Anda di halaman 1dari 86

SKRIPSI

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEM (DRP) MELALUI HOME


PHARMACY CARE (HPC) PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI
PUSKESMAS SEWON I BANTUL

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi


pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh
MAYA TRIANI
20140350012

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKART
2018
HALAMAN PENGESAHAN

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEM (DRP) MELALUI HOME PHARMACY


CARE (HPC) PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI PUSKESMAS
SEWON I BANTUL

Disusun Oleh :

MAYA TRIANI
20140350012
Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal …2018
Dosen Pembimbing

Nurul Maziyyah,M.Sc., Apt


IK:19881018201410173231

Dosen penguji 1 Dosen penguji 2

Mega Octavia, S.Farm., M.Sc., Apt Aji Winanta, M.Sc., Apt


NIK : 19881015201704173240 NIK : 19890514201712173266
Mengetahui,
Kepala Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sabtanti Harimurti, SSi, M.Sc., PhD.,Apt


NIK: 19730223201310173127

ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Maya Triani

NIM : 20140350012

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis benar benar

merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada

perguruan tinggi manapun. Apabila di kemudian hari terbukti atau dibuktikan

skripsi ini merupakan hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 29 Maret 2018

Yang membuat pertanyaan

Maya Triani

20140350012

iii
MOTTO

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa

padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya

mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada

seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang,

dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar (Al- Anfal : 66)

“ Kesabaran adalah tanda bahwa kita percaya bahwa ALLAH sedang menyusunkan

sesuatu yang lebih baik bagi diri dan kehidupan kita”

iv
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada Orang tua saya, bapak sakri dan ibu
mami yang selalu membimbing dan memberikan do’a serta semangat buat saya
dengan tak pernah lelah mendidik saya untuk selalu mencari ilmu, belajar, ibadah,
dan berdo’a.
Untuk kakak – kakak dan abang ipar saya, Junita S.IP, Lidiawati Amd, dr.
Alamsya Tarigan M.Kes, dan Martha Dini S.IP yang selalu menjadi contoh buat
saya dalam berjuang meraih pendidikan dan memberikan dukungan, semangat dan
perhatian kepada saya.
Untuk keponakan – keponakan abuk tersayang Angelica Martha Dini Putri,
Mikhlayla Martha Dini Putri dan Alkhalifi Zayyan Syah Tarigan

v
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat Rahmat dan

Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat

beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad

SAW, kepada keluarga, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir

zaman, Aamiin ya Rabb.

Penulisan Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universtias Muhamamdiyah Yogyakarta yang berjudul “Kajian

Drug Related Problem (DRP) Melalui Home Pharmacy Care (HPC) Pasien

Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Sewon I Bantul”. Dalam penyusunan dan

penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati

menyampaikan terima kasih kepada pihak pihak yang terhormat:

1. Dr. Wiwik Kusumawati, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan


Ilmu Kesehatan Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Sabtanti Harimurti, Ph.D., Apt. Selaku Kepala Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhamamdiyah
Yogyakarta.
3. Nurul Maziyyah, M.Sc., Apt. Selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa memberi waktu, ilmu dan kepercayaan kepada penulis.
4. Mega Octavia. S.,Farm.,M.Sc., Apt sebagai dosen penguji 1 dan penguji 2
Aji Winata, M.Sc.,Apt atas kritik dan saran yang membangun kepada
penulis untuk membangun skrispi ini.

vi
5. Seluruh Dosen Farmasi UMY yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuan selama perkuliahan di Farmasi.
6. Para responden yang telah meluangkan waktu sehingga penelitian ini bisa
terlaksana.
7. Anak Anak Kos Fiani dan om dan tante kos tercinta atas dukungan dan
semangat tiada henti untuk penulis.
8. Nurul Aisyah partner penelitian saya, yang berjuang bersama melewati
rintangan selama penelitian.
9. Sapta Sakila dan Sarah Badar Nahdi (para pejuang Home Pharmacy Care
(HPC)) sahabat – sahabat yang telah banyak direpotkan dan telah banyak
membantu penelitian kami.
10. Sahabat Sahabat saya MAG (dewi, sapta, inge), Ambarita, Nurul (cumil),
PUPA (11 anggota), Harni, Sani, CHANDRADIMUKA (keluarga
perantauan dijogja) atas kesabaran, CT BEM atas semangat dan cinta yang
diberikan kepada penulis.
11. Teman – teman “EXPRESSO”, atas 4 tahun yang penuh kenangan ini.
12. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan
dan doa yang dikirimkan untuk penulis.
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan skrpsi ini, oleh

karena itu penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak. Penulis juga berahrap Skripsi ini bisa bermanfaat bagi pembaca dan pihak

yang terkait.
Yogyakarta, ............ 2018

Penulis

(………………..….)

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ....................................................... iii
MOTTO ................................................................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii
INTISARI............................................................................................................. xiv
ABSTRACT ....................................................................................................... xivv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
C. Keaslian Penelitian ....................................................................................... 4
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 7
A. Diabetes Melitus........................................................................................... 7
B. Drug Related Problem (DRP) .................................................................... 14
C. Home Pharmacy Care (HPC) .................................................................... 18
D. Kerangka Konsep ....................................................................................... 20
E. Keterangan Empirik ................................................................................... 20
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 19
A. Desain Penelitian ........................................................................................ 19
B. Tempat dan Waktu ..................................................................................... 19
C. Populasi dan Sampel .................................................................................. 19
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...................................................................... 20

viii
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ................................................... 20
F. Instrumen Penelitian................................................................................... 21
G. Cara Kerja .................................................................................................. 22
H. Skema Langkah Kerja ................................................................................ 22
I. Analisis Data .............................................................................................. 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 24
A. Karakteristik Responden ............................................................................ 24
B. Gambaran Kadar Gula Darah Pasien Home Pharmacy Care (HPC) ......... 29
C. Gambaran Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Melitus tipe 2 ........... 31
D. Identifikasi Drug Related Problem (DRP) melalui Home Pharmacy Care
(HPC)................................................................................................................. 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 41
A. KESIMPULAN .......................................................................................... 41
B. SARAN ...................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keaslian Penelitian .................................................................................... 5


Tabel 2. Kriteria Penegakan Diagnosis ................................................................... 8
Tabel 3. Gambaran Kadar Gula darah Pasien Home Pharmacy Care (HPC) ....... 29
Tabel 4. Gambaran Penggunaan Obat pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 ....... 31
Tabel 5. Penggunaan Herbal ................................................................................. 33
Tabel 6. Gambaran Drug Related Problem (DRP) yang Terjadi .......................... 36

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Langkah Kerja ......................................................................... 22


Gambar 2. Distribusi pasien berdasarkan Jenis Kelamin ...................................... 24
Gambar 3. Distribusi pasien berdasarkan Usia ..................................................... 25
Gambar 4. Distribusi pasien berdasarkan Penyakit Penyerta................................ 27
Gambar 5. Ketidakpatuhan pasien ........................................................................ 37

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Gambaran Penggunan Obat Diabetes Melitus 2 ............................... 49


Lampiran 2. Form Inform Consent ....................................................................... 50
Lampiran 3. Kuesioner Kepatuhan Pasien MMSA-8 ........................................... 51
Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian dari Bappeda Kabupaten Bantul ...................... 52
Lampiran 5. Ethical Clereance ............................................................................. 54
Lampiran 6. Panduan Home Pharmacy Care (HPC) ............................................ 55

xii
INTISARI
Pengobatan diabetes melitus tipe 2 merupakan terapi jangka panjang
sehingga perlu dilakukan monitoring terapi pasien untuk menghindari dan
menanggulangi kejadian Drug Related Problem (DRP). Salah satu cara
untuk memonitor pengobatan diabetes Melitus tipe 2 adalah dengan Home
Phamacy Care (HPC). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
prevalensi Drug Related Problem (DRP) dan mengetahui apa saja Drug
Related Problem (DRP) yang terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Sewon I Bantul setelah dilakukan Home Pharmacy Care (HPC).
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental secara
deskriptif menggunakan pengumpulan data secara prospektif mulai dari
Oktober 2017 hingga Januari 2018 melalui Home Pharmacy Care (HPC).
Pada penelitian ini sampel terdiri dari 12 pasien diabetes melitus tipe 2
dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Analisis Drug Related
Problem (DRP) dilakukan berdasarkan jenis Drug Related Problem (DRP)
yang ditemukan melalui penelusuran buku dan jurnal terkait.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 75% atau sebanyak 9
pasien ditemukan kasus Drug Related Problem (DRP). Terdapat 78% kasus
ketidakpatuhan pasien, 11% kasus interaksi obat, dan 11% kasus Adverse
Drug Reaction (ADR).

Kata Kunci: Diabetes Melitus tipe 2, Drug Related Problem (DRP), Home
Pharmacy Care (HPC).

xiii
ABSTRACT

Treatment of Type 2 Diabetes Melitus is a long-term therapy so it is


necessary to monitor patient therapy to avoid Drug Related Problem (DRP). One of
the ways to monitor the treatment of Type 2 Diabetes Melitus is with Home
Pharmacy Care (HPC). This study aims to calculate the prevalence of Drug Related
Problem (DRP) and to determine types of Drug Related Problem (DRP) that occurs
in patients with Type 2 Diabetes Melitus at Puskesmas Sewon I Bantul after Home
Pharmacy Care (HPC) is conducted.
This study is a descriptive non-experimental study using prospective data
collection from October 2017 to January 2018 through Home Pharmacy Care
(HPC). In this study the sample consisted of 12 patients with Type 2 Diabetes
Melitus chosen with consecutive sampling technique. The Drug Related Problem
(DRP) analysis was performed based on the type of Drug Related Problem (DRP)
identified as well as evaluating based on related books and journals.
The result showed that 75% or as many as 9 patients were identified with
Drug Related Problem (DRP). There were 78% cases of non compliance, 11% cases
of drug interactions, and 11% cases of Adverse Drug Reaction (ADR).

Keyword: Type 2 Diabetes Melitus, Drug Related Problem (DRP), Home Pharmacy
Care (HPC)

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit kronis dan salah

satu penyakit tidak menular dengan prevalensi yang cukup besar di

Indonesia dan di dunia. Mulai dari 108 juta penderita DM pada tahun 1980

menjadi 422 juta penderita DM pada tahun 2014, data dari World Health

Organization (WHO) ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah

penderita DM di dunia dengan peningkatan prevalensi sebesar 3,8%

(WHO, 2016). Kasus DM tipe 2 termasuk dalam peringkat ke-6 sebagai

penyakit penyebab kematian di Indonesia (Kemenkes RI, 2013). Dari

keseluruhan kasus DM, 90% merupakan DM tipe 2. Salah satu penyebab

munculnya DM tipe 2 adalah perubahan pola hidup masyarakat yang tidak

sehat seperti merokok, kegemukan, kurangnya olahraga dan makanan cepat

saji. (Dipiro et al., 2003).

Pada pasien DM tipe 2 pengobatan yang diberikan adalah terapi

farmakologi (obat antidiabetes) dan perubahan gaya hidup. Pada

pengobatan DM tipe 2 kemungkinan akan menimbulkan Drug Related

Problem (DRP) yaitu kondisi, peristiwa ataupun pengalaman tidak

menyenangkan yang dialami pasien yang diduga erat kaitannya dengan

terapi obat yang diberikan kepada pasien baik secara aktual (benar-benar

terjadi) atau potensial (berpeluang untuk terjadi) yang mengganggu

outcome dan tujuan terapi yang diharapkan (Cipolle et al., 2012). Dari hasil

1
2

penelitian pasien DM tipe 2 di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta terdapat 46 kejadian DRP dari 60 pasien, 19 kejadian berupa

interaksi obat, 17 kejadian gagal menerima obat, 4 kejadian pemilihan obat

kurang tepat, 3 kejadian terapi tanpa indikasi, 2 kejadian Adverse Drug

Reaction ( ADR) dan 1 kejadian dosis sub terapi. Dari 46 kejadian DRP

yang ditemukan, kejadian terbesar disebabkan oleh interaksi obat yaitu

sebesar 41,30% (Rislynda, 2013).

Salah satu upaya dalam identifikasi DRP adalah dengan melakukan

Home Pharmacy Care (HPC). Departemen Kesehatan RI (2008)

menyatakan bahwa, Home Pharmacy Care (HPC) adalah salah satu bagian

dari Pharmaceutical Care (Asuhan Kefarmasian) dan pelayanan yang

diberikan khususnya kepada pasien lanjut usia dan yang menggunakan obat

dalam jangka waktu lama seperti penggunaan obat-obat kardiovaskuler,

diabetes, TB, asma dan obat-obat penyakit kronis lainnya. Tujuan dari

asuhan kefarmasian adalah agar tercapainya hasil terapi yang diberikan

kepada pasien serta memperbaiki kualitas hidup pasien. Jika tujuan ini

tercapai, maka dapat dikatakan hal tersebut sebagai wujud saling tolong

menolong sesama manusia sebagaimana tercantum dalam firman Allah

(surah Al-Maidah ayat 2):

ِ ‫اْلثْ ِم َوا ْلعُد َْو‬


‫ان‬ ِ ْ ‫علَى‬ َ َ‫علَى ا ْل ِب ِ ِّر َوالت َّ ْق َو ٰى َو ََل تَع‬
َ ‫اونُوا‬ َ ‫اونُوا‬
َ َ‫َوتَع‬

ِ ‫شدِي ُد ا ْل ِعقَا‬
﴾٢ :‫ب ﴿المائدة‬ َّ ‫َواتَّقُوا‬
َّ ‫َّللاَ ِإ َّن‬
َ َ‫َّللا‬
3

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan

dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah

amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah 5 : 2). Dari kutipan ayat di atas dapat

disimpulkan bahwa Allah mengajak kita untuk saling tolong dalam

kebaikan.

