Anda di halaman 1dari 9

HERMENEUTIKA PEMBEBASAN AL-QUR’AN FARID ESACK

Artikel ini disusun guna memenuhi tugas matakuliah


Hermeneutika ( Falsafah Takwil)
Dosen pengampu Maurisa Zinira S.Th.I, M.A

Disusun oleh:

Hendra Tedy Kurniwan (2017080004)

Ahmad Zubaidi (2017080006)

Kholis Abidin (2017080023)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM (FSH)

UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)

DI WONOSOBO

2019
[Type here]

HERMENEUTIKA PEMBEBASAN AL-QUR’AN FARID ESACK


Hendra Tedy Kurniawan
Ahmad Zubaidi
Kholis Abidin
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo

Abstrak
Farid Esack adalah pemikir dari Afrika Selatan, merupakan
seorang yang sangat semangat mendengungkan pembebasan.
Berangkat dari pengalaman pribadi dan keluarganya di Afrika
Selatan, Farid Esack berhasil memformulasikan sktetsa ajaran Islam
menjadi sebuah gerakan pembebasan yang berpengaruh secara
signifikan terhadap dunia Islam secara umum. Menurutnya al-Qur’an
memuat semangat pembebasan bagi semua manusia secara universal.
Artikel ini akan memaparkan tentang Hermeneutika
Pembebasan al-Qur’an Farid Esack. Yang akan mencakup beberapa
hal, diantaranya: Biografi, Karya-karya farid esack dan Pemikiran
Farid Esack Tentang Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an.

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci yang menurut Komaruddin Hidayat memiliki
dua karakter; yaitu karakter sentrifugal dan karakter sentripetal. Karakter pertama
adalah karakter al-Qur’an yang membuka ruang penafsiran bagi siapapun yang
membacanya. Al-Qur’an menyediakan dirinya untuk ditafsiri dengan varian yang
beragam. Sementara karakter yang kedua, al-Qur’an selalu menjadi ruang kembali
dari setiap penafsiran. Oleh karena itu, setiap implikasi serta tindakan yang
dilakukan seringkali direferensikan untuk membela al-Qur’an. Dua wilayah
seperti inilah yang sering kali dalam setiap tindakan, entah berupa tindakan
destruktif atau penentangnya selalu “merasa” dipayungi oleh al-Qur’an.1

Pemahaman atas kitab suci tidak bisa dilepaskan dari intensi (maksud,
tujuan,), kondisi kejiwaan, audiensi, pengalaman, kondisi sosial dan ideologi

1
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996),hal 15.

1 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]

subjek penafsir. Pluralitas modus yang memayungi penafsir tersebut adalah


wilayah yang bisa diteliti dan juga dikritisi. Karena bisa diteliti dan dikritisi
berarti ia bisa masuk dalam wilayah ilmu pengetahuan manusia. Sebagai ilmu,
pemahaman atas kitab suci selalu terbuka untuk perubahan. Pengandaian
pemahaman kitab suci bukan sebagai proses keilmuan akan mengantarkan pada
dogmatisme agama. Pada sisi lain, pemahaman seperti ini akan mengantarkan
pada pencarian Fundamental values kitab suci yang bisa berguna bagi perbedaan
dan dialektika kehidupan manusia. Fundamental values bisa diteliti berdasarkan
pencarian paradigma kitab suci secara holistik dan sejarah kenabian pada
umumnya dan sejarah Muhammad pada khususnya.

B. Pembahasan
1. Biografi Farid Esack
Farid Esack dilahirkan di South Road, Cape Town, Wynberg, Afrika
Selatan tahun 1959, dan dibesarkan di Bonteheuwel, Cape Flats. Ia tinggal
bersama ibu dan kelima saudara laki-lakinya. Ia adalah anak ketiga dari
perkawinan ibunya yang kedua. Namun ayahnya meninggalkanya ketika ia
baru mencapai usia tiga minggu sehingga ibunyalah yang mengurus semua
keenam anaknya, sedangkan tiga saudara laki-lakinya yang lain adalah hasil
dari pernikahan ibunya yang pertama. Namun pernikahan pertama ibunya
kandas ketika anak ketiganya baru berusia tiga bulan.2

Kehidupan Farid Esack penuh dengan keprihatinan dan ketertindasan di


daerah kelahirannya, Wynberg. Maka dari itu beliau memilih berpindah ke
Bonteheuwel, sebuah kota untuk orang kulit berwarna di Cape Flats, Afrika
Selatan (yang dalam sejarahnya, adalah daerah bekas jajahan Inggris).
Apartheid yang diberlakukan pada 1952 membuat Farid Esack dan keluarganya
semakin menderita dalam kemiskinan, penindasan dan keterkungkungan
keberagamaan. Kerana Groups Areas Act (Akta Wilayah Kelompok) seluruh

2
Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000), hal 24.

