Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat asimptomatik. Beberapa pasien
mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat
menunjang kecurigaan ke arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti
kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal,
berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula
digali mengenai faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua kali pengukuran pada
setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan
maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik,
ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan
penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat
dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa elektrokardiografi,
funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi
sekunder dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper
atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+),
hiperaldosteronisme primer berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen,
peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis
metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom
cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT
angiografi arteri renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi.
Anamnesis
Anamnesis yang perlu digali pada pasien dengan kecurigaan insufisiensi vena kronik, antara lain:
Gejala seperti nyeri, bengkak, adanya ulkus, atau perubahan warna kulit pada ekstremitas
bawah
Riwayat varises, deep vein thrombosis (DVT), flebitis, atau trauma tungkai bawah
Gali faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, serta aktivitas fisik seperti terlalu lama
berdiri atau duduk, keterbatasan anggota gerak bawah, dan gaya hidup sedenter
Adanya riwayat kehamilan multipel, obesitas, atau hipertensi
Riwayat insufisiensi vena atau varises pada keluarga
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan pada pasien dengan kecurigaan insufisiensi vena
kronik, meliputi inspeksi kulit dan vena tungkai bawah, palpasi sepanjang dilatasi vena dan otot
betis, pengukuran diameter betis, serta pemeriksaan spesifik seperti Brodie-Trendelenburg test
(atau tes Trendelenburg) dan ankle brachial index (ABI).
Inspeksi
Inspeksi yang penting dalam pemeriksaan insufisiensi vena kronik yaitu inspeksi tungkai bawah
dalam posisi berdiri, inspeksi kulit, dan evaluasi ulkus.
Inspeksi tungkai bawah dalam posisi berdiri dilakukan untuk menilai adanya dilatasi vena
superfisial, telangiektasis, varises, serta edema tungkai bawah (umumnya pitting dan
tidak mengenai kaki depan atau forefoot).
Inspeksi kulit dilakukan untuk menilai adanya hiperpigmentasi, dermatitis stasis,
atrophie blanche, dan lipodermatosclerosis. Atrophie blanche adalah penyembuhan luka
berupa skar putih pada kulit karena kurangnya suplai darah
Deskripsikan ulkus: lokasi, ukuran, karakteristik, banyaknya, dan tipe eksudat yang ada,
adanya nyeri dan skalanya, serta dasar ulkus
Palpasi
Palpasi konsistensi otot betis dan pengukuran diameternya, dibandingkan dengan sisi
tungkai yang sehat
Palpasi adanya nyeri tekan sepanjang vena yang terdilatasi
Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan spesifik yang perlu dilakukan pada kecurigaan insufisiensi vena kronik yaitu tes
Trendelenburg untuk membedakan inkompetensi atau refluks vena terjadi superfisial atau dalam,
serta pengukuran ankle brachial index (ABI) untuk menyingkirkan kemungkinan ulkus akibat
etiologi arteri (peripheral arterial disease / PAD).
Tes Trendelenburg :
Pasien dalam posisi supinasi, fleksi panggul tungkai untuk mengosongkan vena
Gunakan torniquet atau lakukan kompresi manual terhadap vena superfisial untuk
mengoklusi vena superfisial
Pasien diminta berdiri
Bila terdapat inkompetensi atau refluks vena superfisial, dilatasi vena superfisial akan
muncul setelah >20 detik
Bila terdapat inkompetensi atau refluks vena dalam atau keduanya, dilatasi vena akan
segera muncul
Mengukur tekanan sistolik pada kedua lengan (arteri brakialis) dan pada tungkai yang
sakit (di kedua arteri kaki : arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior).
Pilih angka sistolik tertinggi dari salah satu lengan, dan angka sistolik tertinggi dari salah
satu arteri kaki.
Bandingkan tekanan sistolik tertinggi pada kaki dengan tekanan sistolik tertinggi arteri
brakialis, hitung hasil sampai 2 angka desimal.
Nilai ABI normal 0,9-1,4. Kemungkinan terjadi peripheral arterial disease jika ABI
<0.9, dan peripheral arterial disease berat jika ABI <0,5
Aneurisma aorta abdominalis sering kali ditemukan pada saat pemeriksaan untuk keluhan
lainnya. Misalnya, kondisi ini dapat pertama kali ditemukan saat dokter melakukan pemeriksaan
fisik dan mengamati adanya penonjolan yang berdenyut pada abdomen atau saat melakukan
pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi (USG) abdomen untuk keluhan lainnya.
Untuk menentukan diagnosis adanya aneurisma aorta abdominalis, dokter dapat mengevaluasi
riwayat kesehatan penderita dan anggota keluarga serta melakukan pemeriksaan fisik secara
langsung. Bila diduga terdapat aneurisma aorta abdominalis, beberapa pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan, seperti:
Magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan ini juga dapat ditujukan untuk
mendiagnosis adanya aneurisma serta menentukan ukuran dan lokasinya. Pemeriksaan
MRI menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan pencitraan
dari organ tubuh.
Dokter juga dapat menyuntikkan zat pewarna ke pembuluh darah untuk membuat pembuluh
darah menjadi lebih tampak pada hasil pencitraan, yang disebut sebagai MR angiografi.