Laporan Kasus Kayuagung
Laporan Kasus Kayuagung
GENERAL ANESTESI
MOLA HIDATIDOSA DENGAN ANEMIA
Oleh:
Ichlas Afriansyah Afif, S.Ked 04084811921130
Wahyudi Teguh Rejeki P, S.Ked 04084821821120
Muhammad Ikmal Bin Md Shahrom, S.Ked 04084821821164
Fitri Mareta Elzandri, S.Ked 04084821921168
Jesica Moudy, S.Ked 04084821921155
Katheline Tamara, S.Ked 04084821921167
Pembimbing:
dr. Hari Ciptadi, Sp. An
dr. Andi Miarta, Sp. An
Judul
General Anestesi
Mola Hidatidosa dengan Anemia
Oleh:
Ichlas Afriansyah Afif, S.Ked 04084811921130
Wahyudi Teguh Rejeki P, S.Ked 04084821821120
Muhammad Ikmal Bin Md Shahrom, S.Ked 04084821821164
Fitri Mareta Elzandri, S.Ked 04084821921168
Jesica Moudy, S.Ked 04084821921155
Katheline Tamara, S.Ked 04084821921167
Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Anestesiologi dan terapi intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Rumah Sakit Umum Daerah Kayu
Agung periode 5 Agustus – 10 Agustus 2019.
Kayuagung, Agustus 2019
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
kasus ini dengan judul “General Anestesi: Mola Hidatidosa dengan Anemia”.
Pada kesempatan ini, penulisan juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Hari Ciptadi, Sp.An dan dr. H. Andi Miarta, Sp.An, selaku
pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan
pengarahan dalam penyusunan laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari sepenuhnya
bahwa laporan kasus ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari isi maupun
teknik penulisan. Sehingga apabila ada kritik dan saran dari semua pihak untuk
kesempurnaan laporan kasus, penulis ucapkan banyak terimakasih.
Demikianlah penulisan laporan kasus ini semoga dapat berguna bagi kita
semua.
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Pengesahan ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
BAB I Pendahuluan 1
BAB II Status Pasien 2
BAB III Tinjauan Pustaka 17
BAB IV Analisa Kasus 31
Daftar Pustaka 26
4
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi secara umum berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu
rangsangan. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai
anestetik, dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik
lokal. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan
rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi
dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan, yang adalah suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. 1,2
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen
anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari: hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan,
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya
mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. 2,3
Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesia umum,
lainnya dengan anestesia regional atau lokal. Operasi di sekitar kepala, leher,
intrathorakal, intraabdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum.
Pilihan cara anestesia harus selalu terlebih dahulu mementingkan segi-segi
keamanan dan kenyamanan pasien. 4
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik
diseluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari
30% jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Anemia
bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala dari berbagai
macam penyakit dasar. Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh
haemoglobin akan berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen
jaringan, jantung harus memompa darah lebih banyak. Peran anestesi adalah
memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah berlangsung.5
5
BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi
Nama : Ny. MS
Nomor RM : 04.87.04
Usia : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku : Melayu
Agama : Islam
Alamat : Desa Deling, Kecamatan Pangkal Lampam
Tanggal MRS : 4 Agustus 2019
2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan alloanamnesis dengan keluarga pasien tanggal 4
Agustus 2019.
a. Keluhan Utama
Keluar darah dari kemaluan sejak ± 2 hari SMRS
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Ny.MS 46 tahun, G5P3A1, sejak ± 2 hari SMRS pasien mengeluh
keluar darah dari kemaluan. Darah berwarna merah terang sebanyak 2
kali ganti pembalut. Pasien juga mengeluh keluar gumpalan darah
seperti hati ayam (+), keluar gelembung seperti mata ikan (+), nyeri
perut (+), dan terasa mulas (+), mual dan muntah (+). Riwayat
payudara tegang (-). Pasien merasa perut semakin membesar kurang
lebih 2 mingu SMRS.
