Anda di halaman 1dari 4

Sejak 1795, Raden Rangga Prawiradirja III menjabat sebagai Bupati Karesidenan

Madiun di Jawa Timur yang bernaung di bawah Kesultanan Yogyakarta. Ia


meneruskan tanggung jawab dari kakek kemudian ayahnya, yakni Prawirasentika
atau Raden Rangga Prawiradirja I (1760-1784) dan Mangundirja atau Raden
Rangga Prawiradirja II (1784-1790).

Menurut Purwadi dalam Babad Giyanti: Sejarah Pembagian Kerajaan Jawa (2008),


relasi trah Prawiradirja dengan Kesultanan Yogyakarta sangat erat. Raden Rangga
Prawiradirja I adalah pendukung setia Pangeran Mangkubumi yang nantinya
menjadi raja pertama Yogyakarta bergelar Sultan Hamengkubuwana I sesuai hasil
Perjanjian Giyanti tahun 1755 (hlm. 277).

Baca juga: Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Jawa

Kesetiaan dan hubungan baik itu dijaga serta berlangsung turun-temurun. Raden
Rangga Prawiradirja III semakin memantapkannya dengan menikahi salah seorang
putri Sultan Hamengkubuwana II, Raden Ayu Maduretna. Tak hanya itu, Raden
Rangga III juga dipercaya sebagai penasihat politik sultan.

Kelak, setelah Raden Rangga III tewas pada 1810, relasi dengan Kasultanan
Yogyakarta tetap terawat kendati ia dicap sebagai pemberontak. Puteri Raden
Rangga dikawini oleh Pangeran Dipanegara yang tidak lain adalah cucu Sultan
Hamengkubuwana II.

Selain itu, putranya, yakni Sentot Alibasyah Prawiradirja, nantinya menjadi panglima
tertinggi pasukan Dipanegara saat mengobarkan perlawanan terhadap Belanda
dalam Perang Jawa (1825-1830).

Gara-gara Ambisi Daendels

Perlawanan Raden Rangga terhadap Belanda tentu saja bukan tanpa alasan.
Semua itu justru berawal dari ulah Belanda sendiri. Ambisi Gubernur Jenderal
Daendels membangun jalan raya dari ujung ke ujung Pulau Jawa, atau dari Anyer
(Banten) sampai Panarukan (Situbondo), mengusik area Karesidenan Madiun yang
dipimpin Raden Rangga.

Terlepas dari itu, Bupati Madiun ini sebenarnya memang sudah kesal terhadap
Belanda yang sewenang-wenang dan menginjak-injak martabat rakyat dan merusak
tatanan di tanah Jawa. Ia menganggap kehadiran mereka telah menodai Jawa,
karena itu harus dibersihkan.

Baca juga: Dua Jalan Daendels yang Membelah Pulau Jawa

Kebijakan Daendels membangun jalan raya di pesisir utara Jawa membuat Raden
Rangga habis kesabaran. Jalur yang disebut Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) itu
mulai dibangun pada awal kepemimpinan Daendels selaku penguasa tertinggi
Hindia Belanda.
Dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014), Jan Breman menyebut bahwa
pekerjaan besar itu telah menelan belasan ribu korban jiwa dari orang-orang lokal
yang dijadikan pekerja paksa tanpa dibayar (hlm. 113). Kendati begitu, jalan yang
dibangun Daendels kelak menjadi salah satu jalur transportasi terpenting di
Indonesia.

Daendels mendesak Sultan HB II memberikan akses dibukanya hutan jati di


kawasan timur yang tidak lain adalah wilayah Raden Rangga. Gubernur Jenderal itu,
menurut Peter Carey dalam Asal-Usul Perang Jawa (2004), mengunjungi Sultan
pada 1909 dan berusaha memaksakan monopoli atas penebangan jati di kawasan
tersebut (hlm. 7).

Selain itu, Daendels juga memercikkan perpecahan di lingkungan keraton. Ia


menghasut patih istana, Danureja II, dan putera mahkota, yakni Raden Mas Suraja
(kelak bergelar Sultan Hamengkubuwana III, ayah Pangeran Dipanegara). Dua
sosok berpengaruh itu diminta mendukung rencana Belanda dengan iming-iming
yang menggiurkan.

Baca juga: Lemahnya Yogyakarta di Era Sultan HB III

Situasi ini membuat internal Kesultanan Yogyakarta terpecah menjadi dua kubu.
Raden Rangga setia berdiri di belakang Sultan Hamengkubuwana II, berhadap-
hadapan dengan kubu Patih Danureja II dan putera mahkota yang disokong
Belanda.

Persiapan Melawan Belanda

Raden Rangga III mulai melakukan manuver untuk menghambat ambisi Daendels
yang ingin membabat hutan jati milik rakyat di wilayahnya. Pada Desember 1808,
jalur kereta api yang dilewati pejabat Belanda utusan Daendels dipotong. Hal ini
tentu saja membuat Daendels murka.

Selain itu, di sejumlah daerah yang termasuk wilayah Karesidenan Madiun sering
terjadi tindak kriminal yang menjadikan orang-orang Belanda sebagai sasaran.
Menurut Peter Carey dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-
1855) (2014), Daendels yakin bahwa Raden Rangga ada di balik rangkaian aksi
yang merugikan pihak Belanda itu.

