BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta atau disebut juga Morbus Hansen (MH) merupakan infeksi kronik
pada kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. Predileksi awal
penyakit ini adalah saraf perifer dan kulit, kemudian dapat mengenai mukosa
saluran pernapasan dan organ-organ lain, tetapi tidak mengenai saraf pusat
(Menaldi, 2015). Menurut World Health Organization (WHO) kusta
merupakan salah satu dari tujuh belas penyaki tropis yang terabaikan dan
membutuhkan perhatian khusus dunia (Smith, 2012). Kusta juga dikenal
sebagai “The Great Imitator Disease” karena manifestasi yang mirip dengan
banyak penyakit kulit lainnya seperti infeksi jamur kulit, sehingga seseorang
jarang menyadari bahwa dirinya telah menderita kusta (Widoyono,2008).
Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1
per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Setelah
itu Indonesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif
lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2016 sebesar 0,71
kasus/10.00 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,50 kasus per
100.000 penduduk. Angka kejadian dalam 5 tahun terakhir
2
sebagai petani, jarak pelayanan kesehatan terhadap tempat tinggal penderita
jauh dan penerapan ber-PHBS yang buruk.
3
akhirnya mereka akan merasa dirinya tidak berharga dan merasa rendah diri.
Harga diri rendah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu
keberartian individu, keberhasilan individu, kekuatan individu, inteligensi dan
kondisi fisik. Selain itu dukungan keluarga juga ikut mempengaruhi harga diri
seseorang. Keluarga diharapkan mampu menjadi support system bagi anggota
keluarganya yang sakit. Terutama bagi anggota keluarga yang menderita
penyakit kusta untuk meningkatkan harga dirinya. Keluarga yang takut tertular
penyakit kusta, akan mempengaruhi partisipasinya dalam hal perawatan
kesehatan bagi anggota keluarga yang menderita kusta sehingga keluarga
kurang memberikan dukungan kepada penderita untuk memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan dalam mengobati penyakit tersebut (Rahayu, 2012).
Dari hasil penelitian Mongi tahun 2012 diperoleh data bahwa dukungan
emosional dalam kategori baik sebesar 76,2%, dukungan instrumental dengan
kategori baik sebesar 81% dukungan informasional dalam kategori baik 83,3%.
Hal ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga yang diberikan pada penderita
kusta di Kota Manado secara umum baik. Dukungan yang baik dari keluarga
akan memberikan kontribusi yang positif terhadap anggota keluarga yang sakit
termasuk penderita kusta. Sebaliknya dukungan keluarga yang kurang dapat
memicu munculnya masalah psikologis gangguan konsep diri yang dialami
oleh penderita kusta (Widyastuti,2009 dalam Rahayu, 2012).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan diatas
maka peneliti merumuskan masalah penelitian :
4
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan
dan sikap keluarga terhadap pasien kusta
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dukungan keluarga pada pasien kusta
b. Untuk mengetahui tingkat harga diri pada pasien kusta
c. Untuk mengetahui body image pada pasien kusta
3. Manfaat Penelitian
a. Bagi Pendidikan dan Perkembangan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan evaluasi dan referensi
agar bisa tercipta kebijakan untuk meningkatkan penyuluhan/pendidikan
kesehatan terhadap keluarga khususnya pada pasien penderita kusta
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori
1. Kosep Dukungan Keluarga
a. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung
karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan
mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan
didalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan
kebudayaan (Friedman, 2010).
