Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit dengan berbagai etiologi yang ditandai dengan
hiperglikemia kronik dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein akibat adanya
gangguan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya (WHO, 1999). Lebih dari 90%
pasien diabetes mellitus merupakan penderita diabetes mellitus tipe 2, sedangkan sisanya
adalah diabetes mellitus tipe 1.
Penyakit ini menjadi masalah kesehatan yang penting terutama di negara berkembang,
dimana prevalensinya selalu meningkat namun pengobatannya seringkali mahal bahkan tidak
tersedia (Djrolo et al., 1998). Karenanya, strategi alternatif untuk terapi diabetes mellitus
sangat diperlukan. Secara turun-temurun, masyarakat telah menggunakan tumbuhan obat untuk
penyakit diabetes mellitus. Pengobatan dengan herbal mulai meningkat popularitasnya
beberapa tahun ini di seluruh dunia. Terdapat beberapa spesies tumbuhan yang populer
digunakan dalam pengobatan diabetes mellitus. Bahkan, WHO merekomendasikan bahwa
penggunaan tumbuhan obat dalam kaitannya dengan manajemen terapi diabetes mellitus
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi efektifitas, keamanan, dan standarisasi
penggunaannya (WHO, 1980).
Adapun beberapa tanaman yang telah banyak diteliti dan terbukti memiliki aktivitas
farmakologi sebagai antidiabetes dan secar tradisional telah luas digunakan oleh kalangan
masyarakat Indonesia adalah kumis kucing...................................................
BAB II
ISI
A. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) menggambarkan sekelompok gangguan metabolik kronis yang
ditandai oleh hiperglikemia yang dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskuler,
makrovaskular, dan neuropatik jangka panjang. Pada orang normal, kadar glukosa puasa < 100
mg/dL dan glukosa 2 jam setelah makan < 140 mg/dL. Sedangkan pada penderita diabetes
kadar glukos puasa ≥ 126 mg/dL atau glukosa 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dL.
Diabetes melitus (DM) juga merupakan penyakit dengan komponen stres oksidatif.
Stres oksidatif adalah keadaan yang ditandai oleh ketidakseimbangan antara oksidan dan
antioksidan dalam tubuh. Munculnya stres oksidatif pada DM terjadi melalui tiga mekanisme,
yakni glikasi nonenzimatik pada protein, jalur poliol sorbitol (aldosa reduktase), dan
autooksidasi glukosa. Perubahan status oksidatif itu ditandai dengan perubahan aktivitas
antioksidan endogen serta meningkatnya kerusakan biomolekul secara oksidatif. Oleh karena
itu diperlukan antioksidan eksogen sebagai penghambat kerusakan oksidatif di dalam tubuh.
Diabetes digolongkan menjadi dua jenis yaitu DM tipe I yang sering juga disebut
dengan diabetes juvenile karena lebih sering terjadi pada usia di bawah 30 tahun. Pada diabetes
ini terdapat kerusakan sel-sel β pulau langerhans di pankreas sehingga sel-sel tersebut tidak
memproduksi insulin. Akibatnya, pasien diabetes jenis ini sangat membutuhkan insulin. DM
tipe I biasa terjadi pada anak-anak atau remaja dan paling sering dimulai pada usia 10-13 tahun
(Mun`im dan Hanani, 2011).
DM tipe II sering juga disebut Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
karena pasien tidak selalu membutuhkan insulin, kadang-kadang cukup dengan diet atau
antidiabetik oral. Diabetes tipe ini lazim terjadi pada usia di atas 40 tahun dengan kejadian
lebih besar pada orang gemuk, orang dengan pola hidup kurang baik, misalnya kurang
berolahraga atau sering mengonsumsi makanan yang berlemak juga beresiko besar menderita
DM tipe II ini. DM tipe II jauh lebih umum terjadi dibandingkan tipe I. Sekitar 75% dari total
penderita diabetes adalah tipe II (Mun`im dan Hanani, 2011). DM tipe 2 ditandai oleh defisiensi
insulin relatif dan resistensi insulin (Dipiro,..........)
Diabetes Melitus Gestasional/kehamilan adalah suatu diabetes yang terjadi pada
beberapa wanita selama kehamilan. Banyak wanita dengan diabetes gestasional mampu
mengontrol kadar gula darahnya dalam batas aman dan mengatur pola makan seimbang dan
melakukan latihan fisik yang teratur. Pada kebanyakan kasus, diabetes tipe ini akan hilang
segera setelah melahirkan. Wanita yang menderita diabetes gestasional mempunyai resiko
tinggi untuk mengalami diabetes gestasional pada kehamilan berikutnya. Selain itu, 17-63%
dari mereka akan berkembang menjadi DM tipe II dalam waktu 5 hingga 16 tahun. Kasus
diabetes gestasional terjadi sekitar 5-8% dari total kehamilan setiap tahun dan biasanya terjadi
pada trimester kedua. Patogenesis diabetes melitus tipe 2 ditandai oleh gangguan metabolik
yakni adanya penurunan respon jaringan periferal dalam merespon insulin (resistensi insulin)
(Kangralkar et al., 2010). Kerusakan pada jaringan periferal diduga akibat dari adanya
peningkatan radikal bebas didalam tubuh, yang merusak reseptor insulin atau transporter
glukosa yang terdapat pada membran sel. Radikal bebas yang ada di dalam tubuh dihasilkan
oleh proses metabolisme sel normal (Moussa, 2008). Radikal bebas dalam jumlah yang
berlebih akan mengoksidasi dan menyerang komponen lipid membran sel sehingga terjadi
peroksidasi lipid (Widia, 2009). Seiring dengan meningkatnya radikal bebas, maka peroksidasi
lipid membran sel juga meningkat yang menghasilkan produk akhir berupa Malondialdehida
(MDA).

