Militer Politik Di Masa Orde Lama Dan or
Militer Politik Di Masa Orde Lama Dan or
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
1.4 Manfaat Penulisan ........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Lahirnya Tentara Nasional Indonesia .............................................. 3
2.2 Asal-mula Peranan Politik Tentara .................................................. 3
2.3 Tentara sebagai Kekuatan Politik 1945-1965.................................. 4
2.3.1 Masa Demokrasi Parlementer ................................................ 5
2.3.2 TNI-AD dan Jatuhnya Kabinet Ali ........................................ 6
2.4 Krisis Nasional 1965-1966 dan Benih Dominasi Politik Oleh
Militer .............................................................................................. 6
2.4.1 Kudeta Berdarah dan PKI ...................................................... 6
2.4.2 Tampilnya Jenderal Soeharto sebagai Figure-Head
TNI-AD .................................................................................. 7
2.4.3 Gerakan 30 September Digagalkan ........................................ 7
2.5 Surat Perintah 11 Maret ................................................................... 8
2.6 Pengebirian Partai-Partai Politik ..................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu organ yang perlu dimiliki pemerintah suatu Negara adalah
militer, yang merupakan suatu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan
disiplin untuk melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil.
Finer mengemukakan tujuan pokok adanya militer dalam suatu Negara yaitu:
untuk bertempur dan memenangkan peperangan guna mempertahankan dan
memelihara eksistensi Negara. Fungsi militer di dalam Negara adalah melakukan
tugas dibidang pertahanan dan keamanan, yang disebut “fungsi militer”.
Sedangkan tugas tugas di luar bidang pertahanan dan keamanan negara menjadi
tugas golongan sipil.
Akan tetapi, kaum militer di Negara berkembang dalam kadar yang
berbeda-beda dan dengan variasi yang bermacam-macam melakukan fungsi sosial
dan politik, memikul tugas-tugas sipil, bahkan memegang peranan politik yang
dominan melebihi kaum sipil. Ada beberapa sebab yang mendorong militer secara
aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik.Factor-faktor ini
lebih terletak pada kehidupan politik atau system politik, bukan pada militer, dan
dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, rangkaian-sebab yang menyangkut adanya
ketidakstabilan system politik. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terbukanya
kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam
kehidupan politik. System politik yang peka ini pula yang paling sering
mengakibatkan timbulnya hal-hal yang mendikreditkan pemerintahan sipil.
1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut:
1. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk pengumpulan tugas mata kuliah
Sistem Politik Indonesia.
2. Untuk mengetahui peran militer dalam politik di masa orde lama dan
orde baru.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
kemerdekaan melawan Belanda.Sifat perjuangan itu bersifat politik sekaligus
militer.Para pemuda yang waktu itu mngangkat senjata melawan Belanda tidak
didorong oleh keinginan untuk membina karir dalam kehidupan militer, tetapi
oleh semangat patriotic yang dinyatakan terhadap republik yang telah
diproklamasikan oleh para politisi dari kalangan nasionalis.Watak perjuangan
tersebut selanjutnya telah memperkuat kecondongan golongan militer ke soal-soal
politik.Tiadanya tradisi yang apolitis di kalangan tentara lebih memudahkan para
pemimpin tentara memainkan peran-peran mereka semacam revolusi.
Para akademisi lulusan Belanda yang bertolak dari paham Barat
mengindoktrinasi agar tentara bersikap netral dalam politik, para pemimpin
tentara nonprofessional yang dilatih Jepang menganggap tidak perlu merasa
enggan untuk terlibat dalam dunia politik, sementara para pemuda yang memasuki
kesatuan-keatuan laskar sering pula menjadi anggota-anggota salah satu
organisasi politik atau organisasi yang lain. Dengan demikian, terdapat
pemimipin-pemimpin korps termasuk beberapa komandan yang berpandangan
bahwa angkatan bersenjata adalah alat Negara yang bersifat non-politik,
sementara banyak pula yang merasa siap memasuki gelanggang perpolitikan.
