Disusun oleh:
DI WONOSOBO
2019
[Type here]
Abstrak
Farid Esack adalah pemikir dari Afrika Selatan, merupakan
seorang yang sangat semangat mendengungkan pembebasan.
Berangkat dari pengalaman pribadi dan keluarganya di Afrika
Selatan, Farid Esack berhasil memformulasikan sktetsa ajaran Islam
menjadi sebuah gerakan pembebasan yang berpengaruh secara
signifikan terhadap dunia Islam secara umum. Menurutnya al-Qur’an
memuat semangat pembebasan bagi semua manusia secara universal.
Artikel ini akan memaparkan tentang Hermeneutika
Pembebasan al-Qur’an Farid Esack. Yang akan mencakup beberapa
hal, diantaranya: Biografi, Karya-karya farid esack dan Pemikiran
Farid Esack Tentang Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci yang menurut Komaruddin Hidayat memiliki
dua karakter; yaitu karakter sentrifugal dan karakter sentripetal. Karakter pertama
adalah karakter al-Qur’an yang membuka ruang penafsiran bagi siapapun yang
membacanya. Al-Qur’an menyediakan dirinya untuk ditafsiri dengan varian yang
beragam. Sementara karakter yang kedua, al-Qur’an selalu menjadi ruang kembali
dari setiap penafsiran. Oleh karena itu, setiap implikasi serta tindakan yang
dilakukan seringkali direferensikan untuk membela al-Qur’an. Dua wilayah
seperti inilah yang sering kali dalam setiap tindakan, entah berupa tindakan
destruktif atau penentangnya selalu “merasa” dipayungi oleh al-Qur’an.1
Pemahaman atas kitab suci tidak bisa dilepaskan dari intensi (maksud,
tujuan,), kondisi kejiwaan, audiensi, pengalaman, kondisi sosial dan ideologi
1
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996),hal 15.
1 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]
B. Pembahasan
1. Biografi Farid Esack
Farid Esack dilahirkan di South Road, Cape Town, Wynberg, Afrika
Selatan tahun 1959, dan dibesarkan di Bonteheuwel, Cape Flats. Ia tinggal
bersama ibu dan kelima saudara laki-lakinya. Ia adalah anak ketiga dari
perkawinan ibunya yang kedua. Namun ayahnya meninggalkanya ketika ia
baru mencapai usia tiga minggu sehingga ibunyalah yang mengurus semua
keenam anaknya, sedangkan tiga saudara laki-lakinya yang lain adalah hasil
dari pernikahan ibunya yang pertama. Namun pernikahan pertama ibunya
kandas ketika anak ketiganya baru berusia tiga bulan.2
2
Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000), hal 24.
2 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]
3
Jamil Salimi, Violence and Democratic Society; Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi,
(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal 224.
3 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]
5
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan; Telaah Atas
Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, at-Tahrir, Vol. 11, No. 1, hal 87.
4 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]
5 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]
menerapkan penggalian dari “pikiran murni” tersebut pada arena sosio politik
atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.
Kedua, penafsir adalah manusia yang memikul banyak beban. Beban itu
adalah pra pemahaman yang telah dipikulnya serta angan-angan masa depan
yang diharapkan. Di pihak lain, ia tidak bisa melepaskan dari hal-hal masa saat
ini. Pra pemahaman itu adalah tradisi, pengalaman, budaya dan bahasa yang
telah tertanam dalam pikiran. Sementara masa depan adalah angan-angan yang
diimpikan. Penafian aspek ini akan menyebabkan campur baurnya antara Islam
normatif dengan Islam yang “dipikirkan” oleh pemeluknya.
Ketiga, penafsiran tidak bisa dilepaskan dari bahasa, sejarah dan tradisi.
Makna kata selalu dalam proses terus menerus. Makna tauhid, takwa dan jihad
misalnya dalam al-Qur’an tidaklah mesti dimaknai dengan sesuatu yang
bersifat teologis, tetapi bisa dimaknai dalam perspektif antroposentris. Bila
tauhid misalnya pada periode awal dimaknai sebagai lawan dari kemusyrikan,
maka pada konteks negara atau komunitas mengalami proses rezimentasi
despotik seperti kezaliman apatheid adalah lawan dari primordialisme
kelompok dan golongan. Tauhid dalam arti ini diorientasikan untuk pembelaan
manusia.8
8
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan; Telaah Atas
Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, at-Tahrir, Vol. 11, No. 1, hal 88-89.
6 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]
C. Simpulan
Farid Esack di sisi lain adalah simbol pemikir Islam dalam wilayah
minoritas Muslim dalam penduduk mayoritas non Muslim. Dalam situasi
kemiskinan, marjinalisasi politik dan ekonomi serta sistem yang diskriminatif
perlu adanya sebuah tafsir yang progressif untuk kepentingan umat Islam
minoritas ini. Esack karena itu adalah sebagian kecil intelektual yang melihat
kondisi sosial ini secara jeli dan mengarahkannya pada tafsir al-Qur’an. Kenapa
alQur’an? Al-Qur’an adalah kitab suci yang dijadikan sumber primer oleh setiap
umat Islam tanpa protes. Kecenderungan tanpa protes inilah yang sering kali
dimanfaatkan oleh para penafsir untuk meneguhkan kepentingan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
9
Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity against Oppression (London: One World Oxford, 1997), hal 83.
7 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]
8 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k