Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA KEPALA
1. DEFINISI
Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak, yang menimbulkan
perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional (pekerjaan). Anak kecil usia
dua bulan hingga dua tahun, individu usia 15 hingga 24 tahun, dan lanjut usia merupakan
kelompok yang beresiko tinggi mengalami trauma kepala. Risiko pada laki-laki dua kali lipat
risiko pada wanita (Kowalak, 2011).
Trauma kepala adalah perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan lambatnya
pembentukan hematoma karena rendahnya tekanan, laserasi arterial ditandai oleh
pembentukan hematoma yang cepat karena tingginya tekanan (Engram, 2007).
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan trauma kepala adalah trauma
pada otak, yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional
(pekerjaan) yang menimbulkan perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan lambatnya
pembentukan hematoma.

2. KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA


Menurut Kowalak (2011), trauma kepala dapat diklasifikaikan sebagai berikut :
A. Mekanisme Cedera Jenis Trauma Kepala
Berdasarkan mekanisme cedera jenis trauma kepala ada 2, yaitu :
1. Trauma Kepala Tertutup
a) Komusio Serebri/Gegar otak
Pukulan pada kepala yang cukup keras untuk membuat otak menghantam tulang
tengkorak,. Kejadian ini menyebabkan disfungsi syaraf yang temporer.
Kesembuhan biasanya bersifat total dalam waktu 24 hingga 48 jam. Cedera
berulang dapat menimbulkan kerusakan kumulatif pada otak.
b) Kontusio Serebri/Memar otak
Paling sering terjadi pada usia 20 hingga 40 tahun. Kebanyakan disebabkan oleh
perdarahan arteri. Darah umumnya mengumpul di anatara tulang tengkorak dan
duramater.
c) Hematoma Intraserebral
Disrupsi traumatic atau spontan pembuluh darah serebral dalam parenkim otak
menyebabkan deficit neurologi yang intensitasnya bergantung pada lokasi
perdarahan. Gaya robekan akibat gerakan otak sering menimbulkan laserasi
pembuluh darah dan perdarahan ke dalam parenkim otak.
d) Edema Serebri Traumatik
Keadaan patologis terjadinya akumulasi cairan di dalam jaringan otak sehingga
meningkatkan volume otak. Dapat terjadi peningkatan volume intraseluler (lebih
banyak di daerah substansia grisea) maupun ekstraseluler (daerah substansia
alba), yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranail.
e) Hematoma Epidural
Cedera akselerasi (Otak terus bergerak serta membentur tengkorak) dan
deselerasi (memantul). Otak dapat membentur tonjolan tulang yang ada di dalam
tengkorak (khususnya krista sfenoidalis) sehingga terjadi perdarahan atau
hematoma intracranial yang dapat menimbulkan herniasi tentorium.
f) Hematoma Subdural
Perdarahan meninges yang terjadi karena penumpukan darah dalam rongga
subdural (diantara duramater dan araknoid). Keadaan ini paling sering ditemukan.
Bisa bersifat akut, subakut dan kronis terjadi secara unilateral (pada satu sisi) atau
bilateral (pada kedua sisi).
g) Hematoma Subaraknoid
Perdarahan terjadi dalam rongga subaraknoid, sering menyertai kontusio serebri.
Pada pungsi lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah.
2. Trauma Kepala Terbuka
a) Fraktur linear didaerah temporal
Fraktur linear didaerah temporal di mana arteri meningeal media berada dalam
jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linear
yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya
sinus sagitalis superior.
b) Fraktur di daerah basis
Fraktur di daerah basis di sebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian
atas yang membentur jalan atau benda diam fraktur di fosa anteror, sering terjadi
keluarnya liquor melalu hdung (rhinorhoe) dan adanya brill hematoma (raccon
eye).
c) Fraktur pada os petrosu
Fraktur pada os petrosus terbentuk longitudinal dan transversal (lebih
jarang).fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior
biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan
trauma didaerah oksipital.
d) Fraktur longitudinal
Fraktul longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akutikus
interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2-3 hari akan tampak
battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe
(liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir
selalu di sebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.
B. Keparahan Cedera Kepala
Berdasarkan keparahan cedera kepala di bagi menjadi :
1. Cedera Kepala Ringan
Cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul yang
dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunnya
kesadaran sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan
lainnya (Corwin, 2009).
2. Cedera Kepala Sedang
Cedera kepala sedang adalah suatu trauma yang menyebabkan kehilangan kesadaran
dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam dapat mengalami fraktur
tengkorak dengan GCS 9-12 (Muttaqin, 2008).
3. Cedera Kepala Berat
Cedera kepala berat adalah cedera dengan skala koma glasgow 3-8 atau dalam
keadaan koma kepala dimana otak mengalami memar dengan kemungkinan adanya
daerah hemoragi, pasien berada pada periode tidak sadarkan diri (Batticaca, 2008).

