Anda di halaman 1dari 55

DESAIN PRIMER DAN AMPLIFIKASI Internal Transcribed Spacer 2 (ITS2)

SEBAGAI DASAR BAGI IDENTIFIKASI MOLEKULER Anopheles sp.

SKRIPSI

Oleh
Miatin Alvin Septianasari
NIM 151810401050

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2019
DESAIN PRIMER DAN AMPLIFIKASI Internal Transcribed Spacer 2 ( ITS2)
SEBAGAI DASAR BAGI IDENTIFIKASI MOLEKULER Anopheles sp.
HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Studi Biologi (S1)
dan mencapai gelar Sarjana Sains

Oleh
Miatin Alvin Septianasari
NIM 151810401050

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2019
PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Munir dan Ibunda Irma Masfufah, atas
seluruh dukungan, motivasi dan doa yang selalu dipanjatkan disetiap
sujudnya;
2. Adik saya Dea Olivia Indah Kurnia yang selalu mendukung, menghibur
dan mendoakan;
3. Guru-guru sejak Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan perguruan
tinggi, atas dukungan dan bimbingannya;
4. Almamater Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Jember.

ii
MOTTO

Apa yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan hari ini adalah apa yang akan
menciptakan masa depan kita. Bagaimana kita tahu kita bisa melakukannya atau
tidak kalau kita tidak pernah mencoba? (Clara NG)*)

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu
sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka (Q.S Ar-Ra’d)**)

*) Ng, clara. 2014. Merry Riana Langkah Sejuta Suluh. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
**) Kementerian Agama Republik Indonesia, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsiran Al-Qur’an. 2009. Mushaf Al-Qur’an dan
Terjemahannya.Bogor: Nur Publishing.

iii
PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Miatin Alvin Septianasari

NIM : 151810401050

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah berjudul “Desain Primer


dan Amplifikasi Internal Transcribed Spacer 2 (ITS2) Sebagai Dasar Bagi
Identifikasi Molekuler Anopheles sp.” adalah benar-benar karya ilmiah sendiri,
kecuali jika dalam pengutipan substansi disebutkan sumbernya dan belum pernah
diajukan pada instasi manapun, serta bukan karya jiplakan. Penelitian ini
merupakan bagian dari proyek penelitian Dr. rer. nat. Kartika Senjarini, S.Si.,
M.Si., Dr. Dra. Rike Oktarianti, M.Si. dan Syubbanul Wathon, S.Si., M.Si. Saya
bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap
ilmiah yang harus dijunjung tinggi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebernarnya, tanpa ada tekanan
dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika
ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar.

Jember, 2 Juli 2019


Yang menyatakan

Miatin Alvin Septianasari


NIM 151810401050

iv
SKRIPSI

DESAIN PRIMER DAN AMPLIFIKASI Internal Transcribed Spacer 2 (ITS2)


SEBAGAI DASAR BAGI IDENTIFIKASI MOLEKULER Anopheles sp.

Oleh

Miatin Alvin Septianasari


NIM 151810401050

Pembimbing

Dosen Pembimbing Utama : Dr. rer. nat. Kartika Senjarini, S.Si. M.Si.

Dosen Pembimbing Anggota : Syubbanul Wathon, S.Si. M.Si.

v
PENGESAHAN

Skripsi berjudul “Desain Primer dan Amplifikasi Internal Transcribed Spacer 2


(ITS2) Sebagai Dasar Bagi Identifikasi Molekuler Anopheles sp.”, karya Miatin
Alvin Septianasari telah diuji dan disahkan pada:

Hari , tanggal :
Tempat : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Jember

Tim Penguji,

Ketua, Anggota I,

Dr. rer. nat. Kartika Senjarini, S.Si., M.Si. Syubbanul Wathon, S.Si., M.Si.
NIP. 197509132000032001 NIP. 760016783

Anggota II, Anggota III,

Dr. Dra. Rike Oktarianti, M.Si. Mukhamad Su’udi, Ph.D.


NIP. 196310261990022001 NIP. 760016788

vi
Mengesahkan
Dekan,

Drs. Sujito, Ph.D.


NIP. 102041987111001

vii
RINGKASAN

Desain Primer dan Amplifikasi Internal Transcribed Spacer 2 (ITS2) Sebagai


Dasar Bagi Identifikasi Molekuler Anopheles sp.; Miatin Alvin Septianasari;
151810401050; 2019; 37 halaman; Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Jember.
Malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan dunia,
khususnya daerah endemik yang tersebar di wilayah tropis. Berdasarkan hal
tersebut diperlukan pengendalian vektor sebagai upaya mengatasi malaria.
Identifikasi spesies menjadi tahap awal dalam upaya pengendalian vektor.
Identifikasi spesies merujuk pada identifikasi morfologi dan identifikasi
molekuler (DNA barcoding). DNA barcoding adalah metode molekuler untuk
identifikasi spesies berdasarkan sekuens DNA. Internal Transcribed Spacer 2
(ITS2) yaitu daerah non coding nuclear ribosomal DNA yang terletak antara gen
5.8S dan gen 28S. Sekuen ITS2 memiliki ukuran panjang sekuen yang relatif
pendek (600-700bp) sehingga mempermudah saat dilakukan amplifikasi, bersifat
konservatif, memiliki variabilitas yang tinggi serta dapat menentukan sibling
species. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa ITS2 aplikatif digunakan
sebagai marka molekuler untuk identifikasi spesies. Namun, dari beberapa primer
ITS2 yang digunakan, masalah yang dihadapi yaitu primer ITS2 yang digunakan
terkadang kurang spesifik dalam mengamplifikasi sekuen DNA dari sampel yang
berbeda. Selain itu primer ITS2 yang telah dipublikasikan bersifat general untuk
serangga, sehingga primer kurang spesifik dalam mengenali sekuen DNA ITS2
pada Anopheles. Oleh karena itu, berdasarkan sekuen DNA yang ada di Local
Database dan Gene Bank Database perlu dilakukan desain primer untuk
mendapatkan sekuen primer DNA pengkode ITS2 Anopheles sp.. Dengan
demikian diharapkan primer tersebut dapat mengamplifikasi sekuen ITS2
Anopheles sp. secara tepat serta amplicon yang dihasilkan spesifik dan konsisten.
Desain primer dilakukan menggunakan software online yang tersedia di
NCBI. Kandidat primer hasil desain primer selanjutnya dipilih berdasarkan ada
tidaknya self complementary, %GC contents, dan range temperature antara primer
forward dan reverse yang tidak jauh serta yang menghasilkan lenght product ITS2

viii
Anopheles yang lebih tinggi. Primer terpilih selanjutnya diberi nama primer sma.
Uji primer untuk identifikasi molekuler Anopheles dilakukan untuk menentukan
spesifisitas primer yang telah didesain, sampel didapatkan dari hasil landing
collection. Identifikasi morfologi Anopheles dilakukan setelah dilakukan landing
collection. Hasil identifikasi morfologi membuktikan bahwa terdapat dua
subspesies berdasarkan karakter morfologi yaitu An. vagus vagus dan An. vagus
limosus. Sampel yang diperoleh selanjutnya diisolasi DNA nya dilanjutkan
amplifikasi DNA dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction)
menggunakan primer SMA kemudian dilakukan purifikasi sebelum dilakukan
sekuensing menggunakan jasa 1st Base Singapura.
Berdasarkan hasil uji primer untuk identifikasi molekuler yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa sekuen primer ITS2 yang didesain berhasil
mengamplifikasi sekuen DNA pengkode ITS2 pada An. vagus vagus dan An.
vagus limosus. Rekonstruksi pohon filogeni metode Neighbor Joining
menunjukkan bahwa An. vagus vagus dan An. vagus limosus berkerabat dekat
dengan nilai bootstrap 100% serta berkerabat dekat dengan dengan An. vagus
(FJ654649.1). Hasil analisis sekuen DNA pengkode ITS2 dengan primer SMA
juga menunjukkan bahwa antara An. vagus vagus dan An. vagus limosus identik.

ix
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Desain Primer dan
Amplifikasi Internal Transcribed Spacer 2 (ITS2) Sebagai Dasar Bagi Identifikasi
Molekuler Anopheles sp”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan do’a dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. rer. nat. Kartika Senjarini, S.Si., M.Si. selaku Dosen Pembimbing
Utama dan Bapak Syubbanul Wathon, S.Si., M.Si. selaku Dosen Pembimbing
Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran dan perhatian guna
memberikan bimbingan demi terselesainya penulisan skripsi ini;
2. Ibu Dr. Dra. Rike Oktarianti, M.Si. dan Bapak Mukhamad Su’udi, Ph.D.
selaku Dosen Penguji I dan II yang banyak memberikan saran demi
kesempurnaan skripsi ini;
3. Bapak Rendy Setiawan, S.Si., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah memberikan bimbingan akademik serta do’a selama menempuh
masa kuliah;
4. Seluruh Dosen Jurusan Biologi atas nasihat, bimbingan, dan pengetahuan
yang telah dibagikan selama penulis menjadi mahasiswa;
5. Dina Fitriyah, S.Si, M.Si. selaku Teknisi Laboratorium Bioteknologi Jurusan
Biologi yang telah meluangkan waktunya untuk membantu kelancaran
penulis dalam melakukan penelitian;
6. Ayahanda Munir, Ibunda Irma Masfufah dan adik tercinta Dea Olivia Indah
Kurnia atas dukungan, motivasi dan doa tulus yang selalu mengiringi penulis;
7. Sahabat tercinta Dwi Kartika Lugas Tari yang senantiasa memberi semangat,
dukungan, hiburan dan doa kepada penulis selama penyusunan skripsi;
8. Rekan kerja seperjuangan Alfin Putri Nahdiyatin, Dwi Alfiana, Elisa Erni,
Deni Rizky Damara dan Rochmatul Nuryu Khasanah, terima kasih atas kerja
samanya dan dukungannya;

x
9. Kakak tingkat anggota Kelompok Riset Vector Biology, mbak Dewi, mbak
Laily, mbak Aria dan mbak Ika yang membantu dalam proses penelitian;
10. Teman-teman satu angkatan Biologi 2015 yang tergabung dalam
“BIOGENES15” atas motivasi, dukungan, bantuan dan do’a;
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
memberikan bantuan, semangat, dan dorongan agar skripsi ini segera selesai.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari berbagai pihak demi
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat untuk kebaikan.