HPHT pasien adalah 15 Juli 2019.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi (-)
6
Riwayat DM (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat asma (-)
d. Riwayat Operasi
Riwayat operasi sebelumnya (-)
e. Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan (-)
f. Riwayat Alergi
Tidak ada.
g. Riwayat Kehamilan dan abortus
Pasien G5P3A1:
1. Tahun 1992, abortus usia kehamilan 3 bulan, tidak dikuret.
2. Tahun 1996, bayi laki-laki aterm lahir hidup, spontan pervaginam
ditolong bidan, berat badan lahir anak 3100 gram
3. Tahun 2003, bayi perempuan aterm lahir hidup, spontan
pervaginam ditolong bidan, berat badan lahir anak 2500 gram
4. Tahun 2007, bayi perempuan aterm lahir hidup, spontan
pervaginam ditolong dukun, berat badan lahir anak lupa
h. Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Tidak ada.
7
dari mulut (-), cedera manuver (head tilt,
servikal (-) chin lift atau jaw
thrust jika curiga
cedera servikal) dan
pemasangan OPA
Breathing Nafas spontan (+), RR = Normal Pertahankan patensi
20 x/menit, WOB pernapasan pasien.
normal, retraksi dinding
dada (-), retraksi
intercostal (-), SpO2 97%
Circulation Warna kulit sianosis(-), Hipertensi. Pasang IV line 2
akral pucat (+), TD: jalur.
160/90 mmHg, HR :80 Resusitasi cairan
x/m dengan kristaloid
2000 mL.
Pemasangan kateter
urine dan NGT.
Hentikan sumber
perdarahan.
Disability AVPU: Response to Pain Pasien sadar Lakukan manajemen
penuh. breathing dan
circulation dengan
baik sehingga
perfusi jaringan
adekuat dan tidak
memperburuk
kondisi pasien
Environment T: 36,2°C Slight Selimuti pasien
hipotermi untuk mencegah
hipotermi
8
Secondary Survey
Pemeriksaan generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Sensorium : GCS 15 E4M6V5
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
RR : 20 x/ menit
Temperatur : 36,20C
SpO2 : 97%
Urine output : terpasang kateter
Keadan spesifik :
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-), pupil isokor
diameter 3 mm/3mm, RC (+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax : I : Statis dan dinamis simetris, kanan sama dengan kiri
P : Stem fremitus kanan sama dengan kiri
P : Sonor dikedua hemithorax
A : Vesikuler (+) normal dikedua hemithorax, ronkhi (-),
wheezing (-)
Cor : BJ I-II normal, HR: 80 x/m, murmur (-) gallop (-)
Abdomen: Cembung, tegang, hepar dan lien sulit dinilai, timpani, BU(+)
normal. FUT teraba 2 jari atas simpisis pubis, konsistensi
keras, NT (-), TCB (-)
Genitalia: OUE tertutup, fluor (-), Fluksus (+) perdarahan tidak aktif,
Ekstremitas : Edema pretibial (-), akral pucat (+), CRT > 2”
9
Persiapan Pre-operasi
Non Farmakologis
- Observasi TTV dan perdarahan
- Perbaikan keadaan umum (KU)
- Oksigenasi dengan nasal canul 3 L/m
- Rencana kuretase setelah perbaikan KU dan Hb pasien
- Informed consent operasi dan informed consent pembiusan
- Edukasi
Sistem Organ
Penyakit Kardiovaskuler : Tidak ada
Penyakit Respirasi : Tidak ada
Penyakit Neurologis : Tidak ada
Diabetes : Tidak ada
Masalah Tiroid : Tidak ada
Masalah Ginjal/Buli/Prostat: Tidak ada
Masalah Gastro-intestinal : Tidak ada
Kelainan Darah : Tidak ada
Penyakit Mata : Tidak ada
Penyakit Telinga : Tidak ada
Kanker/Kemoterapi : Tidak ada
10
Kelainan Psikiatri : Tidak ada
Penyakit atau kelainan lain : Tidak ada
Riwayat Anestesi : Tidak ada
Interaksi obat-obatan : Tidak ada
Tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 160/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,2oC
Respiratory Rate : 20 x/menit
SpO2 : 99% dengan nasal canul 3L/m
Urine output : terpasang kateter
Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 4 Agustus 2019
Darah
11
Hemoglobin : 8.4 g/dL
Hematokrit : 24 %
Leukosit : 15.800/mm3
Trombosit : 224.000/mm3
Eritrosit : 3.0 juta/mm3
Limfosit : 10.0%
Netrofil : 83.7%
Mono, eos, baso: 6.3%
GDS : 65 mg%
Golongan darah: B
b. Anestesi
Rencana Anestesi
- Premedikasi : Tidak diberikan
- Induksi : Fentanyl 100 mcg, propofol 100 mg.
