Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kusta atau disebut juga Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik
pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. Predileksi awal
penyakit ini adalah saraf perifer dan kulit, kemudian dapat mengenai mukosa
saluran pernapasan dan organ-organ lain, tetapi tidak mengenai saraf pusat
(Menaldi, 2015). Menurut World Health Organization (WHO) kusta
merupakan salah satu dari tujuh belas penyaki tropis yang terabaikan dan
membutuhkan perhatian khusus dunia (Smith, 2012). Kusta juga dikenal
sebagai “The Great Imitator Disease” karena manifestasi yang mirip dengan
banyak penyakit kulit lainnya seperti infeksi jamur kulit, sehingga seseorang
jarang menyadari bahwa dirinya telah menderita kusta (Widoyono,2008).

Prevalensi penyakit kusta di dunia masih tinggi. World Health


Organization (WHO) mencatat pada tahun 2014, sebanyak 213.899 penemuan
kasus baru kusta terdeteksi di seluruh dunia dengan kasus tertinggi berada di
regional Asia Tenggara yakni sebesar 154.834 kasus. Prevalensi kusta pada
awal tahun 2015 didapatkan sebesar 0,31 per 100.000 penduduk. Indonesia
menduduki peringkat ketiga negara dengan endemik kusta terbanyak setelah
India dan Brazil. Kejadian kusta masih sangat tinggi di beberapa negara,
terutama negara berkembang yang sangat erat kaitannya dengan tingkat
kemiskinan dan kepadatan penduduk (Philipsborn, 2015). Studi epidemiologi
di Cebu (Filiphina) mendapatkan sebanyak 3288 kasus kusta pada tahun 2000-
2-10, dengan penemuan terbanyak di daerah padat penduduk (Scheelbeek,
2013).

Indonesia merupakan negara teropis dan termasuk salah satu daerah


endemik kusta Data Profil Kesehatan Republik Indonesia mencatat angka
penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013 sebanyak 16.856 kasus. Sebesar
83,4% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler dan 35,7% kasus
berjenis kelamin perempuan. Terdapat 1.041 kasus baru kusta yang terdeteksi
antara tahun 2006 hingga 2009 di Jakarta (Widodo, 2012). Pada tahun 1991,
World Health Assembly (WHA) membuat suatu resolusi mengenai eliminasi
kusta pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi dibawah
1 kasus per 10.000 penduduk (WHO, 2015). Resolusi ini di Indonesia dikenal
sebagai Eliminasi Kusta Tahun 2000 (EKT 2000). Meski indonesia telah
mencapai target eliminasi nasional, tetapi 14 wilayah Indonesia terutama
bagian timur masih merupakan daerah dengan beban kusta tinggi (angka
penemuan kasus baru ≥10 per 100.000)
(Depkes RI, 2013).

Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1
per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah
itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif
lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 0,71
kasus/10.00 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,50 kasus per
100.000 penduduk. Angka kejadian dalam 5 tahun terakhir

Pada tahun 2016 dilaporkan 16.826 kasus baru kusta (6,5/100.000


penduduk) dengan 84,19% kasus di antaranya merupakan tipe Multi Basiler
(MB). Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,47% penderita baru kusta berjenis
kelamin laki-laki dan sebesar 37,53% lainnya berjenis kelamin perempuan.

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kecamatan Sui Kakap


Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat tahun 2012. Prevalensi kusta
di Kecamatan Sui Kakap sebesar 0,84 per 10.000 penduduk, dengan distribusi
pada Puskesmas Sui Kakap, Punggur dan Sui Rengas yang ada di kecamatan
ini, yaitu: 0,8, 1,7 dan 0,3 per 10.000 penduduk. Penderita kusta terbanyak
berada pada usia dewasa, berjenis kelamin laki-laki, suku Madura dan Bugis,
tipe kusta MB, hasil pemeriksaan BTA positif, tidak ada riwayat narakontak,
berobat secara sukarela, tidak sekolah dan tamat SMP/sederajat, bekerja

2
sebagai petani, jarak pelayanan kesehatan terhadap tempat tinggal penderita
jauh dan penerapan ber-PHBS yang buruk.

Meskipun angka prevalensi kusta di Provinsi Kalimantan Barat sejak 3


tahun terakhir cenderung mengalami penurunan atau telah berada di bawah 1
per 10.000 penduduk, namun beberapa kabupaten masih merupakan daerah
endemik kusta. Kabupaten Kubu Raya selalu menduduki peringkat ke-4 dari 14
kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Barat sebagai penyumbang kasus lama
penyakit kusta pada tahun 2009, 2010 dan 2012. Bahkan, pada tahun 2011
kabupaten ini menduduki peringkat pertama.

Kabupaten Kubu Raya terdiri dari 9 kecamatan. Peta sebaran kusta di


Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2008 yang didapatkan dari dinas kesehatan
Kabupaten Kubu Raya menunjukkan beberapa kecamatan yang masih endemik
kusta. Kecamatan-kecamatan itu antara lain: Sui Kakap, Sui Raya, Rasau Jaya
dan Teluk Pakedai. Penemuan kasus baru yang paling banyak didapatkan dari
Kecamatan Sui Kakap yakni sebanyak 10 orang. Penemuan kasus baru ini
merupakan setengahnya (50%) dari jumlah penemuan kasus baru yang ada di
Kabupaten Kubu Raya pada tahun yang sama. Selain itu, jarak tempuh dari
Kota Pontianak ke kecamatan ini cukup dekat sehingga memudahkan untuk
melakukan penelitian. Kecamatan Sui Kakap memiliki 3 puskesmas, yakni: Sui
Kakap, Sui Rengas dan Punggur.

Masih tingginya angka penemuan kasus baru mengindikasikan bahwa


penularan penyakit masih terus berlangsung. Stigma negatif yang ada di
masyarakat mengatakan bahwa penyakit kusta adalah penyakit yang
menakutkan, selain itu ada beberapa masyarakat yang menganggap penyakit ini
adalah penyakit kutukan. Stigma yang ada di masyarakat tentang penyakit
kusta menyebabkan masyarakat mengucilkan penderita kusta. Akibatnya,
penderita kusta kehilangan peran di masyarakat. Kehilangan peran
dimasyarakat menjadikan penderita kusta merasa tidak berguna, mereka
cenderung menyembunyikan diri dari masyarakat sekelilingnya, dan pada

3
akhirnya mereka akan merasa dirinya tidak berharga dan merasa rendah diri.
Harga diri rendah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu
keberartian individu, keberhasilan individu, kekuatan individu, inteligensi dan
kondisi fisik. Selain itu dukungan keluarga juga ikut mempengaruhi harga diri
seseorang. Keluarga diharapkan mampu menjadi support system bagi anggota
keluarganya yang sakit. Terutama bagi anggota keluarga yang menderita
penyakit kusta untuk meningkatkan harga dirinya. Keluarga yang takut tertular
penyakit kusta, akan mempengaruhi partisipasinya dalam hal perawatan
kesehatan bagi anggota keluarga yang menderita kusta sehingga keluarga
kurang memberikan dukungan kepada penderita untuk memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan dalam mengobati penyakit tersebut (Rahayu, 2012).

