Anda di halaman 1dari 28

TUGAS ATM

TENTANG PENYAKIT KUSTA

Disusun oleh :

Amdita BP. 2019082024065


Nur Hayani 2019082024045

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

JAYAPURA

2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Tuhan Yang Maha


Esa, akhirnya makalah tentang “Penyakit Kusta”ini dapat tersusun. Makalah ini
memuat mengenai kegeawatdaruratan pada sistem pencernaan yaitu trauma
abdomen. Materi makalah ini diambil dari berbagai sumber, penulisan makalah ini
merupakan tugas ATM.

Penulis telah berupaya menyelaraskan makalah ini seringkas dan sejelas


mungkin agar mudah untuk dipahami. Namun, tiada gading yang tak retak, telah
disadari makalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Untuk itu saran
penyempurnaan sangat diharapkan.

Jayapura, 20 Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal
oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi
kesehatan dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang
cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat
dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat
ditemukan dibelahan dunia, seperti: India, dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan
diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab
lepra bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini
terjadi hingga ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980-an dan penyakit
inipun mampu ditangani kembali.
Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Pasien Gangguan Sistem Integumen Dengan Kusta”
dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit
kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan keperawatannya.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini antara lain :
1.3.1 Bagaimana gambaran tentang konsep penyakit kusta?
1.3.2 Bagaimana pengkajian keperawatan pada klien dengan kusta?
1.3.3 Bagaimana pembuatan diagnosa berdasarkan pengkajian?
1.3.4 Bagaimana tentang pembuatan rencana keperawatan berdasarkan teori
keperawatan?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas
Sistem Integumen berkenaan dengan penyakit Kusta.
2. Tujuan Khusus
a) Menjelaskan gambaran tentang konsep penyakit kusta;
b) Menjelaskan tentang pengkajian keperawatan pada klien dengan
kusta;
c) Menjelaskan tentang pembuatan diagnosa berdasarkan pengkajian;
d) Menjelaskan tentang pembuatan rencana keperawatan berdasarkan
teori keperawatan
D. Manfaat
Mahasiswa dapat memahami masalah keperawatan dan menerapkan
Asuhan keperawatan dengan penyakit kusta
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan
saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan
bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis
(Amirudin.M.D, 2000).
Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan
jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf pusat, untuk mendiagnosanya
dengan mencari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan
saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit ( Depkes, 2005 ).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi klinis
dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua
bentuk klinis yaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe
lepromatosa menyerang saluran pernafasan bagian atas dan kelainan kulit
berbentuk nodula, papula, makula dan dalam jumlah banyak. Pada penderita kusta
tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa. (
Jurnal Universitas Sumatera Utara, 2012 ).
Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan
oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae. (Kapita Selekta, 2000)

B. Etiologi
Mycrobacterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA), yang bersifat
obligat intraseluler yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti
mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf
pusat. Masa membelah diri mycrobacterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya
antara 40 hari – 40 tahun.
Mycrobacterium leprae atau kuman hansen adalah kuman penyebab penyakit
kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada
tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8
micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan
tidak dapat di kultur dalam media buatan.

ENL merupakan basil humoral dimana basil kusta yang utuh maupun yang
tidak utuh menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, selanjutnya
membentuk kompleks imun yang mengendap dalam vaskuler. Reaksi tipe – 2
yang tipikal pada kulit ditandai dengan nodul – nodul eritematosa yang nyeri,
timbul mendadak, lesi dapat superfisial atau lebih dalam. Berbagai faktor yang
dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta antara lain : setelah

pengobatan antikusta yang intensif, infeksi rekuren, pembedahan, dan stres fisik.

Gambar: Bakteri Mycobacterium leprae

C. Manifestasi klinis
Tanda gejala pada penyakit kusta, yaitu :
1. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline).
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya
kekebalan seluler secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta
ke arah PB (paucibacillary). Faktor pencetusnya tidak diketahui secara
pasti tapi diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis
(nyeri tekan pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien.

2. Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum).


Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB (multibacillary) dan
merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh
menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen
sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara
antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap
antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum
leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis)
dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta
komplikasi pada organ tubuh lainnya. Hal-hal yang mempermudah
terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, pembedahan,
sesudah mendapat imunisasi) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat
berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan
berlangsung lama.

D. Patofisiologi
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam tubuh belum
diketahui Secara pasti. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penularannya yang paling sering melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah mycrobacterium leprae masuk
ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang.
Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler
tinggi, berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berarti
berkembang ke arah lepromatosa. Mycrobacterium leprae berpredileksi di daerah-
daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit.
Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada sel makrofag disekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman
masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk
memfagosit.
1. Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler yang
rendah dimana makrofag tidak mampu menghancurkan kuman, dan dapat
membelah diri dan dengan bebas merusak jaringan.

2. Tipe TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi dimana


makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis, terjadi
sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel, bila
tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak,


sehingga respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat
meningkat. Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan transformasi
limfosit.Tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti antigen M. leprae
mana yang mendasari kejadian patologis tersebut dapat terjadi. Determinan
antigen tertentu yang mendasari reaksi penyakit kusta pada tiap penderita
mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat berbeda pula sekalipun tipe
lepra sebelum reaksi sama. Determinan antigen banyak didapati pada kulit dan
jaringan saraf.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons
imun pada tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi
seluler daripada intensitas infeksi.Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologis.
E. Patway

F. Pemeriksaan penunjang

Deteksi dini untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk menekan
tingkat kecacatan ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa.Tingkat
keberhasilan terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini dideteksi dan
ditangani secara dini. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
Gejala klinik tersebut diantara lain :
a. Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak.
b. Nyeri, dan terdapat pembesaran saraf tepi.
c. Adanya tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik
maupun motorik.
d. Demam dan malaise.
e. Kedua tangan dan kaki membengkak.
f. Munculnya lesi-lesi baru pada kulit.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut:
1). Laboratorium
a. Darah rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:
2). Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate
limfosit yang meningkat sehingga terjadi udema dan hiperemi.
Diferensiasi makrofag kearah peningkatan sel epiteloid dan sel
giant memberi gambaran sel langerhans.Kadang-kadang terdapat
gambaran nekrosis (kematian jaringan) didalam
granulosum.Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
G. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis
penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi
antigen-antibodi (respon humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini
dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan dan
sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah
mulai pengobatan.

H. Diagnosa Banding
I. Penatalaksanaan
Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta
dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan
pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO
1995 sebagai berikut :
a). Tipe PB ( Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari
diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment)
meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak
lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment
Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

b). Tipe MB ( Multi Basiler)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari
diminum di rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24
dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum
24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB
diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
c). Dosis untuk anak
Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian
50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian
50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.
d). Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan
dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100
mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan
2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai
obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
e). Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe
MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

