Anda di halaman 1dari 17

MENGENAL TOKOH-TOKOH PENDIRI NU KH.

HASYIM
ASY’ARI DAN KH BISRI SYANSURI

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aswaja III

Kelompok 7 :

1. As’ad Nasrullah D24180035


2. Lidia Apriliah D24180045
3. Saadatul Ashriyah D24180057

Dosen Pengampu :
Nur Azzah Fathin, M.pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SIDOARJO

2020

0
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun Makalah
Menganalisis peranan kecerdasan.

Mengingat pentingnya pendidikan etika dan profesi guru penulis berusaha


dengan semaksimal mungkin untuk dapat menyusun makalah ini sesuai dengan
yang ditugaskan Dosen, supaya dapat menambah ilmu dan pengetahuan serta
wawasan yang lebih luas bagi penyusun lebih jauh dan mandiri, mantap dalam
melakukan segala aktivitasnya sesuai dengan keinginan dan kemampuannnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu terselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan


pengetahuan dan kemampuan penulis yang terbatas, oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan
penyusunan makalah selanjutnya.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat khususnya


bagi penulis dan umumnya kepada para pembaca. Amin.

Sidoarjo, 3 Januari 2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama memiliki arti kebangkitan para ulama. Istilah “kebangkitan”
itu sendiri pada dasarnya mengandung arti yang lebih aktif jika dibandingkan
dengan kata “perkumpulan” atau “perhimpunan”. Seperti kita ketahui, para ulama
merupakan panutan umat dimana umat akan mengikutinya. Oleh karena itu,
dengan kepemimpinan para ulama, diharapkan arah kebangkitan dan kejayaan
umat islam serta kaum muslimin akan lebih terlihat jelas dan nyata. Nahdlatul
Ulama (NU) yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M dengan
tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengamalkan
ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah.

Sebagai warga negara indonesia terkhusus sebagai warga yang memegang


teguh nahdlatul ulama alangkah baiknya kita mengetahui lebih dalam mengenai
tokoh-tokoh yang mendirikan nadhlatul ulama. Banyak hal yang bisa kita ketahui
dalam mengenal tokoh-tokoh pendiri nahdlatul ulama yakni KH. Hasyim Asy’ari,
KH Bisri Syansuri dan KH.Asnawi Kudus Dalam makalah ini, penulis akan
mencoba mengenalkan sedikit tentang tokoh-tokoh pendiri nahdlatu ‘ulama.

B. Rumusan Masalah
1. Mengenal siapa KH. Hasyim Asy’ari tersebut?
2. Mengenal siapa KH. Bisri Syansuri tersebut?
3. Mengenal siapa KH. Asnawi Kudus tersebut?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui KH. Hasyim Asy’ari
2. Untuk mengetahui KH. Bisri Syansuri
3. Untuk mengetahui KH. Asnawi Kudus

2
BAB II
ISI

A. KH. Hasyim Asy’ari

Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, bagian belakangnya juga sering dieja
Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada
25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, adalah pendiri Nahdlatul
Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.

1. Riwayat Keluarga

KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama


Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan
dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara.
Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman
memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya
sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan
Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara
kokoh kepada Hasyim.

2. Silsilah Nasab

Merunut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH
Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan
urutan lanjutan sebagai berikut:
Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)

3
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang), Abdul Halim (Pangeran Benawa),
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu
Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang).

3. Pendidikan :

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah


nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin.
Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang
lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang
tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-
mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke
Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis,
Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di
Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.

KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai
Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15
tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren
Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di
Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di
Sidoarjo.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren
yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar
menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama
yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun–
Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri
kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan
saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun,
dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah
menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah

4
haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya
meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah
selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh
Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab,
Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas
Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun
l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai
Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai
Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang
yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai
Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya.
Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya.
Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan
pesantrennya.

4. Silsilah Keilmuan

KH Muhammad Saleh Darat, Semarang, KH Cholil Bangkalan, Kyai Ya’qub,


Sidoarjo, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi,
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani,
Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Al Maliki, Sayyid
Alwi bin Ahmad As Segaf, Sayyid Husain Al Habsyi, Sayyid Sulthan Hasyim al-
Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas,
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah
bin Ali Al Haddad

5
5. Penerus Beliau

(Murid) :

Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah lulus dari pesantren
Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil
sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:

KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang, KH Bisri


Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid
Hasyim (anaknya), KH Achmad Shiddiq, Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di
Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah, Al-Syihab Ahmad
ibn Abdullah (Syiria), KH R Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Shaleh
(Tayu).

