Oleh :
NIM : 215221331
Kelas : AKS 3I
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita haturkan kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini untuk memenuhi mata
kuliah Metodologi Studi Islam “Dinamika Pemikiran Studi Islam Kontemporer Farid Esack dan
Omit Safi” ini dengan tepat waktu yang telah ditentukan.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Mibtadin,
S. Fil. I., M.S.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Metodologi Studi Islam yang telah
membimbing dalam pembuatan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan baik dari segi
penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan sarannya
demi perbaikan makalah ini. Dan saya berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengalaman dan wawasan bagi pembaca.
Putri Septyana
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya yaitu:
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu :
Tahun 1974, Farid Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap
merongrong pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian ia dibebaskan
dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di Pakistan, Farid Esack melanjutkan
studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan waktunya
selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang teologi
Islam dan sosiologi pada Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, ia pulang
ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan
apartheid.3
Tahun 1990, Farid Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi
Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Farid
Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim
(Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations) University of
1
http://www.Home page Farid Esack.com
2
Ibid.
3
Ibid.
Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Farid Esack berhasil meraih gelar
Doktor di bidang Qur’anic Studies.4
Dalam bidang akademik, Farid Esack menjabat sebagai Dosen Senior pada
Department of Religius Studies di University of Western Cape sekaligus Dewan Riset
project on Religion Culture and Identity. Disamping itu, ia juga pernah menjabat sebagai
Komisaris untuk Keadilan Jender, dan sekarang diangkat menjadi Guru Besar Tamu
dalam Studi Keagamaan (Religious Study) di Universitas Hamburg, Jerman. Esack juga
memimpin banyak LSM dan perkumpulan, semisal Community Depelovment Resource
Association, The (Aids) Treatment Action Campaign, Jubilee 2000 dan Advisory Board
of SAFM.6
Saat ini, waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah
(wacana) yang bertalian dengan masalah keislaman dan Muslim di Afrika Selatan, teologi
Islam, politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah Universitas di berbagai
penjuru dunia, antara lain, Amsterdam, Cambridge, Oxford, Harvard, Temple, Cairo,
Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere (Kampala) Cape Town dan Jakarta.7
4
http://www.Home page Farid Esack.com
5
Ibid.
6
Ibid.
7
Ibid.
Buku ini, secara lengkap, berjudul But Musa Went to Fir’aun!: A Compilation Of
Questions and Answers about The Role of Muslims in the South African Struggle For
Liberation. Buku ini berisi tanya jawab.Buku ini dimaksudkan untuk mencari ruh
pembebasan untuk melepaskan diribdari penjajahan para tiran serta pentingnya
kerjasama kaum muslim secara lintas Agama (interfaith) untuk melawan tirani atas
nama apapun. Dalam buku ini Esack Juga mengutip kisah perlawanan Nabi Musa
terhadap penguasa tiran saat itu,Fir’aun.
b. Qur’an Liberation and Pluralism
Buku tersebut sampai saat ini diyakini sebagai magnum opus Esack. Dengan Tawaran
kunci-kunci hermeneutika bagi hadirnya al-Quran yang inklusif, toleran Dan pluralis
yang menjadi pokok-pokok “ajaran” Islam Liberal yang ditawarkan Charles Kurzman
Esack berupaya mendobrak klaim kebenaran ekslusif suatu agama.n“Teologi
pembebasan Islam yang ditawarkan Esack, “kata Paul Knitter, “sama Mempesona dan
menantangnya dengan teologi pembebasan Kristen dari Gutierrez.”
c. On Being A Muslim
Buku ini memang mirip otobiografi intelektual yang merekam perjalanan Panjang
Esack yang lahir dimasa pemerintahan Apartheid, belajar di Pakistan Yang sarat
dengan penindasan terhadap kaum minoritas dan perempuan serta Pengalaman
melanglang buana di Eropa dan Timur Tengah.8
Selain dalam bentuk buku, tulisan Farid Esack juga tersebar luas di jurnal-Jurnal
internasional, sehingga gagasannya bisa menginspirasi banyak kalangan Termasuk
intelektual Islam di Indonesia, diantaranya adalah:
a) “Muslim in South Africa: The Quest for Justice”, dalam Journal of Islam and
Christian-Muslim Relation, vol.2 no.2, tahun 1987.
b) “From the Darkness of Oppression into the Wildness of Uncertainly” Dalam David
Dorward, South Africa-The Way Forward? (Victoria: African Research Institute,
1990).
