Anda di halaman 1dari 18

PROSPEK MASA DEPAN MIGAS INDONESIA :

KESIAPAN INDONESIA TERHADAP MIGAS NONKONVENSIONAL


UNTUK KEMANDIRIAN ENERGI

___________________________________________________________________

MENGENAL MIGAS NONKONVENSIONAL

Sejak tahun 2012, Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menekankan


pentingnya eksplorasi migas nonkonvensional melalui Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2012. Berdasarkan
undang-undang ini, minyak dan gas bumi nonkonvensional adalah migas yang
diusahakan dari reservoir tempat terbentuknya (batuan induk langsung) dengan
permeabilitas yang rendah. Menurut Permen ESDM Republik Indonesia Nomor 05
Tahun 2012, bentuk-bentuk dari migas nonkonvensional adalah shale oil, shale gas,
tight sand gas, Coal Bed Methane (CBM), gas hidrat-metan, gas biogenik, dan gas
tertekan (tight gas). Metode ekstraksi yang umum dilakukan pada migas
nonkonvensional adalah fracturing atau membuat rekahan buatan.

Sistem hidrokarbon nonkonvensional adalah sistem yang batuan induknya


turut berperan sebagai batuan reservoir. Terdapat beberapa perbedaan migas
konvensional dan unkonvensional. Perbedaan terbesar dari keduanya telah
disebutkan, yaitu permeabilitas. Dari permeabilitas ini, perbedaan paling kentara
lainnya adalah terjadinya migrasi. Perbedaan antara migas konvensional dan
nonkonvensional dirangkum pada tabel di bawah ini.

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
1
HMTG “GEA” ITB
Tabel 1 Perbedaan migas konvensional dan unkonvensional secara umum (Kuliah Geologi Migas Nonkonvensional, 2019)

PARAMETER KONVENSIONAL NONKONVENSIONAL


Trap / perangkap Struktur geologi atau Tidak memerlukan trap
stratigrafi
Komponen sistem Harus ada sumber, Prospek tersimpan dalam
reservoir, dan batuan rekahan alami atau
penyekat (seal rocks) terserap (adsorbed) pada
permukaan mineral (self-
sourcing dan self-sealing)
Reservoir Reservoir alami dominan, Reservoir buatan melalui
hanya 20 % reservoir fracturing, dll.
buatan
Tinjauan Burial history, thermal Burial history, thermal
maturity, TOC dari batuan maturity, TOC dari batuan
induk induk dari shale
Metode eksplorasi Pemetaan fasies dan Analisis rezim tegasan
sedimentologi dan kegetasan batuan
(brittleness)

Migas konvensional yang dikembangkan di Indonesia pada tahun 2013 sempat


mencapai titik terendah, yakni 830,000 barrel minyak per hari (BPH), sedangkan pada
tahun 1990-an, mencapai 1,5 juta barel minyak per hari. Kendati demikian, pemerintah
berusaha untuk menemukan cadangan migas konvensional. Namun, cadangan migas
nonkonvensional di bumi memiliki cadangan yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan migas konvensional, namun memerlukan biaya dan teknologi yang jauh lebih
canggih (Gambar 1.).

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
2
HMTG “GEA” ITB
Departemen Diskusi dan Kajian
Bidang Implementasi
3
HMTG “GEA” ITB
Gambar 1 Segitiga holdich yang menggambarkan jumlah migas nonkonvensional jauh lebih besar
dibandingkan dengan migas konvensional, namun membutuhkan biaya dan teknologi jauh lebih besar
(Holdich, 2006)

Sistem sumberdaya serpih (Shale Resource System) merupakan batuan induk


kaya material organik kontinu yang dapat menjadi batuan induk ataupun batuan
reservoir untuk memproduksi hidrokarbon (minyak dan gas) atau dapat mengisi dan
menyekat petroleum di juxtaposed, dengan interval batuan miskin organik.