Diabetes Melitus tipe lain dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti pengaruh
genetik pada fungsi sel beta pankreas pada kerja insulin, penyakit pankreas eksokrin atau akibat
penggunaan obat-obatan. Penyakit pankreas eksokrin menyebabkan sel-sel β pulau langerhans
tidak dapat menghasilkan insulin (Mun`im dan Hanani, 2011).

B. Tanda-tanda gejala diabetes melitus


Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita diabetes melitus atau kencing
manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar
gula dalam darah mencapai nilai 160-180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis
mengandung gula (glukosa) (Mun`im dan Hanani, 2011). Pada DM Tipe I gejala klasik yang
umum dikeluhkan adalah poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa
lelah (fatigue), iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang
dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan
penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar
sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

C. Komplikasi Diabetes Melitus


Komplikasi mikrovaskular termasuk kerusakan pada mata (retinopati) yang mengarah
pada kebutaan, ke ginjal (nefropati) yang menyebabkan gagal ginjal dan saraf (neuropati) yang
menyebabkan impotensi dan kelainan kaki diabetik (yang termasuk infeksi berat yang
menyebabkan amputasi). Komplikasi makrovaskular termasuk penyakit kardiovaskular seperti
serangan jantung, stroke dan ketidakcukupan aliran darah ke kaki.
Resiko terjadinya retinopati diabetik atau komplikasi mikrovaskular lain dari diabetes
tergantung pada durasi dan tingkat keparahan hiperglikemia. Ada beberapa mekanisme
patologis yang dapat menyebabkan retinopati diabetik yaitu, aldose reduktase dapat
berpartisipasi dalam pengembangan komplikasi diabetes. Aldose reduktase adalah enzim awal
pada jalur polyol intraseluler. Jalur ini melibatkan konversi glukosa menjadi glukosa alkohol
(sorbitol). Kadar glukosa tinggi meningkatkan fluks molekul gula melalui jalur polyol, yang
menyebabkan akumulasi sorbitol dalam sel. Tekanan osmotik dari akumulasi sorbitol telah
dipostulasikan sebagai mekanisme yang mendasari dalam perkembangan komplikasi
mikrovaskuler diabetes, termasuk retinopati diabetik. Stres oksidatif juga dapat memainkan
peran penting dalam cedera seluler dari hiperglikemia. Kadar glukosa tinggi dapat merangsang
produksi radikal bebas dan pembentukan spesies oksigen reaktif (Fowler, 2008).
Nefropati diabetik adalah penyebab utama gagal ginjal. Nefropati diperkirakan dapat
terjadi pada 25%-45% pasien DM tipe 1 dan sekitar 20%-30 akan mengalami
mikroalbuminuria subklinis. Pada DM tipe 2, keberadaan mikroalbuminuria adalah faktor
risiko kuat untuk penyakit makrovaskular. Mikroalbuminuria merupakan manifestasi paling
awal timbulnya nefropati diabetik (Himawan et al., 2009). Pasien yang disertai dengan
albuminuria mikro dan berubah menjadi albuminuria makro ( >300 mg/24 jam), pada akhirnya
sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium akhir. Kontrol glukosa dan tekanan darah
yang paling penting untuk pencegahan nefropati, dan kontrol tekanan darah adalah yang paling
penting untuk memperlambat perkembangan nefropati yang sudah ada. ACE inhibitor dan
reseptor angiotensin blocker, dianggap sebagai pengobatan pertama yang direkomendasikan
yang memiliki keampuhan dalam mencegah perkembangan klinis penyakit ginjal pada pasien
dengan diabetes mellitus tipe 2. Diuretik sering diperlukan karena keadaan volume yang
diperluas dari pasien dan direkomendasikan terapi lini kedua (Dipiro,.....)
Neuropati diabetik merupakan komplikasi paling umum yang terlihat pada DM tipe II.
Parestesi, mati rasa, atau nyeri bisa menjadi gejala yang dominan, lebih sering terjadi di kaki
daripada tangan (Dipiro,..............). Kerusakan saraf dapat melalui mekanisme yang berbeda,
termasuk kerusakan langsung oleh hiperglikemia dan penurunan aliran darah ke saraf dengan
merusak pembuluh darah kecil. Kerusakan saraf ini dapat menyebabkan kehilangan indera,
kerusakan pada anggota badan, dan impotensi pada pria diabetes. Ini adalah komplikasi
diabetes yang paling umum (Fowler, 2008).
Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit
kardiovaskular. Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes
adalah peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar
kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat. Hipertensi pada Diabetes, Indikasi pengobatan
adalah Bila TD sistolik >130 mmHg dan / atau TD diastolik >80 mmHg. Prevalensi obesitas
pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan gangguan toleransi glukosa pada
obesitas cukup sering dijumpai, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan
dengan sindrom dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang didasari oleh
resistensi insulin.

