Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau

kedua-duanya (Perkeni, 2015).

Klasifikasi DM menurut Perkeni, 2015, yaitu sebagai berikut:

a. Diabetes Mellitus tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut yakni :

1) Autoimun

2) Idiopatik

b. Diabetes Mellitus tipe 2

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin

relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

c. Diabetes Mellitus tipe lain

1) Defek genetik pada fungsi sel beta

2) Defek genetik pada kerja insulin

3) Penyakit eksokrin pankreas

4) Endokrinopati

5) Diinduksi obat atau zat kimia

6) Infeksi

7) Imunologi

8
9

d. DM Gestasional

Diabetes gestasional adalah jenis diabetes yang bisa terjadi selama masa

kehamilan, terutama pada paruh kedua kehamilan. Diabetes gestasional dapat

mengganggu kehamilan, serta kesehatan ibu hamil dan bayi.

2. Patofisiologi

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas

telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Belakangan

diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada

yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:

jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel

alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan

otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya

gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2 (Perkeni, 2015).

Menurut Perkeni (2015) secara garis besar pathogenesis diabetes mellitus tipe

2 disebabkan oleh 8 hal, yaitu :

a. Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat

berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,

meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.

b. Liver

Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu

gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver


10

(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini

adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.

c. Otot

Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple

di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan

transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan

oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan

tiazolidindion.

d. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan

peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)

dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan

mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu

sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai

lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.

e. Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau

diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan

oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent

insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitor polypeptide). Pada

penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.

Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,

sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
11

kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga

mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-

glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian

diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat

yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.

f. Sel alpha pankcreas

Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan

sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam

keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini

menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding

individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glucagon atau menghambat

reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.

g. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2.

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari

glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium

Glucose co- Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%

sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan

asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM

terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-

2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga

glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah

SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.


12

h. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes

baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan

mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan

justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat

yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

3. Gambaran Klinis

a. Kelelahan yang luar biasa

b. Pasien akan merasakan tubuhnya lemas walaupun tidak melakukan aktifitas

yang terlalu berat.

c. Penurunan berat badan secara drastis.

d. Gangguan penglihatan.

e. Kadar gula yang tinggi dalam darah akan menarik cairan dalam sel keluar,

hal ini akan menyebabkan sel menjadi keriput.

f. Sering terinfeksi dan bila luka, sulit sekali sembuh.

g. Sering merasakan gatal pada lipatan-lipatan kulit (Maulana, 2009).

4. Penegakan Diagnosa

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara

enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan

glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.


13

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

a. Keluhan klasik DM : poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM

digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa

terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma

puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam

<140 mg/dl

b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -

jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100

mg/dl

c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan

HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan

tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi

mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji

diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya

positif untuk memastikan diagnosis definitive (Purnamasari, 2009).


14

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar

glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti

dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO).

Tabel 2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa


Belum pasti
Bukan DM DM
DM
Kadar Glukosa Darah Plasma vena <110 110-199 ≥200
Sewaktu (mg/dL) Darah kapiler <90 90-199 ≥200
Kadar Glukosa Darah Plasma vena <110 110-125 ≥126
Puasa (mg/dL) Darah kapiler <90 90-109 ≥110
Sumber : Purnamasari (2009)
5. Penatalaksanaan Diet Diabetes Mellitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes. Menurut Perkeni (2015) Tujuan penatalaksanaan meliputi :

a) Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas

hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

b) Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati dan makroangiopati.

c) Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,

tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara

komprehensif.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran

makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu

diberikan penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan


15

jumlah kandungan kalori, terutama pada mereka yang menggunakan obat yang

meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu sendiri (Perkeni, 2015).

1) Syarat diet menurut Perkeni (2015) antara lain :

a. Energi cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal.

Kebutuhan energi diperhitungkan kebutuhan untuk metabolism basal sebesar

25 Kkal/KgBBI untuk perempuan dan 30 Kkal/KgBBI.

b. Kebutuhan protein yaitu 10 – 20% dari kebutuhan energi total.

c. Kebutuhan lemak sedang, yaitu 20 – 25% dari kebutuhan energi total.

d. Kebutuhan karbohidrat cukup, yaitu 45 – 65% dari kebutuhan energi total.

e. Penggunaan gula alternatif dalam jumlah terbatas. Gula alternatif adalah

bahan pemanis selain sakarosa.

f. Asupan serat dianjurkan 20 – 35 gr/hari yang berasal dari berbagai sumber

bahan makanan.

g. Pasien DM dengan tekanan darah normal diperbolehkan mengkonsusmsi

natrium dalam bentuk garam dapur seperti orang sehat yaitu <2300 mg/hari.