6. Jasa dan Karya Beliau


Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:, Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam
Tradisional. Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-
Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal
Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu
kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah
Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim
Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh


sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan
sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses
perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-
ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir,
telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah.
Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak
ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek

6
keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi
pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan
kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan
modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan
doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama
dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang
lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah
Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan
mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan
segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa
pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri
Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide
Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima
ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran
Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia
berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang
sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-
pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk
menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku
para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-
ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim
tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan
bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-
hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan
pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering
disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap
tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang
diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari
masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres
Ummat Islam di Mekkah.

7
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi
didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai
Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi
organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.

Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat
pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad
Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide
reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran
Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam,
mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta
merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan
kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas
dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.

Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di


kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.
Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi
Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).

Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk


membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari
keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit
memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para
ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh
dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat
itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian
Nahdlatul Ulama’ ini.

8
B. KH. Bisri Syansuri

Kiai Bisri dilahirkan di pada hari Rabu tanggal 28 Dzulhijjah tahun 1304 H
atau 18 September 1886 di Tayu, Pati. Semasa kecil, Bisri belajar pada KH Abd
Salam, seorang ahli dan hafal Al-Qur’an dan juga ahli dalam bidang fiqih. Atas
bimbingannya ia belajar ilmu nahwu, saraf, fiqih, tasawuf, tafsir, hadits. Gurunya
itu dikenal sebagai tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan-aturan agama.
Watak ini menjadi salah satu kepribadian Bisri yang melekat di kemudian hari.
Sekitar usia 15 tahun, tiap bulan Ramadhan, Bisri mulai belajar ilmu agama di
luar tanah kelahirannya, pada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu
yaitu KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu’aib Sarang Lasem. Kemudian
ia melanjutkan berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah
ia kemudian bertemu dengan Abdul Wahab Hasbullah, seorang yang kemudian
menjadi kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya.
Lalu Bisri berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Di
pesantren itu, ia belajar selama 6 tahun. Ia memperoleh ijazah dari gurunya untuk
mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama mulai dari
kitab fiqih Al-Zubad hingga ke kitab-kitab hadits seperti Bukhari dan Muslim.
Gus Dur menilai literatur keagamaan yang dikuasai Kiai Bisri terasa terlalu
bersifat sepihak karena lebih ditekankan pada literatur fiqih yang lama, tapi
penguasaan itu memiliki intensitas luar biasa sehingga secara keseluruhan
membentuk sebuah kebulatan yang matang dalam kepribadiannya dan pandangan
hidupnya.

1. Asuhan di masa kecilnya

Beliau sebagaimana umumnya pada dunia anak-anak di waktu itu, yakni


jarang sekali mendapat asuhan yang cukup sempurna dari ayah dan ibunya, sebab
pada waktu itu orang lebih banyak yang senangmenyerahkan hal pendidikan dan
pengajaran anaknya pada masa atau zaman dari pada berusaha sendiri membentuk
jiwa anak tersebut dengan cara yang teratur dan sisitematik, sebagaimana kita
lihat banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya pada pondok dan

9
lainnya. Beliau hidup sebagaimana ahli fikir, ahli ilmu pengetahuan, hidup pada
zaman kecilnya di zaman purba juga, yakni sangat kurang dan jauh sekali dari
kecukupan, kalau dibandingkan dengan ukuran keperluan belajar sebagaimana
pada zaman sekarang.tetapi pada umumnya mereka orang-orang dahulu itu hidup
lebih tenteram dan tenang dari pada orang yang hidup pada zaman modern ini.

2. Ketulusan Hati Beliau

Dalam segala tingkh laku dan tutur katanya namp;ak benar betapa
kebrsihannya, keikhlasan dan ketulusan beliau. Tidak pandang siapa dan di mana
tempatnya, kalau memang terdapat kekurangan pada seseorang tentu beliau ajan
menegurnya dengan hormat dan lemah lembut, akan diingatkannya dengan sopan
santun dan bijaksana. Akan diterima secara baik atau tidak oleh yang diingatkan
baginya sama saja. “diikuti atau tidak itu adalah soal dia sendiri, saya hanya
sekedar mempringatkan kepada siapa saja yang sedang lupa”. Demikian lah sikap
beliau setiap malakukan kewajiban. Justru karena keikhlasan dan ketulusan beliau,
maka selalu mendapat penghargaan dari pihak yang diingatkan tadi. Karena beliau
tidak ingIn dipuji disegani dan ditakuti, tetapi hanya sematamata ikhlas karena
Allah.