D. Pengobatan Konvensional
 Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan DM termasuk mengurangi komplikasi mikrovaskuler dan
makrovaskuler jangka panjang, mencegah komplikasi akut dari kadar glukosa
darah tinggi, meminimalkan episode hipoglikemik, dan mempertahankan
kualitas hidup pasien secara keseluruhan. Kadar glukosa darah yang mendekati
normal dapat dicapai dengan edukasi pasien yang tepat. Perawatan DM yang
tepat membutuhkan penetapan tujuan dan penilaian untuk kontrol glikemik,
pemantauan kadar glukosa darah (SMGD), pemantauan tekanan darah dan
tingkat lipid, pemantauan rutin untuk pengembangan komplikasi, modifikasi
gaya hidup dan olahraga, dan penggunaan obat yang tepat. Hiperglikemia, jika
tidak diobati dapat menyebabkan glukokoksisitas sel-β, peningkatan fluks
melalui jalur poliol dan peningkatan produksi produk akhir glikasi lanjut
(AGEs)
 Terapi Farmakologi
a. Insulin
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe I. Pada
DM Tipe I, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga
tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka
penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar
metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal.
Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi
insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping
terapi hipoglikemik oral. Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan
luas dalam pengendalian metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-
sel β pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta,
yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu
transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan
glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya,
glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan
bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi
sebagaimana seharusnya. Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin
yang tersedia, yang terutama berbeda dalam hal mula kerja (onset) dan masa
kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi
4 kelompok, yaitu: 1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin),
disebut juga insulin reguler 2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-
acting) 3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat 4. Insulin masa
kerja panjang (Long-acting insulin).

Insulin adalah hormon anabolik dan anti katabolik yang berperan dalam
protein, karbohidrat, dan metabolisme lemak. Efek samping utama terapi
insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping yang lain berupa
reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin
atau resistensi insulin.
b. Terapi obat hipoglikemik oral
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II.
1. Pemicu Sekresi Insulin
 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang. Bekerja merangsang sekresi
insulin di kelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel
β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua,
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang. Agen generasi pertama terdiri dari acetohexamide,
chlorpropamide, tolazamide, dan tolbutamide. Masing-masing agen ini
memiliki potensi lebih rendah dibandingkan obat generasi kedua yaitu
glimepiride, glipizide, dan glyburide (Dipiro,........).
Efek samping paling umum dari sulfonilurea adalah hipoglikemia,
kenaikan berat badan, hiponatremia.
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam
benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial
2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
 Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot
dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV
karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion
perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Senyawa-
senyawa TZD juga menurunkan kecepatan glikoneogenesis.Dosis
awal pioglitazone dan rosiglitazone yang direkomendasikan adalah
15mg sekali sehari dan 2 – 4 mg sekali sehari, masing-masing. dosis
dapat ditingkatkan secara perlahan berdasarkan tujuan terapeutik dan
efek samping. Dosis maksimum dan dosis efektif maksimum
pioglitazone adalah 45 mg, dan rosiglitazone 8mg sekali sehari,
meskipun 4 mg dua kali sehari dapat mengurangi HbA1c sebesar
0,2% hingga 0,3% lebih dari 8 mg satu kali sehari. Efek samping
Troglitazone menyebabkan hepatotoksisitas idiosynkratik dan
menyebabkan 28 kematian karena gagal hati, retensi cairan
menyebabkan banyak kemungkinan efek samping dengan
rosiglitazone dan pioglitazone. Tiazolidinedion mengurangi tingkat
HbA1c, yang telah terbukti terkait dengan risiko komplikasi
mikrovaskuler. (Dipiro,.....)
3. Penghambat Glukoneogenesis
 Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Metformin tidak memiliki efek langsung pada sel β, meskipun
kadar insulin berkurang, mencerminkan peningkatan sensitivitas
insulin. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien
dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Metformin
menyebabkan efek samping gastrointestinal, termasuk
ketidaknyamanan perut, sakit perut, dan diare pada sekitar 30% pasien.
Anoreksia dan perut kenyang adalah bagian dari alasan kehilangan
berat badan.
4. Inhibitor α-glukosidase
Penghambat α-Glucosidase secara kompetitif menghambat enzim
(maltase, isomaltase, sucrase, dan glukoamilase) di usus kecil, menunda
pemecahan sukrosa dan karbohidrat komplek, tidak menyebabkan
malabsorpsi nutrisi. Sehingga dapat mengurangi kenaikan glukosa darah
postprandial. Dosis untuk miglitol dan acarbose serupa. Dosis awal
adalah 25 mg sekali sehari, dapat ditingkatkan secara bertahap selama
beberapa bulan hingga dosis maksimal 50 mg tiga kali sehari untuk
pasien ≤60 kg atau 100 mg tiga kali sehari untuk pasien> 60 kg. Kedua
inhibitor α-glukosidase harus di minum bersama suap pertama makanan
sehingga obat dapat hadir untuk menghambat aktivitas enzim. Hanya
pasien yang mengonsumsi diet tinggi karbohidrat kompleks akan
memiliki penurunan kadar glukosa yang signifikan (Dipiro,.....).
Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping
yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens, dan diare.
Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan
dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum
bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin) dapat
terjadi hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni,
jadi tidak dapat diatasi dengan pemberian gula pasir.
5. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran
pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin
dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian,
secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4),
menjadi metabolit GLP-1-(9,36)- amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-
1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai
dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4
(penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan
DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
E. Penggunaan Tanaman Tradisional sebagai Terapi
Beberapa tanaman obat diketahui mempunyai efek antidiabetes, yang dibuktikan secara
perklinik maupun klinik. Selain itu juga merupakan salah satu pengobatan alternatif untuk
mengontrol kadar gula darah. Beberapa tanaman tersebut dapat meregenerasi sel-sel beta
pankreas. Secara tradisional banyak tanaman yang digunakan secara turun temurun untuk
mengontrol gula darah, terutama pasien DM tipe II (tidak tergantung insulin). Mekanisme
tumbuhan obat dalam mengontrol kadar gula darah hampir sama dengan obat konvensional
dan memiliki keunggulan karena beberapa tanaman memiliki mekanisme aksi lebih dari
satu. Kombinasi aksi ini akan memberikan hasil optimum dalam mengontrol gula darah.
Adapun mekanisme obat herbal dalam mengontrol kadar gula darah adalah melalui
penghambatan hidrolisis karbohidrat menjadi glukosa di saluran cerna, sehingga
mengakibatkan jumlah glukosa yangterserap ke dalam darah menurun, penghambatan
pembentukan gula di hati, meningkatkan sekresi insulin dan sensitivitasnya, serta
meningkatkan ambilan glukosa (Mun`im dan Hanani, 2011).
Mekanisme kerja berbagai tanaman sebagai antidiabet adalah: 1). Mempunyai kemampuan
sebagai astringen yaitu dapat mempresipitasikan protein selaput lendir usus dan membentuk
suatu lapisan yang melindungi usus, sehingga menghambat asupan glukosa sehingga laju
peningkatan glukosa darah tidak terlalu tinggi, Mempercepat keluarnya glukosa dari
sirkulasi, dengan cara mempercepat peredaran darah yang erat kaitannya dengan kerja
jantung dan dengan cara mempercepat filtrasi dan ekskresi ginjal sehingga produksi urin
meningkat, laju ekskresi glukosa melalui ginjal meningkat sehingga kadar glukosa dalam
darah menurun, dan Mempercepat keluarnya glukosa melalui peningkatan metabolisme atau
memasukan ke dalam deposit lemak. Proses ini melibatkan pankreas untuk memproduksi
insulin (Widowati, 2008).