Home Pharmacy Care (HPC) adalah salah satu upaya yang dapat

dilakukan dalam identifikasi DRP. HPC ini dilakukan untuk menghindari

kejadian DRP seperti pemilihan obat yang kurang tepat, tidak tepat dosis,

Adverse Drug Reaction (ADR), interaksi obat, ada indikasi tanpa obat

ataupun ada obat tanpa indikasi. Oleh karena itu, HPC sangat diperlukan

untuk identifikasi DRP pada pasien DM tipe 2 karena pengobatan DM tipe

2 tidak bertujuan menyembuhkan pasien tetapi untuk memperlambat

progresifitas penyakit dengan mengendalikan kadar gula darah pasien,

ditambah lagi dengan adanya kemungkinan komplikasi yang dapat

memperparah kondisi pasien sehinngga pasien mendapatkan terapi

tambahan lainnya yang dapat memperbesar terjadinya DRP. Namun di

Indonesia HPC ini masih jarang ditemui. Hambatan dalam pelaksanaan

HPC dapat disebabkan beberapa faktor seperti terbatasnya sumber daya

manusia untuk melakukan HPC, banyaknya tugas yang harus ditangani

dalam satu waktu, kurangnya kesadaran apoteker untuk melakukan HPC

(Schommer et al., 2007).


4

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran

mengenai identifikasi DRP pada pasien DM tipe 2 melalui HPC di

Puskesmas Sewon I Bantul. Puskesmas Sewon I Bantul tepat digunakan

sebagai tempat penelitian dikarenakan pada puskesmas tersebut penyakit

DM tipe 2 menduduki peringkat 4 dari 10 besar penyakit yang angka

kejadiannya tinggi dan rata – rata merupakan pasien yang sudah lama dan

rutin melakukan pengobatan. Tercatat 844 pasien DM tipe 2 di Puskesmas

Sewon I Bantul pada periode Januari-Mei 2015 (Robin, 2016). Penelitian

ini diharapkan dapat mengurangi kejadian DRP di kemudian hari dengan

dilakukannya Home Pharmacy Care (HPC).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana prevalensi DRP pada pasien DM tipe 2 di puskesmas Sewon I

Bantul berdasarkan hasil HPC?

2. Apa saja DRP yang terjadi pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Sewon I

Bantul yang teridentifikasi setelah dilakukan HPC?

C. Keaslian Penelitian
Berdasarkan literatur yang telah di publikasikan penelitian yang dilakukan

tentang Kajian Drug Related Problem (DRP) melalui Home Pharmacy Care

(HPC) pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Sewon I Bantul belum pernah

dilakukan. Adapun penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain dan

berhubungan dengan penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi waktu dan tempat

penelitian, desain penelitian serta sampel yang digunakan dalam penelitian.


5

Tabel 1. Keaslian Penelitian


Peneliti Judul Penelitian Metodologi, Hasil Penelitian
(Tahun) sifat
penelitian,
pengumpulan
data
Sari (2015) Evaluasi Drug Metode Drug Related Problem
Related retrospektif, (DRP) yang terjadi adalah
Problem (DRP) Desain Cross butuh tambahan obat
obat Sectional, sebanyak 3 pasien
antidiabetes Deskriptif (10,71%), Salah obat
pada pasien sebanyak 2 pasien (7,14%)
geriatri dengan dan interaksi obat sebanyak
Diabetes 14 pasien (50%).
Melitus tipe 2 di Berdasarkan penyakit
ruang rawat komplikasi yang terbanyak
inap rumah sakit adalah hipertensi sebanyak
umum 10 pasien (35,71%),
pelabuhan penyakit yang paling
periode januari- banyak adalah mialgia
juni 2014 sebanyak 12 pasien
(42,85%)

Nurrohmah Identifikasi Penelitian Prevalensi DRP pada pasien


(2016) Drug Related observasional Diabetes Melitus tipe 2
Problem (DRP) -deskriptif. sebesar 77%. Jenis DRP
Potensial Dilakukan yang terjadi terbagi menjadi
Melalui pendekatan tiga yaitu kasus interaksi
Rekonsiliasi cross obat (31%), ketidakpatuhan
Obat Pada sectional pasien (26%), dan kasus
Pasien Diabetes ADR (43%)
Melitus Tipe 2
di Puseksmas
Sewon II Bantul
6

D. Tujuan Penelitian
1. Menentukan prevalensi DRP setelah dilakukan HPC terhadap pasien DM

tipe 2 di puskesmas Sewon I Bantul.

2. Mengetahui apa saja DRP yang terjadi pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas

Sewon I Bantul setelah dilakukan HPC.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas :

Sebagai informasi mengenai program HPC dan dapat memberikan

gambaran kepada puskesmas Sewon I Bantul agar menjadi pertimbangan

dilakukannya HPC, untuk menurunkan angka kejadian DRP dan

meningkatkan pelayanan kesehatan serta menjadi program baru di

Puskesmas Sewon I Bantul.

2. Bagi Peneliti :

Meningkatkan pengetahuan tentang program HPC.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit kronis gangguan

metabolik, ditandai dengan peningkatan glukosa darah dalam tubuh atau

melebihi nilai normal (hiperglikemik). Hal tersebut dikarenakan adanya

gangguan sekresi insulin. Insulin merupakan salah satu hormon dalam tubuh

yang berfungsi untuk mengatur gula darah. Manifestasi klinis DM fase awal

dan kelaianan umum lainnya disebabkan karena adanya gangguan

metabolik. Keadaan lanjut dapat menyebabkan komplikasi, kerusakan

serius pada banyak sistem tubuh salah satunya syaraf dan pembuluh darah

(WHO, 2015).

2. Diagnosis

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2018), Diagnosis DM

dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan gula darah sewaktu > 200

mg/dL atau gula darah puasa ≥ 126 mg/dL atau jika hasil pemeriksaan gula

darah meragukan maka dapat dilakukan Tes Toleransi Glukosa Oral

(TTGO) dan bisa dilihat dari kadar A1C yaitu ≥6,5 %, selain itu diagnosis

DM juga dapat ditegakkan dengan melihat gejala khas seperti poliuri,

polifagi dan polidipsi.

7
8

Penegakan diagnosis DM secara umum disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Penegakan Diagnosis


Keadaan Glukosa plasma Glukosa plasma 2 jam setelah
puasa makan
Normal < 100 mg/dL < 140 mg/Dl
Pra –diabetes 100-125 mg/dl -
IFG atu IGT - 140 – 199 mg/dL
Diabetes ≥ 126 mg/Dl ≥ 200 mg/dL
(Depkes RI, 2005)

3. Klasifikasi

Klasifikasi umum DM sebagai berikut (ADA, 2015):

a. DM tipe 1 yang disebabkan oleh kerusakan pada sel beta pankreas dan

biasanya termasuk ke dalam defisiensi insulin absolut.

b. DM tipe 2 yang disebabkan oleh kerusakan progresif pada sekresi hormon

insulin sehingga mengakibatkan resistensi insulin.

c. DM gestasional yang terdiagnosa pada kehamilan trimester kedua atau

ketiga dan biasanya setelah melahirkan akan kembali dalam keadaan

normal.

d. DM tipe lain, seperti diabetes neonatal, adanya penyakit eksokrin, atau

obat obatan yang menyebabkan DM.

4. Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada pasien DM tipe 2 karena tingginya kadar

glukosa dalam darah (hiperglikemia) akan mempengaruhi berbagai organ.

Komplikasi DM tipe 2 bersifat akut dan kronis. Komplikasi akut seperti

diabetes ketoasidosis, hiperosmolar non ketotik dan hipoglikemia,

sedangkan komplikasi kronis yang bersifat menahun, yaitu (Perkeni, 2006):


9

a. Makroangiopati, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh darah

besar seperti jantung dan otak. Contohnya adalah penyakit jantung,

aterosklerosis, hipertensi dan stroke.

b. Mikroangiopati, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh darah

kecil. Komplikasi mikroangiopati dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:

1) Retinopati, yaitu komplikasi yang terjadi pada retina mata yang

menyebabkan adanya gangguan penglihatan bahkan sampai

kebutaan. Selain itu, gangguan pada mata yang juga bisa terjadi pada

pasien DM tipe 2 adalah katarak, makulopati (akumulasi cairan atau

edema di bagian tengah retina sehingga menyebabkan penglihatan

kabur), dan kesalahan bias (ketajaman lensa berubah seiring dengan

berubahnya konsentrasi glukosa dalam darah dan menyebabkan

penglihatan juga menjadi kabur).

2) Nefropati diabetik, yaitu peningkatan ekskresi albumin urin yang

ditandai dengan keadaan proteinuria dengan nilai protein >0,5g/ 24

jam dan akhirnya bisa menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir

(end-stage renal disease) (Gross et al., 2005; Wherrett et al., 2013).

c. Neuropati, yaitu gangguan yang terjadi pada saraf termasuk parestesia

atau sensasi abnormal berupa kesemutan. Neuropati perifer merupakan

hal yang paling utama dan umum terjadi pada penderita DM tipe 2 yang

akhirnya akan beresiko terjadi ulkus atau luka pada kaki dan jika sudah

sangat parah akan dilakukan amputasi. Faktor resiko yang memperbesar

kemungkinan terjadinya neuropati adalah meningkatnya kadar glukosa


10

darah, hipertensi, merokok, dan nilai indeks masa tubuh yang tinggi

(Tesfaye et al., 2005; Verspohl, 2012; Wherrett, 2013).

5. Tatalaksana terapi

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia atau PERKENI

(2006), penatalaksanaan DM tipe 2 meliputi aspek edukasi seperti

memotivasi dan mendampingi pasien untuk mengubah gaya hidup, terapi

gizi medis yaitu keteraturan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah

makanan, kemudian melakukan latihan jasmani yaitu sekitar 3-4 kali dalam

seminggu dengan durasi kurang lebih 30 menit serta intervensi

farmakologis. Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa

darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi beberapa

golongan, yaitu:

1) Pemicu sekresi insulin

a) Sulfonilurea

Mekanisme utama sulfonilurea adalah menstimulasi sekresi insulin

endogen dengan cara berikatan dengan reseptor sulfonilurea spesifik

pada sel beta pankreas. Efikasi dari sulfonylurea yaitu mampu

menurunkan kadar A1C sekitar 0,8 %. Obat golongan sulfonilurea

dibagi menjadi dua generasi, yaitu generasi pertama seperti

glibenklamid, klorpropamid dan tolbutamid, sedangkan generasi kedua

adalah glimepirid, gliburid, dan glikazid efek samping sulfonylurea


11

adalah hipoglikemia terutama pada pemberian glibenklamid dan

klorpropamid dan lebih besar efek sampingnya dibandingkan dengan

sulfonilurea generasi kedua. Efek hipoglikemia juga lebih besar jika

obat diberikan pada pasien yang berusia tua dan memiliki gangguan

ginjal dan hati (Nathan et al, 2009, 2012; Harper et al., 2013; Audehm

et al., 2014).

b) Glinid

Mekanisme glinid sama dengan golongan sulfonilurea yaitu dengan

meningkatkan sekresi insulin. Glinid mampu menurunkan nilai A1C

sekitar 0,7 %. Contoh obat golongan ini adalah repaglinid dan

nateglinid. Repaglinid diketahui lebih efektif dibandingkan nateglinid

dalam menurunkan nilai A1C. Efek samping golongan glinid adalah

hipoglikemia, namun lebih ringan dari pada sulfonilurea (Nathan et al.,

2009, 2012; Harper et al., 2013; Audehm et al., 2014).

c) Penghambat DPP-4 (dipeptyl peptidase-4)

Mekanisme golongan ini adalah dengan menghambat enzim DPP-4

sehingga meningkatkan GIP dan GLP-1 endogen dalam sirkulasi darah

dan akhirnya akan memperbaiki sekresi insulin. Contoh obat golongan

ini adalah sitagliptin dan saxagliptin. Obat tersebut mampu menurunkan

nilai A1C sebesar 0,7 %. Efek sampingnya adalah meningkatkan resiko

pankreatitis (Nathan et al, 2009, 2012; Harper et al., 2013; Audehm et

al., 2014).
12

d) Agonis reseptor GLP-1 (glucagon-like peptide-1)

Mekanisme utama golongan ini adalah berikatan dengan reseptor

GLP-1 sehingga meningkatkan sekresi insulin. Contoh obat golongan

ini adalah exenatid dan liraglutid. Agonis reseptor GLP -1 mampu

menurunkan nilai A1C sebesar 1,0 %. Efek samping yang mungkin

terjadi adalah kehilangan berat badan, mual, muntah dan pankreatitis

(Nathan et al., 2009, 2012; Harper et al., 2013; Audehm et al., 2014).

2) Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin

a) Tiazolindindion

Mekanisme golongan tiazolindindion adalah meningkatkan

sensivitas reseptor insulin di jaringan dan hati dengan berikatan pada

peroxisome proliferative activated receptor gamma (PPAR-ᵧ).

Tiazolindindion mampu menurunkan nilai A1C sekitar 0,8 %.

Contoh obat golongan ini adalah pioglitazon dan rosiglitazon. Efek

samping pioglitazon adalah meningkatkan resiko kanker kandung

kemih, sedangkan efek samping rosiglitazon adalah meningkatkan

resiko infark miokard dan meningkatkan kadar LDL. Efek samping

umum lainnya adalah gagal jantung, retensi cairan dan patah tulang

(Nathan et al., 2009; Inzucchi, 2012; Harper et al., 2013; Audehm

et al., 2014).
13

3) Menghambat glukoneogenesis

a) Biguanid

Mekanisme golongan biguanid adalah mengurangi pembentukan

glukosa hati dan mengaktifkan AMP-kinase. Contoh obat golongan

ini adalah metformin. Metformin merupakan obat pilihan pertama

untuk DM tipe 2 dan biasanya diresepkan untuk pasien DM tipe 2

yang mengalami obesitas. Metformin mampu menurunkan nilai

A1C sekitar 1,0-1,5 %. Efek samping metformin adalah gangguan

gastrointestinal seperti diare dan kram perut, defisiensi vitamin B12

dan resiko asidosis laktat. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien

DM tipe 2yang mengalami gangguan ginjal dengan nilai GFR

<30mL/menit. Selain itu, metformin juga menyebabkan mual

sehingga diberikan pada saat makan atau sesudah makan (Nathan et

al., 2009; Inzucchi, 2012; Harper et al., 2013).

b) Penghambat alfa glukosidase

Mekanisme utama golongan ini adalah menghambat enzim alfa

glukosidase dan mengurangi absorpsi karbohidrat di usus halus.

Contoh obatnya adalah akarbose. Akarbose mampu menurunkan

nilai A1C sebesar 0,6%. Efek samping yang mungkin terjadi adalah

gangguan gastrointestinal seperti diare dan kembung (Nathan et al.,

2009; Inzucchi, 2012; Harper et al., 2013).


14

B. Drug Related Problem (DRP)

Drug Related Problem (DRP) adalah peristiwa yang terjadi dengan

melibatkan terapi obat yang benar-benar terjadi (aktual) atau berpotensi terjadi

(potensial) dan mengganggu tujuan terapi yang diinginkan. DRP dianggap

aktual jika telah terjadi pada seorang pasien, sedangkan dianggap potensial jika

kemungkinan akan berkembang menjadi DRP jika tidak diberikan intervensi.

Pelaksanaan terapi pengobatan secara keseluruhan melalui 3 proses utama yang

dapat menghasilkan DRP, yaitu saat peresepan obat, dispensing (menyediakan

obat) dan proses penggunaan obat. Beberapa diantaranya tidak bisa dihindari

tanpa mengurangi efek farmakoterapi, seperti efek mual pada pemberian agen

onkolitik atau interaksi antar obat untuk pasien AIDS (Mil, 2005; PCNE, 2010;

Rani et al, 2014).

Kesalahan dalam peresepan biasanya berasal dari dokter, seperti kelalaian,

kurangnya pengetahuan, kurangnya informasi mengenai profil terapetik pasien

dan mungkin juga dikarenakan kehilangan data laboratorium pasien. Dokter

bisa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti industri farmasi dan mungkin

tidak meresepkan obat yang paling tepat. Tenaga kesehatan lain seperti perawat

juga bisa menyebabkan DRP karena kesalahan dalam mencatat instruksi dari

dokter atau tidak melengkapi obat sebagaimana dimaksud oleh dokter.

Permasalahan dalam dispensing (menyediakan obat) adalah hasil dari kelalaian,

salah menafsirkan tulisan dokter, tidak melihat riwayat penggunaan obat

pasien, atau mengambil obat yang salah (Mil, 2005).


15

Permasalahan dalam penggunaan obat sudah sangat sering terjadi, namun

tidak selalu menjadi perhatian oleh tenaga kesehatan. Umumnya, setengah dari

jumlah keseluruhan pasien adalah pasien yang tidak patuh terhadap pengobatan.

Hal ini menyebabkan adanya sejumlah DRP yang muncul dan hanya beberapa

masalah saja yang bisa terdeteksi (Mil, 2005).

Secara garis besar, DRP diklasifikasikan menjadi 8 kategori (Strand et al.,

1990) yaitu :

a. Indikasi tanpa obat

Pasien tidak diberi terapi obat untuk indikasi yang belum ditangani

sebelumnya. Misalnya, pasien diberi morfin secara oral dan sedang

menderita konstipasi, namun tidak diresepkan laksatif (Bedouch et al.,

2009).

b. Obat tanpa indikasi

Pasien diberi terapi obat yang tidak dibutuhkan dan tanpa indikasi klinis.

Misalnya, pasien diberi morfin dan laksatif, kemudian morfin dihentikan

tetapi laksatif tidak (Bedouch et al., 2009).

c. Pemilihan obat yang kurang tepat

Pemilihan obat yang salah atau tidak efektif untuk pasien. Misalnya, pasien

diberi asetaminofen secara intravena, padahal tidak ada kontraindikasi jika

diberikan dalam sediaan oral (Bedouch et al., 2009).

d. Dosis terlalu kecil

Dosis obat yang diberikan dalam dosis tersebut terlalu kecil sehingga efek

terapi tidak memadai untuk mengobati penyakit pasien. Misalnya, pasien


16

mengalami hipokalemia tetapi mendapatkan terapi KCl yang kurang tepat

dosis atau pemberian parasetamol dosis terlalu kecil untuk menangani gejala

arthritis (Ruths et al., 2007; Bedouch et al., 2009)

e. Dosis terlalu besar

Dosis yang diberikan dalam resep terlalu besar. Hal ini dapat menyebabkan

obat akan menjadi toksik. Misalnya, dosis obat ACE inhibitor yang terlalu

besar untuk pasien dengan gangguan ginjal (Ruths et al., 2007)

f. Interaksi obat

Berdasarkan penelitian Piscitelii (2005) menyatakan bahwa tingkat

keparahan interaksi obat dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu, tingkat

keparahan minor (tidak begitu menimbulkan efek berbahaya atau umunya

namun tetap perlu pemantauan), tingkat keparahan moderat (menimbulkan

efek sedang), Tingkat keparahan major (dapat membahayakan jiwa atau

kerusakan permanen). Interaksi bisa terjadi antara obat dengan obat, obat

dengan makanan, atau obat dengan tes laboratorium. Misalnya, penggunaan

furosemid dan NSAID bisa menurunkan efek diuretik serta penggunaan

furosemid dan digitalis bisa meningkatkan toksisitas digitalis dengan

hipokalemia (Ruths, et al., 2007). Selain itu, interaksi antara ofloksasin dan

besi sulfat yang digunaakan pada saat bersamaan di pagi hari (Bedouch et

al., 2009).

g. Adverse Drug Reactions (ADR)

ADR adalah efek yang tidak dapat diprediksi, tidak diinginkan dan tidak

menguntungkan terkait dengan pengobatan. WHO mendefinisikan ADR


17

sebagai sebuah respon berbahaya terkait obat yang tidak diinginkan dan

terjadi pada pemberian dosis normal serta digunakan untuk terapi profilaksis,

diagnosis, terapi suatu penyakit, atau untuk memodifikasi fungsi fisiologis.

Misalnya, timbulnya rash (kemerahan pada kulit) setelah mengkonsumsi

penisilin (Ruths et al., 2007)

h. Ketidakpatuhan pasien

Ketidakmampuan atau keengganan pasien untuk mengikuti terapi yang

diresepkan dengan tepat secara klinis, efektif dan bertujuan menghasilkan

tujuan yang diinginkan tanpa efek berbahaya. Hal ini bisa dikarenakan

beberapa macam alas an, seperti status sosial ekonomi pasien, kegagalan

distribusi/pemberian obat, kurangnya pengetahuan tentang kesehatan.

DRP merupakan tantangan besar untuk pembuat resep (dokter) karena hal

tersebut menyebabkan morbiditas dan juga secara negatif mempengaruhi

kualitas hidup pasien. Pengetahuan mendalam tentang DRP dapat membantu

dalam mengidentifikasi DRP itu sendiri, menyelesaikan DRP aktual, dan

mencegah DRP. Identifikasi DRP adalah tugas utama farmasi klinik yang

berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lain. Tiga proses dalam melakukan

verifikasi penggunaan obat, yaitu identifikasi kesalahan pengobatan,

meluruskan atau menyelesaikan kesalahan pengobatan tersebut dan

membandingkan resep obat pasien dengan seluruh pengobatan yang pernah

pasien dapatkan (Rani et al., 2014).


18

C. Home Pharmacy Care (HPC)

Profesi apoteker dalam 30 tahun terakhir terjadi pergeseran paradigma

peran profesi apoteker semula hanya pada drug oriented, sekarang mulai

digalakkan dengan mengacu pada pharmaceutical care sehingga

pharmaceutical care dapat meningkatkan peran apoteker dan ikut

menentukan outcome pasien (Berenguer dkk., 2004).

Home Pharmacy Care (HPC) merupakan salah satu bagian dari

pharmaceutical care. HPC oleh apoteker adalah pendampingan pasien oleh

apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien

maupun keluarganya. Tujuan dari layanan obat dalam home care adalah

untuk meningkatkan perawatan dan melibatkan langsung pasien dalam

pemilihan obat untuk terapinya (Royal Pharmacutical Society, 2013).

HPC terutama ditujukan untuk pasien yang tidak atau belum dapat

menggunakan obat dan atau alat kesehatan secara mandiri, yaitu pasien yang

memiliki kemungkinan mendapatkan risiko masalah terkait obat misalnya

komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat, kompleksitas

pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya

pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan

atau alat kesehatan agar tercapai efek yang terbaik (Depkes RI, 2008).

Berdasarkan dari Departemen kesehatan RI (2008), pasien yang perlu

mendapat pelayanan kefarmasian di rumah antara lain :

1. Pasien yang menderita penyakit kronis dan memerlukan perhatian

khusus tentang penggunaan obat, interaksi obat dan efek samping obat.
19

2. Pasien yang menjalani terapi jangka panjang misal pasien TB,

HIV/AIDS, dan DM.

3. Pasien dengan risiko yaitu pasien dengan usia 65 tahun atau lebih

dengan salah satu kriteria atau lebih regimen obat sebagai berikut:

a. Pasien minum obat 6 macam atau lebih setiap hari.

b. Pasien minum obat 12 dosis atau lebih setiap hari.

Jenis pelayanan kefarmasian di rumah atau Home Pharmacy Care (HPC)

yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi (Depkes, 2008) :

1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan

pengobatan

2. Identifikasi kepatuhan dan kesepahaman terapeutik

3. Penyediaan obat dan/atau alat kesehatan

4. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misal

cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin, dll

5. Evaluasi penggunaan alat bantu pengobatan dan penyelesaian masalah

sehingga obat dapat dimasukkan ke dalam tubuh secara optimal

6. Pendampingan pasien dalam penggunaan obat melalui infus/obat khusus

7. Konsultasi masalah obat

8. Konsultasi kesehatan secara umum

9. Dispensing khusus (misal : obat khusus, unit dose)

10. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat

termasuk alat kesehatan pendukung pengobatan

11. Pelayanan farmasi klinik lain yang diperlukan pasien


20

12. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah

Dalam membuat rencana pelayanan kefarmasian untuk menyelenggarakan

pelayanan kefarmasian di rumah, apoteker bekerjasama dengan pasien, keluarga

dan berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lain.

D. Kerangka Konsep

E. Keterangan Empirik

Home Pharmacy Care (HPC) merupakan pendampingan pasien dalam

pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien maupun keluarga

pasien. Salah satu kegiatan yang dilakukan saat HPC adalah menilai/mencari

(assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan, evaluasi

penggunaan alat bantu pengobatan dan penyelesaian masalah terkait

pengobatan. Melalui kegiatan tersebut, maka HPC dapat menjadi salah satu

upaya untuk mengidentifikasi Drug Related Problem (DRP) yang terjadi pada

pasien DM tipe 2 di Puskesmas Sewon I Bantul


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian non eksperimental

secara deskriptif, kemudian menggunakan metode pengumpulan data secara

prospektif yang dilakukan dengan mengumpulkan data melalui wawancara

kepada pasien DM tipe 2 untuk mendapatkan data tentang prevalensi dan jenis

DRP pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Sewon I Bantul melalui proses

HPC.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sewon I Bantul dan rumah

pasien. Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober 2017 – Januari 2018.

C. Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien DM tipe 2 di

Puskesmas Sewon I Bantul yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

penelitian dengan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik

consecutive sampling, dimana sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu

sesuai dengan tujuan penelitian dalam kurun waktu tertentu. Sebanyak 129

data pasien DM tipe 2 di Puskesmas Sewon I Bantul, dalam kurun waktu tiga

bulan didapat 12 responden.

19
20

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


1. Kriteria Inklusi

a. Pasien DM tipe 2 yang menjalani rawat jalan di Puskesmas Sewon Bantul

dengan atau tanpa komplikasi

b. Pasien DM tipe 2 yang bersedia menjadi responden

d. Menjalani pengobatan diabetes selama minimal 1 tahun

e. Kadar GDS baseline > 140mg/dL.

2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien DM tipe 2 yang tidak bisa memberikan informasi terkait

pengobatan yang digunakan sebelumnya

b. Berprofesi sebagai tenaga kesehatan

c. Mempunyai gangguan jiwa

d. Pasien drop out dari penelitian.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Definisi Operasional

a. Home Pharmacy Care (HPC) adalah pelayanan kefarmasian di rumah

pasien. Kegiatan ini dilakukan dengan mengunjungi rumah pasien setiap

waktu sesuai dengan yang sudah ditentukan, misal 4 x dalam 1 bulan.

Salah satu yang dapat diberikan dalam HPC adalah mengkaji DRP apa

yang terjadi dan cara mengatasinya.

b. Drug Related Problem (DRP) adalah peristiwa yang terjadi dengan

melibatkan terapi obat yang benar-benar terjadi (aktual) atau berpotensi

terjadi (potensial) dan mengganggu tujuan terapi yang diinginkan. DRP

dianggap aktual jika telah terjadi pada seorang pasien, sedangkan


21

dianggap potensial jika kemungkinan akan berkembang menjadi DRP

jika tidak diberikan intervensi. Secara garis besar, DRP diklasifikasikan

menjadi 8 kategori (Strand et al., 1990) yaitu :

a. Indikasi tanpa obat

b. Obat tanpa indikasi

c. Pemilihan obat yang kurang tepat

d. Dosis terlalu kecil

e. Dosis terlalu besar

f. Interaksi obat

g. Adverse Drug Reactions (ADR)

h. Ketidakpatuhan pasien

F. Instrumen Penelitian

1. Alat

a. Kuesioner MMAS-8

b. Informed Consent

c. Lembar pertanyaan wawancara

a. Pedoman Home Pharmacy Care (HPC)

2. Bahan

a. Rekam Medik pasien

b. Resep obat pasien


22

G. Cara Kerja

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, diantaranya yaitu:

1. Pengumpulan bahan dari literatur mengenai penyakit DM tipe 2.

2. Studi pendahuluan mengenai puskesmas yang digunakan dalam penelitian.

3. Pembuatan proposal penelitian pada bulan Mei-Juni 2017.

4. Pembuatan surat izin penelitian setelah dilakukan sidang proposal dan telah

disetujui oleh dosen pembimbing.

5. Pengumpulan data melalui HPC kepada pasien DM tipe 2 di Puskesmas

Sewon 1 Bantul pada bulan Oktober 2017 – Januari 2018.

6. Analisis data tentang prevalensi dan jenis DRP potensial yang terjadi pada

pasien DM tipe 2 di Puskesmas Sewon 1 Bantul.

H. Skema Langkah Kerja

Langkah kerja yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Langkah Kerja


23

I. Analisis Data

Berikut adalah analisis data yang dilakukan pada penelitian ini:

1. Prevalensi DRP yang terjadi pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Sewon 1

Bantul berdasarkan hasil HPC dengan menghitung persentase kejadian DRP

aktual atau potensial yang terjadi menurut jenis DRP.

2. Jenis DRP yang terjadi pada pasien DM tipe 2 di Puskesmas Sewon 1 Bantul

melalui proses HPC, kemudian data yang ada dikelompokkan terlebih

dahulu menurut jenis DRP yang terjadi, setelah itu data yang sudah

dikelompokkan dianalisis berdasarkan masing masing DRP potensial yang

terjadi.
24

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini melakukan kajian Drug Related Problem (DRP) melalui

Home Pharmacy Care (HPC) pada 12 pasien yang terdiagnosis DM tipe 2 di

Puskesmas Sewon 1 Bantul yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan data

melalui wawancara dan pengamatan pada pasien DM tipe 2 yaitu untuk mengetahui

prevalensi dan jenis DRP yang terjadi pada pasien DM tipe 2 saat dilakukan HPC.

A. Karakteristik Responden

1. Berdasarkan jenis kelamin responden

Data distribusi pasien HPC berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat

pada gambar 2.

Gambar 2. Distribusi pasien berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar 2 menunjukkan bahwa responden berjenis kelamin perempuan

lebih banyak daripada yang berjenis kelamin laki-laki. Sebanyak 58%

responden DM berjenis kelamin perempuan dan sebanyak 42% berjenis

kelamin laki-laki. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013

didapat angka prevalensi DM di Indonesia dimana terjadi peningkatan dari

1,1% tahun 2007 menjadi 2,1% tahun 2013, dan ditemukan sebesar 7,70%
25

kejadian DM lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki

sebesar 5,60%. Hal ini sesuai dengan penelitian Triplitt et al., (2008), yang

menyatakan bahwa kejadian DM tipe 2 lebih banyak ditemukan pada

perempuan daripada laki-laki. Hal ini dapat terjadi karena secara fisik

perempuan memiliki peluang peningkatan indeks massa tubuh lebih besar

daripada laki-laki. Selain itu, hal ini juga dikarenakan premenstrual

syndrome (sindrom siklus bulan) dan pasca menopause yang dialami

perempuan, yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah

terakumulasi akibat proses hormonal sehingga tubuh menyimpan lemak

secara berlebihan yang mengakibatkan resistensi insulin (Irawan, 2010).

2. Berdasarkan usia responden

Berdasarkan Depkes RI (2009) kategori usia yaitu : remaja awal

12-16 tahun ; remaja akhir 17-25 tahun ; dewasa awal 26-35 tahun ;

dewasa akhir 36-45 tahun ; lansia awal 46-55 tahun ; lansia akhir 56-65

tahun ; dan manula 66-75 tahun.

Hasil data distribusi berdasarkan usia pasien pada saat penelitian

dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Distribusi pasien berdasarkan Usia


26

Berdasarkan hasil data distribusi pada gambar 2 menunjukan bahwa

pada pasien usia 56-65 tahun (lanjut usia) memiliki persentase paling

besar terjadinya DM tipe 2 yaitu 67%. Usia merupakan salah satu faktor

yang turut berkontribusi terhadap tingginya prevalensi diabetes

terutama pada lanjut usia. Sesuai dengan penelitian Cantrill dan Wood

(2003) bahwa insiden DM tipe 2 cenderung meningkat seiring dengan

bertambahnya usia. Hal ini disebabkan karena adanya penurunan fungsi

fisiologis tubuh yang akan berakibat menurunnya fungsi endokrin

pankreas untuk memproduksi insulin (Arisman, 2011).

Meneilly dan Tessier (2001) menyatakan bahwa proses penuaan

mempengaruhi sensitivitas sel beta pankreas terhadap glukosa dan

produksi insulin serta penurunan kepekaan reseptor terhadap insulin

(resistensi insulin) yang disebabkan oleh faktor instrinsik ataupun

perubahan gaya hidup ketika usia lanjut, salah satunya yaitu

berkurangnya aktivitas fisik.

3. Berdasarkan penyakit penyerta responden

Berdasarkan hasil data yang diperoleh, ditemukan 6 dari 12

responden (50%) tidak memiliki penyakit penyerta dan sebanyak 6

responden (50%) memiliki penyakit penyerta. Hasil data dapat dilihat

pada gambar 4.
27

Gambar 4. Distribusi pasien berdasarkan Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta hipertensi tidak selalu terjadi pada pasien DM.

Namun, pada umumnya hipertensi dan DM terjadi secara bersamaan dan

adanya tumpang tindih dalam etiologi dan mekanisme. Menurut Saseen

dan Carter (2005) pada pasien DM, terjadi penurunan elastisitas

pembuluh darah akibat kerusakan endotel dan penumpukan fatty streak

serta mediator – mediator inflamasi. Mediator inflamasi yang

menumpuk pada pembuluh darah dapat mempersempit ruang gerak

aliran darah sehingga pembuluh darah mengalami penyempitan dan

menyebabkan tekanan darah meningkat. Selain itu, peningkatan

viskositas darah dalam tubuh yang disebabkan karena tingginya kadar

gula darah pada pasien DM dapat mengakibatkan kerja otot-otot jantung

lebih berat memompa darah sehingga tekanan darah meningkat (Tandra,

2009). Riset Kesehatan Dasar (2013) menyatakan bahwa, hipertensi

merupakan penyakit penyerta terbanyak yang terjadi pada pasien DM di

Puskesmas Sewon I Bantul lebih dari 50% penderita DM tipe 2

mengalami hipertensi. Hal ini juga didukung oleh KDOQI (2007), yang
28

menyatakan bahwa >75% pasien DM tipe 2 mengalami hipertensi yaitu

tekanan darah >130/80 mmHg serta menggunakan terapi antihipertensi

dan umumnya terjadi pada sebagian besar pasien yang didiagnosis DM

tipe 2.

Penyakit penyerta yang terjadi selain hipertensi adalah

peningkatan kadar kolesterol atau hiperlipidemia. Menurut Rader

(2005) resistensi insulin mempengaruhi metabolisme dalam tubuh

sehingga terjadi perubahan proses produksi dan menyebabkan

peningkatan lipolisis pada jaringan adiposa sehingga terjadi

peningkatan lemak dalam darah termasuk kolesterol dan trigliserida.

Pada DM, kolesterol LDL (Low Destiny Lipoprotein) memiliki bentuk

lebih padat dan ukurannya lebih kecil sehingga sangat mudah masuk dan

menempel pada lapisan pembuluh darah yang lebih dalam (aterogenik)

(Elha, 2012). Selain hiperkolesterolemia, penyakit penyerta lain yaitu

gastritis. Gastritis atau maag terjadi karena adanya gangguan

metabolisme DM dengan neuropati sering timbul komplikasi

pengosongan lambung yang lambat sehingga timbul keluhan seperti

mual, perasaan lekas kenyang, kembung dll (Abdullah, 2008).

Penyakit penyerta berkaitan dengan DRP, yaitu dengan adanya

penyakit penyerta maka akan semakin kompleks juga pengobatan yang

diterima oleh pasien, sehingga besar kemungkinan mengakibatkan

terjadinya polifarmasi dan akan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien

dalam menggunakan obat (WHO, 2003).


29

B. Gambaran Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 melalui

Home Pharmacy Care (HPC)

Kadar gula darah pasien merupakan salah satu indikator yang digunakan

untuk mengukur outcome terapi pasien. Hasil data kadar gula darah pasien

selama dilakukan HPC dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Gambaran Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Melitus tipe 2


melalui Home Pharmacy Care (HPC)
Kode Kadar gula Kadar gula darah Selisih kadar gula
darah pre post darah pre-post
001 226 102 -124
002 144 127 -17
003 447 532 85
004 104 314 210
005 310 312 2
006 215 157 -58
007 150 198 48
008 377 150 -227
009 288 201 -87
010 245 160 -85
011 304 188 -116
012 189 184 -5
Rata-rata 249.92 218.75 -
(Sumer: Data primer yang telah diolah, 2018)

Tabel 3 menunjukan 8 dari 12 responden mengalami penurunan

kadar gula darah dan sebanyak 4 responden mengalami kenaikan kadar

gula darah selama dilakukan HPC. Berdasarkan hasil data yang diperoleh

pemberian HPC pada pasien DM memberikan efek yang signifikan dalam

penurunan kadar gula darah pasien. Sehingga dapat dikatakan bahwa


30

pemberian HPC memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar gula

darah pasien.

Dalam penelitan ini, peningkatan kadar gula pada pasien dikarenakan

beberapa hal, diantaranya pengaturan pola makan yang tidak sesuai,

aktivitas fisik yang kurang dan faktor stress yang dialami pasien, karena

pada saat penelitian beberapa pasien memiliki masalah pribadi baik itu

perihal keluarga, pekerjaan ataupun bencana alam yang terjadi pada

wilayah tempat tinggal pasien.

Penelitian oleh Dini (2013) menyatakan bahwa faktor yang

mempengaruhi peningkatan atau penurunan kadar gula darah pasien salah

satu diantaranya yaitu karena pola makan, gaya hidup dan perilaku

kepatuhan minum obat pasien. Kepatuhan pasien yang rendah dalam

mengkonsumsi obat anti diabetik menyebabkan kadar gula darah tidak

mencapai target normalnya. Namun jika kepatuhan pasien meningkat

tetapi kadar gula darah pasien tidak mengalami penurunan, hal tersebut

berkaitan dengan pengaturan pola makan yang tidak sesuai. Selain itu,

stres juga merupakan faktor yang berpengaruh penting bagi penyandang

DM. Stres yang tinggi dapat memicu kadar gula darah dalam tubuh yang

semakin meningkat sehingga semakin tinggi stres yang dialami oleh

penderita DM maka DM yang diderita akan semakin bertambah buruk

(Labindjang, 2015). Hal ini sesuai dengan penelitian Damayanti (2015)

bahwa stres memicu reaksi biokimia tubuh yaitu neuroendokrin melalui

jalur Hipotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA). Kondisi Depresi dapat


31

menyebabkan Hipersekresi Corticotropin Releasing Hormon (CRH) yang

merupakan gangguan sumbu Hipotalamus-Pituitary-Adrenal (HPA).

