BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Teori
2.1.1 Pengertian
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-
hal: Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari
keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomelurus dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein,
penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan
lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang ditandai dengan proteinuria,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia. (Baughman, 2000).
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal dengan
panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan
lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh.
Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi
batas bawah vertebra lumbalis III.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang
berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna
bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol
ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2
atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis
inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubuli, sedangkan pada medula hanya terdapat
tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari
glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula
duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih
kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat
yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
1. Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus
akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler
dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut
glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan
tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
2. Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam
ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.
a) Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ±
60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein,
asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl,
Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang
diekskresi asam dan basa organik.
b) Loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu
berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
c) Tubulus distalis
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan
H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen.
d) Duktus koligentis
Mereabsorbsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium dilakukan pada duktus koligen
kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.
2.1.3 Etiologi
Penyebab nefrotik sindrom dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.
1. Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti berikut ini.
a. Glomerulonefritis
b. Nefrotik sindrom perubahan minimal
2. Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakitsistemik lain, seperti berikut ini.
a. Dibetes militus
b. Sistema lupus eritematosus
c. Amyloidosis
2.1.4 Patofisiologi
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah. Pada nefrotik
sindrom, glomeruli mengalami kerusakan sehingga terjadi perubahan permeabilitas karena
inflamasi dan hialinisasi sehingga hilangnya plasma protein, terutama albumin ke dalam urine.
Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk
terus mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan terjadi
hipoalbuminemia.
Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang menyebabkan edema
generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang cairan
ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang
mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan aldosteron menyebabkan
reabsorbsi natrium (Na) dan air sehingga mengalami peningkatan dan akhirnya menambah
volume intravaskuler.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density Lipoprotein)
dalam hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia). Adanya
hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul oleh
karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin ( lipiduria ). (Toto
Suharyanto, 2009).
Menurunya respon immun karena sel immun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh
karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup
glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan
trombosis vena renal
2.1.5 Manifestasi Klinis
1. Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya adalah:
a) Edema periorbital, yang tampak pada pagi hari.
b) Pitting, yaitu edema (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas.
c) Penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura.
d) Penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.
2. Hipertensi (jarang terjadi), karena penurunan voulume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin angiotensin yang akan
meningkatkan konstriksi pembuluh darah.
3. Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urin berbusa, akibat penumpukan tekanan
permukaan akibat proteinuria.
4. Hematuri
5. Oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan volume cairan
vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon
anti diuretik (ADH)
6. Malaise
7. Sakit kepala
8. Mual, anoreksia
9. Irritabilitas
10. Keletihan
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
a) Pemeriksaan sampel urin
Pemeriksaan sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya protein di dalam urin).
b) Pemeriksaan darah
Hipoalbuminemia dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter.
Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat), khususnya peningkatan Low Density
Lipoprotein (LDL), yang secara umum bersamaan dengan peningkatan VLDL.
Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk mengetahui fungsi ginjal
2. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum diketahui secara jelas,
yaitu:
a. Biopsi ginjal (jarang dilakukan pada anak-anak ).
b. Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum electrophoresis).
2.1.7 Komplikasi
1. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis. Tindakan yang dilakukan untuk
mengatasinya adalah dengan pemberian heparin.
2. Infeksi (seperti haemophilus influenzae and streptococcus pneumonia), akibat kehilangan
immunoglobulin.
3. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan cairan di dalam
jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam intravaskuler.
4. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam paru-paru yang
menyebabkan hipoksia dan dispnea.
