Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus memiliki nama ilmiah yaitu systematis lupus Erithematosus
(SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang berbagai organ dengan
manifestasi gejala yang bervariatif. Penyakit ini mempunyai ciri khas yaitu
adanya peradangan di seluruh tubuh yang timbul secara berulang – ulang
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan terutama pada pembuluh darah.
Insidensi penyakit SLE terutama pada usia produktif yaitu pada usia 16 – 36
tahun. Sel pertahanan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh dari masuknya
kuman atau gangguan ekstrasel lainnya justru menyerang tubuh pemiliknya.
Penyakit ini menjadi salah satu jenis penyakit yang mematikan pada jenis SLE.

Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit


“Lupus” ini adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus
berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata
Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu
diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu
disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit itu diberi nama
“Lupus”. Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan
kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, didunia
terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100
ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk
menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun,apa jadinya jika
kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus
diduga berkaitan dengan system imunologi yang berlebih.

Penyakit ini tergolong misterius, lebih dari 5 juta orang dalam sia
produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE (
Systemic Lupus Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis yang
menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau
system yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai50,8 per
100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya Sedangkan di
RS cipto mangun kusumo Jakarta , dan 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991
sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar
5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya ditemukan lebih dari
100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki da perempuan. 90%
kasus SLE menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40
tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.Penyakit
lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus biasanya menyerang
wanita produktif . Meski kulit wajah pnderita lupus dan sebagian tubuh lainnya
muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak menular.

Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ


tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan
berkepanjangan, serta sensitive terhadap sinar matahari. Semua itu merupakan
sebagian dari gejala penyakit lupus. Factor yang diduga sangat berperan
terserang penyakit lupus adalah factor lingkungan, seperti paparan sinar
matahari, stress,beberapa jenis jenis obat dan virus.

Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah
sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 saat berpergian, penderita
memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit dari sengatan sinar
matahari ) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus
merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari
satu organ yang ditimbulkan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi SLE
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik
yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang
mempengaruhi setiap organ atu system dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi auto antibody dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan.
Lupus berasal dari Bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam Bahasa yunani berarti kemerah – merahan.
Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan
oleh gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang
hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang
juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.
Menurut penelitian para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah
penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap
autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi system imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
B. Etiologi
1. Factor genetic
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II khususnya HLA – DR2 (Human Leukosit Antigen –
DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. HLA – DR2 lebih
menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan pada HLA –
DR3 lebih menunjukkan gejala musculoskeletal. Selain itu, kekurangan
pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu factor risiko
tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi CI q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsic sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun.
Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga
menyebabkan produksi immunoglobulin dan autoantibodi menjadi
tidak normal.
c. Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibody yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibody yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormone dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolism estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai factor
resiko terjadinya SLE. Hormone estrogen menambah resiko SLE,
sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
4. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang –
kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti
virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius
tersebut terdiri dari Epstein barr virus (EBV), baktri Streptococcus dan
Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh
atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Sinar Ultra violet
mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif,
sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan Prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di
tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh
darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan
respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan
stress. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang
system autoanti bodinya tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat
dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecendrungan akan penyakit ini.
d. Obat – obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus
(DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya
kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
C. Manifestasi klinis SLE

Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul


mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh.
Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti
oleh gejala terkenanya system imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan
eksaserbsi. Remisinya mungkin berangsur - angsur bertahun-tahun. Onset
penyakit dapat spontan atau didahului oleh factor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangan
biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan
berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

a. Gejala Muskulo skeletal


Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal
berupa arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal, peradangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan
kaki, selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,konfraktur atau
ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid. Nekrosis Vaskuler
dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang
mendapatkan pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling
sering terkena ialah kaput femoris.
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus
SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut,
subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash ) berupa eritema yang sedikit
edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena
sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas.
lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk
anular Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hyperkeratosis, dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa
yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan
folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk sikatriks. Vaskulitis
kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang
besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis ringan , sangat sering ditemui
pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi
mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang – kadang terdapat
urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin.
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada
palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau
penyakit mengalami remisi. Fenomen raynaud pada sebagian pasien tidak
mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan
pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
c. Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat
(efusi kerikard), iskemia miokard dan endocarditis verukosa (libman
sacks)
d. Paru Efusi pleura unilateral ringan
lebih sering terjadi dari padayang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE
( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi menghilang dengan pemberian
terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberculosis
dan sebagainya telah disingkirkan
e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan
lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangandan berlanjut
nekrosis.
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus.
Bisaterbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang
bisamenyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurangdan
tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuandarah, yang
bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkaliterjadi anemia akibat
penyakit menahun.
D. Pathway
Genetic Lingkungan (cahaya matahari, infeksi stress) Hormonal Obat – obatan

