Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

TRAUMA KEPALA

Oleh:

KELOMPOK 4

 Lisnawati Djafar
 Musdalifah
 Moh. Aditya Marzuk

SEMESTER VI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA PALU

TAHUN AJARAN 2019/2020

1
A. Defenisi
Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak,
yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosional, social maupun
vokasional [ CITATION Jen12 \l 1033 ].
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari
luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik..

B. Anatomi Fisiologi
Rata-rata otak manusia dewasa terdiri dari 2% berat badan tubuh,
dengan kisaran 1,2-1,4 kg. Otak merupakan organ yang sangat vital, dan
sangat penting untuk kehidupan dan fungsi tubuh kita. Oleh karena itu, otak
mengkonsumsi jumlah besar dari volume darah yang beredar. Seperenam
dari semua keluaran jantung melewati otak dalam satu waktu, dan sekitar
seperlima dari seluruh oksigen tubuh digunakan oleh otak ketika sedang
beristirahat.
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang
dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria
dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis
dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri.
Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah
lebih kecil yang disebut lobus [ CITATION Moo07 \l 1033 ].

2
Gambar 2.1 Bagian-Bagian Otak Sumber: Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), 2004. Dalam Yuvinitasari, 2016)

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Serebrum (Otak Besar)


Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus oksipital dan lobus temporal
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum
terletak di bagian bawah belakang kepala, berada dibelakang batang otak
dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas.
Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan.Serebelum
juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap
atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan
tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai
mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

3
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk
mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola
makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang
sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua
sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun.
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

C. Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale
( GCS ) nya, yaitu :
1. Ringan
a. GCS = 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
a. GCS = 9 – 12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
a. GCS = 3 – 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga
dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan

4
otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.
ada beberapa kondisi cedera kepala yang dapat terjadi yaitu :
1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi haya kehilangan fungsi
otak (pingsan < 10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala
2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10
menit) atau terdapat lesi neurologic yang jelas. Kontusio serebri sering
terjadi dan sebagian besar terjadi dilobus frontal dan lobus temporal,
walaupun dapat juga terjadi pada sebagian dari otak. Kontusio serebri
dalam waktu beberapa jam atau hari , dapat berubah menjadi perdarahan
intraserebral yag membutuhkan tindakan operasi.
3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur
terbuka pada cranium. perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat
terjadi dalam 48 jam-2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala-
gejalanya adalah nyeri kepala, bingung, mengatuk, berfikir lambat,
kejang dan udem pupil, dan secara klinis ditandai dengan penuruna
kesadaran, disertai adanya laserasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan gambar
hiperdens yang berupa bulan sabit (Cresent). Indikasi operasi jika
perdaraha tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran garis tengah > 5 mm.
kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi hiperdens
yang mengikuti area gyrus-gyrus serebri didaerah yang berdekatan
dengan hematom. Haya diberikan terapi konservatif, tidak memerlukan
terapi operatif.

5
D. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan
aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena
lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala
membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau
tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila
posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma
regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,
yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi
permanen.. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan
atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir
yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam
tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai a`kibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi,.

6
7
D. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005).
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau bahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur

E. Pemeriksaan Penunjang
 CT Scan (dengan atau tanpa kontras ) : MRI : Cerebral angiografi
 Serial EEG
 X ray
 BAER
 PET
 CSF
 Kadar elektrolit

8
F. Komplikasi
[ CITATION Ros07 \l 1033 ] mengatakan kemunduran pada kondisi klien
diakibatkan dari perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif
dan herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi


mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan
yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat
tekanan intrakranial meningkat tekanan Pemberian obat-obat untuk
vaskulasisasi.

2. Pemberian obat-obat analgetik.

Pembedahan bila ada indikasi darah sistematik meningkat untuk


memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis,
denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang,
tekanan darah semakin meningkat...

3. Peningkatan TIK

Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15


mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang
merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal pernafasan
dan gagal jantung serta kematian.

4. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang
dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. diazepam, frekuensi
dan irama pernafasan.

9
5. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga.

G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi

Seringkali pasien di bawa ke unit gawat darurat dalam keadaan koma


yakni,’’tidak dapat membuka mata, mengeluarkan kata-kata yang dapat
dimengerti atau mengikuti perintah.’’penatalaksanaan awal cedera kepala yang
berat adalah ABC yang menjadi inti dari ilmu kegawatdaruratan medis moderen.

1. Airway/saluran nafas {A} dan membebaskan jalan nafas dari benda-benda


obstrukti (seperti,gigi palsu,vomitus) Karena pasien mungkin mengalami
cedera cervikal,radiografi lateral cervikal harus diperoleh terlebih dahulu
sebelum leher dapat di manipulasi untuk intubasi trakea. Namun, jika
pernapasan tampak terancam, intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dendan
leher pada posisi netral harus di lakukan dengan sangat hati-hati sesegera
mungkin.kadang kala, trauma pada wajah mencegah pemasangan intubasi,
dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi pilihan jika
diperlukan.

10
2. Breathing/pernapasan (B) rata-rata dan ritme pernapasan,juga suara
nafas,harus dievaluasi.Perubahan pola pernapasan dapat mencerminkan
disfungsi sistim saraf pusat pada level tertentu.Lesi hemisferik bilateral
yang dalam dan basal ganglia dapat menyebabkan espirasi Cheyne-Stokes
(pernapasan dengan periode hiperventilasi dan apnea yang silih

11
berganti),dan hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh lesi
pada mesensefalik atau pontine bagian atas.Pernapasan ataksik muncul
pada fase terminal,dimana hanya medullary yang masih dapat
berfungsi.Analisa gas darah harus diperiksa pada semua pasien dengan
cedera kepala,karena hipoksemia sering terjadi.oksigen harus diberikan
untuk menjaga kadar PaO2 dalam batas normal ;hiperventilasi
direkomendasikan untuk menjaga PaCO2 ;diantara 25 dan 30
mmHg,karena hipokarbia merupakan serebral vasokontriktor yang
kuat,mengurangi volume darah otak dan oleh sebab itu,tekanan
intrakranial.foto polos dada harus diperoleh untuk memastikan tidak ada
cedera pada rongga dada seperti pneumothorak,kontusi paru atau aspirasi.

3. Circulator/sirkuasi (C) pasien,yang dapat digambarkan oleh tekanan


darah.Karena shok jarang terjadi akibat cedera kepala murni,pemeriksaan
dengan teliti harus di lakukan untuk mencari penyebab lain(yaitu,ruptur
lien atau raktur tulang panjang), Kateter vena sentral,pada subklavian atau
vena jugular interna.seringkali memeliki peran yang tak ternilai dalam
mengevaluasi dan mengobati pasien-pasien dengan cedera multipel.
Bersamaan dengan nilai hematokrit,tekanan vena sentral dapat
membedakan shok hipovolemik dengan beberapa kasus shok neurogenik
yang disebabkan oleh cedera kord spinal.

Pada shok neourogenik, disfungsi saraf servikal menganggu aliran


simpatis menyebabkan pooling vena dan hipotensi. Shok tipe ini biasanya
ditandai dengan hipotensi, bradikardia, tekanan vena sentral relatif normal,
dan nilai hematokrit yang normal, sedangkan shok hipovolemik menyebabkan
takikardia, tekanan vena sentral yang sangat rendah, dan nilai hematokrit yang
menurun. Shok neuroganik biasanya dapat diatasi dengan menundukan kepala
pasien dan memberikan terapi cairan yang tidak telalu banyak: kadang-kadang
stropin atau vasopresor juga dibutuhkan. Sedangkan, pasien dengan shok
hipovolemik membutuhkan cairan intravena yang sangat banyak, yang dapat
menyebabkan kelebihan cairan pada sirkulasi danmenimbulkan edema paru
pada pasien dengan hipotensi neurogenik.