Jember, 13 Juni 2019

Penulis

xi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
PERSEMBAHAN..................................................................................................ii
MOTTO.................................................................................................................iii
PERNYATAAN.....................................................................................................iv
SKRIPSI..................................................................................................................v
PENGESAHAN.....................................................................................................vi
RINGKASAN.......................................................................................................vii
PRAKATA.............................................................................................................ix
DAFTAR ISI..........................................................................................................xi
DAFTAR TABEL................................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................xv
BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................3
1.4 Manfaat......................................................................................................3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4
2.1 Sistematika dan Diversitas Anopheles sp..................................................4
2.2 Pengendalian Vektor Malaria....................................................................5
2.3 Identifikasi Spesies Anopheles sp..............................................................6
2.4 Desain Primer............................................................................................9
BAB 3. METODE PENELITIAN.......................................................................12
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian..................................................................12
3.2 Alat dan Bahan........................................................................................12
3.2.1 Alat...................................................................................................12
3.2.2 Bahan...............................................................................................12
3.3 Prosedur Penelitian..................................................................................13
3.3.1 Landing Collection Anopheles sp....................................................13
3.3.2 Desain Primer...................................................................................13
3.3.3 Isolasi DNA Genom Anopheles sp...................................................14
3.3.4 Elektroforesis DNA..........................................................................15
3.3.5 Amplifikasi Sekuen ITS2.................................................................15
3.3.6 Purifikasi Hasil PCR........................................................................15
3.3.7 Sekuensing dan Analisis Sekuens Primer Baru................................16
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................17
4.1 Desain Primer Internal Transcribed Spacer 2 Anopheles sp..................17
4.2 Identifikasi Morfologi An. vagus vagus dan An. vagus limosus............19
4.3 Identifikasi Molekuler An. vagus vagus dan An. vagus limosus
Berdasarkan Marka Molekuler ITS2..................................................................21
BAB 5. PENUTUP................................................................................................29

xii
5.1 Kesimpulan..............................................................................................29
5.2 Saran........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30
LAMPIRAN..........................................................................................................36
A. Komposisi bahan dalam satu reaksi PCR................................................36
B. Komposisi Larutan..................................................................................36
C. Sekuen Utuh Hasil Amplifikasi ITS2......................................................37

DAFTAR TABEL

Halaman
2.1 Primer yang digunakan digunakan oleh peneliti untuk
mengamplifikasi sekuen DNA Anopheles sp. ................................ 11
4.1 Komposisi Anopheles hasil landing collection di Bangsring,
Banyuwangi...................................................................................... 20
4.2 Hasil Blast online sekuen ITS2 An. vagus vagus......................... 24

xiii
4.3 Hasil Blast online sekuen ITS2 An. vagus vagus.......................... 25

xiv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
2.1 Morfologi Anopheles sp...................................................................... 8

4.1 Hasil desain primer menggunakan tool dari NCBI.......................... 17


4.2 Perbandingan karakter morfologi prehumeral An. vagus vagus 20
dan An. vagus limosus.................................................................
4.3 Perbandingan karakter morfologi proboscis palpus An. vagus 21
vagus dan An. vagus limosus..................................................
4.4 Hasil isolasi genom An. vagus vagus dan An. vagus limosus...... 22
4.5 Hasil amplifikasi sekuen ITS2 genom An. vagus vagus dan An. vagus
limosus..................................................................... 23

4.6 Hasil purifikasi produk PCR...................................................... 24


4.7 Pensejajaran An. vagus vagus, An. vagus limosus dengan An.. vagus
(FJ654649.1)....................................................................................... 26
........
4.8 Pensejajaran An. vagus vagus dengan An. vagus 27
limosus..................
4.9 Konstruksi pohon filogeni An. vagus vagus dan An. vagus limosus 28
metode NJ..........................................................................

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

A. Komposisi bahan dalam satu reaksi PCR ......................................... 36

B. Komposisi larutan ............................................................................. 36

C. Sekuen Utuh Hasil Amplifikasi ITS2 .............................................. 37

xvi
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Malaria adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium (P.) yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles . Terdapat 5 jenis
Plasmodium yang diketahui dapat menyebabkan malaria yaitu P. falciparum, P.
ovale, P. vivax, P. malariae dan P. knowlesi (Autino et al., 2012). Vektor yang
mentransmisikan Plasmodium ke tubuh inang yaitu nyamuk Anopheles betina
(Aly et al., 2009). Sampai saat ini kasus malaria menjadi masalah kesehatan
dunia, khususnya daerah endemik yang tersebar di wilayah tropis. Data World
Health Organization menyebutkan bahwa kasus malaria meningkat dari tahun
2016 ke tahun 2017 yang awalnya 217 juta kasus menjadi 219 juta kasus,
khususnya di wilayah Afrika. Wilayah Afrika masih menjadi daerah dengan
endemisitas malaria tertinggi dibandingkan negara lain. Wilayah Afrika tersebut
diantaranya Nigeria, Kongo, Uganda dan Mozambik. Data Kementerian
Kesehatan di Indonesia menunjukkan hal yang berbeda. Kasus malaria di
Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015.
Namun, bukan berarti Indonesia bebas dari malaria. Indonesia masih tetap
menjadi daerah endemik malaria salah satunya di Kabupaten Banyuwangi,
tepatnya di Desa Bangsring Kecamatan Wongsorejo. Berdasarkan hal tersebut
diperlukan pengendalian vektor sebagai upaya mengatasi malaria (Dagefa et al.,
2017).
Pengendalian vektor malaria yaitu suatu upaya mengendalikan vektor
penyebab malaria. Pengendalian vektor ini fokus untuk meminimalkan kontak
antara vektor dengan manusia sebagai inang. Selain itu juga untuk menurunkan
populasi vektor malaria di suatu daerah perindukan vektor dengan menekan
populasi larva atau nyamuk dewasa yang dapat dilakukan secara biologi dan
kimia. Upaya pengendalian vektor secara biologi dapat dilakukan dengan
memanfaatkan agen biologi seperti bakteri dan ikan yang dapat menekan populasi
larva Anopheles. Sedangkan secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan
insektisida tertentu. Namun penggunaan insektisida dalam mengendalikan vektor
2

dapat menimbulkan masalah resistensi. Pemahaman mengenai informasi dasar


bionomik dan kapasitas vektorial Anopheles yang terkait spesies menjadi solusi
alternatif dalam mengatasi masalah resistensi. Sehingga identifikasi spesies perlu
dilakukan dalam upaya pengendalian vektor (Musfirah, 2017).
Identifikasi spesies menjadi dasar dalam upaya pengendalian vektor. Hal
ini dikarenakan dengan melakukan identifikasi spesies nantinya dapat diketahui
kemampuan dari masing-masing spesies sebagai vektor distribusi malaria (Erlank
et al., 2018). Identifikasi spesies merujuk pada identifikasi morfologi dan
identifikasi molekuler. Identifikasi morfologi menjadi dasar dalam
mengidentifikasi spesies berdasarkan perbedaan morfologi tubuhnya. Identifikasi
morfologi dilakukan dengan melakukan pengamatan morfologi berdasarkan kunci
determinasi. Namun identifikasi morfologi tidak cukup pada penentuan spesies
saja. Hal ini dikarenakan adanya sibling species yaitu spesies yang memiliki
kemiripan morfologi dan mengalami spesiasi (isolasi reproduksi) (Sukowati et al.,
2005). Oleh karena itu, saat ini identifikasi spesies tidak hanya berbasis
morfologi, tapi juga melibatkan marka molekuler yang dikenal dengan teknik
DNA barcoding (Chan et al., 2014).
DNA barcoding adalah metode molekuler untuk identifikasi spesies
berdasarkan sekuen DNA. Metode ini didasarkan pada konsep bahwa setiap
spesies memiliki identitas genetik yang unik (Chan et al., 2014). Sekuen DNA
yang umum digunakan untuk identifikasi nyamuk adalah Internal Transcribed
Spacer 2 (ITS2) (Walton et al., 2007), Cytochrome C Oxidase Subunit I (CO1),
Cytochrome C Oxidase Subunit II (CO1I) (Dusfour et al., 2004) dan Third
Domain (D3) dari gen 28S (Alam et al., 2006). Identifikasi organisme berbasis
molekuler tidak hanya dapat lebih spesifik dalam menentukan spesies tetapi juga
dapat memprediksikan tingkat kekerabatan antar spesies berdasarkan similaritas
sekuen DNA (Norris and Norris 2015).
ITS2 yaitu daerah non coding nuclear ribosomal DNA yang terletak
antara gen 5.8S dengan gen 28S. Penggunaan ITS2 sebagai marka atau penanda
dalam identifikasi secara molekuler banyak digunakan untuk membedakan spesies
nyamuk seperti Aedes, Anopheles dan Culex (Weeraratne et al., 2018). Hal ini
3

dikarenakan ITS2 memiliki ukuran panjang sekuen yang relatif pendek (600-
700bp) sehingga mempermudah saat dilakukan amplifikasi, bersifat konservatif
intraspesies, memiliki variabilitas yang tinggi interspesies serta dapat menentukan
sibling species (Fang et al., 2017). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui
bahwa ITS2 aplikatif digunakan sebagai marka molekuler untuk identifikasi
spesies. Namun, dari beberapa primer ITS2 yang ada, masalah yang harus
dihadapi yaitu primer ITS2 yang ada terkadang kurang spesifik dalam
mengamplifikasi sekuen DNA dari sampel yang berbeda lokasi pengambilan
sampelnya. Selain itu primer ITS2 bersifat general untuk serangga, sehingga
primer kurang spesifik dalam mengenali sekuen DNA ITS2 pada Anopheles. Oleh
karena itu, berdasarkan sekuen DNA yang ada di Local Database dan Gene Bank
Database perlu dilakukan desain primer untuk mendapatkan sekuen primer ITS2
Anopheles sp.. Sehingga diharapkan primer tersebut dapat mengamplifikasi
sekuen ITS2 Anopheles sp. secara tepat serta amplicon yang dihasilkan spesifik
dan konsisten.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan dari penelitian ini
yaitu bagaimana mendapatkan sekuen primer spesifik ITS2 sebagai dasar bagi
identifikasi molekuler Anopheles sp.?

1.3 Tujuan
Mendapatkan sekuen primer spesifik untuk mengamplifikasi ITS2 sebagai
dasar bagi identifikasi molekuler Anopheles sp.

1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sekuen primer
spesifik yang dapat digunakan untuk mengamplifikasi ITS2 sebagai dasar bagi
identifikasi molekuler Anopheles sp. untuk pengendalian vektor malaria.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika dan Diversitas Anopheles sp.