System regulasi kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel T dan B

Fungsi sel T supresor abnormal

Peningkatan produksi auto antibody

Penumpukan kompleks imun Kerusakan jaringan

Muskuloskeletal Integumen Kardiovaskuler Respirasi Vaskuler Darah

Pembengkakan sendi Lesi akut pd kulit Perikarditis Penumpukan Inflamasi pembekuan


Cairan pd pd arterior darah dalam
Resiko infeksi Pleura terminalis vena
Nyeri tekan, rasa Pasien merasa Penumpukan Efusi Lesi Stroke
Nyeri ketika bergerak malu dng kondisinya cairan efusi pada Pleura popular dan emboli
Pericardium diujung paru
Nyeri akut Gangguan citra kaki Tumit

Tubuh Penebalan Ekspansi dan Siku jml trombosit

Pericardium dada tidak berkurang

Adekuat Kerusakan

Integritas perdarahan

Pola nafas Kulit

Tdk efektif Anemia

Ketidakefektifan

Perfusi jaringan perifer


E. Pemeriksanaan Penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan
hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan
secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan
perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium mengungkapkan anemia yang sedang
hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody anti
nukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak
memastikan diagnostic.
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin
dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit
aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin
- globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular
atausel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yangt inggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat
ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis
kronik, infeksi mono nukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat
turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran
penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negative
pada penyakit SLE yang tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody anti nukleus
(ANA). Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double
stranded DNA ( anti ds-DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA
( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi
positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen
pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik ( Pagana 2014 )
c. Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari
suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang
positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE
saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan
keaktifan Penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak
lagi Aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test
negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil
test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi yang lain untuk
menunjang diagnose bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan
anti – SSA (Ro) atau anti-SSB(La) ( Pagana 2014)
F. Penatalaksanaan
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi
Indonesia (2015) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar
sangatdibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien
dapathidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE,
antaralain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit,
caramencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulitdari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jikaterjadi infeksi,
dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia
atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan
oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi
fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan
lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014)
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini.Terapi
gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan
imuno modulator dan mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau
rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi (anticytokines), atau sitokin
anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya kebutuhan besar
untuk menemukan lebih banyak perawatan effective, jika memungkinkan
dengan efek samping yang rendah. Dengan perkembangan yang sedang
berlangsung, berikut adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan
pada penyakit lupus erythematosus :
1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs) NSAIDs
(obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang Efektif
untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus
digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping
peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa
jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke.
Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam
kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin.
(Syamsi dhuha, 2014)
2) Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2014) menyatakan bahwa penggunaan dosis
steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus.
Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian
penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis
terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan
oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus.
Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti
Pemeriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat
osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi
hormon tidak lagi digunakan untuk pencegahan atau pengobatan
osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit
jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan
dianjurkan bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah
penghentian bifosfonat.
Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian
utama dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga
mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk
hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil
lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat
penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan
gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika
digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga
cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan peng
gunaan steroid oral dosis tinggi atau metil prednisolon intravena.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap
merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas
penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus.
Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
3) Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan
dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini
lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis
harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut
sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksaketajaman visual setiap
6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk
semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini
memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet
sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap
serta cukup aman pada kehamilan.
G. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
a) Nyeri
b) Gatal-gatal
2) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
b) Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin, prokainamid,
isoniazid, kontrasepsi oral dll
c) Riwayat terinfeksi virus
d) Terekspos bahan kimia
3) Riwayat kesehatan keluarga
a) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
b) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
4) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
a) nyeri sendi karena gerakan
b) kekakuan pada sendi
c) kesemutan pada tangan dan kaki
d) sakit kepala
e) Demam
f) merasa letih, lemah
g) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,waktu
senggang, pekerjaan
h) keputusasaan dan ketidak berdayaan
i) kesulitan untuk makan
j) nausea, vomitus
k) sesak nafas
l) nyeri dada
m) ancaman pada konsep diri, citra diri
b. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan latihan
a) Keterbatasan rentang gerak
b) Deformitas
c) Kontraktur
2) Nyeri dan kenyamanan
a) Pembengkakan sendi
b) Nyeri tekan
c) Perubahan gaya berjalan/pincang
d) Gerak otot melindungi yang sakit
3) Kardiovaskuler
a) Fenomena raynoud
b) Hipertensi
c) Edeme
d) Pericardial friction rub
e) Aritmia
f) Murmur
g) Nutrisi dan metabolic
h) Lesi pada mulut
i) Penurunan berat badan
4) Pola eliminasi
a) Peningkatan pengeluaran urin
b) Konstipasi /diare
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernapasan
b. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubngan dengangangguan
aliran arteri atau vena
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas jantung
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
f. Kerusakkan integritas kulit berhubungan dengan imuno defisiensi
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
3. Perencanaan Keperawatana.
a. Ketidak efektifan Pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan
1) Tujuan : pola nafas kembali efektif
2) KH : Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam batas normal,
Tidak menggunakan otot- otot Bantu pernapasan, Tanda - Tanda
vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
(TD 120-90/90-60 mmHg, nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24
x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C
Intervensi Rasional
1. Monitor kecepatan, ritme, 1. Untuk mengetahui
kedalaman, dan keadekuatan
usaha pasien saat bernafas pernapasan

