Anda di halaman 1dari 4

POTENSI GAS NON KONVENSIONAL

Sumber daya gas non-konvensional yang diproduksikan saat ini adalah tight gas, Coal Bed Methane
(CBM), shale gas, oil shale, dan gas hydrat. Namun, saat ini Indonesia baru mengembangkan
eksplorasi shale gas dan CBM. Khusus CBM, saat ini sudah dilakukan tahap produksi.

Potensi Shale Gas

Shale merupakan batuan sedimen klastik berbutir halus yang tersusun atas campuran antara
mineral lempung dan fragmen kecil dari mineral lain seperti kuarsa, dolomit, dan kalsit. Shale
dikarakterisasi sebagai laminasi tipis yang sejajar dengan lapisan batuan. Shale gas adalah gas
alam yang terkandung dalam batuan dan sering diklasifikasikan sebagai shale. Formasi shale gas
memiliki beberapa karakteristik, yaitu: memiliki heterogenitas yang tinggi, matriks porositasnya
rendah, dan permeabilitasnya rendah. Jika ditinjau dari segi respon log, pada zona tertentu shale
gas akan memiliki aktivitas gamma ray yang sangat tinggi, resistivitas tinggi, memiliki respon log Pe
dan bulk density yang rendah. Karakter dari shale gas adalah kemampuannya untuk mengabsorpsi
gas seperti lapisan batubara. Selain itu, shale gas juga mempunyai gas bebas dalam porositas,
tidak seperti batubara yang tidak mempunyai porositas makro. Gas yang diabsorpsi sebanding
dengan kandungan organik shale. Gas bebas sebanding dengan porositas efektif dan saturasi gas
pada pori. Shale gas diperoleh dari shale atau batuan induk (source rock) tempat terbentuknya
hidrokarbon. Potensi shale gas cukup besar di Indonesia yaitu sekitar 574 TCF dari total cadangan
dunia sebesar 6622 TCF. Cadangan shale gas lebih besar dibandingkan CBM sekitar 453,3 TCF
dan gas bumi 334,5 TCF. Potensi shale gas terbanyak berada di Cekungan Sumatera Tengah,
Cekungan Kutai, Cekungan Barito, Cekungan Sumatera Utara, Cekungan Sumatera Selatan, dan
North East Java.

Teknologi Shale Gas

Pengembangan shale gas lebih sulit dibandingkan metode gas konvensional. Metode eksplorasi
shale gas secara umum dimulai dengan akuisisi seismik, pengolahan data seismik, interpretasi
geologi untuk menentukan hydrocarbon play, penentuan sweetspot untuk menghasilkan data log
pseudo TOC, analisis petrophysic dan rock physic untuk menentukan Total Organic Carbon (TOC),
geomekanik, maturasi, porositas, dan saturasi batuan, serta aplikasi lebih lanjut untuk mengetahui
persebaran shale gas yang mengandung potensi gas. Sedangkan metode pengeboran (drilling) dari
shale gas dilakukan dengan teknik pengeboran horisontal (horizontal drilling) dan hydraulic
fracturing. Hydraulic fracture memompakan material galon air, pasir, dan campuran bahan kimia,
mulai dari garam dan asam sitrat hingga racun dan zat karsinogenik, termasuk benzena,
formaldehida, dan timah dengan tekanan sampai 15.000 pon per inci persegi melalui sumur yang
dibor horisontal ke formasi shale sedalam 10.000 meter di bawah permukaan tanah. Tekanan yang
tinggi ini memaksa dibukanya puluhan celah oleh pasir dan bahan lainnya dalam cairan yang
digunakan untuk hydraulic fracture. Setelah cairan dipompa kembali ke permukaan, gas alam yang
tadinya terjebak dalam shale dapat mengalir bebas, dipompa melalui celah dan kemudian berbalik
naik ke sumur akibat tekanan alam yang diciptakan oleh batuan ribuan kaki di atasnya.
Potensi Coal Bed Methane (CBM)

CBM merupakan gas alam yang memiliki komposisi utama metana (CH4) dan terbentuk bersamaan
dengan proses pembentukan batubara (coalification), terjebak dan teradsorpsi pada "cleats"
(macropores) dan matriks batubara (micropores). Cleats secara fisik mirip dengan retakan-retakan
di lapisan batubara. Pada cleats (fracture system) terdiri dari face cleats dan butt cleats. Face cleats
memiliki karakteristik menerus sepanjang reservoar batubara yang dapat digunakan sebagai jalur
utama pada aliran produksi CBM, sedangkan butt cleats memiliki karakteristik tidak menerus dan
tegak lurus face cleats. Dengan demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain
berperan sebagai batuan reservoar, juga berperan sebagai batuan induk (source rock). Potensi
CBM di Indonesia mencapai 453 TCF. Potensi CBM terbanyak terletak di Cekungan Sumatera
Selatan, Cekungan Barito, Cekungan Kutai, dan Cekungan Sumatera Tengah.