F. Ramuan tradisional Diabetes


Bahan :
Kumis Kucing
Adas
Bawang merah

G. Uraian Tanaman
1. Kumis Kucing
Gambar 1. Tanaman Kumis Kucing
 Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famii : Lamiaceae
Genus : Orthosiphon
Spesies : Orthosiphon stamineus Benth.
Sinonim Orthosiphon aristatus Miq

 Nama Daerah
Remujung (Jawa Tengah), kumis kucing (Melayu), kumis ucing (Sunda), soengot
koceng (Madura)
 Deskripsi Tanaman
Tumbuh tegak, tinggi sampai 2 m. Batang bersegi empat agak beralur, berambut
pendek atau gundul. Daun berbentuk telur lonjong, atau belah ketupat, bertangkai, urat
daun sepanjang tepi. Perbungaan berupatandan yang keluar di ujung cabang, mahkota
berwarna ungu pucat atau putih, panjang 13-27 mm, di bagian atas ditutupi rambut
pendek berwarna ungu atau putih seperti kumis kucing, panjang tabung 10-18 mm,
panjang bibir 4,5-10 mm. Buah berwarna cokelat gelap, waktu muda berwarna putih
kehitaman, tua menjadi cokelat kehitaman. Simplisia daun panjang hingga 10 cm,
lebar hingga 5 cm. Berambut tipis atau gundul, bertangkai hingga 3 cm, kedua
permukaan berbintik-bintik (Mun`im dan Hanani, 2011).
 Kandungan Kimia
Daun kumis kucing mengandung mineral sampai 12% dengan komponen utama
kalium. Selain itu, mengandung flavonoid lipofil: sinensetin dan isosinensetin,
glikosida orthosifon, asam rosmarinat, asam kafeat, fitosterol, salvigenin, eupatorin,
skutelarein tetrametil etil, minyak atsiri : pimaran, isopimaran diterpen staminol A.
Senyawa lain yang berhasil diisolasi adalah orthosifol A-E
 Khasiat
Kumis kucing digunakan secara luas untuk mengobati rheumatoid, diabetes,
hipertensi, tonsilitis, epilepsi, gangguan menstruasi, gonorrhea, sifilis, batu ginjal,
batu empedu, diuretik, edema, demam erupsi, influenza, hepatitis, dan jaundice.
Daunnya diperkenalkan ke Eropa dan Jepang sebagai teh kesehatan. Kumis kucing
sangat terkenal karena efek diuretik, yang lebih kuat dari kebanyakan bahan alami
lainnya (Ameer et al., 2012).
 Bukti Ilmiah
Pada uji toleransi glukosa oral, ekstrak air Orthosiphon stamineus pada dosis 0,2-1
g/kg secara signifikan menurunkan konsentrasi glukosa plasma tergantung dosis
untuk tikus normal dan diabetes. Pada dosis 1 g/kg menunjukkan efek yang sama
dengan glibenklamid (5 mg/kg). Pada tikus diabetes, setelah mereka diberi ekstrak
secara oral (0,5 g/kg) selama 14 hari, konsentrasi glukosa plasma berkurang secara
signifikan. Selain itu, konsentrasi trigliserida plasma juga lebih rendah pada tikus
diabetes yang diberi ekstrak dibandingkan dengan kelompok yang tidak diobati.
Selanjutnya, konsentrasi HDL-kolesterol plasma meningkat secara signifikan pada
tikus diabetes yang diobati dengan ekstrak. Dalam cairan pankreas tikus, 100 μg/mL
ekstrak mempotensiasi sekresi insulin yang diinduksi oleh glukosa (Sriplang et al.,
2007).
Efek antidiabetes dari kloroform, metanol, petroleum eter dan ekstrak air dari
Orthosiphon stamineus diuji. Ekstrak kloroform dengan dosis 1 g/kg secara signifikan
mengurangi kadar glukosa darah. Selanjutnya, ekstrak ini difraksinasi dan akhirnya
satu subfraksi menunjukkan efek antidiabetes yang serupa dengan metformin
(Mohamed et al., 2011). Penelitian lanjutan dilakukan terhadap subfraksi kloroform
ini untuk mengetahui mekanisme kerja. Pada konsentrasi 2 mg / mL subfraksi
kloroform menunjukkan peningkatan secara signifikan ambilan glukosa oleh otot
diafragma tikus. Peningkatan ambilan glukosa juga ditunjukkan ketika otot diinkubasi
dalam larutan yang mengandung insulin 1 IU / mL insulin atau 1 mg / mL metformin.
Selanjutnya, efek subfraksi diuji pengaruhnya terhadap penyerapan glukosa pada
jejunum tikus. Hasil menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0,5 mg/mL, 1 mg mL dan,
2 mg/mL secara signifikan mengurangi penyerapan glukosa dari jejunum. Demikian
pula, penyerapan glukosa juga dihambat oleh 1 mg/mL dan 2 mg/mL metformin. Hasil
ini menunjukkan bahwa efek subfraksi klorofom mungkin karena mekanisme
ekstrapankreatik (Mohamed et al., 2013).
Studi in vitro dari ekstrak etanol 50% Orthosiphon stamineus dan senyawa sinensetin
yang diisolasi menunjukkan aktivitas penghambatan pada α-glukosidase (IC50: 4,63
dan 0,66 mg/ml) dan α-amilase (IC50: 36,70 mg/ml dan 1,13 mg/ml). Penghambatan
enzim ini memberikan dasar biokimia yang kuat sebaagai terapi diabetes tipe 2
melalui kontrol penyerapan glukosa (Mohamed et al., 2012).

Diuretik........................................(kaitkan dengan fungsi herbal)

2. Adas

Gambar 2. Tanaman Adas


 Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Apiales
Famii : Apiaceae
Genus : Foeniculum
Spesies : Foeniculum vulgare P. Mill