3. Ahli dan Pecinta Fiqh

Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH
Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri
memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam
fiqh, terutama literatur fiqh lama. Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu
kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam
mengkontekstualisasikan fiqh kepada Kenyataan hidup secara baik Walaupun
begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang di
bangunnya di Denanyar

10
4.Memimpin NU dan Melawan RUU Perkawinan Orde Baru

Setelah Kiai Abdul Wahab Hasbullah wafat, Rais Aam NU berada di pundak
KH Bisri Syansuri pada tahun 1972, era mulai menguatnya pemerintahan Orde
Baru. Tantangan besar yang pertama adalah munculnya sebuah Rancangan
Undang-Undang Perkawinan yang secara keseluruhan berwatak begitu jauh dari
ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali
menolaknya. Sangat menarik untuk diikuti bahwa proses perundingan dalam
upaya menyetujui RUU tersebut agar menjadi Undang-Undang (UU) berlangsung
sangat alot dan ketat. Sebagian besar peserta yang terlibat dalam proses
perundingan tersebut berasal dari NU yang berhadapan dengan unsur dari
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Hal ini menunjukkan, begitu
besarnya pengaruh para ulama di dalam dan di luar PPP pada saat itu.

11
C. KH. Asnawi Kudus

Asy-Syaikh al-'Allamah Shahibul-fadhilah Haji Raden Muhammad Asnawi bin


Abdullah Husnin al-Qudsi atau Raden Asnawi Kudus adalah seorang ulama
kharismatik pendiri dan penggerak Nahdlatul 'Ulama dari Kudus, Jawa Tengah[2].
Dalam aktivitas kesehariannya, Kiai Asnawi selalu istikamah dalam
mengembangkan dakwah dan penanaman rasa nasionalisme yang tinggi. Jika
dirunut silsilahnya, Kiai Asnawi masih merupakan keturunan ke-14 Sunan
Kudus (Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan) dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad
Mutamakkin, Kajen, Pati.

1.) Kehidupan awal

Raden Asnawi lahir pada tahun 1861 di desa Damaran, Kudus dengan
nama Raden Ahmad Syamsyi. Ia terlahir dari pasangan Haji Abdullah Husnin dan
Raden Sarbinah, keduanya merupakan pedagang konveksi yang cukup besar
di kota Kudus. Sejak kecil Ahmad Syamsyi diasuh oleh kedua orang tuanya,
dikenalkan pada pelajaran agama dan tata cara bermasyarakat menurut syariat
Islam, Serta diajarkan berdagang sejak dini.

Pada kisaran tahun 1876, orang tuanya pindah ke Tulungagung, Jawa


Timur ketika Ahmad Syamsyi menginjak usia 15 tahun. Di sana, Abdullah Husnin
mengajari anaknya berdagang dari pagi hingga siang hari.

2.) Pendidikan

Sejak kecil, Raden Asnawi sudah terlihat kegemaran dalam belajar dan melakukan
perjalanan keilmuan. Pendidikan keagamaan perdana seperti ilmu tajwid dan
penguasaan bacaan al-Qur’an diperoleh dari ayahnya. Ketika keluarganya pindah
ke Tulungagung, Asnawi kemudian melanjutkan pendidikan agamanya di Pondok
Pesantren Mangunsari. Sebelum menunaikan ibadah Haji, ia kemudian berguru
kepada Kiai Haji Irsyad Naib di kawasan Mayong, Jepara. Pada usia 25 tahun dia
menunaikan ibadah haji yang pertama, dan berguru kepada ulama-
ulama nusantara di Mekkah saat itu seperti Syekh Nawawi al-Bantani[1], Syekh

12
Sholeh Darat as-Samarani (Semarang), Syekh Muhammad Mahfudz at-
Tarmasi (Tremas, Pacitan), dan Sayyid Umar Syatha.

3.) Pergi haji

Pada usia 25 tahun Raden Asnawi menunaikan ibadah haji yang pertama,
Sepulang dari haji pertamanya nama Raden Ahmad Syamsi kemudian diganti
menjadi Raden Haji Ilyas. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden
Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya.

Pada usia sekitar 30 tahun Raden Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji
yang kedua dengan niat bermukim di tanah suci, namun ayahnya wafat di saat
melakukan ibadah haji. Meskipun demikian, niat bermukim tetap diteruskan
selama 20 tahun (dari tahun 1891 – 1911. Selama itu Raden Asnawi juga pernah
pulang ke Kudus beberapa kali untuk menjenguk ibu beserta adiknya. Ibunya
wafat di Kudus sewaktu Raden Asnawi telah kembali ke tanah suci.

4.) Keluarga

Raden Asnawi menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah (janda Syekh


Nawawi al-Bantanii) Mekkah dan dikaruniai 9 orang putra-putra.