Peningkatan CRH ini akan berakibat tingginya sintesa dan pengeluaran

ACTH oleh hipofisis yang selanjutnya akan merangsang pengeluaran

kortisol dari kelenjar adrenal untuk mensekresi hormon glukokortikoid,

terutama kortisol (hidrocortison) (Sholeh, 2006). Hormon kortisol

berfungsi untuk meningkatkan glukosa darah dengan menggunakan

simpanan protein dan lemak yang berperan dalam adaptasi terhadap stres

(Isworo, 2010).

C. Gambaran Penggunaan Obat Pada Pasien Diabetes Melitus tipe 2


Berdasarkan HPC dari 12 responden, data gambaran penggunaan

obat pada pasien DM tipe 2 dapat dilihat pada tabel 4:

Tabel 4. Gambaran Penggunaan Obat pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2


No Penggunaan obat Jumlah Persentase
1 Obat Tunggal 2 16.67%
2 Kombinasi 2 obat 2 16.67%
3 Kombinasi 3 obat 2 16.67%
4 Kombinasi >3 obat 6 50%
Jumlah 12 100%
(Sumber: Data primer yang telah diolah, 2018)

Tabel 4 menunjukan bahwa sebagian besar pasien menggunakan

kombinasi >3 obat (50%). Obat yang digunakan tidak hanya obat DM saja,

tetapi juga kombinasi dengan obat-obatan untuk mengatasi penyakit

penyerta. Pemberian obat DM secara kombinasi atau tungggal disebabkan

karena adanya perbedaan terhadap kondisi medis pasien. Menurut Foucquier

(2015) bahwa terapi dengan menggunakan kombinasi beberapa obat

dimaksudkan untuk mendapatkan efikasi yang lebih baik dari pengobatan,


32

menurunkan toksisitas dan menurunkan kejadian resistensi obat. Tetapi perlu

diperhatikan efek yang akan timbul bila menggunakan kombinasi obat secara

bersamaan seperti interaksi obat (Guyton, 2007). Hal ini juga dipertegas oleh

Food and Drug Administration (FDA) bahwa terapi kombinasi obat

digunakan hanya jika lebih menguntungkan daripada terapi dengan obat

tunggal atau jika pengobatan obat tunggal tidak memungkinkan.

Obat-obat antidiabetes yang digunakan di puskesmas Sewon 1

Bantul didominasi golongan biguanid yaitu metformin dan sulfonylurea

yaitu glimepirid. Pravinkumar dan Gokul (2012) menyatakan bahwa pasien

DM telah mengalami perubahan patofisiologis tubuh sehingga memerlukan

kombinasi antidiabetes, yang memiliki mekanisme aksi yang saling

melengkapi. Hal ini juga didukung oleh Direktorat Bina Farmasi Kominitas

dan Klinis (2005) bahwa kombinasi antara agen penyedia insulin dana agen

peningkat sensitivitas insulin dinilai dapat efektif pada banyak penderita DM

tipe 2. Prinsip dari kerusakan pada DM tipe 2 terjadi akibat defisiensi insulin

dan resistensi insulin, sehingga kombinasi antara agen penyedia insulin dan

agen peningkat sensitivitas insulin perlu digunakan untuk meningkatkan

efikasi dari agen antihiperglikemia. Selain itu, pasien dengan komplikasi

hipertensi juga diberikan penambahan antihipertensi oral seperti golongan

Calcium Channel Blocker, Angiotensin Converting Enzyme inhibitor dan

Angiotensin Receptor Blocker. Untuk pasien yang merasa pusing ataupun

nyeri diberikan penambahan NSAID atau Paracetamol (analgesic,

antipiretik), Pasien dengan riwayat tukak lambung (gastritis) diberikan


33

penambahan antasida, dan untuk pasien dengan keluhan kebas dan sering

kesemutan diberikan penambahan Vit B Kompleks dan golongan statin

untuk pasien dengan hiperlipid.

Pada penelitian ini selain mengkonsumsi obat antidiabetik yang

diresepkan oleh dokter, beberapa pasien juga mengkonsumsi herbal.

Penggunaan herbal oleh pasien dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini:

Tabel 5. Penggunaan Herbal


NO Herbal Jumlah pasien Persentase
1 -Daun insulin 8.33%
-Kunyit 1
-Pace
2 Temulawak 1 8.33%
Total 2 16.66%
(Sumber: Data primer yang diolah, 2018)

Pada tabel 5 ditemukan 16.66% pasien DM tipe 2 menggunakan

herbal. Pasien yang menggunakan herbal beranggapan bahwa herbal

merupakan bahan alami yang lebih aman, tidak menyebabkan efek samping

dan lebih efektif dalam penurunan kadar gula darah daripada menggunakan

obat antidiabetes oral yang diresepkan oleh dokter. Namun, penelitian Gohil

dan patel (2007) menyatakan bahwa walaupun dianggap sebagai bahan alami

akan tetapi produk herbal berpotensi menimbulkan efek samping berbahaya

atau tidak diinginkan dan jika dikonsumsi bersamaan dengan obat lain

kemungkinan akan mengurangi manfaat obat tersebut. Hal ini dikarenakan

herbal memiliki kandungan senyawa aktif yang bervariasi sehingga akan

meningkatkan resiko interaksi herbal dengan obat sintetik (Izzo, 2012).

Herbal yang digunakan pasien pada penelitian ini adalah daun

insulin, kunyit dan mengkudu. Daun insulin (Smallanthus sonchifolius)


34

merupakan tanaman famili Compositae yang memiliki kandungan protein,

karbohidrat, serta gula fruktosa yang tidak dapat dicerna oleh enzim

pencernaan di usus halus, sehingga biasanya direkomendasikan untuk pasien

diabetes atau pasien dengan gangguan pencernaan (Lachman et al., 2003).

Pada penelitian Aybar (2001) menyatakan bahwa tanaman daun insulin

mampu mengurangi obesitas dan dapat menurunkan glukosa plasma serta

peningkatan sekresi insulin. Selain itu juga dapat menghambat enzim alfa

glukosida. Enzim alfa glukosidase berfungsi sebagai enzim pemecah

karbohidrat menjadi glukosa di usus halus, sehingga dengan dihambatnya

kerja enzim alfa glukosidase maka pemecahan karbohidrat menjadi glukosa

akan menjadi berkurang dan kadar glukosa darah dalam tubuh akan

berkurang (Xiang et al., 2010).

Kunyit (Curcuma longa) merupakan tanaman famili Zingiberaceae

yang memiliki komponen aktif yaitu curcumin yang berperan penting dalam

pencegahan dan pengobatan diabetes. Curcumin dapat mempengaruhi

beberapa aspek utama didalam penyakit diabetes, termasuk resistensi insulin,

hiperglikemia dan hyperlipidemia (Zhang et al.,2013).

Selain mengkonsumsi daun insulin dan kunyit pasien juga

mengkonsumsi herbal mengkudu. Mengkudu (Morinda Citrifolia L)

merupakan tanaman famili Rubiaceae yang memiliki kandungan flavonoid

(Rutin), Saponin, Triterpenoid yang ada di dalam Morinda Citrifolia L. yang

dapat menyebabkan keadaan tubuh menjadi hipoglikemi, disamping itu

sebagai antioksidan dan antiinflamasi yang kuat dalam pengendalian DM.


35

Oleh karena itu, Morinda Citrifolia L. berpotensi untuk pengobatan DM

(Kustarini et al., 2012).

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tanaman famili

zingiberaceae yang secara turun temurun telah dipercaya memiliki efek

meningkatkan nafsu makan (Limananti danTriratnawati, 2003). Penelitian

Ozaki dan Liang (1988) menyatakan bahwa Minyak atsiri merupakan

kandungan yang diduga memiliki efek peningkatan nafsu makan karena

memiliki sifat koleretik yang mampu mempercepat sekresi empedu sehingga

dapat mempercepat pengosongan lambung, peningkatan aktivitas

pencernaan dan absorpsi lemak diusus yang kemudian akan mensekresi

berbagai hormon yang mampu meregulasi peningkatan nafsu makan.

Dampak dari peningkatan nafsu makan adalah menurunnya kemampuan

pasien dalam mengatur pola makan. Pola makan yang tidak teratur

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan atau

penurunan kadar gula darah pasien (Dini, 2013).

D. Identifikasi DRP (Drug Related Problem (DRP) melalui Home


Pharmacy Care (HPC)
Berdasarkan hasil data yang diperoleh selama HPC pada pasien DM tipe

2 di Puskesmas Sewon I Bantul ditemukan Drug Related Problem (DRP)

sebesar 75% atau 9 dari 12 pasien. Drug Related Problem (DRP) yang

teridentifikasi meliputi ketidakpatuhan pasien, Adverse Drug Reaction (ADR)

dan interaksi obat. Hasil data dapat dilihat pada tabel 6.


36

Tabel 6. Gambaran Drug Related Problem (DRP) yang Terjadi


NO DRP Jumlah pasien Persentase
1 Ketidakpatuhan pasien 7 78%
2 Adverse Drug Reaction (ADR) 1 11%
3 Interaksi obat 1 11%
Total 9 100%
(Sumber: Data primer yang telah diolah, 2018)

1. Ketidakpatuhan Pasien

Pada penelitian ini ketidakpatuhan pasien merupakan DRP yang

memiliki persentase terbesar yaitu 78% atau sebanyak 7 pasien dari 9

pasien. Berdasarkan wawancara pada saat HPC, ketidakpatuhan pasien ini

terjadi karena beberapa alasan yaitu pasien lupa untuk minum obat pasien

sudah merasa bosan dan malas untuk minum obat karena sudah

mengkonsumsi obat antidiabetes selama bertahun-tahun dan tidak kunjung

sembuh, pasien malas untuk kontrol rutin ke puskesmas dan karena adanya

ketakutan pasien akan konsumsi obat berlebih, dimana pasien beranggapan

bahwa penggunaan obat yang banyak akan menimbulkan dampak

berbahaya, Selain itu ada pula pasien yang dengan sengaja mengurangi

dosis obat tanpa sepengetahuan dokter karena merasa kondisi lebih baik.

Data dapat dilihat pada gambar 5.


37

Gambar 5. Ketidakpatuhan pasien

Pada penelitian ini, ketidakpatuhan pasien terjadi pada pengobatan

yang menggunakan antidiabetes metformin dan glimepiride. Metformin

500 mg tiap tablet memiliki aturan pakai tiga kali sehari atau setiap 8 jam.

Namun beberapa pasien kadang hanya mengkonsumsi metformin kurang

dari tiga kali sehari. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu padatnya

aktivitas pasien sehingga lupa minum obat metformin pada siang hari, serta

jumlah obat yang banyak dan frekuensi pemberian yang banyak membuat

pasien bosan minum obat dan mengkonsumsi obat jika kadar gula darah

tinggi dan merasa sakit. Glimepirid 1 mg atau 2 mg memiliki aturan pakai

satu kali sehari, jadwal minum obat pasien yang berubah setiap hari (tidak

dijam yang sama setiap harinya) membuat beberapa pasien lupa minum

obat.

Salah satu faktor penyebab kegagalan terapi atau pengontrolan

glukosa darah pasien adalah ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan.

Berdasarkan penelitian Rapoff (2010) ketidakpatuhan pasien akan


38

berdampak pada kesehatan pasien secara umum dan menurunkan cost

effectiveness, serta meningkatkan tingkat kesulitan dalam pengambilan

keputusan klinis karena membiaskan penilaian efektivitas pengobatan.

Kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan sangat mempengaruhi

keberhasilan terapi diabetes melitus (BPOM, 2006).

2. Adverse Drug Reaction (ADR)

Pada penelitian ini ditemukan satu pasien kasus ADR dari

keseluruhan DRP yang terjadi dan ADR yang ditemukan tidak berkaitan

dengan obat antidiabetes, tetapi terjadi pada penggunaan Non Steroid Anti

Inflammatory Drugs (NSAID) jangka panjang untuk terapi tambahan

karena pasien sering mengalami pusing dan nyeri, seperti nyeri pasca

operasi dan nyeri pada kaki. Mekanisme NSAID adalah menghambat

enzim siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksignase-2 (COX-2) yang

berperan dalam sintesis prostaglandin yang merupakan mediator dalam

proses inflamasi. COX-1 yang diperlukan sebagai perlindungan terhadap

mukosa lambung mengalami penghambatan, akibatnya terjadi penurunan

faktor proteksi lambung (Tjay dan Raharja, 2007). Oleh karena itu,

penggunaan NSAID dalam jangka panjang dapat menyebaban terjadinya

penyakit ataupun gangguan pada gastrointestinal (Becker, 2004).

