Anda di halaman 1dari 5

1) Diagnosis Hipertensi

Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat asimptomatik. Beberapa pasien
mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat
menunjang kecurigaan ke arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti
kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID, sakit kepala paroksismal,
berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula
digali mengenai faktor resiko kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan riwayat keluarga.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata dua kali pengukuran pada
setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan
maka hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik,
ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik yang benar. Pemeriksaan
penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan
laboratorium seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat
dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa elektrokardiografi,
funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi
sekunder dapat dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper
atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3), hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+),
hiperaldosteronisme primer berupa kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen,
peningkatan kadar serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis
metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI abdomen. Pada sindrom
cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT
angiografi arteri renalis, USG ginjal, Doppler Sonografi.

2) Diagnosis Insufisiensi Vena Kronik

Anamnesis

Anamnesis yang perlu digali pada pasien dengan kecurigaan insufisiensi vena kronik, antara lain:

 Gejala seperti nyeri, bengkak, adanya ulkus, atau perubahan warna kulit pada ekstremitas
bawah
 Riwayat varises, deep vein thrombosis (DVT), flebitis, atau trauma tungkai bawah
 Gali faktor risiko seperti usia, jenis kelamin, serta aktivitas fisik seperti terlalu lama
berdiri atau duduk, keterbatasan anggota gerak bawah, dan gaya hidup sedenter
 Adanya riwayat kehamilan multipel, obesitas, atau hipertensi
 Riwayat insufisiensi vena atau varises pada keluarga

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan pada pasien dengan kecurigaan insufisiensi vena
kronik, meliputi inspeksi kulit dan vena tungkai bawah, palpasi sepanjang dilatasi vena dan otot
betis, pengukuran diameter betis, serta pemeriksaan spesifik seperti Brodie-Trendelenburg test
(atau tes Trendelenburg) dan ankle brachial index (ABI).

Inspeksi

Inspeksi yang penting dalam pemeriksaan insufisiensi vena kronik yaitu inspeksi tungkai bawah
dalam posisi berdiri, inspeksi kulit, dan evaluasi ulkus.

 Inspeksi tungkai bawah dalam posisi berdiri dilakukan untuk menilai adanya dilatasi vena
superfisial, telangiektasis, varises, serta edema tungkai bawah (umumnya pitting dan
tidak mengenai kaki depan atau forefoot).
 Inspeksi kulit dilakukan untuk menilai adanya hiperpigmentasi, dermatitis stasis,
atrophie blanche, dan lipodermatosclerosis. Atrophie blanche adalah penyembuhan luka
berupa skar putih pada kulit karena kurangnya suplai darah
 Deskripsikan ulkus: lokasi, ukuran, karakteristik, banyaknya, dan tipe eksudat yang ada,
adanya nyeri dan skalanya, serta dasar ulkus

Palpasi

Palpasi yang penting dalam pemeriksaan insufisiensi vena kronik yaitu:

 Palpasi konsistensi otot betis dan pengukuran diameternya, dibandingkan dengan sisi
tungkai yang sehat
 Palpasi adanya nyeri tekan sepanjang vena yang terdilatasi

Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan spesifik yang perlu dilakukan pada kecurigaan insufisiensi vena kronik yaitu tes
Trendelenburg untuk membedakan inkompetensi atau refluks vena terjadi superfisial atau dalam,
serta pengukuran ankle brachial index (ABI) untuk menyingkirkan kemungkinan ulkus akibat
etiologi arteri (peripheral arterial disease / PAD).

Tes Trendelenburg :

Tes Trendelenburg dilakukan dengan cara:

 Pasien dalam posisi supinasi, fleksi panggul tungkai untuk mengosongkan vena
 Gunakan torniquet atau lakukan kompresi manual terhadap vena superfisial untuk
mengoklusi vena superfisial
 Pasien diminta berdiri
 Bila terdapat inkompetensi atau refluks vena superfisial, dilatasi vena superfisial akan
muncul setelah >20 detik
 Bila terdapat inkompetensi atau refluks vena dalam atau keduanya, dilatasi vena akan
segera muncul

Ankle Brachial Index:


Evaluasi ankle brachial index (ABI) dilakukan dengan cara:

 Mengukur tekanan sistolik pada kedua lengan (arteri brakialis) dan pada tungkai yang
sakit (di kedua arteri kaki : arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior).
 Pilih angka sistolik tertinggi dari salah satu lengan, dan angka sistolik tertinggi dari salah
satu arteri kaki.
 Bandingkan tekanan sistolik tertinggi pada kaki dengan tekanan sistolik tertinggi arteri
brakialis, hitung hasil sampai 2 angka desimal.
 Nilai ABI normal 0,9-1,4. Kemungkinan terjadi peripheral arterial disease jika ABI
<0.9, dan peripheral arterial disease berat jika ABI <0,5