Anopheles sp. merupakan serangga yang masuk ke dalam ordo Diptera,
family Culicidae (Gunathilaka and Karunaraj, 2015). Tercatat lebih dari 460
spesies Anopheles yang ditemukan di seluruh dunia, namun hanya sekitar 100
spesies yang dilaporkan sebagai vektor malaria (Kamareddine, 2012). Terdapat 29
spesies Anopheles di Indonesia, namun hanya 20 yang berpotensi sebagai vektor
malaria (Elyazar et al., 2013). Berikut ini sistematika dari Anopheles sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Diptera
Sub Order : Nematocera
Family : Culicidae (mosquitoes)
Sub family : Anophelinae
Genus : Anopheles (Reid, 1968)

Spesies Anopheles tidak semuanya berperan sebagai vektor malaria.


Spesies Anopheles dinyatakan sebagai vektor malaria apabila diketahui sering
kontak dengan manusia, dominasinya tinggi, umurnya panjang serta telah
dikonfirmasi di tempat lain sebagai vektor malaria (Kazwaini and Mading, 2014).
Ada 3 tipe Anopheles sp. berdasarkan preferensi dalam aktivitas blood-feeding,
yaitu Anopheles yang bersifat zoofilik, antropofilik dan zoo-antropofilik (Norris
and Norris, 2015). Anopheles yang bersifat antropofilik berpotensi sebagai vektor
primer karena kontak langsung dengan manusia. Anopheles yang bersifat zoofilik
berpotensi sebagai vektor sekunder malaria. Anopheles yang bersifat zoo-
antropofilik berpotensi sebagai vektor primer malaria (Sukowati et al., 2005).
Aktivitas blood feeding suatu spesies di wilayah berbeda dapat menunjukkan
karakteristik yang berbeda (Norris and Norris, 2015) sehingga kapasitas vektorial
spesies di suatu wilayah juga dapat berbeda dengan wilayah lain.
5

Spesies yang ditemukan di Bangsring, Banyuwangi adalah An. sundaicus,


An. vagus, An. subpictus, An. flavirostris, An. barbirotris, An. annularis, dan An.
indefinitus (Shinta et al., 2003). Status An. vagus dinyatakan sebagai vektor
malaria apabila ditemukan sporozoit atau protein sirkum sporozoit dalam kelenjar
ludahnya (Maksud, 2016). Penelitian di Kokap, Kabupaten Kulon Progo
menemukan An. vagus positif sirkum sporozoit P. falciparum (Wigati et al.,
2010).

2.2 Pengendalian Vektor Malaria


Data WHO 2018 menyebutkan pada November 2018 tercatat bahwa kasus
malaria meningkat dari tahun 2016 ke tahun 2017 yang awalnya 217 juta kasus
menjadi 219 juta kasus. Hal ini tidak jauh berbeda pada tahun sebelumnya yaitu
dari 211 juta kasus pada tahun 2015 meningkat menjadi 216 juta kasus pada tahun
2016 (WHO, 2018). Sehingga kasus malaria menjadi perhatian dunia dan
sejumlah upaya pengendalian vektor dilakukan untuk mengatasi malaria (Dagefa
et al., 2017).
Pengendalian vektor malaria menjadi salah satu fokus dalam upaya
pengendalian malaria. Pengendalian vektor merupakan upaya meminimalisir
kontak vektor-manusia dan menekan populasi vektor malaria di suatu daerah
dengan menekan populasi larva ataupun nyamuk dewasa yang dapat dilakukan
secara biologi dan kimia. Secara biologi larva Anopheles dapat ditekan
populasinya dengan membiakkan microbial insectisides seperti Bacillus
thuringiensis yang mempunyai senyawa toksik sehingga menyebabkan kematian
larva. Selain itu agen biologis lain yang dapat digunakan untuk menekan populasi
larva Anopheles adalah membiakkan larvivorous fish. Secara kimiawi
pemberantasan larva Anopheles dilakukan dengan pemberian larvasida di tempat
perindukan Anopheles. Adapun Anopheles dewasa dapat ditekan populasinya
dengan Indor Residual Spraying (IRS) dan Insecticide Treated Mosquitoe nets
(ITNs). Namun, pengendalian vektor malaria menggunakan insektisida dapat
menyebabkan terjadinya resistensi vektor malaria terhadap insektisida tertentu,
sehingga memahami masalah resistensi insektisida sangat penting dalam
6

pengendalian vektor. Solusi alternatif dalam mengatasi masalah resistensi


insektisida dapat dilakukan dengan memahami terlebih dahulu tentang informasi
dasar bionomik dan vektor yang terkait spesies (Musfirah, 2017). Sehingga
identifikasi spesies perlu dilakukan dalam upaya pengendalian vektor. Identifikasi
spesies Anopheles penting dalam proses penentuan strategi pengendalian vektor
malaria. Metode identifikasi dapat dilakukan berdasarkan morfologi dan
molekuler. Hasil identifikasi spesies Anopheles yang dilakukan secara tepat dan
akurat dapat dijadikan sebagai dasar penentuan strategi pengendalian vektor
malaria di suatu daerah (Weeraratne et.al., 2017).

2.3 Identifikasi Spesies Anopheles sp.


Identifikasi spesies Anopheles sp. menjadi tahap awal sebelum dilakukan
upaya penanggulangan malaria. Hal ini dikarenakan dengan melakukan
identifikasi spesies nantinya dapat diketahui kemampuan dari masing-masing
spesies dalam menjadi vektor distribusi malaria (Erlank et al., 2018). Identifikasi
spesies ini merujuk pada identifikasi secara morfologi serta identifikasi secara
molekuler. Identifikasi morfologi Anopheles dilakukan sejak tahun 1898 oleh
ilmuwan Inggris Theobald (Dharmawan, 1993). Identifikasi morfologi dilakukan
dengan melakukan pengamatan morfologi berdasarkan kunci determinasi.
Sebelum dilakukan proses identifikasi pemahaman morfologi dari nyamuk
Anopheles sp. sangat penting. Hal ini dilakukan dengan tujuan mempermudah saat
identifikasi berlangsung. Proses identifikasi di laboratorium biasanya
menggunakan mikroskop stereo dan buku kunci identifikasi Anopheles sp..
Tubuh Anopheles sp. terdiri atas 3 bagian utama yaitu kepala, toraks dan
abdomen. Bagian kepala terdapat mata majemuk yang besar, sepasang antena dan
mulut. Antena ini memiliki rambut-rambut yang nantinya menjadi pembeda antara
nyamuk jantan dan nyamuk betina. Nyamuk jantan memiliki rambut pada antena
yang tebal (plumose) apabila dibandingkan dengan nyamuk betina yang memiliki
rambut pada antena yang jarang (pilose) (Gandahusada and Harry, 2006). Mulut
terdiri atas proboscis yang berfungsi untuk menusuk dan menghisap darah saat
blood feed.
7

Toraks terdiri atas 3 bagian yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks,


yang masing-masing memiliki alat lokomotor berupa sepasang kaki. Mesotoraks
adalah bagian yang paling besar dan memiliki otot-otot yang kuat karena terdapat
sepasang sayap. Pada bagian metatoraks bagian post dorsal terdapat scutellum
yang menjadi penentu identifikasi (Anopheles sp. memiliki 3 scutellum)
(Gandahusada and Harry, 2006).
Bagian Abdomen terdiri atas 8 segmen yang tampak jelas dan segmen ke-9
dan 10 bentuknya berdiferensiasi menjadi alat kelamin. Masing-masing segmen
terdiri atas lempeng atas atau dorsal yang disebut tergit dan lempeng bawah atau
ventral disebut strenit. Tergit dan sternit masing-masing segmen berhubungan
melalui membran pleura dan segmen depan berhubungan melalui membran
pleura depan dihubungkan dengan segmen belakangnya oleh membrane
intersegment (selaput antar segmen). Pada bagian kelamin banyak dijadikan
perbandingan untuk identifikasi seperti contoh spermatheca pada nyamuk betina
dapat membedakan antara sibling spesies (Gandahusada and Harry, 2006).
Gambar morfologi Anopheles dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Saat ini identifikasi organisme tidak terbatas pada aspek morfologi saja,
tetapi telah berkembang menuju identifikasi secara molekuler khususnya untuk
identifikasi vektor. Identifikasi secara morfologi mempunyai beberapa kelemahan
seperti adanya plastisitas fenotip (kemampuan dari satu genotip menghasilkan
beberapa jenis fenotip karena adanya pengaruh dari lingkungan), keragaman
genetik, adanya sibling species yang sulit untuk dibedakan serta kunci determinasi
morfologi yang terbatas pada tahapan perkembangan tertentu (life stage) dari
suatu organisme (Jarman and Elliott, 2000).
Identifikasi secara molekuler dilakukan dengan metode DNA barcode
yaitu mengidentifikasi organisme berdasarkan sekuen pendek DNA (Waugh,
2007). Sekuen DNA yang dapat dijadikan barkode harus bersifat universal,
mempunyai variasi tinggi antar-spesies dan terkonservasi intra-spesies, mudah
diamplifikasi (Hebert et al., 2003) serta berukuran pendek berkisar antara 400-800
bp (Vijayan and Tsou, 2010). Beberapa sekuen yang digunakan untuk identifikasi
molekuler nyamuk adalah Internal Transcribed Spacer 2 (ITS 2) (Walton, et.al.,
8

2007), Cytochrome C Oxidase Subunit I (CO1), Cytochore B (Cyt-b) (Dusfour,


et.al., 2004) dan Domain-3 (D3)(Alam, et.al., 2006).

