Anda di halaman 1dari 5

RESUME PAPER

“Geologi Lingkungan untuk Penentuan Koefisien Dasar Bangunan


Wilayah Cibinong dan Sekitarnya”
Koefisien Dasar Bangunan merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan
banjir pada jangka panjang. Penelitian ini dilakukan pada enam kecamatan yaitu Kabupaten
Cibinong, Citeureup, Gunung Putri, Kedunghalang, Bojong Gede, dan Semplak sebagai DAS
Ciliwung. Pada penelitian yang dilakukan oleh Badan Geologi, kejadian banjir di DKI Jakarta
dan penanganannya yang belum menghasilkan solusi merupakan latar belakang utama
penelitian ini dilakukan. Selain masalah ini terjadi, perubahan penggunaan lahan dan aktivitas
penduduk di daerah hulu terus meningkat dan masih bertentangan dengan Perpres Nomor 114
Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang RTR Kawasan
Jabodetabekpunjur. Pengguna lahan cenderunh tidak mempertahankan lahan sebagai daerah
resapan tanah.
Analisis yang dikerjakan pada penelitian ini menggunakan Persamaan Mock (1973), yaitu

P = ET + R + I
Keterangan :
P = curah hujan rata-rata tahunan (mm)
ET = evapotranspirasi (mm)
R = run off (mm)
I = infiltrasi (mm)

Nilai ET (evapotranspirasi) pada persamaan di atas diperoleh dari Persamaan Turc (1961),
yaitu
P
ET =
P 2} 0.5
{0.9 + (FT)

Keterangan :

ET = evapotranspirasi
P = curah hujan
FT = 300 + 25 t + 0.05 t3 dengan t adalah temperatur rata-rata tahunan

Besar curah hujan dapat diketahui dari hasil penakar hujan terdekat, namun evapotranspirasi
dapat dihitung dengan pendekatan klimatologi dan penggunaan lahan berdasarkan persamaan
di atas. Identifikasi nilai infiltrasi dan runoff harus diambil dari lapangan.
Wilayah Jakarta-Bogor tersusun atas kipas batuan volkanik yang telah mengalami pelapukan
kuat menjadi lempung lanauan, lempung pasiran, lempung lanauan, dan pasir lanauan. Tanah
lapukan batuan volkanik memiliki nilai permeabilitas yang bervariasi dari rendah hingga
sedang dan daya dukung fondasi yang umumnya sedang. Geomorfologi daerah penelitian
berupa kipas batuan volkanik dengan relief permukaan dari dataran hingga bergelombang
dengan kemiringan bervariasi, umumnya kurang dari 30 % (Wongsosentono dalam Oktariadi
& Riyadi, 2010).
Tabel 1 Perhitungan neraca air awal di daerah penelitian (Oktariadi & Riyadi, 2010)

Wilayah Jabodetabekpunjur telah mengalami penurunan kemampuan meresapkan air karena


penggunaan lahan pemukiman perkotaan dan persawahan sebanyak 41 %. Zona tersebut
dikenal sebagai zona B3, yaitu kawasan permukiman terbatas. Zona resapan yang tidak
mengalami perubahan mencapai 31 % karena litologi batulempung yang memiliki
permeabilitas rendah. Peningkatan wilayah yang mengalami peningkatan kemampuan resapan
sebanyak 28 % karena penggunaan lahan berupa hutan dan perkebunan. Perubahan
kemampuan resapan rata-rata sebesar 35 % karena pembangunan kawasan permukiman dan
industri yang pesat pada endapan kipas aluvial. Hal ini meningkatkan runoff tanpa dilengkapi
dengan rekayasa pemulihan neraca air.