2.1.8 Penatalaksanaan Medis
A. Suportif
1. Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring
2. Memonitor dan mempertahankan volume cairan tubuh yang normal.
a. Memonitor urin output
b. Pemeriksaan tekanan darah secara berkala
c. Pembatasan cairan, sampai 1 liter
3. Memonitor fungsi ginjal
a. Lakukan pemeriksaan elektrolit, ureum, dan kreatinin setiap hari.
b. Hitung GFR/LFG setiap hari.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung menggunakan
rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m2)=
*pada perempuan dikali 0,85
B. Diagnosa
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di dalam jaringan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan
(anoreksia).
c. Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler berhubungan dengan kehilangan protein, cairan
dan edema.
d. Ansietas Berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit.
c. Tawarkan
perawatan mulutd. meminimalkan
sebelum dan anoreksia dan mual
sesudah makan . sehubungan dengan
d. Berikan makanan status uremik
sedikit tapi sering.
e. Memenuhi kebutuhan
protein, yang hilang
bersama urine.
f. Pasien cenderung
e. Berikan diet tinggi mengonsumsi lebih
protein dan rendah banyak porsi makan
garam. jika ia diberi beberapa
makanan
kesukanannya.
f. Berikan makanang. Indikator kebutuhan
yang disukai dan nutrisi, pembatasan,
menarik dan efektivitas terapi.
g. Awasi
pemeriksaan
laboratorium,
contoh: BUN,
albumin serum,
transferin, natrium,
dan kalium.
3 Setelah dilakukan tindakana. Awasi TTV a. Hipotensi ortostatik
selama 3x24 jam dan takikardi indikasi
diharapkan Resiko hipovolemia.
kehilangan cairan tidak b. Membantu
terjadi dengan Kriteria memperkirakan
Hasil: Tidak ditemukannyab. Kaji masukan dan kebutuhan
atau tanda- haluaran cairan. penggantian cairan.
tandanya kehilangan cairan Hitung kehilanganc. Membran mukosa
intravaskuler seperti: tak kasat mata. kering, turgor kulit
a. Masukan dan keluaran buruk, dan penurunan
seimbang c. Kaji membran nadi dalah indikator
b. Tanda vital yang stabil mukosa mulut dan dehidrasi
c. Elektrolit dalam batas elastisitas turgord. penggantian cairan
normal kulit tergantung dari berapa
d. Hidrasi adekuat yang banyaknya cairan
ditunjukkan dengan yang hilang atau
turgor kulit yang normal dikeluarkan.
d. Berikan cairane. Pemberian cairan
sesuai indikasi ; parenteral diperlukan,
misalnya albumin dengan tujuan
mempertahankann
hidrasi yang adekuat.
f. Mengkaji untuk
penanganan medis
berikutnya
e. Berikan cairan
parenteral sesuai
dengan petunjuk
f. Awasi
pemerikasaan
laboratorium,
contoh protein
(albumin)
4 Setelah dilakukan tindakan a. Berikan motivasi a. Deteksi dini terhadap
selama 3x24 jam pada keluarga perkembangan klien.
diharapkan Rasa cemas untuk ikut secara
berkurang setelah mendapat aktif dalam
penjelasan dengan kriteria: kegiatan perawatan b. Peran serta keluarga
Klien mengungkapkan sudah klien. secara aktif dapat
tidak takut terhadap tindakanb. Jelaskan pada mengurangi rasa
perawatan, klien tampak klien setiap cemas klien.
tenang, klien kooperatif. tindakan yang akanc. Penjelasan yang
dilakukan. memadai
memungkinkan klien
c. Observasi tingkat kooperatif terhadap
kecemasan klien tindakan yang akan
dan respon klien dilakukan.
terhadap tindakan
yang telah
dilakukan
2.2.4 Evaluasi
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan sindrom nefrotik diharapkan
sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan teratasi
2. Meningkatnya asupan nutrisi
3. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
4. Penurunan kecemasan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-
hal: Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari
keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomelurus dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein, penurunan
albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan
lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer (Glomerulonefritis dan nefrotik
sindrom perubahan minimal), sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema Lupus Erimatosis, dan
Amyloidosis), dan idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).Tanda paling umum adalah
peningkatan cairan di dalam tubuh. Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah
kelebihan volume cairan berhubungan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko
kehilangan volume cairan intravaskuler, dan kecemasan.