Gambar 2.1: Morfologi Anopheles sp. (Centers for Desease Control and Prevention : CDC)

ITS2 merupakan nuclear DNA (nrDNA) yang terletak di daerah non


coding region antara gen 5.8S pengkode sub-unit kecil ribosomal RNA (rRNA)
dengan gen 28S pengkode sub-unit besar rRNA (Norris & Norris, 2015). Hasil
penelitian Yao et.al. (2010) menunjukkan ITS2 mampu mengidentifikasi 12.221
sampel hewan hingga 91,9%. Dengan demikian ITS2 potensial digunakan sebagai
marker untuk identifikasi hewan. Sekuen ITS2 juga telah banyak digunakan dalam
proses identifikasi nyamuk, termasuk Anopheles (Gómez, et.al., 2015). ITS2
banyak digunakan dalam proses identifikasi molekuler Anopheles karena sekuen
pendek yang memudahkan dalam proses amplifikasi menggunakan PCR, dapat
menunjukkan tingkat kekerabatan dekat antar spesies (Norris and Norris, 2015),
mempunyai tingkat variabilitas tinggi interspesies dan tekonservasi intraspesies,
serta dapat menentukan sibling species (Fang et.al., 2017).
9

2.4 Desain Primer


Bioinformatika merupakan salah satu disiplin ilmu yang
mengkombinasikan biologi dan komputasi (Patel and Prakash, 2013). Primer
adalah sekuen oligonukleotida pendek yang berfungsi sebagai start point dalam
sintesis DNA menggunakan teknik PCR dan DNA sekuensing. Berdasarkan fungsi
tersebut dapat diketahui bahwa primer berperan dalam menentukan keberhasilan
analisis teknik PCR. Sehingga pemilihan primer perlu diperhatikan sebelum
dilakukan PCR dan DNA sekuensing (Patel and Prakash, 2013).
Hal- hal yang harus diketahui dalam desain primer yaitu spesifisitas,
stabilitas dan kompatibilitas (Patel and Prakash, 2013). Spesifisitas primer
ditentukan oleh keunikan primer, panjang primer dan GC content. Primer yang
baik harus bersifat unik, artinya rangkaian basa nukleotida dari primer tidak dapat
ditemukan di lokasi lain dari cetakan DNA. Uji keunikan dari primer dapat
dilakukan melalui BLAST NCBI untuk mengetahui primer tersebut tidak
menempel pada DNA organisme lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari cross
homology, yaitu suatu kondisi primer menempel pada DNA non target (Kim et al.,
2016). Panjang primer menjadi salah satu parameter yang penting dalam
kesuksesan reaksi PCR. Panjang primer biasanya terdiri atas 18-30 nukleotida,
primer yang terlalu pendek menyebabkan proses amplifikasi tidak spesifik pada
DNA target, sehingga spesifisitas dari primer rendah. Sedangkan primer yang
terlalu panjang menyebabkan efisiensi penempelan primer pada DNA template
menurun, selain itu juga akan mengganggu temperature melting serta memicu
terbentuknya struktur sekunder (Wu et al., 1991). GC content dalam primer harus
diantara 45-60%. Hal ini nantinya akan berkaitan dengan melting temperature dan
annealing temperature pada proses PCR. GC content yang tinggi menyebabkan
melting temperature dan annealing temperature yang dibutuhkan juga tinggi yang
nantinya berakibat pada kegagalan proses amplifikasi DNA. Sedangkan apabila
GC content yang rendah menyebabkan melting temperature dan annealing
temperature yang dibutuhkan juga rendah yang nantinya berakibat pada primer
yang menenempel pada template bersifat acak (Abd-Elsalam, 2003).
10

Stabilitas primer ditentukan oleh melting temperature, annealing


temperature dan GC clamp. Melting temperature merupakan suhu yang
dibutuhkan oleh primer (forward dan reverse) untuk disosiasi. Melting
temperature optimum primer biasanya pada rentang 52-58ºC dan melting
temperature yang digunakan untuk primer harus sama untuk primer forward dan
reverse (Patel and Prakash, 2013). Annealing temperature merupakan suhu yang
dibutuhkan primer untuk menempel pada DNA template. Suhu yang tinggi dapat
menghasilkan produk PCR yang kurang baik sedangkan suhu yang terlalu rendah
dapat menyebabkan primer menempel pada cetakan DNA secara acak dan tidak
spesifik (Patel and Prakash, 2013). GC clamp yaitu adanya basa G atau C pada
ujung 3 yang diyakini dapat menstabilkan hibridisasi. Namun hal yang harus
diperhatikan yaitu jumlah basa G atau C tidak boleh lebih dari 3 pada 5 basa
terakhir ujung 3, hal tersebut menyebabkan ujung 3 nantinya akan menbentuk
struktur dimer, sehingga ujung 3 nantinya tidak berikatan dengan DNA template
(Abd-Elsalam, 2003).
Kompatibilitas primer ditentukan oleh ada tidaknya struktur sekunder dari
primer. Primer yang baik tidak mengandung struktur sekunder seperti hairpin atau
dimer. Hairpin yaitu mRNA tidak berpasangan yang terbentuk ketika mRNA
berpasangan dengan basa pasangannya sendiri, hal yang perlu diketahui yaitu
untuk mendapatkan primer tanpa struktur hairpin itu sulit sehingga diperlukan
▲G untuk memecah struktur hairpin. Sedangkan struktur dimer yaitu struktur
yang terbentuk apabila primer berikatan dengan primer lainnya atau primer
pasangannya. Rekomendasi lain yang juga harus diperhatikan untuk mendapatkan
primer yang baik yaitu self complementary dan pair complementary serta length
product. Self complementary menyebabkan struktur hairpin stabil dengan 4 basa
GC pada ujung maupun di tengah primer. Pair complementary pada ujung 3
menyebabkan terbentunya struktur dimer. Length product yaitu jarak ujung 5 dari
kedua primer (Patel and Prakash, 2013). Berikut Tabel 2.1 beberapa pasang
primer ITS2 yang digunakan oleh peneliti untuk mengamplifikasi sekuen DNA
Anopheles sp.
11

Tabel 2.1 Primer yang digunakan digunakan oleh peneliti untuk mengamplifikasi sekuen DNA Anopheles sp.

Kode
Sekuen Kondisi Mesin Thermocycler Keterangan Referensi
Forward/Reverse

Predenaturasi: 940C 3’; Denaturasi: 940C digunakan untuk identifikasi


5’TGTGAACTGGCAGGACACAT3’ ITS 2A 30’’; Annealing: 550C 30’’; Extension: molekuler Anopheles nili yang
Kengne et al., 2003
720C 1’; Final Extension: 720C 10’; merupakan vektor malaria yang
5’TATGCTTAAATTCAGGGGGT3’ ITS 2B Siklus: 35 siklus ada di Afrika

Predenaturasi: 940C 10’; Denaturasi: digunakan untuk identifikasi


5’TGTGAACTGCAGGACACAT3’ ITS 2A 940C 1’; Annealing:500C 1’; molekuler Anopheles
Extension:72 1’; Final Extension: -; anthrophophagus dan Gao et al., 2004
Siklus: 35 siklus Anopheles sinensis di Cina
5’TATGCTTAAATTCAGGGGGT3’ ITS 2B
Tengah

Predenaturasi: 950C 2’; Denaturasi: 950C digunakan untuk identifikasi


5'TGTGAACTGCAGGACACATGAA3' ITS 2F 30’’; Annealing: 56-640C 30’’; molekuler Anopheles albitarsis Li and Wilkerson,
Extension: 720C 1’; Final Extension: 2005
5'ATGCTTAAATTTAGGGGGTAGTC3' ITS 2R 720C 10’; Siklus: 35 siklus

Predenaturasi: 940C 5’; Denaturasi: 940C digunakan untuk identifikasi


5’TGTGAACTGGCAGGACACATG3’ 5.8F 1’; Annealing: 610C 30’’ Extension: 720C molekuler Anopheles maculatus
Walton et al., 2007;
30’’; Final Extension: 720C 5’; Siklus: 35 yang merupakan vektor malaria
5’TATGCTTAAATTCAGGGGGTA3’ 28R siklus yang ada di Thailand

Predenaturasi: 950C 5’; Denaturasi: 950C digunakan untuk identifikasi


5’TGTGAACTGGCAGGACACAT3’ 46JB 30’’; Annealing: 50-600C 1’; Extension: molekuler Anopheles subpictus
Paul et al., 2013
720C 2-5’; Final Extension: 72 0C 10’; yang merupakan vektor malaria
5’TATGCTTAAATTCAGGGGGT3’ 47JB Siklus: 40 siklus yang ada di Bengal Barat

Predenaturasi: 940C 5’; Denaturasi: digunakan untuk identifikasi


5’ TGTGAACTGCAGGACA3’ ITS 2A 940C 1’; Annealing: 510C 1’; Extension: molekuler Anopheles sp. yang
Sum et al., 2014
720C 2’; Final Extension: 720C 10’; merupakan vektor malaria yang
5’ TATGCTTAAATTCAGGGGGT3’ ITS 2B Siklus: 35 siklus ada di Peninsular Malaysia
12

Predenaturasi: 940C 5’; Denaturasi: 940C digunakan untuk identifikasi


5’TGTGAACTGGCAGGACACAT3’ ITS 2A 1’; Annealing: 520C 1’; Extension: 720C molekuler Anopheles sp. yang
Lobo et al., 2015
2’; Final Extension: 720C 5’; Siklus: 30 merupakan vektor malaria yang
5’TATGCTTAAATTCAGGGGGT3’ ITS 2B siklus ada di Zambia Selatan
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2018 sampai Maret 2019
di Dusun Paras Putih Desa Bangsring Banyuwangi dan Laboratorium
Bioteknologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jember.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu aspirator, paper cup,
mikroskop stereo (Olympus, Jepang), kamera mikroskop (Optilab, Indonesia),
mesin elektroforesis DNA, mesin PCR (Biometra Thermocycler T-Gradient
ThermoBlock, USA), UV-Transilluminator (Bio-Rad, USA), desikator, freezer
-20ºC, micro centrifuge (Hettich Mikro 200R, UK), pH meter (CyberScan pH 510,
USA), oven, neraca analitik dan digital, magnetic stirer, vortek, beaker glass,
gelas ukur, PCR microtube, micropipet volume 10-1000 µL (Socorex, Swiss), tip
volume 10-1000 µL, tube 1.5 ml.

3.2.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan yaitu Anopheles sp., homogenizing buffer,
SDS 20%, 20 mg/ml Proteinase-K (Thermo Fisher, USA), NaCl 6 M, isopropanol
(Sigma, Germany), ethanol 70%, ddH2O steril, agarose (Nacalai, USA) , Etidium
Bromide (Bio-Rad, USA), 6x Loading dye (iNtRon, Korea), Tris-Acetic-EDTA
(TAE 1x), DNA ladder 10000 base pair (GeneOn, Germany), 2 x PCR Master
mix solution (i-Taq) (iNtRon, Korea), primer ITS2 (IDT, USA), Kit purifikasi
DNA Wizard SV Gel and PCR Clean-Up System (Promega, USA).

3.3 Prosedur Penelitian


3.3.1 Landing Collection Anopheles sp.
Landing collection dilakukan untuk mengumpulkan sampel Anopheles sp.
Landing collection dilakukan di daerah pesisir pantai di Desa Bangsring,
14

Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi. Pengambilan sampel nyamuk


dilakukan dengan menggunakan aspirator pada jam aktif nyamuk yaitu mulai dari
pukul 18.00 s.d 04.00 WIB. Selanjutnya dilakukan identifikasi nyamuk
menggunakan petunjuk yaitu Anopheline Mosquitoes of Malaya and Borneo
(Reid, 1968).

