Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mana tanggal 9-11 Oktober 1978 di Yogyakarta

menyimpulkan, bahwa istilah “hukum jaminan” itu meliputi pengertian baik jaminan

kebendaan maupun jaminan perorangan.

Manusia dalam menjalani kehidupannya membutuhkan berbagai hal untuk

memenuhi kebutuhan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut setiap individu harus

mendapatkannya dengan melakukan pembelian, meminjam atau pun dengan sistem

barter. Untuk membeli dan meminjam saat ini memang sangat sering dilakukan dan

dimungkinkan terjadi. Untuk barter memang mungkin terjadi tetapi saat ini sistem

tersebut jarang sekali dipergunakan. Seperti yang kita ketahui manusia dalam usaha

pemenuhan kebutuhan sehari-hari setiap orang memiliki berbagai cara sesuai dengan

perkembangan kehidupan saat ini, misalnya pinjam-meminjam. Ketika terjadi hubungan

pinjam meminjam maka timbul hak dan kewajiban, ketika terjadi wan prestasi maka

disinilah timbulnya pemikiran mengenai apa yang dinamakan jaminan.

.
2

1.2 Rumusan Makalah

Berdasarkan pemahaman latar belakang yang diuraikan diatas, penulis merumuskan

permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :

1. Apa pengertian hukum jaminan, Jenis jaminan dan Sumber hukum Jaminan ?

2. Apa saja manfaat dari jaminan dan Bagaimana sifat perjanjian dari jaminan?

3. Apa saja jenis-jenis jaminan,syarat jaminan?

4. Apa saja ruang lingkup Hukum Jaminan yang mencakup berbagai ketentuan
peraturan perundang-undangan ?
5. Bagaimana ketentuan UU Perbankan dalam pemberian kredit ?

1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui apa pengertian hukum jaminan, Jenis jaminan dan Sumber

hukum Jaminan ?

2. Untuk mengetahui apa saja jenis jenis jaminan dan mengetahui syarat jaminan

3. Untuk mengetahui apa saja manfaat dari jaminan dan mengetahaui sifat perjanjian

dari jaminan

4. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup Hukum Jaminan yang mencakup
berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan ?
5. Untuk mengetahui apa ketentuan UU Perbankan dalam pemberian kredit ?
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jaminan

Yaitu menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul

dari suatu perikatan hukum. Oleh sebab itu Hukum Jaminan erat sekali hubungannya

dengan Hukum Benda, bahkan tidak dapat dilepaskan dari Hukum Benda.

Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidsstelling atau security of law.

Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang lembaga hipotek dan jaminan

lainnya ,yang diselenggarakan di Yogyakarta ,pada tanggal 20 sampai dengan 30 juli

1977, disebutkan bahwa hukum jaminan ,meliputi pengertian ,baik jaminan kebendaan

maupun jaminan perorangan

Pengertian hukum jaminan dari berbagai pendapat para ahli

1. Prof. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan

Hukum jaminan adalah hukum mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan

pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya

sebagai jaminan .Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan

kepastian hukum bagi lembaga-lembga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar

negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian kiranya harus dibarengi

dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar,dengan jangka waktu lama dan

bunga yang relatif rendah. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi

Masjhoen Sofwan ini merupakan suatu konsep yuridis yang berkaitan dengan

penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada

masa yang akan dating. Sedangkan saat ini telah dibuat berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.


4

2. J satrio

Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang

seorang kreditor terhadap debitor. Definisi ini difokuskan pada pengaturan pada

hak-hak kreditor semata-mata,tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor.Padahal

subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor semata-mata,tetapi

juga erat kaitannya dengan debitor.

3. Salim H.S

Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan

pembebebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.

4. Prof. M. Ali Mansyur

Hukum jaminan adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara kreditor

dan debitor yang berkaitan dengan pembebanan jaminan atas pemberian kredit.

