Unit :
NamaPenanggungjawab : ………………………………………………………
TanggalPelaksanaan : ………………………………………………………
.
d. Petugas pendukung yang peduli remaja.
Bagi petugas lain yang berhubungan pula dengan remaja, misalnya petugas loket,
laboratorium dan unit pelayanan lain juga perlu menunjukkan sikap menghargai kepada semua
remaja dan tidak membedakannya.
1) Mempunyai kompetensi sesuai bidangnya masing-masing.
2) Mempunyai motivasi untuk menolong dan memberikan dukungan pada remaja.
e. Fasilitas kesehatan yang peduli remaja.
1) Lingkungan yang aman. Lingkungan aman disini berarti bebas dari ancaman dan
2) tekanan dari orang lain terhadap kunjungannya sehingga menimbulkan rasa tenang dan membuat
remaja tidak segan berkunjung kembali.
3) Lokasi pelayanan yang nyaman dan mudah dicapai. Lokasi ruang konseling tersendiri, mudah
dicapai tanpa perlu melalui ruang tunggu umum atau ruang-ruang lain sehingga menghilangkan
kekhawatiran akan bertemu seseorang yang mungkin beranggapan buruk tentang kunjungannya
(stigma). Fasilitas yang baik, menjamin privasi dan kerahasiaan. Suasana semarak berselera
muda dan bukan muram, dari depan gedung sampai ke lingkungan ruang pelayanan, merupakan
daya tarik tersendiri bagi remaja agar berkunjung. Hal lain adalah adanya kebebasan pribadi
(privasi) di ruang pemeriksaan, ruang konsultasi dan ruang tunggu, di pintu masuk dan keluar,
serta jaminan kerahasiaan. Pintu dalam keadaan tertutup pada waktu pelayanan dan tidak ada
orang lain bebas keluar masuk ruangan. Kerahasiaan dijamin pula melalui penyimpanan kartu
status dan catatan konseling di lemari yang terkunci, ruangan yang kedap suara, pintu masuk
keluar tersendiri, ruang tunggu tersendiri, petugas tidak berteriak memanggil namanya atau
menanyakan identitas dengan suara keras.
4) Jam kerja yang nyaman. Umumnya waktu pelayanan yang sama dengan jam sekolah menjadi
salah satu faktor penghambat terhadap akses pelayanan. Jam pelayanan yang menyesuaikan
waktu luang remaja menjadikan konseling dapat dilaksanakan dengan santai, tidak terburu-buru,
dan konsentrasi terhadap pemecahan masalah dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
5) Tidak adanya stigma. Pemberian informasi kepada semua pihak akan meniadakan stigma
misalnya tentang kedatangan remaja ke puskesmas yang semula dianggap pasti mempunyai
masalah seksual atau penyalahgunaan NAPZA.
6) Tersedia materi KIE. Materi KIE perlu disediakan baik di ruang tunggu maupun di ruang
konseling. Perlu disediakan leaflet yang boleh dibawa pulang tentang berbagai tips atau
informasi kesehatan remaja. Hal ini selain berguna untuk memberikan pengetahuanmelalui
bahan bacaan juga merupakan promosi tentang adanya PKPR kepada sebayanya yang ikut
membaca brosur tersebut.
Menurut hasil penelitian di India tahun 2015 bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan
remaja sangat penting mengutamakan kerahasiaan, privasi dan ruang tunggu yang tidak sesuai
sebagaimana mestinya untuk membuat layanan yang ramah. Jika kerahasiaan dan privasi tidak
terjamin maka remaja akan ragu untuk memanfaatkan layanan. Kriteria utama untuk fungsi
efektif dari klinik PKRR adalah untuk memisahkan dari pelayanan kesehatan umum dengan
pelayanan kesehatan remaja untuk menjaga privasi remaja (Dalal et al. 2015).
f. Partisipasi/keterlibatan remaja.
1) Remaja mendapat informasi yang jelas tentang adanya pelayanan, cara mendapatkan pelayanan,
kemudian memanfaatkan dan mendukung pelaksanaannya serta menyebar luaskan
keberadaannya.
2) Remaja perlu dilibatkan secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pelayanan.
Ide dan tindak nyata mereka akan lebih mengena dalam perencanaan dan pelaksanaan pelayanan
karena mereka mengerti kebutuhan mereka, mengerti “bahasa” mereka, serta mengerti
bagaimana memotivasi sebaya mereka. Sebagai contoh ide tentang interior design dari ruang
konseling yang sesuai dengan selera remaja, ide tentang cara penyampaian kegiatan pelayanan
luar gedung hingga diminati remaja, atau cara rujukan praktis yang dikehendaki.
g. Keterlibatan masyarakat.