5.) Mendirkan madrasah dan pesantren

Pada tahun 1919, Raden Asnawi resmi mendirikan Madrasah Qudsiyyah.


Madrasah Qudsiyyah Menara Kudus merupakan madrasah salafiyah murni yang
didirikan Raden Asnawi di kelurahan Kerjasan, Kota Kudus.

Raden Asnawi juga mendirikan sebuah pondok pesantren bernama Raudlatuth


Tholibin pada tahun 1927. Pesantren tersebut didirikan di atas tanah wakaf dari
bapak mertuanya yang bernama Kiai Haji Abdullah Faqih di dukuh
Bendan, kelurahan Kerjasan, kota Kudus. Pendirian pondok tersebut didukungan
para saudagar dan para dermawan Muslim di Kudus, yang saat itu masih
dalam masa penjajahan Belanda.

13
6.) Organisasi

a. Sarekat Islam

Pada masa sebelum kemerdekaan, Raden Asnawi pernah bergabung


dengan pergerakan Sarekat Islam sebagai komisaris di Makkah. Raden Asnawi
dekat dengan beberapa aktifis pergerakan, di antaranya Agus Salim, Oemar Said
Tjokroaminoto, dan beberapa tokoh lainnya. Sepulang dari Makkah, Raden
Asnawi dipercaya sebagai penasihat Sarekat Islam cabang Kudus pada 1918.

7.) Nahdlatul Ulama

Pada tahun 1924, Raden Asnawi ditemui oleh Kiai Haji Abdul Wahab
Hasbullah untuk bermusyawarah guna membentengi pertahanan
akidah Ahlussunah wal Jamaah dan menyetujui gagasan Kiai Wahab tersebut.
Selanjutnya, bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada
tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah Raden Asnawi turut membidani lahirnya jamiyah
Nahdlatul Ulama (NU). Raden Asnawi termasuk sebagai tokoh sentral
pendirian Nahdlatul 'Ulama yang didirkan pada tahun 1926 tersebut.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

KH.Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang memiliki tingkat intelektual yang
sangat tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya yang selalu diwarnai
dengan menuntut ilmu. Dalam perjalanan pencarian ilmunya tampak sekali bahwa
genealogi intelektual keilmuaan KH.Hasyim Asy’ari berasal dari pakar-pakar
agama yang memiliki kualitas internasional sehingga Kyai Hasyim sangat ahli
dalam al-Qur’an dan Hadith. Beliau juga diberi gelar Hadratus Syaikh yang
artinya “maha guru”. Selain itu beliau seorang perintis pesantren Tebuireng yang
merupakan lembaga pendidikan islam tradisional. Dan tak kalah hebatnya Kyai
Hasyim Asy’ari juga adalah seorang pengarang kitab agama yang sangat
produktif. Bisri Syansuri (lahir di Pati, Jawa Tengah, 18
September 1886 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 April 1980 pada umur
93 tahun) seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama. Ia adalah pendiri Pondok
Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang fikih
agama Islam. isri Syansuri (lahir di Pati, Jawa Tengah, 18
September 1886 – meninggal di Jombang, Jawa Timur, 25 April 1980 pada umur
93 tahun) seorang ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia adalah pendiri
Pondok Pesantren Denanyar, Jombang dan terkenal atas penguasaannya di bidang
fikih agama Islam. Muhammad Asnawi bin Abdullah Husnin al-Qudsi atau Raden
Asnawi Kudus adalah seorang ulama kharismatik pendiri dan
[1] [2]
penggerak Nahdlatul 'Ulama dari Kudus, Jawa Tengah . Dalam aktivitas
kesehariannya, Kiai Asnawi selalu istikamah dalam mengembangkan dakwah dan
penanaman rasa nasionalisme yang tinggi

B. SARAN

Perlu untuk mengenal siapa pendiri Nahdlatul ‘Ulama agar mengetahui


sejarah berdirinya aliran Nadhlatul Ulama untuk masyarakat pada umumnya atau
mahasiswa pada khususnya untuk mengenal seluk beluk pendiri Nahdlatul ‘Ulama

15
DAFTAR PUSTAKA

https://www.pcnutulungagung.or.id/biografi-kh-hasyim-asyari-pendiri-nu-
tebuireng-jombang/

Sumber "KH Bisri Syansuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH


Abdurahman Wahid, Majalah Amanah 1989.

https://www.nu.or.id/post/read/98901/kh-bisri-syansuri-ulama-barisan-fiqih-
indonesia

https://www.nu.or.id/post/read/92169/kisah-kiai-asnawi-dirikan-nu-cabang-kudus

16

Anda mungkin juga menyukai