Anda di halaman 1dari 11

CORPORATE GOVERNANCE

RPS 11
“PERAN INVESTOR INSTITUSIONAL, INVESTOR ASING, DAN KREDITUR &
KASUS PT KALTIM PRIMA COAL”
Dosen Pengampu: Dr. I Gusti Ayu Made Asri Dwija Putri, S.E., M.Si., CMA

Oleh:

Kadek Heni Vitrya Sari (1707532091)


Made Ayu Bintang Cyntia Dewi (1707532092)
Ngakan Putu Pandu Wahyu Dewanatan (1707532100)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI REGULER DENPASAR


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2019

1
PERAN INVESTOR INSTITUSIONAL, INVESTOR ASING, DAN KREDITUR &
KASUS PT KALTIM PRIMA COAL

1. PERAN INVESTOR INSTITUSIONAL


Investor intitusional merupakan investor di suatu perusahaan yang berbentuk suatu
lembaga atau berbentuk perusahaan yang teridiri dari perusahaan asuransi, lembaga
penyimpan dana (bank dan lembaga simpan pinjam, lembaga dana pensiun, maupun lembaga
investasi).
Cara investor institusional untuk berperan serta dalam mendorong penerapan GCG
adalah dengan melakukan investasi yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan
investasi yang bertanggung jawab adalah dengan membuat kebijakan hanya akan melakukan
penempatan investasi pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG, dan tentu secara
konsisten menerapkan kebijakan tersebut dalam melakukan investasi. Dengan cara ini,
institusi tersebut bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dana-nya mereka kelola,
karena dana tersebut hanya di investasikan pada perusahaan-perusahaan yang memang dapat
dipercaya, sehingga risiko hilangnya dana masyarakat karena penempatan yang salah
menjadi lebih kecil, dan di lain pihak, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa
juga menjadi lebih memberi perhatian terhadap penerapan GCG karena dengan menerapkan
GCG secara konsisten, saham mereka menjadi lirikan investor dan masuk dalam daftar
saham yang desirable atau ingin dimiliki oleh investor, lebih jauh hal ini akan menaikan nilai
saham yang secara tidak langsung juga menaikan nilai perusahaan.
Tentu untuk bisa menerapkan investasi yang bertanggung jawab dibutuhkan usaha
tambahan oleh investor institusional, karena harus ada fungsi di dalam institusi tersebut yang
bertanggung jawab melakukan analisis secara berkesinambungan terhadap penerapan GCG
perusahaan-perusahaan target dengan menggunakan acuan yang benar sebagai dasar
penerapan GCG.
Hal ini bukan sesuatu yang mustahil jika memang sudah menjadi sebuah itikad dalam
melakukan investasi yang bertanggungjawab dan dalam mengelola dana masyarakat.

2
2. PERAN INVESTOR ASING
Sesuai dengan teori stakeholder, semakin banyak dan kuat posisi stakeholder, semakin
besar kecenderungan perusahaan untuk mengadaptasi diri terhadap keinginan
stakeholdernya.
Hal tersebut diwujudkan dengan cara melakukan aktivitas pertanggungjaawaban terhadap
sosial dan lingkungan atas aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut. Perusahaan yang
berbasis asing kemungkinan memiliki stakeholder yang lebih banyak dibanding perusahaan
berbasis nasional sehingga permintaan informasi juga lebih besar dan dituntut untuk
melakukan pengungkapan yang lebih besar juga. Sehingga peran investor asing yaitu sebagai
berikut:
1) Investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru, memperluas pasar atau
merangsang penelitian dan pengembangan teknologi lokal yang baru.
2) Investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor, dan merangsang ekonomi
lokal melalui pasar kedua (sektor keuangan) dan ketiga (sektor jasa/pelayanan).
3) Investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah pendapatan
lokal/nasional, serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk pembiayaan impor.
4) Pembayaran utang adalah esensial untuk melindungi keberadaan barang-barang finansial
di pasar internasional dan mengelola integritas sistem keuangan. Kedua hal ini, sangat
krusial untuk kelangsungan pembangunan.
5) Sebagian besar negara-negara Dunia Ketia tergantung pada investasi asing untuk
menyediakan kebutuhan modal bagi pembangunan karena sumberdaya-sumberdaya lokal
tidak tersedia atau tidak mencukupi.
6) Para penganjur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing masuk, maka hal
itu akan menjadi batu alas bagi masuknya investasi lebih banyak lagi, yang selanjutnya
menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan ekonomi keseluruhan.