2 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]

warga kulit berwarna (hitam) diperlakukan secara diskriminatif oleh rezim


apartheid, aktor hegemoni penindasan saat itu.

Berangkat dari pengalaman pahit inilah, Farid Esack termotivasi


mempertanyakan kembali secara kritis terhadap teks-teks keagamaan (liturgis)
yang kerap ditafsirkan secara eksklusif. Terlebih, yang sangat esensial
mempertanyakan secara radikal makna agama, klaim kebenaran dan doktrin
keselamatan suatu agama. Karena Esack menyadari bahwa dalam konteks
penindasan yang sudah sedemikian akut, menghadapi persoalan hidup tidak
cukup hanya diatasi dengan memegangi argumen-argumen normatif dan
teologis yang terus-menerus ditafsirkan secara eksklusif, konservatif dan
ideologis, sementara kenyataan sosial berupa penindasan, kapitalisme, rasisme,
eksploitasi gender (seksisme) dan lain sebagainya terus membayangi setiap
saat. Oleh karenanya, dia berkeyakinan kuat bahwa selain teguhnya keyakinan,
sesuatu yang mendesak dan mutlak dibutuhkan oleh umat Islam dan rakyat
Afrika Selatan pada khususnya adalah sebentuk ruh revolusioner untuk
menafsirkan teks-teks keagamaan demi membebaskan rakyat Afrika Selatan
dari belenggu sejarah kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh
rezim apartheid.3

2. Karya-karya Farid Esack

Di antara gagasan-gagasan Esack yang berbentuk esai terdapat dalam


buletin-buletin: buletin bulanan al-Qalam yang diterbitkan di Afrika Selatan,
Assalamualaikum yang diterbitkan di New York, dan Islamica yang diterbitkan
di London. Selain menulis esai, Esack juga menulis dalam bentuk buku.
Jumlah buku yang ditemukan di media elektronik terdapat tujuh buah, yaitu:
Quran Liberation And Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity Agains Oppression, diterbitkan oleh Oneworld, Oxford, England
tahun 1997; The Struggle Islam and Politic, London tahun 1988; The Quran: A
Short Introduction, diterbitkan oleh Oneworld, Oxford tahun 2002; On Being a

3
Jamil Salimi, Violence and Democratic Society; Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi,
(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal 224.

3 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]

Muslim: Finding a Religious Path in the World Today diterbitkan oleh


Oneworld, Oxford, England tahun 1999; The Quran: A User’s Guide, Oxford
tahun 2005; But Musa Went to Fir’aun!: A Compilation of Questions and
Answers about the Role of Muslims in the South African Struggle for
Liberation; Children of Africa Confront AIDS: From Vulnerability, Editor
Stephen Howard, Ohio University Press tahun 2003.4

3. Pemikiran Hermeneutika Pembebasan Al-Qur’an Farid Esack

Tafsir pembebasan Esack diawali dari beberapa prinsip dasar. Prinsip


dasar ini merupakan rasionalitas atas apa yang akan dibangun oleh Esack
tentang penafsiran al-Qur’an. Prinsip pertama, pewahyuan al-Qur’an
menggambarkan bahwa Tuhan adalah Zat Maha Transenden yang aktif dalam
urusan dunia dan umat manusia. Ia adalah pewahyuan progresif. Salah satu
tanda keaktifan Tuhan adalah dengan mengutus nabi-nabi sebagai instrumen
pewahyuan progresif tersebut. Prinsip tadrij (berangsur-angsur dalam
penetapan hukum) adalah cerminan intraksi kreatif-progresif antara kehendak
Tuhan, realitas di bumi dan kebutuhan komunitas untuk direspon. Progresifitas
kewahyuan ini ditandai dengan; pertama, pengakuan al-Qur’an bahwa dirinya
adalah tuntunan keseharian (QS. al-Isra': 106). Kedua, Islam muncul di tengah-
tengah perjuangan nabi-Nya, Muhammad. Muhammad juga pada saat yang
sama membutuhkan al-Qur’an sebagai pelipur lara dan dukungan moral atas
perjuangan yang dilakukan.5