3.2 Saran
Demikian makalah yang kami sampaikan. Kami berharap agar makalah yang kami buat ini
dapat bermanfaat bagi para dosen, teman-teman dan pembaca sekalian.
0
Tambahkan komentar
Riza Munandar
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
1.
MAR
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan pada klien dengan masalah asfiksia
neonatorum.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu membuat pengkajian pada klien dengan masalah asfiksia neonatorum.
2. Mahasiswa mampu menegakkan diagnose pada klien dengan masalah asfiksia neonatorum.
3. Mahasiswa mampu mengimplementasi pada klien dengan masalah asfiksia neonatorum.
4. Mahasiswa mampu mengevaluasi pada klien dengan masalah asfiksia neonatorum.
1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Mahasiswa
Dengan adanya makalah yang membahas mengenai materi asfeksia diharapkan kepada
mahasiswa agar dapat mengetahui penyebab asfeksia dan pencegahannya agar terhindar dari
asfeksia baik untuk dirinya sendiri maupun keluarga
1.3.2 Bagi Masyarakat
Dengan adanya makalah ini kita sebagai mahasiswa dapat mengetahui mengenai
penyaki asfeksiadan memberikan penyuluhan kepada masyarak agar mampu menjaga
kesehatan anaknya.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Teori
2.1.1 Pengertian Asfiksia Neonatorum
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini
berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat
mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin, 2009).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. (Sarwono, 2007).
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur,
sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk
dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 2008).
Asfiksia Neonatus adalah suatua keadaan bayi baru lahir yang tidak segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah dilahirkan. (Mochtar, 2008).
2.1.2 Etiologi
1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesi dalam, dan
kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
b. Gangguan aliran darah uterus
Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke
plasenta dan juga ke janin, kondisi ini sering ditemukan pada anemia, hipotensi mendadak pada
ibu karena perdarahan,
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta, asfiksia janin
dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta,
solusio plasenta.
3. Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah
umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat
ditemukan pada keadaan tali pusat yang tertekan, menumbung,dll.
4. Faktor neonates
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu pemakaian
obat anestesi yang berlebihan pada ibu.
2.1.3 Manifestasi Klinis
Pada asfiksia tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh
beberapa keadaan diantaraya :
a. Fungsi jantung terganggu akibat peningkatan beban kerja jantung
b. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi
pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami gangguan.
Gejala klinis :
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode
yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga
mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsur-agsur berkurang
dari bayi memasuki periode apneu primer.
Gejala dan tanda pada asfiksia neunatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan cepat,
pernafasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat
Gejala lanjut pada asfiksia :
1. Pernafasan megap-megap yang dalam.
2. Denyut jantung terus menurun.
3. Tekanan darah mulai menurun.
4. Bayi terlihat lemas (flaccid).
5. Menurunnya tekanan O2 (PaO2).
6. Meningginya tekanan CO2 (PaO2).
7. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskuler.
2.1.4 Patofisiologi
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap nervus
vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus
berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari
nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin
akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air
ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir,
alveoli tidak berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun
sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode
apneu primer. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun , tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terluhat lemas (flascid).
Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama
apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun.
Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya
pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan
pemberian tidak dimulai segera.
2.1.5 Klasifikasi
Asfiksia
Paru-paru terisi
cairan
Resiko cedera
No
Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Dx
1 Klien 1.Kaji tanda vital – 1.Sebagai
memperlihatkan bersihan pernafasan, nadi, indicator adanya
jalan nafasnya efektif, tekanan darah. gangguan dlm
dengan kriteria : system pernafasan
1.Nafas Bayi kembali
normal
2.Bayi aktif. 2.Kaji frekwensi, 2.Berguna dalam
3.Pada pemeriksaan kedalaman evaluasi derajat
auskultasi tidak pernafasan dan distress
ditemukan lagi bunyi tanda-tanda pernafasan
tambahan pernafasan sianosis setiap 2 adan/atau
jam. kronisnya proses
penyakit. Sianosis
mungkin perifer
(terlihat pada
kuku) atau sentral
(terlihat sekitar
3.Dorong bibir dan atau
pengeluaran telinga). Keabu-
sputum, pengisapan abuan dan
(suction) bila sianosis sentral
diindikasikan. mengindikasikan
beratnya
hipoksemia.
