Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru (TB) merupakan infeksi yang diakibatkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini dapat menyerang berbagai organ di tubuh
seseorang, terutama paru-paru dan bersifat menular. Penularan penyakit TB
sebagian besar melalui inhalasi yang mengandung droplet-droplet bakteri TB yang
bersumber dari batuk berdahak ataupun berdarah.
Sampai saat ini, TB masih menjadi problema kesehatan yang serius di dunia,
khususnya di Indonesia. Meskipun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi
sampai saat ini, namun angka kematiannya masih cukup tinggi. Kasus TB paling
sering dijumpai di negara-negara berkembang dengan angka mencapai 95%. 75%
diantaranya menyerang usia produktif, yaitu 20-49 tahun. Prevalensi TB di
Indonesia menempati urutan ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Sampai
sekarang, prevalensi TB di Indonesia masih lebih tinggi dari angka kejadian HIV,
tapi hal ini mungkin akan berubah di masa mendatang melihat semakin
meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun.
Gejala-gejala yang ditemukan pada pasien tuberkulosis bermacam-macam
dan bahkan dapat ditemukan penderita TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Demam, batuk kronik atau batuk darah, sesak napas, nyeri
dada, dan malaise merupakan keluhan paling banyak yang dijumpai pada penderita
TB. Dalam kepentingan diagnosis TB, pemeriksaan sputum pada suspek penderita
TB mutlak dilakukan. Pemeriksaan sputum dilakukan sebanyak 3 kali yang terdiri
dari dahak SPS yakni sewaktu – pagi – sewaktu.
Keberhasilan Program Penanganan TB Paru dapat dinilai dari keberhasilan
pengobatan. Wilayah kerja Puskesmas Pembina merupakan wilayah dengan status
sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah, sehingga resiko terjadinya mangkir
pengobatan TB sangat besar. Sedangkan kasus TB mangkir dapat meningkatkan
resiko kekebalan kuman TB terhadap pengobatan. Resiko terbesar adalah jika
pasien jatuh kedalam keadaan TB MDR. Oleh karena itu perlu bagi puskesmas
untuk melaksanakan kegiatan pelacakan TB mangkir, dalam rangka menurunkan
jumlah pasien TB yang mangkir pengobatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Suspek TB adalah seseorang
dengan gejala atau tanda sugestif TB. Gejala umum TB adalah batuk produktif lebih
dari dua minggu yang disertai gejala pernapasan seperti sesak napas, nyeri dada,
batuk darah dan / atau gejala tambahan seperti menurunnya nafsu makan, menurun
berat badan, keringat malam dan mudah lelah.2
Definisi kasus TB adalah sebagai berikut:
a. Kasus TB definitif adalah kasus dengan salah satu dari spesimen biologis positif
dengan pemeriksaan mikroskopis apusan dahak, biakan atau diagnostik cepat
yang telah disetujui oleh WHO (seperti Xpert MTB/RIF).
b. Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat memenuhi kriteria
konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan maksimal tetapi ditegakkan
diagnosis TB aktif oleh klinisi yang memutuskan untuk memberikan
pengobatan TB berdasarkan foto toraks abnormal, histologi sugestif dan kasus
ekstraparu. Kasus yang ditegakkan diagnosis secara klinis ini bila kemudian
didapatkan hasil bakteriologis positif (sebelum dan setelah pengobatan) harus
diklasifikasikan kembali sebagai kasus TB dengan konfirmasi bakteriologis.2

2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi
permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang
memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak
berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di
dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis
Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan
menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua
dekade terakhir ini. Insidensi TB secara global dilaporkan menurun dengan laju
2,2% pada tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini,
beban global akibat TB masih tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insiden
kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu
orang meninggal karena TB. Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat
adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95%
kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang.2
Pada tahun 2011 Indonesia dengan insidensi 0,38-0,54 juta kasus
menempati urutan keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia
merupakan negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil
mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan kasus TB
di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006.2