Sistem reservoir serpih memiliki dampak yang dramatis terhadap suplai minyak
dan gas sperti halnya di Amerika Utara. Sistem sumberdaya dari serpih ini terdapat di
batulempung kaya material organik yang menjadi batuan induk sekaligus batuan
reservoir. Produksi gas dan minyak dari reservoir porositas rendah (<15%) dan
permeabilitas sangat rendah (nanodarcy) telah berhasil meluas di seluruh dunia.
Pengembangan yang berhasil dari sistem sumberdaya gas serpih memiliki potensial
sebagai energi dengan suplai jangka panjang terutama di Amerika Serikat dengan
emisi karbon dioksida terendah dan terbersih. Gas serpih mulai berkembang pesat
sejak 2006 walaupun sumberdaya gas serpih ini lambat menyebar dari Serpih Barnett
ke Amerika dan Kanada (Jarvie, 2012).

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
4
HMTG “GEA” ITB
Secara skematik, sistem migas yang telah dikembangkan secara konvensional
dapat dieksplotasi secara nonkonvensional. Hal ini disebabkan karena baik migas
konvensional dan nonkonvensional, keduanya berasal dari batuan induk yang sama.
Serpih yang menghasilkan hidrokarbon disebut low matrix permeability dan low
porosity reservoir rocks. Shale sendiri sebenarnya merupakan mudstone yang
memiliki fissility atau bidang lemah pada permukaan mudstone yang menunjukkan
kecenderungan untuk terbelah menjadi beberapa bagian.

Shale oil merupakan minyak bumi yang dihasilkan dari reservoir serpih yang
disebut sebagai oil shale, yaitu batuan sedimen yang mengandung material padat
bituminus (kerogen) yang keluar dalam wujud cair ketika batuan dipanaskan oleh
pirolisis. Shale oil ditemukan mula-mula pada tahun 1900. Namun penelitian lebih
lanjut berkembang antara tahun 1944-1969 untuk mengekstraksi minyak dari reservoir
serpih. Ekstraksi shale oil tidak sama seperti mengekstraksi minyak bumi dari
reservoir konvensional. Oil shale dipanaskan dengan temperatur sangat tinggi
(retorting) di bawah permukaan, kemudian ketika fasa berubah menjadi cair, fluida
tersebut dipompa ke permukaan. Komposisi shale oil relatif sama dengan minyak
bumi konvensional, tetapi kualitas shale oil cenderung lebih buruk dibandingkan
dengan minyak bumi konvensional karena banyak mengandung pengotor seperti
sulfur dan nitrogen. Namun hydrotreating kini mampu menghilangkan pengotor
tersebut. Karakteristik fisik dari oil shale tentu memiliki kegetasan yang baik sehingga
mampu mempertahankan rekahan yang telah dibuka. Komposisi shale oil sangat
bergantung pada komposisi shale yang memproduksi shale oil tersebut (Zendehboudi
& Bahadori, 2017).

Shale gas memiliki karakteristik yang mirip dengan shale oil, namun produk
yang dihasilkan berfasa gas. Shale gas diproduksikan dari batuan induk ketika
rekahan yang dibuat pada batuan induk masih kecil, sehingga diawali dengan
keluarnya molekul-molekul gas. Ketika lebih besar dan fasa oil shale adalah cair,
maka shale oil dapat diambil sebagaimana dijabarkan sebelumnya. Gas yang terdapat
pada sistem nonkonvensional dapat bertindak sebagai free gas atau absorbed gas.

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
5
HMTG “GEA” ITB
Lebih spesifik, gas tersebut dapat tinggal dalam rekahan alami, pori-pori, dan
sebagian diserap di dalam matriks shale (absorbed gas).

Gambar 2 Skema sistem migas konvensional dan nonkonvensional Gaffney & Cline, 2011)

Tight gas merupakan gas alam yang diproduksi dari batuan reservoir dengan
permeabilitas yang rendah, sehingga memerlukan teknik tertentu agar dapat
mengekstraknya, salah satunya adalah hydraullic fracturing sebagaimana dilakukan
pada prospek yang lain. Permeabilitas pada reservoir tight gas harus lebih kecil dari
0,1 mD dan kurang dari 10 % porositas matriks.