Dari hasil penelitian Mongi tahun 2012 diperoleh data bahwa dukungan
emosional dalam kategori baik sebesar 76,2%, dukungan instrumental dengan
kategori baik sebesar 81% dukungan informasional dalam kategori baik 83,3%.
Hal ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang diberikan pada penderita
kusta di Kota Manado secara umum baik. Dukungan yang baik dari keluarga
akan memberikan kontribusi yang positif terhadap anggota keluarga yang sakit
termasuk penderita kusta. Sebaliknya dukungan keluarga yang kurang dapat
memicu munculnya masalah psikologis gangguan konsep diri yang dialami
oleh penderita kusta (Widyastuti,2009 dalam Rahayu, 2012).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas
maka peneliti merumuskan masalah penelitian :

1. Bagaimana Dukungan Keluarga pada Pasien Kusta?


2. Apa saja tingkat harga diri pada pasien kusta?
3. Bagaimana body image pasien kusta?

4
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan
dan sikap keluarga terhadap pasien kusta

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dukungan keluarga pada pasien kusta
b. Untuk mengetahui tingkat harga diri pada pasien kusta
c. Untuk mengetahui body image pada pasien kusta

3. Manfaat Penelitian
a. Bagi Pendidikan dan Perkembangan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi dan referensi
agar bisa tercipta kebijakan untuk meningkatkan penyuluhan/pendidikan
kesehatan terhadap keluarga khususnya pada pasien penderita kusta

b. Bagi Masyarakat dan Layanan


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi
bagi keluarga dengan pasien kusta agar dapat memberikan dukungan
maupun pengawasan dirumah.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori
1. Kosep Dukungan Keluarga
a. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan
mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan
didalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan
kebudayaan (Friedman, 2010).
Sedangkan menurut Ali (2010), keluarga adalah dua atau lebih
individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan dan adopsi
dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam
peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
b. Fungsi Keluarga
Berdasarkan UU No.10 tahun 1992 PP No.21 tahun 1994 tertulis fungsi
keluarga dalam delapan bentuk :
1) Fungsi Keagamaan
a) Membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan tujuan
hidup seluruh anggota keluarga
b) Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-hari
kepada seluruh anggota keluarga
c) Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam
pengalaman dari ajaran agama
d) Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak
tentang keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau
masyarakat
e) Membina rasa, sikap, dan praktek kehidupan keluarga
beragama sebagai pondasi menuju keluarga kecil bahagia
sejahtera

6
2) Fungsi Budaya
a) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk
meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa
yang ingin dipertahankan.
b) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk
menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai.
c) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang
anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai
pengaruh negatif globalisasi dunia.
3) Fungsi Cinta Kasih
a) Menumbuhkembangkan potensi kasih sayang yang telah ada
antara anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara
optimal dan terus-menerus.
b) Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar keluarga
secara kuantitatif dan kualitatif.
c) Membina praktek kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan
ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang
4) Fungsi Perlindungan
a) Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari
rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun luar keluarga.
b) Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari
berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari luar.
5) Fungsi Reproduksi
a) Membina kehidupan keluarga sbagai wahana pendidikan
reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi
keluarga sekitarnya.
b) Memberikan contoh pengalaman kaidah-kaidah pembentukan
keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental.

7
6) Fungsi Sosialisasi
a) Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan
keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak
pertama dan utama.
b) Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan
keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan
dari berbagai konflik dan permasalahan yang dijumpai baik di
lingkungan sekolah maupun masyarakat.
7) Fungsi ekonomi
a) Melakukan kegiatan ekonomi baik di luar maupun di dalam
lingkungan dalam rangka menopang kelangsungan dan
perkembangan kehidupan keluarga.
b) Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian,
keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran keluarga.
8) Fungsi Pelestarian Lingkungan
a) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
internal dan eksternal keluarga.
b) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
yang serasi, selaras dan seimbang dan antara lingkungan
keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya.
c) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
hidup sebagai pola hidup keluarga menuju keluarga kecil
bahagia sejahtera (Setadi, 2008).
c. Tipe dan Bentuk Keluarga
Tipe keluarga menurut Harmoko, hal 23 (2012) yaitu sebagai berikut :
1) Nuclear Family
Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam
satu rumah ditettapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan
perkawinan, satu/keduanya dapat bekerja di luar rumah.
2) Extended Family

8
Keluarga inti ditambahkan dengan sanak saudara, misalnya nenek,
kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi, dan sebagainya.
3) Reconstitud Nuclear
Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali
suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anak-
anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil dari
perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.
4) Middle Angel Aging Couple
Suami sebagai pencari uang, istri di rumah/kedua-duanya bekerja di
rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah/
perkawinan/ meniti karier.
5) Dyadic Nuclear
Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak,
keduanya/ salah satu bekerja dirumah.
6) Single Parent
Satu orang tua sebagai akibat perceraian/ kematian pasangannya dan
anak-anaknya dapat tinggal di rumah/ diluar rumah.
7) Dual Carier
Suami istri atau keduanya berkarier dan tanpa anak.
8) Commuter Married
Suami istri/ keduanya berkarier dan tinggal terpisah pada jarak
tertentu, keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.
9) Single Adult
Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya
keinginan untuk menikah.
10) Three Generation
Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.
11) Institutional
Anak-anak atau orang dewasa yang tinggal dalam suatu panti-panti.

9
12) Comunal
Satu rumah terdiri atas dua/ lebih pasangan yang monogami dengan
anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.
13) Group Marriage
Satu perumahan terdiri atas, orang tua dan keturunnya di dalam satu
kesatuan keluarga dan tiap individu adalah menikah dengan yang
lain dan semua adalah orang tua dari anak-anak.
14) Unmarried Parent and Child
Ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya di
adopsi.
15) Cohibing Couple
Dua orang/ satu pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan.

d. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan


Friedman (1998) dikutip dari Setiadi (2008) membagi 5 tugas
keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan yaitu :

1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya. Kesehatan


merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena
tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti dan karena
kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana
keluarga habis. Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan dan
perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan
sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak
langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka
apabila menyadari adanya perubahan perlu segera dicatat kapan
terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar
perubahannya.
2) Memberikan keperawatan anggota keluarga yang sakit atau yang
tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya
yang terlalu muda. Perawatan ini dapat dilakukan di rumah
apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk
memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah
tidak terjadi.

