Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur kehadirat Allah Swt untuk rahmat, bimbingan dan hidayah-
Nya, makalah ini akhirnya dapat diselesaikan dalam tepat waktu dan tidak lupa
penyusunmengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu referensi, acuan
maupun pedoman bagi pembaca dalam mempelajari tentang peran militer dalam
politik di masa orde lama dan orde baru.
Harapan penyusun, semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca.Penyususn mengakui bahwa makalah ini
belum sempurna. Oleh karena itu, tim penyusun berharap kepada pembaca supaya
dapat memeberi masukkan serta komentar yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan makalah ini, sehingga penyusun dapat memperbaiki susunan
maupun isi dari makalah ini menjadi lebih baik untuk ke depannya.

Subang, Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Lahirnya Tentara Nasional Indonesia .............................................. 3
2.2 Asal-mula Peranan Politik Tentara .................................................. 3
2.3 Tentara sebagai Kekuatan Politik 1945-1965.................................. 4
2.3.1 Masa Demokrasi Parlementer ................................................ 5
2.3.2 TNI-AD dan Jatuhnya Kabinet Ali ........................................ 6
2.4 Krisis Nasional 1965-1966 dan Benih Dominasi Politik Oleh
Militer .............................................................................................. 6
2.4.1 Kudeta Berdarah dan PKI ...................................................... 6
2.4.2 Tampilnya Jenderal Soeharto sebagai Figure-Head
TNI-AD .................................................................................. 7
2.4.3 Gerakan 30 September Digagalkan ........................................ 7
2.5 Surat Perintah 11 Maret ................................................................... 8
2.6 Pengebirian Partai-Partai Politik ..................................................... 9

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu organ yang perlu dimiliki pemerintah suatu Negara adalah
militer, yang merupakan suatu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan
disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil.
Finer mengemukakan tujuan pokok adanya militer dalam suatu Negara yaitu:
untuk bertempur dan memenangkan peperangan guna mempertahankan dan
memelihara eksistensi Negara. Fungsi militer di dalam Negara adalah melakukan
tugas dibidang pertahanan dan keamanan, yang disebut “fungsi militer”.
Sedangkan tugas tugas di luar bidang pertahanan dan keamanan negara menjadi
tugas golongan sipil.
Akan tetapi, kaum militer di Negara berkembang dalam kadar yang
berbeda-beda dan dengan variasi yang bermacam-macam melakukan fungsi sosial
dan politik, memikul tugas-tugas sipil, bahkan memegang peranan politik yang
dominan melebihi kaum sipil. Ada beberapa sebab yang mendorong militer secara
aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik.Factor-faktor ini
lebih terletak pada kehidupan politik atau system politik, bukan pada militer, dan
dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, rangkaian-sebab yang menyangkut adanya
ketidakstabilan system politik. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terbukanya
kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam
kehidupan politik. System politik yang peka ini pula yang paling sering
mengakibatkan timbulnya hal-hal yang mendikreditkan pemerintahan sipil.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan rumusan
masalahnya sebagai berikut: “Bagaimana Peran serta Militer dalam Politik di
Masa Orde Lama dan Orde Baru ?”

1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut:
1. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk pengumpulan tugas mata kuliah
Sistem Politik Indonesia.
2. Untuk mengetahui peran militer dalam politik di masa orde lama dan
orde baru.

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1. Bahan informasi dan kajian bagi akademisi terkait peran militer dalam
politik di masa orde lama dan orde baru, khususnya mahasiswa
Hubungan Internasional se-Indonesia.
2. Manfaat praktis: di mana dalam manfaat praktisnya penulisan makalah
ini diharapkan untuk mengajukan penelitian selanjutnya seperti:
penulisan tugas-tugas selanjutnya, proposal dan skripsi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Lahirnya Tentara Nasional Indonesia


Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, adalah
sumber daripada seluruh tatanan dan kehidupan politik bagi Indonesia sebagai
Negara baru.Sehari setelah pernyataan kemerdekaan itu, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia mulai mengadakan tiga kali sidang untuk membicarakan
hal-hal yang urgen sehubungan dengan telah berdirinya Reublik Indonesia.
Kalangan pemuda dan pejuang bersenjata mempunyai anggapan yang kuat,
bahwa adalah suatu kelambatan dan kesalahan besar yang dilakukan pimpinan
kemerdekaan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan itu tidak serta merta juga disertai
dengan pernyataan atau dekrit oleh pimpinan Negara dan revolusi untuk
menjadikan bekas-bekas Heiho dan PETA menjadi tentara nasional sebagai
Angkatan Perang Negara yang merupakan aparat vital yang menentukan tegak
rubuhnya serta timbul tenggelamnya Negara.
TNI adalah tentara yang menciptakan diri sendiri (self created army),
artinya bahwa mereka tidak diciptakan oleh pemerintah, juga tidak oleh suatu
partai politik sebagaimana layaknya terjadi pada negara demokratis
lainnya. Tentara Indonesia terbentuk, mempersenjatai diri dan mengorganisasi
dirinya sendiri. Hal ini terjadi akibat adanya keengganan pemerintah sipil pada
waktu itu untuk menciptakan tentara. Pemerintah pusat yang didominasi oleh
generasi tua dibawah pimpinan Soekarno, berharap bisa mencapai kemerdekaan
secara damai. Namun, Tentara Indonesia yang pada saat itu dimotori oleh para
pemuda berpendapat lain dengan Sukarno, mereka kemudian berinisiatif untuk
mempersenjatai diri dan mendirikan organisasi tentara sendiri, dengan tekad untuk
mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan tersebut.

2.2 Asal-mula Peranan Politik Tentara


Persepi tentara mengenai dirinya sebagai kekuatan politik berasal dari
perbedaan yang kabur tentang fungsi militer dan fungsi politik dalam masa perang

3
kemerdekaan melawan Belanda.Sifat perjuangan itu bersifat politik sekaligus
militer.Para pemuda yang waktu itu mngangkat senjata melawan Belanda tidak
didorong oleh keinginan untuk membina karir dalam kehidupan militer, tetapi
oleh semangat patriotic yang dinyatakan terhadap republik yang telah
diproklamasikan oleh para politisi dari kalangan nasionalis.Watak perjuangan
tersebut selanjutnya telah memperkuat kecondongan golongan militer ke soal-soal
politik.Tiadanya tradisi yang apolitis di kalangan tentara lebih memudahkan para
pemimpin tentara memainkan peran-peran mereka semacam revolusi.
Para akademisi lulusan Belanda yang bertolak dari paham Barat
mengindoktrinasi agar tentara bersikap netral dalam politik, para pemimpin
tentara nonprofessional yang dilatih Jepang menganggap tidak perlu merasa
enggan untuk terlibat dalam dunia politik, sementara para pemuda yang memasuki
kesatuan-keatuan laskar sering pula menjadi anggota-anggota salah satu
organisasi politik atau organisasi yang lain. Dengan demikian, terdapat
pemimipin-pemimpin korps termasuk beberapa komandan yang berpandangan
bahwa angkatan bersenjata adalah alat Negara yang bersifat non-politik,
sementara banyak pula yang merasa siap memasuki gelanggang perpolitikan.
Hingga pada akhirnya, kejadian-kejadian antara tahun 1956 dan 1958 telah
memberikan pengaruh amat luas, baik terhadap system politik Indonesia secara
keseluruhan maupun peranan Angkatan Darat di dalamnya. Keadaan darurat
perang telah membuka jalan bagi perluasan yang cepat dari peranan tentara bukan
saja di bidang politik tetapi juga di bidang-bidang administrasi umum dan
pengelolaan ekonomi. Setelah membuktikan bahwa tentara adalah kekuatan yang
tak mungkin terelakkan dalam menghadapi krisis yang ditimbulkan oleh
pemberontakkan, pimpinan tentara telah menegaskan pula tuntutannya akan peran
yang lebih kuat dalam pemerintahan.

2.3 Tentara sebagai Kekuatan Politik 1945-1965


Tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan
militer.Para perwira beranggapan bahwa peranan mereka di bidang politik
sesewaktu diperlukan, tetapi mereka tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik

4
yang utama di tengah-tengah arena. Namun, sepadan dengan kelemahan
kehidupan politik yang disebabkan oleh system parlementer yang makin lama
makin nyata, telah memperkuat keyakinan di kalangan perwira-perwira militer
bahwa mereka juga memiliki beban tanggung jawab untuk campur tangan agar
Negara dapat diselamatkan.
Dalam seminar pertama yang diselenggarakan pada bulan April 1965,
tentara mencetuskan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata
memiliki peranan rangkap yaitu sebagai “kekuatan militer” dan “kekuatan sosial
politik”. Sebagai “kekuatan sosial politik”, kegiatan-kegiatan tentara meliputi
bidang-bidang “ideology, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan”.
2.3.1 Masa Demokrasi Parlementer
Peristiwa 17 Oktober 1952 serta kejadian yang mengawali dan
mengakhirinya, mungkin dapat dilihat sebagai suatu peristiwa yang paling dapat
menjelaskan awal keterlibatan kembali tentara dalam percaturan politik pada masa
ini. Pada saat itu terjadi demonstrasi di gedung parlemen, demonstrasi dilakukan
oleh sekitar 5000 orang dan kemudian bertambah sampai sekitar 30.000
orang. Demonstrasi ini kemudian bergerak ke istana presiden, dimana massa
menuntut pembubaran parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru, serta
menuntut segera dilaksanakannya pemilihan umum.
Peristiwa ini dipicu oleh mosi Manai Sophiaan, Sekretaris Jenderal PNI,
yang diawali oleh serangkaian kegiatan politik di parlemen yang menurut
penilaian TNI telah mencampuri teknis militer. Mosi Manai Sophiaan bermula
dari rencana TNI untuk me-reorganisasi TNI menjadi tentara Indonesia yang
profesional dan “to transform the existing army into highly trained core
army”. Rencana ini disetujui dan didukung oleh Menteri Hamengkubuwono,
namun rencana demobilisasi ini ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno yang
pada bulan Juli 1952 kemudian mendesak kepada Presiden Sukarno untuk
mengganti Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution. Akibat konflik
intern Angkatan Darat ini, Kolonel Bambang Supeno kemudian dipecat.

5
2.3.2 TNI-AD dan Jatuhnya Kabinet Ali
Pada tanggal 2 Mei 1955, seminggu setelah Konferensi Asia Afrika digelar,
KSAD Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya, didorong oleh
ketidakmampuannya melaksanakan amanat Piagam Yogya sebagai buntut dari
penyelesaian peristiwa 17 Oktober. Untuk menduduki jabatan tersebut, kabinet
berketetapan akan mengangkat salah satu perwira dari “kelompok anti 17
Oktober” dan segera mengajukan calon-calonnya, namun pimpinan TNI AD
menjelang akhir Mei menegaskan bahwa pengisian dan pengangkatan KSAD
harus didasarkan pada senioritas dan kecakapan sejalan dengan kepentingan
militer. Tetapi kemudian kabinet Ali memutuskan untuk mengangkat Kolonel
Bambang Utojo menjadi KSAD yang baru, yang sebenarnya pada saat itu
senioritasnya masih rendah. Pimpinan TNI menolak keputusan tersebut, dan
menganacam akan melakukan boycott terhadap pengangkatan Bambang Utojo
apabila tetap akan dilaksanakan. Pada hari pengangkatan Kolonel Bambang Utojo
dengan suatu upacara pelantikan sebagai KSAD, dengan pangkat Mayor Jenderal,
Pimpinan TNI dan para perwira yang diundang memboikotnya atas perintah
Pejabat KSAD Zulkifli Lubis, dan Lubis menolak untuk menyerahkan otoritasnya
kepada Bambang Utojo.

2.4 Krisis Nasional 1965-1966 dan Benih Dominasi Politik Oleh Militer
Meletusnya peristiwa “Gerakan 30 September” pada tanggal 1 September
1965, merupakan suatu turning point dalam perkembangan politik nasional
Indonesia.Selama Republik Indonesia berdiri, kejadian ini adalah yang paling
mengancam eksistensi dan keutuhan Negara.Yang paling penting dalam hubungan
ini ialah bahwa krisis yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September telah menjadi
momentum yang membuka pintu selebar-lebarnya kepada TNI-AD untuk
kemudian memegang peranan politik dan pemerintahan.
2.4.1 Kudeta Berdarah dan PKI
Menjelang fajar tanggal 1 Oktober 1965, enam orang perwira tinggi dari
Pimpinan TNI-AD diculik dan kemudian dibunuh dalam suatu suasana “pesta