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
6
HMTG “GEA” ITB
Gambar 3 Ilustrasi prospek sistem nonkonvensional secara khusus pada shale gas (Green, 2014)

Gas hidrat merupakan gas yang hadir dari senyawa alami pada permafrost
(lapisan tanah yang berada di bawah titik beku 0˚C) atau umumnya berada di batas
kerak samudera (Priasmara et al., 2014). Gas hidrat terbentuk dari hasil pencampuran
antara air dan metana pada temperatur rendah dan tekanan tinggi, metana tersebut
dihasilkan dari aktivitas mikrobial (Hartono & Najili, 2019). Air yang terlibat dalam
pencampuran tersebut kemudian akan mengkristal berupa hidrogen yang mengikat
molekul metan (Sloan, 1998). Metan tersebut hadir dalam bentuk hidrat solid yang
tersimpan di continental shelves dan berasosiasi dengan hydrocarbon vents, seeps,
dan mud volcanoes. Gas hidrat dapat berupa gas biogenik yang terbentuk dari hasil
degradasi mikrobial material organik pada suhu rendah atau termogenik yang
dihasilkan dari thermal cracking kerogen pada suhu tinggi dan kedalaman yang cukup
dalam. Migrasi gas hidrat dapat melalui sesar atau lapisan permeabel pasir/lanau, gas
chimneys, dan mud volcanoes.

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
7
HMTG “GEA” ITB
Gambar 4 Ilustrasi endapan gas hidrat (www.energy.gov, diakses 13 Januari 2020))

Namun keberadaan gas hidrat dapat menimbulkan geohazard berupa longsor


bawah laut yang memicu tsunami dan merusak cadangan hidrokarbon yang terdapat
pada sistem. Pembentukan gas hidrat dimulai dari dekomposisi hidrat, jika potensi gas
hidrat terdapat pada sedimen yang belum terkonsolidasi, dekomposisi ini akan
mengganggu proses kompaksi alami yang sedang dialami oleh sedimen tersebut.
Dekomposisi gas hidrat akan melepaskan gas metan dalam jumlah yang sangat
besar, sehingga akan menambah tekanan pori pada sedimen dan rongga butir
sedimen akan menjadi semakin besar, lalu terjadi ketidakstabilan dan memicu
terjadinya tsunami. Lereng topografi laut dengan kemiringan lebih dari 4˚ sudah
berpotensi bahaya untuk tsunami akibat dekomposisi hidrat ini (Priasmara et al.,
2014).

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
8
HMTG “GEA” ITB
Gambar 5 Bahaya gas hidrat yang menimbulkan longsor di bawah laut akibat dekomposisi hidrat
(Priasmara et al., 2014)

Coal-Bed Methane (Gas Metana Batubara) merupakan salah satu gas hasil
coalification (selain CO2, N2, dan H2O) yang terjadi melalui proses biogenik dan
termogenik serta tersimpan dalam porositas rekahan / matriks batubara. Gas metana
batubara mulai terbentuk pada batubara lignit. Untuk CBM termogenik, pembentukan
akan mencapai puncaknya pada bituminus, namun untuk CBM biogenik akan
mencapai puncak pada batubara subituminus. CBM biogenik terbentuk akibat
penguraian bahan organik oleh mikroorganisme, utamanya menghasilkan dalam
bentuk CH4 dan CO2. CBM termogenik terbentuk dari hasil pembebasan zat terbang
ketika pemanasan batubara (akibat pembebanan misalnya), gas yang dihasilkan CH 4,
CO2, dan air (Thomas, 2013).

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
9
HMTG “GEA” ITB
Gambar 6 Ilustrasi keberadaan CBM (dokumentasi pribadi)

Gambar 7 Keberadaan gas metan di antara rekahan (face cleat dan butt cleat) batubara dan hadir sebagai free
gas dan adsorbed gas (dokumentasi pribadi)

POTENSI MIGAS NONKONVENSIONAL DI INDONESIA

Migas nonkonvensional di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Salah


satunya adalah gas hidrat yang memiliki potensi sekitar 850 TCF yang ditemukan di
Selat Sunda dan bagian timur Cekungan Makassar Utara, tepatnya pada bagian thrust
belt berumur Miosen. Penemuan potensi ini didasarkan dari hasil survey BSR (Bottom

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
10
HMTG “GEA” ITB
Simulating Reflector) (Jackson, 2015). Selain itu, berdasarkan survey BSR lainnya,
Palung Jawa ditemukan memiliki potensi gas hidrat (Jackson, 2014).