Selain gangguan pada gastrointestinal, NSAID juga dapat

menyebabkan hipertensi. Hal ini berhubungan dengan gangguan fungsi

ginjal akibat dari penghambatan sintesis prostaglandin. Prostaglandin

berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal ke ginjal,


39

pengeluaran renin, reabsorpsi natrium dan vasodilator kuat (mengendurkan

otot-otot dinding pembuluh darah). Penggunaan NSAID dalam jangka

panjang dapat menyebabkan gangguan ginjal. Dilihat dari mekanismenya

NSAID dapat menghambat sintesis prostaglandin dan mengakibatkan

peningkatan air dan natrium dalam tubuh. Peningkatan air dan natrium

menyebabkan turunnya aliran darah ke ginjal sehingga terjadi gangguan

laju filtrasi glomerulus (gangguan fungsi ginjal). Pada gangguan fungsi

ginjal, tubuh tidak mampu membuang sejumlah garam dan air sehingga

menyebabkan volume darah dalam tubuh meningkat dan menyebabkan

tekanan darah juga meningkat. Biasanya NSAID diresepkan untuk pasien

lanjut usia yang sebagian besar memiliki resiko untuk terjadinya efek

samping pada ginjal. Namun jika pemberian NSAID tidak dapat dihindari,

maka perlu monitoring ketat dan edukasi kepada pasien (Bleumink, 2003).

3. Interaksi Obat

Pada penelitian ini ditemukan satu kasus yang berpotensi

menyebabkan interaksi obat. Interaksi obat yang terjadi yaitu interaksi

tingkat keparahan minor yang ditemukan pada furosemide dan metformin.

Furosemid merupakan obat antihipertensi golongan loop diuretic. Dalam

hal ini, terjadi interaksi farmakokinetik antara furosemide dan metformin.

Furosemide dapat meningkatkan kadar metformin dalam darah saat

penggunaan bersama. Secara mekanisme, furosemide dan metformin

diekskresi di tubular ginjal sehingga bersaing disistem transportasi umum

tubular yang menyebabkan berpotensi kadar dari metformin meningkat dan


40

terjadi hipoglikemia (Tatro, 2009). Meskipun interaksi obat yang terjadi

adalah tingkat keparahan minor dan interaksi tersebut mungkin saja terjadi,

maka perlu dilakukan monitoring kadar gula darah pasien. Selain itu,

edukasi pasien untuk melakukan pengobatan mandiri seperti meminum air

gula atau mengkonsumsi makanan manis saat mengalami gejala

hipoglikemi.

.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan

maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Prevalensi Drug Related Problem (DRP) pada pasien DM tipe 2 di

Puskesmas Sewon I Bantul berdasarkan hasil Home Pharmacy Care

(HPC) adalah sebesar 75%.

2. Setelah dilakukan Home Pharmacy Care (HPC) pada pasien DM tipe 2

di Puskesmas Sewon I Bantul ditemukan tiga jenis Drug Related

Problem (DRP) yaitu kasus Adverse Drug Reaction (ADR) sebanyak

11% atau 1 dari 9 pasien teridentifikasi DRP, Interaksi obat sebanyak

11% atau 1 dari 9 pasien teridentifikasi DRP, dan ketidakpatuhan pasien

sebanyak 78% atau 7 dari 9 pasien teridentifikasi DRP.

B. SARAN
1. Bagi pasien DM penelitian disarankan untuk lebih meningkatkan

komunikasi dengan tenaga kesehatan seperti dokter maupun apoteker

terkait dengan pengobatan sendiri yang dilakukan di rumah, seperti saat

mengkonsumsi jamu, produk herbal ataupun terapi alternatif. Selain itu

juga disarankan untuk lebih mematuhi aturan pengobatan agar tercapai

outcome terapi yang diharapkan.

41
42

2. Untuk pihak Puskesmas Sewon I Bantul agar mengadakan kegiatan

HPC dan melakukan pemantauan penggunaan obat pasien secara rutin

terhadap pasien terutama pasien yang memiliki kepatuhan rendah.

3. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk lebih memperluas subjek

penelitian dan membuat jadwal HPC lebih baik lagi agar didapat hasil

yang lebih maksimal.


43

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, H.D., dan Strand, L.M, 2008, Opportunities and responsibilities in
Pharmaceutical Care, Am. J. Hosp. Pharm, 47: 533-543.

ADA (American Diabetes Association), 2009, Diagnosis and classification of


diabetes Melitus, Diabetes care, 32 (Supplement 1), S62-S67.

ADA (American Diabetes Association), 2015, Standards of Medical Care in


Diabetes, Diabetes Care.

Arisman, 2011, Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas, Diabetes Melitus dan Dislipidemia,
44-54, ECG, Jakarta.

Audehm, R., Arthur, I., Barlow, J., et al, 2014, General Practice Management of
Type 2 Diabetes, The Royal Australian College of General Practitioners and
Diabetes Australian, 47-51.

Aybar, M.J., Sanches, R.A.N., Grau, A., Sanches, S.S, 2001, Hypoglicemic Effect of
The Water Extract of Smallanthus sonchifolius (Yacon) leaves in Normal and
Diabetic Rats, J Ethnopharmacol, 125-132.

Becker, J.C., Domschke, W., Pohle, T, 2004, Current Approaches to Prevent


NSAID-induced Gastropathy- COX selectivity and beyond, British Journal of
Clinical Pharmacology, 587-600.

Bedouch, P., J., Brudieu, E., Bosson, J.L., et al, 2009, Drug-related problems in
medical wards with a computerized physician order entry system, Journal of
Clinical Pharmacy and Therapeutics, 34, 190.

Bleumink, G.S., Feenstra, J., Sturkenboom, M.C., Stricker, B.H, 2003, Non-
steroidal Anti-Inflammatory Drugs and Heart Failure [Abstract], NCBI.

BPOM, 2006, Kepatuhan Pasien: Faktor Penting Dalam Keberhasilan Terapi, Hal
7, Jakarta.

Cantrill, J.A., Wood, J., Diabetes Melitus, in walker, R, 2003, Clinical Pharmacy
and Therapeutics, 3rd edition, Churcill Livingstone, UK.

Cipolle, R.J., Strand, L., dan Morley, P, 2012, Pharmaceutical Care Practice: The
Patient-Centered Approach to Medication Management Third Edition,
McGraw-Hill, New York.

Damayanti, S, 2015, Diabetes Melitus dan Penatalaksanaan Keperawatan.,


Yogyakarta : Nuha Medika.
44

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005, Pharmaceutical Care Untuk


Penyakit Diabetes Melitus, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2007, Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di


Sarana Kesehatan, Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan Departemen
Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI, 2008, Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah


(Home Pharmacy Care (HPC)), Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Diabetes Melitus.

Focquier, J., Guedj, M, 2015, Analysis of Drug Combinations: Current


Methodological Landscape, Pharmacology Research and Perspective, Vol 3,
1-11.

Gohil, K.J., Patel, J.A, 2007, Herb-drug Interactions : A review and Study based on
Assesment of Clinical Case Reports in Literature, Indian Journal of
Pharmacology, 129-139.

Gross, J.L., Silveiro, S.P., Zelmanovitz, T., Caramori, M.L., Canani, L.H., Azevedo,
M.J, 2005, Diabetic Nephropathy: Diagnosis, Prevention, and Treatment.
ADA, 28(1), 164-167.

Guyton, and Hall, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran dan Mekanisme Penyakit,
Jakarta.

Harper, W., Clement, M., Goldenberg, R., Hanna, A., Main, A., Retnakaran, R., et
al, 2013, Pharmacologic Management of Type 2 Diabetes, Canadian Journal
Diabetes, 37, 62-64.

Inzucchi, S.E., Bergenstal, R.M., Buse, J.B., Diamant, M., Ferraninni, E., Nauck,
M., et al, 201, Management of Hyperglicemia in Type 2 Diabetes: A Patient-
Centered Approach, ADA, 35, 1367-1368.

Irawan, D, 2010, Prevalensi dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di
Daerah Urban Indonesia (Analisa Data Sekunder Riskesdas 2007), Thesis,
Universitas Indonesia, Jakarta.

Isworo A., Saryono, 2010, Hubungan Depresi Dan Dukungan Keluarga Terhadap
Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2, The Soedirman
Journal of Nursing, 5: 37-44.
45

Izzo, A.A, 2012, Interactions between Herbs and Conventional Drugs: Overview
of the Clinical Data, Medical Principes and Practice, 402-428.

Kustarini I, Dewi S, Pawitra I, 2012, Efek ekstrak etanol morinda citrifolia l


(mengkudu) terhadap kadar gula darah, jumlah Neutrofil, dan fibronektin
glomerulus tikus diabetes Melitus, Media Medika Indonesiana ; 46(3):178-
180.

Kemenkes, 2013, Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.

KDOQI, 2007, KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice


Recommendation for Diabetes and Chronic Kidney Disease, Am J Kidney
Dis, 12-154.

Labindjang, F.I , Kadir, S. dan Salamanja V, 2015, Hubungan Stres Dengan Kadar
Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Di Puskesmas Bolangitang
Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara , Sulawesi utara.

Lachman, J., Fernandez, E.C., Orsak, M, 2003, Yacon [Smallanthus sonchifolia


(Poep et Endl.) H. Robinson] chemical composition and use – a review, Plant
Soil Environ, 283-290.

Meneilly, G.S dan Tessier D, 2001, Diabetesin the elderly dalam Contamporary
Endocrinology of Aging, Humana Press, 181-203.

Mil, F.V, 2005, Drug-related problems: a cornerstone for pharmaceutical care.


Journal of the Malta College of Pharmacy Practice, 10, 5-6.

Nathan, D.M., Buse, J.B., Davidson, M.B., Ferraninni, E., Holman, R.R., Sherwin,
R., et al, 2009, Medical Management of Hyperglicemia in Type 2 Diabetes:
A Consensus Alghoritm for the Initiation and Adjusment of Therapy, ADA,
32(1), 195.

Ozaki, Y. dan Liang, O.B, 1988, Cholagogic Action the Essential oils Obtain from
Curcuma xanthorrhiza Roxb., Shoyalu zasshi., 24 (4), 257263.

PCNE (Pharmaceutical Care Network Europe Foundation), 2010, Classification of


Drug Related Problem (DRP)s.

Perkeni (Persatuan Endokrinologi Indonesia), 2006, Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus di Indonesia.

Piscitelli, S., Rodvold, K, 2005, Drug Interaction In Infection Disease. New


Jersey: Human Press, Second Edition.
46

Rani, N.V., Thomas, R., Soundararajan, P., Kannan, G., Thennarasu, P., Rohini,
2014, A Study on Drug Related Problem (DRP)s in Chronic Kidney Disease
Patients of Tertiary Care Teaching Hospital in South India, World Journal of
Pharmaceutical Research, 3, 1405-1406.

Rapoff, M. A, 2010, Adherence to Pediatric Medical Regimen, London.

Rader. D. J., Hobbs. H.H, 2005, Disorder of Lipoprotein Metabolism, New York.

Robin, GI, 2016, skripsi: Identifikasi Drug Related Problem (DRP) Potensial
Melalui Proses Rekonsiliasi Obat pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Puskesmas Sewon 1 Bantu. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Rokhman, M. R., Darakay, C. N., dan Raditya, R, 2015, Pengaruh pemberian


home care oleh apoteker pada pasien diabetes melitus, Journal of
Management and Pharmacy Practice, 5(3), 217-224.

Rokhman, R. Dkk, 2016, Journal: Pengaruh Pemberian Home Care Oleh Apoteker
Pada Pasien Diabetes Melitus, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Royal Phamaceutical Society, 2013, Handbook for Homecare Services in


England, 8-10, Royal Pharmaceutical Society, England.

Ruths, S., Viktil, K.K., Blix, H.S, 2007, Classification of drug-related problems,
The Journal of the Norwegian Medical Association, 127, 3.

Schommer JC, Brown LM, Sogol E.M, 2007, Career Pathway Evaluation
Program 2007 Pharmacist Profile Survey.

Sholeh M, 2006, Terapi Salat Tahajud, Jakarta : PT Mizan Publika.

Strand LM, Morley PC, Cipolle RJ, Ramsey R, Lamas GD, 1990, Drug Related
Problems: Their Structure and Fu,ction. Ann Pharmacother ;24(11):1093-97

Tatro, D, 2009, Drug Interaction Fact: The Authority on Drug Interactions, Fact
dan Comparison A Wolters Kluwer Company, Missouri.

Tesfaye, S., Chaturvedi, N., Simon., Eaton., Ward, J.D., Manes, C., et al, 2005,
Vascular Risk Factors and Diabetic Neuropathy, The New England Journal
of Medicine, 352(4), 342.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K, 2007, Obat-Obat Penting (6th Ed), Jakarta.
47

Triplitt, C.L., Reasner, C. A, 2008, Diabetes Melitus, in Dipiro,J.T., Tabert, R. L.,


Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M., (Eds), Pharmacoterapy
A Pathophysiological Approach, (7th Ed), 1205- 1241, 1214-1226, Mc Graw
Hill, New York.