3. KREDITUR
Kreditur adalah pihak (perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang
memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang
diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) di mana diperjanjikan bahwa
pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak

3
kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang. Secara singkat kreditur dapat
diartikan pihak yang memberikan kredit atau pinjaman kepada pihak lainnya.Perusahaan
yang mempunyai leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi kebutuhan
informasi kreditur jangka panjang. Dengan semakin tinggi leverage, yang mana akan
menambahbeban untuk program corporate social responsibility menjadi terbatas atau
semakin tinggi leverage, maka semakin rendah program CSR.
Kreditur dalam hal ini contohnya adalah bank, bank harus dapat menilai apakah
perusahaan yang mengajukan permintaan kredit mampu mengembalikan pinjaman atau tidak.
Kreditur akan menolak usulan kredit dari suatu perusahaan bila informasi akuntansi
perusahaan itu meragukan atau tidak menunjukkan perkembangan yang positif.

4. KASUS PT KALTIM PRIMA COAL

4.1 Profil PT Kaltim Prima Coal


PT Kaltim Prima Coal (KPC) adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pertambangan dan pemasaran batubara untuk pelanggan industri baik pasar ekspor maupun
domestik. Tahun 1982 PT Kaltim Prima Coal (KPC) didirikan di Indonesia dengan masing-
masing BP dan CRA 50% memegang saham. KPC lisensi untuk melakukan eksplorasi dan
pertambangan batubara berdasarkan Kontrak Karya Batubara (Kontrak Karya) dengan HPH
seluas 90.706 ha. Negara Indonesia Perusahaan Batubara (PTBA) untuk menerima hak
13,5% dari produksi semua. Lokasi dari PT Kaltim Prima Coal terletak di sekitar Sangatta,
Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur Indonesia.

4.2 Latar Belakang PT Kaltim Prima Coal


Dalam kurun waktu enam tahun (sampai 2009) di keseluruhan kabupaten di
Kalimantan telah terbit 2.047 kuasa pertambangan dan diperkirakan mengokupasi lahan
seluas 4,09 juta hektar. Tentunya angka itu akan semakin besar jika ditambah dengan
pertambangan ilegal. Begitu pula dengan perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC) yang
bergerak di bidang pertambangan batubara di beberapa daerah seperti Pinang, Melawan, dan
Prima di Kalimantan Timur. Dengan operasi yang bisa menjual 35.772.323 ton batubara
hanya pada tahun 2008 saja, perusahaan ini merasa memiliki tanggung jawab pada
stakeholders lainnya. Permasalahan timbul saat masyarakat dan pemerintah kabupaten

4
merasa belum merasakan hasil dari program CSR yang dilakukan oleh KPC. Selama sekian
puluh tahun beroperasi di bawah pemerintahan kabupaten terkait, PT Bumi Resources
membeli KPC pada tahun 2003.
Untuk mendapatkan kepercayaan pemerintah daerah yang menjadi investor pada saat
itu, PT Bumi Resources memberikan beberapa janji untuk tetap ikut membangun daerah
Kutai Timur. Janji yang dilontarkan pada tahun 2003 tersebut ada beberapa, yaitu
pembangunan rumah sakit, membangun kampus Stiper, dan jalan Soekarno-Hatta dua jalur
yang semuanya sampai sekarang belum terealisasi. BR juga berjanji mengucurkan CSR
sekira Rp 50 miliar per tahun. Namun, menurut pihak masyarakat dan pemerintah daerah
setempat pengelolaannya dinilai tidak transparan dan ditangani sendiri oleh KPC. Forum
Multi Stakeholder Coorporate Social Responsibility (Forum MSH- CSR) mengatakan bahwa
dana yang mereka kelola belum maksimal dan masih di bawah dana yang dijanjikan.
Misalnya saja CSR tahun 2009 untuk Kecamatan Bengalon. Data itu adalah data yang dirilis
oleh Forum Multi Stakeholder (MSH) CSR. Dari dana CSR sekira Rp 1,1 miliar yang sampai
ke rakyat hanya sekira Rp 400 juta. Dana sekira Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal.
Namun, di sisi lain pihak KPC menyanggah hal tersebut dengan berdalih bahwa dana
yang dikucurkan harus melalui prosedur yang sesuai dengan kelengkapan dokumen dan
progress report pada tiap-tiap proyek. Akhirnya, masyarakat dan pemerintah setempat
menuntut adanya transparansi dan pertemuan rutin antara pihak KPC dengan Forum MSH-
CSR agar permasalahannya bisa didiskusikan bersama untuk dicari solusinya. Selain itu,
masyarakat meminta agar dana CSR tersebut tidak semuanya dikelola oleh KPC tetapi juga
bekerja sama dengan Forum MSH-CSR dalam pengalokasiaannya. Tuntutan masyarakat ini
bahkan disertai dengan ancaman bahwa operasi KPC mungkin akan terhambat keamanan dan
ketertibannya jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi. Pihak pemerintah daerah pun juga setuju
dengan tuntutan akan transparansi dan pendelegasian pengelolaan dana CSR tersebut. Jika
tuntutan tersebut tidak dipenuhi, pihak pemerintah daerah akan meninjau ulang izin
pertambangan di daerah tersebut.