Pengukuran koefisien run off dilakukan dengan menggunakan hujan buatan pada daerah seluas
0,72 m2 pada tutupan lahan dan susunan batuan yang berbeda. Demikian juga curah hujan
diperoleh melalui Data Klimatologi dari Stasiun Klimatologi Dramaga dan data tersebut
digunakan untuk membuat peta isohyet. Evapotranspirasi diperoleh dengan menggunakan
persamaan Turc.
Nilai neraca air awal (Tabel 1.) diitung menggunakan persamaan
Vr = P x L x Cr
Vi = P x L x Ci
Keterangan :
Vr = Volume run off tahunan untuk setiap unit (m3)
Vi = Volume infiltrasi tahunan untuk setiap unit (m3)
P = Curah hujan rata-rata tahunan (mm)
L = Luas setiap unit (m2)
Cr = Koefesien run off
Ci = Koefesien infiltrasi

Nilai L diperoleh dari hasil perhitungan tumpang susun. Neraca air awal dihitung pada daerah
dengan daerah yang ditutupi oleh tutupan lahan tanpa tutupan lahan alami seperti tubuh air,
rawa, hutan, dan sawah. Neraca air akhir merupakan nilai neraca air awal yang telah berubah
karena perubahan tata guna lahan dan sangat bergantung pada nilai Koefisien Dasar Bangunan.
Setiap nilai neraca air dihitung pada setiap unit dengan persentase kemiringan yang berbeda-
beda, mulai dari 0-10 %, 10 – 30 %, dan > 30 % pada litologi berupa batuan kipas volkanik ,
batuan volkanik dan batuan sedimen.

Tabel 2. Contoh perhitungan neraca air akhir di daerah penelitian (Oktariadi & Riyadi, 2010)
Perubahan fungsi lahan yang terjadi di daerah penelitian berdampak buruk terhadap neraca air.
Dampak ini sangat terasa melalui peningkatan volume run off dan penurunan volume infiltrasi.

Gambar 1 Ilustrasi sumur resapan dan saluran drainase untuk mengurangi nilai run off dan menambah volume infiltrasi
(Oktariadi & Riyadi, 2010)

Pemulihan neraca air yang dilakukan adalah dengan memasukkan kembali air hujan ke dalam
tanah melalui sumur resapan atau kolam / parit. Sumur resapan adalah piranti buatan untuk
meresapkan sebagian atau seluruh air hujan yang jatuh pada atap bangunan atau konstruksi
lainnya, sehingga run off tidak termasuk bagian air hujan yang dapat meresap ke dalam sumur
resapan. Batuan volkanik memiliki permeabilitas sebesar 10-3 m / dt dan sumur resapan
memiliki permeabilitas sebesar 10-5 m / dt dengan daya tampung 3.9 m3.

Pada penelitian ini, kedalaman sumur resapan (H) 5 m, dan tenggang waktu hujan (T) 2,42
hari. Dari ketentuan ini, maka kemampuan sumur untuk meresapkan air (Q) dalam waktu T
adalah:
Q = 2,75 x k x D x H x T = 28,7 m3
Nilai ini menunjukkan bahwa kemampuan daya meresapkan air cukup besar.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lahan yang disusun oleh batuan kipas volkanik dengan
kemiringan lereng kurang dari 10% hanya dapat dibangun maksimal dengan Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) 20%, kemiringan lereng 10 – 30% dapat dibangun maksimal dengan KDB
15%, kemiringan lereng > 30% dapat dijadikan sebagai lahan non budidaya untuk menghindari
terjadinya peningkatan air larian yang disertai dengan kemungkinan erosi dan longsoran.

Konservasi air pada lahan yang disusun oleh batuan kipas volkanik dapat dilakukan dengan
cara rekayasa teknik gabungan sumur resapan dan parit/kolam resapan. Lahan yang disusun
oleh batuan sedimen pembangunan dapat dibuat dengan KDB 25%, dengan tanpa rekayasa
pemulihan neraca air karena kondisi tanah/batuan yang tidak memungkinkan untuk dibuat
sebagai bidang resapan. Air larian yang terjadi dapat ditampung dalam kolam penampungan
(retention pond) untuk dijadikan sebagai sumber baku air bersih air.
Air limpasan dari RTH dan overflow dari sumur resapan dan parit resapan dapat dimasukkan
ke dalam saluran drainase. Penelitian ini menyimpulkan juga bahwa sumur resapan dibuat pada
daerah yang jauh dari bagian lereng yang terjal, dimensi sumur resapan diameter 1 m dan
kedalaman 5 m dibuat dari buis beton.

REFERENSI
Oktariadi & Riyadi, Dikdik, 2010. Geologi Lingkungan untuk Penentuan Koefisien Dasar
Bangunan Wilayah Cibinong dan Sekitarnya. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi.
Vol. 1 (2). pp. 91-112

Anda mungkin juga menyukai