3. ETIOLOGI TRAUMA KEPALA


Menurut Kowalak (2011), Etologi trauma kepala dapat meliputi:
a. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
b. Kecelakaan terjatuh.
c. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
d. Kejahatan dan tindak kekerasan.

4. MANISFESTASI KLINIS TRAUMA KEPALA


Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala trauma kepala berdasarkan klasifikasi
sebagai berikut :
A. Mekanisme Cedera Jenis Trauma Kepala
Berdasarkan mekanisme cedera jenis trauma kepala ada 2, yaitu :
1. Trauma Kepala Tertutup
a. Komusio Serebri/Gegar otak: Pingsan tidak lebih dari 10 menit; Tanda-tanda
vital dapat normal atau menurun; Sesudah sadar mungkin terdapat gejala
subyektif seperti nyeri kepala, pusing, muntah; Terdapat amnesia retrograde.
b. Kontusio Serebri/Memar otak: Pingsan berlangsung lama, dapat beberapa hari
sampai berminggu-minggu; Kelainan neurologic; Hemiparesis yang berkaitan
dengan gangguan aliran darah ke tempat cedera; Pernapasan biasa atau seperti
Cheyne Stokes; Pupil mengecil dan reflex cahaya baik; Postur tubuh dekortikasi
atau deserebrasi akibat kerusakan korteks serebri.
c. Hematoma Intraserebral: Keadaan tidak bereaksi yang segera terjadi atau
interval lusidum sebelum pasien tidak sadarkan diri (koma) sebagai akibat
kenaikan tekanan intracranial dan efek massa yang ditimbulkan oleh
perdarahan; Kemungkinan deficit motoric dan respons dekortikasi atau
deserebrasi akibat kompresi pada traktus kortikospinalis serta batang otak
d. Edema Serebri Traumatik: Pingsan yang lamanya dapat berjam-jam; Tekanan
darah naik dan nadi turun; Kelainan neurologic
e. Hematoma Epidural: Penurunan kesedaran atau nyeri kepala sebentar,
kemudian membaik; Beberapa jam kemudian timbul gejala yang berat dan
sifatnya progresif seperti nyeri kepala hebat, pusing dengan disertai penurunan
kesadaran.
f. Hematoma Subdural: Nyeri kepala hebat, muntah; Gangguan penglihatan
karena edem dari pupil N II; Pada sisi kontralateral hematoma terdapat
gangguan traktur piramidalis
g. Hematoma Subaraknoid: Serebrospinal berdarah; Timbul kaku kuduk
2. Trauma Kepala Terbuka
a. Fraktur linear di daerah temporal: Perdarahan epidural; Perdarahan sinus;
Robeknya sinus sagitalis superior.
b. Fraktur didaerah basis: Keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe); Adanya
brill hematoma (raccoon eye).
c. Fraktur longitudinal:Kerusakan pada meatus akutikus interna, foramen
jugularis dan tuba eustakhius; Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign dan
otorhoe; Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hamper selalu
disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.
B. Keparahan Cedera Kepala
Berdasarkan keparahan cedera kepala di bagi menjadi :
1. Cedera Kepala Ringan
a) Hilangnya kesadaran tidak lebih 30 menit atau lebih
b) Tanda-tanda vital dalam batas normal atau menurun
c) Timbul rasa nyeri di kepala
d) Pusing dan muntah
e) GCS 13-15, tidak terdapat kelainan neurologis.
2. Cedera Kepala Sedang
a) Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
b) Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
c) muntah dapat terjadi akibat penigkatan intracranial
d) Amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini mungkin terjadi
3. Cedera Kepala Berat
a) Skor skala koma Glasgow (GCS) 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c) Tanda neurologi fokal
d) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