 Nama Daerah
Das pedas (Aceh), Adas (Jawa, Bali), hades (Sunda), paapang (Manado), denggu-
denggu (Gorontalo), adasa,rempasu (Makassar), adase (Bugis)
 Deskripsi Tanaman
Perawakan terna aromatik, semusim atau menahun, tegak, tinggi dapat mencapai 1,5
m, batang licin, ruas nyata, beralur memanjang, daun tunggal, letak daun tersebar, tepi
3-5 berbagi menyirip seperti rambut berwarna hijau muda, pelepah daun panjang
dengan selaput pinggir berwarna putih, memiliki penutup ujung daun. Perbungaan
berupa bunga payung majemuk, memiliki 6-40 cabang, setiap cabang tersusun atas
sejumlah banyak bunga, bunga bertangkai nyata. Kelopak 5, daun kelopak
menyerupai gigi, ukuran kecil. Mahkota kuning, ujung daun mahkota terbelah. Putik
pendek dengan bakal buah lonjong, buah pecah menjadi bagian buah yang tidak
bersayap
 Kandungan Kimia
Buah ada mengandung minyak atsiri berkisar 2-12,6%, yang terdiri dari trans-anetol
(50-82%), α-fenkon (6-27%), limonen (2-13%), p-anisaldehid (6-27%), α-pinen (1-
5%), dan α-felandren (0,1-19,8%). Minyak atsiri terdiri paling sedikit 12 komponen
dengan komponen utama berturut-turt anetoi, fenkon, estragol, dan limonen. Akar
mengandung bergapten dan stigmasterin (serporin) sedangkan bijinya hanya
mengandung stigmasterin.
 Khasiat
Buah adas digunakan untuk melancarkan peredaran darah, pereda nyeri, antioksidan,
meningkatkan nafsu makan, peluruh dahak, peluru kentut, merangsang produksi ASI.
Minyak atsiri buah adas sebagai antibakteri, anti cacingan, peluruh kentut. Daun adas
digunakan sebagai peluruh air seni, merangsang ASI (Kemenkes RI, 2010).
 Bukti Ilmiah
Ekstrak air dan etanol biji adas terbukti sebagai antioksidan poten. 100 mg ekstrak
air dan etanol biji adas menunjukkan 99,1% dan 77,5% penghambatan peroksidasi
dalam sistem asam linoleat dan lebih besar dari dosis yang sama a-tocopherol (36,1%)
(Oktay, 2002). Pada kasus Hiperglikemia terlibat dalam proses pembentukan radikal
bebas. Hiperglikemia menyebabkan autooksidasi glukosa, glikasi protein, dan aktivasi
jalur metabolisme poliol yang selanjutnya mempercepat pembentukan senyawa
oksigen reaktif. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut dapat meningkatkan
modifikasi lipid, DNA, dan protein pada berbagai jaringan. Modifikasi molekuler
pada berbagai jaringan tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan antara antioksidan
protektif (pertahanan antioksidan) dan peningkatan produksi radikal bebas. Hal itu
merupakan awal kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai stres oksidatif. Untuk
meredam kerusakan oksidatif tersebut diperlukan antioksidan (Setiawan dan
Suhartono,2005). Komplikasi diabetes berkaitan dengan stres oksidatif khususnya
pembentukan radikal bebas superoksida.
Konstituen aktif adas yaitu trans anetol terbukti memiliki aksi penghambatan aldose
reduktase yang ampuh dengan IC50 3,8 lg/ml. Aldose reduktase adalah enzim utama
pada jalur poliol yang mengkonversi glukosa menjadi sorbitol menggunakan NADPH
sebagai kofaktor. Aktivitas enzim ini ditemukan pada pasien diabetes. Oleh karena
itu, penghambatan enzim vital ini merupakan strategi penting dalam mengendalikan
komplikasi sekunder pada diabetes (Dongare et al., 2012). Dalam keadaan normal,
konsentrasi sorbitol di dalam sel rendah. Akan tetapi, apabila terjadi keadaan
hiperglikemia, konsentrasi sorbitol meningkat. Sorbitol, dengan bantuan enzim
sorbitol dehidrogenase (SDH), akan diubah menjadi fruktosa. Degradasi sorbitol ini
berjalan lambat sehingga sorbitol menumpuk dalam sel, sehingga dapat menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik dan selanjutnya dapat merusak sel (Setiawan dan