Gambar 8 Hasil seismik penemuan potensi gas hidrat di Selat Sunda (atas) dan bagian timur
Cekungan Makassar Utara (bawah) yang terpusat pada endapan turbidit yang terletak di cekungan
antarantiklin (Priasmara et al., 2014 dan Jackson, 2015)

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
11
HMTG “GEA” ITB
Potensi shale gas di Indonesia mencapai 547 trilliun kaki kubik (TSCF) yang
terletak pada tujuh cekungan di Indonesia. Tiga cekungan tersebut berada di
Sumatera (Cekungan Sumatera Utara, Tengah, dan Selatan : misalnya pada serpih
Baong, serpih Telisa, dan serpih Gumai), dua cekungan berada di Jawa, lalu dua
cekungan berada di Kalimantan (Cekungan Kutai dan Barito). Potensi shale gas di
Papua berupa Formasi Klasafet. Secara khusus, di Cekungan Sumatera Utara potensi
tersebut mencapai angka 18,56 TSCF. Lalu apa perbedaan dengan potensi gas hidrat
di Amerika Serikat ? Tipe kerogen batuan induk di Amerika Serikat umumnya bertipe
II, namun di Indonesia umumnya II/III. Hal ini karena perbedaan kondisi tektonik dan
lingkungan pengendapan, Batuan induk Indonesia umumnya memiliki lingkungan
pengendapan lakustrin. Bahasan lebih lanjut dapat dilihat pada subbab selanjutnya.

Gambar 9 Daerah potensi shale gas di Indonesia (Sukhyar & Fakhruddin, 2013)

Potensi CBM di Indonesia diperkirakan mencapai 453,3 TSCF. Potensi


tersebut ditemukan di Cekungan Sumatera Selatan (Blok Muara Enim) dan Cekungan

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
12
HMTG “GEA” ITB
Kutai di Kalimantan Timur. Nilai potensi CBM di Indonesia diperkirakan menempati ke
enam terbesar di dunia. Selain potensi CBM yang besar, potensi tight gas di Indonesia
juga ditemukan di beberapa cekungan, misalnya di Kalimantan Timur, Jawa,
Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Namun, belum ada publikasi yang
menyatakan besaran dari potensi tight gas tersebut (Sumber : Majalah Energia oleh
Pertamina edisi Juni 2013).

Gambar 10 Potensi CBM spekulatif di Indonesia (ARII, 2003)

TANTANGAN PENGEMBANGAN MIGAS NONKONVENSIONAL DI INDONESIA


Pengembangan migas nonkonvensional membutuhkan teknologi yang lebih
canggih dibandingkan dengan migas konvensional yang selama ini dikembangkan.
Pengembangan migas nonkonvensional membutuhkan horizontal drilling dan
hydraullic fracturing.

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
13
HMTG “GEA” ITB
Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang sudah sukses dalam
mengembangkan migas nonkonvensional, misalnya Serpih Barnett, Marcellus, dan
potensi-potensi di Cekungan Appalachia. Kendati demikian, tatanan tektonik
Indonesia dan Amerika Serikat memang berbeda. Indonesia merupakan negara
kepulauan yang memiliki cekungan busur belakang dalam jumlah cukup besar.
Indonesia juga merupakan daerah yang secara tektonik aktif, sehingga memiliki
banyak sesar. Proses hydraullic fracturing diperkirakan mampu mereaktivasi sesar-
sesar ini dan menimbulkan gempa buatan yang dapat mengganggu, meresahkan,
atau merusak. Sedangkan, Amerika Serikat secara tektonik merupakan cekungan
passive margin yang berumur tua, bahkan bisa berumur Paleozoikum sehingga
tektoniknya lebih stabil dan pematangan serpih dapat berjalan lebih optimal.