8
Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012
c) “Contemporary Religious Thought in South Africa and Emergence ofqur’anic
Hermeneutical Nation”, dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, vol.5
No.2, tahun 1991.
d) “Muslim Engaging Apartheid”, dalam James Mutawima (ed.), the Role of Religion in
the Dismantling of Apartheid (Geneva: Council of Churches of UNESCO, 1992), dan
masih banyak lagi tulisan-tulisan Esack yang tersebar Di berbagai jurnal serta di
dalam homepagenya.9
Ada beberapa hal yang membedakan Antara hermeneutika dengan dua disiplin
khazanah Islam klasik ini, yakni:
Pertama, dalam tafsir dan ta’wil, persoalan penafsiran senantiasa dialami dan
Diselesaikan secara aktif dan gradual, yakni menyangkut keseluruhan ayat-Ayat al-
Qur’an ataupun berkenaan dengan situasi khusus yang melingkupi Turunnya ayat
tertentu. Berbagai tulisan tentang asbab an-nuzul secara ketat Membatasi diri pada
kejadian itu sendiri. Pembahasan asbab sebagai disiplin Khusus juga sangat sedikit
dibicarakan. Hal ini tidak adanya perhatian serius Pada sejarah dan kontekstualitas dalam
pemikiran tradisional al-Qur’an. Apalagi kebanyakan ahli tafsir mengutip laporan asbab
yang tersedia tanpa Menunjukkan kutipannya itu untuk hal tertentu yang berkaitan
dengannaktifitas penafsiran yang dilakukannya. Oleh karena itu, tidak jarang didapati
Mufassir yang mengutip asbab tertentu kemudian mengabaikannya. Demikian Juga
dengan nashkh yang secara gradual dimaknai sebagai pembatalan Terhadap ayat-ayat
tertentu dalam al-Qur’an. Hal ini tentu saja berbeda dengan Hermeneutika yang lebih
menganggap penting keberadaan konteks yang Melingkupi teks, baik ketika teks itu
dihasilkan maupun ketika teks itu Ditafsirkan.11
9
Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012
10
Ibid.
11
Ibid.
Kedua, tafsir dan ta’wil lebih banyak berurusan dengan seperangkat
aturan,Metode, atau teori interpretasi ketimbang menekankan pentingnya penafsiran
Aktual untuk diterapkan pada masa tertentu teori interpretasi yang dijelaskan Dalam
tafsir dan ta’wil disistematisasikan dalam bentuk prinsip-prinsip khusus, Dan kemudian
diberlakukan pada siapapun yang hendak melakukan aktivitas penafsiran. Hal ini tentu
saja berbeda dengan hermeneutik yang tidak hanya Menganggap penting aspek prinsip-
prinsip metodis dan aturan yang mendasari Aktivitas interpretasi, tetapi uga memberi
perhatian pada peristiwa menafsirkan Itu sendiri sebagai eksplorasi filosofis tentang
karakter dan kondisi yang Diperlukan seseorang bagi semua bentuk pemahaman atas
teks. Karenanya Hermeneutika lebih berpeluang untuk menghasilkan penafsiran yang
aktual Terhadap teks dari pada tafsir dan ta’wil.12
Ketiga, produk penafsiran yang dihasilkan melalui tafsir dan ta’wil dalam
Khazanah Islam klasik telah mengalami kategorisasi ideologis sedemikian rupa, Sehingga
produk tersebut menunjukkan afiliasi, ideologi, periode dan aspek Historis penafsirnya.
