Kajian Buku Fukuyama
Kajian Buku Fukuyama
I. Pendahuluan
Melalui bukunya, “The End of History and The Last Man”, Fukuyama
(1999) hendak mengatakan bahwa paska perang dingin, tidak akan ada lagi
pertarungan antar ideologi besar, karena sejarah telah berakhir dengan
kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi
sejarah, Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir
dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia.
Runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya
sosialisme, dan sebagai gantinya adalah perayaan dan kemenangan kapitalisme
tanpa ada kompetitornya.
1
Fukuyama mengawali penjabaran panjangnya mengenai tesis akhir sejarah
ini dengan kegelisahan dan pesimisme yang terjadi di kalangan masyarakat dunia
mengenai kepastian tesisnya tentang kemajuan sejarah yang berujung pada
kejayaan demokrasi liberal. Pesimisme ini terjadi karena dua faktor yang saling
berkaitan: krisis politik pada abad ke-20 dan krisis intelektual dari rasionalisme
Barat.
Krisis politik yang terjadi akibat dua perang dunia itu telah menelan
korban puluhan juta orang dan memaksa ratusan juta lainnya hidup di bawah
bentuk-bentuk perbudakan baru yang lebih brutal. Pada saat yang sama,
demokrasi liberal dibiarkan tanpa sumberdaya intelektual yang sejatinya
digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dirinya [h. 32]. Padahal, pada abad
sebelumnya, abad ke-19, mayoritas Negara Eropa berpikir bahwa kemajuan yang
dimaksud adalah kemajuan menuju demokrasi (liberal) [h. 26]. Tapi tidak
kenyataannya pada abad ke-20. Pada abad itu, beragam peristiwa traumatik akibat
tragedi dua perang dunia menjadi krisis kepercayaan bagi mayoritas orang Eropa
saat itu. Pada abad ini, demokrasi (liberal) telah ditantang oleh dua kompetitornya,
fasisme dan komunisme, yang mengusulkan visi yang sangat berbeda mengenai
masyakarat yang baik.
Pada abad ini, bayangan manis tentang demokrasi itu sirna. Pesimisme
akibat faktor di atas itu akhirnya memicu keyakinan baru di kalangan masyarakat
dunia akan hadirnya alternatif baru, yaitu alternatif komunis-totalitarian sebagai
ganti dari demokrasi liberal (h. 27). Namun sayangnya, lagi-lagi alternatif ini
tidak melahirkan apa yang diimpikan, alih-alih melahirkan krisis baru.
2
Amerika Latin pada tahun 1980-an. Di Peru misalnya berhasil melakukan
restorasi pemerintahan yang terpilih secara demokratis setelah 12 tahun di bawah
cengkraman kekuasaan militer. Di Argentina, perang Falkland/Malvinas pada
tahun 1982 memuluskan runtuhnya junta militer dengan terbentuknya
pemerintahan Alfosin yang terpilih secara demokratis. Proses transisi di Argentina
ini pun diikuti beberapa negara lain di Amerika Latin semisal Uruguai pada tahun
1983 dan Brazil pada tahun 1984 yang berhasil meruntuhkan rezim militer. Begitu
juga rezim Stroessner di Paraguai dan Pinochet di Chile pun memberi jalan bagi
pemerintahan yang terpilih secara popular dan demokratis (h. 36)
Fenomena serupa juga terjadi di wilayah Asia Timur. Pada tahun 1986,
pemerintahan diktator Marcos berhasil digulingkan di Filipina dan digantikan oleh
Corazon Aquino; Jenderal Chun, pada tahun berikutnya, menyerahkan jabatan di
Korea Selatan dan memberikan peluang bagi terpilihnya Roh Tae Woo. Dan
banyak kasus lagi yang menjadi fenomena runtuhnya negara-negara kuat di
berbagai belahan dunia akibat krisis otoritarianisme. Dan sebagai gantinya adalah
apa yang disebut pemerintahan demokratis.
Oleh karena itu, baik komunisme kiri maupun otoritarianisme kanan sama-
sama gagal mempertahankan ideologinya. Kelemahan Negara-negara otoritarian
kanan terletak pada kegagalan mereka untuk mengontrol masyarakat sipil.
