Satuan Acara Penyuluhan (Nurqaulan)
Satuan Acara Penyuluhan (Nurqaulan)
Disusun oleh :
Nurqaulan Karima Gustari
(NIM : P0 5130218 034)
JURUSAN D IV GIZI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
(POLTEKKES) BENGKULU / 2018
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Penderita lupus di Indonesia pada tahun 1998 tercatat 586 kasus, ternyata
setelah tahun 2005 telah mencapai 6.578 penderita. Penderita yang meninggal
mencapai sekitar 100 orang. Pada tahun 2008, tercatat 8.693 penderita lupus dan
43 orang meninggal. Kemudian, sampai dengan April 2009, tercatat 8.891
penderita lupus dan 15 meninggal (Djoerban 2007, dalam Judha, dkk, 2015).
Peningkatan kasus lupus kini signifikan. Mulai Januari 2015, pasien lupus
yang datang berobat ke RSUD dr. Moewardi mencapai 15-20 orang per hari.
Peningkatan tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 1-3 pasien.
Meningkat signifikan, terutama mulai Januari 2015 (Ciptati, dalam RRI Post,
2015).
Tujuan
Menyimak
Menjelaskan pokok bahasan
Memberikan kesempatan
Bertanya
peserta penyuluhan untuk
bertanya
Menyimpulkan materi
Memperhatikan
penyuluhan bersama peserta
penyuluhan
Menjawab
Memberikan evaluasi secara
lisan
E. Evaluasi
1. Prosedur : Akhir penyuluhan
2. Waktu : 5 menit
3. Bentuk soal : Tanya jawab
4. Jumlah soal : 3 soal
5. Jenis soal : 1. Apa yang dimaksud dengan SLE ?
2.Apa penyebab SLE ?
3.Bagaimana tanda dan gejala SLE ?
TEORI
SYSTEM LUPUS ERITEMATOSUS
(SLE)
A. Defenisi SLE
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) adalah
penyakit autoimun multisistem dengan perbedaan gejala klinis. Fungsi sistem
imun yang abnormal dan pembentukan antibodi terhadap antigen diri menjadi
dasar patogenesis dari SLE. Ciri dari SLE adalah pengembangan autoantibodi
nuclear selular yang mengarah kepada penyakit autoimun peradangan kronis
(Dipiro et. al., 2005).
B. Etiologi
Etiologi produksi autoantibodi abnormal dan pengembangan SLE masih
belum diketahui. Faktor genetik, lingkungan, dan hormonal semua mungkin
memainkan peran dalam hilangnya toleransi diri dan ekspresi penyakit (Dipiro, et
al., 2005). Beberapa gen berkontribusi dalam kerentanan SLE, dan setidaknya 100
gen telah dikaitkan dengan SLE pada manusia. Bukti menunjukkan bahwa besar
gen MHC (Major Hiscompatibility Complex), terutama beberapa gen HLA
(Human Leukocyte Antigen), mungkin berperan penting dalam lupus. Agen
lingkungan yang mungkin memiliki peran dalam induksi atau aktivasi SLE
termasuk sinar matahari (sinar ultraviolet), obat-obatan, bahan kimia seperti
hidrazin (ditemukan dalam tembakau) dan amina aromatik (ditemukan dalam
pewarna rambut), diet, estrogen lingkungan, dan infeksi virus atau bakteri. Selain
itu, androgen dapat menghambat dan estrogen meningkatkan ekspresi
autoimunitas, dan peningkatan sirkulasi kadar prolaktin telah dikaitkan dengan
lupus pada laki-laki dan perempuan (Dipiro, et al., 2005).
C. Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan
aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi,
hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun
(Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya
stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia,
DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam
yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells
(APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses
oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA
yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang
dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi
antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin,
molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel
Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel
tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE
ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang
berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi
IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat
membantu meningkatkan ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat
berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B
terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen. Pada
sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun
(Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp
90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel
limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan
dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi
terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall,
1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset
tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan
kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset
sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis
dan sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003).
Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu
jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3
mekanisme yaitu:
1. Kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran
jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan
jaringan.
2. Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang
terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi
kerusakan jaringan.
3. Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi
komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke
dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya
fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan
jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take
kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat
disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan
IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga
berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya
gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem
imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa
ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator
inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya
(Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat
menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin
yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis
sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui
kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine
(PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada
di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP,
dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui
reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah
ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor
FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis
yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis
yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).
E. Diagnosa
American College of Rheumatology (ACR) mengembangkan kriteria
untuk mengidentifikasi pasien lupus. Kriteria ini dikembangkan pada tahun 1971,
direvisi pada tahun 1982, dan dimodifikasi sedikit pada tahun 1997. Kriteria tidak
mencakup semua manifestasi klinis penyakit dan digunakan terutama untuk
membedakan SLE dari penyakit collagen-vascular lainnya (Dipiro, et al., 2005).
Kriteria klasifikasi Lupus Sistemik Erythematosus (Dipiro, et al., 2005) :
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
fotikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik.
Fotosensifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter
Arthritis Arthritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri perifer, ditandai oleh nyeri tekan,
bengkak atau efusia.