Batuan induk di Indonesia umumnya tersusun atas kerogen tipe III, sebagian
tipe II/III dengan lingkungan pengendapan lakustrin dan deltaik, sebagaimana pada
Cekungan Makassar Utara yang telah dibahas. Namun Amerika Serikat memiliki
batuan induk yang tersusun atas kerogen tipe II dengan lingkungan pengendapan laut
terbuka. Sehingga, batuan induk Amerika Serikat mampu menghasilkan minyak
sebesar 70 % dan gas sebesar 30 %, namun batuan induk di Indonesia menghasilkan
minyak sebesar 20 % dan gas 80 % (Waples, 1985). Tipe kerogen yang berbeda
memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap perekahan.

Dalam pengembangan migas nonkonvensional, serpih yang akan di-fracturing


seharusnya memiliki indeks kegetasan yang cukup, yakni tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu rendah. Sehingga kandungan kuarsa dan mineral lainnya sangat berpengaruh
terhadap indeks kegetasan tersebut. Kasus di Amerika Serikat, Serpih Barnett
didominasi oleh kuarsa yang berasal dari radiolaria karena berada di lingkungan laut
dalam (Jarvie, 2007). Namun, secara tektonik Indonesia terletak di daerah volkanik,
aktivitas gunungapi menyebabkan Indonesia terkayakan oleh mineral feldspar dan
piroksen yang mempengaruhi nilai indeks kegetasan (Zhang et al., 2016). Selain itu,
pelapukan batuan volkanik, misalnya basalt atau andesit, dapat menghasilkan mineral
lempung seperti smectite group (Nichols, 2009) yang kurang mendukung terhadap
pengembangan migas nonkonvensional. Untuk Indonesia Timur, mineral lempung

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
14
HMTG “GEA” ITB
yang terbentuk lebih mendukung namun secara tektonik lebih kompleks sehingga
menjadi tantangan tersendiri terhadap pengembangan migas nonkonvensional di
Indonesia. Demikian juga perbedaan tipe kerogen (tipe II dan III) mempengaruhi
indeks kegetasan.

Dari segi sosial, masyarakat Indonesia sepertinya belum siap untuk menerima
pengembangan migas nonkonvensional. Teknologi fracturing membutuhkan air dalam
jumlah yang besar atau eksploitasi CBM harus melakukan dewatering untuk mencapai
tekanan langmuir. Akibatnya, sungai yang digunakan untuk irigasi bagi masyarakat
negara agraris harus dibendung, tentunya ini akan memberatkan. Selain itu, sumber
air bagi masyarakat harus berlawanan dengan pengembangan migas
nonkonvensional ini.

Khusus untuk pengembangan shale gas, pengembangan ini memerlukan


ruang dalam jumlah yang luas, karena sumur bisa mencapai 1000 sumur lebih,
pembebasan lahan akan menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan migas
nonkonvensional di Indonesia. Indonesia yang didominasi iklim tropis tentunya akan
memiliki banyak hutan yang dapat mempersulit akses dalam pengembangan migas
nonkonvensional.

Sebagaimana yang sudah dipaparkan, potensi Indonesia untuk


mengembangkan gas serpih secara geologi sangat besar. Secara geokimia,
Indonesia sudah memiliki banyak batuan induk efektif, yang kaya akan material
organik dan matang yang cukup, seperti Formasi Gumai, Formasi Lahat, Formasi
Talangakar, Formasi Pedawan, dan lainnya. Jika ada sistem petroleum yang
konvensional, maka seharusnya prospek migas nonkonvensional pun ada pada
sistem tersebut. Jika memang teknologi yang diperlukan belum dimiliki oleh Indonesia,
namun teknologi bisa didapat dari perusahaan lain melalui skema gross split (jika cost
recovery akan memerlukan pengawasan yang sangat ketat dan dikhawatirkan akan
menghambat eksploitasi). Permasalahan utama untuk migas nonkonvensional di
Indonesia adalah sosial. Permasalahan klasik ini juga menjadi hal yang sama pada
geotermal. Sosial masih menolak migas nonkonvensional karena lahan yang dimakan
luas, menimbulkan seismisitas, serta isu lingkungan lainnya. Sebetulnya,

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
15
HMTG “GEA” ITB
permasalahan ini dapat ditangani secara sosialisasi bertahap. Namun, jika Indonesia
berhasil membuktikan kesuksesan produksi gas serpih pertama, maka kebutuhan
akan energi dapat dipenuhi.