5. PATOFISIOLOGI TRAUMA KEPALA


Otak dilindungi oleh perisai kubah tengkorak (rambut, kulit, tulang, meningen, dan
cairan serebrospinal) yang akan meredam kekuatan dari suatu benturan fisik. Di bawah
tingkat kekuatan tertentu (kapasitas absorpsi), kubah tengkorak dapat mencegah energy
benturan sehingga tidak mengenai jaringan otak. Derajat cedera kepala akibat trauma
biasanya sebanding dengan besar kekuatan yang mencapai jaringan kranial. Lebih lanjut,
kemungkinan cedera leher harus diasumsikan terjadi pada pasien trauma kepala kecuali
bila kemungkinan ini sudah dapat disingkirkan (Corwin, 2009).
Trauma tertutup secara khas merupakan cedera akselerasi deselerasi
(coup/contrecoup) yang terjadi secara tiba-tiba. Pada cedera coup/contrecoup, kepala
membentur benda yang relative dalam keadaan stasioner sehingga terjadi cedera pada
jaringan kranial di dekat tempat benturan (yang disebut coup). Kemudian kekuatan atau
gaya yang masih tersisa mendorong otak hinga menghantarkan sisi tengkorak yang lain
dan dengan demikian terjadi benturan serta cedera sekunder (yang disebut contrecoup).
Kontusio dan laserasi dapat pula terjadi pada saat contecoup ketika jaringan otak yang
lunak menggelincir pada tulang rongga tengkorak yang kasar. Di samping itu, serebrum
dapat mengalami robekan karena terpeluntir, yang merusak pars mesensefalon superior
dan daerah-daerah otak pada lobus frontalis, temporalis, serta oksipitalis (Corwin, 2009).
Trauma terbuka dapat menembus kulit kepala, tulang tengkorak, meningen, atau
otak. Cedera kepala yang terbuka biasanya disertai dengan fraktur tulang tengkorak
(fraktur cranium), dan fragmen tulang yang patah serin menimbulkan hematoma serta
rupture meningen dengan kehilangan cairan serebrospinal sebagai akibatnya (Corwin,
2009).

6. PENATALAKSANAAN TRAUMA KEPALA


A. Medis (Kowalak, 2011)
1. ABC
a) Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b) Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu pernafasan
misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating,
Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c) Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam
darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah rebound
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit.
Pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan bisa Diberikan bila ada kejang
diulang sampai 3 kali bila
masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi demam
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 mg serta mengatasi nyeri
setiap 4-6 jam, 1000 mg ringan sampai sedang
setiap 6 akibat sakit kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam sesuai Untuk mengobati nyeri
(kodein) kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 mg Untuk mencegah serangan
(fenitoin) perhati epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan setelah Tindakan yang sangat
antibiotik 24 jam pertama, lalu 2 jam penting sebagai usaha
pertama, dan 4 jam untuk mencegah terjadinya
berikutnya infeksi pasca operasi

3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil
fragmen fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil
benda asing dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak
lebih lanjut akibat fraktur dapat dikurangi.
4. Mobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan
pemasangan servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh
khusus untuk leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang
servical yang dapat memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun
pada cedera kepala. Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi,
ekstensi, dan fleksi.

