Anda di halaman 1dari 7

BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Diare merupakan keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami defekasi
berupa feses cair atau feses tidak berbentuk dalam frekuensi yang sering (Lynda Juall, 2012).

Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih
cair dari biasanya dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Sementara untuk bayi dan anak-
anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata
pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. (Juffrie, 2010)

Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa diare merupakan situasi dimana
seorang individu mengalami sensasi rasa sakit perut seperti melilit atau mulas kemudian
defekasi berupa feses yang encer atau lunak dan tidak berbentuk serta dikeluarkan secara terus-
menerus dengan frekuensi lebih dari 3 kali.

Diare dibagi menjadi dua yaitu:

1. Diare Akut
Diare akut dikarakteristikkan oleh perubahan tiba-tiba dengan frekuensi dan kualitas
defekasi.
2. Diare Kronis
Diare kronis yaitu diare yang lebih dari dua minggu

1.2 Etiologi

Terdapat 3 bahan dalam etiologi diare pada anak (Mary E. Muscari, 2005).

1. Diare Akut
Diare akut dapat disebabkan karena adanya bakteri, nonbakteri maupun adanya

infeksi.

a. Bakteri penyebab diare akut antara lain organisme Escherichia coli dan Salmonella
serta Shigella. Diare akibat toksin Clostridium difficile dapat diberikan terapi
antibiotik.
b. Rotavirus merupakan penyebab diare nonbakteri (gastroenteritis) yang paling sering.
c. Penyebab lain diare akut adalah infeksi lain (misal, infeksi traktus urinarius dan
pernapasan atas), pemberian makan yang berlebihan, antibiotik, toksin yang
teringesti, iriitable bowel syndrome, enterokolitis, dan intoleransi terhadap laktosa.
2. Diare kronis biasanya dikaitkan dengan satu atau lebih penyebab berikut ini:
a. Sindrom malabsorpsi
b. Defek anatomis
c. Reaksi alergik
d. Intoleransi laktosa
e. Respons inflamasi
f. Imunodefisiensi
g. Gangguan motilitas
h. Gangguan endokrin
i. Parasit
j. Diare nonspesifik kronis
3. Faktor predisposisi diare antara lain, usia yang masih kecil, malnutrisi, penyakit kronis,
penggunaan antibiotik, air yang terkontaminasi, sanitasi atau higiene buruk, pengolahan
dan penyimpanan makanan yang tidak tepat.

1.3 Patofisiologi

Patofisiologi bergantung pada penyebab diare (Mary E. Muscari, 2005)

1. Enterotoksin bakteri menginvasi dan menghancurkan sel-sel epitel usus, menstimulasi


sekresi cairan dan elektrolit dari sel kripta mukosa.
2. Penghancuran sel-sel mukosa vili oleh virus menyebabkan penurunan kapasitas untuk
absorpsi cairan dan elektrolit karena area permukaan usus yang lebih kecil. Patofisiologi
diare kronis bergantung pada penyebab utamanya. Lihat unit pembahasan penyakit seli
aka sebagai contoh diare yang disebabkan oleh gangguan malabsorpsi.

Diare dalam jumlah besar juga dapat disebabkan faktor psikologis, misalnya ketakutan
atau jenis stres tertentu, yang diperantarai melalui stimulasi usus oleh saraf parasimpatis. Juga
terdapat jenis diare yang ditandai oleh pengeluaran feses dalam jumlah sedikit tetapi sering.
Penyebab diare jenis ini antara lain adalah kolitis ulserabutiv dan penyakit Crohn. Kedua
penyakit ini memiliki komponen fisik dan psikogenik (Elizabeth J. Corwin, 2007).
1.4 Pathway
1.5 Manifestasi Klinis

1. Diare akut
 Akan hilang dalam waktu 72 jam dari onset.
 Onset yang tak terduga dari buang air besar encer, gas-gas dalam perut, rasa tidak
enak, nyeri perut.
 Nyeri pada kuadran kanan bawah disertai kram dan bunyi pada perut.
 Demam.
2. Diare kronik
 Serangan lebih sering selama 2-3 periode yang lebih panjang.
 Penurunan BB dan nafsu makan.
 Demam indikasi terjadi infeksi.
 Dehidrasi tanda-tandanya hipotensi takikardi, denyut lemah

Bentuk klinis diare

Diagnosa Didasarkan pada Keadaan


Diare cair akut a. Diare lebih dari 3 kali sehari berlangsung kurang dari 14
hari
b. Tidak mengandung darah
Kolera a. Diare air cucian beras yang sering ada banyak dan cepat
menimbulkan dehidrasi berat, atau
b. Diare dengan dehidrasi berat selama terjadinya KLB
kolera, atau
c. Diare dengan hasil kultur tinja positif untuk V cholers 01
atau 0139
Disentri a. Diare berdarah (dilihat atau dilaporkan)
Diare persisten a. Diare yang berlangsung selama 14 hari atau lebih
Diare dengan gizi buruk a. Diare apapun yang disertai gizi buruk
Diare terkait antibiotika a. Mendapat pengobatan antibiotic oral spectrum luas
(Antibiotic Associated
Diarrhea)
Invaginasi a. Dominan darah dan lender dalam tinja
b. Massa intra abdominal (abdominal mass)
c. Tangisan keras dan kepucatan pada bayi