Dari pendapat diatas dapat ditarik benang merah bahwa hukum jaminan adalah

peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jamianan

dengan penerima jaminan dengan menjaminkan benda- benda sebagai jaminan.

2.2 Jenis-Jenis Jaminan

Jenis jaminan dapat digolongkan menurut hukum yang berlaku di Indonesia dalam

pasal 24 UU No. 7 Th. 1992 tentang perbankan ditentukan bahwa; “ Bank Umum dan

Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi ,kepemilikannya diatur

berdasarkan ketentuan dalam undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku”.

Jaminan dapat dibedakan 2 macam yaitu


5

1. Jaminan kebendaan 

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang

mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap

siapapun,selalu mengikuti benda dimana berada dan dapat dialihkan.

Jaminan kebendaan mempunyai cirri-ciri ”kebendaan“ dalam arti mempunyai sifat

melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan dimanapun berada (droit de suite)

dan memberikan hak revindikasi.Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi

5(lima) macam yaitu :

a. Gadai (pand) yang diatur dalam Bab 20 Buku II BW

b. Hipotik kapal yang diatur dalam Bab 21 Buku II BW

c. Credietverband yang diatur dalam Stb.1908 no.542 sebagaimana telah diubah

dengan Stb. No.1937 no.190

d. Hak tanggungan sebagaimana diatur dalam uu no.4 th.1996

e. Jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam uu no.42 th.1999

2. Jaminan perorangan

Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada

perorangan tertentu,yang hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap

harta kekayaan debitor pada umumnya. Jaminan perorangan dapat digolongkan menjadi 3

(empat) macam yaitu :

a. Penanggungan (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih

b. Tanggung menanggung,yang serupa dengan tanggung renteng

c. Perjanjian garansi
6

2.3 Syarat dan Manfaat Jaminan

Syarat-syarat benda jaminan yang baik adalah

1) Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang

memerlukan

2) Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan dan

meneruskan usahanya.

3) Memberikan kepastian kepada si kreditur dalam arti bahwa barang jaminan

setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan

untuk melunasi hutangnya si penerima.

Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam

menunjang pembangunan ekonomi . Manfaat bagi kreditur adalah

1) Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup.

2) .Memberikan kepastian hukum bagi kreditur

2.4 Sifat Perjanjian Jaminan

Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pendahuluan

atau pokok yang mendahuluinya. Karenanya perjanjian jaminan merupakan perjanjian

asesor (accesoir), tambahan, atau ikutan. Sebagai perjanjian asesor, eksistensi perjanjian

jaminan ditentukan oleh ada dan hapusnya perjanjian pendahuluan atau perjanjian

pokoknya. Pada umumnya biasanya perjanjian pendahuluan ini berupa perjanjian utang

piutang, perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit, atau perjanjian lainnya

yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Kehadirannya perjanjian utang

piutang tersebut menjadi daasar timbulnya perjanjian jaminan, atau sebaliknya dengan
7

berakhirnya perjanjian pendahuluan, berakhir pula perjanjian jaminanya. Dalam

perjanjian utang piutang, diperjanjikan pula antara debitur dan kreditur bahwa

pinjamnnya tersebut dibebani pula dengan suatu jaminan, yang selanjutnya diikuti dengan

pengikatan jaminan, yang dapat berupa pengikatan jaminan kebendaan atau jaminan

perseorangan.

Perjanjian jaminan sebagai perjanjian asesor juga terlihat dalam ketentuan perjanjian

jaminan di Inggris atau juga di Amerika dalam ketentuan mortgage, yaitu bahwa

mortgage selalu dikaitkan kepada perjanjian yang berkaitan dengan suatu pinjaman

(loan) (Djuhaendah Hasan, 1996 : 236)

Sifat asesor dari hak jaminan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum tertentu sebagai

berikut :

1. Ada dan hapusnya perjajian jaminan itu tergantung dan ditentukan oleh perjanjian

pendahuluannya

2. Bila perjanjian pendahuluannya batal, maka dengan sendirinya perjanjian jaminan

sebagai perjanjian tambahan juga menjadi batal

3. Bila perjanjian pendahuluannya beralih atau dialihkan, maka dengan sendirinya

perjanjian jaminan ikut beralih

4. Bila perjanjian pendahuluannya beralih karena cessie maka perjanjian jaminan

ikut beralih tanpa penyerahan khusus

5. Bila perjanjian jaminannya berakhir atau hapus, maka perjanjian pendahuluan

tidak dengan sendirinya berakhir atau hapus pula .

