Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Cedera kepala adalah penyebab utama kematian, dan kecacatan. Manfaat


dari tulang tengkorak untuk melindungi otak terhadap cedera. Selain dilindungi
oleh tulang, otak juga tertutup lapisan keras yang disebut meninges fibrosa, dan
juga terdapat cairan yang disebut cerebrospinal fuild (CSF).Trauma dapat
berpotensi menyebabkan fraktur tulang tengkorak, perdarahan di ruang sekitar
otak, memar pada jaringan otak, atau kerusakan saraf pada otak.1

Fraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat


benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita), transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau
mandibula, atau efek “remote” dari benturan pada kepala (“tekanan gelombang”
yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak). 1,2

Pasien dengan fraktur basis Cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai


dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Penampakan fraktur basis
Cranii fossa anterior ditandai dengan adanya Rhinorrhea dan memar di sekitar
palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat
bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.Untuk penegakan
diagnosis fraktur basis Cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap,
analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan
radiologik.1

Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan


bahwa airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera
kepala disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak
menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusisati awal dilakukan
secara menyeluruh.2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Gambar 1

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis Craniii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu: Os frontal, Os Ethmoidal, Os
sphenoidal, Os occipital dan Os temporal, pada regio temporal strukturnya lebih
tipis, namun pada bagian ini dilindungi oleh otot-otot temporalis.2,3,4

Basis cranii memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rogga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu : fossa cranii anterior, Fossa cranii
media, fossa cranii posterior.1,2
Gambar 2

Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada daerah anterior, meskipun
kalvaria tengah adalah bagian terlemah dari basis Cranii namun hanya 20%
fraktur yang ditemukan dan sekitar 5% fraktur pada daerah posterior.2,4

Fossa crania anterior

Melindungi lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan


dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa
dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os
etmoidalis di media. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus
olfaktorius, dan lubang-lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus
olfaktorius.2

Pada fraktur fossa Cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat


cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau
kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars
orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau
periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis
cranii fossa anterior. 1,4,5

Fossa Cranii media

Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan
bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung
lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan
terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara
bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral
terdapat pars squamous pars os temporal.2,3

Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan
minor os sphenoidalis dilalui oleh n.lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis,
n.occulomotorius dan n.abducens.2,3

Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini
merupakan tempat yang paling lemah dari basis Cranii. Secara anatomi
kelemahan ini disebabkan oleh banyaknya foramen dan canalis di daerah ini.
Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering
terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus
sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi
cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera
bila dinding lateral sinus cavernosus robek.1,4

Fossa Cranii posterior

Melindungi otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla


oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir superior pars petrosa os
temporal dan di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os
occipital. Dasar fossa Cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan
squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.3
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui
oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis
assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.3

Pada fraktur fossa Cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di


bawah otot-otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan
muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane
mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang
mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.1,2,4

2.2. Definisi

Tengkorak adalah kerangka tulang kepala. Tengkorak terdiri dari dua


bagian yang terpisah: tengkorak dan rahang bawah. Mandibula adalah rahang
bawah atau rahang, dan tempurung kepala adalah sisa tengkorak. Mandibula
adalah satu-satunya bagian dari tengkorak yang tidak bergabung dengan sutura.3

Tengkorak bertanggung jawab untuk berbagai macam fungsi penting


termasuk: mendukung struktur wajah (seperti hidung dan mata), membentuk jarak
antara mata, membentuk posisi telinga untuk membantu otak menentukan arah
dan jarak suara dan menjaga serta membentuk rongga/cavitas otak.2,3

Fraktur berarti bahwa telah ada kerusakan baik satu atau lebih tulang pada
tengkorak. Meskipun dalam hal ini sangat menyakitkan, ancaman yang lebih besar
adalah bahwa membran, pembuluh darah, dan bahkan otak, yang berada di dalam
tengkorak dapat terlindungi. Fragmen kecil dari tengkorak juga bisa pecah dan
menyebabkan kerusakan tambahan pada otak.Selain itu, energi yang dipakai
dalam benturan tengkorak bisa melukai jaringan otak.2

