Anda di halaman 1dari 8

Pengertian Tafsir Feminis

Tafsir feminis adalah hasil pemikiran kaum feminis didalam menafsir ulang ayat-ayat
Al Qur’an sebagai cara untuk emngungkapkan kepada dunia tentang hak-hak wanita
yang selama ini hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Ayat-ayat Al Qur’an dari
periode awal sampai peiode pertengahan kebanyakan ditafsirkan oleh mufassir-
mufassir laki-laki yang menggunakan perspektif mereka dalam memahami Al Qur’an
sehingga kaum wanita terpinggirkan dan tidak dibela haknya sepenuhnya.

Latar Belakang Munculnya Tafsir feminis


Pemahaman tentang Al Qur’an atau tafsir-tafsir yang selama ini sampai kepada kita dan
digunakan sebagai rujukan didalam memahami Al Qur’an, kesemuanya adalah hasil
ijtihad mufassir laki-laki. Dimana tafsir yang ditulis oleh kaum wanita baru muncul
setelah gerakan feminis masuk ke dalam wilayah Islam. Banyak kritikan dan
pertanyaan yang dilontarkan para kaum feminis tentang diskriminasi kaum wanita atau
bias gender dalam menafsirkan Al Qur’an.

Fatima Mernissi memberikan gambaran tentang fase-fase perempuan yang pada


awalnya menduduki tempat terhormat dalam Islam tetapi dalam prakteknya kemudian
menjadi kaum terpinggirkan sebagai berikut :

1. Kurangnya kaum perempuan yang menjadi tentang ahli kitab suci. Persoalan
yang muncul disini adalah mengapa tidak banyak kaum perempuan muslim
yang menjadi ahli agama, padahal pada masa Rasulullah banyak sekali kaum
wanita yang menjadi ahli agama dan meriwayatkan hadis-hadis dari Nabi saw.
2. Munculnya hegemoni laki-laki yang sangat kuat dalam segala sistem
kehidupan, sehingga penafsiran Al Qur’an menjadi otoritas laki-laki dan
perempuan hanya sebagai penerima hasil penafsiran itu. Hal ini berakibat
munculnya banyak kerancuan penafsiran tentang perempuan yang dilakukan
oleh laki-laki.
3. Adanya kontrol terhadap materi sejarah. Adanya campur tangan penguasa
dalam pengembangan agama baik dalam pemerintahan ataupun ibadah dan
doktrin agama memunculkan banyak penafsiran yang berorientasi untuk
mendukung pemerintah tersebut juga pemalsuan hadis untuk kepentingan
tertentu. Dan hal ini disebabkan oleh hegemoni laki-laki yang membuat citra
perempuan semakin lama menjadi rendah.[1]
Oleh karena itu perlu diadakan rekonstruksi baru tentang penafsiran Al Qur’an dan
menghilangkan dominasi kaum pria dalam mengkritisi teks-teks Al Qur’an. Al Qur’an
sendiri sebagai kitab suci Islam sangat menghargai kaum wanita dan secara tegas
memandang laki-laki dan perempuan itu sama (equal), sehingga keberadaan wanita
sebenarnya adalah sebagai kekuatan penyeimbang bagi laki-laki. Laki-laki dan
perempuan harus dapat bekerja sama dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan
beragama agar terbentuk sebuah kehidupan yang harmonis.

Dari sinilah kaum feminis mencoba mengkaji ulang tentang ayat-ayat Al Qur’an yang
syarat dengan bias gender dan mentafsir ulang ayat-ayat tersebut sehingga tidak terjadi
hegemoni dan dominasi pihak tertentu dan agar Al Qur’an dapat dipahami se objektif
mungkin dari berbagai sudut pandang. Ada beberapa kritikan dari Amina Wadud
tentang tafsir-tafsir terdahulu, antara lain :

1. Tidak ada penafsiran yang objektif

Al Qur’an adalah kalam Tuhan yang mempunyai kebenaran absolut dan abadi. Tetapi
ketika kalam tersebut dipahami oleh manusia dan masuk dalam pikirannya yang
memiliki keterbatasan keilmuan dan faktor social-histories yang mempengaruhi
pemikirannya, membuat kebenaran dari hasil penafsirannya menjadi relatif. Didalam
menafsirkan teks, mufassir dipengaruhi oleh perspektif pribadi, latar belakang budaya
dan prejudicenya. Artinya, penafsiran tidak hanya mengungkap makna yang
terkandung didalam teks, tetapi juga menciptakan makna baru.