Hingga pada akhirnya, kejadian-kejadian antara tahun 1956 dan 1958 telah
memberikan pengaruh amat luas, baik terhadap system politik Indonesia secara
keseluruhan maupun peranan Angkatan Darat di dalamnya. Keadaan darurat
perang telah membuka jalan bagi perluasan yang cepat dari peranan tentara bukan
saja di bidang politik tetapi juga di bidang-bidang administrasi umum dan
pengelolaan ekonomi. Setelah membuktikan bahwa tentara adalah kekuatan yang
tak mungkin terelakkan dalam menghadapi krisis yang ditimbulkan oleh
pemberontakkan, pimpinan tentara telah menegaskan pula tuntutannya akan peran
yang lebih kuat dalam pemerintahan.
4
yang utama di tengah-tengah arena. Namun, sepadan dengan kelemahan
kehidupan politik yang disebabkan oleh system parlementer yang makin lama
makin nyata, telah memperkuat keyakinan di kalangan perwira-perwira militer
bahwa mereka juga memiliki beban tanggung jawab untuk campur tangan agar
Negara dapat diselamatkan.
Dalam seminar pertama yang diselenggarakan pada bulan April 1965,
tentara mencetuskan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata
memiliki peranan rangkap yaitu sebagai “kekuatan militer” dan “kekuatan sosial
politik”. Sebagai “kekuatan sosial politik”, kegiatan-kegiatan tentara meliputi
bidang-bidang “ideology, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan”.
2.3.1 Masa Demokrasi Parlementer
Peristiwa 17 Oktober 1952 serta kejadian yang mengawali dan
mengakhirinya, mungkin dapat dilihat sebagai suatu peristiwa yang paling dapat
menjelaskan awal keterlibatan kembali tentara dalam percaturan politik pada masa
ini. Pada saat itu terjadi demonstrasi di gedung parlemen, demonstrasi dilakukan
oleh sekitar 5000 orang dan kemudian bertambah sampai sekitar 30.000
orang. Demonstrasi ini kemudian bergerak ke istana presiden, dimana massa
menuntut pembubaran parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru, serta
menuntut segera dilaksanakannya pemilihan umum.
Peristiwa ini dipicu oleh mosi Manai Sophiaan, Sekretaris Jenderal PNI,
yang diawali oleh serangkaian kegiatan politik di parlemen yang menurut
penilaian TNI telah mencampuri teknis militer. Mosi Manai Sophiaan bermula
dari rencana TNI untuk me-reorganisasi TNI menjadi tentara Indonesia yang
profesional dan “to transform the existing army into highly trained core
army”. Rencana ini disetujui dan didukung oleh Menteri Hamengkubuwono,
namun rencana demobilisasi ini ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno yang
pada bulan Juli 1952 kemudian mendesak kepada Presiden Sukarno untuk
mengganti Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution. Akibat konflik
intern Angkatan Darat ini, Kolonel Bambang Supeno kemudian dipecat.
5
2.3.2 TNI-AD dan Jatuhnya Kabinet Ali
Pada tanggal 2 Mei 1955, seminggu setelah Konferensi Asia Afrika digelar,
KSAD Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya, didorong oleh
ketidakmampuannya melaksanakan amanat Piagam Yogya sebagai buntut dari
penyelesaian peristiwa 17 Oktober. Untuk menduduki jabatan tersebut, kabinet
berketetapan akan mengangkat salah satu perwira dari “kelompok anti 17
Oktober” dan segera mengajukan calon-calonnya, namun pimpinan TNI AD
menjelang akhir Mei menegaskan bahwa pengisian dan pengangkatan KSAD
harus didasarkan pada senioritas dan kecakapan sejalan dengan kepentingan
militer. Tetapi kemudian kabinet Ali memutuskan untuk mengangkat Kolonel
Bambang Utojo menjadi KSAD yang baru, yang sebenarnya pada saat itu
senioritasnya masih rendah. Pimpinan TNI menolak keputusan tersebut, dan
menganacam akan melakukan boycott terhadap pengangkatan Bambang Utojo
apabila tetap akan dilaksanakan. Pada hari pengangkatan Kolonel Bambang Utojo
dengan suatu upacara pelantikan sebagai KSAD, dengan pangkat Mayor Jenderal,
Pimpinan TNI dan para perwira yang diundang memboikotnya atas perintah
Pejabat KSAD Zulkifli Lubis, dan Lubis menolak untuk menyerahkan otoritasnya
kepada Bambang Utojo.