4.3 Analisis Masalah


Undang-Undang Perseroan Terbatas No 40 Tahun 2007 Pasal 66 Ayat 2 menunjukkan
tentang kewajiban tiap perusahaan perseroan terbatas untuk membuat laporan tahunan yang

5
salah satu poinnya merujuk pada laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan. Pada beberapa laporan corporate social responsibility tahunan yang dinamakan
Laporan Pembangunan Berkelanjutan “Tak Hanya Menambang” milik KPC telah disebutkan
perkembangan apa saja yang telah mereka lakukan. Apalagi dengan berbagai penghargaan
yang telah mereka terima, seperti Millennium Development Goals (MDGs) Award dari Metro
TV dan perwakilan PBB dalam bidang pemberantasan HIV/Aids pada 2008. Namun, pada
kenyataannya, pada tahun 2010 awal ini masyarakat mulai kritis dan mempertanyakan
langkah-langkah CSR lainnya dari KPC. Dalam menganalisis masalah CSR KPC ini, ada
beberapa model implementasi CSR yang bisa diaplikasikan. Pada dasarnya, perusahaan harus
menyadari bahwa perusahaan memiliki beberapa aspek yang harus dipenuhi, bukan hanya
aspek etika.
Jika dianalisis satu per satu, pada aspek ekonomi maka KPC sudah memenuhi hal
tersebut dengan memperoleh pendapatan sebesar USD 1.741,93 juta. Hal ini merupakan
pendapatan yang cukup besar dengan pangsa pasar ekspor yang berada di beberapa negara di
belahan dunia. Walaupun begitu, aspek legal yang berada pada dimensi di atas ekonomi
sudah dibuat kontraknya. Namun, hal ini pun masih dipertanyakan implementasinya sejak
pembuatan kontrak ataupun pengucapan janji pembangunan pada tahun 2003 sampai pada
2010, walaupun pada laporan terkait pada tahun 2008 sudah disebutkan community
expenditure commitment sebesar USD 5.000.000 dan biaya lingkungan sebesar USD
18.771,896. Pada dimensi ethical sebenarnya KPC sudah mulai memberikan berbagai
bantuan dengan kegiatan yang berfokus pada tujuh pembangunan berkelanjutan, yakni
pengembangan agribisnis, peningkatan kesehatan dan sanitasi, pendidikan dan pelatihan,
peningkatan infrastruktur masyarakat, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
(KUKM), pelestarian alam dan budaya, penguatan kapasitas lembaga masyarakat dan
pemerintah, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, pelaksanaan yang kurang terkoordinasi
dari tahun ke tahun membuat pelaksanaannya cukup baik pada tahun-tahun awal sampai ke
2008 akan tetapi agak terganggu pelaksanaannya pada tahun 2009 dan 2010 sehingga muncul
masalah dengan Forum MSH-CSR. Aspek terakhir yang perlu diperhatikan adalah
philanthropic yang sebenarnya baik untuk dilakukan meskipun bukanlah sesuatu yang wajib
untuk dilakukan. Menjadi sebuah corporate citizen yang menguntungkan masyarakat sekitar