Sebagai perjanjian ikutan, eksistensi perjanjian jaminan amat tergantung kepada

perjanjian pendahuluannya yang menjadi dasar timbulnya pengikatan jaminan. Artinya


8

perjanjian jaminan dimaksudkan untuk mengubah kedudukan kreditur-krediturnya

menjadi kreditur yang preferent sehingga kreditur akan merasa aman daan memperoleh

kepastian hukum atas pelunasan pinjaman yang diberikan olehnya kepada debitur, karena

diikuti dengan diperjanjikan pemberi jaminan oleh debitur kepada krediturnya. Untuk

itulah dikatakan bahwa perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan dari

perjanjian pendahuluannya, yaitu perjanjian yang akan lebih memperkuat perjanjian

pendahuluannya.

2.5 Ruang Lingkup Hukum Jaminan

Ruang lingkup hukum jaminan di Indonesia mencakup berbagai ketentuan perundang-

undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang yang terdapat

dalam hukum positif di indonesia.

Dalam hukum positif di indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang

sepenuhnya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang. Materi

(isi) peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang

secara khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang.

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam KUH perdata dan KUH Dagang mengatur

sepenuhnya atau berkaitan dengan penjaminan utang. Disamping itu terdapat pula

undang-undang tersendiri yaitu UU No. 4 Tahun 1996 dan UU No. 42 Tahun 1999 yang

masing-masing khusus mengatur tentang lembaga jaminan dalam rangka penjaminan

utang. Sehubungan dengan berbagai peratutran perundang-unangan tersebut diatas lebih

lanjut dapat di kemukakan beberapa ketentuan hukum jaminan sebagai berikut.1

Jaminan adalah sejenis harta yang dipercayakan kepada pengadilan untuk membujuk

pembebasan seorang tersangka dari penjara, dengan pemahaman bahwa sang tersangka

1
M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, h. 8
9

akan kembali kepersidangan atau membiarkan jaminannya hangus (sekaligus menjadikan

sang tersangka bersalah atas kejahatan kegagalan kehadiran).2

1. Ketentuan Hukum Jaminan dalam KUH Perdata

Dalam KUH perdata tercantum beberapa ketentuan yang dapat digolongkan

sebagai hukum jaminan.

a. Prinsip-prinsip Hukum Jaminan

Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-

ketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut.

1) Kedudukan Harta Pihak Peminjam

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak

peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya

merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya.

Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam,

baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang

sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan

atas perikatan utang pihak peminjam.

Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok

dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak

yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan

ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat

menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang

bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian

hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan

utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian

hari.

2
http://id.wikipedia.org/wiki/Jaminan_(prosedur_hukum).09 desember 2016
10

2) Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman

Kedudukan pihak pemberi pinjaman terhadap pihak pemberi pinjaman

dapat diperhatikan dari ketentuan pasal 1132 KUH Perdata.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa

kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan,

yaitu (1) yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang

masing-masing, dan (2) yang mempunyai kedudukan didahulukan dari

pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-

undangan.

Dalam praktik perbankan pihak pemberi pinjaman disebut kreditor dan

pihak peminjam disebut nasabah debitur atau debitur.

3) Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak

pemberi pinjaman

Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek

jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan

yang demikian diatur oleh Pasal 1154 KUH Perdata tentang Gadai, Pasal

1178 KUH Perdata tentang Hipotek.

Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lain, yaitu pada pasal 12 UU No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak

Tanggungan, Pasal 33 UU No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia.

b. Gadai

Gadai diatur oleh ketentuan-ketentuan Pasal 1150 sampai dengan Pasal

1160 KUH Perdata. Pengertian gadai dalam Pasal 1150 KUH perdata adalah

sebagai berikut.
11

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang

bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain

atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk

mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-

orang berpiutang lainnya; dengan mengecualikan biaya untuk melelang barang

tersebt dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah

barang itu digadaikan, biaya-biaya tersebut harus didahulukan”.3

Lembaga jamianan gadai dalam praktek perbankan hanya dipakai sebagai

jaminan tambahan, meskipun sebenarnya kreditur dalam hal debiturnya ingkar

janji, berhak untuk menjual objek gadai melalui pelelangan yang dilaksanakan

atas permohonan dari kreditur oleh Kantor Lelang Negara. Dalam hal objek

gadai adalah saham atau surat-surat berharga lainnya dapat dilakukan di

tempat-tempat tersebut, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang

dalam perdagangan barang-barang itu.4

c. Hipotek

Lembaga jaminan yang diatur oleh ketentuan KUH Perdata, pasal 1162

sampai dengan Pasal 1232 adalah Hipotek. Akan tetapi, dengan berlakunya

UU No. Tahun 1996, objek jaminan utang berupa tanah sudah tidak dapat

diikat dengan hipotek. Hipotek pada saat ini hanya digunakan untuk mengikta

objek jaminan utang yang ditunjuk oleh ketentuan peraturan perundang-

undangan lain.5

d. Penanggungan Utang

3
R. Subekti & R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata., h. 248
4
Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, h. 9
5
M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, h. 15
12

Dalam bahasa Belanda disebut Borgtocht, dalam bahasa Inggris disebut

Guarantee, yang diatur dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH

Perdata, tidak banyak dipakai dalam bisnis perbankan, dan andainya pun

dipakai, hanya sekedar sebagai jaminan tambahan. Hal itu disebabkan, oleh

karena baik dalam personal, maupun Corporate Guarantee, penanggung, Borg

atau Guarant, tetap menguasai harta yang dijaminkan, seperti telah tidak

terjadi apa-apa, dan ia tetap dapat secara leluasa menjual, mengoperkan dan

membebankan hartanya itu dengan lembaga jaminan yang lain, dengan

perkataan lain, justru oleh karena penanggung diperkenankan secara bebas

melakukan hal-hal itu, maka kreditur tidak terjamin secara sempurna.6

Adapun pengertian dari penanggungan utang dalam pasal 1820 KUH Perdata

adalah sebagai berikut.

“penanggungan utang adalah suatu perjanjian penjaminan utang yang sangat

terkait kepada perorangan (individu atau badan hukum) yang mengikat dirinya

sebagai jaminan atas utang dari pihak peminjam dan pihak yang mengikat

dirinya disebut penaggung atau penjamin.”

2. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak tanggungan

UU No. 4 Tahun 1996 mengatur lembaga jaminan yang disebut Hak

Tanggungan. Lembaga jaminan hak tanggungan digunakan untuk mengikat objek

jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah

yang bersangkutan. Dengan berlakunya UU No. 4 Tahun 1996, maka hipotek

yang diatur oleh KUH Perdata dan credit verband yang sebelumnya digunakan

untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang, untuk selanjutnya sudah tidak dapat

digunakan oleh masyarakat untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang.

6
Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, h. 9-10
13

Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 1996 pada tanggal 9 April 1996,

pengikatan objek jaminan utang berupa tanah sepenuhnya dilakukan melalui

lembaga jaminan hak tanggungan.

Adapun pengertian hak tanggungan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 4 Tahun 1996

adalah:

“Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentamg

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain

yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor terhadap kreditor-

kreditor lain.”7

Ciri-ciri Hak Tanggungan Secara singkat dapat dikemukakan bahwa U No. 4

Tahun 1996 mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

1) Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

pemegangnya.