Fraktur tulang tengkorak dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari dua
cara, baik dengan jenis cedera yang diderita atau lokasi dari cederanya. Sebuah
fraktur tengkorak basilar terjadi di dasar tengkorak. Ini adalah cedera yang sangat
jarang terjadi hanya dalam 4% dari semua kasus fraktur. Fraktur ini pada dasarnya
adalah fraktur linear, atau retak garis lurus di dasar tengkorak. Patah tulang
tengkorak basilar bisa sangat berbahaya karena batang otak dapat terluka, yang
antara lain mengirimkan pesan dari otak ke sumsum tulang belakang. Jika otak
atau batang otak terluka maka kematian seringkali sangat mungkin terjadi.1,4

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang


menyebabkan kerusakan pada tulang dasar tengkorak.Ini sering dikaitkan dengan
perdarahan di sekitar mata (raccoon eyes) atau di belakang telinga (Battle sign).
Garis fraktur dapat meluas ke sinus wajah yang memungkinkan bakteri dari
hidung dan mulut untuk masuk keadalam dan kontak dengan otak, menyebabkan
infeksi yang potensial. 1,2,5

2.3. Epidemiologi

Fraktur basis Cranii merupakan salah satu fraktur pada area kepala dan
leher yang sulit untuk dievaluasi dan diobatai. Fraktur ini didefinisikan sebagai
fraktur linear dasar tengkorak, dan biasanya frakturnya banyak pada wajah dan
meluas kedasar tengkorak. Sinus sphenoid, foramen magnum, os temporal dan
sphenoidal adalah daerah yang paling umum terjadi patahan. 1,2

Sekitar 2 juta cedera kepala yang terjadi di Amerika Serikat. Kasus ini
adalah salah satu penyebeb utama kecacatan dan kematian pada anak. Kecelakaan
kendaraan bermotor adalah penyebab utama dari trauma ini yang ada dinegara-
negara industri. Persentase cedera kepala dan leher yang terjadi adalah 1/3 dari
kecelakaan kendaraan bermotor, dengan 28% kasus fraktur ada pada kepala dan
leher.1

Fraktur basis Cranii terjadi sekitar 20-24% dari semua kasus cedera
kepala. Pada studi retrospective yang dilakukan oleh Behbahani dkk pada tahun
2013, mengatakan bahwa Dalam hal ini kejadian fraktur basis cranii hanya
terdapat 2% dari seluruh kasus kejadian trauma. Dalam sebuah studi dari
Behbahani et al in 2013, sebuah studi retrospektif tentang trauma kepala. Mereka
menemukan bahwa dari 1060 pasien dengan trauma kepala. 965 pasien
mengalami fraktur tulang kepala dengan 220 diantaranya frakturnya berada pada
dasar tengkorak. Dari 220 fraktur ini diantaranya 78 fraktur os temporal, 47
orbital superior, 44 sphenoid, 30 os occipitalis, 21 ethmoidal, dan 2 clivus.2,4

2.4. Patofisiologi

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada


daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi
energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote”
dari benturan pada kepala (“gelombang tekanan” yang dipropagasi dari titik
benturan atau perubahan bentuk tengkorak). 1,5

Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena
area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana
spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat
cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al.
1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai
dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak. 1

Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk


benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban
inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban
inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak
akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala
kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area
medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia
tersebut kemudian meyebabkan ring fracture.Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.4

Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur


basis Cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada
area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan
bermotor, telah didokumentasikan.Para peneliti menemukan fraktur basis Cranii
juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.2

Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983)


meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami
benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus fraktur tengkorak diamati secara
rinci.Terdapat 22 BSF pada grup ini.Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh
ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1
kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14
kasus). 2

Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat


bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur
basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa.2

Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika
mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis
(dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan
dengan menggunakan uji quasi-static. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula
secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis Cranii.2

Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung
diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung
menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan
puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian.
Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis fraktur
basis cranii.2

Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis


bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur
mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda
paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan
pada daerah sekitar foramen magnum.2
2.5. Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur Temporal

Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis Cranii. Terdapat 3 subtipe
dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed. Tipe transversal
dari fraktur temporal dan type longitudinal fraktur temporal ditunjukkan di bawah
ini.4

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan


bagian squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus
externus dan tegmen timpani.Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian
anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada
fossa Cranii media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur
longitudinal merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur
transversal dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea
dan labyrinth, berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki
unsur unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal. 1,4,5

A B

(A) Transverse temporal bone fracture and (B) Longitudinal temporal bone fracture (courtesy of
Adam Flanders, MD, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania)

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan.


