Anda di halaman 1dari 30

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

Non Proliferatif Diabetik Retinopati (NPDR)

PENYUSUN :

Yeremia Maruli Togatorop, S. Ked

K1A1 14 088

PEMBIMBING :

dr. Suryani Rustam, Sp.M, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
Non Proliferatif Diabetik Retinopati (NPDR)
Yeremia Maruli Togatorop, Suryani Rustam

A. Pendahuluan 1,2,3
Diabetik retinopati (DR) merupakan penyulit penyakit Diabetes mellitus yang
paling ditakuti. Karena insidennya yang cukup tinggi dan prognosa yang kurang baik
bagi penglihatan. Meskipun dapat dihindari dengan mengontrol kadar gula darah yang
baik dan deteksi dini jika ada kelainan pada mata. Efek  perubahan persarafan di retina
dan kerusakan aksi insulin di retina dalam patogenesis awal retinopati dan mekanisme
kebutaan.
Diabetik retinopati merupakan penyebab kebutaan paling seringditemukan pada
usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih
mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada
pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada waktu diagnosis
diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetichanya ditemukan pada kurang dari 5%
pasien. Setelah 10 tahun, prevalensimeningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun
lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetic.
Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita
retinopati diabetic nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20 tahun, prevalensi
retinopati diabetic meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derejat. Di
Amerika utara, 3.6% pasien diabetes tipe 1 dan 1.6% pasiendiabetes tipe 2 mengalami
kebutaan total. Di Inggris, sekitar 1000 pasien diabetes tercatat mengalami kebutaan
sebagian atau total setiap tahun.Pada Negara berkembang, setidaknya 12% kasus
kebutaan disebabkan oleh diabetes. Resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah
umur 10 tahun, dan meningkat setelah pubertas. Hal ini terjadi 20 tahun setelah
menderita diabetes.
B. Retina 2,3,4,5
1. Anatomi
Retina adalah bagian mata yang sensitif terhadap cahaya yang terletak di
segmen posterior mata. Retina merupakan struktur yang terorganisasi memberikan
informasi visual ditransmisikan melalui nervus optikus ke korteks visual. Retina
berkembang dari cawan optikus eksterna yang mengalami invaginasi mulai dari
akhir empat minggu usia janin (Vaughan & Asbury’s general ophthalmology,
2007).
Bola mata orang dewasa memiliki diameter sekitar 22 mm - 24,2 mm
(diameter dari depan ke belakang). Bola mata anak ketika lahir berdiameter 16,5
mm kemudian mencapai pertumbuhannya secara maksimal sampai umur 7-8
tahun. Dari ukuran tersebut, retina menempati dua pertiga sampai tiga perempat
bagian posterior dalam bola mata. Total area retina 1.100 mm2. Retina melapisi
bagian posterior mata, dengan pengecualian bagian nervus optikus, dan
memanjang secara sirkumferensial anterior 360 derajat pada ora serrate. Tebal
retina rata-rata 250 μm, paling tebal pada area makula dengan ketebalan 400 μm,
menipis pada fovea dengan ukuran 150 μm, dan lebih tipis lagi pada ora serrata
dengan ketebalan 80 μm (Vaughan & Asburry’s general ophthalmology, 2007).
Retina mendapatkan vaskularisasi dari arteri oftalmika (cabang pertama dari
arteri karotis interna kanan dan kiri) dan arteri siliaris (berjalan bersama nervus
optikus). Arteri siliaris memberikan vaskularisasi pada lapisan luar dan tengah,
termasuk lapisan pleksiform luar, lapisan fotoreseptor, lapisan inti luar, dan
lapisan epitel pigmen.

Anatomi Retina
Anatomi Retina

2. Histologi
Permukaan luar retina berhubungan dengan koroid, sedangkan permukaan
dalamnya berhubungan dengan badan vitreous. Retina memiliki 10 lapisan, yang
terdiri dari (dari luar ke dalam):
a. epitel pigmen
b. batang dan kerucut
c. membran limitans eksterna
d. lapisan inti luar
e. lapisan pleksiform luar
f. lapisan inti dalam
g. lapisan pleksiform dalam
h. lapisan sel ganglion
i. lapisan serat saraf
j. membran limitans interna
Histologi Retina

