Anda di halaman 1dari 26

A.

KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
PPOK merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok
penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya
(Price, 2010).
PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan
yang dikenal dengan COPDadalah : Bronchitis kronis, emfisema paru-
paru dan asthma bronchiale (SMeltzer, 2010).
PPOK adalah merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan
dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar
udara paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002).
PPOK merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan
ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-
duanya (Snider, 2003).

2. Klasifikasi
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi
kronik adalah sebagai berikut:
a. Bronchitis Kronis
1) Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai
dengan pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan
termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk

1
sputum selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun
berturut – turut (Bruner & Suddarth, 2002).
2) Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
a) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus,
haemophilus influenzae.
b) Alergi
c) Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
3) Manifestasi klinis
a) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi
besar, yang mana akanmeningkatkan produksi mukus.
b) Mukus lebih kental
c) Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence"
dari paru mengalami kerusakan dan meningkatkan
kecenderungan untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul,
kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia
sehingga produksi mukus akan meningkat.
d) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai
dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara.
Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang
banyakakan menghambat beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis mula-
mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar, tetapi
biasanya seluruh saluran nafas akan terkena.
e) Mukus yang kental dan pembesaran
bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama
ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara
terperangkap pada bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini
menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hypoxia dan
asidosis.
f) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi
perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan
PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai
PaCO2.
g) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia,
maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat
penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam,
biasanya karena infeksi pulmonary.
h) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan
peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak
ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju
penyakit cor pulmonal dan CHF
b. Emfisema
1) Definisi
Perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding
alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (Bruner &
Suddarth, 2002).
2) Etiologi
a) Faktor tidak diketahui
b) Predisposisi genetic
c) Merokok
d) Polusi udara
3) Manifestasi klinis
a) Dispnea
b) Takipnea
c) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
d) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang
paru
e) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
f) Hipoksemia
g) Hiperkapnia
h) Anoreksia
i) Penurunan BB
j) Kelemahan
c. Asthma Bronchiale
1) Definisi
Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat dari
trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan
manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh peyempitan
yang menyeluruh dari saluran nafas (Bruner & Suddarth, 2002).
2) Etiologi
a) Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll
b) Saluran nafas
c) Stress
d) Olahraga (kegiatan jasmani berat)
e) Obat-obatan
f) Polusi udara
g) Lingkungan kerja
h) Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
3) Manifestasi Klinis
a) Dispnea
b) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa berat),
c) Wheezing,
d) Batuk non produktif
e) Takikardi
f) Takipnea
(Price, 2010)

3. Etiologi
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari
jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya.
Partikel gas ini termasuk :
a. Asap rokok
1) Perokok aktif
2) Perokok pasif
b. Polusi udara
1) Polusi di dalam ruangan- asap rokok - asap kompor
2) Polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
d. Infeksi saluran nafas bawah berulang

4. Patofisiologi dan Pathway


Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi
terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi
adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan
rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan (GOLD, 2009).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah
inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD,
2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada
PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase,
yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi kerusakan
jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan
pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi
perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan
napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski,
2003).
Pathway

Faktor Predisposisi

Edema, spasame brokus, peningkatan sekret bronkiolus

Obstruksi bronkiolus awal fase


Ketidakefektifan
ekspirasi
bersihan jalan napas Udara terperangkap dalam alveolus

Suplai O2 PaO2 rendah


jaringan rendah PaCO2 tinggi Sesak napas,

Kompensasi napas pendek


Gangguan Gangguan
kardiovaskuler metabolisme pertukaran
jaringan gas
Hipoksemi

Hipertensi Metabolisme
anaerob Insufisiensi/gagal Pola napas tidak
pulomnal
v
napas efektif
Produksi ATP
Gagal
menurun
jantung
Resiko perubahan
kanan Defisit energi
nutrisi kurang dari
Lelah, lemah kebutuhan tubuh