2. Kategorisasi penafsiran Al Qur’an

Adapun penafsiran mengenai perempuan yang selama ini dilakukan para mufassir dapat
dikategorikan menjadi tiga corak :

1. Tafsir Traditional. Tafsir ini menggunakan tema-tema tertentu sesuai minat dan
bakat sang mufassir dalam memahami Al Qur’an seperti : fiqh, nahw, sharaf,
sejarah, tasawuf dan lainnya. Penafsiran dilakukan atas ayat-per ayat dan tidak
tematik, juga tidak ada upaya untuk mendiskusikan tema-tema tertentu menurut
Al Qur’an itu sendiri. Tafsir model ini terkesan eksklusif dan hanya ditulis oleh
kaum laki-laki sehingga yang tercakup didalamnya hanyalah kesadaran dan
pengalaman penulisnya sendiri.
2. Tafsir Reaktif, yaitu tafsir yang memuat reaksi pemikir modern terhadap
hambatan-hambatan yang dialami oleh perempuan yang dianggap berasal dari
Al Qur’an. Tafsir corak ini lebih sering diguanakan menurut pemikiran kaum
feminis dan rasionalis tanpa disertai analisis yang jelas terhadap ayat-ayat yang
bersangkutan.
3. Tafsir Holistik, yaitu tafsir yang berhubungan dengan persoalan-persoalan
terkini seperti ekonomi, politik, social, moral, termasuk juga perempuan dengan
mengguanakan seluruh metode penafsiran yang ada. Wadudu berpendapat,
dalam memelihara relevansi Al Qur’an dengan perkembangan kehidupan
manusia, Al Qur’an harus ditafsirkan ulang agar bisa menjangkau masalah-
masalah baru yang muncul.[2]

Pola dan Metodologi Penafsiran


Pola penafsiran yang digunakan adalah dengan mengambil ayat-ayat yang akan
ditafsirkan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis gender yang
memposisikan pria dan wanita sebagai makhluk yang setara agar diperoleh penafsiran
yang berkeadilan jender.

Para mufassirnya mengungkap makna ayat-ayat yang berkait dengan relasi jender
melalui “pra konsepsi” tertentu yang menyetarakan antara pria dan wanita. Pra konsepsi
ini muncul dari ayat-ayat Al Qur’an yang dinilai tidak membedakan antara pria dan
wanita dan mereka sepakat bahwa Al Qur’an adalah sarana bagi Islam untuk
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang bermartabat.

Menurut Ashgar Ali Engineer, salah satu feminis yang dikenal dengan “teologi
pembebasannya”, ada beberapa sebab mengapa pria dan wanita itu setara didalam Islam
:
Al Qur’an memberikan tempat yang sangat terhormat kepada seluruh manusia baik
laki-laki maupun perempuan, yang membedakannya hanyalah ketakwaannya. Seperti
yang tertulis didalam Al Qur’an surah al Hujurah ayat 13 :

َّ ‫َّللاِ أَتْقَا ُك ْم إِ َّن‬


ٌ ِ‫َّللاَ َع ِلي ٌم َخب‬
‫ير‬ َّ َ‫ارفُوا ِإ َّن أ َ ْك َر َم ُك ْم ِع ْند‬ ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَك ٍَر َوأ ُ ْنثَى َو َجعَ ْلنَا ُك ْم‬
َ ‫شعُوبًا َوقَبَائِ َل ِلتَ َع‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬

Artinya :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.“

Sebagai masalah norma dimana Al Qur’an membela prinsip-prinsip keseteraan antara


laki-laki dan perempuan. Seperti dalam permasalahan warisan, dimana pada masa Arab
Jahiliyah sebelum masa kenabian Muhammad saw, wanita tidak berhak mendapatkan
harta warisan, tetapi kemudian Al Qur’an memerintahkan untuk memberikan warisan
tersebut kepada mereka. Hal ini sesuai dengan surah an Nisa’ ayat 7 :