3.Kental, tebal
4.Lakukan palpasi dan banyaknya
fokal fremitus sekresi adalah
sumber utama
5.Observasi tingkat gangguan
kesadaran, selidiki pertukaran gas
adanya perubahan pada jalan nafas
kecil, pengisapan
dibutuhkan bila
batuk tidak
efektif.
4.Penurunan
6.Kolaborasi getaran vibrasi
dengan tim medis diduga ada
pemberian O2 pengumpulan
sesuai dengan cairan atau udara
indikasi terjebak.
5.Gelisah dan
ansietas adalah
manifestasi umum
pada hipoksia,
GDA memburuk
disertai
bingung/somnolen
menunjukkan
disfungsi serebral
yang berhubungan
dengan
hipoksemia.
6.Dapat
memperbaiki
/mencegah
memburuknya
hipoksia.
2.2.4 Implementasi
Pada tahap implementasi atau pelaksanaan dari asuhan keperawatan meninjau kembali dari
apa yang telah direncanakana atau intervensi sebelumnya, dengan tujuan utama pada pasien
dapat mencakup pola napas yang efektif, peredaan nyeri, mempertahankan pola eliminasi yang
baik, pemenuhan istirahat tidur yang adekuat, pengurangan kecemasan, peningkatan pengetahuan
2.2.5 Evaluasi
a. Klien tampak rileks dalam bernafas
b. Jalan nafas klien kembali lancar
c. Kesadaran klien kembali membaik.
BAB 3
PENUTUP
3.1.1 Kesimpulan
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga
dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam
kehidupan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Aziz Alimul Hidayat, Pengantar Ilmu Keperawatan 1, Jakarta, 2009, Salemba Medika
Anik Maryunani, Asuhan Bayi Baru Lahir Normal, Jakarta, 2008, Trans Info Media, Jakarta
Ai Yeyeh Rukiah dan Lia Yulianti, Am. Keb,MKM, Asuhan Neonatus, Bayi dan Anak Balita, Jakarta,
2007, Trans Info Media Jakarta
Doenges E Marilynn. Rencana Asuhan Keperawatan; Jakarta, 1993. Penerbit Buku Kedokteran
ECG.
Wong Donna L, dkk. Buku Ajar Keperawatan Pediatri, Edisi 6 vol 2; Jakarta, 2009.
Penerbit Buku Kedokteran ECG.
0
Tambahkan komentar
2.
MAR
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Teori
2.1.1 Pengertian
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-
hal: Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari
keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomelurus dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein,
penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan
lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Nefrotik sindrom merupakan kelainan klinis yang ditandai dengan proteinuria,
hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolmia. (Baughman, 2000).
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang terletak retroperitoneal dengan
panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri kanan vertebra. Pada umumnya, ginjal kanan
lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh.
Batas atas ginjal kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi
batas bawah vertebra lumbalis III.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula. Medula terdiri atas piramid-piramid yang
berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12 buah. Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna
bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol
ke dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang berjumlah 2
atau 3 ditiap ginjal. Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis
inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubuli, sedangkan pada medula hanya terdapat
tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk Nefron. Satu unit nefron terdiri dari
glomerolus, tubulus proksimal, loop of henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula
duktus koligentes). Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih
kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat
yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
1. Faal glomerolus
Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus
akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler
dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut
glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan
tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak.
2. Tubulus
Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam
ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus.
a) Tubulus Proksimal
Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ±
60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Zat-zat yang direabsorbsi adalah protein,
asam amino dan glukosa yang direabsorbsi sempurna. Begitu pula dengan elektrolit (Na, K, Cl,
Bikarbonat), endogenus organic ion (citrat, malat, asam karbonat), H2O dan urea. Zat-zat yang
diekskresi asam dan basa organik.
b) Loop of henle
Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu
berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik.
c) Tubulus distalis
Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan
H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen.
d) Duktus koligentis
Mereabsorbsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif kalium dilakukan pada duktus koligen
kortikal dan dikendalikan oleh aldosteron.