Verspohl, E.J, 2012, Novel Pharmacological Approaches to the Treatment of Type


2 Diabetes. Pharmacological reviews, 64(2), 212-213.

Wherrett, D., Huot, C., Mitchell, B., Pacaud, D, 2013, Type 1 Diabetes in Children
and Adolescents, Canadian Journal Diabetes, 37, 157-158.

WHO, 2016, Global Report on Diabetes,


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/, diakses pada tanggal
02 Mei 2018.

World Health Organization (WHO), 2003, Adherence to Long-therm Therapies:


Evidence for Action, WHO, Geneva.

World Health Organization (WHO), 2015, Diabetes Fact Sheet.,


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs138/en/, diakses pada tanggal
01 Mei 2018.

Xiang, Z., He, F., Kang, T.G., Dou, D.Q., Gai, K., Shi, Y.Y., Young,-Ho, K.,
Dong, F, 2010, Antidiabetic Constituents in Leaves of Smallanthus
sonchifolius, Nat Prod Commun, 95-98.
48

LAMPIRAN
49

LAMPIRAN

Lampiran 1. Gambaran Penggunan Obat Diabetes Melitus 2


Kode JK Usia Obat
(Tahun)
Nama Obat Dosis (mg) Aturan Pakai Herbal
(Hari)
001 P 57 th - Metformin - 500 mg - 3x1 -
- Glimepiride - 2 mg - 1x1
- Simvastatin - 10 mg - 1x1
- Gabapentin - 100 mg
002 L 63 th - Metformin - 500 mg - 3x1 - Temulawak
- Amlodipine - 5 mg - 1x1
- Candesrtan - 21 mg - 1x1
cilexefil - 20 mg - 1x1
- Aforvastatin - 100 mg - 1x1
- Allopurinol - 0,5 mg - 1x1
- Kolkisin
003 P 62 th - Metformin - 500 mg - 3x1
- Glimepirid - 2 mg - 1x1
- Vit B kompleks - 2x1
004 P 63 th - Metformin - 500 mg - 3x1
- Glimepirird - 1 mg - 1x1
- PCT - 500 mg - 3x1
- Amlodipine - 5 mg - 1x1
- Antasida - 3x1
- Vit B komplek - 2x1
005 L 45 - Metformin - 500 mg - 3x1
- Glimepirid - 2 mg - 1x1
006 P 57 th - Metformin - 500 mg - 3x1
- Glimepirid - 2 mg - 1x1
- Amlodipin - 5 mg - 1x1
007 L 59 th - Metformin - 500 mg - 3x1
- Glimepiride - 1 mg - 1x1
- Micobalamin - 500 mg 59 -H 1 x 1
008 P 46 th - Metformin - 500 mg - 3x1 - Daun
- Glimepiride - 2 mg - 1x1 - Insuli
- Vit B kompleks - 2x1 - Kunyit
009 P 54 th - Metformin 500 mg - 3x1
010 P 42 th - Insulin 14 - 1x1
011 P 63 th - Metformin - 500 mg - 3x1
- PCT - 500 mg - 3x1
- Simvastatin - 10 mg - 1x1
- Amlodipine - 5 mg - 1x1
- Pioglitazone - 30 mg - 1 x1
(protaz) - 2x1
- Vit B komplek
012 L 61 th - Metformin - 500 mg - 3x1
- Glimepiride - 2 mg - 1x1
- Furosemide - 40 mg - 1x1
- Vit B kompleks - 2x1
50

Lampiran 2. Form Inform Consent


FORMULIR PERNYATAAN KESEDIAAN UNTUK BERPARTISIPASI
DALAM PENELITIAN (INFORMED CONSENT)
Deskripsi Penelitian dan Partisipasi
Kami sangat mengharapkan kesediaan anda unuk dapat berpartisipasi dalam
penelitian :
Judul Penelitian : Kajian Drug Related Problem (DRP) dan Pengaruh Home
Pharmacy Care (HPC) terhadap Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus
Peneliti : - Maya Triani
-Nurul Aisyah
Status Peneliti : Mahasiswa S1 Farmasi UMY
Pembimbing : Nurul Maziyyah, M.Sc., Apt

Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
khususnya pelayanan kefarmasian melalui kegiatan Home Pharmacy Care (HPC)
tentang kesehatan secara umum maupun cara pemakaian obat yang baik dan
rasional sehingga diharapkan dapat meningkakan efektifitas penggunaan obat dari
pasien.

Kerahasiaan
Catatan tentang subyek penelitian akan dirahasiakan dan dalam wawancara dan
pegambilan data masing-masing subyek akan diberi kode tertentu.
Partisipasi sukarela
Partisipasi dalam penelitian ini bersifat sukarela, atas kehendak anda sendiri, tanpa
paksaan dari pihak manapun.
Pertanyan-pertanyaan
Apabila ada pertanyan-pertanyan terkait penelitian ini silahkan disampaikan kepada
peneliti.

Tandatangan
Saya telah membaca atau telah dibacakan kepada saya apa yang tertera di atas dan
saya telah diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang penelitian
ini kepada pihak peneliti.
Dengan membubuhkan tanda tangan saya di bawah ini, saya menyatakan
keikutsertaan dalam penlitian ini secara sukarela.

Yogyakarta,…............., 2018
Partisipan

(……………………………)
Y
a
r
t
51

Lampiran 3. Kuesioner Kepatuhan Pasien MMSA-8


KUESIONER KEPATUHAN PASIEN MMAS-8
Tidak ada jawaban benar atau salah, silahkan menjawab setiap pertanyaan sesuai
pengalaman pribadi anda dalam menjalani pengobatan
Petunjuk pengisian : tandai (√) pada kolom yang sesuai dengan pilihan jawaban
anda

Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak
1 Apakah anda kadang-kadang lupa minum pil anda?
2 Orang terkadang tidak sempat minum obat bukan karena
lupa. Selama 2 pekan terakhir ini pernahkah anda dengan
sengaja tidak menggunakan obat atau meminum obat
anda?
3 Pernahkah anda mengurangi atau berhenti menggunakan
obat atau minum obattanpa memberitahu dokter anda
karena anda merasa kondisi anda tambah parah ketika
menggunakan obat atau meminum obat tersebut?
4 Ketika anda bepergian atau meninggalkan rumah, apakah
anda kadang-kadang lupa membawa obat anda?
5 Apakah anda menggunakan obat anda atau minum obat
kemarin?
6 Ketika anda merasa sedikit sehat, apakah anda juga kadang
berhenti menggunakan obat atau meminum obat?
7 Minum obat setiap hari merupakan hal yang tidak
menyenangkan bagi sebagian orang. Apakah anda merasa
terganggu dengan kewajiban anda terhadap pengobatan
hipoglikemik yang harus anda jalani?
8 Seberapa sering anda mengalami kesulitan  Tidak pernah/ jarang
menggunakan obat atau minum semua obat  Sekali-kali
anda?  Kadang-kadang
 Biasanya
 Selalu
52

Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian dari Bappeda Kabupaten Bantul


53
54

Lampiran 5. Etical Clereance


55

Lampiran 6. Panduan Home Pharmacy Care (HPC)


PANDUAN HOME PHARMACY CARE (HPC) (HPC)

Pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker adalah pendampingan pasien oleh

apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah dengan persetujuan pasien atau

keluarganya. Pelayanan kefarmasian di rumah terutama untuk pasien yang tidak atau

belum dapat menggunakan obat dan atau alat kesehatan secara mandiri, yaitu pasien

yang memiliki kemungkinan mendapatkan risiko masalah terkait obat misalnya

komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat, kompleksitas

pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan

dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan atau alat kesehatan agar

tercapai efek yang terbaik

 Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker,

meliputi :

13. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan

pengobatan

14. Identifikasi kepatuhan dan kesepahaman terapeutik

15. Penyediaan obat dan/atau alat kesehatan

16. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah,

misal cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin, dll

17. Evaluasi penggunaan alat bantu pengobatan dan penyelesaian masalah

sehingga obat dapat dimasukkan ke dalam tubuh secara optimal


56

18. Pendampingan pasien dalam penggunaan obat melalui infus/obat

khusus

19. Konsultasi masalah obat

20. Konsultasi kesehatan secara umum

21. Dispensing khusus (misal : obat khusus, unit dose)

22. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat

termasuk alat kesehatan pendukung pengobatan

23. Pelayanan farmasi klinik lain yang diperlukan pasien

24. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah

 Peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian di rumah meliputi:

1. Penilaian sebelum dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Pre-

admission Assessment ) penilaian kelayakan untuk pelayanan tersebut, yang

meliputi:

• Pasien, keluarga atau pendamping pasien setuju dan mendukung keputusan

pemberian pelayanan kefarmasian di rumah oleh apoteker

• Pasien, keluarga atau pendamping pasien adalah orang yang akan diberikan

pendidikan tentang cara pemberian pengobatan yang benar

• Apoteker pemberi layanan memiliki akses ke rumah pasien

• Adanya keterlibatan dokter dalam penilaian dan pengobatan pasien secara

terus menerus

• Obat yang diberikan tepat indikasi, dosis, rute dan cara pemberian obat
57

• Adanya uji laboratorium yang sesuai untuk dilakukan monitoring selama

pelayanan kefarmasian di rumah

• Adanya dukungan finansial dari keluarga untuk pelaksanaan pelayanan

kefarmasian di rumah.Informasi di atas dikumpulkan pada saat melakukan

penilaian sebelum pelayanan kefarmasian di rumah dimulai.

 Sebelum pelayanan dimulai, Apoteker harus menjelaskan manfaat dan

tanggung jawab pasien. Jasa pelayanan kefarmasian mencakup pemberian

bantuan, tindakan intervensi langsung maupun konsultasi. Penjelasan diberikan

secara rinci kepada pasien, keluarga pasien, pemberi pelayanan dan dicatat

dalam catatan penggunaan obat pasien.

 Penilaian dan pencatatan data awal pasien

Data awal pasien harus dicatat secara lengkap dalam catatan penggunaan obat

pasien yang meliputi:

• Nama pasien, alamat, nomor telepon dan tanggal lahir pasien

• Nama, alamat, nomor telepon yang bisa dihubungi dalam keadaan emergensi

• jenis kelamin pasien

• Pendidikan terakhir pasien


• Hasil diagnosa
• Riwayat penyakit pasien
• Riwayat alergi
• Nama dokter, alamat, nomor telepon dll
• Rencana pelayanan dan daftar masalah yang terkait obat, jika ada
• Tujuan pengobatan dan perkiraan lama pengobatan.
58

 PROSEDUR TETAP PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH :


1. Melakukan penilaian awal terhadap pasien untuk mengindentifikasi adanya

masalah kefarmasian yang perlu ditindaklanjuti dengan pelayanan kefarmasian

di rumah

2. Menjelaskan permasalahan kefarmasian kepada pasien dan manfaat

pelayanan kefarmasian di rumah bagi pasien

3. Menawarkan pelayanan kefarmasian di rumah kepada pasien

4. Menyiapkan lembar persetujuan dan meminta pasien untuk memberikan tanda

tangan, apabila pasien menyetujui pelayanan tersebut

5. Mengkomunikasikan layanan tersebut pada tenaga kesehatan lain yang terkait,

apabila diperlukan. Pelayanan kefarmasian di rumah juga dapat berasal dari

rujukan dokter kepada apoteker apotek yang dipilih oleh pasien

6. Membuat rencana pelayanan kefarmasian di rumah dan menyampaikan

kepada pasien dengan mendiskusikan waktu dan jadwal yang cocok dengan

pasien dan keluarganya. Rencana ini diberikan dan didiskusikan dengan dokter

yang mengobati (bila rujukan)

7. Melakukan pelayanan sesuai dengan jadwal dan rencana yang telah disepakati.

Mengkoordinasikan pelayanan kefarmasian kepada dokter (bila rujukan.

8. Mendokumentasikan semua tindakan.

 Menyusun rencana pelayanan kefarmasian di rumah


59

Dalam membuat rencana pelayanan kefarmasian untuk menyelenggarakan

pelayanan kefarmasian di rumah, apoteker bekerjasama dengan pasien,

keluarga dan berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lain.

Dalam penelitian ini rencana kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah adalah

sebagai berikut :

 Pertemuan Pertama :

1. Edukasi

a. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit kronis gangguan

metabolik, ditandai dengan peningkatan glukosa darah dalam tubuh

atau melebihi nilai normal (hiperglikemik). Hal tersebut dikarenakan

adanya gangguan sekresi insulin. Insulin merupakan salah satu hormon

dalam tubuh yang berfungsi untuk mengatur gula darah. Manifestasi

klinis DM fase awal dan kelaianan umum lainnya disebabkan karena

adanya gangguan metabolik. Keadaan lanjut dapat menyebabkan

komplikasi, kerusakan serius pada banyak sistem tubuh salah satunya

syaraf dan pembuluh darah. (WHO, 2015).

b. Tanda dan gejala

- Mudah haus

- Sering lapar

- Berat badan turun drastic

- Sering keram
60

- Sering buang air kecil

- Lemah lesu

- Luka sukar sembuh

- Sering kesemutan

c. Etiologi dan klasifikasinya

 DM tipe 1

Penyebab : terjadi karena kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang

disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh

bermacam-macam virus sehingga menyebabkan gangguan produksi

insulin.