2. Monitor suara nafas seperti 2. Mengetahui adanya


snoring sumbatan pada
jalan nafas
3. Posisikan pasien semi 3. Untuk
fowler memaksimalkan po
tensial ventilasi
4. Berikan HE 4. Informasi ini dapat
tentang pengobatan : indika membantu pasien
si ,dosis, frekuensi , dan dalam
kemungkinan efek samping. mengonsumsi obat
dengan aman dan
benar
5. Kolaborasi 5. Meningkatkan
dalam pemberian terapi ventilasi danasupan
oksigen oksigen

b. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan


gangguan aliran arteri atau vena
1) Tujuan : perfusi jaringan perifer efektif
2) KH : Waktu pengisian kapiler < 3 detik, Tekanan sistol dan diastol
dalam rentang yang diharapkan, Tingkat kesadaran membaik
Intervensi Rasional
1. Kaji secara komprehensif 1. Sirkulasi perifer
sirkulasi perifer dapatmenunjukk
an
tingkatkeparahan
penyakit
2. Monitor laboratorium ( Hb, 2. Nilai
hmt) laboratorium
dapat
menunjukkan
komposisi darah
3. evaluasi nadi perifer dan 3. Pulsasi yang
edema lemah
menimbulkan
penurunan
kardiak output
4. Ubah posisi pasien setiap 4. Mencegah
2 jam komplikasi
dekubitus
5. Dorong latihan ROM sebelum 5. Menggerakkan
bedrest otot dan sendi
agar tidak kaku
6. Kolaborasi pemberian 6. Meminimalkan
anti platelet atau anti perdarah adanya bekuan
an dalam darah

c. Penurunan curah jantung berhubungan kontraktilitas jantung


1) Tujuan : curah jantung mengalami peningkatan
2) KH : Menunjukkan curah jantung yangmemuaskan dibuktikan oleh
efektifitas pompa jantung,status sirkulasi, perfusi jaringan, dan
status TTV, Tidak ada edema paru, perifer, dan asites.
Intervensi Rasional
1. Kaji suara nafas 1. Data dasar dalam menentukan
dan intervensi lebih lanjut
suara jantung

2. Ukur CVP pasi 2. Mengetahui kelebihan atau


en kekurangan cairan tubuh

3. Monitor 3. Mengurangi kebutuhan oksigen


aktivitas pasien

4. Monitor saturas 4. Mengetahui manifestasi penuru


i oksigen nan curah jantung

5. Kolaborasi 5. Mengejan dapat memperparah


pemberian penurunan curah jantung
laktasi

d. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.


1) Tujuan : Nyeri dapat berkurang
2) KH : Ekspresi wajah klien tidak menunjukkanketegangan, klien
tidak gelisah,klien dapat beristirahat,klien tidak mengalami
kesulitan dalam berkonsentrasi.
Intervensi Rasional
1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Untuk
komprehensif yang meliputi mengetahui
lokasi, karakteristik, onset tingkat nyeri
atau durasi, frekuensi, pasien
kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan
factor pencetus.