3. Fisiologi Retina
Retina adalah bagian mata yang paling kompleks dan paling sensitif terhadap
cahaya. Retina memiliki lapisan fotoreseptor berisi sel batang dan kerucut yang
memiliki peran dalam menangkap stimulus cahaya lalu mentransmisikan impuls
melalui nervus optikus ke korteks visual bagian oksipital.
Fotoreseptor tersusun rapi pada bagian terluar avaskuler retina dan banyak
terjadi perubahan biokimia untuk proses melihat. Komposisi sel kerucut lebih
banyak pada bagian makula (fovea) dan sedikit pada bagian perifer, sedangkan sel
batang densitasnya tinggi pada bagian perifer dan sedikit pada bagian makula
(fovea). Sel kerucut berfungsi untuk melihat warna dan saat siang hari sehingga
fovea bertanggung jawab pada penglihatan warna dan cahaya banyak. Sel batang,
mengandung pigmen fotosensitif rhodopsin, berfungsi untuk melihat warna hitam-
putih dan saat malam hari sehingga bagian perifer bertanggung jawab untuk
penglihatan gelap pada malam hari.
Retina juga memiliki lapisan neural yang terdiri dari sel bipolar, sel ganglion, sel
horizontal, dan sel amakrin. Sel bipolar tersebar di retina dan bertugas
menghubungkan sel fotoreseptor (postsinaps sel batang dan kerucut) dan sel
ganglion. Sel ganglion memberikan akson yang akan bergabung dengan serabut
nervus optikus ke otak. Sel horizontal terletak pada lapisan pleksiform luar dan
berfungsi sebagai interkoneksi sel bipolar dengan sel bipolar lainnya. Sel amakrin
terletak pada lapisan pleksiform dalam dan berfungsi sebagai penghubung sel
bipolar dengan sel ganglion.
Selain itu, retina juga memiliki sel glia atau sel pendukung yang terdiri dari sel
Muller, astrosit, dan sel mikroglia. Sel Muller terletak pada lapisan inti dalam dan
memberikan ketebalan ireguler yang memanjang sampai ke lapisan pleksiform luar.
Sel astrosit tertutup rapat pada lapisan serabut saraf retina. Sel mikroglia berasal dari
lapisan mesodermal dan bukan merupakan sel neuroglia.
C. Definisi 2,3,8
Retinopati diabetic adalah kelainan retina yang ditemukan pada penderita diabetes
melitus. Retinopati diabetic lama dapat berupa aneurisma, melebarnya vena, perdarahan
dan eksudat lemak pada retina. Diabetik retiopati merupakan penyulit penyakit Diabetes
Melitus yang paling ditakuti.
Nonproliferative diabetic retinopaty (NPDR) merupakan perubahan dini yang tidak
menyebabkan gangguan penglihatan. Perubahan dini yang reversible dan tidak
mengakibatkan gangguan penglihatan sentral ini sering juga disebut background
retinopathy atau retinopati simpleks.
D. Epidemiologi 2,3,6,7,14
Penderita diabetes mellitus tipe I (insulin dependent diabetes) dan tipe II (non insulin
dependent diabetes) mempunyai risiko yang besar untuk terjadinya retinopaty diabetic.
Makin lama menderita diabetes mellitus makin bertambah risiko terjadinya retinopati
diabetic. Diabetes yang dialami lebih dari 20 tahun pada tipe I hamper seluruhnya dan
>60% pada tipe II menderita retinopati.
Retinopati diabetic menjadi penyulit diabetes mellitus paling penting. Hal ini
diakibatkan oleh insidennya yang cukup tinggi yaitu mencapai 40-50 % penderita
diabetes dan prognosisnya yang kurang baik terutama bagi penglihatan.
Di Amerika serikat terdapat kebutaan hampir 5000 orang pertahun akibat retinopati
diabetic. Sedangkan di Inggris retinopati diabetic merupakan penyabab kebutaan ke 4
dari seluruh penyebab kebutaan.
Di Indonesia, data resmi mengenai jumlah penderita retinopati diabetik belum ada
sehingga angka kebutaan yang diakibatkan oleh retinopati diabetik di Indonesia belum
diketahui. Tetapi, dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1995,
kebutaan yang diakibatkan oleh retinopati masuk ke dalam kategori “kebutaan akibat
penyakit lain” sebanyak 28%. Penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
menunjukkan RD merupakan komplikasi DM pada organ mata terbanyak kedua (24.5%)
setelah katarak (47.7%).
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering ditemukan pada
usia dewasa antara 20-74 tahun. Namun, resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah
umur 10 tahun, dan meningkat setelah pubertas.
Jumlah penderita retinopati diabetik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
terdapat 43 orang (laki-laki 16 orang (37,2%) dan perempuan 27 orang (62,8%).
Kejadian terbanyak pada usia 46-58 tahun yaitu 30 orang (69,8%) dan penderita
terbanyak didiagnosis dengan PDR. Terjadi peningkatan angka kejadian retinopati
diabetik pada tahun 2012 dan 2013 dengan pasien terbanyak adalah pasien perempuan.
(JOI)
E. Faktor Risiko 1,2,3,12,13,14
1. Durasi diabetes
Terlepas dari jenisnya, mereka dengan durasi penyakit yang lebih lama
memiliki risiko lebih besar untuk berkembang menjadi Diabetic Retinopathy
(DR). Oleh karena itu:
 Funduscopy sangat dianjurkan untuk penderita diabetes tipe II pada
pemeriksaan mata pertama mereka.
 Disarankan bahwa penderita diabetes tipe I menjalani funduscopy 3
sampai 5 tahun setelah diagnosis diabetes.
 Jika pasien ditemukan memiliki tanda-tanda retinopati, rencana intervensi
harus dibuat. berdasarkan keparahan retinopati
2. Gula darah
Walaupun kontrol glikemik yang ketat tidak serta merta mencegah
perkembangan DR, direkomendasikan bahwa pasien diabetes mengontrol kadar
glukosa darah dan HbA1C untuk mengurangi risiko perkembangan DR dan
akibatnya kebutuhan akan pengobatan.
3. Tekanan darah
Target tekanan darah sistolik kurang dari 130 mmHg direkomendasikan bagi
pasien diabetes untuk memperlambat perkembangan DR.
4. Lipid serum
 Peningkatan kadar lipid serum meningkatkan risiko perkembangan dan
perkembangan DR. Oleh karena itu, kontrol lipid serum dengan statin dan
fibrat dianjurkan pada pasien diabetes.
 Hyperlipidemia telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk edema
makula diabetik eksudatif. Oleh karena itu, kontrol lipid serum
direkomendasikan sebagai tindakan terapi awal pada pasien diabetes.
5.Gangguan ginjal
 Direkomendasikan bahwa pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal
menjalani pemeriksaan retina yang hati-hati karena risiko mengembangkan
DR (hingga 58%)
 Dianjurkan agar pasien dengan DR lanjut menjalani evaluasi fungsi ginjal
menyeluruh karena risiko mengembangkan gangguan ginjal (sekitar 15%).
6.Vitamin D
Karena kekurangan vitamin D dapat dikaitkan dengan perkembangan DR,
konsultasi dengan spesialis (ahli endokrin, gastroenterologis, atau nefrologi)
diperlukan untuk pasien diabetes dengan defisiensi vitamin D dan ada masalah
ginjal dan gastrointestinal yang ada bersamaan.
7.Merokok
Merokok telah dikaitkan dengan insiden yang lebih rendah dari DR,
namun, mengingat tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi di antara
perokok, dianjurkan berhenti merokok.
8.Kehamilan
Peningkatan risiko perkembangan DR dua kali lipat selama kehamilan
bagi wanita diabetes yang merencanakan kehamilan. Selain itu, mereka harus
dipantau dengan pemeriksaan glukosa darah rutin dan pemeriksaan retina selama
dan setelah masa kehamilan. Penilaian menyeluruh terhadap DR
direkomendasikan sebelum merencanakan kehamilan.
9.Genetika
Tampaknya gen tertentu terlibat dalam pengembangan dan perkembangan
DR yang dapat bervariasi berdasarkan etnis dan asal geografis. Oleh karena itu,
direkomendasikan bahwa pasien dengan riwayat keluarga positif DR menjalani
pemeriksaan mata yang lebih sering.
10. Penderita Penyakit mata lain dengan diabetes
 Penyakit mata diabetes lainnya seperti katarak, neuropati optik,
kelumpuhan otot ekstraokular, rubeosis iridis, dan keterlambatan
penyembuhan epitel kornea harus dipertimbangkan pada pasien dengan
DR.
 Disarankan untuk memeriksa iris dan sudut untuk kehadiran
neovaskularisasi sebelum inisialisasi tetes mata mydriatic.
 penderita diabetes untuk operasi keratorefractive harus mendapat
informasi tentang lama proses penyembuhan luka epitel kornea sebelum
operasi.