Suhartono, 2005). Trans-anetole secara efektif dapat menunjukkan aktivitas anti-
katarak melalui peningkatan protein lensa terlarut, mengurangi glutathione, katalase
dan aktivitas SOD pada inkubasi in vitro dari lensa mata dengan glukosa 55 mM
(Dongare et al., 2012). Trans anetol juga dapat mencegah pembentukan katarak pada
hewan uji serta kelainan anatomi fungsional retinopati diabetik dan nefropati (Sakai
et al., 2001). Fraksi petroleum eter adas juga terbukti dapat mengontrol kadar glukosa
puasa, parameter lipid dan hemoglobin terglikasi pada pengobatan selama 45 hari
pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin (Dongare et al., 2012)
3. Bawang Merah

Gambar 2. Tanaman Bawang Merah

 Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Liliales
Famii : Liliaceae
Genus : Allium
Spesies : Allium cepa var aggregatum L.

 Nama Daerah
Bawang mirah (Aceh), pia (Batak), bawang sirah, dasun mirah (Minangkabau),
bawang abang (Palembang), bawang suluh (Lampung). Bawang beureum, bawang
acar (Jawa barat & Banten), bawang abang, brambang (Jawa tengah, Yogyakarta,
Jawa timur), jasum merah (Bali), bawangi (Gorontalo), lasuna eja (Makassar), lasuna
eca (Bugis), dasuna mahamu (Sulawesi Utara).

 Deskripsi Tanaman
Tanaman berupa herba parenial, jika dihancurkan akan mengeluarkan bau khas
menyengat, ukuran umbi bervariasi tergantung jenisnya. Daun tinggi bisa mencapai
40 cm dengan bentuk agak melingkar pada bagian tengah dan pipih pada bagian atas.
 Kandungan Kimia
Kandungan utama adalah senyawa organo-sulfur dan non organo-sulfur memberikan
karakteristik dari simplisia ini. Senyawa oragno-sulfur yang terdapat pada umbi
bawang merah adalah tiosulfinat, tiosulfonat, cepaene, S-oksida, S,S-dioksida,
monosulfida, disulfida, trisulfida dan zwibelane. Senyawa ini merupakan hasil
degradasi sistein sulfoksida. Bawang merah juga mengandung flavonoid seperti
kuersetin dan glikosidanya, antosianin. quercetin, fruktosa, quercetin-3-glukosida,
isorhamnetin-4-glukosida, xilosa, galaktosa, glukosa, mannosa, senyawa
organosulfur, allylsulfides, flavonoid, cycloalliin.
 Khasiat
Umbi bawang merah digunakan sebagai peluruh dahak (obat batuk), demam anak-
anak, obat kencing manis, memeacu enzim pencernaan, peluruh haid, peluruh air seni,
anti diabetes.
 Bukti Ilmiah
Efek antidiabetes dan antioksidan dari S-methyl cysteine sulfoxide yang diisolasi dari
bawang merah (A. cepa Linn.) dibandingkan dengan obat standar yaitu glibenklamid
dan insulin pada tikus diabetes yang diinduksi dengan aloksan menunjukkan bahwa
efek antidiabetes dan antioksidan dari S-methyl cystein sulfoxide yang diisolasi dari
A. Cepa dan dua obat standar, glibenclamide dan insulin dipelajari dan dibandingkan
pada tikus diabetes aloksan setelah menggunakan masing-masing untuk perawatan
selama dua bulan. obat-obatan ini memperbaiki kondisi diabetes secara signifikan
yaitu pemeliharaan berat badan dan kontrol gula darah pada tikus. lebih lanjut mereka
menurunkan tingkat malondialdehida, hidroperoksida dan diena terkonjugasi dalam
jaringan yang menunjukkan efek antioksidan pada peroksidasi lipid pada diabetes
eksperimental. ini dicapai dengan efek stimulasi mereka pada pemanfaatan glukosa
dan enzim antioksidan yaitu superoksida dismutase dan katalase. mekanisme aksi
SMC dan glibenclamide mungkin sebagian bergantung pada stimulasi sekresi insulin
dan sebagian karena tindakan individu mereka. dalam perbaikan diabetes obat-obatan
standar menunjukkan tindakan yang lebih baik tetapi sebagai antioksidan SMC
terbukti menjadi yang lebih baik

