Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN, KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DAN

KAJIAN KASUS DENGAN MASALAH KOLELITIASIS


Dosen Pembimbing: Lutfi Wahyuni.,S.Kep.Ns.,M.Kes

Disusun Oleh:

1. Lailatul Dewi Masthuro (201701154)


2. Ani Khoirul Umatin (201701156)
3. Dewi Arifah (201701135)
4. Nabila Desy A (201701173)
5. Miftahus Sholichah (201701153)
6. M Hanif Nur R (201701163)

S1 KEPERAWATAN
STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO
TAHUN PELAJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MASALAH KOLELITIASIS. Shalawat
serta salam senantiasa kami curahkan kepada panutan kita Nabi Muhammad
SAW.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Khususnya ibu Lutfi
Wahyuni.,S.Kep.Ns.,M.Kes selaku dosen pembimbing kami.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan, kalimat, maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritikan dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang LAPORAN


PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN
MASALAH KOLELITIASIS ini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.

Mojokerto, 06 Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB I .......................................................................................................... 1

1.1 Definisi .......................................................................................... 1

1.2 Klasifikasi ...................................................................................... 1

1.3 Etiologi .......................................................................................... 2

1.4 Manifestasi Klinis.......................................................................... 3

1.5 Patofisiologi................................................................................... 3

1.6 Pathway ......................................................................................... 6

1.7 Penatalaksanaan ............................................................................. 7

1.8 Kompliasi ...................................................................................... 9

BAB II ....................................................................................................... 10

2.1 Pengkajian ................................................................................... 10

2.2 Pemeriksaan Diagnostik .............................................................. 11

2.3 Diagnosa Keperawatan ................................................................ 13

2.4 Intevensi ...................................................................................... 13

BAB III ..................................................................................................... 25

3.1 Pengkajian ................................................................................... 25

3.2 Analisa Data ................................................................................ 29

3.3 Diagnosa Keperawatan ................................................................ 31

3.4 Intervensi ..................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 34

iii
iv
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Kolelitiatis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam
kantung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu, batu
empedu memilki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. Batu
empedu tidak lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidensnya
semakin sering pada individu berusia diatas 40 tahun. Sesudah itu, insidens
kolelitiasis semakin meningkat hingga suatu tingkat yang diperkirakan bahwa
pada usia 75 tahun satu dari 3 orang akan memiliki batu empedu (Brunner, 2003).

Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat di dalam kandung empedu


atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya.

Perkembangan batu dapat asimtomatik selama beberapa dekade. Migrasi


dari batu empedu dapat menghasilkan oklusi dari saluran empedu dan pankreas,
menyebabkan rasa sakit (kolik biller) dan menghasilkan komplikasi akut, seperti
kolesistitis akut, asending kolangitis, atau pankreatitis akut. Kondisi kronis
penyakit batu empedu dapat menyebabkan fibrosis dan hilangnya fungsi kandung
empedu dan menjadi predisposisi untuk kanker kandung empedu.

1.2 Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopisnya dan komposisi kimianya, batu
empedu di golongkan atas 3 golongan:

1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
2. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubunat sebagai komponen utama.

1
3. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang beretraksi.

1.3 Etiologi
Menurut berbagai teori, terdapat empat kemungkinan penjelasan
pembentukan batu empedu.

Pertama, kandung empedu kemungkinan mengalami perubahan komposisi.


Penelitian subjek dengan batu empedu kolesterol mengindikasikan bahwa empedu
super jenuh dengan kolesterol tapi kurang garam empedu. Kejenuhan kolesterol
tampak meningkat dengan usia. Perubahan di dalam komposisi empedu, namun
tidak dijelaskan lengkap mengapa membentuk batu empedu.

Kedua, statis kandung empedu mungkin mengarah kepada statis empedu.


Statis empedu mungkin (1) perubahan komposisi empedu, (2) empedu super jenuh
dengan kolesterol, (3) pembekuan beberapa unsur empedu. Statis kandung
empedu mungkin akibat dari penurunan kontraktilitas pengosongan kandung
empedu dan spasme sfinger oddi. Kondisi-kondisi di mana statis kandung
empedu terjadi (missal TPN; rendah lemak, diet pengurangan BB; cidera saraf
spinal; kehamilan) berhubungan dengan laju pembentukan batu empedu.

Ketiga, infeksi mungkin penyebab pembentukan batu pada seseorang.


Debris inflamatori dapat membentuk nidus (titik awal) untuk pertumbuhan batu.
Terkait cedera jaringan mungkin merubah komposisi empedu dengan
meningkatkan reabsorbsi garam empedu dan lesitin. Organisme tertentu mungkin
juga memainkan bagian dalam pembentukan batu dengan merubah komposisi
empedu.

Keempat, genetik dan demografi dapat mempengaruhi pembentukan batu,


seperti ditunjukkan dengan pravelensi lebih tinggi di Amerika Serikat, Chili
Indian, Chili Hispanik, Eropa Utara, dan Amerika Selatan dibanding Asia.

2
1.4 Manifestasi Klinis
1. Sebagian bersifat asimtomatik.
2. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang
menjalar ke punggung atau region bahu bawah.
3. Sebagian pasien nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten.
4. Mual dan muntah serta demam.
5. Ikterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala khas: getah empedu yang tidak lagi dibawa ke
dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini
membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini
sering disertai dengan gejala gatal-gatal pada kulit.
6. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal
akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi
diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat
yang disebut “Clay-Colored”.
7. Regurgutasi gas: Flatus dan sendawa.
8. Defesiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu
absorbsi vitamin A,D,E,K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat
memperlihatkan gejala : defesiansi vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau
sumbatan bilier berlangsung lama. Penurunan jumlah vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah.