Apabila mengalami hipertensi harus dikurangi (Diet Rendah Garam).

2) Jenis Diet dan Indikasi Pemberian

Diet yang digunakan sebagai bagian dari penatalakasanaan diet Diabetes

Mellitus dikontrol berdasarkan kandungan energi, protein, lemak dan karbohidrat.

Sebagai pedoman dipakai jenis diet diabetes melitus sebagaimana bisa dilihat

pada tabel 2.2. penetapan diet ditentukan oleh keadaan pasien, jenis diabetes

melitus dan program pengobatan secara keseluruhan.

Tabel 2.2 Jenis diet diabetes melitus menurut kandungan energi, protein, lemak
dan karbohidrat.
16

Jenis diet Energi (kkal) Protein (gr) Lemak (g) Karbohidrat (g)
I 1100 43 30 172
II 1300 45 35 192
III 1500 51.5 36.5 235
IV 1700 55.5 36.5 275
V 1900 60 48 299
VI 2100 62 53 319
VII 2300 73 59 369
VIII 2500 80 62 396

B. Dispepsia

1. Definisi

Dispepsia Menurut Grace & Borley (2006), dispepsia merupakan perasaan

tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian atas atau dada bagian bawah. Salah

cerna (indigestion) mungkin digunakan oleh pasien untuk menggambarkan

dispepsia, gejala regurgitasi atau flatus. Dispepsia berasal dari bahasa yunani yaitu

duis bad dan peptein to digest yang berarti gangguan pencernaan (Rani, 2011).

Dispepsia umumnya terjadi karena terdapat suatu masalah pada bagian

lambung dan duodenum. Keluhan refluks gastroesofageal berupa panas di dada

(heartburn) dan regurgitasi asam lambung, tidak lagi dimasukkan ke dalam

sindrom dispepsia tetapi langsung dimasukkan dal1am alur atau algoritme dari

penyakit gastroesofageal refluks disease (GERD). Hal ini disebabkan oleh

sensitivitas dan spesivitas dari keluhan tersebut yang tinggi untuk adanya proses

refluks gastroesofageal (Djojoningrat, 2009).

Dispepsia dapat terjadi meskipun tidak ada perubahan struktural pada saluran

pencernaan yang biasanya dikenal sebagai dispepsia fungsional. Gejalanya dapat berasal

dari psikologis atau akibat intoleransi terhadap makanan tertentu. Dispepsia juga dapat
17

merupakan gejala dari gangguan organik pada saluran pencernaan dan juga dapat

disebabkan oleh gangguan di sekitar saluran (Davidson, 1975).

Gambar 3. Lambung, Esofagus, dan Duodenum Sumber : Tortora & Grabowski, 2000

Hasil pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi yang terdapat di RSUPN Dr.

Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada 591 kasus dispepsia ditemukan adanya lesi pada

esophagus, gastritis, gaster, duodenum, dan lain-lain. Sebagian besar ditemukan kasus

dispepsia dengan hasil esofagogastroduodenoskopi yang normal (Djojoningrat, 2001).

Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi di RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo Jakarta.

Menurut Djojoningrat (2009) gastritis adalah proses inflamasi pada lapisan

mukosa dan submukosa lambung. Secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya

infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Berdasarkan pada manifestasi klinis,
18

gastritis dapat dibagi menjadi akut dan kronik akan tetapi gastritis kronik bukan

merupakan kelanjutan dari gastritis akut. Ulkus peptikum adalah putusnya kontinuitas

mukosa lambung yang meluas sampai di bawah epitel. Ulkus peptikum dapat terletak di

bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung yaitu esofagus, lambung,

duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejenum (Lindseth, 2012).

Bentuk utama ulkus peptikum adalah ulkus duodenum dan ulkus lambung. Ulkus

peptikum terjadi bila efek-efek korosif asam dan pepsin lebih banyak daripada efek

protektif pertahanan mukosa lambung atau mukosa duodenum (McGuigan, 2012).

Djojoningrat (2009) mengatakan bahwa faktor yang berperan dalam kejadian

gastritis dan ulkus peptikum dengan gejala khas dispepsia adalah pola makan atau

kebiasaan makan dan sekresi asam lambung. Pola makan atau kebiasaan makan yang

buruk dengan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia (Reshetnikov,

2007).