- Jenis anestesi : General anestesi
- Teknik : Semi closed
- Perhitungan cairan : Jam I: 560 mL
- EBV : 4900 mL
- EBL : 1000 mL
- Persiapan darah : PRC200 cc 2 kolf
- Monitoring : EKG, SpO2, NIBP, RR, urine output
12
100/70 63 18 Masuk RL 1 kolf kocor
110/70 64 18
22.45 100/60 69 18 99
105/65 64 18
22.50 117/67 86 20 100
22.55 120/70 92 20 100 Masuk RL 1 kolf kocor
Manajemen Postoperatif
Monitoring tanda vital 24 jam (TD,N,RR, Temp, SpO2) selama 24
Bed rest dan posisi head up 30 ͦ
Oksigenasi 3L/m
2.7 Follow up
Tanggal 5 Agustus 2019
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
13
Nadi : 85 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup.
Pernafasan : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,7ºC
SpO2 : 99%
Cairan : RL 500 cc
Obat : IVFD RL gtt xx/menit
Terapi TS Obgyn
Cefadroxil 800mg/12 jam
Asam Mefenamat 500 mg/8 jam
Neurodex 1x1 tab/24 jam
R/ PRC 2 kantong
Laboratorium
Darah
Hemoglobin : 6.4 g/dL (belum transfusi)
Leukosit : 22.700/mm3
Trombosit : 226.000/mm3
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anestesi Umum
A. Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible. Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem saraf
pusat (SSP) secara reversibel. Anestesi umum diperoleh melalui
penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai
dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan
(amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan
hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran
(unconsciousness).1,3
Anestesi umum memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan
pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang
berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim, dan
menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.3
B. Tujuan Anestesi
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut 3:
1. Hipnotik atau sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesik: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Relaksasi otot
15
Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Untuk mengetahui
apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat
mengetahui apakah ada komplikasi anestesi dan pasca bedah.
Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesi umum.
Pasien gelisah, tidak kooperatif, atau disorientasi dengan
gangguan jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
Pasien obesitas, jika disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesi. Pilihan anestesi adalah regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi
memerlukan anestesi umum endotrakea untuk menjamin ventilasi
selama pembedahan. Demikian juga pembedahan yang
berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik, dan lain-
lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
6. Keinginan pasien
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak mudah terbakar dan tidak
eksplosif adalah pilihan utama pada pembedahan dengan alat
elektrokauter.
16
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke
dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu
tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesi akan berdifusi melalui
membran alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat difusi zat
anestesi sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan
parsial dalam arteri pulmonaris.
Hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
1) Konsentrasi zat anestesi yang dihirup atau diinhalasi: makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam
alveolus.
2) Ventilasi alveolus: makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
2. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Faktor yang
mempengaruhi:
1) Perubahan tekanan parsial zat anestesi yang jenuh dalam alveolus
dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap
jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2) Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan
keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG
koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam
darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat
terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya
penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu
anestesi diakhiri.
3) Aliran darah yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin
banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesi
yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga
17
induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anestesi yang adekuat.
3. Faktor jaringan
1) Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan
jaringan.
2) Koefisien partisi jaringan atau darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian
besar zat anestesi kecuali halotan.
3) Kecepatan metabolisme obat
4) Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (otak, jantung, hepar, ginjal).
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesi ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediet (otot skelet dan kulit)
c) Jaringan sedikit pembuluh darah
d) Relatif tidak ada aliran darah (ligament dan tendon).
4. Faktor zat anestesi
Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya
MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar
minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesi dalam udara alveolus
yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap
rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi
zat anestesi tersebut.
18
1) Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi.
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada
stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
2) Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai
dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini
terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak,
pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak
teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka
meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi
serta takikardia. Stadium ini membahayakan penderita, karena itu
harus segera diakhiri. Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan
premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi
yang halus dan tepat.
3) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya
pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi
menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil
miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring
dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga
dapat dikerjakan intubasi.
