. Nepal adalah negeri yang beragama Budha. Semasa hidupnya ayah
Hoa Giok adalah murid Budha yang taat pada agamanya dan dalam kedudukannya
sebagai raja Nepal membuat banyak sekali jasa terhadap agama. Itulah sebabnya, maka
Raja agama telah menghadiahkan Pweeyap Lenghoe kepadanya sebagai pernyataan
terima kasih dan penghargaan terhadap segala perbuatannya yang mulia. Sebagaimana
diketahui, raja tersebut semula ingin sekali menurut contoh raja-raja Barat dan hendak
mewariskan tahta kerajaan kepada puterinya yang tunggal. Oleh karena adanya niatan
tersebut, maka pada waktu usianya sudah lanjut, ia mewariskan Lenghoe itu kepada Hoa
Giok.
Pweeyap Lenghoe dari Pengtjoan Thianlie tidak dapat disamakan dengan Hoesin
Lenghoe (jimat untuk melindungi diri sendiri) dari Chena. Dengan memakai Lenghoe
tersebut, kedudukan Chena adalah sebagai seorang Wanita Suci, atau Shenglie, yang
masih berada di bawah kedudukan Lhama Besar. Di lain pihak, kedudukan Pengtjoan
Thianlie merupakan kedudukan Pelindung agama, atau Hoehoat, dan tingkatannya dapat
dibilang berendeng dengan tingkatan seorang Budha Hidup. Maka itulah, waktu Pengtjoan
Thianlie memberi hormat kepada Hoat-ong, Raja agama itu pun segera membalas dengan
tidak kurang hormatnya. Para tetamu, terhitung juga Tong Keng Thian, yang tidak
mengetahui tata tertib agama Lhama rata-rata merasa heran, ketika melihat Hoat-ong
membalas hormatnya Koei Peng Go.
Sementara itu, Keng Thian melihat Yoe Peng sedang kasak-kusuk dengan Chena.
Mereka bicara dengan berbisik dan menggunakan bahasa Tibet. Apa yang kuping Keng
Thian dapat menangkap hanya perkataan "Sakya" dan "Tan Thian Oe." Chena kelihatan
mengerutkan alisnya dan mengawasi Yoe Peng, seperti juga ia ingin meminta supaya
dayang Koei Peng Go itu jangan banyak berbicara.
"Hei! Siapa kau?" demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Keng Thian yang sedang
memusatkan perhatiannya kepada kedua gadis itu, jadi gelagapan ketika melihat Raja
agama itu menuding padanya. Ternyata, untuk coba mendengar pembicaraan antara Yoe
Peng dan Chena, Keng Thian sudah melupakan dirinya dan maju terlebih jauh, sehingga
ia berada di garisan depan.
Hampir berbareng dengan bentakan Hoat-ong, sembari menggereng seperti harimau
terluka, In Leng Tjoe menerjang Pengtjoan Thianlie.
Hoat-ong mengebas dengan tangan jubahnya sambil membentak: "In Leng Tjoe!
Jangan kurang ajar!"
"Lihatlah! Apa ini"" berteriak In Leng Tjoe sembari memperlihatkan satu Sinbong yang
hitam bersinar. "Inilah Thiansan Sinbong! Sekarang terbukti, orang dari Thiansan pay,
bersama-sama perempuan siluman itu, sudah datang kemari untuk mengacau. Budha
Hidup! Kenapa kau tak mau lantas membekuk mereka?"
Ternyata, senjata rahasia yang barusan menghantam In Leng Tjoe adalah Thiansan
Sinbong yang dilepaskan oleh Tong Keng Thian. Sesudah dapat membuka jalan
darahnya, dalam kegusarannya ia segera menerjang Koei Peng Go, yang sangat
dibencinya.
Dengan terkejut, Hoat-ong kembali mengebas dengan tangan jubanya. "In Leng Tjoe!"
ia membentak. "Jangan bicara gila-gila. Lieposat (Wanita mulia) ini adalah seorang
Pelindung agama."
Akibat kebasan Hoat-ong, In Leng Tjoe terhuyung beberapa tindak. Darahnya meluap,
tapi ia tidak berani mengumbar napsu amarahnya terhadap Raja agama itu.
Sesaat itu, para pahlawan Tukuhun Khan sudah menerjang In Leng Tjoe, yang, sambil
berteriak keras, menghantam kalang kabut, sehingga dalam sekejap mata, banyak yang
sudah terguling dengan mendapat luka-luka. Sesudah mengamuk hebat, In Leng Tjoe
segera lari ke lorak dan para tetamu lantas saja menjadi kalut.
Dalam keadaan yang sedemikian kalut, Tong Keng Thian masih tetap tenang dan
kedua matanya terus mengawasi Koei Peng Go. Barusan, ketika In Leng Tjoe menerjang
padanya, Pengtjoan Thianlie mengegoskan badan sembari mengebas tangan bajunya
yang panjang dan gerakannya itu seperti juga gerakan menyingkirkan diri dari serangan
musuh yang kuat. Akan tetapi sebenar-benarnya gerakan Peng Go ditujukan terhadap
Keng Thian, oleh karena, pada saat ia mengegos, tangan bajunya membuat saru huruf
"Tjauw" (lari) di tengah udara, dengan maksud supaya pemuda itu lekas-lekas melarikan
diri. Melihat itu, Keng Thian jadi semakin tidak mengerti.
Sebelum dapat memikirkan harus berbuat bagaimana, In Leng Tjoe sudah lari sampai
di hadapannya dengan diubar oleh dua Lhama. Dengan cepat, Keng Thian pasang kuda-
kuda, dua jeriji tangan kirinya dipentang dan menyambar ke depan, sedang tangan
kanannya ditarik ke belakang, dalam gerakan mementang gendewa. Itulah pukulan
Thiansan pay yang paling liehay dan dikenal sebagai pukulan Houwtek siadjit (Houw Tek
memanah matahari). Kedua jeriji yang menghantam ke depan menggunakan ilmu Tiattjie
Sinkang (Ilmu jeriji besi), sedang sikutnya yang memukul ke belakang bekerja seperti satu
martil besi. Ilmu silat In Leng Tjoe memang sudah kalah setingkat dari Tong Keng Thian
dan ditambah dengan lukanya, ia lebih-lebih bukan tandingan pemuda itu. Melihat
sambaran kedua jeriji Keng Thian, dengan mengandalkan ilmu Tiatposan (Ilmu baju besi,
yaitu semacam ilmu weduk), In Leng Tjoe menyambut dengan pundaknya Berbareng
dengan satu suara "tak!" tulang pundak itu patah dan hampir-hampir ia roboh di atas
lantai. Pada detik itu, kedua Lhama yang mengubar juga sudah tiba dan sikut Keng Thian
membentur tepat sang Lhama yang jalan di depan. Dengan teriakan keras, ia jatuh
kejengkang dan badannya menubruk sang kawan yang berada di belakangnya, sehingga
tak ampun lagi, mereka berdua terguling dengan berbareng.
Biar bagaimanapun juga, In Leng Tjoe adalah pemimpin satu cabang persilatan dan
ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang tinggi. Demikianlah, walaupun tulangnya patah,
sesudah mengempos semangat, ia segera menerjang pula. Mendadak, dua sinar dingin
kelihatan menyambar. Keng Thian, yang menduga Pengtjoan Thianlie sedang membantu
ia, sudah tidak berjaga-jaga dan tahu-tahu mukanya basah dan bukan main dinginnya.
"Jangan membiarkan dia lari!" berteriak kedua Lhama yang barusan dirobohkan sikut
Keng Thian. Sekarang Hoat-ong sendiri sudah dapat mengenali, bahwa pemuda itu bukan
lain daripada si tetamu bertopeng yang semalam telah mengunjungi ia.
"Terima kasih atas bantuan Lieposat," berkata Hoat-ong sembari membungkuk dan lalu
bergerak untuk turun tangan sendiri.
Pengtjoan Thianlie mengawasi Raja agama itu sembari mesem. "Sesudah Budha Hidup
mengenali siapa adanya ia, kenapa juga masih mau turun tangan? Apakah Budha Hidup
masih ingin bertempur dengan agama Topi Kuning di Tibet?" menanya si nona.
Hoat-ong terkejut dan lalu balas menanya: "Kenapa Lieposat berkata begitu?"
"Apakah Budha Hidup mengetahui, bahwa orang itu sudah membantu kerajaan Tjeng
dan agama Topi Kuning untuk melindungi guci emas?" Pengtjoan Thianlie berkata pula
Waktu itu, kedua Lhama tadi sedang mencaci Keng Thian yang dulu telah melukakan
mereka dalam perebutan guci emas. Hoat-ong jadi semakin bersangsi, ia mengawasi
Pengtjoan Thianlie tanpa berkesip.
"Pada waktu guci emas direbut kembali, aku pun berada disitu," kata Pengtjoan
Thianlie.
Soal inilah yang membikin Hoat-ong bersangsi. Dari murid-muridnya ia mendapat tahu,
bahwa dua lawan berat pada waktu itu adalah seorang dari Thiansan pay dan seorang
wanita yang dikenal sebagai Pengtjoan Thianlie. "Ia adalah Hoehoat dari agama Budha,
akan tetapi, siapakah yang sebenarnya dilindungi?" tanya Hoat-ong dalam hatinya.
"Apakah benar pernyataan In Leng Tjoe, bahwa ia datang unuk menyeterukan aku?"
Selagi Raja agama itu berada dalam kesangsian, Koei Peng Go sudah berkata pula:
"Agama Topi Kuning dan Topi Putih sebenar-benarnya bersumber satu. Sekarang,
sesudah diadakan perdamaian, Budha Hidup hendaknya jangan mempersulit orang itu.
Bahwa guci emas waktu ini berada di Lhasa, sebenarnya adalah suatu kejadian yang
menguntungkan bagi kedua belah pihak. Aku mohon Budha Hidup sudi memaafkan aku
yang sudah mencampuri urusan ini."
Hoat-ong adalah seorang yang sangat cerdas dan begitu mendengar perkataan
Pengtjoan Thianlie, ia segera menjadi sadar. "Benar!" katanya didalam hati. "Untung juga
hari itu mereka berdua sudah turun tangan. Andaikata waktu itu guci emas dapat direbut,
cara bagaimana dapat dicapai perdamaian seperti yang tercapai hari ini? Ah! Ternyata
mereka mempunyai pandangan yang sangat luas dan diam-diam sudah menyingkirkan
akar permusuhan antara kedua agama." Memikir begitu, ia lantas saja memberi hormat
kepada Koei Peng Go dan menepuk kedua tangannya untuk memanggil balik kedua
muridnya.
Tadi, ketika Pengtjoan Thianlie menimpuk mukanya dengan Pengpok Sintan guna
membuka rahasia penyamarannya, Keng Thian merasa sangat tidak mengerti, kenapa si
nona sudah bertindak begitu. Sesaat kemudian, ia menduga, bahwa Peng Go tidak sudi
bicara dengan ia dan ingin mendesak supaya ia berlalu dari tempat itu, dan berhubung
dengan dugaan tersebut, Keng Thian segera memutuskan untuk segera menyingkir. Akan
tetapi, ia sudah kena "diikat" oleh In Leng Tjoe dan kedua Lhama itu, sehingga untuk
sementara waktu, ia tak dapat meloloskan diri. Selagi bertempur hebat, ia tentu saja tidak
dapat mendengar pembicaraan antara Hoat-ong dan Peng Go dengan jelas. Tiba-tiba
Hoat-ong menepuk tangannya dan memanggil pulang kedua muridnya yang sedang
mengerubuti Keng Thian, sehingga pemuda itu, yang justru sedang berkuatir Hoat-ong
akan turut turun tangan sendiri, jadi merasa sangat heran.
Sesudah dua lawan itu meninggalkan gelanggang pertempuran, merobohkan In Leng
Tjoe sudah tidak merupakan soal lagi baginya. "Lootjianpwee, maafkan aku yang berlaku
kurang ajar," kata Keng Thian sembari tertawa dan mengirim dua pukulan berat, yang
telak mengenakan bagian tubuh yang berbahaya. Apa yang lebih hebat lagi, ialah pukulan
Keng Thian dengan menggunakan Imlat (Tenaga lembek), sehingga In Leng Tjoe semula
tidak merasakan apa-apa dan sesudah lewat beberapa saat, baru ia terkena pengaruh
pukulan itu. Sesaat itu, In Leng Tjoe bukan hanya menghadapi Keng Thian, akan tetapi
juga para pahlawan Tukuhun Khan juga sudah bergerak untuk membekuk ia.
Jalan yang paling selamat untuk In Leng Tjoe adalah meminta pertolongan Hoat-ong
dan berdiam beberapa hari dalam kuil untuk mengobati lukanya. Akan tetapi, sebagai
seorang yang angkuh, sebaliknya dari memohon pertolongan, ia menjejek kedua kakinya
dan melompati tembok, akan kemudian kabur tanpa menengok lagi. Tindakannya itu
sudah membikin lukanya jadi semakin berat dan ia terpaksa harus rebah sebulan lebih
untuk memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, walaupun sudah sembuh, ilmu silatnya
banyak berkurang dan tugas melaporkan hal Liong Leng Kiauw kepada atasannya di kota
raja, jadi tertunda. Maka Tong Keng Thian sudah melukakan In Leng Tjoe juga lantaran
ingin memperlambat perjalanannya ke kota raja.
Sesudah In Leng Tjoe kabur, Keng Thian lantas saja mengenjot badannya yang segera
melesat keluar tembok. Selagi melompati tembok, ia menengok dan melihat si nona
mengawasi padanya sembari mesem.
Pada waktu Keng Thian kembali ke rumah penginapan, para pelayan sedang
kebingungan dalam usaha menolong majikannya. Semula, mereka hanya merasa heran
melihat sang majikan belum juga keluar dari kamarnya untuk memenuhi undangan Hoat-
ong, tapi mereka tak berani masuk kedalam kamar. Kemudian, sesudah siang berganti
malam dan sang majikan belum juga muncul, dengan memberanikan hati, salah seorang
pegawai masuk ke dalam kamar. Begitu masuk, ia terkejut oleh karena sang majikan
sedang tidur bagaikan mayat dan tak menjadi sadar meskipun dipanggil-panggil dengan
suara keras. Buru-buru ia keluar dan memberitahukan rekan-rekannya yang jadi
kebingungan dan menduga majikan itu terkena "barang kotor." Salah seorang lantas pergi
mengundang dukun untuk mengusir setan atau memedi yang mengganggunya.
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. Diam-diam ia mengembalikan surat undangan
Hoat-ong dan membuka jalan darah si pemilik rumah penginapan. Sesudah itu, tanpa
memperdulikan segala kekacauan, ia membereskan buntalannya dan tanpa pamitan lagi
segera berlalu dari penginapan itu, sesudah meninggalkan sepotong perak di atas meja.
Dalam peristiwa pada malam itu, ada banyak hal yang tidak dimengerti Keng Thian.
Pertama, siapakah gadis Tibet itu? Kenapa, sedang semula ia menolak begitu keras untuk
dijadikan Wanita Suci, akhirnya secara suka rela ia menyatakan suka menurut? Kedua,
sebagai seorang yang baru turun gunung, Pengtjoan Thianlie tak mengenal jalan. Kenapa
ia bisa datang ke kuil itu? Apakah kejadian itu hanya kejadian kebetulan saja? Ketiga, Koei
Peng Go bermula mendesak supaya ia cepat-cepat mengangkat kaki, tapi kemudian
mesem-mesem kepadanya. Apakah arti sikap itu? Selain itu, sedang Pengtjoan Thianlie
sendiri pernah membantu melindungi guci emas, kenapa Hoat-ong bersikap begitu
menghormat terhadapnya?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh Tong Keng Thian. "Jika
dilihat dari sikapnya, Peng Go pasti mengenal baik gadis Tibet itu," katanya didalam hati.
"Tapi gadis itu sudah pasti bukan dayangnya."
Berselang beberapa saat, kentongan berbunyi empat kali. Keng Thian lantas
mengambil keputusan dan tanpa bersangsi, ia segera menuju lagi ke kuil Lhama dengan
gunakan ilmu mengentengkan badan. Begitu tiba, ia pergi ke Istana Wanita Suci yang
terletak di sebelah timur. Ia sudah bertekad untuk menyelidiki hal ihwal gadis Tibet
tersebut dalam usaha mencari tahu dimana adanya Pengtjoan Thianlie.
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah hinggap di atas genteng istana. Ketika itu,
para Wanita Suci sudah berada dalam masing-masing kamarnya dan penerangan sudah
dipadamkan. Sesudah terjadinya peristiwa hebat tadi, para wanita itu ternyata tak dapat
tidur pulas dan masih terus membicarakan kejadian tadi dengan suara bisik-bisik. Sambil
merangkak di atas genteng, Keng Thian mendengar suara kasak-kusuk itu, akan tetapi ia
tidak mengetahui suara yang mana adalah suara si gadis Tibet dan ia juga tak berani
sembarang masuk ke dalam kamar orang.
Sambil menghela napas, Keng Thian mengangkat kepalanya. Mendadak, di sebuah
loteng kecil yang terletak di sebelah timur, terlihat api lampu yang berkelak-kelik. Buru-
buru ia menghampiri dan setelah datang dekat, lewat jendela kaca ia dapat kenyataan,
bahwa di kamar itu terdapat tiga wanita yang bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie, Yoe
Peng dan si gadis Tibet yang sedang dicarinya.
Bukan main girangnya. Ia datang lebih dekat pula dan memasang kuping.
"Ini beberapa lembar adalah pelajaran menimpuk dengan senjata rahasia," demikian
kedengaran suara Pengtjoan Thianlie. "Simpanlah baik-baik."
"Budi Tjietjie yang sangat besar, sampai mati aku tak akan melupakan," kata sigadis
Tibet.
"Ah! Benar-benar mereka sudah saling mengenal," berkata Keng Thian dalam hatinya.
"Tapi kenapa ia turunkan pelajaran senjata rahasia, sedang ilmu silat ada begitu banyak
macamnya?"
Di lain saat terdengar suara tertawa Yoe Peng yang lalu berkata: "Kau hidup atau mati,
untuk aku tak ada halangannya. Tapi ada orang yang tidak rela, jika kau sampai menutup
mata!"
Dari luar jendela, Keng Thian melihat gadis Tibet itu menggebuk Yoe Peng yang
mulutnya usilan.
"Aku sama sekali tidak berdusta," kata pula Yoe Peng yang nakal. "Benar-benar ia
sedang menunggu kau dengan tidak sabar."
"Ah! Kalau begitu, ia sudah mempunyai kecintaan," kata Keng Thian dalam hatinya.
"Tapi siapa?" Walaupun pintar dan cerdas, Tong Keng Thian sedikitpun tidak menduga,
bahwa orang yang dimaksudkan Yoe Peng adalah Tan Thian Oe. Dengan mata sendiri, ia
pernah menyaksikan hubungan yang rapat antara Thian Oe dan Yoe Peng, sehingga ia
sama sekali tak mengira, bahwa kecintaan Thian Oe adalah si gadis Tibet.
"Yoe Peng!" demikian terdengar Pengtjoan Thianlie membentak. "Jangan bicara yang
gila-gila! Adik Chena, jagalah dirimu baik-baik!"
Keng Thian tahu, si nona sudah mau berlalu. Tiba-tiba kesunyian sang malam
dipecahkan suara bentakan yang keluar dari atas loteng. "Binatang!" membentak seorang
wanita. "Berani betul kau menggerayang kesini! Leng-ouw (Anjing sakti)! Gigit orang itu!"
Di lain saat, berbareng dengan suara menggeram yang dahsyat, empat ekor anjing
sebesar anak kerbau dan galak luar biasa, menerjang Keng Thian. Anjing itu adalah dari
daerah Tibet dan merupakan turunan dari perkawinan campuran antara anjing hutan dan
anjing biasa, dan itulah sebabnya, mengapa galaknya luar biasa.
Mereka mengepung Keng Thian dari empat penjuru, tak berbeda dengan cara manusia
yang berakal budi. Baru saja Keng Thian membikin terpental yang satu, dua ekor yang lain
sudah menubruk, yang satu coba menggigit lehernya, sedang yang lain menyambar
pundaknya. Buru-buru Keng Thian membentur dengan pundaknya sembari mengebas
dengan tangan kirinya dan kedua anjing itu lantas saja terguling dengan terkuing-kuing.
Sekonyong-konyong di tengah udara terdengar suara hebat bagaikan guntur, dibarengi
dengan menubruknya seekor anjing yang agaknya menjadi pemimpin rombongan anjing
itu. Kedua matanya yang berwarna biru seperti juga mengeluarkan api dan tubrukannya
tidak kalah dengan tubrukan seekor harimau.
Keng Thian memutarkan badan dan pada saat dua kaki depan anjing itu hampir
mengenakan badannya, ia mengirimkan satu tendangan keras. Akan tetapi, binatang itu
yang sudah mendapat latihan lama, dapat mengegosi tendangan tersebut. Keng Thian
terkejut! "Cara berkelit anjing ini seperti juga manusia yang sudah belajar ilmu
mengentengkan badan sepuluh tahun lamanya," katanya di dalam hati. Mengingat ini,
dalam hatinya lantas timbul perasaan kasihan dan menyayangkan, jika binatang itu
sampai jadi celaka. Tendangan Keng Thian barusan adalah tendangan Wanyo Lianhoan
toeihoat, atau tendangan berantai. Sesudah tendangan kaki kiri meleset, kaki kanan harus
menyusul. Akan tetapi, oleh karena timbulnya perasaan itu, Keng Thian tidak mengirimkan
tendangan kedua. Di lain saat, anjing tersebut kembali sudah menubruk secara hebat.
Tiga kawannya yang barusan terguling sekarang sudah bangun kembali dan sembari
menyalak, mereka kembali menerjang Keng Thian.
Sesudah mendapat pengalaman pahit, bagaikan manusia, keempat anjing itu merobah
siasatnya. Sekarang mereka menggunakan siasat gerilya, yaitu buru-buru meloncat
mundur jika Keng Thian menghantam dengan tangan atau kakinya dan menyerobot begitu
lekas terbuka lowongan. Sesudah bertempur beberapa saat, karena mendengar
bentakan-bentakan di atas loteng yang sesuai benar dengan gerakan-gerakan kawanan
anjing itu, Keng Thian mengetahui, bahwa serangan itu dipimpin oleh seorang yang
bersembunyi di atas loteng. Sementara itu, para Wanita Suci sudah pada keluar dari
masing-masing kamarnya dan suara manusia menjadi semakin ramai.
Keng Thian merangkap kedua tangannya sambil mengerahkan tenaga dalam dari ilmu
Lweekee, sehingga keempat anjing itu tertolak mundur oleh satu tenaga yang tak
kelihatan dan tidak dapat mendekati ia lagi. "Kedatanganku ini adalah untuk menemui
seorang sahabat," ia berseru dengan suara nyaring. "Aku sama sekali tidak mempunyai
niatan kurang baik dan mengharap supaya pihak majikan yang terhormat sudi memanggil
pulang keempat anjing ini. Jika tidak, janganlah salahkan aku memukul anjing tanpa
memandang majikannya."
Baru saja Keng Thian berkata begitu, dari atas loteng melayang turun seorang wanita
tua yang mengenakan pakaian warna hijau dan tangannya mencekal sebatang pedang
panjang. "Binatang!" ia membentak. "Apakah belum cukup kau mengacau di ruangan
sembahyang maka datang lagi ke Istana Wanita Suci? Jagalah pedangku!" Berbareng
dengan makiannya ia menikam dengan ilmu pedang Thianliong pay dari Tibet.
Keng Thian berkelit dan pada saat itu, keempat ekor anjing sudah membantu
menyerang. Dengan sekali melirik, ia mengetahui, bahwa wanita tersebut adalah si Ibu
Suci yang sudah dilihatnya di ruangan sembahyang.
"Benar-benar aku datang untuk menemui seorang sahabat yang berada disitu!"
berteriak Keng Thian sembari menunjuk loteng.
(bu Suci menjadi gusar bukan main. "Jika kau berani keluarkan pula omongan kotor,
kau akan binasa tanpa mempunyai tempat untuk mengubur mayatmu!" ia mencaci.
Harus diingat, bahwa Wanita Suci dalam agama mereka dipandang sedemikian suci
bersih, sehingga seorang lelaki melirik saja sudah tidak diperbolehkan. Lantaran begitu,
mana boleh ia mempunyai sahabat lelaki yang tidak dikenal? Perkataan Keng Thian
merupakan pelanggaran besar terhadap agama tersebut dan di mata sang Ibu Suci, ia
adalah seorang bermoral bejat. Demikianlah, sambil menyerang dengan pedangnya
secara sengit, ia memimpin serangan keempat anjing itu, sehingga Keng Thian menjadi
sangat repot dan tidak mempunyai kesempatan untuk memberi penjelasan.
Pengtjoan Thianlie yang rupanya masih mendongkol tidak mau turun dari loteng untuk
memberikan pertolongan, sehingga kedudukan pemuda itu menjadi sulit sekali. Ia sangat
kuatir Hoat-ong keburu datang dan urusan bisa menjadi terlebih ruwet lagi.
Dalam mendongkolnya, dengan kedua tangan ia menangkap seekor anjing yang lalu
dilontarkan ke anjing lain hingga sembari berkuing-kuing, kedua binatang itu terguling-
guling tanpa bisa bangun pula. Si Ibu Suci jadi sangat gusar dan lalu mengirim tiga
serangan berantai. Dengan gerakan Poanliong djiauwpo (Tindakan naga), Keng Thian
mengegos beberapa kali dan kemudian bagaikan seekor burung, ia melewati badan Ibu
Suci dan menyambar seekor anjing lagi dengan ilmu Siauwkinna (Ilmu menangkap).
Seperti tadi, ia mengangkat badan anjing itu yang lantas dilemparkan ke arah anjing yang
ke empat. Tapi tak dinyana, anjing terakhir itu adalah anjing yang paling liehay. Dengan
geraman hebat, dia meloncat tinggi dan terus menubruk Keng Thian. Loncatan tersebut
sudah membikin timpukan Keng Thian jatuh di tempat kosong dan kedua kaki depannya
sudah mengenakan baju pemuda itu.
Buru-buru Keng Thian mengeluarkan ilmu Tjiam-ie sippattiat- dengan lweekang-nya
yang sangat tinggi. Dengan sekali menggoyangkan badan, anjing itu sudah dilontarkannya
sejauh beberapa kaki dan dengan satu egosan, ia berkelit dari tikaman si Ibu Suci.
Mendadak suatu sinar dingin menyambar ke arahnya. Keng Thian tahu, benda itu adalah
Pengpok Sintan dan lantas menangkap dengan sebelah tangannya. Setelah Sintan itu
lumer, dalam tangannya ketinggalan serupa benda lain, sehingga hatinya menjadi kaget.
Mendadak terdengar suara Pengtjoan Thianlie yang ditujukan kepada Ibu Suci: "Ibu
Suci! Kau sedang repot, ijinkanlah aku berlalu lebih dulu!" Di lain saat, dua bayangan putih
kelihatan turun dari atas loteng dengan cepat sekali.
Melihat perginya dua wanita itu, Keng Thian tak mempunyai kegembiraan lagi untuk
berdiam lebih lama. Tiba-tiba ia menyerang secara hebat dan selagi si Ibu Suci meloncat
mundur, ia lantas mengenjot badannya untuk melarikan diri.
Ibu Suci itu meluap darahnya dan berseru: "Leng-ouw! Ubar bangsat itu!" Berbareng
dengan bentakannya, si Ibu Suci juga mengubar dengan diikuti empat anjingnya, sehingga
Keng Thian tak dapat mencapai maksudnya. Sementara itu, di Istana Wanita Suci sudah
terdengar suara lonceng tanda bahaya.
Keng Thian mengerutkan alisnya, tapi lekas juga ia mendapat suatu tipu. Selagi seekor
anjing menubruk, ia mengebas dan mendorong binatang itu ke arah Ibu Suci. Gerakannya
cepat luar biasa dan sebelum Ibu Suci melihat tegas, mulut anjing itu yang mengeluarkan
air liur sudah berada di depan mukanya yang lantas berlepotan air liur!
"Binatang!" berteriak Ibu Suci bagaikan kalap dan kedua tangannya mendorong anjing
itu. Di lain detik, berbareng dengan suara tertawanya yang nyaring,
Keng Thian sudah berada di luar tembok
Setibanya di luar, ia mengawasi ke empat penjuru, tapi Pengtjoan Thianlie sudah tak
kelihatan bayang-bayangannya lagi. Hal ini dapat dimengerti oleh karena ilmu
mengentengkan badan si nona memang setingkat dengan Keng Thian dan mereka berdua
sudah berlalu terlebih dulu. Dengan rasa putus harapan, pemuda itu menghela napas
berulang-ulang. Ia membuka tangannya dan ternyata, benda yang disertakan Pengpok
Sintan tadi adalah selembar kertas kecil.
Keng Thian membuka kertas itu dan dengan pertolongan sinar rembulan, ia membaca
tulisannya:
"Jangan campur urusan orang lain!"
Keng Thian meringis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seorang diri: "Ah! Maksudku
hanyalah ingin menemui kau. Siapa kesudian campur-campur urusan orang lain? Hm! Jika
kau tak sudi menemui aku, aku tentu tak dapat memaksa. Tapi, kenapa beberapa kali kau
mempermainkan aku?"
Ia menengok ke belakang dan melihat seluruh istana Wanita Suci sudah terang
benderang. "Ah! Hoat-ong tentu akan mendongkol sekali," katanya di dalam hati. "Tak
dinyana, tanpa sengaja aku jadi menanam permusuhan. Jika si gadis Tibet rela menjadi
Wanita Suci, aku tentu tidak berhak untuk mencampuri urusannya lagi."
Demikianlah dengan perasaan tertindih, Keng Thian keluar dari kota Naichi dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sembari jalan, ia teringat, bahwa tujuan
Pengtjoan
Thianlie adalah Soetjoan barat untuk mencari pamannya, sehingga, meskipun tak
mengenal jalan, lama atau cepat pasti ia akan tiba juga disitu. "Paling benar sekarang aku
langsung menuju ke tempat Moh Pehpeh untuk menunggu kedatangannya," pikir ia.
Sesudah mengambil putusan itu, hatinya menjadi lebih lega dan ia lalu tidur di pinggir
jalan. Pada besok paginya, ia lantas berjalan menuju ke arah timur.
Sesudah melewati gunung Bayan Karasan, Keng Thian sudah berada di bagian barat
propinsi Soetjoan. Semenjak dulu, Soetjoan barat yang penuh gunung dikenal sebagai
tempatnya "manusia liar." Berhari-hari, Keng Thian berjalan tanpa menemui manusia.
Untung juga gunung itu kaya akan pohon-pohon buah sehingga ia dapat menghilangkan
rasa haus dengan memetik buah-buahan hutan dan rasa lapar dengan membakar daging
kambing hutan yang terdapat banyak sekali di pegunungan itu.
Sesudah lewat lagi beberapa hari, tibalah ia di gunung Tjiakdjie san yang sudah
termasuk wilayah bangsa Han.
Tjiakdjie san dikenal sebagai gunung yang sangat berbahaya dengan puncak-
puncaknya yang menjulang tinggi ke angkasa dan curam luar biasa. Jika seorang sudah
tiba di puncak yang tinggi dan memandang ke sebelah bawah, ia akan melihat gunung-
gunung yang tertutup salju seakan-akan binatang-binatang raksasa yang berbulu putih
sedang mendekam di kaki gunung. Dimana-mana orang dapat bertemu dengan batu-batu
raksasa yang beraneka bentuknya dan jika dipandang dari jauh, batu-batu itu seolah-olah
sekosol-sekosol yang diatur secara sedemikian indah oleh tangan sang alam sendiri.
Sesudah berjalan lagi dua hari, di suatu lereng, Keng Thian melihat mengepulnya asap.
Hatinya jadi girang, tapi di lain saat ia teringat, bahwa meskipun dilihatnya sangat dekat,
tempat itu mungkin baru dapat dicapai sesudah berjalan dua hari lagi.
Keng Thian mempercepat tindakannya dan sebelum berjalan berapa lama, cuaca
mendadak berobah gelap. Ternyata ia sekarang sudah masuk ke bagian yang paling
berbahaya dari gunung Tjiakdjie san. Jalan di tempat itu diapit dua puncak yang berdiri
hampir berdempetan, sehingga di tempat-tempat yang tersempit, lebarnya hanya dua atau
tiga kaki. Jalan itu bukan saja naik turun, tapi juga berbelit-belit dan penuh dengan batu-
batu. Belum juga berapa jauh, mendadak Keng Thian mendengar suara bernapasnya
manusia. Dengan kaget, ia berjalan lebih cepat.
Di lain saat, ia melihat seorang lelaki yang berpakaian rombeng sedang menyender
pada lamping gunung.
"Siapa kau?" menanya Keng Thian.
Orang itu mengucapkan beberapa patah kata yang tidak terang. Keng Thian mendekati.
Sekonyong-konyong ia mengangsurkan kedua tangannya seraya berkata: "Tolonglah aku
si pengemis!"
Keng Thian mengawasi dan ia terkesiap. Kedua lengan orang itu penuh dengan bisul-
bisul besar dan kecil. Sepuluh jerijinya bengkok, sedang di mukanya yang bersinar merah
juga terdapat banyak sekali bisul. Tak bisa salah lagi orang itu adalah penderita penyakit
kusta (lepra), sehingga Keng Thian yang gagah perkasa tanpa merasa mundur tiga tindak
bahna kagetnya.
Orang itu mengawasi dengan mata hampa sebagai tak ada semangatnya dan seolah-
olah sudah beberapa hari ia tak pernah ketemu nasi.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian heran tak kepalang. Pertama,
menurut kebiasaan, penderita kusta kebanyakan terdapat di Tiongkok Selatan, sedang di
daerah Utara barat penyakit itu adalah hal yang langka sekali. Kedua, Tjiakdjie san adalah
sebuah gunung yang sangat berbahaya dan, kecuali orang yang berkepandaian tinggi,
jarang ada manusia yang mampu mendaki gunung tersebut. Tapi, baru saja mengingat itu,
ia berkata dalam hatinya sendiri: "Ah! Dia tentu adalah seorang yang melarikan diri karena
desakan masyarakat."
Pada jaman ini, kita semua mengetahui, bahwa penyakit kusta bukan disebabkan
pengaruh setan atau hukuman Tuhan. Akan tetapi, pada jaman itu, ialah jaman
pemerintahan Boan, orang masih percaya, bahwa kusta adalah satu penyakit yang
menandakan dosa seseorang dan seorang penderita kusta dipandang sebagai manusia
berbahaya, sehingga mesti dibakar hidup-hidup dan tulang-tulangnya harus dikubur di
dalam tanah. Di Tiongkok Utara barat jumlah penderita kusta ada sangat sedikit dan tidak
banyak orang yang mengetahui tanda-tanda penyakit tersebut. Maka itu, memang benar
ada sejumlah penderita kusta yang secara untung-untungan melarikan diri ke
daerah Utara barat untuk menyingkir dari buruan sesama manusia. Akan tetapi, oleh
karena macamnya si sakit memang sangat menakuti dan tak ada orang yang sudi
memberi tempat meneduh padanya, maka jarang sekali mereka bisa tiba di Utara barat
dengan masih bernapas.
Memikir begitu, dalam hati Keng Thian segera timbul rasa kasihan. "Dengan badan
menderita penyakit, ia lebih suka berkawan dengan binatang daripada dengan sesama
manusia yang selalu mengubar-ubarnya," katanya dalam hati. "Sungguh harus dikasihani!
Dan sungguh besar nyalinya!"
Ia segera mengeluarkan sepotong daging kambing dari sakunya dan berkata sembari
melemparkan daging itu kepada si sakit: "Ambillah. Di sebelah depan terdapat banyak
sekali buah-buahan. Kau bisa petik sendiri."
Melihat daging itu dilemparkan, orang itu tidak lantas memungut. Mendadak kedua biji
matanya bergerak dan... suatu sinar berkredep keluar dari kedua matanya! Keng Thian
terkejut oleh karena sinar yang sedemikian adalah sinar mata orang yang mempunyai
kepandaian silat sangat tinggi. Tapi, di lain saat, sorot kedua mata itu lantas berobah
menjadi sayu kembali dan perlahan-lahan ia membungkuk untuk memungut potongan
daging itu.
"Eh, siapa namamu?" menanya Keng Thian. "Apa kau pernah belajar silat?"
Orang itu seperti juga tak mendengar perkataan Keng Thian. Ia duduk di atas tanah
sembari makan daging itu secara rakus.
"Ah, guna apa aku tanya namanya?" kata Keng Thian dalam hatinya. "Andaikata benar
ia pandai ilmu silat, aku toh tak bisa berkawan dengan ia ini." Memikir begitu, ia lantas
bergerak untuk segera berlalu, tapi sebelum menindak, ia menengok ke belakang dulu. Di
luar segala dugaan, orang itu sedang mengawasi ia dengan sorot mata gusar dan
membenci. Keng Thian bergidik dan buru-buru berjalan pergi.
Sebelum berjalan herapa jauh, Keng Thian tiba-tiba mendengar suara menggelegar di
belakangnya dan ketika ia menengok, sebuah batu besar sedang menggelinding dari atas
ke arahnya. Sebagaimana diketahui, jalan gunung itu sangat sempit, sehingga ia tak dapat
menyingkir lagi. Oleh karena sudah tak ada jalan lain, buru-buru ia mengerahkan tenaga
dalamnya dan dengan kedua tangannya menyampok batu itu, yang lantas saja terpental
dan jatuh ke dalam jurang. Ia mendongak dan melihat si penderita kusta sedang
menyontek sebuah batu lain.
"Kau bikin apa?" membentak Keng Thian. Baru habis ia berkata begitu, batu tersebut
sudah menggelinding ke bawah dengan kecepatan kilat. Mau tidak mau, ia terpaksa
mengerahkan lagi tenaga dalamnya dan melontarkan pula batu itu. Pada waktu batu itu
terpental, tanah dan debu pada muncrat, sehingga Keng Thian harus meramkan kedua
matanya. Waktu ia membuka lagi matanya, orang itu sudah tak kelihatan bayang-
bayangannya.
Keng Thian gusar bukan main. "Hei! Binatang!" ia berseru sekeras-kerasnya. "Kita
belum pernah saling mengenal, kenapa juga kau mau mencelakakan aku!" Tapi hanya
kumandang suaranya yang kedengaran. Si penderita kusta tetap menghilang tanpa bekas.
Sedari turun gunung, ia sudah mengalami banyak juga kejadian-kejadian
mengherankan, tapi tak ada yang seaneh ini. Bahwa orang itu tinggi ilmu silatnya, sudah
tak usah disangsikan pula. Tapi yang membikin Keng Thian tak habis mengerti, adalah:
Terhadap orang itu, ia tak pernah berdosa dan malah sudah melepas budi dengan
memberikan sepotong daging. Tapi kenapa, ia menurunkan tangan jahat? Apakah orang
itu sudah hilang sifat kemanusiaannya?
Tak lama kemudian, ia tiba di tempat terbuka dan jalan sudah tidak begitu berbahaya
seperti tadi. la sekarang sudah sampai di bagian selatan dari gunung Tjiakdjie san dan
sesudah mengasoh sebentar, ia segera meneruskan perjalananannya.
Kira-kira magrib pada hari kedua, ia sudah tiba di tengah-tengah gunung itu. Di satu
tanjakan ia menemukan sebuah rumah tanah yang berdiri sebelah menyebelah dengan
sebuah gubuk beratap alang-alang. Dari dalam rumah itu mengepul asap dan hidung
Keng Thian mengendus wanginya daging bakar dan nasi yang baru dimasak. Rumah
tersebut berbentuk istal kuda panjangnya kira-kira tiga tombak dan lebarnya setombak
lebih. Keng Thian mengetahui, bahwa rumah itu adalah semacam penginapan untuk
orang-orang yang mendaki gunung untuk memetik daun obat atau berburu binatang.
Sesudah berhari-hari lamanya menangsel perut dengan daging kering dan buah-buahan
hutan, Keng Thian ingin sekali makan nasi yang putih dan segera juga ia mengetuk pintu.
Tuan rumah adalah seorang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun dengan cara-
caranya yang sederhana, seperti biasanya seorang pegunungan. Mendengar permintaan
menginap, lantas saja ia berkata sembari tertawa: "Beberapa bulan tak pernah ada
tetamu, sekali datang satu rombongan besar. Tuan, malam ini kau tak akan kesepian. Di
dalam sudah ada belasan orang, rombongan pedagang obat yang datang dari Selatan."
Sesudah memberikan sepotong perak untuk barang santapan, Keng Thian segera
bertindak masuk. Dalam ruangan itu berjajar belasan pikulan obat-obatan dan begitu ia
masuk, dua piauwsoe (orang yang bertugas sebagai pelindung) setengah tua terus
mengawasi gerak-geriknya. Tiba-tiba terdengar suara mendehem dari seorang piauwsoe
tua dan kedua kawannya itu lantas menundukkan kepala, seperti juga tidak melihat
masuknya seorang tetamu baru.
Selain ketiga piauwsoe itu, terdapat juga tujuh delapan orang lelaki yang berbadan
kekar, pada menggeletak di atas tanah dengan menggunakan pikulan sebagai bantal. Di
samping si piauwsoe tua duduk seorang pedagang yang berusia kira-kira lima puluh tahun
dan yang matanya terus melirik pedang Keng Thian.
Keng Thian memberi hormat dengan merangkap kedua tangannya. "Apakah
Saudarasaudara ingin pergi ke Tjenghay?" ia menanya sembari tertawa.
Si piauwsoe tua hanya manggutkan kepalanya sedikit, sedang si pedagang menjawab
dengan satu suara "hm."
"Aku sendiri ingin pergi ke Soetjoan barat," berkata pula Keng Thian. "Aku merasa
sangat beruntung malam ini dapat bertemu dengan kalian. Dengan mempunyai banyak
kawan, kita bisa tidur enak."
"Bagus! Bagus!" berkata si piauwsoe tua. "Apakah Saudara datang dari utara?"
"Benar. Jalanan gunung sukar sekali dilewati," sahut Keng Thian.
"Dengan berkelana seorang diri, nyali saudara benar-benar besar," berkata pula
piauwsoe itu. "Aku si tua mencari sesuap nasi dengan bekerja sebagai piauwsoe dan
dalam pekerjaan itu, aku hanya mengandalkan bantuan sahabat-sahabat. Aku mohon
saudara jangan mentertawakan diriku. Untuk bicara terus terang, jika harus berjalan
seorang diri, aku tak akan berani mendaki gunung Tjiakdjie san." Sehabis berkata begitu,
kedua matanya mengawasi Keng Thian dengan sorot tajam.
"Gila! Si tua menganggap diriku sebagai perampok!" berkata Keng Thian dalam hatinya.
Ia lantas saja menyoja dan berkata dengan suara hormat: "Loosoehoe janganlah bicara
begitu merendah. Dapatkah aku mendapat tahu she dan nama Loosoehoe yang mulia?"
"Aku she Kwee, namaku Tay Kie," jawabnya. "Dan siapakah adanya saudara?"
Mendengar pertanyaan orang, Keng Thian segera memperkenalkan dirinya secara terus
terang.
Piauwsoe itu ternyata sungkan banyak bicara. Setiap pertanyaan, ia jawab dengan
singkat. Keng Thian mengetahui, bahwa dalam kalangan Kangouw orang selalu bercuriga
terhadap mereka yang belum dikenal dan ia pun mengetahui, bahwa dirinya sangat
dicurigai. Maka itu, ia tidak banyak menanya pula, hanya hatinya merasa agak heran, oleh
karena belum pernah mendengar nama Kwee Tay Kie.
Di daerah Seekong, Tibet, Tjenghay dan Sinkiang terdapat banyak sekali bahan obat
yang luar biasa, seperti nyali biruang dan sebagainya, tapi sangat kekurangan obat-
obatan biasa. Maka itu, setiap tahun seorang dua orang pedagang obat-obatan yang
besar selalu mengunjungi beberapa propinsi itu dengan membawa obat-obatan biasa,
untuk ditukar dengan bahan-bahan obat istimewa keluaran daerah tersebut. Setiap kali
berdagang paling sedikit harganya meliputi sepuluh
laksa tail perak, sehingga piauwsoe yang berkepandaian tanggung-
tanggung, tak akan berani bertugas untuk melindungi rombongan pedagang tersebut.
Sesudah bersantap malam, rombongan pedagang lalu menyalakan perapian dan
mereka tidur di sekitar perapian itu, dengan para piauwsoe menjaga bergiliran. Keng
Thian sendiri lantas saja merebahkan diri di suatu sudut.
Baru saja ia meramkan mata, tiba-tiba di luar terdengar suara tindakan dan dua
piauwsoe setengah tua dengan serentak meloncat bangun. "Ada orang!" mereka berbisik.
"Jangan ribut!" membentak si piauwsoe tua.
Menurut kebiasaan rumah penginapan, untuk menggampangkan para tetamu yang
keluar masuk, daun pintu hanya dirapatkan. Suara tindakan itu cepat luar biasa dan dalam
sekejap,
sudah tiba di depan pintu. Sebelum pintu ditolak, terdengar suara tertawa yang sangat
nyaring lebih dulu. Keng Thian dan semua orang merasa terkejut oleh karena suara itu
adalah suara seorang wanita.
Di lain saat, dua wanita masuk ke dalam, diikuti seorang lelaki. Kedua wanita itu, satu
tua dan satu muda, mempunyai paras muka yang hampir sama, sehingga dapat diduga,
bahwa mereka itu adalah ibu dan anak. Si wanita muda, yang pada rambutnya
ditancapkan sekuntum kembang hutan, berparas riang gembira dan begitu masuk, ia
berseru: "Ha! Begitu banyak orang? Benar-benar ramai!"
Wanita yang setengah tua, yang kedua alisnya bengkok dan mengenakan pakaian
warna dadu dengan sulaman kembang Botan, mengeluarkan suara "stt," sembari
menempelkan jerijinya pada mulutnya. "Perlahan sedikit!", katanya. "Jangan mengganggu
tamu-tamu lain!" Walaupun perkataannya merupakan perintah, akan tetapi paras mukanya
mesem-mesem dan sama sekali tak mempunyai keangkeran seorang ibu.
Keng Thian merasa geli. "Ie-ie-ku (Phang Lin) adalah satu manusia aneh," katanya di
dalam hati. "Wanita ini rasanya tak banyak beda dengan Ie-ie."
Pada pinggang kedua wanita itu tergantung gendewa dan sembari masuk, mereka
tertawa haha-hihi, seolah-olah sepasang bocah yang belum mengenal asam garam dunia.
Akan tetapi, meskipun lagaknya seperti anak-anak, mata mereka memancarkan sorot
keksatriaan. Orang lelaki yang mengikuti di belakang mereka berusia kurang lebih lima
puluh tahun dan berbadan tinggi besar. Ia tidak membawa senjata, akan tetapi dilihat dari
tindakannya yang mantap, sudah boleh dipastikan, bahwa ia seorang ahli silat yang
berkepandaian tinggi.
Rombongan pedagang obat belum ada yang tidur pulas. Begitu ketiga tamu itu masuk,
mereka semua membuka mata, terutama kedua piauwsoe setengah tua, yang terus
mengawasi mereka tanpa berkesip.
Si gadis mendadak tertawa nyaring seraya berseru: "Hei! Kalau mau lihat, lihatlah
secara berterang! Guna apa main sembunyi?"
Muka kedua piauwsoe itu lantas saja berobah merah dan matanya mendelik. Tapi
sebelum mereka membalas menyemprot, si orang tua yang berbadan tinggi besar buru-
buru menghampiri dan berkata sembari menyoja: "Anakku memang nakal sekali. Aku
sangat mengharap, mengingat usianya yang masih sangat muda, saudara-saudara sudi
memaafkannya." Sehabis berkata begitu, ia mendorong puterinya seraya membentak:
"Hee-djie! Lekas minta maaf pada sekalian paman!"
Melihat sikap ayah si nona yang sangat patut, si piauwsoe tua lantas saja berdiri dan
berkata sembari tertawa: "Anak-anak guyon-guyon, janganlah Looheng buat pikiran.
Kedua kawanku adalah orang-orang kasar yang tidak mengenal aturan. Nona! Aku pun
mengharap kau jangan menjadi gusar."
Dengan demikian, sengketa kecil itu sudah menjadi beres, orang-orang piauwkiok
lantas pada merebahkan diri lagi, sedang si nona terus mengikuti kedua orang tuanya.
Sembari berjalan, wanita setengah tua itu berkata kepada suaminya dengan suara yang
cukup keras untuk didengar oleh semua orang: "Loyatjoe! Kau sendiri yang terlalu rewel!
Kau sudah mengganggu semua orang yang ingin tidur." Nyonya itu yang sangat
menyayangi puterinya, sudah sangat mendongkol mendengar comelan sang suami dan
orang-orang piauwkiok mengetahui, bahwa perkataannya ditujukan kepada mereka.
"Dalam kalangan Kangouw, yang paling tak boleh dibuat gegabah adalah hweeshio,
toosu, sasterawan dan wanita," kata si piauwsoe tua dalam hatinya. "Kedua wania ini,
yang membawa gendewa, kelihatannya bukan penjual silat. Ah! Malam ini aku harus
berjaga-jaga."
Sesudah memilih suatu sudut, sang ibu dan puterinya segera menggelar tikar untuk
mengasoh. Sambil menyandar pada tembok, Keng Thian mengawasi mereka. Mendadak,
kedua mata si wanita setengah tua mengeluarkan sinar luar biasa dan setindak demi
setindak, ia menghampiri Keng Thian. Tiba-tiba ia menghentikan tindakannya dan
mengawasi pemuda itu dengan muka bersemu dadu dan sebelah tangannya memegang
koen, sebagai lagaknya seorang gadis muda yang bertemu dengan kecintaannya.
Pada saat itu, si orang tua yang berbadan tinggi besar menghampiri seraya berkata:
"Tjeng-moay, lebih baik kita mengambil tempat di pojok sana." Sekonyong-konyong kedua
matanya bersinar dan seperti si wanita, ia pun mengawasi Keng Thian.
Keruan saja Keng Thian jadi kaget. "Ah! Kenapa begini lagaknya kedua orang tua ini?"
ia menanya dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian, sembari tertawa si orang tua menyoja dan menanya:
"Siauwko (Saudara kecil), bolehkah aku mendapat tahu she-mu yang mulia?"
"Aku she Tong," jawab Keng Thian.
Si wanita mengeluarkan satu seruan tertahan dan menanya dengan suara tergugu:
"Kau... kau she Tong?"
"Perlahan sedikit!" membentak si tua.
"Tong Siangkong (tuan)," berkata pula wanita itu dengan suara terlebih perlahan. "Kau
datang dari mana dan sekarang mau pergi kemana?"
Sekonyong-konyong puterinya tertawa. "Ibu," katanya "Kenapa kau menanya begitu
melit?" Keng Thian agak bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut juga: "Aku datang dari
Tibet dan ingin
pergi ke Soetjoan barat untuk mencari seorang sahabat."
"Hm," berkata pula si wanita setengah tua. "Dari Tibet? Dilihat dari gerak-gerikmu. Aku
rasa kau sudah pernah belajar ilmu silat dalam banyak tahun." Sembari berkata begitu, ia
mengawasi Yoeliong kiam yang digunakan sebagai bantal kepala oleh Keng Thian.
Gadis itu kembali tertawa nyaring dan berkata: "Ibu! Benar-benar kau sudah linglung!
Apakah kau tak lihat pedangnya? Perlu apa kau menanya lagi?"
"Aku berjalan seorang diri dan dengan membawa pedang, hatiku jadi lebih besar," kata
Keng Thian. "Manalah aku mempunyai kepandaian silat?"
Orang tua yang berbadan tinggi besar itu mesem-mesem, seolah-olah ingin memuji
Keng Thian yang bisa merendahkan diri dan berbareng menegur kedustaannya.
"Aku ingin menanyakan kau tentang satu orang yang she-nya sama dengan kau," kata
si-wanita setengah tua. "Mungkin sekali ia masih tersangkut pamili dengan kau."
"Siapa?" menanya Keng Thian.
"Orang itu bernama Tong Siauw Lan!" sahutnya.
Keng Thian terkejut. Harus diketahui, bahwa kedua orang tua Keng Thian dulu pernah
mengamuk di istana kaizar dan sudah membinasakan Kaisar Yong Tjeng. Walaupun
kejadian itu sudah berselang banyak tahun, akan tetapi Tong Siauw Lan suami isteri masih
tetap merupakan orang buronan yang menjadi musuh kerajaan Boan. Oleh karena itu,
dapat dimengerti, bahwa Keng Thian tak berani membuka rahasia di depan sembarang
orang.
Wanita setengah tua itu mengawasi padanya dengan sorot mata tidak sabar dan dilihat
dari sikapnya, ia sama sekali tidak mengandung maksud yang kurang baik.
Sesudah dapat menetapkan hatinya, Keng Thian segera berkata sembari tertawa:
"Nama Tong Tayhiap aku sudah pernah dengar lama sekali. Ia adalah seorang pemimpin
dari satu cabang persilatan dan aku sangat kagum padanya. Hanya sayang sungguh,
sampai sebegitu jauh aku belum pernah dapat berjumpa."
Paras muka wanita setengah tua itu lantas saja berobah, seperti orang yang kecewa
dan putus harapan.

"Ibu!" kata puterinya. "Tong Pehpeh bertempat tinggal di atas gunung Thiansan, orang
biasa mana bisa jumpai ia? Tapi setiap kali bertemu orang yang datang dari Sinkiang atau
Tibet, kau selalu tak lupa untuk menanya. Apakah ibu tidak takut ditertawai orang?"
Mendengar ejekan itu, sang ibu jadi mendongkol. "Setan kecil!" ia membentak.
"Sekarang anak mau mengajar orang tua!"
Oleh karena kuatir didesak terus, Keng Thian lantas berlagak menguap, seperti orang
yang sudah sangat mengantuk, sehingga si orang tua jadi malu hati. "Hee-djie, Tjeng-
moay, besok pagi-pagi Siauwko tentu ingin meneruskan perjalannya dan kita pun harus
mengasoh." Sehabis berkata begitu, ia segera berjalan kembali ke tikarnya, diikuti kedua
wanita itu.
Sesudah mengalami beberapa kejadian luar biasa selama dua hari beruntun, mana
Keng Thian bisa cepat-cepat pulas. Ia putar otaknya, tapi tak juga dapat menebak siapa
adanya ketiga orang itu. Ia membuka matanya sedikit dan melihat kedua piauwsoe
setengah tua itu sedang duduk di pinggir perapian dengan tangan mencekal golok dan
matanya sering-sering melirik ke arah dua wanita itu. Si piauwsoe tua menggeros, tapi
Keng Thian mengetahui, ia hanya berlagak pulas.
Berselang beberapa lama para pegawai piauwkiok yang sudah kecapaian tak dapat
menahan pula perasaan ngantuknya dan sudah pada menggeros keras. Mendadak, Kwee
Tay Kie, si piauwsoe tua, membuka kedua matanya dan berkata dengan suara perlahan:
"Awas!" Ia segera mencekal hoentjwee-nya (pipa panjang), yang lalu diisikan tembako,
dinyalakan dan kemudian dihisap. Hoentjwee itu yang panjang dan kepalanya sebesar
cangkir teh, berwarna hitam mengkilap, sehingga dapat diduga, bahwa hoentjwee itu
bukan dibuat dari pada kayu, tapi dari pipa besi yang dapat digunakan sebagai senjata.
Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan, disusul dengan terpentalnya daun
pintu, dan di lain saat, belasan orang menerobos masuk. Yang berjalan paling depan
adalah seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun.
Sembari mengacungkan gendewa yang dicekalnya, ia berseru sembari tertawa
berkakakan: "Bagus! Bagus! Kambing-kambing gemuk semuanya berkumpul dalam rumah
ini!"
Kedua piauwsoe setengah tua itu serentak meloncat bangun, tapi sebelum mereka
dapat bergerak lebih jauh, Kwee Tay Kie sudah meloncat ke depan dan sambil mengebas
dengan hoentjwee-nya, ia memberi hormat seraya berkata: "Sahabat, selamat datang! Aku
yang rendah adalah Kwee Tay Kie dari Tjinwie Piauwkiok di Pakkhia dan mencari sesuap
nasi dengan menjalankan tugas sebagai satu piauwsoe. Mataku sungguh buta dan
kupingku tuli sehingga tak mengetahui, bahwa Tjeetjoe (pangilan terhadap kepala
perampok) bertempat tinggal di gunung ini, dan aku tidak mengunjungi terlebih dahulu
untuk memberi hormat. Untuk semua keteledoran itu, aku memohon maaf."
Kawanan penjahat yang berdiri di belakang kepala perampok itu, tertawa terbahak-
bahak. "Hei! Tak perlu kami mendengar segala perkataan-perkataan yang indah!" berteriak
seorang. "Kami hanya tahu, kambing gemuk berada di depan mata dan tinggal menunggu
ditangkap. Majikan! Bukankah begitu?"
Kepala perampok itu mengawasi Kwee Tay Kie dan berkata sembari tertawa:
"Siauwsamtjoe! Kau jangan bawel! Aku lihat, Kwee Piauwtauw adalah seorang yang
mengenal aturan dan di dalam kalangan Kangouw, kita memang harus menghargakan tali
persahabatan. Begini saja: Obat-obatan ini justru sangat diperlukan di tempat kami dan
tanpa sungkansungkan kami ingin memintanya. Semua pegawai Piauwkiok boleh berlalu
tanpa mendapat gangguan dan kami pun tak akan merampas uang. Kwee Piauwtauw!
Bukankah peraturan ini sudah cukup pantas?"
Si pedagang obat ketakutan bukan main dan sekujur badannya jadi gemetaran. Ia
mengawasi Kwee Tay Kie dengan perasaan kuatir, kalau-kalau si piauwsoe tua akan
tunduk terhadap kemauan kepala perampok itu.
Kwee Tay Kie dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak -bahak. "Terima kasih atas
kemurahan hati Tjeetjoe," katanya. "Sebenarnya aku harus menurut pada kemauan
Tjeetjoe, akan tetapi, seorang yang makan gaji, harus setia terhadap majikannya. Orang
yang menyewa tenaga kami merupakan ayah ibu yang memberi makan kepada
piauwkiok. Jika sekarang, untuk menyelamatkan diri, kami tunduk terhadap perintah
Tjeetjoe dan meninggalkan sang ayah dan ibu, maka piauwkiok kami pasti akan segera
menggulung tikar dan puluhan keluarga kami akan mati kelaparan. Tjeetjoe! Aku si tua
mohon Tjeetjoe sudi mempertimbangkan perkataanku ini."
Kepala penjahat itu tertawa tawar. "Perkataan Kwee Piauwtauw sedikitpun tiada
salahnya," katanya dengan suara menyindir. "Akan tetapi, jika kami tidak berjual beli
(merampok), apakah Kwee Piauwtauw mau suruh kami makan angin?"
"Soehoe!" berseru salah seorang piauwsoe setengah tua itu. "Jika mereka sungkan
memberi muka, guna apa kita bicara panjang-panjang lagi?"
Si kepala perampok tertawa besar sambil menarik tali gendewa. Berbareng dengan
suara menjepretnya gendewa, kedua piauwsoe setengah tua itu menangkis dengan
goloknya.
Mendadak terdengar suara "plak!" dan peluru itu pecah dengan mengeluarkan api yang
lantas saja membakar baju kedua piauwsoe itu. Buru-buru mereka bergulingan di atas
tanah dan waktu mereka bangun lagi, Kwee Tay Kie sudah bertempur dengan kepala
perampok itu.
Walaupun sudah berusia lanjut, gerakan Kwee Tay Kie sangat cepat dan sebelum si
penjahat dapat melepaskan pelurunya, hoentjwee-nya sudah menyambar kepala si
pemimpin rampok. "Bagus!" berteriak kepala perampok itu sembari mengebas dengan
gendewanya untuk membabat pergelangan tangan Kwee Tay Kie. Serangan itu adalah
satu serangan aneh, sehingga dengan
cepat si piauwsoe memutarkan badannya sambil menyodok dengan hoentjwee-nya
yang
digunakan seperti sebatang tombak pendek. Serangan itu disusul dengan pukulan Tjinpo
lianhoan (Majukan kaki secara berantai), hoentjwee-nya mengetok ke bawah, seperti
orang mengetok dengan martil. Dan sebagai serangan yang ketiga, sembari memutar
badan sekali lagi, Kwee Tay Kie menotok jalan darah Djoanma hiat di dada si penjahat
dan kali ini hoentjwee tersebut digunakan sebagai Poankoan pit (senjata yang bentuknya
seperti pit, pena Tionghoa). Demikianlah dengan beruntun Kwee Tay Kie mengirimkan tiga
serangan dengan menggunakan tiga macam pukulan yang berlainan. Kepala perampok
itu segera mengangkat gendewanya dan dengan tiga macam pukulan yang berlainan, ia
dapat memunahkan ketiga serangan si piauwsoe tua.
Ia tertawa berkakakan. "Piauwtauw Tjinwie Piauwkiok sungguh liehay!" katanya. "Tapi
bertemu Hoeihweetan Tjoe Teng (Tjoe Teng si Peluru Api Terbang), keangkerannya akan
menjadi musnah!"
Sehabis berteriak, ia segera merobah cara bersilatnya, punggung gendewa digunakan
untuk menyapu dan memukul. Sedang tali gendewa digunakan untuk membetot dan
membabat. Gendewa tidak termasuk di dalam delapan belas jenis senjata dan jika
seorang dapat menggunakan gendewa sebagai senjata, ia tentu mempunyai ilmu silat
yang istimewa. Maka itu, sesudah bertempur lama juga, walaupun mempunyai
pengalaman puluhan tahun, Kwee Tay Kie masih belum bisa berada di atas angin.
Sementara itu, dengan dipimpin oleh kedua piauwsoe setengah tua itu, para pegawai
piauwkiok sudah bertempur dengan kawanan perampok. Jumlah kedua belah pihak kira-
kira berimbang. Pihak perampok terlebih unggul daripada para pegawai piauwkiok dalam
ilmu silat, tapi dapat diimbangi oleh kedua piauwsoe itu yang kepandaiannya banyak lebih
tinggi dari mereka. Dengan demikian, sesudah berkutet lama juga, belum kelihatan siapa
yang bakal kalah.
Keng Thian duduk dan menonton. Ia tidak mau lantas turun tangan dan diam-diam
mengawasi gerak-gerik keluarga yang terdiri atas tiga orang itu.
Tiba-tiba si gadis tertawa geli. "Ibu," katanya "Perampok itu juga dapat menggunakan
Tankiong (Gendewa peluru)!"
"Fui!" membentak ibunya. "Dalam dunia yang lebar, apakah hanya kau seorang yang
dapat menggunakan Tankiong?"
"Benar! Tapi dalam dunia yang lebar ini, Tankiong dari keluarga Yo yang paling liehay,"
berkata pula gadisnya. "Ibu! Aku masih ingat, kaulah yang berkata begitu."
"Bawel benar kau!" mengomel sang ibu.
Keng Thian kaget. "Tankiong dari keluarga Yo?" ia menanya dirinya sendiri. "Keluarga
Yo yang mana?"
Sekonyong-konyong sambil mengeluarkan teriakan
menyeramkan, gendewa si perampok menyambar bagaikan kilat dan di lain saat,
pundak Kwee Tay Kie terluka dan ia terhuyung beberapa tindak. "Binatang! Biar sekarang
aku mengadu jiwa tuaku!" ia berteriak.
Kepala perampok itu tertawa berkakakan sembari mementang gendewa dan
melepaskan belasan peluru.
Begitu Lioehong Hweeyamtam (peluru api yang dibuat dari welirang) menyambar,
beberapa pegawai piauwkiok roboh terjungkal dan beberapa orang lain pada terbakar
bajunya, sehingga buru-buru mereka menggulingkan diri.
Selagi si perampok melepaskan peluru, orang tua yang berbadan tinggi besar itu
berkata pada puterinya: "Hee-djie. Aku lihat tanganmu sudah gatal sekali. Sekarang boleh
kau turun tangan!"
Si gadis tertawa girang dan sambil meloncat bangun, ia mementang gendewanya. Di
lain saat, bagaikan bintang sapu sejumlah peluru menyambar peluru api si penjahat yang
lantas pada jatuh dengan terbakar.
Bukan main gusarnya kepala perampok itu. Sambil mengegos untuk menyingkir dari
serangan Kwee Tay Kie, ia mementang gendewanya dan puluhan peluru api menyambar
si nona seperti hujan gerimis.
"Hee-djie!" berseru ibunya. "Caramu belum sempurna. Lihatlah ini!" Bagaikan kilat, si
nyonya segera melepaskan puluhan peluru ke arah peluru-peluru api itu, yang, seperti
juga mempunyai mata, lantas pada berbalik menyambar ke kawanan perampok. Dalam
sekejap, beberapa
perampok sudah bergulingan di atas tanah dengan 'pakaian terbakar dan sebuah peluru
api hampir-hampir saja mengenakan Tjoe Teng, si kepala perampok, yang lalu berteriak-
teriak bahna gusarnya.
Kwee Tay Kie yang sudah tidak menghitung hidup, jadi terkejut berbareng girang
melihat datangnya bintang penolong yang tidak diduga-duga. Selagi ia bengong
mengawasi si nyonya, tiba-tiba Tjoe Teng menendang dadanya dengan ilmu tendangan
Tengkak.
Pada detik yang sangat berbahaya, si orang tua yang berbadan tinggi besar berseru:
"Tjeng-moay! Bereskanlah buaya-buaya yang lainnya!" Sehabis berseru begitu, ia
menjejek kedua kakinya dan badannya lantas melesat bagaikan seekor burung. Di lain
saat, tangannya sudah menyambar kepala perampok itu yang lantas dilemparkan keluar
pintu.
Pada detik itu, di luar pintu tiba-tiba terdengar suara tertawa menyeramkan yang tidak
begitu diperhatikan orang oleh karena pertempuran sedang berlangsung hebat. Sesaat
kemudian, seorang lelaki sudah berada dalam ruangan itu.
Keng Thian yang kupingnya liehay sangat terkejut ketika mendengar suara tertawa itu.
Ia mengawasi lelaki yang baru masuk itu, dan yang ternyata adalah seorang pengemis
berpakaian rombeng dengan sebelah tangan mencekal tongkat hitam dan seluruh
badannya penuh bisul. Orang tersebut bukan lain daripada si penderita kusta dengan
siapa ia pernah bertemu di gunung Tjiakdjie san.
Keng Thian tetap menyandar pada tembok, ia mengangkat leher bajunya, sehingga
sebagian mukanya jadi ketutup. Begitu masuk, si pengemis mengebas tangannya dan si
orang tua mundur beberapa tindak. "Siapa kau?" ia membentak dengan suara gusar.
Si penderita kusta lantas saja mengeluarkan suara tertawa yang membikin orang
bergidik. "Kau tak kenal aku, tapi aku kenal kau!" katanya sembari tertawa ha-ha he-he.
"Di Shoatang, namamu besar sekali. Aku kira kau masih berada disitu dan telah
mengunjungi dua kali, tapi selalu tidak bertemu. Tak tahunya kau berada di tempat ini! Ha-
ha! He-he! Sungguh bagus! Sungguh bagus! Aku dengar Ngohengkoen-mu adalah ilmu
silat yang paling liehay di sebelah selatan dan utara Sungai Besar. Maka itu, aku sengaja
mencari kau untuk memperluas pemandanganku! Ah! Nyonya itu katanya adalah puterinya
Tiattjiang Sintan (si Tangan Besi Peluru Malaikat, gelaran ayahnya nyonya tersebut). Hm!
Aku dilahirkan agak terlambat, sehingga tak mempunyai kesempatan untuk berjumpa
dengan Tiattjiang Sintan. Sungguh beruntung, di tempat ini aku dapat bertemu dengan
seorang pendekar wanita yang pada dua puluh tahun berselang, sudah menggetarkan
dunia Kangouw. Dari beliau, aku pun ingin memohon pengajaran!"
Kepala perampok yang tadi dilemparkan keluar pintu, sekarang sudah masuk kembali.
Ia girang bukan main waktu mendengar kata-kata si pengemis, yang diduga adalah
seorang penjahat juga. "Eh," katanya. "Kambing gemuk itu kita bagi seorang separoh.
Semangkok air kita minum bersama-sama!"
Si penderita kusta mendelik dan membentak: "Siapa perdulikan kambing gemukmu!
Keluar!" Ia mendorong dengan kedua tangannya dan badan si perampok lantas terpental
serta menubruk pintu, sehingga sebelah daun pintu copot dari engselnya. Di antara
desiran angin malam yang sayup-sayup, terdengar suara jeritan si perampok yang
menyayatkan hati.
Melihat itu semua, kawanan perampok jadi pecah nyalinya dan lari serabutan untuk
menyelamatkan jiwa Orang-orang dari Piauwkiok dan si pedagang obat juga ketakutan
setengah mati dan mereka mundur ke pojok tembok.
Barusan, ketika si pengemis mendorong Tjoe Teng, baru Kwee Tay Kie dapat melihat
bisul-bisulnya dan ia kaget tak kepalang. Bagaikan kesima, ia mengawasi dengan mata
mendelong.
Muka si orang tua yang berbadan tinggi-besar jadi pucat. "Apakah kau bukannya
Toktjhiu Hongkay (si Pengemis Kusta Yang Tangannya Beracun) yang sengaja
menyeterukan orang-orang gagah di kolong langit?" ia menanya.
"Ha-ha! Hehe! Tak salah!" jawabnya. "Dalam dunia ini, tak banyak orang gagah yang
mempunyai cukup derajat untuk bertempur dengan aku. Hayo! Keluarkanlah
kepandaianmu!"
"Hee-djie!" berseru si orang tua. "Lekas lari!" Dengan sekali meloncat, ia menyambar
sebatang golok seorang pegawai piauwkiok dan tanpa berkata suatu apa, ia membacok.
Orang tua itu sebenarnya tersohor liehay dalam ilmu silat tangan kosong Ngohengkoen
dan tidak begitu biasa
menggunakan golok. Akan tetapi, ia merasa jijik untuk berbenturan tangan dengan si kusta
oleh karena melihat bisul-bisul yang membikin bulu roma berdiri.
Si pengemis mendelik akan kemudian tertawa berkakakan seperti orang gila. "Ha! Kau
jijik berbenturan tangan denganku?" ia berkata dengan suara mengejek. "Hm! Sebentar
kau rasakan bagaimana enaknya rasa bisulku!" Ia pindahkan tongkat besinya ke tangan
kiri dan tanpa bersenjata, tangan kanannya segera mengirim serentetan pukulan hebat,
sembari mengangsek maju.
"Hee-djie! Lari!" si nyonya meneriaki puterinya, sembari melepaskan tiga buah peluru
yang menyambar ke muka, ke dada dan ke kaki, masing-masing menuju ke jalan darah
yang
membinasakan. Cara melepaskan tiga Sintan dengan beruntun itu sudah kesohor sedari
dulu dan pernah merobohkan banyak sekali orang gagah.
"Sintan keluarga Yo benar-benar liehay!" berseru si pengemis. Dengan menundukkan
kepala, ia menghindari Sintan yang menyambar mukanya, dengan kedua jerijinya ia
menjepit Sintan yang menghantam dada dan akhirnya, dengan tongkatnya ia menyampok
peluru yang terbang ke kakinya. Sesudah itu, sambil membentak keras, ia membuka mulut
dan menggigit belakang golok si orang tua.
Puluhan tahun ia berkelana di sebelah selatan dan utara Sungai Besar, tapi belum
pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang mempunyai ilmu silat sedemikian luar
biasa. Begitu goloknya digigit, ia merasakan tangannya kesemutan dan tanpa tercegah
lagi, senjata itu terlepas dari tangannya.
Si pengemis tertawa keras dan melonjorkan sebelah tangannya untuk mengusap muka
lawannya. Si orang tua menggeram seperti harimau terluka dan sembari mengempos
semangat, ia mengirim satu pukulan ke dada musuh. Dalam gusarnya, ia menghantam
dengan pukulan membinasakan dari ilmu silat Ngohengkoen.
Si penderita kusta mengeluarkan teriakan aneh dan meloncat mundur beberapa tindak
akan kemudian, dengan sekali menotok tanah dengan tongkatnya, ia sudah meloncat pula
ke depan dan berhadapan lagi dengan si orang tua.
"Aku tak percaya kau dapat menahan tiga pukulanku!" katanya sembari tertawa haha-
hihi. Jotosan Ngohengkoen si-orang tua barusan itu mempunyai tenaga kurang lebih
delapan ratus
kati dan seumur hidupnya, pukulan tersebut dapat dikatakan belum pernah meleset. Akan
tetapi, kali ini tinjunya yang sedemikian liehay sudah dapat dipunahkan secara begitu
mudah oleh si pengemis, maka tidaklah heran, jika ia jadi kaget berbareng kuatir.
Sekonyong-konyong si pengemis menjotos dengan sebelah tinjunya dan selagi si orang
tua mau loncat menyingkir, lehernya mendadak digaet dengan tongkat besi.
Melihat ayahnya berada dalam bahaya, si gadis lantas melepaskan segenggam peluru
dengan menggunakan ilmu Boanthian hoa-ie (Hujan bunga di selebar langit). Si pengemis
terus menggentak sehingga orang tua itu jadi terguling dan kemudian berkata sembari
tertawa: "Sebentar kau akan merasakan enaknya bisulku!" Berbareng dengan
perkataannya itu, ia putarkan tongkatnya sehingga semua peluru jatuh berhamburan di
atas tanah.
"Bagus!" ia berseru. "Biarlah nona cantik ini lebih dulu merasakan gurihnya bisulku!"
Sekali menotol tanah dengan tongkatnya, badannya melesat ke atas dan lalu menyambar
gadis itu yang lantas saja jatuh kejengkang.
Dalam kaget dan bingungnya sang ibu melepaskan tujuh peluru yang menghantam ke
tujuh jalan darah si pengemis. Ia mengetahui, bahwa pelurunya tak akan dapat melukakan
si penderita kusta, akan tetapi, dalam saat yang berbahaya itu, ia tak mempunyai lain jalan
yang lebih baik. Tanpa memperdulikan peluru-peluru itu, si pengemis menurunkan
tangannya untuk menjambak si nona.
Pada detik yang luar biasa gentingnya, tiba-tiba saja terdengar suara "ssr, ssr" dan dua
sinar merah berkelebat di tengah udara. Hampir berbareng dengan itu, si pengemis
mengeluarkan suara teriakan hebat dan tubuhnya melesat ke atas, hampir-hampir
kepalanya
mengenakan payon. Selagi badannya melayang turun ke bawah, ia menghantam si
nyonya dengan tongkatnya.
Nyonya itu kaget bukan main, sambil melemparkan gendewa, ia mencabut sepasang
Lioeyap to (Golok daun lioe) untuk menyambut serangan itu. Si pengemis menyerang
bagaikan harimau edan
dan dalam tiga jurus saja, sepasang golok si nyonya sudah terpental ke tengah udara
Sekonyong-konyong, pengemis itu menyembur dengan mulutnya sembari membentak:
"Bocah! Kau juga berada disini?"
Begitu kedua goloknya terpental, si nyonya jadi terkesima dan berdiri bengong. Di lain
saat, kedua matanya menjadi silau lantaran munculnya sinar dingin dari sebatang pedang
dan si pemuda baju putih sudah mulai bertempur dengan pengemis itu.
"Yoeliong kiam!" berseru si nyonya dengan suara tertahan.
Pemuda baju putih itu tentu saja bukan lain daripada Tong Keng Thian. Tadi, pada detik
yang paling berbahaya, dengan satu timpukan yang sungguh indah, ia melepaskan dua
Thiansan Sinbong. Melihat menyambarnya senjata rahasia, buru-buru pengemis itu
menutup semua jalan darahnya Ia menduga, dengan menutup jalan darah, senjata
rahasia itu tak akan dapat melukakan tubuhnya. Tapi sekali ini ia keliru. Thiansan Sinbong
yang liehay luar biasa, ditambah dengan tenaga dalam Keng Thian yang sudah mencapai
tingkat yang tinggi, sudah dapat menobloskan "tutupan" itu. Begitu tertusuk, si pengemis
merasakan jantungnya sakit dan ia mengetahui, bawa ia sudah mendapat luka berat.
Hampir berbareng dengan senjata rahasianya, Keng Thian menerjang dengan Yoeliong
kiam. Saat itu, dalam kegusaran hebat, si pengemis menyembur. Keng Thian segera
berkelit dengan anggapan, bahwa musuh itu ingin meludahinya. Juga ia sudah menduga
keliru. Mengimpi pun ia tak pernah, bahwa senjata rahasia si pengemis justru disimpan di
dalam mulutnya dan dengan semburan itu, sejumlah senjata rahasia yang sangat halus
menyambar dirinya
Mendadak ia merasakan pergelangan tangannya seperti digigit semut, tak seberapa
sakit, tapi sangat gatal.
Darah Keng Thian naik tinggi. "Binatang!" ia membentak. "Kau ini tak bedanya dengan
ular berbisa! Begitu bertemu manusia lantas menggigit!"
Si pengemis tertawa besar. "Benar! Benar!" katanya. "Malam ini kau adalah manusia
pertama yang digigit ular!"
Tanpa banyak bicara, Keng Thian segera mengirim serangan berantai yang sangat
hebat. Si pengemis cekal tongkatnya dengan kedua tangannya dan sekali tarik, ia
mencabut keluar sebatang pedang besi yang hitam mengkilap. Ternyata, tongkat itu
merupakan sarung pedang yang dibuat secara istimewa sekali.
Yoeliong kiam adalah senjata mustika yang sudah kesohor di seluruh Rimba Persilatan.
Begitu kedua senjata berbentrok, lelatu api muncrat dan pedang si pengemis somplak.
"Ih!" berseru si pengemis sembari meloncat mundur. Keng Thian juga diam-diam merasa
kaget, oleh karena Yoeliong kiam yang dapat mengutungkan besi dan memapas baja, tak
dapat memutuskan pedang besi itu.
Ilmu silat si penderita kusta sangat aneh dan tak menurut peraturan biasa. Akan tetapi,
walaupun kelihatan kalang-kabut, setiap serangannya sangat berbahaya dan mempunyai
perobahan-perobahan yang tak diduga-duga. Dengan penuh kegusaran, Keng Thian
menyerang dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat, akan tetapi, sesudah menjalankan
habis delapan belas rupa serangannya, si pengemis belum memperlihatkan tanda-tanda
keteter. Di sebelah ilmu silatnya, penderita kusta itu pun sangat dalam lweekang-nya dan
kurang lebih dapat direndengkan dengan tenaga dalam Keng Thian.
Sesudah si nona sadar dari pingsannya, ayah, ibu dan puteri itu lantas saja menerjang
si pengemis jahat untuk membantu Keng Thian. Dengan tangan kanan mencekal pedang
besi, ia melawan Keng Thian, sedang tangan kirinya yang memegang sarung pedang
melayani tiga lawan baru itu. Tangan kanannya lebih banyak membela diri daripada
menyerang, sedang tangan kirinya lebih banyak menyerang daripada membela diri.
Dengan penuh semangat, Keng Thian mencecer musuhnya dengan Toeihong Kiamhoat
dan dalam sekejap, tiga puluh jurus sudah lewat. Beberapa saat kemudian, di atas kepala
si pengemis keluar uap panas dan keringat mengucur dari mukanya Keng Thian tahu,
bahwa Thiansan Sinbong sudah mulai menyerang jantung orang itu dan ia lalu
memperhebat serangannya.
Si pengemis tiba-tiba mendelik dan menyapu Keng Thian dengan matanya yang
bersinar seperti kilat. "Bocah!" ia membentak. "Dengan mengeluarkan tenaga begitu
banyak, apa kau kira bisa hidup terus?"
Keng Thian kertek giginya dan mengirim satu tikaman hebat. Pada saat ujung Yoeliong
kiam hampir mengenakan badannya, si pengemis mendadak berjungkir balik dan
meloncat keluar melewati mulut pintu. Keng Thian segera menjejek kedua kakinya untuk
mengubar, akan tetapi, tiba-tiba ia merasakan badannya seperti ditusuk-tusuk dengan
ribuan jarum dan semacam hawa amis naik ke tenggorokannya dari dalam perutnya! Di
lain detik, matanya berkunang-kunang dan tanpa dapat berdaya lagi, ia roboh di atas
tanah.
Keng Thian segera mengempos semangatnya untuk menjaga jantungnya. Semua
orang menjadi bingung dan berusaha untuk memberikan pertolongan.
Walaupun terluka hebat, kuping Keng Thian terang sekali dan dapat menangkap satu-
satu perkataan orang.
"Loopiauwtauw janganlah menghaturkan terima kasih," demikian terdengar suara si
orang tua. "Mari kita periksa luka sahabat ini."
Keng Thian tak dapat bicara lagi, kepalanya berat dan lapat-lapat ia mendengar
perkataan salah seorang: "Ih! Senjata rahasia apa yang digunakan olehnya?"
"Jangan menggunakan sembarang obat, kalau salah, lukanya bisa jadi semakin berat."
"Ah! Kenapa seperti gigitan ular?"
"Lihat! Mukanya bersemu hitam!"
"Siapa mempunyai jarum emas? Coba keluarkan darahnya."
"Tak usah. Senjata rahasia sudah terang direndam dalam bisa ular..."
Hanya sebegitu yang dapat didengar Keng Thian. Ia ingin sekali memberitahukan
mereka, bahwa dalam kantongnya terdapat pil Pekleng tan yang dibuat daripada Soatlian,
tapi mulutnya sudah terkancing. Kepalanya semakin lama jadi semakin berat dan sesaat
kemudian, matanya gelap dan ia tak ingat dirinya lagi.
Berselang tujuh hari, seperti orang yang baru mendusin dari suatu impian jelek, ia sadar
kembali. Ketika itu, ia sendiri tentu saja belum mengetahui sudah pingsan begitu lama. Di
antara kekaburan, ia ingat kejadian tujuh hari berselang dan ketika membuka kedua
matanya, ia melihat sinar matahari yang menembus ke kamarnya dan dahan-dahan bunga
yang bergoyang-goyang diluar jendela. Hidungnya mengendus serupa wangi-wangian
yang halus sekali dan ia merasakan dadanya lapang.
"Oh, Tuhan! Terima kasih! Terima kasih banyak! Akhirnya ia mendusin juga!" demikian
terdengar suara wanita yang lemah lembut.
Ia melirik. Kedua wanita yang ia jumpakan di gunung Tjiakdjie san pada tujuh hari
berselang, kelihatan duduk di depan pembaringan sambil mengawasi mukanya dengan
paras muka girang, sedang Yoeliong kiam tergantung di kepala ranjang.
"Kenapa aku bisa berada disini?" menanya Keng Thian. "Tempat siapakah ini?"
"Hee-djie," berkata sang ibu. "Pergi ambil semangkuk Somthung (air godokan Yosom)."
Sesudah itu, dengan suara halus ia berkata kepada Keng Thian: "Kau sudah terkena
senjata rahasia beracun si pengemis kusta dan sudah rebah disini tujuh hari dan tujuh
malam. Ini adalah rumah kami."
Keng Thian meramkan kedua matanya, mengingat-ingat kejadian pada malam itu. Ia
bergidik dan berkata dengan suara terharu: "Terima kasih!"
"Bukan kau, tapi kamilah yang harus menghaturkan terima kasih padamu," sahut si
nyonya sembari tertawa.
Sesaat itu, gadisnya sudah masuk pula dengan membawa Somthung yang lantas
diberikan kepada Keng Thian. Sesudah minum air godokan itu, ia merasa badannya segar
dan semangatnya terbangun.
"Hee-djie," berkata pula sang ibu. "Bawa keluar pakaian Tong Koko. Apa dua stel
pakaian baru itu sudah selesai dijahit?"
"Siang-siang sudah selesai," jawab si nona
Keng Thian mengendus bau amis yang keluar dari pakaiannya dan melihat mata ibu
dan anak itu agak merah, satu tanda bahwa bermalam-malam mereka sudah
menggadangi dirinya
Mengingat kebaikan orang Keng Thian jadi sangat terharu dan berkata dengan suara
perlahan:
"Budimu yang sangat besar, seumur hidup tak akan aku lupakan."
Mendadak si nona tertawa nyaring. "Ibu," katanya. "Apakah lagak ayahnya juga seperti
ia, halus dan lemah lembut?"
Sang ibu tertawa dan tak meladeni pertanyaan puterinya yang nakal. "Racun itu hebat
luar biasa dan jarang terdapat dalam dunia," menerangkan si nyonya. "Sebenar-benarnya
kau sendirilah yang sudah menyembuhkan lukamu. Untuk apa menghaturkan terima kasih
kepada kami?"
"Apa?" menanya Keng Thian dengan rasa heran.
"Untung juga aku masih mengenali Yoeliong pokiam dan mengetahui cara
menggunakan Pekleng tan," jawab nyonya itu. "Kalau bukannya begitu, kami pun tak akan
dapat berdaya lagi."
Si nyonya tertawa-tawa dan kemudian menyambung pula penuturannya: "Orang yang
paling dulu mendapat tahu, bahwa kau sudah kena racun ular adalah si pedagang obat. Ia
segera memberikan dua butir yowan (pil) yang istimewa untuk
menyembuhkan luka digigit binatang berbisa. Obat itu sebenarnya sudah dipesan oleh
sebuah toko obat besar di kota Pakkhia dan oleh karena merasa sangat berhutang budi
atas pertolongan kita, tanpa merasa sayang ia sudah mengeluarkan obatnya yang mahal
itu. Akan tetapi, yowan tersebut juga hanya dapat menahan menjalarnya racun untuk
sementara waktu. Buru-buru kami menyewa tandu dan membawa kau sampai disini. Kami
berusaha memberikan pertolongan dengan mengurut jalan darahmu, tapi semua tinggal
sia-sia. Dalam kebingungan, tiba-tiba aku ingat, bahwa sebagai pemilik Yoeliong kiam, kau
tentu membawa juga Pekleng tan yang terbuat dari Soatlian. Benar saja kami beruntung
menemukan pil yang mujarab itu dalam kantongmu dan buru-buru aku menghancurkan
sebutir Pekleng tan dengan air salju, separoh aku cekokkan ke dalam mulutmu dan
separoh lagi dipoleskan pada lukamu. Hm! Sungguh hebat racun si pengemis kusta!
Thiansan Pekleng tan yang dapat menyembuhkan segala rupa racun, masih memerlukan
tujuh hari dan tujuh malam!"
Ketika itu Keng Thian sudah sadar benar-benar dan ia ingat segala kejadian pada
malam itu. Mendengar penuturan sang penolong, tanpa merasa ia menanya: "Kalau begitu
kau kenal baik ayahku, bukan?"
Si nyonya mesem dan paras mukanya mendadak bersemu dadu, seperti juga pada
malam itu, ketika mereka baru bertemu muka. "Kenal baik?" ia mengulangi dengan suara
perlahan. "Kami berdua, aku dan ayahmu, adalah kawan bermain sedari kecil! Apakah
ayahmu belum pernah menyebutkan namanya Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng? Aku adalah
anak perempuan Tiattjiang Sintan."
"Ha!" Keng Thian mengeluarkan seruan tertahan. "Kalau begitu, kau adalah Yo Pehbo.
Ibu sering sekali menyebut namamu."
"Apakah ibumu baik?" menanya nyonya itu sembari tertawa.
"Baik," jawabnya. "Sering sekali ibu mengatakan, bahwa pada dua puluh tahun
berselang, mereka pernah menerima budi ayahmu yang sangat besar. Lima tahun ayahku
pernah menjadi murid Yo soetjouw (Kakek guru) dan kalau dihitung-hitung, aku harus
memanggil Soesiok (Paman guru) kepada Pehbo."
Mendengar itu, si nyonya lantas saja teringat segala kejadian pada dua puluh tahun
berselang dan paras mukanya lantas saja menjadi guram. "Apakah ayahmu baik?" ia
menanya.
"Baik, tak kurang suatu apa," jawabnya. "Di Thiansan, ayah memelihara abunya Yo
Soetjouw." Mendengar itu, muka si nyonya lantas menjadi terang kembali.
"Kami sebenarnya ingin pergi ke Thiansan guna menyambangi kedua orang tuamu. Tak
dinyana, di tengah jalan bertemu dengan kau. Benar-benar maunya Tuhan."
Nama nyonya itu adalah Yo Lioe Tjeng, bekas tunangan Tong Siauw Lan. Belakangan
sesudah pertunangan putus, ia menikah dengan Tjee Sek Kioe, seorang ahli silat
Ngohengkoen. Memang sudah lumrahnya, bahwa seorang wanita sukar sekali dapat
melupakan kecintaannya yang pertama. Maka itu, walaupun sudah menikah dan
mempunyai seorang puteri, kadang-kadang ia teringat segala kejadian yang lampau.
Sesudah banyak tahun berpisah dengan Tong Siauw Lan, sering-sering ia teringat bekas
tunangan itu. Tjee Sek Kioe mengetahui isi hati isterinya dan pula mengetahui, bahwa
sesudah mereka menikah dengan segala keberuntungan, kecintaan sang isteri terhadap
Tong Siauw Lan bukannya "kecintaan" yang menyeleweng, akan tetapi suatu kecintaan
dari seorang saudara. Di sebelah itu, ia pun merasa sangat kangen kepada Tong Siauw
Lan,
sahabatnya. Maka itulah, ketika sang isteri mengutarakan keinginannya, dengan segala
senang hati ia menemani Yo Lioe Tjeng untuk pergi mencari Tong Siauw Lan. Dulu,
keluarga Tjee bertempat tinggal di rumah Yo Tiong Eng. Tapi belakangan, gara-gara suatu
kejadian, mereka pindah ke propinsi Soetjoan.
Oleh karena hebatnya racun, sesudah sadar beberapa hari, Keng Thian baru dapat
jalan merayap dengan berpegangan tembok dan untuk mendapat kembali seluruh
kesehatannya, agaknya ia harus mengasoh sedikitnya setengah bulan lagi. Maka itu, tak
dapat tidak ia harus berdiam terus di rumah keluarga Tjee untuk beberapa lama.
Dengan penuh kecintaan, keluarga tersebut merawat Keng Thian, terlebih pula Yo Lioe
Tjeng yang memperlakukan ia seperti puteranya sendiri. Puteri Tjee Sek Kioe, yang
bernama Tjee Tjiang Hee, adalah seorang gadis jang simpatik dan gembira sifatnya,
dengan gerak-geriknya yang lincah bagaikan seekor burung kecil. Sering sekali ia
menemani Keng Thian dan sering pula meminta petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat. Dalam
hari-hari pertama, oleh karena si pemuda belum kuat, Tjiang Hee sering menuntun si
pemuda waktu jalan di kebun belakang. Keng Thian adalah seorang ksatria yang jiwanya
bebas dari segala ingatan kotor dan sudah memperlakukan gadis itu seperti saudara
kandungnya sendiri.
Selang sepuluh hari lagi, kecuali badannya yang belum kuat betul, semua racun sudah
tertolak keluar dari tubuhnya. Perlahan-lahan ia mendapat kembali kesehatannya.
Malam itu, bersama Tjiang Hee, ia jalan-jalan di luar rumah. Di bawah sinar bulan jang
laksana perak, ribuan bunga menyiarkan bau harum semerbak, oleh karena waktu itu
adalah buntut musim semi dan permulaan musim panas, di kala kembang-kembang
sedang mekarnya.
Sesudah bercakap-cakap ke barat dan ke timur, mendadak Tjiang Hee munculkan soal
Thiansan.
"Apakah enak bertempat tinggal di Thiansan?" menanya si nona.
"Yang sudah biasa tak akan merasakan apa-apa," jawab Keng Thian. "Tapi untuk
seorang yang baru datang, keadaan disana tentu mengherankan dan ia harus
menyesuaikan diri dulu. Seluruh tahun gunung itu ditutup es dan dimana-mana terdapat
sungai es. Dipandang dari jauh, sungai-sungai es itu seakan-akan ribuan naga yang
berwarna putih."
"Oh, begitu?" berkata si nona dengan perasaan kagum. "Bukankah tempat itu jadi
seperti surga dalam dongengan tempat tinggalnya dewi-dewi?"
Keng Thian jadi teringat Pengtjoan Thianlie dan tanpa merasa ia berkata: "Aku sendiri
pernah melihat keraton es!"
"Di Thiansan?" menanya Tjiang Hee.
"Bukan, bukan di Thiansan," jawabnya.
Tiba-tiba si nona melihat paras muka Keng Thian yang sedikit guram. "Apakah kau jadi
ingat keluargamu, lantaran aku menyebut-nyebut Thiansan?" ia menanya. "Sesudah kau
sembuh, kami semua akan mengantar kau pulang ke Thiansan."
"Bukan, aku bukan teringat keluargaku," sahut Keng Thian. "Sesudah sembuh, aku
malah ingin meneruskan perjalanan ke Soetjoan barat."
"Apa orang yang hidup di Thiansan tak merasa kesepian?" menanya pula si nona.
"Di atas gunung terdapat beberapa keluarga yang berhubungan rapat sekali, sehingga
kita tak merasa kesepian," menerangkan Keng Thian. "Ie-ie-ku juga berada di Thiansan. Ia
paling senang bergaul dengan nona-nona yang nakal."
"Menurut kata ibu, ibumu dan adiknya adalah saudara kembar dan muka mereka
sangat mirip,"
kata lagi Tjiang Hee. "Apa benar begitu?"
"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Aku sendiri sering tak dapat
membedakannya." "Apakah muka saudara misanmu mirip dengan kau?"
tanya Tjiang Hee.
"Tidak," jawab Keng Thian sembari tertawa dan kemudian menambahkan: "Piauwmoay-
ku (adik misan perempuan) mirip sekali dengan kau."
"Apa ia cantik?" tanya si nona.
"Cantik. Sungguh cantik!" jawabnya. "Secantik kau!"
"Dusta," kata Tjiang Hee. "Ia tentu banyak lebih cantik!" Sesaat kemudian, ia tertawa
dan berkata pula: "Kata ibu, kau adalah seorang pemuda yang baik sekali, sama benar
dengan ayahmu dulu. Kalau benar begitu, kau juga tentu adalah seorang muda yang
sangat romantis."
"Apa?" menegasi Keng Thian dengan perasaan jengah.
"Dulu, pada waktu ayahmu berdiam di rumah kakekku (Yo Tiong Eng), ia telah menulis
sebuah sajak yang kemudian disimpan oleh ibuku," menerangkan Tjiang Hee.
"Belakangan, oleh karena merasa ketarik, aku mengambil sajak itu dan selalu kubawa-
bawa dalam kantongku. Aku sendiri tak begitu mengerti isinya dan ingin minta petunjukmu.
Sesudah membaca itu berulang kali, sedikit banyak aku mengetahui, bahwa penulisnya
adalah seorang lelaki yang sangat romantis."
Tjiang Hee adalah puteri tunggal dari keluarga Tjee dan sedari kecil mendapat didikan
seperti seorang anak lelaki. Maka itu, ditambah dengan adatnya yang sangat polos, ia
selalu bicara terus terang, tanpa tedeng aling-aling.
Di lain pihak, mendengar si nona membicarakan soal ayahnya, Keng Thian merasa
agak jengah. Akan tetapi, tersurung hati kepingin tahu, lantas saja ia berkata: "Bolehkah
aku membaca itu?"
Kertas itu sudah pecah di sana-sini, tapi huruf-hurufnya masih lengkap dan dapat
dibaca. Di atas kalimat "Pek Tjoe Leng" atau Sajak Seratus Huruf terdapat tulisan yang
artinya kira-kira seperti berikut:
Sungguh lelah, hidup terombang-ambing,
Di antara lautan manusia, Apakah ada sahabat yang mengetahuinya? Sarung pedang
dan kantong syair adalah kawan satu-satunya, Melawan sang angin malam, menginjak
embun pagi, berjalan tak henti-hentinya, Nyanyiannya yang keras menembus awan.
Suaranya yang santer membubarkan halimun. Bagaikan seekor burung Gan yang terbang
pergi akan kemudian balik kembali! Bagaikan si burung Yo, bagaikan si burung walet,
Menginjak salju, tapaknya tak berbekas!

***

Gunung yang tertutup awan, bayangan dalam impian, semuanya samar-samar, Anak
walet mencari sarang. Tapi takut rintangan sang tirai, Walaupun dalam kantong sudah
penuh dengan tulisan indah, Tapi siapakah yang dapat menyampaikan kepada si dia?
Demikianlah sambil memeluk khim, menggubah lagu. Dengan mata mengawasi sang
langit yang tiada tepinya! Sogo dan Tjenglie, Sampai kapankah kita dapat bertemu?
Dulu, sajak itu sebenarnya ditulis oleh Tong Siauw Lan lantaran ia tak dapat melupakan
Lu Soe Nio. Tapi Yo Lioe Tjeng sudah salah sangka, ia menduga, bahwa Siauw Lan
menulis untuk dirinya sendiri, dan itulah sebabnya, mengapa ia lalu menyimpan sajak
tersebut sebagai peringatan yang indah.
Sehabis Keng Thian membaca, sambil tertawa Tjiang Hee berkata: "Ibumu sungguh
beruntung. Ayahmu membandingkan ia seperti seorang dewi (Sogo dan Tjenglie)!"
Dengan begitu, Tjiang Hee juga sudah salah menafsirkan. Ia menganggap, dengan
"Sogo dan Tjenglie" dimaksudkan ibu Keng Thian.
Tapi Keng Thian sendiri merasa sangat heran dalam hatinya. Membaca sajak itu, Keng
Thian yang cerdas mengetahui, bahwa si penulis sedang memikirkan seorang wanita yang
berada jauh, yang bagaikan sekuntum bunga, hanya dapat dipandang, tapi tak dapat
dipetik. "Ketika itu ayah berada dalam rumah keluarga Yo, maka tak bisa jadi sajak
tersebut ditulis untuk Yo Pehbo," katanya di dalam hati. Sebagai seorang yang tak
mengetahui asal-usul sajak tersebut, Keng Thian segera menarik kesimpulan, bahwa
ayahnya sudah menulis untuk ibunya sendiri.
"Begitu ayahnya, begitu juga anaknya," kata Tjiang Hee, tertawa. "Kau pun tentu
seorang muda yang romantis. Hanya sayang, piauwmoay-mu tak berada disini."
Mendengar perkataan si nona, Keng Thian jadi merasa geli dan berkata dalam hatinya:
"Hm! Mana kau tahu? Piauwmoay-ku dan kau sendiri sama saja seperti ibumu dahulu,
sedang aku sendiri tak berbeda seperti ayahku. Mana kau tahu, bahwa di dalam hati aku
sedang memikirkan seorang lain!"
Melihat si pemuda sebentar merengut dan sebentar mesem, Tjiang Hee jadi merasa
heran sekali.
Tiba-tiba Keng Thian mendehem dan dari antara pohon-pohon bunga, berjalan keluar
ibu Tjiang Hee.
"Ibu, kenapa kau mencuri dengar pembicaraan kami?" tanya si nakal.
"Kalian bicara apa, sedikitpun aku tak dengar," jawabnya sembari tertawa.
Ibu dan anak itu, yang perhubungannya, seperti juga kakak dan adik, gemar sekali
berguyon-guyon, akan tetapi Keng Thian yang mendengar kata-kata mereka itu sudah jadi
jengah sekali. "Malam sudah larut, untuk apa Pehbo keluar seorang diri?" ia menanya.
"Yah memang sudah larut malam," jawab sang bibi sembari lirik mereka.
Muka Keng Thian jadi berubah merah. Sesaat kemudian, Yo Lioe Tjeng berkata dengan
suara perlahan: "Keng Thian, sekarang ini kesehatanmu belum pulih kembali. Hee-djie,
tak boleh kau mengajak Tong Koko pergi terlalu jauh dari rumah ini."
Mendengar ibunya bicara sungguh-sungguh, si nona segera menanya: "Kenapa?"
"Keng Thian," berkata pula Yo Lioe Tjeng tanpa menjawab pertanyaan puterinya.
"Apakah kau masih ingat si pengemis kusta?"
Tjiang Hee bergidik dan mendului menjawab: "Manusia jelek yang seperti beburonan
itu? Sampai badanku menjadi debu, tak dapat aku melupakannya!"
"Sebenar-benarnya, mukanya tidak begitu," kata Keng Thian sembari mesem. "Jika
tidak sengaja menakut-nakuti orang, ia sebenarnya adalah seorang pemuda yang
berparas cakap."
Baru saja berkata begitu, hati Keng Thian tergoncang, oleh karena ia ingat serupa hal.
Ia ingat penuturan kedua orang tuanya cara bagaimana dulu mereka bertempur melawan
Tokliong Tjoentjia di suatu pulau kecil. Semula Tokliong Tjoentjia adalah seorang penderita
kusta dan kemudian melarikan diri ke pulau itu dan dapat menyembuhkan sendiri
penyakitnya. Oleh karena itu, di kemudian hari, ia jadi sangat membenci manusia
seumumnya. Sebagai seorang jang pernah membaca buku-buku pengobatan, Keng
Thian sungguh tidak
mengerti halnya si pengemis kusta. "Dengan bisul-bisul yang memenuhi sekujur
badannya, penyakitnya tentu sudah sangat berat," pikir Keng Thian. "Tapi kenapa bulu
alisnya tidak rontok? Apakah ia bukan seperti Tokliong Tjoentjia? Jika benar begitu,
penyakitnya tentu sudah sembuh lama sekali. Dulu, sesudah berlatih puluhan tahun, baru
Tokliong Tjoentjia memperoleh ilmu silat yang tinggi. Di lain pihak, si pengemis masih
berusia sangat muda dan sebagai orang jang menderita penyakit kusta, siapakah yang
sudi menjadi gurunya? Tapi, kenapa ia mempunyai kepandaian yang begitu tinggi?"
Demikianlah, macam-macam pertanyaan datang ke alam pikiran Keng Thian. Apakah si
pengemis adalah murid Tokliong Tjoentjia? Ini juga tak mungkin, oleh karena, sepanjang
penuturan ibunya, sesudah ditakluki oleh Loe Soe Nio, Tokliong Tjoentjia telah kembali ke
Tionggoan dan tiga tahun kemudian, ia sudah meninggal dunia. Waktu itu, usia si
pengemis kusta paling banyak baru dua atau tiga tahun.
Keng Thian adalah seorang yang sangat cerdas, semakin ia memikir, semakin besar
rasa sangsinya terhadap pengemis itu. "Pehbo," katanya. "Kau menyebut-nyebutkan
pengemis kusta itu, apakah dia sedang berada di dekat-dekat sini?"
"Benar," jawab Yo Lioe Tjeng. "Seorang guru silat dari Lengkoan datang berkunjung dan
mengatakan, bahwa di tempatnya telah muncul seorang pengemis kusta yang
menyeterukan orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Menurut katanya, Tong Lootaypo
juga telah dirobohkan. Kedatangannya adalah untuk minta bantuan dari ayah Hee-djie,
tanpa mengetahui bahwa kita juga sudah bergebrak dengan pengemis itu."
Mendengar kisah itu, Keng Thian terkejut. Kesehatannya belum pulih dan jika benar-
benar si pengemis kusta datang, sungguh tak ada orang yang akan melawannya.
"Apakah Tong Lootaypo yang pernah mengajarkan aku menimpuk senjata rahasia?"
tanya Tjiang Hee.
"Benar," jawab ibunya, yang kemudian sembari tertawa berkata kepada Keng Thian:
"Pada dua puluh tahun lebih berselang, suaminya telah dibunuh oleh Ie-ie-mu. Ketika itu,
beberapa kali ia telah mencari kami untuk membalas dendam. Belakangan urusan itu
dapat didamaikan oleh seorang sahabat dan sekarang kita sudah menjadi sahabat."
"Tong Lootaypo" atau Nyonya Tua Tong yang disebutkkan oleh Yo Lioe Tjeng, adalah
Tong Say Hoa, yaitu soetjie (kakak seperguruan) Liong Leng Kiauw. Hati Keng Thian
berdebar sebab ia memang mau mencari keluarga Tong yang secara kebetulan ternyata
bertempat tinggal di Lengkoan.
"Pengemis kusta itu sungguh harus dimampuskan?" berkata Tjiang Hee dengan suara
gusar. "Tak bedanya seperti anjing gila yang menyerobot segala orang."
"Apakah Pehbo tahu asal-usulnya?" tanya Keng Thian.
"Menurut kata Pehpeh-mu (pamanmu Tjee Sek Kioe), pengemis kusta itu baru muncul
sedari kira-kira dua tahun berselang," jawab sang bibi. "Dari Tionggoan ia datang di Utara
barat, dimana ia mencari orang-orang ternama dari Rimba Persilatan untuk dibikin malu.
Siapa juga tidak mengetahui asal-usulnya."
Keng Thian menundukkan kepalanya, ia sungguh tak dapat memecahkan teka-teki di
sekitar si pengemis kusta.
"Soal si pengemis sudah cukup aneh, tapi ada lagi lain hal yang terlebih aneh," berkata
Yo Lioe Tjeng.
"Ada apa lagi?" menanya Keng Thian.
"Menurut kata orang, dua wanita yang cantik bagaikan dewi berjalan bersama-sama
pengemis itu," menerangkan sang bibi.
Keng Thian terkesiap. "Apa?" ia menegaskan.
"Ada orang melihat mereka bertiga jalan bersama-sama, sembari bercakap-cakap
dengan tertawa-tawa," menerangkan Yo Lioe Tjeng. "Kata orang, kedua wanita itu juga
pernah berkunjung ke rumah keluarga Tong, tapi bagaimana kejadian yang
sesungguhnya, orang itu tak mengetahui jelas."
Tak kepalang herannya Keng Thian. Apakah tak bisa jadi, kedua wanita itu adalah
Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng? Tapi Koei Peng Go adalah seorang angkuh dan sama
sekali tak ada kemungkinan, bahwa ia sudi berjalan bersama-sama dengan seorang
penderita kusta. Tapi, selain mereka berdua, siapa lagi yang "cantik bagaikan dewi?"

***

Sekarang biarlah kita meninggalkan Keng Thian yang sedang kebingungan dan
mengikuti gerak-gerik Pengtjoan Thianlie dan dayangnya.
Malam itu, sesudah meninggalkan kuil Lhama, malam-malam mereka meneruskan
perjalanan ke arah Soetjoan. Oleh karena tidak mengenal jalan, walaupun tidak salah
arahnya, beberapa kali mereka mengambil cabang jalan yang salah, sehingga pada waktu
tiba di Tjiakdjie san, mereka berada di belakang Keng Thian.
Pada waktu berjalan di bagian gunung yang paling berbahaya, Yoe Peng mendadak
mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur beberapa tindak.
Di bawah sebuah batu besar kelihatan sedang rebah seorang pengemis yang
pakaiannya rombeng dan kedua lengannya penuh bisul. Muka orang itu yang bersinar
merah dan bengkak-bengkak kelihatan menakutkan sekali. Pengtjoan Thianlie yang tidak
mengenal penyakit kusta, lantas saja timbul rasa kasihannya dan lalu berkata pada
dayangnya: "Menolong jiwa satu manusia adalah lebih berharga daripada membuat
gedung dari tujuh tingkat. Yoe Peng, coba kau mengangkat orang itu. Aku mau memeriksa
keadaannya."
Yoe Peng tak menduga nonanya akan bertindak begitu dan ia menjadi serba salah.
"Tempat ini jarang diinjak manusia," berkata pula Koei Peng Go, setelah melihat
kesangsian dayangnya. "Jika kita tidak menolong, siapa lagi yang akan memberikan
pertolongan? Yoe Peng, hayo!"
Pengtjoan Thianlie yang belum mempunyai banyak pengalaman, sudah bertindak
dengan menuruti hatinya yang sangat mulia. Ia sama sekali tak ingat, bahwa oleh karena
gunung itu jarang diinjak manusia, seorang yang bisa berada disitu tentu juga bukan
manusia sembarangan
Dengan terpaksa Yoe Peng maju beberapa tindak dan mengawasi si penderita kusta.
"Orang ini rasanya tak akan bisa hidup lebih lama lagi," katanya.
"Bagaimana kau tahu?" tanya si nona.
"Lihatlah! Ia rebah seperti mayat dan sudah tak dapat bergerak lagi," berkata Yoe Peng.
Belum habis Yoe Peng mengucapkan perkataannya, si pengemis mendadak berbangkis
dan sesudah mengulet beberapa kali, ia bangun duduk. Dengan sorot mata ketolol-tololan,
ia mengawasi Peng Go dan berkata dengan suara perlahan: "Aku sudah hampir mati.
Apakah kamu berdua masih merasa perlu untuk hinakan diriku?"
Mendengar suara itu, yang meskipun lemah, masih juga mempunyai semangat, si nona
bersenyum dan lalu berkata: "Kau tentu sudah menahan lapar beberapa hari. Makanlah
ini."
Tanpa menghaturkan terima kasih, si pengemis mengambil sepotong daging kambing
kering yang diangsurkan oleh Peng Go itu dan lalu makan dengan bemapsu.
"Kenapa sekujur badanmu penuh bisul?" menanya Pengtjoan Thianlie dengan suara
kasihan.
Si pengemis mendelik dan menyahut dengan suara aseran: "Sedari kecil, aku sudah
begini. Jika kau jijik, pergilah jauh-jauh!"
"Ah, bukan begitu," kata si nona. "Maksudku adalah, jika mungkin aku mau coba
mengobati penyakitmu."
"Mau mengobati aku?" menegasi si pengemis. Sesudah berkata begitu, ia menunduk
dan tidak berkata suatu apa lagi.
Dalam keraton es terdapat macam-macam obat yang mujarab dan beberapa antaranya
selalu dibawa-bawa oleh si nona. Ia lantas saja mengeluarkan sebotol obat bubuk untuk
mengobati rupa-rupa bisul beracun. "Cobalah obat ini, usapkan di bisulmu," kata Peng Go
sembari mengangsurkan botol obat itu.
Sesudah mengusapkan obat bubuk itu di kedua lengannya, ia lalu membuka baju.
"Tanganku tak sampai ke punggung," katanya.
"Yoe Peng, kau tolonglah!" memerintah Pengtjoan Thianlie.
Sang dayang tentu saja tidak berani membantah perintah itu. Ia lalu mematahkan
sebatang cabang pohon dan membungkus ujungnya dengan selembar kain putih, yang
kemudian dicelup dalam air pancuran gunung. Kemudian ia tuangkan obat bubuk tersebut
di atas kain basah itu yang lalu digosok-gosokan di punggung si pengemis.
"Obat ini dingin rasanya, benar-benar bagus," kata si pengemis. "Tapi penyakitku sudah
sering sekali diobati dan aku sudah menggunakan ratusan macam obat tanpa berhasil.
Maka itu, belum tentu obatmu dapat menyembuhkan."
"Jika obat itu tidak berhasil sesudah dua hari, aku akan memberikan kau lain obat," kata
si nona.
"Hayolah kita berangkat!" berkata Yoe Peng dengan suara tidak sabar.
"Bagus!" kata si pengemis. "Aku justru sedang kuatir tak dapat makanan. Dengan
berjalan bersama kalian, bukan saja ada obat, tapi juga ada makanan!" Sehabis berkata
begitu, lantas saja ia berdiri.
Pengtjoan Thianlie tak duga si sakit bakal berkata begitu. Sesudah berpikir beberapa
saat, ia berkata: "Baiklah. Menolong orang harus menolong sampai akhirnya. Kau boleh
mengikuti kami. Apa kau bisa jalan?"
"Sesudah perut kenyang, jalanan gunung tak menjadi soal bagiku," jawabnya dengan
suara gagah dan sambil mengangkat tongkatnya, ia lalu mulai bertindak.
Sesudah berjalan dua hari, tibalah mereka di bagian selatan gunung Tjiakdjie san dan
dari situ, mereka sudah melihat rumah-rumah penduduk di kaki gunung. Selama dua hari
itu, si pengemis mengikuti tanpa bicara. Setiap hari, Pengtjoan Thianlie memburu binatang
dan membakar dagingnya untuk dijadikan barang santapan. Semua daging yang diberikan
pengemis itu. "Di atas ada air terjun, di bawah ada solokan, kalian bisa loncat, tapi aku tak
mampu." Sehabis berkata begitu, lantas saja ia duduk di atas tanah.
Yoe Peng merasakan dadanya sesak, tak tahu apa ia mesti menangis atau
tertawa.
"Siauwkontjoe! Sudahlah jangan ladeni padanya," kata ia.
"Tunggu," kata Pengtjoan Thianlie. Belum sempat ia menyambung perkataannya,
mendadak terdengar suara tertawa menyeramkan yang menggetarkan seluruh selat.
Di lain saat, dari antara tumpukan batu di lamping gunung, loncat keluar dua orang,
satu antaranya bukan lain daripada Hiatsintjoe.
"Siluman perempuan kecil!" ia membentak sembari tertawa berkakakan. "Akhir-akhir
kita bertemu pula. Tong Keng Thian, si bocah bau, hari ini tak dapat melindungi kau!"
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah berhadapan dengan Pengtjoan Thianlie dan
terus menghantam dengan kedua telapakan tangannya yang merah bagaikan darah.
Kawannya juga sudah loncat turun dan tanpa berkata suatu apa, ia menjotos Yoe Peng
dengan tinjunya yang sebesar mangkok nasi. Yoe Peng berkelit, tapi gerakan orang itu
cepat luar biasa
dan baru saja ia berkelit, punggungnya kembali sudah disambar kesiuran angin yang
sangat tajam.
Orang itu adalah pembantu Hiatsintjoe, namanya Kok Sek Koen, "manusia liar" dari
gunung Tjiakdjie san. Selain mempunyai ilmu weduk Kimtjiongto, tenaganya juga luar
biasa besarnya dan sekali menjotos, ia dapat membinasakan seekor harimau.
Sesudah mendapat hajaran dari Phang Lin di atas Puncak Onta, sakit sekali hati
Hiatsintjoe. Oleh karena tak ungkulan melawan Phang Lin, lantas saja ia tumplekan sakit
hatinya kepada Keng Thian. Tanpa memperdulikan segala kesukaran, ia lalu pergi ke
Tjiakdjie san untuk mengundang Kok Sek Koen guna menghadapi Keng Thian dan Peng
Go.
Ketika itu, melihat Keng Thian tidak berada bersama Pengtjoan Thianlie, hati Hiatsintjoe
jadi lebih besar lagi.
Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa baru saja berkelit, Yoe Peng sudah
merasakan sambaran angin di punggungnya. Pukulan itu yang cepat bagaikan kilat, sudah
tak dapat diegosi lagi. Pengtjoan Thianlie yang sedang repot melayani musuhnya tak
dapat menolong lagi. "Celaka!" ia berteriak dengan hati mencelos.
Tapi, satu kejadian tak diduga-duga telah terjadi. Bukannya Yoe Peng yang terkena
pukulan, sebaliknya adalah Kok Sek Koen yang terhuyung beberapa tindak dan hampir-
hampir jatuh terguling. "Binatang! Apa kau mau cari mampus?" ia membentak.
Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, entah bagaimana, si penderita kusta
sudah menggulingkan badannya dan tepat menghadang di antara Yoe Peng dan Kok Sek
Koen, yang jadi sempoyongan karena dibentur badannya yang keras seperti batu.
Dengan mata merah, Sek Koen menendang sekeras-kerasnya. "Celaka!" berteriak si
pengemis sembari menggelindingkan badannya. Sek Koen kaget bukan main lantaran
tendangannya yang begitu cepat masih dapat dikelit oleh pengemis itu. Pada saat ia
bengong, tiga sinar dingin menyambar dan tiga jalan darahnya sudah kena dihantam
Pengpok Sintan yang dilepaskan oleh Pengtjoan Thianlie.
Kok Sek Koen yang bertulang besi dan berkulit tembaga, tidak takut akan segala
senjata rahasia. Tapi Pengpok Sintan adalah lain dari yang lain. Begitu kena, ia bergidik.
Dengan menggunakan kesempatan itu, Pengtjoan Thianlie putar Pengpok Hankong kiam
untuk melindungi Yoe Peng.
Di lain pihak, si pengemis yang menggelinding pergi beberapa tombak jauhnya, sudah
rebah-rebahan di atas tanah dengan menggunakan sebuah batu besar sebagai bantal
kepala. Sambil membuka kedua matanya sedikit, ia menonton pertempuran itu.
"Sahabat dari mana yang barusan munculkan diri?" seru Hiatsintjoe.
Si pengemis mengulet dan berkata dengan suara ogah-ogahan: "Pintu kota kebakaran,
sang ikan kekeringan. Tak bagus! Tak bagus!" Hiatsintjoe gusar bukan main, badannya
melesat ke arah si pengemis. Tapi mendadak si pengemis sudah berguling pula dan
menggelinding beberapa tombak jauhnya, akan kemudian tandalkan lagi kepalanya di
atas sebuah batu. Dengan sikap acuh tak acuh, ia menonton pertempuran itu.
Melihat gerak-gerik si pengemis, Hiatsintjoe kaget dan selagi ia mau mengubar untuk
menurunkan tangan jahat, tiba-tiba ia mendengar jeritan Kok Sek Koen yang ternyata
sudah terkena pedang Pengtjoan Thianlie.
Gwakang (tenaga luar) Kok Sek Koen sudah dilatih sampai di puncak kesempurnaan,
akan tetapi, apa mau ia harus menghadapi Pengpok Hankong kiam, semacam senjata
mustika yang satu-satunya di dalam dunia. Meskipun pedang itu tidak dapat melukakan
kulit musuh, akan tetapi hawanya yang luar biasa dinginnya sudah membikin Kok Sek
Koen kelabakan. Sesudah tiga kali kena tikaman, Kok Sek Koen yang tenaga dalamnya
belum seberapa tinggi, sudah merasa seolah-olah darahnya membeku, sehingga mau
tidak mau, ia menjerit-jerit.
Waktu mengundang sahabatnya itu, Hiatsintjoe ingin menggunakan ia untuk
menghadapi Tong Keng Thian. Tapi tak dinyana, kawan yang berilmu weduk itu sudah
kena ditindih dengan peluru es dan pedang es, sehingga ia tidak dapat mengeluarkan
kepandaiannya. Dengan hati mendongkol, tanpa memperdulikan lagi si pengemis, buru-
buru Hiatsintjoe menyerang Pengtjoan Thianlie untuk membantu kawannya. Begitu lekas
si Malaikat Darah menghantam tiga kali
beruntun dengan telapak tangannya, hawa yang sangat panas segera menyambar-
nyambar, sehingga Kok Sek Koen jadi bersemangat pula dan lalu bantu menyerang
secara hebat.
Sekarang pertempuran berlangsung antara dua pasang musuh. Pengtjoan Thianlie
dengan Pengpok Hankong kiam yang dingin melawan Hiatsintjoe yang pukulannya panas.
Mengenai tenaga dalam, Hiatsintjoe lebih unggul setingkat daripada si nona, tapi dalam
kiamhoat, Peng Go terlebih lihay daripada lawannya. Masing-masing mempunyai
keunggulan sendiri dan kekacekan antara mereka tidak seberapa besar. Tapi tidak begitu
dalam pasangan antara Kok Sek Koen dan Yoe Peng. Baru saja bertempur setengah jam,
sedang Pengtjoan Thianlie masih dapat berkelahi dengan penuh semangat, adalah Yoe
Peng yang sudah tersengal-sengal napasnya.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sambil membentak keras, tangan kanan Hiatsintjoe
menghantam kepala Pengtjoan Thianlie dengan pukulan Soathoa kayteng (Kembang salju
jatuh di kepala), sehingga si nona terpaksa mundur setindak sambil membabat dengan
pedangnya. Pada detik itulah, yaitu pada waktu Peng Go berpisah dengan budaknya,
tangan kiri Hiatsintjoe mendadak menyambar ke arah kepala Yoe Peng.
Pukulan itu sedemikian cepatnya, sehingga Yoe Peng jadi seperti orang kesima. Pada
saat yang saat berbahaya, mendadak saja ia merasakan betisnya dipeluk orang dan
ditarik ke belakang, sehingga ia jadi terguling. Pada betisnya, ia lihat dua bekas telapak
tangan berlumpur yang basah, sedang si pengemis lagi tidur meringkuk di tengah jalan.
Sekarang ia tahu, bahwa orang yang barusan sudah menolong jiwanya adalah si
pengemis kusta. Mengingat, bahwa betisnya itu telah dicekal tangan yang penuh bisul,
uluhatinya menjadi 'nak dan tanpa tercegah ia jadi muntah.
Melihat sepak terjang si pengemis, Kok Sek Koen jadi gusar bukan main. "Pengemis
bau!" ia membentak. "Kau sengaja mau merintangi kami?" Sehabis membentak, ia
kirimkan tendangan Lianhoan toei (tendangan berantai) Si pengemis yang tadi meram-
melek, tiba-tiba saja bangun berduduk dengan gerakan Lcehic tahteng (Ikan gabus
meletik). "Eh, apa tempat ini milik bapakmu?" ia membentak. "Aku senang tidur disini,
anak Allah (kaizar) pun tak dapat melarangnya." Sehabis membentak, ia menyemburkan
ludahnya.
Kuatir kesembur ludah, Kok Sek Koen buru-buru loncat minggir.
"Awas!" demikian teriakan Hiatsintjoe.
Kok Sek Koen sama sekali tidak mengimpi, bahwa senjata rahasia si penderita kusta
tersimpan dalam ludahnya. Sekonyong-konyong pundaknya gatal dan di lain saat,
matanya berkunang-kunang. Cepat bagaikan kilat, pengemis itu bergulingan sambil
membabat dengan tongkat besinya dan tak ampun lagi, badan Kok Sek Koen yang tinggi
besar rubuh bagaikan pohon ditebang. Pengpok Hankong kiam menyambar dan menikam
manusia weduk itu.
Selagi Peng Go menikam Kok Seng Koen, Hiatsintjoe sudah bergebrak dengan
pengemis itu. Dengan gemas, Hiatsintjoe menurunkan pukulan yang membinasakan
dengan kedua tangannya, tangan kanan mencengkeram tenggorokan, tangan kirinya
menghantam dada. Selagi mau menyampok dengan tongkatnya, mendadak pengemis itu
merasakan menyerangnya hawa yang sangat panas, sehingga ia sukar bernapas.
"Celaka!" ia berseru, badannya kena disampok dan "plung!", ia kecebur dalam kobakan di
bawah jurang.
Buru-buru Pengtjoan Thianlie memburu dan mengirim beberapa serangan hebat.
Mendadak, paras muka Hiatsintjoe berubah, sedang dari atas kepalanya keluar uap putih.
Dengan sekali menjejek kaki, badannya melesat ke atas dan terus kabur mendaki gunung,
tanpa memperdulikan lagi nasib kawannya.
Pengtjoan Thianlie merasa sangat heran, ia tidak mengerti kenapa Hiatsintjoe lantas
melarikan diri. Ia mengawasi ke arah kobakan dan mendadak sadja ia jadi terpaku bahna
kagetnya. Si pengemis yang barusan kecemplung, ternyata sedang duduk di atas batu
dengan tidak memakai baju. Apa yang membikin si nona jadi kesima adalah: Kulit badan
dan mukanya yang bisulan sudah berubah licin, sepuluh jerijinya yang bengkak-bengkok
sudah menjadi lempeng, sedang mukanya yang bersinar merah sudah berubah menjadi
putih! Meskipun ia tidak secakap Tong Keng Thian, tapi toh ia bukan seorang pemuda
yang jelek romannya.
Sekonyong-konyong Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget sambil menuding ke satu
jurusan. Yang membikin Yoe Peng berteriak ternyata adalah Kok Sek Koen yang
lengannya bengkak sebesar timba air, mukanya berwarna hitam, sedang mulutnya
mengeluarkan rintihan yang menyayatkan hati. Dilihat dari tanda-tandanya, ia seperti juga
kena digigit ular yang sangat
berbisa. Sesaat kemudian, ia bergulingan, mulutnya menggigit rumput dan kedua
tangannya mencengkeram tanah. Melihat begitu, Pengtjoan Thianlie merasa tak tega. Ia
pungut sebutir batu dan menimpuk jalan darah Kok Sek Koen yang membinasakan.
Si pengemis tertawa terbahak-bahak. "Yang mujur adalah Hiatsintjoe," katanya.
"Siapakah kau?" tanya Peng Go Sekali mengenjot badan, pengemis itu sudah hinggap
di atas tanah datar dan sesudah memungut tongkat besinya yang berwarna hitam, ia
menyahut sembari nyengir: "Aku adalah seorang penderita kusta yang romannya seperti
memedi!"
Waktu mempelajari buku obat-obatan bangsa Han, Peng Go pernah membaca
penuturan tentang penyakit itu.
"Apa? Penyakit kusta?" ia menegasi.
Si pengemis tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan kedua tangan, ia mencekal
tongkatnya yang kemudian ditarik. Dengan satu suara "srt", tercabutlah sebatang pedang
yang hitam mengkilap. Ia tunggingkan tongkat besi itu (atau lebih benar sarung pedang)
dan dengan telapak tangannya, ia menadah semacam bubuk yang keluar dari dalamnya.
Sesudah itu, ia mengusap mukanya. Hampir berbareng, Yoe Peng mengeluarkan teriakan
kaget. Pengemis itu yang barusan saja berparas cakap dan berkulit licin, sudah pulang
asal menjadi penderita kusta yang mukanya bersinar merah.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Sesudah memperlihatkan mukamu yang sejati,
guna apa kau main gila lagi?" kata si nona.
Si nona ternyata sudah dapat menebak, bahwa tanda-tanda penyakit kusta itu adalah
buatan belaka dengan mengerahkan tenaga dalam, sehingga otot-ototnya pada menonjol
keluar, seolah-olah bisul penyakit kusta. Peng Go juga mengetahui, bahwa sinar merah
pada mukanya adalah akibat semacam sepuhan yang disimpan dalam sarung pedangnya.
Si pengemis menyapu dengan kedua matanya yang tajam. Mendadak ia mengeluarkan
tertawa aneh. "Apa artinya muka yang sejati?" ia tanya. "Tahukah kau, bagaimana mukaku
yang sejati?"
Tiba-tiba ia loncat dan menikam si nona dengan pedangnya.
Itulah serangan yang tidak diduga-duga!
"Kenapa kau menyerang?" membentak Peng Go.
Tanpa menyahut, si pengemis mengirim tiga serangan, serangan yang sangat hebat.
Selama hidupnya, Pengtjoan Thianlie sering mengalami kejadian yang luar biasa. Akan
tetapi, kejadian pada hari itu adalah pengalamannya yang paling aneh. Dengan
mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, hampir-hampir Peng Go tak
dapat mengelit tiga serangan itu.
"Kongtjoe! Cabutlah senjata!" berseru Yoe Peng.
Dengan gerakan Djieyan tjoanliam (Anak walet menembus tirai), Peng Go mengegos
empat lima serangan. Waktu serangan ke enam menyambar, Pengpok Hankong kiam
sudah terhunus dan bagaikan kilat, Pengtjoan Thianlie melakukan serangan pembalasan.
Si pengemis bergidik akan kemudian tertawa terbahak-bahak. "Maksudku adalah untuk
berkenalan dengan pedang mustikamu," katanya sembari menyerang terlebih hebat.
Pengemis itu ternyata mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya. Saban kali kedua
senjata berbentrok, Peng Go selalu merasa lengannya pegal. Ia kaget berbareng heran,
ketika mendapat kenyataan, bahwa ilmu silat orang itu tidak berada di sebelah bawahnya
ataupun Keng Thian. Dengan cepat ia mengempos semangat dan melayani dengan
terutama menggunakan ilmu mengentengkan badan dan menjaga, supaya pedangnya
tidak kebentrok pedang si pengemis.
Pengpok Hankong kiam berkelebat-kelebat bagaikan titiran, seolah-olah berubah
menjadi puluhan pedang. Hawa yang luar biasa dinginnya meliputi mereka berdua,
sehingga orang yang ilmu silatnya kurang tinggi tentu sudah roboh kedinginan, meskipun
tidak ketikam pedang. Si pengemis kusta seperti juga tidak merasakan hawa dingin itu. Ia
tertawa terbahak-bahak seraya berteriak: "Bagus! Bagus! Hawa memang sedang panas."
Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, tanpa ada yang
keteter.
"Orang ini tentu mempunyai asal-usul luar biasa," pikir Pengtjoan Thianlie.
"Untuk apa aku bertempur mati-matian?" Berpikir begitu, si nona lantas saja menyerang
dengan pukulan-pukulan simpanan dari Tatmo Kiamhoat dan akhirnya, dengan pukulan
Gioklie tauwso (Dewi menenun), Pengpok Hankong kiam berhasil memapas rambut si
pengemis. Tapi
pada saat itu juga, berbareng dengan suara "trang!", pedang Pengtjoan Thianlie terbang
ke atas udara!
Ternyata, kedua belah pihak mempunyai pikiran yang sama. Masing-masing ingin
menghentikan pertempuran, begitu lekas sudah berhasil memperlihatkan
keunggulannya.
Dalam gebrakan itu, gerakan Pengtjoan Thianlie agak lebih cepat dari lawannya, tapi si
pengemis mempunyai tenaga dalam yang lebih besar, sehingga ia berhasil melontarkan
pedang si nona.
Yoe Peng terkesiap. "Binatang!" ia membentak. "Benar kau tak mengenal budi.
Kebaikan dibalas dengan kejahatan!"
Si penderita kusta tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba mulutnya menyembur dan dua titik
hitam sebesar kacang kedele, menyambar Yoe Peng. Hati Pengtjoan Thianlie mencelos,
ia sudah tak keburu menolong lagi. Pada saat itu, sedapat mungkin Yoe Peng berkelit, tapi
tak urung rambutnya terpapas juga.
Dengan sekali meloncat, Peng Go sudah berhasil menyambut pedangnya yang sedang
melayang jatuh. Selagi ia hendak menyerang pula, sekonyong-konyong si pengemis
menangis, semakin lama semakin sedih dan keras.
"Eh, kenapa engkau?" tanya Peng Go akhir-akhirnya.
Tanpa menyahut, pengemis itu memasukkan pedang besinya ke dalam sarung yang
berupa tongkat besi itu, dan kemudian terpincang-pincang, ia pergi ke solokan untuk
mencuci mukanya. Di lain saat, sinar merah yang menakutkan sudah hilang dari mukanya
dan pada kulitnya pun tidak terlihat lagi bisul-bisul yang menjijikan. Ia berdiri tegak dengan
paras mukanya yang cakap dan angker.
Mendadak ia menyoja dan berkata: "Untukmu, aku sudah melangggar sumpahku.
Dalam dunia ini, kau adalah manusia pertama yang tidak membenci diriku. Kalian
pergilah!"
"Apa artinya perkataanmu itu?" tanya si nona.
"Aku pernah bersumpah untuk memusuhi semua manusia yang ilmu silatnya tinggi,"
jawabnya. "Kau dan aku adalah setanding. Sebenarnya aku ingin berkelahi terus sampai
ada keputusan, tapi sekarang aku mengurungkan niatan itu."
"Kenapa?" tanya si nona.
"Karena kau tidak membenci aku," sahutnya.
"Aku tak percaya," kata Peng Go. "Aku sama sekali tidak percaya, bahwa selain aku,
semua orang membenci kau."
"Kecuali jika Lu Soe Nio masih hidup dalam dunia ini," kata si pengemis. "Menurut
Soehoe (guru), dalam dunia ini hanya Lu Soe Nio yang tidak membenci kusta."
Dari mendiang ayahnya, si nona pun pernah mendengar nama Lu Soe Nio, seorang
pendekar wanita yang dianggap sebagai ahli silat nomor satu di jaman itu. Ia menjadi
heran karena ia tidak mengerti, ada hubungan apa antara Lu Soe Nio dan pengemis itu.
"Bagaimana kau tahu, bahwa ia tidak membenci penderita kusta?" tanya Peng Go.
"Selain itu, bukankah kau sendiri sebenarnya tidak menderita penyakit kusta!"
Si pengemis menyusut air matanya, akan kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Perkataan guruku, mana bisa palsu?" katanya.
"Di dalam dunia, hanya ia yang tidak membenci penderita kusta. Tidak! Sekarang
ditambah dengan kau dan dalam dunia ini hanya dua orang yang tak membenci si sakit
kusta."
"Terang-terang kau tidak menderita penyakit kusta," kata pula si nona. "Apakah gurumu
seorang penderita kusta?"
"Aku dan guruku adalah sama saja," sahutnya. "Jika tak ada guruku, siang-siang aku
sudah mati di pinggir jalan, tanpa diperdulikan siapapun juga."
Koei Peng Go tergoncang hatinya. Ia ingat, bahwa menurut kitab ketabiban, kusta
adalah penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan. Didengar dari keterangan si
pengemis, gurunya seperti juga seorang yang pernah menderita penyakit itu dan yang
belakangan sudah menjadi sembuh. Hatinya jadi semakin heran dan ia sungkan
melepaskan orang itu dengan begitu saja.
"Siapa gurumu?" tanya pula si nona.
Pengemis itu mendelik. "Aku juga tak tahu, guruku siapa," sahutnya.
"Mana bisa begitu?" Pengtjoan Thianlie mendesak.
"Apakah bocah yang baru berusia tiga empat tahun, bisa mengerti segala urusan?"
pengemis itu berbalik menanya.
"Ha?" Apakah kau mau mengartikan, bahwa kau sudah masuk dalam rumah perguruan
sedari usia tiga empat tahun?' tanya Peng Go lagi.
"Benar," jawabnya. "Baru saja aku belajar mendaki gunung sembari merangkak, guruku
sudah meninggal dunia,"
Pengtjoan Thianlie memanggut-manggutkan kepalanya. "Sungguh kasihan!" katanya.
Mendadak paras muka si pengemis berubah. "Aku tak sudi dikasihani orang!" ia
membentak
sembari mengangkat tongkatnya, tapi sesaat kemudian, senjata itu diturunkan pula
dengan perlahan.
Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan mata tajam dan kemudian berkata dengan
suara perlahan: "Gurumu..." Sebenarnya ia ingin berkata begini: "Jika benar gurumu
sudah meninggal dunia ketika kau baru berusia tiga empat tahun, dari mana kau
mendapat ilmu silat yang begitu tinggi?" Tapi ia tak dapat menanya terus, karena si
pengemis sudah mendelik lagi dan berteriak: "Aku tak memperkenankan manusia yang
mengasihani penderita kusta, menyebut-nyebut pula nama guruku!'
"Kongtjoe, marilah kita berangkat!" kata Yoe Peng yang sudah tidak dapat menahan
sabarnya lagi.
Pengtjoan Thianlie menggoyangkan tangannya dan dengan suara lemah lembut
menanya pula:
"Siapa namamu? Apa boleh aku majukan pertanyaan itu?"
Pengemis itu mengawasi si nona dan menghela napas panjang. Ia menundukkan
kepalanya dan menjawab dengan suara perlahan: "Kau adalah orang pertama yang
menanyakan namaku. Baiklah. Aku bersedia memberitahukannya. Namaku Kim Sie Ie,
nama pemberian guruku."
Begitu mendengar, Peng Go mengetahui, bahwa "Kim Sie Ie" yang berarti "Peninggalan
jaman emas" sama diucapkannya dengan "kim sie ie" yang berarti "disia-siakan atau
diasingkan seluruh penghidupannya." Kata si nona di dalam hatinya: "Jika ia seorang
penderita kusta yang belum sembuh dari penyakitnya, menurut kebiasaan orang Han,
memang ia harus diasingkan seluruh masa hidupnya."
Sesudah memberitahukan namanya, Kim Sie Ie terus mengawasi Peng Go.
"Kemana kau mau pergi?" tanya si nona.
"Kemana kau pergi, kesitu aku juga pergi," jawabnya. "Kemana kau mau
pergi?" "Ke Soetjoan barat," jawabnya.
"Kalau begitu, aku pun ke Soetjoan barat," kata Kim Sie le.
"Apakah kau kenal jalan?”
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tak ingin berjalan bersama-sama pemuda itu, tapi ia
tidak bisa berdusta. "Aku sudah tanya-tanya," sahutnya. "Sesudah lewat gunung ini, aku
tak tahu jalan lagi."
"Jika begitu, apa boleh aku menyertai kalian?" tanya pemuda itu.
Yoe Peng mendongkol sekali, ia mengawasi majikannya. Tapi Pengtjoan Thianlie yang
penuh welas asih merasa kasihan kepadanya dan juga kuatir, jika pemuda itu nanti salah
mengerti, kalau ia menolak. Maka itu, lantas saja ia menyahut dengan suara perlahan:
"Baiklah."
"Begitu turun dari gunung ini, kita akan bertemu dengan rumah-rumah penduduk," kata
Yoe Peng. "Siauwkongtjoe, bagaimana kita dapat jalan bersama-sama dia?"
Pengtjoan Thianlie yang tadi bicara dengan hati setulusnya, menjadi sadar begitu
mendengar perkataan dayangnya. Pengemis yang berdiri di hadapannya, tidak berbaju,
sedang celananya yang rombeng terbuat dari selembar karung. Sungguh tak pantas untuk
seorang gadis seperti ia berjalan bersama-sama dengan pengemis itu.
Kim Sie le tertawa terbahak-bahak. "Kau mencela pakaianku yang rombeng?" katanya
sembari memutarkan badan dan di lain saat, ia sudah lari seperti terbang dan segera
lenyap dari pemandangan.
"Kau lihat!" kata Peng Go dengan suara menyesal. "Tanpa sebab, tanpa lantaran, kita
kembali menanam bibit permusuhan."
"Siauwkongtjoe," kata si pelayan. "Melihat dia saja, nyaliku sudah ciut."
"Ya," kata si nona sesudah berselang beberapa saat. "Baik juga aku dulu-dulu tidak
mengenal penyakit itu. Jika aku sudah tahu, mungkin sekali aku juga akan jadi ketakutan."
Ia sungguh tidak
mengerti, kenapa Kim Sie Ie berkelakuan begitu aneh. Ia memutar otak, tapi tidak dapat
memecahkan teka-teki di sekitar si pengemis yang luar biasa.

***
Di sekitar gunung Tjiakdjie san terdapat banyak sekali puncak-puncak yang menjulang
ke atas bagaikan gigi anjing. Selama berada di bagian tertinggi dari gunung itu, dunia
dirasakan sempit dan berjalan di antara pohon-pohon besar, orang akan mendapat
perasaan menyeramkan.
Sesudah melewati puncak tertinggi itu, baru orang akan tiba di tempat terbuka,
darimana ia dapat memandang puncak-puncak yang lebih rendah dan kelihatan seolah-
olah kambing-kambing berbulu putih.
Melihat pemandangan yang indah itu, semangat Yoe Peng jadi terbangun. "Untung juga
kita sudah melepaskan diri dari si kusta yang menyebalkan," katanya sembari tertawa dan
bertepuk tangan. "Jika ia masih berada disini, pemandangan yang begini indah seperti
juga dikotorkan olehnya."
"Dia toh sebenarnya tidak mendapat penyakit itu," kata sang majikan sembari tertawa.
"Dia sama sekali tidak mengganggu kita, kenapa kau begitu jengkel terhadapnya?"
"Aku sebal melihat tingkah lakunya yang aneh," kata pula Yoe Peng. "Mana bisa dia
dibandingkan dengan Tong Siangkong."
Mendengar sang dayang menyebutkan Tong Keng Thian, tanpa sadar si nona
menghela napas panjang.
Sesudah berjalan lagi kira-kira dua jam, mereka sudah melewati selat gunung di
sebelah selatan dan rumah-rumah penduduk sudah terlihat di depan mata. Yoe Peng jadi
semakin gembira. "Ah! Berjalan di jalan gunung selama beberapa hari ini, sungguh-
sungguh menyesakkan dadaku," katanya. "Sungguh menyebalkan terus menerus makan
daging kambing bakar."
Pengtjoan Thianlie mesem mendengar perkataan dayangnya. Tiba-tiba ia menuding ke
sebelah depan seraya berkata: "Coba lihat, siapa itu?" Yoe Peng mengawasi ke arah yang
ditunjuk majikannya. Di lereng gunung tiba-tiba muncul seorang yang mengenakan
pakaian berwarna hijau, sedang kepalanya dibungkus dengan ikat kepala pasegi.
Beberapa saat kemudian, mereka kenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Kim Sie Ie!
Yoe Peng mendeluh, ia melengoskan mukanya.
"Kenapa kau kembali lagi?" tanya si nona sembari mesem, sesudah Kim Sie Ie datang
dekat. "Sang Budha harus mengenakan pakaian bersalut emas, manusia harus
berpakaian rapi,"
jawabnya. "Karena kau mencela aku, tak ada jalan lain daripada mencuri pakaian supaya
aku dapat berjalan bersama-sama kau."
"Hm! Tak nyana, kau juga bisa menjadi pencuri," kata Peng Go sembari tertawa.
"Benar," kata Kim Sie Ie. "Aku juga sudah mencuri lain macam barang. Apa kau mau?"
Sehabis berkata begitu, dari kantong yang menggemblok di punggungnya, ia
mengeluarkan rantang makanan yang terisi empat macam sayur dan nasi putih.
Si nona menyambuti rantang itu dan berkata: "Terima kasih." Ia membagi separoh
makanan itu kepada Yoe Peng, tapi si dayang menggeleng-gelengkan kepalanya dan
berkata: "Tidak, aku tak mau." Meskipun mengetahui, bahwa Kim Sie Ie tidak berpenyakit
kusta, Yoe Peng tak dapat menyingkirkan perasaan jijiknya. Selagi majikannya makan, ia
sendiri lalu memetik beberapa buah dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Melihat si nona makan santapan yang disuguhkan olehnya dengan enak sekali, sorot
mata Kim Sie Ie memperlihatkan sinar berterima kasih dan dua butir air mata turun di
kedua pipinya.
Selama dua hari mengikuti Pengtjoan Thianlie, Kim Sie Ie tidak memperlihatkan lagak
gila-gila lagi. Di sepanjang jalan, ia bercakap-cakap sembari tertawa-tawa, tempo-tempo
menceritakan kejadian aneh dalam kalangan Kangouw.
Tapi, begitu lekas si nona coba menyelidiki asal-usulnya, ia bungkam dalam seribu
bahasa, sehingga Peng Go merasa tidak enak untuk mendesak.
Hari itu, mereka tiba di sebuah kota kecil, di sebelah selatan Tjiakdjie san. Di sepanjang
jalan, orang-orang yang berpapasan dengan mereka, selalu mengawaskan dengan sorot
mata heran, sehingga Yoe Peng merasa sangat tidak enak dan diam-diam menyesalkan
majikannya yang sudah mau berjalan bersama-sama pengemis itu.
Selagi enak berjalan, tiba-tiba Kim Sie Ie berkata: "Disini aku mempunyai seorang
sahabat. Mari kita mengunjungi ia."
"Kami tidak mengenal sahabatmu itu," kata Yoe Peng. "Kau pergilah sendiri." Tapi
Pengtjoan Thianlie berpikir lain, ia ingin mengetahui, siapa sahabat orang aneh itu. "Sudah
ketelanjur kita berjalan bersama-sama, rasanya baik juga aku berkenalan dengan
sahabatmu itu," katanya sembari tertawa.
Yoe Peng mendongkol bukan main, tapi ia tak dapat membantah kemauan nonanya.
Sesudah berjalan mengikuti Kim Sie Ie beberapa lama, mereka tiba di depan sebuah
gedung yang pintunya dicat merah. Kim Sie Ie memanggil-manggil beberapa kali, tapi tak
ada yang menyahut. Entah dengan menggunakan ilmu apa, dalam sekejap saja ia dapat
membuka pintu itu dan di lain saat, dari dalam keluar seorang pemuda.
Paras muka pemuda itu, yang mengenakan baju makwa, tenang dan agung, sehingga
Peng Go merasa heran melihat si pengemis punya sahabat serupa pemuda itu.
Begitu keluar, pemuda itu menyapu mereka bertiga dengan sorot mata heran. Sesaat
kemudian, ia merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: "Maaf, aku tidak
mengenali Hengtay (saudara). Apakah sudah lama Hengtay datang disini?"
Mendengar pertanyaan itu, Pengtjoan Thianlie terkejut. Lagi-lagi Kim Sie Ie
mengeluarkan lagak-lagaknya yang gila-gila!
"Aku datang untuk menemui Tong Djiesianseng," kata Kim Sie Ie. "Siapa mau bertemu
dengan kau?"
Sekali lagi Peng Go terkejut. Tong Djiesianseng? Nama itu agak tak asing baginya.
"Mendiang kakekku sudah meninggal dunia lama sekali," jawab si pemuda.
"Apa? Tong Djiesianseng sudah meninggal dunia?" Kim Sie Ie menegasi. "Sayang!
Sungguh sayang! Apakah kau masih mempunyai anggauta keluarga yang tingkatannya
tua?"
"Kakek dan pamanku sudah pada meninggal," jawabnya. "Tak ada orang lagi yang
dapat melayani kau."
"Mana bisa? Apakah semua orang, laki-laki dan perempuan, dari tingkatan lebih tua
sudah pada mati seanteronya?" tanya si pengemis secara kurang ajar sekali.
Meskipun terdidik baik, mau tak mau, pemuda itu menjadi gusar. "Yang tingkatannya
lebih tua dalam keluarga kami hanya ketinggalan
Kouwkouw (bibi)," sahutnya dengan suara mendongkol. "Ia sudah tua dan
berpenyakitan, sudah beberapa tahun, ia tidak pernah keluar pintu/'
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Coba panggil Kouwkouw-mu."
Pemuda itu tercengang. Sedikitpun ia tidak nyana, tetamu itu bisa mengeluarkan kata-
kata yang sedemikian kurang ajar. "Dua tahun berselang, ketika Moh Tjoan Seng Loopeh
datang berkunjung, Kouwkouw-ku juga tidak keluar menyambut," katanya dengan suara
dingin. "Dengan sebenar-benarnya ia sakit dan bukan tidak sudi menemui tamu. Jika
mungkin, beritahukan saja kepadaku she dan nama tuan, supaya aku dapat
menyampaikan kepada
Kouwkouw. Maafkanlah, siauwtee (adik) tak dapat mengantar kalian." Ia menyoja,
sebagai suatu tanda, bahwa ia tak dapat melayani lagi terlebih lama.
Pengtjoan Thianlie terkejut. Moh Tjoan Seng yang disebutkan oleh pemuda itu adalah
paman yang ia sedang cari. Harus diketahui, bahwa pada jaman itu, Moh Tjoan Seng
adalah pemimpin Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan. Cobalah pikir: Jika seorang
sebagai Moh Tjoan Seng masih belum mendapat kehormatan untuk disambut oleh
Kouwkouw pemuda itu, bukankah permintaan Kim Sie Ie berarti, bahwa ia sungguh tak
tahu diri?
Sementara itu, paras muka Kim Sie Ie sudah berubah. "Apakah kau mau mengusir
tamu?" tanyanya dengan suara aseran.
"Mana aku berani? Mana berani? Maaf, harap dimaafkan," jawab si pemuda, tapi kedua
tangannya tetap membuat gerakan seperti sedang mengantar tamu keluar.
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Di lain saat, parasnya
bersinar merah, mukanya penuh dengan daging yang menonjol keluar seperti bisul dan di
kedua lengannya pun muncul bisul-bisul yang menjijikkan.
Pemuda itu mencelos hatinya. "Kau! Kau!" ia berteriak.
"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah ke muka pemuda itu dan tangannya bergerak,
sehingga pemuda tersebut jatuh terpelanting. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata:
"Kau mau mengusir aku, aku justru tak mau pergi! Tong Lootaypo! Aku mau melihat,
apakah kau mau keluar atau tidak!'
"Sungguh jempol! Sungguh tinggi ilmu itu!" demikian terdengar suara seorang tua.
Beberapa saat kemudian, seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua, muncul
dengan dipepayang seorang pelayan wanita.
Pemuda yang barusan dirobohkan Kim Sie Ie meloncat bangun dan berseru sambil
menuding pengemis itu: "Kouwkouw! Pengemis jahat itu mau juga menemui kau."
"Bagaimana kau harus berbuat jika menghadapi anjing gila?" kata si nenek. "Apa kau
tak tahu? Ambil busurku!"
Begitu berbicara, sikap nenek itu berubah. Kalau barusan ia kelihatan lemah dan tidak
berdaya, sekarang ia berubah angker dan garang. Ia menyambuti sebuah busur yang
disodorkan pelayannya dan berbareng dengan suara menjepret, belasan peluru
menyambar susul menyusul.
Kim Sie Ie tertawa besar. "Sungguh beruntung hari ini aku dapat menyaksikan senjata
rahasia dari keluarga Tong!" ia berseru sambil loncat dan memutarkan tongkatnya
bagaikan titiran.
Pengtjoan Thianlie jadi seperti orang kesima. Dua belas peluru itu menyambar dengan
macam-macam cara-ada yang lurus menyambarnya, ada yang miring, ada yang lebih dulu
berbentrok satu dengan yang lain, kemudian baru menyambar sasarannya, seperti bola
bilyar -- dan anehnya, setiap peluru itu menyambar ke arah jalan darah Kim Sie Ie yang
besar! Cara melepaskan senjata rahasia itu sungguh tiada keduanya dalam Rimba
Persilatan!
Tapi Kim Sie Ie agaknya juga sudah mempunyai persiapan. Dengan disertai suara
"tring-tring!" dan meletiknya api, tongkatnya yang diputar luar biasa cepatnya, sudah
berhasil mementalkan dua belas peluru itu. Tapi walaupun berhasil, tak urung Kim Sie Ie
mengeluarkan juga keringat dingin. Tongkat besinya penuh titik-titik akibat hantaman
peluru-peluru itu. Ia sekarang mendapat bukti, bahwa meskipun tua, tenaga dalam nenek
itu tidak berada di sebelah bawahnya.
"Bagus!" seru si nenek. "Muda-muda tak sayang diri. Sungguh sayang!"
Busur menjepret lagi, tapi kali ini berbeda dengan yang pertama. Jika tadi peluru-peluru
itu menyambar dengan bunyi nyaring, kali ini menyambarnya tidak bersuara. Peluru-peluru
itu melayang dalam empat kelompok, setiap kelompok terdiri dari tiga butir peluru. Mereka
menyambar dari empat penjuru dengan kecepatan yang berbeda-beda. Begitu mendekati
sasaran, kelompok yang di belakang tiba-tiba seakan-akan menambah kecepatannya dan
melombai kelompok yang di sebelah depan. Di lain saat, bagaikan hujan peluru-peluru itu
menyambar tubuh Kim Sie Ie dengan serentak!
"Senjata rahasia keluarga Tong benar-benar hebat!" teriak Kim Sie Ie yang lantas saja
jungkir balik beberapa kali di atas tanah.
"Kau pun boleh coba merasakan senjata rahasiaku!" ia berseru sembari meloncat dan
menyemburkan ludahnya.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Melihat senjata rahasia si nenek, ia segera mengetahui,
bahwa ia tentu bukan lain daripada Tong Say Hoa yang namanya pernah disebut-sebut
Tong Keng Thian. Beberapa puluh tahun berselang, nama nenek itu telah menggetarkan
seluruh dunia Kangouw dan ia adalah puteri tunggal Tong Kim Hong, seorang ahli senjata
rahasia nomor satu di jamannya. Tong Kim Hong adalah putera kedua dalam keluarganya
dan oleh karena itu, belakangan ia dikenal sebagai Tong Djiesianseng. Dulu, Tong Kim
Hong dan puterinya pernah berbentrok dengan kedua orang tua Tong Keng Thian dan
dengan bantuan Lu Soe Nio, baru sengketa itu dapat diselesaikan. Liong Leng Kiauw
adalah murid penutup dari Tong Kim Hong dan menjadi Soetee Tong Say Hoa. Dalam
perjalanan ke Soetjoan untuk sekalian menyelidiki soalnya Liong Leng Kiauw, orang yang
ingin dicari oleh Keng Thian adalah nenek itu.
Maka, demi mengetahui asal-usul si nenek, Pengtjoan Thianlie terkejut ketika melihat
Kim Sie Ie menggunakan senjata rahasianya yang mengandung racun. Tanpa berpikir lagi,
ia menghunus pedangnya dan sembari meloncat, menikam jalan darah Hiankie hiat, di
dada Kim Sie Ie, dengan tujuan supaya pengemis itu batal melepaskan senjata
rahasianya.
Di lain detik, berbareng dengan suara mengaung yang sangat keras, busur Tong Say
Hoa berbentrok dengan tongkat si pengemis dan sebagai akibatnya, lima helai tali busur
itu putus,
sedang tongkat besi si pengemis terpental ke tengah udara. Hampir berbareng dengan itu,
baju Kim Sie Ie, di bagian dada, dirobek ujung pedang Pengtjoan Thianlie.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie sembari loncat menyambut tongkatnya yang sedang melayang
turun, dan sesudah itu, ia kabur bagaikan terbang.
"Kau benar manusia kejam!" seru Peng Go dengan gusar sekali. "Lain kali jangan kau
menemui aku lagi." Si pengemis tidak menyahut, ia kabur terus sesudah melompati
tembok.
Untuk sesaat, Koei Peng Go berdiri terpaku. Dengan mata mendelong, ia mengawasi
punggung si pengemis yang sedang kabur. Ia tak tahu, apakah ia harus gusar, apakah ia
merasa sayang melihat perbuatan pemuda yang berkepandaian tinggi itu atau bersimpati
kepadanya.
Dengan paras muka gusar, Tong Say Hoa melemparkan busurnya yang rusak. "Nona
yang cantik, apakah kau datang bersama-sama ia?" tanyanya.
"Moh Tjoan Seng adalah Pehpeh-ku," jawabnya dengan menyimpang.
Si nenek kelihatan heran. "Hm!" Ia menggerendeng. "Kau keponakan Moh Tjoan Seng?
Bagaimana kau bisa berada bersama-sama seorang pengemis penderita kusta?"
Di waktu mengucapkan kata-kata "pengemis penderita kusta," suaranya mengandung
kegusaran dan penghinaan hebat. Pengtjoan Thianlie sebenarnya belum menganggap
Kim Sie Ie sebagai sahabatnya, akan tetapi, entah kenapa, begitu mendengar nada suara
dan melihat sikap si nenek, hatinya lantas saja menjadi kurang senang.
Maka itu, ia hanya memberi jawaban pendek dengan suara tawar: "Aku menjumpainya
di tengah jalan."
Tiba-tiba ia melihat sinar hitam pada muka Tong Say Hoa. "Tong Pehbo!" ia berseru
dengan suara kaget. "Kau terkena senjata rahasianya!" Mengingat hebatnya racun senjata
si pengemis, ia bergidik dan segala rasa simpatinya lantas saja hilang seperti ditiup angin.
"Aku tak nyana, ia seperti juga anjing gila yang menggigit setiap orang yang dijumpainya!"
katanya dengan suara gusar.
"Apakah tadinya menganggap dia manusia baik-baik?" tanya si nenek sembari tertawa
dingin. Si nona mengerutkan alisnya. "Pehbo," katanya "Apakah kau sudi menggunakan
obatku untuk
memunahkan racun?"
Pemuda keponakan Tong Say Hoa, yang kelihatannya merasa suka terhadap Peng Go
dan yang sedari tadi berdiri di dekat bibinya, lantas saja berkata: "Nona, terima kasih
untuk kebaikanmu. Untung ada kau yang sudah bantu mengusir dia. Kau mempunyai obat
mustajab?"
"Obat itu dibuat olehku sendiri," jawab Peng Go. "Meskipun tidak dapat dipersamakan
dengan Thiansan Soatlian, tapi boleh juga untuk memunahkan racun. Tapi aku tak tahu,
apakah obat itu berguna terhadap racun senjata rahasia pengemis itu."
Oleh karena sedari kecil sehingga besar dipelihara dalam keraton es yang terasing dari
dunia luar, Peng Go tidak mengetahui, bahwa ia harus menjalankan peradatan terhadap
Tong Say Hoa sebagai seorang yang tingkatannya lebih rendah terhadap orang yang
tingkatannya tinggi. Selain itu, iapun tidak menjawab dengan kata-kata yang tepat
terhadap pernyataan terima kasih pemuda itu, ditambah pula dengan sikapnya yang
angkuh, ia sudah membikin Tong Say Hoa jadi lebih mendongkol.
Tanpa sadar, bahwa sikapnya sudah menerbitkan salah mengerti, Pengtjoan Thianlie
merogoh sakunya untuk mengeluarkan obat.
Tiba-tiba si nenek mendongak "Tidak!"
"Kouwkouw, tak ada halangannya untuk dicoba-coba," bujuk si keponakan.
Mendadak Tong Say Hoa mendelik. "Toan-djie!" ia membentak. "Senjata rahasia
keluarga Tong belum pernah dilepaskan dengan percuma. Orang luar yang cupat
pandangannya, mungkin tak tahu. Apa kau sendiri tidak tahu? Dalam tempo tiga hari,
kutanggung pengemis kusta itu akan datang untuk menukar obatnya dengan obatku.
Walaupun Kouwkouw-mu sudah tua, rasanya ia masih dapat mempertahankan diri untuk
tiga hari."
"Kouwkouw, apakah memedi itu terkena senjata rahasiamu?" tanya pemuda itu.
"Pehbie tjiam (jarum alis putih)!" jawabnya. "Dalam tiga hari racunnya akan mengamuk,
dalam tujuh hari ia akan mampus, jika tidak mendapat obat pemunahnya!"
Dulu Phang Lin, bibi Tong Keng Thian, pernah dilukakan dengan Pehbie tjiam oleh
suami Tong Say Hoa. Ketika itu, biarpun diobati oleh Lie Tie menurut cara pengobatan
yang liehay, tak urung ia masih harus menderita agak lama juga. Kejadian itu diketahui
Peng Go dari mulut Keng Thian.
"Dua tahun berselang Moh Tjoan Seng pernah datang kesini dan sekarang ia hidup
menyendiri di Tjengshia san," kata Tong Say Hoa. "Dia adalah tetua Rimba Persilatan
jaman ini dan tidak mengherankan, jika kau mempunyai kepandaian yang begitu tinggi.
Aku sudah tua, maaf, aku tak dapat mengantar kau mencari pamanmu itu."
Peng Go mengetahui, bahwa dengan berkata begitu, si nenek seperti juga mau
mengusir ia. "Aku bisa pergi sendiri, tak berani aku membikin capai Pehbo," katanya. "Tapi
ada suatu kejadian yang aku ingin memberitahukan Pehbo. Liong Leng Kiauw telah di
penjarakan di Lhasa. Apakah Pehbo sudah tahu?"
"Apa?" teriak si nenek dengan suara kaget. "Liong Leng Kiauw ditangkap di Lhasa?"
Harus diketahui, bahwa Tong Say Hoa tidak mempunyai anak. Sedari berusia tujuh
tahun, Liong Leng Kiauw sudah berguru kepada keluarga Tong. Maka itu, meskipun
secara resmi ia adalah Soetee (adik seperguruan) Say Hoa, akan tetapi, si nenek
menganggap ia seperti putera sendiri.
Pengtjoan Thianlie lantas saja menuturkan segala kejadian yang diketahuinya.
"Hm!" si nenek menggerendeng sehabis Peng Go menutur. "Besar benar nyali Hok
Kong An dan Hiatsintjoe. Hm! Dilihat begini, benar-benar mereka tidak mau membiarkan
aku, si tua, hidup senang di rumah."
"Kouwkouw," kata keponakannya. "Lebih baik kau jangan terlalu gusar. Sesudah kau
sembuh, barulah kita berdamai bagaimana baiknya."
Tong Say Hoa memanggut-manggutkan kepalanya. "Benar!" katanya. "Toan-djie! Antar
aku masuk." Tanpa memperdulikan Pengtjoan Thianlie, ia segera masuk ke dalam.
Dapat dibayangkan berapa besar rasa mendongkolnya Peng Go.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
Pemuda itu merasa sangat tidak enak, buru-buru ia menghampiri dan menyoja.
"Kouwkouw-ku yang tua memang rada linglung dan aku mohon kalian jangan menjadi
kecil hati," katanya. "Siapakah ayahmu? Tjio Tayhiap atau Koei Tayhiap?”
"Ayahku Koei Hoa Seng," jawab si nona.
Pemuda itu terkejut dan segera berkata: "Ah! Kalau begitu Koei Tjietjie! Namaku Tong
Toan. Aku mohon, dengan mengingat Kouwkouw tidak mempunyai pelindung, supaya
Tjietjie sudi berdiam disini beberapa hari,"
"Bukankah Kouwkouw-mu sudah melukakan pengemis kusta itu dengan Pehbie tjiam
dan sekarang hanya menunggu penukaran obat?" kata si nona. "Kepandaianku sangat
cetek. Mana bisa aku melindungi Kouwkouw-mu?"
Tong Toan tertawa dan berkata pula: "Kouwkouw mengandalkan kepandaiannya secara
berlebih-lebihan. Siapa dapat memastikan, bahwa pengemis kusta itu tidak akan
menyatroni lagi dalam tiga hari ini? Jika ia, tanpa mengetahui liehaynya Pehbie tjiam
menyatroni pula dalam tiga hari, siapa yang akan dapat melawan ia?"
Peng Go berpikir sejenak. Ia merasa, perkataan pemuda itu memang ada benarnya.
"Walaupun nenek itu agak kurang ajar, tapi ia adalah seorang Tjianpwee," katanya di
dalam hati. "Jika aku lantas berlalu dan sampai terjadi apa-apa, aku akan turut merasa
berdosa." Mengingat begitu, lantas saja ia menyanggupi untuk berdiam beberapa hari
dalam rumah keluarga Tong.
Dengan cepat tiga hari sudah lewat. Selama tiga hari itu, Tong Say Hoa terus
menyekap diri di dalam kamar, duduk bersemedhi untuk mengeluarkan racun dari
badannya. Dengan memperhatikan paras muka Tong Toan yang semakin lama jadi
semakin guram, Pengtjoan Thianlie mengetahui, bahwa racun si pengemis sudah bekerja
keras dan oleh karena itu, hatinya merasa sangat tidak enak.
Berdasarkan sakit hatinya terhadap masyarakat, Kim Sie Ie memusuhi semua orang-
orang gagah dari Rimba Persilatan. Akan tetapi, melukakan seorang tua dengan senjata
beracun secara serampangan, adalah perbuatan yang menurut Peng Go, tidak bisa
dimaafkan. Berpikir sampai disini, tanpa merasa si nona teringat Tong Keng Thian. Kedua-
duanya adalah pemuda yang berkepandaian tinggi, akan tetapi mengenai pendidikan, Kim
Sie Ie tak dapat direndengkan
dengan Tong Keng Thian. Sesaat itu, mau tak mau, ia ingat juga bagaimana Tong Keng
Thian sudah mempermainkan dirinya dan berbareng, ia ingat pula cara-cara Kim Sie Ie
yang aneh, tapi yang mengandung kejujuran dalam keanehannya itu.
Si nona sendiri tidak mengetahui, bahwa terhadap Tong Keng Thian, ia sudah jatuh
cinta.
Maka itu, ia selalu gusar dan ingin menghukum pemuda itu untuk segala cacat dan
kesalahannya. Tapi terhadap Kim Sie Ie, ia hanya mempunyai perasaan kepengen tahu,
paling banyak perasaan kasihan. Itulah sebabnya, kenapa ia masih dapat melihat "sifat
baik" dalam keanehan pemuda itu.
Waktu itu sudah magrib dan si pengemis kusta belum juga muncul. Dengan hati cemas,
Peng Go keluar dari kamarnya untuk menanyakan keadaan Tong Loothaypo. Keluarga
Tong mempunyai rumah yang sangat besar, tapi hanya sedikit bujang mereka. Begitu si
nona berada di luar kamar Tong Say Hoa, ia mendengar suara si nenek.
"Malam ini pengemis kusta itu pasti akan datang," kata si nenek dengan suara keras.
"Jika ia tidak berlutut memohon ampun, jangan kau berikan obat pemunah itu!"
"Kouwkouw," kata Tong Toan. "Kita pun membutuhkan obatnya."
"Semenjak dulu, tak ada manusia yang berani memandang rendah keluarga Tong,"
bentak Tong Say Hoa. "Bahwa seorang pengemis sudah berani keluar masuk disini,
adalah suatu kejadian yang sangat menghilangkan muka kita. Kalau ia tidak berlutut minta
ampun, tak boleh kau memberikan obat itu. Mengerti?"
"Tapi, Kouwkouw, kau..." kata Tong Toan, terputus-putus.
"Jika ia tidak minta ampun, biarpun sampai mati aku akan tetap menolak obatnya," kata
si nenek yang kepala batu. "Lebih baik biar dia mampus bersama-sama aku, supaya
seluruh dunia mendapat tahu, siapa juga yang berani melanggar keluarga Tong, dia mesti
membayar dengan jiwanya."
"Kouwkouw," kata Tong Toan, tergugu. "Inilah... inilah..." Suaranya gemetar, hatinya
sangat berkuatir.
Tiba-tiba terdengar Tong Say Hoa menggebrak ranjang. "Manusia tak punya
semangat!" ia membentak dengan gusar. "Benar-benar kau tak berhak menjadi anggauta
keluarga Tong!"
Pengtjoan Thianlie bergidik. Menukar obat sebetulnya bukan kejadian yang
memalukan. Ia tidak nyana, Tong Say Hoa begitu keras kepala dan kejam hati. Ia merasa
gusar terhadap Kim Sie Ie, tapi sesudah mendengar pembicaraan itu, perasaannya
terhadap Tong Say Hoa menjadi lain.
Sementara itu terdengar suara Tong Toan yang sangat perlahan. Mungkin sekali
pemuda itu sedang membujuk bibinya. Tiba-tiba terdengar pula ranjang digebrak.
"Benar bandel kau!" membentak si nenek. "Sebelum mati, lebih dulu aku akan
mengambil jiwanya!"
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dan Tong Toan berjalan keluar. Buru-
buru Pengtjoan Thianlie menyingkir. Gerakannya ini luar biasa cepatnya, sekali
berkelebat, ia sudah berada di belakang sebuah gunung-gunungan batu. Meskipun
kepandaian pemuda itu masih kacek jauh jika dibandingkan si nona, tapi karena sedari
kecil sudah berlatih menggunakan senjata rahasia, perasaan dan kupingnya tajam luar
biasa. Dengan cepat ia memburu ke arah berkelebatnya bayangan orang. Sesaat itu,
dengan tindakan perlahan, Peng Go keluar dari tempat sembunyinya. Tong Toan sudah
membuka mulut untuk berteriak, tapi ia keburu mengenali nona itu.
"Ah! Kiranya Koei Tjietjie!" katanya dengan suara halus. "Apakah kau mencari
aku?" "Benar," jawabnya, tapi karena tidak biasa berdusta, mukanya lantas saja
bersemu dadu. "Ada urusan apa?" tanya Tong Toan dengan suara girang.
"Aku mencari kau... mencari kau... untuk menanyakan hal ihwal seseorang," jawabnya
dengan suara tergugu.
"Siapa?" tanya pula Tong Toan.
"Tong Keng Thian, putera Tong Tayhiap, yang kemarin dulu disebutkan olehmu," jawab
si nona. "Menurut dugaanku, ia sudah lewat disini. Kau adalah penduduk disini, lebih
gampang untuk menyelidikinya."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tidak ingin menimbulkan halnya Tong Keng Thian, tapi
dalam keadaan kedesak, tanpa merasa ia sudah menyebutkan nama pemuda itu.
Hati Tong Toan mencelos, tapi sebagai pemuda yang terdidik baik, ia tidak
mengentarakan perasaan itu pada paras mukanya. "Karena dalam beberapa hari ini aku
repot melayani Kouwkouw, tak sempat aku keluar rumah," katanya. "Sesudah lewat
malam ini, aku tentu akan menyelidiki. Sst! Tjietjie! Lekas sembunyi!"
Peng Go yang kupingnya cukup tajam, juga sudah dapat menangkap suara seperti
jatuhnya daun kering di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li.
"Ini adalah urusan keluargaku sendiri," kata Tong Toan. "Hanya dalam keadaan yang
sangat berbahaya, baru aku mohon bantuan Tjietjie."
Pengtjoan Thianlie tahu, bahwa yang datang tak bisa lain daripada Kim Sie Ie. Ia
mengangguk dan lantas loncat ke belakang gunung-gunungan batu. Diam-diam ia merasa
heran oleh karena, sedang tiga hari berselang Tong Toan berusaha menahan ia untuk
bantu menghadapi Kim Sie Ie, kenapa sekarang ia menolak bantuan, kecuali jika sangat
perlu. Di lain saat ia sadar. Perubahan sikap Tong Toan tentu juga disebabkan oleh kepala
batu si nenek yang berkeras ingin menyelesaikan urusan itu dengan tenaga keluarga Tong
sendiri.
Baru saja si nona berada di belakang gunung-gunungan, Kim Sie Ie sudah berada di
dalam pekarangan rumah sambil mengeluarkan suara tertawa yang menyeramkan.
Sebelum Tong Toan sempat membuka mulut, pengemis itu sudah berseru: "Pehbie tjiam
sungguh-sungguh liehay! Biar bagaimana pun juga, aku sudah berkenalan dengan senjata
rahasia keluarga Tong. Aku sungguh kagum, begitu bertemu lawan, kamu tak sungkan-
sungkan lagi menggunakan senjata yang beracun. Apakah itu memang kebiasaan
keluargamu?"
Tong Toan gusar bukan main. Ia mendelik dan membentak: "Apakah senjatamu tidak
beracun? Tanpa sebab, tanpa lantaran melukakan seorang tua. Apakah itu perbuatan
seorang ksatria?"
Peng Go memuji Tong Toan yang sudah menyemprot secara tepat sekali.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Aku memang bukan ksatria," katanya.
"Perkataanmu tak perlu dikeluarkan!'
Dalam kalangan Kangouw, banyak sekali manusia keparat yang mengaku ksatria dan
tak pernah ada yang mengatakan, seperti yang dikatakan Kim Sie Ie. Mendengar itu Tong
Toan menjadi kaget.
Lagi-lagi Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Aku memang biasa meminta pelajaran dari
kaum ksatria yang berkepandaian tinggi," katanya. "Jika Kouwkouw-mu seorang biasa,
aku tentu tak akan perlu mencarinya. Tapi ia sendiri yang mengaku dirinya ahli senjata
rahasia nomor satu dalam dunia dan di samping itu, sudah beberapa turunan keluarga
Tong menempel merek ksatria. Ha-ha! Dan sekarang aku sudah mendapat pelajaran
bagus sekali."
"Apa katamu?" bentak Tong Toan. "Kami dari keluarga Tong tak akan membokong
orang seperti kau!'
Kim Sie Ie mendongakkan kepalanya dan kembali tertawa besar. "Sekarang aku tanya,"
katanya. "Bukankah menurut peraturan Rimba Persilatan, menjajal ilmu dianggap sebagai
kejadian lumrah?"
"Benar," jawab Tong Toan.
"Nah," kata pula Kim Sie Ie. "Aku sebetulnya hanya ingin berkenalan dengan senjata
rahasia keluarga Tong. Adalah Kouwkouw-mu yang lebih dulu menggunakan jarum
beracun Pehbie tjiam, untuk membinasakan aku. Coba kau katakan: Apakah yang aku
harus lakukan? Dalam dunia, senjata beracun bukan hanya dimiliki keluargamu. Ha-ha!
Tak bisa lain, aku pun harus melayani! Pehbie tjiam memerlukan tempo tujuh hari untuk
mengambil jiwa manusia. Tokliongteng-ku (Paku naga beracun) paling lama tiga hari. Kau
mau aku mati? Gampang! Tapi, sebelum mampus, lebih dulu aku mau menyaksikan kau
menangis di depan jenazah Kouwkouw-mu!"
Bukan main kagetnya Tong Toan. Sekarang ia baru mengetahui, bahwa si pengemis
kusta sudah menggunakan pakunya karena diserang lebih dulu dengan jarum beracun.
Perkataan Kim Sie Ie ada benarnya juga. Jika Tong Say Hoa mengetahui, bahwa ia
hanya ingin menjajal ilmu, walaupun ia dapat menggunakan senjata rahasia, tak pantas ia
menggunakan senjata beracun. Akan tetapi, dari Shoatang Kim Sie Ie telah menyatroni
sampai di Soetjoan utara dan sudah menghina banyak sekali orang-orang ternama dalam
Rimba Persilatan, sehingga namanya menjadi buruk, maka begitu bertemu, Tong Say Hoa
segera turun tangan untuk membinasakan pengemis itu. Dalam hal ini, Tong
Say Hoa pun mempunyai alasan sendiri, yang dapat juga dimengerti jika dipandang dari
sudutnya.
Mendengar pertanyaan Kim Sie Ie, Tong Toan jadi kemekmek. Beberapa saat
kemudian, baru ia dapat menjawab dengan suara gusar: "Siapa mau bicara hal peraturan
Kangouw dengan manusia yang sepak'terjangnya seperti anjing gila! Kouwkouw-ku mana
kesudian menjajal ilmu dengan manusia semacam kau!"
Paras muka Kim Sie Ie lantas saja berubah menyeramkan. "Jika kau banyak rewel lagi,
aku tak akan memperdulikan peraturan
Kangouw lagi!" ia membentak "Lebih dulu aku akan mengambil jiwamu!' Selagi
membentak kedua matanya mengeluarkan sinar yang sangat ganas, sehingga Tong Toan
menjadi terkejut. Beberapa saat kemudian, si pengemis tertawa dingin seraya berkata:
"Kouwkouw-mu tak sudi melayani aku menjajal kepandaian, tapi sekarang, bukankah
kau ingin memohon obat?'
"Dan kau?" Tong Toan berteriak. "Bukankah kau juga datang untuk memohon obat
pemunah dari keluarga Tong?"
"Benar," jawabnya. "Tapi jangan kau lupa, Kouwkouw-mu tidak akan dapat melalui
malam ini, sedang aku masih mempunyai tempo empat hari. Aku merasa, bahwa dia
pantas berlutut tiga kali di hadapanku untuk perbedaan empat hari itu?"
"Apa?" bentak Tong Toan dengan suara gusar. "Dalam saling menukar obat, kau mau
orang lain berlutut di hadapanmu?"
"Menurut dugaanku,
Kouwkouw-mu sudah tidak dapat bergerak lagi," kata Kim Sie le. "Nah! Kau saja, yang
mewakili ia berlutut di depanku."
"Bagus mukamu!" berteriak Tong Toan. "Kaulah yang harus memohon ampun. Kalau
kau tak mau berlutut, jangan harap bisa mendapat obat."
Kim Sie Ie mesem tawar dan berkata dengan suara tawar pula: "Kalau begitu, tiada
jalan lain daripada membuka mata lebar-lebar untuk menyaksikan tangisanmu di hadapan
peti jenazah!'
Tong Toan menjadi gusar berbareng kuatir. Tiba-tiba ia ingat, bahwa sesudah tiga hari
terkena jarum Pehbie tjiam, racun jarum tentu sudah mengamuk hebat di dalam tubuh Kim
Sie Ie, sehingga belum tentu ia tidak dapat melawan pengemis itu. Selagi ia ingin turun
tangan, si pengemis, yang agaknya sudah dapat mengerti apa yang dipikirnya,
sekonyong-konyong memotes
sebatang cabang pohon dan berkata sembari tertawa: "Aha! Kau mau menggunakan
kekerasan? Baiklah!"
Tapi, belum habis perkataan itu diucapkan, ketika mendadak sesosok bayangan
manusia berkelebat cepat bagaikan angin.
Tong Toan terkesiap, ia menduga, bahwa serangan itu datangnya dari si pengemis.
Cepat seperti kilat, tangan kirinya menghantam dengan pukulan Wankiong siatiauw
(Mementang busur memanah burung rayawali), sedang tangan kanannya menabas
dengan gerakan Pihong hoentjam (Mengebas angin menabas miring).
Selain mengandalkan senjata rahasia yang dikenal di seluruh Tiongkok, keluarga Tong
juga mempunyai ilmu pukulan yang disegani orang. Dua pukulan tersebut, yang
menyerang berbareng membela diri, adalah pukulan-pukulan rahasia yang hanya
digunakan untuk menolong jiwa dalam saat berbahaya. Tapi dengan sekali mengegos,
bayangan itu sudah dapat mengelit pukulan Tong Toan dan di lain saat, Pengtjoan Thianlie
sudah berdiri di tengah-tengah antara kedua lawan.
"Tak berani aku menerima bantuanmu," kata Tong Toan dengan suara dingin. "Urusan
keluarga Tong harus dipikul olehku sendiri."
Peng Go tidak menyahut. Dengan muka dingin bagaikan es, ia berpaling ke arah Kim
Sie Ie dan berkata: "Ambil ini dan keluarkan obatmu!'
Bukan main kagetnya Tong Toan. Ia meraba sakunya dan mendapat kenyataan, bahwa
obat pemunah, yang tadi berada di dalam kantongnya, sudah pindah ke tangan si nona. Ia
terpaku dan setelah berselang beberapa saat, baru ia dapat mengeluarkan suara terputus-
putus: "Kau...
Kau..."
Kim Sie Ie, yang tidak kurang terkejutnya, loncat mundur dan hampir berbareng dengan
Tong Toan iapun berseru dengan suara tertahan: "Kau!..."
"Keluarkan obat pemunah!” perintah si nona dengan nada suara sebagai seorang ratu.
"Bagus!" Kim Sie Ie berseru.
Sambil menuding dengan pedangnya, Peng Go berkata pula: "Dengan saling menukar
obat, tak ada yang kehilangan muka. Lekas keluarkan obatmu dan mulai dari sekarang,
jangan kau menemui aku lagi!" "
Kim Sie Ie melirik. Tiba-tiba ia mengayun tangan dan berseru: "Ambil!'
Baru saja si nona menyambuti obat itu, si pengemis kembali mengayun tangan. "Ini
juga!" ia berteriak.
Pengtjoan Thianlie mengebas lengan jubahnya dan menggulung benda yang
dilemparkan itu. Si nona heran, sebab benda itu adalah sebutir batu yang dibungkus
dengan kertas kulit kambing.
"Orang yang sedang dicari olehmu, berada di dalamnya," kata Kim Sie Ie dengan suara
mendongkol. "Pandanglah sepuas hatimu." Ia memutarkan badan, melompati tembok dan
melenyapkan diri dengan kecepatan luar biasa.
Tanpa merasa, Tong Toan bangun bulu romanya. "Sesudah terkena Pehbie tjiam, tak
nyana ia masih begitu liehay," katanya di dalam hati. "Untung juga aku tadi tidak lantas
turun tangan."
Pengtjoan Thianlie membuka kertas yang membungkus batu itu dan mendadak saja, ia
menjadi bengong. Di atas kertas itu terdapat gambar dua orang, yang satu adalah Tong
Keng Thian, yang lain seorang wanita muda cantik dan kedua matanya mengawasi Keng
Thian dengan meseman manis. Di kertas itu terdapat pula peta bumi yang mengunjukkan
jalan untuk mencari tempat Keng Thian.
"Kalau begitu, Keng Thian berada di Lengkoan," kata si nona di dalam hatinya. "Dari
sini hanya memerlukan perjalanan dua hari. Siapa nona itu? Dengan maksud apa Kim Sie
Ie memberikan gambar ini kepadaku?"
Selagi ia berdiri bengong bagaikan orang linglung, kupingnya mendadak mendengar
suara Tong Toan: "Koei Tjietjie!” Buru-buru ia memasukkan gambar itu ke dalam sakunya
dan menengok. "Koei Tjietjie," kata pemuda itu. "Bagaimana baiknya? Kouwkouw tentu
menggusari aku."
Si nona yang sedang kusut pikirannya, jadi merasa sebal. Ia menyesapkan obat Kim
Sie Ie ke dalam tangan Tong Toan dan berkata dengan suara dingin: "Bagaimana kalau
aku saja yang mewakili ia memohon maaf kepadamu?'
Tong Toan terkejut, buru-buru ia loncat minggir.
"Kouwkouw-mu telah memesan, bahwa jika ia tidak berlutut memohon ampun, obat
keluarga Tong tak boleh diberikan," kata pula Peng Go. "Bukankah begitu?"
"Benar!" jawabnya.
"Nah!" kata lagi si nona. "Obat keluarga Tong diberikan olehku kepadanya dan tidak ada
sangkut pautnya dengan kau. Jika Kouwkouw-mu menghukum, ia tidak boleh menghukum
kau. Obat ini lekas-lekas kau berikan kepada Kouwkouw-mu dan tolong kau
menyampaikan hormatku
kepadanya." Sehabis berkata begitu, ia lantas berseru: "Yoe Peng! Yoe Peng!"
"Koei Tjietjie! Apa maksudmu?" tanya Tong Toan dengan suara bingung.
Sementara itu, Yoe Peng sudah menghampiri. "Terima kasih untuk pelayananmu
selama tiga hari," kata Peng Go. "Sampai ketemu lagi!"
"Koei Tjietjie," kata Tong Toan. "Apakah kau merasa tidak senang terhadap kami?"
"Kenapa tidak senang?" kata si nona. "Sesudah jiwa Kouwkouw-mu selamat, sekarang
aku boleh berlalu dengan hati lega."
Sehabis berkata begitu, bersama Yoe Peng, ia melompati tembok. Tong Toan
mengubar. Setibanya di luar, yang dapat dilihatnya hanya sang rembulan yang
memancarkan sinar gilang gemilang, tapi kedua gadis itu sudah tidak kelihatan bayang-
bayangannya lagi.
Tong Toan menghela napas, ia ingat akan bantuan Pengtjoan Thianlie. Tanpa bantuan
itu, jika ia dan si pengemis kusta sampai bergebrak, Kouwkouw-nya dan Kim Sie Ie tentu
juga akan binasa bersama-sama Ia merasa menyesal, bahwa si nona pergi begitu terburu-
buru dan dengan perasaan berat, ia segera menuju ke kamar Tong Say Hoa dengan
membawa obat.
Tong Toan tidak mengetahui, bahwa pikiran Peng Go terlebih kusut daripada pikirannya.
Semenjak berpi sahan dengan Tong Keng Thian, entah kenapa, si nona selalu merasa
tidak gembira. Tadi, sesudah melihat gambar itu, hatinya jadi berdebar-debar. Sesaat, ia
ingin segera menemui Keng Thian, di lain saat, ia kepengen mabur jauh, jauh sekali,
supaya tidak bertemu
muka pula dengan pemuda itu untuk selama-lamanya. Ia sendiri tidak mengetahui, apakah
ia mencinta atau membenci pemuda tersebut, ia juga tidak mengerti, apa yang sedang
dipikirkannya.
Dan Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak mengetahui, bahwa pada malam itu, pada
detik-detik yang sama, Tong Keng Thian pun sedang memikiri dirinya.