Sedangkan menurut Ali (2010), keluarga adalah dua atau lebih
individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan dan adopsi
dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan lainnya dalam
peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
b. Fungsi Keluarga
Berdasarkan UU No.10 tahun 1992 PP No.21 tahun 1994 tertulis fungsi
keluarga dalam delapan bentuk :
1) Fungsi Keagamaan
a) Membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan tujuan
hidup seluruh anggota keluarga
b) Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup sehari-hari
kepada seluruh anggota keluarga
c) Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari dalam
pengalaman dari ajaran agama
d) Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak
tentang keagamaan yang kurang diperolehnya disekolah atau
masyarakat
e) Membina rasa, sikap, dan praktek kehidupan keluarga
beragama sebagai pondasi menuju keluarga kecil bahagia
sejahtera
6
2) Fungsi Budaya
a) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk
meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa
yang ingin dipertahankan.
b) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk
menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai.
c) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang
anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai
pengaruh negatif globalisasi dunia.
3) Fungsi Cinta Kasih
a) Menumbuhkembangkan potensi kasih sayang yang telah ada
antara anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara
optimal dan terus-menerus.
b) Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar keluarga
secara kuantitatif dan kualitatif.
c) Membina praktek kecintaan terhadap kehidupan duniawi dan
ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan seimbang
4) Fungsi Perlindungan
a) Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik dari
rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun luar keluarga.
b) Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis dari
berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang datang dari luar.
5) Fungsi Reproduksi
a) Membina kehidupan keluarga sbagai wahana pendidikan
reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga maupun bagi
keluarga sekitarnya.
b) Memberikan contoh pengalaman kaidah-kaidah pembentukan
keluarga dalam hal usia, pendewasaan fisik maupun mental.
7
6) Fungsi Sosialisasi
a) Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan
keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi anak
pertama dan utama.
b) Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan
keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari pemecahan
dari berbagai konflik dan permasalahan yang dijumpai baik di
lingkungan sekolah maupun masyarakat.
7) Fungsi ekonomi
a) Melakukan kegiatan ekonomi baik di luar maupun di dalam
lingkungan dalam rangka menopang kelangsungan dan
perkembangan kehidupan keluarga.
b) Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian,
keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran keluarga.
8) Fungsi Pelestarian Lingkungan
a) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
internal dan eksternal keluarga.
b) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
yang serasi, selaras dan seimbang dan antara lingkungan
keluarga dengan lingkungan hidup masyarakat sekitarnya.
c) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan
hidup sebagai pola hidup keluarga menuju keluarga kecil
bahagia sejahtera (Setadi, 2008).
c. Tipe dan Bentuk Keluarga
Tipe keluarga menurut Harmoko, hal 23 (2012) yaitu sebagai berikut :
1) Nuclear Family
Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam
satu rumah ditettapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan
perkawinan, satu/keduanya dapat bekerja di luar rumah.
2) Extended Family
8
Keluarga inti ditambahkan dengan sanak saudara, misalnya nenek,
kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi, dan sebagainya.
3) Reconstitud Nuclear
Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali
suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anak-
anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil dari
perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.
4) Middle Angel Aging Couple
Suami sebagai pencari uang, istri di rumah/kedua-duanya bekerja di
rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah/
perkawinan/ meniti karier.
5) Dyadic Nuclear
Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak,
keduanya/ salah satu bekerja dirumah.
6) Single Parent
Satu orang tua sebagai akibat perceraian/ kematian pasangannya dan
anak-anaknya dapat tinggal di rumah/ diluar rumah.
7) Dual Carier
Suami istri atau keduanya berkarier dan tanpa anak.
8) Commuter Married
Suami istri/ keduanya berkarier dan tinggal terpisah pada jarak
tertentu, keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.
9) Single Adult
Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya
keinginan untuk menikah.
10) Three Generation
Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.
11) Institutional
Anak-anak atau orang dewasa yang tinggal dalam suatu panti-panti.
9
12) Comunal
Satu rumah terdiri atas dua/ lebih pasangan yang monogami dengan
anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas.
13) Group Marriage
Satu perumahan terdiri atas, orang tua dan keturunnya di dalam satu
kesatuan keluarga dan tiap individu adalah menikah dengan yang
lain dan semua adalah orang tua dari anak-anak.
14) Unmarried Parent and Child
Ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya di
adopsi.