1.5 Patofisiologi
Batu empedu terjadi karena zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam
konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu terkonsentrasi
di kandung empedu, larutan akan menjadi jenuh dengan bahan-bahan tersebut,
kemudian endapan dari larutan akan membentuk krstal mikroskopis. Kristal
terperangkap dalam mukosa biller, akan menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari
saluran oleh endapan dan batu menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu.

Pada kondisi normal kolestrol tidak mengendap di empedu karena


mengandung garam empedu terkonjugasi dan fosfatidikolin (lesitin) dalam jumlah

3
cukup agar kolesterol berada di dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi
kolesterol berbanding garam empedu dan leisitin meningat, maka lauran misel
menjadi sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin karena hati
memproduksi kolesterol dalam bentuk yang sangat tinggi. Zat ini kemudian
mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk Kristal kolesterol. Kristal ini
merupakan precursor batu empedu.

Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pecahnya heme, secara aktif di
sekresi ke dalam empedu oleh sel hati. Sebagian besar bilirubin dalam empedu
adalah berada dalam bentuk konjugat glukorodina yang larut dalam air dan stabil,
tetapi sebagian kecil terdiri atas bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak
terkonjugasi seperti asam lemak, fosfat, karbonat, dan anion lain, cenderung untuk
membentuk presipitat tak larut dalam kalsium. Kalsium memasuki empedu secara
pasif bersama elektrolit lain. Dalam situasi pergantian heme tinggi, seperti
hemolysis kronis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi mungkin berada dalam
empedu pada konsuntrasi yang lebih tinggi dari biasanya. Klasium bilirubinate
mungkin mengkristal dari larutan dan akhirnya membentuk batu. Seiring waktu,
berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin presipitat untuk mengambil jet warna
hitam. Batu yang dibentuk dengan cara ini disebut batu pigmen hitam.

Empedu biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa
(misalnya di atas struktur biller), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin tergonjugasi dan hasil peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi dapat menyebabkan prepitasi terbentuknya Kristal kalsium
biliribinate. Bakteri hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang
kompleks dengan kalsium dan endapan dari larutan. Kokresi yang dihasilkan
memiliki konsistensi disebut dengan batu pigmen coklat. Tidak seperti kolesterol
atau batu pigmen hitam, yang membentuk hamper secara eksklusif di kantung
empedu, batu pigmen coklat sering bentuk de novo dalam saluran empedu.

Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat


menimbulkan peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan

4
leukosit menghidrolisis bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari
waktu ke waktu, batu kolesterol bisa mengumpulkan proporsi kalsium bilirubinate
dan garam kalsium, lalu menghasilkan campuran batu empedu.

5
1.6 Pathway

Batu empedu Etiologi batu empedu:


 Peningkatan sekresi kolesterol
 Penurunan garam empedu
 Anemia hemolitik, sirosis
hepatis menyebabkan bilirubin
tak terkonjugasi
 Bakteri (kolangitis, kolesistitis)
menyebabkan penurunan
pembentukan misel

Intervensi bedah, Obstuksi duktus


intervnesi litotripsi, sistikus atau duktus Ikterus
intervnesi endoskopi biliaris

Preoperatif Pasca operatif Tekanan pada duktus


Respon saraf biliaris akan meningkat
lokal dan peningkatan
Kecemasan Resiko infeksi kontraksi peristaltik
pemenuhan
informasi Nyeri

Gangguan Respon
gastrointestinal sistemik

Mual, muntah, Peningkatan


anoreksia suhu tubuh

Intoleransi Intake nutrisi Hipertermi


Kelelahan, malaise
aktivitas dan cairan tidak
adekuat
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari Penurunan Ketidakseimbangan
kebutuhan cairan tubuh cairan dan elektrolit

6
1.7 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan non bedah
a. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien yang mengalami inflamasi akut
kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus, penghisapan
nasogastrik, analgesik, dan antibiotik. Intervensi bedah harus ditunda
sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat
dilaksanakan, kecuali jika kondisi paisen memburuk.
Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein. Pemasangan pipa
lambung bila terjadi distensi perut. Observasi keadaan umum dan vital
sign.
Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok. Pemeberian antibiotik sistemik dan vitamin K ( anti
koagulpati ).
b. Disolusi medis
Oral Disolution Therapy adalah car penghancuran batu dengan
pemberian obat-obatan herbal. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih
dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic, karena efek samping
yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic, seperti
terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia
sedang
c. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan
batu kolesterol dengan memasukkan suatu cairan pelarut ke dalam
kandung empedu melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau
alternatfi lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah
methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus
ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu
kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya digunakan untuk kasus dengan batu
kolesterol radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan

7
iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya
kembali batu kandung empedu.
d. ESWL/ litotrispi gelombang elektrosyok
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang
(repeated shock wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledukus dengan memecah batu
tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun lalu. Manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada
pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi
ini..
e. ERCP
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung, dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak massuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang
didalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak
lebar sehingga batu empedu yang menyumbay saluran akan berpindah
ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada
90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal
dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat.
2. Penatalaksanaan bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Indikasi yang paling umum untuk dilakukan kolesistektomi terbuka
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Operasi ini
merupakan standart terbaik untuk penanganan pasien dengan
koletiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat
terjadi adalah cedera duktus biliaris

8
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laporoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. 80-90% batu emepdu di Inggris dibuang dnegan cara ini
karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,10-
0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada
jantung dan paru-paru. Kadnung empedu diangkat melalui selang
yang dimasukkan lewat sayatan kecil didinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dngan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara
teoritis keuntungan tindakan ini dibanding prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan dirumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering
selama kolesistektomi laposrasokpi.