***

Pada malam itu, selagi Keng Thian dan Tjee Tjiang Hee berjalan-jalan di luar rumah, di
bawah sinar rembulan, ibu si nona mendadak datang untuk memberitahukan hal
dilukakannya Tong Say Hoa oleh si pengemis kusta yang berkawan dua wanita cantik
bagaikan bidadari.
Mendengar itu, Keng Thian terkejut. Ia menduga, bahwa "dua wanita cantik bagaikan
bidadari itu" tentu bukan lain daripada Peng Go dan dayangnya. Sebenarnya ia tak mau
percaya cerita itu, akan tetapi, sesudah mendengar lukisan roman dan cara-cara kedua
wanita tersebut, mau tidak mau, ia harus percaya juga.
Melihat paras pemuda itu yang sangat guram, Yo Lioe Tjeng menduga, bahwa Keng
Thian merasa jengkel karena mendengar munculnya pengemis itu. "Dalam satu dua hari
ini, lebih baik kita menyingkir dulu," katanya. "Sesudah kau sembuh baru kita melawan
pengemis itu."
Mendengar sang ibu tidak setuju mereka berjalan-jalan di luar, sembari monyongkan
mulut, Tjiang Hee berkata: "Tong Koko baru saja sembuh, ia perlu banyak berjalan-jalan
untuk menghibur hatinya. Mana ia tahan disekap di dalam rumah?"
Melihat lagak si nona, Keng Thian jadi tertawa. Mengingat dengan cara apa selama
belasan hari nona itu sudah merawatnya, Keng Thian merasa sangat berterima kasih dan
lantas saja ia berkata: "Sebenarnya, kita memang tidak perlu begitu berkuatir. Meskipun
aku belum sembuh betul, tapi jika bertemu dengan pengemis kusta itu, belum tentu ia
dapat melukakan diriku lagi."
Tjiang Hee girang. "Tong Koko," katanya. "Apakah kau sudah mempunyai akal untuk
merobohkan padanya?"
"Senjata pengemis kusta itu yang paling liehay adalah senjata rahasianya yang
disemburkan dari mulutnya," Keng Thian menerangkan. "Tapi senjata itu hanya dapat
menyerang dari jarak dekat. Thiansan Sinbong-ku dapat merobohkan musuh yang berada
dalam jarak lebih dari enam tombak jauhnya. Jika sekarang aku harus menghadapi ia, aku
dapat menggunakan Sinbong untuk menahan majunya."
Yo Lioe Tjeng mesem dan segera berkata: "Jika kau sudah mempunyai pegangan,
boleh kau berjalan-jalan terus bersama Tjiang Hee. Aku tidak menghalang-halangi lagi."
Melihat tingkah laku kedua orang muda itu yang kelihatannya rapat sekali, Yo Lioe
Tjeng, yang di dalam hatinya mempunyai maksud tertentu, jadi merasa girang sekali.
Rumah keluarga Tjee berdiri membelakangi gunung, sedang di pekarangan depan yang
cukup luas, ditanami pohon-pohon bunga yang waktu itu sedang mekarnya. Jalan-jalan di
bawah sinar sang Puteri Malam, dengan segala pemandangannya yang sangat indah dan
bau-bauan bunga yang harum semerbak, benar-benar seperti juga berada didalam surga.
Lama, lama sekali, tanpa berkata-kata, mereka keluar masuk di antara pohon-pohon
kembang.
"Tong Koko, kau lagi memikirkan apa?" tanya si nona.
"Tidak apa-apa," jawabnya.
Tjiang Hee tertawa geli. "Aku tahu," katanya "Kau tentu ingin bertemu dengan kedua
wanita itu yang katanya cantik seperti bidadari. Benarkah?"
Tjiang Hee sebenarnya hanya berbicara guyon-guyon, tapi di luar dugaan, Keng Thian
menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang. "Benar," sahutnya. "Aku sedang
memikirkan mereka!"
Si nona terkejut. "Tong Koko, apakah kau benar-benar kenal dengan mereka?"
tanyanya. "Kenal," jawab Keng Thian. "Mereka adalah sahabat-sahabatku."
"Tapi, kenapa mereka tidak berjalan bersama-sama kau, sebaliknya justru berkawan
pengemis kusta itu yang dibenci orang?" tanya Tjiang Hee pula.
"Aku justru ingin mencari mereka untuk menanyakan sebab-sebabnya," jawab Keng
Thian. Paras muka Tjiang Hee lantas saja berubah guram. "Aku tak ingin menemui
pengemis kusta
itu," katanya.
"Siapa menyuruh kau menemui ia?" kata Keng Thian.
"Tapi aku ingin sekali bertemu dengan kedua Tjietjie itu yang cantik bagaikan bidadari,"
kata si nona.
"Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Orang yang kau sukai, tentu juga kusukai," jawabnya. "Bolehkah aku turut kau
menemui kedua Tjietjie itu?”
"Aku sendiri tak tahu, apakah mereka sudi menemui diriku," kata Keng Thian.
"Kenapa begitu?" tanya Tjiang Hee dengan suara heran. "Bukankah mereka itu
sahabat-sahabatmu?"
Keng Thian menghela napas panjang dan kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Hee-moay, usiamu masih terlalu muda, sehingga biar pun aku memberi penjelasan, kau
tidak akan mengerti."
"Tapi usiamu tidak berbeda banyak dengan usiaku," kata si nona yang merasa agak
kurang senang dikatakan belum mengerti urusan. Ia berdiam beberapa saat, kemudian
berkata pula: "Dulu, waktu'aku baru saja mengerti urusan, aku sudah ingin bertemu
denganmu. Apakah kau tahu?"
Keng Thian tertawa. "Waktu itu bagaimana kau tahu, bahwa di dalam dunia ini ada
seorang yang bernama Tong Keng Thian?" tanyanya.
"Sedari aku mulai mengerti urusan, ibu sudah membicarakan hal dirimu," jawab Tjiang
Hee. "Aku tak percaya," kata Keng Thian. "Ibumu sendiri baru mengenal aku kira-kira
setengah
bulan lamanya."
"Ibuku sering-sering
membicarakan hal ayahmu dengan aku," si nona menerangkan. "Ia sering
menceritakan rupa-rupa kejadian-kejadian menarik di waktu mereka masih belajar silat
bersama-sama. Dalam beberapa tahun ini, ibu sering mengutarakan keinginannya untuk
pergi ke Thiansan guna menyambangi kalian. Kata ibu, ayahmu pendiam, kadang-kadang
suka marah-marah terhadapnya. Hm! Dalam hal ini, kau agaknya berbeda dengan
ayahmu. Sering-sering Ibu berkata begini: 'Hee-djie, kau sangat mirip dengan aku. Tong
Pehpeh juga tentu sudah mempunyai anak. Tak tahu, apakah anaknya juga seperti ia atau
tidak.' Itulah sebabnya, mengapa sedari kecil aku sering menanya diriku sendiri: Macam
apakah, Tong Koko ini? Biarpun aku belum pernah bertemu dengan kau, malah tidak
mengetahui, apakah di dunia ada seorang yang seperti kau, tapi sering sekali aku
membayang-bayangkan bagaimana kira-kira rupamu, sebagai putera Tong Pehpeh. Dan
sesudah benar-benar bertemu, ternyata rupa dan cara-caramu sungguh tiada beda
dengan apa yang telah kulihat dalam bayangan khayalku sekian lama."
Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Didengar dari perkataan Tjiang Hee, ternyata ibunya
menganggap ayah seolah-olah seorang anggauta keluarganya sendiri," katanya di dalam
hati.
"Tapi kenapa ayah jarang sekali menyebutkan namanya?"
"Tong Koko, apa lagi yang kau pikirkan?" tanya pula si nona demi melihat Keng Thian
termenung.
"Aku terharu, kau benar-benar seperti adikku sendiri," jawabnya.
"Apakah benar? Kau suka padaku?" menegas si nona dengan suara girang dan dengan
sikap sebagai bocah yang baru mendapat kembang gula.
"Tentu saja," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Aku melihat kau seperti seekor
burung Pekleng niauw. Saban-saban hatiku pepat, suara dan lagak-lagakmu selalu dapat
menghilangkan kejengkelanku itu."
"Ya, aku pun merasa senang bergaul denganmu," kata si nona.
Demikianlah, kedua orang muda itu, yang dalam pergaulannya bebas dari segala
pikiran menyeleweng, bercakap-cakap dengan gembira dan tanpa merasa mereka
berjalan sembari bergandengan tangan.
Sekonyong-konyong selagi berjalan di bawah pohon-pohon bunga yang diterangi sinar
sang rembulan, Keng Thian teringat, bahwa Pengtjoan Thianlie pun sangat gemar akan
kembang-kembang. Ia membayangkan, bagaimana beruntungnya, jika ia dapat berjalan-
jalan bersama Peng Go di waktu itu dan dalam suasana yang begitu pula. Ia mengangkat
kepalanya dan... tiba-tiba di sebelah jauh, di antara cabang-cabang yang penuh bunga, ia
melihat wajah seorang wanita muda!
Kedua mata wanita itu, yang tajam luar biasa dan dingin bagaikan es, sedang
mengawasi ia. Sesaat itu, seluruh tubuh Keng Thian seolah-olah terkena arus listrik. Ia
gemetar, sembari mengeluarkan teriakan, ia meloncat ke depan.
"Tong Koko! Ada apa?" seru Tjiang Hee. "Apakah manusia menyebalkan itu?" Ia
berteriak begitu karena menduga, bahwa si pengemis kusta menyatroni pula. Tapi, setelah
memperhatikan, ia melihat seorang wanita yang parasnya cantik luar biasa. Ia jadi kesima
dan terpaku!
"Peng Go!" Keng Thian berteriak.
Wanita itu, yang memang bukan lain daripada Koei Peng Go, menatap wajah Keng
Thian dengan sorot mata dingin, sedih dan gusar bercampur menjadi satu! Tanpa merasa,
Tjiang Hee bergidik. Di lain saat, Peng Go memutarkan badannya dan dengan sekali
berkelebat, ia menghilang dari pemandangan.
"Peng Go! Koei Tjietjie! Koei Tjietjie!" berteriak Keng Thian dengan suara menyayatkan
hati, sembari mengubar. Kasihan, ia mengubar dengan mengerahkan seantero tenaganya
yang belum pulih kembali. Baru tiba di suatu tanjakan, ia kesandung dan roboh terguling.
Beberapa saat kemudian, Tjiang Hee tiba dengan napas tersengal-sengal. Dengan
terkejut, ia membangunkan pemuda itu. "Apakah kau terluka?" tanyanya.
Keng Thian tidak menjawab, la menggelendot pada tubuh Tjiang Hee, kedua matanya
mencilak, mukanya pucat bagaikan mayat. Seolah-olah kehilangan semangat.
"Tong Koko! Tong Koko, kenapa kau?' tanya Tjiang Hee dengan suara bingung.
Sesudah lewat beberapa saat, baru Keng Thian dapat membuka mulut: "Dia! Dia sudah
pergi!" "Siapa dia?" tanya Tjiang Hee. "Pengtjoan Thianlie, yang barusan kita bicarakan,"
sahutnya. "Ah! Kenapa ia tak mau bicara denganku?"
Tjiang Hee yang otaknya masih sederhana, merasa tidak mengerti, la tidak mengerti,
kenapa, jika toh Pengtjoan Thianlie sahabat Keng Thian, ia sudah bersikap begitu? Keng
Thian menghela napas berulang-ulang, seperti juga melupakan, bahwa di sampingnya
masih ada seorang wanita lain, sehingga Tjiang Hee, mengeluh, ia merasa kasihan,
berbareng mendongkol.
Lama mereka tidak mengucapkan sepatah kata. "Tong Koko," kata Tjiang Hee akhirnya.
"Mari kita pulang. Ah! Aku tak nyana, di dalam dunia ada wanita yang begitu cantik!"

***

Tak usah dikatakan lagi, bahwa Pengtjoan Thianlie mabur karena menyaksikan Keng
Thian berjalan-jalan dan bercakap-cakap secara hangat dengan seorang wanita muda,
dengan bergandengan tangan. Dan selain itu, paras muka wanita tersebut benar-benar
sama dengan gambar yang ia dapat dari Kim Sie Ie, dengan hati hancur, ia kabur, tanpa
memperdulikan lagi teriakan-teriakan Keng Thian. Dalam sekejap saja ia sudah lari
belasan li dan tiba di tepi sebuah sungai kecil, di kaki gunung, dimana Yoe Peng sedang
menunggu.
Melihat majikannya kembali seorang diri dengan gerak-gerik seperti linglung, Yoe Peng
menjadi kaget dan menanya: "Kenapa Siauwkongtjoe kembali sendirian?”
"Dia... dia..." kata si nona, terputus-putus, fa menengok dan memandang pemandangan
malam yang indah, tapi tak kelihatan bayang-bayangan Keng Thian. Ia menjadi lebih-lebih
mendongkol karena dalam anggapannya, Keng Thian tidak bersungguh hati dan
teriakannya hanya keluar dari hati palsu. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa pemuda
itu telah roboh di tengah jalan karena kehabisan tenaga. "Dia... dia tak akan datang,"
jawabnya sesenggukan.
"Kau sudah bertemu? Dan dia tak mau bersama-sama kau lagi?" tanya Yoe Peng
dengan hati mencelos.
Pengtjoan Thianlie merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ia menundukkan
kepalanya dan air matanya mengucur deras.
Ia teringat bagaimana pertama kali Tong Keng Thian naik ke keraton es, ia teringat
bagaimana mereka bertanding pedang dan segala sesuatu mengenai "toeilian" di dalam
taman, la ingat akan semua kejadian itu yang tak akan bisa dilupakan olehnya.
Mendadak, ia mendengar suara tertawa yang nyaring. Ia menoleh ke arah suara itu dan
di lain saat, sambil menenteng tongkat besi, kelihatan Kim Sie Ie meloncat keluar dari
antara pohon-pohon yang rindang daunnya. Pemuda itu sekarang mengenakan pakaian
sasterawan mirip
dengan Tong Keng Thian, akan tetapi, dengan menenteng tongkat dan meloncat-loncat
seperti bocah nakal, ia jadi kelihatan lucu dan tidak sesuai dengan pakaiannya.
"Kenapa kau tertawa?" bentak si nona, mendongkol.
"Mentertawakan kau!" jawabnya, sembari tertawa haha-hihi.
Dalam keadaan biasa, Pengtjoan Thianlie tentu sudah menghunus pedangnya. Tapi
sekarang, dalam kesedihannya, ia tidak memperdulikan lagi segala ejekan.
"Bukankah kau ingin sekali menemui ia?" tanya Kim Sie Ie. "Sesudah bertemu, kenapa
kau jadi berbalik sedih. Apakah itu tidak lucu?"
"Jangan mencampuri urusan orang lain!" Peng Go membentak pula.
"Jika aku tak datang, kau tentu akan terus termenung-menung disini," kata lagi Kim Sie
Ie sembari nyengir. "Hayolah! Lebih baik menangis lebih siang daripada terlambat.
Nangislah biar puas! Sesudah puas, kau akan merasa lega."
Mendengar itu, air mata Peng Go justru jadi berhenti.
Si pengemis kusta lagi-lagi tertawa haha-hihi. "Bagaimana gambar pemberianku itu?"
tanyanya. "Bukankah bagus sekali?'
"Bret!" Dengan gusar si nona merobek kertas bergambar itu.
Kim Sie Ie menepuk-nepuk tangan. "Bagus! Bagus! Sesudah gambar itu dirobek,
hatimu tentu menjadi enteng!" katanya.
Kata-kata Kim Sie Ie yang mengandung sindiran, dimengerti jelas oleh Yoe Peng. Tapi
Peng Go sendiri, yang sedang terbenam dalam kedukaan hebat, sebaliknya merasa
perkataan itu ada juga benarnya. Ia menganggap, bahwa memang terlebih baik jika ia
mencoret segala apa yang sudah lewat dan menuntut penghidupan baru dengan hati
enteng.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
"Benar, memang lebih baik kalian kembali ke keraton es!" kata Kim Sie Ie.
Pengtjoan Thianlie terkejut. "Bagaimana dia mengetahui asal-usulku?" tanyanya di
dalam hati.
Mendadak pemuda itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara sungguh-
sungguh:
"Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa di dalam dunia hanya terdapat beberapa
gelintir manusia baik-baik? Lebih baik berkawan dengan binatang daripada hidup
bersama-sama manusia. Apakah sekarang kau percaya?'
Si nona tidak menjawab, ia berdiri bengong bagaikan patung.
"Aku juga sudah merasa sebal hidup dalam dunia ini," kata pula pemuda itu. "Keraton
es-mu adalah seperti surga dalam dunia. Sungguh sayang kau sudah meninggalkan surga
itu. Lebih baik kita pulang bersama-sama. Pinjamkanlah kepadaku suatu pojokan dari
keratonmu, supaya aku bisa hidup secara tenteram."
"Kau ini benar-benar manusia yang tak tahu diri!" bentak Yoe Peng yang sudah tak
dapat menahan sabar lagi. "Apakah kau mengira Siauwkongtjoe sudi mengijinkan
keratonnya dinodakan oleh seorang penderita kusta?"
Muka Kim Sie Ie lantas saja berubah pucat, kemudian ia mengeluarkan suara tertawa
menyeramkan. Ia mengangkat tongkatnya, seperti hendak menyerang. Yoe Peng cepat-
cepat menghunus Hankong kiam-nya dan loncat ke belakang majikannya.
Peng Go mendongak mengawasi rembulan dan berkata dengan suara tawar: "Kau
pergilah! Aku pulang atau tidak adalah urusanku sendiri. Tak usah kau mencampuri urusan
orang lain. Kau sudah mengeluarkan perkataan tidak pantas, tapi aku juga tidak mau
meladeni kau."
Kim Sie Ie mengawasi, lagaknya seperti bola karet yang kempes kehabisan angin.
Perlahan-lahan ia menurunkan tongkatnya dan berkata: "Baiklah. Dengan memandang
kau, aku pun tidak mau meladeni budak kecilmu." Mendadak ia tertawa keras dan berkata
dengan suara nyaring: "Sebenar-benarnya kita berdua adalah manusia-manusia yang
telah disia-siakan oleh dunia. Menurut pantas, kita harus saling mengasihani. Tapi kau
sebaliknya memandang aku sebagai lawan. Sungguh tak pantas! Jika di belakang hari kau
bisa mendusin, beritahukanlah kepadaku." Ia memutarkan badan dan terus berlalu dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Peng Go masih terus berdiri bengong.
"Pengemis kusta itu seperti juga setan air," kata Yoe Peng dengan suara
gusar. Peng Go merasa heran dan lalu menanya: "Apa?”
"Menurut kata orang Han, setan air paling jahat," Yoe Peng menerangkan. "Dia mati di
dalam air dan menjadi setan. Sebagai setan, tak hentinya ia mencari-cari pengganti.
Begitu mengetahui ada orang yang sedang menderita, ia lantas memancing-mancing
dengan rupa-rupa akal busuk, supaya orang itu membunuh diri dengan menyebur ke
dalam air. Hm! Semua perkataannya itu hanya bertujuan supaya Siauwkongtjoe tak
memperdulikan pula Tong Siangkong dan rela mengikuti jejaknya. Apakah dengan begitu,
ia bukan seperti setan air?"
Mendengar penjelasan dayangnya, tanpa merasa Peng Go yang sedang bersedih, jadi
tertawa. "Belum cukup setahun kau turun gunung, lidahmu sudah begitu beracun,"
katanya sembari mesem.
"Apa Siauwkongtjoe tak percaya perkataanku?" tanya Yoe Peng.
Paras muka Pengtjoan Thianlie segera berubah keren. "Aku sendiri mempunyai
pendirian, tak usah kau banyak rewel," katanya.
Yoe Peng bungkam, tak berani membuka suara lagi.
"Baiklah," kata Peng Go dengan suara halus. "Kita sekarang menuju ke Soetjoan barat.
"Sesudah bertemu dengan Pehpeh-ku, baru kita pulang ke Puncak Es dan tak usah
memperdulikan lagi segala urusan dunia."
Yoe Peng menghela napas. Tanpa berkata suatu apa, ia mengikuti tindakan
majikannya.

***

Sekarang marilah kita menengok Keng Thian yang pulang ke rumah keluarga Tjee
dengan dipimpin oleh Tjiang Hee. Di tengah jalan, pemuda itu menutup mulutnya,
sehingga si nona jadi sangat berkuatir. Sesudah Keng Thian mengunci kamar tidurnya,
Tjiang Hee tidak berani masuk tidur dan terus berjalan mundar-mandir dengan tindakan
perlahan di depan kamar pemuda itu. Sampai kurang lebih jam empat pagi, di dalam
kamar Keng Thian tidak terdengar suara apa-apa.
Ketika itu Tjiang Hee sudah merasakan betapa dinginnya hawa malam dan ia juga
sudah merasa ngantuk sekali. "Kakak tolol itu mungkin sudah tidur," katanya di dalam hati.
Selagi mau masuk ke dalam kamarnya, mendadak ia melihat jendela kamar Keng Thian
terpentang dan seorang yang mengenakan pakaian putih meloncat keluar. Buru-buru si
nona meloncat ke atas genteng sembari berseru: "Tong Koko!”
Keng Thian merandek dan menengok. "Jangan ribut," katanya dengan suara perlahan.
"Jangan sampai ibumu bangun. Terima kasih banyak-banyak untuk pertolonganmu. Aku
mempunyai urusan penting dan harus berangkat sekarang juga!”
"Tak bisa! Tak boleh begitu!" berseru Tjiang Hee, tapi Keng Thian sudah mengenjot
badan dan dengan beberapa loncatan, ia sudah melompati tembok pekarangan.
"Ibu!" teriak si nona. "Lekas keluar! Tong Koko mabur!"
Suami isteri Tjee Sek Kiu yang tidur di kamar sebelah barat, lantas saja bangun,
sedang Keng Thian sendiri, setelah mendengar teriakan Tjiang Hee, lantas saja berlari
lebih cepat. Tjiang Hee jadi bingung, tanpa menunggu orang tuanya, ia segera mengubar.
Meskipun baru sembuh, ilmu mengentengkan badan Keng Thian masih lebih unggul
daripada Tjiang Hee. Sesudah mengubar beberapa lama, jarak antara mereka menjadi
semakin lebar.
"Tong Koko! Apakah benar-benar kau mau pergi juga secara begini!" seru nona Tjee
dengan suara sedih.
Mendengar seruan itu, hati Keng Thian menjadi sangat terharu dan dengan terpaksa, ia
menghentikan tindakannya. Ia berpaling seraya berkata: "Hee-moay, di lain tahun, jika
kalian pergi ke Thiansan, kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu pula. Aku
mempunyai suatu urusan yang sangat penting dan mesti segera berangkat. Aku mohon
kau jangan mengantar terlebih jauh." Sehabis berkata begitu, lantas saja ia berlari
secepat-cepatnya, supaya tak mendengar pula teriakan si nona.
Sesudah kabur belasan li, barulah Keng Thian membuang napas dan berlari lebih
perlahan. Mengingat cara-caranya yang kurang pantas terhadap keluarga Tjee, hatinya
sungguh merasa tidak enak. Untuk menyusul Pengtjoan Thianlie, ia pergi tanpa pamitan
dan hanya meninggalkan sepucuk surat. Ia merasa sangat malu terhadap Yo Lioe Tjeng
dan puterinya yang sudah melepaskan budi begitu besar terhadapnya.
Keng Thian telah menduga tepat, bahwa Peng Go akan pergi ke Soetjoan barat untuk
menemui pamannya. Akan tetapi, ketika ia menanya-nanya di sepanjang jalan, tak ada
seorang pun yang mengatakan pernah bertemu dengan Peng Go dan Yoe Peng.
Sesudah berjalan sekian hari, tibalah ia di wilayah gunung Palong san, di sebelah barat
propinsi Soetjoan. Jika orang terus berjalan ke arah selatan, ia akan tiba di daerah gunung
Gobi san. Walaupun Palong san tidak sampai seberbahaya Tjiakdjie san, tapi jalannya
yang legat -legot bagaikan ular dan terlebih panjang daripada Tjiakdjie san, malah di
puncak-puncaknya yang berundak-undak, masih terdapat jalan yang berputar-putar ke
atas seperti rumah keong. Sering sekali, puncak di sebelah depan kelihatannya dekat, tapi
sesudah didekati, ternyata masih jauh sekali.
Keng Thian adalah seorang yang mempunyai ilmu silat yang tinggi dan berpengalaman
luas dalam perjalanan di gunung, tapi toh, dalam sehari paling banyak ia bisa berjalan
seratus li lebih dalam jarak lurus. Untung juga, daerah pegunungan di Soetjoan
mempunyai pemandangan yang sangat indah.
Sebagaimana diketahui, gunung Gobie san tersohor sebagai "Keindahan istimewa di
kolong langit." Dari Palong san, semakin ke selatan, pemandangan alam semakin indah
permai, sehingga seorang pelancong dapat berjalan tanpa merasa jemu.
Di gunung itu sangat sedikit jumlah penduduknya, sehingga sering-sering seorang
pelancong tidak bisa mendapat tempat bermalam. Malam itu, Keng Thian tak menemukan
rumah orang dan ia sudah bersiap-siap untuk mengasoh di salah sebuah gua. Tiba-tiba
dari sebelah timur sang rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan
seluruh gunung seperti juga sedang mandi dalam laut perak. Kegembiraannya terbangun
dan ia segera mengambil keputusan untuk meneruskan perjalanannya.
Selagi enak berjalan, di sebelah depan mendadak muncul suatu pemandangan luar
biasa, yaitu sekelompok batu-batu raksasa yang seolah-olah hutan batu. Setiap batu,
yang tingginya paling banyak dua atau tiga puluh tombak, mempunyai bentuk-bentuk aneh
dan indah luar biasa, ada yang berbentuk harimau, singa, beruang atau macan tutul.
Tong Keng Thian adalah seorang yang sudah biasa menjelajah gunung-gunung besar
di daerah Utara barat. Akan tetapi, melihat keangkeran hutan batu itu, tak urung ia merasa
kagum dan heran. Dari jauh, hutan batu itu seakan-akan merupakan sekosol yang
menedengi sinar rembulan. Akan tetapi, setelah didekati, Keng Thian menemukan suatu
pintu gua, terbuat daripada dua batu raksasa yang menempel satu pada yang lain. Pintu
itu, yang ditembusi sinar rembulan, hanya dapat dilewati seorang, sedang di dalamnya
terdengar suara mengalirnya air.
Dengan perasaan heran, Keng Thian masuk ke dalam pintu itu. Di balik pintu tersebut
ia melihat sebidang tanah kosong yang penuh dengan pohon-pohon kembang dan di
sekitarnya, terdapat pula batu-batu raksasa dengan pintu-pintu yang beraneka bentuknya.
Keng Thian memilih sebuah terowongan yang paling besar dan merangkak masuk ke
dalamnya. Semakin lama, ia masuk semakin dalam dan selagi enak merangkak, lapat-
lapat kupingnya menangkap suara manusia.
Bukan main herannya Keng Thian. Ia merangkak terus keluar dari terowongan dan
kemudian, dengan menggunakan ilmu Pekhouw kang (Ilmu cicak), ia merayap naik ke
atas sebuah batu raksasa yang tingginya kira-kira dua puluh tombak. Dari atas batu
tersebut Keng Thian memandang ke sebelah bawah. Ia terkesiap berbareng heran.
Di sebelah bawah terdapat sebidang tanah kosong yang merupakan satu selat gunung,
dimana berdiri pula sejumlah besar batu-batu yang lebih kecil, paling tinggi hanya lima
enam tombak. Batu-batu itu menjulang ke atas dan dilihat dari kedudukannya, mereka
merupakan suatu tin (barisan). Dalam barisan batu itu terlihat dua orang, seorang lelaki
dan seorang perempuan, yang sedang berputar-putar seperti juga tengah mencari jalan
keluar.
Jarak antara mereka dan pintu "hidup" tersebut sangat dekat, tapi sesudah berputar-
putar mereka tetap tidak dapat keluar.
Tong Keng Thian adalah seorang yang berpengetahuan luas, bukan saja tinggi ilmu
silatnya, tapi ia juga mengenal ilmu Patkwa tin (Barisan Patkwa). Ketika itu, dari sebelah
atas, ia memandang ke bawah dan tidak lama kemudian, ia sudah mengetahui, bahwa
hutan batu itu yang muncul di atas bumi secara wajar, mempunyai kedudukan seperti
Pattintouw susunan
Tjoekat Boehouw (Tjoekat Liang, panglima besar kerajaan Han pada jaman Sam Kok).
Barisan batu itu mempunyai delapan pintu dan seorang yang sudah masuk, tak akan bisa
keluar lagi jika ia tidak dapat mencari "Pintu Hidup."
Kedua orang itu mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Berulang kali mereka
meloncat setombak lebih dan memeluk salah sebuah pilar batu. Akan tetapi, oleh karena
licinnya pilar tersebut, mereka selalu tidak berhasil memanjat ke atas. Dua kali, secara
kebetulan mereka berhasil mendekati "Pintu Hidup," tapi dua-dua kalinya, mereka dipukul
mundur dengan timpukan batu yang tepat sekali. Keng Thian kaget. Ia menduga, bahwa
dalam hutan batu itu mesti bersembunyi seorang yang berkepandaian tinggi.
Lelaki dan perempuan itu agaknya juga. sudah mempunyai dugaan yang sama.
"Memang tidak pantas sekali Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah)
sembarangan masuk disini," seru yang lelaki. "Aku mohon majikan dari tempat ini sudi
memaafkan."
Keng Thian terkejut, karena suara itu agaknya tidak asing baginya. Selagi mengingat-
ingat, mendadak terdengar teriakan "Aya!" yang nyaring, seperti suara anak tanggung.
Keng Thian jadi semakin heran. Sekonyong-konyong, dari
belakang segundukan batu yang terletak beberapa tombak jauhnya dari tin itu, muncul
seorang anak tanggung yang berusia kira-kira lima belas tahun.
"Apa Siauw Loosoe?" seru anak itu.
"Benar, aku Siauw Tjeng Hong," sahut orang laki-laki itu dengan suara kegirangan.
"Apakah kau Kang Lam?"
Bukan main tercengangnya Keng Thian. Di Tibet, ia pernah bertemu sekali dengan
Siauw Tjeng Hong. Waktu itu, Siauw Tjeng Hong berbadan kurus kering, mukanya pucat
kuning dan sikapnya seperti seorang sasterawan tua. Tapi sekarang, walaupun tak dapat
dilihat tegas, tapi dengan bantuan sinar rembulan, Keng Thian melihat ia sebagai seorang
yang bersemangat dan berparas angker, sedang usianya seperti juga sepuluh tahun lebih
muda daripada kira-kira setahun yang lampau.
"Tak heran jika tadi aku tidak mengenali ia," kata Keng Thian di dalam hatinya. Ia tentu
saja tidak mengetahui, bahwa perubahan itu sudah terjadi karena Siauw Tjeng Hong
sudah makan buah Yoetam Sianhoa, hadiah Thiekoay sian.
Sembari berlompat-lompatan dan tertawa-tawa di depan barisan batu itu, Kang Lam
berkata: "Ah! Benar-benar Siauw Loosoe! Jika kau tidak bersuara lebih dulu, aku tentu
tidak berani memanggil. Kenapa kau tidak bongkok lagi? Kerut-kerutan di atas mukamu
juga tidak kelihatan lagi. Ha-ha! Siapa nyonya itu? Apa Siauw Soenio? Ah! Siauw Loosoe!
Beruntung benar kau! Kang Lam harus memberi selamat dengan secangkir arak. Eh,
Siauw Soenio! Apa Siauw Loosoe pernah menyebutkan namaku, si Kang Lam?'
Demikianlah Kang Lam yang sekali berbicara lantas saja seperti petasan disulut.
Wanita itu tertawa seraya berkata: "Masakan ia tak pernah menyebutkan nama besar
Kang Lam yang kesohor? Bukankah kau menjadi kacung Tan Kongtjoe yang paling suka
bicara?"
Lagi-lagi Keng Thian merasa heran. Dari mana kacung Thian Oe ini belajar silat? Dilihat
dari gerak-gerakannya, ilmu anak itu berbeda dengan ilmu Thian Oe.
"Eh," kata Siauw Tjeng Hong. "Sekarang jangan membicarakan yang tak penting. Lebih
dulu aku minta kau melepaskan kami."
"Mana aku mampu?" kata Kang Lam dengan suara jengkel.
"Kenapa tidak bisa?" tanya pula Siauw Tjeng Hong.
"Apakah kau sendiri tidak mengerti seluk-beluk barisan ini yang sangat aneh?" Kang
Lam balas menanya.
"Kenapa tadi kau menimpuk dengan batu?" tanya lagi Siauw Tjeng Hong.
"Aku tak tahu, yang ditimpuk adalah kau," sahutnya.
"Oh, kalau lain orang, kau rasa boleh menimpuk sembarangan?" tanya Siauw
Tjeng Hong. "Kang Lam, kau tidak kecil lagi. Kenapa masih begitu nakal?"
"Ada orang yang menyuruh aku berbuat begitu," anak itu menerangkan.
"Siapa?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Guruku," jawabnya. "Eh, salah! Tua bangka itu yang memaksa aku mengangkat ia
sebagai guruku."
"Tua bangka siapa?" tanya Siauw Tjeng Hong. "Sudah berapa lama kau belajar silat?
Mana Thian Oe? Ia memperlakukan kau sebagai saudara sendiri, kenapa kau mabur
dengan diam-diam dan mengangkat orang lain sebagai gurumu? Sudah berapa lama kau
kabur?"
" "Siapa kata aku mabur diam-diam?" teriak Kang Lam. "Dusta besar jika dikatakan aku
kesudian mengangkat orang lain sebagai guru. Kongtjoe yang menyuruh aku. Kau tak
tahu suatu apa, kenapa sudah mengatakan yang tidak-tidak?"
Wanita itu tertawa dan berkata: "Dia tidak sabaran, kau pun begitu juga. Tjeng Hong!
Kau harus menanya satu demi satu. Jika kau majukan pertanyaan seperti hujan, mana
bisa mendapat jawaban beres."
"Benar," kata Siauw Tjeng Hong sembari mesem. "Aku melupakan adat Kang Lam yang
seperti api. Baiklah. Sekarang pertanyaan pertama: Kenapa Tan Kongtjoe menyuruh kau
pergi ke lain tempat?"
"Tan Kongtjoe?" kata Kang Lam. "Bukan! Looya (majikan tua) yang menyuruh aku
mengantarkan sepucuk surat kepada Tjioe Taydjin. Surat apa? Tentu saja ia tidak
memberitahukan. Ha! Tapi aku tahu. Tjioe Taydjin adalah besannya. Aku mendapat tahu
dari seorang budak perempuan, Tjay Hong namanya. Dialah yang memberitahukan
kepadaku. Aku malah tahu apa yang ditulis. Eh, Siauw Loosoe! Apakah kau tahu, kenapa
aku diberi nama Kang Lam? Looya memberikan nama itu kepadaku lantaran ia selalu
ingat akan kampung kelahirannya, di daerah Kanglam. Aku sendiri merasa betah hidup di
Tibet, tapi Looya sangat tidak betah. Ia selalu ingin pulang ke kampungnya. Suatu malam,
aku telah mencuri mendengarkan pembicaraan
antara Looya dan Kongtjoe. Looya mengatakan, bahwa dengan menjadi utusan istimewa
untuk menyambut guci emas, ia sudah berjasa besar, tapi sungguh sayang, Hok Taydjin-
hm! Hok Kong An-tak sudi membantu ia.
Sebaliknya, dia malah memerintahkan Looya kembali ke Sakya untuk menjabat pula
pangkat Soanwiesoe."
"Oleh sebab itu, Looya segera mengambil keputusan untuk menulis surat kepada
besannya, dengan pengharapan Tjioe Taydjin suka memberitahukan Hongsiang (kaisar)
tentang jasa-jasanya dan memohon agar Hongsiang sudi membebaskan ia. Tapi, kata
Looya, perjalanan begitu jauh, siapa yang dapat dipercayakan membawa surat itu? Ha!
Siauw Loosoe. Coba tebak, siapa yang dipujikan oleh Siauwya (majikan muda)? Bukan
lain daripada aku sendiri! Kata Siauwya: Orang yang paling tepat adalah Kang Lam. Nah,
lihatlah! Semua orang mengatakan aku rewel, banyak mulut, tak mampu bekerja! Tapi,
Siauwya? Siauwya memandang tinggi padaku! Maka itu, jika tadi aku mengatakan, bahwa
aku disuruh oleh Siauwya, aku pun tidak bicara salah!"
Begitulah keterangan Kang Lam yang panjang lebar dan banyak bumbunya.
Mendengar itu,
Keng Thian pun merasa geli dan berkata di dalam hatinya: "Tak salah jika orang
mengatakan,
Kang Lam suka benar bicara!"
Siauw Tjeng Hong tertawa terbahak-bahak. "Siauwya sungguh memandang tinggi
dirimu, sehingga ia sudah menurunkan ilmu silat kepadamu," katanya.

"Bukankah begitu?"
"Benar, tepat sekali dugaanmu, jawabnya. "Pada musim semi tahun yang lalu, sesudah
beberapa pencuri kuda itu membakar kantoran dan sesudah kau kabur, baru aku
mengetahui, bahwa Siauw Loosoe mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan bahwa
Kongtjoe pun memiliki ilmu yang tidak rendah. Waktu itu, aku sudah lantas memohon
supaya Kongtjoe sudi menurunkan ilmunya kepadaku. Tapi, oleh karena ingin menghindari
kawin paksaan dan juga ingin mengantar kau, maka Kongtjoe tidak dapat meluluskan
permintaanku. Belakangan, sesudah kembali dari Lhasa, baru ia mengajarkan aku
beberapa macam ilmu silat yang kasar. Siauw Loosoe! Coba kau pikir: Jika aku tak
mempunyai bekal, bagaimana Kongtjoe mau memujikan diriku untuk membawa surat yang
begitu penting?"
"Jika kau tahu pentingnya surat itu, kenapa juga kau main lambat-lambatan disini?"
tanya Siauw Tjeng Hong lagi sembari menahan tertawa. "Dan kenapa kau membiarkan
dirimu dijadikan murid tua bangka itu?"
"Siapa mengatakan aku main lambat-lambatan disini?" teriak Kang Lam dengan suara
mendongkol. "Pengalamanku tiada bedanya dengan kau, Siauw
Loosoe! Aku lewat disini, hatiku heran, aku masuk untuk melihat-lihat. Dan kau tahu,
seperti kau, begitu masuk aku tak bisa keluar."
Muka Siauw Tjeng Hong jadi berubah merah. "Baiklah," katanya. "Aku tidak
mempersalahkan kau. Tapi kemudian, bagaimana kau dapat keluar?"
"Lama juga aku terkurung dalam barisan ini," Kang Lam menerangkan. "Aku jalan
terputar-putar, perutku lapar dan aku mencaci maki sekeras-kerasnya. Ha! Baru aku
memaki, sudah ada yang datang."
"Apakah tua bangka itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Tak salah," sahutnya. "Selagi aku enak memaki, dengan sekali berkelebat, si tua yang
mengenakan jubah pertapaan kuning, sudah berdiri di hadapanku. Tak tahu, dari mana
datangnya. Katanya: Hei, anak muda! Kalau kau mau menjadi muridku, aku akan
mengeluarkan kau dari tempat ini."
"Dan kau lantas menerima tawaran itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Menolak pun tak ada gunanya," jawab si kacung. "Sehari suntuk aku sudah terkurung
dalam barisan batu ini, lebih lama daripada kau. Apakah boleh tak usah makan? Biarpun
hatiku tak kesudian, mulutku lantas saja menyanggupi. Si tua tertawa girang. Dengan
menuntun tanganku, ia berjalan bulak-balik dan entah bagaimana, tahu-tahu aku sudah
berada di luar. Kataku: Maaf,
Lootjianpwee. Jika kau memerlukan murid, carilah saja yang lain. Aku sendiri perlu buru-
buru meneruskan perjalanan. Tua bangka itu lantas saja berkata: Anak kecil! Kau sungguh
tak tahu diri. Lain orang memohon-mohon berlutut di hadapanku tiga hari tiga malam,
belum tentu aku sudi mengambil dia sebagai murid. Apakah kau tahu, kenapa aku mau
menerima kau sebagai murid? Aku sudah bersumpah, bahwa sebelum mati, aku akan
mengambil seorang murid untuk mewarisi Seantero kepandaianku. Tapi aku pun tak sudi
keluar dari selat ini. Aku menunggu sampai orang datang. Asal dia belum berusia delapan
belas tahun, aku akan mengambilnya sebagai murid. Bukankah kau beruntung sekali? Aku
lantas menjawab, bahwa aku tak sudi menerima keberuntungan itu lalu memutarkan
badan untuk berjalan pergi. Si tua bangka lantas saja berkata sembari tertawa: Biarpun
mempunyai kepandaian seratus kali lipat lebih tinggi, kau tak akan bisa kabur. Cobalah!
Aku tak meladeni dan berjalan terus. Mendadak, kedua dengkulku kesemutan dan di luar
keinginanku, aku jungkir balik tiga kali sampai berhadapan pula dengan si tua bangka.
Begitu berhenti jumpalitan, rasa kesemutan di dengkulku lantas saja menjadi hilang. Si tua
berkata lagi: Bocah! Jika kau mabur untuk kedua kalinya, seluruh badanmu akan
kegatalan dan kesakitan tiga hari tiga malam lamanya. Kalau kau berani mabur untuk
ketiga kali, akan kumampuskan kau! Suaranya tenang, agaknya jiwa manusia seperti jiwa
kacoa di matanya. Sorot matanya sungguh hebat. Aku menjadi ketakutan. Aku
memberitahukan kepadanya, bahwa Siauwya-ku menyuruh aku mengantarkan surat. Ia
tidak meladeni dan kukuh pada kemauannya. Demikianlah, aku tak dapat berbuat lain
daripada menerima nasib menjadi muridnya."
"Sudah berapa lama kau mengikuti dia?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Baru tujuh hari," jawab Kang Lam sesudah menekuk jerijinya.
"Dusta! Lagi-lagi kau membohong!" membentak Siauw Tjeng Hong.
"Lagi kapan aku berdusta?' tanya Kang Lam dengan suara keras.
"Tujuh hari?" Siauw Tjeng Hong menegaskan dengan suara tidak percaya. "Dalam tujuh
hari bagaimana kau mampu mempelajari ilmu menimpuk jalan darah?"
"Ah!" seru Kang Lam. "Apakah itu ilmu menimpuk jalan darah dengan senjata rahasia?
Tadinya aku menduga ia hanya mengajarkan permainan anak-anak belaka."
Keng Thian tercengang. Jika benar dalam tempo tujuh hari ia bisa mengajar menimpuk
jalan darah dengan batu, kepandaian orang tua itu sungguh-sungguh tak dapat ditaksir
bagaimana dalamnya.
"Apa si tua sudah mengetahui kedatangan kami dan menyuruh kau menunggu disini
untuk menimpuk dengan batu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Mungkin," jawabnya.
"Semalam dia berkata begini kepadaku: Ada dua orang yang telah masuk ke dalam
selat ini. Sesudah mempunyai murid, aku tak suka orang luar datang kemari. "Hantamlah
mereka dengan batu, tapi jangan menimpuk sembarangan. Timpuklah sesudah mereka
memutar dua kali ke sebelah kiri, dua kali ke sebelah kanan dan mendekati pintu keluar.
Siauw Loosoe! Aku tak tahu,
kedua orang itu adalah kalian. Aku menganggap senang juga bisa bermain-main dan
sudah segera menurut perintahnya. Siauw Loosoe! Harap kau tidak menjadi gusar."
Siauw Tjeng Hong mendongkol berbareng geli. "Kalau begitu," katanya. "Kau tak dapat
melepaskan kami."
"Memang tak bisa," kata Kang Lam. "Jika kalian lapar, aku bisa mencuri sedikit
makanan." "Cobalah kami menjajal-jajal," kata Siauw Tjeng Hong yang segera jalan
mutar ke kiri dua kali
dan ke kanan dua kali. Tapi, sesudah mencoba berulang-ulang, ia masih belum berhasil
menoblos dari barisan itu.
Tjeng Hong menjadi bingung. Ketika itu, rembulan sudah doyong ke sebelah barat dan
fajar akan segera menyingsing.
"Siauw Loosoe," kata Kang Lam. "Sudah semalam suntuk kau berputar-putar disitu.
Apakah kau tidak lapar? Jika lapar, aku bisa mencuri makanan "
"Tidak, aku tak lapar," jawab Tjeng Hong sembari menggaruk-garuk kepalanya.
Keng Thian tersenyum. Bagaikan seekor garuda, ia melayang turun dari atas batu
seraya berseru: "Siauw Sinshe! Selamat bertemu!"
Begitu mengetahui siapa yang datang itu, bukan main girangnya Siauw Tjeng Hong.
"Tong Siangkong!" ia berseru sembari berjingkrak. "Bagaimana kau pun bisa berada
disini?"
"Seperti juga kalian, aku tersurung perasaan kepingin tahu," jawabnya sembari masuk
ke dalam barisan batu itu.
"Eh-eh," kata Kang Lam. "Sekali masuk, kau tak akan bisa keluar lagi. Aku tak
mengenal kau, tak dapat aku mencuri makanan untukmu."
Tapi Keng Thian tidak meladeni, ia masuk terus sembari mesem. Dengan dipimpin
olehnya, sesudah bulak-balik beberapa kali, Siauw Tjeng Hong dan wanita itu sudah
berada diluar tin (barisan).
Kang Lam membuka matanya lebar-lebar. "Ha!" katanya. "Tak nyana, kau
berkepandaian begitu tinggi. Siapa kau?"
Siauw Tjeng Hong tertawa dan berkata: "Dia adalah orang yang pernah menolong
Kongtjoe-mu..."
"Aku tahu!" Kang Lam putuskan perkataan orang. "Kau tentu Tong Keng Thian. Tong
Siangkong, Siauwya pernah menceritakan halmu kepadaku. Kata Siauwya, Thiansan
Kiamhoat-mu, tak ada bandingannya di dalam dunia.
"Eh, apakah kau bisa menolong supaya aku dapat meloloskan diri dari tempat ini?
Bukankah kau sudah mendengar semua pembicaraanku tadi? Aku perlu berangkat buru-
buru untuk menyampaikan surat."
"Kang Lam," kata Keng Thian sembari mesem. "Jangan kiiam Aku tahu, apa yang harus
kulakukan." Ia berpaling kcp.ula Tjeng Hong dan menyambung perkataannya: "Selamat,
Siauw Sinshe! Lagi kapan kau menikah?"
"Tahun yang lalu, sesudah pulang ke Sengtouw, aku lalu mempersatukan diri pula ke
dalam partai Tjengshia pay," Tjeng Hong menerangkan. "Dia juga berada di Sengtouw,
menunggu aku." Sesudah berkata begitu, ia lalu memperkenalkan isterinya kepada Keng
Thian.
Isteri Siauw Tjeng Hong adalah adik misanannya sendiri yang bernama Gouw Tjiang
Sian. Sebagai kawan bermain semenjak kecil, Tjiang Sian mencintai Tjeng Hong, tapi ia
selalu mengumpatkan rasa cintanya, karena Tjeng Hong sudah jatuh cinta kepada Tjia In
Tjin. Setelah terjadi pertemuan di keraton es, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa
orang yang dicintainya itu sudah menikah dengan Thiekoay sian dan bahwa Gouw Tjiang
Sian masih menunggu ia. Begitu kembali ke Sengtouw, ia segera meminang adik
misanannya itu dan mereka lalu menikah. Di waktu menikah, Siauw Tjeng Hong sudah
berusia empat puluh tahun lebih.
"Kemana kalian mau pergi?" tanya Keng Thian. "Kenapa lewat disini?"
"Tahun yang lalu, aku dan Thian Oe telah mendaki Nyenchin Dangla, bertemu dengan
Pengtjoan Thianlie dan mengetahui, bahwa nona itu adalah puteri Koei Hoa Seng," Tjeng
Hong menerangkan. "Sesudah pulang sebenarnya aku ingin sekali segera pergi menemui
Moh Tjoan Seng Lootjianpwee untuk menyampaikan warta girang itu. Akan tetapi, karena
repot, belum juga aku dapat mewujudkan niatan itu..."
"Siauw Loosoe!" Kang Lam mendadak menyeletuk. "Kau sudah menikah, kenapa masih
repot juga?"
"Kang Lam, jangan memotong perkataan Siauw Loosoe," kata Keng Thian.
"Tapi sekarang, aku mendengar suatu urusan yang, walaupun bagaimana juga, mesti
diselidiki sampai seterang-terangnya untuk diberitahukan kepada Moh Lootjianpwee,"
Tjeng Hong melanjutkan penuturannya.
"Urusan apa?" tanya Keng Thian.
"Moh Lootjianpwee adalah tetua dari Boetong pay," Siauw Tjeng Hong menerangkan.
"Di samping itu, ia telah diakui sebagai ahli silat nomor satu dalam Rimba Persilatan di
seluruh wilayah Tionggoan. Sebagaimana kau tahu, setiap sepuluh tahun ia membuka
pintu mengadakan Kiatyan (memberi sedekah atau ceramah oleh seorang Budhis) dan
memberi petunjuk-petunjuk kepada orang-orang yang tingkatannya lebih rendah.
Sekarang tempo untuk Kiatyan sudah mendekati, yaitu tinggal setengah bulan lagi."
"Bagus!" kata Keng Thian. "Bukankah kita masih mempunyai tempo untuk tiba pada
waktunya?"
"Tapi... kali ini, mungkin bakal ada orang yang datang mengacau!" kata Tjeng Hong.
Keng Thian terkesiap. Ia membuka kedua matanya lebar-lebar, hampir-hampir ia tak
percaya kupingnya sendiri. Harus diketahui, bahwa Moh Tjoan Seng adalah pendekar
besar dari jaman itu. Bukan saja ilmu silatnya sudah mencapai puncak kesempurnaan,
tapi kebatinannya pun sangat luhur, sehingga kebesaran namanya dapat dipersamakan
seperti gunung Thaysan atau bintang Paktauw, yang diindahkan dan dikagumi oleh semua
cabang dan partai persilatan di seluruh Tiongkok. Dengan memiliki kepandaian begitu
tinggi dan nama begitu besar, siapakah yang berani mengganggu ia?
Siauw Tjeng Hong mendehem beberapa kali lalu berkata pula: "Menurut apa yang
kudengar, yang mau mengacau adalah seorang luar biasa dari partai Khongtong pay."
Keng Thian mesem.
"Tjiangboendjin (pemimpin) Khongtong pay adalah Tio Leng Koen," katanya. "Melawan
muridmu, saudara Thian Oe, ia masih belum tentu bisa memperoleh kemenangan."
Paras muka Siauw Tjeng Hong yang sangat guram, tetap tidak berubah. "Selama
kurang lebih tiga puluh tahun partai Khongtong pay memang sangat merojan," katanya
dengan suara sungguh-sungguh. "Orang-orangnya dari tingkatan atas masih belum dapat
menandingi ahli-ahli silat kelas satu. Itulah sebabnya, mengapa berbagai partai jadi
memandang rendah partai tersebut. Akan tetapi, sebenar-benarnya, Khongtong pay
mempunyai keistimewaan yang luar biasa."
Keng Thian terkejut. "Benar," katanya. "Memang juga, jika tidak mempunyai
keistimewaan, Khongtong pay tentu tidak dapat menjadi suatu partai. Kecerdasan
manusia tidak dapat disamaratakan dan kerajinan orang pun berbeda-beda, sehingga
memang juga kita tidak dapat memukul rata semua orang. Tadi, oleh karena mengingat
kepandaian Tio Leng Koen yang masih cetek, aku jadi memandang rendah Khongtong
pay sebagai partai. Aku mengakui, bahwa perkataanku itu tidak benar."
Dari sini dapat dilihat, bahwa Keng Thian adalah seorang pemuda yang telah mendapat
pendidikan sangat baik dan segera mengakui kekeliruannya, begitu lekas ia menganggap
dirinya bersalah.
"Menurut apa yang aku dengar," kata pula Siauw Tjeng Hong. "Oleh karena melihat
merojannya partai mereka, sedari tiga puluh tahun berselang, sejumlah orang Khongtong
pay dari tingkatan atas, pergi menyembunyikan diri di tempat sepi untuk melatih diri dan
meyakinkan kitab-kitab ilmu silat dari Tjouwsoe (pendiri) Khongtong pay, dan selain itu,
mereka juga telah menggubah ilmu-ilmu silat baru. Selama beberapa puluh tahun ini, tak
seorang pun mengetahui sampai dimana mereka sudah mencapai kemajuan. Paling
belakang, secara kebetulan aku mendengar, bahwa ada tetua Khongtong pay yang ingin
turun gunung."
"Apakah kau maksudkan, bahwa sesudah turun gunung, ia segera ingin menyatroni
Moh Tayhiap untuk menjajal kepandaian?" tanya Keng Thian.
"Benar," jawab Tjeng Hong. "Jika tidak membentur ahli silat nomor satu di wilayah
Tionggoan, dia tak dapat memperlihatkan kepandaiannya dan juga sukar mengangkat naik
nama partainya yang sudah merosot. Tapi, di samping itu, menurut yang kudengar, masih
terselip sebab lain."
Sesudah berkata begitu, ia mengawasi Keng Thian sembari mesem dan menyambung
pula perkataannya: "Sebab itu, mungkin adalah karena gara-garamu."
"Sungguh mengherankan," kata Keng Thian.
"Aku mendengar, bahwa kau merobohkan tiga belas jago Khongtong pay dengan
Thiansan Sinbong," kata Siauw Tjeng Hong. "Apakah benar?”
"Benar, antara mereka terdapat juga Tio Leng Koen," jawabnya.
"Selain kau, terdapat seorang wanita muda yang menggunakan pedang es bukan?"
tanya lagi Tjeng Hong.
"Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie bersama dayangnya yang bernama Yoe Peng,"
Keng Thian menerangkan. "Di samping mereka berdua, masih ada seorang lain, yaitu
muridmu sendiri, Thian Oe. Jika lantaran itu, Khongtong pay jadi merasa sakit hati,
seharusnya mereka mencari aku dan bukannya Moh Tayhiap."
"Kalian, ayah dan anak, mempunyai nama yang lebih besar daripada Moh Tayhiap,"
kata Tjeng Hong. "Jika mereka menyatroni kalian dan bertempur di atas gunung Thiansan,
orang luar tak akan dapat menyaksikan menang kalahnya. Maka itu, mereka telah
mengambil putusan untuk menyatroni Moh Tayhiap. Mereka menganggap Yoe Peng
sebagai Pengtjoan Thianlie dan entah bagaimana, mereka juga sudah mengetahui, bahwa
Pengtjoan Thianlie adalah keponakan Moh Tayhiap. Dengan adanya ikatan keluarga itu,
mereka jadi mempunyai alasan lebih kuat untuk menyukarkan Moh Tayhiap. Selain itu,
aku pun mendengar, mereka sudah mengundang orang-orang pandai dari partai lain untuk
mengacau di harian Kiatyan. Kepergianku kali ini, pertama adalah untuk menyampaikan
warta tentang Pengtjoan Thianlie kepada Moh Tayhiap dan kedua, untuk memberitahukan
hal itu, supaya Moh Tayhiap bisa bersiap-siap. Tapi sedikitpun aku tidak merasa kuatir.
Dengan kepandaiannya yang sedemikian tinggi, Moh Tayhiap tentu akan dapat mengatasi
segala kejadian."
Keng Thian berpikir beberapa saat dan kemudian berkata sembari mesem:
"Bagus!" "Kenapa kau kata bagus?" tanya Tjeng Hong.
"Bukankah kita akan dapat turut menonton keramaian?" kata Keng Thian sembari
mesem.
"Apakah kau juga ingin pergi menyambangi Moh Lootjianpwee?" tanya Tjeng Hong.
"Benar," jawabnya. "Menurut perhitunganku, kita masih mempunyai tempo untuk tiba
pada waktu Kiatyan. Aku pun berharap agar Pengtjoan Thianlie juga berada disitu. Ingin
sekali aku menyaksikan ilmu apa yang dimiliki orang Khongtong pay itu, sehingga ia
berani menyatroni Moh Lootjianpwee."
Mendengar itu, Siauw Tjeng Hong mengetahui, bahwa Keng Thian niat turun tangan
dan hatinya menjadi girang sekali. "Sebagai orang yang tingkatannya tinggi, Moh
Lootjianpwee tak pantas turun tangan sendiri," katanya didalam hati. "Tong Keng Thian
dan Pengtjoan Thianlie, mempunyai kepandaian tinggi, tapi tingkatannya rendah. Sungguh
bagus, jika mereka berdua bisa berada bersama-sama."
"Kalau begitu, biarlah kita menunggu sampai fajar untuk segera berangkat," kata Tjeng
Hong. Kang Lam yang sedari tadi sudah merasa sangat tidak sabar, lantas saja
menyeletuk, begitu
lekas mereka berhenti berbicara. "Eh, aku bagaimana? tanyanya.
"Kau, kau apa?" kata Keng Thian. "Kau sudah mempunyai guru yang baik, apakah kau
juga ingin mengikut?"
"Kau toh sahabat Kongtjoe-ku bukan?" Kang Lam berseru. "Apakah kau tak tahu, aku
diperintah membawa surat? Bagaimana kau bisa tidak mengajak aku?”
Keng Thian tertawa. "Eh," katanya. "Aku mau menanya: Apakah Kongtjoe-mu baik?"
"Bagaimana tak baik?" sahutnya. "Sehari makan tiga kali!"
"Gila kau!' bentak Keng Thian. "Aku mau menanya: Bagaimana dengan puteri
Touwsoe?"
"Apa lagi?" jawab Kang Lam sembari nyengir. "Setiap hari berhias, seperti sundal saja!
Dari pagi sampai malam, kerjanya memburu. Saban hari lewat di depan kantoran. Karena
takut kesomplok, siang hari malam, Siauwya selalu bersembunyi di dalam, sejenak pun
tak berani keluar. Agaknya Siauwya takut digigit!" Sehabis berkata begitu, ia tertawa
terbahak-bahak, sehingga semua orang jadi turut tertawa.
"Kalau begitu, pernikahan mereka sudah tetap, bukan?" tanya Keng Thian.
"Tidak, tidak! Kongtjoe menolak keras," jawabnya. "Tapi... tapi sekarang sudah ada
ketetapannya... antara Touwsoe dan Looya. Si Touwsoe yang mendesak terus, supaya
Looya meluluskannya. Lain tahun musim semi, jika kuil Lhama yang sedang dibuat sudah
rampung, aku mendengar, bakal datang seorang Budha Hidup dari Agama Topi Putih
untuk meresmikan pembukaan kuil tersebut. Pada waktu itu, Touwsoe ingin minta bantuan
Budha Hidup untuk menikahkan mereka. Hm! Kongtjoe tentu tak bisa berkelit lagi."
Hati Keng Thian berdebar-debar. "Thian Oe tak dapat melupakan Chena, tapi ia tentu
tak tahu, nona itu sekarang sudah menjadi Wanita Suci," pikirnya. "Lain tahun di musim
semi, ia akan mengikut raja agama Sekte Topi Putih datang di Lhasa untuk meresmikan
pembukaan kuil."
Ketika itu fajar sudah menyingsing dan sinar matahari pagi sudah menembus ke dalam
hutan batu itu.
"Apakah sekarang kita sudah boleh berangkat?" tanya Tjeng Hong.
"Eh, ajak aku!" kata Kang Lam.
"Baiklah," sahut Keng Thian. "Sebelum berangkat, aku minta kau mengajak kami pergi
menemui gurumu untuk berpamitan."
"Perlu apa berpamitan?" kata Kang Lam. "Jika pamitan, dia tentu menghalangi."
Mendadak saja, dari jauh terdengar suara seorang tua: "Orang berilmu dari manakah
yang sudah penuju dengan muridku yang tolol itu?" Suara itu tidak keras tapi "tajam" dan
mengeluarkan suara "ung-ung", di waktu gelombangnya membentur hutan batu.
Dengan hati mencelos, Kang Lam buru-buru bersembunyi di belakang Keng Thian yang
lalu merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Aku yang muda adalah Tong Keng
Thian yang sudah kesalahan masuk ke dalam tempat dewa-dewa ini. Mohon Lootjianpwee
suka memberi maaf." Suara Keng Thian juga tidak besar, tapi nyaring, seolah-olah
tikaman pedang ke dalam hutan batu itu, yang segera berkumandang, setelah dibentur
gelombang suara.
Baru saja ia mengucapkan perkataannya, dengan sekali berkelebat, di hadapan mereka
sudah berdiri seorang Toosoe (imam) yang paras mukanya aneh dan mengenakan jubah
pertapaan warna kuning.
Kang Lam gemetar sekujur badannya, ia mepet di belakang Keng Thian, tanpa berani
menongolkan kepala.
"Selama beberapa puluh tahun, tuan adalah orang satu-satunya yang bisa keluar dari
barisan batu ini," katanya. "Orang yang pandai tidak perlu meminta maaf. Sesudah bisa
keluar dari barisan batu, kau tentu mempunyai kepandaian untuk membawa pergi muridku
yang tolol. Baiklah. Kau boleh membawa dia pergi!"
Keng Thian terkejut. Dari perkataannya, imam itu ingin mengukur kepandaiannya.
Waktu Toosoe itu pertama bicara, karena teraling puncak-puncak, Keng Thian tidak
mengetahui persis dimana ia berada, tapi bisa ditaksir, ia sedikitnya terpisah seratus
tombak. Dan hampir berbareng dengan suaranya, manusianya sudah tiba di hadapannya.
Dari sini, Keng Thian mengetahui, bahwa imam itu mempunyai kepandaian yang sangat
tinggi.
Sebagai penjagaan, ia menarik napas dalam-dalam untuk mengerahkan tenaga
Hiankong dari Thiansan pay. "Jika demikian," katanya sembari membungkuk. "Sesudah
urusanku beres, aku tentu akan datang lagi disini guna menyampaikan hormat." Sembari
menuntun tangan Kang Lam, perlahan-lahan ia berjalan keluar dari hutan batu.
Toosoe itu mencekal Hudtim (kebutan) dalam tangannya. Melihat tetamunya berangkat,
tanpa menggerakkan badannya, ia mengebut dengan Hudtim-nya dan berkata: "Sebelum
mempunyai sayap, bocah nakal itu sudah ingin terbang. Tuan harus menilik ia secara
keras!"
Sebagai seorang yang sudah menyelami ilmu Thiansan pay, Keng Thian mempunyai
perasaan yang luar biasa tajamnya. Kebutan itu, yang sebenarnya sangat perlahan, sudah
dapat didengar olehnya, dan lebih dari itu, tanpa menengok, ia juga mengetahui, bahwa
beberapa helai benang Hudtim sedang menyambar jalan darah Kang Lam dan ia sendiri!
Dengan perkataan lain, si Toosoe dapat menggunakan benang-benang yang begitu halus
seperti semacam jarum untuk menusuk jalan darah musuh. Dapat dibayangkan, bahwa
seorang yang tidak mempunyai "ketajaman" seperti Keng Thian, tidak akan dapat
mengelakkan serangan itu yang tidak ada suaranya dan hampir tak kelihatan bahayanya.
Bagaikan kilat Keng Thian meloncat dan menarik tangan Kang Lam sambil berkata:
"Hati-hati! Ada batu." Dengan demikian, semua benang Hudtim itu menyambar ke
badannya. Akan tetapi, walaupun sudah berjaga-jaga dengan mengerahkan tenaga
Hiankong, tak urung ia merasa kesemutan di beberapa jalan darahnya, seperti digigit
semut. "Tenaga dalam Toosoe itu sungguh hebat," katanya di dalam hati. "Meskipun
belum bisa menandingi Hoeihoa tjekyap (Bunga terbang memetik daun) Ie-ie-ku, ilmunya
masih lebih tinggi daripada aku."
"Mana ada batu?" tanya Kang Lam yang tidak mengetahui, bahwa tanpa pertolongan
Keng Thian, kedua dengkulnya tidak akan dapat digunakan lagi.
"Kang Lam," kata Keng Thian. "Haturkan terima kasih kepada gurumu!" Ia mengetahui,
bahwa sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, si Toosoe pasti tidak akan menyerang
dua kali kepada bocah yang menjadi muridnya sendiri.
Kang Lam adalah seorang yang sangat cerdas otaknya Meski tidak mengerti
maksudnya, lantas saja ia menyoja dan berkata: "Terima kasih atas budi Soehoe yang
sudah melepaskan murid."
Keng Thian segera menggerakkan tangannya supaya Kang Lam berjalan lebih dulu.
Muka imam itu menjadi merah padam. "Mulai dari sekarang, antara kau dan aku sudah
tidak ada hubungan guru dan murid lagi," katanya dengan suara dingin. Suara itu
menusuk kuping sehingga si bocah merasakan kepalanya puyeng dan hampir-hampir ia
jatuh terguling. Buru-buru ia menutup kedua kupingnya dan mementang langkah lebar-
lebar. Di lain saat, ia merasakan badannya panas, tapi ia tidak menggubris itu dan terus
berjalan secepat mungkin.
Selagi Keng Thian mau berpamitan, imam itu mengawasi ia dengan sorot mata tajam
dan menanya dengan suara yang sangat tidak enak kedengarannya: "Bagus! Liehay
sungguh kepandaianmu! Siapa gurumu? Bilanglah, supaya aku dapat meminta
pengajarannya."
Keng Thian mesem. "Tempat tinggal Boanpwee jauh dari sini," jawabnya. "Mana berani
aku membikin Tjianpwee bercapai lelah."
Kata-kata Keng Thian yang manis itu sebenarnya mengandung duri di dalamnya.
Dengan perkataannya itu, ia seperti ingin menyatakan, bahwa gurunya sebenarnya dapat
melayani permintaan si Toosoe, hanya ia tidak berani membikin si imam menjadi capai.
Keng Thian yang biasanya suka merendah sudah terpaksa menggunakan kata-kata yang
menusuk itu, oleh karena ia mendongkol mendengar betapa temberangnya imam
tersebut. Harus diketahui, bahwa ayah Keng Thian adalah pemimpin suatu partai besar
yang kedudukannya sangat tinggi, sehingga ia boleh tak usah bicara sungkan-sungkan
untuk ayahnya itu.
Toosoe jubah kuning itu lantas saja mendelik. "Sebetulnya aku tak ingin keluar dari
hutan ini," katanya dengan suara tawar. "Tapi sesudah mendengar perkataanmu, tak
dapat tidak aku mesti mencari gurumu. Siapa gurumu?"
Keng Thian terus mesem. Selagi mau menjawab, dalam hutan batu itu tiba-tiba
terdengar suara tertawa yang menyeramkan. Di lain saat, seorang manusia muncul dari
salah sebuah gua batu. "Hongsek Tooyu," katanya sembari menyeringai. "Matamu lamur.
Apakah kau tidak mengenali ilmu silat dari Thiansan pay? Coba pikir: Di antara orang-
orang tingkatan sebelah bawah, selain putera tunggal Tong Siauw Lan, siapa lagi yang
berani berlaku begitu kurang ajar di hadapanmu? Sudah lama aku mengatakan, bahwa
Thiansan pay sangat sombong dan memandang lain cabang persilatan seperti juga partai
yang menyeleweng. Apakah sekarang kau percaya perkataanku itu?"
Keng Thian menengok. Orang itu hitam kurus, mukanya melesek ke dalam, kedua
matanya bagaikan bara, rambutnya awut-awutan, sedang romannya menakutkan sekali
dan dia bukan lain daripada Hiatsintjoe.
Kang Lam mengeluarkan teriakan tertahan, hatinya heran bukan main. Terang-terangan
ia mengetahui, bahwa di dalam gua hanya terdapat gurunya seorang diri. Dari mana
datangnya manusia aneh itu? Apakah ada jalan rahasia di dalam hutan batu itu?
Keng Thian juga tidak kurang terkejutnya. Dengan kedatangan Hiatsintjoe, tak
gampang-gampang ia akan dapat meloloskan diri.
Imam itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba paras mukanya berubah dan
sambil mengebut dengan Hudtim-nya, ia berkata: Sebenarnya aku tidak berniat
menyusahkan orang yang tingkatannya di sebelah bawah. Akan tetapi, oleh karena orang
itu adalah anak Tong Siauw Lan, jika aku melepaskan ia, orang lain akan menduga aku
takut kepada suami isteri Tong Siauw Lan."
Biarpun berada dalam bahaya, Keng Thian tetap berlaku tenang. Ia mesem seraya
berkata: "Jika kedua Lootjianpwee ingin menahan aku, aku tentu tak akan bisa lari. Maka
itu, aku bersedia untuk menerima segala keputusan kalian."
Dengan berkata begitu, ia seperti mau mengatakan, bahwa dalam kedudukannya
sebagai Houpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah), ia bersedia untuk melayani dua
orang yang kedudukannya lebih tinggi itu.
"Hm!" si Toosoe mengeluarkan suara di hidung. "Untuk menahan kau, aku tak perlu
mendapat bantuan orang. Hiatsintjoe! Biarlah kau menjadi saksi. Jika bocah itu dapat
menyambut seranganku dalam tujuh jurus, aku akan membiarkan mereka pergi. Bocah,
sungguh sombong kau! Sampai kapan baru kau mau menghunus senjata?"
Putera Tong Siauw Lan ini lantas saja tertawa besar. "Jika kau ingin memberi pelajaran,
tak usah dibatasi dalam tujuh jurus," katanya "Aku berdiri disini, tak bisa melarikan diri.
Lootjianpwee! Kenapa kau tidak lantas menyerang? Mau tunggu sampai kapan?"
Diejek begitu, Hongsek Toodjin jadi marah besar. "Baiklah," katanya."Kau tidak mau
mengeluarkan senjata, itu tandanya kau sendiri yang mencari mampus!" Berbareng
dengan perkataannya, badannya melesat setombak lebih dan tangannya mengebut
dengan Hudtim-nya.
Kebutan itu, yang kelihatannya biasa saja, sebenarnya berisikan dua macam serangan
dahsyat. Dalam serangan pertama, benang-benang Hudtim berkumpul menjadi satu,
dalam bentuk pit (alat tulis Tionghoa) dan menghantam musuh dengan tenaga Yangkong
(tenaga "keras"). Jika serangan ini tidak dapat merobohkan musuh, benang-benang itu
lantas terbuka dan menusuk jalan darah musuh dengan tenaga Imdjioe (tenaga "lembek").
Kedua serangan itu hebat luar biasa dan tak akan dapat ditangkis oleh ahli silat yang
tanggung-tanggung. Tapi, dalam menghadapi serangan sehebat itu, Keng Thian sama
sekali tidak bergerak.
"Apakah benar-benar kau mau mampus?" Hongsek Toodjin membentak. Ketika itu,
benang-benang Hudtim sudah terbuka dan tengah menyambar muka Keng Thian. Pada
detik itu, si Toosoe berpikir: "Bukankah aku akan jadi buah tertawaan, jika aku
membinasakan bocah yang tidak bersenjata? Selain itu, untung apa aku menanam
permusuhan begitu hebat dengan Tong Siauw Lan?'
Memikir begitu, tenaganya yang memang belum digunakan seanteronya, jadi semakin
berkurang. Tapi, biarpun begitu, jika kena dikebut, Keng Thian pasti akan bercacat seumur
hidupnya, meski tidak mati seketika.
Bagaikan kilat, ribuan benang itu menyambar. Pada saat yang sangat berbahaya, tiba-
tiba Keng Thian membuka mulutnya dan meniup sekeras-kerasnya, sehingga benang-
benang itu tersapu buyar. Tenaga dalam Hongsek Toodjin banyak lebih tinggi daripada
Keng Thian, tapi dalam serangannya itu, ia hanya menggunakan separoh tenaganya. Di
lain pihak, Keng Thian sendiri telah menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat dari
Thiansan pay dan meniup sekeras-kerasnya, sehingga serangan itu menjadi gagal.
Hongsek Toodjin terkejut. Dengan sekali membalik tangan, ia membuat ribuan benang
itu serentak berdiri dan seperti jarum-jarum tajam, menyambar ke arah tenggorokan dan
mata Keng Thian.
Sebagaimana diketahui, Siauw Tjeng Hong pun bersenjata Hudtim Tapi melihat
liehaynya imam itu dalam menggunakan senjata tersebut, ia jadi terpaku bahna
kagumnya.
Hampir pada detik yang sama, sekonyong-konyong berkelebat sinar terang dan dingin,
dibarengi teriakan Keng Thian: "Bagus! Sambutlah pedangku!'
Yoeliong kiam adalah senjata mustika dari Thiansan pay dan tajamnya luar biasa.
Hongsek Toodjin sama sekali tidak menduga pemuda itu dapat menghunus pedang
dengan begitu cepat dan oleh karena merasa jeri akan tajamnya senjata itu, buru-buru ia
menarik pulang tenaga Yangkong dan memutar Hudtim-nya untuk menghindari sabetan
Yoeliong kiam.
Keng Thian membabat dengan Toeihong Kiamhoat (Ilmu pedang memburu angin) yang
saling susul. Belum habis serangan yang pertama, serangan kedua sudah menyusul.
Begitulah selagi Hongsek Toodjin memikir untuk balas menyerang, serangan Keng Thian
yang kedua sudah menyambar.
"Bagus!" seru si imam sembari menggeser kakinya dan mengebut dengan
menggunakan
tenaga Imdjioe, untuk memunahkan sabetan Yoeliong kiam. Ketika itu. Hongsek sudah
melakukan tii'.a serangan.
Tapi biar bagaimana juga Hongsek Toodjin benar-benar berkepandaian tinggi. Barusan,
setelah didesak dengan dua serangan Toeihong Kiamhoat, ia agak terdesak dan harus
membela diri. Mendadak, demi sekali mengebas dengan Hudtim-nya, ia berhasil
mengunci gerakan pedang Keng Thian. Benang-benang Hudtim menyambar-nyambar dari
segala jurusan dan jika Keng Thian terus menggunakan Toeihong Kiamhoat, punggungnya
tentu akan segera kena ditusuk.
Selagi Hongsek bergembira, sekonyong-konyong sinar pedang merupakan suatu tirai
bundar yang menyelubungi seluruh badan Keng Thian. Itulah ilmu pedang Thaysiebie dari
Thiansan Kiamhoat yang hanya digunakan jika bertemu dengan musuh yang lebih
tangguh. Tubuh pemuda itu seolah-olah dikitari tembok tembaga yang tak dapat ditembus
dengan apapun juga.
Hongsek terkesiap. Sedikitpun ia tak menduga, bahwa "si bocah" akan dapat merubah
gerakannya sedemikian cepat, dari menyerang jadi membela diri. Demikianlah, serangan
si imam itu menjadi gagal.
Kang Lam menongolkan kepalanya dari lubang gua dan berseru: "Bagus! Hanya
ketinggalan tiga jurus lagi!"
Bukan main gusarnya Hongsek Toodjin. Sembari mengempos semangat, ia menyapu
dengan senjatanya. Sungguh hebat serangan itu, sebab dengan sekali menyapu, senjata
si imam menyambar dua belas jalan darah Tong Keng Thian, di sebelah atas badannya.
Keng Thian terkejut. Hongsek mengetahui, bahwa pembelaan Thaysiebie Kiamhoat
sangat rapat, tapi kenapa ia menyerang juga? Dengan penuh keheranan, ia terus
memutar pedangnya. Di lain saat, beberapa puluh benang Hudtim sudah kena terbabat
putus dan sesudah tersabet lagi beberapa kali, benang-benang itu menjadi potongan-
potongan yang sangat halus. Sekonyong-konyong Hongsek meniup sekeras-kerasnya dan
hancuran benang itu menyambar masuk ke dalam sinar pedang!
Biar bagaimana pun rapatnya pembelaan, Thaysiebie Kiamhoat tak akan dapat
menahan masuknya hancuran benang itu. Hati Keng Thian mencelos. Ia mengetahui,
bahwa jika hancuran benang itu masuk ke dalam mulut, mata atau kupingnya, biar
mempunyai kepandaian sepuluh kali lipat lebih tinggi, ia toh akan roboh. Dalam keadaan
terdesak, ia meloncat tinggi ke atas, memutarkan badannya dan berbareng mengebas
dengan tangan bajunya untuk menyapu hancuran benang itu. Ia berhasil, tapi karena
gerakannya itu, pembelaan Thaysiebie Kiamhoat lantas saja berantakan.
"Kena!" teriak Hongsek Toodjin sembari menyodok dengan gagang Hudtim-nya dan
"brt!" baju Keng Thian, di sebelah bawah pundaknya, berlubang!
Harus diketahui, bahwa ilmu silat Hudtim dari Hongsek Toodjin terdiri dari tujuh rupa
pukulan. Akan tetapi, dalam tujuh pukulan itu terdapat pula banyak perubahan-
perubahannya. Maka itu, dengan "membatasi tujuh jurus", si imam sebenarnya sudah
bersiap untuk mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Sesudah mengeluarkan empat pukulan tanpa berhasil, si imam menjadi agak bingung
dan oleh karena itu, ia rela mengorbankan sebagian benang Hudtim-nya untuk
merobohkan musuh dengan serangan kelima dan keenam, yaitu suatu serangan untuk
memecahkan Thaysiebie Kiamhoat dan serangan yang lain untuk menotok bagian badan
Keng Thian yang tidak berbahaya dengan gagang Hudtim, yang digunakan sebagai
Poankoan pit.
Hudtim Hongsek adalah senjata istimewa. Gagangnya yang dibuat dari campuran baja
murni dan emas, berujung lancip tajam, sehingga dapat digunakan untuk menikam jalan
darah dan memecahkan Lweekeeh Khiekang (ilmu dalam) dari musuhnya. Barusan,
dengan menyodok jalan darah Iekie hiat, di bawah pundak Keng Thian, Hongsek
menduga pemuda itu akan lantas menjadi roboh. Tak dinyana, begitu mengenakan
sasarannya, gagang Hudtim seperti kebentur dengan semacam tameng dan terpental
kembali. Di saat itu juga, Keng Thian memutarkan tubuhnya dan berkata sembari tertawa:
"Hanya tinggal satu jurus lagi!”
Hongsek Toodjin jadi seperti orang terkesima. Sodokannya itu, yang berhasil merobek
baju Keng Thian, menyambar tepat pada sasarannya dan menurut perhitungan, walaupun
pemuda itu mempunyai ilmu Kimtjiongto atau Tiatposan (ilmu weduk), ia tak akan dapat
menyelamatkan diri.
Apakah pemuda itu, yang usianya masih begitu muda, sudah mempunyai badan seperti
dewa yang tak dapat dilukakan dengan senjata? Benar-benar ia sukar percaya!
Si imam tentu saja tidak mengetahui, bahwa sebab dari itu semua adalah karena Keng
Thian memakai Kimsie Djoanka, semacam baju mustika peninggalan Po Tjeng Tjoe, yang
pada empat puluh tahun lebih berselang, telah diberikan kepada ibunya oleh Tjiong Ban
Tong, pemimpin partai Boekek pay.
Hiatsintjoe dan suami isteri Siauw Tjeng Hong, yang menyaksikan bagaimana Keng
Thian dapat menyelamatkan diri dari bahaya besar, dengan berbareng mengeluarkan
seruan tertahan. Siauw Tjeng Hong kaget lebih dulu, belakangan girang, Hiatsintjoe
bergirang lebih dulu, belakangan kaget. Selagi Siauw Tjeng Hong menyusut keringatnya,
tiba-tiba Hongsek membentak keras, badannya melesat ke tengah udara dan selagi
melayang turun, ia menghantam dengan senjatanya!
Dalam serangan yang terakhir itu, si imam menggunakan Hudtim dan tangannya
dengan berbareng, Hudtim menghantam jalan darah, telapak tangannya memukul dada
Keng Thian. Belum sempat Keng Thian mengeluarkan Thaysiebie Kiamhoat, serangan
musuh sudah tiba dan tak dapat diegos lagi. Kimsie Djoanka yang hanya melindungi
bagian atas tubuh, tidak bisa menahan tenaga pukulan itu yang dikirim dengan seluruh
tenaga si imam. Melihat bahaya, dalam keadaan kepepet, Keng Thian mengambil suatu
keputusan nekat. Ia memutarkan badan untuk menyambut pukulan itu dengan
punggungnya.
Pada detik itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan Hiatsintjoe. Siauw Tjeng Hong jadi
terkesima. Dalam menyambut pukulan Hongsek dengan seluruh tenaganya, belum tentu
Keng Thian bisa berhasil. Siapa yang tidak kaget melihat serangan Hiatsintjoe pada saat
yang berbahaya itu?
Dan pada detik, sedang jiwa Keng Thian tergantung atas selembar rambut, mendadak
terdengar teriakan Hiatsintjoe. Berbareng dengan itu, Hongsek bergidik dan tenaga
pukulannya lantas saja berkurang banyak. Sungguh gesit gerakan Tong Keng Thian!
Hampir berbareng dengan itu, badannya sudah melesat menyingkir, pedangnya
menyambar dan pada detik itu juga, lengan jubah Hongsek berlubang!
"Bocah dari mana berani kirim serangan gelap?" membentak si imam.
Sekonyong -konyong dari atas batu-batu terdengar suara tertawa yang aneh. "Tua
bangka, apakah kamu tidak malu?" kata orang itu. "Dua tua bangka mengerubuti satu
bocah! Ha-ha-ha!'
Keng Thian mendongak, mengawasi. Di atas sebuah batu kelihatan bersila seorang
pemuda yang bukan lain daripada Kim Sie Ie dan tak jauh dari situ, terdapat Pengtjoan
Thianlie bersama dayangnya. Agaknya selagi pertempuran berjalan hebat-hebatnya,
sedang perhatian semua orang ditujukan ke arah pertempuran itu, mereka bertiga sudah
datang dengan diam-diam. Teriakan Hiatsintjoe dan bergidiknya Hongsek Toodjin
disebabkan oleh senjata rahasia Koei Peng Go dan si penderita kusta.
Si imam merasakan dadanya mau meledak. Dengan sekali menjejek kaki, ia meloncat
ke atas untuk mencengkeram Kim Sie Ie.
"Satu bocah saja kau masih belum dapat menjatuhkan," kata si pengemis sembari
menyengir. "Guna apa aku meladeni kau?" Ia meloncat bangun dan bagaikan seekor kera,
ia memanjat puncak batu dan dalam sekejap, ia sudah berada di garisan luar.
Selagi si imam mau mengubar, sekonyong-konyong terdengar teriakan kesakitan dari
Hiatsintjoe. Ia menengok dan melihat muka kawannya bersemu hitam, sebagai tanda
sudah terkena senjata beracun.
Oleh karena merasa, bahwa seorang diri belum tentu ia dapat melayani beberapa
lawannya, lantas saja ia mengurungkan niatannya untuk mengubar Kim Sie Ie dan
kembali untuk menolong Hiatsintjoe.
"Tujuh jurus sudah lewat, sekarang aku berangkat," kata Keng Thian. "Hm!" gerendeng
si imam yang sedang berjongkok untuk memeriksa luka Hiatsintjoe. Sesudah
mengucapkan beberapa perkataan merendah seperti lazimnya dalam dunia Kangouw,
dengan terburu-buru Keng Thian lari keluar hutan batu itu dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan.
Mengubar belum berapa lama, ia melihat Peng Go bersama dayangnya berjalan di
sebelah depan, sedang Kim Sie Ie mengikuti dari belakang.
"Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!" teriak Keng Thian.
Si nona menengok dan mengawasi dengan sorot mata gusar dan sedih.
"Peng Go Tjietjie!" Keng Thian berseru pula. "Berhentilah sebentar! Dengarkanlah dulu
beberapa perkataanku."
Pentjoan Thianlie tidak meladeni. Sebaliknya dari menghentikan tindakannya, sembari
menuntun tangan Yoe Peng, ia berlari semakin keras.
"Peng Go Tjietjie!" teriak Keng Thian pula dengan suara menyayatkan hati. "Berhenti
dulu! Dengar dulu perkataanku!'
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Ia berhenti berlari, membalikan badannya dan
menghadang di tengah jalan. Begitu Keng Thian datang dekat, ia menyembur dengan
ludahnya. "Siapa kesudian mendengarkan segala ocehanmu!” ia membentak.
Keng Thian naik darah. "Minggir!" ia membentak.
Kim Sie Ie tertawa besar. Sambil mementang kedua tangannya, ia berteriak: "Tak tahu
malu! Mengudak-udak gadis orang!'
Keng Thian tak dapat menahan sabar lagi. Sekali ia mengayun tangan, sebatang
Thiansan Sinbong menyambar Kim Sie Ie.
Di waktu pertama kali bergebrak, si pengemis sudah mengenal liehaynya Sinbong.
Sesudah mengerahkan tenaga Hiankong tujuh hari lamanya, baru ia dapat
menyembuhkan luka akibat serangan senjata rahasia itu. Karena itu, sekali ini ia
berwaspada. Begitu melihat sambaran Sinbong, ia menjungkir balik, badannya melesat
tiga tombak lebih dan berbareng, menyampok dengan tongkatnya. "Tring!', lelatu api
melentik dan senjata rahasia itu kena tersampok jatuh. Dengan sekali berjungkir balik lagi,
Kim Sie Ie sudah menghadang pula di tengah jalan. "Si nona sudah lari jauh sekali,"
katanya, mengejek.
Keng Thian bingung. Thiansan Sinbong hanya dapat mendesak dia untuk sementara
waktu. Dengan hati mendongkol, tanpa berkata suatu apa lagi, ia melompat dan
membabat dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie tak berani berlaku ayal. Ia menghunus
pedang besinya dan menangkis. "Trang!", dua pedang itu kebentrok dan kedua belah
pihak, yang tenaga dalamnya kira-kira setanding, mundur terhuyung beberapa tindak.
Keng Thian tak mengasih hati lagi kepada lawannya. Begitu bergebrak, ia segera
menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, yang saling susul bagaikan gelombang. Baru
bertempur beberapa saat, Keng Thian sudah dapat melihat suatu kekosongan dalam
pembelaan musuh. Yoeliong kiam yang tengah menyambar dari kiri ke kanan, mendadak
bergerak dalam suatu lingkaran dan mengurung pedang Kim Sie Ie. Sekali dibalik lagi,
ujung pedang itu menggetar dan menyambar sembilan jalan darah Kim Sie Ie dengan
berbareng.
"Hebat!" teriak si pengemis. "Bocah! Gara-gara si nona manis, kau lupa, bahwa
barusan aku sudah menolong jiwamu!"
Ia menjejek kakinya dan badannya melesat keluar gelanggang.
Keng Thian bergoncang hatinya. "Tadi, waktu Hongsek Toodjin mengirim serangan
terakhir, aku tentu sudah akan kena dipukul jika dia dan Peng Go tidak menolong dengan
senjata rahasia," pikirnya. "Biarpun aku mempunyai
Djoanka dan jika terluka, masih mempunyai Thiansan Soatlian untuk mengobatinya,
tapi budi mereka tak dapat diabaikan begitu saja." Memikir begitu, lantas saja ia menarik
pulang Yoeliong kiam dan membentak: "Baiklah! Belum lama berselang, tanpa sebab kau
sudah melukakan aku, sehingga hampir-hampir aku terbinasa. Hari ini, mengingat
pertolonganmu, sakit hatiku sudah dibayar impas olehmu. Sekarang, kau minggirlah! Di
kemudian hari, kita masih bisa bersahabat."
Kim Sie Ie mengawasi dan sesudah mengeluarkan tertawa aneh, ia berkata: "Siapa
kesudian menjadi sahabatmu? Bocah tak kenal malu! Sedikitpun kau tidak mengenal adat
istiadat dalam kalangan Kangouw."
"Apa?" menegas Keng Thian. "Aku tak mengenal adat istiadat dalam kalangan
Kangouw? Siapakah yang kau maki? Cacian itu sungguh tepat untuk ditujukan kepada
alamatmu!"
"Aku memaki kau!" bentak Kim Sie Ie. "Jika tidak dijelaskan, kau tentu masih
penasaran. Aku mau menanya: Menurut adat istiadat kalangan Kangouw, bukankah ada
nasi sama-sama makan, ada pakaian sama-sama memakai dan sudah punya tak boleh
merampas milik orang? Bukankah begitu?"
"Benar," jawab Keng Thian.
"Orang-orang dari jalanan hitam sangat memperhatikan kebiasaan itu."
"Bagus!" kata si pengemis. "Kau sudah mempunyai nona dari keluarga Tjee itu, tapi
kenapa masih juga ingin mengudak-udak nona Koei? Ha! Tak sudi aku menjadi
sahabatmu! Aku sudah menganggap nona Koei sebagai sahabatku. Kau sendiri sudah
punya satu, tapi masih mengubar-ubar sahabat orang lain. Bukankah perbuatan itu
perbuatan tak mengenal adat istiadat Kangouw?"
Tong Keng Thian adalah seorang pemuda dari keluarga baik-baik yang telah mendapat
pendidikan yang baik pula. Seujung rambut pun, ia tidak menduga bahwa ia akan
mendengar perkataan itu.
Ia kemekmek, untuk sementara ia tak dapat menjawab.
Si pengemis lantas saja mengeluarkan tertawanya yang menyeramkan dan
berkata pula:
"Benar atau tidak perkataanku? Apakah kau sudah merasa bersalah?"
"Jangan ngaco!" Keng Thian membentak dengan gusar sekali. "Jika kau bicara lagi
yang tidak-tidak, tanpa sungkan-sungkan aku akan mengutungkan kepalamu!"
"Apakah kau mampu?" tanya si pengemis dengan suara mengejek.
Keng Thian jadi gelap mata.
Bagaikan kilat, ia menyabet dengan Yoeliong kiam-nya. Kim Sie Ie melayani dengan
saban saban menengok ke belakang. Agaknya ia ingin menunggu sampai Pengtjoan
Thianlie sudah pergi cukup jauh, baru ia ingin menghentikan pertempuran itu. Keng Thian
gusar dan bingung. Ia menyerang secara hebat, tapi karena kepandaian mereka kira-kira
berimbang, maka sedikitnya untuk sementara, ia tak dapat meloloskan diri.
Sekarang Keng Thian menumplek semua kemendongkolannya di atas kepala Kim Sie
Ie. "Hra!" katanya di dalam hati. "Kalau begitu, dia yang menjadi setan." Dengan gergetan,
lantas saja ia menyerang dengan pukulan-pukulan Thiansan Kiamhoat yang paling liehay.
Kim Sie Ie memutarkan pedangnya bagaikan titiran dan menutup rapat-rapat dirinya
dengan sinar pedang, sehingga sesudah lewat seratus jurus lebih, belum juga ada yang
keteter.
Sementara itu, suami isteri Siauw Tjeng Hong dan Kang Lam sudah menyusul. Mereka
terkejut melihat pertempuran yang lebih hebat daripada pertarungan antara Keng Thian
dan Hongsek Toodjin.
Tiba-tiba sembari membentak keras, Keng Thian mengirimkan tiga serangan dengan
berbareng.
Tangan kirinya mengait tongkat Kim Sie Ie, kaki kanannya menendang, sedang
Yoeliong kiam menikam ke arah jantung. Menurut perhitungannya, dengan tiga serangan
hebat itu, walaupun tidak menjadi mati, si pengemis pasti akan terluka berat.
Pada detik itu, berbareng dengan terdengarnya tertawa aneh, Kim Sie Ie berjungkir
balik dan menyemburkan ludah lendirnya. "Untuk seorang wanita, kau mati-matian!" ia
memaki. "Apakah ada harganya? Bocah! Aku sungguh kasihan kepadamu. Baiklah,
kakekmu mengijinkan kau lewat."
Berhubung dengan berjungkir baliknya, Kim Sie Ie berhasil mengelakkan bahaya.
Yoeliong kiam menikam tempat kosong, tapi kaki kanan Keng Thian berhasil menendang
tongkat si pengemis yang lantas saja terbang ke tengah udara. Pada saat yang sangat
berbahaya itu, dengan meminjam tenaga terpentalnya tongkat itu, badan Kim Sie Ie turut
melesat ke udara dan menangkap tongkatnya yang sedang melayang turun. Ia hinggap di
tempat yang jauhnya kurang lebih enam tombak dan begitu kedua kakinya menginjak
bumi, ia mabur ke arah hutan, sembari menengok dan tertawa kepada Keng Thian.
Dengan gergetan, Keng Thian mengeluarkan sebatang Thiansan Sinbong, tapi sebelum
ia sempat menimpuk, Kim Sie Ie sudah meloncat ke sebuah pohon besar dan naik ke atas
bagaikan seekor kera dan di lain saat, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Seperti kesima, putera Tong Siauw Lan ini berdiri terpaku. Melihat tertawanya Kim Sie
Ie di waktu ia ini barusan menengok, hati Keng Thian jadi berdebar keras. Ia ingat, bahwa
di waktu pertama kali bertemu, orang itu adalah seorang pengemis kotor yang muka dan
badannya penuh dengan bisul-bisul penyakit kusta. Tapi sekarang, perbedaan bagaikan
langit dan bumi.
"Kalau begitu, ia juga adalah seorang pemuda tampan," katanya didalam hati. "Untuk
apa dia terus mengikuti Peng Go?"
Sebegitu jauh ia selalu menganggap, bahwa di dalam dunia ini, ia adalah satu-satunya
orang yang pantas menjadi pasangan Pengtjoan Thianlie.
Sekarang, mau tak mau, di dalam hati kecil ia terpaksa mengakui, bahwa pemuda itu
yang berlagak sebagai penderita kusta, merupakan saingan berat baginya. Di samping itu,
ia ingat juga bagaimana Kim Sie Ie sudah meloloskan diri dari dua serangannya yang
sangat hebat. Dengan pengetahuannya yang sangat luas mengenai berbagai cabang
persilatan, ia masih belum mengetahui, ilmu silat cabang mana yang dimiliki si pengemis.
Ia mengakui, bahwa Kim Sie Ie adalah seorang yang jarang ada tandingannya dalam
Rimba Persilatan, tapi kenapa tingkah lakunya begitu luar biasa?
Sementara itu, sesudah napasnya yang tersengal-sengal menjadi reda. Kang Lam
lantas saja berkata: "Sungguh berbahaya! Eh, Tong Siangkong, siapa pemuda itu? Tadi
dia membantu kau dengan senjata rahasia, tapi kenapa belakangan menghalang-halangi
kau mengubar nona itu?”
Keng Thian yang sedang kalut pikirannya tak menjawab pertanyaan kacung itu.
"Sungguh cantik wanita itu," Kang Lam mengoceh lagi. "Aku tahu, Kongtjoe-ku suka
kepada seorang gadis Tsang yang sangat aneh. Aku pernah melihat wajah gadis itu.
Waktu itu, aku menganggap dalam dunia tidak ada orang yang lebih cantik lagi. Ha!
Sekarang, sesudah melihat yang barusan, baru aku tahu, di luar langit masih ada langit, di
atas manusia masih ada manusia. Tong Siangkong, apakah dia kau punya?"
"Apa?" Keng Thian menegas, seperti baru mendusin dari tidurnya.
"Kau mirip sekali dengan Kongtjoe-ku," jawabnya. "Begitu melihat wanita cantik, lantas
kehilangan semangat. Aku tak mempersalahkan kau. Tapi mereka datang bersama-sama.
Jika kau memang sudah jatuh hati, sepantasnya kau harus minta lelaki itu
memperkenalkan kau kepadanya. Mungkin mereka bersaudara. Itu masih tidak apa. Jika
mereka suami isteri, apakah mengherankan kalau lelaki itu lantas menghantam kau?"
Keng Thian tak tahu, apa ia mesti menangis atau tertawa. Sesudah mengalami
berbagai kesukaran, ia naik ke keraton es dan membujuk si nona supaya turun gunung. Ia
berhasil dalam usahanya itu, tapi siapa nyana, buntutnya menjadi begini sehingga sampai
Kang Lam juga menganggap si nona adalah seorang asing baginya.
"Kang Lam, jangan rewel!" bentak Siauw Tjeng Hong. Kang Lam tidak berani membuka
suara lagi dan mereka lalu meneruskan perjalanan.
"Tong Siangkong," kata Siauw Tjeng Hong dengan suara perlahan. "Jangan kau terlalu
jengkel. Sekarang kita tak dapat menyandak ia, tapi setibanya di tempat Moh
Lootjianpwee, kita tentu akan bertemu pula."
Keng Thian lantas saja sadar. "Benar aku goblok," katanya di dalam hati. "Sesudah
sampai disini, ia tentu akan menyambangi pamannya." Akan tetapi, begitu mengingat
masih setengah bulan sebelum mereka dapat bertemu lagi dan selama setengah bulan
itu, Peng Go akan selalu berada bersama-sama dengan "si pengemis kusta," hati Keng
Thian lantas saja menjadi pedih.
Tapi sebenarnya, pemuda itu sudah menduga salah. Pengtjoan Thianlie tidak berjalan
bersama-sama dengan Kim Sie Ie, tapi Kim Sie Ie-Iah yang selalu mengikuti dari
belakang. Ia tidak berani terlalu mendesak, oleh karena mengetahui bahwa si nona tidak
begitu menyukai dirinya. Sebenarnya Pengtjoan Thianlie telah tiba lebih dulu di hutan
batu, sedang Kim Sie Ie menyusul kemudian. Melihat si nona melepaskan Pengpok
Sintan, ia mengetahui, bahwa Peng Go masih belum dapat melupakan Keng Thian,
sehinga ia jadi merasa jengkel. Akan tetapi, untuk menyenangkan hati Pengtjoan Thianlie,
ia pun segera melepaskan senjata rahasianya.
Dengan pikiran tertindih, Keng Thian meneruskan perjalanannya, sedang Siauw Tjeng
Hong, yang mengetahui persoalan si pemuda, juga kesal hatinya.
Selagi mereka berjalan dengan masing-masing tenggelam dalam alam pikiran sendiri,
Kang Lam mendadak berteriak: "Aduh!"
"Kenapa?" tanya Tjeng Hong sembari menengok ke belakang.
Bocah itu berjongkok sembari memegang perutnya. "Perutku sakit," jawabnya.
"Tadi masih baik-baik, kenapa mendadak sakit?" tanya Tjeng Hong yang lantas saja
memegang nadi Kang Lam, tapi ia tidak mendapatkan tanda-tanda penyakit.
"Setan kecil!"ia mengomel. "Kau selalu main gila! Siapa mempunyai tempo untuk
melayani kegila-gilaanmu? Kita mempunyai urusan penting dan perlu berjalan buru-buru."
"Siapa yang main gila?" teriak Kang Lam "Benar-benar perutku sakit."
Keng Thian segera mendekati dan memegang nadinya. Sesudah beberapa saat, muka
pemuda itu menunjukkan perasaan heran dan kaget. Tiba-tiba, ia mengangkat tangannya
dan dengan dua jeriji, ia menotok jalan darah Hiankie hiat, di dada Kang Lam.
Tjeng Hong terkesiap. Hiankie hiat adalah jalan darah yang membinasakan. Ia mau
mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi.
Begitu ditotok, Kang Lam lantas saja tertawa haha-hihi. "Gatal! Gatal!" ia berteriak. "Aku
paling takut kegatalan. Tong Siangkong, ampun!"
"Perutmu masih sakit?" tanya Keng Thian.
"Ih! Heran sungguh. Sekarang tak sakit lagi," jawabnya.
Keng Thian mesem sambil menotok pundak Kang Lam dengan dua jerijinya. Tjeng
Hong mengetahui, bahwa yang ditotok adalah jalan darah Tonghay hiat, yang jika diurut,
dapat melemaskan urat dan menjalankan darah. Menurut kebiasaan Rimba Perdilatan,
jika seseorang kena ditotok jalan darahnya dan jalan darah itu untuk sementara masih
belum dapat dibuka, maka orang itu biasanya minta salah seorang kawannya untuk
menotok Tonghay hiat guna menjalankan aliran darah di lain-lain bagian badannya, untuk
mempertahankan diri sementara waktu. Maka itu, totokan Tonghay hiat ada baiknya dan
tak ada jahatnya.
Tapi di luar dugaan, Kang Lam lantas saja berteriak-teriak: "Aduh! Sakit! Sakit!"
Buru-buru Keng Thian menotok jalan darah Tjietong hiat, di kempungan Kang Lam.
Tjietong hiat adalah salah saru dari sembilan jalan darah, yang jika ditotok, dapat
membinasakan orang. Keruan saja, Siauw Tjeng Hong menjadi kaget bukan main.
Tapi, sungguh luar biasa, Kang Lam lantas tidak berkaok-kaok lagi. "Ah, Tong
Siangkong,"
katanya. "Kenapa kau mengganggu aku? Perutku tidak sakit lagi."
"Gatal tidak?" tanya Keng Thian.
"Tidak, hanya sedikit kesemutan," sahutnya.
Keng Thian tertawa berkakakan. "Ya sekarang aku tahu," katanya. "Bukan aku, tapi
gurumu yang mempermainkan kau."
"Apa?" Tjeng Hong menegas dengan suara heran. "Apakah benar perbuatan si Toosoe
tua? Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi dan kedudukannya sebagai guru, sedang
ia sendiri sudah meluluskan, apakah benar ia masih main gila terhadap muridnya?"
Keng Thian bersenyum. "Sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia mempermainkan
muridnya," katanya. "Mungkin kejadian ini adalah karena untung Kang Lam yang baik."
"Apakah yang kau maksudkan?" tanya pula Siauw Tjeng Hong, yang tidak mengerti
perkataan pemuda itu.
Keng Thian berdiam beberapa saat, seperti sedang mengasah otak. "Siauw Sinshe,"
katanya mendadak."Apakah kau tahu, siapakah nama dan dimana tempat tinggal orang
aneh dari Khongtong pay itu yang menurut katamu ingin menyukarkan Moh
Lootjianpwee?"
"Tidak," jawab Tjeng Hong sembari menggelengkan kepalanya. "Kalau aku tahu, aku
tentu sudah memberitahukan kepada Moh Lootjianpwee. Perlu apa aku pergi ke berbagai
tempat untuk mencari keterangan?"
"Dulu, di Thiansan, aku pernah mendengar pembicaraan antara ayah dan Iethio (suami
bibi) yang sangat menarik," Keng Thian menerangkan. "Menurut mereka, partai
Khongtong pay dulu mempunyai semacam ilmu yang luar biasa. Dengan ilmu tersebut,
seseorang dapat mengacaukan jalan darahnya sendiri.
Maka itu, ia akan terus segar bugar, meskipun jalan darahnya yang membinasakan
kena ditotok. Akan tetapi, orang yang mempunyai ilmu tersebut, harus berlatih terus
seumur hidupnya. Jika ia berhenti, jiwanya terancam. Di samping itu, walaupun berlatih
terus-terusan, belum dapat dipastikan, bahwa akhirnya ia tak akan masuk ke dalam jalan
yang menyeleweng. Itulah sebabnya, mengapa belakangan orang sungkan mempelajari
ilmu itu yang perlahan-lahan jadi tidak dikenal lagi."
"Kalau begitu," kata Tjeng Hong. "Apakah ilmu yang diajarkan oleh si Toosoe kepada
Kang Lam, adalah ilmu yang kau maksudkan?"
"Mungkin, mungkin sekali," jawabnya.
Siauw Tjeng Hong berdiam sejenak, kemudian ia berkata pula: "Jika memang demikian,
apakah, walaupun perhubungan guru dan murid sudah diputuskan, seumur hidupnya
Kang Lam harus terus menerus berlatih ilmu tersebut?"
"Kang Lam baru saja tujuh hari menjadi muridnya, sehingga apa yang didapat olehnya
baru
hanya pelajaran permulaan," Keng Thian menerangkan. "Seperti juga pelajaran lain-lain,
untuk memperoleh kemajuan, ilmu itu harus dipelajari dengan perlahan, di bawah
pimpinan guru yang pandai. Mengenai Kang Lam, baik juga ia baru saja memperoleh
sedikit pelajaran, sehingga biarpun ada akibatnya, akibat itu hanya merupakan sakit perut,
sakit miang dan sebagainya. Jika ia sudah belajar lama dan pelajaran dihentikan
mendadak, akibatnya tentu akan hebat sekali, mungkin ia akan binasa, atau sedikitnya,
menjadi orang bercacat. Maka itu, selama beberapa ratus tahun ini, dalam partai
Khongtong pay, orang yang mempelajari ilmu itu tidak pernah keluar dari rumah
perguruan."
"Kalau begitu," kata Siauw Tjeng Hong. "Apakah kau maksudkan, bahwa Kang Lam
harus kembali lagi dan seumur hidupnya harus menemani siluman tua itu?"
"Tidak!" teriak Kang Lam.
"Biarpun harus mati, aku tak akan kembali. Tong Siangkong, tolonglah aku!"
Keng Thian tertawa. "Tak kembali juga boleh," katanya sembari tertawa. "Hanya setiap
hari kau harus menderita sakit perut sejam lamanya."
"Tidak!" si bocah berteriak pula. "Aku paling takut akan sakit perut. Perut sakit,
makanan enak tak bisa masuk. Tong Siangkong, aku tahu kau bisa menolong. Tolonglah.
Aku akan menurut segala perintahmu."
"Baiklah," kata Tong Keng Thian yang merasa sudah cukup menggoda kacung itu. "Tapi
aku ingin kau berjanji, bahwa sesudah sembuh, mulutmu jangan terlalu rewel."
"Baik, baik," jawabnya, terburu-buru. "Sesudah sembuh, orang menanya sepatah, aku
menj-awab setengah patah."
Keng Thian tak tahan untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Ia menengok kepada Siauw
Tjeng Hong seraya berkata: "Itulah! Itulah sebabnya, mengapa aku mengatakan Kang
Lam bagus untungnya. Sebagaimana kau tahu, lethio-ku telah mewarisi kitab ketabiban,
peninggalan Po Tjeng Tjoe, sehingga ia mahir dalam ilmu pengobatan. Dalam kitab
tersebut terdapat suatu bagian yang membicarakan bahaya-bahaya akibat pelajaran ilmu
silat. Menurut kitab tersebut, jika seseorang ingin menyelamatkan diri dari bahaya itu, jalan
satu-satunya adalah melatih diri dalam ilmu lweekang dari cabang persilatan yang murni.
Dengan latihan itu, isi perut dan bagian-bagian dalam badannya akan menjadi kuat dan
dengan sendirinya, dapat melawan segala akibat jelek dari latihan ilmu yang
menyeleweng. Maka itu, untuk menolong Kang Lam, aku harus menurunkan pokok-pokok
pelajaran lweekang dari Thiansan pay."
"Bagus!" seru Kang Lam, kegirangan. "Sekarang juga aku akan berlutut di hadapanmu,
untuk mengangkat kau menjadi guru." Berbareng dengan perkataannya, ia segera
menekuk lutut.
Keng Thian mencekal tangan si nakal, sehingga ia ini tak dapat meneruskan niatannya.
"Siapa mau mempunyai murid begitu rewel?" kata Keng Thian sembari tertawa.
"Jangan begitu," kata Kang Lam, meringis. "Aku toh sudah berjanji untuk tidak rewel-
rewel lagi"
"Dalam menerima murid Thiansan pay memegang peraturan yang sangat keras," kata
Keng Thian dengan paras sungguh-sungguh. "Usiaku masih terlalu muda, sehingga tak
dapat aku menerima kau sebagai murid.
Selain itu, yang akan kuturunkan hanya pokok-pokok lweekang, bukan ilmu pedang
atau ilmu silat. Maka itu, kau tak dapat dipandang sebagai murid Thiansan pay."
"Kang Lam," kata Tjeng Hong sembari tertawa. "Dengan mendapat pokok-pokok
lweekang Thiansan pay, kau sudah mempunyai nasib yang bagus luar biasa. Kenapa kau
tidak mengenal puas?" Mendengar itu, si nakal tidak berkata apa-apa pula. Ia manggut-
manggutkan kepalanya dengan hati girang.
Keng Thian yang merasa sangat suka terhadap anak yang cerdik itu, lebih dulu
memberikan dua butir Pekleng tan yang dibuat dari Thiansan Soatlian, untuk memperkuat
tubuh dan anggauta dalam Kang Lam. Sesudah itu, baru ia menurunkan pelajarannya.
Waktu itu, Kang Lam sendiri tidak mengetahui, bahwa ia telah mendapat suatu
kefaedahan yang tidak kecil. Sesudah memperoleh dasar-dasar ilmu aneh Khongtong pay
dan tidak takut lagi akan totokan jalan darah, sekarang ia mendapat pokok lweekang dari
Thiansan pay. Dengan mempunyai dua dasar itu, tenaga dalamnya bertambah secara luar
biasa. Walaupun ketika itu ia hanya mengenal ilmu silat yang sangat cetek dari Tan Thian
Oe, tapi jika digunakan, dengan mudah ia akan dapat merobohkan ahli-ahli silat kelas tiga
atau kelas dua dari kalangan Kangouw. Di belakang hari, benar saja Kang Lam telah
menjadi seorang ahli silat yang kenamaan dan disegani.
Oleh karena harus memberi pelajaran kepada si bocah, dalam tiga hari Keng Thian
hanya dapat melalui seratus li lebih. Untung juga, berkat kecerdasannya, pada hari ke
empat Kang Lam sudah dapat menyelami pelajaran yang diberikan kepadanya, sehingga
Keng Thian dapat mengambil selamat berpisah dengan hati lega.
Kang Lam sendiri segera menuju ke timur untuk pergi ke Tiongkeng, dari mana, dengan
perahu ia akan pergi ke Boehan, akan kemudian langsung pergi ke kota raja untuk
menyampaikan surat majikannya.
Keng Thian bersama suami isteri Siauw Tjeng Hong meneruskan perjalanan ke
Soetjoan selatan untuk kemudian mendaki gunung Gobie san dan menemui Moh Tjoan
Seng.
Sesudah berjalan sepuluh hari, Gobie san yang agung dan angker sudah kelihatan di
depan mata. Sebagai umumnya seorang yang sedang menderita penyakit asmara, di
sepanjang jalan Keng Thian lesu kelihatannya, tapi begitu mendekati Gobie san,
semangatnya terbangun karena mengingat bahwa saat pertemuan dengan Koei Peng Go
sudah dekat. Tapi saban kali teringat "si penderita kusta", ia lantas menjadi lesu kembali.
Dengan Tiangloo (paderi kepala) dari kuil Kimkong sie, Moh Tjoan Seng bersahabat
baik, sehingga selama kira-kira dua puluh tahun, ia menetap dalam kuil tersebut. Seperti
juga yang lalu, Kiatyan kali ini pun diadakan dalam kuil itu, yang berdiri di puncak tertinggi
-- yaitu Puncak Emas-dari gunung Gobie san.
Di waktu Keng Thian bertiga sampai disitu, Kiatyan sudah tiba waktunya dimulai.
Gobie san adalah salah satu dari empat gunung ternama di Tiongkok. Tiga yang lain
adalah Poto san di Tjiatkang, Kioehoa san di Anhoei dan Ngotay san di Shoasay. Luas
gunung tersebut adalah lebih dari empat ratus li, bentuknya agung, angker dan indah.
Dipandang dari kejauhan, Gobie san seakan-akan merupakan sepasang alis yang tebal
dan itulah sebabnya, mengapa gunung itu dinamakan Gobie (Bie berarti alis).
Pagi-pagi sekali, Keng Thian bertiga mulai mendaki gunung. Di sepanjang jalan,
mereka melewati pohon-pohon siong tua, batu-batu cadas yang bentuknya aneh, air terjun
yang indah dan solokan-solokan yang airnya jernih dan dingin. Gobie disebut sebagai
salah satu "Keindahan dalam dunia” dan julukan itu sungguh bukan pujian belaka. Berada
di tempat yang pemandangannya seindah itu, hati Keng Thian yang pepat menjadi lapang.
Di sepanjang jalan, sering mereka bertemu dengan kelompok- kelompok orang yang
sedang mendaki gunung untuk menghadiri Kiatyan. Semenjak kecil, Keng Thian berdiam
di Thiansan yang jauh dan belum pernah mengunjungi wilayah Tionggoan, sedang Siauw
Tjeng Hong hidup bersembunyi di Tibet untuk belasan tahun lamanya dan sekarang,
mukanya sudah banyak berubah. Maka itu, tidak mengherankan jika orang-orang Rimba
Persilatan itu, tak satu pun yang mengenali mereka.
Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, kira-kira tengah hari, Keng Thian
bertiga sudah tiba di Puncak Emas. Dari tempat yang tertinggi itu, jika orang memandang
keempat penjuru, ia akan melihat puncak-puncak di sebelah bawah yang bersusun tindih
dan lautan awan putih yang tiada batasnya. Kimkong sie yang berdiri tegak di puncak itu,
seakan-akan diselimuti awan tersebut.
Begitu Keng Thian dan suami isteri Siauw Tjeng Hong masuk ke dalam kuil, mereka
disambut oleh paderi yang bertugas.
"Apakah Moh Tyahiap baik?" tanya Keng Thian. "Tolong kau memberitahukan bahwa
keponakannya mohon bertemu dengan beliau."
Si paderi merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: "Sudah tiga hari
Moh Tayhiap bersemedhi, aku tak berani mengganggu ia. Kalian tak usah memakai
banyak peradatan, besok kalian akan dapat bertemu dengan beliau."
Paderi itu yang tidak mengetahui asal-usul mereka, sudah menganggap mereka
sebagai orang-orang biasa yang ingin menghadiri Kiatyan. Harus diketahui, bahwa karena
kedudukannya yang sangat tinggi, di antara orang-orang yang berkunjung sebagian besar
mengaku sebagai "keponakan" dan banyak juga yang ingin sekali dapat bertemu dengan
Moh Tjoan Seng pribadi, sehingga, jika diladeni, orang tua itu akan menjadi repot sekali.
Maka itu, benar Moh Tjoan Seng sedang bersemedhi atau tidak, si paderi tak akan dapat
meluluskan permintaan Keng Thian. Sesudah mengantar tiga tamu itu kedua buah kamar
yang sudah sedia, paderi itu segera berlalu untuk menyambut tamu-tamu lain.
Moh Tjoan Seng adalah tetua Boetong pay dan orang yang paling banyak datang untuk
menghadiri Kiatyan, adalah orang-orang partai tersebut. Entah dari mana, mereka juga
rupanya sudah mengendus, bahwa Kiatyan kali ini bakal dikacau orang. Dalam kelompok-
kelompok, mereka kasak-kusuk, masing-masing mengutarakan pendapat-nya. Ada yang
gusar, ada yang menganggap Boetong pay akan malu besar jika Moh Tjoan Seng sampai
mesti turun tangan sendiri, ada yang tidak percaya dan sebagainya.
Mendengar itu, Keng Thian merasa geli bercampur kuatir. Malam itu ia tak dapat pulas.
Sesudah berlatih lweekang kurang lebih sejam, kira-kira tengah malam, ia menolak
jendela dan melongok keluar.
Sang rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Tiba-tiba, di sebelah
jauh, di antara puncak-puncak gunung, muncul titik-titik sinar api, seperti kunang-kunang,
dari sedikit semakin lama menjadi semakin banyak, perlahan-lahan mumbul ke atas dan
bergoyang-goyang kian kemari, seolah-olah ingin bersaing dengan bintang-bintang di
langit.
Itulah pemandangan istimewa di gunung Gobie san yang oleh kaum Budhis dinamakan
"Sengteng" (Pelita Nabi). Pada malam-malam terang bulan, jika udara bersih, titik-titik
sinar api itu muncul, semakin lama semakin banyak, seperti juga api ribuan pelita yang
terombang-ambing di tengah udara. Itulah sebabnya mengapa sinar-sinar itu dinamakan
"Sengteng". Tapi sebenar-benarnya sinar-sinar tersebut muncul karena fosfor yang banyak
sekali terdapat di gunung Gobie san.
Kuil Kimkong sie mempunyai peraturan yang dipegang keras. Pada waktu itu, jumlah
paderi dan tamu yang bernaung dalam kuil tersebut, sedikitnya ada beberapa ratus orang,
tapi keadaan di sekelilingnya sunyi senyap dan tidur orang tidak terganggu suara apa-pun
juga.
Dengan hati yang tidak keruan rasanya, Keng Thian mengawasi pemandangan malam
yang indah itu. "Tempat ini tenang dan damai," katanya didalam hati. "Sungguh sayang
jika kelak benar-benar dikacau orang."
Tiba-tiba ia ingat akan Hongsek Toodjin. Ia tak tahu, apakah benar imam itu si orang
aneh dari Khongtong pay yang telah disebutkan Siauw Tjeng Hong. Jika benar dia, ia
merasa tidak ungkulan untuk melayani musuh itu seorang diri. Sesaat kemudian, ia ingat
kepada Pengtjoan Thianlie. Jika si nona berada disitu dan bersama-sama melayani
musuh, ia tak akan merasa keder lagi terhadap si Toosoe atau orang lain yang
berkepandaian lebih tinggi dari Hongsek Toodjin. Engingat Peng Go, tanpa merasa ia
teringat pula kepada "Si pengemis Kusta" yang terus mengikuti si nona dari belakang.
Kenapa Pengtjoan Thianlie sudi berkawan dengan orang itu? Benar-benar ia tak mengerti.
Semakin berpikir, hatinya semakin pepat. Perlahan-lahan ia memakai jubah panjangnya
dan pergi ke kamar sebelah dengan niatan bercakap-cakap dengan suami isteri Siauw
Tjeng Hong. Tapi tak dinyana, mereka berdua tidak berada dalam kamar.
Seperti Keng Thian, malam itu Siauw Tjeng Hong juga tak dapat pulas. Inilah untuk
kedua kalinya ia menghadiri Kiatyan. Ia ingat, dulu, ketika datang untuk pertama kalinya,
Tjia In Tjin telah mengadu pedang dengan Loei Tjin Tjoe dan ia sendiri, tanpa sebab tanpa
lantaran, sudah terseret masuk ke dalam peristiwa itu dan jadi bermusuh hebat dengan
Loei Tjin Tjoe, sehingga ia mesti kabur ke Tibet dan hampir-hampir tak bisa pulang lagi ke
kampung halamannya. Ia menghitung-hitung, dari tempo itu sampai sekarang, sudah
berselang dua puluh tahun. Untung juga, pada tahun yang lalu, ketika mendaki Puncak
Es, permusuhan dengan Loei Tjin Tjoe dapat dibereskan dan ia bisa pulang ke
kampungnya, akan kemudian menikah dengan Gouw Tjiang Sian. Bahwa sekarang ia bisa
berada pula di Gobie san dan akan turut pula dalam pertemuan Kiatyan, sudah sangat
mengharukan hatinya.
Sebagai isteri, Gouw Tjiang Sian mengetahui apa yang sedang dipikir suaminya dan di
waktu gembira, ia segera mengajak suaminya pergi ke tempat dimana dulu mereka
bertempur.
Malam ini adalah sama dengan malam pada dua puluh tahun berselang, yaitu malaman
Kiatyan. Tapi beda dengan dulu, malam ini terang cemerlang disinari sang bulan, dengan
udaranya yang sangat bersih dan dengan "Sengteng" yang luar biasa. Di bawah sinar
terang laksana perak, segala apa dalam jarak setengah li, dapat dilihat tegas sekali. Siauw
Tjeng Hong menunjuk tempat dimana dulu terjadi pertempuran dan sekali lagi menuturkan
segala kejadian itu. Peristiwa itu sudah terjadi lama sekali, akan tetapi, pada saat itu,
dalam suasana yang sedemikian, Siauw Tjeng Hong merasa seakan-akan segala sesuatu
itu baru saja terjadi kemarin.
Gouw Tjiang San tertawa dan berkata: "Tak tahu dimana adanya Tokbeng Siantjoe Tjia
In Tjin sekarang ini. Apakah kau masih ingat kepadanya?"
"Tjia In Tjin mempunyai tangan yang telengas," kata sang suami. "Tapi, biar
bagaimanapun juga, ia adalah seorang yang mencinta sahabat. Terhadap sahabat begitu,
siapapun tak akan dapat melupakannya. Di samping itu, aku juga merasa sangat
berterima kasih terhadapnya. Ia mengenal kau lebih dari aku."
"Kenapa begitu?" tanya Gouw Tjiang Sian.
Ia pernah mengatakan, bahwa kau adalah seorang wanita yang halus budi pekertinya,"
Tjeng Hong menerangkan. "Sekarang, aku juga mengetahui, bahwa kau adalah seorang
isteri yang sangat bijaksana. Sungguh sayang, aku adalah manusia goblok. Jika pada dua
puluh tahun berselang, aku sudah mengetahui perasaan cintamu, mungkin sekali aku tak
usah menderita sepuluh tahun di Tibet."
Siauw Tjeng Hong mengucapkan kata-kata itu dengan suara lemah lembut dan dengan
hati yang penuh kecintaan, sehingga si isteri merasa beruntung bercampur terharu.
"Aku sungguh ingin bertemu muka dengan Tjia In Tjin," kata Gouw Tjiang Sian sembari
mesem.
"Tak tahu, apakah ia dan Thiekoay sian sekarang masih berada di Tibet," kata sang
suami. "Memang tak gampang orang dapat menemui mereka."
Selagi mereka berbicara, di tempat agak jauh, di antara daun-daun pohon kembang,
tiba-tiba muncul muka seorang wanita.
Ketika wanita itu memutarkan badan, baru kelihatan bahwa di punggungnya
menggemblok seorang bayi, yang mungkin karena terpukul cabang, mendadak sadar dari
tidurnya dan segera menangis.
Hampir berbareng dengan itu, Siauw Tjeng Hong mengeluarkan teriakan tertahan.
Kedua matanya terbuka lebar sambil mengawasi wanita itu dengan mata mendelong.
"Siapa?" tanya Gouw Tjiang Sian.
"Tjia In Tjin!" jawabnya dengan suara di tenggorokan. Saat itu, hampir-hampir Siauw
Tjeng Hong tidak percaya matanya sendiri.
Tapi, sebelum mereka dapat bergerak atau memanggil, kesunyian sang malam
sekonyong-konyong dipecahkan oleh bentakan: "Perempuan siluman! Kau masih
mempunyai nyali untuk datang pula di Gobie san?"
"Ha!" bentak seorang lain. "Kau kira kami tidak mengenali kau? Lagi dua puluh tahun,
biar kau sudah mampus menjadi abu, kami toh masih mengenali kau!"
"Kami ingin berkenalan dengan cara-cara Tokbeng Siantjoe membetot jiwa manusia,"
kata orang ketiga dengan suara mengejek. (Tokbeng Siantjoe berarti Dewi Pembetot Jiwa)
Di lain saat muncul empat imam yang mengenakan pakaian hitam dan masing-masing
mencekal pedang. Mereka mengambil kedudukan di timur, selatan, barat dan utara dan
mengurung Tjia In Tjin dalam jarak sepuluh tombak.
Siauw Tjeng Hong menghela napas mengingat sakit hati manusia yang begitu berlarut.
Tak bisa salah lagi, beberapa Toosoe itu sekarang ingin membalas sakit hati Loei Tjin Tjoe
yang didendam selama dua puluh tahun. Tapi mereka mungkin tidak mengetahui, bahwa
pada waktu itu, dengan segala kesombongannya, Loei Tjin Tjoe telah memasang jebakan
untuk mencelakakan orang. Sebenarnya Siauw Tjeng Hong ingin segera tampil ke muka
untuk membujuk. Tapi mengingat, bahwa dalam peristiwa dulu, ia adalah salah seorang
yang turut tersangkut dan kalau sekarang ia muncul besar sekali kemungkinannya ia akan
terseret pula. Mengingat itu, ia lantas saja mengurungkan niatannya dan mengambil
keputusan untuk melihat dulu bagaimana tindakan Tjia In Tjin. Ia segera menarik tangan
isterinya dan mereka berdua bersembunyi di belakang sebuah pohon besar.
Jika menuruti adatnya di waktu muda, siang-siang Tjia In Tjin sudah menghunus
pedangnya. Akan tetapi, sesudah berkelana dua puluh tahun dalam dunia Kangouw
dan mendapat berbagai
pengalaman, "hawa apinya" sudah berkurang banyak. Ia menepuk-nepuk bayinya dan
berkata dengan suara tawar: "Moh Tayhiap telah meminjam Gobie san untuk mengadakan
Kiatyan. Orang-orang dari berbagai cabang persilatan semua diterima dengan tangan
terbuka. Aku adalah anggauta dari Gobie pay. Mengapa aku tak boleh datang kemari?"
"Moh Tayhiap adalah tetua Boetong pay kami," kata si imam yang berdiri di timur. "Kau
sudah melukakan Toasoeheng Loei Tjin Tjoe, sehingga tak ketahuan dimana ia berada
sekarang. Apakah kau masih mempunyai muka untuk mendengarkan petunjuk-petunjuk
Moh Tayhiap?"
Toosoe yang berdiri di sebelah barat tertawa dingin dan berkata dengan suara
mengejek: "Loei Tjin Tjoe telah roboh dalam tangan jahatmu. Apakah kau yang
berkepandaian begitu tinggi, sekarang ingin belajar dari Boetong pay yang ilmunya begitu
cetek?"
Lagi-lagi Siauw Tjeng Hong menghela napas. Ia ingat bahwa sebagai partai, Boetong
pay mengalami jaman makmur pada masa kerajaan Beng. Sesudah itu, Boetong pay
mulai merojan. Belakangan, yaitu seratus tahun lebih yang lampau, Koei Tiong Beng telah
mendapatkan Tatmo Kiamhoat yang asli. Semenjak itu, Boetong pay kembali naik
namanya. Sekarang, walaupun putera Koei Tiong Beng, yaitu Moh Tjoan Seng, memiliki
kepandaian yang sangat tinggi dan cukup syarat-syaratnya untuk meneruskan pekerjaan
ayahnya, tapi ia adalah seorang yang sungkan pusing dan tak sudi mengurus segala soal-
soal yang dianggap remeh. Tjiangboen (pemimpin) Boetong pay adalah seorang yang
berilmu tinggi, tapi agak tolol, sehingga murid-murid Butong tidak terlalu mengindahkan
kepadanya. Demikianlah, seperti seratus tahun lebih yang lalu, keadaan Boetong pay
kembali merosot.
Nama Boetong pay masih kesohor sebagai suatu partai besar, tapi sedalam-dalamnya,
orang yang benar-benar berisi, jumlahnya sedikit sekali. Yang banyak adalah orang-orang
sombong.
Mendengar disebutkannya nama Loei Tjin Tjoe, Tjia In Tjin mesem dan berkata:
"Biarpun mendapat luka sedikit, Loei Tjin Tjoe sudah mendapat keuntungan yang sangat
besar."
Keempat Toosoe itu lantas saja menjadi gusar. "Perempuan siluman!" bentak seorang
antaranya. "Sudah melukakan orang, masih kau mengeluarkan perkataan merdu."
Tjia In Tjin tadinya berniat untuk menceritakan segala kejadian di Puncak Es, tapi
melihat lagak beberapa imam itu, ia sengaja mengurungkan niatannya. Ia mendongak dan
berkata sembari menarik napas panjang: "Sungguh sayang! Sungguh sayang!"
"Sayang apa?" empat Toosoe membentak dengan serentak.
Tjia In Tjin tak menyahut, tangannya kembali menepuk-nepuk bayinya. "Anak, jangan
takut,"
katanya. "Ini beberapa hidung kerbau boleh kau pandang sepi saja."
Kecil-kecil bayi itu sudah mengunjukkan sifat-sifatnya yang mengherankan. Tadi,
lantaran kesampok cabang pohon, ia menangis keras. Tapi sekarang, melihat empat
Toosoe itu yang mencekal pedang mengkilap, ia berbalik seperti orang kegirangan.
Sembari mengeluarkan kedua tangannya yang kecil montok, ia tertawa lebar.
"Sungguh sayang," kata pula Tjia In Tjin. "Moh Tayhiap adalah guru besar dari satu
jaman dan tetua dari sebuah partai besar. Beliau dihormati oleh semua orang dari Rimba
Persilatan dan diakui sebagai pemimpin utama. Tapi kamu? Kamu sendiri hanya
menganggap beliau sebagai seorang Tiangloo (paderi yang memimpin kuil) dari Boetong
pay. Dengan begitu, bukankah kamu sangat merugikan keangkeran beliau? Ah! Sungguh
aku merasa sangat sayang, bahwa Boetong pay sudah mempunyai murid-murid yang
segoblok kamu!"
Keempat Toosoe itu adalah murid-murid Boetong pay yang mendapat didikan langsung
dari adik Moh Tjoan Seng, yaitu Tjio Kong Seng, yang sudah meninggal dunia beberapa
belas tahun yang lalu, dan mereka mempunyai kedudukan yang agak tinggi di dalam
partai.
Dimaki secara begitu oleh Tjia ln Tjin, tentu saja mereka menjadi gusar sekali. "Tjia In
Tjin!" bentak Toosoe yang berdiri di sebelah barat sambil mengebaskan pedangnya.
"Lepaskan anakmu! Kami ingin belajar kenal dengan Tokbeng Kiamhoat!'
Tjia In Tjin tetap bersikap acuh tak acuh. "Hm!" ia menggerendeng. "Besok Boetong pay
bakal mengalami peristiwa berdarah, tapi kamu masih tidak kenal takut dan masih ingin
menyukarkan aku. Sungguh membikin orang tertawa!"
Siauw Tjeng Hong terkejut. Ternyata Tjia In Tjin juga sudah mendapat endusan dan
perkataannya dikeluarkan secara begitu meyakinkan. Apakah ia mempunyai pengetahuan
yang lebih jelas mengenai mara bahaya yang mengancam?
Beberapa Toosoe itu yang biasanya sombong, selalu menganggap bahwa di dalam
dunia ini tak ada manusia yang berani membentur partainya. Maka itu, mendengar
peringatan nyonya tersebut, sebaliknya dari berterima kasih, mereka jadi semakin gusar.
"Mungkin sekali kaulah yang bersekutu dengan kaum siluman untuk mengacau," maki
imam yang berdiri di timur. "Lepaskan anakmu! Sambutlah pedang tuanmu!”
Mendengar bentakan keras, bayi itu yang sedang tertawa-tawa, menjadi kaget dan
menangis. "Aku sebenarnya sungkan meladeni kamu," kata Tjia In Tjin dengan paras
muka berubah. "Tapi
karena kau, hidung kerbau, sudah membikin nangisnya anakku, aku tak dapat
mengampuni lagi!" Sebelum si Toosoe sempat membuka suara, sebuah sinar hijau
sudah berkelebat. Semenjak
dulu, Tjia In Tjin kesohor cepat gerakannya. Begitu terhunus, pedang itu tahu-tahu sudah
menyambar ke tenggorokan si imam yang dengan hati terkesiap, sedapat mungkin coba
menangkis.
Dengan berbunyi "trang!", pedang Toosoe itu kutung menjadi dua. Sekali lagi pedang
berkelebat dan konde si imam terpapas separoh! Memang begitulah Kiamhoat Tjia In Tjin.
Sekali menghunus pedang, tak main sungkan-sungkan lagi. Muka Toosoe itu menjadi
pucat pias dan ia segera loncat mundur sejauh mungkin.
Bayi Tjia In Tjin mendadak berhenti mengangis dan kembali tertawa-tawa sambil
mengeluarkan suaranya yang tidak tegas, seolah-olah ia mengetahui kemenangan ibunya.
Siauw Tjeng Hong yang menonton dari jauh, jadi merasa geli. "Ah! Bayi itu sungguh-
sungguh anak Thiekoay sian dan Tjia In Tjin," katanya di dalam hati.
Tiga Toosoe lainnya gusar bukan main. Tanpa memperdulikan lagi bayi yang sedang
digendong, mereka membentak dan terus saja menyerang. Beberapa saat kemudian,
sesudah dapat menenteramkan jantungnya yang bergoncang keras, Toosoe yang barusan
dihajar juga lantas menerjang dengan pedang kutungnya. "Berikan dua tanda di badan
perempuan siluman itu!" ia berteriak. "Tapi hati-hati! Jangan melukakan anak yang tidak
berdosa itu."
Empat Toosoe itu lantas saja mengurung dengan Soesiang Kiamtin (Barisan Pedang
Empat Gaya) yang kepala buntutnya bergandengan satu dengan yang lain dan perlahan-
lahan mereka mendekati Tjia In Tjin.
Soesiang Kiamtin adalah salah satu barisan pedang dari Boetong pay. Cara
mengurungnya barisan itu rapat bukan main dan kecuali, jika seorang dua orang
pengepung dibinasakan, orang yang dikepung tak akan gampang-gampang dapat
meloloskan diri.
Pada mulut Tjia In Tjin tetap tersungging meseman tawar. Dengan keras ia
mengebaskan pedangnya sehingga mengeluarkan suara "ung, ung", siap sedia untuk
membinasakan.
"Celaka!" Siauw Tjeng Hong mengeluarkan seruan tertahan. Baru saja ia ingin loncat
keluar untuk mendamaikan, tiba-tiba dari tanjakan gunung berkelebat bayangan manusia
yang gerakannya luar biasa cepatnya dan mulutnya mengeluarkan suara tertawa aneh.
Dalam sekejap, orang itu sudah tiba di dekat gelanggang pertempuran.
Hampir berbareng empat Toosoe itu berteriak: "Aya!" dan serentak loncat keluar
gelanggang.
"Toasoeheng!" mereka berseru.
Siauw Tjeng Hong mengenali, orang itu benar Loei Tjin Tjoe adanya. Bajunya, di bagian
atas, penuh darah, seperti baru saja bertempur dengan musuh. Ia berlompat-lompat dan
membentak: "Hian Boe! Hian Ham, bikin apa kamu! Hi-hi. Lekas berhenti! Hi-hi." Ia
berpaling kepada Tjia In Tjin dan berkata pula: "Tjia Toatjie, kau juga datang? Hi-hi!"
Perkataan-perkataannya itu, yang diseling dengan tertawa aneh, membikin ia jadi
kelihatan lucu sekali. Di samping itu, tak hentinya ia melompat-lompat, seperti juga tak
tahan merasakan kesakitan atau kegatalan.
Loei Tjin Tjoe adalah murid kepala dari turunan kedua partai Boetong pay, sehingga,
kecuali Tjiangboendjin, ialah yang paling tinggi kedudukannya. Maka itu, walaupun geli
melihat lagaknya yang aneh, empat Toosoe itu tidak berani tertawa.
"Loei Tjin Tjoe, kenapa kau?" tanya Tjia In Tjin sembari tertawa.
"Kenapa kau bertempur dengan mereka?" Loei Tjin Tjoe balas menanya. "Hi-hi! Biar
mereka berdosa, kau harus pandang juga mukaku. Hi-hi!"
Tjia In Tjin yang barusan merasa geli, sekarang mengetahui, bahwa Loei Tjin Tjoe telah
menemui kejadian luar biasa. "Mereka mengatakan, aku sudah mendesak kau, sehingga
kau tak ketahuan kemana perginya," Tjia In Tjin menerangkan. "Mereka mau juga
bertempur denganku. Bagus juga kau keburu datang. Jika tidak, jiwa Tokbeng Siantjoe
berbalik lebih dulu dibetot oleh murid-murid Boetong."
"Dua puluh tahun yang lalu, dia menghina kau," kata seorang Toosoe. "Sekarang dia
menghina kami. Toasoeheng, tak dapat kita melepaskan dia."
"Dan juga," sambung imam yang lain. "Dia mengatakan, besok partai kita akan
mengalami peristiwa berdarah. Hm! Toasoeheng, apa boleh manusia itu dibiarkan
mengaco belo?"
Mendadak, Loei Tjin Tjoe meloncat beberapa tombak tingginya. "Benar!" ia berteriak.
"Besok bakal ada mara bahaya! Hi-hi! Kamu benar-benar sudah membikin malu Boetong
pay. Hi-hi!"
Selagi badannya melayang turun, bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe menggaplok empat
Toosoe itu yang lantas saja terguling sembari berkaok-kaok. Di lain saat, ia juga roboh di
atas tanah dengan mulut mengeluarkan rintihan aneh dan badannya dingin bagaikan es.
Bukan main kagetnya keempat Toosoe itu, yang segera memeriksa keadaan kakak
seperguruan itu. Napas Loei Tjin Tjoe masih berjalan sebagaimana biasa dan nadinya pun
tidak berubah, tapi ia tak dapat berbicara lagi.
"Buka bajunya," Tjia In Tjin memerintah dengan suara dingin. "Mungkin sekali jalan
darahnya kena ditotok."
Begitu baju Loei Tjin Tjoe dibuka, semua orang mengeluarkan teriakan kaget. Dengan
bantuan sinar rembulan, dapat dilihat, bahwa pada pundak Loei Tjin Tjoe terdapat bekas
tapak tangan yang berwarna merah darah dan di lain bagian terdapat tiga tanda totokan
pada jalan darah Ma-hiat (jalan darah yang membikin orang merasa kesemutan),
Yangyang hiat (jalan darah yang menimbulkan rasa gatal) dan Siauwyauw hiat (jalan
darah yang menimbulkan tertawa).
Empat Toosoe itu saling mengawasi dengan muka pucat. Mereka heran berbareng
takut. Loei Tjin Tjoe adalah seorang yang sangat terpandang dalam Boetong pay dan
sekarang, ia sudah kena dilukakan secara begitu menyedihkan. Mengingat
perkataan Tjia In Tjin dan kakak seperguruannya, mereka bergidik. Jika begitu,
mungkin sekali besok akan terjadi peristiwa berdarah.
Meskipun Tjia In Tjin berkepandaian banyak lebih tinggi dari empat Toosoe itu, tapi
sesudah melihat luka Loei Tjin Tjoe dan tiga totokan jalan darah itu, ia juga tak dapat
mengetahui tangan orang partai mana yang begitu beracun.
Tersipu-sipu empat Toosoe itu mengurut badan kakak seperguruannya untuk coba
membuka jalan darah yang kena ditotok. Tapi keadaan Loei Tjin Tjoe menjadi semakin
hebat. Rintihannya jadi semakin keras dan keringat dingin membasahi seluruh badannya.
"Sudahlah, kamu jangan mengurut sembarangan," kata Tjia In Tjin. "Jika kamu bisa
menolong, apakah soeheng-mu tak dapat membuka sendiri jalan darahnya?"
Disemprot begitu, mereka yang sedang kebingungan, lantas saja naik darah. "Kalau
kami tak mampu, apakah kau mampu?" tanya seorang antaranya dengan aseran.
Tjia In Tjin yang sebenarnya bermaksud baik, jadi mendongkol. Tapi, sebelum ia
membalas menyemprot, di sebelah belakang mendadak terdengar suara tertawa. "Ia
dijuluki Tokbeng Siantjoe, si Dewi Pembetot Jiwa, bukan Kioebeng Siantjoe (Dewi
Penolong Jiwa)," kata seorang.
Dengan serentak empat imam itu memutarkan badan dan di hadapan mereka berdiri
seorang pemuda baju putih, yang tak ketahuan kapan datangnya. Tjia In Tjin segera
mengenali, bahwa pemuda itu bukan lain daripada Tong Keng Thian yang pernah naik ke
Puncak Es dan mengadu pedang dengan Pengtjoan Thianlie. Ia menjadi girang bukan
main dan berkata sembari tertawa: "Dewa penolong jiwa sudah datang! Hei, kawanan
hidung kerbau! Lekas berlutut untuk memohon pertolongan!"
Melihat usia Keng Thian yang masih begitu muda, tentu saja mereka tak mau percaya
perkataan Tjia In Tjin yang dianggap hanya ingin mengejek. Mereka sudah lantas ingin
mengumbar kegusaran mereka, tapi Keng Thian keburu berkata: "Baiklah, aku mencoba-
coba. Tjia Liehiap, dua kawan lama sedang menunggu kau!"
Sedari tadi Tjia In Tjin memang mengetahui, bahwa suami isteri Siauw Tjeng Hong
bersembunyi di belakang pohon. Sesudah Keng Thian menyanggupi untuk mengobati
Loei Tjin Tjoe, lantas saja ia berlalu.
Tong Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa luka Loei Tjin Tjoe berhawa sangat
panas dan berbau daging dibakar. Ia terkejut, sebab tak bisa salah lagi, itulah akibat
tangan Hiatsintjoe. Tapi ia juga mengetahui, bahwa Hiatsintjoe hanya memukul dengan
sebagian kecil tenaganya untuk memberi "tanda" dan bukan untuk membinasakan. Waktu
memeriksa totokan jalan darah, ia menjadi heran sekali, sebab totokan itu bukan totokan
yang biasa digunakan oleh ahli-ahli silat wilayah Tionggoan. Sesudah berpikir beberapa
saat, tiba-tiba ia ingat kepada seorang. "Apakah tak mungkin dia yang datang!" katanya di
dalam hati.
Buru-buru Keng Thian mengeluarkan Pekleng tan yang lalu dikunyah dan kemudian
ditempelkan pada luka itu. Beberapa saat kemudian, Loei Tjin Tjoe sadar dari pingsannya
dan sesudah membalikkan badan, ia bangun berduduk dan mengawasi Tong Keng Thian.
Lantas saja ia mengenali, bahwa si baju putih adalah pemuda yang sudah merobohkan
tiga belas jago Khongtong pay itu dengan sekaligus. Walaupun tak mengetahui nama
Keng Thian, ia yakin bahwa pemuda itu adalah murid Thiansan pay.
"Hian Boe! Hian Ham!" ia berseru. "Lekas berlutut! Hi-hi!'
"Tak usah banyak peradatan," kata Keng Thian yang segera memberikan sebutir
Pekleng tan kepadanya untuk ditelan.
"Kau ketemu siapa?" tanya Keng Thian.
"Lebih dulu seorang kusta," jawabnya. "Hi-hi! Belakangan seorang siluman tua yang
rambutnya awut-awutan. Hi-hi!"
Dugaan Keng Thian ternyata tidak meleset. Kedua orang itu ternyata benar Kim Sie Ie
dan Hiatsintjoe adanya. Tapi kenapa mereka bisa berada bersama-sama?
"Bermula si penderita kusta menyerang aku," kata pula Loei Tjin Tjoe. "Belakangan ia
menolong aku. Hi-hi!"
Sesudah diobati dengan Pekleng tan, rasa sakit dan panas sudah banyak mendingan,
tapi jalan darahnya belum dibuka, sehingga Loei Tjin Tjoe masih terus mengeluarkan
tertawa aneh.
Keng Thian yang pernah bergebrak beberapa kali dengan Kim Sie Ie dan sudah
mengenal ilmu totokannya, buru-buru mengurut bagian badan Loei Tjin Tjoe yang perlu,
untuk membuka tiga jalan darah yang tertutup itu. Dilihat dari bekas-bekasnya, totokan itu
dikirim dengan gunakan tongkat besi dan biarpun cukup keras, sama sekali tidak merusak
urat. Dilihat begitu, Kim Sie Ie rupanya hanya ingin guyon-guyon dan bukan mau
mencelakakan orang. Meskipun tidak ditolong, jalan darah itu akan terbuka dengan
sendirinya, tapi harus menunggu dua puluh empat jam.
Begitu jalan darahnya terbuka, rasa kesemutan dan geli segera menjadi lenyap. Untuk
beberapa lama, Loei Tjin Tjoe duduk mengasoh dengan napas tersengal-sengal.
"Cara bagaimana, si kusta lebih dulu menyerang dan kemudian menolong kau?” tanya
Keng Thian.
"Untuk menghadiri Kiatyan, terburu-buru aku datang kemari," Loei Tjin Tjoe
menerangkan. "Di mulut gunung, aku bertemu dengan seorang yang menderita penyakit
kusta. Aku berpikir, peraturan kita begitu keras, kenapa si kusta dibiarkan datang
mengganggu? Maka itu, aku segera coba mengusir dia. Ia menanyakan namaku. Aku
memberitahukan sebenarnya dan menambahkan bahwa masih untung dia bertemu aku.
Jika dia bertemu Soetee-ku, bisa-bisa jiwanya melayang. Sesudah itu, aku memberikan
beberapa tail perak kepadanya dan suruh dia lekas-lekas pergi. Tak dinyana, mendadak
dia tertawa besar. Katanya: 'Kalau begitu kau Loei Tjin Tjoe? Kudengar, di antara turunan
kedua dari Boetong pay, kaulah yang berkepandaian paling tinggi." Begitu katanya. Aku
heran, bagaimana ia mengetahui namaku. Di luar dugaan, sedang ia belum habis tertawa,
tongkatnya menyambar dan berhasil menotok jalan darahku beberapa kali. Aku tak dapat
mempertahankan diri lagi, lantas saja aku melompat-lompat dan tertawa seperti orang
gila. Dengan gusar aku mengambil putusan untuk bertarung mati-matian dengan ia. Tapi
dalam sekejap, ia sudah menghilang, entah kemana!"
Mendengar penuturan Soeheng-nya, empat Toosoe itu menjadi tercengang. Dalam
Boetong pay, Loei Tjin Tjoe mempunyai kepandaian tinggi dan bahwa ia sudah kena
diserang beberapa kali tanpa mampu membalas, merupakan satu bukti dari hebatnya ilmu
si pengemis kusta.
Keng Thian merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Kau tentu saja tak mengetahui,
bahwa Kim Sie Ie memang paling senang mengganggu orang-orang ternama dalam
Rimba Persilatan. Jika kau tidak memberitahukan namamu, kau tentu tidak akan
mendapat gangguan suatu apa. Tapi disurung kesombonganmu, kau sudah menonjolkan
namamu yang dianggap besar. Dengan begitu, sekalipun kau tidak mengusir-usir dia, kau
tak akan bisa luput dari guyonannya."
Sesudah mengasoh beberapa saat, Loei Tjin Tjoe segera melanjutkan penuturannya:
"Sesudah kena dipermainkan, sudah tentu aku menjadi gusar bukan main. Tak terduga,
baru saja berjalan beberapa tindak, aku bertemu dengan manusia aneh yang rambutnya
awut-awutan seperti rumput. Dia ternyata mengenal diriku, sebab, begitu membuka mulut,
dia berkata: 'Loei Tjin Tjoe, kenapa kau tertawa begitu enak?' "Bukan urusanmu!" aku
membentak dengan aseran. Orang aneh itu mendelik dan berkata: 'Baiklah. Sekarang aku
ingin memberi tanda di badanmu, supaya kau dapat melaporkan kepada Moh Tjoan Seng.'
Dengan cepat aku menghunus pedang, tapi pada saat itu juga, aku merasakan
menyambarnya hawa yang sangat panas. Hampir berbareng, kupingku mendengar suara
menyeramkan dan si kusta kembali muncul. 'Siluman tua!' ia membentak. 'Mengertikah
kau peraturan Kangouw? Kenapa kau campur-campur jual beliku?' Si orang aneh lantas
saja loncat menyingkir, tapi tangannya yang menyambar luar biasa cepat, sudah menowel
pundakku."
Sekarang Keng Thian mengetahui, bahwa Hiatsintjoe bukan berbelas kasihan, tapi oleh
karena merasa jeri terhadap senjata rahasia Kim Sie le, ia tidak keburu menurunkan
tangan yang lebih berat.
Dengan pertolongan Thiansan Soatlian, racun panas yang mengeram dalam badan
Loei Tjin Tjoe sudah dapat diredakan, tapi luka di dalam belum menjadi sembuh. Sesudah
bicara banyak, ia kelihatan lelah dan napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, beberapa
murid Boetong yang mendapat warta, sudah datang untuk memberi pertolongan.
"Loei-heng," kata Keng Thian. "Pergilah ke kuil untuk mengasoh. Dengan
menggunakan obat biasa, dalam tiga hari, kesehatanmu akan pulih seperti sediakala."
Dua kali Loei Tjin Tjoe pernah bertemu dengan Tong Keng Thian, tapi ia belum
mengetahui nama pemuda itu. Tapi, baru saja ia ingin menanyakan, dengan sekali
berkelebat, badan si pemuda sudah melesat melewati pohon-pohon dan di lain saat,
sudah tak kelihatan lagi bayang-bayangannya.
Empat Toosoe yang tadi mau mengepung Tjia In Tjin, saling mengawasi dengan mulut
ternganga. Sekarang mereka mengerti, bahwa di luar langit masih ada langit.
Keng Thian pergi tersipu-sipu oleh karena mengingat Pengtjoan Thianlie. Ia memang
sudah" menduga, bahwa Kim Sie Ie akan datang di tempat Moh Tjoan Seng. Sekarang,
sesudah dugaan itu merupakan kenyataan, hatinya berdebar-debar. "Dia tentu datang
bersama-sama Peng Go," pikirnya. "Peng Go adalah seorang yang suka akan kebersihan.
Ia sebenarnya adalah pemuda cakap. Tapi kenapa ia muncul pula sebagai penderita
kusta? Apakah ia tak kuatir Pengtjoan Thianlie merasa jijik?' Ia menghela napas berulang-
ulang. Memikirkan semua teka-teki itu, otaknya yang cerdas agaknya sudah tidak dapat
bekerja sebagaimana biasa lagi.
"Dengan berjalan bersama-sama, Kim Sie Ie tentu juga sudah mengetahui, bahwa
Peng Go adalah keponakan Moh Tayhiap," kata Keng Thian pula dalam hatinya. "Ia tentu
tahu, Peng Go juga terhitung orang Boetong. Tapi, kenapa ia mempermainkan juga murid
Boetong pay? Sekalipun adatnya aneh, tak boleh ia berlaku begitu keterlaluan. Apa ia tak
takut kepada gusarnya Pengtjoan Thianlie?"
Sembari jalan, otak Keng Thian bekerja terus. Berkata lagi ia dalam hatinya: "Sesudah
tiba, kenapa Pengtjoan Thianlie tidak lantas menemui pamannya? Apakah ia sudah
ketularan sifat-sifat Kim Sie Ie dan bermain-main dulu di dekat-dekat sini?"
Semakin berpikir, otaknya semakin butak, sehingga akhir-akhirnya ia mengambil
keputusan untuk tak tidur dan coba mencari Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie.
Selagi berjalan dengan pikiran pepat, matanya tiba-tiba melihat dua orang wanita dan
seorang pria sedang jalan berendeng di suatu tanjakan, di bawah pohon-pohon siong tua.
Wanita yang berjalan di sebelah kanan, menggendong bayi dan ia itu bukan lain daripada
Tjia In Tjin, sedang dua orang lainnya adalah suami isteri Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian sungkan mengganggu mereka, tapi sambil lalu, ia mendengar Tjia In Tjin
berkata; "Tak salah! Yaitu orang yang berpenyakit kusta!"
Hatinya melonjak dan ia menghentikan tindakannya secara mendadak, sehingga
menerbitkan suara kresekan.
Tjia In Tjin menengok dan menanya sembari tertawa: "Bagaimana? Apakah keadaan
Loei Tjin Tjoe tidak berbahaya?"
"Untung juga Hiatsintjoe tidak mengunakan seantero tenaganya," jawab Keng Thian.
"Sesudah menelan Pekleng tan, kurasa jiwanya tidak terancam lagi. Sebenarnya, ia harus
berterima kasih kepada si kusta."
"Apa?" menegasi Tjia In Tjin. "Ah! Lagi-lagi si kusta!"
Keng Thian lantas saja menceritakan apa yang didengarnya dari Loei Tjin Tjoe dan
menambahkan: "Tangan
Hiatsintjoe sangat beracun, tapi cara-cara si kusta yang aneh juga agak menakutkan.
Baik juga aku mengenal ilmu totokannya. Jika tidak, Loei Tjin Tjoe harus tertawa dan
melompat-lompat seperti orang gila dua puluh empat jam lagi. Sungguh sangat tak enak
bagi Loei Tjin Tjoe yang terkenal sebagai murid utama dari turunan kedua partai Boetong
pay."
Tjia In Tjin terkesiap. "Ah, untung aku ditolong oleh seorang berilmu," katanya. "Kalau
tidak, aku pun harus menjadi korban si kusta itu!'
"Kau juga bertemu dengan ia?" tanya Keng Thian.
"Benar," sahut Tjia In Tjin. "Selagi dia mau menimpuk jalan darahku dengan batu,
seorang wanita muda yang tak mau menampakkan diri, sudah menggebah ia."
"Wanita mana yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?" tanya pula Keng Thian
dengan penuh keheranan. "Apakah Pengtjoan Thianlie?"
Nyonya itu tidak lantas menjawab. Ia menepuk-nepuk bayinya yang sudah pulas
nyenyak dan mulutnya bersenyum manis, seolah-olah sekuntum bunga yang indah
mendadak muncul di tengah hutan belukar.
"Jika kau ingin mengetahui, bagaimana aku bertemu dengan si kusta, aku harus
bercerita dari kepala sampai di buntut," jawabnya.
Keng Thian manggutkan kepalanya dan segera memasang kuping. Tjia In Tjin
menepuk-nepuk pula anaknya. Mendadak ia tertawa dan berkata: "Coba lihat! Sama
sekali tak mirip dengan ayahnya."
"Sangat mirip dengan kau," celetuk Siauw Tjeng Hong. "Di kemudian hari ia tentu akan
menjadi seorang pendekar muda yang cakap dan ganteng." Dengan berkata begitu Siauw
Tjeng Hong sebenarnya ingin memuji kecantikan nyonya itu.
Tjia In Tjin mesem. "Kau datang dari Tibet, apakah ayah anak ini masih berada di
Puncak Es?" tanyanya kepada Keng Thian. "Waktu terjadi gempa bumi, aku sedang
memetik daun obat. Belakangan jalan kembali sudah tertutup lahar, sehingga aku
terpaksa pulang lebih dulu. Aku sangat kuatirkan keselamatan mereka. Hari itu, aku
melihat keraton es masih berdiri, hanya aku tak tahu bagaimana keselamatan mereka."
Keng Thian merasa sangat pilu. Siauw Tjeng Hong tak tahu, tapi ia tahu, Thiekoay sian
sudah pulang ke alam baka dan dalam dunia ini, Tjia In Tjin tak bisa bertemu pula dengan
suaminya. Melihat paras muka nyonya itu, tak tega ia menyampaikan warta jelek itu. Maka
itu, lantas saja ia menjawab secara samar-samar: "Aku tidak naik lagi ke keraton es dan
tak tahu keadaan suamimu. Sesudah Kiatyan, kau boleh pergi ke Sakya untuk menemui
muridmu, Tan Thian Oe, yang tentu bisa memberikan keterangan terlebih jelas."
Mendengar jawaban itu, Tjia In Tjin merasa agak heran, tapi ia tidak mendesak terlebih
jauh dan mulai dengan penuturannya. "Sebenar-benarnya, sudah lama aku ingin datang
kesini untuk menemui Moh Tayhiap guna memberitahukan, bahwa keponakan
perempuannya berada di atas Puncak Es, di gunung Nyenchin Dangla," katanya. "Tapi
karena anak ini, sampai sekarang baru niatan itu terwujud. Sebelum berangkat, aku sudah
medengar desas-desus tentang adanya beberapa orang yang ingin menyukarkan Moh
Tayhiap dalam Kiatyan kali ini. Tadinya aku tidak begitu percaya, tapi siapa nyana aku
sendiri mendapat buktinya. Kalau tak salah, besok bakal ramai sekali."
"Apa?" Keng Thian menegas. "Di samping si kusta, apakah kau bertemu dengan orang
lain?" "Tak salah," Tjia In Tjin membenarkan. "Tadi, kira-kira magrib, baru saja aku
masuk ke mulut
jalan gunung, anakku lapar. Aku segera bersembunyi di belakang sebuah batu besar dan
menetei ia. Tiba-tiba aku mendengar suara tindakan beberapa orang yang sedang
memasuki lembah. Aku mengintip dan mendapat kenyataan, bahwa mereka itu adalah
beberapa Toosoe Boetong pay, bersama Tjoei In Tjoe. Agaknya mereka sedang
bertengkar. Mendadak aku mendengar suara Tjoei In Tjoe yang sangat keras: 'Loei Toako
tidak mati! Ia menjanjikan aku supaya malam ini berkumpul di Kimkong sie. Jika kamu
masih tidak percaya, sebentar kamu bisa menyaksikan dengan mata sendiri.' Agaknya ia
dan Loei Tjin Tjoe telah mengambil jalan yang berlainan. Maka itu, waktu tadi bertemu
dengan Loei Tjin Tjoe, aku tidak menjadi heran. Beberapa Toosoe itu lantas saja
mengatakan sesuatu, tapi tak dapat didengar olehku. Di lain saat, Tjoei In Tjoe berteriak:
'Itu semua tak ada sangkut-pautnya dengan Tokbeng Siantjoe Tjia In Tjin! Semua-semua
adalah main gilanya Ong Loei Tjoe!' Mendengar namaku disebut-sebut, lantas saja aku
memasang kuping dengan lebih sungguh-sungguh"
"Beberapa Toosoe itu agaknya merasa sangat heran. 'Tapi bukankah Ong Lioe Tjoe
saudara angkatmu?' seru satu antaranya. 'Benar,'jawab Tjoei In Tjoe. 'Tapi dia adalah
murid Khongtong pay. Khongtong pay...'
"Baru saja Tjoei In Tjoe berkata sampai disitu, tiba-tiba terdengar suatu teriakan aneh
dan dari atas cadas berkelebat turun sesosok bayangan manusia yang lantas menubruk
Tjoei In Tjoe."
"Tjoei In Tjoe mengangkat gendewanya untuk menangkis. Sekonyong-konyong
terdengar suara nyaring dan teriakan Tjoei In Tjoe yang menyayatkan hati dan ia lantas
roboh di atas tanah. Hampir berbareng dengan itu, serupa benda hitam turun melayang ke
arah kepalaku!"
Tjia In Tjin bergelar si Dewi Pembetot Jiwa. Dalam kalangan Kangouw, orang lainlah
yang takut terhadapnya. Tapi, di waktu menutur sampai disitu, paras mukanya berubah
pucat dan suaranya agak gemetar.
"Apakah itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
Tjia ln Tjin menghela napas dan menjawab: "Sinkiong (Gendewa Malaikat) Tjoei In Tjoe
yang sudah berubah lempang bagaikan tongkat besi. Coba pikir: Dengan sekali sambar,
sekali membetot, senjata Tjoei In Tjoe sudah berubah menjadi begitu!"
Mendengar itu, Keng Thian ternganga. Bahwa orang itu bisa membetot dan
melemparkan gendewa tersebut dalam tempo sekejap mata, terlebih pula busur yang
tadinya melengkung sudah kena dibetot menjadi lurus, adalah suatu kejadian yang
sungguh-sungguh luar biasa, la sendiri belum tentu mampu berbuat begitu!
"Itu masih belum seberapa," kata pula Tjia In Tjin. "Sinkiong Tjoei In Tjoe adalah senjata
mustika. Talinya yang terbuat dari benang-benang emas, tak dapat diputuskan dengan
senjata tajam. Tapi sekarang, tali itu putus seanteronya dan benang-benangnya berkibar-
kibar di tengah udara. Jika hanya putus beberapa lembar benang, aku juga tidak merasa
heran. Tapi orang itu, dengan sekali mengebas, sudah memutuskan semua tali itu. Jika
tak melihat dengan mata sendiri, aku pun tak akan percaya."
"Apakah orang itu seorang imam tua yang mengenakan jubah pertapaan warna
kuning?" tanya Keng Thian.
"Bukan," jawabnya sembari menggelengkan kepala. "Dilihat dari mukanya, ia baru
berusia tiga puluh tahun lebih. Orangnya tinggi kurus, rambutnya awut-awutan seperti
rumput dan di bawah sinar rembulan, mukanya putih meletak, sehingga aku sendiri jadi
bergidik."
"Ih!" kata Keng Thian, terkejut. "Kalau begitu, dia bukan Hongsek Toodjin! Dalam dunia
ini, kecuali beberapa Tjianpwee dari partai-partai yang murni, siapa lagi yang mempunyai
kepandaian begitu tinggi?"
Siauw Tjeng Hong juga heran bukan main, tapi sebagai orang yang berpengalaman
luas, ia segera dapat mengutarakan pikirannya. "Dilihat begini," katanya. "Kalau orang itu
bukan Khongtong pay, tentu juga ia mempunyai sangkut paut rapat dengan partai
tersebut. Maka itu, di waktu Tjoei In Tjoe menyebut nama Khongtong pay, ia segera
menyerang untuk menutup mulutnya."
Keng Thian lantas saja ingat akan pengalamannya di waktu Loei Tjin Tjoe dikepung
oleh Tio Leng Koen dan dua belas kawannya. "Tak salah," katanya. "Sejumlah orang
Khongtong pay, di bawah pimpinan Tio Leng Koen, sudah menghamba kepada kerajaan
Tjeng dan berniat membasmi orang-orang Boetong yang melawan bangsa Boan di daerah
Sinkiang."
"Apakah Tjoei In Tjoe ditotok jalan darah gagunya?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Lebih dari itu!" sahut Tjia In Tjin. "Gendewa itu jatuh di pinggir badanku dan sedikitpun
aku tidak berani bergerak. Untung anakku sudah kenyang dan sudah pulas. Dengan hati
berdebar-debar, aku mengintip dari sela-sela batu. Sesudah merobohkan Tjoei In Tjoe,
bagaikan kilat, orang itu mengerjakan kedua tangannya."
"Beberapa Toosoe itu mengeluarkan teriakan 'a-a u-u' yang luar biasa dan melompat-
lompat seperti orang menginjak bara. Orang itu tertawa seraya berkata: 'Sekarang kamu
tak bisa menggoyang lidah sembarang lagi.' Di lain saat, bagaikan seekor kera,
bayangannya sudah berada di tanjakan gunung, tapi suara tertawanya yang
membangunkan bulu roma masih berkumandang terus di selat gunung yang sunyi."
"Sesudah orang itu pergi jauh, dengan memberanikan hati, aku keluar dari tempat
sembunyi untuk melihat keadaan para korban itu. Bermula aku menduga mereka hanya
ditotok jalan darah gagunya. Tapi segera juga hatiku mencelos, sebab beberapa Toosoe
itu, berikut Tjoei In Tjoe, sudah dikutungkan lidahnya! Setelah memeriksa, aku mendapat
kenyataan, bahwa tulang pundak mereka juga dipukul hancur, sehingga mereka bukan
saja menjadi orang gagu, tapi juga bercacat untuk seumur hidupnya, tanpa mempunyai
lagi kepandaian silat."
Suami isteri Siauw Tjeng Hong kaget bukan main. "Kenapa dia begitu kejam?" tanya
Tjeng Hong. "Lebih kejam seratus kali daripada si penderita kusta! Si kusta hanya main-
main, tidak melukakan orang secara sungguh-sungguh."
Tong Keng Thian tidak berkata suatu apa dan Tjia In Tjin lantas saja meneruskan
penuturannya: "Sorot mata mereka seperti orang berotak miring, mulut mereka ternganga
tak bisa ditutup dan juga tak dapat mengeluarkan suara. Otot-otot muka mereka pada
timbul dan kelihatannya sangat menakutkan. Tentu saja dengan seorang diri, aku tidak
bisa menggendong mereka. Maka itu, tanpa memperdulikan bahaya, jalan satu-satunya
adalah memberi warta ke Kimkong sie. Secepat mungkin aku berlari-lari. Tapi baru saja
keluar dari selat gunung, aku melihat belasan Toosoe yang membawa obor, masuk ke
dalam mulut selat lain. Mereka berkaok-kaok, memanggil-manggil saudara-saudara
seperguruannya. Agaknya sesudah mendengar teriakan-teriakan luar biasa, mereka
berkuatir dan lalu mencari saudara-saudaranya itu. Hatiku menjadi agak lega, tapi aku
merasa, biar bagaimanapun juga, aku harus melaporkan kejadian itu kepada Moh
Tayhiap. Demikian aku terus mendaki gunung. Tapi, di luar dugaan, sebelum tiba di
Puncak Emas, aku bertemu dengan si penderita kusta!"
Tong Keng Thian mesem dan berkata: "Si kusta tentu juga sudah mendengar nama
besar Tokbeng Siantjoe, sehingga ia sengaja mengganggu kau."
"Ya," kata Tjia In Tjin. "Aku tak tahu, bagaimana ia bisa mengenal aku. Waktu itu,
Kimkong sie sudah dekat sekali dan gedungnya sudah bisa dilihat nyata dari jauh.
Mungkin lantaran aku berlari terlalu cepat, anakku mendusin dan menangis. Aku berhenti
dan mengusap-usap tubuhnya. Saat itu hatiku sedih oleh karena mengingat, bagaimana
seorang diri dan dengan menggendong-gendong anak, aku terombang-ambing di dalam
dunia. Sambil menepuk-nepuk anakku, aku berkata: "Ah! Jika ayahmu berada disini,
bahaya apapun juga kita tak usah takuti lagi!' Anak itu seolah mengerti perkataanku dan ia
lantas saja berhenti menangis. Selagi mau meneruskan perjalananku, di atas kepalaku
mendadak terdengar suara tertawa. Aku mendongak dan disitu, di atas sebuah batu besar,
duduk bersila seorang penderita kusta yang macamnya sungguh-sungguh menakutkan.
Aku terkejut, lebih terkejut daripada tadi!"
"Si kusta mengawasi aku dan tertawa haha-hihi. 'Apakah kau bukannya Tokbeng
Siantjoe Tjia In Tjin?'” tanyanya.
"Sesaat itu, aku ingat warta yang tersiar dalam kalangan Kangouw tentang munculnya
seorang penderita kusta yang sangat ditakuti. Dengan memberanikan hati, aku berkata:
'Eh, jangan menakut-nakuti anakku!' si kusta menyengir dan berkata pula: 'Hei! Bukankah
kau Tokbeng Siantjoe? Kau sendiri yang takut, sebaliknya kau mengatakan anakmu yang
takut kepadaku!' Sehabis berkata begitu, ia membuat lagak seperti monyet dan
mengeluarkan suara lucu. Entah bagaimana, anakku jadi tertawa. Ia kelihatan girang
sekali. 'Nah, lihatlah!' katanya. 'Anakmu tak takut padaku. Eh, bukankah suamimu yang
dipanggil Thiekoay sian? Kenapa ia tidak bersama-sama kau?' Aku tak menjawab sebab
sedang mencari jalan untuk menghadapi gangguannya. Si kusta tertawa pula dan berkata:
'Sayang! Sungguh sayang! Jika suamimu turut datang, bukankah aku dapat meminta
pengajaran dari seorang yang namanya begitu kesohor?' Dia mengenakan pakaian
rombeng seperti pengemis dan senjatanya juga sebatang tongkat besi, sehingga mirip
sekali dengan ayah anakku. Beberapa saat kemudian, ia berkata lagi: 'Eh, jelek bagus aku
adalah sekaum dengan suamimu. Kenapa kau tak meladeni?'
"Darahku mulai naik. Aku meraba gagang pedang dan membentak supaya ia
menyingkir. 'Baiklah,' katanya. 'Tapi dengan satu syarat, yaitu kau harus tertawa dulu
terhadapku.' Aku tak dapat menahan sabar lagi, dengan menghunus pedang, aku
menerjang.
"Dia lagi-lagi tertawa dan berkata: 'Ha, galak benar kau! Aku tak membetot jiwamu,
hanya ingin melihat tertawamu yang manis. Kenapa kau lantas marah?' Sembari berkata
begitu, tangannya menjumput sebuah batu yang lantas dicengkeram, sehingga menjadi
hancur. Di lain saat, ia mengayun tangannya dan hancuran batu itu menyambar ke
arahku!"
Keng Thian mesem dan berkata: "Bukankah serangannya seperti serangan terhadap
Loei Tjin Tjoe? Hanya, terhadap Loei Tjin Tjoe, ia menyerang dengan tongkat, terhadapmu
ia menggunakan hancuran batu."
"Benar," jawab Tjia In Tjin. "Kepingan-kepingan batu itu cepat luar biasa, satu
menyambar Djoanma hiat (jalan darah yang membikin orang jadi kesemutan) di dada kiri,
satu menyambar Yangyang hiat (jalan darah gatal) di dada kanan, satu lagi menyambar ke
arah Siauwyauw hiat (jalan darah tertawa), sehingga serangan itu merupakan serangan
segitiga. Oleh karena di depanku menghadang batu besar, jalan satu-satunya adalah
loncat ke belakang. Tapi kau tak tahu, bahwa tiga kepingan batu itu, yang menyambar dari
depan, bukan serangan satu-satunya. Di samping tiga serangkai tersebut, dari kiri kanan
malah dari belakang -- kepingan-kepingan itu ada yang terbang melewati kepala dan
kemudian berbalik menyambar lagi -- menyambar juga kepingan-kepingan lain. Apa yang
sangat luar biasa adalah: Kepingan-kepingan itu terbang dalam bentuk (formasi) segitiga
dan menyambar ke arah tiga jalan darah! Hatiku mencelos. Aku mengerti, biar
bagaimanapun juga, tak nanti aku dapat meloloskan diri."
"Memang," kata Keng Thian sambil mengangguk. "Memang ilmu melepaskan senjata
rahasia itu sudah mencapai puncaknya kesempurnaan. Menurut pendapatku, dalam dunia
ini, di samping keluarga Tong dan Han Tiong San dari Lengsan pay, dia adalah orang
ketiga yang mempunyai ilmu itu. Dengan menggendong anak, lebih-lebih sukar kau
menyelamatkan diri."
"Aku pun merasa tak akan terlolos lagi," kata Tjia In Tjin. "Dalam kebingungan, buru-
buru aku menarik napas dalam-dalam untuk menutup semua jalan darahku. Tapi karena
menyambarnya kepingan-kepingan itu luar biasa cepatnya, aku tidak keburu lagi menutup
jalan darahku. Pada detik yang sangat berbahaya, tiba-tiba terdengar suara tertawa
nyaring. Hampir berbareng dengan itu, terdengar serentetan suara "tring-tring-tring" dan
batu-batu itu terpukul jatuh. Si kusta berteriak keras, lalu melompat tinggi dan dalam
sekejap, ia sudah menghilang ke dalam hutan. Di antara pohon-pohon yang rindang
daunnya, aku melihat berkelebatnya seorang wanita yang mengenakan pakaian berwarna
hijau dan yang lantas saja menghilang."
Heran sungguh hati Keng Thian. "Didengar dari penuturanmu," katanya. "Wanita
tersebut sudah menggunakan senjata rahasia untuk memukul jatuh kepingan-kepingan
batu itu. Apakah kau tahu, senjata apa adanya itu?"
"Tidak," jawab Tjia In Tjin. "Tapi dari suaranya, aku dapat memastikan, bahwa senjata
rahasia itu adalah sangat halus, seperti sebangsa jarum."
Keng Thian terperanjat dan berpikir: "Wanita itu berada di dalam hutan, sehingga jarak
antara ia dan Tjia In Tjin adalah terlebih jauh daripada jarak antara si kusta dan nyonya itu.
Bahwa ia bisa memukul jatuh kepingan-kepingan batu itu dengan senjata jarum,
membuktikan, bahwa kepandaiannya sungguh-sungguh berada di sebelah atasku."
Sesudah berdiam beberapa saat, Keng Thian berkata pula dengan suara perlahan:
"Apakah benar bukan Pengtjoan Thianlie?"
"Waktu itu hatiku sedang berdebar-debar dan gerakan wanita tersebut luar biasa
cepatnya," jawabnya. "Selain itu, daun-daun pohon telah menedeng tubuhnya dan aku
hanya dapat melihat belakangnya, untuk sedetik saja. Tapi, jika tak salah, badan
Pengtjoan Thianlie agak lebih jangkung, sedang wanita itu lebih kate sedikit. Menurut
dugaanku, ia bukan Pengtjoan Thianlie."
Sementara itu, sang Dewi Malam sudah doyong ke sebelah barat, sedang titik-titik sinar
"Sengteng" pun sudah mulai guram. Keng Thian betul-betul pusing otaknya.
"Dalam keadaan begitu, mungkin sekali Tjia In Tjin sudah salah melihat," katanya pula
di dalam hati. "Aku tak percaya, bahwa selain Peng Go, dalam dunia ini masih ada wanita
lain yang mempunyai kepandaian begitu."
Melihat pemuda itu berdiam saja dengan paras muka kusut, Tjia In Tjin segera berkata:
"Beberapa kali kau telah menyebutkan nama Pengtjoan Thianlie. Bukankah ia pernah
mengatakan, bahwa ia tak akan turun dari Puncak Es? Apakah ia sekarang berada disini?"
"Puncak Es sudah roboh, tentu saja ia boleh turun gunung," jawab Keng Thian. "Jika
tak salah, ia sekarang berada di antara kita!"
Tjia In Tjin menghela napas."Jika benar ia berada disini, harap saja ia tidak bertemu
dengan si kusta itu," katanya. "Pengtjoan Thianlie adalah bagaikan sekuntum bunga di
selat gunung yang indah. Jika ia melihat si kusta, jangankan sampai bertempur, melihat
mukanya saja mungkin ia sudah menjadi muntah."
Mendengar itu, di depan mata Keng Thian kembali terbayang si nona yang sedang
berjalan bersama-sama dengan Kim Sie Ie. Dalam dunia memang banyak sekali terjadi
apa-apa yang di luar dugaan. Siapa bisa percaya, bahwa Pengtjoan Thianlie bisa
mempunyai perhubungan dengan penderita kusta itu? Mengingat begitu, ia jadi sangat
berduka.
"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Tjia In Tjin sembari tertawa. "Lagi memikirkan
Pengtjoan Thianlie atau si kusta? Lebih baik kau coba mengusir dia, supaya dia tidak
mengacau disini."
"Ya," kata Keng Thian. "Aku sudah mengambil keputusan untuk melek terus malam ini,
guna mencari mereka."
"Mereka?" Tjia In Tjin menegasi, yang merasa heran, bahwa Keng
Thian menggabungkan Pengtjoan Thianlie dengan si kusta.
"Menurut dugaanku, malam ini mereka tidak menginap di kuil," kata pula Keng Thian.
"Kurasa, mereka masih berada di dekat-dekat sini. Keadaan Loei Tjin Tjoe tentu sudah
banyak mendingan dan menurut perhitunganku, sekarang ia sudah bisa berjalan pula.
Maka itu, pergilah mencari ia dan minta mengantarkan kalian pergi menemui Moh Tayhiap.
Kejadian malam ini biar bagaimanapun juga harus segera diberitahukan kepada Moh
Tayhiap."
Sehabis berkata begitu, Keng Thian segera berlalu dan seorang diri berputar-putar di
seluruh bagian gunung, tapi sampai badannya lelah, tak seorang manusia pun dapat ia
temukan.
Bukan main kalut pikirannya.
Kedatangannya sekali ini, pertama adalah untuk mencari Pengtjoan Thianlie dan kedua,
adalah untuk menghadiri Kiatyan. Di luar dugaan, dalam tempo semalam itu, ia sudah
menemui begitu banyak kejadian yang luar biasa. Jika dihitung-hitung, di pihak lawan
sedikitnya terdapat tiga orang yang berkepandaian tinggi, yaitu Hongsek Toodjin,
Hiatsintjoe dan orang aneh itu yang telah menganiaya Tjoei In Tjoe dan beberapa imam.
Kepandaian mereka semuanya berada di sebelah atasnya. Selain itu, masih ada si
penderita kusta yang belum diketahui, apakah ia akan menjadi lawan atau kawan. Maka
itu, harapan satu-satunya adalah coba mencari Pengtjoan Thianlie, supaya ia dan si nona
bisa bersama-sama melawan musuh-musuh itu.
Dalam jengkelnya, ia berdongak dan berteriak: "Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!'
dalam teriakannya itu, ia telah menggunakan lweekang dari Thiansan pay, sehingga
suaranya menjadi nyaring tajam dan bisa terdengar dalam jarak belasan li. Tapi, sesudah
berteriak berulang-ulang, yang menjawab hanyalah kumandang suaranya sendiri.
Sekonyong-konyong dari puncak gunung di depan terdengar suara tertawa yang sangat
nyaring. Suara itu tak asing lagi baginya, tapi dalam keadaan was-was, Keng Thian tak
dapat memastikan, apakah itu suara Peng Go atau orang lain. Tanpa berpikir lagi, lantas
saja ia berteriak: "Peng Go Tjietjie! Aku disini! Kau keluarlah!”
Mendadak serupa benda yang berwarna indah, datang menyambar. Setelah disambuti,
benda itu ternyata adalah karangan bunga yang sangat indah, dengan disertai tulisan
seperti berikut:
"Sekali kau punya, tetap kau punya."
Bunga-bunga dan batang-batangnya masih basah dengan air embun, hal mana
menandakan, bahwa karangan bunga itu baru saja dibuat.
Hati Keng Thian meluap kegirangan. Puncak gunung di depan dan tempat dimana ia
berdiri, dihubungkan dengan batu-batu. Sambil mengempos semangat, dengan beberapa
loncatan saja, ia sudah tiba di seberang dan lantas berlari-lari masuk ke dalam hutan
sambil berteriak-teriak: "Peng Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!"
Kecuali beberapa Tjianpwee, yang dapat menandingi ilmu mengentengkan badan Keng
Thian, dengan sesungguhnya tiada berapa orang. Sesudah mencari ke seluruh peloksok
hutan, orang yang dicari itu masih tak kelihatan bayang bayangannya.
"Andaikata benar Peng Go Tjietjie, dia toh tak bisa lari begitu cepat," pikirnya. Di lain
saat, mendadak ia ingat apa-apa yang membikin ia seperti diguyur air dingin. "Ah!"
katanya di dalam hati. "Pengtjoan Thianlie adalah seorang wanita yang beradat angkuh.
Tak mungkin ia mengutarakan rasa cintanya begitu terang-terangan. Karangan bunga itu
pasti bukan dibuat olehnya! Tapi... jika bukan dia, siapakah yang begitu nakal dan
mempermainkan diriku?"
Baru bergirang, ia kembali menjadi seperti orang linglung dan jalan sejalan-jalannya,
tanpa tujuan.