2.3 Etiologi
Penularan TB paru dapat melalui lingkungan hidup yang sangat padat dan
pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses
penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya
infeksi biasanya melalui inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis
yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar
melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang di dapat
dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil
tahan asam (BTA).1
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 um dan tebal 0.3-0.6 um. Sebagian
besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan
arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam
(asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering
maupun dalam keadaaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal
ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman
dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.1,4
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma markofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob.
Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-
paru lebih tinggi dari bagian lain. Sehingga bagian apikal ini merupakan tempat
predileksi penyakit tuberkulosis.1

2.4 Patofisiologi
2.4.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut: 1,5

a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad


integrum)
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana
terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh
kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke
lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,
meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh dengan meninggalkan
sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah
mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau meninggal. 1,5

2.4.2 Tuberkulosis Post Primer


Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer
mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis
inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi
sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang
umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.
Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut: 1
a. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
b. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Nasib kaviti ini:
1) Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik
baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti
yang disebutkan diatas
2) Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi
3) Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped). 1

2.5 Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit
1) Tuberkulosis paru, adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.
Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura
tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB
paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru, adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi,
selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra
paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ,
diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan
gambaran TB yang terberat.2

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


1) Pasien baru TB, adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan
(˂ dari 28 dosis).
2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh, adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh
atau karena reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal, adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up),
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
• Lain-lain, adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. 2

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional). 2

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB
dengan:
 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB
2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
 Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB
3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada
bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan. 2
2.6 Manifestasi Klinik dan Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan,
yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. 1,6

Gejala respiratorik terdiri dari batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak napas,
nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak ke luar. Gejala sistemik teridiri dari demam, malaise,
keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun. 1

Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan


terutama pada kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian
juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada
pemeriksaan fisik, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam
paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi, dan auskultasi. Tempat kelainan lesi TB
paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya infiltrat
yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas
tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyering. Tetapi bila infiltrat ini diliputi
oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah. Bila terdapat
kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan
auskultasi memberikan suara amforik. 1
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediastinum atau pleura lainnya. Paru yang sehat menjadi
lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah
jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan selanjutnya
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya
kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor
pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, gallop,
murmur, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang
sakit terlihat tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama
sekali. 1

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Radiologi
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi tuberkulosis. Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah
apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah). Selain itu,
lokasi lesi dapat juga mengenai lobus bawah atau di daerah hilus menyerupai tumor
paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial). 1
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarung-sarung pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat
berupa bulatan dengan batas tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding tipis.
Lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis
terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya tampak
sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti
fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu
lobus maupun pada satu bagian paru. 1
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah
penebalan pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah pleura (efusi pleura/
empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru/ pleura (pneumotoraks). Pada
satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada
tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi,
kavitas (non sklerotik/ sklerotik) maupun atelektasis, dan empiema. Adanya
bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya aktivitas penyakit,
kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit yang sudah non-aktif,
sering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa fibrotik, kalsifikasi, kavitas,
sering dijumpai pada orang-orang yang sudah tua. 1

Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan kurang spesifik sehingga jarang
diperhatikan. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah
leukosit yng sedikit meninggi dengan hitun jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit
masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju
endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain
didapatkan juga anemia ringan dengan gambran normokrom normositer, gama
globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun. 1,6
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapar menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak.
Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini juga
kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsu
masih besar. 1
Pemeriksaan serologis lainnya adalah Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB).
Prinsip dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibodi IgG yang spesifik
terhadap antigen M. tuberculosase. Hasil uji PAP-TB dinyatakan patologis bila
pada titer 1:10.000 didapatkan hasil PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-
kadang masih didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan, dan masa 3 bulan
revaksinasi BCG. 1
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya dengan
uji PAP-TB adalah uji Mycodot. Di sini dipakai antigen LAM (Lipoarabinomannan)
yang dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam
serum pasien. antibodi spesifik anti LA, dalam serum akan terdeteksi sebagai
perubaham warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi. 1
b. Sputum
1. Mikroskopik
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):2
• S (sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada
hari kedua.
• P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
di fasyankes.
• S (sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
Pemeriksaan mikroskopik dapat menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsn, Tan
Thiam Hok (Kinyoun-Gabbett), dan Auramin-Phenol Fluorokrom. Spesimen
ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan
tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Pada pewarnaan tahan asam akan
terlihat kuman berwarna merah dan latar belakang berwarna biru. Pada pemeriksaan
ini dibutuhkan sedikitnya 5.000 batang kuman per ml sputum. Interpretasi
pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease): 2
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang: negatif
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapangan pandang: ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapangan pandang: positif 1
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang: positif 2
 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang: positif 3
Daya mikroskop cahaya biasa sangat terbatas untuk dapat mendeteksi jumlah
kuman yang sedikit. Dengan mikroskop fluoresens daya melihat diperbesar sedikit
dengan luas pandangan yang lebih besar karena lensa obyektif yang lebih besar dan
gambar yang terlihat cukup jelas karena berfluoresensi zat warna auramin
rhodamin. Hasil negatif belum tentu tidak ada kuman.4