Sementara totalitarianisme kiri menghindari persoalan tersebut dengan
3
mensubordinasikan seluruh elemen masyarakat sipil di bawah control mereka,
termasuk apakah para wartawan Negara itu boleh berpikir (h. 70).
4
bebas, sebagai istilah lain dari kapitalisme yang belakangan istilah ini
dikonotasikan secara pejorative (h. 75)
5
mengenai apa yang ia sebut sebagai ‘akhir sejarah’. Dan sejarah dalam
perjalanannya benar-benar tunggal, tanpa kompetitor dengan kemenangan
demokrasi liberal. Keyakinan inilah yang mengantarkan Fukuyama untuk
mengurai apa yang ia sebut sebagai sejarah universal.
6
berkembang, tetapi antara utara yang berkembang dan proletariat global di
Negara-negara terbelakang (h. 151). Di sini tampak bahwa Marx hendak
membalik historisme Hegel, dari kemenangan borjuis menjadi kemenangan
proletar. Sayangnya, kritik kalangan Marxis tidak lagi bergema saat ini, karena
impian itu tidak pernah terbukti (h. 108). Karl Marx adalah salah satu penafsir
Hegel yang tampaknya gagal membuktikan tafsirannya.
Selain itu, ada penafsir Hegel yang lain, yang tampaknya diikuti oleh Fukuyama.
Ia adalah Alexander Kojeve, seorang filsuf Prancis-Rusia. Kalau Marx adalah
penafsir Hegel pada abad ke-19, Kojeve adalah penafsir Hegel abad ke-20. Bagi
Kojeve, prinsip-prinsip persamaan dan kebebasa yang muncul dari Revolusi
Perancis terwujud dalam apa yang ia sebut sebagai Negara yang universal dan
homogen yang merepresentasikan melebihi titik akhir dari evolusi ekologi
manusia yang tidak mungkin untuk berkembang lebih lanjut (h. 109). Ini artinya
bahwa komunis tidak menghadapi kembali suatu tingkat yang lebih tinggi dari
demokrasi liberal. Akhirnya Kojeve percaya bahwa akhir sejarah tidak hanya
dalam arti akhir dari konflik-konflik dan perjuangan politik yang luas, tetapi juga
akhir filsafat. Dan komunitas Eropa merupakan suatu perwujudan institusi yang
tepat untuk akhir sejarah (h. 110).
7
Secara umum, kemajuan industrial berbanding lurus dengan tingkat
keberhasilan demokrasi. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan hal ini.
Pertama, argument fungsional. Ini artinya fungsi industrialiasi hanya untuk
mempengaruhi demokrasi yang mampu menengahi jaringan yang kompleks dari
konflik kepentingan yang diciptakan oleh ekonomi modern. Kedua, pengaruh
perkembangan ekonomi yang harus dilakukan untuk menghasilkan demokrasi
untuk tujuan para diktator. Rezim diktator ini mungkin saja akan memerintah
secara efektif di awal-awal pemerintahannya, namun begitu pendiri rezim ini tiada
maka tidak ada jaminan bagi penggantinya untuk mencapai kekuasaan sepertin
pendahalunya. Ketiga, keberhasilan industrialisasi akan melahirkan kelas
menengah yang kuat. Kelas menengah ini muncul akibat pendidikan yang
universal (h. 167-171). Faktor pendidikan inilah yang jika tidak disebut sebagai
prakondisi demokrasi, setidaknya ia menjadi nilai plus yang bernilai tinggi dari
yang diinginkan untuk menuju demokrasi. Karena sangat sulit membayangkan
kerja demokrasi dalam lingkungan masyarakat yang buta huruf (h. 179).
3. Akhir Sejarah
Sebagaimana dikatakan Hegel dan Kojeve, bahwa akhir sejarah terjadi jika
telah tidak ada kontradiksi-kontradiksi. Jika pernyataan ini benar maka kita harus
mengatakan bahwa sejarah akan berlanjut (h. 442). Mungkin saja ini selaras
dengan teori dialektika Hegel yang bermula dari kontradiksi tesis dan antitesis dan
berakhir dengan sintesis. Dan begitu sintesis dihasilkan (atau dalam bahasa
Kojeve, tidak ada ‘kontradiksi-kontradiksi’) maka ia akan menjadi tesis baru.