15) Cohibing Couple
Dua orang/ satu pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan.
10
e. Pengertian Dukungan Keluarga
Friedman (1998) dalan Murniasih (2007) menyatakan dukungan
keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
anggotanya. Anggota keluarga dipandang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam lingkungan keluarga. Anggota keluarga memandang
bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
1) Dukungan Penilaian
Dukungan ini meliputi pertolongan pada individu untuk
memahami kejadian depresi dengan baik dan juga sumber depresi dan
strategi koping yang dapat digunakan dalam menghadapi stressor.
Dukungan ini juga merupakan dukungan yang terjadi bila ada ekspresi
penilaian yang positif terhadap individu. Individu mempunyai
seseorang yang dapat diajak bicara tentang masalah mereka, terjadi
melalui eksprsi pengharapan positif individu kepada individu lain,
penyemangat, persetujuan terhadap ide-ide atau perasaan seseorang
dan perbandingan positif seseorang dengan orang lain, misalnya orang
yang kurang mampu. Dukungan keluarga dapat membantu
11
meningkatkan strategi koping individu dengan strategi-strategi
alternatif berdasarkan pengalaman yang berfokus pada aspek-aspek
yang positif.
2) Dukungan Instrumental
3) Dukungan Informasional
4) Dukungan Emosional
12
2. Konsep Harga Diri
Baron & Byrne (2012) juga berpendapat bahwa harga diri adalah
evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap orang terhadap
dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif sampai negatif. Baron &
Byrne menegaskan harga diri merujuk pada sikap seseorang terhadap
dirinya sendiri, mulai dari sangat negatif sampai sangat positif, individu
yang ditampilkan nampak memiliki sikap negatif terhadap dirinya
sendiri, evaluasi positif ini sebagai berdasarkan opini orang lain dan
sebagian berdasarkan dari pengalaman spesifik. Sikap terhadap diri
sendiri dimulai dengan interaksi paling awal antara bayi dengan ibunya
atau pengasuh lain, perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang
penting bagi hargi diri seseorang.
13
Namun, pada umumnya individu mengevaluasi diri mereka
sendiri dalam dimensi yang majemuk seperti olah raga, akademis,
hubungan interpersonal, dan lain sebagainya padahal harga diri secara
keseluruhan mewakili rangkuman dari evaluasi spesifik ini (Marsh &
Pelham dalam Baron & Byrne, 2012). Tokoh lain yang juga memberikan
pengertian tentang harga diri adalah Minchintin (dalam Lestari &
Koentjoro, 2002) yang mengemukakan bahwa harga diri merupakan
penilaian atau perasaan mengenai diri kita sendiri sebagai manusia baik
berdasarkan penerimaan akan diri dan tingkah laku sendiri, maupun
berdasarkan keyakinan akan bagaimana diri kita. Perasaan mengenai diri
sendiri ini berpengaruh pada bagaimana kita berhubungan dengan orang
lain disekitar kita dan aspek-aspek lain dalam kehidupan.
14
pada hasil performa yang dibandingkan baik dengan hasil
yang diharapkan diri sendiri maupun hasil performa orang
lain.
15
keluarga merupakan modal pertama dalam proses imitasi.
Alasan lainnya karena perasaan dihargai dalam keluarga
merupakan nilai penting dalam mempengaruhi harga diri.
d. Keterbukaan dan kecemasan. Individu cenderung terbuka
dalam menerima keyakinan, nilai-nilai, sikap, moral dari
seseorang maupun lingkungan lainnya jika dirinya diterima
dan dihargai. Sebaliknya seseorang akan mengalami
kekecewaan bila ditolak lingkungannya.
1) Pengembangan individu
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti
penolakan orang tua menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan
mengakibatkan anak gagal mencintai dirinya dan akan gagal
untuk mencintai orang lain
2) Ideal diri tidak realistis
Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa
tidak punya hak untuk gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat
standart yang tidak dapat dicapai, seperti cita-cita yang terlalu
tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai
membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya
diri akan hilang.
