Anda di halaman 1dari 6

Indonesia merupakan negara kepuluauan seluas sekitar 9 juta km 2 yang terletak

diantara dua samudra dan dua benua dengan jumlah pulau sekitar 17.500 buah yang
panjang garis pantainya sekitar 95.181 km. Kondisi geografis tersebut menyebabkan
negara Indonesia menjadi suatu negara megabiodiversitas walaupun luasnya hanya
sekitar 1,3% dari luas bumi, setelah Brazil dan Madagaskar
(Megabiodiversity Indonesia; Sumber: Antonius Suwanto. Membangun Penelitian
Biologi yang Tanggap Terhadap Kebutuhan Industri. Seminar Nasional Sains. IPB
Bogor. Nopember 2009). Keanekaragaman hayati (biodiversitas) merupakan totalitas
dari kehidupan organisme di suatu kawasan tertentu (Sugiyarto, 2000).
Keanekaragaman yang dimiliki tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Indonesia
memiliki perbedaan keadaan lingkungan fisik sehingga menyebabkan perbedaan
karakteristik makhluk hidup. Kemampuan bertahan hidup yang diberikan suatu hutan
terhadap mahkluk hidup akan berbeda dengan hutan yang lainnya, sehingga dapat
menghasilkan flora atau fauna khas. Wilayah yang memiliki kekhasan flora atau fauna
akan ditentukan legalitas kedudukan wilayahnya agar terjaga kelestarian makhluk hidup
didalamnya. Biodiversitas suatu kawasan merupakan fungsi dari diversitas lokal atau
habitat tertentu dan struktur yang ada di dalamnya pada daerah terestial.

Dalam dunia tumbuhan, flora di wilayah Indonesia termasuk bagian dari flora dari
Malesiana yang diperkirakan memiliki sekitar 25% dari spesies tumbuhan berbunga
yang ada di dunia yang menempati urutan negara terbesar ketujuh dengan jumlah
spesies mencapai 20.000 spesies, 40%-nya merupakan tumbuhan endemik atau asli
Indonesia. Negara Indonesia termasuk negara dengan tingkat keterancaman dan
kepunahan spesies tumbuhan tertinggi di dunia. Saat ini tercatat sekitar 240 spesies
tanaman dinyatakan langka, diantaranya banyak yang merupakan spesies tanaman
budidaya.

Indonesia memiliki ratusan suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara
mulai dari Sabang sampai Marauke. Suku tersebut pada awalnya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari - hari tergantung pada sumber daya alam yang terdapat di
sekitarnya. Setiap suku bangsa mempunyai pengetahuan yang berbeda dalam hal
pemanfaatan tumbuhan, keragaman pengetahuan ini merupakan salah satu kekayaan
budaya bangsa Indonesia yang harus dipelihara untuk dikembangkan. Indonesia
dikenal karena berbagai macam suku bangsa yang memiliki kebiasaan positif (kearifan
lokal) yang bisa melindungi dan melestarikan lingkungan hidup perlu diteruskan kepada
generasi muda. Perlu diadakan kajian lebih lanjut mengenai kearifan lokal masyarakat
Indonesia dalam rangka mewariskan nilai luhur bangsa untuk mensukseskan
pendidikan melalui studi Etnobotani.

Etnobotani merupakan ilmu mempelajari tentang pengetahuan pemanfaatan tumbuhan


untuk keperluan sehari-hari pada suatu komunitas adat suku bangsa. Kajian etnobotani
tidak hanya mengenai data botani taksonomis saja, tetapi juga tentang pengetahuan
botani yang bersifat kedaerahan, berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang
mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan tanaman, serta
pemanfaatan tanaman tersebut untuk kepentingan budaya dan kelestarian sumber
daya alam (Dharmono, 2007). Kajian ini merupakan bentuk deskriptif dari
pendokumentasian pengetahuan botani tradisional yang dimiliki masyarakat setempat.
Pemanfaatan tumbuhan pada suku-suku bangsa di Indonesia cenderung mempunyai
keragaman. Keragaman suku bangsa yang mendiami wilayah territorial ini sebanding
dengan banyaknya keragaman terus dipertahankan kelestariannya oleh masing-masing
suku yang terdapat di Indonesia, terdapat berbagai macam tumbuhan yang ada di
lingkungan suku tertentu yang diolah atau dimanfaatkan langsung untuk keperluan
bahan makanan, obat-obatan dan ritual-ritual adat.