2.4 Krisis Nasional 1965-1966 dan Benih Dominasi Politik Oleh Militer
Meletusnya peristiwa “Gerakan 30 September” pada tanggal 1 September
1965, merupakan suatu turning point dalam perkembangan politik nasional
Indonesia.Selama Republik Indonesia berdiri, kejadian ini adalah yang paling
mengancam eksistensi dan keutuhan Negara.Yang paling penting dalam hubungan
ini ialah bahwa krisis yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September telah menjadi
momentum yang membuka pintu selebar-lebarnya kepada TNI-AD untuk
kemudian memegang peranan politik dan pemerintahan.
2.4.1 Kudeta Berdarah dan PKI
Menjelang fajar tanggal 1 Oktober 1965, enam orang perwira tinggi dari
Pimpinan TNI-AD diculik dan kemudian dibunuh dalam suatu suasana “pesta
6
para harum bunga" di Lubang Buaya, di daerah dalam kompleks Pangkalan Udara
AURI Halim Perdana Kusuma.
PASUKAN Bimassakti yang dipimpin Kapten Suradi telah menguasai pusat
jaringan komunikasi dan siaran pusat (RRI) Radio Republik Indonesia, pada
tanggal 1 Oktober pukul 7.20.RRI menyiarkan tentang telah dilaksanakannya
suatu gerakan bernama “Gerakan 30 September” di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, Pasukan Pengawal
Pribadi Presiden Soekarno.
Pada pukul 14.00, RRI menyiarkan “Dekrit No. I” yang pokok isinya
adalah: (1) telah dilakukan pembersihan di Jakarta oleh Gerakan 30 September
terhadap anggota Dewan Jenderal yang merencanakan akan melakukan kudeta
menjelang 5 Oktober, dan beberapa orang jenderal telah ditangkap oleh “Gerakan
30 September”, serta kekuasaan sepenuhnya berada di dalam tangan gerakan; (2)
GERAKAN 30 September adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat; (3) oleh
Pimpinan Gerakan 30 September segera akan dibentuk suatu Dewan Revolusi
Indonesia yang merupakan sumber daripada segala kekuasaan di dalam Negara
Republik Indonesia; (4) Kabinet Dwikora – yang dipimpin Presiden Soekarno –
dinyatakan demisioner dengan sendirinya.
2.4.2 Tampilnya Jenderal Soeharto sebagai Figure-Head TNI-AD
Pergolakan yang ditimbulkan oleh “Gerakan 30 September” etlah
menampilkan seorang Jenderal yang sebelum meletusnya peristiwa itu kurang
dikenal dalam percaturan politik di Indonesia, seorang Jenderal yang hampir
sepenuhnya memainkan kecakapannya di bidang militer; Mayor Jenderal
Soeharto.
2.4.3 Gerakan 30 September Digagalkan
Ada dua factor pokok yang menggagalkan kudeta “Gerakan 30
September”.Pertama, anak buah Letnan Kolonel Untung tidak berhasil menculik
dan membinasakan Jenderal A.H. Nasution.Nasution adalah seorang perwira
senior yang masih bertugas aktif dalam bidang militer dan berpengalaman dalam
memimpin strategi gerilya, yang justru telah pula memimpin TNI, Angkatan Darat
khususnya dalam memasuki arena percaturan politk.
7
Factor kedua, para perencana dan pimpinan “Gerakan 30 September”
mengabaikan Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (KOSTRAD) untuk sekurang-kurangnya dinetralisasikan lebih
dahulu sebelum kudeta dilancarkan. Soeharto adalah seorang nasionalis yang kuat
serta setia kepada Jenderal Ahmad Yani serta Nasution yang anti-
komunis.Soeharto memegang komando pasukan KOSTRAD yang memiliki
pasukan tempur yang amat ampuh serta unit-unit pasukan lapis baja yang sangat
kuat, yang kesemuanya dapat bergerak secara bebas dari Staf Umum Angkatan
Darat.