1.8 Kompliasi
1. Ikterik pada sclera dan kulit (jaundice).
2. Kecenderungan pendarahan (karena defesiensi vitamin K).
3. Peritonitis umum bila terjadi ruptur.
4. Gangren atau empyema kandung empedu.
5. Perforasi kandung empedu.
6. Fistula dan abses hati.
7. Kolesistitis kronis.

9
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWAN

2.1 Pengkajian
a. Kaji biodata pasien
b. Pola kesehatan fungsional
1. Riwayat penyakit sekarang: keluhan yang didapatkan bersifat akut
dan kronik. Kondisi nyeri biasanya juga disertai riwayat keluhan
demam sampai menggigil dan disertai gangguan gastrointestinal
seperti sakit perut, rasa seperti terbakar pada epigastrik (heart burn),
mual, muntah, anoreksia, dan malaise.
2. Riwayat penyakit dahulu: kaji adanya kondisi obesitas, penyakit DM,
hipertensi, dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan
sekresi kolesterol hepatika dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol. Kondisi kehamilan
multipara, pascabedah reseksi usus, penyakit Crohn, reseksi lambung,
dan penggunaan obat-obatan hormonal. Riwayat penyakit sirosis
hepatis yang menyebabkan splenomegaly menjadi predisposisi utama
gangguan heme yang bisa meningkatkan risiko batu kalsium.
3. Riwayat penyakit keluarga: mengkaji kondisi sakit dari generasi
terdahulu. Karena pada beberapa pasien cenderung memiliki riwayat
penyakit herediter.
4. Pengkajian psikososial : akan didapatkan peningkatan kecemasan.
5. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan tahapan klinik
kolelitiasis. Pada survei umum bisa terlihat sakit ringan sampai lemah
atau kelelahan. TTV bisa normal atau mungkin didapatkan perubahan
seperti hipertermi, takikardi, hipotensi, atau peningkatan frekuensi
napas yang berhubungan dengan inflamasi sistemik.
6. Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen akan didapatkan
hal-hal berikut:

10
 Inspeksi: ikterus seluruh tubuh, terutama di sclera sebagai respons
peningkatan bilirubin dalam darah. Pada gastrointestinal bisa
didapatkan regurgitasi ulang, dan flatunasi. Urine gelap/ coklat, feses
seperti tanah liat, skatore.
 Auskultasi: pada kasus yang parah, suara bising usus sering tidak
didapatkan atau hipoaktif.
 Perkusi: timpani akibat abdominal mengalami kembung.
 Palpasi: distensi abdomen, teraba massa di abdomen atas/ kuadran
kanan atas. Hal ini dapat diperoleh dengan pasien menghirup,
sementara pemeriksa tetap menjaga tekanan di bawah kosta kanan
(tanda murphy). Lokalisasi rebound tenderness, ketegangan otot
abdominal mungkin terjadi akibat peradangan perikolesistik.
7. Pada pemeriksaan laboratorium, bisa didapatkan lekositosis,
hiperbilirubinemia. Pada kasus yang parah , peningkatan ringan
enzim hati dapat disebabkan oleh cidera peradangan hati yang
berdekatan. Protrombin akan menurun bila aliran dari empedu
intestine menurun. Hal ini karena obstruksi sehingga menyebabkan
penurunan absorpsi vitamin K.
8. Pemeriksaan USG menunjukkan adanya bendungan/hambatan karena
adanya batu empedu dan distensi saluran empedu. Pada pemeriksaan
Cholecystogram (untuk kolesistitis kronik) akan menunjukkan
adanya batu di sistem biller. CT scan dilakukan untuk mendeteksi
adanya kista, dilatasi pada saluran empedu, dan obstruksi. Foto polos
abdomen bisa didapatkan adanya kalsifikasi. Endoscopic retrograde
cholangipacreatograpy (ERCP) X-ray memungkinkan pencitraan
dari saluran empedu.

2.2 Pemeriksaan Diagnostik


1) Laboratorium
Darah lengkap : lekositosis sedang ( akut), Bilirubin dan amilase serum
meningkat, enzim hati serum AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak

11
meningkat, alkali fosfat dan 5-nukleuttidase : ditandai peningkatan
obstruksi bilier.
2) Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorbsi vitamin K.
3) USG
Menyatakan kalkuli, dan distensi kandung empedu dan atau duktus
empedu.
4) Kolangiopankreatografi Retrograd Endoscopik
Memperlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus
melalui doedonum.
5) Kolangiografi Transhepatik Perkutaneus
Pembedaan gambaran dengan fluroskopi antara penyakit kandung empedu
dan kanker pangkreas (bila ikterik ada)
6) Kolesistogram (untuk kolesistitis kronis)
Menyatakan batu pada sistim empedu. Catatan : kontra indikasi [pada
kolesistitis karena pasien lemah untuk menelan zat lewat mulut)
7) CT scan
Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu dan
membedakan antara ikterik obstruksi/non obstruksi
8) Scan Hati (dengan zat radio aktif)

Menunjukkan obstruksi perrcabangan bilier.

9) Foto abdomen (multiposisi)


Menyatakan gambaran radiologi (kalsifikasi) batu empedu, kalsifikassi
dinding atau pembesaran kandung empedu.
10) Foto Dada :
Menunjukkan pernafasan yang menyebabkan nyeri

12
2.3 Diagnosa Keperawatan
 Diagnosa Pre-Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi/spasme duktus, proses
inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
b. Resiko tinggi Kekurangan volume cairan berhubungan dengan,
muntah, distensi dan hipermotilitas gaster.
c. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan obstruksi aliran empedu, mual, muntah
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan
berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat
 Diagnosa Post-Operasi
a. Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular,
ketidakseimbangan perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru,
obstruksi trakeobronkial.
b. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan dengan
pembatasan pemasukkan cairan tubuh secara oral, hilangnya cairan
tubuh secara tidak normal, pengeluaran integritas pembuluh darah.
c. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan
integrittas otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan keluarnya cairan empedu,
adanya port de entry untuk post op laparaskopi kolelitiasis.
e. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia misalnya
penggunaan obat-obat farmasi, hipoksia ; lingkungan terapeutik yang
terbatas misalnya stimulus sensori yang berlebihan ; stress fisiologis.