________________________________ *** ________________________________

REFERENSI

Green, M., 2014. Nonconventional Deposits. Tidak dipublikasikan

Hartono, B. M., & Najili, A., 2019. Paleo Hydrate Gas Prospecting in Banyumas Basin
from Deep Marine System in Late Cretaceous Subduction: A Geological Approach
in Karangsambung Regency. Tidak dipublikasikan

Jackson, B. A., 2015. Seismic Evidence for Gas Hydrates in The North Makassar
Basin, Indonesia. Petroleum Geoscience. Vol. 10. pp. 227-238

Jarvie, D.M, 2012: Shale Resource Systems for Oil and Gas: Part 1-Shale-gas
Resource Systems, AAPG Memoir 97, 69-87

Jarvie, D.M, 2012: Shale Resource Systems for Oil and Gas: Part 2-Shale-gas
Resource Systems, AAPG Memoir 97, 69-87

Jarvie, D.& Hill, R. & Ruble, T. & Pollastro, R., 2007. Unconventional shale-gas
systems: The Mississippian Barnett Shale of north-central Texas as one model for
thermogenic shale-gas assessment. AAPG Bulletin - AAPG BULL. Vol. 91. pp.
475-499

Katili, J. A., 1980. Geotectonics of Indonesia : A Modern View. Bandung : Direktorat


Jenderal Pertambangan

Kuliah Geologi Migas Nonkonvensional Program Studi Teknik Geologi ITB

Kuliah Metode Eksplorasi Geologi Program Studi Teknik Geologi ITB

Kuliah Geologi Batubara Program Studi Teknik Geologi ITB

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
16
HMTG “GEA” ITB
Pertamina, 2013. Majalah Energia Edisi Juni 2013 : Berburu Migas Nonkonvensional.
Jakarta : PT Pertamina Persero

Peters, K. E., & Cassa, M. R., 1994. Applied Source Rock Geochemistry dalam :
Magoon, L. B., & Dow, W. G., Eds., The Petroleum System : From Source to Trap.
Tulsa : American Association of Petroleum Geologist. pp. 93-120

Priasmara, F. N. D., Aryono A. F., Barus, F. I., & Sijabat, R. F., 2014. Indonesia Gas
Hydrate Potential of Sunda Strait Case Study : Future Energy or Geohazard.
Proceedings Indonesian Petroleum Association 38th Annual Convention and
Exhibition.

Sukhyar, R. & Fakhruddin, R., 2013. Unconventional Oil and Gas Potential in
Indonesia with Special Attention to Shale Gas and Coal-Bed Methane.
Kementerian ESDM

Tampubolon, B. T., 2014. Indonesia Prospective Basin in Frontier Area. Presentasi


Dinas Keteknikan Geologi & Geofisika SKK Migas

Zendehboudi, S., & Bahadori, A. (2017). Shale Oil. Shale Oil and Gas Handbook, 193–
230

Zou, C., 2011. Unconventional Petroleum Geology. San Diego : Petroleum Industry
Press

NEWS COURTESY

Bisnis.id

CNN Indonesia

CNBC Indonesia

Kompas.com

Kontan.id

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
17
HMTG “GEA” ITB
KONTRIBUSI, MASUKAN, DAN SUPERVISI

Ananda Berkah P. – GEA 2017

Andrika Brema Ginting – GEA 2016

Barry Majeed Hartono – GEA 2016

Benito Rama – GEA 2016

Taufik Al Amin – GEA 2016

Moch. Emil Fajri Kamil – GEA 2016

Departemen Diskusi dan Kajian


Bidang Implementasi
18
HMTG “GEA” ITB

Anda mungkin juga menyukai