3.3.2 Desain Primer


Desain primer dilakukan dengan menggunakan software online. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam mendesain primer yaitu panjang primer, melting
temperatur, G-C content, sekuen pada ujung 3, spesifitas, degenerasi primer,
sekuen komplemen dari primer, struktur dimer dan lain-lain. Keseluruhan tersebut
nantinya berpengaruh dalam keberhasilan amplifikasi. Desain primer ini
dilakukan menggunakan aplikasi yang tersedia di NCBI.
Tahapan desain primer diawali dari melakukan editing lokal sekuen
spesies Anopheles (data Laboratorium Bioteknologi, Biologi FMIPA). Terdapat
beberapa spesies Anopheles yang teridentifikasi secara morfologi diantaranya, An.
vagus, An. subpictus, An. indefinitus dan An. sundaicus. Selanjutnya dilakukan
pensejajaran lokal sekuen dengan sekuen yang ada di gene bank menggunakan
BLAST (Basic Local Alignment Search Tool), sehingga dapat diketahui kemiripan
sekuen yang diinput dengan sekuen yang tersedia di gene bank. Hasil BLAST dari
4 sekuen spesies Anopheles diketahui hanya An. vagus dan An. subpictus yang
teridentifikasi secara morfologi dan molekuler sama. Sedangkan An. indefinitus
dan An. sundaicus teridentifikasi sebagai An. vagus. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan adanya kesalahan penanganan sampel Anopheles yang kurang tepat
sehingga bagian morfologi yang menjadi indikator untuk membedakan spesies
tersebut hilang.
Hasil BLAST dari An. vagus dan An. subpictus selanjutnya dipilih masing-
masing 7 spesies dengan query cover tertinggi. Masing-masing spesies tersebut
selanjutnya dicari sekuen utuhnya sebelum dilakukan desain primer. Masing-
masing spesies yang sudah diketahui sekuen utuhnya dilakukan desain primer
mengunakan tool desain primer yang tersedia di NCBI dengan cara menginput
satu per satu sekuen utuhnya untuk mendapatkan kandidat primer.
15

Masing-masing sekuen setelah diinput akan didapatkan kandidat primer


dari masing-masing spesies, selanjutnya dilakukan pemilihan primer berdasarkan
tidak adanya self 3’complementarity yang menyebabkan struktur dimer, tidak
adanya hairpin, GC content 40-60%, range temperature melting antara primer
forward dan reverse primer tidak jauh dan menghindari basa “T” pada ujung 3
yang dapat menyebabkan mismatch sehingga terbentuk hairpin. Tahap akhir yaitu
melakukan BLAST kandidat primer terpilih untuk memastikan spesifisitas primer
tersebut dalam mengenali sekuen Anopheles, setelah memastikan spesifisitas
primer melakukan pemesanan primer ke PT. Genetika Science. Primer terpilih
selanjutnya diberi nama Primer sma. Berikut di bawah ini merupakan urutan
sekuen primer sma yang sudah didesain

GC Tm
Nama Sekuen
content (ºC)

Fwd 5’AGG ACA CAT GAA CAC CGA CA 3’ 50 % 56,4


Rev 5’ TTG AGG CCT ACT GGA ATG TGG 3’ 52,4 % 56,9

3.3.3 Isolasi DNA Genom Anopheles sp.


DNA genom diekstraksi dari sepuluh nyamuk betina Anopheles
menggunakan metode salting-out extraction. Sampel yang akan diekstraksi
sebelumnya dimasukkan dalam tube 1.5 ml dan disimpan dalam -20 ºC selama 10
menit. Ekstraksi genom dilakukan menggunakan 400 µL homogenizing buffer
(Tris-Cl 10 mM, EDTA 2 mM, NaCl 0,4 M) dan dihomogenkan dengan
mikropistil, kemudian ditambahkan 40 µL SDS 20% dan 8 µL dari 20 mg/ml
Proteinase-K kemudian diinkubasi 65 ºC selama satu jam. Setelah diikubasi,
suspensi tersebut ditambahkan 300 µL NaCl 6 M dihomogenkan dan
disentrifugasi selama 30 menit dengan suhu 4ºC 10.000 rpm. Supernatan
dipindahkan ke dalam tube baru lalu ditambah isopropanol lalu disimpan dalam
freezer -20 ºC selama satu jam. Setelah disimpan dalam freezer -20 ºC kemudian
disentrifugasi selama 20 menit dengan suhu 4ºC, 10.000 rpm dan supernatan
16

dibuang. Pellet yang mengandung DNA dicuci menggunakan ethanol 70%


kemudian dikeringkan menggunakan desikator dan direhidrasi dengan ddH2O.

3.3.4 Elektroforesis DNA


Hasil isolasi DNA genom divisualisasi melalui metode elektroforesis
dengan menggunakan gel agarose sedangkan buffer yang digunakan untuk
melarutkan agarose dan untuk running elektroforesis adalah TAE 1x. Konsentrasi
gel agarose yang digunakan adalah 0.8 % dan ditambahkan Ethidium Bromide
sebanyak 2 µL Sampel hasil isolasi genom diambil 5 µL dan dicampur dengan 1
µL loading dye. Sampel DNA genom yang telah bercampur dengan loading dye
kemudian dimasukkan dalam sumuran gel agarose, selanjutnya DNA ladder 3000
bp sebanyak 5 µL juga dimasukkan dalam sumuran gel agarose. Setelah semua
sampel dan DNA ladder dimasukkan dalam sumuran kemudian elektroforesis
diberi arus listrik dengan voltase konstan 100 volt selama 30 menit. Setelah
elektroforesis selesai gel agarose divisualisasi menggunakan UV-transilluminator
untuk mengetahui apakah muncul pita DNA.

3.3.5 Amplifikasi Sekuen ITS2


Amplifikasi sekuen ITS2 dilakukan secara in vitro menggunakan mesin
PCR. Adapun primer yang digunakan yaitu primer sma. Berikut di bawah ini
merupakan kondisi mesin thermocycler saat amplifikasi.
Tahap Suhu (ºC) Waktu Keterangan

Predenaturation 95 5 menit

Denaturation 95 30 detik

Annealing 51 30 detik 35 siklus

Extention 72 45 detik

Final extention 72 7 menit

3.3.6 Purifikasi Hasil PCR


Gel agarose yang mengandung pita DNA selanjutnya dipotong
menggunakan cutter lalu dimurnikan menggunakan kit Wizard SV Gel and PCR
17

Clean-Up System (Promega, USA). Kit ini terdiri dari SV minicolumn dan
collection tube, membran binding solution, membran washing solution dan
nuclease free water. Membran binding solution berfungsi untuk melarutkan gel
agarose dan melekatkan DNA pada SV minicolumn. Membran washing solution
berfungsi untuk melarutkan semua komponen yang masih melekat pada membran
SV. Nuklease free water berfungsi untuk melarutkan DNA yang berikatan dengan
membran SV.

3.3.7 Sekuensing dan Analisis Sekuens Primer Baru


DNA yang sudah dimurnikan melalui tahap purifikasi selanjutnya di
sekuensing melalui jasa 1stBase Singapore. Setelah data didapatkan dilakukan
editing menggunakan software bioedit untuk dianalisis. Setelah dilakukan editing
dilakukan pembuatan pohon filogeni menggunakan software MEGA10.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Desain Primer Internal Transcribed Spacer 2 Anopheles sp.


Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum proses amplifikasi
dilakukan yaitu kualitas DNA template, kualitas dari Taq DNA polimerase dan
pemilihan primer. Pemilihan primer menjadi salah satu penentu keberhasilan
amplifikasi, tanpa primer yang fungsional tidak ada produk PCR yang terbentuk.
Oleh karena itu pemilihan primer merupakan hal yang perlu diperhatikan sebelum
proses amplifikasi (Dieffenbach et al., 1993).
Pemilihan primer dapat dilakukan sendiri dengan cara melakukan desain
primer. Desain primer saat ini bisa dilakukan menggunakan software tertentu
penyedia layanan desain primer, misalnya online software atau software for
personal computer. Hal yang perlu dipahami yaitu softaware hanya akan
menampilkan kandidat primer yang dinilai sesuai dengan kebutuhan peneliti,
namun untuk menentukan primer yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan,
maka perlu dilakukan secara manual (optimasi) (Dieffenbach et al., 1993).

Gambar 4.1 Hasil desain primer menggunakan tool dari NCBI (primer 1 dipilih untuk
identifikasi molekuler Anopheles sp. dan diberi nama primer sma)
19

Desain primer DNA pengkode ITS2 Anopheles sp. dilakukan


menggunakan software online NCBI (National Center for Biotechnology
Information) (www.ncbi.nlm.nih.gov/tools/primer-blast/). Hasil desain primer
menggunakan software online NCBI dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pasang
primer 1 yang terpilih selanjutnya diberi nama primer sma yang akan digunakan
untuk identifikasi molekuler Anopheles sp..
Pasang primer 1 dipilih berdasarkan rendahnya nilai self 3 complementary,
nilai GC content antara 40-60%, nilai range temperature melting antara primer
forward dan reverse yang tidak jauh serta keberadaan basa “T” pada ujung 3.
Primer yang memiliki nilai self 3 complementary yang rendah (bernilai 0)
menyebabkan tidak terbentuknya struktur dimer yang berarti proses amplifikasi
DNA tidak terganggu. Sedangkan apabila nilai self 3 complementary primer tinggi
(bernilai >0), maka proses amplifikasi DNA akan terganggu karena adanya
struktur dimer yang terbentuk. Struktur dimer dalam hal ini ada 2 yaitu self dimer
dan cross dimer. Self dimer terjadi apabila primer berikatan dengan primer lainnya
yang sejenis, sedangkan cross dimer terjadi apabila sepasang primer (forward dan
reverse) saling berikatan (Sasmito et al., 2014).
Nilai GC content primer sma yaitu 50-52%, hal ini sesuai dengan literatur
yang menyebutkan bahwa primer harus memiliki GC content diantara 45-60%
(Abd-Elsalam, 2003). Nilai GC content berhubungan dengan nilai temperature
melting dan annealing temperature. Nilai GC content yang terlalu tinggi
meyebabkan tingginya temperature melting yang dibutuhkan oleh DNA menjadi
single strand. Hal ini dikarenakan pasangan basa nitrogen GC memiliki 3 ikatan
hidrogen, sehingga untuk memutus ikatan hidrogen tersebut diperlukan
temperatur tinggi (Patel and Prakash, 2013). Melting temperature optimum primer
biasanya pada rentang 52-58ºC. Annealing temperature merupakan suhu yang
dibutuhkan primer untuk menempel pada DNA template. Umumnya annealing
temperature 50C di bawah temperature melting. Sehingga apabila GC content
primer terlalu tinggi menyebakan produk PCR yang teramplifikasi kurang baik.
Sebaliknya apabila GC content primer terlalu rendah menyebabkan nilai melting
temperature yang dibutuhkan rendah dan annealing temperature primer juga
20

rendah. Annealing temperature yang rendah menyebabkan primer akan menempel


secara acak dan tidak spesifik (Patel and Prakash, 2013).
Pasangan primer 1 (primer sma) dipilih karena nilai range temperature
melting antara primer forward dan reverse yang tidak jauh yaitu 0,48. Pasangan
primer yang memiliki range temperature melting antara primer forward dan
reverse tinggi (>50C) menyebabkan penurunan proses amplifikasi atau tidak
terjadinya proses amplifikasi. Pasangan primer 1 (primer sma) dipilih juga
berdasarkan tidak adanya basa “T” pada ujung 3 yang dapat menyebabkan
mismatch sehingga terbentuk hairpin. Struktur hairpin inilah yang akan
menyebabkan terganggunya proses amplifikasi (Sasmito et al., 2014).