B. Keperawatan (Kowalak, 2011)


1. Kontusio dengan kehilangan kesadaran kurang dari 20 menit : Biasanya tidak perlu
dirawat, Tirah baring
2. Kontusio, laserasi atau kehilangan kesadaran lebih dari 20 menit : Rawat di UPI,
Tirah baring, Lakukan tidakan untuk mengatasi meningkatnya tekanan intracranial
mencegah kejang
3. Mengkaji riwayat cedera
4. Pantau tanda-tanda vital dan periksa cedera tambahan. Palpasi tulang tengkorak
untuk menemukan gejala nyeri tekan atau hematoma
5. Jika pasien mengalami perubahan tingkat kesadaran lakukan observasi tanda-tanda
vital, tingkat kesadaran, dan besar pupil setiap 15 menit.
6. Pasien dengan kondisi stabil setelah dilakukan observasi selama empat jam atau
lebih dapat dipulangkan di bawah pengawasan orang dewasa yang bertanggung
jawab
7. Bersihkan dan cuci luka yang superfisial pada kulit kepala.
8. Berikan edukasi pada klien untuk mewaspadai kemungkinan sakit kepala
bertambah berat, vomitus, tanda-tanda perdarahan cairan serebrospinal dari dalam
telinga
9. Jika pada pasien mengalami kontusio serebri dan fraktur cranium pertahankan
patensi jalan napas dengan memasang pipa Mayo, pemasangan pipa jalan napas
melalui hidung merupakan kontraindikasi pada pasien fraktur basis kranii. Intubasi
bisa diperlukan. Lakukan pengisapan (suction) melalui mulut dan bukan melalui
hidung untuk mencegah bakteri masuk jika terjadi kebocoran cairan serebrospinal
10. Jika ditemukan rembesan cairan serebrospinal dari hidung, bersihkan
rembesan dan jangan biarkan pasien menghembuskannya keluar seperti membuang
ingus
11. Jika ditemukan rembesan cairan serebrospinal dari dalam telinga, tutup telinga
secara hati-hati tanpa menekannya dengan kasa steril dan jangan memasukkan kasa
tersebut ke dalam liang telinga
12. Atur posisi pasien sedemikian rupa agar secret dapat mengalir keluar dengan
benar, tinggikan bagian kepala ranjang hingga membentuk sudut 30 derajat
13. Terapkan kewaspadaan terhadap serangan kejang atau bangkitan epilepsi,
tetapi jangan menghalangi pasien dengan banyak larangan
14. Batasi asupan total cairan per oral sampai 40% hingga 50% (1200 hingga 1500
ml/hari) untuk mengurangi volume cairan tubuh dan edema intraserebral.

7. KOMPLIKASI TRAUMA KEPALA


Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari trauma kepala :
a) Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
b) Perdarahan
c) Kejang
d) Infeksi (trauma terbuka)
e) Depresi pernapasan dan gagal napas
f) Herniasi otak
g) Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan serebrospinal
(CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan menyebabkan meningitis.

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG TRAUMA KEPALA


Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjangan trauma kepala :
a) Komusio Serebri/Gegar otak
CT scan otak tidak memeperlihatkan tanda-tanda fraktur, perdarahanl, atau lesi lain pada
sistem saraf
b) Kontusi Serebri
1. CT scan otak memperlihatkan perubahan pada densitas jaringan, kemungkinan
pergeseran struktur di sekitar lesi dan bukti adanya jaringan yang iskemik,
hemotoma, serta fraktur
2. Hasil rekaman EEG langsung di daerah kepala yang mengalami kontusio
menunjukkan abnormalitas progesif dengan terlihatnya gelombang teta dan delta
yang memiliki amplitudo tinggi
c) Hematoma Epidural
Pemeriksaan CT Scan atau MRI menunjukkan massa abnormal atau pergeseran struktur
dalam kranium
d) Hemartoma Subdural
1. CT Scan otak, foto rontgen kepala dan arteriografi menunjukkan massa dan
perubahan aliran darah di daerah lesi, gambaran ini memastikan keberadaan
hematoma
2. CT Scan atau MRI memperlihatkan massa dan pergeseran jaringan
3. Cairan serebrospinal tambak berwarna kuning dan memiliki kadar protein yang
relatif rendah (hematoma subdural kronis)

e) Hematoma Intraserebral
CT Scan atau arteriografi serebral memperlihatkan lokasi perdarahan. Tekanan cairan
serebrospinal meninggi, cairan serebrospinal tampak mengandung darah atau berwarna
xantokrom (berwarna kuning atau mirip warna jerami) akibat penguraian hemoglobin
f) Fraktur Tengkorak
1. CT Scan dan MRI menunjukkan perdarahan intrakranial akibat ruptur pembuluh
darah dan pembengkakan
2. Foto rontgen kranium dapat memperlihatkan fraktur
3. Pungsi lumbal merupakan kontraindikasi jika terdapat lesi yang luas
4. Sinar x kepala dan servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur
5. CT Scan untuk mengenali adanya hematoma intracranial
6. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien memperlihatkan
tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang)

9. PROGNOSIS TRAUMA KEPALA


Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada
pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostic
yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan
meninggal atau vegetatif hanya 5-10 %. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan
sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi,
iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah
cedera kepala. Seringkali bertumpang-tindih dengan gejala depresi.(arif mansjoer,
dkk) (Corwin, 2009).

10. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1) Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar
daripada risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga
24 tahun, dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.

B. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka dikepala
2) Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi, adanya
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.
3) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama sebelumnya.