***

Dalam gunung itu terdapat seorang lain yang diliputi kedukaan dan kekecewaan yang
lebih hebat daripada Keng Thian. Orang itu adalah Kim Sie Ie.
Semenjak bertemu dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Tjiakdjie san, ia terus
mengintil di belakang si nona, tempo-tempo muncul, kadang-kadang menghilang, terus
sampai di gunung Gobie san.
Hari itu, ketika baru memasuki Gobie san, oleh karena kuatir diketahui si nona, Kim Sie
Ie hanya berani mengikuti dari jarak kira-kira setengah li jauhnya. Gobie san adalah
sebuah gunung yang angker dan berbahaya, penuh dengan pohon-pohon besar, cadas-
cadas tajam dan jalan yang berliku-liku. Mendadak ia kehilangan Pengtjoan Thianlie dan
dayangnya. Ia mempercepat tindakannya dan mencari ubek-ubekan. Baru ia masuk ke
suatu lembah, cuaca sudah mulai gelap. Di sebelah jauh, ia melihat air terjun yang turun
dari atas gunung. Ia mendekati dan disitu ia mendapatkan suatu kobakan yang airnya
jernih dan yang dikitari pohon-pohon bunga hutan, yang seakan-akan merupakan sebuah
sekosol sulam.
Sekonyong-konyong di antara pohon-pohon bunga terdengar suara tertawa seorang
wanita. "Siauwkongtjoe (Puteri kecil)," demikian wanita itu berkata. " 'Ku sudah kata, Tong
Siangkong pasti datang lebih dulu disini untuk menunggu kau." Suara itu bukan lain
daripada suara Yoe Peng, sedang orang yang dipanggil "Puteri kecil" tentu Pengtjoan
Thianlie sendiri.
Jantung Kim Sie Ie memukul keras. Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan sepatah
kata. Berselang beberapa saat, Yoe Peng berkata pula sembari tertawa: "Sebenar-
benarnya
walaupun kau membenci dia, kau toh seharusnya menanya dulu biar terang."
Kim Sie Ie yang bersembunyi di belakang batu, menahan napas supaya
persembunyiannya tidak diketahui si nona.
Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang, disusul suara Peng Go yang sangat
perlahan: "Tak usah kau campur tahu."
Lagi-lagi Yoe Peng tertawa geli. "Siauwkongtjoe," katanya "Kenapa kau jadi begitu?
Terang-terang, aku mengetahui kau menyukai dia!"
"Jangan rewel!” bentak si nona.
"Andaikata kau tidak menyukai dia, aku tahu, kau tidak membenci dia," kata si dayang.
Mendengar itu, jantung Kim Sie Ie kembali memukul keras. Ia merasa, perkataan Yoe
Peng
adalah beralasan.
Pengtjoan Thianlie tetap menutup mulut.
"Ah, Siauwkongtjoe!" kata Yoe Peng dengan suara penasaran. "Sekarang biarlah aku
berterus terang: Jika kau tetap mengumbar napsu terhadap Tong Siangkong, ada seorang
siauwdjin (orang rendah) yang akan merasa girang."
"Apa?" si nona menegas.
"Benarkah Siauwkongtjoe tak tahu?" jawabnya. "Ada seorang, seekor anjing pemburu
yang terus menguntit kita... tidak! Bukan, bukan anjing pemburu, tapi kodok buduk, seekor
kodok buduk yang mengimpi ingin gegares daging angsa langit!”
Mendadak saja, Kim Sie Ie tak dapat menguasai diri lagi. Dengan sekali mengenjot
badan, ia sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak sekuat-
kuatnya: "Apa? Aku kodok buduk?"
Daun-daun terdengar berkresekan dan Peng Go bersama dayangnya keluar dari antara
pohon-pohon bunga.
Yoe Peng tertawa dingin dan berkata: "Siauwkongtjoe, lihatlah! Bukankah benar, apa
yang kukatakan tadi? Tak bedanya seperti anjing pemburu yang hidungnya tajam.
Kemana juga kita pergi, dia selalu dapat mengendusnya. Anjing pemburu sebenarnya
lebih tinggi setingkat daripada kodok buduk."
Kim Sie Ie tertawa dingin. Dengan paras muka berubah pucat, ia mengangkat
tongkatnya.
Melihat begitu, buru-buru Peng Go loncat menyelak di depan Yoe Peng. "Mau apa kau?"
tanyanya.
"Kau adalah angsa langit, tak berani aku, si kodok buduk, melihat wajahmu," kata Kim
Sie Ie. "Tapi dayangmu adalah seekor bebek. Aku si kodok buduk, ingin menelan dia!"
"Kim Sie Ie!" kata si nona dengan suara tawar. "Apakah kau masih memandang aku
atau tidak?"
Selama hidupnya, Kim Sie Ie selalu bertindak dengan menuruti kemauannya sendiri
saja. Dengan memiliki ilmu silat seperti yang dimilikinya, dengan mudah ia akan dapat
melukakan Yoe Peng. Tapi mendengar teguran Peng Go, entah kenapa, ia menjadi keder.
Ia merasa, bahwa Pengtjoan Thianlie mempunyai keagungan dan keangkeran yang wajar,
yang tak dapat dilanggar oleh siapapun juga. Hatinya ingin menyindir, tapi sindiran itu tak
bisa keluar dari mulutnya. Maka itu, ia hanya berkata: "Dayangmu telah mencaci aku.
Aku..."
"Kau ingin mengajar adat?" si nona memotong. "Dayangku tak perlu diajar oleh orang
lain." Kim Sie Ie kembali naik darah, tapi ia tak berani mengumbar kegusarannya.
Sambil menahan
amarah, ia menanya dengan mengutib perkataan Peng Go sendiri: "Pengtjoan Thianlie!
Apakah kau masih memandang aku atau tidak?"
Peng Go melirik dan kemudian dengan tawar: "Kita bertemu hanya secara kebetulan
saja. Soal pandang memandang sebenarnya bukannya soal di antara kita."
Kim Sie Ie bungkam sejenak. Rasa jelus, membenci dan gusar berkumpul di dalam
dadanya. Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar, ia berteriak: "Dalam matamu, memang
hanya terdapat si bocah she Tong!"
"Tak ada sangkut pautnya dengan kau!" jawab si nona sembari tertawa tawar. Sehabis
berkata begitu, Peng Go menghela napas panjang, kedua matanya mengawasi Kim Sie Ie
dengan sorot kasihan.
Meskipun berusia lebih muda dari Kim Sie Ie, dengan suara seperti seorang kakak yang
sedang menasehati adiknya, ia berkata: "Ah! dengan kepandaianmu, sebenarnya kau bisa
menjadi seorang pendekar di jaman ini, jika kau berjalan dijalan lurus. Dan jika kau terus
mempelajari ilmu, kau bisa menjadi seorang guru besar dari suatu cabang persilatan. Tapi
kenapa, kenapa kau mengeluarkan lagak buaya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Itulah kata-kata yang ia baru pernah mendengar. Dalam
mengeluarkan kata-kata itu, nada suara Pengtjoan Thianlie penuh dengan rasa sayang.
Tapi pada saat itu, mana Kim Sie Ie dapat menerimanya dengan otak dingin? Mendadak
saja, ia merasakan darahnya mengalir deras dan dadanya seperti mau meledak.
"Kenapa lagak buaya?" tanyanya, dengan mata merah.
Seingatnya, ia selalu membenci dunia dengan segala umat manusia yang hidup di
dalamnya. Belum pernah ia menanya diri sendiri, apakah sepak terjangnya benar atau
tidak. Maka itu, baginya, kata-kata Peng Go adalah bagaikan halilintar di tengah hari
bolong.
Di lain pihak, ditanya begitu, Peng Go jadi kemekmek. Tak dapat ia menjawab
pertanyaan Kim Sie Ie. Harus diingat, bahwa pendidikan yang Peng Go dapat adalah
berlainan dengan pendidikan Kim Sie le. Bahwa ia sudah menggunakan kata-kata yang
kasar itu, sebenarnya sudah melampaui garis kebiasaannya. Maka itu, tak mungkin si
nona memberi penjelasan lebih lanjut mengenai lagak buaya Kim Sie Ie.
Dengan sorot mata gila, Kim Sie Ie mengawasi Pengtjoan Thianlie, sehingga Yoe Peng
menjadi takut. "Kau terus mengintil di belakang kami," katanya. "Apakah itu bukan lagak
buaya?"
"Jalan bukan milikmu," sahutnya. "Kau jalan sejalanmu, aku jalan sejalanku. Kenapa
lagak buaya?"
Koei Peng Go jadi merasa kurang senang. "Sie le-heng," katanya. "Jalan ada banyak
sekali. Sebaiknya, kita masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri."
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara teriakan nyaring dan bagaikan seekor kera,
tanpa menengok lagi, ia terus memanjat puncak gunung yang berdekatan.
Seperti manusia edan, ia memanjat dan memanjat terus. Ia berteriak, ia tertawa,
menandak dan bergulingan, sehingga pakaiannya yang indah jadi rubat-rabit, muka dan
sekujur badannya ketusuk duri sehingga mengeluarkan darah, tapi semua itu, sedikitpun
tidak diperdulikannya. Ia merasa rohnya seakan-akan mau berontak keluar dari raganya.
Ia ingin sekali agar, pada detik itu juga, seluruh badannya hancur lebur menjadi debu
untuk disebarkan ke seluruh bumi.
Seperti orang berotak miring, ia merobek-robek bajunya dan kemudian berdiri di pinggir
kobakan, bercermin di air yang bening bagaikan kaca. "Tiada beda dengan manusia lain,
tubuhku telah dilahirkan oleh ayah bundaku," ia berteriak. "Tapi kenapa manusia begitu
menghina diriku?"

***

Di detik itu, segala pengalamannya yang lampau, berbayang pula di depan matanya. Ia
ingat masa bocahnya. Lain orang melewati masa kecilnya dengan penuh kebahagiaan, ia
justru sebaliknya. Apa yang dialaminya sepanjang masa itu, adalah kepahitan dan
kegetiran. Siang-siang ibunya sudah meninggal dunia, sedang ayahnya adalah seorang
guru sekolah miskin yang mencari makan di kampung orang.
Waktu ia berusia lima tahun, karena ayahnya berpenyakitan dan hasilnya sebagai guru
sekolah tidak mencukupi ongkos penghidupan, ayahnya itu telah mengambil putusan
untuk pulang ke kampung kelahirannya. Karena tidak mempunyai kemampuan lain, maka
mau tak mau, ayah dan anak itu terpaksa harus mengemis di sepanjang jalan. Di tengah
jalan, sang ayah sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Masih untung, berkat
pertolongan seorang kawan pengemis, ia sendiri tak sampai mati kelaparan.
Demikianlah, dengan pakaian rombeng dan badan kurus kering, ia menuntut
penghidupan sebagai pengemis kecil, yang hidupnya tergantung dari belas kasihan orang.
Sesudah tiga tahun hidup begitu, di badannya mulai tumbuh bisul-bisul dan pada mukanya
timbul bintik-bintik merah yang menonjol. Tentu saja ia tak mengerti apa artinya gejala-
gejala itu. Ia hanya merasa heran karena kawan-kawannya tak mau bergaul lagi dengan
dirinya, bahkan selalu menyingkir jauh-jauh.
Pada suatu hari, seorang pengemis tua berkata kepadanya: "Kurasa kau menderita
penyakit kusta. Sekarang kau tidak dapat mengemis lagi, sebab kau bisa mati digebuk
orang!”
Tentu saja ia jadi sangat ketakutan. Sekarang baru ia tahu, kenapa kawan-kawannya
selalu menyingkir jika di dekatnya. Mulai dari waktu itu, ia menyembunyikan diri di waktu
siang dan baru berani keluar di waktu malam untuk mencari sayur atau buah-buahan di
kebun orang. Beberapa kali, hampir-hampir ia binasa dihajar pemiliknya. Kadang-kadang,
jika ia berpapasan dengan orang lain di waktu siang hari, ia tentu akan dicaci sebagai
"Siauwmahong (penderita kecil). Orang-orang yang bernyali kecil menyingkir jauh-jauh,
sedang yang berhati tabah mengejarnya dengan niat akan menguburnya hidup-hidup.
Untung juga, ia bisa lari keras sekali dan beberapa kali ia berhasil meloloskan diri dari
"lubang jarum."
Berbulan-bulan ia hidup sebagai orang liar. Dapatlah dibayangkan, betapa besar
penderitaannya pada waktu itu. Dalam otaknya yang masih sangat sederhana, sering-
sering ia mendapat pikiran nekat.
Pada suatu hari, dengan perut kosong dan badan kedinginan, ia mendaki sebuah
gunung yang tinggi. Akhirnya, tibalah ia di atas sebuah batu cadas yang sangat besar,
didampingi air terjun yang jatuh ke dalam jurang yang dalamnya ratusan tombak. Sampai
disitu habislah tenaganya, dan mau tidak mau ia harus berhenti. Lama ia berdiri disitu
dengan kedukaan yang tak terlukiskan.
Mendadak, ia jadi nekat. Sembari berteriak: "Ayah! Ibu!", ia melompat ke bawah!

***

Melamun sampai disitu, tiba-tiba Kim Sie Ie sadar dan ia merasa, bahwa tanah di
bawah kakinya, agak bergetar. Ia memperhatikan sekelilingnya dan mendapat kenyataan,
bahwa di hadapannya terdapat air terjun, yang mencurahkan airnya ke dalam sebuah
jurang yang dalamnya ratusan tombak.
Ia menghela napas panjang-panjang. "Dulu, ada yang menolong aku," katanya di dalam
hati. "Sekarang, siapakah yang akan menolong?" Berpikir begitu, ia ingat pula kepada
pertemuan luar biasa itu yang telah mengubah seluruh penghidupannya.

***

Begitu ia melompat dari batu cadas itu, selagi badannya berada di tengah udara, dalam
keadaan setengah sadar, ia merasa, bahwa sebuah tangan yang besar lagi kuat,
menjambret bajunya. Bagaikan dalam mimpi, ia merasakan tubuhnya dilontarkan ke ruang
kosong tak berdasar, tidak pula berbatas. Kepalanya pusing, kupingnya mendesing dan ia
tak ingat orang lagi...
Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, ketika sayup-sayup ia mendengar
seseorang berkata: "Sungguh kasihan anak ini!"
Ia merasakan pundaknya ditepuk-tepuk dan mulutnya disuapi makanan. Kejadian itu
telah menimbulkan lagi hal-hal di jaman lampau yang sebenarnya sudah lama hilang dari
ingatannya. Ia ingat pula kepada saat-saat penuh bahagia, ketika ia didukung ibunya,
ditepuk-tepuk dan diberi makanan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia terkejut,
karena yang dilihatnya adalah pemandangan sebagai dalam impian. Ia mendapatkan
dirinya sedang berbaring di sebuah perahu kecil dan sekelilingnya hanyalah laut biru yang
berombak kecil-kecil. Dalam perahu itu terdapat seorang kakek yang beroman aneh dan
sedang memandangnya dengan sorot mata menyayang.
Ia mengucak-ngucak matanya dan memandang orang tua itu, yang berbadan tinggi
besar dan mengenakan pakaian linen. Rambut kakek itu panjang luar biasa, terurai
sampai di pundak. Jika dalam keadaan biasa, ia bertemu dengan orang begitu, sudah
pasti ia akan menjadi ketakutan. Tapi sekarang, sorot mata si kakek justru menimbulkan
rasa hangat di dalam hatinya dan ia merasa, bahwa berdampingan dengan orang tua itu ia
seolah-olah berdampingan dengan ibunya sendiri.
Si kakek tertawa seraya berkata: "Anak, kau sekarang sudah mendusin. Apakah
kau lapar?" Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Orang tua itu segera mengambil sebuah kendi merah dan menuangkan isinya ke dalam
mulutnya. Cair itu berasa seperti arak dan sesudah mencegluk beberapa kali,
semangatnya lantas saja terbangun. "Siapakah kau?" tanyanya. "Apakah kau yang sudah
menolong aku?"
Si kakek mengangguk sambil tertawa. "Anak, sudah sejak beberapa hari aku
memperhatikan dirimu," katanya. "Bahwa seorang diri kau berani bergulat untuk hidup di
pegunungan yang berbahaya, membuktikan, bahwa kau mempunyai nyali yang besar.
Tapi kenapa kau mengambil putusan pendek? Jika aku terlambat sedikit saja, badanmu
tentu sudah hancur di dalam jurang."
Ia menggigit jarinya dan ia merasa sakit. Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa ia
bukan sedang bermimpi.
"Sudah lima hari kau pingsan," kata si kakek sembari mesem pula.
"Badanmu ulet sekali. Jika anak lain yang mengalami kejadian ini, dia pasti tak akan
bisa sehat kembali begitu cepat."
Ia merangkak bangun. "Kenapa kau menolong aku?" tanyanya sembari mengawasi
orang itu. "Kenapa kau tak takut? Aku adalah penderita kusta!"
Si kakek tertawa seraya berkata dengan perlahan: "Bukan, kau bukan penderita kusta.
Aku, akulah, yang benar-benar seorang penderita kusta."
Ia terperanjat dan menatap wajah orang tua itu. Meskipun beroman luar biasa dan
berambut panjang, muka orang tua itu kelihatan sehat dan bersinar merah, sedang
kulitnya licin lagi halus, sedikitpun tak terlihat tanda-tanda penyakit kusta kepadanya.
"Dulu, aku benar pernah menderita penyakit kusta, tapi sekarang sudah sembuh," si
kakek menerangkan. "Kau hanya mendapat penyakit kulit, karena hidup di tempat kotor.
Sesudah mandi dengan air laut beberapa kali dan berjemur beberapa hari, kau akan
segera sembuh. Ah! Sungguh sayang, bahwa kau bukan penderita kusta!" Sehabis
berkata begitu, ia menghela napas panjang-panjang.
Waktu itu, Kim Sie Ie baru saja berusia sebelas tahun. Tapi perkataan si kakek
menimbulkan rasa heran dalam hatinya. "Kenapa ia merasa menyesal, karena aku tidak
menderita penyakit kusta?" tanyanya di dalam hati sembari mengawaskan orang tua itu.
"Dulu aku pernah menderita penyakit kusta," kata kakek itu. "Aku telah mengalami
penderitaan yang sepuluh kali lebih hebat daripada penderitaanmu.
Belakangan aku lari ke sebuah pulau dan bersumpah tak akan menemui manusia lagi.
Bertahun-tahun aku bersembunyi dan beberapa belas tahun berselang, baru seorang
pendekar wanita menyadarkan aku dari kekeliruanku. Aku insyaf, bahwa hidup
mengasingkan diri adalah tak benar. Aku mengubah pendirianku dan akupun bersumpah
untuk menolong para penderita penyakit kusta, sebisaku dan sebanyak mungkin. Selama
sepuluh tahun ini, sudah banyak juga orang yang telah kutolong. Kini aku sudah merasa,
bahwa hidupku sudah tak lama lagi. Aku ingin sekali mengambil seorang anak yang
berpenyakit kusta untuk dijadikan murid. Hanya, sayang aku belum bisa menemukan
seorang yang cocok."
Kim Sie Ie adalah seorang cerdik. Begitu mendengar perkataan orang tua itu, ia segera
berlutut di hadapannya. "Semua orang mencaci aku sebagai penderita kusta," katanya
dengan suara memohon. "Jika kembali ke darat, aku tentu akan mati digebuk orang.
Soehoe, jika kau menolak, lebih baik aku menceburkan diri ke dalam laut!"
Si kakek berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Baiklah. Tapi kau harus mempunyai
nyali untuk hidup bersama-sama dengan aku di pulau terpencil itu."
"Sedang mati 'ku tak takut, masakah aku takut hidup di pulau?" kata Kim Sie Ie.
Demikianlah, ia lalu menjalankan upacara mengangkat guru di perahu itu.
Dalam beberapa hari, dengan mandi di air laut dan berjemur di sinar matahari, Kim Sie
Ie sudah sehat kembali. Bukan saja tenaganya sudah kembali, malah bisul-bisulnya juga
sudah rontok semua dan kulitnya berubah licin. Berselang beberapa hari lagi, sebuah
pulau kecil sudah kelihatan di sebelah jauh. Setelah berada tak jauh dari pulau itu, Kim Sie
Ie mengendus bau wangi yang dibawa angin laut, tapi di antara bau wangi itu tercium juga
bau amis. Ia melihat, bahwa pulau itu ditumbuhi pohon-pohon yang rindang daunnya dan
sebuah sungai kecil juga terdapat disitu. Ombak laut kecil-kecil tiada habisnya bermain di
pantainya, pantai berpasir putih. Pemandangan indah, tenang dan menyenangkan itu,
membikin hati Kim Sie Ie sangat gembira. "Aduh! Bagus benar tempat ini!" ia berseru.
"Bagus atau tak bagus, sebentar baru kau dapat menentukannya," kata si kakek
sembari tertawa. Ia meloncat turun dari perahu itu dan sesaat kemudian ia sudah berjalan
di pesisir sambil menuntun muridnya. Mendadak, dari dalam hutan terdengar suara
berkresekan yang sangat luar biasa dan di detik berikutnya, ribuan ular keluar menyambut
mereka! Alangkah hebatnya pemandangan itu, beribu jenis ular dengan aneka warna kulit
mereka, merayap, berbelit-belit mendatangi sambil mendesis tiada sudahnya Seluruh
pantai dipenuhi binatang menjijikan itu.
Kim Sie Ie kehilangan semangatnya, tapi si kakek sedikitpun tidak merasa takut dan
sembari bersenyum, ia maju mendekati. Sungguh mengharukan, ular-ular itu serentak
menunduk dan mengangguk-angguk seperti juga memberi hormat kepada si tua.
"Anak, apakah kau takut?" tanya orang tua itu sembari tertawa
"Takut apa?" jawabnya "Paling ganasnya, mereka juga sama dengan manusia-manusia
di dunia yang menghendaki jiwaku."
Si kakek tertawa terbahak-bahak. "Jalan pikiranmu sama benar pikiranku, ketika aku
baru mendarat disini," katanya.
Mulai dari saat itu, Kim Sie Ie menetap di pulau tersebut dan belajar silat di bawah
pimpinan gurunya. Juga nama "Kim Sie le" itu adalah pemberian gurunya.
Sesudah lewat beberapa bulan, ia baru mengetahui, bahwa sang guru bernama
Tokliong Tjoentjia, sedang pulau itu adalah Tjoato (Pulau Ular), yang terletak di antara
Laut Kuning dan Pokhay, dan semenjak dulu hampir tak pernah didatangi orang lain.
Di waktu mudanya, Tokliong Tjoentjia adalah seorang guru silat. Belakangan, karena
terserang kusta, ia telah digebah dari rumahnya dan diubar-ubar oleh manusia yang takut
ketularan dan merasa jijik melihat bisul-bisulnya. Bertahun-tahun ia bersengsara, dikejar
kian kemari, sampai akhirnya ia tiba di pulau itu. Dalam kenekatannya, ia berkawan
dengan kawanan ular itu. Kemudian, dengan pertolongan ular, ia berhasil menyembuhkan
penyakitnya. Ilmu silatnya yang sangat luar biasa, telah diciptakannya sendiri di pulau
tersebut.
Tokliong Tjoentjia menurunkan seantero kepandaiannya kepada muridnya. Kim Sie Ie
yang berotak cerdas, gampang sekali menerima pelajaran, sehingga sang guru menjadi
girang sekali.
Menurut kebiasaan setiap tahun sekali atau dua kali Tokliong Tjoentjia pergi ke
Tiongkok darat dan setiap kalinya selama sebulan atau dua bulan. Selama gurunya
menjalankan tugas sebagai penolong sesama manusia, Kim Sie Ie sendiri terus berlatih
silat di pulau itu, dengan dikawani oleh ribuan ular. Di waktu senggang, Tokliong Tjoentjia
sering menceritakan pengalaman-pengalamannya dalam melaksanakan hasratnya,
menolong para penderita kusta yang hidup seperti dalam neraka. Ia juga sering
menuturkan segala kepahitan yang pernah dialaminya sendiri, selama ia sendiri masih
berpenyakit kusta, antara lain bagaimana hampir-hampir ia mati dibakar oleh orang-orang
yang merasa jijik terhadapnya. Semua kisah itu, ditambah dengan pengalamannya sendiri,
sudah membikin Kim Sie le sangat membenci manusia dalam keseluruhannya. Ia
berharap, supaya ia bisa terus tinggal di pulau itu dan tak usah menemui lagi manusia
untuk selama-lamanya.
Tanpa terasa, tujuh tahun lewat dengan cepat sekali. Selama tujuh tahun itu, tiada
hentinya Kim Sie Ie belajar ilmu silat dan tanpa disadarinya ia sekarang sudah menjadi
ahli silat kelas satu.
Mendadak datanglah suatu hari yang telah mengubah seluruh jalan penghidupannya.
Pada suatu magrib, ketika sang matahari tengah menyelam di sebelah barat dan
tampak seolah-olah sebuah bola api, Kim Sie Ie dipanggil gurunya.
Begitu berhadapan, ia melihat perubahan luar biasa yang terjadi pada muka gurunya.
"Sekarang kau sudah mewarisi semua kepadaianku," kata sang guru dengan perlahan.
"Jika kau kembali ke Tiongkok darat dan berkelana di kalangan Kangouw, kurasa di waktu
ini sedikit sekali orang yang bisa menandingi ilmu silatmu."
"Soehoe," kata Kim Sie le dengan bingung. "Kebanyakan manusia dalam dunia jahat
sekali. Lebih baik aku terus berdiam disini seumur hidupku."
Tokliong Tjoentjia mengangguk dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Benar, benar, memang sangat banyak manusia berhati jahat," katanya dengan sabar.
"Malah dalam Rimba Persilatan juga terdapat banyak sekali manusia busuk. Tapi kau
harus ingat, bahwa tidak semua manusia berhati jahat. Antaranya, Lu Soe Nio dan Kam
Hong Tie adalah orang-orang yang berhati mulia."
Semenjak berdiam di pulau itu, Kim Sie Ie belum pernah mendengar gurunya bercerita
tentang orang-orang Rimba Persilatan. Maka sekali ini, ia menjadi sangat heran. Baru saja
ia ingin menanyakan siapa-siapa Lu Soe Nio dan Kam Hong Tie itu, gurunya sudah
berkata pula: "Di samping mereka, ada pula orang-orang dari Thiansan pay. Ah! Jika kau
tidak mencari orang-orang Thiansan pay, kau bisa celaka!"
Kim Sie Ie tak mengerti apa maksud gurunya. "Kenapa?" tanyanya.
"Orang yang sudah mahir dalam ilmu silat gubahanku, rasanya tak akan kalah dari
pendekar-pendekar Thiansan," jawabnya. "Tapi... Tapi..."
"Tapi kenapa?" si murid menanya lagi.
Tokliong Tjoentjia mengerutkan alisnya. "Tak lama lagi, kau akan mengerti sendiri,"
katanya. "Ah! Di antara murid-murid Thiansan, entah siapa yang masih hidup. Bagaimana
sikap mereka?
Apakah mereka akan merasa girang melihat kecelakaan dan membiarkan musnahnya
ilmu silat partai kita, agar partai mereka bisa hidup sendiri dalam dunia ini?"
"Apa?" tanya Kim Sie Ie. "Apakah dalam Thiansan pay tak ada orang jahat? Teetjoe
(murid) bersedia mengikut Soehoe untuk mencari mereka dan menjajal kepandaian
mereka."
Tokliong Tjoentjia kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sebentar akan
kujelaskan,"
katanya. "Sekarang panggillah dulu kawanan ular."
Sesudah tujuh tahun berdiam di Pulau Ular, Kim Sie Ie sudah mahir dalam ilmu
menjinakkan ular. Tapi baru saja ia ingin memutarkan badannya untuk menjalankan
perintah gurunya, tiba-tiba ia melihat uap putih yang keluar dari kepala sang guru.
"Sie Ie," Tokliong Tjoentjia berkata dengan mendadak. "Kau harus ingat segala
penderitaanmu di waktu kecil."
"Teetjoe tak akan melupakannya," jawab si murid.
"Pergilah!" perintah sang guru sembari mengebaskan tangannya. "Lekaslah kembali,
karena aku masih ingin bicara pula!"
Kim Sie Ie segera meninggalkan gurunya dan pergi ke berbagai tempat untuk
memanggil kawanan ular. Ternyata, ular-ular itu mengerti maksud manusia dan tak lama
kemudian, mereka sudah berkumpul diluar hutan dalam rombongan-rombongan yang
masing-masing di kepalai seekor ular besar.
Sesudah menjalankan tugasnya, Kim Sie Ie lalu kembali ketempat gurunya. "Soehoe!"
ia berteriak. "Kawanan ular sudah datang." Tetapi, segera juga ia terperanjat dan berdiri
laksana patung dengan mata membelalak.
Kedua mata Tokliong Tjoentjia terbuka lebar-lebar, biji matanya tak bergerak, sedang
keringat membasahi sekujur badannya. "Soehoe! Kau kenapa?" teriak si murid.
Tokliong Tjoentjia tak menjawab. Dengan jantung berdebar keras, Kim Sie le menubruk
sang guru dan meraba badannya yang ternyata sudah kaku. Ia sudah meninggal dunia! Di
samping jenazahnya terdapat tongkat besinya yang biasa digunakannya dan di bawah
tongkat itu terdapat sejilid kitab dengan tulisan "Tokliong Pitkip (Kitab Naga Beracun) di
kulit luarnya. Sesaat kemudian, Kim Sie Ie mendapat kenyataan, bahwa di atas tanah
terdapat tulisan yang terbaca seperti berikut:
"Sesudah kepandaianmu sempurna, pergilah mencari orang Thiansan pay dan
perlihatkan kitab ini kepadanya. Minta..."
Huruf "minta" agak guram dan bentuknya miring, sehingga bisa ditarik kesimpulan,
bahwa, tengah menulis huruf itu, Tokliong Tjoentjia sudah kehabisan tenaga.
Kim Sie le menangis sedih sekali, sedang semua ular dengan serentak menundukkan
kepala sebagai penghormatan penghabisan terhadap majikan itu.
Sekarang Kim Sie le baru mengerti, bahwa gurunya telah memanggil kawanan ular
untuk berpamitan. Sang guru telah mengatakan bahwa sebelum menutup mata, ia masih
ingin bicara dengannya dan kini ia merasa sangat menyesal, bahwa ia tak bisa
mendengar pesan terakhir gurunya itu. Dengan penuh kedukaan, ia mengubur mendiang
gurunya. "Soehoe! Ia berteriak dengan suara menyayatkan hati, sesudah jenazah Tokliong
Tjoentjia diuruk dengan tanah. "Aku tentu ingat segala perkataanmu. Aku tentu tak akan
melupakan, bahwa kau dan aku telah merasakan penderitaan yang sama. Aku mengerti
maksudmu. Aku benci semua manusia dalam dunia!"
Kim Sie Ie tentu saja tidak mengetahui, bahwa ia telah salah menafsirkan perkataan
gurunya! Memang benar Tokliong Tjoentjia pernah melarikan diri ke pulau itu karena
diubar-ubar manusia dan ia memang pernah membenci manusia. Akan tetapi, tujuh belas
tahun berselang, Lu Soe Nio, Kain Hong Tie, Phang Eng, Tong Siauw Lan dan beberapa
pendekar lain pernah datang di Tjoato. Pada waktu itu, Lu Soe Nio dan Phang Eng telah
merobohkan Tokliong Tjoentjia dan berbareng menolong juga jiwanya. Belakangan
mereka telah memberi nasehat panjang lebar, sehingga Tokliong Tjoentjia memperoleh
kembali sifat kemanusiaannya. Kebenciannya berubah menjadi kecintaan dan dengan
segenap tenaganya, ia telah menolong para penderita kusta. Sebelum menghembuskan
napasnya yang terakhir, ia ingin meninggalkan pesan kepada Kim Sie Ie, supaya si murid
tidak melupakan penderitaannya di waktu kecil dan meneruskan pekerjaannya menolong
para penderita kusta. Tapi sungguh sayang, pesan terakhir itu tak keburu diucapkan,
sehingga Kim Sie Ie jadi salah mengerti!
Sesudah penguburan itu beres, Kim Sie Ie lalu mempelajari Tokliong Pitkip. Ia
mendapat kenyataan, bahwa meskipun sebagian besar pelajaran ilmu silat dalam kitab itu
sudah diketahuinya, tapi berapa bagian yang sulit masih belum dapat diselaminya.
Bagian-bagian itu diterangkan secara jelas dalam kitab tersebut. Di samping itu, dalam
Tokliong Pitkip juga terdapat pelajaran untuk membuat dan menggunakan macam-macam
senjata rahasia beracun. Tiga tahun lamanya, dengan bantuan kitab tersebut, Kim Sie Ie
mempelajari segala apa yang belum keburu diyakinkannya di bawah pimpinan sang guru.
Berkat kegiatannya, ia memperoleh kemajuan yang mentakjubkan. Dengan pukulan
tangan kosong, ia sekarang bisa merobohkan pohon yang besar dan dengan jarum
beracun, i;i Ihmi membinasakan buaya yang berenang di air.
Berselang lagi beberapa lama dalam kesepiannya, Kim Sie Ie sering melamun. "Di
pulau ini soehoe telah menggubah ilmu silat yang begitu liehay," pikirnya pada suatu hari.
"Sebagai murid, aku berkewajiban membikin semua manusia di dunia mengetahui
keliehayan soehoe. Dengan demikian, barulah capai lelahnya tidak tersia-sia." Di lain saat,
ia berpikir pula: "Menurut kata soehoe, berbagai cabang persilatan di wilayah Tionggoan
sebenarnya tidak seberapa liehay. Dulu, semua manusia telah memandang rendah
kepada soehoe dan mengejar-ngejarnya. Paling baik, aku sekarang main-main ke daerah
Tionggoan dan menghantam mereka sampai kalang kabut. Sesudah aku merobohkan
semua orang gagah di kolong langit, baru aku akan mengumumkan asal-usul soehoe.
Hanya dengan berbuat begitu aku bisa membikin nama soehoe menjadi harum untuk
selama-lamanya."
Demikianlah, dengan adanya angan-angan begitu, dalam hati Kim Sie Ie segera timbul
niatan untuk meninggalkan Pulau Ular.
Akan tetapi, semenjak gurunya meninggal dunia, selama tiga tahun, ia selalu merasa
tertekan karena ada dua teka-teki yang tak dapat dijawabnya sendiri. Teka-teki itu adalah
perkataan Tokliong Tjoentjia sebelum menarik napas yang penghabisan.
Kenapa sang guru telah memesan, supaya sesudah kepandaiannya sempurna, ia pergi
mencari orang Thiansan pay? Kenapa, jika tidak berbuat begitu, menurut gurunya ia bisa
celaka? Ia mengingat-ingat dan merasa, bahwa ketika mengeluarkan perkataan itu, sang
guru sama sekali tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Thiansan pay. Selain
itu, kenapa ia harus memperlihatkan Tokliong Pitkip kepada orang Thiansan pay? Ia
benar-benar heran. Walaupun belum pernah berkelana di Rimba Persilatan, ia
mengetahui, bahwa setiap partai sangat merahasiakan ilmu simpanan masing-masing dan
tak akan gampang-gampang membocorkannya kepada orang luar. Apakah tak mungkin,
jika tulisan gurunya itu telah ditulis dalam keadaan setengah sadar? Huruf "minta" sudah
menimbulkan rasa tak rela di dalam hati Kim Sie Ie. Ia tak tahu, sang guru ingin
memerintah ia "minta" apa dari Thiansan pay. Ia hanya merasa, bahwa ilmu silat Tokliong
Tjoentjia yang sedemikian tingginya tak memerlukan apapun juga dari orang lain.
Yang lebih mengherankan lagi adalah meninggalnya sang guru secara begitu tiba-tiba.
Ia yakin, bahwa semua manusia tak dapat melawan takdir. Jika sudah sampai temponya,
setiap manusia memang harus berpulang ke alam baka. Akan tetapi, dengan memiliki ilmu
yang tak bisa diukur tingginya, kenapa sang guru tak dapat bertahan untuk beberapa saat,
guna menyampaikan pesan terakhir kepadanya.
Ketika baru datang, Kim Sie Ie memang berniat untuk berdiam terus di Pulau Ular
sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sesudah gurunya meninggal dunia, perlahan-lahan ia
merasa kesepian dan tak betah. Ketika baru datang, ia masih berusia sebelas tahun.
Sekarang, sesudah lewat sepuluh tahun, ia sudah menjadi seorang pemuda yang berusia
dua puluh satu tahun. Perasaan dan pikiran seorang dewasa berbeda jauh dengan angan-
angan anak kecil. Dulu, ia sudah merasa puas dengan dunianya yang sempit kecil. Dulu,
hari-hari dapat dilewatinya dengan gembira, ia bermain dengan ular, menangkap burung,
berenang, main pasir dan sebagainya. Tapi sekarang, saban-saban ia teringat kepada
dunia luar, dunia yang luas dan ramai, meskipun dunia itu agak asing baginya dan sangat
dibencinya.
Demikianlah, ditambah dengan beberapa teka-teki itu yang selalu mengganggu
pikirannya, sesudah kurang lebih tiga tahun Tokliong Tjoentjia meninggal dunia, ia tak
tahan lagi. Dengan membawa tongkat dan kitab gurunya, ia naik sebuah perahu kecil,
menyeberangi laut untuk merantau ke daratan Tiongkok
Sepuluh tahun adalah jangka waktu yang tidak terlalu pendek dan juga tidak terlalu
panjang. Akan tetapi, bagi Kim Sie Ie, jangka waktu itu telah mengubahnya sama sekali.
Dari seorang anak berpenyakit kusta yang dikejar dan dihina orang, ia sekarang sudah
menjadi pemuda tampan yang mempunyai kepandaian sangat tinggi.
Tapi pemuda itu mempunyai suatu tujuan edan. Ia menantang dunia yang pernah
menghinanya! Dengan lweekang-nya yang sangat tinggi, ia bisa mengubah mukanya,
sehingga kelihatan sebagai penderita kusta. Celakalah orang yang berani menghinanya!
Delikan dibalas dengan delikan, gigi dibayar dengan gigi! Banyak orang yang berpapasan
dengan dia, lantas saja dianggapnya berdosa, menangis salah, tertawa pun keliru.
Kemana saja ia pergi, ia tentu mencari jago-jago setempat untuk diajak mengadu
kepandaian. Begitulah, dalam beberapa tahun saja, nama Toktjhioe Hongkay sudah
menggetarkan seluruh dunia Kangouw. Dalam menjajal ilmu, belum pernah ia menemukan
tandingan. Semakin besar nama seorang jago dari kalangan Kangouw, semakin hebat
orang itu dipermainkan, sehingga banyak orang ternama buru-buru menyingkir jika Kim
Sie Ie hendak menjumpainya.
Ia pernah berniat mencari Kam Hong Tie dan Lu Soe Nio, tapi belakangan ia
mendengar, bahwa Kam Hong Tie sudah meninggal dunia, sedang Lu Soe Nio sudah
lama menyingkir dari pergaulan umum. Oleh sebab itu, ia telah melepaskan niatannya itu.
Menurut gurunya, dalam Rimba Persilatan hanya terdapat dua orang mulia, yaitu Kam
Tayhiap dan Lu Liehiap. Sesudah yang satu meninggal dunia dan yang lain menghilang,
tanpa sungkan-sungkan lagi, ia mempermainkan siapa saja yang hendak
dipermainkannya.
Selama beberapa tahun, sudah banyak jago roboh dalam tangannya. Setiap kali
memperoleh kemenangan, hatinya menjadi gembira. Akan tetapi, kegembiraan itu selalu
disusul dengan rasa kesepian dan kedukaan. Semakin banyak ia mendapat kemenangan,
semakin besar kedukaannya. Kegembiraan itu hanya bagaikan pelangi di tepi langit, suatu
bayang-bayang tak kekal, sedang kesepiannya dan kedukaannya sebagai juga awan tebal
yang gelap suram dan selalu meliputi seluruh jiwa dan pikirannya!
Kenapa? Karena dia mempermainkan dunia, dunia meninggalkan dia seorang diri. Tak
ada seorang manusia pun yang dapat disebutkannya sebagai sahabatnya. Juga tak ada
manusia yang menganggap dia sebagai orang waras. Dia menghantam dunia, tapi dunia
membalas menghantamnya dengan tenaga yang seratus kali lebih dahsyat. Apa yang
didapatnya tiada lain daripada kesepian... kesepian... kesepian... tiada habisnya, tiada
akhirnya.
Menurut rencananya sesudah menjatuhkan jago-jago di wilayah Tionggoan, ia akan
berkelana ke daerah barat laut untuk coba mencari Tjiangboendjin dari Thiansan pay. Tak
dinyana, sebelum kakinya menginjak Sinkiang, di gunung Tjiakdjie san, ia bertemu dengan
seorang wanita yang memperlakukan dirinya sebagai sahabat, yang tak menghina, tak
membenci, malah berusaha untuk mengobati dirinya serta bersedia untuk berjalan
bersama-sama. Wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Tapi ia tak mengetahui, bahwa
Pengtjoan Thianlie sebenarnya belum pernah mengenal penyakit kusta dan belum pernah
melihat seorang penderita kusta.
Pertemuan itu seakan-akan menembusnya sinar matahari yang hangat ke dalam
lembah yang sunyi lagi dingin. Tanpa merasa, Koei Peng Go telah membuka hatinya.
Kecuali dengan gurunya, ia tak pernah mempunyai keinginan untuk bersahabat dengan
manusia. Tapi begitu bertemu dengan si nona, ia merasa berat untuk berpisah lagi.
Perasaan itu sama sekali bebas dari niat kurang baik dan caci Yoe Peng bahwa "kodok
buduk ingin makan daging angsa langit" adalah cacian yang tidak pada tempatnya, Kim
Sie le hanya merasa, bahwa dalam dunia ini Pengtjoan Thianlie adalah manusia satu-
satunya yang boleh dijadikan sahabatnya.
Di Tjiakdjie san, ia juga bertemu dengan Tong Keng Thian. Belakangan, sesudah
mengetahui, bahwa Keng Thian adalah murid Thiansan pay dan kecintaan Peng Go,
entah kenapa, di dalam hatinya segera muncul rasa mengiri. Semula ia berniat mencari
Tjiangboendjin dari Thiansan pay untuk lebih dulu diajak mengadu silat dan kemudian ia
akan coba menyelidiki perhubungan antara gurunya dan partai tersebut, untuk
memecahkan teka-teki yang memberatkan hatinya. Akan tetapi, sesudah bertemu dengan
Keng Thian, ia mengurungkan niatannya itu, pertama karena adanya perasaan mengiri,
kedua karena ia tak sudi meminta apapun juga dari Thiansan pay dan ketiga karena ia
mendapat kenyataan, bahwa ilmu silat Keng Thian tidak berada di bawahnya. "Bocah itu
adalah houwpwee (orang yang tingkatannya rendah) dalam Thiansan pay dan
kepandaiannya sudah begitu tinggi," pikirnya. "Ayahnya, yang menjadi Tjiangboendjin,
sudah tentu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripada aku. Kalau begitu,
kepandaianku belum sempurna."
Sebagai orang yang beradat angkuh, ia segera mengambil putusan untuk mempelajari
lagi Tokliong Pitkip dan sesudah kepandaiannya meningkat sampai setara dengan
gurunya, barulah ia akan pergi ke Thiansan untuk menantang bertanding.
Demikianlah, diam-diam ia menguntit Pengtjoan Thianlie dan sengaja merenggangkan
perhubungan kedua orang muda itu. Tentu saja tindakan itu bukan tindakan seorang
ksatria. Tapi di dalam otak Kim Sie Ie memang tak ada soal ksatria. Jiwanya masih seperti
jiwa anak kecil. Jika ia suka akan suatu barang, ia tak mau anak lain datang merebutnya.
Masih untung, bahwa hatinya bebas dari niat jahat. Jika bukan begitu, di waktu Keng
Thian masih sakit di rumah keluarga Tjee, dengan mudah ia bisa membinasakan pemuda
itu.
Kim Sie Ie menguntit terus sampai di Gobie san. Di luar dugaannya, disitu ia
membentur tembok. Cacian Yoe Peng sedikitpun tak dihiraukannya. Tapi semprotan si
nona yang menggunakan kata-kata "lagak buaya" seolah-olah halilintar yang menghantam
batok kepalanya...

***

Bagaikan bayang-bayang kacau, kejadian-kejadian yang lampau itu berkelebat-kelebat


di depan matanya, Semakin lama, ia jadi semakin berduka, sehingga akhirnya ia menjadi
kalap. Ia bergulingan di atas tanah, tanpa memperdulikan duri-duri yang melukakan
kulitnya. Seperti orang gila, ia berteriak-teriak, menangis keras dan tertawa terbahak-
bahak, sesudah kenyang menangis dan tertawa, ia merobek-robek pakaiannya dan
kemudian menyeburkan diri ke dalam sebuah sungai kecil. Lama sekali ia mandi disitu
dan perlahan-lahan, otaknya yang panas menjadi agak dingin. Sambil memandang
bayangannya sendiri, ia berkata seorang diri: "Orang ini bukannya aku. Apakah mukaku
yang asli seperti muka ini?"
Mendadak ia meloncat ke atas dan membuka bungkusannya yang ditinggalkan di
bawah pohon. Ia mengambil dan memakai lagi pakaian rombeng yang biasa dipakainya
dalam penyamaran sebagai penderita kusta. Sesudah itu, ia memoles mukanya dengan
bubuk obat dan mengerahkan lweekang-nya. Dalam sekejap, mukanya berubah bersinar
merah dan di sekujur badannya muncul "bisul-bisul". Sekali lagi ia sudah menjadi
penderita kusta yang menakutkan. Ia lari ke pinggir solokan dan berkaca di permukaan air
itu. "Nah! Inilah baru wajahku yang asli!" katanya sembari tertawa terbahak-bahak.
Sebagaimana diketahui, sesudah bergaul dengan Koei Peng Go, watak Kim Sie Ie yang
aneh telah banyak berkurang. Oleh karena mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie tak
menyukai penyamarannya, ia pernah bersumpah untuk menghentikan penyamaran itu
untuk selama-lamanya. Ia malah sudah mencuri pakaian bagus guna
menyenangkan Peng Go. Tapi tak dinyana malam itu Pengtjoan Thianlie telah
mengeluarkan kata-kata menusuk, sehingga kebenciannya kepada dunia yang sudah
ditindasnya, kembali muncul dalam hatinya, malah lebih dahsyat dari semula. Apa yang
dirasakannya bukanlah kekecewaan akibat kegagalan dalam percintaan. Pada
hakekatnya, ia belum mengenal cinta. Yang dipikirkannya pada saat itu, adalah kegetiran
pengasingan dan penghinaan, yang seratus kali lebih hebat daripada kekecewaan karena
gagal dalam percintaan.
Sesudah memandang romannya di air bening, sekonyong-konyong, sambil
memperdengarkan tertawanya sebagai orang gila, ia mengambil lumpur yang lalu
dipoleskan ke sekujur badan dan mukanya. "Manusia membenci aku," katanya di dalam
hati. "Baiklah! Biarlah mereka lebih membenci diriku lagi!"
Mendadak di belakangnya terdengar suara "he-he", suara tertawa yang sedap dan
nakal kedengarannya. "Aha! Kodok buduk ini benar-benar lucu!" demikian terdengar suara
seorang wanita.
Kim Sie Ie lantas saja naik darah. Ia memutarkan badannya dan menimpuk dengan
tanah. "Benar-benar tolol!" wanita itu berkata pula. "Kau merusak badanmu sendiri, siapa
yang akan mengasihani dirimu?"
Gerakan Kim Sie Ie itu cepat bagaikan kilat. Ia menimpuk sembari melompat ke jurusan
suara itu. Dengan timpukan yang disertai Iweekang, segenggam tanah itu tak kalah
hebatnya dari sebuah batu. Dengan berbunyi "tak!", sebatang dahan pohon sudah
menjadi patah. Tapi ia menubruk tempat kosong, disitu tak terdapat bayangan manusia.
Bukan main kagetnya Kim Sie Ie. Semenjak berkelana di dunia Kangouw, ia sudah
merobohkan banyak jago-jago ternama dan orang-orang yang bisa menandingi ia
hanyalah Tong Keng Thian, Pengtjoan Thianlie dan Hiatsintjoe tiga orang. Maka, seketika
itu, ia terperanjat ketika mendapat kenyataan, bahwa ia sekarang sedang menghadapi
lawan berat, lebih-lebih karena lawan itu adalah seorang wanita.
Dengan penasaran ia mengejar ke dalam hutan. Sekonyong-konyong di belakangnya
kembali terdengar suara tertawa. "Budi harus dibalas dengan budi," kata wanita itu.
"Sambutlah senjata rahasiaku!"
Sambil membentak keras, Kim Sie Ie memutarkan badannya dan menubruk, sembari
menutup semua jalan darahnya guna menjaga serangan senjata rahasia. Ia percaya,
bahwa sekali ini tubrukannya akan berhasil.
Tapi dugaannya meleset jauh. Sebelum tangannya bisa mencengkeram tubuh wanita
itu, yang ternyata mengenakan pakaian putih, sudah melesat ke atas setinggi beberapa
tombak dan melayang lewat di atas kepalanya. Hampir berbareng dengan itu, matanya
berkunang-kunang dan sejumlah "senjata rahasia" menyambar ke seluruh badannya.
"Senjata-senjata rahasia" itu, tiada satu yang meleset, beberapa antaranya, yang rasanya
dingin-dingin, mengenai mukanya. Kim Sie Ie mengusap mukanya dan ia menjadi kaget
bukan main. Ternyata, "senjata rahasia" itu adalah daun-daun bunga yang belum kering,
sehingga terasa dingin di kulit!
Ia mendongkol tercampur geli. Sebagai orang yang biasa mempermainkan manusia, ia
sekarang dipermainkan orang, Ia mencari ubek-ubekan di hutan itu, tapi si wanita sudah
tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Karena lelah, ia lalu tidur di dalam hutan itu dan
baru mendusin keesokan harinya.
Hari itu, ia kembali mencari wanita itu, yang telah mempermainkan dirinya, tapi hasilnya
tetap nihil. Ia menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie tentu sudah masuk ke Kimkong sie dan
sebenarnya ia ingin turut masuk ke kuil itu untuk mengacau. Tapi, setelah melihat
munculnya Tong Keng Thian dan mengingat kata-kata si nona yang menusuk, ia
mengurungkan niatan tersebut. Malam itu ia berkeliaran di sekitar kuil itu untuk
mengganggu para tamu. Ia menggoda Loei Tjin Tjoe, menggebah Hiatsintjoe dan
kemudian mempermainkan Tjia In Tjin. Di luar dugaannya, sekonyong-konyong wanita
yang sedang dicarinya itu menampakkan diri. Dengan menggunakan jarum, wanita itu
memukul jatuh semua batu yang dilontarkannya untuk menimpuk jalan darah Tjia In Tjin.
Kejadian itu telah dituturkan oleh Tjia In Tjin kepada Tong Keng Thian yang menjadi
terheran-heran. Ia menduga, bahwa wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Tapi Kim Sie Ie
yang tersangkut secara langsung, bahkan lebih heran lagi.
Dengan rasa penasaran, ia segera meninggalkan Tjia In Tjin dan mengejar wanita itu
ke dalam hutan. Kali ini wanita itu tak lari secepat kemarin malamnya, seperti juga mau
memancing Kim Sie Ie. Bagaikan seekor burung, ia meloncat dari dahan ke dahan dan di
tengah malam yang hanya diterangi sinar bulan yang remang-remang, Kim Sie Ie hanya
dapat melihat bayangannya yang sebentar lenyap untuk sesaat kemudian muncul kembali
di antara daun-daun pohon. "Apa dalam dunia ini benar-benar terdapat wanita yang ilmu
mengentengkan badannya sedemikian tinggi?" tanya Kim Sie Ie kepada dirinya sendiri.
"Apakah dia bukan dewi hutan?"
Dari Kimteng -- yaitu puncak Gobie san yang tertinggi – Kim Sie Ie mengejar terus
sampai di Houwtjoepo (Tanjakan Kera). Tiba-tiba, wanita itu lenyap dari pemandangan.
"Aku tak percaya, bahwa di dunia ada dewi," katanya di dalam hati. "Aku yang
menganggap diriku sendiri paling pandai dalam dunia, sekarang baru mengerti, bahwa di
luar langit masih terdapat langit. Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie kira-kira berusia
sama dengan aku dan kepandaian mereka pun tidak berada di bawahku. Tapi wanita itu,
yang mestinya masih berusia sangat muda, mempunyai kepandaian yang beberapa kali
lebih tinggi daripada aku."
Selagi ia melamun, mendadak terdengar jeritan kera. Ia mengangkat kepalanya dan
melihat beberapa ekor kera sedang turun dari lamping gunung. Tiba-tiba timbul
kegembiraannya. Ia memburu mereka dan menangkap seekor yang lantas menjerit-jerit,
sedang kawan-kawannya segera melarikan diri.
"Betapa gesitpun, tak dapat kau terlolos dari tanganku," katanya sembari tertawa.
Sesaat kemudian, ia melepaskan kera yang pertama itu dan mengejar serta menangkap

seekor kera lain. Selagi ia keenakan mengganggu kawanan kera itu, sekonyong-
konyong dari atas sebuah batu besar terdengar suara tertawa yang tak asing lagi baginya.
Kim Sie Ie mendongak. Kali ini, ia dapat melihat wanita itu secara tegas. Disinari
cahaya bulan, si nona kelihatan duduk di atas batu. Ia mengenakan baju berwarna ungu,
rambutnya terikat oleh dua cincin emas, parasnya cantik dan segar, sedang usianya paling
banyak baru delapan belas tahun. Dengan sikap jenaka selaku anak nakal, ia menuding
Kim Sie Ie sembari tertawa geli.
Kim Sie Ie memandangnya dengan mulut ternganga, ia benar-benar kesima Sediktpun
ia tak menyangka, bahwa si nona berusia semuda itu. Walaupun sudah berpengalaman
sangat luas, ketika itu Kim Sie Ie tak dapat menyembunyikan tercengangnya.
"Kera tak pandai bersilat," kata nona itu. "Guna apa kau menangkap mereka?"
Kim Sie Ie terkejut. Inilah wanita kedua yang tak jijik kepada penderita kusta, malah
sikapnya lebih bebas dan ramah daripada Pengtjoan Thianlie. Kim Sie Ie tetap
mengawaskannya, tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
"Eh, apakah kau tuli?" teriak si nona sembari tertawa terkekeh-kekeh. "Dengan
kekerasan, kau menangkap mereka. Mereka jadi membenci kau. Lihatlah aku!"
"Baik," jawab Sie Ie.
Si nona kembali tertawa geli dan kemudian menyanyi:
"Sang kera! Sang kera! Kera nakal tak punya otak. Mari, mari, mari! Aku membawa
buah untukmu, mari kita bersahabat!"
Beberapa saat kemudian, benar saja beberapa ekor kera muncul dan mendekatinya,
semakin lama jumlah mereka jadi semakin besar. Dengan gembira, si nona menari-nari
dan menyanyi. Dari sakunya ia mengeluarkan seraup buah Leetjie yang segera
dibagikannya kepada kawanan kera itu yang segera berebut mengambilnya.
Pertunjukan itu bisa terjadi, bukannya karena si nona mempunyai ilmu luar biasa, tapi
sebab kawanan kera di Houwtjoepo memang tak takut kepada manusia. Mereka biasa
berjumpa dengan para hweeshio dan sering sekali, beramai-ramai mereka datang untuk
meminta makanan dari orang-orang beribadat yang berdiam di kuil itu.
Kim Sie Ie mengawaskan pertunjukan itu dengan sorot mata heran. "Jika kau berlaku
baik terhadap mereka, mereka pun bersikap manis terhadapmu," kata si nona sembari
tertawa. "Jika kau menghina mereka, mana mereka mau bersahabat dengan kau?"
Jantung Kim Sie Ie berdebar keras. Kata-kata itu seolah-olah sengaja diucapkan untuk
memberi nasehat kepadanya, yang biasa mengganggu sesama manusia. Oleh karena
merasa ketarik, ia segera mendaki batu besar itu untuk turut bermain-main. Tapi, sebelum
ia bisa mendekati kawanan kera itu, mereka lari serabutan dengan ketakutan. "Kurang
ajar!" bentak si nona. "Kenapa kau menakut-nakuti keraku?"
Melihat wanita muda itu gusar, Kim Sie Ie mengangkat tongkat besinya dan menjejek
kakinya di atas batu, sehingga tubuhnya lantas saja meluncur ke atas, setinggi tiga
tombak dengan gerakan Itho tjiongthian (Burung Ho menembus langit). Selagi tubuhnya
masih berada di tengah udara, ia memukul dengan tongkatnya untuk menjajal ilmu si
nona.
"Bagus!" seru nona itu. "Pandai benar kau menghina orang!" Mendadak badannya
melayang ke atas, ujung kakinya menotol tongkat Kim Sie Ie dan, dengan meminjam
tenaga totolan itu, tubuhnya kembali melesat beberapa tombak tingginya, akan kemudian,
sembari memutarkan badan, bagaikan seekor burung, ia hingggap di tanjakan gunung.
Itulah suatu gerakan yang indah luar biasa! Di lain saat, nona itu sudah tak kelihatan lagi
bayang-bayangnya.
Kim Sie Ie jadi terpaku. Lapat-lapat ia ingat, bahwa ia pernah melihat gerakan seperti
yang barusan diperlihatkan wanita itu. Sesudah berpikir beberapa saat, ia baru mendusin.
Gerakan itu menyerupai gerakan Niauw-eng (semacam elang). Di dekat Pulau Ular
terdapat sebuah pulau lain yang diberi nama Niauw-eng to (Pulau Niauw-eng), dimana
hidup semacam burung buas yang
macamnya seperti kucing. Burung itu, yang merupakan musuh ular, dengan berkawan
sering menyatroni Pulau Ular dan bertempur dengan kawanan ular. Selama sepuluh tahun
berdiam di pulau tersebut, Kim Sie Ie pernah beberapa kali menyaksikan pertempuran
yang luar biasa itu. Menurut penuturan gurunya, di Niauw-eng to pernah hidup dua
saudara kembar, yaitu Sat Thian Tjek dan Sat Thian Touw, yang mempelajari cara-cara
burung-burung buas itu bergerak dalam pertempuran. Tapi sekarang mereka sudah
meninggal dunia dan menurut kata gurunya, mereka tak mempunyai murid yang mewarisi
kepandaian mereka. Dari manakah wanita itu mendapat ilmunya? Kim Sie Ie merasa
heran, tapi di detik selanjutnya, ia ingat akan hal lain yang lebih, mengherankan lagi.
"Bahwa wanita itu memiliki kepandaian untuk berkelahi seperti Niauw-eng, adalah
kejadian yang luar biasa," pikirnya. "Tapi, ketika barusan dia menotol tongkatku, tenaga
dan kepandaiannya tidak terlalu hebat dan sudah pasti tidak lebih tinggi daripada
kepandaianku. Kenapa bisa begitu?"
Harus diketahui, bahwa bagi seorang ahli silat, bergerak sekali saja sudah cukup untuk
mengetahui cetek dalamnya lweekang musuh. Selama dua malam, tiga kali wanita itu
sudah menampakkan diri. Pertama, ia menimpuk Kim Sie Ie dengan daun bunga. Kedua,
dengan jarum ia menjatuhkan batu yang ditimpukkan oleh Kim Sie Ie. Dalam dua kejadian
itu teranglah sudah, bahwa lweekang-nya tak terkira lagi tingginya. Tapi, sungguh heran,
dalam pertemuan ketiga, kepandaian yang diperlihatkan nona itu, jauh lebih rendah
daripada dalam dua pertemuan yang lebih dulu.
"Mungkinkah ia hanya berpura-pura?" tanya Kim Sie Ie di dalam hatinya. "Apakah bisa
jadi, kepandaiannya sudah begitu tinggi, sehingga ia bisa menambah dan mengurangkan
tenaganya sesuka hatinya? Akan tetapi, dengan kepandaian yang sekarang kumiliki, aku
tentu bisa melihat, jika ia berpura-pura. Apakah wanita yang muncul lebih dulu itu
bukannya dia?" Ia mengasah otak dan kemudian berkata pula di dalam hatinya: "Tidak,
tak mungkin! Walaupun dunia ini cukup lebar, akan tetapi, untuk mendapatkan seorang
wanita saja yang berkepandaian sedemikian tingginya, sudah tidak gampang. Mana bisa
ada seorang lain lagi? Di samping itu, meskipun dalam dua pertemuan yang terdahulu,
aku tak bisa melihat wajahnya dengan tegas, tapi baik potongan badan, maupun ilmu
mengentengkan badannya, semuanya tiada berbeda. Tak mungkin aku salah mata."
Semakin memikirkannya, ia jadi semakin heran dan semalam suntuk, ia ubak-ubakan di
hutan itu untuk coba mencari wanita yang aneh itu.
Demikianlah, biarpun berotak cerdas, Kim Sie Ie sama-sekali tidak menyadari, bahwa
dalam tiga pertemuan itu, yang muncul adalah dua orang, seorang ibu dan puterinya.
Yang menimpukkan daun bunga dan jarum adalah Phang Lin, sedang yang memancing ia
ke dalam hutan adalah Lie Kim Bwee puterinya.
Waktu itu, Phang Lin sudah berusia empat puluh tahun lebih. Tapi jika dipandang dari
jauh, wajahnya tiada bedanya dengan seorang wanita muda. Yang lebih luar biasa lagi,
adat dan tingkah lakunya masih tetap seperti seorang anak nakal.
Sebagaimana diketahui, sebagai akibat dari guyon-guyon Phang Lin di atas gunung
Mostako, Pengtjoan Thianlie telah kabur dengan perasaan mendongkol. Setelah
disesalkan oleh kakaknya, yaitu Phang Eng, dan mengetahui adanya percintaan antara
Keng Thian dan Peng Go, ia telah berjanji akan berusaha untuk merangkap jodoh kedua
orang muda itu. Phang Eng yang mengenal adat adiknya, tidak menganggap, bahwa janji
itu dibuat dengan sungguh-sungguh. Tapi di luar dugaannya, si adik benar-benar
melaksanakan kata-katanya dan menguntit Keng Thian sampai di Gobie san. Semula ia
tak mau mengajak Kim Bwee, tapi puterinya yang berandalan itu tak mau mengerti,
sehingga akhirnya ia menyerah juga.
Apa yang terjadi antara Tong Keng Thian, Koei Peng Go dan 'Kim Sie Ie, telah diketahui
semua olehnya. Di samping itu, dengan penuh rasa simpati, ia juga menyaksikan segala
penderitaan dan kedukaan Kim Sie [e. Walaupun nasib mereka tidak sama, di waktu kecil,
Phang Lin juga pernah merasakan pahit getirnya penghidupan. Dalam usia satu tahun, ia
telah ditinggal mati oleh ayahnya. Belakangan ia diculik oleh sepasang memedi, yaitu Sat
Thian Tjek dan Sat Thian Touw, yang menyembunyikannya di dalam istana Soehongtjoe
(putera kaizar yang ke empat) In Tjeng (belakangan kaizar Yong Tjeng). Selama berdiam
dalam istana itu, ia telah memperoleh banyak macam ilmu, antaranya ilmu untuk berkelahi
seperti Niauw-eng yang diajarkan oleh sepasang memedi itu. Meskipun begitu, dalam
lingkungan mewah itu juga, ia telah merasakan banyak penderitaan. Karena ia sendiri
pernah mengalami banyak kegetiran, ia jadi bersimpati kepada setiap orang yang sedang
menderita.
Sesudah menyingkir dari Kim Sie Ie. Kim Bwee lalu pergi menemui ibunya di dalam
hutan. "Sebelum turun dari Thiansan, aku sudah mendengar, bahwa di Tionggoan telah
muncul seorang Toktjhioe Hongkay yang sangat jahat," kata Phang Lin sembari tertawa.
"Tak tahunya, si jahat adalah dia! Eh, apakah tidak lebih baik, jika sesudah puas
mempermainkan dia, kita bunuh saja pengemis itu?"
"Kenapa?" tanya puterinya. "Aku merasa kasihan."
"Bagaimana jika dibandingkan dengan Piauwko-mu (Tong Keng Thian)?" tanya pula
sang ibu.
"Ilmu silat dan usia mereka kira-kira berimbang," sahut Kim Bwee.
"Tapi sikap Piauwko terlalu mirip dengan orang dewasa, tidak begitu menarik seperti
dia." Phang Lin menghela napas dan kemudian berkata sembari tertawa: "Baiklah!
Kalau begitu, tak
jadi kubunuh dia. Biarlah dia hidup terus untuk mengawani kau."
Si nona yang masih belum mengenal percintaan, mengetahui, bahwa ibunya sedang
berkelakar.
Ia tertawa cekikikan dan menubruk sang ibu.
"Ilmu mengentengkan badanmu lebih tinggi daripada dia," kata pula sang ibu. "Tapi
dalam hal-hal lain, kau masih kalah. Sekarang aku ingin mengajarkan semacam ilmu
kepadamu untuk mengalahkan dia, supaya kau bisa
mempermainkannya tanpa dia sendiri bisa mengganggu kau."
"Apakah kau masih menganggap aku seperti anak kecil?" tanya Kim Bwee dengan
nada tak percaya. "Mana bisa ilmu silat dipelajari begitu cepat?"
"Ilmu yang akan kuajarkan, hanya bisa digunakan untuk merobohkan dia," Phang Lin
menerangkan. "Terhadap orang lain, ilmu itu tak berguna. Kau percaya atau tidak?"
Melihat paras ibunya yang sungguh-sungguh, Kim Bwee jadi setengah percaya
setengah tidak dan ia mengikuti Phang Lin masuk ke hutan untuk berlatih. Ibu dan anak itu
mempunyai watak yang sama. Jika sudah mulai -mengerjakan sesuatu, mereka tak akan
berhenti di tengah jalan. Semula mereka ingin mengunjungi Moh Tjoan Seng pada hari
Kiatyan. Akan tetapi, karena adanya kegembiraan lain, mereka jadi melupakan segala
apa.
Malam itu, baik Tong Keng Thian maupun Kim Sie Ie tak tidur semalam suntuk.
Keesokan paginya tibalah hari Kiatyan.

***

Begitu sang matahari terbit di kuil Kimkong sie terdengar seratus delapan kali suara
lonceng. Tayhong Potian (ruang sembahyang yang paling besar) disapu bersih untuk
menerima kehadiran para ahli silat dari segenap Rimba Persilatan.
Kali ini, tamu yang datang berkunjung luar biasa banyaknya. Murid-murid Boetong pay
bertindak sebagai tuan rumah untuk menyambut para tamu dan sebagian besar
berkumpul di sekitar tempat memberikan ceramah. Tong Keng Thian duduk di antara para
tamu. Dengan matanya yang sangat tajam, ia menyapu semua orang sambil menghela
napas. Ia merasa sayang, karena keadaan Boetong pay cabang Selatan sangat merosot
dan di antara murid-murid turunan kedua, tak seorang jua dapat mendekati kepandaian
pemuka mereka, yang sudah tua itu.
Seluruh ruang besar itu sunyi-senyap, semua orang menantikan Moh Tjoan Seng. Tiba-
tiba, di luar terdengan suara tertawa "haha-hihi" yang sangat ramai. Loei Tjin Tjoe terkejut,
buru-buru ia lari keluar untuk menyelidiki. Ternyata, suara tertawa itu keluar dari mulut
belasan murid Boetong yang terus menari-nari dan melompat-lompat seperti orang edan.
Tak usah diragukan lagi, bahwa semua itu adalah perbuatan si penderita kusta!
Bukan main malunya orang-orang Boetong pay. Mereka tak tahu harus berbuat
bagaimana, dan berdiri termangu-mangu laksana patung.
Di saat itu, tiba-tiba Tong Keng Thian melompat keluar dan tanpa mengeluarkan
sepatah kata, ia menepuk dan menggampar belasan orang yang sedang menari-nari itu.
Segenap murid Boetong lantas menjadi gusar dan empat murid yang mengikuti Loei
Tjin Tjoe, segera bergerak untuk mengepung Keng Thian.
Muka Loei Tjin Tjoe kelihatan menyeramkan. "Goblok!" ia membentak dengan suara
perlahan. "Apakah kamu buta? Dia sedang memberikan pertolongan!" Benar saja, dalam
sekejap belasan murid Boetong itu sudah tenang kembali.
Ternyata, oleh karena harus menggunakan terlalu banyak tempo jika mesti membuka
jalan darah mereka satu persatu, maka Keng Thian telah menggunakan ilmu Sintjiang
kayhiat (Membuka jalan darah dengan pukulan). Melihat kepandaian pemuda itu, semua
ahli silat disitu jadi merasa kagum.
Tiba-tiba lonceng kuil berdentang berulang-ulang, sebagai tanda, bahwa Moh Tjoan
Seng akan segera keluar.
Sebagaimana diketahui, Moh Tjoan Seng telah diakui sebagai ahli silat nomor satu di
wilayah Tionggoan. Sepuluh tahun sekali, ia mengadakan Kiatyan, yaitu mengadakan
perhimpunan besar untuk memberi ceramah tentang ilmu silat dan memberi petunjuk-
petunjuk kepada mereka yang memintanya. Sekarang ia sudah berusia lanjut dan
mungkin sekali, Kiatyan sekali ini, adalah yang terakhir.
Begitu mendengar gema lonceng, para hadirin, yang terdiri dari ahli-ahli berbagai
cabang persilatan, lantas saja berhenti bicara dan mengambil tempat duduk. Dengan
demikian, Keng Thian terbebas dari banyak pertanyaan dan ia pun segera duduk di antara
orang banyak. Di lain saat, ruang yang barusan ramai dengan suara orang, berubah sunyi.
Dengan matanya Keng Thian menyapu semua orang. Segera juga ia mendapat
kenyataan, bahwa sejumlah orang yang duduk di barisan kursi terdepan, bersikap agak
mencurigakan, sinar wajah mereka mencerminkan maksud kurang baik. Ia menghela
napas dan berkata di dalam hatinya: "Benar juga, jika dikatakan, bahwa pohon yang tinggi
mengundang angin, nama yang besar menimbulkan perasaan mengiri."
Sesudah lonceng berbunyi delapan belas kali, hweeshio kepala dari Kimkong sie
mengantar Moh Tjoan Seng keluar dari ruang dalam. Keng Thian mengawasi orang
terkemuka dalam Rimba Persilatan itu yang ternyata berparas agung, penuh welas asih,
sedang rambut dan alisnya sudah putih semua. Dengan sinar mata yang tajam luar biasa,
Moh Tjoan Seng menyapu seluruh ruangan.
"Ilmu silat dapat diumpamakan dengan laut," demikian Moh Tayhiap mulai dengan
suara perlahan. "Seperti juga laut, ilmupun tak bisa diukur bagaimana tingginya. Walaupun
sudah hidup agak lama dalam dunia ini, aku si tua sebenarnya hanya mengenal kulit luar
ilmu itu dan belum pantas dinamakan ahli. Dalam Kiatyan ini, sama sekali bukan
maksudku untuk berlagak menjadi guru. Kita berkumpul disini, hanya untuk merundingkan
hal-hal ilmu silat secara sahabat." Demikianlah kata-kata pembukaan Moh Tayhiap yang
sangat merendahkan diri.
Harus diketahui, bahwa asal mula Kiatyan sebagai itu, adalah karena permintaan
murid-murid Boetong, supaya Moh Tjoan Seng menetapkan suatu hari untuk memberikan
kepada mereka petunjuk-petunjuk mengenai ilmu silat. Belakangan, pertemuan itu dihadiri
juga oleh ahli-ahli silat berbagai partai yang semakin lama jadi semakin besar jumlahnya,
sehingga akhirnya Moh Tjoan Seng mengambil putusan untuk sekali dalam sepuluh tahun
mengadakan Kiatyan. Dengan demikian, ia telah diakui sebagai seorang guru dalam
Rimba Persilatan.
Kata-kata pembukaannya yang merendahkan diri disambut dengan rasa kagum oleh
para hadirin, malah juga oleh mereka yang ketika itu mengandung maksud kurang baik.
Tayhiong Potian adalah sebuah ruang yang sangat luas, panjangnya belasan tombak dan
lebarnya pun belasan tombak. Moh Tjoan Seng berbicara perlahan, tapi setiap orang
dapat mendengarnya sama tegasnya, tak ada yang mendengar lebih terang atau kurang
jelas.
"Nama besar Moh Lootjianpwee sungguh bukan nama kosong," kata Keng Thian di
dalam hatinya.
"Dalam usia begitu lanjut, lvveekang-nya masih begitu teguh, sehingga sedkitnya ia tak
kalah dengan ayahku."
Seorang yang lweekang-nya tinggi memang bisa mengirimkan suaranya ke tempat
jauh. Andaikata ia berbicara dalam suatu ruang yang luasnya seperti Tayhiong Potian,
mereka yang berada di barisan depan akan mendengarnya sebagai mendengar geledek,
sedang mereka yang berada di sebelah belakang akan merasa telinganya seperti
"ditusuk" gelombang suara itu. Akan tetapi, suara Moh Tjoan Seng itu, lain dari yang lain.
Semua orang, yang di depan maupun yang di belakang, mendengar suara itu seakan-
akan Moh Tayhiap berbicara di hadapannya, tak keras dan tak perlahan serta telinganya
tak usah mengalami segala perasaan kurang enak. Itulah suatu bukti, bahwa Iweekang
Moh Tayhiap sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Sesudah itu, Moh Tjoan Seng segera memberi ceramah tentang Yakinkeng. Orang-
orang yang lweekang-nya sudah tinggi, mendapat banyak petunjuk baru, sedang mereka
yang baru belajar silat juga telah memperoleh banyak penerangan berharga.
Sesudah ceramah itu selesai, menurut kebiasaan, orang-orang yang ingin memohon
petunjuk boleh segera mempertunjukkan ilmu silat masing-masing yang paling tinggi.
Menurut tradisi, orang yang mendapat hak untuk paling dulu tampil ke muka adalah murid
pertama dari turunan kedua partai Boetong pay dan kali ini, orang itu adalah Loei Tjin
Tjoe.
Sesudah memberi hormat pada pemuka partainya dan para hadirin, Loei Tjin Tjoe
segera bersilat dengan ilmu Kioekiong Patkwa tjiang. Ia bersilat dengan bersemangat,
gerak-geriknya gesit bagaikan kera, pukulannya dan serangan-serangannya dahsyat
laksana serangan harimau.
Akan tetapi, ahli-ahli kelas satu yang berada disitu merasa heran, karena mereka sudah
segera lihat kekurangan Loei Tjin Tjoe, yaitu kelemahan dalam hal tenaga. Harus
diketahui, bahwa dalam Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan, Loei Tjin Tjoe sudah
diakui sebagai salah seorang ahli kelas utama. Orang-orang yang mengenal ilmunya atau
pernah melihat ia mempertunjukkan kepandaiannya, rata-rata merasa, bahwa selama
sepuluh tahun, sebaliknya dari semakin maju, kepandaiannya bahkan mundur banyak.
Menurut kebiasaan, seorang ahli silat harus berlatih terus, supaya, meskipun tak maju,
scdikitpun jangan sampai merosot.
Antara mereka, hanya Tong Keng Thian yang mengetahui sebab musababnya. Ia
menghela napas dan berkata di dalam hatinya: "Sesudah dipukul oleh Hiatsintjoe dan
ditotok oleh Kim Sie Ie, meskipun sudah dapat kutolong, tenaganya tentu sangat
berkurang."
Sehabis bersilat, Loei Tjin Tjoe segera berdiri tegak menunggu petunjuk-petunjuk
MohTayhiap. Moh Tjoan Seng membuka sepasang matanya lebar-lebar dan
sinarnyayang seperti kilat menyapu murid Boetong itu. Ia tersenyum seraya berkata:
"Tjianghoat-mu (pukulan-pukulan) sudah cukup lancar. Akan tetapi, dalam Tjianghoat
inimengandung Tiamhiat hoat (ilmu menotok jalanan darah), sehingga telapak tangan
da\jeriji harus digunakan berbareng. Tiamhiat hoat-mu
masih jauh dari sempurna."
Begitu mendengar perkataan Moh Tjoan Seng, para hadirin-terkejut tercampur heran,
sedang Loei Tjin Tjoe sendiri merasa penasaran, karena ia yakin, bahwa Tiamhiat hoat
yang
dipertunjukkannya, sudah cukup sempurna. Para ahli silat sama berpendapat, bahwa
kekurangan Loei Tjin Tjoe bukan terletak pada Tiamhiat hoat, tapi pada tenaga dalamnya.
Apakah, karena sudah terlalu tua. Moh Tjoan Seng sudah menjadi linglung?
Biarpun penasaran, Loei Tjin Tjoe tak berani membantah "Mohon Tjouwsoe sudi
memberi petunjuk," katanya dengan sikap menghormat.
"Coba kau Jemari!" Moh Tjoan Seng memanggil.
Dengan tetap duduk di tempatnya, tangannya menyambar dan jerijinya menotok jalan
darah Samtjiauw hiat, di pergelangan tangan Loei Tjin Tjoe. Si murid melompat dan
sembari membalikkan tangan, Moh Tayhiap menotok pula jalan darah Thiantjoe hiat, di
punggungnya. Dengan tak bergerak, bagaikan kilat, jeriji pemuka Boe Tong itu menotok
susul menyusul dan setiap kali, terpaksa Loei Tjin Tjoe harus berjingkrak. Semua totokan
itu di kirimkan dengan tenaga yang sudah diperhitungkan, sehingga Loei Tjin Tjoe tidak
terluka sedikit jua. Para ahli silat yang hadir, rata-rata merasa kagum bukan main melihat
Tiamhiat hoat yang luar biasa itu dan tak akan dapat ditiru oleh Loei Tjin Tjoe. Memang
dalam ilmu silat, suatu perbandingan hanya dapat dibuat di antara orang-orang yang
berkepandaian setara. Sebagai juga dalam ilmu sastera, karangan seorang anak kecil
tentu saja tak dapat dibandingkan dengan buah karya seorang Tjonggoan. Tapi, walaupun
kagum akan kepandaian Moh Tjoan Seng, para ahli itu masih tetap menyangsikan
kebenaran pernyataannya, bahwa kelemahan Loei Tjin Tjoe terletak pada Tiamhiat hoat-
nya.
Di antara begitu banyak orang, hanya Keng Thian seorang yang mempunyai pendapat
lain. Dengan jantung berdebar keras, ia mempelajari totokan-totokan Moh Tjoan Seng.
Sebagai orang yang berkepandaian tinggi dan berotak cerdas, segera juga ia mendapat
kenyataan, bahwa ilmu totokan itu justru sangat sesuai untuk memecahkan Tokliong
Tiamhiat hoat Kim Sie Ie. "Apakah Moh Lootjianpwee memang sengaja ingin menurunkan
ilmu totokan ini kepadaku?" tanyanya kepada dirinya sendiri.
Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri. Yang
ditakuti Keng Thian adalah senjata rahasia beracun dan Tokliong Tiamhiat hoat Kim Sie Ie,
sebaliknya Kim Sie Ie agak gentar kepada Thiansan Sinbong dan Thaysiebie Kiamhoat.
Sekarang, sesudah memiliki ilmu yang dapat memecahkan Tokliong Tiamhiat hoat,
kemungkinannya untuk dapat merobohkan Toktjhioe Hongkay jadi lebih besar. Oleh sebab
itu, dengan penuh kegirangan ia terus memperhatikan totokan-totokan Moh Tayhiap.
Sesudah tiga puluh enam jalan darahnya selesai ditotok semua, Loei Tjin Tjoe
merasakan timbulnya semacam hawa panas dari jalan-jalan darahnya yang terus masuk
ke bagian Tantian (pusar). Hampir seketika itu juga, ia merasakan sekujur badannya
nyaman luar biasa dan tenaga dalamnya bukan saja kembali seperti sediakala, tapi juga
jadi semakin besar. Sebagaimana diketahui, ia telah dihajar oleh Hiatsintjoe dan kemudian
ditolong oleh Tong Keng Thian. Akan tetapi, walaupun sudah mendapat pertolongan
pemuda itu, badannya masih merasa kurang enak. Sekarang, sesudah ditotok oleh
Tjouwsoe-nya, rasa sesak yang masih ketinggalan itu lantas saja lenyap. Sebagai orang
yang berkepandaian tinggi, ia sendiri segera mengerti, bahwa totokan itu telah
memperkuat Iweekang-nya dan keuntungan yang didapatkannya bernilai sama dengan
hasil latihan tiga tahun. Orang-orang lain tidak mengetahui, bahwa dengan totokan
tersebut, Moh Tjoan Seng telah mengusir sisa racun yang mengeram dalam tubuh Loei
Tjin Tjoe, sebagai akibat dari pukulan Hiatsintjoe.
Sesudah selesai, sembari tertawa Moh Tjoan Seng menanya: "Apakah kau sudah
mengerti maksud totokan tadi?"
"Mengerti!" jawab Loei Tjin Tjoe sembari membungkuk.
"Belum tentu," kata Moh Tjoan Seng perlahan. "Tapi cukuplah jika kau bisa mengerti
beberapa bagian."
Keng Thian yang sedang mengingat-ingat pelajaran yang barusan didapatnya, merasa
terkejut ketika mendengar perkataan itu dan ia mengangkat kepalanya. Tiba-tiba matanya
kebentrok dengan mata Moh Tayhiap. "Ah!" pikirnya. "Perkataan Moh Lootjianpwee tentu
ditujukan kepadaku. Mana Loei Tjin Tjoe bisa mengerti?" Memang benar, baik Loei Tjin
Tjoe maupun ia sendiri, hanya mengerti sebagian. Totokan-totokan Moh Tayhiap barusan
pada hakekatnya mempunyai tiga tujuan. Pertama: untuk memperlihatkan
kepandaiannya kepada orang-orang yang mengandung maksud kurang baik. Kedua,
untuk menurunkan Tiamhiat hoat yang bisa memecahkan ilmu Kim Sie Ie, kepada Keng
Thian. Ketiga: untuk mengusir racun yang masih mengeram dalam tubuh Loei Tjin Tjoe.
Tak seorang pun di antara yang hadir mengerti semua maksud Moh Tayhiap.
Selagi Loei Tjin Tjoe ingin kembali ke tempat duduknya, sekonyong-konyong salah
seorang yang duduk di barisan kedua, melompat keluar dan berkata dengan suara
nyaring: "Tjek Tiong Ho, houwpwee (orang yang tingkatannya rendah) dari pulau Liehwee
to (Pulau Menyingkir Dari Api) Lamhay, memohon petunjuk dari Thaytjongsoe (guru
besar)!"
"Ah! Kalau begitu, kau adalah murid Tjekshia totjoe (Majikan Pulau Kota Merah)," kata
Moh Tjoan Seng. "Bagus! Aku si tua sangat mengagumi ilmu silat Liehwee kansoei
tjianghoat dari partaimu."
"Jika Moh Lootjianpwee berkata begitu, apakah houwpwee harus pulang dengan
tangan kosong?" Tjek Tiong Ho mendesak.
Oleh karena menurut kebiasaan Kiatyan, Moh Tjoan Seng tak boleh menolak
permintaan untuk memberikan petunjuk kepada seorang houwpwee, maka ia lantas saja
berkata: "Setiap partai atau cabang perguruan mempunyai kebagusannya sendiri-sendiri.
Mengenai Tjianghoat (Ilmu pukulan), adalah gurumu yang seharusnya memberi petunjuk.
Cobalah kau bersilat, supaya aku bisa melihat, kalau-kalau ada bagian-bagian yang dapat
kita rundingkan lebih jauh."
Tjek Tiong Ho memberi hormat seraya berkata: "Houwpwee memberanikan diri unuk
mengajukan satu permohonan. Houwpwee memohon supaya Loei Soeheng sudi
membantu dengan dalam toeitjiang (adu pukulan) dan jika dalam toeitjiang itu terdapat
bagian-bagian yang keliru, harap supaya Lootjianpwee sudi memberi petunjuk. Dengan
demikian, keuntungan yang kudapat akan menjadi lebih besar."
Mendengar tantangan itu, semua orang jadi terkejut.
Menurut peraturan Kiatyan, setiap houwpwee dapat memohon pengajaran dengan dua
rupa jalan. Pertama adalah bersilat sendiri dan kedua, adalah bersilat berdua. Oleh
karena, pada setiap Kiatyan, jumlah yang meminta petunjuk selalu sangat besar, maka
cara yang kedua, yang sekaligus bisa memberi kesempatan kepada dua orang, sering
juga digunakan. Akan tetapi, menurut kebiasaan, toeitjiang selalu dilakukan antara dua
saudara seperguruan atau antara sahabat-sahabat karib, sehingga menang atau kalah,
tak akan merenggangkan keakuran. Tapi sekarang Tjek Tiong Ho meminta Loei Tjin Tjoe
yang maju sebagai kawan ber-toeitjiang. Mereka berdua bukan saudara seperguruan dan
juga bukan sahabat. Maka, permohonan Tjek Tiong Ho itu tidak berbeda dengan
tantangan.
Hati para hadirin jadi berdebar-debar, terutama Tong Keng Thian yang sangat kuatir akan
keselamatan Loei Tjin Tjoe. "Ilmu silat Tjekshia totjoe merupakan salah satu ilmu luar
biasa dalam Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Andaikata Loei Tjin Tjoe belum
mendapat luka, belum tentu ia bisa menandingi Tjek Tiong Ho. Dalam keadaannya
sekarang, bagaimana ia bisa
melawan orang she Tjek itu?"
Moh Tjoan Seng tetap bersikap tenang. Ia mengangguk dan berkata sembari tertawa:
"Begitu juga baik. Loei Tjin Tjoe! Gunakanlah Kioekiong Lianhoan Tjianghoat untuk
meminta pengajaran dari Tjek Soeheng."
Loei Tjin Tjoe mengiakan dan ia lantas berjalan masuk ke tengah-tengah ruang. Ia
memasang kuda-kuda dan mengundang: "Tjek Soeheng, silahkan."
Tjek Tiong Ho tak berlaku sungkan. Hampir berbareng dengan undangan itu, ia segera
memukul dengan tangan kanannya. Lihwee kansoei tjianghoat gubahan Tjekshia totjoe
adalah ilmu silat yang sangat liehay. Ilmu itu merangkap Yang dan Im (positip dan
negatip), yaitu tangan kanan mengeluarkan pukulan "keras" yang sifatnya seperti api,
sedang tangan kiri mengeluarkan pukulan "lembek" yang bersifat bagaikan air. Sebagai
murid kepala dari Tjekshia totjoe, Tjek Tiong Ho telah paham akan sebagian besar
kepandaian gurunya.
Tjekshia totjoe selalu hidup di pulau Liehwee to, dan ia tak pernah berkelana di dunia
Kangouw, tapi muridnya sering mundar-mandir di wilayah Tionggoan. Dalam Kiatyan
sekali ini, orang-orang yang mengandung maksud kurang baik, telah mengundang
Tjekshia totjoe untuk memberi bantuan. Akan tetapi, Totjoe itu telah menolak, karena ia
sungkan mencari urusan dengan Moh Tayhiap yang kesohor sekali. Sedang gurunya tak
bergeming, sebaliknya Tjek Tiong Ho justru kena dibujuk. Dalam perundingan di antara
orang-orang itu, mereka berpendapat, bahwa, asal kena dipancing untuk turun tangan
sendiri, mereka sudah boleh dikatakan berhasil, karena dengan begitu, Moh Tjoan Seng
merosot derajatnya sebagai seorang guru besar. Dalam perundingan itu, telah diambil
putusan untuk minta Tjek Tong Ho maju sebagai jago pertama guna merobohkan Loei Tjin
Tjoe.
Sebagai seorang ahli, Tjek Tiong Ho tadi sudah segera mengetahui kelemahan
lawannya. Maka itu, begitu bergebrak, ia segera mengirimkan pukulan "keras" dengan
tangan kanannya, Loei Tjin Tjoe segera mengangkat kedua tangannya untuk menyambut
pukulan itu. Dengan terdengarnya bunyi "Tak!", di belakang tangan Tjek Tiong Ho timbul
lima garis merah dan ia terhuyung ke belakang beberapa tindak. Di lain pihak, telapak
tangan Loei Tjin Tjoe juga terluka dan berdarah, sedang badannya bergoyang-goyang,
tapi ia tak sampai kena dipukul mundur. Dalam gebrakan itu, meskipun kedua belah pihak
sama-sama mendapat luka, Loei Tjin Tjoe-Iah yang lebih unggul. Kejadian itu bukan saja
mengejutkan bagi Tjek Tiong Ho, tapi semua hadirin, termasuk Keng Thian juga, benar-
benar terperanjat. Mereka tak mengerti, mengapa lweekang Loei Tjin Tjoe mendadak bisa
menjadi begitu besar.
Lweekang Loei Tjin Tjoe sebenarnya kira-kira berimbang dengan Tjek Tiong Ho. Akan
tetapi, sesudah mendapat bantuan Moh Tjoan Seng, tenaga dalamnya jadi bertambah
besar dan ia jadi lebih unggul tiga bagian dari lawannya. Sesudah berada di atas angin, ia
segera mengirimkan tiga serangan berturut-turut, sehingga Tjek Tiong Ho terpaksa
berkelahi sembari mundur.
Sesudah lewat beberapa jurus, Tjek Tiong Ho tiba-tiba menyambut pukulan Loei Tjin
Tjoe dengan tangan kirinya. Mendadak, Loei Tjin Tjoe merasakan tangannya seperti
memukul kapas, yang tidak bertenaga, dan belakang tangannya lantas saja seolah-olah
melekat di tangan kiri musuhnya. Seketika itu, Tjek Tiong Ho menabas pergelangan
tangan lawannya dengan tangan kanan. Murid-murid Boetong dengan serentak
mengeluarkan teriakan tertahan, karena pergelangan tangan Loei Tjin Tjoe pasti akan
terpukul patah!
Pada detik yang sangat berbahaya itu, sekonyong-konyong Loei Tjin Tjoe
menggerakkan jerijinya dan menuding jalan darah di telapak tangan musuhnya yang
sedang menyambar. Dengan hati mencelos, buru-buru Tjek Tiong Ho melepaskan tangan
kirinya dan melompat mundur untuk menyingkir dari serangan Loei Tjin Tjoe.
Ternyata, dalam gebrakan-gebrakan pertama itu Loei Tjin Tjoe masih belum mengenal
liehaynya Liehwee kansoei tjianghoat yang menguasai dua macam tenaga, yaitu tenaga
"keras" dan tenaga "lembek". Pada saat tangannya kena "ditempel" tangan musuh yang
bertenaga "lembek", ia baru ingat kepada perkataan sang Tjouwsoe, bahwa Tiamhiat hoat-
nya masih jauh dari sempurna. Ia "mendusin, bahwa Kioekiong Patkwa tjiang harus
digunakannya bersama-sama dengan ilmu menotok jalan darah. Oleh karena itu, ia
segera menggunakan Tiamhiat hoat untuk memunahkan serangan musuh. Tjek Tiong Ho
tentu saja tak ingin sama-sama menjadi korban, lantas saja menarik kembali tabasannya
yang dahsyat.
Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: "Pukulan Tjek Tiong Ho yang terakhir,
seharusnya digunakan untuk menyerang sikut, sedang tangan kirinya harus
mencengkeram nadi Loei Tjin Tjoe. Jika ia berbuat begitu, Loei Tjin Tjoe tentu tak bisa
mengunakan ilmu menotok jalan darah!"
Para ahli lantas saja mengangguk-angguk dengan perasaan kagum terhadap petunjuk
itu yang sangat tepat. Tapi, Tjek Tiong Ho justru jadi mendongkol. "Kenapa kau tidak
memberitahukan lebih siang?" katanya di dalam hati.
Sementara itu, Loei Tjin Tjoe sudah menyerang dengan kedua tangannya. Dengan
tangan kanan Tjek Tiong Ho menyambut kekerasan dengan kekerasan dalam gerakan
Lekpek samsan (Memukul tiga gunung), sedang tangan kirinya menyerang dengan tenaga
Imdjioe (tenaga "lemas") dalam gerakan Soensoei toeitjouw (Dengan mengikuti air
menolak perahu).
"Salah! Salah!" kata Moh Tjoan Seng tiba-tiba. "Kau harus lebih dulu menggunakan
Tiamhoat untuk memperkecil daya serangan lawan." Tanpa berpikir lagi, Tjek Tiong Ho
segera bergerak menurut petunjuk itu dan benar saja, serangan Loei Tjin Tjoe dapat
dipecahkan secara mudah. "Untung juga ia memberi peringatan," kata Tjek Tiong Ho di
dalam hatinya. "Jika aku melawan kekerasan dengan kekerasan, pergelangan tanganku
bisa menjadi patah, karena dalam hal lweekang, Loei Tjin Tjoe lebih kuat daripada aku."
Sesudah berpencar, kedua orang itu lantas melanjutkan pertempuran mereka.
Sesuai dengan peraturan Kiatyan, Moh Tjoan Seng memberi petunjuk pada kedua
belah pihak, malah kepada Tjek Tiong Ho ia memberikan lebih banyak daripada yang
diberikannya kepada Loei Tjin Tjoe. Melihat begitu, bukan saja hadirin lain, malah Tjek
Tiong Ho sendiri juga merasa sangat takluk akan kebesaran jiwa Moh Tjoan Seng.
Akan tetapi, semua orang tidak tahu, bahwa Moh Tjoan Seng sudah berbuat begitu oleh
karena ia yakin, bahwa ilmu Kioekiong Patkwa tjiang lebih unggul daripada ilmu yang
digunakan Tjek Tiong Ho dan ia yakin pula, bahwa lweekang Loei Tjin Tjoe lebih kuat
daripada lweekang lawannya, sehingga Loei Tjin Tjoe pasti akan mendapat kemenangan.
Apa yang dikuatirkannya, hanyalah, jika dalam gebrakan-gebrakan pertama, Loei Tjin
Tjoe, yang belum mengetahui betapa liehaynya Imyang Tjianghoat, akan menjadi bingung.
Karena begitu, ia sengaja memberi petunjuk kepada Tjek
Tiong Ho, supaya dengan mendengarkan petunjuk itu, Loei Tjin Tjoe menjadi sadar dan
mengerti keliehayan ilmu pukulan sang lawan. Di lain pihak, petunjuk yang diberikannya
kepada Loei Tjin Tjoe, adalah petunjuk yang sangat penting. Sebagai seorang yang sudah
mahir betul dalam Kioekiong Lianhoan Tjiang-hoat, dengan sedikit petunjuk itu, Loei Tjin
Tjoe sendiri bisa membuat perubahan-perubahan yang seperlunya. Oleh sebab itu, maka
sesudah bertanding ratusan jurus, Loei Tjin Tjoe masih tetap berada di pihak yang lebih
unggul.
Sesudah bertempur lagi beberapa puluh jurus, sambil menghela napas, Tjek Tiong Ho
meloncat keluar dari gelanggang. "Tjianghoat Loei Soeheng benar-benar lebih tinggi
daripada kepandaianku," katanya sembari menyoja. "Terima kasih banyak atas petunjuk
Thaytjongsoe. Secepatnya, aku akan kembali ke pulau dan berlatih pula menurut
petunjuk-petunjuk yang telah diberikan oleh Thaytjongsoe." Memang kemudian Tjek Tiong
Ho benar-benar pulang ke pulau Liehwee to dan sejak itu ia tidak berani memusuhi lagi
partai Boetong pay. Petunjuk Moh Tjoan Seng telah memberi banyak bantuan kepadanya
dalam mencapai kemajuan di kemudian hari.
Baru saja kedua orang itu kembali ke tempat duduk masing-masing, ketika sejumlah
orang yang duduk di barisan ketiga masuk ke dalam gelanggang dengan beruntun.
Mereka itu, yang berjumlah sembilan orang, semua mengenakan pakaian hitam, masing-
masing bersenjata pedang dan pada pinggang mereka tergantung kantong senjata
rahasia.
Seorang yang menjadi kepala memberi hormat dan berkata dengan suara nyaring:
"Sudah lama kami mendengar betapa liehaynya Kioekiong Patkwa tjiang dari Boetong
pay. Tin (barisan) kami yang kecil ini juga diatur menurut kedudukan Kioekiong Patkwa
dan cocok sekali untuk dijajal dengan Kioekiong Patkwa tjiang. Kami mengharap, supaya
Thaytjongsoe suka memberi petunjuk-petunjuk." Selagi dia berkata begitu, kawan-
kawannya sudah mengurung sekelompok murid Boetong yang berdiri di depan dan tanpa
menunggu perkenan Moh Tjoan Seng, mereka serentak menghunus pedang. Murid
Boetong yang terkurung berjumlah belasan orang, antaranya Loei Tjin Tjoe juga. Begitu
selesai berbicara, orang itu lantas saja membacok Loei Tjin Tjoe dengan senjatanya!
Melihat kekurang ajaran sembilan orang itu, para hadirin terkejut sekali, sedang murid-
murid Boetong menjadi gusar bukan main. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka
lantas saja bertempur seru.
Meskipun berjumlah lebih besar, tapi karena tin itu saling bersambung kepala buntutnya
dan bisa berubah dengan cepat sekali, maka murid-murid Boetong lantas saja terkurung
rapat-rapat dan tak bisa menoblos keluar.
Tong Keng Thian terkejut. "Celaka!" katanya di dalam hati. "Kali ini, murid Boetong
mungkin akan menderita kekalahan." Baru saja ia memikirkan untuk memberi bantuan,
mendadak terdengar suara tertawa Moh Tjoan Seng. "Tin yang diwariskan oleh Han Tiong
San dan Yap Hoen Po benar-benar liehay," katanya dengan tenang. "Akan tetapi, untuk
menarik keuntungan sebesar-besarnya, tin itu harus digunakan bersama-sama dengan
senjata rahasia. Kenapa kamu hanya menggunakan separuh tenaga?"
Mendengar perkataan itu, Keng Thian jadi sangat terperanjat.
Harus diketahui, bahwa tiga puluh tahun berselang, sebelum Yong Tjeng naik ke tahta,
Han Tiong San dan Yap Hoen Po termasuk dalam "Enam Jago" yang mengabdi kepada
putera kaizar itu (pada waktu itu, Yong Tjeng masih dikenal sebagai Soehongtjoe, atau
putera kaizar yang ke empat). Empat jago lainnya adalah Liauw In Hweeshio, Haputo,
Thian Yap Sandjin dan Tong Kie Tjoan. Han Tiong San dan Yap Hoen Po adalah suami
isteri yang bukan saja berkepandaian tinggi, tapi senjata rahasia mereka pun liehay bukan
main dan kebesaran nama mereka sejajar dengan keluarga Tong di Soetjoan. Mereka
berdua suami isteri adalah pemimpin Lengsan pay dan dalam tingkatan, mereka masih
lebih tinggi daripada Tong Siauw Lan. Belakangan, tiga pendekar wanita, yaitu Lu Soe Nio,
Phang Eng dan Phang Lin telah menyatroni istana kaizar dan berhasil membunuh Yong
Tjeng. Dalam pertempuran itu, Han Tiong San telah membuang jiwa, sedang isterinya Yap
Hoen Po, bersama Soetee-nya Thian Yap Sandjin, telah kabur pulang ke Lengsan dimana
mereka menutup pintu dan hidup tenang sambil mempelajari ilmu menimpuk dengan
senjata rahasia yang diwariskan oleh Han Tiong San. Sesudah lewat tiga puluh tahun,
orang Lengsan pay belum pernah mengunjukkan muka dalam kalangan Kangouw. Selama
itu, Yap Hoen Po dan Thian Yap Sandjin telah meninggal dunia dan Rimba Persilatan
perlahan-lahan sudah melupakan mereka. Tapi tak dinyana, tinhoat (barisan) yang
diwariskan Han Tiong San masih tetap dipelajari oleh murid-murid Lengsan pay dan hari
ini muncul dengan tiba-tiba di gunung Gobie san.
Begitu Moh Tjoan Seng mengucapkan perkataannya, sembilan murid Lengsan pay dan
Tong Keng Thian diam-diam terkejut bukan main. Para murid Lengsan pay terkejut karena
tin ciptaan Tjouwsoe mereka, yang belum pernah dipertunjukkan di muka umum selama
tiga puluh tahun, ternyata dikenal baik oleh Moh Tayhiap. Tong Keng Thian terkejut,
karena, tanpa menggunakan senjata rahasia, barisan itu sudah begitu liehay, sehingga,
jika ditambah lagi dengan senjata rahasia, para murid Boetong tentu sukar terlolos dari
bencana!
Sementara itu, Kioekiong Patkwa tin orang-orang itu sudah mengurung semakin rapat,
sehingga murid-murid Boetong tak bisa membalas menyerang lagi. Pemimpin barisan itu
adalah Tjiangboendjin Lengsan pay yang bernama Yap Thian Djim. Mendengar perkataan
Moh Tjoan Seng, ia lantas saja berpikir di dalam hatinya: "Kedatangan kami sekali ini
adalah untuk membikin malu Boetong pay dan menaikkan derajat Lengsan pay. Dilihat
dari perkembangan pertempuran, dalam tempo sejam lagi, kita akan memperoleh
kemenangan yang diharapkan. Jika kita menggunakan senjata rahasia dan
membinasakan murid-murid Boetong, Moh Tjoan Seng tentu akan turun tangan sendiri.
Biarpun turun tangannya itu akan berarti kemerosotan derajatnya sebagai Thaytjongsoe,
tapi pihak Lengsan pay pun tak akan terluput dari kerugian yang tidak kecil." Berpikir
begitu, ia segera berkata: "Perkataan Thaytjongsoe memang benar sekali. Tetapi menurut
kebiasaan, barisan ini baru menggunakan senjata rahasia jika berhadapan dengan lawan
yang berkepandaian tinggi. Musuh yang berkepandaian sedang-sedang saja, tak akan
bisa meloloskan diri, biarpun kami tidak menggunakan senjata rahasia." Perkataan itu
yang sangat sombong dan memandang rendah kepada murid-murid Boetong pay, sudah
membangkitkan kegusaran segenap anggauta partai tersebut. Dengan mata merah dan
dengan seluruh tenaganya. Bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe menikam orang temberang itu.
Yap Thiam Djim meloncat mundur dan serangan Loei Tjin Tjoe disambut oleh kedua
Soetee-nya. Di lain saat, Loei Tjin Tjoe sudah dikepung oleh dua musuh itu. "Apakah
Kioekiong Patkwa tin masih mempunyai kelemahan lain?" tanya Yap Thian Djim dengan
sikap angkuh. "Harap Moh Lootjianpwee suka memberi petunjuk."
Moh Tayhiap tertawa dan berkata: "Barisanmu hanya menggunakan separuh tenaga,
tentu saja masih mempunyai banyak kelemahan. Hm! Loei Tjin Tjoe, kau pergi ke jurusan
Kianhong dan lari ke kedudukan Soenwie. Leng It Piauw, kau pergi ke jurusan Liehong
dan lari ke kedudukan Kanwie. Kamu menyingkir dari musuh yang dekat dan menyerang
musuh yang jauh. Dengan demikian, kamu akan segera bisa keluar dari barisan itu." Loei
Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas saja bergerak menurut petunjuk itu. Mereka tidak
memperdulikan musuh yang dekat dan masing-masing merebut kedudukan yang
disebutkan oleh Moh Tayhiap. Benar saja, tidak lama kemudian, belasan murid Boetong
pay itu sudah dapat menoblos keluar dari kepungan.
Yap Thian Djim menjadi malu tercampur gusar. Akan tetapi, karena ia sendiri yang
meminta petunjuk Moh Tjoan Seng dan ia sendiri yang berjanji untuk tidak menggunakan
senjata rahasia, maka ia tak berani memperlihatkan kegusarannya.
Moh Tayhiap bersenyum seraya berkata: "Biarpun kau menggunakan senjata rahasia,
belum tentu barisanmu bisa mengepung musuh. Di dalam tin itu masih terdapat banyak
sekali kelemahan."
Sembilan murid Lengsan pay menjadi pucat, dan darah mereka semua mendidih. Yap
Thian Djim mengeluarkan suara di hidung dan berkata dengan tawar. "Kalau begitu,
biarlah Loei Soeheng dan saudara-saudara lain masuk kembali ke dalam barisan kami,
untuk memberi pengajaran, dan aku juga memohon supaya Moh Lootjianpwee suka
memberi penjelasan tentang kelemahan-kelemahan barisan ini!"
Pelajaran getir yang diberikan oleh Moh Tayhiap kepada sembilan murid Lengsan pay
yang temberang itu, sudah menggirangkan banyak orang. Akan tetapi, mereka merasa,
bahwa Moh Tjoan Seng sudah bertindak keliru dengan mengeluarkan kata-katanya yang
paling belakang, karena Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya bisa celaka, jika mereka
masuk kembali ke dalam barisan itu. Tong Keng Thian juga berpendapat demikian.
"Sebenarnya Moh Lootjianpwee harus mengakhiri pertandingan itu," katanya didalam hati.
"Meskipun benar Kioekiong Patkwa tin mereka masih mempunyai banyak kelemahan, tapi
senjata rahasia Lengsan pay bukan main hebatnya. Walaupun mendapat petunjuk, Loei
Tjin Tjoe dan kawan-kawannya mungkin tak akan terlolos dari bencana."
Dengan tetap duduk bersila di atas pentas, Moh Tayhiap menatap wajah Yap Thian
Djim dan berkata dengan suara dingin: "Untuk memecahkan barisanmu, tak perlu
dikerahkan begitu banyak orang. Satu orang saja sudah lebih dari cukup!'
Muka Yap Thian Djim jadi berwarna hijau kekuning-kuningan, karena menahan
amarahnya yang meluap-luap. Ia menyoja sembari membungkuk dalam-dalam dan
berkata: "Aku sungguh merasa beruntung, jika Moh Lootjianpwee sudi turun tangan sendiri
untuk memberi pelajaran. Aku sungguh merasa berterima kasih!" Bukan saja Yap Thian
Djim, tapi semua orang pun menduga, bahwa Moh Tayhiap ingin turun sendiri ke dalam
gelanggang. Siapakah, kecuali ia, yang mampu memecahkan Kioekiong Patkwa tin
seorang diri?
Tapi di luar semua taksiran, Moh Tayhiap bersenyum dan berkata: "Aku, si tua, mana
mempunyai kegembiraan lagi untuk turun ke dalam gelanggang. Biarlah aku
memerintahkan seorang houwpvvee dari Boetong pay untuk menjajal-jajal, untuk
mendapat kepastian, apakah kata-kataku benar atau tidak!"
Semua orang terkesiap dan terheran-heran. Mereka tahu, bahwa di antara murid-murid
Boetong turunan kedua, Loei Tjin Tjoe-lah yang berkepandaian paling tinggi. Dengan
kepandaiannya itu, bertempur satu lawan satu saja belum tentu Loei Tjin Tjoe bisa
memperoleh kemenangan. Mana bisa ia memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang diri!
Keheranan itu juga dirasakan oleh Tong Keng Thian. "Andaikata aku sendiri yang
masuk ke dalam barisan tersebut, aku masih ungkulan untuk memecahkannya jika
mereka tidak menggunakan senjata rahasia," katanya di dalam hati. "Jika mereka
menggunakan senjata rahasia, rasanya aku hanya bisa menolong diriku sendiri. Siapakah
di antara houwpwee Boetong pay yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?"
Selagi semua orang bersangsi, mendadak Moh Tayhiap bertepuk tangan dengan
perlahan. Hampir •berbareng dengan itu, di belakang ruang itu terdengar tindakan kaki.
Sebelum orangnya muncul, semacam wangi-wangian yang sedap sudah memenuhi
seluruh ruang.
Semua mata ditujukan ke arah itu dengan tidak berkesip. Di lain saat, dari belakang
sekosol keluarlah seorang wanita yang cantik luar biasa, mukanya bundar laksana bulan,
kedua alisnya yang hitam, lentik melengkung, mulutnya kecil bagaikan buah tho, matanya
yang jeli berwarna kebiru-biruan, sedang pakaiannya yang indah berwarna biru laut.
Semua orang terkejut, tapi orang yang paling kaget tercampur girang adalah Tong Keng
Thian, karena wanita itu bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie!
Bahwa Peng Go yang akan datang ke Gobie san memang sudah diduganya lebih dulu.
Tapi ia sama sekali tidak mengira, bahwa si nona bisa muncul secara begitu mendadak.
Begitu keluar, Pengtjoan Thianlie memberi hormat dan berkata dengan suara halus:
"Apakah kau ingin aku memecahkan Kioekiong Patkwa tin? Tapi aku tak ingin melukakan
orang."
"Jangan kuatir," kata sang paman. "Jika mereka terluka, aku bisa mengobatinya."
"Tapi aku kuatir, bahwa mereka tetap akan menderita sakit selama kira-kira sebulan,"
kata si nona.
Tadi, ketika melihat kecantikan Pengtjoan Thianlie, sembilan murid Lengsan pay itu jadi
seperti mabuk dan lupa kepada pertempuran yang akan terjadi. Tapi begitu mendengar
tanya jawab antara Moh Tjoan Seng dan si nona, seolah-olah kemenangan mereka sudah
merupakan suatu kepastian mutlak, dalam hati mereka lantas saja timbul perasaan
mendongkol. Sesudah mengebaskan pedangnya untuk mengatur Kioekiong Patkwa tin,
Yap Thian Djim berkata: "Walaupun badan kami menjadi hancur lebur, tak nanti kami
menyalahkan orang lain, karena yang harus disalahkan adalah kami sendiri yang tak
mempunyai kebecusan. Akan tetapi, senjata tiada matanya. Nona, kau sendiri pun harus
berhati-hati. Jika kesalahan tangan dan pedang kami menggores mukamu, kami sungguh
tak akan sanggup memikul kedosaan yang begitu besar."
Perkataan Yap Thian Djim itu diam-diam dibenarkan para hadirin. Mereka bersimpati
terhadap nona itu yang sangat cantik dan memang benar-benar sayang, jika ia sampai
terluka. Akan tetapi, tak seorangpun berani mencegahnya di hadapan Moh Tjoan Seng.
Pengtjoan Thianlie tertawa angkuh dan menyapu semua lawannya dengan sinar
matanya yang tajam dan agung. Tanpa menjawab perkataan Yap Thian Djim, dengan
tindakan enteng ia masuk ke dalam tin musuh. Menurut keharusan, begitu lekas sang
lawan masuk, Yap Thian Djim harus segera memapakinya dengan senjata. Akan tetapi,
karena melihat si nona bertangan kosong, ia bersangsi dan sesudah mengangkat
pedangnya, pedang itu tidak terus ditikamkan ke arah si nona.
"Apakah kau takut?" tanya Peng Go dengan suara tawar. "Aku menunggu supaya kamu
bisa mengerahkan tenaga dalammu untuk melindungi diri. Jika tidak berbuat begitu, kamu
pasti akan sakit selama kira-kira sebulan."
Sembilan murid Lengsan pay itu menjadi gusar sekali. Dua Soetee Yap Thian Djim
dengan berbareng maju dan berkata: "Soeheng, guna apa kau berlaku sungkan terhadap
perempuan itu?" Hampir berbareng dengan perkataan itu, mereka menyerang. Yang di
sebelah kiri membabatkan pedangnya dengan gerakan Ganlok pengsee (Belibis jatuh di
dataran pasir), sedang yang di sebelah kanan menikam dengan serangan Hianniauw
hoasee (burung sakti menggores pasir). Kedua serangan itu hebat luar biasa dan menutup
jalan mundur Pengtjoan Thianlie dari kiri dan kanan. Kecuali Loei Tjin Tjoe, yang pernah
menyaksikan
keliehayannya, semua murid Boetong menahan napas. Mereka sangat berkuatir, jika si
nona akan terluka.
Pengtjoan Thianlie tertawa nyaring, badannya bergoyang dan sebelum orang bisa
melihat tegas, bagaimana gerakannya, kedua senjata musuh sudah jatuh di tempat
kosong. Hampir seketika itu juga, dengan berbunyi "srt", Pengpok Hankong kiam si nona
sudah terhunus. Dengan serentak, sinar dan hawa yang sangat dingin menyambar-
nyambar ke seluruh ruangan. Yap Thian Djim menggigil beberapa kali, sedang kedua
Soetee-nya yang barusan menyerang Peng Go dan masing-masing lweekang-nya lebih
lemah, bergemetar seolah-olah berada di tengah lembah es.
"Mundur!" teriak Yap Thian Djim. "Serang perempuan siluman itu dengan senjata
rahasia!" Kioekiong Patkwa tin lantas saja terbuka lebar dan orang-orang yang berada
di luar gelanggang
pun serentak mundur supaya berada di luar jarak serangan senjata rahasia. Di lain saat,
berbareng dengan komando Yap Thian Djim. bagaikan hujan gerimis aneka senjata
rahasia menyambar ke arah Peng Go.
"Bagus!" seru si nona sembari menyentilkan jeriji tangannya berulang-ulang. Sesaat itu
juga, Pengpok Sintan berterbangan di tengah udara. Senjata-senjata rahasia yang lebih
kecil, seperti jarum, Thieliantjoe, panah tangan, paku dan sebagainya, jatuh bagaikan
bunga rontok beradu dengan peluru-peluru es itu. Begitu lekas peluru-peluru itu pecah,
hawa yang lebih dingin daripada Pengpok Hankong kiam, meliputi seluruh ruangan.
Sebagaimana diketahui, Pengpok Sintan dibuat daripada kristal es dari lapisan yang
sudah berlaksa tahun usianya di pegunungan Nyenchin Dangla. Hawanya yang luar biasa
meresap ke tulang-tulang, sehingga para tamu yang lweekang-nya agak lemah, lantas
saja mundur lebih jauh atau keluar dari ruangan itu. Tak usah dikatakan lagi, yang
menderita paling hebat adalah murid-murid Lengsan pay itu, yang berada di dalam
gelanggang dan beberapa antaranya lantas saja roboh terguling dengan badan lemas.
Senjata-senjata rahasia yang lebih besar, yang tidak terpukul jatuh dengan Pengpok
Sintan, ditangkis oleh si nona dengan pedangnya. Di antara senjata-senjata itu terdapat
semacam senjata rahasia yang berbentuk melengkung dan selagi menyambar,
mengeluarkan suara "ung, ung". Dengan perasaan heran, si nona menyabet dengan
Hankong kiamnya. Mendadak, senjata itu "melompat", berputar sekali di tengah udara dan
menyambar pula dada Koei Peng Go. Menghadapi serangan yang begitu luar biasa, si
nona terkejut bukan main. Sekonyong-konyong, di antara orang banyak terdengar
teriakan: "Kimkong tjie!"
Pengtjoan Thianlie yang sudah mahir dalam ilmu itu, buru-buru mementang dua
jerijinya dan menjepit senjata tersebut, yang, biarpun sudah terjepit, masih terus meronta-
ronta.
Peng Go menengok dan sinar matanya menyapu seluruh ruangan. Ia melihat Tong
Keng Thian berdiri di antara orang banyak sembari bersenyum, sedang Yap Thian Djim
sendiri, dengan wajah gusar, memegang dua buah lagi senjata aneh itu di kedua
tangannya, siap sedia untuk menyerang pula.
Senjata rahasia itu adalah Hoeihoan kauw, yaitu senjata rahasia Han Tiong San yang
paling kesohor. Selagi terbang, senjata itu bisa membiluk ke sana-sini dan jika tersentuh,
dia bisa berbalik. Di samping itu, Hoeihoan kauw itu adalah senjata yang sangat beracun.
Untung juga lweekang Yap Thian Djim masih kalah jauh dari tenaga dalam si nona. Jika
bukan begitu, Hoeihoan kauw (semacam boomerang) itu tentu tak akan dapat dijepit
dengan jari tangannya.
Sementara itu, Yap Thian Djim mengayunkan kedua tangannya dan dua buah Hoeihoan
kauw itu terbang dengan kecepatan luar biasa. Di saat itu, karena tangan kanannya
memegang pedang, Pengtjoan Thianlie tentu tak akan dapat menjepit kedua-dua senjata
itu, yang menyambar dari kiri kanan hanya dengan jeriji tangan kirinya. Semua hadirin
terperanjat dan mengawasi gerakan senjata itu sambil menahan napas. Pada detik yang
sangat berbahaya itu, mendadak terlihat berkelebatnya sesosok bayangan biru dan... Koei
Peng Go menghilang dari ruangan itu!
Selagi kekagetan para hadirin belum hilang, kedua senjata itu, yang tidak menemukan
sasaran mereka, terus terbang ke arah para tamu sambil mengeluarkan suara "ung, ung,
ung". Suasana menjadi kalang kabut, ada yang melompat menyingkir, ada juga yang
mengangkat tangan untuk menyambutinya. Sekonyong-konyong di tengah udara terlihat
menyambarnya dua sinar emas dan berbareng dengan terdengarnya bunyi: "trang,
trang!", kedua Hoeihoan kauw itu terbang kembali, dengan kecepatan yang lebih besar
daripada tadi.
Para hadirin sekali lagi terkesiap, karena orang yang melepaskan dua sinar emas itu
mempunyai lweekang yang sepuluh kali lebih tinggi daripada Yap Thian Djim. Sebenarnya,
mereka ingin sekali mencari tahu, siapa yang melepaskan dua sinar emas itu, tapi mereka
tak sempat berpaling, sebab kedua Hoeihoan kauw tersebut sekarang menyambar ke
arah Moh Tjoan Seng.
Moh Tayhiap tersenyum dan mengebaskan lengan jubahnya. Untuk kedua kalinya, dua
Hoeihoan kauw itu terpental kembali, kali ini lebih tinggi, terbangnya, dan dalam sekejap
sudah terbang keluar dari ruang itu, lewat di atas kepala para tamu.
Tiba-tiba Yap Thian Djim mengeluarkan teriakan menyayatkan hati dan tubuhnya
terguling di atas lantai sambil menggigil hebat sekali. Hampir berbareng dengan itu,
Pengtjoan Thianlie sudah berada lagi di tengah gelanggang. Ternyata, ketika kedua
Hoeihoan kauw itu menyambar, si nona telah meloncat ke atas penglari, tapi karena
mendongkol kepada Yap Thian Djim yang tanpa segan-segan telah menggunakan senjata
beracun, maka, sebelum meloncat turun, ia lebih dulu menimpuk jalan darah Tayyang hiat
orang she Yap itu, dengan Pengpok Sintan-nya.
"Siantjay! Siantjay!" kata Moh Tjoan Seng sembari merangkapkan kedua tangannya.
"Murid-muridku, lekaslah kamu menolong mereka!' Loei Tjin Tjoe dan sekalian saudara-
saudara seperguruannya lantas saja masuk ke dalam gelanggang dan menggotong
sembilan murid Lengsan pay itu ke ruang belakang untuk diobati. Baru saja keadaan
tenang kembali, dari luar tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menyeramkan.
Dengan penuh keheranan, semua orang menengok ke belakang. Sekonyong-konyong
kelihatan segulung sinar merah melayang di atas kepala mereka dan di lain detik, di
tengah-tengah ruang itu terdapat seorang laki-laki yang bertubuh jangkung kurus dan
mengenakan jubah merah. Kedua mata orang itu bersinar merah seperti api, rambutnya
awut-awutan dan rupanya sangat menyeramkan. Beberapa orang dari tingkatan lebih tua
serentak berseru dengan kaget: "Hiatsintjoe!'
Sementara itu Hiatsintjoe kembali tertawa nyaring dan kemudian, dengan sikap
sombong, ia manggutkan kepalanya kepada Moh Tjoan Seng. "Hm!" ia mengeluarkan
suara di hidung. "Kamu mengadakan pertandingan silat disini, sedikitpun tak ada sangkut
pautnya denganku. Tapi kenapa senjata rahasia terbang di atas kepalaku?" Sembari
berkata begitu, ia melemparkan kedua Hoeihoan kauw itu di atas lantai dan semua orang
terkejut, karena senjata rahasia itu sudah patah menjadi delapan potong.
"Hiatsin Tooyoe," kata Moh Tjoan Seng. "Senjata rahasia houwpwee (orang yang
tingkatannya lebih rendah), mana bisa melukakan kau? Guna apa kau menjadi gusar?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Coba panggil orang yang melepaskan
senjata rahasia itu," katanya dengan sikap memerintah.
"Sekarang mereka sedang menderita demam," kata Moh Tjoan Seng sembari tertawa.
"Nanti sesudah mereka sembuh, kau boleh mencari suami isteri In di Lenglouw san."
In Leng Tjoe suami isteri adalah Tiangloo (orang terkemuka) dari Lengsan pay dan
sebagaimana diketahui, mereka adalah sahabat Hiatsintjoe.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan matanya memandang kepingan-kepingan Hoeihoan kauw
di atas lantai itu. Lantas saja ia mengenali, bahwa senjata itu memang benar adalah
senjata rahasia Lengsan pay.
Kedatangan Hiatsintjoe di Gobie san memang sebenarnya untuk coba-coba mengadu
tenaga dan ia perlu mencari alasan untuk menantang. Sesudah usahanya yang pertama
gagal, ia tertawa dingin dan mengangkat tangannya yang menggengam dua batang
Thiansan Sinbong.
"Apakah ini juga senjata rahasia Lengsan pay?" tanyanya, mengejek.
"Itulah Thiansan Sinbong, senjataku," kata Keng Thian sembari meloncat leluar. "Habis
mau apa kau?"
Ternyata, dua Thiansan Sinbong yang digunakan oleh Keng Thian, telah menancap di
Hoeihoan kauw Yap Thian Djim dan sekarang berada dalam tangan Hiatsintjoe.
Hiatsintjoe melirik Keng Thian. Matanya mencerminkan
kebenciannya, sesaat kemudian ia berkata kepada Moh Tjoan Seng: "Kiatyan ini
merupakan kejadian yang agak langka. Setelah berada disini, aku pun ingin meminta
petunjuk-petunjukmu."
Sebenarnya Hiatsintjoe ingin segera menantang Tong Keng Thian, tapi karena merasa
segan akan keangkeran Moh Tayhiap, ia tak berani bertindak secara melampaui batas.
Oleh sebab itu, sebelum menantang, lebih dulu ia meminjam peraturan Kiatyan.
Moh Tjoan Seng tersenyum dan jawabannya adalah di luar dugaan Hiatsintjoe. "Aku
merasa girang, bahwa Tooyoe sudi berkunjung kesini," katanya dengan sabar. "Memberi
petunjuk kepada Tooyoe, sekali-kali aku tak berani. Biarlah aku memerintahkan
kemenakanku meminta pelajaran dari kau. Peng Go! Coba kau melayani Tjianpwee itu
dengan Tatmo Kiamhoat."
Tingkatan Hiatsintjoe sebenarnya sama dengan Moh Tjoan Seng. Tapi dengan kata-
katanya itu, Moh Tayhiap seolah olah memandangnya sebagai seorang houwpwee saja.
Tak usah dikatakan lagi, betapa gusar Hiatsintjoe di saat itu, tapi sebelum ia keburu
mengumbar napsunya, Pengtjoan Thianlie sudah berkata sembari tertawa: "Sudah
beberapa kali aku menerima pelajaran dari Tjianpwee itu. Menurut pendapatku, sebaiknya
ia berlatih pula selama sepuluh tahun, kemudian baru datang kesini untuk meramaikan
Kiatyan." Dengan berkata begitu, si nona seolah-olah ingin mengatakan, bahwa jangankan
Moh Tjoan Seng, sedang ia sendiri pun masih belum bisa dikalahkan oleh Hiatsintjoe.
Moh Tayhiap menggelengkan kepalanya dan berkata, seakan-akan menegur: "Ibarat
seorang yang baru keluar dari rumah gubuk, kau tak mengetahui betapa dalamnya laut
pada hakekatnya."
Hiatsintjoe merasakan dadanya seperti mau meledak dan tanpa mengeluarkan sepatah
kata, ia menghantam Peng Go dengan tangannya yang seperti kipas. "Siluman kecil!" ia
mencaci. "Coba lihat, siapa yang harus berlatih lagi selama sepuluh tahun!”
Dengan penuh kesangsian, Keng Thian tetap berdiri di dalam gelanggang dengan
tangan kanan tetap pada gagang Yoeliong kiam-nya.
Moh Tjoan Seng mengulapkan tangannya sembari tertawa: "Kau juga ingin Kiatyan?
Sekarang belum tiba giliranmu. Mundurlah dulu."
Keng Thian lantas saja kembali ke tempat duduknya, sedang Hiatsintjoe sudah mulai
bertempur dengan Pengtjoan Thianlie. Dengan tangannya yang lebar, ia coba
mencengkeram. Dengan mudahnya Peng Go menghindari serangan itu. Begitu lekas
serangannya yang pertama gagal, Hiatsintjoe membuat sebuah lingkaran dengan kedua
tangannya dan kemudian mendorong ke depan dengan perlahan.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan "aya!" dan seorang tamu roboh dari kursinya
dalam keadaan pingsan. Beberapa ahli silat yang duduk berdekatan menjadi kaget dan
lantas saja menolong orang itu.
Harus diketahui, bahwa Hiatsintjoe memiliki ilmu yang sangat aneh. Kedua tangannya,
yang sudah dikeset kulitnya, berwarna merah bagaikan darah dan tulang-tulangnya bisa
dilihat nyata. Tapi itu belum seberapa. Yang lebih hebat lagi adalah setiap pukulannya,
yang disertai sambaran angin yang sangat panas. Karena itu, para tamu dibarisan depan,
terutama yang lweekang-nya
masih agak lemah, tak kuat menghadapi hawa panas itu. Salah seorang antaranya
menjadi pingsan. Di lain saat, sejumlah orang lantas saja mundur ke bagian belakang.
"Jangan berlagak disini!" kata Pengtjoan Thianlie sembari mengebaskan pedangnya.
Suatu gelombang hawa dingin menjalar ke empat penjuru dan hawa panas lantas saja
sirap. Para tamu menjadi girang sekali dan berapa antaranya segera maju pula ke depan,
supaya bisa menyaksikan pertempuran itu dari jarak dekat.
Hiatsintjoe lantas saja menyerang bagaikan singa gila. Ia menubruk ke kiri-kanan, ke
depan dan ke belakang, melancarkan pukulan-pukulan kilat yang disertai dengan hawa
panas. Peng Go melayaninya dengan kegesitan luar biasa. Sesudah bertempur beberapa
lama, gerak-gerik mereka sudah tak dapat diikuti pula oleh mata para penonton; hanya
sesosok bayangan biru kelihatan berkelebat-kelebat ke sana-sini, sedang hawa panas itu
saban-saban menjadi buyar karena hawa Pengpok Hankong kiam yang sangat dingin.
Dengan cepat mereka sudah bertempur seratus jurus lebih, tanpa ada yang keteter.
Moh Tayhiap menonton dengan penuh perhatian. Saban-saban ia manggutkan
kepalanya. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata: "Kalian boleh dikatakan setanding, baik dalam
serangan maupun pembelaan diri, tak ada pukulan yang salah.
Mengenai Hiatsin Tooyoe, hanya tenaganya belum dapat dikeluarkan semua. Peng Go,
kegesitanmu sudah bisa dikatakan cukup baik, juga dalam membela diri kau sudah cukup
tangguh. Tapi kau harus mengerti juga, bahwa ilmu silat, pada dasarnya sama dengan
ilmu perang. Untuk memperoleh kemenangan, kita harus bisa melakukan serangan tiba-
tiba yang tak terduga. Dalam hal ini, kau belum dapat menyelami seluruh intisari Tatmo
Kiamhoat." Sesudah berkata begitu, ia mulai memberikan petunjuk-petunjuk, baik kepada
Hiatsintjoe, maupun kepada kemenakannya sendiri. Semua petunjuk itu termasuk dalam
bidang ilmu silat yang sangat tinggi, dan hanya dimengerti oleh Tong Keng Thian serta
beberapa orang lain.
Hiatsintjoe tercengang berbareng gusar. Meskipun tingkatnya sebenarnya sama
dengan Moh Tjoan Seng. Akan tetapi, ia mendapat kenyataan, bahwa Moh Tayhiap
mengenal segala rupa ilmu silatnya dari awal sampai akhir, dan setiap petunjuknya juga
diberikan secara jujur. Oleh sebab itu, meskipun merasa dirinya dihinakan sebagai
seorang houwpwee, Hiatsintjoe, terpaksa membungkam saja Di lain pihak, sesudah
mendapat petunjuk pamannya, serangan-serangan Pengtjoan Thianlie semakin lama jadi
semakin hebat.
Hiatsintjoe tahu, bahwa lweekang-nya setingkat lebih tinggi daripada tenaga dalam si
nona. Oleh sebab itu itu, ia menjadi gemas. Penasarannya memuncak sesudah
bertanding hampir dua ratus jurus dan lawannya masih belum keteter. Mendadak, sambil
tertawa menyeramkan dan dengan tulang-tulang di seluruh tubuhnya berbunyi kratak-
krotok, ia menabas dengan kedua tangannya. Bukan main hebatnya pukulan itu yang di
kirimkan dengan seantero tenaganya. Suatu lingkaran yang bergaris tengah kurang lebih
setombak tertutup oleh tenaga pukulannya yang berhawa panas.
Semua orang terkesiap, Keng Thian sendiri hampir-hampir mengeluarkan teriakan.
Sekonyong-konyong pinggang Koei Peng Go kelihatan bergerak dan hampir di saat itu
juga,
pedangnya diputarkan bagaikan titiran. Di saat itu juga, seluruh ruangan seakan-akan
dikelilingi es dan tubuh si nona sendiri terkurung di tengah sinar pedangnya. Kecuali Tong
Keng Thian yang masih bisa melihat tegas gerakan si nona, mata semua tamu menjadi
kabur dan yang masih bisa dilihat mereka, hanyalah segulung sinar putih.
Melihat pembelaan diri yang begitu rapat, kedua tangan Hiatsintjoe terhenti di tengah
udara dan untuk sedetik, ia ragu-ragu untuk menubruk terus. Tiba-tiba si nona mundur
setindak dan dari suatu kedudukan yang tidak lazim, secara tak terduga, ia menikam
dengan pedangnya. Dengan hati mencelos Hiatsintjoe mengangkat kedua tangannya
untuk melindungi dadanya. "Srt!", bagaikan kilat kilat, pedang si nona menyambar dan
sebagian rambut Hiatsintjoe terpapas putus!
Bukan main girangnya Tong Keng Thian. Ia tahu, bahwa tenaga dalam si nona masih
kalah setingkat dari lawannya dan sedari tadi ia terus berkuatir. Sungguh di luar
taksirannya, bahwa dalam menghadapi bahaya, Peng Go bisa melakukan dua serangan
berantai luar biasa yang ternyata telah berhasil baik. Kedua serangan itu adalah pukulan-
pukulan rahasia dari Tatmo Kiamhoat, yang satu Haysiang benghee (Awan terang di atas
laut), yang lain adalah Itwie touwkiang (Selembar rumput menyebrangi sungai).
Keng Thian tidak tahu, bahwa sesudah tiba di kuil Kimkong sie, Pengtjoan Thianlie
telah mendapat petunjuk-petunjuk penting mengenai Tatmo Kiamhoat dari pamannya.
Karena kepandaiannya sendiri memang sudah tinggi, beberapa petunjuk itu saja sudah
cukup untuk memungkinkan ia menyelami intisari Tatmo Kiamhoat. Ditambah dengan
keistimewaan pedangnya, yang bisa menindih hawa panas dari pukulan Hiatsintjoe,
Pengtjoan Thianlie telah memperoleh hasil, meskipun lweekang-nya masih kalah dari
lawannya
Darah Hiatsintjoe mendidih. Dapat dimengerti, bahwa ia merasa penasaran sekali,
karena pamornya telah diturunkan seorang houwpwee. Sambil menggeram bagaikan
harimau terluka, ia mengumpulkan semangatnya dan menyerang lagi secara mati-matian.
Berturut-turut, ia mengirimkan delapan belas serangan yang paling diandalkannya, akan
tetapi, biarpun Peng Go terdesak mundur, ia masih belum bisa menarik keuntungan yang
berarti. Semakin lama ia jadi semakin bingung.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, mendadak, dengan mata menyala-nyala, ia
menyalurkan seluruh tenaganya ke sepasang tangannya. Kemudian, dengan gerakan
Paysan oentjiang (Mengatur gunung menggerakkan tangan), ia menghantam sekuat-
kuatnya. Sungguh dahsyat pukulan itu! Sinar pedang si nona bergoyang-goyang, garis
pembelaannya terpukul pecah dan, dengan jantung berdebar keras, semua orang
menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie tentu akan roboh di bawah pukulan itu!
Tiba-tiba, sebelum orang mengetahui apa yang terjadi, Hiatsintjoe mengeluarkan
teriakan keras dan menubruk lantai, disusul dengan suara gemuruh, debu dan kepingan-
kepingan batu muncrat ke atas serta tiang-tiang di ruang itu bergoyang-goyang. Ternyata,
Hiatsintjoe sudah jatuh terguling dengan kedua tangannya menghantam lantai yang jadi
berlubang besar!
Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: "Peng Go, lekas minta maaf kepada
Tjianpwee." Hiatsintjoe melompat bangun dengan muka pucat bagaikan kertas. Tanpa
mengeluarkan
sepatah kata, ia lari keluar dan sebelum Pengtjoan Thianlie bisa membuka mulut, ia sudah
tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Kenapa bisa terjadi begitu?
Sebagaimana diketahui, Iweekang Koei Peng Go masih kalah dari lawannya dan ia
sebenarnya tak akan bisa menangkis pukulan Paysan oentjiang yang di kirimkan oleh
Hiatsintjoe dengan seantero tenaganya. Akan tetapi, sesudah mendapat petunjuk
pamannya, ia mengerti, bagaimana harus melayaninya. Ketika Hiatsintjoe menubruk,
sedang kedudukannya sangat berbahaya, dengan kecepatan yang tak bisa dilukiskan, ia
melompat ke belakang Hiatsintjoe sembari menimpuk dengan tujuh butir Pengpok Sintan
yang semuanya jitu sekali mengenai jalan darah musuh. Pada ketika itu, Hiatsintjoe
tengah mengerahkan Seantero tenaganya di kedua tangannya, sehingga tubuhnya tak
mempunyai pembelaan lagi. Dalam keadaaan begitu, jangankan sampai tujuh butir,
sedangkan sebutir Pengpok Sintan saja sudah akan cukup untuk merobohkannya.
Pertempuran yang luar biasa itu sudah menggetarkan hati semua penonton. Sejumlah
tamu yang semula mengandung niatan kurang baik, menjadi gentar dan ramai-ramai
mundur ke bagian belakang.
Baru saja keadaan menjadi tenang kembali, mendadak terlihat berkelebatnya sesosok
bayangan manusia. Di lain detik, tahu-tahu orang itu -- satu toosoe (imam) yang
mengenakan jubah kuning —— sudah berdiri di depan pentas ceramah. Moh Tjoan Seng
yang sedari tadi terus bersila, sekarang berdiri, suatu tanda bahwa orang yang baru
datang itu bukan seorang houwpwee.
Dengan heran, semua mata mengawaskan imam itu yang ternyata berparas agung dan
sebelah tangannya memegang hudtim (kebutan debu). Antara begitu banyak tamu tak
satu pun yang mengenal imam tersebut dan mereka sangat kepingin tahu, siapa
sebenarnya orang itu yang agak disegani oleh Moh Tayhiap.
Sambil menggoyangkan hudtim-nya, si toosoe tertawa bergelak-gelak seraya berkata:
"Moh Lootauwtjoe (orang tua she Moh) aku juga ingin Kiatyan!" Sehabis berkata begitu, ia
mengebaskan hudtim-nya dan ribuan bulu hudtim itu lantas saja menjadi tegak, seolah-
olah kawat baja. Pengtjoan Thianlie, yang masih menggengam pedang terhunus, segera
menangkis hudtim itu yang dihantamkan ke arahnya.
"Peng Go, mundur!" perintah Moh Tjoan Seng.
Dengan berbunyi "tring...", Pengpok Hankong kiam itu terpental. "Sungguh sayang jika
sampai terluka," kata si imam sembari tertawa dingin. "Kau bukan tandinganku. Moh
Lootauwtjoe, kenapa kau masih belum mau turun?"
Sekonyong-konyong, dengan suatu gerakan yang sangat indah, tubuh Tong Keng Thian
meluncur ke depan dan hinggap di antara Pengtjoan Thianlie dan imam itu.
"Dulu aku sudah mengampuni jiwamu," kata si imam. "Sekarang kau berani datang
lagi?" "Hongsek Toodjin!" bentak Keng Thian. "Jangan kurang ajar! Moh Lootjianpwee
mana mau
melayani manusia semacam dirimu. Mari, mari! Aku bersedia melayani kau." Sehabis
membentak, ia menghunus Yoeliong kiam-nya dan menyerang dengan sekali bergerak.
Hongsek Toodjin yang sudah mengenal keliehayan pedang itu, tidak berani berlaku ayal
dan segera menangkis dengan hudtim-nya. Dengan suatu gerakan yang luar biasa, tanpa
berkisar, ia membalikkan hudtim-nya dan menghantam pedang Keng Thian dengan
gagang kebutan. "Trang!", Yoeliong kiam si pemuda terpental! Hongsek mengangsek dan
seperti ribuan kawat baja, hudtim itu menyambar kepala Keng Thian.
Melihat serangan yang hebat itu, buru-buru Keng Thian mengeluarkan Thaysiebie
Kiamhoat untuk melindungi dirinya. Di lain pihak, dengan sekali melompat, Hongsek
sudah melewati Keng Thian dan tiba kembali di depan pentas untuk segera menyerang
Moh Tjoan Seng, guru besar dari Rimba Persilatan di seluruh wilayah Tionggoan.
Dengan kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, biarpun bukan tandingan Hongsek,
Keng Thian masih bisa mempertahankan diri dalam lima puluh jurus. Akan tetapi, imam itu
yang bermaksud untuk mengangkat derajat partai Khongtong pay, sungkan berurusan
lama-lama dengan pemuda itu. Itulah sebabnya, mengapa begitu bergebrak, ia segera
menyerang hebat sekali supaya Keng Thian tak bisa merintangi gerak-geriknya.
Keng Thian terkejut bukan main. Ia ingin menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi, karena
Hongsek sudah berhadapan dengan Moh Tjoan Seng. Walaupun ia yakin, bahwa imam itu
tak akan bisa mencelakakan Moh Tayhiap, akan tetapi, jika guru besar itu sampai terpaksa
turun tangan sendiri dan tak bisa menjatuhkan lawannya dalam sepuluh jurus, Rimba
Persilatan di wilayah Tionggoan akan mendapat malu besar dan pertemuan Kiatyan tak
akan bisa dilakukan lagi.
Pada detik yang memutuskan, sekonyong-konyong, tubuh Pengtjoan Thianlie melayang
ke depan pentas dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, si nona lalu membacok dengan
pukulan Hoeipo lioetjoan (Air tumpah solokan mengalir), yaitu salah satu pukulan terliehay
dari Pengtjoan Kiamhoat yang diciptakan oleh ayah dan ibunya.
Hongsek memanggil dan ia terpaksa menangkis dengan hudtim-nya. "Bocah!" ia
membentak. "Apakah kau juga mencari mampus?"
Sehabis mencaci, ia menarik pulang hudtim-nya Peng Go yang sudah tak keburu
menarik pulang pedangnya, lalu mendorongnya untuk menikam dada Hongsek. Tiba-tiba
ia merasakan senjatanya terjepit dan tertarik oleh suatu tenaga yang besar luar biasa.
Harus diketahui, bahwa senjata Hongsek bisa menjadi "keras" dan juga bisa "lemas". Tadi,
ia sengaja "melemaskan" bulu-bulu hudtim-nya untuk memancing masuknya Pengpok
Hankong kiam. Begitu pedang itu menerobos masuk, dengan menggunakan Djioekin
(tenaga "lemas"), ia menggubatnya dan kemudian, dengan tenaga Yangkong (tenaga
"keras"), ia menggencet dan menarik pedang itu. Peng Go merasakan lengannya
kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong kiam-nya terlepas dari genggamannya.
Ketika si nona sudah hampir tak dapat bertahan lagi, tenaga Hongsek yang tengah
menarik dengan hebatnya, tiba-tiba hilang. Ternyata, penolong itu adalah Keng Thian yang
telah menikam punggung musuh dengan pedangnya. Walaupun memiliki lweekang yang
sangat tinggi, Hongsek tak berani memandang enteng kepada Yoeliong kiam. Mau tak
mau, ia menarik hudtim-nya untuk menangkis pedang Keng Thian. Peng Go tentu saja
sungkan menyia-nyiakan kesempatan bagus itu. Dengan beruntun ia mengirimkan tiga
tikaman ke arah tiga jalan darah musuh. Tapi Hongsek benar-benar liehay. Dengan
mengebaskan lengan jubahnya, ia memunahkan tiga serangan itu dan hampir berbareng
dengan itu, sembari memutarkan badannya, lengan jubahnya menyampok Keng Thian
yang jadi sempoyongan dan harus mundur beberapa tindak.
Orang-orang dari cabang-cabang persilatan yang menyeleweng lantas saja bersorak
-sorai, sedang mereka dari cabang-cabang persilatan yang tulen jadi terkejut dan merasa
kuatir untuk keselamatan kedua orang muda itu. Mereka tidak tahu, bahwa barusan
Hongsek Toodjin telah "lolos dari lubang jarum." Di luar, imam itu tampaknya telah
memukul mundur Keng Thian dan Peng Go dengan mudah sekali. Akan tetapi,
sebenarnya, ia telah berada dalam kedudukan yang sangat berbahaya. Hanya karena
Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian belum mendapat kesempatan untuk berlatih
bersama-sama (sehingga di antara mereka belum terdapat kecocokan yang sempurna),
maka Hongsek Toodjin sudah bisa meloloskan diri dari serangan itu. Jika bukannya begitu,
andaikata ia terlolos dari Pengpok Hankong kiam si nona, jangan harap ia bisa terlolos
dari Yoeliong kiam si pemuda.
Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus. Semakin lama
kerja sama antara Peng Go dan Keng Thian jadi semakin baik. Menyerang maupun
membela diri dapat dilakukan secara saling bantu membantu yang semakin lancar.
Keunggulan ilmu pedang Pengtjoan Thianlie terletak pada kegesitan dan keanehan
pukulan-pukulannya, sedang keunggulan Kiamhoat Tong Keng Thian terletak pada
kemahirannya. Dengan masing-masing memiliki
keunggulan-keunggulan itu, mereka berdua bisa saling menambal bagian masing-
masing yang agak lemah. Demikianlah, meskipun Hongsek berkepandaian lebih tinggi,
sesudah bertempur agak lama, sebaliknya dari bisa mendesak, ia sendiri akhirnya yang
terdesak.
Sesudah berhasil menindih keganasan sang lawan, diam-diam Keng Thian melirik Peng
Go. Tapi ia jadi kecewa, karena dari paras si nona, tak dapat ditaksir bagaimana
perasaannya. Wajah Peng Go kelihatan seperti girang, jengkel dan gusar bercampur
menjadi satu. "Biarlah, sesudah pertempuran ini berakhir, aku akan coba memberi
keterangan kepadanya," kata Keng Thian di dalam hatinya.
Dalam pertempuran antara jago dan jago, setiap pihak tak boleh memecah
perhatiannya. Maka begitu lekas pikiran Keng Thian ketarik ke jurusan lain, garis
pembelaannya lantas saja menjadi tak sekokoh tadinya. Tanpa menyia-nyiakan
kesempatan baik itu, Hongsek segera mengirimkan serangan berantai. Pengtjoan Thianlie
terkejut, buru-buru ia memberikan pertolongan.
Sesudah mendapat pelajaran itu, Keng Thian tak berani memikirkan soal-soal lain lagi.
Sembari mengumpulkan semangatnya dan memusatkan seluruh perhatiannya, ia terus
bersilat dengan Thaysiebie Kiamhoat-nya. Segera juga, Yoeliong kiam-nya sudah
merupakan tirai sinar putih yang melindungi dirinya sendiri dan Peng Go dengan
berbareng. Thaysiebie Kiamhoat adalah ilmu yang paling liehay dari Thiansan pay. Jika
ilmu itu digunakan hanya untuk membela diri, pengaruhnya akan lebih besar lagi dan
pertahanannya jadi sedemikian rapat, sehingga agaknya, seakan-akan tak dapat
ditembusi angin maupun hujan. Dengan mendapat perlindungan Keng Thian, Pengtjoan
Thianlie menjadi bebas untuk menyerang musuh itu dengan pukulan-pukulan Tatmo
Kiamhoat yang sangat dahsyat.
Bagi banyak orang, pertempuran itu adalah pertempuran terhebat yang mereka pernah
melihat.
Sambil menahan napas, semua tamu menantikan kesudahannya dengan mata tidak
berkesip.
Selagi pertempuran itu berlangsung dengan serunya, sekonyong-konyong di luar
ruangan terdengar suara tertawa yang ramai aneh. Keng Thian terkesiap. Ia tahu, bahwa
Kim Sie Ie lagi-lagi datang mengacau. Tapi selagi menghadapi lawan berat, ia tak berani
memecah perhatiannya.
Semua orang lantas saja ramai-ramai menengok keluar. Mereka mendapat kenyataan,
bahwa belasan toosoe Boetong pay sedang memasuki ruang itu, sembari melompat-
lompat dan tertawa aneh tiada habisnya.
Bukan main gusarnya Loei Tjin Tjoe. Sembari membungkuk, ia berkata kepada Moh
Tjoan Seng: "Pengemis gila yang kemarin lagi-lagi datang mengacau. Mohon Tjouwsoe
memberi hukuman kepadanya." Dalam kegusarannya terhadap Kim Sie le, ia lupa, bahwa
seorang yang berkedudukan tinggi seperti Tjouwsoe-nya, tak boleh sembarang turun
tangan terhadap seorang houwpwee seperti Toktjhioe Hong-kay.
Dalam sekejap, belasan toosoe itu sudah masuk ke ruang sembahyang dan mereka
diikuti seorang pemuda tampan. Pemuda itu mengenakan pakaian indah yang robek di
beberapa bagian, sedang kedua tangannya —- yang memegang tongkat – tiada hentinya
diangkat untuk menggiring rombongan toosoe itu selaku gembala mengendalikan
rombongan bebeknya.
Begitu mendengar nama "Toktjhioe Hongkay," semua orang terperanjat.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Ramai benar! Sungguh ramai!" ia berteriak. Belum
sempat ia meneruskan perkataannya, muka Moh Tayhiap berubah dan sebelah tangannya
melontarkan sejumlah biji tasbih. Bagaikan kilat, biji-biji itu terbang di tengah udara dan
hampir di saat itu juga, suara tertawa itu serentak berhenti!
Pada saat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi, suatu kesunyian yang menyeramkan...
Mendadak, mendadak saja, di luar terdengar seruan: "Sungguh ramai! Aku pun ingin
turut meramaikan Kiatyan!"
Hampir berbareng dengan habisnya suara itu, sesosok bayangan manusia melesat ke
depan pentas dan orang itu lantas saja menerjang Moh Tjoan Seng. Pada detik itu juga,
Koei Peng Go yang gesit luar biasa, sudah meninggalkan Hongsek Toodjin dan
menghadang di depan pentas.
"Trang!" Peng Go terhuyung, lengannya kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong
kiam-nya terlepas!
Penyerang itu ternyata adalah seorang laki-laki yang badannya kurus tinggi, rambutnya
terurai di kedua pundaknya dan mukanya lebih menakutkan daripada muka Toktjhioe
Hongkay Kim Sie Ie. Peng Go kaget tak kepalang, karena lweekang orang itu bahkan
lebih kuat daripada Hongsek Toodjin.
Tentu saja, para hadirin juga terkejut, tapi yang paling terperanjat adalah Tjia In Tjin,
karena ia mengenal penyerang itu sebagai si manusia aneh yang sudah mengutungkan
lidah sejumlah murid Boetong.
"Tongbeng Tooyoe," kata Moh Tjoan Seng dengan tenang. "Apakah kau masih belum
bisa melupakan peristiwa yang terjadi empat puluh tahun berselang itu?"
Ketika mendengar perkataan itu, para ahli silat yang sudah berusia lima puluh tahun
lebih lantas saja, mengetahui siapa orang aneh itu. Kurang lebih empat puluh tahun
sebelum hari itu, gua Kouwtiok tong di gunung Koenloen san, didiami seorang pertapaan
yang dikenal dengan nama Tongbengtjoe. Entah dari mana, ia memiliki ilmu yang aneh.
Sering sekali ia mengganggu orang-orang gagah dari Rimba Persilatan di wilayah
Tionggoan. Ketika itu,
Moh Tjoan Seng masih muda dan semangatnya sedang bergelora. Mendengar kejadian
tersebut, ia segera mendaki Koenloen san dan menantang Tongbengtjoe. Sesudah
bertempur selama setengah hari, ia berhasil merobohkan lawannya dan memaksa
Tongbengtjoe bersumpah untuk tidak berkelana lagi di kalangan Kangouw. Selama empat
puluh tahun, Tongbengtjoe melenyapkan diri dan semua orang menduga, bahwa ia sudah
meninggal dunia. Tak dinyana, pada Kiatyan ketiga ini, ia muncul dengan tiba-tiba.
Teranglah sudah, bahwa kedatangannya sekali ini adalah untuk menantang Moh Tjoan
Seng. Mengenai usia, Tongbengtjoe sepantar dengan Moh Tayhiap. Akan tetapi, jika dilihat
dari wajahnya, ia masih seperti seorang yang baru berusia kurang lebih empat puluh
tahun. Dalam Rimba Persilatan memang terdapat semacam ilmu yang dapat
memepertahankan keremajaan seseorang. Sesudah empat puluh tahun bersembunyi,
Tongbengtjoe muncul kembali dengan niatan mengukur kepandaian lagi dengan Moh
Tjoan Seng. Semua orang menganggap, bahwa tanpa mempunyai pegangan, ia tentu tak
berani datang. Agaknya empat puluh tahun itu telah dilewatkannya dengan memeras
keringat untuk mencari kemajuan dan pada saat itu, tentunya ia yakin, bahwa
kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada Moh Tayhiap.
Tongbengtjoe tertawa lagi. "Moh Tjoan Seng!" katanya. "Kau sekarang sudah menjadi
guru besar, sedang aku masih tetap seorang perantaian. Bukankah ini terlalu tak adil? Aku
datang kesini untuk menanyakan apakah kau mau mengijinkan aku berkelana lagi di dunia
Kangouw atau tidak?"
"Selama empat puluh tahun, banyak sekali perubahan telah terjadi," jawab Moh Tjoan
Seng. "Sedang laut juga sudah bisa berubah menjadi kebun, apalagi manusia? Apakah
kau masih mau mentaati sumpahmu atau akan menghapuskannya, terserah kepada kau
sendiri." Dengan berkata begitu Moh Tjoan Seng ingin mengatakan, bahwa, jika
Tongbengtjoe sekarang bisa mengambil jalan lurus, ia boleh tak usah menunaikan
sumpahnya lagi.
Tongbengtjoe tak bisa menangkap maksud Moh Tayhiap, sambil tertawa dingin ia
berkata: "Dulu, dengan kekerasan kau memaksa aku memenjarakan diriku sendiri.
Sekarang, untuk kedua kalinya aku muncul kembali. Aku sendiri tak tahu, apakah aku
masih berhak untuk berkelana lagi di dunia Kangouw. Maka, tak dapat tidak aku mesti
meminta pengajaranmu pula."
Moh Tjoan Seng tersenyum. "Apakah di dunia Kangouw orang hanya mengandalkan
ilmu silat?" tanyanya.
Tongbengtjoe tertawa terbahak-bahak. "Dulu aku telah roboh karena tanganmu!" ia
berkata dengan lantang. "Sekarang, juga dari tanganmu, aku hendak merebut kembali
kemerdekaanku!" Ia melompat dan coba menyerang pula.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah menyiapkan tujuh butir Pengpok Sintan dalam
kedua tangannya. Begitu Tongbengtjoe melompat, ia segera menimpuk dengan kedua
tangannya.
"Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?" ia membentak
sembari menyentil, tujuh butir Pengpok Sintan itu lantas saja terpental dan lumer menjadi
air es. Hampir berbareng dengan itu, ia melompat sambil mementang sepuluh jerijinya
untuk menerkam batok kepala si nona.
***

Kim Sie Ie menyatroni Kimkong sie dengan hati mendongkol dan dengan niatan untuk
mengacau. Sebelum masuk, dengan batu kolar ia menimpuk jalan darah belasan murid
Boetong yang menjaga di luar pekarangan kuil. Yang ditimpuk olehnya adalah Siauwyauw
hiat (jalan darah untuk membikin orang tertawa) dan Mayang hiat (jalan darah yang
mendatangkan perasaan baal dan gatal). Sesudah itu, dengan gembira, ia menggiring
para korbannya. Tapi sungguh di luar dugaannya, dengan sekali menimpuk, Moh Tjoan
Seng sudah berhasil menolong para murid Boetong itu. Tiamhiat hoat (ilmu menotok jalan
darah) ciptaan Tokliong Tjoentjia adalah ilmu tunggal yang tidak dikenal oleh orang luar.
Dengan ilmu itu, Kim Sie Ie sudah merobohkan banyak sekali jago dalam Rimba
Persilatan dan ia semula menduga, bahwa Tiamhiat hoat tersebut tak akan dapat
dipecahkan oleh siapapun juga.
Oleh sebab itu, ia menjadi kaget sekali, ketika mendapat kenyataan, bahwa Keng Thian
dapat menolong Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya. Ketika dengan sekali menggerakkan
tangannya, Moh Tjoan Seng sudah bisa membebaskan belasan orang yang telah
ditotoknya, tentu saja ia jadi makin terperanjat. Berdasarkan
bunyi biji-biji tasbih itu -- ketika datang menyambar —— ia tahu, jika ia ditimpuk, tak
dapat ia menahannya. Masih untung, bahwa Moh Tayhiap hanya menolong murid-murid
Boetong tersebut, dan tidak turun tangan untuk mencelakakannya. Setelah menyaksikan
semua itu, kesombongan Kim Sie Ie lantas saja berkurang banyak.
Sementara itu, hatinya mencelos ketika mendapat kenyataan, bahwa dengan
berendeng pundak, Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sedang mengerubuti
Hongsek Toodjin. Selagi ia mau mengundurkan diri dari ruangan itu, tiba-tiba muncul
Tongbengtjoe, yang lantas dicegat oleh si nona.
Di saat itu, ketika Tongbengtjoe menubruk Peng Go, pikiran Kim Sie Ie berubah sama
sekali. Biar bagaimana besar rasa bencinya terhadap Tong Keng Thian, tak dapat tidak ia
mesti menolong.
Bagaikan kilat, tangan Tongbengtjoe menyambar kepala si nona. Dengan tak kalah
cepatnya, Peng Go menunduk dengan gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong
manggutkan kepala) dan menyabet dengan Hankong kiam-nya. Begitu serangannya yang
pertama meleset, Tongbengtjoe segera menyusulkan terkamannya yang kedua.
Pada detik itulah, sambil membentak keras, Kim Sie Ie melompat dan menghantam
kepala Tongbengtjoe dengan tongkatnya. Tangan Tongbengtjoe menyambar dan berhasil
menangkap ujung tongkat itu. Dalam gebrakan itu, kedua belah pihak telah mengerahkan
lweekang masing-masing yang sangat tinggi. Begitu tongkatnya ketangkap musuh, badan
Kim Sie Ie terhuyung dan ia terseret dua tindak.
Sekarang, masing-masing memegang sebelah ujung tongkat itu. Tongbengtjoe tertawa
terbahak-bahak dan mendadak, ia memutarkan tongkat itu dan membuat satu lingkaran.
Semakin lama, ia memutarkannya semakin cepat, sehingga meskipun niat menolong,
Pengtjoan Thianlie tidak berani turun tangan, karena kuatir melukakan Kim Sie Ie sendiri.
Tiba-tiba Kim Sie Ie tertawa nyaring dan badannya kelihatan membubung ke atas,
sehingga Pengtjoan Thianlie terkejut bukan main. Di lain saat, ia mendapat kenyataan,
bahwa, sedang Tongbengtjoe masih terus memegang ujungnya, pemuda itu sendiri sudah
menunggangi batang tongkat itu. Mendadak terdengar suara "fui!" dan Kim Sie Ie
menyemburkan ludah! Di antara semburan itu, sayup-sayup terdengar sambaran jarum-
jarum halus.
Tadi, Kim Sie Ie sebenarnya sudah berada di bawah kekuasaan musuhnya, sehingga
apa yang dilakukannya benar-benar di luar dugaan Tongbengtjoe.
Hampir berbareng dengan semburan ludah Kim Sie Ie, Pengtjoan Thianlie melompat
dan mengirimkan suatu tingkaman ke punggung musuh, Tongbengtjoe yang
mengandalkan ilmu Pithiat kanghu (ilmu menutup semua jalanan darah), tidak
menghiraukan serangan senjata rahasia Kim Sie Ie dan buru-buru mengebaskan lengan
jubahnya untuk menangkis pedang si nona yang menyambar laksana kilat. Pengpok
Hankong kiam itu terpental, sehingga Peng Go terpaksa meloncat mundur. Sebelum
Tongbengtjoe sempat berbalik, ludah Kim Sie Ie sudah mengenai lehernya.
Amarah Tongbengtjoe jadi meluap. Sambil mengertak gigi, ia melontarkan tongkat itu –
yang sedang ditunggangi Kim Sie Ie —— ke tengah udara. Dengan kedua-dua tangannya
tetap memegang tongkat itu erat -erat, Kim Sie Ie berjungkir balik dan selagi badannya
melayang turun, mulutnya berteriak: "Tikam Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng hiat-
nya. Dia sudah terkena senjata rahasiaku yang beracun!"
Lweekang Tongbengtjoe sudah dilatih sampai di tingkatan paling tinggi, sehingga
meskipun ia belum mempunyai badan dewa yang tak bisa rusak, akan tetapi ia percaya,
bahwa tubuhnya bisa menahan segala rupa senjata rahasia dan ditambah dengan Pithiat
kanghu, ia yakin, bahwa badannya cukup kuat untuk melawan segala macam racun. Oleh
sebab itu, ia semula tidak menggubris perkataan Kim Sie le. Di luar dugaannya, sesudah
menangkis beberapa serangan Pengtjoan Thianlie, mendadak ia merasakan jalan darah
Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng hiat-nya baal. Di lain saat, ia merasakan hawa
racun menyelusup dari jalan darah ke dadanya! la terkesiap berbareng gusar.