‫َصيبًا‬ ِ َ ‫َصيبٌ ِم َّما ت ََركَ ْال َوا ِلد‬


ِ ‫ان َو ْاْل َ ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أ َ ْو َكث ُ َر ن‬ ِ ‫اء ن‬
ِ ‫س‬ ِ َ‫َصيبٌ ِم َّما ت ََركَ ْال َوا ِلد‬
َ ِِّ‫ان َو ْاْل َ ْق َربُونَ َو ِللن‬ ِ ‫لر َجا ِل ن‬
ِّ ِ ‫ِل‬
‫َم ْف ُروضًا‬

Artinya :

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.“[3]
Adapun metodologi yang digunakan oleh para feminis dalam menafsirkan Al Qur’an
ada beberapa macam. Riffat Hassan, pelopor tafsir feminis menggunakan dua
pendekatan dalam membangun metodologinya. Yaitu pendekatan normatif-idealis
dengan melihat norma-norma yang terkandung didalam Al Qur’an dan histories-
empiris dengan melihat realita yang terjadi dalam masyarakat. Dari metodologinya ini
ia mendapatkan kesimpulan bahwa umat Islam masih jauh dari melaksanakan ajaran
Islam. Oleh sebab itu, ia kemudian membangun tiga prinsip metodologi : analisis
semantic, menguji konsistensi filisofis, dan prinsip etis.

Sedangkan Amina Wadud dalam bukunya Wanita di dalam Al Qur’an menggunakan


metode hermeneutik Fazlur Rahman dengan tiga sebab yang menjadi pertimbangannya
: dalam konteks apa suatu ayat diwahyukan, bagaimana komposisi tata bahasa ayat
tersebut, dan bagaimana konteks keseluruhan ayat itu digunakan.

Dan adapun Ashgar Ali Engineer lebih condong menggunakan metode hermeneutik
Paul Ricoeur yang mencoba melihat adanya dua makna dalam Al Qur’an, yaitu makna
historis dan makna normatif.[4]
Tokoh-tokoh mufassir Feminis
Adapun tokoh-tokoh mufassir feminis ini antara lain :

1. Amina Wadud

Amina Wadud Muhsin lahir di Amerika pada tahun 1952. ia seorang guru besar di
Universitas Commonwealth, Richmond, Virginia. Menurut Charles Kurzman, lahirnya
buku Qur’an and Women disebabkan oleh konteks histories pengalaman dan
pergumulan wanita Afrika-Amerika ketika memperjuangkan keadilan jender.

Karya tulisnya ini merupakan salah satu bentuk kegelisahan intelektualnya dalam
menyikapi ketidak adilan jender yang sudah menjadi sebuah kebudayaan didalam
masyarakat. Dan salah satu penyebabnya adalah doktrin yang terdapat dalam penafsiran
Al Qur’an tentang bias patriarki. Didalam bukunya tersebut, ia mencoba untuk
mengembalikan posisi wanita ke tempat yang lebih terhormat seperti yang terjadi pada
masa Nabi saw dan dia juga ingin menunjukkan bahwa antara laki-laki dan wanita itu
setara menurut Al Qur’an. Sedangkan tafsiran ulama terdahulu, tidak bisa dibenarkan
secara mutlak karena pemikiran mereka dipengaruhi oleh social-historis dan
kebudayaan tempat tinggal mereka ketika mereka menulis tafsir tersebut.[5]
2. Fatimah Mernissi
Ia dilahirkan pada tahun 1940 di sebuah Harem di kota Fez, Maroko. Ia berkembang
didalam masyarakat yang menganut ketat tradisi pemisahan antara laki-laki dan
perempuan dan juga hak-hak yang berbeda diantara keduanya. Laki-laki lebih banyak
mendapatkan keistimewaan dalam berhubungan dengan dunia luar, mendengarkan
berita atapun melakukan perjanjian bisnis. Hak tersebut tidak bisa didapatkan oleh para
wanita. Ayahnya menanamkan doktrin kepada Fatimah bahwa Allah telah memisahkan
laki-laki dan perempuan sejak dulu kala ketika Allah menciptakan langit dan bumi,
ketika Allah meletakkan lautan antara umat Islam dan Kristen. Kedamaian pun akan
terwujud jika kedua belah pihak menghargai batasan masing-masing.

