___________________________________________________________________
Sistem reservoir serpih memiliki dampak yang dramatis terhadap suplai minyak
dan gas sperti halnya di Amerika Utara. Sistem sumberdaya dari serpih ini terdapat di
batulempung kaya material organik yang menjadi batuan induk sekaligus batuan
reservoir. Produksi gas dan minyak dari reservoir porositas rendah (<15%) dan
permeabilitas sangat rendah (nanodarcy) telah berhasil meluas di seluruh dunia.
Pengembangan yang berhasil dari sistem sumberdaya gas serpih memiliki potensial
sebagai energi dengan suplai jangka panjang terutama di Amerika Serikat dengan
emisi karbon dioksida terendah dan terbersih. Gas serpih mulai berkembang pesat
sejak 2006 walaupun sumberdaya gas serpih ini lambat menyebar dari Serpih Barnett
ke Amerika dan Kanada (Jarvie, 2012).
Shale oil merupakan minyak bumi yang dihasilkan dari reservoir serpih yang
disebut sebagai oil shale, yaitu batuan sedimen yang mengandung material padat
bituminus (kerogen) yang keluar dalam wujud cair ketika batuan dipanaskan oleh
pirolisis. Shale oil ditemukan mula-mula pada tahun 1900. Namun penelitian lebih
lanjut berkembang antara tahun 1944-1969 untuk mengekstraksi minyak dari reservoir
serpih. Ekstraksi shale oil tidak sama seperti mengekstraksi minyak bumi dari
reservoir konvensional. Oil shale dipanaskan dengan temperatur sangat tinggi
(retorting) di bawah permukaan, kemudian ketika fasa berubah menjadi cair, fluida
tersebut dipompa ke permukaan. Komposisi shale oil relatif sama dengan minyak
bumi konvensional, tetapi kualitas shale oil cenderung lebih buruk dibandingkan
dengan minyak bumi konvensional karena banyak mengandung pengotor seperti
sulfur dan nitrogen. Namun hydrotreating kini mampu menghilangkan pengotor
tersebut. Karakteristik fisik dari oil shale tentu memiliki kegetasan yang baik sehingga
mampu mempertahankan rekahan yang telah dibuka. Komposisi shale oil sangat
bergantung pada komposisi shale yang memproduksi shale oil tersebut (Zendehboudi
& Bahadori, 2017).
Shale gas memiliki karakteristik yang mirip dengan shale oil, namun produk
yang dihasilkan berfasa gas. Shale gas diproduksikan dari batuan induk ketika
rekahan yang dibuat pada batuan induk masih kecil, sehingga diawali dengan
keluarnya molekul-molekul gas. Ketika lebih besar dan fasa oil shale adalah cair,
maka shale oil dapat diambil sebagaimana dijabarkan sebelumnya. Gas yang terdapat
pada sistem nonkonvensional dapat bertindak sebagai free gas atau absorbed gas.
Gambar 2 Skema sistem migas konvensional dan nonkonvensional Gaffney & Cline, 2011)
Tight gas merupakan gas alam yang diproduksi dari batuan reservoir dengan
permeabilitas yang rendah, sehingga memerlukan teknik tertentu agar dapat
mengekstraknya, salah satunya adalah hydraullic fracturing sebagaimana dilakukan
pada prospek yang lain. Permeabilitas pada reservoir tight gas harus lebih kecil dari
0,1 mD dan kurang dari 10 % porositas matriks.
Gas hidrat merupakan gas yang hadir dari senyawa alami pada permafrost
(lapisan tanah yang berada di bawah titik beku 0˚C) atau umumnya berada di batas
kerak samudera (Priasmara et al., 2014). Gas hidrat terbentuk dari hasil pencampuran
antara air dan metana pada temperatur rendah dan tekanan tinggi, metana tersebut
dihasilkan dari aktivitas mikrobial (Hartono & Najili, 2019). Air yang terlibat dalam
pencampuran tersebut kemudian akan mengkristal berupa hidrogen yang mengikat
molekul metan (Sloan, 1998). Metan tersebut hadir dalam bentuk hidrat solid yang
tersimpan di continental shelves dan berasosiasi dengan hydrocarbon vents, seeps,
dan mud volcanoes. Gas hidrat dapat berupa gas biogenik yang terbentuk dari hasil
degradasi mikrobial material organik pada suhu rendah atau termogenik yang
dihasilkan dari thermal cracking kerogen pada suhu tinggi dan kedalaman yang cukup
dalam. Migrasi gas hidrat dapat melalui sesar atau lapisan permeabel pasir/lanau, gas
chimneys, dan mud volcanoes.