16
3) Gangguan fisik dan mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa
rendah diri.
4) Sistim keluarga yang tidak berfungsi
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak
mampu membangun harga diri anak dengan baik. Orang tua
memberi umpan balik yang negatif dan berulang-ulang akan
merusak harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika
kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat. Akhirnya
anak memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan
dilingkungannya.
5) Pengalaman traumatik yang berulang-ualang, misalnya akibat
aniaya fisik, emosi, peperangan, bencana alam, kecelakaan atau
perampok. Individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan.
Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya
mengingkari trauma, mengubah arti trauma, respon yang biasa
efektif terganggu. Akibat koping yang bisa berkembang adalah
depresi dan denial pada trauma.
c. Aspek-aspek Self-Esteem
Rosenberg (dalam Rahmania & Yuniar, 2012) menyatakan bahwa
harga dirimemiliki dua aspek, yaitu penerimaan diri dan penghormatan
diri. Kedua aspek tersebut memiliki lima dimensi yaitu : dimensi
akademik, sosisal, emosional, keluarga dan fisik.
17
d. Dimensi keluarga mengacu pada keterlibatan individu dalam
partisipasi dan integrasi di dalam keluarga.
e. Dimensi fisik yang mengacu pada persepsi individu terhadap
kondisi fisik individu.
a. Sense of security
Rasa aman bagi individu yang berhubungan dengan rasa
kepercayaan dalam lingkungan mereka. Bagi individu yang
memiliki rasa aman merasa bahwa lingkungan mereka aman
untuk mereka, dapat diandalkan dan terpercaya.
b. Sense of identity
18
Rasa identitas melibatkan kesadaran diri menjadi seseorang
individu yang memisahkan dari orang lain dan memiliki
karakteristik yang unik. Ini juga melibatkan penerimaan diri
yang memiliki berbagai potensi, kepentingan, kekuatan dan
kelemahan dari orang lain. Untuk mengetahui jati diri mereka
sendiri, individu harus disediakan kesempatan untuk
mengeksplorasi diri lingkungan mereka.
c. Sense of belonging
Melibatkan perasaan menjadi bagian dari dunia, perasaan yang
ada dalam diri, dan juga merasa memiliki dunia. Individu
dengan Sense of belonging akan merasakan bahwa tempat
mereka adalah makna dari dunia.
d. Sense of purpose
Maksud yang berkaitan dengan perasaan yang optimis dan
menetapkan dan mencapai tujuan. Orang tua dapat membantu
anak-anak mereka untuk memiliki rasa tujuan
denganmenyampaikan harapan dan mendorong menetapkan
tujuan individu dan memiliki tujuan tinggi.
e. Sense of personal competence
Pengertian ini berkaitan dengan kebanggaan satu perasaan
adalah kompetensi pada diri sendiri dan perasaan yang
kompeten dalam menghadapi tantangan dalam hidup. Hal ini
membantu individu untuk menjadi percaya diri untuk
menghadapi kehidupan mereka nanti. Individu yang tidak
memiliki rasa kompetensi pribadi akan merasa sangat tidak
berdaya.
19
3. Konsep Body Image
20
b. Aspek-aspek Body Image
Davinson & McCabe (2005) mengemukakan tujuh aspek dari
body image yaitu :
21
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Body Image
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan body image
adalah :
1) Jenis kelamin
Chase (2001) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah faktor
paling penting dalam perkembangan body image seseorang.
Dacey & Kenny (2001) juga sependapat bahwa jenis kelamin
mempengaruhi body image. Beberapa penelitian yang sudah
pernah dilakukan menyatakan bahwa wanita lebih negatif
memandang body image dari pada pria (Cash & Brown, 1989;
Davinson & McCabe, 2005; Demarest & Allen, 2000;
Furnham & Greaves, 1994; Janelli, 1993; Rozin & Fallon,
1988 dalam Hubley & Quinlan, 2005).
