Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR HUMERUS

Disusun Oleh:

VIKA PUSPITA SARI

PK 115 017 039

SEMESTER V

Telah di ACC oleh :

CI KLINIK CI INSTITUSI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA JAYA PALU

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019


LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, kedaan tulang itu sendiri dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Price, Wilson, 2003)
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik (Brunner & Suddarth, 2000).
Fraktur adalah terputusnya kontuinitast ulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare,2002).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpukan bahwa fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan oleh trauma,rudapaksa
atau oleh penyebab patologis yang dapat digolongkan sesuai dengan jenis dan
kontinuitasnya.

B. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya:
a. Fraktur Fisiologis
Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan,
tenaga fisik, olahraga, dan trauma dapat disebabkan oleh:
1) Cidera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan.
2) Cidera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan terjulur menyebabkan fraktur
klavikula, atau orang tua yang terjatuh mengenai bokong dan berakibat
fraktur kolom femur.
b. Fraktur Patologis
Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit
dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur. Dapat terjadi
pada berbagai keadaan berikut:
1) Tumor tulang, terbagi menjadi jinak dan ganas
2) Infeksi seperti Osteomielitis
3) Scurvy (penyakit gusi berdarah)
4) Osteomalasia
5) Rakhitis
6) Osteoporosis ( Rasjad, 2007)

Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang


berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya
fraktur terjadi pada umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami
fraktur dari pada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause.

C. Klasifikasi
a. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka atau patah tulang terbuka adalah hilangnya kontinuitas
tulang disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah) yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada area
yang terkena.
b. Fraktur tertutup
Fraktur tertutup atau patah tulang tertutup adalah hilangnya kontinitas
tulang tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung atau kodisi tertentu, seperti degenerasi tulang
(osteoporosis).
D. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Ketika patah
tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan
jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang
dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal
medul antara tepi tulang bawah periostrium dengan jaringan tulang yang
mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan
nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit, ketika
terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam
sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan
gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai
organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot,
sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndrom
comportement.
Tulang bergenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah
dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang-tulang
baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel. Pada stadium poliferasi sel menjadi
fibrokartilago. Sel yang mengalami poliferasi terus masuk kedalam lapisan
yang lebih dalam dan bergenerasi sehingga terjadi osteogenesis. Sel-sel
yangberkembang memiliki potensi yang kardiogenik
Pathway

E. Manifestasi klinik
a. Nyeri hebat di tempat fraktur
b. Tak mampu menggerakkan ekstremitas
c. Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi
berubah,bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

F. Komplikasi
1. Non-union, delayed-union dan mal-union tulang dapat terjadi, yang
menimbulkan deformitas atau hilangnya fungsi.
2. Sindrom kompartemen.
3. Ditandai dengan kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang
disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan
pembengkakan interstitial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang
menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut
kolaps. Hal ini menyebabkan hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan
kematian saraf yang mempersarafi area tersebut. Biasanya timbul nyeri
hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari tangannya. Untuk
memeriksa sindrom kompartemen, hal berikut harus dievaluasi dengan
sering pada tulang yang cedera atau digips: nyeri, pucat, parestesia dan
paralisis. Denyut nadi mungkin teraba atau mungkin tidak.
4. Embolus lemak dapat timbul setelah patah tulang, terutama tulang
panjang, termasuk humerus. Embolus lemak dapat timbul akibat pajanan
sumsum tulang, atau dapat terjadi akibat sistem saraf simpatis yang
menimbulkan stimulasi mobilisasi asam lemak bebas setelah trauma.
Embolus lemak yang timbul setelah patah tulang panjangsering tersangkut
di sirkulasi paru dan dapat menimbulkan gawat napas dan gagal napas.
(Elizabeth J. Corwin, 2009; 338)

G. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis
fraktur.
b. Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma) peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal
setelah trauma.
e. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk pasien ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
mulpel atau cidera hati.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan fraktur mengacu kepada empat tujuan utama yaitu:
1. Mengurangi rasa nyeri,
Trauma pada jaringan disekitar fraktur menimbulkan rasa nyeri yang
hebat bahkan sampai menimbulkan syok. Untuk mengurangi nyeri dapat
diberi obat penghilang rasa nyeri, serta dengan teknik imobilisasi, yaitu
pemasangan bidai / spalk, maupun memasang gips.
2. Mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Fraktur harus segera diimobilisasi untuk memungkinkan pembentukan
hematoma fraktur dan meminimalkan kerusakan. Penyambungan kembali
tulang (reduksi) penting dilakukan agar terjadi pemulihan posisi yang
normal dan rentang gerak. Sebagian besar reduksi dapat dilakukan tanpa
intervensi bedah (reduksi tertutup/OREF), misalnya dengan pemasangan
gips, skin traksi maupun bandaging. Apabila diperlukan pembedahan
untuk fiksasi (reduksi terbuka/ORIF), pin atau sekrup dapat dipasang
untuk mempertahankan sambungan. (Elizabeth J. Corwin, 2009; 339)
3. Membuat tulang kembali menyatu
Imobilisasi jangka panjang setelah reduksi penting dilakukan agar
terjadi pembentukan kalus dan tulang baru. Imobilisasi jangka panjang
biasanya dilakukan dengan pemasangan gips atau penggunaan bidai.
4. Mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan atrofi
otot dan kekakuan pada sendi. Maka untuk mencegah hal tersebut
diperlukan upaya mobilisasi. (Anonim, 2008)