Sistem ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells.Fraktur
tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.2

Fraktur condylar occipital (Posterior)

Fraktur condylar occipital (Posterior), adalah hasil dari trauma tumpul


energi tinggi dengan kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada
pada ligamentum Alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternative membagi fraktur ini
menjadi displaced dan stable, yaitu, dengan dan tanpa cedera ligamen. Tipe I
fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang mengakibatkan kombinasi dari
kondilus oksipital. Ini merupakan jenis cedera stabil. Tipe II fraktur yang
dihasilkan dari pukulan langsung meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur
tipe II diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligament alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah cedera avulsi
sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini berpotensi menjadi fraktur
tidak stabil. 1,4
2.6. Manifestasi

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan


memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa
anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes).
Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada
kondisi patologis intrakranial.1,4

Terjadi rinorea pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis


anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau
pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang melalui
klivus. Kadang-kadang pada fraktur bagian petrosa tulang temporal, CSS
mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir
dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen
kasus.1,5

Otore terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater


dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura
tulang petrosa diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar
hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan
fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan
kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien
dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga
pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering
dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf
fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu.
Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17
persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti,
diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.2,5
Setiap nervus kranial terpengaruh dengan berbagai cara oleh fraktur basis
kranii. Nervus Olfactorius (CN I) dapat dipengaruhi dari trauma cribriform
dengan robek dan putusnya serat saraf. Walaupun begitu, sensasi dari penciuman
mungkin dapat kembali dalam beberapa bulan. CN II (Oftalmicus) bukan
merupakan nervus kranial langsung dari otak. Oleh karena itu, akson tidak
beregenerasi. Transeksi dari trauma menyebabkan kebutaan pupil yang berdilatasi
dan hilang refleks pupil. Bedah dekompresi saraf yang membengkak memiliki
hasil yang sama seperti penyembuhan spontan. Oleh karena itu, dekompresi
terbatas pada fragmen tulang hanya diketahui dekat pada saraf.6

Di fossa media, saraf okulomotor (CN III) juga dapat terganggu dari
fraktur basis kranii, dengan tanda-tanda seperti diplopia dan gangguan pergerakan
extraoccular. Etiologi kerusakan biasanya disebabkan dari benturan langsung ke
frontal. Penangan berupa terapi konservatif dan dapat mengenakan penutup mata
pada mata yang terkena sampai sembuh, dimana penyembuhan dapat terjadi
dalam waktu 4-6 minggu jika saraf tidak di transeksi. Pada saraf trochlear (CN
IV), cedera jarang terjadi tetapi bisa terjadi jika saraf tertarik dari bagian dorsal
otak tengah. Oleh karena itu, pengobatan konservatif digunakan dengan penutup
mata dan biasanya sembuh secara spontan. 6

Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII. Pada CN VII (Nervus facial), paralisis
wajah terjadi dari kerusakan pada tulang temporal, dengan 50% dari kerusakan
nervus facial yang melintang dan 25% dari fraktur longitudinal. Pada saraf
trigeminal (CN V), defisit biasanya terjadi berupa defisit sensasi pada wajah.
Tempat yang paling umum adalah bagian nervus V cabang 1 pada wajah wajah
dengan trauma didekat supraorbital. Pada saraf abdusen jarang terganggu akibat
dari fraktur basis kranii dengan kerusakan dari clivus atau dari avulsi setelah
meninggalkan pons. Namun, jika fraktur tulang fisura orbital superior terjadi,
kerusakan dapat terjadi pada CN III, IV, VI dan V1. Hal ini dikenal sebagai
sindrom fisura orbital superior, dan jika hal itu juga melibatkan foramen optik,
maka disebut sindrom apeks orbital. 1,6
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung
lebih dari 6-7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu
kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di
fossa tympany. Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan
labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran
permanen (permanent neural hearing loss). Saraf vestibulocochlear (CN VIII),
dapat kehilangan pendengaran dan kerusakan vestibular. Degenerasi total dengan
ketulian dan disfungsi labirin dapat terjadi. Sebuah Audiogram, ABR, dan ENG
diperlukan untuk menilai fungsi saraf setelah kerusakan.2,4,6