Pada saat dan setelah penilaian ABC, pemeriksaan fisik lengkap juga
dilakukan. Evaluasi neurologis harus difokuskan pada tingkat kesadaran
pasien, reaksi pupil, gerakan ekstraokular, dan reaksi motorik. Anggota medis
dan paramedis dapat melakukan pemeriksaan tersebut ditempat kejadian
treuma, unit gawat darurat, dan ruang rawat intesif. Dengan demikian,

12
perubahan pada pasien dapat dikenali lebih awal dan penatalaksanaan dapat
diterapkan sesegera mungkin.

Bermacam-macam istilah, seperti koma, semikoma, stupor dan


obtundation, digunakan untuk mengambarkan tingkat kesaadaran pasien,
tetapi istilah-istilah berikut tidak dapat diterapkan secara seragam disenter-
senter dan bahkan di antara pemeriksa. Oleh karena itu, penilaian yang
dikembangkan oleh Jennett danTeasdale’s, pada tahun 1974, yang dikenal
sebagai Glasgow Coms Scale (GCS) menjadi kemajuan yang berarti, pada
skala ini, kemampuan pasien melakukan tiga tes fungsi neurologis membuka
mata, reaksi motorik dan reaksi verbal menentukan skor total,seperti yang di
ilustrasikan pada gambar 4. Devinisi standar koma “ tidak dapat membuka
mata, mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengerti, atau mengikuti
perintah” sesuai dengan nilai maksimum 8 pada GCS. Glasgow Coma Scale
sangat mudah diterapkan dan dapat dilakukan berulang-ulang, memberikan
gambaran perjalanan keadaan pasien dan dapat digunakan untuk melakukan
perbandingan pada institusi yang sama atau institusi-institusi lain. GCS telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diagnosa dan terapi moderen cedera
kepala. Berbagai macam abnormalitas pupil dapat ditemukan pada kasus
cedera kepala. Yang paling dikenal adalah kelumpuhan unilateral nervus
ketiga karena herniasi unkal, yang menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral dan
respons yang buruk terhadap cahaya ( Hutchinson’s pupil). Kemudian, fungsi
otot ekstraokular juga terganggu, menghasilkan dilatasi maksimal pupil dan
menempatkan bola mata kearah inerolateral. Pada keadaan lain, anisokoria
dapat mencerminkan sindrom Horner’s. Sindrom Horner’s traumatik pada
umumnya berhubungan dengan cedera pada serviko-thorakal kord spinal,
pleksus brakhialis atau arteri karotis. Cedera inimenyebabkan denervasi
simpatis mata ipsilateral, yang menimbulkan trias klasik: miosis, ptosis dan

13
anhidrosis.

14
Miosis pupil bilateral, pada umumnya mengindikasikan intoksikasi
obat, dapat juga diakibatkan oleh cedera pontin cedera pada retina atau nervus

15
optikus dapat menyebabkan defek pupil aferen Marcus Gunn, pada situasi ini,
respon cahaya indirek lebih kuat dibandingkan respons cahaya direk pada
mata yang cedera mengayunkan cahaya dari mata yang normal kemata yang
cedera memperlihatkan dilatasi pupil yang berlawanan? Respons pupil lain,
seperti puil tektal dan hippus, kadang kala dapat dijumpai setelah cedera
kepala.

Saat menilai motilitas ekstraokuler, akan sangat membantu jika


pemeriksa mengingat bahwa terdapat dua area besar yang mengendalikan
gerakan horizontal bola mata. Didalam formasi retikular pontin terdapat pusat
tatapan horizontal. Pusat ini terhubung, melalui median longitudinal fasikulus,
ke servikal kord spinal dan vestibular dan kranial ekstraokular nuclei.
Kerusakan pada pusat ini menyebabkan deviasi kedua bola mata ke arah
berlawanan. Pusat yang lain terletak didalam lobus prontal (area mata Frontal,
Brodmann’s area 8). Kerusakan pada pusat ini menyebabkan deviasi kedua
bola mata dan kepala ke arah lesi. Jika lokasi cedera berada dilobus frontal ,
kedua bola mata berdeviasi menjauh dari sisi hemiperatik (traktus motorik
menyebebkan pada medulla ); pada cidera batang otak, kedua mata berdeviasi
kearah sisi hemiparetik.

