PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus memiliki nama ilmiah yaitu systematis lupus Erithematosus
(SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai organ dengan
manifestasi gejala yang bervariatif. Penyakit ini mempunyai ciri khas yaitu
adanya peradangan di seluruh tubuh yang timbul secara berulang – ulang
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan terutama pada pembuluh darah.
Insidensi penyakit SLE terutama pada usia produktif yaitu pada usia 16 – 36
tahun. Sel pertahanan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh dari masuknya
kuman atau gangguan ekstrasel lainnya justru menyerang tubuh pemiliknya.
Penyakit ini menjadi salah satu jenis penyakit yang mematikan pada jenis SLE.
Penyakit ini tergolong misterius, lebih dari 5 juta orang dalam sia
produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE (
Systemic Lupus Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis yang
menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau
system yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai50,8 per
100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya Sedangkan di
RS cipto mangun kusumo Jakarta , dan 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991
sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar
5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya ditemukan lebih dari
100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki da perempuan. 90%
kasus SLE menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40
tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.Penyakit
lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus biasanya menyerang
wanita produktif . Meski kulit wajah pnderita lupus dan sebagian tubuh lainnya
muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak menular.
Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah
sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 saat berpergian, penderita
memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar
matahari ) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus
merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari
satu organ yang ditimbulkan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi SLE
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik
yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang
mempengaruhi setiap organ atu system dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi auto antibody dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan.
Lupus berasal dari Bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam Bahasa yunani berarti kemerah – merahan.
Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan
oleh gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang
hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang
juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.
Menurut penelitian para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah
penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap
autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi system imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
B. Etiologi
1. Factor genetic
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II khususnya HLA – DR2 (Human Leukosit Antigen –
DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. HLA – DR2 lebih
menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan pada HLA –
DR3 lebih menunjukkan gejala musculoskeletal. Selain itu, kekurangan
pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu factor risiko
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi CI q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsic sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun.
Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga
menyebabkan produksi immunoglobulin dan autoantibodi menjadi
tidak normal.
c. Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibody yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibody yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormone dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolism estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai factor
resiko terjadinya SLE. Hormone estrogen menambah resiko SLE,
sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
4. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang –
kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti
virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius
tersebut terdiri dari Epstein barr virus (EBV), baktri Streptococcus dan
Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh
atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Sinar Ultra violet
mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan Prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di
tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh
darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan
respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan
stress. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang
system autoanti bodinya tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat
dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
d. Obat – obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus
(DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya
kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
C. Manifestasi klinis SLE
Adekuat Kerusakan
Integritas perdarahan
Ketidakefektifan
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito and Moyet, (2014). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta:
EGC
Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Smeltzer. Suzanne C. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.