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius.
Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe
III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis.
Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau
guadriplegia. 2

Di fossa posterior, CN IX, X, XI semua keluar dari foramen jugularis dan


CN XII dari foramen hypoglossus. cedera saraf glossopharyngeal dapat
menyebabkan disfagia dan penurunan refleks muntah, dengan saraf vagus yang
mengarah ke korda ipsilateral atau kelemahan palatum dan suara serak
(hoarseness). kerusakan nervus accecorius dapat menyebabkan kelemahan
pergerakan bahu dan kerusakan nervus hypoglossal menyebabkan kelemahan
lidah secara ipsilateral. Semua pengobatan biasanya mendukung untuk gangguan
saraf.6

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus


cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi
fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain
sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius.Collet-
Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus
cranial IX, X, XI, dan XII. 2,4
2.7. Penananganan

Penatalaksanaan dimulai dengan prinsip menstabilkan pasien. Prosedur


penanganan tetap diawali dengan Aiway, Breathing, Circulation, Disability, serta
Exposure.4

Secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala
lebih tinggi. Kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid,
duramater, atau jaringan epitel yang terlihat sebagai rinore dan otore. Sebagian
besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.
Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif.
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi
kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat.
Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi. 1,2,4

Bedah

Pendekatan pembedahan dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara


bedah sinus endoskopi. Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan
kraniotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah
temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital
posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik
ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila
dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien
yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian
teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti
edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang
permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa
Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan Ekstra Craniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior
dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan
pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal
sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan
teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang
rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini
adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal.
Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.1,2,5

Merujuk ke dokter bedah saraf

Rujukan ke seorang ahli bedah saraf: 4

• GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal

• Disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam

• Penurunan skor GCS terutama respon motoric

• Tanda-tanda neurologis fokal progresif

• Kejang tanpa pemulihan penuh

• Cedera penetrasi

• Kebocoran cairan serebrospinal

2.8. Komplikasi

Infeksi

Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.


Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S.
Pneumoniae. Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya
angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah digunakan.
Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic. Karena pemberian
antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas
yang tinggi. Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin
dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka
resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.2
Pnemocephalus

Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.
Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial
cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap. Tik yang
meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang
terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari operasi untuk membedakan
udara intracranial. Serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelegburg positif.2

2.9. Prognosis

Pada frakur basis Cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama
tanda tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan
tindakan sedini mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan
profilaksis antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada
fraktur basis Cranii posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa
posterior dapat mengakibatkan kompresi batang otak.2
BAB III

KESIMPULAN

Fraktur basis Cranii terjadi karena adanya trauma tumpul yang


mengakibatykan kerusakan pada tulang dasar tengkorak. Terbagi atas 3 jenis:
fraktur basis Cranii anterior yang mengenai lobus frontal yang ditandai dengan
adanya raccoon eyes, fraktur basis Cranii media yang mengenai fossa Cranii
media, dengan gejala khas berupa rinore dan otore serta battle sign, dan fraktuir
basis Cranii posterior yang mengenai fossa Cranii posterior namun jarang
memberikan gejala yang khas.

Penanganan fraktur basis Cranii ini meliputi konservatif dan operativ,


dengan tujuan utama megurangi TIK, dan mengatasi fistula yang ada, serta
profilaksis infeksi meningitis. Prognosis fraktur basis Cranii tergantung pada
lokasi, apabila mengenai anterior dan media, umumnya prognosis baik, namun
apabila mengenai daerah posterior umumnya prognosis buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar J. Cedera Kepala, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. 2004.


2. Mancall. EL and Brock. DG, Gray’s Clinical Neuroanatomy: The
Anatomic Basis for Clinical Neuroscience, Elsevier, Philadelphia. 2011.
3. Snell, Richard. Anatomi klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, ed. 6, EGC,
Jakarta. 2007.
4. Satyanegara, Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, ed. V, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. 2014.
5. Sjamsuhidajat et al, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 3, Jakarta, EGC, 2010.
6. 6. Martinez. Leonel, Basillar Skull Fracture, Galveston, The University of
Texas Medical Branch in Galveston. 2013

Anda mungkin juga menyukai