Klasifikasi tingkat dehidrasi anak dengan diare

Klasifikasi Tanda dan gejala Pengobatan


Dehidrasi berat Terdapat 2 atau lebih tanda: Beri cairan untuk diare dengan
a. Letargis/tidak sadar dehidrasi berat
b. Mata cekung
c. Tidak bisa minum atau
malas minum
d. Cubitan perut kembali
sangat lambat (≥ 2 detik)
Dehidrasi ringan atau sedang Terdapat 2 atau lebih tanda: a) Beri anak dengan cairan
a. Rewel gelisah dengan makanan untuk
b. Mata cekung dehidrasi ringan
c. Minum dengan lahap b) Setelah rehidrasi,
atau haus nasehati ibu untuk
d. Cubitan kulit kembali penangan dirumah dan
dengan lambat kapan kembali segera
Tanpa dehidrasi Tidak terdapat cukup tanda a) Beri cairan dan makanan
untuk diklasifikasikan sebagai untuk menangani diare
dehidrasi ringan dirumah
atau berat b) Nasehati ibu kapan
kembali segera
c) Kunjungan ulang dalam
waktu 5 hari jika tidak
membaik

1.6 Komplikasi

1.7 Pemeriksaan Penunjang

A. Diare akut

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:

 Tes darah: hitung darah lengkap; anemia atau trombositosis mengarahkan dengan
adanya penyakit kronis. Albumin yang rendah bisa menjadi patokan untuk tingkat
keparahan penyakit namun tidak spesifik.
 Kultur tinja bisa mengidentifikasi organisme penyebab. Bakteri C. Difficile
ditemukan pada 5% orang sehat; oleh karenanya diagnosis ditegakkan berdasarkan
adanya gejala disertai ditemukannya toksin, bukan berdasarkan ditemukannya
organisme saja.
 Foto polos abdomen: bisa menunjukkan gambaran kolitis akut.
B. Diare kronis
Pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan harus dipilih berdasarkan prioritas
diagnosis klinis yang paling mungkin:
 Tes darah: secara umum dilakukan hitung darah lengkap, LED, biokimiawi darah,
tes khusus dilakukan untuk mengukur albumin serum, vitamin B12 dan folat. Fungsi
tiroid. Antibodi endomisial untuk penyakit siliaka.
 Mikroskopik dan kultur tinja (x3): hasil kultur negatif belum menyingkirkan
giardiasis.
 Lemak dan tinja: cara paling sederhana adalah pewarnaan sampel tinja dengan
Sudan black kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pada kasus yang lebih sulit,
kadar lemak tinja harus diukur, walaupun untuk pengukuran ini dibutuhkan diet
yang terstandardisasi.
 Foto polos abdomen: pada foto polos abdomen bisa terlihat klasifikasi pankras,
sebainya diperiksa dengan endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP)
dan/atau CT pankreas.
 Endoskopi, aspirasi duodenum, dan biopsi: untuk menyingkirkan penyakit seliaka
dan giardiasis.
 Kolonoskopi dan biopsi: endoskopi saluran pencernaan bagian bawah lebih
menguntungkan dari pada pencitraan radiologi dengan kontras karena, bahkan ketika
mukosa terlihat normal pada biopsi bisa ditemukan kolitis mikroskopik (misalnya
kolistik limfositik, kolitis kolagenosa).
 Hydrogen breath test: untuk hipolaktasia (laktosa) atau pertumbuhan berlebihan
bakteri pada usus halus (laktulosa).
 Pencitraan usus halus: bisa menunjukkan divertikulum jejuni, penyakit Crohn atau
bahkan struktur usus halus.
 Berat tinja 24 jam (diulang saat puasa): walaupun sering ditulis di urutan terakhir
daftar pemeriksaan penunjang pemeriksaan ini tetap merupakan cara paling tepat
untuk membedakan diare osmotik dan diare sekretorik.
 Hormon usus puasa: jika ada dugaan tumor yang mensekresi hormonharus dilakukan
pengukuran kadar hormon puasa.

Menurut (Rubebsten dkk, 2007) jika merupakan episode akut tunggal dan belum mereda
setelah 5-7 hari, maka harus dilakukan pemeriksaan berikut:

a) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari anemia dan kultur darah untuk Salminella
typhi, S. Paratyphi, dan S. Enteritidid, khususnya bila ada riwayat perjalanan ke luar
negeri.
b) Pemeriksaan laboratorium tinja untuk mencari kista, telur, dan parasit (ameba, Giardia)
dan kultur (tifoid dan paratifoid, Campylobacter, Clostridium difficile).
c) Sigmoidoskopi, khususnya pada dugaan kolistis ulseratif atau kangkaer (atau kolitis
ameba). Biopsi dan histologi bisa memiliki nilai diasnostik.
1.8 Penatalaksanaan

Anda mungkin juga menyukai