Coal-Bed Methane (Gas Metana Batubara) merupakan salah satu gas hasil
coalification (selain CO2, N2, dan H2O) yang terjadi melalui proses biogenik dan
termogenik serta tersimpan dalam porositas rekahan / matriks batubara. Gas metana
batubara mulai terbentuk pada batubara lignit. Untuk CBM termogenik, pembentukan
akan mencapai puncaknya pada bituminus, namun untuk CBM biogenik akan
mencapai puncak pada batubara subituminus. CBM biogenik terbentuk akibat
penguraian bahan organik oleh mikroorganisme, utamanya menghasilkan dalam
bentuk CH4 dan CO2. CBM termogenik terbentuk dari hasil pembebasan zat terbang
ketika pemanasan batubara (akibat pembebanan misalnya), gas yang dihasilkan CH 4,
CO2, dan air (Thomas, 2013).
Gambar 7 Keberadaan gas metan di antara rekahan (face cleat dan butt cleat) batubara dan hadir sebagai free
gas dan adsorbed gas (dokumentasi pribadi)
Gambar 8 Hasil seismik penemuan potensi gas hidrat di Selat Sunda (atas) dan bagian timur
Cekungan Makassar Utara (bawah) yang terpusat pada endapan turbidit yang terletak di cekungan
antarantiklin (Priasmara et al., 2014 dan Jackson, 2015)
Gambar 9 Daerah potensi shale gas di Indonesia (Sukhyar & Fakhruddin, 2013)
Batuan induk di Indonesia umumnya tersusun atas kerogen tipe III, sebagian
tipe II/III dengan lingkungan pengendapan lakustrin dan deltaik, sebagaimana pada
Cekungan Makassar Utara yang telah dibahas. Namun Amerika Serikat memiliki
batuan induk yang tersusun atas kerogen tipe II dengan lingkungan pengendapan laut
terbuka. Sehingga, batuan induk Amerika Serikat mampu menghasilkan minyak
sebesar 70 % dan gas sebesar 30 %, namun batuan induk di Indonesia menghasilkan
minyak sebesar 20 % dan gas 80 % (Waples, 1985). Tipe kerogen yang berbeda
memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap perekahan.
Dari segi sosial, masyarakat Indonesia sepertinya belum siap untuk menerima
pengembangan migas nonkonvensional. Teknologi fracturing membutuhkan air dalam
jumlah yang besar atau eksploitasi CBM harus melakukan dewatering untuk mencapai
tekanan langmuir. Akibatnya, sungai yang digunakan untuk irigasi bagi masyarakat
negara agraris harus dibendung, tentunya ini akan memberatkan. Selain itu, sumber
air bagi masyarakat harus berlawanan dengan pengembangan migas
nonkonvensional ini.
REFERENSI
Hartono, B. M., & Najili, A., 2019. Paleo Hydrate Gas Prospecting in Banyumas Basin
from Deep Marine System in Late Cretaceous Subduction: A Geological Approach
in Karangsambung Regency. Tidak dipublikasikan
Jackson, B. A., 2015. Seismic Evidence for Gas Hydrates in The North Makassar
Basin, Indonesia. Petroleum Geoscience. Vol. 10. pp. 227-238
Jarvie, D.M, 2012: Shale Resource Systems for Oil and Gas: Part 1-Shale-gas
Resource Systems, AAPG Memoir 97, 69-87
Jarvie, D.M, 2012: Shale Resource Systems for Oil and Gas: Part 2-Shale-gas
Resource Systems, AAPG Memoir 97, 69-87
Jarvie, D.& Hill, R. & Ruble, T. & Pollastro, R., 2007. Unconventional shale-gas
systems: The Mississippian Barnett Shale of north-central Texas as one model for
thermogenic shale-gas assessment. AAPG Bulletin - AAPG BULL. Vol. 91. pp.
475-499
Peters, K. E., & Cassa, M. R., 1994. Applied Source Rock Geochemistry dalam :
Magoon, L. B., & Dow, W. G., Eds., The Petroleum System : From Source to Trap.
Tulsa : American Association of Petroleum Geologist. pp. 93-120
Priasmara, F. N. D., Aryono A. F., Barus, F. I., & Sijabat, R. F., 2014. Indonesia Gas
Hydrate Potential of Sunda Strait Case Study : Future Energy or Geohazard.
Proceedings Indonesian Petroleum Association 38th Annual Convention and
Exhibition.
Sukhyar, R. & Fakhruddin, R., 2013. Unconventional Oil and Gas Potential in
Indonesia with Special Attention to Shale Gas and Coal-Bed Methane.
Kementerian ESDM
Zendehboudi, S., & Bahadori, A. (2017). Shale Oil. Shale Oil and Gas Handbook, 193–
230
Zou, C., 2011. Unconventional Petroleum Geology. San Diego : Petroleum Industry
Press
NEWS COURTESY
Bisnis.id
CNN Indonesia
CNBC Indonesia
Kompas.com
Kontan.id