2.1.3 Etiologi
Penyebab nefrotik sindrom dibagi menjadi dua yaitu sebagai berikut.
1. Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti berikut ini.
a. Glomerulonefritis
b. Nefrotik sindrom perubahan minimal
2. Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakitsistemik lain, seperti berikut ini.
a. Dibetes militus
b. Sistema lupus eritematosus
c. Amyloidosis
2.1.4 Patofisiologi
Glomeruli adalah bagian dari ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah. Pada nefrotik
sindrom, glomeruli mengalami kerusakan sehingga terjadi perubahan permeabilitas karena
inflamasi dan hialinisasi sehingga hilangnya plasma protein, terutama albumin ke dalam urine.
Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk
terus mempertahankannya. Jika albumin terus menerus hilang maka akan terjadi
hipoalbuminemia.
Hilangnya protein menyebabkan penurunan tekanan onkotik yang menyebabkan edema
generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler ke dalam ruang cairan
ekstraseluler. Penurunan volume cairan vaskuler menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang
mengakibatkan disekresinya hormon anti diuretik (ADH) dan aldosteron menyebabkan
reabsorbsi natrium (Na) dan air sehingga mengalami peningkatan dan akhirnya menambah
volume intravaskuler.
Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis LDL ( Low Density Lipoprotein)
dalam hati dan peningkatan kosentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia). Adanya
hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul oleh
karena kompensasi hilangnya protein, dan lemak akan banyak dalam urin ( lipiduria ). (Toto
Suharyanto, 2009).
Menurunya respon immun karena sel immun tertekan, kemungkinan disebabkan oleh
karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng. Penyebab mencakup
glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan
trombosis vena renal
2.1.5 Manifestasi Klinis
1. Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh, diantaranya adalah:
a) Edema periorbital, yang tampak pada pagi hari.
b) Pitting, yaitu edema (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas.
c) Penumpukan cairan pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura.
d) Penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.
2. Hipertensi (jarang terjadi), karena penurunan voulume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan sistem renin angiotensin yang akan
meningkatkan konstriksi pembuluh darah.
3. Beberapa pasien mungkin mengalami dimana urin berbusa, akibat penumpukan tekanan
permukaan akibat proteinuria.
4. Hematuri
5. Oliguri (tidak umum terjadi pada nefrotik sindrom), terjadi karena penurunan volume cairan
vaskuler yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan disekresinya hormon
anti diuretik (ADH)
6. Malaise
7. Sakit kepala
8. Mual, anoreksia
9. Irritabilitas
10. Keletihan
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
a) Pemeriksaan sampel urin
Pemeriksaan sampel urin menunjukkan adanya proteinuri (adanya protein di dalam urin).
b) Pemeriksaan darah
Hipoalbuminemia dimana kadar albumin kurang dari 30 gram/liter.
Hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat), khususnya peningkatan Low Density
Lipoprotein (LDL), yang secara umum bersamaan dengan peningkatan VLDL.
Pemeriksaan elektrolit, ureum dan kreatinin, yang berguna untuk mengetahui fungsi ginjal
2. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lebih lanjut perlu dilakukan apabila penyebabnya belum diketahui secara jelas,
yaitu:
a. Biopsi ginjal (jarang dilakukan pada anak-anak ).
b. Pemeriksaan penanda Auto-immune (ANA, ASOT, C3, cryoglobulins, serum electrophoresis).
2.1.7 Komplikasi
1. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis. Tindakan yang dilakukan untuk
mengatasinya adalah dengan pemberian heparin.
2. Infeksi (seperti haemophilus influenzae and streptococcus pneumonia), akibat kehilangan
immunoglobulin.
3. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan cairan di dalam
jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam intravaskuler.
4. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk kedalam paru-paru yang
menyebabkan hipoksia dan dispnea.
2.1.8 Penatalaksanaan Medis
A. Suportif
1. Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring
2. Memonitor dan mempertahankan volume cairan tubuh yang normal.
a. Memonitor urin output
b. Pemeriksaan tekanan darah secara berkala
c. Pembatasan cairan, sampai 1 liter
3. Memonitor fungsi ginjal
a. Lakukan pemeriksaan elektrolit, ureum, dan kreatinin setiap hari.
b. Hitung GFR/LFG setiap hari.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung menggunakan
rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m2)=
*pada perempuan dikali 0,85
Dasar Derajat Penyakit
LFG
Derajat Penjelasan
(ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-58
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
(Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, 2006)
c. Mencegah komplikasi
d. Pemberian transfusi albumin secara umum tidak dipergunakan Karena efek kehilangan hanya
bersifat sementara.
B. Tindakan khusus
1. Pemberian diuretik (Furosemid IV).
2. Pemberian imunosupresi untuk mengatasi glomerulonefritis (steroids, cyclosporin)
3. Pembatasan glukosa darah, apabila diabetes mellitus
4. Pemberian albumin-rendah garam bila diperlukan
5. Pemberian ACE inhibitor: untuk menurunkan tekanan darah.
6. Diet tinggi protein; cegah makanan tinggi garam
7. Antibiotik profilaktik spektrum luas untuk menurunkan resiko infeksi sampai anak mendapat
pengurangan dosis steroid secara bertahap
8. Irigasi mata/krim oftalmik untuk mengatasi iritasi mata pada edema yang berat
B. Diagnosa
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di dalam jaringan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan nafsu makan
(anoreksia).
c. Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler berhubungan dengan kehilangan protein, cairan
dan edema.
d. Ansietas Berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit.
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Hari/
Dx Tujuan & kriteria hasil Intervensi Rasional
Tgl
1 Setelah dilakukan tindakana. Pantau asupan dana. Pemantauan
selama 3x24 jam haluaran cairan membantu
diharapkan Kelebihan setiap pergantian menentukan status
volume cairan terkontrol cairan pasien.
dengan Kriteria Hasil: b. Timbang beratb. Penimbangan berat
a. Pasien tidak menunjukan badan tiap hari badan harian adalah
tanda-tanda akumulasi pengawasan status
cairan. cairan terbaik.
b. Pasien mendapatkan volume Peningkatan berat
cairan yang tepat. badan lebih dari 0,5
kg/hari diduga ada
retensi cairan.
c. Suatu diet rendah
natrium dapat
mencegah retensi
cairan
c. Programkan
pasien pada diet
rendah natriumd. Edema terjadi
selama fase edema terutama pada
jaringan yang
d. Kaji kulit, wajah, tergantung pada
area tergantung tubuh.
untuk edema.
Evaluasi derajat
edema (pada skalae. Mengkaji
+1 sampai +4). berlanjutnya dan
e. Awasi penanganan
pemerikasaan disfungsi/gagal ginjal.
laboratorium, Meskipun kedua nilai
contoh: BUN, mungkin meningkat,
kreatinin, natrium, kreatinin adalah
kalium, Hb/ht, foto indikator yang lebih
dada baik untuk fungsi
ginjal karena tidak
dipengaruhi oleh
hidrasi, diet, dan
katabolisme jaringan.
f. Diberikan dini
pada fase
oliguria untuk mengub
ah ke fase
nonoliguria, untuk
melebarkan lumen
tubular dari
debris, menurunkan
f. Berikan obat hiperkalimea, dan
sesuai indikasi meningkatkan volume
Diuretik, contoh urine adekuat
furosemid (lasix),
mannitol (Os-
mitol;
c. Tawarkan
perawatan mulutd. meminimalkan
sebelum dan anoreksia dan mual
sesudah makan . sehubungan dengan
d. Berikan makanan status uremik
sedikit tapi sering.
e. Memenuhi kebutuhan
protein, yang hilang
bersama urine.
f. Pasien cenderung
e. Berikan diet tinggi mengonsumsi lebih
protein dan rendah banyak porsi makan
garam. jika ia diberi beberapa
makanan
kesukanannya.
f. Berikan makanang. Indikator kebutuhan
yang disukai dan nutrisi, pembatasan,
menarik dan efektivitas terapi.
g. Awasi
pemeriksaan
laboratorium,
contoh: BUN,
albumin serum,
transferin, natrium,
dan kalium.