4.2 Identifikasi Morfologi An. vagus vagus dan An. vagus limosus
An. vagus pertama kali dideskripsikan sebagai Myzomyia vagus oleh
Donitz pada tahun1902 (Zarowiecki et al., 2011) yang merupakan salah satu
vektor penyakit malaria yang tersebar di Indonesia, khususnya Jawa dan Sumatera
(Elyazar, 2013). Variasi morfologi An. vagus pertama kali dilaporkan oleh Ludlow
pada tahun 1904 yang ditemukan di Pulau Luzon, Filipina dan dikategorikan
sebagai An. vagus limosus (Zarowiecki et al., 2011). Tahun 1948 An. vagus
limosus dinaikkan tingkatan taksonnya menjadi spesies An. limosus oleh Colless
(Zarowiecki et al., 2011). Ramalingam pada tahun 1974 menemukan 2 spesies
tersebut di lokasi yang sama yaitu di Sabah, Malaysia. Klasifikasi An. vagus
vagus dan An. vagus limosus sampai saat ini dipisahkan menjadi spesies tersendiri
(Rueda, 2011). Belum diketahui secara pasti alasan dinaikkannya status taksonomi
An. vagus limosus dikarenakan perbedaan morfologi atau genetik. Namun,
menurut penelitian Zarowiecki et al., (2011) secara genetik An. limosus memiliki
sekuen ITS2 yang identik dengan An. vagus asal Indonesia (Jawa dan Timor
Timur).
Hasil landing collection nyamuk Anopheles di Bangsring, Banyuwangi,
total nyamuk yang didapatkan saat landing collection yaitu 143 ekor. Komposisi
spesies Anopheles hasil landing collection dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Berdasarkan identifikasi morfologi ditemukan dua subspesies dari An. vagus
yaitu An. vagus vagus dan An. vagus limosus.
21

Tabel 4.1 Komposisi Anopheles hasil landing collection di Bangsring, Banyuwangi


Spesies Jumlah Individu
An. vagus vagus 61
An. vagus limosus 15
An. subpictus 24
An. indefinitus 7
An. sundaicus 36

Karakter morfologi yang membedakan An. vagus vagus dan An. vagus
limosus yaitu pada bagian proboscis dan prehumeral sayap. An. vagus vagus
memiliki proboscis dengan noda pucat yang terletak pada bagian ventral, dorsal
atau melingkar sempurna dan bagian prehumeral sayap dengan sisik berwarna
putih atau pucat. Sedangkan An. vagus limosus memiliki proboscis yang
seluruhnya berwarna gelap dan prehumeral sayap dengan sisik berwarna gelap
seluruhnya. Karakter pembeda antara An. vagus vagus dan An. vagus limosus
tersebut sesuai dengan yang disampaikan di buku kunci determinasi karya Reid, J.
A (1968) yang berjudul Anopheline Mosquitoes of Malaya and Borneo dan sesuai
dengan Ilustrated Keys to The Anopheles Mosquitoes of The Philliphine Island
(Cagampang-Ramos and Darsie, 1970). Perbedaan An. vagus vagus dan An. vagus
limosus dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan 4.4.

A B
Gambar 4.2 Perbandingan karakter morfologi prehumeral An. vagus vagus dan An. vagus
limosus. Keterangan: An. vagus limosus (A); An. vagus vagus (B); Dark scale
(Ds); Pale scale (Ps) (Mikroskop stereo perbesaran 50x, Kamera :Asus
Zenfone2 Laser 6).
22

Gambar 4.3 Perbandingan karakter morfologi proboscis palpus An. vagus vagus dan An.
vagus limosus. Keterangan: An. vagus vagus (A); An. vagus limosus (B); palpus
(Pl): proboscis (Pr); apical pale band (Ap); subapical dark band (Cd);
subapical pale band (Cp); labella (Lb); pale band (Pb) (Mikroskop stereo
perbesaran 50x, Kamera :Asus Zenfone2 Laser 6).
23

4.3 Identifikasi Molekuler An. vagus vagus dan An. vagus limosus
Berdasarkan Marka Molekuler ITS2
Uji primer sma dilakukan untuk identifikasi molekuler An. vagus vagus
dan An. vagus limosus. Isolasi DNA genom An. vagus vagus dan An. vagus
limosus menjadi tahap awal identifikasi molekuler. Visualisasi hasil isolasi DNA
genom dapat diketahui dengan melakukan elektroforesis. Indikasi keberhasilan
dari isolasi DNA genom ini yaitu terdapat pita di atas batas atas DNA ladder
10000 bp (Gambar 4.5). Ukuran genom famili Culicidae spesies Anopheles berada
pada kisaran 240 hingga 290 Mb (mega base pair) (Holt, et.al., 2002).

Gambar 4.4 Hasil isolasi genom An. vagus vagus dan An.vagus limosus. Keterangan, M :
DNA ladder 1kb (kappa) ; 1 : An. vagus vagus ; 2: An. vagus limosus
(Visualisasi menggunakan UV-Transilluminator, Kamera: Asus Zenfone2 Laser
6, diedit dengan Picasa 3)

Genom yang berhasil diisolasi selanjutnya diamplifikasi menggunakan


primer sma. Amplifikasi sekuen ITS2 An. vagus vagus dan An. vagus limosus
menunjukkan pita tunggal yang terletak antara 600 – 700 bp (Gambar 4.6).
Interpretasi dari pita pada Gambar 4.6 menunjukkan bahwa primer sma dapat
mengamplifikasi secara spesifik ITS2 pada Anopheles. Spesifisitas primer dapat
diketahui dari munculnya pita tunggal yang spesifik yang panjang (ukuran) sesuai
dengan panjang DNA target (Hamajima et al., 2002). Munculnya pita ganda pada
saat visualisasi dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian proses amplifikasi, seperti
24

ketidaksesuaian konsentrasi primer, suhu annealing, konsentrasi MgCl yang dapat


memicu munculnya fragmen DNA non target (Roux, 2009).

Gambar 4.5 Hasil amplifikasi sekuen ITS2 genom An. vagus vagus dan An. vagus
limosus. Keterangan, M : DNA ladder 100bp (G-Bioscience) ; 1 : An. vagus
vagus ; 2: An. vagus limosus (Visualisasi menggunakan UV-Transilluminator,
Kamera: Asus Zenfone2 Laser 6, diedit dengan Picasa 3)

Produk PCR selanjutnya dipurifikasi menggunakan kit Wizard SV Gel and


PCR Clean-Up System (Promega, USA). Kit ini terdiri dari SV minicolumn dan
collection tube, membran binding solution, membran washing solution dan
nuclease free water. Membran binding solution berfungsi untuk melarutkan gel
agarose dan melekatkan DNA pada SV minicolumn. Membran washing solution
berfungsi untuk melarutkan semua komponen yang masih melekat pada membran
SV. Nuklease free water berfungsi untuk melarutkan DNA yang berikatan dengan
membran SV. Sebanyak ±45 µl DNA hasil purifikasi selanjutnya disekuensing
menggunakan metode Sanger sekuensing melalui jasa 1st Base Singapura. Data
sekuensing selanjutnya diolah menggunakan software bioedit. Tujuan dari
pengolahan data sekuensing yaitu untuk melakukan editing sekuen berupa
pemotongan sekuen yang tidak terbaca dengan jelas pada bagian awal dan akhir
serta pensejajaran sekuen untuk mendapatkan sekuen konsensus. Sekuen
konsensus merupakan sekuen yang berasal dari pensejajaran dan penggabungan
25

sekuen primer forward dan reverse saat amplifikasi sehingga didapatkan sekuen
utuh.

Gambar 4.6 Hasil purifikasi produk PCR. Keterangan : M: DNA ladder 100 bp (G-
Bioscience) ; 1: An. vagus vagus ~700bp; 2: An. vagus limosus ~700bp
(Visualisasi menggunakan UV-Transilluminator, Kamera: Asus Zenfone2 Laser
6, diedit dengan Picasa 3).

Sekuen utuh ITS2 An. vagus vagus dan An. vagus limosus selanjutnya
dianalisis pensejajaran dengan BLAST, sehingga nantinya dapat diketahui
kemiripan sekuen yang diinput dengan sekuen ITS2 Anopheles yang ada di
GeneBank. Hasil BLAST online terlihat pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3, ada 3
spesies An. vagus yang memiliki kemiripan dengan An. vagus vagus dan An.
vagus limosus asal Bangsring, Banyuwangi. Tiga spesies tersebut diantaranya
yaitu An. vagus dengan accession number FJ654649.1 asal Indonesia,
EU919718.2 asal Jiangcheng-China dan HQ873039.1 asal Hattigarh-India.

Tabel 4.2 Hasil Blast Online Sekuen ITS2 An. vagus vagus

Max Total Query E Per.