6
para harum bunga" di Lubang Buaya, di daerah dalam kompleks Pangkalan Udara
AURI Halim Perdana Kusuma.
PASUKAN Bimassakti yang dipimpin Kapten Suradi telah menguasai pusat
jaringan komunikasi dan siaran pusat (RRI) Radio Republik Indonesia, pada
tanggal 1 Oktober pukul 7.20.RRI menyiarkan tentang telah dilaksanakannya
suatu gerakan bernama “Gerakan 30 September” di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, Pasukan Pengawal
Pribadi Presiden Soekarno.
Pada pukul 14.00, RRI menyiarkan “Dekrit No. I” yang pokok isinya
adalah: (1) telah dilakukan pembersihan di Jakarta oleh Gerakan 30 September
terhadap anggota Dewan Jenderal yang merencanakan akan melakukan kudeta
menjelang 5 Oktober, dan beberapa orang jenderal telah ditangkap oleh “Gerakan
30 September”, serta kekuasaan sepenuhnya berada di dalam tangan gerakan; (2)
GERAKAN 30 September adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat; (3) oleh
Pimpinan Gerakan 30 September segera akan dibentuk suatu Dewan Revolusi
Indonesia yang merupakan sumber daripada segala kekuasaan di dalam Negara
Republik Indonesia; (4) Kabinet Dwikora – yang dipimpin Presiden Soekarno –
dinyatakan demisioner dengan sendirinya.
2.4.2 Tampilnya Jenderal Soeharto sebagai Figure-Head TNI-AD
Pergolakan yang ditimbulkan oleh “Gerakan 30 September” etlah
menampilkan seorang Jenderal yang sebelum meletusnya peristiwa itu kurang
dikenal dalam percaturan politik di Indonesia, seorang Jenderal yang hampir
sepenuhnya memainkan kecakapannya di bidang militer; Mayor Jenderal
Soeharto.
2.4.3 Gerakan 30 September Digagalkan
Ada dua factor pokok yang menggagalkan kudeta “Gerakan 30
September”.Pertama, anak buah Letnan Kolonel Untung tidak berhasil menculik
dan membinasakan Jenderal A.H. Nasution.Nasution adalah seorang perwira
senior yang masih bertugas aktif dalam bidang militer dan berpengalaman dalam
memimpin strategi gerilya, yang justru telah pula memimpin TNI, Angkatan Darat
khususnya dalam memasuki arena percaturan politk.

7
Factor kedua, para perencana dan pimpinan “Gerakan 30 September”
mengabaikan Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (KOSTRAD) untuk sekurang-kurangnya dinetralisasikan lebih
dahulu sebelum kudeta dilancarkan. Soeharto adalah seorang nasionalis yang kuat
serta setia kepada Jenderal Ahmad Yani serta Nasution yang anti-
komunis.Soeharto memegang komando pasukan KOSTRAD yang memiliki
pasukan tempur yang amat ampuh serta unit-unit pasukan lapis baja yang sangat
kuat, yang kesemuanya dapat bergerak secara bebas dari Staf Umum Angkatan
Darat.

2.5 Surat Perintah 11 Maret


Pengumuman Preisden Soekarno mengenai perubahan keanggotaan cabinet
merupakan puncak dari serangkaian tindakan sejak dua bulan terakhir untuk
menegakkan kembali kekuasaannya.Tindakannya memberhentikan Nasution dan
beberapa menteri yang pro-Angkatan Darat, lalu mengangkat kembali Subandrio
dan lain-lain yang merupakan lawan utama pimpinan Angkatan Darat.Hal ini
menunjukkan bahwa Presiden tidak berniat untuk menerima tuntutan Angkatan
Darat untuk peran dominan dalam pemerintahan. Pengangkatan menteri
pertahanan dan keamanan member indikasi bahwa ia akan mengisolasi pimpinan
Angkatan Darat dengan harapan baha Soeharto akan menerima kdudukan sebagai
bawahan.
Soeharto menyadari semakn merenggangnya keterikatan para pendukung
presiden dalam kalangan Angkatan Darat, dan merupakan obsesi baginya untuk
menghindari tindakan terlalu awal yang dapat membalikkan situasi, menjadikan
perwira-perwira pro-Soekarno merasa perlu untuk menyatakan berpihak kepada
presiden melaan pimpinan Angkatan Darat. Jalan yang dipilih yakni member restu
kepada sekelompok perwira yang sangat anti-Soekarno yang member dukungan
kepada para mahasiswa untuk menciptakan suasan anarkis di ibu kota. Setelah
situasi mulai tidak terkendali, presiden merasa perlumeminta bantuan Soeharto
yang dianggap moderat untuk memulihkan keamanan daripada membiarkan
sekelompok tentara yang ekstrim mendapatkan kemenangan.

8
Pada tanggal 11 Maret sidang cabinet lengkap berlangsung di
Jakarta.Mahasiswa kembali turun ke jalan menghalangi lalu lintas, walaupun ada
gangguan tersebut, semua menteri dapat hadir.Namun Soeharto tidak menghadiri
pertemuan tersebut dikarenakan sakit tenggorokan ringan. Saat pertemuan
berlangsung, sebuah nota yang bertuliskan bahwa sekelompk pasukan tak dikenal
telah mengepung depan istana, telah diberikan kepada presiden melalui
ajudannya. Mengetahui hal tersebut, presiden, Subandrio dan Chaerul Saleh pergi
meninggalkan istana menggunakan helicopter.