***

Harus diketahui, bahwa senjata rahasia yang digunakan Kim Sie Ie adalah senjata
paling beracun di kolong langit. Di Pulau Ular terdapat semacam ular yang dinamakan
Kimkak Sintjoa (Ular malaikat yang bertanduk emas), Di kepala ular itu terdapat tulang
yang munjul ke atas seperti tanduk dan bisa ular tersebut hebat luar biasa. Dulu, di waktu
Tokliong Tjoentjia menggunakan ular itu, untuk mencelakakan Phang Eng, hampir-hampir
jiwa Phang Eng tidak ketolongan lagi jika Hie Kok tidak memberikan rumput Lengtjie yang
sudah berusia ribuan tahun kepadanya.
Senjata rahasia Kim Sie Ie, yaitu Hoeitjiam atau jarum yang sangat halus, telah diolah
dengan bisa Kimkak Sintjoa. Sebelum berlatih melepaskan jarum itu bersama-sama
dengan semburan ludah, lebih dulu ia minum obat pemunahnya dan sengaja melukakan
tubuhnya sendiri dengan gigitan ular tersebut, supaya badannya menjadi kebal. Itulah
sebabnya, mengapa jarum tersebut bisa dimasukkan dalam mulutnya tanpa menimbulkan
bahaya.
Tapi, jika orang lain terkena serangan jarum-jarum itu, kecuali bila ia berbadan seperti
dewa, begitu darahnya kemasukan racun itu, hawa racun lantas saja menyerang ke
jantung dan menutup semua jalan darahnya, sehingga korban itu tak akan dapat ditolong
lagi.
Kim Sie Ie mempunyai beberapa macam jarum beracun. Yang digunakan untuk
melukakan Tong Keng Thian dan Tong Say Hoa, racunnya jauh lebih enteng dan
bekerjanya lebih perlahan. Tapi jarum yang digunakannya terhadap Tongbengtjoe adalah
yang terhebat dan bekerjanyapun sangat cepat lagi ganas sekali.

***

Sementara itu, Kim Sie Ie sudah hinggap di atas lantai. Ia tertawa bergelak-gelak
seraya berkata: "Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?"
Kata-kata itu justru adalah ejekan yang digunakan Tongbengtjoe terhadap Pengtjoan
Thianlie. Kim Sie Ie mengembalikan ejekan itu untuk menyenangkan dan membalaskan
sakit hati si nona, sekalian untuk membangkitkan kegusaran musuh, supaya hawa racun
itu bekerja semakin cepat.
Tentu saja Tongbengtjoe mengetahui maksud pemuda itu. Sambil menutup mulut, ia
mengerahkan lweekang-nya dan menangkis serangan-serangan Koei Peng Go.
"Dalam dunia tak ada yang bisa memunahkan racun senjata rahasiaku," kata Kim Sie Ie
pula sembari tertawa dingin. "Jika kau suka berlutut tiga kali di hadapanku dan memanggil
kakek kepadaku, dengan memandang muka si cucu, mungkin sekali aku akan
mengampuni jiwamu."
Tongbengtjoe mendelik. "Bocah tak kenal mampus!" ia membentak. "Rasakanlah
keliehayanku!" Ia mengebaskan lengan jubahnya untuk memukul mundur Pengtjoan
Thianlie dan kemudian mengirimkan dua pukulan geledek ke arah Kim Sie Ie.
"Semakin banyak kau mengeluarkan tenaga, semakin cepat kau mampus!” Kim Sie Ie
mengejek sambil menangkis dengan tongkatnya yang ujungnya sekali lagi kena ditangkap
oleh Tongbengtjoe.
Tadi, dengan mempertaruhkan jiwanya dengan pukulan yang sangat berbahaya, baru ia
bisa terlolos dari bencana. Sekarang, ia tak mau membiarkan dirinya diseret dan diputar-
putarkan sekali lagi oleh musuhnya. Begitu lekas tongkatnya ketangkap, ia mengerahkan
tenaganya dan ilmu Tjiankin toei (ilmu menambah berat badan), untuk memperkuat kuda-
kudanya, ia membetot sekuat-kuatnya.
Di saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah menerjang kembali mengirimkan tiga tikaman
kepada tiga jalan darah musuh yang sudah menjadi baal itu.
Hampir berbareng dengan serangan si nona, terdengar bunyi: "srt" dan tangan Kim Sie
Ie sudah memegang sebatang pedang besi, sedang Tongbengtjoe masih tetap
menggenggam tongkat itu yang sebenarnya sebuah sarung pedang.
Bersama dengan Koei Peng Go, lincah sekali Kim Sie Ie bergerak, menyerang musuh
itu. Pedangnya adalah pedang mustika yang, bila digunakan, mengeluarkan bau amis.
Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, sekonyong-konyong Tongbengtjoe melontarkan
tongkat Kim Sie Ie dan lantas saja bersila di atas lantai, sedang kedua tangannya
menyambar kian kemari untuk menangkis setiap serangan. Buru-buru Kim Sie Ie
memungut tongkatnya dan kemudian dengan tangan kiri memegang tongkat dan tangan
kanan membekal pedang, ia menyerang pula dengan hebatnya.
Tongbengtjoe tetap bersila sembari mengerahkan lweekang-nya untuk menahan
naiknya hawa racun, sedang kedua tangannya digerakkan kian kemari, menangkis tiga
senjata musuhnya yang pergi datang menghujani ia dengan pukulan-pukulan
membinasakan. Dalam sekejap, keadaannya sudah sangat berbahaya dan ia hanya bisa
membela diri, tanpa mampu membalas menyerang.
Sembari mengejek terus untuk membangkitkan amarah musuhnya, Kim Sie Ie
memperhebat serangan-serangannya. Melihat keadaan lawan, Peng Go —— yang berhati
murah -- lantas saja merasa kasihan. "Sudahlah! Lepaskanlah supaya ia bisa menyingkir
dari sini," katanya.
Tongbengtjoe mendelik dan membentak: "Siapa sudi dikasihani olehmu! Jika sekarang
kau niat lari, kau tak akan bisa lari!"
"Lihatlah!" kata Kim Sie Ie. "Ia sendiri yang ingin melaporkan diri kepada Giam
Loo-ong.
Siapakah yang bisa merintanginya?" Sembari berkata begitu, ia menghantam kalang
kabut.
Peng Go melirik ke bagian lain dan mendapat kenyataan, bahwa Hongsek Toodjin yang
dilayani oleh Keng Thian seorang sedang membalas menyerang dengan pukulan-pukulan
dahsyat.
Si nona menjadi kuatir. "Tongbengtjoe sudah mendapat luka berat dan Kim Sie Ie
seorang diri rasanya sudah cukup untuk melayaninya," katanya di dalam hati. Ia segera
menarik Hankong kiam-nya dan mengenjot badannya untuk melompat keluar dari
gelanggang. Sekonyong-konyong, berbareng dengan suatu gerakan tangan Tongbengtjoe,
ia merasakan dirinya ditarik oleh suatu tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia tak bisa
meloloskan diri. Justru pada detik itu, Kim Sie Ie memukul dengan tongkatnya dan musuh
terpaksa membagi tenaganya untuk menangkis. Pada saat itulah Peng Go mengempos
semangatnya dan badannya lantas saja melesat keluar gelanggang. Jantung si nona
berdebar keras dan untuk sejenak ia bersangsi. Apa mau, di saat itu Keng Thian didesak
oleh Hongsek dengan serangan bertubi-tubi. Tanpa berpikir panjang-panjang lagi, ia
segera melompat dan menikam punggung imam itu,
untuk menolong Keng Thian.
Dengan bekerja sama, baru saja bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, Keng Thian
dan Peng Go kembali berada di atas angin. Selagi mereka mendesak musuh itu, alis si
pemuda mendadak berkerut dan ia berkata dengan perlahan: "Peng Go Tjietjie, pergi kau
membantu Hongkay itu. Tak usah memperdulikan aku."
Ketika itu Kim Sie Ie sedang dalam bahaya besar. Tadi, ketika ia dan si nona
mengerubuti Tongbengtjoe, ia tidak merasakan tekanan yang luar biasa. Tapi, begitu lekas
Peng Go meninggalkannya seorang diri, tekanan musuh semakin lama jadi semakin berat.
Perlahan-lahan ia merasa seakan-akan suatu tenaga tidak kelihatan menekan seluruh
tubuhnya dan sesudah lewat kira-kira tiga puluh jurus lagi, ia sudah tak dapat bergerak
dengan leluasa. Tongkat dan pedangnya dirasakan sangat berat dan ia harus
menggunakan banyak tenaga untuk mengangkatnya.
Kim Sie Ie kaget berbareng bingung. Sekonyong-konyong, Tongbengtjoe mengubah
siasatnya. Jika barusan ia hanya membela diri, sekarang ia membalas menyerang.
Meskipun ia terus bersila, tenaganya telah "mengunci" suatu lingkaran yang garis
tengahnya setombak lebih. Kedua senjata Kim
Sie Ie seakan-akan ditempel dengan lem dan badannya terasa dibetot tenaga yang
tidak kelihatan itu. Beberapa kali ia menyemburkan jarumnya, tapi karena musuh itu sudah
waspada, semua jarum beracun itu telah dihalaukan dengan kebasan lengan jubah saja.
Semakin lama, Kim Sie Ie semakin mendekati musuhnya, terseret tenaga luar biasa itu.
Ia mengetahui, bahwa Tongbengtjoe sedang berusaha untuk memusnahkan tenaga
lweekang-nya dan dalam tiga puluh jurus lagi, ia akan kehabisan tenaga seperti lampu
yang kehabisan minyak. Meskipun tak mati, ia akan bercacat seumur hidupnya.
Selagi terengah-engah Kim Sie Ie coba bertahan terus, sekonyong-konyong
Tongbengtjoe membentak: "Bocah! Sekarang baru kau tahu keliehayanku!" Ia membuat
sebuah lingkaran dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, tongkat dan pedang
Kim Sie Ie, dua-dua sudah tertangkap tangannya.
Pada detik itu, kupingnya tiba-tiba mendengar suara Pengtjoan Thianlie. "Tidak," kata si
nona. "Lebih dulu kita membereskan siluman ini, belakangan baru menolong dia."
Ternyata Pengtjoan Thianlie belum tahu bencana apa yang dihadapi Kim Sie Ie, ia ingin
merobohkan Hongsek lebih dulu sebelum membantu pemuda itu. Bagi Kim Sie Ie, kata-
kata itu bagaikan pisau yang menikam jantungnya. Hatinya sakit bukan main. "Dengan
suka rela aku membantu kau, tapi kau hanya memperhatikan bocah itu," katanya dengan
perasaan duka. Dengan munculnya kekecewaan itu, semangatnya musnah dan badannya
terbetot keras-keras...
Pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak terdengar teriakan Keng Thian:
"Tidak! Tolong dia lebih dulu!" Hampir berbareng dua Thiansan Sinbong menyambar
Tongbengtjoe yang harus menangkis dengan tangan jubahnya. Karena adanya serangan
itu, tenaga yang menekan Kim Sie Ie menjadi kendur, sehingga pemuda itu keburu
memperbaiki kedudukannya dan coba mempertahankan diri dengan seantero tenaganya.
Dengan kedua senjatanya ditangkap musuh, Kim Sie Ie jadi serba salah, menyerang ia tak
bisa, mundur pun tak dapat.
Di lain pihak, sekonyong-konyong Tong Keng Thian mengubah cara bersilatnya. Kalau
tadi ia hanya membela diri dengan Thaysiebie Kiamhoat, adalah sekarang ia juga
menyerang dengan Toeihong Kiamhoat. Diserang dengan pukulan-pukulan hebat yang
menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin,
Hongsek terpaksa berkelahi sembari mundur.
Mendadak, Tong Keng Thian melonjak ke tengah udara dan selagi tubuhnya melayang
turun, bagaikan seekor elang, ia menikam leher Tongbengtjoe dengan Yoeliong kiam-nya.
Gerakan itu, indah dan cepat luar biasa, mengejutkan semua penonton. Hampir pada saat
yang sama, suatu sinar putih berkelebat dan menyambar punggung
Tongbengtjoe. Itulah serangan Pengtjoan Thianlie yang sudah melihat bahaya apa yang
mengancam Kim Sie Ie.
Biarpun berkepandaian lebih tinggi lagi, Tongbengtjoe tak akan bisa melawan
serangan-serangan tiga orang muda itu. Ia melompat bangun sembari mendorong dan
tongkat serta pedang besi Kim Sie Ie, yang terpental akibat dorongan itu, secara tepat
menangkis Pengpok Hankong kiam si nona.
Tapi gerak-gerik Toeihong Kiamhoat cepat luar biasa. Selagi musuh melompat dan
membetot, Keng Thian sudah mengubah gerakan pedangnya dan memapas musuh dari
samping. Kedua tangan Tongbengtjoe yang baru saja digunakan, tak keburu menangkis
lagi dan Yoeliong kiam si pemuda lantas saja mampir dipundaknya!
Tapi Tongbengtjoe benar-benar liehay luar biasa. Berbareng dengan tikaman Keng
Thian, tangannya sudah menghantam, sehingga Keng Thian terhuyung beberapa tindak
karena kesambar anginnya. Demikianlah, sebab harus meloloskan diri, dari pukulan
musuh, tenaga tikaman Keng Thian jadi berkurang. Jika bukan begitu, tulang kipas
Tongbengtjoe tentu sudah ditobloskan pedang Keng Thian.
Sesudah terkena senjata beracun dan kemudian tertikam pedang, buru-buru
Tongbengtjoe mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup semua jalan darahnya,
sehingga bukan saja hawa racun dapat ditahan, tapi mengalirnya terlalu banyak darah pun
dapat dicegah.
Lweekang Tongbengtjoe tak sama dengan lweekang cabang persilatan yang tulen, ia
mempunyai suatu keistimewaan. Jika seorang dari cabang persilatan tulen mendapat luka,
ia akan segera mengerahkan lweekang-nya untuk melindungi diri dan ia tidak boleh
menggunakan tenaga lagi. Di lain pihak, begitu terluka, Tongbengtjoe segera
mengumpulkan lweekang-nya di luka itu, laksana gili-gili membendung air pasang. Jika air
pasang itu tak begitu besar, gili-gili itu tentu kuat menahannya, dan air bah itu tak dapat
membahayakan sekitarnya. Demikian juga makna pergerakan lweekang tersebut.
Tapi, sesudah sembuh dari lukanya, seorang dari cabang persilatan yang tulen akan
mendapat pulang semua tenaga dalamnya, tanpa menderita kerugian apa-apa. Di lain
pihak, lweekang Tongbengtjoe hanya merupakan semacam "tambalan," suatu sumbat
sementara saja. Lama-lama, sumbatan itu akan pecah dan bahaya akan mengancam
sekitarnya. Sebagai akibatnya, walaupun tak mati, orang itu akan bercacat, atau
sedikitnya, lweekang-nya akan berkurang banyak.
Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie yang tak mengerti keistimewaan itu, merasa terkejut
karena musuh masih bisa bertempur terus dengan tak berkurang tenaganya.
Tongbengtjoe sangat membenci Kim Sie Ie, dan ia tahu, bahwa di antara tiga
musuhnya, pemuda itulah yang paling lemah. Sembari membentak keras, ia melompat
tinggi-tinggi dan selagi Tong Keng Thian belum keburu memperbaiki kedudukannya, ia
menghantam kepala Kim Sie Ie dengan pukulan yang membinasakan.
Kim Sie Ie mengerti, bahwa ia tak akan kuat menahan pukulan itu, tapi ia mengangkat
juga tongkatnya untuk menangkis dan pedangnya digunakan untuk melindungi dada, agar
ia tidak sampai terpukul mati.
Pada detik itulah, pada saat yang sangat berbahaya, sesosok bayangan berkelebat dan
Pengtjoan Thianlie sudah menghadang di depan pemuda itu. Dengan pukulan Soatyong
Nakoan (Salju meliputi Nakoan), ia membuat setengah lingkaran dari kiri ke kanan.
Pukulan itu, pukulan untuk untuk membela diri dan menyerang dengan berbareng, adalah
salah satu pukulan paling liehay dari Tatmo Kiamhoat. Tapi Tongbengtjoe telah
mengerahkan seantero tenaganya dalam pukulan itu. Dengan disertai sambaran angin
dahsyat, tangannya menyambar si nona. Hampir seketika itu juga, badan Pengtjoan
Thianlie meluncur ke tengah udara dan jungkir balik dua kali, sebelum hinggap lagi di atas
lantai. Hanya dengan kegesitannya yang luar biasa dan ilmu mengentengkan badan yang
sudah mencapai kesempurnaan, si nona dapat menolong diri dari pukulan itu. Jika kena
terpukul, ia pasti binasa di bawah pukulan geledek itu. Di lain pihak, bukan saja maksud
Tongbengtjoe gagal, bahkan lengan bajunya pun dirobek sebagian oleh ujung Hankong
kiam.
Begitu terlolos dari bencana, Kim Sie Ie segera menyabet pinggang musuh dengan
tongkatnya. Tongbengtjoe buru-buru menangkis dengan tangan kirinya dan seketika
terdengar "tak!", tongkat Kim Sie Ic terbang ke tengah udara dan bentuknya sudah
berubah melengkung. Tapi Tongbengtjoe pun harus sama-sama menderita, karena dua
tulang pergelangan tangan kirinya menjadi patah dan tangan itu tak dapat digunakan lagi.
Darah Tongbengtjoe seolah-olah mendidih. Dengan nekat ia mengangsek dan sesudah
mementalkan tongkat pemuda itu, tangan kanannya menyambar ke dada orang.
Tapi, sebelum pukulan itu mengenai dada Kim Sie Ie, mendadak Tongbengtjoe
merasakan sambaran angin tajam di belakangnya, itulah pedang Keng Thian yang
menikam punggungnya. Mau tak mau, ia terpaksa memutarkan badan untuk menangkis
serangan Tong Keng Thian. Tapi, dalam kegusarannya, ia tak mau melepaskan Kim Sie Ie
mentah-mentah. Selagi memutarkan badan, ia mementang jerijinya yang berkuku panjang
dan menggores dada Kim Sie Ie!
Pada saat itu, dalam gelanggang terjadi lakon belalang diterkam tonggeret dan
tonggeret dicengkeram burung. Tong Keng Thian, yang sedang menyerang Tongbengtjoe,
dibayangi oleh Hongsek Toodjin yang menerjang dari belakang. Ketika itu, Pengtjoan
Thianlie baru saja hinggap di atas lantai. "Awas di belakang!" ia berteriak sembari
mengenjot badannya dan menikam punggung Hongsek Toodjin.
Semua kejadian itu, yang harus dilukiskan panjang lebar, terjadi dalam sekejap mata
saja. Bagaikan kilat Hongsek mengebut punggung Keng Thian dengan hudtim-nya,
sehingga pemuda itu buru-buru melompat ke samping. Tapi Tongbengtjoe sudah siap
sedia. Dengan pukulan Tjioehoei ngohian (Tangan memetik lima tali tabuh-tabuhan), lima
jeriji tangan kanannya menggores punggung Keng Thian. "Brt!", baju pemuda itu terrobek
di beberapa tempat.
"Srt!", Keng Thian sudah menikam sebelum ia memperbaiki kedudukannya sendiri.
Tongbengtjoe terkesiap. Ia tak nyana, bahwa pemuda itu masih bisa meloloskan diri dari
gencatan dua serangan hebat itu, serangan Hongsek dan serangannya sendiri. Di
samping itu, ia juga tidak mengerti, kenapa keadaan pemuda itu tidak berubah sesudah
terkena pukulan Tjhioehoei ngohian. Harus diketahui, bahwa goresan lima jeriji itu adalah
pukulan yang sangat beracun yang diberi nama Sin-eng Djiauwhoat (Ilmu cengkeraman
garuda sakti). Terang-terang, sebagian bajunya robek dan paling sedikit, kulitnya di bagian
punggung tentu mendapat luka. Tapi kenapa sedikitpun tak kelihatan darah?
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah bertempur seru dengan Hongsek Toodjin.
Biarpun ilmu pedangnya dahsyat luar biasa, tetapi tenaga si nona kalah jauh dari
musuhnya dan baru saja bertanding belasan jurus, keringat sudah mulai mengucur dari
dahinya. Keng Thian yang sedang melayani Tongbengtjoe seorang diri, juga berada dalam
keadaan terjepit.
Sembari bertempur, Keng Thian melirik. Ketika itu, hudtim Hongsek terbuka lebar
seperti jala ikan dan sedang menyambar sinar pedang si nona. Keng Thian mengetahui,
bahwa si nona bertahan dengan hanya mengandalkan sinar pedang itu. Jika satu saja di
antara ribuan lembar bulu hudtim itu, dapat menerobos masuk, Peng Go bisa celaka.
Semakin lama, sinar pedang itu semakin tertindih dan semakin ciut pula, sehingga
Pengtjoan Thianlie hanya bisa melindungi kepala, muka, dada dan beberapa bagian
badan lain yang sangat penting.
Keng Thian terkejut dan berteriak: "Mari kita berkumpul!" Sekali memecah perhatian,
garis pembelaannya agak terbuka, sehingga hampir-hampir ia kena dihantam oleh
Tongbengtjoe. Sengit sekali ia berbalik menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, tapi
gerakannya sudah kena "ditempel" oleh tenaga Tongbengtjoe dan saban kali ia coba
maju, segera juga ia terpukul mundur kembali. Di lain pihak, seluruh tubuh Koei Peng Go,
juga sudah berada di bawah pengaruh hudtim lawannya dan si nona tak dapat meloloskan
diri lagi.
Sementara itu, sesudah dapat menenteramkan hatinya, Kim Sie Ie segera memungut
tongkatnya yang sudah terpukul bengkok dan sudah berubah menjadi semacam gendewa.
Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menekuk dan berhasil melempangkan pula
tongkat yang melengkung itu. Sesudah itu ia menerjang pula ke dalam gelanggang dan
menyodok punggung Hongsek dengan tongkatnya. Si imam memutarkan badannya
sembari mengebut dengan hudtim-nya. Tapi serangan Kim Sie Ie itu hanya gertakan
belaka dan begitu lekas hudtim sang lawan lewat di sisi badannya, Kim Sie Ie menotok
lantai dengan tongkatnya dan badannya lantas saja melonjak ke atas. Selagi melayang
turun, sekonyong-konyong mulutnya menyemburkan ludah. Tongbengtjoe gusar bukan
main. Dengan gesit, ia mengebaskan tangan jubahnya dan ludah itu terpukul kembali.
Dalam pertempuran antara jago, menang kalah selalu diputuskan dalam perebutan
tempo sedetik. Serangan-serangan Kim Sie Ic yang aneh lagi tiba-tiba itu, sudah
memaksa Hongsek dan Tongbengtjoe memecahkan perhatian mereka dan saat-saat yang
pendek itu sudah digunakan oleh Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sebaik-baiknya
untuk meloloskan diri dari tindihan musuh.
Di lain saat, mereka bertiga sudah berdiri berendeng pundak —— Peng Go di tengah
dengan Keng Thian dan Kim Sie Ie di kiri kanan -- untuk melawan dua jago tua itu
bersama-sama.
Sambil menangkis serangan-serangan Hongsek, Kim Sie Ie mencuri lihat wajah Koei
Peng Go. Ia mendapat kenyataan, bahwa —— dengan wajah berwarna dadu —— si nona
justru sedang melirik Keng Thian. Ketika melihat baju Keng Thian yang robek akibat
cengkeraman Tongbengtjoe, sinar mata Peng Go mengesankan kekuatirannya di samping
berterima kasih dan mencinta. "Apakah kau tak terluka?" ia berbisik.
"Jangan kuatir," jawabnya. "Aku tak apa-apa." Sembari menjawab begitu, pedangnya
menangkis tiga serangan Tongbengtjoe.
Hati Kim Sie Ie sangat berduka. "Ah! Setiap orang mempunyai untung sendiri," pikirnya.
Di lain saat, ia berkata didalam hatinya: "Tong Keng Thian telah dicengkeram
Tongbengtjoe, tapi sedikitpun ia tidak terluka. Ah! Apakah yang kupunya untuk menandingi
ia?" Pada detik itu, ia merasa dirinya kecil. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa Keng
Thian telah tertolong baju mustikanya, hadiah Po Tjeng Tjoe -- yang tak ternilai harganya
—- kepada ibunya. Karena hatinya berduka dan semangatnya runtuh, Kim Sie Ie lantas
saja merasakan betapa sakit lukanya. "Celaka!" ia mengeluh sembari mengumpulkan
semangatnya untuk bertahan terus. Tongbengtjoe sudah segera melihat kelemahan itu, ia
segera menghantam dada Kim Sie Ie.
Pada saat itu, pedang Kim Sie Ie baru saja terpental disampok hudtim Hongsek Toodjin,
sehingga dadanya terbuka lebar. Hatinya mencelos, karena pukulan Tongbengtjoe sudah
tak dapat dielakkannya lagi.
Kim Sie Ie sudah memejamkan matanya, ketika tiba-tiba Keng Thian melompat dan
memukul pinggangnya. Tubuh Kim Sie Ie lantas saja terpental ke tengah udara. Semua
orang terkejut, sedang Kim Sie Ie sendiri, mula-mula juga menduga, bahwa pemuda itu
sengaja mau mengambil jiwanya dengan kesempatan tersebut. Tapi, sebelum sempat
mencaci, ia merasakan badannya seakan-akan didorong semacam tenaga luar biasa dan
dorongan itu sesuai sekali dengan ilmu mengentengkan badannya sendiri. Ia lantas saja
mendusin. Tahulah ia sekarang, bahwa Tong Keng Thian telah menggunakan ilmu
"meminjam tenaga, mengirim tenaga" untuk menolong jiwanya!
Pukulan Keng Thian itu menggunakan tenaga yang tepat luar biasa. Kelihatannya, ia
menghantam Kim Sie Ie dengan pukulan sungguh-sungguh, tapi sebenarnya, ia hanya
mendorong tubuh pemuda itu dengan tenaga yang telah diperhitungkan cermat sekali.
Sebetulnya Keng Thian belum pernah menggunakan ilmu itu, ilmu istimewa dari Thiansan
pay. Sesudah beberapa kali bertempur melawan Kim Sie Ie, ia mengenal ilmu
mengentengkan badan pemuda itu dan dalam keadaan berbahaya itu, secara untung-
untungan ia mencoba ilmu tersebut. Sungguh mujur, percobaannya yang pertama itu
sudah berhasil baik.
Sesudah usahanya berulang-ulang digagalkan oleh ketiga orang muda itu,
Tongbengtjoe menjadi kalap. Dengan gigi dikertak-kertakan nyaring, ia mengebaskan
tangan kanannya dan...
loh! lima kukunya yang panjang terlepas dari jerijinya dan menyambar ke arah sepasang
mata Tong Keng Thian! Semua orang terkesiap, tapi Pengtjoan Thianlie yang gerakannya
gesit luar biasa masih keburu menangkis lima kuku itu dengan Pengpok Hankong kiam-
nya.
Sementara itu, sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, badan
Tongbengtjoe melesat ke tengah udara, mengejar Kim Sie Ie yang barusan dilontarkan
oleh Keng Thian. Peng Go dan Keng Thian ingin menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi,
karena Tongbengtjoe sudah tiba di belakang Kim Sie Ie.
Melewati kepala para tamu, dari tengah ruangan itu Kim Sie Ie "terbang" keluar dan
jatuh di tangga ruang sembahyang. Tongbengtjoe juga sangat liehay. Bagaikan anak
panah yang baru terlepas dari busurnya, ia menyusul sampai di atas kepala Kim Sie Ie.
Sedang badannya masih berada di tengah udara, bagaikan elang raksasa, ia menyerang
batok kepala pemuda itu dengan kedua tangannya. Dengan kebencian yang meluap-luap
-- karena Kim Sie Ie sudah melukakannya dengan racun ular, yang akan menyebabkan ia
bercacat – ia mengumpulkan Seantero tenaganya di telapakan tangan dan menghantam
sekuat-kuatnya. Oleh karena ia memukul dari atas ke bawah, pukulan itu jadi lebih hebat
lagi. Di antara begitu banyak orang mungkin hanya Moh Tjoan Seng seorang saja yang
dapat menyambut serangan itu.
Pada detik itu sedang jiwa Kim Sie Ie tergantung pada sehelai rambut, tiba-tiba
terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul suara seorang wanita: "Tooyoe,
kenapa kau jadi begitu gusar?" Badan Tongbengtjoe kelihatan menggigil, pukulannya
miring dan entah dari mana, di depannya sudah berdiri seorang wanita setengah tua
berparas sangat cantik. Wanita itu mengebaskan lengan bajunya dan hampir sedetik itu,
sembari mengeluarkan teriakan keras, Tongbengtjoe terjungkal. Di lain saat, ia sudah
bangun kembali dan kemudian duduk bersila di atas lantai. Sementara itu Kim Sie Ie
sendiri sudah kabur dari Kimkong sie. Wanita itu mengeluarkan suara "ih!" dan bergerak
seperti mau mengejar, tapi setelah melihat Tongbengtjoe yang sedang bersila, ia
mengurungkan niatannya.
Suatu peristiwa yang sangat luar biasa telah terjadi pada ketika itu. Rambut
Tongbengtjoe yang tadi masih berwarna hitam berkilau, dengan mendadak berubah
menjadi putih layu, sedang mukanya, yang semula licin dan berisi, tiba-tiba menjadi kisut,
berkeriput sebagai wajah seorang kakek. Dalam sekejap mata, dari seorang yang
tampaknya baru berusia kurang lebih empat puluh tahun, ia sudah berubah menjadi
seorang tua yang berbadan lemah.
Sekali lagi wanita itu mengeluarkan suara "ih!". Perlahan-lahan ia menghampiri
Tongbengtjoe dan sembari merangkap kedua tangannya, ia berkata dengn perlahan:
"Maaf, maaf! Tooyoe, jalanlah baik, baik!"
Mulut Tongbengtjoe bergerak dan memperlihatkan senyumnya yang menyeramkan. Ia
membuka kedua matanya dan dengan napas tersengal-sengal, ia berkata: "Jatuh dalam
tanganmu, dapat dikatakan cukup berharga." Sehabis berkata begitu, matanya
dipejamkan dan rohnya pulang ke alam baka!
Kejadian itu hampir tak dapat dipercaya oleh semua tamu yang berada di ruangan itu.
Andaikata Moh Tjoan Seng turun tangan sendiri, menurut taksiran, paling banyak ia hanya
dapat menangkis serangan Tongbengtjoe. Tapi wanita itu, dengan kebasan lengan baju
sekali saja, sudah dapat mengambil jiwa Tongbengtjoe.
Keng Thian sudah memburu untuk menolong Kim Sie Ie. Di luar dugaan, dalam jangka
waktu sependek itu, sudah terjadi beberapa peristiwa luar biasa itu. Kaburnya Kim Sie Ie,
munculnya seorang wanita yang tak dikenal dan kebinasaan Tongbengtjoe! Dengan mata
yang penuh pertanyaan, ia mengawaskan wanita itu yang berparas cantik, angker, agung
dan penuh welas asih. Jantung Keng Thian berdebar keras. "Apakah ia bukannya
Tjianpwee yang sangat dihormati oleh kedua orang tuaku?" tanyanya kepada dirinya
sendiri.
Sementara itu, sembari merangkap kedua tangannya, Moh Tayhiap sendiri sudah turun
dari pentas dan menghampiri dengan sikap menghormat. "Siantjay! Siantjay!" katanya.
"Tongbengtjoe sekarang sudah berpulang ke alam bahagia. Secara kebetulan Liehiap
sudah menjalankan tugas ini."
Wanita itu membalas penghormatannya seraya berkata: "Semenjak pertemuan di
Tangpeng, sampai sekarang sudah lewat tiga puluh tahun. Moh Loosoe, kau telah
mendapat kemajuan jauh sekali dalam pertapaanmu dan sekarang akhir yang penuh
bahagia sudah menunggu di depan pintu. Begitu lekas menerima surat, buru-buru aku
datang kesini untuk turut mengantar. Hanya secara tak disengaja, aku sudah membuka
larangan membunuh. Meskipun kebinasaan Tongbengtjoe bukan seluruhnya disebabkan
olehku, tapi hatiku juga merasa sangat menyesal." Ia berdiam sejenak dan kemudian
berkata pula: "Selama tiga puluh tahun, banyak sekali perubahan telah terjadi. Tak
dinyana, di antara houwpwee banyak muncul orang pandai, seperti juga gelombang yang
di sebelah belakang mendorong gelombang yang di sebelah depan. Kejadian ini benar-
benar menggirangkan." Ia berpaling kepada Keng Thian dan menanya: "Pernah apakah
kau dengan Siauw Lan?"
Keng Thian terkesiap karena ternyata, dengan melihat ilmu mengentengkan badannya
saja, wanita itu sudah bisa menebak asal-usulnya. Ia sudah yakin, bahwa Tjianpwee itu
mestinya adalah Liehiap yang sangat dikagumi kedua orang tuanya. Dengan sikap sangat
menghormat, ia segera berlutut. "Ialah ayahku," jawabnya. "Apakah Lootjianpwee bukan
Lu Soe Nio dari Binsan?"
Wanita itu mengangkat tangannya dan Keng Thian merasakan semacam tenaga yang
tak kelihatan, mengangkat tubuhnya, sehingga Lu Soe Nio hanya menerima separuh
pemberian hormatnya. "Dengan mempunyai putera sebagai dirimu, Siauw Lan dan Phang
Eng sungguh harus diberi selamat," katanya sembari tertawa. "Ah. Saudara Tjoan Seng!
Sang tempo jalannya cepat luar biasa. Dalam sekejap mata, kawan-kawan lama kita
hanya ketinggalan beberapa orang saja!"
Setelah mendengar, bahwa wanita cantik itu adalah Lu Soe Nio yang namanya kesohor
di seluruh negeri, para hadirin terkejut berbareng kagum. Serentak mereka berdiri untuk
memberi hormat kepada pendekar wanita itu.
Lu Soe Nio adalah salah seorang dari Kanglam Tjithiap (Tujuh Pendekar Daerah
Kanglam). Sesudah membinasakan Liauw In, kakak seperguruannya yang menjadi
penghianat, kemudian membunuh Yong Tjeng, puluhan tahun lamanya ia hidup
bersembunyi, tak pernah ia muncul dalam Rimba Persilatan, sehingga banyak orang
menduga, bahwa ia sudah meninggal dunia. Tapi ternyata, bukan saja ia masih hidup dan
gagah, tapi wajahnya pun masih begitu muda. Dalam tingkatan, kedudukannya setara
dengan Moh Tjoan Seng dan Tong Siauw Lan. Menurut usia, ia lebih muda dari Moh
Tayhiap, tapi lebih tua daripada Tong Siauw Lan. Dinilai dari kemashyuran nama, ia lebih
kesohor daripada Tong Siauw Lan maupun Moh Tjoan Seng. Pada hakekatnya, di seluruh
Rimba Persilatan, tak ada yang dapat direndengkan dengan Lu Liehiap. Orang-orang
yang menghadiri Kiatyan biasanya sudah merasa puas jika bisa bertemu dengan Moh
Tjoan Seng. Tapi sekarang, di samping Moh Tayhiap, mereka juga bisa melihat wajah Lu
Liehiap. Kejadian itu benar-benar sangat menggirangkan.
"Saudara-saudara janganlah berlaku begitu sungkan," kata Lu Liehiap. "Duduklah." Ia
mengangguk-anggukkan kepalanya dan sambil jalan berendeng dengan Moh Tjoan Seng,
ia memasuki ruang sembahyang.
Ketika itu, Hongsek Toodjin yang bertempur dengan Pengtjoan Thianlie, justru sedang
berada di atas angin. Mendengar kedatangan Lu Soe Nio, jantung Hongsek berdebar
keras. Begitu lekas Lu Liehiap mendekati, ia segera meloncat keluar dari gelanggang dan
mengawasi pendekar wanita itu dengan perasaan sangsi.
"Dengan banyak capai lelah, Tooyoe sekarang sudah mendapatkan kembali ilmu silat
Khongtong pay yang sudah lama lenyap," kata Lu Liehiap sembari bersenyum. "Untuk itu,
Tooyoe pantas diberi selamat." Berbareng dengan perkataan itu, bulu-bulu hudtim si
toosoe mendadak bergoyang seperti ditiup angin, sedang Hongsek sendiri merasakan
tangannya kesemutan. Tanpa tercegah lagi, hudtim itu jatuh di atas lantai!
Muka Hongsek lantas saja menjadi pucat bagaikan kertas. Sudah lama ia mendengar,
bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang dinamakan Tjoan-im tjoktek
(Dengan gelombang suara merobohkan musuh), tapi ia sendiri belum mendapat buktinya
dan ia pun tak percaya, bahwa dalam dunia terdapat ilmu yang begitu luar biasa. Baru
sekarang ia yakin, bahwa cerita itu bukan cerita kosong.
Dengan hati bercekat, buru-buru ia memberi hormat seraya berkata: "Pintoo Hongsek
Toodjin menghadap kepada Lu Liehiap."
"Perguruanmu dan perguruanku tak mempunyai sangkut paut sama sekali," kata Lu
Soe Nio. "Maka kita harus bergaul seperti orang sepantaran. Kata-kata 'menghadap'
adalah kehormatan yang tak dapat kuterima." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata
pula: "Setiap cabang persilatan mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Sebenarnya orang
tak perlu mempunyai niatan untuk menang sendiri dan sebentar-sebentar ingin mengadu
ilmunya."
Mendengar kata-kata yang tajam itu, selebar muka Hongsek menjadi merah. "Petunjuk
Liehiap pasti akan kuperhatikan," katanya dengan menunduk.
"Lihat saja Tongbengtjoe Tooyoe," Lu Liehiap melanjutkan nasehatnya. "Dari ilmu
Gwakee (ilmu silat luar) yang paling tinggi, ia terus menanyak sampai ke kalangan
Lweekeeh (ilmu silat dalam). Hasil itu sesungguhnya harus dihargakan tinggi-tinggi. Tapi
karena salah bertindak, latihannya selama berpuluh tahun telah terbuang-buang dengan
percuma, malah Sampai ia harus tewas tanpa mempunyai murid yang dapat mewarisi
pelajarannya. Bukankah kejadian itu harus disesalkan?"
Hongsek tak berani menjawab, ia hanya mengangguk berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, Lu Liehiap berkata pula: "Tongbengtjoe adalah Tiangloo
(orang terkemuka) dari Koenloen. Sudah selayaknya, jika jenazahnya dibawa pulang
untuk dikuburkan di gunung itu. Tooyoe, kau dan ia bersahabat baik. Bolehkah urusan ini
diserahkan kepadamu? Di samping itu, aku berharap, supaya kau suka memberikan
penjelasan sebaik-baiknya kepada murid-murid Koenloen."
"Terima kasih atas belas kasihan Lihiap," kata Hongsek. "Bahwa liehiap sudah
mengijinkan dibawa pulangnya jenazah Tongbeng Tooyoe, murid-murid Koenloen tentu
sudah merasa berterima kasih tiada habisnya."
Menurut peraturan Kangouw, Tongbengtjoe yang sudah menyatroni tempat orang dan
menantang bertempur, kebinasaannya harus dianggap sebagai bencana yang dicarinya
sendiri. Maka, ijin dari pihak yang disatroni supaya jenazahnya bisa dibawa pulang ke
tempat asalnya, sudah dianggap sebagai budi besar.
Hongsek segera mendekati jenazah Tongbengtjoe yang masih tetap bersila di atas
lantai. Begitu tersentuh, tubuh Tongbengtjoe lantas terguling, rambutnya rontok semua
dan badannya menjadi jauh lebih kecil, sehingga jubah pertapaannya menjadi sangat
longgar. Semua orang terkejut ketika mendapat kenyataan, bahwa dalam tempo sependek
itu, tubuh Tongbengtjoe sudah bisa menjadi begitu kecil lagi kurus kering.
Memang seseorang yang memiliki lweekang tinggi, bisa mempertahankan keremajaan
wajahnya yang tidak berubah menjadi tua. Tapi orang-orang yang benar-benar beribadat,
seperti misalnya Moh Tjoan Seng, tak mau menggunakan ilmu tersebut. Mengenai paras
Lu Soe Nio, soalnya lain. Di waktu muda, Lu Liehiap telah memperoleh ilmu Tjiantjeng
lweesit (ilmu memperdalam dan memperkuat jiwa) dari le Lan Tjoe, maka kemudian,
sesudah lweekang-nya mencapai kesempurnaan mutlak, secara wajar wajahnya tetap
muda dan tak akan berubah sampai di akhir penghidupannya. Di lain pihak, Tongbengtjoe
telah masuk ke jalan tersesat dan mempelajari ilmu yang menyeleweng, sehingga ia bisa
juga mencegah proses yang menjadikan wajahnya berubah sesuai dengan usianya. Tapi
begitu lekas tenaga dalamnya musnah, selekas itu pula proses terhambat itu menyusul
kelambatannya, dari seorang gagah yang bertubuh kekar dalam sekejap mata ia diubah
menjadi seorang kakek kurus kering. Dalam Rimba Persilatan, kejadian itu bukannya
sesuatu yang mengherankan. Soal yang mengherankan bagi Lu Liehiap adalah, kenapa ia
binasa begitu mendadak, terkena kebutannya sekali saja.
Hongsek Toodjin segera membuka jubah pertapaannya yang lalu digunakan untuk
membungkus jenazah
Tongbengtjoe. Sesudah itu, sembari membungkuk kepada kepala biara Kimkong sie, ia
berkata:
"Apakah aku boleh meminjam tempat pembakaran jenazah dalam kuil ini?"
"Tentu saja," jawab hweeshio kepala itu sembari merangkap kedua tangannya. "Loolap
pun berkewajiban mengantar keberangkatan Tongbeng Tooyoe."
Ternyata, karena terlalu sukar untuk membawa jenazah dalam perjalanan sejauh itu,
Hongsek Toodjin telah mengambil keputusan untuk memperabukannya dan kemudian
membawa abu itu untuk dikuburkan di gunung Koenloen. Ketua Kimkong sie itu, Moh
Tjoan Seng, Lu Soe Nio, Keng Thian, Peng Go, Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas
saja pergi ke tempat pembakaran yang terletak tak jauh dari ruangan sembahyang itu.
Selagi api membakar jenazah Tongbengtjoe, Moh Tjoan Seng berkata kepada Lu Soe
Nio: "Soe Nio, aku sedianya ingin berangkat beberapa hari lagi. Tapi karena kau sudah
datang, kurasa lebih baik aku berangkat lebih siang."
"Lebih lambat beberapa hari atau lebih cepat beberapa hari tiada bedanya," kata Lu
Lihiap. "Tapi, apakah kau sudah mempunyai ahli waris?" Maksud Lu Soe Nio adalah ada
tidaknya orang yang mewarisi semua kepandaian Moh Tjoan Seng.
Pengrjoan Thianlie terkejut, ia tak mengerti maksud pembicaraan kedua orang itu.
Mendadak sang paman berpaling ke arahnya dan tersenyum, sedang Lu Soe Nio
kelihatan seperti baru mendusin. "Tatmo Kiamhoat yang diperlihatkan nona ini adalah
kiamhoat Boetong pay asli." Kata Lu Liehiap. "Sejak kapan kau menerima dia sebagai
murid? Kenapa kau tidak memberitahukan kepadaku?"
"Peng Go," Moh Tayhiap memanggil. "Mari sini! Inilah Lu Liehiap. Di kemudian hari kau
harus meminta banyak petunjuknya." Ia berpaling kepada Soe Nio dan menyambung
perkataannya: "Anak ini adalah kemenakanku, Hoa Seng telah berkelana ke negara asing,
tapi dengan mempunyai anak ini, ia boleh pulang ke alam baka dengan mata meram."
Buru-buru Pengtjoan Thianlie memberi hormat kepada Lu Liehiap.
Sembari menepuk-nepuk pundak si nona, Soe Nio berkata dengan gembira: "Dengan
mempunyai kemenakan ini, kau pun boleh berangkat dengan hati senang."
Mendengar perkataan itu, Loei Tjin Tjoe tercengang. "Di kuil ini Soetjouw dapat
menuntut penghidupan tenteram untuk melewatkan sisa penghidupannya," katanya
didalam hati. "Dalam usia yang sudah lanjut, kemana lagi Soetjouw hendak pergi?"
Saat itu, jenazah Tongbengtjoe sudah terbakar habis. Tiba-tiba di antara api yang
berkobar-kobar, kelihatan asap hitam berkepul ke atas dengan menyiarkan bau yang agak
amis.
Muka Lu Liehiap lantas saja berubah. "Ah! Sekarang aku baru tahu," katanya perlahan.
"Kejadian ini sungguh diluar dugaanku."
"Soe Nio, apakah yang kau lihat?" tanya Moh Tayhiap.
Lu Liehiap tak menyahut, sebaliknya ia menengok kepada Keng Thian seraya
menanya:
"Siapakah bocah itu yang bertempur melawan Tongbengtjoe?"
"Namanya Kim Sie Ie," jawab Keng Thian. "Dalam kalangan Kangouw, ia dikenal
sebagai Toktjhioe Hongkay. Cara-caranya sangat aneh dan agak menyeleweng."
"Menyeleweng atau tidak, sekarang belum dapat dipastikan," kata Lu Soe Nio.
"Gurunya adalah sahabatku. Dulu, dari jalan tersesat sahabatku itu telah beralih ke jalan
lurus."
Keng Thian yang sampai saat itu masih belum mengetahui asal-usul Kim Sie Ie, buru-
buru menanya: "Siapakah gurunya?"
"Begitu melihat gerakannya, aku sudah bercuriga," jawabnya. "Sesudah menyaksikan
munculnya asap hitam dari racun yang mengeram dalam tubuh Tongbengtjoe, aku bisa
memastikan, bahwa gurunya adalah Tokliong Tjoentjia."
Dengan serentak, Keng Thian dan Loei Tjin Tjoe mengeluarkan seruan tertahan.
Sebagai orang-orang yang mengenal selak beluk Rimba Persilatan, mereka tahu, bahwa
Tokliong Tjoentjia adalah orang aneh nomor satu di antara jago-jago dari tingkatan lebih
tua.
"Sedari tadi aku agak heran, kenapa Tongbengtjoe lantas binasa begitu terkena
kebutanku," kata Soe Nio perlahan. "Tak tahunya ia lebih dulu sudah terkena racun hebat
dan harus memusatkan seluruh tenaganya untuk membendung menjalarnya. Begitu lekas
tenaganya buyar hawa racun lantas naik ke uluhatinya dan ia lantas binasa."
Mendengar penjelasan itu Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain menjadi kagum bukan main.
Racun Kim Sie Ie yang begitu dahsyat sudah cukup mengherankan. Tapi yang lebih
mengherankan lagi, adalah pukulan Lu Liehiap. Dengan sekali mengebas saja, ia sudah
bisa menangkis pukulan yang begitu hebat, malah juga membuyarkan Seantero tenaga
dalam Tongbengtjoe. Itulah kejadian yang --sependengaran mereka -- belum pernah
terjadi dalam Rimba Persilatan.
Sekonyong-konyong alis Lu Soe Nio berkerut dan sambil menghela napas, ia berkata:
"Sayang! Sungguh sayang!" Ia menengok ke arah Keng Thian seraya berkata: "Di antara
houwpwee, Kim Sie Ie adalah orang yang sukar dicari tandingannya. Bagaimana
perhubunganmu dengan ia?"
Sebagaimana diketahui, terhadap pemuda itu, Keng Thian tak mempunyai rasa simpati.
"Aku merasa kasihan padanya, tapi aku tak bisa menghargakan cara-caranya," jawabnya,
berterus terang.
"Bagus," kata Soe Nio. "Dulu, semua orang mengatakan gurunya pantas mati, hanya
aku yang merasa kasihan. Apapula, Kim Sie Ie belum pantas dihukum mati. Dulu, ketika
aku menolong Tokliong Tjoentjia, Soeheng-ku sendiri, Kam Hong Tie, merasa tidak setuju.
Tapi, kemudian semua orang yakin, bahwa tindakanku itu yang benar."
Hati Keng Thian berdebar-debar. "Apakah Kim Sie Ie tengah menghadapi bencana?"
tanyanya. "Apakah teetjoe (murid) bisa menolongnya?"
Lu Liehiap bersenyum dan berkata: "Sesudah mengurus urusan Moh Loosoe, aku akan
memberi keterangan lebih jelas kepadamu."
Mendengar jawaban itu, Keng Thian tak berani mendesak lagi, hanya di dalam hati, ia
merasa bimbang. "Meskipun Kim Sie Ie telah dilukakan Tongbengtjoe, tapi dengan
lweekang-nya yang tinggi ia masih dapat menyembuhkan sendiri lukanya itu," pikirnya.
"Mengapa Lu Liehiap mengeluarkan kata-kata begitu?"
Sementara itu, Hongsek Toodjin sudah mengumpulkan abu dan tulang-tulang
Tongbengtjoe yang lalu dimasukkan ke dalam sebuah guci. Sesudah beres, ia segera
berpamit dan berangkat ke Koenloen san. Moh Tjoan Seng dan yang lain-lain mengantar
sampai di pintu kuil dan kemudian kembali ke ruangan sembahyang.
Semua orang segera mengambil pula tempat duduk masing-masing untuk menunggu
dilanjutkannya Kiatyan yang terputus karena pertempuran tadi. Moh Tayhiap juga kembali
ke pentas dan meneruskan ceramahnya mengenai Iekinkeng.
Sesudah selesai memberi ceramah, Moh Tayhiap segera berkata dengan suara
perlahan: "Pengetahuanku sebenarnya masih cetek, hanya atas budi kawan-kawan dari
berbagai cabang persilatan, aku telah diangkat menjadi pemimpin pertemuan ini. Selama
tiga kali Kiatyan, di dalam hati aku selalu merasa malu. Selama tiga kali Kiatyan itu, aku
juga mendapat kenyataan, bahwa di antara houwpwee sudah muncul banyak orang
pandai. Memang dalam ilmu silat, yang belakang selalu akan lebih unggul dari yang dulu.
Maka, di antara perasaan malu, di dalam hatiku terdapat juga kegirangan. Kiatyan sekali
ini, kuakhiri sampai disini."
Menurut kebiasaan, paling sedikit Kiatyan berlangsung untuk setengah bulan lamanya.
Oleh sebab itu, pernyataan Moh Tjoan Seng, bahwa pertemuan itu -- yang baru saja
berjalan satu hari —— akan segera ditutup, telah membangkitkan keheranan semua
orang.
Sebelum ada yang mengajukan pertanyaan, Moh Tjoan Seng sudah berkata pula:
"Sebagaimana kukatakan tadi, dalam ilmu silat, setiap cabang mempunyai keunggulan
sendiri- sendiri dan sekalian saudara adalah tokoh-tokoh dari berbagai cabang persilatan.
Iekinkeng, yang barusan diperbincangkan, adalah pokok dasar latihan lweekang. Jika
masih ada bagian-bagian yang kurang terang, saudara-saudara bisa memohon
penjelasan dari para tokoh terkemuka dan tak perlu kuterangkan lagi secara bertele-tele.
Untuk kunjungan saudara-saudara, aku hanya bisa menghaturkan banyak-banyak terima
kasih. Sekarang ini aku akan mengurus sedikit urusan pribadi dan aku memohon supaya
saudara-saudara suka turut menyaksikannya." Ia berdiam sejenak dan kemudian
menyambung perkataannya: "Peng Go, mari sini!”
Pengtjoan Thianlie segera maju ke depan pentas. "Sesudah ditunjuk sebagai Tiangloo
(pemimpin, penasihat) Boetong pay, selama beberapa puluh tahun aku sudah menyia-
nyiakan kepercayaan orang dan jarang sekali memberi petunjuk kepada murid-murid
Boetong, sehingga partai kita semakin lama jadi semakin merana. Untuk kelalaian itu, aku
merasa sangat malu terhadap leluhur kita. Aku mendapat kenyataan, bahwa kau berhati
bersih dan juga sudah paham akan intisari ilmu silat Boetong pay. Maka itu, dengan
menanggung risiko dicela orang, memilih kasih kepada pamili sendiri, aku sekarang
mengangkat kau sebagai ahli warisku. Mulai dari hari ini, tanggung-jawab untuk memimpin
saudara-saudara separtai jatuh di atas pundakmu."
Peng Go terkesiap mendengar perkataan pamannya. Ia tak pernah tertarik, bahkan
merasa sangat sebal terhadap keruwetan-keruwetan keduniawian dan siang-siang ia
sudah mengambil keputusan untuk kembali ke istana es guna menuntut penghidupan
bebas, tenteram dan suci bersih. Mana mau ia menjadi Tjiangboen (pemimpin, ketua)
cabang persilatan yang begitu besar seperti Boetong pay?
Sang paman, yang agaknya dapat membaca jalan pikirannya, lantas saja berkata pula:
"Kau jangan bingung. Aku akan memberi penjelasan lebih lanjut." Ia berpaling ke arah
Loei Tjin Tjoe dan memanggil: "Loei Tjin Tjoe, mari sini!"
Loei Tjin Tjoe segera maju dan memberi hormat.
"Ilmu silat adalah seperti laut yang sangat dalam," kata Moh Tayhiap. "Apakah kau
sekarang sudah mengerti akan kekuranganmu?"
"Teetjoe mengerti," jawabnya dan mukanya menjadi merah.
"Bagus," kata Moh Tjoan Seng sembari tersenyum. "Beberapa hari yang lalu,
Tjiangboen Soeheng-mu telah menulis surat kepadaku untuk memberitahukan, bahwa,
karena sudah tua dan berpenyakitan, ia tak dapat menunaikan kewajibannya terhadap
partai dan minta aku mengangkat Tjiangboendjin baru. Aku mendapat kenyataan, bahwa
selama setahun ini, kau telah memperoleh banyak kemajuan, maka sekarang aku
mengangkat kau sebagai Tjiangboendjin dari Boetong pay."
Loei Tjin Tjoe girang berbareng kaget. Ia belum pernah bermimpi, bahwa ia akan
mendapat kehormatan untuk menjadi pemimpin partainya. Dengan wajahnya menjadi
merah, ia menjawab kemalu-maluan:
"Tanggung jawab yang begitu berat mungkin sekali tak akan terpikul oleh teetjoe."
Sehabis berkata begitu, ia melirik ke arah Pengtjoan Thianlie.
"Jika kau bisa mengenal kelemahanmu sendiri, kau pasti akan dapat memikul
tanggungan itu," kata Moh Tayhiap. "Yang paling penting bagi seorang Tjiangboen adalah
perbuatannya yang adil dalam memberi ganjaran atau hukuman serta kepandaiannya
untuk menjaga supaya saudara-saudara separtainya selalu berjalan lurus. Kepandaian
bersilat adalah soal kedua. Peng Go adalah ahli warisku. Di hari kemudian jika muncul
urusan-urusan yang tidak dapat kau putuskan sendiri, kau harus memberitahukan soal itu
kepadanya dan minta pendapatnya."
Menurut peraturan Rimba Persilatan, dalam setiap partai, di atas Tjiangboen masih
terdapat Tiangloo (pemimpin, penasihat) partai itu. Dalam urusan-urusan penting,
Tjiangboen harus mendengar pendapat Tiangloo. Kedudukan Tiangloo hampir sama
dengan Thaysiang Tjiangboen (ketua kehormatan), hanya ia tidak mencampuri segala
urusan kecil. Pada jaman itu, Moh Tjoan Seng bertiga saudara adalah para Tiangloo dari
partai tersebut. Sesudah Tjio Kong Seng dan Koei
Hoa Seng meninggal dunia Tiangloo satu-satunya adalah Moh Tjoan Seng yang
sekalian menjabat Thaysiang Tjiangboen. Tjiangboen bisa diganti-ganti, tapi seorang
Tiangloo menduduki kursi kehormatan itu sehingga ia meninggal dunia.
Seorang Tiangloo bisa diangkat oleh rapat anggauta partai atau ditunjuk oleh Tiangloo
yang ingin mengundurkan diri. Tapi, karena kedudukan Tiangloo hanya boleh di tempati
oleh seorang yang berkepandaian sangat tinggi dan dihormati oleh seluruh Rimba
Persilatan, maka sering kejadian, bahwa sesudah Tiangloo lama meninggal dunia, tidak
diangkat lagi Tiangloo yang baru. Dalam suatu partai yang tidak mempunyai Tiangloo,
maka orang yang paling tinggi kedudukannya adalah Tjiangboen.
Sekarang, sesudah menunjuk Pengtjoan Thianlie sebagai ahli warisnya dan memesan
supaya Loei Tjin Tjoe berunding dengan nona itu jika menemui urusan-urusan besar,
maka secara resmi Peng Go sudah diangkat menjadi Tiangloo atau Thay siang Tjiang
boen (ketua kehormatan) Boetong pay.
Tapi menurut peraturan Rimba Persilatan, Thaysiang Tjiangboen yang baru belum
boleh diangkat secara resmi, sebelum yang lama meninggal dunia. Hal inilah yang tidak
dapat dimengerti oleh para hadirin, karena Moh Tjoan Seng tampak masih segar bugar.
Sesudah mendapat kenyataan, bahwa ia bukan disuruh menjadi Tjiangboen dan hanya
diperintah "menilik" Loei Tjin Tjoe, Peng Go yang tidak mengerti seluk-beluk peraturan itu,
lantas saja berkata di dalam hatinya: "Pehpeh tidak tahu, bahwa siang-siang aku sudah
menilik Loei Tjin Tjoe. Kurasa, pangkat ini boleh juga diterima." Berpikir begitu, lantas saja
ia berkata: "Aku akan memperhatikan segala perintah Pehpeh. Akan tetapi, titlie
(keponakan perempuan) tak ingin berdiam lama-lama di Boetong san dan ingin kembali
untuk menetap di Puncak Es."
"Sekarang kau sudah menjadi pemimpin penasihat partai kita," kata sang paman
sembari bersenyum. "Kemana juga kau mau pergi, tak akan ada yang berani melarang!"
Si nona terkejut. "Bagaimana aku bisa jadi pemimpin penasihat partai kita?' tanyanya
kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, Moh Tjoan Seng sudah memejamkan kedua matanya, pada mukanya
terdapat sifat welas asih dan pada kedua bibirnya tersungging senyum puas. Beberapa
ratus orang yang hadir itu, melihatkan dengan hati berdebar-debar, kemudian, dengan
serentak mereka berbangkit sembari menundukkan kepala. Seluruh ruangan besar itu
menjadi sunyi senyap.
Soe Nio merangkap kedua tangannya dan mengucapkan pujian dengan suara
perlahan: "Puluhan tahun kau bertapa dan sudah bisa mendapat kesadaran yang diidam-
idamkan. Lebih menggirangkan lagi, kau sekarang sudah mempunyai ahli waris yang
cakap dan tepat."
Kepala biara Kimkong sie pun turut merangkap kedua tangannya dan memberi pujian:
"Dengan bebas dari segala sangkutan dunia, Kiesoe berpulang ke Barat. Caramu
berpulang adalah cara seorang Pousat (dewa)!"
Sementara itu, dengan di kepalai oleh Loei Tjin Tjoe, semua murid Boetong segera
berlutut. Pengtjoan Thianlie terkejut tak kepalang. "Apakah Pehpeh meninggal dunia?"
ia bertanya
dengan mata terbelalak.
"Dengan segala kejayaan dan dalam usia yang sudah begitu lanjut, Pehpeh-mu
berpulang ke alam baka," kata Soe Nio dengan khidmat. "Berpulang secara demikian
adalah kejadian yang langka dalam dunia dan harus dianggap menggirangkan."
Pengtjoan Thianlie pernah mempelajari agama Budha, ia juga mengetahui, bahwa
meninggal dunia sebagai pamannya barusan, adalah kejadian yang paling dikagumi oleh
segenap penganut agama Budha. Akan tetapi, karena mengingat, bahwa mulai dari saat
itu, ia tak mempunyai sanak dekat lagi, tak urung hatinya merasa sedih juga dan air
matanya membasahi kedua pipinya. Buru-buru ia berlutut untuk memberi penghormatan
terakhir kepada pamannya itu.
"Lu Liehiap," kata Loei Tjin Tjoe kepada Soe Nio. "Mohon supaya Liehiap sudi menilik
pengurusan jenazah Tjouwsoe."
"Kedatanganku justru untuk mengantar Tjouwsoe-mu berpulang ke Barat," jawab Soe
Nio. "Maka, aku tentu tak akan menolak permintaanmu. Tapi lebih dulu aku ingin berbicara
dengan Keng Thian."
Bersama dengan pemuda itu, Lu Liehiap lantas saja keluar dari ruang sembahyang.
"Keng Thian," katanya. "Kau tak usah turut serta dalam upacara pemakaman."
"Moh Lootjianpwee adalah sahabat ayahku," kata Keng Thian. "Aku merasa tak enak
hati, jika tidak turut serta."
"Orang-orang sebangsa kita selamanya tidak mengukuhi segala peradatan," kata Lu
Soe Nio. "Menolong jiwa manusia lebih berharga daripada mendirikan gedung bertingkat
tujuh. Roh Moh Lootjianpwee tentu mengetahui, bahwa kau tidak dapat hadir karena
tenagamu dibutuhkan untuk menolong sesama manusia. Pasti sekali ia tidak akan
mencela dirimu."
"Menolong siapa?" tanya Keng Thian dengan kaget.
"Kim Sie Ie."
"Apakah pukulan Tongbengtjoe begitu berat, sehingga jiwa Kim Sie Ie berada dalam
bahaya?" tanya pula pemuda itu dengan ragu-ragu.
"Bukan, bukan karena pukulan Tongbengtjoe," Soe Nio menerangkan. "Ia menghadapi
bencana karena ilmunya sendiri!"
"Teetjoe sungguh tak mengerti," kata Keng Thian sembari memandang pendekar wanita
itu. "Ilmu silat Tokliong Tjoentjia telah diciptakannya sendiri di sebuah pulau terpencil.
Kecuali ular,
di pulau itu tak ada makhluk lain. Ditambah dengan kebenciannya terhadap dunia, jika
sedang berlatih lweekang, hatinya penuh dengan perasaan duka dan penasaran. Oleh
sebab itu, meskipun akhirnya ia memiliki semacam lweekang yang sangat tinggi dan yang
tak kalah liehaynya daripada lweekang cabang-cabang persilatan lain tapi jalan yang telah
diambilnya bukanlah jalan lurus.
Semakin tinggi lweekang-nya, bencana yang tersembunyi di dalam badannya jadi
semakin besar. Menurut taksiranku, Tokliong Tjoentjia telah tewas karena 'dimakan'
ilmunya sendiri. Kenyataan itu, kenyataan, bahwa lweekang-nya sendiri yang akan
mencelakakannya, mungkin baru disadarinya ketika ia hampir menutup mata. Kim Sie Ie
yang masih cetek ilmunya, tentu tak menyadari bencana itu."
Soal ilmu "makan" peyakinnya sendiri, seperti senjata makan tuan, adalah kejadian
yang kadang-kadang memang terjadi dalam dunia persilatan. Hal demikian itu adalah
akibat dari latihan yang tidak benar. Sebagai perumpamaan, lihatlah orang yang
menghisap candu. Candu sebenarnya bisa mengobati penyakit. Tapi jika digunakan
secara keliru, candu bahkan berbalik mencelakakan. Lweekang yang "menyeleweng"
hampir serupa dengan candu. Semakin lama seseorang berlatih dengan lweekang itu,
semakin besar bencana yang mengancamnya.
"Lweekang Kim Sie Ie masih belum mencapai tingkat gurunya," kata Soe Nio pula.
"Maka sementara ini, ia belum tercelakakan Lwekangnya. Tapi... jika tidak ditolong
sekarang juga, nasibnya tentu akan serupa dengan gurunya."
"Tapi kenapa begitu terburu-buru?" tanya Keng Thian.
"Sebenarnya, memang tak usah begitu kesusu. Akan tetapi, sesudah mendapat
pukulan Tongbengtjoe yang beracun, keadaannya kini sudah sangat berbahaya. Racun di
dalam tubuhnya itu, pada suatu saat akan 'meledak'. Celakalah ia, jika tak cepat-cepat
diberi pertolongan. Ketika ia bertempur melawan Tongbengtjoe, aku sudah memperhatikan
lweekang-nya. Menurut taksiranku, dengan memiliki lweekang sedalam itu, ia kan dapat
bertahan sampai tiga puluh enam hari. Lekas-Iekaslah kau mencarinya! Berikanlah tiga
butir Pekleng tan-mu kepadanya. Dengan pertolongan pil itu, jiwanya akan dapat
diperpanjang sampai tujuh puluh dua hari."
Bukan main kagetnya Keng Thian. "Apakah pil Thiansan Soatlian itu hanya dapat
memperpanjang usianya dengan tiga puluh enam hari?" tanyanya.
"Penyakit itu sebenarnya tak akan dapat disembuhkan dengan obat apapun juga,"
jawab Lu Liehiap sembari bersenyum. "Bahwa Thiansan Soatlian dapat menyambung
jiwanya dengan tiga puluh enam hari lagi, sudah merupakan kejadian yang luar biasa."
Hati Keng Thian mencelos, ia merasa kecewa sekali. "Kalau begitu, kita hanya bisa
menambal, tapi tak bisa mengobati akar penyakitnya," katanya. "Apa gunanya,
memperpanjang usianya dengan beberapa hari itu saja dan akhirnya ia mesti binasa
juga?"
"Tidak, tidak begitu!" kata Soe Nio tanpa ragu-ragu. "Obat tak dapat menolong, tetapi
masih ada yang bisa menolong dia, golonganmu, orang-orang Thiansan pay!"
Keng Thian tercengang. "Kenapa begitu?" ia menegasi.
"Lweekang Thiansan pay adalah warisan Hoeibeng Siansoe," Soe Nio menjelaskan.
"Ketika menciptakan pelajaran lweekang tersebut, beliau telah memilih dan memetik
bagian-bagian yang paling berharga dan paling bersih dari ilmu berbagai cabang
persilatan. Dengan demikian, lweekang Thiansan pay bukan saja bersih dan dalam
sifatnya, tapi juga dapat menyingkirkan segala macam racun dari dalam tubuh orang,
racun yang disebabkan latihan lweekang 'menyeleweng'. Maka, hanya kaum Thiansan
pay yang akan dapat menolong jiwa Kim Sie Ie."
"Teetjoe masih belum mengerti," kata Keng Thian.
"Karena kepandaianmu belum mencapai kesempurnaan mutlak, tentu saja kau masih
belum mengerti," kata Soe Nio. "Tugasmu yang terutama adalah mencari Kim Sie Ie dan
sesudah bertemu, bawalah dia ke Thiansan supaya bisa ditolong kedua orang tuamu.
Dengan mendapat pertolongan ayah dan ibumu, bukan saja jiwanya akan tertolong, tapi
sesudah ia kembali ke jalan lurus, di kemudian hari, Kim Sie le akan bisa memperoleh
kemajuan, sehingga tidak kalah dari kau sendiri."
Keng Thian tak mengucapkan sepatah kata, ia berdiri bengong seperti sedang berpikir.
"Apa yang kau harus perhatikan adalah: dalam tiga puluh enam hari kau harus sudah
menemukannya dan dalam tujuh puluh dua hari, dia harus sudah tiba di Thiansan," pesan
Soe Nio.
Keng Thian berkelahi dengan hatinya sendiri, tapi sesaat kemudian, sifatnya yang mulia
telah mengalahkan segala pikiran lain. "Baiklah, teetjoe akan berangkat sekarang juga,"
kalanya tanpa sangsi-sangsi.
Sesudah mengalami banyak penderitaan baru saja ia bisa berkumpul kembali dengan
Koei Peng Go, dan segera juga mereka sudah mesti berpisah lagi. Sebagai manusia
biasa, biar bagaimana juga, ia merasa berat untuk segera meninggalkan kecintaannya. Ia
menoleh dan justru pada saat itu, Peng Go sedang memandang ke arahnya. Mata mereka
beradu dan wajah Peng Go lantas saja berwarna kemerah-merahan. Buru-buru ia
melengos dan berlagak bicara dengan Yoe Peng, dayangnya.
Lu Liehiap bermata sangat tajam, ia lantas saja mengerti apa yang tersembunyi di hati
mereka. Ia menghampiri si nona dan berkata: "Peng Go, antarkanlah Keng Thian sampai
beberapa jauh."
Mendengar perintah itu, dengan perlahan Peng Go menghampiri Keng Thian.
Walaupun parasnya tenang, di dalam hati ia berduka, tapi ia tak berani menanyakan,
mengapa begitu cepat pemuda itu sudah harus berangkat pula.
"Menurut penglihatanku Kim Sie Ie agaknya beradat angkuh," kata Lu Liehiap kepada
pemuda itu. "Jika ia tahu, bahwa kau hendak menolongnya, belum tentu ia suka
menerimanya. Dari sebab itu, kau harus bertindak dengan mengimbangi keadaan dan jika
perlu, kau boleh menggunakan tipu untuk mempedayakannya, supaya dia suka turut naik
ke Thiansan."
"Teetjoe mengerti," jawab pemuda itu.
Dari pembicaraan itu barulah Pengtjoan Thianlie mendusin, bahwa keberangkatan
Keng Thian adalah untuk menolong Kim Sie Ie. Ia menjadi kagum dan terharu, mau tak
mau ia harus mengakui kebesaran jiwa pemuda itu.
Lu Liehiap segera meninggalkan kedua orang muda itu dan pergi kepada Loei Tjin Tjoe
untuk merundingkan pengurusan jenazah Moh Tjoan Seng.
Bagaikan dua orang gagu, Keng Thian dan Peng Go meninggalkan Kimkong sie.
Sesudah berjalan jauh juga, setiba mereka di jalan yang menuju ke kaki gunung, Keng
Thian menghela napas dan berkata: "Peng Go Tjietjie, apakah kau masih membenci aku?'
"Ada hubungan apakah antara kau dan aku?" si nona berbalik menanya dengan kasar.
"Mengapa aku harus membenci kau?"
"Dengan berkata begitu, agaknya kau memang masih membenci diriku," kata Keng
Thian dengan sedih. "Tapi, tak perduli kau membenci atau tidak, aku sendiri tetap tak akan
melupakan kau."
"Tapi..." kata si nona setengah berbisik. "Aku kuatir, bahwa -- begitu lekas bertemu
dengan Moaymoay (adik perempuan) -- kau akan segera melupakan Tjietjie (kakak
perempuan)."
Baru sekarang Keng Thian mengerti, bahwa Peng Go telah jadi mendongkol karena
persahabatannya dengan Tjee Tjiang Hee. Ia tertawa dan berkata: "Ah! Kau tak tahu,
bahwa orang yang kau maksudkan masih bersifat kekanak-kanakan, sedang waktu itu aku
harus berobat di rumahnya..." Dengan jelas Keng Thian lalu menceritakan segala
pengalamannya dan berbareng dengan itu, dengan kata-kata lemah lembut, ia membuka
rahasia hatinya kepada si nona.
"Hm! Kalau begitu, semua itu adalah gara-gara Kim Sie Ie main gila," kata si nona.
"Mengapa?" tanya Keng Thian.
Pengtjoan Thianlie segera menceritakan, bagaimana Kim Sie Ie telah memberikan
gambar itu kepadanya dan apa yang telah terjadi karena itu. Keng Thian jadi mendongkol
berbareng geli. "Benar-benar gila!" katanya sembari tertawa.
"Dan kau masih tetap akan menolongnya?" si nona menegasi.
"Kenapa tidak?" jawab Keng Thian tegas-tegas.
Peng Go tertawa manis dan berkata: "Aku merasa senang..."
"Senang apa?" Keng Thian mendesak.
Peng Go sebenarnya ingin menyahut: "Aku merasa senang, karena kau berjiwa begitu
besar." Tetapi kata-kata itu tidak terselesaikan. Ia hanya tertawa sembari menatap wajah
pemuda itu dan cintanya yang tak terbatas, terpancar dari sepasang matanya. Tertawa itu,
bagaikan angin sejuk, sudah menyapu bersih segala awan gelap, sudah menghilangkan
semua salah paham...
Keng Thian telah gagal dalam usahanya mencari Kim Sie Ie. Ia telah pergi ke segala
peloksok Gobie san, tapi yang dicarinya tak kelihatan bayang-bayangnya. Ia hanya
berhasil menemukan beberapa potong kain, yaitu sobekan baju yang dikenakan Kim Sie
Ie hari itu. Beberapa tetes darah disobekan baju itu dan beberapa tapak kaki saja telah
ditinggalkan Kim Sie Ie. Lebih dari itu, tak dapat ditemukannya.
Kemana Kim Sie Ie pergi?
Dengan pikiran kalut, ia kabur sekeras-kerasnya dari Kimkong sie. Baginya, sinar mata
Pengtjoan Thianlie yang memandang Keng Thian dengan penuh kecintaan, seakan-akan
sebilah pisau yang menikam jantungnya. "Jika ada seorang wanita memandang aku
seperti ia memandang Keng Thian, walaupun mesti lantas mati, aku tentu akan rela," ia
berteriak bagaikan sudah menjadi gila.
Dalam saat-saat itu, kejadian-kejadian yang lampau silih berganti berkelebat dalam
otaknya. Caci Yoe Peng, yang mengumpamakan ia seekor "kodok buduk yang ingin
makan daging angsa kahyangan", teguran Peng Go yang menasehatkan supaya ia jangan
membawa "lagak buaya", segala penderitaannya di masa kecilnya...
kembali terbayang di depan matanya. Pukulan Tongbengtjoe yang mengandung racun
ditambah dengan kedukaan dan penasaran yang sangat besar sudah membikin otaknya
tidak bisa bekerja secara normal lagi. Apapula sesudah membandingkan dirinya dengan
Keng Thian, ia merasa dirinya kecil sekali dan agaknya di dunia yang lebar ini, sudah tak
ada tempat lagi untuk ia menyembunyikan diri.
Bagaikan seorang gila, ia lari dan lari terus. Tanpa merasa, ia telah tiba di tempat ia
bertemu dengan Lie Kim Bwee. Agaknya ia masih bisa mengenali tempat itu dan ia
menghentikan tindakannya dengan hati terkejut. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring
yang bernada riang gembira, disusul dengan munculnya seorang wanita muda. Di saat itu,
Kim Sie Ie masih berada dalam keadaan setengah linglung. Lapat-lapat ia merasa, bahwa
ia pernah bertemu dengan nona itu, tapi ia tak ingat, bahwa gadis tersebut adalah Lie Kim
Bwee yang pernah mempermainkan dirinya.
Kim Bwee muncul dengan diikuti beberapa ekor kera, yang begitu melihat Kim Sie Ie,
lantas kabur semua.
"Lihatlah!" kata si nona sembari tertawa. "Karena kau suka menghina orang, binatang
pun tak sudi bersahabat dengan dirimu."
Mendadak Kim Sie Ie ingat, bahwa ia pernah bergebrak dengan wanita itu di tempat
tersebut dan ditambah mendengar kata-kata yang menusuk itu, Kim Sie Ie... yang sedang
was-was...
lantas saja naik darah. "Bagus!" ia berteriak. "Kamu lebih suka bergaul dengan binatang
daripada bergaul denganku. Jika aku mau menghina kau, mau apa kau?" Hampir
berbareng dengan perkataannya, ia mengangkat tongkatnya dan menyabet pinggang Lie
Kim Bwee.
"Belum tentu kau mampu menghina aku!" kata si nona sembari tertawa.
Kim Sie Ie terkejut ketika sabetannya jatuh di tempat kosong. Ia jadi semakin gusar dan
menghantam kalang-kabut. Dalam sekejap Kim Bwee sudah terkurung, antara lingkungan
tongkatnya dan semua jalanan mundur si nona sudah tertutup seanteronya. Ternyata,
dalam keadaan was-was, Kim Sie Ie berubah buas.
Bukan main herannya Lie Kim Bwee. Pemuda itu disebut orang Toktjhioe Hongkay
(Pengemis gila yang tangannya beracun), tapi menurut ibunya, ia bukan gila benar-benar.
Dalam pertempurannya yang pertama dengan pemuda itu, walaupun serangan-
serangannya hebat, tapi semua serangan itu hanyalah gertakan belaka. Tapi sekarang,
setiap serangan Kim Sie Ie bersifat sungguh-sungguh dan jika ia terkena, akibatnya tentu
hebat. "Baik juga ibu sudah mengajarkan ilmu baru kepadaku untuk melayani kau,"
katanya di dalam hati.
Sesudah belasan kali memukul angin, Kim Sie Ie berteriak-teriak seakan-akan orang
gila sembari menyerang kalang-kabut. "Awas!" kata Lie Kim Bwee disertai tertawanya.
"Aku akan menotok Siauwyauw hiat-mu!" Dengan suatu gerakan aneh, ia mendesak dan
kedua jerijinya menyambar ke arah Siauwyauw hiat Kim Sie Ie. Ilmu silat Kim Sie Ie
sebenarnya lebih tinggi daripada Lie Kim Bwee, tapi karena gerakan si nona sangat luar
biasa, pukulan tongkatnya tak dapat merintangi Kim Bwee. Dalam keadaan berbahaya,
seorang yang berkepandaian tinggi sering mengeluarkan pukulan aneh untuk menolong
diri. Demikian juga dengan Kim Sie Ie. Ia mendadak memukul tanah dengan tongkatnya
dan badannya lantas saja berjungkir balik, sehingga totokan Kim Bwee jatuh di tempat
kosong.
"Lari ke kedudukan Sunwie! Totok Honghoe hiat-nya!" demikian terdengar suara ibunya.
Begitu Kim Sie Ie menyerang lagi, Kim Bwee sudah melompat ke sampingnya sembari
menotok dengan jerijinya. Tapi totokan itu lagi-lagi meleset karena Kim Sie Ie sudah
berhasil meloloskan diri dengan berjungkir balik.
"Aku dan ibu sudah berlatih tiga hari, tapi masih tetap aku hampir tak dapat melayani
dia," pikir Kim Bwee dengan heran.
Tapi di lain pihak, keheranan Kim Sie Ie bahkan lebih besar. "Kenapa Tiamhiat hoat
wanita ini begitu liehay?" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Siapakah wanita yang barusan
bicara? Dimana dia bersembunyi?"
Sesudah berjungkir balik beberapa kali untuk meloloskan diri dari totokan si nona,
napas Kim Sie Ie jadi tersengal-sengal. "Aku sudah mengatakan, bahwa kau tak akan
dapat menghina diriku," kata Kim Bwee sembari tertawa. "Apakah kau masih belum
percaya? Sekarang kau sudah lelah. Mengasohlah dulu."
Diejek begitu, bukan main gusarnya pemuda itu. "Fui!" mendadak ia menyemburkan
ludahnya.
"Bwee-djie!" teriak Phang Lin yang bersembunyi di dalam hutan. "Lekas mundur!"
Kim Bwee berkelit secepat mungkin. Mendadak matanya berkunang-kunang, kakinya
lemas dan ia roboh di atas tanah.
Tiba-tiba saja, Kim Sie Ie sadar, pikirannya jernih kembali. Ia ingat, bahwa dalam dunia
ini, Kim Bwee adalah wanita kedua yang memperlakukan dia sebagai sahabat (wanita
pertama adalah Pengtjoan Thianlie). Teringat itu, bukan main rasa menyesalnya.
Semenjak berkelana dalam kalangan Kangouw ia telah mengganggu banyak sekali orang-
orang gagah, tapi sebegitu jauh, belum pernah ia membunuh manusia secara sembarang.
Tak dinyana, hari ini ia telah mengambil jiwa seorang nona muda yang telah menganggap
dirinya sebagai kawan. Dalam perasaan menyesalnya yang sangat besar, tanpa merasa ia
berlutut dan merangkapkan kedua tangannya sembari menundukkan kepala. Tak berani ia
melihat si nona yang rebah di atas tanah, karena hatinya tak kuat melihat penderitaan
gadis itu. Jangankan nona cilik itu, sedangkan Tongbengtjoe yang berkepandaian begitu
tinggi masih tak mampu menahan serangan racun tersebut.
Selagi ia berlutut dengan pikiran linglung, mendadak terdengar suara tertawa Kim Bwee
yang sangat nyaring. "Kenapa kau?" tanya si nona. "Aku bukan nenekmu. Kenapa kau
berlutut di hadapanku?"
Kim Sie Ie terperanjat tidak kepalang. Bagaikan dipagut ular, ia melompat bangun. Di
hadapannya berdirilah Lie Kim Bwee yang sedang tertawa terpingkal-pingkal. Hampir-
hampir ia tak mempercayai kedua matanya sendiri!
Mendadak si nona meloncat dan berkata sembari tertawa: "Sekarang akan kuajarkan
semacam Tiamhiat hoat kepadamu!" Berbareng dengan perkataannya, jeriji Kim Bwee
sudah menyambar. Cepat-cepat Kim Sie Ie coba menangkis, tapi gerakan menotok itu
aneh sekali, baru saja ia mengangkat tangannya, tahu-tahu jalan darah di pinggangnya
sudah tertotok. Seketika itu juga, ia menari-nari dan tertawa tiada hentinya seperti seorang
gila.
Si nona nakal menjadi kegirangan, ia bertepuk tangan sembari tertawa geli, seperti
anak kecil melihat kelakar pelawak. "Hi-hi-hi! Inilah yang dinamakan budi dibalas dengan
budi," kata Kim Bwee. "Akan kulihat, apakah kau masih berani mempermainkan orang
atau tidak." Ia menengok ke arah hutan dan berteriak: "Ibu! Lekas keluar! Ilmu yang kau
ajarkan, benar-benar liehay. Sekarang dia sudah menjadi seekor kera. Sungguh lucu!"
Ternyata, selama tiga hari bersembunyi di dalam hutan, Phang Lin telah mengajarkan
semacam Tiamhiat hoat (Ilmu menotok jalanan darah) kepada puterinya untuk
menaklukkan Kim Sie Ie. Pada hakekatnya, ilmu menotok itu sama dengan ilmu yang
diajarkan kepada Tong Keng Thian oleh Moh Tjoan Seng. Hanya saja, sedang Moh Tjoan
Seng, sekali melihat ilmu silat Kim Sie Ie, sudah lantas bisa menggubah semacam ilmu
untuk menaklukkan pemuda itu, Phang Lin harus mengasah otak dua hari untuk
menyusun ilmu tersebut. Terbuktilah, bahwa jalan ke arah ilmu silat yang paling tinggi,
adalah satu.
Lie Kim Bwee yang sedang bertepuk tangan dan melompat-lompat, mendadak melihat
suatu perubahan aneh pada wajah pemuda itu, perubahan yang lain daripada semestinya,
jika hanya tertotok jalan darah Siauwyauw hiat-nya. Kim Bwee berhenti tertawa dan
memandang muka Kim Sie Ie dengan terkejut.
Sesaat itu Phang Lin keluar dari dalam hutan. Begitu melihat muka Kim Sie Ie, ia
berteriak: "Celaka! Inilah tanda-tanda dari lweekang yang makan tuan!" Buru-buru, ia
meloncat dan menarik tangan Kim Sie Ie, sembari membuka jalan darah Siauwyauw hiat-
nya yang barusan ditotok oleh puterinya. Begitu jalan darahnya terbuka, Kim Sie Ie
berontak. Tapi Phang Lin sudah bersiap sedia, ia menekan tempat pertemuan antara
Tayyang hiat dan Siauw-im hiat Kim Sie Ie.
Seketika itu juga, Kim Sie Ie merasakan semacam hawa sejuk perlahan-lahan mengalir
ke dalam tubuhnya yang lantas saja terasa nyaman luar biasa. Ia memejamkan kedua
matanya, sedang pundaknya ditepuk-tepuk perlahan-lahan oleh Phang Lin. Dalam
keadaan begitu ia ingat kepada kejadian di jaman yang lampau, di waktu ia masih kecil,
bila ibunya sedang menepuk-nepuknya supaya dia lekas-lekas tidur. Tak lama kemudian,
ia pulas dengan bibir menyuntingkan senyuman.
Kepandaian Phang Lin memang beraneka ragam. Pada saat itu ia menggunakan ilmu
Tjiansim modjie koeitjin (ilmu memulihkan tenaga dalam yang mendapat gangguan) yang
didapatkannya dari kaum Ihama Topi Merah di Tibet. Sambil mengerahkan lweekang-nya,
ia mengurut sekujur badan pemuda itu. Sebentar pula, aliran darah dan hawa Kim Sie Ie
yang tadinya kacau balau sudah menjadi beres dan tenang kembali. Ketika itu, Phang Lin
sudah mengerti, bahwa latihan lweekang Kim Sie Ie menyimpang dari jalan yang benar,
tapi ia belum mengetahui apa sebabnya sehingga pemuda itu mendapat serangan
mendadak. Sesudah membuka baju Kim Sie Ie dan melihat lukanya, akibat pukulan
Tongbengtjoe, barulah nyonya itu mengerti. Tapi dengan rasa menyesal, ia harus
mengakui, bahwa ia tak dapat menolong jiwa Kim Sie Ie.
"Lweekang pemuda ini berbeda sekali dengan lweekang dari cabang persilatan lain,"
katanya pada puterinya. "Semakin besar kemajuannya, semakin besar pula bencana yang
terhimpun dalam tubuhnya. Tjiansim modjie koeitjin hanya dapat memperpanjang usianya
untuk tujuh puluh dua hari, tapi tak dapat menolong jiwanya."
"Habis bagaimana ibu?" tanya si nona dengan hati berdebar-debar.
"Jalan satu-satunya adalah mengajaknya pergi ke Thiansan," kata sang ibu. "Iethio dan
lebo-mu (Tong Siauw Lan dan Phang Eng) adalah ahli-ahli Lweekeeh dari cabang
persilatan yang asli. Mungkin sekali mereka akan dapat menolongnya, apapula jika
diingat, bahwa kita sudah mengetahui siapa gurunya. Di samping itu, guru pemuda ini
mempunyai hubungan yang akrab dengan Iethio dan lebo-mu."
Selagi Kim Bwee akan bertanya lebih lanjut, Kim Sie Ie sudah sadar dari pulasnya dan
perlahan-lahan membuka kedua matanya.
Ia mendapat kenyataan, bahwa di samping Kim Bwee, terdapat seorang nyonya cantik
yang sedang memandangnya secara
menyayang. Wajah nyonya itu mirip sekali dengan Kim Bwee dan cara-caranya juga
serupa dengan gadis yang nakal itu.
"Apakah artinya, semua ini?" tanyanya kepada Kim Bwee. "Kau terkena jarum racunku.
Kenapa kau masih hidup? Siapakah nyonya itu?"
Phang Lin tertawa dan menanya: "Bukankah kau murid Tokliong Tjoentjia?"
Kim Sie Ie lantas saja bangun berduduk. "Dalam dunia ini tak ada yang mengetahui
asal-usulku," katanya dengan nada heran. "Bagaimana kau mengenal nama guruku?"
"Tak usah bertanya melit-melit," kata Phang Lin sembari tertawa. "Senjata rahasiamu
hanya dapat digunakan oleh Tokliong Tjoentjia. Kecuali muridnya sendiri, tak ada pula
yang mampu menggunakan senjata rahasia itu. Aku juga tahu, bahwa racun jarum itu
hanya dapat dipunahkan dengan pil yang dibuat dari ilar burung Niauw-eng. Bukankah
begitu?"
"Benar," jawabnya. "Tapi pil itu harus segera diberikan, lagi pula, meskipun sudah
menelan obat itu, tak bisa ia sembuh begitu cepat. Untuk berterus terang, di seluruh dunia
sudah tidak ada yang punya obat itu lagi, bahkan juga aku sendiri. Dari mana kau
mendapatkan obat itu?"
Ketika meninggalkan Pulau Ular, Kim Sie Ie memang membekal sejumlah pil itu.
Sebagaimana diketahui, dalam pertemuan pertama dengan Pengtjoan Thianlie di gunung
Gobie san, ia sudah disemprot Yoe Peng dengan kata-kata tajam. Dalam gusarnya, ia
bergulingan di tanah, merobek bajunya dan kemudian melompat ke sungai. Karena itu,
semua obatnya hilang di dalam air.
Ia merasa sangat menyesal tapi tak bisa mengambil kembali obat itu.
Phang Lin tertawa haha-hihi seraya berkata: "Obatku jauh lebih liehay dari
obatmu." Ia
.mengeluarkan sebutir pil merah sebesar bola kecil dan menggoyang-goyangnya di
tengah udara. Seketika itu juga, Kim Sie Ie mencium semacam bau aneh yang dikenalnya
baik-baik. Ia meloncat dan berteriak: "Bagaimana kau bisa memiliki mustika itu? Apakah
kau sahabat guruku? Apakah kau Lu Soe Nio?"
Phang Lin tertawa terpingkal-pingkal. "Hm! Kau hanya mengenal Lu Soe Nio," katanya.
Sebenarnya ia lantas hendak memperkenalkan dirinya, tapi di lain saat ia berpikir lain. Ia
tidak membenarkan dan juga tidak membantah dugaan Kim Sie Ie.
Pil merah itu mempunyai riwayat menarik, dan telah diperolehnya sebagai hadiah dari
Phang Eng, kakak perempuannya. Kira-kira tiga puluh tahun sebelumnya, ketika akan
menghembuskan napasnya yang penghabisan, majikan pulau Niauw-eng to, yaitu Sat
Thian Tjek, telah menghadiahkan pil tersebut kepada Phang Eng. Sebagai telah dikatakan
oleh nyonya itu, obat tersebut jauh lebih mustajab untuk memunahkan racun senjata
rahasia Tokliong Tjoentjia. Ketika sang adik mau berangkat ke wilayah Tionggoan, Phang
Eng telah memberikan pil itu kepada adiknya yang dikuatirkan akan mampir di Pulau Ular.
"Dimana gurumu?" tanya Phang Lin.
"Sudah meninggal dunia," jawabnya.
"Ah! Sayang! Sungguh sayang!" kata Phang Lin sembari menghela napas panjang-
panjang. Mendengar perkataan itu, di dalam hati Kim Sie Ie lantas saja timbul perasaan
suka terhadap
nyonya tersebut. "Jika ia bukan Lu Soe Nio, paling sedikitnya ia tentu sahabat Soehoe,"
pikirnya.
"Coba jalankanlah pernapasanmu," kata Phang Lin.
Kim Sie Ie segera bersila dan melakukan apa yang diminta oleh nyonya itu. Mendadak
kepalanya pusing dan terasalah hawa kotor naik, menyesakkan dadanya.
Dengan perlahan Phang Lin segera mengurut punggung pemuda itu. "Apakah kau
sekarang sudah insyaf, bahwa jiwamu berada dalam bahaya?" tanyanya.
Sesaat itu, Kim Sie le merasakan semacam hawa dingin menerobos masuk ke dalam
jantungnya dan ia kembali berada dalam keadaan setengah sadar. Dengan perlahan
Phang Lin menyentil kedua pipinya dan ia segera sadar kembali.
Pengalaman itu -- dadanya terasa sesak begitu lekas ia mengerahkan lweekang-nya
—— adalah pengalaman yang baru bagi Kim Sie Ie. Sebagai orang yang berkepandaian
tinggi, ia juga lantas insyaf, bahwa perkataan nyonya tersebut bukan gertakan belaka.
Bukan main terperanjatnya, tetapi sedetik kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak.
"Kawanan semut sukar hidup untuk sehari, kutu-kutu tak mengenal musim semi dan
musim rontok," katanya dengan nyaring. "Aku sudah hidup dua puluh tahun dan
dibandingkan dengan mereka, aku sudah hidup cukup lama. Sedang semua orang
membenci aku, lebih cepat aku mati agaknya lebih baik, supaya mata mereka tak usah
melihat lagi romanku yang menyebalkan!"
"Bagaimana kau tahu, semua orang membenci kau?" tanya Phang Lin. "Bagiku, hidup
lebih lama malah lebih menyenangkan. Dunia ini sungguh indah dan penghidupan selalu
penuh kegembiraan!" Sembari berkata begitu, ia menekan punggung pemuda itu dengan
jerijinya. Pada saat itu juga, hilanglah rasa sesak di dada Kim Sie Ie dan ia dapat
bernapas lagi dengan bebas. Ia mengerti, bahwa dengan lweekang-nya yang sangat
sempurna, si nyonya sudah melancarkan lagi aliran darahnya yang kalang kabut dan
untuk bantuan itu, besar sekali terima kasihnya. "Bagiku, ia bukan sanak dan bukan
saudara, tapi dengan suka rela ia sudah menolong diriku," katanya di dalam hati. "Benar
juga, tidak semua orang membenci aku."
"Bagaimana?" tanya Phang Lin. "Apakah kau masih ingin mati?"
"Ah!" kata Kim Sie Ie. "Mengapa kau begitu memaksa hendak menolongku?"
"Aku senang, jika semua orang bisa hidup gembira," jawabnya. "Hatiku jengkel, jika
melihat kedukaan orang lain. Maka, pada hakekatnya, pertolongan itu kuberikan kepada
diriku sendiri, yaitu untuk menyenangkan hatiku. Eh, hayolah ikut aku! Biarpun aku tak
bisa menjamin kau akan hidup seratus tahun, tapi kutanggung kau akan dapat mencapai
usia tua. Dalam dunia terdapat banyak sekali hal yang menggembirakan hati.
Kesalahanmu satu-satunya adalah, bahwa kau tak mampu mencari kegembiraan!'
Selama berkelana dalam dunia Kangouw, setiap kali ia mempermainkan orang,
tujuannya adalah untuk mencari kegembiraan. Tentu saja ia menjadi kaget ketika
mendengar Phang Lin mengatakan, bahwa ia tak mampu mencari kegembiraan. "Kau
benar-benar sangat menarik," katanya sembari tertawa. "Baiklah, sekarang aku tak mau
mati. Aku akan mengikuti kalian mencari kegembiraan hidup. Kemana kau mau mengajak
aku!"
"Jika diberitahukan, sebagian kegembiraanmu akan menjadi hilang," sahut Phang Lin.
Kim Sie Ie yang wataknya sama dengan ibu dan anak itu, lantas saja bertepuk tangan
dan berkata: "Bagus! Hayolah kita berangkat."
Demikianlah mereka segera meninggalkan Gobie san. Dari Soetjoan utara, mereka
melewati gunung Thaysoat san, Lengtjeng san dan lalu masuk ke Tibet, dari mana mereka
akan terus pergi ke Sinkiang. Dengan watak mereka yang hampir serupa, di sepanjang
jalan mereka berkelakar dan bercakap-cakap dengan gembira, sehingga mereka tidak
merasa kesepian. Tapi Phang Lin tetap tak mau memperkenalkan diri dan juga sungkan
memberitahukan kemana mereka menuju. Jika sedang mengasoh di waktu malam, ia
menurunkan ilmu Tjiansim modjie koeitjin kepada Kim Sie le, sehingga, dengan bantuan
ilmu tersebut, kecerdasan otak pemuda itu jadi kembali seluruhnya, juga lagaknya yang
gila sudah berkurang banyak dan muncullah kegembiraan yang wajar bagi seorang
pemuda. Tak usah dikatakan lagi, bahwa ia sangat cocok dan bisa bergaul secara baik
sekali dengan Lie Kim Bwee.
Dengan masing-masing memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, dalam
dua puluh hari saja, mereka sudah tiba di Tibet.
Pada suatu hari, sedang mereka berjalan dengan gembira, tiba-tiba mereka melihat
suatu iring-iringan manusia di lembah sebelah bawah. Iring-iringan itu didahului delapan
gajah putih dengan payung-payung emasnya dan seluruh rombongan itu kelihatan megah
sekali.
"Ibu, coba lihat!" kata Kim Bwee. "Bukankah iring-iringan Hoan-ong (raja) itu, yang
sedang meronda?"
Phang Lin memperhatikan rombongan itu dengan matanya yang tajam. "Bukan,"
jawabnya. "Hoan-ong tidak biasanya begitu mewah. Mungkin sekali iring-iringan itu adalah
rombongan salah seorang kepala agama. Ah! Sungguh menarik. Coba kuselidiki." Hampir
berbareng dengan perkataannya, badannya sudah meluncur turun belasan tombak.
"Anak-anak!" ia berseru dari tanjakan. "Ingat pesanku! Kamu jangan pergi ke tempat lain.
Jika ada apa-apa yang menarik, sudah pasti aku akan segera kembali untuk
memberitahukannya." Baru saja mengucapkan perkataan itu, dengan sekali berkelebat,
ia sudah menghilang, sehingga Kim Sie Ie sangat kagum akan ilmu mengentengkan
badan si nyonya yang begitu tinggi.
Pemuda itu tentu saja tidak tahu, bahwa Phang Lin -- selain ingin menyelidiki iring-
iringan itu -- mempunyai maksud lain. Dengan kesempatan itu, ia ingin membiarkan Kim
Sie Ie berada berdua-dua saja dengan puterinya, agar mereka jadi lebih bebas untuk
membicarakan segala urusan pribadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa perginya itu
sudah membawa akibat lain.
Sambil mengawaskan iring-iringan itu, sesaat kemudian Kim
Sie Ie berkata semhari menghela napas: "Kau sungguh beruntung mempunyai ibu yang
begitu baik!"
"Ibumu?" tanya si nona.
"Sejak kecil aku sudah menjadi piatu, tak punya ayah ibu lagi," jawabnya dengan sedih.
"Kasihan!" kata Kim Bwee.
Mendadak, wajah pemuda itu berubah dan ia berkata dengan suara kaku: "Aku tak
perlu dikasihani orang!"
"Aku salah," kata si nakal sembari tertawa. "Janganlah gusar. Kau memang seorang
laki-laki luar biasa yang bisa berdiri di atas kedua kakimu sendiri." Sebagaimana diketahui,
Lie Kim Bwee adalah seorang gadis berandalan yang suka sekali membawa maunya
sendiri. Akan tetapi, entah kenapa, terhadap Kim Sie Ie yang sifatnya lebih berandalan
lagi, ia menjadi jinak.
Mendengar pujian itu, kemendongkolan Kim Sie Ie lantas saja reda. "Aku pun belum
pernah bertemu dengan orang yang begitu luar biasa seperti kau dan ibumu," katanya
sembari tertawa. "Ibumu simpatik sekali, kepandaiannya tinggi, kepribadiannya menarik."
"Apa iya?" tanya Kim Bwee sembari tertawa nyaring. "Koko (kakak) tolol! Sebenarnya
ibuku seperti juga ibumu sendiri. Kau tahu? Ia menyayang kau lebih-lebih daripada aku."
Inilah untuk pertama kali dalam
penghidupannya, bahwa seorang manusia, wanita cantik, memanggil "Koko tolol!"
kepadanya dengan nada yang penuh kecintaan. Jantungnya berdebar keras dan ia
merasakan kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan.
Untuk beberapa saat, ia memandang ke tempat jauh tanpa melihat suatu apa.
Mendadak ia melompat dan berkata: "Eh, kenapa ibumu berlaku begitu baik terhadapku?"
"Ia mengatakan, bahwa sebatang kara kau terombang-ambing dalam dunia ini," jawab
si nona. "Nasib itu sangat mirip dengan nasibnya sendiri di waktu ia masih kecil."
"Apakah sedari kecil ibumu sudah tidak mempunyai ayah dan ibu?" tanya Kim Sie Ie.
"Benar," jawabnya. "Menurut ceritanya, ketika ia baru berusia kira-kira setahun,
keluarganya telah ditimpa bencana hebat. Kakek telah binasa dalam peristiwa itu dan
sesudah berselang kurang lebih dua puluh tahun, barulah nenek bisa bertemu pula
dengan ibu."
"Kalau begitu, ibumu bukan Lu Soe Nio," kata pemuda itu.
Harus diketahui, bahwa Lu Soe Nio adalah orang yang paling dikagumi dan dihormati
oleh Tokliong Tjoentjia. Ketika masih hidup, sering sekali ia menceritakan riwayat hidup
pendekar wanita itu kepada muridnya. Kakek Lu Soe Nio, yaitu Lu Lioe Liang, adalah
seorang sasterawan kenamaan pada jamannya. Ketika ayah Lu Liehiap, Lu Po Tiong,
dibinasakan oleh kerajaan Tjeng, pendekar wanita tersebut sudah berusia dua puluh
tahun lebih.
"Siapa kata ibuku Lu Soe Nio?" tanya si nona. "Kenapa kau menganggap ia sebagai Lu
Soe Nio?”.
"Dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, siapapun akan menduga, bahwa ia adalah
Lu Liehiap," kata Kim Sie Ie.
"Kau seperti juga kodok di dalam sumur," kata si nona sembari tertawa. "Hm! Lagi-lagi
aku mengejek kau. Jangan marah."
"Ejekanmu sekali ini kuterima dengan tangan terbuka," katanya. "Baru sekarang aku
percaya, bahwa dalam dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai."
"Terus terang saja, ibuku mungkin belum bisa menandingi Lu Soe Nio," kata si nona.
"Tapi ibu sama tersohornya dengan Lu Liehiap, karena ia memang salah seorang dari tiga
pendekar wanita di jaman ini."
Bukan main girangnya Kim Sie Ie. "Siapakah pendekar wanita yang satu lagi?" tanya ia.
"Iebo-ku," jawabnya.
"Kepandaian bibi masih jauh lebih tinggi daripada ibuku. Walaupun Iethio sekarang
menjadi Tjiangboendjin Thiansan pay, tapi masuknya ke partai itu masih terlebih belakang
daripada Iebo. Tahukah kau, siapa bibiku? Ia bukan lain daripada ahli waris le Lan Tjoe,
salah seorang pendekar dari Thiansan."
Dalam kegembiraannya memuji bibinya, Kim Bwee melupakan segala apa. Mendadak,
muka Kim Sie Ie menjadi pucat dan ia menanya dengan perlahan: "Ah! Kalau begitu,
Iethio-mu adalah Tjiangboen dari Thiansan pay. Bukankah ia bernama Tong Siauw Lan?"
Si nona yang belum melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, lantas saja
menjawab sembari tertawa: "Benar. Kau ternyata sudah mengenal juga nama Iethio-ku.
Sekarang ini ibu akan mengajak kau naik ke Thiansan untuk meminta pertolongan Iebo
dan Iethio, supaya mereka suka mengobati penyakit yang mengeram dalam tubuhmu!"
Kata-kata Kim Bwee itu dirasakan Kim Sie Ie sebagai sebuah palu yang menghantam
jantungnya. Mukanya lantas saja menjadi merah. Tabir rahasia yang sudah lama ingin
dibukanya,
sekarang sudah terbuka lebar-lebar. Insyaflah ia sekarang, bahwa lweekang yang telah
diyakinkannya adalah ilmu yang tidak benar, dan juga telah menewaskan gurunya sendiri.
Baru sekarang ia mengerti pesan gurunya supaya ia mencari ahli Thiansan pay untuk
memohon pertolongan. Dalam sekejap itu, segala kesangsian yang bertahun-tahun, telah
mengganggu pikirannya sudah terjawab semua.
Kim Sie Ie mempunyai watak angkuh dan ia gampang sekali tersinggung. Ia senantiasa
menganggap, bahwa ilmu silat gurunya nomor satu di kolong langit, sehinggga ia tak mau
tunduk kepada orang lain, apapula jika orang itu justru ayah Tong Keng Thian.
Sesaat kemudian, Kim Bwee sudah melihat perubahan pada wajah Kim Sie Ie itu.
"Koko tolol,"
katanya, sembari memaksakan diri untuk tertawa. "Kau sedang memikirkan apa?"
Kim Sie Ie menahan amarahnya. "Kalau begitu, Tong Keng Thian adalah piauwheng-mu
(saudara misan)," katanya.
"Benar! Kau kenal ia?" jawabnya dengan girang.
"Bukan saja kenal, malah bersahabat baik," kata Kim Sie Ie sembari tertawa dingin.
Mulutnya mengatakan begitu, tapi hatinya berpikir lain. Tahulah ia sekarang, bahwa Phang
Lin adalah bibi Keng Thian. Ia menganggap, bahwa nyonya itu sengaja mengatur siasat
supaya ayah Tong Keng Thian melepaskan budi kepadanya, sehingga ia tak mampu
mengangkat kepala lagi di hadapan Keng Thian. Dengan demikian, maksud Phang Lin
yang sangat mulia, sudah salah diartikan olehnya. Pada saat itu, ia kembali merasakan,
bahwa dirinya sebatang kara dan di mana-mana selalu dihina orang. Daripada dihina
orang, ia lebih suka mati lekas-lekas.
Lie Kim Bwee tak bisa menebak pikiran pemuda itu. Sembari tertawa dan bertepuk
tangan ia berkata: "Ah! Kalau kalian memang sudah bersahabat, aku benar-benar merasa
girang."
"Tak salah! Sungguh bagus!" kata Kim Sie Ie, suaranya sumbang. "Siasatmu juga
sangat bagus. Mari sini!"
Melihat muka Kim Sie Ie yang merah padam, si nona menduga, bahwa pemuda itu
diserang demam. "Kau sakit?" tanyanya sembari mendekati.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak, tertawa yang membangunkan
bulu roma. "Terima kasih banyak-banyak kepada kalian yang sudah mengatur siasat
begitu bagus!" katanya. Mendadak, mendadak saja, jerijinya menotok jalan darah si nona!
Sedetikpun tak pernah terkilas dalam pikiran Kim Bwee bahwa ia akan diserang secara
begitu tiba-tiba. Keruan saja, tanpa mengeluarkan suara, ia terguling dan roboh di atas
tanah.
Di detik selanjutnya, ia mendengar suara tertawa kegila-gilaan pemuda itu, yang
semakin lama sudah semakin jauh.
Kim Bwee -- yang tertotok Djoanma hiat-nya (jalan darah yang membikin orang lemas)
– tak bisa berbangkit. Untung juga, sesudah mempelajari Tiamhiat hoat Kim Sie Ie dari
ibunya, ia bisa membuka jalan darahnya sendiri. Sesudah mengerahkan lweekang-nya
selama setengah jam, kaki tangannya mulai bisa bergerak pula dan beberapa saat
kemudian, ia sudah dapat berdiri. Termangu-mangu, seperti kehilangan apa-apa, ia
memandang gunung-gunung di kejauhan. "Kenapa, baru saja ia masih baik-baik,
mendadak kumat lagi penyakit gilanya," pikir si nona yang menduga, bahwa pemuda itu
benar-benar menderita penyakit gila. Suatu perasaan aneh yang sukar dijelaskan datang
kepadanya dan tanpa merasa, ia berlari-lari ke bawah untuk mengejar si Koko tolol.
Begitu tiba di dasar lembah, sekonyong-konyong dari jurusan depan datanglah iring-
iringan itu dengan delapan ekor gajah putihnya yang sangat besar.
Di punggung seekor gajah putih yang berjalan di tengah-tengah, kelihatan berduduk
seorang Lhama yang bertubuh tinggi besar dan yang dipayungi dengan payung kuning.
Barisan gajah itu diiring oleh enam belas Lhama yang menunggang kuda, sedang di
kedua sampingnya terdapat barisan wanita muda yang mengenakan pakaian putih. Di
antara mereka, terdapat satu nona yang sangat cantik dengan paras dingin dan agung. Ia
duduk di atas kuda dengan badan tak bergerak, seolah-olah satu patung batu.
Lie Kim Bwee yang menghampiri barisan itu sembari lari keras, tiba-tiba mendengar
satu bentakan: "Siapakah yang berani mengganggu iring-iringi Hoat-ong (Raja agama)?"
Berbareng dengan bentakan itu, seorang wanita yang memakai kudungan muka loncat
turun dari kudanya dan coba mencengkeram tangan si nona. Kim Bwee berkelit sembari
mendorong dengan kedua tangannya. Wanita itu, yang lantas saja terhuyung beberapa
tindak, mengeluarkan seman tertahan dan kemudian, sesudah memutar badan, ia
merangsek pula.
Lie Kim Bwee tentu saja tidak mengetahui, bahwa wanita tersebut adalah Sengbo atau
Ibu Suci dari Lhama sekte Topi Putih. Ia juga tidak mendusin, bahwa secara tidak
disengaja, ia sudah mengganggu iring-iringan Hoat-ong. Kedudukan Hoat-ong atau Raja
agama dari sekte Topi Putih adalah setingkat dengan kedudukan Dalai atau Panchen.
Mereka dipandang sebagai Budha Hidup. Maka itu, di mata para Lhama, gangguan Kim
Bwee adalah pelanggaran yang sangat hebat.
Di lain saat, enam belas Lhama yang berpakaian putih sudah mengurung Kim Bwee
dalam satu lingkaran. Mereka mengawasi si nona tanpa mengeluarkan sepatah kata dan
maju mendekati setindak demi setindak.
Kim Bwee jadi bingung. "Eh, mau apa kau orang?" tanyanya.
"Perempuan siluman!" membentak satu antaranya. "Besar benar nyalimu, berani
mengganggu iring-iringan Hoat-ong! Kenapa kau tak lekas memohon ampun kepada
Budha Hidup?"
"Yang mana Budha Hidup?" tanya si nona. "Coba beritahukan kepadaku." Ia berkata
begitu seperti satu anak kecil yang sangat ingin melihat apa-apa yang luar biasa.
Semua Lhama jadi sangat gusar dan dua antaranya segera bergerak. Yang satu
mengeluarkan tangan kiri, yang lain mengeluarkan tangan kanan dan membuat satu
lingkaran, akan kemudian, dengan serentak mereka coba membekuk Kim Bwee.
Dalam Rimba Persilatan, ilmu silat sekte Topi Putih merupakan satu cabang yang
istimewa. Pukulan itu, yang dinamakan Kimkong Menangkap Siluman, adalah lebih hebat
daripada Kinna tjhioehoat (ilmu menangkap) dari wilayah Tionggoan. Tapi di luar dugaan,
Kim Bwee yang semenjak kecil sudah dilatih baik oleh kedua orang tuanya, gesit luar
biasa. Baru saja tangan kedua Lhama itu bergerak, sembari tertawa nyaring, bagaikan
seekor ikan, ia melejit dari serangan itu. Kedua Lhama tersebut terkesiap dan buru-buru
balik ke kedudukannya yang semula. Masih untung, si nona belum menoblos keluar dari
kurungan.
"Eh!" berteriak Kim Bwee dengan suara nyaring. "Jalan raya bukan dimiliki oleh kau
orang. Seorang Budha Hidup mestinya mempunyai hati yang murah. Kenapa kau orang
menjajah jalan? Apakah berjalan disini merupakan satu kedosaan?" Enam belas Lhama
itu sama sekali tak menggubris teguran si nona. Perlahan-lahan mereka memperkecil
lingkaran. Dengan hati bingung, Kim Bwee menerjang ke sana-sini, tapi kurungan itu
teguh bagaikan tembok tembaga.
"Hei!" ia berteriak pula sesudah usahanya untuk menoblos keluar tidak berhasil.
"Masakah enam belas lelaki gagah menghina seorang perempuan? Apa kau orang tak
mengenal malu?" Dalam jengkelnya, ia menunduk dan terus menyeruduk kurungan itu.
Sekonyong-konyong dua Lhama mengeluarkan suara tertawa aneh sedang mukanya
memperlihatkan paras seperti orang yang kena digaruk di bagian badannya yang gatal.
Karena tertawanya itu, badan mereka agak miring dan Kim Bwee sungkan menyia-
nyiakan kesempatan bagus, lantas saja menerobos keluar dari lubang itu. Sembari
melompat, si nona merasa heran dalam hatinya. "Ah! Mereka tentu merasa jengah karena
dicaci olehku dan sengaja melepaskan aku," katanya didalam hati. Ia menengok, menjebi
dan terus kabur.
Tapi, baru saja lari beberapa tindak, dua ekor gajah sudah menghadang di depan dan
dua Lhama yang bersenjata Kioehoan Sekthung (toya timah) mencegat jalan.
"Hei! Benar-benar kau orang mau berkelahi?" membentak Kim Bwee sembari
membabat dengan pedang pendeknya. Dengan satu suara "trang!", pedangnya terpukul
balik, sedang toya si Lhma sama sekali tidak bergeming. Kedua Lhama itu adalah murid
Hoat-ong yang berkepandaian paling tinggi dan yang dulu pernah dikirim untuk coba
merampas guci emas.
Sekarang Kim Bwee yang nakal benar-benar bingung. Jalan di depan dicegat, sedang
dari belakang mendatangi enam belas Lhama. Selagi hatinya kebat-kebit, sekonyong-
konyong Lhama yang badannya tinggi besar dan paras mukanya merah, berkata dengan
suara agung: "Anak itu belum mengerti apa-apa, biarlah dia pergi." Sembari berkata
begitu, dari atas punggung gajah, ia mengebas dengan hudtim-nya. Mendadak, Kim Bwee
merasa dirinya didorong dengan semacam tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia
jungkir balik. Hampir berbareng, dua Lhama yang menghadang di depan minggir ke kiri
kanan, dan enam belas Lhama yang sedang merangsek dari belakang, juga
menghentikan gerakannya. "Benar juga apa yang dikatakan oleh anak itu," kata pula
Lhama yang tinggi besar. "Seorang Budha Hidup harus mempunyai hati yang murah."
Sehabis berkata begitu, ia mengucapkan beberapa perkataan dalam bahasa Tibet, seperti
orang sedang memberi berkah kepada si nona.
Kim Bwee menengok dan mendapat kenyataan, bahwa semua Lhama berdiri tegak
dengan sikap menghormat. "Ah! Kalau begitu dia adalah Budha Hidup yang
dimaksudkan," katanya di dalam hati. Ia tak berani mengawaskan lama-lama dan lalu
kabur secepat mungkin.
Sesudah lari dua tiga li, di tanjakan sebelah depan kelihatan menunggu seorang wanita.
"Kim-djie!" berseru wanita itu yang bukan lain daripada ibunya sendiri. "Kau sungguh
berani mati! Lekas kemari!"
Kim Bwee mempercepat tindakannya dan di lain saat, ia sudah berada dalam pelukan
ibunya. "Aku sendiri tidak berani mengganggu mereka," kata Phang Lin sembari tertawa.
"Jika tidak ditolong olehku, kau akan merasakan lebih banyak penderitaan!"
"Ah! Sekarang aku tahu!" kata si nona. "Dua Lhama itu tentu juga ditimpuk Siauwyauw
hiat-nya (jalan darah yang membangkitkan perasaan geli) olehmu. Tadinya aku menduga,
bahwa mereka melepaskan aku karena merasa jengah dicaci olehku."
Ternyata, kedua Lhama itu sudah ditimpuk oleh Phang Lin dengan menggunakan ilmu
Hoeihoa tjekyap (menggunakan bunga dan daun sebagai senjata rahasia). Dengan
menggunakan bunga atau daun, ia dapat membinasakan musuh atau menotok jalanan
darah. Lie Kim Bwee yang lweekang-nya masih sangat cetek, tentu saja belum bisa
belajar ilmu yang tinggi itu. Tapi begitu mendengar perkataan ibunya, ia segera
mengetahui, bahwa tadi ia sudah dibantu oleh sang ibu. Ia tertawa dan berkata: "Hm!
Tadinya aku kira Budha Hidup itu seorang baik. Tak tahunya, ia sudah melepaskan aku
karena takuti ibuku!"
"Jangan ngaco!” membentak Phang Lin dengan suara keras. "Hoat-ong adalah seorang
yang berhati sangat mulia. Aku sendiri sangat menghormati padanya. Jangan kau
mengaco belo! Apa kau tahu, untuk apa mereka datang kesini?"
"Tidak," jawab puterinya.
"Barusan, sesudah menyelidiki, aku mengetahui duduknya persoalan," menerangkan
sang ibu. "Di sebelah depan terdapat satu kota, Sakya namanya. Sekarang ini, Raja
agama dari sekte
Topi Putih sudah mengadakan perdamaian dengan Lhama dari sekte Topi Kuning.
Panchen sudah mempermisikan mereka untuk menyebarkan pula agama mereka di Tibet
dan mendirikan satu kuil Lhama yang sangat besar di kota Sakya. Kedatangan Hoat -ong
dengan murid-muridnya ke kota Sakya, adalah untuk meresmikan pembukaan kuil
tersebut."
"Apakah dalam tempo yang sependek itu ibu sudah
pergi ke Sakya?" tanya Kim Bwee.
"Pendek? Sudah setengah harian!' kata Phang Lin sembari tertawa. "Apa belum cukup
kau beromong-omong dengan dia? Eh! Mana Kim Sie Ie?"
Paras muka si nona lantas saja berubah. "Dia kumat lagi penyakit gilanya," jawabnya
dengan suara duka. "Dia kabur, entah kemana."
"Ngaco!" membentak sang ibu. "Beruntun beberapa hari, dengan ilmu Tjiansimmo aku
menekan 'api' yang bisa membakar dirinya. Menurut perhitunganku, paling sedikit ia bisa
mempertahankan diri selama tujuh puluh dua hari. Tak mungkin ia gila mendadak. Urusan
apa yang sudah dibicarakan oleh kau orang selama aku pergi?"
"Tidak, sama sekali kita tidak bicarakan apa-apa yang penting," kata Kim Bwee. "Aku
hanya memberitahukan kepadanya, bahwa kau ingin membawa dia ke Thiansan untuk
memohon supaya Iethio suka mengobati padanya."
Phang Lin menghela napas panjang. "Kau benar-benar bocah tak tahu urusan," ia
berkata dengan suara menyesal. "Aku justru sangat kuatir, ia sungkan menerima budi
orang, karena wataknya yang angkuh. Maka itu, aku sengaja sudah mempedayai ia. Tapi,
kau yang membuka rahasia! Kau tentu tak mengetahui, bahwa dia dan Tong Keng Thian
mempunyai ganjelan hati."
"Ganjelan apa?" tanya Kim Bwee dengan suara heran.
Sang ibu kembali menghela napas panjang. "Hai!" katanya. "Benar-benar kau lebih gila
daripada aku, waktu aku semuda kau. Kau lebih suka mencampuri urusan orang lain,
daripada aku. Sudahlah! Tak perlu aku memberitahukan kau. Sekarang sekali lagi aku
mesti capai hati untuk mencari dia. Hai! Anak perempuan sudah besar, benar-benar
memusingkan kepala!"
Paras muka si nona lantas saja berubah merah. "Siapa suruh kau mencari dia?" ia
tanya sembari monyongkan mulut.
"Baiklah," jawab sang ibu. "Hm! Di kolong langit memang terdapat banyak sekali lelaki
gagah. Tapi aku tahu, tak satupun yang cocok dengan adat gilamu. Bukankah begitu?"
"Benar," jawab puterinya sembari merengut.
"Nah, kalau begitu paling baik kita cari dia," kata pula sang ibu sambil menyengir. "Mari!
Kita pergi ke Sakya untuk melihat-lihat keramaian. Kim Sie Ie juga suka ramai-ramai. Dia
tentu tidak pergi jauh." Sambil berkata begitu, ia berjalan dengan menyeret tangan
puterinya.
Sakya adalah sebuah kota pegunungan yang sangat indah di Tibet Selatan. Biasanya
kota itu sangat sepi, tapi sekarang, berhubung dengan kedatangan Hoat-ong Sekte Topi
Putih, maka tempat yang sunyi itu dengan mendadak menjadi ramai, dikunjungi tetamu
dari tempat-tempat jauh. Touwsoe dan Soanwiesoe Tan Teng Kie jadi repot bukan main,
karena mereka harus menyediakan tempat penginapan dan makanan untuk Raja agama
(Hoat-ong) itu dan sekalian pengiringnya. Di seluruh kota Sakya hanya ada seorang yang
senggang dan nganggur dan yang duduk melamun di taman bunga Soanwiesoe sambil
menghela napas berulang-ulang. Orang itu adalah Tan Thian Oe, putera Tan Teng Kie.
Begitu Thian Oe kembali ke Sakya bersama ayahnya, si Touwsoe lantas saja
mengajukan pula soal yang lama, yaitu soal perangkapan jodoh antara puterinya dan
pemuda itu. Thian Oe menghadapi desakan itu dengan menggunakan siasat mengulur
waktu, sedang sang ayah pun, yang tak penuju calon menantu itu, membantu puteranya
dengan mengusap-usap si Touwsoe. Sementara itu, atas nasehat puteranya, Teng Kie
telah memerintahkan Kang Lam pergi ke kota raja dengan membawa suratnya untuk
seorang berpangkat Tjiesoe yang masih terkena sanak dengannya. Dalam surat itu ia
meminta pertolongan supaya sanak tersebut mengajukan permohonan kepada kaizar,
agar ia diperbolehkan pulang dengan mengingat jasanya waktu menyambut guci emas.
Akan tetapi, karena perjalanan yang sangat jauh, sesudah pergi kurang lebih setengah
tahun, Kang Lam belum juga memberi warta suatu apa. Ayah dan anak itu melewati hari
dengan hati mendongkol, karena si Touwsoe sering sekali mengganggu mereka dengan
undangan-undangan untuk menghadiri perjamuan, dimana sang puteri coba memikat-
mikat Thian Oe, yang jadi serba salah, tertawa salah, menangis pun keliru.
Hari itu, Tan Teng Kie dan Touwsoe menyambut Hoan-ong, sedang semua pegawai
kantor Soanwiesoe pun pergi keluar untuk melihat keramaian. Thian Oe sendiri yang tidak
mempunyai kegembiraan untuk pelesir, dan ia menyembunyikan diri di dalam gedung.
Sampai jauh malam, ayahnya belum pulang dan suara ramai-ramai pun belum mereda.
Kira-kira tengah malam, seorang diri ia pergi ke taman bunga. Sang rembulan
memancarkan sinarnya yang dingin dan taman itu seolah-olah mandi dalam lautan perak.
Sambil menghela napas, Thian Oe mendongak dan berkata dengan suara duka: "Ah,
malam ini tiada bedanya dengan malam dulu itu. Malam di musim semi dan bulan yang
bersinar perak. Tapi dimana sekarang adanya Chena? Malam itu ia mendampingi aku, tapi
sekarang..."
Pada saat itu, Chena yang cantik manis, dengan senyuman yang penuh rahasia,
kembali terbayang di depan matanya. Hanya beberapa kali ia bertemu dengan gadis
Tsang itu, tapi tak dapat ia melupakannya lagi. Ia ingat peristiwa melempar golok di
gedung Touwsoe, ia ingat pertemuan di gunung belukar pada malam itu, dimana untuk
pertama kalinya ia mengetahui asal-usul si nona, ia ingat pula pertemuan di istana es
yang seperti surga, pertemuan yang tak akan dapat dilupakannya. Tak dinyana, bahwa
Puncak Es akan roboh dan akhirnya ia kembali ke Sakya tanpa mendapat warta apapun
juga tentang gadis yang dicintainya itu.
"Apakah Chena binasa dalam bencana alam itu?" ia tanya dirinya sendiri berulang-
ulang. Di lain saat, ia menghibur hatinya: "Jika Yoe Peng selamat, Chena juga tentu bisa
meloloskan diri."
Sementara itu, suara keramaian sudah mulai mereda, tapi Thian Oe masih duduk
terpekur di antara pohon-pohon bunga.
Mendadak terdengar suara berkreseknya daun-daun dan tindakan kaki yang sangat
enteng. Thian Oe agak terkejut dan menoleh ke arah suara itu. Ia terkesiap karena apa
yang dilihatnya adalah seorang wanita muda yang mengenakan pakaian serba putih dan
yang menghampirinya dengan bibir tersungging senyuman.
Ia mengawaskan dengan mata membelalak. "Chena!" teriaknya. "Apa aku lagi mimpi?"
"Bukan, bukan mimpi," kata wanita itu. "Tapi, memang tiada beda dengan impian."
Senyumannya belum hilang, air matanya sudah berlinang-linang. Wanita itu memang
Chena adanya!
Thian Oe menggigit jarinya kuat-kuat. Ia melompat karena kesakitan dan berteriak
sebab kegirangan. "Chena! Bukan impian! Kita benar-benar bertemu pula. Kita tak akan
berpisahan lagi!"
"Ya, kita tak akan berpisahan lagi," kata si nona.
Thian Oe memeluk erat-erat seolah-olah ia kuatir kecintaannya menghilang dengan
mendadak. Sekonyong-konyong ia melihat berlinangnya air mata dan paras yang penuh
kedukaan. Ia merasa seperti diguyur dengan air dingin. "Chena," katanya dengan suara
bingung. "Kenapa kau? Apa yang dipikiri olehmu? Bukankah kau sudah berjanji, bahwa
kita tak akan berpisahan lagi!"
"Aku selalu berada di dampingmu," jawabnya secara menyimpang. "Apakah dalam
impian, kau tak pernah mimpi bertemu denganku?"
"Benar," kata Thian Oe. "Setiap kali bermimpi, aku selalu mimpi bertemu denganmu...
kau sedang tertawa, sedang berdiri di bawah sinar bulan, sedang menangis... Tapi itu
semua sudah lewat. Mulai dari sekarang, kita tak akan mengenal kesedihan lagi, kita akan
berada dalam - kebahagiaan."
"Aku juga sering mimpi bertemu denganmu," kata Chena. "Dengan demikian dapat
dikatakan, bahwa kita sebenarnya belum pernah berpisahan."
"Tidak," kata Thian Oe. "Apa yang diingin olehku bukan dunia mimpi. Aku menghendaki
berkumpul secara abadi."
Mata si nona mengawasi ke tempat jauh dan ia berkata dengan suara serak: "Apa
artinya sungguh? Apa artinya mimpi? Apa yang dikatakan sekejap mata? Dan apa yang
dinamakan abadi?"
Thian Oe terperanjat. Ia menatap muka si nona tanpa bisa menjawab. Pertanyaan-
pertanyaan itu sudah terdengar semenjak dahulu, memang belum dapat dijawab oleh ahli-
ahli pemikir sehingga di jaman ini.
Di luar, sayup-sayup masih terdengar suara orang berpesta, suara penjual silat, suara
tukang sulap, suara menyanyi...
Untuk beberapa lama, kedua orang muda itu saling memandang tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Kemudian, dengan sorot mata berduka dan dengan suara agak gemetar.
Chena menyanyi dengan perlahan:
Cinta abadi adalah sinar terang
yang sekelebatan,
Bagaikan berkeredepnya kilat di
tengah udara gelap gulita,
Tapi walaupun hanya untuk
sekejapan.
Kemuliaan sang kekasih sudah terlihat nyata.
Itulah sebuah nyanyian rakyat Nepal yang merembes masuk ke Tibet, nyanyian yang
gembira, tercampur sedih. Thian Oe berduka sangat. Ia bengong dan kemudian berkata
dengan suara perlahan: ."Apa artinya sekejap mata? Apa arti abadi? Tidak! Yang
dikehendaki olehku adalah abadi yang bahagia!"
"Thian Oe," kata si nona sembari mesem. "Sekarang kita jangan rewel tentang hal yang
tak penting. Biarpun bagaimana juga, kita sudah bertemu kembali dan biarpun bagaikan
berkeredepnya kilat di tengah udara yang gelap gulita, apakah dalam tempo yang
sependek itu, kita tak bisa mengicipi kebahagiaan yang sebesar-besarnya? Thian Oe,
cobalah kau bicara tentang sesuatu yang menggembirakan."
Thian Oe terperanjat, mukanya lantas saja berubah pucat. "Apa?" ia menegas. "Apakah
pertemuan kita ini hanya seperti berkelebatnya kilat? Kenapa kau tak bisa berdiam terus
disini?"
Si nona menghela napas. "Hai! Kau tak tahu," katanya. "Untuk mengadakan pertemuan
ini, aku sebenarnya sudah menempuh bahaya yang sangat besar. Sudahlah, Thian Oe!
Jangan kau menanya banyak-banyak. Marilah, kita bicarakan saja tentang sesuatu yang
menggirangkan hati. Aku tak bisa berdiam lama-lama. Aku mesti segera berlalu!"
Kata-kata itu adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Thian Oe ternganga. Ia
hanya mengawasi muka si nona dengan sorot mata menanya.
"Thian Oe..." kata pula Chena, sambil tertawa. "Hayolah! Mari kita bergembira..."
Suaranya bergemetar dan meskipun ia tertawa, nada suara itu lebih menyayatkan hati
daripada tangisan. "Chena... sesudah kau mengatakan, bahwa kau akan segera
berlalu, apakah aku masih bisa
bergembira?" tanya Thian Oe.
"Satu kali, kita pernah mengalami bencana robohnya Puncak Es dan kita sudah terlolos
dari bencana itu. Apakah sekarang kita sedang menghadapi bencana yang kedua, yang
lebih hebat daripada yang pertama?"
"Sedari dilahirkan, bencana memang membayangi diriku terus menerus," jawabnya.
"Aku tak dapat mengelakkannya. Ah! Kau tak tahu..."
"Aku tahu! Aku tahu semuanya," kata Thian Oe. "Aku tahu, kau ingin membalas sakit
hati. Chena, kita sama-sama hidup dan mati pun sama-sama. Marilah kita pergi membalas
sakit hati bersama-sama. Andaikata, dengan berkah Tuhan, kita tak mati, kita boleh lantas
melarikan diri ke selatan, ke kampung kelahiranku."
Si nona kembali tertawa, tertawa duka. "Anak tolol," katanya. "Sakit hati yang dalam
bagaikan lautan, mana bisa diwakili? Di samping itu, aku tak bisa mempermisikan
mengamuknya badai di Tibet, karena urusan pribadiku. Soal pembalasan sakit hatiku
adalah soal remeh. Tapi begitu lekas kau campur tangan, soal itu akan menjadi besar."
Thian Oe insyaf, bahwa si nona bicara sejujurnya. Ayahnya adalah Soanwiesoe dari
Sakya. Karena kuatir terjadi pemberontakan para Touwsoe di Tibet, maka selain mengirim
Hok Kong An untuk menilik dari Lhasa, kaizar Tjeng telah mengirim juga Soanwiesoe ke
berbagai tempat dengan tugas "menempel" dan mengawasi sepak terjangnya para
Touwsoe itu. Jika ia benar-benar membantu Chena dan membinasakan Touwsoe dari
Sakya, maka ayahnya sudah pasti akan mendapat hukuman mati. Juga terdapat
kemungkinan timbulnya sengketa yang lebih besar gara-gara itu.
Dengan air mata berlinang-linang, Chena dongak mengawasi awan yang terombang-
ambing di atas langit.
"Jika kau mati, aku pun tak bisa hidup terus," kata Thian Oe.
"Tidak, kau tak boleh mati," kata si nona. "Kau masih mempunyai banyak sekali tugas.
Di samping itu, aku pun belum tentu mati."
"Kalau begitu, biarlah aku menunggu kau," kata Thian Oe. "Tak perduli apa kau hidup
atau mati, aku akan menunggu terus."
Chena menghela napas. "Terima kasih," katanya. "Tapi, apa kau tahu, siapa aku
sekarang? Seumur hidup, aku tak boleh mencintai atau menikah dengan seorang pria.
Kedatanganku sekarang sudah melanggar peraturan. Thian Oe, sebaiknya kau
menganggap, bahwa pertemuan ini adalah pertemuan di dalam mimpi."
Mendengar perkataan itu, bukan main kaget dan herannya Thian Oe. "Kenapa?" ia
menegaskan. "Aku mengetahui, bahwa kau adalah puteri Raja muda Chinpu. Apakah
puteri seorang raja muda di negerimu tidak boleh menikah dengan seorang Han?'
Pada jaman itu, di Tibet memang ada kebiasaan tersebut. Akan tetapi, Thian Oe sudah
menebak salah, karena hal itu bukan sebab yang terutama.
Si nona tak menyahut, ia terus menunduk.
"Sudahlah!" kata Thian Oe dengan suara keras. "Jika begitu, aku tak akan menikah
seumur hidup."
Chena menyeka air matanya dengan tangan baju dan mendadak ia tertawa. "Kau
adalah manusia pertama yang mengenal jiwaku," katanya. "Kebahagiaanmu adalah
keberuntunganku. Aku ingin sekali kau bisa hidup beruntung. Apa kau tahui"
"Aku tahu," jawabnya.
"Kalau begitu, kau dengarlah perkataanku," katanya pula. "Pengtjoan Thianlie telah
membuang banyak budi kepadaku dan ia adalah orang kedua dalam dunia ini yang dapat
menyelami isi hatiku. Aku menganggapnya sebagai kakakku sendiri."
"Aku tahu," kata Thian Oe. "Aku pun pernah mendapat banyak sekali pertolongannya
dan aku merasa sangat berterima kasih."
Chena kembali menghela napas, sedang kedua matanya mengawasi ke tempat jauh.
"Thianlie Tjietjie banyak lebih beruntung daripadaku," katanya dengan suara perlahan.
"Tong Keng Thian mencintainya dengan segenap hati, seperti juga kau..." Mukanya
mendadak berubah merah dan ia tak dapat meneruskan perkataannya.
"Dalam ilmu silat, aku memang tak dapat dibandingkan dengan Tong Keng Thian," kata
Thian Oe. "Tapi... mengenai rasa cintaku, aku sedikitpun tak kalah dengannya."
Chena tersenyum, senyuman puas yang, untuk sejenak, telah menyapu awan
kedukaan dari mukanya. Sesaat kemudian, ia berkata pula: "Orang ketiga yang mengenal
jiwaku adalah Yoe Peng, dayangnya Thianlie Tjietjie. Ia adalah seorang yang selalu
bergembira, sehingga siapa juga yang bergaul dengannya, akan turut merasa gembira."
Thian Oe terkejut. "Apa maksudnya perkataan Chena?" ia tanya dirinya sendiri, la
menatap wajah si nona dengan rasa kasihan dan kemudian berkata: "Chena, aku hanya
bisa berkumpul dengan kau seorang. Dalam dunia ini, tiada lain manusia yang bisa
dibandingkan denganmu."
Si nona dongak dan melihat sang rembulan yang sudah doyong ke barat. Untuk sekian
kalinya ia menghela napas. "Sekarang benar-benar aku mesti lantas berlalu," katanya.
"Tidak!... Tidak!... Chena, kau tak boleh meninggalkan aku dengan begitu saja!" kata
Thian Oe dengan suara serak, sambil mencekal erat-erat ujung baju si nona.
Tiba-tiba di sebelah kejauhan terdengar suara lonceng. Si nona kelihatan terkejut dan
lalu mulai menghitung dengan suara perlahan: Satu... dua... tiga... dua belas... tiga belas...
tujuh belas...
delapan belas..."
"Kenapa kau menghitung?" tanya Thian Oe. "Apa suara lonceng itu dari istana
sementara Hoat-ong?"
"Sudah hampir sembahyang pagi," jawabnya.
"Sembahyang pagi?" menegas Thian Oe, sambil menatap wajah si nona.
Chena melengos. Mendadak ia berkata: "Hoat-ong sudah tiba disini dan kota Sakya
ramai bukan main. Dua hari lagi akan diadakan upacara pembukaan kuil Lhama."
"Tanpa kau, aku tak mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan keramaian apapun
juga,"
kata Thian Oe. "Aku tak ingin menyaksikan pembukaan kuil itu."
"Baiklah," kata si nona dengan tertawa sedih. "Biarlah sekarang saja kita berpisahan."
Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebilah pisau dan memotong
ujung bajunya yang sedang dicekal Thian Oe dan di lain saat, ia sudah berada di atas
tembok!...
Bagaikan orang lupa ingatan, Thian Oe berdiri terpaku dengan mulut ternganga.
Kejadian barusan seolah-olah suatu impian menakuti. Ia merasa otaknya pusing dan tak
dapat bekerja lagi. Kenapa Chena datang untuk segera pergi lagi dengan begitu terburu-
buru? Apa arti perkataan-perkataannya? Kenapa ia tak boleh menikah? Peraturan apa
yang dilanggarnya? Berbagai pertanyaan masuk ke dalam otaknya, pertanyaan-
pertanyaan yang tak dapat jawabnya.
Sementara itu, fajar mulai menyingsing dan orang-orang yang bersuka ria sudah mulai
pulang. Mereka tak tahu, bahwa sang majikan muda juga tak tidur semalam suntuk.
Karena sudah ketelanjur, mereka tidak lantas pergi tidur dan lalu beromong-omong. Thian
Oe adalah majikan yang selalu bersikap manis terhadap pegawai dan bujang, sehingga
mereka tidak merasa takut untuk bicara di hadapannya.
"Sayang sungguh Wanita-wanita Suci itu mengenakan kudungan muka," kata
yang satu. Thian Oe kaget dan segera mendekati sambil menanya: "Wanita Suci
apa?"
Yang baru pulang menonton ada delapan orang dan mereka lantas saja memberi
keterangan. "Wanita Suci yang dibawa Budha Hidup. Agama Topi Putih berbeda dengan
Topi Kuning. Topi
Putih boleh mempunyai Lhama wanita."
"Menurut katanya orang, Wanita Suci itu pandai menyanyi dan menari. Pada upacara
pembukaan kuil, mereka akan memperlihatkan kepandaiannya."
"Ya. Mereka kelihatannya cantik sekali, hanya sayang mengenakan kudungan muka."
"Kau jangan mengeluarkan perkataan gila-gila! Menurut pendengaranku, Wanita Suci
itu sungguh-sungguh suci dan tak boleh dilanggar-langgar. Jika kau tak turut menghadiri
upacara, mencuri lihat saja sudah merupakan satu kedosaan."
"Apa dia tak boleh menikah?"
"Tidak! Jangankan menikah, sedangkan bicara dengan lelaki sudah tak boleh."
"Ah! Sungguh sayang! Setiap Wanita Suci itu pasti cantik luar biasa. Pakaiannya saja
sudah begitu indah. Baju dan koen serba putih dan dua ikatan pinggang sutera yang
berwarna putih pula. Setiap orang ramping badannya, ceking pinggangnya dan kalau dia
berjalan, aduh! Bagaikan Puteri Kahyangan yang turun ke bumi!'
Thian Oe mendengari pembicaraan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya
jantungnya semakin lama memukul semakin keras. "Apa Chena sudah jadi Wanita Suci?
Kenapa ia mau jadi Wanita Suci?" tanyanya di dalam hati. Pikirannya jadi semakin kusut,
kepalanya semakin pusing.
Semalam ayahnya menginap di gedung Touwsoe dan sampai tengah hari belum juga
pulang. Pagi itu, seperti orang kehilangan semangat, Thian Oe duduk termenung dalam
kamar tulis sambil mengasah otak untuk memecahkan teka-teki sekitar kecintaannya itu.
Tiba-tiba ia terkejut karena terdengarnya suara orang memanggil: "Kongtjoe, ada tamu."
"Siapa?" tanyanya. Alisnya berkerut dan ia berkata pula sambil mengebas tangan: "Hari
ini aku tidak menerima tamu. Minta dia datang di lain hari saja."
"Baiklah," kata si pelayan, tapi ia terus berdiri di depan pintu.
"Ada apa?" tanya pula Thian Oe.
"Menurut katanya tamu itu, ia adalah sahabat Kongtjoe," jawabnya. "Pengurus rumah
tanga sedang menemaninya di kamar tamu."
"Siapa ia?" menegas Thian Oe dengan perasaan heran, karena si pengurus rumah
tangga sudah berani menerima tamu itu tanpa permisi.
"Dandannya seperti seorang sasterawan dan ia she Tong," menerangkan si pelayan.
"Menurut katanya pengurus rumah tangga, ia pernah membuang budi besar kepada
Looya."
"Aduh!" teriak Than Oe sambil berlari-lari keluar tanpa menukar pakaian lagi.
Tamu itu bukan lain daripada Tong Keng Thian. Pengurus rumah tangga keluarga Tan
pernah mengikut Tan Teng Kie waktu menyambut guci emas, sehingga ia mengenali
pemuda itu.
Tak usah dikatakan lagi, pertemuan itu sangat menggirangkan kedua belah pihak.
"Tong-heng," kata Thian Oe sambil menjabat erat-erat tangan Keng Thian. "Angin apa
yang
sudah meniup kau datang kemari? Benar-benar aku bisa pingsan karena kegirangan."
"Kebetulan lewat, aku mampir," jawabnya. "Dan lebih-lebih kebetulan, karena kota ini
sedang bersuka ria."
"Apa Tong-heng ingin menyaksikan upacara pembukaan kuil?" tanyanya.
"Boleh dikatakan ya, boleh dikatakan tidak," sahutnya.
Melihat paras tamunya seperti orang yang ingin membicarakan suatu rahasia, Thian Oe
lantas saja berkata: "Marilah masuk, supaya kita bisa bicara dengan leluasa dan gembira."
Tanpa menunggu jawaban, ia menuntun tangan Keng Thian yang lalu diajak ke kamar
buku.
Baru saja pelayan mengantarkan teh, Keng Thian sudah berbisik: "Bagaimana dengan
Chena?" Thian Oe berjingkrak bahna kagetnya. Cangkir teh jatuh dan hancur di lantai.
"Tong-heng, kau
kenal Chena?" tanyanya dengan suara gemetar.
Sebagai seorang yang sangat pintar, Keng Thian lantas saja dapat menebak, bahwa
gadis Tsang itu adalah jantung hatinya Thian Oe.
"Dimana Tong-heng bertemu dengannya?" tanya Thian Oe, tak sabaran.
"Di istana Hoat -ong Sekte Topi Putih," jawabnya. "Sungguh sayang, waktu itu aku
belum tahu, bahwa ia adalah gadis idam-idamanmu. Jika 'ku tahu, aku tentu akan
membujuk supaya ia mengurungkan niatan untuk menjadi Wanita Suci." Sesudah itu,
secara ringkas ia lalu menuturkan segala pengalamannya di istana Hoat-ong dan di
keraton Wanita Suci.
"Kalau begitu, dia sendiri yang rela menjadi Wanita Suci," kata Thian Oe dengan suara
perlahan. "Tapi kenapa? Kenapa?..."
Mereka segera coba menduga-duga, tapi tak dapat menebak apa maksudnya Chena.
Waktu magrib, Tan Teng Kie pulang dan kunjungan Keng Thian menggirangkan sangat
hatinya. Biarpun sangat lelah, ia memaksakan diri untuk menemani pemuda itu dan
menghaturkan terima kasih untuk segala pertolongannya pada waktu penyambutan guci
emas. Dalam omong-omong, mereka tentu saja membicarakan juga soal kedatangan
rombongan Hoat-ong dengan Wanita-wanita Suci yang sangat menarik perhatian.
"Sebenarnya Touwsoe ingin membuat satu tempat istimewa dalam bentengannya untuk
tempat menginap para Wanita Suci," •menerangkan Teng Kie. "Ia juga ingin
memerintahkan budak-budak perempuannya untuk belajar menari dengan Wanita Suci itu.
Hoat-ong tidak berkeberatan, tapi Ibu Suci katanya tidak menyetujui. Belakangan mereka
membuat sebuah tempat penginapan di dalam taman istana sementara Hoat-ong.
Touwsoe merasa sangat mendongkol, tapi ia tak bisa berbuat suatu apa."
Hati Thian Oe berdebar-debar, tapi tidak mengatakan apa-apa. Tak lama kemudian,
sebab merasa terlalu capai, Teng Kie lalu meminta maaf kepada Keng Thian dan masuk
ke dalam untuk mengasoh.
Begitu ayahnya berlalu, Thian Oe segera mengajak tamunya kembali ke kamar tamu
dan begitu mereka mengambil tempat duduk, ia segera berkata: "Malam ini aku ingin
mengunjungi Chena."
Keng Thian terkejut: "Tidak! Kau tak boleh pergi!" ia mencegah. "Istana sementara
Hoat-ong bukan tempat sembarangan. Tahun yang lalu, waktu menyelidiki keraton Wanita
Suci, hampir-hampir aku hilang jiwa."
Thian Oe mengawaskan tamunya dengan sorot mata duka. "Terima kasih untuk
nasehatmu," katanya dengan suara perlahan. "Tapi, walaupun mesti berenang di air atau
menyerbu api, biarpun badanku bisa hancur lebur, malam ini aku mesti menemuinya.
Andaikata tak dapat bicara, sedikitnya aku harus melihat dia."
Tong Keng Thian yang cukup mengenal penderitaan cinta, menghela napas panjang. Ia
menatap wajah Thian Oe dengan perasaan kasihan. "Baiklah," katanya. "Malam ini aku
akan mengantar kau."
Bukan main girangnya Thian Oe. Ia menjabat tangan Keng Thian erat-erat dan
mencekalnya lama sekali.
"Sekarang pergilah kau mengasoh, supaya sebentar kau mempunyai cukup tenaga dan
semangat," kata Keng Thian.
"Mana aku bisa pulas?" kata Thian Oe sambil tertawa getir. "Jika mungkin, sekarang
juga aku ingin pergi kesana."
Keng Thian tersenyum, ia bisa merasakan apa yang dirasakan pemuda itu. "Jika kau
tak mau mengasoh, aku ingin menanya tentang satu orang," katanya.
"Siapa?" tanya Thian Oe.
"Seorang pengemis yang lagaknya gila-gilaan dan selalu cari-cari urusan," kata Keng
Thian. "Menurut katanya beberapa pegawai, beberapa hari berselang di kota ini
berkeliaran seorang
pemuda otak miring yang membagi-bagikan kembang gula dan kue-kue kepada anak-
anak di sepanjang jalan," menerangkan Thian Oe. "Tapi dia bukan pengemis, pakaiannya
bagus sekali.”
"Dimana dia sekarang?" tanya Keng Thian.
"Entah," sahutnya. "Dalam beberapa hari ini, orang tidak memperhatikannya lagi karena
repot menyambut rombongan Hoat-ong. Aku pun hanya mendengar cerita orang."
Alis Keng Thian berkerut, tapi ia tak menyatakan suatu apa. "Kalau begitu Kim Sie Ie
tentu sudah berada dalam kota ini," katanya didalam hati.
"Untuk apa Tong-heng menyelidiki orang itu?" tanya Thian Oe.
Keng Thian menghela napas panjang seraya berkata: "Biarpun urusanku tidak sesedih
urusanmu, tapi cukup sulit. Aku ingin menolong seorang yang tak disuka olehku. Jika mau
diceritakan, urusan ini panjang sekali. Hai! Biarlah nanti saja aku memberitahukannya."
Malam itu, dengan menggunakan lweekang, Keng Thian membantu Thian Oe
menjalankan pernapasannya. Kira-kira tengah malam mereka lalu menukar pakaian jalan
malam dan segera berangkat ke istana sementara Hoat-ong.
Istana sementara itu adalah sebuah gedung yang berdiri membelakangi gunung.
Gedung itu sebenarnya adalah rumah tinggal seorang Nyepa (semacam pangkat di
sebelah bawah Touwsoe). Untuk menyambut kedatangan Hoat-ong, maka pada satu
bulan berselang, Touwsoe telah memerintahkan supaya Nyepa dan keluarganya pindah
dari gedung itu yang lalu diperbarui, diperindah dan ditambah segala kekurangannya.
Sebab hatinya tidak sabaran, Thian Oe lari secepat-cepatnya dengan menggunakan
ilmu mengentengkan badan, sehingga kedua kakinya seolah-olah tidak menginjak bumi.
Keng Thian kaget karena ia tidak menduga, bahwa selama beberapa tahun saja, pemuda
itu sudah mendapat kemajuan yang sedemikian jauh. Ia tentu saja tidak mengetahui,
bahwa kemajuan tersebut adalah berkat buah luar biasa yang telah dimakan Thian Oe di
istana es.
Belum cukup setengah jam, mereka sudah tiba di istana Hoat-ong dan lalu melompat
masuk ke dalam taman bunga. Sesudah berjalan beberapa tombak, di antara ratusan
pohon bunga yang menyiarkan wewangian
menyedapkan, mereka melihat sebuah loteng cat merah yang agak tertutup dengan
pohon-pohon tinggi yang rindang daunnya. Selagi Thian Oe jalan memutari gunung-
gunungan batu untuk melompat ke atas loteng itu, sekonyong-konyong Keng Thian
menarik tangan bajunya dan mereka lalu bersembunyi di belakang gunung-gunungan itu.
Tiba-tiba terdengar kesiuran angin dan tiga bayangan manusia berkelebat masuk ke
dalam taman. Waktu mereka hinggap di muka bumi, hanya seorang yang kakinya
memperdengarkan suara, sehingga dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa dua orang lainnya
mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi. Begitu masuk, mereka
mengawasi ke empat penjuru dan kemudian bersembunyi di belakang gunung-gunungan
batu yang lain. Thian Oe mengintip dari sela-sela batu dan lapat-lapat ia melihat bayangan
badan mereka. Sesaat kemudian, seorang antaranya yang bertubuh gemuk dan yang tadi
kakinya mengeluarkan suara waktu hinggap di atas tanah, tiba-tiba menoleh ke belakang.
Dalam sekelebatan Thian Oe melihat mukanya dan ia terkejut. Orang itu ternyata bukan
lain daripada orang kepercayaan Touwsoe, yaitu Omateng, yang pada suatu malam dua
tahun berselang, telah mengubar-ubar Chena di sebuah gunung.
Mendadak kuping Thian Oe menangkap suara yang sangat perlahan. "Apa kau sudah
melihat tegas, bahwa wanita itu adalah puteri Raja muda Chinpu?" tanya seorang.
"Ya, biarpun dia mengenakan kudungan, aku
bisa memastikannya," jawab Omateng.
Thian Oe heran tak kepalang. "Kenapa dia begitu memperhatikan Chena?" ia menanya
dirinya sendiri. "Kedatangannya di kali ini juga adalah untuk menyelidiki Chena." Sesaat
itu, ia lantas saja ingat segala tindakan Omateng dalam waktu yang lalu. Dulu, ketika
Chena jatuh ke dalam tangan Touwsoe, dialah yang sudah memohon ayahnya untuk
menolongnya. Tapi belakangan, kenapa ia terus mengubar-ubar, sampai di Puncak Es?
Apa maksudnya? Maksud baik atau maksud jahat?"
"Apa kau ingin memberitahukan Touwsoe?" tanya kawannya.
"Jika Touwsoe diberitahukan, ada baiknya, ada juga tidak baiknya," jawabnya. "Paling
bagus jika kita bisa bertemu dengan Chena. Tapi..."
Belum habis perkataannya, di atas loteng mendadak terdengar suara apa-apa. Thian
Oe mendongak dan melihat terbukanya pintu di satu sudut, disusul dengan keluarnya
seorang wanita yang tangannya memegang serupa alat musik. Perlahan-lahan ia
menghampiri langkan dan kemudian, sambil menyender di langkan, ia mementil alat musik
yang dibawanya. Sesaat kemudian, terdengar nyanyian yang seperti berikut:
Sungai es di puncak gunung, laksana Bima Sakti (Milky Way) yang nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan perlahan sekali.
Ibarat suara letabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.
Si nona menanya si pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau mendaki?
Berapa topan lagi harus kau lewati?
Itulah suatu lagu gembala di wilayah Tibet yang sangat mengharukan hati, yang dulu
pernah didengar Thian Oe, waktu pertama kali ia bertemu dengan si nona di padang
rumput. Hatinya perih seperti diiris-iris dan matanya terus mengawasi seperti orang lupa
ingatan. Tiba-tiba salah satu jendela yang bersinar terang, terbuka dan seorang Wanita
Suci memanggil dengan suara perlahan: "Sudah malam, Chena Tjietjie. Apa kau tak mau
tidur? Jangan melamun!"
"Aku tak bisa pulas," jawabnya. "Aku ingin turun sebentaran dan waktu kembali, aku
akan membawa bunga bwee untukmu." Sehabis berkata begitu, sambil memeluk alat
musiknya ia turun dari atas loteng dan menyanyi dengan suara perlahan:
Di langit, sang elang terbang berputaran.
Di bumi, kawanan binatang lari lintang pukang.
Ah! Sungguh 'ku ingin menjadi sang elang!
Sungguh 'ku ingin menjadi pisau pembalasan!
Untuk menerkam si raja singa yang kejam.
Untuk menikam jantungnya musuh!
Nyanyian itu adalah nyanyian pembalasan sakit hati di wilayah padang rumput dan
bahwa nyanyian itu dinyanyikan oleh seorang Wanita Suci, adalah kejadian yang sungguh
luar biasa. Setindak demi setindak Chena berjalan ke arah tempat bersembunyinya Thian
Oe yang terus mengincarnya sambil menahan napas. Tak jauh dari situ adalah gunung-
gunungan tempat bersembunyinya Omateng dan kedua kawannya. Thian Oe melirik dan
kebetulan si gemuk sedang mengintip sambil menongolkan sedikit kepalanya. Di bawah
sinar rembulan yang remang-remang, tiba-tiba ia melihat Omateng ' tersenyum, satu
senyuman licik dan kejam yang membangunkan bulu roma. Beberapa tahun berselang,
waktu bertemu Chena dan Omateng di bukit es pada suatu malam terang bulan, ia pun
pernah melihat senyuman begitu. Tanpa merasa ia bergidik.
Tiba-tiba si nona menghentikan tindakannya dan mendongak memandang rembulan
sambil menghela napas berulang-ulang. "Ah! Thian Oe, Thian Oe!" ia mengeluh dengan
suara perlahan. "Sungguh-sungguh aku kejam terhadapmu!"
Mendengar itu, Thian Oe tak dapat menguasai dirinya lagi. Ia tak ingat lagi dimana ia
berada dan lalu melompat sambil berteriak: "Chena!"
Di lain saat. Dalam taman itu sudah terdengar teriakan-teriakan orang.
Tiba-tiba Thian Oe merasa dirinya dikempit dan dibawa terbang, akan kemudian kedua
kakinya hinggap di atas tembok. Hampir berbareng ia melihat satu sinar merah
menyambar ke bawah. "Lekas! Lekas lari!" Keng Thian berbisik. Thian Oe segera
meloncat ke bawah dan terus kabur, diikuti oleh kawannya. Sayup-sayup mereka
mendengar suara ramai-ramai di dalam taman. "Hoat-ong sudah keluar," kata Keng Thian
sambil tertawa. "Omateng bisa celaka."
Sesuai dengan dugaan Keng Thian, sebelum keburu kabur, Omateng bertiga sudah
dikepung. Orang yang menerjang paling dulu adalah si Ibu Suci dan empat murid utama
dari Hoat-ong yang meronda di taman itu.
Dua kawan Omateng, yang satu bernama Teruchi dan yang lain Kili Singh, adalah jago-
jago yang mempunyai kepandaian paling tinggi di Kalimpong. Begitu berhadapan, si Ibu
Suci yang bersenjata sepasang pantek konde yang panjangnya satu kaki, segera
menikam Teruchi. Senjata itu yang terang-terangan mengenakan tepat di dada musuh,
mendadak melejit seperti melanggar benda licin, sehingga, waktu Teruchi melompat ke
samping, si Ibu Suci terhuyung ke depan dan menubruk salah satu Lhama. Ia malu
bercampur gusar, sehingga mukanya berubah merah padam. Ternyata jago Kalimpong itu
memiliki ilmu Yoga yang sangat liehay. Sementara itu, Kili Singh yang tidak mempunyai
ilmu Yoga, tapi yang ilmu silatnya lebih tinggi daripada Teruchi, sudah mulai bergebrak
dengan murid Hoat-ong. Sesudah lewat beberapa jurus, murid Hoat-ong mendadak
mengirim satu pukulan geledek yang menyambar bagaikan kilat ke dada musuh. Sambil
mengerahkan tenaga dalam, Kili Singh menangkis kekerasan dengan kekerasan. Begitu
kedua tangan beradu, murid Hoat-ong sempoyongan, sedang Kili Singh pun bergoyang-
goyang badannya. Melihat kesempatan baik, Ibu Suci menerjang dan menikam jalanan
darah Tiongpeng hiat dan Kietjong hiat, di kempungan Kili Singh. Tapi, biarpun diserang
mendadak selagi badannya tergetar akibat pukulan musuh, Kili Singh yang memiliki ilmu
silat Poloboen, bisa juga menolong diri dengan jungkir balik. Pantek konde itu menembus
celananya, tapi tak sampai mengenakan jalanan darah. Sesudah itu, dengan gerakan
Leehie tahteng (Ikan gabus meletik), ia melompat berdiri dan terus kabur.
Ibu Suci jadi kalap karena gusarnya. Ia menganggap, bahwa dua musuh itu sengaja
mempermainkannya dengan ilmu yang aneh. Ia berteriak memberi komando dan dalam
sekejap empat murid utama dan sejumlah Lhama sudah mengubar dan mencegat dua
jago Kalimpong itu.
Melihat ketika baik, dengan hati berdebar-debar Omateng melompat ke arah loteng
merah dengan niatan menyembunyikan diri untuk sementara waktu. Tapi apa mau, Hoat-
ong yang baru keluar dari istana, telah melihat gerak -geriknya. Ia lantas saja
mematahkan cabang pohon yang lalu dipentilnya. Bagaikan kilat cabang itu menyambar
kaki Omateng yang segera roboh terguling di atas tanah.
Muka si gemuk jadi pucat seperti kertas waktu mengetahui siapa yang merobohkannya,
sedang Hoat-ong sendiri agak terkejut ketika melihat, bahwa si pengacau adalah Nyepa
dari Touwsoe Sakya sendiri. Tangannya yang sudah terangkat diturunkan lagi dan ia lalu
memerintahkan seorang Lhama untuk mengikat tawanan itu.
Sementara itu, Teruchi dan Kili Singh sudah kabur sampai di pinggir tembok. Dalam
keadaaan terdesak, buru-buru Kili Singh membuka Djoanso (tali) yang mengikat
pinggangnya dan lalu memutarnya bagaikan titiran. Karena titiran tali itu disertai dengan
tenaga hebat, maka semua Lhama tidak berani maju menyerang.
Dengan gusar Hoat-ong lalu memburu kesitu dan begitu tiba, Teruchi justru sedang naik
ke atas tembok. Sekali menjejak kaki, badannya melesat bagaikan anak panah dan
tangannya menjambret tumit kaki jago Kalimpong itu. Mendadak ia merasa tangannya
seperti mencengkeram kapas, tumit itu mengkeret dan terlepas dari cengkeramannya. Ia
mendongkol bukan main dan sambil mengerahkan lweekang, lalu menekuk jerijinya untuk
mementil dengan ilmu Tantjie Sinthong (ilmu mementil). Jika kena, tulang kaki Teruchi
pasti akan hancur. Kili Singh terkesiap. Untuk menolong kawan, buru-buru ia menyapu
dengan Djoanso-nya. Hoat-ong marah, ia membalik tangan dan lalu membabatnya. Hebat
sungguh babatan itu yang disertai lweekang! Begitu tersentuh, Djoanso Kili
Singh putus jadi dua potong. Sementara itu, berkat pertolongan sang kawan, Teruchi
berhasil meloloskan diri dan terus mabur. Dengan gergetan Hoat-ong menotok jalan darah
Kili Singh yang terus roboh dan lalu diikat oleh seorang Lhama.
Semua kejadian itu terjadi dalam tempo pendek. Chena sendiri berdiri terpaku bagaikan
patung sambil memeluk alat musiknya yang bertali lima. Kedua matanya mengawasi ke
tempat jauh, sedang di kupingnya masih terus berkumandang teriakan Thian Oe. Seolah-
olah tidak melihat segala kekacauan dan tidak mendengar teriakan-teriakan dalam taman
itu. Sesudah Omateng dan Kili Singh dibekuk dan Hoat-ong memanggil namanya, barulah
ia tersadar dari lamunannya. Ia mendongak dan matanya kebentrok dengan mata
Omateng. Ia kelihatan kaget dan berkata dengan suara perlahan: "Hm! Omateng!”
"Kau kenal dia?" tanya Hoat-ong.
"Kenal," jawabnya "Dia adalah Nyepa dari Touwsoe Sakya." "Nona itu adalah
piauwmoay-ku (adik misan)," kata Omateng.
"Chena," kata Ibu Suci dengan perasaan heran. "Kenapa kau tidak pernah
memberitahukan, bahwa kau masih punya saudara misan?"
Sebelum menjawab, si nona melirik Omateng yang parasnya kelihatan bingung sekali.
Sesaat itu juga, ia ingat beberapa kejadian pada waktu yang lalu. Ia ingat, bahwa
Omateng pernah meminta pertolongan Tan Teng Kie untuk menyelamatkan dirinya dari
cengkeraman Touwsoe. Ia ingat pula perkataan Omateng pada malam terang bulan itu,
bahwa Touwsoe adalah musuh bersama dari mereka berdua dan bahwa dia bersedia
memberi bantuan dalam usaha membalas sakit hati.
Walaupun ia tidak melupakan perkataan Thian Oe yang memperingatkan, bahwa
Omateng bukan manusia baik-baik, tapi, baik atau jahat, ia belum mempunyai bukti yang
teguh. "Tak perduli dia baik atau jahat, dia adalah seorang yang pernah coba menolong
aku," katanya di dalam hati. Mengingat begitu, dengan suara tawar ia menjawab:
"Sesudah mengabdi kepada Budha Hidup dan menjadi Wanita Suci secara suka rela, aku
telah membebaskan diri dari segala ikatan dunia. Jangankan piauwko (saudara misan),
sedangkan ayah dan ibu sendiri pun sudah jadi seperti orang luar."
Si Ibu Suci manggut-manggutkan kepalanya seraya memuji: "Bagus! Dengan demikian,
kau adalah seorang Wanita Suci yang benar-benar sudah memisahkan diri dari segala
keduniawian."
Hoat -ong yang sudah agak mereda kegusarannya, lantas saja berkata: "Sebagai
seorang Nyepa, kau sudah mengacau dalam istana kami. Apa kau tak tahu, bahwa
perbuatanmu itu adalah satu kedosaan?"
"Tahu," jawabnya, menunduk. "Aku memohon pengampunan Budha Hidup."
"Apa kau datang kemari hanya untuk bertemu Chena?" tanyanya pula.
"Benar," sahutnya. "Aku mengetahui, bahwa seorang Wanita Suci tidak boleh bertemu
dengan orang luar dan dengan tersesat, aku sudah masuk kesini seorang diri. Untuk
kedosaan itu, aku memohon pengampunan."
Alis Hoat-ong berkerut. "Kau datang sendirian?" ia menegas. "Apa dua orang itu bukan
kawanmu?"
"Bukan," si gemuk menyangkal. "Waktu tiba disini, dua penjahat itu sudah berada di
dalam taman. Lantaran begitu, aku segera menimpuk dengan batu untuk memperingatkan
orang-orang yang menjaga disini. Jika mereka adalah kawanku, aku tentu tak begitu gila."
Si gemuk ternyata satu pendusta yang liehay juga otaknya. Thiansan Sinbong yang
ditimpukkan oleh Tong Keng Thian, diakui sebagai batu yang dilontarkan olehnya. Hoat-
ong merasa sangsi dan lalu menanya pula: "Bagaimana kau tahu, bahwa mereka adalah
penjahat?"
"Mereka sudah sering mengacau disini," jawabnya. "Mereka merampok dan melakukan
banyak kejahatan lain. Sebagai Nyepa, aku bertugas untuk membekuk orang-orang jahat,
tapi karena tidak mempunyai pembantu pandai, sebegitu lama mereka belum dapat
ditangkap!"
Bukan main gusarnya Kili Singh. Tapi ia tidak dapat membela diri, sebab jalanan
darahnya sudah ditotok.
Hoat-ong tertawa terbahak-bahak. "Apa benar begitu?" tanyanya.
Sekonyong-konyong Omateng melompat dan menghantam kepala Kili Singh.
"Bikin apa kau?" membentak Hoat-ong sambil mengebas dengan tangannya, sehingga
si gemuk terjungkir balik. Tapi pertolongan itu agak terlambat, karena kepala Kili Singh
sudah terpukul hancur dan tewas jiwanya.
Sambil merangkak bangun, Omateng berkata dengan kegusaran yang dibuat-buat:
"Berulang-ulang manusia itu menghina aku dan mengacau dalam kota Sakya. Sekarang ia
malahan berani masuk kesini dan melawan Budha Hidup. Sewaktu hilap, aku tak bisa
menahan sabar dan sudah menurunkan tangan sebelum mendapat permisi. Untuk
kesalahan itu, aku memohon Budha Hidup sudi mengampuninya."
Hoat-ong sangat menyangsikan keterangan si gemuk, tapi ia mempunyai lain
pertimbangan. Biar bagaimanapun juga Omateng adalah orang sebawahannya Touwsoe
sehingga, jika ia sendiri menjatuhkan hukuman, seperti juga ia tidak memandang mukanya
Touwsoe. Di samping itu, dia adalah saudara misan Chena. Karena adanya pertimbangan
itu, ia lantas saja berkata: "Baiklah. Kejadian malam ini aku akan segera memerintahkan
orang untuk melaporkan kepada Touwsoe. Apa kau benar atau salah, apa kau harus
dihukum atau tidak, biarlah Touwsoe yang memutuskannya."
Omateng girang bukan main. Buru-buru ia berlutut sambil manggutkan kepala berulang-
ulang. "Terima kasih, terima kasih untuk belas kasihan Budha Hidup," katanya. "Tapi
apakah aku bisa bicara dengan Chena?”
"Boleh, kau boleh bicara disini," sahutnya. "Apa aku boleh mendengari pembicaraan
itu?" "Tentu saja boleh," jawabnya terburu-buru. "Hanya urusan kecil saja. Bahwa Budha
Hidup memberi ijin, sudah merupakan suatu budi yang sangat besar. Hm! Chena,
sebagaimana kau tahu, aku telah mempelajari Gwakang (ilmu luar) dari Agama Topi
Merah. Dengan memiliki ilmu itu, tulang-tulangku keras bagaikan besi. Tapi entah kenapa,
belakangan ini kepalaku sering sakit. Bagian yang sakit ialah tiga dim di bawah belakang
kepala. Aku ingat, bahwa dalam keluargamu terdapat kayu Simhio bok (semacam kayu
garu) yang berusia ribuan tahun. Menurut katanya orang, jika kita menggodok kayu itu dan
diminum airnya, sakit kepala akibat latihan gwakang bisa menjadi sembuh. Apa kau
menyimpan kayu itu? Bolehkah aku meminjamnya untuk sementara waktu?"
Chena bingung, ia tak mengerti apa maksudnya si gemuk. Apa itu Simhio bok? Ia sama
sekali tidak memilikinya.
Sementara itu Omateng mengacungkan jempol tangan dan meraba bagian belakang
lehernya, di tempat yang cekung. "Disini, disini yang sakit," katanya.
Tiba-tiba Hoat-ong mengangsurkan tangan dan menekan di bagian itu dengan
jerijinya.
"Disini?" tanyanya.
"Aduh!" berteriak Omateng. "Benar disitu!"
"Baiklah, aku akan menolong," kata Hoat-ong sambil mengurut beberapa kali. Omateng
berteriakteriak kesakitan dan menghaturkan terima kasih berulang-ulang. Sesudah itu,
dengan terbirit-birit dia lari keluar dari taman itu. Hoat-ong tersenyum dan membiarkan dia
kabur.
Sesudah si gemuk berlalu, Hoat-ong berkata dengan suara dingin: "Aku tak mengerti,
kenapa Touwsoe menggunakan orang gila itu sebagai Nyepa. Semua perkataannya dusta
belaka."
Chena kaget.
"Apa dia berdusta?" tanya Ibu Suci.
"Bahwa dia pernah mempelajari Gwakang dari Agama Topi Merah, adalah hal yang
sebenarnya," menerangkan Hoat-ong. "Dan juga benar, bahwa jika seseorang berlatih
salah, ia bisa merasakan sakit di bagian kepala. Tapi barusan, waktu aku mencobanya,
ternyata dia berdusta. Jika benar ia mendapat luka di dalam badan karena latihan salah, ia
tentu akan memuntahkan darah hitam waktu diurut olehku."
"Tapi kenapa dia mengaco belo?" tanya pula Ibu Suci.
"Entah," sahutnya. "Aku juga tak tahu. Chena, apa benar keluargamu memiliki Simhio
bok yang berusia ribuan tahun? Memang benar, air godokan Simhio bok bisa
menyembuhkan penyakit begitu."
"Semenjak kecil, Piauwko-ku memang mempunyai penyakit otak miring yang kadang-
kadang kambuh," kata si nona. "Malam ini, penyakit itu rupanya kumat lagi. Dulu,
keluargaku memang mempunyai kayu mustika itu. Belakangan waktu ayah meninggal
dunia, kayu itu dimasukkan ke dalam peti matinya. Hal ini rupanya tidak diketahui
Piauwko."
Di Tibet memang terdapat kepercayaan, bahwa Simhio bok bisa mencegah rusaknya
jenazah dalam tempo lama dan banyak hartawan menyimpan kayu begitu. Maka itu, Hoat-
ong percaya akan keterangan Chena dan tidak mendesak lagi. Ia tak tahu, bahwa Chena
pun telah berdusta kepadanya.
Malam itu, si nona tak tidur. Ia rebah di pembaringan sambil mengasah otak untuk coba
memecahkan apa maksud Omateng. Chena adalah seorang yang berotak cerdas dan
sesudah memikir beberapa lama, ia dapat meraba-raba maksud si gemuk. "Ya! Dengan
mengacungkan jempol mungkin ia ingin mengatakan bahwa Touwsoe tak boleh dibuat
gegabah, bahwa Touwsoe juga pernah mempelajari ilmu Gwakang Agama Topi Merah,"
katanya di dalam hati. "Mungkin ia ingin memberitahukan, bahwa Touwsoe memakai baju
lapis besi yang tidak dapat ditembuskan senjata tajam dan bahwa bagian kelemahannya
adalah di belakang kepala, tiga dim di bawah otak." Semakin ia memikir, semakin ia
merasa, bahwa tafsirannya adalah tafsiran yang tepat dan diam-diam ia merasa berterima
kasih untuk petunjuk itu.
Tanpa merasa fajar sudah menyingsing.
"Chena," memanggil Ibu Suci. "Lekas berdandan. Tengah hari tepat kita harus pergi ke
kuil untuk menjalankan upacara pembukaan."
Dengan perasaan duka, ia bangun dan lalu membersihkan badan. Ia berdandan
dengan hati seperti diiris-iris, karena mengingat Thian Oe.
"Apakah Thian Oe akan datang?" tanyanya di dalam hati. "Aku ingin sekali bertemu
pula dengannya untuk penghabisan kali. Tapi... ah! Lebih baik dia jangan datang."
Di lain pihak, Thian Oe pun berada dalam kedudukan yang sama. Ia berkeras ingin
menyaksikan upacara pembukaan kuil, tapi Keng Thian sebisa-bisa coba mencegahnya.
"Bagaimana kau sendiri? Kau pergi tidak?" tanya Thian Oe.
"Aku pergi," jawabnya. "Aku pergi sendirian, kau tunggu saja di rumah."
"Kenapa kau boleh, aku tak boleh?" kata Thian Oe, uring-uringan.
"Pergiku ini adalah untuk menemui seorang yang sedang dicari olehku," menerangkan
Keng Thian. "Tapi kau? Guna apa kau cari-cari urusan? Kau sendiri sudah tahu, dia
menjadi Wanita Suci dengan suka rela."
"Justru itu," kata pula Thian Oe. "Justru karena ia sudah menjadi Wanita Suci, aku ingin
melihat wajahnya sekali lagi."
"Hai! Benar-benar kau kepala batu," kata Keng Thian. "Semalam, jika tak keburu lari,
kita tentu sudah celaka. Upacara hari ini bukan upacara kecil. Di samping rombongan
Hoat-ong, hadir juga utusan Dalai dan Panchen Lama, Touwsoe dan lain-lain pembesar
negeri. Jika sampai terjadi onar, bagaimana kita menghadapinya?"
"Mana bisa onar?" Thian Oe terus mendesak. "Aku berdiri di antara orang banyak dan
tujuanku hanyalah untuk melihat wajahnya, satu kali saja."
"Hm!" Keng Thian mengeluarkan suara di hidung. "Siapa berani tanggung? Semalam
jika kau tidak berteriak, Hoat-ong tentu tidak sampai keluar dari istananya."
"Aku bersumpah tak akan mengeluarkan sepatah kata!" kata Thian Oe dengan suara
keras. "Begini saja. Kau totok saja jalanan darah gagu, supaya aku tak bisa bicara."
Keng Thian jadi kewalahan. Ia tersenyum seraya berkata: "Baiklah! Aku merasa tak
tega. Biarlah, satu kali lagi aku menjalankan tugas sebagai pengantar."
Kuil Lhama Topi Putih yang baru itu berdiri di atas sebuah gunung dan dibuat menurut
contoh keraton Potala di Lhasa. Biarpun besarnya dan luasnya tidak bisa dibandingkan
dengan Potala yang bertingkat tiga belas, kuil itu mempunyai tujuh tingkatan dan tingginya
lebih dari dua puluh tombak. Tak usah dikatakan lagi, pembuatannya teguh dan indah luar
biasa, dengan tiang -tiang yang diukir, dengan batu-batu marmer dan tembok tinggi yang
berwarna merah. Dari jarak puluhan li, orang sudah bisa melihat bangunan itu yang
sangat angker.
Dengan mengenakan pakaian penduduk Sakya, Keng Thian dan Thian Oe mendaki
gunung itu bersama orang-orang yang ingin memasang hio dan menonton keramaian.
Kira-kira tengah hari, tibalah mereka di depan kuil tersebut. Dengan melalui jalanan yang
ditutup dengan batu-batu marmer hijau, mereka mulai masuk ke dalam pekarangan.
Sesaat itu, dua belas pintu besar sudah dibuka semuanya dan dari pintu-pintu itu kelihatan
mengepul ke atas asap hio dan kayu garu yang sangat sedap baunya. Wewangian itu,
keindahan seluruh kuil, suara tambur dan lonceng yang dipukul tak henti-hentinya,
menimbulkan suasana yang angker dan suci.
Tetamu yang datang berkunjung berjumlah ribuan, dan malahan mungkin laksaan
orang. Tapi, kecuali suara lonceng dan tambur, keadaan sunyi senyap, karena tiada
seorang pun yang berani bicara atau berbisik.
Dengan mengikuti iring-iringan yang panjang, Keng Thian dan Thian Oe maju setindak
demi setindak, melewati tiang-tiang jalanan yang tertutup genteng. Dinding di sekitar itu
penuh dengan lukisan, satu antaranya adalah lukisan "Phaspa mengunjungi Kublai di
Mongolia."
Lukisan itu indah luar biasa. Di sebelah kiri dilukiskan sepasukan tentara Mongol yang
sedang mengiring joli Phaspa dan di sebelah depan terdapat sejumlah pembesar tinggi
yang menyambut kedatangannya. Tak jauh dari itu, dilukiskan tenda-tenda Mongol dan di
belakang tenda, terlihat sejumlah orang yang sedang menyalakan api sambil menunggu
kedatangan tamu agung itu. Di samping itu, terlihat juga unta-unta, keledai-keledai dan
kerbau-kerbau yang sedang makan rumput. Yang paling menyolok adalah lukisan seorang
wanita muda yang mengenakan pakaian bangsawan Nepal dan yang sedang berdiri di
atas rumput. Paling menyolok, karena wanita itu berparas luar biasa cantik dan sungguh
mengherankan, mukanya sangat mirip dengan muka Pengtjoan Thianlie.
Melihat lukisan tersebut, jantung Keng Thian memukul keras. "Siapa yang melukis
gambar itu?" ia tanya dirinya sendiri. "Tibet adalah tempat yang terpencil. Dari mana
datangnya ahli gambar yang begitu pandai? Kenapa muka wanita itu sangat mirip dengan
muka Peng Go?"
Ia melirik Thian Oe, tapi kawan itu ternyata tidak memperhatikan gambar atau lainnya,
sebab kedua matanya tetap mengawaskan pintu, seperti juga Chena bisa muncul di
sembarang saat. Ia menghela napas, tapi lantas saja ia ingat, bahwa ia pun tiada banyak
bedanya.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan ruangan sembahyang yang indah dan besar.
Semua orang segera berdiri di undakan batu, sambil menunggu dimulainya upacara.
Di antara segala kemewahan yang terlihat dalam ruangan itu, yang paling menarik
perhatian adalah dua pagoda suci yang terbuat dari emas dan yang di atasnya ditata
dengan giok, mutiara dan lain-lain batu permata.
Selagi semua orang menunggu dengan hati berdebar-debar, tiba-tiba terdengar suara
lonceng dan tambur yang sangat gencar, disusul dengan keluarnya seiringan Lhama yang
mengenakan pakaian serba putih. Yang jalan paling muka adalah Hoat-ong, yang di kiri
kanannya diapit oleh empat muridnya yang terutama. Mereka berhenti dan berdiri di
tengah-tengah kedua pagoda suci itu.
Sesudah itu, keluar utusan-utusan Dalai dan Panchen Lama yang masing-masing
diiring oleh empat pengikut. Sebagai tetamu agung, mereka berdiri berendeng dengan
Hoat-ong, di samping pagoda suci. Belakangan, barulah keluar Touwsoe dari Sakya
dengan empat Nyepa, antaranya Omateng yang bibirnya tersungging senyuman licik.
Dilihat parasnya yang agak ketakutan dan sikapnya yang kikuk, dapat diduga, bahwa
kejadian semalam belum dilaporkan kepada Touwsoe.
Mata Thian Oe terus mengawasi ruangan sembahyang dengan tidak berkesip, tapi
rombongan Wanita Suci belum juga keluar. Keng Thian pun memasang mata ke empat
penjuru, tapi Kim Sie Ie yang dicarinya tak kelihatan bayang-bayangannya.
Sesaat kemudian, perlahan-lahan Hoat-ong mengangkat tangan dan berkata dengan
suara nyaring:
"Semenjak agama kami meninggalkan Tibet, sampai sekarang sudah lebih dari seratus
tahun. Hari ini, berkat belas kasihannya Sang Budha kami bisa kembali ke negeri sendiri
dan atas dukungan Budha Hidup Dalai serta Panchen, kami memperoleh Sakya sebagai
pusat untuk menyiarkan agama kami. Kami mengharap, bahwa mulai dari sekarang tidak
akan terjadi sengketa apa-pun juga dan dengan dipayungi Sang Budha, kita sama-sama
bisa mengicipi suatu perdamaian yang abadi."
Harus diketahui, bahwa sedari tahun Tjong Tjeng (kaizar Beng) ke enam belas, Sekte
Topi Putih telah didesak keluar dari Tibet oleh. Sekte Topi Kuning, dan sedari waktu itu
sampai pada pembukaan kuil tersebut, sudah berselang lebih dari seratus tahun. Selama
seabad lebih, sudah terjadi puluhan kali benterokan senjata. Sekarang, walaupun di Sakya
sudah tidak terdapat banyak pengikut Sekte Topi Putih, akan tetapi kejadian itu sangat
menggirangkan hatinya semua orang. Maka itu, pidato Hoat-ong disambut dengan sorak-
sorai yang gemuruh. Keng Thian manggut-manggutkan kepalanya dan di dalam hati, ia
mengakui, bahwa segala tenaga dan uang yang digunakan untuk membuat kuil itu,
mempunyai harga yang setimpal dengan maksudnya, yaitu perdamaian.
Sesudah suara sorak-sorai mereda, lonceng di ruangan sembahyang dibunyikan tiga
kali dan dua baris Lhama lalu jalan memutari ruang itu sambil membaca doa dan
menciprat-cipratkan air suci.
Mendadak, seluruh ruangan seolah-olah kena arus listrik dan para hadirin membuka
mata mereka lebar-lebar. Sererotan wanita muda, semuanya berjumlah tiga puluh enam
orang, yang mengenakan pakaian serba putih dan kudungan muka, muncul dari
pedalaman. Semua orang mengetahui, bahwa upacara pembukaan kuil akan segera
dimulai. Mereka mengawasi sambil menahan napas, tapi orang yang hatinya berdebaran
paling hebat adalah Thian Oe.
Dengan tangan masing-masing mencekal botol kristal yang berisi air suci, Wanita-
wanita Suci itu mulai menari-nari di depan patung Sang Budha, sambil menciprat-
cipratkan air suci di seluruh ruangan. Thian Oe mengawasi dengan mata tidak berkesip,
akan tetapi, ia tak bisa membedakan yang mana Chena. Sesudah menari-nari beberapa
lama. mereka menyanyikan lagu agama dalam bahasa Tibet, yang bunyinya kira-kira
seperti berikut:
Air suci.
Membersihkan kekotoran di dunia.
Tenaga Sang Budha tidak terbatas.
Memayungi umat manusia.
Mendadak, pada bagian terakhir dari empat baris nyanyian itu, terdengar suara yang
bernada agak tinggi dan agak gemetar. Dengan cepat Thian Oe mengawasi ke arah suara
itu. Tiba-tiba ia melihat seorang Wanita Suci yang tubuhnya bergoyang-goyang dan
gerakannya agak berlainan dengan kawan-kawannya yang lain.
Jantung Thian Oe memukul keras. "Itulah Chena! Katanya di dalam hati dan matanya
mengawasi dengan tidak berkesip. "Chena, aku sungguh tak mengerti," ia mengeluh di
dalam hati. "Apa benar kau rela menjadi Wanita Suci seumur hidup?" Ia tentu saja tidak
menduga, bahwa pada waktu itu, kedukaan si nona adalah seratus kali lipat lebih hebat
daripada penderitaannya. Pada saat itu, Chena telah menggunakan seantero tenaganya
untuk mempertahankan diri.
Sesudah memutari ruangan sembahyang sekali lagi, para Wanita Suci itu kembali
memperdengarkan nyanyiannya:
Air suci.
Mencuci hati, debu kotoran.
Langit dan manusia menyaksikan kebenaran.
Tersadar, bahwa dunia penuh kekosongan.
Mendadak, tiga puluh enam Wanita Suci itu berhenti menari dan menyanyi dan lalu
berdiri berjejer di depan patung Budha. Perlahan-lahan salah seorang membuka sebuah
kelambu yang terbuat dari sutera kuning dan terlihatlah delapan belas patung Budha yang
sangat indah dan halus buatannya. Di tengah-tengah adalah patung Sakyamuni
(Djielayhoed) yang tingginya dua tombak empat kaki. Para Wanita Suci segera
mencipratkan air suci kepada patung -patung itu dan kemudian lalu mundur dan berbaris
di kedua samping. Demikian berakhirlah upacara resmi pembukaan kuil baru.
Perlahan-lahan Hoat-ong maju ke depan patung dan dengan sikap hormat
mempersembahkan khata kepada patung Djielayhoed. Sesudah Hoat-ong, utusan Dalai
dan Panchen Lama mendapat giliran. Selama diadakan upacara tersebut, semua hadirin
merangkap kedua tangannya sambil menundukkan kepala dan membaca doa di dalam
hati.
Sehabis utusan Dalai dan Panchen, Touwsoe Sakya lalu maju ke depan. Ia berlutut di
hadapan patung Djielayhoed dan mempersembahkan khata yang lalu disambuti oleh
seorang Lhama dan diselendangkan di lengan patung.
Pada detik itulah, mendadak, mendadak saja terdengar teriakan Touwsoe! Hampir
berbareng dengan berkelebatnya sinar putih, sebilah golok terbang menancap di belakang
kepala Touwsoe!
"Chena!" demikian terdengar bentakan Hoat-ong. Seluruh ruangan sembahyang lantas
kacau balau.
Untuk membalas sakit hati, bertahun-tahun puterinya Raja muda Chinpu melatih diri
dalam ilmu melepaskan golok terbang. Ia sudah memahami ilmu tersebut sampai di dasar-
dasarnya dan timpukannya tepat luar biasa, menancap di atas leher, tiga dim di bawah
otak Tapi, karena kuatir golok itu belum cukup untuk membinasakan musuh besarnya,
hampir berbareng dengan bentakan Hoat-ong, ia melepaskan pula golok kedua dan ketiga
dengan beruntun. Hoat-ong yang berdiri beberapa tombak jauhnya dari patung
Djielayhoed, cepat-cepat melompat sambil mengebas tangan bajunya, sehingga golok
kedua terpental balik dan menancap di pundak Chena, yang badannya lantas saja
bergoyang-goyang, Thian Oe mencelos hatinya, hampir-hampir ia berteriak, tapi untung
mulutnya masih keburu ditekap oleh Tong Keng Thian.
Golok ketiga tidak mengenakan sasarannya dan mengenakan punggung Touwsoe.
"Tring!", golok itu terpental dan menyambar utusan Panchen, yang tidak mengenal ilmu
silat. Dengan terkesiap buru-buru ia menundukkan kepala, tapi golok itu menancap di
dekat tulang punggungnya.
Pada saat itu, dengan sekali melompat, Hoat-ong sudah mencekal tangan Chena. Tapi
ia terkejut bukan main setelah melihat utusan Panchen mendapat luka. Buru-buru ia
melepaskan Chena dan menolong utusan Panchen.
Begitu terlepas dari cekalan, Chena lalu melompat naik ke atas meja sembahyang dan
membuka kudungan mukanya. "Aku adalah anak Raja muda Chinpu!" teriaknya. "Aku
membunuh Touwsoe untuk membalas sakit hati orang tua dan kejadian ini sama sekali
tiada sangkut pautnya dengan orang lain."
Sesaat itu, empat murid Hoat-ong sudah meloncat ke arah Chena dan seorang
antaranya sudah menyentuh pakaian si nona. Hampir berbareng dengan ucapannya,
Chena mencabut golok yang menancap di pundaknya dan lalu menikam leher sendiri!
Darah muncrat dan ia roboh terguling. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang
menyapu ke empat penjuru. Di lain saat, ia meramkan kedua matanya dan dengan bibir
tersungging senyuman, ia berpulang ke alam baka. Ia merasa puas, bahwa pada detik
penghabisan, ia masih bisa melihat wajah Tan Thian Oe, yang juga mengawasinya
dengan mata tidak berkesip.
Dapatlah dibayangkan, betapa kagetnya semua orang melihat kejadian yang tidak
diduga-duga itu. Untuk sejenak, semua orang berdiri terpaku dengan mulut ternganga. Di
lain saat, mereka mengeluarkan teriakan dan bagaikan gelombang, berlomba lari keluar
dengan saling desak. Hanya Thian Oe sendiri yang tetap berdiri tegak, sambil terus
mengawaskan tubuh Chena yang berlumuran darah. Pada waktu si nona roboh, darahnya
bergolak dan tanpa merasa, ia berteriak: "Chena! Chena!" Sambil berteriak, ia melompat
ke depan untuk menghampiri kecintaannya. Keng Thian buru-buru mencekal tangannya
seraya berbisik: "Thian Oe, kuatkan hatimu! Jangan menerbitkan keonaran!" Ia menyeret
pemuda itu, yang, seperti orang linglung, lalu mengikuti.
Di dalam dan di luar ruangan sembahyang, keadaan kacau balau. Di antara teriakan-
teriakan, tiba-tiba terdengar jeritan: "Touwsoe binasa!" Itulah jeritan dari salah seorang
pengikut Touwsoe. Kekalutan menghebat dengan ribuan orang berlari-lari bagaikan kalap.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan Omateng yang sangat nyaring: "Tangkap kawan
pembunuh! Tangkap konco pembunuh!"
Sesaat itu, Keng Thian dan Thian Oe sedang berlari-lari keluar dari pintu Goatgee
boen. Mendadak, seorang Lhama mecegat jalanan mereka. Tanpa menegur lagi, Keng
Thian menyikut dan Lhama itu lantas saja roboh terguling. Gelombang manusia terus
merangsak dari belakang dengan dahsyatnya, sehingga tubuh si Lhama terinjak-injak.
Waktu ia merangkak bangun, Keng Thian dan Thian Oe sudah tak kelihatan bayang-
bayangannya.
Antara begitu banyak orang, hanyalah Hoat-ong yang bisa mempertahankan
ketenangannya. Sesudah kagetnya hilang, mata dan kupingnya memperhatikan segala
apa. Teriakan Thian Oe tentu saja tidak terlolos dari perhatiannya, akan tetapi, sebab
Keng Thian dan Thian Oe mengenakan pakaian penduduk Sakya dan juga karena mereka
berada di antara ribuan orang, untuk sementara Hoat-ong tak bisa mengenali siapa yang
sudah mengeluarkan teriakan itu. Begitu melihat seorang Lhama terpukul roboh, ia lantas
memburu sambil berteriak: "Jangan lari! Semua orang berpencar kedua pinggiran. Kawan
pembunuh adalah dua bocah itu! Semua orang jangan lari!"
Teriakan Hoat-ong yang sangat berpengaruh memberi hasil yang diharapkan dan,
meskipun ketakutan, semua orang lantas saja menghentikan tindakannya.
Keng Thian kaget bukan main. "Hoat-ong sungguh liehay!" katanya di dalam hati.
Selagi ia berusaha untuk mencari jalan guna meloloskan diri, tiba-tiba terdengar suara
tertawa yang aneh. "Semua orang minggir! Aku ingin berjumpa dengan Budha Hidup!"
katanya. Itulah suara Kim Sie Ie!
Dengan hati berdebar-debar, Keng Thian menengok ke arah suara itu. Sesaat itu
semua orang sudah mulai lari lagi dan sambil menyeret Thian Oe, Keng Thian lalu
menggunakan kesempatan yang baik itu.
Dalam sekejap mereka sudah keluar dari pintu kuil dan terus kabur ke belakang gunung
dengan mengambil jalanan kecil. Kira-kira sepasangan hio, mereka tiba di belakang
gunung yang sepi dan sampai disitu, barulah hati Keng Thian menjadi lega. Ia menepuk
pundak Thian Oe seraya berkata: "Tan-heng, sadarlah!"
Thian Oe mengawaskan dengan sorot mata lupa ingat. "Chena! Ah, Chena!" ia
mengeluh dengan suara hampir tak kedengaran. "Sekarang aku tahu, kenapa kau menjadi
Wanita Suci."
"Chena yang sudah mati tak bisa hidup kembali," kata Keng Thian dengan suara
membujuk. "Menurut pendapatku, kejadian ini akan menerbitkan keonaran besar. Paling
benar kita cepat-cepat pulang untuk berdamai."
"Berdamai apa? Aku toh tak bisa mengambil jenazahnya," jawab Thian Oe.
Keng Thian insyaf, bahwa otak pemuda itu masih kacau akibat pukulan yang hebat.
Tanpa bicara lagi, ia menyeret pula tangan Thian Oe dan terus berlari-lari ke arah gedung
Soanwiesoe.
Selagi enak jalan, sekonyong-konyong terdengar suara orang dalam bahasa Tibet:
"Hm! Sesudah menerbitkan keonaran, kau orang mau mabur?" Keng Thian menoleh dan
dari arah belakang pohon muncul dua orang. Yang satu adalah seorang pendeta India
yang tangan kanannya mencekal tongkat bambu warna hijau, sedang tangan kirinya
memegang sebuah mangkok emas. Orang itu bukan lain dari si pendeta berkelana yang
pernah coba merebut guci emas dan yang telah dirobohkan dengan Pengpok Sintan.
Orang yang satunya lagi adalah Teruchi yang semalam mengacau di taman Hoat-ong.
Tanpa menegur lagi, si pendeta lalu membabat dengan tongkatnya dan menghantam
kepala Thian Oe dengan mangkok emas.
Melihat sambaran dahsyat dari mangkok itu, pada detik yang sangat berbahaya, Keng
Thian menyikut, sehingga tubuh Thian Oe terpental dan berbareng dengan itu, ia
memapaki senjata tersebut dengan tinju kiri, dengan menggunakan tenaga Toalek
Kimkong. Di luar dugaan, begitu tersentuh, mangkok itu terputar-putar bagaikan terbang
dan Keng Thian merasa tinjunya "diisap" dengan semacam tenaga yang sangat kuat. Ia
terkesiap, tapi tak jadi bingung. Sambil mengerahkan Iweekang dan dengan pukulan
Ngoteng kaysan yang sangat keras, ia membabat dengan telapakan tangan kanan. Akibat
babatan itu, tongkat si pendeta terpental ke atas, akan tetapi, sebagai ahli silat jempolan,
hampir berbareng ia sudah menyodok jalanan darah Hianki hiat, di dada Keng Thian.
Serangan susulan ini memang sudah diduga Keng Thian. Cepat bagaikan kilat, pukulan
Ngoteng kaysan berubah menjadi Toakinna tjhioe (ilmu menangkap) dan ia menangkap
ujung tongkat. Si pendeta kaget bukan main dan lalu membetot dengan menggunakan
Iweekang, tapi tidak bergeming. Kedua jago itu lantas saja mengadu tenaga dalam dan
saling membetot. Tongkat si pendeta dicekal Keng Thian, sedang tinju kiri Keng Thian
"diisap" mangkok si pendeta.
Sesaat kemudian, dari atas kepala si pendeta mengepul uap putih, suatu tanda bahwa
ia sedang mengerahkan Seantero lweekang-nya. Teruchi, yang sedari tadi menonton
tanpa bergerak, jadi sangat kaget. Ia adalah soetit (keponakan murid) si pendeta dan
mengetahui, bahwa paman gurunya biasanya sungkan dibantu orang. Tapi keadaan
sekarang adalah lain dari keadaan biasa. Sesudah memikir sejenak, tanpa menghiraukan
kemungkinan dimaki, ia membuka Kongso (tali ikatan pinggang yang terbuat dari baja)
yang lalu disabetkan ke muka Keng Thian.
Pada detik itu Keng Thian berada dalam bahaya besar. Karena sedang mengadu
tenaga dengan menggunakan dua tangannya, ia tak bisa berkelit atau menangkis lagi,
sedang Thian Oe terus berdiri terlongo-Iongo, seperti orang yang lupa ingatan. Pada saat
genting itu, dalam bingungnya Keng Thian membentak keras, suaranya menggeledek
seolah-olah halilintar di tengah hari bolong. Teruchi terkesiap dan tangannya agak
bergemetar, sehingga Kongso itu meleset dari sasarannya, lewat tiga dim dari kulit muka
Keng Thian. Akibat bentakan itu, Thian Oe tersadar dan sambil menghunus pedang, ia
segera melompat dan menyampok Kongso yang telah disabetkan untuk kedua kalinya ke
muka Keng Thian.
Begitu senjata musuh terpental, ia mengirim serangan kedua dengan pukulan Taypeng
tiantjie (Burung garuda membuka sayap), sehingga dengan hati mencelos, buru-buru
Teruchi meloncat ke samping. Ia sungkan memberi napas kepada musuh dan lalu
mengirim serangan ketiga dengan ilmu Pengtjoan hoeipo (Sungai es berterbangan), ialah
salah satu pukulan yang paling liehay dari Pengtjoan Kiamhoat. Sebisa-bisa Teruchi coba
menolong diri dengan melompat ke belakang, tapi ia agak terlambat, karena topinya kena
dibabat putus. Melihat liehaynya pemuda itu, Keng Thian jadi sangat girang dan ia sama
sekali tidak menduga, bahwa dengan berdiam beberapa bulan di keraton es, ilmu silat
Thian Oe sudah maju begitu jauh. Karena mengetahui, bahwa jago Kalimpong itu bukan
tandingan Thian Oe, maka dengan hati mantap, Keng Thian segera mengerahkan
Seantero lweekang-nya dan membetot sekeras-kerasnya. Sekali ini, kaki si pendeta
terangkat dari bumi dan tubuhnya terputar.
Melihat lawannya keteter, Keng Thian segera mengerahkan tenaga di tangan kiri untuk
melepaskan "isapan" mangkok. Sesaat itu, tiba-tiba ia mendengar suara Teruchi yang
berkata dalam bahasa Tibet: "Jangan banyak tingkah, kau! Kecintaan sendiri kau masih
tak bisa melindunginya, guna apa kau membantu kawan?" Sambil berkata begitu, ia
mengawasi Thian Oe dengan sorot mata mengejek.
Mendengar perkataan itu yang tajam seperti pisau, Thian Oe menjadi kalap. Ia
melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan sambil menyender di pohon dengan
badan bergoyang-goyang, ia berteriak: "Benar! Benar! Guna apa aku menjadi manusia?
Kecintaan sendiri saja, aku sudah tak mampu melindungi. Chena! Chena! Aku sungguh
merasa malu terhadap kau!"
Melihat siasatnya berhasil, sambil tertawa nyaring, Teruchi melompat dan menyabet
muka Keng Thian dengan senjatanya. Apa mau, sebelum Kongso mengenakan
sasarannya, tubuh si pendeta dan Keng Thian sudah mulai terputar-putar dengan
cepatnya, sehingga, karena kuatir melukakan paman guru sendiri, ia terpaksa menarik
pulang senjatanya. Di lain detik, berbareng dengan teriakan Keng Thian yang sangat
nyaring, mereka berpencaran dan dengan gerakan kilat, Keng Thian sudah menghunus
pedang Yoeliong kiam.
Begitu melihat musuh terpencar dari Soesiok-nya, Teruchi segera menghantam dengan
Kongso.
"Awas!" teriak si pendeta.
Teruchi kaget dan coba menarik pulang senjatanya, tapi sudah tidak keburu lagi. Ujung
Kongso terbabat putus dan dua bola baja yang tercantel disitu, jatuh di tanah.
Ternyata, sesudah saling membetot beberapa saat, Keng Thian mengetahui, bahwa
tenaga "mengisap" dari mangkok itu muncul dari gerakan terputarnya, sehingga semakin
ia membetot
tangannya, "isapan" itu jadi semakin keras. Buru-buru ia menukar siasat dan memutar
tangannya, tapi arah putaran tangan itu adalah sebaliknya dari arah putaran mangkok.
Benar saja, sesudah dua putaran, tangannya terlepas dari "isapan". Di lain pihak, pada
saat Keng Thian memusatkan tenaganya di tangan kiri, si pendeta membetot tongkatnya
dengan sekuat tenaga dan ia pun berhasil melepaskan cekalan lawan. Begitu terlepas,
mereka berpencaran dengan masing-masing melompat ke samping, sedang Keng Thian
sendiri menghunus Yoeliong kiam sembari meloncat.
Melihat keponakan muridnya berada dalam bahaya, si pendeta berkelana segera
menerjang pula dan mengirim pukulan-pukulan berantai dengan tongkat dan mangkoknya.
Karena menghadapi musuh yang terlalu kuat, ia tidak menghiraukan kebiasaannya lagi
dan malahan memerintahkan supaya Teruchi memberi bantuan. Keng Thian sedikitpun tak
menjadi keder dan ia lalu melayani dengan ilmu pedang Toeihong Kiamhoat.
Sebagaimana diketahui, si pendeta adalah pecundang Pengtjoan Thianlie, sehingga
menurut pantas, ia juga bukan tandingan Keng Thian. Akan tetapi, keadaan sekarang
sedikit berlainan dengan keadaan dulu. Pertama, senjata rahasia Pengpok Sintan dari
Koei Peng Go merupakan senjata sangat istimewa yang disegani oleh si pendeta dan
kedua, sekarang si pendeta dibantu oleh keponakan muridnya yang memiliki ilmu Yoga
dan yang selalu menyerang dari samping dan belakang secara gerilya. Maka itulah,
sesudah bertempur seratus jurus lebih, perlahan-lahan Keng Thian jatuh di bawah angin.
Ia melirik Thian Oe dan ternyata, kawan itu masih terus menyender di pohon dengan mata
mendelong, seperti orang kehilangan semangat, seolah-olah tidak mengetahui, bahwa
sang kawan sedang bertempur mati-matian untuknya. Keng Thian jadi bingung, karena
kedudukannya jadi semakin jelek.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan gergetan Keng Thian mengirim dua tikaman
ke arah Teruchi, tapi dua serangan itu telah ditangkis dengan mangkok emas. Berbareng
dengan dua kali suara "trang! trang!" Teruchi mengedut Kongso yang lantas saja menjadi
lurus keras seperti tombak dan yang lalu ditikamkan ke tenggorokan Keng Thian. Dengan
gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong manggutkan kepala), Keng Thian mengegos
tikaman itu yang lewat di atas kepalanya. Tapi Teruchi pun bukan anak kemarin dulu.
Hampir berbareng ia menggentak, sehingga Kongso itu, yang berubah menjadi pecut
lemas, menyabet punggung musuh. Berbareng dengan serangan keponakan muridnya, si
pendeta menekan Yoeliong kiam dengan mangkok emas dan menotok jalan darah Djiekie
hiat, di kempungan Keng Thian. Dua serangan itu, yang menyambar dengan berbareng,
tak bisa ditangkis atau dikelit lagi. Pada detik berbahaya, Keng Thian mengempos
semangat untuk menerima kedua pukulan musuh. Dengan mengenakan baju mustika, ia
merasa pasti akan bisa mempertahankan diri terhadap sabetan pecut yang menyambar ke
punggung. Tapi totokan si pendeta adalah totokan membinasakan yang sangat liehay dari
ilmu tongkat Thianmo Tianghoat dan totokan itu memang untuk memecahkan lweekang
dari ahli-ahli Lweekeeh. Maka itu, Keng Thian sendiri masih belum tahu, apa ia akan
berhasil mempertahankan diri dengan menutup semua jalanan darah.
Pada detik Kongso dan tongkat hampir menyentuh tubuhnya, mendadak saja si
pendeta mengeluarkan teriakan aneh, tongkatnya terpental ke belakang, seakan-akan
didorong dengan semacam tenaga yang sangat besar. Tubuh si pendeta kemudian
terputar beberapa kali, dan sesudah roboh, menggelinding ke bawah tanjakan. Sementara
itu, begitu lekas Kongso menghantam punggung Keng Thian, badan Teruchi pun terpental
setombak lebih karena didorong dengan tenaga dalam pemuda itu. Dia bergulingan
beberapa kali dan kemudian, seperti juga Soesiok-nya, menggelinding ke bawah tanjakan.
Semua kejadian itu, telah terjadi dalam beberapa detik. Keng Thian terlolos dari
bencana, tapi ia tak tahu, apa sebabnya. Robohnya Teruchi memang merupakan akibat
dari serangan tenaga dalamnya. Waktu Kongso menghantam punggungnya, yang tidak
terluka karena dilindungi baju mustika, ia mengerahkan lweekang sambil menggoyang
punggung, sehingga tubuh Teruchi terpental akibat dorongan tenaga dalam itu. Apa yang
mengherankan adalah robohnya si pendeta berkelana itu, Kenapa, sedang tongkat belum
menyentuh badannya, si pendeta mendadak menarik pulang senjatanya, seperti didorong
oleh semacam tenaga yang sangat besar? Siapa yang sudah menolongnya? Keng Thian
sungguh tak mengerti.
Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa yang sangat nyaring, suara tertawa yang
kedengarannya tak asing lagi. Tanpa memikir panjang-panjang, ia melompat ke hutan, ke
arah suara itu.
Sekonyong-konyong dari dalam hutan terbang menyambar seikat bunga yang masih
basah dengan air embun.
Keng Thian menangkap ikatan bunga itu yang di dalamnya terselip selembar kertas
dengan tulisan:
Lekas berlalu dari Sakya!
Ia terkejut. Melihat gubahan dan cara menimpuknya ikatan kembang itu, ia ingat itu
ikatan bunga yang ditimpukkan pada waktu ia mencari Pengtjoan Thianlie di atas gunung
Gobie san. Ketika itu, ia menduga, bahwa orang yang menimpuk adalah Koei Peng Go.
Belakangan, ia menyangsikan dugaan tersebut, karena si nona pasti tak mempunyai
lweekang yang sedemikian tinggi. Tapi sekarang, sebab mengetahui, bahwa Peng Go
belum tiba di Sakya, ia berani menentukan, bahwa orang yang menimpuk bukan
Pengtjoan Thianlie. Tapi siapa?
Sekonyong-konyong di dalam hutan kembali terdengar suara tertawa nyaring, yang
dalam sekejap mata, sudah terdengar jauh sekali. Jantung Keng Thian memukul keras.
Dalam dunia ini, tidak seberapa orang yang mempunyai ilmu entengkan badan begitu
tinggi, yang bisa berlari begitu cepat. Mendadak, dalam otaknya berkelebat satu nama dan
ia lantas saja berteriak: "Ie-ie (bibi)!" Tak bisa salah lagi orang yang menimpuk adalah
Phang Lin, bibinya yang mahir dalam ilmu Tjekyap Hoeihoa (Ilmu menimpuk dengan daun
dan bunga) dan yang suka sekali berguyonan.
Untuk sejenak Keng Thian berdiri terpaku. Ia yakin, bahwa tak guna ia mengubar
bibinya yang liehay itu. "Tapi kenapa Ie-ie juga datang kesini?" tanyanya di dalam hati.
"Kenapa ia menasehatkan supaya aku meninggalkan Sakya?" Itulah pertanyaan yang tak
dapat dijawab olehnya, tapi sesudah memikir beberapa saat, ia menarik kesimpulan,
bahwa sang bibi hanya berguyon-guyon. Tapi ia tak tahu, bahwa nasehat Phang Lin bukan
guyonan.
Ia lalu menghampiri Thian Oe yang sedang duduk di bawah pohon dan menggurat
-gurat tanah dengan sebatang kayu. Ternyata, pemuda itu tengah menulis huruf-huruf
"Chena." Keng Thian menghela napas dan sambil menarik tangan orang, ia berkata:
"Hayolah!"
"Kemana?” tanya Thian Oe. "Kemana kita cari Chena?"
"Dengarlah!" kata Keng Thian dengan suara sungguh-sungguh. "Chena sudah
meninggal dunia dan tentu bakal ada buntutnya. Jika kau tidak mengurus urusan-urusan
yang merupakan akibat dari kebinasaannya, di alam baka ia tentu merasa penasaran."
Mendengar perkataan itu, Thian Oe agak tersadar. "Bagaimana mengurusnya?"
tanyanya. "Paling terutama kau harus menyayang diri sendiri," jawabnya. "Sekarang
marilah kita pulang
untuk berunding terlebih jauh."
Setibanya di gedung Soanwiesoe, mereka menuju langsung ke kamar Thian Oe,
dimana Keng Thian lalu memeriksa nadinya pemuda itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa
mengalirnya darah kacau balau karena kedukaan yang melampaui batas.
"Sekarang coba kau bersila dan mengeluarkan segala pikiran dari otakmu," kata Keng
Thian. Thian Oe menurut, tapi beberapa saat kemudian, ia membuka mata seraya
berkata: "Tak bisa!
Tak dapat aku menolak gangguan pikiran."
Keng Thian memikir sejenak dan lalu berkata: "Bersilalah dengan tenang dan turut
segala petunjukku." Sesudah itu, ia lalu menurunkan ilmu melatih lweekang dari Thiansan
pay.
Sebagai seorang penggemar ilmu silat, perhatian Thian Oe lantas saja ditujukan
kepada pelajaran itu. Dengan sepenuh hati, ia mendengari petunjuk-petunjuk dan lalu
mulai berlatih. Berselang kurang lebih setengah jam, benar saja ia bisa membebaskan diri
dari segala gangguan pikiran dan terus berlatih dengan tenang. Perlahan-lahan Keng
Thian meninggalkan kamar itu untuk mendengar-dengar warta tentang kejadian barusan.
Waktu itu, peristiwa di kuil Lhama sudah diketahui oleh segenap penghuni gedung
Soanwiesoe. Keng Thian memanggil pengurus rumah tangga dan memesan supaya
semua penghuni dilarang keluar sembarangan dan supaya pintu depan dijaga baik-baik.
Sesudah lewat magrib, Tan Teng Kie barulah pulang dengan paras muka kusut.
Si pengurus rumah tangga terkejut, karena belum pernah majikannya kelihatan begitu
berduka. Begitu pulang, Teng Kie segera memerintahkan pengurus rumah tangga
menutup pintu tengah dan memerintahkan juga dua puluh serdadu untuk menjaga
diluar pintu. Sesudah itu, ia mengundang Keng Thian masuk ke kamar tamu untuk
berunding. Begitu lekas mereka berduduk, Teng Kie menanya: " Mana Oe-djie?"
Dengan ringkas Kang Thian menuturkan segala kejadian yang dialaminya. "Baru
sekarang aku tahu, gadis yang dipenujui Oe-djie adalah puterinya Raja muda Chinpu,"
kata Tan Teng Kie. "Semula aku menduga Yoe Peng, itu dewi dari istana es." Ia menghela
napas dan kemudian berkata pula: "Dengan demikian keadaan jadi semakin sulit."
"Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Jika tak salah, Omateng bakal menimbulkan kekacauan besar," jawabnya. "Sesudah
kau dan Oe-djie melarikan diri, dalam kuil terjadi lain peristiwa."
"Kehadiran kami dilihat olehmu?" tanya Keng Thian.
Teng Kie mengangguk. "Meskipun Oe-djie mengenakan pakaian orang Tibet, aku tentu
mengenalinya," jawabnya. "Sebelum kau orang kabur dari pintu Goatgee boen, Hoat-ong
sudah mengubar. Pada saat itu, aku bingung bukan main. Mendadak, muncul seorang
pemuda aneh, badannya jangkung, parasnya cakap, mirip-mirip Oe-djie. Ah! Pemuda itu
benar-benar besar nyalinya, entah dia pernah makan nyali singa atau jantung macan tutul.
Begitu muncul, begitu dia menerjang Budha Hidup!"
Keng Thian lantas saja mengetahui, bahwa "pemuda aneh" itu adalah Kim Sie Ie.
"Habis bagaimana?" tanyanya dengan hati berdebar-debar.
"Seperti seekor garuda, dia melayang turun dari payon rumah," Teng Kie melanjutkan
penuturannya. "Begitu kakinya menginjak bumi, begitu dia mengirim tinju ke arah Hoat-
ong. Dalam jarak yang agak jauh, sang Budha Hidup mengebas tangannya dan sungguh
heran, pemuda itu seperti kena didorong dengan semacam tenaga yang sangat besar,
sehingga dia terpental dan melompat naik lagi ke atas genteng. Sesaat kemudian, ia turun
kembali, Hoat-ong mengebas lagi dan untuk kedua kalinya, ia ngapung ke atas genteng.
Sesudah kejadian itu berulang tiga kali, empat murid Hoat-ong melompat ke atas dan lalu
mengurungnya."-
"Dan bagaimana dengan Hoat-ong sendiri?" tanya Keng Thian.
"Hoat-ong sendiri tidak bergerak," jawabnya. "Empat murid yang sudah berada di
genteng, tidak lantas menyerang. Dengan sikap hati-hati, seperti sedang menghadapi
lawan berat, perlahan-lahan mereka mengurung. Dengan tetap berdiri di tanah, Hoat-ong
mengirim beberapa pukulan ke arah si pemuda yang berada di genteng.
Sungguh aneh, setiap kali Hoat-ong mengirim pukulan, badan pemuda itu bergoyang-
goyang. Sementara itu, empat Lhama sudah mengurung semakin rapat dan mereka akan
segera menyerang. Mendadak, entah kenapa, tubuh Hoat-ong bergoyang-goyang dan
sebelum mengirim pukulan lagi, ia menghela napas panjang dan berkata sambil
mengebas tangannya: "Biarkan dia pergi!" Sambil tertawa nyaring, seperti seekor walet,
pemuda itu melompat ke wuwungan dan dalam sekejap, ia sudah tak kelihatan bayang-
bayangannya lagi. Keadaan jadi semakin kalut dan orang ramai membicarakan kejadian
itu. Ada yang mengatakan bahwa pemuda itu adalah jejadian yang sengaja datang untuk
menjajal Hoat-ong.
Bahwa Hoat-ong tak berhasil menangkapnya, adalah suatu tanda, bahwa
kepandaiannya belum cukup tinggi, demikian katanya orang-orang itu yang sebagian
besar terdiri dari orang-orang Sekte Topi Kuning."
Keng Thian kaget berbareng kagum. Di dalam hati ia mengerti, bahwa pukulan yang di
kirim Hoat-ong dari bawah genteng adalah pukulan Pekpo sinkoen (Pukulan malaikat dari
jarak seratus kaki). "Dengan kepandaian yang dimiliki Kim Sie Ie, paling banyak ia bisa
mempertahankan diri dari serangan Hoat-ong ," pikirnya. "Bagaimana, selagi diserang
Hoat-ong dan dikepung empat Lhama yang berkepandaian tinggi, ia masih bisa
meloloskan diri? Apakah ada orang pandai yang membantunya? Didengar dari penuturan
Tan Teng Kie, Hoat-ong rupanya telah mendapat peringatan dari seorang pandai. Tapi
siapakah orang itu?"
Keng Thian telah menebak jitu, hanya ia tidak menduga, bahwa orang yang sudah
menolong Kim Sie Ie, adalah bibinya sendiri.
Sesudah berdiam sejenak, Tan Teng Kie berkata pula: "Tentang puteri Raja muda
Chinpu..." "Namanya Chena," memotong Keng Thian.
"Ya, Chena," membenarkan Teng Kie sambil mengangguk. "Hal Chena membunuh
Touwsoe dan kemudian membunuh diri sendiri, sudah dilihat oleh kau orang. Sesudah
nona itu roboh, Omateng segera menghampiri dan membuka kudungan mukanya. 'Hei!
Coba kau orang datang kemari!' ia berteriak. 'Puteri Raja muda Chinpu adalah penjahat
perempuan yang dulu pernah mencuri kuda dan membakar gedung Touwsoe!' Orang-
orangnya Touwsoe segera mendekati dan sebagian besar antaranya mengenali Chena.
Mereka manggut-manggutkan kepala dan membenarkan perkataan Nyepa gemuk itu. Di
lain saat, sambil berpaling kepadaku, Omateng berkata: 'Tan Taydjin, dia adalah itu
penjahat perempuan yang dulu pernah dilindungi olehmu dengan mengajukan
permohonan pengampunan kepada Touwsoe.' Dia tertawa, tertawa yang membangunkan
bulu romaku. Baru saja aku ingin menjawab, bahwa tindakanku itu adalah karena
desakannya sendiri, mendadak Hoat-ong dan empat muridnya berjalan masuk ke ruangan
sembahyang. Sementara itu, Omateng dan orang-orangnya Touwsoe sudah menggotong
jenazah Touwsoe dan Chena keluar dari ruangan sembahyang. Dia juga sudah berhasil
membujuk utusan Dalai Lama untuk mengikutinya, dengan membawa utusan Panchen
yang mendapat luka. Sambil berjalan keluar, dia berteriak-teriak, mengatakan ingin
membalas sakit hati Touwsoe dan mengajak pulang semua orang-orangnya Touwsoe.
Hoat-ong kelihatan bingung, tapi tidak merintangi perbuatan Nyepa gemuk itu.
Demikianlah, dengan sikap sombong, dengan diikuti oleh utusan Dalai dan Panchen
Lama, Omateng berlalu dari kuil tersebut. Coba kau pikir, siasat apa yang akan dijalankan
olehnya? Satu hal yang sudah boleh dipastikan, Omateng sedang bersiap untuk
menerbitkan badai di Tibet."
Keng Thian kaget tak kepalang. "Asal-usul Omateng tak diketahui olehku," katanya.
"Tapi aku sependapat, bahwa dia akan menimbulkan keonaran besar. Tan Taydjin,
menurut pendapatku, jalan yang paling baik adalah segera melaporkan kepada Hok Kong
An."
Tan Teng Kie menyetujui usul Keng Thian dan ia segera menulis surat. Tapi belum
selesai ia menulis surat itu, mendadak di luar gedung terdengar suara ribut-ribut.
Di lain saat, pengurus rumah tangga masuk dengan tersipu-sipu. "Dengan membawa
sepasukan tentara, Omateng telah mengurung gedung ini," katanya dengan suara gugup.
Tan Teng Kie tertawa getir. "Sakit hati apakah yang didendam olehnya, sehingga dia
datang begitu cepat?' katanya. "Apa dia takut aku melarikan diri?"
Sehabis berkata begitu, dengan mengajak Keng Thian, ia lalu naik ke atas ranggon.
Mereka melihat Omateng dan isteri Touwsoe sedang mencaci di bawah tembok. Dalam
rombongan itu terdapat juga para Nyepa, si pendeta berkelana dan Teruchi. Sambil
mengebas dengan tangannya. Omateng berteriak: "Mampuskan semua pembesar Han!
Mereka semua bukan manusia baik-baik. Mereka datang ke Tibet untuk mengacau."
Dari atas ranggon, Tan Teng Kie membungkuk kepada nyonya Touwsoe seraya berkata
dengan suara nyaring: "Kebinasaan Touwsoe memang merupakan kejadian yang sangat
menyedihkan dan kami turut berduka cita. Tapi, ada hubungan apakah antara terbunuhnya
Touwsoe dan aku pribadi? Bolehkah aku mendapat tahu, untuk urusan apa Hoedjin
datang kemari dengan sepasukan tentara? Kenapa kalian menumplek kegusaran di atas
pundak orang Han?"
Nyonya Touwsoe menangis keras dan sambil menuding Tan Teng Kie, ia berteriak: "Tan
Teng Kie! Jangan kau berpura-pura! Jika penjahat perempuan itu bukan suruhanmu,
kenapa dulu kau sudah coba melindunginya? Kenapa anakmu sudah menolongnya
dengan mempertaruhkan jiwanya sendiri?"
"Tan Teng Kie, kau dengarlah!" Omateng menyambungi dengan suara menggeledek'
"Urusan kami di Tibet bisa diurus oleh kami sendiri. Kami tak memerlukan bantuan orang
Han. Dengan menggunakan tangannya seorang penjahat perempuan, kau sudah
membunuh Touwsoe dan kau sudah memerintahkan supaya penjahat itu mengaku
sebagai puterinya Raja muda Chinpu. Terang-terangan kau ingin menimbulkan kekacauan
di Tibet, supaya kau bisa menarik segala keuntungan dan bisa berkuasa terus di wilayah
kami. Sebelum manusia-manusia seperti kau diusir semuanya, di Tibet tak akan bisa
tercapai perdamaian kekal."
Bukan main gusarnya Tan Teng Kie. Sekarang sudah nyata, bahwa Omateng memang
berniat menimbulkan kekacauan dan sengaja menuduh dirinya secara membabi buta.
Baru saja ia ingin balas mencaci, si gemuk sudah mementang busur dan melepaskan
sebatang anak panah.
Dengan cepat Keng Thian melompat dan berdiri di depan Tan Teng Kie, akan
kemudian, dengan dua jeriji, ia menjepit anak panah yang menyambar itu. "Manusia tak
punya malu!" bentaknya.
"Sambutlah anak panah ini!" Ia mementil dengan dua jerijinya dan anak panah itu
menyambar balik dengan tenaga lebih hebat daripada waktu dilepaskan dengan
menggunakan busur. Cepat-cepat Omateng mengangkat busur dan menangkisnya. "Tak!",
busur itu patah dua!
Omateng kaget tak kepalang, buru-buru ia menggulingkan badan dan menyelesap
masuk di antara orang banyak. "Lepaskan anak panah!" teriaknya.
Dalam sekejap, ribuan anak panah menyambar bagaikan hujan gerimis ke arah
ranggon. Sambil memutar Yoeliong kiam, Keng Thian melindungi Tan Teng Kie turun dari
ranggon itu dan begitu turun, mereka lalu mengatur pembelaan.
Gedung Soanwiesoe hanya dijaga oleh seratus lebih serdadu, sedang jumlah musuh
kurang lebih seribu orang. Akan tetapi, sebab semua tentara memiliki ilmu silat yang
lumayan berkat pelajaran yang diberikan oleh Thian Oe dan juga karena gedung
Soanwiesoe kekar dan kuat buatannya, maka tentara Omateng tak gampang-gampang
masuk. Mereka menggunakan "tangga awan" untuk memanjat tembok, tapi tangga-tangga
itu semua kena dirobohkan. Sehari dan semalam. Mereka menyerang terus menerus, tapi
gedung Soanwiesoe masih tidak bergeming. Di pihak Tan Teng Kie, semua orang sudah
lelah bukan main dan Keng Thian, yang belum tidur sekejap, mengetahui, bahwa mereka
tak bisa mempertahankan diri terus menerus secara begitu.
Pada hari ketiga, waktu fajar mulai menyingsing, Keng Thian melihat, bahwa tentara
Omateng telah ditarik mundur kurang lebih separuh. "Eh-eh!" katanya di dalam hati. "Aku
justru kualir mereka menambah kekuatan. Kenapa mereka mundur? Apa Omateng
menukar siasat?" Tentara Tibet itu hanya mengurung, sama sekali tidak memperlihatkan
tanda untuk menyerang, sedangkan Omateng dan Teruchi tidak berada dalam tentara.
Selagi Keng Thian mengawasi dengan perasaan sangsi, dari sebelah timur sekonyong-
konyong terlihat satu bayangan manusia yang mendatangi dengan cepat sekali dan
melewati bagian yang agak kosong dari tentara musuh.
Karena cuaca masih belum terang, tentara Tibet itu tak bisa segera mengenali siapa
yang datang, entah musuh atau kawan, sehingga mereka tidak segera merintangi. Dalam
sekejap, bayangan manusia itu sudah melewati dua lapis tentara dan sekarang baru orang
melihat tegas, bahwa ia itu adalah seorang lelaki yang berusia empat puluh tahun lebih
dan mengenakan pakaian sasterawan.
Beberapa tentara yang menjaga gedung, lantas saja berteriak: "Aha! Siauw Loosoe!"
Waktu Siauw Tjeng Hong masih menjadi guru dalam gedung Soanwiesoe, ia kelihatan tua
dan loyo. Bahwa sekarang ia muncul dengan gerakan yang begitu gesit, sudah
menimbulkan perasaan heran dalam hati segenap tentara yang mengenalnya.
Sesaat itu, tentara Tibet yang juga sudah mengetahui, bahwa Siauw Tjeng Hong bukan
seorang kawan, lantas saja merintangi dan coba mengepungnya. Dengan cepat ia
mengebut dengan hudtim dan setiap kali mengebut, satu serdadu roboh terguling. Tentara
Tibet jadi ketakutan, mereka menduga musuh mempunyai ilmu siluman dan tidak berani
mengejar terus. Sesaat itu, orang satu-satunya yang mengubar adalah si pendeta
berkelana yang, dengan beberapa kali lompatan saja, sudah menyandak Siauw Tjeng
Hong.
Keng Thian kaget, karena ia yakin, Siauw Tjeng Hong bukan tandingan si pendeta.
Sambil mengerahkan lweekang, ia menimpuk dengan dua batang Thiansan Sinbong. Si
pendeta menangkis dengan mangkoknya dan dua kali suara "trang!", senjata rahasia itu
menancap di mangkok. Si pendeta terkesiap, ia tak menduga, bahwa di dalam dunia
terdapat senjata rahasia yang begitu liehay dan bisa menembus emas.
Karena musuhnya tertahan Sinbong, Siauw Tjeng Hong bisa lari terus dan melompat
naik ke atas tembok.
"Siauw Loosoe, lagi kapan kau datang?" tanya Keng Thian sesudah Tjeng Hong hilang
sengal-sengalnya.
"Sesudah selesai mengubur jenazah Moh Tayhiap, aku segera menyusul kemari,"
jawabnya. "Kau tiba lebih dahulu kira-kira satu setengah hari."
"Pengtjoan Thianlie?" tanya pula Keng Thian.
"Ia berangkat belakangan," sahutnya. "Sesudah aku berlalu, ia masih harus berdiam di
Gobie san dua hari lagi, untuk mengurus urusan-urusan partai Boetong pay. Ia akan
berangkat berbareng dengan Lu Liehiap."
Keng Thian berdiam sejenak. "Ilmu entengkan badan Peng Go banyak lebih tinggi
daripada Siauw Tjeng Hong, sehingga, biarpun berangkat dua hari belakangan,
sebenarnya ia sudah mesti tiba disini," katanya di dalam hati. "Kenapa sampai sekarang ia
belum kelihatan mata hidungnya? Apa terjadi kejadian luar biasa?"
Memikir begitu, ia segera menanya pula: "Lagi kapan kau tiba di Sakya?"
"Kemarin," sahutnya. "Aku tak bisa lantas masuk kesini, karena penjagaan di luar
sangat kuat. Baru hari ini, aku mendapat kesempatan. Mana Thian Oe?'
"Jika mau dituturkan, ceritanya panjang sekali," jawab Keng Thian. "Dia sekarang
sedang beristirahat dalam kamarnya. Sekarang lebih dulu aku minta kau tuturkan keadaan
di luar."
"Kalut bukan main," jawabnya. "Menurut pendengaranku, Omateng telah "membakar'
utusan Dalai Lama dengan mengatakan, bahwa Hoat-ong Sekte Topi Putih telah
menghina Sekte Topi Kuning, karena ia memerintahkan Wanita Suci untuk melukakan
utusan Panchen Lama. Katanya, mereka ingin memohon supaya Dalai dan Panchen
Lama mengirim tentara untuk mengusir Sekte Topi Putih, Aku kuatir kejadian ini akan
berbuntut dengan perang agama."
Keng Thian terperanjat. Semula ia menduga Omateng hanya ingin mengusir orang Han
dari wilayah Tibet, tapi sesudah mendengar penuturan itu, si Nyepa gemuk ternyata sudah
menyulut api di beberapa tempat untuk membakar seluruh Tibet. Apa maksudnya?
"Kuil Lhama juga sudah diawasi oleh tentara Tibet, tapi mereka belum berani
mengacau, karena rupanya masih merasa segan terhadap Hoat-ong," kata pula Siauw
Tjeng Hong. "Menurut pendengaranku Omateng ingin minta bala bantuan dari Kalimpong
dan Nepal untuk mempersatukan Tibet."
"Bagaimana baiknya?" kata Keng Thian dengan suara bingung. "Jalan satu-satunya
adalah memberi laporan kepada Hok Kong An, supaya segera di kirim bantuan tentara."
Tapi, siapa yang harus membawa surat itu? Selagi mereka bersangsi, pasukan Tibet
mendadak berpencaran dan minggir ke kiri kanan dan di jalanan yang terbuka itu muncul
Omateng yang mengiring dua orang Lhama Sekte Topi Putih, yang menunggang seekor
gajah putih.
Keng Thian lantas saja mengenali, bahwa mereka adalah murid-murid utama dari Hoat-
ong yang pernah dikirim untuk merebut guci emas. "Sungguh heran," katanya di dalam
hati. "Menurut keterangan, Omateng mengambil sikap bermusuh terhadap Hoat-ong. Tapi
kenapa Hoat-ong mengirim dua muridnya datang kesini!"
Sekonyong-konyong pasukan Touwsoe juga berpencaran dan membuka satu jalanan
lebar. Di lain saat, seorang gadis Tsang yang mengenakan pakaian warna hijau dan
menunggang seekor kuda, mendatangi dengan cepat sekali. Kedatangan wanita itu
disambut dengan membungkuk oleh semua perwira.
"Itulah puterinya Touwsoe!" kata Siauw Tjeng Hong.
Sementara itu, sambil mengaburkan tunggangannya, nona itu berteriak: "Omateng!
Omateng!"
Si gemuk menoleh seraya berkata: "Sanpiie Kangma Kusiu (Nona Sanpiie), perlu apa
kau datang kemari? Pulang! Lekas pulang!"
Si nona mendelik dn membentak: "Omateng! Dengan siapa kau bicara? Bukan kau, tapi
akulah yang memerintahkan kau lekas pulang!"
Omateng tertawa dingin. "Tindakanku ini adalah atas perintah Hoat-ong dan sudah
disetujui oleh ibumu," katanya. "Ayahmu binasa dibunuh penjahat perempuan dan ia mati
dengan mata melek. Aku adalah seorang yang ingin membekuk musuh ayahmu!"
Sanpiie kelihatan jengkel sekali, tapi ia tak dapat menjawab perkataan Nyepa itu.
Sementara itu, Omateng dan dua murid Hoat-ong sudah tiba di depan pintu dan berteriak-
teriak minta bicara dengan Tan Teng Kie. Kedua Lhama itu mengacungkan Kioehoan
Sekthung (tongkat timah) yang pada ujungnya tergantung satu Patkwa tertata mutiara,
yaitu tanda kekuasaan Hoat-ong.
"Kami, utusan Budha Hidup, minta bertemu dengan Taytjeng Ponpo (pembesar
kerajaan Tjeng)!" berteriak satu antaranya.
"Tan Taydjin bagaimana?" tanya Siauw Tjeng Hong, "Buka pintu atau jangan?"
Tan Teng Kie bersangsi, tapi akhirnya ia menyahut: "Buka!"
Dengan segala kehormatan Tan Teng Kie menyambut empat tetamunya (Omateng,
kedua Lhama dan Sanpiie) dan mengundang mereka ke kamar tamu. Keng Thian
mengikut sebagai pengawal pribadi Soanwiesoe dan duduk di pinggiran. Sesudah
mempersembahkan khata dan mengajak tetamunya minum teh, Tan Teng Kie segera
menanya maksud kedatangan mereka.
"Karena merasa tak tega jika sampai terjadi bentrokan senjata, maka Budha Hidup
bersedia untuk mengadakan perdamaian," kata salah seorang murid Hoat-ong. "Orang-
orang sebawahan Touwsoe semua mengatakan, bahwa penjahat perempuan itu adalah
kawan puteramu, yang sudah turut campur tangan dalam pembunuhan itu. Maka itu, kami
meminta supaya Ponpo Taydjin suka menyerahkan puteramu kepada Hoat-ong untuk
diadili."
Hati Tan Teng Kie mencelos. Ia tak menduga, bahwa Omateng sudah bisa
mempengaruhi Budha Hidup sampai begitu rupa. Tentu saja ia tak sudi meluluskan
permintaan itu. Tapi, baru saja ia mau membuka mulut, Sanpiie sudah mendahului:
"Ayahku telah dibunuh oleh puteri Raja muda Chinpu dan sekarang si pembunuh sudah
membunuh dirinya sendiri. Maka itu, menurut pendapatku, tidak pantas kita menyeret-
nyeret Thian Oe. Jika mau dikatakan Thian Oe turut berdosa, karena ia pernah menolong
pembunuh itu, maka cukuplah kiranya jika ia diperintah menjaga peti mati ayahku selama
tujuh hari."
Si nona yang mencintai Thian Oe, mengetahui, bahwa jika pemuda itu jatuh ke dalam
tangan Omateng, hampir boleh dipastikan ia akan celaka. Maka itu, dengan mendusta
pada ibunya, cepat-cepat ia menyusul.
Teng Kie girang bukan main. "Perkataan Sanpiie Kangma Kusiu benar sekali," katanya.
"Aku menyetujui pemberesan itu. Begitu lekas kau mundurkan tentara, aku akan segera
memerintahkan Oe-djie pergi ke gedung Touwsoe."
Omateng tertawa dingin. "Urusan di Sakya diurus olehku dan ibumu," katanya. "Tak
perlu kau campur-campur. Aku sekarang ingin menandaskan sekali lagi: Aku datang
kemari atas perintah Hoat-ong dan ibumu. Apa kau belum mengerti?"
Jika Touwsoe masih hidup, Omateng tentu tak berani berlaku begitu kurang ajar. Tapi
sekarang, sesudah kekuasaan jatuh ke dalam tangannya, ia tak memandang sebelah
mata lagi puterinya Touwsoe. Sementara itu, si gemuk selalu menggunakan nama Hoat-
ong dan ibunya serta saban-saban mengatakan, bahwa segala tindakannya adalah untuk
membalas sakit hatinya ayahnya, Sanpiie pun tak bisa bertengkar lagi.
Omateng berpaling lagi kepada Teng Kie sambil memperlihatkan tertawa licik, ia
berkata pula: "Ponpo Taydjin, aku mengharap, bahwa dengan mengingat kepentingan
yang lebih besar, kau suka segera menyerahkan puteramu."
Teng Kie bingung bukan main dan berkata dengan suara gugup: "Ini... ini..."
"Orang Han sering mengatakan bahwa siapa yang berbuat, dialah yang harus
menanggung segala akibatnya," si gemuk memutuskan omongan tuan rumah. "Dulu di
gedung Touwsoe, puteramu sudah berani membelah buah dengan golok terbang. Apa
sekarang ia tak mempunyai nyali untuk mengikut kami?"
Sekonyong-konyong, dari dalam terdengar tertawa nyaring dan seorang pemuda
muncul dengan tindakan perlahan. "Oe-djie!..." Teng Kie mengeluarkan seman tertahan. Ia
mau bicara lagi, tapi mulutnya seperti terkancing, karena melihat hal yang sangat aneh.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Omateng!" katanya. "Benar katamu: orang yang
berani berbuat harus berani menanggung akibatnya. Aku justru ingin menemui Hoat-ong
untuk bicara dengannya. Hayolah! Mari kita berangkat sekarang."
Tan Teng Kie menatap wajah pemuda tersebut dengan mata terbelalak. Dia
mengenakan pakaian Thian Oe dan romannya memang mirip dengan puteranya itu, tapi
sudah pasti, dia bukan Thian Oe.
Keng Thian pun kelihatan kaget, tapi di lain saat, ia memberi isyarat kepada Teng Kie
dengan kedipan mata. "Saudara Thian Oe," katanya. "Kau belum sembuh, bagaimana kau
bisa pergi?"
Si pemuda tertawa dingin seraya berkata: "Tak usah kau memperdulikan aku. Andaikata
aku tak sakit, Nyepa Omateng tentu tak sudi membiarkan aku hidup tenang. Eh, Nyepa!
Kenapa kau belum mau berangkat?"
Tan Teng Kie yakin, bahwa pemuda itu yang ingin menolong puteranya, mengenal Keng
Thian, tapi ia sendiri belum pernah melihatnya dan Thian Oe belum pernah
memberitahukan tentang sahabat itu.
Jika Tan Teng Kie heran, Keng Thian sebenarnya lebih heran lagi, sebab pemuda itu
bukan lain daripada Kim Sie Ie. Kenapa dia mendadak muncul dalam peranan sebagai
Thian Oe? la ingat, bahwa menurut Lu Soe Nio, si pengemis kusta hanya bisa hidup tiga
puluh enam hari lagi. Ia menghitung-hitung dan ternyata, sedari Liehiap mengatakan
begitu sampai sekarang, sudah berselang tiga puluh tiga hari, atau dengan lain perkataan,
Kim Sie Ie hanya bisa hidup tiga hari lagi. Tapi kenapa mukanya masih tetap seperti biasa,
sedikitpun tak memperlihatkan tanda-tanda jelek? Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa
berkat bantuan lweekang dari bibinya, umur Kim Sie Ie diperpanjang lagi tiga puluh enam
hari.
Sanpiie juga tak kurang kagetnya. Ia pun tahu, pemuda itu bukan Tan Thian Oe.
Sementara itu, kedua Lhama lalu bangun berdiri dan berkata sambil merangkap kedua
tangannya: "Terimakasih atas bantuan Ponpo Taydjin." Sehabis berkata begitu, ia segera
bergerak untuk berlalu dengan membawa Kim Sie Ie.
Harus diketahui, bahwa Hoat-ong dan empat muridnya sebenarnya merasa bersimpati
terhadap Tan Teng Kie dan mendongkol terhadap Omateng. Akan tetapi, karena Nyepa
gemuk itu menggunakan utusan Dalai dan Penchen Lama untuk menekannya dan juga
karena mengingat kepentingan Agama Topi Putih, maka dengan terpaksa, ia menuruti
segala permintaan Omateng. Pada hakekatnya, ia sama sekali tak berniat menyusahkan
Tan Teng Kie dan keluarganya.
Di lain pihak, sesudah menatap wajah Kim Sie Ie beberapa saat, Omateng maju
setindak sambil membentak: "Siapa kau?"
Kim Sie Ie mendelik. "Siapa kau?" ia balas membentak.
"Aku adalah Nyepa besar dari Sakya, namaku Omateng," jawabnya. "Siapa tidak
mengenal aku?"
"Aku adalah Tan Thian Oe, menantu Touwsoe Sakya," Kim Sie Ie menimpali. "Siapa
tidak mengenal aku? Sesudah Touwsoe meninggal dunia, aku sudah menjadi separuh
majikanmu. Jangan kau berlaku kurang ajar di hadapanku."
"Bocah! Apa kau mau cari mampus?" mencaci Omateng dengan gusar sekali. "Jangan
kau coba-coba memalsukan nama orang lain?"
"Memalsukan nama orang lain?" menegas Kim Sie Ie. "Dalam dunia ini, mana ada
manusia yang mau memalsukan diri sebagai suami orang lain."
Kedua Lhama itu melirik Sanpiie yang paras mukanya berubah merah. "Thian Oe," kata
si nona dengan suara bergemetar. "Omateng mengandung maksud kurang baik. Kau tak
boleh pergi."
Dengan berkata begitu, ia mengakui Kim Sie Ie sebagai Tan Thian Oe. Sebenarnya, ia
juga mengetahui, bahwa pemuda itu bukan kecintaannya, tapi karena tak ingin Thian Oe
mengantarkan jiwa, maka, dengan menahan malu, ia sudah berkata begitu.
Mendengar perkataan Sanpiie, kedua Lhama itu tidak bersangsi lagi. Mereka
menganggap, tak mungkin seorang gadis mengakui orang lain sebagai tunangannya dan
di samping itu, juga tak mungkin seorang manusia sudi mengantarkan jiwa untuk orang
lain. Mengingat begitu, satu antaranya lantas saja berkata; "Aku rasa dia adalah Thian Oe
tulen, Nyepa tak usah bersangsi lagi."
Omateng tertawa dingin. "Aku mengenal Tan Thian Oe," katanya. "Tan Thian Oe
mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi." Sambil berkata begitu, ia mengangsurkan
tangan untuk mencengkeram.
"Terima kasih," kata Kim Sie Ie seraya menggoyang pundaknya dan... si gemuk jatuh
terjengkang. Ia merasa badannya sakit dan untuk sementara tak bisa bangun berdiri.
"Ilmu silatnya memang cukup tinggi," kata Keng Thian, tertawa. "Apa sekarang Nyepa
percaya?"
Dalam tindakannya yang barusan, Omateng ternyata sudah salah menduga. Ia
menaksir, bahwa pemuda itu adalah orang yang dibeli oleh Tan Teng Kie. Maka itu, dalam
anggapannya, seorang tenaga belian tentu tak mempunyai kepandaian suatu apa. Tapi
kali ini ia membentur tembok dan bertemu dengan si pengemis kusta yang berkepandaian
lebih tinggi daripada Thian Oe. Masih untung, Kim Sie Ie tidak menggunakan seluruh
tenaganya, sehingga si gemuk tak sampai patah tulang.
"Siapa berani kata, aku memalsukan nama?" membentak Kim Sie Ie sambil mendelik.
Omateng tak berani berkata apa-apa lagi.
"Nyepa tak usah bersangsi lagi," kata sang Lhama sambil tersenyum. "Budha Hidup
tengah menunggu. Marilah kita berangkat sekarang."
Keng Thian buru-buru bangun dan sesudah mendekati Kim Sie Ie, ia berkata: "Saudara
Thian Oe, dalam pergimu ini, aku mengharap kau bisa menjaga diri. Inilah yowan-mu (pil).
Bawalah."
Sembari berkata begitu, ia mengangsurkan satu botol perak kecil yang berisi tiga biji
Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio, setiap pil itu bisa memperpanjang umur Kim
Sie Ie untuk tiga puluh enam hari. Sesaat itu, karena merasa kagum akan pengorbanan si
pengemis kusta, Keng Thian rela menyerahkan semua pil bekalannya.
Sebagaimana diketahui, Pekleng tan dibuat dari Soatlian (Teratai salju) yang terdapat di
gunung Thiansan. Soatlian adalah bahan obat yang tiada bandingannya dalam dunia dan
yang bisa memunahkan racun serta menyembuhkan luka. Dulu, dalam pertempuran
antara Tjoei In Tjoe dan Siauw Tjeng Hong, Tjoei In Tjoe telah mendapat luka berat
sehingga separuh badannya tidak bisa bergerak. Hanya dengan sekuntum Soatlian saja,
luka itu sudah menjadi sembuh.
Maka itulah, melihat Keng Thian menyerahkan botol obat kepada Kim Sie Ie, Siauw
Tjeng Hong jadi kagum bukan main.
Tapi di luar dugaan, pemuda itu mengebas tangan bajunya seraya tertawa terbahak-
bahak. "Tong Keng Thian!" katanya. "Aku tak sudi menerima budimu."
Karena dikebas secara tak terduga, botol itu terbang dan Keng Thian buru-buru
menangkapnya kembali. "Bukan kau, tapi akulah yang menerima budi," katanya. Selagi ia
mau melanjutkan omongannya, Kim Sie Ie sudah memotong: "Hm! Kau hanya ingin
memperlihatkan ksatriaanmu kepada Pengtjoan Thianlie. Tapi aku tak mau kau
mewujutkan niatan itu. Mati atau hidup adalah takdir Tuhan. Perlu apa aku menerima
pertolonganmu?" Kata-kata itu dikeluarkan dengan suara angkuh dan sebelum Keng
Thian bisa menjawab, ia sudah bertindak keluar.
Keng Thian mengantar mereka sampai di depan pintu, tapi Kim Sie Ie terus berjalan
tanpa menoleh.
"Orang itu sungguh-sungguh aneh," kata Keng Thian sesudah kembali di kamar tamu.
"Siapa dia?" tanya Teng Kie.
"Orang itu adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay,"
jawabnya.
"Biar bagaimanapun juga, perbuatannya di kali ini adalah perbuatan seorang ksatria,"
kata Siauw Tjeng Hong. "Ia sama sekali tidak mengenal Thian Oe dan aku sungguh tidak
mengerti, kenapa ia rela berbuat begitu." Mereka coba menebak-nebak, tapi tak dapat
memecahkan teka-teki itu.
Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan Kim Sie Ie itu bukan ditujukan
untuk Thian Oe, tapi untuk Keng Thian. Ia adalah seorang aneh yang gerak-geriknya aneh
pula. la mengetahui, bahwa jiwanya hanya dapat ditolong dengan Iweekang Thiansan pay.
Tapi karena menganggap Keng Thian sebagai lawannya, keangkuhannya tidak
mempermisikan untuk ia menerima belas kasihan. Ia jadi nekat dan tidak menghiraukan
lagi soal mati atau hidup. Diam-diam ia mengambil keputusan, bahwa sebelum mati, ia
akan membuang budi kepada Tong Keng Thian, supaya lawan itu berhutang budi untuk
selama-lamanya. Ia mengetahui, bahwa Keng Thian adalah sahabat Thian Oe dan
pemuda itu sedang kebingungan karena tidak mendapat jalan untuk menolongnya.
Mendadak ia mendapat serupa ingatan. "Dengan menolong sahabatnya, aku mendapat
jalan untuk membuang budi kepadanya," pikirnya. Tapi jalan pikiran itu tentu saja tak dapat
ditebak oleh Keng Thian, yang merasa sangat berduka dan menyesal akan keangkuhan
orang aneh itu.
Kira-kira seminuman teh, serdadu yang menjaga di luar memberi laporan, bahwa
sebagian besar tentara Touwsoe sudah ditarik pulang dan si pendeta berkelana pun sudah
berlalu. Tapi di sekitar gedung Soanwiesoe masih ditaruh sejumlah tentara untuk
mengamatamati.
Teng Kie dan yang lain-lain merasa heran dan tidak dapat meraba-raba apa maksud
Omateng.
Sesudah berpikir sejenak, Keng Thian lalu minta Siauw Tjeng Hong pergi keluar untuk
menyelidiki.
Sesudah lewat magrib, barulah Siauw Tjeng Hong kembali. "Dari keterangan yang
dikumpul olehku, Omateng menarik tentaranya untuk menghadapi lain musuh," katanya.
"Apa kalian pernah mendengar nama Lochu?"
"Dia adalah saudara lelaki dari isteri Raja muda Chinpu," jawab Teng Kie. "Aku dengar,
dia adalah orang gagah nomor satu di bawah perintah Raja muda Chinpu."
"Begitu mendapat warta, bahwa keponakan perempuannya meninggal dunia dan
jenazahnya dirampas Omateng, Lochu segera mengerahkan sepasukan tentara untuk
membalas sakit hati Tjiehoe dan Gweesenglie-nya (Tjiehoe berarti suami kakak
perempuan, sedang Gweesenglie berarti keponakan perempuan)," Siauw Tjeng Hong
melanjutkan keterangannya. "Pada waktu tentara Omateng mengurung gedung ini,
pasukan Lochu sudah mengepung bentengan Touwsoe. Maka itu, mau tak mau, Omateng
terpaksa menarik mundur tentaranya. Nyepa itu beranggapan, bahwa Oe-djie adalah
orang yang paling tinggi ilmu silatnya dalam gedung Soanwiesoe. Jika Oe-djie
disingkirkan, maka disini tak ada orang pandai lagi. Memikir begitu, ia lalu menggunakan
macam-macam akal licik untuk mendesak Hoat-ong, supaya Budha Hidup itu menangkap
Oe-djie. Keadaan di seluruh kota ini bukan main kalutnya. Omateng sudah memerintahkan
orang pergi ke Kalimpong dan Nepal untuk minta bantuan tentara, katanya guna mengusir
orang Han dan mempersatukan Tibet di bawah kekuasaan orang Tibet sendiri. Warta itu
sudah tersiar luas dan semua orang Han menutup pintu rapat-rapat, tanpa berani keluar
rumah. Kekacauan sudah terjadi dan jika tentara asing sampai masuk disini, dapatlah kita
membayangkan hebatnya kekalutan yang bakal terjadi. Menurut keterangan, tentara
Lochu berjumlah kecil dan diduga akan dipukul hancur dalam beberapa hari. Sesudah
membasmi Lochu, Omateng tentu akan menggerayang kesini lagi."
Tan Teng Kie menghela napas berulang-ulang. "Pangkat Soanwiesoe adalah pangkat
yang tidak dihiraukan olehku," katanya dengan suara duka. "Tapi jika di Tibet sampai
terjadi huru-hara, aku tak ada muka untuk menghadapi kaizar dan rakyat."
Keng Thian mengasah otaknya, tapi ia tak bisa mendapatkan daya yang sempurna.
"Paling baik kita menjalankan tindakan yang sudah disetujui pagi ini," katanya. "Secepat
mungkin mengirim orang untuk melaporkan kepada Hok Kong An dan meminta bantuan
bala tentara."
"Suruh siapa?" tanya Teng Kie.
"Aku bersedia untuk menjalankan tugas itu," Siauw Tjeng Hong menawarkan diri.
Keng Thian melirik tanpa berkata suatu apa. Dengan kepandaian yang dimilikinya,
Siauw Tjeng Hong belum tentu ia bisa tiba di Lhasa dengan selamat. Sebenarnya ia
sendiri yang ingin pergi, tapi mengingat keselamatan Tan Teng Kie dan segenap penghuni
gedung Soanwiesoe, ia jadi bersangsi.
"Tong Tayhiap, bagaimana pendapatmu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
Keng Thian merasa tak enak untuk bicara terus terang. Selagi bimbang, mendadak ia
ingat satu orang. "Siauw Loosoe," katanya. "Bukankah kau ingin menemui Oe-djie?
Sekarang kau sudah boleh menemuinya."
Sesudah melatih Iweekang Thiansan pay sehari dan semalam, kesehatan jasmani dan
rohani Thian Oe sudah pulih kembali. Mendengar teriakan ayahnya, buru-buru ia
menyelesaikan latihan dan keluar dari kamarnya. Begitu melihat gurunya, ia
mengeluarkan teriakan girang dan lalu memeluknya.
"Oe-djie," kata sang guru dengan air mata berlinang-linang. "Dua tahun kita berpisahan
dan baru hari ini kita bisa bertemu kembali. Aku dengar, selama dua tahun ini, ilmu silatmu
sudah maju jauh sekali. Aku sungguh merasa girang."
"Hal ini sudah terjadi berkat pelajaran yang diberikan oleh Djiewie Soehoe (kedua guru,
yaitu Siauw Tjeng Hong dan Thickoay sian) dan petunjuk Tong Tayhiap," katanya.
"Sepanjang warta, soehoe sudah menikah? Mana Socbo (isteri guru)? Apa beliau datang
bersama-sama?"
Siauw Tjeng Hong merasa jengah, karena, sebagaimana diketahui, ia baru menikah
sesudah berusia lanjut. "Dia menunggu di Soetjoan," jawabnya dengan pendek.
Bicara tentang pernikahan, pemuda itu mendadak ingat Chena dan mukanya lantas
saja berubah sedih.
"Dengan membunuh Touwsoe yang kejam, Chena telah menyingkirkan satu kekuasaan
jahat dari kota Sakya," kata Keng Thian dengan suara perlahan. "Perbuatan itu harus
mendapat pujian tinggi."
Air mata Thian Oe sebenarnya sudah hampir mengucur, tapi begitu mendengar
perkataan Keng Thian, sebisa-bisa ia menahan rasa sedihnya. "Tapi dia tak bisa kembali
kepada kita," katanya dengan suara duka.
Teng Kie turut berduka, ia merasa sangat kasihan kepada puteranya yang malang itu.
Akan tetapi, mengingat pentingnya urusan negara, ia segera berkata dengan suara keras:
"Oe-djie! Pelajaran apa yang diberikan oleh nabi dan pujangga kita?"
Thian Oe terkejut seraya berkata: "Aku memohon petunjuk ayah."
"Di ini saat, pemberontakan sudah meledak di Tibet," katanya. "Tapi kau sendiri,
sebaliknya daripada bangkit untuk melindungi rakyat, sudah mengambil sikap seperti
seorang perempuan yang lemah. Apa kau tidak merasa malu?"
Thian Oe menatap wajah ayahnya, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
"Hanya sayang Chena meninggal dunia dengan mata melek," kata Keng Thian sambil
menghela napas.
"Kenapa mata melek?" menegas Thian Oe, jantungnya memukul keras.
"Selama hidupnya, Chena selalu berangan-angan supaya orang Han dan orang Tibet
bisa hidup akur bersama-sama seperti satu keluarga," kata Keng Thian. "Kenyataan ini
tentu juga diketahui olehmu."
"Sebagai puteri seorang raja muda, belum pernah ia memandang rendah kepada orang
Han,"
kata Thian Oe. "Hal ini tak akan bisa dilupakan olehku."
"Hm!" kata Keng Thian. "Sekarang, dengan menggunakan alasan dari kebinasaannya,
Omateng sudah menyulut api pemberontakan supaya orang Tibet saling membunuh
dengan orang Han. Bagaimana Chena bisa mati dengan mata meram? Omateng telah
merampas jenazahnya yang sampai sekarang masih belum dikubur. Bagaimana dia bisa
mati dengan mata meram? Di samping itu, orang yang dicintainya bukan saja tidak
berusaha untuk mencegah pemberontakan itu, tapi malahan enak-enak menonton sambil
berpeluk tangan. Coba kau pikir: Bagaimana dia tidak mati dengan mata melek?"
Perkataan Keng Thian itu bagaikan halilintar yang menyambar kuping Thian Oe,
sehingga ia berdiri terpaku seperti patung. Sesudah lewat beberapa lama, ia mendongak
dan berkata dengan suara perlahan: "Apakah yang harus dilakukan olehku?"
"Kita berniat mengirim orang untuk membawa surat kepada Hok Kong An," kata Keng
Thian, seperti juga ia bicara pada dirinya sendiri. "Hanya sayang, belum didapat orang
untuk membawa surat itu."
"Kenapa kau tidak memberitahukan siang-siang?" kata Thian Oe dengan cepat. "Guna
ayah dan Chena, aku bersedia untuk melakukan tugas itu."
"Surat ini penting luar biasa, sehingga kau harus bersungguh hati dan berlaku sangat
hati-hati," memperingatkan Keng Thian.
"Biarpun mesti masuk ke dalam lautan api, aku pasti akan menyampaikan surat itu
kepada alamatnya," kata Thian Oe dengan suara tetap.
Mendengar begitu, Keng Thian jadi girang bukan main.
Harus diketahui, bahwa pada waktu itu, ilmu silat Thian Oe sudah lebih tinggi daripada
gurunya. Biarpun kepandaiannya masih belum bisa menandingi si pendeta berkelana,
akan tetapi ilmu mengentengkan badannya lebih tinggi setingkat daripada pendeta
tersebut. Maka itu, andaikata ia dikalahkan dalam pertempuran, ia masih dapat melarikan
diri.
Tan Teng Kie lantas saja menyerahkan surat yang sudah ditulisnya, kepada Thian Oe
dengan memberi banyak nasehat dan pesanan. Waktu itu, matahari sudah selam ke barat.
Sesudah menangsal perut, Thian Oe segera berdandan dan mengenakan pakaian jalan
malam yang berwarna hitam, akan kemudian berangkat dengan menggunakan ilmu
entengkan badan. Berkat gerakannya yang sangat gesit, ia bisa meloloskan diri dari
belasan serdadu musuh yang menjaga di luar, tanpa diketahui.