C. Pemeriksaan Primer
1) Airway management/penatalaksanaan jalan napas:
a. Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada pasien
tidak sadar).
b. Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (pada
pasien tidak sadar).
c. Kaji adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan oto bantu pernafasan, sianosis.
d. Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).
e. Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).
2) Breathing/pernapasan:
a. Kaji pemberian O2.
b. Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada
(simetris)/posisi trakea.
c. Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
3) Circulation/sirkulasi:
a. Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi
jantung/bukti hilangnya darah.
b. Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.
c. Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
D. Pemeriksaan Sekunder
1. Penampilan atau keadaan umum
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien mengalami penurunan GCS <15.
3. Tanda-Tanda Vital
Suhu Tubuh : Biasanya meningkat saat terjadi benturan (Normalnya 36,5
37,5°C)
Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak dengan tekanan darah
sistolik <90 mmHg (Normalnya 110/70-120/80 mmHg)
Nadi : Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK
meningkat (Normalnya 60-100 x/menit)
RR : Biasanya menurun saat TIK meningkat (Normalnya 16-22)
4. Pemeriksaan Nervus Cranial
a. Nervus I : Penurunan daya penciuman.
b. Nervus II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan
penglihatan karena edema pupil.
c. Nervus III, IV, VI : Penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun,
perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
d. Nervus V : Gangguan mengunyah karena terjadi anastesi daerah
dahi.
e. Nervus VII, XII : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah.
f. Nervus VIII : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
g. Nervus IX, X, XI : Jarang ditemukan.
h. Nervus XII : Jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartia.
5. Pemeriksaan Head to Toe
a. Pemeriksaan Kepala
 Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada
deformitas, ada luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala)
Palpasi (ada nyeri tekan, ada robekan)
 Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada
kemerahan)
 Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan
simetris, tidak ada lesi) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
 Rambut : Inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada
uban) Palpasi (rambut mudah rontok)
 Mata : Inspeksi (simestris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil
anisokor, reflex pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap
rangsangan cahaya, gerakan mata tidak normal, banyak sekret) Palpasi
(bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
 Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe (cairan serebrospinal
keluar dari hidung), ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi
septum) Palpasi sinus (ada nyeri tekan)
 Telinga : Inpeksi (Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada
otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru
atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum
(perdarahan di daerah membrane timpani telinga)) Palpasi (tidak ada
lipatan,ada nyeri)
 Mulut : Inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membran
mukosa kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersih, gigi tidak
bersih, gigi atas dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang, faring tidak ada
pembekakan, tonsil ukuran normal, uvula simetris, mual-muntah) Palpasi
(tidak ada lesi, lidah tidak ada massa)
 Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp,
tidak ada pembesaran limfe, leher tidak panas, trakea normal, tidak
ditemukan kaku kuduk)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
 Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas
dada cepat dan dangkal,sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Sonor pada kedua paru.
Auskultasi : Suara nafas tidak baik, ada weezing.

 Jantung :
Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut
nadi Bradikardia
Perkusi : Pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri,
batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas
tidak teratur, tekanan darah menurun
d. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada
Titik Mc. Burney.
Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup
e. Pemeriksaan Genetalia
Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan
f. Pemeriksaan Ekstremitas
Inspeksi : Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya
sianosis
Palpasi : Turgor buruk, kulit kering
6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien
memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal,
kejang).
d. Cerebral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
f. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
h. PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
i. CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
j. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
l. Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

E. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.


2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra
kranial.
4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit
meningkat.
7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula
oblongata.

F. Intervensi
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional

Gangguan Gangguan perfusi jaringan tidak o Pantau status Mengkaji


perfusi dapat diatasi setelah dilakukan neurologis adanya
jaringan b/ tindakan keperawatan selama secara teratur. kecenderung
d oedema 2x 24 jam dengan KH : an pada
cerebri, tingkat
meningkat o Mampu kesadaran
nya aliran mempertahankan dan potensial
darah ke tingkat peningkatan
otak. kesadaran TIK dan
o Fungsi sensori bermanfaat
dan motorik dalam
membaik. menentukan
lokasi,
perluasan
dan
perkembang
an kerusakan
SSP

Menentukan
tingkat
kesadaran

o Evaluasi
kemampuan
membuka Mengukur
mata kesadaran
(spontan, secara
rangsang keseluruhan
nyeri). dan
kemampuan
untuk
berespon
pada
rangsangan
eksternal.

o Kaji respon
motorik
terhadap Dikatakan
perintah yang sadar bila
sederhana. pasien
mampu
meremas
atau melepas
tangan
pemeriksa.
o Pantau TTV
dan catat
hasilnya.
Peningkatan
tekanan
darah
sistemik
yang diikuti
dengan
penurunan
tekanan
darah
diastolik
merupakan
tanda
peningkatan
TIK .