2) Selalu mengikuti objek jaminan utang dalam tangan siapa pun objek tersebut

berada.

3) Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.

4) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

3. UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

a. Pengertian fidusia dan jaminan fidusia

1) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemiliknnya


7
Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-
benda yang berkaitan Dengan Tanah.
14

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda (pasal 1 angka

1).

2) Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda yang bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi

fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertebtu, yang memberika

kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya

(Pasal 1 angka 2).

b. Ciri-ciri jaminan fidusia diantaranya adalah :

1. memberikan hak kebendaan

2. memberikan hak didahulukan kepada kreditor

3. memungkinkan kepada pemberi jaminan fidusia untuk tetap menguasai

objek jaminan utang

4. memberikan kepastian hukum

5. mudah dieksekusi

c. Ruang Lingkup Jaminan Fidusia

1) Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan

untuk membebani benda dengan jaminan fidusia (Pasal 2).

2) Undang-undang ini tidak berlaku terhadap hak-hak berikut:

a) Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,

sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan

jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar (Pasal 3 huruf a)

Penjelasan Pasal 3 huruf a menjelaskan: berdasarkan ketentuan ini,

bangunan diatas tanah milik orang lain yan tidak dapat dibebani
15

dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek jaminan fidusia.

b) Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran dua puluh

M3 atau lebih (pasal 3 huruf b).

c) Hipotek atas pesawat terbang (Pasal 3 huruf c)

d) Gadai (Pasal 3 huruf d)

3. Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Penajminan Utang

Ketentuan hukum jaminan terdapat pula pada berbagai peraturan perundang-

undangan lain sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang mengatur

peminjaman utang. Beberapa di antara peraturan pelaksanaan tersebut berupa

Peratura Pemerintah (PP) misalnya PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, PP No.

27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan atau peraturan dari departemen atau

instansi yang terkait, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan

oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang mengatur antara alin tentang

penerbitan Akta Pemberian Hak Tanggungan . ketentuan dari peraturan pelaksanaan

kedua undang-undang tentang lembaga jaminan tersebut merupakan pula bagian

dari hukum jaminan dalam rangka pengaturan objek jaminan utang dan

pengikatannya.

2.6 Peraturan Perundang-undangan Lain yang Berkaitan dengan Penjaminan

Utang

Selain peraturan perundang-undangan yang sepenuhnya atau khusus mengatur

tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, terdapat pula peraturan

perundang-undangan lain yang dalam salah satu ketentuannya mengatur tentang


16

penjaminan utang, ketentuan penjaminan utang yang terdapat dalam berbagai

peraturan perundang-undangan lain tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari

hukum jaminan yang berlaku.

Beberapa di antara ketentuan penjaminan utang yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan lain misalnya yang berupa undang-undang adalah sebagai

berikut:

1. Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria, yang menetapkan tentang lembaga jaminan yang dapat dibebankan

atas tanah dan disebut Hak Tanggungan.

2. Pasal 12 A UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, yang mengatur mengenai pembelian

objek jaminan kredit oleh bank pemberi kredit dalam rangka penyelesaian

kredit macet debitur.

3. Pasal 12 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, yang menetapkan

mengenai pembebanan hipotek atas pesawat udara dan helicopter.

4. Pasal 49 UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menetapkan

mengenai pembebanan hipotek atas kapal.

5. Pasal 11 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, yang menetapkan

tentang agunan untuk pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

Syariah oleh Bank Indonesia kepada bank yang mengalami kesulitan

pendanaan jangka pendek

Di samping ketentuan yang hanya menunju kepada pasal-pasal tertentu dalam

undang-undangnya beserta penjelasannya, perlu pula diperhatikan dan dipatuhi

ketentuan yang ada dalam peraturan pelaksanaannya (misalnya yang berupa


17

peraturan pemerintah dan atau peraturan dari instansi terkait) sepanjang memuat

ketentuan yang mengatur penjaminan utang.

2.7 Pemberian Kredit di Perbankan

a. Kredit Perbankan di Indonesia

Dalam memberikan kredit, bank selalu memakai prinsip 5 C, yaitu The Five

Principles of Credit Analysis, yang menghendaki penelitian yang seksama

mengenai watak dan kemampuan berusaha debitur, modal apa yang sudah di

milikinya, jaminan apa yang dapat diberikan dan keadaan perekonomian Negara

pada umumnya yang sekiranya dapat mendukung usaha debitur. Untuk

mengurangi resiko kemungkinan terjadinya kredit macet, selain melakukan

analisa yang akurat berdasarkan asas 5 C tersebut di atas, bank juga akan

melakukan monitoring usaha debitur secara berkesinambungan.8

Landasan hukum yang pokok untuk kegiatan perbankan di Indonesia pada saat

ini adalah UU perbankan Indonesia 1992/1998. Undang-undang tersebut

mengatur tentang kelembagaan dan operasional bank komersial di Indonesia,

yaitu bank yang berfungsi melayani kebutuhan jasa perbankan masyarakat.

1) Pemberian Kredit menurut Ketentuan UU Perbankan Indonesia 1992/1998

Pemberian kredit adalah salah satu kegiatan usaha yang sah bagi Bank

Umum dan Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank tersebut merupakan

badan usaha penyalur dana kepada masyarakat dalam bentuk pemberian

kredit di samping lembaga keuangan lainnya. Dalam UU Perbankan

Indonesia 1992/1998 terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan

pemberian kredit, di antaranya adalah sebagai berikut.

8
Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit, h. 14
18

a) Kredit Berkaitan dengan Penyaluran Dana ke Masyarakat

Pasal 1 angka 2 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan

pengertian bank sebagai berikut. “Bank adalah badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau

bentuk-bentuk lainnyadalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat

banyak.”

b) Pengertian Kredit

Kredit adalah pemberian prestasi oleh suatu pihak lain yang akan

dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu disertai dengan kontra

prestasi berupa bunga dengan kata lain, uang atau yang diterima

sekarang akan dikembalikan pada masa yang akan datang sedangkan

dalam arti ekonomi, Kredit adalah penandaan.9

Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat

dalam ketentuan Paal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia

1992/1998. Undang-undang tersebut menetapkan: “kredit adalah

penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian

bunga.”

Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang

sebagaimna tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan

digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsure-

unsur sabagai berikut.

9
http://id.shvoong.com/social-sciences/economics/1971084-pengertian-kredit/
19

(1) Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan penyediaan uang

(2) Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam

antara bank dengan pihak lain

(3) Adanya kewajiban melunasi utang

(4) Adanya jangka waktu tertentu

(5) Adanya pemberian bunga kredit

Kelima unsur yang terdapat dalam pengertian kredit sebagaimana yang

disebutkan di atas harus dipenuhi bagi suatu pinjaman uang untuk dapat

disebut sebagai kredit di bidang perbankan. Walaupun istilah kredit

banyak pula digunakan untuk kegiatan perutangan lainnya di

masyarakat, hendaknya untuk istilah kredit dalam kegiatan perbankan

selalu dikaitkan dengan pengertian yang ditetapkan oleh ketentuan

Pasal 1 angka 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998.

c) Pemberian Kredit adalah Usaha yang Sah bagi Bank

Pasal 6 huruf b dan Pasal 13 huruf b UU Perbankan Indonesia 1992/1998

masing-masing menetapkan kredit sebagai usaha bagi Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat. Dengan dicantumkan pemberian kredit sebagai usaha

bank dalam ketentuan undang-undang, maka kegiatan pemberian pinjaman

uang ke masyarakat yang dilakukan bank telah mempunyai dasar hokum yang

kuat. Bank dengan demikian tidak dapat digolongkan sebagai rentenir atau

lintah darat yang sering tidak disukai oleh masyarakat. Pemberian kredit

adalah usaha yang sah bagi bank sebagai badan usahadan sesuai dengan salah

satu fungsi utamanya sebagai penyalur dana masyarakat.

d) Pelaksanaan Pemberian Kredit


20

Menurut Pasal 8 UU Perbankan Indonesia 1992/1998, dalam melaksanakan

kegiatan usahanya yang berupa pemberian kredit, bank antara lain:

i. Wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas

itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya

sesuai dengan yang diperjanjikan (Pasal 8 ayat (1));

ii. Memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sesuai dengan ketentuan

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (Pasal 8 ayat (2));

Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang

pelaksanaan pemberian kredit tersebut di atas, maka Bank Umum dan

Bank Perkreditan Rakyat wajib melakukan analisis kredit yang mendalam

atas permohonan kredit yang diajkan oleh calon debitur, dan memiliki

serta menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan

perkreditannya.

2.8 Analisis kredit

Mengenai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan

kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan

ang diperjanjikan, maka hal itu dijelaskan lebih lanjut oleh penjelasan Pasal 8 ayat

(1). Berdasarkan analisis kredit yang dilakukannya, bank akan memberikan

keputusan menolak atau menyutujui permohonan calon debitur. Oleh karena itu,

setiap analisis kredit harus memuat penilaian yang lengkap dan sempurna

sehingga dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan peraturan intern dan

peraturan perundang-undangan lainnya.

2.8.1 Pedoman perkreditan


21

Kewajiban memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana

yang ditetapkan oleh ketentuan pasal 8 ayat (2) lenih lanjut diatur dengan SK

Direksi BI No. 27/162/KE/DIR.

SK Direksi BI tersebut menetapkan kewajiban semua Bank Umum untuk

memiliki dan menerapkan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (KBP) dalam

pelaksanaan kegiatan perkreditannya dan juga melampirkan Pedoman

Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB).

KPB yang kemudian disertai dengan Petunjuk Palaksanaan Kredit (PPK)

merupakan peraturan intern masing-masing Bank yang harus dipatuhi dalam

pelaksanaan pemberian kreditnya.

2.9 Batas Maksimum Pemberian Kredit

Pasal 11 UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan ketentuan Batas

Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang berlaku antara lain untuk pemberian

kredit oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam atau pihak yang

terkait dengan bank. BMPK yang ditetapkan bagi peminjam atau sekelompok

peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah tidak melebihi 30% dari modal

bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan bagi

pihak yang terkait dengan bank tidak melebihi 10% dari modal bank. Ketentuan

lebih lanjut mengenai BMPK tersebut diatur oleh PBI No 7/3/PBI/2005 dan

perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.

Selanjutnya, dari penjelasan Pasal 11 yang menjelaskan tentang BMPK

tersebut dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut.

1) Pemberian kredit mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam

pelunasannya sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank.

Risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan

dana masyarakat yang disimpan di bank.


22

2) Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya

tahannya, bank diwajibkan menyebar resiko dengan mengatur penaluran

kredit sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada debitur atau

kelompok debitur tertentu.

Terhadap pelanggaran ketentuan BMPK di kenakan sanksi oleh Bank

Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam PBI No

7/3/PBI/2005 dan perubahannya dengan PBI No. 8/13/PBI/2006.

2.10 Pemberian Kredit Terkait dengan Ketentuan Pembinaan dan Pengawasan

Bank

Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 menetapkan bahwa

dalam pemberian kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak

merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya

kepada bank

Dari penjelasan Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diketahui hal

sebagai berkut.

1) Bank wajib memiliki dan menerapkan system pengawasan intern

dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan

dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.

2) Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang

dismpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank oerlu terus

menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.

Dengan memperhatikan ketentuan pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan

ayat (3) UU Perbankan Indonesia 1992/1998 dan penjelasannya

tersebut, pemberian kredit harus mendapat pengawasan berdasarkan

system pengawasan intern yang berlaku pada masing-masing bank agar


23

dapat menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat

kepadanya.