2.4 Intevensi
A. Intervensi Pre-Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi/spasme duktus, proses
inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.

13
 Tujuan: Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang, Nyeri
terkontrol dan teradaptasi. Klien dapat mengkompensasi nyeri dengan
baik.
 Kriteria Hasil:
a) Skala nyeri mengalami penurunan (Skala nyeri 0-4)
b) Tanda vital dalam batas normal
c) Klien tampak tenang
d) Pasien akan menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi dan
aktivitas distraksi.

Intervensi Rasional
 Observasi dan catat lokasi,  Membedakan penyebab nyeri dan
beratnya (skala1-10) dan memberikan informassi tentang
karakteristik nyeri (menetap, kemajuan/perbaikan penyakit,
hilang timbul, kolik). terjadinya komplikasi dan
keefektifan intervensi.
 Catat respon terhadap obat dan  Nyeri berat yang tidak hilang
laporkan pada dokter bila nyeri dengan tindakan rutin dapat menun
hilang. jukkan terjadinya komplikasi/
kebutuhan terhadap intervensi
lebih lanjut.
 Tingkatkan tirah baring, biarkan  Tirah baring pada posisi fowler
pasien melakukan posisi yang rendah menurunkan tekanan intra
nyaman. abdomen namun pasien akan
melakukan posisi yang
menghilangkan nyeri secara
alamiah.
 Dorong penggunaan teknik  Meningkatkan istirahat,
relaksasi, contoh memusatkan kembali perhatian
bimbingan imajinasi, dan dapat meningkatkan koping.
visualisasi, latihan nafas dalam.

14
 Kolaborasi:
 Pertahankan status puasa,  Membuang sekret gaster yang
pasang NGT dan merangsang pengeluaran
penghisapan NGT sesuai kolesistokinin dan erangsang
dengan indikasi. kontraksi kandung empedu.
 Berikan obat sesuai indikasi :  Anti biotik mengobati proses
anti biotik, anti kolinergik, infeksi. Antikolinergik
sedatif seperti phenobarbital, menghilangkanspasme/kontra
narkotik seperti meperidin ksi otot halus dan membantu
hidoklorida menghilangkan nyeri. Sedatif
meningkatkan istirahat dan
relaksasi otot. Narkotik
menurunkan nyeri hebat.

2. Resiko tinggi Kekurangan volume cairan berhubungan dengan


muntah, distensi dan hipermotilitas gaster.
 Tujuan: Keseimbangan cairan adekuat.
 Kriteria Hasil:
a) Tanda vital dalam batas normal,
b) Mukosa membran lembab,
c) Turgor kulit baik,
d) Pengisian kapiler baik,
e) Eliminasi urin normal,
f) Tidak ada muntah.
Intervensi Rasional
 Observasi intake dan output, kaji  Memberikan informasi tentang
menbran mukosa, observasi tanda- status cairan/volume sirkulasi dan
tanda vital kebutuhan penggantian.
 Observasi tanda-tanda berlanjutnya  Muntah berkepanjangan, aspirasi
mual dan miuntah, kram abdomen, gaster, dan pembatasan pemasukan

15
kelemahan, kejang ringan, oral dapat menimbulkan defisit
tacikardi, hipoaktif, bising usus natrium, kalium dan klorida.
lemah atau tidak ada, depresi
pernafasan.
 Ciptakan lingkungan yang bersih  Menurunkan ragsangan pada pusat
dan nyaman dan tidak berbau. syaraf.
 Lakukan Oral hygiene  Menurunkan kekeringan membran
mukosa dan menurunkan resiko
perdarahan.
 Kaji perdarahan yang tidak  Protombim darah menurun dan
biasanya seperti perdarahan terus waktu koagulasi memanjang bila
menerus pada lokasi injeksi, aliran empedu terhambat,
epitaksis, perdarahan gusi, ptekie, meningkatkan resiko perdarahan.
hematemesis, melena
 Kolaborasi:
 Pasang NGT, hubungkan ke  Menurunkan sekresi dan
penghisapan dan pertahankan motilitas gaster dan
patensi sesuai indikasi Menurunkan sekresi dan
Antiemetik. motilitas gaster.
 Kaji ulang pemeriksaan lab  Membantu dalam evaluasi
seperti Hb, elektrolit, FH volume sirkulasi,
mengidentifikassi defisit dan
mempengaruhi pilihan
intervensi atau
penggantian/koreksi.
 Berikan cairan per IV,  Mempertahankan volume
elektrolit dan vit K sirkulasi dan memperbaiki
ketidakseimbangan.

16
3. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan obstruksi aliran empedu, mual, muntah.
 Tujuan: Klien memenuhi kebutuhan nutrisi harian sesuai
dengan tingkat aktivitas dan kebutuhan metabolik.
 Kriteria Hasil:
a) Klien dapat menjelaskan tentangpentingnyanutrisi bagi klien.
b) Bebas dari tanda malnutrisi
c) Mempertahankan berat badan stabil
d) Nilai laboratorium normal (Hb,Albumin)

Intervensi Rasional
 Berikan perawatan oral teratur  Perawatan oraldapat mencegah
ketidaknyamanan karena mulut
kering, bibir pecah dan bau
tidak sedap yang dapat menurunkan
nafsu makan klien.
 Berat badan merupakan data
yang diperlukan perawat untuk

 Catat berat badan saat mengevaluasi perkembangan

masuk dan bandingkan dengan terapi nutrisi klien

saat berikutnya. sehingga perawat dapat


menyesuaikan terhadap kebutuhan
intervensi.
 Menunjukkan ketidak nyamanan
berhubungan dengan gangguan
pencernaan, nyeri.