Prinsip kedua, al-Qur’an diturunkan berdasarkan asbab annuzul (sebab-


sebab yang melatar belakangi wahyu diturunkan). Oleh karena itu dalam tradisi
hermeneutika kontemporer dibagi menjadi dua; sebab yang bersifat umum dan
sebab yang bersifat khusus. Sebab yang bersifat umum adalah kondisi
masyarakat pada saat Nabi diutus yaitu penindasan kelompok yang kuat atas
yang lemah, kapitalisme pembesar-pembesar Quraisy dan juga rasialisme
4
Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000), hal 37-38.

5
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan; Telaah Atas
Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, at-Tahrir, Vol. 11, No. 1, hal 87.

4 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]

perbudakan. Sedangkan sebab-sebab khusus adalah sebab spesifik atas ayat-


ayat tertentu dalam al-Qur’an.6

Prinsip ketiga, perdebatan tentang teori naskh seharusnya di lihat dalam


perspektif yang progresif, yaitu adanya fakta situasional Al-Qur’an. Seluruh
wahyu maupun ayat-ayat khusus pada umumnya diturunkan dalam konteks
kondisi sosial tertentu. Ketika masyarakat Muslim mulai terbentuk, pewahyuan
Al-Qur’an pun mengikuti perubahan kondisi dan lingkungannya. Hal ini bisa
dilihat pada kasus pengharaman alkohol. Pada periode Makkah, al-Qur’an
menyebut alkohol setara dengan rahmat Tuhan lain seperti susu dan madu (QS.
al-Nahl: 66-69). Di Madinah, ada sebagian orang yang menginginkan alkohol
diharamkan. Lalu turun QS. al-Baqarah: 219. setelah berpesta di sebuah rumah
di Madinah, beberapa orang benar-benar mabuk dan ketika seorang di antara
mereka memimpin shalat pada malam harinya, ia salah mengucapkan kalimat
tertentu dalam Al-Qur’an. Ketika hal ini dilaporkan kepada Muhammad tu-
runlah QS. al-Nisa': 43. Setelah beberapa lama, di pesta lain muncul keributan
pada saat beberapa orang meneriakkan puisi jahiliyah kepada suku musuhnya.
Menanggapi peristiwa itu, al-Qur’an diturun- kan melalui QS. Al-Maidah: 90-
91.7

3. Tiga Unsur Memahami Teks

Pertama, penafsir hendaknya masuk dalam alam pikiran yang


dikehendaki Tuhan. Cara ini diambil dari gaya mistik Islam. Dalam dunia
mistik terdapat kolaborasi mendapatkan pengetahuan, yaitu metodologi
kesalehan yang digabungkan dengan ilmu pengetahuan untuk melahirkan
makna. Tuhan adalah Zat Transenden yang kreatif, Ia selalu hadir dalam proses
kemanusiaan. Oleh karena itu, Tuhan juga berperan langsung dalam
pemahaman teks, sedangkan Muhammad adalah kunci dalam melahirkan teks.
Jika Rahman menjelaskan bahwa teks dapat digali oleh “pikiran murni”, maka
problem lebih penting sesungguhnya lebih dari itu, yaitu bagaimana
6
Ibid. hal 87.
7
Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.
Penerjemah Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000), hal 92.

5 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]

menerapkan penggalian dari “pikiran murni” tersebut pada arena sosio politik
atau domain moralitas publik dengan cara tertentu.

Kedua, penafsir adalah manusia yang memikul banyak beban. Beban itu
adalah pra pemahaman yang telah dipikulnya serta angan-angan masa depan
yang diharapkan. Di pihak lain, ia tidak bisa melepaskan dari hal-hal masa saat
ini. Pra pemahaman itu adalah tradisi, pengalaman, budaya dan bahasa yang
telah tertanam dalam pikiran. Sementara masa depan adalah angan-angan yang
diimpikan. Penafian aspek ini akan menyebabkan campur baurnya antara Islam
normatif dengan Islam yang “dipikirkan” oleh pemeluknya.