Durasi diabetes adalah faktor risiko utama yang terkait dengan perkembangan
retinopati diabetik. Setelah 5 tahun, sekitar 25% pasien Tipe 1 akan menderita retinopati.
Setelah 10 tahun, hampir 60% memiliki retinopati, dan setelah 15 tahun, 80% memiliki
retinopati. Dalam Studi Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy
(WESDR) untuk pasien berusia 30 tahun ke bawah, retinopati diabetik proliferatif
(PDR),bentuk yang paling banyak mengancam penglihatan, pada sekitar 50% pasien
Tipe 1 yang menderita penyakit DM selama 20 tahun. Di Los Angeles Latino Eye Study
(LALES) dan di Proyecto VER (Visi, Evaluasi dan Penelitian), 18 % dari peserta dengan
diabetes berdurasi lebih dari 15 tahun memiliki PDR, tanpa perbedaan dalam persentase
dengan PDR antara mereka yang menderita diabetes tipe 1 versus tipe 2.
Dari pasien tipe 2 di atas usia 30 yang memiliki durasi diabetes diketahui kurang dari
5 tahun, 40% dari pasien yang menggunakan insulin dan 24% dari mereka yang tidak
menggunakan insulin memiliki retinopati. Angka-angka ini meningkat menjadi 84% dan
53%, masing-masing, ketika durasi diabetes telah didokumentasikan hingga 19 tahun.
Perbandingan informasi dari WESDR dan studi berbasis populasi yang lebih baru seperti
Proyecto VER dan LALES dapat menjelaskan perbedaan dalam manajemen glukosa
darah dan hipertensi yang telah terjadi seiring waktu.
Kontrol glikemik adalah faktor risiko utama yang dapat dimodifikasi yang terkait
dengan perkembangan retinopati diabetik. Dukungan untuk hubungan ini didasarkan
pada uji klinis dan studi epidemiologi. Ada kesepakatan umum bahwa durasi diabetes
dan keparahan hiperglikemia adalah faktor risiko utama untuk mengembangkan
retinopati. Setelah retinopati hadir, durasi diabetes tampaknya menjadi faktor yang
kurang penting daripada kontrol glikemik dalam memperkirakan perkembangan dari
tahap awal ke tahap retinopati selanjutnya. Direkomendasikan bahwa HbA1c 7% atau
lebih rendah adalah target untuk kontrol glikemik di kebanyakan pasien, sedangkan pada
pasien tertentu, mungkin ada beberapa manfaat untuk menetapkan target yang lebih
rendah dari 6,5% . Manajemen hipertensi intensif dapat memperlambat perkembangan
retinopati, namun data tetap tidak meyakinkan. Studi besar menunjukkan bahwa
pengelolaan lipid serum dapat mengurangi perkembangan retinopati dan kebutuhan
untuk pengobatan. Ada kurang kesepakatan di antara penelitian tentang pentingnya
faktor lain seperti usia, jenis diabetes, faktor pembekuan, penyakit ginjal, aktivitas fisik,
biomarker inflamasi, dan penggunaan angiotensin. konversi inhibitor enzim. Banyak
faktor-faktor ini berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang
substansial dan komplikasi lainnya yang berkaitan menderita diabetes. Dengan demikian,
dokter spesialis mata harus mendorong pasien dengan diabetes untuk memenuhi
persyaratan terapi dengan semua aspek medis penyakit mereka.
F. Patofisiologi 2,3,8
Retinopati diabetes adalah mikroangiopati progresif. Hiperglikemia kronis mengarah
pada respons metabolik yang dimediasi oleh peningkatan produk akhir glikasi, poliol,
spesies oksigen reaktif, eikosanoid, oksida nitrat, dan molekul adhesi antar sel, dan
aktivasi jalur protein kinase C, mengarah pada kerusakan endotel mikrovaskuler,
leukostasis kapiler retina, dan penutupan kapiler. Iskemia retina dalam yang dipicu
memicu pelepasan VEGF, yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan sawar retina
darah dalam dan kebocoran pembuluh darah.
Perubahan histopatologis yang paling awal adalah penebalan membran basal endotel
kapiler dan hilangnya pericytes, yang mengarah ke outpouchings yang membentuk
microaneurysms. Perdarahan berbentuk api superfisial pada lapisan serabut saraf timbul
dari arteriol prapiler, dan perdarahan titik dan bercak yang dalam muncul dari ujung vena
kapiler. Bintik kapas-wol adalah bukti stasis axoplasmic biasanya karena infark lapisan
serat saraf dari oklusi arteriol prekapiler.
G. Klasifikasi 1,2,3,8,15

Klasifikasi Retinopati Diabetik

Ada banyak tumpang tindih antara berbagai klasifikasi. Mereka semua mengenali dua
mekanisme dasar yang menyebabkan hilangnya penglihatan: retinopati (risiko pembuluh
baru) dan makulopati (risiko kerusakan pada fovea pusat). Perbedaan antara klasifikasi
terutama berkaitan dengan tingkat retinopati dan juga terminologi yang digunakan. Di
bawah ini dijelaskan persamaan dan perbedaan dalam berbagai klasifikasi, dengan tujuan
memungkinkan referensi silang. Terminologi alternatif yang umum digunakan
ditunjukkan dalam tanda kurung
1. Retinopathy
Retinopati diabetik diklasifikasikan menurut ada tidaknya pembuluh darah
baru yang abnormal sebagai:
 Retinopati non-proliferatif (background / preproliferatif)
 Retinopati proliferatif
Masing-masing memiliki prognosis yang berbeda untuk penglihatan.
2. Retinopati diabetik non-proliferatif (NPDR) (latar belakang / preproliferatif)
a. Dalam klasifikasi internasional (AAO), NPDR dinilai sebagai:
 Mild
 Moderate
 Severe

b. Dalam klasifikasi NSC-UK, NPDR dinilai sebagai:
 Background (Level R1)
 Pre-proliferative (Level R2)
c. Dalam Skema Grading Diabetic Retinopathy Skotlandia, NPDR dinilai
sebagai:
 Mild background (Level R1)
 Moderate background (Level R2)
 Severe background (Level R3)
Klasifikasi internasional berdasarkan American Academy of Ophthalmology (AAO)
yang menjadi acuan yang paling sering digunakan:
a. mild NPDR ditandai dengan setidaknya satu mikroaneurisma.
b. Pada NPDR moderat, ada banyak mikroaneurisma, perdarahan intraretinal,
manik-manik vena, dan / atau cotton-wool spots .
c. NPDR severe ditandai oleh cotton-wool spots, manik-manik vena di dua kuadran,
dan kelainan mikrovaskular intraretinal (IRMA) baik di empat kuadran atau lebih
berat di satu kuadran.
H. Tanda dan Gejala 1,3,6,15
Mengenali tanda retinopati non-proliferatif memungkinkan untuk memprediksi risiko
individu terhadap pembentukan pembuluh baru di masa depan, dan untuk
merekomendasikan interval peninjauan yang aman. Pentingnya lokalisasi perubahan
makula dalam tahap retinopati non-proliferatif adalah untuk memastikan risiko fovea
(dan penglihatan) edema makula dan deposisi lipid.
Tanda-tanda klinis pertama retinopati diabetik adalah akibat dari oklusi kapiler
terisolasi dengan kapiler non-oklusi yang berdekatan membentuk pembengkakan
saccular atau fusiform yang disebut microaneurysms. Sirkulasi kapiler hanya terlihat
pada angiografi fluorescein.
a. Mikroaneurisma
Ini muncul sebagai titik-titik merah terisolasi, bulat, dengan ukuran
bervariasi. Ada sejumlah teori untuk menjelaskan kehadiran mereka - mereka
mungkin mencerminkan upaya gagal untuk membentuk kapal baru atau mungkin
hanya menjadi kelemahan dinding pembuluh kapiler melalui hilangnya integritas
struktural yang normal. Mikroaneurisma individu dapat bocor sehingga terjadi
perdarahan titik, edema, dan eksudat. Trombosis spontan dapat menyebabkan
resorpsi edema perdarahan dan eksudat. Mikroaneurisma trombosis biasanya
menghilang dari pandangan klinis, tetapi kadang-kadang tetap terlihat sebagai titik
putih.

Microaneurisma

b. Pendarahan Dot
Perdarahan dot tidak selalu dapat dibedakan dari microaneurysms karena
mereka serupa dalam penampilan tetapi dengan ukuran yang bervariasi. Oleh karena
itu secara tradisional tidak mencoba membedakan mereka pada pemeriksaan klinis.
Sebaliknya istilah dot haemorrhage / microaneurysm digunakan.