I. Pencegahan
 Menjaga kesehatan dan kekuatan tulang dengan mengonsumsi minuman
atau makanan tinggi kalsium. Seperti susu, yogurt, atau keju
 Gunakan sepatu yang sesuai dengan aktivitas, terutama saat berolahraga
 Gunakan perlengkapan pelindung diri yang tepat saat melakukan olahraga
ekstrim.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1) Identitas pasien
Meliputi tanggal pengkajian, ruangan, nama (inisial), No MR, umur,
pekerjaan, agama, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk RS, alasan masuk
RS, cara masuk RS, penanggung jawab.
2) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan juga penyakit yang pernah dialami pasien sebelumnya,
riwayat penyakit pasien yang pernah dirawat dirumah sakit serta
pengobatan yang pernah didapatkan dan hasilnya. Dan ada tidaknya
riwayat DM pada masa lalu yang akan mempengaruhi proses perawatan
post operasi.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Tanyakan pada pasien dan atau keluarga tentang keluhan pasien saat
ini, biasanya pasien mengalami nyeri pada daerah fraktur, kondisi fisik
yang lemah, tidak bisa melakukan banyak aktifitas, mual, muntah, dan
nafsu makan menurun.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada pasien dan atau keluarga mengenai penyakit yang
berhubungan dengan yang diderita pasien saat ini dan penyakit
herediter/keturunan lainnya (anggota keluarga dengan riwayat penyakit
yang sama).
3) Data pola kebiasaan sehari-hari
a) Nutrisi
 Makanan
Catat pola kebiasaan makan saat sehat dan sakit. Catat diit yang
diberikan rumah sakit pada pasien dan jumlahnya. Tanyakan
konsumsi diit atau makanan sehari-hari lainnya pada waktu sakit dan
bandingkan pada waktu sehat, catat porsi makan yang dihabiskan,
keluhan saat makan serta kemandirian dalam pelaksanannya.
 Minuman
Tanyakan jumlah cairan yang diminum dan ragamnya, bandingkan
jumlahnya pada saat sakit dengan sehat. Catat keluhan yang
dirasakan pasien dan kemandirian dalam melaksanakannya.
b) Eliminasi
 Miksi
Tanyakan frekuensi buang air kecil dan perkiraan jumlahnya,
bandingkan pada keadaan sakit dengan sehat serta catat karakteristik
urine (warna, konsistensi dan bau serta temuan lain) serta keluhan
yang dirasakan selama BAK dan kemandirian dalam
melaksanakannya serta alat bantu yang dipakai.
 Defekasi
Tanyakan frekuensi buang air besar, bandingkan pada keadaan sakit
dengan sehat serta catat karakteristik feses(warna, konsistensi dan
bau serta temuan lainnya) serta keluhan yang dirasakan selama BAB
dan kemandirian dalam melaksanakannya.
4) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum pasien
 Tingkat kesadaran
 Berat badan
 Tinggi badan
b) Kepala
Amati bentuk kepala, adanya hematom/oedema, perlukaan (rinci
keadaan luka, luas luka, adanya jahitan, kondisi luka).
 Rambut : Amati keadaan kulit kepala dan rambut serta
kebersihannya dan temuan lain saat melakukan inspeksi.
 Wajah: Amati adanya oedema/hematom, perlukaan disekitarwajah
(rinci keadaan luka, luas luka, adanya jahitan, kondisi luka) dan
temuan lain saat melakukan inspeksi.
 Mata : Amati kesimetrisan kedua mata, reflek cahaya, diameter
pupil, kondisi bola mata (sklera, kornea, atau lensa, dll) keadaan
kelopak mata dan konjungtiva serta temuan lainya.
 Hidung : Amati keadaan hidung, adanya perlukaan, keadaan
septum, adanya sekret pada lubang hidung, darah atau obstruksi),
adanya pernafasan cuping hidung dan temuan lain saat melakukan
inspeksi (rinci keadaan luka, luas luka, adanya jahitan, kondisi luka).
 Bibir : Amati adanya oedema, permukaan (rinci keadaanluka, luas
luka, adanya jahitan, kondisi luka), warna bibir dan kondisi mukosa
bibir serta temuan lain saat melakukan inspeksi.
 Gigi : Amati kelengkapan gigi, kondisi gigi dan kebersihanserta
temuan lain saat melakukan inspeksi.
 Lidah : Amati letak lidah, warna, kondisi dan kebersihanlidah serta
temuan lain saat melakukan inspeksi.
c) Leher
Amati adanya pembesaran kelenjar thyroid, kelenjar getah bening
dileher serta deviasi trakea, adanya luka operasi, pemasangan drain
serta temuan lain saat melakukan inspeksi. Lakukan auskultasi pada
kelenjar thyroid jika ditemukan pembesaran. Ukur jugularis vena
pressure (JVP), tuliskan lengkap dengan satuannya.
d) Dada/thorak
 Inspeksi : Pengamatan terhadap lokasi pembengkakan, warna kulit
pucat, laserasi, kemerahan mungkin timbul pada area terjadinya
fraktur adanya spasme otot dan keadaan kulit.
 Palpasi : Pemeriksaan dengan cara perabaan, yaitu penolakanotot
oleh sentuhan kita adalah nyeri tekan, lepas dan sampai batas mana
daerah yang sakit biasanya terdapat nyeri tekan pada area fraktur dan
didaerah luka insisi.
 Perkusi : Perkusi biasanya jarang dilakukan pada kasusfraktur.
 Auskultasi : Periksaan dengan cara mendengarkan gerakanudara
melalui struktur merongga atau cairan yang mengakibatkan struktur
sulit bergerak. Pada pasian fraktur pemeriksaan ini pada area yang
sakit jarang dilakukan.
e) Jantung
 Inspeksi : Amati ictus cordis.
 Palpasi : Raba lokasi dirasakan ictus cordis dan kekuatan angkanya.
 Perkusi : Tentukan batas-batas jantung.
 Auskultasi : Dengarkan irama denyutan jantung, keteraturandan
adanya bunyi tambahan.
f) Perut/abdomen
 Inspeksi : Amati adanya pembesaran rongga abdomen,keadaan
kulit, luka bekas operasi pemasangan drain dan temuan lain saat
melakukan inspeksi.
 Auskultasi : Dengarkan bunyi bising usus dan catat
frekuensinya dalam 1 menit.
 Palpasi : Raba ketegangan kulit perut, adanya
kemungkinanpembesaran hepar, adanya massa atau cairan.
 Perkusi : Dengarkan bunyi yang dihasikan dari ketukandirongga
abdomen bandingkan dengan bunyi normal.
g) Genitourinaria
Amati keadaan genetalia, kebersihan dan pemasangan kateter serta
temuan lain saat melakukan inspeksi.
h) Ekstremitas
Amati adanya bentuk, adanya luka (rinci keadaan luka), oedema, dan
pengisian kapiler, suhu bagian akral serta temuan lain saat pemeriksaan.
i) Sistem integumen
Amati warna kulit, rasakan suhu kulit, keadaan turgor kulit, adanya luka
serta temuan lain saat pemeriksaan.
j) Sistem neurologi (diperiksa lebih rinci jika pasien mengalami penyakit
yang berhubungan dengan sistem neurologis)
 Glascow Come score
 Tingkat kesadaran
 Refleks fisiologis
 Reflek patologis
 Nervus cranial I – XII