Perlu dilakukan dialog dengan masyarakat tentang PKPR ini hingga masyarakat:
1) Mengetahui tentang keberadaan pelayanan tersebut dan menghargai nilainya.
2) Mendukung kegiatannya dan membantu meningkatkan mutu pelayanannya.
h. Berbasis masyarakat, menjangkau ke luar gedung, serta mengupayakan pelayanan
sebaya.
Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan. Pelayanan sebaya adalah
KIE untuk konseling remaja dan rujukannya oleh teman sebayanya yang terlatih menjadi
pendidik sebaya (peer educator). atau konselor sebaya (peer counselor).
i. Pelayanan harus sesuai dan komprehensif.
1) Meliputi kebutuhan tumbuh kembang dan kesehatan fisik, psikologis dan sosial.
2) Menyediakan paket komprehensif dan rujukan ke pelayanan terkait remaja lainnya. Harus
dijamin kelancaran prosedur rujukan timbal balik. Kurang terinformasikannya keberadaan PKPR
di puskesmas pada institusi yang ada di masyarakat mengakibatkan rujukan tidak efektif.
Sebaliknya kemitraan yang kuat dengan pemberi layanan kesehatan dan sosial lainnya akan
melancarkan proses rujukan timbal balik.
3) Menyederhanakan proses pelayanan, meniadakan prosedur yang tidak penting.
j. Pelayanan yang efektif
1) Dipandu oleh pedoman dan prosedur tetap penatalaksanaan yang sudah teruji.
2) Memiliki sarana prasarana cukup untuk melaksanakan pelayanan esensial.
3) Mempunyai sistem jaminan mutu bagi pelayanannya.
k. Pelayanan yang efisien
Mempunyai SIM (Sistem Informasi Manajemen) termasuk informasi tentang biaya dan
mempunyai sistem agar informasi tersebut dapat dimanfaatkan.
Strategi pelaksanaan dan pengembangan PKPR di Puskesmas.
Mempertimbangkan berbagai keterbatasan Puskesmas dalam menghadapi hambatan
untuk dapat memenuhi elemen karakteristik tersebut diatas, maka perlu digunakan strategi demi
keberhasilan dalam pengembangan PKPR di puskesmas, sebagai berikut:
a. Penggalangan kemitraan, dengan membangun kerjasama atau jejaring kerja.
Meskipun keempat aspek upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
menjadi tugas keseharian Puskesmas, namun melihat kompleks dan luasnya masalah kesehatan
remaja, kemitraan merupakan suatu hal yang esensial khususnya untuk upaya promotif dan
preventif. Penggalangan kemitraan didahului dengan advokasi kebijakan publik, sehingga
adanya PKPR di puskesmas dapat pula dipromosikan oleh pihak lain, dan selanjutnya dikenal
dan didukung oleh masyarakat. Selain itu, kegiatan di luar gedung, yang menjadi bagian dari
kegiatan PKPR, amat memerlukan kemitraan dengan pihak di luar kesehatan. Kegiatan berupa
KIE, serta Pendidikan Keterampilan Hidup Sehat (PKHS) dan life Skills Education (LSE) seperti
ceramah, diskusi, role play, seperti halnya konseling, dapat dilakukan oleh petugas terlatih di
luar sektor kesehatan dan LSM.
6) Pelayanan rujukan
Sesuai kebutuhan, puskesmas sebagai bagian dari pelayanan klinis medis, melaksanakan rujukan
kasus ke pelayanan medis yang lebih tinggi. Rujukan sosial juga diperlukan dalam PKPR,
sebagai contoh penyaluran kepada lembaga keterampilan kerja untuk remaja pasca penyalah-
guna napza, atau penyaluran kepada lembaga tertentu agar mendapatkan program pendampingan
dalam upaya rehabilitasi mental korban perkosaan. Sedangkan rujukan pranata hukum kadang
diperlukan untuk memberi kekuatan hukum bagi kasus tertentu atau dukungan dalam
menindaklanjuti suatu kasus. Tentu saja kerjasama ini harus diawali dengan komitmen antar
institusi terkait, yang dibangun pada tahap awal sebelum PKPR dimulai.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring PKPR di puskesmas berdasarkan buku pedoman pelayanan PKPR tahun
2008, dilakukan oleh pihak lain di luar puskesmas perlu dilakukan oleh puskesmas sendiri.