Intoleransi Gangguan Defisit


aktivitas pola tidur perawatan
diri

(Sumber : GOLD, 2009)


5. Manifestasi Klinis
Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada pasien
PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu
kemudian berlangsung lama dan sepanjang hari. Batuk disertai dengan
produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid kemudian
berubah menjadi banyak dan purulen seiring dengan semakin
bertambahnya parahnya batuk penderita (GOLD, 2009).
Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung
lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah
hilang sama sekali, hal ini menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas
yang menetap. Keluhan sesak inilah yang biasanya membawa penderita
PPOK berobat ke rumah sakit. Sesak dirasakan memberat saat melakukan
aktifitas dan pada saat mengalami eksaserbasi akut (GOLD, 2009).
Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi:
a. Batuk bertambah berat
b. Produksi sputum bertambah
c. Sputum berubah warna
d. Sesak nafas bertambah berat
e. Bertambahnya keterbatasan aktifitas
f. Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
g. Penurunan kesadaran

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Price (2010) pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologi
1) Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan:
- Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis
yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan
tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.
- Corak paru yang bertambah
2) Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
- Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary
oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada
emfisema panlobular dan pink puffer.
- Corakan paru yang bertambah.
b. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR
yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat
penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi
maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF
dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya
pada saluran napas kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas
difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
c. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul
sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan
eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur
55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
d. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal
pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S
lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB
inkomplet.
e. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
f. Laboratorium darah lengkap.
7. Komplikasi
Menurut Smelter (2010) komplikasi dari PPOK sebagai berikut:
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda
yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines,
tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea
berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis
kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan
dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa
diberikan.Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah :
a. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya
pada fase akut, tetapi juga fase kronik.
b. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas
harian.
c. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat
dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji
sensitivitas atau pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator.
Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi
(bronkospasme) masih kontroversial.
e. Pengobatan simtomatik.
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernapasan yang paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk
memulihkan kesegaran jasmani
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula
Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
a. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
b. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
1) Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.
Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau
eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam
klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B.
Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol,
amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami
eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya
dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik
yang kuat.
2) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan
karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
3) Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan
baik.
4) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien
dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250
mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 -
0,56 IV secara perlahan.
5) Terapi jangka panjang di lakukan :
- Anbiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin
4×0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
- Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi
saluran napas tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini
dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
- Fisioterapi
- Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
- Mukolitik dan ekspektoran
- Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami
gagal napas tipe II dengan PaO2 (7,3Pa (55 MMHg)
- Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja,
merasa sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan
sosialisasi agar terhindar dari depresi.
(Brunner and Suddart, 2002)
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1) Faal paru
a) Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 % VEP1 merupakan parameter yang
paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%.
b) Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8
hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai
awal dan < 200 ml.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit.
3) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1) Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2) Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3) Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20
% dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6) Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
7) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan.
8) Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita
PPOK di Indonesia.
10) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang
ditemukan di Indonesia.
(Gold, 2009)