Pola makan atau kebiasaan makan sangat berkaitan dengan produksi asam

lambung. Fungsi asam lambung adalah untuk mencerna makanan yang masuk ke dalam

lambung dengan jadwal yang teratur. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung

meskipun dalam kondisi tidur. Pola makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam

lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan

sehingga produksi asam lambung terkontrol. Pola makan yang tidak teratur akan

membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal ini berlangsung lama, produksi asam

lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung

(Nadesul, 2005).
19

Gambar 2. Ulkus Gaster, Ulkus Duodenum


Sumber: Tortora & Grabowski, 2000
2. Klasifikasi Dispepsia

Klasifikasi dispepsia berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala,

dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik adalah apabila

penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya ada ulkus peptikum. Dispepsia organik jarang

ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun (Rani,

2011).

Dispepsia fungsional adalah apabila penyebab dispepsia tidak diketahui atau

tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak

ditemukannya adanya kerusakan organik dan penyakitpenyakit sistemik (Djojoningrat,

2009).

3. Patofisiologi

Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya

dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam lambung, dismotilitas gastrointestinal,

hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor lingkungan, psikologis

(Djojoningrat, 2009).
20

a. Sekresi Asam Lambung

Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung setiap hari. Getah

lambung ini mengandung berbagai macam zat. Asam hidroklorida (HCl) dan pepsinogen

merupakan kandungan dalam getah lambung tersebut. Konsentrasi asam dalam getah

lambung sangat pekat sehingga dapat menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang

normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena sebagian cairan lambung

mengandung mukus, yang merupakan faktor pelindung lambung (Ganong, 2008). Kasus

dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung

terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut (Djojoningrat, 2009).

Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola makan yang tidak

teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi

dalam pengeluaran sekresi asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang

lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding

mukosa pada lambung (Rani, 2011).

b. Dismotilitas Gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan

pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan

akomodasi lambung saat makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini

dapat ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan

pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional dengan keluhan

seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati (Djojoningrat, 2009).

Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala dispepsia dan

merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam dispepsia fungsional. Gangguan

pengosongan lambung dan fungsi motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien

dengan dispepsia fungsional. Sebuah studi meta-analisis menyelidiki dispepsia fungsional


21

26 dan ganguan pengosongan lambung, ditemukan 40% pasien dengan dispepsia

fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5 kali dari pasien normal (Chan &

Burakoff, 2010).

c. Hipersensitivitas viseral

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor

mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009). Beberapa pasien dengan dispepsia

mempunyai ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak terbatas

pada distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap stres, paparan asam,

kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon, seperti kolesitokinin dan glucagon-like

peptide. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik menunjukkan bahwa 50%

populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau rasa tidak nyaman di perut

pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang

menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol (Djojoningrat, 2009).

d. Gangguan akomodasi lambung

Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi relaksasi fundus dan

korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Akomodasi lambung ini

dimediasi oleh serotonin dan nitric oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik.

Dilaporkan bahwa pada penderita dispepsia 27 fungsional terjadi penurunan kemampuan

relaksasi fundus postprandial pada 40% kasus dengan pemeriksaan gastricscintigraphy

dan ultrasound (USG) (Chan & Burakoff, 2010).

e. Helicobacter pylori

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya

dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori terdapat sekitar 50% pada dispepsia

fungsional dan tidak berbeda pada kelompok orang sehat. Mulai terdapat kecenderungan
22

untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H. pylori positif

yang gagal dengan pengobatan konservatif baku (Djojoningrat, 2009).

f. Diet

Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala dispepsia fungsional.

Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung mengubah pola makan karena adanya

intoleransi terhadap beberapa makanan khususnya makanan berlemak yang telah

dikaitkan dengan dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi yang dilaporkan lebih

besar dari 40% termasuk rempah-rempah, alkohol, makanan pedas, coklat, paprika, buah

jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff, 2010).

g. Faktor psikologis

Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan antara dispepsia

fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi

gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya

penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral.

Tetapi korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan motilitas

masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).

4. Diagnosis

Menurut Chang (2006), sindrom dispepsia dapat di diagnosis dengan

menggunakan kriteria diagnosis Rome III. Berdasarkan kriteria diagnosis Rome III,

sindroma dispepsia di diagnosis dengan gejala rasa penuh yang mengganggu, cepat

kenyang, rasa tidak enak atau nyeri epigastrium, dan rasa terbakar pada epigastrium. Pada

kriteria tersebut juga dinyatakan bahwa dispepsia ditandai dengan adanya satu atau lebih

dari gejala dispepsia yang diperkirakan berasal dari daerah gastroduodenal.