Melalui monitoring, petugas akan dibantu menemukan masalah secara dini hingga koreksi yang
akan dilakukan tidak memerlukan biaya dan waktu yang banyak, dan mempercepat tecapainya
PKPR yang berkualitas.
1. Monitoring oleh tatanan administrasi yang lebih tinggi dilakukan melalui analisa laporan rutin
yang dikirimkan oleh Puskesmas dikombinasikan dengan pengamatan langsung di lapangan.
Sistem monitoring adalah proses pengumpulan dan analisa secara teratur dari seperangkat
indikator. Sistem akan menyuguhkan data yang dapat digunakan untuk menilai:
2. Apakah program berjalan dengan benar, dan bagaimana kemajuannya, adakah penyimpangan
atau masalah.
3. Apakah input dan proses yang dilakukan menghasilkan perbaikan ke arah target yang
direncanakan.
4. Apakah umpan balik tentang output dan proses dikaitkan dengan input.
5. Adakah faktor lingkungan atau eksternal (masyarakat, geografis, kebijakan setempat, dll) dan
faktor internal (provider, saran, dll) yang mempengaruhi pelaksanaan PKPR.
Dengan demikian tahapan melakukan monitoring adalah:
a) Memutuskan informasi apa yang akan dikumpulkan.
b) Mengumpulkan data dan menganalisanya.
c) Memberikan umpan balik hasil monitoring.
Monitoring dibedakan dengan evaluasi dari rutinitas pengumpulan data dan lingkup fokus
sasarannya. Evaluasi fokusnya luas namun waktunya terbatas. Monitoring dilakukan
berkesinambungan dengan demikian kesenjangan yang ditemukan pada suatu waktu dapat
dibandingkan dengan hasil yang ditemukan pada kali berikut. Monitoring terhadap akses dan
kualitas PKPR diawali dengan melihat kepatuhan terhadap standar PKPR yang diwakili oleh
pelaksanaan konseling dan kelengkapan sarana, berlanjut dengan melihat jangkauan pelayanan
dari jumlah kunjungan dan kasus yang ditangani baik di dalam maupun di luar gedung.
Meskipun demikian kegiatan PKPR lainnya seperti PKHS dan pelatihan calon pendidik sebaya
harus dicatat, untuk melihat sejauh mana lingkup kegiatan dilaksanakan.
Standar dan indikator terpilih yang diperlukan untuk mengevaluasi kualitas dan akses
PKPR :
Kualitas:
a) Kompetensi petugas: kesesuaian langkah-langkah pelaksanaan konseling dengan standar.
b) Sarana institusi: pemenuhan kriteria sarana untuk menjamin kerahasiaan dan kenyamanan klien.
c) Kepuasan klien: terhadap kualitas sarana dan kompetensi petugas.
d) Kelengkapan jaringan pelayanan rujukan.
Akses
a. Jumlah pelaksanaan KIE dan konseling kasus lama dan kasus baru, jumlah kunjungan klien,
klien lama dan baru, di dalam gedung dan di luar gedung.
b. Frekuensi petugas puskesmas berperan menjadi narasumber atau fasilitator kegiatan remaja.
c. Jumlah kader (pendidik/konselor) sebaya yang dilatih oleh Puskesmas.
d. Jumlah rujukan masuk dari masyarakat.
11. Pencatatan dan Pelaporan
Meskipun kegiatan pencatatan dan pelaporan dalam PKPR ini tidak diwajibkan untuk
dilaporkan ke tingkat pusat, tetap perlu dilakukan untuk mencatat hal-hal mendasar. Manfaatnya
adalah untuk mendapatkan data kesehatan remaja di wilayah puskesmas. Selain itu data juga
digunakan untuk kepentingan perencanaan dan menentukan langkah-langkah perbaikan. Register
kunjungan sebaiknya dicatat dan disimpan khusus di ruang pelayanan remaja, demikian juga
status kesehatan serta catatan konseling untuk menjaga kerahasiaannya.
Pada tahap awal pelaksanaan PKPR pendaftaran dapat dilakukan di tempat kunjungan
umum namun catatan medis/catatan konseling tetap disimpan tersendiri, contoh rekapitulasi
catatan konseling terlampir. Buku catatan kegiatan dan kunjungan sebaiknya dibuat sedemikian
rupa sehingga pada saat diperlukan dapat diketahui data kegiatan PKPR dengan segera. Format
standar pencatatan kegiatan PKPR dan kewajiban untuk melaporkannya sebaiknya perlu
disepakati dan disusun setempat secara bersama antara pihak Dinas Kesehatan Propinsi, dan
Kabupaten/Kota serta perwakilan Puskesmas (Depkes RI, 2008).