Demikian seterusnya.
8
Kojeve akhirnya percaya bahwa sejarah sendiri pada akhirnya akan
membenarkan rasionalitasnya sendiri, yaitu gerbong-gerbong yang cukup akan
menuju kota sehingga orang-orang rasional yang melihat situasi itu terpaksa
menyetujui bahwa hanya ada sebuah perjalanan dan sebuah penentuan takdir.
Takdir itu mungkin saja bernama demokrasi liberal, dan inilah yang dibayangkan
Fukuyama sebagai akhir sejarah.
Menurut Karl Marx (Fukuyama, 1999) tentang akhir sejarah adalah arah
perkembangan sejarah mempunyai tujuan tertentu yang ditetapkan oleh jalinan
kekuatan-kekuatan materiil, dan akan berkahir pada tercapainya utopia komunis
yang akhirnya akan menyelesaikan semua kontradiksi yang ada sebelumnya.
9
meluaskan hak suara kepada pekerja, wanita, kulit hitam, dan ras-ras minoritas
lainnya, dan sebagainya. Prinsip-prinsip dasar dari negara demokratis liberal
sudah tak bisa lebih sempurna lagi. Dalam hal ini pendapat Kojeve sangat kontras
dengan penafsir Hegel dari Jerman seperti Herbert Marcuce, yang karena lebih
bersimpati kepada Marx, menganggap Hegel terbatas secara sejarah.
Negara yang muncul pada akhir sejarah adalah liberal, sejauh ia mengakui
dan melindungi hak universal manusia akan kemerdekaan melalui sistem hukum,
dan demokratis sejauh ia hadir hanya dengan persetujuan mereka yang diperintah.
Bagi Kojeve, apa yang disebut “negara homogen universal” ini menemukan
pengejawatahannya yang nyata di negara-negara Eropa Barat pascaperang
menciptakan negara-negara damai, makmur, berpuas diri, berorientasi ke dalam,
dan berkehendak kuat. Sebagai kemungkinan lain, Kojeve mengindetifikasi akhir
sejarah dengan “gaya hidup Amerika” pascaperang yang menurutnya juga hal ini
ditiru oleh Uni Soviet.
10
datang. Selain itu, dalam ilmu sejarah manusia bukan sekedar alat bagi
perwujudan suatu gagasan, tetapi sejarah justuru berawal dan berakhir pada
manusia yang memiliki kebebasan dan kemampuan untuk mengatur massa
depannya. Sejarah diartikan sebagai perjuangan yang terus-menerus untuk
mewujudkan kebebasan.
11
Eropa pasca Perang Dingin. Apa yang dilontarkan Fukuyama tentang kemenangan
kapitalisme dan demokrasi liberal ini hanya sebuah pesimisme terhadap
perkembangan masyarakat dunia, agar negara di dunia mau tidak mau akan
mengikuti sistem politik tersebut.
12
di negara industri maju, tetapi diterima secara berbeda sesuai dengan kepentingan
kekuasaan yang ada. Karena misalnya muncul banyak phenomena kapitalimse ala
Jepang, kapitalisme ala Asia Tenggara, yang berbeda dengan kapitalisme Jerman
atau Amerika Serikat.
13
Eropa Barat dalam abad ke tujuh belas dan delapan belas yang tercermin di
Amerika Utara dan sejak itu telah menyebar atau mengenai bagian-bagian dunia
lainnya. Reindhard Bendix, misalnya menyatakan bahwa semua konsepsi
mengenai proses modernisasi harus dimulai dari pengalaman Eropa Barat karena
dari sanalah asal mula berkembangnya komersialisasi industri dan revolusi.