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat
1) Riwayat penyakit sekarang
Timbul keluhan sesak nafas. Pusing, mual dan muntah.
2) Riwayat penyakit dahulu
Kebiasaan merokok mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan
resiko PPOK.
b. Pola Gordon
1) Pola menejemen kesehatan – persepsi kesehatan. Pada pasien
PPOK apabila sakit periksake dokter, periksa ke rumah sakit
untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.
2) Pola metabolik nutrisi. Pada pasien PPOK porsi makanan tidak
habis, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, mual,
muntah dan kenaikan suhu tubuh.
3) Pola eliminasi. Pada pasien PPOK BAK dan BAB tidak
mengalami gangguan.
4) Pola aktivitas dan latihan. Pada pasien PPOK mudah berkeringat
saat melakukan aktivitas, mengalami gangguaan melakukan
aktivitas secara mandiri.
5) Pola istirahat Tidur. Pada pasien PPOK istirahat tidur tidak
mengalami gangguan.
6) Pola Persepsi kognitif. Pada pasien PPOK fungsi indra
penciuman, pendengaran, pengelihatan, perasa, peraba tidak
mengalami gangguan, pasien merasakan nyeri, pasien mengetahui
penyakit yang dialaminya akan segera sembuh dengan dilakukan
pengobatan medis yang sudah didapatkannya.
7) Pola konsep diri dan persepsi diri. Pada pasien PPOK pasien tidak
cemas tentang penyakitnya, pasien percaya diri, pasien berharap
penyakitnya segera sembuh dengan pengobatan medis.
8) Pola Hubungan peran. Pada pasien PPOK interaksi dalam rumah,
linngkungan tidak mengalami gangguan.
9) Pola Reproduksi dan seksualitas. Pada pasien PPOK fungsi
reproduksi dan seksualitas tidak ada gangguan .
10) Pola Toleransi terhadap Stress–koping. Pada pasien PPOK emosi
stabil, sabar dalam proses pengobatan.
11) Pola Keyakinan Nilai. Pada pasien PPOK dapat melaksanakan
ibadah agama yang dianutnya dengan kemampuan yang dapat
dimilikinya.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Keadaan umum pada pasien PPOK mencapai kesadaran penuh,
kesadaran menunjukan keadaansakit ringan sampai berat
tergantung pada periode rasa nyeri. Tanda vital pada umumnya
stabil.
2) Integumen
Ada tidaknya oedem, sianosis, pucat dan kemerahan.
3) Kepala dan Leher
Ekspresi wajah kesakitan pada konjungtiva lihat apakah ada
warna pucat.
4) Torax dan Paru
Apakah bentuknya simetris, ada tidaknya sumbatan jalan nafas,
gerakan cuping hidung maupun alat Bantu nafas frekwensi
pernafasan biasanya normal (16 – 20 kali permenit). Apakah ada
ronchi, whezing, stridor.
5) Abdomen
Pada PPOK terjadi ada tidaknya pristaltik pada usus ditandai
dengan distensi abdomen, tidak flatus dan mual, apakah bisa
kencing spontan atau retensi urine, distensi supra pubis, periksa
apakah produksi urine cukup, keadaan urine apakah jernih, keruh
atau hematuri jika dipasang kateter periksa apakah mengalir
lancar, tidak ada pembuntuan serta terfiksasi dengan baik.
6) Ekstremitas
Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri
yang hebat, juga apakah ada kelumpuhan atau kekakuan.
7) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
b) Pemeriksaan faal paru
c) Analisis gas darah
d) Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise
jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat deviasi
aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6
rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
e) Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
f) Laboratorium darah lengkap.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak
efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek,
mukus, bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi perfusi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dengan kebutuhan oksigen.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum
dan anoreksia, mual muntah.
f. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder
akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan
oksigenasi.
3. Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA NOC NIC
KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak 1. Respiratory status : Ventilation 1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali
efektif b.d 2. Respiratory status : Airway patency terdapat kor pulmonal.
bronkokontriksi, 3. Aspiration Control 2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik
peningkatan produksi Kriteria Hasil : pernapasan diafragmatik dan batuk.
sputum, batuk tidak - Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara 3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler
efektif, nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dosis terukur
kelelahan/berkurangnya dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, 4. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan
tenaga dan infeksi mampu bernafas dengan mudah, tidak ada vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang
bronkopulmonal. pursed lips) diharuskan.
- Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien 5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti
tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada 6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus
suara nafas abnormal) dilaporkan pada dokter dengan segera: peningkatan
- Mampu mengidentifikasikan dan mencegah sputum, perubahan warna sputum, kekentalan
factor yang dapat menghambat jalan nafas sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak
didada, keletihan.
7. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan
imunisasi terhadap influenzae dan streptococcus
pneumoniae.
2. Pola napas tidak 1. Respiratory status : Ventilation 1. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan
efektifberhubungan 2. Respiratory status : Airway patency pernapasan bibir dirapatkan.