10
e. Pengertian Dukungan Keluarga
Friedman (1998) dalan Murniasih (2007) menyatakan dukungan
keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga memandang
bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan.

Dukungan keluarga adalah persepsi seseorang bahwa dirinya


menjadi bagian dari jaringan sosial yang di dalam tiap anggotanya
saling mendukung. Dukungan keluarga didefinisikan oleh Gottlieb
(1983) dalam Zainudin (2002) yaitu informasi verbal, sasaran, bantuan
yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang
akrab dengan sebjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa
kehadiran dan hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau
pengaruh pada tingkah laku penerimaannya. Dalam hal ini orang yang
merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega
diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada
dirinya. Menurut Sarason (1983) dalam Zainudin (2002) dukungan
keluarga adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang
yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita, pandangan
yang sama juga dikemukakan oleh Cobb (2002) mendefinisikan
dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan, perhatian,
penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya,
dukungan keluarga tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok.

f. Bentuk Dukungan Keluarga


Keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan (Friedman, 2010)
yaitu :

1) Dukungan Penilaian
Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk
memahami kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan
strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor.
Dukungan ini juga merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi
penilaian yang positif terhadap individu. Individu mempunyai
seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi
melalui eksprsi pengharapan positif individu kepada individu lain,
penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang
dan perbandingan positif seseorang dengan orang lain, misalnya orang
yang kurang mampu. Dukungan keluarga dapat membantu

11
meningkatkan strategi koping individu dengan strategi-strategi
alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek
yang positif.

2) Dukungan Instrumental

Dukungan ini meliputi penyediaan dukungan jasmaniah seperti


pelayanan, bantuan finansial dan material berupa bantuan nyata
(instrumental support material support), suatu kondisi dimana benda
atau jasa akan membantu memecahkan maslaah praktis, termasuk di
dalamnya bantuan langsung, seperti seseorang memberi atau
meminjamkan uang, membantu pekerjaan sehari-hari, menyampaikan
pesan, menyediakan transportasi, meenjaga dan merawat saat sakit
ataupun mengalami depresi yang dapat membantu memecahkan
masalah.

3) Dukungan Informasional

Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi dan tanggung


jawab bersama, termasuk di dalamnya memberikan solusi dari
masalah, memberikan nasihat, pengarahan, saran atau umpan balik
tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat
menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter, terapi
yang baik bagi dirinya dan tindakan spesifik bagi individu untuk
melawan stresor. Individu yang mengalami deprsei dapat keluar dari
masalahnya dan memecahkan masalahnya dengan dukungan dari
keluarga dengan menyediakan feed back. Pada dukungan informasi ini
keluarga sebagai penghimpun informasi dan pemberi informasi.

4) Dukungan Emosional

Selama depresi berlangsung, individu sering menderita secara


emosional, sedih, cemas dan kehilangan harga diri. Jika depresi
mengurangi perasaan seseorang akan hal yang dimiliki dan dicintai.
Dukungan emosional memberikan individu perasaan nyaman, merasa
dicintai saat mengalami depresi, bantuan dalam bentuk semangat,
empati, rasa percaya, perhatian sehingga individu yang menerimanya
merasa berharga. Pada dukungan emosional ini keluarga menyediakan
tempat istirahat dan memberikan semangat.

12
2. Konsep Harga Diri

a. Pengertian Harga Diri


Menurut Coopersmith (dalam Lestari & Koentjoro, 2002)
mengatakan bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi individu terhadap
dirinya sendiri yang diekspresikan dalam sikap terhadap diri sendiri.
Evaluasi ini menyatakan suatu sikap penerimaan atau penolakan dan
menunjukkan seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu,
berarti, berhasil, berharga menurut standart dan nilai pribadinya. Harga
diri adalah gagasan mengenai diri secara global yang mengacu pada
keseluruhan evaluasi diri sebagai individu, atau bagaimana orang
merasakan mengenai diri mereka sendiri dalam arti yang komprehensif
(Verkuyten, 2003).

Baron & Byrne (2012) juga berpendapat bahwa harga diri adalah
evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap orang terhadap
dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif sampai negatif. Baron &
Byrne menegaskan harga diri merujuk pada sikap seseorang terhadap
dirinya sendiri, mulai dari sangat negatif sampai sangat positif, individu
yang ditampilkan nampak memiliki sikap negatif terhadap dirinya
sendiri, evaluasi positif ini sebagai berdasarkan opini orang lain dan
sebagian berdasarkan dari pengalaman spesifik. Sikap terhadap diri
sendiri dimulai dengan interaksi paling awal antara bayi dengan ibunya
atau pengasuh lain, perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang
penting bagi hargi diri seseorang.

Menurut Kwan dan Singelis (dalam Baron & Byrne, 2012)


harmoni dalam hubungan interpersonal merupakan elemen yang penting
bagi budaya dan individualis. Tingkah laku individu dengan harga diri
yang relatif rendah lebih mudah diprediksikan dari pada individu dengan
harga diri yang tinggi, hal ini dikarenakan skema diri yang negatif
diorganisasikan lebih ketat dari pada skema diri yang positif (Malle &
Horowitz dalam Baron & Bryne, 2012).

13
Namun, pada umumnya individu mengevaluasi diri mereka
sendiri dalam dimensi yang majemuk seperti olah raga, akademis,
hubungan interpersonal, dan lain sebagainya padahal harga diri secara
keseluruhan mewakili rangkuman dari evaluasi spesifik ini (Marsh &
Pelham dalam Baron & Byrne, 2012). Tokoh lain yang juga memberikan
pengertian tentang harga diri adalah Minchintin (dalam Lestari &
Koentjoro, 2002) yang mengemukakan bahwa harga diri merupakan
penilaian atau perasaan mengenai diri kita sendiri sebagai manusia baik
berdasarkan penerimaan akan diri dan tingkah laku sendiri, maupun
berdasarkan keyakinan akan bagaimana diri kita. Perasaan mengenai diri
sendiri ini berpengaruh pada bagaimana kita berhubungan dengan orang
lain disekitar kita dan aspek-aspek lain dalam kehidupan.

b. Faktor-faktor Harga Diri


Menurut Michener, Delamater & Myers (dalam Anggraeni,
2010)menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor dari harga diri, yaitu
family experience, performance feedback, dan social comparison.

a. Dalam family experience, hubungan orang tua-anak dikatakan


penting untuk perkembangan harga diri. Pengaruh keluarga
terhadap harga diri menunjukkan bahwa self-concept yang
dibangun mencerminkan gambaran diri yang
dikomunikasikan atau disampaikan oleh orang-orang
terpenting dalam hidupnya (significant others).
b. Dalam performance feedback, umpan balik yang terus
menerus terhadap kualitas performa kita seperti kesuksesan
dan kegagalan, dapat mempengaruhi harga diri. Kita
memperoleh harga diri melalui pengalaman kita sebagai
tokoh yang membuat sesuatu terjadi di dunia, yang dapai
mencapai cita-cita dan dapat mengatasi rintangan.
c. Dalam social comparison , sangat penting untuk harga diri
karena perasaan memiliki kompetensi tertentu didasarkan

14
pada hasil performa yang dibandingkan baik dengan hasil
yang diharapkan diri sendiri maupun hasil performa orang
lain.