Teknologi CBM

Secara umum, teknik eksplorasi CBM mirip dengan shale gas. Hanya saja terdapat perbedaan
dalam teknik pengeboran. CBM menggunakan pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang
bor dari permukaan dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran memanjang dalam suatu
lapisan batubara dapat dilakukan. Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis
pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya
yang jelek.

Pemanfaatan CBM Di Indonesia,

CBM sudah dilakukan sampai tahap produksi. Sehingga, CBM sudah dirasakan pemanfaatannya
bagi penduduk Indonesia. Adapun manfaat CBM adalah sebagai sumber energi ramah lingkungan
untuk pengeringan batubara, untuk bahan bakar PLTG yaitu sebagai bahan bakar dalam turbin gas,
sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga, dan sebagai bahan bakar pesawat ulang-alik.
MARI DUKUNG PERTAMINA MENGEMBANGKAN GAS NON-KONVENSIONAL Saat ini Pertamina
berkomitmen mengembangkan gas non-konvensional yaitu CBM dan shale gas. CBM sudah lama
dikembangkan Pertamina tapi shale gas masih dalam tahap eksplorasi karena banyak hal masih
dikaji tingkat keekonomiannya. Menurut Eddy Purnomo, Direktur Operasional Pertamina Hulu
Energi, pihak Pertamina selalu melakukan percepatan pembentukan (Production Sharing Contract)
CBM di area migas Pertamina. Saat ini, Pertamina telah mempunyai 14 blok CBM (10 di Sumatera
dan 4 di Kalimantan). Pertamina akan menargetkan untuk menambah 9 blok CBM baru lagi sampai
2015. Sedangkan shale gas, Pertamina baru menandatangani PSC shale gas tahun 2013 ini.
Adapun PSC shale gas pertama yang ditandatangani Pertamina pada daerah Sumbagut (Sumatera
Bagian Utara).

TANTANGAN PERTAMINA DALAM PENGEMBANGAN GAS NON-KONVENSIONAL

Pengembangan energi alternatif itu mustahil dikembangkan secara mulus. Segala sesuatunya pasti
ada tantangannya. Adapun tantangan yang bisa menjadi hambatan pengembangan gas non-
konvensional adalah sebagai berikut: Investasi yang cukup mahal terhadap teknologi
pengembangan gas non-konvensional. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa biaya yang yang
dikeluarkan untuk mengembangkan metode non-konvensional lebih mahal dibandingkan metode
konvensional. Teknologi eksplorasi dan produksi gas non-konvensional lebih sulit dibandingkan gas
konvensional. Teknik pengeboran dengan metode hydraulic fracture harus ramah lingkungan. Dasar
hukum dan tata kelola pemerintahan daerah harus mendukung pengembangan gas non-
konvensional. Kondisi geografis perlu diminimalisir dengan infrastruktur yang memadai Penggunaan
gas non-konvensional yang efisien supaya cadangannya tidak menipis secara drastic.