3) Diagnosis Trombosis Vena Dalam


DIAGNOSIS Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri, dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba
dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/ blue leg). Skor Wells dapat digunakan untuk
stratifikasi menjadi kelompok risiko ringan, sedang, atau tinggi. Angiografi (venografi atau
flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun
pemeriksaan non-invasive ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada
kondisi tertentu. Jika dengan metode pemeriksaan USG Doppler dan D-dimer diagnosis DVT
belum dapat ditegakkan, maka harus dilakukan magnetic resonance venography (MRV).
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam pendekatan pasien
dengan dugaan trombosis. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan hal yang penting karena
dapat diketahui faktor risiko dan riwayat trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis pada
keluarga juga merupakan hal penting.
Diagnosis DVT tidak cukup hanya berdasarkan gejala klinis karena tidak spesifik ataupun sensitif.
Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes non-invasif diharapkan dapat meningkatkan ketepatan
diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang,
menandakan kemungkinan DVT rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT sedang,
dan skor 3 atau lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium mendapatkan peningkatan kadar D-dimer dan penurunan
antitrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan
dengan ELISA atau latex agglutination assay. D-dimer <0,5 mg/ mL dapat menyingkirkan
diagnosis DVT. Pemeriksaan ini sensitif tetapi tidak spesifik, sehingga hasil negatif sangat
berguna untuk eksklusi DVT, sedangkan nilai positif tidak spesifik untuk DVT, sehingga tidak
dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT.2
Radiologis Pemeriksaan radiologis penting untuk mendiagnosis DVT.
Beberapa jenis pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis DVT,
yaitu
1 Venografi
Disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast phlebography atau contrast venography.
Prinsip pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam sistem vena, akan terlihat
gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal vena iliaca. Venografi dapat
mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan darah serta menilai kondisi
vena dalam. Venografi digunakan pada kecurigaan kasus DVT yang gagal diidentifikasi
menggunakan pemeriksaan non-invasif. Venografi adalah pemeriksaan paling akurat untuk
mendiagnosis DVT. Sensitivitas dan spesifisitasnya mendekati 100%, sehingga menjadi gold
standard diagnosis DVT. Namun, jarang digunakan karena invasif, menyakitkan, mahal, paparan
radiasi, dan risiko berbagai komplikasi.
2. Flestimografi Impedans
Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah tungkai. Pemeriksaan ini
lebih sensitif untuk trombosis vena femoralis dan iliaca dibandingkan vena di daerah betis.
3. Ultrasonografi (USG) Doppler
Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-invasif. USG memiliki tingkat
sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien yang dicurigai menderita DVT simptomatis dan
terletak di daerah proksimal.
4. Magnetic Resonance Venography
Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi magnetik antara daerah dan aliran
darah vena lancar dengan yang tersumbat bekuan darah. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas tinggi, namun belum luas digunakan. Saat ini sedang dikembangkan
pemeriksaan resonansi magnetik untuk deteksi langsung bekuan darah dalam vena.
Pemeriksaan ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan kandungan methemoglobin
bekuan darah

4) Diagnosis Aneurisma Aorta Abdominalis

Aneurisma aorta abdominalis sering kali ditemukan pada saat pemeriksaan untuk keluhan
lainnya. Misalnya, kondisi ini dapat pertama kali ditemukan saat dokter melakukan pemeriksaan
fisik dan mengamati adanya penonjolan yang berdenyut pada abdomen atau saat melakukan
pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi (USG) abdomen untuk keluhan lainnya.

Untuk menentukan diagnosis adanya aneurisma aorta abdominalis, dokter dapat mengevaluasi
riwayat kesehatan penderita dan anggota keluarga serta melakukan pemeriksaan fisik secara
langsung. Bila diduga terdapat aneurisma aorta abdominalis, beberapa pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan, seperti:

 Ultrasonografi (USG) abdomen. Pemeriksaan ini paling sering dilakukan untuk


mendiagnosis aneurisma aorta abdominalis, dengan menggunakan gelombang suara
untuk menghasilkan pencitraan dari abdomen.
 Computerized tomography (CT). Pemeriksaan ini juga dapat menghasilkan pencitraan
yang jelas dari aorta, serta dpaat mendeteksi ukuran dan bentuk dari aneurisma.
Pemeriksaan ini menggunakan gelombang sinar X untuk menghasilkan pencitraan dari organ
tubuh. Dokter juga dapat menyuntikkan zat pewarna ke pembuluh darah guna membuat arteri
menjadi lebih tampak pada gambaran CT, yang disebut sebagai CT angiografi.

 Magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan ini juga dapat ditujukan untuk
mendiagnosis adanya aneurisma serta menentukan ukuran dan lokasinya. Pemeriksaan
MRI menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk menghasilkan pencitraan
dari organ tubuh.

Dokter juga dapat menyuntikkan zat pewarna ke pembuluh darah untuk membuat pembuluh
darah menjadi lebih tampak pada hasil pencitraan, yang disebut sebagai MR angiografi.

Anda mungkin juga menyukai