Description Accession
Score Score Cover Value Ident
Anopheles vagus 1175 1175 99% 0.0 99.38% FJ654649.1

Anopheles vagus 1158 1158 100% 0.0 98.77% EU919718.2

Anopheles vagus 1153 1153 100% 0.0 99.62% HQ873039.1


26

Tabel 4.3 Hasil Blast Online Sekuen ITS2 An. vagus limosus
Max Total Query E Per.
Description Accession
Score Score Cover Value Ident
Anopheles vagus 1177 1177 98% 0.0 99.69% FJ654649.1

Anopheles vagus 1168 1168 99% 0.0 99.08% EU919718.2

Anopheles vagus 1162 1162 99% 0.0 98.93% HQ873039.1

Pensejajaran menggunakan ClustalX antara sekuen An. vagus vagus dan


An. vagus limosus asal Bangsring dengan An. vagus (FJ654649.1) asal Indonesia
yang memiliki nilai identity yang mencapai 99% berdasarkan hasil BLAST
dilakukan, untuk mengetahui kemiripannya. Hasil pensejajaran sekuen An. vagus
vagus, An. vagus limosus asal Bangsring dengan An. vagus (FJ654649.1) dapat
dilihat pada Gambar 4.7. Hasil pensejajaran Gambar 4.7 menunjukkan bahwa
terdapat kesamaan sekuen antara An. vagus (FJ654649.1) dengan An. vagus vagus
asal dan An. vagus limosus asal Bangsring. Berdasarkan gambar tersebut juga
dapat diketahui bahwa primer sma berhasil mengidentifikasi kedua sampel
Anopheles asal Bangsring sebagai An. vagus dan sesuai dengan karakter
morfologi. Perbedaan ketiga sekuen terletak pada urutan basa ke 590.
Pensejajaran juga dilakukan antara sekuen An. vagus vagus dengan An. vagus
limosus asal Bangsring untuk mengetahui kemiripan sekuen 2 spesies tersebut
yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.8. Hasil pensejajaran Gambar 4.8
menunjukkan bahwa terdapat kemiripan sekuen antara An. vagus vagus dengan
An. vagus limosus asal Bangsring. Perbedaannya keduanya terletak pada jumlah
sekuen dan ada tidaknya basa T pada urutan ke 590, sehingga diketahui bahwa
secara molekuler An. vagus vagus dengan An. vagus limosus asal Bangsring mirip.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa primer sma tidak dapat secara
jelas membedakan secara molekuler antara An. vagus vagus dengan An. vagus
limosus asal Bangsring.
27
28
29

Sekuen utuh An. vagus vagus dengan An. vagus limosus asal Bangsring
dengan sekuen hasil BLAST online yang meliputi An. vagus (FJ654649.1), An.
vagus (EU919718.2) dan An. vagus (HQ873039.1) selanjutnya dibuat konstruksi
pohon filogeni berdasarkan kemiripan sekuennya untuk mengetahui hubungan
kekerabatan dari 5 spesies Anopheles tersebut menggunakan metode Neighbour
Joining (NJ) tree seperti yang terlihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.9 Konstruksi pohon filogeni An. vagus vagus dan An. vagus limosus metode
NJ (dikonstruksi menggunakan software Mega10)

Berdasarkan pohon filogeni yang telah dikonstruksi menunjukkan bahwa


An. vagus vagus dan An. vagus limosus yang ditemukan di Bangsring berkerabat
dekat dengan nilai bootstrap 100%. Secara morfologi memang keduanya berbeda
sehingga An. vagus limosus dinaikkan tingkat taksanya menjadi An. limosus.
Namun ternyata secara molekuler An. vagus vagus dan An. limosus berkerabat
dekat. Konstruksi pohon filogeni tersebut juga menunjukkan bahwa An. vagus
vagus dan An. vagus limosus masih berkerabat dekat dengan An. vagus
(FJ654649.1), An. vagus (EU919718.2) dan An. vagus (HQ873039.1) dengan
nilai bootsrap di atas 95%.
30

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji primer untuk identifikasi molekuler yang telah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa sekuen primer ITS2 yang didesain berhasil
mengamplifikasi sekuen DNA pengkode ITS2 pada An. vagus vagus dan An.
vagus limosus. Rekonstruksi pohon filogeni metode NJ menunjukkan bahwa An.
vagus vagus dan An. vagus limosus berkerabat dekat dengan nilai bootstrap 100%
serta berkerabat dekat dengan dengan An. vagus (FJ654649.1). Hasil analisis
sekuen DNA pengkode ITS2 dengan primer smajuga menunjukkan bahwa antara
An. vagus vagus dan An. vagus limosus identik.

5.2 Saran
Informasi mengenai spesifisitas primer yang digunakan dalam mengenali
sekuen ITS2 pada An. vagus vagus dan An. vagus limosus perlu diuji lebih lanjut
menggunakan sampel Anopheles yang lain atau vektor penyakit yang lain
misalnya Aedes, Mansonia dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA

Abd-Elsalam, K. A. (2003). Bioinformatic tools and guideline for PCR primer


design. african Journal of biotechnology, 2(5), 91-95.
Alam, M. T., Das, M. K., Ansari, M. A., and Sharma, Y. D. 2006. Molecular
Identification of Anopheles (Cellia) sundaicus From the Andaman and
Nicobar Islands of India. Acta tropica. 97(1):10-18.
Aljanabi, S. M., & Martinez, I. 1997. Universal and Rapid Salt-extraction of High
Quality Genomic DNA for PCR-based Techniques. Nucleic acids
research, 25(22), 4692-4693.
Aly, A. S., Vaughan, A. M., and Kappe, S. H. 2009. Malaria Parasite Development
in the mosquito and infection of the mammalian host. Annual review of
microbiology. 63:195-221.
Autino, B., Noris, A., Russo, R., and Castelli, F. 2012. Epidemiology of Malaria in
Endemic Areas. Mediterranean Journal of Hematology and Infectious
Diseases. 4(1):287.
Cagampang, A. &Darsie, R.F. 1970. Ilustrated Key to the Anopheles Mosquitoes
of the Philippine Island. Malaria Eradication Training Center: Manila,
Philippine.
Chan, A., Chiang, L. P., Hapuarachchi, H. C., Tan, C. H., Pang, S. C., Lee, R. and
Lam-Phua, S. G. 2014. DNA Barcoding: Complementing Morphological
Identification of Mosquito Species in Singapore. Parasites & vectors.
7(1):569.

Degefa, T., Yewhalaw, D., Zhou, G., Lee, M. C., Atieli, H., Githeko, A. K. and
Yan, G. 2017. Indoor and Outdoor Malaria Vector Surveillance in Western
Kenya: Implications for Better Understanding of Residual Transmission.
Malaria journal. 16(1):443.

Dharmawan R, 1993. Metoda Identifikasi Spesies Kembar Nyamuk Anopheles.


Solo.
Dieffenbach, C. W., Lowe, T. M., & Dveksler, G. S. 1993. General concepts for
PCR primer design. PCR methods appl, 3(3), S30-S37.
Dusfour, I., Linton, Y. M., Cohuet, A., Harbach, R. E., Baimai, V., Trung, H. D.,
and Manguin, S. 2004. Molecular evidence of speciation between island and
continental populations of Anopheles (Cellia) sundaicus (Diptera:
Culicidae), a principal malaria vector taxon in Southeast Asia. Journal of
medical entomology. 41(3):287-295.
32

Elyazar, I. R., Hay, S. I., and Baird, J. K. 2011. Malaria Distribution, Prevalence,
Drug resistance and Control in Indonesia. Advances in parasitology.
74(1):41.

Elyazar, I. R., Sinka, M. E., Gething, P. W., Tarmidzi, S. N., Surya, A., Kusriastuti,
R., ... & Bangs, M. J. 2013. The distribution and bionomics of Anopheles
malaria vector mosquitoes in Indonesia. In Advances in parasitology (Vol.
83, pp. 173-266). Academic Press.

Erlank, E., Koekemoer, L. L., & Coetzee, M. 2018. The importance of


morphological identification of African anopheline mosquitoes (Diptera:
Culicidae) for malaria control programmes. Malaria journal, 17(1), 43.
Fang, Y., Shi, W. Q., and Zhang, Y. 2017. Molecular Phylogeny of Anopheles
hyrcanus group Members Based on ITS2 rDNA. Parasites & vectors.
10(1):417.
Gandahusada, S., Herry D. 2003. Parasitologi Kedokteran Edisi ke-3.Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Gao, Q., Beebe, N. W., and Cooper, R. D. 2004. Molecular identification of the
malaria vectors Anopheles anthropophagus and Anopheles sinensis (Diptera:
Culicidae) in central China using polymerase chain reaction and appraisal of
their position within the Hyrcanus group. Journal of medical entomology.
41(1): 5-11.
Gómez, G. F., Bickersmith, S. A., González, R., Conn, J. E., & Correa, M. M.
2015. Molecular Taxonomy Provides New Insights into Anopheles species
of the Neotropical Arribalzagia Series. PloS one, 10(3), 488.
Gunathilaka, N., and Karunaraj, P. 2015. Identification of sibling species status of
Anopheles culicifacies breeding in polluted water bodies in Trincomalee
district of Sri Lanka. Malaria journal. 14(1):214.
Hamajima, N., Saito, T., Matsuo, K., & Tajima, K. (2002). Competitive
amplification and unspecific amplification in polymerase chain reaction
with confronting two-pair primers. The Journal of molecular diagnostics,
4(2), 103-107.
Hebert, P. D., Cywinska, A., and Ball, S. L. 2003. Biological Identifications
through DNA Barcodes. Proceedings of the Royal Society of London B:
Biological Sciences. 270(1512):313-321.
Holt, R. A., Subramanian, G. M., Halpern, A., Sutton, G. G., Charlab, R.,
Nusskern, D. R., & Salzberg, S. L. 2002. The Genome Sequence of the
Malaria Mosquito Anopheles gambiae. Science, 298(5591), 129-149.
33

Horsfall, W. E. 1955. Mosquitoes: Their Bionomics and Relation to


Disease. Mosquitoes. Their Bionomics and Relation to Disease.
Jarman, S. N., and Elliott, N. G. 2000. DNA Evidence for Morphological and
Cryptic Cenozoic Speciations in the Anaspididae,'living fossils' from the
Triassic. Journal of Evolutionary Biology. 13(4):624-633.
Kamareddine, L. 2012. The Biological Control of the Malaria Vector. Toxins.
4(9):748-767.
Kazwaini, M., and Mading, M. 2014. Jenis dan Status Anopheles Spp. Sebagai
Vektor Potensial Malaria Di Pulau Sumba Provinsi Nusatenggara
Timur. Jurnal Ekologi Kesehatan. 13(4):298-307.

Kengne, P., Awono‐Ambene, P., Nkondjio, C. A., Simard, F., & Fontenille, D.
2003. Molecular identification of the Anopheles nili group of African
malaria vectors. Medical and Veterinary Entomology, 17(1), 67-74.
Kim, H., Kang, N., An, K., Koo, J., & Kim, M. S. (2016). MRPrimerW: a tool for
rapid design of valid high-quality primers for multiple target qPCR
experiments. Nucleic acids research, 44(W1), W259-W266.
Lee, V. H., Atmosoedjono, S., Dennis, D. T., Suhaepi, A., and Suwarta, A. 1983.
The Anopheline (Diptera: Culicidae) Vectors of Malaria and Bancroftian
Filariasis in Flores Island, Indonesia. Journal of medical entomology.
20(5):577-578.

Li, C., and Wilkerson, R. C. 2005. Identification of Anopheles (Nyssorhynchus)


albitarsis complex species (Diptera: Culicidae) using rDNA internal
transcribed spacer 2-based polymerase chain reaction primes. Memorias do
Instituto Oswaldo Cruz. 100(5):495-500.
Lobo, N. F., Laurent, B. S., Sikaala, C. H., Hamainza, B., Chanda, J., Chinula,
D., ... & Boldt, H. L. 2015. Unexpected diversity of Anopheles species in
Eastern Zambia: implications for evaluating vector behavior and
interventions using molecular tools. Scientific reports, 5, 17952.