Dalam menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana, dan pemeriksaan tambahan, seperti


23

pemeriksaan radiologis dan 29 endoskopi. Pada anamnesis, ada tiga kelompok besar pola

dispepsia yang dikenal yaitu :

a. Dispepsia tipe seperti ulkus (nyeri di epigastrium terutama saat lapar / epigastric

hunger pain yang reda dengan pemberian makanan, antasida, dan obat antisekresi

asam).

b. Dispepsia tipe dismotilitas (dengan gejala yang menonjol yaitu mual, kembung, dan

anoreksia).

c. Dispepsia non spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan (Djojoningrat,

2009).

Menurut Djojoningrat (2009), terdapat batasan waktu yang ditujukan untuk

meminimalisasi kemungkinan adanya penyebab organik. Jika terdapat alarm symptoms

atau alarm sign seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, muntah yang

prominen, maka hal tersebut merupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya

penyebab organik yang membutuhkan pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih

intensif seperti endoskopi dan sebagainya.

Menurut Bytzer (2004) tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan

endoskopi dan banyak pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik dan diagnosis secara

klinis dengan baik kecuali bila ada alarm sign, seperti terlihat pada Tabel 3. Bila terdapat

salah satu atau lebih pada tabel tersebut ada pada pasien, sebaiknya dilakukan

pemeriksaan endoskopi.
24

Gambar 3. Alarm Sign

C. Hepatomegaly

1. Definisi Hepatomegaly

Hepatomegali (Pembesaran Hati) adalah pembesaran organ hati yang

disebabkan oleh berbagai jenis penyebab seperti infeksi virus hepatitis, demam

tifoid, amoeba, penimbunan lemak (fatty liver), penyakit keganasan seperti

leukemia, kanker hati (hepatoma) dan penyebaran dari keganasan (metastasis).

Keluhan dari hepatomegali ini gangguan dari sistem pencernaan seperti mual dan

muntah, nyeri perut kanan atas, kuning bahkan buang air besar hitam. Pengobatan

pada kasus hepatomegali ini berdasarkan penyebab yang mendasarinya.


25

2. Anatomi Fisiologi

Hati terletak di bawah diafragma kanan, dilindungi bagian bawah tulang

iga kanan. Hati normal kenyal dengan permukaannya yang licin (Chandrasoma,

2006). Hati merupakan kelenjar tubuh yang paling besar dengan berat 1000-1500

gram. Hati terdiri dari dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi

menjadi segmen anterior dan posterior, lobus kiri dibagi menjadi segmen medial

dan lateral oleh ligamentum Falsiformis (Noer, 2002).

Setiap lobus dibagi menjadi lobuli. Setiap lobulus merupakan badan

heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus

mengelilingi vena sentralis. Diantara lempengan terdapat kapiler yang disebut

sinusoid yang dibatasi sel kupffer. Sel kupffer berfungsi sebagai pertahanan hati

(Price, 2006).

Sistem biliaris dimulai dari kanalikulus biliaris, yang merupakan saluran

kecil dilapisi oleh mikrovili kompleks di sekililing sel hati. Kanalikulus biliaris

membentuk duktus biliaris intralobular, yang mengalirkan empedu ke duktus

biliaris di dalam traktus porta (Chandrasoma, 2006)

Fungsi dasar hati dibagi menjadi :

a. Fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah. Ada dua macam

aliran darah pada hati, yaitu darah portal dari usus dan darah arterial, yang

keduanya akan bertemu dalam sinusoid. Darah yang masuk sinusoid akan

difilter oleh sel Kupffer.

b. Fungsi metabolik. Hati memegang peran penting pada metabolisme

karbohidrat, protein, lemak, vitamin (Guyton, 2003).


26

c. Fungsi ekskretorik. Banyak bahan diekskresi hati di dalam empedu, seperti

bilirubin, kolesterol, asam empedu, dan lain-lain.

d. Fungsi sintesis. Hati merupakan sumber albumin plasma; banyak globulin

plasma, dan banyak protein yang berperan dalam hemostasis (Chandrasoma,

2006).

3. Etiologi

Penyebab yang sering ditemukan:

a. Alkoholisme

b. Hepatitis A

c. Hepatitis B

d. Gagal jantung kongestif (CHF, congestive heart failure)

e. Leukemia

f. Neuroblastoma

g. Karsinoma hepatoseluler

h. Intoleransi fruktosa bawaan

i. Penyakit penimbunan glikogen

j. Tumor metastatic

k. Sirosis bilier primer

l. Sarkoidosis

m. Sindroma hemolitik-uremik.