2. Pembiakan
Pembiakan merupakan cara yang paling sensitif untuk mendiagnosis
tuberkulosis terutama untuk dahak yang sedikit kumannya dan sulit ditemukan
dengan cara mikroskopik. Pembiakan juga penting untuk dapat melakukan tes
kepekaan terhadap obat-obatan. Hambatannya adalah waktu yang cukup lama
untuk menunggu pertumbuhan yaitu sampai 6 minggu dan harus dieramkan pada
suhu 35-37oC. Pada M. tuberculosis koloni yang timbul dari permukaan berwarna
kuning susu atau cream. Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga
tampak, biakan dinyatakan negatif. Medium biakan yang sering dipakai yaitu
Lowenstein Jensen, Kudoh, dan Ogawa. 1,4

3. PCR
Pemeriksaan dengan teknik PCR dapat dideteksi DNA kuman TB dalam
waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M. tuberculosis yang tidak tumbuh pada
sediaan biakan. 1

Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux
yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative)
intrakutan. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, BCG, dan Mycobacteria
lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan
dengan kuman patogen baik virulen ataupun tidak, tubuh manusia akan
mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi selular pada permulaan
dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya
akan menekankan antibodi selular. Bila pembentukan antibodi selular sudah cukup,
misalnya pada penularan dengan kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman
yang sangat besar atau pada keadaan di mana pembentukan antibodi humoral amat
berkurang (pada hipogama-globulinemia), maka akan mudah terjadi penyakit
sesudah penularan. 1
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terjadi dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibodi selular dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan
antara antibodi selular dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi
humoral. Semakin besar pengaruh antibodi humoral, semakin kecil indurasi yang
ditimbulkan. Berdasarkan ha-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi
dalam: 1) indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif= golongan no
sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol; 2) indurasi 6-9 mm:
hasil meragukan= golongan low grade sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
masih menonjol; 3) indurasi 10-15 mm: Mantoux positif =golongan normal
sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang; 4) indurasi lebih dari 15 mm:
Mantoux positif kuat= golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi selular
paling menonjol. Pada pasien dengan HIV positif, tes Mantoux= 5 mm, dinilai
positif. 1
Dalam upaya pengendalian TB Nasional, maka diagnosis TB paru pada orang
dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis
(Gambar 1). Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan, dan tes cepat. Apabila pemeriksaan secara
bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan
secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-
tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang
telah terlatih TB. Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan
setelah pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon)
yang tidak memberikan perbaikan klinis. Diagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis, uji tuberkulin, dan pemeriksaan foto toraks saja tidak dibenarkan. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran spesifik pada TB paru, sehingga dapat
menyebabkan overdiagnosis atau underdiagnosis. 1

Gambar 1. Alur diagnosis dan tindak lanjut TB paru pad pasien dewasa (tanpa
kecurigaan/ bukti: hasil tes HIV (+) atau terduga TB Resisten Obat) 2
2.8 Tatalaksana TB
 Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
 Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh
sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan. 2

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


OAT lini pertama, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan
etambutol (Tabel 2 dan Tabel 3).
Tabel 1. OAT Lini Pertama 2
Tabel 2. Kisaran Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa 2

Pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien dengan
berat badan <50 kg dianjurkan penurunan dosis menjadi 10 mg/kg/BB/hari.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


 Kategori 1: 2 (HRZE)/4(HR)3
 Kategori 2: 2(HRZE)S/5(HR)3E3
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2, disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket kombipak adalah
paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya. 2
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,
dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam
satu (1) masa pengobatan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk
paket KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu: 2
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien 2

D. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya


a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3 (Tabel 4 dan Tabel 5)

Tabel 3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: pasien TB paru terkonfirmasi
bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.