B. Konsep Asuhan Keperawatam

1. Pengkajian
a) Identitas pasien
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan,
anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan,
alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan
lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar
penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan
pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita
(demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c) Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika
dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat
imunisasi.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e) Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian
besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri,
sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f) Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada
tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.
g) Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena
reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen.
Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
 Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe
II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh
akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada
bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
 Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
 Sistem persarafan
a. Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/
mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan
kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/ hilangnya reflek kedip.
b. Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh
dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan
akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
 Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
 Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
h) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali
tidak ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan
bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan
mikobakterium leprae ialah:
 Cuping telinga kiri atau kanan.
 Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
 Tidak menyenangkan pasien.
 Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
 Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada
selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
 Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput
lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit
ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
 Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
 Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis
sebagai pasienkusta.
 Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau
karenatersangka kuman resisten terhadap obat.
 Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan
asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3
metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau
seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh
(solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan
clumps.
Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam
sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan
mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut
skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
 0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
 1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
 2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
 3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
 4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
 5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
 6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh
BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman,
mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan
resistensi terhadap obat.
i) Pengobatan
Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan
mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Jenis-jenis obat kusta:
- Obat primer : dapsone, clofasimin, rifampisin, etionamide,
prothionamide.
- Obat sekunder: INH, streptomycine
Dosis menurut rekomendasi WHO :
a. Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT)
- Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari
- Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan
Ket: Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6
dosis dalam 9 bulan dan diawasi selam 2 tahun.
b. Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)
- Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan
- Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari
- Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian
dilajutkan dengan 1 x 50 mg/hari
Ket : Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi ± 5 tahun
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis
yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung
dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak
a. Klofazimin:Umur dibawah 10 tahun
- Bulanan 100mg/bulan
- Harian 50mg/2kali/minggu
- Umur 11-14 tahun
- Bulanan 100mg/bulan
- Harian 50mg/3kali/minggu
- DDS:1-2mg /Kg BB
b. Rifampisin:10-15mg/Kg BB
1) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1
cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB
dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk
tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan
digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
2) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat
sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan
DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila
tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2. Klasifikasi Data
Data Subjektif Data Objektif
klien mengatakan : klien tampak :
-ada luka seperti panu -KU : Lemah
-susah untuk bergerak -terdapat lesi yang nampak seperti panu
-nyeri -tampak meringis kesakitan
-sulit melakukan aktifitas -aktifitas dibantu oleh keluarga
- malu memiliki penyakit seperti ini -sulit diajak komunikasi dan hanya mau
-pusing saat melakukan aktifitas bersama keluarga yang ia percaya
-mengurung diri dikamar dan tidak
ingin bertemu dengan yang lain karena
merasa malu
3. Analisa Data
Data Etiologi Masalah
DS : lesi dan proses inflamasi. Kerusakan ntegritas kulit
klien mengatakan ada yang
luka seperti panu
DO :
Klien tampak
-terdapat lesi yang
nampak seperti panu
DS : proses inflamasi jaringan Gangguan rasa nyaman,
Klien mengatakan nyeri
nyeri/sakit
DO :
Klien Tampak
tampak meringis
kesakitan
TTV Meningkat
DS : kelemahan fisik Intoleransi aktivitas yang.
Klien mengatakan
pusing saat akan
melakukan aktifitas
DO :
Klien Tampak
tampak meringis
kesakitan
TTV Meningkat
aktifitas dibantu
keluarga
DS : ketidakmampuan dan Gangguan konsep diri
Klien mengatakan malu kehilangan fungsi tubuh. (citra diri) yang
terhadap penyakit yang berhubungan dengan
diderita ketidakmampuan dan
DO : kehilangan fungsi tubuh.
Klien Tampak
sulit diajak komunikasi
dan hanya mau bersama
keluarga yang ia percaya
-mengurung diri dikamar
dan tidak ingin bertemu
dengan yang lain karena
merasa malu