Menurut Coopersmith (Anindyajati & Karima, 2004) terdapat


empat faktor yang dapat mempengaruhi harga diri, yaitu:

a. Penerimaan atau penghinaan terhadap diri. Individu yang


merasa dirinya berharga akan memiliki penilaian yang lebih
baik atau positif terhadap dirinya dibandingkan dengan
individu yang tidak mengalami hal tersebut. Individu yang
memiliki harga diri yang baik akan mampu menghargai
dirinya sendiri, menerima diri, tidak menganggap rendah
dirinya, melainkan mengenali keterbatasaan dirinya sendiri
dan mempunyai harapan untuk maju dan memahami potensi
yang dimilikinya, sebaliknya individu dengan harga diri
rendah umumnya akan menghindar dari persahabatan,
cenderung menyendiri, tidak puas akan dirinya, walaupun
sesungguhnya orang yang memiliki harga diri yang rendah
memerlukan dukungan.
b. Kepemimpinan atau popularitas. Penilaian atau keberartian
diri diperoleh seseorang pada saat individu tersebut harus
berprilaku sesuai dengan tuntutan yang diberikan oleh
lingkungan sosialnya yaitu kemampuan seseorang untuk
membedakan dirinya dengan orang lain atau lingkungannya.
Pada situasi persaingan, seseorang akan menerima dirinya
serta membuktikan seberapa besar pengaruh dan
kepopulerannya. Pengalaman yang diperoleh pada situasi ini
membuktikan individu lebih mengenal dirinya, berani
menjadi pemimpin, atau menghindari persaingan.
c. Keluarga dan orang tua. Keluarga dan orang tua memiliki
porsi terbesar yang mempengaruhi harga diri, ini dikarenakan

15
keluarga merupakan modal pertama dalam proses imitasi.
Alasan lainnya karena perasaan dihargai dalam keluarga
merupakan nilai penting dalam mempengaruhi harga diri.
d. Keterbukaan dan kecemasan. Individu cenderung terbuka
dalam menerima keyakinan, nilai-nilai, sikap, moral dari
seseorang maupun lingkungan lainnya jika dirinya diterima
dan dihargai. Sebaliknya seseorang akan mengalami
kekecewaan bila ditolak lingkungannya.

Menurut coopersmith ada empat unsur yang berpengaruh dalam


pembentukkan harga diri :

a. Keberartian individu misalnya didalam hubungan keluarga


maupun sosial, atau di tempat kerja
b. Power individu
c. Ketaatan individu pada norma dan kemampuan memberi contoh
d. Penampilan/performance individu

Menurut beberapa ahli ditemukan faktor-faktor yang


mempengaruhi harga diri, seperti (Salsabila,2003):

1) Pengembangan individu
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti
penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan
mengakibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal
untuk mencintai orang lain
2) Ideal diri tidak realistis
Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa
tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat
standart yang tidak dapat dicapai, seperti cita-cita yang terlalu
tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai
membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya
diri akan hilang.

16
3) Gangguan fisik dan mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa
rendah diri.
4) Sistim keluarga yang tidak berfungsi
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak
mampu membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua
memberi umpan balik yang negatif dan berulang-ulang akan
merusak harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika
kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat. Akhirnya
anak memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan
dilingkungannya.
5) Pengalaman traumatik yang berulang-ualang, misalnya akibat
aniaya fisik, emosi, peperangan, bencana alam, kecelakaan atau
perampok. Individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan.
Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya
mengingkari trauma, mengubah arti trauma, respon yang biasa
efektif terganggu. Akibat koping yang bisa berkembang adalah
depresi dan denial pada trauma.

c. Aspek-aspek Self-Esteem
Rosenberg (dalam Rahmania & Yuniar, 2012) menyatakan bahwa
harga dirimemiliki dua aspek, yaitu penerimaan diri dan penghormatan
diri. Kedua aspek tersebut memiliki lima dimensi yaitu : dimensi
akademik, sosisal, emosional, keluarga dan fisik.

a. Dimensi akademik mengacu pada persepsi individu terhadap


hubungan sosial individu.
b. Dimensi sosial mengacupada persepsi individu terhadap
hubungan sosial individu.
c. Dimensi emosional merupakan hubungan keterlibatan
individu terhadap emosi individu.

17
d. Dimensi keluarga mengacu pada keterlibatan individu dalam
partisipasi dan integrasi di dalam keluarga.
e. Dimensi fisik yang mengacu pada persepsi individu terhadap
kondisi fisik individu.

Menurut Coopersmith (dalam Andarini, Susandari, & Rosiana,


2012) mengemukakan empat aspek dalam harga diri, yaitu :

a. Power (Kekuasaan). Kemampuan untuk bisa mengatur dan


mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain
b. Significance (Keberartian). Kepedulian, perhatian, dan afeksi
yang diterima individu dari orang lain, hal tersebut
merupakan penghargaan dan minat dari orang lain dan
pertanda penerimaan dan popularitasnya.
c. Virtue (Kebijakan). Ketaatan mengikuti kode moral, etika,
dan prinsip-prinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan
untuk menjauhi tingkah laku yang dilarang dan melakukan
tingkah laku yang diperbolehkan oleh moral, etika, dan
agama.
d. Competence (Kemampuan). Sukses memenuhi tuntutan
prestasi yang ditandai oleh keberhasilan individu dalam
mengerjakan berbagai tugas atau pekerjaan dengan baik dari
level yang tinggi dan usia yang berbeda.

Menurut Reasoner & Dusa (dalam Lestari & Koentjoro,2002),


komponen utama dari harga diri adalah :

a. Sense of security
Rasa aman bagi individu yang berhubungan dengan rasa
kepercayaan dalam lingkungan mereka. Bagi individu yang
memiliki rasa aman merasa bahwa lingkungan mereka aman
untuk mereka, dapat diandalkan dan terpercaya.
b. Sense of identity

18
Rasa identitas melibatkan kesadaran diri menjadi seseorang
individu yang memisahkan dari orang lain dan memiliki
karakteristik yang unik. Ini juga melibatkan penerimaan diri
yang memiliki berbagai potensi, kepentingan, kekuatan dan
kelemahan dari orang lain. Untuk mengetahui jati diri mereka
sendiri, individu harus disediakan kesempatan untuk
mengeksplorasi diri lingkungan mereka.
c. Sense of belonging
Melibatkan perasaan menjadi bagian dari dunia, perasaan yang
ada dalam diri, dan juga merasa memiliki dunia. Individu
dengan Sense of belonging akan merasakan bahwa tempat
mereka adalah makna dari dunia.
d. Sense of purpose
Maksud yang berkaitan dengan perasaan yang optimis dan
menetapkan dan mencapai tujuan. Orang tua dapat membantu
anak-anak mereka untuk memiliki rasa tujuan
denganmenyampaikan harapan dan mendorong menetapkan
tujuan individu dan memiliki tujuan tinggi.
e. Sense of personal competence
Pengertian ini berkaitan dengan kebanggaan satu perasaan
adalah kompetensi pada diri sendiri dan perasaan yang
kompeten dalam menghadapi tantangan dalam hidup. Hal ini
membantu individu untuk menjadi percaya diri untuk
menghadapi kehidupan mereka nanti. Individu yang tidak
memiliki rasa kompetensi pribadi akan merasa sangat tidak
berdaya.

19
3. Konsep Body Image

a. Pengertian Body Image


Menurut Davinson & McCabe (2005) istilah body image
mempunyai pengertian yaitu persepsi dan sikap seseorang terhadap
tubuhnya sendiri. Hal yang sama juga dinyatakan Papalia, Olds, Feldman
(2001) yaitu body image sebagai suatu gambaran dan evaluasi mengenai
penampilan dirinya sendiri. Schilder juga mendefinisikan body image
sebagai gambaran tentang tubuh individu yang terbentuk dalam
pikirannya, atau dengan kata lain gambaran tubuh individu menurut
individu itu sendiri (Glesson& Frith, 2006).

Definisi yang lebih spesifik mengenai body image dikemukakan


oleh Rudd dan Lennon (2000) yang menyatakan bahwa body image
adalah gambaran mental yang seseorang miliki tentang tubuhnya yang
meliputi dua komponen. Kedua komponen body image yang dimaksud
adalah komponen perseptual (ukuran, bentuk, berat, karakteristik,
gerakan, dan performansi tubuh) dan komponen sikap (ada yang kita
rasakan tentang tubuh kita dan bagaimana perasaan ini mengarahkan
pada tingkah laku). Berbeda dengan Rudd dan Lennon, Masheb (1997)
membagi body image ke dalam tiga komponen yaitu komponen
perseptual (bagaimana seseorang mempersepsikan ukuran tubuh baik
keseluruhan atau bagian tubuh tertentu), komponen kognitif / afektif
(bagaimana pikiran atau perasaan seseorang terhadap tubuhnya) dan
komponen perilaku (aktivitas yang dilakukan atau dihindari tergantung
apa yang dirasakan terhadap tubuhnya).

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa body image adalah


gambaran persepsi, perasaan dan sikap seseorang mengenai tubuhnya
secara keseluruhan dan bagian tubuh tertentu (wajah, tangan, kaki, bahu
dan lain-lain) termasuk bentuk, ukuran dan berat badan.

20
b. Aspek-aspek Body Image
Davinson & McCabe (2005) mengemukakan tujuh aspek dari
body image yaitu :

1) Physical attactiveness adalah penilaian seseorang


menegnai tubuh dan bagian tubuhnya (wajah, tangan,
kaki, bahu dan lain-lain) apakah menarik atau tidak
menarik.
2) Body imagee satisfaction adalah perasaan puas atau
tidaknya seseorang terhadap ukuran tubuh, bentuk tubuh,
dan berat badan.
3) Body image importance adalah penilaian seseorang
mengenai penting atau tidaknya body image dibandingkan
hal lain dalam hidup seseorang.
4) Body concealment adalah usaha seseorang untuk menutupi
bagian tubuhnya (wajah, tangan, kaki, bahu dan lain-lain)
yang kurang menarik dari pandangan orang lain dan
menghindari diskusi tentang ukuran dan bentuk tubuhnya
yang kurang menarik.
5) Body improvement adalah usaha seseorang untuk
meningkatkan atau memperbaiki bentuk, ukuran dan berat
badannya yang sekarang.
6) Social physique anxiety adalah perasaan cemas seseorang
akan pandangan orang lain tentang tubuh dan bagian
tubuhnya (wajah, tangan, kaki, bahu dan lain-lain) yang
kurang menarik jika berada di tempat umum.
7) Appearance comparsion adalah perbandingan yang
dilakukan seseorang akan berat badan, ukuran badan dan
bentuk badannya dengan berat badan, ukuran badan dan
bentuk badan orang lain.

21
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Body Image
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan body image
adalah :

1) Jenis kelamin
Chase (2001) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah faktor
paling penting dalam perkembangan body image seseorang.
Dacey & Kenny (2001) juga sependapat bahwa jenis kelamin
mempengaruhi body image. Beberapa penelitian yang sudah
pernah dilakukan menyatakan bahwa wanita lebih negatif
memandang body image dari pada pria (Cash & Brown, 1989;
Davinson & McCabe, 2005; Demarest & Allen, 2000;
Furnham & Greaves, 1994; Janelli, 1993; Rozin & Fallon,
1988 dalam Hubley & Quinlan, 2005).
Pria ingin bertubuh besar dikarenakan mereka ingin tampil
percaya diri didepan teman-temannya dan mengikuti trend
yang sedang berlangsung. Sedangkan wanita ingin memiliki
tubuh kurus menyerupai ideal yang digunakan untuk menarik
perhatian pasangannya. Usaha yang dilakukan pria untuk
membuat tubuh lebih berotot dipengaruhi oleh gambar di
media massa yang memperlihatkan model pria yang kekar dan
berotot. Sedangkan wanita cenderung untuk menurunkan berat
badan disebabkan oleh artikel dalam majalah wanita yang
sering memuat artikel yang mempromosikan penurunan berat
badan (Anderson & Didomenico, 2015).
2) Usia
Pada usia remaja seseorang, body image semakin penting. Hal
ini berdampak pada usaha berlebihan untuk mengontrol berat
badan. Umumnya hal ini terjadi pada remaja puteri daripada
remaja putra. Remaja putri mengalami kenaikan berat badan
yang normal pada masa pubertas dan menjadi tidak bahagia

22
tentang penampilan dan body image negatif ini dapat
menyebabkan gangguan makan (eating disorders).
Ketidakpuasan remaja putri pada tubuhnya meningkat pada
awal hingga pertengahan usia remaja sedangkan pada remaja
putra yang semakin berotot menjadi semakin tidak puas
dengan tubuhnya (Papalia & Olds, 2003). Pada usia dewasa
adalah usia yang mengalami ketidakpuasan tubuh dan perilaku
untuk mengontrol berat badan sering terjadi (Mills & Alfonso,
2000).
3) Media Massa
Media massa berperan di masyarakat (dalam Cash &
Pruzinsky, 2002). Orang dewasa biasa membaca koran harian
dan majalah. Wanita cenderung membaca majalah fashion.
Setiap rumah memiliki seperangkat televisi yang menyala rata-
rata 7 jam setiap hari dan masing-masing individu rata-rata
menonton 3-4 jam sehari. Sepanjang tahun, anak-anak dan
remaja lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
menonton televisi daripada tidur. Konsumsi media massa yang
tinggi dapat mempengaruhi konsumen. Isi tayangan media
sering menggambarkan standar kecantikan wanita adalah tubuh
yang kurus dan hal ini berarti dengan level kekurusannya
kebanyakan wanita percaya bahwa mereka orang-orang yang
sehat. Majalah wanita terutama majalah fashion, film dan
televisi (termasuk tayangan khusus anak-anak) menyajikan
gambar dan model-model yang kurus sebagai figur yang ideal
sehingga menyebabkan banyak wanita merasa tidak puas
dengan dirinya (body dissatisfaction) dan gangguan makan
(eating disorder).
4) Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal adalah seseorang cenderung
membandingkan dirinya dengan orang lain dan feedback yang

23
diterima mempengaruhi konsep diri termasuk bagaimana
perasaannya terhadap penampilan fisik. Hal inilah yang sering
membuat seseorang cemas terhadap penampilan dan gugup
ketika orang lain melakukan evaluasi terhadap dirinya. Rosen
dan koleganya menyatakan bahwa feedback terhadap
penampilan dan kompetisi teman sebaya dan keluarga dalam
hubungan interpersonal mempengaruhi bagaimana pandangan
dan perasaan seseorang terhadap tubuhnya (dalam Cash &
Pruzinsky, 2002).

4. Konsep Kusta
a. Pengertian Kusta
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat keorgan lain kecuali susunan
saraf pusat. Kusta dapat menyebabkan kecacatan, kecacacatan kusta
adalah keadaan abnormal fisik dan fungsi tubuh serta hilangnya beberapa
struktur dan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta
(DEPKES 2000).
Kusta adalah penyakit menular pada umumnya mempengaruhi
kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang
luas (COC, 2003).
b. Etiologi
Microbacterium Leprae merupakan basil tahan asam (BTA),
bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ
lainnya seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati dan sumsum
tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri Microbacterium
Leprae 12-21 hari dari masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun.
Microbacterium Leprae atau Kuman Hansen adalah kuman penyebab
penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer

24
Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk
batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar0,2-o,5 micron. Biasanya ada
yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidupp dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada
binatang Armadillo.
c. Manifestasi Klinis
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda
utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa kelainan kulit/lesi dapat
berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a) Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
b) Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese)
atau kelumpuhan (paralise)
c) Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-
retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan
kulit (BTA+) seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta
apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama
diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian
pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan
kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu
orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.

25
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat
satu dari tanda kardian berikut :
a) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya
berupa makula, papil atau nodul. Kehilangan sensibilitas
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan
sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi
saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau
kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
b) BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan
asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka
dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap
3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit
lain.
d. Patofisiologi
Meskipun cara masuk Microbacterium Leprae ke tubuh belum
diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah
Microbacterium Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celluler
mediated immune) pasien. Jika sistem imunitas seluler tinggi, penyakit
berkembang ke arah Tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah
Lepromatosa. Microbacterium Leprae berpredileksi di daerah-daerah
yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit.
Microbacterium Leprae (Parasit Obligat Intraseluler) terutama
terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis

26
atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh, tubuh bereaksi
mengeluarga macrofag (berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit)
untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuhan sistem imun seluler tinggi macrofag
tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas
merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag,
terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitar.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada setiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih
sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh
karena itu penyakit kusta dpat disebut sebagai penyakit imunologis.
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah
sebagai berikut :
a) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b) kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali
tidak ditemukan lesi ditempat lain.
c) Pemeriksaan ulang dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan
mikrobakterium leprae ialah :
 Cuping telinga kiri atau kanan
 Dua sampai empat lesikulit yang aktif ditempat lain.
e) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena :
 Tidak menyenangkan pasien
 Positif palsu karena ada mikrobakterium lain
 Tidak pernah ditemukan mikrobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatif.
 Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir
hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.

27
f) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
 Semua orang yang dicurigai menderita kusta
 Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasien kusta
 Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
 Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
g) Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan
asam, yaitu ziehlnesslsen atau kinyoun gabett.
h) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode
yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan
clumps.
2. Indeks Bakteri (IB) : merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA
dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan
mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala
logaritma RIDLEY sebagai berikut : 0 : Bila tidak ada BTA dalam 100
lapangan pandang 1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapanganpandang 2 :
Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang 3 : bila 1-10 BTA dalam
rata-rata 1 lapang pandang 4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapang
pandang 5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 6 :
bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
3. Indeks morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh
terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan
kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantuu menentukan
resistensi terhadap obat.

f. Penataalaksanaan
1. Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug
Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi depson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen
pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut :

28
a) Tipe PB (PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet
100mg/hari diminum dirumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan
dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan
pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB (MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/blm diminum di depan petugas. Klofazimin
300mg/blm diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50mg/hari diminum di rumah. DDS 100mg/hari
diminum di rumah, pengobatan 24 dosis deselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai diminum 24 dosis
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan
MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin :
Umur dibawah 10 tahun : /bulan/harian 50mg/2kali/minggu,
umur 11-14 tahun, bulanan 100mg/bln, Harian
50mg/3kali/minggu, DDS : 1-2mg/kg BB, rifampisin: 10-
15mg/kg BB.
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO
(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg
dan minosiklin 100mg dan pasien langsung dinyakatak RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis
dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif
dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4
dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan
pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12
dosis dari yang seharusnya.
2. Perawatan Umum

29
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan
fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena
peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a) Perawatan mata dengan lagophthalmos
 Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada
kemerahan atau kotoran
 Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
 Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b) Perawatan tangan yang mati rasa
 Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari
tanda-tanda luka, melepuh
 Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih
kurang stengah jam
 Keadaan basah diolesi minyak
 Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
 Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
 Tangan mati rasa dilindungi deri panas, benda tajam, luka
c) Perawatan kaki yang mati rasa
 Penderita memeriksa kaki setiap hari
 Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang setengah jam
 Masih basah diolesi minyak
 Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
 Jari-jari bengkok diurut lurus
 Kaki mati rasa dilindungi
d) Perawatan luka
 Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
 Luka dibalut agar bersih
 Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
 Bila bengkak, pana, bau bawa ke puskesmas.

Tanda penderita melaksanakan perawatan diri


1. Kulit halus dan berminyak
2. Tidak ada kulit tebal dan keras
3. Luka dibungkus dan bersih
4. Jari-jari bengkak menjadi kaku

30
B. Keaslian Penelitian
No Peneliti Judul Metode Variable Hasil
penelitian
1 Sartika Dwi Hubungan Dukungan Keluarga Penelitian Variabel Hasil penelitian ini
Lestari Dengan Harga Diri Penderita yang independen :
di dukung oleh hasi
Kusta Rawat Jalan Di Rumah digunakan dukungan penelitian
Sakit Rehatta Donorojo Jepara belah lintang keluarga Wulandari,
(cross Suswardany, dan
sectional) Variabel Firnawati (2011) di
dependen : Kecamatan Padas
Harga diri didapatkan hasil
pada sebesar 61,5%
penderita keluarga tidak
kusta memberikan
dukungan informasi
dalam hal perawatan
diri responden,
sebesar 50%
keluarga tidak
memberikan
dukungan emosional
dalam perawatan diri
responden, sebesar
73,1% keluarga tidak
memberikan
dukungan
instrumental, dan
sebanyak 33 atau
sebesar 42,3%
keluarga tidak
memberikan
dukungan
penghargaan.

Hasil penelitian ini


sejalan dengan
penelitian
Pangaribuan, Juanita
dan Fauzi (2012) di
RS Kusta Hutasalem
Kabupaten Tobasa di
dapatkan hasil
penderita kusta yang
tidak menerima
dukungan dari
keluarga sebanyak
25 orang (32,1%)

Hasil penelitian ini


juga didukung oleh

31
penelitian yang
dilakukan oleh
Prastiwi (2010,
dalam Mongi 2012)
di RS Kusta Kediri,
Jawa Timur dengan
hasil dukungan
tinggi yang diberikan
keluarga kepada
penderita kusta
hanya sebesar
44,1%.
2 Suryanto Chandra Hubungan Dukungan Keluarga Desain yang Variabel Sebagian
Atmaja Dengan Harga Diri Pasien digunakan independen : besarresponden
Kusta Di Rumah Sakit Kusta dalam dukungan adalah harga diri
Dr. Sitanala Tangerang (2011) penelitian keluarga tinggi (71,4&), jenis
ini adalah kelamin laki-laki
correlation Variabel (71,4%), menikah
study dependen : (52,4%), tidak
dengan Harga diri bekerja (47,6%),
pendekatan pada hasil diperoleh
cross penderita dukungan keluarga
sectional. kusta tinggi 52,4%,
dukungan keluarga
rendah 47,6%, harga
diri tinggi 71,4%,
harga diri rendah
28,6%. Nilai
signifikan >0,05
(alpha 5%).

32
C. Kerangka Teoritis
Dukungan Keluarga :
Keperawatan Keluarga, Salsabila (2003) Konsep Diri.
- Dukungan emosional
HARGA DIRI - Dukungan penilaian
- Dukungan instrumental
- Dukungan informasional

1. Perkembangan
1. Keberartian individu 1. Penolakan
individu 2. Ideal diri tidak orang tua
2. Power individu realistis 2. Kegagalan
3. Penampilan 3. Gangguan fisik berulang kali
individu dan mental 3. Ideal diri tidak
4. Sistim keluarga realistis
tidak berfungsi 4. Kurang
5. Pengalaman tanggung
traumatik yang jawab
berlangsung

D. Hipotesis
1. Ada hubungan dukungan keluarga tentang harga diri pasien kusta.
2. Ada hubungan sikap menerima keluarga tentang harga diri pasien kusta

33
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Berdasarkan lingkup dan teori yang telah diuraikan, maka dapat
digambarkan kerangka konsep sebagai berikut :

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Dukungan Keluarga : HARGA DIRI


- Dukungan penilaian &
- Dukungan BODY IMAGE
instrumental
- Dukungan
informasional
- Dukungan
emosional

B. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif koleratif yaitu penelitian untuk
menelaah hubungan antara dua variabel pada situasi atau sekelompok
objek (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan persepsi tentang dukungan keluarga dan harga diri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu suatu
penelitian untuk mempelajari antara variabel bebas dengan variabel terikat,
dengan cara pemberian kuesioner atau pengumpulan data sekaligus pada
saat yang sama (point time approach) (Notoatmodjo, 2005).

C. Populasi dan Sample


1. Populasi
populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan subjek penelitian
(Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga
dengan pasien kusta yang terdaftar di Rumah Sakit Kusta Alverno
Singkawang.

34
2. Sampel
Sampel adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan di teliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2005). Pada
penelitian ini sampel yang digunakan adalah accidental sampling
dengan jumlah sampel sebanyak 35 responden yang sesuai, yaitu :
a. Kriteria inklusi
1) Keluarga pasien kusta yang sedang dirawat di Rumah Sakit
Kusta Alverno Singkawang.
2) Bisa membaca dan menulis
3) Bersedia untuk diteliti
4) Kooperatif
b. Kriteria eksklusi
1) Bukan keluarga pasien kusta yang sedang dirawat di Rumah
Sakit Kusta Alverno Singkawang.
2) Tidak bisa membaca dan menulis
3) Tidak bersedia untuk diteliti
4) Tidak kooperatif

D. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Kusta Alverno
Singkawang, Jalan Gunung Sari No.70, Pasiran, Kota Singkawang ,
Provinsi Kalimantan Barat.
2. Waktu penelitian

E. Definisi Operasional
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap keluarga yang sakit kusta di Rumah Sakit Alverno
Singkawang berupa dukungan informasional, instrumental, penilaian dan
emosional. Diukur dengan skala ordinal menggunakan kuesioner.
Dukungan dapat dikategorikan menjadi baik dengan presentase
(76%-100%), cukup dengan presentase (56%-75%), dan kurang baik
dengan presentase <55%.

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


1 Variabel Merupakan dukungan Kuesioner Pengetahuan Ordinal
independen : yang diberikan oleh dengan dikategorikan
dukungan keluarga kepada anggota skala menjadi 3 :
keluarga keluarga lain (pasien Gutmen 1. Baik bila
kusta) dalam bentuk terdiri dari skor total
perhatian dan kepedulian 38 76%-100%

35
keluarga terhadap pertanyaan.
(skor 23-
kondisi kesehatan pasien Jawaban 26)
kusta yang terdiri dari yang benar
2. Cukup bila
emosional, instrumental, diberi skor
skor total
informasiona, dan 1 56%-75%
penilaian. sedangkan (skor 20-
jawaban 22)
yang salah
3. Kurang bila
diberi skor
skor total
0. <55% (13-
19)
2 variabel Merupakan cerminan Kuesioner Total skor harga Ordinal
dependen: harga harga diri dan body mengenai diri dan body
diri dan body image penderita kusta harga diri image
image pasien dan body dikategorikan :
kusta image 1. Tinggi
pasien 2. Sedang
kusta 3. Rendah

F. Instrumen / Alat Pengumpulan Data


Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner berupa
pertanyaan untuk mengumpulkan data dan juga menggunakan medical
record yang ada di Rumah Sakit untuk data pasien kusta di Kota
Singkawang, yang meliputi :
1. Data responden : nama (inisial), usia, jenis kelamin, status perkawinan
dan pendidikan terakhir.
2. Instrumen untuk mengukur dukungan keluarga
Dalam mengukur dukungan sosial keluarga digunakan kuesioner
terdiri dari 38 pertanyaan yang meliputi dukungan emosional,
penilaian, informasional maupun instrumental. Kuesioner penelitian
untuk dukungan keluarga ini menggunakan kuesioner yang sudah
baku dan telah dilakukan uji validitas serta dinyatakan valid sebagai
instrumen penelitian.
Kuesioner dukungan keluarga ini dijawab langsung oleh keluarga dan
pasien dengan penyakit kusta sebagai cross chek. Cara penilaian pada
kuesioner dukungan sosial keluarga ini dapat diintepretasikan
berdasarkan Notoatmodjo (2010), dengan skor sebagai berikut :

36
4 :selalu
3 :sering
2 kadang-kadang
1 :tidak pernah
Dari skor diatas akan dibuat presentase (%) menggunakan rumus :
X
P= x 100%
N
Keterangan :
P = Persentasi
X = Jumlah skor jawaban “ya”
N = Jumlah skor maksimal atau skor seluruh item
Setelah data yang didapatkan dari perhitungan diatas, data hasil
perhitungan tersebut kemudian dimasukkan dalam kategori :
a. (76%-100%) = Baik
b. (56%-75%) = Cukup
c. <55% = Kurang Baik

G. Prosedur Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data dari responden dari penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit Kusta Alverno Singkawang maka peneliti
melakukan prosedur pengumpulan data sebagai berikut :
1. Peneliti mengajukan permohonan izin penelitian kepada Direktur
Rumah Sakit Kusta Alverno Singkawang.
2. Setelah mendapatkan izin, Direktur Rumah Sakit Kusta Singkawang
merekomendasikan kepada Kepala Ruangan, agar pasien kusta dapat
diambil untuk sampel dalam penelitian.
3. Jumlah responden yang akan digunakan sebagai sampel rata-rata
berjumlah 35 orang.
4. Kuesioner diisi pada satu hari setelah dilakukan observasi, setelah
pasien menanda tangani inform consent.
5. Untuk melengkapi data dan untuk keperluan pembahasan, yaitu
diperoleh dari medical record. Khususnya di Rumah Sakit Alverno
Singkawang, serta angka kesakitan penyakit kusta di Kalimantan
Barat dan di Indonesa.
6. Setelah pertanyaan dalam kuesioner sudah dijawab semua dan
didapatkan data dari medical record, maka selanjutnya dilakukan
pengolahan data.

37
H. Rencana Analisis
Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data,
selanjutnya dilakukan analisa dengan menggunakan software SPSS 16.
Hasil pengukuran disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Data disajikan
secara deskriptif untuk menggambarkan distribusi responden. Analisa data
disajikan dalam bentuk tabel untuk mengetahui proporsi pada masing-
masing variabel yang diteliti.
1. Analisa Univariat
Analisa data disajikan dalam bentuk tabel mengetahui proporsi
masing-masing variabel.

2. Analisa Bivariat (Analisa Ganda)


Analisa bivariat yaitu analisa terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2005).
Pada tahap analisa bivariat untuk variabel bebas dan terikat
dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Kendalls Tau , rumusnya
sebagai berikut :
ΣA-ΣB
T=
N(N-1)
Dimana :
T = Koefesien korelasi Kendalls Tau yang besarnya (-1<0<1)
A= jumlah rangking atas
B= jumlah rangking bawah
N= jumlah anggota sampel

Penggunaan uji hipotesa dengan uji kolerasi Kendalls tau dengan alasan sebagai
berikut :

1. Bentuk skala data adalah ordinal.


2. Penjabaran deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi
persentasi.
3. Sifat menghubungkan dua atau lebih variabel
4. Jumlah sampel lebih dari 10

38
I. Etika Penelitian
Setiap melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan etika
penelitian terutama jika penelitian dilakukan langsung pada manusia. Dan
berikut ini beberapa prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan data
(Nursalam, 2008) :

Informed Consent

1. Merupakan lembar persetujuan yang akan diteliti agar subyek


mengerti maksud dan tujuan penelitian. Jika responden tidak bersedia
maka peneliti harus menghormati hak-hak responden.
2. Tanpa Nama (Anonim)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan
nama responden dan hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya
oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akandilaporkan
kepada pihak yang terkait dengan peneliti.
4. Prinsip manfaat merupakan penelitian yang harus dilaksanakan tanpa
mengakibatkan penderitaan, keadaan yang tidak menguntungkan dan
terhindar dari resiko.
5. Prinsip menghargai hak asasi manusi (respect human dignity).
6. Prinsip keadilan (rifht to justice).

39
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. (2007). Buku Pedoman Nasional
Pengendalian Penyakit Kusta. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan.

Pangaribuan, H.R., Juanita, & Fauzi, (2012). Pengaruh Faktor


Predisposisi, Pendukung, dan Pendorong Terhadap Pencegahan
Kecacatan Pasien Penderita Kusta Di RS Kusta Hutasalem Kabupaten
Tobasa.

Rahayu, D.A. (2012). Dukungan Psikososial Keluarga Penderita Kusta


Di Kabupaten Pekalongan. http://jurnal.unimus.ac.id

Stuart, G.W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5 (alih bahasa).
Jakarta : EGC

Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit


Kusta Cetakan XVII, Direktorat Jendral PPM dan PLP, Jakart. Pp. 4-97

Achjar, K.A.H. (2010). Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta : Sagung


Seto

Rahariyani, L.D. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Sistem Integumen. Jakarta : EGC

40

Anda mungkin juga menyukai