B. Diagnosa
a. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
b. Resiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya
darah dari luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cedera pada pembuluh
darah.
c. Resiko tinggi sindrom komparteman yang berhubungan dengan
terjebaknya pembuluh darah, saraf, dan jaringan lunak lainnya akibat
pembengkakan.
d. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan luka fraktur terbuka, luka
pasca-bedah.
e. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan cidera jaringan
lunak sekuder akibat fraktur terbuka.

C. Intervensi
a. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria hasil: pasien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi,
dapat mengindentifikasikan aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan
nyeri,pasien tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri dengan skala 0 – 4
Rasional: Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri. Klen melaporkan nyeri biasanya diatas
tingkat cidera.
2) Pantau keluhan nyeri lokal, apakah disertai pembengkakan.
Rasional: Deteksi dini untuk mengetahui adanya tanda sindrom
kompartemen.
3) Lakukan manajemen nyeri keperawatan :
a) Atur posisi imobilisasi.
Rasional: Mobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan
fragmen tulang yang menjadi unsur utama penyebab nyeri
b) Manajemen lingkungan :Lingkungan yang tenang, batasi
pengunjung, dan istirahatkan pasien.
Rasional: Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri
eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu
meningkatkan kondisi oksigen ruangan yang akan berkurang apa bila
banyak pengunjung yang berada diruangan. Istirahat akan
menurunkan kebutuhan oksigen jaringan perifer.
c) Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam ketika nyeri muncul.
Rasional: Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan
nyeri sekunder akibat iskemia.
d) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.
Rasional: Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan
stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin
dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri agar tidak
dikimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan presepsi nyeri.
e) Lakukan menajemen sentuhan.
Rasional: Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan
dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri. Masase
ringan dapat meningkatkan aliran darah dan membantu suplai darah
dan oksigen ke area nyeri.
4) Kolaborasi :
a) Pemberian analgesik
Rasional: Analgesik memblok lintasan nyeri sehingga nyeriakan
berkurang.
b) Pemasangan traksi skeletal.
Rasional: Penarikan dengan traksi skeletal dapat mengurangi
pergerakan fragmen tulang yang dapat menekan jaringan saraf
sehingga dapat menurunkan respon nyeri.
b. Resiko tinggi syok hipovolemik yang berhubungan dengan hilangnya
darah dari luka terbuka, kerusakan vaskuler, dan cidera pada pembuluh
darah.
Tujuan: resiko syok hipovolemik tidak terjadi.
Kriteria hasil: Pasien tidak mengeluh pusing, membran mukosa lembab,
turgor kulit normal, TTV dalam batas nomal, CRT <3 detik, urine >600
ml/hari.
Intervensi :
1) Pantau status cairan (turgor kulit, membran mukosa, haluaran urine).
Rasional: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan oleh keadaan
status cairan. Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya
produksi urine, pemantauan yang ketat pada produksi urine < 600 ml/
hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok kardiogenik.
2) Kaji sumber kehilangan cairan.
Rasional: Kehilangan cairan dapat berasal dari faktor ginjal dan diluar
ginjal. Penyakit yang mendasari terjadinya kekurangan volume cairan
ini juga haris diarasi. Perdarahan harus dikendalikan.
3) Auskultasi tekanan darah. Bandingkan kedua lengan.
Rasional: hipotensi dapat terjadi pada hipovolemia yang menunjukkan
terlibatnya sistem kardiovaskuler untuk melakukan kompensasi
mempertahankan tekanan darah.
4) Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaforesis secara
teratur.
Rasional: Mengetahui adanya pengaruh peningkatan tahanan perifer.