Suku-suku tersebut antara lain suku aceh, yaitu masyarakat Iboih, Sabang – P.Weh di
sekitar kawasan konservasi umumnya pendatang dari sekitar daerah NAD misal dari
Aceh besar, Sigli maupun Aceh Selatan. Masyarakat ini pada umumnya masih
memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
termasuk tumbuhan untuk bahan obat. Jenis tumbuhan yang umum dikenal dan
dimanfaatkan adalah yang berhubungan dengan penyakit malaria dan penyakit ‘si kura’
(sakit kembung pada perut yang konon biasanya bersamaan dengan penyakit malaria).
Jenis tumbuhan yang dimanfaatkan adalah getah dari nawah (Jatropha curcas) dan
kulit kayu keranji (Intsia bijuga). Dari jenis-jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan
masyarakat Iboih terdapat sejenis anggrek tanah yang sudah mulai langka yaitu
gerangsang rimaung (Anoectochylus setaceus). Jenis ini selain dimanfaatkan sebagai
obat sesak napas dan penambah darah juga dimanfaatkan untuk sayur sop dan
dimanfaatkan sebagai tanaman hias.

Suku minangkabau adalah salah satu suku yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat,
mengunakan ramuan dari tumbuhan telah dilakukan oleh suku minang sejak dahulunya
(Fernando, 2014). Nagari Panyakalan merupakan salah satu daerah di Minangkabau
yang terdapat di Kecamatan Kubung Kabupaten Solok. Hampir sebagian daerah di
Nagari Panyakalan merupakan kawasan hutan yang masih asri dengan berbagai
tumbuh-tumbuhannya.
Daun kacapiring (Gardenia augusta) mengandung saponin, flavonoid, polifenol,
crocetin, crosin, dan scandosida. Secara empiris daun kacapiring merupakan salah satu
tanaman obat yang digunakan untuk pengobatan diabetes mellitus.

Suku muyu di desa Soa dan sekitarnya (berada di kawasan barat dari kawasan Taman
Nasional Wasur bagian barat) Merauke, Papua mengumpulkan daun kayu putih
(Melaleuca leucadendra) untuk disuling secara tradisional. Pada umumnya bahan
mentah untuk penyulingan ini dikumpulkan langsung dari alam, masih dalam status
sebagai tumbuhan liar.
Sebagai sumber karbohidrat masyarakat muyu memanfaatkan pohon sagu (Metroxylon
sagu). Sagu ini diolah dengan berbagai cara atau berbagai variasi yang merupakan
makanan tradisional mereka. Mereka mengenal makanan jog daging atau ikan, yog
pisang, sagu kelapa, menggi, sagu lempeng, papeda dan tuban.
Masyarakat muyu memanfaatkan bahan racun biasanya untuk menangkap ikan di
sungai. Bahan racun tersebut didapat dari tumbuhan enong (Millettia nieuwenhuisii),
katab (Barringtonia racemosa) dan tali-tali (Mucuna albertsii). Wati (Piper methysticum)
merupakan tanaman yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Muyu atau dalam
tatakrama beberapa suku di Papua, khususnya sekitar Merauke (antara lain suku
Marind dan suku Muyu). Tanaman ini termasuk suku Piperaceae, digunakan dalam
upacara adat meminang wanita atau upacara perdamaian dan pengikatan kembali tali
persaudaraan antar keluarga atau suku yang bertikai yang pernah putus. Dalam suatu
upacara khusus, cairan batang tumbuhan wati hasil kunyahan pemuda/pemudi
ditampung dalam wadah kemudian diminum oleh peserta pertemuan. Cairan ini berefek
narkosis yang cukup berarti bagi peminumnya.

Suku Madura menggunakan daun tapak liman (Elephantopus scaber L.) untuk
mengobati penyakit kulit bisul yang disebabkan oleh bakteri Staphilococcus aureus.

