Dosen Pengampuh :
Dr. Ahmad Isnaeni, M.A
Disusun Oleh :
A. Identitas Buku
Judul : Pemikiran dan Metode Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer
Penulis Buku : Hj. Umma Farida, Lc, M.si
Kategori : Karya Ilmiah
Bidang Ilmu : Tafsir Al-Qur‟an
Penerbit : Idea Press
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit 2010
Volume : 136 Halaman
ISBN : 978-6028-868-839
1
Esack "aduk-aduk tempat sampah agar bisa Makan", dalam Tabloid Detak, 2001:26-
27
mengingatkannya pada kekerasan gender yang dialami banyak perempuan di
Afrika Selatan.
Penderitaan kaum perempuan membawa pada kenangan akan ibunya
yang meninggal pada usia 54 tahun. Ketika ibunya di kuburkan, dari kejauhan
ia melihat sosok perempuan muda memberikan takzim kepada ibunya.
Perempuan muda itu tidak berani mendekat ke areal pekuburan. Esack
mengetahui jika perempuan itu adalah kakak se‐ibu yang dikucilkan dari
keluarganya sampai tidak sempat menemui ibunya ketika meninggal.
Keprihatinan dan kesengsaraan yang timbul akibat pengalaman dan
penyaksiannya akan penderitaan, eksploitasi, penindasan, dan lainnya
berdasarkan agama, ras, dan seksisme membentuk kepribadian Esack menjadi
seorang yang sangat sensitif dengan penindasan. Pada 1982, Esack kembali ke
tanah kelahirannya, Afrika Selatan. Pada 1984, Bersama tiga sahabat karibnya,
‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western
Cape, Esack mendirikan organisasi bernama Call of Islam, sekaligus ia
menjadi koordinator nasionalnya.
Organisasi ini merupakan bagian dari organisasi lebih besar bernama
United Democratic Front (UDF). Call of Islam merupakan sebuah lingkar studi
atau diskusi antar para intelektual muda muslim Afrika Selatan yang anti‐
Apertheid. Melalui organisasi inilah yang kemudian melambungkan namanya
dalam berbagai forum dunia dalam bidang kerjasama antaragama
Pada tahun 1990, ia berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi
doktoralnya dalam bidang tafsir Al‐Qur’an, tepatnya di University of
Birmingham. Selama setahun, antara 1994‐1995, ia menjadi peneliti dalam
Biblical Hermeneutics di Philosophische Theologische Honchschule, Sankt
Georgen, Frankfrut, Jerman. Selama lima tahun ia tekun menyelesaikan studi
dalam bidang tafsir Al‐Qur’an, dan selesai dengan disertasi yang berjudul
Qur’an and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
Againts the Opression.
Esack meyakini bahwa Al‐Qur’an memberikan jawaban‐jawaban bagi
terwujudnya masyarakat multikultur dan multiagama. Hal ini telah memotivasi
Esack untuk mengelaborasi petunjuk‐ petunjuk Tuhan di dalam Al‐Qur’an
sebagai landasan untuk kebersamaan bagi umat manusia. Mengingat bakatnya
yang kuat dalam menulis, gagasan‐ gagasan dan berbagai pemikiran Esack
juga disosialisasikan dalam berbagai tulisannya yang tersebar dalam koran dan
majalah di Afsel.
Hasilnya adalah ia menjadi salah satu figur sentral aktifis muslim yang
bergerak untuk memperjuangkan kebebasan bagi bangsanya, terlepas dari latar
belakang agama, budaya, dan ras, menuju sebuah bangsa Afrika Selatan yang
baru. Bahkan pada awal tahun 1997 ia ditunjuk sebagai ketua Komisi untuk
kesetaraan Jender oleh pemimpin Afsel yang ketika itu baru terpilih, Presiden
Nelson Mandela.2
2
Esack, 2004: xv.
Disamping menulis Quran Liberation and Pluralism, Esack juga menulis
beberapa karya lainnya, antara lain: But Musa Went to Firaun! : A Compilation
of Questions and Answers about The Role of Muslims in the South African
Struggle for Liberation, dan On Being A Muslim: Finding a Religious Path in
the word today.
Karir akademik Esack yaitu mengajar secara aktif di University of
Wetern Cape Town, dan mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan
tinggi papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi,
Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan CSUN (California State University
Nortridge).
Selain itu, Esack juga aktif di beberapa LSM di Afsel., menjadi anggota
dewan kehormatan berbagai lembaga seperti World Conference for Religion
and Peace (WCRP), the Community Development Resource Association, The
AIDS Treatment Action Campaign, National Public Radio, dan The Muslim
Peace Fellowship. Hal ini (yakni pembedaan karakter wahyu al‐Qur’an yang
unik dari bentuk‐bentuk pengetahuan kreatif lainnya) harus dilakukan, sebab
jika tidak, maka wahyu al‐Qur’an akan masuk ke dalam kategori yang sama
dengan bentuk puitis serta bentuk kreatif seni lannya.