5) Pantau frekuensi dan irama jantung.
Rasional: Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukan
komplikasi disritmia.
6) Kolaborasi :Pertahankan pemberian cairan melalui intravena.
Rasional: Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan
memudahkan perawat dalam melakukan kontrol asupan dan haluaran
cairan.
c. Resiko tinggi sindrom komparteman yang berhubungan dengan
terjebaknya bembuluh darah, saraf, dan jaringan lunak lainnya akibat
pembengkakan.
Tujuan : resiko sindrom kompartemen tidak terjadi.
Kriteria hasil : Pasien tidak mengeluh nyeri lokal hebat, skala nyeri 0-1,
CRT <3 detik, akral pada sisi lesi hangat, nadi pada sisi lesi sama dengan
sisi yang sehat.
Intervensi :
1) Pantau pulsasi nadi, perfusi perifer, dan CRT pada sisi lesi setiap jam.
Rasional: perubahan nadi, perfusi, dan meningkatnya CRT pada sisi
lesi menunjukkan tanda awal tidak baiknya sistem vaskuler akibat
bembengkakan.
2) Pantau status nyeri setiap jam.
Rasional: keluhan nyeri lokal hebat pada pasien fraktur disertai
pembengkakan merupakan peringatan pada perawat tentang gejala
sindrom kompartemen.
3) Kaji dan bebaskan apa bila ada bagian pembebatan yang kuat pada
bagian proksimal.
Rasional: pembebatan merupakan stimulus yang dapat meningkatkan
respon penjepitan pada pembulur darah dan jaringan lunak lainnya
sehingga harus dibebaskan.
d. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka fraktur
terbuka, luka pasca-bedah.
Tujuan : resiko infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda dan gejala infeksi, pengangkatan jahitan
pasca bedah ORIF dapat dilakukan pada hari ke-10.
Intervensi :
1) Kaji faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya infeksi yang masuk
ke port de entree.
Rasional: faktor port de entree fraktur femur adalah luka terbuka dari
fraktur, luka pasca-bedah, sisi luka dari staksi tulang, setiap sisi besi
pada fiksasi eksterna. Faktor-faktor ini harus dipantau oleh perawat dan
dilakukan perawatan luka steril.
2) Lakukan perawatan luka steril pada hari ke 2 pasca-bedah ORIF atau
apabila kasa terlihat kotor.
Rasional: perawatam luka steril dilakukan idealnya pada hari ke 2 dan
perawatan selanjutnya tidak setiap hari. Biasanya dilakukan setiap dua
hari sekali atau apabila kasa terlihat kotor, dapat dilakukan setiap hari.
3) Tingkatkan asupan nutrisi tinggi kalori dan tinggi protein.
Rasional: meningkatkan imunitas tubuh secara umum dan membantu
menurunkan resiko infeksi.
4) Kolaborasi :Beri antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: Satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada
sifat patogen dan infeksi yang terjadi.
e. Kerusakan integritas jaringan yang berhubungan dengan cidera jaringan
lunak sekuderakibat fraktur terbuka.
Tujuan : integritas jaringan membaik secara optimal.
Kriteria hasil : Pertumbuhan jaringan meningkat, keadaan luka membaik,
pengeluaran pus pada luka tidak ada lagi, luka menutup.
Intervensi :
1) Kaji kerusakan jaringan lunak yang terjadi pada pasien.
Rasional: menjadi data dasar untuk memberikan informasi intervensi
perawatan luka, alat apa yang akan dipakai, dan jenis larutan apa yang
akan dilakukan.
2) Lakukan perawatan luka :
a) Lakukan perawatan luka dengan teknik steril.
Rasional: perawatan luka dengan teknik steril dapat mengurangi
kontaminasi kuman langsung kearea luka
b) Kaji keadaan luka dengan teknik membuka balutan, mengurangi
stimulus nyeri. Jika perban melekat kuat, diguyur dengan NaCl.
Rasional: manajemen membuka luka dengan mengguyur larutan
NaCl ke kasa dapat mengurangi stimulus nyeri dan padat
menghindari terjadinya perdarahan pada luka osteomielitis kronis
akibat kasa yang kering karena ikut mengering bersama pus.
3) Evaluasi kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan jaringan.
Rasional: apa bila masih belum tercapai kriteria evaluasi, sebaiknya
perlu dikaji ulang faktor-faktor apa yang menghambat pertumbuhan
jaringan luka.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu./167753736/LAPORAN_PENDAHULUAN_POS
T_ORIF_HUMERI

diakses tanggal 29 Oktober 2o19

Anda mungkin juga menyukai