***

Dengan hati jengkel dan bingung, Hoat-ong jalan mundar-mandir di dalam kuil, sambil
menunggu kedua muridnya yang diperintah menangkap putera Soanwiesoe.
Ia menghela napas berulang-ulang dan berkata dalam hatinya: "Hai! Aku tahu,
Omateng seorang jahat yang licik, sedang Tan Teng Kie seorang pembesar jujur. Kenapa
juga aku sudah menyediakan diri untuk diperalat Omateng guna mencelakakan orang
yang baik. Dengan perbuatan yang rendah itu, apakah aku masih ada muka untuk menjadi
pemimpin dari satu agama?" Di lain saat, ia ingat kepentingan agamanya sendiri. Jika ia
tidak menunduk kepada Omateng, terdapat kemungkinan besar, agama Sekte Topi Putih
bakal diusir lagi dari wilayah Tibet. Ia bingung dan sangsi. Di satu pihak, ia ingat
kehormatan diri sendiri, di lain pihak, ia harus memperhatikan kepentingan agamanya.
Sebelum ia mengambil keputusan, seorang Lhama melaporkan bahwa kedua muridnya
sudah kembali dengan membawa putera Tan Teng Kie.
Hoat-ong segera mengeluarkan perintah supaya "Thian Oe" dibawa ke hadapannya,
sedang Omateng boleh lantas pulang. Beberapa saat kemudian, dua muridnya sudah
masuk dengan mengiring Kim Sie Ie. Sekali melihat pemuda itu, Hoat-ong terkesiap.
Pemimpin agama yang matanya sangat awas itu, lantas saja mengenali, bahwa
pemuda yang berdiri di hadapannya, adalah si pemuda angin-anginan yang pernah
mengacau waktu diadakan upacara pembukaan kuil.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara dalam.
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Kau sendiri yang mengundang aku," jawabnya. "Apa benar
kau tak tahu siapa adanya aku?"
Kedua muridnya kaget bukan main dan buru-buru memberi keterangan: "Puteri
Touwsoe telah mengakui, bahwa dia adalah tunangannya sendiri. Tan Teng Kie juga
mengakui, bahwa dia adalah puteranya. Maka itu, kami menganggap tak bisa salah lagi."
Mulutnya berkata begitu, hatinya ketakutan, karena mengingat perkataan Omateng.
Hoat-ong jadi semakin bercuriga. "Jika benar dia putera Soanwiesoe, tak bisa jadi dia
cari permusuhan denganku," pikirnya. Memikir begitu, ia mengebas tangannya supaya
kedua muridnya berlalu dan kemudian mengunci pintu.
"Bocah!" bentaknya. "Sungguh sayang, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi,
kau sudah berani menggunakan nama orang lain."
"Hoat-ong!" Kim Sie Ie balas membentak. "Sungguh sayang, sebagai kepala dari satu
agama, kau sudah rela diperalat Omateng, guna mencelakakan orang baik."
Hoat-ong merasa malu dan untuk sejenak, ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata.
Kim Sie Ie tertawa nyaring. "Ha-ha! Aku tak nyana, seorang Budha Hidup juga bisa
menjadi bingung," ia mengejek. "Tak usah kau bingung-bingung. Tak usah kau
menghiraukan, apa aku Tan Thian Oe atau bukan. Sebegitu jauh kau bisa menghukum
satu manusia, kau sudah bisa memuaskan hatinya binatang Omateng."
Bahwa satu manusia berani bicara begitu kasar di hadapan Hoat-ong, adalah kejadian
yang baru pernah terjadi. Selama Kim Sie Ie mengejek, beberapa pikiran keluar masuk
dalam otaknya. Bagaimana ia harus berbuat? Melepaskan pemuda itu? Menyerahkannya
kepada
Omateng? Tapi, jika diserahkan kepada Omateng, pemuda yang mempunyai
kepandaian tinggi itu, mungkin akan menerbitkan keonaran yang lebih hebat.
Kim Sie Ie terus mengawaskan sambil tertawa dingin.
Tiba-tiba paras muka Hoat-ong berubah menyeramkan. "Anak muda," katanya. "Apa
benar kau rela pergi ke bentengan Touwsoe untuk mewakili putera Soanwiesoe menerima
hukuman?"
"Itu urusanku, tak perlu kau campur-campur," jawabnya dengan ketus.
"Baiklah," kata Hoat-ong. "Aku mengantar kau dengan memberi berkah." Ia membalik
tangannya yang lantas menyambar ke kepala Kim Sie Ie.
Sambil tertawa, Kim Sie Ie menangkis. "Aku tak percaya malaikat, tak menyembah
Budha,"
katanya. "Tak perlu segala berkahmu."
Tapi, begitu lekas tangannya kebentrok tangan Hoat-ong, ia terkejut, karena tangan itu
menindih dengan tenaga yang luar biasa besar. Buru-buru ia mengempos semangat dan
menahan dengan sekuat tenaga.
"Anak muda," kata Hoat-ong. "Kesombongan dan kekurang ajaranmu pantas mendapat
hukuman. Kau adalah seorang yang sangat mengandalkan ilmu silatmu. Biarlah sekarang
aku memusnahkan ilmumu itu." Ia menambah tenaga dan menekan semakin kuat. Kim Sie
Ie sebenarnya masih mau mengejek, tapi ia tidak dapat berbuat begitu, sebab harus
mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan serangan musuh.
Meskipun lweekang Tokliong Tjoentjia bukan dari cabang persilatan yang "tulen", akan
tetapi, dalam Rimba Persilatan, ilmu itu mempunyai kedudukan istimewa, sebagai
lweekang yang tiada keduanya di dalam dunia. Maka itu, biarpun Kim Sie Ie baru
mempunyai latihan belasan tahun, dalam tempo setengah jam, ia masih bisa
mempertahankan diri. Hoat-ong merasa kagum dan berkata dalam hatinya: "Sayang,
sungguh sayang! Orang yang berbakat begini baik, tidak mengambil jalanan lurus."
Sesudah bertahan kurang lebih sepasangan hio, Kim Sie Ie merasa badannya panas
dan tenaganya mulai berkurang. Ia mengerti, lama-lama ia pasti akan roboh sebagai
orang yang bercacat. Dengan nekat, ia lalu mengempos semangat untuk
mempertahankan diri sedapat mungkin.
Sesudah lewat lagi beberapa lama, Kim Sie le merasa bibir dan lidahnya kering, sedang
tubuhnya seperti dibakar. Di lain pihak, Hoat-ong pun merasa tulang -tulangnya sakit,
suatu tanda ia sudah mengeluarkan tenaga secara melampaui batas. Tapi biar
bagaimanapun juga, berkat latihan puluhan tahun, lweekang Hoat-ong lebih unggul
setingkat daripada pemuda itu.
Tiba-tiba Hoat-ong mengempos semangat sambil menekan keras dengan telapakan
tangannya. Mendadak ia berpikir: "Dia masih berusia begitu muda, tapi ilmunya sudah
begitu tinggi. Apa tidak kasihan, jika aku memusnahkan kepandaiannya?" Di lain detik,
dalam otaknya masuk lain pikiran: "Jika aku tidak memusnahkan ilmunya, bagaimana aku
bisa menyerahkan kepada Omateng?"
Pada detik itu, selagi Hoat-ong bersangsi, sinar mata Kim Sie Ie tiba-tiba berubah
beringas dan bibirnya bergerak. Hoat-ong adalah seorang Lhama yang berilmu sangat
tinggi. Tapi, melihat sinar mata itu, tanpa merasa hatinya berdebar-debar. Ia tak
mengetahui, bahwa pada detik itu, dalam hati Kim Sie Ie timbul keinginan untuk
membinasakan lawannya. Sebagaimana diketahui, dalam mulutnya tersimpan senjata
rahasia yang paling beracun didalam dunia, yaitu jarum Tjitsat Tokbcng Sintjiam (Jarum
Pembetot Nyawa), yang telah direndam di dalam bisa ular dari pulau Tjoato. Waktu Tong
Keng Thian kena jarum itu, ia harus berobat sebulan lebih, biarpun sudah menelan
Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan Soatlian. Lweekang Keng Thian dan Hoat-ong
kira-kira setanding, tapi Hoat-ong tidak memiliki obat semacam Pekleng tan, sehingga, jika
ia kena
jarum itu, hampir boleh dipastikan, ia akan binasa. Pada saat Kim Sie Ie hendak
menyemburkan senjata rahasianya, sekonyong-konyong dalam otaknya berkelebat satu
pikiran: "Aku dan dia sama sekali tidak bermusuhan. Hatiku tentu tak enak, jika ia sampai
binasa." Di lain saat, ia berkata pada dirinya sendiri: "Jika aku tidak membinasakannya,
dialah yang bakal memusnahkan seantero kepandaianku. Tanpa ilmu silat, aku pasti
diinjak-injak manusia, sehingga tak guna aku hidup terus." Memikir begitu, bibirnya
bergerak pula dan jarum racunnya sudah tersedia di atas lidah. Tapi, mendadak saja ia
mendapat lain ingatan: "Ah! Biar bagaimanapun juga, dia adalah pemimpin dari satu
agama. Apa tak sayang, jika ia binasa dalam tanganku? Waktu hidupku sudah tidak lama
lagi. Biarlah aku mengalah terhadapnya." Sesaat itu,
Hoat-ong kembali menambah tenaganya dan lagi-lagi ia mendapat lain pikiran: "Sedari
aku meninggalkan pulau Tjoato, banyak sekali jago-jago sudah dirobohkan olehku. Jika
aku dirobohkan, bukankah orang yang tak tahu akan mengatakan bahwa aku kalah dalam
mengadu ilmu. Mereka tentu tak menduga, bahwa kekalahanku adalah karena aku yang
mengalah."
Demikianlah, pada detik yang sangat genting itu, beberapa pikiran keluar masuk
bagaikan kilat di dalam otaknya. Kim Sie Ie adalah seorang yang tak mau kalah dari
siapapun juga. Pada detik itu, dalam alam pikirannya ia lebih suka mati daripada dihina
orang.
Yang harus dikasihani adalah empat murid Hoat-ong yang menunggu di luar pintu.
Mereka menungggu dan menunggu dengan tidak sabaran, tapi sesudah menunggu lebih
dari satu jam, pintu masih tetap tertutup. Mereka sama sekali tidak mimpi, bahwa dalam
kamar itu dua jago kelas utama sedang mengadu jiwa dan tengah berada pada detik yang
memutuskan.

***

Sekarang marilah kita balik kepada Tan Thian Oe yang mendapat tugas untuk
membawa surat ayahnya kepada Hok Kong An. Karena harus berlomba dengan sang
waktu, malam-malam Thian Oe berangkat juga.
Sesudah melewati serdadu-serdadu Touwsoe yang menjaga di luar gedung
Soanwiesoe, dengan menggunakan ilmu entengkan badan, ia meneruskan perjalanan ke
Lhasa. Dalam perjalanan itu, ia harus melewati bentengan (gedung) Touwsoe yang berdiri
di atas gunung dan jalanan yang harus diambilnya, terletak melintang di satu lembah.
Sesudah melewati lembah itu, di tengah gunung ia melihat tentara dan bendera yang
besar jumlahnya, sedang di bentengan pun terlihat bayangan-bayangan hitam dan
bendera yang berlapis-lapis. Ia mengetahui, bahwa tentara yang berkumpul di tengah
gunung adalah tentara Lochu yang sedang mengepung bentengan Touwsoe. Dengan
cepat ia sudah tiba di bagian utara gunung tersebut. Hatinya lega dan sambil mengempos
semangat, ia mendaki bukit yang menghadang di depannya. Tapi baru saja berlari-lari
beberapa puluh tombak, sekonyong-konyong berkelebat satu bayangan manusia yang
lantas berdiri di tengah jalan. Thian Oe mengawaskan dengan kaget dan ternyata, orang
itu bukan lain daripada si pendeta berkelana.
Di bawah sinar rembulan, pendeta itu juga segera mengenali, bahwa yang dicegatnya
adalah Tan Thian Oe. "Aha! Kalau begitu kau?" katanya sambil tertawa terbahak-bahak
dan menghantam dengan tongkat bambunya. Thian Oe melompat seraya membabat
dengan pedangnya dalam pukulan Tokoa ginho (Bima Sakti yang tergantung nyungsang),
yaitu salah satu pukulan terliehay dari Pengtjoan Kiamhoat. Ia menduga bahwa dengan
sekali menyabet, tongkat itu akan menjadi putus. Tapi, di luar dugaan, begitu kedua
senjata kebentrok, tongkat si pendeta "menempel" di pedang dan bergerak menurut
gerakan pedang. Thian Oe terkejut, buru-buru ia mengebas senjatanya untuk melepaskan
"tempelan" itu. Baru saja ia mengangkat kaki untuk kabur, mendadak si pendeta berteriak:
"Ih! Omateng, kemari! Coba lihat, apa bocah ini benar Tan Thian Oe?"
Kenapa si pendeta bersangsi?
Pada waktu ia bertemu Thian Oe untuk pertama kali, yaitu waktu ia coba merebut guci
emas, kepandaian pemuda itu paling banyak hanya bisa menandingi muridnya. Tapi
sekarang, ia bukan saja bisa mempertahankan diri dari serangan tongkat, tapi juga sudah
berhasil melepaskan senjatanya dari "tempelan" tongkat. Si pendeta merasa, bahwa
lweekang pemuda itu sudah tidak berjauhan dengan lwee4cang-nya sendiri. Itulah
sebabnya ia bersangsi dan memanggil Omateng untuk mendapat kepastian.
Sehabis berteriak begitu, si pendeta lalu mengirim dua serangan berantai, yang satu
menggunakan tenaga "lembek", yang lain tenaga "keras". Thian Oe menjejak kedua
kakinya dan bagaikan seekor garuda, tubuhnya terbang lewat di samping si pendeta dan
dalam sekejap, ia sudah lari belasan tombak.
Tiba-tiba, dari pinggir jalanan muncul seorang yang tertawa bergelak-gelak. "Bocah!
Mau lari kemana kau?" bentaknya.
Begitu mengenali orang yang mencegatnya, Thian Oe lantas saja menjadi kalap. Orang
itu adalah Omateng yang menjadi gara-gara dari kebinasaan Chena dan yang sudah
merampas jenazah kecintaannya itu. Matanya merah, darahnya mendidih dan ia
melupakan segala pesanan ayahnya dan Keng Thian. Ia mengangkat pedang dan
mengirim satu tikaman kilat. "Bret!", pedang Thian Oe menembus Djoanka (pakaian
perang yang lemas) dan ujung pedang membuat satu goresan panjang di pundak
Omateng.
Ia berhasil melukakan musuh, tapi karena itu, si pendeta berkelana sudah menyandak.
Sesaat itu, ia sebenarnya masih bisa melarikan diri. Tapi dalam kalapnya, sebaliknya dari
kabur, ia lalu mengirim serangan-serangan nekat. Kepandaian Omateng tidak terlalu
rendah. Biarpun ia kalah setingkat dari Tan Thian Oe, tapi untuk sementara, sedikitnya ia
masih bisa membela diri. Dalam sekejap tiga serangan Thian Oe sudah ditangkis olehnya
dan waktu Thian Oe mengirim serangan keempat, si pendeta sudah meloncat masuk ke
dalam gelanggang pertempuran dan menyampok pedangnya.
Sekali ini, pendeta itu tidak berani berlaku ceroboh lagi. Dengan hati-hati ia melayani
dan mengunakan taktik gerilya. Jika Thian Oe mundur, ia merangsak, kalau Thian Oe
merangsak, ia mundur. Dilihat sekelebatan, mereka seperti juga dua bocah yang lagi main
petak, tapi sebenarnya kedua lawan itu sedang mengadu ilmu dengan menggunakan
lweekang yang sangat tinggi. Dilayani secara begitu, Thian Oe yang lweekang-nya masih
kalah kuat, perlahan-lahan jatuh di bawah angin. Selang kira-kira setengah jam,
keadaannya sudah berbahaya sekali, hampir-hampir ia tak dapat mempertahankan diri
lagi.
Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak Thian Oe bergidik karena
menyambarnya hawa dingin yang sangat hebat dan berbareng dengan itu, tekanan si
pendeta lenyap. Dengan cepat ia melompat ke-belakang dan sesudah menegakkan
badannya yang bergoyang-goyang, ia menoleh ke belakang. Di antara uap dingin yang
berwarna abu-abu, ia melihat seorang wanita. Hatinya meluap dengan kegirangan, karena
wanita itu bukan lain daripada Yoe Peng. Tak usah dikatakan lagi, hawa dingin yang
barusan adalah akibat dari Pengpok Sintan yang dilepaskan oleh si nona. Tapi karena
lweekang Yoe Peng masih belum cukup, ia tidak berhasil melukakan pendeta itu.
Meskipun begitu, serangan tersebut sudah membantu Thian Oe meloloskan diri.
Si pendeta gusar tak kepalang. Sambil menggereng, ia menerjang si nona. Dengan
gerak-gerakannya yang sangat lincah, Yoe Peng mengegos tiga serangan berantai. Selagi
Thian Oe mau membantu, mendadak Yoe Peng tertawa nyaring seraya berteriak:
"Manusia tak tahu diri! Dulu majikanku telah mengampuni jiwamu. Apa sekarang kau
masih berani melawannya?"
Si pendeta terkesiap karena ia lantas saja ingat, bahwa wanita itu adalah kawannya
Pengtjoan Thianlie.
Selagi ia bersangsi, Yoe Peng bersiul nyaring, disusul dengan suara tertawa yang
merdu. "Yoe Peng! Dengan siapa kau bertempur? Aku segera datang!" kata satu suara
yang merayu. Suara itu datang dari bukit di seberang, tapi setiap perkataannya terdengar
nyata sekali.
Bagi si pendeta, suara yang merdu itu seakan-akan menggeledeknya halilintar. Ia
mengenali, bahwa itulah suara Pengtjoan Thianlie yang disegani olehnya. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia memutar badan dan lantas kabur.
Gerakan Pengtjoan Thianlie cepat luar biasa. Sedang suaranya masih berkumandang
di lembah, orangnya sudah berdiri di tanjakan gunung- Dengan pakaiannya yang serba
putih dan yang berkibar-kibar karena ditiup angin, ia seolah-olah seorang dewi. Si pendeta
jadi semakin ketakutan dan ia kabur bagaikan orang gila.
Omateng yang bertubuh gemuk tak bisa lari cepat. "Manusia itu jahat sekali!" berteriak
Thian Oe sambil melompat untuk mengejar.
"Tak usah begitu berabe!" kata Yoe Peng sambil mementil sebutir Pengpok Sintan.
Omateng yang tengah merat mendadak merasakan hawa yang luar biasa dingin di jalanan
darah Thiantjoe hiat, di belakang lehernya, dan hawa itu menembus sampai di uluhatinya.
Di lain saat, badannya kesemutan, tenaganya musna dan tanpa bersuara, ia roboh di
tanah.
"Thian Oe," kata Yoe Peng. "Perlu apa di tengah malam buta kau bergelandangan
disini?"
Air mata pemuda itu lantas saja mengucur deras. "Chena... dia... dia..." katanya
terputus-putus.
Tak dapat ia meneruskan perkataannya.
Yoe Peng menghela napas seraya berkata dengan suara duka: "Hal meninggalnya
Chena Tjietjie sudah diketahui oleh kami."
Pengtjoan Thianlie pun kelihatan sedih sekali. "Sayang sekali, karena waktu tidak
mengijinkan, waktu itu aku hanya menurunkan ilmu melepaskan golok terbang," katanya
dengan suara perlahan. "Aku tak keburu memberi pelajaran untuk melindungi diri. Tapi, ia
sekarang sudah berhasil membalas sakit hati kedua orang tuanya. Aku percaya, ia mati
dengan mata meram."
Pengtjoan Thianlie adalah seorang yang tidak gampang memperlihatkan perasaannya.
Tapi meninggalnya Chena sudah mendukakan sangat hatinya, sehingga parasnya jadi
guram sekali. Ia menghela napas seraya berkata: "Pada sebelum kau berguru dengan
Thiekoay sian, Chena telah memohon pertolonganku untuk memberi petunjuk-petunjuk
kepadamu. Ia mengatakan, bahwa sayang sungguh jika kau yang mempunyai bakat
sangat baik, tidak mendapat guru yang berkepandaian tinggi. Waktu itu aku telah menolak
permintaannya. Siapa nyana, karena robohnya Puncak Es, secara kebetulan kau telah
makan Tjoeko (buah merah) dalam istanaku, sehingga, tanpa belajar lagi, kau sudah
memperoleh ilmu entengkan badan dari partai kami. Belakangan, kau juga telah mencuri
ilmu pedangku. Ini semua adalah maunya Tuhan dan aku tidak menyalahkan kau. Tapi,
biarpun kau sudah memiliki Kiamhoat-ku (ilmu pedang), kau belum mengenal Kiamkoat
(pelajaran praktek untuk menggunakan ilmu pedang itu). Sekarang, sesudah Chena
meninggal dunia, aku ingin sekali meluluskan permohonannya, agar di alam baka,
arwahnya jadi terhibur..." Bicara sampai disitu, si nona berhenti karena terharunya. Sesaat
kemudian, barulah ia berkata pula: "Aku bersedia untuk menurunkan Kiamkoat kepadamu.
Akan tetapi, oleh karena usia kita kira-kira bersamaan, maka tak dapat aku menjadi
gurumu. Baik juga Yoe Peng yang sudah mengikuti aku dalam banyak tahun, sudah
mendapat intisari dari Kiamhoat dan Kiamkoat dari partai kami. Maka itulah, aku sekarang
mempermisikan Yoe Peng untuk menurunkan pelajaran itu kepadamu." Bukan main
girangnya Thian Oe dan ia buru-buru berlutut untuk menghaturkan terima kasih.
Dengan memperoleh ilmu silat Pengtjoan Thianlie, ditambah dengan Iweekang
Thiansan pay dan ilmu silat Thiekoay sian serta Siauw Tjeng Hong, di belakang hari Tan
Thian Oe menjadi seorang Tayhiap (pendekar) yang ternama. Sesudah Tong Keng Thian
dan Koei Peng Go kembali ke keraton es untuk menuntut penghidupan yang terpisah dari
pergaulan umum, ia mengikuti ayahnya pulang ke Kanglam, dimana ia dikenal sebagai
ahli waris Kam Hong Tie dan dikenal juga sebagai Kanglam Tayhiap (Pendekar besar dari
daerah Kanglam)
Pengtjoan Thianlie mengegos tubuhnya dan hanya menerima separuh kehormatan
Thian Oe.
"Apa Tong Keng Thian berada di rumahmu?" tanyanya.
"Benar," jawabnya. "Aku justru menerima perintah Tong Tayhiap untuk pergi ke Lhasa
guna meminta bala bantuan tentara."
Si nona tersenyum seraya berkata: "Kau tak usah pergi ke tempat Hok Kong An." Thian
Oe
kaget. Selagi ia mau menanya, Peng Go sudah berkata lagi: "Bagaimana dengan Kim Sie
Ie? Kau
sendiri belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi aku merasa, Keng Thian sudah
pernah menceritakannya."
"Kim Sie Ie telah datang ke rumahku," menerangkan Thian Oe. "Biarpun belum pernah
bertemu muka, tapi ia sudah menolong jiwaku."
Peng Go heran. "Kau belum mengenalnya, bagaimana ia bisa menolong jiwamu?"
tanyanya.
Thian Oe segera menuturkan apa yang telah terjadi.
Si nona terkejut dan segera menanya: "Kapan ia berangkat untuk menemui Hoat-ong?"
"Kira-kira tengah hari, mengikuti dua Lhama itu, jawabnya. "Ia berangkat dari rumahku dan
jika Hoat-ong tidak lantas menyerahkannya kepada Omateng, sekarang mungkin ia masih
berada di kuil."
Sesudah berpikir sejenak, si nona segera berkata: "Yoe Peng, lihatlah! Aku sudah
mengatakan bahwa Kim Sie Ie bukan manusia jahat. Hatinya cukup mulia. Ia rela
menolong orang dengan mengorbankan diri sendiri. Tak bisa aku memeluk tangan. Kau
dan Thian Oe berangkat lebih dulu untuk menemui Keng Thian, sedang aku sendiri ingin
mengunjungi Hoat-ong." Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan ilmu entengkan
badan, ia segera berlalu dan dalam sekejap, ia sudah tidak kelihatan bayang-
bayangannya lagi.
Thian Oe dan Yoe Peng saling mengawaskan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Mengingat perkataan Chena, pemuda itu merasa agak jengah dan ia hanya mengawasi
dayangnya Peng Go dengan mata mendelong.
Yoe Peng menghela napas dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Chena dan
aku adalah seperti saudara sendiri dan aku pun merasa duka akan kebinasaannya. Akan
tetapi, orang yang sudah mati tentu tak bisa hidup kembali. Sekarang, karena
kebinasaannya, di Tibet timbul gelombang hebat. Jika kita tidak berusaha untuk
meredakan gelombang itu, arwahnya tentu merasa tidak senang."
Thian Oe manggut-manggutkan kepalanya. "Ya, pergiku ke Lhasa juga adalah untuk
meredakan gelombang itu," katanya. "Eh, barusan Pengtjoan Thianlie mengatakan, bahwa
aku tak usah pergi menemui Hok Kong An. Bagaimana duduknya persoalan?"
Yoe Peng tersenyum. "Pada harian pembukaan kuil baru, kami berdua sebenarnya
sudah berada di Sakya," ia menerangkan. "Segala kejadian sudah disaksikan oleh kami.
Kongtjoe yang sangat pintar, lantas saja bisa menduga bakal munculnya badai. Maka itu,
tanpa menemui kalian, buru-buru kami pergi ke Lhasa. Mengingat bantuan kami pada
waktu terjadi perebutan guci emas, Hok Kong An bersikap sangat ramah tamah dan
percaya segala keterangan kami."
Selagi bicara, mendadak mereka mendengar suara merintihnya Omateng. "Segala
kejadian ini semuanya adalah gara-gara bangsat itu!" kata Thian Oe dengan suara
gergetan.
"Bagus! Sekarang kita boleh berurusan dengannya," kata Yoe Peng.
Omateng yang baru sadar dari pingsannya, menggigil karena hawa dingin yang sangat
hebat. Yoe Peng segera meminta Thian Oe mengurut dua jalanan darah di punggung si
gemuk, untuk mengurangkan hawa dingin.
"Tan Kongtjoe," kata si gemuk dengan suara gemetaran. "Dengan memandang muka
Sang Budha dan muka Chena, aku memohon kau sudi mengampuni jiwaku."
"Jika kau tidak menyebut nama Chena, masih tidak apa," kata Thian Oe dengan gusar.
"Dengan menyebutkan Chena, lebih-lebih aku harus mengambil jiwa anjingmu."
"Terhadap Chena, aku selalu membuang budi," kata Omateng. "Dulu, waktu ia
ditangkap Touwsoe, aku pernah meminta perantaraan ayahmu untuk menolongnya.
Dalam usahanya untuk membunuh Touwsoe, aku pun sudah memberi bantuan secara
diam-diam. Hal ini adalah satu kenyataan. Kongtjoe, masakah kau tak tahu?"
Yoe Peng tertawa dingin dan mengeluarkan suara di hidung. "Eh, apa kau kira kami tak
tahu rahasiamu?" katanya dengan suara mengejek. "Kau adalah mata-mata Raja
Kalimpong. Tujuanmu yang satu-satunya adalah menimbulkan kekacauan di Tibet,
supaya, dengan bantuan tentara asing, kau bisa memancing ikan di air keruh. Kau ingin
mengangkat diri sendiri sebagai raja. Tipu muslihatmu bisa mengelabui Touwsoe, tapi tak
bisa mempedayai Kongtjoe-ku. Bantuanmu kepada Chena Tjietjie hanyalah untuk
meminjam tangannya guna mewujutkan maksudmu sendiri."
Perkataan Yoe Peng benar-benar mengejutkan Omateng, sehingga tubuhnya menggigil
semakin hebat.
Thian Oe pun terperanjat, tapi sebelum ia sempat menanya lebih jauh, di tanjakan gunung
mendadak terlihat bayangan-bayangan manusia yang mendatangi dengan cepat
sekali dan di antara beberapa orang yang jalan di depan, terdapat si pendeta berkelana.
"Si pendeta datang kembali dengan membawa bantuan," kata rhian Oe.
Yoe Peng mengangguk seraya berkata: "Sekarang paling baik kita buru-buru kembali di
rumahmu untuk menunggu Kongtjoe."
"Tapi aku mempunyai lain pikiran," kata Thian Oe. "Dengan kedatangan si pendeta
bersama kawan-kawannya yang
berkepandaian tinggi, di bentengan Touwsoe tentu tidak terdapat lagi orang pandai.
Dengan menggunakan kesempatan itu, aku ingin menyatroni sarangnya."
"Guna apa kita menempuh bahaya yang begitu besar?" kata Yoe Peng yang tidak
menyetujui pendapat Thian Oe.
"Bagaimana aku tega melihat jenazah Chena terus berada di tangan musuh?" kata
Thian Oe dengan suara duka. Sehabis berkata begitu, ia mengangkat pedang untuk
membinasakan Omateng.
"Tahan!" mencegah si nona. "Biarkan dia hidup terus untuk sementara waktu. Mungkin
masih ada kegunaannya." Berbareng dengan perkataannya, ia menekan badan Omateng
dengan jerijinya, sehingga mulut si gemuk terbuka lebar. Hampir berbareng, ia mementil
dua butir Pengpok Sintan ke dalam mulut si gemuk yang lalu menelannya. Mata si gemuk
terbalik dan ia pingsan seketika itu juga.
Yoe Peng tersenyum. "Kecuali Kongtjoe dan aku sendiri, di dalam dunia tiada orang
yang bisa menyadarkannya," katanya.
"Sekarang kita boleh pergi dengan hati tenang."
Dengan menggunakan ilmu entengkan badan, mereka mendaki gunung dan menuju ke
bentengan Touwsoe. Mereka mengambil jalanan mutar dan naik dari bagian belakang
gunung yang dijaga oleh sejumlah kecil serdadu. Berkat kegesitan mereka, dengan tidak
banyak susah, mereka bisa masuk ke dalam bentengan.
Sesudah menyelidiki beberapa lama, mereka menghampiri sebuah kamar yang terang
dan dari kain jendela, mereka melihat bayangan dua wanita.
"Mari kita lihat," berbisik Yoe Peng.
"Guna apa?" Thian Oe bersangsi.
"Siapa dia?" Yoe Peng menanya.
"Puteri Touwsoe, Sanpiie," jawabnya.
Si nona tertawa. "Kau takut?" ia menggoda. "Jangan takut. Ada aku yang melindungi."
Sambil berkata begitu, ia menarik tangan Thian Oe dan mereka lalu bersembunyi di
bawah jendela. Yang berada dalam kamar itu adalah Sanpiie bersama ibunya. Sesaat
kemudian, terdengar helaan napas nyonya Touwsoe. "Hai!" katanya. "Tak nyana, urusan
jadi begini. Aku kuatir peninggalan ayahmu semua akan jatuh kedalam tangan Omateng!"
"Semenjak dulu aku tak senang dengan orang itu," kata Sanpiie. "Ibulah yang selalu
mendengar segala omongannya."
"Bagaimana aku bisa membaca hatinya yang jahat?" sang ibu sungkan menerima
salah. "Dia selalu mengatakan, bahwa dia ingin membalas sakit hati ayahmu. Bagaimana
aku bisa mencegahnya?"
"Masih untung Thian Oe tak jatuh ke dalam tangannya," kata puterinya.
"Anak," kata nyonya Touwsoe dengan suara menyesal. "Apa kau tak bisa melupakan
Thian Oe?"
Jantung Thian Oe memukul keras.
Sanpiie tak menjawab pertanyaan ibunya, ia hanya tertawa.
Nyonya Touwsoe kembali menghela napas seraya berkata: "Sesudah keadaan menjadi
begini, apa kita masih ada muka untuk membicarakan soal pernikahanmu dengan
keluarga Tan?"
"Ada jalan," Sanpiie mendadak berkata. "Kita membekuk Omateng dan
menyerahkannya kepada Soanwiesoe untuk diadili."
Nyonya Touwsoe terkejut, buru-buru ia menekap mulut puterinya. "Anak, apa kau gila!"
ia berbisik "Tak boleh kau mengeluarkan perkataan itu lagi. Kekuasaan tentara sekarang
berada dalam tangannya dan jika mau, ia bisa mengambil jiwa kita dengan mudah sekali!"
"Hm!" menggerendeng Sanpiie. "Menurut penglihatanku, ia bukan hanya ingin
merampas kekuasaan Touwsoe. Ia malahan kepingin menjadi raja di Tibet."
"Benar," kata sang ibu. "Sekarang aku baru tahu. Sebelum ayahmu meninggal dunia, ia
sudah memerintahkan orang pergi ke Kalimpong untuk meminta bantuan tentara."
"Ibu," kata Sanpiie. "Kita tak boleh main takut saja. Kita harus berusaha untuk
menghadapinya. Kenapa ibu tak mau coba berunding dengan utusan Budha Hidup Dalai
dan Panchen?"
Nyonya Touwsoe menggelengkan kepala. "Aku tak berani mendekati mereka," ia
berbisik. "Jiwa mereka sendiri mungkin sukar dilindungi lagi!"
Sanpiie terperanjat. "Apa?" ia menegasi. "Apa Omateng bernyali begitu besar?" Sang
ibu tak menjawab, ia mengawasi tembok kamar dengan mata mendelong. "Ibu, apa yang
sedang dipikir olehmu?" tanya puterinya.
Mendadak nyonya Touwsoe bangun berdiri dan menghampiri jendela yang lalu
dipentang. Untung juga Thian Oe dan Yoe
Peng yang buru-buru berjongkok di bawah jendela tak dilihat olehnya. "Anak," katanya
dengan suara perlahan. "Aku justru ingin berdamai dengan kau."
Sanpiie mendekati. "Bicaralah," katanya.
"Memang benar Omateng ingin membunuh utusan Budha hidup Panchen," ia berbisik.
Paras muka Sanpiie berubah pucat. "Bagaimana ibu tahu?" tanyanya.
"Sebagaimana kau tahu, utusan Budha Hidup terluka dengan golok terbang, tapi luka
itu tidak membahayakan jiwanya," menerangkan sang ibu. "Urusan ini adalah urusan
besar dan Omateng ingin menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Dia ingin
menggunakan utusan kedua Budha Hidup supaya mereka mengirim laporan yang
menumplek semua kesalahan atas pundak Hoat-ong Sekte Topi Putih dan yang meminta
agar agama Topi Putih diusir lagi dari wilayah Tibet."
"Hal ini memang sudah didengar olehku," kata Sanpiie.
"Untung juga, kedua wakil itu tidak kena dijebak dengan begitu saja," kata pula sang
ibu. "Mereka hanya melaporkan kejadian yang sebenarnya, tidak menambah dan tidak
mengurangkan apapun juga. Mereka tidak menyarankan supaya Budha Hidup Dalai dan
Panchen bertindak untuk mengusir Hoat-ong. Tapi Omateng tak mau mengerti, setiap hari
dia terus mendesak. Utusan Budha Hidup Panchen ingin sekali menemui Hoat-ong untuk
menyelidiki keadaan yang sebenar-benarnya, tapi Omateng tentu saja sungkan
mempermisikannya. Diam-diam dia memerintahkan tabib untuk memberi obat beracun
kepada utusan Budha Hidup Panchen sehingga, sebaliknya daripada sembuh, lukanya
jadi semakin berat. Dengan memberi alasan tak boleh menemui tamu, dia memutuskan
perhubungan kedua utusan itu dengan dunia luar. Sementara itu, saban hari dia terus
mendesak utusan Budha Hidup Panchen untuk menulis surat yang diinginkan olehnya,
sehingga utusan tersebut jadi semakin bercuriga dan menolak dengan getas. Dia jadi
nekat dan memerintahkan supaya tabib memberi racun yang membinasakan dan memberi
batas tempo, bahwa tengah malam ini, jiwa utusan itu sudah mesti melayang. Semua
orang mengetahui, bahwa utusan Budha Hidup telah mendapat luka karena golok si
pembunuh. Maka itu, dengan mudah dia bisa mengatakan, bahwa utusan itu binasa
karena lukanya. Dia sudah menghitung pasti, bahwa tiada orang yang akan
mencurigainya. Sesudah utusan itu binasa, dia akan coba 'membakar' Budha Hidup
Panchen untuk mencapai maksudnya yang keji."
Mendengar penuturan itu, Sanpiie terbang semangatnya. Untuk beberapa saat, ia
mengawasi ibunya dengan mulut ternganga. Walaupun mengetahui, bahwa si gemuk
sangat jahat, ia tidak menduga Omateng bisa mengambil tindakan yang begitu kejam.
"Ibu," katanya beberapa saat kemudian. "Jika utusan itu binasa di Sakya, mungkin semua
orang dalam kota ini tidak akan terluput dari hukuman."
"Benar, dan itulah sebabnya, tabib tersebut tidak berani segera menuruti kemauan
Omateng," kata sang ibu. "Tapi ia juga jeri, jika membangkang. Lantaran begitu, diam-
diam ia memberitahukan hal ini kepadaku dan memohon pertolongan. Tapi, apakah yang
bisa dilakukan olehku? Jiwa kita sendiri berada dalam tangan Omateng."
"Jalan satu-satunya melawan mati-matian," kata sang puteri.
"Dengan apa melawannya?" tanya nyonya Touwsoe dengan suara getir. "Keadaan kita
adalah seperti telur diadu dengan batu!"
"Ibu! Apa kita mau menyerahkan jiwa dengan mentah-mentah saja!" kata Sanpiie
dengan kegusaran meluap-luap.
Sang ibu tidak menjawab, ia menatap wajah puterinya dengan paras sangat berduka.
Sekonyong-konyong dari jendela melompat masuk dua bayangan hitam.
Sanpiie meloncat sambil menghunus golok.
"Aku!" kata suara yang sudah tak asing lagi.
Si nona mengawasi dengan mata membelalak, la hampir tak percaya matanya sendiri,
karena yang berdiri di hadapannya bukan lain daripada Tan Thian Oe. Ia ingin melompat
untuk memeluk orang yang dicintainya itu, tapi lantas saja ia mundur setindak dengan hati
berdebar-debar, karena orang yang berdiri di belakang Thian Oe adalah seorang wanita
cantik.
"Sanpiie, katakanlah: Kau percaya aku atau tidak?" tanya Thian Oe dengan suara
halus.
Sedari berkenalan, belum pernah Thian Oe menggunakan kata-kata yang begitu halus
terhadapnya. Sanpiie girang bukan main dan ia manggut-manggutkan kepalanya.
"Omateng sudah dirobohkan olehku," kata Thian Oe. "Kalian tak usah takut."
Perkataan itu seakan-akan sebuah perahu untuk orang yang hampir kelelap.
Kegirangan nyonya Touwsoe dan puterinya meluap-luap.
"Ingatlah pesananku," kata pula Thian Oe. "Kalian jangan menghalang-halangi si tabib.
Biarkan dia memberi racun kepada utusan Budha Hidup."
"Apa arti perkataanmu?" tanya Sanpiie dengan suara kaget.
"Waktu sangat mendesak, sebentar saja aku memberitahukan sebabnya," jawabnya.
"Dimana tempatnya wakil Budha Hidup Panchen?"
Sebagai seorang tua yang banyak pengalaman, nyonya Touwsoe lantas saja mengerti
maksud Thian Oe. "Benar, kau harus bertindak cepat," katanya. "Ia berada di atas pagoda,
di sebelah barat bentengan ini, di tingkatan kedua."
Tanpa menunggu lagi, Thian Oe menarik tangan Yoe Peng dan mereka lantas saja
melompat dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Jantung Sanpiie memukul keras,
tanpa merasa ia turut melompat, tapi begitu tiba di depan jendela, ia menghentikan
tindakannya. "Ibu, apa yang mau dilakukan mereka?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Mereka ingin membuka rahasia Omateng kepada utusan Budha Hidup," jawabnya.
"Tabib akan segera datang kembali. Lebih baik kau balik ke kamarmu"

***
Sementara itu, sesudah mendapat petunjuk, dengan tak banyak sukar Thian Oe dan
Yoe Peng sudah mendapatkan pagoda itu, yang ternyata bertingkat tiga. Dengan sekali
mengenjot badan, kaki Thian Oe hinggap di tingkatan kedua, tapi Yoe Peng yang ilmunya
belum setinggi kawannya, harus melompat dua kali sebelum mencapai tingkatan itu.
Sesaat itu, beberapa serdadu penjaga melongok keluar, tapi sebelum bersuara, mereka
sudah roboh karena ditimpuk dengan Pengpok Sintan.
Dengan cepat mereka masuk ke dalam kamar yang diterangi lampu minyak. Ternyata,
utusan Panchen Lama sedang meringkuk di atas dipan, sambil mengeluarkan rintihan
perlahan. Melihat masuknya dua tetamu yang tidak diundang, bukan main kagetnya
utusan itu sehingga sambil menahan sakit, ia bangun duduk.
"Atas titah Budha Hidup kami sengaja datang kemari untuk menyambangi kau," kata
Yoe Peng, yang lalu mendekati sambil memperlihatkan Lenghoe (Jimat) yang tergantung
di dadanya.
Waktu Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng ke Lhasa, Peng Go telah menemui Dalai Lama
sebagai seorang Liehoehoat (Pelindung agama wanita). Lenghoe yang berada di dada
Yoe Peng adalah hadiah Budha Hidup itu.
Walaupun sudah melihat Lenghoe itu, utusan Panchen masih bersangsi. "Bagaimana
Budha Hidup Dalai bisa mengetahui bahwa aku sedang menghadapi bencana?" tanyanya
di dalam hati.
Yoe Peng lalu mendekati lampu dan membesarkan sumbu. Ia memeriksa luka utusan
itu yang ternyata sudah bernanah dan bengkak merah. "Sungguh jahat hati Omateng,"
pikirnya sambil mengeluarkan sebutir pil yang lalu dihancurkan di dalam air teh. Sesudah
melaburkan obat itu di atas luka, ia merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Dengan
berkah Sang Budha, lukamu akan segera sembuh." Obat dari istana es tak bisa
dibandingkan dengan obat-obatan biasa. Begitu kena, rasa sakit mendadak menghilang
dan luka yang barusan dirasakan panas berubah adem.
Sekarang utusan Panchen tidak bersangsi lagi. Sambil merangkap kedua tangan, ia
menanya:
"Siapa kalian? Apakah kedatangan kalian tidak diketahui orang?"
"Kami sengaja datang untuk menolong kau," jawab Yoe Peng. "Omateng sudah
dirobohkan dan orang-orangnya belum tahu kejadian itu. Sebentar, jika ada orang
membawa obat kau jangan minum obat itu." Sehabis berkata begitu, ia menarik tangan
Thian Oe dan lalu menyembunyikan diri di belakang patung Budha.
Utusan Panchen jadi bingung, karena ia tak mengerti apa maksud perkataan itu. Ia lalu
merangkap kedua tangan, meramkan mata dan membaca doa dengan suara perlahan.
Beberapa saat kemudian, satu orang masuk ke dalam.
"Kenapa tabib tidak datang sendiri?" tanya utusan Panchen.
Orang yang datang adalah pembantu sang tabib. Ternyata, karena ketakutan, tabib itu
tidak berani datang sendiri dan telah memerintahkan seorang pembantunya untuk
membawa obat.
Pembantu itu yang tak menduga, bahwa obat yang dibawanya adalah racun, segera
menjawab dengan sikap hormat: "Tabib kebetulan mempunyai urusan penting dan sudah
memerintahkan aku untuk membawa obat..."
Belum habis perkataannya, Yoe Peng sudah melompat keluar dan mencengkeram
tangannya. "Aduh!" teriaknya dan mangkok obat direbut si nona. Tanpa mengeluarkan
sepatah kata, Yoe Peng lalu menuang racun itu ke dalam mulutnya. Hampir berbareng,
mukanya berubah pucat dan dari pucat menjadi hitam dan jiwanya melayang.
Utusan Panchen kaget bukan main. "Omateng benar-benar jahat!" katanya dengan
suara bergemetar. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata kepada Yoe Peng.
"Sekarang aku mengerti. Tapi, dengan adanya kejadian ini, kedoknya terlocot dan dia
tentu akan menjadi gusar. Bagaimana kita bisa meloloskan diri dari bentengan ini yang
terjaga kuat?"
"Jangan kuatir," menghibur Thian Oe. "Kami akan melindungi kau." Baru saja ia
mengeluarkan perkataan itu, di luar sudah terdengar suara orang.
Sambil menghunus pedang Thian Oe membuka pintu dan melongok keluar. Ia melihat
lima enam orang sedang mendatangi, yang paling dulu adalah si pendeta berkelana dan
Teruchi sedang yang paling belakang adalah dua boesoe yang menggotong Omateng. Di
antara mereka terdapat dua orang kepercayaan Nyepa itu. Mereka sebenarnya ingin
mencari Pengtjoan Thianlie, tapi yang diketemukan adalah tubuh Omateng yang dingin
seperti es. Si pendeta yang berpengalaman lantas saja menduga, bahwa di bentengan
mesti terjadi kejadian luar biasa, maka buru-buru ia mengajak kawan-kawannya pulang.
Melihat Pengtjoan Thianlie tidak berada disitu, hati si pendeta menjadi lega. "Bocah!"
bentaknya. "Kau orang berani datang untuk merampas utusan Budha Hidup? Nyalimu
sungguh tak kecil!"
Thian Oe mengeluarkan suara di hidung. "Jangan banyak bacot!' ia lantas membentak.
"Lekas serahkan Omateng untuk dihukum!"
Orang kepercayaan Omateng jadi sangat gusar. "Binatang!" satu antaranya berteriak.
"Ilmu siluman apakah yang digunakan olehmu untuk mencelakakan Nyepa? Jika kau tak
mengembalikan kesehatannya, aku akan cabut jiwa anjingmu!" Sambil mencaci, mereka
menerjang, yang satu menggunakan golok, sedang yang lain menggunakan kampak.
"Peng-moay, kau lindungi utusan Budha Hidup," kata Thian Oe sambil menangkis
serangan musuh. Dalam sekejap mereka sudah bertempur seru.
Sementara itu, si pendeta tertawa dingin dan menjaga di luar sambil mencekal kedua
senjatanya. Thian Oe tak takut kedua musuhnya itu, tapi ia merasa jeri terhadap si
pendeta. Ia yakin, bahwa meskipun ia mengerubuti bersama Yoe Peng, mereka berdua
masih belum tentu bisa melawannya. Semakin lama ia jadi semakin bingung, karena tiada
jalan untuk meloloskan diri. Melihat pemuda itu tak berani menerjang keluar, si pendeta
jadi lebih girang dan sambil tertawa nyaring, ia merangsek.

***
Sementara itu, Hoat-ong dan Kim Sie Ie yang sedang mengadu tenaga mati-matian,
sudah mencapai pada detik yang memutuskan. Mendadak, Hoat-ong menghantam
sekeras-kerasnya dan berbareng Kim Sie le menyemburkan jarum beracun! Pada detik
yang sangat genting itu, sekonyong-konyong terdengar bentakan nyaring dan merdu! Kim
Sie Ie terkejut sehingga jarumnya mencong dan dikebut terpental dengan tangan baju
Hoat-ong. Di lain pihak, karena kagetnya sebab bentakan itu, tenaga pukulan Hoat-ong
pun berkurang banyak, sehingga, biarpun terpukul jatuh, Kim Sie Ie tak sampai mendapat
luka di dalam badan. Sesudah bergulingan, ia melompat bangun kembali.
Semenjak meninggalkan pulau Tjoato, inilah untuk pertama kali Kim Sie Ie bertempur
dengan menggunakan seantero tenaganya. Tadi, karena sedang memusatkan seluruh
semangat dan perhatian kepada pertempuran itu, ia tak tahu kedatangan Pengtjoan
Thianlie. Sekarang begitu melompat bangun, ia melihat Peng Go yang berdiri sambil
tersenyum. Dalam kagetnya, ia mengeluarkan teriakan "Aya!" dan mengawaskan dengan
mulut ternganga. Tiba-tiba ia merasakan hawa sangat dingin menyambar masuk ke dalam
tubuhnya Ternyata, selagi ia ternganga, si nona telah mementil dua butir Pengpok Sintan
ke dalam mulutnya!
Barusan, karena ditindih tenaga Hoat-ong, Kim Sie Ie merasa panas dan haus luar
biasa. Maka itu, Pengpok Sintan seolah-olah air sejuk bagi seorang pelancong di tengah
padang pasir dan mendadak saja, badannya menjadi adem dan rasa hausnya hilang.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, ia segera mengerti, bahwa si nona
sudah menolong dirinya dengan menggunakan "racun untuk melawan racun". Tanpa
pertolongan itu, meskipun tak sampai menjadi binasa, sedikitnya ia bakal mendapat sakit
berat.
Untuk sejenak, ia berdiri dengan kepala pusing dan pikiran kalut. Kedatangannya
kepada Hoat-ong adalah untuk melampiaskan rasa mendongkolnya terhadap Tong Keng
Thian. Diluar dugaan, hampir-hampir ia binasa dan kekalahannya yang menyedihkan telah
disaksikan oleh Pengtjoan Thianlie. Bukan saja disaksikan, malahan ditolong oleh si nona.
Baginya, soal mati atau hidup adalah soal remeh. Yang dipandang penting adalah soal
kehormatan, menurut tafsirannya sendiri. Maka itu, pada detik itu, ia merasa sangat
jengah dan penasaran.
Koei Peng Go tentu saja tak dapat menebak jalan pikiran pemuda yang aneh itu.
Perlahan-lahan ia mendekati dan menanya sambil bersenyum: "Apa kau tidak mendapat
luka? Hm! Apa kau telah bertemu dengan Tong Keng Thian? Mari kita berangkat dan jika
bertemu, kita boleh minta beberapa butir Pekleng tan. Menurut katanya Lu Soe Nio,
latihan lweekang-mu kurang tepat dan hanya Pekleng tan yang dapat menolong
kesehatanmu." Si nona bicara dengan suara lemah-lembut, tapi bagi Kim Sie Ie, setiap
perkataan seperti juga jarum yang menusuk perasaannya. Sekonyong-konyong, sambil
berteriak keras, ia kabur. Pengtjoan Thianlie mengubar, tapi ia sudah berada di atas
genteng dan sebelum mabur lebih jauh, ia melirik si nona dengan sorot mata dingin dan
mendongkol.
Dengan hati berat, Peng Go kembali kepada Hoat-ong dan berkata seraya
menggelengkan kepala: "Ah! Benar-benar sukar diurus!"
"Benar-benar sukar diurus!" mengulangi Hoat-ong yang kemudian, sambil merangkap
kedua tangannya, menanya: "Apakah pemuda itu dikenal oleh Liehoehoat?"
"Dia adalah seorang sahabat yang aku pernah bertemu beberapa kali," jawabnya.
"Bahwa dia telah berlaku kurang ajar terhadap Budha Hidup, hatiku sungguh merasa tidak
enak."
Hoat-ong tersenyum. "Sedang usianya masih begitu muda, kepandaiannya sudah
begitu tinggi," katanya. "Dapat dikatakan, bahwa dalam dunia ini tidak berapa orang yang
dapat direndengkan dengannya. Jika Liehoehoat tidak keburu datang, mungkin sekali aku
dan dia akan binasa bersama-sama."
Pengtjoan Thianlie melirik ke jurusan yang diawaskan Hoat-ong. Ternyata, Budha Hidup
itu tengah mengawaskan jarum Kim Sie le yang menancap di batu marmer dan yang di
seputarnya berwarna hitam!
Waktu masih berada di Tjenghay (Kokonor), Peng Go pernah menjadi tamu Hoat-ong.
Maka itu, pertemuan yang kedua kali ini sangat menggirangkan kedua belah pihak. Hoat-
ong segera mengundang tamunya duduk minum teh. Sambil minum dan omong-omong,
mata si nona terus mengincar sebuah lukisan di tembok.
"Liehoehoat, apa kau merasa ketarik dengan lukisan itu?" tanya Hoat-ong.
Si nona mengangguk dan lalu bangun berdiri, akan kemudian perlahan-lahan
mendekati lukisan tersebut. Mendadak, pada paras mukanya terlihat perasaan heran.
"Lukisan itu adalah lukisan 'Phaspa mengunjungi Kublai di Mongolia'," menerangkan
Hoat-ong. "Baik lukisan wanitanya, maupun binatang-binatangnya, semua kelihatan hidup
sekali. Pemandangan di gurun utara juga dilukiskan secara indah sekali." Selagi memberi
penjelasan, sambil menunjuk-nunjuk lukisan itu, tiba-tiba Hoat-ong mengeluarkan seruan
tertahan dan matanya mengincar muka gambar wanita itu yang ternyata sangat mirip
dengan muka si nona.
"Apakah pelukisnya masih berada disini?" tanya Peng Go.
"Para pelukis datang dari Lhasa dan mereka datang kemari atas undangan Touwsoe
almarhum," jawabnya. "Dalam kuil ini masih ada beberapa gambar yang belum selesai
dan pelukis-pelukis masih belum dibubarkan. Aku akan memerintahkan orang untuk
menyelidiki." Ia memanggil seorang muridnya yang lalu diperintah memanggil pelukis yang
melukis gambar di tembok itu.
Dalam omong-omong, si nona menceritakan apa yang sudah dilakukannya di Lhasa. Ia
menuturkan, bahwa dalam pertemuannya dengan Dalai Lama, Budha Hidup itu sudah
mengerti akan kejahatan Omateng dan menyetujui, bahwa Hoat-ong Agama Topi Putih
memegang kekuasaan tertinggi yang tak boleh diganggu-gugat di seluruh wilayah Sakya.
Ia juga memberitahukan, bahwa Hok Kong An telah berjanji untuk mengirim tentara guna
mencegat pasukan dari Kalimpong.
Hoat-ong jadi girang sekali dan berkata dengan suara berterima kasih: "Aku merasa
sangat berhutang budi kepada Liehoehoat yang sudah membebaskan Tibet dari bencana
yang sangat besar."
"Itu semua bukan karena pahalaku," si nona merendahkan diri. "Hal itu sudah terjadi
karena beberapa Budha Hidup mempunyai pandangan yang jauh dan hati yang welas
asih, serta tidak menghendaki pecahnya
peperangan yang merupakan bencana bagi umat manusia. Sekarang ini, tentara
Omateng sedang berhadapan dengan tentara Lochu. Aku berpendapat, secepat mungkin
kita harus membereskan soal ini."
Hoat-ong manggutkan kepala dan berkata: "Siang-siang aku sudah tahu, bahwa
Omateng bukan manusia baik. Jika sebegitu jauh aku belum bertindak, adalah karena
memandang Agama Topi Kuning. Sebagai tamu, tak pantas aku menentang tuan rumah.
Tapi sekarang, sesudah Budha Hidup, Dalai menyerahkan semua kekuasaan kepadaku,
biarpun Omateng mempunyai kepandaian yang lebih tinggi lagi, dia tak akan terlolos dari
tanganku." Sehabis berkata begitu, ia segera memerintahkan muridnya untuk bersiap,
karena malam itu juga ia ingin pergi ke bentengan Touwsoe untuk membereskan
kekacauan.
Sebelum berangkat, seorang murid melaporkan, bahwa pelukis yang dicari sudah
diketemukan dan bahwa ia itu adalah orang dari Nepal.
"Siapa namanya?" tanya Peng Go.
"Dia baru mau memberitahukan, sesudah bertemu Liehoehoat," jawabnya.
"Bagaimana dia tahu, aku berada disini?" tanya pula Peng Go dengan saura heran.
"Apa kau yang memberitahukannya?"
"Tidak," jawab murid itu. "Begitu bertemu, ia mengatakan, bahwa yang mencari
padanya tak bisa lain daripada Peng Go Siauwkongtjoe."
"Undanglah ia masuk," kata si nona dengan tak sabaran.
Sesaat kemudian, seorang tua yang rambutnya putih dan yang matanya terus
mengincar Pengtjoan Thianlie, berjalan masuk. Begitu berhadapan, ia segera berkata
dalam bahasa Nepal: "Aha! Sungguh mirip dengan Hoa Giok Kongtjoe!"
"Siapa kau?" tanya si nona. "Kenapa kau tahu nama ibuku?"
"Budakmu bernama Ngotu," ia memperkenalkan diri. "Pada tiga puluh tahun berselang,
aku pernah bekerja di bawah Hoema dan Kongtjoe."
Peng Go mengeluarkan seruan tertahan sambil bangun berdiri. "Kalau begitu, kau
adalah Ngotu Kongkong," katanya. "Sungguh tak nyana, kita masih bisa bertemu di
tempat ini." Sambil berkata begitu, ia membungkuk dan memberi hormat kepada orang tua
itu.
Murid-murid Hoat-ong kaget. Mereka tak nyana, pelukis miskin itu bisa mendapat
kehormatan yang begitu tinggi dari seorang tamu Budha Hidup dan seorang Liehoehoat,
seorang Pelindung Agama, yang mempunyai Pweeyap Lenghoe.
Buru-buru Hoat-ong memerintahkan muridnya mengambil kursi untuk Ngotu. "Aku tak
duga, kalian adalah sahabat lama," katanya.
"Bukan, bukan begitu," menerangkan si nona. "dengan Ngotu Kongkong aku baru
pernah bertemu muka. Tapi aku mengetahui, bahwa ia adalah guru melukis dari mendiang
ibuku. Dulu, ibuku sering mengatakan, bahwa Ngotu Kongkong adalah pelukis nomor satu
di seluruh Nepal dan di dalam istana es aku masih menyimpan beberapa rupa buah
tangannya."
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata: "Pertemuan luar biasa di
negara asing sungguh merupakan merupakan jodoh yang luar biasa pula."
"Kongkong," kata si nona. "Dalam usia yang sudah begitu lanjut, kenapa kau tak mau
berdiam saja di dalam istana? Perlu apa Kongkong merantau ke negeri orang?"
Si tua mengurut-urut jenggotnya dan berkata dengan suara perlahan: "Aku berdiam
disini justru untuk menunggu kau. Semula, aku tak tahu, berapa lama aku harus
menunggu. Tapi atas belas kasihan Sang Budha, hari ini kita bisa bertemu dan aku
percaya Nepal masih dapat ditolong."
"Ada apa? Kenapa Kongkong mengatakan begitu?" tanya Peng Go.
"Raja Nepal yang dulu adalah saudara misan ibumu," kata Ngotu. "Dia seorang kejam
dan serakah, sehingga di dalam negeri ia tidak disuka rakyat,di luar negeri ia bermusuhan
dengan negara-negara tetangga. Apakah kau tahu hal itu?"
"Aku pernah mendengarnya dari ibu," jawab si nona. "Ibu pernah meminta pertolongan
orang untuk membujuknya. Dan jika tak salah, karena kejamnya paman, maka ibu telah
bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Nepal. Tapi kenapa Kongkong mengatakan raja
yang dulu?"
Ngotu mengirup teh dan kemudian, sesudah menghela napas panjang, ia berkata: "Dua
tahun berselang, yaitu dalam tahun terjadinya perebutan guci emas, ia mendapat luka
waktu bertempur dengan sebuah negara tetangga. Luka itu, luka kena anak panah,
ternyata tak bisa disembuhkan, sehingga tak lama kemudian ia meninggal dunia. Putera
mahkota yang menggantikan kedudukannya sebagai raja, lebih kejam daripada ayahnya.
Penderitaan rakyat menghebat dan secara wajar, orang-orang yang lebih tua mengingat
Hoa Giok Kongtjoe, Mereka mengatakan, bahwa tahta kerajaan sebenarnya harus
diduduki oleh ibumu dan jika dulu ibumu menggantikan kedudukan ayahnya, keadaan di
Nepal tentu tidak jadi begitu kacau. Semua orang mengharap, supaya Hoema dan
Kongtjoe bisa kembali ke negeri sendiri untuk menolong Nepal dari kemusnahan."
"Ibuku sudah meninggal belasan tahun lamanya," kata si nona dengan suara duka.
"Hal ini sudah didengar olehku, tapi belum diketahui rakyat," kata Ngotu.
"Bagaimana kau tahu, ibuku sudah meninggal dunia?" tanya Peng Go.
"Raja yang dulu pernah memerintahkan Koksoe (Guru negara) pergi ke Tibet untuk
menyelidiki Hoa Giok Kongtjoe," jawabnya. "Menurut pendengaranku, dia pernah bertemu
muka dengan kau."
Pengtjoan Thianlie mengangguk. "Benar," katanya. "Pendeta jubah merah itu dua kali
menyateroni istana es, tapi dipukul mundur olehku. Belakangan, ia binasa waktu terjadi
perebutan guci emas."
"Biarpun dia sudah mati, tapi dalam laporannya kepada raja, dia sudah menanam bibit
bencana," kata Ngotu.
"Apa yang dikatakannya kepada raja?" tanya si nona dengan perasaan heran.
"Dia mengatakan telah bertemu dengan seorang dewi yang kecantikannya tiada
bandingan dalam dunia ini," jawabnya. "Dewi itu adalah kau sendiri. Dia juga melaporkan,
bahwa kau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, malahan setiap dayangmu pun
mempunyai kepandaian lumayan. Jika kau suka membantu raja, Nepal tentu bisa
menjagoi, tapi menurut pendapatnya, kau tak akan sudi kembali ke negara sendiri.
Selanjutnya dia berpendapat, bahwa karena tidak setia kepada raja, kau bisa
merupakan bibit penyakit jika dibiarkan hidup terus. Maka itu, dia mengusulkan, supaya
raja mengumpulkan orang-orang pandai untuk mengambil jiwamu."
Si nona tertawa dingin. "Aku tak takut," katanya.
"Tapi Raja yang dulu tidak mengambil tindakan apa-apa, karena ia tengah menghadapi
banyak urusan di dalam negeri dan bermusuhan dengan beberapa negara tetangga," kata
Ngotu.
"Tapi bahaya apa yang barusan disebutkan olehmu?" tanya si nona.
"Pada waktu Koksoe memberi laporan, Thaytjoe (putera mahkota) juga berada disitu,"
menerangkan si tua. "Sebagai pelukis istana, aku pun kebetulan berada dalam ruangan
itu. Sesudah Thaytjoe menjadi raja dua tahun lamanya, sampai sekarang ia belum
mengambil permaisuri dan sebabnya adalah karena ia ingin menunggu kau."
"Binatang!" menggerendeng si nona dengan suara gusar. "Dia jangan mimpi."
"Dia membuat persiapan dengan sungguh hati," si tua melanjutkan keterangannya.
"Selama dua tahun, dia telah mengumpulkan banyak sekali jago-jago dari negara-negara
Arab dan Eropa dan telah melatih satu pasukan untuk mendaki gunung. Sesudah
persiapannya selesai, dia akan segera datang ke Tibet untuk menyambut kau."
"Biarpun dia mengirim puluhan laksa tentara, aku tak akan menunduk," kata si nona
dengan suara mendongkol.
"Tapi dia mempunyai perhitungan lain," kata Ngotu. "Dia menganggap, bahwa dengan
ancaman perang, dia akan bisa menekan Hok Kong An dan Raja Tibet yang tentu tak sudi
berperang karena kau seorang. Maka itu, andaikata kau tak suka mengikut, kau tentu tak
akan bisa berdiam lebih lama lagi di wilayah Tibet."
Paras muka si nona jadi merah padam karena gusar dan jengkel, la tak menduga,
bahwa karena gara-garanya, di Tibet bakal muncul satu kejadian hebat.
Sesudah berdiam sejenak, Ngotu berkata pula: "Karena pernah menerima budi ibumu
yang sangat besar dan juga sebab mengingat penderitaan rakyat, maka aku sudah
meninggalkan penghidupan mewah dalam istana dan merantau ke Tibet untuk mencari
kau. Sebab sudah berusia lanjut, aku merasa tak sanggup untuk pergi ke istana es dan
hanya menunggu untuk melihat lain kesempatan. Kebetulan sekali, orang mencari pelukis
untuk kuil Lhama yang baru didirikan dan aku segera melamar pekerjaan itu.
Aku ingat, bahwa ibumu adalah seorang yang memuja Budha, sehingga mungkin sekali
kau pun akan datang berkunjung kesini. Memikir begitu, aku lalu melukis gambar itu dan
benar saja, atas berkah Sang Budha, sekarang kita bisa bertemu muka."
"Terima kasih untuk segala capai lelahmu," kata si nona sambil membungkuk.
"Aku datang kemari dengan membawa pengharapan rakyat dan pengharapanku
sendiri," kata pula Ngotu. "Aku memohon supaya kau suka mempertimbangkannya.
Pengharapan itu adalah, jika kau menganggap bahwa kau mampu membinasakan raja
kejam itu, pulanglah dan merebut kekuasaan dari tangannya. Tapi, andaikata kau tak bisa
membunuh dia dengan tangan sendiri, begitu kau pulang dan memanggil rakyat, rakyat
pasti akan bangkit untuk membunuh raja kejam itu dan mengangkat kau sebagai raja.
Tahta kerajaan memang adalah hak ibumu, sehingga kalau kau menduduki tahta, hal itu
tidak lebih daripada pantas."
Si nona bersenyum seraya berkata: "Aku sedikitpun tak mempunyai minat untuk
menjadi raja. Jika Puncak Es tidak roboh, aku tentu tidak berada disini. Sebenarnya aku
sudah berkeputusan pasti untuk hidup mengasingkan diri di istana es selama-lamanya."
"Jika kau tidak ingin menjadi raja, lebih baik kau segera menyingkir secepat mungkin,"
kata Ngotu. "Aku kuatir, dalam waktu cepat dia akan datang kemari dengan tentaranya."
"Bagaimana Kongkong tahu?" tanya Peng Go.
"Omateng telah mengundangnya untuk mengirim tentara dan dia pasti tak mau menyia-
nyiakan kesempatan yang baik itu," jawabnya.
Pengtjoan Thianlie merasa duka sekali. Ia duduk bengong dan tidak mengeluarkan
sepatah kata. Dalam hatinya penuh dengan kesangsian, ia tak tahu tindakan apa yang
harus diambilnya. Sementara itu, seorang murid Hoat-ong melaporkan, bahwa segala apa
sudah siap sedia untuk keberangkatan raja agama itu ke bentengan Touwsoe.
"Ngotu Kongkong, terima kasih banyak untuk segala kebaikanmu," kata si nona. "Untuk
sementara, kau berdiam saja disini dan sesudah keadaan di Nepal menjadi beres, barulah
kau kembali ke negara sendiri." Si nona tidak memberitahukan apa yang akan
dilakukannya, tapi bagi Ngotu, perkataan itu sudah merupakan jaminan, bahwa sang
puteri tak akan berpeluk tangan. Maka itu, dengan perasaan syukur, ia lantas
mengundurkan diri. Sesudah itu, Pengtjoan Thianlie segera mengikut rombongan Hoat-
ong berangkat ke bentengan Touwsoe.

***

Sementara itu, keadaan Tan Thian Oe dan Yoe Peng yang terkepung di dalam pagoda sudah
Omateng lantas saja menerjang si nona dengan tujuan merebut utusan Panchen.
Dikerubuti tiga orang, dalam sekejap Yoe Peng terdesak dan dalam keadaan berbahaya,
buru-buru ia melepaskan dua butir Pengpok Sintan, yang mengenakan tepat pada jalanan
darah kedua boesoe itu. Sambil berteriak-teriak, mereka melompat keluar dari gelanggang
pertempuran dan terus kabur. Si nona girang dan lalu melepaskan pula sebutir Pengpok
Sintan. Teruuchi yang berkepandaian lebih tinggi cepat-cepat memutar Djoanpian
bagaikan titiran, sehingga, biarpun ia menggigil kedinginan, senjata rahasia itu kena
terpukul jatuh. Dengan beruntun Yoe Peng melepaskan lagi beberapa Sintan, tapi
semuanya dikebas terpental dengan tangan baju si pendeta.
Sekarang, sedang Yoe Peng bisa bernapas lebih lega, Thian Oe jadi semakin repot.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, dengan bentakan "kena!", mangkok si pendeta
menyambar ujung pedang Thian Oe. Sebisa-bisa pemuda itu coba menarik pulang
senjatanya, tapi sudah tidak keburu lagi, sehingga ujung pedang kena ditungkrup
mangkok yang lalu diputar dan pedang Thian Oe pun mengikuti terputar. Dengan
mengerahkan seluruh lweekang, ia coba membetot senjatanya, tapi tak bisa terlepas dari
"isapan" mangkok.
Si pendeta girang bukan main, tapi mendadak ia merasakan ada apa-apa yang luar
biasa di luar pintu. Ia menoleh dan tiba-tiba saja dua butir benda kecil yang sangat dingin
menyambar masuk ke dalam lubang hidungnya. Hatinya mencelos karena Pengtjoan
Thianlie kelihatan berdiri di ambang pintu sambil mengawaskannya dengan sorot mata
dingin.
Si pendeta terbang semangatnya dan sambil mengerahkan lweekang untuk melawan
hawa dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia melompat ke jendela dan terus kabur
terbirit-birit. Si nona tidak mengubar dan membiarkan pendeta itu mabur. Teruchi juga
kaget bukan main, sehingga gerakan senjatanya agak lambat dan Thian Oe yang sungkan
menyia-nyiakan kesempatan baik, segera melompat dan menangkap ujung Djoanpian.
Baru saja ia mengangkat pedang untuk menabas, Peng Go membentak: "Tahan! Ampuni
padanya, jika ia mau bersumpah untuk tidak mengacau lagi di Tibet." Teruchi yang masih
sayang jiwanya, lantas saja mengucapkan sumpah yang berat dan kemudian berlalu
tanpa diganggu.
Sementara itu, Hoat-ong sudah naik ke atas dan berjumpa dengan utusan Panchen,
yang sudah bisa bergerak leluasa karena ditolong dengan obat istana es. Dengan
perkataan-perkataan halus ia pun menghaturkan banyak terima kasih untuk semua
pertolongan.
Kaki tangan Omateng yang sudah mati kutunya, berdiri di sudut ruangan tanpa berani
bergerak. Mereka ketakutan setengah mati, lebih-lebih dua boesoe yang menggotong
tubuh Nyepa itu.
"Apakah kau orang ingin menebus dosa?" tanya Hoat-ong dengan suara angker.
Melihat dibukanya jalanan hidup, semua boesoe itu segera manggut-manggutkan
kepala. "Sebagai orang kepercayaan, kau orang tentu mengetahui, bahwa Omateng
telah bersekutu
dengan orang luar untuk menimbulkan kekacauan di Tibet," kata pula Hoat-ong.
"Sekarang aku ingin mendapat bukti dari persekutuan itu untuk diumumkan kepada dunia,
terutama kepada pembesar-pembesar dan rakyat di Sakya." Sehabis berkata begitu, ia
segera memerintahkan dua orang muridnya untuk menggeledah kamar Omateng dengan
orang-orang kepercayaan itu.
Benar saja dalam kamar itu telah didapatkan sejumlah surat-surat rahasia, antaranya
surat balasan Raja Kalimpong dan Raja Nepal yang menjanjikan pengiriman tentara.
Hoat-ong segera meminta Pengtjoan Thianlie untuk menyadarkan Nyepa itu, yang
meskipun licik, sekarang tidak bisa menyangkal lagi segala kedosaannya. Sesudah
menegurnya dengan perkataan-perkataan keras, Hoat-ong menotok beberapa bagian
tubuhnya untuk memusnahkan ilmu silatnya. Sesudah itu, ia menyerahkan Omateng
kepada utusan Panchen untuk dibawa ke Lhasa dan diadili.
Sesudah membereskan keadaan di dalam bentengan, Hoat-ong memerintahkan
beberapa muridnya, dengan membawa tanda kekuasaan Budha Hidup, pergi
mendamaikan kedua pasukan yang sedang berhadapan di luar bentengan, yaitu pasukan
Touwsoe dan pasukan Lochu, pamannya Chena.
Sementara itu, utusan Panchen telah memberi pengampunan kepada si tabib, yang
telah dipaksa Omateng untuk meracuninya. Tak usah dikatakan lagi, ia jadi kegirangan
dan lalu berlutut sambil manggutkan kepala berulang-ulang. Atas pertanyaan Thian Oe,
tabib itu memberitahukan, bahwa jenazah Chena ditaruh di belakang bentengan bersama
peti mati Touwsoe. Tanpa menunggu lagi, dengan diantar oleh si tabib, bersama Yoe
Peng, Thian Oe segera menuju ke tempat yang ditunjuk.
Ternyata jenazah Chena ditaruh dalam sebuah peti mati kaca, di samping peti mati
Touwsoe. Dengan berbuat begitu, Omateng mempunyai maksud tertentu, la ingin, supaya
semua penghuni dalam bentengan Touwsoe bisa mengenali, bahwa pembunuh itu adalah
"si pencuri kuda" yang pernah ditolong oleh Tan Teng Kie dan puteranya. Dengan berbuat
begitu, ia bertujuan untuk mengobarkan perasaan gusar terhadap orang Han seumumnya
dan Soanwiesoe khususnya. Tapi, di luar dugaan, tindakan Omateng telah memungkinkan
Thian Oe melihat pula wajah kecintaannya. Karena hawa yang dingin, maka biarpun
sudah lewat sekian lama, jenazah itu masih belum rusak dan di bawah kaca, paras muka
Chena tiada bedanya seperti waktu masih hidup.
Melihat kecintaannya, untuk sejenak Thian Oe berdiri terpaku. Kepalanya terputar, ia
merasakan seolah-olah langit ambruk. Di lain saat, dengan satu teriakan menyayatkan
hati, ia melompat dan memeluk peti mati itu!
Semua orang -- Yoe Peng, si tabib, nyonya Touwsoe dan Sanpiie -- mengawaskan
dengan mata membelalak. Sesaat itu, segala apa sudah menjadi terang bagi Sanpiie. Ia
sekarang tahu sebab-sebab penolakan pemuda itu untuk menikah dengannya.
Sesudah hilang kagetnya, nyonya Touwsoe jadi gusar. "Tan Kongtjoe," katanya dengan
suara mendongkol. "Untuk apa kau masuk ke ruangan ini? Untuk bersembahyang kepada
suamiku atau kepada penjahat perempuan itu?"
"Dia... bukan... penjahat," jawabnya terputus-putus. "Dia adalah puteri Raja muda
Chinpu. Jika kalian tidak senang, biarlah sekarang juga aku memindahkan peti matinya."
"Aku tak perduli dia siapa!" berteriak nyonya Touwsoe. "Dia adalah pembunuh suamiku
dan biarpun dia sudah mati, dia masih harus membayar hutangnya!” Mendadak nyonya itu
menangis menggerung-gerung dan sesambat: "Ongya! Ongya! Sungguh buruk nasibmu!
Sesudah mati, masih ada orang yang menghina kau!" Selagi ia mau mencaci, sekonyong-
konyong ia ingat pertolongan Thian Oe yang sudah bantu menyingkirkan Omateng.
Mengingat begitu, ia jadi lebih sabar dan tangisannya mereda Sekonyong-konyong
terdengar tangisan Yoe Peng. "Chena Tjietjie!" teriaknya. "Jiwamu dijual terlalu murah!
Orang lain membunuh sekeluargamu dan merampas harta bendamu. Tapi, kau dengan
hanya membunuh satu musuh, sudah mesti membayar dengan jiwamu sendiri. Chena
Tjietjie! Kematianmu sungguh tidak berharga!"
Nyonya Touwsoe dan Sanpiie terkejut. Bahwa Touwsoe telah membunuh Raja muda
Chinpu serumah tangga dan kemudian merampas tanah, adalah kejadian yang diketahui
mereka. Maka itu, perkataan Yoe Peng yang tajam sudah mengejutkan mereka. Sedang
Yoe Peng masih mengucurkan air mata, dengan diantar Hoat-ong dari luar tiba-tiba masuk
seorang yang bertubuh tinggi besar. Orang itu adalah Lochu.
Melihat jenazah keponakannya yang ditaruh berendeng dengan peti mati Touwsoe,
Lochu gusar bukan main. "Binatang!" bentaknya. "Kau berani berendeng dengan
keponakanku?" Ia mengangkat tangan untuk menghantam peti mati Touwsoe.
Hoat-ong merangkap kedua tangannya seraya berkata dengan suara sabar: "Sesudah
hutang dibayar, permusuhan habis dengan sendirinya. Mulai dari sekarang, kedua belah
pihak harus menyingkirkan segala permusuhan."
Mendengar itu, Lochu mengurungkan niatnya dan dengan sorot mata gusar ia
mengawasi nyonya Touwsoe yang duduk di atas lantai tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Melihat kedatangan Lochu, Thian Oe merasa tak perlu berdiam lebih lama lagi, maka
sambil menarik tangan Yoe Peng, ia segera berjalan keluar dari ruangan sembahyang itu.

***

Di gedung Soanwiesoe, Keng Thian kaget bukan main ketika orang melaporkan, bahwa
Thian Oe telah kembali bersama dua orang wanita.
"Eh-eh! Apa dia terluka?" tanya Keng Thian.
"Tidak, Kongtjoe kelihatan lebih segar daripada waktu berangkat," jawab serdadu yang
melaporkan.
Buru-buru Keng Thian keluar dan begitu melihat, kegirangannya meluap -luap. Thian
Oe berjalan masuk sambil tersenyum, sedang Peng Go dan Yoe Peng mengikuti dari
belakang dengan bergandengan tangan. Untuk melayani musuh, sudah beberapa hari ia
bekerja terus menerus hampir tanpa mengasoh, sehingga ia sudah lelah dan lesu sekali.
Tapi kedatangan Peng Go seolah-olah air hujan bagi pohon yang layu dan mendadak saja
kesegarannya pulih kembali.
"Peng Go Tjietjie!" teriaknya. "Kenapa baru hari ini kau datang kesini? Thian Oe,
apakah yang sudah terjadi? Kenapa kau tidak pergi ke Lhasa?" Sedang mulutnya
menanya Thian Oe, matanya terus mengincar Pengtjoan Thianlie.
Yoe Peng tertawa terpingkal-pingkal, dan melepaskan tangannya dari cekalan si nona.
Ia mendorong Thian Oe dan berteriak: "Tolol! Tak usah meladeni pertanyaannya. Mari kita
berlalu. Biar mereka bicara sepuas hati."
"Tak usah pergi ke Lhasa," kata Peng Go yang lalu menceritakan apa yang sudah
terjadi.
Itulah perkembangan yang sungguh di luar dugaan Keng Thian. "Peng Go Tjietjie, kau
sungguh seperti seorang dewi," ia memuji dengan perasaan kagum. "Dengan sekali
mengebas tangan, awan membuyar dan matahari muncul di langit cerah."
Paras muka si nona bersemu dadu. "Hm! Kegirangan, tapi aku justru sedang
kebingungan," katanya.
Keng Thian terkejut. "Ada apa lagi?" tanyanya dengan suara berkuatir. "Bencana yang
paling besar sudah dielakkan. Ada apa lagi yang menjengkelkan?"
"Bahaya masih belum lewat," jawab si nona yang lalu menuturkan pertemuannya
dengan Ngotu, yang memberitahukan, bahwa Raja Nepal ingin datang ke Tibet untuk
memaksa ia pulang. "Tindakan apa yang harus diambil olehku guna menghadapi bahaya
itu?" tanya Peng Go akhirnya.
Paras muka Keng Thian lantas saja berubah guram, tapi sesudah memikir sejenak, ia
tertawa. "Sebagai seorang yang sudah kenyang membaca kitab-kitab pelajaran Budha,
apakah kau tak tahu, bahwa Hoedtjouw pernah memotong daging sendiri untuk diberikan
kepada seekor elang dan pernah berkorban untuk seekor Harimau?" tanyanya.
"Apa kau rela melihat aku menikah dengan Raja Nepal?" si nona balas menanya
dengan suara menegur.
Keng Thian kembali tertawa seraya berkata: "Gila! Masakah aku rela membiarkan kau
menikah dengan raja kejam itu? Maksudku adalah supaya kau tidak menampik capai lelah
untuk pergi ke Nepal guna menemui manusia kejam itu. Pertama, kau bisa mengakhiri
niatnya yang tidak-tidak dan kedua, kau bisa bertindak dengan mengimbangi salatan.
Misalnya, jika masih terdapat kemungkinn, kau bisa menuntun dia ke jalanan yang lurus,
atau, kau bisa juga menggulingkannya dan mengangkat seorang raja yang lebih
bijaksana. Dengan berbuat begitu, kau menyebar kebaikan kepada umat manusia
seumumnya dan kepada rakyat Nepal khususnya."
"Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Nepal," kata si nona. "Di samping
itu, andaikata aku pergi, belum tentu aku bisa berhasil."
"Dalam dunia ini banyak kejadian yang terjadi di luar dugaan manusia," membujuk
Keng Thian. "Dulu, kau pun pernah mengatakan, bahwa kau tak akan turun dari istana es.
Tapi bagaimana kesudahannya? Robohnya Puncak Es sudah memaksa kau kembali ke
pergaulan umum, kau-malahan sudah terlibat dalam pertempuran, sudah tertarik ke dalam
banyak peristiwa yang memusingkan otak.
Maka itu, untuk menolong sesama manusia, sekarang kau tak boleh takut pusing atau
takut capai."
Sebenarnya, si nona pun sudah menggenggam niatan itu. Mendengar bujukan Keng
Thian, ia segera menyetujui dan berkata sambil bersenyum: "Kalau begitu, kau harus
mengikut aku pergi bersama-sama!"
"Akur!" kata Keng Thian dengan suara girang. "Aku memang sedang menunggu
undangan itu! Sesudah mengasoh dua hari, kita lebih dulu pergi ke Lhasa untuk menemui
Hok Kong An dan mendengar-dengar soalnya Liong Leng Kiauw. Sesudah itu, barulah kita
berangkat untuk berjumpa dengan raja kejam itu."
Sambil berjalan berendeng di taman gedung Soanwiesoe, kedua orang muda itu
beromong-omong dengan suara perlahan. Dengan perasaan geli, mereka menceritakan
kembali beberapa salah mengerti di masa yang lampau yang sebagian besar disebabkan
oleh sepak terjang Kim Sie Ie.
"Orang itu sangat sukar ditaksir," kata Keng Thian. "Tadinya aku sangat membenci dia.
Tapi kali ini, di luar semua dugaan, ia telah menolong Thian Oe. Waktu Omateng mengirim
orang untuk menangkap pemuda itu, mendadak dia muncul dan dengan suka rela
menggantikan Thian Oe untuk menemui Hoat-ong. Coba kau pikir: Heran atau tidak?"
"Kau tentu tak tahu, dia hampir-hampir mengantarkan jiwa," kata si nona. "Barusan aku
sudah lupa untuk memberitahukan hal itu kepadamu. Waktu aku tiba di kuil Lhama, ia
justru sedang bertempur dengan Hoat-ong." Si nona lalu menuturkan kejadian itu secara
jelas.
Keng Thian merasa semakin kagum akan cara-caranya orang aneh itu. Sesaat
kemudian, ia menghela napas seraya berkata: "Ia hanya bisa hidup tiga puluh enam hari
lagi, tapi ia kukuh menolak segala bantuan yang ditawarkan olehku. Dia sungguh manusia
yang paling luar biasa dalam dunia ini. Sebelum mencarinya, hatiku tak akan merasa
senang. Tapi kemana dia sudah pergi?