19
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal
mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang,
refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot
lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
4) Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti,
dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium
ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
20
berikutnya dengan baik. Beberapa peneliti menganjurkan
obat yang dapat menimbulkan masalah di masa lalu
sebaiknya jangan digunakan ulang misalnya halotan jangan
digunakan ulang dalam waktu 3 bulan atau suksinilkolin yang
menimbulkan apnea berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya.7
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau
lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.7
3) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat
sesuai dengan dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa perdarahan,
dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas
50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.7
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu
untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar.
Sebaliknya pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.3
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai
kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The
American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi
fisik ini bukan alat perkiraan risiko anestesi karena efek
21
samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan.8
ASA I : pasien dalam kondisi sehat
ASA II : pasien dengan kelainan sistemik ringan –
sedang yang tidak berhubungan dengan pembedahan, dan
pasien masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
ASA III : pasien dengan gangguan sistemik berat
sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik berat tidak
dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya
merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
(mengancam jiwa dengan atau tanpa pembedahan).
ASA V : pasien yang tidak dapat diharapkan untuk
bertahan hidup tanpa dioperasi.
ASA VI : pasien mati otak yang organ tubuhnya akan
di keluarkan dengan tujuan donor.
Jika akan dilakukan operasi darurat dapat mencantumkan
tanda darurat E.
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam
jalan napas merupakan risiko utama pada pasien yang
menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5
jam sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis
sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.7
22
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum
induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan, dan bangun dari anestesi di antaranya:3,7
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:
Kunjungan pre-anestesi.
Pengertian masalah yang dihadapi.
Keyakinan akan keberhasilan operasi.
b) Memberikan ketenangan (sedatif).
c) Membuat amnesia.
d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau
narkotik).
e) Mencegah mual dan muntah.
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau
liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2
antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1
jam, secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit.
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan
pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara
intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
23
pemberian premedikasi intramuskuler, subkutan tidak dianjurkan.
Semua obat premedikasi jika diberikan secara intravena dapat
menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropin dan hiosin. Hal ini
dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan
diencerkan.3
Obat-obat yang sering digunakan3:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis
0,1mg/kgBB
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis
0,001 mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB
2. Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
24
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai.3,7
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
(kabel)yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
25
Tiophental (pentothal, tiophenton)
Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum
digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-
lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan
kecepatan suntikan tiophental akan menyebabkan pasien
berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi, atau
depresi napas. Tiophental menurunkan aliran darah otak,
tekanan likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah
bersifat anti-analgesik.
Kontra Indikasi:
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang
lemah
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi
mulut dan saluran nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk
menemukan vena yang baik.
Propofol (diprivan, recofol)
Propofol (2,6 – diisopropylphenol) merupakan
derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena. Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna
putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml =
10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri
sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan
lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi
2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total
26
4-12 mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif
0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa
5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil. Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih
kurang diketahui, tapi diperkirakan efek primernya
berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino
Butired Acid).
Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil
sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate
general anesthesia”. Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-
10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100
mg).
Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskuler sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi opioid
digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskuler 7
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
27
c. Induksi inhalasi 3,7
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi,
tidak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan
analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi
nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan
diberikan analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2
atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk
kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi
napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan
analgesik lemah tetapi anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding
halotan.
28
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%)
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napas seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi di samping halotan.
d. Induksi per rektal 9,10
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah
dan selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan
diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaan mata,
telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi
dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan
inhalasi pada bayi dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
29
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
e. Induksi mencuri 10
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi
inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada
muka pasien tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter sampai
pasien tertidur baru sungkup muka kita tempelkan.
3. Rumatan anestesi (maintenance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total),
dengan inhalasi, atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan
anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis)
sekedar tidak sadar, analgesik cukup, diusahakan agar pasien selama
dibedah tidak menimbulkan nyeri, dan relaksasi otot lurik yang
cukup.10
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanyl 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien
tidur dengan analgesik cukup sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh
otot, dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya
menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas
spontan, dibantu, atau dikendalikan.10
30
Mulut menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum
dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring.
Hipofaring menuju esofagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis
menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid,
epiglottis, dan sepasang aritenoid, kornikulata, dan kuneiform.
1. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
2) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3) Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas
bebas sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat
hidung atau mulut.
2. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang jalan
napas mulut faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau
jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).
3. Sungkup muka
Mengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem
anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa
sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan
tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung.
4. Sungkup laring (laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang
pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa
trakea. Tangkainya dapat berupa pipa keras dari polivinil atau
lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
31
1) Sungkup laring standar dengan 1 pipa napas.
2) Sungkup laring dengan2 pipa yaitu 1 pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan
dengan esofagus.
5. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat
dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung
(nasotracheal tube).
6. Laringoskopi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru.
Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring
secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea
dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal 2 macam
laringoskop:
1) Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-
dewasa.
2) Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati
dibagi menjadi 4 gradasi.
32
Gambar 1. Klasifikasi struktur faring Berdasarkan Mallampati3
7. Intubasi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glotis sehingga ujung distalnya berada kira-
kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea.
Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut:
1) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, dan ventilasi jangka panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Adapun prosedur dalam pelaksanaan intubasi meliputi:
Persiapan
1) Persiapan alat yang dibutuhkan seperti: laringoskop, ET,
stilet, dan lain-lain.
2) Masih siap pakai atau alat bantu napas.
33
3) Obat induksi seperti: pentotal, ketalar, diprivan, dan lain-
lain.
4) Obat pelumpuh otot seperti: suksinil kolin, atrakurium,
pavulon, dan lain-lain.
5) Obat darurat seperti: adrenalin (efinefrin), SA, mielon,
dan lain-lain.
Tindakan
1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.
2) Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi
(+).
3) Jika fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama
kira-kira 1 menit.
4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan
kanan mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut
membuka.
5) Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah
kanan, sedikit demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan
menggeser lidah ke kiri.
6) Cari epiglotis → tempatkan bilah di depan epiglotis
(pada bilah bengkok) atau angkat epiglotis (pada bilah
lurus).
7) Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten dengan
menekan trakea dar luar).
8) Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya
merah.
9) Masukan ETT melalui rima glotis.
10) Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi dan atau
alat bantu napas (alat resusitasi)
Adapun kesulitan dalam intubasi yaitu:
Leher pendek berotot
Mandibula menonjol
34
Maksila atau gigi depan menonjol
Uvula tidak terlihat
Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
Gerak vertebra servikal terbatas
35
3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari
sekret dan cairan lainnya.
5. Pasca anestesi 3
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan
operasi terutama yang menggunakan anestesi umum maka perlu
melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien
sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu diobservasi di
ruang recovery room (RR).
1) Aldrete score
Nilai warna
Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1
Apnea atau obstruksi 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2
Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0
Kesadaran
Sadar, siaga, dan orientasi 2
Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1
Tidak berespons 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0
36
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
37
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:
1. Sumber O2, N2O dan udara tekan
2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
4. Meteran aliran gas (flow meter)
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Lubang O2 darurat (oxygen flush control)3
Berdasarkan sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat
anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open,
closed, dan semi closed 9:
1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada
hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan
alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan
respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar menuju udara bebas.
Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan
polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang mudah
terbakar maka akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di
kamar operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi
tidak stabil dan tidak dapat dilakukan respirasi kendali.
2. Dalam sistem semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag
selain reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1
arah, yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non
rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat keborosan dan polusi kamar
operasi lebih rendah dibanding sistem open.
3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas
anestesi dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi
mengandung CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang
berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh sodalime. Selanjutnya
udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen dari
38
sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali.
Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara
ekspirasi diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan oksigen
dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar operasi.
4. Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini
tidak ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas.
Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar
tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang
adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang
berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga.
menimbulkan pecahnya alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang
paling hemat obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi. Pada sistem
closed dan semiclosed juga disebut system rebreathing, karena udara
ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk
membersihkan CO2. Pada system open dan semi open juga disebut
sistem nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi yang
diinspirasi kembali, sistem ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga
agar pada sistem semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran
gas anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya diberikan antara 2 – 3
kali menit volume respirasi penderita.
39
itu. Kemudian kontraindikasi relatif ialah pada saat itu tidak bisa dilakukan
anestesi umum tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga stabil
mungkin baru bisa diberikan anestesi umum.