Peningkatan
ritme dan
disritmia
merupakan
tanda adanya
depresi atau
trauma
batang otak
pada pasien
yang tidak
mempunyai
o Anjurkan kelainan
orang jantung
terdekat sebelumnya.
untuk
Nafas yang
berbicara
tidak teratur
dengan klien
menunjukan
adanya
peningkatan
TIK

Ungkapan
keluarga
yang
menyenangk
o Kolaborasi an klien
pemberian tampak
cairan sesuai mempunyai
indikasi efek
melalui IV relaksasi
dengan alat pada
kontrol beberapa
klien koma
yang akan
menurunkan
TIK
Pembatasan
cairan
diperlukan
untuk
menurunkan
Oedema
cerebral:
meminimalk
an fluktuasi
aliran
vaskuler,
tekanan
darah (TD)
dan TIK

Gangguan Rasa nyeri berkurang setelah o Teliti keluhan Mengidentifi


rasa dilakukan tindakan keperawatan nyeri, catat kasi
nyaman selama 2 x 24 jam dengan KH : intensitasnya, karakteristik
nyeri b/ d lokasinya dan nyeri
peningkata o pasien lamanya. merupakan
n tekanan mengatakan faktor yang
intra nyeri berkurang. penting
kranial. o Pasien untuk
menunjukan menentukan
skala nyeri pada terapi yang
angka 3. cocok serta
o Ekspresi wajah
klien rileks. mengevaluas
i keefektifan
o Catat
dari terapi.
kemungkinan
patofisiologi Pemahaman
yang khas, terhadap
misalnya penyakit
adanya yang
infeksi, mendasariny
trauma a membantu
servikal. dalam
memilih
intervensi
yang sesuai.

o Berikan
kompres
dingin pada Meningkatka
kepala n rasa
nyaman
dengan
menurunkan
vasodilatasi.

Perubahan Fungsi persepsi sensori kembali o Evaluasi Fungsi


persepsi normal setelah dilakukan secara teratur cerebral
sensori b/ d perawatan selama 3x 24 jam perubahan bagian atas
penurunan dengan KH : orientasi, biasanya
kesadaran, kemampuan terpengaruh
peningkata o mampu berbicara, lebih dahulu
n tekanan mengenali orang alam oleh adanya
intra dan lingkungan perasaan, gangguan
kranial. sekitar. sensori dan sirkulasi,
o Mengakui proses pikir. oksigenasi.
adanya Perubahan
perubahan dalam persepsi
kemampuannya. sensori
motorik dan
kognitif
mungkin
akan
berkembang
dan menetap
dengan
perbaikan
respon
o Kaji secara
kesadaran bertahap
sensori
dengan
sentuhan,
Semua
panas/ dingin,
sistem
benda tajam/
sensori dapat
tumpul dan
terpengaruh
kesadaran
dengan
terhadap
gerakan. adanya
perubahan
yang
melibatkan
peningkatan
atau
penurunan
sensitivitas
atau
kehilangan
sensasi
untuk
menerima
o Bicara dan berespon
dengan suara sesuai
yang lembut dengan
dan pelan. stimuli.
Gunakan
kalimat
pendek dan
sederhana.
Pertahankan
Pasien
kontak mata.
mungkin
mengalami
keterbatasan
perhatian
atau
pemahaman
selama fase
o Berikan akut dan
lingkungan penyembuha
tersetruktur n. Dengan
rapi, nyaman tindakan ini
dan buat akan
jadwal untuk membantu
klien jika pasien untuk
mungkin dan memunculka
tinjau n
kembali. komunikasi.
Mengurangi
kelelahan,
kejenuhan
dan
memberikan
kesempatan
o Gunakan untuk tidur
penerangan REM
siang atau (ketidakadaa
malam. n tidur REM
ini dapat
meningkatka
n gangguan
persepsi
o Kolaborasi sensori).
pada ahli
fisioterapi,
terapi
Memberikan
okupasi,
perasaan
terapi wicara
normal
dan terapi
tentang
kognitif.
perubahan
waktu dan
pola tidur.