Kategorisasi ini bisa dilihat dalam berbagai macam produk Tafsir yang dibagi dalam
tafsir syi’ah, tafsir mu’tazilah, Asy’ariyah dan lain Sebagainya, dimana katgorisasi
seperti ini sedikit sekali mendapat perhatian Dalam karya tafsir dan ta’wil tradisional.
Hubungan antara aspek sosio-historis Penafsir dengan produk penafsiran yang
dihasilkannya, serta asumsi-asumsi sosio-Politis dan filosofis yang mendasari
kecenderungan teologis sang penafsir nyaris Tidak pernah mendapat porsi perhatian yang
memadai. Hal ini tentu saja sangat Berbeda dengan hermeneutika yang menjadikan hal
tersebut sebagai titik tekannutama dalam mencermati dan mengkritisi suatu produk
penafsiran tertentu terhadap teks.13
12
Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012
13
Ibid.
Dalam menyusun hermeneutika al-Qur’annya, Farid Esack merumuskan Kunci-
kunci hermeneutikanya yang pada dasarnya dilandasi oleh semangat Perjuangan dan
kondisi real masyarakat Afrika Selatan, hal inilah yangnmembedakannya dengan tokoh
hermeneutika al-Qur’an yang lain seperti Fazlur Rahman, Amina Wadud, Hasan Hanafi
dan lain sebagainya. Adapun kuncinatau prinsip hermeneutik al-Qur’an Farid Esack
adalah: taqwa (integritas Dan kesadaran yang terkait dengan kehadiran Tuhan), tauhid
(keesaan Tuhan), Nas (manusia/rakyat), mustadl’afin fi al-ard (kaum tertindas di muka
bumi), ‘adl dan qisth (keadilan), dan jihad (perjuangan dan praksis). Lebih lanjut Tentang
kunci hermeneutika al-Qur’an Farid Esack dijelaskan sebagai berikut:
Safi Omid Safi adalah salah seorang professor di Duke Uuniversity Amerika
Serikat yang sekarang ini tidak hanya aktif mengajar akan tetapi aktif sebagai penulis. Ia
termasuk salah seorang penulis yang sangat produktif. Tulisan-tulisannya tersebar
disejumlah media masa baik nasionalnmaupunninternasiona. Bahkan.sekarang iini ia
menjadi kolumnis di media popularnonline yaitu On Being. Tulisan-tulisan segar Omid
Safi dapat dijumpai di sana yang diterbitkan pada setiap hari Rabu1. Dua tahun yang
14
Jurnal An Nûr, Vol IV. No. 1, Februari 2012
lalu, pada 2014, Omid menjabat sebagai direktur baru di Duke Islamic Studie
Center(DISC).
Omid Safi mengatakan bahwa setiap manusia yang Lahir tanpa dibedakan
Muslim-non Muslim, laki-laki Perempuan, ras apa pun, warna kulit apa pun, suku Apa
pun, dan seterusnya, memiliki nilai yang sama, Yaitu sama-sama dibekali dengan nilai
kesucian ruh Tuhan. Oleh karena itu, semua manusia berhak Mendapatkan perlakuan
yang sama, keadilan, Kesetaraan, dan kesempatan yang sama tanpa harus Dibedakan
jenis agama, kelamin, suku bangsa, ras,Dan lain sebaginya. Dengan ini pula, segala
bentuk Ketidakadilan, diskriminasi, penjajahan, perbudakan, Dan segala ketimpangan
kemanusian harus dikritisi Dan diperbaiki. Dalam kesempatan lain, Safi Mengatakan
bahwa justru sering dijumpai adanya Perlakuan tidak adil, diskriminatif, otoriter, dan
tidak Demokratis yang justru dilakukan umat Muslim dan Justru mengatasnamakan
Islam.