Maksud, M. 2016. Aspek Perilaku Penting Anopheles vagus dan Potensinya


sebagaiVektor Malaria di Sulawesi Tengah : Suatu Telaah Kepustakaan.
Jurnal Vektor Penyakit. 10(2):33-38.
Musfirah, M. 2017. Pengendalian Kimia dan Resistensi Vektor Anopheles Dewasa
pada Kawasan Endemis Malaria di Dunia. Kes Mas: Jurnal Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Daulan, 11(1), 46-51.
Neha, G., Sachin, P., Anil, P., & Anil, K. 2008. Primer designing for DREB1A, A
cold induced gene. J Proteomics Bioinform, 1, 028-035.
34

Norris, L.C. and Norris D.E. 2015. Phylogeny of Anopheline (Diptera: Culicidae)
Spesies in Shouthern Africa, Based on Nuclear and Mitocondria Genes.
Journal of Vector Ecology. 40(1):16-27.
Patel, N. K. and Prakash, N. 2013. Principle and Tools for Primer Design. Atmita
Spandan. 1(1):79-95.

Paul, S., Chattopadhyay, A., & Banerjee, P. K. 2013. Anopheline diversity:


morphological and molecular variation of an. subpictus in rural and urban
areas of west Bengal. Journal of Entomology and Zoology Studies, 1(2), 35-
40.

Ramachandra, R. T. 1984. The Anopheline of India (revised edition). Indian


Council of Medical Research, New-Delhi :23-72.
Reid, J.A. 1968. Anopheline Mosquitoes of Malaya and Borneo.Kuala Lumpur :
Institute for Medical Research.
Reid, J. A., Harrison, B. A., and Atmosoedjono, S. 1979. Variation and Vector
Status in Anopheles barbirostris. Mosquito systematics. 11(3):235.
Rueda, L. M., Pecor, J. E., & Harrison, B. A. 2011. Updated distribution records
for Anopheles vagus (Diptera: Culicidae) in the Republic of Philippines,
and considerations regarding its secondary vector roles in Southeast Asia.
Walter Reed Army Inst Of Research Silver Spring Md Dept Of
Entomology.
Sasmito, D. E. K., Kurniawan, R., & Muhimmah, I. (2014). Karakteristik primer
pada Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk sekuensing DNA: mini
review. In Seminar Nasional Informatika Medis (pp. 93-102).
Shinta, S., Supratman, S., and Mardiana, M. 2003. Komposisi Spesies dan
Dominasi Nyamuk Anopheles Di Daerah Pantai Banyuwangi, Jawa
Timur. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. 13(3):23-25.
Sukowati, S., Andris, H., Sondakh, J., and Shinta, S. 2005. Penelitian Spesies
Sibling Nyamuk Anopheles barbirostris Van Der Wulp Di
Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. 4(1):172-180.

Sum, J. S., Lee, W. C., Amir, A., Braima, K. A., Jeffery, J., Abdul-Aziz, N. M.,
and Lau, Y. L. 2014. Phylogenetic study of six species of Anopheles
mosquitoes in Peninsular Malaysia based on inter-transcribed spacer region
2 (ITS2) of ribosomal DNA. Parasites & vectors. 7(1):309.
Vijayan, K., and Tsou, C. H. 2010. DNA Barcoding in Plants: Taxonomy in a New
Perspective. Current Science, 1530-1541.
35

Walton, C., Somboon, P., O’Loughlin, S. M., Zhang, S., Harbach, R. E., Linton, Y.
M., and Vythilingum, I. 2007. Genetic diversity and molecular identification
of mosquito species in the Anopheles maculatus group using the ITS2
region of rDNA. Infection, Genetics and Evolution. 7(1):93-102.

Waugh, J. 2007. DNA Barcoding in Animal Species: Progress, Potential and


Pitfalls. BioEssays. 29(2):188-197.
Weeraratne, T. C., Surendran, S. N., Reimer, L. J., Wondji, C. S., Perera, M. D. B.,
Walton, C., and Karunaratne, S. P. 2017. Molecular Characterization of
Anopheline (Diptera: Culicidae) Mosquitoes from Eight Geographical
Locations of Sri Lanka. Malaria journal. 16(1):234.
Weeraratne, T. C., Surendran, S. N., Reimer, and Karunaratne, S. P. 2018. DNA
Barcoding of Morphologically Characterized Mosquitoes Belonging to The
Subfamily Culicinae from Srilanka. Parasite and Vectors Journal. 11: 266-
276.

Wigati, R. A., Mardiana, M., Mujiyono, M., & Alfiah, S. 2010. Deteksi Protein
Circum Sporozoite Pada Spesies Nyamuk Anopheles Vagus Tersangka
Vektor Malaria Di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo Dengan Uji
Enzyme-linked Immunosorbentass a Y (Elisa). Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 20(3).

Wilson, A. L., Chen-Hussey, V., Logan, J. G., & Lindsay, S. W. 2014. Are Topical
Insect Repellents Effective Against Malaria in Endemic Populations? A
Systematic Review And Meta-Analysis. Malaria journal. 13(1):446.
World Health Organization. 2018. World malaria report 2015. World Health
Organization.
Wu, D. Y., Ugozzoli, L., Pal, B. K., Qian, J., & Wallace, R. B. (1991). The Effect
of Temperature and Oligonucleotide Primer Length on the Specificity and
Efficiency of Amplification by the Polymerase Chain Reaction. DNA and
cell biology, 10(3), 233-238.
Yao, H., Song, J., Liu, C., Luo, K., Han, J., Li, Y. and Chen, S. 2010. Use of ITS2
Region as the Universal DNA Barcode for Plants and Animals. PloS
one, 5(10).
Zarowiecki, M., Walton, C., Torres, E., McAlister, E., Htun, P. T., Sumrandee,
C., ... & Linton, Y. M. 2011. Pleistocene genetic connectivity in a
widespread, open‐habitat‐adapted mosquito in the Indo‐Oriental region.
Journal of biogeography, 38(7), 1422-1432.
LAMPIRAN

A. Komposisi bahan dalam satu reaksi PCR


Bahan Jumlah Keterangan

2x PCR master mix 25 µL -


Primer Foward 1,25 µL Konsentrasi 10 pmol/µL
Primer Reverse 1,25 µL Konsentrasi 10 pmol/µL
ddH2O 20,5 µL -
DNA template 2 µL -
Total 50 µL

B. Komposisi Larutan
No Nama Larutan Bahan Komposisi

1 Homogenizing buffer Tris-Cl 1 M 0,5 ml


(per 50 ml
EDTA 0,5 M 0,2 ml
NaCl 0,4 M 1,16 gr
Aquades ± 45 ml
2 SDS 20 % (per 10 ml) SDS 2 gr
Aquadees 10 ml
3 NaCl 6 M (per 10 ml) NaCl 17,4 gr
Aquades 10 ml
4 Proteinase K 20 mg/ml Proteinase K 20 mg
(per 1 ml)
Nuclease free water 1 ml
5 Loading dye (per 10 ml) 60% gliserol 10 ml
Xylenecianol 1 mg
Bromophenol Blue 1 mg
37

6 EDTA 0,5 M (per 100ml) EDTA 14,6 gr


NaOH 2 gr
Aquades 100 ml
7 TAE 50X (per 100 ml) ; Tris-Base 24,2 gr
pH 8,0
Asam Asetat Glasial 5,71 ml
0,5 M EDTA 10 ml
Aquades ± 45 ml
8 Agaros 1,5% (per 50ml) Agarose 0,75 gr
TAE 1X 50 ml

C. Sekuen Utuh Hasil Amplifikasi ITS2


F.1 An. vagus vagus

CACATGAACACCGACAAGTTGAACGCATATGGCGCATCGGACGTTTCA
ACCCGACCGATGCACACATCCTTGAGTGCCTACTAGGTACTGAGATTTA
ACTATGACTTGACTACAGACGCCGCCACTAAAGGGCTGACGGGCCATC
CGTCGTCCGGCGTGCGACTGTGCAGCATGGCGTGCTCGGGTCTCGGCG
TGGACCCTTGGGCGCTGAAAGTGGACACTGTTTGGCGGCACCTGCGCG
TGTGCTCTCAGTGTTGACGTATGGTGAGGGWAGTGTCAAGTCGCACGG
TTCGACAACAAGCGTACCGTCGAGTTTGGTGCAATCGGATGCCTACTAC
CATGGGCGGTGCCGGCGTGCATTCAACACACTCGACGTCCCGTACCAA
CCGGATGCCTGTGAAGGCGGTGCCGGCGCAGACGGGACACTGAATTGA
TCTTGGTGATATTGGGTGGGGGATGATGGATGATGTGTGTCGCGAGTGA
CAACCGGATGCCAGCGATGGCGGTGCCGGCGCACACGAGCGCTCACAC
ACGCCTCTCCCCTCGGTCGCTTGTGGCGTGTAACGCGTGTGATCCATAC
ACTTTACCTGTTTGAGCCGTGCGTTCGACGCAAGTATGAGAGTTGCCAG
ACAAACCACATTCCAGTAGGCCTC

F.1 An. vagus limosus

AGGACACATGAACACCGACAAGTTGAACGCATATGGCGCATCGGACGT
TTCAACCCGACCGATGCACACATCCTTGAGTGCCTACTAGGTACTGAGA
TTTAACTATGACTTGACTACAGACGCCGCCACTAAAGGGCTGACGGGCC
ATCCGTCGTCCGGCGTGCGACTGTGCAGCATGGCGTGCTCGGGTCTCG
38

GCGTGGACCCTTGGGCGCTGAAAGTGGACACTGTTTGGCGGCACCTGC
GCGTGTGCTCTCAGTGTTGACGTATGGTGAGGGTAGTGTCAAGTCGCAC
GGTTCGACAACAAGCGTACCGTCGAGTTTGGTGCAATCGGATGCCTACT
ACCATGGGCGGTGCCGGCGTGCATTCAACACACTCGACGTCCCGTACC
AACCGGATGCCTGTGAAGGCGGTGCCGGCGCAGACGGGACACTGAATT
GATCTTGGTGATATTGGGTGGGGGATGATGGATGATGTGTGTCGCGAGT
GACAACCGGATGCCAGCGATGGCGGTGCCGGCGCACACGAGCGCTCAC
ACACGCCTCTCCCCTCGGTCGCTTGTGGCGTGTAACGCGTGTGATCCAT
ACACTTACCTGTTTGAGCCGTGCGTTCGACGCAAGTATGAGAGTTGCCA
GACAAACCACATTCCAGTAGGGCC

Anda mungkin juga menyukai