8
Pada tanggal 11 Maret sidang cabinet lengkap berlangsung di
Jakarta.Mahasiswa kembali turun ke jalan menghalangi lalu lintas, walaupun ada
gangguan tersebut, semua menteri dapat hadir.Namun Soeharto tidak menghadiri
pertemuan tersebut dikarenakan sakit tenggorokan ringan. Saat pertemuan
berlangsung, sebuah nota yang bertuliskan bahwa sekelompk pasukan tak dikenal
telah mengepung depan istana, telah diberikan kepada presiden melalui
ajudannya. Mengetahui hal tersebut, presiden, Subandrio dan Chaerul Saleh pergi
meninggalkan istana menggunakan helicopter.
9
Dalam memutuskan untuk melanjutkan pemilu, pemerintah menerima
pandangan bahwa hasil pemilu hanya akan memperkuat status quo parlemen yang
kira-kira 60 persen dari kursinya diduduki oleh wakil-wakil partai. Walaupun
pemerintah merencanakan untuk mengembangkan Sekretariat Bersama Golongan
Karya, pemerintah tidak telalu berharap dapat menciptakan mesin pemilihan yang
benar-benar dapat menyusutkan art-arti pemerintahan yang telah mapan.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemrintah dan Angkatan Darat
untuk memperkuat Golkarternyata lebih efektif dari perkiraan semula.Pada
tanggal 5 Juli 1975, Golkar mencatat kemenangan yang meyakinkan,
memenangkan 62,8% suara yaitu 236 dari kursiyang diperebutkan, sehingga
memberikan mayoritas luar biasa dalam DPR bagi pemerintah. Kemenangan
Golkar secara drastic telah mengurangi kemampuan beroposisidari organisasi-
organisasi sipil terhadap regim tentara.
Terlepas dari keberhasilan dalam pemilu, Golkar pada dasarnya adalah hasil
ciptaan para penguasa militer dan tidak dapat dipisahkan identitasnya dari mereka.
Golkar yang tidak berlandaskan suatu organisasi partai dan tidak memiliki akar
sama sekali di masyarakat, adalah sebuah federasi yang majemuk yang
dimobilisasi pihak tentara secara temporer dengan maksud untuk melemahkan
kedudukan partai-partai politik.
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Angkatan Darat Indonesia berbeda dengan Angkatan Darat pada umumnya
yang telah merebut kekuasaan politik, karena tidak pernah sebelumnya
menganggap diri sebagai suatu organisasi yang tidak berpolitik. Dari awal
sejarahnya dalam tahun 1945 sebagai tentara gerilya yang memerangi kembalinya
kekuasaan penjajah Belanda sampai konsolidasi kekuasaan politiknya di bawah
Orde Baru, para perwira Angkatan Darat Indonesia senantiasa melibatkan dirinya
ke dalam masalah-masalah politik dan hampir sepanjang masa itu dengan giat
memainkan peran politik yang penting.
Walaupun kekuasaan militer terhadap pemerintahan nampaknya tak
tertandingi, namun tampak adanya tanda-tanda bahwa posisi kelompok jenderal-
jenderal “politik” dan “uang” semakin tidak mantap. Apabila jenderal-jenderal
Angkatan 1945 yang telah berjuang telah mencapai usia pension, suatu generasi
baru dari perwira-perwira dengan latar belakang pendidikan akademis telah tampil
pada posisis-posisi tingkat menengah.
11
DAFTAR PUSTAKA
Finer, S. (1962). The Man On HorseBack: The Role of The Military in Politics.
New York, N.Y: Frederick. A. Praeger.
Lovell, J. P., & Kim, C. E. (1967). The Military and Political Change in Asia.
Pacific Affairs: University of British Columbia.
Muhaimin, Y. A. (2005). Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-
1965. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
12