 Kaji distensi abdomen, berhati-  Pendidikan padaklien perlu


hati, menolak gerak. dilakukan agar klien mengerti dan
paham tentang intervensi yang
 Jelaskan tentang pengontrolan dilakukan perawat sehingga

dan pemberian konsumsi diharapkan klien dapat bersikap

17
karbohidrat, lemak (makanan adaptif.
rendah lemak dapat mencegah
serangan pada klien dengan  Pembatasan lemak menurunkan
kolelitiasis dan kolesistitis), rangsangan pada kandung empedu
protein, vitamin, mineral dan dan nyeri Ahli gizi dapat
cairan yang adekuat menghitung kalori yang dibutuhkan
 Anjurkan mengurangi makanan klien menurut aktivitas yang
berlemak dan menghasilkan dilakukan klien, sehingga
gas Konsultasikan dengan ahli diharapakan jumlah asupan
gizi untuk menetapkan kalori yang
kebutuhan kalori harian dan jenis dikonsumsi kliendapat memenuhi
makanan yang sesuai bagi klien. kebutuhan harian, tidak kekurangan
dan tidak berlebihan.
 Kondisi tegang dapat menurunkan
nafsu makan klien, istirahat dapat
mengurangi ketegangan klien
sehingga dapat membantu klien
 Anjurkan klien istirahat sebelum dalam meningkatkan nafsu makan.
makan, tawarkan makan sedikit Makan terlalu banyak dalam satu
namun sering. waktu dapat menyebabkan distensi
lambung yang berakibat
ketidaknyamanan
bagi klien sehingga
nafsu makan klien makin menurun.
 Makanan yang sudah dingin
menyebabkan rasa yang kurang
menyenangkan bagi klien sehingga
menurunkan nafsu makan klien.
 Sajikan makanan dalam keadaan
hangat.
 Cairan glukosa IV dapat diberikan

18
apabila pasien benar-benar tidak
 Kolaborasi dalam pemberian mendapatkan asupan per-oral,
cairan IV cairan glukosa IV juga dapat
menyediakan kalori bagi klien
sehingga klien tidak mengalami
kekurangan nutrisi.

4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan pengobatan


berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat.
 Tujuan: Pasien menyatakan pemahaman proses penyakit,
pengobatan.
 Kriteria Hasil: Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi
dalam program pengobatan.

Intervensi Rasional

 Beri penjelasan/alasan pemeriksaan  Informasi dapat menurunkan


dan persiapannya cemas dan rangsang simpatis.
 Kaji ulang program terapi dan  Batu empedu sering berulang,
kemungkinan efek samping perlu terapi jangka panjang
terjadinya diare/kram selama terapi
senidiol dapat dihubungkan
dengan dosis/dapat diperbaiki.
 Kaji ulang proses
 Memberi dasar pengetahuan
penyakit/prognosis. Diskusikan
dimana pasien dapat membuat
perawatan dan pengobatan. Dorong
pilihan berdasarkan informasi.
pertanyaan, ekspresi masalah.
Komunikasi efektif dan dukungan
turunkan cemas dan tingkatkan
penyembuhan.

 Anjurkan istirahat pada posisi semi  Meningkatkan aliran empedu dan


fowler setelah makan. relaksasi umum selama proses
pencernaan awal.

19
B. Intervensi Post-Operasi
1. Pola nafas, tidak efektif berhubungan dengan neuromuskular,
ketidakseimbangan perseptual/kognitif, peningkatan ekspansi paru,
obstruksi trakeobronkial.
 Tujuan: menetapkan pola napas yang normal/efektif dan bebas dari
sianosis atau tanda-tanda hipoksia lainnya.
 Kriteria Hasil: tidak ada perubahan pada frekuensi dan kedalaman
pernapasan.

Intervensi Rasional
 Pertahankan jalan udara pasien  Mencegah obstruksi jalan napas.
dengan memiringkan kepala,
hiperekstensi rahang,
aliran udara faringeal oral.
 Letakkan pasien pada posisi yang  Elevasi kepala dan posisi miring
sesuai, tergantung pada kekuatan akan mencegah terjadinya
pernapasan dan jenis pembedahan. aaspirasi dari muntah, posisi yang
benar akan mendorong ventilasi
pada lobus paru bagian bawah dan
menurunkan tekanan pada
diafragma.
 Kolaborasi, pemberian oksigen  Dilakukan untuk meningkatkan
sesuai kebutuhan. atau memaksimalkan pengambilan
oksigen yang akan diikat oleh Hb
yang menggantikan tempat gas
anastesi dan mendorong
pengeluaran gas tersebut melalui
zat-zat inhalasi.

20
2. Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap berhubungan
dengan pembatasan pemasukkan cairan tubuh secara oral, hilangnya
cairan tubuh secara tidak normal, pengeluaran integritas pembuluh
darah.
 Tujuan: Keseimbangan cairan tubuh adekuat.
 Kriteria Hasil: tidak ada tanda-tanda dehidrasi (tanda-tanda vital
stabil, kualitas denyut nadi baik, turgor kulit normal, membran
mukosa lembab dan pengeluaran urine yang sesuai).