***
Kemana perginya Kim Sie Ie?
Dari kuil Lhama, ia kabur bagaikan orang gila, tanpa tujuan. Perlahan-lahan fajar
menyingsing dan angin pagi yang dingin menyadarkan otaknya yang ditutup kabut.
"Kemana aku harus pergi?" tanyanya pada diri sendiri. Tiba-tiba ia merasa haus, haus
sekali. Dalam pertempuran melawan Hoat-ong, ia telah mengeluarkan tenaga dan keringat
terlalu banyak. Untung juga, berkat pertolongan dua butir Pengpok Sintan, hawa panas itu
tertindih dan tak sampai "membakar" dirinya. Tapi peluru es bukannya obat, maka
sesudah melumer dan habis kekuatannya, ia kembali merasa haus, karena hawa panas
dalam tubuhnya belum hilang semuanya. Ia lalu berjalan lebih cepat di jalanan raya yang
menuju ke Lhasa dan tak lama kemudian, ia bertemu dengan sebuah warung arak.
Karena hawa di Tibet sangat dingin, orang-orang yang berlalu-lintas sangat memerlukan
arak untuk menghangatkan badan. Maka itu, di sepanjang jalanan raya terdapat banyak
sekali warung-warung arak.
Ia segera mampir di warung itu dan sambil minum arak, ia memandang alam yang
indah. Di ladang dan di bukit-bukit, dan rumput sudah mulai menghijau dan di antara
warna hijau yang menutup bumi, terdapat bunga-bunga kecil yang berwarna kuning muda.
Itulah pemandangan dari permulaan musim semi dan bunga yang mekar paling dulu
adalah Potjoen hoa (Bunga yang memberitahukan kedatangan musim semi). Waktu itu
sudah masuk Djiegwee (Bulan kedua), tapi karena datangnya musim semi selalu agak
terlambat, maka di antara rumput hijau, masih terdapat pohon-pohon gundul atau yang
daunnya berwarna kuning tua.
Kim Sie Ie jadi semakin berduka. "Ah! Nasibku tiada bedanya seperti itu daun kuning
yang sedang menunggu rontoknya," ia mengeluh. Dalam dukanya, tanpa merasa ia
menyanyi lagu Lianhoalok, yaitu lagu kaum pengemis yang didapatnya waktu ia masih
mengemis di daerah Kanglam. Karena sedih dan penasaran, semakin lama ia menyanyi
semakin keras, sehingga pelayan yang membawa poci arak jadi terkejut. "Tuan tamu! Arak
datang!" teriaknya. Tanpa menoleh, ia mementil leher poci sehingga patah dan dari jauh ia
menyedot. Loh! Arak itu mendadak mancur keluar dari dalam poci dan masuk ke dalam
mulutnya. Si pelayan kaget tak kepalang dan mengawaskan pertunjukan itu dengan mata
membelalak. Sekonyong-konyong, sambil berteriak keras, Kim Sie Ie melompat seperti
orang dipagut ular!
Kenapa?
Ternyata, selagi ia menyedot arak, mendadak menyambar serupa benda kecil yang
berbentuk pil dan bersama arak, masuk ke dalam mulutnya. Sambaran itu luar biasa cepat
dan tidak terduga-duga, waktu ia mengetahui, benda itu sudah masuk ke dalam perut.
Sebagai orang yang mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu menggunakan senjata
rahasia, bokongan tersebut tentu saja mengejutkan sangat hatinya.
Sesaat kemudian, ia merasa semacam hawa dingin menerobos masuk sampai di
tantian (pusar) dan hampir berbareng, rasa haus, puyeng dan sakit menghilang
semuanya. Ia terkesiap dan ingat perkataan Phang Lin yang pernah menceritakan tentang
khasiat Pekleng tan. Apakah yang ditelannya pil Pekleng tan yang terbuat dari Thiansan
Soatlian?
"Aku ingin sekali bertemu dengan orang yang menolong diriku!" berseru Kim Sie Ie.
Sekonyong-konyong ia melihat muka dua wanita di jendela sebelah barat dan mereka
itu bukan
lain daripada Phang Lin dan puterinya. Bahna kagetnya, ia mengeluarkan jeritan nyaring
dan berdiri terpaku. Ia sudah menolak Pekleng tan yang diberikan Keng Thian, tapi
akhirnya, ia menelan juga pil itu. Biarpun pil yang ditelannya bukan diberikan langsung
oleh Keng Thian, tapi Pekleng tan tetap Pekleng tan. Phang Lin adalah bibi Keng Thian.
Bukankah dengan demikian, secara tak langsung, ia juga menerima budinya pemuda itu?
Pada saat itu, rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat dalam otaknya, sedang Lie Kim
Bwee menggapai-gapai dengan sikap nakal. Bibirnya bergerak, tapi ia tak dapat
mengeluarkan sepatah kata.
Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya bayangan orang, Phang Lin dan puterinya
menghilang dari pandangan. Kim Sie Ie bengong dan tiba-tiba saja, ia merasa sangat
menyesal. Ia ingat, bahwa dalam pertemuan pertama di atas gunung Gobie san, selagi si
nona bermain-main dengan kawanan kera, Kim Bwee pernah berkata begini: "Jika kau
berlaku baik terhadap mereka (kera-kera), mereka pun bersikap manis terhadapmu. Jika
kau menghina mereka, mana mereka mau bersahabat dengan kau?" Sekarang,
mendadak ia mendusin dan merasa, bahwa perkataan si nona tepat sekali. Ia
menganggap, bahwa dengan menolong Thian Oe, ia sudah berbuat suatu kebaikan. Dan
karena perbuatannya itu, beberapa orang memperhatikan dirinya dan tanpa diminta,
sudah mengulur tangan untuk menolongnya. Memikir begitu, dalam hatinya muncul
pertanyaan: "Apakah aku yang sudah menarik kesimpulan salah? Apakah dunia ini
sebenarnya tak begitu kejam seperti yang diduga olehku?"
Dalam kedukaannya, ia ingat pula banyak kejadian di masa lampau. Ia ingat kecintaan
mendiang ayahnya, ia ingat kecintaan seorang pengemis tua yang pernah mencuri ubi
manis untuk menolongnya dari kelaparan, ia ingat kebaikan Pengtjoan Thianlie dan ingat
pula si nona nakal yang sangat memperhatikan dirinya. Di samping ayahnya yang tercinta,
orang-orang itu telah berpapasan dengannya hanya untuk sementara waktu, tapi, dalam
tempo yang sependek itu, mereka telah berbuat apa-apa yang tak dapat dilupakannya.
Mengingat begitu, air matanya mengucur deras. Ia ingin berteriak untuk memanggil Kim
Bwee dan ibunya, tapi mereka sudah tak tertampak bayang-bayangannya lagi.
Sambil menangis, ia mengawasi ladang yang luas dengan sorot mata dan paras muka
orang yang hilang ingatan. Para pelayan berwaspada dengan hati berdebar-debar, tapi
mereka tak berani menegur tamu yang aneh itu.
Sekonyong-konyong, ia mendengar suara seorang wanita yang tak asing. "Aku minta
sepoci arak susu kuda," katanya.
"Ibu, aku tak suka arak susu kuda yang asam," kata seorang wanita muda. "Aku ingin
minum anggur yang manis."
Ia menoleh dan matanya kebentrok dengan mata dua orang wanita, seorang ibu dan
puterinya.
Begitu melihat Kim Sie Ie, si nona lantas mundur beberapa tindak dengan mata
membelalak.
Kedua wanita itu bukan lain daripada Yo Lioe Tjeng dan Tjee Tjiang Hee. Oleh karena
sang ibu ingin sekali bertemu dengan Tong Siauw Lan, sedang si anak kepingin berjumpa
dengan Tong Keng Thian, maka pada suatu hari ibu dan anak itu telah berangkat ke
Sinkiang dengan niatan mendaki Thiansan guna menemui keluarga Tong. Setibanya di
Sinkiang, mereka bertemu Lie Tie dan baru mereka mengetahui, bahwa Keng Thian
berada di Tibet, sedang Siauw Lan pun sudah berangkat ke Tibet kira-kira setengah bulan
berselang, untuk menyusul puteranya Maka itulah, mereka lalu menuju ke Tibet dan di luar
dugaan, di tengah jalan bertemu dengan Toktjhioe Hongkay. Waktu baru masuk ke warung
arak, mereka tak mengenali pemuda itu yang mengenakan pakaian Thian Oe. Sesudah
melihat wajahnya, barulah mereka tahu siapa adanya dia
Kim Sie Ie tentu saja tak tahu, bahwa kaburnya Phang Lin adalah karena kedatangan
Yo Lioe Tjeng. Sebagaimana diketahui, Phang Lin adalah seorang wanita yang suka
guyonan. Dulu, dengan menyamar sebagai Phang Eng, kakaknya, ia pernah memapas
rambut Yo Lioe Tjeng dengan golok terbang. Itulah sebabnya, begitu melihat nyonya
tersebut, ia kemalu-maluan, tidak berani menemuinya dan lalu kabur sambil menyeret
tangan puterinya yang merasa heran melihat sikap sang ibu.
Sementara itu, melihat puterinya begitu ketakutan, Yo Lioe Tjeng berkata dengan suara
mendongkol: "Takut apa? Ingatlah, bahwa kau adalah cucu Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng.
Jangan kasih dirimu dipandang rendah!"
Beberapa puluh tahun lamanya, Yo Tiong Eng pernah jadi pemimpin Rimba Persilatan
di lima propinsi Tiongkok Utara. Sebagai puteri keluarga yang kesohor, Yo Lioe Tjeng tentu
saja sungkan merendahkan diri. la yakin, bahwa mereka berdua masih bukan tandingan
Kim Sie Ie. Akan tetapi, ia pun tahu, bahwa jika si penderita kusta mau menyusahkan,
biarpun lari, mereka tak akan bisa terlolos. Sebab itu, ia segera mengambil keputusan
untuk mempertahankan diri, sesuai dengan kedudukannya dalam Rimba Persilatan.
Jika perkataan nyonya itu dikeluarkan pada beberapa tahun berselang, ia pasti akan
diganggu. Tapi sekarang, bukan saja Kim Sie Ie tak mempunyai kegembiraan untuk
mengganggu orang, tapi perkataan Yo Lioe Tjeng malahan sudah menimbulkan rasa
jengah dalam hatinya. "Ah, nona itu cantik dan manis, seperti Kim Bwee Moaymoay,"
pikirnya. “Tapi begitu melihat aku, dia lantas saja ketakutan. Ini memang salahku yang
sudah menanam bibit jelek pada dulu hari, sehingga semua manusia menganggap aku
sebagai manusia aneh."
Yo Lioe Tjeng segera mengajak puterinya duduk di satu meja dan berteriak: "Pelayan,
ambil dua poci anggur!" Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan gendewa dan peluru
yang lalu ditaruh di atas meja. Tapi biarpun di mulut berani, hati si nyonya sebenarnya
ketakutan, sehingga tangan dan suaranya agak bergemetar. Kim Sie Ie tersenyum dan
dengan tenang minum terus araknya.
Selang beberapa saat, dari luar mendadak masuk seorang anak muda yang
dandanannya seperti kacung kamar buku (pelayan pribadi dari seorang pemuda hartawan
atau bangsawan) dan yang menggendong buntalan di punggungnya. Kacung itu, yang
berusia kira-kira enam belas atau tujuh belas tahun, kelihatan lelah sekali, tapi pada
bibirnya selalu tersungging senyuman dan ia tak hentinya tertawa haha-hihi.
Sambil menaruh buntalan di atas meja, ia berkata seorang diri: "Bagus 'dah! Besok aku
sudah tiba di Sakya. Pelayan, berikan aku sepoci anggur dingin!" Di pegunungan Tibet,
hawanya dingin luar biasa dan sepanjang tahun es tak pernah melumer. Tapi di tanah
datar, di waktu siang hawanya panas. Waktu itu belum tengah hari, tapi si kacung yang
rupanya sudah berjalan sedari pagi, sudah kepanasan dan kecapaian.
Sesaat kemudian, pelayan datang dengan membawa sepoci anggur dan sepiring es
potongan. Si kacung lalu menuang arak di cawan, mengambil sepotong es yang lalu
dicemplungkan ke dalam cawan dan kemudian menghirup isinya sambil meram-melek.
"Aduh, enak betul!" katanya dengan suara keras. "Arak kaizar belum tentu seenak ini!' Ia
menyapu seluruh ruangan dengan matanya dan mendadak mendekati meja Yo Lioe Tjeng
sambil tertawa haha-hihi.
"Aha!" serunya. "Kalian masih belum tahu cara meminum anggur. Masa anggur
ditambah air? Dengarlah, aku memberi petunjuk. Jika kalian takut anggur itu terlalu keras,
tambahlah sepotong es. Anggurnya jadi lebih lunak dan rasanya dingin."
Alis Yo Lioe Tjeng berkerut, tapi ia sungkan rewel, karena sedang memperhatikan
gerak-gerik Kim Sie Ie.
Tapi si kacung ternyata tak mengenal batas. Ia kembali ke mejanya, mengambil piring
es dan balik lagi seraya berkata: "Aku tak dusta. Cobalah!" Ia menjumput sepotong es
dengan jerijinya yang kotor dan lalu menaruhnya ke dalam cangkir Tjee Tjiang Hee.
Si nona gusar bukan main. "Siapa suruh kau campur-campur urusanku?" bentaknya
sambil mementil dua biji buah tho. Itulah ilmu mementil peluru dari keluarga Yo yang
tersohor. "Tuk-tuk!", biji itu mengenakan tepat pada jalanan darah Djoanma hiat, di bawah
kedua ketiak si kacung, yang lantas berteriak "aya!", sambil melompat tinggi, sehingga
piring es tumpah dan potongan-potongan es menimpa muka si nona.
"Jika kau tak suka, kenapa tak bilang siang-siang," teriak si kacung. "Benar-benar kau
tak mengenal kebaikan orang. Hm! Kongtjoe-ku tak begitu sukar dilayani seperti kau!"
Mukanya Tjiang Hee bersemu dadu. "Siapa mau dilayani olehmu?" ia balas membentak
sambil mengangkat tangan untuk menggampar. Tapi sebelum tangannya melayang, ia
sudah ditarik ibunya. Yo Lioe Tjeng yang mempunyai banyak pengalaman, mengawaskan
si kacung dengan rasa heran dan sangsi. Djoanma hiat adalah salah satu dari tiga puluh
enam jalanan darah besar dalam tubuh manusia. Jangankan seorang anak muda,
sedangkan orang yang berkepandaian tinggi mesti rebah jika Djoanma hiat-nya terpukul.
Apakah kacung itu mempunyai Pithiat Kanghoe (ilmu menutup jalanan darah)?
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak dan bangun berdiri. Yo Lioe Tjeng
terperanjat dan tangannya lalu mengambil gendewa dan peluru.
"Saudara kecil," kata Kim Sie Ie sambil tertawa. "Cara kau minum arak sungguh bagus.
Pelayan! Ambil sepiring es untukku."
Mendengar suara orang, si kacung memutar badan. Mendadak ia berteriak: "Aduh! Tak
nyana Inkong (tuan penolong) yang bicara! Hari itu, aku tidak keburu menghaturkan terima
kasih. Kenapa kau juga berada disini? Inkong, aku tak mempunyai apa-apa untuk
membalas budimu. Aku hanya bisa mengundang kau minum secawan a-rak. Harap Inkong
jangan menampik. Aha! Aku sungguh gila! Inkong sudah menolong aku, tapi aku sendiri
belum menanya she dan nama Inkong yang besar!"
Kim Sie Ie tertawa seraya berkata: "Hm! Jika tak salah, kau ini bernama Kang Lam,
pelayan yang sangat bawel dari Tan Tliian Oe. Bukankah begitu?"
"Tentulah Siauw Loosoe yang memberitahukannya kepadamu," kata Kang Lam.
"Sebenarnya aku sama sekali tidak banyak mulut. Mereka mengatakan begitu, karena
mereka membenci aku."
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Kita berdua sama-sama dibenci orang. Marilah minum!"
Yo Lioe Tjeng semakin tak enak hatinya. Sedang satu Kim Sie Ie saja sudah sukar
dilayani, apalagi ditambah dengan si kacung aneh. Tapi sebenarnya, dalam hal ilmu silat,
kepandaian Kang Lam masih belum dapat menandingi Tjee Tjiang Hee. Hanyalah karena
pernah dipaksa menjadi murid Hongsek Toodjin, sehingga ia pernah mempelajari ilmu
membalik aliran jalanan darah dari imam itu, maka biji buah tho yang dipentil si nona tidak
berhasil merobohkannya.
Bahwa hari itu ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Hongsek Toodjin, adalah
berkat pertolongan Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie. Biarpun benar, ia terutama ditolong
oleh Tong Keng Thian, tapi tanpa bantuan kedua orang itu, Keng Thian pasti tak akan
dapat memundurkan Hongsek. Kang Lam adalah seorang yang mempunyai ingatan kuat,
sehingga, meskipun hanya melihat sekelebatan, ia tak bisa melupakan wajah Kim Sie Ie.
Maka itulah, begitu bertemu, ia segera memanggil Inkong.
Kim Sie Ie yang sedang uring-uringan dengan beruntun menghabiskan belasan cawan
dan kemudian sambil mendelik, ia menanya: "Eh, kenapa kau memanggil Inkong? Selama
hidupku, baru pertama kali orang memanggil Inkong kepadaku."
"Tanpa pertolonganmu, sampai sekarang aku tentu masih jadi muridnya toosoe bau itu,"
kata Kang Lam. "Sampai di ini detik, aku tentu masih terkurung di dalam hutan batu.
Mungkin sekali aku sudah mati lantaran sebal."
"Toosoe itu bersedia menurunkan kepandaiannya kepadamu," kata pula Kim Sie Ie.
"Kenapa kau berbalik merasa sebal terhadapnya?"
"Dia jahat," jawabnya. "Tak keruan-keruan, ia mencaci aku. Hm! Mukanya tak seperti
muka manusia. Belum pernah aku melihat ia tertawa. Bagaimana aku tidak merasa
sebal?"
"Kau tahu aku siapa?" tanya Kim Sie Ie dengan mata melotot.
"Aku justru mau menanya," jawabnya dengan sikap hormat.
"Kau dengarlah!" membentak Kim Sie le dengan suara menggeledek. "Aku adalah Kim
Sie Ie, yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay! Kau tahu? Aku
membunuh manusia tanpa memilih hari, menggebuk orang tanpa alasan. Kau tahukah?"
Mendengar itu, jantung Yo Lioe Tjeng memukul keras, sedang Kang Lam pun berdebar-
debar hatinya. Tapi walaupun ketakutan, ia tetap bersenyum-senyum seraya berkata: "Itu
semua aku tak tahu dan aku tak mau ambil perduli. Yang penting adalah, kau telah
berbuat baik kepadaku dan budi itu tak dapat aku melupakannya."
Kata-kata Kang Lam seolah-olah jarum yang menusuk hati Kim Sie Ie. Ia segera ingat
Lie Kim Bwee yang mengatakan, bahwa orang akan bersikap baik terhadapnya, jika ia
bersikap baik terhadap orang lain. Ia menghela napas dan berkata sambil mendorong
cawan arak: "Aku adalah manusia yang bertindak sesenang hatiku. Aku paling benci
manusia-manusia yang memperdagangkan budi. Kata-kata Hiapsoe (pendekar) atau
Inkong (tuan penolong) tak boleh diucapkan lagi untuk alamatku. Jika kau senang dengan
istilah itu, gunakannya terhadap Tong Keng Thian."
Kang Lam terkejut dan lalu berkata: "Tong Tayhiap juga adalah tuan penolongku. Hm!
Bukankah Tong Tayhiap sahabatmu? Setiap kali Tong Tayhiap datang di Sakya, ia tentu
menginap di rumah Kongtjoeku." Kang Lam hanya mengetahui, bahwa Kim Sie Ie dan
Pengtjoan Thianlie pernah membantu Tong Keng Thian dalam pertempuran melawan
Hongsek Toodjin. Tentu saja ia sama sekali tak tahu adanya ganjelan antara kedua
pemuda itu.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie melontarkan cawan arak dan tertawa terbahak-bahak.
"Tong Keng Thian adalah pendekar besar, sedang aku hanyalah si pengemis gila!"
teriaknya. "Bagus! Mari... mari! Mari kita minum!" Ia mengangkat lagi cawan, tapi sebelum
mencegluk isinya, ia berkata pula: "Kang Lam! Lidahmu sangat Ioncer! Jangan sombong
kau! Lagi kapan kau minum araknya kaizar?"
"Aku tidak berdusta," katanya "Memang benar aku pernah minumnya. Pergiku ke kota
raja adalah..." Mendadak ia berhenti bicara, karena ingat pesanan majikannya.
Sebenarnya tugas Kang Lam bukan tugas rahasia. Ia hanya diperintah membawa surat
Tan Teng Kie ke kota raja. Ipar Tan Teng Kie, yang harus menerima itu, berpangkat Giesoe
dan Kang Lam tiba di kota raja kebetulan pada hari-hari raya Tahun Baru. Sebagaimana
biasa, setiap Tahun Baru, kaizar menghadiahkan arak istana kepada pembesar-pembesar
negeri, setiap orang mendapat beberapa botol. Itulah sebabnya, Kang Lam pun dapat
mencicipi secawan arak istana.
Tapi Kim Sie Ie yang sudah sinting, salah mengerti. Ia menganggap si kacung berhenti
bicara karena dalam ruangan itu terdapat banyak orang lain. "Baiklah!" tiba-tiba ia
berteriak. "Aku akan mengusir semua yang berada disini. Saudara kecil, kau tak usah
kuatir."
Yo Lioe Tjeng jadi gusar sekali dan tangannya lantas saja mencekal busur dan peluru.
Pada saat hampir terjadi bentrokan, mendadak dari luar berjalan masuk dua tetamu.
Begitu melihat mereka, Kang Lam bergemetar sekujur badannya dan buru-buru
bersembunyi di belakang Kim Sie Ie.
Yang masuk itu adalah seorang pendeta dan seorang imam. Si pendeta tidak dikenal
Kim Sie Ie, tapi si imam bukan lain daripada itu jago Khongtong pay, Hongsek Toodjin,
yang baru saja disebut-sebut.
Hongsek tertawa dingin dan dengan sorot mata tajam, ia menyapu Kim Sie Ie dan Kang
Lam, sehingga si kacung terbang semangatnya. "Ha! Kau telah mendapat guru yang
jempol!" katanya.
"Jangan takut," kata Kim Sie Ie. "Minum terus." Ia maju mendekati Hongsek dan
menyambung perkataannya: "Jangan campur-campur urusan orang, mengerti?"
Sebagaimana diketahui, ketika terjadi pertempuran antara Hongsek dan Tong Keng
Thian, si imam telah berjanji, bahwa jika ia tidak dapat merobohkan pemuda itu dalam
tujuh jurus, ia tak akan mencampuri urusan Kang Lam untuk selama-lamanya. Mengingat
begitu, Kang Lam yang mengenal kebiasaan dalam Rimba Persilatan, jadi agak tenteram
hatinya. "Benar!" teriaknya. "Sebagai ketua dari suatu partai, kau tidak boleh menarik
pulang janjimu sendiri!"
Hongsek melotot dan berkata pula dengan suara dingin: "Bocah itu tak perlu digubris
olehku. Tapi kau berhutang denganku dan hutang itu mesti dibayar." Apa yang
dimaksudkannya adalah jarum beracun yang dulu pernah dilepaskan oleh Kim Sie Ie,
sehingga hampir-hampir ia mendapat luka.
Kim Sie Ie lantas saja tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" serunya. "Sesudah
minum beberapa cawan, aku memang sedang mencari-cari manusia untuk melampiaskan
rasa mendelu dalam hatiku."
Bukan main gusarnya si imam. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengebut
dengan hudtim-nya. Dengan jungkir balik Kim Sie Ie lompat melewati meja seraya
berteriak: "Jangan ganggu Kang Lam! Bagaikan kilat, jerijinya menotok jalanan darah
Koangoan hiat, di pergelangan tangan si imam. Buru-buru Hongsek menarik pulang
senjatanya mengerahkan lweekang, sehingga benang-benang hudtim buyar terpencar
untuk menggulung tangan musuh. Tapi di luar dugaan, totokan Kim Sie Ie hanya serangan
gertakan dan begitu lekas si imam menarik pulang senjatanya, dengan sekali menjungkir
balik, ia sudah berada di tembok seberang dan mengambil tongkatnya yang disenderkan
di dinding itu.
Hongsek jadi semakin kalap dan terus memburu.
"Eh!" kata Kim Sie Ie dengan suara mengejek. "Mari kita berkelahi di luar!"
Si imam yang kuatir diliciki lagi, lantas saja melompat dan menghadang di tengah pintu.
Pemilik warung arak yang ketakutan setengah mati, berteriak dengn suara gemetaran:
"Tuan-tuan, modalku kecil, mohon tuan-tuan... berkelahi... di luar!"
Hongsek mengebas tangan jubahnya dan sepotong emas terbang jatuh ke atas meja.
"Jangan rewel! Aku ganti segala kerusakan!" bentaknya.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie. "Eh, hitung juga arak yang sudah diminum olehku. Apa
cukup?" "Cukup, cukup!" jawab si pemilik warung arak sambil menjumput potongan
emas itu dan lalu
lari bersembunyi di belakang meja.
Dua kali Kim Sie Ie mengayun tongkat dan dua meja terpukul hancur. "Jika Toaya rela
mengeluarkan uang, biarlah aku menemani kau untuk main-main sedikit," katanya sambil
tertawa terbahak-bahak. Hongsek yang sungkan tarik urat lagi, lantas menghantam
dengan hudtim-nya.
Mereka segera bertempur dengan serunya. Tongkat Kim Sie Ie adalah senjata "keras",
sedang hudtim si imam merupakan senjata "lembek" dan karena kedua lawan itu adalah
ahli-ahli silat kelas utama, maka pertempuran itu adalah pertempuran yang jarang terlihat
dalam Rimba Persilatan. Tapi biar bagaimanapun juga, Hongsek yang mempunyai latihan
puluhan tahun lebih unggul setingkat daripada lawannya yang masih berusia muda.
Sesudah lewat tiga puluh jurus, benang-benang hudtim yang sebentar buyar dan sebentar
bersatu, berkelebat-kelebat bagaikan kilat di seputar tongkat. Setiap kali senjata Kim Sie
Ie menyentuh hudtim, tenaganya yang dahsyat lantas saja amblas di antara ribuan
benang. Tanpa memiliki lweekang yang cukup tinggi, siang-siang ia sudah roboh.
Sementara itu, Yo Lioe Tjeng dan puterinya sudah pindah duduk ke sudut tembok dan
menonton pertempuran itu dengan penuh perhatian. Biarpun ilmu silat nyonya itu belum
mencapai puncak tertinggi, akan tetapi, sebagai turunan seorang ahli silat kenamaan,
dengan sekali lihat, ia dapat membedakan tinggi rendahnya kepandaian orang dan dapat
pula menaksir jalannya sesuatu pertempuran. Demikianlah, selagi Kim Sie Ie terdesak,
tanpa merasa ia berkata: "Jika hudtim menyapu Pekhay hiat dan gagangnya menotok
Hiankie hiat, bocah itu akan roboh." Benar saja, Hongsek menyerang sesuai dengan apa
yang dikatakan Yo Lioe Tjeng.
Pada detik yang berbahaya, sekonyong-konyong Kim Sie Ie membungkuk sambil
menekan tanah dengan tongkatnya dan sesaat itu juga, badannya terputar. "Belum tentu
roboh!" teriaknya sambil tertawa. Hampir berbareng, tiba-tiba terdengar suara "fui!" dan
ludah Kim Sie Ie menyambar Hongsek.
Bukan main kagetnya si imam yang segera memutar senjatanya bagaikan titiran untuk
melindungi diri. Mendadak, seraya tertawa terbahak-bahak, Kim Sie Ie melompat tinggi
dan di lain detik, tangan kanannya sudah mencekal pedang besi, sedang tangan kirinya
memegang tongkat yang sebenarnya adalah sarung pedang.
Sesudah bersenjatakan tongkat dan pedang, ia lalu menyerang dengan beringas dan
saban-saban menyemburkan jarumnya. Diserang cara begitu, mau tak mau si imam jadi
bingung, karena ia harus sangat berhati-hati terhadap senjata rahasia si pengemis kusta
yang sangat beracun. Puluhan jurus kembali lewat, tanpa ada yang keteter.
Sesudah menonton beberapa lama, tiba-tiba Yo Lioe Tjeng mengeluh: "Celaka! Jika si
gila memperoleh kemenangan, aku dan anakku bisa celaka. Paling baik aku menyingkir
sekarang." Memikir begitu, ia lantas saja bangun dari tempat duduknya. Tapi, segera juga
ia terkejut, karena pendeta kawannya Hongsek sedang mengawasinya dengan sorot mata
dingin!
Waktu hweeshio itu, yang bertubuh jangkung, masuk dan duduk tanpa mengeluarkan
sepatah kata, ia tidak memperhatikannya. Tapi sekarang, melihat sorot matanya yang
tajam bagaikan pisau, ia terkesiap, karena yakin, bahwa pendeta itu bukan orang
sembarangan. Ia tertawa seraya berkata: "Thaysoe, aku minta permisi untuk lewat."
Hweeshio itu mendelik. "Lie Kiesoe," katanya. "Apa kau masih mengenali Tang Thay
Tjeng?" Jantung Yo Lioe Tjeng lantas memukul keras.
Tang Thay Tjeng adalah murid kepala dari Patpie Sinmo Sat Thian Tjek (si Memedi
Berlengan Delapan). Pada tiga puluh tahun lebih berselang, waktu Yo Lioe Tjeng baru
berusia enam belas tahun, ia telah mengikut ayahnya, Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng,
pergi ke gunung Thayheng san untuk menghadiri perhimpunan besar antara jago-jago
silat di lima propinsi Tiongkok Utara. Ketika itu, Tang Thay Tjeng dan gurunya, yang
mengabdi kepada Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat) In Tjeng, telah menerima
perintah untuk pergi ke Thayheng san guna membasmi jago-jago silat itu. Di tengah jalan,
Yo Tiong Eng dan puterinya bertemu Tang Thay Tjeng dan dalam pertempuran yang
terjadi, mereka hampir-hampir celaka. Untung juga keburu datang pertolongan dari Lioe
Sian Kay dan Tan Hian Pa, dua antara Kwantong Soehiap (Empat Pendekar Kwantong),
sehingga orang she Tang itu bisa dipukul mundur. Dalam pertempuran, dengan
menggunakan Tiattjiang (Pukulan besi) Yo Tiong Eng telah menghantam lengan kanan
lawannya yang menjadi patah dan tidak dapat digunakan lagi. Sebagai jago yang pernah
bertempur ratusan kali, Yo Tiong Eng segera melupakan kejadian itu dan ia juga tak tahu,
bahwa pukulannya telah mengakibatkan bercacatnya Tang Thay Tjeng.
Walaupun hatinya kaget, paras muka Yo Lioe Tjeng tetap tenang, la mundur dua tindak
seraya berkata: "Tiga puluh tahun kita tak pernah bertemu muka Tidak dinyana, sekarang
Thaysoe sudah menjadi orang beribadat. Untuk kejadian yang menggirangkan ini aku
memberi selamat."
Tang Thay Tjeng tertawa dingin. "Bahwa aku sekarang berkeadaan begini, adalah
hadiah dari ayahmu," katanya dengan suara tawar. "Lie Kiesoe, aku bukan pendeta suci.
Aku tak dapat menerima pujianmu yang terlalu tinggi."
Nyonya itu yakin, bahwa satu pertempuran tak dapat dielakkan lagi. Sambil mencekal
busur dan peluru erat-erat, ia berkata: "Apa benar-benar Thaysoe tak mau minggir?"
Tan Thay Tjeng dongak dan menghela napas. "Sayang! Sungguh sayang!" katanya.
"Sayang apa?" tanya Yo Lioe Tjeng.
"Sayang ayahmu sudah meninggal dunia," jawabnya. "Aku tak bisa mengantarnya dan
juga tak bisa menerima lagi pelajaran Tiattjiang Sintan."
Alis Yo Lioe Tjeng berdiri bahna gusarnya. "Biarpun ayahku sudah tak ada lagi dalam
dunia, ilmu Tiattjiang Sintan tak jadi musnah," katanya dengan suara nyaring.
"Jika kau masih ingin meminta pelajaran, pelajaran itu bisa diberikan sekarang juga."
Berbareng dengan suara menjepretnya busur, peluru Sintan menyambar-nyambar
bagaikan hujan gerimis, sehingga tak perduli ia berkelit ke jurusan mana, badan si
pendeta tak akan terluput dari sambaran peluru.
Tiba-tiba sambil berteriak nyaring, Tang Thay Tjeng mengebas dengan tangan
kanannya. "Biarpun mempunyai ilmu weduk, dia tak akan bisa menahan serangan
peluruku," kata Lioe Tjeng dalam hatinya. Harus diketahui, bahwa dalam ilmu melepaskan
peluru, nyonya itu telah berlatih puluhan tahun, sehingga Sintan yang dilepaskannya
bertenaga dahsyat luar biasa dan sukar dipunahkan, biarpun oleh orang-orang yang
memiliki ilmu Kimtjiongto atau Tiatposan (ilmu weduk).
Mendadak terdengar serentetan suara yang sangat nyaring, seperti juga peluru-peluru
itu membentur logam. Bukan main terkejutnya Yo Lioe Tjeng. Belum pernah ia mendapat
pengalaman yang begitu luar biasa.
Tang Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak. "Sungguh sayang!" teriaknya. "Ilmu
melepaskan Sintan dari keluarga Yo, semakin lama jadi semakin merojan." Ia melompat
dan tangannya menyambar.
Melihat ibunya berada dalam bahaya, Tjee Tjiang Hee menghunus golok dan sambil
meloncat, membabat lengan musuh. "Trang!", mata golok melengkung, telapakan tangan
si nona terbeset dan mengeluarkan darah!
Yo Lioe Tjeng terperanjat. Cepat bagaikan kilat, ia menyodok dengan busur dan
menghantam dengan tangan kanannya. Meskipun kepandaiannya belum cukup tinggi
untuk melayani jago silat utama pada jaman itu, Yo Lioe Tjeng mempunyai banyak
pengalaman. Ia mengetahui, bahwa di lengan kanan Tang Thay Tjeng mesti bersembunyi
apa-apa yang luar biasa, maka tangannya menghantam jalanan darah Samtjiauw hiat di
dada musuh, sedang busurnya menyodok leher pendeta itu.Kedua serangan yang dikirim
dengan berbareng, hebat bukan main, sehingga Tang Thay Tjeng terpaksa melepaskan
Tjiang Hee dan melompat mundur.
"Hee-djie, lekas lari!" berseru si ibu. Ia yakin, bahwa ilmu silatnya tidak dapat
menandingi musuh dan guna menolong puterinya, ia menggunakan taktik gerilya.
Sesudah lewat beberapa jurus, lengan kanan si pendeta yang bisa terputar-putar,
mendadak terbalik dan menyapu dengan kecepatan luar biasa. Pada detik itu, busur Yo
Lioe Tjeng yang sedang menyambar ke jalanan darah Pekhouw hiat di janggut musuh,
kena tersampok dan sambil mengeluarkan suara nyaring, lantas patah dua.
Tjee Tjiang Hee yang baru lari sampai di pintu, kaget tak kepalang dan segera
melompat balik untuk membantu ibunya. Muka Yo Lioe Tjeng berubah pucat dan sambil
menimpuk dengan busur buntung, ia menerjang dan menghantam dengan tangan
kanannya. Nyonya Tjee bergerak cepat, tapi musuhnya lebih cepat lagi. Sambil menunduk
untuk mengelakkan sambaran busur buntung, lengan kanan Tang Thay Tjeng menyambar
ke tulang kipas Tjiang Hee. Serangan itu sudah tak dapat dikelit lagi dan jika tulang
kipasnya terpukul hancur, ilmu silat si nona akan menjadi musnah sama sekali.
Pada detik yang sangat berbahaya, tiba-tiba Kim Sie le menjungkir balik dan sebelum
kedua kakinya hinggap di lantai, tongkatnya sudah menotok dada Tang Thay Tjeng.
Sambil mengeluarkan teriakan keras, pendeta itu melompat tinggi dan Tjee Tjiang Hee
tertolong.
Itulah perkembangan yang tidak diduga-duga oleh Yo Lioe Tjeng, yang tadinya
menganggap Kim Sie
Ie sebagai musuh. Di lain saat, dengan tongkat dan pedang besi, pemuda itu sudah
mengirim serangan berantai, sehingga Tang Thay Tjeng terdesak sampai di pinggir
tembok. Pada waktu itu, Yo Lioe Tjeng dan puterinya sebenarnya mendapat kesempatan
baik untuk melarikan diri, tapi mereka sungkan berbuat begitu.
"Hei! Siapa gurumu?" teriak Tang Thay Tjeng.
"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah seraya berkata dengan suara dingin: "Perlu apa
kau tanya-tanya guruku?"
Si pendeta yang rupanya mengetahui, bahwa ludah musuh mengandung jarum
beracun, buru-buru menangkis dengan lengan kanannya. Beberapa suara "tring"
terdengar, seperti jarum melanggar logam.
"Tahan!" teriak Tang Thay Tjeng.
Kim Sie Ie tak meladeni dan terus menyerang. Tiba-tiba, tanpa memutar badan,
pedangnya menyampok ke belakang untuk menangkis hudtim Hongsek Toodjin yang
membokong dari belakang dan berbareng, dengan pukulan Tokliong tjoettong (Naga
beracun keluar dari lubang), ia menyodok dada Tang Thay Tjeng.
Untuk mengerti tindakan Kim Sie Ie, orang harus mengetahui, bahwa jalan pikiran
pemuda itu adalah lain daripada orang biasa. Dulu, karena Yo Lioe Tjeng adalah puteri
seorang kenamaan, maka ia sudah sengaja mempermainkannya. Tapi sekarang, melihat
nyonya itu sangat membenci dirinya, ia berbalik memberi pertolongan, supaya nyonya itu
mendapat malu. Di samping itu, melihat rasa takut Tjee Tjiang Hee terhadap dirinya, ia
ingat perkataan Lie Kim Bwee dan dalam hatinya lantas timbul rasa menyesal akan
perbuatannya yang dulu-dulu. Itulah sebabnya, kenapa, tanpa memperdulikan
keselamatan diri sendiri, ia segera memberi pertolongan.
Di lain pihak, sebagai orang yang berkedudukan tinggi, sebenarnya Hongsek sendiri
merasa bahwa tak pantas dua pentolan mengerubuti seorang pemuda. Akan tetapi,
karena kawannya berada dalam bahaya, terpaksa ia menyerang dari belakang. Bokongan
itu tidak bermaksud untuk mencelakakan Kim Sie Ie dan ia hanya menggunakan separuh
tenaga, untuk menolong Tang Thay Tjeng.
Tapi, di luar dugaan, Kim Sie Ie yang sudah mengambil putusan untuk lebih dulu
membinasakan Tang Thay Tjeng, tidak kena ditahan dengan serangan itu. Tanpa memutar
badan, ia menangkis hudtim dengan pedangnya, sedang kakinya melompat terus dan
tongkatnya, yang dicekal dengan tangan kiri, menyodok dada Tang Thay Tjeng.
Itulah sodokan yang sangat hebat dan ia menduga, bahwa musuhnya pasti akan
binasa. Tapi pada detik yang sangat berbahaya, Tang Thay Tjeng mengebas dengan
lengan kanannya dan dengan satu suara "trang!" tongkat Kim Sie Ie terpental balik!
Kim Sie Ie kaget tak kepalang. Kejadian itu sungguh-sungguh di luar taksiran. Menurut
perhitungan biasa, tangan manusia yang terdiri dari darah dan daging tak akan bisa
menangkis tongkat itu yang terbuat dari besi.
Sedang ia masih belum hilang kagetnya, mendadak terjadi lain kejadian yang lebih
mengejutkan. Sekonyong-konyong lengan kanan Tang Thay Tjeng mulur kira-kira satu
kaki panjangnya dan dari suatu posisi yang mustahil, tangannya menyambar ke pundak
Kim Sie Ie.
Dalam pertempuran antara jago dan jago, menang kalahnya sering-sering diputuskan
atas perbedaan seujung rambut. Demikianlah, biarpun sangat liehay dan berhati-hati,
serangan itu tak dapat dielakkan lagi oleh Kim Sie Ie. Ketika tangan musuh menyentuh
pundaknya, ia merasa seperti dilanggar dengan benda yang dingin. Hampir berbareng,
hudtim Hongsek Toodjin juga menyambar dan ribuan benangnya yang terbuka lebar,
seolah-olah selembar jala yang sedang menungkrupnya.
Kim Sie le mencelos hatinya. "Tak dinyana jiwaku melayang di tempat ini!" Sekonyong-
konyong, kupingnya mendengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul dengan
suara seorang wanita yang sangat merdu: "Jangan takut!" Hampir berbareng, Tang Thay
Tjeng dan Hongsek Toodjin melompat menyingkir!
Bagaikan di dalam mimpi, Kim Sie Ie membuka kedua matanya lebar-lebar dan
ternyata, bahwa orang yang sudah menolong jiwanya bukan lain daripada Phang Lin dan
puterinya!
Yo Lioe Tjeng jadi seperti orang kalap, bahna girangnya. "Eng-moay!" teriaknya. "Apa
Siauw Lan datang bersama-sama kau?"
Phang Eng dan Phang Lin adalah saudara kembar yang mukanya sangat mirip satu
sama lain, sehingga, kecuali suami dan anak sendiri, orang lain sering salah mata.
Mendengar Yo Lioe Tjeng menganggap dirinya sebagai kakaknya, Phang Lin
tersenyum seraya berkata: "Kau masih ingat Tong Siauw Lan? Hi-hi! Tidak, ia tak turut
datang." Ia menoleh kepada Tang Thay Tjeng. "Lengan tanganmu sungguh luar biasa.
Boleh aku pinjam lihat?" katanya.
Hongsek Toodjin tak tahu siapa adanya nyonya itu. la terkejut dan hatinya ciut karena
dengan satu kebasan baju saja, hudtim-nya telah terpukul terpental. Tapi melihat sikap
Phang Lin yang seakan-akan tidak memandang sebelah mata kepadanya ia lantas saja
menjadi gusar. "Kim Sie le!" bentaknya. "Biarpun kau mempunyai senderan kuat,
sedikitpun aku tidak takut. Mari! Mari kita bertempur lagi. Kau boleh minta bantuan dari
senderanmu." Sehabis berkata begitu, ia menerjang dan menghantam dengan senjatanya.
Melihat kedatangan Phang Lin dan puterinya, Kim Sie Ie jadi seperti orang linglung,
sehingga ia terus berdiri bagaikan patung waktu hudtim menyambar.
"Hidung kerbau! Jaga pedangku!' berseru Lie Kim Bwee sambil menangkis dengan
pedangnya dan terus menyerang. Harus diketahui, bahwa walaupun lweekang si nona
belum seberapa tinggi, tapi ilmu pedangnya, yaitu kiamhoat dari Pekhoat Molie, sangat
luar biasa dan mempunyai perubahan-perubahan yang diluar dugaan. Maka itu, biarpun
Hongsek pernah berlatih puluhan tahun dalam hutan batu, dalam gebrakan-gebrakan
pertama, ia telah terdesak mundur.
Sementara itu, sambil tertawa haha-hihi dan mengawasi Tang Thay Tjeng dengan sikap
seperti kucing tengah mempermainkan tikus, Phang Lin membuka ikatan pinggangnya
yang terbuat dari sutera berwarna. Ia tidak lantas menyerang, tapi memperhatikan gerak-
gerik pendeta itu.
Antara beberapa orang itu, yang paling bergirang adalah Yo Lioe Tjeng. Ia menarik
tangan puterinya dan berkata seraya tertawa: "Dengan datangnya Tong Pehbo, kita tak
usah takut lagi terhadap siapapun juga." Dengan Phang Eng, ia sebenarnya mempunyai
ganjelan di waktu muda. Tapi sesudah masing-masing menikah, semua ganjelan itu telah
tersingkirkan. Ia tak tahu, bahwa yang dianggapnya sebagai Phang Eng, sebenarnya
adalah Phang Lin.
Di lain pihak, sesudah berdiri bengong beberapa lama, Kim Sie Ie berkata dalam
hatinya: "Sesudah ibu dan anak itu datang, perlu apa aku berdiam lama-lama disini?"
Dengan sekali menotok tongkat di lantai, badannya melesat dan ia terus kabur.
"Eh, jangan lari!" berteriak Phang Lin. "Sesudah makan yowan-ku, kau masih belum
menghaturkan terima kasih." Ia mengenjot badan untuk mengubar, tapi baru ia bergerak,
tangan kanan Tang Thay Tjeng sudah menyambar kepalanya.
"Bagus!" serunya. "Biar aku putuskan dulu cakarmu dan kemudian barulah mengubar
dia." Dengan sekali menggentak, ikatan pingangnya sudah melibat lengan aneh itu.
Di lain saat, mereka sama-sama terkejut. Lengan kanan Tang Thay Tjeng sebenarnya
satu senjata yang sangat liehay dan cengkeraman itu mempunyai tenaga ribuan kati.
Maka itu, ia kaget bukan main karena, begitu dilibat dengan ikatan pinggang, lengan itu
tidak dapat bergerak pula. Phang Lin pun tidak kurang kagetnya. Ia yakin, bahwa ilmu silat
si pendeta masih lebih rendah dari kepandaian Kim Sie Ie. Tapi, waktu ikatan pinggangnya
melibat dan membetot lengan itu, yang keras bagaikan besi, si pendeta sama sekali tidak
memperlihatkan rasa sakit. Harus diingat, bahwa ilmu Hoeihoa Tjekyap sudah dilatih oleh
Phang Lin sampai di puncak kesempurnaan, sehingga jago seperti Hiatsintjoe masih tidak
dapat melawannya.
Sebagaimana diketahui, nyonya Lie Tie mempunyai sifat kekanak-kanakan yang masih
tetap melekat sampai ia berusia setengah umur. Menghadapi lawan yang berat,
kegembiraannya timbul dan ia segera melupakan hal mengubar Kim Sie Ie. "Lenganmu
benar-benar luar biasa," katanya sambil tertawa. "Tak dapat tidak, aku mesti
meminjamnya." Dengan sekali mengendorkan dan menggentak, ikatan pinggang itu naik
ke atas kurang lebih tiga dim. Ia membetot, tapi lengan si pendeta tetap tidak bergeming.
Ikatan pinggang itu sekali lagi naik ke atas, sehingga hampir sampai di pundak.
Mendadak, Tang Thay Tjeng menggoyang pundak sambil membentak keras:
"Ambillah!" Hampir berbareng, lengan itu copot dari pundaknya dan terbang menyambar
muka Phang Lin. Nyonya Lie Tie terkejut bukan main, tapi sebagai ahli silat jempolan, ia
tak jadi gugup dan lalu menyambutnya dengan
menggunakan ilmu Kimkongtjie. Ternyata lengan itu yang berwarna hitam mengkilap
terbuat dari besi! Phang Lin tertawa seraya berkata: "Tak heran aku tak dapat
membetotnya."
Sedari tulang lengannya dipukul patah oleh Yo Tiong Eng, Tang Thay Tjeng tidak dapat
menggunakan lengan itu sebagaimana biasa, biarpun tulangnya sudah bersambung pula.
Dalam jengkelnya, ia memutuskan lengan itu yang lalu ditukar dengan lengan besi.
Kemudian ia mencukur rambut,
menyembunyikan diri dan sesudah berlatih kurang lebih tiga puluh tahun, ia
memperoleh ilmu Tiatpie Sinkang, yaitu ilmu untuk menggunakan lengan besi sebagai
senjata. Dengan kepercayaan, bahwa ia sekarang bisa menjagoi dalam kalangan
Kangouw, sekali lagi ia muncul dalam dunia Rimba Persilatan. Tapi di luar dugaan, dalam
pertempuran pertama, lengan besi itu sudah direbut Phang Lin.
Sambil membulak-balik lengan itu, Phang Lin berkata dengan suara sungguh-sungguh:
"Tak mudah kau melatih lengan ini sehingga tiada bedanya seperti lengan tulen. Eh,
bagaimana kau melatihnya? Paling benar kau membacok putus lengan kirimu dan
menukarnya dengan lengan besi. Bukankah kau akan dua kali lipat lebih liehay daripada
sekarang?"
Tang Thay Tjeng meringis, ia tak tahu apa mesti tertawa atau menangis. "Pulangkanlah
lenganku," katanya. "Sekarang baru aku tahu, bahwa dalam dunia ada ilmu yang begitu
tinggi,
sehingga, biarpun aku berlatih lagi tiga puluh tahun, tak dapat aku menandingi kau."
Mendengar pujian itu, Phang Lin jadi girang. "Bagus! Kalau begitu, kau masih
mempunyai otak yang sehat," katanya sambil mengebas tangan, sebagai isyarat bahwa
pendeta itu boleh berlalu. Tapi mendadak ia membentak: "Tahan!"
Baru saja ia ingin menanya, kenapa si pendeta bertempur dengan Kim Sie Ie, tiba-tiba
terdengar teriakan puterinya yang tengah bertanding melawan Hongsek: "Ibu! Hidung
kerbau ini liehay sekali!"
"Liehay bagaimana?" tanya sang ibu, yang sambil menuding Tang Thay Tjeng dengan
lengan besi itu, menyambung perkataannya: "Orang yang suka berkelahi seperti kau,
tentunya bukan manusia baik-baik. Sekarang aku menjatuhkan hukuman berdiri
terhadapmu. Jika kau berani bergerak atau kabur, aku akan putuskan lengan kirimu."
Waktu itu, Tang Thay Tjeng sudah berusia hampir enam puluh tahun, sedang usia
Phang Lin baru kira-kira empat puluh tahun. Tapi ia menggunakan perkataan dan cara
seorang guru yang sedang menghukum muridnya. Tjee Tjiang Hee tak bisa menahan rasa
gelinya dan lantas saja tertawa terpingkal-pingkal. Alis Yo Lioe Tjeng berkerut dan ia
berkata dalam hatinya: "Heran! Kenapa sifat-sifat Phang Eng jadi berubah sama sekali?'
Sementara itu, Lie Kim Bwee sudah jadi repot sekali dan ia berkelahi sambil mundur
karena didesak keras oleh Hongsek Toodjin. Meskipun si nona memiliki kiamhoat yang
sangat liehay, tapi sebab lweekang-nya masih kalah jauh dari lawannya, maka sesudah
lewat belasan jurus, Hongsek sudah bisa lihat kelemahannya dan terus mencecer dengan
pukulan-pukulan hebat. Lewat beberapa saat lagi, napas si nona tersengal-sengal dan
keadaannya mulai berbahaya.
"Hm! Bocah! Kau ternyata masih memerlukan juga ibumu," kata Phang Lin seraya
tertawa. "Sudahlah! Tak perlu bantuanmu!" berteriak si nakal dengan suara
mendongkol. Selagi
berteriak begitu, hudtim musuh mendadak menyambar, sehingga hampir-hampir pedang
Tjengkong kiam kena terkebut jatuh.
"Kenapa kau tidak menggunakan ilmu Tiamhoat (Ilmu menotok jalanan darah) yang
diajarkan olehku?" kata sang ibu. "Lebih dulu hajar dengan Pengho kiattang (Sungai es
melumer), kemudian susul dengan Ginhan hoeiteh (Bima Sakti membentang di udara).
Bagus! Tak salah! Balik tanganmu dan totok Pekhay niatnya!"
Si nona yang sedang mendongkol sebenarnya sungkan menerima petunjuk ibunya, tapi
ternyata ia terpaksa menggunakan juga pukulan-pukulan itu. Tiamhoat yang diturunkan
Phang Lin kepada puterinya, telah digubah olehnya di gunung Gobie san dengan
menggunakan tempo beberapa hari dan tujuannya adalah untuk menghadapi Kim Sie Ie.
Benar saja, dengan menggunakan Tiamhoat itu dan kiamhoat dari Pek hoat Mo lie,
serangan-serangan Hongsek segera menjadi punah.
"Lihatlah!" kata sang ibu sambil tertawa. "Bukankah kau bisa melawan dia dengan
mudah sekali? Aku ingin kau merobohkannya dengan menggunakan tenaga sendiri. Ha!
Kau mengerti? Tak bisa kau terus mengandalkan ibu seumur hidup!"
Melihat dirinya dijadikan alat untuk berlatih, darah Hongsek Toodjin meluap-luap dan
dalam kalapnya, hampir-hampir jalanan darahnya tertotok. Buru-buru ia mengempos
semangat dan memperbaiki kedudukannya. Sambil memberi petunjuk, Phang Lin sendiri
memperhatikan ilmu silat musuh. Lewat beberapa saat, ia mengeluh: "Celaka! Si hidung
kerbau benar liehay. Jika pertempuran berlangsung lama, Bwee-djie akan kalah." Tapi
sebab sudah mengatakan, bahwa ia ingin puterinya menjatuhkan musuh dengan
tenaganya sendiri, maka ia merasa malu hati untuk memberi bantuan.
Sesudah bertempur beberapa jurus lagi, tiba-tiba Kim Bwee berteriak: "Ibu! Kenapa kau
melepaskan Sie le-ko?"
Sang ibu kaget. "Benar! Biaraku susul padanya!" katanya. "Kimtjiam touwsian (Benang
menusuk jarum emas), Gioklie tauwso (dewi menenun), Toamo hoyan (Asap mengepul di
gurun), Tiangho lokdjit (Matahari turun di sungai)! Sesudah itu, totok Pekyang hiat-nya!"
Sesuai dengan petunjuk ibunya, si nona segera menyerang dengan empat pukulan
yang hebat itu, sehingga Hongsek jadi ripuh sekali. Tapi biarpun repot, garis
pembelaannya masih tetap rapat dan sambil berkelit ke kiri-kanan, hudtim melindungi
bagian-bagian tubuhnya yang penting. "Bagaimana aku dapat menotok Pekyang hiat yang
terletak di bawah teteknya?" Kim Bwee menanya dirinya sendiri. Sekonyong-konyong,
entah kenapa, benang-benang hudtim membuyar dan dada Hongsek terbuka lebar. Tanpa
menyia-nyiakan kesempatan baik itu, jeriji Kim Bwee menyambar tepat ke jalanan darah
Pekyang hiat dan si imam tak dapat bergerak lagi! Si nona tidak mengetahui, bahwa
kemenangannya sudah didapat berkat bantuan sang ibu yang diam-diam sudah meniup
hudtim musuh.
Sesudah Hongsek tidak berdaya, dengan cepat Phang Lin berlari-lari, tapi apa yang
tertampak hanyalah lapangan-lapangan rumput dan lereng gunung, sedang Kim Sie Ie
sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi. "Celaka! Ini semua adalah gara-garanya si
keledai gundul!" katanya di dalam hati. Ia sama sekali tidak mau mengakui, bahwa
kesalahan itu sebagian besar terletak pada dirinya sendiri.
Selagi ia kembali dengan uring-uringan, mendadak terdengar teriakan puterinya: "Ibu!
Keledai gundul kabur!"
Dengan gusar Phang Lin mengudak. Dalam jarak belasan tombak, ia menimpuk
dengan lengan besi dan hampir berbareng, melontarkan ikatan pinggangnya. "Bagus!"
teriaknya. "Kau berani melanggar perintahku? Tinggalkan lengan kirimu!"
Bagaikan kilat, lengan besi itu menyambar dan menurut perhitungan, Tang Thay Tjeng
tak akan bisa berkelit lagi. Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya, tubuh si pendeta
melesat ke tengah udara dan dengan "terbang" memutar, ia berhasil menyelamatkan
dirinya.
Phang Lin kaget bukan main. Untuk sejenak, ia mengawasi dengan mulut ternganga.
"Eh, dari mana kau mendapat ilmu menubruk Niauw-eng?" tanyanya.
"Patpie Sinmo Sat Thian Tjek adalah guruku," jawabnya.
Phang Lin mengeluarkan seman kaget, badannya mendadak melesat ke atas dan ia
juga terbang bagaikan burung Niauw-eng. Dengan sekali mengedut, ikatan pinggangnya
sudah melibat lengan kiri Tang Thay Tjeng, tapi sebaliknya dari menggentak dengan
menggunakan tenaga, ia tertawa seraya berkata: "Sayang kau belum mahir betul. Nah!
Sekarang ikutlah aku ke warung arak." Sambil berkata begitu, ia melepaskan libatan ikat
pinggangnya dari lengan si pendeta.
Tang Thay Tjeng kaget tercampur takut. Sambil memungut lengan besinya, ia melirik
Phang Lin yang paras mukanya tenang, sehingga hatinya jadi lebih lega. "Dari mana dia
mendapat ilmu itu?" tanyanya di dalam hati. "Apa dia mempunyai sangkut paut dengan
guruku? Tapi kenapa ilmu silatnya tidak mirip-mirip dengan ilmu silat guruku?" Ia tak
berani menanya dan dengan menundukkan kepala, ia lalu mengikuti nyonya itu kembali ke
warung arak.
"Apa dia kawanmu?" tanya Phang Lin seraya menuding Hongsek.
"Benar," jawabnya.
Sambil menotok dan membuka jalanan darah si imam, Phang Lin berkata pula: "Bagus!
Aku juga undang kau minum bersama-sama."
Hongsek merasa dadanya seperti mau meledak, tapi ia tidak berani mengunjuk
kegusaran, karena, jika membantah, ia kuatir mendapat malu yang lebih hebat.
Dengan hati gembira, Phang Lin segera memerintahkan pelayan mengatur dua meja
dan menyediakan arak. Ia dan puterinya duduk di kepala meja, sedang Hongsek dan Tang
Thay Tjeng diundang duduk di kiri-kanannya. Yo Lioe Tjeng, Tjee Tjiang Hee dan Kang
Lam diperintah duduk di meja yang satunya lagi. Semua orang segera mengambil tempat
duduknya dengan hati tak enak, tapi tiada satu yang berani membantahnya.
"Sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan – aku menanya sepatah, kau jawab
sepatah," kata Phang Lin dan kemudian sambil menuding Tang Thay Tjeng, ia berkata
pula: "Kenapa kau berkelahi dengan Kim Sie Ie?"
"Siapa Kim Sie Ie?" si pendeta balas menanya.
"Jangan berlagak gila!" membentak Phang Lin dengan gusar. "Kim Sie Ie adalah
pemuda yang tadi bertempur dengan kau."
"Murid siapa dia?" Tang Thay Tjeng menanya lagi.
Nyonya Lie Tie mendelik. "Eh, apa aku yang tanya kau atau kau yang tanya aku?"
katanya. "Jika kau rewel lagi, aku akan putuskan lengan kirimu. Lekas jawab!
Kenapa kau berkelahi dengan Kim Sie Ie?'
"Aku dan Yo Liehiap main-main sedikit dan itu sebenarnya bukan urusannya,"
menerangkan si pendeta. "Aku pun tak tahu, sebab apa ia menyerang diriku."
Phang Lin menengok ke arah Yo Lioe Tjeng. "Aku tak tahu, kau dan Kim Sie Ie adalah
sahabat baik," katanya. Diam-diam hatinya berkuatir, kalau-kalau Yo Lioe Tjeng juga
penuju pemuda itu dan ingin mengambil sebagai menantu.
"Siapa sahabat dia?" kata Yo Lioe Tjeng. "Dia malahan pernah
menghina kami." "Kenapa Tang Thay Tjeng berkelahi dengan kau?'
Phang Lin menanya pula.
"Pada tiga puluh tahun lebih berselang, ayahku pernah melukakan dia," jawab Yo Lioe
Tjeng. "Waktu itu kau baru berusia setahun dan Siauw Lan telah membawa kau lari. Ayah
dan aku telah bertemu Siauw Lan di rumah penginapan itu. Kejadian pada hari itu telah
disaksikan oleh Siauw Lan sendiri dan jika kau tanyakan, dia tentu masih ingat semua
kejadiannya. Jika diteliti, Tang Thay Tjeng masih boleh dianggap sebagai salah satu
musuhmu."
Phang Lin bengong. Ia tak nyana, bahwa pendeta itu adalah salah seorang musuhnya.
Sesaat itu, depan matanya segera terbayang kejadian-kejadian pada tiga puluh tahun
lebih yang lampau. Waktu ia dan kakaknya (Phang Eng) baru berusia satu tahun, rumah
tangganya diubrak-abrik oleh Soehongtjoe In Tjeng dan ayahnya binasa. Ia sendiri
ditolong oleh Tjiong Ban Tong, pemimpin partai Boekek pay, sedang Phang Eng telah
dibawa lari oleh Tong Siauw Lan. Belakangan ia telah diculik dan dibawa ke pulau Niauw-
cng oleh Patpie Sinmo yang memeliharanya seperti anak sendiri. Sesudah berdiam di
pulau itu beberapa lama, barulah ia dibawa ke gedung In Tjeng. Ia baru bertemu dengan
kakaknya, sesudah berpisahan kurang lebih dua puluh tahun. Biarpun ayahnya bukan
dibinasakan oleh Patpie Sinmo atau muridnya, akan tetapi karena jago-jago lima propinsi
Tiongkok Utara yang terbinasa dalam tangan Patpie Sinmo dan saudaranya, bukan kecil
jumlahnya, maka sakit hati itu tidak dapat dikatakan kecil.
Ia ingat, bagaimana Sat Thian Tjek telah menurunkan ilmu silat kepadanya, bagaimana
ia mendapat banyak cintanya orang di gedung Soehongtjoe, sehingga ia bisa mempelajari
macam-macam ilmu silat yang menyeleweng, sampai akhirnya ia mendapat ilmu asli dari
Boekek pay. Ia juga ingat, bagaimana Soehongtjoe ingin memaksa untuk mengambil
dirinya sebagai selir, sehingga ia kabur dari istana kaizar. Depan matanya juga terbayang
peristiwa terbinasanya Patpie Sinmo dan saudaranya dalam tangan Phang Eng dan
bagaimana, pada waktu mau melepaskan napasnya yang penghabisan, Sat Thian Tjek
telah menyerahkan sebuah mustika kepada kakaknya, yaitu pel yang berbentuk bola yang
terbuat dari ilar Niauw-eng untuk memunahkan racun ular. Mengingat itu semua, tanpa
merasa Phang Lin menghela napas panjang.
"Ibu!" kata sang puteri sambil tertawa. "Tak dinyana, kau pun bisa menemui kesukaran.
Paling benar minta Iethio dan Iebo (Tong Siauw Lan dan Phang Eng) datang kemari untuk
mengadili mereka. Menurut pendapatku, ibu tak pantas menjadi hakim."
Harus diketahui, bahwa perhubungan antara Phang Lin dan puterinya adalah lain
daripada perhubungan yang biasa terdapat antara ibu dan anak. Mereka sudah biasa
bersenda-gurau dan saling mengejek, seperti antara kawan dan kawan. Maka itulah,
Phang Lin tidak menjadi gusar karena ejekan puterinya.
Orang yang merasa heran dan tersinggung adalah Yo Lioe Tjeng. Ia heran mendengar
si nona menyebut-nyebut "Iethio" dan "Iebo" dan merasa tersinggung mendengar
perkataan "mengadili", karena dengan begitu, ia seolah-olah seorang pesakitan yang
harus diadili.
"Tjeng-tjie," kata Phang Lin seraya tertawa. "Lihatlah! Anakku jadi sangat kurang ajar
karena terlalu dimanja." Tiba-tiba parasnya berubah sungguh-sungguh dan ia berkata
dengan suara keren: "A-bwee, kau kata, aku tak bisa mengadili orang. Nah, kau
dengarlah! Tang Thay Tjeng, menurut putusanku, kau memang pantas mendapat hajaran
dari Yo Lootjianpwee. Mulai dari sekarang, kau tidak boleh banyak rewel lagi. Orang-orang
yang tingkatannya lebih tua semua sudah meninggal dunia dan urusan yang terjadi pada
tiga puluh tahun berselang, tidak boleh diungkat-ungkat lagi. Tjeng-tjie, kau pun tak usah
ingat-ingat lagi permusuhan lama."
Yo Lioe Tjeng yang memang sungkan memperhebat
permusuhan, lantas saja mengangguk, sedang si pendeta pun merasa girang sekali.
Sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Untuk kemurahan Lie Kiesoe, pintjeng
merasa sangat berterima kasih dan sekarang juga pintjeng minta permisi untuk
berangkat."
"Tunggu dulu!" kata Phang Lin.
Si pendeta terkejut dan segera berkata: "Bukankah kau sudah mengatakan, bahwa
segala permusuhan diakhiri sampai disini?"
"Karena gara-garamu, orang yang dicari olehku dengan susah payah, telah kabur,"
katanya. "Meskipun kau boleh diampuni dari hukuman berat, tapi tidak bisa terlolos dari
hukuman enteng. Aku menghukum kau berdiri menghadapi tembok tiga hari lamanya. A-
bwee, lihatlah! Ilmu menotok yang biasa, paling lama tahan dua belas jam. Tapi jalanan
darah yang ditotok dengan ilmuku baru bisa terbuka sesudah lewat tiga hari." Sambil
berkata begitu, tangannya bergerak untuk mengirim totokan.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng dengan suara bingung. "Siauwtjeng mempunyai urusan
yang sangat penting. Siauwtjeng sedang mencari orang!"
"Siapa yang dicari olehmu?" tanya Phang Lin.
"Murid Tokliong Tjoentjia," jawabnya.
Phang Lin terkesiap. "Perlu apa kau mencarinya?" tanyanya.
"Semua orang tahu, bahwa Tokliong Tjoentjia adalah sahabat mendiang guruku,"
jawabnya. Mendadak Phang Lin tertawa besar. "Orang beribadat tidak boleh berdusta,"
katanya. "Kenapa
kau berani menipu aku? Kim Sie Ie adalah murid Tokliong Tjoentjia.
Jika benar kau mau mencari dia, kenapa tadi kau bertempur dengannya?"
"Sayang! Sungguh sayang!" mengeluh si pendeta.
"Apa kau tak kenal padanya?" tanya Phang Lin.
"Jika kenal, mana bisa aku melepaskannya" jawabnya. "Tadi, melihat tongkat besinya,
aku sebenarnya sudah bercuriga, karena pada tiga puluh tahun berselang, aku pernah
melihat tongkat itu. Hanya sayang, ia terus menyerang dengan membabi-buta."
"Fui!" membentak Kim Bwee. "Jika kau tidak menghina Tjee Pehbo, dia tentu tak akan
menyerang."
Melihat ibu dan anak itu sangat memperhatikan Kim Sie Ie, Tang Thay Tjeng lantas saja
menduga, bahwa di antara mereka tentu terdapat hubungan yang rapat. Maka itu. ia
tertawa seraya berkata: "Kalau begitu, kita bukan orang luar. Biarlah aku membantu kalian
mencari Kim Sie Ie."
Sekonyong-konyong Phang Lin menggelengkan kepala seraya berkata pada dirinya
sendiri: "Tak benar... tak benar." Ia menuding si pendeta dan membentak: "Kau dusta!
Tinggalkan lengan kirimu!"
Tang Thay Tjeng terkesiap. "Kenapa dusta?" Ia menegasi.
"Tadi kau mengatakan, bahwa sesudah dihajar oleh Yo Lootjianpwee, kau mencukur
rambut dan tidak mencampuri lagi urusan dunia," kata Phang Lin. "Dengan lain perkataan,
kalau kau tidak berdusta, mulai dari waktu itu, kau tidak pernah bertemu lagi dengan
Tokliong Tjianpwee."
"Benar," jawabnya.
"Tapi bagaimana kau tahu, bahwa Tokliong Tjianpwee mempunyai murid?" tanya si
nyonya. Sesudah berdiam sejenak seperti orang sangsi, Tan Thay Tjeng berkata:
"Tahun yang lalu, aku
pulang ke pulau Niauw-eng to dan dalam perjalanan itu, aku sekalian mampir di pulau
Tjoato untuk menyambangi Tokliong Soepeh. Disitu aku hanya menemui kuburan Soepeh
dan aku menaksir, bahwa kuburan itu dibuat oleh muridnya. Dengan mengingat hubungan
yang rapat antara mendiang guruku dan Tokliong Tjianpwee, aku segera mengambil
keputusan untuk mencari ahli warisnya itu. Inilah keterangan yang sejujurnya, sedikitpun
aku tidak berdusta.
Phang Lin tertawa dingin. "Kau bukan manusia yang berhati begitu mulia," katanya.
"Dengan mencari murid Tokliong Tjianpwee, kau pasti mempunyai maksud tertentu.
Katakan saja: Kau mau bicara sebenarnya atau tidak? Apa kau percaya bahwa tanpa
menggunakan golok, aku bisa mencopotkan lengan kirimu?"
Paras muka Tang Thay Tjeng sebentar pucat sebentar merah, tanpa bisa mengeluarkan
sepatah kata.
"A-bwee, geledah badannya!" memerintah sang ibu. "Aku menaksir, ia sudah mencuri
apa-apa di pulau Tjoato." Melihat lagak si pendeta yang luar biasa, Phang Lin lantas saja
bercuriga.
Tan Thay Tjeng ketakutan dan buru-buru berkata: "Waktu datang di pulau Tjoato, aku
menginap semalaman di tempat Tokliong Soepeh. Disitu aku mendapatkan sejilid buku
dengan tulisan tangan Soepeh sendiri. Aku ingin menyerahkan buku itu kepada muridnya."
"Serahkan kepadaku," memerintah Phang Lin, yang kemudian berkata dalam hatinya:
"Kenapa Tokliong Tjianpwee tidak memberikan buku silatnya kepada muridnya?"
Tapi buku itu ternyata bukan kitab ilmu silat dan hanya catatan hari-hari selama
beberapa puluh tahun. Phang Lin membalik-balik lembaran dan membacanya. Bagian
depan mencatat pendaratannya di pulau Tjoato, penderitaan dan kesepiannya di pulau
yang tiada manusianya itu, kebenciannya terhadap umat manusia, caranya ia melatih ular-
ular, beracun bagaimana ia menggubah ilmu silat yang luar biasa dan sebagainya. Bagian
belakang buku itu menceritakan, bagaimana, sesudah bertemu dengan Lu Soe Nio,
pikirannya jadi berubah dan ia lalu menggunakan sisa penghidupannya untuk menolong
para penderita kusta. Dalam buku itu juga tercatat bagaimana ia telah mengambil Kim Sie
Ie sebagai muridnya. Paling belakang ia mencatat kesadarannya, bahwa lweekang yang
dipelajari olehnya tidak menurut jalan yang benar dan jika tidak mendapat pertolongan
lweekang Thiansan pay, satu waktu lweekang itu pasti akan "makan" dirinya sendiri.
Ketika membaca lembaran yang terakhir, tiba-tiba saja paras Phang Lin berubah pucat
dan jantungnya memukul keras.
Apakah yang tertulis di halaman paling penghabisan itu?
Di halaman itu yang ditulis beberapa hari sebelum ia meninggal dunia, Tokliong
Tjoentjia menyatakan, bahwa ia sudah berdiam di pulau Tjoato puluhan tahun lamanya.
Waktu baru datang, hawa di pulau itu sangat dingin. Tapi semakin lama, hawa itu jadi
semakin panas dan beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia, di pulau itu muncul
sejumlah umbul hangat. Sesudah menyelidiki bertahun ia mendapat tahu rahasia
perubahan itu.
Ternyata, di bawah pulau terdapat sebuah gunung berapi dan muka bumi semakin lama
semakin mumbul ke atas. Mulut gunung berapi itu terletak di tengah-tengah pulau, di
bawah sebuah lubang yang menjadi sarang ular-ular beracun dan yang dalamnya beratus
tombak. Dengan menggunakan tambang, ia pernah turun di lubang itu untuk menyelidiki.
Tapi, belum separuhnya, ia sudah merasa tidak tahan karena hawa yang sangat panas. Ia
mengawasi ke bawah dan melihat, bahwa lapisan batu di dasar lubang , berwarna merah
terang saking panasnya. Hanya karena batu itu sangat tebal, maka api dan lahar belum
menyembur keluar. Sebagai akibat dari hawa yang semakin lama jadi semakin panas,
maka laksaan ular yang bersembunyi di dalam lubang merayap ke atas, sebagian keluar
dari lubang dan berkeliaran di seputar pulau, sedang sebagian lagi bersembunyi di dinding
batu, dekat mulut lubang.
Di dasar lubang terdapat satu kobakan kecil yang berisi liur (ilar) ular-ular itu, sehingga
dapatlah dibayangkan, bahwa cair itu beracun bukan main. Jika satu waktu gunung berapi
itu meledak, maka bukan saja seluruh pulau akan menjadi abu, tapi semua makhluk yang
berada dalam lautan juga akan turut musnah karena racun itu dan manusia yang
bertempat tinggal di sepanjang pantai Lautan Kuning juga akan mengalami bencana
besar.
Menurut perhitungan Tokliong Tjoentjia, gunung berapi itu akan meledak dalam tempo
beberapa belas tahun lagi dan jika orang berusaha untuk menolongnya sebelum
terlambat, bencana itu masih dapat dielakkan. Rencana Tokliong Tjoentjia adalah sebagai
berikut:
Beberapa bulan sebelum gunung berapi meledak, seorang yang tidak takut ular harus
turun di lubang itu dan membuka sebuah terowongan untuk memasukkan air laut.
Sesudah itu, ia harus membuat sebuah lubang di mulut gunung berapi itu, supaya api
yang berkumpul di dalamnya bisa muncrat keluar. Dengan adanya air laut, maka api
beracun yang menyembur itu tak akan menerbitkan bencana besar. Akan tetapi pekerjaan
itu harus dilakukan di tempo yang tepat, yaitu beberapa bulan sebelum gunung berapi itu
meledak, sebab pada waktu itu, lapisan batu yang sangat tebal sudah mulai retak karena
terbakar hebat dan lebih mudah ditobloskan guna membuat terowongan untuk
mengalirkan air laut.
Di pulau Tjoato terdapat bahan-bahan asbes yang bisa menahan api dan asbes itu bisa
digunakan untuk membuat pakaian orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Di samping
itu, juga diperlukan sebatang pedang mustika untuk menobloskan lapisan batu. Sekian
ringkasan rencana Tokliong Tjoentjia.
Membaca itu, Phang Lin lantas saja merasa, bahwa orang satu-satunya yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut adalah Kim Sie Ie sendiri. Ia adalah seorang yang berilmu
silat tinggi dan tak takut ular. Kekurangan satu-satunya adalah pedang mustika.
Di bagian terakhir dari catatan hari-hari itu, Tokliong Tjoentjia juga menulis, bahwa ia
ingin sekali pekerjaan mulia itu dilakukan oleh muridnya. Tapi karena rasa cintanya yang
sangat besar terhadap si murid, maka hatinya selalu bersangsi untuk menyerahkan
pekerjaan yang begitu berbahaya kepada muridnya itu.
Sesudah selesai membaca, Phang Lin menghela napas panjang. Sekarang ia mengerti,
kenapa pada sebelum menarik napasnya yang penghabisan, di atas pasir Tokliong
Tjoentjia telah menulis: Sesudah ilmu silatmu sempurna, pergilah cari orang Thiansan pay.
Dengan menulis begitu, sang guru bukan saja mengharapkan keselamatan si murid
dengan memperoleh lweekang yang tulen, tapi juga berusaha supaya Kim Sie Ie
meninggalkan pulau Tjoato yang penuh bahaya.
Melihat ibunya bengong, Kim Bwee jadi heran dan dengan memanjangkan leher, ia
melongok buku itu. "Hm! Kau mengandung maksud tak baik!" bentaknya sambil
menuding, sehingga jerijinya hampir mengenakan hidung Tang Thay Tjeng.
"Kenapa mengandung maksud tidak baik?" menegas si pendeta sambil bangun berdiri.
Hongsek jadi gusar sekali. Ia pun segera bangun berdiri dengan niatan membekuk
nona yang
nakal itu. Tapi sebelum ia bergerak, Phang Lin sudah menarik tangan puterinya seraya
berkata:
"Bukan urusanmu. A-bwee, kenapa kau mengoceh tak keruan?"
Phang Lin menanya begitu karena ia merasa heran, bagaimana, dengan sekali melirik,
puterinya sudah bisa membaca tulisan Tokliong Tjoentjia yang tak keruan macam, sedang
ia sendiri harus membaca dengan teliti untuk menangkap maksudnya.
"Ibu, coba lihat itu!" kata Kim Bwee sambil menunjuk bagian atas dari lembaran yang
terbuka. Ternyata, disitu terdapat sebaris huruf kecil dengan tulisan yang nyata dan
berbunyi seperti
berikut:
"Aku sudah mengambil putusan untuk menyerahkan Pitkip (kitab ilmu silat) kepada Ie-
djie, supaya ia menjadi ahli warisku dan mengunakan seluruh penghidupannya untuk
menolong penderita kusta."
"Lihatlah!" berteriak si nona. "Aku justru tak ingin Sie Ie-ko membaca tulisan itu. Aku tak
mau ia berkawan dengan penderita kusta. Apa enaknya menuntut penghidupan begitu?"
Sang ibu tertawa geli. "Enak atau tidak enak bukan urusanmu," katanya. "Itu adalah
keinginan gurunya dan kau tak dapat menyalahkan orang lain." Sambil berkata begitu, ia
menutup buku itu, karena ia yakin puterinya akan lebih kaget jika tahu persoalan gunung
berapi.
"Apa yang dikatakan Liehiap memang benar," kata Tang Thay Tjeng. "Aku belum
pernah membaca isi buku itu. Aku hanya menganggap, bahwa buku itu, sebagai
peninggalan Tokliong Soepeh, harus diserahkan kepada muridnya. Sedikitpun aku tidak
mempunyai maksud yang lain."
Pendeta itu berdusta. Sebenarnya ia sudah membaca buku tersebut dan mengetahui,
bahwa Pitkip sudah diserahkan kepada si murid dan ia ingin menggunakan catatan hari-
hari itu untuk menipu Kim Sie Ie, untuk menukarnya dengan Tokliong Pitkip.
Mata Phang Lin melirik si pendeta dan mendadak ia berkata: "Kau tak usah berabe.
Buku ini biar disimpan olehku saja. Nah! Aku ampuni kau dan sekarang kau boleh berlalu."
Bukan main mendongkolnya Tang Thay Tjeng, tapi ia tak berani membantah. "Apa
boleh aku membantu kalian untuk mencari Kim Sie Ie?" tanyanya.
"Sesukamu, tapi aku tak memerlukan bantuanmu," jawab Phang Lin seraya berpaling
kepada Hongsek dan berkata pula: "Eh, kenapa kau tadi bertempur dengan Kim Sie Ie?"
Hongsek merasa dadanya seperti mau meledak, sehingga paras mukanya berubah
merah padam.
Melihat begitu, Kang Lam jadi merasa kasihan dan ia berkata: "Dalam hal ini, sebagian
besar adalah salahku."
"Aha! Kau ternyata mempunyai pribudi dari seorang Kangouw," kata si nyonya sambil
bersenyum. "Kenapa salahmu?"
"Aku sungkan menjadi murid Tootiang dan Kim Tayhiap bersama Tong Tayhiap telah
membantu aku," jawabnya. "Dari sebab itu, Tootiang menggusari mereka."
Phang Lin tertawa geli. "Eh, seorang yang memaksa mengambil murid, pasti akan
celaka. Kau tahu?" katanya sambil berpaling ke arah Hongsek. Ia berkata begitu karena
ingat pengalaman Patpie Sinmo yang dulu juga pernah memaksa untuk mengambil dirinya
sebagai murid.
"Sudahlah!" kata Hongsek dengan suara mendongkol. "Biar aku mengubur
kepandaianku dan selama hidup aku tak akan mempunyai murid."
"Baiklah," kata Phang Lin. "Sesudah tahu kesalahanmu, kau sekarang boleh berlalu."
Tanpa berkata suatu apa, Hongsek segera bangun berdiri dan bersama Tang Thay Tjeng,
ia segera meninggalkan warung arak itu dengan perasaan gusar.
"Apa aku juga sudah boleh berlalu?" tanya Yo Lioe Tjeng dengan paras gusar.
Phang Lin terkejut. "Ah, kenapa Tjeng-tjie berkata begitu?" katanya. "Apakah kau masih
ingat ganjelan dulu?"
"Mana aku berani?" kata Yo Lioe Tjeng sambil menarik tangan puterinya dan lalu
bertindak keluar, dengan diikut oleh Kang Lam. "Hei! Bukankah kalian ingin cari Tong
Tayhiap?" seru si kacung.
Yo Lioe Tjeng menengok dan mendeliki Kang Lam. Tapi sebelum ia menyemprot si
bawel, Tjiang Hee sudah mendahului: "Benar, ibu. Kenapa kau tak mau tanya Tong
Pehbo?"
Phang Lin memburu. "Tong Pehbo-mu berada di Thiansan," katanya sambil tertawa.
Tjee Tjiang Hee kaget. Ia menengok kepada ibunya seraya berkata dengan suara
uring-uringan: "Ibu, kenapa kau menyuruh aku menggunakan perbasaan Tong Pehbo?"
"Jangan menyalahkan ibumu," kata Phang Lin seraya tertawa. "Antara sepuluh orang
yang mengenal aku, ada sembilan yang salah melihat."
Yo Lioe Tjeng pun sudah tahu, bahwa nyonya itu bukan Phang Eng dan dengan rasa
mendongkol, ia ingat pula kejadian dulu, waktu Phang Lin memotong rambutnya dengan
menggunakan golok terbang. Tapi karena sekarang sama-sama sudah bukan berusia
muda, ia merasa tidak enak untuk memperlihatkan rasa jengkelnya.
"Tjeng-tjie," kata pula Phang Lin. "Aku juga ingin minta pertolongan Tjietjie (kakak,
Phang Eng). Sesudah dapat mencari Kim Sie Ie, aku akan mengantar kau naik ke
Thiansan."
"Tak usah, aku bisa jalan sendiri," kata Yo Lioe Tjeng dengan suara tawar. Ia
sebenarnya sudah mendengar, bahwa suami isteri Tong Siauw Lan telah pergi ke Tibet
dan hal itu sepatutnya diberitahukan kepada Phang Lin. Tapi karena sedang mendongkol,
ia menutup mulut dan sikapnya itu hampir-hampir saja menggagalkan urusan besar.
Tanpa berkata apa-apa lagi, sambil menarik tangan puterinya, Yo Lioe Tjeng segera
meninggalkan warung arak itu. Belum berapa jauh, tiba-tiba Kang Lam mengudak dan
berteriak: "Hei! Kenapa kalian tak mau menanyakan aku?"
"Sebal!" membentak Yo Lioe Tjeng.
Tjiang Hee mengambil cabang kering dan menyabet seraya membentak: "Tanya apa,
bawel?" "Aduh!" berteriak si kacung sambil menjungkir balik. "Tak kena!" Ia tertawa
haha-hihi dan
berkata pula: "Bukankah kalian ingin mencari Tong Tayhiap?"
"Apakah bocah semacam kau mengenal Tong Tayhiap?" kata si nona.
"Ha! Jangan kau menghina aku," kata Kang Lam. "Aku bukan hanya mengenal,
malahan bersahabat baik. Setiap kali bertemu, ia selalu menggandeng tanganku dan kami
beromong-omong berjam-jam. Ia malahan mengajarkan ilmu silat kepadaku!"
"Omong kosong!" membentak Tjiang Hee.
"Omong kosong!" si kacung menegas dengan suara penasaran. "Tong Tayhiap
berparas sangat cakap, berusia lebih tua dua tiga tahun daripada Kongtjoe-ku. Ia
mempunyai sebatang pedang yang dinamakan Yoeliong kiam. Ia juga pandai
menggunakan senjata rahasia yang sangat aneh, Thiansan Sinbong namanya. Bukankah
begitu?"
"Oh! Dia Tong Keng Thian," kata Tjiang Hee.
"Benar," kata Kang Lam. "Tong Keng Thian adalah Tong Tayhiap, Tong Tayhiap adalah
Tong Keng Thian. Tapi wanita itu mengatakan, bahwa Tong Tayhiap berada di Thiansan.
Dia dusta."
Si nona tertawa geli. "Yang dimaksudkan ibuku adalah ayahnya Tong Keng Thian,"
katanya. "Ayahnya Tong Tayhiap aku tak kenal," kata si kacung. "Aku belum pernah
mendusta. Kenal,
aku kata kenal, tidak kenal aku mengaku tak kenal. Jika kalian ingin mencari Tong
Tayhiap, aku bisa mengantarkannya. Kalau kalian mau mencari ayahnya Tong Tayhiap,
aku tak bisa menolong." Sehabis berkata begitu, ia berjalan pergi.
"Tunggu!" berseru Tjiang Hee. "Aku memang mau cari Tong Keng Thian."
Kang Lam tertawa terbahak-bahak. "Ha! Apa kau kata?" katanya dengan hati senang.
"Bukan aku, tapi kau yang omong kosong. Kenapa kau tadi memukul aku?"
Yo Lioe Tjeng sungkan meladeni kacung yang rewel itu. "Baiklah," katanya. Sekarang
aku mau tanya: Dimana adanya Tong Keng Thian?"
"Di rumah majikanku?" jawabnya.
"Siapa majikanmu?" tanya pula Yo Lioe Tjeng.
"Majikanku adalah Soanwiesoe di Sakya, Tan Teng Kie Taydjin, sedang putera Tan
Looya adalah Tan Thian Oe Kongtjoe," menerangkan si bawel.
Yo Lioe Tjeng tertawa, sedang Tjiang Hee tersenyum seraya berkata: "Benar. Aku
pernah mendengar Keng Thian menyebutkan nama itu."

***

Mendengar kembalinya Kang Lam, Tan Teng Kie yang memang sedang mengharap-
harap dengan tidak sabaran, jadi merasa sangat girang dan memerintahkan supaya si
kacung segera datang menghadap. Ia heran melihat Kang Lam masuk bersama dua
orang wanita. "Taydjin, inilah TjeeTaytay, sahabat Tong Tayhiap," kata si kacung. "Tak
gampang aku mengundang mereka datang kemari."
Alis Teng Kie berkerut. "Kacungku sangat tidak mengenal adat, aku harap Djiewie tidak
menjadi gusar," katanya sambil memerintahkan seorang pelayan memanggil Siauw Tjeng
Hong dan Thian Oe.
Mendengar tamu yang berkunjung adalah puterinya Tiattjiang Sintan Yo Tiong Eng,
Tjeng Hong dan Thian Oe jadi girang dan mereka lalu menemani kedua tamu itu, sedang
Teng Kie sendiri bicara dengan Kang Lam mengenai kepergiannya ke kota raja. Yo Lioe
Tjeng dan puterinya sekarang mendapat kepastian, bahwa memang benar Tong Keng
Thian telah datang berkunjung ke rumah Soanwiesoe, hanya sayang ia sudah berangkat
ke Lhasa bersama-sama Pengtjoan Thianlie.
Selagi beromong-omong dengan tamunya, Thian Oe mendadak mendengar teriakan
ayahnya:
"Oe-djie, mari sini!"
Ia mendekati dan ternyata sang ayah sedang mencekal sepucuk surat dengan tangan
bergemetaran. Begitu membaca, ia berteriak kegirangan.
Surat itu, yang dikirim oleh Tjioe Giesoe, mengatakan, bahwa ia sudah mengajukan
permohonan kepada kaizar yang sudah meluluskannya. Dikatakan, bahwa tak lama lagi,
bakal datang firman yang memanggil Teng Kie pulang ke kota raja guna memangku
jabatan yang lama.
Sebagai orang yang sudah belasan tahun berada dalam pengasingan, berita itu
menimbulkan rasa girang tercampur terharu dalam hatinya Teng Kie dan tanpa merasa, air
matanya mengucur. Thian Oe pun tidak kurang girangnya. "Kang Lam," katanya dengan
suara berterima kasih. "Ayah dan aku merasa sangat menanggung budi."
"Kang Lam," menyambung Tan Teng Kie sambil tertawa. "Semula aku tak menaruh
kepercayaan atas dirimu, tapi sekarang ternyata kau bukan seorang tolol."
"Terima kasih atas pujian Looya dan Kongtjoe," jawab si kacung kemalu-maluan.
Sesudah melipat dan memasukkan surat itu ke dalam sakunya Tan Teng Kie berkata
pula: "Kang Lam, mulai dari sekarang, kau menggunakan saja perbasaan kakak dan adik
dengan Thian Oe. Aku sekarang membebaskan kau dari tugas kacung. Jika kau masih
suka bekerja dan berdiam disini, aku dan Thian Oe tentu akan merasa sangat girang. Tapi
kau bebas untuk berhenti dan mendirikan rumah tangga sekali, jika kau menghendakinya.
Kalau kau ingin menikah, aku akan menghadiahkan tiga ratus tail perak."
Kang Lam merasa berterima kasih dan terharu mendengar kebaikan sang majikan.
"Looya dan Kongtjoe, terima kasih banyak-banyak untuk kebaikanmu," katanya dengan air
mata berlinang. "Tapi Kang Lam sungkan cari berabe. Aku hanya sudah berjanji kepada
nyonya itu untuk bantu mencari Tong Tayhiap. Seorang Koentjoe tak akan melanggar janji.
Maka itu, jika dipermisikan Looya dan Kongtjoe, aku ingin mengantarkan mereka pergi ke
Lhasa. Sesudah menunaikan janji, aku akan kembali untuk melayani lagi Kongtjoe."
"Oh, begitu?" kata Tan Teng Kie seraya tertawa. "Baiklah, kau boleh pergi. Jika bertemu
dengan Tong Tayhiap, tolong kau
menyampaikan hormatku."
Demikianlah, Kang Lam lalu mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya pergi ke Lhasa.
Sesudah berdiam di kota itu beberapa hari, mereka masih belum juga bisa menemui Keng
Thian dan tak tahu kemana harus mencarinya.

***

Tong Keng Thian dan Koei Peng Go sudah tiba di Lhasa beberapa hari lebih dulu dan
pada waktu itu, mereka sudah menemui kejadian yang sangat luar biasa.
Inilah untuk ketiga kalinya mereka mengunjungi Lhasa bersama-sama. Pada dua
kunjungan yang lebih dulu dari itu, biarpun di dalam hati mereka sudah saling mencinta,
tapi di luar, mereka masih bersikap seperti sahabat biasa. Kali ini adalah lain. Mereka tidak
malu-malu lagi dan berlaku seperti dua tunangan yang saling mencinta.
Tapi, biarpun mereka melewati hari dengan penuh kebahagian, dalam hati mereka
selalu terdapat satu ganjelan, yaitu soalnya Liong Leng Kiauw, yang sudah di penjarakan
setahun lebih dan yang belum diketahui bagaimana keselamatannya.
Mereka tak mau bertindak sembarangan untuk memberi pertolongan karena Liong Leng
Kiauw adalah ahli waris keluarga Tong. Tong Say Hoa adalah seorang nenek yang beradat
aneh dan sangat tak suka orang luar campur-campur urusan
keluarganya. Maka itulah, Tong Siauw Lan telah memesan puteranya supaya jangan
bertindak sembarangan dan yang paling perlu adalah pergi ke Soetjoan barat untuk
memberitahukan kejadian itu kepada si nenek. Begitu menerima warta, Tong Say Hoa
gusar bukan main dan jika mungkin, sesaat itu juga ia hendak menyateroni penjara. Tapi
sebagaimana diketahui, mendadak Kim Sie Ie mengacau di rumah keluarga Tong,
sehingga si nenek dan pemuda itu sama-sama kena senjata rahasia. Biarpun belakangan
mereka saling menukar obat, Keng Thian tak bisa menaksir apa Tong Say Hoa bisa
datang di Lhasa, karena badannya tentu akan menjadi lemah akibat jarum Kim Sie Ie.
Maka itu, sesudah berdamai, mereka mengambil keputusan untuk menemui Hok Kong
An. Mengingat jasa mereka yang sudah bantu melindungi guci emas dan mengingat
bantuan Pengtjoan Thianlie dalam peristiwa Sakya, mereka merasa pasti pembesar Boan
itu akan menerima kunjungannya.
Demikianlah, pada hari ketiga, mereka segera pergi ke gedung Hok Kong An yang
ternyata dijaga sangat keras. Mereka lantas saja mempersembahkan barang antaran dan
meminta supaya petugas yang menjaga pintu melaporkan kedatangan mereka. Beberapa
saat kemudian, mereka diundang ke kamar tamu dan disuguhkan teh. Duduk belum
berapa lama, tirai pintu tersingkap dan seorang Soeya (semacam sekretaris jaman
sekarang) bertindak masuk. Melihat yang masuk bukan Hok Kong An sendiri, Keng Thian
dan Peng Go merasa sangat kecewa.
"Kesehatan Hok Tayswee terganggu dan beliau tak bisa menerima tamu," kata si Soeya
sambil memberi hormat. "Mendengar kedatangan Djiewie, beliau memerintahkan aku
untuk menyambut. Apakah aku bisa mendapat tahu maksud kedatangan kalian?"
"Aku mempunyai seorang sahabat yang katanya bekerja di bawah perintah Hok
Tayswee," kata Keng Thian dengan pura-pura tak tahu, bahwa Liong Leng Kiauvv sudah
dipenjarakan. "Sekalian datang kesini, aku ingin menyambanginya."
"Siapa namanya sahabat tuan?" tanya si Soeya.
"She Liong, bernama Leng Kiauw," jawabnya.
Paras muka Soeya itu lantas saja berubah. "Aku tak pernah dengar nama orang itu,"
katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Melihat perubahan pada paras orang itu, hati Keng Thian jadi semakin tak enak. Apa
terjadi kejadian yang tak diingini atas diri Liong Leng Kiauw?
Sesudah masing-masing mengambil tempat duduk, si Soeya mengangkat cawan teh
dan sambil bangun berdiri, ia mengundang tamunya minum. Keng Thian pura-pura tidak
mengenal adat dan tetap duduk di kursi, ia mengajukan pertanyaan beruntun-runtun. Hok
Tayswee sakit apa ? Apa sudah mengundang tabib? Makan obat apa? Si Soeya jadi
semakin gugup dan Keng Thian segera dapat memastikan, bahwa alasan sakitnya Hok
Kong An adalah alasan yang dibuat-buat.
Tiba-tiba diluar terdengar teriakan orang: "Orang lain boleh tak usah ditemui oleh Hok
Tayswee. Tapi kedatanganku harus disambut olehnya sendiri!"
Keng Thian terkejut. Ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara In Leng Tjoe.
In Leng Tjoe adalah Konghong dari istana kaizar Boan, semacam pangkat yang lebih
tinggi daripada Siewie (pengawal kaizar). Dulu ia pernah datang di Lhasa dengan
mendapat tugas untuk menangkap Liong Leng Kiauw, tapi ia tak bisa menjalankan tugas
itu, karena Hok Kong An telah menahan Liong Sam dalam kantor Tayswee. Maka itu,
dengan perasaan mendongkol, ia kembali ke kota raja untuk memberi laporan kepada
kaizar dan memohon tugas yang lebih tegas.
Hok Kong An adalah seorang menteri yang mendapat kepercayaan paling besar dari
Kaisar Kian Liong dan mempunyai kekuasaan mutlak di Lhasa. Maka itu, melihat cara-
caranya In Leng Tjoe yang begitu kasar, orang-orang sebawahannya jadi merasa
mendongkol. "Biarpun raja muda atau pweelek (keluarga kaizar) yang datang kemari, ia
harus menunggu sebelum mendapat undangan dari Hok Taydjin," kata salah seorang.
"Mana boleh bicara begitu kurang ajar di kantor Tayswee?"
In Leng Tjoe mengeluarkan suara di hidung dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Benar, memang benar Hok Taydjin-mu bisa menolak untuk menemui raja muda atau
pweelek," katanya dengan suara mengejek. "Tapi sekarang aku mau tanya: Jika
Hongsiang (kaizar) datang sendiri, apakah Hok Taydjin juga akan menolak?"
Para pengawal gedung Tayswee jadi kaget bukan main. "Apa kau membawa firman?"
tanya seorang.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ln Leng Tjoe merogoh saku dan mengeluarkan
sebuah Kimpay (papan emas) dengan ukiran empat huruf yang berbunyi: Djie Tim Tjin
Leng (Seperti juga kami datang sendiri). Dengan mengangkat Kimpay itu tinggi-tinggi, ia
membentak dengan suara angker: "Apa matamu buta? Lekas panggil Hok Kong An untuk
menyambut firman Kaisar!"
Dalam kamar tamu, Tong Keng Thian bertiga berhenti bicara dan memperhatikan
kejadian di luar itu. Si Soeya, yang sebenarnya adalah sahabat Liong Leng Kiauw,
mengetahui, bahwa kedatangan In Leng Tjoe adalah untuk mengurus urusan Liong Sam
yang, jika dilihat gelagatnya, bakal menghadapi bencana besar.
Sementara itu, para pengawal pintu jadi ketakutan. Buru-buru mereka mengundang In
Leng Tjoe ke sebuah kamar tamu yang lain dan lalu memberi laporan kepada Hok Kong
An.
Mendadak Keng Thian bangun berdiri seraya berkata: "Karena, kesehatan Tayswee
sedang terganggu, maka kami mohon berlalu saja. Kami minta kau suka menyampaikan
hormat kami kepada Hok Tayswee." Si Soeya yang memang ingin mereka buru-buru
pergi, lantas saja bangun dan mengantar kedua tetamu itu sampai di luar pintu.
Sambil menarik tangan Peng Go, Keng Thian berjalan ke arah kamar tamu dimana In
Leng Tjoe sedang menunggu kedatangan Hok Kong An.
Si Soeya mengudak dan berteriak: "Salah! Kalian jalan salah!" Tapi kedua orang muda
itu tidak meladeni dan baru menghentikan tindakan di depan kamar tamu itu.
"Hei! Kau benar banyak lagak!" berteriak Keng Thian dengan mengubah suaranya.
In Leng Tjoe marah besar dan seraya melompat ke pintu, ia membentak: "Binatang!..."
Tapi perkataannya berhenti di tengah jalan, karena begitu lekas melihat Keng Thian dan
Peng Go, mulutnya ternganga dan matanya membelalak.
"Aku ingin pinjam lihat firman yang dibawa olehmu," kata Keng Thian dengan suara
tawar. Pengtjoan Thianlie sendiri lalu mengeluarkan sebutir Pengpok Sintan, yang dicekal
dengan dua jerijinya dan kamar itu lantas diliputi dengan hawa yang dingin luar biasa.
In Leng Tjoe ketakutan setengah mati dan tidak berani berkutik lagi. la tahu, bahwa
jiwanya akan segera melayang, jika ia coba-coba melawan dua orang muda yang sangat
liehay itu. Mau tak mau, ia membiarkan Keng Thian menggeledah badannya dan
mengeluarkan firman kaisar dari dalam bajunya. Bunyi firman itu adalah seperti berikut:
"Liati Sioe, anak laki-laki penghianat Lian Keng Giauw, dengan menggunakan nama
samaran Liong Leng Kiauw, telah menyelesap masuk ke Tibet untuk menimbulkan huru-
hara. Sekarang dia sudah ditangkap. Dia harus dihukum mati di tempat itu juga dan tidak
usah dibawa ke kota raja.
Sekianlah perintah Kami untuk Hok Kong An, Menteri Besar yang memegang
kekuasaan di Tibet."
Dengan menggunakan istilah "menyelesap masuk di Tibet", Kaisar Kian Liong
sebenarnya sudah memberi "muka" kepada menterinya yang disayang itu.
Keng Thian sekarang tahu, bahwa jiwa Liong Leng Kiauw digantung di atas selembar
rambut. Untuk sejenak, ia mencekal firman itu tanpa bersuara.
Sekonyong-konyong terdengar bentakan-bentakan para pengawal, suatu tanda, bahwa
Hok Kong An akan segera keluar dari gedungnya. Keng Thian terkesiap. Ia memasukkan
firman itu ke dalam saku In Leng Tjoe seraya berkata dengan suara getir: "Terima kasih."
Ia memutar badan dan bersama Peng Go, segera meninggalkan gedung Tayswee.
Sesudah mendapat pelajaran pahit, In Leng Tjoe tidak berani mengunjuk
kesombongannya lagi dan tentu saja ia tidak menceritakan apa yang sudah terjadi kepada
Hok Tayswee.
Setibanya di rumah penginapan, Keng Thian lalu berdamai dengan Pengtjoan Thianlie
mengenai tindakan yang harus diambil. Dalam perundingan, tiba-tiba si nona ingat
Soetee-nya Liong Leng Kiauw, yang bernama Gan Lok dan yang bertempat tinggal di kaki
Gunung Anggur. Ia mengajukan usul, bahwa berita jelek itu harus segera diberitahukan
kepada Gan Lok.
Tanpa membuang tempo, mereka segera mengunjungi Gan Lok yang lantas saja
mengajak mereka masuk ke kamar rahasia.
"Kapan Tong Tayhiap datang di Lhasa ?" tanya Gan Lok sesudah mengunci pintu. "Apa
Tayhiap mendengar warta apa-apa mengenai Soeheng-ku?"
"In Leng Tjoe sudah kembali," menerangkan Keng Thian. "Aku kuatir kembalinya itu
mempunyai akibat tidak baik bagi dirinya Liong Sam Sianseng." Keng Thian bicara dengan
hati-hati dan ia tak mau segera memberitahukan hal firman kaisar.
Sekonyong-konyong Gan Lok bangun dan berlutut di hadapan kedua tetamunya. Keng
Thian ingin mencegah, tapi sudah tidak keburu lagi. "Tong Tayhiap," katanya dengan
suara memohon. "Siauwtee mempunyai suatu permintaan yang sebenarnya tidak pantas
diajukan. Aku merasa sangsi, apa boleh bicara terus terang?"
"Bicaralah," kata Keng Thian.
"Sesudah siauwtee memikir bulak-balik, rasanya tiada jalan lain daripada membongkar
penjara!" katanya.
Keng Thian terperanjat. Ia tidak lantas memberi jawaban dan duduk bengong dengan
perasaan sangsi. "Dengan Liong Leng Kiauw, aku belum bergaul lama dan belum tahu isi
hatinya," katanya
di dalam hatinya, "jika aku bantu membongkar penjara, aku menimbulkan gelombang
besar di Tibet. Untuk membalas sakit hati ayahnya, mungkin sekali, sesudah keluar dari
penjara, ia akan menerbitkan kekacauan hebat." Di lain saat, ia mendapat lain pikiran:
"Biarpun dia putera Lian Keng Giauw, tapi dilihat gerak -geriknya, dia adalah seorang laki-
laki sejati. Bukankah sayang sekali, jika ia mesti membuang jiwa dengan cuma-cuma? Di
samping itu, sesudah aku menolongnya, ia pasti akan mendengar nasihatku untuk tidak
menimbulkan huru-hara. Ayah sendiri telah memerintahkan supaya aku memberitahukan
hal ini kepada nyonya Tong dan dengan begitu, ayah tentu tak akan menggusari aku, jika
aku memberi pertolongan."
Seperti ayahnya, Keng Thian adalah seorang yang sangat berhati-hati. Dalam
menghadapi segala urusan, ia selalu memikir dulu sebelum bertindak. Melihat kesangsian
tamunya, hati Gan Lok berdebar-debar. Sesaat kemudian, Keng Thian berkata: "Baiklah,
malam ini, lewat tengah malam."
Gan Lok girang tak kepaiang. Tapi, sebelum ia sempat menghaturkan terima kasih, di
luar mendadak terdengar suara ribut-ribut.
"Apa itu? Djiewie berdiam saja disini untuk sementara waktu, aku mau keluar untuk
menyelidiki," kata Gan Lok sambil bertindak keluar dari kamar rahasia itu.
Begitu tiba di pintu, ia terkesiap karena yang datang adalah Lo Tiauw, pemimpin
pasukan pengawal Hok Kong An, yang diikuti oleh enam orang, empat antaranya adalah
ahli-ahli silat kelas satu di bawah perintah Hok Tayswee, sedang dua yang lain adalah
seorang pria dan seorang wanita yang mukanya luar biasa. Mereka berdua adalah In Leng
Tjoe dan isterinya, San Tjeng Nio, yang tidak dikenal Gan Lok.
"Ada urusan apa Lo Taydjin datang kesini?" tanyanya sambil merangkap kedua
tangannya. Lo Tiauw mengeluarkan suara di hidung. "Gan Lok!" bentaknya. "Besar
sungguh nyalimu!"
"Aku adalah seorang rakyat kecil yang belum pernah melanggar undang-undang
negara," kata Gan Lok. "Apa artinya perkataan Taydjin?"
"Jangan berlagak gila!" berteriak Lo Tiauw. "Kau sudah membawa lari Liong
Loosam. Dimana dia sekarang?"
Gan Lok kemekmek. Perkataan Lo Tiauw bagaikan halilintar di tengah hari bolong.
"Apa?" ia menegasi. "Soeheng-ku dibawa lari orang?"
"Apa kau masih mau main gila terus?" kata Lo Tiauw dengan gusar. "Apa kau mau aku
turun tangan?"
Kagetnya Gan Lok sekarang tercampur dengan perasaan girang. "Lo Taydjin!" katanya
dengan suara nyaring. "Aku sungguh-sungguh tidak mengerti perkataanmu."
"Jika bukan kau, siapa lagi yang membongkar penjara?" tanya Lo Tiauw dengan mata
melotot. "Sudah setengah bulan, siauwtee tak pernah keluar dari rumah ini," jawabnya.
"Mana bisa
siauwtee membongkar penjara?"
Lo Tiauw sangsi. "Dilihat dari parasnya, mungkin ia tidak berdusta," katanya di dalam
hati. "Di samping itu, begitu aku datang, ia lantas keluar menyambut. Tapi, kalau bukan
dia, siapa lagi?"
"Bolehkah aku mendapat tahu, bagaimana penjara dibongkarnya?" tanya Gan Lok.
"Dengan adanya penjagaan yang begitu kuat, apa masih ada orang yang berani berbuat
begitu?"
Lo Tiauw jadi semakin sangsi. "Hm!" ia menggereng. "Aku tanya kau, sekarang berbalik
kau tanya aku. Gan Lok! Jangan main gila kau!"
"Jika benar aku yang membongkar penjara, waktu ini aku tentu sudah kabur jauh," kata
Gan Lok. "Tak bisa jadi, aku terus berdiam di rumahku dan menyambut kedatangan kalian.
Jika tidak percaya, kalian boleh menggeledah."
Lo Tiauw tertawa dingin. "Tak mudah kau menipu aku dengan segala akal bulus,"
katanya. "Sudah pasti, kaulah yang melepaskan Liong Loosam dan menyuruh dia kabur di
tempat lain, sedang kau sendiri pura-pura bersih. Gan Lok! Beritahukan saja tempat
bersembunyinya Liong Loosam. Dengan mengingat, bahwa kita pernah bekerja sama-
sama, aku tentu tak akan menyusahkan kau."
"Biarpun dibunuh mati, aku tak bisa memberitahukan dimana adanya Soeheng, karena
aku memang tak tahu," jawabnya dengan suara tetap.
Sementara itu, In Leng Tjoe sudah hilang sabarnya. "Sudahlah!" bentaknya. "Sebagai
soetee Liong Leng Kiauw, dia harus bertanggung jawab sepenuhnya. Perlu apa kita bicara
panjang-panjang?" Berbareng dengan perkataannya, ia maju setindak dan coba
mencengkeram Gan Lok dengan tangannya yang seperti kipas.
Dengan cepat Gan Lok berkelit dan melompat mundur. Mendadak, dengan disertai
sambaran angin dahsyat, bagaikan bianglala, sehelai ikatan pinggang sutera yang
beraneka warnanya, menyambar. Gan Lok terkesiap dan untuk menolong diri, ia berguling
di atas lantai. Sementara itu, In Leng Tjoe sudah merangsek maju untuk membekuk
lawannya. Selagi melompat, tiba-tiba saja, ia merasa kakinya menginjak serupa benda
yang dingin luar biasa. Hatinya mencelos dan ia meloncat mundur beberapa tindak.
Di lain saat, dengan jalan berendeng, Tong Keng Thian dan Koei Peng Go masuk ke
dalam ruangan itu. Melihat sambaran ikatan pinggang San Tjeng Nio, dengan tenang
Keng Thian mengangkat tangan kanannya dan dengan dua jeriji menjepit ikatan pinggang
itu, yang lantas saja putus seperti tergunting!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya In Leng Tjoe dan San Tjeng Nio. Untuk
membekuk Gan Lok, yang katanya memiliki ilmu silat tinggi, In Leng Tjoe telah mengajak
iserinya datang bersama-sama, la tak pernah mimpi bahwa kedua orang muda yang
ditakuti itu, bisa berada di rumah Gan Lok. Sebagaimana diketahui, mereka berdua
pernah mengerubuti Pengtjoan Thianlie tanpa bisa menarik keuntungan apapun juga dan
kemudian dalam pertarungan itu, mereka pernah berkenalan dengan liehaynya Thiansan
Sinbong. Mereka juga mengetahui, bahwa Keng Thian adalah putera Tong Siauw Lan
yang benar-benar tidak boleh dibuat gegabah. Maka itu, biarpun merasa sangat malu,
buru-buru mereka lompat menyingkir sebagai jago pecundang.
Lo Tiauw dan kawan-kawan segera mengenali, bahwa kedua orang muda itu adalah
orang-orang yang pernah bantu melindungi guci emas. Sambil bersenyum. Keng Thian
mendekati dan memberi hormat. "Taydjin, kapan pembongkaran penjara itu terjadi? Apa
malam ini?" tanyanya.
"Benar, baru kira-kira satu jam berselang," jawabnya. Hatinya bersangsi dan menduga-
duga, bahwa pembongkaran penjara dilakukan oleh kedua orang muda itu, tapi ia tak
berani menanya terang-terangan.
"Kami datang disini sudah dua jam lamanya," kata pula Keng Thian.
"Selama dua jam itu, Gan Sianseng terus menemani kami. Kecuali ia mempunyai
kepandaian memecah badan, tak mungkin ia pergi membongkar penjara."
Mendengar keterangan Keng Thian, di dalam hati In Leng Tjoe menduga, bahwa orang
yang membawa lari Liong Leng Kiauw adalah pemuda itu sendiri. Akan tetapi, karena
takut, ia tidak berani membuka mulut. Sementara itu, melihat gelagat kurang baik, sambil
tersenyum Lo Tiauw segera berkata: "Jika Djiewie Giesoe mengatakan begitu, perbuatan
itu sudah tentu bukan dilakukan oleh Gan-heng. Kami minta maaf untuk kecerobohan tadi,
dan oleh karena ingin buru-buru berusaha untuk membekuk orang yang berdosa,
sekarang kami minta perkenan untuk berlalu."
Sesudah para tamu berangkat, mereka duduk di ruangan tengah. Melihat paras Keng
Thian yang sangat guram, Gan Lok tertawa seraya berkata: "Sesudah ada orang yang
mewakili pekerjaan kita, kita boleh tak usah berabe lagi."
Alis pemuda itu berkerut. "Siapakah orang itu?" tanyanya. "Biarpun orang-orang Hok
Kong An bukannya ahli-ahli silat kelas utama, aku bisa membayangkan, bahwa malam ini
penjagaan di penjara sangat diperkuat. Mungkin sekali suami isteri In Leng Tjoe turut
menjaga disitu. Tapi orang itu telah berhasil membawa lari Liong Leng Kiauw. Siapa dia?
Tak bisa tidak, dialah seorang yang berkepandaian luar biasa."
"Apa tak mungkin nenek Tong?" tanya Peng Go.
Keng Thian menggelengkan kepala seraya berkata: "Jika benar Tong Lootaypo, apakah
mungkin, bahwa pengawal-pengawal penjara tak dapat membedakan lelaki atau
perempuan? Kenapa mereka menuduh Gan-heng?"
"Apakah Kim Sie Ie?" tanya pula si nona.
"Kurasa tak mungkin," jawab Keng Thian. "Meskipun dia seorang aneh, tapi mengingat,
bahwa dia sama sekali belum mengenal Liong Leng Kiauw, tak bisa jadi ia sudi
menempuh bahaya untuk menolong Liong Sam."
Keng Thian tahu, bahwa bertahun-tahun Liong Leng Kiauw telah mementang
pengaruhnya di daerah Tibet. Maka itu, ia girang tercampur jengkel karena Liong Sam
jatuh ke dalam tangan orang yang belum diketahui siapa adanya. Mereka coba menebak-
nebak, tapi tak bisa menarik kesimpulan yang memuaskan.
Malam itu Keng Thian tak bisa pulas. Ia menggulak-gulik di atas pembaringan sambil
mengasah otak. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengunjungi pula Hok Kong An
guna menyelidiki hal itu sedalam-dalamnya. Tapi di luar dugaan, sebelum ia berangkat,
utusan Hok Tayswee, sudah datang di rumah Gan Lok.
Orang yang diutus Hok Kong An adalah Tjiauw Tjoen Loei dan
Yoe It Gok yang pernah turut melindungi guci emas. Kedudukan mereka adalah
pemimpin dan wakil pemimpin dari delapan pengawal utama di istana kaisar dan
kedudukan mereka masih jauh lebih tinggi daripada Lo Tiauw. Sesudah selesai
menjalankan tugas mengawal guci emas ke Lhasa, Hok Tayswee telah mengajukan
permohonan kepada kaizar, supaya mereka berdua tetap berdiam di Lhasa guna memberi
bantuan dalam soal-soal ketentaraan dan permohonan itu sudah diluluskan oleh Kian
Liong.
Begitu fajar menyingsing, mereka sudah tiba di rumah Gan Lok. Melihat Keng Thian
dan Peng Go, Tjiauw Tjoen Loei segera berkata dengan sikap hormat: "Waktu Djiewie
Giesoe datang berkunjung kemarin, Tayswee tidak keluar menemui karena kesehatannya
agak terganggu. Untuk kelalaian itu, beliau telah mengutus kami guna minta maaf."
Keng Thian yang sangat cerdas, lantas saja menduga, bahwa kedatangan mereka
mengandung maksud untuk meminta pertolongan. Ia bersenyum seraya berkata: "Orang-
orang dusun yang seperti kami, sebenarnya tak boleh mengganggu Tayswee. Kami insyaf,
bahwa Tayswee tentu diuruk pekerjaan-pekerjaan penting dan kami tak berani
mengganggu lagi. Di hadapan Tayswee, mohon Djiewie menyampaikan permintaan maaf
kami."
"Apakah Tong Tayhiap tak gusar terhadap kami?" tanya Tjiauw Tjoen Loei.
"Kenapa gusar?" Keng Thian balas menanya.
"Jika benar Tong Tayhiap tidak marah terhadap kami, kami memohon supaya Tayhiap
suka menolong mangkok nasi kami," katanya.
"Ah! Tjiauw Taydjin tak boleh bicara begitu!" kata Keng Thian.
"Bukankah Tong Tayhiap sudah tahu, bahwa semalam terjadi pembongkaran penjara?"
tanya Tjoen Loei pula.
"Ya," jawabnya. "In Leng Tjoe dan beberapa orang lain semalam telah datang untuk
urusan itu."
"Dalam hal ini, kami semua telah mendapat malu besar," kata Tjiauw Tjoen Loei.
"Karena tidak punya kemampuan, penjahat sudah berhasil membawa lari seorang
pesakitan penting dan lebih gila lagi, kami malah tak bisa melihat tegas muka penjahat itu.
Barangkali Tong Tayhiap juga tahu, bahwa pesakitan itu adalah pesakitan sangat penting
yang diperhatikan oleh Hongsiang sendiri. Jika dia tak bisa dibekuk kembali, semua orang
disini, dari atas sampai di bawah, sudah pasti tak akan terluput dari hukuman. Maka, kami
memohon belas kasihan Tong Tayhiap untuk memberi pertolongan."
Mendengar pernyataan Tjiauw Tjoen Loei, Keng Thian segera menduga, bahwa Hok
Kong An sudah tahu tentang perampasan firman yang dilakukan olehnya. Mungkin, In
Leng Tjoe sendiri merasa malu untuk memberitahukan kejadian itu, tapi di samping In
Leng Tjoe, masih ada si Soeya yang menyaksikan kejadian tersebut. Oleh sebab itu ia
menduga, bahwa Soeya itulah yang sudah melaporkan kepada Hok Tayswee. Dari
perkataan Tjiauw Tjoen Loei, ia mendapat kesan, bahwa orang masih menyangkanya
sebagai orang yang sudah membawa lari Liong Leng Kiauw.
Maka itu, sambil tertawa ia segera berkata: "Dilihat gelagatnya, jika aku tak bisa
membantu kalian, aku sendiri pun tak akan terlolos dari kecurigaan."
Paras muka Tjiauw Tjoen Loei lantas saja menjadi merah. "Biarpun mempunyai seratus
kepala, kami tentu tak berani mencurigakan Tong Tayhiap," katanya. "Hanya karena yakin,
bahwa Tayhiap mempunyai pandangan dan pergaulan yang sangat luas, maka kami
mohon, supaya Tayhiap sudi memberi petunjuk-petunjuk."
Keng Thian tak lantas menjawab, ia duduk bengong sambil menimbang-nimbang
tindakan yang harus diambilnya.
Sementara itu, Tjiauw Tjoen Loei jadi semakin bingung dan dari merah, parasnya
berubah menjadi pucat bagaikan kertas. Ia tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan
oleh pemuda itu.
"Tong Tayhiap," katanya dengan suara gemetar. "Dengan Liong Loosam, kami
sedikitpun tak mempunyai ganjelan atau permusuhan. Aku sendiri juga merasa sangat
tidak tega jika ia mesti mendapat hukuman mati. Kami hanya mengharap, supaya ia bisa
kembali dan aku bisa menyerahkannya kepada I n Leng Tjoe. Sesudah menyelesaikan
tugas itu, aku akan segera mengajukan permintaan berhenti dan pulang ke kampung
sendiri. Huh-huh! Sesudah Liong Loosam berada dalam tangan In Leng Tjoe, kami bebas
dari segala beban. Jika sampai terjadi apa-apa lagi, aku boleh tak usah campur-campur
lagi!"
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Apakah Taydjin berada disitu, di waktu terjadi
pembongkaran penjara?" tanyanya.
Muka Tjiauw Tjoen Loei yang pucat mendadak berubah menjadi merah. "Justeru aku
dan Yoe-heng yang sedang bertugas," jawabnya dengan suara kemalu-maluan.
"Heran benar!" kata Keng Thian. "Meskipun penjahat itu berkepandaian tinggi, tetapi,
mengingat tebalnya tembok penjara dan kuatnya kunci, tak mungkin ia bisa terbang tanpa
mengeluarkan suara."
"Bukan hanya suara, tapi suara yang sangat dahsyat," jawabnya. "Penjahat itu telah
menghancurkan tembok penjara!"
Keng Thian jadi semakin heran. "Kalau begitu, mana bisa jadi kalian tidak melihat tegas
muka penjahat itu?" tanyanya.
"Kira-kira tengah malam, di dalam penjara mendadak terdengar suara gedubrakan yang
sangat hebat," kata Tjiauw Tjoen Loei. "Kami segera memburu dan melihat berkelebatnya
satu bayangan hitam yang menggendong Liong Leng Kiauw. Mendadak, kami merasa
seperti kehilangan semangat, mata berkunang-kunang dan lutut lemas. Di lain saat,
penjahat itu sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi."
"Apa penjahat itu menggunakan biehio (hio untuk memabukkan orang)?" tanya Keng
Thian.
Tjiauw Tjoen Loei menggelengkan kepala.
"Sedikitpun aku tidak mengendus bebauan luar biasa," katanya. "Untuk itu, kami sudah
berjaga-jaga. Semua orang yang bertugas membekal obat pemunah. Biehio yang paling
hebat tak akan bisa merobohkan kami."
Sesudah berpikir sejenak, Reng Thian berkata: "Apa boleh kalian mengantar kami
untuk menyelidiki di penjara itu?"
"Bagus! Kami sebenarnya tak berani meminta begitu," jawabnya girang.
Setibanya di penjara, Keng Thian dan Peng Go segera menyelidiki dengan teliti.
Ternyata, tembok penjara tebal dan kokoh, sedang setiap pintu terbuat dari besi dengan
kuncinya yang besar. Waktu tiba di kamar (sel) Liong Leng Kiauw, mereka terkejut sebab
dinding berlubang besar, cukup untuk muat badannya satu manusia. Ditinjau bekas-
bekasnya, tembok itu rupanya digempur dengan menggunakan pundak. Keng Thian dan
Peng Go merasa kagum bukan main, karena tenaga yang begitu besar sungguh jarang
terdapat dalam dunia. Tapi apa yang paling mengherankan adalah pengaruh luar biasa
yang dirasakan oleb para penjaga bui pada waktu si penjahat sedang bekerja. Mereka
semua merasa seperti orang linglung. Penglihatan mereka mengenai tubuh si penjahat
berlainan satu sama lain. Ada yang kata, penjahat itu berbadan gemuk, ada yang kata
kurus, ada yang kata tinggi dan ada pula yang kata kate.
Keng Thian menengok ke arah
Peng Go dan tiba-tiba ia terkejut, karena paras si nona kelihatan luar biasa, seakan-
akan orang kehilangan semangat. "Peng Go Tjietjie! Kenapa kau?" tanyanya.
Sedari tiba di penjara, Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan sepatah kata dan teguran
itu mengejutkannya. "Lekas sediakan dua ekor kuda yang baik!" katanya dengan suara
nyaring. "Kita harus mengubar ke jurusan barat!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian dengan penuh keheranan.
"Coba kau bersemedhi dan mengheningkan cipta," kata si nona.
Baru saja bersemedhi beberapa saat, hidung Keng Thian sudah mengendus semacam
bebauan wangi yang sangat halus dan luar biasa. Seumur hidup, belum pernah ia
mencium bebauan yang serupa itu.
Sementara itu, atas perintah Tjiauw Tjoen Loei, dua ekor kuda sudah tersedia di luar
pintu penjara.
Keng Thian melompat bangun seraya menanya: "Peng Go Tjietjie, bau apa itu?"
"Jangan tanya, mari kita berangkat," jawabnya sambil bertindak keluar. Tanpa bicara
lagi, mereka melompat ke atas punggung kuda yang lalu dikaburkan ke jurusan barat.
Kedua tunggangan itu adalah kuda-kuda pilihan yang larinya sangat cepat dan dalam
sekejap, mereka sudah berada di luar kota.
Tibet adalah daerah yang luas dengan sedikit penduduknya. Sebagian besar penduduk
itu berkumpul di sebelah timur Lhasa, sedang di wilayah sebelah barat Lhasa hanya
terdapat tanah belukar dan gurun pasir. Di daerah itu, orang bisa berjalan puluhan li tanpa
menemui rumah penduduk. Waktu itu, di Tiongkok Selatan sudah masuk permulaan
musim semi, tapi Tibet masih tertutup salju.
Sesudah mengaburkan tunggangan beberapa lama di tanah yang tandus itu, tiba-tiba
Peng Go menahan les dan berkata: "Diculiknya Liong Leng Kiauw mungkin akan
menimbulkan kejadian-kejadian luar biasa."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Keng Thian sambil merendengkan kudanya dengan
tunggangan si nona.
"Bukankah tadi kau mengendus bebauan wangi?" Peng Go balas menanya.
"Benar," jawabnya. "Bau itu halus luar biasa, sehingga sesudah bersemedhi, barulah
aku dapat mengendusnya. Aku sebenarnya merasa heran, bagaimana kau bisa
mengendusnya dengan begitu saja."
Si nona tertawa manis. "Kau tak usah heran," katanya. "Di Puncak Es terdapat pohon
bunga itu."
"Bunga?" menegas Keng Thian. "Bunga itu Asioelo namanya," menerangkan Peng Go.
"Asioelo berarti setan atau memedi. Walaupun sangat halus, bau kembang itu tak
gampang buyar. Pada waktu bunganya sedang mekar, orang yang mengendus wanginya
bunga itu, akan berada dalam keadaan seperti mabuk arak, semangatnya seolah-olah
terbetot keluar, matanya berkunang-kunang dan lututnya lemas. Maka itulah, namanya
Bunga Setan. Pohon bunga itu hanya bisa hidup di tempat yang sangat tinggi. Sepanjang
keterangan, di samping daerah pegunungan Nyenchin Dangla, Bunga Setan hanya
terdapat di pegunungan Himalaya. Di gunung Nyenchin Dangla tidak terdapat lain orang
pandai, kecuali keluargaku sendiri. Maka itu, aku menaksir, bahwa orang yang menculik
Liong Leng Kiauw datang dari daerah Himalaya."
"Aha!" kata Keng Thian dengan kaget. "Apa dia orang asing? Benar. Jika dilihat dari
kepandaiannya dalam menggempur tembok penjara, memang kepandaian itu bukan
kepandaian orang Han."
"Aku pun menduga begitu," kata Peng Go sambil menghela napas. "Jika dia datang dari
Nepal, aku kuatir perbuatannya itu mempunyai sangkut paut dengan diriku. Maka itulah,
andaikata orang yang diculik bukan Liong Leng Kiauw, aku tetap harus menyelidiki sampai
di dasarnya,"
Di sepanjang jalan, dengan rasa heran mereka melihat tapak-tapak di atas salju, tapi
semua tapak itu bukan tapak manusia, maupun kuda. Apa tapak-tapak binatang yang
belum dikenal mereka?
Sesudah berjalan beberapa jauh lagi, di atas salju terlihat tetesan darah, yang semakin
lama jadi semakin banyak. Apa yang mengherankan ialah di jalanan itu sama-sekali tidak
kelihatan tapak-tapak kaki. "Aneh," kata Peng Go. “Jika darah itu adalah darah manusia,
orang yang mengeluarkan darah pasti mempunyai ilmu berjalan tanpa meninggalkan
tapak. Tapi, jika ia memiliki ilmu yang begitu tinggi bagaimana ia bisa terluka?"
Dengan hati berdebar-debar, mereka terus mengikuti tetesan darah itu. Tak lama
kemudian, Keng Thian mengeluarkan seruan kaget, karena di tengah jalan menggeletak
dua bangkai kuda. Mereka lalu mendekati dan ternyata, ke empat kaki kuda-kuda itu telah
dibacok putus. Mereka coba mencari kaki-kaki itu, tapi tidak bisa didapatkannya, mungkin
sebab sudah keuruk salju.
Keheranan mereka semakin memuncak. Jika tetesan darah yang terlihat di sepanjang
jalan adalah kuda, kenapa tidak terlihat tapak-tapak kakinya? Mereka melompat turun dari
tunggangan dan lalu menyelidiki terlebih teliti. Ternyata, di seputar bangkai kuda terdapat
tapak-tapak kaki manusia yang samar-samar, antaranya tapak yang pendek dan kecil.
Setelah diakuri, tapak itu ternyata tidak berjauhan besarnya dengan tapak kaki Peng Go.
"Tapak wanita!" kata Keng Thian, yang, sesudah mengawaskan kedua bangkai kuda itu
beberapa lama, mendadak berteriak: "Aha! Inilah tapak Tong Lootaypo!"
“Bagaimana kau tahu?” tanya si nona.
"Lihatlah kedua kuda itu," jawabnya. "Banyak lebih kecil daripada tunggangan kita, tapi
kelihatannya kuat dan gagah. Kuda itu bukan sembarang kuda, mereka adalah kuda-kuda
yang terkenal dari Soetjoan barat!"
"Benar," kata si nona. "Tong Lootaypo memang penduduk daerah itu. Tapi disini
terdapat dua ekor kuda. Siapa yang satunya lagi? Apakah nenek itu yang menolong Liong
Leng Kiauw? Mana bisa jadi?"
Keng Thian pun merasa, bahwa hal itu adalah tak mungkin. Walaupun memiliki ilmu
silat yang tinggi, si nenek pasti tak akan bisa menggempur tembok penjara dengan
kekuatan badannya.
"Pengalaman kita di hari ini benar-benar luar biasa," kata Keng Thian. "Jalan satu-
satunya, kita harus menyelidiki terlebih jauh."
Mereka lalu melompat naik ke punggung kuda dan berjalan mengikuti tapak-tapak kaki
di atas salju. Selagi turun di satu tanjakan, sekonyong-konyong terlihat pula tanda-tanda
darah.
"Disitu ada orang!" seru Keng Thian.
Tubuh orang itu tertutup salju dan hanya sebagian mukanya yang terlihat dari luar.
Buru-buru mereka meloncat turun dari tunggangan dan menyingkirkan salju yang menutup
badan orang itu.
Di lain saat, mereka berdiri terpaku, bahna kagetnya, baju orang itu, yang ternyata
adalah Tong Toan, keponakan Tong Say Hoa, robek di sana-sini, sedang di pundaknya
terdapat tapak tangan yang berwarna merah.
"Dadanya masih hangat," kata Keng Thian. "Lekas berikan Yangho wan (pel untuk
menolak hawa dingin)."
Peng Go segera menyerahkan dua butir Yangho wan kepada Keng Thian yang lalu
memasukkannya ke dalam mulut Tong Toan dan menuang juga sedikit arak, yang selalu
dibawa dalam sakunya, supaya pel itu bisa turun ke dalam perut. Kemudian, dengan
mengerahkan lweekang, Keng
Thian lalu mengurut sekujur badan Tong Toan untuk menjalankan darahnya yang sudah
hampir membeku.
Selagi tunangannya bekerja, si nona mengawasi ke seputarnya.
Tiba-tiba ia berteriak: "Keng Thian! Lihat!"
Keng Thian menengok ke arah yang ditunjuk Peng Go. Ternyata, tak jauh dari situ,
terdapat sebuah batu gunung yang somplak atasnya dan kepingan-kepingan batu
berhamburan di bawahnya. Sebagai seorang ahli, ia segera mengetahui, bahwa
somplakan itu adalah akibat pukulan senjata. Sesudah memperhatikan beberapa saat,
mendadak ia berseru: "Aha! Tongkat Kim Sie Ie!"
Si nona menghela napas. "Ya," katanya dengan suara duka. "Sebaliknya dari pergi ke
Thiansan, dia datang kemari. Bukankah dia seperti mencari mati sendiri? Andaikata kita
sekarang dapat mencarinya, mungkin sudah tidak keburu untuk menolongnya." Peng Go
berkata begitu, karena tahu, bahwa Kim Sie Ie tak bisa hidup sebulan lagi.
Keng Thian tidak menyahut. Ia terus mengurut Tong Toan. Selang beberapa lama,
barulah terdengar suara merintih dari tenggorokan pemuda yang terluka itu.
"Ketolongan!" katanya sambil bangun berdiri dan mengambil kantong kulit yang berisi
arak susu kuda dari selanya. Ia menuang arak itu ke mulut Tong Toan yang perlahan-lahan
lalu membuka kedua matanya. "Ih!" katanya dengan suara lemah. "Kau? Apa aku sedang
mimpi?"
Pengtjoan Thianlie bersenyum. "Jangan kuatir, kau hanya mendapat luka di luar,"
katanya. "Inilah Tong Keng Thian, putera paman Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin Thiansan
pay."
Dengan sorot mata duka, Tong Toan mengawasi si nona. "Terima kasih," katanya
dengan suara lemah. "Koei Kouwnio, inilah untuk kedua kali kau menolong aku." Harus
diketahui, bahwa waktu Peng Go berdiam beberapa hari dalam gedung keluarga Tong
untuk melindungi Tong Lootaypo, dalam hati pemuda itu telah timbul rasa cinta
terhadapnya. Hanya karena mengetahui, bahwa kepandaiannya tidak berbanding dengan
Pengtjoan Thianlie, ia merasa malu untuk memperlihatkan rasa hatinya. Sekarang, melihat
Peng Go bersama-sama putera Tong Siauw Lan, ia jadi merasa duka, akan tetapi, sebagai
seorang baik-baik, dalam kedukaan itu, ia merasa girang sebab Pengtjoan Thianlie sudah
mendapat seorang kawan yang kelihatannya setimpal.
"Mana Kouwkouw-mu (bibi)?" tanya si nona.
"Apa kalian tidak bertemu dengannya?" tanyanya dengan kaget.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. "Apa Kim Sie Ie cari-cari urusan lagi dengan kalian?"
tanyanya. Ia menunjuk batu yang somplak itu dan berkata pula: "Lihatlah, bukankah batu
itu terpukul dengan tongkatnya?"
"Aduh, begitu hebat!" kata Tong Toan. "Dia sebenarnya telah membantu Kouwkouw
dalam pertempuran melawan Ouwtjeng (pendeta asing)."
"Apa?" menegas si nona. "Siapa pendeta asing itu? Kim Sie Ie membantu Kouwkouw-
mu?" "Benar," jawabnya. "Jika tidak ditolong Kim Sie Ie, jiwaku tentu sudah melayang.
Yang menculik Soesiok (paman guru, Liong Leng Kiauw) adalah Ouwtjeng itu.
Waktu kecil, Liong Leng Kiauw telah dipelihara oleh Tong Say Hoa yang mencintainya
bagaikan anak sendiri. Tapi guru Liong Sam adalah Tong Djiesianseng, ayah Tong Say
Hoa, sehingga Tong Toan memanggil Soesiok kepadanya.
Si nona kaget bukan main. "Oh, begitu?" katanya. "Kenapa di sepanjang jalan sama
sekali tidak terlihat tapak kaki manusia atau kuda?"
Sesudah minum arak susu kuda, sebagian tenaga pemuda itu pulih kembali. Ia
menghela napas dan mulai menutur dengan suara perlahan: "Tempo hari, ketika kau
datang di Soetjoan barat, kau telah memberitahukan tentang di penjarakannya Soesiok.
Sebenarnya Kouwkouw ingin segera pergi ke Lhasa untuk memberi pertolongan, tapi
sungguh celaka, ia telah dilukakan Kim Sie Ie, sehingga sesudah berobat kurang lebih
setengah tahun, barulah kesehatannya pulih kembali. Kami berangkat sesudah Tiongtjhioe
tahun yang lalu dan sudah belasan hari tiba di Lhasa."
"Aku semula menduga, orang yang membongkar penjara adalah Kouwkouw-mu," kata
si nona, "Memang, memang Kouwkouw mempunyai niatan begitu," kata Tong Toan. "Ia
membuat
persiapan untuk beberapa hari lamanya. Ia sudah menyelidiki keadaan di penjara dan
menyediakan dua ekor kuda di luar pintu kota, supaya, begitu lekas Soesiok tertolong,
kami bisa kabur dengan menunggang kuda. Kami sudah membuat rencana untuk
membongkar penjara pada tengah malam, kemarin malam."
"Pendeta asing itu juga datang pada waku itu, bukan?" tanya Keng Thian.
"Tak salah," jawabnya. "Kemarin malam, baru saja kami tiba di luar tembok penjara,
mendadak
terdengar suara gedubrakan, disusul dengan suara tindakan yang ramai. Kami
mengetahui, bahwa di dalam telah terjadi perkembangan luar biasa dan lalu bersembunyi
di kaki tembok. Tak lama kemudian, dari dalam melompat keluar seorang pendeta asing
yang menggendong seorang lain. Kouwkouw yang bermata jeli lantas saja mengenali,
bahwa orang yang digendong itu adalah Soesiok. Ia berteriak-teriak dan memanggil-
manggil nama Soesiok, tapi baik si pendeta, maupun Soesiok tidak menjawab. Menurut
peraturan Kangouw, kedua belah pihak harus saling memperkenalkan diri. Si pendeta
yang mempunyai ilmu entengkan badan sangat tinggi, kabur terus dengan diubar oleh
kami.
"Begitu keluar dari tembok kota, Ouwtjeng itu lantas saja melompat ke punggung kuda
yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Untung juga, kami pun sudah menyediakan kuda.
Kedua kuda kami sangat cepat larinya dan si pendeta telah kecandak di tempat ini."
"Kenapa di sepanjang jalan tidak tertampak tapak kaki kuda?" tanya Peng Go.
"Karena kuatir dikuntit orang, kami membungkusnya dengan kain wol yang tebal,"
jawabnya. "Mungkin si pendeta asing pun berbuat begitu."
Pengtjoan Thianlie manggut-manggutkan kepalanya.
Sesudah mengasoh sebentaran, Tong Toan melanjutkan penuturannya: "Dalam jarak
kira-kira belasan tindak, Ouwtjeng mendadak berbalik dan melepaskan beberapa golok
terbang dengan berbareng. Kouwkouw adalah ahli senjata rahasia yang pandai
melepaskan dan menyambut macam-macam senjata. Ia segera bergerak untuk
menangkap golok-golok dengan menggunakan ilmu Tjiantjhioe Kwan Im Sioebanpo (Dewi
Kwan Im yang mempunyai ribuan tangan menangkap laksaan mustika). Tapi di luar
dugaan, ilmu melepaskan golok dari si pendeta juga sangat luar biasa. Waktu baru
dilepaskan, golok-golok itu menyambar ke atas tapi begitu berdekatan, arahnya berubah
dan menyambar kaki kuda. Demikianlah, delapan kaki kuda Soetjoan itu jadi korban golok
terbang. Jika Kouwkouw masih muda atau serangan itu terjadi di siang hari, mungkin
sekali si pendeta tidak akan berhasil."
Mendengar penuturan itu, Keng Thian merasa geli. "Keluarga Tong dikenal sebagai ahli
nomor satu di dunia dalam ilmu melepaskan senjata rahasia," katanya di dalam hati.
"Kekalahan ini pasti mendukakan sangat hati si nenek."
"Kouwkouw jadi gusar bukan main," kata pula Tong Toan. "Ia segera menghujani
senjata rahasia kepada Ouwtjeng. Thielian tjie, Tokkilee, Ngoloei tjoe, Kimtjhie piauw dan
sebagainya menyambar-nyambar bagaikan gerimis, sehingga si pendeta jadi repot bukan
main. Dia melompat turun dari tunggangannya dan lalu menggunakan jubah pertapaannya
sebagai tameng. Sementara itu, Liong Soesiok masih tetap duduk di punggung kuda.
Semula, kami menduga, ia kena obat tidur. Tapi dengan pertolongan sinar bulan, kami
melihat matanya terbuka lebar dan mengawasi kami terlongong-longong. Kami yakin,
bahwa jika Soesiok membantu, tidak terlalu sukar untuk mengambil jiwa pendeta itu. 'Leng
Kiauw!' teriak Kouwkouw. 'Tikamlah Honghoe hiat-nya!' Tapi Soesiok tidak bergerak,
kedua matanya tetap mendelong seperti orang lupa ingatan, sedang kaki tangannya
bergemetaran. Kami jadi jengkel tercampur kuatir.
"Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang sangat nyaring,
disusul dengan berkelebatnya satu bayangan manusia!"
"Kim Sie Ie, bukan?" tanya Peng Go.
"Benar," jawabnya. "Kim Sie Ie. Sesaat itu, kami belum tahu, bahwa kedatangannya
adalah untuk memberi pertolongan. Kami kaget bukan main. Kouwkouw melayani
Ouwtjeng dengan hanya menggunakan senjata rahasia. Kami yakin, bahwa begitu lekas
senjata rahasia habis, si pendeta akan segera menyerang dan kami berdua belum tentu
bisa menandinginya. Mana bisa kami melayani lagi seorang musuh alot seperti Kim Sie
Ie? Kouwkouw berteriak berulang-ulang untuk menyadarkan Liong Soesiok, tapi tetap
tidak berhasil. Waktu itu, aku sudah tidak memikir hidup. Aku bertekad untuk lebih dulu
membinasakan si pendeta dan jika berhasil, barulah menghadapi Kim Sie Ie. Aku segera
maju mendekati dan menunggu kesempatan untuk menerjang.
"Di lain detik, Kim Sie Ie sudah tiba di gelanggang pertempuran, sedang aku sendiri
hanya terpisah tujuh delapan kaki dari si pendeta.
"Mendadak, Ouwtjeng menyabat dengan jubahnya dan beberapa senjata rahasia
terpukul balik dan menyambar ke punggung Kouwkouw. Sesaat itu, Kouwkouw sedang
memutar tubuh untuk menghadapi Kim Sie Ie dan ia sama sekali tak menduga, bahwa si
pendeta bisa menyerang dirinya dengan senjata rahasianya sendiri.
"Pada detik itulah, tongkat Kim Sie Ie menyambar. Jika Kouwkouw menangkis tongkat,
ia tak akan bisa menangkis senjata rahasia yang menyambar punggung dan begitu juga
sebaliknya. Melihat begitu, semangatku terbang.
"Sekonyong-konyong terdengar suara 'tring-tring-tring!' dan semua senjata rahasia
terpental ke empat penjuru. Ternyata, di luar semua taksiran, tongkat itu bukan
menghantam Kouwkouw, tapi menyabat senjata-senjata rahasia itu."
Keng Thian tertawa. "Cara-cara Kim Sie Ie memang aneh sekali," katanya.
"Waktu itu aku berdiri terpaku dan memusatkan Seantero perhatian ke arah
Kouwkouw," kata pula Tong Toan. "Tak dinyana, dengan menggunakan kesempatan itu, si
pendeta mengedut jubahnya yang lantas saja menyambar ke kepalaku. Kim Sie Ie
membentak keras dan melompat untuk menolong, tapi sudah tidak keburu. Mataku
berkunang-kunang dan tidak ingat orang lagi sampai ditolong oleh kalian."
"Kalau begitu, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak diketahui olehmu,
bukan?" tanya Keng Thian.
"Tidak, aku tak tahu," jawabnya. "Kouwkouw sudah tua. Aku sungguh berkuatir."
"Menurut pendapatku, Tong Lootjianpwee tak kurang suatu apa," menghibur Peng Go.
"Jika dia menang, si pendeta tentu tak akan membiarkan kau hidup terus. Di samping itu,
kalau mereka terluka, di sekitar sini mesti terdapat tanda-tanda darah. Menurut taksiranku,
Tong Lootjianpwee dan Kim Sie Ie telah mengubar pendeta itu."
"Mari kita mengejar terus." mengajak Keng Thian.
Salju mulai turun lagi, semakin lama jadi semakin lebat. Mereka yakin, bahwa niatan
untuk mengejar ketiga orang itu akan lebih sukar tercapai karena tapak-tapak tentu keuruk
dengan salju yang baru turun. Tapi sebab tiada lain jalan yang lebih baik, mereka terpaksa
meneruskan pengejaran ke jurusan barat. Di sepanjang jalan, Peng Go diliputi kedukaan,
karena ia tak dapat menebak, kenapa Kim Sie Ie tidak pergi ke Thiansan dan berkeliaran
di daerah yang belukar itu.

***

Hari itu, Kim Sie Ie kabur dari warung arak dengan rasa kemalu-maluan. Ia merasa
jengah dan mengambil keputusan untuk tidak menemui lagi Phang Lin dan puterinya. Ia
lari selari-larinya, tanpa tujuan. Sesudah kabur tiga hari, ia tiba di daerah padang pasir dan
kesasar. Ia berada di tempat yang tiada manusianya, sedang makanan kering yang
dibawanya, sudah habis.
Sesudah menghitung-hitung, ternyata ia hanya bisa hidup kira-kira tiga puluh hari lagi.
Ia tertawa dalam hatinya. Ia merasa, bahwa mati di tanah belukar itu, lebih cepat
beberapa hari atau lebih lambat beberapa hari, tidak menjadi soal. Ia tak takut mati, ia
memang siap sedia untuk meninggalkan dunia yang penuh penderitaan. Tapi, di lain saat,
ia berpikir lain. Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, ia merasa penasaran
jika mesti mati kelaparan di padang pasir. Ia tak rela untuk mati cara begitu. Kim Sie Ie
adalah seorang yang sungkan menyerah kalah terhadap siapapun juga. Setelah
mengetahui, bahwa ia tak akan bisa terlolos dari kebinasaan, harapan yang satu-satunya
ialah: Ia ingin mati secara mengesankan. Ia tak rela untuk mati dengan begitu saja,
dengan sepi-sepi saja.
Akan tetapi, ia sekarang berada di padang pasir, tanpa makanan dan tanpa air. Hari itu,
dengan lapar dan haus, ia mendaki sebuah bukit pasir. Tiba-tiba ia melihat beberapa batu
besar yang berlubang-lubang. Batu-batu di daerah padang pasir banyak lebih empuk
daripada baru biasa dan di lubang-lubang sering terdapat air, yang dinamakan "susu
batu".
Dengan girang ia melihat, bahwa di beberapa lubang masih terdapat air. Sesudah
mengisap "susu batu" itu, perasaan hausnya menghilang, tapi rasa laparnya jadi semakin
hebat. Ia segera bersila di belakang batu dan mengerahkan lweekang. Sesudah berlatih
beberapa lama, semangatnya terbangun dan rasa lapar mulai mereda.
Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara kelenengan unta. Ia girang bukan
main. Dengan merampas "perahu padang pasir" itu, ia pasti bisa menyelamatkan diri. Tapi
di lain detik, ia berkata pada dirinya sendiri: "Dengan merampok binatang itu, aku bisa
hidup kurang lebih tiga puluh hari lagi. Tapi dengan menolong diriku, si pelancong menjadi
korban."
Dulu-dulu, Kim Sie Ie belum pernah memikirkan soal orang lain. Semenjak berkenalan
dengan Pengtjoan Thianlie, Phang Lin dan puterinya, rasa membencinya terhadap
manusia perlahan-lahan berkurang. Kadang-kadang, di tengah malam yang sunyi, ia
sendiri merasa heran kenapa perasaannya telah berubah.
Semakin lama, suara kelenengan semakin dekat. Ia bersangsi sangat. Rampas atau
tidak rampas?
Sekonyong-konyong, kesunyian gurun pasir dipecahkan dengan suara tertawa yang
nyaring dan luar biasa. Kim Sie Ie terkejut, karena suara itu tak asing bagi kupingnya. Ia
lalu mengintip dari atas batu. Unta itu masih terpisah beberapa li, tapi sebab di padang
pasir tidak terdapat aling-aling, maka ia bisa melihat tegas. Ternyata, di punggung unta
berduduk dua orang, yang masing-masing mempunyai muka luar biasa. Dengan sekali
melihat saja, ia sudah mengenali, bahwa yang satu adalah Hiatsintjoe, sedang yang lain si
pendeta lengan besi, Tang Thay Tjeng.
Ia gembira dan berkata dalam hatinya: "Aha! Hatiku bebas dari perasaan berdosa jika
merampas tunggangan dua manusia busuk itu."
Karena berada di padang pasir, mereka bicara dengan bebas tanpa kuatir didengar
orang. "Hiatsin Tooyoe," kata Tang Thay Tjeng. "Menurut katanya Hongsek Tooheng kau
sekarang
bekerja pada kerajaan Tjeng dan mempunyai harapan untuk diangkat menjadi Koksu
(guru negara). Tapi kenapa, sebaliknya dari mengicipi kebahagiaan di istana kaisar, kau
sudah datang di padang pasir ini. Apakah kau mempunyai tugas di tempat ini?"
Hiatsintjoe menghela napas panjang, paras mukanya berubah seram tercampur lucu,
seperti tertawa, bukan tertawa. "Hai!" katanya. "Jika mau dituturkan,
ceritanya panjang sekali. Aku juga ingin menanya kau. Kenapa kau juga berada di
padang pasir ini? Sesudah menyembunyikan diri tiga puluh tahun lamanya, kau muncul
lagi dalam pergaulan manusia. Aku yakin, kau sekarang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Kenapa sebaliknya dari berkelana dalam kalangan Kangouw, kau kabur ke tempat yang
sepi ini?"
Tang Thay Tjeng pun menghela napas. Mukanya berubah merah, karena malu. Sesaat
kemudian, barulah ia menjawab: "Hra! Kepandaian apa! Baru muncul, aku sudah
dirobohkan!"
Hiatsintjoe kaget dan heran. "Tang-heng," katanya. "Aku mengenal kau sebagai
seorang yang tak suka menyerah terhadap siapapun juga. Kenapa kau sekarang
mengatakan begitu? Siapa manusia itu? Bagaimana kau dirobohkannya?"
"Aku dirobohkan oleh Phang Lin, ie-ie (ipar) Tong Siauw Lan," jawabnya dengan suara
masgul. Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Lagi-lagi orang Thiansan pay,"
katanya dengan suara mendongkol.
"Sesudah menderita kekalahan beberapa kali, Hongsek Toodjin dingin hatinya dan ia
sekarang sudah kembali ke hutan batu untuk tidak muncul lagi dalam dunia pergaulan,"
kata Tang Thay Tjeng.
"Tapi aku sendiri masih penasaran. Aku ingin mencari satu orang guna mendapatkan
sejilid kitab yang luar biasa."
"Kitab apa?" tanya Hiatsintjoe. "Apa ilmu dalam kitab itu bisa menangkan ilmu silat
Thiansan pay?"
"Belum bisa dipastikan," jawabnya. "Pada kurang lebih empat puluh tahun berselang,
siapakah yang memiliki ilmu silat paling tinggi?"
"Ie Lan Tjoe, Lu Soe Nio dan Tokliong Tjoentjia," jawab Hiatsintjoe. "Ie Lan Tjoe sudah
meninggal dunia. Yang masih hidup adalah Tokliong Tjoentjia dan Lu Soe Nio."
"Yang sedang dicari olehku adalah murid Tokliong Tjoentjia," kata Tang Thay Tjeng.
"Kitab itu, yang diberi nama Tokliong Pitkip, disimpan olehnya."
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Apa dia sudi menyerahkannya?" tanyanya Mendengar
sampai disitu, Kim Sie Ie merasa geli dalam hatinya.
Tan Thay Tjeng tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Aku mempunyai satu jalan
untuk memaksanya."
Hiatsintjoe tak percaya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tooheng," kata pula Tang Thay Tjeng. "Jika aku tidak salah melihat, kau sendiri
mempunyai ganjelan di dalam hati. Pikiran dua orang lebih sempurna daripada pikiran
satu orang. Bolehkah kau memberitahukan siauwtee, apa yang menjengkelkan hatimu?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, sikapnya angkuh sekali, seolah-olah ia
memandang rendah kepandaian kawannya. Tapi, di lain saat, ia rupanya berbalik pikiran
dan berkata dengan suara manis: "Tang Tooheng, jangan kau mimpi. Masakah orang mau
gampang-gampang menyerahkan kitab ilmu silat kepadamu? Lebih baik kau mengikuti
aku mendaki Puncak Mutiara 141 di Himalaya."
"Perlu apa?" tanya Tang Thay Tjeng. "Aku dengar, semenjak dulu belum pernah ada
manusia yang berhasil mendaki puncak itu, Apa kau mau cari mati?"
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Lebih baik mati daripada seperti sekarang," katanya dengan
suara getir. "Tak mati dan tak hidup, terus menerus dihina orang."
Tang Thay Tjeng heran bukan main. "Apa artinya perkataanmu?" tanyanya.
"Kau roboh dalam tangan Phang Lin dan kekalahan itu masih ada harganya," jawabnya.
"Tapi aku dijatuhkan oleh seorang houwpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah)."
"Siapa?" tanya pula Tang Thay Tjeng.
"Pengtjoan Thianlie!" jawabnya.
"Aneh benar nama itu, aku belum pernah mendengarnya," kata si pendeta.
"Belakangan ini dalam Rimba Persilatan muncul orang-orang baru yang berkepandaian
sangat tinggi," menerangkan Hiatsintjoe. "Sesudah dihajar dengan tujuh butir Sintan oleh
Pengtjoan Thianlie, sehingga sekarang lweekang-ku belum pulih kembali. Aku dengar, di
Puncak Mutiara terdapat banyak sekali rumput dan pohon yang mempunyai khasiat luar
biasa dan di antaranya terdapat serupa rumput dewa yang dikenal sebagai Tjiangtjoe
Siantjo (Rumput dewa mutiara merah). Sepanjang keterangan, orang yang makan rumput
itu dapat menambah lweekang-nya seperti juga ia berlatih tiga puluh tahun. Untuk bicara
terus terang, dengan suami isteri In Leng Tjoe, aku sebenarnya mendapat tugas untuk
menjalankan hukuman mati atas diri Liong Loosam di Lhasa. Tapi sekarang, sesudah
dirobohkan orang, aku tak ada muka lagi untuk berkelana dalam kalangan Kangouw. Aku
sudah tidak memikiri lagi segala pangkat Koksoe dan tujuanku yang terutama adalah coba
mendapat rumput dewa itu. Jika kau bersedia untuk mengikut, aku akan merasa girang
sekali."
Sementara itu, unta sudah mendekati tempat bersembunyinya Kim Sie Ie dan beberapa
saat kemudian, sudah mendaki bukit pasir itu. Tiba-tiba Kim Sie Ie melompat keluar sambil
tertawa nyaring. "Tahan!" teriaknya. "Kamu ingin mencari rumput dewa, aku hanya
menghendaki untamu!" Hampir berbareng, ia meloncat dan tangannya menyambar les,
sehingga binatang itu tak bisa bergerak lagi.
Hiatsintjoe gusar bukan main. "Kim Sie Ie! Mau apa kau?" bentaknya.
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Apa kau tuli?" tanyanya. "Bukankah aku sudah
memberitahukan: Aku mau untamu!"
Hiatsintjoe dan Kim Sie Ie, yang sudah pernah bertempur beberapa kali, sama-sama
tahu kepandaian sang lawan. Dalam lweekang, Hiatsintjoe lebih unggul, tapi kalah dalam
ilmu melepaskan senjata rahasia, sehingga kekuatan mereka 'bisa dikatakan setanding.
Sekarang, sedang lweekang-nya belum pulih seperti biasa, ia merasa agak jeri dalam
menghadapi pemuda itu. Tapi mengingat adanya Tang Thay Tjeng, ia merasa, bahwa
dengan dua melawan satu, pemuda itu akan dapat dirobohkan.
Memikir begitu, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengenjot badan dan
bagaikan seekor elang, ia melayang turun dari punggung unta dan menubruk lawannya,
"Bagus!" teriak Kim Sie Ie sambil menyodok jalanan darah Tjongtjeng hiat, di
kempungan Hiatsintjoe, dengan tongkatnya. Dengan menggoyangkan badan di tengah
udara, Hiatsintjoe berhasil mengegos sodokan itu, tapi Kim Sie Ie sungkan memberi napas
kepadanya dan terus mengirim serangan berantai, sehingga ia terpaksa mundur beberapa
tindak.
"Tahan!" seru Tang Thay Tjeng. "Air bah merendam Liong-ong bio (Kuil Raja Naga), kita
semua adalah orang-sendiri. Hei! Mari kita bicara dulu!"
Kim Sie Ie tertawa dingin. "Siapa sudi jadi orang sendirimu?" ia mengejek.
"Dengarlah dulu!" Tang Thay Tjeng berteriak pula. "Kau adalah murid Tokliong Tjoentjia,
sedang aku ahli waris Patpie Sinmo. Apa salah jika aku mengatakan orang sendiri?"
Kim Sie Ie terkejut, tapi di lain saat ia kembali tertawa dingin seraya berkata: "Sedari
tiga puluh tahun berselang, guruku sudah bercerai dengan pihakmu. Siapa kesudian
bersahabat dengan kamu?"
"Eh, jangan sombong kau," kata si pendeta dengan mendongkol. "Kau boleh menolak
persahabatan, tapi apa kau juga tak sayang jiwamu?"
"Apa?" menegas Kim Sie Ie, darahnya meluap. "Manusia semacam kau ingin
mengambil jiwaku? Maju! Kau kira aku takut?" Bibirnya bergerak, siap sedia untuk segera
menyemburkan jarumnya.
"Jangan kalap, kau dengarlah dulu," kata pula Tang Thay Tjeng dengan menahan
amarah. "Bukan aku yang menghendaki jiwamu, tapi gurumu sendiri yang sudah
mencelakakan kau. Itulah yang dimaksudkan olehku."
"Apa?" menegas pula Kim Sie Ie.
"Kau sudah menggunakan cara yang salah dalam melatih lweekang," jawabnya.
"Karena itu, satu waktu lweekang-mu akan membakar dirimu sendiri. Apa belum ada
tanda-tandanya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Kenapa dia tahu? Di lain detik, ia kembali tertawa nyaring.
"Benar!" teriaknya. "Aku hidup tak lama lagi. Aku justeru sedang mencari-cari kawan untuk
menemani perjalanan pulang ke alam baka!" Hampir berbareng, ia menghunus pedang
dan lalu menyerang Hiatsintjoe secara nekat-nekatan.
"Thay Tjeng Tooyoe!" teriak Hiatsintjoe. "Tak usah banyak rewel lagi dengan manusia
ini. Jika dia berhasil merampas unta, kita bisa mati di padang pasir ini."
Dengan berkata begitu, ia mengharapkan bantuan si pendeta.
Tapi Tang Thay Tjeng sama sekali tidak bergerak. Ia berkata: "Tokliong Pitkip adalah
kitab ilmu silat dari gurumu. Tapi kau tak tahu, bahwa sebelum menutup mata, ia telah
mendapatkan serupa ilmu mujijat untuk menolong jiwa dari akibat latihan lweekang yang
salah. Karena tidak keburu mencatatnya dalam Pitkip, ia menulis pendapatannya itu
dalam buku catatan hari-hari. Buku itu sekarang berada dalam tanganku. Apa kau mau
aku menyerahkannya?" Tak usah dikatakan lagi, keterangan si pendeta adalah dusta
belaka dan hanya mengandung maksud untuk merampas Tokliong Pitkip.
Kim Sie Ie tergerak hatinya, sebab perkataan Tang Thay Tjeng kedengarannya cukup
beralasan. Karena perhatiannya terpecah, sesaat itu Hiatsintjoe mendapat kesempatan
untuk balas menyerang dan ia mengirim beberapa pukulan dahsyat dengan telapakan
tangannya yang berhawa panas. Dikebas dengan angin panas, Kim Sie Ie yang sedang
kehausan jadi semakin haus. Dengan gusar buru-buru ia mengempos semangat dan
segera dapat memulihkan keunggulannya.
Sesudah berhasil menindih musuhnya, ia berkata: "Baiklah. Serahkan dulu buku
guruku. Sesudah buku itu diserahkan aku akan mengampuni jiwa kawanmu."
"Huh!" kata si pendeta sambil tertawa. "Mana boleh begitu? Hentikan dulu
seranganmu."
Kim Sie Ie jadi curiga. Ia tertawa besar seraya membentak "Kau kira aku anak kecil?
Keluarkan dulu buku itu!" Sambil berkata begitu, ia memperhebat serangannya, sehingga
Hiatsintjoe jadi repot sekali. "Thay Tjeng Tooyoe!" teriaknya. "Perlu apa tarik urat dengan
bocah ini?"
Si pendeta sangat bersangsi. Di satu pihak ia sungkan bermusuhan dengan pemuda
yang mau diakali itu, tapi di lain pihak, ia merasa tak tega sebab kawannya sedang berada
dalam bahaya besar. Tiba-tiba tongkat Kim Sie Ie menyambar bagaikan kilat dan
Hiatsintjoe sudah tak dapat menangkis lagi.
Tang Thay Tjeng terkesiap. Ia tak sempat memikir panjang-panjang lagi dan lalu
menggoyang "pundaknya. Hampir berbareng, lengan besinya terbang menyambar.
Dengan gerakan indah, Kim Sie Ie kelit sambaran itu dan hampir berbareng, kakinya
menendang Hiatsintjoe yang lantas saja jatuh terjengkang. Ia tak berhenti sampai disitu.
Pedangnya berkelebat dan jubah pertapaan Tang Thay Tjeng robek di bagian saku, yang
ternyata tidak berisi apapun juga.
"Binatang!" bentak Kim Sie Ie. "Kau berani menipu aku?"
Si pendeta jadi bingung dan ketakutan. "Tidak... aku tidak berdusta," katanya, terputus-
putus. "Aku berani bersumpah, bahwa gurumu meninggalkan sejilid buku catatan hari-
hari."
"Dimana kau
menyembunyikannya? Lekas keluarkan!" bentak pemuda itu.
Tang Thay Tjeng mundur beberapa tindak dan berkata sambil tertawa: "Aku mengaku,
bahwa aku tak mempunyai kebecusan. Buku itu telah dirampas oleh Tong Siauw Lan."
"Omong kosong!" teriak Kim Sie Ie. "Perlu apa Tong Siauw Lan merampas buku itu?"
Si pendeta kembali tertawa dan berkata dengan suara tenang: "Dalam hal ini, ada latar
belakangnya yang tidak diketahui olehmu. Memang benar, Tong Siauw Lan yang
mempunyai kepandaian sangat tinggi, tidak memerlukan buku rahasia itu. Akan tetapi,
selama hidupnya, ia paling takuti gurumu Jika ilmu silat gurumu tersebar di dalam dunia,
selalu terdapat kemungkinan, bahwa di belakang hari, ilmu silat itu akan lebih unggul
daripada ilmu Thiansan pay. Kau harus tahu, bahwa selama kurang lebih seratus tahun,
ilmu silat Thiansan pay dianggap sebagai ilmu silat yang paling liehay di kolong langit.
Tong Siauw Lan adalah pemimpin Thiansan pay. Dapatlah dimengerti, jika ia tak mau
membiarkan adanya ancaman bahaya di hari kemudian.
"Maka itulah, ia mau juga mengangkangi buku gurumu itu. Dengan demikian, biarpun
kau memiliki Tokliong Pitkip, tapi sebab tidak mengenal ilmu untuk menolong diri dari
akibat latihan Iweekang yang salah, selama-lamanya kau harus mengandal kepadanya.
Bukan saja kau, tapi semua orang yang mempelajari ilmu silat Tokliong Tioentjia, harus
meminta belas kasihan Thiansan pay. Ringkasnya, turun menurun orang-orang dari
pihakmu akan tetap menjadi semacam budak dari partai Thiansan!"
Perkataan yang beracun itu, yang kedengarannya sangat beralasan, berhasil
mempengaruhi Kim Sie Ie. Sebagaimana diketahui, ia adalah manusia yang beradat
angkuh dan ia selalu merasa tak rela untuk meminta pertolongan siapapun juga. Untuk
beberapa saat, ia mengawasi si pendeta dengan mata mendelong, tanpa mengeluarkan
sepatah kata. Melihat pancingnya agak berhasil, Tang Thay Tjeng mesem dan berkata
dengan nada mengejek: "Jika buku itu berada di tangan orang lain, mungkin sekali masih
agak gampang direbut pulang. Tapi di tangan Tong Siauw Lan, rasanya tiada manusia
yang bisa merampasnya kembali."
Kim Sie Ie mengeluarkan suara di hidung dan darahnya mulai naik tinggi. Tapi ia tak
berani mengeluarkan suara besar, karena ia pun yakin, bahwa apa yang dikatakan si
pendeta bukan ejekan belaka. Mana ia sanggup melawan Tjiangboendjin dari Thiansan
pay?
"Tapi, kau jangan kuatir," kata pula si pendeta. "Aku mempunyai akal yang bagus."
"Akal apa?" tanyanya.
"Tong Siauw Lan mempunyai satu anak laki-laki yang bernama Tong Keng Thian,"
sahutnya. "Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tapi aku yakin, kau masih bisa
membereskannya. Kau hanya perlu menyerang dengan jarummu waktu ia tidak
berwaspada. Kau harus memasukkan jarum itu ke dalam jalanan darahnya, sehingga,
biarpun ia mempunyai Thiansan Soatlian, jiwanya tak akan dapat ditolong, kecuali dengan
obatmu sendiri. Huh-huh! Ia akan terpaksa memohon belas kasihanmu. Dan pada waktu
itulah, kau boleh berunding dengan Tong Siauw Lan untuk menukar obat dengan buku
gurumu itu."
Itulah racun hebat yang disebar Tang Thay Tjeng.
Kenapa pendeta itu sudah merasa tak segan untuk mengatur tipu yang begitu busuk?
Dulu, lengan Tang Thay Tjeng telah patah karena pukulan Tiattjiang Sintan Yo Tiong
Eng. Walaupun yang memukul adalah Yo Tiong Eng, tapi peristiwa itu sudah terjadi karena
gara-gara Tong Siauw Lan. Itulah sebabnya, setelah melihat Kim Sie Ie tak gampang
ditipu, ia lalu mengarang cerita untuk "meracuni" Tong Siauw Lan.
Alis Kim Sie Ie berkerut. "Meskipun busuk, tipu itu memang sangat bagus," katanya di
dalam hati. "Tapi apa aku bukan manusia? Waktu di Kimkong sie, bersama-sama
Pengtjoan Thianlie, Keng Thian pernah menolong jiwaku. Mana bisa aku menurunkan
tangan yang begitu jahat?"
Melihat pemuda itu tetap membungkam, Tang Thay Tjeng jadi semakin besar hatinya,
"Jika kau setuju, aku sedia serupa tipu lain untuk memancing Tong Keng Thian," katanya.
Kim Sie Ie menjebi dan matanya berkilat. Sekonyong-konyong ia berteriak: "Tak nanti
aku menuruti perkataan manusia busuk seperti kau!" Tangannya melayang dan tubuh
Tang Thay Tjeng terpental setombak jauhnya.
Sambil tertawa besar ia melompat ke punggung unta yang lalu dilarikan perlahan-lahan,
Tang Thay Tjeng merangkak bangun dan berteriak-teriak memanggil-manggil, tapi tentu
saja tidak diladeni. Ia bingung tak kepalang. Buru-buru ia menolongi Hiatsintjoe yang
masih menggeletak di atas pasir untuk berdamai, bagaimana mereka harus meloloskan
diri dari gurun pasir itu.
Di sela unta, Kim Sie Ie mendapatkan makanan kering dan dua kantong kulit berisi air.
Dengan hati bungah, ia lalu minum sepuas hati dan menangsel perut. Waktu itu, daerah
padang pasir sudah berada di permulaan musim semi, kapan siang hari lebih pendek dan
malam lebih panjang. Tak lama kemudian, cuaca mulai gelap dan angin dingin mulai turun,
sehingga pasir kuning pada berterbangan ke tengah udara, Di antara angin yang
menderu-deru, dalam hati pemuda itu timbul kembali rasa dukanya.
Ia menghela napas berulang-ulang dan ingat lagi kejadian-kejadian di masa yang sudah
selam. Tiba-tiba dalam otaknya berkelebat serupa pikiran. "Menurut katanya Hiatsintjoe, di
Puncak Mutiara terdapat rumput dewa yang bisa memperkuat lweekang," pikirnya. "Siapa
tahu kalau rumput itu juga mempunyai khasiat untuk menolong jiwaku? Hanya sayang,
puncak itu katanya sukar dipanjat dan belum pernah ada manusia yang berhasil
memanjatnya." Sesudah berjalan beberapa jauh lagi, ia mendapat lain pikiran, Ia merasa,
bahwa biarpun tak berhasil mendapatkan rumput dewa, gagal dalam usahanya untuk
mencapai puncak yang tinggi itu dan harus binasa di tengah jalan, kebinasaan itu masih
ada harganya. Ia memang mengharap, jika mesti mati, biarlah ia mati secara
menggemparkan dan tak cuma-cuma. Mengingat begitu, lantas saja ia mengambil
putusan untuk mendaki Puncak Mutiara.
Sesudah mempunyai ketetapan, hatinya jadi gembira dan ia lalu menyanyi sekeras
suara, bagaikan seorang edan. Unta yang ditunggangnya rupanya kaget mendengar
nyanyiannya dan lalu kabur sekeras-kerasnya. Kim Sie Ie tidak menggubris dan
membiarkan binatang itu lari semau-maunya.
Dengan hati tenang, ia meneruskan perjalanan. Jika merasa capai, ia merebahkan diri
di atas punggung unta dan kalau haus atau lapar, air dan makanan selalu tersedia. Lewat
beberapa hari ia sudah keluar dari padang pasir itu.
Sesudah tak memerlukan lagi tenaga unta, Kim Sie Ie menyerahkan tunggangannya
kepada seorang saudagar Mongol yang ia kebetulan bertemu di tengah jalan. Orang itu
terheran-heran, tapi Kim Sie Ie memaksa supaya ia suka menerimanya dan kemudian
menanya jalanan yang menerus ke pegunungan Himalaya.
Si saudagar menduga pemuda itu seorang gila, tapi dengan rasa berterima kasih, ia
lalu memberi keterangan jelas. Untuk pergi ke Himalaya, orang harus melewati satu
padang rumput yang luas, di sebelah barat Lhasa. Karena daerah itu banyak
penduduknya dan tidak kekurangan air, maka seorang pelancong tak perlu membawa
makanan kering atau air minum. Di sampingnya memberi keterangan, ia juga membekali
Kim Sie Ie sekantong daging, sebagai balasan terima kasih.
Waktu itu, di daerah Tibet baru saja masuk di permulaan musim semi dan salju masih
belum melumer. Dengan berjalan sendirian di padang rumput yang sangat luas itu, hati
Kim Sie Ie kembali diliputi dengan kedukaan. Pengtjoan Thianlie, Tong Keng Thian, Phang
Lin dan puterinya sering-sering terbayang di depan matanya. Dengan menimbang-
nimbang secara tenang, ia merasa, bahwa mereka itu adalah manusia-manusia yang
mempunyai sifat-sifat mengagumkan.
Kim Sie Ie berjalan tanpa mengenal waktu, tak perduli siang atau malam. Ia hanya
mengasoh jika merasa capai. Hari itu, ia berjalan terus menerus sampai jauh malam. Tiba-
tiba turun angin yang sangat dingin, disusul dengan turunnya salju. Ia merasa sangat lelah
dan segera merebahkan diri di atas satu batu besar. Tapi ia tak bisa pulas sebab rupa-
rupa pikiran masuk ke dalam otaknya. Ia ingat, bahwa selama kurang lebih dua puluh
tahun, ia selalu membenci manusia, yang dianggapnya kejam dan selalu menghina
dirinya. Tapi sebenar-benarnya, kecuali waktu ia masih kecil, orang lain lebih banyak
membuang budi kepadanya dan malahan, ia sendirilah yang sangat sering menghina
sesama manusia. Mengingat begitu, dalam hatinya timbul serupa perasaan menyesal dan
rasa ngantuknya lantas saja menghilang.
Ia mengawasi bintang-bintang di langit dan mengetahui, bahwa tak lama lagi fajar akan
menyingsing. Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara kuda yang lari
keras dan beberapa saat kemudian berbareng dengan berhentinya suara kaki kuda,
terdengar suara perkelahian.
Dengan heran, Kim Sie Ie bangun dan memandang ke arah suara itu. Dengan bantuan
sepasang matanya yang sangat awas, ia melihat seorang wanita tua sedang bertempur
dengan seorang pendeta asing, sedang seorang pemuda berdiri di pinggir jalan. Begitu
melihat ilmu menimpuk senjata rahasia dari si nenek, ia segera mengenali, bahwa ia
adalah Tong Say Hoa. Sebab sangat jauh, ia tidak bisa melihat tegas siapa adanya
pemuda itu, tapi ia menaksir, si pemuda tentunya Tong Toan. Sesudah menyaksikan
beberapa saat, ia yakin, bahwa si pendeta asing mempunyai kepandaian lebih tinggi
daripada Tong Say Hoa.
Di dekat gelanggang pertempuran terdapat seorang lain yang mengenakan seragam
perwira tentara Tjeng dan duduk di atas punggung kuda. Mendengar si pemuda
menggunakan panggilan "Liong Soesiok" dan Tong Say Hoa memanggil "Leng Kiauw,"
hati Kim Sie Ie mendadak berdebar-debar.
Ia lantas saja ingat perkataan Hiatsintjoe, bahwa kaizar Tjeng telah menitahkan tiga
jago datang di Lhasa untuk mengawasi di jalankannya hukuman mati atas diri Liong
Loosam. "Apa orang itu yang dipanggil Liong Loosam?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa
ia mengenakan seragam perwira tentara Tjeng dan bukan pakaian perantaian?"
Harus diketahui, bahwa sebagai orang kepercayaan Hok Kong An, Liong Leng Kiauw
telah mendapat perlakuan istimewa. Sebelum datangnya firman kaisar, biarpun sudah
dipenjarakan, ia masih tetap mengenakan seragam itu.
Sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, Kim Sie Ie segera dapat mengendus,
bahwa Tong Say Hoa terancam bahaya. Ia yakin, bahwa begitu lekas senjata rahasianya
habis, si pendeta asing akan segera menyerang. "Walaupun nenek itu sangat
menyebalkan, ia adalah salah seorang ternama dalam kalangan Rimba Persilatan,"
pikirnya. "Jika ia roboh dalam tangan si pendeta asing, bukankah seluruh Rimba
Persilatan Tionggoan akan turut mendapat malu?" Berbareng dengan itu, ia merasa agak
jengah karena perbuatannya terhadap keluarga Tong. Diam-diam ia mengakui, bahwa
perbuatan itu memang tak pantas.
Beberapa saat kemudian, si nenek benar-benar terancam maut. Tanpa memikir
panjang-panjang lagi, Kim Sie Ie lalu melompat dan memberi pertolongan pada detik yang
sangat penting.
Begitu bergebrak, baik Kim Sie Ie maupun si pendeta asing merasa sangat kaget.
Setiap pukulan pemuda itu disertai dengan Iweekang yang dahsyat. Di lain pihak, jubah
pertapaan si pendeta seolah-olah tameng besi setiap kali terbentur tongkat, mengeluarkan
suara seperti benda yang keras.
Sementara itu, bantuan Kim Sie Ie sungguh-sungguh di luar dugaan Tong Say Hoa
yang jadi girang tercampur heran, Karena tidak dapat menggunakan lagi senjata rahasia
sebab bisa menyasar ke kawan sendiri, si nenek lalu menyerang dengan gendewa,
dengan menggunakan ilmu Kimkiong Sippattah (ilmu silat gendewa yang mempunyai
delapan belas jalan). Dikerubuti oleh dua musuh yang berkepandaian tinggi, dalam
sekejap Ouwtjeng jatuh di bawah angin.
Tapi si pendeta pun bukan tolol cepat-cepat ia menukar taktik. Terhadap Kim Sie Ie, ia
hanya membela diri dan terus mencecer si nenek dengan pukulan-pukulan hebat.
Diserang cara begitu, belum cukup setengah jam, napas Tong Say Hoa yang sudah
berusia lanjut, mulai tersengal-sengal.
Kim Sie Ie jadi jengkel. Ia yakin, bahwa tanpa perubahan, dalam tempo setengah jam
lagi, si nenek bisa roboh karena kecapaian. Biarpun ia tak takut untuk bertempur satu
melawan satu, tapi kalau Tong Say Hoa roboh ia harus memberi pertolongan. Ia ingin
sekali menggunakan jarum beracun, tapi lantaran belum tahu siapa adanya si pendeta, ia
sungkan mencelakakan jiwa orang secara sembarangan.
Selang beberapa saat, si nenek berteriak: "Leng Kiauw! Leng Kiauw!" Tapi Liong Leng
Kiauw tetap tidak bergerak.
"Tong Lootaypo, siapa orang itu?" tanya Kim Sie le.
"Murid ayahku," jawabnya.
"Kenapa dia tidak meladeni?" tanyanya pula. "Apa dia kena ilmu siluman ?"
Tong Say Hoa segera memanggil-manggil lagi beberapa kali. Tiba-tiba badan Liong
Leng Kiauw bergoyang-goyang dan dari tenggorokannya terdengar suara "kerokok-
kerokok". Si nenek jadi girang dan coba mendekati, tapi ia segera dihalangi oleh
musuhnya.
"Baiklah," kata Kim Sie Ie. "Biar aku yang hajar manusia tak punya pribudi itu."
"Jangan! Jangan!" berteriak si nenek.
"Kenapa jangan?" kata pula pemuda itu. "Tong Lootaypo, kau hanya perlu membela diri
untuk beberapa jurus. Aku akan segera kembali." Berbareng dengan perkataannya, ia
menghantam jubah si pendeta dengan pukulan Tjianliong sengthian (Naga terbang ke
langit), disusul dengan totokan ke jalanan darah Inboen hiat, di bawah dada si pendeta.
Untuk melindungi diri, Ouwtjeng memutar jubahnya bagaikan titiran. Tapi kedua serangan
itu hanya serangan gertakan dan pada saat musuhnya membela diri, Kim Sie Ie
menjungkir balik dan badannya hinggap di atas punggung kuda, di belakang Liong Leng
Kiauw.
Diluar dugaan, baru saja ia mau membuka mulut, tiba-tiba terdengar teriakan Tong Say
Hoa. Dengan terkejut, ia menengok. Ternyata, lengan si nenek sudah dicengkeram oleh
pendeta asing itu yang tengah mengangkat jubahnya tinggi-tinggi, siap sedia untuk
menurunkan pukulan yang membinasakan.
"Turun!" bentaknya. "Jika tidak, aku cabut jiwa nenek tua ini!" Sesudah bertempur
begitu lama, baru sekarang si pendeta bicara dan ia menggunakan dialek Pakkhia yang
sangat lancar dan bagus.
Sebenarnya dengan lweekang-nya yang sudah cukup tinggi dan ilmu Kimkiong
Sippattah, Tong Say Hoa sedikitnya masih bisa mempertahankan diri dalam sepuluh jurus.
Tapi, mendengar pernyataan, "si gila" yang mau menghajar Soetee-nya, ia jadi bingung
dan segera bergerak untuk coba mencegahnya. Tapi baru ia bertindak, si pendeta sudah
menerjang dan mengebas gendewanya dengan menggunakan jubah pertapaan. Hampir
berbareng dengan terpentalnya gendewa, ia merangsek dan mencengkeram lengan si
nenek.
Kim Sie Ie terkesiap, ia kuatir Ouwtjeng membuktikan
ancamannya. Di lain saat, ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Baiklah.
Lepaskan Tong Lootaypo. Aku akan permisikan kau kabur." Ia melompat turun dan si
pendeta segera melepaskan cekalannya.
Tapi, sebelum ia melompat naik ke punggung tunggangannya, Kim Sie Ie menyembur.
Dia sungguh liehay. Begitu mendengar suara "srr" yang sangat halus, ia menyabat dan
ludah Kim Sie Ie menempel di jubahnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara menggeledek, dibarengi dengan muncratnya
kepingan-kepingan batu. Si pendeta menengok dan ia terkejut tercampur heran, karena
tongkat pemuda itu menghantam satu batu besar. Mendadak, satu benda hitam berkelebat
bagaikan kilat dan dengan suara "bret," jubah pertapaannya berlubang besar!
Sebagaimana diketahui, dalam pertempuran antara jago dan jago, walaupun sedetik,
masing-masing pihak tidak boleh memecah perhatian. Melihat tangguhnya musuh, Kim
Sie Ie yang sangat pintar, sudah sengaja memukul batu untuk membelokkan perhatian si
pendeta dan hampir berbareng, ia menghunus pedang yang lalu ditikamkan ke dada
musuh. Masih untung, berkat kecepatan si pendeta, tikaman itu hanya mengenakan jubah.
Tapi, biarpun terlolos dari kebinasaan, jubah yang sudah berlubang itu tak dapat
digunakan lagi sebagai tameng.
Kim Sie fe sungkan memberi napas pada musuhnya. Ia mengirim serangan berantai,
menikam jalanan darah Thiantjoe hiat, Hiankie hiat dan Yangpek hiat, disusul dengan satu
tikaman membinasakan ke arah lutut si pendeta. Kim Sie Ie cepat, tapi Ouwtjeng lebih
cepat lagi. Sesudah mengegos tiga tikaman, tiba-tiba dia berteriak: "Bagus! Tikamlah!"
Jubahnya berkelebat dan menggentak pinggang Tong Say Hoa untuk memapaki tikaman
Kim Sie Ie yang terakhir. Untung juga, pada detik yang sangat penting, pemuda itu masih
keburu menarik pulang pedangnya. Jika tidak, tubuh si nenek tentu sudah berlubang!
Ternyata, sesudah cengkeram;»! pada lengannya dilepaskan, Tong Say Hoa yang
sudah tua tidak bisa segera bergerak. Selagi ia mengerahkan Iweekang untuk
menjalankan aliran darahnya, tiba-tiba Ouwtjeng menyapu dengan jubahnya, sehingga
badannya terhuyung dan memapaki pedang Kim Sie Ie.
Semua kejadian itu yang harus dituturkan agak panjang lebar, sudah terjadi cepat
sekali. Jika dihitung-hitung, meskipun jubahnya berlubang, pihak si pendeta yang
memperoleh kemenangan. Sambil tertawa berkakakan, ia melompat ke punggung kuda
yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Dengan demikian, usaha Tong Say Hoa untuk
merebut adik seperguruannya mengalami kegagalan.
Bukan main mendongkolnya Kim Sie Ie. Sebelum ia keburu membuka mulut untuk
menanya si nenek, mendadak jeriji Tong Say Hoa menyambar dan menotok jalanan darah
Djiekie hiat-nya. Ia terkesiap, tapi sebelum sempat menegur, sekonyong-konyong
hidungnya mengendus serupa bau yang halus dan wangi. Walaupun masih berusia muda,
ia adalah seorang yang berpengalaman. Lantas saja ia sadar, bahwa pendeta itu telah
melepaskan semacam racun dan si nenek menotok jalanan darahnya, supaya racun tak
masuk ke dalam dada. "Sungguh tepat jika keluarga Tong dijuluki sebagai ahli senjata
rahasia nomor satu di dalam dunia," katanya di dalam hati. "Hidung nenek tua itu ternyata
banyak lebih tajam daripada hidungku." Hatinya heran bukan main, karena ia tak tahu bau
apa adanya itu.
Di lain saat, Tong Lootaypo mendadak mengusap hidung Kim Sie Ie yang lantas saja
merasa dadanya lega dan jalanan darahnya yang tertotok segera terbuka. Waktu itu,
sambil memeluk Liong Leng Kiauw, si pendeta sudah kabur puluhan tombak jauhnya.
"Ubar!" teriak si nenek. "Leng Kiauw kena obat lupa. Dia bukan sengaja tak suka
mengenal aku."
Barusan walaupun tak tahu racun apa yang dilepaskan oleh si pendeta, ia mengusap
hidung Kim Sie Ie sambil mencekal Liongyanko, semacam obat yang bisa memunahkan
segala macam racun dan ternyata obat tersebut cukup manjur untuk melawan Asioelo.
Sehabis berteriak, Tong Say Hoa lantas saja mengubar sekencang-kencangnya. Si
pendeta sudah kabur jauh sekali dan biar bagaimana jugapun tak akan dapat dicandak.
Tapi si nenek tetap mengudak, bagaikan orang edan. Melihat begitu Kim Sie Ie merasa
terharu. "Tak dinyana, nenek yang menyebalkan ini mempunyai rasa cinta yang begitu
besar terhadap Liong Loosam," katanya di dalam hati. Ia merasa tidak tega dan lalu
membuntuti dari belakang.
Sesudah mengejar belasan li, dari sebelah kejauhan Kim Sie Ie mendadak melihat Tong
Say Hoa terpeleset dan jatuh terguling di atas tanah. Dengan kaget ia menghampiri dan
ternyata, nenek itu telah memuntahkan darah hidup, sedang paras mukanya pucat seperti
mayat. Melihat pemuda itu, ia membuka kedua matanya dan berkata dengan napas
tersengal-sengal: "Aku bakal segera mati, Aku hanya memohon, supaya kau suka melihat-
lihat keponakan lelakiku."
Kim Sie Ie memegang nadi orang dan beberapa saat kemudian, ia berkata sambil
bersenyum: "Tak apa-apa, kau tidak akan mati. Kau hanya menggunakan tenaga
melampaui batas. Sesudah beristirahat beberapa hari, kau akan sembuh kembali."
Tong Say Hoa menghela napas panjang. Ia juga tahu sebab-sebab dari robohnya itu.
Akan tetapi, siapakah yang akan merawatinya selama beberapa hari?
Pemuda itu rupanya dapat membaca apa yang dipikir si nenek. Ia kembali mesem dan
berkata pula: "Keponakanmu masih berusia muda dan badannya kuat, sehingga,
meskipun mendapat luka, ia tentu tak akan mati. Yang paling penting adalah kau sendiri
yang harus beristirahat dan memelihara diri beberapa hari. Aku harap, kau jangan
menganggap aku sebagai manusia yang hanya bisa mengacau. Di samping mengacau,
akupun pandai merawat orang. Di waktu kecil aku pernah menjadi pengemis dan sudah
biasa melayani orang. Belakangan, waktu berada di pulau Tjoato, aku pun merawat
soehoe, yang sering memuji kepandaianku."
Dengan berkata begitu, Kim Sie Ie memberitahukan penderitaannya di jaman lampau,
tapi perkataannya dikeluarkan dengan nada riang gembira. Mendengar itu, si nenek jadi
merasa terharu. Sebagai manusia biasa, ia juga sayang jiwanya. Tapi karena pernah
mempunyai ganjelan dengan pemuda itu, ia merasa berat untuk meminta pertolongan. Di
luar dugaan, pemuda itu sudah mengangsurkan dengan suka rela. Maka itu, dalam rasa
terima kasihnya, ia juga merasa jengah. "Ah, semua orang mengejek dia sebagai Toktjhioe
Hongkay, sebagai pengemis gila yang tangannya sangat beracun," pikirnya. "Tapi tak
dinyana, ia mempunyai hati kasihan. Benar juga orang kata, hati manusia tak bisa dilihat
dari romannya. Tapi kenapa sepak terjangnya begitu aneh?"
Dengan telaten, Kim Sie Ie merawat si nenek dan benar saja, selang beberapa hari,
kesehatannya telah pulih kembali. Mereka lalu kembali ke tempat pertempuran untuk coba
mencari jejak Tong Toan. Sesudah ditolong Keng Thian dan Peng Go, waktu itu Tong Toan
sudah pergi ke Lhasa. Tong Say Hoa yang kuatir keponakannya mati keuruk di dalam
salju, telah membongkar salju di beberapa tempat, di sekitar gelanggang pertempuran.
Sesudah terbukti, bahwa Tong Toan tidak menemui ajalnya disitu, hatinya merasa agak
lega dan mereka lalu meneruskan perjalanan ke jurusan barat untuk mencari si pendeta
asing.