Ditemukannya deviasi atau tidak, motilitas okular harus dinilai dengan


lengkap, jika servikal tidak terlibat, fenomena doll’s-head dapat digunakan.
Mengerakan kepala dari satu sisi ke sisi lain dapat menstimulasi akar-akar sara
dan vestibur batang otak tidak terlibat, menyebabkan pergerakan bola mata
kearah mdapat mempertahankan posisi relatifnya didalam ruang. Jika batang
otak mengalami cidera, gerak bola mata tidak terpengaruh oleh gerakan kepala
( tada prognosis yang buruk).

Sebagai alternatif, test kalorik dengan air-es dapat digunakan. Kepala


diangkat 30 derajat dari posisi supine , agar kenal semisir kular horizontal
berada dalam posisi vertikal. Jika kenal bebea dan membran timpani utuh, air-
es dapat dimasukkan. Pada pasien sadar, air-es menstimulasi vestibular nuclei,
menghasilkan nistagmus dengan fase cepat ke sisi kontralateral (COWS; Cold
Oppositer, Warm Same, Dingin berlawanan, hangat sama). Pada pasien koma,
namun, fase cepatidak dapat dilihat sehingga kedua mata sebenarnya
berdeviasi kearah irigasi air-es. Hasil negatif tes kalorik juga merupakan
prognosa yang buruk.

Beberapa kategori respons motorik termuat dalam Glasgow coma


Scale pada gambar 4, walaupun sederhana, skema ini sangat membantu
menilai beratnya kasusu cedera kepala. Jika pasien dapat memauhi perintah,
melokalisasi nyeri, menghindari nyeri, berarti semua traktus motorik desenden

16
utuh. Traktus rubrospinalis mengatur respons fleksi tetapi hanya mempersarafi
ekstrimitas bagian atas pada manusia. Dekortikasi (leksi tangan dan ekstensi
kaki), oleh sebeb itu, mencerminkan cedera fisiologis pada level ekstrimitas.
Deserebrasi (ekstensi keempat ekstrimitas), oleh sebeb itu, mencerminkan
cedera pada level diantara red nuclei. Traktus vestibulospinal mengatur
ekstensi pada keempat ekstrimitas. Deserebrasi (ekstensi ke empat
ekstrimitas), oleh sebab itu, mencerminkan cedera pada level diantara red
nuclei dan vestibular nuclei. Respons motorik yang nihil menandakan cedera
pada level dibawah vestibular nuclei. Respons motorik yang nihil menendakan
cedera pada level dibawahvestibular nuclei. Respons motorik laim (seperti
monoplegia, praplegia atau quadriplegia) mencerminkan cedera pada berbagai
area sistem saraf.

Lengkapnya pemeriksaan lanjutan tergantung pada beratnya cedera


dan dilakukan setelah evaluasi awal. Radiografi tulang tengkorak diperoleh
pada saat bersamaan. Tes laboratorium standar harus diajukan untuk semua
pasien trauma.

Fokus kemudian diarahkan pada radiografi definitif atau langkah-


langkah terapi, atau keduanya. Radiografi yang dimaksd termasuk CT scan
otak, yang pada beberappa tahun terakhir merevolusi diagnosa lesi
intrakranial. Pada CT scan, kepala pasien diletakakn didalam alat scan sirkular
yang tersusun oleh tabung-tabungan karena kepala tidak boleh bergerak
selama pemeriksaan, anastesi pada untuk pasien dengan agitasi, pasien muda
atau pasien yang tidak koopriatik ada saat scan berrotasi, sinar x melintasi
intrakranial dari berbagai sudut tetapi pada satu bidang horizontal yang sama,
dengan menganalisa derajat struktur intrakranial yang menipiskan yang sma.
Dengan menganalisa derajat struktur intrakranial yang menipiskan
/melemahkan sinar x, komputer memproduks video atau gambar yang
menunjukan radiodensitas pada bagian yang di scan. CT scan masa kini dapat
menghasilkan potongan-potongan dengan resolusi tinggi kurang dari 1 menit.
Gambar 5 menunjukan CT scan otak normal dan kasus hematoma intrakranial.