2.6 Pengebirian Partai-Partai Politik


Munculnya Angkatan Darat ke posisi dominan yang tak tertandingi dalam
pemerintahan disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politik sipil, sebagian
besar lainnya menerima hal itu sebagai hal yang tak terhindarkan.Pemerintahan
Angkatan Darat bermaksud menjamin iklim politik yang lebih stabil.
Walaupun Angkatan Darat memperketat penguasaannya atas pemerintahan
pada tahun 1966-1967, partai-partai politik tetap mewakili kekuatan-kekuatan
yang sesungguhnya dalam masyarakat.terlepas dari peranan yang semakin kecil
dari partai-partai non-komunis di dalam percaturan politik di Jakarta pada masa
Demokrasi Terpimpin, massa di pedesaan tetap menganggap diri anggota salah
satu partai politik.
Pemimpin-pemimpin Angkatan Darat kemudian memperbaiki strateginya
terhadap partai-partai politik dalam pertengahan tahun 1967, yakni mereka tidak
terlampau memperhatikan pembersihan parta-partai dari pendukung Orde Lama,
tapi lebih sibuk menggalang basis kerja samadi mana partai-partai tidak akan
menentang peranan utama Angkatan Darat.
Penasihat-penasihat presiden Soeharto agak ragu-ragu dan merasa tidak
pastitentang diadakannya pemilihan umum pada tahun 1971 seperti yang
direncanakan MPRS, dan presiden tidak menjelaskan kepada pemimpin-
pemimpin partai apakah pemilihan akan benar-benar dilaksanakan, sampai bulan
Oktober 1969.

9
Dalam memutuskan untuk melanjutkan pemilu, pemerintah menerima
pandangan bahwa hasil pemilu hanya akan memperkuat status quo parlemen yang
kira-kira 60 persen dari kursinya diduduki oleh wakil-wakil partai. Walaupun
pemerintah merencanakan untuk mengembangkan Sekretariat Bersama Golongan
Karya, pemerintah tidak telalu berharap dapat menciptakan mesin pemilihan yang
benar-benar dapat menyusutkan art-arti pemerintahan yang telah mapan.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemrintah dan Angkatan Darat
untuk memperkuat Golkarternyata lebih efektif dari perkiraan semula.Pada
tanggal 5 Juli 1975, Golkar mencatat kemenangan yang meyakinkan,
memenangkan 62,8% suara yaitu 236 dari kursiyang diperebutkan, sehingga
memberikan mayoritas luar biasa dalam DPR bagi pemerintah. Kemenangan
Golkar secara drastic telah mengurangi kemampuan beroposisidari organisasi-
organisasi sipil terhadap regim tentara.
Terlepas dari keberhasilan dalam pemilu, Golkar pada dasarnya adalah hasil
ciptaan para penguasa militer dan tidak dapat dipisahkan identitasnya dari mereka.
Golkar yang tidak berlandaskan suatu organisasi partai dan tidak memiliki akar
sama sekali di masyarakat, adalah sebuah federasi yang majemuk yang
dimobilisasi pihak tentara secara temporer dengan maksud untuk melemahkan
kedudukan partai-partai politik.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Angkatan Darat Indonesia berbeda dengan Angkatan Darat pada umumnya
yang telah merebut kekuasaan politik, karena tidak pernah sebelumnya
menganggap diri sebagai suatu organisasi yang tidak berpolitik. Dari awal
sejarahnya dalam tahun 1945 sebagai tentara gerilya yang memerangi kembalinya
kekuasaan penjajah Belanda sampai konsolidasi kekuasaan politiknya di bawah
Orde Baru, para perwira Angkatan Darat Indonesia senantiasa melibatkan dirinya
ke dalam masalah-masalah politik dan hampir sepanjang masa itu dengan giat
memainkan peran politik yang penting.
Walaupun kekuasaan militer terhadap pemerintahan nampaknya tak
tertandingi, namun tampak adanya tanda-tanda bahwa posisi kelompok jenderal-
jenderal “politik” dan “uang” semakin tidak mantap. Apabila jenderal-jenderal
Angkatan 1945 yang telah berjuang telah mencapai usia pension, suatu generasi
baru dari perwira-perwira dengan latar belakang pendidikan akademis telah tampil
pada posisis-posisi tingkat menengah.

11
DAFTAR PUSTAKA

Finer, S. (1962). The Man On HorseBack: The Role of The Military in Politics.
New York, N.Y: Frederick. A. Praeger.
Lovell, J. P., & Kim, C. E. (1967). The Military and Political Change in Asia.
Pacific Affairs: University of British Columbia.
Muhaimin, Y. A. (2005). Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-
1965. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

12

Anda mungkin juga menyukai