***

Dalam keadaan lupa ingat, untuk beberapa lamanya, Liong Leng Kiauw duduk di
punggung kuda, dalam pelukan Ouwtjeng. Sesudah melewati padang rumput, hari itu
mereka tiba di kaki sebuah gunung yang sangat besar. Bukit-bukit yang besar dan yang
kecil berdiri berentet-rentet, sedang puncak-puncak yang tertutup salju menjulang ke atas
langit. Si pendeta menahan les kuda dan memberikan obat pemunah kepada Liong Leng
Kiauw. Angin dingin yang meniup tak hentinya dan kembang salju yang melayang turun
bagaikan kapas, sangat menyegarkan dan Liong Leng Kiauw segera tersadar. Ia pernah
mendaki banyak gunung yang tersohor, tapi gunung yang menghadang di depan adalah
lain daripada yang lain dan ia memandang dengan rasa kagum.
Si pendeta tersenyum seraya berkata: "Sesudah banyak capai beberapa hari, sekarang
kita boleh mengasoh." Ia melompat turun dari kuda, diturut oleh Liong Leng Kiauw.
Sebelum Leng Kiauw keburu menanya, si pendeta sudah mendului: "Liong Sam
Sianseng... salah, Kongtjoe dari Lian Thaysoe, di tempat ini kau boleh tak usah kuatir lagi.
Andaikata kaisar Tjeng mengirim sepuluh laksa tentara, ia juga tak akan dapat
menangkap kau."
Leng Kiauw terkejut. "Bagaimana kau tahu asal-usulku?" tanyanya.
Si pendeta tertawa berkakakan. "Jika aku tak tahu asal-usulmu, perlu apa aku
membuang tenaga untuk menculikmu?" katanya.
"Apa artinya perkataanmu?" tanya pula Leng Kiauw.
Ouwtjeng menuding dengan cambuknya seraya berkata: "Lihatlah!"
Liong Sam mengawasi ke arah yang ditunjuk. Jauh-jauh, di satu selat gunung, ia
melihat gerak-geriknya tentara yang berjumlah besar, sedang di bawah pohon-pohon,
lapat-lapat terlihat tenda-tenda yang berderet-deret. Leng Kiauw kaget bukan main. "Siapa
kau?" tanyanya.
"Aku bernama Taichiti, Koksoe (guru negara) dari negara Nepal," jawabnya sambil
tertawa. "Atas titah Raja, aku mengundang Sianseng (tuan) datang kemari untuk
merundingkan suatu usaha besar."
"Apa?" menegas Leng Kiauw. Si pendeta mengawaskan, muka Liong Sam dan berkata
dengan suara perlahan: "Selama hidupnya, mendiang ayahmu, Lian Keng Giauw
Taytjiangkoen, telah mengabdi kepada kaisar Tjeng dan telah berjasa besar sekali. Tapi
pada akhirnya, tak urung ia mesti binasa secara menyedihkan sekali. Maka itu, tidaklah
heran jika Sianseng bertekad untuk membalas sakit hati dan bertahun-tahun menderita di
bawah perintah orang untuk mencapai maksudmu itu. Rajaku merasa sangat bersimpati
atas meninggalnya Lian Taytjiangkoen dan merasa kagum akan segala usahamu!"
"Soal membalas sakit hati adalah soal pribadiku sendiri, yang tiada sangkut pautnya
dengan negara Koksoe," kata Leng Kiauw.
Si pendeta bersenyum dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Biarpun
Sianseng telah berserikat dengan sejumlah Touwsoe tapi, Sianseng harus ingat, bahwa
Hok Kong An mempunyai tentara yang berjumlah besar, sehingga walaupun Sianseng
berhasil melarikan diri dari penjara, belum tentu bisa berhasil dalam seluruh usaha."
Mendengar itu, Leng Kiauw lantas saja mengerti maksud si pendeta. "Apa Koksoe ingin
membujuk supaya aku meminjam tentara dari negerimu?" tanyanya. "Hai! Jika aku
menggunakan cara itu, biarpun berhasil, aku tentu akan ditertawai orang."
"Sianseng salah," membantah si pendeta. "Dalam sejarah Tiongkok, meminjam tentara
dari luar negeri bukan hal yang belum pernah terjadi. Untuk membalas sakit hati ayahnya,
Ngo Tjoe Sie telah meminjam tentara negeri Gouw guna menghukum rajanya sendiri.
Sebagaimana kutahu, orang-orang di jaman belakangan tak pernah mentertawainya.
Bahwa pendeta asing itu mengenal baik sejarah Tiongkok, adalah di luar dugaan Leng
Kiauw. Mendengar bujukannya, tanpa merasa ia bergidik dan bulu romanya bangun
semua. "Walaupun benar Ngo Tjoe Sie pernah meminjam tentara Gouw, tapi negeri Gouw
adalah negeri yang terletak di Tiongkok juga dan tentara Gouw terdiri dari sesama
bangsa," katanya di dalam hati. "Mana bisa peminjaman tentara oleh Ngo Tjoe Sie
dibandingkan dengan peminjaman tentara dari negara Nepal. Di samping itu, pada
akhirnya putera Raja Gouw -- yang mewarisi kedudukan Raja Gouw tua – telah
menghadiahkan hukuman bunuh diri sendiri kepada Ngo Tjoe Sie. Dengan menyebut-
nyebut Ngo Tjoe Sie, apakah si pendeta ingin aku mendapat nasib seperti orang itu? Jika
aku meminjam tentara asing, aku bukan satu Ngo Tjoe Sie, tapi seorang yang boleh
dipersamakan dengan Gouw Sam Kwie!"
Melihat Leng Kiauw membungkam, si pendeta berkata pula: "Seorang luar biasa harus
melakukan pekerjaan yang luar biasa pula. Negeriku adalah negeri kecil yang
penduduknya sedikit dan sama sekali tak punya niatan untuk menggeragoti wilayah
Tiongkok. Untuk sementara, Lian Sianseng boleh menancap kaki dan memperkuat
kedudukan di daerah Tibet untuk menjagoi di wilayah sebelah utara padang pasir.
Sesudah mengumpul tenaga, Sianseng boleh maju terus ke daerah Tionggoan dengan
kemungkinan-
kemungkinan yang tiada batasnya. Jika di hari nanti Sianseng bisa menjadi tuan, dari
sebuah negara besar, maka negeriku yang kecil juga akan mendapat banyak
manfaatnya!"
Seperti ayahnya, Liong Leng Kiauw pun mempunyai angan-angan besar. Mendengar
perkataan si pendeta, hatinya lantas saja tergerak. Selagi ia bersangsi, pendeta itu sudah
berkata pula: "Rajaku sudah membawa tentara sampai disini dan untuk sementara waktu
berkemah di selat gunung itu. Sesudah hawa udara menjadi lebih hangat dan salju
melumer,
Aku sekarang mengundang Sianseng untuk menemui Rajaku, supaya bisa diadakan
perundingan yang lebih mendalam. Apakah Sianseng setuju dengan usulku itu?"
Leng Kiauw tidak menyahut. Ia memandang ke tempat jauh dengan mata mendelong.
Si pendeta tertawa pula seraya berkata: "Seorang laki-laki harus bisa mengambil
keputusan cepat dan tidak boleh terlalu bersangsi. Jika Sianseng maju ke barat, hari
kemudianmu tak bisa ditaksir bagaimana besarnya. Tapi jika Sianseng tetap menolak, aku
pun tidak bisa memaksanya. Hanya sepanjang pengetahuanku, kaizar Tjeng yang
mempunyai banyak sekali kaki tangan yang berkepandaian tinggi, telah bertekad untuk
membinasakan Sianseng. Maka itu, manakala Sianseng balik ke jurusan timur, andaikata
bisa melewati padang rumput dengan selamat, mungkin sekali Sianseng sudah menemui
bencana sebelum tiba di Lhasa. Sebelum mengambil keputusan pasti, aku memohon
Sianseng suka menimbang dengan seksama."
Mendengar perkataan si pendeta yang cukup beralasan, Leng Kiauw segera berkata
dalam hatinya: "Sesudah tiba disini, biarlah aku menemui rajanya. Apa aku suka
belakangan."
Sebagai gunung yang tinggi dan besar luar biasa, Himalaya mempunyai hawa yang
berbeda-beda. Di bagian atas, puncak-puncaknya ditutup es yang tak pernah melumer
sepanjang tahun. Di bagian tengah, di lereng gunung, hawanya seperti di musim dingin,
dengan kembang-kembang salju berterbangan kian kemari. Tapi di kakinya, ratusan
bunga mekar serentak dan memberi pemandangan seperti di musim semi.
Selat gunung dimana tentara Nepal sedang berkemah, dikurung dengan bukit-bukit
tinggi yang merupakan aling-aling bagi angin dingin, sehingga, oleh karenanya, hawa
disitu nyaman dan hangat.
Begitu masuk di selat, Leng Kiauw melihat tenda-tenda yang dipasang berderet-deret.
Di tengah-tengah perkemahan terdapat bendera raja dan di seputarnya dipasang dua
belas bendera panglima. Leng Kiauw yang mengenal tata tertib dalam ketentaraan Nepal,
tahu bahwa setiap sepuluh tangsi tentara dipimpin oleh seorang panglima dan setiap
tangsi terdiri dari lima ratus serdadu. Maka itu, menurut perhitungan kasar, di selat
tersebut berkumpul kurang lebih enam puluh ribu tentara. Nepal adalah sebuah negri kecil
dan dengan tentara yang sebesar itu, dapat dikatakan sang raja sudah mengirim seluruh
kekuatannya ke tempat tersebut. Tapi walaupun berjumlah tidak sedikit, tentara itu belum
memenuhi sebuah selat dari Himalaya.
Sambil berjalan, hati Leng Kiauw berdebar-debar. Ia ingat keangkeran di jaman lampau
dari mendiang ayahnya yang berkuasa atas ratusan laksa tentara. Semenjak kecil, ia telah
berangan-angan untuk mengikuti jejak ayahnya yang ia sangat kagumi. Sekarang, jika
mau, mimpi itu bisa terwujut. Ia bisa mengepalai sepasukan tentara dan menerjang ke
jurusan Lhasa. Hanya sayang, kesempatan yang datang itu mengandung hinaan bagi
kehormatan dirinya. Demikianlah, sambil berjalan, dua macam pikiran pro dan kontra,
berkelahi dalam otaknya.
Mendadak di selat gunung terdengar suara ramai. ***
Sekarang mari kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go yang meneruskan
perjalanan ke arah barat untuk mencari Tong Say Hoa dan Kim Sie Ie.
Satu hari kembali lewat dengan hasil nihil. Pengtjoan Thianlie jadi semakin berkuatir,
karena lewatnya satu hari berarti semakin mendekatnya ajal Kim Sie Ie dan kekuatiran itu
terlihat tegas pada paras mukanya.
Keng Thian sendiri sebenarnya tidak menaruh simpati kepada pemuda edan-edanan
itu. Tapi sesudah Kim Sie Ie menolong Tan Thian Oe dan Tong Say Hoa, pandangannya
jadi berubah. Hanya setiap kali ingat pengacauan Kim Sie Ie terhadap percintaannya, ia
selalu merasa mendongkol.
Sekarang, dengan nyata ia melihat kekuatiran Peng Go akan keselamatan pemuda itu.
Jika hal ini terjadi di waktu dulu, sedikit banyak ia akan merasa jelus. Tapi sesudah
mengenal si nona yang welas asih dan suci bersih, kejelusan tak timbul dalam hatinya.
Sebaliknya dari itu, ia malahan lebih-lebih merasa kagum akan jiwa sang kecintaan yang
mulia dan agung, la yakin, bahwa setiap perasaan jelus hanyalah berarti kecilnya jiwa
sendiri.
Sesudah membedal kuda beberapa hari, mereka melewati padang rumput dan
pegunungan Himalaya sudah berada di depan mata. Mereka lalu masuk ke daerah
pegunungan itu dan berada di tengah bukit-bukit dan batu-batu karang yang angker dan
penuh bahaya. Sambil berjalan, mereka menikmati pemandangan alam yang indah luar
biasa.
Keng Thian menghela napas.
"Benar juga orang kata, bahwa dalam dunia ini tak ada apa-apa yang tiada lawannya,
yang satu lebih tinggi daripada yang lain," katanya dengan suara perlahan. "Tadinya aku
menganggap, gunung Thiansan tiada tandingannya lagi. Panjangnya gunung itu tak
kurang dari tiga ribu li, sedang kedua puncaknya, yang satu di selatan dan yang lain di
utara, seolah-olah menembus langit. Tapi tak dinyana, Himalaya lebih hebat daripada
Thiansan."
Belum jalan berapa jauh, di depan mereka tiba-tiba menghadang sebuah puncak batu
yang bentuknya luar biasa. Puncak itu yang berdiri terpencil tak jauh dari padang rumput,
menjulang ke atas seperti satu kaca muka yang terbuat dari batu giok putih, Keng Thian
dan Peng Go memandangnya dengan rasa kagum dan mereka lalu maju mendekati.
Mendadak Keng Thian mengeluarkan seruan tertahan dan dengan paras yang mengunjuk
keheranan, ia melompat turun dari tunggangannya.
Hampir berbareng, Peng Go pun mengeluarkan teriakan kaget, karena ia melihat
tetesan darah di kaki puncak. "Ih! Apa Kim Sie Ie dan pendeta asing itu bertempur lagi di
tempat ini?" tanyanya. "Darah siapa ini ?"
"Darah?" menegas Keng Thian.
"Apa kau tak lihat?" si nona balas menanya, sambil melirik tunangannya, Ternyata mata
pemuda itu tengah mengawaskan ke atas puncak. Ia dongak dan lapat-lapat, melihat
beberapa baris huruf di atas puncak itu. Harus diingat, bahwa puncak batu itu yang berdiri
lurus, sangat licin permukaannya, sehingga tak mungkin dipanjat manusia. Maka itulah,
terlihatnya huruf-huruf tersebut merupakan kejadian yang lebih aneh daripada tetesan
darah.
Mereka lalu maju terlebih dekat dan mengawasi tulisan itu yang berbunyi seperti
berikut:
"Beberapa kali mendaki Thiansan lulus dari ujian, sepasang pedang kini naik ke
Puncak Mutiara, gunung termashyur seolah-olah tempat tinggalnya dewa, tak tega melihat
tentara asing mengucurkan darah di selebar bumi!"
Setiap huruf, yang besarnya kurang lebih satu kaki pesegi, seperti juga terpahat di batu
karang. Sesudah mengawasi beberapa lama, Pengtjoan Thianlie kembali mengeluarkan
seruan kaget. "Apa dalam dunia ini ada manusia yang berkepandaian begitu tinggi?"
tanyanya dengan suara heran dan kagum. "Dilihat dari tulisannya, huruf-huruf itu pasti
ditulis dengan jeriji tangan!"
Keng Thian tak menyahut, kedua matanya terus mengincar huruf-huruf itu. Mendadak
saja ia berseru: "Inilah buah tangannya ayahku!"
"Ayahmu?" menegas si nona. "Apa beliau tidak berada di Thiansan?" Ia berdiam
sejenak dan kemudian berkata pula: "Benar, aku rasa kau tak salah. Dilihat dari syair itu,
bukan saja ayahmu, tapi ibumu pun turut datang kesini. Tapi untuk apa mereka mendaki
Himalaya?"
"Sudah dua puluh tahun, ayahku tak pernah memegang senjata," kata Keng Thian
dengan suara perlahan. "Kenapa ia melukakan orang di tempat ini?" Pada jaman itu,
kepandaian Tong Siauw Lan dan Phang Eng tiada tandingannya di kolong langit, sehingga
dapatlah dimengerti, jika Keng Thian segera menarik kesimpulan, bahwa darah itu adalah
darah orang lain.
Dengan menggunakan ilmu Pekhouw yoetjiang (Cecak merayap di tembok), Keng
Thian segera memanjat puncak batu itu.
"Hati-hati!" teriak si nona. "Batu itu kelihatannya bergoyang-goyang.
"Tak apa," sahut Keng Thian. "Jika benar berbahaya, ayahku tentu tak akan
memanjatnya." Selagi berkata begitu, matanya melihat sebuah batu yang separuh
menonjol keluar, sedang
separuhnya lagi menempel di tembok batu itu. Biarpun memiliki ilmu mengentengkan
badan yang sangat tinggi, tapi karena dari bawah ia harus merayap ke atas tanpa
pegangan, maka waktu itu Keng Thian sudah merasa capai bukan main. Ia girang melihat
batu yang menonjol itu, sebab dengan memegangnya, ia bisa mengasoh sebentaran. Satu
tangannya segera menjambret batu itu.
"Awas!" teriak Peng Go.
Sedang mulut si nona belum tertutup rapat, sudah terdengar suara gcdubfakan, disusul
dengan jatuhnya batu yang baru saja dipegang Keng Thian. Hati Peng Go mencelos dan
mengawasi dengan mata membelalak. Bagaikan kilat, Keng Thian menendang dan
badannya lantas meluncur ke bawah. Batu itu melayang turun dengan kecepatan luar
biasa, tapi masih untung, jatuhnya Keng Thian lebih cepat lagi dan untuk beberapa detik,
punggungnya dibayangi dengan batu tersebut dalam jarak beberapa kaki. Ia kaget bukan
main, tapi sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, dalam kagetnya ia tak jadi
bingung. Pada saat yang sangat berbahaya, sambil mengerahkan Iweekang, ia
menggoyang badannya yang lantas saja membelok sedikit dan hampir berbareng, batu itu
lewat di dekat kepalanya!
Tiba-tiba terdengar lagi suara gedubrakan hebat, disusul dengan jeritan kuda. Ternyata
kedua tunggangan mereka tertimpa batu dan lantas tewas jiwanya. Dengan jantung
memukul keras, Peng Go lompat menghampiri Keng Thian yang paras mukanya pucat
dan kedua lututnya berlumuran darah.
Dengan melupakan rasa malu, si nona memeluk tangannya dan air matanya mengucur
deras.
"Puteri edan, kenapa kau menangis?" tanya Keng Thian sambil tertawa. “Tulangku tidak
patah.
Andaikata patah, kau menangis pun tak ada gunanya."
Dengan muka bersemu merah, si nona memeriksa lutut Keng Thian dan benar saja,
biarpun lukanya tak terlalu enteng, urat dan tulangnya tidak terganggu. Diam-diam ia
merasa kagum akan liehaynya sang tunangan. Begitu batu itu jatuh, Keng Thian
menendang dengan kedua kakinya, untuk memperlambat gerakan jatuh batu itu dan
mempercepat gerakan jatuh tubuhnya sendiri. Jika ia tidak berbuat begitu, mungkin sekali
batu tersebut sudah menghantam tubuhnya dan membinasakannya. "Tak heran jika orang
menganggap Iweekang Thiansan pay sebagai Iweekang yang paling unggul dalam Rimba
Persilatan," kata si nona dalam hatinya. "Usia Keng Thian tidak kacek jauh dengan usiaku,
tapi lweekang-nya banyak lebih tinggi. Ia sanggup membentur batu yang beratnya ribuan
kati dan hanya mendapat luka di luar."
Dengan hati-hati si nona melabur obat dan membalut luka Keng Thian dan kemudian
memberikannya sebutir Liokyang wan. "Entah kenapa, aku mudah mengucurkan air
mata," katanya seraya tersenyum. "Dulu, waktu burung betetku patah sayapnya, aku pun
sudah menangis. Di Nepal terdapat suatu dongengan rakyat. Menurut dongengan itu, di
jaman purba seorang puteri raja, yang tunangannya telah dibinasakan oleh seorang
dukun. Pada waktu pangeran itu -- ia adalah seorang putera raja – hendak dimakamkan,
sang puteri datang dan sambil memeluk jenazahnya, ia menangis sedu sedan. Air mata,
itu telah membasahi dada sang tunangan yang mendadak hidup kembali."
Keng Thian tertawa terbahak-bahak. "Aha! Sungguh mustajab air mata sang puteri!"
katanya. "Bukan saja bisa menyambung tulang, tapi juga bisa menghidupkan mayat.
Dengan adanya kau di dampingku, aku boleh tak usah takuti apapun juga."
Si nona tertawa manis. "Dari mana kau belajar bicara begitu," katanya sambil menabok
pipi sang tunangan. Demikianlah kedua orang muda itu bersenda gurau dengan rasa
beruntung,
"Heran betul!" tiba-tiba Keng Thian berkata.
"Heran kenapa?" tanya Peng Go.
"Batu itu!" jawabnya.
Pengtjoan Thianlie tersadar dan ia berkata: "Benar. Kenapa batu itu jatuh? Coba aku
menyelidiki." Ia berjalan sampai di kaki puncak dan mendongak. Segera juga ia melihat,
bahwa di tempat bersambungnya batu menonjol itu -- yang sudah ambruk ke bawah –
dengan tembok batu, terdapat bekas-bekas bacokan golok atau kampak. Dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia merayap ke atas dan tangannya meraba-
raba di sekitar tempat sambungan itu. Ternyata, tanah dan lumut yang melekat disitu juga
memperlihatkan bekas-bekas diganggu orang. Tapi karena "pengolahannya" dilakukan
secara halus, maka sebelum jatuh, orang masih menganggap, bahwa batu yang menonjol
itu merupakan bagian yang tersatu dari puncak batu tersebut.
Bukan main rasa herannya Pengtjoan Thianlie. Orang yang menaruh "racun" itu
tentulah bekerja sesudah Tong Siauw Lan meninggalkan tempat tersebut. Tapi siapa dia?
Kenapa dia berbuat begitu. Apakah dia sudah menduga, bahwa seorang lain akan
memanjat puncak itu untuk membaca syair Tong Siauw Lan?
Keng Thian pun tidak kurang herannya, tapi, seperti si nona, ia juga tidak bisa
menduga-duga, tangan siapa yang sudah melakukan itu.
Dengan Peng Go menuntun Keng Thian, perlahan-lahan mereka melanjutkan
perjalanan. Untung juga, belum jalan berapa jauh, mereka bertemu dengan sebuah
Honghotay, peninggalan di jaman dulu. (Honghotay adalah sebuah bangunan tinggi yang
di jaman dulu digunakan sebagai pertandaan untuk meminta bantuan tentara, dengan
membakar kayu. Dengan melihat api dan asap, kawan yang berada di tempat jauh dapat
segera memberi pertolongan).
Sambil menuntun tunangannya, Peng Go masuk ke dalam bangunan itu. seraya
berkata: "Untung juga kita bertemu dengan tempat meneduh untuk beristirahat beberapa
hari sampai lukamu sembuh."
Honghotay adalah bangunan yang bertingkat dua, atasnya lancip, bawahnya lebar.
Bagian atasnya, atau loteng, biasa digunakan sebagai mercu untuk meninjau ke tempat
jauh, sedang bawahnya digunakan sebagai tangsi untuk serdadu. Pengtjoan Thianlie
segera membersihkan lantai dan sesudah mempersilahkan Keng Thian merebahkan diri,
ia lalu keluar untuk mencari makanan. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa
dua ekor ayam alas yang lalu dijadikan barang santapan. Dengan dirawat oleh si nona
dan saban-saban menelan pel mustajab dari Istana Es, pada esokan harinya, luka Keng
Thian sudah rapat dan satu dua hari lagi, ia akan sembuh seperti sediakala.
Malam itu, Peng Go kembali memburu dan mendapat seekor kambing kecil yang lalu
dibakarnya. Sebagai seorang puteri yang sedari kecil biasa dirawat, Peng Go sama sekali
tidak mengenal ilmu masak. Malahan membakar daging saja, ia tak mampu, sebagian
hangus dan sebagian mentah. Tapi bagi Keng Thian, daging yang mentah matang itu,
merupakan santapan yang terlezat dalam dunia!
Malam itu, rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Kedua orang muda
itu tentu saja sungkan menyia-nyiakan kesempatan yang baik dan sambil menggandeng
tangan, mereka naik ke loteng untuk menikmati pemandangan malam terang bulan yang
indah itu. Sungguh permai! Himalaya seolah-olah mandi dalam lautan perak dan sinar es
yang menyorot dari puncak-puncak yang tinggi memperlihatkan suatu pemandangan yang
benar-benar luar biasa.
Sesudah memandang beberapa lama, si nona menghela napas seraya berkata dengan
suara perlahan: "Di sebelah sana adalah
negeri ibuku. Sungguh lucu-
meskipun aku berkedudukan sebagai puteri Nepal, belum pemah aku menginjak negeri
itu." "Tak satu manusia pun yang menghalangi kau pergi kesitu," kata Keng Thian sambil
tertawa. "Ibuku pernah bersumpah untuk tidak kembali ke negeri sendiri." kata si nona.
"Keng Thian tersenyum. "Dalam dunia ini tiada yang kekal," katanya. "Coba kau pikir,
siapa bisa duga, Puncak Es bisa roboh dengan begitu saja?"
Peng Go tidak menyahut, parasnya kelihatan berduka sekali.
"Jika piauwko-mu (saudara sepupu) ingin menikah dengan kau, kau tak bisa tidak
pulang ke Nepal," kata Keng Thian.
"Piauwko-ku?" menegas si nona.
"Bukankah raja Nepal piauwko-mu?" kata pula pemuda itu, "Hm... menurut taksiranku,
pendeta asing itu tentu kabur ke Himalaya. Aku kuatir, dugaanmu tidak meleset, dia
datang di Lhasa atas perintah raja Nepal."
Peng Go membungkam. Beberapa saat kemudian, barulah ia berbisik: "Kecuali kau,
dalam hatiku tak ada tempat lagi untuk lain lelaki..." Sehabis berkata begitu, parasnya
berubah merah. Biarpun sudah tahu sama tahu, inilah untuk pertama kali si nona
membuka rahasia hatinya terang-terangan.
Kegirangan Keng Thian meluap-luap dan matanya berlinang-linang karena kegirangan
yang melampaui batas. Sambil memegang pundak si nona, ia berbisik: "Apa benar?..."
Dengan perlahan Peng Go mendorong kecintaannya. "Kau tidak permisikan aku
menangis, tapi kau sendiri yang mudah mengucurkan air mata," katanya dengan suara
terharu.
Tiba-tiba kesunyian sang malam diganggu dengan suara tindakan kaki manusia di
bawah loteng. "Siapakah yang menggerayang kesini di tengah malam buta?" bisik Keng
Thian.
Peng Go menghunus Pengpok Hankong kiam dan membuat lubang kecil di papan
loteng. "Aha!" demikian terdengar seruan seorang. "Daging kambing bakar? Mana yang
punya?" Suara
itu adalah suara Hiatsintjoe yang menyeramkan.
"Jangan perdulikan yang punya," kata seorang lain. "Makan saja."
Keng Thian mengintip di lubang. Ia melihat seorang hweeshio, jangkung kurus tengah
berjalan mendekati perapian dan waktu lengannya menyentuh meja batu, terdengar suara
beradunya logam. Orang itu adalah Tang Thay Tjeng yang tidak dikenal Keng Thian.
"Siapa dia?" tanyanya di dalam hati. "Hiatsintjoe saja sudah merupakan lawan berat.
Hweeshio itu kelihatannya bukan sembarang orang. Bagaimana baiknya? Lukaku belum
sembuh, apa Peng Go bisa melawan mereka berdua?" Sambil mengeluarkan beberapa
batang Thiansan Sinbong, ia berbisik di kuping Peng Go: "Jangan ladeni mereka."
Peng Go mengangguk. Selagi hatinya penuh dengan rasa cinta, si nona memang tak
punya kegembiraan untuk bertempur.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan sambil mengunyah daging, ia berkata dengan suara
mendongkol:
"Sungguh tolol orang yang membakar daging ini. Separuh hangus, separuh mentah."
Mendengar kecintaannya dimaki, Keng Thian gusar, tapi Peng Go sendiri hanya
bersenyum. Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Kau sungguh rewel," katanya. "Jika tak
doyan, jangan makan!
Berikan semua, kepadaku, perutku lapar sangat. Di atas gunung mungkin lebih sukar
mendapat makanan."
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung, mulutnya terus mengunyah daging.
"Semakin aku ingat, semakin perutku panas," mendadak dia berkata lagi. "Sungguh
kurang ajar binatang Kim Sie Ie! Jika aku berhasil mendapatkan, Tjiangtjoe Siantjo, huh-
huh!... Aku akan keset kulitnya!"
Tang Thay Tjeng tertawa besar. "Dari dulu sampai sekarang, belum pernah ada
manusia yang berhasil mendaki Puncak Chomo Lungma," katanya. "Jangan kau
mengharap-harap embun tengah hari. Jika kau bisa berhasil, Tuhan benar-benar
memberkahi kau."
"Kalau kau takut mati, tak usah kau ikut," bentak Hiatsintjoe.
"Ikut tentu aku mesti ikut," kata si pendeta. "Seperti kau, aku pun sangat dihina orang.
Daripada dihina orang, lebih baik mati, daripada mati konyol, lebih baik coba-coba
nasibku."
Mendengar pembicaraan yang tiada ujung pangkalnya itu, Peng Go tak mengerti apa
yang sedang dibicarakan. Ia hanya merasa heran, kenapa Hiatsintjoe gusar terhadap Kim
Sie Ie, sedang orang yang bersalah sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia tentu saja tak
tahu terjadinya pertempuran di padang pasir, dimana Hiatsintjoe dipukul pincang oleh Kim
Sie Ie yang sudah merampas juga unta mereka. Hanyalah sesudah mengalami banyak
penderitaan, barulah mereka bisa keluar dari padang pasir itu.
Selagi Hiatsintjoe mencaci Kim Sie Ie, tiba-tiba diluar terdengar suara kaki kuda.
"Celaka! Pemilik daging datang!" kata Tang Thay Tjeng sambil tertawa.
"Kalau dia rewel, aku hantam mampus padanya," kata kawannya.
"Jangan galak-galak," si pendeta tertawa haha-hihi. "Orang baik-baik tak boleh
sembarangan membunuh manusia."
Sementara itu, suara kaki kuda kedengaran berhenti di depan Honghotay. "Apa aku
kata?" demikian terdengar suara seorang anak tanggung yang sangat nyaring. "Aku sudah
kata, kalian tak usah bingung. Bukankah disini ada tempat meneduh? Ha-ha-ha! Bau
daging kambing! Wangi sungguh! Aku berani bertaruh, pemilik daging adalah seorang
pelancong yang murah hati."
Keng Thian dan Peng Go saling memandang sambil mesem. Mereka mengenali,
bahwa suara itu adalah suara Kang Lam, si bawel.
"Ibu, rumah apa ini?" tanya seorang gadis.
"Tak tahu, tapi tak halangan jika kita numpang disini," jawab seorang wanita.
Keng Thian merasa heran. "Kenapa Yo Lioe Tjeng dan puterinya datang kemari?"
tanyanya di dalam hati. "Didengar dari suara tindakan, yang datang ada empat orang.
Siapa yang satunya lagi?"
Sesaat kemudian, empat orang masuk dengan beruntun-runtun. Dari lubang papan,
Keng Thian mendapat kenyataan, bahwa orang yang satunya lagi adalah Tong Toan.

***

Ternyata, selagi Kang Lam mengantar Yo Lioe Tjeng dan puterinya ke Lhasa untuk
mencari Keng Thian, di tengah jalan mereka bertemu dengan Tong Toan. Keluarga Tong
dan Yo adalah sahabat-sababat lama. Pada dua puluh tahun lebih berselang, satu
gelombang hebat telah terjadi karena Phang Lin telah kesalahan membunuh suami Tong
Say Hoa dan peristiwa itu hampir-hampir menyeret juga Yo Tiong Eng dan puterinya.
Sesudah gelombang mereda, keluarga Tong insyaf bahwa kesalahan terletak di pihaknya
dan merasa sangat malu akan perbuatan mereka terhadap Yo Tiong Eng. Maka itulah,
perhubungan antara mereka dan Yo Lioe Tjeng jadi terlebih rapat lagi. Biarpun Yo Lioe
Tjeng berusia banyak lebih muda daripada Tong Say Hoa, Tong Toan selalu
menganggapnya sebagai seorang tjianpwee dan memanggil Kouwkouw (bibi) kepadanya.

Tong Toan segera menceritakan pertemuannya yang luar biasa dengan Keng Thian dan
Peng Go. Sesudah mengetahui jejak Keng Thian, Yo Lioe Tjeng segera mengajak Tong
Toan pergi, menyusul ke jurusan barat.
Begitu masuk ke ruangan bawah Honghotay, mereka melihat Hiatsintjoe yang sedang
mempertunjuki kepandaiannya yang menyeramkan. Dia memasukkan kedua tangannya
ke dalam perapian yang sudah hampir padam dan dengan menggunakan ilmu Inhwee
siosin (Menarik api membakar badan), ia mengeluarkan hawa yang sangat panas di
telapakan tangannya, sehingga perapian itu, kembali membara. Dengan kulit tangan yang
terkeset, tulang-tulang jeriji kelihatan tegas sekali di dalam bara. Tang Thay Tjeng sendiri
terus mengunyah daging kambing sambil menyender di meja batu, dengan
memperlihatkan sikap acuh tak acuh.
Melihat kedua memedi itu, Yo Lioe Tjeng berempat kaget tak kepalang. Dengan badan
bergemetaran, Kang Lam mundur ke belakang Tjee Tjiang Hee.
Jantung Yo Lioe Tjeng memukul keras, tapi karena mempunyai banyak pengalaman,
parasnya sedikitpun tidak berubah. "Benar," katanya. "Tempat ini nyaman dan hangat.
Kang Lam, coba keluarkan arak dan daging ayam. Sebelum tidur, kita makan dulu."
Si kacung segera mengeluarkan sepotong paha ayam, tapi sebab sedang ketakutan, ia
tak punya napsu makan dan lalu mengangsurkannya kepada Tjiang Hee. "Kau makan
saja sendiri," kata si nona. "Daging bekalanku belum habis."
Sesudah menenteramkan hati sambil memegang, paha ayam itu, Kang Lam berkata
sambil tertawa haha-hihi: "Tong Tayhiap, telah berjanji untuk bertemu disini. Sediakanlah
sepotong daging untuknya. Ha-ha! Tong Tayhiap bersahabat baik dengan Kongtjoe-ku dan
ia belum pernah salah janji, la kata, akan tiba disini tengah malam dan ia pasti datang."
Tjiang Hee kaget tapi segera juga ia mendusin, bahwa dengan perkataannya itu, si
kacung coba menakut-nakuti kedua musuhnya. Hanya lantaran hatinya ketakutan, tertawa
dan suaranya sangat tidak wajar.
Hiatsintjoe lantas saja mengeluarkan suara di hidung, sedang Tang Thay Tjeng tertawa
berkakakan. "Sayang sekali disini tak ada yang memukul kentongan, sehingga 'ku tak
tahu, apa sekarang tengah malam atau sudah lewat tengah malam," kata si pendeta
dengan suara menjengeki.
Kang Lam kaget, ia mengerti, bahwa ia sudah salah omong. Untuk memperbaiki
kesalahannya, ia kembali tertawa seraya berkata: "Tong Tayhiap dan kita sama-sama
datang dari Lhasa. Biarpun kepandaiannya tinggi, ia tentu saja tidak bisa jalan begitu
cepat seperti yang menunggang kuda. Tapi ia pasti datang. Sepoci arak ini lebih baik
disediakan untuknya."
Dengan berkata begitu, Kang Lam lebih membuka kedok serdiri. "Plak!", Hiatsintjoe
menepuk meja batu seraya membentak: "Kang Lam! Mari!"
Jantung si kacung melonjak, la mundur setindak dan berkata seraya menggoyang
tangan:
"Jangan sungkan-sungkan, makan saja sendiri. Aku tak doyan daging kambing."
"Jangan rewel!" bentak pula Hiatsintjoe. "Siapa undang kau makan daging kambing?
Mari! Layani tuan besarmu minum arak."
"Arak ini adalah untuk Kim Tayhiap," katanya dengan suara bingung.
Hiatsintjoe tertawa dingin. "Kim Tayhiapmu sudah mampus di padang pasir," katanya
dengan suara mengejek. "Jangan banyak bacot! Kau ingin menakut-nakuti aku dengan
menggunakan nama Toktjhioe Hongkay? Hm! Kemari! Jika kau membandel, aku akan
bakar badanmu." Sehabis berkata begitu, ia mengebaskan tangannya dan hawa yang
sangat panas lantas saja menyambar.
Tiba-tiba di luar terdengar suara tertawa yang sangat nyaring. "Bagus!" seru seorang.
"Aku paling doyan daging kambing!"
Hiatsintjoe menengok dan melihat dua orang aneh sedang berjalan masuk dengan
jungkir balik, dengan menggunakan tangan sebagai kaki. Sesudah melihat lebih tegas, ia
tahu, bahwa kedua orang itu patah tulang kakinya. Dilihat dari mata mereka yang dalam,
hidung yang mancung dan pakaian mereka, orang bisa lantas mengenali, bahwa mereka
adalah orang Arab yang dapat menggunakan bahasa Han dengan lancar sekali.
Begitu masuk, mereka bersila dan berkata sambil menuding Hiatsintjoe: "Wangi
sungguh daging itu. Coba berikan sepotong kepadaku."
Hiatsintjoe naik darahnya dan dengan mendelik, ia mengipas dengan kedua tangannya
dan hawa panas segera menyambar pada kedua orang itu. Tang Thay Tjeng buru-buru
memberi isyarat dengan kedipan mata untuk mencegah sang kawan berlaku semberono.
"Ha-ha-ha! Sungguh nyaman!" seru satu antaranya. "Dari gunung es masuk kesini
seperti juga masuk ke dalam surga." Dilihat dari muka dan gerak-geriknya, kedua orang itu
sudah lelah sekali. Sesudah berjalan di atas salju dan kemudian diserang hawa panas,
mereka pasti sudah roboh jika tak punya tenaga dalam yang sangat kuat. Mereka terus
bersenyum-senyum dengan sikap acuh tak acuh, seperti juga tidak merasakan kebasan
tangan Hiatsintjoe.
Kedua orang aneh itu berbeda badannya, yang satu gemuk dan yang lain kurus. "Aku
dengar orang-orang di Tiongkok sangat ramah tamah terhadap tamu," kata si gemuk.
"Sekarang ternyata, omongan itu dusta belaka."
"Apa kau kata ?" bentak Hiatsintjoe.
"Eh, apa kau mau cari-cari ribut?" tanya si kurus.
Hiatsintjoe tak bisa menahan sabar lagi. Ia melompat ke tengah ruangan dan berteriak:
"Mari! Mari kita coba-coba. Kami berdua dan kamu pun berdua."
Si kurus menggelengkan kepala. "Perutku lapar," katanya sambil tertawa. "Tak punya
tenaga untuk berkelahi."
Dengan gergetan Hiatsintjoe mengambil sepotong daging yang sedang dipegang Tang
Thay Tjeng dan lalu melontarkannya sembari membentak: "Makan! Lekas makan!" Waktu
melemparkan, ia mengerahkan lweekang, sehingga daging itu menyambar dengan tenaga
yang hebat. Tapi si kurus tetap tenang. Ia membuka mulutnya dan menggigit potongan
daging yang menyambar itu.
"Mana untukku?" tanya si gemuk.
"Kang Lam! Berikan daging ayam kepadanya!" memerintah Hiatsintjoe.
Melihat perkembangan yang luar biasa itu, si kacung jadi girang. Dengan sikap hormat,
ia mempersembahkan dua potong daging ayam kepada si gemuk.
"Makanlah. Kalau tak cukup, masih ada lagi," katanya.
"Mari araknya," kata si gemuk.
Tanpa menunggu perintah Hiatsintjoe, cepat-cepat Kang Lam mempersembahkan
sepoci arak kepadanya. "Benar," katanya sambil tertawa. "Sesudah makan minum, baru
ada kegembiraan untuk berkelahi."
Dengan sorot mata gusar, Hiatsintjoe mengawasi kedua orang itu, tapi Tang Thay Tjeng
berulang-ulang menggelengkan kepala seraya berkata: "Guna apa? Guna apa berkelahi?"
Kawannya tidak meladeni. "Lekas! Lekasan sedikit!" teriak Hiatsintjoe.
Mereka makan minum perlahan-lahan sampai daging dan arak tiada sisanya lagi. Tiba-
tiba si kurus tertawa terbahak-bahak. "Sekarang aku sudah kenyang," katanya. "Mari!
Siapa yang mau berkelahi boleh datang kesini!"
"Sudahlah," membujuk Tang Thay Tjeng. "Kita sama-sama pelancong dan juga tak
punya permusuhan. Perlu apa, cari-cari urusan?" Ia berusaha untuk membatalkan
pertempuran karena dalam perhitungannya, pihaknya jatuh di bawah angin. Dengan
lweekang Hiatsintjoe yang sudah banyak berkurang, ia menaksir, bahwa mereka berdua
belum tentu bisa menandingi kedua orang aneh itu. Di samping itu, masih terdapat empat
musuh lain yang mungkin sekali akan menyerang pihaknya. Ia tak takuti Tjee Tjiang Hee,
Tong Toan dan Kang Lam, tapi gendewa dan peluru Yo Lioe Tjeng tak boleh dipandang
ringan.
Sekonyong-konyong paras muka si gemuk berubah menyeramkan. Ia tertawa nyaring
seraya berkata: "Boleh, boleh tak usah berkelahi. Tapi aku ingin meminjam serupa
barang."
"Apa?" menegas Hiatsintjoe dengan perut panas.
"Berikan empat kakimu sebatas dengkul kepada kami," jawabnya. "Aku perlu sekali
dengan itu." Ia berkata begitu dengan sikap sembarangan, seolah-olah yang mau
dipinjamnya tak berharga sepeser buta.
Dapat dimengerti, jika Hiatsintjoe jadi kalap. Belum habis si gemuk mengucapkan
perkataannya, ia sudah mengenjot badan dan sambil melompat, ia menghantam sekuat
tenaga dengan kedua telapakan tangannya. Hebat sungguh pukulan itu! Yo Lioe Tjeng
berempat yang berdiri dalam jarak beberapa tombak, masih merasakan hawa yang sangat
panas. Kang Lam buru-buru bersila dan, tanpa memperdulikan segala apa, lalu
mengerahkan lweekang Thiansan pay, yang didapat dari Tong Keng Thian.
Dengan tenang si gemuk mengangkat tangannya untuk menyambut serangan itu. Di
lain pihak, sedang kedua kakinya belum hinggap di bumi, Hiatsintjoe merasa didorong
serupa tenaga yang sangat besar, sehingga tubuhnya bergoyang-goyang. Begitu kakinya
menginjak lantai, ia segera mengirim pukulan kedua, tapi hawa panasnya sudah banyak
berkurang.
Bukan main kagetnya Tang Thay Tjeng. Hiatsintjoe menyerang kalang kabut seperti
harimau edan, tapi ia tak bisa mendekati kedua lawannya dan tertahan dalam jarak kurang
lebih setombak. Beberapa saat kemudian, gerakan-gerakan Hiatsintjoe menjadi kalut dan
ia menerjang terputar-putar bagaikan seekor laler yang masuk ke dalam jebakan.
Harus diketahui, bahwa ilmu yang digunakan oleh kedua orang itu adalah Imyang
Ngoheng Tjianglek, ilmu pukulan yang terdiri dari "negatif dan "positif", yaitu satu pukulan
mendorong keluar, sedang pukulan yang lain membetot ke dalam. Dengan demikian,
musuh yang masuk ke dalam kalangan pukulan mereka seperti terseret ke dalam "pusar
air", terus terputar-putar tanpa mampu meloloskan diri.
Tang Thay Tjeng sebenarnya sungkan bermusuhan dengan kedua orang itu, tapi
karena sahabatnya berada dalam bahaya, ia tak bisa berpeluk tangan. Sebagai orang
yang hati-hati, sebelum turun tangan lebih dulu ia memikin siasat untuk meloloskan diri. Ia
ingin menyerang dengan menggunakan ilmu menubruk Niauw-eng dan jika serangannya
gagal, ia bisa lantas mengundurkan diri. Sedapat mungkin ia tak mau mengadu tenaga
tangan dengan musuhnya "Kaki mereka patah dan mereka tentu tak bisa mengubar aku,"
pikirnya.
Tapi di luar dugaan, ilmu silat kedua orang aneh itu sungguh luar biasa. Begitu Tang
Thay Tjeng "terbang" ke udara dan sebelum tangannya menyentuh kepala musuh, si
gemuk tiba-tiba mendorong si kurus yang tubuhnya lantas saja melesat ke atas dan
tangannya membetot. Tang Thay Tjeng terkesiap, buru-buru ia menggoyang badan yang
segera membelok ke belakang. Gerakan si pendeta cukup cepat, tapi si kurus lebih cepat
lagi. Hampir berbareng, dengan satu suara "hrr!", tubuh si kurus sudah melesat melewati
kepala Tang Thay Tjeng dan tangannya menjambret salah satu dari empat tiang yang
terdapat di ruangan itu. Di lain saat, dengan satu tangan mencekal tiang, tangannya yang
lain menghantam Tang Thay Tjeng.
Sebagaimana diketahui, ilmu menubruk Niauw-eng adalah gubahan Patpie Sinnio Sat
Thian Tjek berdasarkan cara berkelahinya burung Niauw-eng. Dengan latihan yang lama,
ia berhasil menciptakan semacam ilmu entengkan badan yang tiada keduanya dalam
Rimba Persilatan. Ilmu mengentengkan badan dari lain cabang persilatan kebanyakan
hanya merupakan kepandaian lari cepat, tapi dengan ilmu gubahan Sat Thian Tjek,
seseorang bisa "terbang" bulak-biluk di tengah udara. Tang Thay Tjeng adalah ahli waris
satu-satunya dari Patpie Sinmo dan pada waktu itu, kepandaiannya tidak lebih rendah
daripada gurunya sendiri. Demikianlah, pada sebelum tenaga pukulan si kurus
menyambar tubuhnya, ia sudah "terbang" membelok. Tapi apa lacur, baru saja ia
meloloskan diri, badan si kurus sudah melesat pula melewati kepalanya dan menjambret
tiang di seberang. Begitu satu tangannya mencekal tiang, badannya diputar dan kembali
menghantam dengan tangan yang lain. Kejadian serupa itu telah berulang sampai tiga
kali, dengan Tang Thay Tjeng masih tetap bisa mempertahankan diri di tengah udara dan
mengegos pukulan-pukulan musuh dengan "terbang" bulak-balik. Tapi, walaupun luar
biasa, ilmu itu tak bisa dipertahankan dalam tempo lama. Waktu si kurus menghantam ke
empat kali, ia sudah tak kuat lagi dan roboh di lantai akibat kebasan tangan si kurus.
Secara kebetulan, ia jatuh di dekat Hiatsintjoe.
Sambil tertawa terbahak-bahak, si kurus lalu kembali ke tempatnya yang tadi dan
bersila di dekat kawannya. Sekarang, seperti Hiatsintjoe, Tang Thay Tjeng juga sudah
terbetot masuk ke dalam kalangan tenaga kedua orang itu dan mereka tak dapat
meloloskan diri lagi.
Semakin lama gerakan tangan kedua orang aneh itu jadi semakin cepat. Tang Thay
Tjeng dan Hiatsintjoe yang semula berada dalam jarak kira-kira setombak, dengan
perlahan mendekati kedua musuhnya. Dengan keringat membasahi pakaian, mereka
mengamuk bagaikan kerbau gila dan maju sedikit demi sedikit. Seorang yang tak mengerti
ilmu silat tentu menduga, bahwa mereka sedang menyerang- Tapi Yo Lioe Tjeng
mengetahui, bahwa mereka sedang dibetot dengan tenaga tak kelihatan. Begitu lekas
mereka berada pada jarak yang bisa disampaikan dengan tangan kedua lawannya,
riwayat mereka akan segera tamat.
Diam-diam Yo Lioe Tjeng merasa girang. Biarpun permusuhannya sudah dibereskan
oleh Phang Lin, tapi masih terdapat kemungkinan, bahwa Tang Thay Tjeng akan berusaha
untuk membalas sakit hati lagi di belakang hari. Maka itu, jika si pendeta binasa, ia akan
terbebas dari segala kekuatiran.
Dengan mata tidak berkesip ia memperhatikan jalannya
pertempuran. Hiatsintjoe yang Iweekang-nya lebih tinggi, masih terus berusaha untuk
meloloskan diri dengan Seantero tenaganya, tapi Tang Thay Tjeng sudah tak kuat lagi. Ia
mundur setindak, maju dua tindak, semakin lama jadi semakin dekat dengan kedua
musuhnya Urat-urat di kepalanya timbul keluar, sedang kedua biji matanya yang berwarna
merah seolah-olah mau melompat. Yo Lioe Tjeng jadi merasa tak tega, sehingga ia
melengos supaya tak usah melihat pemandangan yang tak enak itu.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring: "Tinggalkan lututmu!" Hampir
berbareng terdengar suara "trang!", seperti martil memukul lonceng. Sebelum Yo Lioe
Tjeng sempat menengok, mendadak ia merasakan lewatnya hawa panas di depan
mukanya. Di lain saat, ia melihat badan Tang Thay Tjeng "terbang" keluar dari jendela
sebelah timur, sedang Hiatsintjoe pun sudah tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Kedua
orang aneh itu masih tetap bersila, dengan si gemuk mencekal sebuah lengan besi seraya
berkata seorang diri: "Tak dinyana dia mempunyai ilmu yang luar biasa."
Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, Tang Thay Tjeng telah berhasil menolong
diri dengan melontarkan lengan besinya. Kedua orang aneh itu kaget bukan main dan
sambil mengerahkan lweekang, mereka menyambut senjata yang luar biasa itu. Dengan
menggunakan kesempatan tersebut, si pendeta melarikan diri bersama-sama kawannya.
Selagi Yo Lioe Tjeng bergirang karena dua musuhnya sudah mabur, tiba-tiba ia melihat
kedua orang aneh itu mengawaskan padanya dengan sorot mata bengis. Ia terkejut dan
lalu mencekal gendewa erat-erat.
Sementara itu, karena keadaan berubah sepi, Kang Lam yang lagi bersemedi
membuka matanya. Ia melompat bangun dan berkata sambil tertawa: "Ha! Dua memedi
itu sudah dihajar kabur? Ha-ha! Kalian harus menghaturkan terima kasih kepadaku. Arak
itu memang bisa membangunkan semangat dan daging ayam dapat menambah tenaga."
Selagi berkata begitu, mendadak ia melihat Yo Lioe Tjeng dan kedua orang aneh itu
tengah saling memandang dengan sorot mata menakuti. Hati Kang Lam berdebar-debar
dan ia segera menutup mulut.
Tiba-tiba si gemuk tertawa besar. "Benar! Memang kami harus menghaturkan terima
kasih kepadamu," katanya.
"Aku ingin minta pinjam kedua lututmu," menyambung si kurus. "Jangan kuatir. Aku
tanggung kau tidak merasa sakit waktu lututmu digergaji."
"Apa?" menegas Kang Lam. "Kau mau gergaji lututku?"
"Tak salah," jawab si kurus sambil mengangguk. "Aku mempunyai ilmu bedah yang
sangat liehay. Lebih dulu aku akan memberi obat lupa dan begitu kau tersadar, segala apa
sudah beres. Bagaimana, apa kau setuju?"
"Tak bisa! Gila kau!" teriak si kacung dengan suara ketakutan. "Aku masih perlu dengan
kedua lututku."
"Aku juga perlu dengan kedua lututmu," kata si gemuk dengan suara dingin.
"Sesudah kau menyerahkan lututmu kepadaku, aku akan mengambil kau sebagai
murid," kata si kurus. "Kau akan punya senderan teguh, kau tak usah kuatir kekurangan
makan pakai dan tak akan ada manusia yang berani menghina kau."
"Tak bisa!" Kang Lam berteriak pula. "Tapi... kenapa... lututmu patah?"
Perkataan si kacung itu justeru menyentuh bagian yang lemah. Mendadak saja, kedua
orang itu jadi gusar tak kepalang. "Binatang!" geram si kurus "Aku ingin putuskan lutut
semua manusia yang pandai silat. Orang pertama adalah kau!" Berbareng dengan
perkataannya, badannya melesat dan tangannya menyambar untuk menotok jalanan
darah Kang Lam.
"Celaka!" mengeluh Kang Lam.
Sebelum tangan si kurus menyentuh Kang Lam, Yo Lioe Tjeng sudah melepaskan
pelurunya dengan beruntun-runtun. Dalam sekejap, puluhan peluru menyambar-nyambar
kedua orang aneh itu. Tapi sungguh aneh, sebelum melanggar badan musuh, peluru-
peluru itu sudah hancur semua! Kedua orang itu tertawa terbahak-bahak. "Masih ada lagi?
Hayo keluarkan semua!" teriaknya.
Yo Lioe Tjeng terkesiap dan di lain saat, ia merasa dirinya dibetot dengan semacam
tenaga yang tak kelihatan. Dengan sekuat tenaga, ia memberontak untuk meloloskan diri,
tapi sebaliknya dari berhasil, setindak demi setindak ia mendekati kedua musuhnya itu.
Pada detik yang berbahaya, sekonyong-konyong terdengar suara keras dan papan
loteng berlubang besar.
Kedua orang aneh itu terkejut. "Siapa yang bersembunyi di atas? Turun!" membentak
satu antaranya.
Mendadak dari atas terdengar suara "srr", disusul dengan menyambarnya sehelai sinar
merah. Kedua orang itu pucat mukanya. Buru-buru mereka menekan lantai dengan kedua
tangan dan badan mereka lantas saja melesat keluar dari pintu. "Tong Siauw Lan!" teriak
satu antaranya. "Kau tak boleh melanggar janji!"
Yo Lioe Tjeng jadi seperti orang kalap bahna girangnya. "Siauw Lan! Kau berada
disini?" serunya.
Hampir berbareng, dari lubang papan loteng melayang turun seorang pemuda yang
parasnya cakap. "Bukan. Aku Keng Thian," katanya.
Sesaat kemudian, Pengtjoan Thianlie pun turun ke bawah. Yo Lioe Tjeng yang baru
pertama kali bertemu dengan si nona, jadi merasa sangat kagum. "Aku tak nyana dalam
dunia ada wanita yang begini cantik," katanya di dalam hati. Ia melirik Keng Thian melirik
puterinya sendiri dan kemudian menghela napas.
Sementara itu, dengan rasa girang Tjee Tjiang Hee menghampiri dan mencekal baju
Peng Go. "Tjietjie," katanya. "Sekali ini kau tak boleh kabur." Ia berpaling kepada ibunya
dan berkata pula: "Pada malam itu, Keng Thian Koko telah mabur tanpa bisa dicegah lagi.
Tak tahunya ia kabur untuk mengubar Tjietjie ini."
Muka Peng Go lantas saja berubah merah karena ia ingat salah mengerti yang terjadi
pada malam itu. Tanpa mengatakan suatu apa, ia bersenyum dengan perasaan jengah
tercampur girang.
"Inilah puteri tunggal dari Kui Hoa Seng Pehpeh, namanya Peng Go," Keng Thian
memperkenalkan kecintaanya kepada Yo Lioe Tjeng. "Inilah Tjee Pehbo. Pada tiga puluh
tahun berselang, beliau adalah Kangtong Liehiap Yo Lioe Tjeng yang namanya harum
dalam Rimba Persilatan. Ayahku adalah adik seperguruannya."
Yo Lioe Tjeng tertawa girang.
"Benar, memang benar, dan kita semua bukan orang luar," katanya sambil tertawa. Ia
menarik tangan Peng Go dan lalu mengajukan berbagai pertanyaan secara gembira
sekali.
Sesudah menjawab pertanyaan-pertanyaan nyonya Tjee, Peng Go menengok kepada
Keng Thian seraya berkata: "Keng Thian, baik juga kau lekas-lekas melepaskan Thiansan
Sinbong. Kedua orang itu liehay bukan main. Mungkin sekali Pengpok Sintan tak akan
berhasil mengusir mereka."
"Keng Thian, kau lihatlah, aku sudah tua dan sangat pelupaan," kata Yo Lioe Tjeng
sambil tertawa "Aku belum menghaturkan terima kasih untuk pertolonganmu."
"Menurut pendapatku, Thiansan Sinbong yang dilepaskan olehku juga belum tentu bisa
melukakan mereka," kata Keng Thian. "Mereka kabur karena ketakutan."
"Kenapa begitu?" tanya Peng Go.
"Aku rasa, lutut mereka patah karena dihajar dengan Thiansan Sinbong oleh
ayahku,"
jawabnya. "Maka itu, mereka lantas kabur sebab menduga ayahku datang kembali"
"Benar," kata Yo Lioe Tjeng. "Tadi, selagi lari, mereka menyebut-nyebut nama ayahmu.
Mungkin sekali ayahmu telah meluluskan untuk mengampuni jiwa mereka, maka barusan
mereka mengatakan Siauw Lan tak boleh melanggar janji."
"Dilihat begini, jebakan di puncak itu telah dipasang oleh mereka," kata Keng Thian.
"Kenapa mereka kebentrok dengan ayahku?"
"Jebakan apa?" tanya Yo Lioe Tjeng.
Keng Thian lantas saja menceritakan peristiwa yang dialaminya, sehingga ia hampir-
hampir binasa tertimpa batu besar.
Nyonya Tjee jadi kaget tercampur girang. "Kalau begitu, ayahmu benar berada disini,"
katanya. "Tapi gunung Himalaya begini besar. Kemana kita mencarinya? Ah? Dua puluh
tahun lebih aku tak pernah bertemu dengan ayahmu." Sambil berkata begitu, ia melirik
Keng Thian dan Peng Go dan kemudian menghela napas. "Sesuatu manusia mempunyai
jodoh sendiri-sendiri, manusia tak dapat melawan nasib," katanya di dalam hati.
Harus diketahui, bahwa di waktu masih gadis, Yo Lioe Tjeng pernah ditunangkan
dengan Tong Siauw Lan. Belakangan, karena tak ada kecocokan, pertunangan itu tidak
terwujut dengan pernikahan. Sesudah lewat banyak tahun, biarpun masing-masing sudah
menikah, Yo Lioe Tjeng masih tidak bisa melupakan Siauw Lan sebagai kecintaannya
yang pertama. Tapi kecintaan itu adalah bebas dari segala arti yang jelek. Lioe Tjeng
sekarang mencintai Siauw Lan sebagai saudara sendiri, atau sedikitnya sebagai seorang
sahabat karib. Maka itulah pada waktu bertemu dengan Keng Thian, ia segera berniat
untuk merangkap jodoh Tjiang Hee dengan pp~iuda itu.
Tapi tak dinyana, putera Tong Siauw Lan sudah mempunyai kecintaan lain.
Malam itu, mereka menginap di Hongto tay. Pada besokan paginya, luka Keng Thian
sudah sembuh sama sekali dan mereka lalu meneruskan perjalanan ke jurusan barat.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebelah selatan Himalaya. Selagi enak
berjalan, mendadak Peng Go terkejut karena jauh-jauh ia melihat bendera-bendera yang
sangat besar jumlahnya. "Keng Thian, apa tentara Nepal benar sudah datang kesini?"
tanyanya. "Mari kita menyelidiki,"
"Baiklah, aku akan mengantar kau," kata pemuda itu. "Tjee Pehbo, kalian tunggu saja
disini. Sesudah menyelidiki, kami akan kembali untuk berdamai bagaimana baiknya."'
Sebagai gunung yang besar luar biasa di Himalaya terdapat banyak hutan-hutan yang
belum pernah ditembus orang, sehingga jika orang bertemu dengan hutan begitu, ia
terpaksa mengambil jalan mutar. Demikianlah, biarpun bendera-bendera yang dilihat Peng
Go kelihatannya tidak seberapa jauh, tapi waktu berusaha untuk mendekatinya, beberapa
kali mereka menyasar dan sesudah berjalan setengah harian, belum juga mereka sampai
di tempat yang dituju.
"Dilihat begini, kita harus cari seorang pengunjuk jalan," kata Keng Thian.
"Jangan mimpi," kata si nona sambil tertawa. "Dari mana kau mau cari pengunjuk jalan?
Biarpun kau berani membayar seribu tail emas, tiada manusia yang bisa mengantar kau di
gunung ini."
"Kau salah!" Keng Thian mendadak berkata. "Coba lihat! Apa disana bukan manusia?"
Peng Go mendongak dan melihat seorang yang sedang berlari-lari di puncak gunung
seberang. Orang itu yang gerakannya sangat gesit, ternyata tengah diubar lima orang
yang di kepalai oleh seorang pendeta yang mengenakan jubah pertapaan warna merah.
Dilihat dari jauh, warna merah itu sangat menyolok mata.
"Orang yang dikejar adalah Liong Leng Kiauw!" teriak Keng Thian.
"Benar," kata si nona. "Pendeta yang mengejarnya tentulah si pendeta yang
membongkar penjara."
"Mereka pasti mengandung maksud tak baik, mari kita cegat," mengajak Keng Thian.
Ketika itu Liong Leng Kiauw dan pengejar-pengejarnya sudah lari jauh sekali.
Si nona mengangguk. "Baiklah, kita ambil jalan dari samping gunung," katanya.
Karena jarak antara kedua gunung itu tidak seberapa jauh dan juga sebab Keng Thian
dan Peng Go memiliki ilmu mengentengkan badan yang lebih tinggi daripada Leng Kiauw
dan si pendeta, maka belum cukup setengah jam, mereka sudah berada di sebelah depan
si pendeta. Ketika itu, Liong Leng Kiauw sudah mendaki puncak kedua, sedang beberapa
boesoe Nepal lainnya masih ketinggalan jauh di belakang si pendeta.
Ternyata, selama berdiam beberapa hari di perkemahan tentara Nepal, Leng Kiauw tak
hentinya mengasah otak. Biarpun mempunyai cita-cita besar, perasaan hatinya masih
tidak mengijinkan untuk menjadi pengkhianat bangsa yang mengajak tentara asing masuk
ke dalam negeri sendiri. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk kabur dan lebih suka
dibinasakan oleh kaizar Tjeng daripada jadi pengkhianat. Ia bertujuan pergi ke Lhasa guna
melaporkan kejadian itu kepada Hok Kong An. Di luar dugaan, kaburnya telah diketahui
oleh si pendeta asing yang lalu mengejar dengan mengajak beberapa boesoe.
Liong Leng Kiauw tidak berani mengambil jalanan di tanah datar dan terus mabur ke
gunung-gunung. Sesudah lari sehari dan semalam, ia naik semakin tinggi dan jalanan jadi
semakin sukar. Si pendeta asing yang bernama Taichiti dan berkedudukan sebagai
Koksoe (guru negara) utama, terus mengejar sekeras-kerasnya dan waktu Leng Kiauw
mendaki puncak yang kedua, jarak antara mereka hanya kira-kira seratus tindak.
Sesaat itu, mereka berada di tempat yang tertutup salju dan licin luar biasa. Beberapa
kali si pendeta mengempos semangat dan melompat tinggi, tapi ia selalu menyerosot lagi
ke bawah karena licinnya jalanan. Mendadak ia membuka jubah pertapaannya yang lalu
digunakan untuk mengeredongi pundaknya, sehingga ia seolah-olah mempunyai dua
sayap. Sekali lagi ia melompat tinggi dan dengan bantuan jubah itu yang seperti "layar
perahu" kakinya bisa hinggap di atas salju tanpa menyerosot ke bawah lagi.
Ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak: "Lian Sianseng, rajaku telah memperlakukan
kau sebagai tamu terhormat, tapi kenapa kau mabur tanpa pamitan lagi? Dengan
menempuh bahaya, aku membawa kau datang kesini. Perbuatanmu itu sungguh-sungguh
tidak
memandang persahabatan."
Leng Kiauw tak menyahut, ia terus merayap ke atas dengan sepenuh tenaga.
"Lian Sianseng!" berseru pula si pendeta. "Lebih baik kau lekas-lekas turun. Jika
dicandak olehku, bisa terjadi kejadian yang kurang enak." Ia melompat lagi dan naik
setombak lebih.
Selagi si pendeta tergirang-girang, tiba-tiba terdengar suara aneh, disusul dengan
menyambarnya satu sinar merah. Buru-buru ia mengebas dengan jubahnya. "Brt!", jubah
itu berlubang dan tidak bisa digunakan lagi sebagai "layar perahu". Si pendeta yang tidak
berwaspada terpeleset dan menyerosot turun beberapa tombak, hampir-hampir ia jatuh
terguling. Jubah pertapaan itu dibuat dari benang emas dan ditambah dengan lweekang,
kekuatannya melebihi sebuah tameng. Pada belasan hari berselang, dengan jubah itu, ia
telah menyampok jatuh semua senjata rahasia yang dilepaskan oleh Tong Say Hoa. Maka
itu, ia kaget tak kepalang ketika tahu jubahnya ditembuskan dengan senjata rahasia.
Di lain saat, dari lamping gunung mendadak muncul seorang pemuda yang parasnya
cakap sekali. Orang itu bukan lain daripada Tong Keng Thian yang tidak dikenal oleh si
pendeta. "Siapa kau?" bentaknya.
"Tak usah tahu!" jawabnya. "Yang penting adalah aku tidak mempermisikan kau naik di
gunung ini."
"Bocah! Besar benar nyalimu!" bentak si pendeta sambil mengebut dengan jubahnya.
Biarpun tahu pemuda itu mempunyai senjata rahasia yang sangat liehay, ia tak menjadi
keder karena menganggap Keng Thian yang berusia begitu muda, pasti tidak memiliki
ilmu silat berarti. Maka itu, ia lantas saja mengebut dengan ilmu Thianlo kaytee (Jala langit
menungkup bumi), serupa ilmu yang telah dilatih olehnya selama beberapa puluh tahun.
Melihat menyambarnya jubah itu dengan, tenaga yang dahsyat, Keng Thian terperanjat.
"Tak heran jika Tong Say Hoa dan Kim Sie Ie masih belum dapat
menjatuhkannya," pikirnya. Tanpa berayal lagi, ia menghunus Yoeliong kiam dan
menikam dengan pukulan Houwtek siadjit (Houwtek memanah matahari).
Sebagaimana diketahui, Yoeliong kiam adalah pedang mustika dari Thiansan pay,
sehingga jangankan jubah, sedangkan tameng baja pun dapat ditembuskannya. Dengan
satu suara "bret!", diiring dengan sinar berkilauan, jubah itu berlubang besar.
Si pendeta kemekmek, buru-buru ia menarik pulang jubahnya dan melompat ke
belakang, akan kemudian mengawasi pemuda itu dengan mata membelalak. Di lain pihak,
biarpun berhasil merobek jubah pertapaan itu dengan pedangnya, Keng Thian sendiri
merasa lengannya sakit.
Di lain saat, pendeta itu sudah menyerang lagi dengan jubahnya. Dengan satu dua
kebutan saja, ia tahu tenaga pemuda itu sudah banyak berkurang. Maka itu, tanpa
menghiraukan kemungkinan jubahnya ditobloskan pula dengan pedang musuh, ia segera
mengirim serangan berantai sambil memutar jubahnya bagaikan titiran. Dengan
menggunakan ilmu menggulung, ia ingin merampas pedang Keng Thian. Sambil
mengempos semangat, Keng Thian melayani dengan hati-hati sekali. Sesudah lewat kira-
kira dua puluh jurus, beberapa kali lagi jubah itu tertikam tembus, tapi si pendeta tidak
memperdulikan dan terus menerjang bagaikan kerbau gila.
Beberapa saat kemudian, barulah Pengtjoan Thianlie tiba disitu. Meskipun memiliki ilmu
mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi karena jalanan penuh rintangan dan
pohon-pohon berduri dan juga karena Pengpok Hankong kiam tidak setajam Yoeliong
kiam, maka si nona agak terlambat datangnya.
Melihat munculnya seorang wanita yang luar biasa cantik dan mengenakan pakaian
serba putih, si pendeta yang lagi menyerang sambil berteriak-teriak jadi terkesiap dan
melompat mundur beberapa tindak.
"Nepal dan Tiongkok adalah tetangga baik," kata si nona. "Kenapa kau merusak
persahabatan itu? Di samping itu, kau juga berani melintasi perbatasan dan menculik
orang. Lekas pergi!" Suara si nona nyaring bagaikan kelenengan perak dan mengandung
keangkeran yang luar biasa. Si pendeta terkejut dan mundur lagi beberapa tindak.
Sebagai Koksoe utama dari Nepal, rajanya sendiri tak pernah bicara begitu terhadapnya.
Darahnya lantas saja naik dan sambil mengebas jubah pertapaannya, ia menanya dengan
suara dingin: "Siapa kau? Sungguh besar nyalimu, berani mencampuri urusan negaraku...
ih!..." Mendadak ia mengebut dengan jubahnya dan tanpa merasa ia bergidik, karena
Peng Go sudah melepaskan sebutir Pengpok Sintan. Sekonyong-konyong ia ingat suatu
hal. Dengan memiliki lweekang yang tinggi, Pengpok Sintan tak cukup hebat untuk
menggetarkan badan si pendeta. Tapi begitu ingat hal itu, badannya lantas saja
bergemetaran dan parasnya berubah pucat.
Sebelum ia keburu berbuat apa-apa, tiba-tiba di belakangnya terdengar suara:
"Kongtjoe (Puteri), terimalah hormat kami!"
Ia menoleh dan melihat empat boesoe Nepal sudah berlutut di atas salju. Jantungnya
memukul keras dan ia berkata dalam hatinya: "Benar saja dia!"
Harus diketahui, bahwa Taichiti adalah Soeheng (kakak seperguruan) dari pendeta
jubah merah yang dulu pernah naik ke istana es dan belakangan binasa dalam tangan Tan
Thian Oe. Waktu masih hidup, Soete itu pernah menuturkan pengalamannya di istana es
dan hebatnya Pengpok Sintan, sehingga begitu ditimpuk dengan Sintan, ia segera
menduga pasti, bahwa nona itu adalah Pengtjoan Thianlie. Maka'itu, buru-buru ia
memohon maaf kepada sang Puteri.
Pengtjoan Thianlie mengebas tangannya dan menegur dua boesoe yang berlutut paling
depan:
"Aku pernah melarang kalian mengacau di Tiongkok, tapi kenapa sekarang kalian
datang
kembali?"
Kedua orang itu manggut-manggutkan kepalanya. "Karena diperintah raja, hamba
berdua tak berani membantah," jawabnya dengan suara ketakutan.
"Dimana adanya rajamu?" tanya si nona
"Dengan membawa tentara, beliau berkemah di selat sebelah selatan," jawab satu
antaranya "Kedatangan raja di kali ini justeru adalah untuk mencari Kongtjoe" kata Taichiti
sambil
bersenyum. • "Pertemuan ini sungguh menggirangkan, sehingga tentara kita terbebas
dari kecapaian. Maka itu, kami memohon Kongtjoe sudi berkunjung ke perkemahan."
"Baiklah," kata si nona "Aku memang mau cari dia."
Mendengar jawaban itu, bukan main girangnya si pendeta. "Hilangnya Liong Leng
Kiauw berbalik menjadi satu keberkahan," pikirnya. "Dengan berhasil mengundang
Kongtjoe, pahalaku bukan main besarnya." Ia lantas saja memerintahkan empat boesoe
jalan di muka untuk membuka jalan dalam perjalanan pulang ke perkemahan.
Taichiti dan kawan-kawannya membawa tenda dan malam itu mereka menginap di atas
gunung. Besokan paginya mereka meneruskan perjalanan dan sesudah berjalan setengah
harian, barulah lapat-lapat mereka mendengar suara berbengernya kuda. "Kira-kira sejam
lagi kita akan tiba di perkemahan," kata Taichiti kepada si nona "Pertemuan dengan
Kongtjoe akan menggirangkan sangat hatinya raja."
Peng Go tak menyahut, ia hanya mengangguk.
Sementara itu, hati Keng Thian terus berdebar-debar. Sebenarnya ia sendirilah yang
telah menganjurkan Peng Go pergi menemui raja Nepal, tapi sekarang, sesudah mereka
berada dekat dengan raja tersebut, hatinya jadi berkuatir kalau-kalau pertemuan itu akan
mengakibatkan kejadian yang tidak diingin. Ia melirik kecintaannya yang bersikap tenang
sekali.
Selagi Keng Thian berjalan dengan hati bimbang, tiba-tiba Peng Go mengeluarkan
seruan tertahan dan si pendeta asing melompat dengan kaget. Ia segera mengawasi ke
arah yang diawasi mereka dan melihat bekas pukulan tongkat di atas sebuah batu besar
yang licin. Dilihat dari bekasnya, tak bisa salah lagi batu itu telah dipukul dengan tongkat
Kim Sie Ie.
"Dia juga menulis beberapa baris huruf," kata si nona
Keng Thian segera mendekati dan membaca huruf-huruf itu yang ditulis di atas batu:
"Di antara manusia hina menghina adalah lumrah. Untuk apa manusia hidup terlalu
lama? Kuingin memetik bintang di ruang angkasa, Menenangkan lautan Tonghay aman
sentosa." Sesudah membaca syair itu Keng Thian berdiri bengong. Ia tak menduga,
bahwa Kim Sie Ie
yang gila-gilaan dapat menulis syair yang luhur artinya dan bebas dari segala rasa
dendam terhadap sesama manusia. "Apakah sifatnya berubah karena dia sudah
mendekati ajalnya?" tanya Keng Thian di dalam hati. "Ditinjau dari syairnya, ia seolah-olah
hendak mendaki Tjoehong untuk mati di puncak gunung yang tinggi itu. Sungguh
mengherankan."
Peng Go menghela napas panjang seraya berkata: "Bagaimana kita bisa mencarinya di
gunung yang begini besar dan luas?"
"Siapa dia?" tanya Taichiti. "Seorang sahabat karib," jawab si nona.
Mendengar jawaban itu, si pendeta terkejut karena sebagaimana diketahui ia pernah
dihajar oleh Kim Sie Ie. Tapi ia tak berani menanya lebih jauh, sebab si nona kelihatannya
sedang berpikir keras dengan paras berduka.
Sesudah berjalan lagi beberapa lama, tibalah mereka di satu lembah yang sangat luas
dimana terdapat ribuan tenda yang berderet-deret dan ribuan bendera yang berkibar-kibar
dengan megahnya. Ditambah dengan suara berbengernya kuda dan tentara yang
menjaga dengan senjata terhunus, lembah itu memperlihatkan suatu pemandangan yang
angker luar biasa.
Taichiti segera memerintahkan dua orang boesoe untuk melaporkan kedatangan
Pengtjoan Thianlie kepada raja
Berita itu tersiar dengan cepat sekali dan dalam sekejap mata, dengan berlomba-lomba
ribuan atau laksaan serdadu Nepal menerobos keluar dari tenda mereka untuk melihat
wajah sang puteri.
Semenjak mendiang Koksoe jubah merah kembali dari Puncak Es dan membawa warta
tentang kecantikan dan kegagahan Pengtjoan Thianlie, di seluruh Nepal telah tersiar
macam-macam cerita
- yang satu lebih muluk dari yang lain -- tentang puteri itu. Sedari waktu itu, terutama
sesudah raja memerintah secara sewenang-wenang, segenap rakyat mengharap-harap
kedatangan puterinya Hoa Giok Kongtjoe, ahli waris tulen dari tahta kerajaan Nepal. Maka
itu tidaklah heran, begitu mendengar kedatangan Peng Go, tata tertib ketentaraan tidak
dapat dipertahankan lagi dan bagaikan gelombang laut, laksaan serdadu menerobos
keluar dari perkemahan mereka.
Dengan jubah yang berkibar-kibar karena ditiup angin dan dengan duduk tegak di atas
punggung kuda, bagaikan seorang dewi yang baru turun dari kahyangan, Pengtjoan
Thianlie mengawasi laksaan tentara itu yang menghampirinya bagaikan air bah.
Mendadak mereka menghentikan tindakan dan keadaan di lembah itu mendadak berubah
sunyi senyap. Semua orang, dari perwira sampai serdadu biasa, memandang wajah sang
Puteri dengan rasa cinta dan kagum.
Tiba-tiba terdengar seruan "Banswee" yang bergemuruh! Pengtjoan Thianlie
bersenyum sambal mengulapkan tangan, sedang air mata berlinang-linang di kedua
matanya.
Sedang seruan itu masih berkumandang di seputar lembah, sekonyong-konyong
bendera raja bergerak dan tenda besar yang berwarna kuning terbuka, disusul dengan
keluarnya raja Nepal yang menunggang gajah putih yang diiringi oleh para menteri serta
pembesar agung. Keadaan di lembah itu dengan serentak menjadi sunyi kembali. Keng
Thian dan Peng Go mengawasi sang raja yang parasnya kelihatan pucat sekali. Mereka
menduga, bahwa raja itu telah jadi ketakutan karena teriakan "Banswee" dari tentaranya
dalam menyambut Peng Go. (Banswee yang berarti laksaan tahun adalah panggilan untuk
seorang raja atau ratu).
Dugaan mereka adalah tepat. Sesudah menggerakkan tentara, siang malam raja
membayang-bayangkan, bahwa dalam tempo cepat ia akan bisa menikah dengan
saudara sepupunya yang cantik bagaikan dewi. Tapi seruan "Banswee" itu adalah
bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Mendadak ia ingat, bahwa Peng Go adalah ahli
waris tahta kerajaan Nepal dan hal itu dengan segala akibatnya sama sekali tidak
diperhitungkan olehnya.
Waktu sudah berhadapan dengan si nona, rasa kuatir raja bercampur dengan rasa
kagum yang sangat besar. Kecantikan Peng Go ternyata melebihi dari apa yang pernah
dibayangkannya. Ia menatap wajah si nona tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Pengtjoan Thianlie sendiri menghadapi saudara sepupunya dengan sikap tenang dan
sambil bersenyum, ia memberi hormat.
Seperti orang baru tersadar dari tidurnya, buru-buru raja melompat turun dari atas
punggung gajah dan mempersilahkan Peng Go menunggang tunggangan
kehormatan itu. Melihat kecantikan yang angker dan dingin, sedikitpun ia tak berani
berlaku kurang ajar dan dengan segala upacara kehormatan, Peng Go diiringi masuk ke
dalam tenda raja
Begitu masuk, raja segera memerintahkan disiapkannya meja perjamuan untuk
menjamu si nona. Ia mendongkol waktu Peng Go minta Keng Thian duduk di sampingnya,
tapi ia tidak bisa berbuat lain daripada menahan sabar.
Sesudah minum beberapa cawan arak, hati sang raja mulai tenang, tapi sebelum ia
bicara, Peng Go sudah mendului: "Bolehkah kutahu, perlu apa Ong-heng (saudara raja)
menggerakkan tentara dan datang kesini?"
"Untuk menyambut Piauwmoay pulang ke negara sendiri," jawabnya.
Paras muka si nona lantas saja berubah dan ia berkata pula dengan suara dingin:
"Walaupun aku terlahir di Tiongkok dan belum pernah menginjak negara sendiri, tapi ibuku
sering memberitahukan tentang ajaran mendiang kakek raja Sebagai orang yang mewarisi
tahta, masakah Ong-heng tak tahu ajaran kakek sendiri?" Kata-kata yang berani itu sudah
mengejutkan hatinya semua orang!
Sehabis berkata begitu, dengan matanya yang sangat tajam, si nona mengawasi raja,
yang parasnya lantas saja berubah merah. Sesudah menetapkan hati, ia tertawa getir
seraya menanya: "Ajaran apa? bolehkah Piauwmoay memberitahukanku?"
"Negara kita adalah sebuah negara kecil yang dalam banyak hal harus menyender
kepada Tiongkok," kata si nona. "Maka itu, semenjak dulu, negara kita selalu mengikat tali
persahabatan dengan Tiongkok. Menurut ajaran leluhur, kita tak boleh mengganggu
wilayah Tionggoan. Tapi sekarang, mengapa Ong-heng sudah menggerakkan tentara dan
melintasi daerah perbatasan?"
"Aku sama sekali bukan ingin mengganggu wilayah Tiongkok," jawabnya. "Karena tak
ingin kau berkelana di negeri orang, maka aku sudah datang kesini untuk menyambut kau
pulang ke negeri sendiri."
"Dalam hal ini sebenarnya Ong-heng boleh tak usah mencampuri," kata si nona. "Aku
hidup dengan senang di Tibet dan jika aku ingin pulang, aku bisa pulang sendiri. Andaikata
benar Ong-heng ingin mengajakku pulang, Ong-heng bisa berbuat begitu tanpa
menggerakkan Seantero tentara."
Raja Nepal kemekmek, tak dapat ia menjawab perkataan adiknya.
Selang beberapa saat, Peng Go berkata pula dengan suara perlahan: "Seantero
tentara dari negara kita masih belum cukup untuk memenuhi sebuah lembah gunung
Himalaya. Tindakan Ong-heng dengan sesungguhnya tindakan yang terlalu ceroboh!"
Karena malu, raja Nepal menjadi gusar, tapi terhadap Peng Go yang cantik dan angker,
ia tak berani sembarangan mengumbar napsu.
Sesudah menyapu para menteri dengan matanya yang sangat berpengaruh, si nona
berkata pula: "Dalam hal ini, kalian pun turut bersalah. Jika raja mau bertindak keliru,
adalah kewajiban para menteri untuk mencegahnya!" Menteri-menteri dan pembesar-
pembesar tinggi itu tak berani mengangkat muka. Biarpun mendongkol, tiada satupun
yang membuka mulut.
Peng Go berdiam sejenak dan kemudian menyambung perkataannya: "Meskipun ibuku
telah meninggalkan negara sendiri, tapi ia telah dianugerahi Tiatkoen151 oleh Sian-ong
(mendiang raja) dan dengan kekuatan Tiatkoen itu, ia masih boleh mencampuri urusan
dalam negara Nepal. Tiatkoen sekarang berada dalam tanganku.
Demi persahabatan dan kepentingan kedua negara, aku menasehati supaya Ong-heng
segera menarik pulang tentara ini. Manakala Ong-heng tidak menyetujui, marilah kita
menghimpunkan seantero barisan dan membentangkan pendapat -pendapat kita kepada
mereka supaya mereka bisa menimbangnya dan memberi keputusan yang mengikat."
Raja Nepal terkesiap. Ia merasa seperti juga kepalanya diguyur dengan air dingin. Ia
yakin, bahwa jika tentara Nepal dikumpulkan dan diminta pendapatnya, mereka pasti akan
menunjang usul Pengtjoan Thianlie, yang mana bisa berarti tergulingnya ia dari tahta
kerajaan. Ia mengeluh dan menyesal, bahwa ia sudah cari-cari penyakit sendiri.
Sedang raja kebingungan, Keng Thian kegirangan, sebab ia tak menduga kecintaannya
bisa bertindak begitu tegas.
Karena tiada jalan lain, sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, raja menyerah
juga. "Baiklah," katanya sambil tertawa getir. "Akan tetapi penarikan tentara memerlukan
persiapan beberapa hari. Di samping persiapan, kita juga harus memerintahkan orang
untuk menyingkirkan salju yang menutup jalanan gunung."
Mendengar jawaban itu, paras muka si nona lantas saja berubah sabar dan bersinar
terang, "Kalau begitu, Ong-heng harus segera bertindak," katanya.
Sesudah soal yang penting dapat dibereskan, mereka lalu mulai makan minum dan
bicara dengan gembira.
"Aku mendengar dulu Piauwmoay berdiam dalam istana es yang tak pernah atau
sedikitnya jarang dikunjungi manusia," kata sang raja. "Apa kau tidak merasa kesepian?"
"Tidak, apalagi aku mempunyai banyak sekali dayang sebagai kawan," jawabnya.
Raja tertawa dan berkata pula: "Sebagai seorang yang hidup di wilayah Tionggoan
Piauwmoay tentu tahu ajaran orang Tionghoa. Lelaki harus menikah, sedang wanita harus
keluar pintu. Itulah satu kemestian dari semua manusia. Jika berdiam terus di Puncak Es,
bagaimana kau bisa memilih Hoema (suami seorang puteri raja)? Maka itu aku telah
mengambil keputusan untuk menyambut kau pulang ke negeri sendiri, supaya aku bisa
mengatur soal pernikahanmu."
Alis si nona berkerut dan ia berkata dengan suara mendongkol: "Lebih baik Ong-heng
mengurus saja urusan-urusan yang penting..."
"Apa pernikahanmu bukan urusan penting?" memotong raja. "Aku adalah anggauta
keluargamu yang terdekat. Mana bisa aku tak memikiri soal itu?"
Paras muka Peng Go lantas saja berubah. "Soal pernikahanku tak perlu dipikiri Ong-
heng," katanya dengan ketus.
Hati raja melonjak. "Apa kau sudah memilih Hoema?" tanyanya.
Peng Go tak menyahut. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan melirik Keng Thian
yang justeru sedang mengawasinya dengan sorot mata penuh kecintaan. Si nona jadi
kemalu-maluan dan ia menunduk dengan paras muka bersemu dadu.
Dengan sikap itu, siapapun juga bisa menduga, bahwa Keng Thian adalah pemuda
yang sudah dipilih Pengtjoan Thianlie. Mendadak saja, darah raja Nepal meluap, hatinya
penuh dengan rasa mengiri dan cemburu. "Siapa dia?" tanyanya dengan nada menghina.
"Ia adalah seorang Hiapkek (pendekar) ternama di wilayah Tionggoan," jawab Peng Go
dengan angkuh. "Ia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, baik dalam ilmu
surat, maupun dalam ilmu silat."
"Kongtjoe memuji terlalu tinggi," kata Keng Thian. "Di wilayah Tiongkok, orang yang
seperti aku tidak bisa dihitung berapa banyaknya."
Sang raja mendongkol bukan main. Ia hanya mengeluarkan suara di hidung dan tidak
berkata apa-apa lagi.
"Di kaki gunung masih terdapat beberapa orang sahabat," kata Pengtjoan Thianlie.
"Bagus," kata raja sambil berpaling kepada seorang perwira "Undanglah mereka
semua." Sambil berkata begitu, diam-diam ia mengambil keputusan mengenai tindakan
yang akan diambil olehnya.
Malam itu, sekejappun ia tak pulas. Di depan matanya terbayang-bayang wajah
Pengtjoan Thianlie yang seolah-olah merupakan sekuntum mawar berduri, boleh
dipandang, tak boleh dipegang. Ia tahu Peng Go tak boleh dibuat gegabah, tapi ia merasa
berat untuk melepaskannya dengan begitu saja. Di lain saat, terbayang pula sikap si nona
terhadap Keng Thian dan tiba-tiba saja hatinya jadi panas sekali. "Tak boleh tidak aku
mesti membinasakan bocah cilik itu," pikirnya dengan rasa jelus.
Pada esokan paginya, ia kembali mengadakan perjamuan untuk para tamunya di tenda
besar. Dalam perjamuan itu, di samping Peng Go dan Keng Thian, juga turut hadir Tong
Say Hoa bersama Tong Toan, Yo Lioe Tjeng bersama puterinya dan si kacung Kang Lam
yang datang atas undangan raja
Peng Go girang bukan main dan minta si nenek Tong duduk di sampingnya. "Sungguh
sukar kami mencari kau," bisiknya: "Bukankah kau berjalan bersama-sama Kim Sie Ie.
Dimana dia?"
"Begitu tiba di kaki gunung, ia lalu meninggalkanku dan naik dengan kecepatan luar
biasa," jawabnya. "Jika aku masih-muda, mungkin sekali aku masih dapat menyusulnya.
Pemuda itu sungguh-sungguh aneh. Hai! Aku menanggung budi yang sangat besar dan
mungkin sekali budi itu tak akan dapat dibalas olehku. Apakah kau pernah bertemu
dengan Leng Kiauw?"
Sebelum Peng Go sempat menjawab, dari ruangan belakang tenda mendadak muncul
sejumlah boesoe yang terdiri dari berbagai kebangsaan, antaranya terdapat orang Eropa,
Arab, India dan sebagainya. Tong Say Hoa mengawasi dengan hati berdebar-debar,
karena di antara mereka terlihat juga Taichiti yang telah menculik Liong Sam. Ia ingin
sekali segera menanyakan si pendeta tentang Liong Leng Kiauw, tapi sebisa-bisa ia
menahan napsu.
"Sudah lama aku mendengar, bahwa di Tiongkok terdapat banyak sekali orang pandai,"
kata raja Nepal sambil tertawa: "Kemarin Kongtjoe telah memuji Tong Tayhiap sebagai
seorang yang berkepandaian sangat tinggi, sehingga aku merasa sangat kagum. Maka
itu, dengan meminjam kesempatan ini, kapan para boesoe dari berbagai negara
berkumpul disini, kami ingin meminta pengajaran dari Tong Tayhiap, supaya kami bisa
membuka mata terlebih lebar."
Mendengar tantangan itu, Peng Go tersenyum. "Dalam ilmu silat sebenarnya tiada
perbedaan antara negara ini dan negara itu," katanya. "Dengan berkata begitu, Ong-heng
seolah-olah ingin memisahkan orang-orang yang hadir disini menjadi dua rombongan."
"Tong Tayhiap adalah tamuku yang terhormat dan juga sahabat Piauwmoay," kata raja
dengan menyimpang. "Maka itu, aku ingin sekali melihat kepandaiannya. Mari! Aku ingin
memberi hormat kepada Tong Tayhiap dengan secawan arak ini!"
Melihat sinar mata raja yang luar biasa, Peng Go merasa curiga, tapi sebelum ia keburu
mencegah, Keng Thian sudah menyambuti cawan itu dan mencegluk isinya.
"Siapakah yang ingin melayani Tong Tayhiap?" tanya raja.
Taichiti bangun berdiri dan berkata sembari tertawa: "Kemarin kusudah berkenalan
dengan ilmu silat Tong Tayhiap, maka hari ini kuingin meminta pelajaran lebih jauh."
Ternyata pendeta itu sudah bersiap dengan dua macam senjata:
Tangan kiri mencekal jubah pertapaan yang berwarna merah, sedang tangan kanannya
memegang sebuah martil besar.
"Aku merasa sangat beruntung, bahwa Koksoe sudi memberi pelajaran kepadaku," kata
Keng Thian sambil menghunus Yoeliong kiam.
Raja segera menghadiahkan secawan arak kepada Koksoe-nya dan memerintahkan
orang membuka tenda, supaya pertandingan bisa berlangsung dengan leluasa.
Tanpa berkata suatu apa lagi, Taichiti, segera mengebut dengan jubah pertapaannya.
"Jubahmu sudah ditambal cepat sekali!" kata Keng Thian sambil menangkis dengan
pedangnya. "Trang!", si pendeta mendului menghantam Yoeliong kiam dengan martilnya
dan Keng Thian terhuyung beberapa tindak.
"Piauwmoay, pujianmu yang muluk ternyata melebihi kenyataan yang sebenarnya,"
kata raja dengan suara mengejek.
Si nona heran bukan main. Biarpun Taichiti bertenaga besar, ia sama sekali tak
percaya, bahwa Keng Thian dapat dipukul sempoyongan dalam satu gebrakan. Ia merasa
pasti, bahwa di dalam itu terselip apa-apa yang luar biasa
Sesudah memperoleh hasil dalam jurus pertama, si pendeta segera menerjang seperti
singa kelaparan. Dengan jubah dan martil, ia mengirim serangan-serangan berantai
secara ceroboh sekali, seakan-akan tak memandang Keng Thian sebelah mata. Beberapa
kali, garis pembelaannya terbuka lebar, tapi ia tak menghiraukannya dan terus menyerang
secara membabi-buta.
Mendadak, bagaikan kilat, Keng Thian balas menyerang dengan pukulan Hoeihong
tjeklioe (Angin puyuh mematahkan pohon lioe). Yoeliong kiam berkelebat laksana
kredepan kilat dan "brett!", jubah pertapaan si pendeta berlubang besar! Keng Thian
merangsek dan mengirim dua tikaman dengan beruntun sehingga si pendeta jadi
gelagapan dan coba menangkis dengan martilnya secara sembarangan. Apa mau pukulan
martil itu meleset dan mengenakan sebuah batu besar yang lantas saja terpukul pecah.
Keng Thian menarik pulang pedangnya dan berkata sambil bersenyum: "Maju lagi! Aku
tak bisa menyerang seekor anjing yang sudah basah kuyup!"
Pengtjoan Thianlie lega hatinya. "Ong-heng, kau lihatlah," katanya sambil bersenyum
manis. "Jika Tong Tayhiap mengirim pula satu tikaman, bukankah Koksoe-mu yang
terutama sudah melayang jiwanya?"
Paras muka raja jadi pucat, sekarang adalah gilirannya sendiri untuk terheran-heran.
Dalam niatannya untuk membinasakan pemuda yang dianggap sebagai saingannya, ia
telah menggunakan racun. Dalam poci arak yang tadi digunakannya terdapat dua kotak
dengan alat rahasianya Arak dalam kotak yang satu sudah dicampur dengan semacam
rumput beracun yang dinamakan Pekdjit tjoei (Mabuk seratus hari), sedang arak dalam
kotak yang lain adalah arak biasa Dengan memijit alat rahasia, raja bisa menuang arak
beracun atau arak biasa. Yang diberikan kepada Keng Thian adalah arak beracun, sedang
yang diminum Taichiti arak biasa.
Pekdjit tjoei adalah rumput yang tumbuh di pegunungan Himalaya dan dapat
memabukkan manusia secara hebat sekali. Tapi Keng Thian adalah seorang yang
berpengalaman luas dan sangat berhati-hati. Melihat paras sang raja yang luar biasa,
hatinya merasa tak enak dan diam-diam ia sudah menelan sebutir Pekleng tan yang
terbuat dari Thiansan Soatlian. Sebagaimana diketahui, Teratai Salju dari Thiansan itu
mempunyai khasiat untuk memunahkan segala macam racun. Jangankan baru Pekdjit
tjoei, sedangkan Khongtjiok tan (Nyali burung merak) yang banyak lebih hebat pun dapat
dipunahkannya.
Sementara itu, Taichiti yang tahu, bahwa rajanya sudah turunkan tangan jahat, dan
menduga, bahwa musuhnya bakal segera roboh karena lemas dan mabuk, sudah
menyerang secara membabi-buta. Ia sama sekali tak pernah mimpi, bahwa dirinya
sendirilah yang ditipu oleh lawannya. Dalam gebrakan pertama, Keng Thian berlagak
terhuyung, sehingga dia jadi semakin besar hatinya dan kecerobohannya sudah
mengakibatkan kekalahannya.
Sesudah mendapat pelajaran getir, Taichiti segera menyerang lagi dengan hati-hati.
Kedua lawan lantas saja bertempur dengan menggunakan Seantero
kepandaiannya. Dalam sekejap, mereka sudah bertanding seratus jurus lebih, tanpa
ada yang keteter. Jubah pertapaan berkelebat-kelebat bagaikan awan merah, sedang
Yoeliong kiam yang menyilaukan mata menari-nari di tengah udara. Semua orang
mengawasi jalan pertempuran dengan hati berdebar-debar.
Sesudah kemarinnya mendapat pengalaman dalam pertempuran dengan Keng Thian,
Taichiti tahu, bahwa pedang pemuda itu tajam luar biasa dan ia tak akan bisa mendapat
kemenangan, jika hanya mengandalkan jubah pertapaan. Maka itu, sekali ini ia menerjun
ke dalam gelanggang dengan membawa juga sebuah martil besar yang beratnya kurang
lebih delapan puluh kati. Walaupun pedang mustika, Yoeliong kiam tak bisa membabat
putus senjata yang begitu besar, apapula lweekang si pendeta ada lebih tinggi daripada
tenaga dalamnya Keng Thian. Dengan demikian biarpun pemuda itu mengeluarkan
Thiansan Kiamhoat yang sangat liehay, sesudah bertempur ratusan jurus, ia belum juga
bisa berada di atas angin.
Selagi pertempuran berlangsung dengan serunya, mendadak turun angin besar. Angin
di Himalaya memang terkenal hebat. Bahwa tentara Nepal berkemah di suatu lembah,
sebagian adalah untuk melindungi diri dari hawa dingin dan sebagian pula guna
menyingkir dari serangan angin.
Bagi si pendeta, turunnya angin merupakan bantuan yang sangat besar. Didorong
dengan tenaga angin, setiap kebutan jubah jadi bertambah hebat dan dalam sekejap,
badan Keng Thian seolah-olah dikurung dengan awan merah, Keng Thian berusaha keras
untuk merobek pula jubah pertapaan si pendeta, tapi Yoeliong kiam selalu berbentur
dengan martil.
Melihat jagonya berada di atas angin, raja bunga hatinya dan melirik Peng Go sambil
mesem-mesem. Tong Say Hoa yang duduk di samping si nona jadi mendongkol dan
berkata sambil menjebi: "Dengan mendapat bantuan angin, meskipun menang orang tak
boleh merasa bangga." Mendengar perkataan si nenek yang juga menduga, bahwa Keng
Thian bakal kalah, hati Peng Go jadi semakin berkuatir.
Sementara itu, dengan gembira Taichiti menyerang semakin hebat, sehingga beberapa
kali Keng Thian terpaksa melompat mundur. Tiba-tiba pemuda itu tertawa nyaring dan
berkata: "Kau menggunakan dua macam senjata, sedang aku hanya mempunyai
sebatang pedang. Pertempuran ini agak kurang adil."
Si pendeta tertawa dingin. "Aku tak pernah melarang kau menggunakan dua macam
senjata," katanya dengan sombong.
"Kalau begitu, baiklah," kata Keng Thian seraya mengayun tangan kirinya. Dengan
serentak sejumlah sinar merah menyambar dengan saling susul dan jubah pertapaan
Taichiti ditobloskan dengan belasan Thiansan Sinbong. Bukan main kagetnya si pendeta.
Sebelum ia dapat berbuat suatu apa, Keng Thian sudah mengayun pula tangan kirinya
dan membentak: "Lepas jubahmu!" Beberapa
Thiansan Sinbong kembali menobloskan jubah itu dan mengenakan tangan si pendeta
yang mencekalnya. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan, Taichiti melepaskan
jubahnya yang lantas saja terbang ke atas karena tiupan angin dan di lain saat sudah tak
kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Sambil menundukkan kepala, Koksoe itu lalu menghilang di antara tenda-tenda yang
ribuan jumlahnya.
Keng Thian membungkuk kepada raja dan berkata sambil bersenyum: "Koksoe nomor
satu dari negara Nepal memang sangat tinggi ilmunya."
Mendengar sindiran itu, raja merasa gusar sekali tapi ia merasa malu untuk mengumbar
napsu. Ia bingung karena orang pandai yang diundang olehnya belum juga datang dan
untuk menutupi rasa malu, ia terpaksa berkata sambil tersenyum getir: "Dalam negaraku,
setiap serdadu dilatih masak-masak dalam ilmu perang, baik ilmu menunggang kuda,
maupun ilmu melepaskan anak panah. Kami bukan hanya memperhatikan satu-dua
boesoe yang berilmu tinggi."
Mendengar keterangan itu, Tong Say Hoa tertawa dingin. "Apakah betul?" ia menegas.
"Kalau
tidak berkeberatan, aku mohon baginda memanggil beberapa jago melepaskan anak
panah supaya aku si tua menambah pengalaman."
Muka raja lantas saja berubah merah padam karena gusar. Dengan sekali mengebas
tangan, dari dalam beberapa tenda lantas saja keluar empat orang boesoe yang masing-
masing membawa sebuah busur besar. Mereka itu adalah guru yang mengajar tentara
Nepal dalam ilmu melepaskan anak panah.
Sambil menunjuk ke empat jagonya itu, raja berkata kepada Keng Thian: "Mereka itu
adalah serdadu pilihan dari barisan anak panah. Apakah Tayhiap bersedia untuk mengadu
ilmu dengan mereka?" Dengan
memperkenalkan empat guru itu sebagai serdadu biasa, raja berlaku licik sekali. Jika
Keng Thian menang, kemenangan itu tiada artinya, tapi kalau kalah, ia akan kehilangan
muka, karena sudah dikalahkan oleh orang-orang yang tidak ternama.
Keng Thian bersenyum, tapi sebelum ia sempat menjawab, Tong Say Hoa sudah
mendului: "Dalam permainan bocah cilik itu. Tong Tayhiap tak perlu turun tangan sendiri.
Hawa disini lembab dan dingin, sehingga urat-uratku kaku. Biarlah aku saja yang turun
untuk main-main sedikit guna melemaskan urat." Sambil berkata begitu, ia segera berjalan
masuk ke dalam gelanggang.
Bukan main gusarnya raja. "Biarpun negeraku kecil, tapi setiap orang yang berada
dalam tentaraku adalah laki-laki sejati," katanya dengan suara dingin. "Dan sebagai laki-
laki sejati, mereka tentu sungkan menghina seorang nenek tua!"
Tong Say Hoa mengeluarkan suara di hidung. "Hra!" katanya dengan nada menyindir.
"Memang, memang usiaku sudah lanjut. Kalau disuruh menjahit, memang kutak bisa. Tapi
kalau main panah... huh-huh! Jika baginda tidak memperkenalkan mereka sebagai jago-
jago pilihan, belum tentu aku kesudian menghadapi bocah-bocah itu!"
Raja mengawasi si nenek dengan sorot mata membenci. "Jika kau mau cari mampus,
akupun tak bisa menolong," katanya di dalam hati. Ia mengangguk seraya berkata:
"Baiklah. Serdaduku menggunakan busur nomor satu. Busur nomor berapakah yang ingin
digunakan olehmu?"
Sebaliknya dari menjawab pertanyaan orang, si nenek berteriak: "Ambil secawan arak
untuk menambah semangatku!"
Sementara itu, beberapa serdadu sudah mengeluarkan sejumlah busur, dari yang besar
sampai yang paling kecil. "Lootaytay (nyonya tua), beratnya busur yang paling besar
kurang lebih seratus kati, sedang yang paling kecil kira-kira dua puluh kati," kata raja. "Kau
boleh memilih yang manapun juga. Dalam pertandingan ini, sebaiknya Lootaytay berlaku
hati-hati."
Si nenek menyengir dan berkata dengan suara adem: "Aku tak biasa menggunakan
busur. Di negeriku, orang bisa balas menyerang lawannya dengan tangan kosong. Apakah
jago-jagomu belum pernah mempelajari ilmu itu?"
Ilmu melepaskan anak panah tanpa menggunakan busur belum pernah dikenal di
Nepal dan oleh karenanya, raja tak percaya omongan si nenek. Ia hanya menduga, bahwa
orang tua itu sudah mengaco belo sebab tak kuat menggunakan busurnya yang paling
kecil. Ia tentu saja tak tahu, bahwa di wilayah Tionggoan, keluarga Tong dikenal sebagai
ahli melepaskan senjata rahasia nomor satu di kolong langit.
Setindak demi setindak, dengan gerakan loyo, Tong Say Hoa masuk ke dalam
gelanggang dan lalu duduk di tengah-tengah dengan napas agak tersengal-sengal.
Melihat lagak si nenek, ke empat jago Nepal jadi merasa bingung. Sebagai guru-guru
ternama, mana mereka tega menyerang seorang tua yang tidak bersenjata?
"Eh-eh! Mengapa kamu diam saja?" tanya si nenek. "Apa kamu tak berani melawan aku
si tua?" Dua antara ke empat guru itu mengerti bahasa Han dan satu antaranya tak dapat
menahan sabar lagi "Baiklah," katanya. "Aku akan memanah tusuk konde giok di atas
kepalamu. Hati-hati, jangan bergerak!" Berbareng, dengan menjepretnya busur, sebatang
anak panah menyambar ke
atas kepala Tong Say Hoa.
Si nenek memperlihatkan sikap acuh tak acuh. Begitu lekas anak panah mendekati
kepalanya, bagaikan kilat tangannya bergerak dan anak panah itu sudah kena ditangkap.
Sambil tertawa dingin, ia menancapnya di tanah seraya berkata: "Eh, mengapa yang lain
tidak memanah?"
Si guru terkejut dan lalu melepaskan anak panah yang kedua. Seperti yang pertama,
anak panah itu juga ditangkap dengan mudah sekali dan lalu ditancap di tanah.
Seorang kawannya jadi gergetan dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memanah
tenggorokan Tong Say Hoa. "Celaka!" seru si nenek sambil membuka mulutnya dan anak
panah itu lantas saja masuk ke dalam mulut.
"Ah! Mengapa kau membinasakan dia?" kata seorang guru lain dengan suara
menyesal. Mendadak Tong Say Hoa membuka mulutnya dan menyemburkan anak panah
itu yang lantas
saja menancap di tanah. "Baik juga gigiku masih cukup kuat," katanya sambil tertawa.
Ilmu menangkap senjata rahasia dengan menggunakan gigi adalah salah satu ilmu
istimewa dari keluarga Tong. "Hei!" seru si nenek. "Mengapa kamu begitu tolol? Sudah
begitu lama, baru melepaskan tiga batang yang tiada artinya!"
Sekarang keempat guru itu benar-benar gusar. Dengan berbareng empat busur
menjepret dan bagaikan kilat empat batang anak panah menyambar. Dengan tubuh tak
bergerak, tangan Tong Say Hoa bekerja. Dalam sekejap, di seputar tempat duduknya
sudah penuh dengan anak panah yang merupakan pagar.
Dengan kedua tangan terus menangkap anak-anak panah yang menyambar-nyambar,
si nenek berteriak berulang-ulang: "Terlalu lambat! Cepat! Cepat sedikit!"
Hati keempat guru itu panas bukan main. Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka segera
memanah dengan menggunakan ilmu Liantjoetjian (Anak panah berantai) yang terkenal
liehay. Bagaikan hujan gerimis, anak-anak panah itu lalu menyambar-nyambar dengan
saling susul dan tidak henti-hentinya.
"Tong Say Hoa lantas saja mengubah gerakan tangannya. Begitu menangkap, ia
melontarkan dan anak panah yang dilontarkan membentur anak panah yang lain, yang
lantas saja mengikut terbang balik. Dengan menggunakan Iweekang yang sangat tinggi, ia
balas menyerang, tapi ia juga sungkan melukakan orang dan anak-anak panah itu
menancap di seputar ke empat jago Nepal tersebut.
Muka keempat guru itu jadi pucat bagaikan mayat. Dalam sekejap, semua anak panah
yang tersimpan dalam kantong senjata, sudah habis digunakan. Tiba-tiba si nenek
berteriak: "Awas! Jaga busurmu baik-baik!" Sambil mengempos semangat, ia mengayun
kedua tangannya dan melemparkan empat batang anak panah yang terakhir. Bagaikan
kilat dan dengan suara nyaring, empat batang anak panah itu menyambar dengan
dahsyatnya. Keempat orang itu terkesiap. Untuk menolong jiwa, mereka menangkis
dengan busur yang dicekalnya. Berbareng dengan terdengarnya suara "pletak!" empat
busur itu patah serentak!
Dengan kemalu-maluan, mereka melemparkan busur mereka di tanah dan lalu mundur
sambil menundukkan kepala. Perlahan-lahan Tong Say Hoa bangun berdiri dan sambil
berpaling kepada raja, ia berkata seraya bersenyum: "Bagaimana? Bagaimana dengan
kepandaian si nenek tua?" Muka raja merah padam, bahna malu dan gusarnya. Si nenek
kembali mesem dan sambil menggapai, ia berteriak: "Lioe Tjeng! Cobalah kau
memperlihatkan serupa pertunjukan untuk menambah kegembiraan."
Ketika itu, angin sudah mereda dan kawanan burung pada terbang masuk ke dalam
lembah untuk melindungi diri dari serangan salju dan angin di luar lembah. Lioe Tjeng
segera mengeluarkan busur dan peluru sambil menuding dua baris burung gan yang
sedang terbang di angkasa, ia berteriak: "Peluru pertama akan menghantam mata kiri
burung gan di barisan sebelah kiri, peluru kedua akan mengenakan mata kanan burung
yang terbang di barisan sebelah kanan!"
Hampir berbareng, busur yang dicekalnya menjepret dua kali dan sesaat kemudian,
dua ekor burung melayang turun ke bumi.
Dua antara guru panah yang barusan dijatuhkan oleh si nenek, segera memungut dua
bangkai burung itu dan memeriksa lukanya. Mereka kagum bukan main karena luka kedua
burung itu adalah tepat dengan yang dikatakan Lioe Tjeng. Itulah serupa kepandaian yang
benar-benar belum pernah dilihat mereka. Mau tak mau, raja pun mengakui keliehayan
lawan dan ia hanya bisa mengawasi dengan mulut ternganga.
Sesudah memperlihatkan kepandaiannya, si nenek bersama Yo Lioe Tjeng segera
kembali ke tempat duduknya.
Raja Nepal jadi semakin bingung. "Apakah orang-orang Han ini dewa-dewi yang turun
ke dunia?" tanyanya di dalam hati. "Racun yang1 hebat tak dapat mencelakakannya,
sedang seorang nenek bangkotan mempunyai kepandaian yang begitu luar biasa." Ia tak
bisa mendapat jalan yang baik guna menjatuhkan Keng Thian, sedang seorang berilmu
yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang.
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba seorang boesoe bangsa Eropa yang berambut kuning
dan bermata biru bangun berdiri dan mengucapkan kata-kata yang tak dimengerti oleh
Peng Go dan kawan-kawannya. Seorang juru bahasa segera menyalinnya. Orang Eropa
itu, yang bernama Smith mengatakan, bahwa ia mendengar di Tiongkok terdapat ilmu
menotok jalanan darah yang dapat membinasakan manusia. Menurut katanya di Eropa
pun terdapat ilmu semacam itu yang dapat menghentikan pengaliran darah. Maka itu, ia
ingin sekali bisa menjajal ilmu dengan seorang ahli Tionghoa.
Keng Thian jadi gembira, tapi sebelum ia menyambut tantangan itu, tiba-tiba Kang Lam
bangun berdiri sambil tertawa haha-hihi. "Tong Tayhiap, tanganku gatal sekali," katanya.
"Bolehkah kuturun tangan dalam gebrakan ini?"
"Bagus!" kata Keng Thian sambil mengangguk. "Hampir-hampir aku lupa, bahwa di
antara kita terdapat seorang ahli tiamhiat."
Kang Lam girang bukan main dan sambil tertawa-tawa, ia melompat ke tengah
gelanggang. Melihat yang maju ke gelanggang adalah seorang bocah cilik, raja jadi
mendongkol, tapi
teringat pengalamannya dengan si nenek, ia tak berani memandang enteng lagi. Di lain
pihak, boesoe Eropa itu berteriak-teriak sambil menuding Kang Lam. Ia ternyata merasa
tak senang karena dihadapi dengan tandingan bocah cilik. Si nakal yang tak mengerti
bahasa itu, segera menuding lawannya dan mengeluarkan kata-kata seperti yang
dikatakan oleh orang itu.
Si boesoe Eropa jadi gusar bukan main dan sambil membentak keras, ia menubruk.
Karena melihat Kang Lam yang masih kekanak-kanakan, ia merasa tak tega untuk
menyerang dengan menggunakan ilmu "menutup jalanan darah" dan hanya ingin memberi
hajaran kepada si bocah yang dianggap kurang ajar sekali. Tapi di luar dugaan, Kang Lam
yang pernah mempelajari ilmu Tjoanhoa yauwsoe (Bermain-main di antara bunga dan
pohon) di hutan batu, licin bagaikan lindung dan tak dapat ditangkap atau dihajar dengan
begitu saja. Sebagai akibatnya, apa yang tertampak dalam gelanggang bukanlah
pertempuran, tapi semacam main petak yang menggelikan hati.
Boesoe Eropa itu naik darahnya. "Jika kau terus main gila, kutak akan sungkan-
sungkan lagi!" teriaknya.
Kang Lam menyengir dan lalu berteriak dengan meniru kata-kata itu.
Si boesoe tak dapat menahan sabar lagi dan lalu mengeluarkan semacam senjata yang
luar biasa. Senjata itu yang terbuat daripada perak, menyerupai gagang pena dan
panjangnya kurang lebih tujuh dim, dengan kedua ujungnya berbentuk lancip. Begitu
mencabut senjata, begitu ia menusuk. Kang Lam melompat ke belakang, tapi... "gagang
pena" perak itu mendadak mulur beberapa dim dan menyentuh dada. Ternyata senjata itu
diperlengkapi dengan alat rahasia, sehingga bisa pendek dan bisa panjang.
Begitu tertotok Kang Lam merasa badannya kesemutan. Pada hakekatnya, ilrhu
menutup jalanan darah dari si orang Eropa adalah bersamaan dengan tiamhoat dari orang
Tionghoa. Dengan memperhatikan jam dan menit, ia bisa menotok dan menghentikan
aliran darah di tubuh lawannya. Tapi sebagaimana diketahui, dari Hongsek Toodjin Kang
Lam telah mendapat serupa ilmu untuk mengacaukan jalan darah sendiri, sehingga
walaupun jalanan darahnya tertotok, ia tak roboh. Ia hanya merasa kesemutan, tapi tak
sampai terluka.
Melihat si-bocah tak bergeming karena totokannya, bukan main kagetnya si boesoe
Eropa. Dengan cepat ia segera menusuk lagi, sekali ini ke arah pergelangan tangan Kang
Lam. "Setan!" bentak si bocah sambil menyambut dengan pukulan Soentjhioe kianyo
(Tangan menuntun kambing) yang ia dapat dari Tan Thian Oe. Dengan satu tangan ia
menangkap sikut si boesoe dan tangannya yang lain coba merampas senjata lawan. Tapi
si orang Eropa mempunyai tenaga yang sangat besar. Dengan sekali menggentak, Kang
Lam terhuyung, dan hampir berbareng "gagang pena" itu mengeluarkan jarum tajam yang
lalu ditusukkan ke lutut si bocah. Kali ini pena itu bukan digunakan untuk menutup jalanan
darah, tapi dipakai sebagai jarum injeksi.
Harus diketahui, bahwa "gagang pena" tersebut terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama
adalah "gagang pena" itu sendiri, bagian kedua jarum tumpul yang digunakan untuk
menotok jalanan darah dan bagian ketiga jarum tajam yang digunakan untuk menginjeksi
racun ke dalam tubuh musuh.
Begitu tertusuk Kang Lam mengeluarkan teriakan kesakitan dan ia merasa lututnya
lemas baal. Ia menduga, bahwa jalanan darahnya kena ditotok dan lalu berteriak dengan
suara gusar "Bangsat! Apa kau kira, hanya kau yang bisa tiamhiat? Jaga totokanku!" Ia
melompat sambil menotok dengan jerijinya yang mengenakan tepat pada jalanan darah
Hoen-hiat, di bawah katek lawannya. Boesoe Eropa itu mengaum seperti harimau terluka
dan roboh tanpa berkutik lagi.
Sesudah lawannya roboh, dengan terpincang-pincang ia menghampiri Keng Thian
seraya berkata: "Tong Tayhiap, ilmu mengacau aliran darah tak manjur lagi. Coba tolong
buka jalanan darahku."
Keng Thian segera memeriksa luka si bocah dan melihat lutut itu bengkak merah. "Kau
bukan kena ditotok," katanya sambil tertawa. "Minum saja secawan arak."
Sehabis berkata begitu, diam-diam ia memasukkan sebutir Pekleng tan ke dalam
cawan yang berisi arak, yang lalu diberikan kepada Kang Lam. Benar saja begitu
mencegluk arak, rasa kesemutan dan baal pada lututnya lantas saja hilang.
Sambil tertawa haha-hihi Kang Lam berpaling kepada raja dan berkata: "Baginda,
jagoanmu benar-benar tak tahu malu! Dia bukan mengunakan ilmu tiamhoat, tapi jarum
beracun. Lihatlah! Aku sudah merobohkannya dengan ilmu tiamhoat tulen. Dalam
pertandingan ini, akulah yang menang, bukan?"
Selebar muka raja jadi merah karena malu dan gusar. Ia tak dapat mengeluarkan
sepatah kata, sebab jagonya memang sudah dikalahkan.
Tiba-tiba beberapa boesoe Eropa lainnya berteriak-teriak. Sesudah gagal dalam usaha
menolong kawannya yang dirobohkan Kang Lam, mereka menduga jiwa kawan itu sudah
tak bisa ditolong lagi. Maka itu, mereka berteriak-teriak untuk minta Kang Lam mengganti
jiwa.
Sesudah maksud teriakan itu diterangkan oleh juru bahasa Kang Lam menjebi dan
berkata dengan suara nyaring: "Hei! Kamu sungguh-sungguh tak mengenal malu! Siapa
suruh dia menantang? Siapa suruh dia mencari mampus? Minta ganti jiwa? Tak malu
kamu!"
Raja Nepal pun menganggap, bahwa permintaan mengganti jiwa adalah tak pantas.
Seorang yang berani maju ke dalam gelanggang pertandingan silat, memang harus
bersedia untuk dibinasakan oleh lawannya. Maka itu, ia lalu berkata dengan suara
memohon: "Benar. Memang benar kami tak berhak untuk minta ganti jiwa. Tapi apakah
Siauwhiap (pendekar kecil) dapat menolongnya?"
Kang Lam girang setengah mati karena ini adalah untuk pertama kali orang memanggil
"Siauwhiap" kepadanya. Dengan paras muka berseri-seri, ia berkata: "Aku... aku... Guruku
hanya mengajar tiamhiat, belum pernah mengajar kayhiat (membuka jalanan darah).
Siapa suruh dia banyak lagak? Kalau tak punya kemampuan, paling baik jangan
menentang orang."
Raja merasa putus harapan. "Habis bagaimana baiknya?" tanyanya pula.
"Ada jalan," kata Kang Lam sambil menunjuk Keng Thian. "Siauwhiap tak mampu, tapi
ada Tayhiap. Tong Tayhiap bukan saja bisa membuka jalanan darah, tapi ia malah mampu
menghidupkan manusia yang sudah mati."
Raja jadi girang dan lalu memohon pertolongan pemuda itu.
Keng Thian merasa geli dalam hatinya. "Baiklah," katanya sambil tertawa. "Aku boleh
mencoba-coba, tapi belum tentu berhasil. Mintalah orang-orang yang berkerumun
menyingkir ke pinggir."
Raja segera memerintahkan juru bahasa memberitahukan boesoe-boesoe Eropa itu
yang lantas saja membuka jalan untuk Keng Thian. Tapi pemuda itu tidak bergerak dari
tempat berdirinya. Ia hanya membungkuk dan memungut sebutir batu kecil yang lalu
dilontarkan ke arah si boesoe yang menggeletak di tanah. Begitu lekas batu itu menyentuh
alisnya, ia mengeluarkan teriakan keras dan di lain saat, ia sudah bisa bangun berdiri!
Melihat kepandaian yang luar biasa itu, semua orang kaget berbareng kagum. Si
boesoe yang ditolong dan beberapa kawannya segera menghampiri dan menghaturkan
terima kasih kepada Keng Thian.
Selagi Kang Lam tertawa haha-hihi dengan gembiranya, tiba-tiba suasana berubah.
Raja dan semua orang Nepal yang berada disitu kelihatan kaget, seolah-olah terjadi suatu
perubahan yang luar biasa!
Sekonyong-konyong Raja Nepal mengeluarkan teriakan girang dan bangun berdiri. Di
lain saat, dari sebelah kejauhan kelihatan muncul dua orang aneh yang pincang kedua
kakinya dan mendatangi dengan menggunakan tongkat. Mereka itu bukan lain daripada si
orang aneh yang ingin memutuskan kedua kaki Kang Lam di Honghotay. Melihat mereka,
si bocah mengeluarkan keringat dingin dan tak berani tertawa lagi.
Di pundak salah seorang terdapat satu jubah pertapaan warna merah, milik Taichiti
yang tadi terbang ditiup angin dan yang telah diketemukan mereka.
Begitu tiba, dengan mata yang sangat tajam, mereka menyapu semua orang yang
berada disitu. Tiba-tiba orang yang membawa jubah mencabut sebatang Thiansan
Sinbong dari jubah itu. "Siapa punya senjata ini?" tanyanya.
Raja buru-buru bangun dari kursinya dan memperkenalkan mereka: "Ini adalah Tong
Tayhiap, seorang pendekar kenamaan di wilayah Tionggoan. Kedua tuan itu adalah orang-
orang beribadat yang sangat terkenal namanya di negeri Arab. Yang di sebelah kiri adalah
Tunhuman dan yang di sebelah kanan Asia. Guru mereka adalah seorang yang berilmu
paling tinggi di daerah Eropa Timur dan di negara Arab."
Keng Thian membungkuk sambil merangkap kedua tangannya. "Sinbong itu adalah
milikku," katanya.
Kedua orang aneh itu menatap wajah Keng Thian dan sambil memberi hormat, salah
seorang berkata: "Kami merasa beruntung, bahwa kita bisa bertemu pula di tempat ini.
Kami ingin sekali meminta pelajaran dari Tong Tayhiap."
Mendengar perkataan itu, raja merasa heran, karena ia tak menduga, bahwa mereka
sudah pernah bertemu muka.
Sebagaimana diketahui, pada malam itu di Honghotay, Tunhuman dan Asia tidak,
bertemu muka dengan Keng Thian dan mereka kabur karena diserang dengan Thiansan
Sinbong. Tadi, ketika memungut jubah pertapaan Taichiti di luar lembah, mereka
mendapatkan senjata rahasia itu yang menancap di jubah tersebut dan oleh karenanya,
mereka menganggap, bahwa orang yang menjadi tamu Raja Nepal adalah Tong Siauw
Lan. Sesudah menimbang-nimbang beberapa lama, dengan memberanikan hati, mereka
datang juga ke lembah itu. (Bercacatnya kaki mereka adalah sebab diserang dengan
Thiansan Sinbong oleh Tong Siauw Lan). Sekarang, melihat Tong Siauw Lan tidak berada
disitu, hati mereka jadi lega dan segera menantang Keng Thian.
Mendengar tantangan itu, Keng Thian segera berkata dengan suara tenang: "Harap
Djiewie sudi mengusulkan caranya kita mengadu ilmu." Sambil berkata begitu, diam-diam
ia memutar otak untuk mencari jalan guna memunahkan pukulan Imyang Tjianglek dari
kedua lawan itu.
Sesudah berdamai dengan bisik-bisik, Tunhuman berkata: "Kami berdua mendapat
pelajaran dari satu guru. Menurut kebiasaan, melawan satu orang, kami maju berdua,
melawan seribu orang, kami pun maju berdua. Maka itu, dalam pertandingan melawan
Tayhiap, kami pun harus maju dengan berbareng,"
Keng Thian terkejut. Jika melawan satu orang, mungkin ia masih bisa memperoleh
kemenangan, tapi kalau mereka maju dengan berbareng, ia merasa tak ungkulan untuk
memecahkan Imyang Tjianglek. Sedang hatinya keder, paras mukanya sedikitpun tidak
berubah, sebab ia tahu, tak dapat ia memperlihatkan kelemahan di hadapan Raja Nepal.
Ia mengangguk seraya menjawab: "Bagus! Bagus! Biarlah dengan sendirian aku
menghadapi kalian berdua."
"Tong Tayhiap adalah tamu terhormat dari paduka raja, sehingga jika kita bertanding
secara boe (dengan menggunakan kekerasan, berkelahi sungguh-sungguh), aku kuatir
akan merenggangkan persahabatan," kata Tunhuman.
Keng Thian girang. "Baiklah," katanya. "Kalau begitu, kita menjajal tenaga secara boen
saja (tanpa menggunakan kekerasan, tanpa berkelahi betul-betul). Sudikah Djiewie
mengajukan usul?"
"Biarlah kita bertanding dalam ilmu mengentengkan badan," kata Tunhuman.
Mengapa mereka mengajukan usul itu?
Sesudah dirobohkan oleh Tong Siauw Lan, hati mereka selalu merasa keder.
Mendengar Keng Thian she "Tong" dan juga pandai menggunakan Thiansan Sinbong,
mereka sudah menduga, bahwa pemuda itu adalah puteranya Siauw Lan yang mungkin
sekali memiliki kepandaian tinggi. Maka itu, mereka tidak berani menantang untuk
bertempur secara boe.
Usul itu sudah mengejutkan semua orang, terhitung juga Keng Thian. Tulang lutut
kedua orang itu dihancurkan Thiansan Sinbong dan biarpun sudah diobati sekian lama,
mereka masih memerlukan tongkat untuk berjalan. Dengan adanya kenyataan tersebut,
usul itu sungguh-sungguh tak bisa dimengerti.
Sementara itu, sambil bersenyum Tunhuman sudah berkata pula: "Tempat yang
menjadi titik terakhir dari perlombaan kita adalah puncak gunung yang terletak di sebelah
selatan. Siapa yang tiba lebih dulu di atas puncak, dialah yang menang."
Tong Say Hoa tertawa dingin. "Tapi di pihakmu terdapat dua orang," katanya.
"Bagaimana jika yang satu tiba lebih dulu dan yang lain tiba lebih belakang dari Tong
Tayhiap?"
"Kalau menang, kami harus menang berdua, jika kalah, kami kalah berdua," jawab
Tunhuman. "Jika salah satu di antara kami berada di belakang Tong Tayhiap, kamilah
yang kalah."
Tong Say Hoa tidak dapat mengatakan suatu apa lagi, karena jawaban itu justeru
menguntungkan Keng Thian.
Tunhuman mencegluk secawan arak dan kemudian melemparkan cawan kosong ke
tengah udara. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Udara sangat bagus, sekarang
saja kita mulai. Kalau turun angin, kita sukar bertanding."
Semua orang mendongak dan mengawasi puncak gunung di sebelah selatan yang
menjadi titik terakhir dari perlombaan itu. Puncak itu yang tingginya ribuan tombak,
tertutup salju sehingga, dipandang dari jauh, seolah-olah satu sekosol yang terbuat dari
batu giok putih. Di bawah sorotan matahari, "sekosol" itu memancarkan sinar beraneka
warna yang gilang-gemilang dan menyilaukan mata. Semua orang memandangnya sambil
menahan napas, bagaimana seorang manusia bisa memanjat puncak yang sedemikian
licin dan tebing?
Belum sempat Keng Thian menjawab tantangan itu, tiba-tiba Pengtjoan Thianlie bangun
dari kursinya sambil bersenyum. "Tong Tayhiap baru saja bertanding dengan Koksoe
terutama dari negara kami," katanya dengan suara merdu. "Adalah kurang pantas jika kita
membuat seorang tamu terlalu capai. Maka itu, biarlah aku saja yang melayani kedua
Taysoe dalam pertandingan ini. Dalam persilatan tak ada perbedaan negara atau bangsa.
Kalau kita terlalu mendesak Tong Tayhiap, ia mungkin merasa diperlakukan sebagai orang
luar."
Tunhuman jadi bingung. "Kongtjoe adalah seorang yang sangat mulia, tak dapat
Kongtjoe sembarangan maju dalam gelanggang pertandingan," katanya.
Si nona tertawa seraya berkata: "Waktu masih berdiam di Puncak Es, kusudah biasa
mundar-mandir di gunung yang tertutup salju. Jika aku kalah, barulah Tong Tayhiap yang
melayani Djiewie. Dengan demikian, kita tak bisa dikatakan menarik keuntungan selagi
lawan masih letih."
Tunhuman dan Asia adalah orang-orang yang kenamaan. Mendengar kata-kata Peng
Go yang seperti juga menuduh, bahwa mereka mau menarik keuntungan selagi Keng
Thian masih letih, mereka lantas saja jadi mendongkol dan mengangguk dengan
berbareng. "Baiklah," kata Tunhuman. "Jika Kongtjoe mengatakan begitu, kami tak bisa
berbuat lain daripada melayaninya. Kami mengharap baginda sudi memaafkan
kelancangan kami."
Raja Nepal tak menyahut. Sesudah berpikir beberapa saat, barulah ia berkata:
"Baiklah, Aku hanya minta supaya Piauwmoay menyayang diri sendiri dan jangan berlaku
ceroboh." Melihat puncak yang begitu tebing dan berbahaya, di dalam hati ia sebenarnya
merasa berkuatir. Sekali terpeleset, si nona bisa lantas binasa. Tapi sementara itu, ia juga
ingat, bahwa kemungkinan mengambil Peng Go sebagai permaisuri, adalah sangat tipis.
Jika Pengtjoan Thianlie binasa, paling banyak dia dan Keng Thian sama-sama tak bisa
mendapatkan nona yang cantik itu. Sebegitu jauh mengenai kepentingannya sendiri,
kebinasaan Peng Go adalah menguntungkan, karena dengan demikian, kedudukannya
di atas tahta kerajaan Nepal tidak terancam lagi. Itulah sebabnya, sesudah menimbang-
nimbang beberapa saat, ia segera memberi permisi.
Mendengar sang puteri akan turun sendiri ke dalam gelanggang pertandingan, segenap
tentara Nepal jadi kaget, berkuatir dan girang. Dengan serentak, laksaan manusia keluar
dari ribuan tenda untuk menyaksikan pertandingan yang luar biasa itu.
Perlahan-lahan, bersama Tunhuman dan Asia, Pengtjoan Thianlie berjalan ke kaki
puncak dan berdiri berjejer untuk menunggu pertandaan yang akan diberikan oleh raja.
"Tunggu dulu!" tiba-tiba Asia berkata.
"Ada apa?" tanya si nona.
"Pertandingan kita ini namanya satu kali, tapi sebenarnya dua kali pertandingan,"
jawabnya. "Sesudah tiba di puncak, kita harus turun lagi. Siapa yang tiba lebih dulu disini,
dialah yang menang dengan menggunakan peraturan seperti waktu naik gunung."
"Tentu saja, sesudah tiba di puncak, kita harus kembali," kata Peng Go. "Baiklah. Mari
kita mulai." Sehabis berkata begitu, ia mengulapkan tangan, sebagai tanda, bahwa
mereka sudah siap sedia.
Dalam mengajukan usul tadi, Asia ternyata lebih hati-hati daripada Tunhuman. Sebelum
menang, ia sudah memikir kalah. Dengan mengingat, bahwa sang puteri bergelar
Pengtjoan Thianlie, atau Bidadari dari Sungai es, ia menaksir, bahwa Peng Go memang
mempunyai kepandaian luar biasa dalam ilmu memanjat gunung. Maka itu, ia segera
membagi perlombaan tersebut menjadi dua babak. Jika pihaknya menderita kekalahan
dalam babak pertama, ia percaya akan mendapat kemenangan dalam babak kedua.
Melihat ulapan tangan si nona, raja segera memerintah seorang pengawal pribadinya
melepaskan sebatang anak panah nyaring sebagai tanda dimulainya pertandingan.
Dengan sekali menekan kedua tangannya di tanah, tubuh Tunhuman segera melesat ke
atas kira-kira tiga tombak tingginya, dengan kepala di bawah, kaki di atas. Apa yang
mengherankan semua orang, ialah begitu tiba di atas, badannya seolah-olah terpaku di
tembok salju. Hampir berbareng, tubuh Asia pun "terbang" dan satu tangannya
menjambret tangan Tunhuman. Di lain saat, sambil menekan tangan saudaranya, ia
mengenjot tubuh dan kembali melesat beberapa tombak tingginya, akan kemudian
"menempel" di tembok salju. Sekarang giliran Tunhuman untuk mengulangi perbuatan
Asia dan dalam sekejap, dengan kerja sama seperti itu, mereka sudah naik beberapa
puluh tombak tingginya. Melihat kepandaian yang istimewa itu, dengan serentak tentara
Nepal bersorak-sorai.
Ternyata, sesudah mereka bercacat, Tunhuman dan Asia telah menggubah berbagai
cara kerja sama dalam macam-macam ilmu. Untuk pertandingan mendaki gunung,
mereka sudah mempunyai persiapan yang sempurna. Kedua tangan mereka memakai
sarung tangan yang pada ujung-ujung jerijinya terdapat besi-besi lancip untuk
menancapkan jeriji-jeriji di salju atau es yang keras. Itulah sebabnya, mengapa mereka tak
bisa turun ke gelanggang seorang diri. Pengtjoan Thianlie mengawasi kedua lawannya
sambil bersenyum dan sesudah mengempos semangat, ia segera melompat ke atas.
Sekarang para penonton menyaksikan ilmu yang lebih luar biasa lagi. Begitu kedua
kakinya menyentuh tembok salju, tanpa bertindak lagi, badan si nona terus meluncur ke
atas, seperti cara orang bermain ski.
Nepal adalah sebuah negara yang banyak gunungnya dan banyak pula saljunya,
sehingga ilmu bermain ski adalah ilmu yang dikenal umum. Tapi dalam permainan ski,
orang harus menggunakan alat-alat dan dalam olah raga itu, seseorang hanya bisa
menyerosot ke bawah dan tak mungkin meluncur ke atas. Maka itulah, begitu Peng Go
mempertunjuki kepandaiannya, sorak-sorai bergemuruh di seluruh lembah. Keng Thian
sendiri yang sudah mengenalnya beberapa tahun, baru sekarang mengetahui, bahwa
Peng Go memiliki ilmu yang luar biasa itu.
Bagaikan kilat, Pengtjoan Thianlie dan kedua lawannya mendaki puncak itu dengan
saling susul. Sebentar si nona yang berada di depan, sebentar kedua lawannya yang naik
lebih dulu. Biar bagaimanapun jua, Tunhuman dan Asia agaknya masih kalah cepat,
karena mereka harus meminjam tenaga untuk melesat ke atas. Saban kali ketinggalan,
pada saat-saat itulah, si nona bisa menyusul dan melewati lawannya. Semakin lama,
mereka naik semakin tinggi, hingga para penonton berkunang-kunang matanya dan sukar
bisa melihat tegas, siapa yang unggul dan siapa yang kalah.
"Eh," kata Kang Lam sambil menyentuh lengan Keng Thian dengan jerijinya. "Siapa
yang menang?"
Pemuda itu yang sedang mengawasi ke atas tanpa berkesip tidak meladeni. Tiba-tiba
Keng Thian mengeluarkan teriakan kegirangan, sehingga cawan yang sedang dicekalnya
jatuh di tanah.
"Ada... apa?" tanya si kacung.
"Kongtjoe menang!" jawabnya.
Ternyata, pada detik hampir tiba di titik yang terakhir, dengan menggunakan seantero
tenaganya, Tunhuman melesat ke atas lima enam tombak tingginya dan berhasil melewati
Peng Go. Si nona pun segera mengempos semangat dan menyusul dengan
meninggalkan Asia di belakangnya. Dengan demikian, Tunhuman tiba paling dulu di titik
terakhir, kedua Peng Go dan ketiga Asia. Tapi sebagaimana sudah dijanji, untuk
memperoleh kemenangan, Tunhuman dan Asia harus menang bersama-sama dan jika
ada satu saja yang kalah, pihak mereka dihitung kalah. Maka itu, Keng Thian sudah
mengatakan, bahwa kemenangan diperoleh oleh Pengtjoan Thianlie.
Untuk sementara waktu mereka mengasoh di puncak itu. Sedang kedua lawannya
sudah kehabisan napas, Peng Go masih tetap segar. Sambil bersenyum ia berkata: "Aku
menang atas Asia, tapi kalah dari Tunhuman. Menurut perjanjian, akulah yang menang
dalam perlombaan ini. Tapi kumerasa tak enak hati. Begini saja: Kali ini kita seri, tiada
yang menang, tiada yang kalah. Bagaimana? Apa cukup adil?"
Tunhuman yang napasnya masih sengal-sengal, tak bisa lantas menjawab. "Jika
Kongtjoe mengatakan begitu, kami hanya bisa menghaturkan terima kasih atas kebaikan
itu," kata Asia. "Sekarang marilah kita mencoba-coba dalam babak kedua."
Melihat sifat ksatria dari sang puteri, kedua orang itu jadi kagum bukan main. Sesudah
mereka mengasoh beberapa lama, Raja Nepal segera memerintahkan seorang pengawal
pribadinya melepaskan lagi anak panah sebagai pertanda dan dengan berbareng, ketiga
orang yang berada di puncak segera menyerosot turun.
Dalam perlombaan kedua, Tunhuman dan Asia juga menggunakan cara yang tadi. Tapi
perbedaannya ialah, kalau waktu naik sekali melesat mereka hanya bisa mencapai empat
lima tombak, kali ini, sekali melompat, mereka bisa meluncur ke bawah belasan tombak.
Mereka cepat, Pengtjoan Thianlie lebih cepat lagi. Hal ini bisa dimengerti, karena
menyerosot turun menurut cara si nona, adalah banyak lebih mudah daripada meluncur ke
atas, Dalam sekejap, ia sudah tiba di tengah-tengah puncak dan meninggalkan kedua
lawannya di sebelah belakang.
Tunhuman jadi bingung. Sesaat itu, angin Himalaya mulai meniup dengan santer. Ia
girang dan dengan menggunakan tudungnya yang menggemblok di punggung sebagai
layar, ia "terbang" ke bawah.
Selagi Tunhuman lewat di sampingnya, sambil bersenyum Peng Go berkata: "Kau
harus berhati-hati!" Tapi Tunhuman yang tengah memusatkan seluruh tenaganya dan
perhatiannya, tak menjawab nasehat itu.
Angin meniup semakin hebat.
Asia lewat di depan Tunhuman. Baru saja jeriji Asia menancap di tembok es, Tunhuman
sudah menyusul dari belakang. Karena tak keburu menjambret tangan saudaranya, ia
terpaksa menekan pundak Asia untuk meminjam tenaga. Pada detik itulah, angin
menyambar hebat luar biasa, sehingga Asia yang jerijinya belum menancap dalam di es
dan pundaknya didorong dari belakang, lantas saja tergelincir ke bawah, berikut
saudaranya. Bagaikan bola, mereka menggelinding dengan kecepatan yang menakuti di
tebing yang tingginya ribuan tombak! "Habislah sekali ini!" mereka mengeluh di dalam hati.
Tapi orang-orang yang menonton di bawah sebagian besar tak tahu terjadi kecelakaan
itu. Mereka malahan menganggap kedua orang itu menggunakan ilmu luar biasa dan
diam-diam mereka merasa menyesal, karena menduga si nona bakal dikalahkan.
Tiba-tiba kembang salju muncrat berhamburan. Ternyata, tubuh Tunhuman membentur
balokan es besar yang menonjol di tembok itu, sehingga kepalanya pecah dan pingsan
seketika dengan berlumuran darah. Tapi untung sungguh, badannya kena ditahan dengan
balokan es itu. Di lain saat, Asia pun tiba dan juga terbentur dengan balokan es tersebut,
sehingga ia pun mendapat luka-luka.
Melihat kecelakaan tersebut, dengan cepat Pengtjoan Thianlie menyusul sambil
membuka ikatan pinggangnya yang lalu dilontarkan dan melibat pinggang Tunhuman.
Berbareng dengan itu, ia memerintahkan Asia yang hanya terluka enteng, mencekal ikatan
pinggang tersebut dan kemudian, dengan hati-hati, ia membawa mereka turun ke bawah.
Begitu mereka tiba di kaki puncak, sejumlah boesoe segera memburu dan memberi
pertolongan. Untung juga, berkat lweekang yang sangat tinggi, kecelakaan itu tidak
membahayakan jiwa Tunhuman dan Asia.
Dengan hati berdebar-debar dan paras muka pucat, raja segera memerintahkan
beberapa boesoe menggotong kedua orang itu ke dalam tenda untuk diobati. Pada
sebelum digotong masuk, dengan sorot mata berterima kasih, mereka manggutkan kepala
beberapa kali terhadap Pengtjoan Thianlie.
Si nona lantas saja kembali ke meja perjamuan. Ia menghela napas dan berkata: "Aku
merasa menyesal, karena gara-garaku, mereka mendapat luka."
"Hati Piauwmoay sangat mulia dan berkepandaian sangat tinggi, sehingga di puncak
yang begitu berbahaya, kau masih dapat menolong mereka," kata raja sambil tertawa.
"Untuk itu semua, aku menghaturkan banyak terima kasih." Ia. segera menuang tiga
cawan arak yang lalu dipersembahkan kepada Peng Go sebagai pemberian selamat.
Sambil mengangsurkan cawan-cawan itu, jantung sang raja memukul keras. Sesudah
menyaksikan kepandaian saudari sepupunya, ia jadi keder dan malahan ketakutan.
Andaikata si nona bersedia untuk menjadi permaisurinya, ia merasa tak akan bisa hidup
beruntung, karena sang puteri pasti tak akan bisa dikendalikan olehnya. Malahan terdapat
kemungkinan, bahwa ia sendirilah yang berbalik dijajah sang puteri! Ia mengharap-harap
Peng Go lekas-lekas berlalu, tapi tentu saja ia tak dapat mengusirnya, sebab ia sendiri
yang sudah mengatakan, bahwa
kedatangannya ini adalah untuk mengundang si nona pulang ke negeri sendiri. Hatinya
takut tak kepalang, karena jika Peng Go benar-benar pulang ke Nepal, kedudukannya di
atas tahta sukar dapat dipertahankan lagi.
Sekonyong-konyong di sebelah kejauhan terdengar suara tambur yang dipukul tiga
puluh enam kali dengan beruntun. Peng Go tahu, bahwa pemukulan tambur itu adalah
penyambutan resmi untuk seorang tamu agung. "Siapa yang datang berkunjung?"
tanyanya di dalam hati.
Paras muka raja mendadak berubah berseri-seri. Sambil bangun berdiri, ia berkata:
"Tong Tayhiap, aku ingin
memperkenalkan kau dengan seorang luar biasa. Ia adalah seorang yang berilmu
paling tinggi di Eropa Timur dan di negara-negara Arab. Namanya Timotato Thayhoatsoe."
Raja Nepal menyambut tamunya dengan upacara kerajaan. Dengan didului oleh
barisan yang membawa bendera raja dan diiring oleh sepasukan serdadu serta murid-
muridnya, Timotato memasuki lembah itu dengan menunggang seekor gajah putih.
Keng Thian mengawasi tamu itu yang ternyata sudah berambut putih, tapi mukanya
bersemu merah, seperti muka seorang muda. Melihat Tayyang hiat -nya yang menonjol
keluar, Keng Thian tahu, bahwa orang tua itu memiliki Iweekang yang sangat tinggi.
Terhadap raja yang keluar menyambutnya, Timotato hanya membungkuk sedikit dan
lalu melompat turun dari tunggangannya. Dengan diiring raja, ia masuk ke ruangan
perjamuan dan dipersilahkan duduk di kursi pertama, sedang raja sendiri menemani di
sebelah bawah. Keng Thian yang memperhatikan segala gerak-geriknya, mendapat
kenyataan, bahwa salju yang diinjak oleh orang tua itu segera melumer. Ia terkejut karena
hal itu merupakan suatu bukti, bahwa si kakek memiliki Iweekang yang sudah mencapai
puncak kesempurnaan. Di seluruh daerah Tiongkok, hanya beberapa orang saja yang
dapat menandinginya.
Sesudah menyapu para hadirin dengan kedua matanya yang sangat tajam, Timotato
berkata dengan suara perlahan: "Kedatanganku ke Himalaya di kali ini sebenarnya adalah
untuk mendaki puncak tertinggi di dalam dunia (Everest). Aku merasa sangat beruntung,
bahwa di tempat ini aku bisa bertemu dengan baginda." (Pembicaraan antara Timotato
dan para hadirin disalin oleh juru bahasa).
Mendengar perkataan itu, Keng Thian bermesem di dalam hati, karena ia yakin, bahwa
biarpun kakek itu mempunyai kepandaian sangat tinggi, tak gampang-gampang ia bisa
menakluki puncak tersebut.
"Untuk mendaki Tjoe-hong (Everest), Thayhoatsoe sebaiknya menunggu beberapa hari
lagi sampai hawa udara jadi lebih hangat," kata raja. "Dalam perjamuan ini secara
kebetulan berkumpul ahli-ahli silat dari berbagai negara. Dalam kesempatan yang jarang
terdapat ini, aku justeru ingin meminta pengajaran-pengajaran dari Thayhoatsoe."
Dengan perasaan mendongkol, Pengtjoan Thianlie melirik orang tua itu. Ia merasa,
bahwa jika Timotato berhasil memanjat Tjoe-hong, maka bangsa Nepal akan. kehilangan
muka dan ia jengkel bukan main melihat cara-cara raja yang menjilat -jilat, la juga
mengerti, mengapa si kakek sudah menerima baik undangan raja untuk menghadiri
perjamuan itu. Pada jaman itu, Himalaya berada di bawah kekuasaan dua negara, yaitu
Tiongkok dan Nepal. Ia tentu ingin meminta permisi dari raja Nepal untuk memanjat Tjoe-
hong. Bagian utara dari Himalaya dikuasai oleh pemerintah Tjeng dan jika Timotato ingin
mendaki puncak dari sebelah utara, maka, menurut pantas ia harus mendapat permisi
pembesar Boan yang berada di Tibet. Hanya sayang, berhubung dengan adanya
kegoncangan di wilayah Tibet pada masa itu, maka pemerintah Boan tak sempat lagi
mengurus hal-hal yang dianggap remeh.
Selagi si nona melirik apa mau Timotato pun meliriknya dan kedua pasang mata
kebentrok.
Muka si kakek lantas saja berubah dan sambil merangkap kedua tangannya, ia berkata:
"Apakah
Liepousat ini Puteri dari negara baginda?"
"Benar," jawabnya. "Semenjak kecil Kongtjoe hidup di negeri lain dan kedatanganku kali
ini adalah untuk menyambutnya pulang ke negeri sendiri."
Begitu masuk ke dalam lembah, Timotato sudah mendengar, bahwa dua muridnya telah
dikalahkan oleh si nona dalam perlombaan memanjat puncak dan kedua -duanya telah
mendapat luka. Maka itu, ia datang dengan perasaan gusar, tapi sesudah melihat wajah si
nona dan tahu siapa adanya Peng Go, ia tak dapat mengumbar napsu. Sekali lagi
matanya menyapu para hadirin dan kemudian mengawasi Keng Thian.
Sambil bersenyum raja menunjuk pemuda itu seraya berkata: "Tuan itu adalah
pendekar yang
namanya paling kesohor di daerah Tiongkok, Soetit (keponakan murid) Thayhoatsoe,
Taichiti Koksoe, telah roboh dalam tangannya. Dalam dunia ini, kecuali Thayhoatsoe,
mungkin sekali tiada orang lain yang bisa menandinginya." Kata-kata yang "membakar" itu
benar saja sudah lantas membangkitkan rasa gusarnya si kakek. Sesudah mengeluarkan
suara di hidung, ia berkata dengan nada memandang rendah: "Memang sudah lama aku
mendengar, bahwa di Tiongkok terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Hanya sayang
sebegitu jauh aku belum pernah mengunjungi daerah Tionggoan. Hari ini, secara
kebetulan aku bertemu dengan seorang pendekar dan kesempatan ini tentu saja tak boleh
dilewatkan begitu saja."
"Aku sungguh tak berani menerima julukan pendekar yang diberikan Thayhoatsoe,"
jawab Keng Thian dengan sabar. "Jika Thayhoatsoe ingin menjajal ilmu dengan ahli-ahli
silat Tionggoan, keinginan itu bisa tercapai dengan mudah sekali. Dalam tempo sebulan,
aku pasti akan mencari seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi untuk menghadapi
Thayhoatsoe." Keng Thian tahu, bahwa kedua orang tuanya, Phang Lin dan Lu Soe Nio
sudah datang di Tibet dan salah seorang antaranya sudah cukup untuk bertanding dengan
si kakek.
Timotato bersenyum tawar. Ia mendongakkan kepala dan berkata dengan suara
mengejek: "Mana kupunya tempo untuk menunggu sebulan! Kita bukan anak-anak kecil
yang jika mau berkelahi, harus menunggu kedatangan orang tua. Kita hanya menjajal ilmu
silat, siapa menang, siapa kalah, bukan soal besar. Jika Tong Tayhiap takut kalah dengan
maju sendirian, biarlah kau dan semua kawan-kawanmu mengerubutiku dan aku sendiri
akan melawan dengan tangan kosong."
Suara temberang itu sudah membangkitkan kegusaran, Tong Say Hoa yang lantas saja
berteriak: "Keng Thian! Jika kau tak mau turun ke gelanggang biarlah aku si tua yang
meminta pengajarannya."
Keng Thian segera mencegah dan berkata sambil tertawa: "Jika Thayhoatsoe
mengatakan begitu, biarpun aku tak cukup berharga untuk mewakili boesoe dari wilayah
Tionggoan, biarlah kusaja yang melayani Thayhoatsoe."
"Bagus!" kata Timotato sambil tertawa berkakakan dan lalu berjalan masuk ke dalam
gelanggang dengan sikap memandang rendah.
Keng Thian mendongkol bukan main, tapi sebagai seorang yang berusia lebih muda, ia
menyoja seraya berkata: "Hayolah!"
"Mengapa kau tidak menghunus pedang mustikamu?" tanya si kakek sembari
menyengir. "Hunuslah! Aku mempermisikan kau lebih dulu menyerang tiga kali."
Keng Thian terkejut, karena mata si tua ternyata awas sekali dan dapat mengenali
pedang mustika sebelum senjata itu dicabut. "Kubelum pernah menghinakan orang yang
tidak bersenjata," jawabnya dengan suara tawar. "Keluarkanlah senjatamu dan kau boleh
lebih dulu menyerang tiga kali kepada diriku."
Timotato menggosok-gosok kedua tangannya seraya berkata: "Sudah banyak tahun
kutak pernah menggunakan senjata, sehingga kusudah lupa bagaimana harus
menggunakannya."
"Baiklah," kata Keng Thian. "Kalau begitu kita bertempur saja dengan tangan kosong."
"Tong Tayhiap, jangan kena ditipu!" tiba-tiba Kang Lam berteriak. "Mengapa kau tidak
mau menggunakan pedang mustika?"
Timotato tertawa terbahak-bahak. "Benar," katanya. "Mengapa kau tak mau
menggunakan pedang mustika? Tanpa bersenjata, kukuatir kau akan merasa penasaran."
Tapi tentu saja Keng Thian sungkan menjilat kembali ludah yang sudah dibuang.
"Sudahlah, jangan rewel!" katanya dengan angkuh. "Hayolah! Jika kukalah, aku akan
mengakui kekalahanku!"
Mendengar perkataan pemuda itu yang keras kepala, si kakek merasa kagum. "Kalau
begitu, kau bersiaplah!" katanya sambil bersenyum. Sehabis berkata begitu, tanpa
memasang kuda-kuda, ia lalu mengirim satu pukulan dari jarak tiga tombak jauhnya. Tiba-
tiba Keng Thian merasakan dirinya didorong dengan semacam tenaga yang sangat
dahsyat, sehingga buru-buru ia mengerahkan lweekang dan "menancap" kedua kakinya di
tanah dengan ilmu Tjiankin toei (ilmu memberatkan badan). Tapi biarpun begitu, badannya
masih bergoyang-goyang beberapa kali.
Timotato heran sebab pemuda itu tidak menjadi roboh dan ia lalu menarik pulang
tangannya sambil mengerahkan lweekang.
Mendadak, Keng Thian merasa dirinya diseret dengan serupa tenaga membetot,
sehingga kedua kakinya terangkat dari tanah. Dengan kaget, ia mengenjot badannya yang
lantas saja melesat ke depan, sambil mengirim satu pukulan membinasakan dari Thiansan
Tjianghoat.
Melihat gerakan yang indah, sejumlah boesoe Nepal bersorak. Mereka tak tahu, bahwa
Keng Thian sudah berbuat begitu, karena terpaksa. Di antara tampik sorak, tiba-tiba
terlihat berkelebatnya kedua tangan Timotato dan tubuh Keng Thian menjungkir balik dua
kali di tengah udara, akan kemudian hinggap di atas tanah yang jauhnya kurang lebih tiga
tombak.
Melihat pemuda itu berhasil menyelamatkan diri dari dua serangan hebat, si kakek
merasa kagum. Sekarang ia tidak berani memandang rendah lagi dan lalu mulai
menyerang dengan bertubi-tubi.
Keng Thian lantas saja melayani dengan ilmu Toeihong Tjianghoat yang kesohor liehay.
Ia mengutamakan pembelaan diri dan hanya menyerang jika terbuka kesempatan baik.
Akan tetapi, karena si kakek memang banyak lebih unggul, dalam sekejap mata ia sudah
berada di bawah angin dan ia seperti juga terseret masuk ke dalam "pusar air", maju tak
mungkin, keluar pun tak bisa!
Ilmu yang digunakan Timotato adalah Imyang Ngoheng Tjianglek, yaitu pukulan yang
mempunyai tenaga "positif dan "negatif, tenaga mendorong dan tenaga membetot,
sehingga seseorang yang sudah "dikurung" dengan ilmu itu, sukar sekali bisa
menyingkirkan diri.
Biarpun tidak mengenal ilmu itu, Keng Thian adalah turunan dan ahli waris seorang ahli
silat besar di wilayah Tionggoan. Begitu merasa dirinya terseret ke dalam gelombang
tenaga yang menyerupai "pusar air", ia tahu bahwa hal itu sudah terjadi karena Iweekang-
nya masih kalah dari lweekang lawan. Maka itu, buru-buru ia memusatkan pikiran dan
mengempos semangat untuk mempersatukan tenaga jasmaniah dan rohaniah, akan
kemudian mengeluarkan ilmu silat Siebie Tjianghoat, yaitu ilmu yang terliehay dalam
seluruh Thiansan Tjianghoat, untuk coba menyelamatkan diri. Siebie Tjianghoat adalah
ilmu silat nomor satu dalam pembelaan diri dan terutama digunakan jika bertemu dengan
lawan yang lebih liehay. Dengan menggunakan tenaga Imdjioe (tenaga lembek), Keng
Thian coba memunahkan gelombang tenaga Timotato. Tapi serangan Timotato adalah lain
dari serangan biasa. Pukulannya bukan ditujukan langsung ke tubuh Keng Thian, tapi
terputar-putar seperti "pusar air", yang satu mendorong dan yang lain membetot, sehingga
mau tak mau, Keng Thian turut terseret dan terputar-putar.
Melihat Keng Thian lari terputar-putar, sejumlah boesoe Nepal merasa heran karena
mereka tak mengerti apa sebabnya. Semakin lama pemuda itu lari semakin cepat dan di
atas kepalanya muncul uap putih. Tong Say Hoa kaget tak kepalang dan tanpa menunggu
tempo lagi, ia mengebas tangan bajunya dan tiga batang paku Samleng Touwkoet teng
menyambar ke arah tiga jalanan darah Timotato.
Pada jaman itu, Tong Say Hoa adalah ahli nomor satu dalam ilmu melepaskan senjata
rahasia. Tiga paku itu menyambar tanpa bersuara, sehingga orang-orang yang tengah
memperhatikan jalan pertempuran, sedikitpun tak tahu, bahwa si nenek telah membantu
pemuda itu.
Tiba-tiba terdengar tiga kali suara "tring!" Si nenek terkesiap, sebab ia tahu senjatanya
telah menyentuh semacam logam. Sebagaimana diketahui, Timotato tidak bersenjata dan
juga tidak mengenakan pakaian berlapis besi. Paku yang barusan dilepaskan, dinamakan
Touwkoet teng, atau paku menembus tulang, sehingga begitu menyentuh badan manusia,
paku yang sangat tajam itu bisa menembus tulang. Tapi mengapa terdengar suara "tring!",
seperti juga paku itu terbentur logam?
Ternyata, tanpa diketahui oleh siapapun juga, pada waktu tiga paku itu menyambar ke
arah jalanan darahnya, dengan kecepatan kilat Timotato menyampok, sehingga senjata
rahasia itu berbalik menyambar Keng Thian. Baru saja ia ingin mengeluarkan ejekan, tiba-
tiba ia melihat peletikan api dan tiga paku itu terpental dari tubuh Keng Thian. Kecuali si
kakek sendiri, tiada manusia lain yang melihat kejadian itu. Kagetnya Timotato tak kurang
dari kagetnya Tong Say Hoa. Dibantu dengan tenaga pukulannya, andaikata Keng Thian
mengenakan baju besi, tiga paku itu belum tentu tidak menancap.
Si kakek tentu saja tak tahu, bahwa pemuda itu mengenakan semacam baju mustika,
yaitu Kimsie Djoanka (baju yang terbuat daripada benang emas), yang dulu dihadiahkan
kepada ibunya oleh Tjiong Ban Tong. Jangankan baru Touwkoet teng, sedangkan pedang
mustika masih tak bisa menembus baju mustika itu.
Keng Thian yang menduga, bahwa senjata rahasia itu dilepaskan oleh lawannya,
segera membentak dengan suara gusar: "Bagus! Kau menggunakan senjata rahasia?
Sambutlah senjataku!" Hampir berbareng, dua Thiansan Sinbong menyambar. Si kakek
mengebas dengan tangan jubahnya dan walaupun Sinbong terpukul jatuh, tapi tangan
jubah itu tak urung berlubang juga!
Inilah untuk pertama kali, Timotato bertemu dengan senjata rahasia yang begitu hebat.
Ia terkejut dan di lain saat, dua batang Sinbong kembali menyambar.
Sambil mengempos semangat, ia mengebas dengan tangannya dan Sinbong jatuh di
tempat yang jaraknya kira-kira setombak.
Ketika itu, juru bahasa baru menyalin cacian Keng Thian.
Bukan main gusarnya Timotato. "Gila!" teriaknya. "Kawanmu yang membokong aku,
tapi kau berbalik menyalahkan aku!" Sebenarnya, ia ingin mencaci lebih hebat, tapi
mengingat kesombongannya yang tadi sudah menantang semua kawan-kawan pemuda
itu, ia jadi malu sendiri dan lalu menutup mulut.
Sementara itu, Keng Thian sudah melepaskan pula dua Sinbong dari jarak dekat.
Karena sedang mendongkol, tenaga si kakek berkurang dan Sinbong itu jatuh dalam jarak
hanya tiga kaki dari tubuhnya. Ia terperanjat dan buru-buru mengempos semangat.
Pada detik itu, mendadak, mendadak saja si kakek merasa jalanan darah di lengannya
kesemutan dan jauh-jauh terdengar suara tertawa seorang wanita!
Semua orang menengok dan mengawasi ke arah suara tertawa itu. Mereka melihat dua
orang wanita muncul di tanjakan, yang satu setengah tua, yang lain seorang gadis yang
parasnya cantik sekali. Dandanan mereka hampir tidak berbedaan, di rambut masing-
masing terikat dua kupu-kupu yang terbuat dari sutera, sedang gerak-gerik dan lagak
mereka menyerupai kanak-kanak nakal.
"Ie-ie!" teriak Keng Thian dengan kegirangan yang meluap-luap.
Wanita yang setengah tua itu mengenjot badan dan tubuhnya lantas saja melesat ke
tengah udara. Sesudah memutar badan, dengan satu gerakan yang sangat indah, ia
melayang turun ke bawah. Melihat pertunjukan yang luar biasa itu, ribuan serdadu Nepal
dengan serentak bersorak-sorai.
Timotato mengawasi lengannya yang kesemutan dan melihat selembar daun hijau yang
menempel di lengan itu. Ternyata, wanita setengah tua itu... yang bukan lain daripada
Phang Lin... sudah menimpuknya dengan ilmu Hoeihoa tjekyap yang disertai dengan
lweekang yang tinggi luar biasa, lweekang antara si kakek dan Phang Lin sebenarnya
kira-kira berimbang. Tapi tadi, karena seluruh perhatiannya sedang dipusatkan kepada
Thiansan Sinbong, maka ia merasa lengannya kesemutan waktu tersentuh dengan daun
yang dilontarkan oleh nyonya itu.
Sementara itu, sambil tertawa Phang Lin mendekati Keng Thian dan menanya: "Keng
Thian, mana Kim Sie Ie?"
"Kutak ketemu," jawabnya.
"Tapi melihat tapak-tapaknya, mungkin sekali ia pun sudah berada di sekitar tempat ini."
Sang le-ie (bibi) mengangguk seraya berkata: "Baiklah. Kau boleh omong-omong
dengan Piauwmoay-mu (Lie Kim Bwee). Aku ingin menghadapi pendeta asing itu." la
berpaling kepada Timotato dan berkata pula seraya tertawa: "Aku paling senang
menyaksikan pertunjukan yang luar biasa. Gerak-gerakan tangan Thayhoatsoe yang
terputar-putar sungguh menarik perhatianku. Aku ingin sekali bermain-main dengan
Thayhoatsoe."
Hari ini, beberapa kali Timotato sudah diejek orang. Melihat cara Phang Lin
melontarkan daun, ia tahu, bahwa nyonya itu tidak boleh dibuat gegabah. Dalam
pertandingan antara jago dan jago, salah satu pantangan yang paling besar adalah naik
darah. Maka itu, biarpun Phang Lin mengejeknya, sebisa-bisa ia menahan sabar.
"Bagus!" katanya. "Aku merasa beruntung sekali, bahwa sekarang aku bisa berhadapan
dengan seorang jago wanita dari wilayah Tionggoan, hunuslah senjatamu!"
Sambil tertawa geli, si nyonya lalu mencopot satu kupu-kupu sutera yang terikat di
rambutnya dan lalu membukanya, sehingga di lain saat, tangan kanannya mencekal
sehelai pita panjang yang beraneka warna. "Aku bukan jago wanita dan kutak biasa
menggunakan pedang atau golok." katanya seraya bersenyum. "Aku hanya membekal
seutas tali untuk mengikat kera."
Belum habis kata-kata Phang Lin disalin oleh juru bahasa, Timotato sudah membentak
keras dan menghantam dengan kedua tangannya.
Bagaikan pohon yanglioe yang tertiup angin, badan si nyonya bergoyang-goyang.
"Celaka!" seru Tong Say Hoa.
"Jangan kuatir, ibuku sedang mempermainkan dia," kata Lie Kim Bwee.
Di lain saat, tubuh Phang Lin melompat kian kemari bagaikan seorang yang menari-
nari, sedang pita sutera yang dicekalnya menyambar-nyambar di tengah udara. Beberapa
saat kemudian pita itu mendadak berubah tegak lurus dan meluncur masuk ke dalam .
hidung si kakek! Tentu saja ia gelagapan dan berbangkis keras-keras!
"Bagus! Sungguh bagus!" teriak Kang Lam sambil menepuk-nepuk tangan dan tertawa
terbahak-bahak. Raja Nepal yang sedang jengkel juga turut tertawa.
Phang Lin berkelahi dengan terus menerus mengunjuk kenakalannya. Sedang
mulutnya tak henti-hentinya berteriak: "Awas matamu! Awas kupingmu!... Pita suteranya
yang tegak lurus bagaikan kawat baja karena disertai dengan Iweekang yang sangat
tinggi, menyambar ke arah mata, ke kuping dan ke lain-lain bagian badan, sesuai dengan
teriakan nyonya itu. Apa yang lebih hebat lagi ialah sambaran-sambaran itu selalu menuju
ke arah jalanan darah. Terhadap pita sutera itu, yang sebentar lemas dan sebentar keras,
Imyang Ngoheng Tjianglek tak bisa berbuat banyak. Dalam gusarnya, si kakek menyerang
dengan pukulan-pukulan Pekkong tjiang (pukulan yang bisa merobohkan musuh dari jarak
jauh), tapi siasat itu pun tidak berhasil karena Phang Lin segera membela diri dengan
mengerahkan Iweekang untuk menolak sambaran-sambaran angin dari pukulan itu.
Selagi Keng Thian memperhatikan jalan pertempuran, Lie Kim Bwee tiba-tiba berbisik di
kupingnya: "Piauwko, apa kau membenci Kim Sie Ie?"
"Hm! Sedikit," jawabnya, tanpa memikir lagi. Ia melirik dan melihat paras muka si nona
yang bersungguh-sungguh. Ia terkejut sebab tahu, bahwa ia sudah kesalahan bicara.
"Tidak, kutak membencinya," katanya dengan cepat. "Aha! Lihatlah! Indah betul pukulan
itu!"
"Eh," kata pula Kim Bwee. "Mengapa kau ogah-ogahan menjawab pertanyaanku. Ibu
pasti menang. Tak perlu kau menonton pertandingan itu. Jawablah pertanyaanku dengan
sungguh-sungguh: "Apakah kau membenci Kim Sie Ie?"
"Untuk bicara terus terang, dulu memang aku merasa agak mendongkol terhadapnya,
tapi sekarang sudah tidak lagi," jawab Keng Thian.
"Hm, tapi apa kau tahu, sekarang Sie Ie-ko hanya bisa hidup tujuh hari lagi?" tanya lagi
si adik.
Keng Thian kaget. Ia merasa heran, bagaimana adik sepupunya bisa tahu begitu
tepat.
Mendadak ia mendusin dan lalu berkata sambil bersenyum: "Kalau begitu kedatangan
Ie-ie dan kau kesini adalah untuk mengejar Kim Sie Ie, bukan?"
"Apakah kau bersedia menolong dia?" tanya Lie Kim Bwee tanpa menjawab pertanyaan
kakaknya. "Menurut katanya ibu, hanya Iethio dan kau sendiri yang bisa menolongnya
dengan menggunakan Iweekang dari Thiansan pay."
Sang kakak kembali bersenyum dan menyahut: "Kedatanganku dan Peng Go ke
gunung ini memang untuk menolong dia."
"Jika kau tidak mendusta, kita harus mendaki gunung secepat mungkin untuk
mencarinya," kata si nona dengan nada memohon.
"Akur!" kata Keng Thian. "Tapi sedikitnya kita harus menunggu sampai ibumu
menyelesaikan pertandingan ini." Diam-diam ia merasa geli dalam hatinya karena seorang
otak-otakan seperti Kim Sie Ie masih disayang oleh seorang gadis jelita. Tapi di lain saat,
ia merasa berduka sebab mengingat, bahwa harapan adiknya adalah harapan yang sukar
tercapai. Usaha mencari satu manusia di gunung Himalaya adalah seperti usaha mencari
jarum di lautan yang dalam.
"Ibu!" teriak Lie Kim Bwee. "Piauwko sudah berjanji akan menolong dia. Ibu! Lekas-
lekas robohkan pendeta itu, supaya kita bisa segera mendaki gunung."
Tiba-tiba di gelanggang pertempuran terdengar suara gedubrakan, sehingga semua
orang jadi terkejut. Ternyata lapisan es tebal yang diinjak Phang Lin mendadak pecah dan
roboh.
Tiba-tiba tubuh Phang Lin melesat ke atas, pita suteranya berkelebat memutari dirinya
dan hampir berbareng, dengan menekuk lima jerijinya bagaikan gaetan, dari tengah udara
ia menghantam batok kepala Timotato.
"Sungguh indah gerakan Niauw-eng itu!" memuji Keng Thian.
Baru saja Keng Thian mengucapkan pujiannya, rambut si kakek berdiri dan kedua
tangannya menghantam ke atas, sedang Phang Lin "terbang" seputaran, akan kemudian
melayang turun ke muka bumi.
Tanpa diketahui oleh para penonton, dalam gebrakan barusan, kedua lawan telah
menggunakan siasat yang sangat liehay dan lweekang yang sangat tinggi.
Harus diketahui, bahwa Timotato sudah bisa menjagoi di Eropa Timur dan Asia Barat,
karena ia mempunyai kepandaian dan kecerdasan luar biasa. Begitu mengetahui, bahwa
nyonya itu adalah lawan yang berat, ia segera memusatkan tenaga lweekang di kedua
kaki dan dengan sekali menjejek, es yang diinjaknya lantas saja pecah. Phang Lin kaget
dan segera melompat ke atas. Waktu badannya melayang turun ke bawah, ia
menggunakan kesempatan untuk memukul kepala si kakek.
Inilah yang ditunggukan oleh Timotato! Untuk menggunakan Imyang Ngoheng
Tjianglek, ia perlu meminjam tenaga musuh. Waktu itu, lweekang Phang Lin dibagi jadi
dua bagian, sebagian digunakan untuk melompat dan sebagian pula untuk memukul
musuh. Karena terpencarnya tenaga, hampir-hampir ia kena dibetot dengan tenaga
terputar dari Imyang Tjianglek. Untung juga, Phang Lin memiliki ilmu mengentengkan
badan yang tiada tandingannya dalam dunia, sehingga pada saat yang sangat berbahaya,
ia masih bisa melayang turun ke bumi dengan selamat.
Begitu lekas hinggap di tanah, Phang Lin segera mengempos semangat dan
menyerang pula dengan pitanya.
Sesudah lewat beberapa jurus, sekonyong-konyong Timotato mengubah cara
bersilatnya. Ia menyerang dengan mementang lima jeriji tangan kirinya, sedang tangan
kanannya terus membuat lingkaran-lingkaran. Dalam sekejap, satu perubahan telah
terjadi, yaitu, pita si nyonya tak dapat menembus lagi garis pembelaan si kakek.
Ternyata, sebagai seorang yang sangat cerdas, Timotato insyaf, bahwa tenaga
lweekang-nya kira-kira setanding dengan lweekang si nyonya dan ia sukar memperoleh
kemenangan dengan hanya menggunakan Imyang Tjianglek. Maka itu, ia lantas saja
mengubah taktik: Telapakan tangan kanannya tetap menyerang dengan Imyang Tjianglek,
sedang lima jeriji tangan kiri dipentang dan melawan serangan pita dengan memusatkan
lweekang di ujung jeriji. Dapat dimengerti, bahwa karena permukaan telapakan agak lebar,
maka lweekang yang keluar dari telapakan jadi terpancar agak lemah. Tapi lweekang dari
jeriji yang kecil lancip, sangat "tajam" sebab semua tenaga berpusat di satu titik, sehingga
begitu tersentuh, pita Phang Lin lantas saja terpental. Maka itulah, sesudah si kakek
mengubah taktik, pita tersebut tak dapat menembus lagi garis pembelaannya.
Demikianlah mereka terus bertempur dengan serunya tanpa ada yang keteter.
Keng Thian dan yang lain-lain mengawasi jalan pertempuran dengan hati berdebar-
debar. Tiba-tiba Kang Lam berbisik: "Tong Lootaypo, mengapa kau tak mau menggunakan
lagi senjata
rahasia?" Sebab duduk di dekat si nenek, ia tahu, bahwa Samleng Touwkoet teng telah
dilepaskan oleh orang tua itu.
Tong Say Hoa tertawa getir. "Ilmu melepaskan senjata rahasia dari Phang Lin banyak
lebih liehay daripadaku," jawabnya. "Jika aku membantu, bisa-bisa keadaan jadi semakin
jelek."
Mendengar itu, Keng Thian baru tahu, bahwa Touwkoet teng benar-benar bukan
dilepaskan oleh Timotato.
Semakin lama mereka bertempur semakin sengit dan Phang Lin yang biasanya selalu
tertawa haha-hihi, tidak terdengar lagi tertawanya.
Mendadak angin dari atas gunung kembali meniup keras, sehingga pasir, batu-batu
kecil dan kembang salju terbang berhamburan. Sekonyong-konyong, dibawa dengan
kesiuran angin, dari atas gunung terdengar teriakan yang aneh, panjang dan nyaring.
"Kim Sie Ie!" teriak Phang Lin, seraya melompat keluar dari gelanggang dan bagaikan
kilat, ia berlari-lari mendaki gunung.
Timotato kelihatan terkejut dan sesudah bicara beberapa patah, ia pun segera berlari-
lari ke atas gunung. Dalam sekejap, si nyonya dan si kakek sudah tak kelihatan bayang-
bayangan lagi.
Perubahan yang mendadak itu sudah mengejutkan semua orang sehingga mereka
saling mengawasi dengan mulut ternganga.
Beberapa saat kemudian, barulah juru bahasa menghampiri raja dan melaporkan
sambil membungkuk: "Timotato
Thayhoatsoe mengatakan, bahwa seorang muridnya telah memanggilnya dari atas
gunung dan karena ia ingin segera mendaki Tjoe-hong, maka ia meminta diri dari
baginda."
"Dusta!" teriak Keng Thian. "Itulah suaranya Kim Sie Ie.
Mengapa dia mengatakan muridnya?"
"Piauwko," kata Kim Bwee dengan suara tak sabaran sambil menyeret tangan
kakaknya. "Marilah kita menyusul."
Keadaan jadi kacau-Tong
Say Hoa, Pengtjoan Thianlie, Keng Thian dan yang lain-lain segera bangun berdiri.
Tapi, sebelum mereka berangkat, sekonyong-konyong terjadi pula perubahan yang lebih
mengejutkan. Mendadak, di sebelah kejauhan terdengar suara terompet yang ramai dan
saling susul dan beberapa saat kemudian, boesoe Nepal yang menjaga di mulut lembah
datang melaporkan: "Tentara Tjeng sudah tiba di mulut lembah!"
Paras muka raja lantas saja berubah pucat bagaikan kertas.
"Karena tentara kita sudah melewati perbatasan orang, orang tentu saja datang
menegur," kata Peng Go. "Untung juga, mereka masih menunggu di luar lembah.
Sekarang ini daya upaya yang paling baik adalah menyingkirkan permusuhan dan
mengadakan perdamaian."
"Apa mereka mau?" tanya raja dengan perasaan kuatir.
"Karena sekarang belum di kirim surat tantangan, kurasa masih dapat diadakan
perdamaian, jika baginda bersedia untuk menghaturkan maaf," kata Keng Thian.
Dalam keadaan terdesak dan bingung, hati sang raja jadi agak terhibur karena
perkataan Keng Thian. "Kalau begitu, aku mohon Tong Tayhiap sudi pergi bersama-sama
untuk bantu bicara," katanya.
"Menyingkirkan segala bencana adalah kewajiban dari setiap orang dalam Rimba
Persilatan,"
kata pemuda itu. "Segala perintah baginda, kuakan menjalankan dengan segala
senang hati."
Tanpa menyia-nyiakan tempo, raja segera mempersilahkan Keng Thian dan Peng Go
menunggang gajah putih dan dengan segala upacara kehormatan, bersama-sama raja
mereka lalu berangkat untuk menyambut tentara Tjeng.
"Piauwko," teriak Kim Bwee dengan suara bingung. "Apa kau tak sudi menolong Kim
Sie Ie?" "Begitu lekas aku sudah menyelesaikan urusan disini, aku akan segera mendaki
gunung," jawab
sang kakak.
Paras muka si nona lantas saja berubah kurang senang. "Kalau begitu, aku berangkat
lebih dulu," katanya.
Keng Thian segera mengeluarkan sebuah peles perak yang di dalamnya berisi tiga butir
Pekleng tan dan menyerahkannya kepada Lie Kim Bwee. "Biarpun Pekleng tan tidak
dapat menyembuhkan akar penyakit, tapi bisa memperpanjang umurnya sekian hari,"
katanya "Di sepanjang jalan kau harus memberi pertandaan, supaya aku dapat
mengikutinya."
Si nona menyambuti peles itu sambil menghela napas. "Jika Sie Ie-ko tak dapat
ditolong, seluruh penghidupanku akan kosong melompong," katanya. Inilah untuk pertama
kali Keng Thian menyaksikan si nakal bersusah hati.
Begitu lekas rombongan raja Nepal keluar dari mulut lembah, mereka melihat tentara
Tjeng dalam formasi seperti kipas. Dengan senjata yang berkilauan dan bendera-bendera
yang berkibar-kibar dengan megah, tentara itu kelihatan angker sekali.
Sesudah mereka datang dekat, tiba-tiba Peng Go mengeluarkan seruan kaget sambil
menuding ke depan: "Ih! Coba lihat! Bukankah itu Thian Oe dan Yoe Peng?" Keng Thian
mengawasi ke arah yang ditunjuk si nona. Di bawah bendera "Swee" (bendera panglima
perang yang memimpin tentara) terlihat seorang jenderal yang paras mukanya angker dan
bersenjata toya Longgee pang diapit oleh seorang pemuda dan seorang wanita cantik.
Keng Thian segera mengenali, bahwa jenderal itu adalah Tjiauw Tjoen Loei, sedang
kedua orang muda memang bukan lain daripada Tan Thian Oe dan Yoe Peng. Ternyata,
karena melihat bakat dan kecerdasan pemuda itu, dalam menggerakkan tentara untuk
menghadapi tentara Nepal, Hok Kong An sudah mengangkat Thian Oe sebagai Tjamkoen.
Yoe Peng yang ingin sekali bertemu dengan majikannya, sudah mendapat permisi untuk
mengikut pasukan itu.
Keng Thian jadi girang bukan main, karena ia merasa pasti, bahwa persoalan yang kini
dihadapi akan segera menjadi beres. Sesudah kedua belah pihak bertemu muka, Tjiauw
Tjoen Loei yang tak begitu pandai bicara, lantas mengangkat Thian Oe sebagai wakilnya
untuk mengadakan perundingan di tenda panglima perang.
Dalam musyawarah itu, Thian Oe menegur raja dan menanya, mengapa tentara Nepal
melanggar perbatasan. Raja memberi keterangan, bahwa dalam latihan tentara yang
biasa diadakan dalam tempo-tempo tertentu, mereka telah diserang dengan hawa yang
sangat dingin dan oleh karenanya, mereka masuk ke dalam lembah itu untuk berlindung.
Sebab Himalaya adalah sebuah gunung yang sangat besar dan luas, secara tidak
disengaja tentara Nepal sudah melewati perbatasan. Untuk kekeliruan itu, raja meminta
maaf.
Walaupun merasa, bahwa keterangan itu adalah keterangan yang dibuat-buat, akan
tetapi sebagai seorang wakil yang cerdas. Thian Oe segera menerima baik keterangan itu.
Diam-diam ia merasa girang, bahwa pertikaian perbatasan dapat dibereskan secara
begitu mudah. Akhirnya diambil keputusan untuk melanjutkan pertemuan besok pagi guna
merundingkan penukaran nota persahabatan antara kerajaan Tjeng dan kerajaan Nepal.
Sesudah beres, Tjiauw Tjoen Loei segera memerintahkan orang menyediakan meja
perjamuan guna menjamu raja Nepal dan rombongannya. Di samping itu, ia juga
menjanjikan hadiah selaksa pakaian musim dingin untuk tentara Nepal dan hadiah yang
tidak diduga-duga itu sudah diterima oleh raja dengan menghaturkan terima kasih.
Sebelum perjamuan dibuka, Thian Oe mengajak Keng Thian ke satu sudut untuk
beromong-omong mengenai hal-hal yang terjadi semenjak mereka berpisahan.
Mendengar terancamnya jiwa Kim Sie Ie yang sekarang sedang mendaki gunung
seorang diri, Thian Oe berduka dan ingin mengikut mencarinya.
"Tak usah," kata Keng Thian. "Disini kau mempunyai tugas penting dan untuk mencari
Kim Sie Ie, beberapa orang sudah naik ke atas."
Thian Oe mengangguk. Sesaat kemudian, ia berkata dengan suara terharu: "Tak lama
lagi kita akan berpisahan jauh."
"Apakah ayahmu sudah menerima firman kaisar?" tanya Keng Thian. "Apa sudah ada
berita tentang pemulangan kalian ke Selatan?"
"Dari kota raja sudah datang warta, bahwa ayah akan segera dipanggil pulang dan
diangkat pula menjadi Giesoe," jawabnya. "Menurut niatan ayah, sesudah kembali ke kota
raja, ia akan mengajukan permohonan untuk meletakkan jabatan dan pulang ke kampung
halaman."
"Apa aku diajak?" menyeletuk Kang Lam. "Namaku Kang Lam dan setiap hari aku
mendengar ceritera tentang keindahan daerah Kanglam. Tapi aku sendiri belum pernah
melihat Kanglam."
"Kanglam mirip-mirip seperti kau," kata Keng Thian sambil tertawa. "Nakal,
bersemangat dan selalu bergembira."
"Kang Lam, kedudukanmu sekarang tiada beda seperti kedudukanku," kata Thian Oe
dengan paras sungguh-sungguh. "Kau merdeka untuk pergi kemana pun kau suka. Jika
kau suka mengikut kami ke Kanglam, kami tentu saja akan merasa sangat bersyukur.
Untuk bicara terus terang, aku memang merasa berat berpisahan dengan kau."
Sementara itu, Yoe Peng pun sedang bicara dari hati ke hati dengan majikannya.
"Kongtjoe, apakah kau bakal pulang ke Nepal," tanya si dayang.
"Aku kepingin sekali, hanya kukuatir raja tidak menyukai kedatanganku," jawabnya.
Sang majikan lantas saja menceritakan apa yang sudah terjadi, sehingga Yoe Peng
tertawa terpingkal-pingkal.
"Tapi apakah Kongtjoe ingin kembali ke istana es?" tanya pula Yoe Peng.
"Mengapa kau tanya begitu?" si nona balas menanya.
Yoe Peng bersenyum dan menjawab dengan suara perlahan: "Istana es terlalu sepi dan
dingin, sekarang agaknya tak menarik lagi."
"Tapi kusendiri sangat senang berdiam di istana es," kata si nona.
Yoe Peng mengangguk, tapi pada paras mukanya terlihat perasaan putus harapan.
Peng Go bersenyum dan lalu berkata dengan suara halus: "Yoe Peng, sikapku
terhadapmu adalah bersamaan dengan sikap Thian Oe terhadap Kang Lam. Mulai dari ini
waktu, kita adalah seperti kakak dan adik. Kau sekarang merdeka dan bebas untuk pergi
kemanapun jua."
"Kongtjoe, sedikitpun aku tak punya niatan untuk berpisahan denganmu," kata si
dayang terburu-buru.
Pengtjoan Thianlie tertawa dan berkata: "Yoe Peng, setiap manusia mempunyai
peruntungan sendiri-sendiri. Kutahu, bahwa dalam hatimu, kau tak ingin kembali ke istana
es karena kau ingin mengikut Tan Kongtjoe pulang ke Kanglam. Thian Oe adalah pemuda
yang baik dan kumerasa lega jika kau berada di bawah perlindungannya."
Mendengar perkataan sang majikan yang mengenai jitu rahasia hatinya, Yoe Peng tak
bisa bicara lagi. Ia menunduk dengan paras muka merah, dengan kemalu-maluan dan
berterima kasih akan kemuliaan dan kebijaksanaan sang majikan.
Perjamuan berlangsung dengan gembira dan baru berakhir sesudah magrib. Keng
Thian dan Pengtjoan Thianlie terus berdiam di perkemahan tentara Tjeng, sedang raja
Nepal dan menteri-menterinya pulang ke tenda mereka, untuk berunding lagi pada esokan
harinya. Sesudah mengetahui, bahwa Liong Leng Kiauw lari ke gunung, Tong Say Hoa
bersama keponakannya segera berangkat untuk menyusul.
Pemandangan malam di pegunungan Himalaya sangat luar biasa. Ribuan puncak
berderet-deret tertutup salju putih yang terang benderang, sehingga orang merasa
seakan-akan ia berada di dunia kristal. Untuk menolong sahabat, malam-malam Keng
Thian dan Peng Go mendaki gunung.
Mereka berhenti sebentar di tempat dimana Kim Sie Ie menulis syairnya. Keng Thian
tertawa dan berkata: "Semula aku agak membenci dia, tapi sekarang dengan hati yang
suci, aku mengharap jiwanya bisa ketolongan."
"Dalam dunia ini memang terdapat banyak sekali hal yang tak bisa diduga terlebih
dulu," kata si nona.
Selagi beromong-omong, kesunyian malam tiba-tiba dipecahkan dengan teriakan aneh
yang panjang dan nyaring. Itulah teriakan Kim Sie Ie! Tapi dimana dia? Apa yang
dilihatnya hanyalah puncak-puncak yang menjulang ke langit.