dengan napas pendek, 3. Vital sign Status 2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan
mukus, bronkokontriksi Kriteria Hasil : periode istirahat.
dan iritan jalan napas - Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara 3. Biarkan pasien membuat keputusan tentang
nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan perawatannya berdasarkan tingkat toleransi pasien.
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, 4. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot
mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pernapasan jika diharuskan.
pursed lips)
- Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien
tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
- Tanda Tanda vital dalam rentang normal
(tekanan darah (sistole 110-130mmHg dan
diastole 70-90mmHg), nad (60-100x/menit)i,
pernafasan (18-24x/menit))
3. Gangguan pertukaran Respiratory status : Ventilation 1. Deteksi bronkospasme saatauskultasi .
gasberhubungan dengan Kriteria Hasil : 2. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
ketidaksamaan ventilasi - Frkuensi nafas normal (16-24x/menit) 3. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid
perfusi - Itmia dengan tepat dan waspada kemungkinan efek
- Tidak terdapat disritmia sampingnya.
- Melaporkan penurunan dispnea 4. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk
- Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran membantu mengencerkan sekresi sehingga ventilasi
ekspirasi paru mengalami perbaikan.
5. Pantau pemberian oksigen
4. Intoleransi 1. Energy conservation 1. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi,
aktivitasberhubungan 2. Self Care : ADLs tekanan darah, pernapasan
dengan ketidakseimbangan Kriteria Hasil : 2. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas,
antara suplai dengan - Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa istirahatkan klien selama 3 menit kemudian ukur lagi
kebutuhan oksigen disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan tanda-tanda vital.
RR 3. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur
- Mampu melakukan aktivitas sehari hari dengan menggunakan treadmill dan exercycle,
(ADLs) secara mandiri berjalan atau latihan lainnya yang sesuai, seperti
berjalan perlahan.
4. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan
kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status
fungsi dasar.
5. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk
menentukan program latihan spesifik terhadap
kemampuan pasien.
6. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum
dan selama menjalankan aktivitas untuk berjaga-
jaga.
7. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang
sedang atau tirah baring lama mulai melakukan
rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
8. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan
mendorong klien melakukan aktivitas lebih lambat,
atau waktu yang lebih singkat, dengan istirahat yang
lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
9. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan
meningkatkan waktu diluar tempat tidur sampai 15
menit tiap hari sebanyak 3 kali sehari.
5. Perubahan nutrisi kurang Nutritional Status : food and Fluid Intake 1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat
dari kebutuhan Kriteria Hasil : derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan
tubuhberhubungan dengan - Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan ukuran tubuh.
dispnea, kelamahan, efek tujuan 2. Auskultasi bunyi usus
samping obat, produksi - Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan 3. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
sputum dan anoreksia, - Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah
mual muntah. - Tidak ada tanda tanda malnutrisi makan.
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti 5. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu
dikunyah lama.
6. Hindari makanan yang diperkirakan dapat
menghasilkan gas.
7. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.
6. Kurang perawatan Self care : Activity of Daily Living (ADLs) 1. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan
diriberhubungan dengan Kriteria Hasil : diafragmatik dengan aktivitas seperti berjalan,
keletihan sekunder akibat - Klien terbebas dari bau badan mandi, membungkuk, atau menaiki tangga
peningkatan upaya - Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan 2. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan
pernapasan dan untuk melakukan ADLs dalam jarak dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk
insufisiensi ventilasi dan - Dapat melakukan ADLS dengan bantuan menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas
oksigenasi tindakan penghematan energi.
3. Ajarkan tentang postural drainage bila
memungkinkan.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume
2. Jakarta, EGC.
Gold. 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Docterman and Bullechek. 2015. Nursing Invention Classifications (NIC), Edition
4. United States Of America: Mosby Elseveir Acadamic Press
Johnson, M.,et all, 2015, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2018, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi
Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer C Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and
Suddarth’s, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGC.
Snider. 2003. Diagnosa Keperawatan. Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi IX.
Alih Bahasa: Kusrini Semarwati Kadar. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai