Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Minyak merupakan salah satu sumber pencemar dalam perairan yang disebabkan
berbagai kegiatan, diantaranya pengilangan minyak, kecelakaan transportasi, kebocoran pipa
ataupun pembuangan air buangan kamar mesin dan kegiatan di kapal lainnya. Salah satu
buangan kamar mesin terdapat pada saluran instalasi bilga. Bilga adalah saluran buangan air,
minyak, dan pelumas hasil proses mesin yang merupakan limbah. Apabila tanpa melalui
pengolahan terlebih dahulu, limbah bilga tersebut akan mencemari lingkungan. Hal ini akan
terjadi peningkatan pencemaran pada perairan seiring dengan banyaknya jumlah kapal yang
beroperasi di perairan laut Indonesia. Limbah bilga jika bercampur dengan air laut akan
menjadi pencemar dan menimbulkan banyak permasalahan dari berbagai aspek. Cemaran
minyak ini dapat menimbulkan polusi terhadap perairan dan laut yang mengakibatkan
turunnya daya dukung lingkungan serta mempengaruhi kehidupan organisme dalam perairan
tersebut.
Meskipun peraturan dan regulasi internasional telah diterbitkan, tetapi masih banyak
pelanggaran sehingga potensi pencemaran laut semakin besar. Peraturan internasional yang
telah diaktifasi oleh pemerintah Indonesia salah satunya adalah MARPOL. Berdasarkan
MAPROL 73/78 menjelaskan bahwa total hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water,
used oils, dll) yang diizinkan untuk dibuang ke laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh
melebihi 1/15000 dari total muatan kapal. Sebagai tambahan, pembuangan limbah tidak
boleh melebihi 60 liter setiap mil perjalanan kapal dan dihitung setelah kapal berjarak lebih
50 mil dari tepi pantai terdekat. IMO mengatur pembuangan batas debit untuk kadar minyak
dalam air dari jarak lebih dari 12 nautical miles dari daratan dengan 15 ppm.
Adapun menurut Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan
Lingkungan Maritim, disebutkan bahwa kegiatan diatas kapal dapat menyumbang bahan
pencemar diantaranya: minyak, bahan cair beracun, muatan bahan berbahaya dalam bentuk
kemasan, kotoran, sampah, udara, air ballast, danatau barang dan bahan berbahaya bagi
lingkungan yang ada di kapal. Sebab itu, setiap awak kapal wajib melakukan pencegahan dan
menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kapalnya.
Dalam penanganan limbah bilga pada kapal terdapat alat Oil Water Separator yang
memisahkan minyak dengan air berdasarkan perbedaan massa jenis. Adapun beberapa
penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dalam penanganan limbah bilga menggunakan
separator. Pada percobaan yang dilakukan Joni Hermana (2014) pengolahan limbah yang
mengandung minyak pelumas dipisahkan menggunakan gravity separator yang
memanfaatkan plate settler. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi pemisahan
minyak pelumas pada oil separator dengan variabel sudut kemiringan plate settler dan
efisiensi yang paling tinggi dihasilkan pada plate settler dengan sudut kemiringan 60°.
Namun dalam penelitian ini tidak ditunjukkan jumlah plate settler dalam separator dan
pengaruh terhadap efisiensi. Maria Febri (2014) melakukan perancangan/pembuatan oily
water separator (OWS) berbasis elektrokimia untuk mengurangi kadar chemical oxygen
demand (COD). Hasil percobaan diperoleh alat Oily water separator berbasis elektrokimia
dapat mengurangi kadar COD (chemical oxygen demand) sebesar 96,03% dari kandungan
awal COD pada air bilga 960 ppm menjadi 36 ppm. dalam penelitiannya, limbah bilga yang
telah diolah belum memenuhi syarat yang ditetapkan IMO bahwa kadar minyak dalam air
bisa kurang dari 15 ppm sebelum dibuang kelaut.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penggunaan
alat separator dapat memisahkan campuran minyak dan air pada limbah bilga. Untuk
meningkatkan efisiensi pemisahan minyak dan air akan dilakukan perancangan Oil Separator
dengan memodifikasi jumlah dan kemiringan pada plate settler. Dari penelitian ini
diharapkan dapat mengetahui pengaruh jumlah dan sudut kemiringan plate settler terhadap
efisiensi pemisahan minyak pada limbah bilga.

I.2 Rumusan Masalah


Penelitian ini akan menganalisa efisiensi pemisahan minyak limbah bilga
menggunakan jumlah dan sudut kemiringan plate settler pada alat Oil Separator dengan
variabel:
1. Waktu tinggal
2. Kadar minyak dalam air
3. Debit

I.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan rancang bangun Oil Separator serta
mengetahui pengaruh jumlah dan sudut kemiringan plate settler terhadap efisiensi pemisahan
minyak pada limbah bilga dengan variabel:
1. Waktu tinggal
2. Kadar minyak dalam air
3. Debit

International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine
Pollution)
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 yang
kemudian disempurnakan dengan Protocol pada tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan
nama MARPOL 1973/1978. MARPOL 1973/1978 memuat 6 (enam) Annexes yang berisi
regulasi-regulasi mengenai pencegahan polusi dari kapal terhadap :

1. Annex I : Prevention of pollution by oil ( 2 october 1983 )

Total hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang diizinkan untuk
dibuang ke laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi 1/15000 dari total muatan
kapal. Sebagai tambahan, pembuangan limbah tidak boleh melebihi 60 liter setiap mil
perjalanan kapal dan dihitung setelah kapal berjarak lebih 50 mil dari tepi pantai terdekat.
Register Kapal harus memuat daftar jenis sampah yang dibawa/dihasilkan dan jumlah limbah
minyak yang ada. Register Kapal harus dilaporkan ke pejabat pelabuhan.

2. Annex II : Control of pollution by noxious liquid substances ( 6 april 1987

Aturan ini memuat sekitar 250 jenis barang yang tidak boleh dibuang ke laut, hanya dapat
disimpan dan selanjutnya diolah ketika sampai di pelabuhan. Pelarangan pembuangan limbah
dalam jarak 12 mil laut dari tepi pantai terdekat.
3. Annex III : Prevention of pollution by harmful substances in packaged form ( 1
july 1992 )

Aturan tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negar yaitu aturan standar pengemasan,
pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah berbahaya yang dihasilkan
kapal ketika sedang berlayar

4. Annex IV : Prevention of pollution by sewage from ships ( 27 september 2003 )

Aturan ini khusus untuk faecal waters dan aturan kontaminasi yang dapat diterima pada
tingkatan (batasan) tertentu. Cairan pembunuh kuman (disinfektan) dapat dibuang ke laut
dengan jarak lebih dari 4 mil laut dari pantai terdekat. Air buangan yang tidak diolah dapat
dibuang ke laut dengan jarak lebih 12 mil laut dari pantai terdekat dengan syarat kapal
berlayar dengan kecepatan 4 knot.

5. Annex V : Prevention of pollution by garbage from ships ( 31 december 1988)

Aturan yang melarang pembuangan sampah plastik ke laut.

6. Annex IV : Prevention of air pollution by ships

Aturan ini tidak dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang meratifiskasi
(menandatangani persetujuan.)
MARPOL 1973/1978 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin
minyak yang mencemari laut. Tetapi, kemudian pada tahun 1984 dilakukan beberapa
modifikasi yang menitik-beratkan pencegahan hanya pada kagiatan operasi kapal tangki pada
Annex I dan yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapai dengan Oily Water
Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems.
Oleh karena itu, pada peraturan MARPOL 1973/1978 dapat dibagi dalam 3 (tiga)
katagori:

1. Peraturan untuk mencegah terjadinya pencemaran


2. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran
3. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut.
Kewajiban umum Negara-negara tertuang dalam Pasal 1 yang menyebutkan bahwa :
The Parties to the Convention undertake to give effect to the provisions of the present
Convention and those Annexes thereto by which they are bound, in order to prevent the
pollution of the marine environment by the discharge of harmful substances or effluents
containing such substances in contravention of the present Convention.
Hal ini berarti bahwa Negara-negara peserta konvensi memiliki kewajiban untuk
menerapkan preventive principle yaitu mencegah polusi khususnya minyak yang dapat
mencemari lingkungan laut.

Anda mungkin juga menyukai