Pendekatan
antar disiplin
ilmu dapat
menciptakan
rencana
panatalaksan
aan
terintegrasi
yang
berfokus
pada
masalah
klien
Gangguan Pasien dapat melakukan o Periksa Mengidentifi
mobilitas mobilitas fisik setelah mendapat kembali kasi
fisik b/d perawatan dengan KH : kemampuan kerusakan
spastisitas dan keadaan secara
kontraktur, o tidak adanya secara fungsional
kerusakan kontraktur, fungsional dan
saraf footdrop. pada mempengaru
motorik. o Ada peningkatan kerusakan hi pilihan
kekuatan dan yang terjadi. intervensi
fungsi bagian yang akan
tubuh yang sakit. dilakukan.
o Mampu
mendemonstrasi
kan aktivitas
yang Penggunaan
memungkinkan sepatu tenis
o Pertahankan hak tinggi
dilakukannya
kesejajaran dapat
tubuh secara membantu
fungsional, mencegah
seperti footdrop,
bokong, kaki, penggunaan
tangan. bantal,
Pantau gulungan
selama alas tidur
penempatan dan bantal
alat atau pasir dapat
tanda membantu
penekanan mencegah
dari alat terjadinya
tersebut. abnormal
pada
bokong.

Mempertaha
nkan
o Berikan/
mobilitas
bantu untuk
dan fungsi
latihan
sendi/ posisi
rentang gerak
normal
ekstrimitas
dan
menurunkan
terjadinya
vena statis.

Proses
o Bantu pasien penyembuha
dalam n yang
program lambat
latihan dan seringakli
penggunaan menyertai
alat trauma
mobilisasi. kepala dan
Tingkatkan pemulihan
aktivitas dan fisik
partisipasi merupakan
dalam bagian yang
merawat diri sangat
sendiri sesuai penting.
kemampuan. Keterlibatan
pasien dalam
program
latihan
sangat
penting
untuk
meningkatka
n kerja sama
atau
keberhasilan
program.

Resiko Tidak terjadi infeksi setelah o Berikan Cara


tinggi dilakukan tindakan keperawatan perawatan pertama
infeksi b/ d selama 3x 24 jam dengan KH : aseptik dan untuk
jaringan antiseptik, menghindari
trauma, o Bebas tanda- pertahankan nosokomial
kerusakan tanda infeksi teknik cuci infeksi.
kulit o Mencapai tangan yang
kepala. penyembuhan baik.
luka tepat waktu

o Observasi Deteksi dini


daerah kulit perkembang
yang an infeksi
mengalami memungkink
kerusakan, an untuk
daerah yang melakukan
terpasang alat tindakan
invasi, catat dengan
karakteristik segera dan
drainase dan pencegahan
adanya terhadap
inflamasi. komplikasi
selanjutnya.

o Batasi
pengunjung Menurunkan
yang dapat pemajanan
menularkan terhadap
infeksi atau pembawa
cegah kuman
pengunjung infeksi.
yang
mengalami
infeksi
saluran nafas
atas.

Terapi
o Kolaborasi profilaktik
pemberian dapat
atibiotik digunakan
sesuai pada pasien
indikasi. yang
mengalami
trauma,
kebocoran
LCS atau
setelah
dilakukan
pembedahan
untuk
menurunkan
resiko
terjadinya
infeksi
nosokomial.

Gangguan Setelah dilakukan tindakan o Kaji tanda Deteksi dini


keseimban keperawatan selama 3 x 24 jam klinis dan
gan cairan ganguan keseimbangan cairan dehidrasi atau intervensi
dan dan elektrolit dapat teratasi kelebihan dapat
elektrolit dengan KH : cairan. mencegah
b/ d kekurangan /
haluaran o Menunjukan kelebihan
urine dan membran fluktuasi
elektrolit mukosa lembab, keseimbanga
meningkat. tanda vital n cairan.
normal haluaran
urine adekuat
o Catat
dan bebas
oedema. masukan dan Kehilangan
haluaran, urinarius
hitung dapat
keseimbanga menunjukan
n cairan, ukur terjadinya
berat jenis dehidrasi
urine. dan berat
jenis urine
adalah
indikator
hidrasi dan
fungsi renal.
o Berikan air
tambahan/
bilas selang
sesuai
indikasi Dengan
formula
kalori lebih
tinggi,
tambahan air
diperlukan
o Kolaborasi untuk
pemeriksaan mencegah
lab. dehidrasi.
kalium/fosfor
serum, Ht dan
albumin
serum. Hipokalimia/
fofatemia
dapat terjadi
karena
perpindahan
intraselluler
selama
pemberian
makan awal
dan
menurunkan
fungsi
jantung bila
tidak diatasi.