Keadaan semakin keruh karena campur tangan Susuhunan Pakubuwana (PB) IV. Ia
mengirim surat kepada Daendels agar Belanda menangkap Raden Rangga dan
menghukumnya. Namun, Sultan HB II berupaya melindungi menantu sekaligus
penasihat politiknya itu.

Baca juga: Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo

Pada Oktober 1810, Raden Rangga pun memutuskan pulang ke Madiun untuk
memperkuat pertahanan sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu diserang Belanda.
Sultan HB II secara diam-diam membantu persiapan Raden Rangga meskipun tetap
bersikap kooperatif di hadapan Daendels demi terjaganya stabilitas istana.
Bahkan, seperti diungkap Peter Carey dalam artikelnya di majalah Tempo (17-23
Agustus 2015) berjudul “Raja yang Peduli Leluhur dan Sejarah Yogyakarta-Madiun”,
Sultan HB II sebenarnya sudah bersiap-siap merancang perlawanan yang lebih
besar jika "pemberontakan" Raden Rangga berhasil dilakukan (hlm. 118).

PB IV ternyata mendukung rencana tersebut dan saling berkirim surat dengan HB II.
Raja Surakarta ini rupanya juga bermain di dua kaki karena ia berhubungan baik
pula dengan Belanda.

Baca juga: Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka

Daendels ternyata mencurigai Sultan HB II. Maka, awal November 1810, ia


mendesak HB II untuk membawa menantunya itu ke Batavia. Perintah Gubernur
Jenderal ini justru disikapi frontal oleh Raden Rangga dengan mempersiapkan
pasukan. Daendels semakin murka dan berencana menghukum mati Raden Rangga
jika tertangkap.

Pahlawan Atau Pemberontak?

Perang antara pasukan Raden Rangga melawan Belanda dimulai pada 20


November 1810. Raden Rangga sebelumnya telah mengirimkan surat kepada
Kasultanan Yogyakarta yang menyatakan bahwa dirinya tidak bermaksud
menentang Sultan meskipun sang raja masih terikat kontrak politik dan harus
kooperatif dengan Belanda.

Keputusan Raden Rangga semata-mata sebagai bentuk perlawanannya terhadap


Belanda karena telah mencemari tanah Jawa dengan kebiadaban, termasuk ambisi
membabat hutan jati milik rakyat serta mempekerjakan paksa penduduk, baik lokal
maupun keturunan Tionghoa.

Di Yogyakarta, Sultan HB II berada dalam situasi sulit karena dicurigai Daendels


mendukung Raden Rangga. Maka itu, demi meredam kecurigaan, seperti dicatat
Djoko Marihandono dan Harto Juwono dalam Sultan Hamengku Buwono 2 (2008),
Sultan mengirim 1.000 orang prajurit dan 12 kavaleri untuk membantu Belanda
menghadapi pasukan menantunya sendiri (hlm. 167).

Baca juga: Hamengkubuwana II: Sultan yang Berkuasa Tiga Kali

Belanda unggul segala-galanya dalam peperangan itu. Pasukan Raden Rangga


terus terdesak. Namun, mereka ogah menyerah dan terus mencari celah agar bisa
lolos dari kejaran Belanda sembari mencari kesempatan menyerang balik.

Pasukan Rangga pun mundur ke barat hingga tepi Bengawan Solo di daerah
Kertosono (dekat Nganjuk). Pada 10 Desember 1810 itu, hanya sekitar 100 prajurit
yang tersisa. Sebagian besar keluarga Raden Rangga sudah tertangkap dan dibawa
ke Yogyakarta.

Sultan HB II, atas desakan Patih Danureja II yang berkubu dengan Belanda,
mengirim pasukan ke Kertosono yang dipimpin Pangeran Dipakusuma, salah
seorang cucu sultan. Sementara itu, pasukan Belanda mengejar dari arah timur.
Dalam posisi terjepit, Raden Rangga III akhirnya berhadapan dengan Pangeran
Dipakusuma yang terhitung masih kerabatnya. Rangga meminta Dipakusuma untuk
berduel satu lawan satu, dan bila perlu membunuhnya sebelum pasukan Belanda
datang.

Seperti dituliskan Moelyono Sastronaryatmo dalam Babad Mangkubumi (1981),


Raden Rangga menegaskan bahwa ia lebih baik mati berkalang berkalang tanah
daripada menyerahkan batang lehernya kepada Belanda (hlm. 238).

Dipakusuma sempat bertanya, mengapa Raden Rangga nekat melawan Belanda


sekaligus membuat Sultan HB II terpaksa turun tangan? Dijawab, ia tidak bermaksud
menyusahkan Sultan dan rakyat Jawa. Sebaliknya, Raden Rangga hanya ingin
menumpas siapa saja yang telah menyusahkan rakyat Jawa.

Baca juga: Game of Thrones ala Kraton Jawa dan Yogyakarta

Tanggal 17 Desember 1810 itu, Raden Rangga gugur. Ia menusuk perutnya sendiri
dengan tombak dan kemudian menyerahkannya kepada Pangeran Dipakusuma
sesaat sebelum menghembuskan nafas penghabisan.

Jasad Raden Rangga tiba di Yogyakarta pada 21 Desember 1810. Dengan berat
hati, Sultan HB II memerintahkan agar jenazah menantunya itu digantung di alun-
alun, selayaknya perlakuan terhadap pembangkang. Jasadnya pun dikuburkan di
kompleks pemakaman pemberontak di Banyu Sumurup, dekat Imogiri.

Anda mungkin juga menyukai