CT scan memperlihatkan perbedaan densitas antara struktur-struktur


intrakranial. Densitas sereblum pada CT adalah isodens. Struktur-struktur
hiperdens termasuk tulang tengkorak, kelenjar pineal dan darah segar;
struktur-struktur hipodens termasuk cairan screbrospinal, lemak dan air.
Struktur-struktur yang berdampingan memiliki densitas yang berbeda agar
dapat dengan mudah diidentifikasi pada CT scan. Pengeseran struktur normal,
seperti kelenjar pineal atau sistem ventrikular, dapat menunjukan adanya lesi,

17
Hematoma epidural dan subdural keduanya hiperdens tetapi seringkali
memiliki bentuk yang berbeda. Hematoma epidural berbentuk lentikular
karena kerekatan dura mater dengan tabula dalam tulang tengkorak pada
kedua tepi/ujung lesi. Hematoma epidural dapat menggeser sistem ventikuler
dan kelenjar pineal.

Hematoma subdural akut biasanya berbentuk bulan sabit (cekung).


Hematoma subdural pada umumnya terletak disekeliling konveksitas serebral,
dan biasanya menggeser sedikit bagian dari sistem ventrikuler. Hematoma
subdural subakut, jika isodens, sulit dilihat pada C scan. Kasus subakut
biasanya dapat terdeteksi karena pergeseran struktur normal dalam otak, tetapi
pergeseran ini tidak dapat ditemukan jia hematoma terjadi pada kedua sisi
(bilateral), dijumpai pada 15% sampai 20% kasus. Pada kasus-kasus tersebut
CT scan dengan kontras dapat mengambarkan batas/tepi korteks. Jika tidak,
angiografi karotis, biasanya melalui kateter transfemoral, dapa berperan
penting untuk menunjukan pembuluh darah kortikal yang lepas/geser dari
tabula dalam tulang tengkorak pada lokasi hematoma. Hematoama subdural
kronik pada umumnya hiodens dan, oleh sebab itu, mudah dilihat pada CT
scan. Hematoma subdural kronis kadang kala berbentuk lentikular, karena
terbungkus/terisolasi didalam membran subdural.

Hemmatoma intraserebral terlihat hiperdens pada CT dan biasanya


ditemukan pada lobus temporal dan frontal setelah trauma. Struktur-struktur
normal dapat tergeser. Terkadang hemorrhagik intraserbal lobus temporal
terlihat berangkaian dengan hematoma subdural diatasnya yang dinamakan
lobus temporal terlihat berangkaian dengan hematoma subdural diatasnya
yang dinamakan lobus temporal burst (gambar 6), dan memiliki prognosis
yang cukup buruk. Tidak jarang, CT scan pada kasusu cedera kepala mayor
gagal menunjukan adanya lesi. Dengan cara lain, area dengan hipodensitas
relatif dapat dilihat didalam struktur white matter, mencerminkan adanya
edema serebal postraumatik.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

Laporan pendahuluan trauma kepala.wiwi rezky

https://www.academia.edu/37081131/laporan_pendahuluan_trauma_capitas

penatalaksanaan trauma kepala

https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/09/head-injury-
menagement.pdf&ved=2ahUKwjx8feL3oToAHXWXCsKHaDHB8fqFjAdegQIA
xAB&AB&usg=AOvVaw2ffq3VCaysuJB9ycrBZho

20

Anda mungkin juga menyukai