Intervensi Rasional
 Ukur dan catat pemasukan dan  Dokumentasi yang akurat akan
pengeluaran. Tinjau ulang catatan membantu dalam mengidentifikasi
intra operasi. pengeluaran cairan/kebutuhan
penggantian dan pilihan-pilihan
yang mempengaruhi intervensi.
 Mungkin akan terjadi penurunan
 Kaji pengeluaran urinarius,
ataupun penghilangan setelaha
terutama untuk tipe prosedur
prosedur pada sistem
operasi yang dilakukan.
genitourinarius dan atau struktur
yang berdekatan mengindikasikan
malfungsi ataupun obstruksi sistem
urinarius.
 hipotensi, takikardia, peningkatan
 Pantau tanda-tanda vital.
pernapasan mengindikasikan
kekurangan kekurangan cairan.
 Gantikan kehilangan cairan yang
 Kolaborasi, berikan cairan
telah didokumentasikan. Catat
parenteral, produksi darah dan atau
waktu penggangtian volume
plasma ekspander sesuai petunjuk.
sirkulasi yang potensial bagi
Tingkatkan kecepatan IV jika
penurunan komplikasi, misalnya
diperluakan.
ketidak seimbangan.

21
3. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan
integritas otot, trauma muskuloskletal, munculnya saluran dan selang.
 Tujuan: pasien mengatakan bahwa rasa nyeri telah terkontrol atau
hilang.
 Kriteria Hasil: : pasien tampak rileks, dapat beristirahat/tidur dan
melakukan pergerakkan yang berarti sesuai toleransi.

Intervensi Rasional
 Evaluasi nyeri seccara reguler,  sediakan informasi mengenai
catat karakteristik, lokasi dan kebutuhan/efektivitas intervensi.
intensiitas (0-10).
 Kaji tanda-tanda vital, perhatikan  Dapat mengindikasikan rasa sakit
takikardia, hipertensi dan akut dan ketidaknyamanan.
peningkatan pernapasan, bahkan
jika pasien menyangkal adanya
rasa sakit.
 Lakukan reposisi sesuai petunjuk,  Mungkin mengurangi rasa sakit
misalnya semi – Fowler , miring. dan meningkatkan sirkulasi. Posisi
semi – Fowler dapat mengurangi
tegangan otot abdominal dan otot
pungguung artritis, sedangkan
miring mengurangi tekanan dorsal.
 Kolaborasi, pemberian analgetik  Analgetik IV akan dengan segera
IV sesuai kebutuhan mencapai pusat rasa saki,
menimbulkan penghilang yang
lebih efektif dengan obat dosis
kecil.

22
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan keluarnya cairan empedu,
adanya port de entry untuk post op laparaskopi kolelitiasis.
 Tujuan: tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan
 Kriteria Hasil: TTV dalam batas normal, Tidak terjadi rubor, kalor,
edema, dan fungsi laesa.

Intervensi Rasional

 Observasi adanya tanda – tanda  Untuk mengetahui tanda-tanda


infeksi, seperti rubor, kalor, edema, infeksi.
fungsi laesa.
 Anjurkan pasien untuk tidak  Meminimalkan terjadinya
memegang bagian yang luka. kontaminasi.
 Lakukan tindakan antiseptic  Mencegah kontaminasi dan
sebelum kontak dengan pasien. kemungkinan infeksi silang.
 Kolaborasi untuk pemeriksaan  Lekosit yang meningkat artinya
laborat. sudah terjadi proses infeksi.
 Merawat luka dengan  Meminimalkan terjadinya
menggunakan tehnik aseptik. kontaminasi.
 Kolaborasi untuk pemberian  Untuk mencegah infeksi pada
antibiotik luka.

5. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan kimia


misalnya penggunaan obat-obat farmasi, hipoksia ; lingkungan
terapeutik yang terbatas misalnya stimulus sensori yang berlebihan ;
stress fisiologis.
 Tujuan: Meningkatkan tingkat kesadaran.
 Kriteria Hasil: Pasien mampu mengenali keterbatasan diri dan
mencari sumber bantuan sesuai kebutuhan.

Intervensi Rasional
 Orientasikan kembali pasien secara  Karena pasien telah meningkat

23
terus menerus setelah keluar dari kesadarannya, maka dukungan dan
pengaruh anastesi ; nyatakan jaminan akan membantu
bahwa operasi telah selesai menghilangkan ansietas.
dilakukan.
 Bicara pada pasien dengan suara  Tidak dapat ditentukan kapan
yang jelaas dan normal tanpa pasien akan sadar penuh, namun
membentak, sadar penuh akan apa sensori pendengaran merupakan
yang diucapkan. kemampuan yang pertama kali
akan pulih.
 Evaluasi sensasi/pergerakkan  Pengembalian fungsi setelah
ekstremitas dan batang tenggorok dilakukan blok saraf spinal atau
yang sesuai. lokal yang bergantung pada jenis
atau jumlah obat yang digunakan
dan lamanya prosedur
dilakukan.
 Pertahankan lingkungan yang  Stimulus eksternal mungkin
tenang dan nyaman. menyebabkan abrasi psikis ketika
terjadi disosiasi obat-obatan
anastesi yang telah diberikan.

24
BAB III
KAJIAN KASUS
Tn.X dengan berusia 53 tahun dengan diagnosa kolelitiasis telah
melakukan operasi laparaskopi kolesistektomi. Tn.X mengeluhkan nyeri pada
bagian yang telah dioperasi.