4. Patofisiologi

Faktor-faktor resiko seperti rokok jamur, kelebihan zat dan infeksi virus

hepatitis B serta alcohol yang mengakibatkan sel-sel pada hepar rusak serta
27

menimbulkan reaksi hiperplastik yang menyebapkan neoplastik hepatima yang

mematikan sel-sel hepar dan mengakibatkan pembesaran hati. Hepatomegali

dapat mengakibatkan infasi pembuluh darah yang mengakibatkan obstruksi vena

hepatica sehingga menutup vena porta yang mengakibatkan menurunnya produksi

albumin dalam darah (hipoalbumin) dan mengakibatkan tekanan osmosis

meningkatkan tekanan osmosis meningkat yang mengakibatkan cairan intra sel

keluar ke ekstrasel dan mengakibatkan udema. Menutupnya vena porta juga dapat

mengakibatkan ansietas. Hepatomegali juga dapat mengakibatkan vaskularisasi

memburuk, sehingga mengakibatkan nekrosis jaringan. Hepatomegali dapat

mengakibatkan proses desak ruang, yang mendesak paru, sehingga

mengakibatkan sesak, proses desak ruang yang melepas mediator radang yang

merangsang nyeri.

5. Tanda Dan Gejala

Hati yang membesar biasanya tidak menyebabkan gejala. Tetapi jika

pembesarannya hebat, bisa menyebabkan rasa tidak nyaman di perut atau perut

terasa penuh. Jika pembesaran terjadi secara cepat, hati bisa terasa nyeri bila

diraba. Tanda dan gejala yang lain berupa:

a. Umumnya tanpa keluhan

b. Pembesaran perut

c. Nyeri perut pada epigastrium/perut kanan atas

d. Nyeri perut hebat, mungkin karena ruptur hepar

e. Ikterus

f. Sering disertai kista ginjal


28

6. Pemeriksaan Diagnostik

Ukuran hati bisa diraba/dirasakan melalui dinding perut selama

pemeriksaan fisik. Jika hati teraba lembut, biasanya disebabkan oleh hepatitis

akut, infiltrasi lemak, sumbatan oleh darah atau penyumbatan awal dari saluran

empedu. Hati akan teraba keras dan bentuknya tidak teratur, jika penyebabnya

adalah sirosis. Benjolan yang nyata biasanya diduga suatu kanker.

Pemeriksaan lainnya yang bisa dilakukan untuk membantu menentukan

penyebab membesarnya hati adalah:

a. Rontgen perut

b. CT scan perut

c. Tes fungsi hati.

Uji Normal Makna klinis


Bilirubin serum Meningkat bila terjadi gangguan
0,1-0,3 mg/dl
terkonjugasi ekskresi bilirubin terkonjugasi.
Bilirubin serum tak
0,2-0,7 mg/dl Meningkat pada hemolitik.
terkonjugasi
Meningkat pada penyakit
Bilirubin serum total 0,3-1,0 mg/dl
hepatoseluler.
Mengesankan adanya obstruksi
Bilirubin urine 0
pada sel hati
Berkurang pada gangguan ekskresi
Urobilinogen urine 1,0-3,5 mg/24jam
empedu, gangguan hati.
Enzim SGOT 5-35 unit/ml Meningkat pada kerusakan hati.
Enzim SGPT 5-35 unit/ml Meningkat pada kerusakan hati
Enzim LDH 200-450 unit/ml Meningkat pada kerusakan hati
Fosfatase alkali 30-120 IU/L Meningkat pada obtruksi biliaris.
29

7. Penatalaksanaan Terapi

a. Terapi umum

1) Istirahat

2) Diet

3) Medikamentosa

4) Obat pertama

5) Obat alternative

b. Terapi komplikasi

1) Ruptur : pembedahan

2) Kista terinfeksi : pasang drainase

c. Pembedahan

1) Pembedahan

2) Operasi pintas porto-cava

3) Aspirasi cairan (bila kista besar)

4) Skleroterapi (bila ada perdarahan varises)

5) Transplantasi hati

8. Penatalaksanaan Diet Hati

a. Tujuan Diet :

1) Memperbaiki keadaan gizi pasien dengan makanan seimbang.

2) Mencegah dan memperbaiki kerusakan jaringan hati lebih lanjut dengan

mengurangi beban kerja hati.