14
Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa Fukuyama telah memberikan
kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa, bila kita mencermati kondisi masyarakat
masa kini, kapitalisme telah tervindikasi, karena krisis ekonomi masa kini masih
tetap terasa mendalam dan mengkhawatirkan serta telah menimbulkan
penderitaan-penderitaan yang memilukan bagi umat manusia. Dengan demikian
sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama yang mendeklarasikan kemenangan
kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman “ The end of history”.
Bertolak sejumlah tanggapan atas tesis Fukuyama tentang kemenangan
kapitalisme dan demokrasi liberal dengan logika Fukuyama tentang akhir sejarah.
Bagi Fukuyama ini semua sebagai dampak daripada perkembangan dan kemajuan
industri di satu pihak dan sistem politik dipihak lain yang dikembangkan oleh
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
15
komunikasi/informasi maka basis-basis sasaran pengaruh global tidak lagi hanya
setingkat batas/satuan nasional, tetapi sudah menerobos sampai ke tingkat lokal.
Dari perspektif sejarah, ini tidak lain berarti makin derasnya dinamika
sejarah di daerah-daerah. Sebagai konsekuensinya kita dituntut un tuk lebih
mencurahkan perhatian yang lebih besar pada studi sejarah yang berdimensi
mikro, baik untuk lebih memahami akar-akar dinamika tersebut, maupun
selanjutnya untuk bisa menyumbangkan pemikiran bagi jalan keluar penyelesaian
pergolakan-pergolakan di berbagai wliayah Indonesia.
Apa yang dikemukakan di atas, jelas bagi kita karena ketika terjadi
perubahan paradigma pembangunan dari sistem desentralisasi ke sistem
dersentralisasi ini membawa pengaruh terhadap segemen kehidupan pengelolaan
negara. Di mana di setiap daerah bisa melakukan kerjasama antar negara tanpa
harus mendapat legitimasi dari pemerintah pusat. Dari kecendurungan seperti ini
bisa membawa konsekuensi terhadap terjadinya keretakan integrasi bangsa. Oleh
16
karena itu upaya yang dilakukan adalah harus adanya peningkatan kesadaran
nasionalisme warga negara melalui pendidikan berbasis idiologi yang
integralistik. Dan untuk menyembut perkembangan Indonesia di masa depan
hendaknya dicanangkan penyedaran nasionalisme bangsa yang berbasis subsektor
perkenomian seperti pertanian dan lain-lain.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
Kajian Buku
IDENTITAS BUKU
The End of History and The Last Man
Published in Penguin Book 1999
Penulis:
Francis Fukuyama
Penyaji:
SYAHRIL MUHAMMD
NIM: 0603167
19
20
Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut mewujudkan
kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi
umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi
kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan
berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah.
Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem dan
konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan
sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif di bidang
sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya
puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa digunakan,
seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb.
Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma destrutktif filosofi
materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep
kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang
harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, maka
ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela,
kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem
riba dan mata uang kertas semakin hegemonis. Sekarang
tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah
21
untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-
benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat
manusia, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik
antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan,
maupun negara kaya terhadap negara miskin.
22
23
24
Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi
perekonomian negara-negara berkembang, proyek-proyek
raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan
pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa termasuk
barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak
terkendali.
25
Choices for the Third World.
26
baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang
ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga,
dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter).
Penutup
Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut
mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi
keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk
mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi
ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan
ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma,
sistem dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu
menggantinya dengan sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-
capaian positif di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa
kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada
yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan
ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma
destrutktif,.filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak
lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi
pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya
dekonstruksi, maka ketidakadilan ekonomi di dunia akan
semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga,
kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin
hegemonis. Sekarang tergantung kepada para akademisi dan
praktisi ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi
ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat
mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan,
kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan
perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun negara kaya
terhadap negara miskin.
27
Fukuyama hendak mengatakan bahwa paska perang dingin,
tidak akan ada lagi pertarungan antar ideologi besar, karena
sejarah telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan
demokrasi liberal. Meskipun menyadari evolusi sejarah,
Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan
titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk
final pemerintahan manusia. Runtuhnya Soviet dan ambruknya
tembok Berlin menjadi pertanda kalahnya sosialisme, dan
sebagai gantinya adalah pera
28