3.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : Tn. X
Usia : 53 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jl. Srikaya 2 No. 1 Surabaya
Tgl masuk : 21 Juni 2016
Status : Menikah
Diagnosa medis : kolelitiasis ( post laparaskopi kolesistektomi )
2. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
 Pola persepsi kesehatan
a. Keluhan utama
Nyeri.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien sudah mengalami keluhan sakit di pinggang sebelah kanan
± sudah 2 bulan yang lalu, kemudian pasien masuk rumah sakit
rencana untuk dilakukan tindakan laparoskopi kolesistektomi.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengatakan belum pernah ada riwayat operasi sebelumnya
ataupun di rawat dirumah sakit sebelumnya karena penyakit lain.
d. Riwayat penyakit keluarga
Pasien mengatakan dari keluarga ada keturunan penyakit hipertensi
( dari ayah ), dan penyakit kencing manis/ DM ( dari ibu )

25
 Pola nutrisi/metabolism
Mengatakan sebelum sakit makan rutin sehari 3x, dan meyukai
sayuran, juga makanan bersantan atau berlemak. Setelah di rumah
sakit pasien juga masih makan sehari 3x dengan menu yang sudah
disediakan dari rumah sakit, pasien juga masih mampu menghabiskan
1 porsi makan menu dari rumah sakit. Di rumah sakit pasien per hari
menghabiskan ± 1800 ml air puti, 400 ml teh tawar, dan 400 ml jus.
 Pola eliminasi
Pasien mengatakan sebelum sakit, pola BAB di rumah rutin tiap pagi,
konsistensi lembek, warna kuning, bau khas. pola BAK  5x sehari
atau sekitar 1100ml perhari, sejak di rawat pola BAB terhambat dua
hari, dan pola BAK masih rutin yaitu sekitar 2300 ml per hari.
 Pola aktivitas
Pasien mengatakan di rumah aktivitas bisa dilakukan dengan mandiri.
di rumah sakit pasien aktivitas sebagian dibantu oleh keluarga.
 Pola istirahat tidur
Pasien mengatakan di rumah untuk pola tidurnya bisa 8 – 10 jam per
harinya, di rumah sakit pola tidur pasien juga tidak begitu terganggu,
walaupun post tindakan laparaskopi karena sudah dibantu dengan
pemberian analgetik.
 Pola kognitif perseptual
Pasien mengatkan tidak mengalami gangguan pada fungsi
pendengarn, penglihatan, perabaan, dan perasa. Mengeluh sakitnya di
perut kanan. ( paliatif ) terasa bila sedikit digerakkan, atau saat miring
miring, ( quality ) terasanya seperti di sayat – sayat, ( region )sakitnya
terasa di luka bekas post operasi, ( scale ) skala nyeri direntang 5-6, (
time ) terasa hilang timbul.
 Pola konsep diri
Pasien mengatakan selama dirawat di rumah sakit, sebagian
aktivitasnya dibantu oleh istri. Dan untuk tanggung jawabnya sebagai
kepala rumah tangga masih tetap dia penuhi, seperti mengingatkan

26
istri untuk tetap menjalakan ibadah di gereja, tetap sebagai pemegang
keputusan dalam setiap masalah di rumah tangga.
 Pola peran hubungan
Komunikasi pasien terarah, dapat bicara dengan jelas dan
terkoordinasi, pasien kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan
tindakan medis lainnya.
 Pola seksual-reproduksi
Pasien mengatakan sudah punya anak 2, yang satu sudah berkeluarga.
Dan satunya masih bekerja.
 Pola mekanisme koping
Keluarg pasien mengatakan setiap pasien ada masalah dia selalu
menceritakan ke istrinya.
 Pola nilai kepercayaan
Pasien beragama katolik, pasien melakukan ibadah sesuai dengan
kepercayaannya, dan tidak mengalami hambatan dalam ibadahnya.
3. Pemeriksaan fisik
 Kepala
Warna rambut hitam, kulit kepala dan rambut bersih, tidak ada
benjolan di kepala.
 Mata
Konjungtiva sedikit anemis (+), ikterik (-), bentuk pupil isokor, respon
pupil terhadap cahaya kanan/kiri : - / -
 Hidung : sekret (-), napas cuping hidung(-)
 Mulut : secret (-), gusi dan gigi tidak terdapat perdarahan, mukosa
lembab
 Telinga : bersih, tidak ada penumpukan serumen, simetris kanan/kiri,
sekret (-)
 Leher : reflek menelan (+), tidak terdapat benjolan, tidak ada kaku
duduk, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid

27
 Dada
 Paru-paru :
Inspeksi : jejas (-), pengembangan dada simetris, tidak
terdapat penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Palpasi : nyeri tekan (-), stem fremitus kanan = kiri, tidak
terdapat benjolan.
Perkusi : sonor seluruh lapang paru.
Au skultasi : suara dasar vesikuler.
 Jantung :
Inspeksi : lctus cordis tidak tampak.
Palpasi : lctus cordis tidak teraba
Perkusi : bunyi pekak pada konfigurasi normal.
Auskultasi : S1S2 tunggal
 Abdomen
Inspeksi : perut datar, terdapat luka bekas laparaskopi
kolesistektomi di kuadran kanan
Palpasi : supel, benjolan (-)
Perkusi : bunyi tympani.
Auskultasi : bising usus (-), ± 18 x/menit.
 Genetalia : bersih
 Ekstremitas superior
Dextra : oedema (-), akral hangat, kapiler refill < 3 detik,
tidak terjadi sianosis.
Sinistra : terpasang infus RL 20 tpm, oedema (-), kapiler
refill < 3 detik, tidak terjadi sianosis.
 Ekstremitas inferior
Dextra : oedema (-), akral hangat, refleks babinsky (-),
tidak terjadi sianosis.
Sinistra : akral hangat, oedem (-), tidak terjadi sinosis dan
kapiler refill < 3 detik

