Anda di halaman 1dari 3

Pembangunan diseluruh aspek kehidupan tidak terlepas dari arah pembangunan yang

terencana, menyeluruh, terarah, terpadu dan berlanjut untuk meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat kearah lebih baik. Aspek kehidupan dalam pembangunan meliputi: politik, ekonomi,
sosial budaya dan pertahanan keamanan. Aspek-aspek tersebut merupakan aspek dasar (pokok)
dalam kehidupan manusia dalam wadah kehidupan berbangsa dan bernegara yang ingin
melaksanakan pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan. Secara umum tujuan
pembangunan nasional adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruhnya guna
mencapai masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun materiil.
Dalam prosesnya, pembangunan nasional ditata dan dirumuskan dalam suatu kebijakan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Bagian terpenting dan strategis
dari pembangunan nasional, tanpa mengabaikan bagian lainnya, adalah pembangunan di bidang
hukum (pembaharuan hukum) baik hukum pidana, perdata maupun administrasi yang meliputi
formil dan materil.
Pembaharuan hukum pidana dalam konteks materil telah berjalan dalam koridor
kebijakan criminal yang mempunyai tujuan melindungimasyarakat dari tindak kejahatan dan
mencapai kesejahteraan sosial. Sudarto mengemukakan bahwa hukum pidana yang dilibatkan
dalam usaha mengatasi segi-segi negative perkembangan masyarakat hendaknya dilihat dalam
hubungan keseluruhan politik kriminal dan harus merupakan bagian integral dari rencana
pembangunan nasional.1
Kejahatan korupsi merupakan tindakpidana yang sangat serius sehingga dikategorikan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena dampak yang ditimbulkan nya tidak
hanya merugikan keuangan negara, mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat,
melemahkan nilai-nilai demokrasi, etika, keadilan dan kepastianhukum, tetapi juga telah
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas,1 bahkan dapat merusak nilai-
nilai demokrasi dan moral bangsa dan negara.1
Berbagai upaya pencegahan danpenindakan bahkan kampanye-kampanye anti korupsi
telah dilakukan, akan tetapi korupsi tetap saja tidak pernah absen dari pemberitaan media.
Kenyataan tersebut seolah menimbulkan rasa frustasi untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Para penegak hukum seperti kehabisan akal dalam memikirkan dari mana memulai suatu
penindakan, semakin dikejar semakin jauh, semakin didalami dan ditelusuri semakin nyata,

1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hlm. 1.
seperti menelusuri tali yang panjang, di ujungnya tersangkut kebanyakan elite politik, pengusaha
dan penegak hukum pun seolah turut ambil bagian di dalamnya. 2 Ironisnya, mereka yang selama
ini rajin menggugat koruptor, mengkampanyekan anti korupsi, justru terlibat dalam pusaran
korupsi itu sendiri.
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional
serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana
korupsi dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime, sehingga diperlukan sifat yang luar
biasa pula (extra ordinary enforcement) dan tindakan yang luar biasa pula untuk
memberantasnya (extra ordinary measures).3
Salah satu hal yang baru yang menjadi sorotan dalam pembaharuan di
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah
diperkenalkannya istilah “gratifikasi” sebagai bagian dari tindak pidana korupsi.
Dalam kehidupan masyarakat gratifikasi lebih dikenal sebagai kegiatan
memberikan sesuatu kepada seseorang dengan dilatarbelakangi sebuah
maksud yang bertujuan untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Selain
itu, gratifikasi ini biasanya juga dikenal sebagai ucapan terima kasih yang
diberikan kepada seseorang karena telah melakukan sesuatu. Kegiatan
memberikan sesuatu kepada orang lain dalam bentuk apapun merupakan tradisi
yang sudah mengakar kuat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia. Tidak
dapat dipungkiri kegiatan ini sudah lumrah terjadi dalam berbagai ruang lingkup
kehidupan sosial, dimana pemberian hadiah ini dilakukan sebagai bentuk
ungkapan rasa terima kasih kepada seseorang yang telah memberikan
bantuan.4
Pemberian yang bertujuan sebagaiungkapan rasa terima kasih dan kasih
sayang saja tentunya tidaklah dilarang, akan tetapi apabila perbuatan
memberikan hadiah tersebut dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu
seperti untuk dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan dari pejabat yang

2 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi: Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi, Cet. Ke-
3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hlm. v.

3 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 8.

4 Doni Muhardiansyah et al, Buku Saku: Memahami Gratifikasi, Cet. Ke-1, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Jakarta, 2010, Hlm. 1.
diberi hadiah, maka pemberian tersebut tidaklah dibenarkan karena dilandasi
oleh keinginan dan iktikad tidak baik dalam hal ini guna memperoleh
keuntungan dari pejabat atau pemeriksa yang akan mempengaruhi integritas,
independensi dan objektivitas nya, dari pejabat dan penyelenggara negara yang
menerima hadiah.
Kegiatan memberikan “sesuatu” kepada pejabat dan penyelenggara
negara yangdilatarbelakangi maksud-maksud tertentu apabila tidak dicegah
dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah
menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang
berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, apapun
bentuk dan berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang penyelenggara
Negara atau pegawai negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan
jabatan/ kewenangan yang dimiliki, maka haruslah ditindak secara tegas.
Dalam tindak pidana gratifikasi ada dua pihak yang sama–sama berperan aktif untuk
mewujudkan tindak pidana gratifikasi tersebut secara sempurna, yaitu pemberi dan penerima
gratifikasi. Pemberi gratifikasi diatur dalam ketentuan Pasal 5 dan penerima diatur dalam Pasal
12B. Namun dengan adanya ketentuan Pasal 12C, yaitu ketika penerima gratifikasi melaporkan
gratifikasi kepada KPK dalam waktu paling telat 30 hari, maka ketentuan hukum Pasal 12B ayat
(1) tidak berlaku. Hal ini jika dilihat secara cermat akan menimbulkan ketidak adilan bagi
penerima dan pemberi gratifikasi. Aristoteles menyatakan keadilan harus berdasarkan hukum,
yaitu seseorang mendapatkan hak atau jatah secara proporsional mengingat akan pendidikan,
kedudukan dan kemampuan. Keadilan dalam konteks korupsi yang dituntut bukan kesamaan
tetapi perimbangan. Begitu juga jika dilihat dari pertanggungjawaban tindak pidana gratifikasi.5

5 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 8.

Anda mungkin juga menyukai