Tabel 4. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3 2

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3 (Tabel 6 dan Tabel 7)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang): pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan
dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang diobati kembali
setelah putus berobat (lost to follow-up).
Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 2

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2

2.8 TB Mangkir
Penderita TB mangkir adalah penderita TB yang putus pengobatan sebelum
menyelesaikan semua dosis pengobatan TB. Dalam menghindari kejadian tersebut,
diterapkan langkah-langkah untuk melakukan pencarian/pelacakan pasien yang
tidak menyelesaikan semua dosis pengobatan TB. Secara umum, penderita TB
menjadi mangkir dikarenakan tempat pengambilan obatnya jauh atau dari penderita
TB berencana untuk bepergian jauh dan lama tetapi tidak melapor ke petugas TB
sehingga jumlah obat yang diberikan tidak sesuai dengan jumlah hari bepergiannya.
Kegiatan pencarian/pelacakan pasien yang tidak menyelesaikan semua dosis
pengobatan TB tertulis pada Surat Keputusan Kepala Puskesmas Nomor
000/000/UKM Tentang Petugas Pengelola Program TB Paru. Prosedur
pencarian/pelacakan penderita TB mangkir adalah sebagai berikut:
1. Petugas mengidentifikasi pasien TB mangkir/putus berobat.
2. Petugas melakukan pelacakan/ kunjungan rumah pasien tb mankir.
3. Petugas mendiskusikan bersama pasien TB apa penyebab berobat tidak teratur.
4. Petugas memberikan penjelasan tentang bahaya bila berobat TB tidak teratur
atau putus berobat kepada pasien TB mangkir.
5. Petugas membuat kesepakatan bersama pasien TB apakah pengobatan akan
dilanjutkan atau pasien TB tetap tidak melanjutkan pengobatan.
6. Petugas mengklasifikasi pasien TB mangkir apabila pasien TB setuju
melanjutkan pengobatan sesuai pedoman pengobatan pasien TB mangkir yaitu:
a. petugas melanjutkan pengobatan sampai selesai Paien TB mangkir bila
kurang dari 1 bulan
b. Petugas melakukan pemeriksaan ulang dahak SPS bila pasien TB mangkir
antara 1 – 2 bulan :
1) jika sebelumnya minum obat kurang dari lima bulan obat Tb diteruskan
sampai selesai
2) Jika sebelumnya minum obat lebih dari lima bulan pengobatan kategori
1 ganti dengan kategori 2,bila pengobatan kategori 2 rujuk ke klinik TB
kronik/MDR
c. Petugas melakukan pemeriksaan ulang dahak SPS bila pasien mangkir lebih
dari 2 bulan
1) Jika hasilnya BTA negatif /extra paru : hentikan pengobatan kemudian
lakukan observasi bila gejala bertambah berat lakukan pemeriksan
dahak ulang (SPS dan Kultur)

Jika salah satu hasil BTA ( + ) : Katogori 1 ganti Kategori 2 jika kategori 2 maka
rujuk pasien ke klinik DOTS rumah sakit/klinik MDR.

Catatan:

• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.


• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml. (1 ml = 250 mg).
• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
• Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko
terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
• OAT lini kedua disediakan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah ditunjuk
guna memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.
BAB III
INOVASI TB MANGKIR