Suku Badui adalah orang yang tinggal di desa Kanekes, Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Banten. Orang Badui terbagi atas Badui Dalam dan Badui Luar. Orang Badui
Dalam sangat ketat menjaga lingkungannya. Itu bisa dilihat dari cara
mereka mandi dan mencuci. Mereka menggunakan bahan-bahan alami.
Untuk mandi, mereka menggunakan "sabun" yang terbuat dari batang pohon honje atau
kecombrang. Kecombrang adalah tanaman seperti jahe dan lengkuas. Batang
kecombrang ini wangi sekali. Untuk mandi, mereka menggunakan beberapa batang
kecombrang yang panjangnya sekitar 5 cm. Batang kecombrang itu dimemarkan lalu
digosokkan ke badan.
Batang kecombrang juga digunakan untuk keramas. Batang kecombrang dicampur
dengan daun Ki jaang, ditumbuk halus, kemudian diperas. Air perasaannya digunakan
sebagai sampo.
Kecombrang, Honje, Kantan atau Unji (Etlingera elatior) merupakan salah satu
tumbuhan berbunga eksotis. Tumbuhan yang umumnya dimanfaatkan untuk rempah
dan pangan lokal ini memiliki beragam atau multi manfaat yang potensial untuk
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
Mengutip berbagai referensi, Lim (2014), Farida dan Maruzy (2016) dan Sabilu dkk
(2017) mengemukakan, hampir semua bagian dari Kecombrang antara lain bunga,
buah, akar, daun dan kulit luar batang Kecombrang mengandung senyawa antioksidan,
antibakteri dan antikanker. Farida dan Maruzy (2016) menambahkan, buah
Kecombrang dimanfaatkan untuk mengobati sakit telinga, daun Kecombrang untuk
membersihkan luka dan penghilang bau badan, dan bunga Kecombrang dimanfaatkan
untuk menghambat pertumbuhan sel kanker payudara.
Sabilu dkk (2017) menambahkan, batang Kecombrang digunakan untuk
menyembuhkan gejala demam tifoid, infeksi telinga dan kurang nafsu makan, daun
Kecombrang untuk menyebuhkan diare, dan buah Kecombrang untuk menyembuhkan
sariawan, batuk dan perut mulas. Selain itu, Farida dan Maruzy (2016) menuliskan
bahwa bunga Kecombrang dimanfaatkan untuk membuat sabun, sampo dan parfum,
dan Agustina dkk (2016) menuliskan bahwa serat batang Kecombrang digunakan untuk
sabun.
Ibrahim dan Setyowati dalam Handayani (2015) juga mengemukakan bahwa batang
Kecombrang digunakan sebagai bahan anyaman dan bahan baku pembuatan kertas,
lalu Dwiatmini dkk (2008) menuliskan bahwa bunga Kecombrang telah digunakan di
hotel-hotel untuk dekorasi ruangan, dan Herlina (2012) dan Handayani (2015)
menuliskan bahwa Kecombrang ditanam sebagai tanaman hias dan dimanfaatkan
menjadi bunga potong.
Bagi perempuan Suku Badui, pemanfaatan kecombrang potensial untuk peningkatan
kesejahteraan. Bagian Kecombrang yang dimanfaatkan adalah daun, batang, bunga
dan buah. Daun untuk atap pondok, batang untuk obat batuk, obat luka dan penyubur
rambut, bunga untuk beragam menu masakan (lauk) dan minuman, dan buah untuk
minuman, sirup dan manisan.

Pengembangan kegunaan dari sumber daya alam memiliki banyak kelemahan. Salah
satunya terjadi  eksploitasi terhadap sumber daya alam akibat komersialisasi produk.
Kebutuhan akan bahan baku tanaman produk yang tinggi sementara ketersedian bahan
baku semakin terbatas. Selain itu, pengembangan produk dari tanaman juga
membutuhkan biaya tinggi dalam proses ekplorasinya.
Kendati begitu, upaya pemanfaatan tanaman di Indonesia perlu dilakukan. Dengan
langkah tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat besar  bagi masyarakat. 
Namun, dalam pemanfaatannya diharapkan tetap memperhatikan kelestarian untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Riset terintegrasi,
komperehensif, dan berkesinambungan untuk penemuan dan pengembangan produk
baru juga harus terus digalakkan. Pemerintah diharapkan mampu menyediakan dana
dan peralatan yang dapat menunjang pelaksanaan riset agar berhasil dan berdaya
guna. Harapannya dengan pengembangan produk baru dalam negeri ini dapat
mengurangi ketergantungan produk dari luar negeri,

Konservasi keanekaragaman hayati tanaman di lahan rakyat memiliki peluang strategis


mendorong masyarakat melakukan konservasinya, karena akumulasi lahan rakyat lebih
luas dibandingkan dengan kawasan konservasi alam yang tersedia. Oleh karena itu,
diperlukan pemahaman mengenai sudut pandang masyarakat dan penerapannya
dalam konservasi keanekaragaman hayati tanaman, yang tercermin pada berbagai
bentuk dan sistem pengelolaannya oleh masyarakat. Penelitian bertujuan mengetahui
sudut pandang masyarakat terhadap penggunaan keanekaragaman hayati tanaman,
dan penerapannya melalui pengelolaan tanaman pada Suku Badui, dengan
memperhatikan kriteria ketersediaan dan distribusi, pemanenan, lokasi,
perkembangbiakan, dan hubungan dengan pengelolaan atau konservasi, kecombrang
menjadi prioritas utama.

Anda mungkin juga menyukai