Ketiga, penafsiran tidak bisa dilepaskan dari bahasa, sejarah dan tradisi.
Makna kata selalu dalam proses terus menerus. Makna tauhid, takwa dan jihad
misalnya dalam al-Qur’an tidaklah mesti dimaknai dengan sesuatu yang
bersifat teologis, tetapi bisa dimaknai dalam perspektif antroposentris. Bila
tauhid misalnya pada periode awal dimaknai sebagai lawan dari kemusyrikan,
maka pada konteks negara atau komunitas mengalami proses rezimentasi
despotik seperti kezaliman apatheid adalah lawan dari primordialisme
kelompok dan golongan. Tauhid dalam arti ini diorientasikan untuk pembelaan
manusia.8

Penggunaan hermeneutika untuk kepentingan pembebasan adalah sesuatu


yang niscaya. Oleh karena itu keterkaitan antara teks, kontek, pembaca sebagai
penopang hermeneutika dan tindakan praksis pembaca menjadi tidak
terelakkan. Dalam hermeneutika muslim awal dalam bentuk tafsir dan ta’wil
memiliki beberapa kelemahan. Tafsir adalah hermeneutika klasik yang
memiliki keterputusan hubungan antara penafsir dengan realitas konkrit.
Ta’wil sebenarnya memiliki keterkaitan, hanya saja keterkaitannya hanya
sebatas pada realitas metafisik. Sementara itu, hermeneutika yang diintrodusir
oleh intelektual kontemporer belum menusuk pada jantung pembebasan.

8
Iswahyudi, Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan; Telaah Atas
Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, at-Tahrir, Vol. 11, No. 1, hal 88-89.

6 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]

Implikasi dari tafsir pembebasan adalah adanya kunci-kunci penafsiran.


Kunci-kunci tersebut diambil dari terma-terma penting yang diambil dari al-
Qur’an seperti, taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid
(keesaan Tuhan), al-nas (manusia), al-mustad’afun fi al-ard (yang tertindas di
bumi), adl and qisth (keadilan dan keseimbangan), serta jihad(perjuangan dan
praksis). 9

C. Simpulan

Sebagaimana para pemikir Muslim kontemporer lain, Farid Esack tidak


memiliki sebuah tafsir utuh al-Qur’an sebagaimana intelektual masa lalu.
Kepentingan Esack adalah melakukan kritik atas kecenderungan para penafsir
tradisional yang mengarahkan metodologinya pada tradisi literalisme yang terlalu
kuat terutama di Afrika Selatan dan dunia Islam pada umumnya. Tradisi semacam
inilah yang meneguhkan penindasan atas umat Islam tidak merasa dibela oleh
ajaran agamanya. Atau pada sisi lain, tafsir seperti ini digunakan oleh kelompok
penguasa untuk mengafirmasi kekuasaan otoritarianismenya. Kasus yang ada di
Afrika Selatan, tempat ia hidup, adalah refleksi dari kondisi semacam ini.

Farid Esack di sisi lain adalah simbol pemikir Islam dalam wilayah
minoritas Muslim dalam penduduk mayoritas non Muslim. Dalam situasi
kemiskinan, marjinalisasi politik dan ekonomi serta sistem yang diskriminatif
perlu adanya sebuah tafsir yang progressif untuk kepentingan umat Islam
minoritas ini. Esack karena itu adalah sebagian kecil intelektual yang melihat
kondisi sosial ini secara jeli dan mengarahkannya pada tafsir al-Qur’an. Kenapa
alQur’an? Al-Qur’an adalah kitab suci yang dijadikan sumber primer oleh setiap
umat Islam tanpa protes. Kecenderungan tanpa protes inilah yang sering kali
dimanfaatkan oleh para penafsir untuk meneguhkan kepentingan tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina,1996.

9
Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity against Oppression (London: One World Oxford, 1997), hal 83.

7 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k
[Type here]

Esack Farid. Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme.


Penerjemah Watung A. Budiman. Bandung: Mizan, 2000.
Salimi Jamil. Violence and Democratic Society; Hooliganisme dan Masyarakat
Demokrasi. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Iswahyudi. Dari Pewahyuan Progressif Menuju Tafsir Pembebasan; Telaah Atas
Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack, at-Tahrir, Vol. 11, No. 1.
Esack Farid. Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity against Oppression. London: One World Oxford,
1997.

8 | H e r m e n e u ti k a P e m b e b a s a n A l - Q u r ’ a n F a r i d E s a c k

Anda mungkin juga menyukai