2. Observasi reaksi ketidak 2. Untuk


nyamanan secara mengetahui
tingkat ketidak
nyamanan yang
dirasakan
oleh pasien
3. Ajarkan cara penggunaan 3. Agar klien
terapi non farmakologi ( mampu
distraksi, relaksasi) menggunakan
teknik
nonfarmakologi
dalam
memanajemen
nyeri yang
dirasakan
4. Berikan informasi tentang 4. Pemberian HE
nyeri termasuk penyebab dapat
nyeri,berapa lama nyeri akan mengurangi
hilang, antisipasi terhadap tingkat
ketidak nyamanan dari kecemasan dan
prosedur membantu klien
dalam membentu
k mekanisme
koping terhadap
rasa nyeri
5. Kolaborasi pemberian analget 5. Pemberian
ik analgetik dapat
mengurangi rasa
nyeri pasien
e. Resiko infeksi berhubungan dengan integritas kulit
1) Tujuan : pasien dapat terhindar dari resiko infeksi
2) KH : integritas kulit klien normal, temperature kulit klien normal,
tidak ada lesi pada kulit
Intervensi Rasional
1. Monitor karakteristik, 1. Untuk mengetahui
warna, ukuran, cairan, keadaan luka dan
dan bau luka perkembangannya
2. Bersihkan luka 2. Normal salin merupakan
dengan normal salin cairan isotonis yang
sesuai dengan cairan
dalam tubuh
3. Ajarkan klien dan 3. Memandirikan keluarga
keluarga untuk dan pasien
melakukan perawatan
luka

4. Rawat luka dengan 4. Agar tidak terjadi infeksi


konsep steril danterpapar oleh kuman
atau bakteri
5. Gunakan sabun 5. Mengurangi mikroba
antimikroba untuk bakteri yang dapat
cuci tangan menyebabkan infeksi

6. Berikan penjelasan 6. Agar keluarga pasien


kepada klien dan mengetahui tanda dan
keluarga mengenai gejala dari infeksi
tanda dan gejala dari
infeksi

7. Kolaborasi pemberian 7. Pemberian antibiotic


antibiotic untuk mencegah
timbulnya infeksi

f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imuno defisiensi


1) Tujuan : Mencegah terjadinya kerusakan pada kulit dan jaringan
didalamnya
2) KH : Tidak terdapat tekanan, tidak menunjukkan adanyakelainan
pada persendian
Intervensi Rasional
1. Monitor kulit yang 1. Dengan memonitoring
memerah dan terjadi area kulit yang merah dan
kerusakan terjadi kerusakan untuk
mengurangi resiko
dekubitus
2. Mobilisasi klien setiap 2. Dengan memobilisasi
2 jam klien dapat
mengurangi penekanan
3. Lakukan perawatan 3. Untuk
kulitsecara aseptic 2 meningkatkan proses pen
kali sehari yembuhan lesi kulit serta
mencegah terjadinya
infeksi sekunder
4. Berikan pendidikan 4. Meningkatkan
kesehatan kepada klien pengetahuan pasien dan k
dan keluarganya eluargnya mengenai
tentang pentingnya men pentingnya menjaga
jaga kebersihan kulit kebersihan kulit serta
sekitar luka guna supaya pasien lebih
mempercepat penyembu kooperatif
han dan ajarkan teknik
perawatannya
5. Kolaborasi 5. Mempercepat penyembuh
pemberian NSAID dan an
kortikosteroid.

g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh


(kehamilan ), perubahan persepsi diri
1) Tujuan : gangguan citra tubuh klien teratasi
2) KH : Citra tubuh positif, Mendeskripisikan secara factual
perubahan fungsi tubuh. Mempertahankan interaksi social
Intervensi Rasional
1. Monitor frekuensi kalimat 1. Untuk mengetahui
yang mengkritik diri seberapa besar klien
sendiri mampu menerima
keadaan dirinya
2. Bantu klien untuk 2. Untuk
mengenali tindakan yang meningkatkan perca
akan ya diri klien
meningkatkan penampilan
nya

3. Anjurkan kontak mata 3. Agar klien lebih


dalam berkomunikasi percaya diri
dengan orang lain

4. Gunakan gambaran 4. Mekanisme evaluasi


mengenai gambaran diri dari persepsi citra
diri

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito and Moyet, (2014). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta:
EGC
Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Smeltzer. Suzanne C. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai