Anda di halaman 1dari 19

A.

GEJALA DAN TANDA KNF (PPKN, PNPKKNF, muhammad lukman


hermansyah, suci aryani, sukri rahman,shofi faiza, frita oktina wijaya)

Gejala nasofaring yang pokok adalah :

1. Nasal sign :
 Pilek lama yang tidak sembuh
 Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu
 Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.
2. Ear sign :
 Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi, karena
muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri. Tekanan dalam kavum
timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.
 Gangguan pendengaran hantaran
 Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).
3. Eye sign :
 Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan
N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.
4. Tumor sign :
 Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metastase
dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita.
Gejala ini berupa :
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
 Kesukaran pada waktu menelan
 Afoni

1
 Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X,
N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus

B. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING (PPKN, PNPKKNF,


nur suci amanah)
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan
termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit
seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF
merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah
cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga
berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Aadanya infeksi EBV


(2) Faktor lingkungan
(3) Genetik

1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit
B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva
dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan
reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein
(gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3.
Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu,
sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat
dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam
2
masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric
Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan
beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan
virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya
perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel
kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan
virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung
N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung
karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor
necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.

2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentanan
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas
aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain
yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-

3
nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor
karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena
paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui
faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

C. DIAGNOSIS (PPKN, PNPKKNF, muhammad lukman hermansyah, suci


aryani, sukri rahman, frita oktina wijaya)

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol
dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis
histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim
suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat
dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring
umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
 Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
 Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan
diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang
dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan
melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.

4
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi dibagi atas 3 tipe, yaitu :
 Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan
buruk.
 Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan
intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
 Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel
tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan
jelas.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat
radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi
gambaran histopatologi dibagi atas 2 tipe, yaitu :
 Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
 Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi
lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
 Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
 Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
 Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

5
I. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

 Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
 Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
 Tomogram Lateral daerha nasofaring
 Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

a) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos
adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil
mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah
submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos.
Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan
terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T.
Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan
bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak
maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai
suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat
dinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna sekitarnya, menilai ada
tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial.

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

 Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue
technique)
 Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
 Tomogram Lateral daerha nasofaring
 Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

6
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang,
maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma
nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan
spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.
IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang
didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

D. DIAGNOSIS BANDING (PPKN, PNPKKNF)


1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa
jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta
struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti tampak pada
karsinoma.

2. Angiofibroma juenilis
Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.
Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan
didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas
seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang
hanay erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari
dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals ebgai antral sign. Karena tumor ini kaya
akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya
sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils
dengan polip hidung pada foto polos.
7
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor
sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.

4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai
keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring
kea rah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.

5. Tumor kelenjarr parotis


Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam
mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sebagian besar
kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang tampak pada
pemeriksaan C.T.Scan.

6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF
pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di
daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical
bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar
tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.

7. Menigioma basis kranii


Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai
KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma
cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat kontras dan akan
menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan
arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.

8
E. STADIUM (PPKN, PNPKKNF, suci aryani, sukri rahman, frita oktina

wijaya)

Penentuan stadium berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Contre
Cancer) adalah sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan
N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah
melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase, menggambarkan metastase jauh
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12

- Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0

9
- Stadium I : T1 dan N0 dan M0

- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0

- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

10
- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0

- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

11
- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

Menurut American Joint Committee Cancer, tumor staging dari


nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat, tetapi
hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dindinglateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau keduanya).

F. PENATALKSANAAN (PPKN, PNPKKNF, suci aryani, sukri rahman)


12
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi
dengan atau tanpa kemoterapi.

Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,
karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan
dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator
linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah
nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta
klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun
tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber
radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal
pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya.
Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna
maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang
sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin.
Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan
dibeberapa negara maju.

Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA “Ribose Nucleic
Acid“ dan (2) DNA “ Desoxy Ribose Nucleic Acid “. DNA terutama terdapat paa khromosom “
ionizing radiation “ menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus.
Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul
vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan
ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium yang
paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri
media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang
dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada
penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari

13
depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi
harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk
menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi
dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan
stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan
diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad.
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis
kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,
sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu
6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring
dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah
depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.

Dosis radiasi

Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu dengan
periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah “cobalt 60”,
“megavoltage”orthovoltage”

Respon radiasi

Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon
dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring.
Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

Komplikasi radioterapi dapat berupa :


a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
14
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksi
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis
yang terkena radiasi)
- Eritema

b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
-
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan
sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien
mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan
penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol,
efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan
antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti
FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan
sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg.

2. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

15
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan
dan metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi
menjadi

1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului


pembedahan dan radiasi)

2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan


dengan penyinaran atau operasi)

3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi )

Efek Samping Kemoterapi

Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang membelah
secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro intestinal. Akibat
yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya
infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran
cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal
yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan
mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel
normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih
dari pada sel kanker

Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung, yang
dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.
Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar
dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian
kemoterapi.

16
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam
rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara
mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.

Manfaat Kemoradioterapi adalah

1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil
terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan
radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa
tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap
radiasi yang diberikan (radiosensitiser).

Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi.

Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum


radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor
masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan
overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).

Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan
DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang
durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.

Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or


concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan
cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan
17
mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan
kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh
subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang
sublethal.

Kelemahan Kemoradioterapi

Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni
dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara
radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal.

Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan


radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak diperpanjang,
maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.

Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal (single
agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel
kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin,
5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.

3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang
dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-
Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.
.
G. PROGNOSIS (PPKN)

18
Prognosis pada pasien keganasan paling sering dinyatakan sebagai kesintasan 5 tahun.
Kesintasan relative 5 tahun pada pasien dengan KNF stadium I hingga IV secara
berurutan sebesar 72%, 64%, 62%, dan 38%.

Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

 Stadium yang lebih lanjut.


 Usia lebih dari 40 tahun

 Laki-laki dari pada perempuan

 Ras Cina dari pada ras kulit putih

 Adanya pembesaran kelenjar leher

 Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

 Adanya metastasis jauh

19

Anda mungkin juga menyukai