4. Diagnosa
1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi.
2) Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses
inflamasi jaringan
3) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
4) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.
5. Intervensi
NO Diagnosa Tujuan dan kreteria Intervensi Rasional
Diagnosa Setelah dilakukan 1. Kaji/ catat warna 1. Memberikan
I tindakan keperawatan lesi,perhatikan jika inflamasi dasar
proses inflamasi ada jaringan nekrotik tentang terjadi
berhenti dan berangsur- dan kondisi sekitar proses inflamasi
angsur sembuh. luka. dan atau mengenai
2. Berikan perawatan sirkulasi daerah
Kriteria :
khusus pada daerah yang terdapat lesi
yang terjadi inflamasi 2. Menurunkan
1. Menunjukkan
terjadinya
regenerasi jaringan
penyebaran
2. Mencapai
inflamasi pada
penyembuhan tepat
jaringan sekitar
waktu pada lesi
. 3. Mengevaluasi
3. Evaluasi warna lesi perkembangan lesi
dan jaringan yang dan inflamasi dan
terjadi inflamasi mengidentifikasi
perhatikan adakah terjadinya
penyebaran pada komplikasi.
jaringan sekitar. 4. Kulit yang terjadi
4. Bersihan lesi dengan lesi perlu perawatan
sabun pada waktu khusus untuk
direndam. mempertahankan
5. Istirahatkan bagian kebersihan lesi.
yang terdapat lesi 5. Tekanan pada lesi
dari tekanan. bisa maenghambat
proses
penyembuhan.
NO Diagnosa Tujuan dan kreteria Intervensi Rasional
Diagnosa Setelah dilakukan 1. Observasi lokasi, 1. Memberikan
II tindakan keperawatan intensitas dan informasi
proses inflamasi berhenti penjalaran nyeri. untuk
dan berangsur-angsur 2. Observasi tanda- membantu
hilang. tanda vital dalam
Kriteria : 3. Ajarkan dan anjurkan memberikan
1. setelah dilakukan melakukan tehnik 2. Untuk
tindakan distraksi dan relaksasi mengetahui
keperawatan proses 4. Atur posisi senyaman perkembangan
inflamasi dapat mungkin atau keadaan
berkurang dan nyeri 5. Kolaborasi untuk pasien
berkurang dan pemberian analgesik 3. Dapat
beraangsur-angsur sesuai indikasi mengurangi
hilang. rasa nyeri
4. Posisi yang
nyaman dapat
menurunkan
rasa nyeri
5. menghilangkan
rasa nyeri.

NO Diagnosa Tujuan dan kreteria Intervensi Rasional


Diagnosa Setelah dilakukan 1. Pertahankan posisi 1. Meningkatkan
III tindakan keperawatan tubuh yang nyaman. posisi fungsional
kelemahan fisik dapat . pada ekstremitas
teratasi dan aktivitas 2. Perhatikan sirkulasi, 2. Oedema dapat
dapat dilakukan. gerakan, kepekaan mempengaruhi
Kriteria : pada kulit sirkulasi pada
1. Pasien dapat ekstremitas.
melakukan aktivitas 3. Lakukan latihan 3. Mencegah secara
sehari-hari rentang gerak secara progresif
2. Kekuatan otot konsisten, diawali mengencangkan
penuh dengan pasif jaringan,
kemudian aktif. meningkatkan
4. Jadwalkan pemeliharaan
pengobatan dan fungsi otot/ sendi
aktifitas perawatan 4. Meningkatkan
untuk memberikan kekuatan dan
periode istirahat. toleransi pasien
. terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan 5. Menampilkan
dan bantuan keluarga/orang
keluaraga/ orang terdekat untuk
yang terdekat pada aktif dalam
latihan. perawatan pasien
dan memberikan
terapi lebih
konstan

NO Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi Rasional


IV
Setelah dilakukan 1. Kaji makna 1. Episode traumatik
tindakan keperawatan perubahan pada mengakibatkan
tubuh dapat berfungsi pasien perubahan tiba-
secara optimal dan 2. Terima dan akui tiba. Ini
ekspresi frustasi, memerlukan
konsep diri meningkat. ketergantungan dan dukungan dalam
kemarahan. perbaikan
Kriteria :
Perhatikan perilaku optimal.
menarik diri. 2. Penerimaan
1. Pasien menyatakan
3. Berikan harapan perasaan sebagai
penerimaan situasi
dalam parameter respon normal
diri
situasi individu, terhadap apa yang
2. Memasukkan
jangan memberikan terjadi membantu
perubahan dalam
kenyakinan yang perbaikan
konsep diri tanpa
salah. 3. Meningkatkan
harga diri negatif
4. Berikan penguatan perilaku positif
positif dan memberikan
5. Berikan kelompok kesempatan untuk
pendukung untuk menyusun tujuan
orang terdekat dan rencana untuk
masa depan
berdasarkan
realitas.
4. Kata-kata
penguatan dapat
mendukung
terjadinya
perilaku koping
positif.
5. Meningkatkan
ventilasi perasaan
dan
memungkinkan
respon yang lebih
membantu pasien

Anda mungkin juga menyukai