Blot dot Hemorrhage

c. Occlusi Kapiler Diffusi


Oklusi kapiler progresif mengarah pada perkembangan perdarahan bercak,
anomali mikrovaskular intraretinal, dan perubahan vena. Oklusi kapiler yang lebih
luas dapat menyebabkan retina tanpa sifat, diikuti oleh neovaskularisasi.
 Blot haemorrhages
Bila kluster kapiler tersumbat, pendarahan bercak intraretinal terjadi.
Pendarahan semacam itu dapat terjadi sepanjang ketebalan penuh retina.
Perdarahan bercak dianggap mewakili infark retina dalam. Lesi dapat dilihat
berada di lapisan pleksiform luar pada angiografi fluorescein di mana ia tidak
menutupi lapisan kapiler di atasnya tidak seperti perdarahan titik dan api yang
terletak lebih dangkal di retina. Perdarahan bercak yang lebih perifer, bulat,
dan besar adalah gambaran umum iskemia okular. Pasien-pasien seperti itu
sering mengembangkan iridopathy -proliferatif iridis rubeosis dan akibat
glaukoma neovaskular.
 Cotton Wool Spots
Bintik kapas diyakini mewakili ujung bengkak dari akson yang terganggu
di mana penumpukan aliran axoplasmik terjadi di tepi infark. Bintik-bintik
kapas paling sering terjadi di mana serat saraf paling padat seperti sisi hidung
dari saraf optik. Gambaran seperti itu tidak eksklusif untuk retinopati diabetik
dan tidak dengan sendirinya tampak meningkatkan risiko pembentukan
pembuluh darah baru. Karenanya, kecuali area yang luas dipengaruhi oleh
bintik kapas ditemukan bahwa mereka dianggap sebagai perubahan retinopati
proliferatif. Bintik-bintik kapas sering memiliki anomali mikrovaskuler
looping yang bertetangga, yang mungkin merupakan varian dari pembentukan
kolateral, seperti yang terlihat pada oklusi vena retina, daripada IRMA khas
yang terlihat dengan oklusi kapiler.

Cotton-wool spot
d. Anomali Microvaskuler Intra-Retinal (Irma)
Penutupan luas jaringan kapiler antara arteriol dan venula menyebabkan sisa
kapiler membesar. Tunggul dan saluran vaskular yang tersisa ini muncul sebagai
kelainan mikro-vaskular berliku yang runcing di area oklusi kapiler, dalam retina,
perubahan lebih mudah diidentifikasi pada angiografi fluorescein. Mekanisme lain
yang mungkin untuk pengembangan IRMA adalah varian pembentukan agunan dan
dapat dilihat dalam hubungannya dengan oklusi arteriolar lokal dan bercak kapas.
Pada pasien-pasien muda, IRMA mungkin dikacaukan dengan pembuluh-pembuluh
telangiectatic yang membesar dalam bundel serabut saraf, yang mencerminkan
keadaan hiperemia umum.
Berbeda dengan IRMA, telangiectasia yang muncul sebagai akibat dari oklusi
vena retina bocor fluorescein sepanjang mereka mengakibatkan edema retina dan
pembentukan eksudat. IRMA hanya bocor dari ujungnya yang tumbuh, lebih jarang
dikaitkan dengan eksudat dan tampaknya mengembangkan persimpangan ketat sel
endotel yang menunjukkan kemungkinan peran dalam perbaikan retina.
 Venous Beading
Di mana vena mengalir melalui area penutupan kapiler yang luas, vena
beading terjadi. Manik-manik vena dapat mewakili fokus proliferasi sel
endotel vena yang gagal berkembang menjadi pembuluh darah baru.
Angiografi fluorescein menunjukkan pewarnaan dinding pembuluh darah
ketika vena melewati iskemik retina dan 'pemangkasan' di mana cabang
samping tampak tersumbat segera setelah bercabang dari pembuluh utama.
 Venous Reduplication
Reduplikasi vena jarang terjadi dan biasanya terjadi bersamaan dengan
vena beading.
 Venous Loops
Loop vena jarang terjadi dan meskipun berkembang karena oklusi
pembuluh kecil dan pembukaan sirkulasi alternative
 Retinal pallor
gambaran retina Pucat adalah fitur non-spesifik yang paling dihargai
jika dilihat pada angiografi fluorescein, terutama temporal makula pada pasien
yang tampaknya memiliki keberadaan pembuluh darah baru yang tidak dapat
dijelaskan.
 White lines
Garis-garis putih mungkin merupakan warna dinding pembuluh darah
atau arteriol trombosis, yang sering menyertai retinal pallor dan mirip yang
ditemukan pada kapiler yang tersumbat luas.
e. Perubahan Macular pada Retinopati Non-Proliferatif
Edema Makula terjadi karena akumulasi cairan eksudatif dari sawar darah-
retina luar yang rusak (edema ekstraseluler) atau sebagai akibat hipoksia yang
menyebabkan akumulasi cairan dalam sel retina individu (edema intraseluler). Kedua
mekanisme tersebut merupakan konsekuensi dari penutupan kapiler (iskemia), baik
secara tidak langsung (ekstraseluler) atau langsung (intraseluler).
Munculnya edema makula dapat dinilai pada pemeriksaan stereoskopik atau
disimpulkan dengan adanya eksudat intraretinal. Kebocoran dari mikroaneurisma
terisolasi atau kelompok mikroaneurisma dapat muncul sebagai area terpisah dari
edema sekitarnya (edema fokus) yang memancar keluar dari mikroaneurisma yang
bocor. Eksudat dapat melukiskan tepi edema yang meningkat, mirip dengan tanda
pasang surut laut, Eksudat seperti itu biasanya ditemukan pada lapisan plexiform luar
pada pemindaian OCT melalui area tersebut.
Mekanisme edema yang lebih luas (edema difus) lebih kompleks. Dalam
bentuknya yang paling sederhana, dapat diperkirakan terjadi sebagai akibat kebocoran
kapiler yang meluas, seringkali dari segmen kapiler dengan gangguan autoregulasi
daripada mikroaneurisma diskrit. Mekanisme lain termasuk disfungsi epitel pigmen
retina atau adanya iskemia terutama yang mempengaruhi zona pembuluh darah
perifoveal.
I. Diagnosa 2,3,6,7,8,9,10,11,17
Pemeriksaan awal untuk pasien dengan diabetes mellitus mencakup semua fitur dari
evaluasi mata yang komprehensif, dengan perhatian khusus pada aspek-aspek yang
relevan dengan retinopati diabetes.
a. Anamnesis
 Keluhan utama ditandai berdasarkan durasi, frekuensi, intermiten, dan
kecepatan onsetnya. Lokasi, keparahan, dan keadaan di sekitar onsetnya
adalah penting, seperti halnya mengidentifikasi gejala okular dan nonokular
lainnya yang mungkin memerlukan penyelidikan spesifik. Obat mata saat ini
dan gangguan mata saat ini dan masa lalu ditentukan.
 Riwayat medis masa lalu harus mencakup penyelidikan tentang gangguan
vaskuler seperti diabetes dan hipertensi dan obat-obatan sistemik, khususnya
kortikosteroid karena efek okularnya yang merugikan. Akhirnya, alergi obat
apa pun harus dicatat.
Beberapa hal yang harus diketahui menyangkut retinopati diabetic:
 Durasi diabetes
 riwayat glikemik yang lampau (HbA1c)
 Riwayat penyakit dan pengobatan yang lain (mis. Obesitas, penyakit
ginjal, hipertensi sistemik, level lipid serum, kehamilan, neuropati)
 Riwayat penyakit mata (mis. Trauma, penyakit mata lainnya, suntikan
mata, pembedahan(termasuk perawatan laser retina dan pembedahan
refraksi)).
 Riwayat keluarga berkaitan dengan gangguan okular, seperti
strabismus,ambliopia, glaukoma, atau katarak, dan masalah retina, seperti
ablasi retina atau degenerasi makula. Penyakit medis seperti diabetes mungkin
juga relevan.
b. Pemeriksaan Fisik
 Ketajaman visual
Bertujuan untuk mengetahui fungsi penglihatan setiap mata secara terpisah
. pada pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan huruf terkecil yang masih
dapat dilihat pada kartu baca baku(snellen card) dengan jarak 6 meter atau
20 kaki. Tajam penglihatan menentukan seberapa jelas pasien dapat
melihat.

Tajam penglihatan seseorang dapat berkurang pada keadaan:


 Kelainan refraksi seprti myopia (rabun jauh), rabun dekat
(hipermetropia), astigmat atau silendris.
 Kelainan media penglihatan seperti kornea, akuos humor, lensa dan
badan kaca keruh.
 Saraf penglihatan terganggu fungsinya seperti bintik kuning
(macula luteal), saraf optic, dan pusat penglihatan di otak.
 Slit lamp
Slitlamp adalah mikroskop binokular yang dipasang di meja dengan
sumber penerangan khusus yang dapat disesuaikan. Sinar celah linier dari
lampu pijar diproyeksikan ke bola mata, menerangi penampang optik
mata. Sudut iluminasi dapat bervariasi sesuai dengan lebar, panjang, dan
intensitas sinar cahaya. Pembesaran dapat disesuaikan juga (biasanya daya
10 × hingga 16 ×). Karena slitlamp adalah mikroskop binokular,
pandangannya adalah "stereoskopis," atau tiga dimensi.
Karena berkas celah cahaya menyediakan penampang optik mata,
lokasi abnormal anteroposterior dapat ditentukan dalam setiap struktur
okular yang jelas (misalnya kornea, lensa, badan vitreous). Pengaturan
pembesaran tertinggi cukup untuk menunjukkan keberadaan sel yang
abnormal dalam aquos, seperti sel darah merah atau putih atau butiran
pigmen. Kekeruhan aquos, yang disebut " flare ," yang dihasilkan dari
peningkatan konsentrasi protein dapat dideteksi dengan adanya
peradangan intraokular. aquos normal secara optik clear, tanpa sel atau
flare.

 Tekanan intraokular (IOP)


Antara tekanan intraokular (I.O.P.) dan gangguan metabolisme
karbohidrat adalah hubungan:
 Penderita diabetes sering menunjukkan primer open angle-
galucoma;
 Saat retinopati diabetik berkembang menuju stadium iii (pr.),
tio menurun;
 Karena penderita diabetes menunjukkan dilatasi pembuluh
darah, peningkatan viskositas darah, penyempitan arteriol dan
peningkatan i.o.p. penyakit pembuluh retina sentral dengan
perdarahan terjadi merah;
 Perdarahan kapiler, edema periapailer dan makula dapat
disebabkan oleh peningkatan tekanan onkotik dengan asidosis
darah; hiperglikemia dengan ketosis sejalan dengan penurunan
i.o.p.;
 hanya kenaikan aki ringan yang dapat dianggap berguna untuk
mencegah perdarahan dengan mengurangi aliran darah retina
yang dihasilkan kemudian dari berkurangnya aliran darah
uveal;
 Aplikasi lokal glukokortikoid dengan kontrol permanen bidang
visual dan i.o.p. harus menjadi pengobatan tambahan yang baik
untuk retinopati diabetik; sayangnya hanya sedikit kasus yang
responsif terhadap peningkatan i.o.p. oleh glukokortikoid;
 Gonioscopy tanpa midriasis
Gonioskopi adalah tindakan untuk melihat sudut bilik mata dengan
goniolens. Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat sudut bilik mata yang
merupakan tempat keluarnya cairan mata dari bola mata.
Gonioskopi tanpa midriasis, bila diindikasikan neovaskularisasi iris
atau dicurigai, atau jika TIO meningkat, gonioskopi tidak tanpa midriasis
dapat digunakan untuk mendeteksi neovaskularisasi pada sudut ruang
anterior.
 Funduscopy
Untuk menilai dan melihat kelainan dan keadaan pada fundus okuli.
Cahaya yang dimasukkan ke dalam fundus akan memberikan reflex
fundus. Gambaran fundus mata akan terlihat bila fundus diberi sinar.
Dapat dinilai kelainan pada mata seperti :
- Pada papil saraf optic : Papiledema, hilangnya pulsasi vena saraf optic,
ekskavasi papil saraf optic, atrofi saraf optic.
- Pada retina kelainan yang dapat dilihat: perdarahan subhialoid,
perdarahan intra retina, lidah api, dots, blots, edema retina, edema
macula.
- Pembuluh darah retina: perbandingan atau rasio arteri vena, perdarahan
dari arteri atau vena, adanya mikroaneurisma dari vena.
c. Pemeriksaan Tambahan:
 Color and red-free fundus photography
Fotografi Fundus adalah teknik yang dapat direproduksi untuk
mendeteksi retinopati diabetik dan telah digunakan dalam studi penelitian
klinis besar. Fotografi Fundus juga berguna untuk mendokumentasikan
keparahan diabetes, keberadaan NVE dan NVD, respons terhadap
pengobatan, dan kebutuhan untuk perawatan tambahan pada kunjungan
mendatang.
 Optical coherence tomography (OCT)
Tomografi koherensi optik memberikan pencitraan resolusi tinggi dari
antarmuka vitreoretinal, retina neurosensorik, dan ruang subretinal.
Tomografi koherensi optik dapat digunakan untuk mengukur ketebalan
retina, memantau edema makula, mengidentifikasi traksi vitreomakular,
dan mendeteksi bentuk lain penyakit makula pada pasien dengan edema
makula diabetik. Uji klinis besar yang menguji pengobatan anti-VEGF
telah menggunakan foto-foto OCT daripada stereoskopik atau pemeriksaan
klinis untuk mengevaluasi dan mengikuti status edema makula karena
memungkinkan penilaian objektif dan akurat dari jumlah dan lokasi
penebalan retina. Dalam praktik klinis, keputusan sering didasarkan pada
temuan OCT . Misalnya, keputusan untuk mengulangi suntikan anti-
VEGF, mengganti agen terapeutik (mis., Kortikosteroid intraokular),
memulai perawatan laser, atau bahkan mempertimbangkan operasi
vitrektomi sering didasarkan pada temuan OCT. Namun demikian,
ketebalan retina, bahkan ketika diukur dengan OCT, tidak selalu secara
konsisten berkorelasi dengan ketajaman visual.
 Fluorescein angiography (FA)
FA rutin tidak diindikasikan sebagai bagian dari pemeriksaan rutin
pasien dengan diabetes. Edema makula dan PDR paling baik didiagnosis
dengan pemeriksaan klinis dan / atau FA. Karena penggunaan agen anti-
VEGF dan kortikosteroid intraokular telah meningkat untuk pengobatan
edema makula, penggunaan operasi laser fokal telah menurun. Oleh karena
itu, kebutuhan untuk angiografi yang melokalisasi kebocoran
mikroaneurisma atau daerah-daerah putus kapiler juga menurun.
Namun demikian, FA berguna untuk membedakan pembengkakan
makula diabetik dari penyakit makula lain atau untuk pasien dengan
kehilangan penglihatan yang tidak dapat dijelaskan. Angiografi dapat
mengidentifikasi nonperfusi kapiler makula di foveal atau bahkan di
seluruh wilayah makula sebagai penjelasan untuk kehilangan penglihatan
yang tidak responsif terhadap terapi. Angiografi fluorescein juga dapat
mendeteksi area nonperfusi kapiler retina yang tidak diobati yang dapat
menjelaskan neovaskularisasi retina atau disk persisten setelah operasi
laser sebar sebelumnya. Dengan demikian, FA tetap menjadi alat yang
berharga, dan fasilitas untuk melakukan FA harus tersedia untuk dokter
yang mendiagnosis dan merawat pasien dengan retinopati diabetik.
Fluorescein angiografi dapat membantu untuk menentukan ada atau
tidak adanya area nonperfusi dan / atau area neovaskularisasi retina yang
tidak terdeteksi secara klinis dan untuk menentukan penyebab hilangnya
ketajaman penglihatan.
 Ultrasonography
Ultrasonografi adalah alat diagnostik yang sangat berharga yang
memungkinkan penilaian status retina dengan adanya perdarahan vitreous
atau kekeruhan media lainnya. Selain itu, ultrasonografi B-scan dapat
membantu untuk menentukan tingkat dan keparahan traksi vitreoretinal,
terutama pada makula mata diabetes. Saat ini, ultrasonografi digunakan
sekunder untuk pengujian OCT ketika ada media yang jelas.

J. MANAGEMENT 2,3,6,7,15,16,17,18,19,20
1. Kontrol glukosa darah
Hemoglobin terglikasi, yang memiliki masa hidup rata-rata 120 hari, dan
mewakili konsentrasi glukosa darah rata-rata untuk periode waktu tersebut. Tingkat
hemoglobin yang terglikasi biasanya dinyatakan sebagai persentase dari total
hemoglobin, baik sebagai persentase dari total hemoglobin terglikasi, atau sebagai
persentase fraksi terbesarnya, hemoglobin A1c (biasanya disingkat HbA1c; periode
yang lebih kecil terglikasi adalah HbA1a dan HbA1b), tingkat HbA1c biasanya
sekitar dua persentase poin lebih rendah dari total hemoglobin terglikasi. Kadar
HbA1c pada manusia nondiabetes berkisar antara 4% dan 6%, dan risiko
pengembangan komplikasi mikrovaskular diabetes (retinopati, nefropati, dan
neuropati) dalam uji klinis terkontrol telah terbukti menurun secara mantap dengan
penurunan kadar HbA1c.
kontrol glukosa yang lebih baik dikaitkan dengan risiko progresifitas DR yang
lebih kecil. Kontrol glikemik yang baik sejak dari terdiagnosis DM bermanfaat
dalam mencegah timbulnya retinopati diabetik serta menunda perkembangan
retinopati. Kontrol glikemia 'baik' dianjurkan tetapi tidak harus di bawah normal.
Manfaat jangka panjang dari kontrol glikemia yang baik lebih besar daripada risiko
kecil memburuknya retinopati dini.
2. Kontrol Tekanan Darah
Kontrol tekanan darah, bersama dengan kontrol glikemik yang baik,
mengurangi risiko perkembangan retinopati. Lebih jauh lagi, penghambatan jalur
rennin-angiotensin oleh penghambat ACE atau penghambat reseptor angiotensin II
tampaknya memiliki efek di luar dampak kontrol tekanan darah.
Sejumlah besar studi telah mengevaluasi efek peningkatan tekanan darah pada
perkembangan dan perkembangan retinopati diabetik dan sebaliknya, efek dari
pengurangan tekanan darah pada pencegahan perkembangan tersebut. Di antara
adalah UKPDS, yang mengevaluasi pengurangan tekanan darah menggunakan
penghambat enzim pengonversi angiotensin atau beta-adrenergic blocker, bersamaan
dengan obat lain yang diperlukan untuk mengurangi tekanan darah, dibandingkan
dengan kontrol, yang tidak menerima antihipertensi. obat-obatan, pada penderita
diabetes tipe 2. Sebagian besar pasien ini hipertensi (tekanan darah sistolik lebih dari
150 mm Hg) pada awal penelitian. Pengurangan tekanan darah oleh salah satu obat
mencegah perkembangan retinopati. Studi lain, beberapa dengan pasien diabetes yang
normotensif pada awalnya, menunjukkan sedikit atau tidak ada efek pengurangan
tekanan darah. Tindakan untuk Mengontrol Risiko Kardiovaskular pada Diabetes
(ACCORD) - Studi Mata, misalnya, menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah
pada pasien diabetes tipe 2 tidak memiliki efek pada pengembangan atau
perkembangan retinopati diabetik. percobaan yang berhubungan dengan penurunan
tekanan darah pada individu dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2, apakah normotensif
atau hipertensi pada awalnya, menyimpulkan bahwa ada bukti sederhana secara
keseluruhan untuk manfaat pengurangan tekanan darah pada kejadian retinopati
diabetik selama periode percobaan 4-5 tahun, tetapi, dalam meringkas hasil dari
beberapa uji klinis, ada sedikit bukti keseluruhan untuk efek menguntungkan pada
perkembangan.
3. Control of dyslipidemia
The Wisconsin Epidemiological Study of Diabetic Retinopathy (WESDR)
belum menunjukkan adanya hubungan kadar kolesterol dengan tingkat keparahan DR
tetapi menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat keparahan dan
terjadinya eksudat keras pada penderita diabetes muda. Studi ETDRS menemukan
peningkatan risiko dua kali lipat dalam risiko. eksudat keras retina dengan
peningkatan kadar kolesterol. Trigliserida serum tinggi juga telah terbukti dikaitkan
dengan peningkatan risiko pengembangan dan perkembangan retinopati. Hubungan
yang signifikan antara terjadinya edema makula yang signifikan secara klinis dan
tingkat LDL serta total kolesterol-HDL rasio. Rendahnya kadar kolesterol HDL
diketahui sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular tetapi studi ADVANCE tidak
menunjukkan hubungan yang sama antara rendahnya kadar kolesterol HDL dan
retinopati walaupun ada hubungan dengan nefropati.
Statin dan fibrat telah digunakan secara klinis untuk mengurangi kadar lipid.
Statin terutama mengurangi kolesterol LDL. Memiliki keberhasilan yang baik dengan
penggunaan atorvastatin dalam pengurangan edema makula diabetik. Pengurangan
pada eksudat keras tercatat sebanyak 66,6% kasus dengan statin dibandingkan hanya
13,3% pada kelompok kontrol. Dalam sebuah studi dari enam pasien, pengurangan
eksudat keras dicapai dengan pravastatin bersama dengan pengurangan kolesterol
total dan lipoprotein densitas rendah.
Mempertimbangkan bukti manfaat fenofibrat dalam DR, disarankan untuk
eksplorasi delivery intraokular yang bersaman dengan obat anti-VEGF dalam
pengelolaan DR. Saat ini tersedia fenofibrate (oral) dikonversi ke bentuk aktif oleh
esterase. Oleh karena itu bioavailabilitas menjadi masalah jika diberikan secara
intravitasi. Garam kolin (ABT-335) telah diidentifikasi yang tidak memerlukan
aktivasi oleh esterase. Semoga masa depan akan melihat konversi kemungkinan ini
menjadi kenyataan. Kontrol dislipidemia, mungkin dengan fenofibrate, mengurangi
risiko perkembangan retinopati.

Langkah penting yang optimal untuk perawatan pasien. Selain itu, penting untuk
membantu mengedukasi pasien dengan diabetes tentang implikasi oftalmologis
mengendalikan glukosa darah (kadar HbA1c) sedekat mungkin dengan batas aman. Hasil
dari beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang baik dengan mengendalikan
glukosa darah, kadar lipid serum, dan tekanan darah pada pasien dengan diabetes tipe 2.
4. Normal or Minimal NPDR
Pasien dengan pemeriksaan retina normal atau NPDR minimal (mis., Dengan
mikroaneurisma langka) harus diperiksa ulang setiap tahun, karena dalam 1 tahun 5%
hingga 10% pasien tanpa retinopati akan berkembang menjadi retinopati diabetik.
Retinopati yang ada akan memburuk dengan persentase yang sama. Operasi laser,
fotografi fundus warna, dan FA tidak dianjurkan.
5. Mild to Moderate NPDR without Macular Edema
Pasien dengan mikroaneurisma retina dan occasional blot hemorrhages atau
eksudat keras harus diperiksa ulang dalam 6 hingga 12 bulan, karena perkembangan
penyakit sering terjadi. Riwayat pasien diabetes tipe 1 menunjukkan bahwa sekitar
16% pasien dengan retinopati ringan (eksudat keras) dan hanya mikroaneurisma akan
berlanjut ke tahap proliferatif dalam 4 tahun.
Operasi laser dan FA tidak diindikasikan untuk kelompok pasien ini. Fotografi
fundus warna dan pencitraan OCT dari makula kadang-kadang dapat membantu untuk
menetapkan dasar untuk perbandingan di masa depan dan untuk edukasi pasien.
Untuk pasien dengan NPDR ringan, insiden 4 tahun dari CSME atau edema
makula yang tidak signifikan secara klinis adalah sekitar 12%. Untuk NPDR moderat,
risiko meningkat menjadi 23% untuk pasien dengan diabetes tipe 1 atau 2. Pasien
dengan edema makula yang tidak signifikan secara klinis harus diperiksa ulang dalam
3 sampai 4 bulan, karena mereka berisiko signifikan mengembangkan CSME .
6. Mild to Moderate NPDR with CSME
Risiko kehilangan penglihatan dan kebutuhan untuk pengobatan lebih besar
ketika pusat makula terlibat. Diagnosis edema makula diabetik bisa sulit. Edema
makula paling baik dievaluasi dengan pemeriksaan dilatasi menggunakan
biomicroscopy slit-lamp, OCT, dan / atau fotografi fundus stereoskopik. Seorang
dokter spesialis mata yang merawat pasien untuk kondisi ini harus akrab dengan studi
dan teknik yang relevan seperti yang dijelaskan dalam ETDRS . Angiografi
Fluorescein sebelum laser operasi untuk CSME seringkali bermanfaat untuk
mengidentifikasi lesi yang dapat diobati. Fluorescein angiografi kurang relevan ketika
ada eksudat lipid sirkinat dan lesi bocor terdeteksi dengan jelas di dalam cincin lipid.
Fluorescein angiography juga berguna untuk mendeteksi putusnya kapiler dan
pembesaran patologis dari zona avascular foveal, suatu fitur yang mungkin berguna
ketika merencanakan perawatan.Fotografi fundus berwarna sering membantu untuk
mendokumentasikan status retina walaupun operasi laser tidak dilakukan. Tomografi
koherensi optik juga merupakan alat skrining yang bermanfaat yang mampu
mendeteksi edema halus dan juga mengikuti jalannya edema setelah perawatan.
Perawatan tradisional untuk CSME adalah operasi laser. Namun, data saat ini
dari beberapa penelitian yang dirancang dengan baik menunjukkan bahwa agen anti-
VEGF intravitreal memberikan pengobatan yang lebih efektif untuk CSME yang
terlibat di pusat dibandingkan dengan monoterapi dengan operasi laser. Peningkatan
ketajaman visual dan pengurangan ketebalan makula setelah pemberian kombinasi
intravitreal ranibizumab, dengan operasi laser yang cepat atau delayed, memiliki hasil
yang lebih baik daripada laser saja setelah 2 tahun follow-up. Percobaan klinis baru-
baru ini telah membagi edema makula diabetes yang signifikan secara klinis menjadi
centerinvolving ( ci-CSME) dan yang tidak melibatkan pusat (nci-CSME).
Pendaftaran dalam uji klinis baru-baru ini hanya mencakup subyek dengan ci-CSME.
Ketika ci-CSME hadir, terapi antiVEGF memberikan ketajaman visual yang lebih
baik dan hasil anatomi (edema makula kurang) daripada operasi laser focal / grid saja.
Operasi laser yang ditangguhkan akhirnya dapat mengurangi kebutuhan untuk injeksi
anti-VEGF berulang. Untuk nci-CSME, peran operasi laser dipandu oleh ETDRS.
ETDRS menunjukkan manfaat yang pasti dalam mendukung operasi fotokoagulasi
laser pada ci-CSME dan nci-CSME. Oleh karena itu, baik anti-VEGF dan laser tetap
menjadi opsi perawatan yang efektif untuk CSME seperti diuraikan di atas.
a. Anti-VEGF Therapy
Terapi anti-VEGF adalah pilihan perawatan awal untuk edema makula
yang melibatkan pusat, dengan kemungkinan perawatan laser fokal
berikutnya atau yang ditunda. Penelitian Ranibizumab untuk Edema
mAcula dalam Diabetes melibatkan 126 pasien secara acak baik dengan
terapi anti-VEGF (dalam hal ini ranibizumab saja), laser saja, atau laser
focal / grid dikombinasikan dengan terapi anti-VEGF. Kelompok yang
menerima terapi anti-VEGF sendiri atau dengan perawatan laser lebih baik
daripada kelompok yang diobati dengan laser saja. Diabetic Retinopathy
Clinical Research Network juga menunjukkan bahwa anti-VEGF dengan
baik fotokoagulasi laser cepat atau tangguhan lebih baik daripada laser saja
atau laser yang dikombinasikan dengan triamcinolone acetonide. Studi-
studi yang dirujuk ini menggunakan ranibizumab, sementara studi
Bevacizumab atau Laser Treatment (BOLT) juga menunjukkan hasil yang
menguntungkan untuk penggunaan bevacizumab dibandingkan dengan
perawatan laser makula di mata dengan ciCSME begitujuga dengan
penggunaan aflibercept . Terapi anti-VEGF menggunakan bevacizumab,
ranibizumab, atau aflibercept adalah pengobatan yang efektif untuk
memusatkan keterlibatan CSME. Hasil dua tahun tidak mengungkapkan
perbedaan statistik antara tiga obat di efek samping serius atau
peningkatan ketajaman visual, kecuali untuk peningkatan ketajaman visual
yang lebih besar dari aflibercept dan bevacizumab selama tahun 1 dengan
20/50 atau visus dasar yang lebih buruk. Pada tahun kedua, jumlah injeksi
rata-rata menurun hingga sekitar setengah dari jumlah di tahun pertama.
Dokter yang merawat harus memperhatikan bahwa penggunaan tetes
antiseptik betadin dan spekulum mata direkomendasikan selama injeksi
intravitreal. Penggunaan tetes mata antibiotik rutin tidak dianjurkan
sebelum atau selama prosedur injeksi intravitreal. Individu yang menerima
injeksi intravitreal agen anti-VEGF dapat diperiksa pada 1 bulan setelah
terapi. Efek samping yang tidak umum, namun parah, terkait dengan
injeksi intravitreal. Ini termasuk endophthalmitis infeksi, pembentukan
katarak, ablasi retina, dan peningkatan TIO, terutama untuk kortikosteroid
seperti triamcinolone.
b. Laser Photocoagulation
Dengan munculnya terapi anti-VEGF untuk edema makula, banyak
spesialis retina lebih suka menggunakan pendekatan perawatan ETDRS
yang dimodifikasi. Ini termasuk perawatan laser yang kurang intens, jarak
yang lebih besar, penargetan langsung mikroaneurisma, dan menghindari
pembuluh darah foveal dalam setidaknya 500 μm dari pusat makula.
Sebelum operasi, dokter mata harus membahas dengan pasien mengenai
efek samping dan risiko pengobatan. Pemeriksaan lanjutan untuk individu
dengan CSME harus dijadwalkan dalam waktu 3 sampai 4 bulan setelah
operasi laser. fotokoagulasi laser fokus dapat menginduksi fibrosis
subretinal dengan neovaskularisasi koroid, suatu komplikasi yang mungkin
terkait dengan kehilangan penglihatan sentral permanen tetapi jarang.
Selain neovaskularisasi koroid, faktor terpenting yang terkait dengan
perkembangan fibrosis subretinal meliputi tingkat eksudat keras subretinal
yang lebih parah dan peningkatan lipid serum sebelum fotokoagulasi laser.
Sekitar 8% kasus fibrosis subretinal dapat berhubungan langsung dengan
focus fotokoagulasi laser.
7. Severe NPDR and Non-High-Risk PDR
Ketika retinopati lebih parah, fotokoagulasi panretinal harus dipertimbangkan
dan tidak boleh ditunda ketika mata mencapai tahap proliferasi risiko tinggi. Tindak
lanjut yang hati-hati pada 3 sampai 4 bulan adalah penting: jika pasien tidak dapat
mengikuti dengan baik atau jika ada kondisi medis terkait seperti operasi katarak yang
akan datang atau kehamilan, fotokoagulasi laser panretinal dini mungkin diperlukan.
Fotokoagulasi laser dapat diindikasikan, terutama ketika akses ke perawatan
kesehatan sulit. Jika operasi laser dipilih, fotokoagulasi panretinal penuh adalah
pendekatan pengobatan yang dianjurkan. Perawatan fotokoagulasi panretinal sebagian
atau terbatas tidak dianjurkan.
Tujuan dari operasi laser adalah untuk mengurangi risiko kehilangan
penglihatan. Sebelum operasi, dokter mata harus menilai adanya edema makula,
membahas efek samping pengobatan dan risiko kehilangan penglihatan dengan
pasien, dan mendapatkan persetujuan Ketika fotokoagulasi panretinal untuk NPDR
parah atau PDR non-risiko tinggi dilakukan pada mata dengan edema makula, banyak
ahli berpikir bahwa lebih baik untuk melakukan fotokoagulasi fokal dan / atau terapi
anti-VEGF sebelum fotokoagulasi panretinal.