Hal ini membuatnya mulai berpikir tentang kebenaran budaya yang dianut
masyarakatnya. Kemudian neneknya, Lala Yasmin, banyak memberikannya
keterangan tentang prilaku yang terjadi dalam masyarakatnya, yaitu memojokkan
perempuan. Neneknya juga menceritakan kisah-kisah kehidupan nabi Muhammad saw
dan ajaran-ajaran Islam yang penuh cinta kasih. Keadaan inilah yang kemudian
membangkitkan semangat Fatimah untuk membongkar tradisi yang dianggap tidak adil
terhadap perempuan.[6]
Contoh Tafsir Feminis
Disini kami akan memberikan satu contoh tafsiran Amina Wadud dalam surah an Nisa’
ayat 1 :

َّ ‫سا ًء َواتَّقُوا‬
َ‫َّللا‬ ً ِ‫ث ِم ْن ُه َما ِر َج ًاًل َكث‬
َ ‫يرا َو ِن‬ ِ ‫اس اتَّقُوا َربَّ ُك ُم الَّذِي َخلَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف ٍس َو‬
َّ َ‫احدَةٍ َو َخلَقَ ِم ْن َها زَ ْو َج َها َوب‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
‫َّللاَ َكانَ َع َل ْي ُك ْم َرقِيبًا‬ َ ‫سا َءلُونَ ِب ِه َو ْاْل َ ْر َح‬
َّ ‫ام إِ َّن‬ َ َ ‫ا َّلذِي ت‬

Artinya :

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Menurut Amina Wadud, ada empat kata kunci yang terdapat didalam ayat ini yang
menjelaskan tentang asal-usul manusia, yaitu : ayah, min, nafs dan zawj. Ayah disini
bermakna “tanda” yang menunjukkan sesuatu diluar dirinya sendiri. Sebagai
perumpamaan, sebuah pohon. Dalam pemahaman awam dia hanyalah sebuah pohon
biasa, tidak ada keistimewaan. Sedangkan dalam pemahaman sebenarnya, pohon itu
adalah ayah (tanda) akan adanya Allah. Pohon dan fenomena alam lainnya
adalah ayah mutlak; tanda empirik yang bisa dirasakan manusia (implicit). Sedangkan
ayah yang eksplisit adalah bahasa yang digunakan, yaitu simbol-simbol verbal dan
kata-katanya. Selain itu, linguistic (kebahasaan) ini merupakan sebuah perantara bagi
manusia untuk mengetahui alam yang tidak terlihat (alam gaib). Dimana alam tersebut
tidak bisa dijangkau dengan panca indera manusia, tetapi diketahui manusia setelah
turunnya wahyu.

Kata min dalam bahasa arab mempunyai 2 arti, yaitu “dari” (from) untuk menunjuk
makna yang mengekstrak sesuatu dari sesuatu yang lain. Atau bisa juga diartikan
dengan “jenis yang sama” (of the same type). Permasalahan muncul ketika para
mufassir klasik mengartikan min dengan “dari” (from), bukan pengertian kedua yaitu
“sejenis” atau “jenis yang sama”.

Kata nafs menurt akar katanya berbentuk muannas (feminism), tetapi pada ayat ini
lebih menerangkan tentang asal manusia yang sama-sama berasal dari nafs yang satu
dan tidak menyebutkan jenis kelamin atau specific gender term seperti yang sering
ditafsirkan para ulama sebagai “Adam”. Kata nafs lebih kepada menunjuk esensi
manusia sebenarnya, bukan bentuknya muzakkar atau muannas.

Kata zawj didalam Al Qur’an lebih sering diartikan dengan pasangan, suami-isteri, atau
keluarga. Kata ini digunakan untuk menunjukkan orang kedua dalam penciptaan
manusia, yaitu Hawa.[7] Implikasi fenomena ini adalah agar terjadinya hubungan yang
selaras dan keduanya bersatu, saling melengkapi dan mengisi kekurangan yang lainnya.
Keduanya haruslah dipandang setara (equal) dalam hubungan Fungsional. Bukan
struktural.
[1] Pemikiran Islam Kontemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003, hal. 131-135
[2] Ibid. hal. 67-70
[3] Mustaqim, Abdul, Mazhibut Tafsir, Nun Pustaka Yogyakarta, Yogyakarta, 2003,
hal. 100-101
[4] Ibid, hal. 113-116
[5] Opcit. Hal 66
[6] Ibid. hal. 128-129
[7] Wadud, Amina, Qur’an and Woman, Penerbit Fajar Bakati, Kuala Lumpur,
1992, hal.17-20

Anda mungkin juga menyukai