PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keratitis ulseratif atau ulkus kornea adalah suatu kondisi inflamasi yang melibatkan disrupsi lapisan
epitel dan stroma kornea. Karakteristik keratitis ulseratif adalah progresivitasnya yang cepat,
Destruksi kornea dapat terjadi secara komplit dalam waktu 24-48 jam pada infeksi bakteri yang sangat
Hasil survei Riskesdas tahun 2013 yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, prevalensi kebutaan nasional adalah sebesar 0,4%, jauh lebih kecil
Prevalensi kekeruhan kornea nasional adalah 5,5%. Prevalensi kekeruhan kornea tertinggi ditemukan di
Bali (11,0%), diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%).
Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%)
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Insidensi ulkus kornea di negsehingg adalah 2-11/100.000 per tahun,
dan cenderung meningkat karena penggunaan lensa kontak. Insidensi di negara berkembang dijumpai
jauh lebih tinggi. Studi retrospektif di India Selatan menunjukkan insidensi ulkus kornea adalah
Di Nepal angka tersebut diperkirakan mencapai 799/100.000 per tahun dan 6% di antaranya disebabkan
telah maksimal masih sering menyebabkan kondisi berlanjut menjadi ulserasi kornea, abses stroma,
Ulkus kornea menimbulkan morbiditas seperti rasa nyeri dan kemerahan pada mata. Kesulitan dalam
menentukan terapi antibiotik yang tepat dan efektif menyebabkan tingginya tingkat kegagalan terapi.
Pada kasus-kasus ulkus kornea yang tidak berespon terhadap terapi antibiotik, collagen cross-linking
(CXL) merupakan pilihan terapi adjuvan yang menjanjikan hasil yang baik (Alio et al., 2013).