Demikian beberapa hal yang diatur oleh ketentuan UU perbankan

Indonesia 1992/1998 yang berkaitan dengan kredit perbankan. Hal lain

mengenai pengaturan pemberian kredit adalah yang berkaitan dengan

ketentuan sanksi pidana dan administratif yang tercantum dalam

undang-undang tersebut10

2.11 Unsur-unsur kredit, terdiri dari:

 Kepercayaan: Kredit diberikan atas dasar kepercayaan

 Waktu: Kredit selalu ada jangka waktunya

 Risiko: Setiap kredit selalu mengandung unsur risiko

 Prestasi: Kredit mengandung prestasi berupa pembayaran bunga

Walaupun pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, tetapi

penilaian atas kepercayaan tadi harus memenuhi kriteria Five C’s

(Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral), serta

didokumentasikan, sehingga siapapun yang membaca dasar penilaian

pemberian kredit mempunyai persepsi yang sama.

2.12 Tujuan Pemberian Kredit

 Bagi bank: a) Profitability, artinya ada keuntungan yang diperoleh secara

wajar b) Safety, artinya harus aman dengan risiko yang telah dimitigasi

sebelumnya.

10
M. Bahsan S.H., S.E., Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, h. 74-8
24

 Bagi nasabah: memberikan manfaat yang positif bagi masyarakat luas, dan

meningkatkan produktivitas usaha.

 Bagi masyarakat umum: dapat menunjang pertumbuhan ekonomi nasional,

dan meningkatkan kesempatan kerja.

2.13 Prosedur Kredit

 Merencanakan Pasar Sasaran. Bank harus mempunyai perencanaan, pasar

mana yang akan dituju dalam memasarkan kreditnya, misalkan fokus pada

sektor ritel/

 Menentukan kriteria risiko yang dapat diterima. Bank hanya memasarkan

kredit apabila kriteria risikonya jelas dan dapat dimitigasi, misalkan

dengan: menetapkan limit exposure, jenis usaha (dibuat ratingnya, dan

rating apa saja yang layak dibiayai), lokasi dsb nya.

 Menentukan kriteria nasabah kredit yang diberikan, berdasar pada kriteria

nasabah yang jelas.

2.14 Putusan Kredit

Setiap pemberian kredit harus melalui mekanisme proses dan prosedur

baku, antara lain:

 Ada permohonan kredit secara tertulis

 Dilengkapi dengan dokumen yang dipersyaratkan

 Disertai dengan proposal kredit

 Dibuat rekomendasi dan putusan kredit

 Dibuat pemberitahuan putusan kredit secara tertulis

 Melakukan perjanjian kredit secara hukum


25

 Proses pencairan kredit

 Melakukan pengawasan dan evaluasi

Pada dasarnya tujuan pemberian kredit haruslah didasarkan pada kelayakan

usaha, agar usaha yang dibiayai dapat berkembang, menyerap tenaga kerja, dan

pada akhirnya dapat menyumbang peningkatan ekonomi masyarakat

disekitarnya.11

11
http://edratna.wordpress.com/2007/09/04/kebijakan-perkreditan-merupakan-dasar-pemberian-pinjaman-
yang-sehat/
26

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum jaminan adalah kaidah atau peraturan hukum yang mengatur ketentuan

mengenai jaminan dari pihak debitur atau dari pihak ketiga bagi kepastian pelunasan

piutang kreditur atau pelaksanaan suatu prestasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita

juga sudah sering mendengar istilah jaminan. Jaminan dalam pengertian bahasa

sehari-hari biasanya merujuk pada pengertian adanya suatu benda atau barang yang

dijadikan sebagai pengganti atau penanggung pinjaman uang terhadap seseorang.

B. SARAN

Dalam melakukan kegiatan pinjam-meminjam sebaiknya di landasi dengan jaminan,

karena dengan adanya jaminan para kreditur mendapatkan sarana perlindungan bagi

keamanan atau kepastian pelunasan hutang debitur. Jadi, marilah kreditur dan debitur

melakukan sebuah jaminan dalam proses peminjaman atau hutang.

Anda mungkin juga menyukai