6
dan memenuhi berbagai aspek lainnya untuk dapat hidup berdampingan antara produsen
ataupun pengusaha dan masyarakat sekitar serta stakeholders lainnya.
KPC sudah memenuhi beberapa aspek yang disebutkan, misalnya untuk aspek
ecological environment dengan menutup tambang yang sudah tidak dipergunakan dan
melakukan kegiatan dengan pemberdayaan pertanian dan perikanan. Namun, masih timbul
permasalahan dengan public interest group di mana di dalamnya juga termasuk masyarakat
sekitar dan pemerintah daerah. Dalam hal ini, beberapa hal yang menyebabkan transfer
informasi kurang maksimal adalah penerapan dari prinsip good corporate governance seperti
fairness, transparency, accountability, dan responsibility yang pada saat ini telah mendorong
CSR semakin menjadi sesuatu hal yang krusial. Berdasarkan permasalahan tersebut,
komunikasi menjadi sesuatu yang penting antara perusahaan dengan pihak terkait.

4.4 Analisis berdasarkan prinsip Good Corporate Governance yang dilanggar PT Kaltim
Prima Coal
1. Transparancy
Dalam kasus PT Kaltim Prima Coal dari dana CSR yang sudah ditentukan oleh
perusahaan batu bara ini yaitu Rp 1,1 miliar, sedangkan yang sampai ke rakyat hanya Rp
400 juta. Dana sejumlah Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal. Adapun informasi
pembagian dana untuk masyarakat, hanya diketahui oleh satu pihak yaitu PT Kaltim
Prima Coal, yang bebas menentukan besaran dana yang akan diturunkan ke masyarakat
tanpa memberitahu detail persentase dana untuk masyarakat disekitar lingkungan bisnis
dan perhitungan-perhitungan lainnya yang mendukung dana CSR untuk masyarakat.
2. Accountability
PT. Bumi Resources (BR) sebagai pemegang saham KPC. BR memang pernah
berjanji membangun rumah sakit, membangun kampus stiper dan membangun jalan
Soekarno - Hatta dua jalur, yang semuanya belum tuntas. Padahal janji itu dilontarkan
pada tahun, 2003, menjelang BR akan membeli saham KPC, agar mendapat dukungan
Pemkab Kutai Timur. BR juga mengucurkan dana CSR sebesar Rp 50 Miliar pertahun.
Tapi pengelolaannya dinilai tidak berhasil, tidak bertanggung jawab dan ditangani sendiri
oleh pihak KPC

7
3. Responsibility
PT Kaltim Prima Coal sejak tahun 2010 mulai melepas tanggung jawabnya
kepada lingkungan sekitar perusahaan, dimana seharusnya PT Kaltim Prima Coal
membayar biaya perawatan lingkungan perusahaan kepada kepala daerah setempat sesuai
dengan kontrak yang sudah dijanjikan, namun realisasinya justru dana yang seharusnya
diberikan sepenuhnya kepada masyarakat, hanya 40% saja yang sampai ke tangan
masyarakat, tidak sesuai dengan data yang disebarkan oleh Forum MSH-CSR.
4. Independency
PT. Kaltim Prima Coal sebagai pengelola perusahaan tidak memberikan
pengakuan terhadap hak-hak masyarakat Kutai Timur. Masyarakat Kutai Timur tidak
mendapatkan hak-hak CSR secara maksimal sesuai dengan janji yang telah diberikan
oleh PT. Bumi Resources. Masyarakat Kutai Timur menuntut hak pendelegasian
pengelolaan dana CSR yang dijanjikan oleh PT. Kaltim Prima Coal.
5. Fairness
PT Kaltim Prima Coal harus memperlakukan secara adil seluruh golongan yang
memiliki andil dalam kesuksesan perusahaan, baik yang internal maupun eksternal, tanpa
mementingkan golongan tertentu. Walaupun masyarakat sekitar tidak berperan langsung
untuk kemajuan Kaltim Prima Coal, namun perusahaan memiliki tanggung jawab untuk
merawat lingkungan sekitar bisnis, karena tanpa persetujuan masyarakat daerah lokasi
perusahaan, perusahaan bisa saja ditutup karena dianggap merugikan masyarakat dan
tidak memelihara lingkungan perusahaan.