3 Setelah dilakukan tindakana. Awasi TTV a. Hipotensi ortostatik
selama 3x24 jam dan takikardi indikasi
diharapkan Resiko hipovolemia.
kehilangan cairan tidak b. Membantu
terjadi dengan Kriteria memperkirakan
Hasil: Tidak ditemukannyab. Kaji masukan dan kebutuhan
atau tanda- haluaran cairan. penggantian cairan.
tandanya kehilangan cairan Hitung kehilanganc. Membran mukosa
intravaskuler seperti: tak kasat mata. kering, turgor kulit
a. Masukan dan keluaran buruk, dan penurunan
seimbang c. Kaji membran nadi dalah indikator
b. Tanda vital yang stabil mukosa mulut dan dehidrasi
c. Elektrolit dalam batas elastisitas turgord. penggantian cairan
normal kulit tergantung dari berapa
d. Hidrasi adekuat yang banyaknya cairan
ditunjukkan dengan yang hilang atau
turgor kulit yang normal dikeluarkan.
d. Berikan cairane. Pemberian cairan
sesuai indikasi ; parenteral diperlukan,
misalnya albumin dengan tujuan
mempertahankann
hidrasi yang adekuat.
f. Mengkaji untuk
penanganan medis
berikutnya
e. Berikan cairan
parenteral sesuai
dengan petunjuk
f. Awasi
pemerikasaan
laboratorium,
contoh protein
(albumin)
4 Setelah dilakukan tindakan a. Berikan motivasi a. Deteksi dini terhadap
selama 3x24 jam pada keluarga perkembangan klien.
diharapkan Rasa cemas untuk ikut secara
berkurang setelah mendapat aktif dalam
penjelasan dengan kriteria: kegiatan perawatan b. Peran serta keluarga
Klien mengungkapkan sudah klien. secara aktif dapat
tidak takut terhadap tindakanb. Jelaskan pada mengurangi rasa
perawatan, klien tampak klien setiap cemas klien.
tenang, klien kooperatif. tindakan yang akanc. Penjelasan yang
dilakukan. memadai
memungkinkan klien
c. Observasi tingkat kooperatif terhadap
kecemasan klien tindakan yang akan
dan respon klien dilakukan.
terhadap tindakan
yang telah
dilakukan
2.2.4 Evaluasi
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan sindrom nefrotik diharapkan
sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan teratasi
2. Meningkatnya asupan nutrisi
3. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
4. Penurunan kecemasan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan klinis, meliputi hal-
hal: Proteinuria masif> 3,5 gr/hr, Hipoalbuminemia, Edema, Hiperlipidemia. Manifestasi dari
keempat kondisi tersebut yang sangat merusak membran kapiler glomelurus dan menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus. (Muttaqin,
Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein, penurunan
albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan
lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).
Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer (Glomerulonefritis dan nefrotik
sindrom perubahan minimal), sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema Lupus Erimatosis, dan
Amyloidosis), dan idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).Tanda paling umum adalah
peningkatan cairan di dalam tubuh. Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah
kelebihan volume cairan berhubungan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko
kehilangan volume cairan intravaskuler, dan kecemasan.
3.2 Saran
Demikian makalah yang kami sampaikan. Kami berharap agar makalah yang kami buat ini
dapat bermanfaat bagi para dosen, teman-teman dan pembaca sekalian.
0
Tambahkan komentar
3.
MAR
0
Tambahkan komentar
Memuat
Tema Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.