3) Mencegah kurang gizi.


30

b. Prinsip Diet :

1) Tinggi kalori yang berasal dari bahan makanan tinggi karbohidrat.

2) Lemak diberikan yang mudah cerna dalam jumlah cukup.

3) Protein tinggi atau disesuaikan dengan kondisi pasien.

4) Cukup vitamin dan mineral.

5) Rendah garam bila ada edema / bengkak pada punggung, kaki dan perut

(asites).

6) Makanan mudah cerna dan tidak banyak memakai bumbu-bumbu yang tajam

seperti, cuka, merica, cabe, pala, dan lain-lain.

7) Makanan dalam porsi kecil dan diberikan sering.

8) Cairan atau minuman dibatasi bila ada edema dan asites.

c. Bahan Makanan yang Dihindari :

1) Sumber Karbohidrat : beras ketan, ubi , singkong, talas.

2) Sumber Protein : daging berlemak, babi, kambing, keju dan es krim.

3) Sayuran yang berserat dan menimbulkan gas, seperti kol, sawi, lobak, daun

singkong, nangka muda dan kembang kol.

4) Buah-buahan yang berserat dan tinggi lemak seperti : nangka, nanas, durian,

alpukat.

5) Goreng-gorengan, santan kental, tape, kue yang gurih.

6) Minuman yang mengandung soda dan alkohol seperti : arak, bir , soft drink.
31

d. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan :

1) Masaklah dengan cara merebus, mengukus, memanggang, mengungkep, atau

membakar.

2) Hindari menggoreng atau menggoreng dengan minyak kedele, minyak jagung

untuk menumis.

3) Bila memasak daging pilihlah daging yang tak berlemak.

4) Memasak sayuran jangan menggunakan santan kental.

9. Komplikasi

Orang yang hatinya rusak karena pembentukan jaringan parut (sirosis),

bisa menunjukkan sedikit gejala atau gambaran dari hepatomegali. Beberapa

diantaranya mungkin juga mengalami komplikasi, yaitu:

a) Hipertensi portal dengan pembesaran limpa

b) Asites (pengumpulan cairan dalam rongga perut)

c) Gagal ginjal sebagai akibat dari gagal hati (sindroma hepatorenalis)

d) Kebingungan (gejala utama dari ensefalopati hepatikum) atau kanker hati

(hepatoma).

D. Pneumonia

1. Definisi

Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus

respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat

mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru (Dahlan Zul,

2000). Pada perkembangannya , berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal


32

dua bentuk pneumonia, yaitu pneumonia-masyarakat (community-acquired

pneumonia/CAP), apabila infeksinya terjadi di masyarakat; dan pneumonia-RS

atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia/HAP), bila infeksinya

didapat di rumah sakit (Said Mardjanis, 2008).

Pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia/CAP) adalah

pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar rumah sakit , sedangkan pneumonia

nosokomial adalah pneumonia yang terjadi >48 jam atau lebih setelah dirawat di

rumah sakit, baik di ruang rawat umum ataupun di ICU tetapi tidak sedang

menggunakan ventilator. Pneumonia berhubungan dengan penggunaan ventilator

(ventilator-acquired pneumonia/VAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-

72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal. Pneumonia yang didapat di pusat

perawatan kesehatan (healthcare-associated pneumonia) adalah pasien

yangdirawat oleh perawatan akut di rumah sakit selama 2 hari atau lebih dalam

waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan (nursing home atau

longterm care facility), mendapatkan antibiotik intravena, kemoterapi, atau

perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke klinik

rumah sakit atau klinik hemodialisa (Dahlan Zul, 2000).

2. Etiologi

a. Bakteri

Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebabnya yaitu

1) Typical organisme

Penyebab pneumonia berasal dari gram positif berupa :


33

a. Streptococcus pneumonia : merupakan bakteri anaerob facultatif. Bakteri

patogen ini di temukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU

sebanyak 20-60%, sedangkan pada pneumonia komunitas rawat inap di

ICU sebanyak 33% (Dahlan Zul, 2000).

b. Staphylococcus aureus : bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang

diberikan obat secara intravena (intravena drug abusers) memungkan

infeksi kuman ini menyebar secara hematogen dari kontaminasi injeksi

awal menuju ke paru-paru. Kuman ini memiliki daya taman paling kuat,

apabila suatu organ telah terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas,

yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan abses.8 Methicillin-resistant

S. Aureus (MRSA) memiliki dampak yang besar dalam pemilihan

antibiotik dimana kuman ini resisten terhadap beberapa antibiotik

(Kamangar N, MD et al, 2013).

c. Enterococcus (E. faecalis, E faecium) : organisme streptococcus grup D

yang merupakan flora normal usus.

Penyebab pneumonia berasal dari gram negatif sering menyerang pada pasien

defisiensi imun (immunocompromised) atau pasien yang di rawat di rumah

sakit, di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama dan dilakukan

pemasangan endotracheal tube (Kamangar N, MD et al, 2013). Contoh bakteri

gram negatif dibawah adalah:

a. Pseudomonas aeruginosa : bakteri anaerob, bentuk batang dan memiliki

bau yang sangat khas (Kamangar N, MD et al, 2013).


34

b. Klebsiella pneumonia : bakteri anaerob fakultatif, bentuk batang tidak

berkapsul. Pada pasien alkoholisme kronik, diabetes atau PPOK (Penyakit

Paru Obstruktif Kronik) dapat meningkatkan resiko terserang kuman ini

(Kamangar N, MD et al, 2013).

c. Haemophilus influenza : bakteri bentuk batang anaerob dengan berkapsul

atau tidak berkapsul. Jenis kuman ini yang memiliki virulensi tinggu yaitu

encapsulated type B (HiB) (Kamangar N, MD et al, 2013).

2) Atipikal organisme

Bakteri yang termasuk atipikal ada alah Mycoplasma sp. ,chlamedia sp. ,

Legionella sp (Kamangar N, MD et al, 2013).

b. Virus

Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui droplet, biasanya

menyerang pada pasien dengan imunodefisiensi. Diduga virus penyebabnya

adalah cytomegalivirus, herpes simplex virus, varicella zooster virus (Reevers,

Chalene J, 2000).

c. Fungi

Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur oportunistik,

dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara. Organisme

yang menyerang adalah Candida sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus

neoformans (Mandanas A Romeo, MD et al, 2013).

3. Patofisiologi

Patogen yang sampai ke trakea berasal dari aspirasi bahan yang ada di orofaring,

kebocoran melalui mulut saluran endotrakeal, inhalasi dan sumber patogen yang
35

mengalami kolonisasi di pipa endotrakeal. Faktor risiko pada inang dan terapi

yaitu pemberian antibiotik, penyakit penyerta yang berat, dan tindakan invansif

pada saluran nafas (Dahlan Zul, 2000). Faktor resiko kritis adalah ventilasi

mekanik >48jam, lama perawatan di ICU. Faktor predisposisi lain seperti pada

pasien dengan imunodefisien menyebabkan tidak adanya pertahanan terhadap

kuman patogen akibatnya terjadi kolonisasi di paru dan menyebabkan infeksi

(Alwi, 2010). Proses infeksi dimana patogen tersebut masuk ke saluran nafas

bagian bawah setelah dapat melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya

tahan mekanik ( epitel,cilia, dan mukosa), pertahanan humoral (antibodi dan

komplemen) dan seluler (leukosit,makrofag, limfosit dan sitokinin) (Dahlan Zul,

2000). Kemudian infeksi menyebabkan peradangan membran paru ( bagian dari

sawar-udara alveoli) sehingga cairan plasma dan sel darah merah dari kapiler

masuk. Hal ini menyebabkan rasio ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen

menurun (Alwi, 2010). Pada pemeriksaan dapat diketahui bahwa paru-paru akan

dipenuhi sel radang dan cairan , dimana sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk

membunuh patogen, akan tetapi dengan adanya dahak dan fungsi paru menurun

akan mengakibatkan kesulitan bernafas dapat terjadi sianosis, asidosis

respiratorik dan kematian (Dahlan Zul, 2000).

4. Manifestasi Klinik

Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif atau

produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah), sakit

dada karena pleuritis dan sesak (Fauci, Braunwald, Kasper et al, 2012). Gejala

umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan
36

lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau

penarikan dinding dada bagian bawah saat pernafas, takipneu, kenaikan atau

penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan

konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural

friction rub (Mansjoer, 2010).

5. Klasifikasi

Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya (Said Mardjanis, 2008):

a. Community-Acquired Pneumonia.

Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius ini sering di

sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (Penicillin sensitive and

resistant strains ), Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant

strains) and Moraxella catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga bakteri

tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP biasanya menular karena masuk

melalui inhalasi atau aspirasi organisme patogen ke segmen paru atau lobus paru-

paru. Pada pemeriksaan fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik

penyebab dari tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru.

Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil fremitus, nafas

bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang dapat terjadi akibat infeksi H.

Influenza , emphyema terjadi akibat infeksi Klebsiella , Streptococcus grup A, S.

Pneumonia . Angka kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia

dan pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat pada CAP

apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan respiratory rate, hipotensi,

demam, multilobar involvement, anemia dan hipoksia.


37

b. Hospital-Acquired Pneumonia.

Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia nosokomial ( lebih

dikenal sebagai Hospital-acquired pneumonia atau Health care-associated

pneumonia ) didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48

jam di rawat di rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal. Terjadinya

pneumonia nosokomial akibat tidak seimbangnya pertahanan inang dan

kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi traktus respiratorius bagian

bawah. Bakteria yang berperan dalam pneumonia nosokomial adalah P.

Aeruginosa , Klebsiella sp, S. Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan

akan mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah sakit.

ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset (biasanya muncul

selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (biasanya muncul setelah

lebih dari 5 hari perawatan di rumah sakit). Pada early onset pneumonia

nosokomial memili prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia

nosokomial; hal ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga

mempengaruhi peningkatan mortalitas.

Pada banyak kasus, diagnosis pneumonia nosokomial dapat diketahui secara

klinis, serta dibantu dengan kultur bakteri; termasuk kultur semikuantitatif dari

sample bronchoalveolar lavange (BAL).

c. Ventilator-Acquired pneumonia

Pneumonia berhubungan dengan ventilator merupakan pneumonia yang terjadi

setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi trakea.17 Ventilator adalah alat yang
38

dimasukan melalui mulut atau hidung, atau melalu lubang di depan leher. Infeksi

dapat muncul jika bakteri masuk melalui lubang intubasi dan masuk ke paru-paru.

6. Komplikasi

Menurut Dahlan Dzul, 2000 komplikasi pneumonia sebagai berikut:

a. Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi.

b. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli

paru dan infark miokard akut.

c. ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)

d. Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial

e. Sepsis

f. Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan

g. Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)

h. Abses paru

i. Efusi pleura

E. Efusi Pleura

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari

dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa

cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya

mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan

cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah

yaitu < 1,5 gr/dl.


39

1. Epidemiologi Efusi Pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh

peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,

sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar

pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses terjadinya pneumothoraks karena

pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga

pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah

tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain

bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik,

dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis

konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumothoraks.

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan

permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial

berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam

rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena

mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa

Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif .

2. Etiologi Efusi Pleura

Berdasarkan Jenis Cairan

a. Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.


40

b. Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi

pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura

tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat

Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Efusi pleura

eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini,

sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria

ini:

1) Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

2) LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

3) LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang

normal didalam serum.

Efusi pleura berupa :

a. Eksudat, disebabkan oleh :

1) Pleuritis karena virus dan mikoplasma: virus coxsackie, Rickettsia,

Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-

6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan sakit kepala, demam,

malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala perikarditis. Diagnosa dapat

dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan

efusi.

2) Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh

bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara

hematogen. Bakteri penyebab dapat merupakan bakteri aerob maupun

anaerob (Streptococcus paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas,


41

Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-

lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin

dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari

rongga pleura.

3) Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,

Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat

terhadap organisme fungi.

4) Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi

melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat

juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya

cairan efusi disebabkan oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan

nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk

ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi

yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri dan

jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala

febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.

5) Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,

mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral

dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi

ini diduga karena :

a) Invasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi

kebocoran kapiler.
42

b) Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,

bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan

aliran balik sirkulasi.

c) Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif

intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang

ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura

tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup

tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura

dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).

6) Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri,

abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai

predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya berwarna

purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi parapneumonik

ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang diperlukan

pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4

indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi

para pneumonik:

a. Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura

b. Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura

c. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/d

d. Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada

nilai pH bakteri.
43

Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik

yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam

saja.

7) Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,

Skleroderma.

8) Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi

parapneumonik.

3. Patofisiologi Efusi Pleura

Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga

pleura berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis

yang saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu

terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan

diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang

seimbang dengan kecepatan pembentukannya .

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya

kecepatan proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan

cairan secara patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan

dengan terjadinya efusi pleura yaitu:

a. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi

kapiler

b. Penurunan tekanan kavum pleura

c. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.
44

4. Gambaran Klinis Efusi Pleura

Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika

paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak , berupa rasa penuh

dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa

nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab

seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi

(kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi

trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan

pleural yang signifikan.

Anda mungkin juga menyukai