Rekomendasi Penanganan Retinopati Diabetik6

K. Perjalanan Klinis Dan Prognosis 1,2,3,15,17


 Pasien DRNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang
memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1
tahun.
 Pasien yang tergolong DRNP sedang tanpa disertai oedema macula perlu
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering bersifat progresif.
 Pasien DRNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema macula yang
secara klinik tidak signifikan perlu dilakukan pemeriksaan ulang setiap 4-6 bulan
karena dapat berkembang menjadi clinically significant macular edema (CSME).
 Untuk pasien DRNP dengan CSME harus dilakukan fotokoagulasi. Dengan terapi
fotokoagulasi, resiko kebutaan untuk grup pasien ini dapat berkurang 50%.
 Pasien DRNP berat beresiko tinggi untuk menjadi DRP. Separuh dari pasien
DRNP berat akan berkembang menjadi DRP dalam 1 tahun adalah 75% dimana
45% diantaranya tergolong DRP resiko tinggi. Oleh sebab itu pasien DRNP
sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulangan tiap 3-4 bulan.
 Pasien dengan DRP resiko tinggi harus segera diterapi fotokoagulasi. Teknik
yang dilakukan adalah scatter photocoagulation
 Pasien DRP resiko tinggi yang disertai CSME terapi mula-mula menggunakan
metode focal atau panretinal (scatter). Oleh karena metode fotokoagulasi metode
panretina dapat menimbulkan eksaserbasi dari edema macula, maka untuk terapi
dengan metode ini harus dibagi menjadi 2 tahap.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prognosis:
 Faktor prognostik yang menguntungkan
 Eksudat yang sirkuler.
 Kebocoran yang jelas/berbatas tegas.
 Perfusi sekitar fovea yang baik.
 Faktor prognostik yang tidak menguntungkan
 Edema yang difus / kebocoran yang multiple.
 Deposisi lipid pada fovea.
 Iskemia macular.
 Edema macular kistoid.
 Visus preoperatif kurang dari 20/200.
 Hipertensi.
Daftar Pustaka

1. Royal college of Ophthalmologists. Diabetic Retinopathy Guidelines. 2012.


2. Riorden-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury’s : General Ophthalmology Ed. 19 th.
2018. Mc Grav-Hill Education.
3. Olver J, Cassidy L. Ophthalmology at a glance. 2005. Blackwll Science
4. Mescher AL. Histologi dasar Junqueira, Teks dan Atlas Ed.12. 2011. EGC: Jakarta
5. Sherwood C. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Ed.8.2014. EGC: Jakarta
6. Preferred Practice patterns Committee. Preferred Practice Pattern: Diabetic Retinopathy.
American Academy of Ophthalmology.2017
7. Yusran M. Retinopati Diabetik : Tinjauan Kasus Diagnosis dan Tatalaksana. J.K Unila.
Vol 1(3). 2017.
8. Kartasasmita AS. Retinopati Diabetik untuk Dokter Umum. 2017. Unpad Press
9. Ilyas S. Dasar Teknik pemeriksaan dalam ilmu penyakit mata. Ed. 4. 2012. Badan
penerbit fakultas kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
10. Agni AN, Widayanti TW, Hernowo AT. Buku ajar ilmu Mata UGM: Retina. UGM :
Yogyakarta. 2017: 133-8
11. Natarajan S. Diagnostic Enigmas of Retinopathy : New Dimension. Indian Journal of
Ophthalmology. Vol. 62(6). 2017
12. Bamashmus MA, Gunaid AA, Khandekar RB. Diabetic Retinopathy, visual impairment
and ocular status among patients with diabetes mellitus in Yemen: A Hospital Based
Study. Indian Journal of Ophthalmology. Vol 57(4). 2009; 293-8
13. Frank RN. Diabetic Retinopathy and Sistemic Factors. Middle East African Journal of
Ophthalmology. Vol 22(2) 2015
14. Giri PA, Bagal SV, Pehake DB. Prevelence of Diabetic retinopathy and assosciated risk
factors among diabetic patients attending pravara Rural Hospital, Loni, Maharashtra.
Journal of academy of Medical Sciences. Vol 2(2). 2012
15. Saxena S, Jajali S, Meredith TA, Holekamp NM, Kumar D. Management of diabetic
retinopathy. Indian journal of Ophthalmology. Vol 48(4). 2000
16. Ligam G, Wong TY. System Medical Management of Diabetic Retinophaty. Middle East
African Journal of Ophthalmology. Vol 20(4). 2013
17. Rejavi Z, Safi S, Javad MA, et Al. Diabetic Retinopathy Clinical practice Guidelines:
Customized for Iranian Population. Journal of Ophthalmic and Vision Research. 2016
18. Unnikrishnan AG, Kalra S, Tandon N. Diabetic retinopathy care in India: An
Endocrinology Perspective. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism. Vol. 20
(1-2).2016
19. Koshy J, Koshy JM, Thomas S, et Al. Should we start all patients with Diabetic
Retinopathy on Fenobarbital. Middle East African Journal of Ophthalmology. Vol. 20(4).
2013
20. Mulyati, Amin R, Santoso B. Kemajuan Visus Penderita Retinopati Diabetik yang
diterapi dengan laser fotokoagulasi dan atau injeksi intravitreal di rumah sakit Moh.
Hoesin Palembang. MKS. Vol. 47(2). 2015.

Anda mungkin juga menyukai