40
jaringan, jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul
takikardi, murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan
anemia. Peran anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima
oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama
prosedur bedah berlangsung. Penentu transport oksigen termasuk di
antaranya ialah pertukaran gas di pulmo, afinitas Hb-O2, konsentrasi total
Hb, dan cardiac output. Seluruhnya bekerja dalam satu sistem dan
menyediakan kapasitas oksigen yang adekuat. Apabila ada penurunan
pada satu komponen di atas, maka menyebabkan komponen lain
terpengaruh. Dari komponen tersebut, haemoglobin mempunyai
kemungkinan terbesar untuk dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan
transport oksigen.9
Setelah mengalami proses ventilasi, perfusi dan difusi oksigen
akan ditransportasikan dari sirkulasi pulmoner ke seluruh jaringan tubuh
secara fisik terlarut dalam plasma dan secara kimia terikat dengan
haemoglobin. Satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul
oksigen dan bentuk ikatan tersebut adalah reversibel dan berlangsung
sangat cepat sekitar 0,01 detik. Kebanyakan oksigen ditransportasi secara
kimiawi.9
Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak tergantung pada kadar
haemoglobin normal saja. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan
dengan cairan bebas eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid (Ringer
Laktat, Dextran, Hydroxyethyl Starch, gelatine). Selama keadaan
normovolemia tercapai, keadaan anemia dilusi dan penurunan kadar
oksigen arterial (CaO2) akan terkompensasi tanpa timbulnya risiko
hipoksia jaringan, melalui peningkatan cardiac output. Reduksi progresif
dari CaO2 akan menurunkan delivery oksigen pada jaringan (DO2). 9
Pada keadaan hemodilusi yang ekstrim (ketika sudah melewati
DO2 crit), jumlah oksigen yang sudah dihantarkan ke jaringan menjadi
tidak sesuai dengan permintaan oksigen dari jaringan, sebagai
konsekuensinya, VO2 mulai turun. Penurunan VO2 harus
41
diinterpretasikan sebagai tanda indirek dari manifestasi hipoksia jaringan.
Tanpa penanganan, keadaan DO2 crit akan menyebabkan kematian
dalam waktu kurang dari 3 jam.9
42
Apabila didapatkan perdarahan massif, dapat dilakukan transfusi
perioperatif. Transfusi sel darah merah perioperatif jarang diindikasikan
pada pasien dengan Hb > 10 g/dl, namun hampir selalu diindikasikan
pada pasien dengan Hb < 6 g/dl. Pada pasien dengan risiko
kardiovaskular, konsentrasi Hb perioperatif harus dijaga antara 8 – 10
g/dl. 9
43
e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko
komplikasi
3. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 10 g/dl
a. Pasien ASA 4
b. Pasien dengan penyakit gagal jantung, penyakit katup jantung
c. Pasien sepsis
d. Pasien dengan penyakit paru parah
e. Pasien dengan simptomatik cerebrovaskular disease
44
Produksi urine normal minimal 0,5 – 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor
pada bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi
urin atau distensi vesica urinaria.
BAB IV
ANALISIS MASALAH
45
liter pada dewasa. Respons penderita terhadap pemberian cairan ini dipantau, dan
keputusan pemeriksaan diagnostik atau terapi lebih lebih lanjut akan tergantung
pada respons ini. Pada kasus ini, pendarahan terus berlangsung sehingga
dilakukan tatalaksana lanjutan untuk syok derajat II. Pasien kehilangan cairan
sebanyak kira-kira 1000 cc yaitu 15-30% dengan GCS 15, TD 110/60 mmHg, HR
65x/m, RR 18x/m. Untuk syok hemoragik derajat II, diberikan tatalaksana berupa
koloid dan transfusi darah. Alasannya, cairan koloid ini mempunyai nilai onkotik
yang tinggi sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih lama
di intravaskular.
Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau
aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan
keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada
anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang,
atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini
menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya
penggantian volume dan usaha diagnostik. Pada pasien ini setelah dilakukan
resusitasi cairan dengan kristaloid, koloid dan transfusi darah, urine yang
diproduksi adalah sebanyak 50 cc. Hal ini menandakan bahwa resusitasi yang
diberikan berhasil ditandai dengan aliran darah ke ginjal yang adekuat.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
9.
47