Ekstrak air bawang merah pada dosis 300 mg/kg juga terbukti memiliki efek
hipoglikemik dan hipolipidemik terhadap penurunan kadar glukosa darah, total lipid serum dan
total serum kolesterol tikus diabetes yang diinduksi aloksan monohidrat. Efek hipolipidemik
dari bawang terkait dengan kandungan aktifnya alil propil disulfida. Penurunan profil lipid bisa
bermanfaat dalam mencegah komplikasi diabetes serta meningkatkan metabolisme lipid pada
penderita diabetes (Cho et al., 2002). Efek hipoglikemik dan hipolipidemik merupakan
mekanisme pelindung terhadap perkembangan aterosklerosis, hiperlipidemia dan
hiperglikemia yang umum terjadi pada diabetes mellitus (Ozougwu, 2011). Kandungan
quercetin yang dimiliki oleh bawang merah dilaporkan memiliki aktivitas penghambatan α-
glukosidase secara in vitro (Ishikawa et al., 2007; Jo et al., 2009). Penghambat α-glucosidase
bertindak sebagai inhibitor kompetitif dari enzim yang diperlukan untuk mencerna karbohidrat.
Penghambatan enzim ini mengurangi laju pencernaan karbohidrat. Quercetin yang terdapat
dalam bawang merah juga dapat menghambat glikogenolisis dan glukoneogenesis yang
bermanfaat dalam mencegah komplikasi penyakit pada pasien diabetes (Alam et al., 2014).
Pada uji klinis konsumsi minyak mentah Allium cepa pada pasien diabetes tipe 1 dan
tipe 2 (100 g) menyebabkan penurunan kadar glukosa darah yang signifikan sekitar 89 mg / dl
dibandingkan dengan insulin (145 mg/ dl) pada pasien diabetes tipe 1 dan mengurangi kadar
glukosa darah puasa sebesar 40 mg / dl, dibandingkan dengan glibenclamide (81 mg / dl) pada
pasien diabetes tipe 2. Dosis yang sama dari minyak mentah Allium cepa menghasilkan
pengurangan yang signifikan dalam hiperglikemia yang diinduksi (GTT) sekitar 120 mg / dl
dibandingkan dengan air (77 mg / dl) dan insulin (153 mg / dl) pada pasien diabetes tipe 1 dan
sangat mengurangi GTT. dengan 159 mg / dl dalam kaitannya dengan air (55 mg / dl) dan
glibenclamide (114 mg / dl) pada pasien diabetes tipe 2, setelah 4 jam (Eldin et al., 2010).

Preliminary Study of the Clinical Hypoglycemic Effects of Allium


cepa (Red Onion) in Type 1 and Type 2 Diabetic Patients imad M. Taj Eldin1, Elhadi M.
Ahmed2 and Abd Elwahab H.M. Environmental Health Insights 2010:4 71–77

Anti-diabetic effects of Allium cepa (onions) aqueous extracts on alloxan-induced


diabetic Rattus novergicus. Ozougwu, Jevas C. Journal of Medicinal Plants Research Vol.
5(7), pp. 1134-1139, 4 April, 2011

Ishikawa A, Yamashita H, Hiemori M, Inagaki E, Kimoto M, Okamoto M, et al.


Characteri496 zation of inhibitors of postprandial hyperglycemia from the leaves of
Nerium indicum. 497 J Nutr Sci Vitaminol 2007;53:166–73.