Pria ingin bertubuh besar dikarenakan mereka ingin tampil
percaya diri didepan teman-temannya dan mengikuti trend
yang sedang berlangsung. Sedangkan wanita ingin memiliki
tubuh kurus menyerupai ideal yang digunakan untuk menarik
perhatian pasangannya. Usaha yang dilakukan pria untuk
membuat tubuh lebih berotot dipengaruhi oleh gambar di
media massa yang memperlihatkan model pria yang kekar dan
berotot. Sedangkan wanita cenderung untuk menurunkan berat
badan disebabkan oleh artikel dalam majalah wanita yang
sering memuat artikel yang mempromosikan penurunan berat
badan (Anderson & Didomenico, 2015).
2) Usia
Pada usia remaja seseorang, body image semakin penting. Hal
ini berdampak pada usaha berlebihan untuk mengontrol berat
badan. Umumnya hal ini terjadi pada remaja puteri daripada
remaja putra. Remaja putri mengalami kenaikan berat badan
yang normal pada masa pubertas dan menjadi tidak bahagia
22
tentang penampilan dan body image negatif ini dapat
menyebabkan gangguan makan (eating disorders).
Ketidakpuasan remaja putri pada tubuhnya meningkat pada
awal hingga pertengahan usia remaja sedangkan pada remaja
putra yang semakin berotot menjadi semakin tidak puas
dengan tubuhnya (Papalia & Olds, 2003). Pada usia dewasa
adalah usia yang mengalami ketidakpuasan tubuh dan perilaku
untuk mengontrol berat badan sering terjadi (Mills & Alfonso,
2000).
3) Media Massa
Media massa berperan di masyarakat (dalam Cash &
Pruzinsky, 2002). Orang dewasa biasa membaca koran harian
dan majalah. Wanita cenderung membaca majalah fashion.
Setiap rumah memiliki seperangkat televisi yang menyala rata-
rata 7 jam setiap hari dan masing-masing individu rata-rata
menonton 3-4 jam sehari. Sepanjang tahun, anak-anak dan
remaja lebih banyak menghabiskan waktunya dengan
menonton televisi daripada tidur. Konsumsi media massa yang
tinggi dapat mempengaruhi konsumen. Isi tayangan media
sering menggambarkan standar kecantikan wanita adalah tubuh
yang kurus dan hal ini berarti dengan level kekurusannya
kebanyakan wanita percaya bahwa mereka orang-orang yang
sehat. Majalah wanita terutama majalah fashion, film dan
televisi (termasuk tayangan khusus anak-anak) menyajikan
gambar dan model-model yang kurus sebagai figur yang ideal
sehingga menyebabkan banyak wanita merasa tidak puas
dengan dirinya (body dissatisfaction) dan gangguan makan
(eating disorder).
4) Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal adalah seseorang cenderung
membandingkan dirinya dengan orang lain dan feedback yang
23
diterima mempengaruhi konsep diri termasuk bagaimana
perasaannya terhadap penampilan fisik. Hal inilah yang sering
membuat seseorang cemas terhadap penampilan dan gugup
ketika orang lain melakukan evaluasi terhadap dirinya. Rosen
dan koleganya menyatakan bahwa feedback terhadap
penampilan dan kompetisi teman sebaya dan keluarga dalam
hubungan interpersonal mempengaruhi bagaimana pandangan
dan perasaan seseorang terhadap tubuhnya (dalam Cash &
Pruzinsky, 2002).
4. Konsep Kusta
a. Pengertian Kusta
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat keorgan lain kecuali susunan
saraf pusat. Kusta dapat menyebabkan kecacatan, kecacacatan kusta
adalah keadaan abnormal fisik dan fungsi tubuh serta hilangnya beberapa
struktur dan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh penyakit kusta
(DEPKES 2000).