Serositis a. Pleuritis - Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritik friction
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura
atau
b. Perikarditis – Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardial friction rub atau terdapatbukti effusi
pericardium
Gangguan renal a. Proteinuria menetap > 50 gram perhari atau > 3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder sekunder : dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan
neurologi gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit)
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan dan
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis atau
ketidak seimbangan elektrolit)
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
hematologik atau
b. Leukopenia < 4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
atau
c. Limfofenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan obat-
obatan.
Gangguan a. Anti DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
imunologik yang abnormal.
atau
b. Anti-Sm:terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm
atau
c. Temuan posistif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas :
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM
2) Tes lupus anti koagulanpositif menggunakan metoda
standar, atau
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi
dengan tes imobilisasi Treponema pollidium atau tes
fluoresensi absorbsi antibodi treponema
Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
antinuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
positif (ANA) pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan
sindroma lupus yang diinduksi obat
1. Non Farmakologi
b. Antimalaria
Obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin telah digunakan
dengan sukses dalam pengobatan lupus diskoid dan SLE. Terapi antimalaria ini
dapat mengendalikan eksaserbasi penyakit. Karena obat ini tidak efektif dengan
segera, obat malaria ini baik digunakan dalam pengelolaan jangka panjang.
Hydroxychloroquine mungkin lebih aman daripada klorokuin dan dianggap
sebagai antimalaria dari pilihan pertama.Secara umum, manifestasi dari SLE yang
dapat diobati dengan antimalaria adalah artralgia, pleuritis, peradangan
ringan, kelelahan dan leukopenia. Mekanisme kerja dari obat antimalaria ini yaitu
dapat mengganggu aktifasi limfosit-T. Efek lain dari antimalaria yang mungkin
bermanfaat bagi pasien SLE termasuk penghambatan sitokin, penurunan
sensitivitas terhadapsinar ultraviolet, aktivitas anti-inflamasi, efek antiplatelet, dan
antihiperlipidemia (Dipiro et.al, 2005).
Dosis dan lama terapi tergantung pada respon pasien. Dosis yang
disarankan pada SLE yaitu hydroxychloroquine 200 – 400mg/hari dan
chloroquine 250 – 500mg/hari. Setelah 1 atau 2 tahun pengobatan, maka dosis
diturunkan secara bertahap.Efek samping dari obat ini diantaranya sakit kepala,
gelisah, insomnia, ruam, pigmentasi perubahan kulit dan rambut dan toksisitas
mata reversibel seperti gangguan pada kornea. Evaluasi harus dilakukan pada
awal dan setiap 3 bulan ketika menggunakan klorokuin dan setiap 6 sampai 12
bulan ketika menggunakan hidroksiklorokuin(Dipiro et.al, 2005).
3. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat digunakan dalam terapi untuk SLE. Pada lupus
nefritis dapat dilakukan dengan menggunakan terapi kortikosteroid. Seorang
pasien tidak langsung memerlukan terapi kortikosteroid, tapi apabila tidak
menimbulkan respon terhadap NSAID atau antimalaria baru digunakan
kortikosteroid. Tujuan dari pengobatan dengan kortikosteroid pada SLE yaitu
untuk menekan dan mempertahankan penyakit yang aktif dengan dosis serendah
mungkin. Pada pasien dengan penyakit yang ringan, terapi dosis rendah
(Prednison 10-20 mg/hari), tetapi pada pasien yang dengan penyakit lebih parah,
memerlukan dosis yang lebih tinggi (Prednison 1-2 mg/kgBB/hari). Dan setelah
efek dicapai, maka dosis diturunkan secara berangsur-angsur untuk menekan
penyakit lanjutan. Selain itu, pada penggunaan kortikosteroid ini juga harus
dipertimbangkan hal yang lain yang dapat meningkatkan resiko kortikosteroid,
seperti infeksi, hipertensi, penyakit arterosklerosis, diabetes, obesitas, dan
osteoporosis (Dipiro et.al, 2005).
4. Cytotoxic
Obat-obat sitotoksik ini adalah siklofosfamid (agen pengalkilasi) dan
azathioprine (antimetabolit). Obat sitotoksik ini biasanya digunakan dalam
kombinasi dengan kortikosteroid, telah menjadi andalan terapi imunosupresif.
Terapi sitotoksik kombinasi dengan kortikosteroid, memungkinkan dosis steroid
yang lebih rendah dan meningkatkan hasil terapi dibandingkan dengan steroid
tunggal.Namun, terapi sitotoksik harus dimonitor efek sampingnya, dan respon
maksimum 6 bulan atau lebih pada beberapa pasien (Dipiro et.al, 2005).
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus Erythematosus/SLE) adalah
penyakit autoimun multisistem dengan perbedaan gejala klinis. Fungsi sistem
imun yang abnormal dan pembentukan antibodi terhadap antigen diri menjadi
dasar patogenesis dari SLE. Ciri dari SLE adalah pengembangan autoantibodi
nuclear selular yang mengarah kepada penyakit autoimun peradangan kronis.
B. SARAN
Saya menyadari bahwa SAP ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar
dalam pembuatan SAP selanjutnya bisa lebih baik lagi, atas perhatiannya
penulis ucapkan terimakasih.
LAMPIRAN