Berdasarkan angka capaian dan target ASI eksklusif di Indonesia maupun


Kota Palembang, capaian ASI eksklusif pada tahun 2017 belum mencapai target,
yaitu 80% (Depkes, 2017). Terdapat berbagai macam factor yang dapat
menyebabkan belum tercapainya angka ASI eksklusif, yaitu bisa didapatkan factor
internal dan eksternal. Maka dari itu, dibutuhkan inovasi untuk meningkatkan
angka ASI eksklusif.
Belum tercapainya ASI eksklusif sesuai target di Puskesmas Pembina yaitu
disebabkan oleh berbagai macam faktor. Beberapa ibu mengatakan Ia tidak
memberikan ASI eksklusif dikarenakan ibu menganggap ASInya tidak keluar
ataupun hanya sedikit sehingga mereka berfikir bahwa lebih baik tidak usah
diberikan ASI. Selain itu, ada juga yang sudah memberikan ASI selama beberapa
bulan namun dikatakan anak menangis terus sehingga ibu berfikir bahwa anak
kekurangan makanan sehingga diberikan susu formula. Alasan lainnya yaitu ibu
sudah mengerti mengenai ASI eksklusif namun disarankan oleh orangtua maupun
mertua mereka bahwa anak tidak cukup hanya diberi ASI saja, sehingga ibu
didorong oleh mertua ataupun orangtuanya untuk memberi makanan tambahan. Hal
ini terjadi dikarenakan pengetahuan ibu yang masih kurang mengenai ASI padahal
edukasi mengenai ASI eksklusif sudah diberikan kepada para ibu, namun ada
beberapa ibu yang kurang menghiraukan mengenai himbauan untuk memberikan
ASI eksklusif.
Inovasi yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan edukasi pada orangtua
bayi atau ibu hamil. Edukasi yang diberikan lebih ditujukan ke ibu yaitu dapat
diadakan kelas bagi ibu hamil yang diadakan sebulan sekali membahas mendetail
mengenai pemberian ASI eksklusif, sehingga edukasi yang diberikan tidak hanya
dipandang sebelah mata oleh ibu, dan dapat dilakukan diskusi grup mengenai
pemberian ASI eksklusif sehingga kita mengetahui feedback dari ibu dan dapat
menjelaskan bagian yang kurang dimengerti atau kurang di dapat oleh ibu.
Inovasi lain yang dapat dilakukan yaitu dengan pembuatan video edukasi
yang mudah diakses dimanapun dan mudah dimengerti oleh ibu. Video yang dibuat
dapat diputar di ponsel masing-masing ibu sehingga ibu dapat mengerti mengenai
ASI eksklusif. Jika ibu tidak memiliki ponsel maka dengan bantuan kader akan
dilakukan homevisit dan petugas membawa suatu media yang dapat digunakan
untuk memutarkan video tersebut. Video yang akan diputar tersebut sebelumnya
dipromosikan terlebih dahulu oleh para kader maupun pada ibu hamil yang
berkunjung ke poli KIA.
DAFTAR PUSTAKA

Chowdhury, R. et al. (2015) ‘Breastfeeding and maternal health outcomes: a


systematic review and meta‐analysis’, Acta paediatrica. Wiley Online
Library, 104, pp. 96–113.
Organization, W. H. and UNICEF (2018) ‘Global Breastfeeding Scorecard, 2018:
Enabling women to breastfeed through better policies and programmes’,
Geneva & New York: WHO & UNICEF.
Palembang, D. K. K. (2017) ‘Profil Kesehatan Tahun 2017’.
Pusdatin, K. R. (2018a) ‘Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2018’,
Kemenkes RI Badan Pusat Statistik Indonesia.
Pusdatin, K. R. (2018b) ‘Profil Kesehatan Indonesia 2018’, Jakarta. Kemenkes RI
Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.
Suradi, R. (2004) Bahan Bacaan Manajemen Laktasi Menuju Persalinan Aman dan
Bayi Baru Lahir Sehat. Jakarta: Perkumpulan Perinatologi Indonesia.
UNICEF (2016) ADVOCACY BRIEF: Breastfeeding and Early Childhood
Development. Available at:
https://www.unicef.org/nutrition/files/BAI_bf_ecd_brief_final.pdf
(Accessed: 17 December 2019).
UNICEF (2018) Breastfeeding: A mother’s gift, for every child. Unicef.
Victora, C. G. et al. (2016) ‘Breastfeeding in the 21st century: epidemiology,
mechanisms, and lifelong effect’, The Lancet. Elsevier, 387(10017), pp.
475–490.

Anda mungkin juga menyukai