28
4. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah dilakukan pada tanggal 21 Juni 2016. Hasil
pemeriksaan darah rutin ( FBC ), gula darah sewaktu, dan HbsAg
masih dalam batas normal semua, hanya saja hasil dari pemeriksaan
creatinin agak tinggi, yaitu 1.32 mg/dl ( nilai rujukan : 0.6 – 1.2 ).
b) Pemeriksaan foto thorax
Kesan : tak tampak cardiomegali, pulmo tampak tenang.
c) Pemeriksaan USG abdomen
Kesan : adanya batu empedu / kolelitiasis
5. Terapi medis
 Terapi parenteral
Injeksi Antibiotik Ceftriaxon 1 gr ( saat pre op )
Injeksi Antibiotik Cebactam 2 x 1 gr ( post op )
Injeksi Ranitidin 2 x 50 mg
Injeksi Ketorolac 3 x 30 mg
Infus Ringer lactat : infus Dextrose 5% ( 24 tpm )
 Terapi per oral
Terapi per oral diberikan saat pasien rawat jalan
Cefixime 2 x 200 mg
Omeprazole 2 x 20 mg
Celebrex 2 x 200 mg
Elkana 1x 1 tab

3.2 Analisa Data


N Data Fokus Etiologi Masalah
No.
1DS : Gangguan rasa Luka post operasi
1.  Pasien mengatakan masih nyaman : nyeri akut
terasa sakit di bagian

29
perutnya :
P : terasa sakit walaupun
saat beristirahat
Q : sakitnya seperti
tersayat
R : sakit dibagian perut
yang di operasi
S : skala sakitnya antara
rentang 5-6
T : rasa sakitnya masih
terus menerus
DO :
 Terdapat luka bekas post
op (3 lubang ) di bagian
perut region kanan, yaitu (
epigastric region,
umbilical region, dan
right lumbal region )
 Wajah pasien meringis,
menahan rasa sakit
 TD : 163/102 mmHg
 Nadi 90x/menit
2DS : Mengatakan badan terasa Resiko tinggi infeksi Adanya port de
agak demam entry
DO :
 Terdapat luka post op
dengan 3 lubang di perut
region kanan
 Suhu 37.6 ºC
 Tidak ada balutan kassa di

30
luka bekas post operasi

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan rasa nyaman : nyeri akut berhubungan dengan adanya post
tindakan operasi
2. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya port de entry

3.4 Intervensi

No Dx Keperawatan Tujuan & KH Intervensi Rasional


1 Gangguan rasa Nyeri dapat a. Kaji ulang a. Mengkaji
nyaman : post berkurang setelah lokasi, ulang tempat
tindakan operasi dilakukan tindakan intensitas dan nyeri dapat
keperawatan tipe nyeri. mengevaluasi
selama 2x24 jam, b. Pertahankan apakah ada
dengan imobilisasi penyebaran
Kriteria hasil: bagian yang rasa nyeri
1. Klien sakit dengan pada organ
menyatakan tirah baring yang lain.
nyeri berkurang c. Berikan b. Untuk
2. Tanda – tanda lingkungan menghindari
vital dalam yang tenang terjadinya
batas normal. dan berikan komplikasi
Tampak rileks, dorongan untuk post op
mampu melakukan tindakan.
berpartisipasi aktivitas c. lingkungan
dalam hiburan tenang juga
aktivitas/tidur/is d. Ganti posisi memberikan

31
tirahat dengan dengan bantuan suasana
tTekanan darah bila ditoleransi pikiran yang
normal e. Dorong tenang,
3. Wajah pasien menggunakan sehingga
terlihat rileks tehnik meminimalka
manajemen n rasa nyeri.
stress, contoh : d. Membantu
relasksasi, alih baring
latihan nafas akan
dalam, membantu
imajinasi pasien untuk
visualisasi, meminimalka
sentuhan n rasa nyeri.
f. Observasi e. Teknik
tanda-tanda manajemen
vital nyeri mampu
g. Kolaborasi meminimalka
medis untuk n rasa nyeri
pemberian f. Hemodinami
analgetik. k yang tidak
stabil dapat
menunjukkan
adanya rasa
sakit yang
berlebihan
pada pasien

2 Resiko Tidak terjadi a. Observasi a. Untuk


tinggi infeksi : infeksi selama adanya tanda – mengetahui
port de entry 3x24 jam setelah tanda infeksi, tanda-tanda
dilakukan tindakan seperti rubor, infeksi.

32
keperawatan, kalor, edema, b. Meminimal
dengan kriteria fungsi laesa. kan
hasil : b. Anjurkan terjadinya
1. Vital sign dalam pasien untuk kontaminasi
batas normal ( tidak .
TD : 120/80 memegang c. Mencegah
mmHg, N : 60- bagian yang kontaminasi
100x/mnt, RR : luka. dan
16-20x/mnt, c. Lakukan kemungkina
Suhu : 36C – tindakan n infeksi
37,5C ) antiseptic silang.
2. Tidak terjadi sebelum kontak d. Lekosit
rubor, kalor, dengan pasien yang
edema, dan d. Kolaborasi meningkat
fungsi laesa. untuk artinya
pemeriksaan sudah
laborat terjadi
e. Merawat luka proses
dengan infeksi
menggunakan
tehnik aseptic
f. Kolaborasi
untuk
pemberian
antibiotik

33
DAFTAR PUSTAKA

 Black, J. M. (2014). Keperawatan Medikal Bedah edisi Bahasa Indonesia.


ELSEVIER.

 Muttaqin, A. (2011). Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

 Nurafif, A. H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis. Yogjakarta:


MediAction.

 Priyanto, A. (2009). Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika.

 Wilkinson, Judith M., & Nancy r R. Ahern. (2013). BUKU SAKU


DIAGNOSA KEPERAWATAN DIAGNOSA NANDA, INTERVENSI NIC,
KRITERIA HASIL NOC, Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

34

Anda mungkin juga menyukai