***

Jika Pengtjoan Thianlie sangat memikir keselamatan Kim Sie Ie, adalah Kim Sie Ie
selalu berdoa untuk keselamatan gadis yang hatinya mulia itu. Kim Sie Ie telah melihat
mereka, tapi mereka tak melihat Kim Sie Ie.
Pada hari itu, pada waktu Keng Thian dan Peng Go mencegat si pendeta jubah merah
untuk menolong Liong Leng Kiauw, Kim Sie Ie sebenarnya bersembunyi di puncak
seberang dan telah menyaksikan segala kejadian.
Ia yakin, bahwa jika ia muncul, jiwanya akan segera ketolongan. Tapi ia adalah seorang
angkuh yang sungkan memohon terhadap siapapun juga. Sesudah Keng Thian dan Peng
Go berlalu, ia mendongak dan menghela napas panjang.
Angin gunung meniup kembang salju dan kembang salju menyentuh badannya.
Mendadak, pada hatinya yang "mati" seperti air telaga yang tenang muncul goncangan
gelombang. Tiba-tiba saja, di depan matanya terbayang kembali kejadian-kejadian yang
lampau. Ia ingat kekejaman manusia, tapi ia ingat juga kebaikan manusia, kebaikan
orang-orang seperti Pengtjoan Thianlie dan Lie Kim Bwee.
Sekonyong-konyong, bagaikan seorang yang mendapat ilham, ia berlutut dan berdoa
akan keselamatan Peng Go. Kim Sie Ie adalah seorang yang tak pernah bersembahyang
dan tak pernah memuja apapun jua. Tapi sekarang, dengan rendah hati, ia memohon
kepada Yang Maha Kuasa agar Peng Go dilindungi, agar dia bisa hidup beruntung dengan
Tong Keng Thian. Pada sesaat itu, bagaikan bayi yang baru terlahir, hatinya bebas dari
rasa jelus dan benci.
Ia menarik napas panjang dan dengan hati lega, dengan suatu kerelaan untuk mati
dimana pun juga, ia mulai mendaki gunung seorang diri.
Selagi enak jalan, tiba-tiba ia melihat satu bayangan manusia yang berlari-lari dengan
kecepatan luar biasa. Orang itu adalah Liong Leng Kiauw. Karena merasa heran, ia lalu
menguntit dari belakang.
Liong Leng Kiauw kabur dengan pikiran kalut. Ia yakin, bahwa raja Nepal akan terus
berusaha untuk menangkapnya dan ia juga- tahu, bahwa jika pulang ke Lhasa, ia bakal
dibekuk oleh pemerintah Tjeng. Sesudah menimbang-nimbang beberapa lama, akhirnya
ia mengambil keputusan untuk kembali ke Lhasa guna melaporkan segala
pengalamannya. Ia merasa lebih rela untuk binasa dalam tangan Hok Kong An daripada
jadi boneka kerajaan asing dan menuntun tentara asing masuk ke wilayah Tionggoan.
Semakin lama salju turun semakin besar, sedang matahari sudah doyong ke barat.
Leng Kiauw mempercepat tindakannya untuk mencari gua guna melewati malam. Tiba-
tiba di antara kesiuran angin dingin, ia merasa hembusan hawa yang agak panas. Ia jalan
terlebih cepat dan tak lama kemudian, untuk kegirangannya, ia melihat sumber air panas
yang mancur ke atas dengan megahnya. Disoroti sinar matahari sore, air mancur yang
mengepul-ngepul itu indah luar biasa, seolah-olah kembang api yang beraneka-wama. Di
Tibet memang terdapat banyak sekali sumber air panas, tapi terdapatnya sumber itu di
pegunungan Himalaya adalah suatu kejadian yang luar biasa.
Leng Kiauw jadi girang karena ia bisa melewati malam itu tanpa kedinginan. Selagi
duduk mengasoh di pinggir air mancur, tiba-tiba hidungnya mengendus bebauan bunga
yang sangat harum. Dengan perasaan heran, ia bangun berdiri dan menuju ke arah
bebauan itu. "Jalan belum berapa jauh, ia melihat sebuah rumah kecil yang berdiri disatu
tanjakan dan di seputar rumah itu, yang dikurung tembok kate, terdapat taman bunga
dengan kembang-kembangnya yang beraneka-warna.
"Tumbuhnya pohon bunga di tempat yang hawanya hangat bukan kejadian heran,"
katanya didalam hati. "Tapi terdapatnya sebuah rumah penduduk yang terpencil di
pegunungan ini, benar-benar kejadian langka." Harus diketahui, bahwa walaupun tempat
itu belum mencapai separuhnya tinggi Himalaya, tapi karena gunung tersebut berlipat-lipat
kali lebih besar dan lebih tinggi dari gunung biasa, maka jangankan di puncaknya,
sedangkan di lerengnya pun salju tak pernah melumer di seluruh tahun. Itulah sebabnya,
seorang manusia biasa tentu tak akan bisa hidup disitu.
Leng Kiauw menghampiri dan menolak pintu taman yang tidak terkunci dan lantas saja
terbuka. Ia melihat seorang gadis muda yang justeru sedang memanggil ayahnya: "Thia-
thia! Coba lihat! Mawar yang ditanam olehku sudah mulai mekar." Mendadak gadis itu
menengok dan dua pasang mata lantas saja kebentrok, sehingga sama-sama
mengeluarkan seruan kaget.
Nona itu yang tangannya kotor dengan tanah dan memegang gunting, segera menegur:
"Siapa kau?"
"Seorang pemburu yang kesasar," jawabnya.
"Kau berani naik gunung selagi salju turun begini besar?" tanya pula si nona.
"Aku ingin memburu kerbau liar," jawabnya.
Gadis itu mengawasi dengan rasa sangsi sebab Leng Kiauw sama sekali tidak
membekal alat memburu dan juga sebab sekali pun pemburu yang bernyali besar tak
akan berani naik sampai disitu. Tapi, biar bagaimanapun jua, sebagai seorang yang hidup
terpencil, ia merasa girang melihat munculnya sesama manusia. "Bagus!" katanya. "Kau
tunggu dulu. Aku ingin melaporkan kepada ayah."
"Berapa banyak jumlah keluargamu?" tanya Leng Kiauw.
"Hra! Hanya ayah dan aku," jawabnya.
Leng Kiauw jadi heran dan bimbang. Sesaat kemudian, di luar pekarangan sudah
terdengar tindakan kaki yang sangat enteng. "Tak perduli dia pemburu tulen atau bukan,
kita harus menyambutnya dengan segala senang hati dan kau tak usah menanyakan asal-
usulnya," demikian terdengar suara seorang tua yang sangat perlahan. Suara itu bukan
saja sangat perlahan, tapi malahan seperti dibisiki di kuping si nona, sehingga menurut
pantas, tak akan bisa didengar oleh orang ketiga. Tapi Leng Kiauw adalah seorang ahli
senjata rahasia yang kupingnya tajam luar biasa dan setiap perkataan orang tua itu sudah
dapat didengar tegas olehnya.
Pintu taman terbuka dan seorang tua yang rambutnya putih, punggungnya agak
bongkok, tapi mukanya bersinar merah, bertindak masuk.
Leng Kiauw terkejut. "Tak bisa salah lagi, ia adalah seorang berilmu yang
menyembunyikan diri," pikirnya. Buru-buru ia memberi hormat dan menanyakan she dan
nama orang tua itu.
"Aku she Phoei," jawabnya. "Sesudah berdiam disini tiga puluh tahun dan tak pernah
ada orang yang memanggil namaku, aku sendiri sudah melupakannya."
Sesudah memberitahukan she dan namanya, Leng Kiauw berkata: "Aku naik ke
gunung ini untuk memburu kerbau liar, tapi tidak dinyana semakin lama kunaik semakin
tinggi dan akhirnya kesasar sampai disini. Untuk gangguanku ini, harap Lootiang sudi
memaafkan."
Si kakek mengangguk dan berkata dengan suara manis: "Jika Tjongsoe (orang gagah)
tidak buat celaan, sebaiknya kau menginap semalaman di gubukku ini."
Dengan rasa syukur dan sambil menghaturkan terima kasih, Leng Kiauw lalu mengikuti
ayah dan anak itu masuk ke dalam. Ruangan itu diperaboti sederhana sekali, sedang di
tembok tergantung beberapa kulit binatang dan di satu sudut ditumpuk sedikit rumput
obat-obatan. Beberapa saat kemudian, si nona membawa keluar sepiring daging dan
semangkok besar susu kerbau.
Orang tua itu tertawa seraya menanya: "Apakah kau bertemu dengan kerbau liar waktu
mendaki gunung?"
"Tidak," jawabnya.
"Kerbau itu biasanya keluar di waktu salju baru berhenti turun," katanya pula. "Untuk
bisa membinasakannya, seorang pemburu harus berlaku sabar dan menunggu lama.
Beberapa hari yang lalu anakku sangat mujur dan sudah membinasakan seekor kerbau,
cukup untuk hidup beberapa bulan. Minumlah susu itu, paling enak jika diminum panas-
panas."
Mendengar keterangan itu, Leng Kiauw terperanjat. Harus diketahui, bahwa kerbau liar
di daerah Tibet banyak lebih ganas dan buas daripada harimau. Dengan berkawan
belasan atau puluhan orang, barulah pemburu berani turun tangan untuk menangkap atau
membunuhnya. Bahwa seorang gadis jelita telah berhasil membunuh seekor kerbau itu,
benar-benar kejadian luar biasa. Biarpun ia sudah menduga, bahwa ayah dan anak itu
bukan sembarang orang, tapi keterangan tersebut masih tetap mengejutkan. Walaupun
heran, ia tak berani menanyakan asal-usul mereka, karena dalam kalangan Kangouw
terdapat banyak pantangan.
"Bahwa Tjongsoe berani menangkap kerbau liar seorang diri merupakan bukti, bahwa
nyalimu besar sekali," kata si kakek. "Pedang yang tergantung di pinggangmu
kelihatannya bukan sembarang pedang dan Tjongsoe tentulah juga memiliki ilmu silat
yang sangat tinggi."
Leng Kiauw merasa, bahwa tak guna ia berdusta. Maka itu, ia segera berkata dengan
merendah: "Aku hanya belajar beberapa tahun dan perkataan Lootiang, bahwa aku
memiliki kepandaian tinggi, tak dapat aku menerimanya."
"Siapa gurumu?" menyeletuk si nona.
Si kakek melirik puterinya yang lantas saja menunduk dengan paras kemalu-maluan.
"Guruku adalah seorang she Tong dari propinsi Soetjoan," jawab Leng Kiauw Orang tua itu
hanya mengeluarkan suara "oh" dan tidak mendesak terlebih jauh.
Leng Kiauw memasukkan sepotong daging kerbau ke dalam mulut, tapi lantas ia
mengeluarkan lagi sebab daging itu terlalu amis.
Si nona tertawa seraya berkata: "Apa Liong Sianseng tak doyan daging itu? Tong
Tayhiap doyan sekali!"
Sekali lagi, si kakek melirik puterinya yang sangat lancang.
Leng Kiauw kaget. "Tong Tayhiap yang mana?" tanyanya.
Orang tua itu bersenyum dan menjawab: "Seorang sahabat yang mengerti ilmu silat
pedang. Anakku jarang sekali bertemu dengan orang luar dan siapa saja yang
berkepandaian lebih tinggi daripadanya, ia lantas memanggil Tayhiap."
Leng Kiauw turut bersenyum, tapi dalam hatinya, ia heran bukan main. Ia tahu, dalam
dunia ini, orang yang dipanggil sebagai Tong Tayhiap hanyalah Keng Thian dan ayahnya.
Tong Siauw Lan berada di Thiansan, sedang Keng Thian sendiri masih berada di kaki
gunung. Siapakah yang dipanggil Tong Tayhiap oleh si nona?
Susu kerbau ternyata sangat cocok bagi lidah Leng Kiauw dan ia lantas minum habis
semangkok besar. Tapi karena susu itu sangat panas, sesudah minum, ia mengeluarkan
banyak keringat.
"Jika panas Tjongsoe boleh buka baju luarmu," kata orang tua itu.
Leng Kiauw manggutkan kepalanya dan lalu membuka baju luarnya yang terbuat dari
kulit rase. Tiba-tiba si kakek mengawasi pinggangnya dengan sorot mata yang sangat luar
biasa. Liong Leng Kiauw adalah seorang yang sudah kenyang mengalami gelombang dan
badai besar. Tapi melihat sorot mata itu, jantungnya memukul keras.
Di lain saat, ia mengetahui, bahwa apa yang diawasi tuan rumah adalah singa-singaan
giok putih yang tergantung di pinggangnya. "Apa mungkin seorang yang kelihatannya
berilmu tinggi, maui barang tidak berharga?" tanyanya di dalam hati. "Jika singa-singaan
ini bukan barang turunan dari ayahku, kutentu tak merasa halangan untuk memberikan
kepadanya."
Gadis itu juga rupanya sudah melihat sorot mata ayahnya yang sangat aneh.
"Thia-thia,"
katanya dengan suara perlahan. "Susu sudah dingin."
Sesudah memikir sejenak, Leng Kiauw segera merogoh saku dan mengeluarkan
serenceng mutiara. "Lootiang, untuk segala kebaikanmu, kutak mempunyai apa-apa untuk
membalasnya dan aku ingin sekali menyerahkan serenceng mutiara ini kepada puterimu,"
katanya dengan sikap menghormat. "Aku sangat mengharap, Lootiang tidak menolaknya.
Mutiara ini bukan untuk membalas budi, tapi hanya sebagai tanda dari rasa terima
kasihku."
Sinar mata si kakek yang luar biasa lantas saja menghilang. Ia tertawa terbahak-bahak
seraya berkata: "Apa gunanya mutiara bagi seorang wanita yang hidup di atas gunung?
Apakah untuk diperlihatkan kepada binatang-binatang liar?"
Si nona yang belum pernah melihat mutiara, lantas saja mengawasi dengan sorot mata
heran. "Apa itu?" tanyanya. "Mengapa bersinar terang?"
"Orang kata: Pedang mustika untuk dihadiahkan kepada pendekar, sedang mutiara
untuk wanita cantik," kata Leng Kiauw. "Nona, kau cocok sekali memakai perhiasan ini."
Gadis itu tertawa nyaring dan berkata: "Aku pernah melihat wanita cantik dalam lukisan.
Dia kelihatannya begitu ayu dan lemah lembut, seperti juga tak akan bisa berdiri tegak jika
ditiup angin. Hih! Aku tak mau menjadi wanita cantik yang seperti itu."
Sebagai seorang yang semenjak kecil hidup di gunung, si nona sama sekali tidak
mengerti adat istiadat dan kebiasaan dunia. Melihat rencengan mutiara yang sangat
indah, hatinya ketarik dan ia memperlihatkan perasaan hatinya itu secara terang-terangan.
Alis si kakek berkerut, tapi mendadak ia berkata: "Soat-djie, jika kau merasa suka kau
boleh menghaturkan terima kasih kepada tamu kita."
Si nona tertawa dan segera memberi hormat yang lantas dibalas oleh Liong Leng
Kiauw. Tapi terhadap si nona yang suci dan polos, sedikitpun ia tidak memandang rendah.
Sementara itu, si kakek bersenyum seraya berkata: "Untuk bisa membeli serenceng
mutiara Lamhay, seorang pemburu di Tibet harus lebih dulu menangkap beberapa belas
kerbau liar."
Leng Kiauw jadi merasa jengah sendiri, karena dengan mempersembahkan mutiara itu,
ia membuka rahasia sendiri. Tapi sebab ia yakin, bahwa orang tua itu bukan sembarang
orang, maka walaupun rahasianya sudah terbuka, ia tidak berkuatir.
Malam itu, Leng Kiauw tidur dalam sebuah kamar yang berdempetan dengan taman
bunga. Dapat dimengerti, jika ia tak bisa pulas. Ia memikiri cara-cara luar biasa dari tuan
rumah dan puterinya, ia coba memecahkan teka-teki sekitar sorot mata aneh dari si kakek
yang mengawasi singa-singaan di pinggangnya. Mengingat singa-singaan, lantas saja ia
ingat mendiang ayahnya, yang dulu pernah memimpin ratusan laksa tentara, tapi yang tak
urung dibinasakan juga oleh kai/ar Tjeng. Ia menghela napas dan berkata dalam hatinya:
Waktu itu ayahku sebenarnya bisa mengangkat diri menjadi raja, hanya sayang, nyalinya
kurang besar." Ia ingat pula cita-cita dan
rencananya sendiri yang sudah diatur dalam banyak tahun, tapi yang akhirnya gagal
semua. Sambil memikir pergi datang, hidungnya terus mengendus wanginya bunga-bunga
didalam taman.
Perlahan-lahan ia bangun dan memakai jubah luarnya, akan kemudian keluar jalan-
jalan di taman bunga. Sesudah melewati pohon-pohon bunga, tiba-tiba ia melihat pagar
kate yang mengurung satu sudut taman. Karena ingin tahu, ia lalu menghampiri dan
begitu melihat, ia terkesiap! Tanpa menghiraukan kemungkinan ditegur tuan rumah, ia
mendorong pagar yang lantas saja roboh dan bertindak masuk. Begitu masuk, ia melihat
dua patung batu, yang satu merupakan seorang bangsawan bangsa Boan, sedang yang
satunya lagi adalah patung ayahnya sendiri – Lian Keng Giauw! Apa yang lebih luar biasa,
pada patung ayahnya tertancap dua batang golok.
Leng Kiauw mengeluarkan keringat dingin dan bergemetar sekujur badannya. "Apa aku
mimpi?" tanyanya di dalam hati. Di lain saat, ia gusar tercampur takut.
Tiba-tiba ia mendengar suara berkreseknya pakaian yang tertiup angin. Sambil
menggereng bagaikan harimau terluka, ia memutar badan dan menindju. "Bangsat tua!"
bentaknya. "Mengapa kau hinakan ayahku?"
"Plak!", tinjunya seperti memukul segundukan rumput dan tubuhnya yang didorong oleh
si kakek, terhuyung beberapa tindak. Badan orang tua itu sendiri kelihatan bergoyang-
goyang dan di sudut mulutnya terdapat sedikit darah. Di bawah sinar rembulan yang
dingin, paras muka si kakek yang pucat kelihatan menakuti sekali.
Sambil menyusut darah di mulutnya dengan lengan baju, ia berkata dengan suara
dalam: "Aku sudah menduga, bahwa yang datang berkunjung adalah Lian Kongtjoe.
Cabutlah golok itu."
Leng Kiauw bersangsi, tapi akhirnya ia mengangkat tangan untuk mencabut kedua
golok itu. Begitu tersentuh, gagang golok terlepas dan jatuh di tanah. Ternyata, karena
sudah terlalu lama, kayu gagang golok itu sudah menjadi rusak. Sesudah tercabut,
sebagian golok itu sudah karatan, tapi sebagian lagi, yang menancap di dalam batu,
masih berkilauan sinarnya.
"Kedua golok itu telah ditancapkan pada tiga puluh tahun berselang," kata si kakek.
"Pada waktu itu, aku sangat membenci ayahmu."
"Ada permusuhan apakah antara ayahku dan kau?" tanya Leng Kiauw.
"Pada tiga puluh tahun berselang, semua pendekar di kolong langit adalah musuh
ayahmu!" jawabnya "Aku sendiri, meskipun aku membenci ayahmu, tapi kebencian itu
berbeda dengan orang lain dan sangat memalukan, jika diceritakan."
"Siapa kau? Mengapa kau membenci ayahku?" tanya Leng Kiauw.
"Apa kau pernah mendengar nama Phoei Keng Beng?" si kakek balas menanya.
Lapat-lapat Leng Kiauw ingat, bahwa gurunya pernah menyebutkan nama, itu, tapi ia
tak tahu siapa adanya.
Orang tua itu tertawa getir seraya berkata: "Dalam tiga puluh tahun, dunia sudah
banyak berubah dan namaku sudah tidak dikenal lagi." Ia berdiam sejenak dan berkata
pula dengan suara perlahan: "Kaizar yang sekarang adalah Kian Liong. Pada empat lima
puluh tahun yang lampau, ayahnya Kian Liong, yaitu kaisar Yong Tjeng, masih dikenal
sebagai Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat) In Tjeng. Pada jaman itu, putera-
putera kaizar berebut tahta dan lawan In Tjeng yang paling berat adalah Tjapsie Hongtjoe
(putera kaizar yang ke empat belas) In Tee. Apa kau pernah mendengar cerita perebutan
tahta itu
"Ya," jawab Leng Kiauw, sambil mengangguk.
"Kakeknya Kian Liong, yaitu kaizar Kong Hie, sebenarnya sudah menulis firman yang
menetapkan, bahwa tahta kerajaan diwariskan kepada Tjapsie Hongtjoe. Tapi, dengan
bantuan ayahmu dan pamannya, In Tjeng belakangan mengubah firman, sehingga
akhirnya, dialah yang menjadi kaizar."
"Tapi bukankah soal siapa yang menjadi kaizar tak bersangkut paut dengan rakyat
jelata?" kata Leng Kiauw.
"Persoalannya bukan begitu," kata Phoei Keng Beng. "Soal ini sedikitnya bersangkut
paut dengan diriku. Jika Yong Tjeng tidak menjadi kaizar, ayahmu tentu tak mati begitu
cepat dan aku tidak melarikan diri ke gunung ini."
Leng Kiauw bengong dan untuk beberapa saat ia tidak mengeluarkan sepatah kata.
"Bagus juga Yong Tjeng sudah dibinasakan oleh musuhnya," katanya.
"Pada empat puluh tahun berselang, Tjapsie Hongtjoe mempunyai dua boesoe yang
paling terkenal," kata pula si kakek. "Yang satu bernama Kie Pwee Sia yang belakangan
berhamba kepada Yong Tjeng. Yang satu lagi terus bersetia kepada majikan yang lama."
Tiba-tiba Leng Kiauw ingat cerita yang pernah didengarnya. "Ah! Orang itu adalah
Sinkoen (si Tinju Malaikat) Phoei Keng Beng!" teriaknya.
Si kakek bersenyum dan berkata: "Benar. Orang itu adalah aku sendiri."
Bicara sampai disitu, si nona datang. "Ayah, mengapa sampai begini malam kau masih
terus beromong-omong dengan tamu kita?" tanyanya. "Ih! Ada apa?"
Sambil bersenyum sang ayah menyusut ujung mulutnya yang mengeluarkan darah.
"Tak apa-apa," jawabnya. "Soat-djie, kaupun boleh mendengar pembicaraan ini." Ia
menghela napas dan kemudian melanjutkan penuturannya: "Sesudah mengubah firman
dan naik ke atas tahta, Yong Tjeng terus berusaha untuk membasmi saudara-saudaranya.
Beberapa tahun kemudian, selagi membawa tentara untuk memadamkan pemberontakan
di Tiongkok Barat, Tjapsie Hongtjoe kena dibinasakan. Orang yang mengatur rencana
untuk membinasakan pangeran itu, adalah ayahmu sendiri. Sesudah Tjapsie Hongtjoe
binasa, ayahmu merampas kekuasaan tentara dan mulai waktu itu, barulah ia mendapat
pangkat sebagai jenderal besar."
"Lantaran itu, kau membenci ayahku dan Yong Tjeng, bukan?" tanya Leng Kiauw.
"Benar," jawabnya. "Karena aku sungkan menghamba, Yong Tjeng jadi gusar, sehingga
aku terpaksa kabur ke Tibet. Sesudah berada di Tibet, aku masih tetap ingin membalas
sakit hati dan segera menikah dengan ibunya Soat-djie, dengan pengharapan bisa
mendapat anak lelaki, yang akan bisa membalas sakit hatiku."
Si nona mengeluarkan seruan kaget.
Sang ayah tertawa dan berkata dengan suara halus: "Soat-djie, kau tak usah takut.
Kedua musuh itu sudah binasa tiga puluh tahun lamanya. Waktu itu, karena sukarnya
perhubungan, aku tak tahu kebinasaan mereka dan masih terus ingin membalas dendam.
Sesudah Yong Tjeng mati beberapa tahun, Tong Tayhiap menyambangiku dan barulah
kutahu kejadian itu. Tapi biar bagaimanapun juga, oleh pemerintah Tjeng aku masih
dianggap sebagai seorang buronan dan karena hatiku sudah menjadi dingin, aku segera
menetap di Tibet dan hidup beruntung bersama ibumu. Waktu bermula pindah kesini,
hatiku mendongkol terhadap Lian Keng Giauw, sehingga aku membuat patungnya untuk
digunakan sebagai sasaran dalam latihan golok terbang. Sebenarnya, sesudah orangnya
meninggal dunia, sakit hati harus disingkirkan dan melampiaskan hawa amarah terhadap
orang yang sudah mati, memang tak pantas. Tong Tayhiap pun sudah pernah menasehati
aku. Lian Kongtjoe, malam ini aku sengaja menuturkan segala apa secara terus terang
dan barusan aku membiarkan kau meninju mulutku, supaya sedikit banyak kau bisa
melampiaskan rasa jengkelmu."
Mendengar penuturan itu, kegusaran Leng Kiauw lantas saja mereda. "Sekarang baru
kutahu, mengapa kau membenci ayahku," katanya. "Tapi, kau bersetia kepada Tjapsie
Hongtjoe, sedang ayahku bersetia kepada Soehongtjoe, sehingga dalam hal ini dapat
dikatakan, bahwa masing-masing bersetia kepada majikannya sendiri. Mengapa sakit
hatimu begitu mendalam?"
"Benar," kata si kakek. "Bahwa aku menghamba kepada Tjapsie Hongtjoe memang
pantas dicaci orang. Tapi kedudukanku berbeda jauh dengan kedudukan ayahmu. Aku
hanya seorang kepercayaan Tjapsie Hongtjoe, sedang ayahmu satu jenderal besar. Ia
telah mempersembahkan banyak rencana busuk kepada Yong Tjeng, ia telah
membinasakan banyak sekali pendekar-pendekar budiman dan ia sangat menindas
rakyat. Ia sudah menghianati guru sendiri, membakar kuil Siauwlim sie, membangun
banyak penjara, mencelakakan dan menganiaya banyak sekali manusia dan melakukan
berbagai perbuatan terkutuk. Apakah kenyataan-kenyataan itu diketahui olehmu?"
Semenjak kecil Leng Kiauw dipelihara oleh keluarga Tong dan karena kuatir melukakan
hatinya, keluarga tersebut belum pernah menceritakan segala perbuatan ayahnya.
Sesudah besar, ia hanya mengetahui, bahwa ayahnya pernah memegang kekuasaan atas
ratusan laksa tentara dan akhirnya dibinasakan oleh kaizar Yong Tjeng. Kebusukan
ayahnya tak pernah diceritakan orang kepadanya.
Maka itulah, mendengar keterangan Phoei Keng Beng, hatinya sakit seperti diiris-iris.
Sedikitpun ia tak pernah mimpi, bahwa ayahnya yang selalu dipuja-puja, sebenarnya
adalah satu manusia terkutuk. Ia berduka tercampur malu, sehingga parasnya pucat
bagaikan kertas.
Si kakek mengawasi pemuda itu dengan rasa kasihan. "Kedosaan ayah tidak
menyangkut paut dengan anaknya," katanya dengan suara menghibur. "Apapula jika
diingat, bahwa pada waktu ayahmu meninggal dunia, kau baru berusia satu tahun. Waktu
Tong Tayhiap datang kesini, ia telah memberitahukan, bahwa kau telah menukar she dan
nama dan bersembunyi di Tibet dengan cita-cita tertentu. Ia mengatakan, bahwa kau
adalah seorang baik dan ia merasa girang karena itu. Tapi niatanmu untuk bergerak di
Tibet tidak disetujui olehnya."
Dengan hati duka Leng Kiauw berdiri bengong. "Bagaimana kau tahu, bahwa aku
adalah anaknya Lian Keng Giauw?" tanyanya dengan suara parau.
"Aku pernah melihat ayahmu, memakai singa-singaan giok itu," jawabnya. "Hm! Jika
aku ingin mencelakakan kau, gampangnya seperti juga membalik tangan. Apa sekarang
kegusaranmu sudah mereda?"
Air mata Leng Kiauw mengucur deras. "Lootiang!..." katanya. Ia menyesal bukan main,
bahwa ia sudah memukul orang tua itu.
“Sesudah mendengar penuturanku, sekarang kau harus memberitahukan, mengapa
kau sudah kabur ke gunung ini," kata Phoei Keng Beng.
"Tentara Nepal berkemah di lembah di kaki gunung," menerangkan Leng Kiauw.
"Walaupun kumembenci
pemerintah Tjeng, tapi kujuga sungkan menuntun tentara asing masuk ke wilayah
Tionggoan." Mata si kakek bersinar terang. "Tong Tayhiap ternyata tak keliru, waktu ia
mengatakan, bahwa
kau sangat berbeda dengan ayahmu," katanya.
Si nona yang merasa kasihan pada tamunya lantas saja menyeletuk: "Thia-thia, perlu
apa kau terus menyebut-nyebut ayah orang?"
"Benar," kata sang ayah sambil bersenyum. "Permusuhan yang dulu memang tak perlu
disebut-sebut lagi. Sekarang biarlah kau berdua berjabatan tangan, supaya segala
permusuhan habis sampai disini."
Gadis itu lantas saja mengangsurkan tangannya yang lalu dijabat erat-erat oleh Liong
Leng Kiauw yang sekarang baru tahu, bahwa si nona bernama Soat Koen.
Dalam usaha menyingkirkan permusuhan dengan keluarga Lian, Phoei Keng Beng
sebenarnya mempunyai suatu maksud lain. Dengan bertempat tinggal di gunung yang
jarang disampaikan manusia, ia sangat sukar mencari menantu untuk puterinya. Pada
waktu Tong Siauw Lan memberitahukan, bahwa putera Lian Keng Giauw adalah seorang
baik, hatinya lantas saja tergerak. Begitu bertemu muka, ia mendapat kenyataan, bahwa
pemuda itu adalah seorang yang mempunyai kepribadian mengagumkan dan meskipun
usianya belasan tahun lebih tua dari Soat Koen, ia masih boleh dipasangi dengan
puterinya itu. Tapi tentu saja ia tak bisa lantas membuka mulut dan ia telah mengambil
keputusan untuk meminta pertolongan Tong Siauw Lan.
"Lootiang," kata Leng Kiauw sesudah dapat menenteramkan hatinya. "Apakah Tong
Tayhiap berarti Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin Thiansan pay?"
"Benar," jawabnya. "Dia adalah sahabatku sedari empat puluh tahun berselang."
Baru saja Leng Kiauw ingin menanya lagi, jauh-jauh terdengar tindakan kaki yang
sangat enteng. "Ilmu mengentengkan badan dari orang yang mendatangi belum cukup
tinggi, tapi sudah tak boleh dipandang rendah," kata si kakek.
Leng Kiauw terkejut. "Mereka tentu adalah kaki tangan raja Nepal yang datang untuk
menangkap aku," katanya.
"Liong Sianseng," kata Keng Beng. "Biarlah aku tetap memanggil kau sebagai Liong
Sianseng. Sebegitu lama kau berada dalam gubukku, kami pasti tak akan mempermisikan
kau ditangkap orang. Hanya aku menduga, mereka itu bukan musuh-musuhmu." Baru
saja si kakek berkata begitu, pintu luar sudah terketuk.
"Aku disini!" bentak Phoei Keng Beng.
"Tua bangka!" demikian terdengar teriakan dalam bahasa Tibet. "Keluar! Berani benar
kau melawan murid-murid Timotato!"
"Oh! Mereka mencari kau!" kata Leng Kiauw dengan suara heran.
"Ya, kau tak usah mencampuri," jawabnya. "Tunggu disini, biar aku yang
menyambutnya." Sambil tertawa terbahak-bahak, ia membuka pintu taman dan melompat
keluar.
Tentu saja Leng Kiauw tak akan membiarkan orang tua itu melawan musuh seorang
diri. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, bersama Soat Koen ia segera melompati tembok
untuk memberi bantuan.
Di luar rumah kelihatan berdiri empat lima orang dan kecuali orang yang barusan
mencaci, yang lainnya adalah orang-orang asing. Begitu tuan rumah muncul, tanpa
menegur lagi, mereka menyerang.
Leng Kiauw menghunus pedang dan lalu melompat untuk menyambut serangan itu,
Mendadak ia merasa menyambarnya dua macam tenaga dari kiri kanan sehingga
pedangnya hampir-hampir jatuh. Ia terperanjat dan menanya dalam hatinya: "Ilmu apa
ini?"
Tiba-tiba dari jarak sepuluh tindak, Keng Beng mengirim satu pukulan, sehingga
badannya dua pendeta asing yang berada paling depan, bergoyang-goyang!
"Benar-benar Tinju Malaikat!" memuji Leng Kiauw di dalam hati.
Di lain saat, dua orang lain sudah menerjang si kakek dari kedua samping dan
pertempuran segera dimulai. Leng Kiauw juga tak tinggal diam dan bersama si nona, ia
segera menerjun ke dalam gelanggang.
Biarpun belum bisa menandingi jago-jago kelas utama, Leng Kiauw memiliki
kepandaian dan lweekang yang cukup tinggi. Maka itu, sesudah bertempur beberapa
jurus, ia segera dapat meraba-raba keliehayannya Imyang Tjianglek dan dengan
mengikuti gerakan-gerakan serangan itu yang terputar-putar, ia bisa juga mengirim
serangan-serangan dengan pedangnya, Sementara itu, Soat Koen yang bersenjata pecut
yang terbuat dari benang emas, juga merupakan bantuan yang sangat berharga.
Lweekang si nona masih rendah, tapi ia gesit dan lincah, sedang pecutnya adalah senjata
panjang yang dapat melukakan musuh dari jarak kurang lebih setombak.
Sesudah bertempur beberapa lama, mendadak terdengar suara "plak!" dan dua musuh
yang berada di sayap kiri roboh terguling dengan berbareng. Leng Kiauw melompat
seraya mengayun pedang, tapi dicegat oleh dua musuh lain yang berada di sayap kanan.
Sedang kedua kawannya menggelinding ke bawah tanjakan, mereka menyerang dengan
pukulan berantai, sehingga Leng Kiauw terpaksa melompat mundur. Dengan
menggunakan kesempatan itu, mereka segera kabur dan menyusul kedua kawannya.
Napas Phoei Keng Beng kelihatan tersengal-sengal. "Hai! Kusudah tua!" katanya
dengan suara duka. "Sudah tak berguna lagi!" Ternyata, meskipun ia berhasil
memecahkan Imyang Tjianglek dengan tenaga lweekang, tapi dirinya sendiri telah
mendapat luka di dalam. Dengan dipayang oleh Leng Kiauw dan Soat Koen, ia kembali ke
dalam rumah dan bersila untuk mengerahkan lweekang. Lewat seminuman teh, barulah
napasnya mulai mereda.
"Siapa adanya mereka?" tanya Leng Kiauw. "Mengapa mereka musuhi Lootiang?"
"Entahlah," jawabnya. "Pergi satu, datang yang lain, sudah tiga kali mereka
menyateroni aku. Yang pertama adalah seorang pendeta asing yang berambut merah
seorang juru bahasa Tibet. Ia mengatakan, bahwa gurunya memerlukan gubukku ini dan
yang lebih gila lagi, aku dan anakku mau dijadikan semacam budak. Huh-huh! Aku si tua
sudah hidup enam puluh tahun lebih, tapi belum pernah bertemu dengan manusia yang
begitu kurang ajar. Akhirnya aku menghajar mereka yang lalu melarikan diri. Yang datang
kedua kali adalah tiga orang, dua antaranya mempunyai lweekang yang sangat tinggi.
Kami melawan dan sesudah bertempur setengah harian, kami keteter. Untung sungguh
datang Tong Tayhiap yang lalu menghajar kedua orang itu dengan Thiansan Sinbong. Dan
kali ini, Liong Sianseng yang membantu aku. Tanpa bantuan, gubuk dan taman ini tentu
sudah direbut orang.
Leng Kiauw merasa sangat heran dalam hatinya. Perlu apa orang-orang asing itu
merebut sebuah rumah kecil di tengah-tengah gunung yang sepi?
Ia tentu saja tak tahu, bahwa dalam cita-citanya untuk mendaki Tjoe-hong, Timotato
sudah membuat rencana lama sekali dan telah memerintahkan murid-muridnya
menyelidiki jalanan. Melihat rumah si kakek, murid-murid itu merasa ketarik karena rumah
tersebut terletak di tempat yang hawanya hangat dan sangat cocok untuk dijadikan
pangkalan. Jika mereka meminta secara baik dan memberi alasan-alasan yang pantas,
mungkin sekali Phoei Keng Beng akan meluluskan. Tapi sebagai murid Timotato yang
biasa berlaku sewenang-wenang kepada rakyat jelata, mereka bersikap sangat kurang
ajar dan sombong, sehingga mereka jadi bergebrak dengan Keng Beng dan puterinya.
Kedua orang asing yang telah dilukakan lututnya oleh Tong Siauw Lan, bukan lain
daripada Tunhuman dan Alsa.
Hawa jadi semakin dingin dan Soat Koen berkata kepada ayahnya: "Thia-thia, kau
mengasohlah."
Sang ayah tak menyahut, sebaliknya ia memasang kuping. "Kukuatir musuh tak
mengijinkan aku mengasoh," katanya dengan suara getir.
"Apa? Apa mereka datang lagi?" tanya si nona dengan hati berdebar-debar.
"Benar-benar kurang ajar!" mencaci Leng Kiauw, karena ia pun sudah mendengar
tindakan orang.
Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan dan tembok pekarangan roboh. Di lain saat,
sejumlah orang melompat masuk. Orang yang jalan di depan adalah Koksoe Nepal
Taichiti, diikut oleh empat muridnya Timotato yang barusan kabur dan di belakang mereka
kelihatan dua boesoe Nepal.
Ternyata, sesudah dirobohkan Keng Thian, Taichiti tak ada muka untuk bertemu lagi
dengan raja Nepal dan ia berhasil membujuk dua orang boesoe Nepal untuk mengejar
Leng Kiauw, dengan harapan bisa mendapat muka lagi jika ia berhasil membekuk buronan
itu. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan ke empat murid Timotato dan mengetahui,
bahwa Liong Leng Kiauw pun berada di rumahnya si kakek. Maka itulah, dengan
merangkap tenaga, mereka segera menyateroni lagi.
Sekarang Taichiti sudah tidak menggunakan jubah merahnya yang telah dirusak
Thiansan Sinbong. Untuk gantinya jubah, ia membawa tameng besi sebagai timpalan dari
martilnya. Tembok taman keluarga Phoei dirobohkan olehnya dengan menggunakan
martil.
Melihat kebun kembangnya rusak, si nona jadi kalap dan sambil memutar pecut, ia
menerjang.
"Soat-djie! Mundur!" teriak sang ayah.
Tapi Soat Koen tidak meladeni dan dengan sekali mengayun tangan, ia menimpuk
dengan pedang pendek. "Trang!", pedang itu patah terbentur tameng. Hampir berbareng,
ujung pecut si nona sudah melibat pergelangan tangan Taichiti, tapi pendeta itu tidak
menghiraukannya dan terus maju sambil tertawa terbahak-bahak. "Lian Kongtjoe!"
katanya. "Raja telah memperlakukan kau dengan manis budi, mengapa kau melarikan
diri?" Setiap kali ia maju setindak, pecut Soat Koen melibat selibatan di pergelangan
tangannya, sehingga semakin lama pecut itu jadi semakin pendek. Si nona coba
membetot sekeras-kerasnya, tapi sedikitpun tidak bergeming.
"Lepas!" bentak Leng Kiauw sambil mengangkat pedang.
Lengan Taichiti bergerak dan mendorong tubuh si nona untuk memapaki pedang.
"Tikamlah Lian Sianseng, tikamlah!" katanya, mengejek.
Tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat, bagaikan menyambar elang. Hampir
berbareng denqan suara "plak!", pecut Phoei Soat Koen putus, sehingga dari setombak
lebih panjangnya, yang ketinggalan hanya kira-kira empat kaki. Ternyata, dengan
menggunakan Sinkoen, Phoei Keng Beng sudah menolong puterinya.
Paras Taichiti berubah pucat pias dan "uah!", ia muntahkan darah. Badan si kakek
sendiri bergoyang-goyang, seperti api lilin ditiup angin. Kalau pukulan itu dikirim waktu
Phoei Keng Beng masih berusia muda. Taichiti pasti segera melayang jiwanya. Tapi
sekarang, karena ia sudah berusia lanjut dan mendapat luka di dalam, maka akibatnya
kedua belah pihak sama-sama mendapat luka.
"Soat-moay!" teriak Leng Kiauw. "Ajak ayahmu masuk." Sambil berkata begitu, ia
melepaskan beberapa butir kilee dan panah tangan. Tapi semua senjata rahasia itu
terbang melewati tubuh si pendeta, karena disampok dengan pukulan Imyang Tjianglek
oleh keempat murid Timotato. Leng Kiauw jadi gusar bukan main dan tanpa memikir
panjang-panjang lagi, ia segera menerjang musuh-musuhnya.
Taichiti benar-benar kedot. Biarpun sudah terluka, dengan gagah ia menyambut
serangan Leng Kiauw yang dalam sekejap sudah dikurung oleh tujuh musuh. Masih
untung, Taichiti baru saja terluka, sedang empat murid Timotato juga barusan saja
bertempur hebat dan dua antaranya sudah terpukul dengan pukulan Sinkoen, maka untuk
sementara Leng Kiauw masih bisa bertahan. Tapi sesudah bertempur kurang lebih dua
puluh jurus, ia sudah "digulung" dengan gelombang pukulan Imyang Tjianglek dan sukar
berkutik lagi. Melihat saatnya tiba, Taichiti lalu mengempos semangat dan menghantam
dengan martilnya sekuat tenaga.
Pada detik yang sangat berbahaya bagi jiwa Liong Leng Kiauw, sekonyong-konyong
terdengar teriakan aneh yang sangat nyaring. Di lain saat, sebuah batu yang besar
melayang turun ke gelanggang pertempuran. Orang-orang yang lagi bertempur jadi kaget
bukan main dan semua melompat untuk menyingkirkan diri dari sambaran batu. Hampir
berbareng dengan jatuhnya batu, seorang pemuda yang pakaiannya compang-camping
melompat keluar sambil tertawa terbahak-bahak. "Aku paling benci orang main keroyok!"
teriaknya. "Ha-ha! Mari! Mari! Rasakan enaknya tongkatku!" Ia menjungkir balik tiga kali
dan tahu-tahu, ia sudah berada di depan Taichiti dan kawan-kawannia. Gerakan yang
begitu cepat sungguh-sungguh sukar dicari tandingannya. Sebagaimana bisa diduga,
pemuda itu bukan lain daripada Kim Sie Ie!
Leng Kiauw heran sebab ia belum mengenal penolongnya, tapi ia tak sempat menanya
dan lalu membantu pemuda itu yang sudah mulai dikepung oleh tujuh musuhnya.
Kim Sie Ie terkejut ketika badannya terbetot dengan empat tenaga tangan. "Binatang!"
bentaknya. "Ilmu siluman apa yang digunakan kamu?" Sambil mencaci, ia menghunus
pedang dan lalu menyerang seperti kerbau edan.
"Hengtay (saudara) jangan kalap!" seru Leng Kiauw. "Ikuti gerakan mereka, lebih dulu
membela diri dan kemudian baru menyerang!"
"Fui!" Kim Sie Ie ia membentak pula. "Geram harimau justeru perlu untuk menghadapi
kawanan tikus! Laki-laki tulen harus punya amarah!"
Mendengar jawaban itu, Leng Kiauw jadi mendongkol dan tak berkata apa-apa lagi.
Di lain pihak, melihat cara berkelahinya Kim Sie Ie, keempat murid Timotato jadi girang
dan lalu memperhebat serangan mereka supaya musuhnya tak dapat meloloskan diri lagi.
"Awas!" mendadak Taichiti berteriak.
Hampir berbareng Kim Sie Ie sudah menyemburkan ludah. Salah seorang murid
Timotato yang sedang menerjang tiba- tiba merasa alisnya seperti digigit semut dan ia tak
dapat membuka matanya lagi. "Cui! Cui!" dan dua boesoe Nepal terguling di atas tanah!
Tiga murid Timotato yang lain jadi bingung dan buru-buru menggunakan Imyang
Tjianglek untuk membela diri. Taichiti kelihatan ketakutan sekali dan terus memutar
tamengnya bagaikan ti tiran.
Melihat begitu, Leng Kiauw mendusin. "Toktjhioe Hongkay!" serunya dengan suara
kaget.
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Benar!" katanya. "Tak salah! Aku adalah Toktjhioe
Hongkay! Semua manusia mencaciku sebagai manusia beracun, sebagai seorang gila!
Ha-ha. Apa kau juga merasa jijik?"
Muka Leng Kiauw jadi berubah merah. Ia insyaf bahwa ia sudah salah omong.
"Hengtay adalah seorang pendekar yang berhati mulia," katanya dengan suara jengah.
"Siauwtee memohon maaf."
Kim Sie Ie kembali tertawa terbahak-bahak. "Memang, memang aku Toktjhioe
Hongkay!"
teriaknya. "Ha-ha, lihatlah tanganku yang beracun!"
Ia menyembur sambil menyabet dengan pedangnya yang berhasil menggores lengan
Taichiti. Dengan hati ketakutan, si pendeta memutar tamengnya bagaikan titiran untuk
melindungi diri. Sementara itu, tiga murid Timotato sudah memperbaiki kedudukannya dan
mulai menyerang lagi dengan Imyang Tjianglek, sehingga Taichiti bisa bernapas lebih
lega. Tapi sebab takut diserang dengan jarum beracun, mereka tidak berani mendesak
terlalu keras dan sebagai akibatnya pertandingan dua melawan empat itu jadi berimbang.
Sambil bertempur, ketiga murid Timotato tak hentinya mengeluarkan teriakan-teriakan
aneh. "Eh, perlu apa kamu berteriak-teriak?" bentak Kim Sie Ie. "Apa kau mau dengar
geram harimau?" Sehabis berkata begitu, ia segera mementang mulut dan turut berteriak-
teriak.
Sesudah bertempur lagi kira-kira setengah jam, Taichiti kembali kena dipukul dengan
tongkat Kim Sie Ie dan ia kelihatannya sudah payah sekali.
Mendadak, secara tidak diduga-duga, pemuda itu berteriak: "Aku lapar! Sesudah
makan, aku akan melayani kau lagi."
Taichiti girang bukan main. "Baiklah," katanya. "Aku mempermisikan kau hidup lagi satu
hari!" "Cui!", Kim Sie Ie menyemburkan ludah dan Taichiti buru-buru lompat menyingkir,
tanpa berani
membuka suara lagi.
Dari sakunya, Kim Sie Ie segera mengeluarkan sepotong daging ayam hutan yang
dibakar setengah matang. Ia memasukkan daging itu di mulutnya, tapi lantas dikeluarkan
lagi. "Keras sungguh, gara-gara hawa dingin, tak dapat dimakan lagi," katanya. "Eh, aku
sudah membantu kau, mengapa kau tidak mengundang aku untuk makan?"
Sedari tadi Leng Kiauw berdiam saja sebab ia tengah merasa sangat menyesal, bahwa
pada saat hampir memperoleh kemenangan, Kim Sie Ie sudah menghentikan
pertempuran. Mendengar teguran sang penolong, ia lantas saja tertawa seraya berkata:
"Maaf, aku sungguh lupa. Di dalam rumah sedia arak dan daging. Marilah." Ia sama sekali
tak tahu, bahwa Kim Sie Ie menunda pertandingan sebab tenaganya sudah hampir habis.
Setelah memperhatikan pukulan-pukulan Imyang Tjianglek, pemuda itu mengerti, bahwa
dalam keadaannya yang sangat letih, ia tak akan bisa memecahkan pukulan itu, sehingga
oleh karenanya, ia ingin mengasoh untuk memelihara tenaga.
Begitu bertindak masuk ke dalam rumah, mereka melihat paras Keng Beng pucat
bagaikan kertas. "Lootiang," menegur Leng Kiauw dengan rasa kuatir. "Bagaimana
keadaanmu?"
Si kakek tersenyum seraya menjawab: "Tak apa-apa. Malam ini kutak akan mati."
Buru-buru Leng Kiauw memegang nadi orang dan hatinya lantas saja mencelos, sebab
ternyata orang tua itu tak bisa hidup lebih dari tujuh hari lagi. Ia berduka bukan main, tapi
sebisa-bisa menahan air matanya sebab kuatir si nona turut berduka.
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Benar! Benar!" serunya. "Hidup
satu hari berarti satu hari. Asal malam ini tak mati, itu bagus! Siapa tahu kalau besok aku
sudah tak ada lagi dalam dunia?"
Leng Kiauw mendongkol, tapi ia merasa tak enak menegur penolongnya. Maka itu, ia
hanya berkata dengan suara tawar: "Di dalam ada arak dan daging, kau ambil saja
sendiri."
Kim Sie Ie kembali tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" teriaknya. "Sesudah
makan, biarpun mesti mati, aku mati sebagai setan perut kenyang. Lootiang! Sebagai
orang-orang yang punya penyakit sama, kita saling mengasihani. Marilah kita minum tiga
cawan besar!"
Leng Kiauw jadi gusar. Ia tak tahu, bahwa pemuda gila-gilaan itu hanya bisa hidup tujuh
hari lagi.
Phoei Keng Beng melirik dan mendadak ia pun tertawa berkakakan. "Bagus! Bagus
sungguh!" serunya. "Saudara kecil beradat sangat terbuka. Baiklah! Mari kita minum tiga
cawan besar! Soat-djie, ambillah arak dan makanan untuk menjamu tamu kita ini."
Walaupun tertawa, ia tertawa duka dan pada suaranya menyayatkan hati. Jantung si nona
memukul keras dan ia menatap wajah ayahnya dengan mata membelalak.
Sebagai seorang ahli yang berkepandaian tinggi, sekali melirik saja, Phoei Keng Beng
sudah tahu, bahwa lweekang Kim Sie Ie adalah lweekang yang sesat dan yang akan
segera "membakar" dirinya sendiri. Ia tahu, bahwa pemuda itu hanya bisa hidup tujuh hari
lagi, tanpa bisa disembuhkan dengan obat apapun jua. Ia adalah seorang yang sudah
kenyang makan asam garam dunia sedikitpun tak takut mati. Ia menganggap pemuda itu
sebagai seorang yang bernasib sama dan sama sekali tidak menghiraukan kata-katanya
yang gila-gilaan.
Sesudah memanasi arak, Soat Koen keluar dan menuang satu cawan untuk Kim Sie Ie.
"Ayah, apa kau juga mau minum?" tanyanya sambil mencekal poci arak.
Sang ayah tertawa besar dan mengambil poci yang dicekalnya. "Hari ini secara
kebetulan aku bertemu dengan Lian Kongtjoe dan bertemu pula dengan seorang gagah
yang luar biasa," katanya. "Hatiku girang bukan main dan kesempatan ini tak boleh
dilewatkan dengan begitu saja." Ia menuang arak ke dalam cawannya dan lalu minum
bersama-sama Kim Sie Ie. Demikianlah kedua orang itu -- yang satu tua, yang lain muda
-- yang sedang menghadapi maut, minum dengan gembira tanpa memperdulikan apa
yang akan terjadi besok.
Leng Kiauw mengawasi si kakek dengan hati penuh kedukaan. Ia ingat, bahwa karena
gara-gara ayahnya, bersama puterinya, Phoei Keng Beng lerpaksa menyingkir ke
pegunungan Himalaya yang sunyi dan dingin. Ia ingat pula, bahwa si kakek telah terluka
karena tinjunya sendiri. Dan sekarang ia minum untuk melupakan penderitaannya!
Sesudah minum beberapa cawan, Phoei Keng Beng mendadak menaruh poci dan
berkata: "Liong Sianseng, aku merasa sangat beruntung, bahwa kita bisa bertemu muka.
Aku mempunyai serupa urusan yang belum dibereskan. Bolehkah aku meminta
bantuanmu?"
"Segala perintah Lootiang aku akan menjalankan dengan segala senang hati," jawab
Leng Kiauw.
Si kakek tersenyum dan sambil menunjuk puterinya, ia berkata dengan suara perlahan:
"Anak perempuanku tak bisa berdiam di gunung Himalaya seumur hidup. Kalau nanti dia
turun gunung, aku mengharap kau sudi melihat-Iihatnya."
Mendengar pesanan itu yang mengandung maksud dalam, Leng Kiauw terperanjat. Ia
berdiam dan tidak dapat segera memberi jawaban.
"Bagaimana?" menegas si kakek.
"Tentu saja... tentu saja..." jawabnya dengan gugup. "Hal itu adalah hal yang wajar,
yang pasti akan dilakukanku, biarpun tidak mendapat pesanan Lootiang."
"Thia-thia," kata si nona yang tidak mengerti maksud ayahnya. "Jika aku turun gunung,
bukankah kau pun akan turun gunung? Apakah ayah tak mau memperhatikan lagi diriku?"
Sang ayah bersenyum duka seraya berkata: "Anak tolol! Apakah ayah bisa
memperhatikan kau terus menerus seumur hidupmu? Liong Sianseng, telah
menghadiahkan serenceng mutiara. Hayo! Haturkanlah terima kasih!"
Si nona jadi semakin bingung. "Bukankah tadi aku sudah menghaturkan terima kasih?"
tanyanya di dalam hati. "Apa ayah sudah jadi linglung?" Tapi walaupun hatinya berkata
begitu, untuk menyenangkan sang ayah, ia kembali memberi hormat kepada Leng Kiauw.
Liong Leng Kiauw adalah seorang cerdas dan kata-kata si kakek tentu saja dimengerti
olehnya. Ia tahu, bahwa Phoei Keng Beng ingin menganggap, bahwa serenceng mutiara
itu adalah tanda mengikat tali pertunangan. Sebagai seorang yang mempunyai cita-cita
besar, sampai berusia tiga puluh tahun, belum pernah ia memikir untuk menikah. Dan di
luar dugaan, di pegunungan
.Himalaya yang sunyi secara sangat luar biasa, ia bertemu dengan si nona. Melihat
kecantikan Soat Koen yang beradat sangat polos, hatinya lantas saja tergerak dan buru-
buru ia membalas hormatnya nona itu, akan kemudian berlutut tiga kali di.hadapan Phoei
Keng Beng. "Siauwtit pasti tidak akan menyia-nyiakan perintah Lootiang," katanya dengan
suara terharu.
Phoei Keng Beng tertawa girang dan sambil mengurut-urut jenggot, ia minum kering
secawan arak.
Sekonyong-konyong Kim Sie le pun tertawa bergelak-gelak. Ia mengangkat poci dan
minum habis isinya. "Jika kau melanggar janji, kuakan hajar kau dengan tiga puluh
gebukan tongkat!" katanya dengan suara nyaring. "Ha-ha-ha! Tak dinyana hari ini
kumenjadi saksi dari satu perangkapan jodoh yang sangat luar biasa!"
"Hengtay mabuk," kata Leng Kiauw dengan suara jengah.
"Benar, benar aku sudah pusing," katanya. "Aku berjodoh untuk menjadi saksi, tak
berjodoh untuk minum lagi. Ha-ha-ha!" Sehabis tertawa, ia melemparkan poci arak,
merebahkan diri di atas lantai dan segera menggeros.
Dapat dimengerti, jika malam itu Leng Kiauw tak bisa tidur pulas. Ia duduk termenung-
menung sambil memikiri permainan nasib. Tak lama lagi fajar menyingsing.
Sekonyong-konyong, Kim Sie Ie melompat bangun. Sesudah menggosok-gosok mata
dengan tangannya, ia mengawasi langit yang sudah mulai terang. "Satu hari lagi!" serunya
sambil tertawa besar. Ia mengambil tongkat, membuka pintu dan lalu berjalan keluar.
"Mari! Mari!" teriaknya. "Pagi ini aku akan hajar beberapa bangsat kecil."
Begitu tiba di luar, ia melihat musuh-musuhnya berkumpul di satu tempat, dimana
terdapat seorang asing tinggi besar yang belum dikenalnya. Orang itu, yang bukan lain
daripada Timotato, sedang mengurut-urut tubuh seorang muridnya yang kena jarum
racun. Tiba-tiba ia membentak keras, dan dua jerijinya menjepit sebatang jarum! Ternyata,
dengan menggunakan lweekang yang sangat tinggi, ia berhasil mengeluarkan jarum itu
dari dalam alis muridnya.
Begitu melihat munculnya Kim Sie Ie, Taichiti yang sedang menjalankan pernapasan
untuk mengobati lukanya segera berseru: "Bocah! Sesudah Timotato Thayhoatsoe datang,
kamu semua bakal segera mampus!"
Jarum racun Kim Sie Ie adalah salah satu senjata rahasia yang terhebat dalam Rimba
Persilatan. Bahwa dengan lweekang, Timotato bisa mengeluarkannya merupakan suatu
bukti, bahwa kepandaian orang asing itu bukan main tingginya. Tapi Kim Sie le yang
sudah tidak memikir hidup, sedikitpun tak menjadi keder. Begitu mendengar ancaman
Taichiti, ia melompat sambil menyemburkan ludah. "Fui!" bentaknya. "Thayhoatsoe apa?
Akulah yang mau mengantarkan Tayhoatsoe-mu ke alam baka."
Timotato mengebas dengan lengan jubah dan jarum racun itu tak kelihatan bayang-
bayangannya lagi. Sambil membentak keras, ia segera menghantam Kim Sie Ie dengan
tangannya.
Sambil mengempos semangat, pemuda itu menangkis dengan tongkatnya. "Buk!",
tongkat bengkok, tapi Timotato pun merasa lengannya sakit. Ia terkejut dan tanpa berani
memandang rendah lagi lawannya, ia segera menyerang secara teratur. Tentu saja,
pemuda itu bukan tandingannya. Belum berapa lama, Kim Sie Ie sudah terkurung dalam
gelombang Imyang Tjianglek.
Dengan dipayang oleh puterinya, Phoei Keng Beng keluar dan bersila di depan pintu
untuk menyaksikan jalan pertempuran. Ia menghela napas seraya berkata: "Ah, sayang!
Benar-benar sayang!"
"Mengapa?" tanya puterinya.
"Dalam usianya yang masih begitu muda, saudara kecil itu memiliki lweekang dan
kepandaian yang sedemikian tinggi," jawabnya. "Dalam dunia ini, mungkin sekali tidak
berapa orang yang bisa menandinginya. Tapi... begitu muda, begitu lekas berpulang ke
alam baka. Sayang! Apa tak sayang?"
Liong Leng Kiauw yang tak mengerti maksud sebenarnya dari si kakek, hanya
menduga, bahwa orang tua itu merasa sayang karena Kim Sie Ie bakal binasa dalam
tangan Timotato. Mengingat budi orang, ia segera menghunus pedang untuk membantu.
Tapi sebelum menerjang, empat murid Timotato mengawasi padanya dengan siap sedia.
"Phoei Pehpeh menderita luka berat dan jika mereka menyerang, Soat-moay pasti tak
akan dapat melawannya," katanya di dalam hati. Ia bimbang bukan main karena tak tahu
harus berbuat bagaimana.
Pada saat yang sangat berbahaya, mendadak, mendadak saja Phoei Keng Beng
berteriak dengan suara di tenggorokan: "Tong... Tong Tayhiap! Suami isteri Tong Tayhiap
datang!" Karena kegirangan yang meluap-luap, badan si kakek bergoyang-goyang.
Kim Sie Ie yang sedang melayani Timotato dengan kepala pusing dan menggunakan
tenaganya yang penghabisan, tak mendengar tegas apa yang dikatakan oleh orang tua
itu. Tiba-tiba ia merasa kesiuran angin yang bertenaga luar biasa besar. Ia terkesiap dan
berusaha untuk berkelit, tapi sudah tidak keburu lagi. Di lain saat badannya mengapung
ke udara, seperti juga dilontarkan orang. Dengan meminjam tenaga itu, ia menjungkir balik
dan secara kebetulan ia melihat Timotato terhuyung beberapa tindak.
Tong Siauw Lan datang pada saat yang berbahaya bagi jiwa Kim Sie Ie. Pada detik
yang genting itu, ia memisah kedua orang itu dengan kebasan tangan bajunya. Jika
terlambat sedikit saja, Kim Sie Ie pasti sudah binasa karena ia sudah tidak tahan lagi.
Orang yang paling kaget adalah Timotato sendiri. Semenjak menjagoi di Eropa dan
negara-negara Arab, belasan tahun belum pernah ia bertemu dengan tandingan. Tapi hari
ini, ia terhuyung karena satu kebasan lengan baju.
"Siapa kau?" tanya Tong Siauw Lan. "Mengapa kau berkelahi dengan sahabatku?"
Timotato tak mengerti bahasa Tionghoa, tapi suara Tong Siauw Lan yang tidak keras
sangat menusuk telinga. Buru-buru ia mengerahkan tenaga dalam untuk melawannya.
Orang yang menjawab pertanyaan Siauw Lan adalah Taichiti. "Ia adalah Timotato
Thayhoatsoe, seorang berilmu yang ilmu silatnya paling tinggi di dalam dunia dan yang
telah menjagoi di Eropa dan Asia," katanya.
Siauw Lan mendongakkan kepala seraya tertawa terbahak-bahak. "Selama hidup
kubelum pernah bertemu dengan seorang yang berani menganggap diri sendiri sebagai
manusia paling jempol di kolong langit," katanya. "Sekarang aku justeru ingin berkenalan
dengan ilmunya. Baiklah, begini saja: Biarlah ia memukul aku lebih dulu sepuluh kali."
Sehabis menantang, ia mengebas pula dengan lengan bajunya ke arah Timotato dan
Taichiti. Timotato buru-buru mengerahkan lweekang untuk mempertahankan diri, tapi
Taichiti sendiri tak ampun lagi lantas saja terguling-guling dan untung juga, ia masih
keburu ditolong oleh murid-murid Timotato, sehingga tak sampai menggelinding ke bawah
tanjakan.
"Thayhoatsoe! Jangan sungkan-sungkan lagi," serunya dengan napas tersengal-
sengal. "Dia mengatakan, bersedia dipukul lebih dulu sepuluh kali. Asal kau bisa
membereskan dia seorang, di seluruh Tiongkok tiada orang lagi yang berani melawan
kau." Sebagai seorang yang sering berkelana di antara Nepal dan Tibet, walaupun tidak
mengenal secara pribadi, Taichiti pernah mendengar nama jago-jago silat di wilayah
Tionggoan. Maka itu, mendengar seruan Phoei Keng Beng, ia segera menduga, bahwa
orang yang datang adalah Tong Siauw Lan, Tjiangboendjin dari Thiansan pay.
Selama hidup, Timotato belum pernah dihinakan seperti itu. Sambil membentak keras,
ia menghantam dengan kedua tangannya. Siauw Lan menancap kedua kakinya di atas
bumi dan badannya tidak bergerak. Dalam kagetnya, si pendeta jadi semakin gusar dan
lalu mengirim pukulan berantai. Pakaian Siauw Lan berkibar-kibar karena pukulan itu, tapi
kedua kakinya tetap tidak bergeming. Timotato jadi mata merah. Sambil mengempos
semangat, dengan seluruh tenaga, ia mengirim pukulan Imyang Tjianglek dengan kedua
tangannya, tangan kiri mendorong, tangan kanan membetot. Dihantam dengan pukulan
geledek itu tubuh Siauw Lan bergoyang-goyang dan kaki kirinya terangkat naik. Dengan
cepat ia membuat sebuah lingkaran dengan kaki kirinya itu yang lalu ditancap pula di atas
tanah.
Ia tertawa berkakakan seraya berkata: "Sudah cukup sepuluh pukulan. Bahwa kau
berhasil menggoyangkan tubuhku sudah merupakan bukti, kau bukan sembarang orang.
Nah! Sekarang terimalah beberapa pukulanku!" Hampir berbareng, ia mengirim satu
pukulan dengan menggunakan ilmu Thiansan Sintjiang (Pukulan malaikat dari Thiansan).
Timotato tentu saja tak bisa menuruti contoh lawannya yang telah menahan
serangannya dengan hanya menggunakan tenaga dalam. Ia menaruh kedua tangannya di
dada dan kemudian mendorong ke depan, tapi tak urung ia terhuyung juga.
Sambil mengeluarkan seruan nyaring, Tong Siauw Lan maju setindak dan mengirim
pula satu pukulan. Timotato membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya seraya
miringkan badan untuk mengegos pukulan itu. Tapi tak urung, kedua kakinya terangkat,
tubuhnya sempoyongan dan hampir-hampir ia terguling di tanah! Siauw Lan sungkan
memberi napas pada lawannya. Ia maju pula setindak sambil mengangkat tangan.
Tiba-tiba si pendeta berteriak dan lalu bicara dalam bahasa yang tidak dikenal Siauw
Lan.
"Apa dia kata?" tanya Siauw Lan sambil menengok kepada Taichiti.
"Thayhoatsoe mengatakan, bahwa ia dan kau adalah orang-orang yang berkedudukan
sangat tinggi dan mengadu ilmu dengan jalan pertempuran, tidak sesuai dengan
kedudukan yang tinggi. Ia mengusulkan, supaya ditukar dengan lain cara."
"Cara bagaimana?" tanya Siauw Lan.
"Adu... adu memanjat gunung," jawabnya. "Adu memanjat puncak tertinggi di kolong
langit." "Baiklah," kata Siauw Lan dengan suara tenang.
"Tong Tayhiap!" seru Phoei Keng Beng. "Jangan!..." Suaranya parau dan napasnya
tersengal-sengal.
Siauw Lan kaget. "Mengapa kau, Phoei Toako?" tanyanya.
Sementara itu, Kim Sie Ie pun sudah mengetahui, bahwa orang yang menolongnya
adalah ayah Tong Keng Thian. Mengingat, bahwa orang tua itu adalah manusia yang bisa
menolong jiwanya, hampir-hampir ia maju menghampiri. Tapi di lain saat, ia ingat ejekan
Tang Thay Tjeng, yang mengatakan, bahwa Tong Siauw Lan mau menolong dirinya
dengan maksud supaya ia tidak bisa mengangkat kepala lagi, karena Tjiangboendjin
Thiansan pay itu sebenarnya merasa mengiri dan jelus terhadap ilmu silat Tokliong
Tjoentjia. Pada sesaat itu, rupa-rupa pikiran masuk ke dalam otak Kim Sie Ie, sehingga
akhirnya ia memutar badan dan berjalan pergi.
Tapi baru jalan beberapa tindak, mendadak ia melihat seorang wanita setengah tua
yang melayang turun dari atas sebuah bukit. Ia mengawasi dengan mata membelalak dan
berkata dengan suara terputus-putus: "Kau... kau... perlu apa kau mengubar aku terus
menerus?"
Wanita itu adalah Phang Eng, isteri Tong Siauw Lan, tapi Kim Sie Ie menganggapnya
sebagai Phang Lin. Ia mengeluh seraya berkata dalam hatinya: "Celaka! Kali ini dia tentu
akan memaksa supaya aku menerima budi Tong Siauw Lan."
Di lain pihak, perkataan pemuda itu mengherankan sangat hati Phang Eng. "Apa kau
kata?" tanyanya.
Melihat sikap yang dingin, Kim Sie le lantas saja meluap darahnya. "Hra! Kalau begitu
dia hanya berpura-pura manis terhadapku," pikirnya. "Sekarang, melihat ajalku sudah
dekat tiba, dia lantas menukar sikap." Itulah adat aneh dari Kim Sie Ie. Di satu pihak, ia
sungkan menerima budi orang, tapi di lain pihak ia ingin dicinta orang. Ia jengkel karena
Phang Lin terus menguntit dirinya, tapi ia jadi marah melihat sikap Phang Eng yang dingin.
Melihat perubahan pada paras muka pemuda itu, Phang Eng agak terkejut dan berkata
dalam hatinya: "Apakah adikku yang kembali menimbulkan gara-gara?" Mengingat begitu,
ia segera tersenyum dan menanya dengan suara halus: "Siapa kau? Jika kau mempunyai
urusan apa-apa, beritahukanlah kepadaku."
Tiba-tiba Kim Sie Ie mengeluarkan teriakan aneh. "Baiklah!" bentaknya. "Mulai dari
sekarang, kau anggap saja belum pernah bertemu denganku. Minggir! Aku mau pergi."
Karena kuatir Phang Eng menahannya, sambil melompat tinggi, ia menyapu dengan
tongkatnya.
"Siapa kesudian mencegat kau?" kata Phang Eng dengan suara dingin seraya
mementil dengan jerijinya. "Cring!" tongkat terpentil dan Kim Sie Ie merasakan dorongan
tenaga yang sangat hebat, sehingga ia menjungkir balik tiga kali dan hinggap di tanjakan
gunung. Bukan main kagetnya pemuda itu. Ia pemah menyaksikan dan merasa kagum
akan kepandaian Phang Lin, tapi ia tak nyana, nyonya itu mempunyai lweekang yang
sedemikian dahsyat. "Untung juga dia tidak mempermainkan diriku terlebih jauh," katanya
di dalam hati. Sambil mengempos semangat, ia kabur secepat-cepatnya tanpa berani
menengok lagi. Tentu saja ia tak tahu, bahwa Phang Eng –-yang dianggapnya sebagai
Phang Lin —— memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada adiknya dan kira-kira
berendeng dengan Lu Soe Nio. Jika yang mementilnya adalah Phang Lin, paling banyak
ia menjungkir balik satu kali.
Dalam pada itu, Tong Siauw Lan sudah memeriksa luka Phoei Keng Beng dan memberi
dua butir Pekleng tan, akan kemudian mengurut tubuh orang tua itu dengan menggunakan
lweekang Thiansan pay. Phang Eng mendekati dan lalu berdiri di belakang suaminya.
Lewat beberapa saat, Siauw Lan selesai dan berkata sesudah menyusut keringat:
"Phoei Toako, mulai besok pagi kau harus menjalankan pernapasan dalam kamar yang
sunyi untuk sepuluh hari lamanya. Lukamu sudah tidak berbahaya lagi."
Si kakek tertawa getir. "Tong Tayhiap, perlu apa kau banyak berabe dan
memperpanjang usiaku untuk beberapa tahun?" katanya. Ia mengetahui, bahwa karena
usianya yang sudah lanjut, walaupun sembuh, ilmu silatnya akan berkurang banyak dan ia
hanya bisa hidup beberapa tahun lagi.
Ia mengangkat kepala dan kedua matanya menyapu seluruh ruangan. "Tong Tayhiap,"
katanya pula dengan suara perlahan. "Aku ingin memperkenalkan kau dengan dua orang
gagah dari tingkatan muda. E-eh, mana itu saudara kecil yang satunya lagi?" Barusan,
selagi diobati sambil meramkan mata, ia tak tahu kaburnya Kim Sie Ie.
"Siapa dia?" tanya Phang Eng. "Mengapa gerak-geriknya begitu luar biasa?"
"Dia adalah yang dikenal dalam kalangan Kangouw sebagai Toktjhioe Hongkay,"
menerangkan Leng Kiauw. "Namanya Kim Sie Ie."
"Kim Sie Ie?" menegas Siauw
Lan yang belum pernah mendengar nama pemuda itu.
"Ih! Tadi, waktu melihat ilmu silatnya, aku ingat seorang sahabat lama."
"Tokliong Tjoentjia!" seru sang isteri.
"Benar," kata Siauw Lan. "Bukankah ilmu silatnya menyerupai ilmu silat Tokliong
Tjoentjia?" "Bukan saja ilmu silatnya, tapi lweekang-nya pun tidak berbeda," jawabnya.
"Celaka! Sayang
sungguh aku tidak menahannya!"
"Mengapa?" tanya sang suami.
"Barusan aku telah memukulnya dengan menggunakan ilmu Ittjiesian," sahutnya. "Ia tak
tahu maksudku yang baik dan lalu melawan dengan menggunakan lweekang. Menurut
pantas, ia mesti terluka tapi ia berhasil memunahkan tenagaku. Dalam dunia ini, hanya
Tokliong Tjoentjia yang memiliki lweekang begitu luar biasa. Tapi lweekang yang
dikirimnya dengan perantaraan tongkat, sama sekali tidak diiring dengan tenaga yang
berikutnya. Menurut pendapatku, lweekang-nya akan segera membakar dirinya sendiri
dan ia hanya bisa hidup beberapa hari lagi."
Leng Kiauw kaget bukan main. Sekarang baru ia tahu, bahwa gerak-gerik pemuda itu
yang gila gilaan adalah untuk menutupi hatinya yang berduka.
Phoei Keng Beng menghela napas seraya berkata: "Semalam, dengan melihat paras
mukanya, aku menduga, bahwa paling banyak ia bisa hidup enam hari lagi. Sekarang
Tong Hoedjin juga mengatakan begitu, sehingga dugaan kita pasti tak akan salah."
"Jika kutahu, dia murid Tokliong Tjoentjia, kutentu akan menahannya," kata Phang Eng
dengan suara menyesal. "Ilmu Tokliong Tjoentjia merupakan satu cabang persilatan yang
sangat luar biasa. Sungguh sayang, jika ilmu itu termusnah dari dunia."
Si kakek termenung -menung beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: "Ya! Gelombang Tiangkang yang di sebelah belakang mendorong gelombang
yang di depan. Selama belasan tahun ini, dalam Rimba Persilatan muncul banyak sekali
orang-orang muda yang berkepandaian tinggi. Tong Tayhiap, Tong Hoedjin, marilah aku
memperkenalkan kalian dengan seorang gagah dari tingkatan muda."
Leng Kiauw segera maju menghampiri dan memberi hormat kepada Siauw Lan dan
isterinya. Siauw Lan mengawasi pemuda itu dan ia kelihatan terkejut, ketika melihat singa-
singaan giok yang tergantung di pinggang Leng Kiauw. Sekonyong-konyong, ia tertawa
terbahak-bahak dan berkata. "Aha! Kalau begitu puteranya seorang kenalan lama."
Paras muka Leng Kiauw lantas saja berubah merah. "Anak seorang berdosa yang
mengharap dunia suka mengampuni kedosaan ayahku," katanya dengan suara jengah.
Siauw Lan kembali tertawa berkakakan. "Ada sangkut paut apakah antara kedosaan
Lian Keng Giauw dan kau sendiri?" tanyanya. "Ayahmu adalah seorang yang memiliki
bakat panglima perang, hanya sayang ia tak jalan di jalanan lurus. Aku hanya berharap
kau akan lebih banyak membaca kitab-kitab dari para nabi dan menyumbangkan
tenagamu untuk kepentingan rakyat jelata."
Leng Kiauw mengangkat kedua tangannya dan menghaturkan terima kasih untuk
nasehat itu. "Terima kasih, bahwa kau telah menyimpan Han-giok-ku," kata Siauw Lan.
"Keng Thian telah
bicara banyak tentang hal ihwalmu.
Mereka segera masuk ke dalam rumah Phoei Keng Beng dan terus beromong-omong.
Mendengar puteranya bersama Peng Go juga sudah tiba di Himalaya, Siauw Lan jadi
sangat girang dan lalu berkata kepada isterinya: "Aku sendiri ingin mengadakan
perlombaan memanjat gunung dengan Thayhoatsoe itu. Biarlah kau saja yang mencari
anak-anak kita. Kunjungan kita ke tempat Phoei Toako ternyata tidak percuma." Harus
diketahui, bahwa karena mengetahui kedatangan tentara Nepal, suami isteri Tong Siauw
Lan buru-buru datang lagi ke tempat Phoei Keng Beng, karena kuatir orang tua dan
puterinya itu mendapat gangguan.
Mengingat kejadian di Puncak Unta, dimana Peng Go telah salah mengerti sebab gara-
gara adiknya, Phang Eng berkata sambil tertawa: "Calon menantuku mungkin masih
merasa mendongkol terhadapku. Biarpun sudah tua, Lin-moay masih belum bisa
membuang adatnya yang seperti kanak-kanak. Aku rasa, Toktjhioe Hongkay pun pernah
dipermainkan olehnya. Jika tidak begitu, mengapa begitu melihatku, dia segera lari terbirit-
birit? E-eh! Siapa yang datang?" Ia melompat keluar, diikuti oleh yang lain.
Di luar berdiri seorang wanita yang mengawasi mereka sambil tertawa haha-hihi.
"Tjietjie!" teriaknya. "Mengapa kau mencaci di belakangku? Tanyalah Keng Thian. Aku
pernah mengganggu menantumu, tapi aku juga pernah membantu banyak padanya!"
Orang itu adalah Phang Lin. Ia
sebenarnya memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, tapi karena tidak
mengenal jalanan, ia sudah ditinggalkan oleh Timotato dan tiba belakangan.
Baru kakaknya mau membuka mulut, Phang Lin sudah melompat dan mendului:
"Tjietjie, apa yang dibicarakan olehmu barusan? Apakah kau sudah bertemu dengan Kim
Sie Ie?"
"E-eh, mengapa begitu bernapsu?" tanya sang kakak.
"Dia baru saja pergi," kata Siauw Lan.
"Ah! Apa kau tahu, umurnya hanya tinggal enam hari lagi?" tanyanya pula.
"Tahu," jawab Phang Eng.
"Mengapa melihat kebinasaan, kau tidak menolong?" teriak Phang Lin.
"Siapa suruh dia memukulku dengan tongkatnya?" sang kakak balas menanya sambil
tertawa. "Sudahlah! Jangan
mengganggu lagi adikmu," kata Siauw Lan. "Bahwa kami tidak menahannya, aku pun
merasa sangat menyesal." Sehabis berkata begitu, ia segera menerangkan segala
kejadian yang barusan.
Phang Lin melompat-lompat dan sambil mencengkeram lengan kakaknya, ia berteriak
"Baiklah! Kau sudah melepaskan dia, kau juga yang harus mencarinya!"
Phang Eng yang mengenal adat si adik, lantas saja bisa menebak.
Ia memeluk leher adiknya seraya berbisik: "Mengapa hari ini kau begitu repot? Apa kau
penuju Toktjhioe Hongkay sebagai suami A-bwee?"
Phang Lin mendelik. "Apa?" ia menegasi. "Apa dosanya Kim Sie Ie? Kau
memanggilnya sebagai Toktjhioe Hongkay, tapi aku menganggapnya sebagai pemuda
yang jujur dan baik. Kau membencinya, aku justeru sebaliknya."
"Siapa membenci Kim Sie Ie?" kata Phang Eng seraya tertawa geli. "Begini saja: Kau
sudah bantu merangkap jodoh Keng Thian, akupun berjanji akan mencari menantumu itu."
Sedang mereka beromong-omong, dari tikungan tanjakan mendadak muncul seorang
nenek yang, ketika diawasi, bukan lain daripada Tong Say Hoa. Begitu melihat bekas
pukulan tongkat di atas batu, nenek itu mengeluarkan seruan kaget.
"Tjietjie," kata Phang Lin. "Sekarang aku mendapat kawan yang bisa bicara banyak
mengenai Kim Sie Ie."
"Untung juga Tong Lootaypo tidak mempunyai gadis," mengejek sang kakak.
Melihat Leng Kiauw dan mendengar kaburnya Kim Sie Ie, hati si nenek girang
tercampur duka. "Leng Kiauw," katanya sambil menarik tangan pemuda itu. "Tak dinyana,
kita masih bisa bertemu muka. Andaikata aku mati sekarang juga, aku akan mati dengan
mata meram. Leng Kiauw, kau sudah cukup tua. Selagi kumasih hidup, apakah kau masih
tak mau menikah? Siang malam aku mengharap bisa menyaksikan hari
keberuntunganmu.
Menikahlah sekarang dan sesudah kumati, kau boleh berbuat sesukamu, kau boleh
coba merebut tahta, jika kau mau. Tapi selagi kumasih hidup, jangan kau gila-gilaan,
supaya kutak usah memikir keselamatanmu setiap detik."
Sebagai seorang wanita yang muda-muda sudah menjadi janda Tong Say Hoa telah
kukut Leng Kiauw sedari kecil. Maka itu, biarpun sekarang Leng Kiauw sudah berusia tiga
puluh tahun lebih, ia masih memperlakukannya sebagai kanak-kanak.
Muka Leng Kiauw lantas saja berubah merah. "Mulai dari sekarang, aku hanya
mengharap bisa mengikuti jejak Tong Tayhiap dan lain-lain Tjianpwee untuk menolong
sesama manusia," katanya. "Aku sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan diri dari
segala perebutan kekuasaan. Ibu, biarpun sudah berusia lanjut, kau masih gagah sekali.
Mengapa kau mengeluarkan perkataan yang tidak-tidak?"
"Jika bukan ditolong oleh Kim Sie Ie, siang-siang kusudah binasa," kata si nenek. "Kau
harus berusaha sedapat mungkin untuk mencarinya. Siauw Lan, di dalam dunia hanya
kau seorang yang bisa menolong dia. Dengan memandang mukaku, aku juga mengharap,
kau berdua suami isteri suka bantu mencari dia."
"Dalam perjalanan dari kaki gunung kemari, apakah kau pernah mendengar warta
tentang Keng Thian?" tanya Phang Eng.
"Keng Thian dan Peng Go juga akan segera mendaki gunung," jawabnya. "Karena
merasa sangat tidak sabaran, aku sudah berjalan terlebih dulu."
"Apa?" menegas Siauw Lan. "Apakah tentara Nepal sudah mundur?"
"Mereka akan segera mundur," jawab si nenek yang lalu menceritakan segala
pengalamannya. Mendengar begitu, Tong Siauw Lan dan yang lain-lain jadi merasa lega.
Sesudah diadakan perundingan, mereka mencapai persetujuan untuk coba mencari Kim
Sie Ie
dengan berpencaran: Tong Siauw Lan, Phang Eng dan Phang Lin masing-masing
mengambil satu jalanan, sedang Tong Lootaypo bersama Leng Kiauw mengambil jalanan
yang lain. Tapi, walaupun mengambil empat jalanan, usaha mereka adalah bagaikan
orang mencari jarum di tengah lautan, karena Himalaya adalah gunung yang besar luar
biasa.
Selagi yang lain mengasoh atau menyediakan makanan kering untuk mendaki gunung,
Phang Eng dan Siauw Lan menarik Phang Lin ke satu sudut dan bertanya tentang
pengalamannya dalam perkenalan dengan Kim Sie Ie. Phang Lin lantas saja
menceritakan segala apa yang diketahuinya tentang pemuda itu, sehingga sesudah
mendengar, Siauw Lan dan Phang Eng menghela napas berulang-ulang. "Ah! Kalau
begitu adatnya yang aneh mempunyai sebab-sebab yang mengharukan," kata Phang Eng
dengan air mata berlinang-linang.
Mendadak Phang Lin mendapat serupa ingatan. Ia mengeluarkan buku catatan harian
Tokliong Tjoentjia dan berkata sambil menyerahkannya kepada Siauw Lan: "Aku harap
kau suka menyimpan buku ini yang ditulis oleh Tokliong Tjoentjia selama beberapa puluh
tahun. Jika kau bertemu dengan Kim Sie Ie, aku minta kau menyerahkan kepadanya." Ia
tahu, bahwa Kim Sie Ie dan Keng Thian tidak begitu akur dan sudah sengaja memberikan
buku tersebut kepada Siauw Lan, dengan pengharapan bisa bantu menghilangkan
ganjelan yang terdapat dalam hati Kim Sie Ie. Siauw Lan yang tak punya banyak tempo
untuk menanya melit-melit atau membacanya, sudah menduga, bahwa buku itu adalah
buku ilmu silat Tokliong Tjoentjia. "Andaikata kutak berhasil menolong Kim Sie Ie, biarlah
aku mencari seorang lain untuk mewarisi kepandaian Tokliong Tjoentjia," katanya di dalam
hati.

***

Sekarang marilah kita menengok Kim Sie Ie yang telah membuang kesempatan sangat
baik untuk menolong jiwanya sendiri. Dengan keyakinan, bahwa jiwanya akan melayang
dalam beberapa hari lagi, ia mendaki gunung dengan sekuat tenaga. Harapan satu-
satunya adalah naik ke puncak Tjoe-hong (Everest) sebelum menghembuskan napas
yang penghabisan. Pada hari pertama dan hari kedua, perjalanan masih dapat dilakukan
dengan tak banyak kesukaran. Tapi pada hari ketiga, ia mulai merasa sukar untuk
bernapas. Ia tak tahu, bahwa kesukaran bernapas itu adalah akibat hawa udara yang
semakin tinggi jadi semakin tipis. Ia hanya menduga, bahwa ajalnya sudah dekat tiba dan
lalu memanjat terus dengan sekuat tenaga.
Semakin ke atas, pemandangan jadi semakin indah, tapi keadaan gunung juga jadi
semakin berbahaya. Tempo-tempo ia harus memanjat lereng yang sangat tebing bagaikan
tembok, melompati jurang-jurang antara dua tembokan es dan kadang-kadang disambar
angin besar,
sehingga beberapa kali ia hampir tergelincir ke bawah. Ia merasa badannya lemas dan
saban-saban harus mengasoh dengan napas tersengal-sengal. Tiba-tiba, selagi naik di
satu tanjakan matanya melihat pemandangan yang sungguh luar biasa. Jauh-jauh, di atas
tanah yang tertutup es, terlihat sejumlah besar balokan atau gundukan es yang
menyerupai pagoda-pagoda yang memancarkan sinar gilang-gemilang, bagaikan kristal.
Ia mengawasi dengan mata membelalak dan tiba-tiba saja, ia mengeluarkan seruan
nyaring. "Biarpun tak bisa sampai di puncak Tjoe-hong, sesudah melihat surga dalam
dunia ini, aku bisa mati dengan mata meram!" teriaknya.
Sambil mengempos semangat, ia berlari-lari ke arah kumpulan pagoda itu. Mendadak
kakinya menyentuh serupa benda dan ketika dilihat, ternyata adalah mayatnya seorang
asing. Di sekitar mayat itu terdapat alat-alat mendaki gunung, tambang-tambang dan
pakaiannya sudah bobrok dan hancur begitu tersentuh, tapi mayat itu sendiri masih tidak
berubah. Tak jauh dari situ, ia kembali mendapatkan satu mayat lain. Ia menghela napas
dan berkata dalam hatinya: "Selama ratusan tahun, entah berapa orang binasa dalam
usaha mendaki Chomo Lungma. Dua tiga hari lagi, akupun akan menemui mereka!"
Pagoda-pagoda es itu kelihatannya tidak seberapa jauh tapi sesudah berjalan beberapa
jam, belum juga ia tiba disitu. Makanan kering sudah habis, tapi untung juga, di sekitar
gunung masih terdapat binatang-binatang yang boleh dijadikan santapan. Dengan
menggunakan batu, ia berhasil merobohkan beberapa burung gagak dan seekor ayam
salju. Ia mengeluarkan bahan api dan sesudah menggosok-gosok sekian lama, barulah ia
bisa mendapat api dan lalu menyalakan perapian dengan menggunakan cabang-cabang
kering. Dari mayat orang asing itu, ia mengambil satu panci dan lalu masak air dengan
menaruh es ke dalam panci itu. Sesudah membakar kurang lebih satu jam, barulah air
bergolak-golak. Dengan bernapsu ia makan ayam rebus dan minum air panas. Setelah
perutnya ditangsal, sebagian kekuatannya pulih kembali.
Belum jalan berapa jauh, tiba-tiba ia bertemu dengan satu balokan es besar, yang
mengambang di atas satu sungai es. Selagi lewat di pinggir balokan es itu, mendadak ia
mendengar suara rintihan manusia. Ia terkesiap dan dengan hati berdebar-debar, ia
memanjat gundukan es itu yang bergerak-gerak tak hentinya. Begitu tiba di atas, dengan
mata membelalak ia mengawasi dua orang yang menggeletak di atas es dengan muka
penuh darah dan mereka itu adalah Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng!
Jika bertemu di tempat biasa, Kim Sie Ie pasti tak akan merasa kasihan. Tapi di atas
gunung yang diliputi es itu, dimana tak terdapat manusia lain, ia memandang mereka
seperti sahabat. Hiatsintjoe ternyata sudah tidak bernapas lagi, sedang keadaan Tang
Thay Tjeng pun sudah sangat payah.
Sambil mengerahkan Iweekang, ia mengurut-urut tubuh Tang Thay Tjeng dan selang
beberapa saat, perlahan-lahan dia membuka matanya. "Kau?" tanyanya dengan suara
lemah.
"Jangan bergerak," kata Kim Sie Ie. "Aku akan bantu kau menjalankan pernapasan."
"Tak guna lagi," katanya. "Lekas kau menyingkir dari tempat berbahaya ini."
Kim Sie Ie memegang nadi orang yang ternyata sudah kalut ketukannya, sedang
badannya sudah kaku seperti es. Ia tahu, bahwa Tang Thay Tjeng tak bisa ditolong lagi
jiwanya, tapi ia masih tak tega untuk meninggalkannya dengan begitu saja.
Sekonyong-konyong dengan menggunakan sisa tenaganya, Tang Thay Tjeng berkata
dengan berbisik: "Sie Ie-heng, aku telah mendustai kau!"
"Budi dan sakit hati sudah terbalas impas," kata Kim Sie Ie. "Urusan yang sudah lewat
tak usah disebut-sebut lagi. Aku tak punya kegembiraan untuk mengetahui, apa kau
berdusta atau tidak."
"Jangan begitu..." kata Tang Thay Tjeng dengan suara parau. "Jika aku tak bicara
sekarang, aku tak akan bisa bicara lagi,"
"Bicaralah," kata Kim Sie Ie. "Bicaralah, jika dengan bicara hatimu bisa terhibur."
"Bukumu berada dalam tangan Phang Lin," katanya. "Buku itu bukan dalam tangan
Tong Siauw Lan, sebagaimana dikatakan olehku."
Kim Sie Ie tersenyum duka. "Kutak perduli berada di tangan siapa," katanya.
Tiba-tiba kedua kaki Tang Thay Tjeng berkelejet. "Lekas lari!" serunya dengan
menggunakan tenaganya yang penghabisan.
Hampir berbareng, angin keras yang dingin luar biasa menyambar-nyambar dan
balokan es itu bergoyang-goyang. Tanpa memikir lagi, Kim Sie Ie buru-buru melompat
turun. Di lain saat, balokan es itu pecah terbelah dan mayat Tang Thay Tjeng dan
Hiatsintjoe tercemplung ke dalam sungai es!
Kim Sie Ie berduka dan tanpa merasa, beberapa tetes air mata mengalir di kedua
pipinya. Ia menangis, entah untuk kedua orang itu, entah untuk dirinya sendiri. Sesudah
menghela napas panjang, ia lalu meneruskan perjalanan. Tapi, baru saja jalan belasan
tindak, matanya mendadak melihat sekuntum bunga bwee yang diukir di atas segundukan
es.
Mendadak saja, jantungnya memukul keras dan darahnya bergolak-golak. Ia
mengenali, bahwa bunga bwee itu, yang rupanya diukir dengan ujung pedang, adalah
pertandaan Lie Kim Bwee. Dalam perjalanan bersama-sama si nona di gunung Gobie san,
ia pernah melihat Kim Bwee membuat tanda-tanda itu di sepanjang jalan.
Secara tiba-tiba, dalam hatinya yang dingin muncul rasa yang hangat. Ia tak nyana,
bahwa dalam dunia yang kejam ini, masih terdapat satu manusia yang memikiri
keselamatannya dan sudah menyusul tanpa menghiraukan bahaya. Tapi, mengingat
ajalnya sudah tak jauh lagi, pada saat itu juga ia mengambil keputusan, bahwa andaikata
bertemu dengan si nona, ia tentu akan menyingkirkan diri, supaya Kim Bwee tak usah
lebih berduka.
Selagi ia termenung-menung bagaikan orang hilang ingatan, sekonyong-konyong ia
mendengar suara orang bertempur. Ia terkesiap dan segera berlari-lari sekeras-kerasnya
ke arah suara itu. Dengan cepat, ia sudah masuk ke dalam kumpulan pagoda-pagoda es
yang memang jadi tujuannya. Dan ia kaget tak kepalang karena dari jauh ia melihat,
bahwa Lie Kim Bwee tengah dikepung oleh dua orang.
Sesudah menenteramkan hatinya, ia segera maju mendekati. Ternyata di tengah-
tengah kumpulan pagoda-pagoda es itu terdapat sebuah telaga kecil yang sudah
membeku dan Kim Bwee sedang bertempur melawan musuhnya di pinggir telaga.
Kedua lawan itu, yang kakinya lumpuh dan yang menyerang sambil menekan bumi
dengan satu tangannya, adalah Tunhuman dan Asia. Sesudah 'sembuh dari luka mereka
sebagai akibat perlombaan memanjat gunung melawan Pengtjoan Thianlie, mereka
mendengar, bahwa guru mereka, Timotato, sudah mendaki gunung dan oleh karenanya,
mereka segera menyusul. Tak diduga, di tengah jalan mereka bertemu dengan Lie
Kim Bwee dan dalam hati mereka lantas saja timbul niatan jahat. Mereka ingin
membekuk si nona untuk dibawa pulang ke negerinya. Sesudah bercacat karena
Thiansan Sinbong, mereka belum dapat melampiaskan rasa kedongkolan dan dengan
menawan Kim Bwee, mereka bukan saja bisa membalas sebagian sakit hati, tapi juga bisa
mendapat muka terang di antara kawan-kawan.
Waktu itu, si nona sudah lelah sekali. Akan tetapi, ilmu pedang Pekhoat Molie yang
dimilikinya, adalah ilmu pedang yang sangat luar biasa, sehingga walaupun sudah
terkurung rapat, ia masih bisa membela diri.
Sebagaimana diketahui, bahwa udara di tempat yang tinggi adalah sangat tipis dan
bertempur disitu meminta lebih banyak tenaga daripada bertempur di tanah datar. Bukan
saja Kim Bwee, tapi kedua lawannya pun sudah letih dan napas mereka tersengal-sengal.
Melihat pedang si nona menikam ke sana-sini secara sembarangan tanpa disertai
lweekang, Kim Sie Ie terkesiap dan sambil mengangkat tongkat, ia mempercepat
tindakannya. Sesaat itu, dari tembokan pagoda-pagoda es yang terang bagaikan kaca, si
nona sudah melihat bayangan pemuda itu. Tiba-tiba saja, bagaikan seorang pelancong di
tengah gurun pasir yang bertemu dengan sumber air, ia mengeluarkan teriakan nyaring
dan bagaikan kalap, ia melemparkan pedangnya dan berlari-lari ke arah Kim Sie Ie
dengan tindakan sempoyongan. Tapi baru belasan tindak, ia sudah tak kuat lagi dan roboh
dalam keadaan pingsan.
Sementara itu, Tunhuman dan Asia masih terus terputar-putar di atas bumi dalam
keadaan seperti orang lupa ingatan. Tanpa menghiraukan mereka, buru-buru Kim Sie Ie
memondong si nona yang napasnya tersengal-sengal dan kedua matanya separuh
tertutup. Ia mengusap-usap rambut orang yang hitam jengat dan mementil alisnya sambil
tersenyum. "Bwee-moay," bisiknya. "Bukalah matamu."
Pada bibir si nona lantas saja tersungging senyuman bahagia dan perlahan-lahan ia
membuka matanya. "Sie Ie-ko," katanya dengan suara sangat perlahan. "Kutahu kau akan
datang."
"Jalankanlah pernapasanmu, aku akan membantu," kata Kim Sie Ie.
Si nona tak menjawab, tapi dengan tangan bergemetaran, ia merogoh saku dan
mengeluarkan sebuah peles perak yang kecil. "Sie Ie-ko, lekas telan pel ini," bisiknya.
Hampir berbareng, kedua matanya tertutup, mulutnya rapat bagaikan bunga yang kuncup
dan badannya berubah kaku.
Bukan main kagetnya Kim Sie Ie. Dengan jantung memukul keras, ia mengurut-urut
badan si nona, tapi sesudah mengurut beberapa lama, ia belum juga berhasil
menyadarkannya. Ia mendapat kenyataan, bahwa Kim Bwee tidak terluka dan
keadaannya itu adalah akibat kelelahan yang melampaui batas. Jika berada di tanah
datar, dengan semangkok somthung dan beristirahat, si nona bisa segera pulih
kesehatannya. Tapi mereka berada di gunung tinggi, yang hawa udaranya tipis dan sukar
mencari makanan.
Hati Kim Sie Ie seperti diiris-iris dan air mata mengalir turun di kedua pipinya. "Bwee-
moay, ini semua memang juga adalah gara-garaku," katanya dengan suara duka. Untuk
pertama kali selama hidup, rasa cinta meluap-luap di dalam hatinya, tapi si nona sudah
tak dapat mendengar dan tak dapat melihatnya.
Ia menunduk tanpa berdaya. Tiba-tiba ia melihat sebuah peles perak dan hatinya
melonjak. Ia menjemputnya dan ternyata, dalam peles itu terisi tiga butir Pekleng tan yang
berwarna biru. Sebagaimana diketahui, Keng Thian pernah menyerahkan peles itu
kepadanya, tapi ia menolak. Sekarang, pada waktu ia hanya bisa hidup tiga hari lagi, ia
kembali menemukan peles itu.
Jika ia menelan tiga Pekleng tan itu, hidupnya bisa diperpanjang sedikitnya tiga puluh
enam hari. Tapi ia bukan Kim Sie Ie, jika hanya mengingat kepentingan sendiri. Dengan
cepat dan dengan tangan bergemetaran, ia membuka tutup peles dan menuang isinya di
telapakan tangan. Kemudian perlahan-lahan ia membuka gigi si nona dan memasukkan
tiga butir pel itu ke dalam mulutnya. Ia menggoyang-goyang badan Kim Bwee beberapa
kali dan lalu mengurutnya sambil mengerahkan lweekang. Selang beberapa saat, napas si
nona jadi terlebih keras, tapi belum tersadar.
Ia girang tak kepalang, tapi kegirangannya itu tercampur dengan kedukaan. Ia hanya
bisa hidup tiga hari lagi, Apakah ia mesti berdampingan terus dengan si nona yang tiga
hari lagi akan menyaksikan keberangkatannya ke alam baka? Di lain pihak, dalam dunia
yang lebar, Kim Bwee adalah manusia satu-satunya yang mencintainya dengan segenap
jiwa. Bagaimana ia tega meninggalkannya dengan begitu saja dan membiarkan si nona,
menunggu-nunggu seorang yang tak bakal kembali lagi.
Dengan pikiran kusut, ia jalan mundar-mandir sambil menghela napas berulang-ulang.
Mendadak, ia melihat kedua orang aneh itu bersila di atas salju bagaikan patung. Setelah
di dekati, mereka ternyata sudah tidak bernapas lagi. Walaupun kepandaiannya tinggi, tapi
lweekang mereka tidak bisa menyamai lweekang Thiansan pay dan oleh karenanya,
mereka kalah ulet dari Lie Kim Bwee.
Kim Sie Ie berdiri bengong dan berkata dalam hatinya: "Inilah mayat ke empat yang
ditemui aku di gunung Himalaya." Karena tak ingin si nona melihat kedua mayat itu, buru-
buru ia menggali salju dengan tongkat dan lalu menguburnya. Sehabis mengubur, ia
mendongak ke atas dan mengawasi langit. "Ah! Hari ini aku mengubur mereka, tiga hari
lagi siapa yang mengubur aku?" katanya di dalam hati.
Sekonyong-konyong ia melihat tubuh Kim Bwee bergerak. Jantungnya memukul keras
dan secepat kilat ia mengambil suatu keputusan. "Tidak," pikirnya. "Tak dapat
kumembiarkan ia menyaksikan kebinasaanku! Selama hidup tak pernah kumencinta
manusia. Di waktu mati, kujuga tak berhak menerima kecintaan orang." Memikir begitu,
biarpun hatinya merasa sangat berat, tapi ia segera melompat dan sesudah mencium dahi
si nona dan melemparkan sisa ayam salju yang belum dimakannya, tanpa menengok lagi
ia lari kabur dari kumpulan pagoda-pagoda es itu.
Lapat-Iapat ia mendengar teriakan Kim Bwee yang menyayatkan: "Sie Ie-ko! Sie Ie-
ko!..." Matahari menyilam ke barat... bulan sisir memencarkan sinarnya yang remang-
remang di atas
Chomo Lungma yang tertutup salju. Tanpa menghiraukan segala apa, Kim Sie Ie
berjalan terus. Sesudah berjalan sekian lama, ia bertemu dengan sebuah bukit es yang di
tengah-tengahnya
melekah, seperti sebuah gua. Ia lelah bukan main dan lalu masuk ke gua itu. Karena
dingin yang luar biasa, kaki tangannya kaku dan ia lalu bersila untuk menjalankan
pernapasannya. Sesudah mengerahkan lweekang beberapa lama, ia merasa, bahwa
keadaannya sudah tidak seperti sebagaimana biasa, sebab hawa yang dikerahkannya tak
bisa lagi mengalir kedua belas aliran darah yang terutama. Demikianlah, dalam keadaan
setengah pulas dan setengah sadar, ia melewati malam yang panjang itu.
Pada besokan harinya, langit cerah dan matahari memancarkan sinarnya yang gilang-
gemilang. Dengan badan yang terlebih segar Kim Sie Ie lalu meneruskan perjalanan dan
sesudah berjalan beberapa lama, barulah ia bisa melewati terowongan bukit es itu. Belum
jalan berapa jauh, di sebelah depan kembali menghadang sebuah bukit es yang tingginya
kurang lebih dua puluh tombak. Biarpun tidak terlalu tinggi, tapi karena sangat licin dan
terus-menerus diserang dengan sambaran-sambaran angin yang tajam bagaikan pisau, ia
harus menggunakan Seantero tenaga untuk memanjatnya Beberapa kali ia terpeleset dan
merosot ke bawah, sehingga waktu tiba di atas bukit es itu, matahari sudah berada di atas
kepalanya. Sambil menyusut keringat, ia menghela napas, karena mengingat, bahwa ia
hanya bisa hidup tak cukup dua hari lagi!
Sesudah mengasoh dan makan makanan keringnya yang penghabisan, ia lalu
meneruskan perjalanan. Di tengah jalan, sesudah menimpuk jatuh seekor gagak hitam, ia
menyalakan perapian dan membakar burung itu yang lalu dimakannya dengan bernapsu.
Sesudah mendapat tenaga baru, ia berjalan pula.
Selang beberapa lama, ia tiba di satu tempat yang keadaannya lain daripada yang lain.
Tempat itu ialah lembah yang tanahnya tinggi dan yang selalu diserang dengan angin
keras. Di lain-lain tempat, salju putih menutupi daerah pegunungan itu. Hanya di tempat
itu, sebab salju selalu ditiup angin, orang bisa melihat batu-batu gunung yang berwarna
gelap.
Perlahan-lahan, separuh merangkak, dengan melawan sambaran-sambaran angin, Kim
Sie Ie maju terus dan sesudah gelap, barulah ia melewati tempat yang luar biasa itu.
Dalam pergulatannya itu, kaki dan tangannya banyak terluka dan mengeluarkan darah. Ia
mengasoh di satu tanjakan dan membuat perapian. Untung juga, berkat hawa api yang
hangat, malam itu ia bisa tidur dan pada besokan paginya, ia kembali meneruskan
perjalanan.
Inilah hari terakhir!
Tjoe-hong atau Chomo Lungma (Everest) dengan puncaknya yang tertutup awan,
sudah berada di sebelah depan, kelihatannya seolah-olah tak jauh lagi. Tapi andaikata ia
mempunyai tenaga untuk mencapai puncak itu, temponya sudah tidak mengijinkan lagi. Ia
mengawasinya dengan rasa putus harapan.
Hari yang terakhir! Tak ada tempo lagi!
Tapi, sebagai seorang yang berjiwa pejuang, ia bertekad untuk bergulat sampai di detik
penghabisan. Sambil mengempos semangat, ia maju terus...
Angin meniup keras... setindak demi setindak, ia maju terus... setindak demi setindak...
Akhir-akhir, bagaikan mimpi, tangannya menyentuh batu karang di kaki Chomo
Lungma! Sesaat itu, kaki dan tangannya sudah baal dan kaku.
Tapi batu karang yang dingin itu seolah-olah menggenggam arus listrik yang hangat.
Chomo Lungma! Ia sudah menyentuh batu dari Tjoe-hong! Darahnya bergolak dan
dengan nekat ia maju pula ke depan...
Tiba-tiba, matanya berkunang-kunang dan kepalanya puyeng. Sesaat yang terakhir
sudah tiba! Tenaganya habis semua.
Di depan matanya berkelebat-kelebat bayangan manusia. Bayangan gurunya, Tokliong
Tjoentjia... bayangan Pengtjoan Thianlie... bayangan Lie Kim Bwee...
Mendadak, sayup-sayup, ia seperti mendengar suara bicaranya orang: "Kasihan anak
ini!"
Pada saat yang terakhir, keangkuhan Kim Sie Ie masih tak berkurang. Dengan sekuat
tenaga, ia memberontak dan berkata dengan suara hampir tak kedengaran: "Aku tak perlu
dikasihani orang!" Tenaganya habis... dan ia roboh!
Entah sudah lewat berapa lama, bagaikan baru tersadar dari mimpi yang menakuti, Kim
Sie Ie merasa sekujur badannya sakit. Di depan matanya, ia seolah-olah melihat
gundukan-gundukan awan yang turun menindih tubuhnya. Ia membuka mulut untuk
berteriak, tapi suara tak dapat keluar. Lapat-lapat, sekali lagi ia mendengar orang bicara:
"Kasihan anak ini!"
Suara manusia! Benar, suara manusia!
"Apa kubelum mati? Apa aku sedang mimpi?" tanyanya di dalam hati. Tapi ia masih
belum bisa membuka mata. Mendadak, mendadak saja, ia merasa semacam hawa hangat
mengalir di dalam tubuhnya, menerobos ke berbagai jalanan darah besar dan kecil,
sedang daging dan tulang-tulangnya sakit bukan main, seolah-olah diiris pisau. Tapi dalam
kesakitan yang hebat itu, ia merasakan semacam pembebasan dalam tubuhnya yang tak
mungkin dilukiskan dengan perkataan. Selang beberapa lama, rasa sakit itu banyak
berkurang, diganti dengan mengamuknya hawa yang sangat panas, sehingga ia merasa
seakan-akan dibakar. Ia haus, haus bukan main, tapi ia tak dapat membuka mulutnya.
Dengan sekuat tenaga, ia coba membuka mata, tapi kedua matanya seperti juga ditindih
dengan benda yang beratnya ribuan kati.
Sekonyong-konyong, semacam hawa dingin menerobos sampai di pusarnya dan
walaupun tak minum setetes air, ia seperti mencegluk air penawar dewa yang telah
memadamkan api yang tengah mengamuk dalam tubuhnya. Sesudah itu, hawa yang
hangat nyaman mengalir dengan perlahan di dalam badannya.
Perlahan-lahan Kim Sie Ie pulih kesadarannya dan ia membuka matanya. Tiba-tiba
sinar matanya kebentrok dengan dua sinar mata yang terang tajam. Di lain saat, ia
mengenali orang yang sedang berhadapan dengannya.
Siapa yang sudah menolongnya?
Tak lain daripada Tong Siauw Lan!
Untuk mencari Kim Sie Ie dan untuk menyambut tantangan Timotato, dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, Tong Siauw Lan mendaki
Himalaya. Biarpun memiliki lweekang yang sudah mencapai puncaknya
kesempurnaan dan meskipun sudah biasa berdiam di gunung Thiansan, tapi sesudah
naik tinggi, ia pun merasa sukar bernapas dan kemajuannya jadi sangat lambat. Hari ini,
sesudah mulai mendaki Tjoe-hong, matanya yang sangat jeli mendadak melihat tubuh Kim
Sie Ie yang separuh teruruk dengan salju tebal.
Tong Siauw Lan girang tercampur kaget. Buru-buru ia menyingkirkan salju dan meraba
dada pemuda itu, yang napasnya sudah lemah sekali. Demikianlah, walaupun harus
mengeluarkan banyak tenaga, ia berhasil menolong Kim Sie Ie dari kebinasaan.
Melihat di atas kepala Tong Siauw Lan keluar uap putih dan keringatnya terus
mengucur, Kim Sie Ie mengetahui bahwa penolongnya sedang mengerahkan lweekang
Thiansan pay untuk menjalankan aliran darahnya dan menyingkirkan segala "racun" yang
mengeram dalam dirinya, karena latihan lweekang yang sesat. Mendadak saja, dalam
hatinya timbul rasa terima kasih yang sangat besar, tercampur dengan rasa jengah.
Seumur hidup, ia paling tak suka menerima budi orang, tapi sekarang, di luar
kemauannya, ia sudah menerima budi yang sangat besar. Ia tak tahu, bahwa untuk
menolong jiwanya, di samping mengeluarkan banyak tenaga, Tong Siauw Lan pun telah
memasukkan lima butir Pekleng tan ke dalam mulutnya. Dan lima butir Pekleng tan itu
adalah perbekalan yang semengga-mengganya.
Begitu Kim Sie Ie tersadar, Siauw Lan tersenyum seraya berkata. "Ah! Akhirnya kau
tersadar juga, nak!"
Kim Sie Ie merasa lehernya terkancing, tak dapat ia mengeluarkan sepatah kata. Di lain
saat, air matanya mengucur.
"Apa masih sakit?" tanya Siauw Lan dengan perasaan kasihan. "Tak apa-apa. Sebentar
lagi, kau akan merasa enakan." Sehabis berkata begitu, ia kembali mengerahkan
lweekang dan mengurut pula sekujur tubuh pemuda itu. Ia tak tahu bahwa Kim Sie Ie
menangis bukan karena sakit di badan, tapi sebab terharu di hati. Selang beberapa lama
Kim Sie Ie merasa badannya segar bukan main dan biarpun tenaganya belum pulih
kembali, ia tahu, bahwa mulai dari sekarang, ia boleh tak usah kuatir lagi keselamatan
jiwanya dan malahan, berkat bantuan lweekang Thiansan pay, Iweekang-nya sendiri
mendapat banyak kemajuan.
Selagi Siauw Lan bekerja keras, di atas salju tiba-tiba terdengar suara tindakan yang
enteng luar biasa.
Jika ia bukan seorang guru besar dalam Rimba Persilatan, ia pasti tak bisa mendengar
tindakan yang begitu enteng. Ia terkejut dan bertanya dalam hatinya: "Apa Eng-moay?"
Sekonyong-konyong Kim Sie Ie berteriak: "Awas, musuh!" Karena sedang rebah
celentang di salju, ialah yang lebih dulu melihat bayangan Timotato. Hampir berbareng
dengan teriakannya, Timotato sudah melompat dan menghantam kepala Siauw Lan
dengan kedua tangannya.
Cepat sungguh gerakan Tong Siauw Lan! Tanpa menengok, ia mengebas ke belakang
dengan tangan kanannya. Begitu kedua tangan kebentrok, badan Siauw Lan terhuyung
beberapa tindak hampir-hampir tergelincir ke bawah tanjakan. Lweekang Tong Siauw Lan
sebenarnya lebih tinggi daripada Timotato. Tapi karena ia sudah banyak mengeluarkan
tenaga maka dalam gebrakan itu, ia jatuh di bawah angin.
"Tak punya malu!" membentak Siauw Lan. "Mengapa kau membokong aku?"
Timotato tertawa terhehe-hehe dan kemudian, sambil menuding-nuding ke atas puncak,
ia bicara dalam bahasa yang tidak dimengerti Siauw Lan. Tapi dengan gerakan tangan,
Siauw Lan tahu, bahwa ia kembali menantang untuk berlomba mendaki Chomo Lungma.
Rupanya, karena gagal dalam bokongannya ia sengaja menantang pula untuk
menyimpangkan perhatian orang. Sambil berteriak-teriak dan menggapai-gapai, ia berlari-
lari dan mulai memanjat Tjoe-hong.
Melihat paras muka Kim Sie Ie yang sudah berubah merah, hati Siauw Lan jadi sangat
lega. Ia tahu, pemuda itu sudah terlepas dari bahaya. Ia bersenyum seraya berkata:
"Phang Lin dan puterinya juga sudah mendaki gunung ini. Biarlah kau menunggu mereka
disini. Kalau tenagamu sudah pulih kembali, kau juga boleh turun gunung dan menunggu
di rumah Phoei Keng Beng."
Kim Sie Ie tidak menjawab, hanya air matanya berlinang-linang. Siauw Lan tak jadi kecil
hati. Ia menduga, pemuda itu menangis sebab terharu dan berterima kasih. Ia tak tahu,
bahwa pada saat itu, dua macam pikiran sedang berkelahi dalam otak Kim Sie Ie. Apa
lebih baik menuntut penghidupan biasa, pergi datang seorang diri dan menjauhi pergaulan
umum? Apa lebih benar kembali di antara khalayak ramai, mengikat persahabatan antara
sesama manusia dan mendirikan rumah tangga? Ia merasa sangsi dan tak dapat
mengambil keputusan.
Sementara itu, Timotato sudah naik belasan tombak tingginya. Siauw Lan tak punya
tempo lagi untuk bicara panjang-panjang dan sesudah melemparkan sekantong makanan
kering, ia lalu mengubar. Tapi, baru jalan beberapa tindak, ia kembali lagi karena ingat
suatu hal. Ia mengeluarkan sejilid buku yang diberikan oleh Phang Lin dan berkata sambil
tertawa. "Hampir-hampir aku lupa. Ini adalah buku peninggalan mendiang gurumu." Ia
mengangsurkannya kepada Kim Sie Ie dan kemudian mengudak Timotato dengan
menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Sesudah memanjat beberapa tombak, ia menengok dan melihat pemuda itu duduk
bersila sambil membuka-buka lembaran buku gurunya.
Semakin tinggi, hawa udara jadi semakin tipis dan orang semakin sukar bernapas.
Usaha mendaki gunung tertinggi dalam dunia, memang juga penuh dengan bahaya.
Siauw Lan mengawasi ke atas dan melihat sebuah tanjakan es yang panjang dan tebing
dan di atas tanjakan itu terdapat puncak yang duduknya melintang, sehingga puncak itu
seolah-olah tergantung di tengah udara. Di antara awan yang putih terlihat pula beberapa
ekor elang yang melayang-layang dengan perlahan. Mendadak seekor antaranya jatuh ke
bawah. Siauw Lan tahu, bahwa karena tebalnya awan, elang itu tak bisa melihat tegas
dan sudah membentur batu tajam di puncak yang melintang itu. Ia menghela napas dan
berkata dalam hatinya: "Ah! Sekalipun elang masih tak dapat mendaki puncak Tjoe-hong!"
Tapi ia adalah seorang jago yang pantang mundur. Biarpun yakin akan bahaya yang
besar, ia terus memanjat ke atas.
Selang tak lama, jarak antara Siauw Lan dan Timotato jadi semakin pendek. Sambil
merangkak, Siauw Lan maju setindak demi setindak. Ia merasa heran sebab lawannya
„masih terus dapat mempertahankan diri. Sesudah datang lebih dekat, ia mendengar
suara "ting-ting-ting" dan barulah ia tahu, bahwa lawannya membekal rupa-rupa alat untuk
mendaki gunung. Dengan menggunakan cangkul kecil, Timotato membuat undakan-
undakan untuk menaruh kaki di tanjakan es itu. Dari tapak-tapak kaki ia juga mengetahui,
bahwa Timotato menggunakan sepatu berduri yang dibuat untuk mendaki gunung.
Tapi Siauw Lan tak jadi kecil hati. Dengan menggunakan ilmu Engdjiauwkang
(Cengkeraman cakar garuda), ia memanjat terus. Kalau bertemu dengan lereng yang
tegak dan licin, ia merambat dengan ilmu Pekhouw yoetjiang (Cicak merayap di tembok).
Dengan begitu, biarpun harus menggunakan banyak tenaga, ia masih bisa terus menyusul
lawannya dan tak lama kemudian, jarak antara mereka hanya tinggal lima enam tombak
saja.
Dengan cepat kedua lawan itu mendekati puncak pertama yang melintang di atas.
Dengan menempelkan badannya di tembok es, Timotato memanjat. Napasnya tersengal-
sengal, ia sudah lelah dan kalau tak takut ditertawai, ia tentu sudah merosot turun.
Keadaan Siauw Lan pun tak lebih baik, ia merasa kaki tangannya baal dan kaku, sedang
tenaganya pun sudah mulai habis.
Tiba-tiba awan hitam berterbangan di langit yang cerah dan sesaat kemudian, turunlah
badai. Dengan kedua tangannya, Siauw Lan mencekal erat-erat sebuah batu yang
menonjol seperti rebung. Di antara menderunya angin, sekonyong-konyong terdengar
suara gemuruh yang hebat luar biasa, sehingga gunung itu seolah-olah bergoyang-
goyang. Hati Siauw Lan mencelos. Itulah "salju roboh" yang sering terjadi di puncak
Chomo Lungma.
Di lain saat, bahaya datang! Balokan-balokan es yang sangat besar melayang turun ke
bawah bagaikan hujan. Sungguh untung, kedua lawan itu berada di bawah puncak yang
melintang, sehingga balokan-balokan itu jatuh di atas puncak dan kemudian tercemplung
ke dalam jurang yang ribuan tombak dalamnya. Sambil mencekal batu menonjol itu
sekeras-kerasnya, Siauw Lan menempelkan badannya di tembokan es, di bawah puncak.
Dengan jantung memukul keras, ia mengawasi balokan-balokan es yang lewat di pinggir
badannya. Itulah pemandangan yang sungguh menakuti! Tapi sebenar-benarnya, apa
yang ditemui mereka adalah "salju roboh" dalam ukuran kecil.
Dengan teraling kabut tebal, lapat-lapat Siauw Lan melihat, bahwa lawannya juga
sedang bersembunyi di bawah puncak, di tempat yang terpisah hanya beberapa tombak
dari dirinya, sambil mencekal sepotong rantai besi. Ternyata, lawan itu telah memantik
sebatang paku besar ke dalam batu dan kemudian melibatkan rantainya di paku itu.
Biarpun badannya menggelantung di tengah udara, tapi karena teraling dengan puncak
yang melintang itu, ia berada dalam keadaan yang sentosa. Pada sebelum mendaki Tjoe-
hong, Timotato telah menyebar sejumlah muridnya untuk menyelidiki keadaan, sehingga
ia sudah tahu tentang sering terjadinya "salju roboh" di gunung itu dan oleh karenanya, ia
membekal alat-alat yang perlu.
Antara kedua lawan itu yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi, terdapat satu
perbedaan: Tong Siauw Lan yang sudah jadi nekat mencekal batu menonjol itu dengan
hati tenang, sebab ia sudah tidak memperdulikan mati atau hidup. Di lain pihak, Timotato
ketakutan setengah mati, sehingga badannya terus bergemetaran.
Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan yang sangat hebat. Ternyata sebuah balokan es
raksasa
- yang menyerupai bukit kecil -- jatuh menimpa puncak itu yang lantas saja
bergoyang-goyang! Hampir berbareng, badai menyambar-nyambar, disertai dengan
sambaran-sambaran potongan-potongan es yang lebih kecil. Sambil meramkan mata dan
menyerahkan segala apa kepada sang nasib, Siauw Lan mencekal batu itu dengan
menggunakan Seantero tenaganya.
Mendadak, mendadak saja ia mendengar teriakan yang menyayatkan hati! Ia membuka
kedua matanya dan... badan Timotato yang tinggi besar melayang ke bawah! Rupanya,
ketika bukit es itu menimpa puncak, tangannya yang mencekal rantai terlepas karena
kekagetan dan ketakutan yang melampaui batas! Siauw Lan merasa duka, karena
seorang yang berilmu tinggi mesti mengorbankan jiwa cara begitu.
Tak lama kemudian angin mereda dan "salju roboh" berhenti.
Sesudah mengasoh beberapa lama, Siauw Lan merayap ke tempat dimana tadi
Timotato menggelantung. Rantai masih berada pada tempatnya dan bergoyang-goyang
tak hentinya. Sesudah mengambil rantai itu, perlahan-lahan ia naik ke atas puncak yang
melintang dan merebahkan diri untuk beristirahat. Hawa udara tipis bukan main dan jika
Siauw Lan tidak memiliki lweekang yang sangat tinggi, siang-siang ia sudah mati sesak.
Langit terang benderang dan ia bisa melihat puncak Chomo Lungma yang tertutup salju
dan awan. Kelihatannya tidak seberapa jauh, tapi ia tahu, bahwa ia belum mencapai
separuh gunung itu. Ia menghela napas dan melepaskan segala niatan yang tidak-tidak
untuk mencapai puncak Tjoe-hong. Ia melongok ke bawah dan apa yang dilihatnya
hanyalah satu kekosongan, seperti juga ia berada di atas tembok yang beribu-ribu tombak
tingginya. Naiknya sukar, turunnya pun tak gampang.
Selagi memikiri cara untuk turun ke bawah, tiba-tiba kupingnya menangkap suara
manusia, suara yang seperti juga memanggil-manggil namanya!
Ia terkesiap dan di lain saat, ia berteriak: "Eng-moay! Eng-Moay!" Darahnya bergolak
dan semangatnya terbangun. Buru-buru ia memanjat ke atas, ke arah suara itu. Sesudah
naik belasan tombak, benar saja ia melihat isterinya yang sedang berduduk di atas
dengan rambut terurai dan pakaian bernoda darah. Tak usah dikatakan lagi, sang isteri
telah terluka pada waktu terjadinya "salju roboh".
"Siauw Lan!" seru Phang Eng dengan suara girang. "Tolonglah aku!"
Dengan menggunakan Seantero tenaganya, Siauw Lan lalu memanjat lagi. Perlahan-
lahan ia mendekati dan di lain saat, dengan tenaga yang terakhir, ia melontarkan rantai ke
arah Phang Eng yang lalu menangkapnya. Dengan dibetot oleh isterinya, ia berhasil
mencapai tempat itu dan mereka lalu duduk berendeng untuk beristirahat.
"Siauw Lan," kata Phang Eng sambil bersenyum. "Andaikata aku mati sekarang, aku
akan mati dengan mata meram, karena berada sama-sama kau."
"Eng-moay, apa kau terluka berat?" tanya sang suami.
"Tidak, waktu terjadi salju roboh, aku bersembunyi di sela-sela batu," jawabnya. "Hanya
terluka sedikit, tapi tenagaku sudah habis semua. Barusan, waktu mendengar teriakan
hebat, aku menduga kau yang celaka. Syukur sungguh, kau tak kurang suatu apa.
Dengan badan tak bertenaga, aku kuatir kita sukar bisa turun ke bawah."
Sang suami bersenyum dan berkata dengan suara menghibur "Jika turun masing-
masing, memang juga agak sukar. Dengan berdua dan dengan adanya rantai ini, kurasa
kita akan berhasil."
Sesudah mengasoh, mereka lalu makan makanan kering. Tiba-tiba terdengar satu
teriakan nyaring.
"Ih! Lu Soe Nio!" teriak Siauw Lan sambil melompat bangun. Ia ingin balas berteriak,
tapi karena kuatir suaranya tidak terdengar dalam hawa udara yang tipis itu, ia segera
melepaskan dua batang Thiansan Sinbong sebagai pertandaan. Dengan hati berdebar-
debar, mereka menunggu. Selang beberapa lama, di atas sebuah tanjakan yang terjal,
mereka melihat bayangan Lu Soe Nio. "Mari! Kemari!" seru Lu Liehiap sambil menggapai-
gapai.
Siauw Lan dan Phang Eng pun menggapai-gapai dan kemudian dengan saling tuntun,
mereka memanjat ke arah Lu Soe Nio. Ternyata, dengan bekerja sama, mereka dapat
menghemat banyak tenaga.
Paras Lu Soe Nio kelihatan pucat dan napasnya tersengal-sengal. Tapi, bahwa ia
sudah bisa naik lebih tinggi seorang diri, adalah kejadian yang sungguh mengagumkan.
Bagaimana Lu Soe Nio bisa* berada disitu?
Sesudah menyelesaikan segala urusan di Kimkong sie, ia segera pergi ke Himalaya
untuk mencari Tong Siauw Lan. Di kaki-gunung ia bertemu dengan Thian Oe dan
mengetahui, bahwa Keng Thian dan yang lain-lain sudah naik ke atas gunung untuk
mencari Kim Sie Ie. Buru-buru ia menyusul dan menginap semalaman di rumah Phoei
Keng Beng, dimana ia mendapat segala keterangan secara lebih jelas.
Waktu ia menanyakan hasil perlombaan melawan Timotato, Siauw Lan tertawa getir
dan menjawab: "Menang, tapi juga kalah."
"Apa artinya?" menegas Soe Nio.
"Dalam perlombaan, karena Timotato mati, bisa dikatakan aku yang menang,"
jawabnya. "Tapi biar bagaimanapun juga, aku gagal mencapai puncak Tjoe-hong dan
karena kegagalan itu, aku sebenarnya kalah."
Soe Nio tersenyum. "Sesudah sampai disini, kau harus merasa puas," katanya. "Mari!
Aku ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu."
Dengan bantu membantu mereka memanjat pula dan sesudah menggunakan tempo
beberapa jam, mereka tiba di bawah puncak kedua yang melintang di atas tembok salju
itu. Tiba-tiba Soe Nio menuding ke dinding salju. Siauw Lan dan Phang Eng mengawasi
dan ternyata di atas sebuah batu terukir empat huruf besar: Djin Thian Tjoat Kay
(Perbatasan antara manusia dan langit). Di bawah empat huruf itu terdapat beberapa baris
huruf kecil yang berbunyi seperti berikut:
Pada musim rontok tahun Kalisin, aku tiba di Tibet dengan niatan mendaki puncak
Tjoe-hong. Aku tertahan di tempat ini, tenagaku habis, tak dapat kumaju lagi dan hampir-
hampir kuhilang jiwa. Sekarang baru aku yakin, bahwa tenaga manusia ada batasnya.
Semenjak keluar dari rumah perguruan, dengan sebatang pedang aku berkelana ke
berbagai tempat tanpa menemui tandingan. Aku menduga, bahwa di kolong langit tiada
pekerjaan yang tidak bisa dilakukan. Tapi sekarang, aku menunduk di bawah Tjoe-hong,
dengan ditertawai oleh awan-awan putih. Manusia mudah ditakluki, tapi langit tak dapat di
atasi. Hai! Kenyataan ini adalah cukup untuk membuat orang-orang gagah di kolong langit
menghela napas sambil mengusap-usap pedangnya!
Di bawah huruf-huruf itu terdapat tiga huruf:
Leng Bwee Hong.
Ia adalah (kakek guru) Tong Siauw Lan dan Phang Eng.
Sambil menuding tulisan itu, Soe Nio berkata: "Dulu, Leng Tayhiap hanya bisa sampai
disini. Sekarang kita pun sudah tiba di ini tempat. Apakah kita tidak mengenal puas?"
Siauw Lan menghela napas dan kemudian mengangguk dengan perlahan.
Sesudah mengasoh beberapa lama, Phang Eng menanya: "Lu Tjietjie, waktu naik ke
atas, apakah kau pernah bertemu dengan Keng Thian?"
"Keng Thian dan bakal menantumu juga sudah naik gunung," jawabnya. "Menurut
keterangan, mereka naik ke gunung ini untuk mencari Kim Sie Ie."
"Kalau begitu, mungkin mereka sudah bertemu Kim Sie Ie di kaki Tjoe-hong," kata
Siauw Lan yang lalu menceritakan pengalamannya, bagaimana ia sudah menolong jiwa
pemuda itu.
"Aku merasa senang sekali, bahwa Tokliong Tjoentjia sudah mempunyai ahli waris,"
kata Soe Nio. "Sekarang cuaca masih baik, marilah kita menggunakan kesempatan ini
untuk turun gunung."
"Syukur kami bertemu dengan Lu Tjietjie," kata Phang Eng. "Kalau tidak, mungkin
sekali kami tak akan bisa turun dari gunung ini."
Demikianlah dengan saling membantu, mereka mulai turun dari gunung itu. Meskipun
harus mengalami banyak kesukaran, tapi pada akhirnya mereka berhasil juga.
Mereka menduga, begitu tiba di kaki Tjoe-hong, mereka akan bisa bertemu dengan Kim
Sie Ie.
Tapi dugaan itu meleset, karena muncul perkembangan yang tidak ditaksir-taksir.

***

Sekarang marilah kita menengok Tong Keng Thian dan Koei Peng Go yang, sesesudah
meminta diri dari raja Nepal, segera mendaki gunung untuk mencari Kim Sie Ie. Bahwa
raja Nepal sudah berjanji akan menarik pulang tentaranya, sehingga satu peperangan
dapat disingkirkan, telah menggirangkan sangat hati mereka. Tapi mengingat keselamatan
Kim Sie Ie, kegirangan itu tercampur dengan kedukaan.
Dalam perjalanan itu, mereka tidak lewat di rumah Phoei Keng Beng, sehingga tak tahu
perkembangan yang terakhir.
Sesudah memanjat tiga hari, Pengtjoan Thianlie yang sudah biasa berdiam di istana es
masih tidak merasakan apa-apa, tapi Keng Thian sudah mulai merasa sesak dalam
pernapasannya. Tapi berkat pemandangan gunung yang sangat indah dan juga karena si
nona yang dicintai selalu berdampingan, maka ia seolah-olah tidak merasakan kesukaran
itu.
Sesudah berjalan dua hari lagi, jauh-jauh mereka melihat kumpulan pagoda-pagoda es
dimana Lie Kim Bwee pernah ditolong oleh Kim Sie Ie. Melihat pemandangan yang luar
biasa itu, mereka bersorak dengan rasa kagum. Peng Go pun sudah sukar bernapas, tapi
lantaran tertarik dengan indahnya pagoda-pagoda es itu, tanpa merasa ia mengerahkan
lweekang dan mempercepat tindakannya. Kasihan, Keng Thian yang sudah hampir
kehabisan tenaga, tak dapat mengikuti kecintaannya itu.
Selagi berlari-lari, tiba-tiba Peng Go menghentikan tindakannya, karena di depannya
menghadang sungai es yang di atasnya mengambang satu balokan es yang sangat besar.
Baru saja ia ingin mengambil jalanan mutar, di belakang balokan es itu mendadak
terdengar suara tangisan, Si nona terkejut dan menggapai Keng Thian. Mereka berdua
lalu memutari sungai es itu untuk melihat siapa yang sedang menangis. Ternyata, di tepi
sungai berduduk seorang pria.
"Hongsek Toodjin!" teriak Keng Thian.
Si imam berduduk disitu dengan muka berlepotan darah yang sudah membeku menjadi
es, sehingga kelihatannya menakuti sekali.
Begitu melihat Peng Go, ia berteriak: "Kau yang sudah mencelakakan dia! Kau yang
sudah mencelakakan dia!"
"Aku mencelakakan siapa?" tanya si nona dengan gusar. Ia mencabut Pengpok
Hankong kiam dan menyabet satu kali sehingga jubah pertapaan si imam menjadi robek.
Hongsek Toodjin mendelik. "Aku! Aku yang membinasakan dia! Aku yang
membinasakan dia!" serunya bagaikan orang gila.
Peng Go mundur setindak dengan hati berdebar-debar.
Mendadak, sambil berteriak Hongsek Toodjin roboh dengan mengeluarkan darah yang
lantas saja membeku.
Peng Go merasa heran sebab sabetan pedang yang barusan sama sekali tidak
menyentuh badan si imam. Ia tak tahu, bahwa karena dinginnya hawa dan sukarnya
bernapas, lweekang Hongsek sudah banyak berkurang dan waktu diserang dengan
Hankong kiam, tubuhnya tak kuat bertahan lagi dan ia muntahkan darah. Jika mereka
berada di atas tanah datar. Pengtjoan Thianlie masih belum bisa menandingi si imam.
Buru-buru si nona memasukkan beberapa butir Yangho wan ke dalam mulut Hongsek
untuk menghangatkan badannya. Selang beberapa saat, ia membuka kedua matanya dan
Keng Thian lantas saja mengurut tubuhnya sambil mengerahkan lweekang. Ia
membiarkan dirinya diolah sambil mengawasi kedua orang muda itu dengan sorot mata
berterima kasih.
Sekonyong-konyong ia kembali berkata dengan suara perlahan: "Aku, akulah yang
sudah mencelakakan mereka!"
"Siapa?" tanya si nona.
"Tak ada Tjiangtjoe Siantjo!" kata si imam tanpa menjawab pertanyaan Peng Go.
"Turunlah! Lekas kalian turun dari gunung yang berbahaya ini."
"Apa itu Tjiangtjoe Siantjo?" tanya pula Peng Go dengan suara heran.
"Bukankah kalian ingin mencari Tjiangtjoe Siantjo di puncak Chomo Lungma?" Hongsek
balas menanya.
Pengtjoan Thianlie menggelengkan kepala. "Namanya saja aku belum pernah
mendengar," katanya.
Hongsek membuang napas. "Ah! Kalau begitu aku hanya mencelakakan Hiatsintjoe
dan Tang Thay Tjeng," katanya.
"Apa? Aku sungguh tak mengerti apa yang dikatakan olehmu," kata Peng Go.
Hongsek menghela napas berulang-ulang dan kemudian berkata dengan suara
duka:
"Hiatsintjoe dan Tang Thay Tjeng telah binasa di sungai es. Aku hanya melihat mayat
mereka."
"Tapi mengapa kau mengatakan, bahwa kaulah yang sudah mencelakakan mereka?"
tanya Peng Go.
"Sesudah diserang dengan tujuh butir Pengpok Sintan-mu, lweekang Hiatsintjoe telah
banyak berkurang," menerangkan Hongsek. "Keinginan untuk memulihkan tenaganya
adalah sedemikian besar, sehingga aku merasa kasihan padanya. Selama hidupnya, ia
hanya mempunyai satu sahabat, ialah aku sendiri. Aku merasa tak tega, jika ia sampai
mati lantaran jengkel. Untuk menolongnya, aku sudah berdusta. Aku mengatakan, bahwa
di puncak Tjoe-hong terdapat semacam rumput dewa janq dikenal sebagai Tjiangtjoe
Siantjo. Siapa yang makan rumput itu akan bertambah Iweekang-nya, yang sama nilainya
dengan latihan selama tiga puluh tahun. Dengan berkata begitu, aku hanya ingin memberi
satu harapan di dalam hatinya. Menurut perhitunganku, andaikata ia benar-benar mendaki
gunung ini, pada akhirnya ia akan turun lagi karena tak bisa naik terus dan sesudah
kembali, hatinya akan jadi lebih tenang. Tapi di luar dugaan, bersama Tang Thay Tjeng, ia
memanjat terus sampai disini dan terbinasa. Dengan begitu, bukankah aku yang sudah
mencelakakan mereka?"
Mendengar keterangan itu, dalam hati Keng Thian dan Peng Go lantas saja timbul rasa
persahabatan terhadap imam tua itu. Sekarang mereka tahu, bahwa Hongsek terganggu
pikirannya sebab menyesal dan duka. "Hiatsintjoe adalah seorang jahat dan
kebinasaannya tak harus dibuat sayang," kata Peng Go dalam hatinya. "Tapi Hongsek
Toodjin, biarpun ia tak bisa membedakan jahat dan baik, masih berharga untuk dipandang
sebagai sahabat."
Peng Go berdiam beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara halus: "Kalau
begitu, kau turun gununglah. Sesudah menelan Yangho wan, kau tak akan takuti lagi hawa
dingin dan kurasa kau akan bisa sampai di kaki gunung dengan selamat."
"Dan kau?" tanya Hongsek.
"Kami ingin mencari sesuatu yang lebih berharga daripada Tjiangtjoe Siantjo,"
jawabnya. Hongsek menggeleng-gelengkan kepala, tapi ia tak berani mencegah karena
niatan Peng Go kelihatannya sudah tak bisa diubah lagi Sesudah menghaturkan terima
kasih kepada Keng Thian dan si nona, ia lalu turun gunung seorang diri.
Sesudah si imam berlalu, dengan saling menggandeng tangan. Dua sejoli itu lalu
memasuki kumpulan pagoda-pagoda es. Selagi enak berjalan sambil menikmati
pemandangan yang luar biasa, sekonyong-konyong mereka mendengar suara tangisan
yang perlahan.
Mereka kaget tak kepalang. "E-eh! Seperti suara orang yang sudah dikenal," kata Keng
Thian yang lalu memburu ke arah suara itu. Tiba-tiba ia berteriak: "Kim Bwee Piauwmoay!"
Orang yang sedang menangis di pinggir telaga memang juga Kim Bwee adanya.
Sesudah datang dekat, Keng Thian menanya sambil bersenyum: "A Bwee, apa kau
kesasar?" Sebagai kawan bermain semenjak kecil, ia tahu, bahwa saudari sepupunya
menangis bukan karena kesasar jalan, tapi ia sengaja menanya begitu.
Si nona mengangkat kepala dan menjawab dengan suara serak: "Dia sudah pergi!"
Mendengar perkataan Kim Bwee, Peng Go yang sudah menghampiri lantas saja
berkata:
"Mengapa kau tidak menahan dia?"
Senyuman Keng Thian lantas saja menghilang dari bibirnya. Ia sekarang tahu, bahwa
Kim Sie Ie sudah kabur lagi tanpa dapat ditahan oleh si nona.
"Dia memberikan semua Pekleng tan kepadaku," kata si nona sambil menunjuk peles
perak. "Hatinya terlalu mulia dan terlalu kejam."
"Apa artinya?" tanya Keng Thian.
"Seperti di dalam mimpi... dalam sekejap dia menghilang," jawabnya sambil
mengucurkan air mata. Sesudah itu, dengan suara terputus-putus ia menuturkan segala
pengalamannya.
Keng Thian dan Peng Go berduka sangat. Mereka tak tahu, bagaimana harus
menghibur Kim Bwee.
Sesudah memikir beberapa saat, Peng Go berkata: "Bwee-moay, sudahlah, kau jangan
menangis. Kami akan menemani kau mendaki Tjoe-hong."
Si nona mengawasi dengan sorot mata bersangsi.
"Menurut taksiranku, ia pasti memanjat Chomo Lungma," kata pula Peng Go.
Kedua mata Kim Bwee bersinar terang. "Peng Go Tjietjie, kau sungguh mulia," katanya
dengan suara berterima kasih.
"Ih! Mengapa kau tak makan daging itu?" tanya Keng Thian yang melihat sepotong
daging ayam di atas salju.
"Daging itu ditinggalkan olehnya, aku tak tega untuk memakannya," jawab Kim Bwee.
"Anak tolol!" kata Peng Go seraya tertawa. "Tanpa makan, mana kau punya tenaga?" Ia
meraba kantong makanan Kim Bwee yang ternyata sudah kosong sama sekali.
Ternyata, sudah sehari suntuk Kim Bwee tak makan apapun jua. Untung sekali Keng
Thian membekal banyak makanan kering dan sebatang jinsom. Si nona lalu makan sedikit
ransum kering dan separuh jinsom, tapi ia masih tak tega untuk makan daging ayam
pemberian Kim Sie Ie.
Sesudah keluar dari kumpulan pagoda-pagoda es, mereka lalu mendaki tanjakan
dengan mengikuti tapak-tapak kaki Kim Sie Ie. Pada hari kedua, mereka tiba di lembah
yang sering diserang taufan dan tapak-tapak itu menghilang tertutup salju yang ditiup
angin. Pada besokan harinya, Chomo Lungma sudah berada di depan mata.
Setibanya disitu, mereka lelah bukan main dan sukar bernapas. Walaupun tak takut
hawa dingin, Peng Go merasa dadanya sakit dan sesak. Keadaan Keng Thian masih
mendingan, karena ia memiliki lweekang yang lebih tinggi. Orang yang paling menderita
adalah Kim Bwee, yang hanya bisa maju setindak demi setindak dengan dipayang Keng
Thian.
Mereka tiba sesudah terjadinya "salju roboh". Dari bawah mereka memandang ke atas
dan apa yang dilihatnya hanya puncak-puncak yang menjulang ke langit, tertutup awan
dan salju.
Peng Go dan Kim Bwee mengawasi puncak itu dengan hati berdebar-debar. Walaupun
berkepandaian tinggi, mereka yakin Kim Sie Ie tak akan mampu mendaki puncak yang
setinggi itu. Dalam hati kecil, mereka menduga, bahwa pemuda itu telah mengalami
kecelakaan, tapi tak satupun yang berani mengutarakan dugaan itu.
Tiba-tiba Kim Bwee berbisik: "Hari keberapa ini?" Karena pingsan lama di kumpulan
pagoda-pagoda es, ia tak dapat menghitung hari lagi. Sekonyong -konyong paras Peng
Go berubah pucat, la ingat bahwa bersama Keng Thian ia sudah berada di Himalaya tujuh
hari tujuh malam, atau dengan lain perkataan, sudah melampaui batas umur Kim Sie Ie
dengan satu hari dan satu malam!
Waktu itu matahari sudah menyilam ke barat dan sang rembulan sudah memancarkan
sinarnya yang remang-remang di atas langit. Lama sekali mereka mengasoh untuk
memulihkan tenaga.
Selang satu dua jam, Keng Thian menghela napas seraya berkata: "Marilah kita turun
saja." "Tidak! Aku tak pulang!" teriak Kim Bwee dengan suara pasti
Peng Go mencekal tangan si nona dan mengawasi mukanya dengan penuh rasa
kasihan. Tapi sebelum ia sempat membujuk, di tanjakan tiba-tiba terdengar teriakan
seorang wanita: "A Bwee!
Kau juga sudah tiba disini?"
"Ibu!" seru Kim Bwee sambil melompat bangun. Phang Lin tertawa haha-hihi dan
menggapai-gapai. "Ie-ie!" teriak Keng Thian "Apa kau sudah bertemu dia?" "Bertemu!"
jawabnya.
Badan Kim Bwee bergemetaran,tapi larinya terlebih cepat daripada Pengtjoan
Thianlie.
"Dimana dia?" tanyanya sambil memeluk sang ibu.
"Lihatlah sendiri," kata Phang Lin seraya menuding ke satu jurusan.
Semua orang menengok ke tembokan es yang ditunjuknya. Ternyata di tembok es itu
terdapat empat baris huruf yang berbunyi seperti berikut:
Kubukan manusia yang tak mengenal budi,
Memandang Tjoe-hong dengan hati bersedih,
Kuhanya cocok untuk hidup menyendiri,
Malu menerima kecintaan dari seorang dewi.
Di bawah syair yang ditulis dengan pedang itu terdapat juga tapak-tapak tongkat.
Pengtjoan Thianlie kelihatan berduka sekali. Hanya ia seorang yang mengenal isi hati
Kim Sie Ie. Syair itu keluar dari jiwa yang angkuh. Ia haus akan kecintaan manusia yang
hangat, tapi pada akhirnya, ia mabur seorang diri dari dunia pergaulan.
Untuk beberapa lama, mereka tak mengeluarkan sepatah kata. Mereka bengong dan
memandang dunia perak yang sangat indah, yang gilang-gemilang di bawah sorotan sinar
rembulan.
Akhirnya, kesunyian itu dipecahkan oleh Phang Lin yang berkata dengan mendadak:
"Kurang ajar sungguh bocah itu!" Comelan disusul dengan tertawa. "Jangan jengkel-
jengkel," katanya pula sambil melirik puterinya. "Asal dia masih bidup, aku pasti akan
dapat membekuknya, supaya kau bisa melampiaskan rasa kedongkolanmu." Kata-kata itu
hanya untuk menghibur Kim Bwee. Dalam hatinya, Phang Lin pun yakin, bahwa mencari
pemuda itu bukan hal yang mudah.
"E-eh, apa itu?" mendadak Kim Bwee berkata sambil menuding ke atas. "Tiga bola
salju...
menggelinding ke bawah..T eh sungguh cepat!"
"Anak tolol!" bentak sang ibu seraya tertawa. "Bukan bola salju. Itulah lethio-mu, Ie-ie
dan...
siapa orang yang ketiga. Ah! Lu Soe Nio!"
Beberapa saat kemudian, Siauw Lan bertiga sudah tiba disitu. Tak usah dikatakan lagi,
pertemuan itu menggirangkan sangat hatinya semua orang.
Sambil mencekal tangan Peng Go, Phang Eng tertawa seraya menanya: "Apa
sekarang kau masih jengkel terhadapku?"
Phang Lin tertawa geli. "Aku berjanji akan carikan kau seorang menantu yang
memuaskan,"
katanya dengan suara menggoda. "Bukankah sekarang aku sudah memenuhi janji itu?"
Peng Go tak menjawab, hanya mukanya berubah merah karena kemalu-maluan. Ia
melirik kedua saudara perempuan itu dan baru sekarang, sesuai dengan petunjuk Keng
Thian, ia dapat membedakannya. Bagi orang luar, mereka hanya dapat dibedakan waktu
sedang tertawa. Yang satu bersujen di pipi kiri, yang lain di pipi kanan.
"Aku sudah menepati janji, tapi bagaimana dengan janjimu?" tanya Phang Lin.
"Apa kalian belum bertemu dengan Kim Sie le?" tanya Siauw Lan dengan heran. "Aku
minta ia menunggu disini atau di rumah Phoei Keng Beng."
"Dia tak akan kembali," jawab Phang Lin. "Bacalah syair itu."
Sesudah membaca Siauw Lan menghela napas. "Begitu gurunya, begitu juga
muridnya," katanya dengan suara duka. "Adat Kim Sie Ie lebih aneh daripada Tokliong
Tjoentjia." Lantas saja ia menceritakan, bagaimana pada saat yang sangat berbahaya, ia
sudah berhasil menolong jiwa pemuda itu.
Kim Bwee jadi girang tercampur sedih. Ia girang sebab kecintaannya sudah terbebas
dari kebinasaan dan di kemudian hari, ia bakal menjadi seorang pandai dalam dunia
persilatan. Tapi ia juga merasa sedih, karena pemuda itu sudah mabur untuk tidak kembali
lagi.
Phang Lin yang beradat "berandalan", kali ini pun merasa duka. Secara kebetulan ia
telah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk menjadi suami puterinya. Tapi
pemuda itu telah kabur dengan begitu saja dengan menolak segala kecintaan orang.
Mendengar Siauw Lan menyebut-nyebut nama Tokliong Tjoentjia, ia ingat buku catatan
harian yang diberikannya kepada Siauw Lan. "Siauw Lan, apa buku catatan harian itu
sudah diserahkan kepada Kim Sie Ie?" tanyanya.
Siauw Lan terkejut. "Ya," jawabnya. "Apa? Buku catatan sehari-hari? Aku tadinya
menduga, buku ilmu silat."
"Kau tidak membacanya?" tanya pula Phang Lin.
"Bagaimana kuboleh baca buku orang lain?" Siauw Lan balas tanya.
Lu Soe Nio yang sedari tadi terus menutup mulut, mendadak bertanya: "Apa dalam
buku itu terdapat catatan penting?"
"Sangat penting, mengenai jiwa umat manusia di sepanjang pantai," jawab Phang Lin.
Siauw Lan terperanjat. "Apa?" ia menegas.
"Menurut catatan itu, di bawah pulau Tjoa-to terdapat sebuah gunung berapi yang
menurut taksiran Tokliong Tjoentjia, akan meledak kurang lebih sepuluh tahun lagi,"
menerangkan Phang Lin. "Jika sampai terjadi kejadian itu, bukan saja seluruh pulau akan
menjadi hancur, tapi semua makhluk berjiwa di dalam laut dan umat manusia yang hidup
di sepanjang pantai Lautan Kuning, akan celaka. Menurut Tokliong Tjoentjia, masih ada
jalan untuk mengelakkan bencana tersebut. Beberapa bulan sebelum terjadi peledakan,
seseorang harus masuk ke dalam lubang gunung dan membuka sebuah terowongan
untuk memasukkan air laut, supaya api dan lahar beracun bisa mengalir keluar perlahan-
lahan. Hanyalah dengan jalan itu saja, barulah bencana bisa dielakkan."
Paras muka Soe Nio lantas saja berubah terang. "Kalau begitu, kita tak usah mencari
Kim Sie Ie lagi," katanya sambil bersenyum.
"Mengapa?" tanya Phang Lin.
"Sesudah membaca buku gurunya, apakah ia tak mengerti, bahwa ia adalah orang
satu-satunya yang bisa mengelakkan bencana itu?" Soe Nio balas tanya.
Siauw Lan mengangguk beberapa kali dan berkata dengan suara perlahan: "Menolong
sesama manusia adalah tugas orang-orang sebangsa kita. Apalagi mengelakkan bencana
yang sedemikian besar! Mengenai tugas itu, aku merasa Tokliong Tjoentjia sudah
menghitung masak-masak, sehingga, biarpun ia masuk ke dalam gua api, ia pasti akan
bisa keluar lagi dengan selamat."
Paras muka Phang Lin berubah lebih terang. "Ya," katanya. "Biarlah ia melakukan satu
perbuatan yang mulia itu."
Kim Bwee mengawasi ibunya dan kemudian berkata dengan suara perlahan: "Tapi...
andaikata ia selamat... apakah ia akan kembali?"
"Ia mabur karena merasa malu terhadap manusia," kata Lu Soe Nio. "Sesudah berhasil
melakukan perbuatan yang mulia itu, aku merasa pasti ia akan kembali ke dunia
pergaulan."
Si nona tak mengatakan apa-apa lagi, tapi mendengar suara Lu Soe Nio yang begitu
pasti, hatinya jadi terhibur juga.
Demikianlah, dengan hati tertindih, mereka lalu mulai turun gunung. Tiga hari kemudian,
mereka tiba kembali di rumah Phoei Keng Beng, dimana sudah menunggu Liong Leng
Kiauw,
Tong Lootaypo dan yang lain-lain yang terpaksa kembali karena tak bisa maju terus.
Sesudah mengasoh beberapa hari mereka lalu membereskan perjalanan. Atas anjuran
Tong Siauw Lan dan yang lain-lain, Phoei Keng Beng bersama puterinya pun turut turun
gunung. Sebenarnya ia merasa berat untuk meninggalkan rumah yang sudah di tempati
puluhan tahun, tapi mengingat hari kemudian puterinya sudah mendapat ketentuan,
hatinya jadi agak terhibur.
Waktu itu adalah musim semi. Di kaki gunung, salju sudah melumer dan pemandangan
alam, dengan pohon-pobon yang berdaun hijau, bunga-bunga yang menyiarkan bebauan
wangi dan burung-burung yang bermain-main di dahan kayu, indah luar biasa. Peng Go
memetik beberapa kuntum bunga hutan dan kemudian menyebarnya di tengah udara
dengan mata mengawasi puncak Tjoe-hong. Antara begitu banyak orang, hanya Keng
Thian yang bisa merasakan apa yang dirasakan oleh si nona.
Sesudah berjalan dua hari lagi, tibalah mereka di lembah itu, dimana tentara Nepal dan
tentara Tjeng pernah berkemah dan berhadapan satu sama lain. Sekarang mereka hanya
mendapatkan lembah yang sunyi senyap dan bertemu dengan sejumlah kambing hutan
yang begitu melihat datangnya manusia, lantas saja lari serabutan. Kedua tentara itu
ternyata sudah ditarik mundur.
Tapi baru mau keluar dari mulut lembah, mereka melihat sebuah tenda yang masih
berdiri disitu. Ternyata, Thian Oe dan Yoe Peng yang sangat memikiri keselamatan Kim
Sie le, tidak turut pulang bersama tentara Tjeng, tapi sudah menunggu disitu. Mereka
girang melihat kembalinya Tong Siauw Lan dan yang lain-lain. Mereka juga bersyukur,
bahwa jiwa Kim Sie Ie sudah dapat ditolong. Tapi di antara kegirangan itu, mereka juga
merasa duka, sebab Kim Sie Ie sudah melenyapkan diri.
Sesudah keluar lembah, mereka masuk ke daerah padang rumput. Belum jalan berapa
jauh, mereka bertemu dengan serombongan pedagang kuda yang datang ke .daerah
perbatasan untuk berdagang. Sambil jalan perlahan-lahan, mereka menyanyikan lagu si
Pengembara:
Sungai es di puncak gunung laksana Thianho yang nyungsang.
Dengarlah 'tu kepingan es mengalir dengan bersuara perlahan sekali, Ibarat suara
tetabuhan yang dipentil dengan jeriji si gadis jelita.

Si nona tanya sang pengembara: Berapa gunung es lagi harus kau mendaki? Berapa
topan lagi harus kau lewati? Pengembara! Sang elang di atas padang rumput pun tak
dapat terbang terus menerus.
Tapi kau jalan, jalan terus, jalan terus...
Sampai tahun apa, bulan apa, baru kalian mau turun dari kuda?

Nona, terima kasih atas kebaikanmu,


Tapi kami tak dapat menjawab pertanyaanmu, Apakah kau pernah melihat bunga di
gurun pasir? Apakah kau pernah melihat gunung es melumer? Kau belum pernah
melihatnya? Belum pernah! Ah! Maka itu, kami si pengembara. Juga tak akan berhenti
selama-lamanya.

Itulah lagu yang pernah didengar Thian Oe pada tiga tahun berselang, pada waktu ia
pertama kali melihat wajah Chena. Segala pengalamannya dengan gadis Tsang itu lantas
saja terbayang di depan matanya dan air mata mengalir turun di kedua pipinya. Ia melirik
Yoe Peng yang kebetulan sedang mengawasi padanya, sehingga kedua pasang mata
lantas saja kebentrok. Demikianlah, luka di hatinya telah diperingan dengan obat yang
mujarab.
Peng Go pun pernah mendengar lagu itu dan ia juga merasa sedih karena ingat nasib
Kim Sie le. Apakah pemuda itu akan bernasib seperti si pengembara yang disebutkan
dalam lagu itu? Ia menengok dan melihat Keng Thian tengah mengawasi dengan sorot
mata penuh kecintaan. Ia menghela napas dan dalam kedukaannya, ia merasa, bahwa
dirinya banyak lebih beruntung daripada wanita yang lain.
Lie Kim Bwee sendiri baru pernah mendengar lagu yang sedih itu. Ia harus berduka
seorang diri, karena tak ada orang yang menghiburnya dengan lirikan mata yang
mengandung cinta. Ia menangis seorang diri sambil menghadapi sebuah teka-teki yang
tak dapat dijawab. Apa dia akan segera kembali? Apa dia bernasib seperti si pengembara
yang baru mau menahan les kuda sesudah gurun berbunga dan gunung es melumer?
Entahlah!
Dengan air mata berlinang-linang, tanpa berani menengok pula untuk melihat Chomo
Lungma, ia berjalan sambil menundukkan kepala seraya mendengari lagu si Pengembara
yang semakin lama jadi semakin menghilang dari pendengaran.....

TAMAT

CATATAN

13) Phaspa (keponakan Sakya Pandit yang menakluk pada kerajaan Mongol) adalah
seorang nabi yang tersohor pintar. Dalam usia sangat muda, ia sudah menarik perhatian
Kublai Khan (yang belakangan menjadi kaizar di Tiongkok), sehingga diminta untuk
memberi pelajaran Lhama-isme kepada Kublai dan belakangan diangkat menjadi Guru
Kerajaan. Sepanjang cerita, dengan disaksikan kaizar, ia memperoleh kemenangan dalam
suatu debat mengenai keagamaan, melawan tokoh-tokoh kenamaan. Atas perintah Kublai,
Lhama-isme dinyatakan sebagai agama kerajaan Goan (Yuan) dan Phaspa diangkat
menjadi pemimpin dari semua Budhis di kolong langit. Dalam usia 31 tahun, ia diperintah
menciptakan sistim menulis untuk orang Mongol. Dengan mengambil alphabet Tibet
sebagai dasar, ia menyelesaikan tugas itu dalam lima tahun.
14) Puncak Mutiara atau Tjoehong diambil dari perkataan "Chomo Lungma", bahasa
Tibet untuk Puncak Everest. Tinggi Everest 29.002 kaki dan nama itu diambil dari nama
Sir George Everest, seorang ahli pengukur gunung-gunung. Sebagaimana diketahui,
Puncak Everest telah ditakluki oleh Sir Edmund Hillary, Sherpa Tenzing dan kawan-
kawannya pada tanggal 29 Mei 1953.
15) Tiatkoen atau Buku Besi adalah anugerah dari seorang raja kepada keluarga raja
atau menteri yang berjasa besar. Dengan kekuatan anugerah itu, ia dapat mencampuri
segala urusan negara, malahan dapat menegur atau menghukum raja yang belakangan
bertahta.

Anda mungkin juga menyukai