Istilah “Islam Progresi” (Progressive Islam) merupakan istilah baru dalam kajian
Islam kontemporer yang digunakan oleh para akademisidan aktivis sejak beberapa tahun
ini untuk memberikan label kepada pemahaman-pemahaman dan aksi-aksi umat Islam
yang memperjuangkan penegakan nilai-nilai humanis, seperti ppengembanga civil
society,demokrasi, keadilan, kesetaraan gender, pembelaan terhadap kaum tertindas dan
pluralisme.
Di satu sisi pandangan dan aksi Islam Progresif, menurut Omid Safi, merupakan
kelanjutan dan kepanjangan dari gerakan Islam Liberal yang muncul sejak kurang lebih
seratus lima puluh tahun yang lalu. Namun, di sisi lain ia muncul sebagai bentuk
ungkapan ketidak puasan terhadap gerakan Islam Liberal yang lebih menekankan pada
kritik-kritik internal terhadap pandangan dan perilaku umat Islam yang tidak atau kurang
sesuai dengan nilai-nilai humanis. Sementara itu, kritik terhadap modernitas,
kolonialisme dan imperialisme justru tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari
gerakan Islam Liberal.
Istilah Progressive Muslim ini dimunculkan oleh Omid Safi ketika memberikan
pengantar dan mengedit sebuah buku yang berjudul Progressive Muslim, tahun 2004.
Omid Safi berargumen bahwa dalam perkembangannya di Negara-negara berpenduduk
muslim yang cukup banyak akan berkembang tradisi Omid Safi berargumen bahwa
dalam perkembangannya di Negara-negara berpenduduk muslim yang cukup banyak
akan berkembang tradisi keislaman yang secara serius memperbincangkan masalah-
masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, demokrasi, kesetaraan, keadilan dan HAM.
Masalah-masalah seperti itu merupakan masalah kontemporer yang pada perdebatan
kaum muslim sebelum abad ke-20 jarang diperdebatkan secara serius.
Omid Safi menyebutkan beberapa isu penting yang harus dijawaboleh muslim
progresif, antara lain adalah ketidak adilan gender,diskriminsasi terhadap kelompok
minoritas baik minoritas agama ataupun etnis, pelanggaran hak asasi manusia, tidak
adanya kebebasan berbicara, berkeyakinan dan mempraktikkan agama sendiri,
pembagian kekayaan yang tidak merata, dan pemerintahan yang otoriter.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Farid Esack merupakan salah satu pemikir muslim dari Afrika selatan yang berusaha
membawa al-Quran untuk di interpretasi dengan metode baru agar dapat menjawab tantangan
zaman, sebagai jawaban atas permasalah yang dihadapi oleh masyarakat. Meskipun Farid Esack
mengakui bahwa terbentuknya teks al-Quran bersentuhan dengan sejarah, namun dia juga
menggarisi bahwasanya Farid Esack memahami al-Quran sebagai firman Tuhan yang
diwahyukan secara harfiah dan lisan kepada Nabi Muhammad, melalui Malaikat Jibril dengan
menggunakan bahasa Arab yang paling murni. Kunci hermeneutika pembebasan Farid Esack
yaitu, Taqwa, Tauhid, al Nas, Mustad‘afin fi al Ard, Adl dan Qist, Jihad.
Istilah Progressive Muslim ini dimunculkan oleh Omid Safi. Islam Progresif berupaya
untuk mengaktifkan kembali dimensi progresif Islam yang dalam kurun waktu cukup lama mati
suri terpenjara oleh dominasi teks. Munculnya tradisi Muslim Progresif diharapkan akan
membawa dampak positif pada perkembangan masyarakat Islam untuk terus bergulat dalam
perdebatan kontemporer yang tidak lagi mempermasalahkan soal “wadah” atau bentuk
pergerakan dalam pergerakan Islam termasuk Islam Indonesia. Wadah atau format adalah
perdebatan masa lalu sekarang harus sudah menuju pada artikulasi yang genuine tentang gerakan
mendorong pada tradisi kemanusiaan dan peradaban yang lebih maju dan demokratis.
Saran