Secara psikologis, tidak diragukan bahwa kesemuanya itu sama dan
membentuk tingkatan‐tingkatan yang menarik dari fenomena inspirasi kreatif
yang sama. Tetapi dalam istilah keagamaan, kepentingan moral dan penilaian,
al‐Qur’an adalag sesuatu yang sui generis secara keseluruhannya serta terpisah
dari bentuk‐ bentuk pemikiran kreatif atau seni kreatif lainnya. Menurut
pendapat saya, hal ini merupakan satu‐satunya cara untuk menjelaskan proses
pewahyuan dalam suatu cara yang dapat diterima oleh orang‐orang pintar
dewasa ini, dan pada waktu yang sama tidak hanya untuk mendukung tetapi
juga untuk menunjukkan bahwa al‐Qur’an itu secara murni berasal dari Ilahi,
tidak hanya dalam inspirasinya saja, tetapi juga dalam mode verbalnya yang
sesungguhnya.
b. Kafir berarti orang yang berjalan di jalan Thaghut (setan). Seperti Firaun,
menindas orang Islam bahkan dirinya mengaku sebagai Tuhan. Suatu
sistem tirani yang akut adalah kekafiran yang sesungguhnya. Sebab orang
yang beriman (mu`min) adalah orang yang mengkafirkan thaghut (QS. al‐
Baqarah/2:256).
c. Kafir juga berarti penolakan untuk memberi sedekah pada anak yatim dan
orang miskin (QS. Al‐Ma`un/107:1‐3; al‐ Humazah/104: 1‐4).
Padahal pada hakikatnya orang kafir juga mengakui adanya Tuhan. Jadi
sebenarnya, kafir adalah penindasan sebagai lawan atau kontradiksi dari
keimanan yang diejawantahkan dalam kasih sayang, kedamaian, kebersamaan,
dan kesejahteraan. Selain itu, Esack juga sangat konsen terhadap masalah‐
masalah kaum perempuan. Sebagaimana disinggung di atas, ia sangat marah
terhadap segala bentuk ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Ini dapat
dipahami mengingat ibu Esack sendiri pernah menjadi korban perkosaan,
ditambah ketika ia menyaksikan berbagai ketimpangan terhadap kaum
perempuan ketika ia hidup di Pakistan.
Menurut Esack, tradisi teologi Islam dan kehidupan kultural masyarakat
muslim dekat dengan berbagai bentuk praktik ketidakadilan gender. Seperti
adanya ketakutan yang berlebihan di kalangan kaum tradisional sendiri ketika
hendak memberikan perlakuan yang baik kepada perempuan. Selain karena
pengaruh hegemoni tafsir mainstream tentang perempuan, hal ini juga
dipengaruhi kultur patriarkal yang telah lama berurat akar di dalam masyarakat
Islam Esack merujuk kepada tiga terminologi pokok yang menjadi sumber
perbedaan dalam menginterpretasikan teks‐ teks tentang relasi lelaki‐
perempuan, yaitu kata Qiwamah, As‐ Shalihat wal‐Qanitat, dan Al‐Nasyizat.
Esack yakin bahwa keadilan dalam relasi lelaki‐perempuan bersumber dari
ajaran al‐Qur’an.
3
Esack, 2004: 143.
Berdasarkan kenyataan‐kenyataan itu, menurut Esack, tidak ada halangan
bagi orang Islam untuk melakukan hubungan dan kerjasama dengan pihak‐
pihak non‐muslim, dan kerjasama tersebut bukan sekadar alasan kemanusiaan
tetapi benar‐benar berlandaskan teologi keagamaan dan kesetaraan.
E. Kesimpulan
Farid Essack merupakan sosok pemikir Islam yang berupaya membumikan al-
Qur’an sebagai kitab suci yang mampu menyelesaikan persoalan realitas. Farid Esack
adalah salah satu figur sentral menggulirkan rezim apartheid di Afrika Selatan. Semangat
perjuangannya terinspirasi dari semangat perjuangan Nabi Muhammad melawan segala
bentuk rasialisme, tirani, ketidakadilan dan kapitalisme kaum Quraiys yang
didokumentasikan dalam al-Qur’an. Bagi Esack, al-Qur’an adalah teks pembebasan.
Peristiwa eksodus (hijrah) Nabi Musa dan kaumnya dalam al-Qur’an merupakan cermin
dalam memaknai kembali ajaran-ajaran al-Qur’an. Esack mengelaborasi peristiwa
eksodus Nabi Musa seabgai tipikal penindasan yang serupa dengan apa yang dialami
oleh kemunitas Afrika Selatan. Hermeneutika liberatif Farid Esack memang patut
diapresiasi sebagai model penafsiran yang progresif berpijak pada teologi dan fokus
pada kondisi Afrika Selatan yang dikuasai rezim apartheid dan layak dikembangkan
dalam konteks negara dunia ketiga yang secara garis besar terjerat dalam kemiskinan
dan ketidak-adilan.
F. Daftar Pustaka