8
KESIMPULAN

Cara investor institusional untuk berperan serta dalam mendorong penerapan GCG
adalah dengan investasi yang bertanggung jawab dengan membuat kebijakan hanya akan
melakukan penempatan investasi pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG, dan
tentu secara konsisten menerapkan kebijakan tersebut dalam melakukan investasi.
Perusahaan yang berbasis asing kemungkinan memiliki stakeholder yang lebih banyak
dibanding perusahaan berbasis nasional sehingga permintaan informasi juga lebih besar dan
dituntut untuk melakukan pengungkapan yang lebih besar juga. Perusahaan yang memiliki
leverage tinggi, akan menambah beban untuk program corporate social responsibility
menjadi terbatas atau dapat dikatakan semakin tinggi leverage, maka semakin rendah
program CSR.
PT Kaltim Prima Coal (KPC) memiliki proporsi untuk pemberian dana CSR pada
masyarakat dan pemerintah daerah di sekitar tempat produksinya. Strategi penyaluran CSR
yang dilakukan KPC masih disusun dari satu pihak, yakni dari pihak KPC sendiri sehingga
ada beberapa ketidaksesuaian antara apa yang dibutuhkan pemerintah daerah dan masyarakat
dengan kegiatan yang dilakukan dari realisasi anggaran. Masyarakat dan pemerintah daerah
merasa tidak puas dengan tidak terpenuhinya janji-janji yang dilontarkan stockholders, KPC
juga seringkali menggembar-gemborkan komunikasi publikasi di media luar sehingga
akhirnya mendapatkan banyak penghargaan, akan tetapi kurang meningkatkan keeratan
hubungan dan frekuensi komunikasi dengan pihak yang bersentuhan langsung dengan
mereka, yaitu masyarakat sekitar dan pemerintah daerah yang bersangkutan.
Lemahnya tata kelola perusahaan yang baik pada KPC ini menjadi salah satu
penyebab timbulnya masalah dengan investor institusional dalam hal ini pemerintah yaitu
terjadi agency problem antara manajer KPC dengan pemerintah. Seharusnya kepemilikian
investor institusional dapat mengurangi masalah-masalah keagenan melalui intensif-intensif
yang menyelaraskan kepentingan manajemen dengan investor tetapi dalam kasus ini malah
menjadi sebuah masalah mengenai dana CSR yan belum direalisasikan dengan tepat seperti
yang dijanjikan kepada pemerintah dan masyarakat. Kepentingan pemerintah dan masyarakat
seolah diabaikan demi kepentingan pribadi KPC yang menggunakan dana CSR tersebut
untuk kepentingan lain.

9
Sehingga beberapa hal yang dapat dilakukan oleh PT Kaltim Prima Coal sehubungan
dengan memperbaiki masalah yang terjadi dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Perumusan strategi pengalokasian dana CSR yang harus mengikutsertakan masyarakat
dan pemerintah daerah setempat.
b. Proses penjelasan bagaimana sistem penyaluran dana CSR dilakukan pada forum
bersama dan forum yang akhirnya dilaksanakan secara berkala untuk monitoring
pelaksanaan kegiatan yang dicanangkan pada perumusan jangka pendek maupun
jangka panjang alokasi dana CSR.
c. Proses evaluasi dan pertanggungjawaban yang tidak hanya dilakukan melalui media
luar dan berbentuk laporan semata, tetapi juga berbentuk forum yang mengundang
masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut mengevaluasi dan memberikan masukan
terhadap kinerja penggunaan dana CSR selama tahun berjalan.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://fekool.blogspot.co.id/2016/05/corporate-governance-corporate-social.html. Diakses pada


30 November 2017

https://fotodeka.wordpress.com/2009/01/07/analisa-csr-pada-pt-kaltim-prima-coal/. Diakses pada


30 November 2017

Kotler, Philip dan Keller, Kevin Lane. 13th ed. 2009. Marketing Management. Pearson
International Edition.

Laporan Pembangunan Berkelanjutan 2007 PT. Kaltim Prima Coal, “Tidak Hanya Menambang”.

Laporan Tahunan corporate social responsibility KPC “Tak Hanya Menambang” tahun 2007 dan
2008.

Suharto, Edi (2007a), Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility), Bandung: Refika Aditama.

Sutojo, Siswanto dan Alridge, E. John. 2008. Good Corporate Governance. Jakarta: Damar
Mulia Pustaka

11

Anda mungkin juga menyukai