 DM tipe 2

Penyebab : ditandai dengan kenaika kadar gula darah akibat penuruan

sekresi insulin oleh sel beta Pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi

insulin).

 Diabetes Gestasional Terjadi kenaikan kadar gula darah pada wanita

hamil, dan setelah melahirkan kadar gula akan kembali normal.

d. Faktor resiko:

- Faktor keturunan

- Usia > 40 tahun

- Gaya hidup yang kurang sehat

- Kegemukan
61

- Kurang beraktivitas dan olahraga

- Dilipidemia ( banyaknya kadar lemak dalam darah).

e. Komplikasi

Komplikasi sering terjadi pada pasien DM tipe 2 karena

tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) akan

mempengaruhi berbagai organ. Komplikasi DM tipe 2 bersifat akut dan

kronis. Komplikasi akut seperti diabetes ketoasidosis, hiperosmolar non

ketotik dan hipoglikemia, sedangkan komplikasi kronis yang bersifat

menahun, yaitu (Perkeni, 2006):

- Makroangiopati, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh

darah besar seperti jantung dan otak. Contohnya adalah penyakit

jantung, aterosklerosis, hipertensi dan stroke.

- Mikroangiopati, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh darah

kecil. Komplikasi mikroangiopati dibagi menjadi beberapa bagian

yaitu:

1) Retinopati, yaitu komplikasi yang terjadi pada retina mata yang

menyebabkan adanya gangguan penglihatan bahkan sampai

kebutaan.Selain itu, gangguan pada mata yang juga bisa terjadi

pada pasien DM tipe 2 adalah katarak, makulopati (akumulasi

cairan atau edema di bagian tengah retina sehingga

menyebabkan penglihatan kabur), dan kesalahan bias

(ketajaman lensa berubah seiring dengan berubahnya


62

konsentrasi glukosa dalam darah dan menyebabkan penglihatan

juga menjadi kabur).

2) Nefropati diabetik, yaitu peningkatan ekskresi albumin urin

yang ditandai dengan keadaan proteinuria dengan nilai protein

>0,5g/ 24 jam dan akhirnya bisa menyebabkan penyakit ginjal

stadium akhir (end-stage renal disease) (Gross et al., 2005;

Wherrett et al., 2013).

- Neuropati, yaitu gangguan yang terjadi pada saraf termasuk

parestesia atau sensasi abnormal berupa kesemutan. Neuropati

perifer merupakan hal yang paling utama dan umum terjadi pada

penderita DM tipe 2 yang akhirnya akan beresiko terjadi ulkus atau

luka pada kaki dan jika sudah sangat parah akan dilakukan amputasi.

Faktor resiko yang memperbesar kemungkinan terjadinya neuropati

adalah meningkatnya kadar glukosa darah, hipertensi, merokok, dan

nilai indeks masa tubuh yang tinggi (Tesfaye et al., 2005; Verspohl,

2012; Wherrett, 2013).

- Kerusakan jantung

- Kerusakan saraf

- Katarak dan kebutaan

- Kerusakan ginjal

- Disfungsi seksual

- Kerusakan pembuluh darah kaki


63

- Kerusakan dan kematian jaringan

f. Infromasi nilai normal kadar gula darah

- Kadar gula darah puasa :

Normal = < 100 mg/dl

Pre Diabetes = 100-125 mg/dl

Diabetes = > 125 mg/dl

- Kadar gula darah sesaat:

Normal = < 140 mg/dl

Pre Diabetes = 140-200 mg/dl

Diabetes = > 200 mg/dl

Tabel 1. Kriteria Penegakan Diagnosis

Keadaan Glukosa plasma Glukosa plasma 2 jam setelah


puasa makan
Normal < 100 mg/dL < 140 mg/Dl

Pra –diabetes 100-125 mg/dl -


IFG atu IGT - 140 – 199 mg/dL

Diabetes ≥ 126 mg/Dl ≥ 200 mg/dL

(Depkes RI, 2005)

g. Penyimpanan obat

- sediakan wadah penyimpanan obat dan pilah-pilah obat menurut jenisnya,

untuk memudahkan ketika kita mencarinya.

- Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
64

- Simpan obat pada suhu kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung

atau seperti yang tertera pada kemasan.

- Simpan obat ditempat yang tidak panas atau tidak lembab karena dapat

menimbulkan kerusakan.

- Jangan menyimpan obat bentuk cair dalam lemari pendingin agar tidak

beku, kecuali jika tertulis pada etiket obat.

- Periksa kondisi obat secara rutin, jangan menyimpan obat yang telah

kadaluarsa atau rusak.

- Jauhkan dari jangkauan anak-anak.

- Bersihkanlah wadah/kotak tempat penyimpanan obat secara rutin.

2. Monitoring terapi

a. kadar gula darah

b. Kepatuhan pasien (menanyakan apakah obat yang diberikan oleh dokter

dan berapa jumlah obat)

c. Efek samping / Keluhan pasien

d. Cara pemakaian dan penyimpanan insulin (bagi pasien yang

menggunakan insulin)

h. Cara penggunaan obat

i. Latihan jasmani/olahraga pasien

j. Lifestyle (gaya hidup pasien).


65

 Pertemuan Kedua :

1. Edukasi

a. Terapi farmakologi

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum

tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

 Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu:

1) Pemicu sekresi insulin

a) Sulfonilurea

Mekanisme utama sulfonilurea adalah menstimulasi sekresi insulin

endogen dengan cara berikatan dengan reseptor sulfonilurea spesifik pada

sel beta pankreas. Efikasi dari sulfonylurea yaitu mampu menurunkan kadar

A1C sekitar 0,8 %. Obat golongan sulfonilureadibagi menjadi dua generasi,

yaitu generasi pertama seperti glibenklamid, klorpropamid dan tolbutamid,

sedangkan generasi kedua adalah glimepirid, gliburid, dan glikazid efek

samping sulfonylurea adalah hipoglikemia terutama pada pemberian

glibenklamid dan klorpropamid dan lebih besar efek sampingnya

dibandingkan dengan sulfonilurea generasi kedua. Efek hipoglikemia juga

lebih besar jika obat diberikan pada pasien yang berusia tua dan memiliki

gangguan ginjal dan hati (Nathan et al, 2009, 2012; Harper et al., 2013;

Audehm et al., 2014).


66

b) Glinid

Mekanisme glinid sama dengan golongan sulfonilurea yaitu dengan

meningkatkan sekresi insulin. Glinid mampu menurunkan nilai A1C sekitar

0,7 %. Contoh obat golongan ini adalah repaglinid dan nateglinid.

Repaglinid diketahui lebih efektif dibandingkan nateglinid dalam

menurunkan nilai A1C. Efek samping golongan glinid adalah hipoglikemia,

namun lebih ringan dari pada sulfonilurea (Nathan et al., 2009, 2012;

Harper et al., 2013; Audehm et al., 2014).

c) Penghambat DPP-4 (dipeptyl peptidase-4)

Mekanisme golongan ini adalah dengan menghambat enzim DPP-4

sehingga meningkatkan GIP dan GLP-1 endogen dalam sirkulasi darah dan

akhirnya akan memperbaiki sekresi insulin. Contoh obat golongan ini

adalah sitagliptin dan saxagliptin. Obat tersebut mampu menurunkan nilai

A1C sebesar 0,7 %. Efek sampingnya adalah meningkatkan resiko

pankreatitis (Nathan et al, 2009, 2012; Harper et al., 2013; Audehm et al.,

2014).

d) Agonis reseptor GLP-1 (glucagon-like peptide-1)

Mekanisme utama golongan ini adalah berikatan dengan reseptor GLP-1

sehingga meningkatkan sekresi insulin. Contoh obat golongan ini adalah

exenatid dan liraglutid. Agonis reseptor GLP -1 mampu menurunkan nilai

A1C sebesar 1,0 %. Efek samping yang mungkin terjadi adalah kehilangan
67

berat badan, mual, muntah dan pankreatitis (Nathan et al., 2009, 2012;

Harper et al., 2013; Audehm et al., 2014).

2) Meningkatkan sensitivitas reseptor insulin

a) Tiazolindindion

Mekanisme golongan tiazolindindion adalah meningkatkan sensivitas

reseptor insulin di jaringan dan hati dengan berikatan pada peroxisome

proliferative activated receptor gamma (PPAR-ᵧ). Tiazolindindion mampu

menurunkan nilai A1C sekitar 0,8 %. Contoh obat golongan ini adalah

pioglitazon dan rosiglitazon. Efek samping pioglitazon adalah

meningkatkan resiko kanker kandung kemih, sedangkan efek samping

rosiglitazon adalah meningkatkan resiko infark miokard dan meningkatkan

kadar LDL. Efek samping umum lainnya adalah gagal jantung, retensi

cairan dan patah tulang (Nathan et al., 2009; Inzucchi, 2012; Harper et

al., 2013; Audehm et al., 2014).

3) Menghambat glukoneogenesis

a) Biguanid

Mekanisme golongan biguanid adalah mengurangi pembentukan glukosa

hati dan mengaktifkan AMP-kinase. Contoh obat golongan ini adalah

metformin. Metformin merupakan obat pilihan pertama untuk DM tipe 2

dan biasanya diresepkan untuk pasien DM tipe 2 yang mengalami obesitas.

Metformin mampu menurunkan nilai A1C sekitar 1,0-1,5 %. Efek samping

metformin adalah gangguan gastrointestinal seperti diare dan kram perut,


68

defisiensi vitamin B12 dan resiko asidosis laktat. Obat ini

dikontraindikasikan pada pasien DM tipe 2 yang mengalami gangguan

ginjal dengan nilai GFR <30mL/menit. Selain itu, metformin juga

menyebabkan mual sehingga diberikan pada saat makan atau sesudah

makan (Nathan et al., 2009; Inzucchi, 2012; Harper et al., 2013).

b) Penghambat alfa glukosidase

Mekanisme utama golongan ini adalah menghambat enzim alfa glukosidase

dan mengurangi absorpsi karbohidrat di usus halus. Contoh obatnya adalah

akarbose. Akarbose mampu menurunkan nilai A1C sebesar 0,6%. Efek

samping yang mungkin terjadi adalah gangguan gastrointestinal seperti diare

dan kembung.

b. Terapi non farmakologi (perawatan kaki, olahraga, diet, Lifestyle)

c. Senam diabetes

2. Monitoring terapi

a. kadar gula darah

b. Kepatuhan pasien (menanyakan apakah obat yang diberikan oleh dokter dan berapa

jumlah obat)

c. Efek samping / Keluhan pasien

d. Cara pemakaian dan penyimpanan insulin (bagi pasien yang menggunakan insulin)

e. Cara penggunaan obat

f. Latihan jasmani/olahraga pasien

g. Lifestyle (gaya hidup pasien).


69

 Pertemuan Ketiga :

1. Monitoring terapi

a. kadar gula darah

b. Kepatuhan pasien (menanyakan apakah obat yang diberikan oleh dokter dan

berapa jumlah obat)

c. Efek samping / Keluhan pasien

d. Cara pemakaian dan penyimpanan insulin (bagi pasien yang menggunakan

insulin)

e. Cara penggunaan obat

f. Latihan jasmani/olahraga pasien

g. Lifestyle (gaya hidup pasien).

 Pertemuan Keempat :

1. Monitoring terapi

a. kadar gula darah

b. Kepatuhan pasien (menanyakan apakah obat yang diberikan oleh dokter dan

berapa jumlah obat)

c. Efek samping / Keluhan pasien

d. Cara pemakaian dan penyimpanan insulin (bagi pasien yang menggunakan

insulin)

e. Cara penggunaan obat

f. Latihan jasmani/olahraga pasien

g. Lifestyle (gaya hidup pasien).


70

7. Pemantauan Terapi Obat

Apoteker secara terus menerus bertanggung jawab melakukan pemantauan terapi obat

dan evaluasi penggunaan obat pasien sesuai rencana pelayanan kefarmasian dan

disampaikan semua hasilnya kepada tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengobatan

pasien. Hasil pemantauan ini didokumentasikan dalam catatan penggunaan obat pasien.

Apoteker dalam berkolaborasi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain sebaiknya

membuat protokol pemantauan terapi obat untuk berbagai pengobatan yang bersifat

individual dan khusus didalam rencana pelayanan kefarmasian.Apoteker

diperkenankan mengetahui hasil laboratorium. Apoteker kemudian menyiapkan suatu

analisis interpretasi dari informasi ini dan membuat rekomendasi untuk penyesuaian

dosis dan keputusan apakah terapi dilanjutkan

atau dihentikan. Apoteker menjamin bahwa hasil uji laboratorium sesuai dan dapat

digunakan untuk pemantauan. Semua hasil pemantauan ini didokumentasikan dalam

catatan penggunaan obat pasien.

Anda mungkin juga menyukai