Anda di halaman 1dari 3

PANGKALAN TNI AU ISWAHJUDI Lampiran

RSAU dr. EFRAM HARSANA Kep. Ka RSAU dr. Efram Harsana


Nomor Kep / 249 /III/ 2016
Tanggal Maret 2016

KEBIJAKAN PENGELOLAAN PASIEN DENGAN AIRBORNE DESEASE


RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN UDARA dr. EFRAM HARSANA

BAB I

DEFINISI

1. Kebijakan Umum

a. Penularan agen infeksius melalui airborne adalah penularan penyakit yang


disebabkan oleh penyebaran droplet nuklei yang tetap infeksius saat melayang di
udara dalam jarak jauh dan waktu yang lama. Penularan melalui udara dapat
dikategorikan lebih lanjut menjadi penularan “obligat” atau penularan “preferensial”.

b. Airborne desease adalah penyakit menular yang tersebar ketika tetesan patogen
dikeluarkan ke udara, misalnya karena batuk, bersin atau berbicara.

c. Transmisi airborne adalah bentuk transmisi penyakit dimana penularan terjadi


melalui media secara rutin dibawa masuk ke dalam tubuh melalui udara, makanan
atau cairan.

2. Kebijakan Khusus

a. Kamar Isolasi hanya digunakan untuk pasien dengan suspect TB jika pasien
aktif TB di lakukan rujuk.

b. Penatalaksanaan skrining pasien suspek atau dengan airborne desease


pertama kali dilaksanakan di IGD dan rawat jalan.

c. Penerapan pencegahan penularan airborne desease baik dari pasien ke


petugas, pasien ke pasien lain, pasien ke pengunjung, atau petugas ke petugas lain
dilakukan dengan selalu menerapkan kewaspadaan isolasi (standar dan transmisi
airborne). Salah satunya adalah dengan pelaksanaan pemakaian apd (masker bedah
atau masker N-95) terhadap pasien suspek atau dengan airborne desease pada saat
pertama kali masuk rumah sakit atau selama dirawat di rumah sakit, petugas yang
suspek atau sedang menderita airborne desease, atau petugas yang melaksanakan
pelayanan terhadap pasien suspek atau menderita airborne desease baik di rawat
jalan, rawat inap maupun kamar isolasi, kebersihan tangan (hand hygiene) dan etika
batuk.

d. Penatalaksanaan perawatan pasien dengan airborne desease di RSAU dr.


Efram Harsana meliputi pada pelayanan transfer pasien intra dan antar rumah sakit,
penempatan ruang rawat pasien dan perawatan peralatan pasien dengan airborne
desease.
2

e. Pasien ditempatkan di ruang rawat yang terpisah, atau kamar isolasi dan
mempunyai fasilitas :
1) Tekanan negatif
2) Aliran udara 6-12 kali/jam
3) Pengeluaran udara terfiltrasi sebelum udara mengalir ke ruangan
4) Pintu ruangan tertutup
5) Jika tidak memungkinkan, tempatkan pasien dengan sistem kohorting yaitu
dirawat sekamar dengan pasien lain tapi dengan jenis penyakit yang sama.

f. Transport pasien intra dan antar rumah sakit


1) Batasi gerak atau perpindahan pasien dari ruang atau kamar perawatannya
hanya kalau diperlukan saja.
2) Bila pasien perlu atau harus keluar atau dipindahkan dari ruang atau kamar
perawatannya untuk pemeriksaan dan sebagainya, maka pasien harus
dipasangkan masker bedah untuk mencegah menyebarnya droplet.
3) Alur atau jalur pergerakkan pasien yang dirawat di kamar isolasi dari rawat
jalan, IGD ataupun dari ruangan laiinya adalah melalui jalur koridor antara
ruang Neptunus dan Mars, lalu menyusuri koridor samping ruang Neptunus
menuju pintu masuk kamar isolasi.

f. Alat pelindung diri petugas


1) Kenakan masker N-95 saat masuk kamar isolasi atau ruangan perawatan
pasien/suspek TB paru.
2) Bila melakukan tindakan dengan kemungkinan timbul resiko, pergunakan
masker bedah.

g. Peralatan untuk pasien


1) Menguapkan dan mendidihkan, untuk waktu yang lama, merendam selama 20
menit dalam desinfeksi tingkat tinggi, DTT tidak membunuh endosflora.
2) Semua linen yang sudah digunakan harus dimasukkan ke dalam
kantong/wadah yang tidak rusak saat diangkut.

h. Alur Pengelolaan pasien dengan infeksi airborne:


1) Lakukan triase terhadap pasien yang masuk IGD atau rawat jalan dengan
gejala-gejala ISPA yang disertai demam.
2) Terapkan metode TEMPO (Temukan, Pisahkan, dan Obati).
3) Pasangkan masker bedah pada pasien yang suspek atau menderita airborne
desease atau dengan gejala-gejala ISPA yang disertai demam.
4) Petugas kesehatan harus membersihkan tangan secara memadai,
menggunakan masker bedah, dan menggunakan pelindung mata (kacamata
pelindung/pelindung wajah) bila diperkirakan akan terjadi percikan pada mata.
5) Pasien anak-anak yang memperlihatkan gejala dan tanda-tanda klinis yang
menunjukkan diagnosis tertentu (misalnya, croup untuk parainfluenza,
bronkiolitis akut untuk RSV), khususnya selama wabah musiman, mungkin
memerlukan kewaspadaan isolasi sesegera mungkin.
6) Lakukan pengendalian sumber infeksi (misalnya, menggunakan tisu,
saputangan, atau masker bedah) pada pasien di ruang tunggu saat batuk
atau bersin, dan pembersihan tangan setelah kontak dengan sekresi
pernapasan.
3

7) Bila memungkinkan, tempatkan pasien dengan jarak terpisah minimal 1 m dari


pasien lainnya.
8) Petugas kesehatan harus menggunakan APD (masker bedah atau respirator
partikulat/N-95, pelindung mata, gaun pelindung, dan sarung tangan), dan
membersihkan tangan yang memadai.
9) Ruang pencegahan penularan melalui udara atau penempatan di ruang untuk
satu pasien yang berventilasi baik (kalau ada).
10) Bila ruang untuk satu pasien tidak tersedia, gabungkan (cohorting) pasien-
pasien yang diagnosis penyebab penyakitnya sama.
11) Bila penyebab penyakit tidak diketahui dan kamar untuk satu pasien tidak
ada, lakukan langkah khusus yaitu dengan memberikan partisi antar tempat
tidur pasien dengan pasien lainnya, jarak antar tempat tidur minimal 1 meter,
memasangkan masker bedah pada pasien, menerapkan kewaspadaan
standar dan berdasarkan transmisi (airborne) selama melaksanakan
perawatan terhadap pasien.

Kepala RSAU dr. Efram Harsana,

dr. Iman Fathurrohman W., Sp.B


Letkol Kes NRP 524330

Anda mungkin juga menyukai