Kusta adalah penyakit menular pada umumnya mempengaruhi
kulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang
luas (COC, 2003).
b. Etiologi
Microbacterium Leprae merupakan basil tahan asam (BTA),
bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ
lainnya seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati dan sumsum
tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri Microbacterium
Leprae 12-21 hari dari masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun.
Microbacterium Leprae atau Kuman Hansen adalah kuman penyebab
penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer
24
Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk
batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar0,2-o,5 micron. Biasanya ada
yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidupp dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam
media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada
binatang Armadillo.
c. Manifestasi Klinis
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda
utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa kelainan kulit/lesi dapat
berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a) Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
b) Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese)
atau kelumpuhan (paralise)
c) Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-
retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan
kulit (BTA+) seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta
apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama
diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian
pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan
kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu
orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.
25
Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat
satu dari tanda kardian berikut :
a) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya
berupa makula, papil atau nodul. Kehilangan sensibilitas
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan
sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi
saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau
kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
b) BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan
asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka
dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap
3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit
lain.
d. Patofisiologi
Meskipun cara masuk Microbacterium Leprae ke tubuh belum
diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah
Microbacterium Leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celluler
mediated immune) pasien. Jika sistem imunitas seluler tinggi, penyakit
berkembang ke arah Tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah
Lepromatosa. Microbacterium Leprae berpredileksi di daerah-daerah
yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit.
Microbacterium Leprae (Parasit Obligat Intraseluler) terutama
terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis
26
atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh, tubuh bereaksi
mengeluarga macrofag (berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit)
untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuhan sistem imun seluler tinggi macrofag
tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas
merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag,
terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitar.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada setiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih
sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh
karena itu penyakit kusta dpat disebut sebagai penyakit imunologis.
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah
sebagai berikut :
a) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b) kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali
tidak ditemukan lesi ditempat lain.
c) Pemeriksaan ulang dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan
mikrobakterium leprae ialah :
Cuping telinga kiri atau kanan
Dua sampai empat lesikulit yang aktif ditempat lain.
e) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena :
Tidak menyenangkan pasien
Positif palsu karena ada mikrobakterium lain
Tidak pernah ditemukan mikrobakterium leprae pada selaput
lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatif.
Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir
hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
27
f) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
Semua orang yang dicurigai menderita kusta
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai
pasien kusta
Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
g) Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan
asam, yaitu ziehlnesslsen atau kinyoun gabett.
h) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode
yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan
clumps.
2. Indeks Bakteri (IB) : merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA
dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan
mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala
logaritma RIDLEY sebagai berikut : 0 : Bila tidak ada BTA dalam 100
lapangan pandang 1 : Bila 1-10 BTA dalam 100 lapanganpandang 2 :
Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang 3 : bila 1-10 BTA dalam
rata-rata 1 lapang pandang 4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapang
pandang 5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang 6 :
bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
3. Indeks morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh
terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan
kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantuu menentukan
resistensi terhadap obat.
f. Penataalaksanaan
1. Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug
Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi depson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen
pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut :
28
a) Tipe PB (PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet
100mg/hari diminum dirumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan
dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan
pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB (MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/blm diminum di depan petugas. Klofazimin
300mg/blm diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50mg/hari diminum di rumah. DDS 100mg/hari
diminum di rumah, pengobatan 24 dosis deselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai diminum 24 dosis
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan
MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin :
Umur dibawah 10 tahun : /bulan/harian 50mg/2kali/minggu,
umur 11-14 tahun, bulanan 100mg/bln, Harian
50mg/3kali/minggu, DDS : 1-2mg/kg BB, rifampisin: 10-
15mg/kg BB.
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO
(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg
dan minosiklin 100mg dan pasien langsung dinyakatak RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis
dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif
dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4
dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan
pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12
dosis dari yang seharusnya.
2. Perawatan Umum
29
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan
fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena
peradangan sewaktu keadaan reaksi netral.
a) Perawatan mata dengan lagophthalmos
Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada
kemerahan atau kotoran
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
b) Perawatan tangan yang mati rasa
Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari
tanda-tanda luka, melepuh
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih
kurang stengah jam
Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
Tangan mati rasa dilindungi deri panas, benda tajam, luka
c) Perawatan kaki yang mati rasa
Penderita memeriksa kaki setiap hari
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang setengah jam
Masih basah diolesi minyak
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
Jari-jari bengkok diurut lurus
Kaki mati rasa dilindungi
d) Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
Luka dibalut agar bersih
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
Bila bengkak, pana, bau bawa ke puskesmas.
30
B. Keaslian Penelitian
No Peneliti Judul Metode Variable Hasil
penelitian
1 Sartika Dwi Hubungan Dukungan Keluarga Penelitian Variabel Hasil penelitian ini
Lestari Dengan Harga Diri Penderita yang independen :
di dukung oleh hasi
Kusta Rawat Jalan Di Rumah digunakan dukungan penelitian
Sakit Rehatta Donorojo Jepara belah lintang keluarga Wulandari,
(cross Suswardany, dan
sectional) Variabel Firnawati (2011) di
dependen : Kecamatan Padas
Harga diri didapatkan hasil
pada sebesar 61,5%
penderita keluarga tidak
kusta memberikan
dukungan informasi
dalam hal perawatan
diri responden,
sebesar 50%
keluarga tidak
memberikan
dukungan emosional
dalam perawatan diri
responden, sebesar
73,1% keluarga tidak
memberikan
dukungan
instrumental, dan
sebanyak 33 atau
sebesar 42,3%
keluarga tidak
memberikan
dukungan
penghargaan.
31
penelitian yang
dilakukan oleh
Prastiwi (2010,
dalam Mongi 2012)
di RS Kusta Kediri,
Jawa Timur dengan
hasil dukungan
tinggi yang diberikan
keluarga kepada
penderita kusta
hanya sebesar
44,1%.
2 Suryanto Chandra Hubungan Dukungan Keluarga Desain yang Variabel Sebagian
Atmaja Dengan Harga Diri Pasien digunakan independen : besarresponden
Kusta Di Rumah Sakit Kusta dalam dukungan adalah harga diri
Dr. Sitanala Tangerang (2011) penelitian keluarga tinggi (71,4&), jenis
ini adalah kelamin laki-laki
correlation Variabel (71,4%), menikah
study dependen : (52,4%), tidak
dengan Harga diri bekerja (47,6%),
pendekatan pada hasil diperoleh
cross penderita dukungan keluarga
sectional. kusta tinggi 52,4%,
dukungan keluarga
rendah 47,6%, harga
diri tinggi 71,4%,
harga diri rendah
28,6%. Nilai
signifikan >0,05
(alpha 5%).
32
C. Kerangka Teoritis
Dukungan Keluarga :
Keperawatan Keluarga, Salsabila (2003) Konsep Diri.
- Dukungan emosional
HARGA DIRI - Dukungan penilaian
- Dukungan instrumental
- Dukungan informasional
1. Perkembangan
1. Keberartian individu 1. Penolakan
individu 2. Ideal diri tidak orang tua
2. Power individu realistis 2. Kegagalan
3. Penampilan 3. Gangguan fisik berulang kali
individu dan mental 3. Ideal diri tidak
4. Sistim keluarga realistis
tidak berfungsi 4. Kurang
5. Pengalaman tanggung
traumatik yang jawab
berlangsung
D. Hipotesis
1. Ada hubungan dukungan keluarga tentang harga diri pasien kusta.
2. Ada hubungan sikap menerima keluarga tentang harga diri pasien kusta
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep
Berdasarkan lingkup dan teori yang telah diuraikan, maka dapat
digambarkan kerangka konsep sebagai berikut :
B. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif koleratif yaitu penelitian untuk
menelaah hubungan antara dua variabel pada situasi atau sekelompok
objek (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan persepsi tentang dukungan keluarga dan harga diri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu suatu
penelitian untuk mempelajari antara variabel bebas dengan variabel terikat,
dengan cara pemberian kuesioner atau pengumpulan data sekaligus pada
saat yang sama (point time approach) (Notoatmodjo, 2005).