Gangguan Pasien tidak mengalami o Kaji Faktor ini


kebutuhan gangguan nutrisi setelah kemampuan menentukan
nutrisi b/ d dilakukan perawatan selama 3 x pasien untuk terhadap
kelemahan 24 jam dengan KH : mengunyah jenis
otot untuk dan menelan, makanan
menguyah o Tidak batuk dan sehingga
dan mengalami mengatasi pasien harus
menelan tanda- tanda mal sekresi. terlindung
nutrisi dengan dari aspirasi.
nilai lab. Dalam
rentang normal.
o Peningkatan o Auskultasi
berat badan bising usus, Fungsi
catat adanya bising usus
sesuai tujuan. penurunan/ pada
hilangnya umumnya
atau suara tetap baik
hiperaktif. pada kasus
cidera
kepala. Jadi
bising usus
membantu
dalam
menentukan
respon untuk
makan atau
berkembang
nya
komplikasi
seperti
o Jaga paralitik
keamanan ileus.
saat
memberikan
makan pada
Menurunkan
pasien,
regurgitasi
seperti
dan
meninggikan
terjadinya
kepala selama
aspirasi.
makan atatu
selama
pemberian
makan lewat
NGT.

o Berikan
makan dalam
porsi kecil
dan sering
dengan
teratur. Meningkatka
n proses
pencernaan
dan toleransi
pasien
terhadap
nutrisi yang
diberikan
dan dapat
meningkatka
n kerjasama
o Kaji feses, pasien saat
cairan makan.
lambung,
muntah
darah.
Perdarahan
subakut/
akut dapat
terjadi dan
perlu
intervensi
dan metode
alternatif
o Kolaborasi pemberian
dengan ahli makan.
gizi.

Metode yang
efektif untuk
memberikan
kebutuhan
kalori.

Gangguan Tidak terjadi gangguan pola o Pantau Perubahan


pola nafas nafas setelah dilakukan frekuensi, dapat
b/ d tindakan keperawatan selama irama, menunjukan
obstruksi 2x 24 jam dengan KH : kedalaman komplikasi
trakeobron pernafasan. pulmonal
kial, o Memperlihatkan Catat atau
neurovasku pola nafas ketidakteratur menandakan
ler, normal/ efektif, an lokasi/
kerusakan bebas sianosis pernafasan. luasnya
medula dengan GDA keterlibatan
oblongata. dalam batas otak.
normal pasien. Pernafasan
lambat,
periode
apneu dapat
menendakan
perlunya
ventilasi
mekanis.
o Angkat
kepala tempat
tidur sesuai
aturan posisi Untuk
miring sesuai memudahka
indikasi. n ekspansi
paru dan
menjegah
lidah jatuh
yang
menyumbat
o Anjurkan
jalan nafas.
pasien untuk
latihan nafas
dalam yang
efektif jika Mencegah/
pasien sadar. menurunkan
atelektasis.

o Auskultasi
suara nafas.
Perhatikan
daerah Untuk
hipoventilasi mengidentifi
dan adanya kasi adanya
suara- suara masalah paru
tambahan seperti
yang tidak atelektasis,
normal. kongesti atau
(krekels, obstruksi
ronki dan jalan nafas
whiszing). yang
membahaya
kan
oksigenasi
serebral atau
menandakan
adanya
infeksi paru
(umumnya
o Kolaborasi merupakan
untuk komplikasi
pemeriksaan pada cidera
AGD, kepala).
tekanan
oksimetri.

Menentukan
kecukupan
oksigen,
keseimbanga
o Berikan n asam-basa
oksiegen dan
sesuai kebutuhan
indikasi. akan terapi.

Mencegah
hipoksia,
jika pusat
pernafasan
tertekan.
Biasanya
dengan
mnggunakan
ventilator
mekanis

Anda mungkin juga menyukai