Jo SH, Ka EH, Lee HS, Apostolidis E, Jang HD, Kwon YI. Comparison of antioxidant
potential 503 and rat intestinal α-glucosidases inhibitory act
Journal of Ethnopharmacology 109 (2007) 510–514 Effects of Orthosiphon stamineus
aqueous extract on plasma glucose concentration and lipid profile in normal and
streptozotocin-induced diabetic rats K. Sriplang a, S. Adisakwattana b, A. Rungsipipat
c, S. Yibchok-anun

Molecules 2011, 16, 3787-3801; doi:10.3390/molecules16053787 molecules ISSN


1420-3049 www.mdpi.com/journal/molecules Article Antihyperglycemic Effect of
Orthosiphon Stamineus Benth Leaves Extract and Its Bioassay-Guided Fractions
Elsnoussi Ali Hussin Mohamed 1,*, Ali Jimale Mohamed 1 , Mohd. Zaini Asmawi 1
, Amirin Sadikun 1 , Omar Saad Ebrika 1 and Mun Fei Yam 1,

Antidiabetic Properties and Mechanism of Action of Orthosiphon stamineus Benth


Bioactive Sub-fraction in Streptozotocin-induced Diabetic Rats Elsnoussi Ali Hussin
Mohamed*, Mun Fei Yam, Lee Fung Ang, Ali Jimale Mohamed, Mohd Zaini Asmawi
School of Pharmaceutical Sciences, Universiti Sains Malaysia, Penang, Malay. J
Acupunct Meridian Stud 2013;6(1):31e40

Mohamed et al. BMC Complementary and Alternative Medicine 2012, 12:176. Potent
α-glucosidase and α-amylase inhibitory activities of standardized 50% ethanolic
extracts and sinensetin from Orthosiphon stamineus Benth as anti-diabetic mechanism
Elsnoussi Ali Hussin Mohamed1*, Mohammad Jamshed Ahmad Siddiqui2 , Lee Fung
Ang1 , Amirin Sadikun1 , Sue Hay Chan1 , Soo Choon Tan1 , Mohd Zaini Asmawi1
and Mun Fei Yam1*
WHO, 1999. Definition, diagnosis and classification of diabetes mellitus
and its complications. Report of a WHO Consultation, Part 1: Diagn. Classif. Diabetes
Mellit.,49.

WHO, 1980. Expert committee on diabetes mellitus. Second Report. WHO


Technical Report Series. Geneva. 646.

Djrolo, F., Houngbe, H., Avode, G.,


Addra, G.B, Kodjoh, N., Avinadje,
M., Monterio, B. 1998. The
malnutrition-related diabetes. Med. Black Afr., 45:538-542
Moussa, S.A. 2008. Oxidative Stress In Diabetes Mellitus. Romanian J. Biophys. 18 (3): 225-
236
Widia, Sri. 2009. Oxidative Stress In Liver Tissue Of Rat Induced by Chronic System
Hypoxia. Makara Kesehatan. 13 (1): 34-38.

Komplikasi Jangka Pendek dan Jangka Panjang Diabetes Mellitus Tipe 1 Indra W.
Himawan,* Aman B. Pulungan,** Bambang Tridjaja,** Jose R.L. Batubara** *Bagian/SMF
Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD-RSUP Sanglah, Denpasar **Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 10, No. 6, April 2009

Microvascular and Macrovascular Complications of Diabetes Michael J. Fowler, MD

Potensi Antioksidan sebagai Antidiabetes Wahyu Widowati. JKM. Vol.7 No.2 Februari 2008:

Kangralkar, V.A., Shivraj D. Patil, R. M. Bandivadekar. 2010. Oxidative Stress and Diabetes
: a Review. International Journal of Pharmaceutical Applications. 1 (1): 38-45

Cho SK, Park JY, Park EM, Choi MS, Lee MY, Jeon SM, Jang MK, Kim
MJ, Park YB (2002). Alteration of hepatic antioxidant enzyme
activities and lipid profile in streptozotocin – induced diabetic rats by
supplementation of dandelion water extracts. Clinical Chem. Acta,
317: 109-117.

Sakai, I., Izumi, S. I., Murano, T., Okuwaki, S., Makino, T., & Suzuki, T. (2001).
Presence of aldose reductase inhibitors in tea leaves. Japanese Journal of
Pharmacology, 85, 322–326.
Protective effect of quercetin on hyperglycemia, oxidative stress and DNA 2 damage in alloxan
induced type 2 diabetic mice Q43 Md. Maroof Alam 1 , Dilnasheen Meerza, Imrana Naseem.
2014. Life Sciences xxx (2014) xxx–xxx

Lebensm.-Wiss. U.-Technol. 36 (2003) 263–271 Determination of in vitro antioxidant activity


of fennel (Foeniculum vulgare) seed extracts Munir Oktay . a,*, ’ Ilhami Gul . cin, b , O. . ’
Irfan Kufrevio . glu& b a Department of Chemistry Education, Kazım Karabekir Education
Faculty, Ataturk University, Erzurum TR-25240, Turkey . bDepartment of Chemistry, Ataturk
University, Faculty of Science and Arts, Erzurum 25240, Turkey . Received 23 May 2002;
accepted 27 November 2002
Stres Oksidatif dan Peran Antioksidan pada Diabetes Melitus Bambang Setiawan,* Eko
Suhartono**. Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 2, Pebruari 2005

Inhibition of aldose reductase and anti-cataract action of trans-anethole


isolated from Foeniculum vulgare Mill. fruits
Vandana Dongare a, Chaitanya Kulkarni a, Manish Kondawar b, Chandrakant Magdumb,
Vivek Haldavnekar c, Akalpita Arvindekar. Food Chemistry 132 (2012) 385–390

Anda mungkin juga menyukai