34
2. Sampel
Sampel adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan di teliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi (Notoadmodjo, 2005). Pada
penelitian ini sampel yang digunakan adalah accidental sampling
dengan jumlah sampel sebanyak 35 responden yang sesuai, yaitu :
a. Kriteria inklusi
1) Keluarga pasien kusta yang sedang dirawat di Rumah Sakit
Kusta Alverno Singkawang.
2) Bisa membaca dan menulis
3) Bersedia untuk diteliti
4) Kooperatif
b. Kriteria eksklusi
1) Bukan keluarga pasien kusta yang sedang dirawat di Rumah
Sakit Kusta Alverno Singkawang.
2) Tidak bisa membaca dan menulis
3) Tidak bersedia untuk diteliti
4) Tidak kooperatif
E. Definisi Operasional
Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap keluarga yang sakit kusta di Rumah Sakit Alverno
Singkawang berupa dukungan informasional, instrumental, penilaian dan
emosional. Diukur dengan skala ordinal menggunakan kuesioner.
Dukungan dapat dikategorikan menjadi baik dengan presentase
(76%-100%), cukup dengan presentase (56%-75%), dan kurang baik
dengan presentase <55%.
35
keluarga terhadap pertanyaan.
(skor 23-
kondisi kesehatan pasien Jawaban 26)
kusta yang terdiri dari yang benar
2. Cukup bila
emosional, instrumental, diberi skor
skor total
informasiona, dan 1 56%-75%
penilaian. sedangkan (skor 20-
jawaban 22)
yang salah
3. Kurang bila
diberi skor
skor total
0. <55% (13-
19)
2 variabel Merupakan cerminan Kuesioner Total skor harga Ordinal
dependen: harga harga diri dan body mengenai diri dan body
diri dan body image penderita kusta harga diri image
image pasien dan body dikategorikan :
kusta image 1. Tinggi
pasien 2. Sedang
kusta 3. Rendah
36
4 :selalu
3 :sering
2 kadang-kadang
1 :tidak pernah
Dari skor diatas akan dibuat presentase (%) menggunakan rumus :
X
P= x 100%
N
Keterangan :
P = Persentasi
X = Jumlah skor jawaban “ya”
N = Jumlah skor maksimal atau skor seluruh item
Setelah data yang didapatkan dari perhitungan diatas, data hasil
perhitungan tersebut kemudian dimasukkan dalam kategori :
a. (76%-100%) = Baik
b. (56%-75%) = Cukup
c. <55% = Kurang Baik
37
H. Rencana Analisis
Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data,
selanjutnya dilakukan analisa dengan menggunakan software SPSS 16.
Hasil pengukuran disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Data disajikan
secara deskriptif untuk menggambarkan distribusi responden. Analisa data
disajikan dalam bentuk tabel untuk mengetahui proporsi pada masing-
masing variabel yang diteliti.
1. Analisa Univariat
Analisa data disajikan dalam bentuk tabel mengetahui proporsi
masing-masing variabel.
Penggunaan uji hipotesa dengan uji kolerasi Kendalls tau dengan alasan sebagai
berikut :
38
I. Etika Penelitian
Setiap melakukan penelitian, peneliti harus menggunakan etika
penelitian terutama jika penelitian dilakukan langsung pada manusia. Dan
berikut ini beberapa prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan data
(Nursalam, 2008) :
Informed Consent
39
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. (2007). Buku Pedoman Nasional
Pengendalian Penyakit Kusta. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan.
Stuart, G.W. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5 (alih bahasa).
Jakarta : EGC
40