SARAN UNTUK PENGEMBANGAN GAS NON-KONVENSIONAL

Sebagai masyarakat Indonesia yang membutuhkan energi masa depan, Saya memiliki beberapa
saran untuk Pertamina. Adapun saran Saya kepada Pertamina adalah sebagai berikut: Persediaan
dana yang cukup untuk pengembangan gas non-konvensional. Pertamina bisa melakukan joint
dengan investor asing yang berpotensial untuk mengembangkan gas non-konvensional.
Meningkatkan strategi eksplorasi dengan cara memperbanyak riset dan mempertajam ilmu tentang
gas non-konvensional (geologi, geofisika, dan teknik reservoar), meningkatkan quality control (QC)
terhadap data gas non-konvensional, mengoptimalkan dukungan data dan teknologi penemuan
eksplorasi baik berupa program akusisi seismik 3D untuk menghasilkan data bawah permukaan
yang lebih baik maupun teknologi perangkat lunak (software) untuk evaluasi dan pembuatan
berbagai model geologi dan geofisika. Mengembangkan gas non-konvensional lainnya seperti tight
gas, oil shale, dan gas hydrat untuk menambah energi alternatif di Indonesia. Meningkatkan quality
control (QC) data geologi, geofisika, dan teknik reservoar untuk memutuskan titik sumur
pengeboran. Hal ini digunakan untuk meminimalisir terjadinya kegagalan saat pengeboran. Selain
itu, data yang ada harus diperhatikan kondisi geologi regionalnya supaya tidak menimbulkan resiko
bencana alam saat pengeboran. Penggunakan teknik hydraulic fracture harus dilakukan dengan
ramah lingkungan. Jangan sampai teknik pengeboran menimbulkan kebocoran dan polusi
lingkungan. Pertamina juga harus membangun kepercayaan masyarakat supaya tidak banyak
masyarakat yang beranggapan negatif dengan teknik hydraulic fracture. Meningkatkan Health,
Safety, Environment (HSE) yang bertujuan untuk meminimalkan gangguan selama operasi,
mencegah kebocoran sumur, bertanggung jawab terhadap lingkungan, memastikan setiap cairan
limbah dan padatan dibuang dengan benar, mengurangi penggunaan air tawar, melakukan daur
ulang untuk mengurangi beban terhadap sumber air setempat, dan meminimalkan penggunaan
bahan kimia tambahan supaya menjadikan energi yang ramah lingkungan. Membuat dasar hukum
yang mendukung pengembangan energi non-konvensional, memperjelas hukum tentang gas non-
konvensional yangmana hukum gas non-konvensional harus berbeda dengan hukum gas
konvensional, mencari dukungan politik untuk mempermudah peraturan dan tata kelola
pemerintahan daerah, dan patuh terhadap dasar hukum yang ada. Mengembangkan gas non-
konvensional dengan efisien dan hemat energi. Pertamina jangan terlalu sering melakukan
pengeboran karena biaya yang dikeluarkan saat pengeboran mahal. Di samping itu, pengeboran
yang dilakukan secara terus-menerus akan membuat cadangan gas non konvensional semakin
menipis. Meningkatkan infrastruktur pembangunan dan akses transportasi terhadap lokasi sumur
pengeboran gas non-konvensional. Seperti Kita ketahui bahwa lokasi sumur pengeboran itu
biasanya di daerah pedalaman yang jauh dari sarana infrstruktur yang memadai. Pertamina bisa
mengajukan dukungan infrastruktur yang memadai kepada pemerintah. Melakukan promosi
pengembangan gas non-konvensional kepada masyarakat supaya tidak terjadi kesalahpahaman
tentang teknologi, dasar hukum, dan pemanfaatan gas non-konvensional. Sedangkan saran Saya
kepada eksternal Pertamina adalah: Pemerintah dan masyarakat diharapkan mendukung
pengembangan gas non-konvensional. Seperti diketahui sebelumnya bahwa potensi gas non-
konvensional itu lebih besar dibandingkan gas konvensional yang telah dirasakan manfaatnya saat
ini. Pemerintah dan aparat hukum perlu menetapkan Undang-Undang gas non-konvensional dan
Tata Kelola Pemerintah Daerah. Pemerintah perlu mendukung infrastruktur dan sarana transportasi
pada titik sumur pengeboran. Semua masyarakat disarankan untuk menggunakan energi seefisien
dan sehemat mungkin. Caranya dengan menggunakan listrik seperlunya, mematikan lampu saat
siang hari, mengurangi pemakaian AC, menghemat pemakaian transporatasi, dan menggunakan
transportasi umum. Semua masyarakat disarankan membudayakan green energy dengan cara
memanfaatkan car free day, memanfaatkan sepeda (bike day), dan menambah tanaman hijau di
rumah. Demikianlah penjelasan Saya tentang pengembangan gas non-konvensional sebagai energi
potensial di masa depan. Saya berharap gas non-konvensional lebih dikembangkan supaya dapat
dirasakan masyarakat pemanfaatannya.

Anda mungkin juga menyukai